Putri Es Jilid 24 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

PERAHU berputar dan bergerak dengan kecepatan tinggi. Soat Eng sudah marah oleh kejadian tadi dan menganggap murid tadi bohong. la tak perduli lagi oleh sikap suaminya, juga kakaknya yang agaknya hendak mencegah ia menuju ke pulau itu. Dan ketika sebentar kemudian perahu sudah mendekati pulau ini, Sang nyonya menggerakkan tangan hingga perahu tiba-tiba terangkat dan melesat meninggalkan air maka benda itu jatuh dengan keras di atas tanah bebatuan bersamaan dengan munculnya bayangan-bayangan merah dari orang-orang Pulau Api, mereka yang tadi berkelebat dan lenyap setelah membunuh anggauta sendiri.

"Bagus, kalian sudah keluar. Mana pemimpin kalian yang membunuh ibuku!!"

Tiga puluh lelaki kekar mengurung dan cepat sekali mengelilingi wanita cantik ini. Mereka terkejut oleh gerakan perahu tadi namun karena berjumlah banyak dan sudah bersiap merekapun tak perlu takut. Bahkan mereka kagum oleh kelihaian wanita itu, bangkit dan bergairah bahwa tiba-tiba di tempat sesepi itu datang seorang wanita molek. Siapa tidak senang! Maka ketika seorang di antaranya tertawa bergelak dan tak perduli kepada Siang Le maupun Thai Liong, menganggap rendah dua pemuda itu maka murid Pulau Api bernama Pu Hauw ini berseru nyaring,

"Kawan-kawan, kita kedatangan rejeki. Lihat wanita ini, betapa menggiurkan. Siapa yang dapat merobohkannya dialah yang berhak memiliki!"

Lalu ketika seruannya diikuti sorak dan tepuk gaduh, bagai serombongan srigala saja mereka menerkam Soat Eng, tiba-tiba nyonya muda ini sudah menghadapi belasan pasang tangan yang berebut mendahului.

"Bedebah!" Soat Eng meloncat dan menggerakkan kaki tangannya. Ia marah oleh tangan-tangan kurang ajar itu dan tentu saja mengelak, tubuh berputar dan bagai walet beterbangan ia menangkis dan menghajar orang-orang itu. Dan ketika semua lawan terpekik karena tubuh si nyonya tiba-tiba menghilang, tamparan dan tendangan mengenai tubuh mereka maka belasan orang itu terpelanting dan jatuh terguling-guling.

"Awas kiranya harimau betina liar. Hati-hati dan jangan terburu-buru." Pu Hauw, pemuda tegap murid Pulau Api itu berteriak. la sendiri terbanting dan kehilangan lawan ketika tahu-tahu sang nyonya berkelebat. Pundaknya menerima tamparan dan ia kaget sekali, panas dan seakan ditusuk-tusuk. Tapi ketika ia bergulingan meloncat bangun dan nyonya itu sudah berdiri tegak, kawan-kawannya terdorong dan merintih-rintih maka mereka terhuyung bangun.

Soat Eng diam-diam terkejut karena lagi-lagi ia melihat bahwa murid-murid Pulau Api ini memiliki sinkang cukup hingga tubuh mereka kuat dan kebal. "Bagus, majulah, kubunuh kalian semua!”

Soat Eng tak banyak bicara lagi mencabut pedangnya. la mulai beringas sementara murid-murid Pulau Api itu juga marah. Mereka terkejut dan kagum tapi juga melotot. Kalau mereka tidak kuat barangkali pukulan atau tamparan tadi membuat tulang mereka, retak-retak. Maka melihat nyonya itu mencabut pedangnya dan benar-benar bersiap untuk membunuh mereka, tiba-tiba merekapun berapi dan berkilat marah akhirnya merekapun menggosok-gosok tangan dan keluarlah asap merah dari pukulan Giam-lui-ciang.

"Suheng, wanita ini tak perlu diampuni, agaknya terlalu berbahaya. Tangkap dan robohkan dia dengan pukulan kita!"

"Tidak, jangan dibunuh. Pukulan kita tak perlu terlalu keras, sute. Cukup setengah saja tapi harap kalian semua bersatu. Jangan dibunuh dan cukup kita robohkan, ingat bahwa kita memerlukannya!"

Terdengar gumam dan tawa menyeringai. Siang Le yang semula hendak mencegah dan melarang isterinya membunuh tiba-tiba tak senang hatinya. Murid-murid Pulau Api ini tampak buas dan tidak beradab, omongan mereka saja kotor. Mata mereka penuh nafsu memandang tubuh isterinya itu. Maka ketika ia menarik napas dalam-dalam sementara Thai Liong tiba-tiba bergerak dan lenyap bagai siluman maka Rajawali Merah itu berbisik kepadanya agar dia membantu istrimu itu.

"Kulihat mereka hanya murid-murid biasa, kau dan Eng-moi dapat mengatasi itu. Hati-hati dan aku akan ke dalam, Siang Le. Waspada dan robohkan serta buat saja mereka tak berdaya!"

Siang Le mengangguk. Kebetulan perhatian semua orang tertuju kepada isterinya itu, kepergian Thai Liong yang cepat bagai iblis hampir tak terlihat siapapun. Dan karena ia setuju dengan nasihat itu, orang-orang ini cukup dirobohkan dan di-buat tak berdaya maka iapun tiba-tiba membentak dan Siang-re-ciang atau Ilmu Karet menjulur dari tangannya.

"Jangan hanya mengganggu wanita saja, akupun ada di sini!"

Murid terdekat terkejut. Tangan Siang Le memanjang dan tahu-tahu menerkam pundaknya, tanpa ampun lagi diangkat dan dilempar. Dan ketika murid itu terbanting dan Siang Le sudah bergerak ke tempat lain, sengaja memecah perhatian murid-murid itu agaknya isterinya tidak banyak menumpahkan darah maka jerit dan teriakan kaget terdengar di sana-sini. Cepat sekali pemuda itu mengangkat dan membanting delapan orang lawan.

"Heiii..., bres-bress!" Tubuh delapan orang itu tak dapat bangun. Siang Le menekan jalan darah pipeh-hiat yang membuat pundak seakan terkilir, retak-retak. Dan karena gerakan kakinya mengandalkan Jing-sian-eng, gerakan Seribu Dewa maka kecepatannya ini tak dapat dilawan murid-murid itu dan kontan mereka berteriak dan menjerit kesakitan.

Namun saat itu Soat Eng juga berkelebat menyambar, pedang menusuk dan menikam. "Bagus kita basmi orang-orang ini, Le-ko. Bunuh!"

Siang Le berdesir. Teriakan seorang murid terdengar mengerikan ketika pedang isterinya berkelebat dan membacok. Biarpun mereka kuat dan kebal namun pedang di tangan isterinya itu bukan senjata main-main. Tenaga yang menggerakkan pedang itu adalah tenaga yang dahsyat, pedang itupun pedang yang baik karena terbuat dari baja pilihan. Maka ketika darah menyembur dan kepala itu putus, kebencian dan kemarahan Soat Eng benar-benar dilampiaskan di sini maka terkejutlah murid-murid Pulau Api itu oleh keganasan lawan. Sang nyonya berkelebatan sementara si buntung bergerak maju mundur menerkam dan melempar-lempar mereka.

"Eng-moi, jangan banyak membunuh. Lukai atau robohkan saja!"

"Tak perduli. Kematian ibuku pantas dibayar mereka, Le-ko. Biar jahanam-jahanam ini tahu siapa keturunan Pendekar Rambut Emas!"

Gegerlah puluhan murid-murid Pulau Api itu. Mereka tak menyangka bahwa yang datang ini adalah keturunan Pendekar Rambut Emas. Teringatlah mereka sekarang akan Thai Liong, pemuda berambut keemasan namun yang tadi tak mereka hiraukan karena tertarik dan bergairah oleh adanya Soat Eng. Maka ketika dua di antaranya terkejut tak melihat pemuda itu lagi, Thai Liong menghilang bagai iblis tiba-tiba di tengah pulau terdengar teriakan dan lengking panjang, Semacam seruan atau panggilan.

"Celaka, ji-susiok memanggil kita!"

"Dan pemuda itu tak ada di sini. Ah, ia lenyap!"

Terkejutlah semua orang oleh seruan dan pekik kaget itu. Mereka sudah mulai dibuat tersentak ketika untuk pertama kalinya pedang Soat Eng menyambar, langsung membabat kepala seorang rekan mereka yang putus menggelinding, Darah memuncrat dan nyonya itu berkelebatan ke sana ke mari, memaksa mereka mundur, Dan ketika semua itu ditambah oleh sepak terjang si buntung yang menerkam dan melempar-lempar mereka, hanya si buntung inilah yang tidak bertangan ganas maka hilangnya pemuda berambut emas disusul lengking atau pekik di tengah pulau semakin mengejutkan saja. Kacau dan buyarlah tiga puluh murid-murid Pulau Api itu.

"Ji-susiok memanggil, cepat, kita pergi. Tapi dua orang ini harus kita robohkan. Ah, bagaimana ini suheng. Apakah mereka kita biarkan saja!"

"Sebaiknya biarkan mereka, serang dari dalam. Pergi dan kita ikuti panggilan susiok!"

Semua tiba-tiba membalik dan berserabutan lari. Gairah dan nafsu mereka terhadap Soat Eng yang tadinya menggebu dan begitu penuh semangat mendadak hancur berantakan. Ini tidak lain karena ganasnya wanita itu ditambah panggilan di dalam pulau. Tiga murid kembali roboh ketika pedang si nyonya menusuk, tepat mengenai ulu hati dan tewaslah empat murid dengan cepat. Ternyata mereka yang berkepandaian paling rendah menjadi korban pertama. Dan ketika Pu Houw sudah menyerukan mundur dan cepat ke dalam, di sana rupanya terjadi sesuatu yang lebih hebat tak ayal lagi murid-murid ini berhamburan namun Soat Eng tak maù begitu saja melepaskan mereka.

"Tunggu dulu, serahkan nyawa kalian kepadaku!"

Dua murid menjerit terluka. Mereka ditusuk dari belakang namun pasir merah dihamburkan ke belakang. Itulah pasir- pasir api yang kalau mengenai kulit dapat terbakar. Dan ketika Soat Eng mengelak ini dan mengebut runtuh, lawan sudah melarikan diri lagi maka suaminya memegang lengannya mencegahnya membabi buta.

"Yang kita cari hanya tokoh-tokohnya, jangan ngawur. Biarkan mereka pergi dan kita ikuti dari belakang!"

"Tapi mereka telah menghinaku dengan kurang ajar. Kalau tidak dibunuh tak puas hati ini, Le-ko. Lepaskan dan biar kurobohkan mereka!"

"Sst, jangan meledak. Kalau semua kau bunuh lalu bagaimana cara kita mendapatkan pentolannya, moi-moi. Lihat mereka terbirit-birit dan kakakmu tentu sudah di sana."

Soat Eng teringat. "Ke mana Liong-ko!"

"Memasuki pulau, nah, jangan membunuh lagi karena yang kita cari adalah ketua dan wakil-wakilnya!"

Soat Eng tak membantah lagi dan membiarkan suaminya mencekal lengannya. la masih memegang pedang di tangan dan pedang itupun masih berlumuran darah. Empat orang telah tewas di tangannya. Dan ketika suaminya betul karena pulau ternyata berhutan lebat, banyak pepohonan dan semak tebal akhirnya dua di antara murid Pulau Api yang mereka ikuti menerabas dedaunan dan pekik atau lengking itu kembali terdengar, berkali-kali.

Thai Liong kiranya telah membuat kejutan besar di dalam. Pemuda ini, yang melompat dan meninggalkan perahu yang hancur menimpa tanah padas segera tahu bahwa biarpun tiga puluh murid-murid Pulau Api itu garang dan bengis namun adik dan iparnya masih dapat mengatasi. la merasa tak perlu membantu dan sebaiknya ke dalam, ada gerakan-gerakan yang membuat matanya curiga, menembus kegelapan hutan dan lenyaplah pemuda itu mempergunakan Beng-tau-sin-jin.

Dan ketika ilmu ini membuat dirinya seperti mahluk halus saja, yang tak tampak oleh mata biasa akhirnya Thai Liong tertegun melihat sebuah guha dikelilingi oleh puluhan murid Pulau Api yang tampaknya menjaga ketat. Seseorang melapor dan terengah-engah, satu di antara dua pemuda di perahu yang selamat.

"Ji-susiok, putera-puteri Kim-mou-eng mengejar-ngejar kami. Mereka datang mencarimu. Ampun dan jangan salahkan kami karena bukan kami yang membawanya ke mari!"

"Siapa kau, murid nomor berapa. Kenapa lancang menghadap tanpa dipanggil!"

"Siauwte Ap Teng, dari kelompok Uh-suheng. Mohon ampun karena bukan siaute yang membawa musuh... dess!" murid lelaki itu menjerit dan terlempar. Dari dalam guha menyambar cahaya merah dan menghantam murid ini. Itulah Giam lui-ciang. Dan ketika murid itu roboh dan terbanting muntah darah, menggeliat dan pingsan akhirnya bergerak sesosok bayangan dan muncullah seorang! laki-laki tinggi sedang dengan leher terlilit kalung perak.

"Hm, untung kau. Kalau tidak kudengar duluan tentu mampus. Heh, periksa dan lihat musuh-musuh itu, Siauw Lok. Tahan dan bunuh mereka kalau bisa. Kalau tidak panggil aku, cepat!"

Seorang pemuda berbaju merah berkelebat dan mengangguk. Baju yang dikenakan itu adalah baju kulit sementara yang lain bertelanjang dada. Rupanya murid yang tergolong pandai berpakaian lengkap. Tapi ketika Thai Liong melepaskan Beng-tau-sin-jinnya dan batuk-batuk di situ, berdiri dan tahu-tahu telah di tengah kepungan ini maka kagetlah semua orang melihat pemuda yang seperti iblis itu. Munculnya bagai asap atau hantu saja.

"Ji-pangcu, kau rupanya orang yang kucari-cari itu. Bagus, aku sudah di sini dan tak perlu menyuruh anak buahmu ke pantai."

Mundurlah tokoh Pulau Api ini. Dia bukan lain adalah Bu kok sute dari Tan-pangcu itu, yang waktu penyerbuan ke Lembah Es tak banyak berbuat karena sakit, luka dalamnya belum sembuh. Maka ketika kini tiba-tiba Thai Liong muncul dan wajah pemuda ini benar-benar mirip Pendekar Rambut Emas, juga rambutnya itu maka hampir saja lelaki ini berseru menyebut Kim-mou-eng. Akan tetapi wakil ketua Pulau Api ini menahan mulutnya.

Segera dia tahu bahwa pemuda di depannya ini bukanlah Kim-mou-eng, karena Kim-mou-eng sudah berusia lima puluh lebih sementara pemuda ini masih muda, belum tiga puluh tahun. Dan ketika dia teringat bahwa inilah kiranya putera Pendekar Rambut Emas itu, kakak Beng An maka ia tergetar namun tentu saja tak perlu takut, biarpun terhadap Beng An ia harus jerih dan pemuda yang seperti siluman itu pernah mengalahkannya.

"Hm, siapa kau. Berani benar. Bagus, kau kiranya putera Kim-mou-eng itu, anak muda. Siapa namamu dan apakah Beng An adalah adikmu!"

"Benar, dia adikku," Thai Liong tersenyum, teringat ciri-ciri wakil ketua Pulau Api ini yang pernah diberitahukan ayahnya. "Namaku Thai Liong, ji-pangcu, dan kau tentu orang she Bu yang diceritakan ayah itu. Kau pernah datang ketika aku pergi, dan sekarang aku datang mencari dirimu."

"Bagus, tak perlu kusangkal, dan aku juga tak takut. Heh, kalau kau hendak membalas kematian ibumu maka kuantar kau ke akherat, anak muda. Susul ibumu dan bersiap-siaplah!"

Thai Liong mengerutkan kening. Sekali berhadapan segera dia tahu macam apa kiranya tokoh Pulau Api ini, seorang laki-laki kasar tiada ubahnya murid-murid yang dia temui. Tapi karena bukan maksudnya datang untuk membalas dendam, dendam dan sebangsanya tak boleh mengotori hati maka Thai Liong menarik napas dan nggeleng.

"Kau salah kalau mengira aku untuk melakukan itu. Kematian ibuku sudah ditentukan Yang Maha Kuasa. Tidak, aku bukan datang untuk urusan dendam, pangcu, melainkan datang sebagai penentang kejahatan dan ketidakbenaran, juga mencari tahu apakah adikku Beng An sudah datang ke sini."

"Hm!" lelaki itu memberi isyarat kepada semua murid untuk mengepung semakin rapat, betapapun ketenangan sikap Thai Liong membuatnya tergetar juga, di samping kagum. "Benar atau tidak benar aku tak pernah perduli, anak muda, sedangkan adikmu Beng An, ha-ha. Ia memang ada di sini, kami tangkap!"

Thai Liong terkejut. Untuk sejenak ia terpengaruh, tapi ketika ia tersenyum dan teringat cerita ayahnya, betapa Beng An lolos dan mengalahkan orang-orang Pulau Api ini maka tentu saja ia tak percaya dan menggeleng kepala. "Kau bohong, dustamu kelihatan. Kalau adikku dapat kau kalahkan tentu tak perlu kau jauh-jauh datang ke utara, ji-pangcu, mencari dan menyerang ayahku. Aku ingin tahu ia di mana dan jawabanmu rupanya memberi keterangan lain. Baiklah, kau boleh bohong dan aku tak percaya. Agaknya aku harus menyelidiki tempat ini dan sekarang aku ingin memasuki guha itu."

Tokoh Pulau Api ini tertegun. la menjadi semakin tak tenang oleh senyum dan ketenangan lawan. Hanya orang yang betul-betul percaya diri yang dapat seperti itu, tak takut oleh musuh. Maka ketika Thai Liong bicara menolak keterangannya dan terakhir pemuda itu hendak memasuki guha, diam-diam memberi isyarat kepada Siauw Lok yang ada di belakang pemuda itu tiba-tiba secepat kilat muridnya itu meloncat dan menghantam Thai Liong.

"Wut-dess!" Terdengar jerit dan teriakan pemuda itu. Siauw Lok, muridnya terlempar dan terbanting ketika dengan tenang tapi cepat Thai Liong menggerakkan tangan ke belakang. Bagai tak ada apa-apa dan tanpa menoleh si Rajawali Merah ini menangkis serangan lawan, tentu saja Thai Liong mendengar desir pukulan itu, apa lagi karena Giam-lui-ciang juga mengeluarkan hawa panas. Dan ketika ia menangkis dan sengaja memberi pelajaran, menolak dengan Khi-bal-sin-kangnya maka lawan terbanting dan murid Pulau Api itu mengaduh-aduh di sana!

Akan tetapi Bu Kok sudah membentak dan menyuruh murid-murid lain. Dia sendiri mundur dan ingin tahu kelihaian lawan, tak mau maju kalau murid-muridnya saja cukup bicara. Maka ketika Thai Liong diserang dari kiri kanan dan Rajawali Merah itu ditubruk dan dihujani serangan bertubi-tubi, tak mungkin selamat mendadak semua berteriak kaget karena tiba-tiba pemuda itu menghilang. Thai Liong mengeluarkan Beng-tau-sin-jinnya untuk berkelebat dan memasuki guha.

"Ji-pangcu aku sudah bicara. Maaf aku ingin memasuki guhamu dan mencari adikku!"

Bukan main kagetnya tokoh Pulau Api ini. Dia sendiri hanya melihat bayangan merah menyambar dan tahu-tahu lenyap. Para murid terbanting sendiri oleh pukulan yang menumbuk teman-teman. Namun ketika ia melihat beyangan merah itu memasuki guhanya dan benar saja lawan sudah lenyap di situ tiba-tiba tokoh Pulau Api ini memekik dan berkelebat menyambar. la tertampar mukanya bahwa di depan hidungnya pemuda itu masuk ke dalam guha.

"Bocah keparat, keluarlah!" Guha itu pendek dan tidak terlalu dalam. Thai Liong yang memang ingin menyelidiki adiknya sengaja mencari di sini, sengaja membuat ketua Pulau Api itu marah dan menyerangnya. Dan ketika benar saja dari luar menghembus hawa panas dari Giam-lui-ciang, tokoh Pulau Api itu menyerangnya maka Thai Liong membalik dan lagi-lagi mengeluarkan Khi-bal-sin-kangnya.

"Dess!" Sang ketua hanya terhuyung namun tidak terbanting. Bu Kok mengetahui pukulan itu dan tertegun. Thai Liong juga tertegun karena lawan tak begitu terpengaruh pukulan Bola Saktinya, tanda bahwa lawan memang cukup kuat. Akan tetapi ketika lawan membentak dan menyerang lagi, Thai Liong tak melihat apa-apa di situ kecuali seperangkat meja kursi akhirnya pemuda ini berkelebat dan keluar melewati bawah ketiak lawannya itu, berseru,

"Ji-pangcu, aku tak melihat adikku di sini, tempat ini sempit. Baiklah kita di luar saja dan mari main-main di sana... blaarr!"

Giam-lui-ciang menghantam dinding dan bola api menjilat di situ, hangus! Tokoh Pulau Api ini terkejut bukan main karena begitu cepatnya lawan lewat. Dengan lihai dan amat luar biasa Thai Liong menyelinap, menghindar pukulan dan keluar. Akan tetapi karena dari luar juga berhamburan murid-murid Pulau Api, mereka membentak dan berteriak-teriak akhirnya Thai Liong menggerakkan tangannya ke depan dan bagai ditiup angin raksasa puluhan murid-murid itu terdorong dan terhembus ke depan.

"Bresss!" Thai Liong sudah di luar sementara para murid itu menjerit tak keruan. Mereka tumpang-tindih dan pucat memandang si Rajawali Merah, Thai Liong telah berdiri dan tegak di situ, menunggu. Dan ketika bayangan ji-pangcu berkelebat menyusul dan laki-laki ini tentu saja merah padam, kemarahannya tak dapat dibendung lagi akhirnya laki-laki itu melengking dan menyerang Thai Liong dengan amat hebatnya. Tokoh Pulau Api ini telah mulai sembuh dari lukanya dan mereka juga baru saja berdatangan dari Lembah Es, setelah menelan kekelahan.

Akan tetapi Thai Liong memang ingin memberi pelajaran. Sikap kasar dan keras dari tokoh Pulau Api ini membuatnya tak senang. Diam-diam ia melirik ke manakah kiranya dua tokoh yang lain, karena ayahnya memberi tahu bahwa ada tiga orang pimpinan Pulau Api. Tapi ketika ia tak melihat mereka kecuali ji-pangcu dan murid-muridnya Thai Liong tak tahu bahwa yang lain ada di pulau lain tak jauh dari situ maka ia mengelak dan cepat menangkis ketika ketua Pulau Api itu membalik dan mengejarnya dengan pukulan bertubi-tubi.

"Des-plakk!" Thai Liong menambah tenaga dan Ji-pangcu terbanting. Laki-laki itu berteriak kaget karena telapak yang dingin menyambut pukulannya. Hawa panas Giam-lui-ciang teredam, persis sebongkah bara memasuki air dingin. Dan ketika ia bergulingan meloncat bangun dan terbelalak serta gentar, murid yang lain menerjang dan mengeroyok pemuda itu maka sejenak pimpinan Pulau Api ini berdiri tertegun dan memandang pucat.

Akan tetapi murid-murid Pulau Api menjerit dan berteriak. Mereka yang menubruk dan melepas pukulan dari kanan kiri diterima kibasan jubah Thai Liong. Bagai angin taufan jubah itu menggelebung dan meniupkan kekuatan dahsyat, tak satupun mampu menahan dan akibatnya murid-murid itu terlempar dan terbanting. Dan ketika Thai Liong memandang lawannya dan para murid berteriak kepada paman gurunya itu, Ji-pangcu dari Pulau Api ini malu dan gusar akhirnya ia memekik dan berkelebat lagi, menerjang, kalung rantai perak di lehernya dicopot dan diputar bergemuruh bagai badai di gurun pasir.

"Anak muda, jangan sombong, aku tak takut padamu!"

Thai Liong tersenyum, tenang. Ia mengelak dan menangkis dan lawan terpental, marah dan menerjang lagi dan meluruklah murid-murid lain mengeroyok Thai Liong. Dan ketika pemuda itu melihat betapa ji-pangcu ini membiarkan saja murid-murid mengeroyoknya, tanda tokoh Pulau Api ini tak segan melakukan kecurangan maka bergeraklah dia mengandalkan Jing-sian-eng, lenyap menghilang.

"Ji-pangcu, kau dan muridmu ternyata memang bukan orang baik-baik, kalian curang dan tak tahu malu. Baiklah aku melayani dan lihat kalian menerima pelajaran!"

Tiga murid menjerit dan berteriak. Mereka berada di samping Thai Liong ketika tiba-tiba pemuda itu mengibas, angin pukulan kuat menyambar dan tanpa ampun lagi mereka terbanting dan terguling-guling. Dan ketika pemuda itu lenyap berpindah ke tempat lain, mengibas dan mendorong akibatnya murid-murid Pulau Api berteriak dan terlempar bagai daun kering dihembus topan mengejutkan ji-pangcu dan licik serta cerdik sekali lelaki ini menjauh. Ia menyerang di kala Thai Liong menghadapi murid-muridnya.

Tapi ketika dari tubuh pemuda itu keluar tenaga tolak yang amat besar, tenaga Khi-bal-sin-kang yang pernah dirasakannya dari Pendekar Rambut Emas maka diam-diam lelaki ini kagum namun juga penasaran. la menggerakkan tangan kirinya dengan pukulan-pukulan Giam-lui-ciang, rantai di tangan kanan menderu di saat dipergunakan. Tapi ketika semua itu terpental dan tertolak pemuda ini, jubah Thai Liong juga mulai berkibaran bagai sayap rajawali akhirnya ketua Pulau Api ini memekik dan mengeluarkan Jit-cap-ji-poh-kunnya, Tujuh Puluh Dua Langkah Sakti!

"Sst-sstt!"

Thai Liong terkejut ketika terjadi perobahan ini. Jing-sian-engnya, Bayangan Seribu Dewa mendadak disusul dan dikejar langkah-langkah aneh dari pimpinan Pulau Api itu. Dan ketika lawan tahu-tahu sudah begitu dekat dan menusuk dahinya dengan tusukan api, itulah Hwe-ci (Jari Api) ciptaan Hwe-sin yang dicuri kelompok orang-orang licik ini maka rantai perak pun menderu dan menghantam kepalanya.

"Plak-plak!" Thai Liong tak sempat mengelak kecuali menangkis. Dalam saat seperti itu ia mengeluarkan Sin-tiauw-kangnya, membentak dan menangkis dua serangan itu dan berteriaklah ketua Pulau Api ini oleh kepretan jari dahsyat lawan. Hwe-ci terpental sementara telunjuknya tertekuk, nyeri dan seakan patah.

Dan ketika rantainya juga terpental dan balik menghantam dirinya, tak ampun lagi ji-pangcu ini melempar tubuh bergulingan maka selamatlah dia dari tangkisan itu karena saat itu muridnya yang lain menyerang dan menghantam Thai Liong. Laki-laki ini terbelalak. Ia telah meloncat bangun dan sempat mengejutkan lawannya.

Thai Liong memang terkejut oleh geraken Tujuh Puluh Dua Langkah Sakti itu, juga tusukan Hwe-ci yang panas dan amat berbahaya. Tapi ketika pemuda itu dapat mementalkan serangannya dan dia bahkan melempar tubuh bergulingan, ji-pangcu wakil ketua Pulau Api ini gusar sekali akhirnya ia memekik dan maju kembali, mencoba lagi langkah-langkah saktinya itu dan meli-hat lawan dibuat kaget.

"Keluarkan Jit-cap-ji-poh-kun. Keluarkan Hwe-ci dan selang-seling dengan Giam-lui-ciang!"

Para murid sadar. Di antara mereka tentu saja yang kepandaiannya paling tinggi adalah Siauw Lok, yakni pemuda berbaju kulit merah itu. Thai Liong tiga kali harus waspada oleh serangan pemuda ini, yakni Ketika menerima serangan lain dan secara licik lawannya itu membokong. Maka ketika sang pimpinan berseru seperti itu dan ia mengerti bahwa itulah kiranya Jit-cap-ji-poh-kun, hebat sekali ilmu itu maka para murid tiba-tiba mempergunakan langkah kaki itu dan Siauw Lok inilah yang paling cepat dan gesit.

Thai Liong mundur maka. Seperti ayahnya, Kim-mou-Eng muda ini berwatak welas asih dan lembut. Itulah sebabnya kenapa lawan-lawannya selalu dapat maju Iagi meskipun terlempar dan terbanting. Thai Liong selalu menjaga tenaganya. Tapi ketika Ji-pangcu Pulau Api itu berkelebat dan sikunya sampai ke bawah merah marong, pengerahan Giam-lui-ciang sudah mendekati puncaknya maka Thai Liong tak dapat bersikap lunak lagi dan langkah-langkah sakti yang dipergunakan lawannya mulai mengimbangi dan mengejar Jing-sian-eng, membuat ia membentak dan keluarlah Ang-tiauw Gin-kangnya yang hebat itu, ilmu meringankan tubuh rajawali Merah.

"Ji-pangcu , kau semakin tak tahu diri, baiklah, aku tak bersabar lagi dan hati-hatilah."

Bersaman dengan itu Thai Liong mengeluarkan Im-kang (Tenaga Dingin) Sin-tiauw-kangnya. Ilmu Silat Rajawali itu membuat tubuh pemuda ini beterbangan dan para murid berteriak. Maka kaki pemuda itu tak menyentuh tanah lagi. Inilah ilmu meringankan tubuh yang membuat Pendekar Rambut Emas sendiri kewalahan, kagum dan kalah dengan puteranya. Thai Liong mengeluarkan ini untuk menghadapi ilmu langkah sakti yang dikeluarkan orang-orang Pulau Api itu. Kalau saja ia tak dikeroyok dan menghadapi sekian banyak orang barangkali dengan Jing-sian-eng dan Cui-sian Gin-kang ia dapat menghadapi pimpinan Pulau Api itu.

Tapi karena lawan mengeluarkan ilmu aneh dan langkah itu amat hebatnya, menandingi dan sering mengejar ilmu meringankan tubuhnya akhirnya Sin-tiauw Ginkang atau Ginkang Rajawali Sakti ini yang dikeluarkan. Dan Thai Liong pun bagai bayangan rajawali yang menyambar-nyambar, naik turun tak menginjak tanah dan Ji-pangcu dari Pulau Api itu kaget bukan main. Pukulannya sering luput! Dan ketika Thai Liong menampar atau menyambut pukulan orang-orang Pulau Api itu, mendahului dan membuat mereka terpekik akhirnya satu demi satu murid-murid roboh dan ji-pangcu pun terpelanting!

Tak ada lain jalan bagi pimpinan Pulau Api ini untuk memanggil bantuan. Anak-anak murid di pantai dipanggil, bahkan bukan hanya itu melainkan juga memanggil suheng dan sutenya. Lengkingan dan pekik gentar tokoh Pulau Api ini memang mengejutkan semuanya. Tampak dari delapan penjuru perahu-perahu kecil bergerak dari cepat, yakni dari pulau-pulau sekitar di mana Tan-pangcu dan lain-lain berada. Mereka ini telah dihempas oleh kesaktian We We Moli termasuk dedengkot mereka, sepasang Hantu Hitam dan Putih, ketika mereka dikalahkan tokoh tertinggi Lembah Es itu.

Maka ketika Soat Eng dan Siang Le tiba di Sini melihat betapa kakak mereka berkelebatan menghajar orang-orang itu tak ayal lagi Soat Eng berseru keras dan girang menyerbu. "Liong-ko, beri aku bagian. Kita basmi orang-orang ini!" pedang bergerak dan robohlah seorang murid Pulau Api. Tanpa bi-bu lagi nyonya muda itu mendesingkan pedang, murid itu menjerit dan roboh dengan kepala putus.

Dan ketika ji-pangcu terkejut oleh datangnya dua orang muda ini, seorang wanita cantik dan pemuda yang buntung sebelah tangannya maka Bu Kok atau tokoh Pulau Api ini gentar dan pucat. la lupa bahwa đi situ masih terdapat keturunan Pendekar Rambut Emas, ia telah menerima laporan itu. Maka ketika Soat Eng membabatkan pedangnya dan Thai Liong terkejut oleh keganasan adiknya maka pemuda itu berseru bahwa tak perlu membunuh. Bu Kok pimpinan Pulau Api ini tiba-tiba memutar tubuh dan berkelebat melarikan diri.

"Eng-moi, jangan telengas. Jangan membunuh. Mereka hanya para murid dan cukup robohkan saja!"

"Keparat, untuk apa kasihan. Mereka ini iblis-iblis berkedok manusia, Liong-ko tidak dibunuh hanya mencelakai orang lain saja. Aku ingin membasmi, melenyapkan mereka. Lihat kubabat mereka dan mana pemimpinnya...crat!" sebuah kepala putus dan darah memuncrat deras. Soat Eng seperti ibunya kalau marah, ganas dan memang telengas. Dan karena darah Hu Beng Kui mengalir di tubuhnya sementara pedang itupun bergerak dalam jurus-jurus Giam-mo-kiam-sut alias IImu Pedang Maut maka tak ayal lagi pengeroyok Thai Liong cerai-berai.

Thai Liong terkejut tak melihat lawannya. "Ah, Ji-pangcu itu melarikan diri!"

"Mana dia! Berikan padaku!" Soat Eng melengking. "Mana jahanam yang kau maksud itu, Liong-ko. Berikan padaku dan biar kubabat kepalanya!"

Thai Liong tak menjawab pertanyaan adiknya ini. Ia tak melihat lagi ji-pangcu karena orang mempergunakan kesempatan selagi dirinya membelakangi dan menghajar murid-murid Pulau Api, memang tidak sampai menewaskan mereka namun kibasan atau tamparan Thai Liong membuat mereka patah-patah. Sebagian dari mereka pingsan, yang lain merintih dan mengaduh. Tapi karena di situ tak ada tempat bersembunyi dan hanya guha itulah yang dicurigai Thai Liong, cepat sekali pemuda ini melesat dan menuju ke dalam guha tiba-tiba saja ia melihat lawannya itu berkutat membuka sesuatu.

"Ji-pangcu, menyerahlah!"

Laki-laki ini terkejut. la memasuki guhanya dan menarik-narik sesuatu di dinding bagian dalam. Agaknya hendak membuka pintu rahasia! Dan tepat Thai Liong datang pintu itupun terbuka dan bunyi gemuruh disusul oleh ledakan bola api ke arah Thai Liong. "Terimalah!"

Thai Liong tak berani menerima. Dari bola api itu menyambar sinar-sinar hitam seakan jarum, pecah dan menyambarnya dari delapan penjuru dengan amat cepat. Dan ketika ia mengelak dan mengebutkan bajunya, bola apí membalik dan menyambar pimpinan Pulau Api maka terdengar jerit namun bersamaan dengan itu lelaki itu lenyap di dalam.

"Aduh!"

Kiranya jarum dan bola api mengenai punggung lelaki ini. Thai Liong terhalang asap dan lawanpun lenyap tak berbekas. Dan ketika ia tertegun dan mengumpat kecurangan itu, dinding guha merapat la-gi dan tak mungkin mencari tombolnya maka Siang Le berteriak di luar menyatakan adanya bahaya.

"Thai Liong, ke sini. Musuh datang amat banyak!"

Pemuda ini keluar dan terbelalak di depan. Soat Eng, yang tadi menghajar dan membabat sisa-sisa lawan tiba-tiba saja sudah dikeroyok puluhan orang mendekati seratus. Dari luar hutan terdengar teriakan dan pekik-pekik menyeramkan disusul bayangan-bayangan. Thai Liong berobah namun tiba-tiba melesat ke atas, ke pohon paling tinggi. Dan ketika dari situ ia dapat melihat ratusan orang-orang Pulau Api datang, puluhan perahu berderet dan berjajar di pantai maka sadarlah dia bahwa bahaya benar-benar datang. Dan saat itu Siang Le berteriak lagi penuh ngeri, isterinya mengamuk dan merobohkan lagi murid-murid Pulau Api.

"Thai Liong, tolong. Adikmu haus darah!"

Rajawali Merah bergerak melayang turun ke bawah. Tiga jeritan terdengar lagi dan pedang di tangan Soat Eng basah bersimbah darah. Beringas sekali adiknya itu membabat orang-orang Pulau Api. Maklum, Soat Eng teringat kematian ibunya. Dan ketika ia membentak dan mendorong orang-orang itu, melakukan pukulan jarak jauh maka ia berseru kepada adiknya agar tidak membuat banjir darah.

"Eng moi, orang-orang ini bukan musuh utama kita. Tahan pedangmu dan cukup lukai saja!"

Akan tetapi mana nyonya ini mau nurut. la melengking dan bahkan berkelebatan lebih cepat, lawan-lawan yang terdorong oleh pukulan kakaknya dikejar,pedang menusuk dan menikam lagi penuh benci. Namun ketika sebatang tongkat menyambar pedangnya dan bertemu nyaring, wanita itu terhuyung dan kaget sekali maka seorang laki-laki gagah, berjenggot kemerahan telah berdiri di situ dengan sepasang matanya yang berkilat-kilat, penuh marah.

"Hm, kau kiranya puteri Pendekar Rambut Emas, bagus, aku Tan-pangcu dan akulah yang bertanggung jawab!"

Soat Eng terbelalak. la kaget oleh benturan tadi namun tiba-tiba melengking dan menerjang laki-laki ini. la sudah menguasai dirinya lagi. Namun ketika dengan cepat Tan-pangcu mengelak dan menangkis lagi, dari samping maka hampir saja pedangnya mencelat dan terlepas dari tangan.

"Crangg!" Telapak lawan kemerah-merahan seperti dibakar. Soat Eng mundur dan pucat sekali, ia kesemutan ketika pedangnya tadi ditangkis. Hawa panas menyentuh pedangnya itu dan hampir ia menjerit. Dan ketika ia terbelalak dan tertegun, lawan berseru kagum karena ia masih dapat mempertahankan pedang maka laki-laki itu melangkah maju dan tahu-tahu langkah aneh yang amat luar biasa membuat dirinya begitu dekat dengan lawan dan Tan-pangcu itupun mencengkeram pundaknya. Siang Le dan kakaknya sedang menghadapi lawan-lawan lain karena murid atau orang-orang Pulau Api berdatangan, mengeroyok.

"Kau cukup lihai, namun kau akan roboh!"

Soat Eng terkejut dan mengelak, melengking namun lawan mengejar lagi, cepat, tahu-tahu berpindah di sebelah kirinya dan tangan yang lain menengkap. Tangan itupun sudah seperti dibakar, sekali kena tentu hangus. Dan ketika cepat ia menghindar namun terkejar juga, jari-jari itu demikian dekat dengan pundaknya maka ia membentak dan tangan kiri menghantam menyambut cengkeraman itu.

"Dess!'" dan Soat Eng terhuyung hampir roboh. Untunglah Siang Le tak jauh dari isterinya dan si buntung itu membentak mengeluarkan Tangan Karetnya, menjulur dan tahu-tahu menangkap bahu lawan. Lalu ketika ia mengangkat dan membanting namun berseru kaget, tubuh ini lain dengan tubuh murid-murid Pulau Api maka Tan pangcu membalik dan menampar pemuda itu.

"Plak!" Siang Le terhuyung dan berubah pucat. Nyata lawan benar-benar lihai dan Soat Engpun berseru khawatir. Ia girang suaminya membantu namun terkejut suaminya terhuyung. Maka ketika ia bergerak lagi. dan menusuk laki-laki itu, Tan-pangcu mengelak dan menangkis serta membalas maka langkah-langkah aneh itu mengejutkan Soat Eng karena dengan gesit dan lincah tokoh Pulau Api itu menghindar semua serangan untuk tahu-tahu membalas dan mencengkeram atau memukulnya!

"Keparat, dia lihai. Keluarkan Jing-sian-eng dan Cui-sian Gin-kang, Le-ko. Lindungi diri dengan Khi-bal-sin-kang!"

Soat Eng berkelebatan dan marah serta kagum. la selalu didahului lawan dan merasa kalah cepat, bukan oleh gerakan tubuh melainkan oleh gerakan kaki. Lawan mempergunakan langkah-langkah aneh yang menggeser-geser kakinya, cepat dan luar biasa hingga tahu-tahu sudah berpindah-pindah. Dan ketika Siang Le juga menjadi kagum namun juga marah, inilah lawan yang setimpal akhirnya ia membentak dan apa boleh buat mengeluarkan Jing-sian-eng dan Cui-sian Gin-kang untuk berkelebatan. Namun mata tajam Tan-pangcu melihat kelemahan pemuda ini, bagian kiri!

Tak aneh karena di situlah Siang Le kehilangan lengannya. Maka ketika ia bergerak dan selalu menyerang pemuda ini di bagian kiri, mengibas dan menampar semua serangan Soat Eng akhirnya pemuda inilah yang diteter dan didesak lebih dulu. Lawan yang lemah memang harus ditekan!

"Keparat, jahanam tak tahu malu. He.. kau tak berharga melawan orang cacad, pangcu. Akulah lawanmu dan jangan hadapi dia. Ayo, tekan dan desak aku!"

Soat Eng yang tahu ini tentu saja terkejut dan pucat. Iapun tahu kelemahan suaminya dan berteriak memaki-maki lawannya itu. Akan tetapi karena Tan-pangcu menghalau semua serangnnya dan langkah-langkah aneh itu membuat Tan-pangcu berpindah-pindah begitu cepatnya, itulah hebatnya Tujuh Puluh Dua Langkah Sakti maka Tan pangcu mendengus dan mengejek wanita ini.

"Bocah ingusan, tak usah berkaok-kaok. Kalau kau mau menyerahkan dirimu dan berlutut minta ampun maka si buntung ini takakan kutekan. Hayo,buang pedangmu dan menyerah!"

Pada saat itu berkelebat bayangan lain dari seorang pemuda tegap gagah. Ia berbaju hitam dan inilah Tan Bong, putera Tan-pangcu. Dan ketika pemuda ini datang dan langsung membantu ayahnya maka Soat Eng tentu saja terkejut dan pedangnya menangkis pukulan pemuda itu.

"Ayah, inikah keluarga Pendekar Rambut Emas. Jangan takut, aku membantumu!" namun ketika ia mengelak oleh serangan Soat Eng, pedang mendesing dan terus menuju lehernya maka pemuda itu membanting tubuh dengan kaget.

"Crat!" Tanah memuncratkan lelatu api ketika pedang menghajar. Hampir saja pemuda baju hitam itu tersambar dan segera Tan-pangcu berseru bahwa sebaiknya pe-muda itu membantu yang lain saja, di sana masih ada seorang lagi yang tampaknya membuat anak buah mereka menjerit dan berteriak. Dan ketika Tan Bong bergulingan meloncat bangun dan berubah, wanita itu ternyata ganas sekali akhirnya sang ayah mendorong dan menyuruh dia minggir.

"Sudahlah, kau ke sana dan mereka ini bagianku. Cepat bantu yang lain!"

Tan Bong mengangguk dan meloncat pergi. Ia terkejut dan marah namun sesungguhnya tidak gentar, justeru sebenarnya ia ingin mencoba dan melepas penasarannya lagi. Namun karena ayahnya sudah memerintahkan dan di sana bayangan merah berkelebatan menyambar-nyambar maka pemuda ini melompat dan Soat Eng serta Siang Le kembali dihadapi pimpinan Pulau Api ini, di mana sang pangcu selalu mendesak dan menekan si buntung yang memang lebih lemah dibanding Soat Eng.

"Kau di sisiku, jangan menjauh. Hadapi jahanam ini dari kiri kanan!"

Siang Le mengangguk dan susah payah mengelak serangan-serangan Tan-pangcu itu. la kewalahan oleh gerak kaki yang berpindah-pindah dengan amat cepat itu, juga oleh pukulan dan tusukan jari lawan yang mempergunakan Hwe-ci. Tan-pangcu masih belum mengeluarkan Giam-lui-ciang. Tapi ketika mereka berdua berhasil mendekatkan diri dan Soat Eng melindungi dan selalu menjaga suaminya ini, betapapun wanita itu cukup berbahaya menusuk dan menikam lawan di tempat- tempat lemah akhirnya sang pangcu membentak dan menggosok-gosok kedua telapak tangannya.

"Blarr!" bola api mengepul ketika didesak dan ditepuk. Sang pangcu telah siap dengan ilmunya yang dahsyat itu dan terkejutlah Soat Eng oleh hawa panas yang kuat. Hawa ini jauh lebih panas daripada ilmu yang dikeluarkan para murid. Dan ketika sang pangcu mulai mendorong dan melepaskan ilmunya itu kepada Suami isteri ini, Siang Le berteriak sementara Soat Eng melengking dan menyambut dengan Khi-bal-sin-kang ternyata wanita ini harus melempar tubuh bergulingan karena Khi-bal-sin-kangnya tak kuat menahan pukulan itu, tak kuat oleh hawa panas yang membakar!

"Dess!" Dua orang ini berpisah satu sama lain. Siang Le juga harus bergulingan menyelamatkan diri, meloncat dan melihat isterinya terbelalak di sana tapi lawan mengejar dan tertawa bergelak. Dengan langkah saktinya itu Tan-pangcu menekan si buntung lagi, Siang Le kewalahan dan isterinya pucat. Dan ketika dengan cara ini akhirnya sang pangcu mendesak dan memisahkan mereka berdua, Soat Eng memekik dan menerjang lagi ternyata hawa panas yang keluar dari tubuh ketua Pulau Api ltu semakin hebat hingga tak lama kemudian mereka tak dapat mendekat dalam jarak tiga meter!

"Ha-ha, sekarang lihat kepandaianku. Menyerah atau kalian roboh!"

Wanita ini pucat. Ia harus berkelebatan dan mengelak atau menangkis pukulan itu. Giam-lui-ciang meledak dan membakar tempat itu. Dan karena ia mengkhawatirkan suaminya karena memang harus diakui bahwa Siang Le ini masih lebih rendah dibanding isterinya maka perhatian Soat Eng terpecah dan wanita itu melengking-lengking, pedangnya mulai leleh dan bengkok, terbakar!

"Le-ko, sebaiknya kau minggir. Biarkan jahanam ini kuhadapi agar perhatianku tak pecah!"

Siang Le bingung. Ia tak tahan oleh hawa panas yang keluar dari tubuh lawannya itu dan diam-diam ngeri. Tubuh Tan-pangcu sudah merah membara bagai obor, memandang saja silau! Maka ketika dia maklum bahwa kedudukan mereka memang gawat, jauh lebih bebas kalau isterinya sendiri akhirnya Siang Le harus mengakui bahwa keberadaannya justeru membuat repot sang isteri, Soat Eng harus berkali-kali menjaga dan melindunginya. Tapi ketika dia juga bingung dan khawatir bagaimana isterinya sendirian saja menghadapi pimpinan Pulau Api ini mendadak terdengar kekeh dan munculah seorang laki-laki tinggi kurus berpakaian perlente, usianya empatpuluhan.

"Heh-heh, tamak sekali kau ini. Eh, biarkan yang seorang menghadapiku,Suheng. Masa kau sendiri yang main-main dan melayani mereka berdua. Biar yang betina itu milikku atau yang jantan pun boleh!"

Siang Le terkejut. Di belakangnya tahu-tahu muncul lawan yang lain yang matanya bersinar-sinar, tangan digosok-gosok dan mengepulah asap merah disusul bola api. Lalu ketika lawan membentak dan maju dengan kaki digeser mendadak "stt-stt", lawanpun telah berada di belakang tengkuknya dan telapak yang sudah memerah itu menepuk dengan amat cepat.

"Aiihhhh!" Siang Le mengelak dan melompat jauh. la disambar hawa panas dan terkejut, lawan mengejar dan tentu saja ia kaget. Dan ketika tak ada jalan lain kecuali menangkis maka ia terpelanting dan laki-laki itupun terkekeh mengejar lagi. Mereka berdua tahu-tahu telah mendapatkan lawan masing-masing.

"Heh-heh, yang ini juga boleh. Baik, ini saja, suheng. Kau wanita itu dan biar si buntung ini kurobohkan!"

Memekiklah Soat Eng oleh munculnya lawan baru ini. la tak tahu siapa itu namun mendengar Tan-pangcu dipanggil suheng tentu laki-laki perlente itu sang su-te (adik seperguruan). Memang benar karena inilah Kiat Lam, tokoh nomor tiga dalam kedudukan pangcu di Pulau Api, Sebelum Hantu Putih dan Hitam memegang kekuasaan di situ. Dan ketika ia melengking-lengking karena Tan-pangcu mencegat dan tak memperbolehkan mendekati suaminya akhirnya wanita ini menerjang dan menghadapi ketua Pulau Api itu dengan penuh kemarahan, pedangnya sudah dibuang karena bengkok dan tak dapat dipergunakan.

"Bagus, kau atau aku yang mati. Kiranya kau yang membunuh ibuku, Tan-pangcu, sekarang aku datang membalas dan kau atau aku roboh!"

Tan-pangcu mendengus dan menyambut terjangan itu. Sudah berkali-kali nyonya ini terpental atau terhuyung bertemu pukulannya, tak perlu ia takut. Tetapi ketika kali ini Soat Eng mengerahkan semua tenaga dan kemarahannya membangkitkan kekuatan amat besar ternyata ialah yang terhuyung sementara wanita itu terpental tapi berjungkir balik dan menyambarnya lagi. Ganas!

Soat Eng memang marah dan berniat mengadu jiwa, ia telah bertemu musuh-musuhnya. Namun karena Tan-pangcu itu bukan orang sembarangan dan hawa panas dari pukulannya membuat ia tak dapat terlalu dekat, peluh membasahi tubuhnya maka wanita ini berkelebatan sementara di sana Siang Le terdesak dan tampak kewalahan oleh lawannya yang baru itu. Soat Eng gelisah!

Namun untunglah, Thai Liong si Rajawali Merah melihat itu. Pemuda ini melihat datangnya Bu Kok namun tokoh yang sudah menghilang itu tak tampak batang hidungnya lagi. Ia heran dan tentu saja curiga, perasaannya mengatakan lain, ada bahaya yang lebih hebat lagi. Namun ketika yang mengeroyoknya hanya murid-murid Pulau Api, pemuda baju hitam yang kemudian datang termasuk paling hebat bersama Siauw Lok yang berbaju merah itu akhirnya Thai Liong mengeluarkan seruan keras dan tubuhnya yang berkelebatan bagai rajawali menyambar-nyambar disusul tamparan dan ketukan perlahan di tubuh murid-murid Pulau Api.

Mereka berteriak dan menjerit untuk selanjutnya roboh. Thai Liong membuat mereka pingsan, jumlah yang terus banyak harus cepat dikurangi. Dan ketika ia melihat datangnya tokoh nomor tiga yang kemudian mendesak Siang Le, di sana adiknya berjuang mati-matian menghadapi Tan-pangcu yang ternyata paling lihai akhirnya pemuda ini mengibaskan kedua lengan bajunya dan terhembuslah semua lawan yang terbanting dan menabrak pohon.

"Eng-moi, Siang Le, berikan mereka kepadaku. Kalian hadapi saja yang lain-lain ini dan mereka bagianku!"

Siang Le girang bukan main. Ia terdesak dan kewalahan ketika harus bertahan dari serangan-serangan si perlente ini. Hawa panas yang keluar dari tubuh laki-laki itu tak sehebat Tan-pangcu namun membuat napasnya sesak, peluh bercucuran. Maka ketika Thai Liong tiba-tiba menyambar dan pemuda itu meminta lawannya, Kiat Lam terkejut oleh bayangan bagai rajawali maka pukulannya yang ditangkis Thai Liong tiba-tiba amblas dan bertemu telapak yang dingin.

"Cesss!" Tokoh itu berteriak. Giam-lui-ciang, ilmu andalannya mendadak sirna dan lenyap begitu saja bertemu telapak pemuda jubah merah itu. la kaget dan berteriak dan kontan menarik tangannya, membanting tubuh bergulingan. Dan ketika ia pucat meloncat bangun, menggigil dan terbelalak di sana maka Thai Liong sudah berkelebat dan menangkis Tan-pangcu yang saat itu juga menyerang Soat Eng.

"Desss!" Tan-pangcu bergoyang dan terbelalak lebar. Tangannya yang merah marong diterima Rajawali Merah ini, bertemu telapak lunak lembut namun amat dingin bagai es Itulah Im-kang dari Tenaga Sakti Rajawali, Thai Liong mengeluarkan itu untuk mematahkan lawannya. Dan ketika hawa dingin itu memadamkan hawa panas dan Giam-lui-ciang lenyap seketika, lebur atau ambyar di tengahjalan maka tangan Tan-pangcu menjadi beku dan saat itulah dia berteriak dan menarik tangan serta melempar tubuh bergulingan.

"Aughh!" Tan-pangcu pucat dan meloncat bangun. la terbelalak dan kaget dan entah perasaan apalagi yang berkecamuk di dadanya. la menggigil dan marah sekali memandang pemuda itu. Tapi ketika Thai Liong tersenyum-senyum dan sudah saatnya mengambil alih pertempuran maka pemuda itu mendorong adiknya dan berseru melihat murid-murid yang mengepung lagi, gentar dan jerih menghadapi si Rajawali Merah ini namun takut kepada pimpinan mereka yang mendelik.

"Eng-moi, bantu suamimu menghadapi mereka-mereka itu, jangan membunuh, cukup lukai atau robohkan saja. Aku akan menghadapi dua orang ini dan kalian mundurlah!"

Soat Eng tersengal-sengal, matanya berapi, menyambar dan berhenti di depan Tan-pangcu itu. Tapi ketika kakaknya menepuk pundaknya dan menyuruh mundur, ia teringat suaminya maka Tan-pangcu membentak para murid agar tidak berdiam diri.

"Bunuh mereka, serang!"

Para murid menyerang lagi. Sekarang yang mereka hadapi adalah suami isteri ini, bukan si Rajawali Merah. Dan ketika Thai Liong membalik dan menghadapi tokoh-tokoh Pulau Api itu maka pemuda ini berkata dengan suara berat,

"Aku datang untuk mencari adikku Beng An, selain menghadapi kalian sebagai manusia-manusia curang yang tidak tahu malu. Nah, mana adikku itu dan di mana dia, pangcu. Katakan terus terang daripada aku mengobrak-abrik tempat ini."

Ketua Pulau Api itu mendesis. Kalau saja ia tak bergebrak dan kaget betapa Giam-lui-ciangnya luluh ditangkap pemuda ini barangkali dia tak akan menjawab dan menyerang lagi, tanpa banyak Cakap. Tapi karena dia sudah mendapat pelajaran dan píkiran bagus tiba-tiba muncul mendadak ia tertawa dan mengejek, "Anak muda, kau tampaknya hebat sekali. Kau jelas putera ayahmu Pendekar Rambut Emas, tapi aku tak tahu siapa namamu. Nah, katakan dulu dan nanti kuberi tahu di mana adikmu!"

"Aku Thai Liong...!"

"Bagus, kalau begitu agaknya kau yang berjuluk si Rajawali Merah itu. Pantas! Hm... adikmu dibawa penghuni Lembah Es, anak muda, mungkin sekarang dibunuh wanita-wanita itu. Aku bicara sebagai tokoh di sini dan kau boleh percaya atau tidak!"

"Di Lembah Es?" Thai Liong mengerutkan kening.

"Benar, di sana. Tadinya bersama kami sebagai tawanan tapi ditangkap penghuni Lembah Es itu. Kami baru saja pulang dari sana dan kau dapat mencarinya jauh ke utara, mengikuti bintang Permata yang mengantarmu sampai tujuan."

Thai Liong bersinar-sinar. Tentu saja ia tak cepat percaya akan keterangan ini tapi mata ketua Pulau Api itu bersungguh-sungguh. Namun karena ia melihat kejanggalan-kejanggalan yang tak dapat ditelannya begitu saja maka ia tersenyum mengejek, tertawa sinis. "Pangcu, keteranganmu tak masuk akal, adikku tak dapat kau kalahkan, mana mungkin menjadi tawanan kalian."

"Hmm, jangan sombong. Adikmu orang muda yang kurang pengalaman Rajawali Merah. Kepandaiannya boleh tinggi tapi tempat kami bukan pulau yang sembarang dimasuki lawan. Ia terjebak dan kami kurung, tertangkap. Lalu karena kami menyerbu Lembah Es maka ia kami bawa tapi tertinggal di sana, tertawan!"

Thai Liong mengerutkan alis. la mulai percaya kata-kata ini karena memang adiknya itu kadang-kadang berwatak sembrono. Orang-orang Pulau Api bukan orang baik-baik dan apa saja dapat dilakukan mereka, kecurangan di sini saja cukup memberikan bukti. Dan karena lawan bersungguh-sungguh tampaknya Tan-pangcu ini memang tidak berbohong maka pemuda itu mengerutkan alisnya dan berdebar.

Memang yang dikatakan Tan-pangcu ini benar, kecuali tentu saja pernyataannya bahwa Beng An dijebak. la tidak menceritakan sepasang supeknya yang lihai itu ketika menangkap Beng An, hal ini disembunyikan. Dan karena Beng An memang tertinggal di sana dan tiba-tiba Tan-pangcu ingin mengadu licik, ia melihat betapa lihainya pemuda ini maka timbul keinginannya agar pemuda ini datang ke Lembah Es!

Thai Liong tak dapat membaca pikirannya ini tapi ia percaya adiknya tak disitu. la tak melihat tanda-tanda Beng An di tempat ini, karena kalau tidak mungkin orang-orang Pulau Api ini mempergunakan adiknya sebagai sandera. Dan ketika ia menarik napas memandang lawan, Tan-pangcu rupanya ragu menghadapinya tiba-tiba terdengar lengkingan aneh yang menggetarkan pulau, disusul munculnya Bu Kok yang berkelebat dari dalam guha.

"Tan Siok, tangkap bocah itu untukku. Robohkan dia dan bawa kemari!"

Wajah Tan-pangcu berubah. Ia yang semula hendak mundur dan membiarkan pemuda itu meninggalkan pulau tiba-tiba tak jadi. Bayangan sutenya menyerukan tiga orang muda ini ditangkap. Dan ketika sutenya berhenti dan menuding di situ, Thai Liong terkejut oleh lengking tinggi yang dahsyat tadi maka ji-pangcu yang gemetar namun berseri-seri ini menunjuk mukanya.

"Suheng, supek menyuruh anak-anak ini đitangkap. Aku telah melspor. Nah, mari kita tangkap dan supek menjaga kita."

Tanpa takut atau gentar lagi laki-laki yang tadi melarikan diri ini sudah menyerang Thai Liong. Tan-pangcu dan sutenya nomor tiga tertegun namun mengangguk, berkelebat dan terdengar kekeh sayup-sayup sempai. Kekeh itu menggetarkan pulau dan Thai Liong merasakan betapa kuatnya pengaruh getaran suara tawa itu, beberapa murid terjungkal. Dan ketika adiknya dan Siang Le terpukul dan terhuyung di sana , untung tawa itu tak terdengar lagi maka bergeraklah tiga orang ini menyerangnya. Bu Kok bersama suheng dan sutenya tiba-tiba penuh semangat.

"Hm, siapa di sana itu. Kalian masih menyimpan sesepuh dan berani menyerangku? Bagus, mari main-main dan lihat siapa yang roboh, Tan-pangcu. Aku jadi ingin tahu kehebatan orang-orang Pulau Api secara keseluruhan!"

Thai Liong mengelak dan membalas dan hawa panas kembali menyambar. Langkah sakti Jit-cap-ji-poh-kun itu langsung dikeluarkan tapi Ang-tiauw Gin-kang menandingi. Thai Liong berdebar oleh tawa di luar pulau itu. Dan ketika ia berkelebatan dan menangkis orang-orang ini, Ji-pangcu terpental dan menjerit maka Tan-pangcu serta Ji-sutenya juga berseru tertahan dan terdorong mundur, maju dan menyerang lagi sementara Thai Llong mulai berhati-hati memasang kewaspadaan terhadap seseoang di luar. Kiranya itulah bahaya tadi, firasat yang dirasakan ketika ji-pangcu ini lenyap dan lolos di dalam guha. Dan ketika ia bergerak dan membalas serta meledakken ujung jubahnya maka hawa Im-kang menghapus dan membuyarkan pengaruh Giam-lui-ciang.

"Des-plak!" Tiga oreng itu terbelalak. Mereka terhuyung dan maju Iagi namun sedikit pucat. Thai Liong berkelebatan menandingi langkah sakti mereka. Dan karena pemuda itu tak menginjak tanah lagi bagai rajawali menyambar-nyambar, tamparan lengannya semakin dingin sementara ujung jubah itu juga meledak mementalkan semua serangan mereka akhirnya Tan-pangcu mencabut tongkat dan memekik serta menerjang marah, disusul sutenya yang juga tak mau kalah.

Akan tetapi Thai Liong benar-benar mengagetkan tokoh-tokoh Pulau Api ini. Senjata mereka yang menyambar naik turun ditangkap dan diterima, sekali remas malah hancur. Dan ketika pukulan pemuda itu membuat mereka menggigil kedinginan, ini mengingatkan mereka akan Ping-im-kang yang dimiliki Beng An maka ketiganya berseru keras dan terkejut sekali. Dikeroyok tigapun mereka yang kewalahan.

"Bocah ini iblis, dia lebih hebat dari-pada adiknya. Ah, agaknya harus kita bawa ke Pulau Karang, suheng. Biar supek yang menangani!"

"Jangan dulu, kita bertahan sekuatnya. Biarkan ia terkuras tenaganya, Sute. Mungkin dapat dirobohkan!"

"Benar, kita berputar-putar, buat ia bingung Ayo serang berganti-ganti arah dan keluarkan semua kepandaian kita!"

Namun Thai Liong tenang dan tidak menjawab semua kata-kata itu. la melihat bayangan seseorang di puncak bukit, lenyap dan membuatnya curiga. Dan ketika tiga orang itu berusaha keras untuk merobohkan dan mengalahkan dirinya, ia tersenyum dingin maka Thai Liong memperlihatkan kesaktiannya dengan membiarkan pukulan-pukulan lawan mengenai tubuhnya.

"Bak-bik-bukk!" Tongkat dan semua mental. Thai Liong malah membiarkan pula Giam-lui-ciang di tangan kiri lawan menghantam, entah mengenai punggung atau lehernya tapi ketiga lawan berteriak karena pukulan mereka mengenai kulit tubuh yang dingin hingga tangan mereka kesakitan. Giam-lui-ciang seakan bertemu bongkahan es dan hancur di situ, tangan merekapun seketika beku dan putih. Dan ketika Tan-pangcu dan dua adiknya itu terbelalak dan gentar, hanya karena supeknya ada disitu membuat mereka tak perlu mundur maka ketiganya maju lagi namun Thai Liong tiba-tiba mengeluarkan bentakan keras dan mengangkat tangan mendorong ke arah tiga lawannya.

"Pergilah!" Bagai ditiup mulut raksasa tiba-tiba tiga orang ini berteriak. Tubuh mereka bagaikan daun kering yang begitu tak berdaya didorong kedua lengan pemuda ini. Hawa dingin meniup dan padamlah kekuatan Giam-lui-ciang di tubuh. Dan ketika ketiganya terangkat dan terbang ke atas bukit, di situlah Thai Liong tadi mellhat bayangan seseorang maka Tan-pangcu dan duą sutenya ngeri dilontar tenaga raksasa itu.

"Mati aku...!"

"Supek, tolong...!"

Ketiganya menjerit dan minta tolong. Murid-murid yang melihat tiba-tiba berseru keras. Di pulau itu ada bukit yang siap menerima pimpinan mereka, sekali kena tentu hancur! Dan ketika yang lain menghentikan pertempuran dan Siang Le maupun Soat Eng berhenti mengamuk maka di puncak bukit tiba-tiba Derkelebat sesosok bayangan hitam yeng cepat luar biasa , menangkap atau menerima tubuh tiga orang ini.

"Ha-ha, mentakjubkan. Tapi kalian masih selamat!"

"Wutt...!" Thai Liong berkelebat dan tiba-tiba menghilang. Cukup bagi pemuda ini bahwa dugaannya benar, di bukit itu ada seorang kakek yang hebat kepandaiannya. Dan ketika ia melesat dan menyusul tiga orang yang dilempar ini, Thai Liong sudah berhadapan dengan seorang renta berkulit hitam kehijau-hijauan maka kakek itu terbahak tapi kagum Memandangnya.

"Ha-hah-he-heh! Kau luar biasa, anak muda, lebih hebat dari adikmu. Ah, siapa namamu dan benarkah kau keturunan Pendekar Rambut Emas!"

Thai Liong memperhatikan kakek ini dengan mata tajam. Sinar matanya yang mencorong dan penuh tenaga sakti tak main-main lagi. Dari gerak ketika melesat dan menangkap tokoh-tokoh Pulau Api ini şegera dia tahu bahwa kakek di depannya ini dua tingkat di atas Tan-pangcu. Mata cekung di balik dahi lebar itu mengeluarkan sesuatu yang dingin, ganas dan menyeramkan. Tapi karena Thai Liong maklum bahwa inilah kiranya supek dari pimpinan Pulau Api itu, jelas angkatan tua maka dia mengerahkan tenaganya ketika menjawab.

"Locianpwe siapa gerangan, tak pernah aku mendengar. Aku Thai Liong benar putera ayahku Kim-mou-eng, datang mencari adikku Beng An selain menghajar orang-orang ini yang sesat sepak terjangnya!"

"Ha-ha, sombong, tapi hebat! Uwah, aku dedengkot Pulau Api, anak muda, keturunan nenek moyang kami Han Sun Kwi, dewa sesembahan kami. Heh, kau sombong menerima dan ingin menghancurkan pukulan murid-muridku, tapi ketahuilah bahwa mereka belum mencapai puncak dalam belajar. Lihatlah, akulah contohnya... klap!"

Sang kakek memamerkan kesaktian dengan mendorongan tangan kekiri. Bola api melesat dan menghantam puncak bukit. Lalu ketika terdengar suara menggelegar dan bukit itu runtuh, batu berguguran disusul suara gemuruh maka Tan-pangcu dan dua sutenya menyurut mundur dan mengejek kepada Thai Liong, seolah menyatakan pemuda itu ketemu batunya.

"Hm, benar, pukulanmu lebih sempurna. Tapi merusak adalah perbuatan jahat, orang tua. Biar kukembalikan bentuk bukit itu dan aku yang memperbaiki...wuut!" Thai Liong tak mau kalah dan balas memamerkan kesaktiannya. la mengebut dengan ujung jubahnya dan cahaya putih berkilau, menyambar dan mengangkat naik batu-batu yang berguguran ke tempat semula.

Dan ketika kakek itu terbelalak karena puncak bukit utuh kembali, secuwil pun tak ada yang rusak tiba-tiba kakek ini melengking dan suaranya yang dahsyat membuat Tan-pangcu dan sutenya terjungkal. "Heh, ini tempatku. Kurusak atau tidak apa perdulimu. Jangan kurang ajar dan sombong kepadaku, anak muda. Bukit itu akan kuhancurkan!" sinar merah menyambar dan bukit roboh kembali. Batu-batu berguguran.

Namun Thai Liong membentak di sana, mengangkat tangannya lagi dan batu-batu melayang ke atas, menempel dan utuh lagi. Dan ketika kakek itu marah karena empat kali ia ditampar maka tiba-tiba kedua tangannya mendorong dan pukulan merahnya menyambar Thai Liong.

"Blaarrrr!" Thai Liong menangkis dan cepat menggerakkan kedua tangannya pula. Giam-lui-Ciang yang amat dahsyat menggempur tanpa aba-aba lagi, ia pun mengerahkan Im-kang dari Sin-tiauw-kangnya. Dan ketika pukulan Rajawali Sakti itu membentur pukulan merah yang amat dahsyat, maka kakek itu bergoyang-goyang sementara Thai Liong masih tegak berdiri, meskipun mukanya sedikit merah....!

Putri Es Jilid 24

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

PERAHU berputar dan bergerak dengan kecepatan tinggi. Soat Eng sudah marah oleh kejadian tadi dan menganggap murid tadi bohong. la tak perduli lagi oleh sikap suaminya, juga kakaknya yang agaknya hendak mencegah ia menuju ke pulau itu. Dan ketika sebentar kemudian perahu sudah mendekati pulau ini, Sang nyonya menggerakkan tangan hingga perahu tiba-tiba terangkat dan melesat meninggalkan air maka benda itu jatuh dengan keras di atas tanah bebatuan bersamaan dengan munculnya bayangan-bayangan merah dari orang-orang Pulau Api, mereka yang tadi berkelebat dan lenyap setelah membunuh anggauta sendiri.

"Bagus, kalian sudah keluar. Mana pemimpin kalian yang membunuh ibuku!!"

Tiga puluh lelaki kekar mengurung dan cepat sekali mengelilingi wanita cantik ini. Mereka terkejut oleh gerakan perahu tadi namun karena berjumlah banyak dan sudah bersiap merekapun tak perlu takut. Bahkan mereka kagum oleh kelihaian wanita itu, bangkit dan bergairah bahwa tiba-tiba di tempat sesepi itu datang seorang wanita molek. Siapa tidak senang! Maka ketika seorang di antaranya tertawa bergelak dan tak perduli kepada Siang Le maupun Thai Liong, menganggap rendah dua pemuda itu maka murid Pulau Api bernama Pu Hauw ini berseru nyaring,

"Kawan-kawan, kita kedatangan rejeki. Lihat wanita ini, betapa menggiurkan. Siapa yang dapat merobohkannya dialah yang berhak memiliki!"

Lalu ketika seruannya diikuti sorak dan tepuk gaduh, bagai serombongan srigala saja mereka menerkam Soat Eng, tiba-tiba nyonya muda ini sudah menghadapi belasan pasang tangan yang berebut mendahului.

"Bedebah!" Soat Eng meloncat dan menggerakkan kaki tangannya. Ia marah oleh tangan-tangan kurang ajar itu dan tentu saja mengelak, tubuh berputar dan bagai walet beterbangan ia menangkis dan menghajar orang-orang itu. Dan ketika semua lawan terpekik karena tubuh si nyonya tiba-tiba menghilang, tamparan dan tendangan mengenai tubuh mereka maka belasan orang itu terpelanting dan jatuh terguling-guling.

"Awas kiranya harimau betina liar. Hati-hati dan jangan terburu-buru." Pu Hauw, pemuda tegap murid Pulau Api itu berteriak. la sendiri terbanting dan kehilangan lawan ketika tahu-tahu sang nyonya berkelebat. Pundaknya menerima tamparan dan ia kaget sekali, panas dan seakan ditusuk-tusuk. Tapi ketika ia bergulingan meloncat bangun dan nyonya itu sudah berdiri tegak, kawan-kawannya terdorong dan merintih-rintih maka mereka terhuyung bangun.

Soat Eng diam-diam terkejut karena lagi-lagi ia melihat bahwa murid-murid Pulau Api ini memiliki sinkang cukup hingga tubuh mereka kuat dan kebal. "Bagus, majulah, kubunuh kalian semua!”

Soat Eng tak banyak bicara lagi mencabut pedangnya. la mulai beringas sementara murid-murid Pulau Api itu juga marah. Mereka terkejut dan kagum tapi juga melotot. Kalau mereka tidak kuat barangkali pukulan atau tamparan tadi membuat tulang mereka, retak-retak. Maka melihat nyonya itu mencabut pedangnya dan benar-benar bersiap untuk membunuh mereka, tiba-tiba merekapun berapi dan berkilat marah akhirnya merekapun menggosok-gosok tangan dan keluarlah asap merah dari pukulan Giam-lui-ciang.

"Suheng, wanita ini tak perlu diampuni, agaknya terlalu berbahaya. Tangkap dan robohkan dia dengan pukulan kita!"

"Tidak, jangan dibunuh. Pukulan kita tak perlu terlalu keras, sute. Cukup setengah saja tapi harap kalian semua bersatu. Jangan dibunuh dan cukup kita robohkan, ingat bahwa kita memerlukannya!"

Terdengar gumam dan tawa menyeringai. Siang Le yang semula hendak mencegah dan melarang isterinya membunuh tiba-tiba tak senang hatinya. Murid-murid Pulau Api ini tampak buas dan tidak beradab, omongan mereka saja kotor. Mata mereka penuh nafsu memandang tubuh isterinya itu. Maka ketika ia menarik napas dalam-dalam sementara Thai Liong tiba-tiba bergerak dan lenyap bagai siluman maka Rajawali Merah itu berbisik kepadanya agar dia membantu istrimu itu.

"Kulihat mereka hanya murid-murid biasa, kau dan Eng-moi dapat mengatasi itu. Hati-hati dan aku akan ke dalam, Siang Le. Waspada dan robohkan serta buat saja mereka tak berdaya!"

Siang Le mengangguk. Kebetulan perhatian semua orang tertuju kepada isterinya itu, kepergian Thai Liong yang cepat bagai iblis hampir tak terlihat siapapun. Dan karena ia setuju dengan nasihat itu, orang-orang ini cukup dirobohkan dan di-buat tak berdaya maka iapun tiba-tiba membentak dan Siang-re-ciang atau Ilmu Karet menjulur dari tangannya.

"Jangan hanya mengganggu wanita saja, akupun ada di sini!"

Murid terdekat terkejut. Tangan Siang Le memanjang dan tahu-tahu menerkam pundaknya, tanpa ampun lagi diangkat dan dilempar. Dan ketika murid itu terbanting dan Siang Le sudah bergerak ke tempat lain, sengaja memecah perhatian murid-murid itu agaknya isterinya tidak banyak menumpahkan darah maka jerit dan teriakan kaget terdengar di sana-sini. Cepat sekali pemuda itu mengangkat dan membanting delapan orang lawan.

"Heiii..., bres-bress!" Tubuh delapan orang itu tak dapat bangun. Siang Le menekan jalan darah pipeh-hiat yang membuat pundak seakan terkilir, retak-retak. Dan karena gerakan kakinya mengandalkan Jing-sian-eng, gerakan Seribu Dewa maka kecepatannya ini tak dapat dilawan murid-murid itu dan kontan mereka berteriak dan menjerit kesakitan.

Namun saat itu Soat Eng juga berkelebat menyambar, pedang menusuk dan menikam. "Bagus kita basmi orang-orang ini, Le-ko. Bunuh!"

Siang Le berdesir. Teriakan seorang murid terdengar mengerikan ketika pedang isterinya berkelebat dan membacok. Biarpun mereka kuat dan kebal namun pedang di tangan isterinya itu bukan senjata main-main. Tenaga yang menggerakkan pedang itu adalah tenaga yang dahsyat, pedang itupun pedang yang baik karena terbuat dari baja pilihan. Maka ketika darah menyembur dan kepala itu putus, kebencian dan kemarahan Soat Eng benar-benar dilampiaskan di sini maka terkejutlah murid-murid Pulau Api itu oleh keganasan lawan. Sang nyonya berkelebatan sementara si buntung bergerak maju mundur menerkam dan melempar-lempar mereka.

"Eng-moi, jangan banyak membunuh. Lukai atau robohkan saja!"

"Tak perduli. Kematian ibuku pantas dibayar mereka, Le-ko. Biar jahanam-jahanam ini tahu siapa keturunan Pendekar Rambut Emas!"

Gegerlah puluhan murid-murid Pulau Api itu. Mereka tak menyangka bahwa yang datang ini adalah keturunan Pendekar Rambut Emas. Teringatlah mereka sekarang akan Thai Liong, pemuda berambut keemasan namun yang tadi tak mereka hiraukan karena tertarik dan bergairah oleh adanya Soat Eng. Maka ketika dua di antaranya terkejut tak melihat pemuda itu lagi, Thai Liong menghilang bagai iblis tiba-tiba di tengah pulau terdengar teriakan dan lengking panjang, Semacam seruan atau panggilan.

"Celaka, ji-susiok memanggil kita!"

"Dan pemuda itu tak ada di sini. Ah, ia lenyap!"

Terkejutlah semua orang oleh seruan dan pekik kaget itu. Mereka sudah mulai dibuat tersentak ketika untuk pertama kalinya pedang Soat Eng menyambar, langsung membabat kepala seorang rekan mereka yang putus menggelinding, Darah memuncrat dan nyonya itu berkelebatan ke sana ke mari, memaksa mereka mundur, Dan ketika semua itu ditambah oleh sepak terjang si buntung yang menerkam dan melempar-lempar mereka, hanya si buntung inilah yang tidak bertangan ganas maka hilangnya pemuda berambut emas disusul lengking atau pekik di tengah pulau semakin mengejutkan saja. Kacau dan buyarlah tiga puluh murid-murid Pulau Api itu.

"Ji-susiok memanggil, cepat, kita pergi. Tapi dua orang ini harus kita robohkan. Ah, bagaimana ini suheng. Apakah mereka kita biarkan saja!"

"Sebaiknya biarkan mereka, serang dari dalam. Pergi dan kita ikuti panggilan susiok!"

Semua tiba-tiba membalik dan berserabutan lari. Gairah dan nafsu mereka terhadap Soat Eng yang tadinya menggebu dan begitu penuh semangat mendadak hancur berantakan. Ini tidak lain karena ganasnya wanita itu ditambah panggilan di dalam pulau. Tiga murid kembali roboh ketika pedang si nyonya menusuk, tepat mengenai ulu hati dan tewaslah empat murid dengan cepat. Ternyata mereka yang berkepandaian paling rendah menjadi korban pertama. Dan ketika Pu Houw sudah menyerukan mundur dan cepat ke dalam, di sana rupanya terjadi sesuatu yang lebih hebat tak ayal lagi murid-murid ini berhamburan namun Soat Eng tak maù begitu saja melepaskan mereka.

"Tunggu dulu, serahkan nyawa kalian kepadaku!"

Dua murid menjerit terluka. Mereka ditusuk dari belakang namun pasir merah dihamburkan ke belakang. Itulah pasir- pasir api yang kalau mengenai kulit dapat terbakar. Dan ketika Soat Eng mengelak ini dan mengebut runtuh, lawan sudah melarikan diri lagi maka suaminya memegang lengannya mencegahnya membabi buta.

"Yang kita cari hanya tokoh-tokohnya, jangan ngawur. Biarkan mereka pergi dan kita ikuti dari belakang!"

"Tapi mereka telah menghinaku dengan kurang ajar. Kalau tidak dibunuh tak puas hati ini, Le-ko. Lepaskan dan biar kurobohkan mereka!"

"Sst, jangan meledak. Kalau semua kau bunuh lalu bagaimana cara kita mendapatkan pentolannya, moi-moi. Lihat mereka terbirit-birit dan kakakmu tentu sudah di sana."

Soat Eng teringat. "Ke mana Liong-ko!"

"Memasuki pulau, nah, jangan membunuh lagi karena yang kita cari adalah ketua dan wakil-wakilnya!"

Soat Eng tak membantah lagi dan membiarkan suaminya mencekal lengannya. la masih memegang pedang di tangan dan pedang itupun masih berlumuran darah. Empat orang telah tewas di tangannya. Dan ketika suaminya betul karena pulau ternyata berhutan lebat, banyak pepohonan dan semak tebal akhirnya dua di antara murid Pulau Api yang mereka ikuti menerabas dedaunan dan pekik atau lengking itu kembali terdengar, berkali-kali.

Thai Liong kiranya telah membuat kejutan besar di dalam. Pemuda ini, yang melompat dan meninggalkan perahu yang hancur menimpa tanah padas segera tahu bahwa biarpun tiga puluh murid-murid Pulau Api itu garang dan bengis namun adik dan iparnya masih dapat mengatasi. la merasa tak perlu membantu dan sebaiknya ke dalam, ada gerakan-gerakan yang membuat matanya curiga, menembus kegelapan hutan dan lenyaplah pemuda itu mempergunakan Beng-tau-sin-jin.

Dan ketika ilmu ini membuat dirinya seperti mahluk halus saja, yang tak tampak oleh mata biasa akhirnya Thai Liong tertegun melihat sebuah guha dikelilingi oleh puluhan murid Pulau Api yang tampaknya menjaga ketat. Seseorang melapor dan terengah-engah, satu di antara dua pemuda di perahu yang selamat.

"Ji-susiok, putera-puteri Kim-mou-eng mengejar-ngejar kami. Mereka datang mencarimu. Ampun dan jangan salahkan kami karena bukan kami yang membawanya ke mari!"

"Siapa kau, murid nomor berapa. Kenapa lancang menghadap tanpa dipanggil!"

"Siauwte Ap Teng, dari kelompok Uh-suheng. Mohon ampun karena bukan siaute yang membawa musuh... dess!" murid lelaki itu menjerit dan terlempar. Dari dalam guha menyambar cahaya merah dan menghantam murid ini. Itulah Giam lui-ciang. Dan ketika murid itu roboh dan terbanting muntah darah, menggeliat dan pingsan akhirnya bergerak sesosok bayangan dan muncullah seorang! laki-laki tinggi sedang dengan leher terlilit kalung perak.

"Hm, untung kau. Kalau tidak kudengar duluan tentu mampus. Heh, periksa dan lihat musuh-musuh itu, Siauw Lok. Tahan dan bunuh mereka kalau bisa. Kalau tidak panggil aku, cepat!"

Seorang pemuda berbaju merah berkelebat dan mengangguk. Baju yang dikenakan itu adalah baju kulit sementara yang lain bertelanjang dada. Rupanya murid yang tergolong pandai berpakaian lengkap. Tapi ketika Thai Liong melepaskan Beng-tau-sin-jinnya dan batuk-batuk di situ, berdiri dan tahu-tahu telah di tengah kepungan ini maka kagetlah semua orang melihat pemuda yang seperti iblis itu. Munculnya bagai asap atau hantu saja.

"Ji-pangcu, kau rupanya orang yang kucari-cari itu. Bagus, aku sudah di sini dan tak perlu menyuruh anak buahmu ke pantai."

Mundurlah tokoh Pulau Api ini. Dia bukan lain adalah Bu kok sute dari Tan-pangcu itu, yang waktu penyerbuan ke Lembah Es tak banyak berbuat karena sakit, luka dalamnya belum sembuh. Maka ketika kini tiba-tiba Thai Liong muncul dan wajah pemuda ini benar-benar mirip Pendekar Rambut Emas, juga rambutnya itu maka hampir saja lelaki ini berseru menyebut Kim-mou-eng. Akan tetapi wakil ketua Pulau Api ini menahan mulutnya.

Segera dia tahu bahwa pemuda di depannya ini bukanlah Kim-mou-eng, karena Kim-mou-eng sudah berusia lima puluh lebih sementara pemuda ini masih muda, belum tiga puluh tahun. Dan ketika dia teringat bahwa inilah kiranya putera Pendekar Rambut Emas itu, kakak Beng An maka ia tergetar namun tentu saja tak perlu takut, biarpun terhadap Beng An ia harus jerih dan pemuda yang seperti siluman itu pernah mengalahkannya.

"Hm, siapa kau. Berani benar. Bagus, kau kiranya putera Kim-mou-eng itu, anak muda. Siapa namamu dan apakah Beng An adalah adikmu!"

"Benar, dia adikku," Thai Liong tersenyum, teringat ciri-ciri wakil ketua Pulau Api ini yang pernah diberitahukan ayahnya. "Namaku Thai Liong, ji-pangcu, dan kau tentu orang she Bu yang diceritakan ayah itu. Kau pernah datang ketika aku pergi, dan sekarang aku datang mencari dirimu."

"Bagus, tak perlu kusangkal, dan aku juga tak takut. Heh, kalau kau hendak membalas kematian ibumu maka kuantar kau ke akherat, anak muda. Susul ibumu dan bersiap-siaplah!"

Thai Liong mengerutkan kening. Sekali berhadapan segera dia tahu macam apa kiranya tokoh Pulau Api ini, seorang laki-laki kasar tiada ubahnya murid-murid yang dia temui. Tapi karena bukan maksudnya datang untuk membalas dendam, dendam dan sebangsanya tak boleh mengotori hati maka Thai Liong menarik napas dan nggeleng.

"Kau salah kalau mengira aku untuk melakukan itu. Kematian ibuku sudah ditentukan Yang Maha Kuasa. Tidak, aku bukan datang untuk urusan dendam, pangcu, melainkan datang sebagai penentang kejahatan dan ketidakbenaran, juga mencari tahu apakah adikku Beng An sudah datang ke sini."

"Hm!" lelaki itu memberi isyarat kepada semua murid untuk mengepung semakin rapat, betapapun ketenangan sikap Thai Liong membuatnya tergetar juga, di samping kagum. "Benar atau tidak benar aku tak pernah perduli, anak muda, sedangkan adikmu Beng An, ha-ha. Ia memang ada di sini, kami tangkap!"

Thai Liong terkejut. Untuk sejenak ia terpengaruh, tapi ketika ia tersenyum dan teringat cerita ayahnya, betapa Beng An lolos dan mengalahkan orang-orang Pulau Api ini maka tentu saja ia tak percaya dan menggeleng kepala. "Kau bohong, dustamu kelihatan. Kalau adikku dapat kau kalahkan tentu tak perlu kau jauh-jauh datang ke utara, ji-pangcu, mencari dan menyerang ayahku. Aku ingin tahu ia di mana dan jawabanmu rupanya memberi keterangan lain. Baiklah, kau boleh bohong dan aku tak percaya. Agaknya aku harus menyelidiki tempat ini dan sekarang aku ingin memasuki guha itu."

Tokoh Pulau Api ini tertegun. la menjadi semakin tak tenang oleh senyum dan ketenangan lawan. Hanya orang yang betul-betul percaya diri yang dapat seperti itu, tak takut oleh musuh. Maka ketika Thai Liong bicara menolak keterangannya dan terakhir pemuda itu hendak memasuki guha, diam-diam memberi isyarat kepada Siauw Lok yang ada di belakang pemuda itu tiba-tiba secepat kilat muridnya itu meloncat dan menghantam Thai Liong.

"Wut-dess!" Terdengar jerit dan teriakan pemuda itu. Siauw Lok, muridnya terlempar dan terbanting ketika dengan tenang tapi cepat Thai Liong menggerakkan tangan ke belakang. Bagai tak ada apa-apa dan tanpa menoleh si Rajawali Merah ini menangkis serangan lawan, tentu saja Thai Liong mendengar desir pukulan itu, apa lagi karena Giam-lui-ciang juga mengeluarkan hawa panas. Dan ketika ia menangkis dan sengaja memberi pelajaran, menolak dengan Khi-bal-sin-kangnya maka lawan terbanting dan murid Pulau Api itu mengaduh-aduh di sana!

Akan tetapi Bu Kok sudah membentak dan menyuruh murid-murid lain. Dia sendiri mundur dan ingin tahu kelihaian lawan, tak mau maju kalau murid-muridnya saja cukup bicara. Maka ketika Thai Liong diserang dari kiri kanan dan Rajawali Merah itu ditubruk dan dihujani serangan bertubi-tubi, tak mungkin selamat mendadak semua berteriak kaget karena tiba-tiba pemuda itu menghilang. Thai Liong mengeluarkan Beng-tau-sin-jinnya untuk berkelebat dan memasuki guha.

"Ji-pangcu aku sudah bicara. Maaf aku ingin memasuki guhamu dan mencari adikku!"

Bukan main kagetnya tokoh Pulau Api ini. Dia sendiri hanya melihat bayangan merah menyambar dan tahu-tahu lenyap. Para murid terbanting sendiri oleh pukulan yang menumbuk teman-teman. Namun ketika ia melihat beyangan merah itu memasuki guhanya dan benar saja lawan sudah lenyap di situ tiba-tiba tokoh Pulau Api ini memekik dan berkelebat menyambar. la tertampar mukanya bahwa di depan hidungnya pemuda itu masuk ke dalam guha.

"Bocah keparat, keluarlah!" Guha itu pendek dan tidak terlalu dalam. Thai Liong yang memang ingin menyelidiki adiknya sengaja mencari di sini, sengaja membuat ketua Pulau Api itu marah dan menyerangnya. Dan ketika benar saja dari luar menghembus hawa panas dari Giam-lui-ciang, tokoh Pulau Api itu menyerangnya maka Thai Liong membalik dan lagi-lagi mengeluarkan Khi-bal-sin-kangnya.

"Dess!" Sang ketua hanya terhuyung namun tidak terbanting. Bu Kok mengetahui pukulan itu dan tertegun. Thai Liong juga tertegun karena lawan tak begitu terpengaruh pukulan Bola Saktinya, tanda bahwa lawan memang cukup kuat. Akan tetapi ketika lawan membentak dan menyerang lagi, Thai Liong tak melihat apa-apa di situ kecuali seperangkat meja kursi akhirnya pemuda ini berkelebat dan keluar melewati bawah ketiak lawannya itu, berseru,

"Ji-pangcu, aku tak melihat adikku di sini, tempat ini sempit. Baiklah kita di luar saja dan mari main-main di sana... blaarr!"

Giam-lui-ciang menghantam dinding dan bola api menjilat di situ, hangus! Tokoh Pulau Api ini terkejut bukan main karena begitu cepatnya lawan lewat. Dengan lihai dan amat luar biasa Thai Liong menyelinap, menghindar pukulan dan keluar. Akan tetapi karena dari luar juga berhamburan murid-murid Pulau Api, mereka membentak dan berteriak-teriak akhirnya Thai Liong menggerakkan tangannya ke depan dan bagai ditiup angin raksasa puluhan murid-murid itu terdorong dan terhembus ke depan.

"Bresss!" Thai Liong sudah di luar sementara para murid itu menjerit tak keruan. Mereka tumpang-tindih dan pucat memandang si Rajawali Merah, Thai Liong telah berdiri dan tegak di situ, menunggu. Dan ketika bayangan ji-pangcu berkelebat menyusul dan laki-laki ini tentu saja merah padam, kemarahannya tak dapat dibendung lagi akhirnya laki-laki itu melengking dan menyerang Thai Liong dengan amat hebatnya. Tokoh Pulau Api ini telah mulai sembuh dari lukanya dan mereka juga baru saja berdatangan dari Lembah Es, setelah menelan kekelahan.

Akan tetapi Thai Liong memang ingin memberi pelajaran. Sikap kasar dan keras dari tokoh Pulau Api ini membuatnya tak senang. Diam-diam ia melirik ke manakah kiranya dua tokoh yang lain, karena ayahnya memberi tahu bahwa ada tiga orang pimpinan Pulau Api. Tapi ketika ia tak melihat mereka kecuali ji-pangcu dan murid-muridnya Thai Liong tak tahu bahwa yang lain ada di pulau lain tak jauh dari situ maka ia mengelak dan cepat menangkis ketika ketua Pulau Api itu membalik dan mengejarnya dengan pukulan bertubi-tubi.

"Des-plakk!" Thai Liong menambah tenaga dan Ji-pangcu terbanting. Laki-laki itu berteriak kaget karena telapak yang dingin menyambut pukulannya. Hawa panas Giam-lui-ciang teredam, persis sebongkah bara memasuki air dingin. Dan ketika ia bergulingan meloncat bangun dan terbelalak serta gentar, murid yang lain menerjang dan mengeroyok pemuda itu maka sejenak pimpinan Pulau Api ini berdiri tertegun dan memandang pucat.

Akan tetapi murid-murid Pulau Api menjerit dan berteriak. Mereka yang menubruk dan melepas pukulan dari kanan kiri diterima kibasan jubah Thai Liong. Bagai angin taufan jubah itu menggelebung dan meniupkan kekuatan dahsyat, tak satupun mampu menahan dan akibatnya murid-murid itu terlempar dan terbanting. Dan ketika Thai Liong memandang lawannya dan para murid berteriak kepada paman gurunya itu, Ji-pangcu dari Pulau Api ini malu dan gusar akhirnya ia memekik dan berkelebat lagi, menerjang, kalung rantai perak di lehernya dicopot dan diputar bergemuruh bagai badai di gurun pasir.

"Anak muda, jangan sombong, aku tak takut padamu!"

Thai Liong tersenyum, tenang. Ia mengelak dan menangkis dan lawan terpental, marah dan menerjang lagi dan meluruklah murid-murid lain mengeroyok Thai Liong. Dan ketika pemuda itu melihat betapa ji-pangcu ini membiarkan saja murid-murid mengeroyoknya, tanda tokoh Pulau Api ini tak segan melakukan kecurangan maka bergeraklah dia mengandalkan Jing-sian-eng, lenyap menghilang.

"Ji-pangcu, kau dan muridmu ternyata memang bukan orang baik-baik, kalian curang dan tak tahu malu. Baiklah aku melayani dan lihat kalian menerima pelajaran!"

Tiga murid menjerit dan berteriak. Mereka berada di samping Thai Liong ketika tiba-tiba pemuda itu mengibas, angin pukulan kuat menyambar dan tanpa ampun lagi mereka terbanting dan terguling-guling. Dan ketika pemuda itu lenyap berpindah ke tempat lain, mengibas dan mendorong akibatnya murid-murid Pulau Api berteriak dan terlempar bagai daun kering dihembus topan mengejutkan ji-pangcu dan licik serta cerdik sekali lelaki ini menjauh. Ia menyerang di kala Thai Liong menghadapi murid-muridnya.

Tapi ketika dari tubuh pemuda itu keluar tenaga tolak yang amat besar, tenaga Khi-bal-sin-kang yang pernah dirasakannya dari Pendekar Rambut Emas maka diam-diam lelaki ini kagum namun juga penasaran. la menggerakkan tangan kirinya dengan pukulan-pukulan Giam-lui-ciang, rantai di tangan kanan menderu di saat dipergunakan. Tapi ketika semua itu terpental dan tertolak pemuda ini, jubah Thai Liong juga mulai berkibaran bagai sayap rajawali akhirnya ketua Pulau Api ini memekik dan mengeluarkan Jit-cap-ji-poh-kunnya, Tujuh Puluh Dua Langkah Sakti!

"Sst-sstt!"

Thai Liong terkejut ketika terjadi perobahan ini. Jing-sian-engnya, Bayangan Seribu Dewa mendadak disusul dan dikejar langkah-langkah aneh dari pimpinan Pulau Api itu. Dan ketika lawan tahu-tahu sudah begitu dekat dan menusuk dahinya dengan tusukan api, itulah Hwe-ci (Jari Api) ciptaan Hwe-sin yang dicuri kelompok orang-orang licik ini maka rantai perak pun menderu dan menghantam kepalanya.

"Plak-plak!" Thai Liong tak sempat mengelak kecuali menangkis. Dalam saat seperti itu ia mengeluarkan Sin-tiauw-kangnya, membentak dan menangkis dua serangan itu dan berteriaklah ketua Pulau Api ini oleh kepretan jari dahsyat lawan. Hwe-ci terpental sementara telunjuknya tertekuk, nyeri dan seakan patah.

Dan ketika rantainya juga terpental dan balik menghantam dirinya, tak ampun lagi ji-pangcu ini melempar tubuh bergulingan maka selamatlah dia dari tangkisan itu karena saat itu muridnya yang lain menyerang dan menghantam Thai Liong. Laki-laki ini terbelalak. Ia telah meloncat bangun dan sempat mengejutkan lawannya.

Thai Liong memang terkejut oleh geraken Tujuh Puluh Dua Langkah Sakti itu, juga tusukan Hwe-ci yang panas dan amat berbahaya. Tapi ketika pemuda itu dapat mementalkan serangannya dan dia bahkan melempar tubuh bergulingan, ji-pangcu wakil ketua Pulau Api ini gusar sekali akhirnya ia memekik dan maju kembali, mencoba lagi langkah-langkah saktinya itu dan meli-hat lawan dibuat kaget.

"Keluarkan Jit-cap-ji-poh-kun. Keluarkan Hwe-ci dan selang-seling dengan Giam-lui-ciang!"

Para murid sadar. Di antara mereka tentu saja yang kepandaiannya paling tinggi adalah Siauw Lok, yakni pemuda berbaju kulit merah itu. Thai Liong tiga kali harus waspada oleh serangan pemuda ini, yakni Ketika menerima serangan lain dan secara licik lawannya itu membokong. Maka ketika sang pimpinan berseru seperti itu dan ia mengerti bahwa itulah kiranya Jit-cap-ji-poh-kun, hebat sekali ilmu itu maka para murid tiba-tiba mempergunakan langkah kaki itu dan Siauw Lok inilah yang paling cepat dan gesit.

Thai Liong mundur maka. Seperti ayahnya, Kim-mou-Eng muda ini berwatak welas asih dan lembut. Itulah sebabnya kenapa lawan-lawannya selalu dapat maju Iagi meskipun terlempar dan terbanting. Thai Liong selalu menjaga tenaganya. Tapi ketika Ji-pangcu Pulau Api itu berkelebat dan sikunya sampai ke bawah merah marong, pengerahan Giam-lui-ciang sudah mendekati puncaknya maka Thai Liong tak dapat bersikap lunak lagi dan langkah-langkah sakti yang dipergunakan lawannya mulai mengimbangi dan mengejar Jing-sian-eng, membuat ia membentak dan keluarlah Ang-tiauw Gin-kangnya yang hebat itu, ilmu meringankan tubuh rajawali Merah.

"Ji-pangcu , kau semakin tak tahu diri, baiklah, aku tak bersabar lagi dan hati-hatilah."

Bersaman dengan itu Thai Liong mengeluarkan Im-kang (Tenaga Dingin) Sin-tiauw-kangnya. Ilmu Silat Rajawali itu membuat tubuh pemuda ini beterbangan dan para murid berteriak. Maka kaki pemuda itu tak menyentuh tanah lagi. Inilah ilmu meringankan tubuh yang membuat Pendekar Rambut Emas sendiri kewalahan, kagum dan kalah dengan puteranya. Thai Liong mengeluarkan ini untuk menghadapi ilmu langkah sakti yang dikeluarkan orang-orang Pulau Api itu. Kalau saja ia tak dikeroyok dan menghadapi sekian banyak orang barangkali dengan Jing-sian-eng dan Cui-sian Gin-kang ia dapat menghadapi pimpinan Pulau Api itu.

Tapi karena lawan mengeluarkan ilmu aneh dan langkah itu amat hebatnya, menandingi dan sering mengejar ilmu meringankan tubuhnya akhirnya Sin-tiauw Ginkang atau Ginkang Rajawali Sakti ini yang dikeluarkan. Dan Thai Liong pun bagai bayangan rajawali yang menyambar-nyambar, naik turun tak menginjak tanah dan Ji-pangcu dari Pulau Api itu kaget bukan main. Pukulannya sering luput! Dan ketika Thai Liong menampar atau menyambut pukulan orang-orang Pulau Api itu, mendahului dan membuat mereka terpekik akhirnya satu demi satu murid-murid roboh dan ji-pangcu pun terpelanting!

Tak ada lain jalan bagi pimpinan Pulau Api ini untuk memanggil bantuan. Anak-anak murid di pantai dipanggil, bahkan bukan hanya itu melainkan juga memanggil suheng dan sutenya. Lengkingan dan pekik gentar tokoh Pulau Api ini memang mengejutkan semuanya. Tampak dari delapan penjuru perahu-perahu kecil bergerak dari cepat, yakni dari pulau-pulau sekitar di mana Tan-pangcu dan lain-lain berada. Mereka ini telah dihempas oleh kesaktian We We Moli termasuk dedengkot mereka, sepasang Hantu Hitam dan Putih, ketika mereka dikalahkan tokoh tertinggi Lembah Es itu.

Maka ketika Soat Eng dan Siang Le tiba di Sini melihat betapa kakak mereka berkelebatan menghajar orang-orang itu tak ayal lagi Soat Eng berseru keras dan girang menyerbu. "Liong-ko, beri aku bagian. Kita basmi orang-orang ini!" pedang bergerak dan robohlah seorang murid Pulau Api. Tanpa bi-bu lagi nyonya muda itu mendesingkan pedang, murid itu menjerit dan roboh dengan kepala putus.

Dan ketika ji-pangcu terkejut oleh datangnya dua orang muda ini, seorang wanita cantik dan pemuda yang buntung sebelah tangannya maka Bu Kok atau tokoh Pulau Api ini gentar dan pucat. la lupa bahwa đi situ masih terdapat keturunan Pendekar Rambut Emas, ia telah menerima laporan itu. Maka ketika Soat Eng membabatkan pedangnya dan Thai Liong terkejut oleh keganasan adiknya maka pemuda itu berseru bahwa tak perlu membunuh. Bu Kok pimpinan Pulau Api ini tiba-tiba memutar tubuh dan berkelebat melarikan diri.

"Eng-moi, jangan telengas. Jangan membunuh. Mereka hanya para murid dan cukup robohkan saja!"

"Keparat, untuk apa kasihan. Mereka ini iblis-iblis berkedok manusia, Liong-ko tidak dibunuh hanya mencelakai orang lain saja. Aku ingin membasmi, melenyapkan mereka. Lihat kubabat mereka dan mana pemimpinnya...crat!" sebuah kepala putus dan darah memuncrat deras. Soat Eng seperti ibunya kalau marah, ganas dan memang telengas. Dan karena darah Hu Beng Kui mengalir di tubuhnya sementara pedang itupun bergerak dalam jurus-jurus Giam-mo-kiam-sut alias IImu Pedang Maut maka tak ayal lagi pengeroyok Thai Liong cerai-berai.

Thai Liong terkejut tak melihat lawannya. "Ah, Ji-pangcu itu melarikan diri!"

"Mana dia! Berikan padaku!" Soat Eng melengking. "Mana jahanam yang kau maksud itu, Liong-ko. Berikan padaku dan biar kubabat kepalanya!"

Thai Liong tak menjawab pertanyaan adiknya ini. Ia tak melihat lagi ji-pangcu karena orang mempergunakan kesempatan selagi dirinya membelakangi dan menghajar murid-murid Pulau Api, memang tidak sampai menewaskan mereka namun kibasan atau tamparan Thai Liong membuat mereka patah-patah. Sebagian dari mereka pingsan, yang lain merintih dan mengaduh. Tapi karena di situ tak ada tempat bersembunyi dan hanya guha itulah yang dicurigai Thai Liong, cepat sekali pemuda ini melesat dan menuju ke dalam guha tiba-tiba saja ia melihat lawannya itu berkutat membuka sesuatu.

"Ji-pangcu, menyerahlah!"

Laki-laki ini terkejut. la memasuki guhanya dan menarik-narik sesuatu di dinding bagian dalam. Agaknya hendak membuka pintu rahasia! Dan tepat Thai Liong datang pintu itupun terbuka dan bunyi gemuruh disusul oleh ledakan bola api ke arah Thai Liong. "Terimalah!"

Thai Liong tak berani menerima. Dari bola api itu menyambar sinar-sinar hitam seakan jarum, pecah dan menyambarnya dari delapan penjuru dengan amat cepat. Dan ketika ia mengelak dan mengebutkan bajunya, bola apí membalik dan menyambar pimpinan Pulau Api maka terdengar jerit namun bersamaan dengan itu lelaki itu lenyap di dalam.

"Aduh!"

Kiranya jarum dan bola api mengenai punggung lelaki ini. Thai Liong terhalang asap dan lawanpun lenyap tak berbekas. Dan ketika ia tertegun dan mengumpat kecurangan itu, dinding guha merapat la-gi dan tak mungkin mencari tombolnya maka Siang Le berteriak di luar menyatakan adanya bahaya.

"Thai Liong, ke sini. Musuh datang amat banyak!"

Pemuda ini keluar dan terbelalak di depan. Soat Eng, yang tadi menghajar dan membabat sisa-sisa lawan tiba-tiba saja sudah dikeroyok puluhan orang mendekati seratus. Dari luar hutan terdengar teriakan dan pekik-pekik menyeramkan disusul bayangan-bayangan. Thai Liong berobah namun tiba-tiba melesat ke atas, ke pohon paling tinggi. Dan ketika dari situ ia dapat melihat ratusan orang-orang Pulau Api datang, puluhan perahu berderet dan berjajar di pantai maka sadarlah dia bahwa bahaya benar-benar datang. Dan saat itu Siang Le berteriak lagi penuh ngeri, isterinya mengamuk dan merobohkan lagi murid-murid Pulau Api.

"Thai Liong, tolong. Adikmu haus darah!"

Rajawali Merah bergerak melayang turun ke bawah. Tiga jeritan terdengar lagi dan pedang di tangan Soat Eng basah bersimbah darah. Beringas sekali adiknya itu membabat orang-orang Pulau Api. Maklum, Soat Eng teringat kematian ibunya. Dan ketika ia membentak dan mendorong orang-orang itu, melakukan pukulan jarak jauh maka ia berseru kepada adiknya agar tidak membuat banjir darah.

"Eng moi, orang-orang ini bukan musuh utama kita. Tahan pedangmu dan cukup lukai saja!"

Akan tetapi mana nyonya ini mau nurut. la melengking dan bahkan berkelebatan lebih cepat, lawan-lawan yang terdorong oleh pukulan kakaknya dikejar,pedang menusuk dan menikam lagi penuh benci. Namun ketika sebatang tongkat menyambar pedangnya dan bertemu nyaring, wanita itu terhuyung dan kaget sekali maka seorang laki-laki gagah, berjenggot kemerahan telah berdiri di situ dengan sepasang matanya yang berkilat-kilat, penuh marah.

"Hm, kau kiranya puteri Pendekar Rambut Emas, bagus, aku Tan-pangcu dan akulah yang bertanggung jawab!"

Soat Eng terbelalak. la kaget oleh benturan tadi namun tiba-tiba melengking dan menerjang laki-laki ini. la sudah menguasai dirinya lagi. Namun ketika dengan cepat Tan-pangcu mengelak dan menangkis lagi, dari samping maka hampir saja pedangnya mencelat dan terlepas dari tangan.

"Crangg!" Telapak lawan kemerah-merahan seperti dibakar. Soat Eng mundur dan pucat sekali, ia kesemutan ketika pedangnya tadi ditangkis. Hawa panas menyentuh pedangnya itu dan hampir ia menjerit. Dan ketika ia terbelalak dan tertegun, lawan berseru kagum karena ia masih dapat mempertahankan pedang maka laki-laki itu melangkah maju dan tahu-tahu langkah aneh yang amat luar biasa membuat dirinya begitu dekat dengan lawan dan Tan-pangcu itupun mencengkeram pundaknya. Siang Le dan kakaknya sedang menghadapi lawan-lawan lain karena murid atau orang-orang Pulau Api berdatangan, mengeroyok.

"Kau cukup lihai, namun kau akan roboh!"

Soat Eng terkejut dan mengelak, melengking namun lawan mengejar lagi, cepat, tahu-tahu berpindah di sebelah kirinya dan tangan yang lain menengkap. Tangan itupun sudah seperti dibakar, sekali kena tentu hangus. Dan ketika cepat ia menghindar namun terkejar juga, jari-jari itu demikian dekat dengan pundaknya maka ia membentak dan tangan kiri menghantam menyambut cengkeraman itu.

"Dess!'" dan Soat Eng terhuyung hampir roboh. Untunglah Siang Le tak jauh dari isterinya dan si buntung itu membentak mengeluarkan Tangan Karetnya, menjulur dan tahu-tahu menangkap bahu lawan. Lalu ketika ia mengangkat dan membanting namun berseru kaget, tubuh ini lain dengan tubuh murid-murid Pulau Api maka Tan pangcu membalik dan menampar pemuda itu.

"Plak!" Siang Le terhuyung dan berubah pucat. Nyata lawan benar-benar lihai dan Soat Engpun berseru khawatir. Ia girang suaminya membantu namun terkejut suaminya terhuyung. Maka ketika ia bergerak lagi. dan menusuk laki-laki itu, Tan-pangcu mengelak dan menangkis serta membalas maka langkah-langkah aneh itu mengejutkan Soat Eng karena dengan gesit dan lincah tokoh Pulau Api itu menghindar semua serangan untuk tahu-tahu membalas dan mencengkeram atau memukulnya!

"Keparat, dia lihai. Keluarkan Jing-sian-eng dan Cui-sian Gin-kang, Le-ko. Lindungi diri dengan Khi-bal-sin-kang!"

Soat Eng berkelebatan dan marah serta kagum. la selalu didahului lawan dan merasa kalah cepat, bukan oleh gerakan tubuh melainkan oleh gerakan kaki. Lawan mempergunakan langkah-langkah aneh yang menggeser-geser kakinya, cepat dan luar biasa hingga tahu-tahu sudah berpindah-pindah. Dan ketika Siang Le juga menjadi kagum namun juga marah, inilah lawan yang setimpal akhirnya ia membentak dan apa boleh buat mengeluarkan Jing-sian-eng dan Cui-sian Gin-kang untuk berkelebatan. Namun mata tajam Tan-pangcu melihat kelemahan pemuda ini, bagian kiri!

Tak aneh karena di situlah Siang Le kehilangan lengannya. Maka ketika ia bergerak dan selalu menyerang pemuda ini di bagian kiri, mengibas dan menampar semua serangan Soat Eng akhirnya pemuda inilah yang diteter dan didesak lebih dulu. Lawan yang lemah memang harus ditekan!

"Keparat, jahanam tak tahu malu. He.. kau tak berharga melawan orang cacad, pangcu. Akulah lawanmu dan jangan hadapi dia. Ayo, tekan dan desak aku!"

Soat Eng yang tahu ini tentu saja terkejut dan pucat. Iapun tahu kelemahan suaminya dan berteriak memaki-maki lawannya itu. Akan tetapi karena Tan-pangcu menghalau semua serangnnya dan langkah-langkah aneh itu membuat Tan-pangcu berpindah-pindah begitu cepatnya, itulah hebatnya Tujuh Puluh Dua Langkah Sakti maka Tan pangcu mendengus dan mengejek wanita ini.

"Bocah ingusan, tak usah berkaok-kaok. Kalau kau mau menyerahkan dirimu dan berlutut minta ampun maka si buntung ini takakan kutekan. Hayo,buang pedangmu dan menyerah!"

Pada saat itu berkelebat bayangan lain dari seorang pemuda tegap gagah. Ia berbaju hitam dan inilah Tan Bong, putera Tan-pangcu. Dan ketika pemuda ini datang dan langsung membantu ayahnya maka Soat Eng tentu saja terkejut dan pedangnya menangkis pukulan pemuda itu.

"Ayah, inikah keluarga Pendekar Rambut Emas. Jangan takut, aku membantumu!" namun ketika ia mengelak oleh serangan Soat Eng, pedang mendesing dan terus menuju lehernya maka pemuda itu membanting tubuh dengan kaget.

"Crat!" Tanah memuncratkan lelatu api ketika pedang menghajar. Hampir saja pemuda baju hitam itu tersambar dan segera Tan-pangcu berseru bahwa sebaiknya pe-muda itu membantu yang lain saja, di sana masih ada seorang lagi yang tampaknya membuat anak buah mereka menjerit dan berteriak. Dan ketika Tan Bong bergulingan meloncat bangun dan berubah, wanita itu ternyata ganas sekali akhirnya sang ayah mendorong dan menyuruh dia minggir.

"Sudahlah, kau ke sana dan mereka ini bagianku. Cepat bantu yang lain!"

Tan Bong mengangguk dan meloncat pergi. Ia terkejut dan marah namun sesungguhnya tidak gentar, justeru sebenarnya ia ingin mencoba dan melepas penasarannya lagi. Namun karena ayahnya sudah memerintahkan dan di sana bayangan merah berkelebatan menyambar-nyambar maka pemuda ini melompat dan Soat Eng serta Siang Le kembali dihadapi pimpinan Pulau Api ini, di mana sang pangcu selalu mendesak dan menekan si buntung yang memang lebih lemah dibanding Soat Eng.

"Kau di sisiku, jangan menjauh. Hadapi jahanam ini dari kiri kanan!"

Siang Le mengangguk dan susah payah mengelak serangan-serangan Tan-pangcu itu. la kewalahan oleh gerak kaki yang berpindah-pindah dengan amat cepat itu, juga oleh pukulan dan tusukan jari lawan yang mempergunakan Hwe-ci. Tan-pangcu masih belum mengeluarkan Giam-lui-ciang. Tapi ketika mereka berdua berhasil mendekatkan diri dan Soat Eng melindungi dan selalu menjaga suaminya ini, betapapun wanita itu cukup berbahaya menusuk dan menikam lawan di tempat- tempat lemah akhirnya sang pangcu membentak dan menggosok-gosok kedua telapak tangannya.

"Blarr!" bola api mengepul ketika didesak dan ditepuk. Sang pangcu telah siap dengan ilmunya yang dahsyat itu dan terkejutlah Soat Eng oleh hawa panas yang kuat. Hawa ini jauh lebih panas daripada ilmu yang dikeluarkan para murid. Dan ketika sang pangcu mulai mendorong dan melepaskan ilmunya itu kepada Suami isteri ini, Siang Le berteriak sementara Soat Eng melengking dan menyambut dengan Khi-bal-sin-kang ternyata wanita ini harus melempar tubuh bergulingan karena Khi-bal-sin-kangnya tak kuat menahan pukulan itu, tak kuat oleh hawa panas yang membakar!

"Dess!" Dua orang ini berpisah satu sama lain. Siang Le juga harus bergulingan menyelamatkan diri, meloncat dan melihat isterinya terbelalak di sana tapi lawan mengejar dan tertawa bergelak. Dengan langkah saktinya itu Tan-pangcu menekan si buntung lagi, Siang Le kewalahan dan isterinya pucat. Dan ketika dengan cara ini akhirnya sang pangcu mendesak dan memisahkan mereka berdua, Soat Eng memekik dan menerjang lagi ternyata hawa panas yang keluar dari tubuh ketua Pulau Api ltu semakin hebat hingga tak lama kemudian mereka tak dapat mendekat dalam jarak tiga meter!

"Ha-ha, sekarang lihat kepandaianku. Menyerah atau kalian roboh!"

Wanita ini pucat. Ia harus berkelebatan dan mengelak atau menangkis pukulan itu. Giam-lui-ciang meledak dan membakar tempat itu. Dan karena ia mengkhawatirkan suaminya karena memang harus diakui bahwa Siang Le ini masih lebih rendah dibanding isterinya maka perhatian Soat Eng terpecah dan wanita itu melengking-lengking, pedangnya mulai leleh dan bengkok, terbakar!

"Le-ko, sebaiknya kau minggir. Biarkan jahanam ini kuhadapi agar perhatianku tak pecah!"

Siang Le bingung. Ia tak tahan oleh hawa panas yang keluar dari tubuh lawannya itu dan diam-diam ngeri. Tubuh Tan-pangcu sudah merah membara bagai obor, memandang saja silau! Maka ketika dia maklum bahwa kedudukan mereka memang gawat, jauh lebih bebas kalau isterinya sendiri akhirnya Siang Le harus mengakui bahwa keberadaannya justeru membuat repot sang isteri, Soat Eng harus berkali-kali menjaga dan melindunginya. Tapi ketika dia juga bingung dan khawatir bagaimana isterinya sendirian saja menghadapi pimpinan Pulau Api ini mendadak terdengar kekeh dan munculah seorang laki-laki tinggi kurus berpakaian perlente, usianya empatpuluhan.

"Heh-heh, tamak sekali kau ini. Eh, biarkan yang seorang menghadapiku,Suheng. Masa kau sendiri yang main-main dan melayani mereka berdua. Biar yang betina itu milikku atau yang jantan pun boleh!"

Siang Le terkejut. Di belakangnya tahu-tahu muncul lawan yang lain yang matanya bersinar-sinar, tangan digosok-gosok dan mengepulah asap merah disusul bola api. Lalu ketika lawan membentak dan maju dengan kaki digeser mendadak "stt-stt", lawanpun telah berada di belakang tengkuknya dan telapak yang sudah memerah itu menepuk dengan amat cepat.

"Aiihhhh!" Siang Le mengelak dan melompat jauh. la disambar hawa panas dan terkejut, lawan mengejar dan tentu saja ia kaget. Dan ketika tak ada jalan lain kecuali menangkis maka ia terpelanting dan laki-laki itupun terkekeh mengejar lagi. Mereka berdua tahu-tahu telah mendapatkan lawan masing-masing.

"Heh-heh, yang ini juga boleh. Baik, ini saja, suheng. Kau wanita itu dan biar si buntung ini kurobohkan!"

Memekiklah Soat Eng oleh munculnya lawan baru ini. la tak tahu siapa itu namun mendengar Tan-pangcu dipanggil suheng tentu laki-laki perlente itu sang su-te (adik seperguruan). Memang benar karena inilah Kiat Lam, tokoh nomor tiga dalam kedudukan pangcu di Pulau Api, Sebelum Hantu Putih dan Hitam memegang kekuasaan di situ. Dan ketika ia melengking-lengking karena Tan-pangcu mencegat dan tak memperbolehkan mendekati suaminya akhirnya wanita ini menerjang dan menghadapi ketua Pulau Api itu dengan penuh kemarahan, pedangnya sudah dibuang karena bengkok dan tak dapat dipergunakan.

"Bagus, kau atau aku yang mati. Kiranya kau yang membunuh ibuku, Tan-pangcu, sekarang aku datang membalas dan kau atau aku roboh!"

Tan-pangcu mendengus dan menyambut terjangan itu. Sudah berkali-kali nyonya ini terpental atau terhuyung bertemu pukulannya, tak perlu ia takut. Tetapi ketika kali ini Soat Eng mengerahkan semua tenaga dan kemarahannya membangkitkan kekuatan amat besar ternyata ialah yang terhuyung sementara wanita itu terpental tapi berjungkir balik dan menyambarnya lagi. Ganas!

Soat Eng memang marah dan berniat mengadu jiwa, ia telah bertemu musuh-musuhnya. Namun karena Tan-pangcu itu bukan orang sembarangan dan hawa panas dari pukulannya membuat ia tak dapat terlalu dekat, peluh membasahi tubuhnya maka wanita ini berkelebatan sementara di sana Siang Le terdesak dan tampak kewalahan oleh lawannya yang baru itu. Soat Eng gelisah!

Namun untunglah, Thai Liong si Rajawali Merah melihat itu. Pemuda ini melihat datangnya Bu Kok namun tokoh yang sudah menghilang itu tak tampak batang hidungnya lagi. Ia heran dan tentu saja curiga, perasaannya mengatakan lain, ada bahaya yang lebih hebat lagi. Namun ketika yang mengeroyoknya hanya murid-murid Pulau Api, pemuda baju hitam yang kemudian datang termasuk paling hebat bersama Siauw Lok yang berbaju merah itu akhirnya Thai Liong mengeluarkan seruan keras dan tubuhnya yang berkelebatan bagai rajawali menyambar-nyambar disusul tamparan dan ketukan perlahan di tubuh murid-murid Pulau Api.

Mereka berteriak dan menjerit untuk selanjutnya roboh. Thai Liong membuat mereka pingsan, jumlah yang terus banyak harus cepat dikurangi. Dan ketika ia melihat datangnya tokoh nomor tiga yang kemudian mendesak Siang Le, di sana adiknya berjuang mati-matian menghadapi Tan-pangcu yang ternyata paling lihai akhirnya pemuda ini mengibaskan kedua lengan bajunya dan terhembuslah semua lawan yang terbanting dan menabrak pohon.

"Eng-moi, Siang Le, berikan mereka kepadaku. Kalian hadapi saja yang lain-lain ini dan mereka bagianku!"

Siang Le girang bukan main. Ia terdesak dan kewalahan ketika harus bertahan dari serangan-serangan si perlente ini. Hawa panas yang keluar dari tubuh laki-laki itu tak sehebat Tan-pangcu namun membuat napasnya sesak, peluh bercucuran. Maka ketika Thai Liong tiba-tiba menyambar dan pemuda itu meminta lawannya, Kiat Lam terkejut oleh bayangan bagai rajawali maka pukulannya yang ditangkis Thai Liong tiba-tiba amblas dan bertemu telapak yang dingin.

"Cesss!" Tokoh itu berteriak. Giam-lui-ciang, ilmu andalannya mendadak sirna dan lenyap begitu saja bertemu telapak pemuda jubah merah itu. la kaget dan berteriak dan kontan menarik tangannya, membanting tubuh bergulingan. Dan ketika ia pucat meloncat bangun, menggigil dan terbelalak di sana maka Thai Liong sudah berkelebat dan menangkis Tan-pangcu yang saat itu juga menyerang Soat Eng.

"Desss!" Tan-pangcu bergoyang dan terbelalak lebar. Tangannya yang merah marong diterima Rajawali Merah ini, bertemu telapak lunak lembut namun amat dingin bagai es Itulah Im-kang dari Tenaga Sakti Rajawali, Thai Liong mengeluarkan itu untuk mematahkan lawannya. Dan ketika hawa dingin itu memadamkan hawa panas dan Giam-lui-ciang lenyap seketika, lebur atau ambyar di tengahjalan maka tangan Tan-pangcu menjadi beku dan saat itulah dia berteriak dan menarik tangan serta melempar tubuh bergulingan.

"Aughh!" Tan-pangcu pucat dan meloncat bangun. la terbelalak dan kaget dan entah perasaan apalagi yang berkecamuk di dadanya. la menggigil dan marah sekali memandang pemuda itu. Tapi ketika Thai Liong tersenyum-senyum dan sudah saatnya mengambil alih pertempuran maka pemuda itu mendorong adiknya dan berseru melihat murid-murid yang mengepung lagi, gentar dan jerih menghadapi si Rajawali Merah ini namun takut kepada pimpinan mereka yang mendelik.

"Eng-moi, bantu suamimu menghadapi mereka-mereka itu, jangan membunuh, cukup lukai atau robohkan saja. Aku akan menghadapi dua orang ini dan kalian mundurlah!"

Soat Eng tersengal-sengal, matanya berapi, menyambar dan berhenti di depan Tan-pangcu itu. Tapi ketika kakaknya menepuk pundaknya dan menyuruh mundur, ia teringat suaminya maka Tan-pangcu membentak para murid agar tidak berdiam diri.

"Bunuh mereka, serang!"

Para murid menyerang lagi. Sekarang yang mereka hadapi adalah suami isteri ini, bukan si Rajawali Merah. Dan ketika Thai Liong membalik dan menghadapi tokoh-tokoh Pulau Api itu maka pemuda ini berkata dengan suara berat,

"Aku datang untuk mencari adikku Beng An, selain menghadapi kalian sebagai manusia-manusia curang yang tidak tahu malu. Nah, mana adikku itu dan di mana dia, pangcu. Katakan terus terang daripada aku mengobrak-abrik tempat ini."

Ketua Pulau Api itu mendesis. Kalau saja ia tak bergebrak dan kaget betapa Giam-lui-ciangnya luluh ditangkap pemuda ini barangkali dia tak akan menjawab dan menyerang lagi, tanpa banyak Cakap. Tapi karena dia sudah mendapat pelajaran dan píkiran bagus tiba-tiba muncul mendadak ia tertawa dan mengejek, "Anak muda, kau tampaknya hebat sekali. Kau jelas putera ayahmu Pendekar Rambut Emas, tapi aku tak tahu siapa namamu. Nah, katakan dulu dan nanti kuberi tahu di mana adikmu!"

"Aku Thai Liong...!"

"Bagus, kalau begitu agaknya kau yang berjuluk si Rajawali Merah itu. Pantas! Hm... adikmu dibawa penghuni Lembah Es, anak muda, mungkin sekarang dibunuh wanita-wanita itu. Aku bicara sebagai tokoh di sini dan kau boleh percaya atau tidak!"

"Di Lembah Es?" Thai Liong mengerutkan kening.

"Benar, di sana. Tadinya bersama kami sebagai tawanan tapi ditangkap penghuni Lembah Es itu. Kami baru saja pulang dari sana dan kau dapat mencarinya jauh ke utara, mengikuti bintang Permata yang mengantarmu sampai tujuan."

Thai Liong bersinar-sinar. Tentu saja ia tak cepat percaya akan keterangan ini tapi mata ketua Pulau Api itu bersungguh-sungguh. Namun karena ia melihat kejanggalan-kejanggalan yang tak dapat ditelannya begitu saja maka ia tersenyum mengejek, tertawa sinis. "Pangcu, keteranganmu tak masuk akal, adikku tak dapat kau kalahkan, mana mungkin menjadi tawanan kalian."

"Hmm, jangan sombong. Adikmu orang muda yang kurang pengalaman Rajawali Merah. Kepandaiannya boleh tinggi tapi tempat kami bukan pulau yang sembarang dimasuki lawan. Ia terjebak dan kami kurung, tertangkap. Lalu karena kami menyerbu Lembah Es maka ia kami bawa tapi tertinggal di sana, tertawan!"

Thai Liong mengerutkan alis. la mulai percaya kata-kata ini karena memang adiknya itu kadang-kadang berwatak sembrono. Orang-orang Pulau Api bukan orang baik-baik dan apa saja dapat dilakukan mereka, kecurangan di sini saja cukup memberikan bukti. Dan karena lawan bersungguh-sungguh tampaknya Tan-pangcu ini memang tidak berbohong maka pemuda itu mengerutkan alisnya dan berdebar.

Memang yang dikatakan Tan-pangcu ini benar, kecuali tentu saja pernyataannya bahwa Beng An dijebak. la tidak menceritakan sepasang supeknya yang lihai itu ketika menangkap Beng An, hal ini disembunyikan. Dan karena Beng An memang tertinggal di sana dan tiba-tiba Tan-pangcu ingin mengadu licik, ia melihat betapa lihainya pemuda ini maka timbul keinginannya agar pemuda ini datang ke Lembah Es!

Thai Liong tak dapat membaca pikirannya ini tapi ia percaya adiknya tak disitu. la tak melihat tanda-tanda Beng An di tempat ini, karena kalau tidak mungkin orang-orang Pulau Api ini mempergunakan adiknya sebagai sandera. Dan ketika ia menarik napas memandang lawan, Tan-pangcu rupanya ragu menghadapinya tiba-tiba terdengar lengkingan aneh yang menggetarkan pulau, disusul munculnya Bu Kok yang berkelebat dari dalam guha.

"Tan Siok, tangkap bocah itu untukku. Robohkan dia dan bawa kemari!"

Wajah Tan-pangcu berubah. Ia yang semula hendak mundur dan membiarkan pemuda itu meninggalkan pulau tiba-tiba tak jadi. Bayangan sutenya menyerukan tiga orang muda ini ditangkap. Dan ketika sutenya berhenti dan menuding di situ, Thai Liong terkejut oleh lengking tinggi yang dahsyat tadi maka ji-pangcu yang gemetar namun berseri-seri ini menunjuk mukanya.

"Suheng, supek menyuruh anak-anak ini đitangkap. Aku telah melspor. Nah, mari kita tangkap dan supek menjaga kita."

Tanpa takut atau gentar lagi laki-laki yang tadi melarikan diri ini sudah menyerang Thai Liong. Tan-pangcu dan sutenya nomor tiga tertegun namun mengangguk, berkelebat dan terdengar kekeh sayup-sayup sempai. Kekeh itu menggetarkan pulau dan Thai Liong merasakan betapa kuatnya pengaruh getaran suara tawa itu, beberapa murid terjungkal. Dan ketika adiknya dan Siang Le terpukul dan terhuyung di sana , untung tawa itu tak terdengar lagi maka bergeraklah tiga orang ini menyerangnya. Bu Kok bersama suheng dan sutenya tiba-tiba penuh semangat.

"Hm, siapa di sana itu. Kalian masih menyimpan sesepuh dan berani menyerangku? Bagus, mari main-main dan lihat siapa yang roboh, Tan-pangcu. Aku jadi ingin tahu kehebatan orang-orang Pulau Api secara keseluruhan!"

Thai Liong mengelak dan membalas dan hawa panas kembali menyambar. Langkah sakti Jit-cap-ji-poh-kun itu langsung dikeluarkan tapi Ang-tiauw Gin-kang menandingi. Thai Liong berdebar oleh tawa di luar pulau itu. Dan ketika ia berkelebatan dan menangkis orang-orang ini, Ji-pangcu terpental dan menjerit maka Tan-pangcu serta Ji-sutenya juga berseru tertahan dan terdorong mundur, maju dan menyerang lagi sementara Thai Llong mulai berhati-hati memasang kewaspadaan terhadap seseoang di luar. Kiranya itulah bahaya tadi, firasat yang dirasakan ketika ji-pangcu ini lenyap dan lolos di dalam guha. Dan ketika ia bergerak dan membalas serta meledakken ujung jubahnya maka hawa Im-kang menghapus dan membuyarkan pengaruh Giam-lui-ciang.

"Des-plak!" Tiga oreng itu terbelalak. Mereka terhuyung dan maju Iagi namun sedikit pucat. Thai Liong berkelebatan menandingi langkah sakti mereka. Dan karena pemuda itu tak menginjak tanah lagi bagai rajawali menyambar-nyambar, tamparan lengannya semakin dingin sementara ujung jubah itu juga meledak mementalkan semua serangan mereka akhirnya Tan-pangcu mencabut tongkat dan memekik serta menerjang marah, disusul sutenya yang juga tak mau kalah.

Akan tetapi Thai Liong benar-benar mengagetkan tokoh-tokoh Pulau Api ini. Senjata mereka yang menyambar naik turun ditangkap dan diterima, sekali remas malah hancur. Dan ketika pukulan pemuda itu membuat mereka menggigil kedinginan, ini mengingatkan mereka akan Ping-im-kang yang dimiliki Beng An maka ketiganya berseru keras dan terkejut sekali. Dikeroyok tigapun mereka yang kewalahan.

"Bocah ini iblis, dia lebih hebat dari-pada adiknya. Ah, agaknya harus kita bawa ke Pulau Karang, suheng. Biar supek yang menangani!"

"Jangan dulu, kita bertahan sekuatnya. Biarkan ia terkuras tenaganya, Sute. Mungkin dapat dirobohkan!"

"Benar, kita berputar-putar, buat ia bingung Ayo serang berganti-ganti arah dan keluarkan semua kepandaian kita!"

Namun Thai Liong tenang dan tidak menjawab semua kata-kata itu. la melihat bayangan seseorang di puncak bukit, lenyap dan membuatnya curiga. Dan ketika tiga orang itu berusaha keras untuk merobohkan dan mengalahkan dirinya, ia tersenyum dingin maka Thai Liong memperlihatkan kesaktiannya dengan membiarkan pukulan-pukulan lawan mengenai tubuhnya.

"Bak-bik-bukk!" Tongkat dan semua mental. Thai Liong malah membiarkan pula Giam-lui-ciang di tangan kiri lawan menghantam, entah mengenai punggung atau lehernya tapi ketiga lawan berteriak karena pukulan mereka mengenai kulit tubuh yang dingin hingga tangan mereka kesakitan. Giam-lui-ciang seakan bertemu bongkahan es dan hancur di situ, tangan merekapun seketika beku dan putih. Dan ketika Tan-pangcu dan dua adiknya itu terbelalak dan gentar, hanya karena supeknya ada disitu membuat mereka tak perlu mundur maka ketiganya maju lagi namun Thai Liong tiba-tiba mengeluarkan bentakan keras dan mengangkat tangan mendorong ke arah tiga lawannya.

"Pergilah!" Bagai ditiup mulut raksasa tiba-tiba tiga orang ini berteriak. Tubuh mereka bagaikan daun kering yang begitu tak berdaya didorong kedua lengan pemuda ini. Hawa dingin meniup dan padamlah kekuatan Giam-lui-ciang di tubuh. Dan ketika ketiganya terangkat dan terbang ke atas bukit, di situlah Thai Liong tadi mellhat bayangan seseorang maka Tan-pangcu dan duą sutenya ngeri dilontar tenaga raksasa itu.

"Mati aku...!"

"Supek, tolong...!"

Ketiganya menjerit dan minta tolong. Murid-murid yang melihat tiba-tiba berseru keras. Di pulau itu ada bukit yang siap menerima pimpinan mereka, sekali kena tentu hancur! Dan ketika yang lain menghentikan pertempuran dan Siang Le maupun Soat Eng berhenti mengamuk maka di puncak bukit tiba-tiba Derkelebat sesosok bayangan hitam yeng cepat luar biasa , menangkap atau menerima tubuh tiga orang ini.

"Ha-ha, mentakjubkan. Tapi kalian masih selamat!"

"Wutt...!" Thai Liong berkelebat dan tiba-tiba menghilang. Cukup bagi pemuda ini bahwa dugaannya benar, di bukit itu ada seorang kakek yang hebat kepandaiannya. Dan ketika ia melesat dan menyusul tiga orang yang dilempar ini, Thai Liong sudah berhadapan dengan seorang renta berkulit hitam kehijau-hijauan maka kakek itu terbahak tapi kagum Memandangnya.

"Ha-hah-he-heh! Kau luar biasa, anak muda, lebih hebat dari adikmu. Ah, siapa namamu dan benarkah kau keturunan Pendekar Rambut Emas!"

Thai Liong memperhatikan kakek ini dengan mata tajam. Sinar matanya yang mencorong dan penuh tenaga sakti tak main-main lagi. Dari gerak ketika melesat dan menangkap tokoh-tokoh Pulau Api ini şegera dia tahu bahwa kakek di depannya ini dua tingkat di atas Tan-pangcu. Mata cekung di balik dahi lebar itu mengeluarkan sesuatu yang dingin, ganas dan menyeramkan. Tapi karena Thai Liong maklum bahwa inilah kiranya supek dari pimpinan Pulau Api itu, jelas angkatan tua maka dia mengerahkan tenaganya ketika menjawab.

"Locianpwe siapa gerangan, tak pernah aku mendengar. Aku Thai Liong benar putera ayahku Kim-mou-eng, datang mencari adikku Beng An selain menghajar orang-orang ini yang sesat sepak terjangnya!"

"Ha-ha, sombong, tapi hebat! Uwah, aku dedengkot Pulau Api, anak muda, keturunan nenek moyang kami Han Sun Kwi, dewa sesembahan kami. Heh, kau sombong menerima dan ingin menghancurkan pukulan murid-muridku, tapi ketahuilah bahwa mereka belum mencapai puncak dalam belajar. Lihatlah, akulah contohnya... klap!"

Sang kakek memamerkan kesaktian dengan mendorongan tangan kekiri. Bola api melesat dan menghantam puncak bukit. Lalu ketika terdengar suara menggelegar dan bukit itu runtuh, batu berguguran disusul suara gemuruh maka Tan-pangcu dan dua sutenya menyurut mundur dan mengejek kepada Thai Liong, seolah menyatakan pemuda itu ketemu batunya.

"Hm, benar, pukulanmu lebih sempurna. Tapi merusak adalah perbuatan jahat, orang tua. Biar kukembalikan bentuk bukit itu dan aku yang memperbaiki...wuut!" Thai Liong tak mau kalah dan balas memamerkan kesaktiannya. la mengebut dengan ujung jubahnya dan cahaya putih berkilau, menyambar dan mengangkat naik batu-batu yang berguguran ke tempat semula.

Dan ketika kakek itu terbelalak karena puncak bukit utuh kembali, secuwil pun tak ada yang rusak tiba-tiba kakek ini melengking dan suaranya yang dahsyat membuat Tan-pangcu dan sutenya terjungkal. "Heh, ini tempatku. Kurusak atau tidak apa perdulimu. Jangan kurang ajar dan sombong kepadaku, anak muda. Bukit itu akan kuhancurkan!" sinar merah menyambar dan bukit roboh kembali. Batu-batu berguguran.

Namun Thai Liong membentak di sana, mengangkat tangannya lagi dan batu-batu melayang ke atas, menempel dan utuh lagi. Dan ketika kakek itu marah karena empat kali ia ditampar maka tiba-tiba kedua tangannya mendorong dan pukulan merahnya menyambar Thai Liong.

"Blaarrrr!" Thai Liong menangkis dan cepat menggerakkan kedua tangannya pula. Giam-lui-Ciang yang amat dahsyat menggempur tanpa aba-aba lagi, ia pun mengerahkan Im-kang dari Sin-tiauw-kangnya. Dan ketika pukulan Rajawali Sakti itu membentur pukulan merah yang amat dahsyat, maka kakek itu bergoyang-goyang sementara Thai Liong masih tegak berdiri, meskipun mukanya sedikit merah....!