Prahara Di Gurun Gobi Jilid 04 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara

"BENAR, kau bedebah jahanam, Coa-ong. Tak dapat menyimpan rahasía dan lebih baik kubunuh kau.... tar!" Coa-ong terpekik, rambut menyambar dan melecut bijl matanya dan tentu saja dia kaget dan gusar. Jin-mo telah merobah keadaan hingga si Ratu lblis yang semula membantu mendadak sekarang mengeroyoknya. Dan ketika ia mengelak namun rambut mengejar, apa boleh buat menangkis maka dua orang itu sama terpental dan kakek ini mengumpat kotor.

"Jahanam keparat. Kau dibohongi kakek ini, Kwi-bo. Jangan telan mentah-mentah atau kubunuh kau!"

“Ha-ha, lihat betapa kurang ajarnya. Kau diancam akan dibunuh, Kwi-bo, padahal jelas Coa-ong yang salah. Ah, Coa-ong sungguh kurang ajar dan tak tahu diri!" Jin-mo, yang terkekeh-kekeh dan geli merobah keadaan sudah dibentak dan dimaki Coa-ong pula. Kakek itu menangkis dan keduanya bertanding seru.

Tapi karena Kwi-bo mengeroyok dan Coa-ong berhadapan satu lawan dua, hal yang merepotkan juga maka kakek ular itu melepas ular-ularnya. "Baik, kalian curang dan pengecut. Tapi Kwi-bo juga tidak beres. Dia pernah memberi tahu kepadaku akan menyingkirkan dirimu secara diam-diam kalau Bu-tek-cin-ong berada di tangannya, Jin-mo. Dia akan mempergunakan kesempatan selagi kau dirayu dan diajaknya bercinta. Nah, hati-hati saja kau kalau suatu saat wanita iblis ini menyediakan tubuhnya!"

“Apa? Dia mau menyingkirkan aku?”

"Ya, setelah kau mabok dalam berahi. Lihat mayat hwesio muda itu, alat kejantananmupun akan ditarik dan dibetotnya putus!"

"Ah, kurang ajar. Kalau begitu dia harus kuhajar... wut!" dan Jin-mo yang membalik dan merobah gerakan mendadak marah kepada Kwi-bo dan menyerang wanita itu. Belasan sumpit bambunya menyambar dan bercuitan menyerang wanita ini, padahal jarak mereka dekat. Dan ketika Coa-ong terkekeh dan Kwi-bo mengibaskan rambutnya, menangkis, maka Jin-mo menyerangnya dan berkelebat dengan marah.

Selanjutnya kakek itu memaki-maki dan Kwi-bo naik pitam, Coa-ong kemudian menyerangnya pula dan jadilah dia dikeroyok dua. Keadaan berbalik! Dan karena hujan biji bambu dan ular tak henti-hentinya, wanita itu melengking dan marah bukan main maka dia melempar tubuh bergulingan untuk akhirnya terbang meninggalkan pertempuran menyambar Chi Koan dan memaki-maki si kakek ular.

"Keparat tak tahu malu. Kau jahat dan busuk mulutmu, Coa-ong. Kalian dua laki-laki tak malu mengeroyok seorang wanita. Cis, awas lain kali dan tunggu pembalasanku!"

"Heii...!" Jin-mo berteriak. "Kau mau ke mana, siluman cantik? Bayar dulu kekalahanmu. Hayo berhenti dan layani aku bertanding!"

"Bertanding hidungmu. Kau berkomplot dengan Coa-ong, Jin-mo. Kau tak tahu malu dan laki- laki curang!"

"Ha-ha, salah. Aku bersedia menghajar Coa-ong asal kita bertanding di ranjang. Hayo, berhenti, Kwi-bo. Lihat kakek ular ini pucat!"

Coa-ong memang pucat. Dia berobah mukanya mendengar kata-kata si Hantu Bambu itu. Jin-mo ternyata akan berbalik kembali dan mengeroyoknya, asal Kwi-bo memberinya imbalan bermain cinta. Dan ketika kakek itu mendengus dan menyambitkan seekor ularnya, ditangkis dan hancur maka Coa-ong berbalik dan lari ke lain arah. "Kurang ajar. Kau suka enaknya saja, Jin-mo. Terkutuk dan mampuslah kau. Baiklah, kita berpisah dan boleh kau bersenang-senang dengan sundal betina itu!"

Jin-mo terbahak dan terkekeh-kekeh. Dia jadi geli setelah melihat Coa-ong memutar tubuhnya, takut kepada ancamannya tadi. Tapi karena Kwi-bo lebih menarik dan si cantik itu pergi ke timur, kakek ini mengejar dan terus menggerakkan kakinya maka tiga orang itu melupakan Peng Houw yang pingsan di tanah.

Peng Houw sendiri tak tahu hiruk-pikuk orang-orang sesat ini. Tak tahu betapa mereka silih berganti menyerang yang lain sambil melepas fitnah-fitnah bohong. Itu memang sudah menjadi bagian watak mereka. Dan ketika anak itu ditinggalkan sendirian sementara tiga tokoh sesat itu lenyap di balik gurun maka Peng Houw terpanggang terik matahari sebelum akhirnya seorang tosu (pendeta To) datang dan menemuinya.

"Siancai, anak yang malang. Bocah siapakah gerangan anak ini? Kenapa sendirian dan pingsan di sini? Ah, tangannya patah. Anak ini terluka, Siancai...!” dan seorang tosu yang tertegun dan berhenti mengamati anak itu akhirnya berlutut dan memeriksa Peng Houw.

Sehari Peng Houw berada di situ dan sehari itu pula anak ini tak sadarkan diri. Namun begitu tosu ini menotok dan menyadarkannya, dengan hati-hati tangan Peng Houw yang patah dibebat dan dilumuri ramuan harum maka Peng Houw membuka mata dan mengeluh. "Aduh, keparat jahanam Coa-ong kakek busuk. Aduh, terkutuk kalian semua membunuh guruku. Ah, terbakar kalian di dasar neraka, Coa-ong. Dan mampus pula Chi Koan yang tak berotak itu!"

Peng Houw, yang baru membuka mata dan pening memperoleh kesadarannya yang pertama membentur langit yang merah kejingga-jinggaan. Hari memang senja dan anak itu masih teringat oleh kejadian yang dialaminya, mengeluh dan memaki-maki Coa-ong dan lain-lain, juga Chi Koan, anak yang memukulnya itu. 

Tapi ketika sepasang mata lembut memandangnya bercahaya dan sebuah kepala menggantikan langit jingga itu, Peng Houw terkejut diraih kepalanya maka anak ini menggeliat bangun dan menjerit karena tangannya yang patah tiba-tiba berobah letaknya dan menimbulkan rasa sakit yang hebat, terpuntir.

“Tenang, jangan gerakkan tanganmu sembarangan. Pinto di sini, anak baik. Siapa kau dan kenapa menderita di sini!"

"Ah..." Peng Houw tertegun, ganti memandang wajah itu. "Totiang... totiang siapa? Mana kakek iblis dan wanita siluman itu? Mana mereka?"

"Hm, pinto (aku) tak melihat siapa-siapa, anak baik. Siapa yang kau maksud dan kenapa sendirian di sini...”

"Aku disakiti Coa-ong, juga wanita iblis si Kwi-bo itu!”

"Coa-ong? Kwi-bo? Kau maksudkan orang-orang sesat dari Tujuh Siluman Langit? Kau bertemu mereka?" Si tosu tampak terkejut, alis berkerut dan wajah tosu ini berubah. Dia sudah berulang-ulang mendengar anak ini menyebut nama-nama itu tapi rasanya tak masuk akal kalau bocah sekecil Peng Houw mengenal tokoh-tokoh sesat itu. Kwi-bo dan Coa-ong adalah manusia-manusia iblis yang berkepandaian tinggi, heran kalau mengganggu anak kecil dan tak masuk akal kalau mereka menyakiti anak ini, apalagi sampai mematahkan tangannya, lalu dítinggal pergi.

Tapi ketika Peng Houw mengangguk dan berkata bahwa itu benar, anak ini menahan sakit dengan air mata yang hampir bercucuran maka tosu itu tertegun dan bertanya siapa Peng Houw. “Aku... aku Peng Houw, murid Lu Kong lo-suhu. Siapakah totiang dan apakah kenal dengan guruku!"

“Sian-cai, kau anak murid Go-bi?" tosu ini berseru tertahan, "Kau murid Lu Kong Hwesio?"

"Benar totiang, tapi guruku itu sudah dibunuh Coa-ong. Kakek keparat itu dan Kwi-bo mengacau di Go-bi!"

"Astaga, kalau begitu biar kubawa kau ke sana dan mari pinto gendong!" si tosu bergerak, mengejutkan Peng Houw karena tiba-tiba tosu ini terbang menuju gurun. Pohon-pohon atau apa saja di sekitar mereka bergerak cepat silih berganti.

Peng Houw kagum namun dia mendesis ketika tangannya yang patah kembali bergeser, menimbulkan rasa sakit. Dan ketika dia menggigit bibir dan bertanya siapakah tuan penolongnya itu, tosu ini tak menjawab dan terus berkelebat menuju Go-bi maka tampaklah tempat yang berantakan itu, mayat atau orang-orang luka yang masih merintih di sana-sini.

"Ah, Go-bi mendapat musibah. Siancai, sungguh terlalu orang-orang macam Coa-ong dan Kwi-bo itu!"

Peng Houw juga terbelalak. Dia melihat mayat-mayat hwesio muda yang diselubungi kain panjang, juga mereka yang merintih dan mendapat pertolongan di sana. Tapi begitu anak-anak murid melihat Peng Houw dan tosu ini, yang berkelebat dan memasuki pintu gerbang maka semua tertegun dan berdiri menghadang.

"Maaf, aku ingin bertemu Ji Leng Hwesio. Katakan bahwa Giok Kee Cinjin ingin bertemu!"

Semua murid saling pandang. Tiba-tiba mereka curiga karena tak ada yang mengenal nama ini. Giok Kee Cinjin, sang tosu yang sabar dan ramah tiba-menjadi tak sabar. Dan ketika seorang murid maju memalangkan toya dan justeru berkata agar dia keluar, Ji Leng Hwesio ketua Go-bi tak ada di situ maka tosu ini mendesis dan berkelebat melewati murid yang memegang toya itu.

"Ah, kalian tak perlu curiga. Aku sahabat ketua kalian, maaf, biar kucari sendiri!" dan ketika tosu itu lenyap dan sudah jauh di dalam, berkelebat dan memasuki ruangan besar maka anak-anak murid menjadi ribut dan membentak.

"Heii... kami tak mengenal dirimu. Jangan membuat onar atau kami menangkapmu!”

Si tosu tak menghiraukan. Dia telah berkelebat dan anak-anak murid yang mengejar tíba-tiba terkejut karena begitu cepatnya tosu ini bergerak. Dari ruang satu dia sudah lenyap ke ruang lain, sebentar muncul di sini dan sebentar kemudian muncul di sana. Tosu itu berseru berulang-ulang agar murid-murid Go-bi tidak menyerangnya. Dan ketika dia masuk semakin dalam sementara Peng Houw masih di atas pundaknya, digendong, maka sebuah bayangan berkelebat dan tiba-tiba menghadang.

"Berhenti! Siapa ini dan ada maksud apa memasuki Go-bi!"

Sang tosu terkejut. Yang menghadang bukanlah murid biasa melainkan seorang hwesio tinggi besar yang gagah dan berjari-jari buntung. Wajahnya menunjukkan kemarahan tapi dua ibu jarinya mampu menjepit sebatang toya kuning. Inilah Beng Kong Hwesio yang baru saja disembuhkan susioknya, sadar dan menerima pertolongan setelah tadi dihajar Kwi-bo. Dan karena hwesio ini masih kelihatan garang meskipun telah bertempur mati-matian dengan bekas suhengnya, berdiri dan kini menghadang di pintu masuk setelah tadi berjungkir balik dan melewati atas kepala si tosu maka dua-duanya tertegun karena tosu itu maupun Beng Kong Hwesio ternyata saling mengenal.

"Ah, Giok Kee Cinjin kiranya. Maaf, ada perlu apa, totiang? Dan tahukah kau siapa anak yang kau bawa itu?"

"Siancai, kiranya Beng Kong loheng. Bagus, aku dikejar-kejar anak buahmu, loheng. Suruh mereka mundur dan jelaskan siapa pinto. Pinto tidak berniat mengganggu ataupun membuat onar melainkan justeru telah mendengar dan prihatin atas kejadian ini. Mohon menghadap gurumu Ji Leng Hwesio yang terhormat!"

“Hm, totiang datang tidak pada saat yang tepat. Suhu sedang bersamadhi dan tak mau diganggu. Dan karena totiang membawa-bawa seorang anak murid Go-bi tolong totiang berikan anak itu kepada pinceng!”

“Tidak...!" Peng Houw tiba-tiba berseru, pucat, melihat sinar mata Beng Kong Hwesio yang penuh kebencian. "Aku tak mau diserahkan kepada susiokku ini, totiang. Dia yang menjadi gara-gara hingga guruku terbunuh!"

“Hm, apa yang terjadi? Bagaimana suhu dan susiokmu bertanding sendiri?”

"Beng Kong susiok tak suka kepadaku, totiang. Dia selalu melindungi muridnya yang bernama Chi Koan. Tapi karena suhuku selalu melindungi dan membela aku maka susiok dan suhu akhirnya bertanding membela murid. Aku tak mau diserahkan susiokku ini kecuali kepada susiok-kong (paman kakek guru) atau ketua Go-bi sendiri!”

"Anak kurang ajar!" Beng Kong Hwesio tiba-tiba membentak dan menyambar. “Kau tak tahu diri dan biang penyakit, Peng Houw. Hayo bersama pinceng dan jangan ganggu Giok Kee totiang!"

“Aduh...!” Peng Houw menjerit dan sang tosu mengelak, Giok Kee Cinjin terkejut karena hwesio itu mencengkeram tangan Peng Houw yang patah, tentu saja Peng Houw berteriak. Dan ketika Giok Kee Cinjin berseru agar Beng Kong Hwesio sabar, anak itu tak mau diserahkan kecuali kepada Ji Beng Hwesio atau ketua Go-bi mendadak Beng Kong naik pitam dan menyerang tosu ini.

“Tamu tak tahu adat!" hwesio itu membentak dan memaki. "Kau tak layak memenuhi permintaan anak itu, Giok Kee. Serahkan dia atau pinceng merobohkanmu!”

“Hm!" dan sang tosu yang berkilat dan merah mukanya tiba-tiba berkelebat dan mengelak serangan toya yang menderu bagai angin topan, melihat Beng Kong selalu menyambar Peng Houw dan yang diincar selalu tangan yang patah itu. Sang tosu menjadi marah karena hwesio ini dinilai keji, tak berperasaan. Dan karena dia mulai tak senang karena lawan lalu menyerangnya bertubi-tubi, toya menyambar atau menderu mengurung dirinya maka apa boleh buat tosu ini bergerak dan membentak Beng Kong Hwesio itu.

"Beng Kong, kau sekarang tak tahu aturan. Kalau kau baik-baik menginginkan anak ini tentu pinto serahkan. Tapí kalau sikapmu seperti harimau haus darah maaf pinto tak akan meladeni. Panggil susiokmu atau yang terhormat ketua Go-bi sendiri.... plak-plak!" tosu ini menangkis dan menggerakkan ujung jubahnya. Lengan bajunya yang lebar itu dipakai menghalau toya.

Beng Kong Hwesio tergetar mundur berteriak keras. Dia terhuyung tiga tindak! Namun ketika hwesio itu maju lagi dan anak-anak murid bergerak mengurung, Beng Kong Hwesio tak mengusir anak-anak murid seperti yang diminta tosu ini tadi maka mereka berdua sudah bertanding hebat namun nampak bahwa Giok Kee Cinjin berada di pihak yang unggul.

Tosu ini berkelebatan ke sana ke mari dan sapuan atau sambaran tongkat tak ada satu pun yang berhasil menyentuh tubuhnya, padahal dia masih menggendong Peng Houw. Dan ketika lengan atau jari-jari tosu itu mulai mengibas atau membalas maka Beng Kong Hwesio terhuyung-huyung dan dua kali terpelanting roboh!

"Beng Kong, panggil susiokmu atau yang terhormat ketua Go-bi-pai. Pinto tak mau membuat ribut di sini!”

"Keparat!" hwesio itu memekik. "Kau bicara tak sama buktinya, Giok Kee. Lain di mulut lain di perbuatan. Pinceng tak akan memanggil suhu atau susiok sampai kau atau aku roboh!”

"Hm, kau nekat, tak tahu diri. Kalau tidak melihat bahwa kau rupanya sudah terluka tentu pinto akan menghajarmu lebih keras. Baik, sekarang pinto terpaksa, Beng Kong. Jangan salahkan pinto kalau pinto bersikap keras.... plak!" dan ujung lengan baju yang tiba-tiba menyambar dan menahan toya mendadak menggubat dan menarik.

Beng Kong Hwesio berteriak dan tangan kirinya bergerak, melakukan jurus atau pukulan Cui-pek-po-kian. Tapi karena toya tertarik ke depan dan gaya atau kekuatan Cui-pek-po-kian itu hilang setengah bagian, lawan dengan cerdik menyentak toya itu maka Giok Kee Cinjin berputar dan sekali dia meliuk dan menggerakkan kakinya tahu-tahu Beng Kong Hwesio terlempar sementara pukulan atau toyanya lepas dari tangan, Cui-pek-po-kian menghantam tempat kosong.

"Dess!" Hwesio itu bergulingan mengeluh tertahan. Giok Kee Cinjin tidak mengejar karena lawan seketika pingsan, setelah mengeluarkan erangan pendek. Dan ketika tosu ini mengucap rasa penyesalan dan murid-murid bergerak marah, mau menerjang maka saat itu berkelebat sesosok tubuh kecil kurus dan Ji Beng Hwesio telah berada di sini.

"Omitohud!" hwesio itu berseru. “Kau kiranya, Giok Kee Cinjin. Ah, sungguh heran kalau kedatanganmu memusuhi Go-bi!”

"Maaf," tosu ini cepat membalik dan merangkapkan kedua tangannya. “Pinto datang bukan membawa permusuhan, loheng. Pinto terpaksa merobohkan Beng Kong karena ia tak mau membawa pinto kepadamu!"

"Omitohud, sekarang pinceng ada di sini. Katakan apa maksudmu dan setelah itu pergilah baik-baik kalau totiang memang tak bermaksud memusuhi Go-bi.”

Giok Kee Cinjin terbelalak. Tiba-tiba mukanya menjadi merah karena sambutan atau kata-kata Ji Beng Hwesio itu tak sedap didengar telinga. Dia, sahabat ketua Go-bi, disambut dengan kata-kata seperti ini. Tapi menarik napas dalam-dalam dan menekan kemarahan tosu ini berkata, tiba-tiba menurunkan Peng Houw,

"Pinto datang secara tak sengaja, loheng. Ingin berbincang-bincang dan bertemu sebagaimana biasanya dengan yang terhormat ketua Go-bi. Pinto sudah lama tidak mampir, kini ingin menengok tapi melihat kekacauan di sini. Dan karena kebetulan anak ini pinto temukan di tengah jalan, dianiaya Coa-ong maka pinto bermaksud membawanya ke mari untuk diserahkan kepada Go-bi. Namun anak ini tak mau diterima Beng Kong, dia menghendaki kau atau ketua Go-bi sendiri yang menerima. Dan karena Beng Kong sendiri bersikap kasar dan kejam, terhadap anak ini, maka pinto melindungi tapi kini ingin menyerahkannya kepadamu. Soal Go-bi tak suka kedatangan pinto tentu saja pinto akan segera pergi. Pinto bukan mau mengemis nasi!"

"Hm!" Ji Beng Hwesio memperhatikan Peng Houw, tak menghiraukan atau menanggapi kata-kata Giok Kee Cinjin yang juga pedas! "Kau menjadi awal malapetaka, Peng Houw. Gara-gara kau maka semua kekacauan ini terjadi. Adakah mukamu untuk menghadap pinceng? Masihkah kau menganggap sebagai keluarga di sini?"

Peng Houw pucat, menjatuhkan diri berlutut. "Susiok-kong, kesalahan bukan semata kepada teecu (murid), melainkan Chi Koan. Kenapa teecu hendak disalahkan lagi dan tak dianggap murid Go-bi? Mati hidup teecu adalah murid Lu Kong Hwesio, dan guru teecu itu adalah murid Go-bi. Teecu tetap merasa sebagai keluarga Go-bi dan karena itu mohon maaf bila semua ketidaksengajaan ini menjadikan Go-bi kacau. Teecu anak kecil tak tahu apa-apa!"

"Hm!" Ji Beng Hwesio tertegun, keberanian Peng Houw telah membuat semua anak-anak murid terbelalak, begitu juga Giok Kee, yang tertegun dan kagum. Tapi karena Peng Houw telah dianggap penyulut keributan dan hwesio itu malu dibantah anak sekecil ini, derajatnya bisa jatuh maka hwesio itu membentak, sikaphya tiba-tiba menjadi garang.

"Peng Houw, kau anak kurang ajar tak tahu adat. Beginikah caramu menghadapi orang tua? Beginikah Lu Kong Hwesio mengajarimu sehari-hari? Pinceng tak mau dibantah, Peng Houw. Kau bukan lagi anak murid Go-bi dan pinceng mengusirmu untuk keluar dari tempat ini Go-bi tak dapat lagi menerimamu!”

“Kejam!" Peng Houw tiba-tiba berteriak, mengejutkan anak-anak murid dan semua orang yang ada di situ. "Kau tak adil, susiok-kong. Kau berat sebelah. Kau tak melaksanakan ajaran Buddha bab 19 ayat satu!"

“Apa?" Ji Beng tersentak, mata tiba-tiba menyambar bagai pisau tajam. “Kau bilang apa, Peng Houw? Kau bilang pinceng tak adil dan menyebut-nyebut ayat satu bab 19? Katakan itu kalau kau hapal!"

"Jelas, susiok-kong tak melaksanakan dharma, Susiok-kong menekan teecu dan tak mau melihat semua persoalan secara menyeluruh. Teecu tentu saja dapat menyebutkan ayat kitab suci ini dan berani mengatakan susiok-kong berat sebelah!"

"Hm, katakan dan cepat baca itu, Peng Houw. Atau pinceng akan menghancurkan mulutmu!" sang hwesio terbelalak, mata yang biasa meram-melek itu tiba-tiba dibuka lebar dan siapapun melihat betapa cahaya seperti api menyambar dari sepasang mata tua ini.

Semua menjadi gentar, namun anehnya Peng Houw yang berhadapan langsung itu sama sekali tidak takut. Anak ini telah menunjukkan keberaniannya yang luar biasa, termasuk keberaniannya "mengingatkan" wakil Go-bi akan ayat-ayat suci dari kitab yang dihormati begitu banyak orang. Dan ketika semua tertegun dan pucat memandang Peng Houw, anak itu bangkit berdiri dan gagah menegakkan muka maka berserulah Peng Houw membaca ayat yang dimaksud itu, suaranya lantang dan menggetarkan, tak ada satu pun yang salah. Peng Houw memang "jagoan” menghapal kitab suci!

"Orang yang memutuskan dengan kekerasan, tidaklah dapat dikatakan adil atau jujur. Orang yang bijaksana selalu mempertimbangkan kedua belah pihak, yang benar dan yang salah!”

Ji Beng Hwesio pucat. Tiba-tiba saja ia serasa ditampar oleh suara atau kata-kata anak ini. la memang telah melakukan kekerasan, tanpa mempertimbangkan kedua belah pihak. Dan karena ia terpukul dan malu serta marah maka hwesio itu menggeram dan berubah-ubah mukanya, gemetar ketika menghadapi Peng Houw.

"Baik, kau menganggap pinceng melakukan kekerasan, Peng Houw. Kau menganggap pinceng tak adil. Sekarang apa maumu dan coba pinceng dengar!”

“Teecu tak mau diusir. Teecu tetap merasa sebagai keluarga Go-bi. Susiok-kong jangan menyalahkan teecu karena datangnya orang-orang macam Coa-ong dan Kwi-bo itu bukanlah teecu yang mengundang!”

"Hm, baik. Kau boleh tinggal bersama susiokmu Beng Kong, Peng Houw. Atau pergi dari sini kalau kau tak suka!"

"Apa? Beng Kong-susiok? Ah, tidak susiok-kong. Jangan dengan Beng Kong lo-suhu. Aku tak mau!"

"Kalau begitu terserah, kau boleh pergi kalau tak mau!" dan mengibaskan ujung bajunya menghadapi Giok Kee hwesio ini berkata, "Cinjin, agaknya tak perlu lagi pinceng menemanimu. Urusan sudah selesai. Pinceng masih ada keperluan dan boleh kau pergi. Maaf!”

Giok Kee Cinjin terkejut. Tuan rumah tíba-tiba benar-benar tak bersahabat dan kata-kata atau ucapan Ji Beng Hwesio tak enak didengar telinga. Dan ketika hwesio itu berkelebat dan meninggalkannya sendiri, Peng Houw tertegun di sana maka tosu ini tertawa melepaskan mendongkolnya. "Peng Houw, kau anak yang luar biasa. Hebat benar kau menghapal kitab suci. Nah, Ji Beng sudah memberi tahu dan terserah kau mau yang mana. Ikut Beng Kong atau pinto!"

Sang tosu membalikkan tubuh. Dia melenggang dan keluar dari tempat itu, sikapnya sudah acuh dan semua murid-murid Go-bi minggir. Tak ada satupun yang sekarang berani menghalangi setelah Ji Beng Hwesio tadi muncul. Dan ketika tosu itu melenggang sementara Peng Houw tertegun, pucat, tiba-tiba anak ini menjerit dan menghambur mengejar si tosu.

“Totiang, aku ikut dirimu!"

"Ha-ha!" Giok Kee tertawa dan membalik. "Kalau begitu bagus, Peng Houw. Kau pandai memilih dan menyelamatkan dirimu sendiri. Mari, pinto juga sudah tak ada urusan dan kita pergi!” dan ketika Peng Houw disambar dan diangkat naik, Giok Kee berkelebat dan lenyap dari ruangan itu maka tosu inipun terbang meninggalkan Go-bi.

Peng Houw menangis dan bercucuran air mata karena tiba-tiba saja ia harus meninggalkan "almamaternya" itu, tempat di mana ia ditempa ilmu, meskipun hanya ilmu agama! Dan ketika Peng Houw bercucuran air mata sementara Giok Kee Cinjin terbahak dan tertawa-tawa gembira, rasa kagum dan suka mulai bangkit melihat keberanian dan kegagahan Peng Houw maka tosu itu membawa si anak keluar dari gurun. Peng Houw tak mau diajak bercakap-cakap karena anak itu benar-benar sedang berduka.

Wakil Go-bi telah menyudutkannya kepada pilihan yang sama-sama sulit, ikut Beng Kong atau tidak. Dan karena Beng Kong Hwesio jelas bukan hwesio baik-baik dan semasa gurunya masih hidup saja dia sering ditegur dan diperlakukan tak enak maka begitu gurunya tiada tentu hwesio itu akan semakin kejam dan bengis saja kepadanya.

Peng Houw memutuskan bahwa biarlah sementara ini dia meninggalkan Go-bi. Biarlah sementara ini dia pergi dari tempat itu meskipun kelak dia harus kembali. Bukan apa-apa melainkan semata dia merasa hidup matinya di situ, kampung halamannya di situ. Dan karena Go-bi melalui mendiang gurunya telah melepas budi kepadanya, budi yang tak akan dilupakan maka Peng Houw bertekad akan membalas budi itu!

* * * * * * * * * *

“Turun, kita berhenti di sini," Giok Kee Cinjin menghentikan larinya dan berhenti menurunkan Peng Houw. Dua hari dua malam tosu ini terus berlari cepat dan kini dia melepaskan lelahnya. Dua kali pula Peng Houw tertidur di pundaknya namun dua kali itu pula si tosu terus menjaga. Peng Houw tak banyak rewel dan tosu ini semakin suka saja.

Dan ketika Peng Houw terjaga dan pagi itu tiba di sebuah gua kecil, tangannya yang sakit tiba-tiba sudah sembuh kembali, begitu cepatnya maka anak ini tertegun dan membelalakkan mata mengamati sekeliling.

“Ini satu di antara tempat tinggalku. Kita sudah jauh dari keramaian manusia. Kerasankah kau tinggal bersama pinto di sini? Kau ingin minum atau makan?"

Peng Houw tertegun. “Aku tak ingin minum atau makan, totiang. Aku ingin melepaskan dukaku!"

“Hm,” sang tosu melihat Peng Houw tiba-tiba menangis, teringat Go-bi. "Melepaskan duka perlu, Peng Houw. Tapi berduka dan terus berduka hanyalah akan membawa manusia kepada kelemahan dan kepicikan diri sendiri. Yang lewat sudahlah lewat, tak mungkin ditarik lagi. Kita tak perlu berduka dan harus memandang masa depan dengan pikiran baru!"

"Tapi aku teringat mendiang guruku. Aku juga teringat kebengisan Ji Beng susiok-kong!"

"ltu sudah terjadi, Peng Houw. Tak perlu lagi memikirkan itu. Ji Beng Hwesio penguasa di sana, dan kau sendiri sudah diberinya pilihan. Tak perlu menyalahkan hwesio ítu!"

“Benar, tapi... tapi dua pilihannya itu menyakitkan hatiku, totiang. Susiok-kong terasa kejam dan tidak berperasaan!”

“Hm, justeru semuanya ini menjadikanmu lebih dewasa. Hidup memang harus ada perobahan, Peng Houw. Orang hidup tanpa perobahan adalah mati. Kau tak perlu menyalahkan hwesio itu melainkan wajib mensyukurinya. Kau sedang memasuki masa-masa baru dalam hidupmu. Dan orang yang selalu baru adalah orang yang segar!”

Peng Houw tertegun. "Totiang seperti sedang berfilsafat!”

"Ha-ha, hidup ini sesungguhnya filsafat, Peng Houw. Hidup ini penuh pelajaran yang harus dipikir. Hidup tanpa berfilsafat adalah hidup yang bodoh. Manusia dapat menarík banyak keuntungan dari setiap filsafat yang ditemui. Dan satu di antaranya adalah pertemuan kita sekarang ini!”

"Pertemuan kita juga membawa keuntungan?”

"Bagaimana tidak? Kau dan aku menjadi dekat satu sama lain, Peng Houw. Dan sadar atau tidak sekarang kita bersahabat. Nah, ini adalah satu keuntungan karena dari bersahabat kita akan menjadi tahu satu sama lain, watak atau persoalan-persoalan kita!”

“Hm, totiang benar. Dan apa sekarang yang totiang kehendaki.”

“Terbalik! Bukan aku yang menghendaki, Peng Houw, melainkan kau. Coba ingat siapa yang mau ikut pinto dan meninggalkan Go-bi, ha-ha!”

Peng Houw semburat. Tiba-tiba dia sadar bahwa pertanyaannya terbalik, bukan si tosu yang menghendaki melainkan dia. Dan karena dia sudah memutuskan ikut tosu ini maka justeru dialah yang seharusnya ditanya apa yang akan dia kehendaki. Dan Peng Houw tiba-tiba tersenyum!

"Totiang benar,” katanya sambil tertawa. "Pertanyaanku terbalik, totiang. Seharusnya akulah yang ditanya apa yang sekarang kukehendaki. Tapi terus terang aku bingung. Aku tak tahu apa yang akan kukehendaki!"

"Ha-ha, sekarang kau dapat tertawa, Peng Houw. Dan itu cukup. Pinto menghendaki kau tertawa!”

Peng Houw tertawa. Tiba-tiba dia menjadi geli dan benar-benar tertawa ketika tosu itu menyuruhnya ketawa. Duka yang tadi dibawa mendadak lenyap seolah awan disapu angin. Tapi ketika Peng Houw teringat kematian gurunya lagi dan betapa kematian gurunya amatlah mengenaskan, atas kecurangan Coa-ong maka anak itu tiba-tiba menghentikan ketawanya dan menarik dahi, muka tiba-tiba murung.

"Aku tak dapat tertawa lagi. Aku teringat kematian guruku.”

"Hm," Giok Kee Cinjin sadar, anak ini perasa sekali. "Kau bocah yang baik, Peng Houw. Selalu ingat orang terdekat dan tak pernah lupa. Pinto turut berduka!”

“Terima kasih. Tapi apa sekarang yang harus kulakukan, totiang? Apa yang harus kuperbuat? Aku ingin melakukan sesuatu untuk mendiang guruku itu. Aku ingin melakukan sesuatu untuk Go-bi!”

"Hm, kau telah disakiti oleh Go-bi..."

“Tidak, yang menyakiti aku bukan Go-bi, totiang, melainkan orang-orang tertentu yang ada di Go-bi. Go-bi tak pernah menyakiti aku. Aku justeru berhutang banyak kepada Go-bi!"

“Siancai, kau pandai bicara. Apa bedanya Go-bi dengan orang-orang yang kau sebutkan itu, Peng Houw? Bukankah sama saja?"

"Tidak, tidak sama!" anak ini tangkas menyergah. “Go-bi dan orang-orang yang di Go-bi tidaklah sama, totiang. Go-bi ibarat ibunya sedang orang-orang Go-bi ibarat anaknya. Ibu tak akan menyakiti anaknya sementara anak dapat menyakiti ibu atau saudara-saudaranya. Nah, itulah bedanya!"

“Hm, kau banyak mendapat pelajaran agama,” tosu itu tersenyum, mengangguk-angguk, tadi sengaja mencoba. “Kau benar, Peng Houw. Dan pinto semakin kagum saja. Baik, bagaimana kalau pinto sekarang memberi jalan kepadamu.”

"Totiang mau memberi jalan apa?”

“Apa saja yang kau suka. Tapi katakan dulu kepada pinto pelajaran apa yang sudah kau terima dari mendiang gurumu Lu Kong Hwesio itu.”

"Aku menerima pelajaran-pelajaran agama....”

"Ya-ya, pinto tahu. Tapi bukan itu yang pinto maksud. Pínto bertanya tentang pelajaran silat, sampai di mana dan apa saja yang kau terima!"

Peng Houw tiba-tiba semburat. "Aku belum menerima pelajaran itu, aku hanya menerima pelajaran agama....”

“Hah?"

"Benar, suhuku mendiang Lu Kong Hwesio belum memberikan pelajaran silat, totiang. Aku baru diajar pelajaran agama.”

"Astaga, pantas kalau begitu!"

"Pantas apanya?"

"Kau mudah dipermainkan lawan!"

“Tapi Coa-ong memang bukan tandinganku!"

"Ya-ya, pinto tahu. Tapi betapapun kau tak bisa apa-apa, Peng Houw. Menghadapi orang biasa saja barangkali kau tak sanggup!”

"Benar, dan aku telah dikalahkan Chi Koan...”

"Chi Koan? Siapa ini?"

"Dia murid susiok Beng Kong Hwesio, murid pengkhianat!"

"Ah, bagaimana itu?"

"Dia inilah yang menjadi gara-gara, totiang. Dan justeru dari anak ini timbul semuanya itu!”

"Hm, pinto ingat. Sekarang pinto ingat bahwa kau tadi juga menyebut-nyebut nama ini. Chi Koan!"

"Benar, tadi di depan susiok-kong aku menyebut nama ini. Tapi susiok-kong lebih memberatkan aku. Kurang ajar anak itu!"

“Ceritakan kepada pinto bagaimana asal mula gejadian ini....”

“Gara-gara ang-sio-bak, totiang....”

“Hah, ang-sio-bak? Barang haram bagi orang-orang Go-bi?”

“Benar, anak itulah yang membawa tapi aku yang menyimpan."

“Aneh benar ini. Coba ceritakan secara urut bagaimana dengan semuanya itu!” Giok Kee Cinjin tertarik, membelalakkan mata dan tiba-tiba ingin mendengar bagaimana selengkapnya cerita itu. Dia memang belum mendengar jelas, kecuali bahwa Go-bi diluruk orang-orang seperti Coa-ong dan Kwi-bo. Dan ketika Peng Houw tampak merah dan agak malu, bocah itu tak segera bercerita maka tosu ini menepuk pundaknya. "Peng Houw, tak usah malu kepada pinto. Pinto dapat maklum kalau kau tiba-tiba jadi ingin menikmati makanan berjiwa karena hwesio-hwesio Go-bi itu tentu memberimu makanan sayuran melulu.”

“Benar, tapi semua ini bukan semata keinginanku kepada barang laknat itu, totiang, melainkan semata jebakan dan akal licik si Chi Koan itu. Dia sengaja menjebakku agar celaka dan menerima hukuman Go-bi!”

"Hm, ceritakan kepadaku bagaimana mula-mula itu. Pinto ingin mendengar dari awal.”

"Aku bertemu Chi Koan ketika baru saja keluar dapur...”

"Lalu?"

"Lalu dia memanggilku, berbisik. Dan ketika aku berhenti dan dia menghampiriku maka dengan muka kebingungan dan gelisah dia minta tolong kepadaku untuk menyimpan ang-sio-bak itu.”

"Kau tidak menegur temanmu itu membawa makanan haram?”

"Mula-mula begitu, totiang. Tapi dia mengelak. Dia berkata bahwa ang-sio-bak itu pemberian orang, bukan mencarinya. Dan karena diam-diam aku juga ingin menikmati makanan berjiwa, maaf, maka setelah dibujuk dua tiga kali aku maju juga menerima barang itu..."

“Lalu kau makan bersama!"

"Tidak, nanti dulu, totiang. Saat itu aku dipanggil guruku dan tak sempat menikmati ang-sio-bak!"

“Hm,” tosu ini geli, Peng Houw dilihatnya jujur. "Kau anak yang suka berterus terang, Peng Houw. Teruskan bagaimana setelah itu. Kau tak malu-malu mengakui bahwa kau diam-diam mengilar kepada makanan berjiwa!”

“Aku memang tak perlu bohong," Peng Houw tak tedeng aling-aling. "Aku harus jujur, totiang. Orang yang tidak jujur sudah melanggar peraturan agama!”

"Wah-wah, jangan mulai membuka-buka kitab suci!" sang tosu tertawa bergelak. "Pinto tahu kau jujur, Peng Houw. Segala isi kitab rupanya hendak kau laksanakan dengan lurus. Eh, teruskan itu!"

"Aku dipanggil guruku. Dan karena suhu memanggil berulang-ulang maka ang-sio-bak terpaksa kuterima dan kusimpan."

“Di mana kau taruh itu? Di kamarmu?”

“Tidak, totiang, terlalu berbahaya. Aku menyimpannya di dapur!”

"Hm, bagaimana dengan si Chi Koan itu. Kenapa dia tidak menyembunyikannya sendiri!"

“Dia tak mau karena aku telah mencicipi ang-sio-baknya.”

"Wah, kau kena bujuk?"

"Hm, masakan itu luar biasa sekali, totiang, Rasanya hebring!”

"Apa itu hebring? Pinto belum pernah dengar!”

"Ah, ini bahasa sehari-hari kami anak-anak Go-bi. Artinya untuk sesuatu yang hebat sekali. Amat hebat!”

"Ha-ha, kalian anak-anak sungguh punya bahasa yang aneh-aneh. Baik, bagaimana setelah itu. Pinto jadi kepingin ikut-ikutan merasakan ang-sio-bak yang hebring!”

Peng Houw tersenyum. Dia tertawa geli melihat tosu itu tertawa. Tapi berkerut kening teringat Chi Koan dia lalu mendesis, mengepal tinjunya. "Chi Koan ini anak yang licik, totiang. Dia rupanya sengaja mencari gara-gara agar aku kena marah!"

"Bagaimana itu. Lanjutkan setelah kau menceritakannya di dapur."

"Anak ini agaknya takut menyimpan sendiri. Dia datang dan menawarkan makanan itu kepadaku, padahal siapapun tahu bahwa masakan babi itu amat haram bagi hwesio-hwesio di kuil. Tapi karena rupanya dia juga terpikat dan ingin menikmatinya, takut ketahuan atau apa maka sengaja dia mencari aku dan menjebak aku dengan makanan itu."

“Hm, dan kau sudah menerimanya."

"Ya, aku dibujuk berulang-ulang untuk mencicipi. Kemudian setelah mencicipi maka dia menitipkan masakan itu kepadaku.”

“Tapi kenapa bisa ketahuan? Anak itu melapor kepada hwesio kepala?"

“Tidak, ini kealpaanku sendiri, totiang. Aku lupa bahwa di sana ada Siauw-cing!”

"Siapa itu Siauw-cing...?”

"Dia kucing betina yang biasa mangkal di dapur. Kucing ini mondar-mandir dan mengeong-ngeong di sekitar keranjang di mana ang-sio-bak itu kusembunyikan!"

"Hm, lalu?" sang tosu geli.

“Inilah pangkal celakanya, totiang. Kucing itu akhirnya menerjang keranjang dan terjadilah perang!”

"Perang?"

“Ya, perang mulut. Antara aku dengan Chi Koan. Perbuatanku akhirnya ketahuan dan Ji Beng susiok-kong marah besar. Tapi karena aku hanya merasa dititipi dan barang haram itu kepunyaan Chi Koan maka dialah yang kutuding tapi kami sama-sama menerima hukuman!”

“Hm-hm, menarik sekali. Kau dan Chi Koan rupanya sudah biasa cekcok!"

"Bukan hanya cekcok, melainkan juga berkelahi!"

"Hm, betul. Dan lalu bagaimana, Peng Houw. Kau dihukum kakek gurumu itu?”

"Betul, tapi Chi Koan juga mengikuti. Suhu dan susiok akhirnya bertanding!"

"Wah, kenapa begitu? Gara-gara sama-sama membela murid?”

"Benar, totiang. Susiok memang membenciku sejak dulu. Entah kenapa dia selalu tak suka kepadaku.”

“Aku tahu," sang tosu menarik napas dalam. "Tentu karena melihat perbedaan watak kalian, Peng Houw. Bahwa kau baik sementara muridnya tidak. Barangkali itu!”

"Ah, kami sama-sama murid Go-bi, totiang, mestinya kami sama-sama mendapat pelajaran agama. Baik atau tidak mestinya masing-masing tahu. Tapi yang jelas Chi Koan memang nakal dan kurang disuka para suheng di sana."

"Nah, ini kalau begitu!" sang tosu mengangguk-angguk. "Muridnya tak disuka sementara dirimu disuka, Peng Houw. Hal seperti ini memang dapat membangkitkan rasa benci di hati susiokmu itu karena kau rupanya disuka banyak orang!"

"Ah, aku tak merasa apa-apa. Aku hanya semata menjalankan perintah agama. Suhu mengajariku agar tidak sombong dan nakal!"

"Kau anak sederhana," Giok Kee Cinjin meraih dan mengelus kepala anak iní. “Watak baik yang tidak dibuat-buat beginilah yang selalu mengharukan orang, Peng Houw. Pinto sendiri terharu dan suka kepadamu!"

Peng Houw terharu. Dipeluk dan diusap seperti itu sungguh mengingatkan dia akan mendiang suhunya sendiri. Dalam saat-saat tertentu Lu Kong Hwesio juga mengelusnya seperti itu. Tapi ketika dia terisak dan berkaca-kaca, Giok Kee Cinjin sadar dan cepat melepaskannya maka tosu itu tertawa.

"Eh, ceritamu belum selesai, Peng Houw. Ceritakan bagaimana selanjutnya!"

"Selanjutnya Kwi-bo dan Coa-ong itu datang," Peng Houw juga sadar, menahan air matanya. "Dan di sinilah terjadi keributan itu, totiang. Coa-ong membunuh guruku!”

"Hm, bagaimana mereka datang. Kenapa suhu dan susiokmu tidak tahu!"

"Mereka datang seperti iblis, tahu-tahu sudah ada di ruang Api. Dan karena saat itu suhu maupun susiok bertanding sengit, mereka sudah bertempur tiga hari tiga malam maka di saat seperti itulah Coa-ong membunuh suhu!"

"Bagaimana kakek ular itu membunuh gurumu?”

"Dia melepas ularnya, totiang. Dan suhu menjerit!"

"Hm, Coa-ong memang kakek siluman yang selalu berbuat curang. Apakah kau tidak ingin membalasnya? Apakah kau tidak sakit melihat kematian gurumu?" tosu ini tiba-tiba mengangguk-angguk, bersinar memandang bocah itu. "Di dunia iní banyak orang jahat dan curang, Peng Houw. Dan kita memang harus berhati-hati!"

"Aku tahu, dan aku tentu saja sakit hati!”

"Kalau begitu bagaimana caramu membalas dendam, padahal selama ini kau tidak bisa silat!"

Peng Houw tertegun. Diajak masuk ke soal silat tiba-tiba dia menjadi merah. Giok Kee Cinjin memandangnya penuh arti dan senyum kakek itu memaksanya semburat. Tapi ketika Giok Kee Cinjin menepuk pundaknya dan bertanya apakah dia mau belajar silat, dari si tosu maka Peng Houw berseri namun tiba-tiba mengerutkan kening.

"Aku tentu saja ingin belajar silat. Tapi aku tak dapat menjadi muridmu, totiang. Aku telah menjadi murid Go-bi!”

Sang tosu tertegun. "Maksudmu? Kau tak suka ilmu silatku?"

“Tidak... tidak. Hanya aku tak dapat menyebutmu suhu. Guruku hanya Lu Kong Hwesio itu, atau tetua-tetua Go-bi!”

"Aneh,” sang tosu menjadi heran. "Pinto tak mengerti jalan pikiranmu ini, Peng Houw. Apa sebenarnya yang kau maksud!”

"Begini," Peng Houw tiba-tiba bersinar matanya. "Mati hidup aku telah dibesarkan di Go-bi, totiang. Dan untuk itu tentu saja aku telah berhutang budi kepada Go-bi. Kalau aku menjadi murid orang lain dan lalu meninggalkannya begitu saja bukankah aku seolah melupakan Go-bi? Aku tak dapat melakukan itu. Kalaupun aku menjadi muridmu maka kematian guruku tak dapat kubalas sebagai murid Go-bi, melainkan murid orang lain. Dan ini yang membuat aku keberatan!"

"Hm!" sang tosu berseri-seri, kembali bersinar wajahnya, cerah. "Kau kiranya anak yang amat berbakti, Peng Houw. Sungguh bahagia gurumu mendapat murid seperti kau ini. Kau bocah yang selalu mengingat kebaikan dan budi orang lain!”

"Tentu saja!" Peng Houw berseru lantang. "Budi dan kebaikan orang tua tak dapat dilupakan, totiang. Tanpa mereka tak mungkin aku hidup. Keberadaanku ini adalah atas jasa mereka!”

“Baik, baik..., kau benar. Kalau begitu bagaimana sekarang? Bukankah kau tak menolak pelajaran silat pinto?"

"Aku tak menolak, tapi lebih baik kuberitahukan di depan bahwa aku tak dapat menyebutmu suhu (guru)!"

"Ha-ha, sebutan itu hanyalah sebutan, Peng Houw. Lebih baik begini daripada diaku guru tapi sang murid tak berbakti. Ha-ha, pinto kagum. Kau boleh menganggapku begitu dan hubungan kita sebagai sahabat dengan teman karibnya. Pinto tak keberatan!”

Peng Houw girang. “Totiang benar-benar serius?"

"Wah, pinto lebih dari serius, Peng Houw. Pinto benar-benar rela menurunkan kepandaian kepadamu, tanpa pamrih!"

“Terima kasih, kalau begitu aku sudah tak ada ganjalan lagi," dan Peng Houw yang berlutut serta mengucap terima kasih lalu ditarik dan disuruh bangun berdiri.

"Cukup... cukup, tak perlu terima kasih. Pinto yang harus berterima kasih bahwa pinto dipertemukan dengan seorang anak sepertimu ini!" dan tertawa melempar anak itu ke atas sang tosu berjungkir balik dan sudah turun di mulut gua. "Peng Houw, sekarang juga pinto ingin memberimu pelajaran silat. Apakah kau suka?"

Peng Houw berseri-seri. “Tentu saja suka, totiang. Tapi apakah aku mampu?”

“Kau pasti mampu!"

"Tapi aku belum memiliki dasar-dasar ilmu silat...”

“Ha-ha, kauw-koat (dasar-dasar ilmu silat) dapat sekarang juga kau pelajari Peng Houw. Lihat ini dan mari mulai!" dan ketika Peng Houw tertegun dan membelalakkan mata, sang tosu menggeser dan menutup kakinya dengan cepat tosu itu berkata, nyaring, "Ini adalah pembukaan pertama dari ilmu silatku Soan-hoan-ciang (Kibasan Angin Taufan). Sekali kau mahir dan dapat memilikinya maka apa pun dapat kau terbangkan dari sini. Lihat....wherr!"

q Sang tosu mengibas dan menggerakkan ujung bajunya ke kiri. Peng Houw yang ada di sebelah kiri tiba-tiba terangkat naik dan berteriak kaget. Dan ketika anak itu terlempar dan terpental tinggi, sang tosu tertawa bergelak dan menggerakkan tangannya yang lain maka Peng Houw sudah naik turun diayun gelombang pukulan yang dahsyat, tak pernah jatuh kembali ke bumi.

"Ha-ha, lihat. Ini Soan-hoan-ciang yang kumiliki, Peng Houw. Gunungpun dapat kuterbangkan dari sini... blarr!" dan sang tosu yang bergerak dan mengibas sebuah batu, yang meledak dan mencelat ke atas tiba-tiba sudah dipermainkan dan naik turun bersama Peng Houw.

Anak itu sendiri masih dikendalikan pukulan tangan kanan sang tosu, sementara tangan kiri terus bergerak-gerak mempermainkan batu besar itu. Peng Houw sering terpekik karena batu itu acap kali naik turun di atas kepalanya, menimpa. Tapi ketika batu tertahan dan mumbul lagi tak jadi menimpa, Peng Houw sendiri naik turun dan akhirnya beterbangan mengelilingi batu ini maka anak itu bersorak, lupa kepada rasa takutnya.

"Ha-ha, nikmat, totiang. Aku seperti Superman. Ah, biar kutangkap batu itu dan kupeluk!" namun ketika Peng Houw menyambar dan hendak memeluk batu ini, yang berputaran dan mengelilingi tubuhnya pula tiba-tiba dia berseru kecewa karena batu itu bergerak dan melejit ke arah lain.

Giok Kee Cinjin tertawa-tawa mempermainkan tenaga saktinya. Peng Houw dan batu itu seolah dua sekawan yang saling berkejaran, masing-masing mau ditangkap namun yang lain selalu melejit mendahului. Dan ketika dua menit Peng Houw beterbangan dan meluncur seperti burung, naik turun dan melayang-layang tak menyentuh bumi maka Giok Kee Cinjin berseru keras. "Cukup, turunlah, Peng Houw. Awas batu itu... bumm!"

Peng Houw terkejut berseru tertahan, jatuh dan terbanting lembut sementara batu besar yang tak ditahan lagi itu berdebuk dan menggetarkan tanah. Suaranya persis gajah bengkak yang jatuh dari langit, Peng Houw sampai terpental dan jatuh meringis. Namun ketika Giok Kee Cinjin berkelebat dan mengusap pantatnya, anak itu tertawa maka Giok Kee juga tertawa.

"Ha-ha, menyenangkan sekali. Aku belum pernah melihat ilmu seperti ini. Agaknya totiang benar-benar lihai!"

"Hm, memiliki Soan-hoan-ciang tak cukup setahun dua tahun, Peng Houw. Pinto sendiri mewarisinya belasan tahun!"

"Wah, tak apa. Menuntut ilmu membutuhkan pengorbanan, totiang. Dan akupun siap berkorban. Tapi aku ingin melihat ilmumu menghilang!"

"Menghilang? Maksudmu ginkang? Ha-ha, inipun akan kuberikan kepadamu, Peng Houw. Dan lihat ini.... wut!" dan sang tosu yang berkelebat dan tahu-tahu lenyap di depan si anak tiba-tiba berseru agar Peng Houw mencari. “Temukan pinto, ayo kejar!”

Peng Houw mencari. la melihat si tosu berkelebat ke belakang tapi ketika menoleh ke belakang si tosu tak ada, berputar tapi si tosu berkelebat lagi di sebelahnya, begitu cepat. Dan ketika empat lima kali Peng Houw tak mampu menangkap karena bayangan Giok Kee Cinjin demikian cepat dan luar biasa maka Peng Houw pening dan belum apa-apa sudah merasa terputar tak mampu mengikuti.

"Aku tak sanggup, tak mampu mencari...”

"Bodoh, lihat ke kiri dan ke kanan, Peng Houw. Kejar dan tangkap pinto. Ayo, pinto hendak memberimu pelajaran ginkang (ilmu meringankan tubuh)!"

Peng Houw terbelalak. Tiba-tiba dia bangkit semangatnya mendengar bahwa si tosu hendak memberi pelajaran ilmu meringankan tubuh. Dan karena si tosu akhirnya bergerak tak begitu cepat dan mampu dikuti matanya, Peng Houw tertawa dan bergerak mengejar maka Peng Houw berseru meloncat tinggi. "Baik, kau di sini, totiang. Awas, aku menangkapmu!"

Namun Giok Kee Cinjin terkekeh. Cepat seperti siluman ia lenyap lagi, Peng Houw terkejut. Namun ketika ia berseru memberi tahu dan anak itu melihatnya, Peng Houw bergerak dan mengejar lagi maka mulailah dua orang itu bermain kejar-kejaran dengan pihak si tosu yang berusaha hendak ditangkap. Peng Houw berkali-kali gagal namun anak itu tak putus asa. Giok Kee Cinjin berseru agar Peng Houw bergerak lebih cepat lagi, anak itu disuruh mempergunakan ujung kakinya.

Dan ketika Peng Houw bergerak dan terus bergerak, si tosu tertawa-tawa maka hari itu Peng Houw dilatih ginkang dengan jalan melemaskan jari-jari kakinya. Peng Houw mandi keringat dan sehari itu tak mampu ia menangkap lawan. Tapi ketika hari demi hari dilalui lagi dan Peng Houw merasa gembira, latihan ini seperti mainan anak-anak yang main tangkap maka sebulan kemudian Peng Houw sudah memiliki jari-jari yang ringan di mana ujung kakinya melekat seperti jari atau kaki seekor kucing.

Setahun kemudian mampu berkelebatan cepat seperti gurunya namun masih belum mampu menangkap ujung bajunya. Peng Houw berusaha keras dan baru setelah dia dilatih di atas batu-batu licin, di sebuah sungai yang deras serta diberi alat pemberat di bawah kakinya maka pada tahun kedua anak ini berhasil menangkap ujung baju gurunya. Tapi itu baru ujung baju!

Peng Houw penasaran dan baru pada tahun kelima ia mampu menangkap gurunya itu. Dan ketika Peng Houw sudah berusia empat belas tahun dan Giok Kee Cinjin juga memberinya ilmu pukulan Soan-hoan-ciiang, Peng Houw dilatih menggeser dan merapatkan kakinya dengan cepat maka pagi itu anak ini berlatih di muka gua.

“Satu... dua... kiri... kanan.... haiittt!” Peng Houw melakukan pukulan-pukulan miring. Sang tosu berdiri di luar gua dan Giok Kee. “Satu... dua... kiri... kanan.... haiittt!” Peng Houw melakukan pukulan-pukulan miring.

Sang tosu berdiri di luar gua dan Giok Kee Cinjin tersenyum-senyum. Cinjin tersenyum-senyum. Tosu ini tampak puas dan berseri, jenggot panjangnya lupa dicukur dan berdirilah tosu itu menonton. Peng Houw melakukan gerakan mengulang-ulang. Dan ketika pagi itu guru dan murid berlatih bersama, Peng Houw tekun mengulang-ulang pukulannya maka Giok Kee ingin menguji dengan menuding sebuah batu sebesar anak itu.

"Coba lakukan pukulan ke batu itu. Kibas dan angkat dengan Soan-hoan-ciang Peng Houw. Sanggup atau tidak!”

Peng Houw mengangguk. Tanpa banyak cakap ia membalik dan membentak melepas pukulannya. Dan ketika batu itu terangkat dan naik ke atas maka Peng Houw bersorak. "Dapat! Lihat, totiang. Aku mampu mengangkat batu ini!" namun ketika batu berdebum dan pecah di tanah, Peng Houw berseri namun sang tosu menggeleng maka Giok Kee Cinjin berseru.

“Tidak benar. Batu tak boleh jatuh begitu saja, Peng Houw. Kau harus mengendalikannya dan memutarnya dulu seperti pinto. Lihat, kau terlampau membuang tenaga tak menyisakannya untuk mengendalikan batu itu... wut!" dan batu lain yang diangkat dan diputar tosu ini akhirnya melayang dan beterbangan seperti dulu, mengaung dan menderu-deru.

Peng Houw tertegun. Dia teringat bahwa dalam membuktikan Soan-hoan-ciangnya tadi ia terlampau bernafsu. Soan-hoan-ciang tak boleh dikeluarkan semua karena harus ada sebagian yang disisakan, yakni untuk mengendalikan atau menguasai lawan di udara. Dan ketika Peng Houw sadar dan gurunya tertawa, Giok Kee berhenti dan membiarkan batu turun perlahan-lahan maka tosu itu berseru,

“Lihat, dengan mampu mengendalikan tenaga maka batu juga dapat kita atur turunnya, Peng Houw. Tak usah keras-keras dan cukup seperti ini... bluk!" dan batu yang jatuh seperti semangka lepas, halus dan tak pecah membuat Peng Houw kagum dan berserl-seri.

"Hebat, yang begitu belum mampu kulakukan, totiang. Tapi kalau memutar dan menahannya di udara barangkali aku sanggup!"

"Cobalah, ulang sekali lagi!" dan Peng Houw yang bergerak dan mengangkat batu itu, batu yang baru dipakai gurunya tiba-tiba berseru keras dan mengulang pengendalian Soan-hoan-ciangnya. Dengan petunjuk dan seruan gurunya akhirnya anak ini berhasil. Namun ketika ia mencoba meletakkan atau menurunkan batu secara perlahan-lahan ternyata batu itu tak mau dan hancur berkeping-keping.

"Bress!”

Peng Houw kecewa. la ditertawai gurunya namun Giok Kee Cinjin berseru kagum. Tosu itu berkata bahwa kemajuan Peng Houw sudah hebat, umur empat belas tahun saja sudah mampu menguasai setengah dari seluruh Soan-hoan-ciang. Dan ketika Peng Houw tertegun namun tak puas, gurunya berkelebat dan tertawa di kejauhan sana maka gurunya itu berkata,

"Peng Houw, pinto sendiri melatih Soan-hoan-ciang hampir dua puluh tahun, mana bisa sama? Tapi kau yang baru lima tahun sudah mampu menguasainya separuh berarti sudah hebat, anak baik. Teruskan berlatih dan barangkali lima tahun lagi semua ilmu itu kau warisi!”

"Lima tahun? Begitu lama? Tidak, aku akan mempersingkatnya, totiang. Aku akan berusaha dua atau tiga tahun saja!"

“Ha-ha, terserah dirimu, Peng Houw. Hanya ketekunan dan kerajinanmu yang akan menentukan. Pinto sendiri tak terlalu bersemangat seperti kau!"

Peng Houw berkelebat. Akhirnya dia mengangkat dan mencoba lagi, batu yang lain diambil. Dan ketika Peng Houw berlatih dan terus berlatih, waktu demi waktu lewat dengan cepat maka Giok Kee Cinjin maupun anak ini sama-sama tak tahu adanya perobahan di luar. Bahwa selama lima tahun itu terjadi perobahan besar-besaran, terutama di Go-bi.

Dan ketika Peng Houw melatih Soan-hoan-ciangnya sementara Giok Kee Cinjin bersamadhi di dalam gua, tempat yang jauh dari keramaian dunia maka dunia kang-ouw diguncang oleh tewasnya Ji Beng Hwesio, wakil ketua Go-bi yang amat lihai!

* * * * * * * *

Mari kita kembali ke sini. Marilah kita tengok keadaan di Go-bi setelah larinya Coa-ong dan Kwi-bo. Sebab ketika dua tokoh sesat itu dikalahkan Ji Beng, wakil Go-bi yang lihai maka berturut-turut Go-bi didatangi atau disatroni tamu-tamu tak diundang masalah Bu-tek-cin-ong. Dan ini semua tentu saja gara-gara dua orang itu!

Bu-tek-cin-ong, kitab menggetarkan yang tiba-tiba mencuat ke permukaan dunia kang-ouw itu tiba-tiba menjadi bahan bembicaraan hampir semua orang. Tua muda meluruk ke Go-bi, hartawan atau jembel mendadak berdatangan seperti kumbang-kumbang yang mendengar lezatnya madu. Tapi karena Go-bi bukanlah partai sembarangan dan kewibawaan para hwesio di sini tetap terjaga baik, tak seorangpun begitu saja dapat masuk dengan mudah maka sebagian besar dari mereka diusir atau disuruh pergi baik-baik.

"Kami ingin menghadap ketua. Kami ingin bertemu yang terhormat Ji Leng Hwesio.”

"Maaf," serombongan orang itu ditampik belasan hwesio yang berjaga. "Kami semua tak dapat meluluskan permintaan kalian, cuwi- enghiong (tuan-tuan yang gagah). Ketua kami sedang mensucikan diri dan tak mau diganggu.”

"Kalau begitu kami bertemu saja dengan wakil ketua Go-bi!”

"Benar,” yang lain tiba-tiba berseru serempak. "Ketua Go-bi boleh juga menemui kami, siauw- suhu. Kami ada keperluan penting yang amat mendesak!”

Para hwesio tertegun. "Apa keperluan kalian,” yang memimpin bertanya, alisnya mulai berkerut. Nada orang-orang itu seakan memaksa. "Wakil ketua kami juga sedang sibuk, cuwi-enghiong. Kalau tidak untuk urusan yang betul-betul penting tentu tak berani kami menyampalkan."

"Katakan saja bahwa kami ingin melihat kitab maha-rahasia Bu-tek-cin-keng. Kami ingin tahu tentang kitab peninggalan Maharaja Cin itu!"

Para hweslo terkesiap. "Apa?"

"Benar, siauw-suhu, Beritahukan maksud kami dan kami tentu akan bersikap baik-baik kepada kalian!"

"Atau kami akan memaksa!" seseorang tiba- tiba mengancam, tak sabar. "Beritahukan Ji Beng Hwesio, keledai gundul. Atau kami menerjang masuk!"

Hwesio pemimpin tiba-tiba marah. Dia mendelik namun orang itu, pengemis bertongkat hitam tiba-tiba tertawa dan mengetrukkan tongkatnya. Batu yang diketruk tiba-tiba hancur dan dengan sombong pengemis ini tertawa pongah. Dan ketika yang lain juga mulai riuh dan gaduh, apa yang dilakukan pengemis itu membakar semangat maka hwesio pemimpin membentak sambil menggetarkan toya panjangnya.

“Siapa kau, kenapa berlagak sombong?”

“Ha-ha, aku Hek-tung Lo-kai. Datang secara baik-baik namun kalian keledai-keledai muda rupanya terlalu macam-macam hingga membuat aku tak sabar lagi. Lihat, dan tanyakan mereka, Teman-temanku juga tak sabar, hwesio tengik. Panggil Ji Beng Hwesio atau ketua kalian ke mari!”

“Wut!” hwesio pemimpin tiba-tiba bergerak dan mengayunkan toyanya. “Kau terlalu congkak dan memandang rendah aku, Hek-tung Lo-kai. Coba terima ini dan apakah mulutmu sebesar kepandaianmu.... trakk!" tongkat menangkis, si pengemis terhuyung tapi hwesio itu juga terdorong tiga tindak. Dan ketika teriakan-teriakan riuh semakin ramai karena orang-orang itu bersorak menyoraki si hwesio Go-bi, yang terlihat sedikit kalah tenaga maka hwesio itu gusar dan meloncat kembali memutar toyanya.

"Hek-tung Lo-kai, kau kiranya berkepandaian juga. Tapi sambut lagi toya ini dan mari bergebrak sejurus dua.... wut-wut!"

toya bergerak dan mengelilingi si Hek-tung Lo-kai, sebentar kemudian sudah menderu-deru dan otomatis yang lain-lain mundur. Hek-tung Lo- kai diserang tapi pengemis ini tenang saja mengelak ke sana ke mari, kepandaiannya ternyata cukup tinggi. Dan ketika dia tertawa dan si hwesio terus merangsek, pengemis itu mengejek maka satu sapuan toya dikemplang tongkat dari arah kanan.

"Trangg!”

Hwesio itu terpelanting. Ternyata Hek-tung Lo-kai menang tenaga dan mulailah pengemis itu membalas. Si hwesio bergulingan namun Hek-tung Lo-kai tak memberinya kesempatan bangun. Akibatnya diseranglah hwesio itu dengan gerakan tongkat yang menggebu-gebu, gencar. Dan ketika hwesio itu kewalahan dan Hek-tung Lo-kai ternyata setingkat lebih tinggi dibanding lawannya maka hwesio itu mulai menerima gebukan-gebukan.

"Ha-ha, kau lihat kepandaian tuan besarmu, keledai gundul. Lihat apakah mulutku sebesar kepandaianku.... buk-bukk!"

Si hwesio dihajar dan mengaduh bergulingan, toya menangkis namun tongkat menyelinap lebih cepat, empat kali memberi gebukan dan sekali malah menyodok mengenai dada, hampir saja ke ulu hati! Dan ketika hwesio yang lain terkejut dan marah, pemimpin mereka kalah tinggi maka dua di antaranya bergerak dan mengayunkan toya.

"Berhenti, jangan mencelakai suheng kami!”

"Ha-ha, mau mengeroyok? Bagus, boleh maju, keledai-keledai tolol. Hek-tung Lo-kai tak takut dan boleh kalian mengerubut tuan besarmu!"

Dua hwesio itu marah. Sebenarnya mereka hanya menghalangi si pengemis itu agar tak melakukan desakan lagi, suheng mereka tampak kewalahan. Tapi ketika tongkat menyambar dan justeru mengancam kepala mereka, dua hwesio ini membentak maka hampír berbareng mereka menangkis dan Hek-tung Lo-kai tergetar mundur.

"Tranggg...!”

Si pengemis kalah kuat. Berhadapan dengan dua murid Go-bi sekalgus tiba-tiba membuat kedudukannya lemah. Dua hwesio itu memang seusap saja di bawah pemimpinnya. Dan karena mereka sudah diserang dan hwesio- hwesio muda itu naik darah, mereka cepat marah maka begitu lawan terhuyung dan terkejut membetulkan letak kaki maka mereka bergerak dan maju membalas, suheng mereka sudah bangun di sana!

“Suheng, pengemis ini harus diberi pelajaran. Biar kami melayaninya!"

Hek-tung Lo-kai sibuk. Tiba-tiba dia terkejut bahwa dua hwesio ini mengurungnya dari segala penjuru. Main bersama ternyata membuat mereka lebih lihai, amat lihai! Dan karena Hek-tung Lo-kai memandang rendah dan terlanjur mengeluarkan kata-kata besar, menyuruh dua orang itu mengeroyok maka begitu dikeroyok dan diserang dari kiri dan kanan tiba-tiba pengemis ini kewalahan dan sebatang toya mengenai pundaknya.

“Bukk!" Hek-tung Lo-kai berteriak kesakitan. Dia terhuyung dan toya yang lain ganti menyambar, dielak tapi toya pertama itu mengejarnya dan menggebuk lagi. Dan ketika toya kedua ternyata memang bertugas sebagai pengganggu, toya pertama itulah yang bekerja dan naik turun menyambar-nyambar maka pengemis ini menerima hujan gebukan dan bersoraklah hwesio-hwesio yang lain yang melihat kemenangan saudaranya. Maklumlah, mereka juga hwesio-hwesio muda yang gampang terbakar dan terbawa nafsunya sendiri!

"Bagus, bagus... hajar dia, Chit-suheng. Gebuk pantatnya dan sodok lubang hidungnya itu, ha-ha!"

“Ya, dan puntir kumisnya yang pongah itu. Tarik telinganya dan suruh dia mencium bumi!"

Para hwesio bersorak dan riuh. Hwesio-hwesio muda itu tak melihat kilatan mengancam dari tiga orang di pihak lawan, kawan-kawan si Hek-tung Lo-kai itu. Dan ketika mereka berteriak dan riuh mentertawakan Hek-tung Lo-kai, yang jatuh bangun, maka tiga orang ini bergerak dan tiba-tiba membentak maju ke depan. Golok mendesing mencari darah....!

Prahara Di Gurun Gobi Jilid 04

Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara

"BENAR, kau bedebah jahanam, Coa-ong. Tak dapat menyimpan rahasía dan lebih baik kubunuh kau.... tar!" Coa-ong terpekik, rambut menyambar dan melecut bijl matanya dan tentu saja dia kaget dan gusar. Jin-mo telah merobah keadaan hingga si Ratu lblis yang semula membantu mendadak sekarang mengeroyoknya. Dan ketika ia mengelak namun rambut mengejar, apa boleh buat menangkis maka dua orang itu sama terpental dan kakek ini mengumpat kotor.

"Jahanam keparat. Kau dibohongi kakek ini, Kwi-bo. Jangan telan mentah-mentah atau kubunuh kau!"

“Ha-ha, lihat betapa kurang ajarnya. Kau diancam akan dibunuh, Kwi-bo, padahal jelas Coa-ong yang salah. Ah, Coa-ong sungguh kurang ajar dan tak tahu diri!" Jin-mo, yang terkekeh-kekeh dan geli merobah keadaan sudah dibentak dan dimaki Coa-ong pula. Kakek itu menangkis dan keduanya bertanding seru.

Tapi karena Kwi-bo mengeroyok dan Coa-ong berhadapan satu lawan dua, hal yang merepotkan juga maka kakek ular itu melepas ular-ularnya. "Baik, kalian curang dan pengecut. Tapi Kwi-bo juga tidak beres. Dia pernah memberi tahu kepadaku akan menyingkirkan dirimu secara diam-diam kalau Bu-tek-cin-ong berada di tangannya, Jin-mo. Dia akan mempergunakan kesempatan selagi kau dirayu dan diajaknya bercinta. Nah, hati-hati saja kau kalau suatu saat wanita iblis ini menyediakan tubuhnya!"

“Apa? Dia mau menyingkirkan aku?”

"Ya, setelah kau mabok dalam berahi. Lihat mayat hwesio muda itu, alat kejantananmupun akan ditarik dan dibetotnya putus!"

"Ah, kurang ajar. Kalau begitu dia harus kuhajar... wut!" dan Jin-mo yang membalik dan merobah gerakan mendadak marah kepada Kwi-bo dan menyerang wanita itu. Belasan sumpit bambunya menyambar dan bercuitan menyerang wanita ini, padahal jarak mereka dekat. Dan ketika Coa-ong terkekeh dan Kwi-bo mengibaskan rambutnya, menangkis, maka Jin-mo menyerangnya dan berkelebat dengan marah.

Selanjutnya kakek itu memaki-maki dan Kwi-bo naik pitam, Coa-ong kemudian menyerangnya pula dan jadilah dia dikeroyok dua. Keadaan berbalik! Dan karena hujan biji bambu dan ular tak henti-hentinya, wanita itu melengking dan marah bukan main maka dia melempar tubuh bergulingan untuk akhirnya terbang meninggalkan pertempuran menyambar Chi Koan dan memaki-maki si kakek ular.

"Keparat tak tahu malu. Kau jahat dan busuk mulutmu, Coa-ong. Kalian dua laki-laki tak malu mengeroyok seorang wanita. Cis, awas lain kali dan tunggu pembalasanku!"

"Heii...!" Jin-mo berteriak. "Kau mau ke mana, siluman cantik? Bayar dulu kekalahanmu. Hayo berhenti dan layani aku bertanding!"

"Bertanding hidungmu. Kau berkomplot dengan Coa-ong, Jin-mo. Kau tak tahu malu dan laki- laki curang!"

"Ha-ha, salah. Aku bersedia menghajar Coa-ong asal kita bertanding di ranjang. Hayo, berhenti, Kwi-bo. Lihat kakek ular ini pucat!"

Coa-ong memang pucat. Dia berobah mukanya mendengar kata-kata si Hantu Bambu itu. Jin-mo ternyata akan berbalik kembali dan mengeroyoknya, asal Kwi-bo memberinya imbalan bermain cinta. Dan ketika kakek itu mendengus dan menyambitkan seekor ularnya, ditangkis dan hancur maka Coa-ong berbalik dan lari ke lain arah. "Kurang ajar. Kau suka enaknya saja, Jin-mo. Terkutuk dan mampuslah kau. Baiklah, kita berpisah dan boleh kau bersenang-senang dengan sundal betina itu!"

Jin-mo terbahak dan terkekeh-kekeh. Dia jadi geli setelah melihat Coa-ong memutar tubuhnya, takut kepada ancamannya tadi. Tapi karena Kwi-bo lebih menarik dan si cantik itu pergi ke timur, kakek ini mengejar dan terus menggerakkan kakinya maka tiga orang itu melupakan Peng Houw yang pingsan di tanah.

Peng Houw sendiri tak tahu hiruk-pikuk orang-orang sesat ini. Tak tahu betapa mereka silih berganti menyerang yang lain sambil melepas fitnah-fitnah bohong. Itu memang sudah menjadi bagian watak mereka. Dan ketika anak itu ditinggalkan sendirian sementara tiga tokoh sesat itu lenyap di balik gurun maka Peng Houw terpanggang terik matahari sebelum akhirnya seorang tosu (pendeta To) datang dan menemuinya.

"Siancai, anak yang malang. Bocah siapakah gerangan anak ini? Kenapa sendirian dan pingsan di sini? Ah, tangannya patah. Anak ini terluka, Siancai...!” dan seorang tosu yang tertegun dan berhenti mengamati anak itu akhirnya berlutut dan memeriksa Peng Houw.

Sehari Peng Houw berada di situ dan sehari itu pula anak ini tak sadarkan diri. Namun begitu tosu ini menotok dan menyadarkannya, dengan hati-hati tangan Peng Houw yang patah dibebat dan dilumuri ramuan harum maka Peng Houw membuka mata dan mengeluh. "Aduh, keparat jahanam Coa-ong kakek busuk. Aduh, terkutuk kalian semua membunuh guruku. Ah, terbakar kalian di dasar neraka, Coa-ong. Dan mampus pula Chi Koan yang tak berotak itu!"

Peng Houw, yang baru membuka mata dan pening memperoleh kesadarannya yang pertama membentur langit yang merah kejingga-jinggaan. Hari memang senja dan anak itu masih teringat oleh kejadian yang dialaminya, mengeluh dan memaki-maki Coa-ong dan lain-lain, juga Chi Koan, anak yang memukulnya itu. 

Tapi ketika sepasang mata lembut memandangnya bercahaya dan sebuah kepala menggantikan langit jingga itu, Peng Houw terkejut diraih kepalanya maka anak ini menggeliat bangun dan menjerit karena tangannya yang patah tiba-tiba berobah letaknya dan menimbulkan rasa sakit yang hebat, terpuntir.

“Tenang, jangan gerakkan tanganmu sembarangan. Pinto di sini, anak baik. Siapa kau dan kenapa menderita di sini!"

"Ah..." Peng Houw tertegun, ganti memandang wajah itu. "Totiang... totiang siapa? Mana kakek iblis dan wanita siluman itu? Mana mereka?"

"Hm, pinto (aku) tak melihat siapa-siapa, anak baik. Siapa yang kau maksud dan kenapa sendirian di sini...”

"Aku disakiti Coa-ong, juga wanita iblis si Kwi-bo itu!”

"Coa-ong? Kwi-bo? Kau maksudkan orang-orang sesat dari Tujuh Siluman Langit? Kau bertemu mereka?" Si tosu tampak terkejut, alis berkerut dan wajah tosu ini berubah. Dia sudah berulang-ulang mendengar anak ini menyebut nama-nama itu tapi rasanya tak masuk akal kalau bocah sekecil Peng Houw mengenal tokoh-tokoh sesat itu. Kwi-bo dan Coa-ong adalah manusia-manusia iblis yang berkepandaian tinggi, heran kalau mengganggu anak kecil dan tak masuk akal kalau mereka menyakiti anak ini, apalagi sampai mematahkan tangannya, lalu dítinggal pergi.

Tapi ketika Peng Houw mengangguk dan berkata bahwa itu benar, anak ini menahan sakit dengan air mata yang hampir bercucuran maka tosu itu tertegun dan bertanya siapa Peng Houw. “Aku... aku Peng Houw, murid Lu Kong lo-suhu. Siapakah totiang dan apakah kenal dengan guruku!"

“Sian-cai, kau anak murid Go-bi?" tosu ini berseru tertahan, "Kau murid Lu Kong Hwesio?"

"Benar totiang, tapi guruku itu sudah dibunuh Coa-ong. Kakek keparat itu dan Kwi-bo mengacau di Go-bi!"

"Astaga, kalau begitu biar kubawa kau ke sana dan mari pinto gendong!" si tosu bergerak, mengejutkan Peng Houw karena tiba-tiba tosu ini terbang menuju gurun. Pohon-pohon atau apa saja di sekitar mereka bergerak cepat silih berganti.

Peng Houw kagum namun dia mendesis ketika tangannya yang patah kembali bergeser, menimbulkan rasa sakit. Dan ketika dia menggigit bibir dan bertanya siapakah tuan penolongnya itu, tosu ini tak menjawab dan terus berkelebat menuju Go-bi maka tampaklah tempat yang berantakan itu, mayat atau orang-orang luka yang masih merintih di sana-sini.

"Ah, Go-bi mendapat musibah. Siancai, sungguh terlalu orang-orang macam Coa-ong dan Kwi-bo itu!"

Peng Houw juga terbelalak. Dia melihat mayat-mayat hwesio muda yang diselubungi kain panjang, juga mereka yang merintih dan mendapat pertolongan di sana. Tapi begitu anak-anak murid melihat Peng Houw dan tosu ini, yang berkelebat dan memasuki pintu gerbang maka semua tertegun dan berdiri menghadang.

"Maaf, aku ingin bertemu Ji Leng Hwesio. Katakan bahwa Giok Kee Cinjin ingin bertemu!"

Semua murid saling pandang. Tiba-tiba mereka curiga karena tak ada yang mengenal nama ini. Giok Kee Cinjin, sang tosu yang sabar dan ramah tiba-menjadi tak sabar. Dan ketika seorang murid maju memalangkan toya dan justeru berkata agar dia keluar, Ji Leng Hwesio ketua Go-bi tak ada di situ maka tosu ini mendesis dan berkelebat melewati murid yang memegang toya itu.

"Ah, kalian tak perlu curiga. Aku sahabat ketua kalian, maaf, biar kucari sendiri!" dan ketika tosu itu lenyap dan sudah jauh di dalam, berkelebat dan memasuki ruangan besar maka anak-anak murid menjadi ribut dan membentak.

"Heii... kami tak mengenal dirimu. Jangan membuat onar atau kami menangkapmu!”

Si tosu tak menghiraukan. Dia telah berkelebat dan anak-anak murid yang mengejar tíba-tiba terkejut karena begitu cepatnya tosu ini bergerak. Dari ruang satu dia sudah lenyap ke ruang lain, sebentar muncul di sini dan sebentar kemudian muncul di sana. Tosu itu berseru berulang-ulang agar murid-murid Go-bi tidak menyerangnya. Dan ketika dia masuk semakin dalam sementara Peng Houw masih di atas pundaknya, digendong, maka sebuah bayangan berkelebat dan tiba-tiba menghadang.

"Berhenti! Siapa ini dan ada maksud apa memasuki Go-bi!"

Sang tosu terkejut. Yang menghadang bukanlah murid biasa melainkan seorang hwesio tinggi besar yang gagah dan berjari-jari buntung. Wajahnya menunjukkan kemarahan tapi dua ibu jarinya mampu menjepit sebatang toya kuning. Inilah Beng Kong Hwesio yang baru saja disembuhkan susioknya, sadar dan menerima pertolongan setelah tadi dihajar Kwi-bo. Dan karena hwesio ini masih kelihatan garang meskipun telah bertempur mati-matian dengan bekas suhengnya, berdiri dan kini menghadang di pintu masuk setelah tadi berjungkir balik dan melewati atas kepala si tosu maka dua-duanya tertegun karena tosu itu maupun Beng Kong Hwesio ternyata saling mengenal.

"Ah, Giok Kee Cinjin kiranya. Maaf, ada perlu apa, totiang? Dan tahukah kau siapa anak yang kau bawa itu?"

"Siancai, kiranya Beng Kong loheng. Bagus, aku dikejar-kejar anak buahmu, loheng. Suruh mereka mundur dan jelaskan siapa pinto. Pinto tidak berniat mengganggu ataupun membuat onar melainkan justeru telah mendengar dan prihatin atas kejadian ini. Mohon menghadap gurumu Ji Leng Hwesio yang terhormat!"

“Hm, totiang datang tidak pada saat yang tepat. Suhu sedang bersamadhi dan tak mau diganggu. Dan karena totiang membawa-bawa seorang anak murid Go-bi tolong totiang berikan anak itu kepada pinceng!”

“Tidak...!" Peng Houw tiba-tiba berseru, pucat, melihat sinar mata Beng Kong Hwesio yang penuh kebencian. "Aku tak mau diserahkan kepada susiokku ini, totiang. Dia yang menjadi gara-gara hingga guruku terbunuh!"

“Hm, apa yang terjadi? Bagaimana suhu dan susiokmu bertanding sendiri?”

"Beng Kong susiok tak suka kepadaku, totiang. Dia selalu melindungi muridnya yang bernama Chi Koan. Tapi karena suhuku selalu melindungi dan membela aku maka susiok dan suhu akhirnya bertanding membela murid. Aku tak mau diserahkan susiokku ini kecuali kepada susiok-kong (paman kakek guru) atau ketua Go-bi sendiri!”

"Anak kurang ajar!" Beng Kong Hwesio tiba-tiba membentak dan menyambar. “Kau tak tahu diri dan biang penyakit, Peng Houw. Hayo bersama pinceng dan jangan ganggu Giok Kee totiang!"

“Aduh...!” Peng Houw menjerit dan sang tosu mengelak, Giok Kee Cinjin terkejut karena hwesio itu mencengkeram tangan Peng Houw yang patah, tentu saja Peng Houw berteriak. Dan ketika Giok Kee Cinjin berseru agar Beng Kong Hwesio sabar, anak itu tak mau diserahkan kecuali kepada Ji Beng Hwesio atau ketua Go-bi mendadak Beng Kong naik pitam dan menyerang tosu ini.

“Tamu tak tahu adat!" hwesio itu membentak dan memaki. "Kau tak layak memenuhi permintaan anak itu, Giok Kee. Serahkan dia atau pinceng merobohkanmu!”

“Hm!" dan sang tosu yang berkilat dan merah mukanya tiba-tiba berkelebat dan mengelak serangan toya yang menderu bagai angin topan, melihat Beng Kong selalu menyambar Peng Houw dan yang diincar selalu tangan yang patah itu. Sang tosu menjadi marah karena hwesio ini dinilai keji, tak berperasaan. Dan karena dia mulai tak senang karena lawan lalu menyerangnya bertubi-tubi, toya menyambar atau menderu mengurung dirinya maka apa boleh buat tosu ini bergerak dan membentak Beng Kong Hwesio itu.

"Beng Kong, kau sekarang tak tahu aturan. Kalau kau baik-baik menginginkan anak ini tentu pinto serahkan. Tapí kalau sikapmu seperti harimau haus darah maaf pinto tak akan meladeni. Panggil susiokmu atau yang terhormat ketua Go-bi sendiri.... plak-plak!" tosu ini menangkis dan menggerakkan ujung jubahnya. Lengan bajunya yang lebar itu dipakai menghalau toya.

Beng Kong Hwesio tergetar mundur berteriak keras. Dia terhuyung tiga tindak! Namun ketika hwesio itu maju lagi dan anak-anak murid bergerak mengurung, Beng Kong Hwesio tak mengusir anak-anak murid seperti yang diminta tosu ini tadi maka mereka berdua sudah bertanding hebat namun nampak bahwa Giok Kee Cinjin berada di pihak yang unggul.

Tosu ini berkelebatan ke sana ke mari dan sapuan atau sambaran tongkat tak ada satu pun yang berhasil menyentuh tubuhnya, padahal dia masih menggendong Peng Houw. Dan ketika lengan atau jari-jari tosu itu mulai mengibas atau membalas maka Beng Kong Hwesio terhuyung-huyung dan dua kali terpelanting roboh!

"Beng Kong, panggil susiokmu atau yang terhormat ketua Go-bi-pai. Pinto tak mau membuat ribut di sini!”

"Keparat!" hwesio itu memekik. "Kau bicara tak sama buktinya, Giok Kee. Lain di mulut lain di perbuatan. Pinceng tak akan memanggil suhu atau susiok sampai kau atau aku roboh!”

"Hm, kau nekat, tak tahu diri. Kalau tidak melihat bahwa kau rupanya sudah terluka tentu pinto akan menghajarmu lebih keras. Baik, sekarang pinto terpaksa, Beng Kong. Jangan salahkan pinto kalau pinto bersikap keras.... plak!" dan ujung lengan baju yang tiba-tiba menyambar dan menahan toya mendadak menggubat dan menarik.

Beng Kong Hwesio berteriak dan tangan kirinya bergerak, melakukan jurus atau pukulan Cui-pek-po-kian. Tapi karena toya tertarik ke depan dan gaya atau kekuatan Cui-pek-po-kian itu hilang setengah bagian, lawan dengan cerdik menyentak toya itu maka Giok Kee Cinjin berputar dan sekali dia meliuk dan menggerakkan kakinya tahu-tahu Beng Kong Hwesio terlempar sementara pukulan atau toyanya lepas dari tangan, Cui-pek-po-kian menghantam tempat kosong.

"Dess!" Hwesio itu bergulingan mengeluh tertahan. Giok Kee Cinjin tidak mengejar karena lawan seketika pingsan, setelah mengeluarkan erangan pendek. Dan ketika tosu ini mengucap rasa penyesalan dan murid-murid bergerak marah, mau menerjang maka saat itu berkelebat sesosok tubuh kecil kurus dan Ji Beng Hwesio telah berada di sini.

"Omitohud!" hwesio itu berseru. “Kau kiranya, Giok Kee Cinjin. Ah, sungguh heran kalau kedatanganmu memusuhi Go-bi!”

"Maaf," tosu ini cepat membalik dan merangkapkan kedua tangannya. “Pinto datang bukan membawa permusuhan, loheng. Pinto terpaksa merobohkan Beng Kong karena ia tak mau membawa pinto kepadamu!"

"Omitohud, sekarang pinceng ada di sini. Katakan apa maksudmu dan setelah itu pergilah baik-baik kalau totiang memang tak bermaksud memusuhi Go-bi.”

Giok Kee Cinjin terbelalak. Tiba-tiba mukanya menjadi merah karena sambutan atau kata-kata Ji Beng Hwesio itu tak sedap didengar telinga. Dia, sahabat ketua Go-bi, disambut dengan kata-kata seperti ini. Tapi menarik napas dalam-dalam dan menekan kemarahan tosu ini berkata, tiba-tiba menurunkan Peng Houw,

"Pinto datang secara tak sengaja, loheng. Ingin berbincang-bincang dan bertemu sebagaimana biasanya dengan yang terhormat ketua Go-bi. Pinto sudah lama tidak mampir, kini ingin menengok tapi melihat kekacauan di sini. Dan karena kebetulan anak ini pinto temukan di tengah jalan, dianiaya Coa-ong maka pinto bermaksud membawanya ke mari untuk diserahkan kepada Go-bi. Namun anak ini tak mau diterima Beng Kong, dia menghendaki kau atau ketua Go-bi sendiri yang menerima. Dan karena Beng Kong sendiri bersikap kasar dan kejam, terhadap anak ini, maka pinto melindungi tapi kini ingin menyerahkannya kepadamu. Soal Go-bi tak suka kedatangan pinto tentu saja pinto akan segera pergi. Pinto bukan mau mengemis nasi!"

"Hm!" Ji Beng Hwesio memperhatikan Peng Houw, tak menghiraukan atau menanggapi kata-kata Giok Kee Cinjin yang juga pedas! "Kau menjadi awal malapetaka, Peng Houw. Gara-gara kau maka semua kekacauan ini terjadi. Adakah mukamu untuk menghadap pinceng? Masihkah kau menganggap sebagai keluarga di sini?"

Peng Houw pucat, menjatuhkan diri berlutut. "Susiok-kong, kesalahan bukan semata kepada teecu (murid), melainkan Chi Koan. Kenapa teecu hendak disalahkan lagi dan tak dianggap murid Go-bi? Mati hidup teecu adalah murid Lu Kong Hwesio, dan guru teecu itu adalah murid Go-bi. Teecu tetap merasa sebagai keluarga Go-bi dan karena itu mohon maaf bila semua ketidaksengajaan ini menjadikan Go-bi kacau. Teecu anak kecil tak tahu apa-apa!"

"Hm!" Ji Beng Hwesio tertegun, keberanian Peng Houw telah membuat semua anak-anak murid terbelalak, begitu juga Giok Kee, yang tertegun dan kagum. Tapi karena Peng Houw telah dianggap penyulut keributan dan hwesio itu malu dibantah anak sekecil ini, derajatnya bisa jatuh maka hwesio itu membentak, sikaphya tiba-tiba menjadi garang.

"Peng Houw, kau anak kurang ajar tak tahu adat. Beginikah caramu menghadapi orang tua? Beginikah Lu Kong Hwesio mengajarimu sehari-hari? Pinceng tak mau dibantah, Peng Houw. Kau bukan lagi anak murid Go-bi dan pinceng mengusirmu untuk keluar dari tempat ini Go-bi tak dapat lagi menerimamu!”

“Kejam!" Peng Houw tiba-tiba berteriak, mengejutkan anak-anak murid dan semua orang yang ada di situ. "Kau tak adil, susiok-kong. Kau berat sebelah. Kau tak melaksanakan ajaran Buddha bab 19 ayat satu!"

“Apa?" Ji Beng tersentak, mata tiba-tiba menyambar bagai pisau tajam. “Kau bilang apa, Peng Houw? Kau bilang pinceng tak adil dan menyebut-nyebut ayat satu bab 19? Katakan itu kalau kau hapal!"

"Jelas, susiok-kong tak melaksanakan dharma, Susiok-kong menekan teecu dan tak mau melihat semua persoalan secara menyeluruh. Teecu tentu saja dapat menyebutkan ayat kitab suci ini dan berani mengatakan susiok-kong berat sebelah!"

"Hm, katakan dan cepat baca itu, Peng Houw. Atau pinceng akan menghancurkan mulutmu!" sang hwesio terbelalak, mata yang biasa meram-melek itu tiba-tiba dibuka lebar dan siapapun melihat betapa cahaya seperti api menyambar dari sepasang mata tua ini.

Semua menjadi gentar, namun anehnya Peng Houw yang berhadapan langsung itu sama sekali tidak takut. Anak ini telah menunjukkan keberaniannya yang luar biasa, termasuk keberaniannya "mengingatkan" wakil Go-bi akan ayat-ayat suci dari kitab yang dihormati begitu banyak orang. Dan ketika semua tertegun dan pucat memandang Peng Houw, anak itu bangkit berdiri dan gagah menegakkan muka maka berserulah Peng Houw membaca ayat yang dimaksud itu, suaranya lantang dan menggetarkan, tak ada satu pun yang salah. Peng Houw memang "jagoan” menghapal kitab suci!

"Orang yang memutuskan dengan kekerasan, tidaklah dapat dikatakan adil atau jujur. Orang yang bijaksana selalu mempertimbangkan kedua belah pihak, yang benar dan yang salah!”

Ji Beng Hwesio pucat. Tiba-tiba saja ia serasa ditampar oleh suara atau kata-kata anak ini. la memang telah melakukan kekerasan, tanpa mempertimbangkan kedua belah pihak. Dan karena ia terpukul dan malu serta marah maka hwesio itu menggeram dan berubah-ubah mukanya, gemetar ketika menghadapi Peng Houw.

"Baik, kau menganggap pinceng melakukan kekerasan, Peng Houw. Kau menganggap pinceng tak adil. Sekarang apa maumu dan coba pinceng dengar!”

“Teecu tak mau diusir. Teecu tetap merasa sebagai keluarga Go-bi. Susiok-kong jangan menyalahkan teecu karena datangnya orang-orang macam Coa-ong dan Kwi-bo itu bukanlah teecu yang mengundang!”

"Hm, baik. Kau boleh tinggal bersama susiokmu Beng Kong, Peng Houw. Atau pergi dari sini kalau kau tak suka!"

"Apa? Beng Kong-susiok? Ah, tidak susiok-kong. Jangan dengan Beng Kong lo-suhu. Aku tak mau!"

"Kalau begitu terserah, kau boleh pergi kalau tak mau!" dan mengibaskan ujung bajunya menghadapi Giok Kee hwesio ini berkata, "Cinjin, agaknya tak perlu lagi pinceng menemanimu. Urusan sudah selesai. Pinceng masih ada keperluan dan boleh kau pergi. Maaf!”

Giok Kee Cinjin terkejut. Tuan rumah tíba-tiba benar-benar tak bersahabat dan kata-kata atau ucapan Ji Beng Hwesio tak enak didengar telinga. Dan ketika hwesio itu berkelebat dan meninggalkannya sendiri, Peng Houw tertegun di sana maka tosu ini tertawa melepaskan mendongkolnya. "Peng Houw, kau anak yang luar biasa. Hebat benar kau menghapal kitab suci. Nah, Ji Beng sudah memberi tahu dan terserah kau mau yang mana. Ikut Beng Kong atau pinto!"

Sang tosu membalikkan tubuh. Dia melenggang dan keluar dari tempat itu, sikapnya sudah acuh dan semua murid-murid Go-bi minggir. Tak ada satupun yang sekarang berani menghalangi setelah Ji Beng Hwesio tadi muncul. Dan ketika tosu itu melenggang sementara Peng Houw tertegun, pucat, tiba-tiba anak ini menjerit dan menghambur mengejar si tosu.

“Totiang, aku ikut dirimu!"

"Ha-ha!" Giok Kee tertawa dan membalik. "Kalau begitu bagus, Peng Houw. Kau pandai memilih dan menyelamatkan dirimu sendiri. Mari, pinto juga sudah tak ada urusan dan kita pergi!” dan ketika Peng Houw disambar dan diangkat naik, Giok Kee berkelebat dan lenyap dari ruangan itu maka tosu inipun terbang meninggalkan Go-bi.

Peng Houw menangis dan bercucuran air mata karena tiba-tiba saja ia harus meninggalkan "almamaternya" itu, tempat di mana ia ditempa ilmu, meskipun hanya ilmu agama! Dan ketika Peng Houw bercucuran air mata sementara Giok Kee Cinjin terbahak dan tertawa-tawa gembira, rasa kagum dan suka mulai bangkit melihat keberanian dan kegagahan Peng Houw maka tosu itu membawa si anak keluar dari gurun. Peng Houw tak mau diajak bercakap-cakap karena anak itu benar-benar sedang berduka.

Wakil Go-bi telah menyudutkannya kepada pilihan yang sama-sama sulit, ikut Beng Kong atau tidak. Dan karena Beng Kong Hwesio jelas bukan hwesio baik-baik dan semasa gurunya masih hidup saja dia sering ditegur dan diperlakukan tak enak maka begitu gurunya tiada tentu hwesio itu akan semakin kejam dan bengis saja kepadanya.

Peng Houw memutuskan bahwa biarlah sementara ini dia meninggalkan Go-bi. Biarlah sementara ini dia pergi dari tempat itu meskipun kelak dia harus kembali. Bukan apa-apa melainkan semata dia merasa hidup matinya di situ, kampung halamannya di situ. Dan karena Go-bi melalui mendiang gurunya telah melepas budi kepadanya, budi yang tak akan dilupakan maka Peng Houw bertekad akan membalas budi itu!

* * * * * * * * * *

“Turun, kita berhenti di sini," Giok Kee Cinjin menghentikan larinya dan berhenti menurunkan Peng Houw. Dua hari dua malam tosu ini terus berlari cepat dan kini dia melepaskan lelahnya. Dua kali pula Peng Houw tertidur di pundaknya namun dua kali itu pula si tosu terus menjaga. Peng Houw tak banyak rewel dan tosu ini semakin suka saja.

Dan ketika Peng Houw terjaga dan pagi itu tiba di sebuah gua kecil, tangannya yang sakit tiba-tiba sudah sembuh kembali, begitu cepatnya maka anak ini tertegun dan membelalakkan mata mengamati sekeliling.

“Ini satu di antara tempat tinggalku. Kita sudah jauh dari keramaian manusia. Kerasankah kau tinggal bersama pinto di sini? Kau ingin minum atau makan?"

Peng Houw tertegun. “Aku tak ingin minum atau makan, totiang. Aku ingin melepaskan dukaku!"

“Hm,” sang tosu melihat Peng Houw tiba-tiba menangis, teringat Go-bi. "Melepaskan duka perlu, Peng Houw. Tapi berduka dan terus berduka hanyalah akan membawa manusia kepada kelemahan dan kepicikan diri sendiri. Yang lewat sudahlah lewat, tak mungkin ditarik lagi. Kita tak perlu berduka dan harus memandang masa depan dengan pikiran baru!"

"Tapi aku teringat mendiang guruku. Aku juga teringat kebengisan Ji Beng susiok-kong!"

"ltu sudah terjadi, Peng Houw. Tak perlu lagi memikirkan itu. Ji Beng Hwesio penguasa di sana, dan kau sendiri sudah diberinya pilihan. Tak perlu menyalahkan hwesio ítu!"

“Benar, tapi... tapi dua pilihannya itu menyakitkan hatiku, totiang. Susiok-kong terasa kejam dan tidak berperasaan!”

“Hm, justeru semuanya ini menjadikanmu lebih dewasa. Hidup memang harus ada perobahan, Peng Houw. Orang hidup tanpa perobahan adalah mati. Kau tak perlu menyalahkan hwesio itu melainkan wajib mensyukurinya. Kau sedang memasuki masa-masa baru dalam hidupmu. Dan orang yang selalu baru adalah orang yang segar!”

Peng Houw tertegun. "Totiang seperti sedang berfilsafat!”

"Ha-ha, hidup ini sesungguhnya filsafat, Peng Houw. Hidup ini penuh pelajaran yang harus dipikir. Hidup tanpa berfilsafat adalah hidup yang bodoh. Manusia dapat menarík banyak keuntungan dari setiap filsafat yang ditemui. Dan satu di antaranya adalah pertemuan kita sekarang ini!”

"Pertemuan kita juga membawa keuntungan?”

"Bagaimana tidak? Kau dan aku menjadi dekat satu sama lain, Peng Houw. Dan sadar atau tidak sekarang kita bersahabat. Nah, ini adalah satu keuntungan karena dari bersahabat kita akan menjadi tahu satu sama lain, watak atau persoalan-persoalan kita!”

“Hm, totiang benar. Dan apa sekarang yang totiang kehendaki.”

“Terbalik! Bukan aku yang menghendaki, Peng Houw, melainkan kau. Coba ingat siapa yang mau ikut pinto dan meninggalkan Go-bi, ha-ha!”

Peng Houw semburat. Tiba-tiba dia sadar bahwa pertanyaannya terbalik, bukan si tosu yang menghendaki melainkan dia. Dan karena dia sudah memutuskan ikut tosu ini maka justeru dialah yang seharusnya ditanya apa yang akan dia kehendaki. Dan Peng Houw tiba-tiba tersenyum!

"Totiang benar,” katanya sambil tertawa. "Pertanyaanku terbalik, totiang. Seharusnya akulah yang ditanya apa yang sekarang kukehendaki. Tapi terus terang aku bingung. Aku tak tahu apa yang akan kukehendaki!"

"Ha-ha, sekarang kau dapat tertawa, Peng Houw. Dan itu cukup. Pinto menghendaki kau tertawa!”

Peng Houw tertawa. Tiba-tiba dia menjadi geli dan benar-benar tertawa ketika tosu itu menyuruhnya ketawa. Duka yang tadi dibawa mendadak lenyap seolah awan disapu angin. Tapi ketika Peng Houw teringat kematian gurunya lagi dan betapa kematian gurunya amatlah mengenaskan, atas kecurangan Coa-ong maka anak itu tiba-tiba menghentikan ketawanya dan menarik dahi, muka tiba-tiba murung.

"Aku tak dapat tertawa lagi. Aku teringat kematian guruku.”

"Hm," Giok Kee Cinjin sadar, anak ini perasa sekali. "Kau bocah yang baik, Peng Houw. Selalu ingat orang terdekat dan tak pernah lupa. Pinto turut berduka!”

“Terima kasih. Tapi apa sekarang yang harus kulakukan, totiang? Apa yang harus kuperbuat? Aku ingin melakukan sesuatu untuk mendiang guruku itu. Aku ingin melakukan sesuatu untuk Go-bi!”

"Hm, kau telah disakiti oleh Go-bi..."

“Tidak, yang menyakiti aku bukan Go-bi, totiang, melainkan orang-orang tertentu yang ada di Go-bi. Go-bi tak pernah menyakiti aku. Aku justeru berhutang banyak kepada Go-bi!"

“Siancai, kau pandai bicara. Apa bedanya Go-bi dengan orang-orang yang kau sebutkan itu, Peng Houw? Bukankah sama saja?"

"Tidak, tidak sama!" anak ini tangkas menyergah. “Go-bi dan orang-orang yang di Go-bi tidaklah sama, totiang. Go-bi ibarat ibunya sedang orang-orang Go-bi ibarat anaknya. Ibu tak akan menyakiti anaknya sementara anak dapat menyakiti ibu atau saudara-saudaranya. Nah, itulah bedanya!"

“Hm, kau banyak mendapat pelajaran agama,” tosu itu tersenyum, mengangguk-angguk, tadi sengaja mencoba. “Kau benar, Peng Houw. Dan pinto semakin kagum saja. Baik, bagaimana kalau pinto sekarang memberi jalan kepadamu.”

"Totiang mau memberi jalan apa?”

“Apa saja yang kau suka. Tapi katakan dulu kepada pinto pelajaran apa yang sudah kau terima dari mendiang gurumu Lu Kong Hwesio itu.”

"Aku menerima pelajaran-pelajaran agama....”

"Ya-ya, pinto tahu. Tapi bukan itu yang pinto maksud. Pínto bertanya tentang pelajaran silat, sampai di mana dan apa saja yang kau terima!"

Peng Houw tiba-tiba semburat. "Aku belum menerima pelajaran itu, aku hanya menerima pelajaran agama....”

“Hah?"

"Benar, suhuku mendiang Lu Kong Hwesio belum memberikan pelajaran silat, totiang. Aku baru diajar pelajaran agama.”

"Astaga, pantas kalau begitu!"

"Pantas apanya?"

"Kau mudah dipermainkan lawan!"

“Tapi Coa-ong memang bukan tandinganku!"

"Ya-ya, pinto tahu. Tapi betapapun kau tak bisa apa-apa, Peng Houw. Menghadapi orang biasa saja barangkali kau tak sanggup!”

"Benar, dan aku telah dikalahkan Chi Koan...”

"Chi Koan? Siapa ini?"

"Dia murid susiok Beng Kong Hwesio, murid pengkhianat!"

"Ah, bagaimana itu?"

"Dia inilah yang menjadi gara-gara, totiang. Dan justeru dari anak ini timbul semuanya itu!”

"Hm, pinto ingat. Sekarang pinto ingat bahwa kau tadi juga menyebut-nyebut nama ini. Chi Koan!"

"Benar, tadi di depan susiok-kong aku menyebut nama ini. Tapi susiok-kong lebih memberatkan aku. Kurang ajar anak itu!"

“Ceritakan kepada pinto bagaimana asal mula gejadian ini....”

“Gara-gara ang-sio-bak, totiang....”

“Hah, ang-sio-bak? Barang haram bagi orang-orang Go-bi?”

“Benar, anak itulah yang membawa tapi aku yang menyimpan."

“Aneh benar ini. Coba ceritakan secara urut bagaimana dengan semuanya itu!” Giok Kee Cinjin tertarik, membelalakkan mata dan tiba-tiba ingin mendengar bagaimana selengkapnya cerita itu. Dia memang belum mendengar jelas, kecuali bahwa Go-bi diluruk orang-orang seperti Coa-ong dan Kwi-bo. Dan ketika Peng Houw tampak merah dan agak malu, bocah itu tak segera bercerita maka tosu ini menepuk pundaknya. "Peng Houw, tak usah malu kepada pinto. Pinto dapat maklum kalau kau tiba-tiba jadi ingin menikmati makanan berjiwa karena hwesio-hwesio Go-bi itu tentu memberimu makanan sayuran melulu.”

“Benar, tapi semua ini bukan semata keinginanku kepada barang laknat itu, totiang, melainkan semata jebakan dan akal licik si Chi Koan itu. Dia sengaja menjebakku agar celaka dan menerima hukuman Go-bi!”

"Hm, ceritakan kepadaku bagaimana mula-mula itu. Pinto ingin mendengar dari awal.”

"Aku bertemu Chi Koan ketika baru saja keluar dapur...”

"Lalu?"

"Lalu dia memanggilku, berbisik. Dan ketika aku berhenti dan dia menghampiriku maka dengan muka kebingungan dan gelisah dia minta tolong kepadaku untuk menyimpan ang-sio-bak itu.”

"Kau tidak menegur temanmu itu membawa makanan haram?”

"Mula-mula begitu, totiang. Tapi dia mengelak. Dia berkata bahwa ang-sio-bak itu pemberian orang, bukan mencarinya. Dan karena diam-diam aku juga ingin menikmati makanan berjiwa, maaf, maka setelah dibujuk dua tiga kali aku maju juga menerima barang itu..."

“Lalu kau makan bersama!"

"Tidak, nanti dulu, totiang. Saat itu aku dipanggil guruku dan tak sempat menikmati ang-sio-bak!"

“Hm,” tosu ini geli, Peng Houw dilihatnya jujur. "Kau anak yang suka berterus terang, Peng Houw. Teruskan bagaimana setelah itu. Kau tak malu-malu mengakui bahwa kau diam-diam mengilar kepada makanan berjiwa!”

“Aku memang tak perlu bohong," Peng Houw tak tedeng aling-aling. "Aku harus jujur, totiang. Orang yang tidak jujur sudah melanggar peraturan agama!”

"Wah-wah, jangan mulai membuka-buka kitab suci!" sang tosu tertawa bergelak. "Pinto tahu kau jujur, Peng Houw. Segala isi kitab rupanya hendak kau laksanakan dengan lurus. Eh, teruskan itu!"

"Aku dipanggil guruku. Dan karena suhu memanggil berulang-ulang maka ang-sio-bak terpaksa kuterima dan kusimpan."

“Di mana kau taruh itu? Di kamarmu?”

“Tidak, totiang, terlalu berbahaya. Aku menyimpannya di dapur!”

"Hm, bagaimana dengan si Chi Koan itu. Kenapa dia tidak menyembunyikannya sendiri!"

“Dia tak mau karena aku telah mencicipi ang-sio-baknya.”

"Wah, kau kena bujuk?"

"Hm, masakan itu luar biasa sekali, totiang, Rasanya hebring!”

"Apa itu hebring? Pinto belum pernah dengar!”

"Ah, ini bahasa sehari-hari kami anak-anak Go-bi. Artinya untuk sesuatu yang hebat sekali. Amat hebat!”

"Ha-ha, kalian anak-anak sungguh punya bahasa yang aneh-aneh. Baik, bagaimana setelah itu. Pinto jadi kepingin ikut-ikutan merasakan ang-sio-bak yang hebring!”

Peng Houw tersenyum. Dia tertawa geli melihat tosu itu tertawa. Tapi berkerut kening teringat Chi Koan dia lalu mendesis, mengepal tinjunya. "Chi Koan ini anak yang licik, totiang. Dia rupanya sengaja mencari gara-gara agar aku kena marah!"

"Bagaimana itu. Lanjutkan setelah kau menceritakannya di dapur."

"Anak ini agaknya takut menyimpan sendiri. Dia datang dan menawarkan makanan itu kepadaku, padahal siapapun tahu bahwa masakan babi itu amat haram bagi hwesio-hwesio di kuil. Tapi karena rupanya dia juga terpikat dan ingin menikmatinya, takut ketahuan atau apa maka sengaja dia mencari aku dan menjebak aku dengan makanan itu."

“Hm, dan kau sudah menerimanya."

"Ya, aku dibujuk berulang-ulang untuk mencicipi. Kemudian setelah mencicipi maka dia menitipkan masakan itu kepadaku.”

“Tapi kenapa bisa ketahuan? Anak itu melapor kepada hwesio kepala?"

“Tidak, ini kealpaanku sendiri, totiang. Aku lupa bahwa di sana ada Siauw-cing!”

"Siapa itu Siauw-cing...?”

"Dia kucing betina yang biasa mangkal di dapur. Kucing ini mondar-mandir dan mengeong-ngeong di sekitar keranjang di mana ang-sio-bak itu kusembunyikan!"

"Hm, lalu?" sang tosu geli.

“Inilah pangkal celakanya, totiang. Kucing itu akhirnya menerjang keranjang dan terjadilah perang!”

"Perang?"

“Ya, perang mulut. Antara aku dengan Chi Koan. Perbuatanku akhirnya ketahuan dan Ji Beng susiok-kong marah besar. Tapi karena aku hanya merasa dititipi dan barang haram itu kepunyaan Chi Koan maka dialah yang kutuding tapi kami sama-sama menerima hukuman!”

“Hm-hm, menarik sekali. Kau dan Chi Koan rupanya sudah biasa cekcok!"

"Bukan hanya cekcok, melainkan juga berkelahi!"

"Hm, betul. Dan lalu bagaimana, Peng Houw. Kau dihukum kakek gurumu itu?”

"Betul, tapi Chi Koan juga mengikuti. Suhu dan susiok akhirnya bertanding!"

"Wah, kenapa begitu? Gara-gara sama-sama membela murid?”

"Benar, totiang. Susiok memang membenciku sejak dulu. Entah kenapa dia selalu tak suka kepadaku.”

“Aku tahu," sang tosu menarik napas dalam. "Tentu karena melihat perbedaan watak kalian, Peng Houw. Bahwa kau baik sementara muridnya tidak. Barangkali itu!”

"Ah, kami sama-sama murid Go-bi, totiang, mestinya kami sama-sama mendapat pelajaran agama. Baik atau tidak mestinya masing-masing tahu. Tapi yang jelas Chi Koan memang nakal dan kurang disuka para suheng di sana."

"Nah, ini kalau begitu!" sang tosu mengangguk-angguk. "Muridnya tak disuka sementara dirimu disuka, Peng Houw. Hal seperti ini memang dapat membangkitkan rasa benci di hati susiokmu itu karena kau rupanya disuka banyak orang!"

"Ah, aku tak merasa apa-apa. Aku hanya semata menjalankan perintah agama. Suhu mengajariku agar tidak sombong dan nakal!"

"Kau anak sederhana," Giok Kee Cinjin meraih dan mengelus kepala anak iní. “Watak baik yang tidak dibuat-buat beginilah yang selalu mengharukan orang, Peng Houw. Pinto sendiri terharu dan suka kepadamu!"

Peng Houw terharu. Dipeluk dan diusap seperti itu sungguh mengingatkan dia akan mendiang suhunya sendiri. Dalam saat-saat tertentu Lu Kong Hwesio juga mengelusnya seperti itu. Tapi ketika dia terisak dan berkaca-kaca, Giok Kee Cinjin sadar dan cepat melepaskannya maka tosu itu tertawa.

"Eh, ceritamu belum selesai, Peng Houw. Ceritakan bagaimana selanjutnya!"

"Selanjutnya Kwi-bo dan Coa-ong itu datang," Peng Houw juga sadar, menahan air matanya. "Dan di sinilah terjadi keributan itu, totiang. Coa-ong membunuh guruku!”

"Hm, bagaimana mereka datang. Kenapa suhu dan susiokmu tidak tahu!"

"Mereka datang seperti iblis, tahu-tahu sudah ada di ruang Api. Dan karena saat itu suhu maupun susiok bertanding sengit, mereka sudah bertempur tiga hari tiga malam maka di saat seperti itulah Coa-ong membunuh suhu!"

"Bagaimana kakek ular itu membunuh gurumu?”

"Dia melepas ularnya, totiang. Dan suhu menjerit!"

"Hm, Coa-ong memang kakek siluman yang selalu berbuat curang. Apakah kau tidak ingin membalasnya? Apakah kau tidak sakit melihat kematian gurumu?" tosu ini tiba-tiba mengangguk-angguk, bersinar memandang bocah itu. "Di dunia iní banyak orang jahat dan curang, Peng Houw. Dan kita memang harus berhati-hati!"

"Aku tahu, dan aku tentu saja sakit hati!”

"Kalau begitu bagaimana caramu membalas dendam, padahal selama ini kau tidak bisa silat!"

Peng Houw tertegun. Diajak masuk ke soal silat tiba-tiba dia menjadi merah. Giok Kee Cinjin memandangnya penuh arti dan senyum kakek itu memaksanya semburat. Tapi ketika Giok Kee Cinjin menepuk pundaknya dan bertanya apakah dia mau belajar silat, dari si tosu maka Peng Houw berseri namun tiba-tiba mengerutkan kening.

"Aku tentu saja ingin belajar silat. Tapi aku tak dapat menjadi muridmu, totiang. Aku telah menjadi murid Go-bi!”

Sang tosu tertegun. "Maksudmu? Kau tak suka ilmu silatku?"

“Tidak... tidak. Hanya aku tak dapat menyebutmu suhu. Guruku hanya Lu Kong Hwesio itu, atau tetua-tetua Go-bi!”

"Aneh,” sang tosu menjadi heran. "Pinto tak mengerti jalan pikiranmu ini, Peng Houw. Apa sebenarnya yang kau maksud!”

"Begini," Peng Houw tiba-tiba bersinar matanya. "Mati hidup aku telah dibesarkan di Go-bi, totiang. Dan untuk itu tentu saja aku telah berhutang budi kepada Go-bi. Kalau aku menjadi murid orang lain dan lalu meninggalkannya begitu saja bukankah aku seolah melupakan Go-bi? Aku tak dapat melakukan itu. Kalaupun aku menjadi muridmu maka kematian guruku tak dapat kubalas sebagai murid Go-bi, melainkan murid orang lain. Dan ini yang membuat aku keberatan!"

"Hm!" sang tosu berseri-seri, kembali bersinar wajahnya, cerah. "Kau kiranya anak yang amat berbakti, Peng Houw. Sungguh bahagia gurumu mendapat murid seperti kau ini. Kau bocah yang selalu mengingat kebaikan dan budi orang lain!”

"Tentu saja!" Peng Houw berseru lantang. "Budi dan kebaikan orang tua tak dapat dilupakan, totiang. Tanpa mereka tak mungkin aku hidup. Keberadaanku ini adalah atas jasa mereka!”

“Baik, baik..., kau benar. Kalau begitu bagaimana sekarang? Bukankah kau tak menolak pelajaran silat pinto?"

"Aku tak menolak, tapi lebih baik kuberitahukan di depan bahwa aku tak dapat menyebutmu suhu (guru)!"

"Ha-ha, sebutan itu hanyalah sebutan, Peng Houw. Lebih baik begini daripada diaku guru tapi sang murid tak berbakti. Ha-ha, pinto kagum. Kau boleh menganggapku begitu dan hubungan kita sebagai sahabat dengan teman karibnya. Pinto tak keberatan!”

Peng Houw girang. “Totiang benar-benar serius?"

"Wah, pinto lebih dari serius, Peng Houw. Pinto benar-benar rela menurunkan kepandaian kepadamu, tanpa pamrih!"

“Terima kasih, kalau begitu aku sudah tak ada ganjalan lagi," dan Peng Houw yang berlutut serta mengucap terima kasih lalu ditarik dan disuruh bangun berdiri.

"Cukup... cukup, tak perlu terima kasih. Pinto yang harus berterima kasih bahwa pinto dipertemukan dengan seorang anak sepertimu ini!" dan tertawa melempar anak itu ke atas sang tosu berjungkir balik dan sudah turun di mulut gua. "Peng Houw, sekarang juga pinto ingin memberimu pelajaran silat. Apakah kau suka?"

Peng Houw berseri-seri. “Tentu saja suka, totiang. Tapi apakah aku mampu?”

“Kau pasti mampu!"

"Tapi aku belum memiliki dasar-dasar ilmu silat...”

“Ha-ha, kauw-koat (dasar-dasar ilmu silat) dapat sekarang juga kau pelajari Peng Houw. Lihat ini dan mari mulai!" dan ketika Peng Houw tertegun dan membelalakkan mata, sang tosu menggeser dan menutup kakinya dengan cepat tosu itu berkata, nyaring, "Ini adalah pembukaan pertama dari ilmu silatku Soan-hoan-ciang (Kibasan Angin Taufan). Sekali kau mahir dan dapat memilikinya maka apa pun dapat kau terbangkan dari sini. Lihat....wherr!"

q Sang tosu mengibas dan menggerakkan ujung bajunya ke kiri. Peng Houw yang ada di sebelah kiri tiba-tiba terangkat naik dan berteriak kaget. Dan ketika anak itu terlempar dan terpental tinggi, sang tosu tertawa bergelak dan menggerakkan tangannya yang lain maka Peng Houw sudah naik turun diayun gelombang pukulan yang dahsyat, tak pernah jatuh kembali ke bumi.

"Ha-ha, lihat. Ini Soan-hoan-ciang yang kumiliki, Peng Houw. Gunungpun dapat kuterbangkan dari sini... blarr!" dan sang tosu yang bergerak dan mengibas sebuah batu, yang meledak dan mencelat ke atas tiba-tiba sudah dipermainkan dan naik turun bersama Peng Houw.

Anak itu sendiri masih dikendalikan pukulan tangan kanan sang tosu, sementara tangan kiri terus bergerak-gerak mempermainkan batu besar itu. Peng Houw sering terpekik karena batu itu acap kali naik turun di atas kepalanya, menimpa. Tapi ketika batu tertahan dan mumbul lagi tak jadi menimpa, Peng Houw sendiri naik turun dan akhirnya beterbangan mengelilingi batu ini maka anak itu bersorak, lupa kepada rasa takutnya.

"Ha-ha, nikmat, totiang. Aku seperti Superman. Ah, biar kutangkap batu itu dan kupeluk!" namun ketika Peng Houw menyambar dan hendak memeluk batu ini, yang berputaran dan mengelilingi tubuhnya pula tiba-tiba dia berseru kecewa karena batu itu bergerak dan melejit ke arah lain.

Giok Kee Cinjin tertawa-tawa mempermainkan tenaga saktinya. Peng Houw dan batu itu seolah dua sekawan yang saling berkejaran, masing-masing mau ditangkap namun yang lain selalu melejit mendahului. Dan ketika dua menit Peng Houw beterbangan dan meluncur seperti burung, naik turun dan melayang-layang tak menyentuh bumi maka Giok Kee Cinjin berseru keras. "Cukup, turunlah, Peng Houw. Awas batu itu... bumm!"

Peng Houw terkejut berseru tertahan, jatuh dan terbanting lembut sementara batu besar yang tak ditahan lagi itu berdebuk dan menggetarkan tanah. Suaranya persis gajah bengkak yang jatuh dari langit, Peng Houw sampai terpental dan jatuh meringis. Namun ketika Giok Kee Cinjin berkelebat dan mengusap pantatnya, anak itu tertawa maka Giok Kee juga tertawa.

"Ha-ha, menyenangkan sekali. Aku belum pernah melihat ilmu seperti ini. Agaknya totiang benar-benar lihai!"

"Hm, memiliki Soan-hoan-ciang tak cukup setahun dua tahun, Peng Houw. Pinto sendiri mewarisinya belasan tahun!"

"Wah, tak apa. Menuntut ilmu membutuhkan pengorbanan, totiang. Dan akupun siap berkorban. Tapi aku ingin melihat ilmumu menghilang!"

"Menghilang? Maksudmu ginkang? Ha-ha, inipun akan kuberikan kepadamu, Peng Houw. Dan lihat ini.... wut!" dan sang tosu yang berkelebat dan tahu-tahu lenyap di depan si anak tiba-tiba berseru agar Peng Houw mencari. “Temukan pinto, ayo kejar!”

Peng Houw mencari. la melihat si tosu berkelebat ke belakang tapi ketika menoleh ke belakang si tosu tak ada, berputar tapi si tosu berkelebat lagi di sebelahnya, begitu cepat. Dan ketika empat lima kali Peng Houw tak mampu menangkap karena bayangan Giok Kee Cinjin demikian cepat dan luar biasa maka Peng Houw pening dan belum apa-apa sudah merasa terputar tak mampu mengikuti.

"Aku tak sanggup, tak mampu mencari...”

"Bodoh, lihat ke kiri dan ke kanan, Peng Houw. Kejar dan tangkap pinto. Ayo, pinto hendak memberimu pelajaran ginkang (ilmu meringankan tubuh)!"

Peng Houw terbelalak. Tiba-tiba dia bangkit semangatnya mendengar bahwa si tosu hendak memberi pelajaran ilmu meringankan tubuh. Dan karena si tosu akhirnya bergerak tak begitu cepat dan mampu dikuti matanya, Peng Houw tertawa dan bergerak mengejar maka Peng Houw berseru meloncat tinggi. "Baik, kau di sini, totiang. Awas, aku menangkapmu!"

Namun Giok Kee Cinjin terkekeh. Cepat seperti siluman ia lenyap lagi, Peng Houw terkejut. Namun ketika ia berseru memberi tahu dan anak itu melihatnya, Peng Houw bergerak dan mengejar lagi maka mulailah dua orang itu bermain kejar-kejaran dengan pihak si tosu yang berusaha hendak ditangkap. Peng Houw berkali-kali gagal namun anak itu tak putus asa. Giok Kee Cinjin berseru agar Peng Houw bergerak lebih cepat lagi, anak itu disuruh mempergunakan ujung kakinya.

Dan ketika Peng Houw bergerak dan terus bergerak, si tosu tertawa-tawa maka hari itu Peng Houw dilatih ginkang dengan jalan melemaskan jari-jari kakinya. Peng Houw mandi keringat dan sehari itu tak mampu ia menangkap lawan. Tapi ketika hari demi hari dilalui lagi dan Peng Houw merasa gembira, latihan ini seperti mainan anak-anak yang main tangkap maka sebulan kemudian Peng Houw sudah memiliki jari-jari yang ringan di mana ujung kakinya melekat seperti jari atau kaki seekor kucing.

Setahun kemudian mampu berkelebatan cepat seperti gurunya namun masih belum mampu menangkap ujung bajunya. Peng Houw berusaha keras dan baru setelah dia dilatih di atas batu-batu licin, di sebuah sungai yang deras serta diberi alat pemberat di bawah kakinya maka pada tahun kedua anak ini berhasil menangkap ujung baju gurunya. Tapi itu baru ujung baju!

Peng Houw penasaran dan baru pada tahun kelima ia mampu menangkap gurunya itu. Dan ketika Peng Houw sudah berusia empat belas tahun dan Giok Kee Cinjin juga memberinya ilmu pukulan Soan-hoan-ciiang, Peng Houw dilatih menggeser dan merapatkan kakinya dengan cepat maka pagi itu anak ini berlatih di muka gua.

“Satu... dua... kiri... kanan.... haiittt!” Peng Houw melakukan pukulan-pukulan miring. Sang tosu berdiri di luar gua dan Giok Kee. “Satu... dua... kiri... kanan.... haiittt!” Peng Houw melakukan pukulan-pukulan miring.

Sang tosu berdiri di luar gua dan Giok Kee Cinjin tersenyum-senyum. Cinjin tersenyum-senyum. Tosu ini tampak puas dan berseri, jenggot panjangnya lupa dicukur dan berdirilah tosu itu menonton. Peng Houw melakukan gerakan mengulang-ulang. Dan ketika pagi itu guru dan murid berlatih bersama, Peng Houw tekun mengulang-ulang pukulannya maka Giok Kee ingin menguji dengan menuding sebuah batu sebesar anak itu.

"Coba lakukan pukulan ke batu itu. Kibas dan angkat dengan Soan-hoan-ciang Peng Houw. Sanggup atau tidak!”

Peng Houw mengangguk. Tanpa banyak cakap ia membalik dan membentak melepas pukulannya. Dan ketika batu itu terangkat dan naik ke atas maka Peng Houw bersorak. "Dapat! Lihat, totiang. Aku mampu mengangkat batu ini!" namun ketika batu berdebum dan pecah di tanah, Peng Houw berseri namun sang tosu menggeleng maka Giok Kee Cinjin berseru.

“Tidak benar. Batu tak boleh jatuh begitu saja, Peng Houw. Kau harus mengendalikannya dan memutarnya dulu seperti pinto. Lihat, kau terlampau membuang tenaga tak menyisakannya untuk mengendalikan batu itu... wut!" dan batu lain yang diangkat dan diputar tosu ini akhirnya melayang dan beterbangan seperti dulu, mengaung dan menderu-deru.

Peng Houw tertegun. Dia teringat bahwa dalam membuktikan Soan-hoan-ciangnya tadi ia terlampau bernafsu. Soan-hoan-ciang tak boleh dikeluarkan semua karena harus ada sebagian yang disisakan, yakni untuk mengendalikan atau menguasai lawan di udara. Dan ketika Peng Houw sadar dan gurunya tertawa, Giok Kee berhenti dan membiarkan batu turun perlahan-lahan maka tosu itu berseru,

“Lihat, dengan mampu mengendalikan tenaga maka batu juga dapat kita atur turunnya, Peng Houw. Tak usah keras-keras dan cukup seperti ini... bluk!" dan batu yang jatuh seperti semangka lepas, halus dan tak pecah membuat Peng Houw kagum dan berserl-seri.

"Hebat, yang begitu belum mampu kulakukan, totiang. Tapi kalau memutar dan menahannya di udara barangkali aku sanggup!"

"Cobalah, ulang sekali lagi!" dan Peng Houw yang bergerak dan mengangkat batu itu, batu yang baru dipakai gurunya tiba-tiba berseru keras dan mengulang pengendalian Soan-hoan-ciangnya. Dengan petunjuk dan seruan gurunya akhirnya anak ini berhasil. Namun ketika ia mencoba meletakkan atau menurunkan batu secara perlahan-lahan ternyata batu itu tak mau dan hancur berkeping-keping.

"Bress!”

Peng Houw kecewa. la ditertawai gurunya namun Giok Kee Cinjin berseru kagum. Tosu itu berkata bahwa kemajuan Peng Houw sudah hebat, umur empat belas tahun saja sudah mampu menguasai setengah dari seluruh Soan-hoan-ciang. Dan ketika Peng Houw tertegun namun tak puas, gurunya berkelebat dan tertawa di kejauhan sana maka gurunya itu berkata,

"Peng Houw, pinto sendiri melatih Soan-hoan-ciang hampir dua puluh tahun, mana bisa sama? Tapi kau yang baru lima tahun sudah mampu menguasainya separuh berarti sudah hebat, anak baik. Teruskan berlatih dan barangkali lima tahun lagi semua ilmu itu kau warisi!”

"Lima tahun? Begitu lama? Tidak, aku akan mempersingkatnya, totiang. Aku akan berusaha dua atau tiga tahun saja!"

“Ha-ha, terserah dirimu, Peng Houw. Hanya ketekunan dan kerajinanmu yang akan menentukan. Pinto sendiri tak terlalu bersemangat seperti kau!"

Peng Houw berkelebat. Akhirnya dia mengangkat dan mencoba lagi, batu yang lain diambil. Dan ketika Peng Houw berlatih dan terus berlatih, waktu demi waktu lewat dengan cepat maka Giok Kee Cinjin maupun anak ini sama-sama tak tahu adanya perobahan di luar. Bahwa selama lima tahun itu terjadi perobahan besar-besaran, terutama di Go-bi.

Dan ketika Peng Houw melatih Soan-hoan-ciangnya sementara Giok Kee Cinjin bersamadhi di dalam gua, tempat yang jauh dari keramaian dunia maka dunia kang-ouw diguncang oleh tewasnya Ji Beng Hwesio, wakil ketua Go-bi yang amat lihai!

* * * * * * * *

Mari kita kembali ke sini. Marilah kita tengok keadaan di Go-bi setelah larinya Coa-ong dan Kwi-bo. Sebab ketika dua tokoh sesat itu dikalahkan Ji Beng, wakil Go-bi yang lihai maka berturut-turut Go-bi didatangi atau disatroni tamu-tamu tak diundang masalah Bu-tek-cin-ong. Dan ini semua tentu saja gara-gara dua orang itu!

Bu-tek-cin-ong, kitab menggetarkan yang tiba-tiba mencuat ke permukaan dunia kang-ouw itu tiba-tiba menjadi bahan bembicaraan hampir semua orang. Tua muda meluruk ke Go-bi, hartawan atau jembel mendadak berdatangan seperti kumbang-kumbang yang mendengar lezatnya madu. Tapi karena Go-bi bukanlah partai sembarangan dan kewibawaan para hwesio di sini tetap terjaga baik, tak seorangpun begitu saja dapat masuk dengan mudah maka sebagian besar dari mereka diusir atau disuruh pergi baik-baik.

"Kami ingin menghadap ketua. Kami ingin bertemu yang terhormat Ji Leng Hwesio.”

"Maaf," serombongan orang itu ditampik belasan hwesio yang berjaga. "Kami semua tak dapat meluluskan permintaan kalian, cuwi- enghiong (tuan-tuan yang gagah). Ketua kami sedang mensucikan diri dan tak mau diganggu.”

"Kalau begitu kami bertemu saja dengan wakil ketua Go-bi!”

"Benar,” yang lain tiba-tiba berseru serempak. "Ketua Go-bi boleh juga menemui kami, siauw- suhu. Kami ada keperluan penting yang amat mendesak!”

Para hwesio tertegun. "Apa keperluan kalian,” yang memimpin bertanya, alisnya mulai berkerut. Nada orang-orang itu seakan memaksa. "Wakil ketua kami juga sedang sibuk, cuwi-enghiong. Kalau tidak untuk urusan yang betul-betul penting tentu tak berani kami menyampalkan."

"Katakan saja bahwa kami ingin melihat kitab maha-rahasia Bu-tek-cin-keng. Kami ingin tahu tentang kitab peninggalan Maharaja Cin itu!"

Para hweslo terkesiap. "Apa?"

"Benar, siauw-suhu, Beritahukan maksud kami dan kami tentu akan bersikap baik-baik kepada kalian!"

"Atau kami akan memaksa!" seseorang tiba- tiba mengancam, tak sabar. "Beritahukan Ji Beng Hwesio, keledai gundul. Atau kami menerjang masuk!"

Hwesio pemimpin tiba-tiba marah. Dia mendelik namun orang itu, pengemis bertongkat hitam tiba-tiba tertawa dan mengetrukkan tongkatnya. Batu yang diketruk tiba-tiba hancur dan dengan sombong pengemis ini tertawa pongah. Dan ketika yang lain juga mulai riuh dan gaduh, apa yang dilakukan pengemis itu membakar semangat maka hwesio pemimpin membentak sambil menggetarkan toya panjangnya.

“Siapa kau, kenapa berlagak sombong?”

“Ha-ha, aku Hek-tung Lo-kai. Datang secara baik-baik namun kalian keledai-keledai muda rupanya terlalu macam-macam hingga membuat aku tak sabar lagi. Lihat, dan tanyakan mereka, Teman-temanku juga tak sabar, hwesio tengik. Panggil Ji Beng Hwesio atau ketua kalian ke mari!”

“Wut!” hwesio pemimpin tiba-tiba bergerak dan mengayunkan toyanya. “Kau terlalu congkak dan memandang rendah aku, Hek-tung Lo-kai. Coba terima ini dan apakah mulutmu sebesar kepandaianmu.... trakk!" tongkat menangkis, si pengemis terhuyung tapi hwesio itu juga terdorong tiga tindak. Dan ketika teriakan-teriakan riuh semakin ramai karena orang-orang itu bersorak menyoraki si hwesio Go-bi, yang terlihat sedikit kalah tenaga maka hwesio itu gusar dan meloncat kembali memutar toyanya.

"Hek-tung Lo-kai, kau kiranya berkepandaian juga. Tapi sambut lagi toya ini dan mari bergebrak sejurus dua.... wut-wut!"

toya bergerak dan mengelilingi si Hek-tung Lo-kai, sebentar kemudian sudah menderu-deru dan otomatis yang lain-lain mundur. Hek-tung Lo- kai diserang tapi pengemis ini tenang saja mengelak ke sana ke mari, kepandaiannya ternyata cukup tinggi. Dan ketika dia tertawa dan si hwesio terus merangsek, pengemis itu mengejek maka satu sapuan toya dikemplang tongkat dari arah kanan.

"Trangg!”

Hwesio itu terpelanting. Ternyata Hek-tung Lo-kai menang tenaga dan mulailah pengemis itu membalas. Si hwesio bergulingan namun Hek-tung Lo-kai tak memberinya kesempatan bangun. Akibatnya diseranglah hwesio itu dengan gerakan tongkat yang menggebu-gebu, gencar. Dan ketika hwesio itu kewalahan dan Hek-tung Lo-kai ternyata setingkat lebih tinggi dibanding lawannya maka hwesio itu mulai menerima gebukan-gebukan.

"Ha-ha, kau lihat kepandaian tuan besarmu, keledai gundul. Lihat apakah mulutku sebesar kepandaianku.... buk-bukk!"

Si hwesio dihajar dan mengaduh bergulingan, toya menangkis namun tongkat menyelinap lebih cepat, empat kali memberi gebukan dan sekali malah menyodok mengenai dada, hampir saja ke ulu hati! Dan ketika hwesio yang lain terkejut dan marah, pemimpin mereka kalah tinggi maka dua di antaranya bergerak dan mengayunkan toya.

"Berhenti, jangan mencelakai suheng kami!”

"Ha-ha, mau mengeroyok? Bagus, boleh maju, keledai-keledai tolol. Hek-tung Lo-kai tak takut dan boleh kalian mengerubut tuan besarmu!"

Dua hwesio itu marah. Sebenarnya mereka hanya menghalangi si pengemis itu agar tak melakukan desakan lagi, suheng mereka tampak kewalahan. Tapi ketika tongkat menyambar dan justeru mengancam kepala mereka, dua hwesio ini membentak maka hampír berbareng mereka menangkis dan Hek-tung Lo-kai tergetar mundur.

"Tranggg...!”

Si pengemis kalah kuat. Berhadapan dengan dua murid Go-bi sekalgus tiba-tiba membuat kedudukannya lemah. Dua hwesio itu memang seusap saja di bawah pemimpinnya. Dan karena mereka sudah diserang dan hwesio- hwesio muda itu naik darah, mereka cepat marah maka begitu lawan terhuyung dan terkejut membetulkan letak kaki maka mereka bergerak dan maju membalas, suheng mereka sudah bangun di sana!

“Suheng, pengemis ini harus diberi pelajaran. Biar kami melayaninya!"

Hek-tung Lo-kai sibuk. Tiba-tiba dia terkejut bahwa dua hwesio ini mengurungnya dari segala penjuru. Main bersama ternyata membuat mereka lebih lihai, amat lihai! Dan karena Hek-tung Lo-kai memandang rendah dan terlanjur mengeluarkan kata-kata besar, menyuruh dua orang itu mengeroyok maka begitu dikeroyok dan diserang dari kiri dan kanan tiba-tiba pengemis ini kewalahan dan sebatang toya mengenai pundaknya.

“Bukk!" Hek-tung Lo-kai berteriak kesakitan. Dia terhuyung dan toya yang lain ganti menyambar, dielak tapi toya pertama itu mengejarnya dan menggebuk lagi. Dan ketika toya kedua ternyata memang bertugas sebagai pengganggu, toya pertama itulah yang bekerja dan naik turun menyambar-nyambar maka pengemis ini menerima hujan gebukan dan bersoraklah hwesio-hwesio yang lain yang melihat kemenangan saudaranya. Maklumlah, mereka juga hwesio-hwesio muda yang gampang terbakar dan terbawa nafsunya sendiri!

"Bagus, bagus... hajar dia, Chit-suheng. Gebuk pantatnya dan sodok lubang hidungnya itu, ha-ha!"

“Ya, dan puntir kumisnya yang pongah itu. Tarik telinganya dan suruh dia mencium bumi!"

Para hwesio bersorak dan riuh. Hwesio-hwesio muda itu tak melihat kilatan mengancam dari tiga orang di pihak lawan, kawan-kawan si Hek-tung Lo-kai itu. Dan ketika mereka berteriak dan riuh mentertawakan Hek-tung Lo-kai, yang jatuh bangun, maka tiga orang ini bergerak dan tiba-tiba membentak maju ke depan. Golok mendesing mencari darah....!