Prahara Di Gurun Gobi Jilid 01 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara
SEORANG BOCAH sedang berliam-keng (membaca ayat-ayat suci) di tengah-tengah ruangan yang sempit itu. Suaranya nyaring dan lantang, tak henti-hentinya mengulang atau memperbaiki kata-kata yang salah. Dan ketika seorang hwesio mengangguk-angguk di belakangnya seraya mengetuk-ngetukkan buku jarinya, perlahan namun kuat mengiringi kata- kata bocah itu maka siang yang panas di tengah padang pasir seolah tak dirasakan sama sekali oleh keduanya.

"Bagus, ulangi lagi, Peng Houw. Perhatikan dan camkan bunyi kata-kata suci itu. Ingat baik-baik dan suarakan lagi dengan lebih keras. Kau masih kurang lantang, kurang bersemangat!"

Si bocah mengangguk. Tak menghiraukan keringatnya yang bercucuran membasahi baju, nyaring dan lantang kembali ia mengulang kata-kata yang dimaksud. Sang hwesio berseru dan berseru lagi bahwa suaranya masih kurang nyaring. Bocah itu dinyatakan kurang bersemangat, padahal suaranya sudah sampai pada ketinggian puncak. Dan ketika anak itu rupanya jengkel berkali-kali disalahkan maka berteriaklah dia dengan muka merah padam, urat-urat di seluruh wajahnya menonjol keluar.

"Orang yang belajar hanya sedikit, menjadi tua seperti lembu. Hanya daging-dagingnya yang tumbuh bertambah besar, tetapi kebijaksanaannya tak ada."

"Cukup....!” anak itu roboh. "Kali ini kau benar-benar bersemangat, Peng Houw, Dan pinceng (aku) gembira!" dan ketika anak itu terguling dan mengeluh pendek, kehabisan suara maka hwesio itu tersenyum bangkit berdiri, menyambar si bocah yang kelelahan. "Kau sudah membaca berliam-keng penuh semangat, namun sayang ajaran Sang Buddha telah kau lupakan. Berdirilah, dan ikuti pinceng."

"Oohh...!" anak itu mengeluh. "Apalagi yang kurang pada diri teecu (murid), Suhu? Apalagi kesalahan yang telah kulakukan? Kau tak berwelas asih, kau kejam!"

"Omitohud!" sang hwesio merangkapkan kedua lengannya. "Kau lagi-lagi menambah kesalahan, Peng Houw. Memaki pinceng! Tapi tak apa, ikuti pinceng dan kita ke dapur. Kau perlu beristirahat sejenak dan setelah itu mengoreksi kesalahanmu. Mari, kau boleh minum!" dan ketika si bocah disambar dan diangkat tubuhnya, ditenteng seperti kelinci maka anak itu hampir menangis dengan menggigit bibirnya kuat-kuat.

"Laki-laki yang gagah tak boleh mengeluarkan air mata, apalagi hanya untuk hal seremeh ini. Kau lapar dan haus tapi tak perlu menangis!"

"Aku menangis bukan karena lapar!" anak itu berteriak. "Aku menangis karena berulang-ulang kau menyuruhku mengucapkan kata-kata yang sama, suhu. Aku bosan dan jenuh!”

“Omitohud, membaca kitab suci tak boleh bosan atau jenuh, Peng Houw. Kalau kau bosan atau jenuh itu karena kau tak menghayati isinya. Kau masih dikuasai hawa amarahmu. Baiklah, sebelum makan boleh kau dinginkan kepala... byurr!"

Dan si anak yang dilempar ke tong air, terkejut dan berseru tertahan tiba-tiba basah kuyup dan geragapan, tak menyangka tapi hwesio itu sudah membalikkan tubuh membaca lagi bunyi ayat-ayat suci. Itulah ayat dari kitab Dhammapada bab sebelas ayat tujuh, si bocah tertegun. Dan ketika hwesio itu menyuarakan suaranya dengan kuat dan lantang, dinding ruangan bergetar maka beberapa pot bunga tiba-tiba jatuh dan hancur ke lantai.

"Nah," hwesio itu membalikkan badannya lagi, menghadapi si bocah. "Inilah yang kumaksud dengan suara lantang dan keras, Peng Houw. Kau harus mampu menyuarakan suaramu sampai orang-orang di sekelilingmu tergetar dan terkena pesonanya. Kau sedang kuajar khi-kang (tenaga sakti suara)!”

“Ohh...” bocah itu menggigil, jatuh berlutut. "Aku memang tolol, suhu. Aku tidak melihat kebaikanmu, Baiklah, sekarang juga kuulang lagi dengan kuat-kuat dan lantang!" namun ketika bocah itu berdiri dan akan mengulang ayat-ayat sucinya, penuh semangat dan tidak marah lagi mendadak tubuhnya ambruk ke depan dan terguling.

"Kau tak kuat,” hwesio itu menyambar, wajahnya berseri. "Kau haus dan lapar, Peng Houw. Makan dan minum dulu dan setelah itu membaca lagi ayat-ayat suci!"

“Aku... aku dapat menahannya nanti. Aku ingin menjatuhkan pot-pot bunga sepertimu, suhu. Biarkan aku coba dan kuulang lagi!" namun ketika bocah itu terguling dan roboh lagi, lutut gemetar sementara perut lapar maka hwesio itu mencengkeram bajunya dan melempar anak itu ke sebuah bangku batu.

“Kau tak dapat bekerja dengan kondisi semacam ini. Duduk di situ dan kuambilkan makanan... bress!”

Anak itu tepat berada di atas batu, terperangah dan melotot namun si hwesio sudah melangkah lebar ke dalam dapur, berkelebat dan sudah membawa kembali dua mangkok bubur berlauk sederhana, kacang kapri dan sebuah telur rebus. Dan ketika makanan itu diberikannya kepada si bocah, yang menerima dan melihat isinya maka anak ini mengeluh.

"Suhu, kenapa hanya sayur dan telur melulu? Mana daging dan ikannya? Aku bosan, suhu. Aku jenuh!"

"Hm, di sini pantang makanan berjiwa. Apa yang kau dapat adalah untuk kesehatan dirimu juga, lahir batin. Makanlah, Peng Houw. Jangan banyak cakap!”

"Tapi....”

"Kau ingin kuambil lagi? Tidak dapat menerima keadaan?"

"Tidak... tidak!" anak itu bergegas memegang mangkoknya, erat-erat. "Aku akan menikmati ini, suhu. Baiklah, terima kasih!" dan ketika bubur itu dilahapnya dengan amat bernafsu, telur dan isinya disikat habis maka hwesio itu duduk membelakanginya lagi menunggu, berliam-keng.

"Orang yang belajar hanya sedikit, menjadi tua seperti lembu. Hanya daging-dagingnya yang tumbuh bertambah besar, tetapi kebijaksanaannya tak ada....!” dan ketika hwesio itu mengulang-ulang kitab Sucinya, bersemangat dan penuh tenaga maka setiap kali itu pula benda-benda di dinding berjatuhan.

Mula-mula dua ekor cecak yang sedang berkejaran satu sama lain, lalu gambar- gambar pemandangan yang menghias tempat itu. Dan ketika di dapur juga terdengar suara berkerincing, sendok dan garpu atau alat masak "terloncat" dari tempatnya maka anak itu tertegun-tegun dan kagum bukan main.

"Suhu, ooh... cecak itu tak dapat bergerak lagi. Dan sendok atau mangkokku juga mau terlepas! Ah, berhenti, suhu. Bangku yang kududuki ini juga berderak-derak mau pecah!”

"Hm!" hwesio itu berhenti, membalikkan tubuhnya. "Sekarang bersihkan mangkok buburmu, Peng Houw. Dan kembali ke ruang tadi. Kau sudah cukup kenyang?"

"Cukup... cukup, aku kenyang!" dan ketika anak itu melihat dua ekor cecak sudah kembali bergerak, pengaruh getaran suara gurunya lenyap maka anak itu bergegas melompat ke dapur membersihkan mangkok buburnya. Suhunya itu sendiri sudah melangkah tenang kembali ke ruangan tadi, ruangan membaca Berliam-keng. Dan ketika anak itu melihat sendok garpu berceceran di lantai, terloncat atau terlempar oleh pengaruh getaran suara suhunya tadi maka anak ini kagum dan cepat meraup semuanya itu, sudah membersihkan mangkoknya sendiri dan berlari keluar mengejar gurunya.

Hari itu memang dia disuruh membaca ayat-ayat suci tapi yang membosankan adalah pengulang-ulangan kata- kata itu. Dia sudah membaca nyaring dan kuat namun gurunya masih berkata juga bahwa masih kurang nyaring dan kuat, padahal pita suaranya sudah terasa kering dan mau pecah! Namun ketika anak ini berlari dan menyusul gurunya, tubuh sudah kembali segar dan berseri-seri mendadak seorang anak laki-laki lain berkelebat dan muncul memotong jalan.

"Sst, mau ke mana, Peng Houw. Apakah Lu Kong lo-suhu ada di sini!”

"Eh!" anak itu tertegun. Mau apa keluyuran di sini, Chi Koan? Ada apa bertanya guruku?”

"Sst, aku ingin membagi rejeki denganmu. Mau atau tidak!" dan ketika Peng Houw terbelalak karena tak mengerti, perjalanannya tertunda maka anak itu menggapainya datang mendekat, memperlihatkan bungkusan. "Aku pikir kau suka ini. Tapi aku bingung menaruhnya di mana. Lihat, seseorang memberiku kue-kue lezat, Peng Houw. Dan juga daging goreng!”

Peng Houw tertegun. Chi Koan, anak itu, telah membuka bungkusan dan memperlihatkan isinya. Dan begitu semua diperlihatkan maka menyambarlah bau sedap dari semangkok besar babi goreng saos. "Ang-sio-bak (daging masak ang-sio)!"

“Ya, dan ini....”

"Jing-ceng-ko (kue bolu susun seribu)!"

"Ha-ha, betul. Kupikir kau tak menolak jika kubagi-bagi makanan ini, Peng Houw. Bagaimana pendapatmu dan apakah kau suka atau tidak!"

"Astaga!" Peng Houw membelalakkan mata lebar-lebar. "Siapa yang memberimu semuanya ini, Chi Koan. Dan berani betul kau menerimanya! Tempat ini pantang makanan berjiwa, kita bisa dihukum!"

"Sst, jangan keras-keras. Kita sesama murid, Peng Houw, harus tolong-menolong. Aku sudah muak dan jemu menikmati bubur dan sayuran melulu. Aku ingin yang lain dan kebetulan mendapat ini. Kau suka atau tidak!"

Peng Houw keluar liurnya. Memang takut atau tidak apa yang diperlihatkan ini sungguh menarik. Berbulan-bulan dia hanya menikmati bubur dan sayur melulu, tadi sudah meminta makanan berjiwa tapi gurunya menolak. Mereka tinggal di perguruan Go-bi dan para hwesio atau kacung-kacungnya memang diwajibkan ciak-jai (pantang daging). Maka begitu masakan selezat ini tiba-tiba muncul dan perutnya mendadak berkeruyuk, bubur yang baru dimakan tadi rupanya sudah habis dan Peng Houw pun lapar maka Chi Koan terkekeh menebah perut temannya ini.

"Hi-hik, kau lapar, Peng Houw. Kau suka. Ayo, mau atau tidak!"

"Aku mau, tapi...” anak itu gugup, bingung. "Aku ditunggu guruku, Chi Koan. Suhuku menunggu di ruang liam-keng. Aku harus ke sana!”

"Hm, membaca doa lagi? Sudah diajari silat?"

"Belum," anak itu merah mukanya. "Tapi suhu sedang melatih aku ilmu khi-kang!”

"Huh, keledai-keledai gundul di sini semuanya bohong, Peng Houw. Tak mungkin gurumu itu mewariskan ilmunya kecuali menjadikan dirimu sebagai pelayannya saja!”

"Chi Koan" Peng Houw terkejut, membentak temannya itu. "Berani kau menghina para lo-suhu di sini? Kau bilang seperti itu?"

"Maaf," anak ini menyeringai. "Aku kesal dan benci kepada kehidupanku sehari-hari di sini, Peng Houw. Akupun hanya disuruh baca kitab dan menghapal serta menghapal. Tenggorokanku sampai kering kalau sudah disuruh begitu. Mereka tak berperikemanusiaan, terlalu keras!”

"Tapi kau makan minum di sini, diberi hidup di sini. Tak seharusnya kau memaki mereka!"

“Hm, kaupun kadang-kadang juga memaki gurumu, Peng Houw, kalau sudah tak dapat menahan kesal dan marah. Apakah aku salah? Sudahlah, bagaimana dengan makanan ini dan apakah kau mau atau tidak!"

“Aku... aku mau. Tapi takut!"

“Tak perlu takut," Chi Koan tertawa, menjumput dan mencuil sepotong ang-sio-bak, nyam-nyem-nyam-nyem begitu nikmat. "Kalau takut tak bakal makan enak, Peng Houw. Kita harus melatih keberanian kalau menginginkan sesuatu. Mau atau tidak?” anak itu memberikan secuil, liur temannya membuatnya tertawa. "Cobalah, dan setelah itu boleh bilang takut atau tidak!"

Seperti disihir, Peng Houw tiba-tiba menerima. Melihat Chi Koan begitu nikmat dan mengunyah makanannya meram-melek, wajah berseri-seri sementara masakan itu benar-benar membuat perut berkeruyuk maka tanpa terasa lagi anak ini menerima makanan itu. Sepotong ang-sio-bak sudah masuk ke mulut dan mendecaklah Peng Houw oleh rasa kagum. Masakan itu benar-benar enak, luar biasa! Tapi ketika dia meram-melek dan menikmati itu, Chi Koan tertawa maka terdengarlah panggilan gurunya yang nyaring.

"Peng Houw, kau sudah selesai?"

Anak ini terkejut. "Ah, guruku memanggil, Chi Koan. Pergi dan jangan ke sini!"

"Dan makanan ini?" Chi Koan mengerutkan kening, tiba-tiba menekan temannya. “Kau sudah mencicipi, Peng Houw. Berarti kita berdua sudah sama-sama melanggar peraturan. Aku tak mau kau pergi dan membiarkan aku celaka sendirian!”

“Maksudmu?" Peng Houw terkejut.

"Biar makanan ini di kamarmu dan nanti malam aku datang!”

“Tidak!" Peng Houw terlonjak. "Kau gila, Chi Koan. Aku bisa dimarahi guruku!”

"Kalau begitu kita habiskan dulu bersama, biar aku juga tak menyimpannya sehingga diketahui guruku!”

“Tapi aku dipanggil, Chi Koan. Suhuku akan tahu tentang ini!"

“Hm, kalau begitu kau jangan hanya enaknya saja," Chi Koan tiba-tiba marah, mengejek. "Kau dan aku sudah sama-sama menikmati masakan ini, Peng Houw. Dan aku juga bingung ke mana makanan ini harus kusimpan. Kau tinggal menghabiskannya dulu bersamaku atau cepat bawa ini ke kamarmu, nanti malam kita makan lagi!"

Peng Houw terbelalak. Tiba-tiba dia menjadi marah karena mendadak dirinya disudutkan. Chi Koan datang dan membujuk dan sekarang tiba-tiba mendesaknya untuk menyimpan ang-sio-bak itu. Kalau saja makanan itu bukan masakan barang berjiwa tentu dia tak keberatan. Tapi ini, ah... ini pantangan bagi mereka yang tinggal di Go-bi. Gurunya dan semua orang akan marah besar kepadanya! Dan ketika tiba-tiba ia menyesal kenapa tadi terbujuk temannya ini, Chi Koan licik dan jahat maka terdengar panggilan gurunya lagi.

"Peng Houw, kau belum selesai?"

Anak ini menyambar ang-sio-bak, lari ke dapur. "Baiklah, kau boleh pergi, Chi Koan. Nanti malam kita bertemu di sini. Aku tak dapat menyembunyikan ke kamarku karena terlambat!" dan begitu menyembunyikan itu di bawah kerajang, Chi Koan tertawa dan melompat pergi maka Peng Houw keluar dan berlari kencang ke ruang liam-keng. "Baik... baik, aku datang, suhu. Tunggu!" namun karena tergesa-gesa dan ketakutan, Peng Houw berlari tak melihat palang pintu maka anak itu terpelanting dan jatuh dengan suara berdebuk. "Aduh..!” anak itu menjerit. “Tolong, suhu. Aku sudah datang!”

Lu Kong Hwesio, kakek gundul di dalam ruangan itu tertegun. Peng Houw merintih dan tersungkur di sudut, daun pintu ambruk dan menimpanya. Tapi ketika dia bangkit dan menolong anak itu, menggeleng-geleng kepala maka hwesio ini mencium sesuatu yang aneh dari mulut anak itu, karena bau mulut Peng Houw menguarkan ang-sio-bak! “Kau... makan apa?" hwesio ini tertegun. “Mulutmu lain, Peng Houw. Pinceng mencium sesuatu!"

Peng Houw terkejut. Kepalanya benjut tertimpa daun pintu, sial. Ini gara-gara Chi Koan yang mencelakai dan menyusahkannya. Tapi ketika gurunya bertanya lagi dan anak ini ketakutan tiba-tiba dia merasa harus mengaku. Tapi takut bahwa gurunya akan marah besar, mungkin dia dirangket atau dihukum berat maka yang keluar adalah pengakuan lain. Gurunya ini tak mungkin dibohongi. "Ampun... aku... aku minum arak, Suhu. Aku mencuri seteguk!"

"Arak? Anak kecil minum arak? Kau bohong, bau yang pinceng cium bukan arak!"

Peng Houw menggigil. Tiba-tiba otaknya diputar keras apa yang harus dia katakan. Celaka, bau masakan daging rupanya tercium. Hwesio dan semua orang di situ yang memang hanya makan sayuran saja akan tahu atau mencium bau seseorang yang makan masakan berjiwa. Tapi karena gurunyai ini rupanya juga masih mendengus-dengus untuk “mendeteksi” bau apakah itu, Peng Houw ketakutan dan menggigil hebat maka sekonyong-konyong anak itu dapat memperoleh jawaban.

"Ampunkan teecu. Aku... aku mencampur arak dengan susu telur dan madu, suhu. Aku amat kepingin dan tak dapat menahan diri!"

"Hm, begitukah?" sang hwesio percaya, arak dan susu telur akan memang menguarkan bau yang lain. "Kau lancang, Peng Houw. Tapi karena kau jujur maka pinceng akan menjatuhkan hukuman ringan kepadamu. Baca ayat 13 bab satu! Kau ingat?"

“Teecu... teecu ingat!"

"Nah, tentang apakah itu."

"Tentang hujan dan rumah bocor!"

"Bodoh, itu hanya perumpamaan saja, Peng Houw. Hujan itu adalah nafsu dan rumah bocor itu adalah iman seseorang yang tidak kuat. Kau seperti rumah bocor itu yang tak mampu menahan diri. Hayo, baca seratus kali dan pinceng dengar!”

Anak ini mengangguk. Dengan ketakutan dan pucat serta menggigil dia berlutut di depan gurunya itu. Lalu mengerahkan ingatan membaca isi kitab segera dia berseru nyaring, "Bagaikan hujan yang menembus atap rumah yang bocor demikianlah nafsu dapat menembus hati orang yang lemah!"

"Bagus, dan ayat ke 14?”

"Bagaikan hujan yang tak dapat menembus atap rumah yang kuat, demikianlah nafsu tak dapat menembus hati orang yang kuat!"

"Bagus, teruskan, Peng Houw. Masing-masing seratus kali dan biar pinceng hitung.... tik-tik..!” dan ketika tasbeh mulai berketrik menghitung ayat-ayat itu.

Peng Houw diminta membaca masing-masing seratus kali maka sepotong ang-sio-bak yang tadi masuk ke perut ternyata ditebus mahal dengan pengeluaran tenaga yang amat banyak. Anak ini mengeluh karena tiba-tiba perutnya lapar kembali, entah oleh suara yang berulang-ulang harus dikeluarkan ataukah oleh bayangan ang- sio-bak yang lezat itu. Jahanam! Dan ketika Peng Houw memaki-maki Chi Koan karena gara-gara anak itulah dia menerima hukuman, untung hanya membaca dan mengulang-ulang kitab suci maka di dapur terjadi sesuatu yang di luar dugaan.

Seekor kucing, yang berhidung tajam, mengeong-ngeong di situ. Binatang ini mengelilingi sebuah keranjang dan berkali-kali tak mau digebah. Seorang kacung lain kebetulan masuk dan jengkel oleh suara kucing ini, menyambar sapu dan menggebah kucing itu namun si kucing kembai lagi, begitu berulang-ulang. Dan ketika kacung itu membentak-bentak dan seorang hwesio penjaga dapur datang, mendengar ribut-ribut maka bertanyalah dia apa yang terjadi.

"Kucing ini sedang birahi. Mengeong-hgeong melulu!"

"Hush, jaga mulutmu, A-siu. Jangan sembarangan bicara. Di tempat ini tak boleh ada orang berkata kotor!"

"Maaf, lo-suheng (kakak). Aku menggebah kucing ini berkali-kali namun selalu ia datang juga. Biar kutimpuk dia agar mampus!”

“Jangan!" sang hwesio kurus menyambar lengan si kacung. "Membunuh juga tak boleh, A-siu. Atau kau kulaporkan pada atasan!" dan menarik sapu merampas cepat tiba-tiba hwesio penjaga dapur ini menggebah si kucing. Binatang itu diusirnya dengan satu bentakan keras dan si kucing melompat, kaget. Tapi karena waktu itu ia sedang berputar-putar di sekeliling keranjang dan keranjang itu lebih tinggi daripada tubuhnya maka begitu dia menabrak seketika keranjang itu terguling dan tumpahlah isinya.

"Astaga, ang-sio-bak!"

"Omitohud, ada barang haram!”

Dua-duanya terkejut. Si kucing lari namun begitu sepotong ang-sio-bak mencelat keluar tiba-tiba dia membalik dan menyambar makanan ini. Dan begitu lintang pukang menggigit potongan daging itu maka si kucing tak menghiraukan hwesio penjaga dan kacung yang sama-sama terbelalak lebar. Mereka terkejut sekaligus terheran-heran ada barang "najis" di situ. Ini hinaan bagi para hwesio. Dapur mereka kemasukan "kotoran"!

Dan karena benda itu jelas ditaruh orang, tak mungkin ada begitu saja karena tertutup keranjang maka ributlah keduanya ketika sama-sama sadar. Hal ini mengundang murid-murid yang lain dan dapur yang semula sepi itu mendadak ramai. Ang-sio-bak dijumput dengan sumpit dan dikembalikan lagi ke asalnya, bungkusan yang tumpah-ruah itu. Dan ketika beberapa bayangan berkelebatan mencari tahu, tokoh-tokoh hwesio muncul bergantian maka kejadian di dapur umum ini mengejutkan semua orang.

"Siapa yang menaruh. Siapa yang menemukan pertama!"

“Kami!" dua penjaga dan kacung itu sama-sama menampilkan diri. "Kami berdua yang melihatnya, Beng Kong lo-suhu. Tapi kami tak tahu siapa yang menaruh!"

"Hm, penghinaan terhadap Go-bi. Siapa yang kurang ajar dan lancang begini?"

“Kami tak tahu. Benda haram itu tahu-tahu sudah ada di dalam keranjang, ditutupi!"

Go-bi, yang sudah panas dipanggang matahari mendadak semakin panas oleh peristiwa ini. Dapur umum kemasukan barang najis dan tentu saja yang pantang makanan berjiwa itu menjadi merah mukanya. Mereka segera mengusut. Dan ketika ribut-ribut itu juga didengar hwesio yang sedang mengajar Peng Houw, yakni Lu Kong Hwesio yang berketrik-ketrik dengan biji tasbehnya maka hwesio itupun meninggalkan muridnya untuk tergopoh-gopoh menuju ke sana.

"Kau teruskan membaca ayat-ayat suci. Masih kurang empat puluh tujuh kali!”

Peng Houw mengangguk. Dia sendiri juga mendengar ribut-ribut itu namun tak tahu apa yang terjadi. Sebenarnya dia juga ingin keluar namun gurunya menyuruh agar dia terus membaca ayat-ayat itu. Tak menduga bahwa ang-sio-baknya konangan dan membuat geger! Dan ketika ribut-ribut semakin keras dan Lu Kong Hwesio melihat sutenya di sana maka langsung dia tertegun berhadapan dengan barang "haram" ini, Beng Kong Hwesio merah padam.

"Siapa yang terakhir masuk dapur. Apakah ada yang tahu!"

"Omitohud," seorang hwesio muda merangkapkan kedua tangan. "Kalau tidak salah siauw-ceng (aku yang muda) tadi melihat Lu Kong-suheng ini yang masuk, ji-suheng (kakak kedua). Mungkin Lu Kong suheng yang tahu siapa yang terakhir masuk dapur!”

“Hm, benarkah, suheng?" Beng Kong Hwesio menghadapi suhengnya itu, mata berkilat tajam. "Apakah suheng tahu siapa yang terakhir memasuki dapur?"

"Omitohud, pinceng tadi masuk bersama Peng Houw. Dan kamilah yang terakhir meninggalkan dapur."

"Kalau begitu kau tentu tahu, muridmu perlu dipanggil!"

"Sabar, kurasa tak perlu menuduh dulu, Sute. Memang benar pinceng dan Peng Houw ke sini tapi tak ada barang berhala itu."

"Dari mana suheng tahu?"

"Pinceng tak mencium benda ini ketika memasuki dapur. Dapur ini masih teap suci dan bersih!"

“Tapi kotoran itu nyatanya ada di situ. Ah, betapapun muridmu perlu dipanggil suheng. Aku sudah berkali-kali pernah mendengar bahwa Peng Houw ingin kuah daging!"

"Omitohud, hal itu tak pinceng sangkal. Anak-anak seusia dia memang belum pandai mengekang dirl. Baiklah pinceng akan memanggilnya, sute. Tapi jangan menakut- nakuti dia dulu dengan segala ancaman atau kata-kata. Semua ini dapat dicari secara baik- baik!” dan ketika kakek itu memanggil muridnya, suaranya datar namun penuh pengaruh, getaran khi-kangnya terasa merontokkan jantung maka Peng Houw berlari cepat menutup kitab sucinya.

“Teecu ada di sini. Teecu datang!"

Namun Peng Houw tertegun. Begitu dia tiba di dapur maka matanya sudah bertemu dengan puluhan pasang mata lain dari hwesio-hwesio Go-bi. Jumlahnya tak kurang dari tujuh puluh orang di tempat itu penuh sesak. Anak ini terkejut! Namun ketika dia dipanggil gurunya dan para hwesio memberi jalan, menyibak, maka langsung saja Lu Kong Hwesio menunjuk pada barang "haram" itu.

"Di dapur ada ini. Siapakah yang menaruh dan apakah kau tahu orangnya."

Peng Houw tiba-tiba pucat. Belum dia menjawab tiba-tiba anak ini sudah roboh terlebih dahulu, lututnya gemetar. Dan ketika anak itu menangis dan semua mata berkerut marah, Peng Houw tiba-tiba menjadi pusat perhatian maka Lu Kong Hwesio yang berdetak dan terkejut melihat sikap muridnya tiba-tiba berseru nyaring.

“Peng Houw, jawab pertanyaan pinceng. Apakah kau tahu siapa yang menaruh ini dan kenapa kau tiba-tiba menangis!”

"Am... ampun!" anak itu tak dapat berdusta lagi, kejujurannya dituntut. “Teecu... teecu tahu siapa yang menaruh itu, suhu. Tapi... tapi itu bukan salah teecu!"

"Hm!" sang guru membelalakkan mata. "Apa maksudmu, Peng Houw? Bukankah sewaktu pinceng di sini tak ada makanan ini?"

"Be... benar. Tapi... tapi..."

"Kau mau berdusta!" Beng Kong Hwesio, hwesio tinggi besar tiba-tiba berkelebat dan mencengkeram anak ini. "Katakan secara jujur dan terus terang, Peng Houw. Atau batang lehermu kupatahkan!”

"Omitohud..." Lu Kong Hwesio terkejut dan berkelebat pula, mencengkeram tangan sutenya. "Jangan diancam atau ditakut-takuti, sute. Biarkan anak itu bicara dan pinceng sanggup menanyainya!" namun ketika sang sute mengibas dan tak mau dipegang, Beng Kong Hwesio marah karena Peng Houw menunjukkan gejala-gejala mencurigakan maka hwesio itu menolak suhengnya.

Ini urusan murid-murid Go-bi, menyangkut kehormatan kita. Harap suheng mundur dan tak perlu khawatir aku mencelakai muridmu... dukk!"

Dua lengan baju bertemu, sama-sama kuat dan bertenaga karena Beng Kong Hwesio mempergunakan sinkangnya. Ujung lengan baju itu tiba-tiba berobah kaku dan keras mendorong Lu Kong Hwesio ini, yang pasti terpental. Namun karena Lu Kong Hwesio tak mau pergi dan tentu saja harus melindungi muridnya, Peng Houw ketakutan maka yang lain-lain terjengkang saking kuatnya adu tenaga itu.

"Sute!" Lu Kong Hwesio membentak dan terbelalak. "Kau mau mencari keributan? Di depan anak-anak murid begini?"

"Hm, aku tak mencari keributan kalau bukan untuk urusan sebesar ini, suheng. Peng Houw sudah mau mengaku tapi matanya jelalatan kepadamu. Kau pasti akan melindunginya!”

"Omitohud, kau terlalu bercuriga. Pinceng tak mungkin melindungi murid sendiri kalau dia benar-benar salah. Lepaskan, pinceng minta secara baik-baik!”

Dua hwesio itu bentrok dengan sinar mata mereka. Yang satu marah dan tersinggung, sementara Beng Kong Hwesio beringas dan berkilat-kilat. Sudah lama hwesio tinggi besar ini tak menyenangi suhengnya gara-gara Peng Houw. Anak itu terkenal rajin dan banyak disenangi orang. Sementara muridnya sendiri, Chi Koan, terkenal nakal dan kurang disukai di situ. Tapi karena masing-masing dikenal sama-sama memiliki keberanian besar, baik Chi Koan maupun Peng Houw adalah anak-anak yang bersemangat tinggi maka hwesio itu melepaskan cengkeramannya, menendang pantat Peng Houw.

“Kau harus jujur, atau menerima hukuman di ruang Api!"

Peng Houw mengeluh. Dia menangis dan pucat memandang gurunya sementara gurunya merah dan marah menendang sutenya. Beng Kong Hwesio dinilai terlalu karena menendang Peng Houw di depan gurunya, padahal ada banyak anak-anak murid di situ yang menonton. Tapi karena Beng Kong Hwesio juga termasuk susiok atau paman guru dari bocah ini dan sikap itu dapat juga diterima maka Lu Kong Hwesio menahan marah bertanya kepada muridnya,

"Katakan siapa yang menaruh itu dan kenapa kau tidak segera memberi tahu kepada pinceng. Cepat, susiok dan saudara-saudaramu yang lain menunggu!"

"Ampun... maaf..." anak ini menggigil. "Makanan itu teecu sendiri yang menaruhnya, suhu. Tapi... tapi.... dess!"

Sebuah tendangan tiba-tiba membuat Peng Houw mencelat kembali, menghentikan kata-katanya sendiri. Beng Kong Hwesio bergerak dan lagi-lagi mendahului suhengnya. Dan ketika anak laki- laki itu menjerit dan terbanting di sana, kelengar, maka Lu Kong Hwesio membentak berkelebat menyambar muridnya ini, merah padam memandang sang sute.

"Sute, kau terlalu. Peng Houw belum selesai bicara dan tak seharusnya kau bersikap kasar!”

"Hm, dia jelas sudah mengaku, suheng. Apalagi yang mau ditunggu? Kalau aku tak menghajarnya tak mungkin kau menghukum!”

"Tutup mulutmu. Pinceng tak akan bersikap seperti itu kalau benar-benar murid pinceng bersalah. Kau lancang!”

"Apa?"

"Kau tak menghargai diriku, sute. Kau menghina pinceng di depan begini banyak murid-murid lain. Pinceng dapat menghukum murid pinceng sendiri!" dan ketika dua orang hwesio itu sama-sama melotot, Beng Kong Hwesio mendengus dan berkata bahwa diapun berhak menghukum Peng Houw karena anak itu juga termasuk murid keponakannya, semua terkejut dan tegang maka tahu-tahu muncul seorang hwesio renta seperti iblis.

“Omitohud, kalian lagi-lagi bertengkar, Beng Kong. Hanya untuk seorang anak kecil kalian tak malu-malu beradu mulut di depan murid-murid yang lain. Ah, Buddha sungguh malu!"

“Susiok (paman guru)...!”

Beng Kong Hwesio dan semuanya tiba-tiba terkejut. Mereka tak tahu kapan datangnya hwesio itu tapi tiba-tiba serentak memberi hormat. Beng Kong dan Lu Kong juga membungkuk dalam-dalam dan ketegangan tiba-tiba buyar. Pengaruh hwesio renta itu ternyata luar biasa. Dan ketika Peng Houw di sana juga terkejut dan tersentak kaget, murid-murid yang kecil sudah menjatuhkan diri berlutut maka anak itupun tak berani menggerakkan tubuh melipat punggungnya.

"Apa yang terjadi. Kenapa harus ribut-ribut sesama saudara sendiri."

"Kami dicemari anak ini!" Beng Kong menunjuk dan geram memandang Peng Houw, lapor, mendahului suhengnya. "Dapur umum dibuat najis, susiok. Hari ini kita semua dibuat dosa!”

“Omitohud, tentang apakah?”

"Peng Houw memasukkan makanan berjiwa ke dalam dapur umum. Teecu curiga bahwa jangan-jangan makanan yang siang tadl kita makan sudah bercampur dengan barang najis itu!"

"Omitohud, makanan apa yang kalian maksud?"

"Ang-sio-bak, babi haram!”

"Omitohud...!" sang hwesio renta tersentak juga berubah mukanya. Namun tenang kembali mengangguk-angguk segera dia menarik napas dalam-dalam dan menggapai anak itu. "Peng Houw, coba mendekatlah kepada pinceng!"

Peng Houw terkejut. Merintih dan kesakitan di sana tiba-tiba serangkum tenaga menarik tubuhnya. Dia mau bangkit berdiri namun tiba- tiba sudah melayang ke hwesio renta ini, berteriak. Namun ketika dia jatuh dengan enak dalam keadaan tetap berlutut, mengagumkan sekali maka hwesio tua itu menyuruh dia mengangkat wajahnya.

"Hm, kau kiranya yang bernama Peng Houw. Pinceng mendengar kau sebagai anak baik-baik, rajin. Apakah benar kau yang membuat onar, Peng Houw? Kenapa? Coba angkat wajahmu, dan pandanglah pinceng!"

Peng Houw gemetar. Ditendang dan disakiti paman gurunya tadi membuat anak ini gentar namun juga marah. Dia belum habis bicara tahu-tahu sudah dihajar susioknya tadi, guru dari Chi Koan. Dan teringat Chi Koan tiba-tiba kemarahannya berkobar. Maka begitu dia disuruh memandang kakek gurunya ini dan sikap lemah lembut dari hwesio renta itu membangkitkan keberanian Peng Houw maka anak ini mengangkat mukanya gagah dan si hwesio tertegun melihat pancaran keberanian dan kejujuran di mata anak itu.

"Omitohud, kau tidak jelek dan buruk. Watak jujurmu kutangkap. Coba, katakan kepada pinceng, Peng Houw. Kenapa kau lakukan itu dan bagaimana semuanya ini sampai terjadi!"

"Teecu dimintai tolong Chi Koan. Dia itulah yang membujuk teecu untuk menyembunyikan ang-sio-bak itu di sini!"

“Omitohud, Chi Koan? Murid paman gurumu Beng Kong Hwesio?"

“Benar, dia itulah yang memiliki ang-sio-bak, susiok-kong (kakek paman guru). Dan gara-gara dia teecu mendapat hajaran!"

"Omitohud, kalau begitu Beng Kong benar-benar gegabah!"

Dan ketika Beng Kong Hwesio terkejut dan pucat mukanya, Chi Koan yang ternyata menjadi gara-gara maka Peng Houw sudah menjelaskan semua kepada susiok-kongnya itu. Bahwa ang-sio-bak itu milik Chi Koan dan dia hanya disuruh menyembunyikan saja. Semua tiba-tiba menjadi ribut dan sorot penyesalan ditujukan kepada Beng Kong Hwesio. Hwesio ini dinilai gegabah dan harus minta maaf kepada Peng Houw! Tapi ketika hwesio itu menggeram dan marah memandang Peng Houw maka dia berkata jangan-jangan Peng Houw mencari kambing hitam. Sebagai guru tak mau begitu saja muridnya dijelek- jelekkan.

"Anak ini mungkin bohong. Dia mencari kambing hitam!"

“Omitohud, jangan menuduh, Beng Kong. Pangil muridmu dan temukan di sini. Biar kita tanyai Chi Koan!"

"Baik," Beng Kong Hwesio berkelebat lenyap, marah dan penasaran. “Kalau tidak berbukti maka Peng Houw harus dihukum berat susiok. Dia pelancar fitnah!"

“Hm!” hwesio renta itu hanya mengangguk- angguk saja. Dia tak menjawab atau memberi komentar karena dia yakin Peng Houw tak mungkin bohong. Anak itu tidak mencari kambing hitam karena sorot matanya dan kata-katanya jujur. Dia dapat membedakan mana yang jujur dan tidak. Dan ketika semua orang menunggu dan para hwesio tiba-tiba simpatik kepada Peng Houw, mereka merasa kasihan dan juga menyesal karena Peng Houw telah mendapat hajaran paman gurunya maka tak lama kemudian Beng Kong Hwesio telah kembali bersama muridnya.

"lni dia!" Chi Koan dilempar dan dijatuhkan di dekat Peng Houw. “Silahkan tanyai, susiok. Chi Koan tak mengaku melakukan itu!”

"Benar!" Chi Koan tiba-tiba berseru, “Teecu tak menyembunyikan makanan itu di dapur, susiok-kong. Kalau Peng Houw berkata begitu maka itu fitnah!”

"Apa?" Peng Houw meloncat bangun, melotot. "Kau tak mengaku itu barang milikmu, Chi Koan? Kau bilang aku memfitnah?"

"Hm," anak itu mengejek, tertawa, sikapnya tenang dan amat berani, Peng Houw sampai menjadi kagum! "Aku tidak merasa menyembunyikan itu di dapur Peng Houw. Aku sama sekali bersih dalam masalah ini. Berani sumpah!”

“Tapi itu milikmu!"

"Kita tidak bicara tentang milik, kita bicara tentang siapa yang menaruh makanan itu di dapur!"

"Licik kau, lidahmu tak bertulang!" dan ketika Peng Houw marah karena Chi Koan tak mau mengaku, semua mata menjadi bingung oleh sikap dan kata-kata Chi Koan ini maka Peng Houw langsung menerjang dan menghantam anak itu. Tak perduli kepada sesepuh Go-bi-pai yang ada di situ anak ini melampiaskan kegusarannya kepada lawan.

Chi Koan berkelit tapi dikejar, akhirnya apa boleh harus menangkis dan keduanya sama-sama terpelanting. Dan ketika Peng Houw memekik namun si hwesio renta mengebutkan ujung lengan bajunya, anak itu tertahan dan tak dapat menyerang lagi maka Peng Houw terhuyung sementara Chi Koan tahu-tahu sudah disambar dan dihadapkan hwesio ini, wakil atau sute dari ketua Go-bi-pai yang amat lihai.

"Peng Houw, hentikan seranganmu. Mundur dan biar kutanya Chi Koan!"

Chi Koan terkejut. Digulung dan disambar lengan jubah itu tahu-tahu dia sudah tak dapat berkutik, coba meronta namun gagal. Dan ketika susiok-kongnya itu melemaskan gubatan dan dia jatuh kembali, dengan empuk maka hwesio itu bersikap keren kepadanya dan menyuruh dia memandang mata tua itu.

“Coba tengadahkan muka dan pandang mata pinceng. Ceritakan siapa pemilik makanan itu!”

Chi Koan menggigil. Tidak seperti Peng Houw yang berani dan penuh kejujuran menatap mata hwesio tua itu adalah anak ini dengan lick dan pandai memandang ujung hidung si hwesio. Dengan begitu tatapan tajam si hwesio yang “mengerikan" baginya dapat dihindari, dia tak perlu terlalu takut. Karena betapapun mata hwesio itu memang membuatnya gentar dan merinding! Dan ketika keberaniannya timbul dan ujung hidung itu menjadi sasaran pandangannya, anak ini memang licik dan cerdik maka Chi Koan menjawab bahwa dia sama sekali tidak menaruh makanan itu di dapur, pura-pura tak tahu akan pertanyaan siapa pemilik masakan haram itu.

“Teecu berani sumpah bahwa ang-sio-bak itu bukan teecu yang menaruhnya. Itu sepenuhnya perbuatan Peng Houw. Maafkan teecu, susiok-kong. Biarpun dibunuh teecu tetap akan menjawab begini!"

"Hm, aku tidak bertanya tentang siapa yang menaruh masakan itu di dapur," sang hwesio renta mengernyitkan kening, merasa atau menangkap kelicikan anak ini, tak tahu bahwa ujung hidungnya pula yang dipandang! "Pinceng bertanya siapa pemilk masakan itu, Chi Koan. Benarkah kau atau bukan!"

“Teecu...”

“Jangan menjawab tentang dapur. Jawab siapa yang memiliki masakan itu!"

Chi Koan tiba-tiba mengkeret. Bentakan atau suara penuh wibawa ini akhirnya membuatnya ketakutan juga. Betapapun dia mengelak dan dihindarkannya lagi. Tiba-tiba dia sudah beradu pandang dan rontoklah nyali anak itu. Dan ketika dua biji mata seolah menembusnya tajam, masuk dan mengiris kalbunya maka anak ini tiba-tiba menangis dan menjatuhkan diri berlutut. "Ampun, teecu.... teecu mengaku salah, susiok-kong. Tapi Peng Houw juga salah. Teecu menerima bujukannya!"

"Apa maksudmu?" sang hwesio tua tertegun, anak ini lagi-lagi mau berputar!"

"Pemilik ang-sio-bak itu memang betul teecu, tapi itu karena atas permintaan Peng Houw!"

"Bohong!" Peng Houw tentu saja marah dan gusar, tiba-tiba membentak. “Aku tak pernah meminta barang itu, Chi Koan. Kau sendiri yang memberi dan justeru membujuk aku untuk menerimanya!"

“Tapi dulu kau pernah memesan....”

"Aku tak pernah pesan!"

“Jangan bohong, Peng Houw. Mungkin kau lupa atau pura-pura...”

"Aku tidak pura-pura, aku tidak lupa... wutt!" dan Peng Houw yang marah bukan main dibalik-balik seperti itu tiba-tiba menerjang dan menyerang anak ini kembali. Peng Houw dibuat gusar karena sikap dan kata-kata lawannya itu penuh kesungguhan, padahal, sedikit pun ia tak pernah pesan. Tapi ketika anak Itu menerjang dan Chi Koan terkejut, mau bergerak dan menangkis serangan, tiba-tiba Peng Houw roboh oleh kebutan si hwesio Go-bi.

"Omitohud, jangan bersikap kasar, Peng Houw. Robohlah!”

Peng Houw roboh. Akhirnya anak ini merintih dan mengeluh dan Beng Kong Hwesio menggeram melihat perbuatan si bocah. Dua kali muridnya diserang tapi dua kali itu juga muridnya dilindungi. Kau tidak, ingin dia sendiri yang maju dan anak itu ditamparnya pecah. Chi Koan sudah mulai mengaku, berarti, muridnya juga salah Namun ketika muka hwesio ini merah padam karena tadi Chi Koan tak mengaku kepadanya, anak itu hanya berkata bahwa sumpah mati bukan dia yang menaruh ang-sio-bak di dapur maka hwesio renta yang ternyata ditakuti semua murid itu sudah membalik dan mengadili Chi Koan lagi.

"Sekarang ceritakan secara lurus bagaimana asal mulanya. Kau sudah mengaku bahwa masakan najis itu kau pemiliknya. Nah, Jujur dan bersikaplah sopan, Chi Koan. Atau pinceng akan menjatuhkan hukuman berat kepadamu!"

“Tidak adil!" anak ini berani membantah. “Hukuman harus dijatuhkan kepada kami berdua, susiok-kong, bukan hanya aku saja!"

Sang hwesio renta terkejut. Dia memang salah omong dan kini didebat. Chi Koan benar-benar berani! Namun karena dia melihat bahwa itu benar, siapa yang salah harus dihukum maka hwesio ini batuk-batuk menyambung kata- katanya. “Maksud pinceng adalah siapa yang salah harus dihukum. Nah, bagaimana asal mulanya dan kenapa barang pantangan itu disembunyikan di dapur!"

"Urusan itu di tangan Peng Houw. Teecu hanya memilikinya karena pesanannya semata.”

"Tidak!" Peng Houw melengking. "Teecu sama sekali tidak memesannya, susiok-kong. Barang itu dibawa sendiri oleh Chi Koan dan teecu disuruh menyembunyikan!"

“Tidak benar," anak ini mendebat. "Memang aku yang membawa, Peng Houw, tapi atas pesananmu. Dan karena kau dipanggil gurumu tak dapat segera menikmatinya maka kau sembunyikan di dapur dan sekarang ketahuan!"

"Tapi... tapi...”

"Sekarang jawab pertanyaanku dengan jujur," Chi Koan tiba-tiba menyergah, berani, tak perduli pada Peng Houw yang mendelik dan melotot sebesar jengkol. “Siapa yang berkali- kali ingin menikmati makanan berjiwa, Peng Houw. Berapa kali kau menyatakan kekesalanmu bahwa selama ini kau bosan dan muak diberi makan sayur-sayuran melulu. Kau berani memaki gurumu pula, menyebutnya sebagai keledai gundul pemakan rumput!"

"Chi Koan...”

Bentakan atau dua seruan itu hampir berbareng dilepas Peng Houw dan Beng Kong Hwesio. Chi Koan tiba-tiba tak pandang suasana memaki Lu Kong Hwesio. Sang guru terkejut karena muridnya dianggap terlampau berani sementara Peng Houw berteriak karena kata-kata itu tak benar. Dia tak pernah memaki-maki gurunya sebagai si keledai gundul. Bahkan, Chi Koan itulah yang memaki- maki gurunya dan para hwesio di situ sebagai keledai gundul. Dan ketika Peng Houw marah dan pucat berganti-ganti dijungkir balik lawan, Chi Koan benar-benar keji maka anak itu roboh pingsan namun Lu Kong Hwesio bergerak dan menotok menyadarkan muridnya ini. Semua hwesio Go-bi geger!

"Omitohud, pinceng tak tahu siapa salah siapa benar. Harap susiok maafkan anak-anak ini dan biar sekarang Peng Houw yang bicara!"

Sang hwesio renta terbelalak. Pertengkaran anak-anak kecil itu tiba-tiba saja sudah membawa-bawa guru. Lu Kong Hwesio tampak menahan marah sementara Beng Kong Hwesio juga memandang penuh kebencian kepada Peng Houw. Anak laki-laki itu telah menyeret muridnya berbuat dosa. Beng Kong menganggap Peng Houw itulah biang penyakitnya. Dia terlalu melindungi murid sendiri dan percaya kepada Chi Koan. Tapi ketika usul Lu Kong Hwesio diterima dan Peng Houw disuruh bicara, gantian, maka anak itu berkerot-kerot memandang Chi Koan namun sebelum Peng Houw bicara lagi-lagi dengan berani Chi Koan menghadap susiok-kongnya.

"Maaf, teecu ingin bicara terakhir. Mohon susiok-kong memberi ijin.”

"Apa yang mau kau bicarakan?" sang hwesio renta mengerutkan kening, tergetar dan kaget akan keberanian Chi Koan tapi juga sekaligus meragukan kejujuran Peng Houw. Murid Lu Kong Hwesio itu mulai mendapat antipati. Dan ketika Chi Koan menjatuhkan diri berlutut dan berkata bahwa dia ingin menanyai Peng Houw satu hal, diluluskan, maka anak itu dengan tenang dan berseri-seri bangkit berdiri menghadapi Peng Houw.

“Nah,” katanya. “Sekarang susiok-kong meluluskan aku, Peng Houw. Coba jawab siapakah yang menyuruhmu menyembunyikan ang-sio-bak itu di dapur."

“Kau!” Peng Houw langsung saja menyambar, meletup seperti meriam disulut apinya. "Kau yang menyuruhku, Chi Koan. Kau bocah iblis berlidah ular!"

“Benarkah?" anak ini tertawa, tak perduli. "Coba ingat baik-baik apakah aku menyuruhmu begitu, Peng Houw. Coba jawab dengan jujur sebelum kita berdua dijatuhi hukuman. Aku tak pernah menyebut-nyebut dapur untuk menyembunyikan makanan itu, melainkan kamarmu!"

Peng Houw tertegun. Tiba-tiba dia sadar bahwa Chi Koan memang tak menyuruhnya untuk menyembunyikan di dapur. Anak itu menyuruhnya menyembunyikan di kamar dan dia sendirilah yang menaruhnya di dapur. Dan ketika Peng Houw tertegun tak dapat menjawab, Chi Koan memang benar maka Chi Koan tertawa menoleh pada hwesio renta itu, juga gurunya dan lain-lain.

"Lihat,” anak ini berkata. "Peng Houw ketahuan belangnya, susiok-kong. Tadi dia menuduhku begitu tapi sekarang tak dapat menjawab. Kalau untuk ini saja dia sudah berdusta maka yang lain-lain pun akan pula dikerjakannya. Tak kusangkal bahwa aku pemilik ang-sio-bak itu, dan Peng Houw yang menyimpannya di dapur. Tapi karena ang-sio-bak itu pesanan Peng Houw maka percaya atau tidak aku dibujuk anak ni untuk berbuat dosa!”

"Jahanam!" Peng Houw lagi-lagi tak kuat. "Aku tak pernah memesan makanan itu, Chi Koan. Kau yang datang membawanya dan membujuk aku. Kau iblis berlidah ular, Kau manusia licik dan keji!" namun ketika Peng Houw meronta dan tak dilepas gurunya, Lu Kong Hwesio terbelalak dan merah pucat berganti-ganti mendadak hwesio itu mengayunkan tangannya dan.... plak! robohlah Peng Houw oleh tamparan gurunya, mengeluh dan pingsan!

"Omitohud, Peng Houw memang salah. Dan rupanya muridku tak dapat dipercaya lagi. Ah, silahkan hukum anak ini, susiok. Aku menyerahkannya kepadamu!"

Semua tertegun. Lu Kong Hwesio berlutut dan menjatuhkan diri di depan sang paman guru mukanya menahan marah yang besar tapi juga kekecewaan yang hebat. Peng Houw sudah salah bicara tentang pancingan Chi Koan tadi, bahwa Chi Koan tidak menyuruh anak itu menyimpan barang haram di dapur. Dan karena Peng Houw tak dapat menjawab dan keraguanpun timbul bahwa jangan-jangan untuk yang lain-lain anak itu juga salah bicara, Chi Koan sungguh cerdik dan licik maka Ji Beng Hwesio, kakek renta itu mengucap puja-puji dan menggeleng-gelengkan kepala berulang-ulang.

"Hm, tidak dinyana... tidak disangka. Pinceng tak dapat berbuat lain, Lu Kong. Muridmu memang harus dihukum. Dia mencemari dan menodai dapur umum, padahal itu juga untuk menyiapkan makanan bagi ketua kita. Omitohud, anak itu masukkan ke ruang Api, Lu Kong. Jungkir tubuhnya dan biarkan selama tiga hari!"

“Akan kulaksanakan..." Lu Kong Hwesio menjawab, datar, tiba-tiba berkelebat dan sudah membawa muridnya lenyap.

Dan ketika Chi Koan berseri-seri di depan susiok-kongnya, mengira diri sendiri bebas dan tidak menerima hukuman mendadak Ji Beng Hwesio bergerak dan berkata kepada gurunya, Beng Kong Hwesio.

"Dan kau, bawa muridmu ke ruang Api pula, Beng Kong. Suruh dia bersila di atas bara selama tiga hari pula!”

"Omitohud!” Beng Kong Hwesio terkejut. "Muridku tak bersalah, susiok. Chi Koan hanya dibujuk dan dijebak Peng Houw!”

“Hm, kau tahu bunyi ayat ke 13 dari bab pertama kitab suci kita?”

Hwesio ini tertegun.

"Baca dan ingat itu, Beng Kong. Dan muridmu juga bersalah karena tak menghayati ayat itu. Bawa dia ke ruang Api dan suruh bersila di sana selama tiga hari!"

"Baik," hwesio ini agak tergagap. “Akan kulaksanakan, susiok. Teecu pergi!" dan ketika Beng Kong Hwesio juga berkelebat dan menyambar muridnya, yang lain-lain berisik namun dibubarkan maka Ji Beng Hwesio berkemak-kemik melancarkan ilmunya dari jauh, sebelum pergi.

"Beng Kong, Lu Kong, kalian berdua jaga baik- baik murid kalian itu. Jangan biarkan mereka saling berkelahi di ruang api. Ruang itu untuk menghapus dosa memupuk kesucian, bukan untuk dikotori!”

Lu Kong dan Beng Kong ternyata mendengar. Mereka berdua sudah ada di belakang petak- petak bangunan Go-bi. Partai persilatan ini memang amat luas dan dibagi-bagi dalam beberapa bagian. Ada ruang pemujaan tapi ada pula ruang hukuman. Ruang Api adalah satu di antara ruang-ruang hukuman, terletak di belakang dan agak jauh dari pintu gerbang. Dan ketika di sana Lu Kong sudah mengikat dan menggantung tubuh muridnya di atas sekumpulan bara, anak itu masih pingsan namun akhirnya sadar membuka mata maka Beng Kong Hwesio juga berkelebat dan muncul membawa muridnya.

“Hm, kau terlalu tinggi menggantung muridmu, suheng. Peng Houw tak seberapa panas dihukum seperti itu!”

“Tutup mulutmu!” kakek ini tak dapat menahan marah juga. "Urus pekerjaanmu tak usah mengurus pekerjaanku, sute. Ruang ini bukan ruang membunuh melainkan hanya ruang hukuman!"

Dan ketika Peng Houw tertegun melihat Chi Koan juga ada di situ, gurunya sudah mendamprat dan bersila di pintu tengah maka Beng Kong Hwesio mendudukkan muridnya baik-baik di atas sekumpulan bara api, mengganjal dengan beberapa bangku batu hingga anak itu tak terlalu kepanasan. Bara api itu sekitar dua meter di bawah pantatnya, lain dengan Peng Houw yang "dijantur" gurunya hanya semeter saja di atas tumpukan bara api, dengan kepala di bawah menghadap uap yang marong kemerahan itu.

"Haii....!” Chi Koan berseru menggoda, tertawa. Selamat bertemu lagi, Peng Houw. Kita sama-sama dihukum tapi hukuman kita sesuai dosa masing-masing!"

"Tutup mulutmu!” Peng Houw tak terasa menirukan makian gurunya kepada susioknya tadi. “Kau ular berlidah iblis, Chi Koan. Menyusahkan aku dan curang serta tak tahu malu. Kau keji, tak punya perikemanusiaan!"

"Ha-ha, siapa yang tak punya perikemanusiaan? Kau iri aku mendapat hukuman lebih ringan? Susiok-kong yang menyuruhku begini, boleh damprat dia kalau tidak puas!”

“Tutup mulutmu yang berbau busuk!" Lu Kong Hwesio tiba-tiba tak dapat mengendalikan dirinya, membentak mendahului Peng Houw. “Tempat ini tak boleh gaduh, Chi Koan. Diam dan jangan banyak bicara!”

"Hm!" Beng Kong Hwesio tak terima, berkelebat dan berdiri lalu duduk di sebelah kiri suhengnya, sama-sama menjaga di pintu. "Anak-anak biarkan dengan anak-anak, suheng. Kau orang tua tak perlu ikut campur. Kalau mau memaki boleh lakukan kepadaku!"

“Omitohud!" sang suheng terbelalak. "Kau tak boleh membiarkan aku membentak muridmu? Bukankah dia juga murid keponakanku?"

"Secara umum memang begitu, suheng. Tapi di tempat ini sudah lain. Kita masing-masing sebaiknya tutup mulut dan tak usah mencampuri makian anak-anak."

“Tapi kau menghajar dan menendang muridku tadi di luar. Dan pinceng yang hanya membentak menyuruh muridmu diam kau larang! Omitohud, kau sudah berat sebelah, sute. Dan kau tidak menghargai pinceng!"

"Terserah jawabanmu, tapi yang jelas aku sendiri tak akan tinggal diam kalau muridku diganggu!" dan mendengus serta tertawa mengejek melirik suhengnya, hwesio tinggi besar itu tak takut dan bahkan berkesan menantang maka hawa panas di ruangan itu yang cepat membuat orang naik pitam tiba-tiba membuat Lu Kong Hwesio menggeram dan menampar sutenya ini.

Maksudnya hanya melepas geram dengan kebutan ujung baju saja. Tak tahunya sutenya itu menangkis dan balas menyerang dengan pukulan sinkang! Dan ketika Lu Kong Hwesio terkejut dan tentu saja berteriak kaget, sutenya dinilai ganas maka apa boleh buat dia menggerakkan lengan baju yang lain dan menangkis mengerahkan sinkangnya pula.

"Plak!" dua orang itu tíba-tiba sudah duduk saling berhadapan, saling gempur. “Kerahkan tenagamu, suheng. Dan mari main-main di sini!"

Lu Kong Hwesio terkejut. Dia tak mengira bahwa sutenya itu tiba-tiba menambah tenaga dan mendorong, akibatnya iapun menambah tenaganya dan saling dorong. Dan ketika dua lengan mereka sudah saling tempel dan masing-masing kepala mengeluarkan uap, Beng Kong Hwesio tak mau kalah maka suheng dan sute tiba-tiba saling bertanding di ruang Api!

"Omitohud! Kau lancang dan tak menghormat saudara tua, sute. Pinceng tak dapat lagi bersabar terhadapmu!"

"Silahkan. Aku juga sebal kepadamu, suheng. Kau selalu memuji-muji murid sendiri dan tidak menghargai muridku!"

“Tapi kau menghina pinceng di depan anak- anak!"

“Dan kau membuat malu aku dengan pengakuan Peng Houw. Kau tak dapat mendidik dan mengajar muridmu... ces-cess!" dan ketika dua lengan yang saling tempel itu mengeluarkan bunyi seperti api bertemu air, Peng Houw dan Chi Koan terbelalak melihat guru masing-masing bertempur den tak mau kalah maka Beng Kong Hwesio sudah berkutat melawan suhengnya dengan kemarahan bergolak.

Sebenarnya, sudah lama kedua hwesio ini terlibat perang dingin. Masalahnya sepele, hanya karena murid-murid mereka itu. Karena kalau Peng Houw banyak disuka dan didekati para hwesio Go-bi adalah Chi Koan kurang disenangi dan dijauhi hwesio-hwesio di situ. Anak ini terkenal nakal dan sering mengganggu para hwesio di situ. Kadang-kadang melempari kepala para kacung atau membuat kotor lantai yang baru saja dibersihkan. Tak jarang anak ini mengejek hwesio-hwesio muda dengan sikap atau kata-katanya. Dan karena dia murid Beng Kong Hwesio, yang merupakan murid nomor dua dari Ji Leng Hwesio ketua Go-bi maka banyak anak-anak murid segan membalas perbuatan anak itu.

Beng Kong Hwesio dikenal keras dan suka membela murid sendiri. Kebetulan Chi Koan adalah murid kesayangannya, anak laki- laki itu memang cerdas dan karena itu disayang hwesio tinggi besar ini. Tapi ketika seminggu kemudian Lu Kong Hwesio, suhengnya, juga mendapat murid baru dan murid itu bukan lain adalah Peng Houw, yang rajin dan jujur mengikuti gurunya maka tiba-tiba tampak perbedaan besar di antara dua anak laki-laki ini.

Peng Houw suka membantu para hwesio dan tak segan-segan menyapu lantai atau membersihkan mangkok piring. Bahkan, beberapa kenakalan Chi Koan sering dihapus anak ini dengan perbuatan-perbuatan baiknya. Misal, Chi Koan suatu hari mengganggu seorang hwesio muda yang sedang membersihkan lantai, melempari dengan kulit pisang atau rumput-rumput kering. Maka Peng Houw inilah yang membuang semua itu dan menegur Chi Koan agar tidak nakal. Dan karena banyak perbuatan anak itu yang menjadikan para hwesio sayang kepadanya, Peng Houw memang lain dengan Chi Koan maka sering dua anak ini bertengkar sendiri.

"Kau jangan melarang aku. Kau anak baru di sini!"

“Hm, kau dan aku sama-sama baru, Chi Koan. Kaupun baru seminggu di sini. Kau tak boleh mengganggu para hwesio!"

"Apa perdulimu? Aku menang dulu, Peng Houw. Kau harus hormat kepada yang lebih dulu di sini. Aku murid Beng Kong Hwesio yang lihai!"

“Tapi akupun murid guruku Lu Kong Hwesio yang hebat. Kau termasuk suteku!”

"Mana bisa? Kau datang belakangan, Peng Houw. Aku lebih dulu!"

“Tapi gurumu adalah adik seperguruan guruku. Aku menang tua!"

"Keparat, kau tiba-tiba menjadi sombong!" dan ketika Chi Koan akhirnya menyerang dan memukul Peng Houw, dua anak itu berkelahi maka hwesio penyapu lantai cepat-cepat melerai dua anak laki-laki yang berbaku hantam ini.

Chi Koan sedikit unggul karena sudah diberi dasar-dasar ilmu silat, Peng Houw hanya diajari ayat-ayat kitab suci saja tapi anak itu memiliki keberanian besar. Jadilah mereka imbang dengan yang satu memiliki kelebihan dari yang lain. Dan ketika pertengkaran itu dilerai namun hari-hari berikut Chi Koan mengancam Peng Houw, diam-diam dua anak ini terlibat permusuhan sendiri maka Lu Kong Hwesio akhirnya menemui sutenya melaporkan kejadian itu, karena betapapun akhirnya gangguan Chi Koan masuk ke telinganya juga.

"Aku hendak memberi tahu tentang kenakalan muridmu," begitu hwesio ini mula-mula bicara, sabar. "Chi Koan mengganggu murid-murid yang lain, Sute. Melempari kulit pisang atau membuat gaduh di saat orang bersembahyang. Terakhir, mengajak Peng Houw berkelahi dan tak mau sudah. Agaknya kau harus mengajarinya ayat-ayat suci dahulu bukannya ilmu silat!"

"Hm, kau mengajari aku, suheng? Urusan anak-anak hendak ikut campur?”

"Maaf," Lu Kong Hwesio terkejut, menarik napas dalam-dalam. "Aku tak bermaksud mencampuri, sute. Hanya muridmu itu kenakalannya berlebihan. Tidakkah kau dengar laporan para hwesio-hwesio muda yang diganggunya? Masakah selama ini kau tidak tahu?"

"Anak kecil nakal adalah wajar. Orang besar nakal barulah kurang ajar. Aku tahu perbuatan-perbuatan muridku, suheng. Tapi tak kunilai berlebihan karena dia memang kanak-kanak!"

"Tapi kalau mulai mengancam dengan pisau?" sang suheng mengerutkan kening, melihat sutenya itu terlalu melindungi murid, memanjakannya. "Apakah hal begini juga akan kau biarkan, sute? Chi Koan kemarin mengancam Peng Houw dengan pisau, dan pinceng tak ingin kenakalan yang kau anggap wajar ini sampai membahayakan keselamatan jiwa!"

“Pisau?” sang Sute tertegun. "Kalau begitu biar kupanggil muridku!" dan ketika Chi Koan dipanggil dan dibentak gurunya, karena betapapun Beng Kong Hwesio juga harus menjaga diri maka Chi Koan terkejut tapi tenang-tenang menghadapi gurunya itu, juga supeknya atau uwa guru.

"Kau mengancam Peng Houw dengan pisau? Kau main-main secara berlebihan?"

"Ah," anak ini tersenyum. "Supek terlalu membesar-besarkan suhu. Memang pisau di tanganku tapi tentu saja tak kupakai untuk menyerang karena kupergunakan untuk mengerat mangga muda.”

"Mangga muda?" Lu Kong Hwesio tiba-tiba mengerutkán kening. Semua tanaman di sini yang masih hijau tak boleh dipetik, Chi Koan. Harus tunggu sampai masak dan baru setelah itu dibagi-bagikan!”

“Aku hanya memetiknya sebuah saja, untuk kumakan dengan garam. Perutku lapar!”

"Apakah kau belum makan?"

“Hm!" Beng Kong Hwesio menjadi merah mukanya. "Makan minum muridku urusanku, suheng. Bukan urusanmu. Kalau Chi Koan ingin mengambil sebuah mangga muda tentu karena keinginannya sebagai anak-anak saja, bukan karena lapar!"

“Kalau begitu dia bohong. Muridmu harus diajar bicara jujur, terus terang!"

"Itupun urusanku, suheng tak usah ikut campur!"

"Baik, maaf, sute. Aku ke sini bukan untuk bertengkar, melainkan melapor tentang sepak terjang muridmu ini. Chi Koan mulai berlebihan dan kau harus mengawasi tindak-tanduknya. Betapapun anak kecil tak boleh main-main dengan pisau untuk mengancam orang lain!"

“Baiklah, aku menerima laporanmu. Dan apa yang sekarang kau inginkan...!"

Prahara Di Gurun Gobi Jilid 01

Cerita Silat Mandarin Serial Prahara Di Gurun Gobi Karya Batara
SEORANG BOCAH sedang berliam-keng (membaca ayat-ayat suci) di tengah-tengah ruangan yang sempit itu. Suaranya nyaring dan lantang, tak henti-hentinya mengulang atau memperbaiki kata-kata yang salah. Dan ketika seorang hwesio mengangguk-angguk di belakangnya seraya mengetuk-ngetukkan buku jarinya, perlahan namun kuat mengiringi kata- kata bocah itu maka siang yang panas di tengah padang pasir seolah tak dirasakan sama sekali oleh keduanya.

"Bagus, ulangi lagi, Peng Houw. Perhatikan dan camkan bunyi kata-kata suci itu. Ingat baik-baik dan suarakan lagi dengan lebih keras. Kau masih kurang lantang, kurang bersemangat!"

Si bocah mengangguk. Tak menghiraukan keringatnya yang bercucuran membasahi baju, nyaring dan lantang kembali ia mengulang kata-kata yang dimaksud. Sang hwesio berseru dan berseru lagi bahwa suaranya masih kurang nyaring. Bocah itu dinyatakan kurang bersemangat, padahal suaranya sudah sampai pada ketinggian puncak. Dan ketika anak itu rupanya jengkel berkali-kali disalahkan maka berteriaklah dia dengan muka merah padam, urat-urat di seluruh wajahnya menonjol keluar.

"Orang yang belajar hanya sedikit, menjadi tua seperti lembu. Hanya daging-dagingnya yang tumbuh bertambah besar, tetapi kebijaksanaannya tak ada."

"Cukup....!” anak itu roboh. "Kali ini kau benar-benar bersemangat, Peng Houw, Dan pinceng (aku) gembira!" dan ketika anak itu terguling dan mengeluh pendek, kehabisan suara maka hwesio itu tersenyum bangkit berdiri, menyambar si bocah yang kelelahan. "Kau sudah membaca berliam-keng penuh semangat, namun sayang ajaran Sang Buddha telah kau lupakan. Berdirilah, dan ikuti pinceng."

"Oohh...!" anak itu mengeluh. "Apalagi yang kurang pada diri teecu (murid), Suhu? Apalagi kesalahan yang telah kulakukan? Kau tak berwelas asih, kau kejam!"

"Omitohud!" sang hwesio merangkapkan kedua lengannya. "Kau lagi-lagi menambah kesalahan, Peng Houw. Memaki pinceng! Tapi tak apa, ikuti pinceng dan kita ke dapur. Kau perlu beristirahat sejenak dan setelah itu mengoreksi kesalahanmu. Mari, kau boleh minum!" dan ketika si bocah disambar dan diangkat tubuhnya, ditenteng seperti kelinci maka anak itu hampir menangis dengan menggigit bibirnya kuat-kuat.

"Laki-laki yang gagah tak boleh mengeluarkan air mata, apalagi hanya untuk hal seremeh ini. Kau lapar dan haus tapi tak perlu menangis!"

"Aku menangis bukan karena lapar!" anak itu berteriak. "Aku menangis karena berulang-ulang kau menyuruhku mengucapkan kata-kata yang sama, suhu. Aku bosan dan jenuh!”

“Omitohud, membaca kitab suci tak boleh bosan atau jenuh, Peng Houw. Kalau kau bosan atau jenuh itu karena kau tak menghayati isinya. Kau masih dikuasai hawa amarahmu. Baiklah, sebelum makan boleh kau dinginkan kepala... byurr!"

Dan si anak yang dilempar ke tong air, terkejut dan berseru tertahan tiba-tiba basah kuyup dan geragapan, tak menyangka tapi hwesio itu sudah membalikkan tubuh membaca lagi bunyi ayat-ayat suci. Itulah ayat dari kitab Dhammapada bab sebelas ayat tujuh, si bocah tertegun. Dan ketika hwesio itu menyuarakan suaranya dengan kuat dan lantang, dinding ruangan bergetar maka beberapa pot bunga tiba-tiba jatuh dan hancur ke lantai.

"Nah," hwesio itu membalikkan badannya lagi, menghadapi si bocah. "Inilah yang kumaksud dengan suara lantang dan keras, Peng Houw. Kau harus mampu menyuarakan suaramu sampai orang-orang di sekelilingmu tergetar dan terkena pesonanya. Kau sedang kuajar khi-kang (tenaga sakti suara)!”

“Ohh...” bocah itu menggigil, jatuh berlutut. "Aku memang tolol, suhu. Aku tidak melihat kebaikanmu, Baiklah, sekarang juga kuulang lagi dengan kuat-kuat dan lantang!" namun ketika bocah itu berdiri dan akan mengulang ayat-ayat sucinya, penuh semangat dan tidak marah lagi mendadak tubuhnya ambruk ke depan dan terguling.

"Kau tak kuat,” hwesio itu menyambar, wajahnya berseri. "Kau haus dan lapar, Peng Houw. Makan dan minum dulu dan setelah itu membaca lagi ayat-ayat suci!"

“Aku... aku dapat menahannya nanti. Aku ingin menjatuhkan pot-pot bunga sepertimu, suhu. Biarkan aku coba dan kuulang lagi!" namun ketika bocah itu terguling dan roboh lagi, lutut gemetar sementara perut lapar maka hwesio itu mencengkeram bajunya dan melempar anak itu ke sebuah bangku batu.

“Kau tak dapat bekerja dengan kondisi semacam ini. Duduk di situ dan kuambilkan makanan... bress!”

Anak itu tepat berada di atas batu, terperangah dan melotot namun si hwesio sudah melangkah lebar ke dalam dapur, berkelebat dan sudah membawa kembali dua mangkok bubur berlauk sederhana, kacang kapri dan sebuah telur rebus. Dan ketika makanan itu diberikannya kepada si bocah, yang menerima dan melihat isinya maka anak ini mengeluh.

"Suhu, kenapa hanya sayur dan telur melulu? Mana daging dan ikannya? Aku bosan, suhu. Aku jenuh!"

"Hm, di sini pantang makanan berjiwa. Apa yang kau dapat adalah untuk kesehatan dirimu juga, lahir batin. Makanlah, Peng Houw. Jangan banyak cakap!”

"Tapi....”

"Kau ingin kuambil lagi? Tidak dapat menerima keadaan?"

"Tidak... tidak!" anak itu bergegas memegang mangkoknya, erat-erat. "Aku akan menikmati ini, suhu. Baiklah, terima kasih!" dan ketika bubur itu dilahapnya dengan amat bernafsu, telur dan isinya disikat habis maka hwesio itu duduk membelakanginya lagi menunggu, berliam-keng.

"Orang yang belajar hanya sedikit, menjadi tua seperti lembu. Hanya daging-dagingnya yang tumbuh bertambah besar, tetapi kebijaksanaannya tak ada....!” dan ketika hwesio itu mengulang-ulang kitab Sucinya, bersemangat dan penuh tenaga maka setiap kali itu pula benda-benda di dinding berjatuhan.

Mula-mula dua ekor cecak yang sedang berkejaran satu sama lain, lalu gambar- gambar pemandangan yang menghias tempat itu. Dan ketika di dapur juga terdengar suara berkerincing, sendok dan garpu atau alat masak "terloncat" dari tempatnya maka anak itu tertegun-tegun dan kagum bukan main.

"Suhu, ooh... cecak itu tak dapat bergerak lagi. Dan sendok atau mangkokku juga mau terlepas! Ah, berhenti, suhu. Bangku yang kududuki ini juga berderak-derak mau pecah!”

"Hm!" hwesio itu berhenti, membalikkan tubuhnya. "Sekarang bersihkan mangkok buburmu, Peng Houw. Dan kembali ke ruang tadi. Kau sudah cukup kenyang?"

"Cukup... cukup, aku kenyang!" dan ketika anak itu melihat dua ekor cecak sudah kembali bergerak, pengaruh getaran suara gurunya lenyap maka anak itu bergegas melompat ke dapur membersihkan mangkok buburnya. Suhunya itu sendiri sudah melangkah tenang kembali ke ruangan tadi, ruangan membaca Berliam-keng. Dan ketika anak itu melihat sendok garpu berceceran di lantai, terloncat atau terlempar oleh pengaruh getaran suara suhunya tadi maka anak ini kagum dan cepat meraup semuanya itu, sudah membersihkan mangkoknya sendiri dan berlari keluar mengejar gurunya.

Hari itu memang dia disuruh membaca ayat-ayat suci tapi yang membosankan adalah pengulang-ulangan kata- kata itu. Dia sudah membaca nyaring dan kuat namun gurunya masih berkata juga bahwa masih kurang nyaring dan kuat, padahal pita suaranya sudah terasa kering dan mau pecah! Namun ketika anak ini berlari dan menyusul gurunya, tubuh sudah kembali segar dan berseri-seri mendadak seorang anak laki-laki lain berkelebat dan muncul memotong jalan.

"Sst, mau ke mana, Peng Houw. Apakah Lu Kong lo-suhu ada di sini!”

"Eh!" anak itu tertegun. Mau apa keluyuran di sini, Chi Koan? Ada apa bertanya guruku?”

"Sst, aku ingin membagi rejeki denganmu. Mau atau tidak!" dan ketika Peng Houw terbelalak karena tak mengerti, perjalanannya tertunda maka anak itu menggapainya datang mendekat, memperlihatkan bungkusan. "Aku pikir kau suka ini. Tapi aku bingung menaruhnya di mana. Lihat, seseorang memberiku kue-kue lezat, Peng Houw. Dan juga daging goreng!”

Peng Houw tertegun. Chi Koan, anak itu, telah membuka bungkusan dan memperlihatkan isinya. Dan begitu semua diperlihatkan maka menyambarlah bau sedap dari semangkok besar babi goreng saos. "Ang-sio-bak (daging masak ang-sio)!"

“Ya, dan ini....”

"Jing-ceng-ko (kue bolu susun seribu)!"

"Ha-ha, betul. Kupikir kau tak menolak jika kubagi-bagi makanan ini, Peng Houw. Bagaimana pendapatmu dan apakah kau suka atau tidak!"

"Astaga!" Peng Houw membelalakkan mata lebar-lebar. "Siapa yang memberimu semuanya ini, Chi Koan. Dan berani betul kau menerimanya! Tempat ini pantang makanan berjiwa, kita bisa dihukum!"

"Sst, jangan keras-keras. Kita sesama murid, Peng Houw, harus tolong-menolong. Aku sudah muak dan jemu menikmati bubur dan sayuran melulu. Aku ingin yang lain dan kebetulan mendapat ini. Kau suka atau tidak!"

Peng Houw keluar liurnya. Memang takut atau tidak apa yang diperlihatkan ini sungguh menarik. Berbulan-bulan dia hanya menikmati bubur dan sayur melulu, tadi sudah meminta makanan berjiwa tapi gurunya menolak. Mereka tinggal di perguruan Go-bi dan para hwesio atau kacung-kacungnya memang diwajibkan ciak-jai (pantang daging). Maka begitu masakan selezat ini tiba-tiba muncul dan perutnya mendadak berkeruyuk, bubur yang baru dimakan tadi rupanya sudah habis dan Peng Houw pun lapar maka Chi Koan terkekeh menebah perut temannya ini.

"Hi-hik, kau lapar, Peng Houw. Kau suka. Ayo, mau atau tidak!"

"Aku mau, tapi...” anak itu gugup, bingung. "Aku ditunggu guruku, Chi Koan. Suhuku menunggu di ruang liam-keng. Aku harus ke sana!”

"Hm, membaca doa lagi? Sudah diajari silat?"

"Belum," anak itu merah mukanya. "Tapi suhu sedang melatih aku ilmu khi-kang!”

"Huh, keledai-keledai gundul di sini semuanya bohong, Peng Houw. Tak mungkin gurumu itu mewariskan ilmunya kecuali menjadikan dirimu sebagai pelayannya saja!”

"Chi Koan" Peng Houw terkejut, membentak temannya itu. "Berani kau menghina para lo-suhu di sini? Kau bilang seperti itu?"

"Maaf," anak ini menyeringai. "Aku kesal dan benci kepada kehidupanku sehari-hari di sini, Peng Houw. Akupun hanya disuruh baca kitab dan menghapal serta menghapal. Tenggorokanku sampai kering kalau sudah disuruh begitu. Mereka tak berperikemanusiaan, terlalu keras!”

"Tapi kau makan minum di sini, diberi hidup di sini. Tak seharusnya kau memaki mereka!"

“Hm, kaupun kadang-kadang juga memaki gurumu, Peng Houw, kalau sudah tak dapat menahan kesal dan marah. Apakah aku salah? Sudahlah, bagaimana dengan makanan ini dan apakah kau mau atau tidak!"

“Aku... aku mau. Tapi takut!"

“Tak perlu takut," Chi Koan tertawa, menjumput dan mencuil sepotong ang-sio-bak, nyam-nyem-nyam-nyem begitu nikmat. "Kalau takut tak bakal makan enak, Peng Houw. Kita harus melatih keberanian kalau menginginkan sesuatu. Mau atau tidak?” anak itu memberikan secuil, liur temannya membuatnya tertawa. "Cobalah, dan setelah itu boleh bilang takut atau tidak!"

Seperti disihir, Peng Houw tiba-tiba menerima. Melihat Chi Koan begitu nikmat dan mengunyah makanannya meram-melek, wajah berseri-seri sementara masakan itu benar-benar membuat perut berkeruyuk maka tanpa terasa lagi anak ini menerima makanan itu. Sepotong ang-sio-bak sudah masuk ke mulut dan mendecaklah Peng Houw oleh rasa kagum. Masakan itu benar-benar enak, luar biasa! Tapi ketika dia meram-melek dan menikmati itu, Chi Koan tertawa maka terdengarlah panggilan gurunya yang nyaring.

"Peng Houw, kau sudah selesai?"

Anak ini terkejut. "Ah, guruku memanggil, Chi Koan. Pergi dan jangan ke sini!"

"Dan makanan ini?" Chi Koan mengerutkan kening, tiba-tiba menekan temannya. “Kau sudah mencicipi, Peng Houw. Berarti kita berdua sudah sama-sama melanggar peraturan. Aku tak mau kau pergi dan membiarkan aku celaka sendirian!”

“Maksudmu?" Peng Houw terkejut.

"Biar makanan ini di kamarmu dan nanti malam aku datang!”

“Tidak!" Peng Houw terlonjak. "Kau gila, Chi Koan. Aku bisa dimarahi guruku!”

"Kalau begitu kita habiskan dulu bersama, biar aku juga tak menyimpannya sehingga diketahui guruku!”

“Tapi aku dipanggil, Chi Koan. Suhuku akan tahu tentang ini!"

“Hm, kalau begitu kau jangan hanya enaknya saja," Chi Koan tiba-tiba marah, mengejek. "Kau dan aku sudah sama-sama menikmati masakan ini, Peng Houw. Dan aku juga bingung ke mana makanan ini harus kusimpan. Kau tinggal menghabiskannya dulu bersamaku atau cepat bawa ini ke kamarmu, nanti malam kita makan lagi!"

Peng Houw terbelalak. Tiba-tiba dia menjadi marah karena mendadak dirinya disudutkan. Chi Koan datang dan membujuk dan sekarang tiba-tiba mendesaknya untuk menyimpan ang-sio-bak itu. Kalau saja makanan itu bukan masakan barang berjiwa tentu dia tak keberatan. Tapi ini, ah... ini pantangan bagi mereka yang tinggal di Go-bi. Gurunya dan semua orang akan marah besar kepadanya! Dan ketika tiba-tiba ia menyesal kenapa tadi terbujuk temannya ini, Chi Koan licik dan jahat maka terdengar panggilan gurunya lagi.

"Peng Houw, kau belum selesai?"

Anak ini menyambar ang-sio-bak, lari ke dapur. "Baiklah, kau boleh pergi, Chi Koan. Nanti malam kita bertemu di sini. Aku tak dapat menyembunyikan ke kamarku karena terlambat!" dan begitu menyembunyikan itu di bawah kerajang, Chi Koan tertawa dan melompat pergi maka Peng Houw keluar dan berlari kencang ke ruang liam-keng. "Baik... baik, aku datang, suhu. Tunggu!" namun karena tergesa-gesa dan ketakutan, Peng Houw berlari tak melihat palang pintu maka anak itu terpelanting dan jatuh dengan suara berdebuk. "Aduh..!” anak itu menjerit. “Tolong, suhu. Aku sudah datang!”

Lu Kong Hwesio, kakek gundul di dalam ruangan itu tertegun. Peng Houw merintih dan tersungkur di sudut, daun pintu ambruk dan menimpanya. Tapi ketika dia bangkit dan menolong anak itu, menggeleng-geleng kepala maka hwesio ini mencium sesuatu yang aneh dari mulut anak itu, karena bau mulut Peng Houw menguarkan ang-sio-bak! “Kau... makan apa?" hwesio ini tertegun. “Mulutmu lain, Peng Houw. Pinceng mencium sesuatu!"

Peng Houw terkejut. Kepalanya benjut tertimpa daun pintu, sial. Ini gara-gara Chi Koan yang mencelakai dan menyusahkannya. Tapi ketika gurunya bertanya lagi dan anak ini ketakutan tiba-tiba dia merasa harus mengaku. Tapi takut bahwa gurunya akan marah besar, mungkin dia dirangket atau dihukum berat maka yang keluar adalah pengakuan lain. Gurunya ini tak mungkin dibohongi. "Ampun... aku... aku minum arak, Suhu. Aku mencuri seteguk!"

"Arak? Anak kecil minum arak? Kau bohong, bau yang pinceng cium bukan arak!"

Peng Houw menggigil. Tiba-tiba otaknya diputar keras apa yang harus dia katakan. Celaka, bau masakan daging rupanya tercium. Hwesio dan semua orang di situ yang memang hanya makan sayuran saja akan tahu atau mencium bau seseorang yang makan masakan berjiwa. Tapi karena gurunyai ini rupanya juga masih mendengus-dengus untuk “mendeteksi” bau apakah itu, Peng Houw ketakutan dan menggigil hebat maka sekonyong-konyong anak itu dapat memperoleh jawaban.

"Ampunkan teecu. Aku... aku mencampur arak dengan susu telur dan madu, suhu. Aku amat kepingin dan tak dapat menahan diri!"

"Hm, begitukah?" sang hwesio percaya, arak dan susu telur akan memang menguarkan bau yang lain. "Kau lancang, Peng Houw. Tapi karena kau jujur maka pinceng akan menjatuhkan hukuman ringan kepadamu. Baca ayat 13 bab satu! Kau ingat?"

“Teecu... teecu ingat!"

"Nah, tentang apakah itu."

"Tentang hujan dan rumah bocor!"

"Bodoh, itu hanya perumpamaan saja, Peng Houw. Hujan itu adalah nafsu dan rumah bocor itu adalah iman seseorang yang tidak kuat. Kau seperti rumah bocor itu yang tak mampu menahan diri. Hayo, baca seratus kali dan pinceng dengar!”

Anak ini mengangguk. Dengan ketakutan dan pucat serta menggigil dia berlutut di depan gurunya itu. Lalu mengerahkan ingatan membaca isi kitab segera dia berseru nyaring, "Bagaikan hujan yang menembus atap rumah yang bocor demikianlah nafsu dapat menembus hati orang yang lemah!"

"Bagus, dan ayat ke 14?”

"Bagaikan hujan yang tak dapat menembus atap rumah yang kuat, demikianlah nafsu tak dapat menembus hati orang yang kuat!"

"Bagus, teruskan, Peng Houw. Masing-masing seratus kali dan biar pinceng hitung.... tik-tik..!” dan ketika tasbeh mulai berketrik menghitung ayat-ayat itu.

Peng Houw diminta membaca masing-masing seratus kali maka sepotong ang-sio-bak yang tadi masuk ke perut ternyata ditebus mahal dengan pengeluaran tenaga yang amat banyak. Anak ini mengeluh karena tiba-tiba perutnya lapar kembali, entah oleh suara yang berulang-ulang harus dikeluarkan ataukah oleh bayangan ang- sio-bak yang lezat itu. Jahanam! Dan ketika Peng Houw memaki-maki Chi Koan karena gara-gara anak itulah dia menerima hukuman, untung hanya membaca dan mengulang-ulang kitab suci maka di dapur terjadi sesuatu yang di luar dugaan.

Seekor kucing, yang berhidung tajam, mengeong-ngeong di situ. Binatang ini mengelilingi sebuah keranjang dan berkali-kali tak mau digebah. Seorang kacung lain kebetulan masuk dan jengkel oleh suara kucing ini, menyambar sapu dan menggebah kucing itu namun si kucing kembai lagi, begitu berulang-ulang. Dan ketika kacung itu membentak-bentak dan seorang hwesio penjaga dapur datang, mendengar ribut-ribut maka bertanyalah dia apa yang terjadi.

"Kucing ini sedang birahi. Mengeong-hgeong melulu!"

"Hush, jaga mulutmu, A-siu. Jangan sembarangan bicara. Di tempat ini tak boleh ada orang berkata kotor!"

"Maaf, lo-suheng (kakak). Aku menggebah kucing ini berkali-kali namun selalu ia datang juga. Biar kutimpuk dia agar mampus!”

“Jangan!" sang hwesio kurus menyambar lengan si kacung. "Membunuh juga tak boleh, A-siu. Atau kau kulaporkan pada atasan!" dan menarik sapu merampas cepat tiba-tiba hwesio penjaga dapur ini menggebah si kucing. Binatang itu diusirnya dengan satu bentakan keras dan si kucing melompat, kaget. Tapi karena waktu itu ia sedang berputar-putar di sekeliling keranjang dan keranjang itu lebih tinggi daripada tubuhnya maka begitu dia menabrak seketika keranjang itu terguling dan tumpahlah isinya.

"Astaga, ang-sio-bak!"

"Omitohud, ada barang haram!”

Dua-duanya terkejut. Si kucing lari namun begitu sepotong ang-sio-bak mencelat keluar tiba-tiba dia membalik dan menyambar makanan ini. Dan begitu lintang pukang menggigit potongan daging itu maka si kucing tak menghiraukan hwesio penjaga dan kacung yang sama-sama terbelalak lebar. Mereka terkejut sekaligus terheran-heran ada barang "najis" di situ. Ini hinaan bagi para hwesio. Dapur mereka kemasukan "kotoran"!

Dan karena benda itu jelas ditaruh orang, tak mungkin ada begitu saja karena tertutup keranjang maka ributlah keduanya ketika sama-sama sadar. Hal ini mengundang murid-murid yang lain dan dapur yang semula sepi itu mendadak ramai. Ang-sio-bak dijumput dengan sumpit dan dikembalikan lagi ke asalnya, bungkusan yang tumpah-ruah itu. Dan ketika beberapa bayangan berkelebatan mencari tahu, tokoh-tokoh hwesio muncul bergantian maka kejadian di dapur umum ini mengejutkan semua orang.

"Siapa yang menaruh. Siapa yang menemukan pertama!"

“Kami!" dua penjaga dan kacung itu sama-sama menampilkan diri. "Kami berdua yang melihatnya, Beng Kong lo-suhu. Tapi kami tak tahu siapa yang menaruh!"

"Hm, penghinaan terhadap Go-bi. Siapa yang kurang ajar dan lancang begini?"

“Kami tak tahu. Benda haram itu tahu-tahu sudah ada di dalam keranjang, ditutupi!"

Go-bi, yang sudah panas dipanggang matahari mendadak semakin panas oleh peristiwa ini. Dapur umum kemasukan barang najis dan tentu saja yang pantang makanan berjiwa itu menjadi merah mukanya. Mereka segera mengusut. Dan ketika ribut-ribut itu juga didengar hwesio yang sedang mengajar Peng Houw, yakni Lu Kong Hwesio yang berketrik-ketrik dengan biji tasbehnya maka hwesio itupun meninggalkan muridnya untuk tergopoh-gopoh menuju ke sana.

"Kau teruskan membaca ayat-ayat suci. Masih kurang empat puluh tujuh kali!”

Peng Houw mengangguk. Dia sendiri juga mendengar ribut-ribut itu namun tak tahu apa yang terjadi. Sebenarnya dia juga ingin keluar namun gurunya menyuruh agar dia terus membaca ayat-ayat itu. Tak menduga bahwa ang-sio-baknya konangan dan membuat geger! Dan ketika ribut-ribut semakin keras dan Lu Kong Hwesio melihat sutenya di sana maka langsung dia tertegun berhadapan dengan barang "haram" ini, Beng Kong Hwesio merah padam.

"Siapa yang terakhir masuk dapur. Apakah ada yang tahu!"

"Omitohud," seorang hwesio muda merangkapkan kedua tangan. "Kalau tidak salah siauw-ceng (aku yang muda) tadi melihat Lu Kong-suheng ini yang masuk, ji-suheng (kakak kedua). Mungkin Lu Kong suheng yang tahu siapa yang terakhir masuk dapur!”

“Hm, benarkah, suheng?" Beng Kong Hwesio menghadapi suhengnya itu, mata berkilat tajam. "Apakah suheng tahu siapa yang terakhir memasuki dapur?"

"Omitohud, pinceng tadi masuk bersama Peng Houw. Dan kamilah yang terakhir meninggalkan dapur."

"Kalau begitu kau tentu tahu, muridmu perlu dipanggil!"

"Sabar, kurasa tak perlu menuduh dulu, Sute. Memang benar pinceng dan Peng Houw ke sini tapi tak ada barang berhala itu."

"Dari mana suheng tahu?"

"Pinceng tak mencium benda ini ketika memasuki dapur. Dapur ini masih teap suci dan bersih!"

“Tapi kotoran itu nyatanya ada di situ. Ah, betapapun muridmu perlu dipanggil suheng. Aku sudah berkali-kali pernah mendengar bahwa Peng Houw ingin kuah daging!"

"Omitohud, hal itu tak pinceng sangkal. Anak-anak seusia dia memang belum pandai mengekang dirl. Baiklah pinceng akan memanggilnya, sute. Tapi jangan menakut- nakuti dia dulu dengan segala ancaman atau kata-kata. Semua ini dapat dicari secara baik- baik!” dan ketika kakek itu memanggil muridnya, suaranya datar namun penuh pengaruh, getaran khi-kangnya terasa merontokkan jantung maka Peng Houw berlari cepat menutup kitab sucinya.

“Teecu ada di sini. Teecu datang!"

Namun Peng Houw tertegun. Begitu dia tiba di dapur maka matanya sudah bertemu dengan puluhan pasang mata lain dari hwesio-hwesio Go-bi. Jumlahnya tak kurang dari tujuh puluh orang di tempat itu penuh sesak. Anak ini terkejut! Namun ketika dia dipanggil gurunya dan para hwesio memberi jalan, menyibak, maka langsung saja Lu Kong Hwesio menunjuk pada barang "haram" itu.

"Di dapur ada ini. Siapakah yang menaruh dan apakah kau tahu orangnya."

Peng Houw tiba-tiba pucat. Belum dia menjawab tiba-tiba anak ini sudah roboh terlebih dahulu, lututnya gemetar. Dan ketika anak itu menangis dan semua mata berkerut marah, Peng Houw tiba-tiba menjadi pusat perhatian maka Lu Kong Hwesio yang berdetak dan terkejut melihat sikap muridnya tiba-tiba berseru nyaring.

“Peng Houw, jawab pertanyaan pinceng. Apakah kau tahu siapa yang menaruh ini dan kenapa kau tiba-tiba menangis!”

"Am... ampun!" anak itu tak dapat berdusta lagi, kejujurannya dituntut. “Teecu... teecu tahu siapa yang menaruh itu, suhu. Tapi... tapi itu bukan salah teecu!"

"Hm!" sang guru membelalakkan mata. "Apa maksudmu, Peng Houw? Bukankah sewaktu pinceng di sini tak ada makanan ini?"

"Be... benar. Tapi... tapi..."

"Kau mau berdusta!" Beng Kong Hwesio, hwesio tinggi besar tiba-tiba berkelebat dan mencengkeram anak ini. "Katakan secara jujur dan terus terang, Peng Houw. Atau batang lehermu kupatahkan!”

"Omitohud..." Lu Kong Hwesio terkejut dan berkelebat pula, mencengkeram tangan sutenya. "Jangan diancam atau ditakut-takuti, sute. Biarkan anak itu bicara dan pinceng sanggup menanyainya!" namun ketika sang sute mengibas dan tak mau dipegang, Beng Kong Hwesio marah karena Peng Houw menunjukkan gejala-gejala mencurigakan maka hwesio itu menolak suhengnya.

Ini urusan murid-murid Go-bi, menyangkut kehormatan kita. Harap suheng mundur dan tak perlu khawatir aku mencelakai muridmu... dukk!"

Dua lengan baju bertemu, sama-sama kuat dan bertenaga karena Beng Kong Hwesio mempergunakan sinkangnya. Ujung lengan baju itu tiba-tiba berobah kaku dan keras mendorong Lu Kong Hwesio ini, yang pasti terpental. Namun karena Lu Kong Hwesio tak mau pergi dan tentu saja harus melindungi muridnya, Peng Houw ketakutan maka yang lain-lain terjengkang saking kuatnya adu tenaga itu.

"Sute!" Lu Kong Hwesio membentak dan terbelalak. "Kau mau mencari keributan? Di depan anak-anak murid begini?"

"Hm, aku tak mencari keributan kalau bukan untuk urusan sebesar ini, suheng. Peng Houw sudah mau mengaku tapi matanya jelalatan kepadamu. Kau pasti akan melindunginya!”

"Omitohud, kau terlalu bercuriga. Pinceng tak mungkin melindungi murid sendiri kalau dia benar-benar salah. Lepaskan, pinceng minta secara baik-baik!”

Dua hwesio itu bentrok dengan sinar mata mereka. Yang satu marah dan tersinggung, sementara Beng Kong Hwesio beringas dan berkilat-kilat. Sudah lama hwesio tinggi besar ini tak menyenangi suhengnya gara-gara Peng Houw. Anak itu terkenal rajin dan banyak disenangi orang. Sementara muridnya sendiri, Chi Koan, terkenal nakal dan kurang disukai di situ. Tapi karena masing-masing dikenal sama-sama memiliki keberanian besar, baik Chi Koan maupun Peng Houw adalah anak-anak yang bersemangat tinggi maka hwesio itu melepaskan cengkeramannya, menendang pantat Peng Houw.

“Kau harus jujur, atau menerima hukuman di ruang Api!"

Peng Houw mengeluh. Dia menangis dan pucat memandang gurunya sementara gurunya merah dan marah menendang sutenya. Beng Kong Hwesio dinilai terlalu karena menendang Peng Houw di depan gurunya, padahal ada banyak anak-anak murid di situ yang menonton. Tapi karena Beng Kong Hwesio juga termasuk susiok atau paman guru dari bocah ini dan sikap itu dapat juga diterima maka Lu Kong Hwesio menahan marah bertanya kepada muridnya,

"Katakan siapa yang menaruh itu dan kenapa kau tidak segera memberi tahu kepada pinceng. Cepat, susiok dan saudara-saudaramu yang lain menunggu!"

"Ampun... maaf..." anak ini menggigil. "Makanan itu teecu sendiri yang menaruhnya, suhu. Tapi... tapi.... dess!"

Sebuah tendangan tiba-tiba membuat Peng Houw mencelat kembali, menghentikan kata-katanya sendiri. Beng Kong Hwesio bergerak dan lagi-lagi mendahului suhengnya. Dan ketika anak laki- laki itu menjerit dan terbanting di sana, kelengar, maka Lu Kong Hwesio membentak berkelebat menyambar muridnya ini, merah padam memandang sang sute.

"Sute, kau terlalu. Peng Houw belum selesai bicara dan tak seharusnya kau bersikap kasar!”

"Hm, dia jelas sudah mengaku, suheng. Apalagi yang mau ditunggu? Kalau aku tak menghajarnya tak mungkin kau menghukum!”

"Tutup mulutmu. Pinceng tak akan bersikap seperti itu kalau benar-benar murid pinceng bersalah. Kau lancang!”

"Apa?"

"Kau tak menghargai diriku, sute. Kau menghina pinceng di depan begini banyak murid-murid lain. Pinceng dapat menghukum murid pinceng sendiri!" dan ketika dua orang hwesio itu sama-sama melotot, Beng Kong Hwesio mendengus dan berkata bahwa diapun berhak menghukum Peng Houw karena anak itu juga termasuk murid keponakannya, semua terkejut dan tegang maka tahu-tahu muncul seorang hwesio renta seperti iblis.

“Omitohud, kalian lagi-lagi bertengkar, Beng Kong. Hanya untuk seorang anak kecil kalian tak malu-malu beradu mulut di depan murid-murid yang lain. Ah, Buddha sungguh malu!"

“Susiok (paman guru)...!”

Beng Kong Hwesio dan semuanya tiba-tiba terkejut. Mereka tak tahu kapan datangnya hwesio itu tapi tiba-tiba serentak memberi hormat. Beng Kong dan Lu Kong juga membungkuk dalam-dalam dan ketegangan tiba-tiba buyar. Pengaruh hwesio renta itu ternyata luar biasa. Dan ketika Peng Houw di sana juga terkejut dan tersentak kaget, murid-murid yang kecil sudah menjatuhkan diri berlutut maka anak itupun tak berani menggerakkan tubuh melipat punggungnya.

"Apa yang terjadi. Kenapa harus ribut-ribut sesama saudara sendiri."

"Kami dicemari anak ini!" Beng Kong menunjuk dan geram memandang Peng Houw, lapor, mendahului suhengnya. "Dapur umum dibuat najis, susiok. Hari ini kita semua dibuat dosa!”

“Omitohud, tentang apakah?”

"Peng Houw memasukkan makanan berjiwa ke dalam dapur umum. Teecu curiga bahwa jangan-jangan makanan yang siang tadl kita makan sudah bercampur dengan barang najis itu!"

"Omitohud, makanan apa yang kalian maksud?"

"Ang-sio-bak, babi haram!”

"Omitohud...!" sang hwesio renta tersentak juga berubah mukanya. Namun tenang kembali mengangguk-angguk segera dia menarik napas dalam-dalam dan menggapai anak itu. "Peng Houw, coba mendekatlah kepada pinceng!"

Peng Houw terkejut. Merintih dan kesakitan di sana tiba-tiba serangkum tenaga menarik tubuhnya. Dia mau bangkit berdiri namun tiba- tiba sudah melayang ke hwesio renta ini, berteriak. Namun ketika dia jatuh dengan enak dalam keadaan tetap berlutut, mengagumkan sekali maka hwesio tua itu menyuruh dia mengangkat wajahnya.

"Hm, kau kiranya yang bernama Peng Houw. Pinceng mendengar kau sebagai anak baik-baik, rajin. Apakah benar kau yang membuat onar, Peng Houw? Kenapa? Coba angkat wajahmu, dan pandanglah pinceng!"

Peng Houw gemetar. Ditendang dan disakiti paman gurunya tadi membuat anak ini gentar namun juga marah. Dia belum habis bicara tahu-tahu sudah dihajar susioknya tadi, guru dari Chi Koan. Dan teringat Chi Koan tiba-tiba kemarahannya berkobar. Maka begitu dia disuruh memandang kakek gurunya ini dan sikap lemah lembut dari hwesio renta itu membangkitkan keberanian Peng Houw maka anak ini mengangkat mukanya gagah dan si hwesio tertegun melihat pancaran keberanian dan kejujuran di mata anak itu.

"Omitohud, kau tidak jelek dan buruk. Watak jujurmu kutangkap. Coba, katakan kepada pinceng, Peng Houw. Kenapa kau lakukan itu dan bagaimana semuanya ini sampai terjadi!"

"Teecu dimintai tolong Chi Koan. Dia itulah yang membujuk teecu untuk menyembunyikan ang-sio-bak itu di sini!"

“Omitohud, Chi Koan? Murid paman gurumu Beng Kong Hwesio?"

“Benar, dia itulah yang memiliki ang-sio-bak, susiok-kong (kakek paman guru). Dan gara-gara dia teecu mendapat hajaran!"

"Omitohud, kalau begitu Beng Kong benar-benar gegabah!"

Dan ketika Beng Kong Hwesio terkejut dan pucat mukanya, Chi Koan yang ternyata menjadi gara-gara maka Peng Houw sudah menjelaskan semua kepada susiok-kongnya itu. Bahwa ang-sio-bak itu milik Chi Koan dan dia hanya disuruh menyembunyikan saja. Semua tiba-tiba menjadi ribut dan sorot penyesalan ditujukan kepada Beng Kong Hwesio. Hwesio ini dinilai gegabah dan harus minta maaf kepada Peng Houw! Tapi ketika hwesio itu menggeram dan marah memandang Peng Houw maka dia berkata jangan-jangan Peng Houw mencari kambing hitam. Sebagai guru tak mau begitu saja muridnya dijelek- jelekkan.

"Anak ini mungkin bohong. Dia mencari kambing hitam!"

“Omitohud, jangan menuduh, Beng Kong. Pangil muridmu dan temukan di sini. Biar kita tanyai Chi Koan!"

"Baik," Beng Kong Hwesio berkelebat lenyap, marah dan penasaran. “Kalau tidak berbukti maka Peng Houw harus dihukum berat susiok. Dia pelancar fitnah!"

“Hm!” hwesio renta itu hanya mengangguk- angguk saja. Dia tak menjawab atau memberi komentar karena dia yakin Peng Houw tak mungkin bohong. Anak itu tidak mencari kambing hitam karena sorot matanya dan kata-katanya jujur. Dia dapat membedakan mana yang jujur dan tidak. Dan ketika semua orang menunggu dan para hwesio tiba-tiba simpatik kepada Peng Houw, mereka merasa kasihan dan juga menyesal karena Peng Houw telah mendapat hajaran paman gurunya maka tak lama kemudian Beng Kong Hwesio telah kembali bersama muridnya.

"lni dia!" Chi Koan dilempar dan dijatuhkan di dekat Peng Houw. “Silahkan tanyai, susiok. Chi Koan tak mengaku melakukan itu!”

"Benar!" Chi Koan tiba-tiba berseru, “Teecu tak menyembunyikan makanan itu di dapur, susiok-kong. Kalau Peng Houw berkata begitu maka itu fitnah!”

"Apa?" Peng Houw meloncat bangun, melotot. "Kau tak mengaku itu barang milikmu, Chi Koan? Kau bilang aku memfitnah?"

"Hm," anak itu mengejek, tertawa, sikapnya tenang dan amat berani, Peng Houw sampai menjadi kagum! "Aku tidak merasa menyembunyikan itu di dapur Peng Houw. Aku sama sekali bersih dalam masalah ini. Berani sumpah!”

“Tapi itu milikmu!"

"Kita tidak bicara tentang milik, kita bicara tentang siapa yang menaruh makanan itu di dapur!"

"Licik kau, lidahmu tak bertulang!" dan ketika Peng Houw marah karena Chi Koan tak mau mengaku, semua mata menjadi bingung oleh sikap dan kata-kata Chi Koan ini maka Peng Houw langsung menerjang dan menghantam anak itu. Tak perduli kepada sesepuh Go-bi-pai yang ada di situ anak ini melampiaskan kegusarannya kepada lawan.

Chi Koan berkelit tapi dikejar, akhirnya apa boleh harus menangkis dan keduanya sama-sama terpelanting. Dan ketika Peng Houw memekik namun si hwesio renta mengebutkan ujung lengan bajunya, anak itu tertahan dan tak dapat menyerang lagi maka Peng Houw terhuyung sementara Chi Koan tahu-tahu sudah disambar dan dihadapkan hwesio ini, wakil atau sute dari ketua Go-bi-pai yang amat lihai.

"Peng Houw, hentikan seranganmu. Mundur dan biar kutanya Chi Koan!"

Chi Koan terkejut. Digulung dan disambar lengan jubah itu tahu-tahu dia sudah tak dapat berkutik, coba meronta namun gagal. Dan ketika susiok-kongnya itu melemaskan gubatan dan dia jatuh kembali, dengan empuk maka hwesio itu bersikap keren kepadanya dan menyuruh dia memandang mata tua itu.

“Coba tengadahkan muka dan pandang mata pinceng. Ceritakan siapa pemilik makanan itu!”

Chi Koan menggigil. Tidak seperti Peng Houw yang berani dan penuh kejujuran menatap mata hwesio tua itu adalah anak ini dengan lick dan pandai memandang ujung hidung si hwesio. Dengan begitu tatapan tajam si hwesio yang “mengerikan" baginya dapat dihindari, dia tak perlu terlalu takut. Karena betapapun mata hwesio itu memang membuatnya gentar dan merinding! Dan ketika keberaniannya timbul dan ujung hidung itu menjadi sasaran pandangannya, anak ini memang licik dan cerdik maka Chi Koan menjawab bahwa dia sama sekali tidak menaruh makanan itu di dapur, pura-pura tak tahu akan pertanyaan siapa pemilik masakan haram itu.

“Teecu berani sumpah bahwa ang-sio-bak itu bukan teecu yang menaruhnya. Itu sepenuhnya perbuatan Peng Houw. Maafkan teecu, susiok-kong. Biarpun dibunuh teecu tetap akan menjawab begini!"

"Hm, aku tidak bertanya tentang siapa yang menaruh masakan itu di dapur," sang hwesio renta mengernyitkan kening, merasa atau menangkap kelicikan anak ini, tak tahu bahwa ujung hidungnya pula yang dipandang! "Pinceng bertanya siapa pemilk masakan itu, Chi Koan. Benarkah kau atau bukan!"

“Teecu...”

“Jangan menjawab tentang dapur. Jawab siapa yang memiliki masakan itu!"

Chi Koan tiba-tiba mengkeret. Bentakan atau suara penuh wibawa ini akhirnya membuatnya ketakutan juga. Betapapun dia mengelak dan dihindarkannya lagi. Tiba-tiba dia sudah beradu pandang dan rontoklah nyali anak itu. Dan ketika dua biji mata seolah menembusnya tajam, masuk dan mengiris kalbunya maka anak ini tiba-tiba menangis dan menjatuhkan diri berlutut. "Ampun, teecu.... teecu mengaku salah, susiok-kong. Tapi Peng Houw juga salah. Teecu menerima bujukannya!"

"Apa maksudmu?" sang hwesio tua tertegun, anak ini lagi-lagi mau berputar!"

"Pemilik ang-sio-bak itu memang betul teecu, tapi itu karena atas permintaan Peng Houw!"

"Bohong!" Peng Houw tentu saja marah dan gusar, tiba-tiba membentak. “Aku tak pernah meminta barang itu, Chi Koan. Kau sendiri yang memberi dan justeru membujuk aku untuk menerimanya!"

“Tapi dulu kau pernah memesan....”

"Aku tak pernah pesan!"

“Jangan bohong, Peng Houw. Mungkin kau lupa atau pura-pura...”

"Aku tidak pura-pura, aku tidak lupa... wutt!" dan Peng Houw yang marah bukan main dibalik-balik seperti itu tiba-tiba menerjang dan menyerang anak ini kembali. Peng Houw dibuat gusar karena sikap dan kata-kata lawannya itu penuh kesungguhan, padahal, sedikit pun ia tak pernah pesan. Tapi ketika anak Itu menerjang dan Chi Koan terkejut, mau bergerak dan menangkis serangan, tiba-tiba Peng Houw roboh oleh kebutan si hwesio Go-bi.

"Omitohud, jangan bersikap kasar, Peng Houw. Robohlah!”

Peng Houw roboh. Akhirnya anak ini merintih dan mengeluh dan Beng Kong Hwesio menggeram melihat perbuatan si bocah. Dua kali muridnya diserang tapi dua kali itu juga muridnya dilindungi. Kau tidak, ingin dia sendiri yang maju dan anak itu ditamparnya pecah. Chi Koan sudah mulai mengaku, berarti, muridnya juga salah Namun ketika muka hwesio ini merah padam karena tadi Chi Koan tak mengaku kepadanya, anak itu hanya berkata bahwa sumpah mati bukan dia yang menaruh ang-sio-bak di dapur maka hwesio renta yang ternyata ditakuti semua murid itu sudah membalik dan mengadili Chi Koan lagi.

"Sekarang ceritakan secara lurus bagaimana asal mulanya. Kau sudah mengaku bahwa masakan najis itu kau pemiliknya. Nah, Jujur dan bersikaplah sopan, Chi Koan. Atau pinceng akan menjatuhkan hukuman berat kepadamu!"

“Tidak adil!" anak ini berani membantah. “Hukuman harus dijatuhkan kepada kami berdua, susiok-kong, bukan hanya aku saja!"

Sang hwesio renta terkejut. Dia memang salah omong dan kini didebat. Chi Koan benar-benar berani! Namun karena dia melihat bahwa itu benar, siapa yang salah harus dihukum maka hwesio ini batuk-batuk menyambung kata- katanya. “Maksud pinceng adalah siapa yang salah harus dihukum. Nah, bagaimana asal mulanya dan kenapa barang pantangan itu disembunyikan di dapur!"

"Urusan itu di tangan Peng Houw. Teecu hanya memilikinya karena pesanannya semata.”

"Tidak!" Peng Houw melengking. "Teecu sama sekali tidak memesannya, susiok-kong. Barang itu dibawa sendiri oleh Chi Koan dan teecu disuruh menyembunyikan!"

“Tidak benar," anak ini mendebat. "Memang aku yang membawa, Peng Houw, tapi atas pesananmu. Dan karena kau dipanggil gurumu tak dapat segera menikmatinya maka kau sembunyikan di dapur dan sekarang ketahuan!"

"Tapi... tapi...”

"Sekarang jawab pertanyaanku dengan jujur," Chi Koan tiba-tiba menyergah, berani, tak perduli pada Peng Houw yang mendelik dan melotot sebesar jengkol. “Siapa yang berkali- kali ingin menikmati makanan berjiwa, Peng Houw. Berapa kali kau menyatakan kekesalanmu bahwa selama ini kau bosan dan muak diberi makan sayur-sayuran melulu. Kau berani memaki gurumu pula, menyebutnya sebagai keledai gundul pemakan rumput!"

"Chi Koan...”

Bentakan atau dua seruan itu hampir berbareng dilepas Peng Houw dan Beng Kong Hwesio. Chi Koan tiba-tiba tak pandang suasana memaki Lu Kong Hwesio. Sang guru terkejut karena muridnya dianggap terlampau berani sementara Peng Houw berteriak karena kata-kata itu tak benar. Dia tak pernah memaki-maki gurunya sebagai si keledai gundul. Bahkan, Chi Koan itulah yang memaki- maki gurunya dan para hwesio di situ sebagai keledai gundul. Dan ketika Peng Houw marah dan pucat berganti-ganti dijungkir balik lawan, Chi Koan benar-benar keji maka anak itu roboh pingsan namun Lu Kong Hwesio bergerak dan menotok menyadarkan muridnya ini. Semua hwesio Go-bi geger!

"Omitohud, pinceng tak tahu siapa salah siapa benar. Harap susiok maafkan anak-anak ini dan biar sekarang Peng Houw yang bicara!"

Sang hwesio renta terbelalak. Pertengkaran anak-anak kecil itu tiba-tiba saja sudah membawa-bawa guru. Lu Kong Hwesio tampak menahan marah sementara Beng Kong Hwesio juga memandang penuh kebencian kepada Peng Houw. Anak laki-laki itu telah menyeret muridnya berbuat dosa. Beng Kong menganggap Peng Houw itulah biang penyakitnya. Dia terlalu melindungi murid sendiri dan percaya kepada Chi Koan. Tapi ketika usul Lu Kong Hwesio diterima dan Peng Houw disuruh bicara, gantian, maka anak itu berkerot-kerot memandang Chi Koan namun sebelum Peng Houw bicara lagi-lagi dengan berani Chi Koan menghadap susiok-kongnya.

"Maaf, teecu ingin bicara terakhir. Mohon susiok-kong memberi ijin.”

"Apa yang mau kau bicarakan?" sang hwesio renta mengerutkan kening, tergetar dan kaget akan keberanian Chi Koan tapi juga sekaligus meragukan kejujuran Peng Houw. Murid Lu Kong Hwesio itu mulai mendapat antipati. Dan ketika Chi Koan menjatuhkan diri berlutut dan berkata bahwa dia ingin menanyai Peng Houw satu hal, diluluskan, maka anak itu dengan tenang dan berseri-seri bangkit berdiri menghadapi Peng Houw.

“Nah,” katanya. “Sekarang susiok-kong meluluskan aku, Peng Houw. Coba jawab siapakah yang menyuruhmu menyembunyikan ang-sio-bak itu di dapur."

“Kau!” Peng Houw langsung saja menyambar, meletup seperti meriam disulut apinya. "Kau yang menyuruhku, Chi Koan. Kau bocah iblis berlidah ular!"

“Benarkah?" anak ini tertawa, tak perduli. "Coba ingat baik-baik apakah aku menyuruhmu begitu, Peng Houw. Coba jawab dengan jujur sebelum kita berdua dijatuhi hukuman. Aku tak pernah menyebut-nyebut dapur untuk menyembunyikan makanan itu, melainkan kamarmu!"

Peng Houw tertegun. Tiba-tiba dia sadar bahwa Chi Koan memang tak menyuruhnya untuk menyembunyikan di dapur. Anak itu menyuruhnya menyembunyikan di kamar dan dia sendirilah yang menaruhnya di dapur. Dan ketika Peng Houw tertegun tak dapat menjawab, Chi Koan memang benar maka Chi Koan tertawa menoleh pada hwesio renta itu, juga gurunya dan lain-lain.

"Lihat,” anak ini berkata. "Peng Houw ketahuan belangnya, susiok-kong. Tadi dia menuduhku begitu tapi sekarang tak dapat menjawab. Kalau untuk ini saja dia sudah berdusta maka yang lain-lain pun akan pula dikerjakannya. Tak kusangkal bahwa aku pemilik ang-sio-bak itu, dan Peng Houw yang menyimpannya di dapur. Tapi karena ang-sio-bak itu pesanan Peng Houw maka percaya atau tidak aku dibujuk anak ni untuk berbuat dosa!”

"Jahanam!" Peng Houw lagi-lagi tak kuat. "Aku tak pernah memesan makanan itu, Chi Koan. Kau yang datang membawanya dan membujuk aku. Kau iblis berlidah ular, Kau manusia licik dan keji!" namun ketika Peng Houw meronta dan tak dilepas gurunya, Lu Kong Hwesio terbelalak dan merah pucat berganti-ganti mendadak hwesio itu mengayunkan tangannya dan.... plak! robohlah Peng Houw oleh tamparan gurunya, mengeluh dan pingsan!

"Omitohud, Peng Houw memang salah. Dan rupanya muridku tak dapat dipercaya lagi. Ah, silahkan hukum anak ini, susiok. Aku menyerahkannya kepadamu!"

Semua tertegun. Lu Kong Hwesio berlutut dan menjatuhkan diri di depan sang paman guru mukanya menahan marah yang besar tapi juga kekecewaan yang hebat. Peng Houw sudah salah bicara tentang pancingan Chi Koan tadi, bahwa Chi Koan tidak menyuruh anak itu menyimpan barang haram di dapur. Dan karena Peng Houw tak dapat menjawab dan keraguanpun timbul bahwa jangan-jangan untuk yang lain-lain anak itu juga salah bicara, Chi Koan sungguh cerdik dan licik maka Ji Beng Hwesio, kakek renta itu mengucap puja-puji dan menggeleng-gelengkan kepala berulang-ulang.

"Hm, tidak dinyana... tidak disangka. Pinceng tak dapat berbuat lain, Lu Kong. Muridmu memang harus dihukum. Dia mencemari dan menodai dapur umum, padahal itu juga untuk menyiapkan makanan bagi ketua kita. Omitohud, anak itu masukkan ke ruang Api, Lu Kong. Jungkir tubuhnya dan biarkan selama tiga hari!"

“Akan kulaksanakan..." Lu Kong Hwesio menjawab, datar, tiba-tiba berkelebat dan sudah membawa muridnya lenyap.

Dan ketika Chi Koan berseri-seri di depan susiok-kongnya, mengira diri sendiri bebas dan tidak menerima hukuman mendadak Ji Beng Hwesio bergerak dan berkata kepada gurunya, Beng Kong Hwesio.

"Dan kau, bawa muridmu ke ruang Api pula, Beng Kong. Suruh dia bersila di atas bara selama tiga hari pula!”

"Omitohud!” Beng Kong Hwesio terkejut. "Muridku tak bersalah, susiok. Chi Koan hanya dibujuk dan dijebak Peng Houw!”

“Hm, kau tahu bunyi ayat ke 13 dari bab pertama kitab suci kita?”

Hwesio ini tertegun.

"Baca dan ingat itu, Beng Kong. Dan muridmu juga bersalah karena tak menghayati ayat itu. Bawa dia ke ruang Api dan suruh bersila di sana selama tiga hari!"

"Baik," hwesio ini agak tergagap. “Akan kulaksanakan, susiok. Teecu pergi!" dan ketika Beng Kong Hwesio juga berkelebat dan menyambar muridnya, yang lain-lain berisik namun dibubarkan maka Ji Beng Hwesio berkemak-kemik melancarkan ilmunya dari jauh, sebelum pergi.

"Beng Kong, Lu Kong, kalian berdua jaga baik- baik murid kalian itu. Jangan biarkan mereka saling berkelahi di ruang api. Ruang itu untuk menghapus dosa memupuk kesucian, bukan untuk dikotori!”

Lu Kong dan Beng Kong ternyata mendengar. Mereka berdua sudah ada di belakang petak- petak bangunan Go-bi. Partai persilatan ini memang amat luas dan dibagi-bagi dalam beberapa bagian. Ada ruang pemujaan tapi ada pula ruang hukuman. Ruang Api adalah satu di antara ruang-ruang hukuman, terletak di belakang dan agak jauh dari pintu gerbang. Dan ketika di sana Lu Kong sudah mengikat dan menggantung tubuh muridnya di atas sekumpulan bara, anak itu masih pingsan namun akhirnya sadar membuka mata maka Beng Kong Hwesio juga berkelebat dan muncul membawa muridnya.

“Hm, kau terlalu tinggi menggantung muridmu, suheng. Peng Houw tak seberapa panas dihukum seperti itu!”

“Tutup mulutmu!” kakek ini tak dapat menahan marah juga. "Urus pekerjaanmu tak usah mengurus pekerjaanku, sute. Ruang ini bukan ruang membunuh melainkan hanya ruang hukuman!"

Dan ketika Peng Houw tertegun melihat Chi Koan juga ada di situ, gurunya sudah mendamprat dan bersila di pintu tengah maka Beng Kong Hwesio mendudukkan muridnya baik-baik di atas sekumpulan bara api, mengganjal dengan beberapa bangku batu hingga anak itu tak terlalu kepanasan. Bara api itu sekitar dua meter di bawah pantatnya, lain dengan Peng Houw yang "dijantur" gurunya hanya semeter saja di atas tumpukan bara api, dengan kepala di bawah menghadap uap yang marong kemerahan itu.

"Haii....!” Chi Koan berseru menggoda, tertawa. Selamat bertemu lagi, Peng Houw. Kita sama-sama dihukum tapi hukuman kita sesuai dosa masing-masing!"

"Tutup mulutmu!” Peng Houw tak terasa menirukan makian gurunya kepada susioknya tadi. “Kau ular berlidah iblis, Chi Koan. Menyusahkan aku dan curang serta tak tahu malu. Kau keji, tak punya perikemanusiaan!"

"Ha-ha, siapa yang tak punya perikemanusiaan? Kau iri aku mendapat hukuman lebih ringan? Susiok-kong yang menyuruhku begini, boleh damprat dia kalau tidak puas!”

“Tutup mulutmu yang berbau busuk!" Lu Kong Hwesio tiba-tiba tak dapat mengendalikan dirinya, membentak mendahului Peng Houw. “Tempat ini tak boleh gaduh, Chi Koan. Diam dan jangan banyak bicara!”

"Hm!" Beng Kong Hwesio tak terima, berkelebat dan berdiri lalu duduk di sebelah kiri suhengnya, sama-sama menjaga di pintu. "Anak-anak biarkan dengan anak-anak, suheng. Kau orang tua tak perlu ikut campur. Kalau mau memaki boleh lakukan kepadaku!"

“Omitohud!" sang suheng terbelalak. "Kau tak boleh membiarkan aku membentak muridmu? Bukankah dia juga murid keponakanku?"

"Secara umum memang begitu, suheng. Tapi di tempat ini sudah lain. Kita masing-masing sebaiknya tutup mulut dan tak usah mencampuri makian anak-anak."

“Tapi kau menghajar dan menendang muridku tadi di luar. Dan pinceng yang hanya membentak menyuruh muridmu diam kau larang! Omitohud, kau sudah berat sebelah, sute. Dan kau tidak menghargai pinceng!"

"Terserah jawabanmu, tapi yang jelas aku sendiri tak akan tinggal diam kalau muridku diganggu!" dan mendengus serta tertawa mengejek melirik suhengnya, hwesio tinggi besar itu tak takut dan bahkan berkesan menantang maka hawa panas di ruangan itu yang cepat membuat orang naik pitam tiba-tiba membuat Lu Kong Hwesio menggeram dan menampar sutenya ini.

Maksudnya hanya melepas geram dengan kebutan ujung baju saja. Tak tahunya sutenya itu menangkis dan balas menyerang dengan pukulan sinkang! Dan ketika Lu Kong Hwesio terkejut dan tentu saja berteriak kaget, sutenya dinilai ganas maka apa boleh buat dia menggerakkan lengan baju yang lain dan menangkis mengerahkan sinkangnya pula.

"Plak!" dua orang itu tíba-tiba sudah duduk saling berhadapan, saling gempur. “Kerahkan tenagamu, suheng. Dan mari main-main di sini!"

Lu Kong Hwesio terkejut. Dia tak mengira bahwa sutenya itu tiba-tiba menambah tenaga dan mendorong, akibatnya iapun menambah tenaganya dan saling dorong. Dan ketika dua lengan mereka sudah saling tempel dan masing-masing kepala mengeluarkan uap, Beng Kong Hwesio tak mau kalah maka suheng dan sute tiba-tiba saling bertanding di ruang Api!

"Omitohud! Kau lancang dan tak menghormat saudara tua, sute. Pinceng tak dapat lagi bersabar terhadapmu!"

"Silahkan. Aku juga sebal kepadamu, suheng. Kau selalu memuji-muji murid sendiri dan tidak menghargai muridku!"

“Tapi kau menghina pinceng di depan anak- anak!"

“Dan kau membuat malu aku dengan pengakuan Peng Houw. Kau tak dapat mendidik dan mengajar muridmu... ces-cess!" dan ketika dua lengan yang saling tempel itu mengeluarkan bunyi seperti api bertemu air, Peng Houw dan Chi Koan terbelalak melihat guru masing-masing bertempur den tak mau kalah maka Beng Kong Hwesio sudah berkutat melawan suhengnya dengan kemarahan bergolak.

Sebenarnya, sudah lama kedua hwesio ini terlibat perang dingin. Masalahnya sepele, hanya karena murid-murid mereka itu. Karena kalau Peng Houw banyak disuka dan didekati para hwesio Go-bi adalah Chi Koan kurang disenangi dan dijauhi hwesio-hwesio di situ. Anak ini terkenal nakal dan sering mengganggu para hwesio di situ. Kadang-kadang melempari kepala para kacung atau membuat kotor lantai yang baru saja dibersihkan. Tak jarang anak ini mengejek hwesio-hwesio muda dengan sikap atau kata-katanya. Dan karena dia murid Beng Kong Hwesio, yang merupakan murid nomor dua dari Ji Leng Hwesio ketua Go-bi maka banyak anak-anak murid segan membalas perbuatan anak itu.

Beng Kong Hwesio dikenal keras dan suka membela murid sendiri. Kebetulan Chi Koan adalah murid kesayangannya, anak laki- laki itu memang cerdas dan karena itu disayang hwesio tinggi besar ini. Tapi ketika seminggu kemudian Lu Kong Hwesio, suhengnya, juga mendapat murid baru dan murid itu bukan lain adalah Peng Houw, yang rajin dan jujur mengikuti gurunya maka tiba-tiba tampak perbedaan besar di antara dua anak laki-laki ini.

Peng Houw suka membantu para hwesio dan tak segan-segan menyapu lantai atau membersihkan mangkok piring. Bahkan, beberapa kenakalan Chi Koan sering dihapus anak ini dengan perbuatan-perbuatan baiknya. Misal, Chi Koan suatu hari mengganggu seorang hwesio muda yang sedang membersihkan lantai, melempari dengan kulit pisang atau rumput-rumput kering. Maka Peng Houw inilah yang membuang semua itu dan menegur Chi Koan agar tidak nakal. Dan karena banyak perbuatan anak itu yang menjadikan para hwesio sayang kepadanya, Peng Houw memang lain dengan Chi Koan maka sering dua anak ini bertengkar sendiri.

"Kau jangan melarang aku. Kau anak baru di sini!"

“Hm, kau dan aku sama-sama baru, Chi Koan. Kaupun baru seminggu di sini. Kau tak boleh mengganggu para hwesio!"

"Apa perdulimu? Aku menang dulu, Peng Houw. Kau harus hormat kepada yang lebih dulu di sini. Aku murid Beng Kong Hwesio yang lihai!"

“Tapi akupun murid guruku Lu Kong Hwesio yang hebat. Kau termasuk suteku!”

"Mana bisa? Kau datang belakangan, Peng Houw. Aku lebih dulu!"

“Tapi gurumu adalah adik seperguruan guruku. Aku menang tua!"

"Keparat, kau tiba-tiba menjadi sombong!" dan ketika Chi Koan akhirnya menyerang dan memukul Peng Houw, dua anak itu berkelahi maka hwesio penyapu lantai cepat-cepat melerai dua anak laki-laki yang berbaku hantam ini.

Chi Koan sedikit unggul karena sudah diberi dasar-dasar ilmu silat, Peng Houw hanya diajari ayat-ayat kitab suci saja tapi anak itu memiliki keberanian besar. Jadilah mereka imbang dengan yang satu memiliki kelebihan dari yang lain. Dan ketika pertengkaran itu dilerai namun hari-hari berikut Chi Koan mengancam Peng Houw, diam-diam dua anak ini terlibat permusuhan sendiri maka Lu Kong Hwesio akhirnya menemui sutenya melaporkan kejadian itu, karena betapapun akhirnya gangguan Chi Koan masuk ke telinganya juga.

"Aku hendak memberi tahu tentang kenakalan muridmu," begitu hwesio ini mula-mula bicara, sabar. "Chi Koan mengganggu murid-murid yang lain, Sute. Melempari kulit pisang atau membuat gaduh di saat orang bersembahyang. Terakhir, mengajak Peng Houw berkelahi dan tak mau sudah. Agaknya kau harus mengajarinya ayat-ayat suci dahulu bukannya ilmu silat!"

"Hm, kau mengajari aku, suheng? Urusan anak-anak hendak ikut campur?”

"Maaf," Lu Kong Hwesio terkejut, menarik napas dalam-dalam. "Aku tak bermaksud mencampuri, sute. Hanya muridmu itu kenakalannya berlebihan. Tidakkah kau dengar laporan para hwesio-hwesio muda yang diganggunya? Masakah selama ini kau tidak tahu?"

"Anak kecil nakal adalah wajar. Orang besar nakal barulah kurang ajar. Aku tahu perbuatan-perbuatan muridku, suheng. Tapi tak kunilai berlebihan karena dia memang kanak-kanak!"

"Tapi kalau mulai mengancam dengan pisau?" sang suheng mengerutkan kening, melihat sutenya itu terlalu melindungi murid, memanjakannya. "Apakah hal begini juga akan kau biarkan, sute? Chi Koan kemarin mengancam Peng Houw dengan pisau, dan pinceng tak ingin kenakalan yang kau anggap wajar ini sampai membahayakan keselamatan jiwa!"

“Pisau?” sang Sute tertegun. "Kalau begitu biar kupanggil muridku!" dan ketika Chi Koan dipanggil dan dibentak gurunya, karena betapapun Beng Kong Hwesio juga harus menjaga diri maka Chi Koan terkejut tapi tenang-tenang menghadapi gurunya itu, juga supeknya atau uwa guru.

"Kau mengancam Peng Houw dengan pisau? Kau main-main secara berlebihan?"

"Ah," anak ini tersenyum. "Supek terlalu membesar-besarkan suhu. Memang pisau di tanganku tapi tentu saja tak kupakai untuk menyerang karena kupergunakan untuk mengerat mangga muda.”

"Mangga muda?" Lu Kong Hwesio tiba-tiba mengerutkán kening. Semua tanaman di sini yang masih hijau tak boleh dipetik, Chi Koan. Harus tunggu sampai masak dan baru setelah itu dibagi-bagikan!”

“Aku hanya memetiknya sebuah saja, untuk kumakan dengan garam. Perutku lapar!”

"Apakah kau belum makan?"

“Hm!" Beng Kong Hwesio menjadi merah mukanya. "Makan minum muridku urusanku, suheng. Bukan urusanmu. Kalau Chi Koan ingin mengambil sebuah mangga muda tentu karena keinginannya sebagai anak-anak saja, bukan karena lapar!"

“Kalau begitu dia bohong. Muridmu harus diajar bicara jujur, terus terang!"

"Itupun urusanku, suheng tak usah ikut campur!"

"Baik, maaf, sute. Aku ke sini bukan untuk bertengkar, melainkan melapor tentang sepak terjang muridmu ini. Chi Koan mulai berlebihan dan kau harus mengawasi tindak-tanduknya. Betapapun anak kecil tak boleh main-main dengan pisau untuk mengancam orang lain!"

“Baiklah, aku menerima laporanmu. Dan apa yang sekarang kau inginkan...!"