Putri Es Jilid 28 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

"BAIKLAH, lalu bagaimana dengan puteraku ini."

"Puteri tak mau menemuinya..."

"Mereka bertengkar sebelum itu?"

"Rasanya tidak, taihiap, pertengkaran terjadi setelah ini."

"Hm, coba ceritakan sekali lagi, aku merasa ada sesuatu yang aneh."

Hwa Seng menceritakan lagi apa yang diketahui. Gadis ini tak tahu gosokan Sam Hwa kepada majikannya, apa yang diketahui sudah berada di tengah. Maka ketika Pendekar Rambut Emas mengangguk-angguk dan mengerutkan kening akhirnya pendekar ini berkata bahwa agaknya dia harus bicara sendiri dengan puteranya itu.

"Baiklah, terima kasih atas semua pertolonganmu, Hwa Seng. Biarlah aku bicara lagi dengan Beng An. Kutunggu ia sampai bangun, sekarang beristirahatlah." Gadis itu mengusap air matanya, pergi. "Bagaimana pendapatmu," pendekar ini memandang Cao Cun. "Apa yang kau tangkap dan rasakan di sini, Cao Cun. Adakah sesuatu yang kau lihat."

"Sementara ini belum, tapi rasanya ada sesuatu yang kurang. Cerita itu tidak lengkap, sebaiknya memang kita bertanya lagi kepada Beng An."

"Dan siapa yang bicara, kau dulu atau aku."

"Ah, kau saja, taihiap. Kau ayah kandungnya!"

"Baiklah, beri tahu aku kalau dia sudah sadar."

Cao Cun bangkit dan mengangguk meninggalkan tempat itu. Sebagai orang-orang tua yang cukup pengalaman betapapun mereka menangkap sesuatu yang tersembunyi. Cerita Hwa Seng memang dirasa tidak lengkap. Maka ketika mereka harus bicara sendiri dengan Beng An dan ditunggulah pemuda itu sampai bangun ternyata hampir sehari itu pemuda ini tidur. Beng An bangun setelah gelap, diikuti keluhan pula. Dan ketika cepat Cao Cun berlutut dan memegang lengannya maka yang ditemui adalah tawa Beng An, aneh dan mirip orang tidak waras,.

"Heh-heh, kau masih di sini, ibu. Apa yang kau lakukan."

"Aku menjagamu," wanita ini menitikkan air mata. "Kau belum mandi dan bersihkan dulu tubuhmu, Beng An. Ayo bangun dan ke belakang."

"Ibu mau memandikan aku?"

"Apa?"

"Aku tak mau mandi kalau sendiri, ibu harus memandikan aku."

"Beng An!"

"Heh-heh..." pemuda itu turun, keluar dan sempoyongan dan muncullah Pendekar Rambut Emas mendengar kata-kata ini. Wajah pendekar itu merah namun puteranya tidak sehat, mata pemuda itu liar mencari-cari. Lalu ketika Hwa Seng muncul pula maka pendekar ini menangkap lengan puteranya.

"Beng An, mau ke mana kau!"

"Aku mau mandi, ibu memandikan aku. Heh-heh, mana sumurnya, ayah. Aku mau mandi."

"Hm, mari mandi bersama aku...."

"Tidak, aku mau mandi bersama ibu!"

"Beng An!"

Pemuda itu menangis. Tiba-tiba seperti anak kecil ia berguling dan tersedu-sedu, hati pendekar ini terkesiap dan kaget. Tapi ketika Cao Cun menyentuh lengannya membawa seonggok dupa maka wanita itu berkata bahwa sebaiknya pemuda itu dibawa dulu ke makam ibunya.

"Guncangan batin membuatnya tak sadar, biarlah kau mandikan dia dengan dupa dan air kembang ini di makam ibunya. Bawalah dia ke sana, taihiap. Ajaklah dia berdoa. Mungkin melihat makam ibunya ia akan sadar!"

Kim-mou-eng menerima. Ia merasa malu oleh tingkah Beng An ini namun maklum sepenuhnya bahwa puteranya itu sedang mengalami pukulan batin berat. Teringatlah ia makam isterinya itu. Maka menyambar dan menarik pemuda ini segera dia berkata bahwa puteranya itu tak boleh seperti anak kecil. "Kau sudah dewasa, lihat keponakanmu di sana itu. Hayo ikut aku ke belakang lembah, Beng An. Sadarlah dan kita bercakap-cakap yang baik."

Pemuda ini menolak. Tadinya ia meronta dan mau melepaskan diri, mencakar seperti anak kecil. Tapi ketika ayah-nya meringkus dan mendekap kencang maka berkelebatlah Pendekar Rambut Emas membawa puteranya itu ke makam, sebentar, kemudian sudah tiba di sini.

"Nah, siapa itu!" pendekar ini mengerahkan suaranya, kuat berwibawa. "Siapa yang kau lihat di sini, Beng An. Berlutut dan bacalah itu sebagaimana layaknya seorang gagah!"

Pemuda ini tertegun. Sebuah makam yang bersih, sederhana tetapi sejuk berada di depan mukanya ketika sang ayah menurunkan dirinya. Di situ tertulis jelas MAKAM KIM-HUJIN, ibu kandungnya. Lalu ketika ia tersentak dan kaget membelalakkan mata, di atas makam tiba-tiba sesosok asap putih maka pemuda menjerit dan menubruk.

Kim-moung memejamkan mata. Puteranya tiba-tiba sadar dan lenyaplah semua kegilaan itu. Suasana makam yang remang-remang dan bau kamboja menusuk hidung membuat Beng An tersentak. Harum dupa yang dibawa Kim-mou-eng juga berpengaruh, empat di antara dupa itu telah dibakar. Lalu ketika pemuda ini menjerit dan menubruk makam itu maka Beng An mengguguk dan menangis seperti anak kecil.

"Ibu...ibu...!"

Inilah kesempatan yang baik untuk menyembuhkan puteranya. Di saat Beng An benar-benar sadar dan tahu bahwa ia berada di makam ibunya maka Pendekar ini melemparkan air kembang. Ubun-ubun puteranya ditiup. Lalu ketika pendekar ini bersila dan mengerahkan sinkang maka iapun telah berbisik dan dengan suara penuh pengaruh ia memasukkan pengertian lewat kepala pemuda itu.

"Kita berada di tempat paling agung. Di sinilah semua manusia mengakhhiri hidupnya, Beng An, di bawah tanah. dan hentikan tangismu karena kelak kita semua juga begitu. Berdoalah dan minta berkah ibumu agar ia menguatkan batinmu!"

Hebat pengaruh kata-kata Pendekar Rambut Emas ini. Beng An yang semula mengguguk dan meraung-raung mendadak berhenti. Ia tidak lagi memukul-mukul batu nisan itu. Dan ketika pemuda Ini sadar melihat sosok putih itu, ibunya maka asap ini melayang lenyap melambaikan tangannya.

"Ibu...!"

"Ia telah pergi. Berlutut dan berdoa!ah, anakku. Sampaikan salam hormatmu dan mintalah kekuatan batin."

Pemuda ini mengangguk. Bagai sadar dari mimpi buruk Beng An menerima sebongkok hio itu, menyulutnya dan sembahyang di makam ibunya. Lalu ketika ia sudah bersila dengan bibir berkemak-kemik, mata terpejam sementara bibir itu digigit menahan tangis maka Pendekar Rambut Emas begitu haru bersila di belakang puteranya ini, berkejap dan menahan runtuhnya dua butir air mata dan larutlah keduanya dalam sila yang khusuk. Beng An mengheningkan cipta dan membayangkan wajah ibunya itu, tak terasa malam pun semakin gelap dan bulan maupun bintang menampakkan dirinya.

Di bawah kelap-kelip benda-benda angkasa itu anak dan ayah bersamadhi, Pendekar Rambut Emas bersifat mengiringi. Lalu ketika puteranya tenggelam dan begitu khusuk, tak dapat diganggu maka pendeknr inipun semalam suntuk menjaga di belakang. Beng An membuka matanya setelah ayam jantan berkokok. Gelap meninggalkan bumi dan muncullah dewa fajar di keremangan timur. Lalu ketika pemuda ini menarik napas dalam dan bangkit berdiri, tertegun melihat ayahnya di situ maka Pendekar Rambut Emaspun bangkit dan memandang puteranya ini.

"Ayah...!"

Sang ayah memeluk dan runtuhlah air mata itu. Seruan Beng An, seruan pemuda yang benar-benar sadar kembali, lenyap sudah kegilaan dan tanda-tanda tidak waras itu. Dan ketika Beng An memeluk ayahnya dan menangis tersedak, keduanya berpelukan dan haru satu sama lain maka Pendekar Rambut Emas akhirnya mendorong puteranya itu, menepuk pundaknya.

"Sudahlah, tak sia-sia aku membawamu ke sini. Kemarin kau seperti orang gila dan tidak waras, Beng An, kau terguncang pukulan batin. Sekarang ceritakan kepadaku apa yang terjadi dan bagai mana kau putus dengan sang Puteri."

"Ayah ayah tahu itu?"

"Hwa Seng menceritakannya kepada-ku, Beng An, tidak ingatkah kau kepadanya."

Pemuda ini tersedak, mengangguk. Sekarang dia ingat semuanya itu dan menggigit bibir. la merasa terharu kepada murid Lembah Es itu. Tapi ketika ayahnya mengajak duduk dan sebongkok dupa tinggal abu di depan makam maka pemuda ini menguatkan hati berkata gemetar.

"Gadis itu meminta yang aneh-aneh. Dia... dia kemasukan iblis, ayah, melukai perasaanku. Lebih baik begini dan biar putus!"

"Jangan seperti anak kecil. Apa yang dia minta, anakku, ceritakanlah. Apa yang menyebabkanmu hingga terjadi pertengkaran ini."

"Semua ini gara-gara nenek jahanam itu, We We Mo-li!"

"Aku sudah mendengar, tapi ceritakanlah apa yang diminta gadis itu."

"Aku, ah lebih baik tak usah kuceritakan, ayah. Sakit hatiku ini. Rasanya begitu terluka dan amat tersayat-sayat!"

"Aku cukup tabah mendengarnya, jangan seperti itu. Ceritakanlah kepadaku, Beng An, aoa yang dia minta. Mungkin nyawa ayahmu ini yang diminta, atau mungkin nyawa orang lain."

"Ayah!"

"Aku cukup merasakan getir pahit kehidupan. Kalau kau dapat terpukul dan segila itu tentu hebat penderitaanmu, Beng An, ceritakanlah dan jangan takut. Aku mampu menerimanya."

Beng An tiba-tiba tertegun. Ia begitu kagum akan kata-kata ayahnya ini. Ayahnya begitu tenang! Maka tertegun bangkit kegagahannya, iapun tak sudi cengeng, akhirnya berkatalah pemuda ini akan permintaan kekasihnya itu. "Dia minta nyawa Liong-ko, emas kawinnya adalah ibu jari kanannya. Mana sudi aku melakukan ini, ayah. Bukankah gadis itu gila. Ia kemasukan iblis!"

"Sudah kuduga," Pendekar Rambut Emas mengangguk-angguk, diam-diam tergetar dan pucat. "Pantas permintaannya membuatmu terguncang, puteraku. Kalau tidak tak mungkin kau semenderita itu. Ah, ada sesuatu yang pelik di sini, bukankah mula-mula ia tak begitu benci kepada kakakmu."

"Ia marah karena Liong-ko mengalahkan sesepuhnya."

"Kurasa bukan sekedar ini. Hm,... ada sesuatu yang tarnpaknya harus diselidiki, puteraku. Ada sesuatu yang tidak beres. Baiklah sekarang apa yang hendak kau kerjakan dan apakah kau tetap tinggal di sini."

"Aku terluka, hatiku sakit. Aku ingin bertapa dan menjauhi urusan duniawi, ayah. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku disini."

Pendekar Rambut Emas tersenyum, pahit. "Kau menjadi pertapa? Duh, rupanya tak mungkin, puteraku. Pertapa adalah seorang yang ingin menyucikan diri dan jauh dari nafsu dan sakit hati. Kau sedang bergemuruh, bukan bekal baik untuk seorang pertapa. Agaknya yang paling baik adalah hadapi semua ini dengan pikiran jernih dan lihatlah bahwa semua itu cobaan bagimu, bukan melarikan diri dengan menjadi pertapa karena hanya akan membuatmu gagal saja."

Beng An mengerutkan kening. "Tapi aku tak ada nafsu untuk memasuki urusan duniawi lagi."

"Benar, saat ini. Tapi manusia selalu berobah, anakku. Yang dapat menetapkan keputusanmu adalah keteguhanmu nanti. Sekarang marilah pulang dan temui ibumu Cao Cun dan Hwa Seng "

"Aku tak ingin pulang, "

"Eh?"

"Aku ingin di sini saja, ayah, bersamadhi di makam ibu. Aku ingin bertapa di sini!"

"Kau tak ingin menengok ibumu Cao Cun atau Hwa Seng?"

"Tidak."

"Kau tak ingin melihat keponakan-keponakanmu Siang Hwa dan Siang Lan serta Bun Tiong?"

"Sementara ini aku tak bernafsu bicara dan bertemu siapapun, ayah, maafkan aku. Aku ingin menyendiri dan bertapa di sini."

"Baiklah," pendekar itu mengangguk. "Kalau begitu aku pulang, anakku. Jaga dirimu baik-baik tapi berjanjilah bahwa kalau kau hendak pergi beritahulah kami!"

"Aku tak akan meninggalkan tempat Ini."

Pendekar Rambut Emas memandang puteranya. Tiba-tiba saja ia melihat sikap keras dan aneh di wajah puteranya itu. Sesuatu membuatnya terkejut. Dan ketika dari sepasang mata anaknya menyorot cahaya dari seorang laki-laki tua berkepala batu, mendiang mertuanya maka ia tertegun karena saat itu yang dilihat bukan lagi puteranya melainkan Hu Beng Kui! Terkejutlah pendekar ini. Tiba-tiba ia tergetar dan mundur. Teringatlah ia semasa kehamilan isterinya itu, betapa dulu isterinya bermimpi ketemu ayahnya itu dan berkata bahwa roh dari ayahnya itu akan memasuki jabang bayi yang kala itu dikandung.

Dan sekarang sorot mata Beng An begitu persis dengan mendiang jago pedang yang keras hati dan keras kemauan itu. Sorot mata Beng An bukan lagi sorot mata seorang pemuda melainkan sorot mata kakeknya sendiri, kuat dan berpengaruh serta tajam berkilat-kilat. Sorot mata seperti itu adalah sorot mata tak mau kalah, sorot tak mau tunduk dan siap mandi darah memperjuangkan kebenaran sendiri. Dan ketika pendekar ini terkejut dan mundur selangkah, berubahlah wajahnya.

Maka Beng An tak merasa bahwa dalam pandangan ayahnya ia adalah seperti mendiang kakeknya itu, teguh pada pendirian dan siap binasa mempertahankan kebenaran sendiri! Namun pendekar ini cepat sadar. Suara berkeresek di belakangnya membuat ia menoleh, sesosok bayangan dan muncullah berturut-turut Shintala, dan anak-anak itu, juga Hwa Seng Cao cun. Dan ketika pendekar ini girang karena menantunya datang, dua hari ini Shintala mencari pakaian ke kota maka Beng An terpaku, menatap kakak iparnya itu.

"Beng An!"

"Enci...!"

Shintala menubruk memeluk pemuda ini. Ia. baru saja datang dan mendengar tentang Beng An. Ia terkejut dan cepat ke situ sementara yang lain menyusul Beng An. Dan ketika dilihatnya Beng An bersila tidak miring otaknya seperti yang didengar maka wanita ini lega. Bun Tiong serta, Siang Hwa dan Siang Lan juga girang memeluk pamannya itu.

"Paman, kau sudah sembuh?"

"Ibu, paman tidak gila lagi"

"Hush!" Shintala membentak puteranya itu. "Diam kau, Omongan apa itu. Lihat kakekmu ini menjaga pamanmu semalam suntuk. Hayo berikan makanan atau minuman segar!"

"Terima kasih," Beng An melepaskan dirinya. "Kau ternyata datang, enci, kemana selama ini. Dan Bun Tiong, hmm.... biarkan anak-anak bebas bicara."

"Aku ke kota, mencari pakaian untuk anak-anak. Aku baru datang, Beng An, dan syukur bahwa kau sehat. Aku ke sini karena bibi Cao Cun memberi tahu, juga Hwa Seng!"

Gadis Lembah Es itu terisak. Hwa Seng maju dan berlutut namun Beng An menariknya bangun. Pemuda ini benar-benar sadar dan hilang gilanya, ia telah menemukan kembali kekuatannya. Maka ketika ia mengangkat bangun sementara gadis itu terisak lalu tersedu maka gadis ini mengguguk memandang Beng An.

"Kongcu kongcu tak usah pikirkan hal-hal yang berat. Di sini ayahmu dan keluargamu berkumpul semua, kongcu. Aku girang bahwa kau sembuh. Aku telah menyerahkanmu kepada ayahmu dan akan pamit. Aku tak ingin mengganggu keluargamu di sini."

"Hm, omongan apa ini," Kim-mou-eng tiba-tiba maju dan memegang pundak gadis itu. "Kau tak boleh pergi meninggalkan kami, Hwa Seng. Budimu cukup besar dengan membawa puteraku ke mari. Kami tak merasa terganggu, justeru akan bingung dan sedih kalau kau pergi. Tidak, kau tetap di sini saja, Hwa Seng, kecuali kalau kau hendak kembali ke Lembah Es!"

"Aku sudah diusir. Tak berani aku pulang, taihiap. Aku tak akan ke sana."

"Nah, apalagi itu. Kau tetap di sini menemani kami, Hwa Seng, paling tidak menjaga puteraku siapa tahu tenagamu di perlukan. Kecuali kalau kau tak senang dan menganggap kami musuhmu."

"Ah, taihiap tak usah bicara begitu. Lembah Es berkali-kali mendapat bantuan kalian sekeluarga, kami justeru berhutang budi. Aku hanya tak enak karena bukan kerabat di sini!"

"Hm, tidak. Kau sahabatku, Hwa Seng. Orang yang berkali-kali menolong aku. Kalau ayah sudah bicara seperti itu maka ia benar, kau harus tinggal di sini, jangan pergi. Atau mungkin aku, kecewa dan menjadi tak senang kepadamu. Tinggallah di sini, sekarang kau kerabat kami."

Tersedaklah gadis ini oleh bahagia. Ia berlutut dan menangis di kaki Beng An, betapapun dirinya merasa sebagai pelayan. Dan ketika ia mengucap terima kasih sambil tersedu-sedu, Bun Tiong dan yang lain menariknya bangun maka anak laki-laki itu dengan suara nyaring berkata membenarkan, "Benar, enci Hwa Seng bukan orang lain lagi bagi kami. Kalau kau pergi siapa yang mengajak main-main kami bertiga, enci, sepi rasanya tempat ini. Tidak, paman benar dan kau harus tetap di sini. Kami ingin main-main denganmu. Hayo, kita mencari makanan dan minuman hangat buat paman!"

Tersenyumlah gadis itu. Ternyata Pendekar Rambut Emas dan keluarganya benar-benar menghendakinya, mereka ramah dan akrab serta balk. Maka bergerak dan mengikuti anak-anak itu iapun meninggalkan Beng An setelah pemuda itu juga mengangguk padanya. Pendekar Rambut Emas merasa haru.

"Gadis yang baik," katanya, "Ia tahu diri!"

Cao Cun juga mengangguk. "Ya, gadis yang baik, taihiap. Semalam taihiap datang ke sini menjaga Beng An."

"Sekarang mari pulang," Shintala teringat dan memandang pemuda itu. "Mari bercakap-cakap di rumah, Beng An, kangen juga lama tidak bertemu!"

Akan tetapi Beng An menggeleng. "Aku ingin di sini, enci, pulanglah bersama ayah. Aku ingin menyendiri."

Wanita itu terkejut. Akan tetapi ketika gak-hunya melangkah maju maka Pendekar Rambut Emas berkata, "Beng An telah berkata padaku ingin tinggal di makam ini, ia ingin bersamadhi. Baiklah kita pulang dan tengok dia kalau ingin bicara."

"Kenapa begini?" Cao Cun tiba-tiba mengernyitkan kening, terkejut. "Aku ingin berkumpul di rumah, Beng An, bercakap-cakap di sana. Masa kau akan menjadi pertapa!"

"Benar," sang ayah, menjawab. "Akan bertapa, Cao Cun, menjadi pertapa. Marilah kita pulang dan biar di rumah ku ceritakan."

"He...?"

"Sudahlah kita tinggalkan sendiri dan nanti datang lagi. Biar anak-anak membawakan buah untuknya."

Dan tak memberi kesempatan bicara lagi pendekar itu menarik dan membawa wanita ini, disusul oleh Shintala yang mendapat isyarat ayahnya. Pendekar Rambut Emas mengajak semua pergi. Lalu ketika dua wanita itu terheran-heran namun Beng An menjadi lega, duduk dan bersila kembali maka di sana Pendekar Rambut Emas mencerita-kan tekad pemuda itu. Tentu saja Cao Cun terkejut. Tiba-tiba wanita ini terisak. Dan ketika Pendekar Rambut Emas menceritakan pula sebab pertengkaran itu maka jerit lirihpun tak dapat dicegah, sementara Shintala melompat bangun dan berapi kedua matanya, pipi itu kemerah-merahan bagai terbakar.

"Apa, gadis itu meminta nyawa suamiku? Emas kawinnya ibu jari tangan kanan? Keparat, iblls dari mana bersemayam di hati gadis itu, gak-hu. Tak usah dituruti dan gila benar. Puteri Es itu tidak waras!"

"Duduklah, tenanglah " Pendekar Rambut Emas berkata sabar "Kuduga ada sesuatu yang tidak kuketahui, menantu. Aku akan menyelidiki dan mengetahui ini. Kupikir aku harus ke Lembah Es sekali lagi. Kalian jaga Beng An dan jangan beri tahu."

"Gak-hu mau ke sana?" Shintala terkejut.

"Ya, menjernihkan benang kotor ini. Aku tahu betul watak gadis itu dan aneh ia tiba-tiba sekejam itu. Ada sesuatu yang agaknya perlu kuselidiki."

"Tapi Beng An telah memutuskan hubungannya ."

"Cinta dapat diputus, menantu, tapi kata batin tidak. Betapapun keduanya kulihat sudah terikat erat. Aku khawatir ada orang ketiga main-main di sini."

Shintala terbelalak. Sebagai wanita yang suaminya terancam tentu saja dia marah dan gusar sekali. Apa-apaan Puteri Es itu. Setan dari mana merasuki jiwanya. Tapi ketika ia digamit dan diminta ayah mertuanya tampak muram wanita inipun tak jadi bicara namun diam-diam ia menyumpah dan mengutuk Puteri Es itu. "Keparat awas kau. Sekali kau mengganggu suamiku kulabrak habis-habisan!"

Cao Cun menghapus air matanya. Ia telah berhasil menenangkan wanita ini dan Pendekar Rambut Emas termenung jauh. Percakapan akhirnya selesai dan timbul niat pendekar ini untuk ke Lembah Es. Ia merasa ada sesuatu yang tidak wajar, ia akan pergi dan menyelidiki di sana. Dan ketika akhirnya pendekar itu memutuskan untuk berangkat, hari itu juga maka Cao Cun menasihati agar sebaiknya menunggu Thai Liong dan Siang Le serta Soat Eng.

"Kupikir tunggu dulu mereka, jangan buru-buru. Bukankah Beng An sudah ada di sini dan berkumpul dengan kita."

"Benar," Shintala juga setuju. "Sebaik-nya tunggu Liong-ko datang, gak-hu. Aku juga ingin mengetahui kenapa mereka belum pulang. Atau kita sama-sama ke Lembah Es dan kudamprat gadis siluman itu!"

"Hm-hm, kepergianku bukan untuk mencari setori, lagi pula sebaiknya sendiri. Kalau kau ikut hanya untuk mendamprat orang lain tak usah saja, menantu. Diamlah di sini dan jaga anak-anak."

"Tapi aku panas sekali!"

"Benar, dan hal-hal begini justeru sebaiknya diterima secara dingin. Sudahlah kutunggu suamimu tapi tiga hari saja, selebihnya aku berangkat."

Shintala menggigit bibir mengepal tinju. Kalau boleh tentu saja ia ikut, ingin ditemuinya dan didampratnya Puteri Es itu. Tapi karena sang gak-hu tak mengijinkan dan betapapun ingin sendiri, orang tua lebih kalem daripada orang muda akhirnya, hari itu Kim-mou-eng menunda kepergiannya menunggu puteranya Thai Liong. Tiga hari ia menunggu tapi pemuda itu belum muncul juga. Dan ketika hari terakhir habis dan cukuplah pendekar ini menunggu maka ia berangkat tapi tiba-tiba teringat sesuatu kepada Beng An. Kemarin ia bertemu dan bercakap-cakap dengan puteranya itu.

"Apakah ayah menerima sesuatu dari ibu," puteranya itu kemarin bertanya. "Mungkin pesan atau kata-kata sebelum meninggal, ayah. Atau sesuatu yang perlu disampaikan untukku."

"Tidak," pendekar ini menggeleng, "kenapa tiba-tiba kau tanyakan ini, Beng An. Apakah semalam kau bermimpi ibumu."

Pemuda itu tersenyum, tak menjawab. Beng An kembali bersamadhi setelah sejenak keduanya saling pandang, mata pemuda ini semakin aneh karena mencorong dan berkilat mirip mendiang kakeknya. Ada sesuatu yang terjadi secara diam-diam, perobahan yang hanya dilihat pendekar itu. Dan ketika pendekar itu pulang kembali dan kini teringat sesuatu, hendak pergi sebelum meninggalkan puteranya mendadak ia ingat dua buah surat tinggalan isterinya itu.

"Ada di bawah bantal, kusimpan untuk anak-anak. Berikan kepada Beng An dan Soat Eng kalau mereka datang."

Kim-mou-eng terkesiap. Tiba-tiba ia berdesir karena sekarang harulah teringat olehnya dua buah surat itu. Maka bergerak dan menuju kamarnya bergegaslah pendekar ini mencari peninggalan isterinya itu, dan benar saja, di bawah bantal, lama tak tersentuh tampaklah dua surat dari mendiang isterinya, tertutup rapat!

Kim-mou-eng merasa berdosa. Ia benar-benar tak teringat pesan isterinya ini oleh peristiwa demi peristiwa. Ia benar-benar lupa itu. Maka bergegas dan menuju ke tempat puteranya iapun meminta maaf membangunkan puteranya ini. Wajah Beng An semakin kurus namun pandang matanya justeru semakin berkilat.

"Maaf, aku mengganggumu lagi. Ada sesuatu yang kulupakan selama ini, Beng An, pertanyaanmu kemarin mengingatkan aku. Benar, ada titipan untukmu, surat dari ibumu. Maafkan aku kalau selama ini aku lupa!"

Pemuda itu membuka mata, tenang-tenang saja, matanya bersinar mencorong. "Jadi ayah sudah menemukan itu? Terima kasih, ibu memberitahuku lewat mimpi, ayah, dan ternyata tak salah. Baiklah, letakkan di situ dan biar besok kubaca."

Pendekar ini tertegun. "Kau tak segera membacanya?"

"Kemungkinan sudah kuketahui. Silakan ayah kembali dan jangan ganggu aku."

"Maaf," pendekar ini berdetak keras. "Kalau begitu terserah dirimu, Beng An. Hanya benar-benar aku lupa oleh kejadian demi kejadian selama ini. Baiklah aku kembali."

Beng An mengangguk. Ayahnya berkelebat pergi dan tinggal satu surat di tangan yang lain, untuk Soat Eng. Dan ketika pendekar itu bingung akan berangkat, masuklah bayangan Cao Cun maka pendekar ini bergegas menemui.

"Aku sudah tiga hari menunggu anak-anak, cukup. Aku akan pergi tapi titip ini untuk Soat Eng. Berikan kalau ia datang, Cao Cun. Katakan bahwa aku lupa titipan ibunya. Suruh ia memaafkan aku."

"Taihiap hendak berangkat sekarang juga? Malam-malam begini?"

"Aku ingin cepat pulang, Cao Cun, karena itu harus secepatnya pula berangkat. Jangan beri tahu anak-anak biarkan mereka tidur, juga Beng An!"

Wanita ini mengangguk. la masih terbelalak oleh surat yang diberikan Kim-mou-eng kepadanya, surat itu agak kekuningan dan sudah lusuh. Maka ketika pendekar itu berkelebat dan tidak memberinya kesempatan akhirnya ia berseru melepas kekhawatiran, "Taihiap, hati-hati. Cepat kembali dan jangan lama-lama!"

Kim-mou-eng sudah lenyap. Mengingat perjalanan begitu jauh menuju Lembah Es iapun mempergunakan Pek-sian-sutnya. IImu menghilang ini membuatnya jauh lebih cepat daripada ilmu biasa. Mungkin tiga empat hari ia sudah kembali. Maka ketika teriakan wanita itu tak didengar karena sudah jauh meninggalkan hutan pendekar inipun melepas penasarannya menyelidiki Puteri Es.

Dan keesokannya muncullah Thai Liong! Bersama Soat Eng dan Siang Le pemuda ini memasuki rumah, muram dan letih dan tentu saja kedatangannya disambut jerit girang anak-anak, terutama Bun Tiong. Dan ketika anak itu menubruk ayahnya sementara ibunya juga keluar maka Shintala berseri-seri melihat suaminya itu.

"Liong-ko!"

"Ayah!" Sekilas Thai Liongpun gembira. Ia memeluk dan menciumi anak isterinya itu, Bun Tiong melompat dan naik di atas pundaknya. Lalu ketika di sana Siang Hwa dan Siang Lan juga menubruk ayah ibu mereka maka Cao Cun keluar membawa Hok Gi.

"Ibu...!" Siang Le melepaskan dirinya dari anak-anak itu. Ia menyongsong dan memeluk ibunya sementara Cao Cun pun begitu gembira.

Wanita ini terisak penuh haru. Lalu ketika Siang Le menyambar anaknya itu, bermain dengan Hok Gi maka Soat Engpun teringat dan mendorong Siang Lan dan kakaknya. "Sudah... sudah, sekarang adik kalian yang kecil. Hi-hik, kau semakin gemuk saja, Hok Gi, ibu kangen. Ayo, lepaskan ayahmu dan mari bersama ibu!"

Suami isteri ini berebut, terkekeh dan tak mau kalah hingga anak itu menangis. Terlalu lama ditinggal orang tuanya, buat anak ini belum begitu hapal. Tapi ketika ciuman dan kata-kata Soat Eng mendiamkan puteranya, inilah anak bungsu mereka akhirnya anak itu tertawa, apalagi ketika dilempar-lempar ke udara.

"Hayo, hup-hup diam diam!" Kekeh Siang Lan membuat anak itu tak merasa asing lagi. Memang bersama kakak-kakaknya inilah dia kerap bermain. Tapi ketika Hwa Seng muncul di situ dan tertegun di beranda samping, Soat Eng terkejut melihat gadis ini maka Hok Gi tiba-tiba dilemparnya kepada suami dan berkelebat menuding.

"He, Hwa Seng!"

Siang Le dan Thai Liong terkejut. Mereka juga melihat gadis itu dan Hwa Seng tiba-tiba menghambur, gadis ini menangis dan menjatuhkan diri berlutut. Tapi ketika Soat Eng mengangkatnya bangun dan terheran serta kaget bagaimana gadis Lembah Es itu tiba-tiba di sini maka nyonya muda ini berseru,

"Kau, bagaimana tiba-tiba ada di sini. Dengan siapa kau datang dan mau apa? juga gak-hu (ayah mertua), mana dia," Siang Le berseru dan memandang sekeliling.

"Marilah.. mari semua masuk," Cao Cun mengusap air matanya bahagia, gembira bahwa anak-anak ini datang. "Kita bicara di dalam, Siang Le, jangan ribut-ribut di sini. Ayo, semua masuk. Ada banyak kabar untuk didengar."

Si buntung itu menggendong Hok Gi yang kini tertawa-tawa. Dasar anak kecil yang tak tahu kesusahan orang tua maka Siang Lan menggoda adiknya ini. Tapi ketika ibunya membentak agar diam, anak-anak itu gaduh akhirnya Siang Le memberikan puteranya kepada anak-anak itu.

"Sebaiknya kalian bermain sendiri. Ayolah, nanti bersama kami lagi."

"Dan kapan kita pulang, ayah. Aku kangen Sam-liong-to!"

"Eh, kong-kong sedang pergi. Masa tidak pamit!"

"Paman Beng An kita ajak, biar bermain-main dengan kita di sana!"

Siang Le terbelalak mendengar celoteh anak-anak ini. Lagi-lagi tak mempedulikan suasana, mereka nyerocos saja bersahut-sahutan. Kegembiraan itu yang rupanya membuat anak-anak ini ceplas-ceplos bicara. Tapi ketika Soat Eng membentak puterinya untuk keluar, Siang Lan meleletkan lidah maka anak itu berlari membawa adiknya, dan Bun Tiong tiba-tiba berseru, mengejar keluar.

"Ibu, paman Beng An menjadi pertapa. Tolonglah dia agar mau bermain-main lagi dengan kami!"

Terkejutlah semua orang. Hwa Seng tiba-tiba mnangis dan Soat Eng berubah. Shintala mengernyitkan kening. Namun ketika keadaan menjadi tidak enak maka Cao Cun menarik napas dalam, mengangkat tangannya.

"Beng An memang telah pulang, gadis inilah yang membawanya ke mari. Tapi harap jangan diganggu dulu adikmu itu, anak-anak. Ia masih terpukul dan baru tenang. Biarlah kita saling bercerita."

"Dan ayah, ke mana ia pergi?"

"Ayahmu ke Lembah Es!"

"Apa?" Soat Eng mencelat. "Lembah Es? Mau apa?"

"Tenanglah, duduklah. Sebenarnya ini tak boleh kuberitahukan kalian, Soat Eng, tapi mau bagimana lagi. Aku khawatir akan ayahmu itu, betapapun tak boleh disembunyikan."

"Dan Beng An...!" Siang Le tiba-tiba menggigil."Di mana anak itu, ibu, kenapa tak kelihatan...?"

"la di makam, bersamadhi."

"Di makam? Bersemadhi?"

"Coba kulihat!" Soat Eng tiba-tiba tak Sabar dan berkelebat mendahului, keluar. "Apa yang dilakukan adikku itu, ibu. Aneh benar."

Cao Cun terkejut. Soat Eng suduh lenyap dan yang lain otomatis mengejar pula. Berturut-turut Siang Le dan Shintala meleset. Tapi ketika bayangan merah mendahului dan lenyap di depan maka Thai Liong inilah yang lebih dulu melihat Adiknya itu, tak bergeming di nisan ibunya, bagai arca hidup!

"Beng An-te!" Seruan itu disusul seruan yang Iain-lain. Soat Eng dan suaminya dan Shintala hampir berbareng tiba di tempat itu. Masing-msing menggigil dan berseru lirih. Namun ketika pemuda itu tak bergerak dan Thi Liong mengangkat tangan mencegah mendekat, Soat Eng dan yang lain menggigil maka Thai Liong melihat Sesuatu yang menggetarkan. Rambut adiknya yang putih tergerai, rambut yang hanya pantas dimiliki seorang kakek-Kakek.

"Beng An-te!" Entahlah siapa yang lebih dulu menjerit. Shintala yang juga terkejut melihat perobahan itu sampai pucat sekali. kemarin Beng An masih biasa , rambutnya tidak memutih begini. Dan ketika Soat Eng mencelat dan memanggil adiknya itu, juga Siang Le maka dan orang lainnya sudah menubruk dan menguncang guncang tubuh yang seperti arcea itu.

"Beng An... Beng An...!"

Akan tetapi Beng An tak bergeming. Benar-benar bagai arca hidup ia tak tergerak oleh jerit dan tangis , Guncangan yang dilakukn kakakya juga tidak. ketika Thai Liong berkelebat dan menarik adiknya maka pemuda ini tergetar berseru,

"Lepaskan... lepaskan dia. Jangan ganggu Beng An!"

"Akan tetapi rambutnya... rambutnya ini!"

"Dia sedang berada dalam puncak samadhi, Eng-moi. Beng An tak boleh diganggu, atau nanti terjadi perobahan hebat yang membuatnya celaka!"

Soat Eng tersedu-sedu. Kakak perempuan ini menangis begitu sedih hingga tak dapat berkata-kata. Rambut Beng An telah memutih seperti kakek-kakek. Dan ketika Hwa Seng muncul dan melihat itu, tertegun maka gadis inipun menjerit lirih dan limbung memegangi sebatang pohon.

"Kim-kongcu..."

Akan tetapi Beng An benar-benar tak bergeming. Yang membuat Thai Liong merasa berdebar adalah cahaya kebiru-biruan di wajah adiknya ini. Cahaya itu begitu tipis dan tersamar dan agaknya Beng An sendiri tak sadar. Adiknya itu tak bergerak bagai arca hidup, Thai Liong mengerahkan kekuatan batinnya dan kagetlah pemuda ini melihat wajah seorang kakek melapisi wajah adiknya itu, kakek yang tertawa dan seolah mengejek padanya. Hu Beng Kui!

Dan ketika pemuda itu tertegun dan berubah pucat, hanya dialah yang mampu melihat itu maka cahaya kebiruan itu lenyap dan selanjutnya Thai Liong melihat adiknya ini sebagai mendiang jago pedang itu, ayah dari ibunya yang meninggal atau kakek kandung Beng An yang kini masih tak bergeming dalam samadhi yang amat dalam!

Mundurlah pemuda ini. Apa yang dilihat Thai Liong sama dengan yang dilihat Pendekar Rambut Emas dulu, hanya waktu itu rambut pemuda ini belum memutih dan masih hitam. Maka ketika pemuda ini menarik bangun adiknya sementara Hwa Seng juga terpukul dan tersedu-sedu, gadis itu mengguguk sedih maka Cao Cun muncul dan seketika menjerit.

"Aiihhhhhh...!" Sama seperti yang lain wanita inipun mendekap mulut. Cao Cun tersentak dan kaget menyaksikan perobahan itu. Rambut Beng An telah memutih. Tapi ketika Siang Le menyambarnya melihat ibunya ini hendak roboh, Cao Cun begitu pucat maka Thai Liong berkelebat mengajak mereka ini pulang.

"Kita kembali!"

Siang Le mengangguk. lsterinya telah dibawa Thai Liong dan iapun mengangkat ibunya ini. Cao Cun tersedu-sedu. Dan ketika Hwa Seng juga bergerak dan diminta pulang maka di rumah, di ruangan dalam wanita-wanita itu melanjutkan tangisnya.

"Beng An, dia... dia seperti kakek-kakek"

"Dia tak mau ditemui kita. Ah, tapi apa yang terjadi padanya, ibu. Apa yang membuat Beng An begitu!"

Cao Cun bertangis-tangisan memeluk Soat Eng. Di dekat pintu Hwa Seng juga terguncang. Namun ketika Thai Liong menarik napas dalam dan minta Cao Cun menerangkan, suara berat pemuda itu menyadarkan yang lain maka Shintala mendahului dengan kata-kata penuh benci,

"Ini karena gadis siluman itu. Beng An putus cinta dengan Puteri Es. Dia minta yang macarn-macam, Liong-ko, hingga adik kita, itu terpukul dan gila. Ia baru saja sembuh!"

"Apa yang dia minta!"

"Nyawamu. Gadis itu menyuruh Beng An membunuhmu kalau ingin melanjutkan hubungannya. Emas kawinnya adalah jari tangan kananmu!"

Terdengar jerit dan bentakan nyaring. Soat Eng, yang tadinya berpelukan dan tersedu-sedu dirangkul Cao Cun tiba-tiba berteriak dan meloncat bangun. Nyonya muda marah sekali mendengar ini, kaget. Dan ketika ia berkelebat mencabut pedangnya maka ia berseru akan membunuh Puteri Es itu.

"Keparat jahanam, tak tahu diri. Biar kubunuh dia dan kucari untuk mengadu jiwa!"

Namun Thai Liong bergerak menangkap adiknya ini. Terkejut dan pucat oleh kata-kata isterinya Rajawali Merah ini masih dapat menekan marah. Ia tertegun dan terkesiap namun Soat Eng disambarnya cepat. Wanita itu meronta-ronta. Namun ketika dia menotok dan melemparkannya kepada Siang Le maka Soat Eng pingsan dan Thai Liong bangkit berdiri, gemetar.

"Rasanya tak baik isterimu mendengar ini. Bawa dia ke dalam dan jaga agar tidak mengamuk, Siang Le. Aku akan bertanya kepada Shintala."

Si buntung pucat. Siang Le juga gemetar mendengar itu, mata tak berkedip dan wajah menegang kaku. Tapi menerima isterinya mengangguk perlahan lahan bangkit dan masuk ke dalam. "Baiklah, kujaga isteriku, Thai Liong. Nanti kita bicara berdua!"

Si buntung terhuyung masuk. Apa yang didengar memang sungguh mengejutkan, bagai geledek di siang bolong saja. Dan ketika pemuda itu lenyap sementara Thai Liong termangu-mangu, Hwa Seng tersedu dan menangis di situ maka pemuda ini duduk lagi. Wajahnya gelap dan kesedihanpun tak dapat disembunyikan lagi.

"Baiklah, apa yang kau dengar. Ceritakan dan kudengar secara lengkap."

Shintala tergetar. Ia melihat wajah suaminya yang berubah-ubah ini, merah dan pucat berganti-ganti. Namun ketika suaminya itu duduk kembali dan pandai menguasai perasaan, tenang meskipun bergemuruh maka tiba-tiba ia merasa menyesal kenapa ia tadi bicara begitu meletup-letup.

"Maafkan aku " isaknya lirih. "Aku tak dapat mengendalikan perasaanku, Liong-ko, aku marah dan sakit sekali mendengar itu. Gadis itu keterlaluan!"

"Sudahlah, aku tak menyalahkanmu. Aku hanya sedih memikirkan adikku Beng An itu. Ceritakan dari mana kau tahu apakah dari Hwa Seng."

"Tidak, ia tak tahu apa-apa. Ia hanya membawa Beng An ke sini. Waktu itu An-te tidak waras, Liong-ko, maksudku terguncang jiwanya dan seperti gila. Baru setelah ayah mengajaknya ke makam ibu maka An-te sadar. Tapi kemudian ia tak mau diganggu dan selanjutnya duduk diam seperti pertapa."

"Hm, lalu?"

"Ayah yang mengorek keterangan darinya, dan Beng An menceritakannya sendiri"

Thai Liong menarik napas dalam. "Dan kau sendiri," wanita itu terisak. "Kenapa tak segera pulang, Liong-ko, bukankah kau meninggalkan Lembah Es lebih dulu daripada Beng An."

"Aku ke Sam-liong-to, mencari tempat enak...."

"Maksudmu?"

"Kita harus meninggalkan tempat ini, Shintala, semua berkumpul saja di sana."

Wanita ini mengerutkan kening. Sebagai isteri yang telah lama mendampingi suami maka Shintala menangkap sesuatu yang disembunyikan di balik kata-kata suaminya itu. Dia menangkap sesuatu yang ganjil. Maka berkerut teringat ayahnya dia menggeleng. "Agaknya tak mungkin, bagaimana dengan gak-hu!"

"Akan kuajak sekalian."

"Ah, di sini ada makam ibu, Liong-ko, mana gak-hu mau. Kukira tak mungkin!"

"Soal itu dapat dibicarakan nanti. Kalau perlu makam ibu dipindah saja."

"Liong-ko!"

Rajawali Merah menggeleng. Seruan Itu tak disambut lagi dan pemuda ini minta agar pembicaraan dialihkan lagi masalah Beng An. Shintala tentu saja terkejut dan terheran-heran olen sikap suaminya ini, tak biasanya bersikap begitu ganjil, ingin memindah pula sebuah makam ke Sam-liong-to! Tapi merasa tak ada baiknya, mendesak di situ, ada Hwa Seng dan ibunya Cao Cun akhirnya wanita ini menindas penasarannya yang tiba-tiba menjadi curiga. Firasatnya menangkap sesuatu yang tidak enak. Perasaan wanitanya terganggu semacam khawatir atau cemburu!

"Baiklah, apalagi tentang Beng An?"

"Maksudku apa lagi yang diceritakannya tentang Puteri Es itu."

"Tak ada," wanita ini bersinar-sinar. "Cerita yang kuketahui hanya itu, Liong-ko. Dan masalah ayah agaknya ibu Cao Cun lebih tahu."

"Ayahmu ke Lembah Es," wanita itu lesu. "Sebenarnya mencoba menunggu kedatangan kalian selama tiga hari ini, Thai Liong, tapi baru sekarang kalian muncul."

"Kami memang tidak terus pulang, tapi coba ibu ceritakan apa yang dikerjakan ayah. Kenapa ke sana?"

Cao Cun lalu mengusap air matanya. Pukulan tentang Beng An masih bergema, tinggal isak-isak kecil yang coba ditekannya. Tapi ketika ia dapat menenangkan diri dan menceritakan sang ayah akhirnva Thai Liong tertegun karena ayahnya itu pergi untuk menyelidiki permintaan Puteri Es ini. "Ayahmu curiga ada sesuatu yang tidak beres, mungkin ada orang ketiga. Dan karena ia tak mau adikmu menderita maka dicobanya untuk mengetahui itu dengan menyelidiki ke sana."

Thai Liong menarik napas dalam-dalam. Teringatlah ia ketika meninggalkan Lembah Es membiarkan adiknya sendirian menemui gadis itu, betapa Puteri Es tak mau menerimanya dan mengusir mereka semua. Ia selanjutnya memang pergi bersama adiknya Soat Eng dan Siang Le, ke Sam-liong-to. Bukan apa-apa melainkan rnencari sebuah tempat untuk tempat tinggalnya nanti, sesuai pesan Bu-beng Sian-su bahwa sebaiknya dia dan keluarga tinggal di Sam-liong-to saja.

Ada tiga pulau di Sam-liong-to yang dapat dipilihnya nanti, satu di antaranya sudah dipakai Soat Eng dan suaminya ini dan dimintanya mereka memilihkan pula, mana di antara sisa pulau yang tepat untuk keluarganya nanti. Dan karena Soat Eng maupun Siang Le mengetahui kejadian Lembah Es tentang Yo-siocia itu, tentang sakit hati gadis itu yang tak ingin diketahui isterinya maka gara-gara perjalanan inilah Rajawali Merah ini terlambat ke utara. Thai Liong telah menganggap urusannya selesai dan We We Moli tak berkutik lagi. Sesepuh Lembah Es itulah yang menjadi batu pengganjal.

Maka tak mengira Beng An memutus cintanya dengan Puteri Es, hal yang tentu saja membuat ia terkejut maka yang lebih mengejutkan lagi adalah permintaan puteri itu bahwa dirinya harus menjadi "tumbal" bagi berlangsungnya perjodohan itu. Rajawali Merah ini tersenyum pahit. la tahu beratnya cinta karena iapun pernah mengalami. Cinta sungguh dahsyat menggempur orang-orang muda. Mereka dapat di jungkir balik oleh cinta. Dan ketika ia melihat betapa adiknya gagal, Segera ia maklum mengapa adiknya seperti gila maka diam-diam pemuda ini sudah menetapkan sesuatu demi kebahagiaan adiknya. la juga akan ke Lembah Es, memberikan ibu jarinya dan kaiau perlu nyawanya!

Hari itu tiada kembiraan di tempat ini. Hwa Seng, yang merasa majikannya bersikap keterlaluan lalu menghindar. Gadis ini tak enak mendengar pembicaraan itu. la merasa ikut bersalah. Dan ketika gadis ini menyingkir dan diam-diam menjaga Beng An, duduk dan termenung tidak jauh dari pemuda yang masih seperti arca itu maka malam harinya dua pemuda berhadepan di luar , bernaung bintang dan bulan yang berkedip sedih.

"Sekarang katakan apa yng hendak kau kerjakan setelah mendengar semuanya ini?"

"Bagaimana menurut pendapatmu dan apa yang harus kulakukan, Siang Le. Dapatkah saranmu menyelesaikan urusan ini?”

"Kupikir menunggu gak-hu pulang. Aku tak berani sembrono melangkah sendiri-sendiri, Thai Liong, siapa tahu malah semakin kacau. Pendapatku adalah tunggu gak-hu pulang, lalu kita tetapkan lagi apa yang harus dikerjakan."

"Kau tak ada saran lain?"

"Ada, kita berdua ke Lembah Es, atau kau sendiri."

"Bagus, tepat. Aku memang ingin kesana lagi!"

"Tapi harus menunggu gak-hu, Thai Liong, jangan sekali-kali sendiri. Aku sudah mempunyai rencana untuk menyelesaikan urusan ini."

"Katakan apa rencanamu!"

"Aku tak dapat memberitahukannya sekarang, nanti saja setelah gak-hu membawa kabar."

Thai Liong bersinar-sinar. Wajah si buntung yang agung tampak memancar di timpa cahaya bulan. Entahlah kenapa Thai Liong kagum memandang iparnya ini, mata itu bersorot lembut, tatapannyapun tenang. Dan ketika ia menghela napas melihat sorot agung ini, iparnya begitu lembut dan bersahaja maka ia menggenggam tangan buntung itu memuji gemetar. "Siang Le, kau satu-satunya orang yang dapat kuharapkan. Aku ingin meninggalkan sesuatu kepadamu di kelak kemudian hari!"

"Hm meninggalkan apa? Aku tak merasa butuh apa-apa lagi, Thai Liong, aku merasa cukup."

"Justeru aku yang ingin memberikan sesuatu kepadamu."

Pemuda itu tertawa. "Tidak, aku serius. Aku ingin meninggalkan sesuatu kalau nanti diLembah Es terjadi!"

Si Buntung terkejut, menatap tajam. "Kau mau menyerahkan dirimu? Kau anggap kematianmu membawa bahagia bagi Beng An dan orang lain? Hm, jangan bodoh. Kalau kau melakukan itu maka banyak dampak yang kau tinggalkan, Thai Liong. Pertama adalah dendam isterimu kepada Puteri Es. Kalau gadis itu menjadi isteri Beng An sementara isterimu menaruh sakit hati maka tak mungkin Beng An bahagia. Pengorbananmu bakal sia-sia."

"Kau tahu?" Thai Liong terkejut.

"Sinar matamu yang memberi tahu. Tidak, tak boleh itu. Dampak lain adalah isteriku akan marah kepada gadis itu, bisa terjadi dendam-mendendam, tak bakal ada habisnya!"

Thai Liong tertegun. Tak ia sangka demikian cerdas si buntung in membaca jalan pikirannya. Tapi tertawa menutupi getir ia bertanya, "Baiklah, kalau begitu bagaimana menurutmu? Apakah aku harus tinggal diam dan membiarkan Beng An patah hati? Aku merasa dirikulah sumber penyebabnya, Siang Le, kalau aku tak mengalahkan We We Moli dan nenek itu tak dihukum moyangnya tak akan terjadi semuanya ini. Aku ingin menebus kesalahanku!"

"Dan membiarkan orang lain ganti menderita."

"Maksudmu?"

"Apakah anak isterimu tak akan kehilangan? Tidakkah kau memikirkan mereka? Bodoh amat, kali ini pikiranmu bu-tek (keruh), Thai Liong. Tak biasanya Rajawali Merah seperti ini. Kau tenggelam dalam perasaanmu sendiri!"

Wajah pemuda ini memerah. Thai Liong tersentak dan sadar. Tak disangkanya demikian banyak dampak yang diakibatkan. Pertama adalah isterinya itu, lalu Soat Eng dan anaknya Bun Tiong. Bagaimana kalau anaknya kehilangan ayah. Ibunya tentu menanamkan dendam dan seumur hidup, Beng An bakal celaka. Bukan kebahagiaan yang didapat melainkan persoalan baru, penderitaan baru, bakal berkepanjangan. Dan ketika ia menghela napas merasa bingung akhirnya ia melepaskan genggamannya itu.

"Baiklah, kau rupanya lebih jernih. Bagaimana menurut pendapatmu, Siang Le, aku mohon petunjuk."

"Ah, kau lucu. Tak ada petunjuk dariku, Thai Liong, kita sama-sama dewasa dan aku bukan kakek-kakek. Jangan bicara begitu, aku geli!"

"Hm-hm, baiklah. Bagaimana aku harus bicara. Betapapun kau harus menyatakan pendapatmu!"

"Itu tadi, tunggu saja ayahmu datang. Kalau gak-hu tiba dan memberi masukan barulah kita bergerak, Thai Liong, aku sendiri sudah punya rencana tapi nanti saja kuberi tahu. Kita bersabar menunggu ayahmu pulang."

"Jadi tak berbuat apa-apa?"

"Bukan, penantian ini sendiri adalah pekerjaan. Harap kau sabar dan jangan terburu-buru."

Thai Liong menarik napas lagi. Berhadapan dan bicara dengan si buntung ini terasa enak dan tepat, tidak salah kalau ia memilih teman. Dan karena pikirannya memang kalut sejak Beng An seperti itu, sendiri dan putus cintanya akhirnya malam itu Thai Liong bersabar. Siang Le memang benar dan itulah pekerjaan paling tepat. Kedatangan ayahnya adalah kunci gerakan berikut. Dan ketika dua pemuda ini bicara dan bercakap-cakap lagi, mengisi waktu kosong maka di kamarnya, di tempat lain Soat Eng berhadapan dengan ibunya yang lembut, Cao Cun.

"Kau sudah datang, sesuatu harus kuberikan padamu. Inilah surat yang diberikan ayahmu, Soat Eng, dari mendiang ibumu dulu. Bukalah dan baca itu."

Soat Eng terkejut, menerima surat lusuh yang sudah kekuningan itu. "Dari ayah?"

"Benar, sebelum ia ke Lembah Es. Bukalah dan bacalah."

Wanita muda ini menggigil. Matanya tertumbuk kepada tulisan mendiang ibunya itu, tulisan tangan yang indah rapi. Dan ketika dengan heran namun gemetar ia membuka itu, perlahan-lahan mengeluarkannya maka dibacalah surat itu dan wajah yang pucat kemerah-merahan ini akhirnya menjerit kecil, mengguguk dan akhirnya menubruk Cao Cun.

"Ibu minta maaf, ia bersalah kepada Le-ko!"

Cao Cun tertegun. la sendiri tak tahu isi surat itu namun melihat Soat Eng menubruk dan tersedu mendekapnya maka wanita ini lega karena tak ada tanda-tanda kemarahan di situ. Soat Eng justeru terpukul dan haru. Dan ketika ia meramkan mata ikut menangis, wanita adalah mahluk yang halus perasaannya maka Cao Cunpun terisak dan tersedu-sedu.

"Apa yang dikatakan ibumu, ada apa dengan Siang Le?"

"Ia sadar dan minta maaf, ibu. la merasa bersalah. Tapi betapapun mengharap agar aku mempunyai anak laki-laki."

"Kau sudah mempunyainya. Kau telah mendapatkan Hok Gi, Soat Eng, ibumu tentu tahu. Syukurlah kalau ia berbaik lagi"

"Tapi ibu sudah tiada, apa artinya itu bagiku."

"Sudahlah, yang lewat tak perlu disesali, Soat Eng. Betapapun yang ada adalah karunia. Marilah terima semuanya ini dengan girang dan penuh syukur. Lihatlah keadaanku sendiri, aku kehilangan anak dan buah hatiku."

Soat Eng memeluk dan menciumi ibunya ini. Baginya wanita separuh baya ini seperti ibu kandungnya pula, Cao Cun tiada ubahnya ibunya sendiri. Maka ketika ia terkejut dan sadar menutup bibir yang berdesah itu, mulut yang gemetar maka Soat Eng bangkit menghapus air matanya. "Aku dan Siang Le tiada ubahnya anak-anakmu sendiri. Bun Tiong dan Siang Hwa serta Siang Lan seperti cucu-cucumu sendiri, ibu. Kau tak usah merasa kehilangan karena kami penggantinya. Sudahlah aku tahu diri dan tak usah kau bersedih. Aku memang harus bersyukur."

Malam itu dua wanita ini bersama. Soat Eng memberikan surat itu dan Cao Cun membaca. Ternyata permintaan maaf dan sesal pribadi. Sebenarnya ditujukan kepada Siang Le namun mendiang Kim-hujin menyerahkannya kepada puterinya ini. Dan karena surat itu mengundang keharuan dan kasih yang besar, Cao Cun menitikkan air mata akhirnya keduanya berpelukan dan malam itu dilewatkan dengan bercakap-cakap dan Soat Eng menanyakan berapa lama ayahnya pulang.

"Katanya tiga empat hari saja, bersabarlah. Bukankah kau tak tergesa-gesa pulang ke Sam-liong-to."

"Hm, aku pribadi tidak, ibu, tapi Liong-ko, ah... ia ingin secepatnya berada di sana!"

"Benar, kudengar kata-katanya tadi. Dan aneh bahwa ia bermaksud membawa makam ibumu ke Sam-liong-to. Ada apakah yang membuatnya begitu, Soat Eng? Apakah ia tak senang di sini?"

"Liong-ko ingin mendapat suasana baru, maksudnya agar Bun Tiong selalu berdekatan dengan Siang Hwa dan Siang Lan." Soat Eng berbohong.

"Kalau begitu terserah, tapi bagaimana ayahmu. Mungkinkah dia mau?"

"Nanti dapat dibicarakan, tapi mungkin sukar dibujuk. Ayah melindungi dan mengawasi suku bangsanya di sini, ibu, maukah dia meninggalkan bangsa Tar-tar."

"Itulah, tapi terserah ayahmu. Kalau ia mau tentu tak sukar, tapi kalau ia menolak tentu kita harus memaklumi bahwa ia mempunyai tanggung jawab di sini."

Sout Eng mengangguk. Memang ayahnya adalah pelindung dan penasihat bangsa Tar-tar. Meskipun tidak memimpin secara langsung karena usia lanjut akan tetapi ayahnya itu dihormat dan diminta melindungi bangsa ini. Tar-tar adalah bangsa yang besar, dulu ditakuti bangsa Han karena merupakan ancaman dari depan. Hanya berkat pendekar ini bangsa Tar-tar menahan diri. Mereka dikendalikan dan akhirnya bersahabat dengan kaisar di kota raja.

Dan ketika malam itu dua wanita ini bercakap-cakap membuang waktu, di tempat lain Thai Liong dan Siang Le juga melakukan hal yang sama akhirnya empat hari kemudian datanglah Pendekar Rambut Emas dari Lembah Es. Akan tetapi wajah pendekar ini murung! Wajah yang kuyu dan pakaian yang kusut menunjukkan keletihan pendekar gagah ini. Pertama yang mengetahui adalah Thai Liong. Pemuda itulah yang mendengar dan melihat berkelebatnya bayangan. Dan ketika ayah dan anak berhadapan dengan wajah gembira sekilas, Thal Liong berseru menyambut ayahnya itu maka berturut-turut Soat Eng dan yang lain berkelebat.

"Ayah..!"

"Gak-hu!"

Siang Le dan Shintala saling mendahului namun wajah pendekar itu gelap. Justeru adanya Thai Liong membuat Kim-mou-eng berdesah. Dan ketika berturut-turut ia menyambut anak menantunya, mengangguk dan melepaskan diri akhirnya munculah cucu-cucunya itu, Bun Tiong dan Siang Hwa serta Siang Lan.

"Kong-kong...!"

"Kakek datang!"

Mereka girang melihat orang tua ini. Pendekar Rambut Emas lagi-lagi menyambut. Saat itu muncul pula Cao Cun, berseri dan memandangnya namun wajah muram Pendekar Rambut Emas membuat wanita ini berdetak. Ia berdebar. Lalu ketika semua masuk dan anak-anak dipersilahkan keluar maka Thai Liong bertanya bagaimana hasil perjalanan ayahnya ini.

"Kami sudah mendengar semua di sini, sekarang bagaimana hasil kunjungan ayah di Lembah Es."

Pendekar Rambut Emas tertegun, dan Cao Cun terisak memberi tahu. "Anak-anak minta keterangan tentang dirimu, aku tak dapat menyembunyikan lagi. Maafkan kalau aku lancang."

"Hm, aku gagal," pendekar itu langsung berkata, tak perlu lagi menyembunyikan persoalan. "Karena kalian sudah tahu dan inilah jawabannya maka gadis itu tak menarik syaratnya dan rupanya Beng An harus memutuskan hubungannya. Jodoh bukan sahabat akrab mereka."

Semua tertegun, kecuali Shintala. Tak ada yang bertanya karena keterangan singkat itu cukup. Bagi Thai Liong merupakan pukulan sendiri, diam-diam pemuda ini mengeluh. Lalu ketika ayahnya bertanya kenapa ia lama kembali, dijawab karena ke Sam-liong-to maka Shintala tiba-tiba berseru bahwa Thai Liong hendak membawanya pergi, termasuk memindah makam ibunya itu.

"Liong-ko tak ingin tinggal lagi di sini, ia hendak menempati satu di antara dua pulau yang tersisa. Dan kau dimintanya pindah pula, gakhu, bergabung di sana semua. Makam ibu ikut pula dipindahkan!"

Pendekar Rambut Emas terkejut. la memandang puteranya akan tetapi Thai Liong menarik napas dalam, menunduk dan mengangguk berat. Dan ketika pendekar itu hendak bertanya sebabnya mendadak tiga anak itu datang berlari-lari.

"Kong-kong, paman Beng An tak ada!"

"Ayah, enci Hwa Seng juga tiada!" Berkelebatlah Rajawali Merah itu mendahului. Seruan anak-anak ini mengejutkan semua orang dan bergeraklah Pendekar Rambut Emas dan yang lain-lain. Thai Liong paling dulu di depan. Dan ketika pendekar itu baru teringat akan Hwa Seng, yang memang belum dilihatnya maka di makam, di tempat di mana Beng An biasanya duduk bersila ternyata sudah kosong dan pemuda itu tak ada di tempat, juga Hwa Seng yang biasanya duduk menjaga!

"Astaga, adik Beng An benar-benar telah pergi!"

Thai Liong tak berhenti di sini karena secepat itu ia berputar dan berkelebat keluar lembah. Cepat sekali ia mencari dan ayahnya serta yang lain-lain juga berkelebatan. Mereka telah menemukan tempat itu kosong, Soat Eng bahkan menjerit memanggil-manggil adiknya. Namun ketika seluruh tempat itu tak menunjukkan tanda-tanda sang adik, Shintala juga melengking-lengking memanggil nama Beng An maka pemuda itu tak ditemukan lagi dan Pendekar Rambut Emas berdebar jantungnya, pucat.

"Beng An, di mana kau!"

Gagal. Semua orang berteriak-teriak memanggil nama ini namun Beng An benar-benar lenyap. Siang Hwa menangis dan memanggil-manggil pula pamannya itu. Namun ketika pemuda itu benar-benar tak ditemukan dan maklumlah mereka bahwa tak mungkin pemuda itu kembali, semuanya rupanya disengaja akhirnya Pendekar Rambut Emas mengajak pulang. Di sini mereka gemetar.

Thai Liong pucat sementara yang lainpun menggigil. Cao Cun bahkan tersedu-sedu, hanya Siang Le yang tampak tenang dan sedikit berubah saja. Selebihnya sikapnya biasa, tidak begitu panik. Dan ketika diambil sidang darurat apa yang harus dilakukan, semua memandang Pendekar Rambut Emas maka pendekar ini memandang anak dan menantunya, gelisah.

"Jangan-jangan ia ke Lembah Es, apa yang bakal terjadi. Kita semua harus mencari, Thai Liong. Bagaimana pendapatmu atau pendapat yang lain!"

"Mungkin saja An-te ke Lembah Es, tapi mungkin juga tidak. Kupikir ia tidak ke sana ayah, untuk apa karena ia memiliki kekerasan hati yang luar biasa. Sekali putus tetap putus, kecuali gadis itu merobah permintaannya dan mau menemui An-te."

"Benar, kupikir tak mungkin. Ke sana hanya akan merobek-robek hatinya saja ayah. Beng An tak mungkin ke sana. Mungkin ia mencari tempat lain untuk bertapa, di sini terlalu ramai!"

"Barangkali juga, tapi seharusnya ia memberi tahu kita. Ah, anak itu bikin pusing dan repot saja. Kalau sudah begini maka semua bingung!"

"lni gara-gara aku. Kalau aku tak mencampuri urusannya dengan Puteri Es mungkin semuanya ini tak akan terjadi, ayah, aku menyesal dan berdosa sekali. Aku menyusahkan adikku sendiri!"

"Tidak begitu. Kita semua adalah kakak-kakak Beng An, Thai Liong. Kalau adik kita menerima kesulitan apakah kita harus diam saja. Tidak, hal itu wajar. Kau tak boleh merasa bersalah apalagi dosa. Akupun akan melakukan seperti yang kau lakukan apabila aku dirimu!"

"Hm, Siang Le benar. Ini bukan gara-garamu, Thai Liong, kalau diusut justeru nenek sombong We We Moli itu. Kalau ia tidak macam-macam dan menghukum anak muridnya sendiri tak akan terjadi semuanya ini. Sudahlah kita cari dia dan masing-masing ke delapan penjuru. Kita berpencar!"

"Atau biar yang perempuan di sini, menjaga anak-anak. Tak baik mereka sering berpisah dengan ibunya."

"Enci Shintala di sini, aku ikut. Aku tak mau diam, Le-ko, aku juga ingin tahu di mana Beng An!"

Siang Le mengerutkan kening. Lagi-lagi isterinya tak mau diam namun gak-hu nya ternyata setuju. Pendekar yang baru datang ini dipaksa untuk angkat kaki lagi, Thai Liong mencegah namun ayahnya menolak. Pendekar Rambut Emas ikut mencari. Dan ketika diputuskan bahwa masing-masing keempat penjuru, seminggu harus kembali dan berkumpul melapor maka bergeraklah empat orang ini sesuai keputusan.

Pendekar Rambut Emas ke timur sedangkan Soat Eng ke barat. Siang Le ke selatan sedangkan Thai Long ke utara. Diam-diam si buntung ini memberi isyarat kepada Rajawali Merah itu. Dan ketika semua sudah bergerak dan meninggalkan tempat itu, Siang Le berkelebat keluar lembah maka Thai Liong terbelalak ketika si buntung menyuruhnya mengikuti dan berhenti di luar hutan, jauh dari tempat mereka.

"Nah, janjiku hendak kupenuhi. Harap kau ke Lembah Es, Thai Liong, berikan ini kepada Puteri dan ceritakan bahwa Beng An menderita. Kalau ia tak tergetar aku pribadi hendak ke sana. Terimalah!"

Thai Liong terkejut bukan main. Sebuah pisau berkelebat tiba-tiba jari tangan kanan si buntung ini putus. Darah memuncrat ketika si buntung menahan sakit, pisau lenyap lagi dan sebagai gantinya di-pungutlah ibu jari itu, jari yang masih segar dengan darah yang segar pula! Lalu ketika Si buntung itu menyerahkannya sambil menutup luka, Thai Liong terbelalak dan tiba-tiba melengking maka ditubruknya si buntung ini dengan wajah pucat pasi, suara parau menggetarkan hutan.

"Siang Le.... kau gila....!"

Putri Es Jilid 28

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

"BAIKLAH, lalu bagaimana dengan puteraku ini."

"Puteri tak mau menemuinya..."

"Mereka bertengkar sebelum itu?"

"Rasanya tidak, taihiap, pertengkaran terjadi setelah ini."

"Hm, coba ceritakan sekali lagi, aku merasa ada sesuatu yang aneh."

Hwa Seng menceritakan lagi apa yang diketahui. Gadis ini tak tahu gosokan Sam Hwa kepada majikannya, apa yang diketahui sudah berada di tengah. Maka ketika Pendekar Rambut Emas mengangguk-angguk dan mengerutkan kening akhirnya pendekar ini berkata bahwa agaknya dia harus bicara sendiri dengan puteranya itu.

"Baiklah, terima kasih atas semua pertolonganmu, Hwa Seng. Biarlah aku bicara lagi dengan Beng An. Kutunggu ia sampai bangun, sekarang beristirahatlah." Gadis itu mengusap air matanya, pergi. "Bagaimana pendapatmu," pendekar ini memandang Cao Cun. "Apa yang kau tangkap dan rasakan di sini, Cao Cun. Adakah sesuatu yang kau lihat."

"Sementara ini belum, tapi rasanya ada sesuatu yang kurang. Cerita itu tidak lengkap, sebaiknya memang kita bertanya lagi kepada Beng An."

"Dan siapa yang bicara, kau dulu atau aku."

"Ah, kau saja, taihiap. Kau ayah kandungnya!"

"Baiklah, beri tahu aku kalau dia sudah sadar."

Cao Cun bangkit dan mengangguk meninggalkan tempat itu. Sebagai orang-orang tua yang cukup pengalaman betapapun mereka menangkap sesuatu yang tersembunyi. Cerita Hwa Seng memang dirasa tidak lengkap. Maka ketika mereka harus bicara sendiri dengan Beng An dan ditunggulah pemuda itu sampai bangun ternyata hampir sehari itu pemuda ini tidur. Beng An bangun setelah gelap, diikuti keluhan pula. Dan ketika cepat Cao Cun berlutut dan memegang lengannya maka yang ditemui adalah tawa Beng An, aneh dan mirip orang tidak waras,.

"Heh-heh, kau masih di sini, ibu. Apa yang kau lakukan."

"Aku menjagamu," wanita ini menitikkan air mata. "Kau belum mandi dan bersihkan dulu tubuhmu, Beng An. Ayo bangun dan ke belakang."

"Ibu mau memandikan aku?"

"Apa?"

"Aku tak mau mandi kalau sendiri, ibu harus memandikan aku."

"Beng An!"

"Heh-heh..." pemuda itu turun, keluar dan sempoyongan dan muncullah Pendekar Rambut Emas mendengar kata-kata ini. Wajah pendekar itu merah namun puteranya tidak sehat, mata pemuda itu liar mencari-cari. Lalu ketika Hwa Seng muncul pula maka pendekar ini menangkap lengan puteranya.

"Beng An, mau ke mana kau!"

"Aku mau mandi, ibu memandikan aku. Heh-heh, mana sumurnya, ayah. Aku mau mandi."

"Hm, mari mandi bersama aku...."

"Tidak, aku mau mandi bersama ibu!"

"Beng An!"

Pemuda itu menangis. Tiba-tiba seperti anak kecil ia berguling dan tersedu-sedu, hati pendekar ini terkesiap dan kaget. Tapi ketika Cao Cun menyentuh lengannya membawa seonggok dupa maka wanita itu berkata bahwa sebaiknya pemuda itu dibawa dulu ke makam ibunya.

"Guncangan batin membuatnya tak sadar, biarlah kau mandikan dia dengan dupa dan air kembang ini di makam ibunya. Bawalah dia ke sana, taihiap. Ajaklah dia berdoa. Mungkin melihat makam ibunya ia akan sadar!"

Kim-mou-eng menerima. Ia merasa malu oleh tingkah Beng An ini namun maklum sepenuhnya bahwa puteranya itu sedang mengalami pukulan batin berat. Teringatlah ia makam isterinya itu. Maka menyambar dan menarik pemuda ini segera dia berkata bahwa puteranya itu tak boleh seperti anak kecil. "Kau sudah dewasa, lihat keponakanmu di sana itu. Hayo ikut aku ke belakang lembah, Beng An. Sadarlah dan kita bercakap-cakap yang baik."

Pemuda ini menolak. Tadinya ia meronta dan mau melepaskan diri, mencakar seperti anak kecil. Tapi ketika ayah-nya meringkus dan mendekap kencang maka berkelebatlah Pendekar Rambut Emas membawa puteranya itu ke makam, sebentar, kemudian sudah tiba di sini.

"Nah, siapa itu!" pendekar ini mengerahkan suaranya, kuat berwibawa. "Siapa yang kau lihat di sini, Beng An. Berlutut dan bacalah itu sebagaimana layaknya seorang gagah!"

Pemuda ini tertegun. Sebuah makam yang bersih, sederhana tetapi sejuk berada di depan mukanya ketika sang ayah menurunkan dirinya. Di situ tertulis jelas MAKAM KIM-HUJIN, ibu kandungnya. Lalu ketika ia tersentak dan kaget membelalakkan mata, di atas makam tiba-tiba sesosok asap putih maka pemuda menjerit dan menubruk.

Kim-moung memejamkan mata. Puteranya tiba-tiba sadar dan lenyaplah semua kegilaan itu. Suasana makam yang remang-remang dan bau kamboja menusuk hidung membuat Beng An tersentak. Harum dupa yang dibawa Kim-mou-eng juga berpengaruh, empat di antara dupa itu telah dibakar. Lalu ketika pemuda ini menjerit dan menubruk makam itu maka Beng An mengguguk dan menangis seperti anak kecil.

"Ibu...ibu...!"

Inilah kesempatan yang baik untuk menyembuhkan puteranya. Di saat Beng An benar-benar sadar dan tahu bahwa ia berada di makam ibunya maka Pendekar ini melemparkan air kembang. Ubun-ubun puteranya ditiup. Lalu ketika pendekar ini bersila dan mengerahkan sinkang maka iapun telah berbisik dan dengan suara penuh pengaruh ia memasukkan pengertian lewat kepala pemuda itu.

"Kita berada di tempat paling agung. Di sinilah semua manusia mengakhhiri hidupnya, Beng An, di bawah tanah. dan hentikan tangismu karena kelak kita semua juga begitu. Berdoalah dan minta berkah ibumu agar ia menguatkan batinmu!"

Hebat pengaruh kata-kata Pendekar Rambut Emas ini. Beng An yang semula mengguguk dan meraung-raung mendadak berhenti. Ia tidak lagi memukul-mukul batu nisan itu. Dan ketika pemuda Ini sadar melihat sosok putih itu, ibunya maka asap ini melayang lenyap melambaikan tangannya.

"Ibu...!"

"Ia telah pergi. Berlutut dan berdoa!ah, anakku. Sampaikan salam hormatmu dan mintalah kekuatan batin."

Pemuda ini mengangguk. Bagai sadar dari mimpi buruk Beng An menerima sebongkok hio itu, menyulutnya dan sembahyang di makam ibunya. Lalu ketika ia sudah bersila dengan bibir berkemak-kemik, mata terpejam sementara bibir itu digigit menahan tangis maka Pendekar Rambut Emas begitu haru bersila di belakang puteranya ini, berkejap dan menahan runtuhnya dua butir air mata dan larutlah keduanya dalam sila yang khusuk. Beng An mengheningkan cipta dan membayangkan wajah ibunya itu, tak terasa malam pun semakin gelap dan bulan maupun bintang menampakkan dirinya.

Di bawah kelap-kelip benda-benda angkasa itu anak dan ayah bersamadhi, Pendekar Rambut Emas bersifat mengiringi. Lalu ketika puteranya tenggelam dan begitu khusuk, tak dapat diganggu maka pendeknr inipun semalam suntuk menjaga di belakang. Beng An membuka matanya setelah ayam jantan berkokok. Gelap meninggalkan bumi dan muncullah dewa fajar di keremangan timur. Lalu ketika pemuda ini menarik napas dalam dan bangkit berdiri, tertegun melihat ayahnya di situ maka Pendekar Rambut Emaspun bangkit dan memandang puteranya ini.

"Ayah...!"

Sang ayah memeluk dan runtuhlah air mata itu. Seruan Beng An, seruan pemuda yang benar-benar sadar kembali, lenyap sudah kegilaan dan tanda-tanda tidak waras itu. Dan ketika Beng An memeluk ayahnya dan menangis tersedak, keduanya berpelukan dan haru satu sama lain maka Pendekar Rambut Emas akhirnya mendorong puteranya itu, menepuk pundaknya.

"Sudahlah, tak sia-sia aku membawamu ke sini. Kemarin kau seperti orang gila dan tidak waras, Beng An, kau terguncang pukulan batin. Sekarang ceritakan kepadaku apa yang terjadi dan bagai mana kau putus dengan sang Puteri."

"Ayah ayah tahu itu?"

"Hwa Seng menceritakannya kepada-ku, Beng An, tidak ingatkah kau kepadanya."

Pemuda ini tersedak, mengangguk. Sekarang dia ingat semuanya itu dan menggigit bibir. la merasa terharu kepada murid Lembah Es itu. Tapi ketika ayahnya mengajak duduk dan sebongkok dupa tinggal abu di depan makam maka pemuda ini menguatkan hati berkata gemetar.

"Gadis itu meminta yang aneh-aneh. Dia... dia kemasukan iblis, ayah, melukai perasaanku. Lebih baik begini dan biar putus!"

"Jangan seperti anak kecil. Apa yang dia minta, anakku, ceritakanlah. Apa yang menyebabkanmu hingga terjadi pertengkaran ini."

"Semua ini gara-gara nenek jahanam itu, We We Mo-li!"

"Aku sudah mendengar, tapi ceritakanlah apa yang diminta gadis itu."

"Aku, ah lebih baik tak usah kuceritakan, ayah. Sakit hatiku ini. Rasanya begitu terluka dan amat tersayat-sayat!"

"Aku cukup tabah mendengarnya, jangan seperti itu. Ceritakanlah kepadaku, Beng An, aoa yang dia minta. Mungkin nyawa ayahmu ini yang diminta, atau mungkin nyawa orang lain."

"Ayah!"

"Aku cukup merasakan getir pahit kehidupan. Kalau kau dapat terpukul dan segila itu tentu hebat penderitaanmu, Beng An, ceritakanlah dan jangan takut. Aku mampu menerimanya."

Beng An tiba-tiba tertegun. Ia begitu kagum akan kata-kata ayahnya ini. Ayahnya begitu tenang! Maka tertegun bangkit kegagahannya, iapun tak sudi cengeng, akhirnya berkatalah pemuda ini akan permintaan kekasihnya itu. "Dia minta nyawa Liong-ko, emas kawinnya adalah ibu jari kanannya. Mana sudi aku melakukan ini, ayah. Bukankah gadis itu gila. Ia kemasukan iblis!"

"Sudah kuduga," Pendekar Rambut Emas mengangguk-angguk, diam-diam tergetar dan pucat. "Pantas permintaannya membuatmu terguncang, puteraku. Kalau tidak tak mungkin kau semenderita itu. Ah, ada sesuatu yang pelik di sini, bukankah mula-mula ia tak begitu benci kepada kakakmu."

"Ia marah karena Liong-ko mengalahkan sesepuhnya."

"Kurasa bukan sekedar ini. Hm,... ada sesuatu yang tarnpaknya harus diselidiki, puteraku. Ada sesuatu yang tidak beres. Baiklah sekarang apa yang hendak kau kerjakan dan apakah kau tetap tinggal di sini."

"Aku terluka, hatiku sakit. Aku ingin bertapa dan menjauhi urusan duniawi, ayah. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku disini."

Pendekar Rambut Emas tersenyum, pahit. "Kau menjadi pertapa? Duh, rupanya tak mungkin, puteraku. Pertapa adalah seorang yang ingin menyucikan diri dan jauh dari nafsu dan sakit hati. Kau sedang bergemuruh, bukan bekal baik untuk seorang pertapa. Agaknya yang paling baik adalah hadapi semua ini dengan pikiran jernih dan lihatlah bahwa semua itu cobaan bagimu, bukan melarikan diri dengan menjadi pertapa karena hanya akan membuatmu gagal saja."

Beng An mengerutkan kening. "Tapi aku tak ada nafsu untuk memasuki urusan duniawi lagi."

"Benar, saat ini. Tapi manusia selalu berobah, anakku. Yang dapat menetapkan keputusanmu adalah keteguhanmu nanti. Sekarang marilah pulang dan temui ibumu Cao Cun dan Hwa Seng "

"Aku tak ingin pulang, "

"Eh?"

"Aku ingin di sini saja, ayah, bersamadhi di makam ibu. Aku ingin bertapa di sini!"

"Kau tak ingin menengok ibumu Cao Cun atau Hwa Seng?"

"Tidak."

"Kau tak ingin melihat keponakan-keponakanmu Siang Hwa dan Siang Lan serta Bun Tiong?"

"Sementara ini aku tak bernafsu bicara dan bertemu siapapun, ayah, maafkan aku. Aku ingin menyendiri dan bertapa di sini."

"Baiklah," pendekar itu mengangguk. "Kalau begitu aku pulang, anakku. Jaga dirimu baik-baik tapi berjanjilah bahwa kalau kau hendak pergi beritahulah kami!"

"Aku tak akan meninggalkan tempat Ini."

Pendekar Rambut Emas memandang puteranya. Tiba-tiba saja ia melihat sikap keras dan aneh di wajah puteranya itu. Sesuatu membuatnya terkejut. Dan ketika dari sepasang mata anaknya menyorot cahaya dari seorang laki-laki tua berkepala batu, mendiang mertuanya maka ia tertegun karena saat itu yang dilihat bukan lagi puteranya melainkan Hu Beng Kui! Terkejutlah pendekar ini. Tiba-tiba ia tergetar dan mundur. Teringatlah ia semasa kehamilan isterinya itu, betapa dulu isterinya bermimpi ketemu ayahnya itu dan berkata bahwa roh dari ayahnya itu akan memasuki jabang bayi yang kala itu dikandung.

Dan sekarang sorot mata Beng An begitu persis dengan mendiang jago pedang yang keras hati dan keras kemauan itu. Sorot mata Beng An bukan lagi sorot mata seorang pemuda melainkan sorot mata kakeknya sendiri, kuat dan berpengaruh serta tajam berkilat-kilat. Sorot mata seperti itu adalah sorot mata tak mau kalah, sorot tak mau tunduk dan siap mandi darah memperjuangkan kebenaran sendiri. Dan ketika pendekar ini terkejut dan mundur selangkah, berubahlah wajahnya.

Maka Beng An tak merasa bahwa dalam pandangan ayahnya ia adalah seperti mendiang kakeknya itu, teguh pada pendirian dan siap binasa mempertahankan kebenaran sendiri! Namun pendekar ini cepat sadar. Suara berkeresek di belakangnya membuat ia menoleh, sesosok bayangan dan muncullah berturut-turut Shintala, dan anak-anak itu, juga Hwa Seng Cao cun. Dan ketika pendekar ini girang karena menantunya datang, dua hari ini Shintala mencari pakaian ke kota maka Beng An terpaku, menatap kakak iparnya itu.

"Beng An!"

"Enci...!"

Shintala menubruk memeluk pemuda ini. Ia. baru saja datang dan mendengar tentang Beng An. Ia terkejut dan cepat ke situ sementara yang lain menyusul Beng An. Dan ketika dilihatnya Beng An bersila tidak miring otaknya seperti yang didengar maka wanita ini lega. Bun Tiong serta, Siang Hwa dan Siang Lan juga girang memeluk pamannya itu.

"Paman, kau sudah sembuh?"

"Ibu, paman tidak gila lagi"

"Hush!" Shintala membentak puteranya itu. "Diam kau, Omongan apa itu. Lihat kakekmu ini menjaga pamanmu semalam suntuk. Hayo berikan makanan atau minuman segar!"

"Terima kasih," Beng An melepaskan dirinya. "Kau ternyata datang, enci, kemana selama ini. Dan Bun Tiong, hmm.... biarkan anak-anak bebas bicara."

"Aku ke kota, mencari pakaian untuk anak-anak. Aku baru datang, Beng An, dan syukur bahwa kau sehat. Aku ke sini karena bibi Cao Cun memberi tahu, juga Hwa Seng!"

Gadis Lembah Es itu terisak. Hwa Seng maju dan berlutut namun Beng An menariknya bangun. Pemuda ini benar-benar sadar dan hilang gilanya, ia telah menemukan kembali kekuatannya. Maka ketika ia mengangkat bangun sementara gadis itu terisak lalu tersedu maka gadis ini mengguguk memandang Beng An.

"Kongcu kongcu tak usah pikirkan hal-hal yang berat. Di sini ayahmu dan keluargamu berkumpul semua, kongcu. Aku girang bahwa kau sembuh. Aku telah menyerahkanmu kepada ayahmu dan akan pamit. Aku tak ingin mengganggu keluargamu di sini."

"Hm, omongan apa ini," Kim-mou-eng tiba-tiba maju dan memegang pundak gadis itu. "Kau tak boleh pergi meninggalkan kami, Hwa Seng. Budimu cukup besar dengan membawa puteraku ke mari. Kami tak merasa terganggu, justeru akan bingung dan sedih kalau kau pergi. Tidak, kau tetap di sini saja, Hwa Seng, kecuali kalau kau hendak kembali ke Lembah Es!"

"Aku sudah diusir. Tak berani aku pulang, taihiap. Aku tak akan ke sana."

"Nah, apalagi itu. Kau tetap di sini menemani kami, Hwa Seng, paling tidak menjaga puteraku siapa tahu tenagamu di perlukan. Kecuali kalau kau tak senang dan menganggap kami musuhmu."

"Ah, taihiap tak usah bicara begitu. Lembah Es berkali-kali mendapat bantuan kalian sekeluarga, kami justeru berhutang budi. Aku hanya tak enak karena bukan kerabat di sini!"

"Hm, tidak. Kau sahabatku, Hwa Seng. Orang yang berkali-kali menolong aku. Kalau ayah sudah bicara seperti itu maka ia benar, kau harus tinggal di sini, jangan pergi. Atau mungkin aku, kecewa dan menjadi tak senang kepadamu. Tinggallah di sini, sekarang kau kerabat kami."

Tersedaklah gadis ini oleh bahagia. Ia berlutut dan menangis di kaki Beng An, betapapun dirinya merasa sebagai pelayan. Dan ketika ia mengucap terima kasih sambil tersedu-sedu, Bun Tiong dan yang lain menariknya bangun maka anak laki-laki itu dengan suara nyaring berkata membenarkan, "Benar, enci Hwa Seng bukan orang lain lagi bagi kami. Kalau kau pergi siapa yang mengajak main-main kami bertiga, enci, sepi rasanya tempat ini. Tidak, paman benar dan kau harus tetap di sini. Kami ingin main-main denganmu. Hayo, kita mencari makanan dan minuman hangat buat paman!"

Tersenyumlah gadis itu. Ternyata Pendekar Rambut Emas dan keluarganya benar-benar menghendakinya, mereka ramah dan akrab serta balk. Maka bergerak dan mengikuti anak-anak itu iapun meninggalkan Beng An setelah pemuda itu juga mengangguk padanya. Pendekar Rambut Emas merasa haru.

"Gadis yang baik," katanya, "Ia tahu diri!"

Cao Cun juga mengangguk. "Ya, gadis yang baik, taihiap. Semalam taihiap datang ke sini menjaga Beng An."

"Sekarang mari pulang," Shintala teringat dan memandang pemuda itu. "Mari bercakap-cakap di rumah, Beng An, kangen juga lama tidak bertemu!"

Akan tetapi Beng An menggeleng. "Aku ingin di sini, enci, pulanglah bersama ayah. Aku ingin menyendiri."

Wanita itu terkejut. Akan tetapi ketika gak-hunya melangkah maju maka Pendekar Rambut Emas berkata, "Beng An telah berkata padaku ingin tinggal di makam ini, ia ingin bersamadhi. Baiklah kita pulang dan tengok dia kalau ingin bicara."

"Kenapa begini?" Cao Cun tiba-tiba mengernyitkan kening, terkejut. "Aku ingin berkumpul di rumah, Beng An, bercakap-cakap di sana. Masa kau akan menjadi pertapa!"

"Benar," sang ayah, menjawab. "Akan bertapa, Cao Cun, menjadi pertapa. Marilah kita pulang dan biar di rumah ku ceritakan."

"He...?"

"Sudahlah kita tinggalkan sendiri dan nanti datang lagi. Biar anak-anak membawakan buah untuknya."

Dan tak memberi kesempatan bicara lagi pendekar itu menarik dan membawa wanita ini, disusul oleh Shintala yang mendapat isyarat ayahnya. Pendekar Rambut Emas mengajak semua pergi. Lalu ketika dua wanita itu terheran-heran namun Beng An menjadi lega, duduk dan bersila kembali maka di sana Pendekar Rambut Emas mencerita-kan tekad pemuda itu. Tentu saja Cao Cun terkejut. Tiba-tiba wanita ini terisak. Dan ketika Pendekar Rambut Emas menceritakan pula sebab pertengkaran itu maka jerit lirihpun tak dapat dicegah, sementara Shintala melompat bangun dan berapi kedua matanya, pipi itu kemerah-merahan bagai terbakar.

"Apa, gadis itu meminta nyawa suamiku? Emas kawinnya ibu jari tangan kanan? Keparat, iblls dari mana bersemayam di hati gadis itu, gak-hu. Tak usah dituruti dan gila benar. Puteri Es itu tidak waras!"

"Duduklah, tenanglah " Pendekar Rambut Emas berkata sabar "Kuduga ada sesuatu yang tidak kuketahui, menantu. Aku akan menyelidiki dan mengetahui ini. Kupikir aku harus ke Lembah Es sekali lagi. Kalian jaga Beng An dan jangan beri tahu."

"Gak-hu mau ke sana?" Shintala terkejut.

"Ya, menjernihkan benang kotor ini. Aku tahu betul watak gadis itu dan aneh ia tiba-tiba sekejam itu. Ada sesuatu yang agaknya perlu kuselidiki."

"Tapi Beng An telah memutuskan hubungannya ."

"Cinta dapat diputus, menantu, tapi kata batin tidak. Betapapun keduanya kulihat sudah terikat erat. Aku khawatir ada orang ketiga main-main di sini."

Shintala terbelalak. Sebagai wanita yang suaminya terancam tentu saja dia marah dan gusar sekali. Apa-apaan Puteri Es itu. Setan dari mana merasuki jiwanya. Tapi ketika ia digamit dan diminta ayah mertuanya tampak muram wanita inipun tak jadi bicara namun diam-diam ia menyumpah dan mengutuk Puteri Es itu. "Keparat awas kau. Sekali kau mengganggu suamiku kulabrak habis-habisan!"

Cao Cun menghapus air matanya. Ia telah berhasil menenangkan wanita ini dan Pendekar Rambut Emas termenung jauh. Percakapan akhirnya selesai dan timbul niat pendekar ini untuk ke Lembah Es. Ia merasa ada sesuatu yang tidak wajar, ia akan pergi dan menyelidiki di sana. Dan ketika akhirnya pendekar itu memutuskan untuk berangkat, hari itu juga maka Cao Cun menasihati agar sebaiknya menunggu Thai Liong dan Siang Le serta Soat Eng.

"Kupikir tunggu dulu mereka, jangan buru-buru. Bukankah Beng An sudah ada di sini dan berkumpul dengan kita."

"Benar," Shintala juga setuju. "Sebaik-nya tunggu Liong-ko datang, gak-hu. Aku juga ingin mengetahui kenapa mereka belum pulang. Atau kita sama-sama ke Lembah Es dan kudamprat gadis siluman itu!"

"Hm-hm, kepergianku bukan untuk mencari setori, lagi pula sebaiknya sendiri. Kalau kau ikut hanya untuk mendamprat orang lain tak usah saja, menantu. Diamlah di sini dan jaga anak-anak."

"Tapi aku panas sekali!"

"Benar, dan hal-hal begini justeru sebaiknya diterima secara dingin. Sudahlah kutunggu suamimu tapi tiga hari saja, selebihnya aku berangkat."

Shintala menggigit bibir mengepal tinju. Kalau boleh tentu saja ia ikut, ingin ditemuinya dan didampratnya Puteri Es itu. Tapi karena sang gak-hu tak mengijinkan dan betapapun ingin sendiri, orang tua lebih kalem daripada orang muda akhirnya, hari itu Kim-mou-eng menunda kepergiannya menunggu puteranya Thai Liong. Tiga hari ia menunggu tapi pemuda itu belum muncul juga. Dan ketika hari terakhir habis dan cukuplah pendekar ini menunggu maka ia berangkat tapi tiba-tiba teringat sesuatu kepada Beng An. Kemarin ia bertemu dan bercakap-cakap dengan puteranya itu.

"Apakah ayah menerima sesuatu dari ibu," puteranya itu kemarin bertanya. "Mungkin pesan atau kata-kata sebelum meninggal, ayah. Atau sesuatu yang perlu disampaikan untukku."

"Tidak," pendekar ini menggeleng, "kenapa tiba-tiba kau tanyakan ini, Beng An. Apakah semalam kau bermimpi ibumu."

Pemuda itu tersenyum, tak menjawab. Beng An kembali bersamadhi setelah sejenak keduanya saling pandang, mata pemuda ini semakin aneh karena mencorong dan berkilat mirip mendiang kakeknya. Ada sesuatu yang terjadi secara diam-diam, perobahan yang hanya dilihat pendekar itu. Dan ketika pendekar itu pulang kembali dan kini teringat sesuatu, hendak pergi sebelum meninggalkan puteranya mendadak ia ingat dua buah surat tinggalan isterinya itu.

"Ada di bawah bantal, kusimpan untuk anak-anak. Berikan kepada Beng An dan Soat Eng kalau mereka datang."

Kim-mou-eng terkesiap. Tiba-tiba ia berdesir karena sekarang harulah teringat olehnya dua buah surat itu. Maka bergerak dan menuju kamarnya bergegaslah pendekar ini mencari peninggalan isterinya itu, dan benar saja, di bawah bantal, lama tak tersentuh tampaklah dua surat dari mendiang isterinya, tertutup rapat!

Kim-mou-eng merasa berdosa. Ia benar-benar tak teringat pesan isterinya ini oleh peristiwa demi peristiwa. Ia benar-benar lupa itu. Maka bergegas dan menuju ke tempat puteranya iapun meminta maaf membangunkan puteranya ini. Wajah Beng An semakin kurus namun pandang matanya justeru semakin berkilat.

"Maaf, aku mengganggumu lagi. Ada sesuatu yang kulupakan selama ini, Beng An, pertanyaanmu kemarin mengingatkan aku. Benar, ada titipan untukmu, surat dari ibumu. Maafkan aku kalau selama ini aku lupa!"

Pemuda itu membuka mata, tenang-tenang saja, matanya bersinar mencorong. "Jadi ayah sudah menemukan itu? Terima kasih, ibu memberitahuku lewat mimpi, ayah, dan ternyata tak salah. Baiklah, letakkan di situ dan biar besok kubaca."

Pendekar ini tertegun. "Kau tak segera membacanya?"

"Kemungkinan sudah kuketahui. Silakan ayah kembali dan jangan ganggu aku."

"Maaf," pendekar ini berdetak keras. "Kalau begitu terserah dirimu, Beng An. Hanya benar-benar aku lupa oleh kejadian demi kejadian selama ini. Baiklah aku kembali."

Beng An mengangguk. Ayahnya berkelebat pergi dan tinggal satu surat di tangan yang lain, untuk Soat Eng. Dan ketika pendekar itu bingung akan berangkat, masuklah bayangan Cao Cun maka pendekar ini bergegas menemui.

"Aku sudah tiga hari menunggu anak-anak, cukup. Aku akan pergi tapi titip ini untuk Soat Eng. Berikan kalau ia datang, Cao Cun. Katakan bahwa aku lupa titipan ibunya. Suruh ia memaafkan aku."

"Taihiap hendak berangkat sekarang juga? Malam-malam begini?"

"Aku ingin cepat pulang, Cao Cun, karena itu harus secepatnya pula berangkat. Jangan beri tahu anak-anak biarkan mereka tidur, juga Beng An!"

Wanita ini mengangguk. la masih terbelalak oleh surat yang diberikan Kim-mou-eng kepadanya, surat itu agak kekuningan dan sudah lusuh. Maka ketika pendekar itu berkelebat dan tidak memberinya kesempatan akhirnya ia berseru melepas kekhawatiran, "Taihiap, hati-hati. Cepat kembali dan jangan lama-lama!"

Kim-mou-eng sudah lenyap. Mengingat perjalanan begitu jauh menuju Lembah Es iapun mempergunakan Pek-sian-sutnya. IImu menghilang ini membuatnya jauh lebih cepat daripada ilmu biasa. Mungkin tiga empat hari ia sudah kembali. Maka ketika teriakan wanita itu tak didengar karena sudah jauh meninggalkan hutan pendekar inipun melepas penasarannya menyelidiki Puteri Es.

Dan keesokannya muncullah Thai Liong! Bersama Soat Eng dan Siang Le pemuda ini memasuki rumah, muram dan letih dan tentu saja kedatangannya disambut jerit girang anak-anak, terutama Bun Tiong. Dan ketika anak itu menubruk ayahnya sementara ibunya juga keluar maka Shintala berseri-seri melihat suaminya itu.

"Liong-ko!"

"Ayah!" Sekilas Thai Liongpun gembira. Ia memeluk dan menciumi anak isterinya itu, Bun Tiong melompat dan naik di atas pundaknya. Lalu ketika di sana Siang Hwa dan Siang Lan juga menubruk ayah ibu mereka maka Cao Cun keluar membawa Hok Gi.

"Ibu...!" Siang Le melepaskan dirinya dari anak-anak itu. Ia menyongsong dan memeluk ibunya sementara Cao Cun pun begitu gembira.

Wanita ini terisak penuh haru. Lalu ketika Siang Le menyambar anaknya itu, bermain dengan Hok Gi maka Soat Engpun teringat dan mendorong Siang Lan dan kakaknya. "Sudah... sudah, sekarang adik kalian yang kecil. Hi-hik, kau semakin gemuk saja, Hok Gi, ibu kangen. Ayo, lepaskan ayahmu dan mari bersama ibu!"

Suami isteri ini berebut, terkekeh dan tak mau kalah hingga anak itu menangis. Terlalu lama ditinggal orang tuanya, buat anak ini belum begitu hapal. Tapi ketika ciuman dan kata-kata Soat Eng mendiamkan puteranya, inilah anak bungsu mereka akhirnya anak itu tertawa, apalagi ketika dilempar-lempar ke udara.

"Hayo, hup-hup diam diam!" Kekeh Siang Lan membuat anak itu tak merasa asing lagi. Memang bersama kakak-kakaknya inilah dia kerap bermain. Tapi ketika Hwa Seng muncul di situ dan tertegun di beranda samping, Soat Eng terkejut melihat gadis ini maka Hok Gi tiba-tiba dilemparnya kepada suami dan berkelebat menuding.

"He, Hwa Seng!"

Siang Le dan Thai Liong terkejut. Mereka juga melihat gadis itu dan Hwa Seng tiba-tiba menghambur, gadis ini menangis dan menjatuhkan diri berlutut. Tapi ketika Soat Eng mengangkatnya bangun dan terheran serta kaget bagaimana gadis Lembah Es itu tiba-tiba di sini maka nyonya muda ini berseru,

"Kau, bagaimana tiba-tiba ada di sini. Dengan siapa kau datang dan mau apa? juga gak-hu (ayah mertua), mana dia," Siang Le berseru dan memandang sekeliling.

"Marilah.. mari semua masuk," Cao Cun mengusap air matanya bahagia, gembira bahwa anak-anak ini datang. "Kita bicara di dalam, Siang Le, jangan ribut-ribut di sini. Ayo, semua masuk. Ada banyak kabar untuk didengar."

Si buntung itu menggendong Hok Gi yang kini tertawa-tawa. Dasar anak kecil yang tak tahu kesusahan orang tua maka Siang Lan menggoda adiknya ini. Tapi ketika ibunya membentak agar diam, anak-anak itu gaduh akhirnya Siang Le memberikan puteranya kepada anak-anak itu.

"Sebaiknya kalian bermain sendiri. Ayolah, nanti bersama kami lagi."

"Dan kapan kita pulang, ayah. Aku kangen Sam-liong-to!"

"Eh, kong-kong sedang pergi. Masa tidak pamit!"

"Paman Beng An kita ajak, biar bermain-main dengan kita di sana!"

Siang Le terbelalak mendengar celoteh anak-anak ini. Lagi-lagi tak mempedulikan suasana, mereka nyerocos saja bersahut-sahutan. Kegembiraan itu yang rupanya membuat anak-anak ini ceplas-ceplos bicara. Tapi ketika Soat Eng membentak puterinya untuk keluar, Siang Lan meleletkan lidah maka anak itu berlari membawa adiknya, dan Bun Tiong tiba-tiba berseru, mengejar keluar.

"Ibu, paman Beng An menjadi pertapa. Tolonglah dia agar mau bermain-main lagi dengan kami!"

Terkejutlah semua orang. Hwa Seng tiba-tiba mnangis dan Soat Eng berubah. Shintala mengernyitkan kening. Namun ketika keadaan menjadi tidak enak maka Cao Cun menarik napas dalam, mengangkat tangannya.

"Beng An memang telah pulang, gadis inilah yang membawanya ke mari. Tapi harap jangan diganggu dulu adikmu itu, anak-anak. Ia masih terpukul dan baru tenang. Biarlah kita saling bercerita."

"Dan ayah, ke mana ia pergi?"

"Ayahmu ke Lembah Es!"

"Apa?" Soat Eng mencelat. "Lembah Es? Mau apa?"

"Tenanglah, duduklah. Sebenarnya ini tak boleh kuberitahukan kalian, Soat Eng, tapi mau bagimana lagi. Aku khawatir akan ayahmu itu, betapapun tak boleh disembunyikan."

"Dan Beng An...!" Siang Le tiba-tiba menggigil."Di mana anak itu, ibu, kenapa tak kelihatan...?"

"la di makam, bersamadhi."

"Di makam? Bersemadhi?"

"Coba kulihat!" Soat Eng tiba-tiba tak Sabar dan berkelebat mendahului, keluar. "Apa yang dilakukan adikku itu, ibu. Aneh benar."

Cao Cun terkejut. Soat Eng suduh lenyap dan yang lain otomatis mengejar pula. Berturut-turut Siang Le dan Shintala meleset. Tapi ketika bayangan merah mendahului dan lenyap di depan maka Thai Liong inilah yang lebih dulu melihat Adiknya itu, tak bergeming di nisan ibunya, bagai arca hidup!

"Beng An-te!" Seruan itu disusul seruan yang Iain-lain. Soat Eng dan suaminya dan Shintala hampir berbareng tiba di tempat itu. Masing-msing menggigil dan berseru lirih. Namun ketika pemuda itu tak bergerak dan Thi Liong mengangkat tangan mencegah mendekat, Soat Eng dan yang lain menggigil maka Thai Liong melihat Sesuatu yang menggetarkan. Rambut adiknya yang putih tergerai, rambut yang hanya pantas dimiliki seorang kakek-Kakek.

"Beng An-te!" Entahlah siapa yang lebih dulu menjerit. Shintala yang juga terkejut melihat perobahan itu sampai pucat sekali. kemarin Beng An masih biasa , rambutnya tidak memutih begini. Dan ketika Soat Eng mencelat dan memanggil adiknya itu, juga Siang Le maka dan orang lainnya sudah menubruk dan menguncang guncang tubuh yang seperti arcea itu.

"Beng An... Beng An...!"

Akan tetapi Beng An tak bergeming. Benar-benar bagai arca hidup ia tak tergerak oleh jerit dan tangis , Guncangan yang dilakukn kakakya juga tidak. ketika Thai Liong berkelebat dan menarik adiknya maka pemuda ini tergetar berseru,

"Lepaskan... lepaskan dia. Jangan ganggu Beng An!"

"Akan tetapi rambutnya... rambutnya ini!"

"Dia sedang berada dalam puncak samadhi, Eng-moi. Beng An tak boleh diganggu, atau nanti terjadi perobahan hebat yang membuatnya celaka!"

Soat Eng tersedu-sedu. Kakak perempuan ini menangis begitu sedih hingga tak dapat berkata-kata. Rambut Beng An telah memutih seperti kakek-kakek. Dan ketika Hwa Seng muncul dan melihat itu, tertegun maka gadis inipun menjerit lirih dan limbung memegangi sebatang pohon.

"Kim-kongcu..."

Akan tetapi Beng An benar-benar tak bergeming. Yang membuat Thai Liong merasa berdebar adalah cahaya kebiru-biruan di wajah adiknya ini. Cahaya itu begitu tipis dan tersamar dan agaknya Beng An sendiri tak sadar. Adiknya itu tak bergerak bagai arca hidup, Thai Liong mengerahkan kekuatan batinnya dan kagetlah pemuda ini melihat wajah seorang kakek melapisi wajah adiknya itu, kakek yang tertawa dan seolah mengejek padanya. Hu Beng Kui!

Dan ketika pemuda itu tertegun dan berubah pucat, hanya dialah yang mampu melihat itu maka cahaya kebiruan itu lenyap dan selanjutnya Thai Liong melihat adiknya ini sebagai mendiang jago pedang itu, ayah dari ibunya yang meninggal atau kakek kandung Beng An yang kini masih tak bergeming dalam samadhi yang amat dalam!

Mundurlah pemuda ini. Apa yang dilihat Thai Liong sama dengan yang dilihat Pendekar Rambut Emas dulu, hanya waktu itu rambut pemuda ini belum memutih dan masih hitam. Maka ketika pemuda ini menarik bangun adiknya sementara Hwa Seng juga terpukul dan tersedu-sedu, gadis itu mengguguk sedih maka Cao Cun muncul dan seketika menjerit.

"Aiihhhhhh...!" Sama seperti yang lain wanita inipun mendekap mulut. Cao Cun tersentak dan kaget menyaksikan perobahan itu. Rambut Beng An telah memutih. Tapi ketika Siang Le menyambarnya melihat ibunya ini hendak roboh, Cao Cun begitu pucat maka Thai Liong berkelebat mengajak mereka ini pulang.

"Kita kembali!"

Siang Le mengangguk. lsterinya telah dibawa Thai Liong dan iapun mengangkat ibunya ini. Cao Cun tersedu-sedu. Dan ketika Hwa Seng juga bergerak dan diminta pulang maka di rumah, di ruangan dalam wanita-wanita itu melanjutkan tangisnya.

"Beng An, dia... dia seperti kakek-kakek"

"Dia tak mau ditemui kita. Ah, tapi apa yang terjadi padanya, ibu. Apa yang membuat Beng An begitu!"

Cao Cun bertangis-tangisan memeluk Soat Eng. Di dekat pintu Hwa Seng juga terguncang. Namun ketika Thai Liong menarik napas dalam dan minta Cao Cun menerangkan, suara berat pemuda itu menyadarkan yang lain maka Shintala mendahului dengan kata-kata penuh benci,

"Ini karena gadis siluman itu. Beng An putus cinta dengan Puteri Es. Dia minta yang macarn-macam, Liong-ko, hingga adik kita, itu terpukul dan gila. Ia baru saja sembuh!"

"Apa yang dia minta!"

"Nyawamu. Gadis itu menyuruh Beng An membunuhmu kalau ingin melanjutkan hubungannya. Emas kawinnya adalah jari tangan kananmu!"

Terdengar jerit dan bentakan nyaring. Soat Eng, yang tadinya berpelukan dan tersedu-sedu dirangkul Cao Cun tiba-tiba berteriak dan meloncat bangun. Nyonya muda marah sekali mendengar ini, kaget. Dan ketika ia berkelebat mencabut pedangnya maka ia berseru akan membunuh Puteri Es itu.

"Keparat jahanam, tak tahu diri. Biar kubunuh dia dan kucari untuk mengadu jiwa!"

Namun Thai Liong bergerak menangkap adiknya ini. Terkejut dan pucat oleh kata-kata isterinya Rajawali Merah ini masih dapat menekan marah. Ia tertegun dan terkesiap namun Soat Eng disambarnya cepat. Wanita itu meronta-ronta. Namun ketika dia menotok dan melemparkannya kepada Siang Le maka Soat Eng pingsan dan Thai Liong bangkit berdiri, gemetar.

"Rasanya tak baik isterimu mendengar ini. Bawa dia ke dalam dan jaga agar tidak mengamuk, Siang Le. Aku akan bertanya kepada Shintala."

Si buntung pucat. Siang Le juga gemetar mendengar itu, mata tak berkedip dan wajah menegang kaku. Tapi menerima isterinya mengangguk perlahan lahan bangkit dan masuk ke dalam. "Baiklah, kujaga isteriku, Thai Liong. Nanti kita bicara berdua!"

Si buntung terhuyung masuk. Apa yang didengar memang sungguh mengejutkan, bagai geledek di siang bolong saja. Dan ketika pemuda itu lenyap sementara Thai Liong termangu-mangu, Hwa Seng tersedu dan menangis di situ maka pemuda ini duduk lagi. Wajahnya gelap dan kesedihanpun tak dapat disembunyikan lagi.

"Baiklah, apa yang kau dengar. Ceritakan dan kudengar secara lengkap."

Shintala tergetar. Ia melihat wajah suaminya yang berubah-ubah ini, merah dan pucat berganti-ganti. Namun ketika suaminya itu duduk kembali dan pandai menguasai perasaan, tenang meskipun bergemuruh maka tiba-tiba ia merasa menyesal kenapa ia tadi bicara begitu meletup-letup.

"Maafkan aku " isaknya lirih. "Aku tak dapat mengendalikan perasaanku, Liong-ko, aku marah dan sakit sekali mendengar itu. Gadis itu keterlaluan!"

"Sudahlah, aku tak menyalahkanmu. Aku hanya sedih memikirkan adikku Beng An itu. Ceritakan dari mana kau tahu apakah dari Hwa Seng."

"Tidak, ia tak tahu apa-apa. Ia hanya membawa Beng An ke sini. Waktu itu An-te tidak waras, Liong-ko, maksudku terguncang jiwanya dan seperti gila. Baru setelah ayah mengajaknya ke makam ibu maka An-te sadar. Tapi kemudian ia tak mau diganggu dan selanjutnya duduk diam seperti pertapa."

"Hm, lalu?"

"Ayah yang mengorek keterangan darinya, dan Beng An menceritakannya sendiri"

Thai Liong menarik napas dalam. "Dan kau sendiri," wanita itu terisak. "Kenapa tak segera pulang, Liong-ko, bukankah kau meninggalkan Lembah Es lebih dulu daripada Beng An."

"Aku ke Sam-liong-to, mencari tempat enak...."

"Maksudmu?"

"Kita harus meninggalkan tempat ini, Shintala, semua berkumpul saja di sana."

Wanita ini mengerutkan kening. Sebagai isteri yang telah lama mendampingi suami maka Shintala menangkap sesuatu yang disembunyikan di balik kata-kata suaminya itu. Dia menangkap sesuatu yang ganjil. Maka berkerut teringat ayahnya dia menggeleng. "Agaknya tak mungkin, bagaimana dengan gak-hu!"

"Akan kuajak sekalian."

"Ah, di sini ada makam ibu, Liong-ko, mana gak-hu mau. Kukira tak mungkin!"

"Soal itu dapat dibicarakan nanti. Kalau perlu makam ibu dipindah saja."

"Liong-ko!"

Rajawali Merah menggeleng. Seruan Itu tak disambut lagi dan pemuda ini minta agar pembicaraan dialihkan lagi masalah Beng An. Shintala tentu saja terkejut dan terheran-heran olen sikap suaminya ini, tak biasanya bersikap begitu ganjil, ingin memindah pula sebuah makam ke Sam-liong-to! Tapi merasa tak ada baiknya, mendesak di situ, ada Hwa Seng dan ibunya Cao Cun akhirnya wanita ini menindas penasarannya yang tiba-tiba menjadi curiga. Firasatnya menangkap sesuatu yang tidak enak. Perasaan wanitanya terganggu semacam khawatir atau cemburu!

"Baiklah, apalagi tentang Beng An?"

"Maksudku apa lagi yang diceritakannya tentang Puteri Es itu."

"Tak ada," wanita ini bersinar-sinar. "Cerita yang kuketahui hanya itu, Liong-ko. Dan masalah ayah agaknya ibu Cao Cun lebih tahu."

"Ayahmu ke Lembah Es," wanita itu lesu. "Sebenarnya mencoba menunggu kedatangan kalian selama tiga hari ini, Thai Liong, tapi baru sekarang kalian muncul."

"Kami memang tidak terus pulang, tapi coba ibu ceritakan apa yang dikerjakan ayah. Kenapa ke sana?"

Cao Cun lalu mengusap air matanya. Pukulan tentang Beng An masih bergema, tinggal isak-isak kecil yang coba ditekannya. Tapi ketika ia dapat menenangkan diri dan menceritakan sang ayah akhirnva Thai Liong tertegun karena ayahnya itu pergi untuk menyelidiki permintaan Puteri Es ini. "Ayahmu curiga ada sesuatu yang tidak beres, mungkin ada orang ketiga. Dan karena ia tak mau adikmu menderita maka dicobanya untuk mengetahui itu dengan menyelidiki ke sana."

Thai Liong menarik napas dalam-dalam. Teringatlah ia ketika meninggalkan Lembah Es membiarkan adiknya sendirian menemui gadis itu, betapa Puteri Es tak mau menerimanya dan mengusir mereka semua. Ia selanjutnya memang pergi bersama adiknya Soat Eng dan Siang Le, ke Sam-liong-to. Bukan apa-apa melainkan rnencari sebuah tempat untuk tempat tinggalnya nanti, sesuai pesan Bu-beng Sian-su bahwa sebaiknya dia dan keluarga tinggal di Sam-liong-to saja.

Ada tiga pulau di Sam-liong-to yang dapat dipilihnya nanti, satu di antaranya sudah dipakai Soat Eng dan suaminya ini dan dimintanya mereka memilihkan pula, mana di antara sisa pulau yang tepat untuk keluarganya nanti. Dan karena Soat Eng maupun Siang Le mengetahui kejadian Lembah Es tentang Yo-siocia itu, tentang sakit hati gadis itu yang tak ingin diketahui isterinya maka gara-gara perjalanan inilah Rajawali Merah ini terlambat ke utara. Thai Liong telah menganggap urusannya selesai dan We We Moli tak berkutik lagi. Sesepuh Lembah Es itulah yang menjadi batu pengganjal.

Maka tak mengira Beng An memutus cintanya dengan Puteri Es, hal yang tentu saja membuat ia terkejut maka yang lebih mengejutkan lagi adalah permintaan puteri itu bahwa dirinya harus menjadi "tumbal" bagi berlangsungnya perjodohan itu. Rajawali Merah ini tersenyum pahit. la tahu beratnya cinta karena iapun pernah mengalami. Cinta sungguh dahsyat menggempur orang-orang muda. Mereka dapat di jungkir balik oleh cinta. Dan ketika ia melihat betapa adiknya gagal, Segera ia maklum mengapa adiknya seperti gila maka diam-diam pemuda ini sudah menetapkan sesuatu demi kebahagiaan adiknya. la juga akan ke Lembah Es, memberikan ibu jarinya dan kaiau perlu nyawanya!

Hari itu tiada kembiraan di tempat ini. Hwa Seng, yang merasa majikannya bersikap keterlaluan lalu menghindar. Gadis ini tak enak mendengar pembicaraan itu. la merasa ikut bersalah. Dan ketika gadis ini menyingkir dan diam-diam menjaga Beng An, duduk dan termenung tidak jauh dari pemuda yang masih seperti arca itu maka malam harinya dua pemuda berhadepan di luar , bernaung bintang dan bulan yang berkedip sedih.

"Sekarang katakan apa yng hendak kau kerjakan setelah mendengar semuanya ini?"

"Bagaimana menurut pendapatmu dan apa yang harus kulakukan, Siang Le. Dapatkah saranmu menyelesaikan urusan ini?”

"Kupikir menunggu gak-hu pulang. Aku tak berani sembrono melangkah sendiri-sendiri, Thai Liong, siapa tahu malah semakin kacau. Pendapatku adalah tunggu gak-hu pulang, lalu kita tetapkan lagi apa yang harus dikerjakan."

"Kau tak ada saran lain?"

"Ada, kita berdua ke Lembah Es, atau kau sendiri."

"Bagus, tepat. Aku memang ingin kesana lagi!"

"Tapi harus menunggu gak-hu, Thai Liong, jangan sekali-kali sendiri. Aku sudah mempunyai rencana untuk menyelesaikan urusan ini."

"Katakan apa rencanamu!"

"Aku tak dapat memberitahukannya sekarang, nanti saja setelah gak-hu membawa kabar."

Thai Liong bersinar-sinar. Wajah si buntung yang agung tampak memancar di timpa cahaya bulan. Entahlah kenapa Thai Liong kagum memandang iparnya ini, mata itu bersorot lembut, tatapannyapun tenang. Dan ketika ia menghela napas melihat sorot agung ini, iparnya begitu lembut dan bersahaja maka ia menggenggam tangan buntung itu memuji gemetar. "Siang Le, kau satu-satunya orang yang dapat kuharapkan. Aku ingin meninggalkan sesuatu kepadamu di kelak kemudian hari!"

"Hm meninggalkan apa? Aku tak merasa butuh apa-apa lagi, Thai Liong, aku merasa cukup."

"Justeru aku yang ingin memberikan sesuatu kepadamu."

Pemuda itu tertawa. "Tidak, aku serius. Aku ingin meninggalkan sesuatu kalau nanti diLembah Es terjadi!"

Si Buntung terkejut, menatap tajam. "Kau mau menyerahkan dirimu? Kau anggap kematianmu membawa bahagia bagi Beng An dan orang lain? Hm, jangan bodoh. Kalau kau melakukan itu maka banyak dampak yang kau tinggalkan, Thai Liong. Pertama adalah dendam isterimu kepada Puteri Es. Kalau gadis itu menjadi isteri Beng An sementara isterimu menaruh sakit hati maka tak mungkin Beng An bahagia. Pengorbananmu bakal sia-sia."

"Kau tahu?" Thai Liong terkejut.

"Sinar matamu yang memberi tahu. Tidak, tak boleh itu. Dampak lain adalah isteriku akan marah kepada gadis itu, bisa terjadi dendam-mendendam, tak bakal ada habisnya!"

Thai Liong tertegun. Tak ia sangka demikian cerdas si buntung in membaca jalan pikirannya. Tapi tertawa menutupi getir ia bertanya, "Baiklah, kalau begitu bagaimana menurutmu? Apakah aku harus tinggal diam dan membiarkan Beng An patah hati? Aku merasa dirikulah sumber penyebabnya, Siang Le, kalau aku tak mengalahkan We We Moli dan nenek itu tak dihukum moyangnya tak akan terjadi semuanya ini. Aku ingin menebus kesalahanku!"

"Dan membiarkan orang lain ganti menderita."

"Maksudmu?"

"Apakah anak isterimu tak akan kehilangan? Tidakkah kau memikirkan mereka? Bodoh amat, kali ini pikiranmu bu-tek (keruh), Thai Liong. Tak biasanya Rajawali Merah seperti ini. Kau tenggelam dalam perasaanmu sendiri!"

Wajah pemuda ini memerah. Thai Liong tersentak dan sadar. Tak disangkanya demikian banyak dampak yang diakibatkan. Pertama adalah isterinya itu, lalu Soat Eng dan anaknya Bun Tiong. Bagaimana kalau anaknya kehilangan ayah. Ibunya tentu menanamkan dendam dan seumur hidup, Beng An bakal celaka. Bukan kebahagiaan yang didapat melainkan persoalan baru, penderitaan baru, bakal berkepanjangan. Dan ketika ia menghela napas merasa bingung akhirnya ia melepaskan genggamannya itu.

"Baiklah, kau rupanya lebih jernih. Bagaimana menurut pendapatmu, Siang Le, aku mohon petunjuk."

"Ah, kau lucu. Tak ada petunjuk dariku, Thai Liong, kita sama-sama dewasa dan aku bukan kakek-kakek. Jangan bicara begitu, aku geli!"

"Hm-hm, baiklah. Bagaimana aku harus bicara. Betapapun kau harus menyatakan pendapatmu!"

"Itu tadi, tunggu saja ayahmu datang. Kalau gak-hu tiba dan memberi masukan barulah kita bergerak, Thai Liong, aku sendiri sudah punya rencana tapi nanti saja kuberi tahu. Kita bersabar menunggu ayahmu pulang."

"Jadi tak berbuat apa-apa?"

"Bukan, penantian ini sendiri adalah pekerjaan. Harap kau sabar dan jangan terburu-buru."

Thai Liong menarik napas lagi. Berhadapan dan bicara dengan si buntung ini terasa enak dan tepat, tidak salah kalau ia memilih teman. Dan karena pikirannya memang kalut sejak Beng An seperti itu, sendiri dan putus cintanya akhirnya malam itu Thai Liong bersabar. Siang Le memang benar dan itulah pekerjaan paling tepat. Kedatangan ayahnya adalah kunci gerakan berikut. Dan ketika dua pemuda ini bicara dan bercakap-cakap lagi, mengisi waktu kosong maka di kamarnya, di tempat lain Soat Eng berhadapan dengan ibunya yang lembut, Cao Cun.

"Kau sudah datang, sesuatu harus kuberikan padamu. Inilah surat yang diberikan ayahmu, Soat Eng, dari mendiang ibumu dulu. Bukalah dan baca itu."

Soat Eng terkejut, menerima surat lusuh yang sudah kekuningan itu. "Dari ayah?"

"Benar, sebelum ia ke Lembah Es. Bukalah dan bacalah."

Wanita muda ini menggigil. Matanya tertumbuk kepada tulisan mendiang ibunya itu, tulisan tangan yang indah rapi. Dan ketika dengan heran namun gemetar ia membuka itu, perlahan-lahan mengeluarkannya maka dibacalah surat itu dan wajah yang pucat kemerah-merahan ini akhirnya menjerit kecil, mengguguk dan akhirnya menubruk Cao Cun.

"Ibu minta maaf, ia bersalah kepada Le-ko!"

Cao Cun tertegun. la sendiri tak tahu isi surat itu namun melihat Soat Eng menubruk dan tersedu mendekapnya maka wanita ini lega karena tak ada tanda-tanda kemarahan di situ. Soat Eng justeru terpukul dan haru. Dan ketika ia meramkan mata ikut menangis, wanita adalah mahluk yang halus perasaannya maka Cao Cunpun terisak dan tersedu-sedu.

"Apa yang dikatakan ibumu, ada apa dengan Siang Le?"

"Ia sadar dan minta maaf, ibu. la merasa bersalah. Tapi betapapun mengharap agar aku mempunyai anak laki-laki."

"Kau sudah mempunyainya. Kau telah mendapatkan Hok Gi, Soat Eng, ibumu tentu tahu. Syukurlah kalau ia berbaik lagi"

"Tapi ibu sudah tiada, apa artinya itu bagiku."

"Sudahlah, yang lewat tak perlu disesali, Soat Eng. Betapapun yang ada adalah karunia. Marilah terima semuanya ini dengan girang dan penuh syukur. Lihatlah keadaanku sendiri, aku kehilangan anak dan buah hatiku."

Soat Eng memeluk dan menciumi ibunya ini. Baginya wanita separuh baya ini seperti ibu kandungnya pula, Cao Cun tiada ubahnya ibunya sendiri. Maka ketika ia terkejut dan sadar menutup bibir yang berdesah itu, mulut yang gemetar maka Soat Eng bangkit menghapus air matanya. "Aku dan Siang Le tiada ubahnya anak-anakmu sendiri. Bun Tiong dan Siang Hwa serta Siang Lan seperti cucu-cucumu sendiri, ibu. Kau tak usah merasa kehilangan karena kami penggantinya. Sudahlah aku tahu diri dan tak usah kau bersedih. Aku memang harus bersyukur."

Malam itu dua wanita ini bersama. Soat Eng memberikan surat itu dan Cao Cun membaca. Ternyata permintaan maaf dan sesal pribadi. Sebenarnya ditujukan kepada Siang Le namun mendiang Kim-hujin menyerahkannya kepada puterinya ini. Dan karena surat itu mengundang keharuan dan kasih yang besar, Cao Cun menitikkan air mata akhirnya keduanya berpelukan dan malam itu dilewatkan dengan bercakap-cakap dan Soat Eng menanyakan berapa lama ayahnya pulang.

"Katanya tiga empat hari saja, bersabarlah. Bukankah kau tak tergesa-gesa pulang ke Sam-liong-to."

"Hm, aku pribadi tidak, ibu, tapi Liong-ko, ah... ia ingin secepatnya berada di sana!"

"Benar, kudengar kata-katanya tadi. Dan aneh bahwa ia bermaksud membawa makam ibumu ke Sam-liong-to. Ada apakah yang membuatnya begitu, Soat Eng? Apakah ia tak senang di sini?"

"Liong-ko ingin mendapat suasana baru, maksudnya agar Bun Tiong selalu berdekatan dengan Siang Hwa dan Siang Lan." Soat Eng berbohong.

"Kalau begitu terserah, tapi bagaimana ayahmu. Mungkinkah dia mau?"

"Nanti dapat dibicarakan, tapi mungkin sukar dibujuk. Ayah melindungi dan mengawasi suku bangsanya di sini, ibu, maukah dia meninggalkan bangsa Tar-tar."

"Itulah, tapi terserah ayahmu. Kalau ia mau tentu tak sukar, tapi kalau ia menolak tentu kita harus memaklumi bahwa ia mempunyai tanggung jawab di sini."

Sout Eng mengangguk. Memang ayahnya adalah pelindung dan penasihat bangsa Tar-tar. Meskipun tidak memimpin secara langsung karena usia lanjut akan tetapi ayahnya itu dihormat dan diminta melindungi bangsa ini. Tar-tar adalah bangsa yang besar, dulu ditakuti bangsa Han karena merupakan ancaman dari depan. Hanya berkat pendekar ini bangsa Tar-tar menahan diri. Mereka dikendalikan dan akhirnya bersahabat dengan kaisar di kota raja.

Dan ketika malam itu dua wanita ini bercakap-cakap membuang waktu, di tempat lain Thai Liong dan Siang Le juga melakukan hal yang sama akhirnya empat hari kemudian datanglah Pendekar Rambut Emas dari Lembah Es. Akan tetapi wajah pendekar ini murung! Wajah yang kuyu dan pakaian yang kusut menunjukkan keletihan pendekar gagah ini. Pertama yang mengetahui adalah Thai Liong. Pemuda itulah yang mendengar dan melihat berkelebatnya bayangan. Dan ketika ayah dan anak berhadapan dengan wajah gembira sekilas, Thal Liong berseru menyambut ayahnya itu maka berturut-turut Soat Eng dan yang lain berkelebat.

"Ayah..!"

"Gak-hu!"

Siang Le dan Shintala saling mendahului namun wajah pendekar itu gelap. Justeru adanya Thai Liong membuat Kim-mou-eng berdesah. Dan ketika berturut-turut ia menyambut anak menantunya, mengangguk dan melepaskan diri akhirnya munculah cucu-cucunya itu, Bun Tiong dan Siang Hwa serta Siang Lan.

"Kong-kong...!"

"Kakek datang!"

Mereka girang melihat orang tua ini. Pendekar Rambut Emas lagi-lagi menyambut. Saat itu muncul pula Cao Cun, berseri dan memandangnya namun wajah muram Pendekar Rambut Emas membuat wanita ini berdetak. Ia berdebar. Lalu ketika semua masuk dan anak-anak dipersilahkan keluar maka Thai Liong bertanya bagaimana hasil perjalanan ayahnya ini.

"Kami sudah mendengar semua di sini, sekarang bagaimana hasil kunjungan ayah di Lembah Es."

Pendekar Rambut Emas tertegun, dan Cao Cun terisak memberi tahu. "Anak-anak minta keterangan tentang dirimu, aku tak dapat menyembunyikan lagi. Maafkan kalau aku lancang."

"Hm, aku gagal," pendekar itu langsung berkata, tak perlu lagi menyembunyikan persoalan. "Karena kalian sudah tahu dan inilah jawabannya maka gadis itu tak menarik syaratnya dan rupanya Beng An harus memutuskan hubungannya. Jodoh bukan sahabat akrab mereka."

Semua tertegun, kecuali Shintala. Tak ada yang bertanya karena keterangan singkat itu cukup. Bagi Thai Liong merupakan pukulan sendiri, diam-diam pemuda ini mengeluh. Lalu ketika ayahnya bertanya kenapa ia lama kembali, dijawab karena ke Sam-liong-to maka Shintala tiba-tiba berseru bahwa Thai Liong hendak membawanya pergi, termasuk memindah makam ibunya itu.

"Liong-ko tak ingin tinggal lagi di sini, ia hendak menempati satu di antara dua pulau yang tersisa. Dan kau dimintanya pindah pula, gakhu, bergabung di sana semua. Makam ibu ikut pula dipindahkan!"

Pendekar Rambut Emas terkejut. la memandang puteranya akan tetapi Thai Liong menarik napas dalam, menunduk dan mengangguk berat. Dan ketika pendekar itu hendak bertanya sebabnya mendadak tiga anak itu datang berlari-lari.

"Kong-kong, paman Beng An tak ada!"

"Ayah, enci Hwa Seng juga tiada!" Berkelebatlah Rajawali Merah itu mendahului. Seruan anak-anak ini mengejutkan semua orang dan bergeraklah Pendekar Rambut Emas dan yang lain-lain. Thai Liong paling dulu di depan. Dan ketika pendekar itu baru teringat akan Hwa Seng, yang memang belum dilihatnya maka di makam, di tempat di mana Beng An biasanya duduk bersila ternyata sudah kosong dan pemuda itu tak ada di tempat, juga Hwa Seng yang biasanya duduk menjaga!

"Astaga, adik Beng An benar-benar telah pergi!"

Thai Liong tak berhenti di sini karena secepat itu ia berputar dan berkelebat keluar lembah. Cepat sekali ia mencari dan ayahnya serta yang lain-lain juga berkelebatan. Mereka telah menemukan tempat itu kosong, Soat Eng bahkan menjerit memanggil-manggil adiknya. Namun ketika seluruh tempat itu tak menunjukkan tanda-tanda sang adik, Shintala juga melengking-lengking memanggil nama Beng An maka pemuda itu tak ditemukan lagi dan Pendekar Rambut Emas berdebar jantungnya, pucat.

"Beng An, di mana kau!"

Gagal. Semua orang berteriak-teriak memanggil nama ini namun Beng An benar-benar lenyap. Siang Hwa menangis dan memanggil-manggil pula pamannya itu. Namun ketika pemuda itu benar-benar tak ditemukan dan maklumlah mereka bahwa tak mungkin pemuda itu kembali, semuanya rupanya disengaja akhirnya Pendekar Rambut Emas mengajak pulang. Di sini mereka gemetar.

Thai Liong pucat sementara yang lainpun menggigil. Cao Cun bahkan tersedu-sedu, hanya Siang Le yang tampak tenang dan sedikit berubah saja. Selebihnya sikapnya biasa, tidak begitu panik. Dan ketika diambil sidang darurat apa yang harus dilakukan, semua memandang Pendekar Rambut Emas maka pendekar ini memandang anak dan menantunya, gelisah.

"Jangan-jangan ia ke Lembah Es, apa yang bakal terjadi. Kita semua harus mencari, Thai Liong. Bagaimana pendapatmu atau pendapat yang lain!"

"Mungkin saja An-te ke Lembah Es, tapi mungkin juga tidak. Kupikir ia tidak ke sana ayah, untuk apa karena ia memiliki kekerasan hati yang luar biasa. Sekali putus tetap putus, kecuali gadis itu merobah permintaannya dan mau menemui An-te."

"Benar, kupikir tak mungkin. Ke sana hanya akan merobek-robek hatinya saja ayah. Beng An tak mungkin ke sana. Mungkin ia mencari tempat lain untuk bertapa, di sini terlalu ramai!"

"Barangkali juga, tapi seharusnya ia memberi tahu kita. Ah, anak itu bikin pusing dan repot saja. Kalau sudah begini maka semua bingung!"

"lni gara-gara aku. Kalau aku tak mencampuri urusannya dengan Puteri Es mungkin semuanya ini tak akan terjadi, ayah, aku menyesal dan berdosa sekali. Aku menyusahkan adikku sendiri!"

"Tidak begitu. Kita semua adalah kakak-kakak Beng An, Thai Liong. Kalau adik kita menerima kesulitan apakah kita harus diam saja. Tidak, hal itu wajar. Kau tak boleh merasa bersalah apalagi dosa. Akupun akan melakukan seperti yang kau lakukan apabila aku dirimu!"

"Hm, Siang Le benar. Ini bukan gara-garamu, Thai Liong, kalau diusut justeru nenek sombong We We Moli itu. Kalau ia tidak macam-macam dan menghukum anak muridnya sendiri tak akan terjadi semuanya ini. Sudahlah kita cari dia dan masing-masing ke delapan penjuru. Kita berpencar!"

"Atau biar yang perempuan di sini, menjaga anak-anak. Tak baik mereka sering berpisah dengan ibunya."

"Enci Shintala di sini, aku ikut. Aku tak mau diam, Le-ko, aku juga ingin tahu di mana Beng An!"

Siang Le mengerutkan kening. Lagi-lagi isterinya tak mau diam namun gak-hu nya ternyata setuju. Pendekar yang baru datang ini dipaksa untuk angkat kaki lagi, Thai Liong mencegah namun ayahnya menolak. Pendekar Rambut Emas ikut mencari. Dan ketika diputuskan bahwa masing-masing keempat penjuru, seminggu harus kembali dan berkumpul melapor maka bergeraklah empat orang ini sesuai keputusan.

Pendekar Rambut Emas ke timur sedangkan Soat Eng ke barat. Siang Le ke selatan sedangkan Thai Long ke utara. Diam-diam si buntung ini memberi isyarat kepada Rajawali Merah itu. Dan ketika semua sudah bergerak dan meninggalkan tempat itu, Siang Le berkelebat keluar lembah maka Thai Liong terbelalak ketika si buntung menyuruhnya mengikuti dan berhenti di luar hutan, jauh dari tempat mereka.

"Nah, janjiku hendak kupenuhi. Harap kau ke Lembah Es, Thai Liong, berikan ini kepada Puteri dan ceritakan bahwa Beng An menderita. Kalau ia tak tergetar aku pribadi hendak ke sana. Terimalah!"

Thai Liong terkejut bukan main. Sebuah pisau berkelebat tiba-tiba jari tangan kanan si buntung ini putus. Darah memuncrat ketika si buntung menahan sakit, pisau lenyap lagi dan sebagai gantinya di-pungutlah ibu jari itu, jari yang masih segar dengan darah yang segar pula! Lalu ketika Si buntung itu menyerahkannya sambil menutup luka, Thai Liong terbelalak dan tiba-tiba melengking maka ditubruknya si buntung ini dengan wajah pucat pasi, suara parau menggetarkan hutan.

"Siang Le.... kau gila....!"