Kabut Di Telaga See Ouw Jilid 04 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-beng Sian-su Karya Batara

Kabut Di Telaga See Ouw Jilid 04


AKAN tetapi Beng Kong akhirnya dipengaruhi Chi Koan. Hwesio itu dibujuk dan mendengar kata-kata berbisa muridnya. Guru dan murid yang semula bertengkar itu akhirnya bersatu, Peng Houw dikeroyok. Tapi karena berdatangan orang-orang lain dan Peng Houw sendiri dapat bertahan dari keroyokan ini, dua orang itu juga sudah babak-belur maka Beng Kong akhirnya tewas sementara Chi Koan roboh di tangan musuh bebuyutannya itu.

Pemuda ini ditangkap dan dibawa ke Go-bi dan akhirnya menerima hukuman seumur hidup. Dan ketika di sini pula Chi Koan menjadi buta, dilukai paman gurunya maka pemuda itu geram dan benci bukan main terhadap Go-bi, terutama Peng Houw. Gara-gara pemuda ini dia tak dapat bergerak lagi. Gara-gara Peng Houw dia dilukai orang.

Tapi karena Chi Koan adalah pemuda yang pandai menekan perasaan dan kebencian maupun kemarahannya itu dapat disembunyikan dengan baik, setahun kemudian dia mulai menghapal kitab-kitab suci kembali maka suaranya yang nyaring dan lantang dari guha pertapaan terdengar sampai ke bawah dan banyak anak murid Go-bi melengak.

Syair-syair indah dibunyikan. Ada kesan bahwa pemuda itu sudah bertobat. Dan ketika tahun kedua dan ketiga tindak-tanduk pemuda itu juga semakin manis maka pimpinan Go-bi yang waktu itu dipegang Ji-hwesio tergerak hatinya. Hwesio ini berpikir bahwa kejamlah hukuman seumur hidup. Chi Koan sudah berobah. Maka ketika dipanggilnya seorang sutenya untuk bicara tentang ini maka Sam-hwesio, wakil pimpinan mendengarkan dengan alis berkerut.

"Pinceng rasa bahwa semuanya perlu diperbaiki. Tatanan lama dilihat ulang dan anak itu tak perlu dihukum seumur hidup. Bagaimana pendapatmu kalau ia diberi keringanan, sute, misalnya dua puluh tahun atau tiga puluh tahun. Lihat bahwa ia berobah!"

Kebetulan waktu itu Chi Koan melengking nyaring dengan syair-syair Dhammapada. Pagi itu suasana begitu indah dengan burung-burung berkicau di udara. Hawa berhembus segar dan angin gurun terasa lembut. Semuanya ini mempengaruhi perasaan. Dan ketika sang wakil pimpinan tergerak dan mengangguk-angguk maka iapun mendengarkan Chi Koan yang melantunkan suaranya dengan nyaring dan lantang. Kebetulan yang disindir adalah mereka:

Orang yang mencari kebahagiaan tetapi menyakiti mahluk lainnya yang juga mencari kebahagiaan maka ia tak akan mendapatkan kebahagiaan setelah kematiannya

"Hm, bab sepuluh ayat tiga," dua hwesio itu mengangguk-angguk. "Chi Koan menyindir kita, sute. Pinceng jadi malu melihat ini!"

"Benar, kita adalah orang-orang beragama yang mencari kebahagiaan, pinceng juga merasa kena. Tapi masalah ini rupanya tak boleh sembarang diputuskan, suheng. Kau tahu bahwa yang berhak adalah Peng Houw. Pinceng tak dapat bicara apa-apa kalau bukan pemuda itu sendiri yang bicara."

"Tapi kau dapat memberi pandangan. Bagaimana misalnya kesanmu selama ini, tidakkah kau lihat bahwa pemuda itu sudah mulai berobah!"

"Sikap dan suaranya memang begitu, tapi entahlah bagaimana isi hatinya."

"Kau masih curiga?"

"Omitohud, pinceng tak berani bicara seperti itu, suheng, namun sebagai manusia biasa agaknya lebih tepat kalau pinceng katakan bahwa pinceng bicara secara hati-hati saja."

"Benar, tapi nada suaramu agak miring, sute. Kau seakan tak menyetujui keinginan pinceng!"

"Ah, suheng terlalu mulia. Suheng mudah tergerak. Siauw-te tak berani berkata seperti itu, suheng. Betapapun siauw-te (aku) hendak menekankan keberhati-hatian saja!"

"Baik, tapi tentunya pinceng juga ingin mendengarkan pendapatmu yang lebih jelas, terang. Apakah tak layak kalau anak itu mendapat keringanan hukuman!"

"Hm, suheng mendesak, baiklah. Menurutku Chi Koan ini mahluk yang amat berbahaya, suheng. Dia cerdik dan licin melebihi ular. Tingkah laku dan tindak-tanduknya yang lalu masih membekas terlalu dalam di hatiku. Kalau ada perobahan setahun dua saja aku masih tak berani buru-buru, apalagi semua itu masih dalam sikap dan tutur kata. Dan kita sama tahu bahwa sikap dan tutur kata dapat dibuat-buat, artinya belum tentu sama dengan isi hatinya!"

"Hm-hm, kalau begini keinginan baik pinceng rupanya belum bakal terlaksana. Kau benar, tapi pinceng akan mernbuktikannya, sute, dan mudah-mudahan kita dapat bersikap obyektip!"

Sang sute mengangguk menarik napas dalam. Pembicaraan pagi itu berhenti sejenak dan masing-masing tahu keadaan pribadi. Sam- hwesio mengetahui niat baik suhengnya sedangkan sang suheng tahu jalan pikiran sutenya. Dan ketika mereka menikmati indahnya keheningan maka suara Chi Koan terdengar lagi, lembut namun kuat, penuh getaran dan perasaan:

Taklukkanlah kemarahan dengan Cinta Kaaih Taklukkanlah kejahatan dengan kebaikan Taklukkanlah kekikiran dengan berderma Taklukkanlah kebohongan dengan kejujuran

"Ah, bab tujuh belas ayat tiga," sang pimpinan berseru lagi, mengangguk-angguk. "Chi Koan itu rupanya hapal semua isi kitab suci, sute. Pinceng kagum!"

"Ya, siauw-te juga. Namun orang yang hapal kitab suci belum tentu pandai melaksanakannya, suheng. Orang yang tahu belum tentu mengerti, sedang orang yang mengerti pasti tahu!"

"Hm-hm, pinceng paham. Kau masih mengingatkan pinceng secara halus agar tidak cepat terpengaruh olehnya, bukan? Terima kasih, kau benar. Tapi pinceng memiliki sudut pandang yang berbeda, sute. Pinceng teringat sebuah ayat dari bab dua puluh ayat lima!"

"Tentang ketidak kekalan?"

"Benar, kaupun tahu. Coba kau ingat itu dan lihat apakah keliru!" Sang sute menarik napas dalam. Bab dua puluh ayat lima bicara tentang sesuatu yang berubah-ubah, ketidak kekalan. Dan ketika ia mengangguk mengingat ayat itu maka hwesio inipun membaca, seperti orang berliam-keng (baca doa).

Segala sesuatu ini adalah selalu berubah- ubah, kalau orang telah menyadari hal ini dengan kebijakaanaan kemudian ia merasa jemu dengan penderitaan ini adalah jalan pembersihan.

"Hm, benar. Itu! Bagaimana, sute?"

"Aku mengakui, tapi keberhati-hatian tetap harus dilakukan, suheng. Entah kenapa aku belum percaya penuh."

"Tapi pinceng percaya itu, Chi Koan mulai berobah!"

"Baiklah, aku tak menentangmu, suheng, hanya tetap pasanglah kewaspadaan dan kehati-hatian. Masalah Chi Koan lebih berhak ditangani Peng Houw daripada kita."

"Pinceng tahu, dan tak perlu terlalu khawatir!" lalu ketika mereka berdua mendengarkan syair-syair yang lain dari Chi Koan maka tampak bahwa sang suheng lebih gembira sementara sang sute masih berkerut kening. Ada perbedaan di hati pimpinan Go-bi ini, dengan sang ketua lebih percaya dan ingin meyakinkan sutenya sementara sang sute masih tenang dan dingin-dingin saja. Hal ini tidak aneh karena Ji-hwesio orangnya lebih tergerak, lunak dan mudah pemaaf dibanding sute-nya yang keras dan amat disiplin.

Wakil pimpinan ini tak begitu mudah tergerak walaupun akhir-akhir ini Chi Koan memang berobah, sikap dan tindak-tanduknya lembut. Sekarang para murid tak perlu takut lagi mengantar makanan atau minuman, mereka bahkan diajak bercakap-cakap dan bicara, layaknya saudara. Dan ketika akhirnya pembicaraan ditutup karena sang sute akan melaksanakan tugas, mengontrol pekerjaan para murid maka sore harinya pimpinan Go-bi ini memanggil seorang murid bagian konsumsi untuk memberikan makanan Chi Koan kepadanya.

"Pinceng hendak mengantar makanan itu ke atas. Siapkan saja di sini dan biar pinceng yang membawa."

"Ah, suhu hendak mengantarnya sendiri?"

"Benar, Giok-seng. Berikan pada pinceng dan kembalilah ke tempatmu."

Anak murid itu tertegun. Baru kali ini pimpinan Go-bi hendak mengantar makanan pada Chi Koan, seorang tawanan. Tapi ketika ia mengangguk dan berlari pergi, sore itu jatah makan malam Chi Koan sudah disediakan maka dengan langkah tenang dan wajah berseri hwesio ini berkelebat dan beberapa murid lain terbelalak karena pimpinan mereka membawa nampan! Bukan kecanggungan bagi hwesio ini untuk bekerja seperti itu, bahkan sikapnya menjadi tauladan dan para murid menaruh hormat.

Sang pimpinan yang tidak segan-segan menggantikan tugas justeru membuat para murid kikuk. Mereka akan bertugas lebih baik lagi dan penuh disiplin. Dan ketika sore itu juga hwesio ini mendaki ke atas maka guha pertapaan itu dimasuki dan Chi Koan yang tertegun mendengar langkah ringan segera tahu bahwa bukan murid biasa yang kali ini datang.

Biasanya, seperti yang sudah-sudah jatah makanan dibawa seorang murid dan Chi Koan menerimanya dengan mulut tersenyum. Keganasannya lenyap, licik dan sombongnya juga tidak pernah terlihat lagi. Namun ketika kali ini telinganya yang tajam mendengar kaki yang ringan berjingkat, jelas bukan murid biasa maka pemuda ini maklum bahwa seorang lawan atau kawan mendatangi dirinya.

Ji-hwesio belum mengeluarkan suaranya hingga tak dapat dikenal. Akan tetapi Chi Koan adalah pemuda yang kini sudah memiliki ketabahan tinggi. Sikapnya semakin tenang dan kepercayaan diripun bertambah kuat. Tiga tahun di guha tawanan tidak dilewatkannya sia-sia, dia mempertajam daya pendengarannya sebagai gantinya kedua mata.

Bahkan demikian tajam telinga pemuda ini hingga sesungguhnya tadi pagi ia mendengar pembicaraan pimpinan dan wakil pimpinan Go-bi itu. Chi Koan sesungguhnya dapat memantau gerak-gerik yang terjadi di bawah dengan sepasang telinganya yang tajam itu.

Maka ketika diam-diam ia tersenyum dan tertawa aneh, percakapan di bawah sana tertangkap olehnya maka segera ia tahu bahwa Hwesio pimpinan Go-bi ini simpati kepadanya, tidak seperti Sam-hwesio! Akan tetapi Chi Koan tak dapat tahu siapakah kawan atau lawan yang mendekat. Dia telah mendengar desir angin gerakan pimpinan Go-bi ini dan diam-diam terkejut. Sejak mendaki gunung tadi pemuda ini sudah tahu!

Maka ketika dia duduk bersila dan pura-pura tak tahu, membalik atau menghadapi dinding guha maka Ji-hweio tersenyum dan penuh haru memandang punggung pemuda ini, yang sesungguhnya juga masih murid keponakannya.

"Omitohud!" akhirnya hwesio itu berseru, cukup mengamati dan memperhatikan pemuda ini. "Selamat sore, Chi Koan. Pinceng datang membawa makanan!"

Chi Koan kaget. Tak disangkanya bahwa yang datang adalah pimpinan Go-bi sendiri. Pantas, gerak kaki itu begitu ringan. Ia sudah siap untuk menghantam dan membalik kalau tiba-tiba diserang. Dan ini tentu berarti bahaya bagi hwesio itu! Maka ketika Chi Koan membalik dan kelopaknya yang kosong bergerak-gerak, antara heran dan tercengang tiba-tiba ia berlutut dan empat rantai baja di pergelangan kaki tangannya bergemerincing ketika berbenturan satu sama lain.

"Ah, susiok kiranya. Satu kehormatan besar bagiku. Maaf, kenapa kau datang dan mengantar sendiri makanan untukku, susiok. Bukankah kehormatan berlebih bagiku seorang pesakitan!"

"Hm, pinceng memang ada maksud," hwesio itu tersenyum, mengebutkan ujung lengan bajunya penuh haru. "Pinceng datang karena ingin bercakap-cakap dengan mu, Chi Koan. Sebagai seorang dengan seorang lainnya secara bersahabat. Terimalah makanan ini dulu dan isi perutmu!"

Chi Koan mengangkat wajahnya dan menerima penampan itu. Sang susiok membangunkannya dan alangkah mudahnya sekali hantam merobohkan hwesio itu. Pimpinan Go-bi ini rupanya sembrono! Tapi Chi Koan yang waspada dan cerdik mencurigai sesuatu tentu saja tak mau melakukan ini.

Dia yakin bahwa dirinya sedang dalam sebuah ujian, dan hal itu benar karena Ji-hwesio sesungguhnya bersiap-siap dan akan menyerangnya balik kalau si buta itu macam-macam. Sebuah bola hitam terdapat di bawah lengan bajunya, bola baja yang akan meledak dan menghantam pemuda itu menghamburkan ribuan jarum halus.

Chi Koan bisa celaka meskipun hwesio itu roboh. Tapi ketika pemuda ini tidak melakukan apa-apa dan sang hwesio lega, kepercayaannya semakin kuat maka Chi Koan meletakkan nampan itu dan wajahnya menunjukkan keheranan dan ketidak mengertian yang dalam, wajah yang kebodoh-bodohan dan jujur, begitu!

"Maaf, susiok, apa artinya semua ini. Di mana Giok-seng, atau Hak-lim. Bukankah seharusnya mereka yang mengantar dan bukan seorang ketua Go-bi!"

"Hm, sudah kusebut bahwa kehadiranku ingin bercakap-cakap denganmu, sebagai orang dengan seorang yang lain dalam suasana bersahabat. Pinceng telah sering mendengar kau melantunkan bait-bait kitab suci, Chi Koan, dan pinceng tertarik. Kau tampaknya mulai mendalami persoalan agama!"

"Ah, susiok membuatku rnalu," pemuda itu tertawa, lalu tiba-tiba menarik napas dalam. "Bukan maksudku untuk pamer hapalan, susiok. Apa gunanya tahu isi kitab suci namun tak dapat mempraktekkannya. Bukankah seperti seorang sombong yang berlagak di depan orang bijak. Aku melantunkan isi-isi kitab suci dengan nyaring agar semuanya itu meresap dan masuk ke otakku dengan dalam. Bukan sekedar otak melainkan hati, hatiku!"

Ji-hwesio kagum. Chi Koan demikian bersungguh-sungguh dan tentu saja dia semakin girang. Pemuda ini mulai banyak berubah. Dan ketika ia mulai mengangguk- angguk dan semakin percaya, pemuda ini begitu bersungguh-sungguh maka Chi Koan berkata lagi bahwa dia ingin berobah.

"Aku teringat ayat indah dari kitab Dhammapada, bab 20 ayat 5. Ah, isi ayat ini benar-benar tepat, susiok. Tak ada sesuatu yang kekal di dunia ini, termasuk aku. Dan aku harus melakukan pembersihan atau selamanya bakal tolol dan tetap dalam penderitaan. Manusia bakal berubah!"

"Hm, kau maksudkan bagaimana? Apa yang kau artikan?" "Artinya aku ingin menebus dosaku, susiok, melakukan segala kebaikan di manapun aku berada, bahkan di tempat ini. Itulah sebabnya kulantunkan ayat-ayat kitab suci dengan nyaring dan lantang agar selain aku ada orang lain mendengar supaya tidak melakukan kekeliruan hidup. Manusia tolol saja yang membenamkan diri dalam kesenangan dan nafsu lahiriahnya. Dan aku telah melihat itu!"

"Omitohud, kau mulai bijak. Ha-ha, sungguh perobahan besar terjadi padamu, Chi Koan. Namun sayang bahwa keadaanmu seperti ini!"

"Tak apa, justeru aku merasa bangga dan bahagia, susiok. Aku bangga dan bahagia karena aku berdekatan dengan orang-orang baik sepertimu ini, juga murid-murid Go-bi yang lain."

Ji-hwesio menarik napas dalam. Pembicaraan berhenti sebentar karena Chi Koan tiba-tiba miringkan kepala. Telinga kirinya bergerak. Ada gerakan di luar yang ditangkap pemuda itu. Namun ketika ia tersenyum dan kembali seperti semula maka hwesio Go-bi ini tak tahu bahwa seseorang mendekati tempat itu, masih jauh di bawah bukit.

"Hm, pinceng ingin , mendengar lebih jauh tentang pandangan hidupmu. Bagaimana keadaanmu sekarang dan apa yang mungkin kau ingini."

"Ingin? Ah, keinginan merupakan sumber kemalangan, susiok. Kalaupun ada keinginan itu maka aku ingin bahagia, itu saja."

"Hm, benar," sang hwesio mengangguk- angguk, kagum. "Keinginanmu sederhana, Chi Koan, tapi penjabarannya bisa luas. Kebahagiaan dalam ukuranmu belum tentu sama dengan yang dimaksud orang lain. Omitohud, semua orang sebenarnya ingin bahagia!"

"Betul, tapi kebahagiaan bagi orang lain kebanyakan bersumber pada hal-hal lahiriah, luar, entah materi atau yang bersifat duniawi."

"Hm-hm, kau sudah mulai dapat bicara ini. Omitohud, pinceng kagum. Tapi isi perutmu dulu, Chi Koan. Pinceng tak akan mengganggu. Tapi maaf, hanya bubur dan sayur melulu!"

"Tak apa, aku sekarang ciak-jai (pantang daging), susiok. Daging dan segala macamnya itu hanya menyeret manusia dalam alam rendah. Sayur-mayur begini lebih tinggi, membersihkan otak dan hati. Dan mungkin karena ini jalan pikiranku menjadi lebih baik."

"Ha-ha, bisa saja kau ini. Omitohud, makanlah dahulu, Chi Koan. Pinceng tak akan mengganggu!"

Orang tentu heran dan terbelalak melihat sikap dan kata-kata hwesio itu. Siapa menyangka bahwa seorang ketua Go-bi bakal mau dan sudi bercakap-cakap dengan Chi Koan. Pemuda itu dikenal sebagai penjahat muda yang berbahaya. Berdekatan dengan pemuda ini sama seperti berdekatan dengan iblis, sewaktu-waktu bahaya bisa mengancam.

Tapi karena tiga tahun ini Chi Koan memang menunjukkan perkembangan yang baik, lembut dan tidak seganas dulu maka laporan dan bukti-bukti yang diterima pimpinan Go-bi ini membuat tertarik, maju dan berdekatan dan awal perjumpaan itu saja sudah membuat hwesio ini lumer.

Bahwa Chi Koan mau berlutut dan masih menghormatnya sebagai paman guru cukup mengharukan hwesio ini. Ji-hwesio memang orang yang lemah lembut. Maka ketika percakapan berkembang lebih baik dan melihat betapa pemuda itu tak segan-segan mengaku dosa, jinak dan amat bersahaja maka pimpinan Go-bi itu merasa iba dan jatuh sayang, betapapun Chi Koan adalah bekas murid yang baik dan penurut tapi akhirnya terbawa oleh tingkah laku orang-orang jahat.

Ji-hwesio menganggap bahwa sejak bergaul dengan orang-orang seperti Tujuh Siluman Langit itulah pemuda ini berobah. Tapi karena orang-orang jahat itu sudah tewas dan pemuda ini hidup sendiri, buta dan menerima hukuman maka gerak-gerik dan tutur kata Chi Koan yang lembut membuat dia dan anak murid percaya bahwa si buta ini tidak seperti dulu. Dan Chi Koan juga sering melantunkan isi ayat-ayat suci tiada ubahnya seorang imam atau pendeta. Siapa tidak percaya!

Dan hwesio itu juga teringat akan ayat 5 bab 20 dari kitab suci Dharmapada. Bukankah tak ada yang kekal di bumi ini? Bukankah segala sesuatunya bisa berubah? Dan itu ditunjukkan Chi Koan. Si buta ini penurut dan jinak, sabar dan pengalah serta sering memberi petunjuk- petunjuk silat pada mereka yang mengantar makanan, yakni anak-anak murid dari bagian dapur.

Dan karena gerak-gerik serta tindak-tanduk pemuda itu semakin positip, semua banyak yang memuji maka hwesio pimpinan ini sendiri tertarik dan akhirnya timbullah belas ibanya untuk merobah hukuman seumur hidup menjadi dua puluh atau tiga puluh tahun saja.

Tapi itu semua tak dapat dilakukan hwesio ini. Meskipun Ji-hwesio adalah pimpinan tertinggi di tempat itu namun secara "teknis" masih ada yang lebih tinggi, dan itu bukan lain Peng Houw, Si Naga Gurun Gobi! Pemuda inilah yang lebih berhak dalam masalah Chi Koan karena dialah satu-satunya orang yang dapat menundukkan si buta itu. Peng Houw adalah "dedengkot" Go-bi pengganti tokoh-tokoh tua. Pemuda itulah satu- satunya ahli waris langsung dari mendiang Ji Leng Hwe-sio, dedengkot atau sesepuh mereka.

Maka ketika hwesio itu ingin memberi keringanan namun tentu saja masih harus sepersetujuan Peng Houw maka Ji-hwesio ingin menjajaki dulu apakah layak atau tidak si buta ini kelak dimintakan keringanannya kepada Peng Houw. Dan satu-satunya jalan harus langsung berhadapan dengan si buta itu. Ji-hwesio tak boleh sekedar mendengarkan laporan melainkan melihat dan membuktikan sendiri, inilah sebabnya dia datang.

Maka ketika semua itu dirasakannya semakin positip dan bekas anak murid ini berlaku demikian sopan santun, jauh bedanya dengan Chi Koan yang dulu maka hwesio itu mempersilakan si buta untuk makan dan dia sendiri duduk bersila mengawasi bersinar-sinar.

Namun Chi Koan tentu saja kikuk. Gerakan di bawah bukit kini sudah terdengar sampai di pintu guha, si buta awas dan waspada. Tapi ketika orang itu berhenti dan hwesio di depannya ini rupanya tak tahu, malah mempersilakannya makan maka Chi Koan mengerutkan alis dan menggeleng.

"Susiok, aku belum lapar benar. Bagaimana kalau disingkirkan dulu dan kita tetap bercakap-cakap."

"Ha-ha, kau malu? Ah, kalau begitu biar pinceng keluar, Chi Koan, ini waktumu makan dan pinceng tak akan mengganggu!"

Hwesio itu berkelebat dan Chi Koan menarik napas. Dia justeru merasa berdebar dan kebetulan. Orang di luar itu bakal ketahuan. Dan ketika apa boleh buat ia pura-pura makan namun pendengaran dipasang setajam mungkin ternyata orang diluar pintu itu adalah Sam-hwesio, susioknya yang lain!

"Suheng terlalu sembrono," demikian terdengar bisikan, lirih dan Ji-hwesio rupanya tertegun, tak mengira sutenya menyusul ke situ. "Aku mendengar dari Giok-seng bahwa kau mengantar makanan, suheng. Berbahaya sekali mendekati tawanan itu. Bagaimana kalau sampai terjadi apa-apa denganmu!"

"Hm," Chi Koan mendengar jawaban. "Pinceng cukup berhati-hati, sute. Pinceng membawa bola peledak ini. Kalau dia menyerang pinceng maka tentu jarum-jarum ini akan berhamburan dan mencelakainya pula!"

Chi Koan tergetar. Selanjutnya kakak beradik seperguruan itu saling bicara lagi dengan amat perlahan sekali, hampir tak terdengar. Dan ketika ia terpaksa menghentikan suapannya untuk mendengarkan dengan baik ternyata susioknya nomor dua itu mengkhawatirkan kakak seperguruannya. 

Hal ini tidak aneh karena Ji-hwesio adalah pimpinan di situ, apa yang terjadi dengan pimpinan dapat menyusahkan yang lain. Tapi ketika pembicaraan selesai dan Ji-hwesio masuk kembali, Chi Koan memperdengarkan piringnya. yang kosong maka pemuda itu berseri mengusap bibir, pura-pura tak tahu datangnya Sam-hwesio itu.

"Susiok, lezat sekali. Makanku kenyang Ah, siapa yang masak ini dan pandai benar mengolah sayur segar!"

"Hm, pinceng menambahinya minyak zaitun, dengan kaldu buatan. Kau tentu puas, Chi Koan, dan benar dugaan pinceng. Ha-ha, syukurlah kau cocok!"

Sang hwesio duduk dan berhadapan lagi. Kalau saja tak ada belenggu di kedua kaki dan tangan Chi Koan itu tentu orang segera menyangka bahwa yang berhadapan ini adalah sebuah keluarga. Belenggu itulah yang sedikit mengganjal. Tapi karena Chi Koan adalah tawanan dan layaklah Go-bi memperlakukan itu maka keduanya dapat duduk baik dan si buta itupun tidak tampak tersinggung. Chi Koan berseri-seri dan tenang-tenang saja seperti semula.

"Baiklah, pinceng mau mulai," hwesio itu berkata. "Bagaimana jika hukumanmu diperingan, Chi Koan. Artinya kau mendapat sedikit kebebasan dalam bergerak!"

Chi Koan menampakkan wajah terkejut. Sikap kaget diperlihatkannya dan tubuh itu tersentak, sebentar saja. Tapi ketika Chi Koan tertawa getir dan menganggap main-main maka pemuda itu berseru, "Susiok, orang seperti aku sudah pantas mendapat hukuman seperti ini. Tidak, kau tentu main-main. Dan akupun enggan menerimanya!"

"Hm," hwesio itu tak tahu sandiwara pemuda ini, bersungguh-sungguh. "Pinceng tidak main-main atau bergurau denganmu Chi Koan, pinceng serius. Kedudukan pinceng di sini saja agaknya sudah cukup di buat jaminan!"

"Benar, tapi ah.... aku tak mau bicara tentang itu, susiok. Ada beberapa hal yang membuat aku tak mau keluar. Aku cocok di sini!" "Maksudmu kau menerima saja hukuman hidup itu? Kau tak ingin dirobah atau diperingan? Eh, pinceng melihat hal-hal yang memperingan kesalahanmu, Chi Koan, dan pinceng ingin berusaha!"

Chi Koan mengangguk-angguk dan tertawa getir. Tentu saja dia sudah mendengar pembicaraan itu namun di hadapan hwesio ini dia tetap berpura-pura. Sesungguhnya Chi Koan tak terlalu berharap, bukan karena hwesio itu dianggapnya main-main melainkan sosok Peng Houw di sana. Mana mungkin musuhnya itu membebaskannya. Kalau hukuman hanya dirobah seperti itu baginya percuma.

"Dua puluh atau tiga puluh tahun cukuplah lama, saat itu dia akan kakek-kakek! Maka ketika dia tertawa dan menggatalkan perut susioknya ini tenang saja dia menjawab, "Susiok, sebelumnya terima kasih kalau kau ada niat sungguh-sungguh untuk meringankan hukumanku.

Tapi keringanan macam apa yang kuperoleh? Paling-paling seumur hidup diganti dua puluh atau tiga puluh tahun, dan itu juga bukan waktu pendek. Aku sudah akan menjadi kakek-kakek dan tak berguna lagi. Dan ah, aku juga tak ingin keluar!"

Hwesio ini terkejut. Kata-kata pemuda itu sama seperti kata-kata pembicaraannya tadi pagi, ketika dia bercakap-cakap dengan sutenya. Tapi tertarik dan penasaran oleh sikap dan desah pemuda ini maka dia bertanya, "Kau tak ingin keluar? Tak ingin bebas? Kenapa?"

"Hm, aku teringat sebuah ayat lain tentang orang-orang berdosa, dan aku ingin menebus dosaku. Apakah susiok ingat ayat 12 dari bab 9?"

"Tentang kejahatan?"

"Benar, di situ jelas dikatakan bahwa tidak di langit pun tidak di bumi orang jahat tak akan dapat menghindari akibat dari kejahatannya, susiok. Dan bagiku di sini atau di luar sama saja dalam menerima hukuman!"

Hwesio ini tergetar. "Kau hapal itu?"

"Kenapa tidak? Ha-ha, itu kuingat baik-baik, susiok. Dengarlah!"

Tidak di langit,pun tidak ditengah samudera juga tidak di dalam guha atau di puncak gunung tak ada suatu tempat tinggal di dunia ini yang dapat dipakai orang untuk menghindari diri dari akibat perbuatannya yang jahat

"Omitohud hwesio itu berseru, kaget. "Kau mengagumkan pinceng, Chi Koan. Tak dinyana sejauh itu pikiranmu berkembang. Aih, kau benar tapi justeru menunjukkan kebijakanmu. Kau sudah tidak seperti dulu, kau berobah!"

"Mungkin saja, dan perobahan fisik memang jelas. Aku sudah enggan keluar karena apa gunanya, susiok. Di sini dan di luar sama-sama harus memikul sisa dosa. Sudahlah aku tak mau bicara tentang ini dan terima kasih atas kebaikanmu."

Hwesio itu tertegun. Dipandangnya si buta, itu dengan takjub dan matanya terbuka lebar-lebar. Dari sini saja dapat di-ukurnya betapa dalamnya kebijaksanaan pemuda itu. Ji- hwesio masih mengukur segalanya dari sikap dan tutur kata, bukan dari dasar batin, inti dari sepak terjang manusia itu sendiri. Maka ketika ia terperangah dan semakin kagum, si buta ini sudah benar-benar lain dengan dulu maka ia mendecak dan hasrat untuk memperingan hukuman semakin besar!

"Hm, bagus, baik. Tapi apakah tak tergerak hatimu untuk berbuat sesuatu di luar, Chi Koan, mendarmabaktikan amal hidupmu lebih jauh lagi, untuk orang lain. Pinceng kagum akan kata-katamu dan menaruh hormat yang besar!"

"Terima kasih, tapi sayang aku tak tertarik lagi, susiok. Untuk apa keluar kalau sudah seperti ini. Aku buta, tak dapat melihat apa-apa lagi...."

Sang hwesio tertegun. Air mata tiba-tiba meleleh dari sepasang kelopak yang kosong itu, kali ini Chi Koan memang benar-benar sedih. Dan ketika ia dipeluk dan si hwesio haru, Chi Koan memejamkan mata maka pemuda itu berkata bahwa ia tak ingin apa-apa lagi, baik hukuman yang ringan atau bebas sekalipun.

"Aku menangkap maksud susiok yang mulia, banyak terima kasih. Namun aku benar- benar tak ingin keluar dari sini, susiok. Di langit atau di bumi akibat dari perbuatanku tetap harus kupikul."

"Hm-hm, kau tiba-tiba seperti anak kandungku sendiri. Ah, menyesal dulu dirimu harus bergaul dengan orang-orang seperti Tujuh Siluman Langit itu, Chi Koan. Kalau tidak tentu tak bakal ada kejadian begini!"

"Susiok tak perlu menyalahkan orang lain. Ingatkah susiok bab 18 ayat 18? Kesalahan orang mudah dicari-cari, susiok. Kesalahan sendiri sering disembunyikan seperti tukang judi menyembunyikan dadunya."

Hwesio itu tertampar. Ayat demi ayat diberikan pemuda ini dan semua menghunjam. Ia melepaskan pemuda itu dan mengusap keringat. Chi Koan yang sekarang benar-benar pandai melebihi pendeta. Anak ini seperti nabi saja! Maka ketika ia tersenyum dan menarik napas dalam iapun pura-pura bertanya bagaimana bunyi ayat itu.

"Ah, kau rasanya melebihi mendiang gurumu saja. Coba bagaimana bunyi ayat itu." "Tidak sukar, paling kuhapal karena merupakan kekeliruan hampir banyak orang!" pemuda itu tertawa, lalu membaca:

Mudah melihat kesalahan orang lain sungguh sukar melihat kesalahan diri sendiri. kesalahan orang lain dicari sampai sekecil-kecilnya seperti mengayak dedek tetapi kesalahannya sendiri disembunyikan seperti halnya tukang judi menyembunyikan dadu yang kalah.

"Ha-ha, kau membuat malu pinceng! Baik, kau lagi-lagi benar, Chi Koan, dan betapa kagumnya pinceng akan perobahan besar-besaran yang kau alami ini. Ah, layaknya kau menjadi Nabi!"

"Hm, susiok jangan membuat malu aku. Aku bekas berandal yang coba menebus kesalahan, susiok. Dipercaya saja sudah harus bersyukur. Ah, aku hanya belajar dan mengulang-ulang saja kitab suci. Kata-kata dan sikap saja tak boleh dibuat jaminan karena yang penting adalah tindak-tanduk dan sepak terjangnya!"

Bayangan di luar semburat. Sam-hwesio, yang mendengar dan mengintai dari situ masih belum pergi. Ia menjaga suhengnya dan melihat semua itu, tertampar tapi tak bisa marah karena Chi Koan seolah kebetulan saja meniru kata-katanya. Padahal sesungguhnya pemuda itu memang memukul dan menghantam mukanya.

Dan ketika dua orang itu kembali bercakap-cakap dan berulang-ulang Chi Koan mengambil contoh-contoh kitab su-ci, sikap dan tutur katanya demikian meyakinkan akhirnya malam itu Ji-hwesio pulang dengan puas. Chi Koan tetap menolak keinginannya merobah hukuman dan menyatakan terima kasih kepada susiok-nya itu.

"Baiklah, pinceng puas akan hasil percakapan malam ini, Chi Koan. Dan pinceng tak akan memaksamu biarpun pinceng mempunyai rencana sendiri. Selamat malam dan sampai bertemu lagi!"

Chi Koan membungkuk dan memberi hormat. Pemuda itu tersenyum-senyum dan kelopak matanya bergerak-gerak. Ji- hwesio terharu menepuk pundak pemuda itu. Dan ketika ia berkelebat dan kesan yang indah membawanya pergi maka di luar sana sutenya bergerak dan menyusulnya pula.

"Lihat," hwesio itu berseri-seri. "Tak ada apa-apa dengan anak itu, sute. Chi Koan benar-benar berobah dan pinceng kagum. Ia seperti Nabi!"

"Hm, jangan terlalu memuji. Musang berbulu domba juga banyak, suheng. Aku mengharap kau tak terlalu terpengaruh dan biasa-biasa saja."

"Ah, kau masih juga curiga?"

"Bukan curiga, suheng, melainkan tak senang kau demikian memuji-mujinya. Ingat bahwa ia membunuh banyak saudara-saudara kita dan siauw-te sendiri belum dapat melupakannya begitu saja!"

"Omitohud, dendam tak baik berlama-lama di hati kita, sute, apalagi sebagai umat Buddha yang agung. Kita adalah pendeta!" "Benar, tapi, ah sudahlah. Perasaanku sendiri menyatakan lain, suheng. Rasanya anak itu sedang mengakali kita. Aku tak tahu apa namun sebaiknya kita tetap waspada saja!"

Sang suheng terbelalak. Mereka berendeng turun dan masih di wilayah pertapaan. Kalau saja sudah jauh di tempat itu barangkali hwesio ini menegur sute-nya. Tapi ketika mereka turun dan tiba di kaki bukit maka Sam-hwesio berbelok dan memisahkan diri dari suhengnya, menghindar dari teguran. Rupanya tahu!

"Suheng, siauw-te masih hendak meronda tempat kita. Pulanglah dulu dan silakan beristirahat!"

Hwesio itu tak dapat menegur lagi. la telah didahului dan sutenyapun berkelebat lenyap, terpaksa ia melanjutkan pulang menuju biara. Dan ketika hwesio itu menghela napas dan beristirahat di kamarnya maka Chi Koan diam-diam mengepal tinju dan mengerotokkan gigi. Tentu saja pembicaraan itupun didengar oleh telinganya yang tajam.

"Hm, tua bangka keparat. Awas kau, Sam-susiok. Sekali waktu kupotong lidahmu!"

Orang bakal tersentak mendengar ancaman ini. Chi Koan yang semula lembut dan kelihatan penurut tiba-tiba saja membesi wajahnya. Batu yang dikepalnya hancur, wajah itu memerah. Tapi ketika ia tersenyum dan duduk membelakangi pintu guha, bersila lagi maka keesokannya pimpinan Go-bi yang terlanjur jatuh sayang dan iba kepada pemuda itu berkunjung lagi.

Ji-hwesio banyak bicara ini itu dan hubunganpun semakin akrab. Jarak yang semula ada tiba-tiba hilang. Dan ketika hwesio itu menawarkan bagaimana seandainya sebelah tangan pemuda itu dibuka borgolnya maka Chi Koan tertawa.

"Susiok, berani mati benar kau ini. Yang berkuasa atas diriku adalah Peng Houw. Bagaimana tanggung jawabmu kalau ia marah." "Hm, pinceng akan membujuknya.

Pinceng tak sampai hati melihat siksaanmu, Chi Koan, dan jelek-jelek kau adalah murid keponakan pinceng. Ah, kenapa terjadi semua ini hingga membuat perasaan pinceng kacau!"

"Tidak sajalah," Chi Koan menolak. "Akupun tetap ingin begini, susiok. Ingatlah bahwa aku masih menjalani hukuman, dan belum hilang kalau bukan Peng Houw sendiri yang meringankannya."

"Hm, pinceng akan minta itu. Kau telah berobah! Eh, kebetulan minggu depan Peng Houw akan ke sini, Chi Koan, dan aku akan bicara dengannya!"

"Terserah susiok, tapi tak mungkin dikabulkan."

Lalu ketika hwesio itu pergi dan Chi Koan tenang-tenang saja maka seminggu kemudian Naga Gurun Gobi itu muncul. Peng Houw tidak tinggal di Go-bi maupun Kun-lun. Seperti kita ketahui isteri pemuda ini adalah murid Kun-lun yang lihai, cucu dari Lui-cu (Mutiara Geledek) Lo-sam bernama Li Ceng. 

Mutiara Geledek itu sendiri tewas dihantam Chi Koan, kepalanya retak. Tapi karena semuanya sudah berakhir dan geger di Hek-see-hwa itu selesai, Chi Koan tertangkap dan dihukum maka Peng Houw yang mengambil Li Ceng sebagai isterinya tidak tinggal di kedua tempat itu.

Baik Go-bi maupun Kun-lun bisa merajuk, masing-masing adalah murid dari kedua partai itu. Dan ketika akhirnya Peng Houw mencari tempat tinggal di Cheng-lim (Hutan Hijau), tempat di mana dulu mendiang Lo-sam tinggal di situ maka di sinilah pemuda itu menjatuhkan pilihannya dan tinggal bersama isterinya di tepian sungai Huang-ho itu.

Pilihan Peng Houw memang tepat. Sang isteri tentu saja lega karena tempat tinggal kakeknya dapat diurus. Hutan ini tenang sementara mereka dapat bercocok tanam di tepian sungai panjang yang subur itu, juga dapat mencari ikan dan menambah lauk bilamana perlu.

Siapa menyangka kalau Peng Houw sudah pergi mencari ikan, dengan caping bambu di kepala dan perahu sederhana. Naga Go-bi itu tampak biasa-biasa saja. Orang hanya akan tergetar oleh pandang matanya yang tajam mencorong, mata yang berkilat oleh daya tenaga sakti.

Tak aneh karena itulah warisan tenaga sakti mendiang Ji Leng Hwesio, tokoh yang dimalui banyak orang kang-ouw dan disegani kawan maupun lawan. Dan karena Peng Houw sudah tiga tahun di tempat ini dan sang isteri akhirnya melahirkan maka kebiasaan Peng Houw untuk berkunjung ke Go-bi atau Kun-lun menjadi berkurang. Punya anak kecil memang repot. Keluarga bahagia yang semula terdiri dua orang ini akhirnya bertambah jiwa, seorang anak laki-laki lahir di tengah mereka.

Dan ketika Peng Houw sering membantu isterinya mengurus anak, mengganti popok dan memberi makan minum maka tiga hari setelah kelahiran pemuda ini masih lupa memberi nama. Di rumah mereka masih tinggal uwak Kin yang membantu proses kelahiran Li Ceng.

"Bagaimana ini," nenek itu tertawa. "Nama apa yang kau berikan kepadanya, siauw-hiap. Masa tiga hari anak kalian belum bernama juga. Lihat ibunya hanya menimang-nimang dan bingung memanggil anaknya!"

"Hm, benar," Peng Houw yang tegar dan gagah menghadapi musuh-musuh tangguh itu kelihatan bingung, gugup. "Nama apa yang ku berikan padanya, uwak Kin. Aku menunggu isteriku namun ia tak bilang-bilang juga!"

"Ih, masa wanita dulu? Kau kepala keluarga, Houw-ko, aku hanya isteri. Tentunya, kau dulu dan aku belakangan, tinggal nimbrung!"

"Hm, enak kalau begitu, wanita selalu di belakang. Aku bingung dan tak tahu harus memberi nama apa kepada anak kita ini, Ceng- moi. Barangkali saja uwak Kin tahu!"

"Wah-wah, aku orang luar mana boleh ikut campur? Kalian keluarga gagah perkasa, siauw-hiap. Kau adalah seorang pendekar. Aku si tua ini orang lemah dan tak bisa apa-apa. Aku orang bodoh!"

"Jangan begitu. Bodoh dalam satu bidang bukan berarti bodoh dalam hal lainnya, uwak Kin. Terbukti aku meskipun pandai namun tak dapat membantu persalinan isteriku. Sudahlah kau tolong kami dan sebutkan nama apa yang pantas."

"Benar, aku setuju. Ini anak pertama kami, kami bingung. Cobalah uwak Kin beri pertolongan siapa tahu nanti cocok!"

Sang nenek terkekeh. Ia dibawa keluarga itu menjelang kelahiran si bayi. Keluarga itu memperlakukannya amat baik dan tentu saja ia senang. Akhirnya ia tahu siapa yang diikutinya ini, Naga Gurun Go-bi yang bernama besar. Dan karena ia orang kecil dan kebetulan sebatangkara, tiada sanak tiada kadang maka nenek itu gembira dan tenteram di rumah tangga ini. Suami isteri itu memperlakukan-nya bagaikan orang tua sendiri.

"Baiklah," katanya. "Bagaimana kalau Boen Siong."

"Boen Siong?"

"Benar, Peng Boen Siong, nyonya. Kalau nama ini bagus untuknya."

"Bagus, aku setuju!" Peng Houw tiba-tiba berteriak. "Ha-ha, nama itu bagus untuk puteraku, uwak Kin. Cocok. Tapi, eh, bagaimana isteriku!"

Li Ceng terkejut. Ia dipandang dan sang suami tampak bersinar-sinar, mata Peng Houw kian mencorong dan sinar itulah yang membuatnya terkejut. Tapi ketika ia tersenyum dan mengangguk maka iapun terkekeh mencium pipi bayinya. "Baiklah, aku ikut kau, Houw-ko. Isteri tinggal menurut saja. Kalau kau rasa cocok biarlah mulai hari ini anak kita bernama Boen Siong, hi-hik!"

Peng Houw gembira. Ia meloncat dan menyambar isterinya lalu mencium kening. Li Ceng terkejut dan terbelalak. Dan ketika uwak Kin kembali terkekeh dan menutupi mukanya maka nyonya itu mencubit dan berseru.

"Hih, apa-apaan kau ini, Houw-ko. Masa tidak tahu ada orang lain di sini. Lihat uwak Kin itu!"

"Ha-ha, terlanjur. Uwak Kin seperti orang tua atau bibi sendiri, Ceng-moi. Cium isteripun tak apa-apa. Eh, bukankah begitu, uwak?"

"Benar, heh-heh. Tapi aku si tua ini jadi malu, siauw-hiap. Kalian membuat aku jadi kepingin. Ih, siapa pasanganku nanti!"

Li Ceng tertawa. Semua akhirnya tertawa ketika si uwak melempar pinggul ke belakang. Uwak Kin mencoba seperti gaya anak muda dan meniru majikannya. Dan ketika hari itu diadakan selamat kecil-kecilan untuk menyongsong si bayi maka Peng Houw merasakan kebahagiaan luar biasa dengan adanya si putera ini. Li Ceng juga bahagia dan hari-hari berikut rasanya begitu cerah. Tapi ketika Peng Houw teringat tugasnya dan harus meninggalkan anak isteri maka dia berkerut kening. Ini terjadi sebulan kemudian.

"Hm, aku harus menengok Go-bi. Bagaimana kalau kalian sendiri di rumah. Dan kau juga harus ke Kun-lun,"

Sang isteri mengerutkan alis teringat kewajiban suaminya. "Ah, sudahlah tak apa-apa, Houw-ko. Pergilah tanpa beban dan biar kami bertiga di sini."

"Aku tak dapat begitu saja. Siapa nanti yang mencari ikan di sungai, atau mencangkul tanah di kebun kita!"

"Wah, bagaimana ini? Aku dapat melakukannya, Houw-ko, tapi canggung juga mencakul tanah!"

"Hush, bukan pekerjaanmu. Urusan itu urusan lelaki, Ceng-moi. Bagaimana kalau meminta tolong uwak Kin saja...."

"Eh, kau mau memperkuda orang tua? Kau menyuruh uwak Kin mencangkul dan mencari ikan?"

"Sabar, jangan memotong dulu. Yang kumaksud adalah pertolongannya mencari anak lelaki untuk pengganti aku sementara, moi-moi. Masa menyuruh orang tua menjala dan mencangkul tanah!"

"Hm, begitu? Baik, kukira apa." Dan sang isteri yang hilang cemberut memanggil nenek itu akhirnya meminta tolong mencarikan seorang kacung.

"Kami tak butuh yang dewasa, anak-anak saja cukup. Asal kuat dan rajin tentu kami suka, uwak Kin. Bisakah kau tolong karena Houw-ko harus ke Go-bi."

"Hm-hm, bisa. Tapi, ah nanti dulu. Kebetulan ada yang cocok, nyonya, tapi bukan seorang. Ada dua orang di sini, kakak beradik. Mereka baru ditinggal mati ayah mereka dan ikut bibinya. Aku teringat Po Kwan dan Siao Yen!"

"Siapa mereka itu?"

"Anak petani Cho. Mereka rajin dan dapat dipercaya. Bagaimana kalau kupanggil."

"Hm, dua orang?"

"Benar, Siao Yen sang adik, siauw-hiap. Po Kwan sang kakak!"

"Umur berapa mereka itu."

"Kira-kira dua belas dan sepuluh tahun, masih tetangga dekatku!"

Peng Houw memandang isterinya. Kalau sang isteri setuju tentu saja dia tak akan menolak. Ada dua anak di situ lebih baik. Dan ketika sang isteri mengangguk dan tampak setuju maka hari itu juga dua anak ini dipanggil. Dan ternyata mereka adalah anak-anak yang kurus dan berpakaian kotor.

"Maaf, mereka anak-anak miskin. Baju yang menempel hanya itu satu-satunya, siauw-hiap. Bibi mereka tak memberi makan cukup dan pakaian lengkap. Aku tak dapat menemukan yang lain."

Peng Houw dan isterinya mengamati. Dua anak ini cepat menjatuhkan diri berlutut ketika bertemu calon majikan, mereka cukup sopan santun dan lembut. Wajah mereka penuh penderitaan namun tarikan bibir mereka kuat. Ada kesan teguh dan gagah pada wajah anak-anak ini. Meskipun mereka miskin. Dan ketika Peng Houw melihat betapa anak laki-laki itu tak mengangkat wajah dan hanya sekilas memandangnya maka dia mendengar kata-kata nyaring namun agak lemah.

"Kami datang mohon pekerjaan seadanya. Uwak Kin membujuk kami ke sini. Kalau ji-wi (anda berdua) tidak keberatan dan dapat menerima kami maka apapun akan kami kerjakan asal halal dan sesuai kemampuan kami!"

"Hm, siapa namamu?"

"Po Kwan, Cho Po Kwan. Dan itu adikku Siao Yen, taihiap. Kami tak mempunyai apa-apa kecuali bertani dan mencangkul. Ini kepandaian kami berdua!"

"Baiklah, kalian kuterima. Tapi kalian dapat bersikap jujur dan tidak tangan panjang, bukan?"

Sorot mata anak lelaki itu tiba-tiba berkilat. "Kami memang anak miskin dan dari keturunan miskin, taihiap. Tapi mendiang ayah kami tak pernah mengajarkan itu kepada kami. Mudah-mudahan kami selalu ingat dan takut kepada kejahatan."

"Bagus," Peng Houw lega, tersenyum dan melirik sang isteri, sengaja mencoba. "Kalau begitu hari ini juga kalian dapat membantu kami, Po Kwan. Dan uwak Kin dapat memberi kalian petunjuk. Di belakang ada ladang yang harus digarap."

Anak itu bangkit dan menjura. Ia menyatakan terima kasih dan sekali lagi Peng Houw mengangguk-angguk. Anak ini tahu sopan. Lalu ketika anak itu menggandeng lengan adiknya untuk mulai diajak bekerja maka Peng Houw memberi syarat kepada uwak Kin untuk memberi dulu anak-anak itu makan.

"Jangan biarkan gontai, langkahnya menunjukkan ia lapar. Beri dan bawa mereka ke dapur, uwak Kin. Suruh makan dulu."

"Tidak mau," uwak itu menggeleng. "Di sana tadi sudah kubujuk, siauw-hiap, tapi mereka tak mau makan sebelum bekerja. Ayah mereka menyatakan pantang untuk makan dulu kalau belum bekerja."

"Hm, begitu. Coba panggil!"

Peng Houw tertarik dan memandang dua anak yang sudah keluar itu. Kakak beradik itu jelas gontai namun serasa ditegap-tegapkan. Lucu juga namun mengundang haru. Dan ketika uwak Kin memanggil dan melambaikan tangan maka dua anak itu kembali dan sikap Po Kwan terhadap adiknya yang demikian penuh tanggung jawab mengharukan juga perasaan suami isteri ini. Peng Houw tiba-tiba tertarik dan merasa suka.

"Po Kwan, ke sini dulu. Majikan memanggilmu!"

Dua anak itu datang. Mereka menjura dan memberi hormat dan Peng Houw tiba-tiba mengelus kepala anak lelaki ini. Bentuk kepala yang kuat dan kokoh diraba, sekejap tahulah Peng Houw bahwa anak lelaki ini calon seorang ahli silat yang baik. Dan ketika ia menyambar sang adik dan mendapat kenyataan yang sama maka ia tertawa berkata,

"Po Kwan, kalian harus makan dulu sebelum bekerja. Kalian belum sarapan. Ayo makan dan baru setelah itu ke belakang!"

"Maaf," anak itu berlutut. "Kami diajarkan ayah untuk tidak menerima hasil terlebih dahulu, taihiap. Bekerja adalah yang utama dan makan nomor dua. Kami tak mau dibalik."

"Tapi perut kalian kosong, jalanpun sempoyongan. Mana mungkin bertanam dan mencangkul, Po Kwan. Makan dulu dan nanti bekerja!"

Akan tetapi anak itu menggeleng. Ia tetap bersiteguh bahwa makan nanti dulu, bekerja yang utama. Lalu ketika Peng Houw tertegun melihat kekerasan hati anak ini maka tiba-tiba ia berseru,

"Eh, kalian berani membantah majikan? Ini perintahku, Po Kwan. Kalau ayah kalian baik tentunya tak mengajarkan untuk melawan majikan. Nah, makan dulu atau tak usah menjadi pembantuku!"

Anak itu terkejut. Dipojokkan dan dipepetkan sedemikian rupa tiba-tiba ia terpaku. Kata-kata Peng Houw diucapkan sedemikian rupa dan membawa-bawa pula ayah anak itu. Dan ketika anak ini tertegun dan tentu saja tak mau dikata ayahnya jelek, mengajarkan anak untuk melawan majikan maka apa boleh buat ia mengangguk dan bangkit menggandeng adiknya.

Peng Houw cerdik memaksa anak ini dan sang isteri tersenyum. Li Ceng tiba-tiba tertarik dan senang kepada anak-anak ini. Betapa teguh dan keras pendirian anak-anak itu. Mereka cukup berpendidikan. Dan ketika dua anak itu ke dapur dan uwak Kin terkekeh maka selanjutnya dua anak itu membantu Peng Houw di rumah dan kepergiannya ke Go-bi tak ada masalah. Ia dapat meninggalkan rumah dengan tenang dan tak lama kemudian pemuda ini berangkat.

Utusan Go-bi datang ke tempatnya beberapa waktu berselang, bertanya kenapa tak pernah muncul dan dijawab bahwa waktu itu ia tak dapat meninggalkan isterinya. Sang isteri hamil tua dan Peng Houw berjanji bahwa setelah ini akan datang. Maka ketika janji itu harus dipenuhi dan tiba waktunya untuk berangkat iapun meninggalkan anak isterinya dan dapat dibayangkan betapa gembira para susioknya menerima kedatangannya.

"Aha, ini tamu yang kutunggu-tunggu. Eh, apa kabar isterimu, Peng Houw. Sudah melahirkan atau belum!"

"Dan pinceng ingin mengetahui laki-laki atau perempuan. Omitohud, bagaimana keadaannya, Peng Houw. Kau tampak berseri-seri!"

Pagi itu Peng Houw tiba di Go-bi dan disambut oleh Ji-hwesio dan Sam-hwesio. Seperti biasa ia memberi hormat dan menjura di depan susioknya ini. Meskipun ia murid mendiang Ji Leng Hwesio namun karena hwesio itu hanya mengajarkan Bu-tek-cin-keng maka Peng Houw lebih merasa sebagai cucu murid kakek itu daripada sebagai guru. Gurunya adalah Lu Kong Hwesio dan Giok Kee Cinjin.

Yang pertama adalah guru rohani sedang yang kedua adalah guru silat. Keduanya sudah meninggal gara-gara keributan di Go-bi. Dan karena Ji-hwesio maupun Sam hwesio ini adalah sute (adik seperguruan) mendiang Lu Kong Hwesio, juga sute dari Beng Kong Hwesio yang menjadi guru pertama dari Chi Koan maka ia tetap menganggap mereka sebagai paman guru meskipun tentu saja kepandaian dua hwesio ini jauh di bawahnya.

"Terima kasih," Peng Houw tersenyum. "Baik-baik saja, susiok. Dan anakku laki-laki."

"Omitohud, calon pendekar muda seperti ayahnya? Ha-ha, selamat, Peng Houw. Pinceng merasa bahagia melihat kebahagiaanmu. Mari masuk, kita duduk di dalam!"

Peng Houw dibawa dan diajak masuk dua susioknya ini. Para murid yang melihatnya memberi hormat dari jauh dan berseri-seri. Datangnya jago muda ini ternyata menggembirakan semua orang. Dan ketika Peng Houw duduk dan bercakap-cakap sebagai basa-basi awal maka akhirnya seperti yang dilakukan dia bertanya tentang Chi Koan. Inilah tugasnya setiap datang ke Go-bi, mengawasi dan menanyakan si buta itu.

"Hm, bagaimana Chi Koan? Tak ada apa-apa, bukan? Dia tak mengganggu kalian?"

"Tidak tidak, justeru perkembangannya menunjukkan arah yang baik. Hm, pinceng memang ingin bicara tentang ini, Peng Houw, dan sebelumnya telah rasan-rasan dulu dengan Sam-susiokmu ini!"

Peng Houw tersenyum. "Susiok mau bicara tentang apa. Syukur kalau Chi Koan baik-baik saja."

"Begini," Ji-hwesio membenarkan letak duduknya. "Pinceng terharu dan iba melihat penderitaannya, Peng Houw. Dan karena akhir-akhir ini semua orang melihatnya berkembang ke arah yang baik maka pinceng ingin usul bagaimana kalau kita merobah hukumannya!"

Peng Houw terkejut, tidak menyangka. "Susiok minta agar ia dibebaskan saja?"

"Tidak... tidak, bukan begitu. Maksudku jangan dihukum seumur hidup melainkan diganti dua puluh atau tiga puluh tahun saja. Nanti, apabila berkembang lagi maka hukumannya dapat diperkurang setahun dua sampai akhirnya betul-betul bebas. Bukan bebas langsung begitu saja!"

"Hm-hm, bagaimana pendapat Sam- susiok?" Peng Houw bertanya, hati-hati dan tentu saja bertanya pendapat susioknya yang lain. "Kalau susiok merasa pantas barangkali boleh-boleh saja. Namun kita harus berhati-hati, Chi Koan bukan sembarang penjahat!"

"Nah, itulah," Sam-hwesio mengangguk dan bersinar-sinar. "Pinceng sendiri juga berpandangan begitu, Peng Houw. Anak itu bukan sembarang penjahat dan dikhawatirkan kambuh!"

"Nanti dulu, kau jangan apriori kepadanya, sute. Chi Koan sudah berobah dan kita sama melihatnya!" Ji-hwesio tiba-tiba berseru.

"Hm, benar, tapi hati-hati dan kewaspadaan tetap harus dipasang, suheng. Kau lihat bahwa Peng Houw tidak begitu saja menerima!"

"Benar, dan pinceng juga tidak bermaksud membebaskannya seperti burung keluar sangkar. Pinceng hanya bermaksud meringankan hukumannya!"

"Eh, ji-wi susiok jangan bertengkar," Peng Houw melerai dan tersenyum, segera melihat perbedaan sikap dua orang ini. "Ada omongan bisa diomong, susiok. Dan sebaiknya Ji-susiok menahan sabar sebentar karena aku sedang menanya Sam-susiok."

Dua hwesio itu tersipu. Akhirnya mereka sadar bahwa di depan orang lain kembali masing-masing hendak bersitegang leher. Sam-hwesio masih memiliki prasangka buruk. Dan ketika mereka mengangguk dan Ji-hwesio menarik napas dalam maka pimpinan Go-bi ini menahan diri mengebutkan ujung lengan baju.

"Maaf, pinceng terbawa emosi, Peng Houw. Mendongkol juga kalau Sam-susiokmu ini selalu menentang!"

"Siauw-te tidak menentang, hanya menyatakan isi hati dan pandangan saja. Maaf kalau kau tersinggung, suheng, tapi semua ini demi kebaikan bersama."

"Sudahlah, harap Sam-susiok katakan padaku bagaimana pandangan susiok tentang Chi Koan."

"Memang akhir-akhir ini ia baik, kuakui. Tapi semua itu bisa saja dibuat-buat, Peng Houw. Pinceng merasa ada sesuatu yang disembunyikan anak itu, entah apa!"

"Sute terlalu curiga," Ji-hwesio mengomel, kembali tak tahan. "Kalau tak tahu apa yang disembunyikan kenapa harus menuduh? Kita sebagai orang-orang tua tak boleh mengotori hati sendiri, sute, harus membersihkannya sebagaimana ajaran kitab suci!"

"Ah, suheng keliru. Aku tidak menuduh melainkan hanya menduga saja, kusimpan dalam hati. Siapa mendakwa orang lain tanpa bukti? Kau terlalu perasa dan emosionil, suheng. Aku tidak bersikap seperti yang kau anggap!"

"Sudahlah, jiwi-susiok kenapa kembali bertengkar. Kalau begini kapan aku diajak bercakap-cakap?"

"Omitohud, pinceng salah. Maafkan, Peng Houw. Kami orang-orang tua ini memang selalu tak dapat menahan diri. Bicara tentang Chi KOan berarti memancing emosi karena adanya dua pendapat!"

"Hm, sudahlah," Peng Houw tersenyum. "Aku tak menyalahkan jiwi karena siapapun rasanya benar. Masing-masing memiliki pendapat berbeda atas hasil pengamatan yang berbeda pula. Aku siap mendengarkan kalian dan tak usah khawatir membela yang satu menentang yang lain."

Dua orang itu sama-sama memerah. Didepan Peng Houw yang masih muda ini sesungguhnya mereka seperti berhadapan dengan guru mereka yang bijak. Pemuda ini selalu sareh dan tenang. Dan ketika kembali sikap itu ditunjukkan dan mereka tersipu maka pertanyaan kembali ditujukan kepada Sam-hwesio.

"Sekarang bagaimana jawaban Sam-susiok. Apa pandangannya dan bagaimana menurut pendapat susiok."

"Pinceng pada dasarnya tidak menentang. Hanya pinceng hendak menekankan kehati-hatian dan kewaspadaan, Peng Houw. Pinceng bersikap sebaliknya tapi intinya sama dengan suheng."

"Hm, bagaimana itu. Tidak sama tetapi sama!"

"Benar, begini, Peng Houw. Biarlah suheng tahu dan dengar pula. Menurut pinceng sebaiknya urusan ini tak usah diputuskan sekarang. Suheng bermaksud merobah hukuman dari seumur hidup menjadi dua puluh atau tiga puluh tahun saja. Nah, bagaimana jika kita sama-sama menunggu waktu itu saja?

Kalau Chi Koan tetap baik dan benar-benar berobah maka saat itu juga kita bebaskan, Peng Houw, tak usah diberi tahu sekarang karena manusia sewaktu-waktu dapat berobah. Lagi pula apa gunanya dibicarakan sekarang kalau tiba-tiba, maaf, Chi Koan berumur pendek oleh sakit atau apa!"

"Hm-hm, benar," Peng Houw mengangguk-angguk, melihat cara berpikir susioknya ini lebih tepat dan masuk akal. "Rasanya semua omonganmu ini tidak salah, Sam-susiok. Apa gunanya dibicarakan sekarang kalau orang yang dimaksud tiba-tiba tiada di tengah jalan. Kematian tak dapat diketahui siapapun, sewaktu-waktu dapat datang. Benar juga dan aku setuju.”

Dan Wajah Ji-hwesio berubah. Ia tergetar dan mengakui kata-kata sutenya itu namun entah kenapa mendadak ia ingin berontak. Peng Houw rasanya setuju dan sependapat dengan itu. Dan karena merasa kalah dan di bawah angin maka ia berseru mengebutkan lengan baju. "Sute, kalau begitu kau menyalahkan pinceng. Pendapatmu tampaknya benar tapi memiliki kelemahan!"

"Hm, kelemahan apa," Sam-hwesio terkejut, Peng Houw juga.

"Jangan emosi, suheng. Rasanya Peng Houw juga akan mendengarkan pendapatmu."

"Benar," Peng Houw mengangguk, pamannya yang satu ini rupanya meradang. "Tak ada yang kutinggalkan, susiok. Kata-kata dan pandanganmupun pasti kudengarkan."

"Omitohud," hwesio itu semburat. "Pinceng bukannya marah melainkan hendak menunjuk kelemahan sistim ini. Ada hal-hal yang dapat merugikan Chi Koan apabila itu ditrapkan!"

"Baik, kalau begitu bagaimana keterangan suheng?"

"Ada yang bertolak belakang dengan perikemanusiaan, sute. Yakni bagaimana kalau kebaikan Chi Koan tiba-tiba tak berguna begitu saja."

"Maksud suheng?"

"Begini, pinceng bermaksud memberinya keringanan hukuman, memberitahukannya dan itu akan merupakan bantuan moral yang besar. Kalau sekarang tak pernah kita sebut-sebut dan nanti saja dua puluh atau tiga puluh tahun lagi padahal anak itu benar-benar berobah bukankah akan mubazir kalau di tengah jalan Chi Koan tiba-tiba meninggal? Kita sendiri sama mengakui bahwa tak ada satupun yang dapat mengetahui kematian, sute. Apa artinya maksud baik ini kalau tak pernah diberitahukan, terlambat!"

Sam-hwesio terkejut. Berondongan kata-kata suhengnya dan sikap berapi-api di sertai semangat dan mata bersinar-sinar itu membuatnya terhenyak. Ia ditunjuk memiliki kelemahan pula. Sistemnya merugikan Chi Koan, padahal maksud mereka sama-sama ingin meringankan hukuman pemuda itu. Dan ketika ia terpaku dan tak dapat menjawab, Peng Houw mengangguk-angguk melihat kebenaran ini pula maka pemuda itu kagum dan melihat bahwa ada yang menarik di antara dua pendapat yang tampaknya bertentangan tapi memiliki maksud sama ini.

"Hm, aku mengerti, benar juga. Ji-susiok tidak salah. Ternyata kalian sama-sama benar dan juga sama-sama memiliki kelemahan. Benar katamu bahwa apa gunanya membebaskan Chi Koan kalau di tengah jalan terjadi musibah, susiok. Bukankah semua kebaikan dan rasa taubat pemuda itu tak kita imbangi. Hm, mengerti aku. Tudingan Ji-susiok tidak salah dan sepenuhnya benar. Aku dapat menangkap maksud dan isi hati Ji-susiok yang mulia. Ji- susiok tak ingin rasa taubat Chi Koan sia-sia."

"Nah, itu benar sekali! Pinceng memang.maksudkan begitu, Peng Houw. Bukankah kasihan dan sayang kalau selama ini anak itu benar-benar bertaubat tapi kita tak memberinya imbalan hukuman yang ringan. Kita bakal disalahkan secara moral, orang sudah menjadi baik namun tetap juga dihukum!"

Peng Houw mengangguk-angguk. Sam-hwesio ganti berubah dan wajahnya memerah. Sekarang hwesio ini yang penasaran. Dan ketika ia mengangguk-angguk namun berseru mengebutkan jubah maka ganti kata-katanya mengejutkan sang suheng. "Tidak adil! Kita rasanya menghakimi tawanan seperti Chi Koan milik kita sendiri, suheng, padahal jelas Peng Houwlah penentunya. Kau maupun aku hanya memberikan pendapat dan biarkan Peng Houw bersikap pula. Kita hanya di luar, jangan mempengaruhi Peng Houw!"

Ji-hwesio terkejut. Ia sudah merasa senang bahwa Peng Houw mulai berpihak padanya, tak disangka bahwa sutenya berseru bahwa mereka berdua hanyalah orang-orang "luar". Yang lebih berhak,yang berkompeten adalah pemuda itu. Peng Houwlah yang memutuskan, bukan mereka! Dan ketika hwesio itu sadar dan menepuk paha sendiri maka ia menyeringai masam mendengar pemuda itu tertawa.

"Jiwi-susiok sama-sama keras kepala, keras pendirian, tak mau kalah. Ah, kalian membuat aku bangga, susiok. lni berarti bahwa masing-masing berkepribadian dan tak mudah dihasut orang lain. Sudahlah, kalian benar tapi jangan kira keputusan mutlak di tanganku. Tanpa urun rembug atau pendapat kalian tentu aku tak berani gegabah memutuskan masalah ini. Baik, aku berterima kasih. Namun jawaban dari semua ini tentunya harus kubuktikan dengan melihat sendiri keadaan pemuda itu, bagaimana sesungguhnya. Apakah susiok mau mengantar aku ke tempat Chi Koan? Orang yang benar-benar bertaubat tentunya dapat menghilangkan iri dengki. Nah, maukah susiok menemani aku dan kita lihat keadaan Chi Koan!"

Dua hwesio itu mengangguk. Mereka saling pandang dan masing-masing tertawa geli. Tak dapat ditahan lagi wajah merekapun semringah (gembira). Adu debat ini membuat mereka seri, masing-masing tak ada yang kalah. Masing-masing menang tapi tak menang pula. Dan ketika keduanya bangkit dan tentu saja tak menduga bahwa pembicaraan itu didengar Chi Koan, jauh di atas bukit pertapaan maka Peng Houw yang juga tak menyangka ketajaman telinga si buta itu tenang-tenang saja menuju ke tempat tawanan.

"Baiklah, mari , susiok. Kulihat sendiri bagaimana keadaan Chi Koan sekarang."

Tiga orang itu bergerak. Peng Houw berkelebat dan dua paman gurunya menyusul. Akan tetapi karena kepandaian Peng Houw tak mungkin ditandingi dan pemuda itu sengaja memperlambat maka Ji-hwesio maupun Sam-hwesio diajaknya berendeng dan ini lagi-lagi membuat dua hwesio itu kagum.

Peng Houw selalu hormat dan menghargai yang lebih tua dan tak pernah sombong. Hal ini menimbulkan segan dan hormat bagi orang lain. Dan ketika akhirnya mereka tiba di guha pertapa itu dan Peng Houw menarik napas dalam maka iapun masuk dan menekan perasaannya yang berdebar. Selalu begitu apabila, bertemu Chi Koan, kawan tapi juga lawan bebuyutannya...!

Kabut Di Telaga See Ouw Jilid 04

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-beng Sian-su Karya Batara

Kabut Di Telaga See Ouw Jilid 04


AKAN tetapi Beng Kong akhirnya dipengaruhi Chi Koan. Hwesio itu dibujuk dan mendengar kata-kata berbisa muridnya. Guru dan murid yang semula bertengkar itu akhirnya bersatu, Peng Houw dikeroyok. Tapi karena berdatangan orang-orang lain dan Peng Houw sendiri dapat bertahan dari keroyokan ini, dua orang itu juga sudah babak-belur maka Beng Kong akhirnya tewas sementara Chi Koan roboh di tangan musuh bebuyutannya itu.

Pemuda ini ditangkap dan dibawa ke Go-bi dan akhirnya menerima hukuman seumur hidup. Dan ketika di sini pula Chi Koan menjadi buta, dilukai paman gurunya maka pemuda itu geram dan benci bukan main terhadap Go-bi, terutama Peng Houw. Gara-gara pemuda ini dia tak dapat bergerak lagi. Gara-gara Peng Houw dia dilukai orang.

Tapi karena Chi Koan adalah pemuda yang pandai menekan perasaan dan kebencian maupun kemarahannya itu dapat disembunyikan dengan baik, setahun kemudian dia mulai menghapal kitab-kitab suci kembali maka suaranya yang nyaring dan lantang dari guha pertapaan terdengar sampai ke bawah dan banyak anak murid Go-bi melengak.

Syair-syair indah dibunyikan. Ada kesan bahwa pemuda itu sudah bertobat. Dan ketika tahun kedua dan ketiga tindak-tanduk pemuda itu juga semakin manis maka pimpinan Go-bi yang waktu itu dipegang Ji-hwesio tergerak hatinya. Hwesio ini berpikir bahwa kejamlah hukuman seumur hidup. Chi Koan sudah berobah. Maka ketika dipanggilnya seorang sutenya untuk bicara tentang ini maka Sam-hwesio, wakil pimpinan mendengarkan dengan alis berkerut.

"Pinceng rasa bahwa semuanya perlu diperbaiki. Tatanan lama dilihat ulang dan anak itu tak perlu dihukum seumur hidup. Bagaimana pendapatmu kalau ia diberi keringanan, sute, misalnya dua puluh tahun atau tiga puluh tahun. Lihat bahwa ia berobah!"

Kebetulan waktu itu Chi Koan melengking nyaring dengan syair-syair Dhammapada. Pagi itu suasana begitu indah dengan burung-burung berkicau di udara. Hawa berhembus segar dan angin gurun terasa lembut. Semuanya ini mempengaruhi perasaan. Dan ketika sang wakil pimpinan tergerak dan mengangguk-angguk maka iapun mendengarkan Chi Koan yang melantunkan suaranya dengan nyaring dan lantang. Kebetulan yang disindir adalah mereka:

Orang yang mencari kebahagiaan tetapi menyakiti mahluk lainnya yang juga mencari kebahagiaan maka ia tak akan mendapatkan kebahagiaan setelah kematiannya

"Hm, bab sepuluh ayat tiga," dua hwesio itu mengangguk-angguk. "Chi Koan menyindir kita, sute. Pinceng jadi malu melihat ini!"

"Benar, kita adalah orang-orang beragama yang mencari kebahagiaan, pinceng juga merasa kena. Tapi masalah ini rupanya tak boleh sembarang diputuskan, suheng. Kau tahu bahwa yang berhak adalah Peng Houw. Pinceng tak dapat bicara apa-apa kalau bukan pemuda itu sendiri yang bicara."

"Tapi kau dapat memberi pandangan. Bagaimana misalnya kesanmu selama ini, tidakkah kau lihat bahwa pemuda itu sudah mulai berobah!"

"Sikap dan suaranya memang begitu, tapi entahlah bagaimana isi hatinya."

"Kau masih curiga?"

"Omitohud, pinceng tak berani bicara seperti itu, suheng, namun sebagai manusia biasa agaknya lebih tepat kalau pinceng katakan bahwa pinceng bicara secara hati-hati saja."

"Benar, tapi nada suaramu agak miring, sute. Kau seakan tak menyetujui keinginan pinceng!"

"Ah, suheng terlalu mulia. Suheng mudah tergerak. Siauw-te tak berani berkata seperti itu, suheng. Betapapun siauw-te (aku) hendak menekankan keberhati-hatian saja!"

"Baik, tapi tentunya pinceng juga ingin mendengarkan pendapatmu yang lebih jelas, terang. Apakah tak layak kalau anak itu mendapat keringanan hukuman!"

"Hm, suheng mendesak, baiklah. Menurutku Chi Koan ini mahluk yang amat berbahaya, suheng. Dia cerdik dan licin melebihi ular. Tingkah laku dan tindak-tanduknya yang lalu masih membekas terlalu dalam di hatiku. Kalau ada perobahan setahun dua saja aku masih tak berani buru-buru, apalagi semua itu masih dalam sikap dan tutur kata. Dan kita sama tahu bahwa sikap dan tutur kata dapat dibuat-buat, artinya belum tentu sama dengan isi hatinya!"

"Hm-hm, kalau begini keinginan baik pinceng rupanya belum bakal terlaksana. Kau benar, tapi pinceng akan mernbuktikannya, sute, dan mudah-mudahan kita dapat bersikap obyektip!"

Sang sute mengangguk menarik napas dalam. Pembicaraan pagi itu berhenti sejenak dan masing-masing tahu keadaan pribadi. Sam- hwesio mengetahui niat baik suhengnya sedangkan sang suheng tahu jalan pikiran sutenya. Dan ketika mereka menikmati indahnya keheningan maka suara Chi Koan terdengar lagi, lembut namun kuat, penuh getaran dan perasaan:

Taklukkanlah kemarahan dengan Cinta Kaaih Taklukkanlah kejahatan dengan kebaikan Taklukkanlah kekikiran dengan berderma Taklukkanlah kebohongan dengan kejujuran

"Ah, bab tujuh belas ayat tiga," sang pimpinan berseru lagi, mengangguk-angguk. "Chi Koan itu rupanya hapal semua isi kitab suci, sute. Pinceng kagum!"

"Ya, siauw-te juga. Namun orang yang hapal kitab suci belum tentu pandai melaksanakannya, suheng. Orang yang tahu belum tentu mengerti, sedang orang yang mengerti pasti tahu!"

"Hm-hm, pinceng paham. Kau masih mengingatkan pinceng secara halus agar tidak cepat terpengaruh olehnya, bukan? Terima kasih, kau benar. Tapi pinceng memiliki sudut pandang yang berbeda, sute. Pinceng teringat sebuah ayat dari bab dua puluh ayat lima!"

"Tentang ketidak kekalan?"

"Benar, kaupun tahu. Coba kau ingat itu dan lihat apakah keliru!" Sang sute menarik napas dalam. Bab dua puluh ayat lima bicara tentang sesuatu yang berubah-ubah, ketidak kekalan. Dan ketika ia mengangguk mengingat ayat itu maka hwesio inipun membaca, seperti orang berliam-keng (baca doa).

Segala sesuatu ini adalah selalu berubah- ubah, kalau orang telah menyadari hal ini dengan kebijakaanaan kemudian ia merasa jemu dengan penderitaan ini adalah jalan pembersihan.

"Hm, benar. Itu! Bagaimana, sute?"

"Aku mengakui, tapi keberhati-hatian tetap harus dilakukan, suheng. Entah kenapa aku belum percaya penuh."

"Tapi pinceng percaya itu, Chi Koan mulai berobah!"

"Baiklah, aku tak menentangmu, suheng, hanya tetap pasanglah kewaspadaan dan kehati-hatian. Masalah Chi Koan lebih berhak ditangani Peng Houw daripada kita."

"Pinceng tahu, dan tak perlu terlalu khawatir!" lalu ketika mereka berdua mendengarkan syair-syair yang lain dari Chi Koan maka tampak bahwa sang suheng lebih gembira sementara sang sute masih berkerut kening. Ada perbedaan di hati pimpinan Go-bi ini, dengan sang ketua lebih percaya dan ingin meyakinkan sutenya sementara sang sute masih tenang dan dingin-dingin saja. Hal ini tidak aneh karena Ji-hwesio orangnya lebih tergerak, lunak dan mudah pemaaf dibanding sute-nya yang keras dan amat disiplin.

Wakil pimpinan ini tak begitu mudah tergerak walaupun akhir-akhir ini Chi Koan memang berobah, sikap dan tindak-tanduknya lembut. Sekarang para murid tak perlu takut lagi mengantar makanan atau minuman, mereka bahkan diajak bercakap-cakap dan bicara, layaknya saudara. Dan ketika akhirnya pembicaraan ditutup karena sang sute akan melaksanakan tugas, mengontrol pekerjaan para murid maka sore harinya pimpinan Go-bi ini memanggil seorang murid bagian konsumsi untuk memberikan makanan Chi Koan kepadanya.

"Pinceng hendak mengantar makanan itu ke atas. Siapkan saja di sini dan biar pinceng yang membawa."

"Ah, suhu hendak mengantarnya sendiri?"

"Benar, Giok-seng. Berikan pada pinceng dan kembalilah ke tempatmu."

Anak murid itu tertegun. Baru kali ini pimpinan Go-bi hendak mengantar makanan pada Chi Koan, seorang tawanan. Tapi ketika ia mengangguk dan berlari pergi, sore itu jatah makan malam Chi Koan sudah disediakan maka dengan langkah tenang dan wajah berseri hwesio ini berkelebat dan beberapa murid lain terbelalak karena pimpinan mereka membawa nampan! Bukan kecanggungan bagi hwesio ini untuk bekerja seperti itu, bahkan sikapnya menjadi tauladan dan para murid menaruh hormat.

Sang pimpinan yang tidak segan-segan menggantikan tugas justeru membuat para murid kikuk. Mereka akan bertugas lebih baik lagi dan penuh disiplin. Dan ketika sore itu juga hwesio ini mendaki ke atas maka guha pertapaan itu dimasuki dan Chi Koan yang tertegun mendengar langkah ringan segera tahu bahwa bukan murid biasa yang kali ini datang.

Biasanya, seperti yang sudah-sudah jatah makanan dibawa seorang murid dan Chi Koan menerimanya dengan mulut tersenyum. Keganasannya lenyap, licik dan sombongnya juga tidak pernah terlihat lagi. Namun ketika kali ini telinganya yang tajam mendengar kaki yang ringan berjingkat, jelas bukan murid biasa maka pemuda ini maklum bahwa seorang lawan atau kawan mendatangi dirinya.

Ji-hwesio belum mengeluarkan suaranya hingga tak dapat dikenal. Akan tetapi Chi Koan adalah pemuda yang kini sudah memiliki ketabahan tinggi. Sikapnya semakin tenang dan kepercayaan diripun bertambah kuat. Tiga tahun di guha tawanan tidak dilewatkannya sia-sia, dia mempertajam daya pendengarannya sebagai gantinya kedua mata.

Bahkan demikian tajam telinga pemuda ini hingga sesungguhnya tadi pagi ia mendengar pembicaraan pimpinan dan wakil pimpinan Go-bi itu. Chi Koan sesungguhnya dapat memantau gerak-gerik yang terjadi di bawah dengan sepasang telinganya yang tajam itu.

Maka ketika diam-diam ia tersenyum dan tertawa aneh, percakapan di bawah sana tertangkap olehnya maka segera ia tahu bahwa Hwesio pimpinan Go-bi ini simpati kepadanya, tidak seperti Sam-hwesio! Akan tetapi Chi Koan tak dapat tahu siapakah kawan atau lawan yang mendekat. Dia telah mendengar desir angin gerakan pimpinan Go-bi ini dan diam-diam terkejut. Sejak mendaki gunung tadi pemuda ini sudah tahu!

Maka ketika dia duduk bersila dan pura-pura tak tahu, membalik atau menghadapi dinding guha maka Ji-hweio tersenyum dan penuh haru memandang punggung pemuda ini, yang sesungguhnya juga masih murid keponakannya.

"Omitohud!" akhirnya hwesio itu berseru, cukup mengamati dan memperhatikan pemuda ini. "Selamat sore, Chi Koan. Pinceng datang membawa makanan!"

Chi Koan kaget. Tak disangkanya bahwa yang datang adalah pimpinan Go-bi sendiri. Pantas, gerak kaki itu begitu ringan. Ia sudah siap untuk menghantam dan membalik kalau tiba-tiba diserang. Dan ini tentu berarti bahaya bagi hwesio itu! Maka ketika Chi Koan membalik dan kelopaknya yang kosong bergerak-gerak, antara heran dan tercengang tiba-tiba ia berlutut dan empat rantai baja di pergelangan kaki tangannya bergemerincing ketika berbenturan satu sama lain.

"Ah, susiok kiranya. Satu kehormatan besar bagiku. Maaf, kenapa kau datang dan mengantar sendiri makanan untukku, susiok. Bukankah kehormatan berlebih bagiku seorang pesakitan!"

"Hm, pinceng memang ada maksud," hwesio itu tersenyum, mengebutkan ujung lengan bajunya penuh haru. "Pinceng datang karena ingin bercakap-cakap dengan mu, Chi Koan. Sebagai seorang dengan seorang lainnya secara bersahabat. Terimalah makanan ini dulu dan isi perutmu!"

Chi Koan mengangkat wajahnya dan menerima penampan itu. Sang susiok membangunkannya dan alangkah mudahnya sekali hantam merobohkan hwesio itu. Pimpinan Go-bi ini rupanya sembrono! Tapi Chi Koan yang waspada dan cerdik mencurigai sesuatu tentu saja tak mau melakukan ini.

Dia yakin bahwa dirinya sedang dalam sebuah ujian, dan hal itu benar karena Ji-hwesio sesungguhnya bersiap-siap dan akan menyerangnya balik kalau si buta itu macam-macam. Sebuah bola hitam terdapat di bawah lengan bajunya, bola baja yang akan meledak dan menghantam pemuda itu menghamburkan ribuan jarum halus.

Chi Koan bisa celaka meskipun hwesio itu roboh. Tapi ketika pemuda ini tidak melakukan apa-apa dan sang hwesio lega, kepercayaannya semakin kuat maka Chi Koan meletakkan nampan itu dan wajahnya menunjukkan keheranan dan ketidak mengertian yang dalam, wajah yang kebodoh-bodohan dan jujur, begitu!

"Maaf, susiok, apa artinya semua ini. Di mana Giok-seng, atau Hak-lim. Bukankah seharusnya mereka yang mengantar dan bukan seorang ketua Go-bi!"

"Hm, sudah kusebut bahwa kehadiranku ingin bercakap-cakap denganmu, sebagai orang dengan seorang yang lain dalam suasana bersahabat. Pinceng telah sering mendengar kau melantunkan bait-bait kitab suci, Chi Koan, dan pinceng tertarik. Kau tampaknya mulai mendalami persoalan agama!"

"Ah, susiok membuatku rnalu," pemuda itu tertawa, lalu tiba-tiba menarik napas dalam. "Bukan maksudku untuk pamer hapalan, susiok. Apa gunanya tahu isi kitab suci namun tak dapat mempraktekkannya. Bukankah seperti seorang sombong yang berlagak di depan orang bijak. Aku melantunkan isi-isi kitab suci dengan nyaring agar semuanya itu meresap dan masuk ke otakku dengan dalam. Bukan sekedar otak melainkan hati, hatiku!"

Ji-hwesio kagum. Chi Koan demikian bersungguh-sungguh dan tentu saja dia semakin girang. Pemuda ini mulai banyak berubah. Dan ketika ia mulai mengangguk- angguk dan semakin percaya, pemuda ini begitu bersungguh-sungguh maka Chi Koan berkata lagi bahwa dia ingin berobah.

"Aku teringat ayat indah dari kitab Dhammapada, bab 20 ayat 5. Ah, isi ayat ini benar-benar tepat, susiok. Tak ada sesuatu yang kekal di dunia ini, termasuk aku. Dan aku harus melakukan pembersihan atau selamanya bakal tolol dan tetap dalam penderitaan. Manusia bakal berubah!"

"Hm, kau maksudkan bagaimana? Apa yang kau artikan?" "Artinya aku ingin menebus dosaku, susiok, melakukan segala kebaikan di manapun aku berada, bahkan di tempat ini. Itulah sebabnya kulantunkan ayat-ayat kitab suci dengan nyaring dan lantang agar selain aku ada orang lain mendengar supaya tidak melakukan kekeliruan hidup. Manusia tolol saja yang membenamkan diri dalam kesenangan dan nafsu lahiriahnya. Dan aku telah melihat itu!"

"Omitohud, kau mulai bijak. Ha-ha, sungguh perobahan besar terjadi padamu, Chi Koan. Namun sayang bahwa keadaanmu seperti ini!"

"Tak apa, justeru aku merasa bangga dan bahagia, susiok. Aku bangga dan bahagia karena aku berdekatan dengan orang-orang baik sepertimu ini, juga murid-murid Go-bi yang lain."

Ji-hwesio menarik napas dalam. Pembicaraan berhenti sebentar karena Chi Koan tiba-tiba miringkan kepala. Telinga kirinya bergerak. Ada gerakan di luar yang ditangkap pemuda itu. Namun ketika ia tersenyum dan kembali seperti semula maka hwesio Go-bi ini tak tahu bahwa seseorang mendekati tempat itu, masih jauh di bawah bukit.

"Hm, pinceng ingin , mendengar lebih jauh tentang pandangan hidupmu. Bagaimana keadaanmu sekarang dan apa yang mungkin kau ingini."

"Ingin? Ah, keinginan merupakan sumber kemalangan, susiok. Kalaupun ada keinginan itu maka aku ingin bahagia, itu saja."

"Hm, benar," sang hwesio mengangguk- angguk, kagum. "Keinginanmu sederhana, Chi Koan, tapi penjabarannya bisa luas. Kebahagiaan dalam ukuranmu belum tentu sama dengan yang dimaksud orang lain. Omitohud, semua orang sebenarnya ingin bahagia!"

"Betul, tapi kebahagiaan bagi orang lain kebanyakan bersumber pada hal-hal lahiriah, luar, entah materi atau yang bersifat duniawi."

"Hm-hm, kau sudah mulai dapat bicara ini. Omitohud, pinceng kagum. Tapi isi perutmu dulu, Chi Koan. Pinceng tak akan mengganggu. Tapi maaf, hanya bubur dan sayur melulu!"

"Tak apa, aku sekarang ciak-jai (pantang daging), susiok. Daging dan segala macamnya itu hanya menyeret manusia dalam alam rendah. Sayur-mayur begini lebih tinggi, membersihkan otak dan hati. Dan mungkin karena ini jalan pikiranku menjadi lebih baik."

"Ha-ha, bisa saja kau ini. Omitohud, makanlah dahulu, Chi Koan. Pinceng tak akan mengganggu!"

Orang tentu heran dan terbelalak melihat sikap dan kata-kata hwesio itu. Siapa menyangka bahwa seorang ketua Go-bi bakal mau dan sudi bercakap-cakap dengan Chi Koan. Pemuda itu dikenal sebagai penjahat muda yang berbahaya. Berdekatan dengan pemuda ini sama seperti berdekatan dengan iblis, sewaktu-waktu bahaya bisa mengancam.

Tapi karena tiga tahun ini Chi Koan memang menunjukkan perkembangan yang baik, lembut dan tidak seganas dulu maka laporan dan bukti-bukti yang diterima pimpinan Go-bi ini membuat tertarik, maju dan berdekatan dan awal perjumpaan itu saja sudah membuat hwesio ini lumer.

Bahwa Chi Koan mau berlutut dan masih menghormatnya sebagai paman guru cukup mengharukan hwesio ini. Ji-hwesio memang orang yang lemah lembut. Maka ketika percakapan berkembang lebih baik dan melihat betapa pemuda itu tak segan-segan mengaku dosa, jinak dan amat bersahaja maka pimpinan Go-bi itu merasa iba dan jatuh sayang, betapapun Chi Koan adalah bekas murid yang baik dan penurut tapi akhirnya terbawa oleh tingkah laku orang-orang jahat.

Ji-hwesio menganggap bahwa sejak bergaul dengan orang-orang seperti Tujuh Siluman Langit itulah pemuda ini berobah. Tapi karena orang-orang jahat itu sudah tewas dan pemuda ini hidup sendiri, buta dan menerima hukuman maka gerak-gerik dan tutur kata Chi Koan yang lembut membuat dia dan anak murid percaya bahwa si buta ini tidak seperti dulu. Dan Chi Koan juga sering melantunkan isi ayat-ayat suci tiada ubahnya seorang imam atau pendeta. Siapa tidak percaya!

Dan hwesio itu juga teringat akan ayat 5 bab 20 dari kitab suci Dharmapada. Bukankah tak ada yang kekal di bumi ini? Bukankah segala sesuatunya bisa berubah? Dan itu ditunjukkan Chi Koan. Si buta ini penurut dan jinak, sabar dan pengalah serta sering memberi petunjuk- petunjuk silat pada mereka yang mengantar makanan, yakni anak-anak murid dari bagian dapur.

Dan karena gerak-gerik serta tindak-tanduk pemuda itu semakin positip, semua banyak yang memuji maka hwesio pimpinan ini sendiri tertarik dan akhirnya timbullah belas ibanya untuk merobah hukuman seumur hidup menjadi dua puluh atau tiga puluh tahun saja.

Tapi itu semua tak dapat dilakukan hwesio ini. Meskipun Ji-hwesio adalah pimpinan tertinggi di tempat itu namun secara "teknis" masih ada yang lebih tinggi, dan itu bukan lain Peng Houw, Si Naga Gurun Gobi! Pemuda inilah yang lebih berhak dalam masalah Chi Koan karena dialah satu-satunya orang yang dapat menundukkan si buta itu. Peng Houw adalah "dedengkot" Go-bi pengganti tokoh-tokoh tua. Pemuda itulah satu- satunya ahli waris langsung dari mendiang Ji Leng Hwe-sio, dedengkot atau sesepuh mereka.

Maka ketika hwesio itu ingin memberi keringanan namun tentu saja masih harus sepersetujuan Peng Houw maka Ji-hwesio ingin menjajaki dulu apakah layak atau tidak si buta ini kelak dimintakan keringanannya kepada Peng Houw. Dan satu-satunya jalan harus langsung berhadapan dengan si buta itu. Ji-hwesio tak boleh sekedar mendengarkan laporan melainkan melihat dan membuktikan sendiri, inilah sebabnya dia datang.

Maka ketika semua itu dirasakannya semakin positip dan bekas anak murid ini berlaku demikian sopan santun, jauh bedanya dengan Chi Koan yang dulu maka hwesio itu mempersilakan si buta untuk makan dan dia sendiri duduk bersila mengawasi bersinar-sinar.

Namun Chi Koan tentu saja kikuk. Gerakan di bawah bukit kini sudah terdengar sampai di pintu guha, si buta awas dan waspada. Tapi ketika orang itu berhenti dan hwesio di depannya ini rupanya tak tahu, malah mempersilakannya makan maka Chi Koan mengerutkan alis dan menggeleng.

"Susiok, aku belum lapar benar. Bagaimana kalau disingkirkan dulu dan kita tetap bercakap-cakap."

"Ha-ha, kau malu? Ah, kalau begitu biar pinceng keluar, Chi Koan, ini waktumu makan dan pinceng tak akan mengganggu!"

Hwesio itu berkelebat dan Chi Koan menarik napas. Dia justeru merasa berdebar dan kebetulan. Orang di luar itu bakal ketahuan. Dan ketika apa boleh buat ia pura-pura makan namun pendengaran dipasang setajam mungkin ternyata orang diluar pintu itu adalah Sam-hwesio, susioknya yang lain!

"Suheng terlalu sembrono," demikian terdengar bisikan, lirih dan Ji-hwesio rupanya tertegun, tak mengira sutenya menyusul ke situ. "Aku mendengar dari Giok-seng bahwa kau mengantar makanan, suheng. Berbahaya sekali mendekati tawanan itu. Bagaimana kalau sampai terjadi apa-apa denganmu!"

"Hm," Chi Koan mendengar jawaban. "Pinceng cukup berhati-hati, sute. Pinceng membawa bola peledak ini. Kalau dia menyerang pinceng maka tentu jarum-jarum ini akan berhamburan dan mencelakainya pula!"

Chi Koan tergetar. Selanjutnya kakak beradik seperguruan itu saling bicara lagi dengan amat perlahan sekali, hampir tak terdengar. Dan ketika ia terpaksa menghentikan suapannya untuk mendengarkan dengan baik ternyata susioknya nomor dua itu mengkhawatirkan kakak seperguruannya. 

Hal ini tidak aneh karena Ji-hwesio adalah pimpinan di situ, apa yang terjadi dengan pimpinan dapat menyusahkan yang lain. Tapi ketika pembicaraan selesai dan Ji-hwesio masuk kembali, Chi Koan memperdengarkan piringnya. yang kosong maka pemuda itu berseri mengusap bibir, pura-pura tak tahu datangnya Sam-hwesio itu.

"Susiok, lezat sekali. Makanku kenyang Ah, siapa yang masak ini dan pandai benar mengolah sayur segar!"

"Hm, pinceng menambahinya minyak zaitun, dengan kaldu buatan. Kau tentu puas, Chi Koan, dan benar dugaan pinceng. Ha-ha, syukurlah kau cocok!"

Sang hwesio duduk dan berhadapan lagi. Kalau saja tak ada belenggu di kedua kaki dan tangan Chi Koan itu tentu orang segera menyangka bahwa yang berhadapan ini adalah sebuah keluarga. Belenggu itulah yang sedikit mengganjal. Tapi karena Chi Koan adalah tawanan dan layaklah Go-bi memperlakukan itu maka keduanya dapat duduk baik dan si buta itupun tidak tampak tersinggung. Chi Koan berseri-seri dan tenang-tenang saja seperti semula.

"Baiklah, pinceng mau mulai," hwesio itu berkata. "Bagaimana jika hukumanmu diperingan, Chi Koan. Artinya kau mendapat sedikit kebebasan dalam bergerak!"

Chi Koan menampakkan wajah terkejut. Sikap kaget diperlihatkannya dan tubuh itu tersentak, sebentar saja. Tapi ketika Chi Koan tertawa getir dan menganggap main-main maka pemuda itu berseru, "Susiok, orang seperti aku sudah pantas mendapat hukuman seperti ini. Tidak, kau tentu main-main. Dan akupun enggan menerimanya!"

"Hm," hwesio itu tak tahu sandiwara pemuda ini, bersungguh-sungguh. "Pinceng tidak main-main atau bergurau denganmu Chi Koan, pinceng serius. Kedudukan pinceng di sini saja agaknya sudah cukup di buat jaminan!"

"Benar, tapi ah.... aku tak mau bicara tentang itu, susiok. Ada beberapa hal yang membuat aku tak mau keluar. Aku cocok di sini!" "Maksudmu kau menerima saja hukuman hidup itu? Kau tak ingin dirobah atau diperingan? Eh, pinceng melihat hal-hal yang memperingan kesalahanmu, Chi Koan, dan pinceng ingin berusaha!"

Chi Koan mengangguk-angguk dan tertawa getir. Tentu saja dia sudah mendengar pembicaraan itu namun di hadapan hwesio ini dia tetap berpura-pura. Sesungguhnya Chi Koan tak terlalu berharap, bukan karena hwesio itu dianggapnya main-main melainkan sosok Peng Houw di sana. Mana mungkin musuhnya itu membebaskannya. Kalau hukuman hanya dirobah seperti itu baginya percuma.

"Dua puluh atau tiga puluh tahun cukuplah lama, saat itu dia akan kakek-kakek! Maka ketika dia tertawa dan menggatalkan perut susioknya ini tenang saja dia menjawab, "Susiok, sebelumnya terima kasih kalau kau ada niat sungguh-sungguh untuk meringankan hukumanku.

Tapi keringanan macam apa yang kuperoleh? Paling-paling seumur hidup diganti dua puluh atau tiga puluh tahun, dan itu juga bukan waktu pendek. Aku sudah akan menjadi kakek-kakek dan tak berguna lagi. Dan ah, aku juga tak ingin keluar!"

Hwesio ini terkejut. Kata-kata pemuda itu sama seperti kata-kata pembicaraannya tadi pagi, ketika dia bercakap-cakap dengan sutenya. Tapi tertarik dan penasaran oleh sikap dan desah pemuda ini maka dia bertanya, "Kau tak ingin keluar? Tak ingin bebas? Kenapa?"

"Hm, aku teringat sebuah ayat lain tentang orang-orang berdosa, dan aku ingin menebus dosaku. Apakah susiok ingat ayat 12 dari bab 9?"

"Tentang kejahatan?"

"Benar, di situ jelas dikatakan bahwa tidak di langit pun tidak di bumi orang jahat tak akan dapat menghindari akibat dari kejahatannya, susiok. Dan bagiku di sini atau di luar sama saja dalam menerima hukuman!"

Hwesio ini tergetar. "Kau hapal itu?"

"Kenapa tidak? Ha-ha, itu kuingat baik-baik, susiok. Dengarlah!"

Tidak di langit,pun tidak ditengah samudera juga tidak di dalam guha atau di puncak gunung tak ada suatu tempat tinggal di dunia ini yang dapat dipakai orang untuk menghindari diri dari akibat perbuatannya yang jahat

"Omitohud hwesio itu berseru, kaget. "Kau mengagumkan pinceng, Chi Koan. Tak dinyana sejauh itu pikiranmu berkembang. Aih, kau benar tapi justeru menunjukkan kebijakanmu. Kau sudah tidak seperti dulu, kau berobah!"

"Mungkin saja, dan perobahan fisik memang jelas. Aku sudah enggan keluar karena apa gunanya, susiok. Di sini dan di luar sama-sama harus memikul sisa dosa. Sudahlah aku tak mau bicara tentang ini dan terima kasih atas kebaikanmu."

Hwesio itu tertegun. Dipandangnya si buta, itu dengan takjub dan matanya terbuka lebar-lebar. Dari sini saja dapat di-ukurnya betapa dalamnya kebijaksanaan pemuda itu. Ji- hwesio masih mengukur segalanya dari sikap dan tutur kata, bukan dari dasar batin, inti dari sepak terjang manusia itu sendiri. Maka ketika ia terperangah dan semakin kagum, si buta ini sudah benar-benar lain dengan dulu maka ia mendecak dan hasrat untuk memperingan hukuman semakin besar!

"Hm, bagus, baik. Tapi apakah tak tergerak hatimu untuk berbuat sesuatu di luar, Chi Koan, mendarmabaktikan amal hidupmu lebih jauh lagi, untuk orang lain. Pinceng kagum akan kata-katamu dan menaruh hormat yang besar!"

"Terima kasih, tapi sayang aku tak tertarik lagi, susiok. Untuk apa keluar kalau sudah seperti ini. Aku buta, tak dapat melihat apa-apa lagi...."

Sang hwesio tertegun. Air mata tiba-tiba meleleh dari sepasang kelopak yang kosong itu, kali ini Chi Koan memang benar-benar sedih. Dan ketika ia dipeluk dan si hwesio haru, Chi Koan memejamkan mata maka pemuda itu berkata bahwa ia tak ingin apa-apa lagi, baik hukuman yang ringan atau bebas sekalipun.

"Aku menangkap maksud susiok yang mulia, banyak terima kasih. Namun aku benar- benar tak ingin keluar dari sini, susiok. Di langit atau di bumi akibat dari perbuatanku tetap harus kupikul."

"Hm-hm, kau tiba-tiba seperti anak kandungku sendiri. Ah, menyesal dulu dirimu harus bergaul dengan orang-orang seperti Tujuh Siluman Langit itu, Chi Koan. Kalau tidak tentu tak bakal ada kejadian begini!"

"Susiok tak perlu menyalahkan orang lain. Ingatkah susiok bab 18 ayat 18? Kesalahan orang mudah dicari-cari, susiok. Kesalahan sendiri sering disembunyikan seperti tukang judi menyembunyikan dadunya."

Hwesio itu tertampar. Ayat demi ayat diberikan pemuda ini dan semua menghunjam. Ia melepaskan pemuda itu dan mengusap keringat. Chi Koan yang sekarang benar-benar pandai melebihi pendeta. Anak ini seperti nabi saja! Maka ketika ia tersenyum dan menarik napas dalam iapun pura-pura bertanya bagaimana bunyi ayat itu.

"Ah, kau rasanya melebihi mendiang gurumu saja. Coba bagaimana bunyi ayat itu." "Tidak sukar, paling kuhapal karena merupakan kekeliruan hampir banyak orang!" pemuda itu tertawa, lalu membaca:

Mudah melihat kesalahan orang lain sungguh sukar melihat kesalahan diri sendiri. kesalahan orang lain dicari sampai sekecil-kecilnya seperti mengayak dedek tetapi kesalahannya sendiri disembunyikan seperti halnya tukang judi menyembunyikan dadu yang kalah.

"Ha-ha, kau membuat malu pinceng! Baik, kau lagi-lagi benar, Chi Koan, dan betapa kagumnya pinceng akan perobahan besar-besaran yang kau alami ini. Ah, layaknya kau menjadi Nabi!"

"Hm, susiok jangan membuat malu aku. Aku bekas berandal yang coba menebus kesalahan, susiok. Dipercaya saja sudah harus bersyukur. Ah, aku hanya belajar dan mengulang-ulang saja kitab suci. Kata-kata dan sikap saja tak boleh dibuat jaminan karena yang penting adalah tindak-tanduk dan sepak terjangnya!"

Bayangan di luar semburat. Sam-hwesio, yang mendengar dan mengintai dari situ masih belum pergi. Ia menjaga suhengnya dan melihat semua itu, tertampar tapi tak bisa marah karena Chi Koan seolah kebetulan saja meniru kata-katanya. Padahal sesungguhnya pemuda itu memang memukul dan menghantam mukanya.

Dan ketika dua orang itu kembali bercakap-cakap dan berulang-ulang Chi Koan mengambil contoh-contoh kitab su-ci, sikap dan tutur katanya demikian meyakinkan akhirnya malam itu Ji-hwesio pulang dengan puas. Chi Koan tetap menolak keinginannya merobah hukuman dan menyatakan terima kasih kepada susiok-nya itu.

"Baiklah, pinceng puas akan hasil percakapan malam ini, Chi Koan. Dan pinceng tak akan memaksamu biarpun pinceng mempunyai rencana sendiri. Selamat malam dan sampai bertemu lagi!"

Chi Koan membungkuk dan memberi hormat. Pemuda itu tersenyum-senyum dan kelopak matanya bergerak-gerak. Ji- hwesio terharu menepuk pundak pemuda itu. Dan ketika ia berkelebat dan kesan yang indah membawanya pergi maka di luar sana sutenya bergerak dan menyusulnya pula.

"Lihat," hwesio itu berseri-seri. "Tak ada apa-apa dengan anak itu, sute. Chi Koan benar-benar berobah dan pinceng kagum. Ia seperti Nabi!"

"Hm, jangan terlalu memuji. Musang berbulu domba juga banyak, suheng. Aku mengharap kau tak terlalu terpengaruh dan biasa-biasa saja."

"Ah, kau masih juga curiga?"

"Bukan curiga, suheng, melainkan tak senang kau demikian memuji-mujinya. Ingat bahwa ia membunuh banyak saudara-saudara kita dan siauw-te sendiri belum dapat melupakannya begitu saja!"

"Omitohud, dendam tak baik berlama-lama di hati kita, sute, apalagi sebagai umat Buddha yang agung. Kita adalah pendeta!" "Benar, tapi, ah sudahlah. Perasaanku sendiri menyatakan lain, suheng. Rasanya anak itu sedang mengakali kita. Aku tak tahu apa namun sebaiknya kita tetap waspada saja!"

Sang suheng terbelalak. Mereka berendeng turun dan masih di wilayah pertapaan. Kalau saja sudah jauh di tempat itu barangkali hwesio ini menegur sute-nya. Tapi ketika mereka turun dan tiba di kaki bukit maka Sam-hwesio berbelok dan memisahkan diri dari suhengnya, menghindar dari teguran. Rupanya tahu!

"Suheng, siauw-te masih hendak meronda tempat kita. Pulanglah dulu dan silakan beristirahat!"

Hwesio itu tak dapat menegur lagi. la telah didahului dan sutenyapun berkelebat lenyap, terpaksa ia melanjutkan pulang menuju biara. Dan ketika hwesio itu menghela napas dan beristirahat di kamarnya maka Chi Koan diam-diam mengepal tinju dan mengerotokkan gigi. Tentu saja pembicaraan itupun didengar oleh telinganya yang tajam.

"Hm, tua bangka keparat. Awas kau, Sam-susiok. Sekali waktu kupotong lidahmu!"

Orang bakal tersentak mendengar ancaman ini. Chi Koan yang semula lembut dan kelihatan penurut tiba-tiba saja membesi wajahnya. Batu yang dikepalnya hancur, wajah itu memerah. Tapi ketika ia tersenyum dan duduk membelakangi pintu guha, bersila lagi maka keesokannya pimpinan Go-bi yang terlanjur jatuh sayang dan iba kepada pemuda itu berkunjung lagi.

Ji-hwesio banyak bicara ini itu dan hubunganpun semakin akrab. Jarak yang semula ada tiba-tiba hilang. Dan ketika hwesio itu menawarkan bagaimana seandainya sebelah tangan pemuda itu dibuka borgolnya maka Chi Koan tertawa.

"Susiok, berani mati benar kau ini. Yang berkuasa atas diriku adalah Peng Houw. Bagaimana tanggung jawabmu kalau ia marah." "Hm, pinceng akan membujuknya.

Pinceng tak sampai hati melihat siksaanmu, Chi Koan, dan jelek-jelek kau adalah murid keponakan pinceng. Ah, kenapa terjadi semua ini hingga membuat perasaan pinceng kacau!"

"Tidak sajalah," Chi Koan menolak. "Akupun tetap ingin begini, susiok. Ingatlah bahwa aku masih menjalani hukuman, dan belum hilang kalau bukan Peng Houw sendiri yang meringankannya."

"Hm, pinceng akan minta itu. Kau telah berobah! Eh, kebetulan minggu depan Peng Houw akan ke sini, Chi Koan, dan aku akan bicara dengannya!"

"Terserah susiok, tapi tak mungkin dikabulkan."

Lalu ketika hwesio itu pergi dan Chi Koan tenang-tenang saja maka seminggu kemudian Naga Gurun Gobi itu muncul. Peng Houw tidak tinggal di Go-bi maupun Kun-lun. Seperti kita ketahui isteri pemuda ini adalah murid Kun-lun yang lihai, cucu dari Lui-cu (Mutiara Geledek) Lo-sam bernama Li Ceng. 

Mutiara Geledek itu sendiri tewas dihantam Chi Koan, kepalanya retak. Tapi karena semuanya sudah berakhir dan geger di Hek-see-hwa itu selesai, Chi Koan tertangkap dan dihukum maka Peng Houw yang mengambil Li Ceng sebagai isterinya tidak tinggal di kedua tempat itu.

Baik Go-bi maupun Kun-lun bisa merajuk, masing-masing adalah murid dari kedua partai itu. Dan ketika akhirnya Peng Houw mencari tempat tinggal di Cheng-lim (Hutan Hijau), tempat di mana dulu mendiang Lo-sam tinggal di situ maka di sinilah pemuda itu menjatuhkan pilihannya dan tinggal bersama isterinya di tepian sungai Huang-ho itu.

Pilihan Peng Houw memang tepat. Sang isteri tentu saja lega karena tempat tinggal kakeknya dapat diurus. Hutan ini tenang sementara mereka dapat bercocok tanam di tepian sungai panjang yang subur itu, juga dapat mencari ikan dan menambah lauk bilamana perlu.

Siapa menyangka kalau Peng Houw sudah pergi mencari ikan, dengan caping bambu di kepala dan perahu sederhana. Naga Go-bi itu tampak biasa-biasa saja. Orang hanya akan tergetar oleh pandang matanya yang tajam mencorong, mata yang berkilat oleh daya tenaga sakti.

Tak aneh karena itulah warisan tenaga sakti mendiang Ji Leng Hwesio, tokoh yang dimalui banyak orang kang-ouw dan disegani kawan maupun lawan. Dan karena Peng Houw sudah tiga tahun di tempat ini dan sang isteri akhirnya melahirkan maka kebiasaan Peng Houw untuk berkunjung ke Go-bi atau Kun-lun menjadi berkurang. Punya anak kecil memang repot. Keluarga bahagia yang semula terdiri dua orang ini akhirnya bertambah jiwa, seorang anak laki-laki lahir di tengah mereka.

Dan ketika Peng Houw sering membantu isterinya mengurus anak, mengganti popok dan memberi makan minum maka tiga hari setelah kelahiran pemuda ini masih lupa memberi nama. Di rumah mereka masih tinggal uwak Kin yang membantu proses kelahiran Li Ceng.

"Bagaimana ini," nenek itu tertawa. "Nama apa yang kau berikan kepadanya, siauw-hiap. Masa tiga hari anak kalian belum bernama juga. Lihat ibunya hanya menimang-nimang dan bingung memanggil anaknya!"

"Hm, benar," Peng Houw yang tegar dan gagah menghadapi musuh-musuh tangguh itu kelihatan bingung, gugup. "Nama apa yang ku berikan padanya, uwak Kin. Aku menunggu isteriku namun ia tak bilang-bilang juga!"

"Ih, masa wanita dulu? Kau kepala keluarga, Houw-ko, aku hanya isteri. Tentunya, kau dulu dan aku belakangan, tinggal nimbrung!"

"Hm, enak kalau begitu, wanita selalu di belakang. Aku bingung dan tak tahu harus memberi nama apa kepada anak kita ini, Ceng- moi. Barangkali saja uwak Kin tahu!"

"Wah-wah, aku orang luar mana boleh ikut campur? Kalian keluarga gagah perkasa, siauw-hiap. Kau adalah seorang pendekar. Aku si tua ini orang lemah dan tak bisa apa-apa. Aku orang bodoh!"

"Jangan begitu. Bodoh dalam satu bidang bukan berarti bodoh dalam hal lainnya, uwak Kin. Terbukti aku meskipun pandai namun tak dapat membantu persalinan isteriku. Sudahlah kau tolong kami dan sebutkan nama apa yang pantas."

"Benar, aku setuju. Ini anak pertama kami, kami bingung. Cobalah uwak Kin beri pertolongan siapa tahu nanti cocok!"

Sang nenek terkekeh. Ia dibawa keluarga itu menjelang kelahiran si bayi. Keluarga itu memperlakukannya amat baik dan tentu saja ia senang. Akhirnya ia tahu siapa yang diikutinya ini, Naga Gurun Go-bi yang bernama besar. Dan karena ia orang kecil dan kebetulan sebatangkara, tiada sanak tiada kadang maka nenek itu gembira dan tenteram di rumah tangga ini. Suami isteri itu memperlakukan-nya bagaikan orang tua sendiri.

"Baiklah," katanya. "Bagaimana kalau Boen Siong."

"Boen Siong?"

"Benar, Peng Boen Siong, nyonya. Kalau nama ini bagus untuknya."

"Bagus, aku setuju!" Peng Houw tiba-tiba berteriak. "Ha-ha, nama itu bagus untuk puteraku, uwak Kin. Cocok. Tapi, eh, bagaimana isteriku!"

Li Ceng terkejut. Ia dipandang dan sang suami tampak bersinar-sinar, mata Peng Houw kian mencorong dan sinar itulah yang membuatnya terkejut. Tapi ketika ia tersenyum dan mengangguk maka iapun terkekeh mencium pipi bayinya. "Baiklah, aku ikut kau, Houw-ko. Isteri tinggal menurut saja. Kalau kau rasa cocok biarlah mulai hari ini anak kita bernama Boen Siong, hi-hik!"

Peng Houw gembira. Ia meloncat dan menyambar isterinya lalu mencium kening. Li Ceng terkejut dan terbelalak. Dan ketika uwak Kin kembali terkekeh dan menutupi mukanya maka nyonya itu mencubit dan berseru.

"Hih, apa-apaan kau ini, Houw-ko. Masa tidak tahu ada orang lain di sini. Lihat uwak Kin itu!"

"Ha-ha, terlanjur. Uwak Kin seperti orang tua atau bibi sendiri, Ceng-moi. Cium isteripun tak apa-apa. Eh, bukankah begitu, uwak?"

"Benar, heh-heh. Tapi aku si tua ini jadi malu, siauw-hiap. Kalian membuat aku jadi kepingin. Ih, siapa pasanganku nanti!"

Li Ceng tertawa. Semua akhirnya tertawa ketika si uwak melempar pinggul ke belakang. Uwak Kin mencoba seperti gaya anak muda dan meniru majikannya. Dan ketika hari itu diadakan selamat kecil-kecilan untuk menyongsong si bayi maka Peng Houw merasakan kebahagiaan luar biasa dengan adanya si putera ini. Li Ceng juga bahagia dan hari-hari berikut rasanya begitu cerah. Tapi ketika Peng Houw teringat tugasnya dan harus meninggalkan anak isteri maka dia berkerut kening. Ini terjadi sebulan kemudian.

"Hm, aku harus menengok Go-bi. Bagaimana kalau kalian sendiri di rumah. Dan kau juga harus ke Kun-lun,"

Sang isteri mengerutkan alis teringat kewajiban suaminya. "Ah, sudahlah tak apa-apa, Houw-ko. Pergilah tanpa beban dan biar kami bertiga di sini."

"Aku tak dapat begitu saja. Siapa nanti yang mencari ikan di sungai, atau mencangkul tanah di kebun kita!"

"Wah, bagaimana ini? Aku dapat melakukannya, Houw-ko, tapi canggung juga mencakul tanah!"

"Hush, bukan pekerjaanmu. Urusan itu urusan lelaki, Ceng-moi. Bagaimana kalau meminta tolong uwak Kin saja...."

"Eh, kau mau memperkuda orang tua? Kau menyuruh uwak Kin mencangkul dan mencari ikan?"

"Sabar, jangan memotong dulu. Yang kumaksud adalah pertolongannya mencari anak lelaki untuk pengganti aku sementara, moi-moi. Masa menyuruh orang tua menjala dan mencangkul tanah!"

"Hm, begitu? Baik, kukira apa." Dan sang isteri yang hilang cemberut memanggil nenek itu akhirnya meminta tolong mencarikan seorang kacung.

"Kami tak butuh yang dewasa, anak-anak saja cukup. Asal kuat dan rajin tentu kami suka, uwak Kin. Bisakah kau tolong karena Houw-ko harus ke Go-bi."

"Hm-hm, bisa. Tapi, ah nanti dulu. Kebetulan ada yang cocok, nyonya, tapi bukan seorang. Ada dua orang di sini, kakak beradik. Mereka baru ditinggal mati ayah mereka dan ikut bibinya. Aku teringat Po Kwan dan Siao Yen!"

"Siapa mereka itu?"

"Anak petani Cho. Mereka rajin dan dapat dipercaya. Bagaimana kalau kupanggil."

"Hm, dua orang?"

"Benar, Siao Yen sang adik, siauw-hiap. Po Kwan sang kakak!"

"Umur berapa mereka itu."

"Kira-kira dua belas dan sepuluh tahun, masih tetangga dekatku!"

Peng Houw memandang isterinya. Kalau sang isteri setuju tentu saja dia tak akan menolak. Ada dua anak di situ lebih baik. Dan ketika sang isteri mengangguk dan tampak setuju maka hari itu juga dua anak ini dipanggil. Dan ternyata mereka adalah anak-anak yang kurus dan berpakaian kotor.

"Maaf, mereka anak-anak miskin. Baju yang menempel hanya itu satu-satunya, siauw-hiap. Bibi mereka tak memberi makan cukup dan pakaian lengkap. Aku tak dapat menemukan yang lain."

Peng Houw dan isterinya mengamati. Dua anak ini cepat menjatuhkan diri berlutut ketika bertemu calon majikan, mereka cukup sopan santun dan lembut. Wajah mereka penuh penderitaan namun tarikan bibir mereka kuat. Ada kesan teguh dan gagah pada wajah anak-anak ini. Meskipun mereka miskin. Dan ketika Peng Houw melihat betapa anak laki-laki itu tak mengangkat wajah dan hanya sekilas memandangnya maka dia mendengar kata-kata nyaring namun agak lemah.

"Kami datang mohon pekerjaan seadanya. Uwak Kin membujuk kami ke sini. Kalau ji-wi (anda berdua) tidak keberatan dan dapat menerima kami maka apapun akan kami kerjakan asal halal dan sesuai kemampuan kami!"

"Hm, siapa namamu?"

"Po Kwan, Cho Po Kwan. Dan itu adikku Siao Yen, taihiap. Kami tak mempunyai apa-apa kecuali bertani dan mencangkul. Ini kepandaian kami berdua!"

"Baiklah, kalian kuterima. Tapi kalian dapat bersikap jujur dan tidak tangan panjang, bukan?"

Sorot mata anak lelaki itu tiba-tiba berkilat. "Kami memang anak miskin dan dari keturunan miskin, taihiap. Tapi mendiang ayah kami tak pernah mengajarkan itu kepada kami. Mudah-mudahan kami selalu ingat dan takut kepada kejahatan."

"Bagus," Peng Houw lega, tersenyum dan melirik sang isteri, sengaja mencoba. "Kalau begitu hari ini juga kalian dapat membantu kami, Po Kwan. Dan uwak Kin dapat memberi kalian petunjuk. Di belakang ada ladang yang harus digarap."

Anak itu bangkit dan menjura. Ia menyatakan terima kasih dan sekali lagi Peng Houw mengangguk-angguk. Anak ini tahu sopan. Lalu ketika anak itu menggandeng lengan adiknya untuk mulai diajak bekerja maka Peng Houw memberi syarat kepada uwak Kin untuk memberi dulu anak-anak itu makan.

"Jangan biarkan gontai, langkahnya menunjukkan ia lapar. Beri dan bawa mereka ke dapur, uwak Kin. Suruh makan dulu."

"Tidak mau," uwak itu menggeleng. "Di sana tadi sudah kubujuk, siauw-hiap, tapi mereka tak mau makan sebelum bekerja. Ayah mereka menyatakan pantang untuk makan dulu kalau belum bekerja."

"Hm, begitu. Coba panggil!"

Peng Houw tertarik dan memandang dua anak yang sudah keluar itu. Kakak beradik itu jelas gontai namun serasa ditegap-tegapkan. Lucu juga namun mengundang haru. Dan ketika uwak Kin memanggil dan melambaikan tangan maka dua anak itu kembali dan sikap Po Kwan terhadap adiknya yang demikian penuh tanggung jawab mengharukan juga perasaan suami isteri ini. Peng Houw tiba-tiba tertarik dan merasa suka.

"Po Kwan, ke sini dulu. Majikan memanggilmu!"

Dua anak itu datang. Mereka menjura dan memberi hormat dan Peng Houw tiba-tiba mengelus kepala anak lelaki ini. Bentuk kepala yang kuat dan kokoh diraba, sekejap tahulah Peng Houw bahwa anak lelaki ini calon seorang ahli silat yang baik. Dan ketika ia menyambar sang adik dan mendapat kenyataan yang sama maka ia tertawa berkata,

"Po Kwan, kalian harus makan dulu sebelum bekerja. Kalian belum sarapan. Ayo makan dan baru setelah itu ke belakang!"

"Maaf," anak itu berlutut. "Kami diajarkan ayah untuk tidak menerima hasil terlebih dahulu, taihiap. Bekerja adalah yang utama dan makan nomor dua. Kami tak mau dibalik."

"Tapi perut kalian kosong, jalanpun sempoyongan. Mana mungkin bertanam dan mencangkul, Po Kwan. Makan dulu dan nanti bekerja!"

Akan tetapi anak itu menggeleng. Ia tetap bersiteguh bahwa makan nanti dulu, bekerja yang utama. Lalu ketika Peng Houw tertegun melihat kekerasan hati anak ini maka tiba-tiba ia berseru,

"Eh, kalian berani membantah majikan? Ini perintahku, Po Kwan. Kalau ayah kalian baik tentunya tak mengajarkan untuk melawan majikan. Nah, makan dulu atau tak usah menjadi pembantuku!"

Anak itu terkejut. Dipojokkan dan dipepetkan sedemikian rupa tiba-tiba ia terpaku. Kata-kata Peng Houw diucapkan sedemikian rupa dan membawa-bawa pula ayah anak itu. Dan ketika anak ini tertegun dan tentu saja tak mau dikata ayahnya jelek, mengajarkan anak untuk melawan majikan maka apa boleh buat ia mengangguk dan bangkit menggandeng adiknya.

Peng Houw cerdik memaksa anak ini dan sang isteri tersenyum. Li Ceng tiba-tiba tertarik dan senang kepada anak-anak ini. Betapa teguh dan keras pendirian anak-anak itu. Mereka cukup berpendidikan. Dan ketika dua anak itu ke dapur dan uwak Kin terkekeh maka selanjutnya dua anak itu membantu Peng Houw di rumah dan kepergiannya ke Go-bi tak ada masalah. Ia dapat meninggalkan rumah dengan tenang dan tak lama kemudian pemuda ini berangkat.

Utusan Go-bi datang ke tempatnya beberapa waktu berselang, bertanya kenapa tak pernah muncul dan dijawab bahwa waktu itu ia tak dapat meninggalkan isterinya. Sang isteri hamil tua dan Peng Houw berjanji bahwa setelah ini akan datang. Maka ketika janji itu harus dipenuhi dan tiba waktunya untuk berangkat iapun meninggalkan anak isterinya dan dapat dibayangkan betapa gembira para susioknya menerima kedatangannya.

"Aha, ini tamu yang kutunggu-tunggu. Eh, apa kabar isterimu, Peng Houw. Sudah melahirkan atau belum!"

"Dan pinceng ingin mengetahui laki-laki atau perempuan. Omitohud, bagaimana keadaannya, Peng Houw. Kau tampak berseri-seri!"

Pagi itu Peng Houw tiba di Go-bi dan disambut oleh Ji-hwesio dan Sam-hwesio. Seperti biasa ia memberi hormat dan menjura di depan susioknya ini. Meskipun ia murid mendiang Ji Leng Hwesio namun karena hwesio itu hanya mengajarkan Bu-tek-cin-keng maka Peng Houw lebih merasa sebagai cucu murid kakek itu daripada sebagai guru. Gurunya adalah Lu Kong Hwesio dan Giok Kee Cinjin.

Yang pertama adalah guru rohani sedang yang kedua adalah guru silat. Keduanya sudah meninggal gara-gara keributan di Go-bi. Dan karena Ji-hwesio maupun Sam hwesio ini adalah sute (adik seperguruan) mendiang Lu Kong Hwesio, juga sute dari Beng Kong Hwesio yang menjadi guru pertama dari Chi Koan maka ia tetap menganggap mereka sebagai paman guru meskipun tentu saja kepandaian dua hwesio ini jauh di bawahnya.

"Terima kasih," Peng Houw tersenyum. "Baik-baik saja, susiok. Dan anakku laki-laki."

"Omitohud, calon pendekar muda seperti ayahnya? Ha-ha, selamat, Peng Houw. Pinceng merasa bahagia melihat kebahagiaanmu. Mari masuk, kita duduk di dalam!"

Peng Houw dibawa dan diajak masuk dua susioknya ini. Para murid yang melihatnya memberi hormat dari jauh dan berseri-seri. Datangnya jago muda ini ternyata menggembirakan semua orang. Dan ketika Peng Houw duduk dan bercakap-cakap sebagai basa-basi awal maka akhirnya seperti yang dilakukan dia bertanya tentang Chi Koan. Inilah tugasnya setiap datang ke Go-bi, mengawasi dan menanyakan si buta itu.

"Hm, bagaimana Chi Koan? Tak ada apa-apa, bukan? Dia tak mengganggu kalian?"

"Tidak tidak, justeru perkembangannya menunjukkan arah yang baik. Hm, pinceng memang ingin bicara tentang ini, Peng Houw, dan sebelumnya telah rasan-rasan dulu dengan Sam-susiokmu ini!"

Peng Houw tersenyum. "Susiok mau bicara tentang apa. Syukur kalau Chi Koan baik-baik saja."

"Begini," Ji-hwesio membenarkan letak duduknya. "Pinceng terharu dan iba melihat penderitaannya, Peng Houw. Dan karena akhir-akhir ini semua orang melihatnya berkembang ke arah yang baik maka pinceng ingin usul bagaimana kalau kita merobah hukumannya!"

Peng Houw terkejut, tidak menyangka. "Susiok minta agar ia dibebaskan saja?"

"Tidak... tidak, bukan begitu. Maksudku jangan dihukum seumur hidup melainkan diganti dua puluh atau tiga puluh tahun saja. Nanti, apabila berkembang lagi maka hukumannya dapat diperkurang setahun dua sampai akhirnya betul-betul bebas. Bukan bebas langsung begitu saja!"

"Hm-hm, bagaimana pendapat Sam- susiok?" Peng Houw bertanya, hati-hati dan tentu saja bertanya pendapat susioknya yang lain. "Kalau susiok merasa pantas barangkali boleh-boleh saja. Namun kita harus berhati-hati, Chi Koan bukan sembarang penjahat!"

"Nah, itulah," Sam-hwesio mengangguk dan bersinar-sinar. "Pinceng sendiri juga berpandangan begitu, Peng Houw. Anak itu bukan sembarang penjahat dan dikhawatirkan kambuh!"

"Nanti dulu, kau jangan apriori kepadanya, sute. Chi Koan sudah berobah dan kita sama melihatnya!" Ji-hwesio tiba-tiba berseru.

"Hm, benar, tapi hati-hati dan kewaspadaan tetap harus dipasang, suheng. Kau lihat bahwa Peng Houw tidak begitu saja menerima!"

"Benar, dan pinceng juga tidak bermaksud membebaskannya seperti burung keluar sangkar. Pinceng hanya bermaksud meringankan hukumannya!"

"Eh, ji-wi susiok jangan bertengkar," Peng Houw melerai dan tersenyum, segera melihat perbedaan sikap dua orang ini. "Ada omongan bisa diomong, susiok. Dan sebaiknya Ji-susiok menahan sabar sebentar karena aku sedang menanya Sam-susiok."

Dua hwesio itu tersipu. Akhirnya mereka sadar bahwa di depan orang lain kembali masing-masing hendak bersitegang leher. Sam-hwesio masih memiliki prasangka buruk. Dan ketika mereka mengangguk dan Ji-hwesio menarik napas dalam maka pimpinan Go-bi ini menahan diri mengebutkan ujung lengan baju.

"Maaf, pinceng terbawa emosi, Peng Houw. Mendongkol juga kalau Sam-susiokmu ini selalu menentang!"

"Siauw-te tidak menentang, hanya menyatakan isi hati dan pandangan saja. Maaf kalau kau tersinggung, suheng, tapi semua ini demi kebaikan bersama."

"Sudahlah, harap Sam-susiok katakan padaku bagaimana pandangan susiok tentang Chi Koan."

"Memang akhir-akhir ini ia baik, kuakui. Tapi semua itu bisa saja dibuat-buat, Peng Houw. Pinceng merasa ada sesuatu yang disembunyikan anak itu, entah apa!"

"Sute terlalu curiga," Ji-hwesio mengomel, kembali tak tahan. "Kalau tak tahu apa yang disembunyikan kenapa harus menuduh? Kita sebagai orang-orang tua tak boleh mengotori hati sendiri, sute, harus membersihkannya sebagaimana ajaran kitab suci!"

"Ah, suheng keliru. Aku tidak menuduh melainkan hanya menduga saja, kusimpan dalam hati. Siapa mendakwa orang lain tanpa bukti? Kau terlalu perasa dan emosionil, suheng. Aku tidak bersikap seperti yang kau anggap!"

"Sudahlah, jiwi-susiok kenapa kembali bertengkar. Kalau begini kapan aku diajak bercakap-cakap?"

"Omitohud, pinceng salah. Maafkan, Peng Houw. Kami orang-orang tua ini memang selalu tak dapat menahan diri. Bicara tentang Chi KOan berarti memancing emosi karena adanya dua pendapat!"

"Hm, sudahlah," Peng Houw tersenyum. "Aku tak menyalahkan jiwi karena siapapun rasanya benar. Masing-masing memiliki pendapat berbeda atas hasil pengamatan yang berbeda pula. Aku siap mendengarkan kalian dan tak usah khawatir membela yang satu menentang yang lain."

Dua orang itu sama-sama memerah. Didepan Peng Houw yang masih muda ini sesungguhnya mereka seperti berhadapan dengan guru mereka yang bijak. Pemuda ini selalu sareh dan tenang. Dan ketika kembali sikap itu ditunjukkan dan mereka tersipu maka pertanyaan kembali ditujukan kepada Sam-hwesio.

"Sekarang bagaimana jawaban Sam-susiok. Apa pandangannya dan bagaimana menurut pendapat susiok."

"Pinceng pada dasarnya tidak menentang. Hanya pinceng hendak menekankan kehati-hatian dan kewaspadaan, Peng Houw. Pinceng bersikap sebaliknya tapi intinya sama dengan suheng."

"Hm, bagaimana itu. Tidak sama tetapi sama!"

"Benar, begini, Peng Houw. Biarlah suheng tahu dan dengar pula. Menurut pinceng sebaiknya urusan ini tak usah diputuskan sekarang. Suheng bermaksud merobah hukuman dari seumur hidup menjadi dua puluh atau tiga puluh tahun saja. Nah, bagaimana jika kita sama-sama menunggu waktu itu saja?

Kalau Chi Koan tetap baik dan benar-benar berobah maka saat itu juga kita bebaskan, Peng Houw, tak usah diberi tahu sekarang karena manusia sewaktu-waktu dapat berobah. Lagi pula apa gunanya dibicarakan sekarang kalau tiba-tiba, maaf, Chi Koan berumur pendek oleh sakit atau apa!"

"Hm-hm, benar," Peng Houw mengangguk-angguk, melihat cara berpikir susioknya ini lebih tepat dan masuk akal. "Rasanya semua omonganmu ini tidak salah, Sam-susiok. Apa gunanya dibicarakan sekarang kalau orang yang dimaksud tiba-tiba tiada di tengah jalan. Kematian tak dapat diketahui siapapun, sewaktu-waktu dapat datang. Benar juga dan aku setuju.”

Dan Wajah Ji-hwesio berubah. Ia tergetar dan mengakui kata-kata sutenya itu namun entah kenapa mendadak ia ingin berontak. Peng Houw rasanya setuju dan sependapat dengan itu. Dan karena merasa kalah dan di bawah angin maka ia berseru mengebutkan lengan baju. "Sute, kalau begitu kau menyalahkan pinceng. Pendapatmu tampaknya benar tapi memiliki kelemahan!"

"Hm, kelemahan apa," Sam-hwesio terkejut, Peng Houw juga.

"Jangan emosi, suheng. Rasanya Peng Houw juga akan mendengarkan pendapatmu."

"Benar," Peng Houw mengangguk, pamannya yang satu ini rupanya meradang. "Tak ada yang kutinggalkan, susiok. Kata-kata dan pandanganmupun pasti kudengarkan."

"Omitohud," hwesio itu semburat. "Pinceng bukannya marah melainkan hendak menunjuk kelemahan sistim ini. Ada hal-hal yang dapat merugikan Chi Koan apabila itu ditrapkan!"

"Baik, kalau begitu bagaimana keterangan suheng?"

"Ada yang bertolak belakang dengan perikemanusiaan, sute. Yakni bagaimana kalau kebaikan Chi Koan tiba-tiba tak berguna begitu saja."

"Maksud suheng?"

"Begini, pinceng bermaksud memberinya keringanan hukuman, memberitahukannya dan itu akan merupakan bantuan moral yang besar. Kalau sekarang tak pernah kita sebut-sebut dan nanti saja dua puluh atau tiga puluh tahun lagi padahal anak itu benar-benar berobah bukankah akan mubazir kalau di tengah jalan Chi Koan tiba-tiba meninggal? Kita sendiri sama mengakui bahwa tak ada satupun yang dapat mengetahui kematian, sute. Apa artinya maksud baik ini kalau tak pernah diberitahukan, terlambat!"

Sam-hwesio terkejut. Berondongan kata-kata suhengnya dan sikap berapi-api di sertai semangat dan mata bersinar-sinar itu membuatnya terhenyak. Ia ditunjuk memiliki kelemahan pula. Sistemnya merugikan Chi Koan, padahal maksud mereka sama-sama ingin meringankan hukuman pemuda itu. Dan ketika ia terpaku dan tak dapat menjawab, Peng Houw mengangguk-angguk melihat kebenaran ini pula maka pemuda itu kagum dan melihat bahwa ada yang menarik di antara dua pendapat yang tampaknya bertentangan tapi memiliki maksud sama ini.

"Hm, aku mengerti, benar juga. Ji-susiok tidak salah. Ternyata kalian sama-sama benar dan juga sama-sama memiliki kelemahan. Benar katamu bahwa apa gunanya membebaskan Chi Koan kalau di tengah jalan terjadi musibah, susiok. Bukankah semua kebaikan dan rasa taubat pemuda itu tak kita imbangi. Hm, mengerti aku. Tudingan Ji-susiok tidak salah dan sepenuhnya benar. Aku dapat menangkap maksud dan isi hati Ji-susiok yang mulia. Ji- susiok tak ingin rasa taubat Chi Koan sia-sia."

"Nah, itu benar sekali! Pinceng memang.maksudkan begitu, Peng Houw. Bukankah kasihan dan sayang kalau selama ini anak itu benar-benar bertaubat tapi kita tak memberinya imbalan hukuman yang ringan. Kita bakal disalahkan secara moral, orang sudah menjadi baik namun tetap juga dihukum!"

Peng Houw mengangguk-angguk. Sam-hwesio ganti berubah dan wajahnya memerah. Sekarang hwesio ini yang penasaran. Dan ketika ia mengangguk-angguk namun berseru mengebutkan jubah maka ganti kata-katanya mengejutkan sang suheng. "Tidak adil! Kita rasanya menghakimi tawanan seperti Chi Koan milik kita sendiri, suheng, padahal jelas Peng Houwlah penentunya. Kau maupun aku hanya memberikan pendapat dan biarkan Peng Houw bersikap pula. Kita hanya di luar, jangan mempengaruhi Peng Houw!"

Ji-hwesio terkejut. Ia sudah merasa senang bahwa Peng Houw mulai berpihak padanya, tak disangka bahwa sutenya berseru bahwa mereka berdua hanyalah orang-orang "luar". Yang lebih berhak,yang berkompeten adalah pemuda itu. Peng Houwlah yang memutuskan, bukan mereka! Dan ketika hwesio itu sadar dan menepuk paha sendiri maka ia menyeringai masam mendengar pemuda itu tertawa.

"Jiwi-susiok sama-sama keras kepala, keras pendirian, tak mau kalah. Ah, kalian membuat aku bangga, susiok. lni berarti bahwa masing-masing berkepribadian dan tak mudah dihasut orang lain. Sudahlah, kalian benar tapi jangan kira keputusan mutlak di tanganku. Tanpa urun rembug atau pendapat kalian tentu aku tak berani gegabah memutuskan masalah ini. Baik, aku berterima kasih. Namun jawaban dari semua ini tentunya harus kubuktikan dengan melihat sendiri keadaan pemuda itu, bagaimana sesungguhnya. Apakah susiok mau mengantar aku ke tempat Chi Koan? Orang yang benar-benar bertaubat tentunya dapat menghilangkan iri dengki. Nah, maukah susiok menemani aku dan kita lihat keadaan Chi Koan!"

Dua hwesio itu mengangguk. Mereka saling pandang dan masing-masing tertawa geli. Tak dapat ditahan lagi wajah merekapun semringah (gembira). Adu debat ini membuat mereka seri, masing-masing tak ada yang kalah. Masing-masing menang tapi tak menang pula. Dan ketika keduanya bangkit dan tentu saja tak menduga bahwa pembicaraan itu didengar Chi Koan, jauh di atas bukit pertapaan maka Peng Houw yang juga tak menyangka ketajaman telinga si buta itu tenang-tenang saja menuju ke tempat tawanan.

"Baiklah, mari , susiok. Kulihat sendiri bagaimana keadaan Chi Koan sekarang."

Tiga orang itu bergerak. Peng Houw berkelebat dan dua paman gurunya menyusul. Akan tetapi karena kepandaian Peng Houw tak mungkin ditandingi dan pemuda itu sengaja memperlambat maka Ji-hwesio maupun Sam-hwesio diajaknya berendeng dan ini lagi-lagi membuat dua hwesio itu kagum.

Peng Houw selalu hormat dan menghargai yang lebih tua dan tak pernah sombong. Hal ini menimbulkan segan dan hormat bagi orang lain. Dan ketika akhirnya mereka tiba di guha pertapa itu dan Peng Houw menarik napas dalam maka iapun masuk dan menekan perasaannya yang berdebar. Selalu begitu apabila, bertemu Chi Koan, kawan tapi juga lawan bebuyutannya...!