Putri Es Jilid 27 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

WE WE MOLI menoleh. Kaget oleh hadirnya dedengkot Pulau Api ia agaknya masih tertutup oleh marahnya terhadap Thai Liong. Segera ia sadar bahwa lawannya itu masih selamat. Maka membalik dan memandang gunung di belakang istana tiba-tiba wanita itu berkelebat menghantam Thai Liong.

"Anak muda, kau jangan lari!"

Akan tetapi Thai Liong menghilang lagi. Tak kalah kaget oleh hadirnya dedengkot Pulau Api pemuda ini lebih kaget melihat Soat Eng dan Siang Le di tangan Hantu Hitam dan Putih itu. Thai Liong benar-benar tak menyangka datangnya dua iblis ini. Maka ketika ia menghindari serangan lawannya dan menyambar dua iblis tua itu pemuda inipun membentak mereka.

"Kakek-kakek iblis, serahkan adik-adikku!"

Akan tetapi dua kakek itu terkekeh berkelebat lenyap. Sama seperti Thai Liong mereka pun tak mau menerima serangan ini, apalagi bukan maksud mereka menghadapi Thai Liong. Maka ketika keduanya melesat ke kiri kanan menghilang di gunung yang lain maka pukulan Thai Liong pun menghantam tempat itu.

"Des-dess!"

Puncak gunung hancur. Batu berguguran akan tetapi We We Moli tahu-tahu berkelebat di belakang pemuda ini, mengejar. Dan karena tak mungkin Thai Liong menghindar maka ia pun menerima dan terpaksa menghadapi wanita itu.

"Bocah, jangan lari kataku!"

Thai Liong terpental. Ia kalah kuat menerima lawan dan berjungkir menjauhkan diri. Dan karena bukan maksudnya bertanding mati hidup maka iapun berkelebat lagi dan menghilang, mengejar dua kakek iblis itu. "Locianpwe, tunda dulu kemarahanmu. Aku akan menghajar sepasang kakek keparat itu!"

"Tidak bisa, kau dan mereka sama-sama mati, anak muda. Terima pukulanku dan jangan menghindar!"

Thai Liong kewalahan. Terpaksa iapun mempergunakan Beng-tau-sin-jinnya lagi menyelamatkan diri, nenek itu kehilangan jejaknya. Tapi ketika ia melihat Hantu Hitam dan Putih di gunung yang berbeda, tertawa-tawa maka ia menyambar satu di antaranya untuk merampas adiknya Soat Eng. Akan tetapi kakek inipun terkekeh dan meloncat pergi. Sebelum Thai Liong datang menyambar baik Hantu Hitam maupun Putih mengelak dan melarikan diri. Mereka berpindah-pindah dari gunung yang satu ke gunung yang lain. Dan karena We We Moli masih mengejar Thai Liong akhirnya kemarahan pemuda inipun tak dapat dibendung, apalagi ketika Soat Eng dan Siang Le sama-sama berteriak ditekuk punggungnya, siap dipatahkan!

"Aduh, jahanam kau, kakek siluman.... jahanam kau!"

Merahlah mata pemuda ini. We We Moli terus mengejar dirinya dan kadang-kadang juga menghantam dua kakek iblis itu. Thai Liong menghindar dan mengelak sana-sini namun tetap ditekan. Rupanya nenek itupun juga bertekad bahwa pemuda ini harus mati, atau seumur hidup ia tak bakal melampiaskan penasarannya. Maka ketika Thai Liong membentak dan pemuda itu menggedruk bumi, kedua tangannya digosok-gosok sementara mantel jubahnya menggembung seolah tertiup maka Thai Liong tiba-tiba menjadi raksasa setinggi tiga meter oleh gelembung hawa sakti Sin-tiauw-kang, hal yang pernah terjadi di Pulau Api.

"We We Moli, kau nenek tak tahu diri. Baiklah lihat siapa yang roboh dan jangan menyesal!"

Nenek itu terkejut. Ia sedang menyambar dan menyerang untuk kesekian kalinya ketika tiba-tiba pemuda itu berhenti. Gedrukan yang dilakukan Thai Liong membuatnya berseru tertahan, kakinya, terpeleset. Tapi karena ia bukan wanita sembarangan dan masih dapat meluncur menusuk pemuda itu maka sepuluh jarinya yang penuh terisi Bu-kek-kang bertemu sepasang telapak Thai Liong yang tiba-tiba sebesar kepala orang dewasa. Telapak raksasa.

"Duk-plak!"

Nenek ini menjerit. Ia merasa tenaga tolak yang amat besar dari telapak yang besar pula. Empat dari kuku jarinya tertekuk. Dan ketika ia terkejut tapi Thai Liong tak berhenti di situ saja, membentak dan menangkap kedua tangannya maka nenek itupun berteriak karena tahu-tahu tubuhnya diangkat dan dilempar begitu tinggi. "Wuutttt...!" We We Moli melengking dan histeris. la terlempar ke angkasa dan lenyap menembus awan-awan yang putih berarak, begitu tinggi dan tak kelihatan hingga murid-murid Lembah Es menjerit.

Mereka terpekik ketika Thai Liong menjadi raksasa setinggi tiga meter. Gelembung sakti dari Sin-tiauw-kang meniupnya seperti balon, bengkak dan menciptanya menjadl manusia tinggi besar hingga sekali tangkap We We Moli dilontar dan dilenyapkan ke angkasa biru. Kejadian itu membuat para murid ngeri dan tentu saja kaget, semua pucat karena baru kali ini seorang pemuda merubah dirinya menjadi sebesar itu, seorang raksasa. Dan ketika kesaktian ini membuat semua orang mencelos, Thai Liong menggeram dan membalik ke belakang gunung maka tahu-tahu langkahnya yang panjang telah menemukan Hantu Putih menerkam Siang Le.

"Lepaskan adikku...!"

Kakek itu terkejut. Ia sedang terkesima ketika We We Moli, dedengkot Lembah Es dilemper begitu tinggi oleh Thai Liong, lenyap dan menembus langit tak tampak jatuh. Agaknya demikian kuat lontaran itu hingga wanita Lembah Es itu tak pernah turun. We We Moli sudah memasuki angkasa luar. Maka ketika tiba-tiba pemuda itu disampingnya dan sudah membentak, suaranya menggetarkan gunung maka kakek ini menggigil namun menjejakkan kaki kuat-kuat melesat dan menghindar. Siang Le bahkan dicangkeramnya erat-erat. Akan tetapi Thai Liong memiliki langkah-langkah raksasa, juga sudah menduga dan mencegat kelicikan kakek itu, maka ketika ia tiba-tiba berteriak lengan panjang Thai Liong terulur maju menangkap leher bajunya tiba-tiba kakek inipun terlontar dan menjerit ngeri.

"Aaaaaahhhhh...!"

Thai Liong sudah merampas dan mendapatkan kembali adik iparnya itu. Siang Le rupanya pingsan dan tak tahu kejadian ini, dikempit dan Thai Liong sudah mencari kakek satunya si Hantu Hitam. Kakek itu terbelalak di gunung yang lain membawa Soat Eng, melihat betapa kakaknya dilempar dan menjerit ngeri. Maka ketika ia pun menjadi pucat dan gentar oleh kesaktian Thai Liong. Soat Eng juga terbelalak melihat kehebatan kakaknya itu maka pemuda itupun meloncat dan mendekati gunung di mana kakek itu bersembunyi. Langkahnya yang lebar benar-benar memudahkannya menemukan Hantu Hitam.

"Serahkan adikku!" Kakek ini ngeri. la melempar tubuh bergulingan ketika lengan Thai Liong terulur mencengkeram, lengan itu begitu panjang hingga membuat orang ngeri. Tapi ketika ia luput dan Thai Liong mengejar lagi, kakek ini membentak maka Hantu Hitam menangkis mempergunakan Giam-lui-ciangnya.

"Plak!" Kakek itu malah terbanting. Telapak Thai Liong yang sebesar kepalanya terus meluncur maju, kakek itu kalah kuat. Lalu ketika Thai Liong sudah menangkapnya dan kakek ini menjerit maka Thai Liong pun sudah mengangkat dan melempar kakek itu.

"Pergilah...!" Pemuda ini sudah merampas adik perempuannya. Hantu Hitam melesat ke angkasa berteriak ngeri, lenyap dan Soat Eng terbelalak melihat kemarahan kakaknya ini. Tak terasa iapun gentar dan menangis. Tapi ketika Thai Liong rnenurunkannya menyuruhnya melindungi Siang Le tiba-tiba dari angkasa meluncur turun bayangan We We Moli menghantam Thai Liong.

"Desss!" Thai Liong bergoyang dan terkejut. Pemuda yang sudah menjadi raksasa ini membalik dan menggeram. Nenek itu kiranya muncul lagi setelah terlempar demikian tinggi, jatuh dan langsung melepaskan pukulan ke tengkuk pemuda itu. Namun karena Thai Liong sudah dilindungi gelembung hawa sakti Sin-tiauw-kang dan pemuda itupun kian menggelembung tinggi, pukulan ini malah membuatnya semakin besar maka wanita itu terbelalak karena Bu-kek-kangnya membuat pemuda itu semakin gagah, garang!

We We Moli melengking dan semakin penasaran. la sudah turun lagi di bumi mempergunakan langkah-langkah Jit-cap-ji-poh-kun, tubuhnya berkelebatan mengelilingi Thai Liong dan pukulan-pukulannya pun semakin dahsyat. Akan tetapi ketika setiap bak-bik-buk membuat tubuh pemuda itu menggembung dan membengkak, Thai Liong semakin tinggi besar saja maka nenek ini ngeri dan pucat. Thai Liong mendengus dan mengayun sebelah tangannya menyambar nenek itu.

"Kau boleh memukulku sekuatnya, tapi semua itu tak ada gunanya. Heh, kau tokoh tua yang tak tahu diri. We We Moli. Kau wanita kepala batu yang amat sombong. Terimalah dan kuhancurkan kesombonganmu."

Wanita ini terpekik. Lengan Thai Liong tak dapat dielaknya dan iapun menangkis. Tapi begitu terpental dan tangan pemuda itu tetap menyambar ke depan, tengkuknya tahu-tahu ditangkap maka untuk kedua kalinya wanita ini dibuang dan dilempar kuat-kuat. "Aiiiiiithhhhithhhhh....!"

Akan tetapi saat itu turunlah si Hantu Putih. Kakek ini, seperti We We Moli akhirnya jatuh juga setelah melayang-layang demikian tinggi. telah melewati lapisan mega yang paling dingin kembali dan akhirnya jatuh ke bumi setelah diguncang kengerian yang sangat. Maka ketika jatuh kembali dan tepat berada di belakang Thai Liong yang saat itu melempar We We Moli maka Glam-lui-Ciang menghantam pemuda ini didorong kemarahan kakek ini.

"Plakk!" Thai Liong terhuyung dan hampir tersungkur. Demikian kuatnya pukulan itu dilakukan lawan, Hantu Putih girang melihat keberhasilannya. Tapi ketika pukulan itupun membuat Thai Liong menggelembung, inilah keanehan tenaga Rajawali Sakti maka kakek Itu terbelalak ketika Thai Liong tiba-tiba membalik melotot.

"Kaupun masih suka kecurangan? Bagus, terimalah balasanku, kakek iblis. Tangkis dan terimalah dan lihat aku melemparmu ke tempat We We Moli!"

Kakek ini berteriak. la buru-buru menyelinap dan berkelebat menyembunyikan diri begitu Thai Liong membalik dan mengulurkan lengan. langan panjang itu menyambar wajahnya tak berani ia menangkis. Tapi ketika tangan yang lain bergerak dan mencegat dirinya maka tahu-tahu iapun tertangkap dan digenggam Thai Liong. "Tobatt...!"

Thai Liong gemas melempar kakek ini. la meremas dan membuat si kakek menjerit, jari-jarinya yang besar menjepit perut lawan, Hatu Putih bagai hancur ususnya. Tapi ketika ia melempar dan Hantu Hitam jatuh ke bumi, menghantam menolong kakaknya maka Thai Liong lagi - lagi kena pukul dan tergetar serta terhuyung. Hantu Putih kemball melesat ke langit biru.

"Hm-hm, tak tahu diri. Minta kubunuh. Baiklah, aku terpaksa melanggar pantangan, kakek iblis. Kalian berdua hurus mati!"

Namun saat itu jatuhlah Wp We Moli berjungkir balik. Thai Liong yang menahan kemarahannya tak mau membunuh hanya melempar nenek itu tinggi ke udara. la sudah mengejar dan menangkap Hantu Hitam, jarinya memencet dan siap menghancurkan kakek ini. Tapi ketika We We Moli membentak dan meloncat menghantam kepalanya maka Bu-kek-kang membuat pemuda itu terhuyung dan merasa kesakitan.

Akibatnya Hantu Hitarn lepas lagi dan kakek itu berseru girang, bergulingan dan menyelamakan diri dan kakaknya jatuh ke bumi. Thai Liong juga tak mernbunuh kakek ini. Dan ketika ketiganya sudah bergerak dan menyambar-nyambar melepas pukulan, berkelebat mengelilingi dan ganti-berganti saling melindungi maka Thai Liong sudah dikeroyok dan tokoh-tokoh yang semula bermusuhan itu mendadak bersatu padu dan sama-sama ingin membunuh Thai Liong.

"Bagus, heh-heh. Bunuh pemuda ini, Mo-li. Gabung tenaga kita!"

"Dan lindungi yang lain kalau pemuda ini menangkap. Heii, hati-hati, suheng. Jangan terlalu dekat!"

Sambar-menyambarlah tiga dedengkot itu menyerang Thai Liong. Mereka sudah saling menjaga dan melindungi yang lain kalau Thai Liong menyambar dan hendak menangkap. Dua lengan menangkis pemuda itu dari kiri kanan. Dan ketika Thai Liong tergetar dan terhuyung maka ketiganya sudah mengeroyok dan mengelilingi bagai tawon-tawon berbisa yang bisanya tajam.

Marahlah Thai Liong. Tadinya dia hanya hendak menghajar dan merobohkan We We Moli, lalu dua kakek iblis dari Pulau Api ini. Namun ketika mereka mengeroyok dan We We Moli tak lagi bersikap gagah, musuhpun diajak bekerja sama maka pemuda ini mengeluarkan geraman dan menyambar sebongkah batu besar dari pinggang gunung, batu sebesar kerbau!

"We We Moli, kau tak tahu malu. Kau menghancurkan nilai dirimu sendiri. Aku tak akan mengampunimu seperti juga dua kakek iblis ini."

"Buummmm...!" batu itu dibanting Thai Liong menimpa Hantu Putih. Kakek itu berteriak dan melesat pergi, terbelalak melihat batu meledak dan hancur menimpa tempatnya tadi. Lalu ketika berturut-turut Thai Liong, mengangkat dan membanting batu-batu lain, berdebum dan menggetarkan tempat itu maka ngerilah tiga orang ini oleh kemarahan Thai Liong, apalagi ketika tubut pemuda itu menjadi kian tinggi dan besar seanak bukit.

"Ia memiliki To-san-kang (Ilmu Raksasa). Pukulan-pukulan kita malah mempercepa pertumbuhannya!"

"Benar, tapi sesungguhnya ia memiliki Sin-tiauw-kang. He, hati-hati, Mo-li. Ia melempar batu itu kepadamu... buumm...!"

Hampir saja We We Moli tertimpa batu seanak gajah, melesat dan mengelak ke kiri dan batu itupun hancur berkeping keping. Thai Liong begitu marah hingga siapapun menjadi ngeri. Kalau saja tiga orang itu tak memiliki langkah-langkah Jit-Cap-ji-poh-kun belum tentu mereka mampu menghindar, apalagi karena yang lain selalu menolong dan menyelamatkan temannya. Dan ketika Thai Liong dikelilingi semakin cepat, ganti-berganti tiga orang itu mengelak dan melepas serangan akhirnya pemuda ini mencabut sebatang pohon besar dan mengibaskannya ke arah mereka.

"Wherrrrr...!" Hantu Hitam berteriak terlempar. la disapu demikian hebatnya hingga tak mampu menghindar. Kakaknya juga berteriak karena terkibas ranting dan dahan-dahan, pandangan mereka tertutup sementara We We Moli sudah bertindak gesit menyelinap cepat. Nenek itu selamat. Lalu ketika dua kakek itu bergulingan dan Thai Liong membungkuk mendadak si kakek hitam tertangkap dan langsung diremas.

"Aduh!" Teriakan ini menggema penjang. Thai Liong begitu marah mengerahkan tenaganya, tubuh si kakek begitu kecil di telapak tangannya. Maka ketika Hantu Hitam mencoba bertahan dengan mengerahkan semua kekuatannya, jari-jari itu meremas, kuat akhirnya tak kuat juga kakek ini. dan terdengar suara berkeratak dan tulang kakek itupun patah-patah.

"Thai Liong...!"

Pemuda itu melempar kakek yang sudah tewas ini dengan muka merah. Ia telah membunuh Hantu Hitam dan memandang ke bawah. Siang Le, adiknya berteriak dengan muka ngeri. Si buntung itu rupanya sudah sadar dan melihat kedahsyatan Thai Liong, berlutut dan menggigil dan Thai Liong sadar. Hanya dalam keadaan lupa diri saja ia dapat membunuh orang. Maka ketika ia tertegun sementara Hantu Putih menjerit menyambar saudaranya, yang sudah menjadi Mayat.

Maka We We Moli menggigil berkemak-kemik memanggil nenek moyangnya Kim Kong Sengjin, karena hanya kakek itulah agaknya yang mampu mengatasi Thai Liong. Dan langit tiba-tiba menjadi gelap. We We Moli yang masih tak mau kalah akhirnya meminta bantuan dewa pujaannya yang amat sakti, cikal bakal pewaris Bu-kek-kang yang amat dahsyat. Dan ketika suara gemuruh terdengar di langit yang pekat, suasana berubah diikuti deru angin kencang maka Thai Liong juga terkejut karena tujuh gunung di tempat itu tiba-tiba seolah bergerak dan hendak menghimpitnya.

"Ha-ha-ha!" terdengar suara menggelegar di angkasa, bayang-bayang seorang kakek muncul di balik gulungan awan hitam. "Apa maksudmu mengerahkan Bi-kong-seng-sut, We We Moli. Ada apa kau merasa perlu memanggil aku?"

"Ampun...!" We We Moli berlutut, duduk menggigil. "Teecu... teecu dihina seorang pemuda, Sengjin. Bu-kek-kang tak berdaya menghadapinya. Ia memiliki kesaktian dan kesombongan luar biasa. Teecu mohon bantuan!"

"Hm, kau bersahabat dengan orang-orang Pulau Api. Tubuhmu bergelimang amis. Ah, kau melanggar pantangan paling besar, We We Moli. Tahukah kau hukuman apa untuk murid sepertimu ini. Anak muda itu nomor dua!"

"Teecu teecu tak bersahabat dengan orang-orang Pulau Api. Teecu tak meminta bantuan mereka!"

"Tapi kau membiarkan saja bekas Giam-lui-ciang tercium di tubuhmu. Aku tak dapat membantumu karena Bu-kek-kang tak murni lagi di tubuhmu. Ah, ia murid manusia dewa Bu-beng Sian-su, Mo li, dan lihat kakek itu muncul di belakang muridnya!"

We We Moli menoleh. Dengan kaget ia melihat seorang kakek lain membayang-bayangi Thai Liong, wajahnya tertutup halimun namun bibir itu tersenyum lembut, mengangguk dan mengusap Thai Liong dan pemuda itupun menyusut dan tiba-tiba mengecil lagi. Dengan cepat Thai Liong sudah berubah seperti manusia biasa lagi, terduduk dan membelalakkan mata melihat bayang-bayang Kim Kong Sengjin di sana. Lalu ketika ia tertegun berseru tertahan, kakek itu tertawa tiba-tiba Kim Kong Sengjin menepuk kepala nenek ini berkata menggelegar.

"Kau membuat malu aku. Tapamu gagal. Sebagai hukuman aku hendak melemparmu kepuncak Himalaya yang paling sunyi dan bersamadhilah sampai kau tewas. Masalah pemuda ini akan kucarikan tandingannya sebagai penggantimu...blarrr!"

Awan hitam di depan kakek itu meledak, hancur dan angin menderu dahsyat menyambar Lembah Es. Semua murid berteriak karena terangkat dan terbawa naik, Thai Liong juga disambar namun cepat berpegangan pada kaki gurunya. Entah bagaimana Bu-beng Sian-su tiba-tiba muncul di situ menandingi Kim Kong Sengjin, sama-sama berbentuk asap dan Kim Kong Sengjin mendorongkan sebelah lengannya kepada kakek itu. Namun ketika Bu-beng Sian-su juga mendorongkan sebelah lengannya dan terdengar ledakan kuat, awan hitam pecah maka anginpun lenyap dan badai sekilas yang menderu di tempat itu juga sirna bersamaan dengan lenyapnya Kim Kong Sengjin, juga We We Moli.

"Supek-bo...!" Jerit tangis pecah. Yo-siocia, gadis baju merah itu melengking ketika tubuh We We Moli terangkat dan terbawa terbang angin kencang tadi. Semua murid itu terangkat dan terbanting bergulingan, nenek itu yang terus terbawa terbang dan melesat ke angkasa. Dan ketika gadis ini sadar dan memanggil, supek-bo nya, mengejar maka Thai Liong tertegun ketika suara lembut berbisik di belakangnya.

"Sudah nasibmu. Ancaman bahaya akan datang dari gadis ini, Thai Liong. Ia akan lebih hebat dari We We Moli. Kim Kong Sengjin memilihnya kelak. Pulanglah dan bawa anak isterimu ke Sam-liong to dan jangan biarkan isterimu bepergian sendiri."

Thai Liong sadar. Kakek dewa itu, Bu-beng Sian-su menepuk pundaknya dan menghela napas dua kali. la baru saja menengok dan mau bertanya ketika tiba-tiba terdengar panggilan, dua bayangan berkelebat. Dan ketika ia tertegun karena itulah Beng An dan seorang gadis cantik berpakaian serba putih maka Beng An memeluknya girang dengan wajah berseri-seri.

"Liong-ko, kau di sini? Kau telah bertanding dengan We We Moli dan mengalahkan nenek itu? Perkenalkan, inilah Puteri Es yang membuat hatiku jatuh bangun itu, Liong-ko. Dan enci Soat Eng di sini pula kiranya!"

Beng An membalik dan menyambar encinya. Soat Eng terisak dan memeluk pula adiknya ini, disusul Siang Le yang terheran-heran dan kagum memandang gadis baju putih yang cantik jelita itu. Tapi ketika Puteri Es mundur dan terisak menahan tangis, berkelebat dan memasuki istana maka murid-murid Lembah Es yang kaget tapi girang melihat junjungannya itu menghambur berseru.

"Puteri...!"

Terkesimalah Thai Liong dan adik-adiknya itu. Soat Eng juga kagum sekali akan kecantikan gadis keturunan Dinasti Han itu, luar biasa meskipun dingin dan berkesan angkuh. Tak sadar bahwa Sian-su telah meninggalkan mereka dan lenyap secara diam-diam. Maka ketika Thai Liong sadar dan menoleh ke belakang, teringat kakek itu maka pemuda ini mendorong adik-adiknya berseru kaget. "Mana Sian-su"

Soat Eng sadar. Ia tadi juga melihat kakek dewa itu namun karena masih dicekam kejadian menegangkan maka ia pun lupa. Beng An tak melihat apa-apa karena begitu muncul kakek itupun sudah berkelebat menghilang. Entahlah kenapa kakek ini tak mau ditemui pemuda itu. Maka ketika Thai Liong terkejut dan tidak enak, pesan atau kata-kata itu masih terngiang maka ia melompat dan tiba-tiba berkelebat lenyap.

"Kemana, Liong-ko!"

Akan tetapi Rajawali Merah ini menjawab. Ia mencari gadis baju merai Yo-siocia itu, naik turun gunung dan juga kakek iblis dari Pulau Api. Hantu Hitan telah dibunuhnya dan diam-diam ia menyesal juga. Tapi ketlka Hantu Putih tak dilihatnya lagi dan Soat Eng berkelebet di belakangnya maka adiknya itu bertanya,

"Apa yang kau cari, ada apa!"

"Aku mencari gadis itu, tak ada. Ia telah pergi, Eng-moi, tak enak rasanya hati ini."

"Gadis siapa yang kau maksud!"

"Yo-siocia itu."

"Ah, dia yang sakit hati kepadamu? Gadis yang jatuh cinta kepadamu itu? Celaka, aku khawatir melihat sorot matanya, Liong-ko, penuh benci dan kecewa. Ia kau tolak!"

"Mana mungkin kuterima," Thai Liong semburat merah. "Aku sudah menikah, Eng-moi, dan kau agaknya tahu semua kejadian ini. Harap jangan beri tahu Shintala."

"Gila, mana mungkin kuceritakan. Aku mendengar semuanya itu setelah ditangkap kakek jahanam itu, Liong-ko, tapi kau telah membunuh satu diantaranya. Mana sekarang si kakek putih!"

"la juga pergi, mungkin terbawa deru kesaktian Kim Kong Sengjin. Sadahlah kita kembali dan lihat keadaan Beng An, mana suamimu pula!"

"Le-ko menyusul Beng An-te ke istana, murid-murid Lembah Es menangis!"

"Baiklah, mari klta tengok, Eng-moi. Sekali lagi jangan beritahukan Shintala, masalah Yo-siocia itu!"

Soat Eng mengangguk, tahu kesulitan kakaknya dan cemburu kakak iparnya kalau tahu. Wanita mana tak akan sengit kalau suami dicinta orang lain, apalagi sehebat Yo-siacia itu, gadis yang tak malu-malu mintakan ampun ketika kakaknys hendak dibunuh. Tapi ketika Thai Liong, berkelebat dan memasuki istana ternyata, Beng An tertegun di depan pintu tak boleh masuk. Kekasihnya terguncang oleh peristiwa itu, marah dan bingung tapi juga sedih.

"Kongcu harap di luar dulu membiarkan Puteri melepas kedukaannya. Kami sedang dirundung malang, kongcu, antara bakti dan cinta. Biarlah Puteri memanggil kalau beliau sudah ringan."

Beng An terduduk lesu. la baru datang setelah pemberitahuan orang-orang Pulau Api akan kakaknya ini, menyusul Thai Liong dan sempat melihat kejadian terakhir yakni ketika awan hitam bergemuruh di Lembah Es. Melihat ini Wei Ling atau Puteri Es menjadi pucat, Ia menarik Beng An untuk mempercepat langkahnya menuju istana dan berkata bahwa sesatu yang hebat terjadi. Tapi ketika semua berakhir dan Kim Kong Sengjin pergi, juga supek-bonya We We Moli maka gadis ini melihat tempat yang berantakan bekas pertempuran dahsyat.

"Supek-bo, pergi, tak ada siapa-siapa lagi di sini. Ah, hari ini Lembah Es benar-benar mengalami kehancurannya, puteri. Tak sepantasnya keluarga Pendekar Rambut Emas itu menghina kita. Pemuda itu merendahkan martabat kita, dimana sikapnya yang keterlaluan. Entah bagaimana kalau nanti mereka menjadi besan kita, jangan-jangan lebih sombong!"

Seng-hwa, gadis baju kuning yang tak senang dan diam-diam iri kepada kehebatan Thai Liong mulai membakar. Dialah gadis yang galak dan angkuh itu, tinggi hati dan sombong dan diam-diam sesungguhnya cemburu kepada kebahagiaan Puten Es ini, juga Yo-Siocia yang gagal mendapatkan Thai Liong. Sesungguhnya ia merasa tak senang kenapa orang-orang lain yang harus mendapatkan pemuda-pemuda gagah itu, bukan dirinya. Dan karena iapun sesungguhnya kagum tapi benci merasa gagal, tak mungkin pemuda-pemuda seperti Thai Liong atau Beng An itu tertarik kepadanya maka mulailah ia menggosok dan membakar Puteri Es.

"Hamba rasa tak sepatutnya pemuda itu memalukan supek-bo. Kalau ia mau mengalah dan bersikap lebih baik tentu supek-bo tak akan dibuang ke Himalaya, dan paduka mendapat restunya. Ooh, sekarang semuanya benar-benar hancur, Puteri. Tak mungkin paduka meminta restu supek-bo yang dihina keluarga Pendekar Rambut Emas. Kakak dari Kim-kongcu itu luar biasa sombong tapi memang berkepandaian tinggi. Kesaktiannya luar biasa!"

Mengguguklah Puteri Es. la segera mendengar cerita kekalahan supek-bonya. kekalahan yang tentu menyakitkan dan meninggalkan dandam. Dan karena cerita itu dilontarkan Sam-hwa, murid yaag tertua di situ maka kata-kata gadis ini membuat ia mendidih dan terbekar. Betapapun kesetiaannya kepada seorang yang lebih tua masih tertanam dan berakar kuat.

"Dan yang menyakitkan adalak Yo-suci itu. Terang-terangan ia ditolak, Puteri. Bayangkan betapa sakit dan luka perasaannya setelah pemuda itu menolak keinginan supek-bo. Pemuda itu menepis begitu saja syarat mudah yang diberikan supek-bo, padahal itu adalah satu penghargaan dan hormat kepadanya yang belum pernah dilakukan Lembah Es selama ini”. "Apa yang diinginkan supek-bo?"

"Memberikan suci sebagai isterinya. Syarat kalau ia menjodohkan adiknya dengan paduka!"

Mengguguklah Puteri Es. Sam-hwa juga bercerita tentang ini, betapa ia harus menerima Yo Lin kalau hendak menjodohkan Beng An. Tapi karena pemuda itu menolak dan terjadilah kemarahan We We Moli maka gadis itu juga menangis seolah menahan kekecewaannya. Puteri Es terbakar dan mulai tersinggung sampai tiba-tiba ia menjerit-jerit. Cerita demi cerita yang didengar adalah menusuk-nusuk. Dan ketika ia meloncat bangiun dan berkelebat ke belakang.akhirnya diserukan agar semua oraang-orang di luar Itu disuruh pergi. Keluarga Pendekar Rambut Emas harus enyah dari situ.

"Katakan pada mereka agar segera angkat kaki dari tempat ini. Juga Beng An. Tak perlu ia menunggu dan menengok aku!!!"

Gembiralah gadis baju kuning ini. Ia memasuki suasana yang bagus dan berhasil mengisi,semua itu dengan tusakan kata-kata yang tajam , Baginya biarlah Puteri Es melajang sebagaimana dirinya sendiri. Lembah Es biarlah tetap seperti dulu-dulu yang tak pernah mengenal lelaki. Maka ketika ia bangkit dan buru-buru keluar menggigil dan pura pura ketakutan di depan Beng An maka, gadis ini berkata bahwa puteri tak mau diganggu, harap mereka semua pergi.

"Maafkan kami. Putari tak mau diganggu. Kau dan saudara-saudaramu di minta pergi, kongcu. Harap kalian pergi dan jangan tambah kedukaan kami dengan kehadiran kalian di sini."

Beng An terkejut. "Ia menyuruhku pergi?"

. “Benar, Puteri tak mau menemui kongcu.Katanya biarlan, semuu pergi dan tak usah kembali ke sini. Aku hanya melaksanakan pesan... wut!"

Beng An berkelebat, mendorong dan membuat gadis itu berteriak dan larilah pemuda ini ke dalam istana. Di sana di ruang dalam masih berkumpul murid-murid Lembah Es, menangis dan sesenggukan dan mereka tak tahu apa yang harus mereka lakukan. Puteri Es entah kemana. Dan ketika Beng An tertegun dan menggigil di sini, menyambar satu di antaranya maka pemuda itu membentak bertanya kekasihnya, tentu saja penesaran kenapa Puteri Es mengusirnya.

"Katakan kepadaku di mana junjunganmu berada. Cepat, atau kulempar nanti!"

"Hamba... hamba tak tahu. Ampunkan hamba, kongcu, Puteri meninggalkan kami di belakang...!"

Beng An melepas dan melempar gadis ini. Ia beringas menuju belakang, berputar dan mencari namun sang puteri tak ada. Jelas bahwa puteri itu bersembunyi, tak mau ditemui. Dan ketika Beng An mulai mengamuk dan menendang pintu-pintu kamar maka muncullah kakaknya, berdua Soat Eng "Wei Ling..Ling-moi, keluarlah! Aku tak akan pergi kalau kau belum muncul. Hayo, keluar dan temui dulu aku!"

Namun Thai Liong menyambar dan mencengkeram pundak adiknya ini. Beng An tampak marah dan menendangi dan semua itu bisa menciptakan keributan baru. Sebagai pemuda yang telah matang dan mampu membaca keadaan maka Rajawall Merah ini maklum bahwa Puteri Es terluka hatinya. la tak menduga akan hati busuk Sam-hwa, tak mengira, bahwa satu dari gadis-gadis Lembah Es itu menanamkan kebencian kepada Puteri Es ini, termakan. Maka ketika ia mencengkeram adiknya dan menyadarkan bahwa perbuatan itu hanya membuat marah orang lain maka ia membujuk agar Benh An pergi saja dari situ.

"Keadaan memang runyam. Ia sedang terpukul perasaannya. Biarlah kita pergi menuruti permintaannya Beng An. Kelak datang lagi kalau ia mereda. Tak usah merusak ini-itu karena hanya akan menimbulkan kemarahan baru. Maaf aku telah mendengar itu."

"Pulang, Aku pulang? Tidak, kau boleh pergi dan pulang. Liong-ko, akan tetapi aku tetap di sini sarnpai gadis itu muncul. Aku penasaran kenapa ia menyuruhku pergi. Aku ingin bertemu dan minta penjelasan. Kau pulanglah dan biar nanti kususul!"

"Hm. kau tak boleh marah-marah begini. Kalau kaupun masih marah-marah di saat kekasihmu muncul maka keadaan tak bertambah baik, Beng An, semua ini harus diselesaikan dengan kepala dingin. Aku memang hendak pargi karena tugasku selesai. Aku girang bertemu denganmu tapi jangan marah-marah. Betapa-pun kita di tempat orang lain."

"Aku tahu, tapi kau tak dapat membujukku. Kau pulanglah dan nanti kususul Liong-ko. Biarlah kutemui gadis itu dan kuminta penjelasannya. Betapapun aku tak mau pergi!"

"Kau jangan menyalahkan kakakmu!" Soat Eng mulai khawatir, melihat sesuatu yang tidak enak. "Kalau kami pergi harap jangan menambah persoalan baru adikku. Betapapun kakakmu berusaha mati-matian untuk kebahagiaanmu. Kalau kami pergi kau harus bicara baik-baik kepada Puteri Es!"

"Aku tahu, enci tak usah khawatir. Sudahlah biarkan aku mencarinya dan tak akan pergi kalau belum ketemu!"

Beng An yang meloncat dan akhirnya mencari lagi segera membuat dua kakaknya menarik napas dalam, maklum bahwa sekali pemuda itu bicara seperti itu apapun akan dilakukannya. Beng An adalah cucu jago pedang Hu Beng Kui, kekerasan dan darah kakeknya masih mengalir kental. Maka ketika maklum bahwa sang adik tak dapat dicegah, harus dibiarkan sendiri akhirnya Thai Liong berkelebat meninggalkan tempat itu, disusul oleh Soat Eng dan Siang Le yang sejak tadi diam saja di belakang isterinya.

Sebagai ipar si buntung ini merasa orang luar, ia tak berani jauh memasuki terlalu dalam. Dan merasa tak perlu berpamitan lagi akhirnya tiga orang inipun menuruni gunung sementara Thai Liong menunjukkan muka muram , dan khawatir karena firasatnya memberitahukan sesuatu yang bakal gawat, mendebarkan!

* * * * * * *

Beng An benar-benar pemuda yang keras hati dan keras kemauan. Begitu saudara-saudaranya pergi meninggalkan Lembah Es adalah dia berputaran dan mencari kekasihnya. Sehari itu dia gagal. Tapi ketika hari kedua dan hari-hari seterusnya dilakukan tak mengenal lelah akhirnya perasaan gelisah membuatnya lupa makan minum. sementara di balik sebuah guha tersembunyi mengintai sepasang mata basah Puteri Es!

Gadis ini sejak terpukul oleh cerita Sam-hwa benar-benar di persimpangan jalan yang berat , Sebagai murid dan penghuni Lembah Es sudah sewajarnya jika ia membela sesepuhnya We We Moli. Sudah puluhan tahun ini tak pernah ada orang mengalahkan Lembah Es. Hadirnya dedengkot itu membuat segan para lawan, bahkan orang-orang Pulau Api.

Tapi ketika hari itu supek-bonya dikalahkan orang, yang pantas sebagai muridnya sendiri maka tak heran kalau diam-diam penghuni Lembah merasa sakit. Betapapun harga diri mereka telah tertanam kuat selama ini. Merasa sebagai keturunan Dinasti Han dan pewaris Kim Kong Sengjin maka rata-rata penghuni memiliki semacam rasa super.

Kini rasa itu dihancurkan Thai Liong dan sesepuh mereka dihukum di puncak Himalaya. Tak ada yang membuat sakit selain menerima sebuah kekalahan. Tapi karena perasaan itu ditambah oleh sikap Thai Liong yang dianggap sombong, begitu Sam-hwa menceritakan maka gadis ini merasa tertusuk-tusuk dan terhina. Belum pernah selama ini Lenbah Es menyodor-nyodorkan muridnya untuk dijodohkan dengan orang lain, bahkan dirinya sendiri di larang berjodoh dengan Beng An, jatuh bangun dan harus mengalami derita!

Puteri Es benar-benar menangis. Di pihak ini ia merasa terhina, tapi di pihak lain ia teringat Beng An dan kebaikan pemuda itu. Apakah ia harus memusuhi pemuda ini gara-gara kakaknya? Apakah ia harus mengurung diri terus-menerus sementara pemuda itu memanggil-manggil namanya? Dan melihat betapa kian lama Beng An menjadi kian kurus akhirnya Puteri Es tersedu-sedu dan menutupi mukanya dengan perasaan luluh. Akan tetapi gadis inipun adalah gadis keras hati yang sudah digembleng suasana serba dingin.

Betapapun cintanya menggebu tetap ia tahan. Kalau Beng An berkelebat dan lewat di depan guhanya maka ia melengos, menahan segala perasaan. Tapi ketika dua minggu lewat dengan memendam segala perasaan bercampur aduk akhirnya Beng An tahu bahwa di sekitar situ dirinya bersembunyi maka gemetarlah pemuda itu meratap, roboh terduduk.

"Duh, Ling-moi yang kejam. Masih seperti itukah sikapmu kepadaku? Kau tak mau keluar dan menemui aku memberi penjelasan? aku siap mati di tempat ini, moi-moi. Biarlah aku mati dan kau lihat kematianku!"

Beng An duduk dan gemetar bersila. Ia kelihatan kurus dan pucat sementara pakaianpun compang-camping. Siapapun melihat pasti terharu. Dan ketika pemuda itu duduk namun roboh tak kuat, bukan lapar melainkan oleh batin yang tersayat-sayat maka Puteri Es hampir saja menjerit melihat betapa wajah Beng An lebam oleh tangis. Pipi itu bengkak sementara mata itupun cekung dan redup. Mata orang yang patah hati!

Puteri Es menutupi muka. Secara kebetulan pemuda itu duduk di depan guhanya, di depan celah pengintai itu. Maka ketika ia dapat melihat dan tersayat-sayat, pemuda itu benar-benar tak menghiraukan dirinya sendiri maka Beng An bangun dan duduk membetulkan kakinya, bersila. Gadis ini hampir tak tahan. la melihat betapa pemuda itu gemetar menggigil, giginya berketrukan dan kebetulan musim itu musim salju. Bongkah-bongkah es membuat Beng An kedinginan, tampaknya tak mengerahkan sinkang dan membiarkan siksa dan derita menderanya. Agaknya Beng An memang siap mati!

Tapi ketika puteri ini menahan semua perasaannya dan menyaksikan dari balik guha, kekerasan hatinyapun dikerahkan maka ia menggigit bibir ketika Beng An mendesis kedinginan. Sehari itu Beng An tersiksa lahir batin. Hari-hari berikut juga dilewati tanpa perduli. Ia membiarkan saja semut dan serangga menyerbu mukanya, juga ular salju yang membuat Puteri Es pucat dan hampir berkelebat keluar. Ular itu amat tajam racunnya, mematikan.

Tapi karena Beng An tak bergerak seperti arca batu, ular menggeleser dan merayap pergi maka hewan-hewan lain mulai menggigiti pemuda ini, tikus dan musang putih. Beng An membiarkan saja bajunya dikerikiti. la juga membiarkan tubuhnya di gigit dan dijilat-jilat, darah mulai mengalir. Tapi ketika pada hari ketiga kecoa dan burung pelatuk hinggap di rambutnya, membuat sarang maka Puteri E tak tahan lagi dan menjerit keluar.

"Beng An...!"

Pemuda ini setengah sadar setengah tidak. la benar-benar telah menyerahkan jiwa raganya kepada Alam. la telah putus asa mencari kekasihnya. Maka ketika jeritan itu seolah terdengar di alam mimpi indah namun memabokkan maka Beng An tak sadar kalau dirinya sudah ditubruk dan diremas-remas. Sang puteri telah keluar dan mengguncang-guncang tubuhnya, kecoa dan tikus hutan diinjak mampus.

"Aku di sini...!"

"Tidak, oh tidak... aku cuma mimpi...!" keluh Beng An dengan lirih.

"Beng An, aku telah datang. Lihatlah dan hentikan kenekatanmu bunuh diri ini. Lihat betapa serangga dan semut-semut busuk mengganggumu. Bangunlah, Beng An... bangunlah!"

Beng An serasa mimpi. la telah kehilangan sebagian besar semangat dan tenaganya. la telah berada di ambang batas maut antara mati dan hidup. Tapi ketika ia diguncang-guncang dan suara itu melengking-lengking, perlahan-lahan kesadarannya tertarik kembali maka Beng An membuka mata dan dilihatnya kekasihnya itu, menciumi mukanya.

"Ooh, tidak... kau tak boleh mati, Beng An. Kau tak boleh mati. Bangun dan lihatlah aku dan jangan pergi!"

Puteri Es benar-benar menangis. la pucat dan ngeri melihat betapa Beng An benar-benar dingin. Tubuh itu seolah kehilangan rohnya dan beku, tak ada denyut nadi. Namun ketika Beng An membuka matanya dan perlahan-lahan sadar, mengeluh dan dipeluk kuat akhirnya sang puteri mendekap pan menciuminya dengan air mata bercucuran.

"Lihatlah, ini aku. Kau harus tetap hidup, Beng An, jangan mati. Aku di sini dan telah menemuimu!"

Beng An tersenyum. Tadinya ia merasa mimpi dan diguncang-guncang. Tubuhnya lemah akan tetapi semangatnya tiba-tiba hidup. Wei Ling telah di situ, kekasinya telah mau menemuinya. Namun karena ia terlampau lemas dan lapar serta haus maka ia pun terguling dan pingsan.

"Beng An!" Sang puteri hampir kalap. la mengira Beng An mati dan meninggalkan dirinya selama-lamanya. la menjerit.

Tapi ketika berkelebat sesosok bayangan dan Hwa Seng muncul di situ, menahan air mata, maka gadis yang hilang sebelah telinganya ini berkata, "Puteri, Kim-kongcu hanya pingsan, tak apa-apa. Biarlah kutolong dan harap paduka tenang!"

Gadis itu tersedu-sedu. Ia melihat pembantunya membawa Beng An ke dalam guha, mengurut dan mengambilkan air minum lalu mencekokinya. Dan ketika pemuda itu sadar dan membuka mata kembali maka Hwa Seng menyerahkan kembali kepada majikannya. Puteri Es bercucuran air mata.

"Puteri lihatlah, ia siuman. la tak apa-apa, Puteri, hanya kelelahan dan lemas saja. Biarlah paduka yang mengurusnya sekarang dan hamba menunggu di luar."

Gadis ini berkelebat membiarkan Puteri menolong Beng An. Sesungguhnya dialah yang menunjukkan guha itu kepada Beng An, diam-diam mengawasi dari jauh dan Hwa Seng tentu saja ikut menangis. la tahu betapa besar cinta pemuda itu kepada junjungannya, seperti juga junjungannya terhadap Beng An. Maka ketika ia lega bahwa sang Puteri akhirnya mau keluar, berdegup kalau Beng An tewas maka gadis ini muncul dan melakukan pertolongan pertama ketika junjungannya panik.

Beng An telah duduk bersandar. Seteguk air dingin yang diberikan Hwa Seng terasa luar biasa. la merasa kerongkongannya segar dan pulih kembali, Ia menatap sayu memandang kekasihnya itu. Dan ketika Wei Ling menubruk ddan memeluknya erat-erat, diguncang tangis bertubi-tubi akhirnya pemuda ini bergerak membelai rambut yang hitam gemuk itu.

"Moi-moi, kau tak membiarkan aku mati? Kau masih mau menemuiku dan menyelamatkan aku? Ah, apa artinya semua ini, moi-moi. Kenapa kau membuatku bingung dan penasaran. Kau mengusirku pergi!"

"Aku... aku benci kepada kakakmu. la membuatku seperti ini, Beng An, malah menyusahkan kita. la sombong!"

"Hm-hm, duduklah, apa artinya omonganmu ini. Kakakku tak pernah seperti itu, Ling-moi. Kakakku orang baik-baik yang amat menjaga perasaan orang lain. Kau keliru!"

"Apa, keliru? Tentu saja, kau adiknya, Beng An. la kakakmu. Kau tak dapat melepaskan diri dari ikatan batin seorang saudara. la keji dan kejam melebihi orang-orang yang kutemui. la berani menghina Lembah Es!"

"Tidak!" Beng An berkerut kening, suaranya marah. "Kakakku tak pernah menghina orang lain, Ling-moi. Aku tahu betul wataknya. la baik seperti ayah!"

"Kalau begitu jangan buat malu supek-bo ku. Jangan menghina orang tua dan mengalahkannya dengan kesombongan!”

"Hm, kau terbawa perasaanmu sebagai murid Lembah Es. Kalau supek-bomu tak bersikap keterlaluan tak mungkin kakakku begitu, Ling-moi. Kau tak boleh membela orang salah, meskipun angkatan tua!"

"Tapi ia membuat supek-boku dihukum!"

"Itu memang salahnya...!"

"Ah, kau tak tahu perasaan orang yang terluka, Beng An! Kau membela kakakmu sendiri. Kau terikat hubunganmu sebagai saudara!"

"Dan kau sebagai murid. Hm, kaupun tak dapat melepaskan dirimu secara jujur, Ling-moi. Aku pribadi menganggap supek-bomu orang yang kejam. Lihat kelakuannya kepada kita, apa yang dia perbuat. Kakakku tak mungkin mengalahkannya kalau ia tahu diri!"

"Kau... kau menghina sesepuh Lembah Es? Kau semakin membela kakakmu? Eh, mati hidup seorang murid harus setia kepada atasannya, Beng An. Benar tidak benar rasa kesetiaan ini tak boleh hilang. Aku menyalahkan kakakmu karena ia lancang mencampuri urusan kita. Siapa suruh ia ikut campur hingga akibatnya begini!"

Beng An terkejut. Kekasihnya membanting-banting kaki dan menangis tersedu-sedu. Rasa marahnya berkurang. Tapi ketika tiba-tiba gadis itu membalik dan menghadapinya lagi, air mata bercucuran membasahi muka maka terdengarlah kata-katanya yang amat mengejutkan, bagai geledek di siang bolong.

"Beng An, tak ada ampun untuk kakakmu itu. Kita bakal berselisih terus kalau membicarakan ini. Nah, sekarang. Aku kehilangan seorang tetuaku gara-gara kakakmu itu. Singkirkan dia kalau kau ingin terus bersamaku atau kita putus sempai di sini. Lembah Es tak boleh terlampau diinjak-injak!"

Beng An mengeluarkan suara tertahan. Kerongkongan yang basah tiba-tiba seolah kering kembali, kata-kata itu mengejutkannya bagai sengatan seekor lebah. Ia tersentak. Dan ketika perlahan-lahan pemuda ini bangkit berdiri dan memandang pucat maka Beng An bertanya dengan suara tersendat-sendat.

"Ling-moi, kau.. A... apa maksudmu dengan kata-kata menyingkirkan itu. Apa maumu. Apakah kau hendak menyuruh aku membunuh kakakku? Apakah kau minta aku melenyapkannya?"

"Benar!" gadis itu berseru tinggi. "Kalau kau mencintai aku tentu tak keberatan melaksanakan ini, Beng An. Tapi kalau kau mencintai kakakmu pergilah dan jangan temui aku. Syarat untuk perjodohan ini adalah kakakmu, emas kawinnya ibu jari tangan kanannya!"

Beng An berteriak histeris. Pemuda ini tiba-tiba menjadi beringas dan menubruk ke depan, tangan kirinya menampar gadis itu. Tapi ketika Puteri Es mengelak dan Beng An roboh maka pemuda itu terjerumus karena lemas dan lelah. "Kau... kau gila...brukk!"

Beng An mengguguk dan meratap lantai. la membiarkan diri tengkurap di situ dan tersayat-sayat. Ia merasa betapa hebatnya permintaan gadis ini, permintaan gila. Tapi ketika gadis itu tersenyum mengejek dan sama sekali tak menolongnya, bangkitlah kemarahan Beng An maka pemuda ini membalik dan gemetar duduk, terhuyung berdiri.

"Wei Ling, kau.... kau meminta emas kawin yang tak mungkin kupenuhi? Kau menyuruhku membunuh dan mencelakai kakakku? Ha-ha, tak ada permintaan segila dari yang namanya cinta, Wei Ling. Kau menyudutkan aku untuk melakukan sesuatu. Aku masih waras, kau berotak miring. Baiklah kukatakan bahwa aku lebih mencintai kakakku daripada dirimu. Kau membela supek-bo mu yang jahat itu. Kalau kau mengatakan kakakku yang menjadi gara-gara maka justeru aku menuduh wanita siluman itu. Supek-bo mu itulah yang keji, dia iblis wanita jahat!"

"Tutup mulutmu. Jangan menghina dan memaki-maki sesepuh Lembah Es, Beng An, atau kuhajar kau nanti!"

"Kau mau membunuhku? Baik, lakukanlah, Wei Ling. Mari kaubunuh aku dan biar kematianku menjadi pelajaran bagimu! Beng An meloncat dan menerkam kekasihnya ini, mata kemerah-merahan dan kemarahanpun meledak. la benar benar marah mendengar keputusan itu. Gadis ini dianggapnya gila. Dan karena ia tak tahu hasutan Sam-hwa dan betapa gadis itu telah memasukkan racun, kata- kata yang amat berbisa maka Puteri Es pun marah karena diarggapnya Beng An tak setia kepada cintanya, berani putus dan membuatnya hancur!

"Plak-dess!" Beng An terlempar dan terbanting. Pemuda ini sebagaimana diketahui telah hampir sebulan tak mengurus dirinya. ia tak menghiraukan makan minum. Maka ketika ia di elak dan menerima tendangan tak ampun lagi tubuhnya mencelat dan berdebuk keluar guha. Akan tetapi Beng An tertawa-tawa, masuk lagi. la terhuyung dan memaki-maki We We Moli sebagai siluman jahat dan iblis keji, hal yang membuat Puteri Es semakin marah karena gurunya dihina. Maka ketika ia menampar dan Beng An roboh lagi, tertawa dan bangkit lagi akhirnya Puteri Es mengamuk dan menghajar pemuda ini.

"Tutup mulutmu, atau kubunuh kau. Heh, tutup mulutmu, Beng An, jangan memaki dan menghina sesepuh kami atau kau kubunuh!"

"Ha-ha-heh-heh... We We Moli memang iblis keji, Wei Ling. Dia siluman jahat yang tak punya jantung. Kalau ia punya perasaan tentu tak akan begini jadinya nasib kita. Ayo, ayo bunuhlah aku dan hajar sepuasmu.. plak-bik-buk!"

Beng An tertawa-tawa menerima pukulan sementara Puteri Es melengking-lengking. Gadis ini kian marah oleh ocehan Beng An. Tapi ketika pemuda itu terlempar ke luar guha dan terbanting amat keras, mengeluh maka berkelebatlah Hwa Seng menjerit pucat.

"Puteri, jangan bunuh pemuda ini!"

Puteri Es berdiri tertegun. Hwa Seng menghadang di depan dengan air mata bercucuran, gadis itu menangis dan melindungi Beng An namun Beng An akhirnya pingsan. Pukulan batinnya terlalu berat. Dan ketika gadis itu mengguguk dan berlutut memeriksa maka akhirnya pelayan ini mengiba, berlutut memegangi kaki majikannya.

"Ampun, jangan bunuh dia. Kim-kongcu pingsan, Puteri. Telah cukup penderitaannya selama ini. Kalau paduka mengijinkan biarlah hamba membawanya keluar Lembah Es. Jangan bunuh dia!"

Puteri ini menggigil. Setelah Beng An pingsan dan tak memaki-maki maka iapun luluh dan semakin hancur. Pemuda yang dicintainya itu membujur babak-belur. la telah menyiksa cukup kejam. Maka ketika pelayannya berlutut dan memohon ijinnya maka gadis inipun membalik dan tersedu-sedu. "Keluarlah, bawa ia keluar. Aku benci kepadanya, Hwa Seng. Aku benci keluarga Pendekar Rambut Emas. Bawa ia keluar dan jangan kembali lagi!"

Kata-kata terakhir ditangkap salah. Hwa Seng mengira bahwa iapun tak diperkenankan kembali ke Lembah Es. ialah yang membawa pemuda itu dan kini membawa sengsara. Maka tersedu dan mengangkat tubuh Beng An pelayan inipun meratap terhuyung, diri sendiri dirasa pembawa dosa paling awal.

"Ampunkan hamba. Hamba tak sengaja semuanya ini, Puteri, hamba mengaku bersalah. Kalau hamba pun tak boleh lagi berada di sini biarlah hamba keluar!" Gadis itu terseok dan jatuh bangun. Hwa Seng benar-benar terpukul oleh perintah junjungannya, keluar dan membawa Beng An melewati gunung demi gunung. Dan ketika ia keluar Lembah Es dan jatuh di perbatasan maka Beng An pun sadar dan mendengar tangis gadis itu.

"Aduh, berat niat cobaan hamba. Hamba bersalah dan akan menebus dosa, Puteri. Biarlah hamba menanggung kutuk dan azab ini. Semoga hamba tabah!"

Beng An membuka mata. la merasa sekujur tubuhnya sakit-sakit dan mendengar keluh-kesah itu, tangis yang menyayat hati. Lalu ketika dilihatnya Hwa Seng di situ ia pun tertegun dan bangkit duduk. Gadis itu sesenggukan menutupi mukanya "Hwa Seng... " panggilan itu lirih. "Aku sudah matikah? Kita di alam kematian?"

"Aduh!" gadis itu terkejut. "Kau sudah sadar, kongcu? Tak apa-apa Ah, maafkan aku. Aku yang menjadi biang keladi semuanya ini, kongcu. Kalau dulu aku tak membawamu ke sini tentu kau tak akan menderita seperti ini. Kita sudah diusir, aku tak boleh tinggal di Lembah Es lagi...!"

"Apa?" Beng An tergetar. Kau diusir juga?"

"Sudahlah, kita memang sial, kongcu, kita harus pergi. Marilah kupanggul dan biar kuobati luka-lukamu. Tubuhmu babak belur."

"Tidak, aku dapat berjalan sendiri!" Beng An bangkit dan memaksa. Aku merasa kuat. Hwa Seng. Aku... brukk!"

Beng An roboh, tak sesuai omongannya dan gadis itu menyambar. Memang pemuda ini masih lemah dan hanya karena kegagahannya saja dia bicara seperti itu. Dan ketika ia mengeluh namun Hwa Seng mengurut kaki tangannya maka gadis Lembah Es ini terisak namun tak dapat menahan senyum.

"Kongcu, kau kehabisan tenaga. Tak usah malu-malu. Marilah kupanggul dan kita mencari perahu!"

Beng An tak dapat berbuat apa-apa. la memang lemah dan kehancuran hatinya membuat segalanya terasa berat. Mengangkat tubuh sendiripun rasanya tak kuat. Maka ketika ia menggigit bibir menahan pedih, Hwa Seng tak ragu mengangkat dan memanggulnya di pundak ia pun memejamkan mata merasa terharu. "Hwa Seng, kau benar-benar gadis yang amat baik. Bawalah aku pulang ke orang tuaku di utara. Aku merepotkanmu."

"Tidak, aku bangga. Kalau boleh aku bersamamu tentu saja aku lebih gembira kongcu. Betapapun kau calon suami Puteri Es. Aku pelayanmu!"

Beng An terbatuk. Kata-kata gadis ini justeru menyayat lukanya yang sudah teriris, ia tersengat oleh sesuatu yang pedih. Tapi ketika gadis itu meloncat dan lari membawanya turun naik bukit maka Beng An diam saja sampai akhirnya mereka tiba di lautan es itu. Hwa Seng tak banyak bicara. Ia bekerja cepat mencari perahu, menarik dan mengeluarkannya dari tumpukan salju yang rupanya disembunyikan. Itulah perahu milik murid-murid Lembah Es yang akan bepergian, mencari ransum umpamanya.

Dan ketika Beng An ditaruh di situ dan gadis itu mendayung perahunya maka benda inipun meluncur mencari tempat-tempat lunak menghindari bebatuan es, Beng An hanya terguncang sana-sini jika sesekali perahu membentur karang, banyak terdapat gunung-gunung es kecil di situ. Tapi karena gadis ini amat sabar dan telaten memilih tempat-tempat baik, perahu meluncur dan akhirnya berada di samudera luas maka menjauhlah tepian Lembah sampai akhirnya benar-benar lenyap tak tampak lagi.

* * * * * * * *

Bukan main sedihnya Pendekar Rambut Emas menerima kedatangan puteranya ini. Bagai orang linglung dan setengah gila Beng An tertawa-tawa sepanjang jalan. Rambutnya dibiarkan memanjang dan kusut, pakaianpun compang-camping tak keruan. Hanya karena Hwa Seng menjaganya sedemikian rupa maka pemuda itu masih mau mandi dan membersihkan tubuhnya. Beng An masih bersih meskipun seperti orang gila, rambut acak-acakan. Dan ketika pagi itu mereka berada di padang rumput bangsa Tar-tar maka di sini pendekar itu kelusr menyambut. Anehnya Thai Liong dan Soat Eng serta Siang Le belum datang.

"Ayah..." Beng An masih ingat dan tiba-tiba menubruk ayahnya ini.

Hwa Seng, yang berada di belakangnya cepat membungkuk dan menahan air mata. Tentu saja pendekar itu mengenal gadis ini. Dan ketika Beng An mengguguk dan tiba-tiba tertawa aneh, mendorong dan merenggut lepas dirinya maka pemuda ini bertanya liar di manakah kakaknya Thai Liong.

"Mana Liong-ko, mana enci Soat Eng. He... mana mereka, ayah. Kenapa tak kulihat!"

Pendekar Rambut Emas mengerutkan kening.b"Kau kenapa? Apa yang terjadi? Kau tak wajar sebagaimana biasanya, puteraku. Apa yang menimpamu dan kenapa dirimu berubah seperti ini. Kakak-kakakmu belum datang, mereka mencarimu."

"Ha-ha, bagus. Dan mana ibu. Eh, kau sudah mengambilnya sebagai isteri bukan, ayah? Mana ibu, aku kangen kepada ibu!"

Kim-mou-eng terbelalak. Pendekar ini mengerutkan kening melihat puteranya terhuyung memasuki rumah, memanggil-manggil Cao Cun dan keluarlah wanita itu memapak Beng An. Bersama dengan wanita ini keluar pula tiga anak-anak yang bukan lain Siang Hwa dan Siang Lan serta Bun Tiong. Anak-anak itu bersorak memanggil pamannya. Namun ketika Beng An ha-ha-he-he dan menubruk bibinya maka pemuda ini tak menghiraukan yang lain dan tangispun tiba-tiba meledak lagi.

"Aduh, kau benar-benar seperti ibuku. Ah, syukur kau berbahagia dengan ayah, ibu. Aku senang melihatmu gembira dan bahagia di sini. Aku iri!"

Cao Cun tertegun. Tentu saja ia tak mengerti sikap Beng An yang dinilainya luar biasa ini. la tadinya siap menyambut dan berseru girang. Tapi ketika pemuda itu mengguguk dan malah memeluknya erat-erat, menyusupkan kepala di bawah lehernya maka Cao Cun tercekik dan merasa heran kenapa pemuda ini seperti orang tidak waras. Rambutnya panjang dan kusut, layaknya seperti orang gila saja!

"Beng An, apa yang terjadi padamu, kenapa begini, Pakaianmu compang-camping!"

"Ha-ha, hatiku lebih compang-camping lagi, ibu. Aku terobek-robek. Aku.. aku..."

Beng An mengguguk. Kalau sudah begini maka Hwa Seng cepat-cepat menyusulnya dan menyambar tubuh itu. Beng An limbung. Dan ketika pemuda itu menangis lalu tertawa lagi, Cao Cun berdebar maka wanita inipun menangis dan menjerit menerkam puteranya. Akan tetapi Pendekar Rambut Emas mendorong tubuhnya. la memberi isyarat agar wanita itu diam, anak-anak di sana terbelalak dan kaget. Lalu ketika pendekar ini bertänya kepada Hwa Seng maka gadis itu tersedu mengerti maksudnya.

"Kau yang sudah melayaninya berhari-hari. Bawalah ia ke dalam dan temui aku sesudah itu, nona. Ceritakanlah kepadaku apa yang terjadi. Puteraku rupanya menderita pukulan batin."

Hwa Seng mengangguk. Cepat ia membawa Beng An ke kamar, diam-diam kagum bahwa pendekar itu tak begitu goyah, meskipun ia yakin bahwa sang ayah inipun terguncang dan kaget melihat keadaan puteranya. Dan ketika Cao Cun juga dibawa ke kamar dan memeluk Beng An maka di sini pemuda itu menumpahkan kecewanya dengan tangis menggerung. Beng An ternyata masih terpukul hebat. Bukti bahwa berhari-hari ini selalu merenung dan menyeringai lalu menangis menunjukkan bahwa pukulan batinnya berat.

Putusnya cinta membuat pemuda ini seakan gila. Hwa Seng tak mampu menguasainya karena ia bukan orang yang tepat untuk itu. Kini mereka sudah di rumah. Maka ketika pemuda itu dibiarkan mengguguk dan berkali-kali Cao Cun mengusap dan mengelus rambutnya akhirnya di bawah kata-kata lembut dan penuh kasih sayang pemuda ini tertidur dipangkuan ibu tirinya!

Hwa Seng terharu. Dalam perjalanan Beng An telah menceritakan keluarga ayahnya itu, termasuk Cao Cun yang dikagumi pemuda ini. Maka ketika dia bertemu den melihat wanita itu, cocok dan merasa suka akhirnya Pendekar Rambut Emas muncul di pintu mengingatkan pesannya tadi.

"Bisakah kita bicara di depan. Rupanya kita harus membiarkan puteraku ini nona. Biarlah dia beristirahat dan kita bercakap-cakap. Ceritakanlah kepadaku."

Hwa Seng mengangguk. Ia bangkit dan menyusut air matanya sementara Cao Cunpun berdiri. Bertiga mereka menuju ruang depan. Lalu ketika di sini gadis itu tak kuasa menahan sedu-sedannya maka ia pun menceritakan apa yang telah terjadi. "Kim-kongcu dihajar Puteri. Ia.. memaki-maki supek-bo kami..!"

"Hm, kenapa memaki-maki. Apa yang terjadi dan kenapa tubuhnya tak terurus begitu, Hwa Seng. Ada apa antara dia dan Puteri Es."

"Mereka memutuskan cinta. Masing-masing pihak bertengkar dalam kebenarannya sendiri, taihiap. Kim-kongcu... Kim-kongcu membela kakaknya!"

"Astaga, ceritakan yang jelas!"

"Puteri dan Kim-kongcu terlibat kemarahan masing-masing. Ini dimulai dari datangnya Liong-siauwhiap ke Lembah Es"

Hmn, Thai Liong sudah tiba di sana?"

"Benar, taihiap, dan... dan mengalahkan sesepuh kami!"

Ada kilatan girang di wajah pendekar ini. Sejenak Pendekar Rambut Emas teringat wanita mengerikan itu, betapa ia tak kuat dan tak mampu menandingi We We Moli. Tapi sadar bahwa yang di depannya ini adalah seorang murid Lembah Es, tak boleh ia menunjukkan kegembiraannya maka ia pura-pura mengangguk dan bersikap wajar-wajar saja. "Lalu apa yang terjadi? Kenapa Beng An bertengkar dengan kekasihnya?"

"Puteri terpukul oleh kekalahan sesepuhnya, taihiap, merasa Liong-siauwhiap bersikap sombong. Hamba tak tahu jelas ribut-ribut di antara mereka karena hamba hanya mendengar dari kejauhan saja. Yang jelas Puteri tak senang kepada putera talhiap itu, sementara Kim-kongcu membela kakaknya!"

"Hm, lalu bagaimana dengan wanita itu? Maksudku bagaimana setelah ia dikalahkan puteraku?"

"la dibuang ke puncak Himalaya, dihukum nenek moyang kami Kim Kong Seng jin!"

"Ah, dewa kalian yang seperti dongeng itu muncul?"

"Benar, taihiap...!"

"Dan hebat sekali tentunya pertempuran itu. Bagaimana dengan puteraku, apakah ia menghadapi Kim Kong Sengjin!"

"Nenek moyang kami sudah merupakan arwah, mana mungkin bertempur dengan Liong-siauwhiap. Tapi ketika ia muncul maka Bu-beng Sian-su pun muncul, melindungi putera taihiap itu."

"Astaga, Sian-su juga muncul di sana? Bagaimana akhirnya?"

"Akhirnya ya itu tadi, taihiap, sesepuh kami malah đihukum Kim Kong Sengjin. la disuruh samadhi sampai mati, dibuang di puncak Himalaya. Kami tak tahu selanjutnya karena kami terlempar oleh tiupan angin dahsyat. Waktu itu hamba sendiri berada di luar istana sedang menjalani hukuman sendiri."

Pendekar Rambut Emas tergetar. dapat membayangkan hebatnya pertempuran itu, tentu menegangkan. Tapi karena sekali lagi ia tak mau menonjolkan kemenangan puteranya maka ia kembali lagi kepada Beng An....

Putri Es Jilid 27

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

WE WE MOLI menoleh. Kaget oleh hadirnya dedengkot Pulau Api ia agaknya masih tertutup oleh marahnya terhadap Thai Liong. Segera ia sadar bahwa lawannya itu masih selamat. Maka membalik dan memandang gunung di belakang istana tiba-tiba wanita itu berkelebat menghantam Thai Liong.

"Anak muda, kau jangan lari!"

Akan tetapi Thai Liong menghilang lagi. Tak kalah kaget oleh hadirnya dedengkot Pulau Api pemuda ini lebih kaget melihat Soat Eng dan Siang Le di tangan Hantu Hitam dan Putih itu. Thai Liong benar-benar tak menyangka datangnya dua iblis ini. Maka ketika ia menghindari serangan lawannya dan menyambar dua iblis tua itu pemuda inipun membentak mereka.

"Kakek-kakek iblis, serahkan adik-adikku!"

Akan tetapi dua kakek itu terkekeh berkelebat lenyap. Sama seperti Thai Liong mereka pun tak mau menerima serangan ini, apalagi bukan maksud mereka menghadapi Thai Liong. Maka ketika keduanya melesat ke kiri kanan menghilang di gunung yang lain maka pukulan Thai Liong pun menghantam tempat itu.

"Des-dess!"

Puncak gunung hancur. Batu berguguran akan tetapi We We Moli tahu-tahu berkelebat di belakang pemuda ini, mengejar. Dan karena tak mungkin Thai Liong menghindar maka ia pun menerima dan terpaksa menghadapi wanita itu.

"Bocah, jangan lari kataku!"

Thai Liong terpental. Ia kalah kuat menerima lawan dan berjungkir menjauhkan diri. Dan karena bukan maksudnya bertanding mati hidup maka iapun berkelebat lagi dan menghilang, mengejar dua kakek iblis itu. "Locianpwe, tunda dulu kemarahanmu. Aku akan menghajar sepasang kakek keparat itu!"

"Tidak bisa, kau dan mereka sama-sama mati, anak muda. Terima pukulanku dan jangan menghindar!"

Thai Liong kewalahan. Terpaksa iapun mempergunakan Beng-tau-sin-jinnya lagi menyelamatkan diri, nenek itu kehilangan jejaknya. Tapi ketika ia melihat Hantu Hitam dan Putih di gunung yang berbeda, tertawa-tawa maka ia menyambar satu di antaranya untuk merampas adiknya Soat Eng. Akan tetapi kakek inipun terkekeh dan meloncat pergi. Sebelum Thai Liong datang menyambar baik Hantu Hitam maupun Putih mengelak dan melarikan diri. Mereka berpindah-pindah dari gunung yang satu ke gunung yang lain. Dan karena We We Moli masih mengejar Thai Liong akhirnya kemarahan pemuda inipun tak dapat dibendung, apalagi ketika Soat Eng dan Siang Le sama-sama berteriak ditekuk punggungnya, siap dipatahkan!

"Aduh, jahanam kau, kakek siluman.... jahanam kau!"

Merahlah mata pemuda ini. We We Moli terus mengejar dirinya dan kadang-kadang juga menghantam dua kakek iblis itu. Thai Liong menghindar dan mengelak sana-sini namun tetap ditekan. Rupanya nenek itupun juga bertekad bahwa pemuda ini harus mati, atau seumur hidup ia tak bakal melampiaskan penasarannya. Maka ketika Thai Liong membentak dan pemuda itu menggedruk bumi, kedua tangannya digosok-gosok sementara mantel jubahnya menggembung seolah tertiup maka Thai Liong tiba-tiba menjadi raksasa setinggi tiga meter oleh gelembung hawa sakti Sin-tiauw-kang, hal yang pernah terjadi di Pulau Api.

"We We Moli, kau nenek tak tahu diri. Baiklah lihat siapa yang roboh dan jangan menyesal!"

Nenek itu terkejut. Ia sedang menyambar dan menyerang untuk kesekian kalinya ketika tiba-tiba pemuda itu berhenti. Gedrukan yang dilakukan Thai Liong membuatnya berseru tertahan, kakinya, terpeleset. Tapi karena ia bukan wanita sembarangan dan masih dapat meluncur menusuk pemuda itu maka sepuluh jarinya yang penuh terisi Bu-kek-kang bertemu sepasang telapak Thai Liong yang tiba-tiba sebesar kepala orang dewasa. Telapak raksasa.

"Duk-plak!"

Nenek ini menjerit. Ia merasa tenaga tolak yang amat besar dari telapak yang besar pula. Empat dari kuku jarinya tertekuk. Dan ketika ia terkejut tapi Thai Liong tak berhenti di situ saja, membentak dan menangkap kedua tangannya maka nenek itupun berteriak karena tahu-tahu tubuhnya diangkat dan dilempar begitu tinggi. "Wuutttt...!" We We Moli melengking dan histeris. la terlempar ke angkasa dan lenyap menembus awan-awan yang putih berarak, begitu tinggi dan tak kelihatan hingga murid-murid Lembah Es menjerit.

Mereka terpekik ketika Thai Liong menjadi raksasa setinggi tiga meter. Gelembung sakti dari Sin-tiauw-kang meniupnya seperti balon, bengkak dan menciptanya menjadl manusia tinggi besar hingga sekali tangkap We We Moli dilontar dan dilenyapkan ke angkasa biru. Kejadian itu membuat para murid ngeri dan tentu saja kaget, semua pucat karena baru kali ini seorang pemuda merubah dirinya menjadi sebesar itu, seorang raksasa. Dan ketika kesaktian ini membuat semua orang mencelos, Thai Liong menggeram dan membalik ke belakang gunung maka tahu-tahu langkahnya yang panjang telah menemukan Hantu Putih menerkam Siang Le.

"Lepaskan adikku...!"

Kakek itu terkejut. Ia sedang terkesima ketika We We Moli, dedengkot Lembah Es dilemper begitu tinggi oleh Thai Liong, lenyap dan menembus langit tak tampak jatuh. Agaknya demikian kuat lontaran itu hingga wanita Lembah Es itu tak pernah turun. We We Moli sudah memasuki angkasa luar. Maka ketika tiba-tiba pemuda itu disampingnya dan sudah membentak, suaranya menggetarkan gunung maka kakek ini menggigil namun menjejakkan kaki kuat-kuat melesat dan menghindar. Siang Le bahkan dicangkeramnya erat-erat. Akan tetapi Thai Liong memiliki langkah-langkah raksasa, juga sudah menduga dan mencegat kelicikan kakek itu, maka ketika ia tiba-tiba berteriak lengan panjang Thai Liong terulur maju menangkap leher bajunya tiba-tiba kakek inipun terlontar dan menjerit ngeri.

"Aaaaaahhhhh...!"

Thai Liong sudah merampas dan mendapatkan kembali adik iparnya itu. Siang Le rupanya pingsan dan tak tahu kejadian ini, dikempit dan Thai Liong sudah mencari kakek satunya si Hantu Hitam. Kakek itu terbelalak di gunung yang lain membawa Soat Eng, melihat betapa kakaknya dilempar dan menjerit ngeri. Maka ketika ia pun menjadi pucat dan gentar oleh kesaktian Thai Liong. Soat Eng juga terbelalak melihat kehebatan kakaknya itu maka pemuda itupun meloncat dan mendekati gunung di mana kakek itu bersembunyi. Langkahnya yang lebar benar-benar memudahkannya menemukan Hantu Hitam.

"Serahkan adikku!" Kakek ini ngeri. la melempar tubuh bergulingan ketika lengan Thai Liong terulur mencengkeram, lengan itu begitu panjang hingga membuat orang ngeri. Tapi ketika ia luput dan Thai Liong mengejar lagi, kakek ini membentak maka Hantu Hitam menangkis mempergunakan Giam-lui-ciangnya.

"Plak!" Kakek itu malah terbanting. Telapak Thai Liong yang sebesar kepalanya terus meluncur maju, kakek itu kalah kuat. Lalu ketika Thai Liong sudah menangkapnya dan kakek ini menjerit maka Thai Liong pun sudah mengangkat dan melempar kakek itu.

"Pergilah...!" Pemuda ini sudah merampas adik perempuannya. Hantu Hitam melesat ke angkasa berteriak ngeri, lenyap dan Soat Eng terbelalak melihat kemarahan kakaknya ini. Tak terasa iapun gentar dan menangis. Tapi ketika Thai Liong rnenurunkannya menyuruhnya melindungi Siang Le tiba-tiba dari angkasa meluncur turun bayangan We We Moli menghantam Thai Liong.

"Desss!" Thai Liong bergoyang dan terkejut. Pemuda yang sudah menjadi raksasa ini membalik dan menggeram. Nenek itu kiranya muncul lagi setelah terlempar demikian tinggi, jatuh dan langsung melepaskan pukulan ke tengkuk pemuda itu. Namun karena Thai Liong sudah dilindungi gelembung hawa sakti Sin-tiauw-kang dan pemuda itupun kian menggelembung tinggi, pukulan ini malah membuatnya semakin besar maka wanita itu terbelalak karena Bu-kek-kangnya membuat pemuda itu semakin gagah, garang!

We We Moli melengking dan semakin penasaran. la sudah turun lagi di bumi mempergunakan langkah-langkah Jit-cap-ji-poh-kun, tubuhnya berkelebatan mengelilingi Thai Liong dan pukulan-pukulannya pun semakin dahsyat. Akan tetapi ketika setiap bak-bik-buk membuat tubuh pemuda itu menggembung dan membengkak, Thai Liong semakin tinggi besar saja maka nenek ini ngeri dan pucat. Thai Liong mendengus dan mengayun sebelah tangannya menyambar nenek itu.

"Kau boleh memukulku sekuatnya, tapi semua itu tak ada gunanya. Heh, kau tokoh tua yang tak tahu diri. We We Moli. Kau wanita kepala batu yang amat sombong. Terimalah dan kuhancurkan kesombonganmu."

Wanita ini terpekik. Lengan Thai Liong tak dapat dielaknya dan iapun menangkis. Tapi begitu terpental dan tangan pemuda itu tetap menyambar ke depan, tengkuknya tahu-tahu ditangkap maka untuk kedua kalinya wanita ini dibuang dan dilempar kuat-kuat. "Aiiiiiithhhhithhhhh....!"

Akan tetapi saat itu turunlah si Hantu Putih. Kakek ini, seperti We We Moli akhirnya jatuh juga setelah melayang-layang demikian tinggi. telah melewati lapisan mega yang paling dingin kembali dan akhirnya jatuh ke bumi setelah diguncang kengerian yang sangat. Maka ketika jatuh kembali dan tepat berada di belakang Thai Liong yang saat itu melempar We We Moli maka Glam-lui-Ciang menghantam pemuda ini didorong kemarahan kakek ini.

"Plakk!" Thai Liong terhuyung dan hampir tersungkur. Demikian kuatnya pukulan itu dilakukan lawan, Hantu Putih girang melihat keberhasilannya. Tapi ketika pukulan itupun membuat Thai Liong menggelembung, inilah keanehan tenaga Rajawali Sakti maka kakek Itu terbelalak ketika Thai Liong tiba-tiba membalik melotot.

"Kaupun masih suka kecurangan? Bagus, terimalah balasanku, kakek iblis. Tangkis dan terimalah dan lihat aku melemparmu ke tempat We We Moli!"

Kakek ini berteriak. la buru-buru menyelinap dan berkelebat menyembunyikan diri begitu Thai Liong membalik dan mengulurkan lengan. langan panjang itu menyambar wajahnya tak berani ia menangkis. Tapi ketika tangan yang lain bergerak dan mencegat dirinya maka tahu-tahu iapun tertangkap dan digenggam Thai Liong. "Tobatt...!"

Thai Liong gemas melempar kakek ini. la meremas dan membuat si kakek menjerit, jari-jarinya yang besar menjepit perut lawan, Hatu Putih bagai hancur ususnya. Tapi ketika ia melempar dan Hantu Hitam jatuh ke bumi, menghantam menolong kakaknya maka Thai Liong lagi - lagi kena pukul dan tergetar serta terhuyung. Hantu Putih kemball melesat ke langit biru.

"Hm-hm, tak tahu diri. Minta kubunuh. Baiklah, aku terpaksa melanggar pantangan, kakek iblis. Kalian berdua hurus mati!"

Namun saat itu jatuhlah Wp We Moli berjungkir balik. Thai Liong yang menahan kemarahannya tak mau membunuh hanya melempar nenek itu tinggi ke udara. la sudah mengejar dan menangkap Hantu Hitam, jarinya memencet dan siap menghancurkan kakek ini. Tapi ketika We We Moli membentak dan meloncat menghantam kepalanya maka Bu-kek-kang membuat pemuda itu terhuyung dan merasa kesakitan.

Akibatnya Hantu Hitarn lepas lagi dan kakek itu berseru girang, bergulingan dan menyelamakan diri dan kakaknya jatuh ke bumi. Thai Liong juga tak mernbunuh kakek ini. Dan ketika ketiganya sudah bergerak dan menyambar-nyambar melepas pukulan, berkelebat mengelilingi dan ganti-berganti saling melindungi maka Thai Liong sudah dikeroyok dan tokoh-tokoh yang semula bermusuhan itu mendadak bersatu padu dan sama-sama ingin membunuh Thai Liong.

"Bagus, heh-heh. Bunuh pemuda ini, Mo-li. Gabung tenaga kita!"

"Dan lindungi yang lain kalau pemuda ini menangkap. Heii, hati-hati, suheng. Jangan terlalu dekat!"

Sambar-menyambarlah tiga dedengkot itu menyerang Thai Liong. Mereka sudah saling menjaga dan melindungi yang lain kalau Thai Liong menyambar dan hendak menangkap. Dua lengan menangkis pemuda itu dari kiri kanan. Dan ketika Thai Liong tergetar dan terhuyung maka ketiganya sudah mengeroyok dan mengelilingi bagai tawon-tawon berbisa yang bisanya tajam.

Marahlah Thai Liong. Tadinya dia hanya hendak menghajar dan merobohkan We We Moli, lalu dua kakek iblis dari Pulau Api ini. Namun ketika mereka mengeroyok dan We We Moli tak lagi bersikap gagah, musuhpun diajak bekerja sama maka pemuda ini mengeluarkan geraman dan menyambar sebongkah batu besar dari pinggang gunung, batu sebesar kerbau!

"We We Moli, kau tak tahu malu. Kau menghancurkan nilai dirimu sendiri. Aku tak akan mengampunimu seperti juga dua kakek iblis ini."

"Buummmm...!" batu itu dibanting Thai Liong menimpa Hantu Putih. Kakek itu berteriak dan melesat pergi, terbelalak melihat batu meledak dan hancur menimpa tempatnya tadi. Lalu ketika berturut-turut Thai Liong, mengangkat dan membanting batu-batu lain, berdebum dan menggetarkan tempat itu maka ngerilah tiga orang ini oleh kemarahan Thai Liong, apalagi ketika tubut pemuda itu menjadi kian tinggi dan besar seanak bukit.

"Ia memiliki To-san-kang (Ilmu Raksasa). Pukulan-pukulan kita malah mempercepa pertumbuhannya!"

"Benar, tapi sesungguhnya ia memiliki Sin-tiauw-kang. He, hati-hati, Mo-li. Ia melempar batu itu kepadamu... buumm...!"

Hampir saja We We Moli tertimpa batu seanak gajah, melesat dan mengelak ke kiri dan batu itupun hancur berkeping keping. Thai Liong begitu marah hingga siapapun menjadi ngeri. Kalau saja tiga orang itu tak memiliki langkah-langkah Jit-Cap-ji-poh-kun belum tentu mereka mampu menghindar, apalagi karena yang lain selalu menolong dan menyelamatkan temannya. Dan ketika Thai Liong dikelilingi semakin cepat, ganti-berganti tiga orang itu mengelak dan melepas serangan akhirnya pemuda ini mencabut sebatang pohon besar dan mengibaskannya ke arah mereka.

"Wherrrrr...!" Hantu Hitam berteriak terlempar. la disapu demikian hebatnya hingga tak mampu menghindar. Kakaknya juga berteriak karena terkibas ranting dan dahan-dahan, pandangan mereka tertutup sementara We We Moli sudah bertindak gesit menyelinap cepat. Nenek itu selamat. Lalu ketika dua kakek itu bergulingan dan Thai Liong membungkuk mendadak si kakek hitam tertangkap dan langsung diremas.

"Aduh!" Teriakan ini menggema penjang. Thai Liong begitu marah mengerahkan tenaganya, tubuh si kakek begitu kecil di telapak tangannya. Maka ketika Hantu Hitam mencoba bertahan dengan mengerahkan semua kekuatannya, jari-jari itu meremas, kuat akhirnya tak kuat juga kakek ini. dan terdengar suara berkeratak dan tulang kakek itupun patah-patah.

"Thai Liong...!"

Pemuda itu melempar kakek yang sudah tewas ini dengan muka merah. Ia telah membunuh Hantu Hitam dan memandang ke bawah. Siang Le, adiknya berteriak dengan muka ngeri. Si buntung itu rupanya sudah sadar dan melihat kedahsyatan Thai Liong, berlutut dan menggigil dan Thai Liong sadar. Hanya dalam keadaan lupa diri saja ia dapat membunuh orang. Maka ketika ia tertegun sementara Hantu Putih menjerit menyambar saudaranya, yang sudah menjadi Mayat.

Maka We We Moli menggigil berkemak-kemik memanggil nenek moyangnya Kim Kong Sengjin, karena hanya kakek itulah agaknya yang mampu mengatasi Thai Liong. Dan langit tiba-tiba menjadi gelap. We We Moli yang masih tak mau kalah akhirnya meminta bantuan dewa pujaannya yang amat sakti, cikal bakal pewaris Bu-kek-kang yang amat dahsyat. Dan ketika suara gemuruh terdengar di langit yang pekat, suasana berubah diikuti deru angin kencang maka Thai Liong juga terkejut karena tujuh gunung di tempat itu tiba-tiba seolah bergerak dan hendak menghimpitnya.

"Ha-ha-ha!" terdengar suara menggelegar di angkasa, bayang-bayang seorang kakek muncul di balik gulungan awan hitam. "Apa maksudmu mengerahkan Bi-kong-seng-sut, We We Moli. Ada apa kau merasa perlu memanggil aku?"

"Ampun...!" We We Moli berlutut, duduk menggigil. "Teecu... teecu dihina seorang pemuda, Sengjin. Bu-kek-kang tak berdaya menghadapinya. Ia memiliki kesaktian dan kesombongan luar biasa. Teecu mohon bantuan!"

"Hm, kau bersahabat dengan orang-orang Pulau Api. Tubuhmu bergelimang amis. Ah, kau melanggar pantangan paling besar, We We Moli. Tahukah kau hukuman apa untuk murid sepertimu ini. Anak muda itu nomor dua!"

"Teecu teecu tak bersahabat dengan orang-orang Pulau Api. Teecu tak meminta bantuan mereka!"

"Tapi kau membiarkan saja bekas Giam-lui-ciang tercium di tubuhmu. Aku tak dapat membantumu karena Bu-kek-kang tak murni lagi di tubuhmu. Ah, ia murid manusia dewa Bu-beng Sian-su, Mo li, dan lihat kakek itu muncul di belakang muridnya!"

We We Moli menoleh. Dengan kaget ia melihat seorang kakek lain membayang-bayangi Thai Liong, wajahnya tertutup halimun namun bibir itu tersenyum lembut, mengangguk dan mengusap Thai Liong dan pemuda itupun menyusut dan tiba-tiba mengecil lagi. Dengan cepat Thai Liong sudah berubah seperti manusia biasa lagi, terduduk dan membelalakkan mata melihat bayang-bayang Kim Kong Sengjin di sana. Lalu ketika ia tertegun berseru tertahan, kakek itu tertawa tiba-tiba Kim Kong Sengjin menepuk kepala nenek ini berkata menggelegar.

"Kau membuat malu aku. Tapamu gagal. Sebagai hukuman aku hendak melemparmu kepuncak Himalaya yang paling sunyi dan bersamadhilah sampai kau tewas. Masalah pemuda ini akan kucarikan tandingannya sebagai penggantimu...blarrr!"

Awan hitam di depan kakek itu meledak, hancur dan angin menderu dahsyat menyambar Lembah Es. Semua murid berteriak karena terangkat dan terbawa naik, Thai Liong juga disambar namun cepat berpegangan pada kaki gurunya. Entah bagaimana Bu-beng Sian-su tiba-tiba muncul di situ menandingi Kim Kong Sengjin, sama-sama berbentuk asap dan Kim Kong Sengjin mendorongkan sebelah lengannya kepada kakek itu. Namun ketika Bu-beng Sian-su juga mendorongkan sebelah lengannya dan terdengar ledakan kuat, awan hitam pecah maka anginpun lenyap dan badai sekilas yang menderu di tempat itu juga sirna bersamaan dengan lenyapnya Kim Kong Sengjin, juga We We Moli.

"Supek-bo...!" Jerit tangis pecah. Yo-siocia, gadis baju merah itu melengking ketika tubuh We We Moli terangkat dan terbawa terbang angin kencang tadi. Semua murid itu terangkat dan terbanting bergulingan, nenek itu yang terus terbawa terbang dan melesat ke angkasa. Dan ketika gadis ini sadar dan memanggil, supek-bo nya, mengejar maka Thai Liong tertegun ketika suara lembut berbisik di belakangnya.

"Sudah nasibmu. Ancaman bahaya akan datang dari gadis ini, Thai Liong. Ia akan lebih hebat dari We We Moli. Kim Kong Sengjin memilihnya kelak. Pulanglah dan bawa anak isterimu ke Sam-liong to dan jangan biarkan isterimu bepergian sendiri."

Thai Liong sadar. Kakek dewa itu, Bu-beng Sian-su menepuk pundaknya dan menghela napas dua kali. la baru saja menengok dan mau bertanya ketika tiba-tiba terdengar panggilan, dua bayangan berkelebat. Dan ketika ia tertegun karena itulah Beng An dan seorang gadis cantik berpakaian serba putih maka Beng An memeluknya girang dengan wajah berseri-seri.

"Liong-ko, kau di sini? Kau telah bertanding dengan We We Moli dan mengalahkan nenek itu? Perkenalkan, inilah Puteri Es yang membuat hatiku jatuh bangun itu, Liong-ko. Dan enci Soat Eng di sini pula kiranya!"

Beng An membalik dan menyambar encinya. Soat Eng terisak dan memeluk pula adiknya ini, disusul Siang Le yang terheran-heran dan kagum memandang gadis baju putih yang cantik jelita itu. Tapi ketika Puteri Es mundur dan terisak menahan tangis, berkelebat dan memasuki istana maka murid-murid Lembah Es yang kaget tapi girang melihat junjungannya itu menghambur berseru.

"Puteri...!"

Terkesimalah Thai Liong dan adik-adiknya itu. Soat Eng juga kagum sekali akan kecantikan gadis keturunan Dinasti Han itu, luar biasa meskipun dingin dan berkesan angkuh. Tak sadar bahwa Sian-su telah meninggalkan mereka dan lenyap secara diam-diam. Maka ketika Thai Liong sadar dan menoleh ke belakang, teringat kakek itu maka pemuda ini mendorong adik-adiknya berseru kaget. "Mana Sian-su"

Soat Eng sadar. Ia tadi juga melihat kakek dewa itu namun karena masih dicekam kejadian menegangkan maka ia pun lupa. Beng An tak melihat apa-apa karena begitu muncul kakek itupun sudah berkelebat menghilang. Entahlah kenapa kakek ini tak mau ditemui pemuda itu. Maka ketika Thai Liong terkejut dan tidak enak, pesan atau kata-kata itu masih terngiang maka ia melompat dan tiba-tiba berkelebat lenyap.

"Kemana, Liong-ko!"

Akan tetapi Rajawali Merah ini menjawab. Ia mencari gadis baju merai Yo-siocia itu, naik turun gunung dan juga kakek iblis dari Pulau Api. Hantu Hitan telah dibunuhnya dan diam-diam ia menyesal juga. Tapi ketlka Hantu Putih tak dilihatnya lagi dan Soat Eng berkelebet di belakangnya maka adiknya itu bertanya,

"Apa yang kau cari, ada apa!"

"Aku mencari gadis itu, tak ada. Ia telah pergi, Eng-moi, tak enak rasanya hati ini."

"Gadis siapa yang kau maksud!"

"Yo-siocia itu."

"Ah, dia yang sakit hati kepadamu? Gadis yang jatuh cinta kepadamu itu? Celaka, aku khawatir melihat sorot matanya, Liong-ko, penuh benci dan kecewa. Ia kau tolak!"

"Mana mungkin kuterima," Thai Liong semburat merah. "Aku sudah menikah, Eng-moi, dan kau agaknya tahu semua kejadian ini. Harap jangan beri tahu Shintala."

"Gila, mana mungkin kuceritakan. Aku mendengar semuanya itu setelah ditangkap kakek jahanam itu, Liong-ko, tapi kau telah membunuh satu diantaranya. Mana sekarang si kakek putih!"

"la juga pergi, mungkin terbawa deru kesaktian Kim Kong Sengjin. Sadahlah kita kembali dan lihat keadaan Beng An, mana suamimu pula!"

"Le-ko menyusul Beng An-te ke istana, murid-murid Lembah Es menangis!"

"Baiklah, mari klta tengok, Eng-moi. Sekali lagi jangan beritahukan Shintala, masalah Yo-siocia itu!"

Soat Eng mengangguk, tahu kesulitan kakaknya dan cemburu kakak iparnya kalau tahu. Wanita mana tak akan sengit kalau suami dicinta orang lain, apalagi sehebat Yo-siacia itu, gadis yang tak malu-malu mintakan ampun ketika kakaknys hendak dibunuh. Tapi ketika Thai Liong, berkelebat dan memasuki istana ternyata, Beng An tertegun di depan pintu tak boleh masuk. Kekasihnya terguncang oleh peristiwa itu, marah dan bingung tapi juga sedih.

"Kongcu harap di luar dulu membiarkan Puteri melepas kedukaannya. Kami sedang dirundung malang, kongcu, antara bakti dan cinta. Biarlah Puteri memanggil kalau beliau sudah ringan."

Beng An terduduk lesu. la baru datang setelah pemberitahuan orang-orang Pulau Api akan kakaknya ini, menyusul Thai Liong dan sempat melihat kejadian terakhir yakni ketika awan hitam bergemuruh di Lembah Es. Melihat ini Wei Ling atau Puteri Es menjadi pucat, Ia menarik Beng An untuk mempercepat langkahnya menuju istana dan berkata bahwa sesatu yang hebat terjadi. Tapi ketika semua berakhir dan Kim Kong Sengjin pergi, juga supek-bonya We We Moli maka gadis ini melihat tempat yang berantakan bekas pertempuran dahsyat.

"Supek-bo, pergi, tak ada siapa-siapa lagi di sini. Ah, hari ini Lembah Es benar-benar mengalami kehancurannya, puteri. Tak sepantasnya keluarga Pendekar Rambut Emas itu menghina kita. Pemuda itu merendahkan martabat kita, dimana sikapnya yang keterlaluan. Entah bagaimana kalau nanti mereka menjadi besan kita, jangan-jangan lebih sombong!"

Seng-hwa, gadis baju kuning yang tak senang dan diam-diam iri kepada kehebatan Thai Liong mulai membakar. Dialah gadis yang galak dan angkuh itu, tinggi hati dan sombong dan diam-diam sesungguhnya cemburu kepada kebahagiaan Puten Es ini, juga Yo-Siocia yang gagal mendapatkan Thai Liong. Sesungguhnya ia merasa tak senang kenapa orang-orang lain yang harus mendapatkan pemuda-pemuda gagah itu, bukan dirinya. Dan karena iapun sesungguhnya kagum tapi benci merasa gagal, tak mungkin pemuda-pemuda seperti Thai Liong atau Beng An itu tertarik kepadanya maka mulailah ia menggosok dan membakar Puteri Es.

"Hamba rasa tak sepatutnya pemuda itu memalukan supek-bo. Kalau ia mau mengalah dan bersikap lebih baik tentu supek-bo tak akan dibuang ke Himalaya, dan paduka mendapat restunya. Ooh, sekarang semuanya benar-benar hancur, Puteri. Tak mungkin paduka meminta restu supek-bo yang dihina keluarga Pendekar Rambut Emas. Kakak dari Kim-kongcu itu luar biasa sombong tapi memang berkepandaian tinggi. Kesaktiannya luar biasa!"

Mengguguklah Puteri Es. la segera mendengar cerita kekalahan supek-bonya. kekalahan yang tentu menyakitkan dan meninggalkan dandam. Dan karena cerita itu dilontarkan Sam-hwa, murid yaag tertua di situ maka kata-kata gadis ini membuat ia mendidih dan terbekar. Betapapun kesetiaannya kepada seorang yang lebih tua masih tertanam dan berakar kuat.

"Dan yang menyakitkan adalak Yo-suci itu. Terang-terangan ia ditolak, Puteri. Bayangkan betapa sakit dan luka perasaannya setelah pemuda itu menolak keinginan supek-bo. Pemuda itu menepis begitu saja syarat mudah yang diberikan supek-bo, padahal itu adalah satu penghargaan dan hormat kepadanya yang belum pernah dilakukan Lembah Es selama ini”. "Apa yang diinginkan supek-bo?"

"Memberikan suci sebagai isterinya. Syarat kalau ia menjodohkan adiknya dengan paduka!"

Mengguguklah Puteri Es. Sam-hwa juga bercerita tentang ini, betapa ia harus menerima Yo Lin kalau hendak menjodohkan Beng An. Tapi karena pemuda itu menolak dan terjadilah kemarahan We We Moli maka gadis itu juga menangis seolah menahan kekecewaannya. Puteri Es terbakar dan mulai tersinggung sampai tiba-tiba ia menjerit-jerit. Cerita demi cerita yang didengar adalah menusuk-nusuk. Dan ketika ia meloncat bangiun dan berkelebat ke belakang.akhirnya diserukan agar semua oraang-orang di luar Itu disuruh pergi. Keluarga Pendekar Rambut Emas harus enyah dari situ.

"Katakan pada mereka agar segera angkat kaki dari tempat ini. Juga Beng An. Tak perlu ia menunggu dan menengok aku!!!"

Gembiralah gadis baju kuning ini. Ia memasuki suasana yang bagus dan berhasil mengisi,semua itu dengan tusakan kata-kata yang tajam , Baginya biarlah Puteri Es melajang sebagaimana dirinya sendiri. Lembah Es biarlah tetap seperti dulu-dulu yang tak pernah mengenal lelaki. Maka ketika ia bangkit dan buru-buru keluar menggigil dan pura pura ketakutan di depan Beng An maka, gadis ini berkata bahwa puteri tak mau diganggu, harap mereka semua pergi.

"Maafkan kami. Putari tak mau diganggu. Kau dan saudara-saudaramu di minta pergi, kongcu. Harap kalian pergi dan jangan tambah kedukaan kami dengan kehadiran kalian di sini."

Beng An terkejut. "Ia menyuruhku pergi?"

. “Benar, Puteri tak mau menemui kongcu.Katanya biarlan, semuu pergi dan tak usah kembali ke sini. Aku hanya melaksanakan pesan... wut!"

Beng An berkelebat, mendorong dan membuat gadis itu berteriak dan larilah pemuda ini ke dalam istana. Di sana di ruang dalam masih berkumpul murid-murid Lembah Es, menangis dan sesenggukan dan mereka tak tahu apa yang harus mereka lakukan. Puteri Es entah kemana. Dan ketika Beng An tertegun dan menggigil di sini, menyambar satu di antaranya maka pemuda itu membentak bertanya kekasihnya, tentu saja penesaran kenapa Puteri Es mengusirnya.

"Katakan kepadaku di mana junjunganmu berada. Cepat, atau kulempar nanti!"

"Hamba... hamba tak tahu. Ampunkan hamba, kongcu, Puteri meninggalkan kami di belakang...!"

Beng An melepas dan melempar gadis ini. Ia beringas menuju belakang, berputar dan mencari namun sang puteri tak ada. Jelas bahwa puteri itu bersembunyi, tak mau ditemui. Dan ketika Beng An mulai mengamuk dan menendang pintu-pintu kamar maka muncullah kakaknya, berdua Soat Eng "Wei Ling..Ling-moi, keluarlah! Aku tak akan pergi kalau kau belum muncul. Hayo, keluar dan temui dulu aku!"

Namun Thai Liong menyambar dan mencengkeram pundak adiknya ini. Beng An tampak marah dan menendangi dan semua itu bisa menciptakan keributan baru. Sebagai pemuda yang telah matang dan mampu membaca keadaan maka Rajawall Merah ini maklum bahwa Puteri Es terluka hatinya. la tak menduga akan hati busuk Sam-hwa, tak mengira, bahwa satu dari gadis-gadis Lembah Es itu menanamkan kebencian kepada Puteri Es ini, termakan. Maka ketika ia mencengkeram adiknya dan menyadarkan bahwa perbuatan itu hanya membuat marah orang lain maka ia membujuk agar Benh An pergi saja dari situ.

"Keadaan memang runyam. Ia sedang terpukul perasaannya. Biarlah kita pergi menuruti permintaannya Beng An. Kelak datang lagi kalau ia mereda. Tak usah merusak ini-itu karena hanya akan menimbulkan kemarahan baru. Maaf aku telah mendengar itu."

"Pulang, Aku pulang? Tidak, kau boleh pergi dan pulang. Liong-ko, akan tetapi aku tetap di sini sarnpai gadis itu muncul. Aku penasaran kenapa ia menyuruhku pergi. Aku ingin bertemu dan minta penjelasan. Kau pulanglah dan biar nanti kususul!"

"Hm. kau tak boleh marah-marah begini. Kalau kaupun masih marah-marah di saat kekasihmu muncul maka keadaan tak bertambah baik, Beng An, semua ini harus diselesaikan dengan kepala dingin. Aku memang hendak pargi karena tugasku selesai. Aku girang bertemu denganmu tapi jangan marah-marah. Betapa-pun kita di tempat orang lain."

"Aku tahu, tapi kau tak dapat membujukku. Kau pulanglah dan nanti kususul Liong-ko. Biarlah kutemui gadis itu dan kuminta penjelasannya. Betapapun aku tak mau pergi!"

"Kau jangan menyalahkan kakakmu!" Soat Eng mulai khawatir, melihat sesuatu yang tidak enak. "Kalau kami pergi harap jangan menambah persoalan baru adikku. Betapapun kakakmu berusaha mati-matian untuk kebahagiaanmu. Kalau kami pergi kau harus bicara baik-baik kepada Puteri Es!"

"Aku tahu, enci tak usah khawatir. Sudahlah biarkan aku mencarinya dan tak akan pergi kalau belum ketemu!"

Beng An yang meloncat dan akhirnya mencari lagi segera membuat dua kakaknya menarik napas dalam, maklum bahwa sekali pemuda itu bicara seperti itu apapun akan dilakukannya. Beng An adalah cucu jago pedang Hu Beng Kui, kekerasan dan darah kakeknya masih mengalir kental. Maka ketika maklum bahwa sang adik tak dapat dicegah, harus dibiarkan sendiri akhirnya Thai Liong berkelebat meninggalkan tempat itu, disusul oleh Soat Eng dan Siang Le yang sejak tadi diam saja di belakang isterinya.

Sebagai ipar si buntung ini merasa orang luar, ia tak berani jauh memasuki terlalu dalam. Dan merasa tak perlu berpamitan lagi akhirnya tiga orang inipun menuruni gunung sementara Thai Liong menunjukkan muka muram , dan khawatir karena firasatnya memberitahukan sesuatu yang bakal gawat, mendebarkan!

* * * * * * *

Beng An benar-benar pemuda yang keras hati dan keras kemauan. Begitu saudara-saudaranya pergi meninggalkan Lembah Es adalah dia berputaran dan mencari kekasihnya. Sehari itu dia gagal. Tapi ketika hari kedua dan hari-hari seterusnya dilakukan tak mengenal lelah akhirnya perasaan gelisah membuatnya lupa makan minum. sementara di balik sebuah guha tersembunyi mengintai sepasang mata basah Puteri Es!

Gadis ini sejak terpukul oleh cerita Sam-hwa benar-benar di persimpangan jalan yang berat , Sebagai murid dan penghuni Lembah Es sudah sewajarnya jika ia membela sesepuhnya We We Moli. Sudah puluhan tahun ini tak pernah ada orang mengalahkan Lembah Es. Hadirnya dedengkot itu membuat segan para lawan, bahkan orang-orang Pulau Api.

Tapi ketika hari itu supek-bonya dikalahkan orang, yang pantas sebagai muridnya sendiri maka tak heran kalau diam-diam penghuni Lembah merasa sakit. Betapapun harga diri mereka telah tertanam kuat selama ini. Merasa sebagai keturunan Dinasti Han dan pewaris Kim Kong Sengjin maka rata-rata penghuni memiliki semacam rasa super.

Kini rasa itu dihancurkan Thai Liong dan sesepuh mereka dihukum di puncak Himalaya. Tak ada yang membuat sakit selain menerima sebuah kekalahan. Tapi karena perasaan itu ditambah oleh sikap Thai Liong yang dianggap sombong, begitu Sam-hwa menceritakan maka gadis ini merasa tertusuk-tusuk dan terhina. Belum pernah selama ini Lenbah Es menyodor-nyodorkan muridnya untuk dijodohkan dengan orang lain, bahkan dirinya sendiri di larang berjodoh dengan Beng An, jatuh bangun dan harus mengalami derita!

Puteri Es benar-benar menangis. Di pihak ini ia merasa terhina, tapi di pihak lain ia teringat Beng An dan kebaikan pemuda itu. Apakah ia harus memusuhi pemuda ini gara-gara kakaknya? Apakah ia harus mengurung diri terus-menerus sementara pemuda itu memanggil-manggil namanya? Dan melihat betapa kian lama Beng An menjadi kian kurus akhirnya Puteri Es tersedu-sedu dan menutupi mukanya dengan perasaan luluh. Akan tetapi gadis inipun adalah gadis keras hati yang sudah digembleng suasana serba dingin.

Betapapun cintanya menggebu tetap ia tahan. Kalau Beng An berkelebat dan lewat di depan guhanya maka ia melengos, menahan segala perasaan. Tapi ketika dua minggu lewat dengan memendam segala perasaan bercampur aduk akhirnya Beng An tahu bahwa di sekitar situ dirinya bersembunyi maka gemetarlah pemuda itu meratap, roboh terduduk.

"Duh, Ling-moi yang kejam. Masih seperti itukah sikapmu kepadaku? Kau tak mau keluar dan menemui aku memberi penjelasan? aku siap mati di tempat ini, moi-moi. Biarlah aku mati dan kau lihat kematianku!"

Beng An duduk dan gemetar bersila. Ia kelihatan kurus dan pucat sementara pakaianpun compang-camping. Siapapun melihat pasti terharu. Dan ketika pemuda itu duduk namun roboh tak kuat, bukan lapar melainkan oleh batin yang tersayat-sayat maka Puteri Es hampir saja menjerit melihat betapa wajah Beng An lebam oleh tangis. Pipi itu bengkak sementara mata itupun cekung dan redup. Mata orang yang patah hati!

Puteri Es menutupi muka. Secara kebetulan pemuda itu duduk di depan guhanya, di depan celah pengintai itu. Maka ketika ia dapat melihat dan tersayat-sayat, pemuda itu benar-benar tak menghiraukan dirinya sendiri maka Beng An bangun dan duduk membetulkan kakinya, bersila. Gadis ini hampir tak tahan. la melihat betapa pemuda itu gemetar menggigil, giginya berketrukan dan kebetulan musim itu musim salju. Bongkah-bongkah es membuat Beng An kedinginan, tampaknya tak mengerahkan sinkang dan membiarkan siksa dan derita menderanya. Agaknya Beng An memang siap mati!

Tapi ketika puteri ini menahan semua perasaannya dan menyaksikan dari balik guha, kekerasan hatinyapun dikerahkan maka ia menggigit bibir ketika Beng An mendesis kedinginan. Sehari itu Beng An tersiksa lahir batin. Hari-hari berikut juga dilewati tanpa perduli. Ia membiarkan saja semut dan serangga menyerbu mukanya, juga ular salju yang membuat Puteri Es pucat dan hampir berkelebat keluar. Ular itu amat tajam racunnya, mematikan.

Tapi karena Beng An tak bergerak seperti arca batu, ular menggeleser dan merayap pergi maka hewan-hewan lain mulai menggigiti pemuda ini, tikus dan musang putih. Beng An membiarkan saja bajunya dikerikiti. la juga membiarkan tubuhnya di gigit dan dijilat-jilat, darah mulai mengalir. Tapi ketika pada hari ketiga kecoa dan burung pelatuk hinggap di rambutnya, membuat sarang maka Puteri E tak tahan lagi dan menjerit keluar.

"Beng An...!"

Pemuda ini setengah sadar setengah tidak. la benar-benar telah menyerahkan jiwa raganya kepada Alam. la telah putus asa mencari kekasihnya. Maka ketika jeritan itu seolah terdengar di alam mimpi indah namun memabokkan maka Beng An tak sadar kalau dirinya sudah ditubruk dan diremas-remas. Sang puteri telah keluar dan mengguncang-guncang tubuhnya, kecoa dan tikus hutan diinjak mampus.

"Aku di sini...!"

"Tidak, oh tidak... aku cuma mimpi...!" keluh Beng An dengan lirih.

"Beng An, aku telah datang. Lihatlah dan hentikan kenekatanmu bunuh diri ini. Lihat betapa serangga dan semut-semut busuk mengganggumu. Bangunlah, Beng An... bangunlah!"

Beng An serasa mimpi. la telah kehilangan sebagian besar semangat dan tenaganya. la telah berada di ambang batas maut antara mati dan hidup. Tapi ketika ia diguncang-guncang dan suara itu melengking-lengking, perlahan-lahan kesadarannya tertarik kembali maka Beng An membuka mata dan dilihatnya kekasihnya itu, menciumi mukanya.

"Ooh, tidak... kau tak boleh mati, Beng An. Kau tak boleh mati. Bangun dan lihatlah aku dan jangan pergi!"

Puteri Es benar-benar menangis. la pucat dan ngeri melihat betapa Beng An benar-benar dingin. Tubuh itu seolah kehilangan rohnya dan beku, tak ada denyut nadi. Namun ketika Beng An membuka matanya dan perlahan-lahan sadar, mengeluh dan dipeluk kuat akhirnya sang puteri mendekap pan menciuminya dengan air mata bercucuran.

"Lihatlah, ini aku. Kau harus tetap hidup, Beng An, jangan mati. Aku di sini dan telah menemuimu!"

Beng An tersenyum. Tadinya ia merasa mimpi dan diguncang-guncang. Tubuhnya lemah akan tetapi semangatnya tiba-tiba hidup. Wei Ling telah di situ, kekasinya telah mau menemuinya. Namun karena ia terlampau lemas dan lapar serta haus maka ia pun terguling dan pingsan.

"Beng An!" Sang puteri hampir kalap. la mengira Beng An mati dan meninggalkan dirinya selama-lamanya. la menjerit.

Tapi ketika berkelebat sesosok bayangan dan Hwa Seng muncul di situ, menahan air mata, maka gadis yang hilang sebelah telinganya ini berkata, "Puteri, Kim-kongcu hanya pingsan, tak apa-apa. Biarlah kutolong dan harap paduka tenang!"

Gadis itu tersedu-sedu. Ia melihat pembantunya membawa Beng An ke dalam guha, mengurut dan mengambilkan air minum lalu mencekokinya. Dan ketika pemuda itu sadar dan membuka mata kembali maka Hwa Seng menyerahkan kembali kepada majikannya. Puteri Es bercucuran air mata.

"Puteri lihatlah, ia siuman. la tak apa-apa, Puteri, hanya kelelahan dan lemas saja. Biarlah paduka yang mengurusnya sekarang dan hamba menunggu di luar."

Gadis ini berkelebat membiarkan Puteri menolong Beng An. Sesungguhnya dialah yang menunjukkan guha itu kepada Beng An, diam-diam mengawasi dari jauh dan Hwa Seng tentu saja ikut menangis. la tahu betapa besar cinta pemuda itu kepada junjungannya, seperti juga junjungannya terhadap Beng An. Maka ketika ia lega bahwa sang Puteri akhirnya mau keluar, berdegup kalau Beng An tewas maka gadis ini muncul dan melakukan pertolongan pertama ketika junjungannya panik.

Beng An telah duduk bersandar. Seteguk air dingin yang diberikan Hwa Seng terasa luar biasa. la merasa kerongkongannya segar dan pulih kembali, Ia menatap sayu memandang kekasihnya itu. Dan ketika Wei Ling menubruk ddan memeluknya erat-erat, diguncang tangis bertubi-tubi akhirnya pemuda ini bergerak membelai rambut yang hitam gemuk itu.

"Moi-moi, kau tak membiarkan aku mati? Kau masih mau menemuiku dan menyelamatkan aku? Ah, apa artinya semua ini, moi-moi. Kenapa kau membuatku bingung dan penasaran. Kau mengusirku pergi!"

"Aku... aku benci kepada kakakmu. la membuatku seperti ini, Beng An, malah menyusahkan kita. la sombong!"

"Hm-hm, duduklah, apa artinya omonganmu ini. Kakakku tak pernah seperti itu, Ling-moi. Kakakku orang baik-baik yang amat menjaga perasaan orang lain. Kau keliru!"

"Apa, keliru? Tentu saja, kau adiknya, Beng An. la kakakmu. Kau tak dapat melepaskan diri dari ikatan batin seorang saudara. la keji dan kejam melebihi orang-orang yang kutemui. la berani menghina Lembah Es!"

"Tidak!" Beng An berkerut kening, suaranya marah. "Kakakku tak pernah menghina orang lain, Ling-moi. Aku tahu betul wataknya. la baik seperti ayah!"

"Kalau begitu jangan buat malu supek-bo ku. Jangan menghina orang tua dan mengalahkannya dengan kesombongan!”

"Hm, kau terbawa perasaanmu sebagai murid Lembah Es. Kalau supek-bomu tak bersikap keterlaluan tak mungkin kakakku begitu, Ling-moi. Kau tak boleh membela orang salah, meskipun angkatan tua!"

"Tapi ia membuat supek-boku dihukum!"

"Itu memang salahnya...!"

"Ah, kau tak tahu perasaan orang yang terluka, Beng An! Kau membela kakakmu sendiri. Kau terikat hubunganmu sebagai saudara!"

"Dan kau sebagai murid. Hm, kaupun tak dapat melepaskan dirimu secara jujur, Ling-moi. Aku pribadi menganggap supek-bomu orang yang kejam. Lihat kelakuannya kepada kita, apa yang dia perbuat. Kakakku tak mungkin mengalahkannya kalau ia tahu diri!"

"Kau... kau menghina sesepuh Lembah Es? Kau semakin membela kakakmu? Eh, mati hidup seorang murid harus setia kepada atasannya, Beng An. Benar tidak benar rasa kesetiaan ini tak boleh hilang. Aku menyalahkan kakakmu karena ia lancang mencampuri urusan kita. Siapa suruh ia ikut campur hingga akibatnya begini!"

Beng An terkejut. Kekasihnya membanting-banting kaki dan menangis tersedu-sedu. Rasa marahnya berkurang. Tapi ketika tiba-tiba gadis itu membalik dan menghadapinya lagi, air mata bercucuran membasahi muka maka terdengarlah kata-katanya yang amat mengejutkan, bagai geledek di siang bolong.

"Beng An, tak ada ampun untuk kakakmu itu. Kita bakal berselisih terus kalau membicarakan ini. Nah, sekarang. Aku kehilangan seorang tetuaku gara-gara kakakmu itu. Singkirkan dia kalau kau ingin terus bersamaku atau kita putus sempai di sini. Lembah Es tak boleh terlampau diinjak-injak!"

Beng An mengeluarkan suara tertahan. Kerongkongan yang basah tiba-tiba seolah kering kembali, kata-kata itu mengejutkannya bagai sengatan seekor lebah. Ia tersentak. Dan ketika perlahan-lahan pemuda ini bangkit berdiri dan memandang pucat maka Beng An bertanya dengan suara tersendat-sendat.

"Ling-moi, kau.. A... apa maksudmu dengan kata-kata menyingkirkan itu. Apa maumu. Apakah kau hendak menyuruh aku membunuh kakakku? Apakah kau minta aku melenyapkannya?"

"Benar!" gadis itu berseru tinggi. "Kalau kau mencintai aku tentu tak keberatan melaksanakan ini, Beng An. Tapi kalau kau mencintai kakakmu pergilah dan jangan temui aku. Syarat untuk perjodohan ini adalah kakakmu, emas kawinnya ibu jari tangan kanannya!"

Beng An berteriak histeris. Pemuda ini tiba-tiba menjadi beringas dan menubruk ke depan, tangan kirinya menampar gadis itu. Tapi ketika Puteri Es mengelak dan Beng An roboh maka pemuda itu terjerumus karena lemas dan lelah. "Kau... kau gila...brukk!"

Beng An mengguguk dan meratap lantai. la membiarkan diri tengkurap di situ dan tersayat-sayat. Ia merasa betapa hebatnya permintaan gadis ini, permintaan gila. Tapi ketika gadis itu tersenyum mengejek dan sama sekali tak menolongnya, bangkitlah kemarahan Beng An maka pemuda ini membalik dan gemetar duduk, terhuyung berdiri.

"Wei Ling, kau.... kau meminta emas kawin yang tak mungkin kupenuhi? Kau menyuruhku membunuh dan mencelakai kakakku? Ha-ha, tak ada permintaan segila dari yang namanya cinta, Wei Ling. Kau menyudutkan aku untuk melakukan sesuatu. Aku masih waras, kau berotak miring. Baiklah kukatakan bahwa aku lebih mencintai kakakku daripada dirimu. Kau membela supek-bo mu yang jahat itu. Kalau kau mengatakan kakakku yang menjadi gara-gara maka justeru aku menuduh wanita siluman itu. Supek-bo mu itulah yang keji, dia iblis wanita jahat!"

"Tutup mulutmu. Jangan menghina dan memaki-maki sesepuh Lembah Es, Beng An, atau kuhajar kau nanti!"

"Kau mau membunuhku? Baik, lakukanlah, Wei Ling. Mari kaubunuh aku dan biar kematianku menjadi pelajaran bagimu! Beng An meloncat dan menerkam kekasihnya ini, mata kemerah-merahan dan kemarahanpun meledak. la benar benar marah mendengar keputusan itu. Gadis ini dianggapnya gila. Dan karena ia tak tahu hasutan Sam-hwa dan betapa gadis itu telah memasukkan racun, kata- kata yang amat berbisa maka Puteri Es pun marah karena diarggapnya Beng An tak setia kepada cintanya, berani putus dan membuatnya hancur!

"Plak-dess!" Beng An terlempar dan terbanting. Pemuda ini sebagaimana diketahui telah hampir sebulan tak mengurus dirinya. ia tak menghiraukan makan minum. Maka ketika ia di elak dan menerima tendangan tak ampun lagi tubuhnya mencelat dan berdebuk keluar guha. Akan tetapi Beng An tertawa-tawa, masuk lagi. la terhuyung dan memaki-maki We We Moli sebagai siluman jahat dan iblis keji, hal yang membuat Puteri Es semakin marah karena gurunya dihina. Maka ketika ia menampar dan Beng An roboh lagi, tertawa dan bangkit lagi akhirnya Puteri Es mengamuk dan menghajar pemuda ini.

"Tutup mulutmu, atau kubunuh kau. Heh, tutup mulutmu, Beng An, jangan memaki dan menghina sesepuh kami atau kau kubunuh!"

"Ha-ha-heh-heh... We We Moli memang iblis keji, Wei Ling. Dia siluman jahat yang tak punya jantung. Kalau ia punya perasaan tentu tak akan begini jadinya nasib kita. Ayo, ayo bunuhlah aku dan hajar sepuasmu.. plak-bik-buk!"

Beng An tertawa-tawa menerima pukulan sementara Puteri Es melengking-lengking. Gadis ini kian marah oleh ocehan Beng An. Tapi ketika pemuda itu terlempar ke luar guha dan terbanting amat keras, mengeluh maka berkelebatlah Hwa Seng menjerit pucat.

"Puteri, jangan bunuh pemuda ini!"

Puteri Es berdiri tertegun. Hwa Seng menghadang di depan dengan air mata bercucuran, gadis itu menangis dan melindungi Beng An namun Beng An akhirnya pingsan. Pukulan batinnya terlalu berat. Dan ketika gadis itu mengguguk dan berlutut memeriksa maka akhirnya pelayan ini mengiba, berlutut memegangi kaki majikannya.

"Ampun, jangan bunuh dia. Kim-kongcu pingsan, Puteri. Telah cukup penderitaannya selama ini. Kalau paduka mengijinkan biarlah hamba membawanya keluar Lembah Es. Jangan bunuh dia!"

Puteri ini menggigil. Setelah Beng An pingsan dan tak memaki-maki maka iapun luluh dan semakin hancur. Pemuda yang dicintainya itu membujur babak-belur. la telah menyiksa cukup kejam. Maka ketika pelayannya berlutut dan memohon ijinnya maka gadis inipun membalik dan tersedu-sedu. "Keluarlah, bawa ia keluar. Aku benci kepadanya, Hwa Seng. Aku benci keluarga Pendekar Rambut Emas. Bawa ia keluar dan jangan kembali lagi!"

Kata-kata terakhir ditangkap salah. Hwa Seng mengira bahwa iapun tak diperkenankan kembali ke Lembah Es. ialah yang membawa pemuda itu dan kini membawa sengsara. Maka tersedu dan mengangkat tubuh Beng An pelayan inipun meratap terhuyung, diri sendiri dirasa pembawa dosa paling awal.

"Ampunkan hamba. Hamba tak sengaja semuanya ini, Puteri, hamba mengaku bersalah. Kalau hamba pun tak boleh lagi berada di sini biarlah hamba keluar!" Gadis itu terseok dan jatuh bangun. Hwa Seng benar-benar terpukul oleh perintah junjungannya, keluar dan membawa Beng An melewati gunung demi gunung. Dan ketika ia keluar Lembah Es dan jatuh di perbatasan maka Beng An pun sadar dan mendengar tangis gadis itu.

"Aduh, berat niat cobaan hamba. Hamba bersalah dan akan menebus dosa, Puteri. Biarlah hamba menanggung kutuk dan azab ini. Semoga hamba tabah!"

Beng An membuka mata. la merasa sekujur tubuhnya sakit-sakit dan mendengar keluh-kesah itu, tangis yang menyayat hati. Lalu ketika dilihatnya Hwa Seng di situ ia pun tertegun dan bangkit duduk. Gadis itu sesenggukan menutupi mukanya "Hwa Seng... " panggilan itu lirih. "Aku sudah matikah? Kita di alam kematian?"

"Aduh!" gadis itu terkejut. "Kau sudah sadar, kongcu? Tak apa-apa Ah, maafkan aku. Aku yang menjadi biang keladi semuanya ini, kongcu. Kalau dulu aku tak membawamu ke sini tentu kau tak akan menderita seperti ini. Kita sudah diusir, aku tak boleh tinggal di Lembah Es lagi...!"

"Apa?" Beng An tergetar. Kau diusir juga?"

"Sudahlah, kita memang sial, kongcu, kita harus pergi. Marilah kupanggul dan biar kuobati luka-lukamu. Tubuhmu babak belur."

"Tidak, aku dapat berjalan sendiri!" Beng An bangkit dan memaksa. Aku merasa kuat. Hwa Seng. Aku... brukk!"

Beng An roboh, tak sesuai omongannya dan gadis itu menyambar. Memang pemuda ini masih lemah dan hanya karena kegagahannya saja dia bicara seperti itu. Dan ketika ia mengeluh namun Hwa Seng mengurut kaki tangannya maka gadis Lembah Es ini terisak namun tak dapat menahan senyum.

"Kongcu, kau kehabisan tenaga. Tak usah malu-malu. Marilah kupanggul dan kita mencari perahu!"

Beng An tak dapat berbuat apa-apa. la memang lemah dan kehancuran hatinya membuat segalanya terasa berat. Mengangkat tubuh sendiripun rasanya tak kuat. Maka ketika ia menggigit bibir menahan pedih, Hwa Seng tak ragu mengangkat dan memanggulnya di pundak ia pun memejamkan mata merasa terharu. "Hwa Seng, kau benar-benar gadis yang amat baik. Bawalah aku pulang ke orang tuaku di utara. Aku merepotkanmu."

"Tidak, aku bangga. Kalau boleh aku bersamamu tentu saja aku lebih gembira kongcu. Betapapun kau calon suami Puteri Es. Aku pelayanmu!"

Beng An terbatuk. Kata-kata gadis ini justeru menyayat lukanya yang sudah teriris, ia tersengat oleh sesuatu yang pedih. Tapi ketika gadis itu meloncat dan lari membawanya turun naik bukit maka Beng An diam saja sampai akhirnya mereka tiba di lautan es itu. Hwa Seng tak banyak bicara. Ia bekerja cepat mencari perahu, menarik dan mengeluarkannya dari tumpukan salju yang rupanya disembunyikan. Itulah perahu milik murid-murid Lembah Es yang akan bepergian, mencari ransum umpamanya.

Dan ketika Beng An ditaruh di situ dan gadis itu mendayung perahunya maka benda inipun meluncur mencari tempat-tempat lunak menghindari bebatuan es, Beng An hanya terguncang sana-sini jika sesekali perahu membentur karang, banyak terdapat gunung-gunung es kecil di situ. Tapi karena gadis ini amat sabar dan telaten memilih tempat-tempat baik, perahu meluncur dan akhirnya berada di samudera luas maka menjauhlah tepian Lembah sampai akhirnya benar-benar lenyap tak tampak lagi.

* * * * * * * *

Bukan main sedihnya Pendekar Rambut Emas menerima kedatangan puteranya ini. Bagai orang linglung dan setengah gila Beng An tertawa-tawa sepanjang jalan. Rambutnya dibiarkan memanjang dan kusut, pakaianpun compang-camping tak keruan. Hanya karena Hwa Seng menjaganya sedemikian rupa maka pemuda itu masih mau mandi dan membersihkan tubuhnya. Beng An masih bersih meskipun seperti orang gila, rambut acak-acakan. Dan ketika pagi itu mereka berada di padang rumput bangsa Tar-tar maka di sini pendekar itu kelusr menyambut. Anehnya Thai Liong dan Soat Eng serta Siang Le belum datang.

"Ayah..." Beng An masih ingat dan tiba-tiba menubruk ayahnya ini.

Hwa Seng, yang berada di belakangnya cepat membungkuk dan menahan air mata. Tentu saja pendekar itu mengenal gadis ini. Dan ketika Beng An mengguguk dan tiba-tiba tertawa aneh, mendorong dan merenggut lepas dirinya maka pemuda ini bertanya liar di manakah kakaknya Thai Liong.

"Mana Liong-ko, mana enci Soat Eng. He... mana mereka, ayah. Kenapa tak kulihat!"

Pendekar Rambut Emas mengerutkan kening.b"Kau kenapa? Apa yang terjadi? Kau tak wajar sebagaimana biasanya, puteraku. Apa yang menimpamu dan kenapa dirimu berubah seperti ini. Kakak-kakakmu belum datang, mereka mencarimu."

"Ha-ha, bagus. Dan mana ibu. Eh, kau sudah mengambilnya sebagai isteri bukan, ayah? Mana ibu, aku kangen kepada ibu!"

Kim-mou-eng terbelalak. Pendekar ini mengerutkan kening melihat puteranya terhuyung memasuki rumah, memanggil-manggil Cao Cun dan keluarlah wanita itu memapak Beng An. Bersama dengan wanita ini keluar pula tiga anak-anak yang bukan lain Siang Hwa dan Siang Lan serta Bun Tiong. Anak-anak itu bersorak memanggil pamannya. Namun ketika Beng An ha-ha-he-he dan menubruk bibinya maka pemuda ini tak menghiraukan yang lain dan tangispun tiba-tiba meledak lagi.

"Aduh, kau benar-benar seperti ibuku. Ah, syukur kau berbahagia dengan ayah, ibu. Aku senang melihatmu gembira dan bahagia di sini. Aku iri!"

Cao Cun tertegun. Tentu saja ia tak mengerti sikap Beng An yang dinilainya luar biasa ini. la tadinya siap menyambut dan berseru girang. Tapi ketika pemuda itu mengguguk dan malah memeluknya erat-erat, menyusupkan kepala di bawah lehernya maka Cao Cun tercekik dan merasa heran kenapa pemuda ini seperti orang tidak waras. Rambutnya panjang dan kusut, layaknya seperti orang gila saja!

"Beng An, apa yang terjadi padamu, kenapa begini, Pakaianmu compang-camping!"

"Ha-ha, hatiku lebih compang-camping lagi, ibu. Aku terobek-robek. Aku.. aku..."

Beng An mengguguk. Kalau sudah begini maka Hwa Seng cepat-cepat menyusulnya dan menyambar tubuh itu. Beng An limbung. Dan ketika pemuda itu menangis lalu tertawa lagi, Cao Cun berdebar maka wanita inipun menangis dan menjerit menerkam puteranya. Akan tetapi Pendekar Rambut Emas mendorong tubuhnya. la memberi isyarat agar wanita itu diam, anak-anak di sana terbelalak dan kaget. Lalu ketika pendekar ini bertänya kepada Hwa Seng maka gadis itu tersedu mengerti maksudnya.

"Kau yang sudah melayaninya berhari-hari. Bawalah ia ke dalam dan temui aku sesudah itu, nona. Ceritakanlah kepadaku apa yang terjadi. Puteraku rupanya menderita pukulan batin."

Hwa Seng mengangguk. Cepat ia membawa Beng An ke kamar, diam-diam kagum bahwa pendekar itu tak begitu goyah, meskipun ia yakin bahwa sang ayah inipun terguncang dan kaget melihat keadaan puteranya. Dan ketika Cao Cun juga dibawa ke kamar dan memeluk Beng An maka di sini pemuda itu menumpahkan kecewanya dengan tangis menggerung. Beng An ternyata masih terpukul hebat. Bukti bahwa berhari-hari ini selalu merenung dan menyeringai lalu menangis menunjukkan bahwa pukulan batinnya berat.

Putusnya cinta membuat pemuda ini seakan gila. Hwa Seng tak mampu menguasainya karena ia bukan orang yang tepat untuk itu. Kini mereka sudah di rumah. Maka ketika pemuda itu dibiarkan mengguguk dan berkali-kali Cao Cun mengusap dan mengelus rambutnya akhirnya di bawah kata-kata lembut dan penuh kasih sayang pemuda ini tertidur dipangkuan ibu tirinya!

Hwa Seng terharu. Dalam perjalanan Beng An telah menceritakan keluarga ayahnya itu, termasuk Cao Cun yang dikagumi pemuda ini. Maka ketika dia bertemu den melihat wanita itu, cocok dan merasa suka akhirnya Pendekar Rambut Emas muncul di pintu mengingatkan pesannya tadi.

"Bisakah kita bicara di depan. Rupanya kita harus membiarkan puteraku ini nona. Biarlah dia beristirahat dan kita bercakap-cakap. Ceritakanlah kepadaku."

Hwa Seng mengangguk. Ia bangkit dan menyusut air matanya sementara Cao Cunpun berdiri. Bertiga mereka menuju ruang depan. Lalu ketika di sini gadis itu tak kuasa menahan sedu-sedannya maka ia pun menceritakan apa yang telah terjadi. "Kim-kongcu dihajar Puteri. Ia.. memaki-maki supek-bo kami..!"

"Hm, kenapa memaki-maki. Apa yang terjadi dan kenapa tubuhnya tak terurus begitu, Hwa Seng. Ada apa antara dia dan Puteri Es."

"Mereka memutuskan cinta. Masing-masing pihak bertengkar dalam kebenarannya sendiri, taihiap. Kim-kongcu... Kim-kongcu membela kakaknya!"

"Astaga, ceritakan yang jelas!"

"Puteri dan Kim-kongcu terlibat kemarahan masing-masing. Ini dimulai dari datangnya Liong-siauwhiap ke Lembah Es"

Hmn, Thai Liong sudah tiba di sana?"

"Benar, taihiap, dan... dan mengalahkan sesepuh kami!"

Ada kilatan girang di wajah pendekar ini. Sejenak Pendekar Rambut Emas teringat wanita mengerikan itu, betapa ia tak kuat dan tak mampu menandingi We We Moli. Tapi sadar bahwa yang di depannya ini adalah seorang murid Lembah Es, tak boleh ia menunjukkan kegembiraannya maka ia pura-pura mengangguk dan bersikap wajar-wajar saja. "Lalu apa yang terjadi? Kenapa Beng An bertengkar dengan kekasihnya?"

"Puteri terpukul oleh kekalahan sesepuhnya, taihiap, merasa Liong-siauwhiap bersikap sombong. Hamba tak tahu jelas ribut-ribut di antara mereka karena hamba hanya mendengar dari kejauhan saja. Yang jelas Puteri tak senang kepada putera talhiap itu, sementara Kim-kongcu membela kakaknya!"

"Hm, lalu bagaimana dengan wanita itu? Maksudku bagaimana setelah ia dikalahkan puteraku?"

"la dibuang ke puncak Himalaya, dihukum nenek moyang kami Kim Kong Seng jin!"

"Ah, dewa kalian yang seperti dongeng itu muncul?"

"Benar, taihiap...!"

"Dan hebat sekali tentunya pertempuran itu. Bagaimana dengan puteraku, apakah ia menghadapi Kim Kong Sengjin!"

"Nenek moyang kami sudah merupakan arwah, mana mungkin bertempur dengan Liong-siauwhiap. Tapi ketika ia muncul maka Bu-beng Sian-su pun muncul, melindungi putera taihiap itu."

"Astaga, Sian-su juga muncul di sana? Bagaimana akhirnya?"

"Akhirnya ya itu tadi, taihiap, sesepuh kami malah đihukum Kim Kong Sengjin. la disuruh samadhi sampai mati, dibuang di puncak Himalaya. Kami tak tahu selanjutnya karena kami terlempar oleh tiupan angin dahsyat. Waktu itu hamba sendiri berada di luar istana sedang menjalani hukuman sendiri."

Pendekar Rambut Emas tergetar. dapat membayangkan hebatnya pertempuran itu, tentu menegangkan. Tapi karena sekali lagi ia tak mau menonjolkan kemenangan puteranya maka ia kembali lagi kepada Beng An....