Prahara Di Gurun Gobi Jilid 05 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-beng Sian-su Karya Batara

“KALIAN hwesio-hwesio curang. Mundur... crat- crat!" dua hwesio itu tiba-tiba berteriak, lawan membantu temannya dan lukalah pundak mereka oleh bacokan golok. Tiga orang maju berbareng dan terkejutlah hwesio-hwesio lain oleh ulah tiga orang ini. Dan ketika mereka menyuruk dan menyerbu masuk, Hek-tung Lo-kai yang kepayahan di sana dibantu tiga laki- laki ini maka terbaliklah keadaan karena dua hwesio itu tiba-tiba sudah dihajar dan diserang hujan golok.

“Curang, ini anjing-anjing yang curang....!" para hwesio muda berteriak dan berseru marah. Mereka kaget dan juga marah karena dua saudara mereka yang terhuyung dan sudah terluka tiba-tiba masih juga dirangsek atau didesak. Mereka tak menduga masuknya tiga orang itu karena memang tak memperhatikan, perhatian sedang tercurah kepada Hek-tung Lo-kai yang sombong dan tadi minta dikeroyok.

Maka begitu tiga laki-laki bergolok itu menyerbu dan mereka setingkat dengan Hek-tung Lo-kai, yang berdiri dan terkekeh-kekeh di sana maka tentu saja mereka terkejut dan coba mengelak namun tak sanggup, golok mengenai pundak dan muncratlah darah segar oleh serbuan tiga orang ini. Darah itu seakan memancing nafsu membunuh karena tiga laki-laki itu tiba-tiba tak sabaran lagi menyerang lawannya, dua hwesio muda itu diserang dan dihujani tikaman-tikaman golok.

Dan karena mereka kalah lihai karena tiga laki-laki itu ternyata memang hebat, hwesio muda ini tak sanggup maka mereka bercucuran darah ketika golok menyambar punggung atau lengan, membuat teman-teman mereka yang lain berang dan menyerbulah anak-anak murid itu ke arah tiga laki-laki ini. Mereka belasan orang sementara laki-laki ini hanya bertiga. Tentu saja repot! Dan ketika tiga orang itu repot dan satu di antaranya berteriak kena kemplangan toya, roboh dan retak kepalanya maka rombongan tamu berbalik menjadi marah dan ganti menyerbu. Masuk dengan suara riuh!

"Curang... curang. Hwesio-hwesio Go-bi ternyata curang. Serang mereka, kawan-kawan. Bantu Hek-tung Lo-kai dan teman-teman kita ini!" dan ketika rombongan tamu menyerbu sambil mencabut senjata, keadaan menjadi gaduh dan pekik atau jerit kesakitan tentu saja terdengar, suasana sungguh kacau maka belasan hwesio itu sudah bertempur dengan belasan tamu.

Go-bi tiba-tiba menjadi ribut dan keadaan sungguh mendebarkan. Toya bertemu golok atau pedang dan muncratlah bunga-bunga api berpijaran di udara. Dan ketika perang campuh terjadi di situ dan ribut-ribut di pintu gerbang ini didengar para hwesio yang lain, di pintu dalam, maka mereka meluruk dan tertegun serta terbelalak melihat perkelahian itu, adu kepandaian keroyokan!

"Berhenti! Apa yang terjadi ini!" seorang hwesio membentak dan coba melerai. Dia adalah hwesio tingkat empat karena hwesio di situ adalah dari tingkat lima dan enam. Tapi begitu dia berkelebat dan membentak dengan toyanya, bermaksud melerai tiba-tiba Hek-tung Lo-kai yang penasaran dan sudah memulihkan diri mendadak mengayun tongkatnya dan tertawa menyeramkan, langsung menerjang!

"Hwesio bau, tak usah banyak cakap. Kami sedang mencari darah dan serahkan kepalamu!"

Hwesio ini tentu saja marah. Dia datang untuk mencari keterangan tapi tiba-tiba dihantam tongkat. Dan karena suasana panas di tempat itu mudah menular, orang akan cepat naik darah melihat kerabat atau sanak saudara diserang musuh, maka hwesio inipun juga membalik dan toya di tangan langsung menggempur serangan tongkat.

“Trakk!” Dua-duanya terpental. Hwesio itu dan lawannya ternyata setingkat, tenaga mereka sama besar. Dan karena hwesio ini marah diserang tanpa alasan, lawan berjungkir balik dan terkekeh menyeramkan maka hwesio itu menyambut ketika Hek-tung Lo-kai sudah menyerangnya kembali. 

Hwesio-hwesio lain yang sudah berdatangan dan melihat itu sama-sama tertegun, mereka bingung. Tapi karena Hek-tung Lo-kai dapat dilayani hwesio ini dan hwesio itu berseru agar mengusir perampok, begitu hwesio itu menyebut lawan-lawannya maka hwesio Go-bi yang ada di bagian dalam ini menyerbu dan membantu saudara-saudara mereka, yang tambak terdesak.

"Hajar mereka. Lempar dan kalau perlu bunuh!”

Keadaan semakin kacau, Hwesio baru yang berdatangan ini tidak lagi bertanya-tanya. Mereka sudah melotot melihat saudara-saudara mereka yang berjatuhan, apalagi ketika seorang hwesio menggelinding kepalanya dibabat golok, putus tanpa ampun lagi. Dan karena semuanya itu benar-benar membuat darah mendidih dan mereka inipun juga hwesio-hwesio yang masih muda, gagah dan tangkas maka begitu membentak merekapun langsung menghantam dengan gerakan membunuh!

“Sikat mereka, basmi habis!"

Rombongan tamu terkejut. Mereka dianggap perampok dan hwesio-hwesio yang marah menggerakkan toya dengan kepandaian mengejutkan. Mereka lebih lihai dan lebih tinggi daripada hwesio penjaga pintu gerbang, karena mereka memang murid-murid tingkat empat yang berdatangan dengan gusar. Dan begitu mereka menyerbu dan kaki atau tangan bergerak cepat, toya menyambar atau menderu seperti angin puyuh maka seorang di antara lawan terbabat kepalanya disapu senjata panjang itu.

"Crat!" Kepala menggelinding pergi. Dua orang tewas dengan masing-masing sama kehilangan satu. Satu di pihak Go-bi dan satu di pihak tamu. Dan ketika yang lain menjadi marah dan berteriak membalas maka pertempuran menjadi lebih hebat karena orang-orang itu ternyata orang-orang nekat yang tidak kalah garang. Mereka berani mati dan maksud tujuan mencari Bu-tek-cin-keng tiba-tiba berobah menjadi mencari darah!

Mereka haus dan seperti serigala kelaparan yang saling berteriak-teriak mencari mangsa sendiri. Dan ketika semuanya itu menjadikan pertempuran semakin ramai, hiruk-pikuk dan gaduh luar biasa maka sebentar saja belasan orang roboh dan delapan di antaranya mandi darah dengan kaki atau tangan putus. Baik hwesio-hwesio Go-bi maupun para tamu sama-sama beringas dan tak mau memberi ampun. Mereka tiada ubahnya harimau-harimau kelaparan yang menuntut darah atau nyawa.

Namun ketika hanya orang-orang terkuat saja yang mampu mengatasi lawan-lawannya dan tinggal empat pasangan saja yang masih bertempur dengan sengit berkelebatlah sebuah bayangan dan Beng Kong Hwesio, hwesio tinggi besar itu, muncul.

"Berhenti, apa yang kalian lakukan ini!"

Hwesio itu menggerakkan jubah dan meniup seperti angin kencang. Hanya hwesio inilah merupakan murid yang terpandai di Go-bi setelah Lu Kong tewas. Maka begitu dia membentak dan muncul, menggerakkan ujung jubahnya dengan dahsyat tiba-tiba delapan orang itu terlempar dan mereka berteriak karena tak dapat menguasai diri lagi.

“Heiii.... bres-bress!"

Orang-orang itu terkejut. Mereka melihat datangnya hwesio tinggi besar ini dan Hek-tung Lo-kai, pencari gara-gara segera pucat mukanya melihat siapa yang datang. Dia belum pernah berhadapan dengan lawannya ini namun perawakan serta nama hwesio ini sudah didengar. Beng Kong memang hwesio tinggi besar yang satu-satunya ada di situ, gagah dan berperawakan tegap, seperti jenderal Kwan Kong. Tapi karena ia tak mau dianggap takut dan membentak meloncat bangun, tongkat bergetar siap menyerang maka ia memaki lawannya itu, tiga temannya yang lain juga sudah bergulingan meloncat bangun.

"Siapa kau, apakah Beng Kong Hwesio yang sombong dan pongah!"

"Hm, pengemis busuk. Pinceng benar adanya, Lo-kai. Dan kau tentunya Hek-tung si Tongkat Hitam. Apa maksudmu datang ke mari dan kenapa membuat ribut di Go-bi!"

"Kebetulan, aku dan kawan-kawan ingin bertemu Ji Leng Hwesio, Beng Kong. Mana gurumu dan biar kami bertemu. Murid-murid Go-bi yang tengik ini menyerang dan tak tahu diri menyambut kami!"

"Mereka membunuh saudara-saudara kita!" seorang di antara para hwesio membentak. "Hek-tung Lo-kai dan kawan-kawannya ini datang mengacau, suheng. Mereka ingin menemui suhu untuk Bu-tek-cin-keng!"

“Hm!" Beng Kong terkejut, alisnya yang tebal dan hitam berkerut. “Untuk urusan itu kalian datang, Hek-tung Lo-kai? Dan kalian berani menyerang serta membunuh anak-anak murid Go-bi? Omitohud, lancang sekali. Pinceng tak dapat membiarkan ini!" dan membentak tak memberi kesempatan lawan menjawab tiba-tiba hwesio itu bergerak dan menampar Hek-tung Lo-kai. Pengemis ini membuatnya marah dan Hek-tung Lo-kai terkejut karena melihat cahaya membunuh pada mata lawannya itu. Dan ketika ia berkelit namun angin tamparan masih menyambar, mengejar, maka pengemis itu berteriak menggerakkan tongkat.

"Krakk!” Tongkatnya patah. Hek-tung Lo-kai menjerit dan tentu saja ia kaget bukan main. la tak tahu bahwa Beng Kong mempergunakan Thai-san-ap-tingnya (Gunung Thai-san Menindih Kepala). Maka begitu ia menangkis dan tongkat patah menjadi dua, sang pengemis berteriak dan melempar tubuh ke kiri maka tamparan itu mengenai tanah di belakangnya dan meledaklah suara keras seperti benda disambar petir. Pengemis ini terkejut dan melempar tubuh meloncat bangun untuk akhirnya berdiri terbelalak di sana, pucat.

Tapi ketika ia mendengar tawa dingin lawannya dan Beng Kong Hwesio mengejek menghina maka pengemis itu marah dan mencabut golok pendeknya. lapun masih mempunyai senjata lain di samping tongkatnya itu, senjata cadangan kalau tongkat hancur. Dan begitu ia berteriak dan memaki lawannya, tinggi dan marah maka Beng Kong Hwesio sudah diserangnya bertubi-tubi dengan ganas dan gencar. Tiga yang lain menonton di pinggir dan Beng Kong Hwesio hanya mengelak ke sana ke mari. Hwesio tinggi besar itu tidak kelihatan takut apalagi gentar, sinar matanya bahkan menyorotkan ejekan.

Hwesio itu telah tahu kepandaian lawan dan kini menghadapi serangan golok itu dengan elakan-elakannya yang cepat. Gerakannya mengagumkan dan Hek-tung Lo-kai sendiri terkejut, kagum. Tapi ketika tujuh serangan dihindari tanpa dibalas dan Beng Kong tiba-tiba berseru keras mendadak hwesio itu menyambut sebuah bacokan dengan dua jari telunjuk.

"Crep!” Golok tiba-tiba terjepit. Hek-tung terpekik karena dua jari lawan sudah menjepit atau menangkap goloknya. Jari-jari itu tidak terluka apalagi buntung. Dan ketika dia berkutat namun sang hwesio mengeluarkan tawa dingin, jari itu menekuk dan menggeliat tiba-tiba golok melengkung dan bengkok serta akhirnya putus.

"Krekk!” Sang pengemis sungguh kaget. la tak mengira bahwa tenaga dalam lawannya itu mampu menekuk golok pendeknya yang terbuat dari baja, patah dan bengkok seperti terbuat dari lempung saja. Dan ketika ia berteriak dan kaget, kaki hwesio itu bergerak maka pengemis ini terlempar dengan paha kanannya patah. Beng Kong melakukan sapuan yang disebut Tendangan Gunung, tak dapat diterima lawan dan terbantinglah pengemis itu sambil menjerit keras.

Dan ketika Hek-tung mengaduh-aduh dan para murid bersorak, Beng Kong berkelebat dan mengejar lawan dan tiba-tiba jubah hweslo itu bergerak dan berturut-turut kaki atau pergelangan tangan pengemis itu patah. Beng Kong menghajar lawannya dan terkejutlah yang lain oleh kekejamannya ini. Hwesio itu telengas! Namun ketika mereka bergerak dan membentak maju, marah menolong pengemis itu maka Beng Kong membalik dan menyambut mereka, ujung jubahnya lagi-lagi bergerak.

"Plak-plak-plak!"

Tiga orang itu terbanting. Mereka menjerit dan mengaduh-aduh pula seperti Hek-tung Lo-kai. Dan ketika Beng Kong berkelebat dan tertawa dingin maka berturut-turut tiga orang itu dibuat patah-patah kaki atau tangannya. Hwesio ini sungguh kejam dan empat anak murid Go-bi membelalakkan mata. Mereka terbelalak tapi segera tertawa-tawa melihat kelakuan suheng mereka itu. Empat orang itu memang orang-orang yang pantas dihajar, kalau perlu dibunuh. Dan ketika empat orang itu menjerit dan dipatah-patahkan kaki tangannya, Beng Kong bertindak sadis maka seorang di antara hwesio berteriak, membakar,

"Suheng, bunuh saja mereka itu. Tampar kepalanya!"

"Atau berikan kepada kami dan biar masing-masing dari kami membunuh mereka!"

"Benar, biarkan kami membalas sakit hati murid-murid Go-bi, suheng. Toya kami siap mencari darah dan mari ramai-ramai menghabisi mereka!" namun ketika murid-murid Go-bi itu berseri dan bersorak-sorai, sikap mereka sungguh tak pantas sebagaimana layaknya seorang hwesio mendadak berkesiur angin dingin dan empat orang hwesio itu terlempar sementara Beng Kong sendiri terpelanting dan berseru kaget.

"Omitohud, sungguh tak pantas. Berhenti!" dan ketika Ji Beng muncul dengan marah, mengebut dan melempar murid-muridnya itu maka wakil Go-bi ini telah berdiri dengan muka merah padam, malu dan juga gusar melihat tingkah murid utamanya. "Beng Kong, apa yang kau lakukan ini? Kenapa menyiksa lawan sampai seperti ini? Hukuman apa yang ingin kau terima?"

"Maaf," Beng Kong Hwesio meloncat bangun, pucat namun tidak gentar. "Mereka ini orang-orang yang patut dihajar, susiok. Mereka membunuh-bunuhi murid-murid Go-bi. Lihat mayat-mayat di sana itu dan apakah tidak pantas aku menghajar mereka?”

“Hm, apa yang terjadi. Kenapa banjir darah dan terjadi bunuh-membunuh ini? Pinceng mohon penjelasan!"

Beng Kong bersinar-sinar. Cepat dan tidak takut segera ia memberi tahu bahwa Go-bi kedatangan pengacau-pengacau. Murid-murid terbunuh dan mereka itulah buktinya. Dan ketika hwesio ini menuding dan menyatakan marahnya, tak takut kepada susioknya itu maka dia berkata, "Orang-orang ini bukan manusia, melainkan iblis. Mereka memaksa hendak bertemu suhu untuk urusan Bu-tek-cin-keng. Apakah susiok dapat menerimanya kalau Go-bi diinjak-injak? Apakah susiok tidak akan melakukan hal yang sama kalau aku menghajar mereka ini? Go-bi bukan untuk dihina, susiok. Dan suhu pasti sependapat dengan aku. Mereka ini tak pantas diampuni!"

"Benar," empat murid di sana menggigil, mendapat isyarat Beng Kong Hwesio untuk bicara. "Mereka ini pengacau-pengacau yang tak pantas diampuni, susiok. Mereka membunuh murid-murid Go-bi dan Hek-tung itulah biangnya!"

“Hm, pinceng sudah mendengar. Tapi kalian tak boleh menyiksa musuh!”

"Kami terbakar, susiok, dan untuk ini kami mengaku salah. Tapi sikap kami adalah untuk membela Go-bi!”

“Hm, pinceng tahu. Tapi betapapun tetap tak pantas menyiksa musuh. Sudahlah, biarkan mereka pergi dan jangan diganggu lagi. Kalau ada apa-apa harap pinceng diberi tahu!"

"Kalau begitu susiok jangan bersembunyi saja," Beng Kong memprotes, tak perduli pandang mata susioknya yang melebar. "Kalau ada apa-apa cepat kau keluar, susiok. Atau bakal ada kejadian seperti ini lagi dan jangan salahkan aku!" dan membalik berkelebat pergi tiba-tiba Beng Kong meninggalkan susioknya dengan uring-uringan. Hwesio ini marah karena di depan yang lain-lain dia dilempar, perbuatan itu menyakitkan.

Dan ketika Ji Beng terbelalak namun tertegun teringat suhengnya, ketua Go-bi yang menjadi guru murid keponakannya itu maka hwesio ini meramkan mata dan menahan kemarahan. "Omitohud, anak-anak muda sekarang sungguh kurang ajar. Kalian pergilah, dan bawa teman-teman kalian yang tewas!” dan menyuruh murid yang lain membersihkan mayat di situ, juga anak-anak murid Go-bi yang terluka maka Ji Beng Hwesio menggigil menahan marah. Dia melihat Hek-tung Lo-kai dan tiga temannya itu pergi dengan susah payah.

Mereka gentar melihat hwesio renta ini, setelah tadi melihat kepandaian Beng Kong Hwesio yang jauh di atas mereka. Apalagi wakil ketua Go-bi yang tampaknya lemah namun memiliki sinar mata mencorong itu! Dan ketika semua berangkat dan Hek-tung Lo-kai membawa teman-temannya yang luka atau tewas, Go-bi kembali tenang maka tak dinyana beberapa hari kemudian muncul tiga tokoh- tokoh Hoa-san dan Kun-lun serta Heng-san, berikut anak-anak murid mereka.

"Kami ingin mencari Beng Kong Hwesio atau Ji Beng Hwesio. Suruh mereka berdua keluar atau kami melabrak masuk!”

Anak-anak murid tertegun. Mereka tak tahu siapa itu kecuali sikap dan dandanan para tamu. Mereka menggelung rambut ke atas dan itu jelas adalah kaum tosu, pengikut agama To. Dan ketika mereka terkejut dan marah, nama dua pimpinan mereka disebut-sebut dengan suara kasar maka penjaga pintu gerbang, yang kini diwakili murid-murid tingkat empat membungkuk dan hati-hati bicara, meskipun muka menunjukkan kemendongkolan dan merah, sudah dipesan oleh Ji Beng Hwesio bahwa tak boleh sembarangan menyambut tamu dengan kasar.

"Maafkan kami semua. Siapakah para totiang ini dan dari mana kalian berasal? Ada apa mencari suheng kami yang utama atau wakil ketua Go-bi? Bolehkah menyebut urusannya?”

"Pinto dari Hoa-san, Ko Pek Tojin. Datang untuk menuntut tanggung jawab kenapa Go-bi menghina seorang murid kami!”

"Dan aku dari Kun-lun, Kim Cu Cinjin. Datang juga untuk menuntut tanggung jawab kenapa Go-bi membunuh dua orang murid kami!"

"Dan kami dari Heng-san, menuntut balas untuk kematian tiga orang murid kami dari kekejaman Go-bi!"

“Ah-ah!" para hwesio terkejut. "Cuwi totiang dari Hoa-san dan Kun-lun? Juga dari Heng-san? Omitohud, kami semua tak merasa melakukan sesuatu yang salah terhadap partai-partai kalian, cuwi totiang. Sungguh heran kalau tiba-tiba kalian semua kini datang untuk menagih jiwa. Siapa yang terbunuh dan siapa pula yang membunuh. Kami dari Go-bi tak pernah melakukan itu!"

“Cerewet!" seorang tosu tiba-tiba mencabut pedang dan membentak. "Panggil saja Ji Beng Hwesio atau Beng Kong Hwesio, keledai-keledai gundul. Atau pinto akan membungkam mulutmu dan kami semua menerjang masuk!"

“Benar," yang lain tiba-tiba juga berseru, tangan siap mencekal gagang senjata. "Panggil dua keledai itu, hwesio-hwesio bau. Atau kalian kami sikat dan tak dapat banyak cing-cong lagi!"

“Omitohud, sobat-sobat dari Heng-san dan Kun-lun sungguh kasar. Kami jadi tak dapat menerima ini tapi baiklah kalian tunggu di sini. Pinceng akan melapor!" dan pimpinan murid yang hampir tak dapat menahan marah, membalik dan buru-buru meninggalkan tempat itu lalu menyuruh saudara-saudaranya untuk berjaga. Dia teringat ancaman dari wakil ketua Go-bi bahwa apapun tak boleh membuat ribut, atau dia bakal dihukum berat dengan dibuang dari Go-bi, ilmu-ilmunya akan dilumpuhkan.

Maka begitu dia pergi dan melapor ke dalam, saudara-saudaranya disuruh menunggu maka di sini terjadi hal tak diduga karena para tosu itu tiba-tiba membuat ulah. Tiga pimpinan mereka yang tak sabar dan dipaksa menunggu tiba-tiba menghampiri kepala singa-singaan di atas pintu gerbang, seorang di antaranya bahkan menyambar toya seorang anak murid Go-bi dan menekuk-nekuknya menjadi tujuh potong, dengan gerakan luar biasa cepat. Dan ketika murid-murid Go-bi terkejut dan berseru mundur, muka berubah, maka pengikut mereka yang ada di belakang bersorak riuh, melihat Tan Hoo Cinjin dari Heng-san mengeremus hancur sepasang kepala singa dengan sebelah kepalannya.

"Bagus hebat sekali. Ha-ha, kau luar biasa, Hoo-toheng. Tenaga dalammu kuat....

Halaman 23 dan 24 hilang....

"Bagus.... bagus, Hoo-toheng. Sikat dan bunuh saja hwesio bau itu!"

Murid-murid Go-bi marah. Mereka siap bergerak ketika tiba-tiba wakil pimpinan mereka berseru untuk menahan diri. Wakil pimpinan itu mengingatkan ancaman Ji Beng Hwesio kalau mereka membuat ulah, maklumlah, mereka memang tak boleh membuat ribut dengan tamu. Siapa pun tamu itu. Tapi ketika orang-orang dari Hoa-san dan Kun-lun berteriak menyoraki mereka, berkata bahwa mereka adalah pengecut-pengecut yang tak berani menghadapi lawan maka hwesio-hwesio muda ini terbakar.

"Ha-ha, teman sendiri roboh dibiarkan, sungguh tak memiliki rasa persaudaraan!"

"Apalagi kalau Go-bi yang roboh, tentu mereka sudah menghilang!"

Dan ketika kata-kata yang lebih panas lagi terdengar di situ dan para hwesio ini mendelik, toya gemetar di tangan maka pengikut-pengikut Heng-san bersorak.

“Heii, kalian berlutut di depan Hoo-toheng. Atau nanti Hoo-toheng menghajar kalian seperti teman kalian itu!"

"Keparat!" wakil pimpinan tak dapat menahan diri. "Tutup mulut kalian, tosu-tosu bau. Atau pinceng tak menghormati tamu dan menghajar kalian agar tahu sopan!"

"Ah-ah, keledai-keledai ini pandai memaki. Kalau begitu jangan-jangan Ji Beng Hwesio atau Ji Leng Hwesio mengajarinya untuk memaki!"

Hwesio pimpinan itu membentak. Tiba-tiba ia tak kuat karena murid Heng-san itu menghinanya tertawa-tawa. Dia diejek sementara saudara-saudaranya yang lain juga tak tahan dan menghentakkan toya hingga tanah bergetar. Dan ketika ia maju melompat menyodokkan toyanya bermaksud menghajar tosu dari Heng-san itu untuk tutup mulut tíba- tiba lawan malah menyambut dan toya yang menderu dikelit lalu dibabat.

“Tranggg...!”

Toyanya putus. Sang hwesio kaget karena lawan ternyata memiliki tenaga dan senjata lebih kuat. Kalau pedang itu tajam tapi sinkang tak lebih tinggi tentu tak mungkin toyanya putus. Ini menunjukkan lawan lebih lihai! Dan ketika ia terpekik karena pedang bergerak melingkar maka tak dapat dicegah lagi pundaknya terbabat setelah senjatanya tadi putus sebagian.

"Crat!" Hwesio ini roboh. Segebrakan saja murid tingkat empat dari Go-bi itu mengaduh-aduh. Lawan dari Heng-san ternyata lebih tinggi. Namun ketika ia terlempar dan terlepas toyanya, saudara-saudaranya yang lain marah maka mereka itu sudah membentak dan menerjang maju, mengeroyok tosu yang merobohkan wakil pimpinan ini.

"Ha, hwesio-hwesio Go-bi tukang keroyok. Pantas, kalau begitu biar kuberi pelajaran dan mari lihat kepandaian tuan besarmu.... crang-crangg!” toya dari tujuh orang hwesio itu ditangkis, terpental dan bertemu sebuah tenaga yang kuat dan tosu dari Heng-san ini tiba-tiba berkelebatan tertawa-tawa. Dia mengejek hwesio-hwesio itu sebagai tukang keroyok, teman-temannya bersorak menyetujui. Tapi ketika tujuh hwesio itu tergetar dan maju kembali, berkata bahwa lawan juga boleh mengeroyok maka sute dari Tan Hoo Cinjin ini membentak dan melarang teman-temannya maju.

"Tak usah maju.... tak usah maju. Kalau keledai-keledai gundul ini hanya sebegini saja kepandaiannya pinto sanggup merobohkan. Lihat, mereka akan kupukul mundur.... crang-crangg!"

Dan murid-murid Go-bi yang benar saja terhuyung dan terdorong oleh kilatan pedang tiba-tiba menggigit bibir karena dikeroyok tujuh ternyata lawan dari Heng-san itu kuat. Wakil pimpinan yang luka dan terhuyung di sana mendelik, dia marah namun mengakui kelihaian lawan. Tapi melihat saudara-saudaranya terdesak dan dikelilingi bayangan pedang yang menyambar-nyambar, tosu itu mengejek bahwa kepandaian Go-bi sungguh rendah maka hwesio inipun menguatkan diri dan menyambar toya yang lain untuk menerjang maju, membantu saudara-saudaranya.

“Kami memang murid-murid yang hanya tingkat empat. Tapi kami siap mati kalau dihina... wut-wut!" dan toyanya yang bergerak menderu-deru, ganas dan coba membongkar bayangan pedang lalu disusul oleh tujuh hwesio yang lain yang juga berseru sama. Mereka marah kepada lawan dari Heng-san ini yang demikian sombong, tak tahu bahwa itulah Siu Gwan Tojin yang menjadi sute dari Tan Hoo Cinjin, murid-murid utama dari Heng-san, tentu saja lihai. Dan ketika tosu itu tertawa dan memutar pedangnya lebih cepat, lawan dikelilingi sinar pedang yang naik turun ternyata tosu ini mampu menghadapi keroyokan delapan lawannya tanpa susah. Pedang di tangannya sering mendorong dan membuat terpental.

“Ha-ha, boleh tambah lagi kalau kurang. Mari... mari pinto robohkan semua hwesio-hwesio Go-bi. Ha-ha, jangan-jangan Ji Beng Hwesio atau Ji Leng Hwesio juga hanya bernama kosong belaka.... crang-crangg!"

Tosu itu mengerahkan tenaganya, membacok putus empat dari delapan toya dan empat murid Go-bi itu terpekik. Mereka roboh ketika pedang masih terus bergerak, menyambar dan mengenai lengan atau pundak mereka. Dan ketika empat yang lain terkejut dan terbelalak marah, ketua dan wakil ketua mereka dihina maka Siu Gwan Tojin bergerak lenyap dan tiba-tiba sepasang kakinya muncul menghantam dada empat orang lawan terakhirnya ini.

“Des-des-dess!”

Empat orang itu muntah darah. Mereka terbanting dan wakil pimpinan pingsan. Dia tadi terluka dan kini semakin payah saja. Dan ketika tosu itu tertawa bergelak menyelesaikan pertandingannya, sombong dan pongah karena lawan demikian empuk maka berkelebat delapan bayangan dan tujuh hwesio sekitar empat puluhan tahun telah berdiri di depannya merangkapkan tangan. Hwesio-hwesio berikat pinggang hitam!

"Omitohud, banyak terima kasih atas pelajaranmu kepada murid-murid kami, Siu Gwan totiang. Tapi tak sepantasnya tamu merobohkan tuan rumah!”

Tosu ini tertegun. Di depannya telah berdiri delapan orang hwesio itu, sikapnya angker dan pandang mata penuh wibawa, jelas lain dengan hwesio-hwesio tingkat empat yang dirobohkannya ini. Dan ketika tosu itu terkejut dan mundur, bersiap diri maka dia melirik kepada suhengnya siapakah delapan hwesio yang baru datang ini. Karena suhengnya mungkin mengenal.

"Hm, kami mencari Ji Beng Hwesio atau Beng Kong Hwesio. Siapa kalian dan murid-murid tingkat berapa?”

Tan Hoo Cinjin kiranya tidak mengenal. Tosu itu maju mengganti sutenya dan kini bersama kawan-kawan dari Hoa-san dan Kun-lun ia bersiap-siap. Sekali lihat segera mereka tahu bahwa yang datang ini bukanlah hwesio-hwesio biasa. Itu calon-calon lawan yang tangguh. Dan ketika tosu-tosu dari Hoa-san atau Kun-lun juga mengangguk, saling maklum maka hwesio terdepan yang tadi mewakili teman-temannya itu menjawab.

"Kami murid-murid tingkat dua, Pat-kwa-hwesio (Hwesio Segi Delapan). Barangkali nama kami tak dikenal dan tak sesohor cuwi sekalian. Kami murid-murid langsung dari Ji Beng suhu yang kalian cari-cari!"

"Ah, Pat-kwa-hwesio? Murid-murid Ji Beng Hwesio? Bagus sekali, panggil gurumu itu atau Beng Kong Hwesio keluar. Kami ada urusan penting!"

Tan Hoo Cinjin, yang sejenak terkejut tapi mendengus rendah lalu membentak hwesio-hwesio itu. Dia mendengar nama Hwesio Segi Delapan ini sebagai tokoh-tokoh andalan Go-bi, kalau mereka itu diperlukan. Tapi karena nama hanyalah nama dan kepandaian mereka belumlah pernah dilihat, apalagi dirasakan maka Tan Hoo Cinjin menganggap rendah dan tak memandang sebelah mata. Di situ banyak teman-temannya dan tak perlu dia takut. Jauh-jauh meluruk ke Go-bi memang untuk menuntut balas!

Maka ketika dia berkata mengejek dan tidak kelihatan takut, nama besar Go-bi setingkat dengan Kun-lun atau Heng-san maka dia berkata congkak dan tak memandang mata hwesio-hwesio itu. Tan Hoo Cinjin percaya diri sendiri dan itu cukup. Pat-kwa-hwesio boleh marah kalau mau marah! Tapi ketika hwesio itu tersenyum tenang dan menganggukkan kepalanya, sikapnya berwibawa dan tidak terbawa emosi maka hwesio itu bertanya apa keperluan mereka.

“Omitohud, totiang membawa dendam permusuhan. Apa kiranya urusan itu dan seberapa penting kiranya. Pinceng tentunya boleh tahu."

"Hm, kami ingin bertemu langsung dengan Beng Kong Hwesio atau Ji Beng Hwesio, lo- suhu. Kalau ada mereka biarlah kau dengarkan maksud kedatangan kami!"

"Pinceng adalah murid Ji Beng-suhu, dan Beng Kong adalah suheng kami dari supek (pak-de) Ji Leng. Kiranya totiang tak perlu takut mengatakannya kepada pinceng untuk pinceng dengar.”

“Takut? Ah, pinto tidak takut. Baiklah, kau boleh dengar tapi cepat laporkan ini kepada yang bersangkutan!" dan Tan Hoo Cinjin yang marah serta terbakar oleh lawan, lupa bahwa keadaan tiba-tiba menjadi terbalik segera menerangkan bahwa kedatangannya adalah untuk menuntut balas, menuntut tanggung jawab Go-bi. "Tiga murid kami terbunuh di sini, dan untuk itu sekarang kami datang!"

"Omitohud, siapa yang terbunuh? Murid-murid Heng-san?"

"Ya, dan kami juga, Pat-kwa-hwesio. Kami dari Hoa-san menuntut tanggung jawab kenapa Go-bi berani menghina seorang murid kami!"

"Dan kami dari Kun-lun menagih dua jiwa yang terbunuh di sini. Pinto Kim Cu Cinjin!”

Pat-kwa-hwesio terkejut. Tiga orang itu susul- menyusul memberi tahu bahwa anak-anak muridnya terbunuh di situ, tiga dari Heng-san dan dua dari Kun-lun. Entah bagaimana dengan yang dari Hoa-san itu. Tapi batuk- batuk menjura dalam-dalam hwesio ini berkata, "Cuwi totiang, kalian semua rupanya salah, salah alamat. Kami tak merasa kedatangan anak-anak murid seperti yang kalian bicarakan tadi dan belum pernah Go-bi membunuh!”

“Bohong! Kalau begitu bagaimana dengan Hek-tung Lo-kai dan kawan-kawannya itu? Apakah mereka tidak terbantai di sini?"

"Omitohud!" Pat-kwa-hwesio kembali berseru. "Itu pengacau-pengacau liar yang tidak ada hubungannya, cuwi totiang. Mereka terbunuh karena mereka juga membunuh!"

“Tapi orang yang kalian bunuh itu adalah anak-anak murid kami. Orang yang kau sebut pengacau-pengacau liar itu adalah murid-murid Heng-san dan Kun-lun serta Hoa-san! Apakah ini tidak ada hubungannya?"

Sang hwesio tertegun.

"Jawab!" Tan Hoo Cinjin kini berapi-api. "Pembantaian yang kalian lakukan itu harus ada yang bertanggung jawab, Pat-kwa-hwesio. Dan karena itu sekarang kami datang. Mereka tak akan mengganggu kalau tidak diganggu. Mereka bukan pengacau-pengacau liar!"

“Hm!” sang hwesio mulai berkernyit dahi. "Kiranya ini yang kalian maksud, cuwi totiang. Kalau begitu sungguh menyesal bahwa murid-murid macam itu kalian biarkan saja berbuat kurang sopan di tempat orang lain. Pinceng jadi kecewa bahwa kalian tak dapat mendidik murid dengan baik!"

"Apa? Kau menyalahkan kami? Eh, jangan kurang ajar, Pat-kwa-hwesio. Mereka baik-baik ke sini mau menemui ketua Go-bi. Tapi mereka kalian bunuh. Jangan menyalahkan kami!"

“Benar,” Ko Pek Tojin juga berseru. "Mereka datang bukan untuk membuat ribut, Pat-kwa-hwesio. Tapi mereka kalian sambut dengan toya dan golok. Kalian kejam!”

"Dan Go-bi berhutang dua jiwa kepada Kun-lun," Kim Cu Cinjin menyambung. "Untuk inipun pinto harus menuntut tanggung jawab!”

“Omitohud... omitohud...!” Pat-kwa-hwesio merangkapkan tangan berulang-ulang. “Kalian semua tidak benar, cuwi totiang. Kalian terbawa emosi. Coba kalian renungkan apakah pantas murid-murid kelas rendahan begitu mencari yang terhormat ketua Go-bi. Bukankah seharusnya hanya pemimpin atau ketua-ketua Kun-lun atau Heng-san sendiri yang pantas melakukan itu. Pinceng tetap menyalahkan kalian yang tak dapat mendidik murid!"

"Kau menyalahkan kami? Ah, sungguh sombong. Tidak bertanggung jawab!”

Tan Hoo Cinjin yang tiba-tiba berkelebat dan rupanya paling berangasan mendadak sudah melepaskan pukulannya ke hwesio lawannya itu. Dia marah karena tiba-tiba dibalik, mau tidak mau memang harus mengakui bahwa tidak pantaslah murid-murid rendahan dari Heng-san mau bertemu yang terhormat ketua Go-bi, karena ketua itu sudah memiliki kedudukan tinggi dan hanya ketua atau pimpinan Heng-san lah yang pantas minta bertemu. Itu dapat diartikan bahwa Heng-san kurang nenghormat Go-bi. Tapi karena bicara tentang ini bakal memojokkan pihaknya dan tentu saja tosu itu tak mau, membentak dan menyerang lawannya maka Pat-kwa-hwesio tiba-tiba bergerak dan tujuh yang lain serentak mundur di kiri atau kanan dan belakang tubuhnya.

"Plak-dess!"

Tan Hoo Cinjin terpental. Tosu itu berteriak karena tiba-tiba sepasang lengan yang kuat menahan pukulannya, Hwesio itu lain dengan hwesio tingkat empat dan dia terlempar! Dan ketika tosu itu berjungkir balik dan melayang turun, hwesio lawannya tak bergeming dan tersenyum tenang maka lawannya itu berseru,

"Omitohud, ada urusan bisa diselesaikan, Tan Hoo totiang. Ada persoalan bisa dibicarakan. Mari bicara baik-baik dan jangan melampiaskan hawa nafsu amarah!"

"Bedebah, siapa takut kepadamu? Aku datang untuk menuntut balas, Pat-kwa-hwesio. Kalau kau menyalahkan aku dan teman-temanku dari Hoa-san dan Kun-lun maka kau menantang kami semua dan aku tak mau sudah. Bagus, kau hebat tapi pukulanku belum semua kukeluarkan, Mari bertanding dan lihat ini!"

Tan Hoo Cinjin yang bergerak dan menyerang kembali, gusar, sudah melengking panjang mengulang pukulannya. Dia penasaran kenapa dia terpental. Maka begitu menerjang dan membakar kawan-kawannya yang lain, membawa-bawa Kun-lun dan Hoa-san yang disalahkan hwesio itu maka tosu ini berkelebat dan menyerang dengan pukulan-pukulannya yang dahsyat. Angin pukulannya menyambar-nyambar dan hwesio itu bergerak mengelak ke sana-sini. Tapi ketika lawan bergerak kian cepat dan apa boleh buat dia harus menangkis, pertemuan tenaga yang sebenarnya tak dikehendaki maka hwesio inipun mendesah dan melakukan itu.

"Dukk!” Tan Hoo Cinjin lagi-lagi terpental. Tosu ini kaget dan pucat mukanya karena dari sepasang lengan hwesio itu tiba-tiba muncul tenaga yang amat dahsyatnya. Tujuh hwesio yang lain bergerak dan mereka itu tiba-tiba berpegangan tangan, yang terdepan memegangi jubah suhengnya dan jadilah Pat-kwa-hwesio membentuk barisan. Dan ketika dia melengking namun tujuh hwesio itu ikut berputaran cepat, yang tertua selalu dipegangi atau digenggam ujung jubahnya maka hwesio inipun bergerak mengikuti dan mendadak delapan orang itu naik turun bagai gelombang yang menghadapi serangan badai.

"Des-dess!"

Tan Hoo Cinjin kian terpental tinggi. Dia kaget karena tenaga delapan orang tiba-tiba seakan bersatu dan menyambut serangan- serangannya itu. Dia tak tahu bahwa inilah kehebatan Pat-kwa-hwesio. Berhadapan dengan satu orang atau seratus orang sama saja, mereka sudah bergandengan tangan dan dari gandengan itulah mengalir tenaga sinkang yang disalurkan ke saudara yang diserang. Dan karena Tan Hoo Cinjin menyerang pemimpin mereka dan pemimpin itulah yang kini dijadikan pusat pertahanan, masing-masing mengerahkan sinkang dan menyalurkannya ke situ maka begitu Pat-kwa-hwesio menangkis kian kuat maka lawan terpental kian tinggi saja.

Tan Hoo Cinjin kaget karena tujuh hwesio yang lain hanya bergerak-gerak berputaran saja, tak ikut menyerang karena mereka itu hanya mengikuti pimpinannya saja. Tapi karena dari tujuh hwesio itu mengalir tujuh sinkang yang amat kuat, hwesio tertua mengatur dan mengendalikannya sesuka hati maka Tan Hoo Cinjin akhirnya memekik-mekik karena merasa seperti berhadapan dengan siluman!

“Curang, kotor dan busuk! Kalian mengeroyok!"

“Hm, pinceng tak mengeroyok," hwesio tertua berkata tenang, terus bergerak ke sana ke mari dan menangkis. “Yang berhadapan hanya kau dan aku, totiang. Kami tidak mengeroyok meskipun tujuh saudaraku ikut berputaran.”

“Tapi aku serasa menghadapi delapan orang. Pinto kalian tipu!"

"Kalau begitu suruh saudara-saudaramu yang lain maju, atau kau hentikan serangan ini dan kita tak perlu bermusuhan...”

“Ah, omongan busuk!” dan Tan Hoo Cinjin yang akhirnya berteriak dan mencabut pedangnya tiba-tiba membacok dan menusuk dengan jurus-jurus cepat. Tosu ini marah dan bingung karena tuduhannya memang tak berbukti. Tujuh hwesio yang lain hanya mengikuti suhengnya saja dan dia berhadapan satu lawan satu.

Namun karena tenaga lawan kian kuat saja dan dia terpental semakin tinggi, tadi malah terpelanting dan mendapat malu maka tosu ini menerjang dengan senjatanya. Gerakannya cepat dan pedangnyapun lenyap. Dan ketika tosu ini berkelebatan bagai burung menyambar-nyambar, bayangannya naik turun bagai burung menerkam mangsanya maka Pat-kwa-hwesio berseru perlahan dan ujung lengan jubahnya tiba-tiba meledak dipakai menangkis pedang.

"Trangg!”

Tan Hoo Cinjin lagi-lagi kaget. Ujung jubah itu mengeras dan tiba-tiba memukul pedangnya, persis logam dengan logam. Dan ketika tosu itu berteriak keras namun lawan berseru agar dia mundur, jubah tiba-tiba dipelintir membentuk tongkat maka pedang patah untuk kedua kalinya ketika diadu lagi.

"Aku tak mau sudah, boleh kita mengadu jiwa atau.... aihhh!" Tan Hoo Cinjin menjerit bagai kambing kebakaran jenggot. Pedangnya patah dan ujung jubah masih menyelinap untuk menghantam pundaknya, kecil saja tapi tosu itupun berteriak dan terbanting roboh. Dan ketika saudara-saudaranya yang lain terkejut dan orang-orang dari Kun-lun maupun Hoa-san terkesiap kaget, Pat-kwa-hwesio sungguh lihai maka Siu Gwan Tojin berseru tertahan menggerakkan kakinya, berkelebat ke arah sang suheng, yang roboh dengan muka pucat.

"Bagaimana dengan suheng, apa yang luka!"

"Augh, terkutuk...!” tosu ini bangkit terhuyung, dibantu sutenya. "Kita mendapat malu, sute. Tapi pinto akan mengadu jiwa lagi. Bagaimana dengan saudara-saudara kita dari Hoa-san dan Kun-lun itu. Apakah mereka takut menghadapi Pat-kwa-hwesio?”

Ko Pek Tojin dan Kim Cu Cinjin merah semburat. Mereka sadar setelah teman mereka itu roboh. Tapi berkelebat dan menghampiri pula buru-buru mereka itu berkata, "Harap Hoo-toheng jangan salah paham. Kita datang ke sini satu tujuan. Kalau kau merasa hwesio itu terlalu kuat biarlah pinto yang maju!"

"Dan aku juga tidak takut," Ko Pek Tojin membangkitkan harga diri. "Kami tadi tak mau keroyokan, toheng. Kalau kau mendapat malu biarlah kita sekalian hadapi hwesio-hwesio itu!”

“Tak usah menambah permusuhan," Pat-kwa-hwesio tiba-tiba berkata maju, mengebutkan jubahnya. "Pinceng minta maaf untuk urusan ini, cuwi totiang. Kalau Hoo-totiang tak menyerang pinceng duluan tentu pinceng tak akan menyambut. Maaf, sebaiknya urusan ini dihabisi...”

"Dan dua jiwa dari Kun-lun dibiarkan begitu saja?" Tan Hoo Cinjin tiba-tiba berseru, buru-buru menjawab agar tosu-tosu dari Kun-lun itu ingat. “Tak gampang seperti kata-katamu, Pat-kwa-hwesio. Karena Kun-lun sama dengan Heng-san yang tak takut hanya melihat kepandaian atau kelihaian seseorang. Di tempat kami juga masih ada tokoh-tokoh lain yang akan menuntut tanggung jawab!"

“Benar,” Kim Cu Cinjin terbakar. "Kami dari Kun-lun tak akan sudah begitu saja, Pat-kwa-hwesio. Kecuali ketua Go-bi datang dan minta maaf ke Kun-lun!"

“Ya, dan juga kalian di sini. Semua harus berlutut dan minta maaf!" Siu Gwan menambahi, tahu maksud suhengnya dan membakar hati teman-temannya. Api yang sudah disulut harus terus ditiup, kalau perlu semakin kencang! Dan ketika benar saja teman-temannya mengangguk setuju namun muka delapan hwesio itu merah terhina maka yang tertua dan tadi bersikap sabar tiba-tiba mula garang.

“Cuwi totiang, kalian terlalu. Apa yang kalian minta jelas tak dapat dituruti. Baiklah, apa mau kalian dan pinceng siap melayani!"

"Kalau begitu kau menantang. Kim Cu toheng atau Ko Pek toheng tentunya tak perlu takut kepadamu, termasuk aku..!" dan Siu Gwan Tojin yang berkelebat dan menggantikan suhengnya lalu meminta teman-temannya untuk maju menyerang. Lawan telah menantang dan menolak keinginan mereka.

Pat-kwa-hwesio tentu saja tak mau diinjak-injak harga dirinya. Dan begitu Siu Gwan menyerang sementara Tan Hoo cepat menyambar pedang baru dan berseru pada dua rekannya dari Kun-lun maupun Hoa-san agar tak takut menghadapi hwesio-hwesio itu maka Kim Cu maupun Ko Pek juga bergerak dan mencabut pedangnya.

"Pinto tidak takut, hanya coba menawarkan cara terbaik bagi hwesio-hwesio ini kalau mereka tidak sombong. Mari, kita ditolak, Hoo-toheng. Dan itu sudah merupakan hinaan.... singg!"

Dan pedang yang bergerak dan langsung menyambar tenggorokan tiba-tiba membuat kening Pat-kwa-hwesio berkerut karena keadaan sudah tak mungkin diperbaiki lagi. Apa yang terjadi sudah harus diselesaikan, menggerakkan pedangnya namun sang hwesio mengibas maka dua pedang itu terpental ketika bertemu sebuah kekuatan dahsyat yang membuat mereka masing-masing terkejut.

"Plak-plak!"

Dua tosu itu terbelalak. Sekarang mereka merasakan seperti apa yang tadi dirasakan Tan Hoo Cinjin, sinkang luar biasa yang dipunyai hwesio ini. Namun ketika mereka melihat tujuh hwesio kembali bergerak dan bergandengan tangan, tidak menyerang melainkan memegangi ujung baju saudaranya tertua maka dua tosu itu membentak dan Siu Gwan sudah menyerang hwesio di sebelah kiri, disusul kemudian oleh berkelebatnya bayangan Ko Pek Tojin yang menghantam hwesio di sebelah kanan.

"Kita serang mereka satu per satu, Kim Cu-toheng. Awas jangan biarkan berkumpul dan menjadi satu!"

Kim Cu Cinjin mengangguk. Sebentar kemudian dia sadar bahwa rupanya pusat kekuatan itu ada pada gabungan delapan hwesio ini. Mereka harus diporak-poranda namun kenyataannya tidak gampang, karena begitu mereka diserang dan para hwesio berseru keras mendadak mereka juga mengebutkan jubah dan kain lebar yang grombyongan itu mengeluarkan tiupan dahsyat.

"Pat-kwa-tin, kita bentuk Pat-kwa-tin (Barisan Segi Delapan)...!" hwesio tertua, yang menjadi pemimpin dan aba-aba tiba-tiba berkata pada saudara-saudaranya agar membentuk lingkaran segi delapan. Mereka tak lagi berada di kiri kanan muka belakang melainkan sama-sama di lingkaran pat-kwa.

Hwesio tertua tak lagi sebagai ujung tombak melainkan bersama-sama menghadapi lawan-lawannya itu. Dan begitu delapan orang ini berputaran dengan tetap sebelah tangan yang lain bergandengan, Kim Cu dan lain-lain terkejut karena musuh tiba-tiba juga berganti-ganti, sebentar hwesio pertama dan sebentar kemudian hwesio kedua maka berturut-turut delapan orang hwesio itu silih berganti melayani lawan mereka dan Kim Cu maupun yang lain menjadi bingung dan buyar konsentrasinya.

"Busyet, mereka ini licik. Kita diajak berputar-putar!"

“Benar, dan kita bisa pusing, Kim Cu-toheng. Awas tipuan mereka dalam barisan Pat-kwa-tin (Barisan Segi Delapan)!"

"Atau kita keroyok saja. Mereka ini tangguh!”

“Benar, yang lain-lain maju dan serbu...!” dan ketika Tan Hoo memberi aba-aba dan juga masuk ke dalam, para pengikutnya tiba-tiba menyerang atau menyergap Pat-kwa-tin ini.

Para hwesio tidak berubah kecuali pemimpinnya berseru agar putaran lebih dipercepat lagi. Dan ketika delapan orang itu bergerak dan naik turun menahan gelombang serangan, jubah atau kebutan-kebutan lebar meledak bertemu hujan senjata maka para tosu tertegun karena para hwesio itu telah membentengi diri mereka sedemikian rapat dan kuatnya.

"Jangan membunuh, jangan menurunkan tangan besi. Robohkan saja mereka dan tak perlu dendam!”

Kim Cu dan lain-lain merah padam. Mereka marah mendengar seruan hwesio pemimpin itu dan membentak namun bertemu tembok pertahanan yang amat kuat. Dan karena mereka sendiri terpental atau terhuyung ditangkis delapan hwesio ini maka jangan tanya lagi pengikut-pengikut mereka yang kepandaiannya jauh di bawah. Mereka itu terbanting dan kebutan atau tamparan jubah membuat mereka berteriak. Sekejap saja tiba-tiba sebelas orang mengaduh-aduh, kaki atau tangan mereka patah.

Dan ketika Kim Cu mendelik sementara Ko Pek dan Hoo Cinjin menjadi marah, melengking dan berkelebatan dengan pedang di tangan maka Pat-kwa-hwesio melayani dan mereka bergerak berganti-ganti menghadapi Kim Cu Cinjin dan kawan-kawannya itu. Sebentar hwesio pertama bertemu Kim Cu Cinjin tapi sebentar kemudian sudah diganti oleh adik-adik atau saudaranya yang lain.

Tangan yang sebelah tetap bergandengan namun justeru dari situlah inti kekuatan pokok Pat-kwa-tin. Imu ini ciptaan Ji Beng Hwesio dan tentu saja lihainya bukan main. Dan ketika sebelas orang kembali roboh sementara Kim Cu dan teman-temannya pucat, belum juga mampu membobol pertahanan delapan hwesio ini maka hwesio pemimpin kembali berseru agar pertikaian itu disudahi.

"Cukup... cukup. Pinceng minta disudahi saja dan cuwi enghiong harap berhenti menyerang!"

Namun mana tosu-tosu ini mau dibujuk? Selama pedang belum mendapatkan sasaran tak mungkin mereka mau sudah. Tiga tosu utama ini marah dan penasaran karena belum sekalipun juga senjata mereka itu menyentuh tubuh lawan. Jangankan kulitnya, ujung bajunya saja tak dapat disentuh! Dan karena semua ini membuat mereka naik pitam dan mata gelap maka Kim Cu Cinjin tiba-tiba melepaskan pukulan Khong-san-jeng-kin dengan tangan kirinya.

"Dess!"

Para hwesio terkejut. Khong-san-jeng-kin (Gunung Kosong Berkekuatan Seribu Kati) tiba-tiba membobol pertahanan. Tosu itu memang lihai namun hwesio pemimpin berseru dengan teriakan Tong-tee-kang (Suara Getarkan Bumi), menyadarkan saudara-saudaranya dan bergeraklah kembali delapan hwesio itu memperbaiki pertahanan. Dan ketika Khong-san-jeng-kin hanya sejenak saja mengejutkan mereka karena hwesio-hwesio ini telah mencengkeram lebih erat tangan saudara-saudara yang lain, bantu-membantu mengalirkan sinkang maka Kim Cu Cinjin kecewa ketika untuk kedua kali pukulannya itu tak membawa hasil.

"Dess!" para hwesio telah bertahan. Tosu ini mengumpat namun hwesio kepala berseru kepadanya agar tidak melepas pukulan itu lagi, atau pukulan bakal membalik dan kesalahan jangan ditimpakan kepada hwesio-hwesio Go- bi itu. Dan ketika Kim Cu menjadi marah karena hal ini dianggap hinaan, dikira dia takut maka tosu itu membentak melepas pukulannya lagi, pedang juga menyambar dari kanan ke kiri.

"Jangan mengancam. Pinto tak kenal takut, Pat-kwa-hwesio. Biarpun pinto mampus pinto tak usah gentar!" dan Kim Cu Cinjin yang berang melepas serangan tiba-tiba malah mengerahkan segenap tenaganya untuk membuktikan omongan lawan. Dia tak mau digertak dan tentu saja tak mau percaya. Dan ketika pukulan menyambar cepat sementara hwesio kepala mengerutkan keningnya, langsung menghadapi sendiri lawannya yang nekat ini maka apa boleh buat dia memapak dan ujung lengan jubahnya tiba-tiba pecah menyambut dua pukulan itu.

"Des-dess!"

Kim Cu Cinjin menjerit. Benar saja dia tertolak ketika pukulannya itu menghantam dahsyat. Sebuah tenaga besar menerimanya dan tenaga itu jauh lebih kuat daripada tenaganya sendiri. Hwesio tertua "menyedot" tenaga adik-adiknya untuk dipakai menyambut Khong-san-jeng-kin, tentu saja hebatnya bukan main dan Kim Cu Cinjin mendelik, terkejut dan terlempar bagai layang-layang putus talinya. Dan ketika tosu itu berdebuk dan muntah darah, roboh, maka Kim Cu Cinjin luka berat dan pedangnya putus menjadi dua.

"Omitohud...!” hwesio tertua mengucap puja- puji. "Maafkan pinceng, saudara-saudara. Pinceng telah memberi peringatan namun Kim Cu totiang tak menggubris. Mohon yang lain menghentikan serangan atau akan mengalami nasib sama!"

Ko Pek Tojin dan Tan Hoo Cinjin gentar. Mereka pucat melihat robohnya rekan mereka itu namun masing-masing malu untuk mundur. Barangkali, yang terbaik adalah mengadu jiwa. Dan ketika mereka melengking dan Hoo Cinjin membentak menyelinapkan pedangnya, tangan kiri bergerak dari samping tiba-tiba tosu inipun melepas pukulan sakti, To-tiu-san (Merobohkan Gunung).

"Dess!"

Hwesio ketiga yang menyambut. Tosu itu mengira bahwa kalau dia berhadapan dengan hwesio yang lebih muda barangkali keadaannya tidaklah semenyedihkan seperti Kim Cu Cinjin itu. Dia telah membuktikan berkali-kali bahwa hwesio pemimpin itu memang hebat, sinkang dan tangkisan-tangkisannya selalu membuatnya terpental. Tapi begitu dia ditangkis hwesio nomor tiga dan kekuatan hwesio itu sama seperti suhengnya maka tosu ini mencelat dan cepat melempar tubuh berjungkir balik.

"Jangan mengira pinceng bohong. Harap jangan diulangi!"

Tan Hoo Cinjin merah mukanya. Dia mendapat kenyataan bahwa sinkang para hwesio itu setingkat. Mereka rata-rata hebat dan terkejutlah dia oleh kenyataan itu. Tapi karena seseorang tiba-tiba tertawa dan tawa itu memerahkan telinganya, entah tawa siapa maka tosu ini membentak dan menerjang lagi.

"Pinto tak takut!” seruan itu membuat hwesio pemimpin mengerutkan kening. “Pinto boleh mampus dan mati di sini, Pat-kwa-hwesio. Tapi ketua dan tokoh-tokoh Heng-san yang lain tak akan membiarkan kematian pinto secara sia-sia!” dan pedang serta pukulan yang kembali menyambar-nyambar akhirnya diturut Ko Pek Tojin yang melihat benarnya kata-kata itu, terbukti dari seruannya.

"Benar, pinto juga tak takut mati, Hoo-toheng. Kalau pinto mati tentu ketua Hoa-san atau yang lain-lain pasti akan menuntut balas!"

Pat-kwa-hwesio serba salah. Mereka tertegun oleh kata-kata itu karena benar saja para ketua Hoa-san atau Kun-lun dan juga Heng-san menuntut balas. Keadaan bisa bertambah besar dan ini sebenarnya tidak dikehendaki. Dan ketika dua orang itu kembali menerjang dan Siu Gwan Tojin membentak membantu suhengnya maka delapan hwesio saling pandang dan sang suheng tiba-tiba berseru,

"Pak-te harap ke dalam. Laporkan kepada suhu dan biarkan kami bertujuh!”

"Baik," seorang di antara mereka tiba-tiba keluar. "Aku akan ke dalam, suheng. Tapi bereskan mereka ini dan kalau perlu sedikit keras!"

"Pinceng akan mengatur itu. Beri tahu suhu dan cepat suruh ke mari!"

Hwesio itu keluar. Dia adalah Pak-te (saudara ke delapan) yang merupakan orang termuda di antara Pat-kwa-hwesio. Hwesio ini sudah mengebutkan jubahnya dan lolos dari sebuah serangan, menarik lepas gandengan tangannya dan berkelebatlah dia ke dalam. Dan ketika tujuh hwesio itu melayani lawannya dan Ko Pek maupun Hoo Cinjin menggeram karena tak juga mampu mengalahkan lawan, Pat-kwa- hwesio masih hebat meskipun berkurang satu orang maka saat itu terdengar suara-suara gaduh dan dari luar muncul ratusan orang yang berteriak-teriak. Persis gerombolan liar!

"Bunuh hwesio-hwesio Go-bi. Cincang mereka itu!"

Hwesio kepala terkejut. Dia menoleh dan berubah mukanya melihat bermacam-macam orang mendatangi tempatnya. Dia sedang menahan Kim Cu dan tosu-tosu lain ini bersama adik-adiknya, menunggu suhunya datang karena tak ingin menanggung resiko. Maka begitu orang-orang itu berteriak dan mereka berhamburan memasuki pintu gerbang, yang saat itu dijaganya bersama enam orang adiknya maka Twa-hwesio atau hwesio kepala ini tersentak karena seperti perampok atau gerombolan buas orang-orang itu menerjang dirinya dan puluhan senjata hiruk-pikuk bergemerincing menyambar seperti mahluk-mahluk kesetanan.

"Heiiii....!”

Bentakan atau seruan itu lenyap ditindih sorak gegap-gempita. Orang-orang itu menyerbu dan Pat-kwa-hwesio tentu saja terkejut bukan maim karena seperti hujan saja mendadak puluhan senjata tajam beterbangan ke arah diri dan enam adiknya. Para tosu dari Heng-san dan Hoa-san juga terkejut dan mereka menerima pula hujan serangan ini, tentu saja mengelak dan berteriak karena ratusan orang itu tak pandang bulu.

Mereka tadinya dikira menyerang hwesio-hwesio Go-bi tapi para tosupun ternyata juga ikut diserbu. Orang- orang itu rupanya hantam kromo, siapa saja di depan dia itulah yang diserang! Dan ketika Hoo Cinjin maupun Ko Pek Tojin berseru keras, membalik dan menangkis serangan itu maka benturan senjata tak dapat dihindarkan lagi dan empat di antara mereka menjerit kena senjata gelap.

"Cring-crang-cringgg...!”

Ko Pek dan Hoo Cinjin terlempar bergulingan. Mereka mendapat serbuan dahsyat dan lawan bagaikan raksasa bangun tidur, tenaganya demikian mengerikan dan dua tosu itu tentu saja merasa mengkirik. Senjata yang ditangkis amat banyak dan mereka tak kuat, jumlah musuh seperti pasukan siluman dan tokoh dari Heng-san maupun Hoa-san itu menyelamatkan diri bergulingan. Dan ketika mereka tertegun karena empat saudara mereka roboh, tewas diinjak-injak ratusan orang ini maka Pat-kwa- hwesio dan saudara-saudaranya juga kerepotan diserang demikian banyak orang.

"Biadab, omitohud..... sungguh biadab sekali!”

Orang-orang itu tertawa bergelak. Mereka tak memperdulikan seruan Pat-kwa-hwesio itu karena begitu hwesio-hwesio itu terpukul mundur, ratusan orang ini seperti badai yang sedang gila-gilanya maka mereka itu maju dan menyerang lagi. Golok dan pedang beterbangan dilepas dari tangan dan tujuh hwesio itu tiba-tiba mencabut toya semuanya, senjata yang tadi belum dikeluarkan ketika menghadapi rombongan Kim Cu Cinjin. Dan begitu toya diputar serta tangan erat bergandengan, sinkang dialirkan bersatu kekuatan maka ratusan senjata itu terpental dan orang-orang terpekik karena tujuh hwesio ini tiba-tiba seperti tujuh tembok baja yang tak dapat ditembus.

"Aihhh... crang-crang-cranggg!"

Senjata patah-patah. Golok dan pedang yang berseliweran menghujani hwesio-hwesio ini tiba-tiba mendapat perlawanan hebat. Mereka kalah oleh gabungan tenaga tujuh hwesio ini dan bergeraklah Pat-kwa-hwesio mempercepat putaran. Gerakan itu membuat lawan terkejut karena tiba-tiba pusing dan bingung. Dan ketika mereka tertegun dan di saat itulah lawan membentak, Pat-kwa-hwesio menyambarkan toyanya masing-masing maka tujuh orang menjerit karena terlempar.

"Des-des-dess!" Lawan tiba-tiba panik. Mereka melihat tujuh hwesio ini bergerak berseliweran, cepat dan ringan dan tahu-tahu toya kembali menggebuk atau menghantam mereka. Dan ketika tujuh orang kembali roboh dan gerombolan itu pucat, terpukul mundur mendadak terdengar seruan agar mereka maju kembali dan sinar-sinar hitam sekonyong-konyong menyambar tujuh hwesio ini.

"Jangan takut, maju. Robohkan mereka dan kita temui Ji Leng Hwesio untuk meminta kitab Bu-tek-cin-keng.... ser-ser-ser!"

Pat-kwa-hwesio terkejut. Mereka tak tahu siapa yang berseru itu tapi sinar-sinar hitam yang menyambar mereka haruslah ditangkis. Mereka menggerakkan toya dan sinar-sinar hitam ini bertemu senjata di tangan. Tapi ketika sinar-sinar itu terpental tak runtuh ke tanah, menyambar atau menusuki tubuh mereka maka Pat-kwa-hwesio berteriak keras dan apa boleh buat tangan kiri mereka bergerak menampar benda-benda ini, yang ternyata jarum-jarum halus yang luar biasa banyaknya.

“Ha-ha, masuk. Cepat serbu!”

Pat-kwa-hwesio berubah. Mereka tiba-tiba telah saling melepaskan gandengan karena menampar jarum-jarum itu. Mereka telah dipaksa melepaskan tangan kiri untuk menghalau sinar-sinar hitam ini, yang sebagian masih menancap dan melubangi ujung jubah mereka. Dan ketika kesempatan itu dipergunakan musuh untuk kembali menyerbu, barisan Pat-kwa-tin telah pecah gara-gara serangan jarum hitam itu maka hwesio pemimpin berteriak agar saudara-saudaranya kembali menyatukan tangan.

Tetapi terlambat. Para penyerbu telah masuk dan sinar-sinar hitam kembali berhamburan dari segala penjuru. Barisan Pat-kvwa-tin dipecah belah dan terkejutlah tujuh murid Ji Beng Hwesio itu karena musuh yang liclk telah menghancurkan kehandalan mereka. Dan ketika apa boleh buat mereka harus berkelebatan sendiri-sendiri, masing-masing menggerakkan toya dan ujung lengan jubah maka sinar-sinar hitam menghilang untuk sekejap.

“Des-des-dess!"

Tujuh hwesio ini memang hebat. Mereka adalah murid-murid Ji Beng Hwesio yang kepandaiannya amat mengagumkan. Mereka berkelebatan dan berseru keras menghalau musuh-musuh yang di depan. Dan ketika musuh berteriak tapi yang lain maju mengganti, Pat-kwa-hwesio bertanding secara perorangan maka musuh porak-poranda namun panah-panah berapi mendadak menyambar mereka dari segala penjuru.

“Jangan takut, mereka dapat dikacau!”

Tujuh hwesio ini terbelalak. Mereka mendengar seruan yang lagi-lagi dikenal suaranya tak dikenal orangnya. Panah-panah api itu meluncur dan tentu saja ditangkis. Tapi ketika panahnya meledak dan dari balik api yang padam itu memuncrat puluhan sinar-sinar hitam, lagi-lagi jarum itu maka Pat-kwa-hwesio memekik dan mereka marah bukan main.

"Omitohud, hina dan licik.... crik-crik-crik!" sinar-sinar itu dikebut, lenyap dan runtuh.

Namun orang-orang itu sudah menyerbu lagi. Mereka mendapat kesempatan ketika para hwesio ini sibuk menghadapi panah-panah api, juga jarum-jarum hitam yang benar-benar mengacaukan konsentrasi itu. Dan ketika Pat-kwa-hwesio berteriak karena sibuk dan terdesak, seseorang mengacau di balik sana maka satu di antara mereka tiba-tiba kena tombak dan terhuyung mengeluarkan seruan tertahan.

"Chit-sute (adik ke tujuh) terluka. Awas dan lindungi dia!”

Twa-hwesio, hwesio pemimpin, terkejut dan membelalakkan matanya. Dia terkejut karena adiknya termuda kena serangan tombak. Tapi baru dia berkata begitu mendadak adiknya nomor enam juga berteriak dan roboh kena golok terbang. Entah siapa yang menyambit!

"Augh!”

Hwesio ini tertegun. Sekejap saja dua adiknya tiba-tiba roboh tak dapat meneruskan perlawanan. Mereka jatuh terduduk dan dua di antara mereka dalam bahaya. Dan ketika dia terbelalak dan memutar toyanya, kencang, maka dua teriakan terdengar lagi dan Ngo-te (saudara ke lima) serta Su-te (ke empat) terjengkang kena hui-to...!

Prahara Di Gurun Gobi Jilid 05

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-beng Sian-su Karya Batara

“KALIAN hwesio-hwesio curang. Mundur... crat- crat!" dua hwesio itu tiba-tiba berteriak, lawan membantu temannya dan lukalah pundak mereka oleh bacokan golok. Tiga orang maju berbareng dan terkejutlah hwesio-hwesio lain oleh ulah tiga orang ini. Dan ketika mereka menyuruk dan menyerbu masuk, Hek-tung Lo-kai yang kepayahan di sana dibantu tiga laki- laki ini maka terbaliklah keadaan karena dua hwesio itu tiba-tiba sudah dihajar dan diserang hujan golok.

“Curang, ini anjing-anjing yang curang....!" para hwesio muda berteriak dan berseru marah. Mereka kaget dan juga marah karena dua saudara mereka yang terhuyung dan sudah terluka tiba-tiba masih juga dirangsek atau didesak. Mereka tak menduga masuknya tiga orang itu karena memang tak memperhatikan, perhatian sedang tercurah kepada Hek-tung Lo-kai yang sombong dan tadi minta dikeroyok.

Maka begitu tiga laki-laki bergolok itu menyerbu dan mereka setingkat dengan Hek-tung Lo-kai, yang berdiri dan terkekeh-kekeh di sana maka tentu saja mereka terkejut dan coba mengelak namun tak sanggup, golok mengenai pundak dan muncratlah darah segar oleh serbuan tiga orang ini. Darah itu seakan memancing nafsu membunuh karena tiga laki-laki itu tiba-tiba tak sabaran lagi menyerang lawannya, dua hwesio muda itu diserang dan dihujani tikaman-tikaman golok.

Dan karena mereka kalah lihai karena tiga laki-laki itu ternyata memang hebat, hwesio muda ini tak sanggup maka mereka bercucuran darah ketika golok menyambar punggung atau lengan, membuat teman-teman mereka yang lain berang dan menyerbulah anak-anak murid itu ke arah tiga laki-laki ini. Mereka belasan orang sementara laki-laki ini hanya bertiga. Tentu saja repot! Dan ketika tiga orang itu repot dan satu di antaranya berteriak kena kemplangan toya, roboh dan retak kepalanya maka rombongan tamu berbalik menjadi marah dan ganti menyerbu. Masuk dengan suara riuh!

"Curang... curang. Hwesio-hwesio Go-bi ternyata curang. Serang mereka, kawan-kawan. Bantu Hek-tung Lo-kai dan teman-teman kita ini!" dan ketika rombongan tamu menyerbu sambil mencabut senjata, keadaan menjadi gaduh dan pekik atau jerit kesakitan tentu saja terdengar, suasana sungguh kacau maka belasan hwesio itu sudah bertempur dengan belasan tamu.

Go-bi tiba-tiba menjadi ribut dan keadaan sungguh mendebarkan. Toya bertemu golok atau pedang dan muncratlah bunga-bunga api berpijaran di udara. Dan ketika perang campuh terjadi di situ dan ribut-ribut di pintu gerbang ini didengar para hwesio yang lain, di pintu dalam, maka mereka meluruk dan tertegun serta terbelalak melihat perkelahian itu, adu kepandaian keroyokan!

"Berhenti! Apa yang terjadi ini!" seorang hwesio membentak dan coba melerai. Dia adalah hwesio tingkat empat karena hwesio di situ adalah dari tingkat lima dan enam. Tapi begitu dia berkelebat dan membentak dengan toyanya, bermaksud melerai tiba-tiba Hek-tung Lo-kai yang penasaran dan sudah memulihkan diri mendadak mengayun tongkatnya dan tertawa menyeramkan, langsung menerjang!

"Hwesio bau, tak usah banyak cakap. Kami sedang mencari darah dan serahkan kepalamu!"

Hwesio ini tentu saja marah. Dia datang untuk mencari keterangan tapi tiba-tiba dihantam tongkat. Dan karena suasana panas di tempat itu mudah menular, orang akan cepat naik darah melihat kerabat atau sanak saudara diserang musuh, maka hwesio inipun juga membalik dan toya di tangan langsung menggempur serangan tongkat.

“Trakk!” Dua-duanya terpental. Hwesio itu dan lawannya ternyata setingkat, tenaga mereka sama besar. Dan karena hwesio ini marah diserang tanpa alasan, lawan berjungkir balik dan terkekeh menyeramkan maka hwesio itu menyambut ketika Hek-tung Lo-kai sudah menyerangnya kembali. 

Hwesio-hwesio lain yang sudah berdatangan dan melihat itu sama-sama tertegun, mereka bingung. Tapi karena Hek-tung Lo-kai dapat dilayani hwesio ini dan hwesio itu berseru agar mengusir perampok, begitu hwesio itu menyebut lawan-lawannya maka hwesio Go-bi yang ada di bagian dalam ini menyerbu dan membantu saudara-saudara mereka, yang tambak terdesak.

"Hajar mereka. Lempar dan kalau perlu bunuh!”

Keadaan semakin kacau, Hwesio baru yang berdatangan ini tidak lagi bertanya-tanya. Mereka sudah melotot melihat saudara-saudara mereka yang berjatuhan, apalagi ketika seorang hwesio menggelinding kepalanya dibabat golok, putus tanpa ampun lagi. Dan karena semuanya itu benar-benar membuat darah mendidih dan mereka inipun juga hwesio-hwesio yang masih muda, gagah dan tangkas maka begitu membentak merekapun langsung menghantam dengan gerakan membunuh!

“Sikat mereka, basmi habis!"

Rombongan tamu terkejut. Mereka dianggap perampok dan hwesio-hwesio yang marah menggerakkan toya dengan kepandaian mengejutkan. Mereka lebih lihai dan lebih tinggi daripada hwesio penjaga pintu gerbang, karena mereka memang murid-murid tingkat empat yang berdatangan dengan gusar. Dan begitu mereka menyerbu dan kaki atau tangan bergerak cepat, toya menyambar atau menderu seperti angin puyuh maka seorang di antara lawan terbabat kepalanya disapu senjata panjang itu.

"Crat!" Kepala menggelinding pergi. Dua orang tewas dengan masing-masing sama kehilangan satu. Satu di pihak Go-bi dan satu di pihak tamu. Dan ketika yang lain menjadi marah dan berteriak membalas maka pertempuran menjadi lebih hebat karena orang-orang itu ternyata orang-orang nekat yang tidak kalah garang. Mereka berani mati dan maksud tujuan mencari Bu-tek-cin-keng tiba-tiba berobah menjadi mencari darah!

Mereka haus dan seperti serigala kelaparan yang saling berteriak-teriak mencari mangsa sendiri. Dan ketika semuanya itu menjadikan pertempuran semakin ramai, hiruk-pikuk dan gaduh luar biasa maka sebentar saja belasan orang roboh dan delapan di antaranya mandi darah dengan kaki atau tangan putus. Baik hwesio-hwesio Go-bi maupun para tamu sama-sama beringas dan tak mau memberi ampun. Mereka tiada ubahnya harimau-harimau kelaparan yang menuntut darah atau nyawa.

Namun ketika hanya orang-orang terkuat saja yang mampu mengatasi lawan-lawannya dan tinggal empat pasangan saja yang masih bertempur dengan sengit berkelebatlah sebuah bayangan dan Beng Kong Hwesio, hwesio tinggi besar itu, muncul.

"Berhenti, apa yang kalian lakukan ini!"

Hwesio itu menggerakkan jubah dan meniup seperti angin kencang. Hanya hwesio inilah merupakan murid yang terpandai di Go-bi setelah Lu Kong tewas. Maka begitu dia membentak dan muncul, menggerakkan ujung jubahnya dengan dahsyat tiba-tiba delapan orang itu terlempar dan mereka berteriak karena tak dapat menguasai diri lagi.

“Heiii.... bres-bress!"

Orang-orang itu terkejut. Mereka melihat datangnya hwesio tinggi besar ini dan Hek-tung Lo-kai, pencari gara-gara segera pucat mukanya melihat siapa yang datang. Dia belum pernah berhadapan dengan lawannya ini namun perawakan serta nama hwesio ini sudah didengar. Beng Kong memang hwesio tinggi besar yang satu-satunya ada di situ, gagah dan berperawakan tegap, seperti jenderal Kwan Kong. Tapi karena ia tak mau dianggap takut dan membentak meloncat bangun, tongkat bergetar siap menyerang maka ia memaki lawannya itu, tiga temannya yang lain juga sudah bergulingan meloncat bangun.

"Siapa kau, apakah Beng Kong Hwesio yang sombong dan pongah!"

"Hm, pengemis busuk. Pinceng benar adanya, Lo-kai. Dan kau tentunya Hek-tung si Tongkat Hitam. Apa maksudmu datang ke mari dan kenapa membuat ribut di Go-bi!"

"Kebetulan, aku dan kawan-kawan ingin bertemu Ji Leng Hwesio, Beng Kong. Mana gurumu dan biar kami bertemu. Murid-murid Go-bi yang tengik ini menyerang dan tak tahu diri menyambut kami!"

"Mereka membunuh saudara-saudara kita!" seorang di antara para hwesio membentak. "Hek-tung Lo-kai dan kawan-kawannya ini datang mengacau, suheng. Mereka ingin menemui suhu untuk Bu-tek-cin-keng!"

“Hm!" Beng Kong terkejut, alisnya yang tebal dan hitam berkerut. “Untuk urusan itu kalian datang, Hek-tung Lo-kai? Dan kalian berani menyerang serta membunuh anak-anak murid Go-bi? Omitohud, lancang sekali. Pinceng tak dapat membiarkan ini!" dan membentak tak memberi kesempatan lawan menjawab tiba-tiba hwesio itu bergerak dan menampar Hek-tung Lo-kai. Pengemis ini membuatnya marah dan Hek-tung Lo-kai terkejut karena melihat cahaya membunuh pada mata lawannya itu. Dan ketika ia berkelit namun angin tamparan masih menyambar, mengejar, maka pengemis itu berteriak menggerakkan tongkat.

"Krakk!” Tongkatnya patah. Hek-tung Lo-kai menjerit dan tentu saja ia kaget bukan main. la tak tahu bahwa Beng Kong mempergunakan Thai-san-ap-tingnya (Gunung Thai-san Menindih Kepala). Maka begitu ia menangkis dan tongkat patah menjadi dua, sang pengemis berteriak dan melempar tubuh ke kiri maka tamparan itu mengenai tanah di belakangnya dan meledaklah suara keras seperti benda disambar petir. Pengemis ini terkejut dan melempar tubuh meloncat bangun untuk akhirnya berdiri terbelalak di sana, pucat.

Tapi ketika ia mendengar tawa dingin lawannya dan Beng Kong Hwesio mengejek menghina maka pengemis itu marah dan mencabut golok pendeknya. lapun masih mempunyai senjata lain di samping tongkatnya itu, senjata cadangan kalau tongkat hancur. Dan begitu ia berteriak dan memaki lawannya, tinggi dan marah maka Beng Kong Hwesio sudah diserangnya bertubi-tubi dengan ganas dan gencar. Tiga yang lain menonton di pinggir dan Beng Kong Hwesio hanya mengelak ke sana ke mari. Hwesio tinggi besar itu tidak kelihatan takut apalagi gentar, sinar matanya bahkan menyorotkan ejekan.

Hwesio itu telah tahu kepandaian lawan dan kini menghadapi serangan golok itu dengan elakan-elakannya yang cepat. Gerakannya mengagumkan dan Hek-tung Lo-kai sendiri terkejut, kagum. Tapi ketika tujuh serangan dihindari tanpa dibalas dan Beng Kong tiba-tiba berseru keras mendadak hwesio itu menyambut sebuah bacokan dengan dua jari telunjuk.

"Crep!” Golok tiba-tiba terjepit. Hek-tung terpekik karena dua jari lawan sudah menjepit atau menangkap goloknya. Jari-jari itu tidak terluka apalagi buntung. Dan ketika dia berkutat namun sang hwesio mengeluarkan tawa dingin, jari itu menekuk dan menggeliat tiba-tiba golok melengkung dan bengkok serta akhirnya putus.

"Krekk!” Sang pengemis sungguh kaget. la tak mengira bahwa tenaga dalam lawannya itu mampu menekuk golok pendeknya yang terbuat dari baja, patah dan bengkok seperti terbuat dari lempung saja. Dan ketika ia berteriak dan kaget, kaki hwesio itu bergerak maka pengemis ini terlempar dengan paha kanannya patah. Beng Kong melakukan sapuan yang disebut Tendangan Gunung, tak dapat diterima lawan dan terbantinglah pengemis itu sambil menjerit keras.

Dan ketika Hek-tung mengaduh-aduh dan para murid bersorak, Beng Kong berkelebat dan mengejar lawan dan tiba-tiba jubah hweslo itu bergerak dan berturut-turut kaki atau pergelangan tangan pengemis itu patah. Beng Kong menghajar lawannya dan terkejutlah yang lain oleh kekejamannya ini. Hwesio itu telengas! Namun ketika mereka bergerak dan membentak maju, marah menolong pengemis itu maka Beng Kong membalik dan menyambut mereka, ujung jubahnya lagi-lagi bergerak.

"Plak-plak-plak!"

Tiga orang itu terbanting. Mereka menjerit dan mengaduh-aduh pula seperti Hek-tung Lo-kai. Dan ketika Beng Kong berkelebat dan tertawa dingin maka berturut-turut tiga orang itu dibuat patah-patah kaki atau tangannya. Hwesio ini sungguh kejam dan empat anak murid Go-bi membelalakkan mata. Mereka terbelalak tapi segera tertawa-tawa melihat kelakuan suheng mereka itu. Empat orang itu memang orang-orang yang pantas dihajar, kalau perlu dibunuh. Dan ketika empat orang itu menjerit dan dipatah-patahkan kaki tangannya, Beng Kong bertindak sadis maka seorang di antara hwesio berteriak, membakar,

"Suheng, bunuh saja mereka itu. Tampar kepalanya!"

"Atau berikan kepada kami dan biar masing-masing dari kami membunuh mereka!"

"Benar, biarkan kami membalas sakit hati murid-murid Go-bi, suheng. Toya kami siap mencari darah dan mari ramai-ramai menghabisi mereka!" namun ketika murid-murid Go-bi itu berseri dan bersorak-sorai, sikap mereka sungguh tak pantas sebagaimana layaknya seorang hwesio mendadak berkesiur angin dingin dan empat orang hwesio itu terlempar sementara Beng Kong sendiri terpelanting dan berseru kaget.

"Omitohud, sungguh tak pantas. Berhenti!" dan ketika Ji Beng muncul dengan marah, mengebut dan melempar murid-muridnya itu maka wakil Go-bi ini telah berdiri dengan muka merah padam, malu dan juga gusar melihat tingkah murid utamanya. "Beng Kong, apa yang kau lakukan ini? Kenapa menyiksa lawan sampai seperti ini? Hukuman apa yang ingin kau terima?"

"Maaf," Beng Kong Hwesio meloncat bangun, pucat namun tidak gentar. "Mereka ini orang-orang yang patut dihajar, susiok. Mereka membunuh-bunuhi murid-murid Go-bi. Lihat mayat-mayat di sana itu dan apakah tidak pantas aku menghajar mereka?”

“Hm, apa yang terjadi. Kenapa banjir darah dan terjadi bunuh-membunuh ini? Pinceng mohon penjelasan!"

Beng Kong bersinar-sinar. Cepat dan tidak takut segera ia memberi tahu bahwa Go-bi kedatangan pengacau-pengacau. Murid-murid terbunuh dan mereka itulah buktinya. Dan ketika hwesio ini menuding dan menyatakan marahnya, tak takut kepada susioknya itu maka dia berkata, "Orang-orang ini bukan manusia, melainkan iblis. Mereka memaksa hendak bertemu suhu untuk urusan Bu-tek-cin-keng. Apakah susiok dapat menerimanya kalau Go-bi diinjak-injak? Apakah susiok tidak akan melakukan hal yang sama kalau aku menghajar mereka ini? Go-bi bukan untuk dihina, susiok. Dan suhu pasti sependapat dengan aku. Mereka ini tak pantas diampuni!"

"Benar," empat murid di sana menggigil, mendapat isyarat Beng Kong Hwesio untuk bicara. "Mereka ini pengacau-pengacau yang tak pantas diampuni, susiok. Mereka membunuh murid-murid Go-bi dan Hek-tung itulah biangnya!"

“Hm, pinceng sudah mendengar. Tapi kalian tak boleh menyiksa musuh!”

"Kami terbakar, susiok, dan untuk ini kami mengaku salah. Tapi sikap kami adalah untuk membela Go-bi!”

“Hm, pinceng tahu. Tapi betapapun tetap tak pantas menyiksa musuh. Sudahlah, biarkan mereka pergi dan jangan diganggu lagi. Kalau ada apa-apa harap pinceng diberi tahu!"

"Kalau begitu susiok jangan bersembunyi saja," Beng Kong memprotes, tak perduli pandang mata susioknya yang melebar. "Kalau ada apa-apa cepat kau keluar, susiok. Atau bakal ada kejadian seperti ini lagi dan jangan salahkan aku!" dan membalik berkelebat pergi tiba-tiba Beng Kong meninggalkan susioknya dengan uring-uringan. Hwesio ini marah karena di depan yang lain-lain dia dilempar, perbuatan itu menyakitkan.

Dan ketika Ji Beng terbelalak namun tertegun teringat suhengnya, ketua Go-bi yang menjadi guru murid keponakannya itu maka hwesio ini meramkan mata dan menahan kemarahan. "Omitohud, anak-anak muda sekarang sungguh kurang ajar. Kalian pergilah, dan bawa teman-teman kalian yang tewas!” dan menyuruh murid yang lain membersihkan mayat di situ, juga anak-anak murid Go-bi yang terluka maka Ji Beng Hwesio menggigil menahan marah. Dia melihat Hek-tung Lo-kai dan tiga temannya itu pergi dengan susah payah.

Mereka gentar melihat hwesio renta ini, setelah tadi melihat kepandaian Beng Kong Hwesio yang jauh di atas mereka. Apalagi wakil ketua Go-bi yang tampaknya lemah namun memiliki sinar mata mencorong itu! Dan ketika semua berangkat dan Hek-tung Lo-kai membawa teman-temannya yang luka atau tewas, Go-bi kembali tenang maka tak dinyana beberapa hari kemudian muncul tiga tokoh- tokoh Hoa-san dan Kun-lun serta Heng-san, berikut anak-anak murid mereka.

"Kami ingin mencari Beng Kong Hwesio atau Ji Beng Hwesio. Suruh mereka berdua keluar atau kami melabrak masuk!”

Anak-anak murid tertegun. Mereka tak tahu siapa itu kecuali sikap dan dandanan para tamu. Mereka menggelung rambut ke atas dan itu jelas adalah kaum tosu, pengikut agama To. Dan ketika mereka terkejut dan marah, nama dua pimpinan mereka disebut-sebut dengan suara kasar maka penjaga pintu gerbang, yang kini diwakili murid-murid tingkat empat membungkuk dan hati-hati bicara, meskipun muka menunjukkan kemendongkolan dan merah, sudah dipesan oleh Ji Beng Hwesio bahwa tak boleh sembarangan menyambut tamu dengan kasar.

"Maafkan kami semua. Siapakah para totiang ini dan dari mana kalian berasal? Ada apa mencari suheng kami yang utama atau wakil ketua Go-bi? Bolehkah menyebut urusannya?”

"Pinto dari Hoa-san, Ko Pek Tojin. Datang untuk menuntut tanggung jawab kenapa Go-bi menghina seorang murid kami!”

"Dan aku dari Kun-lun, Kim Cu Cinjin. Datang juga untuk menuntut tanggung jawab kenapa Go-bi membunuh dua orang murid kami!"

"Dan kami dari Heng-san, menuntut balas untuk kematian tiga orang murid kami dari kekejaman Go-bi!"

“Ah-ah!" para hwesio terkejut. "Cuwi totiang dari Hoa-san dan Kun-lun? Juga dari Heng-san? Omitohud, kami semua tak merasa melakukan sesuatu yang salah terhadap partai-partai kalian, cuwi totiang. Sungguh heran kalau tiba-tiba kalian semua kini datang untuk menagih jiwa. Siapa yang terbunuh dan siapa pula yang membunuh. Kami dari Go-bi tak pernah melakukan itu!"

“Cerewet!" seorang tosu tiba-tiba mencabut pedang dan membentak. "Panggil saja Ji Beng Hwesio atau Beng Kong Hwesio, keledai-keledai gundul. Atau pinto akan membungkam mulutmu dan kami semua menerjang masuk!"

“Benar," yang lain tiba-tiba juga berseru, tangan siap mencekal gagang senjata. "Panggil dua keledai itu, hwesio-hwesio bau. Atau kalian kami sikat dan tak dapat banyak cing-cong lagi!"

“Omitohud, sobat-sobat dari Heng-san dan Kun-lun sungguh kasar. Kami jadi tak dapat menerima ini tapi baiklah kalian tunggu di sini. Pinceng akan melapor!" dan pimpinan murid yang hampir tak dapat menahan marah, membalik dan buru-buru meninggalkan tempat itu lalu menyuruh saudara-saudaranya untuk berjaga. Dia teringat ancaman dari wakil ketua Go-bi bahwa apapun tak boleh membuat ribut, atau dia bakal dihukum berat dengan dibuang dari Go-bi, ilmu-ilmunya akan dilumpuhkan.

Maka begitu dia pergi dan melapor ke dalam, saudara-saudaranya disuruh menunggu maka di sini terjadi hal tak diduga karena para tosu itu tiba-tiba membuat ulah. Tiga pimpinan mereka yang tak sabar dan dipaksa menunggu tiba-tiba menghampiri kepala singa-singaan di atas pintu gerbang, seorang di antaranya bahkan menyambar toya seorang anak murid Go-bi dan menekuk-nekuknya menjadi tujuh potong, dengan gerakan luar biasa cepat. Dan ketika murid-murid Go-bi terkejut dan berseru mundur, muka berubah, maka pengikut mereka yang ada di belakang bersorak riuh, melihat Tan Hoo Cinjin dari Heng-san mengeremus hancur sepasang kepala singa dengan sebelah kepalannya.

"Bagus hebat sekali. Ha-ha, kau luar biasa, Hoo-toheng. Tenaga dalammu kuat....

Halaman 23 dan 24 hilang....

"Bagus.... bagus, Hoo-toheng. Sikat dan bunuh saja hwesio bau itu!"

Murid-murid Go-bi marah. Mereka siap bergerak ketika tiba-tiba wakil pimpinan mereka berseru untuk menahan diri. Wakil pimpinan itu mengingatkan ancaman Ji Beng Hwesio kalau mereka membuat ulah, maklumlah, mereka memang tak boleh membuat ribut dengan tamu. Siapa pun tamu itu. Tapi ketika orang-orang dari Hoa-san dan Kun-lun berteriak menyoraki mereka, berkata bahwa mereka adalah pengecut-pengecut yang tak berani menghadapi lawan maka hwesio-hwesio muda ini terbakar.

"Ha-ha, teman sendiri roboh dibiarkan, sungguh tak memiliki rasa persaudaraan!"

"Apalagi kalau Go-bi yang roboh, tentu mereka sudah menghilang!"

Dan ketika kata-kata yang lebih panas lagi terdengar di situ dan para hwesio ini mendelik, toya gemetar di tangan maka pengikut-pengikut Heng-san bersorak.

“Heii, kalian berlutut di depan Hoo-toheng. Atau nanti Hoo-toheng menghajar kalian seperti teman kalian itu!"

"Keparat!" wakil pimpinan tak dapat menahan diri. "Tutup mulut kalian, tosu-tosu bau. Atau pinceng tak menghormati tamu dan menghajar kalian agar tahu sopan!"

"Ah-ah, keledai-keledai ini pandai memaki. Kalau begitu jangan-jangan Ji Beng Hwesio atau Ji Leng Hwesio mengajarinya untuk memaki!"

Hwesio pimpinan itu membentak. Tiba-tiba ia tak kuat karena murid Heng-san itu menghinanya tertawa-tawa. Dia diejek sementara saudara-saudaranya yang lain juga tak tahan dan menghentakkan toya hingga tanah bergetar. Dan ketika ia maju melompat menyodokkan toyanya bermaksud menghajar tosu dari Heng-san itu untuk tutup mulut tíba- tiba lawan malah menyambut dan toya yang menderu dikelit lalu dibabat.

“Tranggg...!”

Toyanya putus. Sang hwesio kaget karena lawan ternyata memiliki tenaga dan senjata lebih kuat. Kalau pedang itu tajam tapi sinkang tak lebih tinggi tentu tak mungkin toyanya putus. Ini menunjukkan lawan lebih lihai! Dan ketika ia terpekik karena pedang bergerak melingkar maka tak dapat dicegah lagi pundaknya terbabat setelah senjatanya tadi putus sebagian.

"Crat!" Hwesio ini roboh. Segebrakan saja murid tingkat empat dari Go-bi itu mengaduh-aduh. Lawan dari Heng-san ternyata lebih tinggi. Namun ketika ia terlempar dan terlepas toyanya, saudara-saudaranya yang lain marah maka mereka itu sudah membentak dan menerjang maju, mengeroyok tosu yang merobohkan wakil pimpinan ini.

"Ha, hwesio-hwesio Go-bi tukang keroyok. Pantas, kalau begitu biar kuberi pelajaran dan mari lihat kepandaian tuan besarmu.... crang-crangg!” toya dari tujuh orang hwesio itu ditangkis, terpental dan bertemu sebuah tenaga yang kuat dan tosu dari Heng-san ini tiba-tiba berkelebatan tertawa-tawa. Dia mengejek hwesio-hwesio itu sebagai tukang keroyok, teman-temannya bersorak menyetujui. Tapi ketika tujuh hwesio itu tergetar dan maju kembali, berkata bahwa lawan juga boleh mengeroyok maka sute dari Tan Hoo Cinjin ini membentak dan melarang teman-temannya maju.

"Tak usah maju.... tak usah maju. Kalau keledai-keledai gundul ini hanya sebegini saja kepandaiannya pinto sanggup merobohkan. Lihat, mereka akan kupukul mundur.... crang-crangg!"

Dan murid-murid Go-bi yang benar saja terhuyung dan terdorong oleh kilatan pedang tiba-tiba menggigit bibir karena dikeroyok tujuh ternyata lawan dari Heng-san itu kuat. Wakil pimpinan yang luka dan terhuyung di sana mendelik, dia marah namun mengakui kelihaian lawan. Tapi melihat saudara-saudaranya terdesak dan dikelilingi bayangan pedang yang menyambar-nyambar, tosu itu mengejek bahwa kepandaian Go-bi sungguh rendah maka hwesio inipun menguatkan diri dan menyambar toya yang lain untuk menerjang maju, membantu saudara-saudaranya.

“Kami memang murid-murid yang hanya tingkat empat. Tapi kami siap mati kalau dihina... wut-wut!" dan toyanya yang bergerak menderu-deru, ganas dan coba membongkar bayangan pedang lalu disusul oleh tujuh hwesio yang lain yang juga berseru sama. Mereka marah kepada lawan dari Heng-san ini yang demikian sombong, tak tahu bahwa itulah Siu Gwan Tojin yang menjadi sute dari Tan Hoo Cinjin, murid-murid utama dari Heng-san, tentu saja lihai. Dan ketika tosu itu tertawa dan memutar pedangnya lebih cepat, lawan dikelilingi sinar pedang yang naik turun ternyata tosu ini mampu menghadapi keroyokan delapan lawannya tanpa susah. Pedang di tangannya sering mendorong dan membuat terpental.

“Ha-ha, boleh tambah lagi kalau kurang. Mari... mari pinto robohkan semua hwesio-hwesio Go-bi. Ha-ha, jangan-jangan Ji Beng Hwesio atau Ji Leng Hwesio juga hanya bernama kosong belaka.... crang-crangg!"

Tosu itu mengerahkan tenaganya, membacok putus empat dari delapan toya dan empat murid Go-bi itu terpekik. Mereka roboh ketika pedang masih terus bergerak, menyambar dan mengenai lengan atau pundak mereka. Dan ketika empat yang lain terkejut dan terbelalak marah, ketua dan wakil ketua mereka dihina maka Siu Gwan Tojin bergerak lenyap dan tiba-tiba sepasang kakinya muncul menghantam dada empat orang lawan terakhirnya ini.

“Des-des-dess!”

Empat orang itu muntah darah. Mereka terbanting dan wakil pimpinan pingsan. Dia tadi terluka dan kini semakin payah saja. Dan ketika tosu itu tertawa bergelak menyelesaikan pertandingannya, sombong dan pongah karena lawan demikian empuk maka berkelebat delapan bayangan dan tujuh hwesio sekitar empat puluhan tahun telah berdiri di depannya merangkapkan tangan. Hwesio-hwesio berikat pinggang hitam!

"Omitohud, banyak terima kasih atas pelajaranmu kepada murid-murid kami, Siu Gwan totiang. Tapi tak sepantasnya tamu merobohkan tuan rumah!”

Tosu ini tertegun. Di depannya telah berdiri delapan orang hwesio itu, sikapnya angker dan pandang mata penuh wibawa, jelas lain dengan hwesio-hwesio tingkat empat yang dirobohkannya ini. Dan ketika tosu itu terkejut dan mundur, bersiap diri maka dia melirik kepada suhengnya siapakah delapan hwesio yang baru datang ini. Karena suhengnya mungkin mengenal.

"Hm, kami mencari Ji Beng Hwesio atau Beng Kong Hwesio. Siapa kalian dan murid-murid tingkat berapa?”

Tan Hoo Cinjin kiranya tidak mengenal. Tosu itu maju mengganti sutenya dan kini bersama kawan-kawan dari Hoa-san dan Kun-lun ia bersiap-siap. Sekali lihat segera mereka tahu bahwa yang datang ini bukanlah hwesio-hwesio biasa. Itu calon-calon lawan yang tangguh. Dan ketika tosu-tosu dari Hoa-san atau Kun-lun juga mengangguk, saling maklum maka hwesio terdepan yang tadi mewakili teman-temannya itu menjawab.

"Kami murid-murid tingkat dua, Pat-kwa-hwesio (Hwesio Segi Delapan). Barangkali nama kami tak dikenal dan tak sesohor cuwi sekalian. Kami murid-murid langsung dari Ji Beng suhu yang kalian cari-cari!"

"Ah, Pat-kwa-hwesio? Murid-murid Ji Beng Hwesio? Bagus sekali, panggil gurumu itu atau Beng Kong Hwesio keluar. Kami ada urusan penting!"

Tan Hoo Cinjin, yang sejenak terkejut tapi mendengus rendah lalu membentak hwesio-hwesio itu. Dia mendengar nama Hwesio Segi Delapan ini sebagai tokoh-tokoh andalan Go-bi, kalau mereka itu diperlukan. Tapi karena nama hanyalah nama dan kepandaian mereka belumlah pernah dilihat, apalagi dirasakan maka Tan Hoo Cinjin menganggap rendah dan tak memandang sebelah mata. Di situ banyak teman-temannya dan tak perlu dia takut. Jauh-jauh meluruk ke Go-bi memang untuk menuntut balas!

Maka ketika dia berkata mengejek dan tidak kelihatan takut, nama besar Go-bi setingkat dengan Kun-lun atau Heng-san maka dia berkata congkak dan tak memandang mata hwesio-hwesio itu. Tan Hoo Cinjin percaya diri sendiri dan itu cukup. Pat-kwa-hwesio boleh marah kalau mau marah! Tapi ketika hwesio itu tersenyum tenang dan menganggukkan kepalanya, sikapnya berwibawa dan tidak terbawa emosi maka hwesio itu bertanya apa keperluan mereka.

“Omitohud, totiang membawa dendam permusuhan. Apa kiranya urusan itu dan seberapa penting kiranya. Pinceng tentunya boleh tahu."

"Hm, kami ingin bertemu langsung dengan Beng Kong Hwesio atau Ji Beng Hwesio, lo- suhu. Kalau ada mereka biarlah kau dengarkan maksud kedatangan kami!"

"Pinceng adalah murid Ji Beng-suhu, dan Beng Kong adalah suheng kami dari supek (pak-de) Ji Leng. Kiranya totiang tak perlu takut mengatakannya kepada pinceng untuk pinceng dengar.”

“Takut? Ah, pinto tidak takut. Baiklah, kau boleh dengar tapi cepat laporkan ini kepada yang bersangkutan!" dan Tan Hoo Cinjin yang marah serta terbakar oleh lawan, lupa bahwa keadaan tiba-tiba menjadi terbalik segera menerangkan bahwa kedatangannya adalah untuk menuntut balas, menuntut tanggung jawab Go-bi. "Tiga murid kami terbunuh di sini, dan untuk itu sekarang kami datang!"

"Omitohud, siapa yang terbunuh? Murid-murid Heng-san?"

"Ya, dan kami juga, Pat-kwa-hwesio. Kami dari Hoa-san menuntut tanggung jawab kenapa Go-bi berani menghina seorang murid kami!"

"Dan kami dari Kun-lun menagih dua jiwa yang terbunuh di sini. Pinto Kim Cu Cinjin!”

Pat-kwa-hwesio terkejut. Tiga orang itu susul- menyusul memberi tahu bahwa anak-anak muridnya terbunuh di situ, tiga dari Heng-san dan dua dari Kun-lun. Entah bagaimana dengan yang dari Hoa-san itu. Tapi batuk- batuk menjura dalam-dalam hwesio ini berkata, "Cuwi totiang, kalian semua rupanya salah, salah alamat. Kami tak merasa kedatangan anak-anak murid seperti yang kalian bicarakan tadi dan belum pernah Go-bi membunuh!”

“Bohong! Kalau begitu bagaimana dengan Hek-tung Lo-kai dan kawan-kawannya itu? Apakah mereka tidak terbantai di sini?"

"Omitohud!" Pat-kwa-hwesio kembali berseru. "Itu pengacau-pengacau liar yang tidak ada hubungannya, cuwi totiang. Mereka terbunuh karena mereka juga membunuh!"

“Tapi orang yang kalian bunuh itu adalah anak-anak murid kami. Orang yang kau sebut pengacau-pengacau liar itu adalah murid-murid Heng-san dan Kun-lun serta Hoa-san! Apakah ini tidak ada hubungannya?"

Sang hwesio tertegun.

"Jawab!" Tan Hoo Cinjin kini berapi-api. "Pembantaian yang kalian lakukan itu harus ada yang bertanggung jawab, Pat-kwa-hwesio. Dan karena itu sekarang kami datang. Mereka tak akan mengganggu kalau tidak diganggu. Mereka bukan pengacau-pengacau liar!"

“Hm!” sang hwesio mulai berkernyit dahi. "Kiranya ini yang kalian maksud, cuwi totiang. Kalau begitu sungguh menyesal bahwa murid-murid macam itu kalian biarkan saja berbuat kurang sopan di tempat orang lain. Pinceng jadi kecewa bahwa kalian tak dapat mendidik murid dengan baik!"

"Apa? Kau menyalahkan kami? Eh, jangan kurang ajar, Pat-kwa-hwesio. Mereka baik-baik ke sini mau menemui ketua Go-bi. Tapi mereka kalian bunuh. Jangan menyalahkan kami!"

“Benar,” Ko Pek Tojin juga berseru. "Mereka datang bukan untuk membuat ribut, Pat-kwa-hwesio. Tapi mereka kalian sambut dengan toya dan golok. Kalian kejam!”

"Dan Go-bi berhutang dua jiwa kepada Kun-lun," Kim Cu Cinjin menyambung. "Untuk inipun pinto harus menuntut tanggung jawab!”

“Omitohud... omitohud...!” Pat-kwa-hwesio merangkapkan tangan berulang-ulang. “Kalian semua tidak benar, cuwi totiang. Kalian terbawa emosi. Coba kalian renungkan apakah pantas murid-murid kelas rendahan begitu mencari yang terhormat ketua Go-bi. Bukankah seharusnya hanya pemimpin atau ketua-ketua Kun-lun atau Heng-san sendiri yang pantas melakukan itu. Pinceng tetap menyalahkan kalian yang tak dapat mendidik murid!"

"Kau menyalahkan kami? Ah, sungguh sombong. Tidak bertanggung jawab!”

Tan Hoo Cinjin yang tiba-tiba berkelebat dan rupanya paling berangasan mendadak sudah melepaskan pukulannya ke hwesio lawannya itu. Dia marah karena tiba-tiba dibalik, mau tidak mau memang harus mengakui bahwa tidak pantaslah murid-murid rendahan dari Heng-san mau bertemu yang terhormat ketua Go-bi, karena ketua itu sudah memiliki kedudukan tinggi dan hanya ketua atau pimpinan Heng-san lah yang pantas minta bertemu. Itu dapat diartikan bahwa Heng-san kurang nenghormat Go-bi. Tapi karena bicara tentang ini bakal memojokkan pihaknya dan tentu saja tosu itu tak mau, membentak dan menyerang lawannya maka Pat-kwa-hwesio tiba-tiba bergerak dan tujuh yang lain serentak mundur di kiri atau kanan dan belakang tubuhnya.

"Plak-dess!"

Tan Hoo Cinjin terpental. Tosu itu berteriak karena tiba-tiba sepasang lengan yang kuat menahan pukulannya, Hwesio itu lain dengan hwesio tingkat empat dan dia terlempar! Dan ketika tosu itu berjungkir balik dan melayang turun, hwesio lawannya tak bergeming dan tersenyum tenang maka lawannya itu berseru,

"Omitohud, ada urusan bisa diselesaikan, Tan Hoo totiang. Ada persoalan bisa dibicarakan. Mari bicara baik-baik dan jangan melampiaskan hawa nafsu amarah!"

"Bedebah, siapa takut kepadamu? Aku datang untuk menuntut balas, Pat-kwa-hwesio. Kalau kau menyalahkan aku dan teman-temanku dari Hoa-san dan Kun-lun maka kau menantang kami semua dan aku tak mau sudah. Bagus, kau hebat tapi pukulanku belum semua kukeluarkan, Mari bertanding dan lihat ini!"

Tan Hoo Cinjin yang bergerak dan menyerang kembali, gusar, sudah melengking panjang mengulang pukulannya. Dia penasaran kenapa dia terpental. Maka begitu menerjang dan membakar kawan-kawannya yang lain, membawa-bawa Kun-lun dan Hoa-san yang disalahkan hwesio itu maka tosu ini berkelebat dan menyerang dengan pukulan-pukulannya yang dahsyat. Angin pukulannya menyambar-nyambar dan hwesio itu bergerak mengelak ke sana-sini. Tapi ketika lawan bergerak kian cepat dan apa boleh buat dia harus menangkis, pertemuan tenaga yang sebenarnya tak dikehendaki maka hwesio inipun mendesah dan melakukan itu.

"Dukk!” Tan Hoo Cinjin lagi-lagi terpental. Tosu ini kaget dan pucat mukanya karena dari sepasang lengan hwesio itu tiba-tiba muncul tenaga yang amat dahsyatnya. Tujuh hwesio yang lain bergerak dan mereka itu tiba-tiba berpegangan tangan, yang terdepan memegangi jubah suhengnya dan jadilah Pat-kwa-hwesio membentuk barisan. Dan ketika dia melengking namun tujuh hwesio itu ikut berputaran cepat, yang tertua selalu dipegangi atau digenggam ujung jubahnya maka hwesio inipun bergerak mengikuti dan mendadak delapan orang itu naik turun bagai gelombang yang menghadapi serangan badai.

"Des-dess!"

Tan Hoo Cinjin kian terpental tinggi. Dia kaget karena tenaga delapan orang tiba-tiba seakan bersatu dan menyambut serangan- serangannya itu. Dia tak tahu bahwa inilah kehebatan Pat-kwa-hwesio. Berhadapan dengan satu orang atau seratus orang sama saja, mereka sudah bergandengan tangan dan dari gandengan itulah mengalir tenaga sinkang yang disalurkan ke saudara yang diserang. Dan karena Tan Hoo Cinjin menyerang pemimpin mereka dan pemimpin itulah yang kini dijadikan pusat pertahanan, masing-masing mengerahkan sinkang dan menyalurkannya ke situ maka begitu Pat-kwa-hwesio menangkis kian kuat maka lawan terpental kian tinggi saja.

Tan Hoo Cinjin kaget karena tujuh hwesio yang lain hanya bergerak-gerak berputaran saja, tak ikut menyerang karena mereka itu hanya mengikuti pimpinannya saja. Tapi karena dari tujuh hwesio itu mengalir tujuh sinkang yang amat kuat, hwesio tertua mengatur dan mengendalikannya sesuka hati maka Tan Hoo Cinjin akhirnya memekik-mekik karena merasa seperti berhadapan dengan siluman!

“Curang, kotor dan busuk! Kalian mengeroyok!"

“Hm, pinceng tak mengeroyok," hwesio tertua berkata tenang, terus bergerak ke sana ke mari dan menangkis. “Yang berhadapan hanya kau dan aku, totiang. Kami tidak mengeroyok meskipun tujuh saudaraku ikut berputaran.”

“Tapi aku serasa menghadapi delapan orang. Pinto kalian tipu!"

"Kalau begitu suruh saudara-saudaramu yang lain maju, atau kau hentikan serangan ini dan kita tak perlu bermusuhan...”

“Ah, omongan busuk!” dan Tan Hoo Cinjin yang akhirnya berteriak dan mencabut pedangnya tiba-tiba membacok dan menusuk dengan jurus-jurus cepat. Tosu ini marah dan bingung karena tuduhannya memang tak berbukti. Tujuh hwesio yang lain hanya mengikuti suhengnya saja dan dia berhadapan satu lawan satu.

Namun karena tenaga lawan kian kuat saja dan dia terpental semakin tinggi, tadi malah terpelanting dan mendapat malu maka tosu ini menerjang dengan senjatanya. Gerakannya cepat dan pedangnyapun lenyap. Dan ketika tosu ini berkelebatan bagai burung menyambar-nyambar, bayangannya naik turun bagai burung menerkam mangsanya maka Pat-kwa-hwesio berseru perlahan dan ujung lengan jubahnya tiba-tiba meledak dipakai menangkis pedang.

"Trangg!”

Tan Hoo Cinjin lagi-lagi kaget. Ujung jubah itu mengeras dan tiba-tiba memukul pedangnya, persis logam dengan logam. Dan ketika tosu itu berteriak keras namun lawan berseru agar dia mundur, jubah tiba-tiba dipelintir membentuk tongkat maka pedang patah untuk kedua kalinya ketika diadu lagi.

"Aku tak mau sudah, boleh kita mengadu jiwa atau.... aihhh!" Tan Hoo Cinjin menjerit bagai kambing kebakaran jenggot. Pedangnya patah dan ujung jubah masih menyelinap untuk menghantam pundaknya, kecil saja tapi tosu itupun berteriak dan terbanting roboh. Dan ketika saudara-saudaranya yang lain terkejut dan orang-orang dari Kun-lun maupun Hoa-san terkesiap kaget, Pat-kwa-hwesio sungguh lihai maka Siu Gwan Tojin berseru tertahan menggerakkan kakinya, berkelebat ke arah sang suheng, yang roboh dengan muka pucat.

"Bagaimana dengan suheng, apa yang luka!"

"Augh, terkutuk...!” tosu ini bangkit terhuyung, dibantu sutenya. "Kita mendapat malu, sute. Tapi pinto akan mengadu jiwa lagi. Bagaimana dengan saudara-saudara kita dari Hoa-san dan Kun-lun itu. Apakah mereka takut menghadapi Pat-kwa-hwesio?”

Ko Pek Tojin dan Kim Cu Cinjin merah semburat. Mereka sadar setelah teman mereka itu roboh. Tapi berkelebat dan menghampiri pula buru-buru mereka itu berkata, "Harap Hoo-toheng jangan salah paham. Kita datang ke sini satu tujuan. Kalau kau merasa hwesio itu terlalu kuat biarlah pinto yang maju!"

"Dan aku juga tidak takut," Ko Pek Tojin membangkitkan harga diri. "Kami tadi tak mau keroyokan, toheng. Kalau kau mendapat malu biarlah kita sekalian hadapi hwesio-hwesio itu!”

“Tak usah menambah permusuhan," Pat-kwa-hwesio tiba-tiba berkata maju, mengebutkan jubahnya. "Pinceng minta maaf untuk urusan ini, cuwi totiang. Kalau Hoo-totiang tak menyerang pinceng duluan tentu pinceng tak akan menyambut. Maaf, sebaiknya urusan ini dihabisi...”

"Dan dua jiwa dari Kun-lun dibiarkan begitu saja?" Tan Hoo Cinjin tiba-tiba berseru, buru-buru menjawab agar tosu-tosu dari Kun-lun itu ingat. “Tak gampang seperti kata-katamu, Pat-kwa-hwesio. Karena Kun-lun sama dengan Heng-san yang tak takut hanya melihat kepandaian atau kelihaian seseorang. Di tempat kami juga masih ada tokoh-tokoh lain yang akan menuntut tanggung jawab!"

“Benar,” Kim Cu Cinjin terbakar. "Kami dari Kun-lun tak akan sudah begitu saja, Pat-kwa-hwesio. Kecuali ketua Go-bi datang dan minta maaf ke Kun-lun!"

“Ya, dan juga kalian di sini. Semua harus berlutut dan minta maaf!" Siu Gwan menambahi, tahu maksud suhengnya dan membakar hati teman-temannya. Api yang sudah disulut harus terus ditiup, kalau perlu semakin kencang! Dan ketika benar saja teman-temannya mengangguk setuju namun muka delapan hwesio itu merah terhina maka yang tertua dan tadi bersikap sabar tiba-tiba mula garang.

“Cuwi totiang, kalian terlalu. Apa yang kalian minta jelas tak dapat dituruti. Baiklah, apa mau kalian dan pinceng siap melayani!"

"Kalau begitu kau menantang. Kim Cu toheng atau Ko Pek toheng tentunya tak perlu takut kepadamu, termasuk aku..!" dan Siu Gwan Tojin yang berkelebat dan menggantikan suhengnya lalu meminta teman-temannya untuk maju menyerang. Lawan telah menantang dan menolak keinginan mereka.

Pat-kwa-hwesio tentu saja tak mau diinjak-injak harga dirinya. Dan begitu Siu Gwan menyerang sementara Tan Hoo cepat menyambar pedang baru dan berseru pada dua rekannya dari Kun-lun maupun Hoa-san agar tak takut menghadapi hwesio-hwesio itu maka Kim Cu maupun Ko Pek juga bergerak dan mencabut pedangnya.

"Pinto tidak takut, hanya coba menawarkan cara terbaik bagi hwesio-hwesio ini kalau mereka tidak sombong. Mari, kita ditolak, Hoo-toheng. Dan itu sudah merupakan hinaan.... singg!"

Dan pedang yang bergerak dan langsung menyambar tenggorokan tiba-tiba membuat kening Pat-kwa-hwesio berkerut karena keadaan sudah tak mungkin diperbaiki lagi. Apa yang terjadi sudah harus diselesaikan, menggerakkan pedangnya namun sang hwesio mengibas maka dua pedang itu terpental ketika bertemu sebuah kekuatan dahsyat yang membuat mereka masing-masing terkejut.

"Plak-plak!"

Dua tosu itu terbelalak. Sekarang mereka merasakan seperti apa yang tadi dirasakan Tan Hoo Cinjin, sinkang luar biasa yang dipunyai hwesio ini. Namun ketika mereka melihat tujuh hwesio kembali bergerak dan bergandengan tangan, tidak menyerang melainkan memegangi ujung baju saudaranya tertua maka dua tosu itu membentak dan Siu Gwan sudah menyerang hwesio di sebelah kiri, disusul kemudian oleh berkelebatnya bayangan Ko Pek Tojin yang menghantam hwesio di sebelah kanan.

"Kita serang mereka satu per satu, Kim Cu-toheng. Awas jangan biarkan berkumpul dan menjadi satu!"

Kim Cu Cinjin mengangguk. Sebentar kemudian dia sadar bahwa rupanya pusat kekuatan itu ada pada gabungan delapan hwesio ini. Mereka harus diporak-poranda namun kenyataannya tidak gampang, karena begitu mereka diserang dan para hwesio berseru keras mendadak mereka juga mengebutkan jubah dan kain lebar yang grombyongan itu mengeluarkan tiupan dahsyat.

"Pat-kwa-tin, kita bentuk Pat-kwa-tin (Barisan Segi Delapan)...!" hwesio tertua, yang menjadi pemimpin dan aba-aba tiba-tiba berkata pada saudara-saudaranya agar membentuk lingkaran segi delapan. Mereka tak lagi berada di kiri kanan muka belakang melainkan sama-sama di lingkaran pat-kwa.

Hwesio tertua tak lagi sebagai ujung tombak melainkan bersama-sama menghadapi lawan-lawannya itu. Dan begitu delapan orang ini berputaran dengan tetap sebelah tangan yang lain bergandengan, Kim Cu dan lain-lain terkejut karena musuh tiba-tiba juga berganti-ganti, sebentar hwesio pertama dan sebentar kemudian hwesio kedua maka berturut-turut delapan orang hwesio itu silih berganti melayani lawan mereka dan Kim Cu maupun yang lain menjadi bingung dan buyar konsentrasinya.

"Busyet, mereka ini licik. Kita diajak berputar-putar!"

“Benar, dan kita bisa pusing, Kim Cu-toheng. Awas tipuan mereka dalam barisan Pat-kwa-tin (Barisan Segi Delapan)!"

"Atau kita keroyok saja. Mereka ini tangguh!”

“Benar, yang lain-lain maju dan serbu...!” dan ketika Tan Hoo memberi aba-aba dan juga masuk ke dalam, para pengikutnya tiba-tiba menyerang atau menyergap Pat-kwa-tin ini.

Para hwesio tidak berubah kecuali pemimpinnya berseru agar putaran lebih dipercepat lagi. Dan ketika delapan orang itu bergerak dan naik turun menahan gelombang serangan, jubah atau kebutan-kebutan lebar meledak bertemu hujan senjata maka para tosu tertegun karena para hwesio itu telah membentengi diri mereka sedemikian rapat dan kuatnya.

"Jangan membunuh, jangan menurunkan tangan besi. Robohkan saja mereka dan tak perlu dendam!”

Kim Cu dan lain-lain merah padam. Mereka marah mendengar seruan hwesio pemimpin itu dan membentak namun bertemu tembok pertahanan yang amat kuat. Dan karena mereka sendiri terpental atau terhuyung ditangkis delapan hwesio ini maka jangan tanya lagi pengikut-pengikut mereka yang kepandaiannya jauh di bawah. Mereka itu terbanting dan kebutan atau tamparan jubah membuat mereka berteriak. Sekejap saja tiba-tiba sebelas orang mengaduh-aduh, kaki atau tangan mereka patah.

Dan ketika Kim Cu mendelik sementara Ko Pek dan Hoo Cinjin menjadi marah, melengking dan berkelebatan dengan pedang di tangan maka Pat-kwa-hwesio melayani dan mereka bergerak berganti-ganti menghadapi Kim Cu Cinjin dan kawan-kawannya itu. Sebentar hwesio pertama bertemu Kim Cu Cinjin tapi sebentar kemudian sudah diganti oleh adik-adik atau saudaranya yang lain.

Tangan yang sebelah tetap bergandengan namun justeru dari situlah inti kekuatan pokok Pat-kwa-tin. Imu ini ciptaan Ji Beng Hwesio dan tentu saja lihainya bukan main. Dan ketika sebelas orang kembali roboh sementara Kim Cu dan teman-temannya pucat, belum juga mampu membobol pertahanan delapan hwesio ini maka hwesio pemimpin kembali berseru agar pertikaian itu disudahi.

"Cukup... cukup. Pinceng minta disudahi saja dan cuwi enghiong harap berhenti menyerang!"

Namun mana tosu-tosu ini mau dibujuk? Selama pedang belum mendapatkan sasaran tak mungkin mereka mau sudah. Tiga tosu utama ini marah dan penasaran karena belum sekalipun juga senjata mereka itu menyentuh tubuh lawan. Jangankan kulitnya, ujung bajunya saja tak dapat disentuh! Dan karena semua ini membuat mereka naik pitam dan mata gelap maka Kim Cu Cinjin tiba-tiba melepaskan pukulan Khong-san-jeng-kin dengan tangan kirinya.

"Dess!"

Para hwesio terkejut. Khong-san-jeng-kin (Gunung Kosong Berkekuatan Seribu Kati) tiba-tiba membobol pertahanan. Tosu itu memang lihai namun hwesio pemimpin berseru dengan teriakan Tong-tee-kang (Suara Getarkan Bumi), menyadarkan saudara-saudaranya dan bergeraklah kembali delapan hwesio itu memperbaiki pertahanan. Dan ketika Khong-san-jeng-kin hanya sejenak saja mengejutkan mereka karena hwesio-hwesio ini telah mencengkeram lebih erat tangan saudara-saudara yang lain, bantu-membantu mengalirkan sinkang maka Kim Cu Cinjin kecewa ketika untuk kedua kali pukulannya itu tak membawa hasil.

"Dess!" para hwesio telah bertahan. Tosu ini mengumpat namun hwesio kepala berseru kepadanya agar tidak melepas pukulan itu lagi, atau pukulan bakal membalik dan kesalahan jangan ditimpakan kepada hwesio-hwesio Go- bi itu. Dan ketika Kim Cu menjadi marah karena hal ini dianggap hinaan, dikira dia takut maka tosu itu membentak melepas pukulannya lagi, pedang juga menyambar dari kanan ke kiri.

"Jangan mengancam. Pinto tak kenal takut, Pat-kwa-hwesio. Biarpun pinto mampus pinto tak usah gentar!" dan Kim Cu Cinjin yang berang melepas serangan tiba-tiba malah mengerahkan segenap tenaganya untuk membuktikan omongan lawan. Dia tak mau digertak dan tentu saja tak mau percaya. Dan ketika pukulan menyambar cepat sementara hwesio kepala mengerutkan keningnya, langsung menghadapi sendiri lawannya yang nekat ini maka apa boleh buat dia memapak dan ujung lengan jubahnya tiba-tiba pecah menyambut dua pukulan itu.

"Des-dess!"

Kim Cu Cinjin menjerit. Benar saja dia tertolak ketika pukulannya itu menghantam dahsyat. Sebuah tenaga besar menerimanya dan tenaga itu jauh lebih kuat daripada tenaganya sendiri. Hwesio tertua "menyedot" tenaga adik-adiknya untuk dipakai menyambut Khong-san-jeng-kin, tentu saja hebatnya bukan main dan Kim Cu Cinjin mendelik, terkejut dan terlempar bagai layang-layang putus talinya. Dan ketika tosu itu berdebuk dan muntah darah, roboh, maka Kim Cu Cinjin luka berat dan pedangnya putus menjadi dua.

"Omitohud...!” hwesio tertua mengucap puja- puji. "Maafkan pinceng, saudara-saudara. Pinceng telah memberi peringatan namun Kim Cu totiang tak menggubris. Mohon yang lain menghentikan serangan atau akan mengalami nasib sama!"

Ko Pek Tojin dan Tan Hoo Cinjin gentar. Mereka pucat melihat robohnya rekan mereka itu namun masing-masing malu untuk mundur. Barangkali, yang terbaik adalah mengadu jiwa. Dan ketika mereka melengking dan Hoo Cinjin membentak menyelinapkan pedangnya, tangan kiri bergerak dari samping tiba-tiba tosu inipun melepas pukulan sakti, To-tiu-san (Merobohkan Gunung).

"Dess!"

Hwesio ketiga yang menyambut. Tosu itu mengira bahwa kalau dia berhadapan dengan hwesio yang lebih muda barangkali keadaannya tidaklah semenyedihkan seperti Kim Cu Cinjin itu. Dia telah membuktikan berkali-kali bahwa hwesio pemimpin itu memang hebat, sinkang dan tangkisan-tangkisannya selalu membuatnya terpental. Tapi begitu dia ditangkis hwesio nomor tiga dan kekuatan hwesio itu sama seperti suhengnya maka tosu ini mencelat dan cepat melempar tubuh berjungkir balik.

"Jangan mengira pinceng bohong. Harap jangan diulangi!"

Tan Hoo Cinjin merah mukanya. Dia mendapat kenyataan bahwa sinkang para hwesio itu setingkat. Mereka rata-rata hebat dan terkejutlah dia oleh kenyataan itu. Tapi karena seseorang tiba-tiba tertawa dan tawa itu memerahkan telinganya, entah tawa siapa maka tosu ini membentak dan menerjang lagi.

"Pinto tak takut!” seruan itu membuat hwesio pemimpin mengerutkan kening. “Pinto boleh mampus dan mati di sini, Pat-kwa-hwesio. Tapi ketua dan tokoh-tokoh Heng-san yang lain tak akan membiarkan kematian pinto secara sia-sia!” dan pedang serta pukulan yang kembali menyambar-nyambar akhirnya diturut Ko Pek Tojin yang melihat benarnya kata-kata itu, terbukti dari seruannya.

"Benar, pinto juga tak takut mati, Hoo-toheng. Kalau pinto mati tentu ketua Hoa-san atau yang lain-lain pasti akan menuntut balas!"

Pat-kwa-hwesio serba salah. Mereka tertegun oleh kata-kata itu karena benar saja para ketua Hoa-san atau Kun-lun dan juga Heng-san menuntut balas. Keadaan bisa bertambah besar dan ini sebenarnya tidak dikehendaki. Dan ketika dua orang itu kembali menerjang dan Siu Gwan Tojin membentak membantu suhengnya maka delapan hwesio saling pandang dan sang suheng tiba-tiba berseru,

"Pak-te harap ke dalam. Laporkan kepada suhu dan biarkan kami bertujuh!”

"Baik," seorang di antara mereka tiba-tiba keluar. "Aku akan ke dalam, suheng. Tapi bereskan mereka ini dan kalau perlu sedikit keras!"

"Pinceng akan mengatur itu. Beri tahu suhu dan cepat suruh ke mari!"

Hwesio itu keluar. Dia adalah Pak-te (saudara ke delapan) yang merupakan orang termuda di antara Pat-kwa-hwesio. Hwesio ini sudah mengebutkan jubahnya dan lolos dari sebuah serangan, menarik lepas gandengan tangannya dan berkelebatlah dia ke dalam. Dan ketika tujuh hwesio itu melayani lawannya dan Ko Pek maupun Hoo Cinjin menggeram karena tak juga mampu mengalahkan lawan, Pat-kwa- hwesio masih hebat meskipun berkurang satu orang maka saat itu terdengar suara-suara gaduh dan dari luar muncul ratusan orang yang berteriak-teriak. Persis gerombolan liar!

"Bunuh hwesio-hwesio Go-bi. Cincang mereka itu!"

Hwesio kepala terkejut. Dia menoleh dan berubah mukanya melihat bermacam-macam orang mendatangi tempatnya. Dia sedang menahan Kim Cu dan tosu-tosu lain ini bersama adik-adiknya, menunggu suhunya datang karena tak ingin menanggung resiko. Maka begitu orang-orang itu berteriak dan mereka berhamburan memasuki pintu gerbang, yang saat itu dijaganya bersama enam orang adiknya maka Twa-hwesio atau hwesio kepala ini tersentak karena seperti perampok atau gerombolan buas orang-orang itu menerjang dirinya dan puluhan senjata hiruk-pikuk bergemerincing menyambar seperti mahluk-mahluk kesetanan.

"Heiiii....!”

Bentakan atau seruan itu lenyap ditindih sorak gegap-gempita. Orang-orang itu menyerbu dan Pat-kwa-hwesio tentu saja terkejut bukan maim karena seperti hujan saja mendadak puluhan senjata tajam beterbangan ke arah diri dan enam adiknya. Para tosu dari Heng-san dan Hoa-san juga terkejut dan mereka menerima pula hujan serangan ini, tentu saja mengelak dan berteriak karena ratusan orang itu tak pandang bulu.

Mereka tadinya dikira menyerang hwesio-hwesio Go-bi tapi para tosupun ternyata juga ikut diserbu. Orang- orang itu rupanya hantam kromo, siapa saja di depan dia itulah yang diserang! Dan ketika Hoo Cinjin maupun Ko Pek Tojin berseru keras, membalik dan menangkis serangan itu maka benturan senjata tak dapat dihindarkan lagi dan empat di antara mereka menjerit kena senjata gelap.

"Cring-crang-cringgg...!”

Ko Pek dan Hoo Cinjin terlempar bergulingan. Mereka mendapat serbuan dahsyat dan lawan bagaikan raksasa bangun tidur, tenaganya demikian mengerikan dan dua tosu itu tentu saja merasa mengkirik. Senjata yang ditangkis amat banyak dan mereka tak kuat, jumlah musuh seperti pasukan siluman dan tokoh dari Heng-san maupun Hoa-san itu menyelamatkan diri bergulingan. Dan ketika mereka tertegun karena empat saudara mereka roboh, tewas diinjak-injak ratusan orang ini maka Pat-kwa- hwesio dan saudara-saudaranya juga kerepotan diserang demikian banyak orang.

"Biadab, omitohud..... sungguh biadab sekali!”

Orang-orang itu tertawa bergelak. Mereka tak memperdulikan seruan Pat-kwa-hwesio itu karena begitu hwesio-hwesio itu terpukul mundur, ratusan orang ini seperti badai yang sedang gila-gilanya maka mereka itu maju dan menyerang lagi. Golok dan pedang beterbangan dilepas dari tangan dan tujuh hwesio itu tiba-tiba mencabut toya semuanya, senjata yang tadi belum dikeluarkan ketika menghadapi rombongan Kim Cu Cinjin. Dan begitu toya diputar serta tangan erat bergandengan, sinkang dialirkan bersatu kekuatan maka ratusan senjata itu terpental dan orang-orang terpekik karena tujuh hwesio ini tiba-tiba seperti tujuh tembok baja yang tak dapat ditembus.

"Aihhh... crang-crang-cranggg!"

Senjata patah-patah. Golok dan pedang yang berseliweran menghujani hwesio-hwesio ini tiba-tiba mendapat perlawanan hebat. Mereka kalah oleh gabungan tenaga tujuh hwesio ini dan bergeraklah Pat-kwa-hwesio mempercepat putaran. Gerakan itu membuat lawan terkejut karena tiba-tiba pusing dan bingung. Dan ketika mereka tertegun dan di saat itulah lawan membentak, Pat-kwa-hwesio menyambarkan toyanya masing-masing maka tujuh orang menjerit karena terlempar.

"Des-des-dess!" Lawan tiba-tiba panik. Mereka melihat tujuh hwesio ini bergerak berseliweran, cepat dan ringan dan tahu-tahu toya kembali menggebuk atau menghantam mereka. Dan ketika tujuh orang kembali roboh dan gerombolan itu pucat, terpukul mundur mendadak terdengar seruan agar mereka maju kembali dan sinar-sinar hitam sekonyong-konyong menyambar tujuh hwesio ini.

"Jangan takut, maju. Robohkan mereka dan kita temui Ji Leng Hwesio untuk meminta kitab Bu-tek-cin-keng.... ser-ser-ser!"

Pat-kwa-hwesio terkejut. Mereka tak tahu siapa yang berseru itu tapi sinar-sinar hitam yang menyambar mereka haruslah ditangkis. Mereka menggerakkan toya dan sinar-sinar hitam ini bertemu senjata di tangan. Tapi ketika sinar-sinar itu terpental tak runtuh ke tanah, menyambar atau menusuki tubuh mereka maka Pat-kwa-hwesio berteriak keras dan apa boleh buat tangan kiri mereka bergerak menampar benda-benda ini, yang ternyata jarum-jarum halus yang luar biasa banyaknya.

“Ha-ha, masuk. Cepat serbu!”

Pat-kwa-hwesio berubah. Mereka tiba-tiba telah saling melepaskan gandengan karena menampar jarum-jarum itu. Mereka telah dipaksa melepaskan tangan kiri untuk menghalau sinar-sinar hitam ini, yang sebagian masih menancap dan melubangi ujung jubah mereka. Dan ketika kesempatan itu dipergunakan musuh untuk kembali menyerbu, barisan Pat-kwa-tin telah pecah gara-gara serangan jarum hitam itu maka hwesio pemimpin berteriak agar saudara-saudaranya kembali menyatukan tangan.

Tetapi terlambat. Para penyerbu telah masuk dan sinar-sinar hitam kembali berhamburan dari segala penjuru. Barisan Pat-kvwa-tin dipecah belah dan terkejutlah tujuh murid Ji Beng Hwesio itu karena musuh yang liclk telah menghancurkan kehandalan mereka. Dan ketika apa boleh buat mereka harus berkelebatan sendiri-sendiri, masing-masing menggerakkan toya dan ujung lengan jubah maka sinar-sinar hitam menghilang untuk sekejap.

“Des-des-dess!"

Tujuh hwesio ini memang hebat. Mereka adalah murid-murid Ji Beng Hwesio yang kepandaiannya amat mengagumkan. Mereka berkelebatan dan berseru keras menghalau musuh-musuh yang di depan. Dan ketika musuh berteriak tapi yang lain maju mengganti, Pat-kwa-hwesio bertanding secara perorangan maka musuh porak-poranda namun panah-panah berapi mendadak menyambar mereka dari segala penjuru.

“Jangan takut, mereka dapat dikacau!”

Tujuh hwesio ini terbelalak. Mereka mendengar seruan yang lagi-lagi dikenal suaranya tak dikenal orangnya. Panah-panah api itu meluncur dan tentu saja ditangkis. Tapi ketika panahnya meledak dan dari balik api yang padam itu memuncrat puluhan sinar-sinar hitam, lagi-lagi jarum itu maka Pat-kwa-hwesio memekik dan mereka marah bukan main.

"Omitohud, hina dan licik.... crik-crik-crik!" sinar-sinar itu dikebut, lenyap dan runtuh.

Namun orang-orang itu sudah menyerbu lagi. Mereka mendapat kesempatan ketika para hwesio ini sibuk menghadapi panah-panah api, juga jarum-jarum hitam yang benar-benar mengacaukan konsentrasi itu. Dan ketika Pat-kwa-hwesio berteriak karena sibuk dan terdesak, seseorang mengacau di balik sana maka satu di antara mereka tiba-tiba kena tombak dan terhuyung mengeluarkan seruan tertahan.

"Chit-sute (adik ke tujuh) terluka. Awas dan lindungi dia!”

Twa-hwesio, hwesio pemimpin, terkejut dan membelalakkan matanya. Dia terkejut karena adiknya termuda kena serangan tombak. Tapi baru dia berkata begitu mendadak adiknya nomor enam juga berteriak dan roboh kena golok terbang. Entah siapa yang menyambit!

"Augh!”

Hwesio ini tertegun. Sekejap saja dua adiknya tiba-tiba roboh tak dapat meneruskan perlawanan. Mereka jatuh terduduk dan dua di antara mereka dalam bahaya. Dan ketika dia terbelalak dan memutar toyanya, kencang, maka dua teriakan terdengar lagi dan Ngo-te (saudara ke lima) serta Su-te (ke empat) terjengkang kena hui-to...!