Kabut Di Telaga See Ouw Jilid 06 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-beng Sian-su Karya Batara

Kabut Di Telaga See Ouw Jilid 06


"TIKUS dari mana ini berani mengganggu kebun orang. He, lihat dan perhatikan baik-baik, pencuri cilik. Itu bukan milikmu dan aku yang menanamnya susah payah!'

Siauw Lam terkejut. la tak menyangka ada orang di situ dan muncullah dua kakak beradik itu, Po Kwan dan adiknya. Tapi ketika ia menyeringai betapa mereka adalah anak-anak sebayanya, bukan orang dewasa iapun tertawa dan membuang kulit pisang seenaknya, mengejek.

"Ha, siapa kau. Model dan tampangmu seperti ini bisa memiliki kebun? Memangnya kau tuan tanah atau anak hartawan kaya? Jangan sombong, kau paling-paling anak petani melarat, cacing cilik. Tak pantas kau memiliki kebun atau tanah ini. Akuilah!"

Po Kwan marah. la telah melompat dan berhadap-hadapan dengan lawannya ini ketika adiknya menggamit dan memberinya isyarat hati-hati. Siao Yen melihat betapa Siauw Lam rupanya bukan anak sembarangan, matanya berkilat dan sikapnya yang pemberani itu jelas menunjukkan anak ini tak punya takut, seperti anak jagoan saja.

Tapi karena sang kakak marah oleh semua kata-kata itu, memang benar Ia mengenakan pakaian seperti anak petani maka Po Kwan membentak dan menudingkan telunjuknya.

"Kau! Tak usah kusangkal kebun ini bukan milikku, tapi milik majikanku yang harus kujaga. Kalau kau sembarangan saja memetik dan mengambil buahnya apakah harus kudiamkan saja? Eh, aku tak marah kalau kau segera meminta maaf dan bicara secara sopan, tikus cilik, Sebutkan namamu dan jangan kurang ajar!"

"Ha-ha, kau cacing cilik yang banyak tingkah. Terus terang aku tak tahu bahWa ada kau di sini, tapi kalaupun tahu aku juga tak takut. Eh, siapa sombong dan kurang ajar? Bukankah kau yang lebih dulu bersikap kasar? Kau membentakku, bikin kaget saja!"

"Aku bersikap kasar karena kau senaknya saja nyelonong di kebun orang!"

"Aku tak tahu ini ada pemiliknya..."

"Bohong, masa kebun demikian rapi dan terawat tak ada pemiliknya!"

"Eh... eh, memangnya kau mau apa? Kalau aku lapar apakah harus menahan saja penderitaanku? Salahmu kenapa pisangmu demikian bagus dan menggiurkan, cacing cilik. Kau tak usah banyak cakap atau kupukul nanti!"

Po Kwan menjadi marah. Kalau saja lawannya ini itu sedikit halus dan tidak banyak mulut tentu dia mau memaafkan dan kalau perlu memberinya makanan lain, Buah-buahan di situ boleh diambil asal betul-betul diperlukan, apalagi bagi yang lapar. Tapi kalau yang datang adalah pencuri seperti ini dan sikapnyapun tak mau kalah, kebun demikian rapi dianggap tak ada pemiliknya.

Maka kebohongan seperti ini cukup bagi anak itu untuk menilai lawan seperti apa. Dan anak itupun akan memukulnya, begitu berani, kurang ajar! Maka ketika ia berteriak dan menerjang ke depan,tinju Po Kwan menyambar mendahului tiba-tiba lawan berkelit dan Po Kwan hampir terjerembab oleh dorongan tubuhnya sendiri yang luput memukul ke depan.

"Ha-ha, mulai dulu. Bagus, kau menyerang aku!"

Po Kwan membalik dan berteriak. Ia memukul lagi namun Siauw Lam berkelit, tiga kali berturut-turut sampai akhirnya lawan menjegal kakinya. Dan ketika ia berdebuk dan mengaduh kesakitan, anak itu adalah murid si buta yang lihai mendadak Siao Yen memekik dan menubruk serta menggigit anak ini, membela kakaknya.

"Kau tikus cilik yang jahat, tak tahu malu!"

Siauw Lam terkejut. Lawan meloncat dan tahu-tahu menerkam punggungnya, menggigit. Dan ketika ia berteriak dan meronta lalu membanting, anak itu terlempar lewat pundaknya maka Siao Yen menjerit dan berdebuk dengan pekik kesakitan.

Hal ini, membuat marah sang kakak dan Po Kwan menjadi kalap. la masih kesakitan oleh jegalan tadi namun meloncat bangun, membentak dan ményambar sebatang kayu lalu membabi-buta menyerang lawan.

Tapi ketika Siauw Lam mengelak dan memaki-maki, untungi ia selalu berhasil menghindari serangan itu maka tiba-tiba ia membentak dan satu kibasan tangan kirinya mengenai perut Po Kwan.

"Ngek!" Anak itu terjengkang dan pingsan. Serangan itu mengenai ulu hatinya dan berakhirlah perkelahian. Siao Yen menjerit dan meloncat terhuyung, hendak menyerang Siauw Lam dan saat itu bayangan orang lain datang.

Siauw Lam terkejut dan buru-buru pergi, meloncat dan keluar dari kebun menerabas pagar Lalu ketika ia menghilang sementara Siao Yen tersedu-sedu bayangan itu tergopoh dan kiranya uwak Kin maka nenek ini berseru tertahan melihat apa yang terjadi. Po Kwan meringkuk di sana.

"Eh, apa yang terjadi. Ada apa, ini!"

Siao Yen menangis dan meratapi kakaknya. la mengguncang-guncang tubuh kakaknya itu sampai akhirnya nenek ini berlutut dan memeriksa. Uwak Kin juga bingung. Tapi ketika nenek ini melihat segayung air minum dan menyiramkan itu ke muka Po Kwan, si anak sadar dan mengeluh maka Siao Yen mengguguk melihat kakaknya hidup, tadi disangka mati.

"Jahat, anak itu jahat! Ah, syukur kau tak apa-apa, Kwan-ko. Aku menyangkamu mati. Hu- huu... bocah itu anak iblis!"

"Apa yang terjadi," uwak Kin tergopoh mengurut-urut kepala dan tubuh Po Kwan, sekilas melihat bayangan Siauw Lam tadi. "Kau berkelahi dengan siapa, Po Kwan. Ada apa berkelahi. Siapa anak itu dan mau apa!"

"Dia anak jahat, pencuri. Mengambil pisang dan tomat seenaknya saja. Lihat perbuatannya itu, uwak Kin. Betapa ia merusak pagar dan membuang sisa-sisa makanan. Anak itu iblis!"

Sang nenek terbelalak. Ia mengangguk- angguk dan memang melihat itu, Siao Yen tampak marah. Tapi ketika ia membangunkan Po Kwan dan anak ini merasa nanar, lambungnya juga sesak maka nenek itu berkata bahwa biarlah mereka pulang.

"Aku datang untuk memanggil kalian, kongcu (tuan muda) menangis terus. Cobalah kalian diamkan karena biasanya kalian berdua dapat menghibur anak itu. Marilah, hujin (nyonya) juga memanggil."

"Tapi... tapi kebun ini..."

"Nanti dapat dilihat lagi, Po Kwan. Aku bingung bagaimana mendiamkan anak majikan. Sudahlah kalian pulang dan nanti hujin marah."

Po Kwan tertatih dan meringis menahan sakit. la masih marah oleh lawannya tadi tapi uwak ini ternyata memanggil. Biasanya Boen Siong atau putera majikan itu memang akan diam kalau sudah dihibur mereka, mungkin karena Sama-sama anak.

Maka ketika mereka pulang namun berkali-kali harus berhenti di tengah jalan, Po Kwan sering mendekap lambungnya maka di sana Siauw Lam sendiri sudah berlari cepat meninggalkan tempat itu, tertawa-tawa.

Anak ini geli teringat betapa lawannya terjungkal mengaduh. Kalau saja ia tak sedang mendapat tugas gurunya dan cepat-cepat kembali mungkin ia akan memuaskan hatinya dengan menghajar lagi. Hanya terhadap Siao Yen ia merasa kagum, anak perempuan itu dinilainya berani.

Tapi karena ia harus melaksanakan tugas dan di sana gurunya sedang menunggu, juga perutnya telah kenyang oleh pisang dan buah-buahan di kebun tadi maka ia buru-buru menuju rumah yang katanya ada di dalam hutan itu, sedikit masuk ke dalam.

Tak sukar bagi Siauw Lam menemukan rumah itu, apalagi tangis bayi melengking- lengking. Tapi ketika ia berhenti sejenak dan ragu, rumah itu tidak begitu besar namun agaknya cukup berwibawa, pagarnya tinggi akhirnya ia ingat barang bawaan sebagaimana biasanya dibawa kaum pengemis, mangkok butut!

Dan tersenyum mengeluarkan ini, mangkok itu sudah dipersiapkan di balik baju maka dengan sedikit berdebar namun langkah berani ia membuka pintu pagar dan masuk mengetuk pintunya.. Anak ini cepat menguasai diri dan ketenangannya lagi.

"Mohon belas kasihan. suaranya menembus celah ruangan. "Aku lapar dan mohon makanan, hujin. Berilah sedekah dan biarlah doaku untuk kebahagiaan rumah ini!"

Li Ceng tertegun. Waktu itu, seperti kata uwak Kin puteranya Boen Siong menangis terus. Anak, ini sudah tiga jam yang lalu rewel saja, tak mau diam dan menendang-nendang. Maka ketika tiba-tiba di luar rumahnya terdengar suara nyaring dan jelas itu suara anak laki-laki. Ia terkejut.

Maka Boen Siong yang digendongnya itu lalu dibawa keluar dan melihat siapa yang datang. Dan nyonya ini tentu saja terbelalak karena anak lelaki sebaya Po Kwan tahu-tahu mengemis di pintunya. Aneh kapan ada pengemis datang ke situ!

Siapa kau, serunya. "Kenapa di tempat sesepi ini datang mencari makan!"

"Ampun... Siauw Lam menunduk dan pura-pura gemetar, sekilas melihat rumah itu sepi. "Aku kesasar tanpa tujuan, hujin, aku lapar. Mohon sedekah dan apa saja kuterima dengan senang hati. Doaku untuk kebahagiaan rumah ini!"

Li Ceng mengerutkan kening. Sejak puteranya rewel terus sesungguhnya ia tak senang. Kini melihat seorang bocah menjadi pengemis iapun semakin tak senang lagi. Namun karena mangkok butut itu gemetar disodorkan dan ia rupanya harus memberi terpaksa ia menahan gemas maka diberinya uang logam di dalam mangkok. Namun anak itu menggeleng.

"Maaf, perutku lapar, hujin, butuh makanan, Aku tak butuh uang karena di mana aku dapat membeli. Bolehkah kudapat sebungkus dua bungkus nasi pengganjal perut!"

Nyonya rumah sadar. Tiba-tiba Li Ceng menarik napas dan membuka pintu lebar-lebar, mempersilakan anak itu masuk dan menyuruh mengambil makanan di belakang. Dan ketika šiauw Lam berseri karena segera dapat memeriksa, ada siapa sajakah di dalam rumah ini maka anak itu terbungkuk-bungkuk menuju belakang. Matanya meliar kiri kanan dengan cepat.

"Ambillah sendiri, anakku rewel. Biarlah uang itu untukmu nanti di tengah jalan!"

“Terima kasih, doaku untuk kebahagiaan rumah ini, hujin. Terima kasih..."

Li Ceng tak memperhatikan anak itu lagi setelah Siauw Lam mendapatkan nasi dan lauk- pauk. Boen Siong menangis lagi dan menendang-nendang, ia sibuk mendiamkan. Dan ketika anak itu leluasa memeriksa seluruh rumah, ternyata hanya tiga kamar saja yang ada di dalam, berikut sebuah dapur dan ruangan tamu maka saat itulah Po Kwan dan adiknya datang, juga uwak Kin.

"Kau...!" anak ini kaget melihat Siauw Lam mengunyah nasinya pelan-pelan. Ia masuk dari belakang dan Siauw Lam tentu saja terkejut. Ia juga tak menyangka bahwa anak yang dihajarnya tadi adalah penghuni rumah ini. Maka ketika ia berdiri sementara Siao Yen juga memekik, kaget dan marah tiba-tiba Po Kwan menerjang dan membentak menyambar sapu lidi.

"Jahanam keparat, kiranya kau di sini!"

Siauw Lam mengelak dan membuang sisa nasinya. Ia kaget dan tercengang ketika tiba-tiba lawannya muncul di situ. Tapi ketika ia tertawa, dan mengelak lagi, sapu lewat di samping tubuhnya maka ia menendang dan mencelatlah Po Kwan oleh kaki yang kecil kuat itu, berdebuk dan terbanting dan seketika ribut-ribut ini didengar Li Ceng.

Nyonya rumah menenangkan anaknya yang rewel tak mau berhenti, terkejut ketika Po Kwan dan anak pengemis itu berkelahi. Dan ketika ia keluar dan melihat perkelahian itu, Siao Yen memekik dan menyambar sapu lain mendadak anak itu melompat dan melarikan diri.

"Heh-heh, kiranya kau penghuni rumah ini, tak usah kulayani kau cacing cilik. Aku telah mendapatkan makanan dan kenyang di sini. Cukup, lain kali.”

Po Kwan dan adiknya memaki-maki. Mereka bangun dan mengejar namun sesosok bayangan berkelebat, itulah majikan mereka yang tiba-tiba saja menjadi tak senang. Maka ketika Li Ceng berjungkir balik di depan Siauw Lam dan anak ini terkejut dihadang larinya, ia telah tiba di pintu pekarangan dan siap menghilang mendadak bentakan nyonya itu membuatnya lumpuh, semangatnya seakan terbang.

"Berhenti, apa yang kau lakukan terhadap pembantu-pembantuku. Apa yang kau perbuat hingga mereka menjadi marah!"

"Ia pencuri busuk, perusak kebun. la mengganggu tanaman di kebun kita, hu-jin. Mengambil pisang dan buah-buahan lain!"

Seruan ini membuat Li Ceng terbelalak. Po Kwan dan Siao Yen sudah berlarian datang dan mereka mendekat jatuh bangun. Uwak Kin yang ada di sana juga tertegun, kaget karena bagaimana tiba-tiba anak itu ada di sini. Betapa beraninya! Namun karena masing-masing tak ada yang tahu dan sama-sama tak menyangka bertemu lagi.

Siauw Lam sudah menggigil dan pucat di situ maka anak ini berlutut dan tak berani main-main, telah mendengar bahwa Naga Gurun Gobi maupun isterinya ini orang- orang lihai. Dan ia dibuat tercekat oleh gerak jungkir balik nyonya itu yang tahu-tahu telah mencegat larinya!

"Ampun, aku... aku tak sengaja. Aku... tak tahu bahwa mereka pembantu-pembantumu, hujin. Kami memmang bertemu di kebun tapi sudah tak ada persoalan apa-apa lagi.. Aku tak tahu!”

Dia membuat Kwan-koko roboh pingsan . Anak ini jahat! Tangkap dan hukum saja dia, hujin. Pencuri ini kurang ajar!"

Siao Yen membentak marah dan melapor mendahului. Ia dan kakaknya sudah di si-tu tapi tak berani menyerang lawan. Nyonya majikan sudah di situ. Dan ketika Li Ceng bersinar-sinar dan cepat memberikan Boen Siong, ,uwak Kin digapai maka ia bertanya apa saja yang dilakukan anak ini, curiga.

"la merusak pagar, mengambil pisang. Juga tomat dan buah-buahan lain!"

"Hm, dan dimakannya?"

"Ya, dimakannya hujin, tapi sisa yang lain dibuang!"

"Dan kau makan lagi di sini, padahal sudah kenyang. Apa maksudmu dengan penipuan ini!" Li Ceng membentak dan mencekal leher baju. Ia tiba-tiba terbelalak karena merasa dikecoh.

Tapi Siauw Lam yang cepat menenangkan diri berseru, ingat bahwa gurunya tak jauh di situ. "'Hujin, aku memang lapar. Buah-buahan tak mengenyangkan perut. Aku tidak bohong dan kau dengar tadi bahwa yang lain kubuang!"

"Siapa namamu?"

"Siauw Lam!"

"Dari mana kau berasal?"

"Aku.. aku gelandangan!"

"Tapi pakaianmu tak ada tambalannya. Dan kau, hmm... bisa silat!" Sampai di sini nyonya itu berkilat pandangannya, marah dan teringat betapa tadi kaki anak ini menendang Po Kwan. Dari gerak kaki itu saja ia tahu bahwa itu gerakan sebuah silat, dasar kepandaian anak ini rupanya bagus.

Maka ketika tiba-tiba ia melepaskan cengkeraman dan menusuk mata, anak itu berteriak dan melempar tubuh bergulingan. Li Ceng semakin tertegun karena bocah laki-laki ini mampu bergerak cepat menghindarkan tusukannya.

"Heiii...!" Siauw Lam sudah melompat bangun dan pucat memandang nyonya itu. Ia cepat mengelak ketika jari si nyonya menyambar matanya, cengkeraman dilepas dan tentu saja ia kaget. Kalau tidak dilepas barangkal ia menangkis, atau menendang dari bawah. Dan ketika ia jerih dan ngeri memandang lawan, nyonya itu marah mendadak ia memutar tubuh dan melarikan diri.

Namun Li Ceng penasaran. la membentak dan sekali berkelebat iapun menghadang anak itu lagi. Siauw Lam memekik dan memukul perutnya. Tapi ketika ia mendengus dan mengibas anak itu maka si bocah terbanting dan mengaduh-aduh.

"Jahat curang. Orang besar menyakiti anak kecil. Aduh, kau merendahkan dirimu, hujin. Tak pantas isteri Naga Gurun Gobi menyiksa seorang bocah!"

"Kau!" nyonya itu membentak, Mencengkeram dan sudah menyambar leher baju itu lagi. "Dari manakau Engksu mengenal aku dan siapa guru atau orang tuamu. Jawab atau kau mampus!"

"Lepaskan... lepaskan aku!" Siauw Lam meronta-ronta. "Tak ada orang yang tak tahu siapa dirimu hujin. Setiap Orang di balik pohonpun tahu. Aku tak mempunyai guru atau orang tua karena hidupku mengembara!"

"Tapi kau bisa silat!"

"Aku belajar dari mana-mana. Aku perlu melindungi diriku!"

"Hm tapi kau mencurigakan. Eh, kau tak boleh pergi, anak busuk. Kau kutangkap dan hari ini menjadi tawananku. Kalau sebulan kau tak dicari gurumu berarti semua omonganmu benar. Nah, merinkuk dan kembali di sana!"

Li Ceng sudah menotok dan melumpuhkan anak ini. Siau lam berteriak-teriak tapi anak itu tak dapat berbuat apa-apa. Dan ketike dengan gemas Po Kwan menyeretnya kekandang ayam, Li Ceng memerintahkan anak itu maka si bocah meraung-raung hingga suaranya melebihi tangis Boen Siong. Hal ini memang disengaja oleh siauw Lam agar gurunya mendengar. Tapi ketika ia dilempar ke kandang ayam dan Peng-hujin menotok urat gagunya maka sampai di sini anak itu roboh tak berkutik, tak mampu bersuara.

Namun yang dilakukan Siauw Lam berhasil. Chi Koan, gurunya yang lihai adalah seorang yang pendengarannya luar biasa tajam. Jangankan jeritnya, percakapannya pun didengar. Maka ketika Chi Koan berseri-seri karena yang ada hanya Li Ceng dan muridnya itu, tak ada suara Peng Houw maka bergeraklah dia memasuki hutan dengan tongkat di tangan. Berkat ribut-ribut di pekarangan rumah itu ia dapat menemukan jejak muridnya.

Dan ketika Siauw Lam dilempar ke kandang ayam si buta inipun sudah tak jauh dari situ. Maka ketika dengan hati-hati Chi Koan mendekati muridnya, Siau Lam terbelalak dan tentu saja girang bukan main melihat gurunya akhirnya dengan sentuhan ujung tongkat bekas totokan itupun dibuyarkan.

"Jangan ribut, jangan gaduh. Biarkan seperti semula dan kau seolah-olah masih di kandang ayam."

"Tapi aku ingin menghajar musuhku itu!!"

"Ia bukan tandinganmu. Wanita itu bukan lawanmu, Siauw Lam, sudah kuberi tahu tadi."

"Bukan, bukan dia. Aku ingin menghajar seorang anak laki- -laki sebaya denganku suhu. Dialah yang tadi melemparku di kandang ayam ini. Namanya Po Kwan!"

"Hm, gampang, nanti saja. Sekarang bawa aku ke depan rumah dan temukan dengan Peng-hujin itu."

Siauw Lam gembira luar biasa. Ia bertanya bagaimana suhunya bisa sampai disitu dan Chi Koanpun menjawab tersenyum- senyum. Teriakan atau suara muridnya itulah yang menuntunnya ke situ. Dan ketika anak ini tertawa mengacungkan tinju, berkata bahwa itu siasatnya maka sang guru tersenyum kagum.

"Cocok, kalau begitu tepat. Aku memang sengaja berteriak-teriak agar suhu dengar. Ha-ha, akalku jalan suhu. Kau akhirnya ke sini!"

"Sudahlah, antar aku kedepan dan pertemukan dengan Peng-hujin itu, percakapanmupun sudah kudengar."

Siauw Lam meleletkan lidah. Ia kagum bahwa gurunya mendengar percakapannya dengan Péng-hujin, betapa telinga suhunya ini benar-benar tajam. Maka ketikat ia memutari rumah dan girang ingin melihat gurunya mennghajari nyonya itu, dia sendiri akan mencari dan menghajar Po Kwan maka di situlah ia mengetuk dan Li Ceng tentu saja keluar dan terkejut. Tawanan cilik itu "ha-ha-hi-hi" di pintu depan!

"Aku bebas, kau tak dapat mengurungku lagi."Ha,ha.. ini aku, hujin, Siauw Lam. Dan ini guruku datang mencarimu!"

Li Ceng membentak berkelebat keluar. la kaget dan tentu saja marah namun berdebar tegang. Dan ketika ia keluar dan melihat si buta, tertegun dan berubah maka Chi Koan, pemuda itu tertawa padanya, serak dan penuh ejekan.

"Li Ceng, selamat bertemu. Kau tentu tak menyangka aku di sini. Hm, ini muridku yang cerdik Siauw Lam. Aku tak minta banyak kecuali serahkan dirimu dan puteramu."

Kagetlah wanita ini mendengar kata- kata itu. Segera dia mengerti bahwa semuanya itu memang diatur. Bocah kurang ajar itu memang menyelidik tempatnya, disuruh gurunya. Maka ketika ia mencabut pedang dan berteriak nyaring, maklum bahwa si buta amat lihai mendadak ia menerjang mendahului dan tidak banyak cakap lagi menusuk si buta itu.

"Chi Koan manusia jahat, kiranya kau dan muridmu sengaja mengintai rumah orang!"

Si buta mengelak dan lolos dengan mudah dan sudah mendorong Siauw Lam dan anak itu bersorak, tiga kali gurunya berkelit dan tiga kali itu pula pedang menyambar luput. Namun ketika gurunya memerintahkan masuk ke dalam, Siauw-Lam diperintahkan untuk mengambil Boen Siong maka anak itu melompat dan ha-ha-hi-hi.

"Kau tak usah menonton di sini, cukup. Ambil anak itu dan bawa keluar,siauw Lam. Aku akan merobohkan lawanku ini."

"Baik," anak itu gembira. "Dan kubawa ia ke mari, suhu. Kita hajar penghuni rumah ini!"

Li Ceng melengking. la pucat melihat si buta mengelak dan demikian mudahnya menghindari semua serangannya itu. Dan ketika ia melihat betapa Siauw Lam ti-ba-tiba melompat masuk, mau membawa Boen Siong mendadak ia membalik dan meninggalkan lawannya itu. Pedang ganti menyambar dan ganas menusuk punggung.

"Anak iblis, mati kau!"

Namun Chi Koan tak membiarkan nyonya ini mencelakai muridnya. Begitu Li Ceng membalik maka iapun mengibaskan lengan, pukulan Hok-te Sin-kun menyambar. Dan ketika nyonya itu menjerit dan terlempar ke samping, Siauw Lam terkejut tapi tertawa lagi maka anak itu melanjutkan larinya memasuki rumah. Tangis Boen Siong mendadak tak terdengar lagi.

"Suhu, jaga wanita itu baik-baik. Jangan biarkan ia menyerang aku!"

Namun Li Ceng bergulingan meloncat bangun. Ia tentu saja tak membiarkan anak itu memasuki rumah, apalagi hendak merampas puteranya. Maka ketika ia melengking dan melempar jarum-jarum hitam, cepat menyambar Siauw Lam mendadak lagi-lagi si buta itu mengebutkan lengan bajunya, tertawa.

"Li Ceng, kau tak dapat mengganggu muridku!"

Runtuhlah Semua jarum-jarum itu. Siauw Lam meleletkan lidah namun ia sudah meloncat ke dalam. kagum dan bangga bahwa untuk kedua kalinya lagi-lagi ia lolos dari serangan nyonya itu. Tapi ketika nyonya itu bertempur dengan gurunya lagi, Chi Koan berkelebat dan menghadang nyonya itu maka Li Ceng tak dapat mengejar si bocah sementara Siauw Lam celingukan di dalam rumah. Boen Siong tak ada di situ!

"Ke mana kau," anak ini bergerak memasuki kamar demni kamar, tak melihat anak itu di situ. "Hm, tentu Ďilarikan si cacing cilik Po Kwan. Baik, ke mana kau dapat bersembunyi, Po Kwan. Sekarang aku membalasmu dan lihat kuhajar kau nanti!"

Siauw Lam meloncat keluar dan kini berlari ke belakang. la telah menyelidiki semua ruangan namun Boen Siong tak ada di situ. Li Ceng pun tak menduga bahwa uwak Kin, pembantunya telah membawa puteranya lari begitu musuh datang.

Uwak ini terkejut ketika si nyonya ribut-ribut di luar, mengintai dan melihat Siauw Lam bebas bersama seorang buta yang amat lihai. la telah melihat si buta mengelak serangan-serangan majikannya dan pucatlah pembantu ini melihat bayangan malapetaka.

Boen Siong yang waktu itu dibawa Po Kwan segera disambar, nenek ini tak mau lagi di situ sebelum apa-apa terjadi. Maka ketika Po Kwan di seret dan anak itu terkejut, Siao Yen juga terbelalak namun diajak lari lewat belakang maka wanita tua yang mencium gelagat bahaya ini tak menunggu waktu lagi.

"Celaka, hujin bertemu seorang lihai. Bocah siluman itu ternyata muridnya. Cepat. . cepat kita lari, Po Kwan. Selamatkan dulu anak ini dan nanti kembali lagi!

"Apa yang terjadi..."

"Bocah itu lolos, gurunya datang. Aku sempat mendengar percakapan mereka dan ini bahaya. Ayo... ayo cepat, Po Kwan. Lari dan sembunyi Ďi dusun!"

Po Kwan terbelalak tapi nenek itu segera menyambar momongannya. Boen Siong siap menangis lagi ketika dengan sigap telapak nenek ini menutup mulutnya, lari dan terbirit- birit serta tangan yang lain menarik tangan Po Kwan. Tapi ketika mereka tiba di kebun dan di sini Po Kwan melepaskan dirinya, sang nenek terkejut maka Po Kwan membalik dan berkata gagah.

"Uwak Kin, aku bukan pengecut. Kau larilah bersama adikku. Aku laki-laki dan akan kembali ke sana!"

"Apa, kau... kau ke sana? Gila! Tidak, Po Kwan. Bocah iblis itu bahaya untukmu. Selamatkan diri dulu dan nanti kembali bersamaku!"

"Aku laki-laki, tugasku menjaga hujin pula. Apa kata majikanku apabila aku ikut larí, uwak Kin. Kau memang benar karena kau wanita, nenek pula. Tapl aku akan kembali dan biar kau bersama Siao Yen ke dusun!"

Berkata begini Po Kwan mendorong uwak Kin dan melompat menuju pulang. Nenek itu tertegun tapi Siao Yen tiba-tiba berteriak, melepaskan diri dan mengejar kakaknya pula. Dan ketika nenek itu berubah tapi Po Kwan terkejut, berhenti dan membalikkan badannya maka adiknya menubruk dan menangis di pundaknya.

"Kwan-koko, aku tak mau kau tinggal. Kalau kau kembali biar aku kembali juga. Marilah, kita sama-sama pulang."

"Tidak!" sang kakak marah dan mendorong adiknya. Kau perempuan, Siao Yen, bukan kewajibanmu. Aku laki-laki dan harus menjaga Peng-hujin. Kembali dan ikut bersama uwak Kin atau aku menamparmu!"

"Aku tak mau, kau tak pernah menamparku."

"Plak!" Anak itu terbanting dan menjerit kaget. Kata-katanya berhenti ditengah jalan.

Po Kwan berapi-api memandang adiknya itu. Baru kali itu ia menampar adiknya dan ada perasaan haru tapi juga sesal. Namun karena bahaya sedang mengancam mereka dan keselamatan Boen Siong di atas segala-galanya, anak ini marah dan menindas kasihnya maka ia membentak berdiri tegak, mengingatkan nasihat ayah mereka di waktu masih hidup.

"Siao Yen, ingat apa kata ayah sebelum meninggal. Kau harus tunduk dan menurut padaku. Tapi apa yang kau lakukan sekarang, kau membantah. Pergi atau aku menamparmu lagi. Ini demi keselamatan Boen-kongcu!"

Gadis cilik itu mengguguk. Ia berdiri dan pucat memandang kakaknya dan kemarahan kakaknya ini membuatnya takut. kata-kata itu mengingatkannya akan almarhum ayah mereka. Dan ketika uwak Kin tiba-tiba menyambar lengannya dan berseru memanggil, sang kakak meloncat pergi maka gadis ini terpaksa mengikuti nenek itu dan tersaruk jatuh bangun, mulutnya berteriak.

"Kwan Ko, kau harus cepat mengambil aku. Atau aku tak mau perduli dan menyusulmu di rumah majikan!"

Po Kwan tak mau mendengar kata-kata adiknya karena saat itu juga ia pun bercucuran air mata. Telapaknya terasa pedih karena baru kali itu ia menampar adiknya tersayang. Tak pernah selama ini ia menyakiti Siao Yen, ah, mau rasanya ia menangis. Tapi ketika ia menahan-nahannya itu dan membiarkan air mata mengalir, tinju terkepal membayangkan Siauw Lam maka anak ini lari dan tak perduli menerjang semak-semak belukar. Bajunya sampai robek-robek ketika ia tergetar oleh lengking dan bentakan-bentakan hujinnya.

Pasti di sana majikannya itu bertempur hebat. Dan ketika ia menerabas halaman belakang dan tepat saat itu Siauw Lam melihatnya maka anak itu dipanggil dan dengan beberapa kali lompatan saja murid Chi Koan ini sudah berhadapan dengan bocah lelaki itu,menyeringai.

"He, mana putera majikanmu. Kau bawa lari, ya, kau sembunyikan. Hayo berikan padaku atau aku menghajarmu lagi!"

Po Kwan berdiri tegak dengan sebatang tongkat di tangan. la telah memperoleh itu dijalan ketika berlari tadi, dengan gagah memandang anak ini dan sikapnya yang tidak kenal takut membuat Siauw Lam menjadi kagum. Bocah ini telah pecundang, namun masih berani juga! Maka ketika ia tertawa dan bergerak maju, merammpas atau merebut tongkat itu segera Siauw Lam mengejek agar anak itu jangan macam-mnacam.

"Berani kau melotot seperti itu, bagus. Kulipat lehermu nanti dan lihat berapa lama kau minta ampun!"

Po Kwan mengelak dan membabatkan tongkatnya. Ia membentak dan ganti menyerang ketika lawan membalik. Lalu ketika ia menerjang dan Siauw Lam menjadi sibuk, mengelak atau menangkis maka tongkat kayu itu empat kali bertemu lengan lawan, tak apa-apa dan Po Kwan terkejut karena telapaknya sendiri merasa pedas!

Jelek-jelek lawannya ini memang mengerahkan sinkang, tak aneh karena bocah itu adalah murid si buta yang lihai. Maka ketika Po Kwan terpental sementara Siauw Lam terus merangsek, tongkat akhirnya ditangkap maka terjadi saling betot di antara dua anak laki-laki itu.

"Lepaskan!"

"Tidak..."

Akan tetapi Po Kwan hanya memiliki tenaga biasa saja sementara lawannya adalah gemblengan seorang ahli silat maka ketika Siauw Lam membentak dan menambah sinkangnya akhirnya tongkat tertarik ke depan tapi hebatnya Po Kwan tak mau melepaskan.

Siauw Lam menggerakkan kaki kanan dan terlemparlah anak itu berdebuk, Po Kwan mengeluh. Dan ketika anak itu menggeliat tak mampu bangun, sekali lagi tendangan itu membuat napasnya sesak maka Siauw Lam berkelebat di dekatnya dan tertawa mengancam, kaki kiri menginjak dada lawan.

"Nah, apa kataku. Mana anak itu atau kau mampus!"

"Bunuhlah, siapa takut! Po Kwan memekik dan melotot. Mati membela kebenaran justeru masuk sorga, Siauw Lam. Bunuhlah aku dan jangan kira aku takut!"

"He, kau sudah berani menyebut namaku? Bagus, kita sudah sama-sama tahu. Bangunlah dan lihat seberapa kau tak takut mati!"

Anak ini melepaskan injakan menggantinya dengan cengkeraman. Po Kwan disambar bangun dan anak itu mengaduh, tangannya ditelikung. Lalu ketika ia menahan sakit sementara Siauw Lam tertawa-tawa, Po Kwan mengeluarkan keringat sebesar jagung maka anak itu dibentak agar memberitahukan di mana Boen Siong.

"Ayo, mana kongcumu, atau tanganmu kupatahkan!"

Po Kwan mendesis pucat. Ia tak dapat melawan setelah dibanting roboh, lawan memang kuat. Tapi karena bukan wataknya untuk bersikap pengecut, apalagi melindungi majikannya maka ia bungkam dan malah mendelik memandang lawan, Hal yang membuat Siauw Lam gemas.

"Kau boleh menyiksa atau membunuhku, tapi aku tak tahu di mana anak itu!"

"Kau benar-benar berani?"

"Aku tidak takut... augh!" Po Kwan yang berteriak menghentikan kata-katanya sudah dibuat kesakitan ketika lawan menyentak ke atas. Siku sebatas pangkal lengan Ďidorong, tulang rasanya hendak patah-patah. Dan ketika Siauw Lam tertawa-tawa melihat lawan terbungkuk, Po Kwan menderita hebat maka anak itu kembali berseru dengan mengangkat sedikit lebih naik lagi.

"Ayo, katakan, atau aku benar-benar mematahkan tanganmu!"

Po Kwan memaki-maki. la bukannya menyerah malah membentak dan meludahi Siauw Lam. Anak itu terkejut ketika wajahnya kotor. Dan ketika ia marah dan menaikkan lagi sentakannya, tak dapat ditahan lagi Po Kwan menjerit maka anak itu roboh pingsan dengan tulang patah.

"Keparat, benar-benar tak tahu diri. Huh, mampuslah di situ, Po Kwan. Siapa tak dapat mencari anak majikanmu itu!" lalu meninggalkan Po Kwan dengan perasaan gemas, anak ini dapat bersikap kejam.

Maka Siauw Lam tak menghiraukan lagi anak laki-laki itu mencari dan mengejar Boen Siong. Ia tak tahu bahwa anak itu telah dibawa uwak Kin, tergopoh dan berlari-lari ke dusun, tempat di mana nenek itu mempunyai rumah. Maka ketika ia berputar-putar saja di hutan, tentu saja tak menemukan maka tiba-tiba terdengar bentakan dan suara gurunya yang dahsyat, memanggil namanya.

"Siauw Lam, cepat kau datang!"

Anak ini meloncat. Ia tersentak oleh panggilan gurunya dan Suara gurunya yang marah jelas menunjukkan sesuatu. la tak tahu telah terjadi perobahan di sana, di tempat Peng- hujin melawan gurunya itu. Maka ketika ia datang dan gurunya berkelebatan bagai rajawali menyambar-nyambar, tongkat di tangan bergerak naik turun menghadapi serangan ternyata ada orang lain di situ membantu Peng hujin itu?"

"Ah!" anak ini tertegun. "Siapa kakek itu?" Siauw Lam berhenti dan ternganga.

Di tempat itu ternyata gurunya menghadapi dua lawan tangguh. Seorang kakek gagah perkasa, bertongkat ular ternyata meliak-liuk di antara bayangan gurunya dan Peng-hujin. Kakek itu cepat sekali bergerak ke sana-sini hingga gurunya kewalahan, ujung tongkatnya selalu menyambar kelopak gurunya yang kosong, atau lubang telinga dan hidung yang tentu akan membuat gurunya roboh karena serangan itu berbahaya. Sekali masuk bakal mengenai otak atau bagian lain kepala yang lunak.

Maka ketika anak ini tertegun karena akhirnya tiga orang itu lenyap berkelebatan, Peng-hujin melengking- lengking maka anak ini bengong sementara Chi Koan dibuat sibuk oleh desing atau sambaran ujung tongkat yang tidak berbunyi dan acap kali lenyap terlindung oleh bunyi pedang! Siapakah kakek ini?

Siauw Lam tak akan mengenalnya. Tadi ketika ia mencari dan bertemu Po Kwan maka kakek itu muncul. Li Ceng sendiri terkejut ketika di sebelahnya tiba- tiba terdengar desir angin dan menyambarlah bayangan kakek itu. Sang nyonya menyangka musuh dan tentu saja pucat. Menghadapi Chi Koan seorang sesungguhnya ia menjadi bahan permainan, berapa kali tusukannya meleset atau tiba-tiba dipukul tangan kiri lawan yang kosong.

Chi Koan tak mempergunakan tongkat di tangan kanannya untuk menghalau serangan-serangan pedang itu. Maka ketika ia melengking-lengking sementara pikirannya penuh was-was oleh gerakan Siauw Lam, anak itu sudah menghilang di dalam rumahnya maka nyonya ini panik dan dua kali ia terpelanting oleh tangkisan Chi Koan yang kuat. Si, buta tertawa mengejek.

"Kau tak dapat melawanku, menyerahlah baik-baik. Hm, dari gerak pedangmu kau masih gesit dan lincah, Li Ceng, dan tentu kau juga masih cantik, menggiurkan. Buang pedangmu dan ikut aku tanpa melawan, anakmu selamat. Atau muridku kusuruh mencekik dan anakmu binasa!

Nyonya ini memaki-maki. Justeru tak melihat Siauw Lam keluar lagi membuat ia gelisah dan tak karuan. Ia tak dapat tahu apa yang terjadi, juga tak menyangka bahwa puteranya dibawa lari uwak Kin. Dan ketika semakin lama anak.itu tak juga keluar, ia bertanya-tanya dan mulai heran maka akhirnya Chi Koan membentak menampar pedangnya. Ia terbanting dan bergulingan.

"Li Ceng, cukup semua ini. Menyerahlah dan aku masih sayang padamu, atau aku mempergunakan kekerasan dan kau terhina!"

"Bunuhlah, seranglah! Aku tak takut dan tak akan menyerah padamu, Chi Koan. Kau manusia licik yang beraninya menyerang di kala suamiku tak ada. Hayo bunuh dan robohkan aku!" sang nyonya bergulingan meloncat bangun dan melepas tujuh senjata rahasia yang cepat di pukul runtuh.

Chi Koan tak dapat melihat lawan kecuali dengan mengerahkan pendengaran, kepalanya sering bergerak ke kiri kanan. Dan ketika ia merasa cukup dan juga gemas, terbayanglah olehnya wanita yang cantik ini maka si buta tersenyum-senyum dan nafsunya mulai bangkit.

Lima tahun di guha tawanan cukup menyiksa, gejolak berahinya tak pernah terlampiaskan. Maka ketika tiba-tiba ia tersenyum dan harum tubuh wanita membuat gairahnya bangkit, ia masih teringat kecantikan lawannya ini maka si buta mulai menggerakkan tongkat dan ketika pedang menusuk mendadak ia membiarkan saja dan secepat itu ujung tongkatnya menotol buah dada.

"Aiihhhhh..!" Li Ceng kaget dan berseru keras. Dua hal yang membuatnya terkejut, pertama adalah pedangnya yang mental bertemu leher Chi Koan sedangkan yang kedua adalah sentuhan ujung tongkat itu. Buah dadanya ditotol! Dan ketika ia pucat melempar tubuh ke kanan, memaki-maki.

Maka selanjutnya Chi Koan melakukan hal-hal kurang ajar yang membuat si nyonya berteriak merah padam. Si buta menggerakkan tongkatnya dan membiarkan pedang menusuk atau menikam, mengerahkan sinkang dan semua serangan itu sia-sia. Chi Koan mendemonstrasikan kekebalannya.

Dan ketika dengan enak ia menyontek sana-sini, ujung tongkatnya menyentuh dan mengganggu bagian-bagian tubuh si nyonya, kontan saja Li Ceng merah padam dan terhina hebat. Dua kali baju pundaknya robek dan wanita ini menjerit keras, kulit pudaknya yang putihnampak. Dan ketika ia bergulingan melempar tubuh dikejar dan kembali disentuh tongkat maka ikat pinggangnya putus dan celananya melorot!

"Chi Koan, kau jahanam kurang ajar. Tak tahu malu, bedebah!"

"Ha-ha, sudah kubilang. Buang pedang itu dan menyerah baik-baik, Li Ceng, aku masih sayang padamu. Atau aku mempergunakan kepandaianku dan kau telanjang di sini!"

Wanita ini memaki-maki sibuk membetulkan pakaiannya sementara pedang menangkis dan menghalau tongkat, si buta mendesaknya dan kini dirinya sebagai pihak bertahan. Tapi ketika Chi Koan tertawa-tawa dan mulai merah, ia membayangkan betapa nikmat mempermainkan lawannya nanti maka saat itulah berkelebat si kakek gagah membantu si nyonya.

"Chi Koan, kiranya kau anak durhaka itu. Pinto menyesal melihatmu tak berubah dan sudah mendengar sepak terjangmu di Go-bi!"

Si buta ini terkejut. Tongkat menyambarnya dari samping dan dari angin sambaran itu ia tahu betapa seorang bertenaga iweekeh menghantamnya tak main-main. Kepala kerbaupun bisa pecah dihantam tongkat ini. Maka ketika ia mengelak dan tongkat menyambar lewat, menghantam tanah hingga menggelegar maka si buta membentak bertanya, kaget.

"Siapa kau. Suaramu seperti tua bangka seorang suci!"

"Pinto Giok Yang Cinjin, suheng dari Giok Kee Cinjin. Barangkali cukup pemberitahuan ini dan sekarang lepaskan Peng-hujin... dess!" tongkat menyambar lagi dan tanah di belakang si buta berhamburan.

Chi Koan lagi-lagi mengelak dan ia tertegun, kiranya suheng dari mendiang Giok Kee Cinjin, tosu yang dulu Pernah menjadi guru bagi Peng Houw dan membawa Peng Houw keluar dari Go-bi, ketika pemuda itu diusir oleh pimpinan Go-bi. Tapi ketika ia tertawa dan suaranya dingin menjawab, tentu saja ia tak takut maka si buta ini menangkis dan membuat benturan keras, si tosu terpental.

"Giok Yang Cinjin, dulu sutemu mampus karena ulahnya yang sombong. Apakah kau hendak mengikuti jejaknya dan minta mati pula? Majulah dan sambut pukulanku kalau kau berani!"

Chi Koan menggerakkan lengan kiri dan Hok-te Sin-kang menyambar. Ia tak takut setelah tahu siapa lawannya, biarpun dari angin pukulan itu ia tahu balhwa lawanpun lihai. Dan ketika si tosu menangkis namun terpental, Hok-te Sin-kang memang hebat maka kakek ini terbelalak dan berubah mukanya.

"Siancai... memang hebat tapi jangan Kau kira pinto takut!" tosu itu menerjang lagi,dan ternyata ia lihai mainkan tongkat.

Li Ceng tentu saja girang dan menyatakan terima kasih, kagum karena meskipun terhuyung akän tetapi kakek itu dapat menahan pukulan Chi Koan. Dan ketika ia menyerang pula dan dapat membalas, Chi Koan sibuk kembali maka nyonya itu bangkit semangatnya dan untuk sejenak si buta didesak.

Tapi Chi Koan bukan sembarang pemuda. Sebelum memiliki warisen Bu-tek-cin-keng dulunya dia adalah murid Tujuh Siluman Langit, ilmunya beragam dan sesungguhnya ia belum mengeluarkan semua ilmunya, apalagi menghadapi Li Ceng.

Maka ketika Giok Yang Cinjin muncul dan tosu itu ternyata suheng dari mendiang Giok Kee Cinjin, tongkatnya lihai sementara geraknya juga cepat dan tangkas tiba-tiba Si buta ini merobah gerakan dan berkelebatlah dia mempergunakan Lui-thian-to-jitnya yang hebat. Sekali membentak tubuhpun lenyap di balik bayang-bayang tongkat, si buta itu juga mempergunakan tongkatnya yang panjang untuk menghadapi lawan.

Dan ketika ia mengibaskan tangan kiri untuk melepas pukulan-pukulan Hok-te Sin-kun, angin menderu dan menyambar dua orang itu ternyata dengan empat bagian tenaganya saja Giok Yang Cinjin dan Li Ceng tak mampu menandingi, terhuyung dan Li Ceng dua kali roboh.

"Ha-ha, bagaimana sekarang. Mampukah kau membela nyonya ini!"

Sang kakek kagum. Dari putaran tongkat si buta keluar angin dorongan yang amat kuat, tongkatnya sendiri terpental dan sering harus dicekal kuat-kuat kalau tak ingin lepas. Tapi ketika ia membentak dan merobah cara bertempurnya, angin tongkatnya tak terdengar lagi maka Chi Koan tertegun karena tahu-tahu bagai ular memagut, tongkat lawan sudah di depan hidung atau kelopaknya, bercuit setelah dekat!

"kau mempergunakan kelemahanku, licik. Jangan kira mataku buta lalu dapat seenaknya kau merobohkan aku, tosu bau. Meskipun tak bermata namun aku bertelinga. Keluarkan semua kepandaianmu dan lihat seberapa jauh kau dapat berbuat licik!"

Giok Yang Cinjin merah. Memang ia mengeluarkan silat tongkat yang bernama Hong-hui-tung-kun (Udara Tenang Tongkatpun Datang), sebuah ilmu silat yang sepenuhnya mengandalkan tenaga lweekeh (dalam) dan dengan demikian ia dapat mengatur deru serangannya. Kalau si buta demikian lihai mempergunakan telinganya maka satu-satunya jalan harus melenyapkan suara dari sambaran tongkat, baru setelah dekat angin itupun terdengar lagi.

Namun karena Chi Koan memiliki Lui-thian-to-jit (Kilat Menyambar Matahari) dan ilmu meringankan tubuh ini membuat si buta melesat sana-sini dengan amat cepatnya, bagai kilat saja maka setiap ujung tongkat hampir mengenai sasaran pemuda itupun dapat mengelak. Dan ini membuat Giok Yang terkejut, kagum bukan main.

"Bagus itu kiranya Lui-thian-to-jit yang pinto dengar. Hebat, tapi sayang jatuh ke tanganmu, Chi Koan. Kau tak pantas mewarisi kepandaian Go-bi dan lebih-lebih sebagai bekas muridnya!"

"Tak usah banyak cakap. Pergi atau mampus di sini Giok Yang Cinjin, biarkan aku menangkap wanita ini atau kau menyusul arwah sutemu!"

Kakek itu membentak. Setelah ia kagum dan memuji Lui-thian-to-jit tentu saja ia tak mau mundur. Bukan maksudnya menjadi gentar, ia tak takut. Maka ketika kakek itu menerjang lagi dan di sana Li Ceng memekik penasaran, mereka mengelilingi Chi Koan mendadak terdengar kekeh dan tawa merdu seorang wanita.

"Heh-heh, muridku semakin hebat saja. Ih, kau semakin matang dan lihai saja, Chi Koan, juga semakin tampan. Aih, kalau ada tosu bau ini biar aku membantumu!"

Giok Yang Cinjin terkejut. Dari balik hutan muncul seorang wanita genit rambutnya terurai, jalannya agak terpincang namun tiba-tiba sudah di situ. Dan ketika ia dekat dan langsung menyambarkan rambutnya, bagai ular mematuk tiba-tiba si buta maupun Li Ceng berseru tertahan.

"Kwi-Bo!"

Kakek itu mengelak. Giok Yang Cin-jin sendiri tak mengenal wanita ini kecuali mengelak dan cepat menyelamatkan diri. Seruan Li Ceng dan si buta membuat ia mengerutkan alis. Namun ketika wanita itu terkekeh dan menyerangnya lagi, meledak dan menjeletarkan rambutnya maka si cantik itu menjawab si buta,

"Benar, aku. Kau rupanya tak melupakan gurumu, Chi Koan. Jahat benar orang-orang Go-bi itu membutaimu. Biar kita labrak nanti dan tosu bau ini kita robohkan dulu!"

Chi Koan tertegun mendengar isak tangis. Itu adalah Kwi-bo bekas gurunya, orang yang disangkanya tewas karena Tujuh Siluman Langit akhirnya celaka digigit ular Tiga Warna, ular paling berbisa yang dulu dipunyai gurunya Beng Kong Hwesio (Baca Prahara Di Gurun Gobi).

Maka ketika ia tercengang tapi tentu saja gembira, Chi Koan tiba-tiba tertawa bergelak mendadak ia menerkam dan menyambar Li Ceng, tak perduli lagi kepada kakek itu karena Kwi-bo menyerangnya.

"Bagus, terima kasih, Kwi-bo. Meskipun sebenarnya aku dapat merobohkan dua orang ini namun tak ada jeleknya kau membantu. Aku yang ini dan kau tua bangka itu!"

Li Ceng kaget sekali. Setelah Giok Yang diserang Kwi-bo dan datangnya iblis wanita îtu benar-benar membuatnya kaget, tak menyangka bahwa si iblis masih hidup maka terkaman dan lompatan kilat Chi Koan membuatnya bagai memijak ranjau saja. Begitu cepatnya Chi Koan menyambar dan dua tangan si buta mengepung dari kanan kiri, ia dicegat. Dan ketika ia membabatkan pedang sambil membanting tubuh, pedangnya patah maka jari si buta mengenai punggungnya dan tak ayal lagi pakaian di bagian ini robek memanjang.

"Breeetttt...!"

Si nyonya memekik dan bergulingan merah padam. la mendengar tawa lawannya dan Chi Koan mengejar, suara si nyonya menjadi patokannya. Dan ketika kembali Chi Koan menerkam dan Li Ceng menjerit, pahanya tersentuh maka nyonya itu pucat karena secepat itu Chi Koan menerkam tak mau melepasnya.

"Hi-hik, putih dan mulus, bersih. Aih, totok dan robohkan dia, Chi Koan. Raba sekujur tubuhnya dan nikmati kesenanganmu!"

Si buta tertawa bergelak. Saat itu ia tersengat oleh birahi yang membakar, paha nyonya ini memang mulus, ia mencengkeramnya kuat-kuat. Tapi ketika ia menyeringai sementara Li Ceng berteriak mengaduh, malu dan marah tiba-tiba saja sebatang tongkat menghantam tengkuk si buta ini.

"Lepaskan wanita itu.... dess!"

Chi Koan terpelanting dan kaget serta sadar. Giok Yang Cinjin, kakek yang marah itu melesat di bawah ketiak kiri, lolos dari serangan lawannya ini dan seketika menghantam si buta. Chi Koan tergetar oleh nafsunya dan lengah. Tapi ketika si buta itu terpelanting dan mendesis, tak apa-apa maka kakek itu berseru agar Peng-hujin berganti lawan, atau melarikan diri.

"Pinto menghadapi pemuda ini, kau wanita itu. Atau hujin silakan selamatkan diri nanti pinto menyusul!"

Li Ceng bergulingan meloncat bangun. Ia terlepas dari cengkeraman Chi Koan. namun jatuh ketika meloncat, pahanya sakit, nyeri dan merah padam karena sebagian besar kakinya telanjang. Giok Yang Cinjin sendiri harus melengos melihat keadaan wanita itu, betapa malunya Peng-hujin. Namun ketika kakek itu sudah menyerang Chi Koan dan si buta menggeram penuh gusar, ia terpaksa melayani kakek ini maka Kwi-bo terkekeh membokong kakek itu namun Li Ceng tentu saja tak mungkin membiarkan.

"Locianpwe, aku tak mungkin melarikan diri. Kalau jahanam Chi Koan ini tak mampus biarlah aku yang roboh, atau wanita ini lebih dulu kubunuh!" Li Ceng membentak dan karena Kwi-bo lebih dekat otomatis ia menyerang wanita itu.

Kwi-bo meledakkan rambutnya namun Li Ceng menangkis. Dan ketika keduanya sama terpental dan wanita itu terkekeh, Peng-hujin menyerangnya gusar akhirnya pertandingan berganti lawan.

"Plak-dess!" dua wanita itu bertanding dan Kwi-bo pun tak berani main-main. Tangkisan Peng-hujin mengandung tenaga Lui-kang dan itu adalah warisan Lui-cu (Mutiara Geledek) Lo Sam. Jelek-jelek wanita ini adalah murid sekaligus cucu pendekar tua itu, jago Kun-lun yang tewas oleh pukulan Chi Koan.

Maka ketika mereka bertanding sementara Chi Koan menghadapi kakek itu, tongkat panjang ditangannya bergerak mengelak dan menangkis maka Giok Yang Cinjin sendiri harus berjuang keras mengalahkan lawannya yang amat tangguh ini, hal yang tampaknya sia-sia.

Chi Koan tertawa mengejek dan mulai mengerahkan sinkangnya. Senjata di tangan lawan sering menggebuk dan mengenai tubuhnya, mental karena ia melindungi diri dengan baik. Dan ketika si kakek berloncatan menghindari tongkatnya, Giok Yang tampak berhati-hati dan kagum namun juga gelisah maka dua orang itu bertanding dengan kakek ini sering menghindari lawan dengan cara melompat tinggi atau membuang tubuh jauh- jauh kalau tongkat di tangan Chi Koan menderu bagai air bah.

Betapapun kakek ini mengakui lawan dan Hok-te Sin-kang yang bergetar di badan tongkat membuat senjata di tangan si buta itu amat hebat. Kesiur sambarannya saja sering membuat tubuhnya terhuyung. Dan ketika kakek ini mengelak dan berlompatan membalas tiba-tiba Chi Koan membentak dan dengan tubuh merendah di tanah mendadak tongkatnya menghantam lambung kakek itu.

"Desss!" si kakek meloncat dan terbang ke atas. Hampir saja Giok Yang Cinjin terkena karena begitu cepatnya si buta bergerak. Tapi ketika ia melayang ke atas dan turun ke tanah tiba-tiba Chi Koan melepaskan satu tangannya dan tangan kiri itu menghantam melepas Hok-te Sin-kun.

"Ha-ha, sekarang selesai. Kau tangkis atau mampus!"

Sang kakek terkejut. Dia baru saja melayang tinggi ketika menghirdari tongkat, kini di saat turun tiba-tiba menghadapi Hok-te Sin-kang yang dahsyat. kakek ini pucat. Dan karena tak ada wakt untuk berpikir panjang, membiarkan pukulan menghantam atau menangkis akhirnya kakek ini menggerakkan tangan kiri menyambut sementara tongkat di tangan-kanan balas hantam ubun-ubun Chi Koan.

"Dess!" Kakek ini mengeluh dan terbanting. Ternyata ia tak dapat menerima Hok-te-sin-kang itu sebagaimana diduga, sebelumnya sudah berkali-kali ia terpental dan terdorong oleh pukulan ini. Maka ketika ia terlempar sementara tongkatnya pecah mengenai kepala Chi Koan, si buta itu memang hebat maka kakek ini melontakkan darah dan roboh. Saat itu justeru Li Ceng mengamuk dan mendesak Kwi-bo, Lui-kangnya (Pukulan Geledek) mengenai dada wanita ini hingga Kwi-bo menjerit.

"Aduh, tolong, Chi Koan...!"

Si buta terkejut. Ia telah menambah tenaganya untuk cepat merobohkan kakek itu, maksudnya segera membunuh kakek ini dan merobohkan Li Ceng. Tapi ketika bekas gurunya menjerit dan telinganya menangkap suara berdebuk, Kwi-bo bergulingan terpukul maka si buta ini meloncat dan menyambar Li Ceng dengan lima jari mencengkeram.

"Hujin, awas. Lempar tubuhmu!"

Li Ceng beringas. Saat itu ia di atas angin, pukulannya membuat Kwi-bo terjengkang dan lawannya itu bergulingan. Tapi ketika tiba-tiba terdengar teriakan dan jari-jari Chi Koan di depan hidungnya, ia kaget sekali maka ia berteriak melempar tubuh namun sempat juga kuku si buta menggurat punggung.

"Aiihhhh!" Li Ceng pucat dan ngeri melihat ini. Ia hampir roboh dan meloncat bangun di sana, menggigil, kebetulan dilihatnya kakek itu muntah darah. Dan ketika wanita, ini tertegun sementara Giok Yang Cinjin bangkit gemetar, tertawa memandang sisa tongkat.

Maka kakek itu berseru gagah agar ia mundur dan menyelamatkan diri, padahal si kakek tak mungkin kuat bertempur karena luka dalam, hujin. Pinto akan menghadapi mereka ini... ugh... pergi dan cari anakmu...!"

Wanita ini pucat. Tiba-tiba ia melihat kegagahan luar biasa yang membuatnya terharu. Belum saling kenal tahu-tahu kakek ini menolongnya, siapa tak ingin menangis. Dan ketika kakek itu terhuyung namun melontakkan darah segar lagi, jelas semakin payah tiba-tiba Li Ceng menjerit dan menyambar kakek ini. Tak mungkin membiarkan kakek itu tewas sementara dia harus mencari anaknya.

"Locianpwe, kau luka dalam. Tak mungkin aku membiarkanmu dan mari selamatkan dirimu dulu!"

"Tidak, ugh... pinto, eh... pinto masih kuat, hujin. Kalau mereka itu ingin membunuhku tak apa-apa. Pinto sudah tua. Biarkan pinto menghadapi mereka dan kaucari anakmu...!"

Li Ceng tersedu-sedu. Ia tak menghiraukan kata-kata ini apalagi ketika si kakek tiba-tiba jatuh, untung ia mencekal dan memegang tangannya erat-erat. Maka ketika ia berkelebat dan lari lewat belakang, di sana menunggu Siauw Lam.

Maka anak yang bengong dan terkejut itu tiba-tiba ditendangnya. Siauw Lam berkelit tapi kalah cepat, terlempar dan berteriak dan terbanglah nyonya itu melompati pagar. la tak mendengar uwak Kin lagi atau Po Kwan, juga Siao Yen.

Dan ketika tubuhnya melayang ke atas dan lenyap di luar tembok belakang Kwi-bo berteriak maka Chi Koan tertegun tapi bingung tak mampu mengejar, matanya buta dan tak mungkin melompati tembok tanpa ada yang membimbing.

"Di mana kau!" tiba-tiba ia membentak memanggil muridnya. "Ke sini kau, Siauw Lam, pegang tanganku dan cari wanita itu!"

Siauw Lam jatuh bangun menghampiri gurunya. Kwi-bo sendiri sudah meloncat dan terbang mengejar dan tinggallah Chi Koan berdua, muridnya itu tergopoh-gopoh. Dan ketika anak ini disambar lalu berada di pundak gurunya, memberi petunjuk-petunjuk maka si buta sudah melesat dan terbang ke atas.

Namun Siauw Lam tak tahu keadaan di situ. Li Ceng atau Peng-hujin melarikan diri lewat jalanan memutar dan anak itu maupun Kwi-bo tak tahu. Maka ketika Siauw Lam bingung tak melihat Peng-hujin, Kwi-bo juga berkelebat muncul memaki-maki maka di luar hutan mereka ini berhenti. Chi Koan mengerutk alisnya.

"Coba kau bawa aku ke pohon paling tinggi. Pegang erat-erat dan sebutkan ranting yang harus kuinjak, Siauw Lam. Lihat dari atas dan jangan sampai lawan kita lolos!"

"Aku sudah mencarinya, tak ada!" Kwi- bo berseru dan mengerti maksud Chi Koan. "Di sekeliling ini tak ada bayangan wanita itu, Chi Koan. Percuma kau menyuruh muridmu. Hanya ada dusun di luar sana!"

"Hm, begitukah?" si buta kecewa. "Kalau begitu sia-sia perjalananku, Kwi-bo. Sialan benar keledai buruk itu, keparat!"

Kwi-bo menarik napas dan memandang bekas muridnya ini. Ia tiba-tiba mendekat dan memegang lengan Chi Koan, perasaan kagum dan rindunya bangkit. Lalu ketika ia berbisik dan merangkul pemuda itu, terisak tiba-tiba ia sudah menjatuhkan tubuh dan mencium pemuda ini, tak perduli Siauw Lam.

"Chi Koan, sungguh tak kira kita bertemu lagi. Kudengar kau ditangkap Go bi, bertahun-tahun ditawan di sana. Aku tak berani menengokmu kerena takut kepada Peng Houw!"

"Hm, kau!" Chi Koan mendorong dan menjauhkan diri dari wanita ini, kelopaknya berkejap-kejap. "Bagaimana masih hidup, Kwi-Bo. Bukankah dulu ular berbisa itu menggigitmu!"

"Benar, bolehkah kita berdua? Aku akan menceritakannya, Chi Koan, tapi anak ini kurasa mengganggu."

Chi Koan tersenyum. Ciuman di pipinya tadi membuatnya tergetar, Kwi-bo memeluk dan merapatkan pula dadanya yang membusung, darah mudanya bangkit. Dan karena ia dan wanita ini bukan orang-orang asing lagi, iapun heran bagaimana bekas gurunya ini dapat hidup akhirnya ia menyuruh muridnya mencari makanan.

"Aku ingin berdua dengan temanku ini, kau pergilah dan tinggalkan kami sebentar. Cari makanan atau apa saja untuk kita, Siauw Lam. Jangan datang kalau belum kupanggil."

Anak itu mengangguk. Sejak tadi sesungguhnya Siauw Lam memperhatikan sahabat gurunya ini, seorang wanita cantik yang rambutnya riap-riapan dan pakaiannya berkesan seenaknya. Baju di dada itu sedikit terbuka, perutnyapun kelihatan sedikit dan Siauw Lam meleletkan lidah.

Ia kagum oleh keindahan tubuh wanita ini, namun karena masih anak-anak dan belum cukup dewasa, iapun belum banyak mengerti liku-liku pria wanita maka iapun tak membantah dan melompat pergi.

Dan begitu ia pergi segera Kwi-bo tersenyum aneh, mengangguk dan gembira lalu berbaringlah wanita ini tak malu-malu di pangkuan Chi Koan. mereka memang duduk di bawah pohon. Dan ketika anak itu lenyap mencari makanan, Chi Koan diusap dan dibelai gurunya ini maka sambil bercerita wanita inipun mulai mémbuka kancing baju Chi Koan.

"Ceritaku sederhana saja, aku selamat karena kebetulan. Maksudku bahwa bisa atau racun Ular Tiga Warna itu habis dayanya karena aku orang terakhir yang digigit. Nah, itu saja ceritaku, Chi Koan, tapi meskipun begitu kakiku pincang. Ada semacam rasa kaku di betis."

"Hm, begitu sederhana? Dan ke mana kau selama ini? Apakah Ďi Hek-see-hwa (Bunga Pasir Hitam) itu kau tak dibunuh musuh- musuhmu?"

"Tak ada yang menghíraukan aku maupun lainnya, Chi Koan. Mereka menganggap aku dan bekas guru-gurumu tewas. Aku juga berpikir begitu, waktu itu seketika pingsan. Tapi ketika aku sadar dan melihat diriku hidup maka kutinggalkan tempat itu dengan beringsut-ingsut, tubuhku sakit semua!"

"Hm.. dan kau rupanya ketakutan. Kau tak pernah muncul selama ini."

"Benar, aku tak berani. Juga biarlah semua orang menganggap Tujuh Siluman Langit binasa semua. Aku mendengar nasibmu yang ditawan itu, Chi Koan, siapa melindungiku kalau aku bertemu musuh-musuh lihai. Aku memang bersembunyi."

"Tapi kau sekarang muncul!"

"Karena aku mendengar perbuatanmu di Go-bi, kau lolos!"

"Lalu bagaimana sampai di sini?"

"Hi-hik, aku tahu kecerdikanmu, Chi Koan, tahu semua sepak terjangmu. Kalau kau berbuat seperti itu siapa lagi tujuanmu kalau bukan keluarga Peng Houw!"

"Eh, maksudmu...?"

"Hi-hik, tak usah berpura-pura. Aku mengenalmu sejak kecil, Chi Koan, mengenal semua isi perutmu. Kalau kau lolos dan membuat gempar Go-bi tentu kau sengaja memancing Peng Houw agar ke sana, dan kau dengan mudah lalu keluar mengganggu anak isterinya!"

"Kau tahu?" Chi Koan tertegun.

"Kenapa tidak?" Kwi-bo menjawab geli. "Kau bukan orang yang dapat menyembunyikan segalanya dari aku, Chi Koan. Kita sudah kenal sejak lama. Aku dapat membaca pikiranmu itu!"

"Hm," Chi Koan mengangguk-angguk, tertawa. "Kau benar, Kwi-bo, selalu benar. Sekarang apa jalan pikiranku kalau kau dapat membacanya."

"Hm, apalagi!" Kwi-bo mencengkeram paha si buta, kancing itu telah lepas. "Kau perlu penyegaran, Chi Koan, di Go-bi tentu kau tersiksa. Hayo, benar atau tidak!" lalu ketika wanita itu terkekeh dan melepas pakaian sendiri akhirnya Chi Koan terguling ditindih tubuhnya.

Kwi-bo bernafsu menciumi si buta ini, tangannya bergerak bagai ular merayap saja, cepat. Lalu ketika pemuda itu tertawa dan balas mencengkeram. Chi Koan pun membiarkan dirinya diciumi akhirnya satu pagutan membuat keduanya melekat dan mengeluh.

Kwi-bo bergulingan mengajak pemuda ini melepaskan hasratnya, Chi Koanpun sudah bertahun-tahun ini mengekang dirinya. Maka ketika wanita itu mulai dan menyerbu secara ganas tak ayal pemuda ini menyambut dan terlepaslah semua pakaian di tubuh terbakar oleh nafsu yang mendidih.

Chi Koan melupakan urusannya dengan Li Ceng dan mendapat pengganti gurunya ini, bekas guru yang genit dan selalu menyala-nyala oleh api berahi. Kwi-bo memang wanita cabul yang tak kenal puas. Dan ketika mereka tenggelam oleh cinta yang kotor, cinta rendah.

Maka di sana Li Ceng membawa Giok Yang Cinjin menuju dusun. Ia menduga bahwa uwak Kin tentu pulang. Tapi ketika ia tiba di sana dan berkelebat memasuki rumah pembantunya ini, sebuah gubuk sederhana berpelataran sempit tiba-tiba ia berdetak mendengar jerit tangis Siao Yen.

"Uwak Kin, bangunlah.... bangunlah...!"


Kabut Di Telaga See Ouw Jilid 06

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-beng Sian-su Karya Batara

Kabut Di Telaga See Ouw Jilid 06


"TIKUS dari mana ini berani mengganggu kebun orang. He, lihat dan perhatikan baik-baik, pencuri cilik. Itu bukan milikmu dan aku yang menanamnya susah payah!'

Siauw Lam terkejut. la tak menyangka ada orang di situ dan muncullah dua kakak beradik itu, Po Kwan dan adiknya. Tapi ketika ia menyeringai betapa mereka adalah anak-anak sebayanya, bukan orang dewasa iapun tertawa dan membuang kulit pisang seenaknya, mengejek.

"Ha, siapa kau. Model dan tampangmu seperti ini bisa memiliki kebun? Memangnya kau tuan tanah atau anak hartawan kaya? Jangan sombong, kau paling-paling anak petani melarat, cacing cilik. Tak pantas kau memiliki kebun atau tanah ini. Akuilah!"

Po Kwan marah. la telah melompat dan berhadap-hadapan dengan lawannya ini ketika adiknya menggamit dan memberinya isyarat hati-hati. Siao Yen melihat betapa Siauw Lam rupanya bukan anak sembarangan, matanya berkilat dan sikapnya yang pemberani itu jelas menunjukkan anak ini tak punya takut, seperti anak jagoan saja.

Tapi karena sang kakak marah oleh semua kata-kata itu, memang benar Ia mengenakan pakaian seperti anak petani maka Po Kwan membentak dan menudingkan telunjuknya.

"Kau! Tak usah kusangkal kebun ini bukan milikku, tapi milik majikanku yang harus kujaga. Kalau kau sembarangan saja memetik dan mengambil buahnya apakah harus kudiamkan saja? Eh, aku tak marah kalau kau segera meminta maaf dan bicara secara sopan, tikus cilik, Sebutkan namamu dan jangan kurang ajar!"

"Ha-ha, kau cacing cilik yang banyak tingkah. Terus terang aku tak tahu bahWa ada kau di sini, tapi kalaupun tahu aku juga tak takut. Eh, siapa sombong dan kurang ajar? Bukankah kau yang lebih dulu bersikap kasar? Kau membentakku, bikin kaget saja!"

"Aku bersikap kasar karena kau senaknya saja nyelonong di kebun orang!"

"Aku tak tahu ini ada pemiliknya..."

"Bohong, masa kebun demikian rapi dan terawat tak ada pemiliknya!"

"Eh... eh, memangnya kau mau apa? Kalau aku lapar apakah harus menahan saja penderitaanku? Salahmu kenapa pisangmu demikian bagus dan menggiurkan, cacing cilik. Kau tak usah banyak cakap atau kupukul nanti!"

Po Kwan menjadi marah. Kalau saja lawannya ini itu sedikit halus dan tidak banyak mulut tentu dia mau memaafkan dan kalau perlu memberinya makanan lain, Buah-buahan di situ boleh diambil asal betul-betul diperlukan, apalagi bagi yang lapar. Tapi kalau yang datang adalah pencuri seperti ini dan sikapnyapun tak mau kalah, kebun demikian rapi dianggap tak ada pemiliknya.

Maka kebohongan seperti ini cukup bagi anak itu untuk menilai lawan seperti apa. Dan anak itupun akan memukulnya, begitu berani, kurang ajar! Maka ketika ia berteriak dan menerjang ke depan,tinju Po Kwan menyambar mendahului tiba-tiba lawan berkelit dan Po Kwan hampir terjerembab oleh dorongan tubuhnya sendiri yang luput memukul ke depan.

"Ha-ha, mulai dulu. Bagus, kau menyerang aku!"

Po Kwan membalik dan berteriak. Ia memukul lagi namun Siauw Lam berkelit, tiga kali berturut-turut sampai akhirnya lawan menjegal kakinya. Dan ketika ia berdebuk dan mengaduh kesakitan, anak itu adalah murid si buta yang lihai mendadak Siao Yen memekik dan menubruk serta menggigit anak ini, membela kakaknya.

"Kau tikus cilik yang jahat, tak tahu malu!"

Siauw Lam terkejut. Lawan meloncat dan tahu-tahu menerkam punggungnya, menggigit. Dan ketika ia berteriak dan meronta lalu membanting, anak itu terlempar lewat pundaknya maka Siao Yen menjerit dan berdebuk dengan pekik kesakitan.

Hal ini, membuat marah sang kakak dan Po Kwan menjadi kalap. la masih kesakitan oleh jegalan tadi namun meloncat bangun, membentak dan ményambar sebatang kayu lalu membabi-buta menyerang lawan.

Tapi ketika Siauw Lam mengelak dan memaki-maki, untungi ia selalu berhasil menghindari serangan itu maka tiba-tiba ia membentak dan satu kibasan tangan kirinya mengenai perut Po Kwan.

"Ngek!" Anak itu terjengkang dan pingsan. Serangan itu mengenai ulu hatinya dan berakhirlah perkelahian. Siao Yen menjerit dan meloncat terhuyung, hendak menyerang Siauw Lam dan saat itu bayangan orang lain datang.

Siauw Lam terkejut dan buru-buru pergi, meloncat dan keluar dari kebun menerabas pagar Lalu ketika ia menghilang sementara Siao Yen tersedu-sedu bayangan itu tergopoh dan kiranya uwak Kin maka nenek ini berseru tertahan melihat apa yang terjadi. Po Kwan meringkuk di sana.

"Eh, apa yang terjadi. Ada apa, ini!"

Siao Yen menangis dan meratapi kakaknya. la mengguncang-guncang tubuh kakaknya itu sampai akhirnya nenek ini berlutut dan memeriksa. Uwak Kin juga bingung. Tapi ketika nenek ini melihat segayung air minum dan menyiramkan itu ke muka Po Kwan, si anak sadar dan mengeluh maka Siao Yen mengguguk melihat kakaknya hidup, tadi disangka mati.

"Jahat, anak itu jahat! Ah, syukur kau tak apa-apa, Kwan-ko. Aku menyangkamu mati. Hu- huu... bocah itu anak iblis!"

"Apa yang terjadi," uwak Kin tergopoh mengurut-urut kepala dan tubuh Po Kwan, sekilas melihat bayangan Siauw Lam tadi. "Kau berkelahi dengan siapa, Po Kwan. Ada apa berkelahi. Siapa anak itu dan mau apa!"

"Dia anak jahat, pencuri. Mengambil pisang dan tomat seenaknya saja. Lihat perbuatannya itu, uwak Kin. Betapa ia merusak pagar dan membuang sisa-sisa makanan. Anak itu iblis!"

Sang nenek terbelalak. Ia mengangguk- angguk dan memang melihat itu, Siao Yen tampak marah. Tapi ketika ia membangunkan Po Kwan dan anak ini merasa nanar, lambungnya juga sesak maka nenek itu berkata bahwa biarlah mereka pulang.

"Aku datang untuk memanggil kalian, kongcu (tuan muda) menangis terus. Cobalah kalian diamkan karena biasanya kalian berdua dapat menghibur anak itu. Marilah, hujin (nyonya) juga memanggil."

"Tapi... tapi kebun ini..."

"Nanti dapat dilihat lagi, Po Kwan. Aku bingung bagaimana mendiamkan anak majikan. Sudahlah kalian pulang dan nanti hujin marah."

Po Kwan tertatih dan meringis menahan sakit. la masih marah oleh lawannya tadi tapi uwak ini ternyata memanggil. Biasanya Boen Siong atau putera majikan itu memang akan diam kalau sudah dihibur mereka, mungkin karena Sama-sama anak.

Maka ketika mereka pulang namun berkali-kali harus berhenti di tengah jalan, Po Kwan sering mendekap lambungnya maka di sana Siauw Lam sendiri sudah berlari cepat meninggalkan tempat itu, tertawa-tawa.

Anak ini geli teringat betapa lawannya terjungkal mengaduh. Kalau saja ia tak sedang mendapat tugas gurunya dan cepat-cepat kembali mungkin ia akan memuaskan hatinya dengan menghajar lagi. Hanya terhadap Siao Yen ia merasa kagum, anak perempuan itu dinilainya berani.

Tapi karena ia harus melaksanakan tugas dan di sana gurunya sedang menunggu, juga perutnya telah kenyang oleh pisang dan buah-buahan di kebun tadi maka ia buru-buru menuju rumah yang katanya ada di dalam hutan itu, sedikit masuk ke dalam.

Tak sukar bagi Siauw Lam menemukan rumah itu, apalagi tangis bayi melengking- lengking. Tapi ketika ia berhenti sejenak dan ragu, rumah itu tidak begitu besar namun agaknya cukup berwibawa, pagarnya tinggi akhirnya ia ingat barang bawaan sebagaimana biasanya dibawa kaum pengemis, mangkok butut!

Dan tersenyum mengeluarkan ini, mangkok itu sudah dipersiapkan di balik baju maka dengan sedikit berdebar namun langkah berani ia membuka pintu pagar dan masuk mengetuk pintunya.. Anak ini cepat menguasai diri dan ketenangannya lagi.

"Mohon belas kasihan. suaranya menembus celah ruangan. "Aku lapar dan mohon makanan, hujin. Berilah sedekah dan biarlah doaku untuk kebahagiaan rumah ini!"

Li Ceng tertegun. Waktu itu, seperti kata uwak Kin puteranya Boen Siong menangis terus. Anak, ini sudah tiga jam yang lalu rewel saja, tak mau diam dan menendang-nendang. Maka ketika tiba-tiba di luar rumahnya terdengar suara nyaring dan jelas itu suara anak laki-laki. Ia terkejut.

Maka Boen Siong yang digendongnya itu lalu dibawa keluar dan melihat siapa yang datang. Dan nyonya ini tentu saja terbelalak karena anak lelaki sebaya Po Kwan tahu-tahu mengemis di pintunya. Aneh kapan ada pengemis datang ke situ!

Siapa kau, serunya. "Kenapa di tempat sesepi ini datang mencari makan!"

"Ampun... Siauw Lam menunduk dan pura-pura gemetar, sekilas melihat rumah itu sepi. "Aku kesasar tanpa tujuan, hujin, aku lapar. Mohon sedekah dan apa saja kuterima dengan senang hati. Doaku untuk kebahagiaan rumah ini!"

Li Ceng mengerutkan kening. Sejak puteranya rewel terus sesungguhnya ia tak senang. Kini melihat seorang bocah menjadi pengemis iapun semakin tak senang lagi. Namun karena mangkok butut itu gemetar disodorkan dan ia rupanya harus memberi terpaksa ia menahan gemas maka diberinya uang logam di dalam mangkok. Namun anak itu menggeleng.

"Maaf, perutku lapar, hujin, butuh makanan, Aku tak butuh uang karena di mana aku dapat membeli. Bolehkah kudapat sebungkus dua bungkus nasi pengganjal perut!"

Nyonya rumah sadar. Tiba-tiba Li Ceng menarik napas dan membuka pintu lebar-lebar, mempersilakan anak itu masuk dan menyuruh mengambil makanan di belakang. Dan ketika šiauw Lam berseri karena segera dapat memeriksa, ada siapa sajakah di dalam rumah ini maka anak itu terbungkuk-bungkuk menuju belakang. Matanya meliar kiri kanan dengan cepat.

"Ambillah sendiri, anakku rewel. Biarlah uang itu untukmu nanti di tengah jalan!"

“Terima kasih, doaku untuk kebahagiaan rumah ini, hujin. Terima kasih..."

Li Ceng tak memperhatikan anak itu lagi setelah Siauw Lam mendapatkan nasi dan lauk- pauk. Boen Siong menangis lagi dan menendang-nendang, ia sibuk mendiamkan. Dan ketika anak itu leluasa memeriksa seluruh rumah, ternyata hanya tiga kamar saja yang ada di dalam, berikut sebuah dapur dan ruangan tamu maka saat itulah Po Kwan dan adiknya datang, juga uwak Kin.

"Kau...!" anak ini kaget melihat Siauw Lam mengunyah nasinya pelan-pelan. Ia masuk dari belakang dan Siauw Lam tentu saja terkejut. Ia juga tak menyangka bahwa anak yang dihajarnya tadi adalah penghuni rumah ini. Maka ketika ia berdiri sementara Siao Yen juga memekik, kaget dan marah tiba-tiba Po Kwan menerjang dan membentak menyambar sapu lidi.

"Jahanam keparat, kiranya kau di sini!"

Siauw Lam mengelak dan membuang sisa nasinya. Ia kaget dan tercengang ketika tiba-tiba lawannya muncul di situ. Tapi ketika ia tertawa, dan mengelak lagi, sapu lewat di samping tubuhnya maka ia menendang dan mencelatlah Po Kwan oleh kaki yang kecil kuat itu, berdebuk dan terbanting dan seketika ribut-ribut ini didengar Li Ceng.

Nyonya rumah menenangkan anaknya yang rewel tak mau berhenti, terkejut ketika Po Kwan dan anak pengemis itu berkelahi. Dan ketika ia keluar dan melihat perkelahian itu, Siao Yen memekik dan menyambar sapu lain mendadak anak itu melompat dan melarikan diri.

"Heh-heh, kiranya kau penghuni rumah ini, tak usah kulayani kau cacing cilik. Aku telah mendapatkan makanan dan kenyang di sini. Cukup, lain kali.”

Po Kwan dan adiknya memaki-maki. Mereka bangun dan mengejar namun sesosok bayangan berkelebat, itulah majikan mereka yang tiba-tiba saja menjadi tak senang. Maka ketika Li Ceng berjungkir balik di depan Siauw Lam dan anak ini terkejut dihadang larinya, ia telah tiba di pintu pekarangan dan siap menghilang mendadak bentakan nyonya itu membuatnya lumpuh, semangatnya seakan terbang.

"Berhenti, apa yang kau lakukan terhadap pembantu-pembantuku. Apa yang kau perbuat hingga mereka menjadi marah!"

"Ia pencuri busuk, perusak kebun. la mengganggu tanaman di kebun kita, hu-jin. Mengambil pisang dan buah-buahan lain!"

Seruan ini membuat Li Ceng terbelalak. Po Kwan dan Siao Yen sudah berlarian datang dan mereka mendekat jatuh bangun. Uwak Kin yang ada di sana juga tertegun, kaget karena bagaimana tiba-tiba anak itu ada di sini. Betapa beraninya! Namun karena masing-masing tak ada yang tahu dan sama-sama tak menyangka bertemu lagi.

Siauw Lam sudah menggigil dan pucat di situ maka anak ini berlutut dan tak berani main-main, telah mendengar bahwa Naga Gurun Gobi maupun isterinya ini orang- orang lihai. Dan ia dibuat tercekat oleh gerak jungkir balik nyonya itu yang tahu-tahu telah mencegat larinya!

"Ampun, aku... aku tak sengaja. Aku... tak tahu bahwa mereka pembantu-pembantumu, hujin. Kami memmang bertemu di kebun tapi sudah tak ada persoalan apa-apa lagi.. Aku tak tahu!”

Dia membuat Kwan-koko roboh pingsan . Anak ini jahat! Tangkap dan hukum saja dia, hujin. Pencuri ini kurang ajar!"

Siao Yen membentak marah dan melapor mendahului. Ia dan kakaknya sudah di si-tu tapi tak berani menyerang lawan. Nyonya majikan sudah di situ. Dan ketika Li Ceng bersinar-sinar dan cepat memberikan Boen Siong, ,uwak Kin digapai maka ia bertanya apa saja yang dilakukan anak ini, curiga.

"la merusak pagar, mengambil pisang. Juga tomat dan buah-buahan lain!"

"Hm, dan dimakannya?"

"Ya, dimakannya hujin, tapi sisa yang lain dibuang!"

"Dan kau makan lagi di sini, padahal sudah kenyang. Apa maksudmu dengan penipuan ini!" Li Ceng membentak dan mencekal leher baju. Ia tiba-tiba terbelalak karena merasa dikecoh.

Tapi Siauw Lam yang cepat menenangkan diri berseru, ingat bahwa gurunya tak jauh di situ. "'Hujin, aku memang lapar. Buah-buahan tak mengenyangkan perut. Aku tidak bohong dan kau dengar tadi bahwa yang lain kubuang!"

"Siapa namamu?"

"Siauw Lam!"

"Dari mana kau berasal?"

"Aku.. aku gelandangan!"

"Tapi pakaianmu tak ada tambalannya. Dan kau, hmm... bisa silat!" Sampai di sini nyonya itu berkilat pandangannya, marah dan teringat betapa tadi kaki anak ini menendang Po Kwan. Dari gerak kaki itu saja ia tahu bahwa itu gerakan sebuah silat, dasar kepandaian anak ini rupanya bagus.

Maka ketika tiba-tiba ia melepaskan cengkeraman dan menusuk mata, anak itu berteriak dan melempar tubuh bergulingan. Li Ceng semakin tertegun karena bocah laki-laki ini mampu bergerak cepat menghindarkan tusukannya.

"Heiii...!" Siauw Lam sudah melompat bangun dan pucat memandang nyonya itu. Ia cepat mengelak ketika jari si nyonya menyambar matanya, cengkeraman dilepas dan tentu saja ia kaget. Kalau tidak dilepas barangkal ia menangkis, atau menendang dari bawah. Dan ketika ia jerih dan ngeri memandang lawan, nyonya itu marah mendadak ia memutar tubuh dan melarikan diri.

Namun Li Ceng penasaran. la membentak dan sekali berkelebat iapun menghadang anak itu lagi. Siauw Lam memekik dan memukul perutnya. Tapi ketika ia mendengus dan mengibas anak itu maka si bocah terbanting dan mengaduh-aduh.

"Jahat curang. Orang besar menyakiti anak kecil. Aduh, kau merendahkan dirimu, hujin. Tak pantas isteri Naga Gurun Gobi menyiksa seorang bocah!"

"Kau!" nyonya itu membentak, Mencengkeram dan sudah menyambar leher baju itu lagi. "Dari manakau Engksu mengenal aku dan siapa guru atau orang tuamu. Jawab atau kau mampus!"

"Lepaskan... lepaskan aku!" Siauw Lam meronta-ronta. "Tak ada orang yang tak tahu siapa dirimu hujin. Setiap Orang di balik pohonpun tahu. Aku tak mempunyai guru atau orang tua karena hidupku mengembara!"

"Tapi kau bisa silat!"

"Aku belajar dari mana-mana. Aku perlu melindungi diriku!"

"Hm tapi kau mencurigakan. Eh, kau tak boleh pergi, anak busuk. Kau kutangkap dan hari ini menjadi tawananku. Kalau sebulan kau tak dicari gurumu berarti semua omonganmu benar. Nah, merinkuk dan kembali di sana!"

Li Ceng sudah menotok dan melumpuhkan anak ini. Siau lam berteriak-teriak tapi anak itu tak dapat berbuat apa-apa. Dan ketike dengan gemas Po Kwan menyeretnya kekandang ayam, Li Ceng memerintahkan anak itu maka si bocah meraung-raung hingga suaranya melebihi tangis Boen Siong. Hal ini memang disengaja oleh siauw Lam agar gurunya mendengar. Tapi ketika ia dilempar ke kandang ayam dan Peng-hujin menotok urat gagunya maka sampai di sini anak itu roboh tak berkutik, tak mampu bersuara.

Namun yang dilakukan Siauw Lam berhasil. Chi Koan, gurunya yang lihai adalah seorang yang pendengarannya luar biasa tajam. Jangankan jeritnya, percakapannya pun didengar. Maka ketika Chi Koan berseri-seri karena yang ada hanya Li Ceng dan muridnya itu, tak ada suara Peng Houw maka bergeraklah dia memasuki hutan dengan tongkat di tangan. Berkat ribut-ribut di pekarangan rumah itu ia dapat menemukan jejak muridnya.

Dan ketika Siauw Lam dilempar ke kandang ayam si buta inipun sudah tak jauh dari situ. Maka ketika dengan hati-hati Chi Koan mendekati muridnya, Siau Lam terbelalak dan tentu saja girang bukan main melihat gurunya akhirnya dengan sentuhan ujung tongkat bekas totokan itupun dibuyarkan.

"Jangan ribut, jangan gaduh. Biarkan seperti semula dan kau seolah-olah masih di kandang ayam."

"Tapi aku ingin menghajar musuhku itu!!"

"Ia bukan tandinganmu. Wanita itu bukan lawanmu, Siauw Lam, sudah kuberi tahu tadi."

"Bukan, bukan dia. Aku ingin menghajar seorang anak laki- -laki sebaya denganku suhu. Dialah yang tadi melemparku di kandang ayam ini. Namanya Po Kwan!"

"Hm, gampang, nanti saja. Sekarang bawa aku ke depan rumah dan temukan dengan Peng-hujin itu."

Siauw Lam gembira luar biasa. Ia bertanya bagaimana suhunya bisa sampai disitu dan Chi Koanpun menjawab tersenyum- senyum. Teriakan atau suara muridnya itulah yang menuntunnya ke situ. Dan ketika anak ini tertawa mengacungkan tinju, berkata bahwa itu siasatnya maka sang guru tersenyum kagum.

"Cocok, kalau begitu tepat. Aku memang sengaja berteriak-teriak agar suhu dengar. Ha-ha, akalku jalan suhu. Kau akhirnya ke sini!"

"Sudahlah, antar aku kedepan dan pertemukan dengan Peng-hujin itu, percakapanmupun sudah kudengar."

Siauw Lam meleletkan lidah. Ia kagum bahwa gurunya mendengar percakapannya dengan Péng-hujin, betapa telinga suhunya ini benar-benar tajam. Maka ketikat ia memutari rumah dan girang ingin melihat gurunya mennghajari nyonya itu, dia sendiri akan mencari dan menghajar Po Kwan maka di situlah ia mengetuk dan Li Ceng tentu saja keluar dan terkejut. Tawanan cilik itu "ha-ha-hi-hi" di pintu depan!

"Aku bebas, kau tak dapat mengurungku lagi."Ha,ha.. ini aku, hujin, Siauw Lam. Dan ini guruku datang mencarimu!"

Li Ceng membentak berkelebat keluar. la kaget dan tentu saja marah namun berdebar tegang. Dan ketika ia keluar dan melihat si buta, tertegun dan berubah maka Chi Koan, pemuda itu tertawa padanya, serak dan penuh ejekan.

"Li Ceng, selamat bertemu. Kau tentu tak menyangka aku di sini. Hm, ini muridku yang cerdik Siauw Lam. Aku tak minta banyak kecuali serahkan dirimu dan puteramu."

Kagetlah wanita ini mendengar kata- kata itu. Segera dia mengerti bahwa semuanya itu memang diatur. Bocah kurang ajar itu memang menyelidik tempatnya, disuruh gurunya. Maka ketika ia mencabut pedang dan berteriak nyaring, maklum bahwa si buta amat lihai mendadak ia menerjang mendahului dan tidak banyak cakap lagi menusuk si buta itu.

"Chi Koan manusia jahat, kiranya kau dan muridmu sengaja mengintai rumah orang!"

Si buta mengelak dan lolos dengan mudah dan sudah mendorong Siauw Lam dan anak itu bersorak, tiga kali gurunya berkelit dan tiga kali itu pula pedang menyambar luput. Namun ketika gurunya memerintahkan masuk ke dalam, Siauw-Lam diperintahkan untuk mengambil Boen Siong maka anak itu melompat dan ha-ha-hi-hi.

"Kau tak usah menonton di sini, cukup. Ambil anak itu dan bawa keluar,siauw Lam. Aku akan merobohkan lawanku ini."

"Baik," anak itu gembira. "Dan kubawa ia ke mari, suhu. Kita hajar penghuni rumah ini!"

Li Ceng melengking. la pucat melihat si buta mengelak dan demikian mudahnya menghindari semua serangannya itu. Dan ketika ia melihat betapa Siauw Lam ti-ba-tiba melompat masuk, mau membawa Boen Siong mendadak ia membalik dan meninggalkan lawannya itu. Pedang ganti menyambar dan ganas menusuk punggung.

"Anak iblis, mati kau!"

Namun Chi Koan tak membiarkan nyonya ini mencelakai muridnya. Begitu Li Ceng membalik maka iapun mengibaskan lengan, pukulan Hok-te Sin-kun menyambar. Dan ketika nyonya itu menjerit dan terlempar ke samping, Siauw Lam terkejut tapi tertawa lagi maka anak itu melanjutkan larinya memasuki rumah. Tangis Boen Siong mendadak tak terdengar lagi.

"Suhu, jaga wanita itu baik-baik. Jangan biarkan ia menyerang aku!"

Namun Li Ceng bergulingan meloncat bangun. Ia tentu saja tak membiarkan anak itu memasuki rumah, apalagi hendak merampas puteranya. Maka ketika ia melengking dan melempar jarum-jarum hitam, cepat menyambar Siauw Lam mendadak lagi-lagi si buta itu mengebutkan lengan bajunya, tertawa.

"Li Ceng, kau tak dapat mengganggu muridku!"

Runtuhlah Semua jarum-jarum itu. Siauw Lam meleletkan lidah namun ia sudah meloncat ke dalam. kagum dan bangga bahwa untuk kedua kalinya lagi-lagi ia lolos dari serangan nyonya itu. Tapi ketika nyonya itu bertempur dengan gurunya lagi, Chi Koan berkelebat dan menghadang nyonya itu maka Li Ceng tak dapat mengejar si bocah sementara Siauw Lam celingukan di dalam rumah. Boen Siong tak ada di situ!

"Ke mana kau," anak ini bergerak memasuki kamar demni kamar, tak melihat anak itu di situ. "Hm, tentu Ďilarikan si cacing cilik Po Kwan. Baik, ke mana kau dapat bersembunyi, Po Kwan. Sekarang aku membalasmu dan lihat kuhajar kau nanti!"

Siauw Lam meloncat keluar dan kini berlari ke belakang. la telah menyelidiki semua ruangan namun Boen Siong tak ada di situ. Li Ceng pun tak menduga bahwa uwak Kin, pembantunya telah membawa puteranya lari begitu musuh datang.

Uwak ini terkejut ketika si nyonya ribut-ribut di luar, mengintai dan melihat Siauw Lam bebas bersama seorang buta yang amat lihai. la telah melihat si buta mengelak serangan-serangan majikannya dan pucatlah pembantu ini melihat bayangan malapetaka.

Boen Siong yang waktu itu dibawa Po Kwan segera disambar, nenek ini tak mau lagi di situ sebelum apa-apa terjadi. Maka ketika Po Kwan di seret dan anak itu terkejut, Siao Yen juga terbelalak namun diajak lari lewat belakang maka wanita tua yang mencium gelagat bahaya ini tak menunggu waktu lagi.

"Celaka, hujin bertemu seorang lihai. Bocah siluman itu ternyata muridnya. Cepat. . cepat kita lari, Po Kwan. Selamatkan dulu anak ini dan nanti kembali lagi!

"Apa yang terjadi..."

"Bocah itu lolos, gurunya datang. Aku sempat mendengar percakapan mereka dan ini bahaya. Ayo... ayo cepat, Po Kwan. Lari dan sembunyi Ďi dusun!"

Po Kwan terbelalak tapi nenek itu segera menyambar momongannya. Boen Siong siap menangis lagi ketika dengan sigap telapak nenek ini menutup mulutnya, lari dan terbirit- birit serta tangan yang lain menarik tangan Po Kwan. Tapi ketika mereka tiba di kebun dan di sini Po Kwan melepaskan dirinya, sang nenek terkejut maka Po Kwan membalik dan berkata gagah.

"Uwak Kin, aku bukan pengecut. Kau larilah bersama adikku. Aku laki-laki dan akan kembali ke sana!"

"Apa, kau... kau ke sana? Gila! Tidak, Po Kwan. Bocah iblis itu bahaya untukmu. Selamatkan diri dulu dan nanti kembali bersamaku!"

"Aku laki-laki, tugasku menjaga hujin pula. Apa kata majikanku apabila aku ikut larí, uwak Kin. Kau memang benar karena kau wanita, nenek pula. Tapl aku akan kembali dan biar kau bersama Siao Yen ke dusun!"

Berkata begini Po Kwan mendorong uwak Kin dan melompat menuju pulang. Nenek itu tertegun tapi Siao Yen tiba-tiba berteriak, melepaskan diri dan mengejar kakaknya pula. Dan ketika nenek itu berubah tapi Po Kwan terkejut, berhenti dan membalikkan badannya maka adiknya menubruk dan menangis di pundaknya.

"Kwan-koko, aku tak mau kau tinggal. Kalau kau kembali biar aku kembali juga. Marilah, kita sama-sama pulang."

"Tidak!" sang kakak marah dan mendorong adiknya. Kau perempuan, Siao Yen, bukan kewajibanmu. Aku laki-laki dan harus menjaga Peng-hujin. Kembali dan ikut bersama uwak Kin atau aku menamparmu!"

"Aku tak mau, kau tak pernah menamparku."

"Plak!" Anak itu terbanting dan menjerit kaget. Kata-katanya berhenti ditengah jalan.

Po Kwan berapi-api memandang adiknya itu. Baru kali itu ia menampar adiknya dan ada perasaan haru tapi juga sesal. Namun karena bahaya sedang mengancam mereka dan keselamatan Boen Siong di atas segala-galanya, anak ini marah dan menindas kasihnya maka ia membentak berdiri tegak, mengingatkan nasihat ayah mereka di waktu masih hidup.

"Siao Yen, ingat apa kata ayah sebelum meninggal. Kau harus tunduk dan menurut padaku. Tapi apa yang kau lakukan sekarang, kau membantah. Pergi atau aku menamparmu lagi. Ini demi keselamatan Boen-kongcu!"

Gadis cilik itu mengguguk. Ia berdiri dan pucat memandang kakaknya dan kemarahan kakaknya ini membuatnya takut. kata-kata itu mengingatkannya akan almarhum ayah mereka. Dan ketika uwak Kin tiba-tiba menyambar lengannya dan berseru memanggil, sang kakak meloncat pergi maka gadis ini terpaksa mengikuti nenek itu dan tersaruk jatuh bangun, mulutnya berteriak.

"Kwan Ko, kau harus cepat mengambil aku. Atau aku tak mau perduli dan menyusulmu di rumah majikan!"

Po Kwan tak mau mendengar kata-kata adiknya karena saat itu juga ia pun bercucuran air mata. Telapaknya terasa pedih karena baru kali itu ia menampar adiknya tersayang. Tak pernah selama ini ia menyakiti Siao Yen, ah, mau rasanya ia menangis. Tapi ketika ia menahan-nahannya itu dan membiarkan air mata mengalir, tinju terkepal membayangkan Siauw Lam maka anak ini lari dan tak perduli menerjang semak-semak belukar. Bajunya sampai robek-robek ketika ia tergetar oleh lengking dan bentakan-bentakan hujinnya.

Pasti di sana majikannya itu bertempur hebat. Dan ketika ia menerabas halaman belakang dan tepat saat itu Siauw Lam melihatnya maka anak itu dipanggil dan dengan beberapa kali lompatan saja murid Chi Koan ini sudah berhadapan dengan bocah lelaki itu,menyeringai.

"He, mana putera majikanmu. Kau bawa lari, ya, kau sembunyikan. Hayo berikan padaku atau aku menghajarmu lagi!"

Po Kwan berdiri tegak dengan sebatang tongkat di tangan. la telah memperoleh itu dijalan ketika berlari tadi, dengan gagah memandang anak ini dan sikapnya yang tidak kenal takut membuat Siauw Lam menjadi kagum. Bocah ini telah pecundang, namun masih berani juga! Maka ketika ia tertawa dan bergerak maju, merammpas atau merebut tongkat itu segera Siauw Lam mengejek agar anak itu jangan macam-mnacam.

"Berani kau melotot seperti itu, bagus. Kulipat lehermu nanti dan lihat berapa lama kau minta ampun!"

Po Kwan mengelak dan membabatkan tongkatnya. Ia membentak dan ganti menyerang ketika lawan membalik. Lalu ketika ia menerjang dan Siauw Lam menjadi sibuk, mengelak atau menangkis maka tongkat kayu itu empat kali bertemu lengan lawan, tak apa-apa dan Po Kwan terkejut karena telapaknya sendiri merasa pedas!

Jelek-jelek lawannya ini memang mengerahkan sinkang, tak aneh karena bocah itu adalah murid si buta yang lihai. Maka ketika Po Kwan terpental sementara Siauw Lam terus merangsek, tongkat akhirnya ditangkap maka terjadi saling betot di antara dua anak laki-laki itu.

"Lepaskan!"

"Tidak..."

Akan tetapi Po Kwan hanya memiliki tenaga biasa saja sementara lawannya adalah gemblengan seorang ahli silat maka ketika Siauw Lam membentak dan menambah sinkangnya akhirnya tongkat tertarik ke depan tapi hebatnya Po Kwan tak mau melepaskan.

Siauw Lam menggerakkan kaki kanan dan terlemparlah anak itu berdebuk, Po Kwan mengeluh. Dan ketika anak itu menggeliat tak mampu bangun, sekali lagi tendangan itu membuat napasnya sesak maka Siauw Lam berkelebat di dekatnya dan tertawa mengancam, kaki kiri menginjak dada lawan.

"Nah, apa kataku. Mana anak itu atau kau mampus!"

"Bunuhlah, siapa takut! Po Kwan memekik dan melotot. Mati membela kebenaran justeru masuk sorga, Siauw Lam. Bunuhlah aku dan jangan kira aku takut!"

"He, kau sudah berani menyebut namaku? Bagus, kita sudah sama-sama tahu. Bangunlah dan lihat seberapa kau tak takut mati!"

Anak ini melepaskan injakan menggantinya dengan cengkeraman. Po Kwan disambar bangun dan anak itu mengaduh, tangannya ditelikung. Lalu ketika ia menahan sakit sementara Siauw Lam tertawa-tawa, Po Kwan mengeluarkan keringat sebesar jagung maka anak itu dibentak agar memberitahukan di mana Boen Siong.

"Ayo, mana kongcumu, atau tanganmu kupatahkan!"

Po Kwan mendesis pucat. Ia tak dapat melawan setelah dibanting roboh, lawan memang kuat. Tapi karena bukan wataknya untuk bersikap pengecut, apalagi melindungi majikannya maka ia bungkam dan malah mendelik memandang lawan, Hal yang membuat Siauw Lam gemas.

"Kau boleh menyiksa atau membunuhku, tapi aku tak tahu di mana anak itu!"

"Kau benar-benar berani?"

"Aku tidak takut... augh!" Po Kwan yang berteriak menghentikan kata-katanya sudah dibuat kesakitan ketika lawan menyentak ke atas. Siku sebatas pangkal lengan Ďidorong, tulang rasanya hendak patah-patah. Dan ketika Siauw Lam tertawa-tawa melihat lawan terbungkuk, Po Kwan menderita hebat maka anak itu kembali berseru dengan mengangkat sedikit lebih naik lagi.

"Ayo, katakan, atau aku benar-benar mematahkan tanganmu!"

Po Kwan memaki-maki. la bukannya menyerah malah membentak dan meludahi Siauw Lam. Anak itu terkejut ketika wajahnya kotor. Dan ketika ia marah dan menaikkan lagi sentakannya, tak dapat ditahan lagi Po Kwan menjerit maka anak itu roboh pingsan dengan tulang patah.

"Keparat, benar-benar tak tahu diri. Huh, mampuslah di situ, Po Kwan. Siapa tak dapat mencari anak majikanmu itu!" lalu meninggalkan Po Kwan dengan perasaan gemas, anak ini dapat bersikap kejam.

Maka Siauw Lam tak menghiraukan lagi anak laki-laki itu mencari dan mengejar Boen Siong. Ia tak tahu bahwa anak itu telah dibawa uwak Kin, tergopoh dan berlari-lari ke dusun, tempat di mana nenek itu mempunyai rumah. Maka ketika ia berputar-putar saja di hutan, tentu saja tak menemukan maka tiba-tiba terdengar bentakan dan suara gurunya yang dahsyat, memanggil namanya.

"Siauw Lam, cepat kau datang!"

Anak ini meloncat. Ia tersentak oleh panggilan gurunya dan Suara gurunya yang marah jelas menunjukkan sesuatu. la tak tahu telah terjadi perobahan di sana, di tempat Peng- hujin melawan gurunya itu. Maka ketika ia datang dan gurunya berkelebatan bagai rajawali menyambar-nyambar, tongkat di tangan bergerak naik turun menghadapi serangan ternyata ada orang lain di situ membantu Peng hujin itu?"

"Ah!" anak ini tertegun. "Siapa kakek itu?" Siauw Lam berhenti dan ternganga.

Di tempat itu ternyata gurunya menghadapi dua lawan tangguh. Seorang kakek gagah perkasa, bertongkat ular ternyata meliak-liuk di antara bayangan gurunya dan Peng-hujin. Kakek itu cepat sekali bergerak ke sana-sini hingga gurunya kewalahan, ujung tongkatnya selalu menyambar kelopak gurunya yang kosong, atau lubang telinga dan hidung yang tentu akan membuat gurunya roboh karena serangan itu berbahaya. Sekali masuk bakal mengenai otak atau bagian lain kepala yang lunak.

Maka ketika anak ini tertegun karena akhirnya tiga orang itu lenyap berkelebatan, Peng-hujin melengking- lengking maka anak ini bengong sementara Chi Koan dibuat sibuk oleh desing atau sambaran ujung tongkat yang tidak berbunyi dan acap kali lenyap terlindung oleh bunyi pedang! Siapakah kakek ini?

Siauw Lam tak akan mengenalnya. Tadi ketika ia mencari dan bertemu Po Kwan maka kakek itu muncul. Li Ceng sendiri terkejut ketika di sebelahnya tiba- tiba terdengar desir angin dan menyambarlah bayangan kakek itu. Sang nyonya menyangka musuh dan tentu saja pucat. Menghadapi Chi Koan seorang sesungguhnya ia menjadi bahan permainan, berapa kali tusukannya meleset atau tiba-tiba dipukul tangan kiri lawan yang kosong.

Chi Koan tak mempergunakan tongkat di tangan kanannya untuk menghalau serangan-serangan pedang itu. Maka ketika ia melengking-lengking sementara pikirannya penuh was-was oleh gerakan Siauw Lam, anak itu sudah menghilang di dalam rumahnya maka nyonya ini panik dan dua kali ia terpelanting oleh tangkisan Chi Koan yang kuat. Si, buta tertawa mengejek.

"Kau tak dapat melawanku, menyerahlah baik-baik. Hm, dari gerak pedangmu kau masih gesit dan lincah, Li Ceng, dan tentu kau juga masih cantik, menggiurkan. Buang pedangmu dan ikut aku tanpa melawan, anakmu selamat. Atau muridku kusuruh mencekik dan anakmu binasa!

Nyonya ini memaki-maki. Justeru tak melihat Siauw Lam keluar lagi membuat ia gelisah dan tak karuan. Ia tak dapat tahu apa yang terjadi, juga tak menyangka bahwa puteranya dibawa lari uwak Kin. Dan ketika semakin lama anak.itu tak juga keluar, ia bertanya-tanya dan mulai heran maka akhirnya Chi Koan membentak menampar pedangnya. Ia terbanting dan bergulingan.

"Li Ceng, cukup semua ini. Menyerahlah dan aku masih sayang padamu, atau aku mempergunakan kekerasan dan kau terhina!"

"Bunuhlah, seranglah! Aku tak takut dan tak akan menyerah padamu, Chi Koan. Kau manusia licik yang beraninya menyerang di kala suamiku tak ada. Hayo bunuh dan robohkan aku!" sang nyonya bergulingan meloncat bangun dan melepas tujuh senjata rahasia yang cepat di pukul runtuh.

Chi Koan tak dapat melihat lawan kecuali dengan mengerahkan pendengaran, kepalanya sering bergerak ke kiri kanan. Dan ketika ia merasa cukup dan juga gemas, terbayanglah olehnya wanita yang cantik ini maka si buta tersenyum-senyum dan nafsunya mulai bangkit.

Lima tahun di guha tawanan cukup menyiksa, gejolak berahinya tak pernah terlampiaskan. Maka ketika tiba-tiba ia tersenyum dan harum tubuh wanita membuat gairahnya bangkit, ia masih teringat kecantikan lawannya ini maka si buta mulai menggerakkan tongkat dan ketika pedang menusuk mendadak ia membiarkan saja dan secepat itu ujung tongkatnya menotol buah dada.

"Aiihhhhh..!" Li Ceng kaget dan berseru keras. Dua hal yang membuatnya terkejut, pertama adalah pedangnya yang mental bertemu leher Chi Koan sedangkan yang kedua adalah sentuhan ujung tongkat itu. Buah dadanya ditotol! Dan ketika ia pucat melempar tubuh ke kanan, memaki-maki.

Maka selanjutnya Chi Koan melakukan hal-hal kurang ajar yang membuat si nyonya berteriak merah padam. Si buta menggerakkan tongkatnya dan membiarkan pedang menusuk atau menikam, mengerahkan sinkang dan semua serangan itu sia-sia. Chi Koan mendemonstrasikan kekebalannya.

Dan ketika dengan enak ia menyontek sana-sini, ujung tongkatnya menyentuh dan mengganggu bagian-bagian tubuh si nyonya, kontan saja Li Ceng merah padam dan terhina hebat. Dua kali baju pundaknya robek dan wanita ini menjerit keras, kulit pudaknya yang putihnampak. Dan ketika ia bergulingan melempar tubuh dikejar dan kembali disentuh tongkat maka ikat pinggangnya putus dan celananya melorot!

"Chi Koan, kau jahanam kurang ajar. Tak tahu malu, bedebah!"

"Ha-ha, sudah kubilang. Buang pedang itu dan menyerah baik-baik, Li Ceng, aku masih sayang padamu. Atau aku mempergunakan kepandaianku dan kau telanjang di sini!"

Wanita ini memaki-maki sibuk membetulkan pakaiannya sementara pedang menangkis dan menghalau tongkat, si buta mendesaknya dan kini dirinya sebagai pihak bertahan. Tapi ketika Chi Koan tertawa-tawa dan mulai merah, ia membayangkan betapa nikmat mempermainkan lawannya nanti maka saat itulah berkelebat si kakek gagah membantu si nyonya.

"Chi Koan, kiranya kau anak durhaka itu. Pinto menyesal melihatmu tak berubah dan sudah mendengar sepak terjangmu di Go-bi!"

Si buta ini terkejut. Tongkat menyambarnya dari samping dan dari angin sambaran itu ia tahu betapa seorang bertenaga iweekeh menghantamnya tak main-main. Kepala kerbaupun bisa pecah dihantam tongkat ini. Maka ketika ia mengelak dan tongkat menyambar lewat, menghantam tanah hingga menggelegar maka si buta membentak bertanya, kaget.

"Siapa kau. Suaramu seperti tua bangka seorang suci!"

"Pinto Giok Yang Cinjin, suheng dari Giok Kee Cinjin. Barangkali cukup pemberitahuan ini dan sekarang lepaskan Peng-hujin... dess!" tongkat menyambar lagi dan tanah di belakang si buta berhamburan.

Chi Koan lagi-lagi mengelak dan ia tertegun, kiranya suheng dari mendiang Giok Kee Cinjin, tosu yang dulu Pernah menjadi guru bagi Peng Houw dan membawa Peng Houw keluar dari Go-bi, ketika pemuda itu diusir oleh pimpinan Go-bi. Tapi ketika ia tertawa dan suaranya dingin menjawab, tentu saja ia tak takut maka si buta ini menangkis dan membuat benturan keras, si tosu terpental.

"Giok Yang Cinjin, dulu sutemu mampus karena ulahnya yang sombong. Apakah kau hendak mengikuti jejaknya dan minta mati pula? Majulah dan sambut pukulanku kalau kau berani!"

Chi Koan menggerakkan lengan kiri dan Hok-te Sin-kang menyambar. Ia tak takut setelah tahu siapa lawannya, biarpun dari angin pukulan itu ia tahu balhwa lawanpun lihai. Dan ketika si tosu menangkis namun terpental, Hok-te Sin-kang memang hebat maka kakek ini terbelalak dan berubah mukanya.

"Siancai... memang hebat tapi jangan Kau kira pinto takut!" tosu itu menerjang lagi,dan ternyata ia lihai mainkan tongkat.

Li Ceng tentu saja girang dan menyatakan terima kasih, kagum karena meskipun terhuyung akän tetapi kakek itu dapat menahan pukulan Chi Koan. Dan ketika ia menyerang pula dan dapat membalas, Chi Koan sibuk kembali maka nyonya itu bangkit semangatnya dan untuk sejenak si buta didesak.

Tapi Chi Koan bukan sembarang pemuda. Sebelum memiliki warisen Bu-tek-cin-keng dulunya dia adalah murid Tujuh Siluman Langit, ilmunya beragam dan sesungguhnya ia belum mengeluarkan semua ilmunya, apalagi menghadapi Li Ceng.

Maka ketika Giok Yang Cinjin muncul dan tosu itu ternyata suheng dari mendiang Giok Kee Cinjin, tongkatnya lihai sementara geraknya juga cepat dan tangkas tiba-tiba Si buta ini merobah gerakan dan berkelebatlah dia mempergunakan Lui-thian-to-jitnya yang hebat. Sekali membentak tubuhpun lenyap di balik bayang-bayang tongkat, si buta itu juga mempergunakan tongkatnya yang panjang untuk menghadapi lawan.

Dan ketika ia mengibaskan tangan kiri untuk melepas pukulan-pukulan Hok-te Sin-kun, angin menderu dan menyambar dua orang itu ternyata dengan empat bagian tenaganya saja Giok Yang Cinjin dan Li Ceng tak mampu menandingi, terhuyung dan Li Ceng dua kali roboh.

"Ha-ha, bagaimana sekarang. Mampukah kau membela nyonya ini!"

Sang kakek kagum. Dari putaran tongkat si buta keluar angin dorongan yang amat kuat, tongkatnya sendiri terpental dan sering harus dicekal kuat-kuat kalau tak ingin lepas. Tapi ketika ia membentak dan merobah cara bertempurnya, angin tongkatnya tak terdengar lagi maka Chi Koan tertegun karena tahu-tahu bagai ular memagut, tongkat lawan sudah di depan hidung atau kelopaknya, bercuit setelah dekat!

"kau mempergunakan kelemahanku, licik. Jangan kira mataku buta lalu dapat seenaknya kau merobohkan aku, tosu bau. Meskipun tak bermata namun aku bertelinga. Keluarkan semua kepandaianmu dan lihat seberapa jauh kau dapat berbuat licik!"

Giok Yang Cinjin merah. Memang ia mengeluarkan silat tongkat yang bernama Hong-hui-tung-kun (Udara Tenang Tongkatpun Datang), sebuah ilmu silat yang sepenuhnya mengandalkan tenaga lweekeh (dalam) dan dengan demikian ia dapat mengatur deru serangannya. Kalau si buta demikian lihai mempergunakan telinganya maka satu-satunya jalan harus melenyapkan suara dari sambaran tongkat, baru setelah dekat angin itupun terdengar lagi.

Namun karena Chi Koan memiliki Lui-thian-to-jit (Kilat Menyambar Matahari) dan ilmu meringankan tubuh ini membuat si buta melesat sana-sini dengan amat cepatnya, bagai kilat saja maka setiap ujung tongkat hampir mengenai sasaran pemuda itupun dapat mengelak. Dan ini membuat Giok Yang terkejut, kagum bukan main.

"Bagus itu kiranya Lui-thian-to-jit yang pinto dengar. Hebat, tapi sayang jatuh ke tanganmu, Chi Koan. Kau tak pantas mewarisi kepandaian Go-bi dan lebih-lebih sebagai bekas muridnya!"

"Tak usah banyak cakap. Pergi atau mampus di sini Giok Yang Cinjin, biarkan aku menangkap wanita ini atau kau menyusul arwah sutemu!"

Kakek itu membentak. Setelah ia kagum dan memuji Lui-thian-to-jit tentu saja ia tak mau mundur. Bukan maksudnya menjadi gentar, ia tak takut. Maka ketika kakek itu menerjang lagi dan di sana Li Ceng memekik penasaran, mereka mengelilingi Chi Koan mendadak terdengar kekeh dan tawa merdu seorang wanita.

"Heh-heh, muridku semakin hebat saja. Ih, kau semakin matang dan lihai saja, Chi Koan, juga semakin tampan. Aih, kalau ada tosu bau ini biar aku membantumu!"

Giok Yang Cinjin terkejut. Dari balik hutan muncul seorang wanita genit rambutnya terurai, jalannya agak terpincang namun tiba-tiba sudah di situ. Dan ketika ia dekat dan langsung menyambarkan rambutnya, bagai ular mematuk tiba-tiba si buta maupun Li Ceng berseru tertahan.

"Kwi-Bo!"

Kakek itu mengelak. Giok Yang Cin-jin sendiri tak mengenal wanita ini kecuali mengelak dan cepat menyelamatkan diri. Seruan Li Ceng dan si buta membuat ia mengerutkan alis. Namun ketika wanita itu terkekeh dan menyerangnya lagi, meledak dan menjeletarkan rambutnya maka si cantik itu menjawab si buta,

"Benar, aku. Kau rupanya tak melupakan gurumu, Chi Koan. Jahat benar orang-orang Go-bi itu membutaimu. Biar kita labrak nanti dan tosu bau ini kita robohkan dulu!"

Chi Koan tertegun mendengar isak tangis. Itu adalah Kwi-bo bekas gurunya, orang yang disangkanya tewas karena Tujuh Siluman Langit akhirnya celaka digigit ular Tiga Warna, ular paling berbisa yang dulu dipunyai gurunya Beng Kong Hwesio (Baca Prahara Di Gurun Gobi).

Maka ketika ia tercengang tapi tentu saja gembira, Chi Koan tiba-tiba tertawa bergelak mendadak ia menerkam dan menyambar Li Ceng, tak perduli lagi kepada kakek itu karena Kwi-bo menyerangnya.

"Bagus, terima kasih, Kwi-bo. Meskipun sebenarnya aku dapat merobohkan dua orang ini namun tak ada jeleknya kau membantu. Aku yang ini dan kau tua bangka itu!"

Li Ceng kaget sekali. Setelah Giok Yang diserang Kwi-bo dan datangnya iblis wanita îtu benar-benar membuatnya kaget, tak menyangka bahwa si iblis masih hidup maka terkaman dan lompatan kilat Chi Koan membuatnya bagai memijak ranjau saja. Begitu cepatnya Chi Koan menyambar dan dua tangan si buta mengepung dari kanan kiri, ia dicegat. Dan ketika ia membabatkan pedang sambil membanting tubuh, pedangnya patah maka jari si buta mengenai punggungnya dan tak ayal lagi pakaian di bagian ini robek memanjang.

"Breeetttt...!"

Si nyonya memekik dan bergulingan merah padam. la mendengar tawa lawannya dan Chi Koan mengejar, suara si nyonya menjadi patokannya. Dan ketika kembali Chi Koan menerkam dan Li Ceng menjerit, pahanya tersentuh maka nyonya itu pucat karena secepat itu Chi Koan menerkam tak mau melepasnya.

"Hi-hik, putih dan mulus, bersih. Aih, totok dan robohkan dia, Chi Koan. Raba sekujur tubuhnya dan nikmati kesenanganmu!"

Si buta tertawa bergelak. Saat itu ia tersengat oleh birahi yang membakar, paha nyonya ini memang mulus, ia mencengkeramnya kuat-kuat. Tapi ketika ia menyeringai sementara Li Ceng berteriak mengaduh, malu dan marah tiba-tiba saja sebatang tongkat menghantam tengkuk si buta ini.

"Lepaskan wanita itu.... dess!"

Chi Koan terpelanting dan kaget serta sadar. Giok Yang Cinjin, kakek yang marah itu melesat di bawah ketiak kiri, lolos dari serangan lawannya ini dan seketika menghantam si buta. Chi Koan tergetar oleh nafsunya dan lengah. Tapi ketika si buta itu terpelanting dan mendesis, tak apa-apa maka kakek itu berseru agar Peng-hujin berganti lawan, atau melarikan diri.

"Pinto menghadapi pemuda ini, kau wanita itu. Atau hujin silakan selamatkan diri nanti pinto menyusul!"

Li Ceng bergulingan meloncat bangun. Ia terlepas dari cengkeraman Chi Koan. namun jatuh ketika meloncat, pahanya sakit, nyeri dan merah padam karena sebagian besar kakinya telanjang. Giok Yang Cinjin sendiri harus melengos melihat keadaan wanita itu, betapa malunya Peng-hujin. Namun ketika kakek itu sudah menyerang Chi Koan dan si buta menggeram penuh gusar, ia terpaksa melayani kakek ini maka Kwi-bo terkekeh membokong kakek itu namun Li Ceng tentu saja tak mungkin membiarkan.

"Locianpwe, aku tak mungkin melarikan diri. Kalau jahanam Chi Koan ini tak mampus biarlah aku yang roboh, atau wanita ini lebih dulu kubunuh!" Li Ceng membentak dan karena Kwi-bo lebih dekat otomatis ia menyerang wanita itu.

Kwi-bo meledakkan rambutnya namun Li Ceng menangkis. Dan ketika keduanya sama terpental dan wanita itu terkekeh, Peng-hujin menyerangnya gusar akhirnya pertandingan berganti lawan.

"Plak-dess!" dua wanita itu bertanding dan Kwi-bo pun tak berani main-main. Tangkisan Peng-hujin mengandung tenaga Lui-kang dan itu adalah warisan Lui-cu (Mutiara Geledek) Lo Sam. Jelek-jelek wanita ini adalah murid sekaligus cucu pendekar tua itu, jago Kun-lun yang tewas oleh pukulan Chi Koan.

Maka ketika mereka bertanding sementara Chi Koan menghadapi kakek itu, tongkat panjang ditangannya bergerak mengelak dan menangkis maka Giok Yang Cinjin sendiri harus berjuang keras mengalahkan lawannya yang amat tangguh ini, hal yang tampaknya sia-sia.

Chi Koan tertawa mengejek dan mulai mengerahkan sinkangnya. Senjata di tangan lawan sering menggebuk dan mengenai tubuhnya, mental karena ia melindungi diri dengan baik. Dan ketika si kakek berloncatan menghindari tongkatnya, Giok Yang tampak berhati-hati dan kagum namun juga gelisah maka dua orang itu bertanding dengan kakek ini sering menghindari lawan dengan cara melompat tinggi atau membuang tubuh jauh- jauh kalau tongkat di tangan Chi Koan menderu bagai air bah.

Betapapun kakek ini mengakui lawan dan Hok-te Sin-kang yang bergetar di badan tongkat membuat senjata di tangan si buta itu amat hebat. Kesiur sambarannya saja sering membuat tubuhnya terhuyung. Dan ketika kakek ini mengelak dan berlompatan membalas tiba-tiba Chi Koan membentak dan dengan tubuh merendah di tanah mendadak tongkatnya menghantam lambung kakek itu.

"Desss!" si kakek meloncat dan terbang ke atas. Hampir saja Giok Yang Cinjin terkena karena begitu cepatnya si buta bergerak. Tapi ketika ia melayang ke atas dan turun ke tanah tiba-tiba Chi Koan melepaskan satu tangannya dan tangan kiri itu menghantam melepas Hok-te Sin-kun.

"Ha-ha, sekarang selesai. Kau tangkis atau mampus!"

Sang kakek terkejut. Dia baru saja melayang tinggi ketika menghirdari tongkat, kini di saat turun tiba-tiba menghadapi Hok-te Sin-kang yang dahsyat. kakek ini pucat. Dan karena tak ada wakt untuk berpikir panjang, membiarkan pukulan menghantam atau menangkis akhirnya kakek ini menggerakkan tangan kiri menyambut sementara tongkat di tangan-kanan balas hantam ubun-ubun Chi Koan.

"Dess!" Kakek ini mengeluh dan terbanting. Ternyata ia tak dapat menerima Hok-te-sin-kang itu sebagaimana diduga, sebelumnya sudah berkali-kali ia terpental dan terdorong oleh pukulan ini. Maka ketika ia terlempar sementara tongkatnya pecah mengenai kepala Chi Koan, si buta itu memang hebat maka kakek ini melontakkan darah dan roboh. Saat itu justeru Li Ceng mengamuk dan mendesak Kwi-bo, Lui-kangnya (Pukulan Geledek) mengenai dada wanita ini hingga Kwi-bo menjerit.

"Aduh, tolong, Chi Koan...!"

Si buta terkejut. Ia telah menambah tenaganya untuk cepat merobohkan kakek itu, maksudnya segera membunuh kakek ini dan merobohkan Li Ceng. Tapi ketika bekas gurunya menjerit dan telinganya menangkap suara berdebuk, Kwi-bo bergulingan terpukul maka si buta ini meloncat dan menyambar Li Ceng dengan lima jari mencengkeram.

"Hujin, awas. Lempar tubuhmu!"

Li Ceng beringas. Saat itu ia di atas angin, pukulannya membuat Kwi-bo terjengkang dan lawannya itu bergulingan. Tapi ketika tiba-tiba terdengar teriakan dan jari-jari Chi Koan di depan hidungnya, ia kaget sekali maka ia berteriak melempar tubuh namun sempat juga kuku si buta menggurat punggung.

"Aiihhhh!" Li Ceng pucat dan ngeri melihat ini. Ia hampir roboh dan meloncat bangun di sana, menggigil, kebetulan dilihatnya kakek itu muntah darah. Dan ketika wanita, ini tertegun sementara Giok Yang Cinjin bangkit gemetar, tertawa memandang sisa tongkat.

Maka kakek itu berseru gagah agar ia mundur dan menyelamatkan diri, padahal si kakek tak mungkin kuat bertempur karena luka dalam, hujin. Pinto akan menghadapi mereka ini... ugh... pergi dan cari anakmu...!"

Wanita ini pucat. Tiba-tiba ia melihat kegagahan luar biasa yang membuatnya terharu. Belum saling kenal tahu-tahu kakek ini menolongnya, siapa tak ingin menangis. Dan ketika kakek itu terhuyung namun melontakkan darah segar lagi, jelas semakin payah tiba-tiba Li Ceng menjerit dan menyambar kakek ini. Tak mungkin membiarkan kakek itu tewas sementara dia harus mencari anaknya.

"Locianpwe, kau luka dalam. Tak mungkin aku membiarkanmu dan mari selamatkan dirimu dulu!"

"Tidak, ugh... pinto, eh... pinto masih kuat, hujin. Kalau mereka itu ingin membunuhku tak apa-apa. Pinto sudah tua. Biarkan pinto menghadapi mereka dan kaucari anakmu...!"

Li Ceng tersedu-sedu. Ia tak menghiraukan kata-kata ini apalagi ketika si kakek tiba-tiba jatuh, untung ia mencekal dan memegang tangannya erat-erat. Maka ketika ia berkelebat dan lari lewat belakang, di sana menunggu Siauw Lam.

Maka anak yang bengong dan terkejut itu tiba-tiba ditendangnya. Siauw Lam berkelit tapi kalah cepat, terlempar dan berteriak dan terbanglah nyonya itu melompati pagar. la tak mendengar uwak Kin lagi atau Po Kwan, juga Siao Yen.

Dan ketika tubuhnya melayang ke atas dan lenyap di luar tembok belakang Kwi-bo berteriak maka Chi Koan tertegun tapi bingung tak mampu mengejar, matanya buta dan tak mungkin melompati tembok tanpa ada yang membimbing.

"Di mana kau!" tiba-tiba ia membentak memanggil muridnya. "Ke sini kau, Siauw Lam, pegang tanganku dan cari wanita itu!"

Siauw Lam jatuh bangun menghampiri gurunya. Kwi-bo sendiri sudah meloncat dan terbang mengejar dan tinggallah Chi Koan berdua, muridnya itu tergopoh-gopoh. Dan ketika anak ini disambar lalu berada di pundak gurunya, memberi petunjuk-petunjuk maka si buta sudah melesat dan terbang ke atas.

Namun Siauw Lam tak tahu keadaan di situ. Li Ceng atau Peng-hujin melarikan diri lewat jalanan memutar dan anak itu maupun Kwi-bo tak tahu. Maka ketika Siauw Lam bingung tak melihat Peng-hujin, Kwi-bo juga berkelebat muncul memaki-maki maka di luar hutan mereka ini berhenti. Chi Koan mengerutk alisnya.

"Coba kau bawa aku ke pohon paling tinggi. Pegang erat-erat dan sebutkan ranting yang harus kuinjak, Siauw Lam. Lihat dari atas dan jangan sampai lawan kita lolos!"

"Aku sudah mencarinya, tak ada!" Kwi- bo berseru dan mengerti maksud Chi Koan. "Di sekeliling ini tak ada bayangan wanita itu, Chi Koan. Percuma kau menyuruh muridmu. Hanya ada dusun di luar sana!"

"Hm, begitukah?" si buta kecewa. "Kalau begitu sia-sia perjalananku, Kwi-bo. Sialan benar keledai buruk itu, keparat!"

Kwi-bo menarik napas dan memandang bekas muridnya ini. Ia tiba-tiba mendekat dan memegang lengan Chi Koan, perasaan kagum dan rindunya bangkit. Lalu ketika ia berbisik dan merangkul pemuda itu, terisak tiba-tiba ia sudah menjatuhkan tubuh dan mencium pemuda ini, tak perduli Siauw Lam.

"Chi Koan, sungguh tak kira kita bertemu lagi. Kudengar kau ditangkap Go bi, bertahun-tahun ditawan di sana. Aku tak berani menengokmu kerena takut kepada Peng Houw!"

"Hm, kau!" Chi Koan mendorong dan menjauhkan diri dari wanita ini, kelopaknya berkejap-kejap. "Bagaimana masih hidup, Kwi-Bo. Bukankah dulu ular berbisa itu menggigitmu!"

"Benar, bolehkah kita berdua? Aku akan menceritakannya, Chi Koan, tapi anak ini kurasa mengganggu."

Chi Koan tersenyum. Ciuman di pipinya tadi membuatnya tergetar, Kwi-bo memeluk dan merapatkan pula dadanya yang membusung, darah mudanya bangkit. Dan karena ia dan wanita ini bukan orang-orang asing lagi, iapun heran bagaimana bekas gurunya ini dapat hidup akhirnya ia menyuruh muridnya mencari makanan.

"Aku ingin berdua dengan temanku ini, kau pergilah dan tinggalkan kami sebentar. Cari makanan atau apa saja untuk kita, Siauw Lam. Jangan datang kalau belum kupanggil."

Anak itu mengangguk. Sejak tadi sesungguhnya Siauw Lam memperhatikan sahabat gurunya ini, seorang wanita cantik yang rambutnya riap-riapan dan pakaiannya berkesan seenaknya. Baju di dada itu sedikit terbuka, perutnyapun kelihatan sedikit dan Siauw Lam meleletkan lidah.

Ia kagum oleh keindahan tubuh wanita ini, namun karena masih anak-anak dan belum cukup dewasa, iapun belum banyak mengerti liku-liku pria wanita maka iapun tak membantah dan melompat pergi.

Dan begitu ia pergi segera Kwi-bo tersenyum aneh, mengangguk dan gembira lalu berbaringlah wanita ini tak malu-malu di pangkuan Chi Koan. mereka memang duduk di bawah pohon. Dan ketika anak itu lenyap mencari makanan, Chi Koan diusap dan dibelai gurunya ini maka sambil bercerita wanita inipun mulai mémbuka kancing baju Chi Koan.

"Ceritaku sederhana saja, aku selamat karena kebetulan. Maksudku bahwa bisa atau racun Ular Tiga Warna itu habis dayanya karena aku orang terakhir yang digigit. Nah, itu saja ceritaku, Chi Koan, tapi meskipun begitu kakiku pincang. Ada semacam rasa kaku di betis."

"Hm, begitu sederhana? Dan ke mana kau selama ini? Apakah Ďi Hek-see-hwa (Bunga Pasir Hitam) itu kau tak dibunuh musuh- musuhmu?"

"Tak ada yang menghíraukan aku maupun lainnya, Chi Koan. Mereka menganggap aku dan bekas guru-gurumu tewas. Aku juga berpikir begitu, waktu itu seketika pingsan. Tapi ketika aku sadar dan melihat diriku hidup maka kutinggalkan tempat itu dengan beringsut-ingsut, tubuhku sakit semua!"

"Hm.. dan kau rupanya ketakutan. Kau tak pernah muncul selama ini."

"Benar, aku tak berani. Juga biarlah semua orang menganggap Tujuh Siluman Langit binasa semua. Aku mendengar nasibmu yang ditawan itu, Chi Koan, siapa melindungiku kalau aku bertemu musuh-musuh lihai. Aku memang bersembunyi."

"Tapi kau sekarang muncul!"

"Karena aku mendengar perbuatanmu di Go-bi, kau lolos!"

"Lalu bagaimana sampai di sini?"

"Hi-hik, aku tahu kecerdikanmu, Chi Koan, tahu semua sepak terjangmu. Kalau kau berbuat seperti itu siapa lagi tujuanmu kalau bukan keluarga Peng Houw!"

"Eh, maksudmu...?"

"Hi-hik, tak usah berpura-pura. Aku mengenalmu sejak kecil, Chi Koan, mengenal semua isi perutmu. Kalau kau lolos dan membuat gempar Go-bi tentu kau sengaja memancing Peng Houw agar ke sana, dan kau dengan mudah lalu keluar mengganggu anak isterinya!"

"Kau tahu?" Chi Koan tertegun.

"Kenapa tidak?" Kwi-bo menjawab geli. "Kau bukan orang yang dapat menyembunyikan segalanya dari aku, Chi Koan. Kita sudah kenal sejak lama. Aku dapat membaca pikiranmu itu!"

"Hm," Chi Koan mengangguk-angguk, tertawa. "Kau benar, Kwi-bo, selalu benar. Sekarang apa jalan pikiranku kalau kau dapat membacanya."

"Hm, apalagi!" Kwi-bo mencengkeram paha si buta, kancing itu telah lepas. "Kau perlu penyegaran, Chi Koan, di Go-bi tentu kau tersiksa. Hayo, benar atau tidak!" lalu ketika wanita itu terkekeh dan melepas pakaian sendiri akhirnya Chi Koan terguling ditindih tubuhnya.

Kwi-bo bernafsu menciumi si buta ini, tangannya bergerak bagai ular merayap saja, cepat. Lalu ketika pemuda itu tertawa dan balas mencengkeram. Chi Koan pun membiarkan dirinya diciumi akhirnya satu pagutan membuat keduanya melekat dan mengeluh.

Kwi-bo bergulingan mengajak pemuda ini melepaskan hasratnya, Chi Koanpun sudah bertahun-tahun ini mengekang dirinya. Maka ketika wanita itu mulai dan menyerbu secara ganas tak ayal pemuda ini menyambut dan terlepaslah semua pakaian di tubuh terbakar oleh nafsu yang mendidih.

Chi Koan melupakan urusannya dengan Li Ceng dan mendapat pengganti gurunya ini, bekas guru yang genit dan selalu menyala-nyala oleh api berahi. Kwi-bo memang wanita cabul yang tak kenal puas. Dan ketika mereka tenggelam oleh cinta yang kotor, cinta rendah.

Maka di sana Li Ceng membawa Giok Yang Cinjin menuju dusun. Ia menduga bahwa uwak Kin tentu pulang. Tapi ketika ia tiba di sana dan berkelebat memasuki rumah pembantunya ini, sebuah gubuk sederhana berpelataran sempit tiba-tiba ia berdetak mendengar jerit tangis Siao Yen.

"Uwak Kin, bangunlah.... bangunlah...!"