Prahara Di Gurun Gobi Jilid 02 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara

“PINCENG menghendaki Chi Koan berbaik kembali dengan Peng Houw. Sesama saudara tak perlu bermusuhan!"

"Aku setuju. Tapi Peng Houw juga harus menyatakan bahwa ia pun tak akan mengganggu Chi Koan, suheng. Sebaiknya dua-duanya sama-sama minta maaf!"

"Omitohud, pinceng setuju!" dan ketika Peng Houw dipanggil dan menghadap gurunya, anak itu tertegun tapi menyambut baik usulan ini, memang selamanya tak pernah dia memusuhi Chi Koan lebih dulu maka aneh dan mengherankan Chi Koan memeluk dan menepuk-nepuk pundaknya.

“Maafkan aku,” anak itu tertawa. "Tak kusangka bahwa kau ketakutan sedemikian rupa, Peng Houw. Sampai kau melaporkan gurumu dan aku kena marah. Ah, kalau tahu begini tentu aku tak akan main-main terlalu jauh, Peng Houw. Aku menyesal dan jangan kau gusar.”

Peng Houw mengerutkan keningnya. "Aku tidak takut. Aku tidak melapor seperti yang kau sangka, Chi Koan. Suhu mendapat tahu dari A-siu-loheng!"

"Ah-ah, begitukah? Baik, baik. Kau memang tak kenal takut dan pantas menjadi murid supek!" tapi tertawa dan berbisik di telinga bekas lawannya itu Chi Koan menyambung, "Lain kali kuajak kau berburu, Peng Houw. Siapa yang akan tunggang-langgang menghadapi binatang buas. Kuuji keberanianmu!"

"Aku tak gentar!" Peng Houw berbisik pula. "Aku tak takut kepada siapa pun, Chi Koan. Tapi kita tak boleh keluar dari tempat ini!”

“Tak apa, biar kucari akal...” dan ketika anak itu mundur dan menjura di depan Peng Houw, mulut tertawa tapi mata menyiratkan lain maka Lu Kong Hwesio yang mendengar bisik-bisik itu menegur, ternyata telinganya tajam sekali hingga mengejutkan Chi Koan.

"Tak boleh berburu atau keluar dari tempat ini. Menguji keberanian tak perlu membunuh mahluk bernyawa, Chi Koan. Ingat dan pelajari ayat-ayat suci bahwa membunuh dilarang!"

"Omitohud..." Beng Kong Hwesio juga mendengar. "Jangan banyak mulut di sini, Chi Koan. Kalau ingin menguji lawanmu sebaiknya dengan pibu lima atau enam tahun lagi. Peng Houw masih belum diajar silat oleh supekmu!"

"Pinceng memang ingin menggemblengnya dulu dengan ilmu batin," Lu Kong Hwesio mengangguk-angguk. "Lihat yang kau ajarkan kepada muridmu ini, sute. Belum apa-apa sudah panas lebih dulu dan ingin berkelahi!"

"Chi Koan masih kanak-kanak," sang guru membela. "Lain kau lain aku, suheng. Kalau kau menggembleng ilmu batin dahulu silahkan, pinceng sendiri lebih mendahulukan ilmu silat!"

“Omitohud, cara kita memang berbeda, tapi akhirnya tentu sama saja. Baiklah, semuanya selesai, sute. Pinceng akan kembali dan terima kasih atas pengertianmu!" dan ketika hwesio itu berkelebat menyambar muridnya, Peng Houw tertegun karena Chi Koan mengacungkan tinju, entah serius atau tidak maka dua anak itu dilerai dan sudah bermaaf-maafan, meskipun tindak-tanduk atau sikap Chi Koan termasuk misterius karena anak itu sukar dimengerti perangainya.

Peng Houw sendiri bersikap hati-hati dan waspada, maklum, acungan tinju itu apakah berarti tanda penyelesaian mutlak ataukah kelak akan diteruskan, karena Chi Koan melakukan itu dengan tawa yang aneh. Tapi ketika hari-hari berikut murid Beng Kong Hwesio itu berobah baik dan benar-benar tak mengganggunya, Chi Koan tampaknya halus dan ramah tutur sapanya maka hari itu mendadak anak ini datang dengan ang-sio-bak, barang haram pendatang sial!

Peng Houw sudah melupakan permusuhannya dengan Chi Koan. Kesibukan sehari-hari akhirnya membuat anak itu tak ingat akan kehati-hatiannya sendiri, apalagi setelah berminggu-minggu kemudian dia dijejali isi-isi kitab yang menyebut tentang kebaikan atau kebajikan. Dan ketika siang itu mendadak Chi Koan muncul bersama ang-sio-bak, bau masakan itu sungguh menyengat hidung, Peng Houw sendiri diam-diam juga ingin menikmati makanan lain selain sayur-sayuran dan bubur yang ada di Go-bi maka sodoran atau hidangan ini membuat Peng Houw lengah sekejap.

Sebetulnya dia takut menerima itu, kaget melihat Chi Koan tiba-tiba muncul membawa masakan berjiwa. Kalau ketahuan hwesio-hwesio di situ tentu mereka bakal kena damprat, itu kalau belum dimakan. Kalau sudah, ah.. tentu bukan hanya dampratan. Pukulan dan makian tentü akan mereka alami. Dan karena saat itu gurunya memanggil-manggil sementara Chi Koan mendesak menyuruh mencicipi, Peng Houw lupa dan terangsang bau masakan itu maka tiba-tiba saja dia telah dijebak untuk menolong anak ini menyembunyikan makanan.

Dan Peng Houw melakukan itu, salah langkah menyimpannya di dapur dan bukan di kamarnya sendiri. Waktu itu dia gugup karena gurunya sudah memanggil-manggil, ke kamarpun tentu tak sempat karena letaknya yang lebih jauh. Dan ketika dia menyimpannya di dapur tapi celaka sekali kucing peliharaan hwesio mengendus baunya, Peng Houw lupa akan ini maka binatang jahanam itu telah membuka rahasia!

Peng Houw menyesal bukan main akan keteledorannya ini. Dia mengumpat caci kucing keparat itu namun semuanya sudah terjadi. Dia ditendang dan dihajar susioknya, sementara Chi Koan enak-enak bersembunyi dan ngumpet. Terkutuk! Dan ketika dia akhirnya dijebloskan di ruang Api di mana tubuhnya diikat dan dijungkir balik menghadap setumpuk bara panas, mukanya sebentar saja sudah menjadi merah oleh uap yang naik ke atas maka kini gurunya bertanding dengan guru siluman Chi Koan itu!

Peng Houw terbelalak dan menggigil melihat suhu dan susioknya saling menempelkan tangan, keduanya dorong-mendorong sementara uap putih pun mulai mengepul di atas kepala. Peng Houw memang belum diajari ilmu silat, tapi dia tahu apa arti kepulan uap putih itu, bahwa pertandingan sinkang sedang terjadi dan siapa kalah dia bakal terluka berat. Dan ketika anak itu terkejut karena gurunya tiba-tiba terdorong, doyong tubuhnya dan Beng Kong Hwesio berseri-seri maka Chi Koan bersorak melihat ini.

"Hai, bagus, suhu. Desak dan tekan terus, Ha-ha, supek kalah!"

Namun, Lu Kong Hwesio mendengus. Dia melotot sekejap pada anak laki-laki itu dan tiba-tiba dadanya berombak naik. Itulah pengemposan tenaga atau bangkitnya sumber tenaga baru yang ditarik dari pusar. Hwesio ini tentu saja tak mau kalah dan diapun membentak. Dan ketika serangkum hawa yang amat kuat mendorong dan menolak tenaga sutenya itu, Beng Kong Hwesio terkejut dan membelalakkan mata tiba-tiba ganti hwesio ini yang terdorong dan doyong ke belakang.

“Ha-ha!" Peng Houw ganti tertawa. “Gurumu kalah, Chi Koan. Sekarang suhuku menang!"

“Tak bisa, guruku masih tegak, belum roboh. Kau anak tak tahu ilmu silat lebih baik diam, Peng Houw. Jangan tertawa karena lihat sekarang guruku kembali mendorong gurumu!"

Peng Houw terkejut. Memang tiba-tiba Beng Kong Hwesio susioknya itu berhasil menahan kembali serangan suhengnya dengan bentakan kuat. Diapun mengempos semangatnya dan dadapun berombak, tak mau kalah. Dan ketika hwesio itu juga menarik tenaga dari pusar untuk dikerahkan menahan dorongan Lu Kong Hwesio, mereka sama-sama murid Ji Leng Hwesio ketua Go-bi maka Lu Kong Hwesio merah mukanya melihat sutenya berbuat sama.

"Omitohud, kau keras kepala, sute. Pinceng terpaksa tak mau mundur!"

“Silahkan!” Beng Kong Hwesio juga berseru. "Akupun tak mau sudah, suheng. Kau mentang-mentang dan sombong sebagai saudara tua!"

"Pinceng tak pernah sombong..."

"Kau tak pernah mengalah!" Beng Kong Hwesio membentak. "Persoalan kecil kau besar-besarkan, suheng. Dan sekarang aku tak mau tahu... krak!"

Dan sepuluh jari tangan mereka yang berbunyi satu sama lain, seperti jari patah karena penuh tenaga sakti tiba-tiba membuat keduanya menahan sakit karena baik Beng Kong Hwesio maupun Lu Kong Hwesio sama-sama mendorong dan menambah tenaga. Lu Kong Hwesio terbelalak sementara Beng Kong Hwesio mendelik, muka sang sute bagai dibakar dan sepasang matanyapun berkilat-kilat. Dan ketika uap putih semakin tebal dan masing-masing ganti-berganti terdesak, sebentar Lu Kong Hwesio dan sebentar kemudian Beng Kong Hwesio, masing-masing ternyata sama kuat maka Chi Koan maupun Peng Houw sama-sama tak bersorak mengunggul-unggulkan gurunya lagi.

Dua orang itu sama hebat dan celakanya juga sama-sama memiliki kelebihan sendiri, Beng Kong Hwesio dengan usianya yang sedikit lebih muda tapi Lu Kong Hwesio dengan kematangannya yang lebih sedikit dibanding sutenya, meskipun hwesio itu lebih tua dan karena itu daya tahannya tak sekuat sutenya, kalau mereka beradu lama. Dan ketika masing-masing mencoba menekan dengan kelebihan yang dipunyai sendiri-sendiri, Beng Kong Hwesio dengan usianya yang lebih muda sementara Lu Kong Hwesio dengan kematangannya mengendalikan sinkang, masing-masing bertanding seru maka sepuluh jari kembali berkerotok dan tiba-tiba kelingking kiri Beng Kong Hwesio patah!

"Augh...!” Hwesio itu mendelik.

Lu Kong Hwesio terkejut dan saat itu tiba-tiba timbul penyesalannya. Dia tak bermaksud menyakiti tapi apa boleh buat, hal itu sudah terjadi. Dan ketika dia tertegun dan sejenak konsentrasinya buyar, desakannya berkurang mendadak sutenya itu menggeram dan secepat kilat memasuki kesempatan yang tak akan disia-siakan ini.

"Keparat kau, suheng. Kubalas kau... krak!" dan jari kelingking kanan Lu Kong Hwesio yang patah oleh balasan sutenya tiba-tiba membuat hwesio itu berseru tertahan mendelik pada sutenya. Sinkang dikerahkan lagi dan Beng Kong Hwesio terbahak, inilah kesalahannya. Karena begitu suhengnya marah dan membentak kesakitan, serangan di tangan kanan dirobah ke tangan kiri maka jari manis sutenya patah. Dua lawan satu!

"Augh...!” Beng Kong Hwesio memekik. Dia lupa akan pantangan adu sinkang bahwa sebelum salah satu roboh maka tak boleh yang lain bergembira atau tertawa dulu, meskipun dapat membalas. Pertandingan masih belum selesai dan karena itu masih harus waspada. Dan ketika benar saja kelengahannya dibayar dengan jari manis yang kembali patah, kali ini di tangan kanan maka hwesio itu kesakitan dan melotot lebar.

"Suheng, kau bedebah!"

"Maaf, pinceng tak dapat berbuat lain, sute. Kau yang memaksa!"

"Baik aku akan mengadu jiwa denganmu!" dan ketika Beng Kong Hwesio melotot dan marah, gusar bukan main maka pertandingan itu berjalan lagi dengan masing-masing pihak tak mau lengah.

Kini Lu Kong Hwesio menindas perasaan kasihannya karena sekali dia bersikap begitu maka serangan sutenya tak akan dapat terbendung. Dia akan susah payah mempertahankan diri dan itu berarti bahaya. Dan karena sutenya tampak beringas dan tak mungkin ada yang memisah mereka, ruang Api adalah ruang hukuman di mana tak ada orang lain menjaga maka hwesio itu mengempos semangat untuk menyerang sekaligus bertahan. Apa boleh buat dia harus menghadapi sutenya ini keras dengan keras. Hwesio itu tak boleh ayal-ayalan lagi atau kasihan kepada sutenya. Sutenya itu telah patah dua jari manis dan kelingkingnya, sementara dia hanya kelingking saja.

Dan ketika dua orang itu bertarung semakin hebat, Beng Kong Hwesio mendesak dan sudah pada taraf mengadu jiwa, sang suheng bertahan dan mengubah-ubah gaya serangannya maka sehari semalam mereka berdua telah mengadu sinkang dengan kedudukan masih tetap sama. Namun, seperti yang disebutkan di muka, karena Beng Kong Hwesio lebih muda dan karena itu memiliki daya tahan lebih kuat, Lu Kong Hwesio mulail letih dan mandi keringat maka pada hari kedua ini jari manisnya juga patah.

"Krek!" Beng Kong Hwesio tak tertawa. Belajar pada pengalamannya pertama bahwa tawa akan mengurangi tenaga, hal yang akan membahayakan dirinya sendiri nanti maka hwesio tinggi besar itu hanya tersenyum-senyum saja dengan kedua mata terpejam. Suara itu telah memberi tahu padanya bahwa dua jari suhengnya juga patah. Jadi kedudukan mereka berimbang. Dan ketika Lu Kong Hwesio meringis kesakitan dan menjadi marah, tenaga yang mengendur mendadak bangkit oleh kemarahan yang berkobar maka tiba-tiba dia membuat arus silang pada gempuran sinkangnya.

"Krek-krek!”

Beng Kong Hwesio terpekik. Dua jarinya tiba-tiba patah dan kini tinggallah enam jarinya saja. Tadi suhengnya mendapat tenaga yang begitu luar biasa hebatnya oleh kemarahan yang tiba-tiba menggelegak, kemarahan yang ditimbulkan oleh rasa sakit dari sebuah jari yang patah. Dan ketika hwesio itu berhasil membalas sutenya, membuat sutenya berteriak maka tiba-tiba Beng Kong Hwesio ganti menjadi marah dan mengempos semangatnya. Hwesio ini bagai tungku yang dibakar wajahnya, merah berkilap-kilap. Siapapun yang memandang pasti ngeri. Hwesio ini seolah gila.

Dan ketika hwesio itu menggereng dan menggereng bagai singa dilukai, empat jarinya lunglai namun enam jari yang lain menegang dan keras seperti baja maka gelombang serangan dahsyat menghantam bagai ombak di laut selatan. Lu Kong Hwesio dipaksa habis-habisan untuk bertahan. Namun, karena usianya yang lebih tua tadi, daya tahannya yang tidak sehebat sutenya maka dua jam kemudian sebuah jari lagi di tangan kirinya patah.

"Krek!”

Empat lawan tiga. Kini Lu Kong Hwesio memiliki tujuh jari lagi sementara sutenya enam jarl. Dari sini dapat dilihat bahwa kepandaian Beng Kong Hwesio betul-betul nyaris berimbang dengan suhengnya. Hwesio itu hampir dapat menyamai kedudukan. Dan ketika Peng Houw menangis dan pucat melihat itu, berteriak-teriak agar suhu dan susioknya tidak bertempur maka pada hari ketiga daya tahan Lu Kong Hwesio semakin melemah, siap untuk dihancurkan atau mungkin sama-sama menghancurkan, karena kilatan berbahaya juga mulai tampak di mata hwesio itu. Kilatan untuk mati sampyuh!

“Ha-ha..!” keadaan ini tiba-tiba dipecahkan oleh tawa bergelak yang parau dan nyaring. "Dua murid Ji Leng Hwesio ini sama-sama hebat, Kwi-bo. Lihat tiga hari tiga malam mereka bertanding namun belum ada yang roboh!"

“Hi-hik, benar," sebuah jawaban lain terdengar, bayangannya tak tampak. "Lu Kong Hwesio dan Beng Kong Hwesio ini sama-sama hebat, Coa-ong. Tapi aku berani bertaruh bahwa Beng Kong Hwesio akan mampus terlebih dahulu!”

"Tapi Lu Kong si gundul mulai lemah!"

"Dia sedang bersiap-siap melancarkan Cui-pek-po-kian. Lihat sinar matanya membiru tanda bahaya!”

"Ah, kau benar. Kalau begitu mari menonton lebih dekat dan biar kusaksikan Beng Kong Hwesio dibunuh suhengnya!" sesosok bayangan hitam tiba-tiba berkelebat, datang dari belandar dan Peng Houw tertegun karena di situ tahu-tahu telah berdiri seorang kakek berkulit hitam tertawa-tawa memandang dua orang yang sedang mengadu jiwa ini. Kakek itu tinggi kurus tapi yang mengerikan adalah puluhan ular yang melingkari tubuhnya. Ada tiga puluh lebih dan semuanya bermacam-macam, besar kecil dan hijau kuning tapi semuanya jelas ular-ular berbisa.

Kakek itu terkekeh-kekeh dan empat ekor ular yang melingkari lehernya dielus-elus seperti orang mengelus anaknya, binatang melata itu mendesis-desis dan satu di antaranya membuka mulutnya, menyemburkan uap hitam. Dan ketika kakek itu terbahak dan kiranya kakek inilah yang tertawa tadi, muncul dengan suaranya yang pertama maka ular yang membuka mulutnya dan bersikap seakan mau menggigit itu diketuk batok kepalanya.

"Diam, ha-ha. Mereka itu belum ada yang roboh, Sen-coa. Kalau kau menikmati darah mereka tentu masih panas karena belum selesai beradu sinkang. Lihat, uap panas di kepala mereka belum dingin!"

Peng Houw terbelalak. Kakek yang mengerikan ini lalu menjilat-jilat lidah ularnya, ular cobra merah yang tentu amat ganas sekali racunnya, Kemudian menyuruh ularnya masuk ke mulut, ditarik dan dimasukkan lagi maka kakek itu telah bermain-main dengan hewan piaraannya seperti dengan sepotong coklat yang digigit-gigit kecil!

"Hihh!" Peng Houw merinding. Tentu saja dia mengkirik karena kakek itu benar-benar mengerikan sekali. Namun belum dia berseru atau membentak kakek itu agar tidak mendekati gurunya, karena kakek itu terkekeh-kekeh di belakang gurunya maka menyambar angin harum dan tahu-tahu di dekatnya muncul wanita cantik luar biasa yang kaki dan tangannya penuh gelang gemerincing.

"Hi-hik, kau digantung sekian lama, anak baik? Siapa yang memperlakukanmu? Lu Kong Hwesio itukah? Ah, sungguh dia kejam. Mari kubebaskan dan bunuh si keledai gundul itu!"

Peng Houw terkejut. Tali yang mengikat tubuhnya putus dan tiba-tiba jatuhlah ia ke bawah. Di bawah ada seonggok besar bara api yang menganga. Kalau ia jatuh ke situ tentulah tubuhnya akan matang, seperti sate. Keparat wanita ini! Tapi ketika Peng Houw terpekik dan akan memaki lawannya, wanita bergelang kerincing itu mendadak lengan wanita itu mengebut dan Peng Houw sudah ditarik sebuah tenaga mujijat untuk jatuh dengan kaki lebih dahulu di samping kiri wanita ini.

"Hi-hik, tak usah kau takut. Aku menolongmu, anak baik. Dan siapa namamu."

"Peng Houw...”

"Hm, nama yang bagus, tapi juga bisa berarti jelek. Peng Houw artinya harimau sakit. Apakah kau sering sakit-sakitan?"

"Dulu..." Peng Houw tertegun, menjawab asal saja. “Tapi sekarang tidak lagi dan aku sehat-sehat saja."

"Hi-hik, bagus, Peng Houw. Dan Lu Kong Hwesio itu yang menggantungmu, bukan?”

"Dia guruku...”

"Ah, guru yang kejam tak perlu dianggap guru. Kau telah disakiti, sebaiknya kau bunuh dia. Nih, pisau lipat!"

Peng Houw tersentak. Wanita cantik ini tahu-tahu memberinya sebuah pisau lipat, sudah dibuka dan tinggal menusukkan saja. Dia diminta membunuh gurunya padahal gurunya sedang bertanding dengan susioknya. Dan ketika dia mundur dan tentu saja menolak, matanya menyiratkan kemarahan maka wanita itu terkekeh karena tiba-tiba Chi Koan berteriak padanya.

"Heii, Dewi Cantik. Kenapa kau membebaskan Peng Houw dan tidak perduli kepadaku. Mana janjimu memberikan makanan yang lain lagi!”

"Ah, kau?" wanita ini menoleh, terkejut tapi tertawa lebar. Tawanya menambah kecantikannya sepuluh kali lipat. “Aduh, maafkan aku, anak baik. Kau tentu Chi Koan yang dulu kuberi ang-sio-bak itu.”

"Benar, tapi sekarang aku dihukum di sini. Bocah itu menjebloskan aku tak mau sendirian di ruang Api!”

“Hi-hik, ada aku di sini, tak usah khawatir. Kalau mau bebas tentu saja dengan gampang kulakukan... tuk!" sebuah totokan tiba-tiba membebaskan anak itu.

Chi Koan memang ditotok dan duduk tak berkutik selama tiga hari ini. Tapi karena urat-uratnya masih kaku dan tubuhnya belum bisa pulih seketika, totokan itu membuat ia terguling maka bangku yang diduduki tiba-tiba menggelincir dan anak ini jatuh pula ke ruang bara.

"Heii...!” Chi Koan berteriak dan tentu saja terkejut. "Kau siluman jahanam, Dewi Cantik. Menolong orang tapi menjebloskannya ke ruang neraka!" dan menyambar ini-itu di kiri kanan dinding, kaget tapi tidak takut maka Chi Koan akhirnya berhasil meraih dan menangkap sepotong besi yang merupakan gaetan di dinding, bergelantungan namun tak dapat keluar karena tubuhnya sudah terlempar ditengah-tengah. Ruang bara itu cukup tinggi. Namun ketika anak ini memaki-maki dan wanita cantik itu tertawa kagum, anak ini dapat menyelamatkan diri karena sedikit banyak memang sudah mewarisi ilmu silat Go-bi maka sebuah selendang tiba-tiba telah membelit dan menyentaknya ke atas.

“Naiklah!"

Chi Koan berjungkir balik. Dibanding Peng Houw memang dia lebih mengagumkan, dapat turun kembali dengan ringan karena Beng Kong Hwesio telah mengajarinya ilmu meringankan tubuh. Peng Houw memang belum apa-apa karena sehari-harinya hanya dijejali isi ayat-ayat suci saja, lain dengan Chi Koan yang menomor duakan kitab suci menomor satukan ilmu silat. Maka begitu dia turun dan selamat di lantai, melongok sejenak ke bara api yang hampir menerima tubuhnya tadi maka anak ini memaki.

"Dewi, kau sial jahanam. Kalau memang ingin menolong ya tolonglah baik-baik. Kalau ingin membunuh ya bunuhlah tanpa banyak tingkah. Kenapa kau menakut-nakuti aku dengan menjatuhkannya ke tempat itu? Apakah kau sendiri mau kucemplungkan di kolam neraka itu dan merasakan panas?"

"Panas? Hi-hik, tempat itu tak panas, Chi Koan. Bahkan sejuk dan hangat bagiku. Kau boleh lempar aku ke sana kalau tidak percaya!"

"Apa? Kau main-main?"

"Siapa main-main? Hi-hik, lempar dan buang aku ke sana, Chi Koan. Lihat betapa aku akan meram-melek di tempat hangat itu!"

"Kalau begitu biar kucoba... haittt!” dan anak ini yang mengangkat dan menyambar tubuh si cantik, tak segan-segan atau ragu lagi mendadak membuang tubuh lawannya itu ke bara api yang menganga. Kolam itu merah marong dan siapa pun pasti tahu bahwa tempat itu panas sekali. Chi Koan yang berada di dekatnya saja hampir tak tahan dan muka pun seperti dibakar. Tapi ketika wanita itu dilempar dan dibuang, tertawa, maka anak ini maupun Peng Houw terbelalak dan sama-sama tertegun karena dengan enak dan ringan bara api di kolam itu diinjak dan wanita itu tak apa- ap biarpun jelas bara yang menganga itu membakar tumitnya!

"Lihat!" anak ini hampir tak percaya. "Lihat dan perhatikan baik-baik, Chi Koan. Aku akan mandi bara!" dan ketika wanita itu terkekeh dan menendangi bara-bara menyala, jatuh dan menimpa tubuhnya maka benar-benar wanita ini mandi bara api seperti orang mandi bongkahan es! Wanita itu enak saja menendangi dan meraih bara-bara menyala, menggosok atau melumurkannya ke seluruh tubuhnya. Dan ketika wanita itu berjingkrak dan menari-nari dengan bara berhamburan di sekujur tubuhnya maka Peng Houw maupun Chi Koan tak percaya dan membelalakkan matanya lebar-lebar seolah menyaksikan sebuah pertunjukan sihir.

"Selesai!" wanita itu terkekeh, meloncat dan berjungkir balik ke atas. “Sudah kau lihat bahwa api itu bukan apa-apa bagiku, Chi Koan. Dan kaupun dapat melakukan ini kalau menjadi muridku!"

"Apa?”

“Hi-hik! Kau mau menjadi muridku, bukan? Kau ingin seperti aku memiliki kesaktian yang demikian tinggi?"

"Aku suka, tapi..." Chi Koan menghentikan kata-katanya. Di sana guru dan uwa gurunya tiba-tiba sama-sama mengeluarkan seruan keras. Begitu keras seruan itu hingga dinding ruangan bergetar. Dan ketika dia menoleh dan ingat akan ini ternyata kedua orang itu sudah bangkit berdiri dan kini masing-masing dorong-mendorong dengan amat hebatnya, ah-uh-ah-uh.

“Hi-hik, pertandingan sudah mendekati puncak, Chi Koan, Aku menjagoi Lu Kong Hwesio!"

"Hm, aku Beng Kong Hwesio!" Si kakek berlilit ular tiba-tiba maju, tertawa aneh. "Ayo kita bertaruh, Kwi-bo. Kau atau aku yang menang!"

"Hi-hik, siapa takut?" Kwi-bo berkelebat, sudah berdiri di samping kakek ular. “Aku terima tantanganmu, Coa-ong. Tapi aku yang pasti menang!"

“Heh-heh, belum tentu. Ayo apa taruhanmu kalau kau kalah!”

"Aku menyiapkan kepala!" si cantik itu berseru. "Dan kau apa, Coa-ong. Harus imbang agar adil!"

"Wah, akupun juga kepala, he-heh!" dan ketika dua orang itu berolok dan saling mengejek, Lu Kong Hwesio maupun Beng Kong Hwesio merah padam mendengar itu, terpaksa melanjutkan adu sinkang dan tak dapat melepaskan diri karena sama-sama bertahan dan menyerang, sedikit lengah tentu roboh binasa maka Lu Kong menggeram melepas semua kekuatannya.

"Sute, pinceng terpaksa membunuh!"

"Aku juga. Kau... ugh!" Beng Kong Hwesio tak dapat melanjutkan kata-katanya, terkejut karena dari telapak tangan suhengnya mendadak muncul tenaga dingin yang membuat jari-jarinya kaku. Mereka sudah bertanding pada hari ketiga dan ini penentuan terakhir. Selama ini masing-masing mengeluarkan tenaga panas tapi kini suhengnya mendadak mempunyai tenaga dingin, tentu saja Beng Kong Hwesio terkejut. Dan ketika hwesio itu tersentak dan membelalakkan mata, telapak suhengnya mendorong dan dia terhuyung tiba-tiba Beng Kong Hwesio kalah kuat dan miring tubuhnya!

"Hi-hik, aku menang, Coa-ong. Lihat jagomu bakal pecundang!"

“Siapa bilang?" si kakek mendebat. “Jagoku belum roboh, Kwi-bo. Dan orang yang belum roboh masih mempunyai kemungkinan-kemungkinan!"

"Ah, kau tolol dan goblok, tak tahu diri. Sudah jelas kalah kuat masíh juga cerewet. Lihat, tiga detik lagi Beng Kong Hwesio mampus!"

Dua hwesio itu melotot. Lu Kong Hwesio memang memberi tekanan dan kematangan hwesio ini dalam pengendalian sinkang dipergunakan baik-baik. Tenaga dingin yang menjadi simpanannya tiba-tiba dikeluarkan, berbalik dari tenaga panas yang selama ini mendominasi serangan. Dan ketika sutenya tampak terkejut dan tak menyangka, itulah kelebihan hwesio ini dibanding sutenya maka Beng Kong Hwesio yang tersentak dan tertegun sekejap sudah dihantam dan dibekukan tenaga dingin. 

Sang suheng menindas dan menekan dengan amat hebatnya, sang sute kalah posisi. Tapi ketika Beng Kong Hwesio berkutat dan benar-benar adu nyawa, tubuhnya terdorong dan kian terdorong, miring, mendadak Coa-ong mengeluarkan tawa aneh dan tangan kanannya bergerak ke depan.

"Wah, jagomu menyebalkan. Tapi dia pasti roboh!" dan seekor ular yang menyambar dan dilepas kakek ini mendadak meluncur ke kepala Lu Kong Hwesio. Hwesio ini sedang mengerahkan semua tenaganya untuk menyelesaikan pertandingan, tentu saja dia tak menyangka itu. Maka begitu dia tersentak dan kaget, konsentrasinya berantakan maka sutenya berhasil memperbaiki diri bersamaan dengan jeritan Lu Kong Hwesio yang dahinya sudah dipagut ular.

"Aughh...!” Lu Kong Hwesio roboh. Dahi hwesio itu seketika menjadi kehitaman tapi yang lebih berbahaya adalah balasan sutenya yang tertolong oleh kejadian ini. Pukulan Beng Kong Hwesio menyambar dan langsung menghantam dada Lu Kong Hwesio. Dan ketika hwesio itu roboh dan terjengkang, dahi kehitaman sementara isi dadanya remuk maka hwesio itu seketika tewas dengan pekik pendek.

"Bluk!”

"Wah, jagomu menyebalkan. Tapi dia pasti roboh!"

Seekor ular yang menyambar dan dilepas kakek ini mendadak meluncur ke kepala Lu Kong. Namun Beng Kong Hwesio pun sempoyongan dan ikut roboh. Hwesio ini terbawa oleh sisa pukulannya dan juga oleh kelelahan sangat yang telah dialaminya tiga hari berturut-turut. Suhengnya bukanlah orang sembarangan! Tapi ketika dua hwesio itu sama-sama roboh, Lu Kong Hwesio tewas sementara Beng Kong Hwesio terguling kehabisan tenaga maka Peng Houw memekik dan menubruk mayat gurunya itu, ular hitam sudah lari menyingkir.

“Suhu...!” Anak itu menjerit dan memanggil nama gurunya. Lu Kong Hwesio diguncang-guncang tapi hwesio itu tentu saja diam tak bergerak, dari mulutnya meleleh darah segar. Tapi ketika Peng Houw mengguguk dan sedih serta berduka, tiba-tiba teringat bahwa kematian gurunya adalah akibat kecurangan si kakek ular sekonyong-konyong anak itu membalik dan menerjang kakek ini, penuh kemarahan. "Kau siluman kejam jahanam!"

Coa-ong, kakek itu, tertegun. Dia tertawa-tawa menagih kemenangannya kepada Kwi-bo. Wanita cantik di sebelahnya terbelalak dan terkejut. Sebenarnya kalau kakek ini tidak curang tentu Lu Kong Hwesiolah yang menang, karena Beng Kong Hwesio tertekan dan jelas menunggu kekalahannya saja. Tapi begitu dia sadar dan terkekeh, orang-orang sesat macam mereka memang bisa saja melakukan perbuatan-perbuatan tak diduga maka saat itulah Peng Houw menyerang kakek ini dengan penuh kemarahan. Anak itu tak perduli ular-ular yang bergelantungan di tubuh si kakek, berteriak dan memaki dan tinjunyapun mendarat di perut lawan.

Tapi ketika Coa-ong terkekeh dan membiarkan serangan Peng Houw, karena anak itu terbanting dan menjerit sendiri karena tangannya bengkak, perut si kakek seolah besi panas berpijar maka Peng Houw bergulingan meloncat bangun dan sekejap ngeri oleh kehebatan lawannya ini. Tapi Peng Houw segera teringat kematian gurunya lagi. 

Kematian gurunya itu membangkitkan keberanian dan kemarahannya. Peng Houw melengking dan menubruk lagi. Tapi ketika tiga kali berturut-turut dia terbanting dan mengaduh kesakitan, dua tangannya bengkak tak dapat digerakkan lagi maka saat itulah si kakek terkekeh dan melepas satu ularnya lagi, mata tiba-tiba berkilat menyatakan keinginan membunuh.

"Bocah tak tahu adat, guru mati masih juga ingin bertingkah. Mampuslah!"

Namun Kwi-bo menjeletarkan rambutnya. Terkekeh mendahului serangan itu, Peng Houw terbelalak dan tertegun di tempat, tak mampu mengelak, mendadak wanita cantik ini bergerak aneh. Rambut di kepalanya menyibak dan yang sebelah kanan menghantam ular yang meluncur ke arah Peng Houw. Lalu ketika ular terbanting dan mati, kepalanya pecah, maka wanita itu menggerakkan rambut yang lain untuk menyambar dan membetot Peng Houw.

“Hi-hik, jangan bunuh anak ini, Coa-ong. Dia tak kalah berani dan gagah dengan Chi Koan. Aku ingin memilikinya!"

Coa-ong tertegun. Si kakek terkejut karena ularnya mati dibunuh, temannya itulah yang membunuh. Tapi ketika ia menggeram dan melotot, marah, maka Peng Houw tiba-tiba memberontak dan melepaskan diri.

“Lepaskan aku. Biar... biar kubunuh kakek itu!"

"Hi-hik, siapa yang kau bunuh?" Kwi-bo terkekeh dan menotok anak ini, melihat Coa-ong kembali menyinarkan kilatan berbahaya. “Kau diam di sini saja, bocah. Dan nanti bersenang-senang dengan aku!" dan ketika Peng Houw mengeluh dan tertotok, lumpuh, maka Coa-ong bergerak dan menuntut wanita ini.

"Kwi-bo, kau kalah. Dan anak itupun tak berguna bagimu. Serahkan kepadaku dan tepati janji taruhanmu!"

"Hm, janji apa?"

"Kau ingin menyerahkan kepalamu kepadaku. Hayo mana kepalamu dan jangan pura-pura!”

"Hi-hik, siapa bilang begitu? Kau bodoh dan tolol, Coa-ong. Pantas kalau kau demikian pandir, suka berbuat curang. Aku tak merasa kalah dan kaulah yang licik membunuh jagoku!"

"Benar!" Peng Houw menggigil. "Biarkan aku menghajarnya, locianpwe. Kakek itu jahat dan keji. Kau tentu dapat menolongku membalas dendam!”

"Hm, lihat!" kakek itu mendengus, berkilat-kilat. "Anak sekecil ini sudah ingin membalas dendam, Kwi-bo. Kalau tidak diberesi sekarang tentu bakal merepotkan di belakang hari. Serahkan kepadaku, atau kau mampus!"

Kwi-bo, si cantik ini, tertawa. Dia tak menghiraukan temannya yang bersikap beringas. Kakek itu marah karena ancaman Peng Houw. Tapi ketika kakek itu mau menyerang dan Kwi-bo bersiap-siap, gelang di tangan dan kakinya berkerincing nyaring tiba-tiba berkelebat bayangan Chi Koan yang membentak mereka.

"Nanti dulu, stop. Aku ada di sini sebagai wakil guruku. Siapa kalian berdua ini dan kenapa datang-datang membuat ribut. Aku hanya kenal dewi yang cantik ini tapi tidak kepadamu!"

"Hm, kau ikut aku!" Coa-ong tiba-tiba bergerak, bahu Chi Koan sudah dicengkeram. "Aku Coa-ong si Raja Ular, bocah. Dan gurumu itu sudah mampus tak perlu dipikiri!"

Namun Chi Koan berontak. Dia menendang dan memukul kakek itu tapi sayang lawannya terlalu lihai. Si kakek mendengus dan ditotoklah Chi Koan hingga tak berdaya sama sekali. Dan ketika kakek itu mencengkeram anak ini hingga Chi Koan meringis maka tangannya yang lain bergerak dan tahu-tahu ular besar yang bergelantungan di lehernya itu dihadapkan ke wajah si anak.

“Kalau kau macam-macam ular ini akan menelan kepalamu!"

“Persetan dengan ular itu!" Chi Koan melengking, tiba-tiba membuka mulutnya. "Hayo, dekatkan lagi kepadaku, kakek siluman. Dan aku atau dia yang akan menelan!”

"Hi-hik," Kwi-bo terkekeh, kagum. "Lihat betapa beraninya anak-anak ini, Coa-ong. Tak salah kalau Beng Kong Hwesio atau Lu Kong Hwesio mengambilnya sebagai murid. Apakah kau benar-benar hendak membunuh anak seperti itu? Kalau benar, bodoh sekali!"

Coa-ong tertegun. Ular di tangannya marah dan mendesis-desis. Tantangan Chi Koan seakan dimengertinya dan ular itu membuka mulutnya lebar-lebar, anak itu siap dicaplok. Chi Koan sama sekali tak takut akan rongga mulutnya yang merah dan juga lidahnya yang menjilat-jilat, buas. Tapi ketika Coa-ong datang rasa kagumnya dan tertawa bergelak, ular di tangannya ditarik kembali maka kakek itu berseru, "Benar, bocah ini luar biasa, Kwi-bo. Aku lalu ingin mengambilnya sebagai murid. Eh, bagaimana dulu dengan perjanjianmu tadi. Mana kepala taruhanmu!”

“Kau masih ngotot juga? Sialan, tak tahu diri. Kau minta dihajar, Coa-ong. Tapi aku orang yang selalu menepati janji. Baiklah, curang tidak curang memang kau yang menang. Aku akan membayar kekalahanku tapi aku tidak berjanji untuk membayarnya dengan kepalaku sendiri!"

"Eh, kau mau ingkar?"

“Hi-hik, ingat dan ulangi apa yang kujanjikan tadi, Coa-ong. Kalau aku menang maka kau membayar dengan kepalamu. Tapi kalaú aku yang kalah maka aku akan membayarnya dengan kepala, entah kepala siapa aku tidak bilang, pokoknya kepala!"

“Licik!" Coa-ong tiba-tiba berseru. “Kalau tahu begitu tak perlu aku membantu jagoku, Kwi-bo. Karena akupun dapat membayar dengan kepala siapa saja, kalau perlu kepala ularku!"

“Hi-hik, itulah bodohmu. Dan karena itu maka kau berbuat curang, takut kehilangan kepalamu!”

"Tentu saja, siapa mau kehilangan kepala? Ha-ha, kau pintar dan tak kalah curang, Kwi-bo. Tapi aku tetap menuntut kepala yang kau janjikan!"

"Hm, muridku ini akan memberinya,” Kwi-bo tersenyum, membebaskan dan menurunkan Peng Houw. "Kau hadapi si kakek iblis itu, Peng Houw. Aku akan melindungimu dari sini."

"Apa yang harus kulakukan?"

"Mudah saja, memberinya sebuah kepala.”

"Kepala? Kepala siapa?"

"Hm, kau mau menjadi muridku, bukan? Kau mau memusuhi si kakek ular itu?"

“Tentu saja!" Peng Houw berang. "Dia membunuh guruku, Kwi-bo. Dan aku akan membalas kematian guruku!" Peng Houw ikut-ikutan memanggil Kwi-bo, tak tahu nama wanita cantik ini tapi itulah nama julukannya.

Dan ketika wanita itu terkekeh dan mengangguk gembira, Peng Houw bersiap- siap maka anak itu disuruh mengambil mayat gurunya. "Kalau begitu bawa ke sini mayat gurumu itu. Dan aku yang akan membalaskan dendammu!"

Peng Houw menurut. Menangis dan tiba-tiba bercucuran air mata ia berlari mengambil mayat gurunya itu. Lu Kong Hwesio telah tewas. Dan ketika Kwi-bo tersenyum dan membelai kepalanya, anak itu mengharap pertolongan maka tiba-tiba secara mengejutkan wanita ini melolos sebuah pisau dan menyuruh Peng Houw memenggal mayat gurunya.

"Orang yang mati penasaran harus disempurnakan jenasahnya. Penggal mayatnya dan berikan kepada Coa-ong!”

“Apa? Me.... memenggal?"

“Ya, kepala gurumu harus diberikan kepada kakek itu, Peng Houw. Itu tandanya kau mengikat dendam.”

"Tapi... tapi guruku sudah mati. Tak boleh diganggu!"

"Hm, tidak mengganggu, Peng Houw, justeru menyempurnakan jenasahnya agar rohnya hidup tenang di alam baka!"

Peng Houw tertegun. Pelajaran begini jelas belum pernah didapatkannya dari siapapun juga. Semula dia tak menduga buruk karena wanita itu tadi menolongnya dari ancaman Coa-ong. Tapi ketika ingat bahwa wanita ini terikat “perjanjian" dengan Coa-ong, tentang sebuah kepala tiba-tiba Peng Houw sadar bahwa dia dipermainkan. Tak ada mayat yang harus dipenggal kepalanya untuk menyempurnakan kematiannya. Hal itu hanya perbuatan orang-orang sesat, orang-orang gila! Dan ketika Peng Houw terbelalak dan merah mukanya, wanita itu dipandangnya dengan mata mendelik mendadak Peng Houw berteriak dan menerjang wanita ini!

“Ha-ha!" Coa-ong tertawa bergelak. "Muridmu gagal, Kwi-bo. Kau tak dapat mempengaruhinya!"

Kwi-bo tertegun. Peng Houw menyerangnya dan anak itu benar-benar tak patuh kepadanya. Dan melihat betapa anak itu marah kepadanya, memukul dan menendang maka wanita ini tersenyum aneh dan tiba-tiba berseru, "Peng Houw, jangan kau gila. Tanganmu nanti bengkak lagi!"

Peng Houw tak perduli. Tadi tangannya sudah disembuhkan wanita cantik ini tapi sekarang dipergunakan memukul lagi. Dia marah karena menganggap wanita itupun tak kalah jahat dengan Coa-ong. Dan ketika pukulannya mendarat dan lawan tak mengelak maka Kwi- bo yang mendongkol kepada anak ini mengerahkan sinkangnya, sama seperti Coa-ong tadi.

"Buk-bukk!"

Peng Houw menjerit. Dua pukulannya tertolak seperti membentur lempengan baja, terpelanting dan kontan anak itu berteriak kesakitan. Tapi karena Peng Houw adalah Peng Houw dan semakin dia kesakitan semakin anak itu kalap maka Peng Houw meloncat bangun dan menerjang lagi. Kaki tangannya bergerak memukul dan menendang namun lagi-lagi anak itu menjerit. Semakin keras dia memukul semakin hebat pula rasa sakitnya. Akhirnya tangan dan kakinya bengkak-bengkak pula. Dan ketika Peng Houw bergulingan mengaduh-aduh, anak itu tak mampu lagi menyerang maka Chi Koan terbahak dan mengejek di cengkeraman Coa-Ong.

"Bagus... bagus. Lemparkan saja anak itu ke perapian, Kwi-bo. Dan panggang dagingnya seperti sate!"

“Hush, kau tak kasihan?"

"Kasihan apa? Dia musuhku, aku tak suka kepadanya!"

"Tapi aku ingin mengambilnya sebagai murid. Dia penuh keberanian!"

"Hm, kalau begitu coba diadu dulu dengan bocah ini," Coa-ong tiba-tiba terkekeh, menyeringai. "Kau juga bodoh dan tolol, Kwi-bo. Tak mungkin anak itu mau. Hei, ini calon muridku sekarang. Mari kita adu!"

Chi Koan sudah dilepas. Anak itu ditanya apakah mau menjadi murid si kakek ular, dijawab mau tapi tiba-tiba tertegun ketika gurunya, Beng Kong Hwesio, sadar dan mengeluh. Dan ketika anak itu tak jadi berlari dan Coa-ong mengerutkan keningnya, tak senang, maka sebuah helaan napas panjang tahu-tahu terdengar di pintu dan Ji Beng Hwesio, wakil ketua Go-bi muncul, seperti iblis.

"Omitohud, kaliankah yang membuat ribut-ribut, Coa-ong? Dan murid pinceng Lu Kong tewas?"

Dua orang itu terkejut. Kwi-bo mendadak berkelebat dan menyambar Peng Houw. Anak itu bangkit berdiri dan berseru memanggil susiok-kongnya, sementara Chi Koan berdiri pucat dan mukapun berubah. Dan ketika Peng Houw ditutup mulutnya oleh totokan Kwi-bo, anak ini tak dapat bergerak dan mendelik memandang lawan maka Beng Kong Hwesio yang sadar dan baru saja membuka matanya tiba-tiba juga tampak terkejut dan pucat memandang wakil ketua Go-bi itu, yang berdiri tenang.

"Omitohud, apa yang terjadi, Beng Kong? Bagaimana suhengmu sampai terbunuh?”

"Ampun...” Beng Kong terhuyung dan bingung menjawab. "Suheng... suheng dibunuh Coa-ong, susiok. Kakek ini datang dan mengganggu kami...!”

"Hm, dengan pukulan apa?”

“Dengan... dengan ular beracunnya. Coa-ong berbuat curang!"

"Omitohud!" kakek itu memandang Coa-ong, tak berkedip. "Kau sungguh keji, Coa-ong. Tiada dosa tiada salah tíba-tiba datang dan membunuh seorang murid Go-bi. Ah, kedatanganmu tentu selalu mengacau!"

"Ha-ha!" Coa-ong melirik Beng Kong Hwesio. "Aku hanya membantu murid keponakanmu itu, Ji Beng. Dia tadi bertempur dan sudah tiga hari tiga malam tiada berkesudahan. Aku ingin membantunya karena Beng Kong siap mampus!"

"Omitohud, begitukah? Coba pinceng periksa!" dan ketika kakek itu bergerak dan tahu-tahu menyambar mayat Lu Kong, memeriksa, maka berkerutlah kening kakek itu memandang mayat Lu Kong Hwesio yang hancur dadanya. Sekali periksa segera dia tahu bahwa itulah pukulan sinkang Thai-san-ap-ting (Gunung Thai-san Tindih Kepala), satu ilmu dari Go-bi dan itu tentulah pukulan Beng Kong. Dan ketika dia memandang murid keponakannya itu dan Beng Kong menggigil, tak mungkin hwesio ini mampu menyembunyikan diri dari susioknya maka hwesio itu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut.

"Maaf, kami berdua memang bertempur, susiok. Tapi Coa-ong tiba-tiba meluncurkan ularnya dan membunuh suheng. Pukulanku hanya sebagai akibat dari pukulan suheng yang membalik!"

"Tapi pukulanmu keras juga," Ji Beng Hwesio tampak berobah mukanya, tak dapat menahan marah. “Kalian berdua kiranya telah bertanding mati-matian, Beng Kong. Kalau tidak tak mungkin isi dada suhengmu sampai hancur dan melesak begini. Omitohud, kalian melanggar pantangan di ruang Api!" dan terkejut serta marah memandang murid keponakannya, hwesio renta ini menggigil sejenak tiba-tiba dia teringat Coa-ong dan tertegun memandang Chi Koan.

“Kau... kenapa tak ke sini?"

Chi Koan terkejut.

“Dan kau juga,” kakek itu menoleh kepada Peng Houw, yang ditotok dan tak dapat berkutik di bawah kekuasaan Kwi-bo. “Kalian anak-anak kecil tak memberi tahu pinceng, Chi Koan. Kalian harus ditanya dan harus menjawab jujur. Ke marilah!" dan ketika hwesio itu meletakkan Lu Kong Hwesio dan menggerakkan tangan ke kiri dan kanan, masing-masing ke arah Chi Koan dan Peng Houw maka menyambarlah angin dahsyat ke arah dua anak itu, atau tepatnya, ke arah Coa-ong dan Kwi-bo karena memang dua orang inilah yang dituju Ji Beng Hwesio.

Wakil ketua Go-bi ini hendak merampas anak-anak muridnya tapi Coa-ong dan Kwi-bo tentu saja tak mau, Mereka berkelit namun aneh dan ajaib pukulan si hwesio terus saja mengikuti. Dan ketika dua orang itu terkejut dan berteriak marah, tenaga sedot yang kuat menarik Chi Koan dan Peng Houw maka Raja Ular maupun temannya menggerakkan tangan menolak.

"Des-plak!"

Si hwesio berseru perlahan. Jubahnya berkibar namun kakinya tidak bergeming, tanda bahwa tangkisan atau tolakan lawan tidak berpengaruh baginya. Dan ketika dia berseru lagi dan memutar lengan jubahnya dua kali, angin menyambar dan membetot dua orang itu tiba-tiba Coa-ong maupun Kwi-bo menjerit karena mereka tertarik ke depan.

"Keparat!”

"Jahanam!"

Kwi-bo dan Coa-ong melepas anak-anak di tangan mereka. Serangan Ji Beng Hwesio teramat kuatnya hingga dengan sebelah lengan saja tak mungkin dilawan. Mereka harus mempergunakan dua tangan mereka dan membentaklah Coa-ong mendorong dengan amat hebatnya. Dan ketika Kwi-bo juga melengking dan menggerakkan kedua lengannya ke depan, menampar, maka terdengar suara duk-duk yang keras dan tubuh Ji Beng Hwesio terhuyung sedikit, namun dengan amat lihai kebutan lengan jubahnya miring ke samping dan Peng Houw maupun Chi Koan melayang ke arahnya, tersedot!

"Omitohud, kalian masih lihai, Coa-ong. Tapi anak-anak telah kembali ke tanganku. Terima kasih!"

"Keparat!" Coa-ong menggigil dan melotot memaki hwesio itu. “Kau licik dan tak tahu malu, Ji Beng. Merampas anak secara pengecut. Hayo, terima ini dan mampuslah... wut!” seekor ular dilepas, terbang dan meluncur menyambar hwesio itu. Namun Ji Beng mengucap puja-puji menjentikkan kuku jarinya. Dan ketika terdengar suara "tas" dan ular itu jatuh, kepalanya pecah maka Coa-ong mencak-mencak dan naik pitam, ular besar di lehernya dilepas dan diputar-putar.

"Terkutuk dan pembunuh!" kakek itu berseru. "Kau menghilangkan nyawa peliharaanku, Ji Beng. Mana khotbah mu tentang pantang membunuh. Kau melanggar aturan Buddha!"

“Omitohud, pinceng tak bermaksud membunuh, Coa-ong, hanya lemparanmu yang terlalu kuat dan kepala ularmu yang terlalu lemah. Ah, pinceng tak mau mengotori ruangan ini dan mari keluar!" si hwesio berkelebat, tak mau bertanding di ruang Api dan Peng Houw serta Chi Koan dibawanya pula.

Coa-ong dan Kwi-bo mendelik marah dan mengejar, tangan mereka bergerak menghantami apa saja yang ada di situ, hio- lou atau tempat perapian. Dan ketika benda- benda itu berantakan dan pecah, anak-anak murid segera melihat tiga orang ini maka mereka geger dan seketika seruan atau pemberitahuan akan musuh terdengar di mana-mana.

Namun Ji Beng Hwesio menyuruh diam. Hwesio itu berseru agar anak-anak murid tak membuat gaduh. Hwesio ini telah berdiri di sebuah pelataran luas, jauh di tengah halaman sana, terlindung dari beberapa pohon yang hijau dan subur. Dan ketika Kwi-bo maupun Coa-ong menghalau murid-murid Go-bi yang coba mendekat, bermaksud jual keberanian namun justeru dibuat terpelanting bergulingan maka hwesio itu berseru lagi agar anak-anak murid mundur, melempar Chi Koan dan Peng Houw ke tanah.

"Biarkan mereka ke sinl, jangan dihadang!”

"Ha-ha!" Coa-ong tertawa bergelak, suaranya menggetarkan. “Biarkan mereka mampus, Ji Beng Hwesio. Biarkan aku membunuh murid- muridmu yang tak tahu diri ini. Hayo, ke mari kalian. Boleh datang sepuluh lagi!"

Namun anak-anak murid mundur menjauh. Tujuh di antaranya terluka dan mereka itupun pucat. Setelah tahu siapa yang datang maka tergetarlah mereka melihat Coa-ong. Beberapa tahun yang lalu kakek inipun pernah ke Go-bi dan membuat heboh. Kini datang lagi dan bersama seorang wanita cantik yang juga segera mereka kenal. Itulah Kwi-bo, Ratu Iblis yang merupakan satu di antara Tujuh Siluman Langit. Coa-ong pun juga termasuk di antaranya dan mereka berdua tiba-tiba muncul di situ.

Dan ketika murid-murid mundur menjauh karena Ji Beng Hwesio sudah ada di situ maka tujuh yang luka digotong ke belakang sementara yang lain mengepung atau berdiri mengelilingi kakek Raja Ular itu, bersiap-siap sambil melirik ke kiri kanan takut barisan ular datang. Coa-ong adalah raja ular yang lihai!

“Omitohud, selamat datang...!" Ji Beng sudah merangkapkan kedua tangannya dan berbasa- basi, menahan marah. "Kalian telah datang tanpa diundang, Coa-ong, dan membunuh Lu Kong Hwesio pula. Bolehkah pinceng tanya apa yang menjadi tujuan kalian hingga datang ke mari?"

Para murid Go-bi berisik. Mereka tiba-tiba terkejut dan marah mendengar itu. Lu Kong Hwesio kiranya tewas! Tapi ketika Ji Beng Hwesio memandang mereka dan suara seperti tawon itu lenyap, Coa-ong terkekeh maka kakek itu memandang temannya.

“Aku hanya ikut-ikutan si Kwi-bo ini. Dia yang mengajakku. Biarlah dia yang menjawab dan kau boleh dengar kata-tanya!”

“Hm,” hwesio itu berkilat, merangkapkan tangannya kepada Kwi-bo. "Begitukah, Kwi-bo? Apa maksud kedatanganmu?"

"Hi-hik, aku hanya iseng-iseng saja. Barangkali di sini ada calon-calon hwesio tampan!”

“Itu bukan jawaban," Ji Beng Hwesio merah mukanya. "Kau tak perlu bohong, Kwi-bo. Beritahukan kepada pinceng siapa tahu hukuman lebih ringan untukmu.”

“Iihh...!” si Kwi-bo mendecak genit. "Hukuman? Memang apa kesalahanku? Eh, jangan main-main, Ji Beng Hwesio. Aku tak mengganggu muridmu dan Lu Kong Hwesio tewas oleh tangan Coa-ong!”

“Tadi kami bertaruh," Coa-ong berseru. "Aku menjagoi Beng Kong tapi Kwi-bo menjagoi Lu Kong!"

"Tentu saja!” Kwi terkekeh. "Lu Kong lebih kuat daripada sutenya, Coa-ong. Dan kau sendiri tahu itu. Tapi kau sengaja memilih Beng Kong!"

"Heh-heh, karena memang aku ingin memberi makan ularku. Si Hitam tadi lapar, darah segar Lu Kong tentu nikmat baginya. Eh, kau tak perlu mengelak jawaban keledai gundul ini, Kwi-bo. Katakan saja terus terang bahwa kau mencari kitab Bu-tek-cin-ong!"

Ji Beng Hwesio tiba-tiba berubah. Begitu Coa-ong berkata tentang kitab Bu-tek-cin-ong (Kitab Maharaja Cin Tanpa Tanding) mendadak hwesio renta yang selalu meram melek itu tiba menbuka matanya lebar-lebar. Apa yang tampak di wajah hwesio tua ini adalah kekagetan luar biasa. Coa-ong telah bicara tentang sebuah kitab maha-rahasia Go- bi! Tapi ketika hwesio itu batuk-batuk dan merangkapkan kedua tangannya, cepat mengeluarkan tasbeh dan berketrik membaca doa maka hwesio itu berseru perlahan melihat pula perubahan wajah anak-anak murid Go-bi.

"Omitohud, kau melantur dan bicara tak keruan, Coa-ong. Sungguh tak mengerti pinceng akan kata-katamu."

“Ha-ha!" kakek itu tertawa lagi, bergelak. “Kau hwesio tua mulai bohong, Ji Beng. Tak pantas dengan kedudukanmu sebagal wakil ketua Go- bi. Hayo, mana Ji Leng Hwesio yang tak pernah keluar-keluar. Bukankah ia sedang melatih Bu-tek-cin-ong!”

"Omitohud...!" sang hwesio tak dapat menahan marahnya lagi. "Kau melantur dan bicara semakin ngawur, Coa-ong. Ketua kami tak pernah keluar karena sedang bertapa membersihkan diri. Kalian mengacau, harus ditangkap!" dan ketika lengan Ji Beng mengembang ke kanan kiri maka Coa-ong tahu-tahu dikepung dua pukulan dahsyat yang membuat ia berteriak dan menjejakkan kakinya kuat-kuat meluncur ke atas.

"Haiyaaa...!” Coa-ong lolos dari sergapan maut. Dua pukulan itu beradu sendiri dan terdengarlah ledakan mengguncangkan tempat itu, asap bergumpal namun cepat menghilang kembali. Dan ketika kakek itu turun namun sudah di tempat lain, berjungkir balik maka Coa-ong, melotot memaki lawannya. "Heh, kau menyerang tak memberi tahu, Ji Beng? Bersikap curang dan tidak ksatria?"

"Pinceng tak dapat banyak mułut lagi dengan kalian. Menyerahlah, atau pinceng terpaksa melakukan kekerasan!"

“Ha-ha, si keledai gundul mulai tampak boroknya. Eh, jangan menonton saja, Kwi-bo. Kita harus membalas!"

Kwi-bo terkekeh. Dia geli melihat kawannya jungkir balik diserang, pemandangan itu lucu. Namun ketika wanita ini tertawa dan geli sendirian, Coa-ong melotot tiba-tiba berkesiur angin dingin mencegatnya dari kiri kanan pula. "Keparat!” wanita itu terkejut. “Kau licik, Ji Beng. Curang!" dan ketika dia menangkis dan tidak meloncat tinggi seperti temannya, Kwi- bo mengerincingkan gelang-gelang di tangannya maka pukulan si hwesio disambut namun wanita ini malah terpental.

"Haiyaaa...!" Coa-ong ganti terkekeh-kekeh, Kwi-bo berjungkir balik menyelamatkan diri. "Kau jahanam, Ji Beng. Tapi aku membalas... cringg!” dan Kwi-bo yang melayang turun di sebelah, membentak, tiba-tiba melepas satu pukulan panas ke arah lawan.

Ji Beng menyambut dan lagi-lagi wanita itu terpental. Ternyata Kwi-bo kalah kuat! Dan ketika wanita itu menjerit dan marah sekali, melengking- lengking maka Coa-ong ganti menerima pukulan dan Ji Beng Hwesio tiba-tiba berkelebatan mengelilingi lawannya itu, menggempur dengan pukulan-pukulan berat. "Pinceng harus menangkap kalian, menyerahlah!"

Kwi-bo dan Coa-ong memaki-maki. Mereka diserang namun secepat itu pula mereka berkelit, menghindar dan membalas dan segeralah terjadi pertandingan seru di sini. Kakek ular dan si Ratu Iblis sama-sama didesak, sekejap saja mereka sudah dibuat kaget oleh bayangan si hwesio yang berkelebatan mengelilingi mereka. Dan ketika suara dak-duk selalu disusul tubuh mereka yang terpental, sinkang hwesio itu luar biasa sekali maka Kwi-bo tiba-tiba melengking dan melakukan gerakan salto yang membuat ia keluar dari kurungan lawan.

"Awas, panggil saja ular-ularmu. Si tua bangka ini masih cukup lihai!"

“Hm, kita masih dapat bertahan. Kalau aku benar-benar terdesak tentu kupanggíl anak-anakku, Kwi-bo. Kau sebaiknya mengeluarkan Thian-mo-bu mu dan menarilah melayani keledai gundul ini!"

"Baik, dan kau Coa-heng-li-hoan mu, Coa-ong. Awas, jangan sampai terlambat.... des-cringg!" si Kwi-bo dikejar, Ji Beng Hwesio melancarkan pukulan jarak jauh dan terpekiklah wanita itu menangkis dengan marah. Dan ketika ia terpental namun Coa-ong mengayun ularnya, mencegah lawan memburu kawannya maka tiba-tiba si Ratu Iblis menari dengan lenggang-lenggok maut dan rambut di atas kepalanya menjeletar-jeletar.

"Awas, minggir. Jangan mendekat!"

Murid-murid Go-bi diusir. Mereka terlalu mendekat dan angin pukulan mendorong mereka, entah dari pukulan Ji Beng Hwesio ataukah dari Coa-ong, karena kakek itu juga menggerakkan lengan kirinya mengayun pukulan beruap merah. Bau amis menyambar dan segera empat orang anak murid Go-bi tersedak, roboh dan tiba-tiba lemas karena menyedot hawa beracun dari pukulan si kakek tinggi kurus. Dan ketika yang lain menolong dan cepat menjauh, Kwi-bo sudah menari-nari dengan amat cepatnya seraya meledak-ledakkan rambut, suaranya nyaring menggetarkan maka si Raja Ular juga mengayun ularnya ke kiri kanan menghalau serangan Ji Beng Hwesio.

Tiga orang itu segera bertanding seru. Ji Beng, sang wakil Go-bi, ternyata hebat bukan main meskipun renta. Hwesio ini tampaknya ringkih tapi begitu maju bertanding tiba-tiba saja dia berobah garang dan kuat. Mata yang semula meram-melek itu sekonyong-konyong menjadi hidup dan memancarkan cahaya menakutkan, tidak lagi seperti orang tidur dan lemah. Dan ketika hwesio ini menggerakkan jubahnya ke kiri kanan, pukulan-pukulan kuat meluncur ke depan maka Cui-pek-po-kian atau llmu Menggempur Tembok dikeluarkan hwesio ini, dahsyat bagai meriam menghantam gunung.

“Des-dess!”

Coa-ong dan Kwi-bo terhuyung-huyung. Mereka terbelalak karena hwesio tua yang tampaknya lemah itu ternyata memiliki tenaga sakti demikian hebatnya. Setiap kali mendorong tentu setiap kali itu pula mereka terhuyung-huyung. Kalau tidak ada gelang di tangan atau ular yang mendesis-desis barangkali keduanya terpental, seperti tadi, sewaktu masih belum bersenjata. Dan ketika Coa-ong memekik sementara Kwi-bo melengking mempercepat gerakan lenggak-lenggoknya, Thian-mo-bu atau Tarian Hantu Langit ditunjukkan wanita ini maka gempuran serangan jubah dapat ditahan sejenak oleh ledakan rambut atau gelang yang bergemerincing nyaring.

Namun hal ini tidak lama. Ji Beng Hwesio si wakil Go-bi itu berobah naik turun. Pukulan yang semula mempergunakan jubah kini diganti dengan telapak tangan yang dibuka lebar-lebar. Jubah ditarik ke atas dan tampaklah sepasang telapak yang kokoh dan lebar. Hwesio itu menyilang-nyilangkan kedua tangannya silih berganti, telapak menghadap ke atas seolah seseorang sedang menahan sebuah beban. Dan ketika tangan itu berpindah-pindah seperti orang memindah-mindah barang, setiap kali memindah tentu serangkum angin dahsyat turut bergerak maka dua orang itu berteriak karena tiba-tiba kaki mereka oleng ke kiri kanan terangkat atau tergempur sebuah tenaga mujijat.

"Siang-ciang-i-san (Sepasang Tangan Memindahkan Bukit)!"

"Benar,” Ji Beng Hwesio mengangguk, berseru. “Kalian masih mengenal pukulan ini, Kwi-bo. Berarti kalian akan tahu diri atau menerima hajaran seperti dulu enam tujuh tahun yang lalu!"

"Keparat, siapa takut? Dulu suhengmu mempergunakan pukulan ini, Ji Beng. Tapi kau bukan suhengmu dan akupun telah memperdalam Thian-mo-bu... siut-plak!" dan Kwi-bo yang lenyap berputaran cepat tiba-tiba melecutkan rambutnya dan menghantam si hwesio, tepat mengenai tengkuk namun Ji Beng Hwesio tak apa-apa. 

Hwesio itu tak bergetar dan Kwi-bo terbelalak karena kesaktian hwesio ini rupanya sudah setingkat dengan suhengnya, Ji Leng Hwesio si ketua Go-bi. Dan ketika ular di tangan Coa-ong juga menyambar dan menggigit pundak, tak apa-apa maka dua orang itu terkejut karena hwesio inipun rupanya telah menguasai Tiat- po-san, ilmu kebal Baju Besi.

"Kau kira gagah sendiri?" Coa-ong berteriak. "Akupun sanggup menerima pukulanmu, Ji Beng. Lihat ini dan jangan sombong... dess!" Coa-ong menerima pukulan lawan, membungkuk dan bertahan dan benar saja ia memang dapat menerima. Tapi kalau Ji Beng Hwesio tidak bergetar atau bergeming maka adalah kakek ini yang terhuyung dan mundur-mundur, tanda bahwa meskipun kuat ia masih juga kalah kuat dibanding lawannya!

"Bagus, coba terima lagi, Coa-ong. Pinceng ingin mengujimu... des-dess!"

Coa-ong terbawa kesombongannya, dipaksa menerima dua tiga pukulan lagi namun akhirnya ia tak kuat. Meskipun dapat ditahan tapi pukulan hwesio itu demikian antep dan membuat dadanya sesak. Kakek itu marah! Dan ketika dia berkelebatan lagi dan mainkan Coa-heng-li-hoannya (Ular Melatai atau Merayap) maka kakek itu meliak-liuk dan ular besar di tangannya mulai dipencet kesakitan dan menjadi buas. Pertandingan kembali seru karena sejenak dua orang itu mampu bertahan lagi, Ji Beng Hwesio kagum.

Namun ketika hwesio ini menambah kekuatannya dan Siang- ciang-i-san semakin berat menindih maka dua orang itu terdesak lagi dan Coa-ong maupun Kwi-bo bergoyang naik turun kakinya tak dapat menahan gempuran dari bawah karena pukulan Siang-ciang-i-san selalu mengangkat tubuh mereka, siap untuk "dipindahkan!"

“Keparat!” Kwi-bo melengking dan menjerit gusar, “Kurangi pukulanmu, Ji Beng Hwesio. Atau aku juga akan mengeluarkan puncak ilmuku!"

“Hm, keluarkanlah,” hwesio ini tak menduga jelek. "Pinceng sudah berkata agar kalian menyerah baik-baik, Kwi-bo, atau menerima hajaran berat!"

"Baik, kau lihat ini dan melototlah lebar-lebar!" Kwi-bo tiba-tiba melakukan gerak tak diduga, menarik baju luarnya yang seketika memberebet lebar dan terbeliaklah hwesio itu melihat buah dada si cantik. Kwi-bo tak berhenti sini saja karena masih sambil menari-nari dengan cepat ia merobek pakaiannya satu demi satu, tak lama ke.udian telanjang bulat dan berteriaklah murid-murid Go-bi melihat itu.

Mereka sudah disuguhi sebuah tarian bugil dan ternyata Ratu Iblis ini masih memiliki bentuk tubuh yang aduhai. Perut dan buah dadanya kencang merangsang. Tentu saja membuat anak-anak murid melotot. Maklumlah, betapapun mereka itu laki-laki! Dan ketika Ji Beng Hwesio juga berseru tertahan dan kaget sekali, puncak dari Thian-mo-bu ternyata harus berbugil ria maka Coa-ong tertawa bergelak melihat perbuatan temannya itu, menjilat ludah karena iapun terangsang oleh bentuk tubuh Kwi-bo.

“Heh-heh, bagus dan indah sekali, Ji Beng. Bagaimana kalau kau berhenti sebentar dan kita sama-sama menonton.... dess!" pukulan Coa-ong menyambar, masuk pada kesempatan yang amat bagus karena Ji Beng Hwesio terpaku dan terbelalak sejenak, bukan oleh rangsangan itu karena hwesio setua ini tentu sudah tak bergairah untuk berurusan dengan nafsu-nafsu syahwat melainkan tergetar dan pucat karena di situ banyak murid-murid Go-bi yang menonton.

Para anak murid itu belumlah kuat untuk melupakan pemandangan seperti ini. Mereka menelan ludah dan Ji Beng marah karena beberapa di antaranya menegang tali celananya. Itu tidak beres! Maka begitu pukulan Coa-ong membuatnya terkejut dan hwesio ini mengeluarkan bentakan mengguntur, suaranya begitu dahsyat hingga Kwi-bo dan Coa-ong sendiri terpekik maka menyambarlah lengan hwesio ini ke arah dua orang itu, disusul kemudian kepada anak-anak murid Go-bi yang melotot...!

Prahara Di Gurun Gobi Jilid 02

Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara

“PINCENG menghendaki Chi Koan berbaik kembali dengan Peng Houw. Sesama saudara tak perlu bermusuhan!"

"Aku setuju. Tapi Peng Houw juga harus menyatakan bahwa ia pun tak akan mengganggu Chi Koan, suheng. Sebaiknya dua-duanya sama-sama minta maaf!"

"Omitohud, pinceng setuju!" dan ketika Peng Houw dipanggil dan menghadap gurunya, anak itu tertegun tapi menyambut baik usulan ini, memang selamanya tak pernah dia memusuhi Chi Koan lebih dulu maka aneh dan mengherankan Chi Koan memeluk dan menepuk-nepuk pundaknya.

“Maafkan aku,” anak itu tertawa. "Tak kusangka bahwa kau ketakutan sedemikian rupa, Peng Houw. Sampai kau melaporkan gurumu dan aku kena marah. Ah, kalau tahu begini tentu aku tak akan main-main terlalu jauh, Peng Houw. Aku menyesal dan jangan kau gusar.”

Peng Houw mengerutkan keningnya. "Aku tidak takut. Aku tidak melapor seperti yang kau sangka, Chi Koan. Suhu mendapat tahu dari A-siu-loheng!"

"Ah-ah, begitukah? Baik, baik. Kau memang tak kenal takut dan pantas menjadi murid supek!" tapi tertawa dan berbisik di telinga bekas lawannya itu Chi Koan menyambung, "Lain kali kuajak kau berburu, Peng Houw. Siapa yang akan tunggang-langgang menghadapi binatang buas. Kuuji keberanianmu!"

"Aku tak gentar!" Peng Houw berbisik pula. "Aku tak takut kepada siapa pun, Chi Koan. Tapi kita tak boleh keluar dari tempat ini!”

“Tak apa, biar kucari akal...” dan ketika anak itu mundur dan menjura di depan Peng Houw, mulut tertawa tapi mata menyiratkan lain maka Lu Kong Hwesio yang mendengar bisik-bisik itu menegur, ternyata telinganya tajam sekali hingga mengejutkan Chi Koan.

"Tak boleh berburu atau keluar dari tempat ini. Menguji keberanian tak perlu membunuh mahluk bernyawa, Chi Koan. Ingat dan pelajari ayat-ayat suci bahwa membunuh dilarang!"

"Omitohud..." Beng Kong Hwesio juga mendengar. "Jangan banyak mulut di sini, Chi Koan. Kalau ingin menguji lawanmu sebaiknya dengan pibu lima atau enam tahun lagi. Peng Houw masih belum diajar silat oleh supekmu!"

"Pinceng memang ingin menggemblengnya dulu dengan ilmu batin," Lu Kong Hwesio mengangguk-angguk. "Lihat yang kau ajarkan kepada muridmu ini, sute. Belum apa-apa sudah panas lebih dulu dan ingin berkelahi!"

"Chi Koan masih kanak-kanak," sang guru membela. "Lain kau lain aku, suheng. Kalau kau menggembleng ilmu batin dahulu silahkan, pinceng sendiri lebih mendahulukan ilmu silat!"

“Omitohud, cara kita memang berbeda, tapi akhirnya tentu sama saja. Baiklah, semuanya selesai, sute. Pinceng akan kembali dan terima kasih atas pengertianmu!" dan ketika hwesio itu berkelebat menyambar muridnya, Peng Houw tertegun karena Chi Koan mengacungkan tinju, entah serius atau tidak maka dua anak itu dilerai dan sudah bermaaf-maafan, meskipun tindak-tanduk atau sikap Chi Koan termasuk misterius karena anak itu sukar dimengerti perangainya.

Peng Houw sendiri bersikap hati-hati dan waspada, maklum, acungan tinju itu apakah berarti tanda penyelesaian mutlak ataukah kelak akan diteruskan, karena Chi Koan melakukan itu dengan tawa yang aneh. Tapi ketika hari-hari berikut murid Beng Kong Hwesio itu berobah baik dan benar-benar tak mengganggunya, Chi Koan tampaknya halus dan ramah tutur sapanya maka hari itu mendadak anak ini datang dengan ang-sio-bak, barang haram pendatang sial!

Peng Houw sudah melupakan permusuhannya dengan Chi Koan. Kesibukan sehari-hari akhirnya membuat anak itu tak ingat akan kehati-hatiannya sendiri, apalagi setelah berminggu-minggu kemudian dia dijejali isi-isi kitab yang menyebut tentang kebaikan atau kebajikan. Dan ketika siang itu mendadak Chi Koan muncul bersama ang-sio-bak, bau masakan itu sungguh menyengat hidung, Peng Houw sendiri diam-diam juga ingin menikmati makanan lain selain sayur-sayuran dan bubur yang ada di Go-bi maka sodoran atau hidangan ini membuat Peng Houw lengah sekejap.

Sebetulnya dia takut menerima itu, kaget melihat Chi Koan tiba-tiba muncul membawa masakan berjiwa. Kalau ketahuan hwesio-hwesio di situ tentu mereka bakal kena damprat, itu kalau belum dimakan. Kalau sudah, ah.. tentu bukan hanya dampratan. Pukulan dan makian tentü akan mereka alami. Dan karena saat itu gurunya memanggil-manggil sementara Chi Koan mendesak menyuruh mencicipi, Peng Houw lupa dan terangsang bau masakan itu maka tiba-tiba saja dia telah dijebak untuk menolong anak ini menyembunyikan makanan.

Dan Peng Houw melakukan itu, salah langkah menyimpannya di dapur dan bukan di kamarnya sendiri. Waktu itu dia gugup karena gurunya sudah memanggil-manggil, ke kamarpun tentu tak sempat karena letaknya yang lebih jauh. Dan ketika dia menyimpannya di dapur tapi celaka sekali kucing peliharaan hwesio mengendus baunya, Peng Houw lupa akan ini maka binatang jahanam itu telah membuka rahasia!

Peng Houw menyesal bukan main akan keteledorannya ini. Dia mengumpat caci kucing keparat itu namun semuanya sudah terjadi. Dia ditendang dan dihajar susioknya, sementara Chi Koan enak-enak bersembunyi dan ngumpet. Terkutuk! Dan ketika dia akhirnya dijebloskan di ruang Api di mana tubuhnya diikat dan dijungkir balik menghadap setumpuk bara panas, mukanya sebentar saja sudah menjadi merah oleh uap yang naik ke atas maka kini gurunya bertanding dengan guru siluman Chi Koan itu!

Peng Houw terbelalak dan menggigil melihat suhu dan susioknya saling menempelkan tangan, keduanya dorong-mendorong sementara uap putih pun mulai mengepul di atas kepala. Peng Houw memang belum diajari ilmu silat, tapi dia tahu apa arti kepulan uap putih itu, bahwa pertandingan sinkang sedang terjadi dan siapa kalah dia bakal terluka berat. Dan ketika anak itu terkejut karena gurunya tiba-tiba terdorong, doyong tubuhnya dan Beng Kong Hwesio berseri-seri maka Chi Koan bersorak melihat ini.

"Hai, bagus, suhu. Desak dan tekan terus, Ha-ha, supek kalah!"

Namun, Lu Kong Hwesio mendengus. Dia melotot sekejap pada anak laki-laki itu dan tiba-tiba dadanya berombak naik. Itulah pengemposan tenaga atau bangkitnya sumber tenaga baru yang ditarik dari pusar. Hwesio ini tentu saja tak mau kalah dan diapun membentak. Dan ketika serangkum hawa yang amat kuat mendorong dan menolak tenaga sutenya itu, Beng Kong Hwesio terkejut dan membelalakkan mata tiba-tiba ganti hwesio ini yang terdorong dan doyong ke belakang.

“Ha-ha!" Peng Houw ganti tertawa. “Gurumu kalah, Chi Koan. Sekarang suhuku menang!"

“Tak bisa, guruku masih tegak, belum roboh. Kau anak tak tahu ilmu silat lebih baik diam, Peng Houw. Jangan tertawa karena lihat sekarang guruku kembali mendorong gurumu!"

Peng Houw terkejut. Memang tiba-tiba Beng Kong Hwesio susioknya itu berhasil menahan kembali serangan suhengnya dengan bentakan kuat. Diapun mengempos semangatnya dan dadapun berombak, tak mau kalah. Dan ketika hwesio itu juga menarik tenaga dari pusar untuk dikerahkan menahan dorongan Lu Kong Hwesio, mereka sama-sama murid Ji Leng Hwesio ketua Go-bi maka Lu Kong Hwesio merah mukanya melihat sutenya berbuat sama.

"Omitohud, kau keras kepala, sute. Pinceng terpaksa tak mau mundur!"

“Silahkan!” Beng Kong Hwesio juga berseru. "Akupun tak mau sudah, suheng. Kau mentang-mentang dan sombong sebagai saudara tua!"

"Pinceng tak pernah sombong..."

"Kau tak pernah mengalah!" Beng Kong Hwesio membentak. "Persoalan kecil kau besar-besarkan, suheng. Dan sekarang aku tak mau tahu... krak!"

Dan sepuluh jari tangan mereka yang berbunyi satu sama lain, seperti jari patah karena penuh tenaga sakti tiba-tiba membuat keduanya menahan sakit karena baik Beng Kong Hwesio maupun Lu Kong Hwesio sama-sama mendorong dan menambah tenaga. Lu Kong Hwesio terbelalak sementara Beng Kong Hwesio mendelik, muka sang sute bagai dibakar dan sepasang matanyapun berkilat-kilat. Dan ketika uap putih semakin tebal dan masing-masing ganti-berganti terdesak, sebentar Lu Kong Hwesio dan sebentar kemudian Beng Kong Hwesio, masing-masing ternyata sama kuat maka Chi Koan maupun Peng Houw sama-sama tak bersorak mengunggul-unggulkan gurunya lagi.

Dua orang itu sama hebat dan celakanya juga sama-sama memiliki kelebihan sendiri, Beng Kong Hwesio dengan usianya yang sedikit lebih muda tapi Lu Kong Hwesio dengan kematangannya yang lebih sedikit dibanding sutenya, meskipun hwesio itu lebih tua dan karena itu daya tahannya tak sekuat sutenya, kalau mereka beradu lama. Dan ketika masing-masing mencoba menekan dengan kelebihan yang dipunyai sendiri-sendiri, Beng Kong Hwesio dengan usianya yang lebih muda sementara Lu Kong Hwesio dengan kematangannya mengendalikan sinkang, masing-masing bertanding seru maka sepuluh jari kembali berkerotok dan tiba-tiba kelingking kiri Beng Kong Hwesio patah!

"Augh...!” Hwesio itu mendelik.

Lu Kong Hwesio terkejut dan saat itu tiba-tiba timbul penyesalannya. Dia tak bermaksud menyakiti tapi apa boleh buat, hal itu sudah terjadi. Dan ketika dia tertegun dan sejenak konsentrasinya buyar, desakannya berkurang mendadak sutenya itu menggeram dan secepat kilat memasuki kesempatan yang tak akan disia-siakan ini.

"Keparat kau, suheng. Kubalas kau... krak!" dan jari kelingking kanan Lu Kong Hwesio yang patah oleh balasan sutenya tiba-tiba membuat hwesio itu berseru tertahan mendelik pada sutenya. Sinkang dikerahkan lagi dan Beng Kong Hwesio terbahak, inilah kesalahannya. Karena begitu suhengnya marah dan membentak kesakitan, serangan di tangan kanan dirobah ke tangan kiri maka jari manis sutenya patah. Dua lawan satu!

"Augh...!” Beng Kong Hwesio memekik. Dia lupa akan pantangan adu sinkang bahwa sebelum salah satu roboh maka tak boleh yang lain bergembira atau tertawa dulu, meskipun dapat membalas. Pertandingan masih belum selesai dan karena itu masih harus waspada. Dan ketika benar saja kelengahannya dibayar dengan jari manis yang kembali patah, kali ini di tangan kanan maka hwesio itu kesakitan dan melotot lebar.

"Suheng, kau bedebah!"

"Maaf, pinceng tak dapat berbuat lain, sute. Kau yang memaksa!"

"Baik aku akan mengadu jiwa denganmu!" dan ketika Beng Kong Hwesio melotot dan marah, gusar bukan main maka pertandingan itu berjalan lagi dengan masing-masing pihak tak mau lengah.

Kini Lu Kong Hwesio menindas perasaan kasihannya karena sekali dia bersikap begitu maka serangan sutenya tak akan dapat terbendung. Dia akan susah payah mempertahankan diri dan itu berarti bahaya. Dan karena sutenya tampak beringas dan tak mungkin ada yang memisah mereka, ruang Api adalah ruang hukuman di mana tak ada orang lain menjaga maka hwesio itu mengempos semangat untuk menyerang sekaligus bertahan. Apa boleh buat dia harus menghadapi sutenya ini keras dengan keras. Hwesio itu tak boleh ayal-ayalan lagi atau kasihan kepada sutenya. Sutenya itu telah patah dua jari manis dan kelingkingnya, sementara dia hanya kelingking saja.

Dan ketika dua orang itu bertarung semakin hebat, Beng Kong Hwesio mendesak dan sudah pada taraf mengadu jiwa, sang suheng bertahan dan mengubah-ubah gaya serangannya maka sehari semalam mereka berdua telah mengadu sinkang dengan kedudukan masih tetap sama. Namun, seperti yang disebutkan di muka, karena Beng Kong Hwesio lebih muda dan karena itu memiliki daya tahan lebih kuat, Lu Kong Hwesio mulail letih dan mandi keringat maka pada hari kedua ini jari manisnya juga patah.

"Krek!" Beng Kong Hwesio tak tertawa. Belajar pada pengalamannya pertama bahwa tawa akan mengurangi tenaga, hal yang akan membahayakan dirinya sendiri nanti maka hwesio tinggi besar itu hanya tersenyum-senyum saja dengan kedua mata terpejam. Suara itu telah memberi tahu padanya bahwa dua jari suhengnya juga patah. Jadi kedudukan mereka berimbang. Dan ketika Lu Kong Hwesio meringis kesakitan dan menjadi marah, tenaga yang mengendur mendadak bangkit oleh kemarahan yang berkobar maka tiba-tiba dia membuat arus silang pada gempuran sinkangnya.

"Krek-krek!”

Beng Kong Hwesio terpekik. Dua jarinya tiba-tiba patah dan kini tinggallah enam jarinya saja. Tadi suhengnya mendapat tenaga yang begitu luar biasa hebatnya oleh kemarahan yang tiba-tiba menggelegak, kemarahan yang ditimbulkan oleh rasa sakit dari sebuah jari yang patah. Dan ketika hwesio itu berhasil membalas sutenya, membuat sutenya berteriak maka tiba-tiba Beng Kong Hwesio ganti menjadi marah dan mengempos semangatnya. Hwesio ini bagai tungku yang dibakar wajahnya, merah berkilap-kilap. Siapapun yang memandang pasti ngeri. Hwesio ini seolah gila.

Dan ketika hwesio itu menggereng dan menggereng bagai singa dilukai, empat jarinya lunglai namun enam jari yang lain menegang dan keras seperti baja maka gelombang serangan dahsyat menghantam bagai ombak di laut selatan. Lu Kong Hwesio dipaksa habis-habisan untuk bertahan. Namun, karena usianya yang lebih tua tadi, daya tahannya yang tidak sehebat sutenya maka dua jam kemudian sebuah jari lagi di tangan kirinya patah.

"Krek!”

Empat lawan tiga. Kini Lu Kong Hwesio memiliki tujuh jari lagi sementara sutenya enam jarl. Dari sini dapat dilihat bahwa kepandaian Beng Kong Hwesio betul-betul nyaris berimbang dengan suhengnya. Hwesio itu hampir dapat menyamai kedudukan. Dan ketika Peng Houw menangis dan pucat melihat itu, berteriak-teriak agar suhu dan susioknya tidak bertempur maka pada hari ketiga daya tahan Lu Kong Hwesio semakin melemah, siap untuk dihancurkan atau mungkin sama-sama menghancurkan, karena kilatan berbahaya juga mulai tampak di mata hwesio itu. Kilatan untuk mati sampyuh!

“Ha-ha..!” keadaan ini tiba-tiba dipecahkan oleh tawa bergelak yang parau dan nyaring. "Dua murid Ji Leng Hwesio ini sama-sama hebat, Kwi-bo. Lihat tiga hari tiga malam mereka bertanding namun belum ada yang roboh!"

“Hi-hik, benar," sebuah jawaban lain terdengar, bayangannya tak tampak. "Lu Kong Hwesio dan Beng Kong Hwesio ini sama-sama hebat, Coa-ong. Tapi aku berani bertaruh bahwa Beng Kong Hwesio akan mampus terlebih dahulu!”

"Tapi Lu Kong si gundul mulai lemah!"

"Dia sedang bersiap-siap melancarkan Cui-pek-po-kian. Lihat sinar matanya membiru tanda bahaya!”

"Ah, kau benar. Kalau begitu mari menonton lebih dekat dan biar kusaksikan Beng Kong Hwesio dibunuh suhengnya!" sesosok bayangan hitam tiba-tiba berkelebat, datang dari belandar dan Peng Houw tertegun karena di situ tahu-tahu telah berdiri seorang kakek berkulit hitam tertawa-tawa memandang dua orang yang sedang mengadu jiwa ini. Kakek itu tinggi kurus tapi yang mengerikan adalah puluhan ular yang melingkari tubuhnya. Ada tiga puluh lebih dan semuanya bermacam-macam, besar kecil dan hijau kuning tapi semuanya jelas ular-ular berbisa.

Kakek itu terkekeh-kekeh dan empat ekor ular yang melingkari lehernya dielus-elus seperti orang mengelus anaknya, binatang melata itu mendesis-desis dan satu di antaranya membuka mulutnya, menyemburkan uap hitam. Dan ketika kakek itu terbahak dan kiranya kakek inilah yang tertawa tadi, muncul dengan suaranya yang pertama maka ular yang membuka mulutnya dan bersikap seakan mau menggigit itu diketuk batok kepalanya.

"Diam, ha-ha. Mereka itu belum ada yang roboh, Sen-coa. Kalau kau menikmati darah mereka tentu masih panas karena belum selesai beradu sinkang. Lihat, uap panas di kepala mereka belum dingin!"

Peng Houw terbelalak. Kakek yang mengerikan ini lalu menjilat-jilat lidah ularnya, ular cobra merah yang tentu amat ganas sekali racunnya, Kemudian menyuruh ularnya masuk ke mulut, ditarik dan dimasukkan lagi maka kakek itu telah bermain-main dengan hewan piaraannya seperti dengan sepotong coklat yang digigit-gigit kecil!

"Hihh!" Peng Houw merinding. Tentu saja dia mengkirik karena kakek itu benar-benar mengerikan sekali. Namun belum dia berseru atau membentak kakek itu agar tidak mendekati gurunya, karena kakek itu terkekeh-kekeh di belakang gurunya maka menyambar angin harum dan tahu-tahu di dekatnya muncul wanita cantik luar biasa yang kaki dan tangannya penuh gelang gemerincing.

"Hi-hik, kau digantung sekian lama, anak baik? Siapa yang memperlakukanmu? Lu Kong Hwesio itukah? Ah, sungguh dia kejam. Mari kubebaskan dan bunuh si keledai gundul itu!"

Peng Houw terkejut. Tali yang mengikat tubuhnya putus dan tiba-tiba jatuhlah ia ke bawah. Di bawah ada seonggok besar bara api yang menganga. Kalau ia jatuh ke situ tentulah tubuhnya akan matang, seperti sate. Keparat wanita ini! Tapi ketika Peng Houw terpekik dan akan memaki lawannya, wanita bergelang kerincing itu mendadak lengan wanita itu mengebut dan Peng Houw sudah ditarik sebuah tenaga mujijat untuk jatuh dengan kaki lebih dahulu di samping kiri wanita ini.

"Hi-hik, tak usah kau takut. Aku menolongmu, anak baik. Dan siapa namamu."

"Peng Houw...”

"Hm, nama yang bagus, tapi juga bisa berarti jelek. Peng Houw artinya harimau sakit. Apakah kau sering sakit-sakitan?"

"Dulu..." Peng Houw tertegun, menjawab asal saja. “Tapi sekarang tidak lagi dan aku sehat-sehat saja."

"Hi-hik, bagus, Peng Houw. Dan Lu Kong Hwesio itu yang menggantungmu, bukan?”

"Dia guruku...”

"Ah, guru yang kejam tak perlu dianggap guru. Kau telah disakiti, sebaiknya kau bunuh dia. Nih, pisau lipat!"

Peng Houw tersentak. Wanita cantik ini tahu-tahu memberinya sebuah pisau lipat, sudah dibuka dan tinggal menusukkan saja. Dia diminta membunuh gurunya padahal gurunya sedang bertanding dengan susioknya. Dan ketika dia mundur dan tentu saja menolak, matanya menyiratkan kemarahan maka wanita itu terkekeh karena tiba-tiba Chi Koan berteriak padanya.

"Heii, Dewi Cantik. Kenapa kau membebaskan Peng Houw dan tidak perduli kepadaku. Mana janjimu memberikan makanan yang lain lagi!”

"Ah, kau?" wanita ini menoleh, terkejut tapi tertawa lebar. Tawanya menambah kecantikannya sepuluh kali lipat. “Aduh, maafkan aku, anak baik. Kau tentu Chi Koan yang dulu kuberi ang-sio-bak itu.”

"Benar, tapi sekarang aku dihukum di sini. Bocah itu menjebloskan aku tak mau sendirian di ruang Api!”

“Hi-hik, ada aku di sini, tak usah khawatir. Kalau mau bebas tentu saja dengan gampang kulakukan... tuk!" sebuah totokan tiba-tiba membebaskan anak itu.

Chi Koan memang ditotok dan duduk tak berkutik selama tiga hari ini. Tapi karena urat-uratnya masih kaku dan tubuhnya belum bisa pulih seketika, totokan itu membuat ia terguling maka bangku yang diduduki tiba-tiba menggelincir dan anak ini jatuh pula ke ruang bara.

"Heii...!” Chi Koan berteriak dan tentu saja terkejut. "Kau siluman jahanam, Dewi Cantik. Menolong orang tapi menjebloskannya ke ruang neraka!" dan menyambar ini-itu di kiri kanan dinding, kaget tapi tidak takut maka Chi Koan akhirnya berhasil meraih dan menangkap sepotong besi yang merupakan gaetan di dinding, bergelantungan namun tak dapat keluar karena tubuhnya sudah terlempar ditengah-tengah. Ruang bara itu cukup tinggi. Namun ketika anak ini memaki-maki dan wanita cantik itu tertawa kagum, anak ini dapat menyelamatkan diri karena sedikit banyak memang sudah mewarisi ilmu silat Go-bi maka sebuah selendang tiba-tiba telah membelit dan menyentaknya ke atas.

“Naiklah!"

Chi Koan berjungkir balik. Dibanding Peng Houw memang dia lebih mengagumkan, dapat turun kembali dengan ringan karena Beng Kong Hwesio telah mengajarinya ilmu meringankan tubuh. Peng Houw memang belum apa-apa karena sehari-harinya hanya dijejali isi ayat-ayat suci saja, lain dengan Chi Koan yang menomor duakan kitab suci menomor satukan ilmu silat. Maka begitu dia turun dan selamat di lantai, melongok sejenak ke bara api yang hampir menerima tubuhnya tadi maka anak ini memaki.

"Dewi, kau sial jahanam. Kalau memang ingin menolong ya tolonglah baik-baik. Kalau ingin membunuh ya bunuhlah tanpa banyak tingkah. Kenapa kau menakut-nakuti aku dengan menjatuhkannya ke tempat itu? Apakah kau sendiri mau kucemplungkan di kolam neraka itu dan merasakan panas?"

"Panas? Hi-hik, tempat itu tak panas, Chi Koan. Bahkan sejuk dan hangat bagiku. Kau boleh lempar aku ke sana kalau tidak percaya!"

"Apa? Kau main-main?"

"Siapa main-main? Hi-hik, lempar dan buang aku ke sana, Chi Koan. Lihat betapa aku akan meram-melek di tempat hangat itu!"

"Kalau begitu biar kucoba... haittt!” dan anak ini yang mengangkat dan menyambar tubuh si cantik, tak segan-segan atau ragu lagi mendadak membuang tubuh lawannya itu ke bara api yang menganga. Kolam itu merah marong dan siapa pun pasti tahu bahwa tempat itu panas sekali. Chi Koan yang berada di dekatnya saja hampir tak tahan dan muka pun seperti dibakar. Tapi ketika wanita itu dilempar dan dibuang, tertawa, maka anak ini maupun Peng Houw terbelalak dan sama-sama tertegun karena dengan enak dan ringan bara api di kolam itu diinjak dan wanita itu tak apa- ap biarpun jelas bara yang menganga itu membakar tumitnya!

"Lihat!" anak ini hampir tak percaya. "Lihat dan perhatikan baik-baik, Chi Koan. Aku akan mandi bara!" dan ketika wanita itu terkekeh dan menendangi bara-bara menyala, jatuh dan menimpa tubuhnya maka benar-benar wanita ini mandi bara api seperti orang mandi bongkahan es! Wanita itu enak saja menendangi dan meraih bara-bara menyala, menggosok atau melumurkannya ke seluruh tubuhnya. Dan ketika wanita itu berjingkrak dan menari-nari dengan bara berhamburan di sekujur tubuhnya maka Peng Houw maupun Chi Koan tak percaya dan membelalakkan matanya lebar-lebar seolah menyaksikan sebuah pertunjukan sihir.

"Selesai!" wanita itu terkekeh, meloncat dan berjungkir balik ke atas. “Sudah kau lihat bahwa api itu bukan apa-apa bagiku, Chi Koan. Dan kaupun dapat melakukan ini kalau menjadi muridku!"

"Apa?”

“Hi-hik! Kau mau menjadi muridku, bukan? Kau ingin seperti aku memiliki kesaktian yang demikian tinggi?"

"Aku suka, tapi..." Chi Koan menghentikan kata-katanya. Di sana guru dan uwa gurunya tiba-tiba sama-sama mengeluarkan seruan keras. Begitu keras seruan itu hingga dinding ruangan bergetar. Dan ketika dia menoleh dan ingat akan ini ternyata kedua orang itu sudah bangkit berdiri dan kini masing-masing dorong-mendorong dengan amat hebatnya, ah-uh-ah-uh.

“Hi-hik, pertandingan sudah mendekati puncak, Chi Koan, Aku menjagoi Lu Kong Hwesio!"

"Hm, aku Beng Kong Hwesio!" Si kakek berlilit ular tiba-tiba maju, tertawa aneh. "Ayo kita bertaruh, Kwi-bo. Kau atau aku yang menang!"

"Hi-hik, siapa takut?" Kwi-bo berkelebat, sudah berdiri di samping kakek ular. “Aku terima tantanganmu, Coa-ong. Tapi aku yang pasti menang!"

“Heh-heh, belum tentu. Ayo apa taruhanmu kalau kau kalah!”

"Aku menyiapkan kepala!" si cantik itu berseru. "Dan kau apa, Coa-ong. Harus imbang agar adil!"

"Wah, akupun juga kepala, he-heh!" dan ketika dua orang itu berolok dan saling mengejek, Lu Kong Hwesio maupun Beng Kong Hwesio merah padam mendengar itu, terpaksa melanjutkan adu sinkang dan tak dapat melepaskan diri karena sama-sama bertahan dan menyerang, sedikit lengah tentu roboh binasa maka Lu Kong menggeram melepas semua kekuatannya.

"Sute, pinceng terpaksa membunuh!"

"Aku juga. Kau... ugh!" Beng Kong Hwesio tak dapat melanjutkan kata-katanya, terkejut karena dari telapak tangan suhengnya mendadak muncul tenaga dingin yang membuat jari-jarinya kaku. Mereka sudah bertanding pada hari ketiga dan ini penentuan terakhir. Selama ini masing-masing mengeluarkan tenaga panas tapi kini suhengnya mendadak mempunyai tenaga dingin, tentu saja Beng Kong Hwesio terkejut. Dan ketika hwesio itu tersentak dan membelalakkan mata, telapak suhengnya mendorong dan dia terhuyung tiba-tiba Beng Kong Hwesio kalah kuat dan miring tubuhnya!

"Hi-hik, aku menang, Coa-ong. Lihat jagomu bakal pecundang!"

“Siapa bilang?" si kakek mendebat. “Jagoku belum roboh, Kwi-bo. Dan orang yang belum roboh masih mempunyai kemungkinan-kemungkinan!"

"Ah, kau tolol dan goblok, tak tahu diri. Sudah jelas kalah kuat masíh juga cerewet. Lihat, tiga detik lagi Beng Kong Hwesio mampus!"

Dua hwesio itu melotot. Lu Kong Hwesio memang memberi tekanan dan kematangan hwesio ini dalam pengendalian sinkang dipergunakan baik-baik. Tenaga dingin yang menjadi simpanannya tiba-tiba dikeluarkan, berbalik dari tenaga panas yang selama ini mendominasi serangan. Dan ketika sutenya tampak terkejut dan tak menyangka, itulah kelebihan hwesio ini dibanding sutenya maka Beng Kong Hwesio yang tersentak dan tertegun sekejap sudah dihantam dan dibekukan tenaga dingin. 

Sang suheng menindas dan menekan dengan amat hebatnya, sang sute kalah posisi. Tapi ketika Beng Kong Hwesio berkutat dan benar-benar adu nyawa, tubuhnya terdorong dan kian terdorong, miring, mendadak Coa-ong mengeluarkan tawa aneh dan tangan kanannya bergerak ke depan.

"Wah, jagomu menyebalkan. Tapi dia pasti roboh!" dan seekor ular yang menyambar dan dilepas kakek ini mendadak meluncur ke kepala Lu Kong Hwesio. Hwesio ini sedang mengerahkan semua tenaganya untuk menyelesaikan pertandingan, tentu saja dia tak menyangka itu. Maka begitu dia tersentak dan kaget, konsentrasinya berantakan maka sutenya berhasil memperbaiki diri bersamaan dengan jeritan Lu Kong Hwesio yang dahinya sudah dipagut ular.

"Aughh...!” Lu Kong Hwesio roboh. Dahi hwesio itu seketika menjadi kehitaman tapi yang lebih berbahaya adalah balasan sutenya yang tertolong oleh kejadian ini. Pukulan Beng Kong Hwesio menyambar dan langsung menghantam dada Lu Kong Hwesio. Dan ketika hwesio itu roboh dan terjengkang, dahi kehitaman sementara isi dadanya remuk maka hwesio itu seketika tewas dengan pekik pendek.

"Bluk!”

"Wah, jagomu menyebalkan. Tapi dia pasti roboh!"

Seekor ular yang menyambar dan dilepas kakek ini mendadak meluncur ke kepala Lu Kong. Namun Beng Kong Hwesio pun sempoyongan dan ikut roboh. Hwesio ini terbawa oleh sisa pukulannya dan juga oleh kelelahan sangat yang telah dialaminya tiga hari berturut-turut. Suhengnya bukanlah orang sembarangan! Tapi ketika dua hwesio itu sama-sama roboh, Lu Kong Hwesio tewas sementara Beng Kong Hwesio terguling kehabisan tenaga maka Peng Houw memekik dan menubruk mayat gurunya itu, ular hitam sudah lari menyingkir.

“Suhu...!” Anak itu menjerit dan memanggil nama gurunya. Lu Kong Hwesio diguncang-guncang tapi hwesio itu tentu saja diam tak bergerak, dari mulutnya meleleh darah segar. Tapi ketika Peng Houw mengguguk dan sedih serta berduka, tiba-tiba teringat bahwa kematian gurunya adalah akibat kecurangan si kakek ular sekonyong-konyong anak itu membalik dan menerjang kakek ini, penuh kemarahan. "Kau siluman kejam jahanam!"

Coa-ong, kakek itu, tertegun. Dia tertawa-tawa menagih kemenangannya kepada Kwi-bo. Wanita cantik di sebelahnya terbelalak dan terkejut. Sebenarnya kalau kakek ini tidak curang tentu Lu Kong Hwesiolah yang menang, karena Beng Kong Hwesio tertekan dan jelas menunggu kekalahannya saja. Tapi begitu dia sadar dan terkekeh, orang-orang sesat macam mereka memang bisa saja melakukan perbuatan-perbuatan tak diduga maka saat itulah Peng Houw menyerang kakek ini dengan penuh kemarahan. Anak itu tak perduli ular-ular yang bergelantungan di tubuh si kakek, berteriak dan memaki dan tinjunyapun mendarat di perut lawan.

Tapi ketika Coa-ong terkekeh dan membiarkan serangan Peng Houw, karena anak itu terbanting dan menjerit sendiri karena tangannya bengkak, perut si kakek seolah besi panas berpijar maka Peng Houw bergulingan meloncat bangun dan sekejap ngeri oleh kehebatan lawannya ini. Tapi Peng Houw segera teringat kematian gurunya lagi. 

Kematian gurunya itu membangkitkan keberanian dan kemarahannya. Peng Houw melengking dan menubruk lagi. Tapi ketika tiga kali berturut-turut dia terbanting dan mengaduh kesakitan, dua tangannya bengkak tak dapat digerakkan lagi maka saat itulah si kakek terkekeh dan melepas satu ularnya lagi, mata tiba-tiba berkilat menyatakan keinginan membunuh.

"Bocah tak tahu adat, guru mati masih juga ingin bertingkah. Mampuslah!"

Namun Kwi-bo menjeletarkan rambutnya. Terkekeh mendahului serangan itu, Peng Houw terbelalak dan tertegun di tempat, tak mampu mengelak, mendadak wanita cantik ini bergerak aneh. Rambut di kepalanya menyibak dan yang sebelah kanan menghantam ular yang meluncur ke arah Peng Houw. Lalu ketika ular terbanting dan mati, kepalanya pecah, maka wanita itu menggerakkan rambut yang lain untuk menyambar dan membetot Peng Houw.

“Hi-hik, jangan bunuh anak ini, Coa-ong. Dia tak kalah berani dan gagah dengan Chi Koan. Aku ingin memilikinya!"

Coa-ong tertegun. Si kakek terkejut karena ularnya mati dibunuh, temannya itulah yang membunuh. Tapi ketika ia menggeram dan melotot, marah, maka Peng Houw tiba-tiba memberontak dan melepaskan diri.

“Lepaskan aku. Biar... biar kubunuh kakek itu!"

"Hi-hik, siapa yang kau bunuh?" Kwi-bo terkekeh dan menotok anak ini, melihat Coa-ong kembali menyinarkan kilatan berbahaya. “Kau diam di sini saja, bocah. Dan nanti bersenang-senang dengan aku!" dan ketika Peng Houw mengeluh dan tertotok, lumpuh, maka Coa-ong bergerak dan menuntut wanita ini.

"Kwi-bo, kau kalah. Dan anak itupun tak berguna bagimu. Serahkan kepadaku dan tepati janji taruhanmu!"

"Hm, janji apa?"

"Kau ingin menyerahkan kepalamu kepadaku. Hayo mana kepalamu dan jangan pura-pura!”

"Hi-hik, siapa bilang begitu? Kau bodoh dan tolol, Coa-ong. Pantas kalau kau demikian pandir, suka berbuat curang. Aku tak merasa kalah dan kaulah yang licik membunuh jagoku!"

"Benar!" Peng Houw menggigil. "Biarkan aku menghajarnya, locianpwe. Kakek itu jahat dan keji. Kau tentu dapat menolongku membalas dendam!”

"Hm, lihat!" kakek itu mendengus, berkilat-kilat. "Anak sekecil ini sudah ingin membalas dendam, Kwi-bo. Kalau tidak diberesi sekarang tentu bakal merepotkan di belakang hari. Serahkan kepadaku, atau kau mampus!"

Kwi-bo, si cantik ini, tertawa. Dia tak menghiraukan temannya yang bersikap beringas. Kakek itu marah karena ancaman Peng Houw. Tapi ketika kakek itu mau menyerang dan Kwi-bo bersiap-siap, gelang di tangan dan kakinya berkerincing nyaring tiba-tiba berkelebat bayangan Chi Koan yang membentak mereka.

"Nanti dulu, stop. Aku ada di sini sebagai wakil guruku. Siapa kalian berdua ini dan kenapa datang-datang membuat ribut. Aku hanya kenal dewi yang cantik ini tapi tidak kepadamu!"

"Hm, kau ikut aku!" Coa-ong tiba-tiba bergerak, bahu Chi Koan sudah dicengkeram. "Aku Coa-ong si Raja Ular, bocah. Dan gurumu itu sudah mampus tak perlu dipikiri!"

Namun Chi Koan berontak. Dia menendang dan memukul kakek itu tapi sayang lawannya terlalu lihai. Si kakek mendengus dan ditotoklah Chi Koan hingga tak berdaya sama sekali. Dan ketika kakek itu mencengkeram anak ini hingga Chi Koan meringis maka tangannya yang lain bergerak dan tahu-tahu ular besar yang bergelantungan di lehernya itu dihadapkan ke wajah si anak.

“Kalau kau macam-macam ular ini akan menelan kepalamu!"

“Persetan dengan ular itu!" Chi Koan melengking, tiba-tiba membuka mulutnya. "Hayo, dekatkan lagi kepadaku, kakek siluman. Dan aku atau dia yang akan menelan!”

"Hi-hik," Kwi-bo terkekeh, kagum. "Lihat betapa beraninya anak-anak ini, Coa-ong. Tak salah kalau Beng Kong Hwesio atau Lu Kong Hwesio mengambilnya sebagai murid. Apakah kau benar-benar hendak membunuh anak seperti itu? Kalau benar, bodoh sekali!"

Coa-ong tertegun. Ular di tangannya marah dan mendesis-desis. Tantangan Chi Koan seakan dimengertinya dan ular itu membuka mulutnya lebar-lebar, anak itu siap dicaplok. Chi Koan sama sekali tak takut akan rongga mulutnya yang merah dan juga lidahnya yang menjilat-jilat, buas. Tapi ketika Coa-ong datang rasa kagumnya dan tertawa bergelak, ular di tangannya ditarik kembali maka kakek itu berseru, "Benar, bocah ini luar biasa, Kwi-bo. Aku lalu ingin mengambilnya sebagai murid. Eh, bagaimana dulu dengan perjanjianmu tadi. Mana kepala taruhanmu!”

“Kau masih ngotot juga? Sialan, tak tahu diri. Kau minta dihajar, Coa-ong. Tapi aku orang yang selalu menepati janji. Baiklah, curang tidak curang memang kau yang menang. Aku akan membayar kekalahanku tapi aku tidak berjanji untuk membayarnya dengan kepalaku sendiri!"

"Eh, kau mau ingkar?"

“Hi-hik, ingat dan ulangi apa yang kujanjikan tadi, Coa-ong. Kalau aku menang maka kau membayar dengan kepalamu. Tapi kalaú aku yang kalah maka aku akan membayarnya dengan kepala, entah kepala siapa aku tidak bilang, pokoknya kepala!"

“Licik!" Coa-ong tiba-tiba berseru. “Kalau tahu begitu tak perlu aku membantu jagoku, Kwi-bo. Karena akupun dapat membayar dengan kepala siapa saja, kalau perlu kepala ularku!"

“Hi-hik, itulah bodohmu. Dan karena itu maka kau berbuat curang, takut kehilangan kepalamu!”

"Tentu saja, siapa mau kehilangan kepala? Ha-ha, kau pintar dan tak kalah curang, Kwi-bo. Tapi aku tetap menuntut kepala yang kau janjikan!"

"Hm, muridku ini akan memberinya,” Kwi-bo tersenyum, membebaskan dan menurunkan Peng Houw. "Kau hadapi si kakek iblis itu, Peng Houw. Aku akan melindungimu dari sini."

"Apa yang harus kulakukan?"

"Mudah saja, memberinya sebuah kepala.”

"Kepala? Kepala siapa?"

"Hm, kau mau menjadi muridku, bukan? Kau mau memusuhi si kakek ular itu?"

“Tentu saja!" Peng Houw berang. "Dia membunuh guruku, Kwi-bo. Dan aku akan membalas kematian guruku!" Peng Houw ikut-ikutan memanggil Kwi-bo, tak tahu nama wanita cantik ini tapi itulah nama julukannya.

Dan ketika wanita itu terkekeh dan mengangguk gembira, Peng Houw bersiap- siap maka anak itu disuruh mengambil mayat gurunya. "Kalau begitu bawa ke sini mayat gurumu itu. Dan aku yang akan membalaskan dendammu!"

Peng Houw menurut. Menangis dan tiba-tiba bercucuran air mata ia berlari mengambil mayat gurunya itu. Lu Kong Hwesio telah tewas. Dan ketika Kwi-bo tersenyum dan membelai kepalanya, anak itu mengharap pertolongan maka tiba-tiba secara mengejutkan wanita ini melolos sebuah pisau dan menyuruh Peng Houw memenggal mayat gurunya.

"Orang yang mati penasaran harus disempurnakan jenasahnya. Penggal mayatnya dan berikan kepada Coa-ong!”

“Apa? Me.... memenggal?"

“Ya, kepala gurumu harus diberikan kepada kakek itu, Peng Houw. Itu tandanya kau mengikat dendam.”

"Tapi... tapi guruku sudah mati. Tak boleh diganggu!"

"Hm, tidak mengganggu, Peng Houw, justeru menyempurnakan jenasahnya agar rohnya hidup tenang di alam baka!"

Peng Houw tertegun. Pelajaran begini jelas belum pernah didapatkannya dari siapapun juga. Semula dia tak menduga buruk karena wanita itu tadi menolongnya dari ancaman Coa-ong. Tapi ketika ingat bahwa wanita ini terikat “perjanjian" dengan Coa-ong, tentang sebuah kepala tiba-tiba Peng Houw sadar bahwa dia dipermainkan. Tak ada mayat yang harus dipenggal kepalanya untuk menyempurnakan kematiannya. Hal itu hanya perbuatan orang-orang sesat, orang-orang gila! Dan ketika Peng Houw terbelalak dan merah mukanya, wanita itu dipandangnya dengan mata mendelik mendadak Peng Houw berteriak dan menerjang wanita ini!

“Ha-ha!" Coa-ong tertawa bergelak. "Muridmu gagal, Kwi-bo. Kau tak dapat mempengaruhinya!"

Kwi-bo tertegun. Peng Houw menyerangnya dan anak itu benar-benar tak patuh kepadanya. Dan melihat betapa anak itu marah kepadanya, memukul dan menendang maka wanita ini tersenyum aneh dan tiba-tiba berseru, "Peng Houw, jangan kau gila. Tanganmu nanti bengkak lagi!"

Peng Houw tak perduli. Tadi tangannya sudah disembuhkan wanita cantik ini tapi sekarang dipergunakan memukul lagi. Dia marah karena menganggap wanita itupun tak kalah jahat dengan Coa-ong. Dan ketika pukulannya mendarat dan lawan tak mengelak maka Kwi- bo yang mendongkol kepada anak ini mengerahkan sinkangnya, sama seperti Coa-ong tadi.

"Buk-bukk!"

Peng Houw menjerit. Dua pukulannya tertolak seperti membentur lempengan baja, terpelanting dan kontan anak itu berteriak kesakitan. Tapi karena Peng Houw adalah Peng Houw dan semakin dia kesakitan semakin anak itu kalap maka Peng Houw meloncat bangun dan menerjang lagi. Kaki tangannya bergerak memukul dan menendang namun lagi-lagi anak itu menjerit. Semakin keras dia memukul semakin hebat pula rasa sakitnya. Akhirnya tangan dan kakinya bengkak-bengkak pula. Dan ketika Peng Houw bergulingan mengaduh-aduh, anak itu tak mampu lagi menyerang maka Chi Koan terbahak dan mengejek di cengkeraman Coa-Ong.

"Bagus... bagus. Lemparkan saja anak itu ke perapian, Kwi-bo. Dan panggang dagingnya seperti sate!"

“Hush, kau tak kasihan?"

"Kasihan apa? Dia musuhku, aku tak suka kepadanya!"

"Tapi aku ingin mengambilnya sebagai murid. Dia penuh keberanian!"

"Hm, kalau begitu coba diadu dulu dengan bocah ini," Coa-ong tiba-tiba terkekeh, menyeringai. "Kau juga bodoh dan tolol, Kwi-bo. Tak mungkin anak itu mau. Hei, ini calon muridku sekarang. Mari kita adu!"

Chi Koan sudah dilepas. Anak itu ditanya apakah mau menjadi murid si kakek ular, dijawab mau tapi tiba-tiba tertegun ketika gurunya, Beng Kong Hwesio, sadar dan mengeluh. Dan ketika anak itu tak jadi berlari dan Coa-ong mengerutkan keningnya, tak senang, maka sebuah helaan napas panjang tahu-tahu terdengar di pintu dan Ji Beng Hwesio, wakil ketua Go-bi muncul, seperti iblis.

"Omitohud, kaliankah yang membuat ribut-ribut, Coa-ong? Dan murid pinceng Lu Kong tewas?"

Dua orang itu terkejut. Kwi-bo mendadak berkelebat dan menyambar Peng Houw. Anak itu bangkit berdiri dan berseru memanggil susiok-kongnya, sementara Chi Koan berdiri pucat dan mukapun berubah. Dan ketika Peng Houw ditutup mulutnya oleh totokan Kwi-bo, anak ini tak dapat bergerak dan mendelik memandang lawan maka Beng Kong Hwesio yang sadar dan baru saja membuka matanya tiba-tiba juga tampak terkejut dan pucat memandang wakil ketua Go-bi itu, yang berdiri tenang.

"Omitohud, apa yang terjadi, Beng Kong? Bagaimana suhengmu sampai terbunuh?”

"Ampun...” Beng Kong terhuyung dan bingung menjawab. "Suheng... suheng dibunuh Coa-ong, susiok. Kakek ini datang dan mengganggu kami...!”

"Hm, dengan pukulan apa?”

“Dengan... dengan ular beracunnya. Coa-ong berbuat curang!"

"Omitohud!" kakek itu memandang Coa-ong, tak berkedip. "Kau sungguh keji, Coa-ong. Tiada dosa tiada salah tíba-tiba datang dan membunuh seorang murid Go-bi. Ah, kedatanganmu tentu selalu mengacau!"

"Ha-ha!" Coa-ong melirik Beng Kong Hwesio. "Aku hanya membantu murid keponakanmu itu, Ji Beng. Dia tadi bertempur dan sudah tiga hari tiga malam tiada berkesudahan. Aku ingin membantunya karena Beng Kong siap mampus!"

"Omitohud, begitukah? Coba pinceng periksa!" dan ketika kakek itu bergerak dan tahu-tahu menyambar mayat Lu Kong, memeriksa, maka berkerutlah kening kakek itu memandang mayat Lu Kong Hwesio yang hancur dadanya. Sekali periksa segera dia tahu bahwa itulah pukulan sinkang Thai-san-ap-ting (Gunung Thai-san Tindih Kepala), satu ilmu dari Go-bi dan itu tentulah pukulan Beng Kong. Dan ketika dia memandang murid keponakannya itu dan Beng Kong menggigil, tak mungkin hwesio ini mampu menyembunyikan diri dari susioknya maka hwesio itu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut.

"Maaf, kami berdua memang bertempur, susiok. Tapi Coa-ong tiba-tiba meluncurkan ularnya dan membunuh suheng. Pukulanku hanya sebagai akibat dari pukulan suheng yang membalik!"

"Tapi pukulanmu keras juga," Ji Beng Hwesio tampak berobah mukanya, tak dapat menahan marah. “Kalian berdua kiranya telah bertanding mati-matian, Beng Kong. Kalau tidak tak mungkin isi dada suhengmu sampai hancur dan melesak begini. Omitohud, kalian melanggar pantangan di ruang Api!" dan terkejut serta marah memandang murid keponakannya, hwesio renta ini menggigil sejenak tiba-tiba dia teringat Coa-ong dan tertegun memandang Chi Koan.

“Kau... kenapa tak ke sini?"

Chi Koan terkejut.

“Dan kau juga,” kakek itu menoleh kepada Peng Houw, yang ditotok dan tak dapat berkutik di bawah kekuasaan Kwi-bo. “Kalian anak-anak kecil tak memberi tahu pinceng, Chi Koan. Kalian harus ditanya dan harus menjawab jujur. Ke marilah!" dan ketika hwesio itu meletakkan Lu Kong Hwesio dan menggerakkan tangan ke kiri dan kanan, masing-masing ke arah Chi Koan dan Peng Houw maka menyambarlah angin dahsyat ke arah dua anak itu, atau tepatnya, ke arah Coa-ong dan Kwi-bo karena memang dua orang inilah yang dituju Ji Beng Hwesio.

Wakil ketua Go-bi ini hendak merampas anak-anak muridnya tapi Coa-ong dan Kwi-bo tentu saja tak mau, Mereka berkelit namun aneh dan ajaib pukulan si hwesio terus saja mengikuti. Dan ketika dua orang itu terkejut dan berteriak marah, tenaga sedot yang kuat menarik Chi Koan dan Peng Houw maka Raja Ular maupun temannya menggerakkan tangan menolak.

"Des-plak!"

Si hwesio berseru perlahan. Jubahnya berkibar namun kakinya tidak bergeming, tanda bahwa tangkisan atau tolakan lawan tidak berpengaruh baginya. Dan ketika dia berseru lagi dan memutar lengan jubahnya dua kali, angin menyambar dan membetot dua orang itu tiba-tiba Coa-ong maupun Kwi-bo menjerit karena mereka tertarik ke depan.

"Keparat!”

"Jahanam!"

Kwi-bo dan Coa-ong melepas anak-anak di tangan mereka. Serangan Ji Beng Hwesio teramat kuatnya hingga dengan sebelah lengan saja tak mungkin dilawan. Mereka harus mempergunakan dua tangan mereka dan membentaklah Coa-ong mendorong dengan amat hebatnya. Dan ketika Kwi-bo juga melengking dan menggerakkan kedua lengannya ke depan, menampar, maka terdengar suara duk-duk yang keras dan tubuh Ji Beng Hwesio terhuyung sedikit, namun dengan amat lihai kebutan lengan jubahnya miring ke samping dan Peng Houw maupun Chi Koan melayang ke arahnya, tersedot!

"Omitohud, kalian masih lihai, Coa-ong. Tapi anak-anak telah kembali ke tanganku. Terima kasih!"

"Keparat!" Coa-ong menggigil dan melotot memaki hwesio itu. “Kau licik dan tak tahu malu, Ji Beng. Merampas anak secara pengecut. Hayo, terima ini dan mampuslah... wut!” seekor ular dilepas, terbang dan meluncur menyambar hwesio itu. Namun Ji Beng mengucap puja-puji menjentikkan kuku jarinya. Dan ketika terdengar suara "tas" dan ular itu jatuh, kepalanya pecah maka Coa-ong mencak-mencak dan naik pitam, ular besar di lehernya dilepas dan diputar-putar.

"Terkutuk dan pembunuh!" kakek itu berseru. "Kau menghilangkan nyawa peliharaanku, Ji Beng. Mana khotbah mu tentang pantang membunuh. Kau melanggar aturan Buddha!"

“Omitohud, pinceng tak bermaksud membunuh, Coa-ong, hanya lemparanmu yang terlalu kuat dan kepala ularmu yang terlalu lemah. Ah, pinceng tak mau mengotori ruangan ini dan mari keluar!" si hwesio berkelebat, tak mau bertanding di ruang Api dan Peng Houw serta Chi Koan dibawanya pula.

Coa-ong dan Kwi-bo mendelik marah dan mengejar, tangan mereka bergerak menghantami apa saja yang ada di situ, hio- lou atau tempat perapian. Dan ketika benda- benda itu berantakan dan pecah, anak-anak murid segera melihat tiga orang ini maka mereka geger dan seketika seruan atau pemberitahuan akan musuh terdengar di mana-mana.

Namun Ji Beng Hwesio menyuruh diam. Hwesio itu berseru agar anak-anak murid tak membuat gaduh. Hwesio ini telah berdiri di sebuah pelataran luas, jauh di tengah halaman sana, terlindung dari beberapa pohon yang hijau dan subur. Dan ketika Kwi-bo maupun Coa-ong menghalau murid-murid Go-bi yang coba mendekat, bermaksud jual keberanian namun justeru dibuat terpelanting bergulingan maka hwesio itu berseru lagi agar anak-anak murid mundur, melempar Chi Koan dan Peng Houw ke tanah.

"Biarkan mereka ke sinl, jangan dihadang!”

"Ha-ha!" Coa-ong tertawa bergelak, suaranya menggetarkan. “Biarkan mereka mampus, Ji Beng Hwesio. Biarkan aku membunuh murid- muridmu yang tak tahu diri ini. Hayo, ke mari kalian. Boleh datang sepuluh lagi!"

Namun anak-anak murid mundur menjauh. Tujuh di antaranya terluka dan mereka itupun pucat. Setelah tahu siapa yang datang maka tergetarlah mereka melihat Coa-ong. Beberapa tahun yang lalu kakek inipun pernah ke Go-bi dan membuat heboh. Kini datang lagi dan bersama seorang wanita cantik yang juga segera mereka kenal. Itulah Kwi-bo, Ratu Iblis yang merupakan satu di antara Tujuh Siluman Langit. Coa-ong pun juga termasuk di antaranya dan mereka berdua tiba-tiba muncul di situ.

Dan ketika murid-murid mundur menjauh karena Ji Beng Hwesio sudah ada di situ maka tujuh yang luka digotong ke belakang sementara yang lain mengepung atau berdiri mengelilingi kakek Raja Ular itu, bersiap-siap sambil melirik ke kiri kanan takut barisan ular datang. Coa-ong adalah raja ular yang lihai!

“Omitohud, selamat datang...!" Ji Beng sudah merangkapkan kedua tangannya dan berbasa- basi, menahan marah. "Kalian telah datang tanpa diundang, Coa-ong, dan membunuh Lu Kong Hwesio pula. Bolehkah pinceng tanya apa yang menjadi tujuan kalian hingga datang ke mari?"

Para murid Go-bi berisik. Mereka tiba-tiba terkejut dan marah mendengar itu. Lu Kong Hwesio kiranya tewas! Tapi ketika Ji Beng Hwesio memandang mereka dan suara seperti tawon itu lenyap, Coa-ong terkekeh maka kakek itu memandang temannya.

“Aku hanya ikut-ikutan si Kwi-bo ini. Dia yang mengajakku. Biarlah dia yang menjawab dan kau boleh dengar kata-tanya!”

“Hm,” hwesio itu berkilat, merangkapkan tangannya kepada Kwi-bo. "Begitukah, Kwi-bo? Apa maksud kedatanganmu?"

"Hi-hik, aku hanya iseng-iseng saja. Barangkali di sini ada calon-calon hwesio tampan!”

“Itu bukan jawaban," Ji Beng Hwesio merah mukanya. "Kau tak perlu bohong, Kwi-bo. Beritahukan kepada pinceng siapa tahu hukuman lebih ringan untukmu.”

“Iihh...!” si Kwi-bo mendecak genit. "Hukuman? Memang apa kesalahanku? Eh, jangan main-main, Ji Beng Hwesio. Aku tak mengganggu muridmu dan Lu Kong Hwesio tewas oleh tangan Coa-ong!”

“Tadi kami bertaruh," Coa-ong berseru. "Aku menjagoi Beng Kong tapi Kwi-bo menjagoi Lu Kong!"

"Tentu saja!” Kwi terkekeh. "Lu Kong lebih kuat daripada sutenya, Coa-ong. Dan kau sendiri tahu itu. Tapi kau sengaja memilih Beng Kong!"

"Heh-heh, karena memang aku ingin memberi makan ularku. Si Hitam tadi lapar, darah segar Lu Kong tentu nikmat baginya. Eh, kau tak perlu mengelak jawaban keledai gundul ini, Kwi-bo. Katakan saja terus terang bahwa kau mencari kitab Bu-tek-cin-ong!"

Ji Beng Hwesio tiba-tiba berubah. Begitu Coa-ong berkata tentang kitab Bu-tek-cin-ong (Kitab Maharaja Cin Tanpa Tanding) mendadak hwesio renta yang selalu meram melek itu tiba menbuka matanya lebar-lebar. Apa yang tampak di wajah hwesio tua ini adalah kekagetan luar biasa. Coa-ong telah bicara tentang sebuah kitab maha-rahasia Go- bi! Tapi ketika hwesio itu batuk-batuk dan merangkapkan kedua tangannya, cepat mengeluarkan tasbeh dan berketrik membaca doa maka hwesio itu berseru perlahan melihat pula perubahan wajah anak-anak murid Go-bi.

"Omitohud, kau melantur dan bicara tak keruan, Coa-ong. Sungguh tak mengerti pinceng akan kata-katamu."

“Ha-ha!" kakek itu tertawa lagi, bergelak. “Kau hwesio tua mulai bohong, Ji Beng. Tak pantas dengan kedudukanmu sebagal wakil ketua Go- bi. Hayo, mana Ji Leng Hwesio yang tak pernah keluar-keluar. Bukankah ia sedang melatih Bu-tek-cin-ong!”

"Omitohud...!" sang hwesio tak dapat menahan marahnya lagi. "Kau melantur dan bicara semakin ngawur, Coa-ong. Ketua kami tak pernah keluar karena sedang bertapa membersihkan diri. Kalian mengacau, harus ditangkap!" dan ketika lengan Ji Beng mengembang ke kanan kiri maka Coa-ong tahu-tahu dikepung dua pukulan dahsyat yang membuat ia berteriak dan menjejakkan kakinya kuat-kuat meluncur ke atas.

"Haiyaaa...!” Coa-ong lolos dari sergapan maut. Dua pukulan itu beradu sendiri dan terdengarlah ledakan mengguncangkan tempat itu, asap bergumpal namun cepat menghilang kembali. Dan ketika kakek itu turun namun sudah di tempat lain, berjungkir balik maka Coa-ong, melotot memaki lawannya. "Heh, kau menyerang tak memberi tahu, Ji Beng? Bersikap curang dan tidak ksatria?"

"Pinceng tak dapat banyak mułut lagi dengan kalian. Menyerahlah, atau pinceng terpaksa melakukan kekerasan!"

“Ha-ha, si keledai gundul mulai tampak boroknya. Eh, jangan menonton saja, Kwi-bo. Kita harus membalas!"

Kwi-bo terkekeh. Dia geli melihat kawannya jungkir balik diserang, pemandangan itu lucu. Namun ketika wanita ini tertawa dan geli sendirian, Coa-ong melotot tiba-tiba berkesiur angin dingin mencegatnya dari kiri kanan pula. "Keparat!” wanita itu terkejut. “Kau licik, Ji Beng. Curang!" dan ketika dia menangkis dan tidak meloncat tinggi seperti temannya, Kwi- bo mengerincingkan gelang-gelang di tangannya maka pukulan si hwesio disambut namun wanita ini malah terpental.

"Haiyaaa...!" Coa-ong ganti terkekeh-kekeh, Kwi-bo berjungkir balik menyelamatkan diri. "Kau jahanam, Ji Beng. Tapi aku membalas... cringg!” dan Kwi-bo yang melayang turun di sebelah, membentak, tiba-tiba melepas satu pukulan panas ke arah lawan.

Ji Beng menyambut dan lagi-lagi wanita itu terpental. Ternyata Kwi-bo kalah kuat! Dan ketika wanita itu menjerit dan marah sekali, melengking- lengking maka Coa-ong ganti menerima pukulan dan Ji Beng Hwesio tiba-tiba berkelebatan mengelilingi lawannya itu, menggempur dengan pukulan-pukulan berat. "Pinceng harus menangkap kalian, menyerahlah!"

Kwi-bo dan Coa-ong memaki-maki. Mereka diserang namun secepat itu pula mereka berkelit, menghindar dan membalas dan segeralah terjadi pertandingan seru di sini. Kakek ular dan si Ratu Iblis sama-sama didesak, sekejap saja mereka sudah dibuat kaget oleh bayangan si hwesio yang berkelebatan mengelilingi mereka. Dan ketika suara dak-duk selalu disusul tubuh mereka yang terpental, sinkang hwesio itu luar biasa sekali maka Kwi-bo tiba-tiba melengking dan melakukan gerakan salto yang membuat ia keluar dari kurungan lawan.

"Awas, panggil saja ular-ularmu. Si tua bangka ini masih cukup lihai!"

“Hm, kita masih dapat bertahan. Kalau aku benar-benar terdesak tentu kupanggíl anak-anakku, Kwi-bo. Kau sebaiknya mengeluarkan Thian-mo-bu mu dan menarilah melayani keledai gundul ini!"

"Baik, dan kau Coa-heng-li-hoan mu, Coa-ong. Awas, jangan sampai terlambat.... des-cringg!" si Kwi-bo dikejar, Ji Beng Hwesio melancarkan pukulan jarak jauh dan terpekiklah wanita itu menangkis dengan marah. Dan ketika ia terpental namun Coa-ong mengayun ularnya, mencegah lawan memburu kawannya maka tiba-tiba si Ratu Iblis menari dengan lenggang-lenggok maut dan rambut di atas kepalanya menjeletar-jeletar.

"Awas, minggir. Jangan mendekat!"

Murid-murid Go-bi diusir. Mereka terlalu mendekat dan angin pukulan mendorong mereka, entah dari pukulan Ji Beng Hwesio ataukah dari Coa-ong, karena kakek itu juga menggerakkan lengan kirinya mengayun pukulan beruap merah. Bau amis menyambar dan segera empat orang anak murid Go-bi tersedak, roboh dan tiba-tiba lemas karena menyedot hawa beracun dari pukulan si kakek tinggi kurus. Dan ketika yang lain menolong dan cepat menjauh, Kwi-bo sudah menari-nari dengan amat cepatnya seraya meledak-ledakkan rambut, suaranya nyaring menggetarkan maka si Raja Ular juga mengayun ularnya ke kiri kanan menghalau serangan Ji Beng Hwesio.

Tiga orang itu segera bertanding seru. Ji Beng, sang wakil Go-bi, ternyata hebat bukan main meskipun renta. Hwesio ini tampaknya ringkih tapi begitu maju bertanding tiba-tiba saja dia berobah garang dan kuat. Mata yang semula meram-melek itu sekonyong-konyong menjadi hidup dan memancarkan cahaya menakutkan, tidak lagi seperti orang tidur dan lemah. Dan ketika hwesio ini menggerakkan jubahnya ke kiri kanan, pukulan-pukulan kuat meluncur ke depan maka Cui-pek-po-kian atau llmu Menggempur Tembok dikeluarkan hwesio ini, dahsyat bagai meriam menghantam gunung.

“Des-dess!”

Coa-ong dan Kwi-bo terhuyung-huyung. Mereka terbelalak karena hwesio tua yang tampaknya lemah itu ternyata memiliki tenaga sakti demikian hebatnya. Setiap kali mendorong tentu setiap kali itu pula mereka terhuyung-huyung. Kalau tidak ada gelang di tangan atau ular yang mendesis-desis barangkali keduanya terpental, seperti tadi, sewaktu masih belum bersenjata. Dan ketika Coa-ong memekik sementara Kwi-bo melengking mempercepat gerakan lenggak-lenggoknya, Thian-mo-bu atau Tarian Hantu Langit ditunjukkan wanita ini maka gempuran serangan jubah dapat ditahan sejenak oleh ledakan rambut atau gelang yang bergemerincing nyaring.

Namun hal ini tidak lama. Ji Beng Hwesio si wakil Go-bi itu berobah naik turun. Pukulan yang semula mempergunakan jubah kini diganti dengan telapak tangan yang dibuka lebar-lebar. Jubah ditarik ke atas dan tampaklah sepasang telapak yang kokoh dan lebar. Hwesio itu menyilang-nyilangkan kedua tangannya silih berganti, telapak menghadap ke atas seolah seseorang sedang menahan sebuah beban. Dan ketika tangan itu berpindah-pindah seperti orang memindah-mindah barang, setiap kali memindah tentu serangkum angin dahsyat turut bergerak maka dua orang itu berteriak karena tiba-tiba kaki mereka oleng ke kiri kanan terangkat atau tergempur sebuah tenaga mujijat.

"Siang-ciang-i-san (Sepasang Tangan Memindahkan Bukit)!"

"Benar,” Ji Beng Hwesio mengangguk, berseru. “Kalian masih mengenal pukulan ini, Kwi-bo. Berarti kalian akan tahu diri atau menerima hajaran seperti dulu enam tujuh tahun yang lalu!"

"Keparat, siapa takut? Dulu suhengmu mempergunakan pukulan ini, Ji Beng. Tapi kau bukan suhengmu dan akupun telah memperdalam Thian-mo-bu... siut-plak!" dan Kwi-bo yang lenyap berputaran cepat tiba-tiba melecutkan rambutnya dan menghantam si hwesio, tepat mengenai tengkuk namun Ji Beng Hwesio tak apa-apa. 

Hwesio itu tak bergetar dan Kwi-bo terbelalak karena kesaktian hwesio ini rupanya sudah setingkat dengan suhengnya, Ji Leng Hwesio si ketua Go-bi. Dan ketika ular di tangan Coa-ong juga menyambar dan menggigit pundak, tak apa-apa maka dua orang itu terkejut karena hwesio inipun rupanya telah menguasai Tiat- po-san, ilmu kebal Baju Besi.

"Kau kira gagah sendiri?" Coa-ong berteriak. "Akupun sanggup menerima pukulanmu, Ji Beng. Lihat ini dan jangan sombong... dess!" Coa-ong menerima pukulan lawan, membungkuk dan bertahan dan benar saja ia memang dapat menerima. Tapi kalau Ji Beng Hwesio tidak bergetar atau bergeming maka adalah kakek ini yang terhuyung dan mundur-mundur, tanda bahwa meskipun kuat ia masih juga kalah kuat dibanding lawannya!

"Bagus, coba terima lagi, Coa-ong. Pinceng ingin mengujimu... des-dess!"

Coa-ong terbawa kesombongannya, dipaksa menerima dua tiga pukulan lagi namun akhirnya ia tak kuat. Meskipun dapat ditahan tapi pukulan hwesio itu demikian antep dan membuat dadanya sesak. Kakek itu marah! Dan ketika dia berkelebatan lagi dan mainkan Coa-heng-li-hoannya (Ular Melatai atau Merayap) maka kakek itu meliak-liuk dan ular besar di tangannya mulai dipencet kesakitan dan menjadi buas. Pertandingan kembali seru karena sejenak dua orang itu mampu bertahan lagi, Ji Beng Hwesio kagum.

Namun ketika hwesio ini menambah kekuatannya dan Siang- ciang-i-san semakin berat menindih maka dua orang itu terdesak lagi dan Coa-ong maupun Kwi-bo bergoyang naik turun kakinya tak dapat menahan gempuran dari bawah karena pukulan Siang-ciang-i-san selalu mengangkat tubuh mereka, siap untuk "dipindahkan!"

“Keparat!” Kwi-bo melengking dan menjerit gusar, “Kurangi pukulanmu, Ji Beng Hwesio. Atau aku juga akan mengeluarkan puncak ilmuku!"

“Hm, keluarkanlah,” hwesio ini tak menduga jelek. "Pinceng sudah berkata agar kalian menyerah baik-baik, Kwi-bo, atau menerima hajaran berat!"

"Baik, kau lihat ini dan melototlah lebar-lebar!" Kwi-bo tiba-tiba melakukan gerak tak diduga, menarik baju luarnya yang seketika memberebet lebar dan terbeliaklah hwesio itu melihat buah dada si cantik. Kwi-bo tak berhenti sini saja karena masih sambil menari-nari dengan cepat ia merobek pakaiannya satu demi satu, tak lama ke.udian telanjang bulat dan berteriaklah murid-murid Go-bi melihat itu.

Mereka sudah disuguhi sebuah tarian bugil dan ternyata Ratu Iblis ini masih memiliki bentuk tubuh yang aduhai. Perut dan buah dadanya kencang merangsang. Tentu saja membuat anak-anak murid melotot. Maklumlah, betapapun mereka itu laki-laki! Dan ketika Ji Beng Hwesio juga berseru tertahan dan kaget sekali, puncak dari Thian-mo-bu ternyata harus berbugil ria maka Coa-ong tertawa bergelak melihat perbuatan temannya itu, menjilat ludah karena iapun terangsang oleh bentuk tubuh Kwi-bo.

“Heh-heh, bagus dan indah sekali, Ji Beng. Bagaimana kalau kau berhenti sebentar dan kita sama-sama menonton.... dess!" pukulan Coa-ong menyambar, masuk pada kesempatan yang amat bagus karena Ji Beng Hwesio terpaku dan terbelalak sejenak, bukan oleh rangsangan itu karena hwesio setua ini tentu sudah tak bergairah untuk berurusan dengan nafsu-nafsu syahwat melainkan tergetar dan pucat karena di situ banyak murid-murid Go-bi yang menonton.

Para anak murid itu belumlah kuat untuk melupakan pemandangan seperti ini. Mereka menelan ludah dan Ji Beng marah karena beberapa di antaranya menegang tali celananya. Itu tidak beres! Maka begitu pukulan Coa-ong membuatnya terkejut dan hwesio ini mengeluarkan bentakan mengguntur, suaranya begitu dahsyat hingga Kwi-bo dan Coa-ong sendiri terpekik maka menyambarlah lengan hwesio ini ke arah dua orang itu, disusul kemudian kepada anak-anak murid Go-bi yang melotot...!