"HA-HAH-HE-HEH!” kakek itu melepas kagetnya dengan tawa bergelak, menggetarkan. Kau hebat, anak muda, sombong dan pantas sombong. Heh-heh, kiranya kau benar-benar hebat tapi coba sekali lagi pukulanku ini!"
Thai Liong sudah waspada. Dalam adu pukulan pertama tadi terasa betapa hebatnya sinkang yang dimiliki kakek itu. Kalau ia tak memiliki Sin-tiauw-kang dan menerima dengan Khi-bal-sin-kang tentu dia roboh. Hawa panas dari pukulan kakek itu benar-benar hebat sekali, Khi-bal-sin-kang bisa leleh dan terbakar. Maka ketika ia mengerahkan Sin-tiauw-kangnya dan benarlah tenaga Rajawali Sakti ini menahan pukulan lawan maka kakek itu penasaran kepadanya dan mengulang dengan pukulan kedua.
Thai Liong tak takut dan tentu saja menyambut. Hanya sin-tiauw-kang yang benar-benar dapat diandalken. Maka ketika ia mengerahkan ilmunya itu lagi dan cepat menerima serangan lawan maka sekali ini benturan diantara dua pukulan itu membuat Tan-pangcu dan orang-orang lain mencelat terlempar.
"Desss!" Kakek itu terbanting sementara Thai Liong bergoyang-goyang. Jubah pemuda ini melembung dan Thai Liong benar-benar terkejut. Adu pukulan tadi mengarah mati hidup, adu jiwa. Tapi ketika ia dapat bertahan dan lawan tentu saja marah bukan main maka memekiklah kakek itu dan Hantu Hitam, dedengkot Pulau Api ini meloncat bangun untuk kemudian menerjang pemuda itu. Sepasang matanya di balik dahi cekung lebar itu membara seolah hangus.
"Keparat, kau anak muda jahanam!"
Thai Liong berkelit dan mengelak. la tahu bahaya mengancam dan tidak main-main lagi. Kakek itu menjadi buas dan beringas sekali, sorot matanya penuh nafsu membunuh. Dan ketika ia mengelak namun dikejar akhirnya Thai Liong mengibas dan kakek itu terpental.
"Plak!" Pemuda ini tak mau diam untuk kemudian membentak dan berkelebat membalas. Tubuhnya bergerak secepat rajawali sementara kekuatannya bagai gunung menindih. Angin kesiur tubuhnya menderu dan membuat kakek itu terkejut. Dan ketika kakek itu mengelak namun tetap dikejar akhirnya Rajawali Merah ini menguasai pertandingan dan empat kali kakek itu terpukul.
Akan tetapi lawan benar-benar hebat. Dedengkot Pulau Api yang terbeliak dan terhuyung oleh pukulan ini mendesis, Ia menyeringai, seolah mengejek. Dan keti-ka Thai Liong juga kagum karena lawan dapat menahan pukulannya maka kakek itu melompat dan menerjangnya lagi.
"Bagus, kau lawan setimpal. Heh-heh, mari, anak muda, mari main-main sama si tua bangka. Kau atau aku yang mampus!"
Thai Liong mengelak maju mundur. la melihat si kakek bergerak cepat dan ada kesan mengadu jiwa, serangan-serangannya brutal dan hawa panas semakin menjadi-jadi. Pulau kering itu memerah tanahnya, mengepul dan tak lama kemudian terbakar. Dan ketika semua orang berseru mundur dan Soat Eng maupun Siang Le juga terbelalak pucat maka suami isteri inipun mundur dan melihat pertandingan mendebarkan itu. Api berkobar dan menjilat bagai naga haus darah.
"Des-dess!" Pemuda ini tak bergeming dan menghalau semua serangan-serangan. Giam-lui-ciang yang membuat pulau seakan terbakar dan memaksa orang-orang mundur ternyata tertindih oleh pukulan di tangan Thai Liong. Setiap pemuda itu bergerak menyambarlah cahaya putih disertai hawa dingin, hawa ini menghantam hawa panas dan Giam-lui-ciang akhirnya terdorong, bukan main marahnya kakek itu.
Dan ketika ia coba mendesak namun lawan benar-benar kokoh, akhirnya dari depan berdirilah dinding es yang tak mempan ditembus hawa panas maka Giam-lui-ciang yang dilancarkan kakek ini membalik dan perlahan-lahan beku dan terpengaruh oleh Im-kang dari Sin-tiauw-kang yang dilancarkan Thai Liong. Kakek itu menggigil dan akhirnya berteriak-teriak.
"Keparat, jahanam keparat. Kau sombong dan mengandalkan kelebihanmu, anak muda. Mentang-mentang si tua kalah tenaga kau mendesak dan mengancam aku. Heh, aku masih memiliki kesaktian lain dan lihat ini!" si kakek meledakkan tangannya dan akhirnya tubuhnya menghilang. Asap hitam membubung dan lenyaplahi kakek itu, Thai Liong sejenak terkejut. Tapi ketika ia meledakkan tangannya pula dan lenyap mempergunakan Beng-tau-sin-jin (Manusia Menembus Roh) maka tampaklah kakek itu menyambarnya dari belakang.
"Hm..." Thai Liong membalik dan ia menangkis ini. "Kau curang, kakek jahat, ilmu hitammu tak mempan... Dess!"
Kakek itu terbanting dan tampak ujudnya lagi. Ilmu hitamnya lenyap dihancurkan lawan, tak disangkanya Thai Liong memiliki kesaktian Semacam itu mengandalkan Beng-tau-sin-jinnya. Dan ketika ia berteriak dan terguling-guling maka. kakek ini memaki-maki dan meloncat bangun, menerjang lagi.
Akan tetapi putera Pendekar Rambut Emas ini memang benar-benar tangguh. Apapun yang dilakukan kakek itu selalu diimbanginya, baik mau mengadu kesaktian atau sihir. Dan karena Beng-tau-sin-jin dapat menghadapi dan menghalau ilmu hitam kakek itu akhirnya kakek ini merasa percuma menghilang lagi.
"Harghh kau hebat, aku belum roboh. Mari robohkan si tua ini dan pertandingan akan kuhentikan."
Thai Liong tiba-tiba merasa kasihan. la melihat betapa kakek itu mandi keringat, napasnya memburu sementara tenagapun tampak mulai loyo. Hanya dengan sebelah tangan saja ia telah sanggup mendorong kakek itu, yang patut mendapat pujian adalah semangatnya yang tak kunjung habis. Tenaga boleh surut akan tetapi semangat tempur tak pernah padam, hebat kakek ini. Akan tetapi karena ia selalu mendorong dan menghalau pukulan-pukulan kakek itu, Im-kang dari Sin-tiau-kangnya mendesak dan selalu memukul mundur akhirnya kakek itu jatuh bangun dengan muka pucat. Pulau yang semula merah terbakar kini mulai memutih dingin oleh lapisan salju dari hembusan Sin-tiauw-kang.
Hantu Hitam benar-benar marah. Seumur hidup baru sekali dia dikalahkan orang, dan itu adalah We We Moli, wenita sakti Lembah Es. Maka ketika kini ia dịdesak pemuda itu dan Rajawali Merah ini menyambar-nyambar membuatnya jatuh bangun, terhuyung dan maju tapi roboh lagi maka kakek ini tak dapat menahan diri berteriak menggetarkan pulau. menggigil dan mulai berketrukan oleh Im-kang yang menyambar dari lengan pemuda itu, kian lama hawa dingin dari lawannya itu kian hebat. Bajupun mulai beku! Tapi ketika melengking suara lain menyambut pekikan kakek itu, sesosok bayangan menyambar dari puncak bukit maka seorang kakek berkulit putih menghantam Thai Liong dari kiri.
"Sute, jangan takut, aku datang!"
Thai Liong terkejut. la tak tahu bahwa di situ masih ada seorang tokoh lain di samping kakek hitam ini. Melihat angin pukulan itu tak perlu diragukan lagi bahwa seorang yang amat berbahaya menghantamnya dengan pukulan maut. Hawa panas menyambar disusul lidah api,bukan main hebatnya ini. Tapi Thai Liong yang membalik dan cepat menangkis tentu saja tak berani main-main.
"Desss!" Kakek itu terpental tapi Thai Liong sendiri terhuyung mundur. Api menjilat jubahnya tapi padam, Im-kang dari pemuda itu melindungi dirinya. Dan ketika kakek itu memekik dan berjungkir balik turun dan bergoyang di atas tanah maka Thai Liong melihat kakek sebaya kakek hitam melotot padanya, mata di balik dahi kecil itu membara.
"Keparat, benar-benar lihai. Tapi kita keroyok dan bunuh dia!"
Belum habis ucapan ini kakek itupun sudah menyambar terbang. la mencelat dengan kecepatan luar biasa dan tahu-tahu dua telunjuknya sudah mencoblos mata. Dari ujung jari itu keluar Suara mencicit disusul cahaya merah, api yang menusuk Thai Liong dengan buas dan marah. Dan ketika Thai Liong mengelak tapi kakek hitam terkekeh menyerangnya, bergerak dari kanan maka kakek itupun menudingkan telunjuknya dan Hwe-ci atau Jari Api menghantam pemuda ini dari kiri kanan.
"Blarr!" Dua sinar Hwe-ci itu hancur dan bertemu di udara. Dua kakek terkejut karena Thai Liong melesat dan tahu-tahu menghilang, pemuda itu mempergunakan Ang-tiauw Gin-kangnya (Ginkang Rajawali Merah) untuk menghindar. Dan ketika dua kakek terkejut dan mencari-cari maka pemuda itu berkelebat dari belakang menampar kakek putih itu.
"Orang tua, kalian benar-benar licik dan curang. Baiklah, mari kita main-main dan sambut ini!"
Sang kekek terkejut. la bukan lain si Hantu Putih suheng si Hantu Hitam. Ia mendengar pekik adiknya tadi, pekik atau jerit minta tolong berhadapan musuh tangguh. Maka ketika ia meloncat dan terbang ke tempat itu, dari pulau lain ia menyambar seperti burung maka dilihatnya pemuda itu dan sejenak kakek ini tertegun. Tapi pukulan-pukulan Thai Liong membuatnya tak dapat berlama-lama. Sute atau saudaranya itu terdesak, jelas terlihat betapa Giam-lui-ciang yang dimiliki adiknya terdorong oleh pukulan dingin pemuda itu.
Dan ketika hawa pukulan itu juga terasa sampai di puncak bukit, bukan main terkejutnya kakek ini maka ia muncul dan diserangnya Thai Liong dengan pukuian ampuhnya yang hebat, terpental dan ia semakin terkejut saja karena betapa lihainya pemuda ini. Tak disangkanya di dunia ini ada orang yang mampu menahan pukulannya. Selama ini selain We We Moli tak ada yang ditakuti. Maka ketika ia menjadi kaget dan marah oleh pukulan balik tadi, Thai Liong tahu-tahu menyambar di belakangnya setelah menghilang digencet dua Hwe-ci kakek ini membalik dan secepat kilat menangkis.
"Dukk!" Ia berteriak dan membanting tubuh bergulingan. Thai Liong menambah tenaganya hingga kakek itu tak menyangka, juga sekalian memberi pelajaran atas kecurangannya tadi. Dan ketika kakek itu meloncat bangun tapi pemuda ini sudah menyambar Hantu Hitam, membentak dan menampar kakek itu maka seperti kakaknya kakek inipun terbanting dan jatuh bergulingan.
"Plak-plak!" Thai Liong membuat dua kakek itu benar-benar terkejut. mempergunakan Ang-tiauw Gin-kangnya hingga tubuhnya bak rajawali menyambar-nyambar kaki tak menyentuh tanah lagi dan tentu saja dua kakek itu terkejut. Bagai seekor burung besar pemuda ini menampar dan mengibas mereka bagaikan kelepak sepasang sayap rajawali raksasa. Mereka meloncat bangun tapi sudah diserang lagi, cepat dan bertubi-tubi hingga tak dapet membalas kecuali menangkis. Tapi ketika itupun membuat mereka roboh dan terbanting lagi maka dua kakek ini berteriak dan tiba-tiba keduanya meloncat bangun dan langsung mempergunakan langkah-langkah aneh dari silat Tujuhpuluh Dua Langkah Sakti.
"Pergunakan Jit-cap-ji-poh-kun, pergunakan langkah sakti!"
Kakek hitam mengangguk. la sendiri sudah akan berteriak tapi kakaknya mendahului. Gerakan cepat Rajawali Merah itu benar-benar membuat mereka kewalahan dan kaget sekali. Hampir mereka tak dapat bernapas. Tapi ketika mereka bergulingan meloncat bangun dan langsung mempergunakan langkah-langkah sakti itu, warisan Hwe-sin yang amat lihai maka Thal Liong tertegun karena pukulan-pukulannya mulai luput. Disangka kekiri tapi meliuk ke kanan!
"Ha-ha-heh-heh! la tertipu, kita berhasil. Heii, pemuda ini mulai bingung, sute. Lihat ia melotot!"
Thai Liong memang terbelalak. la telah mendengar akan ini dari ayahnya tapi segera menenteramkan perasaan. Yang paling penting adalah tetap bersikap tenang dulu, ia tak boleh membuang-buang tenaga. Dan karena beberapa kali pukulannya juga sering meleset di tubuh mereka yang licin, Thai Liong heran akan kulit lawan yang aneh ini maka ia berhati-hati dan tak tahu bahwa berendam di laut selama tiga puluh tahun telah mebuat tubuh kakek itu licin bagai belut!
Tapi ini bukan berarti pukulan Thai Liong tak menimbulkan rasa sakit. Hantu Hitam yang sering mengaduh dan mendesis membuktikan itu, ia sering meloncat mundur kalau pemuda itu berkelebat didekatnya. Dan ketika sang kakak juga merasakan yang sama karena temparan atau kibasan Sin-tiauw-kang membuat tubuh terasa dingin dan perih, seperti ditusuk jarum maka kakek ini juga terbelalak dan diam-diam ngeri!
Akan tetapi mereka mengeroyok berdua. Thai Liong harus bergenti-gunti menyerang mereka dan ini mengharuskan pemuda itu membagi perhatian. Kalau yang satu dipukul yang lain tentu menyerang. Dan ketika kini mereka mempergunakan langkah-langkah Sakti itu dan benar saja lawan mereka terbelalak bingung, disangka mengelak ke kiri tapi meliuk ke kanan maka beberapa pukulan Thai Liong mengenai angin kosong tapi pemuda itupun cerdik tak lagi melepas pukulan, menunggu mereka.
"Baiklah, kalian hebat. Tapi coba serang aku dan balas!"
Dua kakek tertawa-tawa. Mereka mengira pemuda itu kehabisan tenaga dan mencari napas, kalau begitu tentu saja mereka tak mau. Maka ketika dua-duanya membentak dan menyambar dari kiri kanan mendadak Thai Liong tersenyum dan secepat kilat ia menangkap satu diantaranya untuk diangkat dan diputar. Serangan yang tak diduga.
"Heiii!" Namun terlambat. Hantu Hitam, kakek itu terperangkap oleh kesan yang dibuat Thai Liong. Ia menyangka pemuda itu kehabisan tenaga padahal sesungguhnya menunggu peristiwa seperti ini, begitu lawan masuk akan ditangkap! Dan ketika benar saja kakek ini terjebak dan berteriak kaget maka Thai Liong menyentak dan melemparnya jauh tinggi-tinggi melambung keluar pulau.
"Aaaahhhhhhh...!" Suara itu menunjukkan betapa kagetnya kakek ini. Hantu Hitam tak dapat menguasai diri lagi dan terlemparlah ia jauh ke sana. Lemparan ini mengingatkan lemparan We We Moli akan tetapi Thai Liong tidak melakukannya sehebat itu.
Cukup bagi pemuda ini kalau si kakek tak ada lagi di arena pertandingan. Maka ketika ia melempar kakek itu sementara Hantu Putih melotot, serangannya telah dikelit Thai Liong dan sambil mundur menangkap adiknya maka kakek itu membentak dan tiba-tiba dengan langkah sakti Jit-cap-ji-poh-kun tahu-tahu ia telah mendekati Thai Liong dan sekali tangannya bergerak leher pemuda itupun telah dicengkeram, dicekik!
"Mampuslah!"
Thai Liong terkejut. Untuk kesekian kalinya lagi ia melihat kehebatan Jit-cap ji-poh-kun, langkah ini benar-benar luar biasa dan dimainkan oleh tokoh seperti dedengkot Pulau Api ini benar-benar hebat sekali, adiknya Soat Eng sampai menjerit di sana. Tapi ketika sang kakek juga terkejut karena tak mampu mengangkat lawannya, Thai Liong mengerahkan Ban-kin-kang (Tenaga Selaksa Kati) dan leher itu dingin seperti es maka kakek itu berteriak karena Thai Liong tiba-tiba membalas dan balik mencengkeram pinggangnya. Im-kang atau tenaga sakti Sin-tiauw-kang membuat kakek itu seolah dicengkeram oleh dua gunung es yang amat dahsyat. Giam-lui-kang di tubuh sampai berkereces, persis seperti api ditimpa benda dingin.
"Kaupun pergilah!"
Kakek ini memekik. Sama seperti adiknya iapun terangkat naik dan dilempar jauh melampaui pulau dan kakek ini tak mampu menahan tubuh. lapun tak dapat memberatkan tubuhnya seperti ketika tadi Thai Liong melakukan itu. Sinkang di tubuhnya beku oleh tenaga di tangan pemuda itu. Maka ketika ia berteriak sementara murid-murid yang lain gempar, lari dan meninggalkan pertempuran maka kakek itu jatuh di pulau lain tak jauh dari adiknya yang juga terbanting di situ, pening!
"Bukk!" Bukan main marah dan malunya kakek ini. la dilontarkan begitu kuat hingga tak mampu mengendalikan dirinya, seakan remuk dan mengeluh di situ akan tetapi kakek ini benar-benar hebat. la tak apa-apa kecuali pening dan merasa remuk, itu saja. Maka ketika ia bangkit dan menggoyang tubuh, menggeram maka kakek ini tiba-tiba meloncat dan terbang memekik ke arah Thai Liong lagi.
"Sute, bunuh pemuda itu!"
Hantu Hitam bangkit terhuyung, dibanding kakaknya ia masih lebih sakit, tubuhnya seakan remuk tapi seperti saudaranya ia pun memiliki kekuatan mengagumkan. Dulu dilempar dan dibanting We We Moli pun ia masih hidup. Maka ketika kakaknya memekik dan menyambar ketempat Thai Liong, pemuda itu membuat gentar namun juga marah maka kakek inipun melengking dan menyambar lagi ke arah pemuda itu, tak tahu bahwa sebenarnya Thai Liong masih menjaga tenaganya sedemikian rupa agar kakek itu tak sampai hancur.
"Suheng, pemuda ini benar-benar sombong. Bunuh dia!"
Thai Liong mengerutkan kening. Setelah dia melempar dedengkot Pulau Api itu dan murid atau para tokohnya berlarian maka adiknya dan Siang Le memburu orang-orang ini. Mereka membentak bertanya di mana Beng An berada, Tan-pangcu dan lain-lain kecut. Mereka pucat melihat kesaktian Rajawali Merah itu. Maka ketika dua kakek itu kembali lagi dan mereka menyambar bagai sepasang burung putih hitam, dari udara keempat tangan mereka melepas Giam-lui-ciang yang amat dahsyat tiba-tiba Thai Liong tak merasa kasihan lagi dan menganggap orang-orang tua ini manusia-manusia tak tahu diri.
"Kalian mencari celaka, terimalah!"
Dua cahaya putih menyambar dari lengan Thai Liong. Pemuda ini menyambut pukulan lawan dengan Im-kangnya, hebat dan menderu dan api yang berkobar tiba-tiba padam. Bagai gunung es menumbuk bukit api Giam-lui-ciang di tangan kedua kakek itu meledak, mereka berteriak dan terpental. Dan ketika keduanya terlempar dan jatuh terguling-guling, kebetulan Bu Kok dan sutenya berteriak kepada mereka mendadak dua kakek ini menyambar Soat Eng dan Siang Le sambil berguling-guling.
"Tangkap mereka ini, tundukkan pemuda itu!"
Soat Eng dan suaminya terkejut. Mereka sedang mengejar Tan-pangcu dan dua sutenya ini ketika dedengkot Pulau Api terlempar oleh pukulan kakak mereka. Hantu Putih dan Hitam jatuh tak jauh dari mereka, membentak dan melepaskan pukulan panas di mana tentu saja mereka tak kuat. Dan ketika suami isteri itu berteriak kaget dan roboh terlempar maka dua kakek itu meloncat bangun dan tahu-tahu telah menangkap sepasang orang muda ini.
"Ha ha, majulah. Saudaramu mampus!"
Thai Liong terkejut. la tak menyangka itu dan terbelalak, Soat Eng dan Siang Le diputar di tangan kiri kakek-kakek itu dengan amat cepatnya, tertawa dan terkekeh-kekeh dan para murid yang berlarian tiba-tiba bersorak. Mereka membalik dan maju lagi. Lalu ketika dua kakek itu menerjang mempergunakan tawanan ini, yang lain diperintahkan mengeroyok dan maju akhirnya Thai Liong tak dapat menguasai marahnya didorong oleh kekhawatiran yang hebat. "Ji-wi locianpwe, lepaskan adikku!"
"Ha-ha, tentu, kalau sudah menjadi mayat. Hah, ayo maju, anak muda. Tangkis dan terima mereka ini dan kau atau mereka yang mampus, ha-ha!"
Dua kakek itu dengan keji mempergunakan tubuh Siang Le maupun Soat Eng menghantam Thai Liong Rajawali Merah ini mengelak dan tentu saja tak berani menangkis, Soat Eng dan Siang Le akhirnya mengeluh dan pingsan. Pergelangan kaki mereka terbakar oleh Giam-lui-ciang yang dikerahkan dua kakek itu. Dan ketika mereka dijadikan senjata dan diputar serta dihantamkan ke arah Thai Liong maka jubah yang dipakai pemuda ini tiba-tiba menggelembung. Thai Liong, seperti ayahnya sebenarnya adalah seorang pemuda yang sabar dan lemah lembut. Jarang ia marah oleh perbuatan orang kalau tidak keterlaluan.
Maka ketika kini dua kakek itu tiba-tiba menangkap adiknya dan mempergunakan mereka sebagai senjata mendadak kemarahannyapun tak dapat dibendung lagi dan sin tiauw-kang (Tenaga Rajawali Sakti) di tubuhnya bergolak. Kemarahan akan membuat pemuda ini berobah. Maka ketika menerima pukulan-pukulan dari kiri kanan tapi bersamaan dengan itu tubuhnya menggelembung pula maka secara aneh dan luar biasa pemuda ini tiba-tiba menjadi tinggi besar bagaikan raksasa. Cepat hanya dalam waktu singkat Thai Liong sudah setinggi tiga meter!
"Aahhh...!"
"Hei...!"
Dua dedengkot Pulau Api itu berteriak. Mereka terkejut ketika tubuh pemuda itu tiba-tiba membesar, bengkak dan akhirnya setinggi dua kali manusia biasa. Setiap pukulan ternyata menambah besar tubuh pemuda itu, hal ini benar karena Thai Liong "menyimpan" atau mempergunakan pukulan lawan untuk "meniup" tubuhnya sendiri. Dari dalam pemuda ini menggelembung, tentu saja tenaganya amat dahsyat, hasil dari simpanan tenaga lawan-awannya itu. Dan ketika ia membuat terkejut semua orang sementara dua kakek putih dan hitam terperangah seakan melihat jin.
Maka Thai Liong bergerak dan sekali ia menyapu semua murid-murid Pulau Api terlempar. Mereka berteriak dan menjerit tapi tangan Thai Liong masih bergerak maju, tujuannya adalah sepasang kakek iblis itu. Dan karena tangannya menjadi panjang dan angin gerakannya membuat Hantu Hitam dan Putih menjadi kaget, sesak napas maka tahu-tahu Thai Liong telah menangkap dua orang ini, satu dengan tangan kiri sedangkan yang lain dengan tangan kanan.
"Lepaskan mereka!" Suara atau bentakan Thai Liong ini bagai guntur layaknya. Tanpa tenaga saktipun orang bakal terpelanting, apalagi dengan tenaga sakti.
Maka ketika dua kakek itu menjerit dan melepaskan tawanan, pinggang seakan remuk dicengkeram maka Thai Liong pun lega dan melempar kakek itu tinggi ke udara. Kali ini lemparannya lebih dahsyat didorong rasa marah. Hantu Putih ke kanan sedangkan adiknya ke kiri, jauh dan melewati gugusan Pulau Api hingga masing-masing berteriak ngeri. Tak mungkin lagi kakek itu kembali, karena mereka pasti terluka dan patah tulangnya. Dan ketika Thai Liong menangkap adiknya dan mengamuk di situ, buyarlah tokoh-tokoh Pulau Api maka Tan-pangcu dan dua sutenya membalik melarikan diri.
Akan tetapi Thai Liong melihat Bu Kok. Tokoh yang licik menyelinap di balik pohon-pohon besar ini tiba-tiba tersentak kaget melihat sebuah lengan menyambarnya dari atas. Itulah lengan Thai Liong yang sudah menjadi raksasa, panjang dan besar dan tentu saja laki-laki itu terkejut. Dia membentak dan menghantam namun terbanting, lengan itu bagai lengan baja. Dan ketika ia bergulingan namun dengan mudah ditangkap, Thai Liong mempergunakan kelima jarinya mencengkeram pinggang lawan maka laki-laki itu menjerit dan mengaduh.
"Ampun... aduhh!"
Thai Liong mengendorkan tenaganya. Kalau ia tak ingat akan adiknya Beng An barangkali mau rasanya melipat tubuh lawan . Tadi di awal pertempuran laki-laki ini udah berbuat licik dan curang. Tapi teringat adiknya ia berseru, menggelegar, "Aku tak membunuhmu kalau kau tahu di mana adikku Beng An. Jawab, atau kutekuk tubuhmu, ji-pangcu. Cepat atau aku tak mau bersabar!"
"Ampun, aduh... Ia di Lembah Es. Aduh, lepaskan aku, Rajawali Merah... lepaskan aku!"
"Lembah Es? Dimana itu?"
"Di utara, adikmu ditangkap penghuni Lembah Es!"
"Bohong!" Thai Liong membentak. "Adikku sahabat Lembah Es, pangcu. Kau bohong!"
"Aduh, aku tidak bohong. Adikmu ditangkap We We Moli. la.... ia mungkin dibunuh. Aduh, lepaskan aku!" dan ketika Thai Liong melempar dan menginjak tubuh itu maka tokoh Pulau Api ini gemetar bicara, Thai Liong memandangnya bengis dengan mata mencorong. "We We Moli, Ia... ia sesepuh Lembah Es. Ia menangkap adikmu dan kami tak tahu lagi apa yang terjadi. Ampun, aku bicara sungguh-sungguh...!"
Thai Liong menendang. Setelah ia yakin bahwa orang tidak bicara bohong ia pun tak ada gunanya menakut-nakuti lawan. Tendangannya membuat ji-pangcu itu mencelat dan terbang melampaui pulau, jatuh di tempat lain dan berdebuk pingsan. Dan karena yang lain-lain sudah tak ada lagi di situ dan gentar menghadapinya maka perlahan-lahan Thai Liong membuang kemarahannya dan tubuh yang seperti raksasa itu menyusut kecil, tak lama kemudian pulih seperti biasa dan cepat pemuda ini memeriksa adiknya dan Siang Le.
Thai Liong sudah waspada. Dalam adu pukulan pertama tadi terasa betapa hebatnya sinkang yang dimiliki kakek itu. Kalau ia tak memiliki Sin-tiauw-kang dan menerima dengan Khi-bal-sin-kang tentu dia roboh. Hawa panas dari pukulan kakek itu benar-benar hebat sekali, Khi-bal-sin-kang bisa leleh dan terbakar. Maka ketika ia mengerahkan Sin-tiauw-kangnya dan benarlah tenaga Rajawali Sakti ini menahan pukulan lawan maka kakek itu penasaran kepadanya dan mengulang dengan pukulan kedua.
Thai Liong tak takut dan tentu saja menyambut. Hanya sin-tiauw-kang yang benar-benar dapat diandalken. Maka ketika ia mengerahkan ilmunya itu lagi dan cepat menerima serangan lawan maka sekali ini benturan diantara dua pukulan itu membuat Tan-pangcu dan orang-orang lain mencelat terlempar.
"Desss!" Kakek itu terbanting sementara Thai Liong bergoyang-goyang. Jubah pemuda ini melembung dan Thai Liong benar-benar terkejut. Adu pukulan tadi mengarah mati hidup, adu jiwa. Tapi ketika ia dapat bertahan dan lawan tentu saja marah bukan main maka memekiklah kakek itu dan Hantu Hitam, dedengkot Pulau Api ini meloncat bangun untuk kemudian menerjang pemuda itu. Sepasang matanya di balik dahi cekung lebar itu membara seolah hangus.
"Keparat, kau anak muda jahanam!"
Thai Liong berkelit dan mengelak. la tahu bahaya mengancam dan tidak main-main lagi. Kakek itu menjadi buas dan beringas sekali, sorot matanya penuh nafsu membunuh. Dan ketika ia mengelak namun dikejar akhirnya Thai Liong mengibas dan kakek itu terpental.
"Plak!" Pemuda ini tak mau diam untuk kemudian membentak dan berkelebat membalas. Tubuhnya bergerak secepat rajawali sementara kekuatannya bagai gunung menindih. Angin kesiur tubuhnya menderu dan membuat kakek itu terkejut. Dan ketika kakek itu mengelak namun tetap dikejar akhirnya Rajawali Merah ini menguasai pertandingan dan empat kali kakek itu terpukul.
Akan tetapi lawan benar-benar hebat. Dedengkot Pulau Api yang terbeliak dan terhuyung oleh pukulan ini mendesis, Ia menyeringai, seolah mengejek. Dan keti-ka Thai Liong juga kagum karena lawan dapat menahan pukulannya maka kakek itu melompat dan menerjangnya lagi.
"Bagus, kau lawan setimpal. Heh-heh, mari, anak muda, mari main-main sama si tua bangka. Kau atau aku yang mampus!"
Thai Liong mengelak maju mundur. la melihat si kakek bergerak cepat dan ada kesan mengadu jiwa, serangan-serangannya brutal dan hawa panas semakin menjadi-jadi. Pulau kering itu memerah tanahnya, mengepul dan tak lama kemudian terbakar. Dan ketika semua orang berseru mundur dan Soat Eng maupun Siang Le juga terbelalak pucat maka suami isteri inipun mundur dan melihat pertandingan mendebarkan itu. Api berkobar dan menjilat bagai naga haus darah.
"Des-dess!" Pemuda ini tak bergeming dan menghalau semua serangan-serangan. Giam-lui-ciang yang membuat pulau seakan terbakar dan memaksa orang-orang mundur ternyata tertindih oleh pukulan di tangan Thai Liong. Setiap pemuda itu bergerak menyambarlah cahaya putih disertai hawa dingin, hawa ini menghantam hawa panas dan Giam-lui-ciang akhirnya terdorong, bukan main marahnya kakek itu.
Dan ketika ia coba mendesak namun lawan benar-benar kokoh, akhirnya dari depan berdirilah dinding es yang tak mempan ditembus hawa panas maka Giam-lui-ciang yang dilancarkan kakek ini membalik dan perlahan-lahan beku dan terpengaruh oleh Im-kang dari Sin-tiauw-kang yang dilancarkan Thai Liong. Kakek itu menggigil dan akhirnya berteriak-teriak.
"Keparat, jahanam keparat. Kau sombong dan mengandalkan kelebihanmu, anak muda. Mentang-mentang si tua kalah tenaga kau mendesak dan mengancam aku. Heh, aku masih memiliki kesaktian lain dan lihat ini!" si kakek meledakkan tangannya dan akhirnya tubuhnya menghilang. Asap hitam membubung dan lenyaplahi kakek itu, Thai Liong sejenak terkejut. Tapi ketika ia meledakkan tangannya pula dan lenyap mempergunakan Beng-tau-sin-jin (Manusia Menembus Roh) maka tampaklah kakek itu menyambarnya dari belakang.
"Hm..." Thai Liong membalik dan ia menangkis ini. "Kau curang, kakek jahat, ilmu hitammu tak mempan... Dess!"
Kakek itu terbanting dan tampak ujudnya lagi. Ilmu hitamnya lenyap dihancurkan lawan, tak disangkanya Thai Liong memiliki kesaktian Semacam itu mengandalkan Beng-tau-sin-jinnya. Dan ketika ia berteriak dan terguling-guling maka. kakek ini memaki-maki dan meloncat bangun, menerjang lagi.
Akan tetapi putera Pendekar Rambut Emas ini memang benar-benar tangguh. Apapun yang dilakukan kakek itu selalu diimbanginya, baik mau mengadu kesaktian atau sihir. Dan karena Beng-tau-sin-jin dapat menghadapi dan menghalau ilmu hitam kakek itu akhirnya kakek ini merasa percuma menghilang lagi.
"Harghh kau hebat, aku belum roboh. Mari robohkan si tua ini dan pertandingan akan kuhentikan."
Thai Liong tiba-tiba merasa kasihan. la melihat betapa kakek itu mandi keringat, napasnya memburu sementara tenagapun tampak mulai loyo. Hanya dengan sebelah tangan saja ia telah sanggup mendorong kakek itu, yang patut mendapat pujian adalah semangatnya yang tak kunjung habis. Tenaga boleh surut akan tetapi semangat tempur tak pernah padam, hebat kakek ini. Akan tetapi karena ia selalu mendorong dan menghalau pukulan-pukulan kakek itu, Im-kang dari Sin-tiau-kangnya mendesak dan selalu memukul mundur akhirnya kakek itu jatuh bangun dengan muka pucat. Pulau yang semula merah terbakar kini mulai memutih dingin oleh lapisan salju dari hembusan Sin-tiauw-kang.
Hantu Hitam benar-benar marah. Seumur hidup baru sekali dia dikalahkan orang, dan itu adalah We We Moli, wenita sakti Lembah Es. Maka ketika kini ia dịdesak pemuda itu dan Rajawali Merah ini menyambar-nyambar membuatnya jatuh bangun, terhuyung dan maju tapi roboh lagi maka kakek ini tak dapat menahan diri berteriak menggetarkan pulau. menggigil dan mulai berketrukan oleh Im-kang yang menyambar dari lengan pemuda itu, kian lama hawa dingin dari lawannya itu kian hebat. Bajupun mulai beku! Tapi ketika melengking suara lain menyambut pekikan kakek itu, sesosok bayangan menyambar dari puncak bukit maka seorang kakek berkulit putih menghantam Thai Liong dari kiri.
"Sute, jangan takut, aku datang!"
Thai Liong terkejut. la tak tahu bahwa di situ masih ada seorang tokoh lain di samping kakek hitam ini. Melihat angin pukulan itu tak perlu diragukan lagi bahwa seorang yang amat berbahaya menghantamnya dengan pukulan maut. Hawa panas menyambar disusul lidah api,bukan main hebatnya ini. Tapi Thai Liong yang membalik dan cepat menangkis tentu saja tak berani main-main.
"Desss!" Kakek itu terpental tapi Thai Liong sendiri terhuyung mundur. Api menjilat jubahnya tapi padam, Im-kang dari pemuda itu melindungi dirinya. Dan ketika kakek itu memekik dan berjungkir balik turun dan bergoyang di atas tanah maka Thai Liong melihat kakek sebaya kakek hitam melotot padanya, mata di balik dahi kecil itu membara.
"Keparat, benar-benar lihai. Tapi kita keroyok dan bunuh dia!"
Belum habis ucapan ini kakek itupun sudah menyambar terbang. la mencelat dengan kecepatan luar biasa dan tahu-tahu dua telunjuknya sudah mencoblos mata. Dari ujung jari itu keluar Suara mencicit disusul cahaya merah, api yang menusuk Thai Liong dengan buas dan marah. Dan ketika Thai Liong mengelak tapi kakek hitam terkekeh menyerangnya, bergerak dari kanan maka kakek itupun menudingkan telunjuknya dan Hwe-ci atau Jari Api menghantam pemuda ini dari kiri kanan.
"Blarr!" Dua sinar Hwe-ci itu hancur dan bertemu di udara. Dua kakek terkejut karena Thai Liong melesat dan tahu-tahu menghilang, pemuda itu mempergunakan Ang-tiauw Gin-kangnya (Ginkang Rajawali Merah) untuk menghindar. Dan ketika dua kakek terkejut dan mencari-cari maka pemuda itu berkelebat dari belakang menampar kakek putih itu.
"Orang tua, kalian benar-benar licik dan curang. Baiklah, mari kita main-main dan sambut ini!"
Sang kekek terkejut. la bukan lain si Hantu Putih suheng si Hantu Hitam. Ia mendengar pekik adiknya tadi, pekik atau jerit minta tolong berhadapan musuh tangguh. Maka ketika ia meloncat dan terbang ke tempat itu, dari pulau lain ia menyambar seperti burung maka dilihatnya pemuda itu dan sejenak kakek ini tertegun. Tapi pukulan-pukulan Thai Liong membuatnya tak dapat berlama-lama. Sute atau saudaranya itu terdesak, jelas terlihat betapa Giam-lui-ciang yang dimiliki adiknya terdorong oleh pukulan dingin pemuda itu.
Dan ketika hawa pukulan itu juga terasa sampai di puncak bukit, bukan main terkejutnya kakek ini maka ia muncul dan diserangnya Thai Liong dengan pukuian ampuhnya yang hebat, terpental dan ia semakin terkejut saja karena betapa lihainya pemuda ini. Tak disangkanya di dunia ini ada orang yang mampu menahan pukulannya. Selama ini selain We We Moli tak ada yang ditakuti. Maka ketika ia menjadi kaget dan marah oleh pukulan balik tadi, Thai Liong tahu-tahu menyambar di belakangnya setelah menghilang digencet dua Hwe-ci kakek ini membalik dan secepat kilat menangkis.
"Dukk!" Ia berteriak dan membanting tubuh bergulingan. Thai Liong menambah tenaganya hingga kakek itu tak menyangka, juga sekalian memberi pelajaran atas kecurangannya tadi. Dan ketika kakek itu meloncat bangun tapi pemuda ini sudah menyambar Hantu Hitam, membentak dan menampar kakek itu maka seperti kakaknya kakek inipun terbanting dan jatuh bergulingan.
"Plak-plak!" Thai Liong membuat dua kakek itu benar-benar terkejut. mempergunakan Ang-tiauw Gin-kangnya hingga tubuhnya bak rajawali menyambar-nyambar kaki tak menyentuh tanah lagi dan tentu saja dua kakek itu terkejut. Bagai seekor burung besar pemuda ini menampar dan mengibas mereka bagaikan kelepak sepasang sayap rajawali raksasa. Mereka meloncat bangun tapi sudah diserang lagi, cepat dan bertubi-tubi hingga tak dapet membalas kecuali menangkis. Tapi ketika itupun membuat mereka roboh dan terbanting lagi maka dua kakek ini berteriak dan tiba-tiba keduanya meloncat bangun dan langsung mempergunakan langkah-langkah aneh dari silat Tujuhpuluh Dua Langkah Sakti.
"Pergunakan Jit-cap-ji-poh-kun, pergunakan langkah sakti!"
Kakek hitam mengangguk. la sendiri sudah akan berteriak tapi kakaknya mendahului. Gerakan cepat Rajawali Merah itu benar-benar membuat mereka kewalahan dan kaget sekali. Hampir mereka tak dapat bernapas. Tapi ketika mereka bergulingan meloncat bangun dan langsung mempergunakan langkah-langkah sakti itu, warisan Hwe-sin yang amat lihai maka Thal Liong tertegun karena pukulan-pukulannya mulai luput. Disangka kekiri tapi meliuk ke kanan!
"Ha-ha-heh-heh! la tertipu, kita berhasil. Heii, pemuda ini mulai bingung, sute. Lihat ia melotot!"
Thai Liong memang terbelalak. la telah mendengar akan ini dari ayahnya tapi segera menenteramkan perasaan. Yang paling penting adalah tetap bersikap tenang dulu, ia tak boleh membuang-buang tenaga. Dan karena beberapa kali pukulannya juga sering meleset di tubuh mereka yang licin, Thai Liong heran akan kulit lawan yang aneh ini maka ia berhati-hati dan tak tahu bahwa berendam di laut selama tiga puluh tahun telah mebuat tubuh kakek itu licin bagai belut!
Tapi ini bukan berarti pukulan Thai Liong tak menimbulkan rasa sakit. Hantu Hitam yang sering mengaduh dan mendesis membuktikan itu, ia sering meloncat mundur kalau pemuda itu berkelebat didekatnya. Dan ketika sang kakak juga merasakan yang sama karena temparan atau kibasan Sin-tiauw-kang membuat tubuh terasa dingin dan perih, seperti ditusuk jarum maka kakek ini juga terbelalak dan diam-diam ngeri!
Akan tetapi mereka mengeroyok berdua. Thai Liong harus bergenti-gunti menyerang mereka dan ini mengharuskan pemuda itu membagi perhatian. Kalau yang satu dipukul yang lain tentu menyerang. Dan ketika kini mereka mempergunakan langkah-langkah Sakti itu dan benar saja lawan mereka terbelalak bingung, disangka mengelak ke kiri tapi meliuk ke kanan maka beberapa pukulan Thai Liong mengenai angin kosong tapi pemuda itupun cerdik tak lagi melepas pukulan, menunggu mereka.
"Baiklah, kalian hebat. Tapi coba serang aku dan balas!"
Dua kakek tertawa-tawa. Mereka mengira pemuda itu kehabisan tenaga dan mencari napas, kalau begitu tentu saja mereka tak mau. Maka ketika dua-duanya membentak dan menyambar dari kiri kanan mendadak Thai Liong tersenyum dan secepat kilat ia menangkap satu diantaranya untuk diangkat dan diputar. Serangan yang tak diduga.
"Heiii!" Namun terlambat. Hantu Hitam, kakek itu terperangkap oleh kesan yang dibuat Thai Liong. Ia menyangka pemuda itu kehabisan tenaga padahal sesungguhnya menunggu peristiwa seperti ini, begitu lawan masuk akan ditangkap! Dan ketika benar saja kakek ini terjebak dan berteriak kaget maka Thai Liong menyentak dan melemparnya jauh tinggi-tinggi melambung keluar pulau.
"Aaaahhhhhhh...!" Suara itu menunjukkan betapa kagetnya kakek ini. Hantu Hitam tak dapat menguasai diri lagi dan terlemparlah ia jauh ke sana. Lemparan ini mengingatkan lemparan We We Moli akan tetapi Thai Liong tidak melakukannya sehebat itu.
Cukup bagi pemuda ini kalau si kakek tak ada lagi di arena pertandingan. Maka ketika ia melempar kakek itu sementara Hantu Putih melotot, serangannya telah dikelit Thai Liong dan sambil mundur menangkap adiknya maka kakek itu membentak dan tiba-tiba dengan langkah sakti Jit-cap-ji-poh-kun tahu-tahu ia telah mendekati Thai Liong dan sekali tangannya bergerak leher pemuda itupun telah dicengkeram, dicekik!
"Mampuslah!"
Thai Liong terkejut. Untuk kesekian kalinya lagi ia melihat kehebatan Jit-cap ji-poh-kun, langkah ini benar-benar luar biasa dan dimainkan oleh tokoh seperti dedengkot Pulau Api ini benar-benar hebat sekali, adiknya Soat Eng sampai menjerit di sana. Tapi ketika sang kakek juga terkejut karena tak mampu mengangkat lawannya, Thai Liong mengerahkan Ban-kin-kang (Tenaga Selaksa Kati) dan leher itu dingin seperti es maka kakek itu berteriak karena Thai Liong tiba-tiba membalas dan balik mencengkeram pinggangnya. Im-kang atau tenaga sakti Sin-tiauw-kang membuat kakek itu seolah dicengkeram oleh dua gunung es yang amat dahsyat. Giam-lui-kang di tubuh sampai berkereces, persis seperti api ditimpa benda dingin.
"Kaupun pergilah!"
Kakek ini memekik. Sama seperti adiknya iapun terangkat naik dan dilempar jauh melampaui pulau dan kakek ini tak mampu menahan tubuh. lapun tak dapat memberatkan tubuhnya seperti ketika tadi Thai Liong melakukan itu. Sinkang di tubuhnya beku oleh tenaga di tangan pemuda itu. Maka ketika ia berteriak sementara murid-murid yang lain gempar, lari dan meninggalkan pertempuran maka kakek itu jatuh di pulau lain tak jauh dari adiknya yang juga terbanting di situ, pening!
"Bukk!" Bukan main marah dan malunya kakek ini. la dilontarkan begitu kuat hingga tak mampu mengendalikan dirinya, seakan remuk dan mengeluh di situ akan tetapi kakek ini benar-benar hebat. la tak apa-apa kecuali pening dan merasa remuk, itu saja. Maka ketika ia bangkit dan menggoyang tubuh, menggeram maka kakek ini tiba-tiba meloncat dan terbang memekik ke arah Thai Liong lagi.
"Sute, bunuh pemuda itu!"
Hantu Hitam bangkit terhuyung, dibanding kakaknya ia masih lebih sakit, tubuhnya seakan remuk tapi seperti saudaranya ia pun memiliki kekuatan mengagumkan. Dulu dilempar dan dibanting We We Moli pun ia masih hidup. Maka ketika kakaknya memekik dan menyambar ketempat Thai Liong, pemuda itu membuat gentar namun juga marah maka kakek inipun melengking dan menyambar lagi ke arah pemuda itu, tak tahu bahwa sebenarnya Thai Liong masih menjaga tenaganya sedemikian rupa agar kakek itu tak sampai hancur.
"Suheng, pemuda ini benar-benar sombong. Bunuh dia!"
Thai Liong mengerutkan kening. Setelah dia melempar dedengkot Pulau Api itu dan murid atau para tokohnya berlarian maka adiknya dan Siang Le memburu orang-orang ini. Mereka membentak bertanya di mana Beng An berada, Tan-pangcu dan lain-lain kecut. Mereka pucat melihat kesaktian Rajawali Merah itu. Maka ketika dua kakek itu kembali lagi dan mereka menyambar bagai sepasang burung putih hitam, dari udara keempat tangan mereka melepas Giam-lui-ciang yang amat dahsyat tiba-tiba Thai Liong tak merasa kasihan lagi dan menganggap orang-orang tua ini manusia-manusia tak tahu diri.
"Kalian mencari celaka, terimalah!"
Dua cahaya putih menyambar dari lengan Thai Liong. Pemuda ini menyambut pukulan lawan dengan Im-kangnya, hebat dan menderu dan api yang berkobar tiba-tiba padam. Bagai gunung es menumbuk bukit api Giam-lui-ciang di tangan kedua kakek itu meledak, mereka berteriak dan terpental. Dan ketika keduanya terlempar dan jatuh terguling-guling, kebetulan Bu Kok dan sutenya berteriak kepada mereka mendadak dua kakek ini menyambar Soat Eng dan Siang Le sambil berguling-guling.
"Tangkap mereka ini, tundukkan pemuda itu!"
Soat Eng dan suaminya terkejut. Mereka sedang mengejar Tan-pangcu dan dua sutenya ini ketika dedengkot Pulau Api terlempar oleh pukulan kakak mereka. Hantu Putih dan Hitam jatuh tak jauh dari mereka, membentak dan melepaskan pukulan panas di mana tentu saja mereka tak kuat. Dan ketika suami isteri itu berteriak kaget dan roboh terlempar maka dua kakek itu meloncat bangun dan tahu-tahu telah menangkap sepasang orang muda ini.
"Ha ha, majulah. Saudaramu mampus!"
Thai Liong terkejut. la tak menyangka itu dan terbelalak, Soat Eng dan Siang Le diputar di tangan kiri kakek-kakek itu dengan amat cepatnya, tertawa dan terkekeh-kekeh dan para murid yang berlarian tiba-tiba bersorak. Mereka membalik dan maju lagi. Lalu ketika dua kakek itu menerjang mempergunakan tawanan ini, yang lain diperintahkan mengeroyok dan maju akhirnya Thai Liong tak dapat menguasai marahnya didorong oleh kekhawatiran yang hebat. "Ji-wi locianpwe, lepaskan adikku!"
"Ha-ha, tentu, kalau sudah menjadi mayat. Hah, ayo maju, anak muda. Tangkis dan terima mereka ini dan kau atau mereka yang mampus, ha-ha!"
Dua kakek itu dengan keji mempergunakan tubuh Siang Le maupun Soat Eng menghantam Thai Liong Rajawali Merah ini mengelak dan tentu saja tak berani menangkis, Soat Eng dan Siang Le akhirnya mengeluh dan pingsan. Pergelangan kaki mereka terbakar oleh Giam-lui-ciang yang dikerahkan dua kakek itu. Dan ketika mereka dijadikan senjata dan diputar serta dihantamkan ke arah Thai Liong maka jubah yang dipakai pemuda ini tiba-tiba menggelembung. Thai Liong, seperti ayahnya sebenarnya adalah seorang pemuda yang sabar dan lemah lembut. Jarang ia marah oleh perbuatan orang kalau tidak keterlaluan.
Maka ketika kini dua kakek itu tiba-tiba menangkap adiknya dan mempergunakan mereka sebagai senjata mendadak kemarahannyapun tak dapat dibendung lagi dan sin tiauw-kang (Tenaga Rajawali Sakti) di tubuhnya bergolak. Kemarahan akan membuat pemuda ini berobah. Maka ketika menerima pukulan-pukulan dari kiri kanan tapi bersamaan dengan itu tubuhnya menggelembung pula maka secara aneh dan luar biasa pemuda ini tiba-tiba menjadi tinggi besar bagaikan raksasa. Cepat hanya dalam waktu singkat Thai Liong sudah setinggi tiga meter!
"Aahhh...!"
"Hei...!"
Dua dedengkot Pulau Api itu berteriak. Mereka terkejut ketika tubuh pemuda itu tiba-tiba membesar, bengkak dan akhirnya setinggi dua kali manusia biasa. Setiap pukulan ternyata menambah besar tubuh pemuda itu, hal ini benar karena Thai Liong "menyimpan" atau mempergunakan pukulan lawan untuk "meniup" tubuhnya sendiri. Dari dalam pemuda ini menggelembung, tentu saja tenaganya amat dahsyat, hasil dari simpanan tenaga lawan-awannya itu. Dan ketika ia membuat terkejut semua orang sementara dua kakek putih dan hitam terperangah seakan melihat jin.
Maka Thai Liong bergerak dan sekali ia menyapu semua murid-murid Pulau Api terlempar. Mereka berteriak dan menjerit tapi tangan Thai Liong masih bergerak maju, tujuannya adalah sepasang kakek iblis itu. Dan karena tangannya menjadi panjang dan angin gerakannya membuat Hantu Hitam dan Putih menjadi kaget, sesak napas maka tahu-tahu Thai Liong telah menangkap dua orang ini, satu dengan tangan kiri sedangkan yang lain dengan tangan kanan.
"Lepaskan mereka!" Suara atau bentakan Thai Liong ini bagai guntur layaknya. Tanpa tenaga saktipun orang bakal terpelanting, apalagi dengan tenaga sakti.
Maka ketika dua kakek itu menjerit dan melepaskan tawanan, pinggang seakan remuk dicengkeram maka Thai Liong pun lega dan melempar kakek itu tinggi ke udara. Kali ini lemparannya lebih dahsyat didorong rasa marah. Hantu Putih ke kanan sedangkan adiknya ke kiri, jauh dan melewati gugusan Pulau Api hingga masing-masing berteriak ngeri. Tak mungkin lagi kakek itu kembali, karena mereka pasti terluka dan patah tulangnya. Dan ketika Thai Liong menangkap adiknya dan mengamuk di situ, buyarlah tokoh-tokoh Pulau Api maka Tan-pangcu dan dua sutenya membalik melarikan diri.
Akan tetapi Thai Liong melihat Bu Kok. Tokoh yang licik menyelinap di balik pohon-pohon besar ini tiba-tiba tersentak kaget melihat sebuah lengan menyambarnya dari atas. Itulah lengan Thai Liong yang sudah menjadi raksasa, panjang dan besar dan tentu saja laki-laki itu terkejut. Dia membentak dan menghantam namun terbanting, lengan itu bagai lengan baja. Dan ketika ia bergulingan namun dengan mudah ditangkap, Thai Liong mempergunakan kelima jarinya mencengkeram pinggang lawan maka laki-laki itu menjerit dan mengaduh.
"Ampun... aduhh!"
Thai Liong mengendorkan tenaganya. Kalau ia tak ingat akan adiknya Beng An barangkali mau rasanya melipat tubuh lawan . Tadi di awal pertempuran laki-laki ini udah berbuat licik dan curang. Tapi teringat adiknya ia berseru, menggelegar, "Aku tak membunuhmu kalau kau tahu di mana adikku Beng An. Jawab, atau kutekuk tubuhmu, ji-pangcu. Cepat atau aku tak mau bersabar!"
"Ampun, aduh... Ia di Lembah Es. Aduh, lepaskan aku, Rajawali Merah... lepaskan aku!"
"Lembah Es? Dimana itu?"
"Di utara, adikmu ditangkap penghuni Lembah Es!"
"Bohong!" Thai Liong membentak. "Adikku sahabat Lembah Es, pangcu. Kau bohong!"
"Aduh, aku tidak bohong. Adikmu ditangkap We We Moli. la.... ia mungkin dibunuh. Aduh, lepaskan aku!" dan ketika Thai Liong melempar dan menginjak tubuh itu maka tokoh Pulau Api ini gemetar bicara, Thai Liong memandangnya bengis dengan mata mencorong. "We We Moli, Ia... ia sesepuh Lembah Es. Ia menangkap adikmu dan kami tak tahu lagi apa yang terjadi. Ampun, aku bicara sungguh-sungguh...!"
Thai Liong menendang. Setelah ia yakin bahwa orang tidak bicara bohong ia pun tak ada gunanya menakut-nakuti lawan. Tendangannya membuat ji-pangcu itu mencelat dan terbang melampaui pulau, jatuh di tempat lain dan berdebuk pingsan. Dan karena yang lain-lain sudah tak ada lagi di situ dan gentar menghadapinya maka perlahan-lahan Thai Liong membuang kemarahannya dan tubuh yang seperti raksasa itu menyusut kecil, tak lama kemudian pulih seperti biasa dan cepat pemuda ini memeriksa adiknya dan Siang Le.
Dua orang itu ternyata luka bakar tapi tidak sampai mengancam jiwa, legalah Thai Liong. Dan ketika ia menotok adiknya sadar dan Soat Eng serta Siang Le tentu saja tak tahu betapa Rajawali Merah ini mengegerkan tokoh-tokoh Pulau Api maka mereka melompat bangun namun mengaduh oleh luka di pergelangan kaki.
"Aduh, keparat, mana mereka!"
"Sudah kuusir," Thai Liong bersikap biasa-biasa saja dan bekas-bekasnya sebagai raksasa tak tampak lagi. "Mereka telah lari meninggalkan kita, Eng-moi. Tapi secepeatnya kita harus pergi. Beng An di Lembah Es!"
"Lembah Es?"
"Benar, itu keterangannya. Kita juga tak mendapatkan adik kita di sini dan aku percaya. Ji-pangcu dari Pulau Api itu yang memberi tahu."
"Tapi mungkin dia bohong!"
"Tidak, aku melihat kesungguhannya, Eng-moi, dia tak bohong. Sekarang bagaimana apakah tetap ikut atau pulang saja."
"Pulang?" Soat Eng mengepal tinju. "Tidak, aku tetap ikut, Liong-ko. Ke Lembah Espun akan kucari. Mari, kita berangkat dan tak perlu menunda waktu lagi!"
"Aku terkilir," Siang Le mengeluh. "Aduh, jahanam kakek itu, Eng-moi. Aku mungkin tak dapat jalan!"
"Aku akan menggendongmu," Soat Eng menyambar dan tak ragu menangkap suaminya ini. "Kalau kau tak dapat berjalan biar kugendong, ko-ko. Aku masih sanggup meskipun kakiku sakit!"
Thai Liong tersenyum. Pulau sudah menjadi sepi dan Soat Eng tak malu-malu mengangkat suaminya itu, dilihat kakakpun juga tidak. Tapi ketika pemuda ini bergerak dan melihat betapa adiknya pincang maka dia berkata bahwa sebaiknya mereka disimpan dalam jubah. "Aku juga tak tahu di mana tepatnya Lembah itu, tapi kalau kita seperti ini tentu tak sampai-sampai. Masuklah, kusimpan kalian dalam Beng-tau-sin-jin ku, Eng-moi. Dengan begini perjalanan tentu cepat. Mari pergi dan jangan sungkan-sungkan!"
Soat Eng girang. Kesaktian kakaknya ini memang luar biasa, sejak dulu ia sudah kagum. Maka ketika kakaknya mengebut dan jubah itu menelan mereka tiba-tiba keduanya lenyap dan mengecil didalam jubah. Inilah Beng-tau-sin-jin atau ilmu Menembus Roh dan segalanya dapat dilakukan secara ajaib. Rajawali Merah itu telah menyimpan saudara-saudaranya. Dan ketika ia tersenyum dan mengembangkan lengannya mendadak ia pun melesat dan lenyap meninggalkan pulau. Tak ada yang membuat takjub selain melihat kesaktian pemuda ini. Thai Liong bergerak di atas lautan, meluncur atau melayang dan sekejap kemudian iapun hanya merupakan titik kecil di kejauhan sana, titik merah.
Lalu ketika titik itu lenyap di tepian langit maka muncullah dari balik pulau bayangan orang-orang Pulau Api yang terhuyung dan jatuh, merintih dan mendecak dan mereka inilah orang-orang yang terluka. Tan-pangcu sendiri tampak di situ. Lalu ketika semuanya bengong dan gentar memandang samudera yang luas, tempat di mana pemuda itu lenyap akhirnya mereka terduduk dan batuk-batuk dengan muka pucat.
Tak ada yang mengerikan selain peristiwa ini. Siapapun ingat dengan baik dan tak akan lupa. Tapi ketika dua hari kemudian Tan-pangcu dan anak muridnya ini terluka di situ, masih terguncang oleh kesaktian si Rajawali Merah mendadak muncullah Beng An dan Puteri Es di situ. Dapat dibayangkan betapa kaget dan pucat orang-orang ini. Tan-pangcu yang sudah gentar oleh peristiwa dua hari lalu tergesa-gesa bersembunyi. la terluka, dedengkotnya juga tak pernah kelihatan lagi di situ. Tapi ketika tak lama kemudian dua muda-mudi itu keluar lagi dari pulau, seorang murid jatuh bangun melapor maka diketahuilah bahwa dua orang muda itu segera mendengar cerita kakaknya dan buru-buru menyusul.
"Teecu... teecu dibekuk, dikompres. Teecu dipaksa menceritakan apa yang terjadi dan kenapa pulau sepi. Ampun, suhu teecu menceritakan semuanya dan untunglah mereka pergi. Teecu menceritakan tentang kakaknya yang datang itu, dan mereka menyusul ke Lembah Es!"
"Hm, bagus, biarkan saja. Perbuatanmu sudah benar, Yang-kui, tepat. Tapi kenapa gadis itu bisa ke mari. Bagaimana Puteri Es meninggalkan tempat tinggalnya!'
"Teecu tak tahu, mereka juga tak menceritakan itu!"
Memang Tan-pangcu dan para muridnya tak akan tahu. Mereka tak mungkin mendengar peristiwa di Lembah Es sendiri betapa gadis itu diusir dan harus meninggalkan istana. Tapi ketika tokoh-tokoh Pulau Api saling pandang dan bertukar isyarat akhirnya Tan Siok atau Tan-pangcu ini bangkit berdiri, masih memegangi dadanya yang sesak dan paha yang biru lebam dihajar Thai Liong.
"Sebaiknya kita melapor supek, kita cari supek. Siapa tahu ada keramaian di sana dan supek menonton!"
"Benar, kita beri tahu supek, suheng. Aneh bahwa Puteri Es meninggalkan istananya dan keluyuran disini. Tak biasanya penghuni Lembah Es keluyuran, apalagi ratunya!"
Bergeraklah semua orang mencari dedengkot mereka itu. Ternyata Hantu Hitam merintih di balik sebuah batu besar, jauh di timur gugusan pulau-pulau Api. Dan ketika Hantu Putih ditemukan terjepit di antara celah-celah batu karang, di sebelah barat pulau maka terbelalaklah dua kakek itu mendengar ini.
"Gadis itu ke sini, bersama Beng An?"
"Benar, supek, tapi mereka pergi lagi!"
"Ke mana?"
"Ke Lembah Es. Yang-kui menceritakan betapa Beng An ditangkap We We Moli. Kami berharap Rajawali Merah itu bertempur dengan We We Moli dan biar satu di antara mereka roboh!'
"Ha-ha, bagus, kalau begitu kita kesana, menonton! He, bagaimana denganmu, sute. Bisakah ke sana sekarang ini."
"Tubuhku masih serasa remuk, keparat pemuda itu. Tapi kalau kupaksa dapat juga, suheng, biar anak-anak di sini dan kita ke Sana. Uh, kuharap keduanya sama-sama mampus!"
"Ha-ha, betul, dan kita menonton. Kalau We We Moli menang kita bunuh dia, tentu sudah capai!"
"Tapi kalau pemuda itu yang menang?"
"Kita bantu We We Moli, sute, kita bunuh pemuda itu!"
"Baik, kita hancurkan dia, lalu setelah itu kita bokong We We Moli agar mampus, heh-heh!"
Hantu Hitam terpincang bangun dan berjalan dengan wajah gembira, disambut suhengnya dengan tawa yang sama dan tiba-tiba bergeraklah sepasang iblis ini meninggalkan pulau. Mereka menyuruh murid-murid berjaga disitu karena mereka sendiri hendak ke sana. Menonton pertandingan itu tentu menarik, apalagi kalau kedua-duanya sama roboh. Maka ketika keduanya bergerak dan para murid memandang dengan hati berdebar maka dua kakek ini menuju Lembah Es tak perduli betapa kedatangan mereka tentu bakal disambut senjata!
* * * * * * * *
Thai Liong memang menuju Lembah Es. Sama seperti ketika mencari Pulau Api maka pemuda ini mengalami banyak kesulitan menemukan tempat itu. Lembah Es hanya diketahui di utara, di daerah kutub. Maka ketika ke sini dia mencari dan lautan luas diseberangi untuk akhirnya tiba di daerah dingin di mana benda-benda membeku dingin maka Thai Liong tak melihat lagi tempat bertanya. Pemuda ini sudah tiba di wilayah selatan Lembah Es. Akan tetapi karena istana Lembah Es masih jauh di utara lagi dan tentu saja dia harus maju terus maka Soat Eng dan Siang Le yang disimpan di dalam jubahnya menggigil kedinginan. Alangkah hebatnya tempat itu sebagai wilayah maha luas, di mana-mana salju melulu.
"Kami kedinginan. Bagaimana keadaan di luar, Liong-ko, apakah kau tahan!"
Thai Liong tersenyum. "Peluk pinggangku, Eng-moi, kusalurkan tenaga untuk kalian. Aku tak apa-apa."
"Tapi aku ingin melihat keluar, sebentar saja!"
"Benar," Siang Le menyambung."
"Beberapa hari ini kami tak tahu dunia luar, Thai Liong. Bolehkah kami melihat sebentar dan sampai di mana kita."
"Baiklah," pemuda itu melepas jubah. "Lihatlah, Siang Le, kita sudah di kutub!"
Beng-tau-sin-jin lenyap. Thai Liong membuang kesaktiannya ini dan terlemparlah suami isteri itu keluar. Soat Eng dán Siang Le berjungkir balik. Tapi ketika mereka turun ke tanah dan berseru kedinginan tiba-tiba keduanya menggigil dan berketrukan.
"Aih, dingin!"
"Ah, luar biasa!"
Thai Liong menepuk dan cepat membantu dua orang itu. Setelah berhari-hari di dalam jubah dan diselimuti kehangatan maka perobahan mendadak yang diterima ini berat juga. Soat Eng dan Siang Le masih harus menyesuaikan diri. Tapi ketika Thai Liong menepuk pundak mereka dan hawa hangat menyalur nikmat maka keduanya mendecak melihat betapa seluruh kawasan hanya putih melulu, pohon dan tanah terlapis salju.
"Kita agaknya sudah sampai, istana Lembah Es tentu dekat!"
"Hm, belum tentu. Di sini tak tampak siapapun, Eng-moi, tak ada gerakan. Istana masih jauh!"
"Bagaimana kau yakin?"
"Aku belum melihat siapa-siapa di sini, Eng-moi, binatangpun tidak. Tujuan kita tentu masih jauh dan masuklah kembali ke dalam biar kalian kusimpan dalam Beng-tau-sin-jin!"
"Tidak," Soat Eng tiba-tiba menggeleng. "Cukup kita beristirahat, Liong-ko, sudah waktunya sendiri lagi. Aku tertarik melihat tempat ini dan ingin di luar, entah dengan Le-ko."
"Tentu saja aku juga begitu," Siang Le berkata dan buru-buru menyambung. "Kalau isteri di luar masa suami di dalam, Eng-moi. Hayo kita cari dan temukan istana Lembah Es itu!"
Soat Eng tertawa. la berkelebat dan sudah mulai dapat menyesuaikan dengan hawa dingin, bantuan kakaknya tadi cukup. Dan ketika Siang Le juga bergerak dan menyusul isterinya maka Thai Liong tersenyum mengikuti dua saudaranya ini. "Le-ko, aku tiba-tiba lapar. Bagaimana kalau kita mencari makanan dulu!"
"Baik, kita berlomba. Siapa cepat dia menang, Eng-moi. Hayo siapa tahu ada kelinci atau ayam hutan di sini!"
"Hi-hik, mana ada ayam hutan. Kalaupun ada tentu sudah membeku, Le-ko, tak dapat dimakan. Paling-paling di tempat ini kelinci salju atau beruang putih!"
Benar saja, tak lama mereka bergerak terdengarlah geram menggetarkan. Seekor biruang salju muncul dari balik pepohonan dan tubuhnya yang putih bersih tampak mengkilap dan tebal. Soat Eng hendak membunuh binatang ini namun suaminya berteriak, batu yang sudah dilempar Soat Eng ditangkis Siang Le. Dan ketika batu itu melenceng mengenai perut, bukan ke kepala maka si buntung itu berseru bahwa hewan seperti ini tak perlu dibunuh.
"Kita menghendaki yang kecil-kecil saja, sebesar ini hanya akan dibuang-buang saja. Tidak, jangan yang itu, Eng-moi, kasihan. Cari saja yang lain dan biarkan ia pergi!"
Biruang itu terjengkang. Meskipun batu yang disambitkan Soat Eng hanya sekepalan saja akan tetapi tenaga sakti yang terbawa batu itu amat kuat, kepala gajahpun dapat dipukul pecah. Maka ketika mengenai erut dan cukup membuat binatang itu kesakitan, biruang ini tahu bahaya maka binatang itu meloncat bangun dan terbirit-birit melarikan diri. Nalurinya memberi tahu bahwa mahluk-mahluk yang ada di depannya ini berbahaya.
"Hi-hik, lucu sekali, tapi kau betul. Baiklah, kita cari yang kecil-kecil, kelinci misalnya. Ayo kita maju dan cari buruan kita!"
Siang Le lega. Ia gembira melihat binatang itu tak jadi terbunuh, terlalu besar bagi mereka, terlalu banyak. Maka ketika isterinya berkelebat dan mencari yang lain, kelinci misalnya maka binatang kedua dijumpai. Harimau salju!
"He, itu!" binatang itu terkejut. "Bagaimana dengan yang itu, Le-ko. Tampaknya santapan lezat!"
"Boleh juga, tapi kebesaran. He, itu ada anaknya, Eng-moi, menggaruk-garuk tanah. barangkali yang itu saja!"
Soat Eng menoleh. Ternyata di balik gundukan salju terdapat dua ekor harimau cilik mengorek-ngorek makanan, wajah nyonya itu berseri. Tapi ketika ia berkelebat dan hampir berbareng dengan suaminya mendadak seekor harimau lain yang besar menubruk dari samping kanan.
"Awas, Eng-moi!"
Soat Eng bergerak cepat. Seekor harimau jantan menubruknya tanpa diketahui. la tak melihat harimau ini yang tersembunyi di balik pohon besar. Tapi begitu ia menggerakkan lengan kanan dan menampar binatang itu maka binatang itu mengaum dan terbanting ke tanah. "Pratt!" Salju memuncrat ditimpa tubuh binatang itu. Harimau ini bergulingan dan dua anaknya di situ tiba-tiba melarikan diri, takut melihat manusia datang. Tapi ketika yang betina menerkam Siang Le dan pemuda ini mengibaskan lengan maka binatang itupun terlempar dan Soat Eng melengking melihat anak-anak harimau itu berlarian.
"He, tangkap anaknya. Itu!"
Akan tetapi Siang Le melihat arah yang lain. Harimau ini sebenarnya lebih dekat dengannya daripada Soat Eng, sekali sambar mungkin bakal tertangkap. Tapi karena ia melihat arah yang lain dan membiarkan anak-anak harimau itu maka Soat Eng tertegun dan melihat apa yang dilihat suaminya. Dan nyonya itupun terkejut melihat sesosok mayat tertanam di sebuah lubang salju, lubang yang terbuka karena tadi dikorek-korek anak harimau.
"Ah...!" nyonya itu meloncat dan berseru tertahan, Siang Le sudah lebih dulu di situ. "Ada mayat, Le-ko. Rupanya masih baru!"
"Tidak," Thai Liong tiba-tiba berseru dan berada dibelakang adiknya ini. "Mayat itu sudah lama, Eng-moi , tapi masih baik dilindungi hawa dingin. Coba kuperiksa dan minggirlah sedikit!"
Wanita ini mundur. Siang Le sudah mengangkat mayat itu dan melihat lubang di dada, bekas tusukan pedang. Dan ketika Thai Liong juga memeriksa dan mengangguk sedih segera pemuda itu meletakkan mayat itu kembali.
"Sudah beberapa bulan, sebaiknya ditanam lebih dalam. Hm, agaknya dibunuh penghuni Lembah Es, Eng-moi. Mayat ini laki-laki dan kita tahu pantangan Lembah Es."
"Benar, dan kita juga laki-laki. Ah, kita harus berhati-hati melewati tempat ini Thai Liong. Rupanya istana Lembah Es mulai dekat!"
"Dan kita kehilangan buruan, Soat Eng berseru dan sudah dapat menguasai hatinya lagi. "Kau seharusnya menangkap anak harimau itu, Le-ko, bukan membiarkannya. Lihat ke mana sekarang mencari lagi!"
"Tak perlu penasaran justeru harus bersyukur. Masa harus menangkap harimau yang baru menikmati mayat, Eng-Moi. Aku akan mual dan tak dapat makan enak!"
"Benar juga, tapi tak perlu ribut. Sekarang kita lanjutkan saja perjalanan kita, Siang Le, kalau ada buruan kita tangkap. Kalau tidak biarlah roti kering ini untuk pengganjal dan Eng-moi tak usah kecewa."
Soat Eng mengernyitkan kening dan menghela napas, Tiba-tiba ia merasa mual membayangkan betapa mereka hampir menikmati harimau yang melahap mayat. Ada bagian yang sudah tergigit di tubuh mayat itu, sedikit bagian paha. Dan ketika ia mundur dan menahan mual akhirnya Thai Liong menanam mayat itu lebih dalam, tak tahu mayat siapa tapi dari pakaian orang itu ia tahu bahwa orang ini pasti seorang kang-ouw. Dan ketika pemuda itu bangkit dan melanjutkan perjalanan lagi ternyata di depan mereka menjumpai lagi beberapa gundukan tanah yang merupakan makam dari mayat-mayat kaum lelaki, beberapa di antaranya bahkan murid-murid Pulau Api yang kentara dari tubuhnya yang kemerah-merahan itu.
"Tempat ini pernah diserbu!" Thai Liong tak ragu lagi. "Orang-orang Pulau Api telah datang di sini Eng moi, mereka yang tewas dikubur seadanya."
"Benar...!" Siang Le juga melihat itu. Mereka ini orang-orang Pulau Api, Thai Liong, tapi rupanya mereka terpukul mundur. Ah, Lembah Es benar-benar pantang bagi orang asing!"
Soat Eng mengangguk-angguk. Segera dia dapat menduga apa yang terjadi dan memandang suaminya itu. Tapi ketika suaminya balas memandang dan mengepal tinju maka Siang Le berkata bahwa ia tak perlu takut. "Aku tidak gentar, meskipun hati-hati. Jangan salah paham kalau mengira aku takut."
"Bagus, aku percaya. Dan di sini ada kakak kita Thai Liong, Le-ko, lautan golokpun rasanya tak perlu membuat gentar. Mari, kita lanjutkan lagi!"
Tiga orang ini bergerak. Semakin lama mereka semakin banyak menemukan gundukan tanah di situ, yakni kuburan orang-orang Pulau Api yang dulu menyerbu Lembah. Dan ketika Thai Liong mengangguk-angguk dan menarik napas dalam maka tiba-tiba ia mendengar suara isak tangis di sebelah kiri. Soat Eng dan Siang Le tak mendengar, kalah tajam. Pemuda ini melompat dan sekejap kemudian melihat seorang gadis terikat di sebuah lubang, telinganya hanya sebelah. Lalu ketika dia berseru dan menarik gadis itu maka gadis ini tersentak kaget berseru tertahan.
"Kim-taihiap!"
Thai Liong tertegun. Gadis itu menubruk kakinya dan tersedu-sedu dan sudah menyembunyikan muka di situ. Soat Eng dan Siang Le yang menoleh kaget sudah berkelebat ke sini. Dan ketika mereka terkejut melihat seorang gadis ditolong kakaknya, gadis cantik berwajah sembab maka Thai Liong bertukar pandang sementara Soat Eng semakin terkejut karena gadis itu menyebut-nyebut ayahnya.
"Aduh, kau kiranya datang lagi, taihiap, terlambat... terlambat sudah. Puteri diusir pergi dan Kim-kongcu bersamanya. Ah, bagaimana mereka dan nasib kami penghuni Lembah Es. Thai-houw gusar dan seisi lembah ketakutan!"
"Hmm, aku bukan Kim-mou-eng, aku puteranya. Bangkitlah, Cici, siapa kau dan rupanya sudah mengenal ayahku. Bagaimana bisa begitu dan kapan ayahku ke sini?"
Gadis itu kaget. la bukan lain Hwa Seng pelayan Puteri Es, gadis yang dulu ditolong Beng An dari Kepulauan Akherat terbebas dari tangan kejam orang-orang Pulau Api. Maka ketika ia terbelalak dan menengadahkan muka, rambut keemasan Thai Liong mirip ayahnya maka barulah gadis itu sadar bahwa yang ada di depannya ini bukanlah Pendekar Rambut Emas Kim-mou-eng melainkan seorang pemuda tigapuluhan tahun yang wajah serta bentuk tubuhnya mirip, terutama rambutnya itu.
"Ah, siauw-hiap... siauw-hiap....!"
"Benar, aku Thai Liong, putera ayahku Kim-mou-eng. Agaknya kedatanganku terlambat dan didahului ayahku itu. Hm apa yang terjadi dan ceritakan kepadaku, cici. Aku kakak Beng An yang kau sebut-sebut Kim-kongcu itu. Aku Thai Liong!"
Gadis itu mendadak menangis lagi. Setelah ia tahu bahwa yeng di depannya ini adalah putera Pendekar Rambut Emas pula dan kakak Beng An ia pun tiba-tiba sedih. Tangis itu meledak lagi namun Thai Liong melepas ikatannya, belenggu itu sekali tabas putus. Dan ketika Thai Liong membujuk namun tetap tak berhasil, gadis ini masih menangis terus akhirnya Soat Eng bergerak dan menyambar pundak itu, tak sabar.
"Kau siapa dan apa yang terjadi. Heh hentikan tangismu dan ceritakan kepada kami!"
"Aku... aku Hwa Seng, murid Lembah Es. Siapa kau, lihiap, sebaiknya kalian cepat pergi atau aku malah celaka lagi!"
"Hm, aku cici Beng An, datang untuk mencari adikku itu. Orang Pulau Api mengatakan bahwa adikku di sini. Nah, katakan benar atau tidak, Hwa Seng. Ceritakan padaku apa yang terjadi dan kenapa kau di lubang itu!"
"Aku menerima hukuman, dibuang. Sebulan aku tak boleh kembali, lihiap, dan masih kurang tiga hari. Aku... aku tak dapat bercerita banyak kecuali bahwa Kim-kongcu dan Puteri telah pergi."
"Pergi?" Soat Eng melotot. "Setelah kami jauh-jauh datang lalu mendapat keterangan bahwa adikku pergi? Jangan bohong, aku tak kenal siapa kau, Hwa Seng. Tapi aku dapat berlaku kejam kalau kau menipu aku!"
"Aku tak bohong," gadis itu tersedu lagi. "Kim-kongcu dan Puteri meninggalkan tempat ini, lihiap, kemudian disusul oleh dua pimpinan kami yang lain, Leng-Cici dan Keng-cici. Aku tak bohong dan kami penghuni yang lain bermaksud menyusul!"
Soat Eng tertegun. Thai Liong menggamit lengannya dan menyuruh bermuka lembut, gadis Lembah Es itu adalah orang yang dapat dimintai keterangan. Dan ketika ia mengurangi kemarahannya bersikap lebih sabar maka ia menyuruh gadis itu menghentikan tangisnya. "Baiklah, hentikan tangismu dan ceritakan lebih baik. Bagaimana kami dapat mendengar ceritamu kalau terus menangis begini."
"Aku teringat Puteri, juga kongcu. Aku sedih teringat mereka dan betapa kejamnya Thai-houw!"
"Siapa yang kau maksud Thai-houw. Apakah We We Moli?" Thai Liong maju dan bertanya.
"Siauw-hiap tahu?" gadis itu tertegun. "Benar siauw-hiap, sesepuh kami itu. Kim-kongcu hampir saja celaka di tangan nenek ini. Kami tak ada yang berani!"
"Hm, ceritakan itu, berhentilah menangis dan ceritakan baik-baik. Kami mendengarkan."
Gadis ini mengangguk. Akhirnya ia mengucap terima kasih akan pertolongan Thai Liong tadi, terisak dan akhirnya berhenti menangis dan duduklah dia bersimpuh. Melihat sikapnya yang seperti pelayan membuat Thai Liong terharu, gadis ini rendah hati benar. Maka ketika ia menyuruhnya duduk yang enak dan semula gadis ini tampak ragu-ragu, Thai Liong menyentuh pundaknya maka pemuda itu berkata bahwa mereka adalah orang-orang biasa saja.
"Aku bukan seperti Puteri atau siapapun tokoh Lembah Es, kami bertiga orang-orang biasa saja. Duduklah yang enak dan jangan ragu-ragu bercerita."
"Siauw-hiap seperti Kim-kongcu," Hwa Seng mendesah. "Siauw-hiap tak berbeda jauh dengan Kim-kongcu itu. Ah, kalian kakak beradik benar-benar tak banyak peradatan!"
"Kami orang-orang kang-ouw!" Thai Liong tersenyum. "Sebagai orang yang biasa merantau dan tinggal di mana saja kami tak menghendaki tata peraturan ketat, Hwa Seng. Di sini kau sahabat kami, duduklah dan ceritalah tanpa ragu-ragu."
Akhirnya gadis itu mengangguk. Sekali lagi ia membuktikan bahwa Beng An dan kakaknya ini tak jauh berbeda, hanya rambut pemuda itulah yang lain. Thai Liong masih berdarah Tar-tar karena mendiang ibunya Salima adalah seorang wanita Tar-tar, bukan bangsa Han. Lalu ketika ia bercerita dan Thai Liong mendengarkan tentu saja pemuda itu menahan ketegangan ketika beberapa kali cerita itu menyinggung adik mereka, terutama ketika Beng An dihajar We We Moli dan betapa lihainya wanita itu.
"Puteri jatuh cinta bersama Kim-kongcu, semua sudah sama tahu. Namun karena sudah beratus tahun ini penghuni Lembah Es tak boleh bergaul dengan lelaki maka hal itu merupakan pantangan besar apalagi sampai menikah. Akan tetapi Kim-kongcu bagi kami lain, ia telah menolong dan membebaskan kami dari kekalahan menandingi orang-orang Pulau Api, apalagi karena kongcu juga sudah berhasil melewati tujuh rintangan yang dulu merupakan ujian baginya. Terhadap Kim-kongcu ini kami merasa suka, siauw-hiap, hanya kepada Kim-kongcu ini kami seakan merasakan lain. Apalagi aku yang pernah ditolongnya tak sekalipun mendapat perlakuan tak pantas dari Kim-kongcu. la benar-benar pemuda pilih tanding yang pantas menjadi suami Puteri. Kami seluruh penghuni merasa kagum!"
"Jadi kau yang dulu dibebaskan adikku dari tangan Tan-pangcu dan para muridnya?" Soat Eng teringat.
"Benar, lihiap, akulah itu. Dan kongcu membawaku sampai selamat di sini."
"Hm-hm, betul. Beng An telah menceritakan itu. Lanjutkanlah bagaimana akhirnya dengan sesepuh kalian itu, We We Moli yang ternyata masih tak meninggalkan kekuasaannya."
"Beliau tentu saja marah, Puteri dihukum!"
"Dengan mengusirnya keluar dari istana?"
"Benar, lihiap, tapi semula tidak begitu. Puteri hendak dibunuh!"
"Hm, lalu kenapa bunyi hukuman berubah?"
"Ini karena Leng-cici dan Keng-cici, juga tokoh-tokoh lain Lembah Es. Mereka minta dibunuh kalau Puteri dibunuh!"
"Hm, hebat. Kalau begitu penghuni Lembah Es bisa habis!"
"Ya, benar, dan sesepuh kami akhirnya membatalkan hukuman mati. Ia mengusir Puteri dan Kim-kongcu pun akhirnya selamat"
"Baik, kira kira berapa lama kejadian itu?"
"Kira-kira tiga empat minggu lalu..."
Soat Eng mengerutkan kening. Ia memandang kakaknya tapi Thai Liong tersenyum menarik napas tenang. Hanya pemuda inilah yang paling tenang di antara semuanya, meskipun sebenarnya jantung pemuda itu juga berdetak mendengar betapa adiknya di ambang maut, hampir dibunuh We We Moli. Dan ketika gadis itu kembali melanjutkan bahwa akhirnya sang Puteri meninggalkan mereka, pergi bersama Beng An maka gadis ini menutup bahwa tak lama kemudian Thio Leng dan Sui Keng juga meninggalkan Lembah, hampir disusul oleh yang lain namun gadis itu mencegah bahwa mereka berdua cukup, yang lain harus menjaga keselamatan penghuni.
"Kalau saja Leng-cici dan Keng-cici tak mencegah mereka tentu Yo-siocia dan cici yang lain pergi menyusul. Tapi mereka diharuskan menjaga Lembah, dua pimpinan itu cukup mewakili mereka. Dan aku akhirnya dibuang di sini selama sebulan karena aku dianggap gara-gara pertemuan Kim-kongcu dan Puteri!"
"Kasihan," Siang Le tiba-tiba memandang gadis itu, terharu. "Kau banyak berkorban, Hwa Seng, tapi mudah-mudahan pengorbananmu tak sia-sia. Maksudku mudah-mudahan adikku Beng An dapat hidup berbahagia dengan Puteri Es!"
"Tak mungkin," gadis itu tiba-tiba menangis. "Kalaupun mereka berdua bukan berarti Puteri dapat menikah, siauw-hiap. Tanpa perkenan atau restu sesepuh tak mungkin mereka menjadi suami isteri. Puteri harus menghormat para leluhur!"
"Hm, begitukah? Tapi perkawinan bukan ditentukan oleh seorang dua orang tokoh. Para pendeta atau orang-orang tua lain dapat merestui."
"Tidak bagi penghuni Lembah Es. Kalau itu dipaksakan maka malapetaka akan menimpa, siauw-hiap, mereka tak akan mendapat keturunan dan yang puteri akan tewas terkena kutuk. Kecantikannya hilang dan tubuh menjadi rusak, rohnya akan ditolak oleh para leluhur dan mereka tak mendapat tempat."
Siang Le tertegun. Isterinya terbelalak dan ngeri, sebagai wanita tentu saja hilangnya kecantikan adalah paling menakutkan. Kalaupun masih ditambah kutuk dan kelak arwahnya tak bisa bertemu leluhur maka hal itu sungguh hebat lagi. Siapa yang mau! Maka ketika Soat Eng mengangguk-angguk dan dapat mengerti, suaminya menghela napas maka si buntung itu bertanya apakah tak ada jalan lain menyelesaikan persoalan ini.
"Cinta adalah sesuatu yang agung, aneh dan penuh misteri. Kalau mereka nekat tak mau berpisah tentu repot bila tak berlanjut di gerbang perkawinan, Hwa Seng. Tak adakah jalan lain menyelesaikan ini. Dan bagaimana dengan gak-hu (ayah mertua) dan keponakan-keponakanku yang lain."
"Kim-taihiap dilempar sesepuh kami. Hanya karena ia telah berjasa menghalau orang-orang Pulau Api maka ia tak dibunuh, begitu juga wanita cantik itu dan anak-anak. Entah siapa wanita itu tapi kecantikannya hampir menandingi Puteri!"
"Ia isteriku," Thai Liong tersenyum. "Dan anak laki-laki yang dibawanya itu adalah puteraku, Hwa Seng, Bun Tiong namanya."
"Benar, Bun Tiong! Ya-ya, aku ingat itu. Namanya Bun Tiong. Ah, anak laki-laki itu hebat sekali, siauw-hiap, maksudku gagah dan pemberani sekali. Dia mempermainkan kami penghuni Lembah Es sebelum tertangkap!"
"Hm, tapi akhirnya tak apa-ap bukan?"
"Tidak, tidak, tak apa-apa. Puteri membebaskan mereka dan Kim-taihiap malah membantu kami menghadapi serangan orang-orang Pulau Api!"
"Namun akhirnya ayah dikalahkan locianpwe We We Moli."
"Benar, siauw-hiap, untuk ini kami tak dapat berbuat apa-apa. Terhadap kalian keluarga Pendekar Rambut Emas kami benar-benar merasa memberi pengecualian."
"Baiklah, lalu apalagi yang dapat kau ceritakan."
"Tak ada lagi...!"
"Eh, urusan adikku tadi belum terjawab, Hwa Seng. Bagaimana supaya mereka dapat menikah menjadi suami isteri!" Siang Le berseru.
"Benar, bagaimana itu," Thai Liong mengangguk. "Aku juga ingin tahu, Hwa Seng. Masa tak ada jalan untuk mengatasi ini."
"Percuma," gadis itu menunduk, isaknya keluar lagi. "Memperisteri Puterl harus berhubungan dengan sesepuh kami, siauw-hiap. Ada beberapa syarat yang harus dilalui, tapi yang terakhir ini yang paling berat!"
"Hm, syarat apa saja itu."
"Sebagian besar sudah dilalui Kim-kongcu, seperti misalnya mengalahkan Puteri dan membantu kami mengusir orang-orang Pulau Api. Tapi yang ini paling berat, dan tak mungkin dilakukan kongcu. Ia harus dapat mengalahkan sesepuh kami!"
Siang Le tertegun. Gadis itu sudah menangis lagi sementara Thai Liong menarik napas panjang. Soat Eng, isterinya memerah dengan pandangan berapi. Sombong wanita Lembah Es itu! Namun karena ia mengetahui betapa lihainya dedengkot Pulau Api dan We We Moli dinyatakan masih lebih hebat lagi, dua kakek itu pecundang maka wanita ini menoleh pada kakaknya dan Thai Liong mengangguk, diam-diam berkelebat lenyap.
"Aku ke dalam, Eng-moi, jaga suamimu dan wanita itu. Biar kuwakili adikku Beng An."
Soat Eng girang. Kalau kakaknya sudah maju ke depan dan siap menandingi wanita itu tentu saja ia menjadi gembira dan timbul semangat. Siapa lagi yang diharap kalau bukan Thai Liong! Maka ketika ia tertawa manis dan menyambar gadis itu iapun berseru pada suaminya, "Le-ko, agaknya Hwa Seng menjadi petunjuk jalan kita. Biarlah ia memimpin dan memberi jalan!"
Gadis ini terkejut. "Ji-wi mau ke mana?"
"Ke mana lagi kalau bukan ke istana Lembah Es, Hwa Seng. Ayo tunjukkan kepada kami dan lihat kakakku sudah pergi lebih dulu!"
Gadis ini semakin terkejut. la tak melihat lagi Rajawali Merah itu sementara Siang Le tersenyum. la sudah menaruh simpati dan suka kepada orang-orang muda ini, apalagi setelah tahu mereka adalah kakak-kakak Beng An. Tapi melihat betapa dirinya disendal dan dibawa melayang tak urung juga dia berteriak. "Lihiap, jangan, tunggu dulu!"
"Hm, tunggu apa?" Soat Eng berhenti.
"Jangan ke sana, lihiap, tidak. Aku tak berani dan sisa hukumanku masih harus kujalani juga. Jangan kalian pergi atau kalian bertiga dibunuh!"
"Hi-hik, dibunuh atau terancam dibunuh sudah berulang-ulang kami alami, Hwa Seng. Kalau kau tak mau ikut tak apa-apa, hanya jangan salahkan kami kalau ada apa-apa!"
"Lihiap...!"
Akan tetapi Soat Eng sudah melepaskan dirinya. Nyonya itu tak mau menunda waktu lagi karena bayangan kakaknya sudah jauh di sana. Ia harus mengejar atau kehilangan jejak. Maka ketika ia berkelebat meninggalkan gadis itu, Hwa Seng berteriak tapi tak digubris akhirnya jatuhlah gadis itu tersedu-sedu, menyesal dan juga ngeri.
"Lihiap, kau dan kakakmu sama-sama keras kepala. Ah, bagaimana nanti kalau Kim-kongcu tahu. Kalian mempertaruhkan nyawa!"
Namun Soat Eng dan suaminya sudah lenyap. Sama seperti Beng An wanita ini memiliki keberanian berlebih. Mereka adalah putera-puteri Kim-mou-eng yang tak mengenal takut, ancaman bahaya justeru merangsang mereka. Sampai di mana bahaya itu! Maka ketika ia meninggalkan gadis Lembah Es itu sementara Hwa Seng kembali dan mengguguk di lubang hukumannya maka dua orang itu menyusul Thai Liong yang berkelebatan jubahnya sudah memasuki suatu wilayah kawat berduri yang menunjukkan daerah perbatasan. Soat Eng memang wanita pemberani. Berhadapan dengan siapapun ia tak takut. Tapi melihat daerah sunyi itu dan jejak kakaknya lenyap ia berhenti dan keder juga. Ada pengaruh getaran kuat yang penuh wibawa.
"Kalian di situ dulu!", suara Thai Liong tiba-tiba terdengar. "Di balik pagar itu ada kekuatan gaib yang tak dapat kalian masuki, Eng-moi. Biarkan aku bekerja di sini membuat jalan untuk kalian."
Soat Eng terbelalak. la sudah memasuki daerah itu dan benar saja terdorong mundur. Di balik pagar kawat itu seakan ada tenaga tak kelihatan yang membuat ia tertahan. Tenaga gaib! Dan ketika suaminya juga berseru tertahan tak mampu menerobos, ada hawa dingin yang menahan mereka barulah kakak mereka Thai Liong berseru lagi.
"Bergerak tujuh langkah ke kiri dan masuklah, awas hati-hati!!"
Terdengar ledakan. Tujuh langkah di sebelah kiri tiba-tiba asap putih meledak disertai asap biru. Soat Eng melompat dan masuk ke sini. Dan ketika ia terheran-heran karena udara di situ terasa ringan dan enak maka Siang Le juga melompat menyusul namun baju pemuda ini robek oleh sinar biru yang tiba-tiba mencuat. Bagai petir menyambar!
"Hati-hati, Siang Le. Di dekat pagar itu. terpasang Bhi-lek-ciang (Tangan Laser Biru)!"
Si buntung terkejut. la mengeluarkan keringat dingin namun selanjutnya tak ada apa-apa lagi. Hanya terdengar beberapa kali suara "brat-bret" seperti gunting memutuskan kawat, tajam dan lenyap dan selanjutnya mereka melangkah hati-hati. Ternyata di tempat itu dipasangi kekuatan gaib dari sebuah tenaga Sakti semacam pagar tak kelihatan dengan setrum bertegangan tinggi. Dan ketika si buntung itu melangkah hati-hati namun akhirnya suara Thai Liong tak kedengaran lagi, tanda aman maka Soat Eng menyambar lengan suaminya dan berkelebat tak sabar.
"Liong-ko tak memberi petunjuk apa-apa lagi, berarti aman. Mari kita kejar dan kerahkan ilmu lari cepatmu!"
Siang Le mengangguk. Ia telah merasa bebas dan tenang lagi setelah bahaya lewat. Entah bagaimana kalau Thai Liong tak ada di situ, tentu mereka menabrak pagar gaib itu dan terbakar. Bajunya saja hangus! Dan ketika ia mengangguk dan mengerahkan ilmu lari cepatnya maka Thai Liong sendiri sudah berada jauh di depan dan kagum akan pasangan sinar gaib yeng merupakan pagar pelindung itu. Untung ia tahu karena sinkangnya bergetar. Tanda-tanda kekuatan gaib ditangkap. Dan karena ia maklum bahwa itu tentu perbuatan We We Moli, mulailah ia percaya kesaktian wanita ini maka Thai Liong tak mau gegabah dan mempertajam kehati-hatiannya.
Kiranya, telah terjadi perobahan di wilayah ini. Lembah Es yang dulu dijaga dan diawasi ketat sekarang sudah tidak lagi begitu. Sebagai gantinya We We Mo-li melempar kesaktiannya menjaga wilayah dengan Bhi-lek-ciangnya. Tenaga Laser Biru ini mengelilingi seluruh tapal batas dengan kekuatan gaib. Jangankan orang luar, penghuni sendiri tak dapat keluar kalau menabrak pagar gaib itu. Mereka telah diperingatkan dan bagi yang melanggar akan roboh berkelojotan, tewas bagai disengat listrik, hangus! Dan karena beberapa di antaranya sudah membuktikan itu dan ini dilakukan wanita itu agar tak ada yang keluar mengikuti jejak Thio Leng ataupun Sui Keng maka praktis murid-murid Lembah Es seakan terkurung!
We We Moli kiranya wanita ganas. Sebagai sesepuh yang dihormati dan disegani di situ maka kejadian tentang Beng An dan Puteri Es membuat wajahnya serasa tertampar. Kalau seja Thio Leng dan lain-lain itu tak mengancamnya untuk bunuh diri kalau junjungan mereka dibunuh tentu nenek ini benar-benar membunuh Beng An dan kekasihnya. Dia tak perduli Puteri Es sebagai Ratu, dia masih tetap berkuasa daripada gadis itu. Tapi ketika terbentur tekad Thio Leng dan para múrid yang siap bela-pati, membela gadis itu maka nenek yang sepasang matanya memutih tanpa manik ini tertegun, terguncang oleh pukulan jiwa....
"Aduh, keparat, mana mereka!"
"Sudah kuusir," Thai Liong bersikap biasa-biasa saja dan bekas-bekasnya sebagai raksasa tak tampak lagi. "Mereka telah lari meninggalkan kita, Eng-moi. Tapi secepeatnya kita harus pergi. Beng An di Lembah Es!"
"Lembah Es?"
"Benar, itu keterangannya. Kita juga tak mendapatkan adik kita di sini dan aku percaya. Ji-pangcu dari Pulau Api itu yang memberi tahu."
"Tapi mungkin dia bohong!"
"Tidak, aku melihat kesungguhannya, Eng-moi, dia tak bohong. Sekarang bagaimana apakah tetap ikut atau pulang saja."
"Pulang?" Soat Eng mengepal tinju. "Tidak, aku tetap ikut, Liong-ko. Ke Lembah Espun akan kucari. Mari, kita berangkat dan tak perlu menunda waktu lagi!"
"Aku terkilir," Siang Le mengeluh. "Aduh, jahanam kakek itu, Eng-moi. Aku mungkin tak dapat jalan!"
"Aku akan menggendongmu," Soat Eng menyambar dan tak ragu menangkap suaminya ini. "Kalau kau tak dapat berjalan biar kugendong, ko-ko. Aku masih sanggup meskipun kakiku sakit!"
Thai Liong tersenyum. Pulau sudah menjadi sepi dan Soat Eng tak malu-malu mengangkat suaminya itu, dilihat kakakpun juga tidak. Tapi ketika pemuda ini bergerak dan melihat betapa adiknya pincang maka dia berkata bahwa sebaiknya mereka disimpan dalam jubah. "Aku juga tak tahu di mana tepatnya Lembah itu, tapi kalau kita seperti ini tentu tak sampai-sampai. Masuklah, kusimpan kalian dalam Beng-tau-sin-jin ku, Eng-moi. Dengan begini perjalanan tentu cepat. Mari pergi dan jangan sungkan-sungkan!"
Soat Eng girang. Kesaktian kakaknya ini memang luar biasa, sejak dulu ia sudah kagum. Maka ketika kakaknya mengebut dan jubah itu menelan mereka tiba-tiba keduanya lenyap dan mengecil didalam jubah. Inilah Beng-tau-sin-jin atau ilmu Menembus Roh dan segalanya dapat dilakukan secara ajaib. Rajawali Merah itu telah menyimpan saudara-saudaranya. Dan ketika ia tersenyum dan mengembangkan lengannya mendadak ia pun melesat dan lenyap meninggalkan pulau. Tak ada yang membuat takjub selain melihat kesaktian pemuda ini. Thai Liong bergerak di atas lautan, meluncur atau melayang dan sekejap kemudian iapun hanya merupakan titik kecil di kejauhan sana, titik merah.
Lalu ketika titik itu lenyap di tepian langit maka muncullah dari balik pulau bayangan orang-orang Pulau Api yang terhuyung dan jatuh, merintih dan mendecak dan mereka inilah orang-orang yang terluka. Tan-pangcu sendiri tampak di situ. Lalu ketika semuanya bengong dan gentar memandang samudera yang luas, tempat di mana pemuda itu lenyap akhirnya mereka terduduk dan batuk-batuk dengan muka pucat.
Tak ada yang mengerikan selain peristiwa ini. Siapapun ingat dengan baik dan tak akan lupa. Tapi ketika dua hari kemudian Tan-pangcu dan anak muridnya ini terluka di situ, masih terguncang oleh kesaktian si Rajawali Merah mendadak muncullah Beng An dan Puteri Es di situ. Dapat dibayangkan betapa kaget dan pucat orang-orang ini. Tan-pangcu yang sudah gentar oleh peristiwa dua hari lalu tergesa-gesa bersembunyi. la terluka, dedengkotnya juga tak pernah kelihatan lagi di situ. Tapi ketika tak lama kemudian dua muda-mudi itu keluar lagi dari pulau, seorang murid jatuh bangun melapor maka diketahuilah bahwa dua orang muda itu segera mendengar cerita kakaknya dan buru-buru menyusul.
"Teecu... teecu dibekuk, dikompres. Teecu dipaksa menceritakan apa yang terjadi dan kenapa pulau sepi. Ampun, suhu teecu menceritakan semuanya dan untunglah mereka pergi. Teecu menceritakan tentang kakaknya yang datang itu, dan mereka menyusul ke Lembah Es!"
"Hm, bagus, biarkan saja. Perbuatanmu sudah benar, Yang-kui, tepat. Tapi kenapa gadis itu bisa ke mari. Bagaimana Puteri Es meninggalkan tempat tinggalnya!'
"Teecu tak tahu, mereka juga tak menceritakan itu!"
Memang Tan-pangcu dan para muridnya tak akan tahu. Mereka tak mungkin mendengar peristiwa di Lembah Es sendiri betapa gadis itu diusir dan harus meninggalkan istana. Tapi ketika tokoh-tokoh Pulau Api saling pandang dan bertukar isyarat akhirnya Tan Siok atau Tan-pangcu ini bangkit berdiri, masih memegangi dadanya yang sesak dan paha yang biru lebam dihajar Thai Liong.
"Sebaiknya kita melapor supek, kita cari supek. Siapa tahu ada keramaian di sana dan supek menonton!"
"Benar, kita beri tahu supek, suheng. Aneh bahwa Puteri Es meninggalkan istananya dan keluyuran disini. Tak biasanya penghuni Lembah Es keluyuran, apalagi ratunya!"
Bergeraklah semua orang mencari dedengkot mereka itu. Ternyata Hantu Hitam merintih di balik sebuah batu besar, jauh di timur gugusan pulau-pulau Api. Dan ketika Hantu Putih ditemukan terjepit di antara celah-celah batu karang, di sebelah barat pulau maka terbelalaklah dua kakek itu mendengar ini.
"Gadis itu ke sini, bersama Beng An?"
"Benar, supek, tapi mereka pergi lagi!"
"Ke mana?"
"Ke Lembah Es. Yang-kui menceritakan betapa Beng An ditangkap We We Moli. Kami berharap Rajawali Merah itu bertempur dengan We We Moli dan biar satu di antara mereka roboh!'
"Ha-ha, bagus, kalau begitu kita kesana, menonton! He, bagaimana denganmu, sute. Bisakah ke sana sekarang ini."
"Tubuhku masih serasa remuk, keparat pemuda itu. Tapi kalau kupaksa dapat juga, suheng, biar anak-anak di sini dan kita ke Sana. Uh, kuharap keduanya sama-sama mampus!"
"Ha-ha, betul, dan kita menonton. Kalau We We Moli menang kita bunuh dia, tentu sudah capai!"
"Tapi kalau pemuda itu yang menang?"
"Kita bantu We We Moli, sute, kita bunuh pemuda itu!"
"Baik, kita hancurkan dia, lalu setelah itu kita bokong We We Moli agar mampus, heh-heh!"
Hantu Hitam terpincang bangun dan berjalan dengan wajah gembira, disambut suhengnya dengan tawa yang sama dan tiba-tiba bergeraklah sepasang iblis ini meninggalkan pulau. Mereka menyuruh murid-murid berjaga disitu karena mereka sendiri hendak ke sana. Menonton pertandingan itu tentu menarik, apalagi kalau kedua-duanya sama roboh. Maka ketika keduanya bergerak dan para murid memandang dengan hati berdebar maka dua kakek ini menuju Lembah Es tak perduli betapa kedatangan mereka tentu bakal disambut senjata!
* * * * * * * *
Thai Liong memang menuju Lembah Es. Sama seperti ketika mencari Pulau Api maka pemuda ini mengalami banyak kesulitan menemukan tempat itu. Lembah Es hanya diketahui di utara, di daerah kutub. Maka ketika ke sini dia mencari dan lautan luas diseberangi untuk akhirnya tiba di daerah dingin di mana benda-benda membeku dingin maka Thai Liong tak melihat lagi tempat bertanya. Pemuda ini sudah tiba di wilayah selatan Lembah Es. Akan tetapi karena istana Lembah Es masih jauh di utara lagi dan tentu saja dia harus maju terus maka Soat Eng dan Siang Le yang disimpan di dalam jubahnya menggigil kedinginan. Alangkah hebatnya tempat itu sebagai wilayah maha luas, di mana-mana salju melulu.
"Kami kedinginan. Bagaimana keadaan di luar, Liong-ko, apakah kau tahan!"
Thai Liong tersenyum. "Peluk pinggangku, Eng-moi, kusalurkan tenaga untuk kalian. Aku tak apa-apa."
"Tapi aku ingin melihat keluar, sebentar saja!"
"Benar," Siang Le menyambung."
"Beberapa hari ini kami tak tahu dunia luar, Thai Liong. Bolehkah kami melihat sebentar dan sampai di mana kita."
"Baiklah," pemuda itu melepas jubah. "Lihatlah, Siang Le, kita sudah di kutub!"
Beng-tau-sin-jin lenyap. Thai Liong membuang kesaktiannya ini dan terlemparlah suami isteri itu keluar. Soat Eng dán Siang Le berjungkir balik. Tapi ketika mereka turun ke tanah dan berseru kedinginan tiba-tiba keduanya menggigil dan berketrukan.
"Aih, dingin!"
"Ah, luar biasa!"
Thai Liong menepuk dan cepat membantu dua orang itu. Setelah berhari-hari di dalam jubah dan diselimuti kehangatan maka perobahan mendadak yang diterima ini berat juga. Soat Eng dan Siang Le masih harus menyesuaikan diri. Tapi ketika Thai Liong menepuk pundak mereka dan hawa hangat menyalur nikmat maka keduanya mendecak melihat betapa seluruh kawasan hanya putih melulu, pohon dan tanah terlapis salju.
"Kita agaknya sudah sampai, istana Lembah Es tentu dekat!"
"Hm, belum tentu. Di sini tak tampak siapapun, Eng-moi, tak ada gerakan. Istana masih jauh!"
"Bagaimana kau yakin?"
"Aku belum melihat siapa-siapa di sini, Eng-moi, binatangpun tidak. Tujuan kita tentu masih jauh dan masuklah kembali ke dalam biar kalian kusimpan dalam Beng-tau-sin-jin!"
"Tidak," Soat Eng tiba-tiba menggeleng. "Cukup kita beristirahat, Liong-ko, sudah waktunya sendiri lagi. Aku tertarik melihat tempat ini dan ingin di luar, entah dengan Le-ko."
"Tentu saja aku juga begitu," Siang Le berkata dan buru-buru menyambung. "Kalau isteri di luar masa suami di dalam, Eng-moi. Hayo kita cari dan temukan istana Lembah Es itu!"
Soat Eng tertawa. la berkelebat dan sudah mulai dapat menyesuaikan dengan hawa dingin, bantuan kakaknya tadi cukup. Dan ketika Siang Le juga bergerak dan menyusul isterinya maka Thai Liong tersenyum mengikuti dua saudaranya ini. "Le-ko, aku tiba-tiba lapar. Bagaimana kalau kita mencari makanan dulu!"
"Baik, kita berlomba. Siapa cepat dia menang, Eng-moi. Hayo siapa tahu ada kelinci atau ayam hutan di sini!"
"Hi-hik, mana ada ayam hutan. Kalaupun ada tentu sudah membeku, Le-ko, tak dapat dimakan. Paling-paling di tempat ini kelinci salju atau beruang putih!"
Benar saja, tak lama mereka bergerak terdengarlah geram menggetarkan. Seekor biruang salju muncul dari balik pepohonan dan tubuhnya yang putih bersih tampak mengkilap dan tebal. Soat Eng hendak membunuh binatang ini namun suaminya berteriak, batu yang sudah dilempar Soat Eng ditangkis Siang Le. Dan ketika batu itu melenceng mengenai perut, bukan ke kepala maka si buntung itu berseru bahwa hewan seperti ini tak perlu dibunuh.
"Kita menghendaki yang kecil-kecil saja, sebesar ini hanya akan dibuang-buang saja. Tidak, jangan yang itu, Eng-moi, kasihan. Cari saja yang lain dan biarkan ia pergi!"
Biruang itu terjengkang. Meskipun batu yang disambitkan Soat Eng hanya sekepalan saja akan tetapi tenaga sakti yang terbawa batu itu amat kuat, kepala gajahpun dapat dipukul pecah. Maka ketika mengenai erut dan cukup membuat binatang itu kesakitan, biruang ini tahu bahaya maka binatang itu meloncat bangun dan terbirit-birit melarikan diri. Nalurinya memberi tahu bahwa mahluk-mahluk yang ada di depannya ini berbahaya.
"Hi-hik, lucu sekali, tapi kau betul. Baiklah, kita cari yang kecil-kecil, kelinci misalnya. Ayo kita maju dan cari buruan kita!"
Siang Le lega. Ia gembira melihat binatang itu tak jadi terbunuh, terlalu besar bagi mereka, terlalu banyak. Maka ketika isterinya berkelebat dan mencari yang lain, kelinci misalnya maka binatang kedua dijumpai. Harimau salju!
"He, itu!" binatang itu terkejut. "Bagaimana dengan yang itu, Le-ko. Tampaknya santapan lezat!"
"Boleh juga, tapi kebesaran. He, itu ada anaknya, Eng-moi, menggaruk-garuk tanah. barangkali yang itu saja!"
Soat Eng menoleh. Ternyata di balik gundukan salju terdapat dua ekor harimau cilik mengorek-ngorek makanan, wajah nyonya itu berseri. Tapi ketika ia berkelebat dan hampir berbareng dengan suaminya mendadak seekor harimau lain yang besar menubruk dari samping kanan.
"Awas, Eng-moi!"
Soat Eng bergerak cepat. Seekor harimau jantan menubruknya tanpa diketahui. la tak melihat harimau ini yang tersembunyi di balik pohon besar. Tapi begitu ia menggerakkan lengan kanan dan menampar binatang itu maka binatang itu mengaum dan terbanting ke tanah. "Pratt!" Salju memuncrat ditimpa tubuh binatang itu. Harimau ini bergulingan dan dua anaknya di situ tiba-tiba melarikan diri, takut melihat manusia datang. Tapi ketika yang betina menerkam Siang Le dan pemuda ini mengibaskan lengan maka binatang itupun terlempar dan Soat Eng melengking melihat anak-anak harimau itu berlarian.
"He, tangkap anaknya. Itu!"
Akan tetapi Siang Le melihat arah yang lain. Harimau ini sebenarnya lebih dekat dengannya daripada Soat Eng, sekali sambar mungkin bakal tertangkap. Tapi karena ia melihat arah yang lain dan membiarkan anak-anak harimau itu maka Soat Eng tertegun dan melihat apa yang dilihat suaminya. Dan nyonya itupun terkejut melihat sesosok mayat tertanam di sebuah lubang salju, lubang yang terbuka karena tadi dikorek-korek anak harimau.
"Ah...!" nyonya itu meloncat dan berseru tertahan, Siang Le sudah lebih dulu di situ. "Ada mayat, Le-ko. Rupanya masih baru!"
"Tidak," Thai Liong tiba-tiba berseru dan berada dibelakang adiknya ini. "Mayat itu sudah lama, Eng-moi , tapi masih baik dilindungi hawa dingin. Coba kuperiksa dan minggirlah sedikit!"
Wanita ini mundur. Siang Le sudah mengangkat mayat itu dan melihat lubang di dada, bekas tusukan pedang. Dan ketika Thai Liong juga memeriksa dan mengangguk sedih segera pemuda itu meletakkan mayat itu kembali.
"Sudah beberapa bulan, sebaiknya ditanam lebih dalam. Hm, agaknya dibunuh penghuni Lembah Es, Eng-moi. Mayat ini laki-laki dan kita tahu pantangan Lembah Es."
"Benar, dan kita juga laki-laki. Ah, kita harus berhati-hati melewati tempat ini Thai Liong. Rupanya istana Lembah Es mulai dekat!"
"Dan kita kehilangan buruan, Soat Eng berseru dan sudah dapat menguasai hatinya lagi. "Kau seharusnya menangkap anak harimau itu, Le-ko, bukan membiarkannya. Lihat ke mana sekarang mencari lagi!"
"Tak perlu penasaran justeru harus bersyukur. Masa harus menangkap harimau yang baru menikmati mayat, Eng-Moi. Aku akan mual dan tak dapat makan enak!"
"Benar juga, tapi tak perlu ribut. Sekarang kita lanjutkan saja perjalanan kita, Siang Le, kalau ada buruan kita tangkap. Kalau tidak biarlah roti kering ini untuk pengganjal dan Eng-moi tak usah kecewa."
Soat Eng mengernyitkan kening dan menghela napas, Tiba-tiba ia merasa mual membayangkan betapa mereka hampir menikmati harimau yang melahap mayat. Ada bagian yang sudah tergigit di tubuh mayat itu, sedikit bagian paha. Dan ketika ia mundur dan menahan mual akhirnya Thai Liong menanam mayat itu lebih dalam, tak tahu mayat siapa tapi dari pakaian orang itu ia tahu bahwa orang ini pasti seorang kang-ouw. Dan ketika pemuda itu bangkit dan melanjutkan perjalanan lagi ternyata di depan mereka menjumpai lagi beberapa gundukan tanah yang merupakan makam dari mayat-mayat kaum lelaki, beberapa di antaranya bahkan murid-murid Pulau Api yang kentara dari tubuhnya yang kemerah-merahan itu.
"Tempat ini pernah diserbu!" Thai Liong tak ragu lagi. "Orang-orang Pulau Api telah datang di sini Eng moi, mereka yang tewas dikubur seadanya."
"Benar...!" Siang Le juga melihat itu. Mereka ini orang-orang Pulau Api, Thai Liong, tapi rupanya mereka terpukul mundur. Ah, Lembah Es benar-benar pantang bagi orang asing!"
Soat Eng mengangguk-angguk. Segera dia dapat menduga apa yang terjadi dan memandang suaminya itu. Tapi ketika suaminya balas memandang dan mengepal tinju maka Siang Le berkata bahwa ia tak perlu takut. "Aku tidak gentar, meskipun hati-hati. Jangan salah paham kalau mengira aku takut."
"Bagus, aku percaya. Dan di sini ada kakak kita Thai Liong, Le-ko, lautan golokpun rasanya tak perlu membuat gentar. Mari, kita lanjutkan lagi!"
Tiga orang ini bergerak. Semakin lama mereka semakin banyak menemukan gundukan tanah di situ, yakni kuburan orang-orang Pulau Api yang dulu menyerbu Lembah. Dan ketika Thai Liong mengangguk-angguk dan menarik napas dalam maka tiba-tiba ia mendengar suara isak tangis di sebelah kiri. Soat Eng dan Siang Le tak mendengar, kalah tajam. Pemuda ini melompat dan sekejap kemudian melihat seorang gadis terikat di sebuah lubang, telinganya hanya sebelah. Lalu ketika dia berseru dan menarik gadis itu maka gadis ini tersentak kaget berseru tertahan.
"Kim-taihiap!"
Thai Liong tertegun. Gadis itu menubruk kakinya dan tersedu-sedu dan sudah menyembunyikan muka di situ. Soat Eng dan Siang Le yang menoleh kaget sudah berkelebat ke sini. Dan ketika mereka terkejut melihat seorang gadis ditolong kakaknya, gadis cantik berwajah sembab maka Thai Liong bertukar pandang sementara Soat Eng semakin terkejut karena gadis itu menyebut-nyebut ayahnya.
"Aduh, kau kiranya datang lagi, taihiap, terlambat... terlambat sudah. Puteri diusir pergi dan Kim-kongcu bersamanya. Ah, bagaimana mereka dan nasib kami penghuni Lembah Es. Thai-houw gusar dan seisi lembah ketakutan!"
"Hmm, aku bukan Kim-mou-eng, aku puteranya. Bangkitlah, Cici, siapa kau dan rupanya sudah mengenal ayahku. Bagaimana bisa begitu dan kapan ayahku ke sini?"
Gadis itu kaget. la bukan lain Hwa Seng pelayan Puteri Es, gadis yang dulu ditolong Beng An dari Kepulauan Akherat terbebas dari tangan kejam orang-orang Pulau Api. Maka ketika ia terbelalak dan menengadahkan muka, rambut keemasan Thai Liong mirip ayahnya maka barulah gadis itu sadar bahwa yang ada di depannya ini bukanlah Pendekar Rambut Emas Kim-mou-eng melainkan seorang pemuda tigapuluhan tahun yang wajah serta bentuk tubuhnya mirip, terutama rambutnya itu.
"Ah, siauw-hiap... siauw-hiap....!"
"Benar, aku Thai Liong, putera ayahku Kim-mou-eng. Agaknya kedatanganku terlambat dan didahului ayahku itu. Hm apa yang terjadi dan ceritakan kepadaku, cici. Aku kakak Beng An yang kau sebut-sebut Kim-kongcu itu. Aku Thai Liong!"
Gadis itu mendadak menangis lagi. Setelah ia tahu bahwa yeng di depannya ini adalah putera Pendekar Rambut Emas pula dan kakak Beng An ia pun tiba-tiba sedih. Tangis itu meledak lagi namun Thai Liong melepas ikatannya, belenggu itu sekali tabas putus. Dan ketika Thai Liong membujuk namun tetap tak berhasil, gadis ini masih menangis terus akhirnya Soat Eng bergerak dan menyambar pundak itu, tak sabar.
"Kau siapa dan apa yang terjadi. Heh hentikan tangismu dan ceritakan kepada kami!"
"Aku... aku Hwa Seng, murid Lembah Es. Siapa kau, lihiap, sebaiknya kalian cepat pergi atau aku malah celaka lagi!"
"Hm, aku cici Beng An, datang untuk mencari adikku itu. Orang Pulau Api mengatakan bahwa adikku di sini. Nah, katakan benar atau tidak, Hwa Seng. Ceritakan padaku apa yang terjadi dan kenapa kau di lubang itu!"
"Aku menerima hukuman, dibuang. Sebulan aku tak boleh kembali, lihiap, dan masih kurang tiga hari. Aku... aku tak dapat bercerita banyak kecuali bahwa Kim-kongcu dan Puteri telah pergi."
"Pergi?" Soat Eng melotot. "Setelah kami jauh-jauh datang lalu mendapat keterangan bahwa adikku pergi? Jangan bohong, aku tak kenal siapa kau, Hwa Seng. Tapi aku dapat berlaku kejam kalau kau menipu aku!"
"Aku tak bohong," gadis itu tersedu lagi. "Kim-kongcu dan Puteri meninggalkan tempat ini, lihiap, kemudian disusul oleh dua pimpinan kami yang lain, Leng-Cici dan Keng-cici. Aku tak bohong dan kami penghuni yang lain bermaksud menyusul!"
Soat Eng tertegun. Thai Liong menggamit lengannya dan menyuruh bermuka lembut, gadis Lembah Es itu adalah orang yang dapat dimintai keterangan. Dan ketika ia mengurangi kemarahannya bersikap lebih sabar maka ia menyuruh gadis itu menghentikan tangisnya. "Baiklah, hentikan tangismu dan ceritakan lebih baik. Bagaimana kami dapat mendengar ceritamu kalau terus menangis begini."
"Aku teringat Puteri, juga kongcu. Aku sedih teringat mereka dan betapa kejamnya Thai-houw!"
"Siapa yang kau maksud Thai-houw. Apakah We We Moli?" Thai Liong maju dan bertanya.
"Siauw-hiap tahu?" gadis itu tertegun. "Benar siauw-hiap, sesepuh kami itu. Kim-kongcu hampir saja celaka di tangan nenek ini. Kami tak ada yang berani!"
"Hm, ceritakan itu, berhentilah menangis dan ceritakan baik-baik. Kami mendengarkan."
Gadis ini mengangguk. Akhirnya ia mengucap terima kasih akan pertolongan Thai Liong tadi, terisak dan akhirnya berhenti menangis dan duduklah dia bersimpuh. Melihat sikapnya yang seperti pelayan membuat Thai Liong terharu, gadis ini rendah hati benar. Maka ketika ia menyuruhnya duduk yang enak dan semula gadis ini tampak ragu-ragu, Thai Liong menyentuh pundaknya maka pemuda itu berkata bahwa mereka adalah orang-orang biasa saja.
"Aku bukan seperti Puteri atau siapapun tokoh Lembah Es, kami bertiga orang-orang biasa saja. Duduklah yang enak dan jangan ragu-ragu bercerita."
"Siauw-hiap seperti Kim-kongcu," Hwa Seng mendesah. "Siauw-hiap tak berbeda jauh dengan Kim-kongcu itu. Ah, kalian kakak beradik benar-benar tak banyak peradatan!"
"Kami orang-orang kang-ouw!" Thai Liong tersenyum. "Sebagai orang yang biasa merantau dan tinggal di mana saja kami tak menghendaki tata peraturan ketat, Hwa Seng. Di sini kau sahabat kami, duduklah dan ceritalah tanpa ragu-ragu."
Akhirnya gadis itu mengangguk. Sekali lagi ia membuktikan bahwa Beng An dan kakaknya ini tak jauh berbeda, hanya rambut pemuda itulah yang lain. Thai Liong masih berdarah Tar-tar karena mendiang ibunya Salima adalah seorang wanita Tar-tar, bukan bangsa Han. Lalu ketika ia bercerita dan Thai Liong mendengarkan tentu saja pemuda itu menahan ketegangan ketika beberapa kali cerita itu menyinggung adik mereka, terutama ketika Beng An dihajar We We Moli dan betapa lihainya wanita itu.
"Puteri jatuh cinta bersama Kim-kongcu, semua sudah sama tahu. Namun karena sudah beratus tahun ini penghuni Lembah Es tak boleh bergaul dengan lelaki maka hal itu merupakan pantangan besar apalagi sampai menikah. Akan tetapi Kim-kongcu bagi kami lain, ia telah menolong dan membebaskan kami dari kekalahan menandingi orang-orang Pulau Api, apalagi karena kongcu juga sudah berhasil melewati tujuh rintangan yang dulu merupakan ujian baginya. Terhadap Kim-kongcu ini kami merasa suka, siauw-hiap, hanya kepada Kim-kongcu ini kami seakan merasakan lain. Apalagi aku yang pernah ditolongnya tak sekalipun mendapat perlakuan tak pantas dari Kim-kongcu. la benar-benar pemuda pilih tanding yang pantas menjadi suami Puteri. Kami seluruh penghuni merasa kagum!"
"Jadi kau yang dulu dibebaskan adikku dari tangan Tan-pangcu dan para muridnya?" Soat Eng teringat.
"Benar, lihiap, akulah itu. Dan kongcu membawaku sampai selamat di sini."
"Hm-hm, betul. Beng An telah menceritakan itu. Lanjutkanlah bagaimana akhirnya dengan sesepuh kalian itu, We We Moli yang ternyata masih tak meninggalkan kekuasaannya."
"Beliau tentu saja marah, Puteri dihukum!"
"Dengan mengusirnya keluar dari istana?"
"Benar, lihiap, tapi semula tidak begitu. Puteri hendak dibunuh!"
"Hm, lalu kenapa bunyi hukuman berubah?"
"Ini karena Leng-cici dan Keng-cici, juga tokoh-tokoh lain Lembah Es. Mereka minta dibunuh kalau Puteri dibunuh!"
"Hm, hebat. Kalau begitu penghuni Lembah Es bisa habis!"
"Ya, benar, dan sesepuh kami akhirnya membatalkan hukuman mati. Ia mengusir Puteri dan Kim-kongcu pun akhirnya selamat"
"Baik, kira kira berapa lama kejadian itu?"
"Kira-kira tiga empat minggu lalu..."
Soat Eng mengerutkan kening. Ia memandang kakaknya tapi Thai Liong tersenyum menarik napas tenang. Hanya pemuda inilah yang paling tenang di antara semuanya, meskipun sebenarnya jantung pemuda itu juga berdetak mendengar betapa adiknya di ambang maut, hampir dibunuh We We Moli. Dan ketika gadis itu kembali melanjutkan bahwa akhirnya sang Puteri meninggalkan mereka, pergi bersama Beng An maka gadis ini menutup bahwa tak lama kemudian Thio Leng dan Sui Keng juga meninggalkan Lembah, hampir disusul oleh yang lain namun gadis itu mencegah bahwa mereka berdua cukup, yang lain harus menjaga keselamatan penghuni.
"Kalau saja Leng-cici dan Keng-cici tak mencegah mereka tentu Yo-siocia dan cici yang lain pergi menyusul. Tapi mereka diharuskan menjaga Lembah, dua pimpinan itu cukup mewakili mereka. Dan aku akhirnya dibuang di sini selama sebulan karena aku dianggap gara-gara pertemuan Kim-kongcu dan Puteri!"
"Kasihan," Siang Le tiba-tiba memandang gadis itu, terharu. "Kau banyak berkorban, Hwa Seng, tapi mudah-mudahan pengorbananmu tak sia-sia. Maksudku mudah-mudahan adikku Beng An dapat hidup berbahagia dengan Puteri Es!"
"Tak mungkin," gadis itu tiba-tiba menangis. "Kalaupun mereka berdua bukan berarti Puteri dapat menikah, siauw-hiap. Tanpa perkenan atau restu sesepuh tak mungkin mereka menjadi suami isteri. Puteri harus menghormat para leluhur!"
"Hm, begitukah? Tapi perkawinan bukan ditentukan oleh seorang dua orang tokoh. Para pendeta atau orang-orang tua lain dapat merestui."
"Tidak bagi penghuni Lembah Es. Kalau itu dipaksakan maka malapetaka akan menimpa, siauw-hiap, mereka tak akan mendapat keturunan dan yang puteri akan tewas terkena kutuk. Kecantikannya hilang dan tubuh menjadi rusak, rohnya akan ditolak oleh para leluhur dan mereka tak mendapat tempat."
Siang Le tertegun. Isterinya terbelalak dan ngeri, sebagai wanita tentu saja hilangnya kecantikan adalah paling menakutkan. Kalaupun masih ditambah kutuk dan kelak arwahnya tak bisa bertemu leluhur maka hal itu sungguh hebat lagi. Siapa yang mau! Maka ketika Soat Eng mengangguk-angguk dan dapat mengerti, suaminya menghela napas maka si buntung itu bertanya apakah tak ada jalan lain menyelesaikan persoalan ini.
"Cinta adalah sesuatu yang agung, aneh dan penuh misteri. Kalau mereka nekat tak mau berpisah tentu repot bila tak berlanjut di gerbang perkawinan, Hwa Seng. Tak adakah jalan lain menyelesaikan ini. Dan bagaimana dengan gak-hu (ayah mertua) dan keponakan-keponakanku yang lain."
"Kim-taihiap dilempar sesepuh kami. Hanya karena ia telah berjasa menghalau orang-orang Pulau Api maka ia tak dibunuh, begitu juga wanita cantik itu dan anak-anak. Entah siapa wanita itu tapi kecantikannya hampir menandingi Puteri!"
"Ia isteriku," Thai Liong tersenyum. "Dan anak laki-laki yang dibawanya itu adalah puteraku, Hwa Seng, Bun Tiong namanya."
"Benar, Bun Tiong! Ya-ya, aku ingat itu. Namanya Bun Tiong. Ah, anak laki-laki itu hebat sekali, siauw-hiap, maksudku gagah dan pemberani sekali. Dia mempermainkan kami penghuni Lembah Es sebelum tertangkap!"
"Hm, tapi akhirnya tak apa-ap bukan?"
"Tidak, tidak, tak apa-apa. Puteri membebaskan mereka dan Kim-taihiap malah membantu kami menghadapi serangan orang-orang Pulau Api!"
"Namun akhirnya ayah dikalahkan locianpwe We We Moli."
"Benar, siauw-hiap, untuk ini kami tak dapat berbuat apa-apa. Terhadap kalian keluarga Pendekar Rambut Emas kami benar-benar merasa memberi pengecualian."
"Baiklah, lalu apalagi yang dapat kau ceritakan."
"Tak ada lagi...!"
"Eh, urusan adikku tadi belum terjawab, Hwa Seng. Bagaimana supaya mereka dapat menikah menjadi suami isteri!" Siang Le berseru.
"Benar, bagaimana itu," Thai Liong mengangguk. "Aku juga ingin tahu, Hwa Seng. Masa tak ada jalan untuk mengatasi ini."
"Percuma," gadis itu menunduk, isaknya keluar lagi. "Memperisteri Puterl harus berhubungan dengan sesepuh kami, siauw-hiap. Ada beberapa syarat yang harus dilalui, tapi yang terakhir ini yang paling berat!"
"Hm, syarat apa saja itu."
"Sebagian besar sudah dilalui Kim-kongcu, seperti misalnya mengalahkan Puteri dan membantu kami mengusir orang-orang Pulau Api. Tapi yang ini paling berat, dan tak mungkin dilakukan kongcu. Ia harus dapat mengalahkan sesepuh kami!"
Siang Le tertegun. Gadis itu sudah menangis lagi sementara Thai Liong menarik napas panjang. Soat Eng, isterinya memerah dengan pandangan berapi. Sombong wanita Lembah Es itu! Namun karena ia mengetahui betapa lihainya dedengkot Pulau Api dan We We Moli dinyatakan masih lebih hebat lagi, dua kakek itu pecundang maka wanita ini menoleh pada kakaknya dan Thai Liong mengangguk, diam-diam berkelebat lenyap.
"Aku ke dalam, Eng-moi, jaga suamimu dan wanita itu. Biar kuwakili adikku Beng An."
Soat Eng girang. Kalau kakaknya sudah maju ke depan dan siap menandingi wanita itu tentu saja ia menjadi gembira dan timbul semangat. Siapa lagi yang diharap kalau bukan Thai Liong! Maka ketika ia tertawa manis dan menyambar gadis itu iapun berseru pada suaminya, "Le-ko, agaknya Hwa Seng menjadi petunjuk jalan kita. Biarlah ia memimpin dan memberi jalan!"
Gadis ini terkejut. "Ji-wi mau ke mana?"
"Ke mana lagi kalau bukan ke istana Lembah Es, Hwa Seng. Ayo tunjukkan kepada kami dan lihat kakakku sudah pergi lebih dulu!"
Gadis ini semakin terkejut. la tak melihat lagi Rajawali Merah itu sementara Siang Le tersenyum. la sudah menaruh simpati dan suka kepada orang-orang muda ini, apalagi setelah tahu mereka adalah kakak-kakak Beng An. Tapi melihat betapa dirinya disendal dan dibawa melayang tak urung juga dia berteriak. "Lihiap, jangan, tunggu dulu!"
"Hm, tunggu apa?" Soat Eng berhenti.
"Jangan ke sana, lihiap, tidak. Aku tak berani dan sisa hukumanku masih harus kujalani juga. Jangan kalian pergi atau kalian bertiga dibunuh!"
"Hi-hik, dibunuh atau terancam dibunuh sudah berulang-ulang kami alami, Hwa Seng. Kalau kau tak mau ikut tak apa-apa, hanya jangan salahkan kami kalau ada apa-apa!"
"Lihiap...!"
Akan tetapi Soat Eng sudah melepaskan dirinya. Nyonya itu tak mau menunda waktu lagi karena bayangan kakaknya sudah jauh di sana. Ia harus mengejar atau kehilangan jejak. Maka ketika ia berkelebat meninggalkan gadis itu, Hwa Seng berteriak tapi tak digubris akhirnya jatuhlah gadis itu tersedu-sedu, menyesal dan juga ngeri.
"Lihiap, kau dan kakakmu sama-sama keras kepala. Ah, bagaimana nanti kalau Kim-kongcu tahu. Kalian mempertaruhkan nyawa!"
Namun Soat Eng dan suaminya sudah lenyap. Sama seperti Beng An wanita ini memiliki keberanian berlebih. Mereka adalah putera-puteri Kim-mou-eng yang tak mengenal takut, ancaman bahaya justeru merangsang mereka. Sampai di mana bahaya itu! Maka ketika ia meninggalkan gadis Lembah Es itu sementara Hwa Seng kembali dan mengguguk di lubang hukumannya maka dua orang itu menyusul Thai Liong yang berkelebatan jubahnya sudah memasuki suatu wilayah kawat berduri yang menunjukkan daerah perbatasan. Soat Eng memang wanita pemberani. Berhadapan dengan siapapun ia tak takut. Tapi melihat daerah sunyi itu dan jejak kakaknya lenyap ia berhenti dan keder juga. Ada pengaruh getaran kuat yang penuh wibawa.
"Kalian di situ dulu!", suara Thai Liong tiba-tiba terdengar. "Di balik pagar itu ada kekuatan gaib yang tak dapat kalian masuki, Eng-moi. Biarkan aku bekerja di sini membuat jalan untuk kalian."
Soat Eng terbelalak. la sudah memasuki daerah itu dan benar saja terdorong mundur. Di balik pagar kawat itu seakan ada tenaga tak kelihatan yang membuat ia tertahan. Tenaga gaib! Dan ketika suaminya juga berseru tertahan tak mampu menerobos, ada hawa dingin yang menahan mereka barulah kakak mereka Thai Liong berseru lagi.
"Bergerak tujuh langkah ke kiri dan masuklah, awas hati-hati!!"
Terdengar ledakan. Tujuh langkah di sebelah kiri tiba-tiba asap putih meledak disertai asap biru. Soat Eng melompat dan masuk ke sini. Dan ketika ia terheran-heran karena udara di situ terasa ringan dan enak maka Siang Le juga melompat menyusul namun baju pemuda ini robek oleh sinar biru yang tiba-tiba mencuat. Bagai petir menyambar!
"Hati-hati, Siang Le. Di dekat pagar itu. terpasang Bhi-lek-ciang (Tangan Laser Biru)!"
Si buntung terkejut. la mengeluarkan keringat dingin namun selanjutnya tak ada apa-apa lagi. Hanya terdengar beberapa kali suara "brat-bret" seperti gunting memutuskan kawat, tajam dan lenyap dan selanjutnya mereka melangkah hati-hati. Ternyata di tempat itu dipasangi kekuatan gaib dari sebuah tenaga Sakti semacam pagar tak kelihatan dengan setrum bertegangan tinggi. Dan ketika si buntung itu melangkah hati-hati namun akhirnya suara Thai Liong tak kedengaran lagi, tanda aman maka Soat Eng menyambar lengan suaminya dan berkelebat tak sabar.
"Liong-ko tak memberi petunjuk apa-apa lagi, berarti aman. Mari kita kejar dan kerahkan ilmu lari cepatmu!"
Siang Le mengangguk. Ia telah merasa bebas dan tenang lagi setelah bahaya lewat. Entah bagaimana kalau Thai Liong tak ada di situ, tentu mereka menabrak pagar gaib itu dan terbakar. Bajunya saja hangus! Dan ketika ia mengangguk dan mengerahkan ilmu lari cepatnya maka Thai Liong sendiri sudah berada jauh di depan dan kagum akan pasangan sinar gaib yeng merupakan pagar pelindung itu. Untung ia tahu karena sinkangnya bergetar. Tanda-tanda kekuatan gaib ditangkap. Dan karena ia maklum bahwa itu tentu perbuatan We We Moli, mulailah ia percaya kesaktian wanita ini maka Thai Liong tak mau gegabah dan mempertajam kehati-hatiannya.
Kiranya, telah terjadi perobahan di wilayah ini. Lembah Es yang dulu dijaga dan diawasi ketat sekarang sudah tidak lagi begitu. Sebagai gantinya We We Mo-li melempar kesaktiannya menjaga wilayah dengan Bhi-lek-ciangnya. Tenaga Laser Biru ini mengelilingi seluruh tapal batas dengan kekuatan gaib. Jangankan orang luar, penghuni sendiri tak dapat keluar kalau menabrak pagar gaib itu. Mereka telah diperingatkan dan bagi yang melanggar akan roboh berkelojotan, tewas bagai disengat listrik, hangus! Dan karena beberapa di antaranya sudah membuktikan itu dan ini dilakukan wanita itu agar tak ada yang keluar mengikuti jejak Thio Leng ataupun Sui Keng maka praktis murid-murid Lembah Es seakan terkurung!
We We Moli kiranya wanita ganas. Sebagai sesepuh yang dihormati dan disegani di situ maka kejadian tentang Beng An dan Puteri Es membuat wajahnya serasa tertampar. Kalau seja Thio Leng dan lain-lain itu tak mengancamnya untuk bunuh diri kalau junjungan mereka dibunuh tentu nenek ini benar-benar membunuh Beng An dan kekasihnya. Dia tak perduli Puteri Es sebagai Ratu, dia masih tetap berkuasa daripada gadis itu. Tapi ketika terbentur tekad Thio Leng dan para múrid yang siap bela-pati, membela gadis itu maka nenek yang sepasang matanya memutih tanpa manik ini tertegun, terguncang oleh pukulan jiwa....