Kabut Di Telaga See Ouw Jilid 01 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-beng Sian-su Karya Batara

Kabut Di Telaga See-ouw Jilid 01


HAMPARAN air biru di telaga luas itu amatlah mentakjubkan. Sinar mentari pagi yang tak malu-malu menerangi bumi, menyiratkan cahayanya di permukaan air telaga bagaikan sapuan lembut perawan desa di jerami jingga. Cahaya biru kuning memantul di sini, bercampur warna perak menyatu membentuk benang-benang cahaya yang amat indah, indah dan penuh pesona.

Dan ketika angin bergerak sepoi-sepoi basah menerpa permukaan telaga dengan masih malu-malu, pagi itu semuanya baru bangun dari tidur maka telaga bergerak dan permukaan airnya mengeriput kecil bagai lipatan-lipatan kain panjang di tubuh bumi. Indah, namun penuh pesona!

Tiga meliwis putih tiba-tiba mengelepakkan sayap dari utara, gembira, menyusur permukaan telaga lalu tiba-tiba menukik pendek. Lalu ketika secepat kilat paruh dibuka menangkap seekor mujair hitam, melonjak dan terbang ke atas maka makanan pagi yang segar didapat. Ah, perburuan sudah dimulai!

Angin tiba-tiba bertiup lebih dingin dan lebih kencang. Dua perahu di tepi telaga berguncang, permukaan air sudah tidak lagi mengeriput melainkan berombak, buih-buih kecil mulai saling tampar. Lalu ketika dua orang menggeliat bangun dari perahu itu, di sana ayam hutan berkokok memberi tanda maka permukaan telaga bergerak lebih besar dan kemudian bergelombang.

"Aduh, kesiangan. Kita terlambat pulang!"

"Benar, dan aku masih mengantuk,Ban-suheng. Aih, nikmatnya tiduran di sini dibelai angin telaga!"

Dua laki-laki tegap meloncat dan menyambar dayung masing-masing. Mereka saling berseru tapi laki-laki kedua bernada lain, ia masih ingin mendengkur dan tiduran lagi. Semalam rupanya mereka sudah ada di situ, sekeranjang ikan di buritan belakang.

Tapi ketika sang suheng (kakak seperguruan) mendamprat dan membentaknya cemas, tak boleh mereka kesiangan maka dua orang ini sudah menggerakkan dayung mereka dan cepat bagai dikejar setan keduanya buru-buru menembus sisa kabut ke tengah telaga, menyeberang.

"Cepat, ja gan sampai diketahui hu-pangcu (wakil ketua). Atau nanti kita kena hukuman dan ini semua gara-gara dirimu!"

"Ah, aku mengajakmu tidur sejenak saja, suheng. Hasil tangkapan kita sudah cukup. Kalau kau menolak tentu semalam kita tak tidur di sini."

"Sudahlah, kau selamanya pandai berkilah dan hati-hati menembus kabut itu. Heiii.... rupanya ada saudara-saudara kita datang. Awas.... braakkk!"

Perahu tiba-tiba membentur perahu lain dan berteriaklah pria di depan dengan kaget sekali. la diajak omong saudaranya dan kurang memperhatikan ke depan, kabut di tengah telaga masih ada yang tebal dan ketika sebuah perahu lain tiba-tiba muncul begitu saja maka tabrakan tak dapat dihindari lagi.

Lelaki itu menyangka temannya yang lain. Saudara-saudara mereka yang mecari mereka karena terlambat pulang. Tapi ketika dia terpelanting dan kekeh tawa terdengar di depan, dingin, ia berteriak mempertahankan perahu maka perahu di depan itu terus meluncur dan menabrak perahu, sutenya (adik seperguruan) yang juga kaget setengah mati. Samar-samar di tengah kabut itu seorang kakek bongkok mengemudikan perahu dengan sebatang tongkat.

"Heiiii. bresss!"

Perahu kedua itupun tertusuk dan terbalik. Penghuninya tentu saja terlempar tapi berjungkir balik di perahu. Sang suheng yang bergoyang-goyang. Perahu itu hampir terbalik namun dapat diselamatkan susah payah. Dua-duanya melotot. Dan ketika mereka memaki karena penabrak bukanlah teman sendiri, mereka adalah orang-orang See-ouw-pang (Perkumpulan Telaga See-ouw) maka kakek itu, si bongkok yang terkekeh tak memperdulikan dan terus meluncur ke depan. Dan saat itu dari arah seberang terdengar teriakan dan bentakan.

"Cegat kakek itu, hadang! la masuk dapur perkumpulan!"

Ban-suheng, orang pertama terkejut. Dari depan meluncur tujuh perahu mengejar kakek ini, kiranya kakek itu pelarian dan pantas saja muncul dan menabrak mereka secara tiba-tiba. Dan karena mereka mengenal suara-suara di tujuh perahu itu, itulah saudara-saudara mereka dari See-ouw-pang. maka Ban-suheng ini menendang ujung perahunya hingga melesat ke depan, sekeranjang ikan di buritan perahu lagi- lagi terlempar.

"Heii, kakek busuk. Berhenti dan serahkan dirimu. Kau mengacau See-Ouw-pang!”

Kakek itu terkekeh. la sudah jauh namun karena dikejar dan tujuh perahu didayung para laki-laki muda, kuat dan mereka itulah murid- murid See-ouw-pang maka kakek ini terkejar juga atau mungkin dia sengaja melambatkan larinya perahu. Ban-suheng dan sutenya itu lebih dulu di depan.

"Ha-ha, kalian mau menangkap aku? Kalian mau minta pelajaran dari si bongkok? Bagus, majulah, anak-anak, majulah dan sayang ketua kalian Cheng-liong-pian Ning Po tak ada di rumah. Ayo.... ayo maju dan biar sejenak kita main-main di sini!"

Kakek itu mendadak berhenti dan memutar perahunya, begitu tiba-tiba dan cepat hingga si Ban-suheng maupun sutenya tak mampu menahan diri. Mereka menumpang satu perahu dan sama-sama mendayung cepat, bermaksud mendahului saudara-saudara yang lain karena mereka juga ingin menangkap kakek ini. Tadi perahu mereka ditabrak dan terbalik.

Maka ketika si kakek mendadak berhenti dan memutar perahu, saat itu mereka juga mendayung dan menggerakkan perahu dengan cepat maka tanpa ampun lagi perahu mereka itulah yang menabrak dan tepat si kakek tertawa bergelak saat itu juga ujung perahu mereka menghantam lambung atau perut perahu lawan.

"Braakkk!"

Perahu mereka terpental dan terbalik. Si kakek menggerakkan tongkatnya dan tadi secepat kilat menahan dinding perahu Ban- suheng, perahu terdorong dan bagai disentakkan saja, kuat dan mereka berdua tak mampu menahan. Dan ketika keduanya mencelat dan jatuh ke telaga, si kakek terkekeh-kekeh maka keduanya basah kuyup dan kakek itu memutar perahunya lagi dan melanjutkan larinya.

"Ha-ha, murid-murid See-ouw-pang tak mungkin menandingi aku, Cheng-liong pian (Cambuk Naga Hijau). Kau sendiri harus maju tapi sayang tak ada di rumah. Ha-ha, biarlah aku mendaratkan perahu di sana dan main-main dengan murid-muridmu yang lain!"

Tujuh perahu mengejar dan sempat memperpendek jarak. Tabrakan yang terjadi di antara Ban-suheng dan kakek itu tadi membuat mereka berteriak-teriak tapi sayang si kakek tak berlama-lama. Justeru saudara mereka yang berjungkalan masuk telaga.

Tapi ketika mereka menolong dan mengejar lagi, Ban-suheng dan sutenya diangkat dari air maka kakek itu ternyata menepati janji menunggu dl tepi. Ia telah tiba di seberang dan menancapkan tongkatnya, perahunya bergoyang naik turun mengikuti gelombang air, terkekeh-kekeh.

"Ha-ha, ayo... ayo maju dan main-main sebentar. Tubuhku juga dingin setelah semalam tak menemukan apa-apa di tempat kalian. Hayo, cepat, anak-anak. Pijati tubuhku biar hangat. Sayang ketua kallan Cheng-liong-pian Ning Po tak ada di rumah!"

Tujuh perahu sudah datang mendekat. Mereka adalah murid-murid See-ouw-pang yang jumlahnya sekitar lima puluh orang, berpakaian hijau ketat dan masing-masing adalah pria-pria muda bertubuh kuat, tegap dan berisi. Maka ketika kakek itu menunggu dan terang-terangan mengejek mereka, tak takut dan bahkan merendahkan maka yang paling depan mencabut senjata dan langsung menerjang. Pagi itu mereka baru tahu bahwa si kakek bongkok keluar masuk seenaknya di See-ouw-pang.

"Tua bangka keparat, menyerahlah. Mencari apa di tempat kami hingga semalam berkeliaran!"

"Ha-ha, mencari ketua kalian," si kakek mengelak dan semua senjata luput. "Apakah kalian kira aku mencari kalian kecoa-kecoa tak berguna ini, anak-anak. Hayo serang lebih cepat dan gebuki tubuhku biar terasa hangat... bak- bik-buk!"

Pedang dan golok akhirnya diterima kakek ini, mendarat dan terpental bagai membacok sebongkah karet. Mereka yang ada di belakang dan sudah maju sampai berteriak tertahan. Namun ketika mereka maju dan membentak lagi, menusuk dan membacok maka punuk di belakang kakek itu menjadi sasaran.

"Ting-tak!" Si kakek terkekeh-kekeh. Punuk itu bahkan lebih dari sekedar karet, keras seperti logam dan pedang yang menyambar patah-patah. Dan ketika pemiliknya terkejut dan berseru keras, terpelanting maka kakek itu menggulung lengan bajunya dan sekali dia berseru membalas maka lima orang itu terlempar dan masuk telaga.

"Byur-byur-byuuurrrr...!"

Jerit dan pekik ramai terjadi di sini lima puluh murid See-ouw-pang itu tumpang tindih, air memuncrat tinggi dan sejenak menelan tubuh-tubuh itu. Tapi ketika mereka mengambang dan sudah menjadl mayat, muka kebiruan sementara urat leher putus maka kakek itu terkekeh dan mencabut tongkatnya lagi, tongkatnya itu memang ditancapkan di tanah, setelah itu dia meloncat dari perahu.

"Heh-heh, anak-anak murid See-ouw-pang memang meneari penyakit. Hm, salah mereka sendiri, Cheng-liong-pian, jangan salahkan aku. Sekarang aku pergi dan selamat tinggal, heh-heh...!"

Namun dari tengah telaga meluncur puluhan perahu-perahu baru. Kabut yang menguap dan mulai hilang menunjukkan bayang-bayang jelas dari para pendatang ini. Mereka berteriak dan membentak bentak. Lalu ketika kakek itu tertegun, dan menoleh, empat bayangan hijau menyambar dan meluncur di permukaan air, hanya mengandalkan gerak lincah dari sebuah ilmu meringankan tubuh maka empat bayangan itu membentak dan mencegah kakek ini pergi.

"Ban-tok Wi Lo, berhenti! Serahkan nyawamu dan tunggu kami kalau kau berani!"

"Heh-heh, hu-pangcu Sai-kim-mouw So Hak. Bagus, aku jadi berhenti mendengar kata- katamu, So Hak. Siapa kira aku takut hingga harus lari terbirit-birit. Bagus ini aku dan kau mau apa!"

"Aku membunuhmu!" bayangan hijau paling depan sudah melempar tubuh berjungkir balik. la telah meninggalkan telaga dengan menjejakkan kedua kakinya kuat-kuat. Jarak masih ada tiga puluh meter tapi hebat sekali laki-laki ini telah turun di depan si kakek bongkok.

Dia ternyata adalah wakil ketua See-ouw-pang, namanya So Hak sementara julukannya adalah Sai kim-mouw (Bulu Emas Singa). Dan ketika ia turun di depan kakek ini sementara tangannya sudah memegang sebuah kebutan bulu singa, kuning keemasan dan sinar itu berkeredep menyambar si kakek bongkok.

Maka Ban-tok Wi Lo alias si Selaksa Racun tertawa aneh menggoyangkan kepalanya ke kiri, mengelak tapi dikejar dan kini bulu kebutan itu pecah menjadi ratusan, semunnya mendadak kaku dan menotok atau menusuk bagai paku-paku panjang, bercuit dan tentu saja amat berbahaya apalagi ketika menyambar mata!

Dan ketika kakek itu terpaksa menangkis menggerakkan ujung tongkatnya, cepat bagai kilat maka sinar kuning berpijar dan bunga-bunga api memuncrat ketika tongkat bertemu ratusan bulu halus itu, bulu yang sudah terisi sinkang (hawa sakti) hingga berobah menjadi semacam tombak pendek.

"Crang-cranggggg!"

Si kakek tergetar sementara lawannya terpental berjungkir balik. Hu-pangcu atau wakil ketua See-ouw-pang itu ternyata kalah, ia tak kuat menerima tangkisan tongkat tapi sudah mematahkan tenaga si kakek dengan berjungkir balik ke atas, tinggi dan meluncur turun dengan wajah memerah, sinar matanya bagai api. Lalu ketika tiga yang lain berturut-turut juga sudah datang, membentak dan menyerang kakek itu maka Ban-tok Wi Lo terkekeh dan berkelebat menjauhkan diri.

"Ha-ha, apakah siap main keroyok. Aehhh.... kalian bertiga tak mungkin menang mengeroyok aku, Sam-cheng-houw (Tiga Harimau Hijau). Ketua kalianpun juga tidak. Bagus, maju dan kerubutlah aku cring-takk!"

Tongkat menyambar dan akhirnya menangkis kejaran pedang, bergerak dan meliuk dan sang hu-pangcu So Hak sudah maju menerjang lagi. Pria tegap gagah dari See-ouw-pang ini memberi seruan panjang, melesat dan menyerang kakek ini lagi setelah tadi terpental.

Lalu ketika si kakek menangkis dan mengelak sana-sini, para murid sudah mendekat dan menepikan perahu-perahu mereka maka kakek itu sudah dikeroyok empat di mana bayangan hijau naik turun menyambar-nyambar sementara kebutan bulu, singa bercuitan dan menjeletar-jeletar.

"Heh-heh, ayo maju, maju semua ayo main-main dengan Ban-tok Wi Lo dan awas siapa kena tongkatku...wirrr..!"

Tongkat menyambar dan akhirnya mengenai satu di antara Sam-cheng-houw, menyelinap dengan amat lihai setelah menangkis tiga serangan utama. Dan ketika terdengar teriakan dan satu di antara Tiga Harimau itu terpelanting, tongkat menghantam mengenai punggungnya maka laki-laki itu roboh dan satu lawan tersungkur.

"Ha-ha, salah sendiri, sudah kuperingatkan. Bodoh, sutemu tak hati-hati, Sai- kim-mouw. Awas kau sendiri dan jaga agar tidak menjadi korban!"

Sang hu-pangcu marah bukan main. Ia telah mengeroyok bersama tiga sutenya akan tetapi si kakek terlalu lihai. Semalam kakek ini datang dan pergi pulang seenaknya, yang dicari adalah ketuanya tapi kebetulan sang ketua sedang pergi saat itu. Ia menerima laporan setelah menjelang pagi, dapur diobrak-abrik dan entah apa yang dicari Ban-tok Wi Lo ini, selain ketua. Maka ketika sutenya roboh dan Sam-cheng-houw tinggal dua, kini mereka hanya bertiga maka ia membentak dan kebetulan saat itu seluruh murid sudah berdatangan.

"Ban-tok Wi Lo, jangan sombong. Biarpun Ning-suheng tak ada di sini tapi menghadapi sekian banyak orang jangan harap kau lolos. Lihatlah, kematianmu sudah di ambang mata!"

"Ha-ha, kaulah yang sombong. Tua bangka macam aku tak gampang mati, Sai-kim-mouw, daging dan uratku alot. Kau salah besar kalau mengira dengan banyak orang dapat merobohkan aku... tak-cringgg!"

Tongkat bertemu kebutan dan secepat kilat bulu-bulu menyambar berhamburan, gagang dibalik dan dengan amat luar biasa menyodok ulu hati. Gerakan itu adalah gerakan sulit yang hanya mampu dilakukan tokoh nomor dua See-ouw-pang ini, namanya jurus Memutar Ekor Menghantarn Jantung, sebenarnya menuju dada kiri lawan tapi diubah menusuk ulu hati.

Sekali kena tentu kakek itu celaka, jalan pernapasannya bisa terhenti. Tapi ketika si kakek memilin tongkatnya dan dengan tak kalah lihai membenturkan bawah tongkat dengan gagang kebutan, hu-pangcu terpental dan gagal serangannya maka kakek itu terkekeh-kekeh namun para murid sudah berdatangan dan membentak serta menyerang. Dua di antara Tiga Harimau juga menerjang dan menggerakkan pedang dengan cepat.

"Heh-heh, rupanya harus berkeringat lebih banyak. Bagus, suruh semua anak buahmu maju, Sai-kim-mouw. Dan lihat kelihaian Ban-tok Wi Lo...cet-cet!"

Si kakek tiba-tiba meliuk dan memencet batang tongkat. Dari ujung senjatanya tiba-tiba menyambar tujuh jarum halus yang tak tampak mata, melesat dan menyambar tujuh anak murid pertama. Lalu ketika mereka menjerit dan roboh, senjata tak jadi menyerang maka yang lain terkejut dan tak mengerti, hanya hu-pangcu yang melihat dan mengetahui sambaran jarum-jarum halus itu.

"Curang, keparat jahanam! Awas, anak-anak, si bongkok ini mempergunakan jarum beracun!"

Mundurlah para murid See-ouw-pang. Mereka menjadi pucat dan otomatis, gentar, apalagi ketika tujuh teman yang sudah roboh itu kehitaman mukanya, mendelik dan jelas kena racun jahat. Lalu ketika semuanya mundur dan tinggallah hu-pangcu dan dua Harimau Hijau, kakek itu terkekeh-kekeh maka ia mengejek memutar tongkatnya lagi, menghalau dan membalas secara biasa.

"Heh-heh, tajam matamu, orang she So, tapi licik anak-anak muridmu itu. Beraninya hanya mengeroyok. Ayo, maju dan tak usah takut!"

Sang wakil menjadi gusar. la menyuruh dua saudaranya berhati-hati dan membentak para murid untuk maju lagi, mereka boleh menyerang dari belakang. Lalu ketika mereka bergerak lagi dan menyerang dari belakang, hujan senjata menyambar kakek ini maka Ban-tok Wi Lo terkekeh panjang dan tiba-tiba melesat tinggi ke atas.

"Ha-ha, dari belakang, siapa takut! Aku tak gentar dan awas kalian tikus-tikus busuk cet-cett!"

Belasan sinar menyambar lagi namun hanya sang wakil yang melihat, membentak dan memutar bulu kebutannya hingga belasan bulu kuning emas melesat. Sinar bulu ini terang menyilaukan mata dan terdengarlah denting belasan kali ketika bulu-bulu kebutan itu menyambar jarum-jarum halus, runtuh dan tak jadi mengenai murid-murid See-ouw-pang. Dan ketika semua terkejut dan baru melihat itu, asap terbakar ketika jarum runtuh ke tanah maka si kakek berseru kagum memuji hu-pangcu itu, melayang turun.

"Bagus, kau menyelamatkan murid-muridmu, So Hak, tapi hanya sebentar saja. Lihat kalau mereka menerima ini ... wushh!" asap menyembur dan dari ujung tongkat sekonyong-konyong keluar bau busuk seperti kentut, pekat dan menyambar hu-pangcu itu serta yang lain.

Dan ketika sang hu-pangcu berteriak dan membanting tubuh bergulingan, tak berani menerima asap dan bau busuk itu maka para murid yang bengong dan masih terpana oleh runtuhnya jarum menjadi korban. Mereka ini terlambat dan kena sembur, uap hitam itu menyambar cepat. Dan ketika mereka menjerit dan bergulingan roboh, berteriak mencakari wajah sendiri maka tampaklah betapa wajah para murid itu terbakar dan menyala, berkobar!

"Mundur...mundur semua. Jangan dekati kakek jahanam ini"

Ban-tok Wi Lo tertawa tergelak-gelak. Sai-kim-mouw So Hak tak menyangka bahwa dari dalam tongkatnya itu bisa bermunculan benda-benda berbahaya, pertama adalah jarum sekarang uap panas. Uap itu akan berkobar dan berubah menjadi api kalau menyentuh kulit.

Belasan murid yang terkena itu dijilat uap berbahanya, seperti uap belerang atau asap kimia yang beracun. Dan karena asap itu bukan hanya membakar melainkan juga menyemburkan racun, kulit yang terkena bakal beset dan terkelupas maka para murid yang terkena itu melolong-lolong bagai anjing masuk tungku.

Mereka mencakari dan membeset kulit sendiri, roboh dan bergulingan untuk akhirnya berhenti menggelepar-gelepar. Tak ada yang bisa menolong kalau sudah begitu. Dan ketika hu-pangcu terbeliak dan meloncat bangun di sana, mendidih maka wakil ketua itu tiba-tiba mengebutkan bulu-bulu emasnya dan cep-cep-cep", para murid itu tak bergerak-gerak lagi karena jidat mereka, tembus dilubangi senjata-senjata maut itu. Bulu-bulu kebutan telah menyelesaikan penderitaan mereka, bagai bor atau paku tajam!

"Heh-heh, kau membunuh murid-murid, sendiri. Kejam, kau kejam, Sai-kim mouw So Hak. Kau tak berperasaan!"

"Jahanam!" wakil ketua itu membentak dan menerjang. maju lagi. "Aku membunuh mereka karena tak tahan melihat penderitaannya, Ban-tok Wi Lo. Kaulah, biangnya dan kaulah yang kejam. Kubunuh kau!"

Si kakek berkelit dan tertawa lagi. la terkekeh menangkis gagang kebutan ketika dikejar, membalas dan membuat lawan terpental tapi sang wakil ketua maju lagi. Sai-kim-mouw So Hak ini tak takut mati lagi, la mata gelap. Dan ketika, dua dari Sam-cheng-houw juga bergerai dan mengertakkan gigi, mereka ngeri tapi membuang semua rasa gentar maka kakek itu dikeroyok sementara para murid, disuruh berjaga.

"Jangan ada yang mendekat, biar kami yang mengadu jiwa. Minggir dan berjaga-jaga saja, anak-anak, jangan sampai kakek ini lolos!"

Si bongkok tertawa nyaring. Dibentak dan diserang gencar ia malah geli, tadi saja tak takut apalagi sekarang, hanya di keroyok bertiga. Maka mengelak dan menggerakkan tongkat menangkis sana-sini, dua orang kembali terpelanting maka kakek itu menujukan serangannya kepada Sai- kim-mouw, wakil See-ouw-pang.

"Cukup, sekarang kau mampus, orang she So. Dan beberapa hari lagi aku datang mencari ketuamu.. wuttt!" tongkat menyambar dari bawah ke atas, meliuk dan menyodok dan tahu-tahu sudah di dagu lawan. Lalu ketika Sai-kim-mouw berteriak melempar tubuh kakek itu mendahului dengan gerakan kakinya.

"Dess!" Sang wakil terbanting dan bergulingan. Kakek itu terkekeh dan berkelebat mengejar, dua Harimau terbelalak dan meloncat bangun, baru saja terpelanting oleh tangkisan si kakek. Dan melihat bahaya mengancam pimpinan mereka, Yang di kiri berteriak melemparkan pedangnya maka si kakek bongkok menerima serangan berbahaya kalau tetap mengejar sang wakil ketua.

"Hm!" kakek itu membalik dan mendengus. Untuk sejenak ia menahan serangannya kepada hu-pangcu, tongkat tak jadi menyambar ke depan melainkan belakang, memukul pedang itu. Lalu ketika terdengar suara keras dan pedang terpental kembali, membalik dan menyambar tuannya maka So Hak sang wakil pimpinan berteriak.

"Awas!"

Terlambat. Pukulan si kakek amatlah kuatnya dan pedang meluncur dua kali lebih cepat, ini karena daya dorong tongkat si kakek ditambah kekuatan pedang itu sendiri, ketika dilontar tuannya. Maka ketika ujung pedang tahu-tahu menyambar dan menuju pemiliknya, orang kedua, dari Sam-cheng-houw ini tak mampu berkelit maka ujung pedangnya menusuk sampai tembus belakang.

"Augh-cepp!"

Laki-laki itu roboh dan tewas seketika. Ia jatuh di mana pedangnya menahan di belakang, kepala tak sampai menyentuh bumi. Tapi ketika pedang itu patah tak kuat menahan beban, tokoh See-ouw-pang ini terjengkang mandi darah maka sang wakil ketua sadar dan melengking tinggi, menerjang lagi.

"Ban-tok Wi Lo, kau berhutang sebuah jiwa lagi!"

"Ha-ha, akan diberesi. Aku akan menambah hutangku, So Hak, dan kali ini kau... tranggg!" bulu kebutan bertemu ujung tongkat, berpijar dan menyerang lagi tapi si kakek mengelak.

Kini ratusan bulu emas itu berdiri bagai jarum-jarum panjang, menusuk dan menikam dan hebat bukan main sepak terjang si wakil See-ouw-pang. Tapi karena si kakek lebih lihai dan tangkisan demi tangkisan membuat lawan selalu tergetar, di sana Sam-cheng-houw yang tinggal seorang gemetar dan marah bukan main maka kakek ini diterjang dan dikeroyok lagi, dua.

"Kau membunuh saudaraku, keparat. Kau akan kubunuh tua bangka jahanam, kau akan kubunuh!" laki-laki itu kalap dan menggerakkan pedang membabi-buta, merangsek dan menerjang.

Tapi si kakek tertawa-tawa. Semakin orang kalap semakin ia gembira. Maka ketika ia mengibas dan tongkat menghantam gagang pedang, mencelat dan terlepas maka kakek itu berseru menusukkan tongkat. "Kalau begitu giliranmu dulu. Bagus, susullah saudaramu, Cheng-houw, dan selamat jalan ke akherat!"

Namun saat itu berkelebat sebuah bayangan putih berkembang. Bentakan lirih disusul bau harum menyambar mengejutkan si bongkok, tongkatnya tertangkis segumpal rambut. Lalu ketika rambut itu membelit dan menyentak kuat, ia terbawa ke depan maka Ban-tok Wi Lo berseru keras dengan muka berubah.

"Heiii-wuuttt-plak-plakk!"

Pundak kakek itu terkena tamparan tangan halus. Ia mempertahankan tongkatnya dan akibatnya terpelanting. Tongkat akhirnya terlepas tapi pundak menerima pukulan pedas, Ban-tok Wi Lo bergulingan. Dan ketika ia meloncat bangun sementara samar-samar di sana bayangan seorang wanita berjungkir balik di atas sebuah pohon, menolong dan telah menyelamatkan dua tokoh See-ouw-pang maka kakek ini kelihatan marah namun tiba-tiba berkelebat memutar tubuh, melarikan diri.

"Siang-mouw Sian-li (Dewi Rambut harum), kau selalu usil mencampuri urusan orang lain. Baiklah aku pergi tapi hati-hati lain kali!"

"Hm!" dengus merdu terdengar di situ. "Kalau kau tidak lancang membunuh-bunuhi orang tentu aku tak usil mencampuri urusanmu, Ban-tok Wi Lo. Tapi karena kau mengganggu See-ouw-pang maka aku tak dapat tinggal diam!"

"Benar, kau kekasih gelap Cheng-liong-pang Ning Po. Ah, kau betina liar yang tak tahu malu!"

"Tutup mulutmu!" bayangan wanita itu tiba-tiba menyambar, rambutnya meledak "Kuhajar mulutmu yang busuk, Ban-tok Wi Lo. Terima ini dan berhentilah,"

Kakek itu terkekeh. la tak berhenti ketika diserang dan tahu beberapa rambut halus menyambar punggungnya. Rambut itu adalah benda-benda berbahaya yang lepas dari kepala Siang-mouw Sian-li, sekali kena dapat menancap tembus.

Tapi karena ia mempunyai tongkat dan tongkat itu bergerak ke belakang, dipencet dan beberapa jarum hitam menyambut belasan rambut panjang ini maka "tak-tik-tak-tik" suara nyaring membuat dua macam senjata aneh itu runtuh dan sama-sama patah. Akan tetapi kakek ini tidak tahu gerakan tangan kiri wanita itu, yang menyambar tanpa suara tertutup oleh suara beradunya jarum dan rambut hitam.

Maka ketika kakek itu terkekeh melanjutkan larinya, Siang-mouw Sian-li sudah cepat menggerakkan tangan kirinya ini maka leher kakek itu tepat menerima tamparan dan Ban-tok Wi Lo menjerit berteriak mengaduh. Ia terkena Siang-mouw-kang.

"Aduh!" Ban-tok Wi Lo bergulingan. Kesempatan itu tak disia-siakan wakil ketua See-ouw-pang yang secepat harimau menyambar ke depan. Bulu kebutannya yang kaku lurus itu menusuk. Dan ketika Ban-tok Wi Lo kembali menjerit oleh tusukan bulu-bulu singa itu, bulu kebutan yeng sudah berubah seperti jarum-jarum panjang maka anak murid juga bergerak hendak maju menangkap. Akan tetapi kakek bongkok itu bukanlah manusia biasa.

Hanya terhadap Siang-mouw-kang (Pukulan Harum) ia agak berhati-hati, terhadap anak murid dan Sai-kim-mouw sendiri ia tak takut. Maka ketika ia tergetar dan sedikit sesak napas, bangun dan meloncat ditusuk belasan bulu-bulu kebutan kakek itupun terkekeh dan "cet-cet", jarum-jarum hitam berhamburan dari ujung tongkatnya, menyambar anak murid See-ouw-pang dan sang wakil ketua.

"Awas...!" Sang hu-pangcu menggerakkan bulu kebutannya mementalkan jarum-jarum hitam itu. la sendiri dapat melihat namun anak-anak murid tidak. Maka ketika mereka berteriak dan roboh berpelantingan, jarum mengenai mata atau bagian tubuh lain maka kakek itu tertawa bergelak dan melarikan diri lagi.

"Siang-mouw Sian-li, kau licik mengandalkan keroyokan. Lihat lain keli aku menandingimu dan boleh kita bertempur seribu jurus!"

Sai-kim-mouw So Hak terbelalak. Ia menggeram mengutuk kakek itu namun tak berani mengejar. Bayangan Siang-mouw Sian-li lenyap entah ke mana. Dan karena anak-anak murid jatuh oleh jarum jarum beracun, tak mungkin ia meninggalkan telaga maka pimpinan See-ouw-pang ini mengumpat dan menolong murid-murid yang lain, mengertak gigi dan melihat tak kurang dari tujuh puluh anggauta menjadi korban. Bukan main gusarnya hu-pangcu See-ouw-pang itu.

Tapi karena ia harus bekerja dan menunggu pulangnya ketua, apalagi dua dari Sam-cheng-houw juga telah tewas maka pimpinan See-ouw-pang ini menahan kemarahannya dan pagi itu See-ouw-pang berkabung. Tiga meliwis putih tiba-tiba datang lagi, menyusur dan terbang di permukaan air telaga. Tapi ketika tak ada ikan didapat dan mereka jemu, berputaran dan terbang lagi maka peristiwa di See-ouw-pang itu akhirnya tinggal cerita yang menjalar dari mulut ke mulut.

* * * * * * * *

Sin-hong-pang (Perkumpulan Burung Hong Sakti). Perkumpulan ini terletak seratus li dari telaga See-ouw, sebelah timur laut di mana seluruh penghuni perkumpulan ini adalah wanita. Dan karena ketuanya adalah Siang-mouw Sian-li, Dewi Rambut Harum maka tak ada pria-pria kurang ajar yang berani begitu saja mengganggu penghuni Sin-hong-pang ini.

Sudah terkenal di antara orang-orang persilatan bahwa penghuni Sin-hong-pang ini adalah wanita- wanita lihai yang memiliki kepandaian tinggi. Ilmu meringankan tubuh mereka Sin-hong Ginkang dan permainan rambut mereka yang mengandalkan tenaga Siang-mouw-kang cukup dikenal di dunia kang-ouw.

Siang-mouw Sian-li sendiri mempergunakan dua ilmu andalan itu untuk menghadapi musuh-musuhnya yang tangguh. Maka ketika sore itu seorang kakek tahu-tahu berkelebat dan memasuki pintu gerbang perkumpulan ini, diteriaki namun sudah berada di ruang dalam maka Sin-hong-pang sedikit terkejut menerima tamu asing ini. Sudah menjadi larangan bagi mereka bahwa tak boleh tamu begitu saja memasuki markas, apalagi laki-laki.

Maka ketika dua penjaga wanita berteriak dan mengejar kakek ini, yang lain mendengar dan Sin-hong-pang bergerak dengan cepat maka kakek itu tak dapat maju lagi karena di depannya sudah berdiri seorang wanita cantik yang rambutnya disanggul tinggi, di lehernya berjuntai dua macam kalung yang indah berbentuk hati, kalung paling bawah dibanduli sebuah batu giok yang kehijau-hijauan, terang mengagumkan mata.

"Berhenti, siapa kau, kakek busuk. Ada apa lancang memasuki Sin-hong-pang dan berani benar kau mencari penyakit!"

"Heh-heh..." Ban-tok Wi Lo, kakek ini terkekeh dan menggoyang-goyangkan tongkat di tangan, kagum kepada wanita-wanita cantik yang cepat menyebar dan mengelilinginya itu. "Aku mencari ketua kalian, nona-nona. Mana Siang-mouw Sian-li dan katakan bahwa Bantok Wi Lo ngin bertemu!"

"Kau... Ban-tok Wi Lo?" wanita berkalung terkejut dan undur selangkah, yang lain juga surut namun sudah maju lagi. "Hm, kau kiranya iblis tua bangka itu, Ban-tok Wi Lo. Kami penghuni Sin-hong-pang rasanya tak pernah berurusan denganmu, termasuk ketua. Beliau tak ada di sini dan pergilah karena tak boleh kau masuk secara sembarangan!"

Ban-tok Wi Lo terkekeh. Dia sendiri tentu saja sudah mendengar bahwa Sin-hong-pang memang tak boleh dimasuki orang asing, apalagi laki-laki. Biasanya mereka dibunuh dan langsung dilempar keluar mayatnya. Maka melihat wanita cantik itu mempersilakannya keluar dan tidak melakukan kebiasaan yang menjadi ciri Sin-hong-pang ini, membunuh dan melempar mayat laki- laki maka kakek itu terkekeh dan maklum bahwa dia masih di pandang mata, tak berani diremehkan.

"Aku datang untuk urusan penting, masa disuruh pergi lagi. Heh-heh, kalau begitu biar kutunggu ketua mu, nona. Aku beristirahat di ruang tamu dan kalian mundurlah!" berkata begini kakek itu menodongkan tongkat menyuruh minggir. Ia mengangkat tongkatnya biasa-biasa saja tapi dari gerakan itu tiba-tiba menyambar angin kuat.

Wi Lo sebenarnya tahu bahwa Siang-mouw Sian-li tak ada di situ, ia datang karena ingin mengganggu, membalas kemarahannya ketika di See-ouw-pang ia ditandingi. Maka ketika tongkat digerakkan dan ia mengerahkan sin-kangnya, wanita berkalung itu terkejut menepis tangan maka tentu saja ia menolak dan memukul tongkat kakek itu.

"Plakk!" Wi Lo tergetar dan wanita itu terhuyung. Nyata dari gebrakan ini bahwa si cantik itu bukan sembarangan, ia dapat membuatnya terdorong sedikit. Maka bersinar dan tertawa mengejek mendadak kakek ini meloncat dan terbang melewati kepala tiga orang wanita itu.

"Bagus, kau lihai juga, nona. Tapi aku sudah kepalang basah. Aku ingin di ruang tunggu dan siapa mengejar boleh menyusul!"

Kakek itu terkekeh-kekeh. Ia berjungkir balik melewati tiga wanita ini tapi si cantik itu membentak. la adalah sumoi dari Siang-mouw Sian-li, Hong Cu namanya. Maka ketika si kakek lewat dan terbang di atas kepala, bergerak dan meluncur menuju ruang dalam maklumh wanita itu bahwa kakek ini memang mencari setori.

"Ban-tok Wi Lo, kau makanlah jarum-jarum halus ini!"

Di belakang si kakek menyambar puluhan jarum merah. Itu adalah ang-ciam atau senjata rahasia jarum yang berbahaya, tidak beracun tapi sekali mengenai kulit dapat membuat bengkak. Jarum itu adalah jarum api. Tapi ketika Wi Lo terbahak dan di tengah udara ia memutar tongkatnya, memencet dan mengeluarkan jarum-jarum hitamnya maka menyambarlah jarum-jarum beracun itu menyambut jarum merah.

"Ha-ha, aku tak mengenal siapa kalian nona, tapi kepandaianmu lumayan juga. Aiih, kau pandai bermain jarum, aku masih lebih pandai... trik-trak!" jarum mental dan menyambar sana-sini, tidak runtuh melainkan menyambar lawannya, juga dua gadis lain yang mengejar dan ikut membentak.

Tapi ketika Hong Cu mengibaskan rambut dan semua jarum runtuh, kini tak ada yang menyambar lagi maka kakek ini melayang turun karena dari ruang dalam muncul belasan wanita lain yang menghadang dan mencabut pedang!

"Heh-heh, bagus. Kalau begitu di sini saja aku beristirahat. Biar aku menunggu ketuamu. Eh, aku tak ingin bertengkar, nona-nona. Aku datang membawa urusan baik-baik dan jangan menyerang!"

"Keluarlah!" Hong Cu melengking dan berkelebat di depan kakek ini, berapi-api. "Tak ada perintah untuk menyambutmu, Ban-tok Wi lo, dan kau juga bukan orang baik-baik yang layak bersahabat dengan Sin-hong-pang. Keluarlah atau aku akan membunuhmu!"

Kakek itu tertawa. Akhirnya ia dikurung rapat dan tak mungkin keluar lagi. Tapi karena sengaja mencari setori dan ingin menguji kepandaian wanita-wanita Sin-hong-pang, terutama gadis cantik ini maka ia terkekeh menancapkan tongkat dan ketika semua orang terkejut tongkatnya amblas membenam lantai kakek itu sudah meloncat dan berdiri di atas satu kaki.

"Ha-ha, baiklah, di sini juga boleh. Aku menunggu ketua kalian tapi siapa yang ingin mengusir boleh mencabut tongkatku dan melemparku dari sini!"

Semua terbelalak. Tongkat yang menancap dan menembus lantai sudah menunjukkan sinkang yang amat luar biasa dari kakek bongkok ini, apalagi ketika ia berputar dan berlari-lari kecil di atas tongkatnya, ganti berganti dengan kaki yang lain dan itulah ilmu meringankan tubuh sebagai demonstrasinya. Kakek ini hendak unjuk gigi. 

Tapi karena Hong Cu adalah pimpinan di situ dan ia menggantikan ketua yang sedang tiada di ruman, tentu saja marah dan merasa ditantang, tiba-tiba bergerak dan dengan satu tendangan berputar ia menghantam perut kakek itu.

"Bagus, kau mencari penyakit!"

Ban-tok Wi Lo terkekeh. Ia memang hendak menguji kepandaian orang-orang Sin-hong-pang, ketuanya sudah diketahui kehebatannya dan kalau dulu tidak dikeroyok oleh orang-orang See-ouw-pang mungkin dia tak akan lari. Sai-kim-mouw So Hak di sana itu cukup lihai.

Maka melihat gerakan wanita ini dan betapa sambil berputar mampu menendang perutnya yang tinggi di udara, ia maklum betapa berbahayanya tendangan itu maka kakek ini menghentikan gerakannya dan membungkuk ke bawah, menampar sekaligus mengerahkan sinkang.

"Plak!" Ujung tumit kecil itu tertangkap. Wi Lo tidak sekedar menangkis melainkan juga menangkap, ia ingin menggoda. Tapi ketika gadis itu terkejut dan ditarik ke depan, si kakek hendak kurang ajar mendadak rambutnya berkelebat dan sekali kibas rambut peecah menyembar wajah kakek itu.

"Plak-plakk!"

Ban-tok Wi Lo terkekeh dan terpaksa melepaskan tumit yang indah kecil itu. Ia tentu saja tak mau membiarkan wajahnya dihajar rambut dan menangkis, terpental karena berada di atas tongkat tapi lawan tergetar dan terhuyung mundur. Dan ketika kakek itu berjungkir balik dan turun di atas tongkatnya tadi, dengan satu kaki maka ia terkekeh dan diam-diam kagum akan tenaga, yang dimiliki gadis cantik itu.

"Bagus, kau lihai. Tapi sebutkan siapa namamu dan apakah kau murid Siang-mouw Sian-li!"

"Aku Hong Cu, sumoinya. Kau keparat tak tahu malu, Ban-tok Wi Lo. Kau telah menentukan kematianmu di sini. Awas terima pukulanku lagi dan turun atau kau mampus!"

Hong Cu, gadis itu menerjang dan berkelebat lagi. Tubuhnya tiba-tiba menyambar ke atas dan Sin-hong Ginkang dikeluarkan, persis burung terbang dan tahu-tahu rambut di kepala mengibas bagai sayap rajawali betina, menyambar dan menotok bertubi-tubi bagian depan tubuh kakek itu.

Kalau Wi Lo tak turun dari tongkatnya tentu ia kerepotan, lawan menyerangnya beringas dengan lecutan-lecutan rambut yang amat ganas, rambut itu dapat kaku dan lemas berubah-ubah, itulah berkat pengerahan Siang-mouw-kang yang luar biasa.

Dan ketika kakek ini harus melompat turun dan tahu adanya bahaya, dia terkejut karena lawan adalah sumoi atau adik seperguruan Siang-mouw Sian-li maka kakek ini tak berani main-main dan secepat kilat ia mencabut tongkatnya menangkis hujan rambut yang amat luar biasa itu.

"Plak-plak-plak!" dan liong Cu terpental lalu terdorong. Gadis itu ternyata masih kalah dalam hal sinkang namun ini bukan berarti kalah segalanya, ia melengking dan terbang menyambar dengan Sin-hong Gin-kangnya itu. Lalu ketika ia berkelebat dan lenyap beterbangan mengelilingi kakek itu, rambut menyambar dari kiri kanan dan depan.

Maka Ban-tok Wi Lo tak berani main-main lagi dan kakek itu berseru keras meloncat dan terbang mengimbangi lawannya pula, bergerak naik turun dan terjadilah adu cepat yang amat mendebarkan.

Tapi karena kakek itu selalu menangkis dan membuat lawan terpental, ke manapun rambut bergerak ke situ pula tongkat menangkis dan menghalau pergi maka Hong Cu tak dapat mendesak lawan dan ketika kakek itu mulai menggerakkan tangan kiri melepas pukulan-pukulan Ban-tok-kang maka Hong Cu terdesak dan kalah kuat.

"Ha-ha, kau tak dapat mengalahkan aku. Sudah kubilang dari tadi, Hong Cu. Menyerahlah dan kita berbaik saja!"

"Keparat, tua bangka jahanam. Kau atau aku yang mampus, Ban-tok Wi Lo. Jangan sombong!"

"Aku tidak sombong, tapi kenyataan. Ha-ha, kalau begitu aku akan merobohkanmu, Hong Cu, dan kau harus menerima pelajaran dariku.. plak-dess!" tongkat menyambar dan bertemu rambut, menolak dan mementalkan rambut dan saat itu tangan kiri kakek ini menghantam pundak.

Hong Cu terkejut tak sempat berkelit, pundaknya tergetar dan tiba-tiba terasa panas. Dan ketika ia terhuyung dan mulai gelap pandang matanya berkunang oleh pukulan Ban-tok-kang tadi maka gadis ini tak dapat bergerak dengan sempurna lagi ketika tongkat ganti menyambar-nyambar dan membingungkan dirinya.

Sin-hong Gin-kang yang dimiliki juga goyah dan sekali lagi Ban-tok-kang mengenai lehernya, gadis ini mengeluh. Lalu ketika ia terhuyung dan roboh oleh tendangan lawan, kakek bongkok terkekeh menyambar tubuhnya maka sumoi dari ketua Sin-hong-pang itu tertangkap, dan para murid baru tersentak, kaget.

"Heii, lepaskan enci Hong Cu, kakek jahanam. Lepaskan dia!"

Akan tetapi kakek ini sudah menyambar dan memondong gadis itu. Wi Lo tertarik dan kagum dan tiba-tiba timbul gairahnya. Sebenarnya ia hanya hendak mengacau dan membuat keributan kecil saja, sekedar membalas marahnya pada Siang-mouw. Tapi melihat betapa sumoi dari ketua Sin-hong-pang itu cukup lihai dan kecantikannya juga cukup menonjol, tubuh yang langsing padat itu juga terasa cukup menggairahkan.

Maka timbullah niat jahat kakek ini untuk mempermainkan lawan. Ia tak ingat dan perduli lagi akan hal-hal lain, yang ada pada saat itu adalah nafsunya yang bergolak. Getar berahinya terbakar oleh kegagahan dan kecantikan sumoi Sin-hong-pang ini.

Maka ketika ia menyambar dan merobohkan lawan, ujung kakinya membuat lutut gadis itu tertekuk maka si kakek bongkok sudah terkekeh dan melompat pergi. Niat jahatnya ditangkap murid-murid Sin-hong-pang di situ, yang tentu saja marah. Maka ketika mereka membentak dan menyerang berbareng, baru Saat itu mereka sadar untuk menolong Hong Cu maka pedang dan rambut menyambar kakek ini.

Namun Ban-tok Wi Lo adalah seorang kakek lihai. Sebenarnya kakek ini adalah suheng dari mendiang Coa-ong yang tewas dalam pertempuran dahsyat di Hek-see-hwa (baca Prahara Di Gurun Gobi). Kakek ini adalah seorang yang suka merantau dan berpindah-pindah tempat, karena itu jarang bertemu sutenya.

Dan kematian Coa-ong didengar terlambat. Maka ketika ia termenung dan tentu saja menaruh sakit hati atas kematian sutenya itu, mendengar bahwa banyak orang-orang kang-ouw yang terlibat maka kakek ini berhati-hati menelusuri siapa saja orang-orang yang terlibat itu.

Peng Houw, Si Naga Gurun Gobi adalah penyebab utamanya. Namun karena pemuda itu didengarnya memiliki kepandaian luar biasa, pewaris Hok-te Sin-kang yang amat dahsyat maka dia tak berani begitu saja mencari pemuda sakti ini. Sudah didengarnya tentang kehebatan pemuda itu, pemuda yang amat luar biasa dan murid terakhir mendiang Ji Leng Hwesio, dedengkot atau sesepuh Go-bi.

Dan karena dikeroyok berapa saja pemuda itu dapat mengalahkan musuh-musuhnya, sutenya Coa-ong adalah satu dari Tujuh Siluman Langit. Maka kakek ini mula-mula hendak membalaskan sakit hatinya pada orang-orang yang dinilainya dapat dihadapi dulu. Dan orang pertama yang dicari adalah Cheng-liong-pian Ning Pu, ketua See-ouw-pang.

Ketua ini adalah suheng dari (Cambuk Naga Emas), seorang sahabat Go-bi yang dulu juga memusuhi Tujuh Siluman Langit, Coa-ong dan kawan-kawannya. Dan karena apapun yang berbau Go-bi bakal dimusuhi si bongkok ini, Ban-tok Wi Lo membalas dendamnya maka dia mencari ketua See-ouw-pang itu akan tetapi sayang Cheng-liong-pian Ning Po tak ada di rumah.

Kakek ini lalu berkeliaran dan diketahui anak-anak murid See-ouw-pang, dikejar dan akhirnya terjadi pertempuran seperti yang telah di ceritakan di depan. Dan ketika Siang-mouw Sian-li muncul membantu anak-anak murid See-ouw-pang, wanita itu adalah kekasih Cheng-liong-pian maka Ban-tok Wi Lo menjadi marah dan hari itu mendatangi Sin-hong-pang untuk melepas rasa marah. 

Dan yang ditemui adalah su-moi dari Sian-mouw yang cantik dan gagah ini. Ia mula-mula mengira sebagai murid utama Siang-mouw Sian-li dan terkejut, heran. Tapi ketika lawan adalah adik seperguruan wanita itu dan kebetulan Siang-utouw Sian-li adalah sahabat See-ouw-pang, padahal ketua See-ouw-pang adalah suheng dari Kim-liong-pian si Cambuk Emas.

Maka kakek inl merasa kebetulan dan nafsu jahat yang timbul di hatinya untuk mempermainkan gadis itu tak dapat dibendung lagi. Kakek ini tertawa diserbu murid-murid Sin-hong-pang, memencet ujung tongkatnya dan berhamburanlah jarum-jarum halus menyambar para wanita-wanita muda itu. 

Lalu ketika dia meloncat dan menyemburkan asap hitamnya, juga dari ujung tongkat maka anak-anak murid menyibak dan dengan mudah kakek ini keluar dari Sin-hong-pang. Asap hitam itu cukup pekat dan tebal, apalagi mereka yang terkena sedikit sudah menjerit dan melempar tubuh bergulingan, muka terbakar.

"Ha-ha, beri tahu pangcu kalian bahwa hari ini aku datang membalas perbuatannya. Kalau kalian mau mengejar dan menyusul aku silahkan, siapa ingin mencari kematian!" 

Kakek itu lolos dengan mudah. Ia memang telah memperhitungkan semuanya itu dan tak takut kalau hanya menghadapi murid-murid Sin-hong-pang saja. Kalau ketuanya barulah dia tak main-main. Maka ketika sore itu ia membawa lari gadis ini dan langsung memasuki hutan, mencari tempat persembunyian dan mendapatkan guha yang terlindung rapat maka kakek ini melempar Hong Cu dan terkekeh-kekeh, berahinya sudah tak dapat ditahan lagi.

"Hah-hah, heh-heh..kau cantik dan menggairahkan, Hong Cu. Kau telah berani mati menyerang aku. Aku mengampunimu kalau kau menyerah baik-baik, nah, bagaimana dan apakah kau mau melayani aku. Aku cinta padamu... cup- ngok!" si kakek mencium dan membuang tongkatnya di sudut, tertawa dan memeluk gadis ini.

Hong Cu menjerit. Gadis itu merasa muak dan marah serta benci sekali kepada kakek bongkok ini. Liurnya yang memuncrat sana-sini membuat ia jijik, hampir muntah-muntah. Dan ketika kakek itu menggerayangi tubuhnya dan meremas-remas, gadis ini meronta maka Hong Cu yang dapat memaki-maki dan mengutuk serta menyumpah-serapah itu mengeluarkan semua kemarahannya.

"Terkutuk, bedebah jahanam. Lepaskan aku, Ban-tok Wi Lo. Lepaskan aku! Pergi... pergi dari sini...!"

"Hah-hah, heh-heh aku akan pergi kalau kau sudah memenuhi permintaanku, Hong Cu. Terimalah cintaku baik-baik dan aihh mulus sekali kulltmu, cup!" kakek itu mencium dan kini mendaratkan bibirnya yang kering ke tengkuk.

Hong Cu serasa pingsan dan gadis itu menjerit-jerit, teriakannya bergema menggetaran hutan. Dan ketika kakek itu berkerut dan khawatir ada orang datang, gadis ini membuatnya tak senang maka ia menampar dan menotok urat gagu gadis itu.

"Diamlah, tenanglah. Di sini hanya ada kita berdua dan kau tak usah berteriak-teriak."

Hong Cu mendelik. Kakek itu telah melepas pakaiannya sementara pakaian di tubuhnya sendiri telah dirobek. Tengkuk dan bagian kulit pundaknya terbuka. Lalu ketika si kakek terkekeh dan merobek leher ke bawah lagi, dada dan perut gadis terbuka mulus maka Ban-tok Wi Lo tak sabar dan langsung menerkam.

"Heh-heh, indah sekali, Hong Cu. Perut dan pinggangmu indah sekali. kau membuatku mengilar!"

Hong Cu tak dapat berbuat apa-apa selain menangis dan mengguguk. la tak dapat meronta lagi setelah ditotok, juga tak dapat menjerit karena urat gagunya disumbat. Tapi ketika si kakek merobek celananya dan siap bertindak lebih jauh lagi, Ban-tok Wi Lo telanjang melepas celananya sendiri mendadak terdengar bentakan dan teguran lirih.

"Tua bangka, kau mengacaukan samadhiku. Jangan ganggu gadis itu dan pergilah!" Kakek ini terbang terbawa angin kuat.

Ban-tok Wi Lo kaget bukan main karena bersamaan dengan suara itu serangkum angin dahsyat mendorongnya dari belakang. Ia menoleh dan sempat melihat wajah seorang pemuda samar-samar di sudut guha, berbaju putih dan tampan gagah dengan sepasang mata yang mencorong di malam gelap.

Ia tak tahu bahwa di dalam guha ternyata ada penghuninya, nafsu membuatnya mabok dan tidak waspada lagi. la tersentak, kaget bukan main. Maka ketika ia mencelat dan terbang keluar guha, sudah menahan dan mengerahkan sinkang namun masih juga terlempar keluar maka kakek itu berteriak keras bergulingan di luar.

"Bressss!"

Ban-tok Wi Lo berubah dan pucat bukan main. Ia menyambar tongkatnya menggaet pakaian, sambil bergulingan ia menutupi bagian bawah tubuhnya yang terbuka. Dan ketika ia meloncat bangun dan mendelik ke dalam, tak tahu siapa pemuda baju putih itu dan bagaimana tahu-tahu ada di dalam maka kakek itu memekik dan menerjang maju lagi, kini siap dengan tongkat di tangan.

"Keparat, siapa kau, anak muda. Berani benar kau menyerang aku. Keluarlah, terima kematianmu!"

Kakek ini menyambar dan menusuk ke dalam. la telah dapat mengira-ngira di mana pemuda baju putih itu duduk, ia menusukkan tongkatnya dengan amat kuat, tangan kiri juga bergetar siap dengan pukulan Ban-tok-kang. Tapi ketika ia menusuk ke tempat itu dan jelas tongkatnya mengenai dada lawan tiba-tiba kakek ini terkejut karena dari dada itu keluar semacam tenaga karet yang membuat tongkatnya membalik.

Ia sudah menyerang dengan sekuat tenaga dan kini tiba-tiba didorong sekuat tenaga pula, pemuda itu hanya bertahan dan tenaganya itulah yang membalik. Maka ketika kakek ini menjerit dan terbang keluar oleh daya pukulannya sendiri, untuk kedua kali mencelat dan terlempar maka Ban-tok Wi Lo terbanting dan babak belur oleh tolakan lawan yang amat dahsyat itu.

"Aiihhhhhh...!" Kakek ini mengeluarkan lengking seperti gorila menjerit. Ia terhempas dan bergulingan menabrak pohon, berhenti setelah kepalanya menghantam bagian pohon yang keras. Dan ketika kakek itu merasa pening dan nanar sejenak, kaget dan pucat maka wajahnya berubah dan ia seakan menghadapi seorang pemuda siluman, bangun terhuyung dan tongkat menggigil di tangan.

"Bocah, siapa kau. Sebutkan namamu atau aku tak mau sudah!"

"Hm, nama tak ada artinya bagimu, orang tua. Pergi dan perbaikilah watakmu yang jahat ini. Aku masih hendak melanjutkan samadhiku dan jangan ganggu lagi."

Kakek ini penasaran. "Kau memangnya siluman? Baik, aku akan menyerangmu sekali lagi, anak muda. Kalau kali ini aku kalah dan roboh biarlah aku angkat kaki!" Ban-tok Wi Lo menerjang dan melepas kemarahannya. Ia tak percaya bahwa serangannya tak mampu merobohkan lawan. Kalau tongkatnya dapat ditahan maka jarum-jarum berbisa di ujung tongkat itu tidak. la akan mengeluarkannya!

Maka ketika kakek itu membentak dan masuk lagi, menyambar dan memencet ujung tongkat maka sebelum serangan itu tiba jarum-jarum haluspun berhamburan menyambar lawan, dan kakek ini masih menambahinya lagi dengan pukulan Ban-tok-kang di tangan kiri. "Mampuslah!"

Pemuda baju putih itu tak tampak mengelak. Ia duduk tenang namun sepasang matanya tiba-tiba lebih mencorong menunjukkan ketidak senangannya. Ia diam saja sampai serangan itu datang, begitu juga jarum-jarum halus yang tak mungkin kelihatan di tempat gelap itu. Di tempat terang saja tidak, apalagi di tempat gelap.

Tapi ketika jarum dan tongkat menghantam ke depan, Ban-tok-kang juga tepat mengenai perut pemuda itu maka si kakek bongkok menjerit karena baju pemuda. itu tiba-tiba menggelembung dan semua jarum jarum yang dihamburkan ke depan tahu-tahu membalik berikut pukulan Ban-tok-kangnya, tongkat terpental dan menghantam kepala kakek ini, benjut.

"Aduh, crep-crep-desss!" Ban-tok Wi Lo terbanting dan terguling-guling di luar. Ia kaget setengah mati karena semua jarum-jarumnya menancap di tubuh sendiri, jarum itu tertolak oleh tenaga sakti yang membuat baju lawan menggelembung. Lalu ketika Ban-tok-kangnya juga membalik dan tongkat menghajar kepala sendiri, kakek ini jatuh bangun maka sadarlah si bongkok bahwa ia memang berhadapan dengan seorang pemuda sakti.

Namun Ban-tok Wi Lo bukanlah manusia baik-baik, ia adalah suheng mendiang Coa-ong. Maka ketika ia meloncat bangun dan cepat menelan obat penawar tiba-tiba kakek ini meloncat lagi ke mulut guha dan memencet gagang tongkatnya mengeluarkan asap beracun.

"Pemuda siluman, kau hebat, aku mengaku kalah. Tapi biarlah kau mampus bersama gadis siluman itu...wushhh!"

Asap atau senjata berbahaya ini menghembus ke dalam guha, kuat dan menyebar dan Hong Cu terbelalak. Ia sudah merasa hawa panas yang membakar kulit mukanya, bau busuk juga membuat ia hampir muntah-muntah. Tapi ketika pemuda di sudut itu mendengus dan menggerakkan ujung bajunya, angin yang kuat menyambar balik mendadak semua asap berbahaya itu keluar guha dan menyambar Ban-tok Wi Lo sendiri.

"Aughhh...! si kakek berteriak dan melempar tubuh bergulingan. Wajahnya terbakar dan mengelupas, si kakek kaget bukan main. Tapi ketika ia mengambil bubuk obatnya dan sambil bergulingan menyembuhkan luka bakar, kakek bongkok ini benar-benar gentar, akhirnya kakek itu melengking dan lari tunggang-langgang. la bertemu batunya. "Tobaat... aduh, tobaatt. Keparat kau, anak muda. Kau pemuda iblis!"

Hong Cu kagum bukan main. Ia meremang oleh teriakan Ban-tok Wi Lo itu karena dapat menduga betapa menderitanya kakek Itu. Asap dan jarum-jarum beracun menyambar tubuhnya sendiri. Tapi ketika la sadar merasa sesuatu membebaskan jalan darahnya, angin dingin menyelinap dan menotok punggung maka gadis atau sumoi dari Dewi Rambut Harum ini meloncat bangun, matanya bersinar-sinar dan kini dapat melihat di tempat gelap itu seorang pemuda berwajah tampan menolongnya.

"Inkong... inkong telah menolongku. Terima kasih atas bantuannya. Ah, tak tahu harus kubalas bagaimana semua budi baikmu ini, inkong. Dan bolehkah aku tahu siapa inkong yang mulia!"

"Jangan membuatku kikuk dengan sebutan Itu. Pulang dan kembalilah ke tempat asalmu, cici. Anggap tak ada apa-apa disini dan lupakanlah semuanya itu. Aku ingin melanjutkan samadhiku."

Hong Cu tertegun. ”Maaf, aku.... aku tak boleh mengetahui nama penolongku yang mulia? Apakah aku tak cukup berharga di depan inkong?"

"Hm, cici tak usah berlebihan. Kau gagah dan berkepandaian tinggi, cici, tapi kakek itu lebih tinggi lagi. Entah bagaimana kau sampai dibawa ke sini dan pulanglah segera, bawa bajuku ini!"

Pemuda itu melepas bajunya dan melemparkannya kepada Hong Cu, tepat menutupi tubuh dan Hong Cu dan Ia tak ingat bahwa bagian tubuh atasnya telanjang, ia merah padam. Tapi ketika la menangis tak boleh mengetahui nama penolongnya, betapapun aib itu hampir menimpa maka gadis ini mengguguk dan tiba-tiba tersedu.

"Inkong (tuan penolong), aku Hong Cu dari Sin-hong-pang tak biasa menerima budi orang lain. Hari ini kau menolongku, membebaskanku dari aib yang tak bakal ku lupakan seumur hidup. Apakah aku demikian rendah tak boleh mengetahui nama penolongku? Apakah aku demikian hina hingga tak boleh mengingat-ingat namamu? Kalau begitu lebih baik aku mati, inkong. Biar kubayar semua budimu dengan nyawa ini!"

Pemuda baju putih terkejut. Hong Cu tiba-tiba meloncat dan menumbukkan kepalanya ke dinding guha, gadis itu demikian kecewa. Tapi ketika pemuda itu menggerakkan tangannya dan angin kuat menahan gadis ini di tengah jalan, Hong Cu terpelanting maka pemuda itu menghela napas berkata perlahan.

"Baiklah, kusebut namaku, cici Hong Cu, tapi setelah itu kau harus pergi dan jangan ceritakan keberadaanku di sini ke pada orang lain. Aku Peng Houw."

"Apa?" gadis itu meloncat bangun, wajahnya memancarkan kegembiraan yang sangat. "Peng Houw? Jadi.... jadi taihiap ini adalah Si Naga Gurun Gobi Peng Houw?"

"Hm, jangan berlebih-lebihan. Aku memang murid Go-bi, enci Hong Cu, tapi bukan Naga atau apa saja. Sudahlah kau pulang dan ingat kata-kataku tadi."

"Tapi... tapi, ah!" gadis ini terbata-bata, kekaguman dan kegembiraannya memuncak. "Kau jauh-jauh ke sini mau apa, Peng-taihiap, tentu ada sesuatu yang bersifat penting. Aku barangkali dapat membantu dan biarkanlah membantumu!"

"Hm, tak ada apa-apa. Pergi dan keluarlah, enci Hong Cu, ingat bahwa aku masih hendak melanjutkan samadhiku!"

Kini gadis itu tertahan dan mendengar suara yang kuat. Suara dan kata-kata itu demikian berwibawa hingga gadis Sin-hong-pang ini tak berani membuka mulut, ia termangu. Tapi mengangguk dan menarik napas dalam tiba-tiba gadis ini bergerak dan meloncat keluar. "Baiklah, aku gembira bertemu dengan mu, Peng-taihiap. Aku tak akan mengganggumu dan lanjutkanlah samadhimu!"

Peng Houw tersenyum. Ia memang benar adalah Si Naga Gurun Gobi itu, murid dedengkot Ji Leng Hwesio. Dan ketika Hong Cu berkelebat dan keluar guha maka pemuda inipun memejamkan mata dan melanjutkan samadhinya.

Tapi benarkah Hong Cu gadis Sin-hong-pang itu meninggalkan tempat? Ternyata tidak. Gadis ini memang benar meninggalkan guha dan melompat ke luar, tapi bukan kembali ke Sin-hong-pang melainkan duduk dan melamun di luar guha. Dan ketika Peng Houw melanjutkan samadhinya gadis inipun duduk bersila dan memejamkan mata.

Tapi berat bagi gadis ini untuk mengosongkan pikiran. Bagaimana tidak berat kalau tiba-tiba ia merasa jatuh cinta kepada pemuda itu. Benar, Hong Cu telah terkena panah asmara dan kesaktian serta kehebatan Peng Houw tak lupa diingatnya seumur hidup.

Dan ketika gadis itu teringat betapa Peng Houw memberikan bajunya, kini baju itu melekat dan menempel di tubuhnya maka gadis ini tak dapat tidur atau minum yang enak. Baju pemberian Peng Houw itu serasa mengeluarkan getar-getar nikmat yang membuatnya mabok. Baju itu seolah Peng Houw sendiri, yang memeluk dan melindunginya dari hawa dingin.

Dan ketika gadis itu tersenyum dan berkembang-kempis sendiri, bau keringat Peng Houw yang menempel di situ terasa harum dan memabokkan maka sumoi dari Siang-mouw Sian-li ini tergila-gila dan berjaga semalam suntuk tanpa dapat tidur atau meram. Dan Hong Cu merasa betapa bahagianya saat itu. Wajah Peng Houw selalu terbayang-bayang. Kegagahan dan budi baik pemuda ini selalu membetotnya. Dan ketika tak terasa tiga hari tiga malam ia duduk di situ, tetap berjaga dan tidak beranjak ke mana-mana.

Maka Peng Houw-lah yang repot dan kelabakan! Getar atau perasaan kasih seorang wanita amatlah tajam. Peng Houw tak menyangka bahwa gadis Sin-hong-pang itu masih di situ, berjaga dan tersenyum-senyum serta berseri sendiri. Dan ketika malam itu Peng Houw membuka mata terusik bayangan Hong Cu, entah kenapa samadhinya buyar oleh bayangan gadis Sin-hong-pang ini maka bertepatan dengan itu ia mendengar desah dan napas Panjang seorang wanita. Napas Hong Cu!

"Ah, kau. di situ, Hong Cu?" tak terasa lagi Peng Houw memanggil dan berseru. Sebagai seorang berkepandaian tinggi tentu saja telinganya yang tajam mendengar desah itu , betapapun lembutnya. Dan ketika seseorang bergerak dan muncul di situ, di mulut guha maka Hong Cu tersipu malu dan menegur, ganti bertanya....


Kabut Di Telaga See Ouw Jilid 01

Cerita Silat Mandarin Serial Bu-beng Sian-su Karya Batara

Kabut Di Telaga See-ouw Jilid 01


HAMPARAN air biru di telaga luas itu amatlah mentakjubkan. Sinar mentari pagi yang tak malu-malu menerangi bumi, menyiratkan cahayanya di permukaan air telaga bagaikan sapuan lembut perawan desa di jerami jingga. Cahaya biru kuning memantul di sini, bercampur warna perak menyatu membentuk benang-benang cahaya yang amat indah, indah dan penuh pesona.

Dan ketika angin bergerak sepoi-sepoi basah menerpa permukaan telaga dengan masih malu-malu, pagi itu semuanya baru bangun dari tidur maka telaga bergerak dan permukaan airnya mengeriput kecil bagai lipatan-lipatan kain panjang di tubuh bumi. Indah, namun penuh pesona!

Tiga meliwis putih tiba-tiba mengelepakkan sayap dari utara, gembira, menyusur permukaan telaga lalu tiba-tiba menukik pendek. Lalu ketika secepat kilat paruh dibuka menangkap seekor mujair hitam, melonjak dan terbang ke atas maka makanan pagi yang segar didapat. Ah, perburuan sudah dimulai!

Angin tiba-tiba bertiup lebih dingin dan lebih kencang. Dua perahu di tepi telaga berguncang, permukaan air sudah tidak lagi mengeriput melainkan berombak, buih-buih kecil mulai saling tampar. Lalu ketika dua orang menggeliat bangun dari perahu itu, di sana ayam hutan berkokok memberi tanda maka permukaan telaga bergerak lebih besar dan kemudian bergelombang.

"Aduh, kesiangan. Kita terlambat pulang!"

"Benar, dan aku masih mengantuk,Ban-suheng. Aih, nikmatnya tiduran di sini dibelai angin telaga!"

Dua laki-laki tegap meloncat dan menyambar dayung masing-masing. Mereka saling berseru tapi laki-laki kedua bernada lain, ia masih ingin mendengkur dan tiduran lagi. Semalam rupanya mereka sudah ada di situ, sekeranjang ikan di buritan belakang.

Tapi ketika sang suheng (kakak seperguruan) mendamprat dan membentaknya cemas, tak boleh mereka kesiangan maka dua orang ini sudah menggerakkan dayung mereka dan cepat bagai dikejar setan keduanya buru-buru menembus sisa kabut ke tengah telaga, menyeberang.

"Cepat, ja gan sampai diketahui hu-pangcu (wakil ketua). Atau nanti kita kena hukuman dan ini semua gara-gara dirimu!"

"Ah, aku mengajakmu tidur sejenak saja, suheng. Hasil tangkapan kita sudah cukup. Kalau kau menolak tentu semalam kita tak tidur di sini."

"Sudahlah, kau selamanya pandai berkilah dan hati-hati menembus kabut itu. Heiii.... rupanya ada saudara-saudara kita datang. Awas.... braakkk!"

Perahu tiba-tiba membentur perahu lain dan berteriaklah pria di depan dengan kaget sekali. la diajak omong saudaranya dan kurang memperhatikan ke depan, kabut di tengah telaga masih ada yang tebal dan ketika sebuah perahu lain tiba-tiba muncul begitu saja maka tabrakan tak dapat dihindari lagi.

Lelaki itu menyangka temannya yang lain. Saudara-saudara mereka yang mecari mereka karena terlambat pulang. Tapi ketika dia terpelanting dan kekeh tawa terdengar di depan, dingin, ia berteriak mempertahankan perahu maka perahu di depan itu terus meluncur dan menabrak perahu, sutenya (adik seperguruan) yang juga kaget setengah mati. Samar-samar di tengah kabut itu seorang kakek bongkok mengemudikan perahu dengan sebatang tongkat.

"Heiiii. bresss!"

Perahu kedua itupun tertusuk dan terbalik. Penghuninya tentu saja terlempar tapi berjungkir balik di perahu. Sang suheng yang bergoyang-goyang. Perahu itu hampir terbalik namun dapat diselamatkan susah payah. Dua-duanya melotot. Dan ketika mereka memaki karena penabrak bukanlah teman sendiri, mereka adalah orang-orang See-ouw-pang (Perkumpulan Telaga See-ouw) maka kakek itu, si bongkok yang terkekeh tak memperdulikan dan terus meluncur ke depan. Dan saat itu dari arah seberang terdengar teriakan dan bentakan.

"Cegat kakek itu, hadang! la masuk dapur perkumpulan!"

Ban-suheng, orang pertama terkejut. Dari depan meluncur tujuh perahu mengejar kakek ini, kiranya kakek itu pelarian dan pantas saja muncul dan menabrak mereka secara tiba-tiba. Dan karena mereka mengenal suara-suara di tujuh perahu itu, itulah saudara-saudara mereka dari See-ouw-pang. maka Ban-suheng ini menendang ujung perahunya hingga melesat ke depan, sekeranjang ikan di buritan perahu lagi- lagi terlempar.

"Heii, kakek busuk. Berhenti dan serahkan dirimu. Kau mengacau See-Ouw-pang!”

Kakek itu terkekeh. la sudah jauh namun karena dikejar dan tujuh perahu didayung para laki-laki muda, kuat dan mereka itulah murid- murid See-ouw-pang maka kakek ini terkejar juga atau mungkin dia sengaja melambatkan larinya perahu. Ban-suheng dan sutenya itu lebih dulu di depan.

"Ha-ha, kalian mau menangkap aku? Kalian mau minta pelajaran dari si bongkok? Bagus, majulah, anak-anak, majulah dan sayang ketua kalian Cheng-liong-pian Ning Po tak ada di rumah. Ayo.... ayo maju dan biar sejenak kita main-main di sini!"

Kakek itu mendadak berhenti dan memutar perahunya, begitu tiba-tiba dan cepat hingga si Ban-suheng maupun sutenya tak mampu menahan diri. Mereka menumpang satu perahu dan sama-sama mendayung cepat, bermaksud mendahului saudara-saudara yang lain karena mereka juga ingin menangkap kakek ini. Tadi perahu mereka ditabrak dan terbalik.

Maka ketika si kakek mendadak berhenti dan memutar perahu, saat itu mereka juga mendayung dan menggerakkan perahu dengan cepat maka tanpa ampun lagi perahu mereka itulah yang menabrak dan tepat si kakek tertawa bergelak saat itu juga ujung perahu mereka menghantam lambung atau perut perahu lawan.

"Braakkk!"

Perahu mereka terpental dan terbalik. Si kakek menggerakkan tongkatnya dan tadi secepat kilat menahan dinding perahu Ban- suheng, perahu terdorong dan bagai disentakkan saja, kuat dan mereka berdua tak mampu menahan. Dan ketika keduanya mencelat dan jatuh ke telaga, si kakek terkekeh-kekeh maka keduanya basah kuyup dan kakek itu memutar perahunya lagi dan melanjutkan larinya.

"Ha-ha, murid-murid See-ouw-pang tak mungkin menandingi aku, Cheng-liong pian (Cambuk Naga Hijau). Kau sendiri harus maju tapi sayang tak ada di rumah. Ha-ha, biarlah aku mendaratkan perahu di sana dan main-main dengan murid-muridmu yang lain!"

Tujuh perahu mengejar dan sempat memperpendek jarak. Tabrakan yang terjadi di antara Ban-suheng dan kakek itu tadi membuat mereka berteriak-teriak tapi sayang si kakek tak berlama-lama. Justeru saudara mereka yang berjungkalan masuk telaga.

Tapi ketika mereka menolong dan mengejar lagi, Ban-suheng dan sutenya diangkat dari air maka kakek itu ternyata menepati janji menunggu dl tepi. Ia telah tiba di seberang dan menancapkan tongkatnya, perahunya bergoyang naik turun mengikuti gelombang air, terkekeh-kekeh.

"Ha-ha, ayo... ayo maju dan main-main sebentar. Tubuhku juga dingin setelah semalam tak menemukan apa-apa di tempat kalian. Hayo, cepat, anak-anak. Pijati tubuhku biar hangat. Sayang ketua kallan Cheng-liong-pian Ning Po tak ada di rumah!"

Tujuh perahu sudah datang mendekat. Mereka adalah murid-murid See-ouw-pang yang jumlahnya sekitar lima puluh orang, berpakaian hijau ketat dan masing-masing adalah pria-pria muda bertubuh kuat, tegap dan berisi. Maka ketika kakek itu menunggu dan terang-terangan mengejek mereka, tak takut dan bahkan merendahkan maka yang paling depan mencabut senjata dan langsung menerjang. Pagi itu mereka baru tahu bahwa si kakek bongkok keluar masuk seenaknya di See-ouw-pang.

"Tua bangka keparat, menyerahlah. Mencari apa di tempat kami hingga semalam berkeliaran!"

"Ha-ha, mencari ketua kalian," si kakek mengelak dan semua senjata luput. "Apakah kalian kira aku mencari kalian kecoa-kecoa tak berguna ini, anak-anak. Hayo serang lebih cepat dan gebuki tubuhku biar terasa hangat... bak- bik-buk!"

Pedang dan golok akhirnya diterima kakek ini, mendarat dan terpental bagai membacok sebongkah karet. Mereka yang ada di belakang dan sudah maju sampai berteriak tertahan. Namun ketika mereka maju dan membentak lagi, menusuk dan membacok maka punuk di belakang kakek itu menjadi sasaran.

"Ting-tak!" Si kakek terkekeh-kekeh. Punuk itu bahkan lebih dari sekedar karet, keras seperti logam dan pedang yang menyambar patah-patah. Dan ketika pemiliknya terkejut dan berseru keras, terpelanting maka kakek itu menggulung lengan bajunya dan sekali dia berseru membalas maka lima orang itu terlempar dan masuk telaga.

"Byur-byur-byuuurrrr...!"

Jerit dan pekik ramai terjadi di sini lima puluh murid See-ouw-pang itu tumpang tindih, air memuncrat tinggi dan sejenak menelan tubuh-tubuh itu. Tapi ketika mereka mengambang dan sudah menjadl mayat, muka kebiruan sementara urat leher putus maka kakek itu terkekeh dan mencabut tongkatnya lagi, tongkatnya itu memang ditancapkan di tanah, setelah itu dia meloncat dari perahu.

"Heh-heh, anak-anak murid See-ouw-pang memang meneari penyakit. Hm, salah mereka sendiri, Cheng-liong-pian, jangan salahkan aku. Sekarang aku pergi dan selamat tinggal, heh-heh...!"

Namun dari tengah telaga meluncur puluhan perahu-perahu baru. Kabut yang menguap dan mulai hilang menunjukkan bayang-bayang jelas dari para pendatang ini. Mereka berteriak dan membentak bentak. Lalu ketika kakek itu tertegun, dan menoleh, empat bayangan hijau menyambar dan meluncur di permukaan air, hanya mengandalkan gerak lincah dari sebuah ilmu meringankan tubuh maka empat bayangan itu membentak dan mencegah kakek ini pergi.

"Ban-tok Wi Lo, berhenti! Serahkan nyawamu dan tunggu kami kalau kau berani!"

"Heh-heh, hu-pangcu Sai-kim-mouw So Hak. Bagus, aku jadi berhenti mendengar kata- katamu, So Hak. Siapa kira aku takut hingga harus lari terbirit-birit. Bagus ini aku dan kau mau apa!"

"Aku membunuhmu!" bayangan hijau paling depan sudah melempar tubuh berjungkir balik. la telah meninggalkan telaga dengan menjejakkan kedua kakinya kuat-kuat. Jarak masih ada tiga puluh meter tapi hebat sekali laki-laki ini telah turun di depan si kakek bongkok.

Dia ternyata adalah wakil ketua See-ouw-pang, namanya So Hak sementara julukannya adalah Sai kim-mouw (Bulu Emas Singa). Dan ketika ia turun di depan kakek ini sementara tangannya sudah memegang sebuah kebutan bulu singa, kuning keemasan dan sinar itu berkeredep menyambar si kakek bongkok.

Maka Ban-tok Wi Lo alias si Selaksa Racun tertawa aneh menggoyangkan kepalanya ke kiri, mengelak tapi dikejar dan kini bulu kebutan itu pecah menjadi ratusan, semunnya mendadak kaku dan menotok atau menusuk bagai paku-paku panjang, bercuit dan tentu saja amat berbahaya apalagi ketika menyambar mata!

Dan ketika kakek itu terpaksa menangkis menggerakkan ujung tongkatnya, cepat bagai kilat maka sinar kuning berpijar dan bunga-bunga api memuncrat ketika tongkat bertemu ratusan bulu halus itu, bulu yang sudah terisi sinkang (hawa sakti) hingga berobah menjadi semacam tombak pendek.

"Crang-cranggggg!"

Si kakek tergetar sementara lawannya terpental berjungkir balik. Hu-pangcu atau wakil ketua See-ouw-pang itu ternyata kalah, ia tak kuat menerima tangkisan tongkat tapi sudah mematahkan tenaga si kakek dengan berjungkir balik ke atas, tinggi dan meluncur turun dengan wajah memerah, sinar matanya bagai api. Lalu ketika tiga yang lain berturut-turut juga sudah datang, membentak dan menyerang kakek itu maka Ban-tok Wi Lo terkekeh dan berkelebat menjauhkan diri.

"Ha-ha, apakah siap main keroyok. Aehhh.... kalian bertiga tak mungkin menang mengeroyok aku, Sam-cheng-houw (Tiga Harimau Hijau). Ketua kalianpun juga tidak. Bagus, maju dan kerubutlah aku cring-takk!"

Tongkat menyambar dan akhirnya menangkis kejaran pedang, bergerak dan meliuk dan sang hu-pangcu So Hak sudah maju menerjang lagi. Pria tegap gagah dari See-ouw-pang ini memberi seruan panjang, melesat dan menyerang kakek ini lagi setelah tadi terpental.

Lalu ketika si kakek menangkis dan mengelak sana-sini, para murid sudah mendekat dan menepikan perahu-perahu mereka maka kakek itu sudah dikeroyok empat di mana bayangan hijau naik turun menyambar-nyambar sementara kebutan bulu, singa bercuitan dan menjeletar-jeletar.

"Heh-heh, ayo maju, maju semua ayo main-main dengan Ban-tok Wi Lo dan awas siapa kena tongkatku...wirrr..!"

Tongkat menyambar dan akhirnya mengenai satu di antara Sam-cheng-houw, menyelinap dengan amat lihai setelah menangkis tiga serangan utama. Dan ketika terdengar teriakan dan satu di antara Tiga Harimau itu terpelanting, tongkat menghantam mengenai punggungnya maka laki-laki itu roboh dan satu lawan tersungkur.

"Ha-ha, salah sendiri, sudah kuperingatkan. Bodoh, sutemu tak hati-hati, Sai- kim-mouw. Awas kau sendiri dan jaga agar tidak menjadi korban!"

Sang hu-pangcu marah bukan main. Ia telah mengeroyok bersama tiga sutenya akan tetapi si kakek terlalu lihai. Semalam kakek ini datang dan pergi pulang seenaknya, yang dicari adalah ketuanya tapi kebetulan sang ketua sedang pergi saat itu. Ia menerima laporan setelah menjelang pagi, dapur diobrak-abrik dan entah apa yang dicari Ban-tok Wi Lo ini, selain ketua. Maka ketika sutenya roboh dan Sam-cheng-houw tinggal dua, kini mereka hanya bertiga maka ia membentak dan kebetulan saat itu seluruh murid sudah berdatangan.

"Ban-tok Wi Lo, jangan sombong. Biarpun Ning-suheng tak ada di sini tapi menghadapi sekian banyak orang jangan harap kau lolos. Lihatlah, kematianmu sudah di ambang mata!"

"Ha-ha, kaulah yang sombong. Tua bangka macam aku tak gampang mati, Sai-kim-mouw, daging dan uratku alot. Kau salah besar kalau mengira dengan banyak orang dapat merobohkan aku... tak-cringgg!"

Tongkat bertemu kebutan dan secepat kilat bulu-bulu menyambar berhamburan, gagang dibalik dan dengan amat luar biasa menyodok ulu hati. Gerakan itu adalah gerakan sulit yang hanya mampu dilakukan tokoh nomor dua See-ouw-pang ini, namanya jurus Memutar Ekor Menghantarn Jantung, sebenarnya menuju dada kiri lawan tapi diubah menusuk ulu hati.

Sekali kena tentu kakek itu celaka, jalan pernapasannya bisa terhenti. Tapi ketika si kakek memilin tongkatnya dan dengan tak kalah lihai membenturkan bawah tongkat dengan gagang kebutan, hu-pangcu terpental dan gagal serangannya maka kakek itu terkekeh-kekeh namun para murid sudah berdatangan dan membentak serta menyerang. Dua di antara Tiga Harimau juga menerjang dan menggerakkan pedang dengan cepat.

"Heh-heh, rupanya harus berkeringat lebih banyak. Bagus, suruh semua anak buahmu maju, Sai-kim-mouw. Dan lihat kelihaian Ban-tok Wi Lo...cet-cet!"

Si kakek tiba-tiba meliuk dan memencet batang tongkat. Dari ujung senjatanya tiba-tiba menyambar tujuh jarum halus yang tak tampak mata, melesat dan menyambar tujuh anak murid pertama. Lalu ketika mereka menjerit dan roboh, senjata tak jadi menyerang maka yang lain terkejut dan tak mengerti, hanya hu-pangcu yang melihat dan mengetahui sambaran jarum-jarum halus itu.

"Curang, keparat jahanam! Awas, anak-anak, si bongkok ini mempergunakan jarum beracun!"

Mundurlah para murid See-ouw-pang. Mereka menjadi pucat dan otomatis, gentar, apalagi ketika tujuh teman yang sudah roboh itu kehitaman mukanya, mendelik dan jelas kena racun jahat. Lalu ketika semuanya mundur dan tinggallah hu-pangcu dan dua Harimau Hijau, kakek itu terkekeh-kekeh maka ia mengejek memutar tongkatnya lagi, menghalau dan membalas secara biasa.

"Heh-heh, tajam matamu, orang she So, tapi licik anak-anak muridmu itu. Beraninya hanya mengeroyok. Ayo, maju dan tak usah takut!"

Sang wakil menjadi gusar. la menyuruh dua saudaranya berhati-hati dan membentak para murid untuk maju lagi, mereka boleh menyerang dari belakang. Lalu ketika mereka bergerak lagi dan menyerang dari belakang, hujan senjata menyambar kakek ini maka Ban-tok Wi Lo terkekeh panjang dan tiba-tiba melesat tinggi ke atas.

"Ha-ha, dari belakang, siapa takut! Aku tak gentar dan awas kalian tikus-tikus busuk cet-cett!"

Belasan sinar menyambar lagi namun hanya sang wakil yang melihat, membentak dan memutar bulu kebutannya hingga belasan bulu kuning emas melesat. Sinar bulu ini terang menyilaukan mata dan terdengarlah denting belasan kali ketika bulu-bulu kebutan itu menyambar jarum-jarum halus, runtuh dan tak jadi mengenai murid-murid See-ouw-pang. Dan ketika semua terkejut dan baru melihat itu, asap terbakar ketika jarum runtuh ke tanah maka si kakek berseru kagum memuji hu-pangcu itu, melayang turun.

"Bagus, kau menyelamatkan murid-muridmu, So Hak, tapi hanya sebentar saja. Lihat kalau mereka menerima ini ... wushh!" asap menyembur dan dari ujung tongkat sekonyong-konyong keluar bau busuk seperti kentut, pekat dan menyambar hu-pangcu itu serta yang lain.

Dan ketika sang hu-pangcu berteriak dan membanting tubuh bergulingan, tak berani menerima asap dan bau busuk itu maka para murid yang bengong dan masih terpana oleh runtuhnya jarum menjadi korban. Mereka ini terlambat dan kena sembur, uap hitam itu menyambar cepat. Dan ketika mereka menjerit dan bergulingan roboh, berteriak mencakari wajah sendiri maka tampaklah betapa wajah para murid itu terbakar dan menyala, berkobar!

"Mundur...mundur semua. Jangan dekati kakek jahanam ini"

Ban-tok Wi Lo tertawa tergelak-gelak. Sai-kim-mouw So Hak tak menyangka bahwa dari dalam tongkatnya itu bisa bermunculan benda-benda berbahaya, pertama adalah jarum sekarang uap panas. Uap itu akan berkobar dan berubah menjadi api kalau menyentuh kulit.

Belasan murid yang terkena itu dijilat uap berbahanya, seperti uap belerang atau asap kimia yang beracun. Dan karena asap itu bukan hanya membakar melainkan juga menyemburkan racun, kulit yang terkena bakal beset dan terkelupas maka para murid yang terkena itu melolong-lolong bagai anjing masuk tungku.

Mereka mencakari dan membeset kulit sendiri, roboh dan bergulingan untuk akhirnya berhenti menggelepar-gelepar. Tak ada yang bisa menolong kalau sudah begitu. Dan ketika hu-pangcu terbeliak dan meloncat bangun di sana, mendidih maka wakil ketua itu tiba-tiba mengebutkan bulu-bulu emasnya dan cep-cep-cep", para murid itu tak bergerak-gerak lagi karena jidat mereka, tembus dilubangi senjata-senjata maut itu. Bulu-bulu kebutan telah menyelesaikan penderitaan mereka, bagai bor atau paku tajam!

"Heh-heh, kau membunuh murid-murid, sendiri. Kejam, kau kejam, Sai-kim mouw So Hak. Kau tak berperasaan!"

"Jahanam!" wakil ketua itu membentak dan menerjang. maju lagi. "Aku membunuh mereka karena tak tahan melihat penderitaannya, Ban-tok Wi Lo. Kaulah, biangnya dan kaulah yang kejam. Kubunuh kau!"

Si kakek berkelit dan tertawa lagi. la terkekeh menangkis gagang kebutan ketika dikejar, membalas dan membuat lawan terpental tapi sang wakil ketua maju lagi. Sai-kim-mouw So Hak ini tak takut mati lagi, la mata gelap. Dan ketika, dua dari Sam-cheng-houw juga bergerai dan mengertakkan gigi, mereka ngeri tapi membuang semua rasa gentar maka kakek itu dikeroyok sementara para murid, disuruh berjaga.

"Jangan ada yang mendekat, biar kami yang mengadu jiwa. Minggir dan berjaga-jaga saja, anak-anak, jangan sampai kakek ini lolos!"

Si bongkok tertawa nyaring. Dibentak dan diserang gencar ia malah geli, tadi saja tak takut apalagi sekarang, hanya di keroyok bertiga. Maka mengelak dan menggerakkan tongkat menangkis sana-sini, dua orang kembali terpelanting maka kakek itu menujukan serangannya kepada Sai- kim-mouw, wakil See-ouw-pang.

"Cukup, sekarang kau mampus, orang she So. Dan beberapa hari lagi aku datang mencari ketuamu.. wuttt!" tongkat menyambar dari bawah ke atas, meliuk dan menyodok dan tahu-tahu sudah di dagu lawan. Lalu ketika Sai-kim-mouw berteriak melempar tubuh kakek itu mendahului dengan gerakan kakinya.

"Dess!" Sang wakil terbanting dan bergulingan. Kakek itu terkekeh dan berkelebat mengejar, dua Harimau terbelalak dan meloncat bangun, baru saja terpelanting oleh tangkisan si kakek. Dan melihat bahaya mengancam pimpinan mereka, Yang di kiri berteriak melemparkan pedangnya maka si kakek bongkok menerima serangan berbahaya kalau tetap mengejar sang wakil ketua.

"Hm!" kakek itu membalik dan mendengus. Untuk sejenak ia menahan serangannya kepada hu-pangcu, tongkat tak jadi menyambar ke depan melainkan belakang, memukul pedang itu. Lalu ketika terdengar suara keras dan pedang terpental kembali, membalik dan menyambar tuannya maka So Hak sang wakil pimpinan berteriak.

"Awas!"

Terlambat. Pukulan si kakek amatlah kuatnya dan pedang meluncur dua kali lebih cepat, ini karena daya dorong tongkat si kakek ditambah kekuatan pedang itu sendiri, ketika dilontar tuannya. Maka ketika ujung pedang tahu-tahu menyambar dan menuju pemiliknya, orang kedua, dari Sam-cheng-houw ini tak mampu berkelit maka ujung pedangnya menusuk sampai tembus belakang.

"Augh-cepp!"

Laki-laki itu roboh dan tewas seketika. Ia jatuh di mana pedangnya menahan di belakang, kepala tak sampai menyentuh bumi. Tapi ketika pedang itu patah tak kuat menahan beban, tokoh See-ouw-pang ini terjengkang mandi darah maka sang wakil ketua sadar dan melengking tinggi, menerjang lagi.

"Ban-tok Wi Lo, kau berhutang sebuah jiwa lagi!"

"Ha-ha, akan diberesi. Aku akan menambah hutangku, So Hak, dan kali ini kau... tranggg!" bulu kebutan bertemu ujung tongkat, berpijar dan menyerang lagi tapi si kakek mengelak.

Kini ratusan bulu emas itu berdiri bagai jarum-jarum panjang, menusuk dan menikam dan hebat bukan main sepak terjang si wakil See-ouw-pang. Tapi karena si kakek lebih lihai dan tangkisan demi tangkisan membuat lawan selalu tergetar, di sana Sam-cheng-houw yang tinggal seorang gemetar dan marah bukan main maka kakek ini diterjang dan dikeroyok lagi, dua.

"Kau membunuh saudaraku, keparat. Kau akan kubunuh tua bangka jahanam, kau akan kubunuh!" laki-laki itu kalap dan menggerakkan pedang membabi-buta, merangsek dan menerjang.

Tapi si kakek tertawa-tawa. Semakin orang kalap semakin ia gembira. Maka ketika ia mengibas dan tongkat menghantam gagang pedang, mencelat dan terlepas maka kakek itu berseru menusukkan tongkat. "Kalau begitu giliranmu dulu. Bagus, susullah saudaramu, Cheng-houw, dan selamat jalan ke akherat!"

Namun saat itu berkelebat sebuah bayangan putih berkembang. Bentakan lirih disusul bau harum menyambar mengejutkan si bongkok, tongkatnya tertangkis segumpal rambut. Lalu ketika rambut itu membelit dan menyentak kuat, ia terbawa ke depan maka Ban-tok Wi Lo berseru keras dengan muka berubah.

"Heiii-wuuttt-plak-plakk!"

Pundak kakek itu terkena tamparan tangan halus. Ia mempertahankan tongkatnya dan akibatnya terpelanting. Tongkat akhirnya terlepas tapi pundak menerima pukulan pedas, Ban-tok Wi Lo bergulingan. Dan ketika ia meloncat bangun sementara samar-samar di sana bayangan seorang wanita berjungkir balik di atas sebuah pohon, menolong dan telah menyelamatkan dua tokoh See-ouw-pang maka kakek ini kelihatan marah namun tiba-tiba berkelebat memutar tubuh, melarikan diri.

"Siang-mouw Sian-li (Dewi Rambut harum), kau selalu usil mencampuri urusan orang lain. Baiklah aku pergi tapi hati-hati lain kali!"

"Hm!" dengus merdu terdengar di situ. "Kalau kau tidak lancang membunuh-bunuhi orang tentu aku tak usil mencampuri urusanmu, Ban-tok Wi Lo. Tapi karena kau mengganggu See-ouw-pang maka aku tak dapat tinggal diam!"

"Benar, kau kekasih gelap Cheng-liong-pang Ning Po. Ah, kau betina liar yang tak tahu malu!"

"Tutup mulutmu!" bayangan wanita itu tiba-tiba menyambar, rambutnya meledak "Kuhajar mulutmu yang busuk, Ban-tok Wi Lo. Terima ini dan berhentilah,"

Kakek itu terkekeh. la tak berhenti ketika diserang dan tahu beberapa rambut halus menyambar punggungnya. Rambut itu adalah benda-benda berbahaya yang lepas dari kepala Siang-mouw Sian-li, sekali kena dapat menancap tembus.

Tapi karena ia mempunyai tongkat dan tongkat itu bergerak ke belakang, dipencet dan beberapa jarum hitam menyambut belasan rambut panjang ini maka "tak-tik-tak-tik" suara nyaring membuat dua macam senjata aneh itu runtuh dan sama-sama patah. Akan tetapi kakek ini tidak tahu gerakan tangan kiri wanita itu, yang menyambar tanpa suara tertutup oleh suara beradunya jarum dan rambut hitam.

Maka ketika kakek itu terkekeh melanjutkan larinya, Siang-mouw Sian-li sudah cepat menggerakkan tangan kirinya ini maka leher kakek itu tepat menerima tamparan dan Ban-tok Wi Lo menjerit berteriak mengaduh. Ia terkena Siang-mouw-kang.

"Aduh!" Ban-tok Wi Lo bergulingan. Kesempatan itu tak disia-siakan wakil ketua See-ouw-pang yang secepat harimau menyambar ke depan. Bulu kebutannya yang kaku lurus itu menusuk. Dan ketika Ban-tok Wi Lo kembali menjerit oleh tusukan bulu-bulu singa itu, bulu kebutan yeng sudah berubah seperti jarum-jarum panjang maka anak murid juga bergerak hendak maju menangkap. Akan tetapi kakek bongkok itu bukanlah manusia biasa.

Hanya terhadap Siang-mouw-kang (Pukulan Harum) ia agak berhati-hati, terhadap anak murid dan Sai-kim-mouw sendiri ia tak takut. Maka ketika ia tergetar dan sedikit sesak napas, bangun dan meloncat ditusuk belasan bulu-bulu kebutan kakek itupun terkekeh dan "cet-cet", jarum-jarum hitam berhamburan dari ujung tongkatnya, menyambar anak murid See-ouw-pang dan sang wakil ketua.

"Awas...!" Sang hu-pangcu menggerakkan bulu kebutannya mementalkan jarum-jarum hitam itu. la sendiri dapat melihat namun anak-anak murid tidak. Maka ketika mereka berteriak dan roboh berpelantingan, jarum mengenai mata atau bagian tubuh lain maka kakek itu tertawa bergelak dan melarikan diri lagi.

"Siang-mouw Sian-li, kau licik mengandalkan keroyokan. Lihat lain keli aku menandingimu dan boleh kita bertempur seribu jurus!"

Sai-kim-mouw So Hak terbelalak. Ia menggeram mengutuk kakek itu namun tak berani mengejar. Bayangan Siang-mouw Sian-li lenyap entah ke mana. Dan karena anak-anak murid jatuh oleh jarum jarum beracun, tak mungkin ia meninggalkan telaga maka pimpinan See-ouw-pang ini mengumpat dan menolong murid-murid yang lain, mengertak gigi dan melihat tak kurang dari tujuh puluh anggauta menjadi korban. Bukan main gusarnya hu-pangcu See-ouw-pang itu.

Tapi karena ia harus bekerja dan menunggu pulangnya ketua, apalagi dua dari Sam-cheng-houw juga telah tewas maka pimpinan See-ouw-pang ini menahan kemarahannya dan pagi itu See-ouw-pang berkabung. Tiga meliwis putih tiba-tiba datang lagi, menyusur dan terbang di permukaan air telaga. Tapi ketika tak ada ikan didapat dan mereka jemu, berputaran dan terbang lagi maka peristiwa di See-ouw-pang itu akhirnya tinggal cerita yang menjalar dari mulut ke mulut.

* * * * * * * *

Sin-hong-pang (Perkumpulan Burung Hong Sakti). Perkumpulan ini terletak seratus li dari telaga See-ouw, sebelah timur laut di mana seluruh penghuni perkumpulan ini adalah wanita. Dan karena ketuanya adalah Siang-mouw Sian-li, Dewi Rambut Harum maka tak ada pria-pria kurang ajar yang berani begitu saja mengganggu penghuni Sin-hong-pang ini.

Sudah terkenal di antara orang-orang persilatan bahwa penghuni Sin-hong-pang ini adalah wanita- wanita lihai yang memiliki kepandaian tinggi. Ilmu meringankan tubuh mereka Sin-hong Ginkang dan permainan rambut mereka yang mengandalkan tenaga Siang-mouw-kang cukup dikenal di dunia kang-ouw.

Siang-mouw Sian-li sendiri mempergunakan dua ilmu andalan itu untuk menghadapi musuh-musuhnya yang tangguh. Maka ketika sore itu seorang kakek tahu-tahu berkelebat dan memasuki pintu gerbang perkumpulan ini, diteriaki namun sudah berada di ruang dalam maka Sin-hong-pang sedikit terkejut menerima tamu asing ini. Sudah menjadi larangan bagi mereka bahwa tak boleh tamu begitu saja memasuki markas, apalagi laki-laki.

Maka ketika dua penjaga wanita berteriak dan mengejar kakek ini, yang lain mendengar dan Sin-hong-pang bergerak dengan cepat maka kakek itu tak dapat maju lagi karena di depannya sudah berdiri seorang wanita cantik yang rambutnya disanggul tinggi, di lehernya berjuntai dua macam kalung yang indah berbentuk hati, kalung paling bawah dibanduli sebuah batu giok yang kehijau-hijauan, terang mengagumkan mata.

"Berhenti, siapa kau, kakek busuk. Ada apa lancang memasuki Sin-hong-pang dan berani benar kau mencari penyakit!"

"Heh-heh..." Ban-tok Wi Lo, kakek ini terkekeh dan menggoyang-goyangkan tongkat di tangan, kagum kepada wanita-wanita cantik yang cepat menyebar dan mengelilinginya itu. "Aku mencari ketua kalian, nona-nona. Mana Siang-mouw Sian-li dan katakan bahwa Bantok Wi Lo ngin bertemu!"

"Kau... Ban-tok Wi Lo?" wanita berkalung terkejut dan undur selangkah, yang lain juga surut namun sudah maju lagi. "Hm, kau kiranya iblis tua bangka itu, Ban-tok Wi Lo. Kami penghuni Sin-hong-pang rasanya tak pernah berurusan denganmu, termasuk ketua. Beliau tak ada di sini dan pergilah karena tak boleh kau masuk secara sembarangan!"

Ban-tok Wi Lo terkekeh. Dia sendiri tentu saja sudah mendengar bahwa Sin-hong-pang memang tak boleh dimasuki orang asing, apalagi laki-laki. Biasanya mereka dibunuh dan langsung dilempar keluar mayatnya. Maka melihat wanita cantik itu mempersilakannya keluar dan tidak melakukan kebiasaan yang menjadi ciri Sin-hong-pang ini, membunuh dan melempar mayat laki- laki maka kakek itu terkekeh dan maklum bahwa dia masih di pandang mata, tak berani diremehkan.

"Aku datang untuk urusan penting, masa disuruh pergi lagi. Heh-heh, kalau begitu biar kutunggu ketua mu, nona. Aku beristirahat di ruang tamu dan kalian mundurlah!" berkata begini kakek itu menodongkan tongkat menyuruh minggir. Ia mengangkat tongkatnya biasa-biasa saja tapi dari gerakan itu tiba-tiba menyambar angin kuat.

Wi Lo sebenarnya tahu bahwa Siang-mouw Sian-li tak ada di situ, ia datang karena ingin mengganggu, membalas kemarahannya ketika di See-ouw-pang ia ditandingi. Maka ketika tongkat digerakkan dan ia mengerahkan sin-kangnya, wanita berkalung itu terkejut menepis tangan maka tentu saja ia menolak dan memukul tongkat kakek itu.

"Plakk!" Wi Lo tergetar dan wanita itu terhuyung. Nyata dari gebrakan ini bahwa si cantik itu bukan sembarangan, ia dapat membuatnya terdorong sedikit. Maka bersinar dan tertawa mengejek mendadak kakek ini meloncat dan terbang melewati kepala tiga orang wanita itu.

"Bagus, kau lihai juga, nona. Tapi aku sudah kepalang basah. Aku ingin di ruang tunggu dan siapa mengejar boleh menyusul!"

Kakek itu terkekeh-kekeh. Ia berjungkir balik melewati tiga wanita ini tapi si cantik itu membentak. la adalah sumoi dari Siang-mouw Sian-li, Hong Cu namanya. Maka ketika si kakek lewat dan terbang di atas kepala, bergerak dan meluncur menuju ruang dalam maklumh wanita itu bahwa kakek ini memang mencari setori.

"Ban-tok Wi Lo, kau makanlah jarum-jarum halus ini!"

Di belakang si kakek menyambar puluhan jarum merah. Itu adalah ang-ciam atau senjata rahasia jarum yang berbahaya, tidak beracun tapi sekali mengenai kulit dapat membuat bengkak. Jarum itu adalah jarum api. Tapi ketika Wi Lo terbahak dan di tengah udara ia memutar tongkatnya, memencet dan mengeluarkan jarum-jarum hitamnya maka menyambarlah jarum-jarum beracun itu menyambut jarum merah.

"Ha-ha, aku tak mengenal siapa kalian nona, tapi kepandaianmu lumayan juga. Aiih, kau pandai bermain jarum, aku masih lebih pandai... trik-trak!" jarum mental dan menyambar sana-sini, tidak runtuh melainkan menyambar lawannya, juga dua gadis lain yang mengejar dan ikut membentak.

Tapi ketika Hong Cu mengibaskan rambut dan semua jarum runtuh, kini tak ada yang menyambar lagi maka kakek ini melayang turun karena dari ruang dalam muncul belasan wanita lain yang menghadang dan mencabut pedang!

"Heh-heh, bagus. Kalau begitu di sini saja aku beristirahat. Biar aku menunggu ketuamu. Eh, aku tak ingin bertengkar, nona-nona. Aku datang membawa urusan baik-baik dan jangan menyerang!"

"Keluarlah!" Hong Cu melengking dan berkelebat di depan kakek ini, berapi-api. "Tak ada perintah untuk menyambutmu, Ban-tok Wi lo, dan kau juga bukan orang baik-baik yang layak bersahabat dengan Sin-hong-pang. Keluarlah atau aku akan membunuhmu!"

Kakek itu tertawa. Akhirnya ia dikurung rapat dan tak mungkin keluar lagi. Tapi karena sengaja mencari setori dan ingin menguji kepandaian wanita-wanita Sin-hong-pang, terutama gadis cantik ini maka ia terkekeh menancapkan tongkat dan ketika semua orang terkejut tongkatnya amblas membenam lantai kakek itu sudah meloncat dan berdiri di atas satu kaki.

"Ha-ha, baiklah, di sini juga boleh. Aku menunggu ketua kalian tapi siapa yang ingin mengusir boleh mencabut tongkatku dan melemparku dari sini!"

Semua terbelalak. Tongkat yang menancap dan menembus lantai sudah menunjukkan sinkang yang amat luar biasa dari kakek bongkok ini, apalagi ketika ia berputar dan berlari-lari kecil di atas tongkatnya, ganti berganti dengan kaki yang lain dan itulah ilmu meringankan tubuh sebagai demonstrasinya. Kakek ini hendak unjuk gigi. 

Tapi karena Hong Cu adalah pimpinan di situ dan ia menggantikan ketua yang sedang tiada di ruman, tentu saja marah dan merasa ditantang, tiba-tiba bergerak dan dengan satu tendangan berputar ia menghantam perut kakek itu.

"Bagus, kau mencari penyakit!"

Ban-tok Wi Lo terkekeh. Ia memang hendak menguji kepandaian orang-orang Sin-hong-pang, ketuanya sudah diketahui kehebatannya dan kalau dulu tidak dikeroyok oleh orang-orang See-ouw-pang mungkin dia tak akan lari. Sai-kim-mouw So Hak di sana itu cukup lihai.

Maka melihat gerakan wanita ini dan betapa sambil berputar mampu menendang perutnya yang tinggi di udara, ia maklum betapa berbahayanya tendangan itu maka kakek ini menghentikan gerakannya dan membungkuk ke bawah, menampar sekaligus mengerahkan sinkang.

"Plak!" Ujung tumit kecil itu tertangkap. Wi Lo tidak sekedar menangkis melainkan juga menangkap, ia ingin menggoda. Tapi ketika gadis itu terkejut dan ditarik ke depan, si kakek hendak kurang ajar mendadak rambutnya berkelebat dan sekali kibas rambut peecah menyembar wajah kakek itu.

"Plak-plakk!"

Ban-tok Wi Lo terkekeh dan terpaksa melepaskan tumit yang indah kecil itu. Ia tentu saja tak mau membiarkan wajahnya dihajar rambut dan menangkis, terpental karena berada di atas tongkat tapi lawan tergetar dan terhuyung mundur. Dan ketika kakek itu berjungkir balik dan turun di atas tongkatnya tadi, dengan satu kaki maka ia terkekeh dan diam-diam kagum akan tenaga, yang dimiliki gadis cantik itu.

"Bagus, kau lihai. Tapi sebutkan siapa namamu dan apakah kau murid Siang-mouw Sian-li!"

"Aku Hong Cu, sumoinya. Kau keparat tak tahu malu, Ban-tok Wi Lo. Kau telah menentukan kematianmu di sini. Awas terima pukulanku lagi dan turun atau kau mampus!"

Hong Cu, gadis itu menerjang dan berkelebat lagi. Tubuhnya tiba-tiba menyambar ke atas dan Sin-hong Ginkang dikeluarkan, persis burung terbang dan tahu-tahu rambut di kepala mengibas bagai sayap rajawali betina, menyambar dan menotok bertubi-tubi bagian depan tubuh kakek itu.

Kalau Wi Lo tak turun dari tongkatnya tentu ia kerepotan, lawan menyerangnya beringas dengan lecutan-lecutan rambut yang amat ganas, rambut itu dapat kaku dan lemas berubah-ubah, itulah berkat pengerahan Siang-mouw-kang yang luar biasa.

Dan ketika kakek ini harus melompat turun dan tahu adanya bahaya, dia terkejut karena lawan adalah sumoi atau adik seperguruan Siang-mouw Sian-li maka kakek ini tak berani main-main dan secepat kilat ia mencabut tongkatnya menangkis hujan rambut yang amat luar biasa itu.

"Plak-plak-plak!" dan liong Cu terpental lalu terdorong. Gadis itu ternyata masih kalah dalam hal sinkang namun ini bukan berarti kalah segalanya, ia melengking dan terbang menyambar dengan Sin-hong Gin-kangnya itu. Lalu ketika ia berkelebat dan lenyap beterbangan mengelilingi kakek itu, rambut menyambar dari kiri kanan dan depan.

Maka Ban-tok Wi Lo tak berani main-main lagi dan kakek itu berseru keras meloncat dan terbang mengimbangi lawannya pula, bergerak naik turun dan terjadilah adu cepat yang amat mendebarkan.

Tapi karena kakek itu selalu menangkis dan membuat lawan terpental, ke manapun rambut bergerak ke situ pula tongkat menangkis dan menghalau pergi maka Hong Cu tak dapat mendesak lawan dan ketika kakek itu mulai menggerakkan tangan kiri melepas pukulan-pukulan Ban-tok-kang maka Hong Cu terdesak dan kalah kuat.

"Ha-ha, kau tak dapat mengalahkan aku. Sudah kubilang dari tadi, Hong Cu. Menyerahlah dan kita berbaik saja!"

"Keparat, tua bangka jahanam. Kau atau aku yang mampus, Ban-tok Wi Lo. Jangan sombong!"

"Aku tidak sombong, tapi kenyataan. Ha-ha, kalau begitu aku akan merobohkanmu, Hong Cu, dan kau harus menerima pelajaran dariku.. plak-dess!" tongkat menyambar dan bertemu rambut, menolak dan mementalkan rambut dan saat itu tangan kiri kakek ini menghantam pundak.

Hong Cu terkejut tak sempat berkelit, pundaknya tergetar dan tiba-tiba terasa panas. Dan ketika ia terhuyung dan mulai gelap pandang matanya berkunang oleh pukulan Ban-tok-kang tadi maka gadis ini tak dapat bergerak dengan sempurna lagi ketika tongkat ganti menyambar-nyambar dan membingungkan dirinya.

Sin-hong Gin-kang yang dimiliki juga goyah dan sekali lagi Ban-tok-kang mengenai lehernya, gadis ini mengeluh. Lalu ketika ia terhuyung dan roboh oleh tendangan lawan, kakek bongkok terkekeh menyambar tubuhnya maka sumoi dari ketua Sin-hong-pang itu tertangkap, dan para murid baru tersentak, kaget.

"Heii, lepaskan enci Hong Cu, kakek jahanam. Lepaskan dia!"

Akan tetapi kakek ini sudah menyambar dan memondong gadis itu. Wi Lo tertarik dan kagum dan tiba-tiba timbul gairahnya. Sebenarnya ia hanya hendak mengacau dan membuat keributan kecil saja, sekedar membalas marahnya pada Siang-mouw. Tapi melihat betapa sumoi dari ketua Sin-hong-pang itu cukup lihai dan kecantikannya juga cukup menonjol, tubuh yang langsing padat itu juga terasa cukup menggairahkan.

Maka timbullah niat jahat kakek ini untuk mempermainkan lawan. Ia tak ingat dan perduli lagi akan hal-hal lain, yang ada pada saat itu adalah nafsunya yang bergolak. Getar berahinya terbakar oleh kegagahan dan kecantikan sumoi Sin-hong-pang ini.

Maka ketika ia menyambar dan merobohkan lawan, ujung kakinya membuat lutut gadis itu tertekuk maka si kakek bongkok sudah terkekeh dan melompat pergi. Niat jahatnya ditangkap murid-murid Sin-hong-pang di situ, yang tentu saja marah. Maka ketika mereka membentak dan menyerang berbareng, baru Saat itu mereka sadar untuk menolong Hong Cu maka pedang dan rambut menyambar kakek ini.

Namun Ban-tok Wi Lo adalah seorang kakek lihai. Sebenarnya kakek ini adalah suheng dari mendiang Coa-ong yang tewas dalam pertempuran dahsyat di Hek-see-hwa (baca Prahara Di Gurun Gobi). Kakek ini adalah seorang yang suka merantau dan berpindah-pindah tempat, karena itu jarang bertemu sutenya.

Dan kematian Coa-ong didengar terlambat. Maka ketika ia termenung dan tentu saja menaruh sakit hati atas kematian sutenya itu, mendengar bahwa banyak orang-orang kang-ouw yang terlibat maka kakek ini berhati-hati menelusuri siapa saja orang-orang yang terlibat itu.

Peng Houw, Si Naga Gurun Gobi adalah penyebab utamanya. Namun karena pemuda itu didengarnya memiliki kepandaian luar biasa, pewaris Hok-te Sin-kang yang amat dahsyat maka dia tak berani begitu saja mencari pemuda sakti ini. Sudah didengarnya tentang kehebatan pemuda itu, pemuda yang amat luar biasa dan murid terakhir mendiang Ji Leng Hwesio, dedengkot atau sesepuh Go-bi.

Dan karena dikeroyok berapa saja pemuda itu dapat mengalahkan musuh-musuhnya, sutenya Coa-ong adalah satu dari Tujuh Siluman Langit. Maka kakek ini mula-mula hendak membalaskan sakit hatinya pada orang-orang yang dinilainya dapat dihadapi dulu. Dan orang pertama yang dicari adalah Cheng-liong-pian Ning Pu, ketua See-ouw-pang.

Ketua ini adalah suheng dari (Cambuk Naga Emas), seorang sahabat Go-bi yang dulu juga memusuhi Tujuh Siluman Langit, Coa-ong dan kawan-kawannya. Dan karena apapun yang berbau Go-bi bakal dimusuhi si bongkok ini, Ban-tok Wi Lo membalas dendamnya maka dia mencari ketua See-ouw-pang itu akan tetapi sayang Cheng-liong-pian Ning Po tak ada di rumah.

Kakek ini lalu berkeliaran dan diketahui anak-anak murid See-ouw-pang, dikejar dan akhirnya terjadi pertempuran seperti yang telah di ceritakan di depan. Dan ketika Siang-mouw Sian-li muncul membantu anak-anak murid See-ouw-pang, wanita itu adalah kekasih Cheng-liong-pian maka Ban-tok Wi Lo menjadi marah dan hari itu mendatangi Sin-hong-pang untuk melepas rasa marah. 

Dan yang ditemui adalah su-moi dari Sian-mouw yang cantik dan gagah ini. Ia mula-mula mengira sebagai murid utama Siang-mouw Sian-li dan terkejut, heran. Tapi ketika lawan adalah adik seperguruan wanita itu dan kebetulan Siang-utouw Sian-li adalah sahabat See-ouw-pang, padahal ketua See-ouw-pang adalah suheng dari Kim-liong-pian si Cambuk Emas.

Maka kakek inl merasa kebetulan dan nafsu jahat yang timbul di hatinya untuk mempermainkan gadis itu tak dapat dibendung lagi. Kakek ini tertawa diserbu murid-murid Sin-hong-pang, memencet ujung tongkatnya dan berhamburanlah jarum-jarum halus menyambar para wanita-wanita muda itu. 

Lalu ketika dia meloncat dan menyemburkan asap hitamnya, juga dari ujung tongkat maka anak-anak murid menyibak dan dengan mudah kakek ini keluar dari Sin-hong-pang. Asap hitam itu cukup pekat dan tebal, apalagi mereka yang terkena sedikit sudah menjerit dan melempar tubuh bergulingan, muka terbakar.

"Ha-ha, beri tahu pangcu kalian bahwa hari ini aku datang membalas perbuatannya. Kalau kalian mau mengejar dan menyusul aku silahkan, siapa ingin mencari kematian!" 

Kakek itu lolos dengan mudah. Ia memang telah memperhitungkan semuanya itu dan tak takut kalau hanya menghadapi murid-murid Sin-hong-pang saja. Kalau ketuanya barulah dia tak main-main. Maka ketika sore itu ia membawa lari gadis ini dan langsung memasuki hutan, mencari tempat persembunyian dan mendapatkan guha yang terlindung rapat maka kakek ini melempar Hong Cu dan terkekeh-kekeh, berahinya sudah tak dapat ditahan lagi.

"Hah-hah, heh-heh..kau cantik dan menggairahkan, Hong Cu. Kau telah berani mati menyerang aku. Aku mengampunimu kalau kau menyerah baik-baik, nah, bagaimana dan apakah kau mau melayani aku. Aku cinta padamu... cup- ngok!" si kakek mencium dan membuang tongkatnya di sudut, tertawa dan memeluk gadis ini.

Hong Cu menjerit. Gadis itu merasa muak dan marah serta benci sekali kepada kakek bongkok ini. Liurnya yang memuncrat sana-sini membuat ia jijik, hampir muntah-muntah. Dan ketika kakek itu menggerayangi tubuhnya dan meremas-remas, gadis ini meronta maka Hong Cu yang dapat memaki-maki dan mengutuk serta menyumpah-serapah itu mengeluarkan semua kemarahannya.

"Terkutuk, bedebah jahanam. Lepaskan aku, Ban-tok Wi Lo. Lepaskan aku! Pergi... pergi dari sini...!"

"Hah-hah, heh-heh aku akan pergi kalau kau sudah memenuhi permintaanku, Hong Cu. Terimalah cintaku baik-baik dan aihh mulus sekali kulltmu, cup!" kakek itu mencium dan kini mendaratkan bibirnya yang kering ke tengkuk.

Hong Cu serasa pingsan dan gadis itu menjerit-jerit, teriakannya bergema menggetaran hutan. Dan ketika kakek itu berkerut dan khawatir ada orang datang, gadis ini membuatnya tak senang maka ia menampar dan menotok urat gagu gadis itu.

"Diamlah, tenanglah. Di sini hanya ada kita berdua dan kau tak usah berteriak-teriak."

Hong Cu mendelik. Kakek itu telah melepas pakaiannya sementara pakaian di tubuhnya sendiri telah dirobek. Tengkuk dan bagian kulit pundaknya terbuka. Lalu ketika si kakek terkekeh dan merobek leher ke bawah lagi, dada dan perut gadis terbuka mulus maka Ban-tok Wi Lo tak sabar dan langsung menerkam.

"Heh-heh, indah sekali, Hong Cu. Perut dan pinggangmu indah sekali. kau membuatku mengilar!"

Hong Cu tak dapat berbuat apa-apa selain menangis dan mengguguk. la tak dapat meronta lagi setelah ditotok, juga tak dapat menjerit karena urat gagunya disumbat. Tapi ketika si kakek merobek celananya dan siap bertindak lebih jauh lagi, Ban-tok Wi Lo telanjang melepas celananya sendiri mendadak terdengar bentakan dan teguran lirih.

"Tua bangka, kau mengacaukan samadhiku. Jangan ganggu gadis itu dan pergilah!" Kakek ini terbang terbawa angin kuat.

Ban-tok Wi Lo kaget bukan main karena bersamaan dengan suara itu serangkum angin dahsyat mendorongnya dari belakang. Ia menoleh dan sempat melihat wajah seorang pemuda samar-samar di sudut guha, berbaju putih dan tampan gagah dengan sepasang mata yang mencorong di malam gelap.

Ia tak tahu bahwa di dalam guha ternyata ada penghuninya, nafsu membuatnya mabok dan tidak waspada lagi. la tersentak, kaget bukan main. Maka ketika ia mencelat dan terbang keluar guha, sudah menahan dan mengerahkan sinkang namun masih juga terlempar keluar maka kakek itu berteriak keras bergulingan di luar.

"Bressss!"

Ban-tok Wi Lo berubah dan pucat bukan main. Ia menyambar tongkatnya menggaet pakaian, sambil bergulingan ia menutupi bagian bawah tubuhnya yang terbuka. Dan ketika ia meloncat bangun dan mendelik ke dalam, tak tahu siapa pemuda baju putih itu dan bagaimana tahu-tahu ada di dalam maka kakek itu memekik dan menerjang maju lagi, kini siap dengan tongkat di tangan.

"Keparat, siapa kau, anak muda. Berani benar kau menyerang aku. Keluarlah, terima kematianmu!"

Kakek ini menyambar dan menusuk ke dalam. la telah dapat mengira-ngira di mana pemuda baju putih itu duduk, ia menusukkan tongkatnya dengan amat kuat, tangan kiri juga bergetar siap dengan pukulan Ban-tok-kang. Tapi ketika ia menusuk ke tempat itu dan jelas tongkatnya mengenai dada lawan tiba-tiba kakek ini terkejut karena dari dada itu keluar semacam tenaga karet yang membuat tongkatnya membalik.

Ia sudah menyerang dengan sekuat tenaga dan kini tiba-tiba didorong sekuat tenaga pula, pemuda itu hanya bertahan dan tenaganya itulah yang membalik. Maka ketika kakek ini menjerit dan terbang keluar oleh daya pukulannya sendiri, untuk kedua kali mencelat dan terlempar maka Ban-tok Wi Lo terbanting dan babak belur oleh tolakan lawan yang amat dahsyat itu.

"Aiihhhhhh...!" Kakek ini mengeluarkan lengking seperti gorila menjerit. Ia terhempas dan bergulingan menabrak pohon, berhenti setelah kepalanya menghantam bagian pohon yang keras. Dan ketika kakek itu merasa pening dan nanar sejenak, kaget dan pucat maka wajahnya berubah dan ia seakan menghadapi seorang pemuda siluman, bangun terhuyung dan tongkat menggigil di tangan.

"Bocah, siapa kau. Sebutkan namamu atau aku tak mau sudah!"

"Hm, nama tak ada artinya bagimu, orang tua. Pergi dan perbaikilah watakmu yang jahat ini. Aku masih hendak melanjutkan samadhiku dan jangan ganggu lagi."

Kakek ini penasaran. "Kau memangnya siluman? Baik, aku akan menyerangmu sekali lagi, anak muda. Kalau kali ini aku kalah dan roboh biarlah aku angkat kaki!" Ban-tok Wi Lo menerjang dan melepas kemarahannya. Ia tak percaya bahwa serangannya tak mampu merobohkan lawan. Kalau tongkatnya dapat ditahan maka jarum-jarum berbisa di ujung tongkat itu tidak. la akan mengeluarkannya!

Maka ketika kakek itu membentak dan masuk lagi, menyambar dan memencet ujung tongkat maka sebelum serangan itu tiba jarum-jarum haluspun berhamburan menyambar lawan, dan kakek ini masih menambahinya lagi dengan pukulan Ban-tok-kang di tangan kiri. "Mampuslah!"

Pemuda baju putih itu tak tampak mengelak. Ia duduk tenang namun sepasang matanya tiba-tiba lebih mencorong menunjukkan ketidak senangannya. Ia diam saja sampai serangan itu datang, begitu juga jarum-jarum halus yang tak mungkin kelihatan di tempat gelap itu. Di tempat terang saja tidak, apalagi di tempat gelap.

Tapi ketika jarum dan tongkat menghantam ke depan, Ban-tok-kang juga tepat mengenai perut pemuda itu maka si kakek bongkok menjerit karena baju pemuda. itu tiba-tiba menggelembung dan semua jarum jarum yang dihamburkan ke depan tahu-tahu membalik berikut pukulan Ban-tok-kangnya, tongkat terpental dan menghantam kepala kakek ini, benjut.

"Aduh, crep-crep-desss!" Ban-tok Wi Lo terbanting dan terguling-guling di luar. Ia kaget setengah mati karena semua jarum-jarumnya menancap di tubuh sendiri, jarum itu tertolak oleh tenaga sakti yang membuat baju lawan menggelembung. Lalu ketika Ban-tok-kangnya juga membalik dan tongkat menghajar kepala sendiri, kakek ini jatuh bangun maka sadarlah si bongkok bahwa ia memang berhadapan dengan seorang pemuda sakti.

Namun Ban-tok Wi Lo bukanlah manusia baik-baik, ia adalah suheng mendiang Coa-ong. Maka ketika ia meloncat bangun dan cepat menelan obat penawar tiba-tiba kakek ini meloncat lagi ke mulut guha dan memencet gagang tongkatnya mengeluarkan asap beracun.

"Pemuda siluman, kau hebat, aku mengaku kalah. Tapi biarlah kau mampus bersama gadis siluman itu...wushhh!"

Asap atau senjata berbahaya ini menghembus ke dalam guha, kuat dan menyebar dan Hong Cu terbelalak. Ia sudah merasa hawa panas yang membakar kulit mukanya, bau busuk juga membuat ia hampir muntah-muntah. Tapi ketika pemuda di sudut itu mendengus dan menggerakkan ujung bajunya, angin yang kuat menyambar balik mendadak semua asap berbahaya itu keluar guha dan menyambar Ban-tok Wi Lo sendiri.

"Aughhh...! si kakek berteriak dan melempar tubuh bergulingan. Wajahnya terbakar dan mengelupas, si kakek kaget bukan main. Tapi ketika ia mengambil bubuk obatnya dan sambil bergulingan menyembuhkan luka bakar, kakek bongkok ini benar-benar gentar, akhirnya kakek itu melengking dan lari tunggang-langgang. la bertemu batunya. "Tobaat... aduh, tobaatt. Keparat kau, anak muda. Kau pemuda iblis!"

Hong Cu kagum bukan main. Ia meremang oleh teriakan Ban-tok Wi Lo itu karena dapat menduga betapa menderitanya kakek Itu. Asap dan jarum-jarum beracun menyambar tubuhnya sendiri. Tapi ketika la sadar merasa sesuatu membebaskan jalan darahnya, angin dingin menyelinap dan menotok punggung maka gadis atau sumoi dari Dewi Rambut Harum ini meloncat bangun, matanya bersinar-sinar dan kini dapat melihat di tempat gelap itu seorang pemuda berwajah tampan menolongnya.

"Inkong... inkong telah menolongku. Terima kasih atas bantuannya. Ah, tak tahu harus kubalas bagaimana semua budi baikmu ini, inkong. Dan bolehkah aku tahu siapa inkong yang mulia!"

"Jangan membuatku kikuk dengan sebutan Itu. Pulang dan kembalilah ke tempat asalmu, cici. Anggap tak ada apa-apa disini dan lupakanlah semuanya itu. Aku ingin melanjutkan samadhiku."

Hong Cu tertegun. ”Maaf, aku.... aku tak boleh mengetahui nama penolongku yang mulia? Apakah aku tak cukup berharga di depan inkong?"

"Hm, cici tak usah berlebihan. Kau gagah dan berkepandaian tinggi, cici, tapi kakek itu lebih tinggi lagi. Entah bagaimana kau sampai dibawa ke sini dan pulanglah segera, bawa bajuku ini!"

Pemuda itu melepas bajunya dan melemparkannya kepada Hong Cu, tepat menutupi tubuh dan Hong Cu dan Ia tak ingat bahwa bagian tubuh atasnya telanjang, ia merah padam. Tapi ketika la menangis tak boleh mengetahui nama penolongnya, betapapun aib itu hampir menimpa maka gadis ini mengguguk dan tiba-tiba tersedu.

"Inkong (tuan penolong), aku Hong Cu dari Sin-hong-pang tak biasa menerima budi orang lain. Hari ini kau menolongku, membebaskanku dari aib yang tak bakal ku lupakan seumur hidup. Apakah aku demikian rendah tak boleh mengetahui nama penolongku? Apakah aku demikian hina hingga tak boleh mengingat-ingat namamu? Kalau begitu lebih baik aku mati, inkong. Biar kubayar semua budimu dengan nyawa ini!"

Pemuda baju putih terkejut. Hong Cu tiba-tiba meloncat dan menumbukkan kepalanya ke dinding guha, gadis itu demikian kecewa. Tapi ketika pemuda itu menggerakkan tangannya dan angin kuat menahan gadis ini di tengah jalan, Hong Cu terpelanting maka pemuda itu menghela napas berkata perlahan.

"Baiklah, kusebut namaku, cici Hong Cu, tapi setelah itu kau harus pergi dan jangan ceritakan keberadaanku di sini ke pada orang lain. Aku Peng Houw."

"Apa?" gadis itu meloncat bangun, wajahnya memancarkan kegembiraan yang sangat. "Peng Houw? Jadi.... jadi taihiap ini adalah Si Naga Gurun Gobi Peng Houw?"

"Hm, jangan berlebih-lebihan. Aku memang murid Go-bi, enci Hong Cu, tapi bukan Naga atau apa saja. Sudahlah kau pulang dan ingat kata-kataku tadi."

"Tapi... tapi, ah!" gadis ini terbata-bata, kekaguman dan kegembiraannya memuncak. "Kau jauh-jauh ke sini mau apa, Peng-taihiap, tentu ada sesuatu yang bersifat penting. Aku barangkali dapat membantu dan biarkanlah membantumu!"

"Hm, tak ada apa-apa. Pergi dan keluarlah, enci Hong Cu, ingat bahwa aku masih hendak melanjutkan samadhiku!"

Kini gadis itu tertahan dan mendengar suara yang kuat. Suara dan kata-kata itu demikian berwibawa hingga gadis Sin-hong-pang ini tak berani membuka mulut, ia termangu. Tapi mengangguk dan menarik napas dalam tiba-tiba gadis ini bergerak dan meloncat keluar. "Baiklah, aku gembira bertemu dengan mu, Peng-taihiap. Aku tak akan mengganggumu dan lanjutkanlah samadhimu!"

Peng Houw tersenyum. Ia memang benar adalah Si Naga Gurun Gobi itu, murid dedengkot Ji Leng Hwesio. Dan ketika Hong Cu berkelebat dan keluar guha maka pemuda inipun memejamkan mata dan melanjutkan samadhinya.

Tapi benarkah Hong Cu gadis Sin-hong-pang itu meninggalkan tempat? Ternyata tidak. Gadis ini memang benar meninggalkan guha dan melompat ke luar, tapi bukan kembali ke Sin-hong-pang melainkan duduk dan melamun di luar guha. Dan ketika Peng Houw melanjutkan samadhinya gadis inipun duduk bersila dan memejamkan mata.

Tapi berat bagi gadis ini untuk mengosongkan pikiran. Bagaimana tidak berat kalau tiba-tiba ia merasa jatuh cinta kepada pemuda itu. Benar, Hong Cu telah terkena panah asmara dan kesaktian serta kehebatan Peng Houw tak lupa diingatnya seumur hidup.

Dan ketika gadis itu teringat betapa Peng Houw memberikan bajunya, kini baju itu melekat dan menempel di tubuhnya maka gadis ini tak dapat tidur atau minum yang enak. Baju pemberian Peng Houw itu serasa mengeluarkan getar-getar nikmat yang membuatnya mabok. Baju itu seolah Peng Houw sendiri, yang memeluk dan melindunginya dari hawa dingin.

Dan ketika gadis itu tersenyum dan berkembang-kempis sendiri, bau keringat Peng Houw yang menempel di situ terasa harum dan memabokkan maka sumoi dari Siang-mouw Sian-li ini tergila-gila dan berjaga semalam suntuk tanpa dapat tidur atau meram. Dan Hong Cu merasa betapa bahagianya saat itu. Wajah Peng Houw selalu terbayang-bayang. Kegagahan dan budi baik pemuda ini selalu membetotnya. Dan ketika tak terasa tiga hari tiga malam ia duduk di situ, tetap berjaga dan tidak beranjak ke mana-mana.

Maka Peng Houw-lah yang repot dan kelabakan! Getar atau perasaan kasih seorang wanita amatlah tajam. Peng Houw tak menyangka bahwa gadis Sin-hong-pang itu masih di situ, berjaga dan tersenyum-senyum serta berseri sendiri. Dan ketika malam itu Peng Houw membuka mata terusik bayangan Hong Cu, entah kenapa samadhinya buyar oleh bayangan gadis Sin-hong-pang ini maka bertepatan dengan itu ia mendengar desah dan napas Panjang seorang wanita. Napas Hong Cu!

"Ah, kau. di situ, Hong Cu?" tak terasa lagi Peng Houw memanggil dan berseru. Sebagai seorang berkepandaian tinggi tentu saja telinganya yang tajam mendengar desah itu , betapapun lembutnya. Dan ketika seseorang bergerak dan muncul di situ, di mulut guha maka Hong Cu tersipu malu dan menegur, ganti bertanya....