Putri Es Jilid 23 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

"AUGHHHH...!" Teriakan atau gema dahsyat itu menggetarkan bumi. Beng An yang telah menggigit dan menghisap leher lawan menyedot kuat-kuat. Darah bagai membanjir ke mulutnya. Tapi ketika lawan terbeliak dan roboh menggeliat, asap hitam keluar dari lubang telinga maka pemuda itu terkejut karena roh Poan-jin-poan-kwi tak memasuki botolnya. Dua kakek licik itu lolos lewat telinga.

"Keparat!" Beng An melepaskan lawan membentak kakek itu. Toa-yo-cu sendiri sudah roboh dan tewas dan pembantu Lim-taijin itu tak bergerak-gerak lagi. Ia menjadi korban dari kemarahan Beng An.

Tapi karena Beng An gagal memasukkan roh itu ke dalam botol, dua kakek iblis itu melarikan diri lewat lubang telinga maka pemuda ini meloncat dan dua asap hitam itu tiba-tiba memencar, satu ke kiri satu ke kanan. Hal ini membuat Beng An tertegun karena ia dipaksa memilih, mengejar yang kanan atau yang kiri. Namun ketika ia menggigit bibir mengejar yang kiri, asap yang lain lolos dan lenyap maka pemuda itu membentak melempar caping bambunya.

"Kakek jahanam, siapapun adanya kau namun kali ini harus roboh di tanganku. Berhenti dan jangan harap mendapat ampun!"

Caping itu menyambar dan mencegat jalan lari si asap hitam. ltu adalah roh satu di antara Poan-jin-poan-kwi kakak beradik, entah Poan-jin atau Poan-kwi. Dan ketika dengan tenaga putarnya Beng An membuat caping menakup, si asap terkejut dan bergerak mengelak maka Beng An menggerakkan botol di tangan kirinya menyambar asap itu.

"Masuklah...!"

Roh ini terkejut. Jelas ia menghindar namun tutup botol memapaknya, tepat dan tanpa ampun lagi ia amblas di botol arak itu. Dan ketika dengan cepat Beng An menutup botolnya, terdengar suara aneh seperti tikus mencicit maka pemuda itu menangkap atau menjebloskan musuhnya ini ke dalam botol. Persis Aladin dengan botol ajaibnya.

"Nah, rasakan kau!" Beng An melepas geram menyumbat botol itu, erat-erat. "Kau tak dapat ke mana-mana lagi, kakek jahat. Sekarang tinggal saudaramu dan kubuat kalian tak dapat berkutik lagi seumur hidup!"

Botol berguncang namun Beng An menyimpannya di saku, la tak tahu apakah tangkapannya itu Poan-jin atau Poan-kwi. Namun karena satu di antara dua roh jahat itu telah disimpan, sekarang ia tinggal mencari yang lain mendadak terdengar jerit di dalam kota. Suara Wei Ling!

"Aiihhhhh...!" Hanya telinga Beng An yang mampu menangkap itu. Pemuda ini memutar tubuh dan tiba tiba kembali, terbang memasuki Ih-yang. Dan ketika ia berkelebat dan menuju asal suara, pintu gerbang dilewati bagai siluman saja maka di timur kota, di dekat sebuah gedung besar kekasihnya itu sedang bertanding dengan Ji-yo-cu. Kakek yang kini tampak gagah dan perkasa!

"Ha ha, kau tak dapat membunuh aku. Ayo, kejar dan serang aku lagi, anak manis. Atau habiskan tenagamu dan menyerah baik-baik...des-dess!"

Wei Ling terhuyung dan membeliakkan mata karena Bu-kek-kangnya yang dingin itu tak mampu merobohkan lawan. Ji-yo-cu yang tadinya terhuyung-huyung dan jatuh bangun itu mendadak sekarang kuat sekali. Bu-kek-kangnya disambut dan ia terpental. Dan ketika ia menjerit dan melengking, saat itulah Beng An berkelebat maka pemuda ini maklum bahwa itulah roh jahat Poan-jin-poan-kwi yang telah memasuki tubuh Ji-yo-Cu. Saudara dari roh di dalam botol itu ada di sini.

"Moi-moi, minggirlah. Ini bagianku dan biar kuhadapi!" Beng An tak mau menunggu lama-lama lagi dan melesat ke depan. la maklum bahwa kekasihnya tak banyak berhasil. Hanya dialah yang mampu karena kakek-kakek jahat itu bekas gurunya. Maka ketika Wei Ling terhuyung didorong mundur, gadis ini pucat dan jatuh terduduk maka Beng An berkelebat dan menampar lawannya itu, mengerahkan Ping-im-kang.

"Plak-plak!" Dua kali tamparan mengenai pundak. Akan tetapi ketika Ji-yo-cu hanya terhuyung dan melotot marah, Beng An terbelalak maka pemuda itu berkelebat lagi menyerang marah, kali ini memperlihatkan giginya menerkam leher. Hanya itu kelemahan Bu-siang-sin-kang.

"Kakek iblis, bersiap dan robohlah kau. Hanya aku yang tahu kelemahanmu!"

Lawan pucat. Melihat Beng An memperlihatkan giginya dan serangan ditujukan ke leher, pemuda itu siap menggigit dan menghancurkan Bu-siang-sin-kang maka kakek itu meloncat dan mengelak. Ia membentak marah namun Beng An mengejar. Ke manapun lari tetap juga diburu. Dan ketika ia menghantam namun Beng An menangkis, jari bergerak dan menangkap ujung baju maka secepat itu Beng An tak menyia-nyiakan kesempatan dan... bress, dua-duanya terguling jatuh dan Beng An meraih leher untuk menggigit daerah lemah itu.

"Keparat, aughhh..." Si kakek meronta namun gigi Beng An telah menancap di sini.

Beng An menerima pukulan namun mengerahkan sin-kang, menggigit dan terus menghisap sampai terdengarlah raung mengerikan yang panjang. Dan ketika kakek itu bergulingan dan meronta menendang-nendang, tetap digigit dan tak dilepaskan lehernya maka Wei Ling tertegun melihat kekasihnya itu seperti orang kesetanan tak mau sudah menghisap dan menancapkan gigi seperti lintah sampai akhirnya kakek itu tak bergerak lagi. Beng An tak melepaskan lawan sampai rohnya keluar. Namun ketika asap hitam itu benar-benar keluar, lagi-lagi melalui lubang telinga maka Beng An terkejut ingat botolnya. Tak mungkin mempergunakan botol yang sudah terisi karena kakek di dalam itu bakal keluar.

"Wei Ling, carikan botol baru...!"

Gadis itu terkejut. Beng An berteriak sambil menubruk asap hitam yang keluar dari lubang telinga Ji-yo-cu itu. Kakek itu akhirnya tewas. Tapi ketika ia tak tahu di mana harus mencari botol, asap itu bergerak dan lenyap melalui bangunan dan pohon-pohon besar maka Beng An meledakkan kedua tangannya dan lenyap pula.

"Beng An!" Gadis ini semakin terkejut saja. la telah bertempur dengan Ji-yo-cu ini dan hampir menangkap ketika tiba-tiba sesuatu melesat di telinga kakek itu. la tak tahu bahwa itulah roh jahat Poan-jin-poan kwi, satu di antara dua asap hitam yang lolos ditangkap Beng An. Dan ketika kakek itu tiba-tiba menjadi lihai, menangkis dan menolak Bu-kek-kangnya maka Wei Ling menjadi kaget sampai akhirnya lengkingannya terdengar Beng An. la telah menemukan lawannya itu di gedung Lim-taijin, pengawal dan pembantu pembesar itu datang.

Tapi ketika dengan mudah ia menghalau orang-orang itu, mengejar dan tetap memburu lawannya maka Ji-yo-cu tak dapat menghindar dan apa boleh buat menghadapi gadis ini lagi, jatuh bangun sampai tiba-tiba muncul roh jahat Poan-jin-poan-kwi itu. la terpekik ketika pukulan-pukulan Bu-kek-kangnya terpental. Tapi ketika Beng An datang dan merobohkan kakek iní, Ji-yo-cu akhirnya tewas maka Wei Ling tertegun menerima perintah itu. Di mana ia harus mencari botol dan untuk apa?

Kalau Beng An mau menunggu sebentar tentu ia dapat mencari. Akan tetapi tidak, Beng An malah lenyap. Dan ketika ia termangu-mangu dan bingung serta heran mendadak terdengar bentakan-bentakan nyaring dan muncullah di kiri kanannya ratusan orang-orang berseragam yang bukan lain pasukan keamanan kota, bersenjata dan mengepungnya dari delapan penjuru.

"Ia membunuh Komandan Utama. Tangkap, gadis ini siluman!"

Wei Ling bergerak. la sudah diserang dan panah serta tombak menyambar dirinya. Dari mana-mana pasukan besar itu membentaknya, Tapi ketíka ia memutar ujung lengan baju dan tombak serta panah patah-patah, yang maju tiba-tíba tertahan dan pucat maka bayangan Beng An berkelebat menyambar dan pemuda itu tiba-tiba menarik tangannya.

"Pergi, kita gagal. Kakek itu lenyap"

Wei Ling girang. Sesungguhnya ia tak senang sendirian di situ, kini kekasihnya muncul dan tentu saja ia menjadi gembira. Dan ketika Beng An berkelebat ke depan dan lengan mengibas ke kiri kanan, orang-orang itu terpaku maka mereka mencelat dan terbanting berteriak. Mereka ini kaget dan melongo betapa tiba-tiba Beng An muncul di situ. Pemuda ini tadinya berujud asap putih, pecah dan muncul dari dalam dan saat itulah ia menyambar kekasihnya.

Sesungguhnya orang-orang itu juga kagum memandang Wei Ling, gadis yang luar biasa cantik tapi di anggap sebagai iblis betina yang membunuh pembantu utama Lim-taijin. Maka ketika Beng An tiba-tiba muncul dan mengibas mereka, tak ayal lagi mereka terpelanting dan berteriak maka Beng An bebas melompat dan membawa kekasihnya pergi.

Tak sukar bagi pemuda itu meninggalkan lawan-lawannya karena sekejap kemudian ia sudah menghilang. Dan ketika pemuda itu lenyap sementara musuh berteriak-teriak, Wei Ling meremas jari kekasihnya ini maka di luar lh-yang di dekat sebuah hutan Beng An berhenti dan melempar tubuh di bawah sebatang pohon rindang.

"Celaka, bahaya buruk. Kakek itu lolos seorang, Wei Ling, kita harus selalu waspada. Ah, tak kusangka ia muncul di sini dan hampir mencelakai kita!"

"Siapa dia itu, aku kok bingung. Apa yang terjadi dan bagaimana asal mulanya Beng An, siapa yang kau maksud dan iblis macam apa yang memasuki tubuh Ji-yo-Cu dan kakaknya itu!"

"la kemasukan roh jahat bekas guruku. Ji-yo-cu dan kakaknya ahli tapa yang tekun. Ah, tak kusangka bekas guru-guruku masih gentayangan di sini moi-moi, dan hanya satu yang berhasil kutangkap. Aku tak tahu apakah ia guruku nomor satu atau dua!"

"Hm, nanti dulu. Aku kok bingung, juga ngeri. Dulu kau katakan bahwa gurumu adalah Bu-beng Sian-su si kakek dewa, Beng An. bagaimana sekarang tiba-tiba ada guru lain sejahat itu. Masa kau menjadi murid seorang kakek iblis!"

"Ceritanya panjang, kebetulan belum kuceritakan. Nah, ketahuilah bahwa sewaktu kecilku dulu aku diculik oleh sepasang dedengkot hitam bernama Poan-jin-poan-kwi ini, kakek iblis berbahaya yang kesaktiannya tinggi. Dan karena waktu itu San Tek juga diambil murid dan dikuasai kakek-kakek ini maka kami berdua menelan semua kemauannya sampai akhirnya aku dibebaskan kakakku Thai Liong!"

"Thai Liong? Putera ayahmu yang lain?"

"Ya, ia berjuluk si Rajawali Merah, moi-moi, dan isterinya telah kau kenal. Itulah enci Shintala yang dulu katanya datang bersama ayah dan keponakan-keponakanku!"

"Oh, wanita cantik dan lihai itu? la isteri kakakmu Thai Liong?"

"Benar, tapi sayang aku tak tahu. Aku sedang dalam perjalanan dan ditawan orang-orang Pulau Api itu. Aku tak tahu bahwa mereka datang. Tapi baiklah kita kembali ke Poan-jin-poan-kwi ini karena roh mereka yang jahat masih gentayangan di dunia. Lihat aku menangkap satu di antara mereka!"

Beng An mengeluarkan botol araknya dan Puteri Es itu tiba-tiba terkejut. Segumpal asap hitam berkeliaran di dalam, samar-samar tampak wajah seorang kakek yang buruk, tua dan bengis namun wajah itu hilang lagi dalam bentuk kabut. Sang Puteri tergetar sepintas beradu pandang dengan sepasang mata merah menyala, jahat dan keji, mundur, dan terkejut. Tapi ketika Beng An menyimpan lagi botol itu, Wei Ling berdebar penuh ngeri maka pemuda itu berkata kepadanya bahwa kakek jahat di dalam botol itu adalah satu di antara dua kakek jahat yang ditangkap.

"Aku tak tahu yang ini Poan-jin ataukah Poan-kwi, tapi rohnya telah kusekap. Menurut ilmu hitam yang pernah kuingat mereka ini tak akan lenyap dari muka bumi, moi-moi, selalu ada dan akan mengganggu siapa saja. Hanya dengan menyekap atau menyimpan rohnya di dalam botol maka mereka tak dapat ke mana-mana, Tapi satu di antara mereka masih di luar, lolos. lni menjadi tanggung jawabku untuk menangkap dan menjebloskan yang satu itu. Dunia bisa geger kalau roh dari kakek-kakek jahat ini tak diamankan."

"Jadi karena itu kau memintaku sebuah botol?" gadis itu terbelalak.

"Ya, tapi terlambat. Seharusnya aku menyiapkannya lebih dulu dan kakek itu lolos. Aku tak berani membuka botol ini karena yang di dalam tentu keluar!"

"Hm-hm, di daratan Tiongkok ternyata banyak orang-orang lihai, sakti. Kukira hanya kami dan orang-orang Pulau api yang paling hebat, Beng An, tak tahunya di luar sini juga ada yang hebat-hebat. Mengagumkan, tapi juga mengerikan. Coba bagaimana kau akhirnya selamat dan kakek itu terbunuh!"

"Hm, ini berkat kakakku Thai Liong, juga kakakku Siang Le. Tapi yang belakangan ini yang paling berjasa karena tanpa dia tak mungkin aku sembuh!"

"Siapa itu Siang Le."

"Kakak iparku yang menjadi suami enciku Soat Eng. Dia ini pemuda suci yang berkat darahnya menyembuhkan aku dari pengaruh jahat Poan-jin-poan-kwi."

Wei Ling tertegun. Bicara sampai di sini tíba-tiba Beng An bersinar-sinar, sikapnya penuh kagum dan tentu saja dia tertarik, Keluarga Pendekar Rambut Emas ini ternyata bukan orang-orang sembarangan. Tapi belum dia bertanya ternyata kekasihnya itu sudah melanjutkan menggenggam tangannya.

"Hmm, kakak iparku yang satu ini benar-benar orang suci, Ling-moi, darahnya demikian bersih hingga mampu menangkal semua pengaruh ilmu hitam. Berkat darahnya inilah aku bebas dari kekuatan Poan-jin-poan-kwi. Aku benar-benar berhutang budi dan jiwa kepadanya!"

"Coba ceritakan tentang itu, bagaimana keluarga kakak iparmu itu."

"Mereka hidup behagia selalu."

"Bukan, bukan itu. Yang ingin kutanyakan adalah kakak iparmu itu. Kalau ia memiliki darah yang suci tentu orang tua atau gurunya sebangsa pendeta!"

“Sama sekali bukan!” Beng An menggeleng, hampir tertawa bergelak. Justeru ini yang mengagumkan, moi-moi. Guru kakakku itu justeru orang jahat, Mo-ong."

"Mo-ong (Raja lblis)? Kau tidak main-main?"

"Ya tidak main-main. Inilah yang mengagumkan hatiku, Ling-moi. Kakakku yang satu itu memang istimewa, ibarat ikan di air laut!"

"Hm bagaimana itu. Kau membuat aku bingung saja, dan heran behwa kau dan orang-orang di keluargamu itu bergaul dengan orang-orang jahat saja!"

"Jangan salah paham," Beng An cepat memberi tahu. Semua ini keadaan di luar kehendak kami, mo-moi. Baik aku maupun kakakku Siang Le itu dipaksa keadaan untuk berdekatan dengan mereka-mereka yang jahat itu. Aku diculik Poan-jin-poan-kwi sementara kakakku Siang Le sejak kecíl diambil murid dan diselamatkan hidupnya semasa menggelandang. Kami bukan sengaja untuk berteman dengan orang-orang jahat."

"Hm, aku percaya. Lalu?"

"Lalu terjadi semua peristiwa itu, kisah kami. Kakakku Siang Le justeru dimusuhi gurunya hingga hampir dibunuh. la tak mau melakukan kejahatan-kejahatan seperti gurunya, ia bahkan menentang!"

"Aneh juga," puteri ini merasa heran. "Guru jahat muridnya biasanya juga jahat Beng An, seperti orang-orang Pulau Api dan keturunannya itu."

"Benar, karena itulah kakakku ini benar-benar istimewa. la diibaratkan ikan oleh Sian-su, ikan di air laut!"

"Bagaimana itu, aku tak mengerti."

"Hm, aku teringat cerita ini. Kau tahu rasanya air laut?"

"Tentu saja, asin,"

"Bagus, dan ikannya?"

"Ikannya?" sang Puteri tertegun. "Apa maksudmu, Beng An, aku belum paham."

"Belum paham? Kau tadi bilang sendiri bahwa kalau sang guru jahat biasanya sang muridpun jahat. Nah, Mo-ong dan kakakku Siang Le itu seperti laut dengan ikannya. Mo-ong boleh jahat tapi muridnya tidak. Inilah yang istimewa pada kakak iparku itu, tak heran kalau ia memiliki darah yang suci. Enciku Soat Eng sungguh beruntung mendapatkan suami seperti itu!"

Gadis iní tertegun. la mula-mula tak mengerti benar tapi ketika otaknya bekerja mendadak iapun tersentak kagum. Adakah manusia seperti itu? Benarkah yang dikata kekasihnya ini? Tapi ketika ia belum bertanya pemuda itupun mengacungkan jempol.

"Lihat perumpamaan yang dikatakan Sian-su ini. Air boleh asin tapi ikannya tidak, moi-moi. Gurunya boleh jahat tapi kakakku bersih. Sekali kau bertemu selamanya kau bakal terkesan. Ha-ha aku tak memuji berlebihan, dan rupanya darahnya yang bersih itu benar-benar telah melenyapkan pengaruh buruk dari Poan-jin-poan-kwi. Aku selamat dan hidup sampai saat ini!"

"Hm, kau menyebut-nyebut Sian-su, kakek dewa itu. Di manakah gurumu itu tinggal dan bisakah suatu saat aku bertemu dengannya? Nenek moyangku juga memuji-muji kakek ini, Beng An, dan aku penasaran untuk bertemu, juga kakak iparmu itu!"

"Sian-su tak dapat ditemui jejaknya, ia hanya muncul kalau ia mau, Tapi kakakku Siang Le dapat kau temui, moi-moi. Dan lihat bahwa ia benar-benar seorang pemuda yang bersih lahir batin."

"Kalau begitu dua anak perempuan itu...?"

"Benar, ia keponakanku Siang Hwa dan Siang Lan. Mereka itulah puteri enciku Soat Eng dan Siang Le!"

"Hm-hm, pantas, dan mereka amat pemberani. Dimanakah mereka tinggal?"

"Sam-liong-to, Pulau Tiga Naga. Mereka di sana di Istana Hantu, moi-moi. Tempat itu menjadi tempat tinggal mereka setelah enciku menikah!"

Gadis ini mengangguk-angguk. Kini ia mulai mengerti dan kagum, tentu saja mengenal dua anak perempuan itu, juga Bun Tiong, yang ternyata putera dari si Rajawali Merah Thai Liong. Dan ketika ia bersinar-sinar dan Beng An dipandangnya kagum, pemuda inipun bukan pemuda sembarangan dan dialah satu-satunya yang berhasil memasuki Lembeh Es maka gadis itu mengangguk-angguk dan menarik napas dalam.

"Kakak dan saudara-saudaramu itu memang orang-orang luar biasa, Beng An, dan aku telah melihat kepandaian ayahmu pula, Entahlah kalau kakakmu Thai Liong."

"la lebih hebat dari aku, setidaknya lebih matang. Tapi kakakku pergi ke Pulau Api mencari aku."

"Ke Pulau Api?"

"Ya, bersama enciku Soat Eng dan suaminya, Siang Le. Tapi aku tak menemukan mereka atau mungkin belum sampai di sana."

"Kenapa mencarimu ke Pulau Api?"

Beng An tiba-tiba merah, teringat kematian ibunya itu. "Mereka ke sana karena Tan-pangcu dan sutenya itu mencari aku, moi-moi, di utara. Dan ibu terbunuh secara kejam!"

"Hm, ini, maaf. Aku tak tahu, Beng An. Aku tak bermaksud mengingatkan kematían ibumu itu. Orang-orang Pulau Api memang jahat, aku juga ingin membunuh mereka!"

"Sudahlah, ayah melarangku menaruh dendam. Dendam tak boleh menguasai hatiku. Hm, sekarang Poan-jin-poan-kwi muncul lagi di dunia ini, moi-moi, mereka pergunakan orang lain. Bagaimana kalau kita lanjutkan perjalanan dan secepatnya bertemu ayah."

"Atau ke Pulau Api?"

"Pulau Api?"

"Ya, aku ingin menghajar orang-orang itu, Beng An, sekaligus menemukan kakakmu Thai Liong. Siapa tahu ia ada di sana dan kita bertemu mereka!"

"Tidak ke ayah dulu?"

"Kupikir belakangan saja. Aku tiba-tiba ingin ke Pulau Api dan melihat bagai mana nasib dua kakek iblis itu, dedengkot mereka. Aku jadi ingin melampiaskan marah dan membuang sebalku!"

Beng An mengerutkan kening. Sesungguhnya ia ingin cepat-cepat menemui ayahnya dan bicara tentang kekasihnya ini, melamar dan mengurus perjodohan mereka. Tapi mendengar kata-kata itu dan betapa iapun ingin mengetahui keadaan kakaknya di sana, kenapa ia tak melihat kakaknya itu akhirnya ia bangkit dan berkata, "Baiklah, tapi sesungguhnya berat juga. Aku ingin bertemu ayah dan Membicarakan persoalan kita ini. Kalau begitu mundur!"

"Apanya yang mundur?"

"Rencana pernikahan kita ini, moi-moi. Aku secepatnya ingin menjadikanmu sebagai isteriku!"

"Hmm, tak malu kau. Urusan itu belakangan dan yang lain lebih penting. ada yang membuat aku agak ragu!" "Ragu? Tentang apa?"

"Hm, jelek-jelek aku penghuni Lembah Es, Beng An. Kalau ayahmu hendak menyelesaikan urusan kita berarti harus melamarku di Sana, menemui supek-bo. Entahlah bagaimana jadinya kalau itu dibicarakan!"

Beng An tertegun. "Tapi kau diusir!"

"Benar, itu hukuman untukku, Beng An, tapi bukan berarti segala-galanya. Aku masih dapat kembali, kalau aku misalnya meninggalkanmu. Atau...!"

"Atau apa?"

"Atau kau atau siapa saja keluargamu dapat mengalahkan bibi guruku."

Beng An terkejut. Tiba-tiba ia berubah dan muram, Hatinya berdesir, teringat betapa saktinya wanita itu. We We Moli bukan wanita main-main dan dia serta ayahnya melawan. Barangkali saja tak mampu. Barangkali Thai Liong, kakaknya. Maka bersinar dan bangkit semangatnya iapun menyambar lengan kekasihnya itu.

"Moi-moi, kurasa tak mungkin kau meninggalkan aku. Apa artinya susah payah ini kalau begitu? Bukankah sia-sia namanya. Tidak, aku masih menaruh harapan. Kalau bibi gurumu itu harus dikalahkan barangkali yang dapat melakukannya adalah kakakku Thai Liong. Tapi haruskah itu dilakukan? Apakah tanpa bibi gurumu kita tak dapat menikah?"

"Maksudmu?"

"Kita cari wali yang lain, moi-moi, pengganti bibimu itu. Misalnya saja teman-teman ayah para ketua-ketua partai!"

"Tidak!" gadis ini tiba-tiba bangkit dan marah. "Bagi orang lain hal itu mungkin, Beng An, tapi bagiku tidak. Aku penghuni Lembah Es, aku telah banyak menerima budi!"

"Hm-hm, aku mengerti. Tapi bagaimana kalau bibi gurumu menolak?"

"Kita... kita..." gadis itu terisak. "Kita tunda pernikahan kita, Beng An, sampai aku direstui...!"

"Astaga, bila tetap tak direstui?"

"Aku sabar menunggu, toh kita tetap bersama!"'

Beng An tertegun. Tiba-tiba ia melihat kekerasan hati yang luar biasa dari kekasihnya ini, sadar bahwa gadis itu adalah Puteri Es, puteri yang sesungguhnya berkedudukan tinggi dan hanya karena asmara sekarang terbuang. Ah, Beng An terharu. Dan karena ia juga sependapat dan biarlah pernikahan ditunda asal mereka tetap bersama maka pemuda ini menarik tubuh kekasihnya dan mencium keningnya.

"Moi-moi, aku yang membuatmu susah". Gadis itu memejamkan mata. Ciuman Beng An yang lembut dan penuh haru membuatnya tersedak. la menunduk dan membenamkan muka ke dada pemuda itu. Lalu ketika sejenak keduanya terbawa perasaan masing-masing, haru dan bahagia akhirnya Beng An membawa kekasihnya ini keluar hutan, tidak lagi menuju utara melainkan ke Pulau Api, menganggap tak ada salahnya ke tempat itu siapa tahu bertemu dengan kakaknya Thai Liong, orang yang tiba-tiba diharap dapat menyelesaikan urusannya di Lembah Es nanti, menghadapi We We Moli!

* * * * * * * *

Sudah terlalu lama kita meninggalkan tiga bersaudara ini. Marilah kita tengok bagaimana keadaan Thai Liong dan Soat Eng serta Siang Le, tiga orang yang menuju Pulau Api untuk mencari Beng An. Dan karena benar mereka terputar-putar di tempat itu, tidak seperti Beng An yang lebih dulu tiba dan akhirnya bertemu dedengkot Pulau Api adalah tiga orang ini sampai di daratan Pulau Api sebulan setelah Beng An.

Siang Le takjub. Pulau Api sendiri mula-mula tak mereka temukan, yang mereka temukan adalah deretan pulau yang, jumlahnya ratusan, menyebar rata di sebuah lautan luas dan itulah Kepulauan Akherat. Thai Liong maupun Siang Le harus bertanya berulang-ulang kepada orang-orang di sepanjang jalan, terutama nelayan. Tapi ketika mereka menggeleng dan banyak yang menyatakan tak tahu, Thai Liong mengerutkan alis maka kebetulan suatu hari ia bertemu seorang laki-laki aneh yang malam itu berjalan di tengah hutan dengan tubuh mencorong. Bagai obor.

"Iblis! " Soat Eng terpekik. "Apa itu, Le-ko, manusia atau siluman!"

"Sst. Thai Liong berseru memberi tanda, sudah melihat itu pula. "Itu manusia, Eng-moi, bukan siluman. Itu adalah orang yang seluruh tubuhnya terisi tenaga Yang-kang (Panas). Rupanya ia tak sadar atau tersesat di sini. "Lihat, ia lingak-linguk mencari sesuatu. Berhenti, jangan membuat kecurigaan!"

Soat Eng dan suaminya menghentikan langkah. Wanita muda itu tersentak dan kaget sekali. Di malam gelap itu tubuh orang itu benar-benar mencorong, kalau bergerak seperti obor berjalan dan sikapnya mencurigakan pula, celingukan dan berhenti dan sudah berada di mulut hutan sebelah luar, menyelinap dan memandang ke tengah dusun di mana waktu itu lamat-lamat ia melihat gapura tua di balik bayang-bayang malam.

Sesungguhnya malam belum begitu gelap namun karena berada di hutan maka suasana di situ gelap pula, hitam. Hanya dusun di luar hutan itu yang tampak jelas, lampu penduduk berkelap-kelip dan rupanya penghuni belum tidur. Waktu belum larut benar dan Soat Eng serta Thai Liong maupun Siang Le mengamati laki-laki aneh ini.

Mereka tak tahu bahwa itulah penghuni Pulau Api yang sedang mencari ransum, seorang murid tingkat tiga di bawah mendiang Yang Tek, jadi cukup lihai juga. Maka ketika tiga orang itu mengamati laki-laki ini dan mereka juga berhenti, Thai Liong curiga mendadak orang itu melesat dan tubuhnya menyambar terbang ke tengah dusun. Gerak langkahnya begitu cepat.

"Hm... ilmu kakinya aneh. Hebat, la sudah di balik gapura!" Thai Liong berseru dan dua temannya mengangguk.

Memang mereka melihat laki-laki itu tahu-tahu meluncur terbang dan sudah di gapura tua, lenyap dan memasuki dusun dan tak ayal lagi tiga orang ini bergerak. Thal Liong tentu saja tak mau kehilangan lawannya itu. Tapi ketika Soat Eng berseru agar diberi kesempatan, dia akan menyusul dan menangkap orang itu maka nyonya muda ini mempergunakan Jing-sian-engnya (Bayangan Seribu Dewa) tak mau didahului.

"Biar aku yang melihat, kalian di belakang saja!"

"Hm," Thai Liong memperlambat langkah, melirik Siang Le. "Isterimu itu pemberani, Siang Le, tak mau kalah. Apakah biar ia di depan kita mengikuti?"

"Biarlah," Siang Le tertawa. "Sudah wataknya, Thai Liong, mau apa lagi. Aku sering mengalah dan kita biarkan saja."

Pemuda itu mengangguk. Kalau si buntung itu sudah bicara begitu tentu saja tak mau mendahului. Kadang-kadang Soat Eng memang tak mau dibantah. Maka ketika ia memperlambat larinya dan sengaja membiarkan Soat Eng, wanita muda itu berkelebat dan lari menyusul lawan maka dilihatnya lawan sudah di belakang sebuah rumah penduduk mengintai ke dalam. Soat Eng mendengar percakapan dua wanita.

"Hmm, mau apa dia," Soat Eng bergerak dan berada lima tombak dari laki-laki ini, cepat menyelinap ke balik sebatang pohon. Setelah dekat ia melihat betapa laki-laki di depannya itu seorang pemuda yang berwajah keras. Tubuhnya serba mencorong bagai bara api saja, hawa panas juga keluar dari tubuh itu. Dan ketika ia juga melihat tubuh yang tegap berotot. ia kagum maka laki-laki ini tiba-tiba mendorong pintu belakang dan patahlah pengganjal yang terbuat dari kayu tua itu, berkelebat masuk.

"Aihhhh...!" Soat Eng mendengar jerit dari dalam. Tentu dua wanita penghuni rumah itu terkejut, siapa tidak kaget kalau tiba-tiba di rumah itu muncul sebangsa mahluk aneh yang tubuhnya menyala-nyala. Dan ketika Soat Eng bergerak dan menyambar ke depan ternyata ia mendengar suara robohnya tubuh dan laki-laki aneh itu telah berkelebat keluar membawa dua wanita muda yang manis-manis. Dua gadis dusun yang rupanya hendak diganggu!

"Keparat!" kontan wanita ini meledak. "Siapa kau, jahanam busuk. Lepaskan gadis-gadis itu dan berhenti!"

Soat Eng menyambar dan melepas Khi-bal-sin-kang. la tidak menunggu lagi dan lawan terkejut, tak menyangka ada musuh di belakang dan menoleh. Tapi ketika ia melihat Soat Eng, wanita cantik bertubuh ramping seketika ia tersenyum dan melihat bayangan ramping mendadak ia mengangkat sebuah kakinya menyambut pukulan Khi-bal-sin-kang itu, tertawa.

Tapi alangkah kagetnya pemuda Pulau Api ini. la bertemu telapak yang lunak halus namun mengeluarkan tenaga seperti karet, dipukul tapi membalik ke arahnya. Dan ketika ia terjengkang dan tentu saja berteriak, dua wanita di tangannya terlempar maka laki-laki itu bergulingan kaget meloncat bangun. Dua gadis tadi roboh tak mampu mengeluarkan suara, rupanya tertotok.

"Siapa kau, berani mengganggu aku!"

"Hm, kenapa tak berani menghadapi manusia busuk macammu ini? Heh, katakan siapa kau, manusia siluman. Ada apa menculik gadis dan tingkah lakumu mencurigakan!"

"Aku, heh-heh... aku Dewa Api!" dan menyambar tak menjawab pertanyaan Soat Eng pemuda itu menyerang dan membalas lawan. Ia penasaran dan kaget oleh pukulan tadi dan kini ingin mencoba lagi. Masa wanita cantik di depannya ini begitu lihai, masa ia kalah. Tapi ketika Soat Eng mengelak dan menggerakkan kaki dari kanan maka kaki itu menyambar pinggang lawan namun dengan cepat lawan memutar dan mengayun tangan kirinya miring membacok. Hawa panas menyambar dari tangan itu disusul bunyi mencicit kuat.

"Dess!" Soat Eng tergetar tapi lawan kembali terjengkang. Hal ini membuat lawan kaget dan percayalah dia bahwa wanita di depannya ini lihai. Murid Pulau Api itu bergulingan, memekik. Dan ketika ia meloncat bangun lagi maka Ia menyerang Soat Eng dan menyambarlah pukulan-pukulan berbahaya yang kian lama kian panas hingga Soat Eng terdesak dan dipaksa mundur, terbelalak dan marah dan saat itu dari dalam rumah terdengar teriakan gaduh. Orang kampung, yang rupanya mendengar dan melihat keributan itu sudah keluar rumah, golok dan parang ada di tangan mereka. Tapi ketika mereka tertegun melihat pertempuran itu, bayangan dua tubuh yang berkelebatan lenyap mendadak dari timur dusun terdengar jerit dan teriakan minta tolong.

"Tolong... tolong... Lo-ma dibunuh orang!"

Kagetlah orang-orang itu. Mereka yang tadinya hendak menyerang den bingung oleh pertempuran ini mendadak melihat api berkobar-kobar di sebelah timur. Kentongan segera dipukul. Dan ketika penduduk pecah dan berhamburan ke sana, seorang wanita tua jatuh bangun melolong-lolong maka Soat Eng yang terkejut oleh berita itu segera melihat bayangan suaminya yang berkelebat ke arah timur.

"Eng-moi, kau bekuk orang itu. Rupanya ada temannya yang lain di sana!"

Murid Pulau Api itu terkejut. la tak menyangka di tempat lain ada seorang gagah lagi, bersembunyi. Dan karena ia merasa tak enak di situ, penduduk sudah keluar dan membunyikan kentongan maka iapun melompat dan tiba-tiba melarikan diri menyambar dua gadis di tanah. "Wanita siluman, kita bertempur di tempat lain kalau berani!"

"Keparat!" Soat Eng tentu saja mengejar. "Siapa takut padamu, jahanam busuk. Di manapun aku berani!"

Namun Thai Liong tiba-tiba menyambar. Pemuda ini telah melihat semuanya di situ dan terkejut serta marah. Maklumlah Ia bahwa lawan rupanya tidak sendirian. Dan karena tadi Siang Le tak mau dibantu, menyuruh ia menjaga Soat Eng maka sekarang ia berpikir lain dan mencegat orang ini.

"Eng-moi, serahkan Ia padaku. Susul dan lihat suamimu di sana!"

Murid Pulau Api itu semakin terkejut lagi. Kini orang ketiga muncul dan tahu-tahu di depannya. Thai Liong mengangkat tangan seolah menyetop. Dan karena ia sedang berlari kencang dan membawa pula dua gadis dusun, tentu saja ia marah maka ia memekik dan menumbuk pemuda itu bagai seekor kerbau murka.

"Minggir!" Akan tetapi yang dihadapi adalah seorang pemuda sakti. Thai Liong adalah Si Rajawali Merah dan Poan-jin-poan-kwi sendiri masih kalah. Maka ketika pemuda itu menumbuk dan kepalanya tepat sekali menghantam dada si Rajawali Merah, Thai Liong tersenyum maka pemuda itu mengerahkan Khi-bal-sin-kang dan murid Pulau Api ini menjerit karena tenaga Yang-kang di kepalanya membalik.

"Aughhh!" Bagai kerbau menembus api pemuda ini terbanting. la mengeluh dan roboh di tanah, sejenak menggelepar namun diam. Tawanannya terlepas. Dan ketika Thai Liong bergerak dan membebaskan gadis-gadis itu, Soat Eng tertegun tapi mendengus berkelebat ke timur maka pemuda itu mendorong gadis-gadis itu agar memasuki rumahnya, menyambar murid Pulau Api

"Masuklah, bersembunyilah. Ada orang-orang jahat di sini!"

Dua gadis itu menjerit. Mereka sadar setelah Thai Liong membebaskan totokan. Mereka mendengar dan melihat semua itu namun tadi tak mampu berkutik. Maka ketika tubuh tiba-tiba bisa digerakkan kembali dan mereka bebas dari bahaya, mereka adalah dua kakak beradik yang tadi bercakap-cakap di dalam rumah maka keduanya berlari ketakutan memasuki rumah, berteriak-teriak.

Thai Liong menarik napas dalam dan menyambar tawanan yang pingsan ini. Ia tak tahu siapa pemuda itu namun tentu saja tertarik. Dari gebrakan sekilas itu ia tahu kepandaian lawan, lumayan, tidak berarti baginya namun bagi orang-orang dusun ini tentu saja berbahaya. Maka ketika ia berkelebat dan menuju ke timur, kentongan dan suara riuh memenuhi tempat itu maka Thai Liong melihat warna merah membakar langit, mengerutkan kening. la maklum bahwa sebuah kebakaran sedang terjadi. Dan ketika ia mengebutkan jubahnya dan lenyap bagai siluman maka si Rajawali Merah ini tertegun melihat apa yang terjadi di timur dusun itu.

Dua laki-laki tua terkapar roboh mandi darah, yang satu bahkan di dekat pintu yang sudah dijilat api. Tapi ketika orang kampung menarik mayatnya dan berteriak-teriak, Soat Eng dan Siang Le tak ada di situ maka pemuda ini maklum bahwa lawan rupanya sudah pergi, meninggalkan tempat itu. Thai Liong berkelebat dan menuju luar dusun. Telinganya yang tajam mendengar bentakan-bentakan di sana, cukup jauh. Dan ketika ia tiba di sini maka benar saja Siang Le dan isterinya mengamuk dikeroyok empat murid Pulau Api yang menyala-nyala tubuhnya itu.

"Bunuh si buntung ini tangkap yang wanita. Hei, mana Ci Teh, Bauw-sute, kenapa tak segera datang!"

"Ia di barat, memisahkan diri. Katanya ingin sendirian agar bebas. Aku... heii!!" laki-laki itu yang terpaksa menghentikan omongannya tiba-tiba menangkis pukulan Soat Eng yang datang dengan cepat.

Wanita ini telah ke timur dusun tapi tak melihat apa-apa. Yang ada hanya jerit tangis dan lolong penghuni rumah. Tapi ketika matanya yang tajam melihat bayangan suaminya, juga empat manusia obor yang melarikan diri keluar maka wanita ini tak mau membuang-buang waktu dan Siang Le membentak empat orang itu. Terjadilah pertempuran dan si buntung ini terkejut. la terhuyung oleh delapan lengan panas dari murid-murid Pulau Api. Tenaga Yang-kang yang dimiliki mereka itu memang hebat-hebat, tak heran karena mereka adalah pewaris dari tokoh sakti Han Sun Kwi.

Tapi karena Siang Le bukan pemuda lemah dan iapun telah digembleng gak-hunya (mertua) sendiri, memiliki Lui-ciang-hoat dan Khi-bal-sin-kang di samping ilmunya meringankan tubuh Jing-sian-eng dan Cui-sian Gin-kang, maka pemuda itu dapat mengelak setiap serangan lawan dan murid-murid Pulau Api itu tentu saja terkejut dan marah bahwa si buntung yang tadinya dipandang rendah ini ternyata hebat juga. Dan saat itu Soat Eng berkelebat datang.

"Siapa tikus-tikus busuk yang tak tahu malu ini. Bedebah, rupanya lagi-lagi bawa perempuan!" Soat Eng marah sekali dan menerjang. la melihat empat gadis desa terikat di sana, tak jauh dengan tumpukan karung berisi makanan kering.

Murid-murid Pulau Api memang selalu mengganggu wanita di kala mereka mencari ransum. Maka ketika datang seorang wanita cantik dan langsung menerjang mereka, bekerja sama dengan si buntung itu maka yang berbaju kusam dari kulit kayu memberi aba-aba agar mengeroyok dan merobohkan dua orang ini.

"Rupanya mereka suami isteri, bagus, bunuh suaminya!"

Namun ucapan itu tidaklah segampang pelaksanaannya. Suami isteri muda itu adalah gemblengan Pendekar Rambut Emas, yang wanita malah puterinya. Maka ketika Soat Eng melepas tamparan-tamparan Khi-bal-sin-kang dan Semua ini membuat lawan terhuyung dan berteriak kaget maka mereka terkejut dan terheran-heran tapi Soat Eng sendiri penasaran karena pukulannya itu tidak merobohkan mereka!

"Keparat, cukup kuat. Pergunakan Cui-sian Gin-kang, Le-ko, gabung dengan Jing-sian-eng. Hajar mereka dan bunuh!"

"Tidak, jangan bunuh," Siang Le menggeleng dan seperti biasa tak suka pembunuhan, mukanya kecut. "Robohkan mereka saja, Eng-moi, dan tangkap serta cari alasannya. Kenapa membuat onar."

Namun Soat Eng tak seperti suaminya. Melihat empat gadis dusun yang terikat di situ saja sudah membuat darahnya mendidih. Mau apalagi laki-laki kotor seperti itu kalau bukan mau memperkosa. Maka ketika ia melengking dan beterbangan lenyap, lawan terkejut dan angin mendesing menampar kepala maka dua diantara mereka menjerit dan roboh, tapi dapat bangun kembali.

"Hm, Rupanya harus dengan senjata!" nyonya itu beringas. "Kalau begini barangkali tahu rasa, tikus-tikus busuk. Terimalah pedangku dan siaplah mampus!" Soat Eng sudah mengeluarkan pedangnya dan siap membunuh ketika tiba-tiba suaminya berseru mencekal pergelangannya.

Siang Le lagi-lagi tak memperkenankan isterinya bersikap telengas sementara lawan-lawan terkejut. Sesungguhnya mereka gentar dan kaget juga oleh sepak terjang nyonya ini. Pukulan mereka membalik dan hanya berkat sinkang mereka yang cukup baik maka mereka mampu bertahan, meloncat bangun setiap terpelanting. Tapi ketika mereka mengeroyok lagi dan Thai Liong muncul di situ, bayangan merah menyambar maka pemuda ini berseru agar suami isteri itu merobohkan saja.

"Memang benar, jangan bunuh. Robohkan mereka dan biar kubantu!"

Empat orang itu terkejut. Datangnya Thai Liong disusul sambaran angin yang membuat mereka terpekik. Pemuda itu mengibas dan tubuh mereka tahu-tahu terangkat naik. Kali ini yang datang adalah Rajawali Merah yang gagah perkasa, tak mungkin mereka mampu bertahan. Dan ketika mereka terlempar dan jatuh bergulingan, satu di antaranya tersangkut di atas pohon maka Thai Liong sudah menggerakkan telunjuknya dan dengan totokan jarak jauh ia membuat empat orang lawannya itu roboh, mengeluh.

"Nah, cukup," pemuda itu berkata, Tak perlu membunuh, Eng-moi. Kita tangkap mereka dan tanya baik-baik."

Empat murid itu pucat. Mereka terkejut bukan main melihat kehebatan pemuda ini, terutama lebih terkejut lagi melihat rambutnya yang kuning keemasan. Thai Liong memang mirip ayahnya. Maka ketika pemuda itu merobohkan mereka dan semua terbelalak pucat maka satu di antaranya menyebut Kim-mou-eng dan teringat Beng An.

"Pendekar Rambut Emas! Dia ayah Kim-kongcu!"

"Hm, aku puteranya," Thai Liong tersenyum, mengangguk pada empat orang itu. "Siapa yang kalian maksud dengan Kim-kongcu, sobat-sobat. Apakah Beng An adikku. Rupanya kalian orang-orang Pulau Api!"

Soat Eng dan Siang Le terkejut. Mereka tak memiliki dugaan sama sekali tentang ini, sadar setelah Thai Liong menyebut itu. Dan ketika empat orang itu tertegun dan membelalakan mata, empat gadis di sana mengeluh dan menggeliat maka Soat Eng meloncat dan sekali ia menabaskan jari maka ikatan itu putus, marah pada empat orang itu.

"Rupanya kalian orang-orang Pulau Api, bagus, aku dapat meminta pertanggungan jawab kalian dengan semua perbuatan ini. He, tak usah menangis dan pergilah kalian. Kalian selamat!"

Yang terakhir itu diserukan Soat Eng kepada empat gadis dusun ini. Mereka menangis dan terisak-isak dan nyonya itu gemas. Sekarang tentu saja ia tak mau diganggu dengan tangis gadis-gadis ini. Maka ketika ia mendorong mereka dan menyuruh pulang, urusannya adalah dengan murid-murid Pulau Api itu maka lalu bangkit berdiri dan ketakutan memandang nyonya muda ini.

"Pulang kataku," Soat Eng tak sabar. "kembali dan pulanglah dan tak perlu ke sini lagi. Mereka ini urusanku dan harap kalian pulang!"

Empat gadis itu mengangguk. Mereka menangis mengucap terima kasih lalu berlarian tergesa-gesa, tersandung dan bangun lagi namun kegembiraan tak dapat disembunyikan lagi. Hutan yang gelap tak diperdulikan lagi. Lalu ketika empat gadis itu hilang dan Soat Eng menghadapi empat orang ini maka pedangnya dicabut mengancam tenggorokan. Siang Le dan Thai Liong membiarkannya di pinggir, maklum bahwa Soat Eng ingin dihargai.

"Kau!" bentaknya. "Beginikah caramu memasuki tempat orang, tikus busuk. Mencuri sekaligus mencari wanita. Begitukah ketuamu Tan pangcu mengajari kalian!"

Empat murid itu terkejut. Kalau wanita ini sudah menyebut Tan-pangcu berarti tidak asing lagi, dan karena mereka sudah mengenal Beng An dan pemuda jubah merah di sana itu seperti Kim-mou-eng, mengaku sebagai puteranya jelas ada hubungan dengan Kim-kongcu itu maka mereka tak berani macam-macam den bentakan ini disambut dengan kepala menunduk.

"Hayo, siapa lagi kawan-kawan kalian yang lain. Mana ketuamu itu atau tokoh-tokoh Pulau Api lainnya!"

"Kami hanya sendiri," satu di antara mereka mengangkat muka, tapi menunduk lagi. "Kami hanya berlima, hujin, maafkan kami!"

"Maafkan, gampang saja! Apakah kalian kira begitu enak mendapat maaf... hah, pimpinan kalian telah membunuh ibuku, dan sekarang antarlah kami ke Pulau Api, atau kalian kubunuh semua dan pedang ini mencoblos tenggorokan!"

Soat Eng main-main dan menggerakkan tangannya tapi wajah empat orang itu tiba-tiba pucat, bukan oleh pedang ini melainkan oleh perintah itu. Siapa berani membawa orang asing ke Pulau Api. Betapa marahnya ketua mereka nanti! Dan ketika masing-masing menggeleng dan minta ampun menyatakan tak berani membawa ke Pulau Api maka Soat Eng tertegun melihat betapa empat tawanannya ini menggigil.

"Kami tak berani membawa ke sana. Kalau hujin ingin berkunjung silakan sendiri, jangan dengan kami. Atau bunuhlah kami dan biar kami mati di sini.”

"Kalian banyak tingkah? Benar-benar ingin kubunuh?"

"Ampun, kami tak berani melanggar hujin. Atau kami siap mati di sini... srat!"

Pedang Soat Eng bergerak menabas ke atas tapi orang itu tak menjerit. la meramkan mata dan saat itu putuslah rambutnya. Soat Eng menggerakkan pedang ke atas bukan ke lehernya. Dan ketika nyonya itu tertegun, ia menggertak saja, main-main dan ingin membuktikan maka Siang Le berkelebat dan si buntung itu berseru.

"Eng moi, rupanya kita harus membebaskan orang-orang ini. Sudahlah, mereka memang tak berani. Biar kita lepaskan dan suruh pergi!"

Siang Le menotok dan membuka jalan darah murid-murid Pulau Api itu. la telah berbisik-bisik dengan Thai Liong dan temannya itu mengangguk. Tapi ketika isterinya marah dan melompat ke depan, enak saja orang-orang itu dilepaskan maka nyonya ini berseru, nyaring, galak,

"Le-ko, manusia-manusia macam ini tak perlu dikasih hati, tak perlu dikasihani. Daripada dibebaskan lebih baik kubunuh!" namun ketika pedang bergerak dan benar-benar hendak menebas leher empat murid itu pucat maka Siang Le menahan lengan isterinya dan di kakaknya berseru.

"Eng-moi, Suaminmu benar. Mereka ini tak berguna. Biarkan merek pergi dan mari kita juga pergi!"

Thai Liong bergerak dan menyambar tangannya. la dibawa keluar hutan dan Siang Le menyusul. Lalu ketika ia terkejut dan menjadi marah, juga Penasaran, maka di sana Thai Liong berbisik lirih, "Jangan bodoh, di tanganku masih ada seorang tawanan. Kalau mereka memilih mati daripada pulang tentu ancaman di sana menakutkan mereka, Eng-moi. Biarkan mereka pergi dan kita menguntit di belakang."

Sadarlah wanita ini. Soat Eng lenyap kemarahannya dan iapun tak meronta-ronta lagi. Tadinya ia menjerit dan berteriak agar orang-orang itu dibunuh. Empat murid Pulau Api itu pucat dan ngeri. Mereka lebih takut menghadapi Soat Eng daripada Siang Le atau Thai Liong. Maka ketika Siang Le membebaskan mereka dan tak ayal lagi semua memutar tubuh,lari. maka mereka tak tahu bahwa di dalam hutan Thai Liong berhenti dan tersenyum, melepaskan adik perempuannya itu.

"Nah, sekarang bagus. Kita disangka benar-benar membebeskan mereka dan mari ikuti lagi. Tentu mereka ke pantai dan mengambil perahu. Ayo, kembali dan hati-hati jangan terlihat."

Nyonya ini berseri. Setelah dia tahu yang dimaksud kakaknya tentu saja dia lega. Tawenan yang satu masih dibawa dan dia bertanya untuk apa itu, bukankah sebaiknya dibuang. Tapi ketika Thai Liong menjawab bahwa tawanan masih diperlukan, siapn tahu nanti berguna maka wanita itu tak bertanya lagi sementara Thai Liong berkelebat ke depan menghilang mengejar empat orang itu.

Siang Le memandang isterinya dan mengangguk. Selama ini mereka memang menyusuri pantai dan selalu berdekatan dengan kampung-kampung nelayan, hanya beberapa saja yang agak jauh ke dalam tapi itupun tidak banyak. Maka ketika ia menyambar lengan isterinya dan Soat Eng tak cemberut mengangguk, mereka bergerak maka benar saja di luar hutan itu empat tawanan tadi berlompatan ke dalam dua perahu, bergerak dan mendayung dan sebentar kemudian telah ke tengah laut.

"Hm, tak ada perahu," Siang Le mengomel. "Bagaimana kita, Eng-moi. Bisakah mereka tak mengetahui kita kalau mengejar?"

"Tanya Liong-ko saja," So Eng memandang kakaknya yang juge mencari-cari perahu, celingukan. "Bagaimana pendapatmu, Liong-ko, dikejar atau tidak!"

"Sebenarnya aku dapat mempergunakan Beng-tau-sin-jin (ilmu Roh), tapi masa tiga orang harus memasuki jubahku!"

"Kalau begitu cari perahu saja, Thai Liong. Lihat di balik gerumbul itu ada!"

Siang Le berseru setelah celingukan ke sana ke mari, menuding dan benar saja di balik pohon-pohon gelap terdapat sebuah perahu yang bergoyang-goyang, tapi tak lari dari tempatnya dan tentu saja si buntung itu girang. Dan ketika ia sudah melompat dan menyambar perahu itu, melepas ikatannya maka Thai Liong terenyum berkelebat menyusul, tawanan dilempar ke dalam.

"Bagus, ayo Eng-moi masuk!"

Soat Eng tak menunggu waktu lagi. Ia pun tak banyak bicara dan berkelebat memasuki perahu itu, hampir saja miring namun Thal Liong sudah menyeimbangkan perahu dengan tangannya. Lalu ketika kakaknya itu mendayung mempergunakan tangannya yang kuat , perahu melesat dan mengejar perahu di depan maka disusullah perahu murid-murid Pulau Api itu, dibantu Siang Le yang membuat perahu melesat lebih cepat lagi, seakan terbang.

"Hei, jangan cepat-cepat, Siang Le, jangan buru-buru. Kita atur jarak agar tak kehilangan jejak saja!"

Siang Le sadar. la mengangguk dan akhirnya di malam gelap itu tiga perahu bergerak di tengah lautan. Bagi Si buntung ini bukanlah sukar kalau bermain-main di laut. Tempat tinggalnya adalah Sam-liong-to, pulau yang dikelilingi lautan. Tapi ketika dua jam kemudian perahu di depan memisah diri, pemuda itu terkejut maka Thai Liong juga tertegun karena seakan tahu dikuntit mendadak peranu-perahu itu mengambil arah berlainan!

"Hm, apa yang terjadi. Masa kita ketahuan!"

"Tak mungkin," Siang Le menggeleng. "Lautan ini gelap, hanya bintang di langit yang buram menerangi sedikit. Aku curiga bahwa itulah peraturan murid-murid Pulau Api apabila pergi secara berkelompok!"

Dugaan ini memang benar Tan Siok atau Tan-pangcu sudah menetapkan peraturan bahwa siapapun murid-murid Pulau Api tak boleh bergerombol mendatangi pulau, apalagi kalau baru saja bertemu musuh. Maka ketika dua perahu itu berpisah dan ini membingungkan Thai Liong, siapa yang akan diikuti tiba-tiba pemuda itu teringat tawanannya dan membebaskan totokannya menyadarkan dengan tekanan kuat.

"Hei... bangun, beri tahu kami arah mana menuju Pulau Api!"

Murid itu terkejut. la mengeluh dan sadar dan sejenak bingung melihat bintang-bintang bertaburan. Ia menggeletak di lantai perahu menghadap ke atas, yang ada ialah bintang-bintang itu. Tapi ketika ia didudukkan dan tengkuknya ditekan Thai Liong, tersentak maka murid ini berubah dan tiba-tiba berteriak.

"Lepaskan aku!"

Namun Thai Liong menotok pundaknya. Tawanan roboh dan urat gagupun diketuk, ia tak mampu bersuara. Dan ketika ia terbelalak sementara Soat Eng bengis mencabut pedang, kembali mengancam dengan menekan leher lawan maka nyonya itu tak sabar melihat perahu semakin menjauh, dua perahu itu berpencar lebar.

"Cepat, atau tenggorokanmu kutusuk!"

Siang Le menggeleng kepala. Lagi-lagi ia melihat isterinya bersikap bengis,sikap yang dapat dibuktikan sewaktu-waktu kalau lawan membuat marah. Dan ketika ia khawatir namun Thai Liong tersenyum mengedip, sang kakak selalu berjaga maka tawanan mengeluh dan ah-uh-ah-uh tak mampu bicara.

"Hm, jangan berteriak kalau tak ingin tersiksa. Bicara baik-baik atau kepalamu kubenamkan ke air," Thai Liong membebaskan urat gagu dan pura-pura bersikap bengis pula. la menekan punggung orang yang membuat murid Pulau Api itu mengerang, ribuan semut api seakan menggigiti tubuhnya. Dan ketika ia mengangguk dan meminta ampun, biarlah bicara baik-baik maka Soat Eng disuruh meryimpan pedangnya agar tak membuatnya ketakutan.

"Aku... aku tak berani bicara. Tapi kalau hendak mengikuti mereka belokkanlah perahu mengejar yang kiri itu. Ampun... lepaskan aku!"

"Hm, tentu kulepaskan, tapi setelah menemukan pulaumu. Baik, terima kasih, sobat. Tidurlah lagi tapi awas kalau bohong!" Thai Liong menggerakkan jarinya lagi dan murid itu roboh. Ia tak melihat betapa pucat wajah tawanannya ini. Kata-kata Thai Liong seakan mengantarnya ke neraka. Tapi karena ia ditotok kembali dan roboh terguling, Thai Liong menggerakkan perahu mengejar yang kiri maka Soat Eng membantu karena jarak sudah terlalu jauh.

Tapi Thai Liong dibuat curiga. Lewat tengah malam menjelang pagi, setelah perjalanan dilakukan enam jam maka yang mulai terlihat adalah segundukan tanah hitam di depan sana. Mereka rupanya mendekati daratan namun bukan Pulau Api. Pulau itu seperti pulau biasa-biasa saja yang tak memiliki keistimewaan, ia curiga. Dan ketika ia bertanya bagaimana baiknya sekarang, sebentar lagi mereka bakal terlihat maka Soat Eng berdiri mengepalkan tinju.

"Baiknya didahului saja, cegat dan tangkap. Suruh mereka membawa kita kepada pemimpinnya, Liong-ko, atau bunuh karena kita sudah di sini!"

"Hm, ini bukan Pulau Api, kita rupanya dibawa ke tempat lain. Tangkap dan bunuh pekerjaan gampang, Eng-moi, tapi bukan tujuan utama. Bagaimana pendapat suamimu atau aku harus memutuskan cepat!"

"Kau benar, aku juga curiga. Ini bukan Pulau Api, Thai Liong, ini pulau biasa. Sebaiknya mendarat di tempat lain saja dan kita ikuti dari jauh!"

"Untuk apa!" Soat Eng berseru. "Semalam kita mengejar, Le-ko, masa masih juga tak ada penyelesaian. Tidak, aku lebih baik menangkap mereka dan biar mereka tahu... hooiiiii!" nyonya itu tiba- tiba membawa telapak ke mulut, berteriak, mengejutkan Thai Liong dan juga perahu di depan, yang tiba-tiba berhenti.

"Jangan kalian maju lagi, tikus-tikus busuk. Berhenti di situ dan lihat kami datang!"

Dengan gerakan kuat tiba-tiba nyonya itu mengangkat perahunya yang meluncur ke depan. Perahu tidak menyentuh permukaan air lagi melainkan terangkat naik, benar-benar terbang dan ketika jatuh wanita ini sudah memukulkan telapaknya ke permukaan laut, membuat perahu meloncat dan terbang lagi ke depan. Dan ketika gerakan ini membuat lawan menjadi terkejut, sekejap saja Soat Eng sudah mendekati mereka maka tak ayal lagi dua murid Pulau Api itu memekik dan merekapun menggerakkan perahu melarikan diri!

Namun Soat Eng tertawa mengejek. la sudah mencegat di depan dan dua orang itu pucat, ke manapun berputar kesitu pula si nyonya menghadang. Ketika mereka berseru dan bangkit berdiri tiba-tiba keduanya mencebur meninggalkan perahu. Matahari di timur sudah menampakkan cahayanya yang kemerah-merahan.

"Byuuuuurrrr!"

Sang nyonya mengerutkan kening. Ia tak menyangka lawan meninggalkan perahu mencebur ke laut. Dan ketika ia tertegun membelalakkan mata mendadak perahu berguncang dan terangkat naik. Kiranya dua orang itu menyelam dan kini mencoba membalikkan perahu untuk mencelakai mereka! Akan tetapi yang ada di atas perahu adalah orang-orang keturunan Pendeker Rambut Emas. Thai Liong tersenyum-senyum saja tak melakukan sesuatu, sengaja membiarkan semuanya diselesaikan adiknya itu. Dan ketika di sana Siang Lee juga tersenyum-senyum, sejenak terkejut tapi tertawa kecil maka Soat Eng membentak dan mengerahkan Jing-kin-kang (Tenaga Seribu Kati).

Tenaga membuat perahu menjadi berat dan dua orang di bawah terkejut. Mereka memang hendak membalikkan perahu dan menyangka dengan begitu dapat menguasai lawan. Kalau tiga orang itu tercebur tentu di dalam air mereka dapat mencelakai nyonya muda dan dua temannya itu. Maka ketika perahu tiba-tiba turun lagi dan mereka tersentak, mengangkat namun tertekan ke bawah maka Soat Eng mengibaskan lengannya dan kepala dua orang itu yang muncul sedikit dihantam.

"Plak!" Kepala itu terbenam. Dua orang ini berteriak di dalam air dan sebelum mereka berbuat banyak nyonya itupun sudah melepas ikat pinggangnya. Sekali senjata itu meledak tahu-tahu membelit kaki lawan menarik dan membetot mereka hingga tak ampun lagi dua orang ini pucat. Mereka masih pening oleh pukulan di kepala tadi. Dan ketika mereka berdebuk dan jatuh di lantai perahu, setengah pingsan maka nyonya itu menginjak dada mereka dengan kemarahan ditahan. Perahu terus bergerak dan kini sudah mendarat di pulau itu.

"Nah, macam-macam apalagi. Bicara terus terang atau kalian mampus!"

Dua orang itu pucat. Thai Liong dan siang Le sudah melompat turun dan Rajawali Merah itu rupanya tak mau mengganggu Soat Eng, membiarkan adiknya mengancam dua murid Pulau Api itu namun Siang Le tiba-tiba berteriak. Si buntung itu menunjuk ke dalam. Dan ketika Thai Liong terkejut karena tawanan pertama mulutnya berdarah, ujung lidahnya keluar maka Siang Le sudah bergerak dan menyambar pemuda Pulau Api ini, berseru tertahan.

"la tewas, lidahnya putus!"

Thai Liong terkejut. Kiranya tawanan akhirnya membunuh diri dan menyesallah dia kenapa tak memperhatikan lagi. Lama totokannya memang sudah berakhir, urat gagu itu terbebas dan tawanan dapat menggerakkan rahang. Dan ketika ia tertegun dan sedikit berubah, Siang Le juga tampak menyesal mendadak satu dari dua tawanan Soat Eng melompat dan menubruk nyonya itu, menggigit.

"Keparat!" Soat Eng menjadi marah dan tanpa ampun lagi menggerakkan tangan kiri menampar. la sudah menahan-nahan kemarahannya sejak tadi dan kini tahu-tahu diserang secara gelap, ketika ia lengah dan memandang pemuda Pulau Api yang membunuh diri itu. Maka ketika jarinya menampar dan Khi-bal-sin-kang mengenai pelipis lawan, menjerit dan roboh maka murid Pulau Api itu tewas dengan kepala retak!

"Ah, jangan membunuh!" Siang Le melompat dan menegur isterinya itu. "Mereka bukan lawan utama kita, Eng-moi. Tak perlu menurunkan tangan keras. Jangan membunuh!" tapi karena murid itu sudah roboh dan tak bergerak-gerak lagi.

Soat Eng gemas mendengar kata-kata suaminya ini iapun menendang dan dua mayat itu terlempar ke lautan. "Tidak membunuhpun mereka mampus. Kalau ia tak menyerangku secara tiba-tiba tak mungkin aku menghajarnya, Le-ko. Tikus-tikus macam begini tak perlu dikasihani lagi. Hayo, kaupun mampuslah!"

Bentakan itu ditujukan kepada tawanan terakhir. Soat Eng masih di atas perahu dan tawanan gemetar, murid Pulau Api itu gentar. Tapi ketika ia pucat menjatuhkan diri berlutut, kematian dua temannya rupanya membuatnya takut maka ia menangis mengiba-iba.

"Ampun.. ampunkan aku. Aku tak akan membunuh diri tapi juga jangan dibunuh, hujin. Aku akan membawa kalian ke Pulau Api tapi segera bebaskan aku begitu di sana. Aku akan menunjukkan kepada kalian tempat itu!"

Thai Liong bergerak dan mencengkeram tawanan ini, mendahului Soat Eng. "Kau sungguh-sungguh? Kau tidak main-main heh...!"

"Ampun... aku sungguh-sungguh, siauwhiap, tapi lindungi aku dari kemarahan pangcu. Aku akan membawa kalian ke sana tapi bebaskan aku sebelum ketahuan!"

"Baik," Thai Liong melihat kesungguhan tawanannya ini. "Kalau kau bohong jangan tanya dosa lagi, kecoa cilik. Aku akan melemparmu dan membenamkanmu ke laut. Biar dimakan hiu!"

Murid itu mengangguk-angguk dan menggigil ketakutan. Ternyata ngeri melihat kematian. Bunuh diri atau dibunuh ternyata sama-sama tak enak, dia begitu gelisah. Maka ketika berkat murid ini Thai Liong dibawa ke Pulau Api, menuju pulau yang dari jauh sudah tampak kemerah-merahan maka tujuh ratus meter dari tempat itu murid itu sudah buru-buru minta dibebaskan. Thai Liong dan Siang Le maupun Soat Engt tertegun melihat sekeliling air laut mendidih, kian dekat ke pulau kian panas, bergemuruh!

"Hm, aku percaya. Ini tentu Pulau Api. Bagaimana pendapatmu, Siang Le, apakah sebaiknya tawanan dibebaskan."

"Kupikir begitu. Pulau di Sana itu bentuknya luar biasa, Thai Liong, seolah terbakar. Aku percaya bahwa itu Pulau Api dan biar ia bebas!"

Tawanan menjadi girang. Dua orang yang bicara itu merupakan jaminan dan matahari sudah naik tinggi. Maka ketika ia dibebaskan tapi bingung tak ada perahu, bagaimana ia lari maka Thai Liong menunjuk pulau lain tak jauh dari situ.

"Bagaimana dengan pulau itu. Maukah kulempar ke sana?"

"Aku... aku hendak dilempar?"

"Ya, kalau kau mau bebas, sobat. Tapi boleh juga berenang kalau tak mau kubantu."

"Ah, tidak, tentu saja! Eh, aku mau dilempar daripada berenang. Tapi, eh... bisakah siauw-hiap melakukannya!"

Thai Liong tak banyak bicara lagi. Begitu lawan mau dilempar mendadak ia menggerakkan jubahnya. Jubah itu menggelembung dan tiba-tiba serangkum angin dahsyat menyambar, menerpa dan mengangkat murid Pulau Api itu hingga terlempar dari perahu, terbang dan berteriak menuju pulau tak jauh dari Pulau Api itu. Dan ketika Siang Le tersenyum dan tertawa geli, cepat sekali murid itu melayang di sana maka ia jatuh dan terbanting di pulau yang dimaksud ini.

Tapi dua bayangan tiba-tiba muncul. Thai Liong tertegun melihat itu, juga Siang Le dan Soat Eng. Lalu ketika mereka mengerutkan kening karena itulah dua murid yang lain, yang semalam berada di perahu kedua maka tampak kelebatan pedang dan jerit ngeri memecah pulau karena tawanan yang baru saja mereka bebaskan itu ditusuk pedang.

"Aughhh...!" Siang Le memejamkan mata. Kiranya ditempat itu menunggu orang-orang Pulau Api yang lain, terbukti dari bayangan-bayangan yang berkelebat tapi kemudian menghilang. Dan ketika ia termangu-mangu namun isterinya tertawa dingin, Soat Eng sama sekali tak merasa kasihan mendadak nyonya ini memutar perahu menuju ke pulau itu, tidak lagi ke Pulau Api.

"Kita ke sana, rupanya tikus busuk itu menipu lagi...!"

Putri Es Jilid 23

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

"AUGHHHH...!" Teriakan atau gema dahsyat itu menggetarkan bumi. Beng An yang telah menggigit dan menghisap leher lawan menyedot kuat-kuat. Darah bagai membanjir ke mulutnya. Tapi ketika lawan terbeliak dan roboh menggeliat, asap hitam keluar dari lubang telinga maka pemuda itu terkejut karena roh Poan-jin-poan-kwi tak memasuki botolnya. Dua kakek licik itu lolos lewat telinga.

"Keparat!" Beng An melepaskan lawan membentak kakek itu. Toa-yo-cu sendiri sudah roboh dan tewas dan pembantu Lim-taijin itu tak bergerak-gerak lagi. Ia menjadi korban dari kemarahan Beng An.

Tapi karena Beng An gagal memasukkan roh itu ke dalam botol, dua kakek iblis itu melarikan diri lewat lubang telinga maka pemuda ini meloncat dan dua asap hitam itu tiba-tiba memencar, satu ke kiri satu ke kanan. Hal ini membuat Beng An tertegun karena ia dipaksa memilih, mengejar yang kanan atau yang kiri. Namun ketika ia menggigit bibir mengejar yang kiri, asap yang lain lolos dan lenyap maka pemuda itu membentak melempar caping bambunya.

"Kakek jahanam, siapapun adanya kau namun kali ini harus roboh di tanganku. Berhenti dan jangan harap mendapat ampun!"

Caping itu menyambar dan mencegat jalan lari si asap hitam. ltu adalah roh satu di antara Poan-jin-poan-kwi kakak beradik, entah Poan-jin atau Poan-kwi. Dan ketika dengan tenaga putarnya Beng An membuat caping menakup, si asap terkejut dan bergerak mengelak maka Beng An menggerakkan botol di tangan kirinya menyambar asap itu.

"Masuklah...!"

Roh ini terkejut. Jelas ia menghindar namun tutup botol memapaknya, tepat dan tanpa ampun lagi ia amblas di botol arak itu. Dan ketika dengan cepat Beng An menutup botolnya, terdengar suara aneh seperti tikus mencicit maka pemuda itu menangkap atau menjebloskan musuhnya ini ke dalam botol. Persis Aladin dengan botol ajaibnya.

"Nah, rasakan kau!" Beng An melepas geram menyumbat botol itu, erat-erat. "Kau tak dapat ke mana-mana lagi, kakek jahat. Sekarang tinggal saudaramu dan kubuat kalian tak dapat berkutik lagi seumur hidup!"

Botol berguncang namun Beng An menyimpannya di saku, la tak tahu apakah tangkapannya itu Poan-jin atau Poan-kwi. Namun karena satu di antara dua roh jahat itu telah disimpan, sekarang ia tinggal mencari yang lain mendadak terdengar jerit di dalam kota. Suara Wei Ling!

"Aiihhhhh...!" Hanya telinga Beng An yang mampu menangkap itu. Pemuda ini memutar tubuh dan tiba tiba kembali, terbang memasuki Ih-yang. Dan ketika ia berkelebat dan menuju asal suara, pintu gerbang dilewati bagai siluman saja maka di timur kota, di dekat sebuah gedung besar kekasihnya itu sedang bertanding dengan Ji-yo-cu. Kakek yang kini tampak gagah dan perkasa!

"Ha ha, kau tak dapat membunuh aku. Ayo, kejar dan serang aku lagi, anak manis. Atau habiskan tenagamu dan menyerah baik-baik...des-dess!"

Wei Ling terhuyung dan membeliakkan mata karena Bu-kek-kangnya yang dingin itu tak mampu merobohkan lawan. Ji-yo-cu yang tadinya terhuyung-huyung dan jatuh bangun itu mendadak sekarang kuat sekali. Bu-kek-kangnya disambut dan ia terpental. Dan ketika ia menjerit dan melengking, saat itulah Beng An berkelebat maka pemuda ini maklum bahwa itulah roh jahat Poan-jin-poan-kwi yang telah memasuki tubuh Ji-yo-Cu. Saudara dari roh di dalam botol itu ada di sini.

"Moi-moi, minggirlah. Ini bagianku dan biar kuhadapi!" Beng An tak mau menunggu lama-lama lagi dan melesat ke depan. la maklum bahwa kekasihnya tak banyak berhasil. Hanya dialah yang mampu karena kakek-kakek jahat itu bekas gurunya. Maka ketika Wei Ling terhuyung didorong mundur, gadis ini pucat dan jatuh terduduk maka Beng An berkelebat dan menampar lawannya itu, mengerahkan Ping-im-kang.

"Plak-plak!" Dua kali tamparan mengenai pundak. Akan tetapi ketika Ji-yo-cu hanya terhuyung dan melotot marah, Beng An terbelalak maka pemuda itu berkelebat lagi menyerang marah, kali ini memperlihatkan giginya menerkam leher. Hanya itu kelemahan Bu-siang-sin-kang.

"Kakek iblis, bersiap dan robohlah kau. Hanya aku yang tahu kelemahanmu!"

Lawan pucat. Melihat Beng An memperlihatkan giginya dan serangan ditujukan ke leher, pemuda itu siap menggigit dan menghancurkan Bu-siang-sin-kang maka kakek itu meloncat dan mengelak. Ia membentak marah namun Beng An mengejar. Ke manapun lari tetap juga diburu. Dan ketika ia menghantam namun Beng An menangkis, jari bergerak dan menangkap ujung baju maka secepat itu Beng An tak menyia-nyiakan kesempatan dan... bress, dua-duanya terguling jatuh dan Beng An meraih leher untuk menggigit daerah lemah itu.

"Keparat, aughhh..." Si kakek meronta namun gigi Beng An telah menancap di sini.

Beng An menerima pukulan namun mengerahkan sin-kang, menggigit dan terus menghisap sampai terdengarlah raung mengerikan yang panjang. Dan ketika kakek itu bergulingan dan meronta menendang-nendang, tetap digigit dan tak dilepaskan lehernya maka Wei Ling tertegun melihat kekasihnya itu seperti orang kesetanan tak mau sudah menghisap dan menancapkan gigi seperti lintah sampai akhirnya kakek itu tak bergerak lagi. Beng An tak melepaskan lawan sampai rohnya keluar. Namun ketika asap hitam itu benar-benar keluar, lagi-lagi melalui lubang telinga maka Beng An terkejut ingat botolnya. Tak mungkin mempergunakan botol yang sudah terisi karena kakek di dalam itu bakal keluar.

"Wei Ling, carikan botol baru...!"

Gadis itu terkejut. Beng An berteriak sambil menubruk asap hitam yang keluar dari lubang telinga Ji-yo-cu itu. Kakek itu akhirnya tewas. Tapi ketika ia tak tahu di mana harus mencari botol, asap itu bergerak dan lenyap melalui bangunan dan pohon-pohon besar maka Beng An meledakkan kedua tangannya dan lenyap pula.

"Beng An!" Gadis ini semakin terkejut saja. la telah bertempur dengan Ji-yo-cu ini dan hampir menangkap ketika tiba-tiba sesuatu melesat di telinga kakek itu. la tak tahu bahwa itulah roh jahat Poan-jin-poan kwi, satu di antara dua asap hitam yang lolos ditangkap Beng An. Dan ketika kakek itu tiba-tiba menjadi lihai, menangkis dan menolak Bu-kek-kangnya maka Wei Ling menjadi kaget sampai akhirnya lengkingannya terdengar Beng An. la telah menemukan lawannya itu di gedung Lim-taijin, pengawal dan pembantu pembesar itu datang.

Tapi ketika dengan mudah ia menghalau orang-orang itu, mengejar dan tetap memburu lawannya maka Ji-yo-cu tak dapat menghindar dan apa boleh buat menghadapi gadis ini lagi, jatuh bangun sampai tiba-tiba muncul roh jahat Poan-jin-poan-kwi itu. la terpekik ketika pukulan-pukulan Bu-kek-kangnya terpental. Tapi ketika Beng An datang dan merobohkan kakek iní, Ji-yo-cu akhirnya tewas maka Wei Ling tertegun menerima perintah itu. Di mana ia harus mencari botol dan untuk apa?

Kalau Beng An mau menunggu sebentar tentu ia dapat mencari. Akan tetapi tidak, Beng An malah lenyap. Dan ketika ia termangu-mangu dan bingung serta heran mendadak terdengar bentakan-bentakan nyaring dan muncullah di kiri kanannya ratusan orang-orang berseragam yang bukan lain pasukan keamanan kota, bersenjata dan mengepungnya dari delapan penjuru.

"Ia membunuh Komandan Utama. Tangkap, gadis ini siluman!"

Wei Ling bergerak. la sudah diserang dan panah serta tombak menyambar dirinya. Dari mana-mana pasukan besar itu membentaknya, Tapi ketíka ia memutar ujung lengan baju dan tombak serta panah patah-patah, yang maju tiba-tíba tertahan dan pucat maka bayangan Beng An berkelebat menyambar dan pemuda itu tiba-tiba menarik tangannya.

"Pergi, kita gagal. Kakek itu lenyap"

Wei Ling girang. Sesungguhnya ia tak senang sendirian di situ, kini kekasihnya muncul dan tentu saja ia menjadi gembira. Dan ketika Beng An berkelebat ke depan dan lengan mengibas ke kiri kanan, orang-orang itu terpaku maka mereka mencelat dan terbanting berteriak. Mereka ini kaget dan melongo betapa tiba-tiba Beng An muncul di situ. Pemuda ini tadinya berujud asap putih, pecah dan muncul dari dalam dan saat itulah ia menyambar kekasihnya.

Sesungguhnya orang-orang itu juga kagum memandang Wei Ling, gadis yang luar biasa cantik tapi di anggap sebagai iblis betina yang membunuh pembantu utama Lim-taijin. Maka ketika Beng An tiba-tiba muncul dan mengibas mereka, tak ayal lagi mereka terpelanting dan berteriak maka Beng An bebas melompat dan membawa kekasihnya pergi.

Tak sukar bagi pemuda itu meninggalkan lawan-lawannya karena sekejap kemudian ia sudah menghilang. Dan ketika pemuda itu lenyap sementara musuh berteriak-teriak, Wei Ling meremas jari kekasihnya ini maka di luar lh-yang di dekat sebuah hutan Beng An berhenti dan melempar tubuh di bawah sebatang pohon rindang.

"Celaka, bahaya buruk. Kakek itu lolos seorang, Wei Ling, kita harus selalu waspada. Ah, tak kusangka ia muncul di sini dan hampir mencelakai kita!"

"Siapa dia itu, aku kok bingung. Apa yang terjadi dan bagaimana asal mulanya Beng An, siapa yang kau maksud dan iblis macam apa yang memasuki tubuh Ji-yo-Cu dan kakaknya itu!"

"la kemasukan roh jahat bekas guruku. Ji-yo-cu dan kakaknya ahli tapa yang tekun. Ah, tak kusangka bekas guru-guruku masih gentayangan di sini moi-moi, dan hanya satu yang berhasil kutangkap. Aku tak tahu apakah ia guruku nomor satu atau dua!"

"Hm, nanti dulu. Aku kok bingung, juga ngeri. Dulu kau katakan bahwa gurumu adalah Bu-beng Sian-su si kakek dewa, Beng An. bagaimana sekarang tiba-tiba ada guru lain sejahat itu. Masa kau menjadi murid seorang kakek iblis!"

"Ceritanya panjang, kebetulan belum kuceritakan. Nah, ketahuilah bahwa sewaktu kecilku dulu aku diculik oleh sepasang dedengkot hitam bernama Poan-jin-poan-kwi ini, kakek iblis berbahaya yang kesaktiannya tinggi. Dan karena waktu itu San Tek juga diambil murid dan dikuasai kakek-kakek ini maka kami berdua menelan semua kemauannya sampai akhirnya aku dibebaskan kakakku Thai Liong!"

"Thai Liong? Putera ayahmu yang lain?"

"Ya, ia berjuluk si Rajawali Merah, moi-moi, dan isterinya telah kau kenal. Itulah enci Shintala yang dulu katanya datang bersama ayah dan keponakan-keponakanku!"

"Oh, wanita cantik dan lihai itu? la isteri kakakmu Thai Liong?"

"Benar, tapi sayang aku tak tahu. Aku sedang dalam perjalanan dan ditawan orang-orang Pulau Api itu. Aku tak tahu bahwa mereka datang. Tapi baiklah kita kembali ke Poan-jin-poan-kwi ini karena roh mereka yang jahat masih gentayangan di dunia. Lihat aku menangkap satu di antara mereka!"

Beng An mengeluarkan botol araknya dan Puteri Es itu tiba-tiba terkejut. Segumpal asap hitam berkeliaran di dalam, samar-samar tampak wajah seorang kakek yang buruk, tua dan bengis namun wajah itu hilang lagi dalam bentuk kabut. Sang Puteri tergetar sepintas beradu pandang dengan sepasang mata merah menyala, jahat dan keji, mundur, dan terkejut. Tapi ketika Beng An menyimpan lagi botol itu, Wei Ling berdebar penuh ngeri maka pemuda itu berkata kepadanya bahwa kakek jahat di dalam botol itu adalah satu di antara dua kakek jahat yang ditangkap.

"Aku tak tahu yang ini Poan-jin ataukah Poan-kwi, tapi rohnya telah kusekap. Menurut ilmu hitam yang pernah kuingat mereka ini tak akan lenyap dari muka bumi, moi-moi, selalu ada dan akan mengganggu siapa saja. Hanya dengan menyekap atau menyimpan rohnya di dalam botol maka mereka tak dapat ke mana-mana, Tapi satu di antara mereka masih di luar, lolos. lni menjadi tanggung jawabku untuk menangkap dan menjebloskan yang satu itu. Dunia bisa geger kalau roh dari kakek-kakek jahat ini tak diamankan."

"Jadi karena itu kau memintaku sebuah botol?" gadis itu terbelalak.

"Ya, tapi terlambat. Seharusnya aku menyiapkannya lebih dulu dan kakek itu lolos. Aku tak berani membuka botol ini karena yang di dalam tentu keluar!"

"Hm-hm, di daratan Tiongkok ternyata banyak orang-orang lihai, sakti. Kukira hanya kami dan orang-orang Pulau api yang paling hebat, Beng An, tak tahunya di luar sini juga ada yang hebat-hebat. Mengagumkan, tapi juga mengerikan. Coba bagaimana kau akhirnya selamat dan kakek itu terbunuh!"

"Hm, ini berkat kakakku Thai Liong, juga kakakku Siang Le. Tapi yang belakangan ini yang paling berjasa karena tanpa dia tak mungkin aku sembuh!"

"Siapa itu Siang Le."

"Kakak iparku yang menjadi suami enciku Soat Eng. Dia ini pemuda suci yang berkat darahnya menyembuhkan aku dari pengaruh jahat Poan-jin-poan-kwi."

Wei Ling tertegun. Bicara sampai di sini tíba-tiba Beng An bersinar-sinar, sikapnya penuh kagum dan tentu saja dia tertarik, Keluarga Pendekar Rambut Emas ini ternyata bukan orang-orang sembarangan. Tapi belum dia bertanya ternyata kekasihnya itu sudah melanjutkan menggenggam tangannya.

"Hmm, kakak iparku yang satu ini benar-benar orang suci, Ling-moi, darahnya demikian bersih hingga mampu menangkal semua pengaruh ilmu hitam. Berkat darahnya inilah aku bebas dari kekuatan Poan-jin-poan-kwi. Aku benar-benar berhutang budi dan jiwa kepadanya!"

"Coba ceritakan tentang itu, bagaimana keluarga kakak iparmu itu."

"Mereka hidup behagia selalu."

"Bukan, bukan itu. Yang ingin kutanyakan adalah kakak iparmu itu. Kalau ia memiliki darah yang suci tentu orang tua atau gurunya sebangsa pendeta!"

“Sama sekali bukan!” Beng An menggeleng, hampir tertawa bergelak. Justeru ini yang mengagumkan, moi-moi. Guru kakakku itu justeru orang jahat, Mo-ong."

"Mo-ong (Raja lblis)? Kau tidak main-main?"

"Ya tidak main-main. Inilah yang mengagumkan hatiku, Ling-moi. Kakakku yang satu itu memang istimewa, ibarat ikan di air laut!"

"Hm bagaimana itu. Kau membuat aku bingung saja, dan heran behwa kau dan orang-orang di keluargamu itu bergaul dengan orang-orang jahat saja!"

"Jangan salah paham," Beng An cepat memberi tahu. Semua ini keadaan di luar kehendak kami, mo-moi. Baik aku maupun kakakku Siang Le itu dipaksa keadaan untuk berdekatan dengan mereka-mereka yang jahat itu. Aku diculik Poan-jin-poan-kwi sementara kakakku Siang Le sejak kecíl diambil murid dan diselamatkan hidupnya semasa menggelandang. Kami bukan sengaja untuk berteman dengan orang-orang jahat."

"Hm, aku percaya. Lalu?"

"Lalu terjadi semua peristiwa itu, kisah kami. Kakakku Siang Le justeru dimusuhi gurunya hingga hampir dibunuh. la tak mau melakukan kejahatan-kejahatan seperti gurunya, ia bahkan menentang!"

"Aneh juga," puteri ini merasa heran. "Guru jahat muridnya biasanya juga jahat Beng An, seperti orang-orang Pulau Api dan keturunannya itu."

"Benar, karena itulah kakakku ini benar-benar istimewa. la diibaratkan ikan oleh Sian-su, ikan di air laut!"

"Bagaimana itu, aku tak mengerti."

"Hm, aku teringat cerita ini. Kau tahu rasanya air laut?"

"Tentu saja, asin,"

"Bagus, dan ikannya?"

"Ikannya?" sang Puteri tertegun. "Apa maksudmu, Beng An, aku belum paham."

"Belum paham? Kau tadi bilang sendiri bahwa kalau sang guru jahat biasanya sang muridpun jahat. Nah, Mo-ong dan kakakku Siang Le itu seperti laut dengan ikannya. Mo-ong boleh jahat tapi muridnya tidak. Inilah yang istimewa pada kakak iparku itu, tak heran kalau ia memiliki darah yang suci. Enciku Soat Eng sungguh beruntung mendapatkan suami seperti itu!"

Gadis iní tertegun. la mula-mula tak mengerti benar tapi ketika otaknya bekerja mendadak iapun tersentak kagum. Adakah manusia seperti itu? Benarkah yang dikata kekasihnya ini? Tapi ketika ia belum bertanya pemuda itupun mengacungkan jempol.

"Lihat perumpamaan yang dikatakan Sian-su ini. Air boleh asin tapi ikannya tidak, moi-moi. Gurunya boleh jahat tapi kakakku bersih. Sekali kau bertemu selamanya kau bakal terkesan. Ha-ha aku tak memuji berlebihan, dan rupanya darahnya yang bersih itu benar-benar telah melenyapkan pengaruh buruk dari Poan-jin-poan-kwi. Aku selamat dan hidup sampai saat ini!"

"Hm, kau menyebut-nyebut Sian-su, kakek dewa itu. Di manakah gurumu itu tinggal dan bisakah suatu saat aku bertemu dengannya? Nenek moyangku juga memuji-muji kakek ini, Beng An, dan aku penasaran untuk bertemu, juga kakak iparmu itu!"

"Sian-su tak dapat ditemui jejaknya, ia hanya muncul kalau ia mau, Tapi kakakku Siang Le dapat kau temui, moi-moi. Dan lihat bahwa ia benar-benar seorang pemuda yang bersih lahir batin."

"Kalau begitu dua anak perempuan itu...?"

"Benar, ia keponakanku Siang Hwa dan Siang Lan. Mereka itulah puteri enciku Soat Eng dan Siang Le!"

"Hm-hm, pantas, dan mereka amat pemberani. Dimanakah mereka tinggal?"

"Sam-liong-to, Pulau Tiga Naga. Mereka di sana di Istana Hantu, moi-moi. Tempat itu menjadi tempat tinggal mereka setelah enciku menikah!"

Gadis ini mengangguk-angguk. Kini ia mulai mengerti dan kagum, tentu saja mengenal dua anak perempuan itu, juga Bun Tiong, yang ternyata putera dari si Rajawali Merah Thai Liong. Dan ketika ia bersinar-sinar dan Beng An dipandangnya kagum, pemuda inipun bukan pemuda sembarangan dan dialah satu-satunya yang berhasil memasuki Lembeh Es maka gadis itu mengangguk-angguk dan menarik napas dalam.

"Kakak dan saudara-saudaramu itu memang orang-orang luar biasa, Beng An, dan aku telah melihat kepandaian ayahmu pula, Entahlah kalau kakakmu Thai Liong."

"la lebih hebat dari aku, setidaknya lebih matang. Tapi kakakku pergi ke Pulau Api mencari aku."

"Ke Pulau Api?"

"Ya, bersama enciku Soat Eng dan suaminya, Siang Le. Tapi aku tak menemukan mereka atau mungkin belum sampai di sana."

"Kenapa mencarimu ke Pulau Api?"

Beng An tiba-tiba merah, teringat kematian ibunya itu. "Mereka ke sana karena Tan-pangcu dan sutenya itu mencari aku, moi-moi, di utara. Dan ibu terbunuh secara kejam!"

"Hm, ini, maaf. Aku tak tahu, Beng An. Aku tak bermaksud mengingatkan kematían ibumu itu. Orang-orang Pulau Api memang jahat, aku juga ingin membunuh mereka!"

"Sudahlah, ayah melarangku menaruh dendam. Dendam tak boleh menguasai hatiku. Hm, sekarang Poan-jin-poan-kwi muncul lagi di dunia ini, moi-moi, mereka pergunakan orang lain. Bagaimana kalau kita lanjutkan perjalanan dan secepatnya bertemu ayah."

"Atau ke Pulau Api?"

"Pulau Api?"

"Ya, aku ingin menghajar orang-orang itu, Beng An, sekaligus menemukan kakakmu Thai Liong. Siapa tahu ia ada di sana dan kita bertemu mereka!"

"Tidak ke ayah dulu?"

"Kupikir belakangan saja. Aku tiba-tiba ingin ke Pulau Api dan melihat bagai mana nasib dua kakek iblis itu, dedengkot mereka. Aku jadi ingin melampiaskan marah dan membuang sebalku!"

Beng An mengerutkan kening. Sesungguhnya ia ingin cepat-cepat menemui ayahnya dan bicara tentang kekasihnya ini, melamar dan mengurus perjodohan mereka. Tapi mendengar kata-kata itu dan betapa iapun ingin mengetahui keadaan kakaknya di sana, kenapa ia tak melihat kakaknya itu akhirnya ia bangkit dan berkata, "Baiklah, tapi sesungguhnya berat juga. Aku ingin bertemu ayah dan Membicarakan persoalan kita ini. Kalau begitu mundur!"

"Apanya yang mundur?"

"Rencana pernikahan kita ini, moi-moi. Aku secepatnya ingin menjadikanmu sebagai isteriku!"

"Hmm, tak malu kau. Urusan itu belakangan dan yang lain lebih penting. ada yang membuat aku agak ragu!" "Ragu? Tentang apa?"

"Hm, jelek-jelek aku penghuni Lembah Es, Beng An. Kalau ayahmu hendak menyelesaikan urusan kita berarti harus melamarku di Sana, menemui supek-bo. Entahlah bagaimana jadinya kalau itu dibicarakan!"

Beng An tertegun. "Tapi kau diusir!"

"Benar, itu hukuman untukku, Beng An, tapi bukan berarti segala-galanya. Aku masih dapat kembali, kalau aku misalnya meninggalkanmu. Atau...!"

"Atau apa?"

"Atau kau atau siapa saja keluargamu dapat mengalahkan bibi guruku."

Beng An terkejut. Tiba-tiba ia berubah dan muram, Hatinya berdesir, teringat betapa saktinya wanita itu. We We Moli bukan wanita main-main dan dia serta ayahnya melawan. Barangkali saja tak mampu. Barangkali Thai Liong, kakaknya. Maka bersinar dan bangkit semangatnya iapun menyambar lengan kekasihnya itu.

"Moi-moi, kurasa tak mungkin kau meninggalkan aku. Apa artinya susah payah ini kalau begitu? Bukankah sia-sia namanya. Tidak, aku masih menaruh harapan. Kalau bibi gurumu itu harus dikalahkan barangkali yang dapat melakukannya adalah kakakku Thai Liong. Tapi haruskah itu dilakukan? Apakah tanpa bibi gurumu kita tak dapat menikah?"

"Maksudmu?"

"Kita cari wali yang lain, moi-moi, pengganti bibimu itu. Misalnya saja teman-teman ayah para ketua-ketua partai!"

"Tidak!" gadis ini tiba-tiba bangkit dan marah. "Bagi orang lain hal itu mungkin, Beng An, tapi bagiku tidak. Aku penghuni Lembah Es, aku telah banyak menerima budi!"

"Hm-hm, aku mengerti. Tapi bagaimana kalau bibi gurumu menolak?"

"Kita... kita..." gadis itu terisak. "Kita tunda pernikahan kita, Beng An, sampai aku direstui...!"

"Astaga, bila tetap tak direstui?"

"Aku sabar menunggu, toh kita tetap bersama!"'

Beng An tertegun. Tiba-tiba ia melihat kekerasan hati yang luar biasa dari kekasihnya ini, sadar bahwa gadis itu adalah Puteri Es, puteri yang sesungguhnya berkedudukan tinggi dan hanya karena asmara sekarang terbuang. Ah, Beng An terharu. Dan karena ia juga sependapat dan biarlah pernikahan ditunda asal mereka tetap bersama maka pemuda ini menarik tubuh kekasihnya dan mencium keningnya.

"Moi-moi, aku yang membuatmu susah". Gadis itu memejamkan mata. Ciuman Beng An yang lembut dan penuh haru membuatnya tersedak. la menunduk dan membenamkan muka ke dada pemuda itu. Lalu ketika sejenak keduanya terbawa perasaan masing-masing, haru dan bahagia akhirnya Beng An membawa kekasihnya ini keluar hutan, tidak lagi menuju utara melainkan ke Pulau Api, menganggap tak ada salahnya ke tempat itu siapa tahu bertemu dengan kakaknya Thai Liong, orang yang tiba-tiba diharap dapat menyelesaikan urusannya di Lembah Es nanti, menghadapi We We Moli!

* * * * * * * *

Sudah terlalu lama kita meninggalkan tiga bersaudara ini. Marilah kita tengok bagaimana keadaan Thai Liong dan Soat Eng serta Siang Le, tiga orang yang menuju Pulau Api untuk mencari Beng An. Dan karena benar mereka terputar-putar di tempat itu, tidak seperti Beng An yang lebih dulu tiba dan akhirnya bertemu dedengkot Pulau Api adalah tiga orang ini sampai di daratan Pulau Api sebulan setelah Beng An.

Siang Le takjub. Pulau Api sendiri mula-mula tak mereka temukan, yang mereka temukan adalah deretan pulau yang, jumlahnya ratusan, menyebar rata di sebuah lautan luas dan itulah Kepulauan Akherat. Thai Liong maupun Siang Le harus bertanya berulang-ulang kepada orang-orang di sepanjang jalan, terutama nelayan. Tapi ketika mereka menggeleng dan banyak yang menyatakan tak tahu, Thai Liong mengerutkan alis maka kebetulan suatu hari ia bertemu seorang laki-laki aneh yang malam itu berjalan di tengah hutan dengan tubuh mencorong. Bagai obor.

"Iblis! " Soat Eng terpekik. "Apa itu, Le-ko, manusia atau siluman!"

"Sst. Thai Liong berseru memberi tanda, sudah melihat itu pula. "Itu manusia, Eng-moi, bukan siluman. Itu adalah orang yang seluruh tubuhnya terisi tenaga Yang-kang (Panas). Rupanya ia tak sadar atau tersesat di sini. "Lihat, ia lingak-linguk mencari sesuatu. Berhenti, jangan membuat kecurigaan!"

Soat Eng dan suaminya menghentikan langkah. Wanita muda itu tersentak dan kaget sekali. Di malam gelap itu tubuh orang itu benar-benar mencorong, kalau bergerak seperti obor berjalan dan sikapnya mencurigakan pula, celingukan dan berhenti dan sudah berada di mulut hutan sebelah luar, menyelinap dan memandang ke tengah dusun di mana waktu itu lamat-lamat ia melihat gapura tua di balik bayang-bayang malam.

Sesungguhnya malam belum begitu gelap namun karena berada di hutan maka suasana di situ gelap pula, hitam. Hanya dusun di luar hutan itu yang tampak jelas, lampu penduduk berkelap-kelip dan rupanya penghuni belum tidur. Waktu belum larut benar dan Soat Eng serta Thai Liong maupun Siang Le mengamati laki-laki aneh ini.

Mereka tak tahu bahwa itulah penghuni Pulau Api yang sedang mencari ransum, seorang murid tingkat tiga di bawah mendiang Yang Tek, jadi cukup lihai juga. Maka ketika tiga orang itu mengamati laki-laki ini dan mereka juga berhenti, Thai Liong curiga mendadak orang itu melesat dan tubuhnya menyambar terbang ke tengah dusun. Gerak langkahnya begitu cepat.

"Hm... ilmu kakinya aneh. Hebat, la sudah di balik gapura!" Thai Liong berseru dan dua temannya mengangguk.

Memang mereka melihat laki-laki itu tahu-tahu meluncur terbang dan sudah di gapura tua, lenyap dan memasuki dusun dan tak ayal lagi tiga orang ini bergerak. Thal Liong tentu saja tak mau kehilangan lawannya itu. Tapi ketika Soat Eng berseru agar diberi kesempatan, dia akan menyusul dan menangkap orang itu maka nyonya muda ini mempergunakan Jing-sian-engnya (Bayangan Seribu Dewa) tak mau didahului.

"Biar aku yang melihat, kalian di belakang saja!"

"Hm," Thai Liong memperlambat langkah, melirik Siang Le. "Isterimu itu pemberani, Siang Le, tak mau kalah. Apakah biar ia di depan kita mengikuti?"

"Biarlah," Siang Le tertawa. "Sudah wataknya, Thai Liong, mau apa lagi. Aku sering mengalah dan kita biarkan saja."

Pemuda itu mengangguk. Kalau si buntung itu sudah bicara begitu tentu saja tak mau mendahului. Kadang-kadang Soat Eng memang tak mau dibantah. Maka ketika ia memperlambat larinya dan sengaja membiarkan Soat Eng, wanita muda itu berkelebat dan lari menyusul lawan maka dilihatnya lawan sudah di belakang sebuah rumah penduduk mengintai ke dalam. Soat Eng mendengar percakapan dua wanita.

"Hmm, mau apa dia," Soat Eng bergerak dan berada lima tombak dari laki-laki ini, cepat menyelinap ke balik sebatang pohon. Setelah dekat ia melihat betapa laki-laki di depannya itu seorang pemuda yang berwajah keras. Tubuhnya serba mencorong bagai bara api saja, hawa panas juga keluar dari tubuh itu. Dan ketika ia juga melihat tubuh yang tegap berotot. ia kagum maka laki-laki ini tiba-tiba mendorong pintu belakang dan patahlah pengganjal yang terbuat dari kayu tua itu, berkelebat masuk.

"Aihhhh...!" Soat Eng mendengar jerit dari dalam. Tentu dua wanita penghuni rumah itu terkejut, siapa tidak kaget kalau tiba-tiba di rumah itu muncul sebangsa mahluk aneh yang tubuhnya menyala-nyala. Dan ketika Soat Eng bergerak dan menyambar ke depan ternyata ia mendengar suara robohnya tubuh dan laki-laki aneh itu telah berkelebat keluar membawa dua wanita muda yang manis-manis. Dua gadis dusun yang rupanya hendak diganggu!

"Keparat!" kontan wanita ini meledak. "Siapa kau, jahanam busuk. Lepaskan gadis-gadis itu dan berhenti!"

Soat Eng menyambar dan melepas Khi-bal-sin-kang. la tidak menunggu lagi dan lawan terkejut, tak menyangka ada musuh di belakang dan menoleh. Tapi ketika ia melihat Soat Eng, wanita cantik bertubuh ramping seketika ia tersenyum dan melihat bayangan ramping mendadak ia mengangkat sebuah kakinya menyambut pukulan Khi-bal-sin-kang itu, tertawa.

Tapi alangkah kagetnya pemuda Pulau Api ini. la bertemu telapak yang lunak halus namun mengeluarkan tenaga seperti karet, dipukul tapi membalik ke arahnya. Dan ketika ia terjengkang dan tentu saja berteriak, dua wanita di tangannya terlempar maka laki-laki itu bergulingan kaget meloncat bangun. Dua gadis tadi roboh tak mampu mengeluarkan suara, rupanya tertotok.

"Siapa kau, berani mengganggu aku!"

"Hm, kenapa tak berani menghadapi manusia busuk macammu ini? Heh, katakan siapa kau, manusia siluman. Ada apa menculik gadis dan tingkah lakumu mencurigakan!"

"Aku, heh-heh... aku Dewa Api!" dan menyambar tak menjawab pertanyaan Soat Eng pemuda itu menyerang dan membalas lawan. Ia penasaran dan kaget oleh pukulan tadi dan kini ingin mencoba lagi. Masa wanita cantik di depannya ini begitu lihai, masa ia kalah. Tapi ketika Soat Eng mengelak dan menggerakkan kaki dari kanan maka kaki itu menyambar pinggang lawan namun dengan cepat lawan memutar dan mengayun tangan kirinya miring membacok. Hawa panas menyambar dari tangan itu disusul bunyi mencicit kuat.

"Dess!" Soat Eng tergetar tapi lawan kembali terjengkang. Hal ini membuat lawan kaget dan percayalah dia bahwa wanita di depannya ini lihai. Murid Pulau Api itu bergulingan, memekik. Dan ketika ia meloncat bangun lagi maka Ia menyerang Soat Eng dan menyambarlah pukulan-pukulan berbahaya yang kian lama kian panas hingga Soat Eng terdesak dan dipaksa mundur, terbelalak dan marah dan saat itu dari dalam rumah terdengar teriakan gaduh. Orang kampung, yang rupanya mendengar dan melihat keributan itu sudah keluar rumah, golok dan parang ada di tangan mereka. Tapi ketika mereka tertegun melihat pertempuran itu, bayangan dua tubuh yang berkelebatan lenyap mendadak dari timur dusun terdengar jerit dan teriakan minta tolong.

"Tolong... tolong... Lo-ma dibunuh orang!"

Kagetlah orang-orang itu. Mereka yang tadinya hendak menyerang den bingung oleh pertempuran ini mendadak melihat api berkobar-kobar di sebelah timur. Kentongan segera dipukul. Dan ketika penduduk pecah dan berhamburan ke sana, seorang wanita tua jatuh bangun melolong-lolong maka Soat Eng yang terkejut oleh berita itu segera melihat bayangan suaminya yang berkelebat ke arah timur.

"Eng-moi, kau bekuk orang itu. Rupanya ada temannya yang lain di sana!"

Murid Pulau Api itu terkejut. la tak menyangka di tempat lain ada seorang gagah lagi, bersembunyi. Dan karena ia merasa tak enak di situ, penduduk sudah keluar dan membunyikan kentongan maka iapun melompat dan tiba-tiba melarikan diri menyambar dua gadis di tanah. "Wanita siluman, kita bertempur di tempat lain kalau berani!"

"Keparat!" Soat Eng tentu saja mengejar. "Siapa takut padamu, jahanam busuk. Di manapun aku berani!"

Namun Thai Liong tiba-tiba menyambar. Pemuda ini telah melihat semuanya di situ dan terkejut serta marah. Maklumlah Ia bahwa lawan rupanya tidak sendirian. Dan karena tadi Siang Le tak mau dibantu, menyuruh ia menjaga Soat Eng maka sekarang ia berpikir lain dan mencegat orang ini.

"Eng-moi, serahkan Ia padaku. Susul dan lihat suamimu di sana!"

Murid Pulau Api itu semakin terkejut lagi. Kini orang ketiga muncul dan tahu-tahu di depannya. Thai Liong mengangkat tangan seolah menyetop. Dan karena ia sedang berlari kencang dan membawa pula dua gadis dusun, tentu saja ia marah maka ia memekik dan menumbuk pemuda itu bagai seekor kerbau murka.

"Minggir!" Akan tetapi yang dihadapi adalah seorang pemuda sakti. Thai Liong adalah Si Rajawali Merah dan Poan-jin-poan-kwi sendiri masih kalah. Maka ketika pemuda itu menumbuk dan kepalanya tepat sekali menghantam dada si Rajawali Merah, Thai Liong tersenyum maka pemuda itu mengerahkan Khi-bal-sin-kang dan murid Pulau Api ini menjerit karena tenaga Yang-kang di kepalanya membalik.

"Aughhh!" Bagai kerbau menembus api pemuda ini terbanting. la mengeluh dan roboh di tanah, sejenak menggelepar namun diam. Tawanannya terlepas. Dan ketika Thai Liong bergerak dan membebaskan gadis-gadis itu, Soat Eng tertegun tapi mendengus berkelebat ke timur maka pemuda itu mendorong gadis-gadis itu agar memasuki rumahnya, menyambar murid Pulau Api

"Masuklah, bersembunyilah. Ada orang-orang jahat di sini!"

Dua gadis itu menjerit. Mereka sadar setelah Thai Liong membebaskan totokan. Mereka mendengar dan melihat semua itu namun tadi tak mampu berkutik. Maka ketika tubuh tiba-tiba bisa digerakkan kembali dan mereka bebas dari bahaya, mereka adalah dua kakak beradik yang tadi bercakap-cakap di dalam rumah maka keduanya berlari ketakutan memasuki rumah, berteriak-teriak.

Thai Liong menarik napas dalam dan menyambar tawanan yang pingsan ini. Ia tak tahu siapa pemuda itu namun tentu saja tertarik. Dari gebrakan sekilas itu ia tahu kepandaian lawan, lumayan, tidak berarti baginya namun bagi orang-orang dusun ini tentu saja berbahaya. Maka ketika ia berkelebat dan menuju ke timur, kentongan dan suara riuh memenuhi tempat itu maka Thai Liong melihat warna merah membakar langit, mengerutkan kening. la maklum bahwa sebuah kebakaran sedang terjadi. Dan ketika ia mengebutkan jubahnya dan lenyap bagai siluman maka si Rajawali Merah ini tertegun melihat apa yang terjadi di timur dusun itu.

Dua laki-laki tua terkapar roboh mandi darah, yang satu bahkan di dekat pintu yang sudah dijilat api. Tapi ketika orang kampung menarik mayatnya dan berteriak-teriak, Soat Eng dan Siang Le tak ada di situ maka pemuda ini maklum bahwa lawan rupanya sudah pergi, meninggalkan tempat itu. Thai Liong berkelebat dan menuju luar dusun. Telinganya yang tajam mendengar bentakan-bentakan di sana, cukup jauh. Dan ketika ia tiba di sini maka benar saja Siang Le dan isterinya mengamuk dikeroyok empat murid Pulau Api yang menyala-nyala tubuhnya itu.

"Bunuh si buntung ini tangkap yang wanita. Hei, mana Ci Teh, Bauw-sute, kenapa tak segera datang!"

"Ia di barat, memisahkan diri. Katanya ingin sendirian agar bebas. Aku... heii!!" laki-laki itu yang terpaksa menghentikan omongannya tiba-tiba menangkis pukulan Soat Eng yang datang dengan cepat.

Wanita ini telah ke timur dusun tapi tak melihat apa-apa. Yang ada hanya jerit tangis dan lolong penghuni rumah. Tapi ketika matanya yang tajam melihat bayangan suaminya, juga empat manusia obor yang melarikan diri keluar maka wanita ini tak mau membuang-buang waktu dan Siang Le membentak empat orang itu. Terjadilah pertempuran dan si buntung ini terkejut. la terhuyung oleh delapan lengan panas dari murid-murid Pulau Api. Tenaga Yang-kang yang dimiliki mereka itu memang hebat-hebat, tak heran karena mereka adalah pewaris dari tokoh sakti Han Sun Kwi.

Tapi karena Siang Le bukan pemuda lemah dan iapun telah digembleng gak-hunya (mertua) sendiri, memiliki Lui-ciang-hoat dan Khi-bal-sin-kang di samping ilmunya meringankan tubuh Jing-sian-eng dan Cui-sian Gin-kang, maka pemuda itu dapat mengelak setiap serangan lawan dan murid-murid Pulau Api itu tentu saja terkejut dan marah bahwa si buntung yang tadinya dipandang rendah ini ternyata hebat juga. Dan saat itu Soat Eng berkelebat datang.

"Siapa tikus-tikus busuk yang tak tahu malu ini. Bedebah, rupanya lagi-lagi bawa perempuan!" Soat Eng marah sekali dan menerjang. la melihat empat gadis desa terikat di sana, tak jauh dengan tumpukan karung berisi makanan kering.

Murid-murid Pulau Api memang selalu mengganggu wanita di kala mereka mencari ransum. Maka ketika datang seorang wanita cantik dan langsung menerjang mereka, bekerja sama dengan si buntung itu maka yang berbaju kusam dari kulit kayu memberi aba-aba agar mengeroyok dan merobohkan dua orang ini.

"Rupanya mereka suami isteri, bagus, bunuh suaminya!"

Namun ucapan itu tidaklah segampang pelaksanaannya. Suami isteri muda itu adalah gemblengan Pendekar Rambut Emas, yang wanita malah puterinya. Maka ketika Soat Eng melepas tamparan-tamparan Khi-bal-sin-kang dan Semua ini membuat lawan terhuyung dan berteriak kaget maka mereka terkejut dan terheran-heran tapi Soat Eng sendiri penasaran karena pukulannya itu tidak merobohkan mereka!

"Keparat, cukup kuat. Pergunakan Cui-sian Gin-kang, Le-ko, gabung dengan Jing-sian-eng. Hajar mereka dan bunuh!"

"Tidak, jangan bunuh," Siang Le menggeleng dan seperti biasa tak suka pembunuhan, mukanya kecut. "Robohkan mereka saja, Eng-moi, dan tangkap serta cari alasannya. Kenapa membuat onar."

Namun Soat Eng tak seperti suaminya. Melihat empat gadis dusun yang terikat di situ saja sudah membuat darahnya mendidih. Mau apalagi laki-laki kotor seperti itu kalau bukan mau memperkosa. Maka ketika ia melengking dan beterbangan lenyap, lawan terkejut dan angin mendesing menampar kepala maka dua diantara mereka menjerit dan roboh, tapi dapat bangun kembali.

"Hm, Rupanya harus dengan senjata!" nyonya itu beringas. "Kalau begini barangkali tahu rasa, tikus-tikus busuk. Terimalah pedangku dan siaplah mampus!" Soat Eng sudah mengeluarkan pedangnya dan siap membunuh ketika tiba-tiba suaminya berseru mencekal pergelangannya.

Siang Le lagi-lagi tak memperkenankan isterinya bersikap telengas sementara lawan-lawan terkejut. Sesungguhnya mereka gentar dan kaget juga oleh sepak terjang nyonya ini. Pukulan mereka membalik dan hanya berkat sinkang mereka yang cukup baik maka mereka mampu bertahan, meloncat bangun setiap terpelanting. Tapi ketika mereka mengeroyok lagi dan Thai Liong muncul di situ, bayangan merah menyambar maka pemuda ini berseru agar suami isteri itu merobohkan saja.

"Memang benar, jangan bunuh. Robohkan mereka dan biar kubantu!"

Empat orang itu terkejut. Datangnya Thai Liong disusul sambaran angin yang membuat mereka terpekik. Pemuda itu mengibas dan tubuh mereka tahu-tahu terangkat naik. Kali ini yang datang adalah Rajawali Merah yang gagah perkasa, tak mungkin mereka mampu bertahan. Dan ketika mereka terlempar dan jatuh bergulingan, satu di antaranya tersangkut di atas pohon maka Thai Liong sudah menggerakkan telunjuknya dan dengan totokan jarak jauh ia membuat empat orang lawannya itu roboh, mengeluh.

"Nah, cukup," pemuda itu berkata, Tak perlu membunuh, Eng-moi. Kita tangkap mereka dan tanya baik-baik."

Empat murid itu pucat. Mereka terkejut bukan main melihat kehebatan pemuda ini, terutama lebih terkejut lagi melihat rambutnya yang kuning keemasan. Thai Liong memang mirip ayahnya. Maka ketika pemuda itu merobohkan mereka dan semua terbelalak pucat maka satu di antaranya menyebut Kim-mou-eng dan teringat Beng An.

"Pendekar Rambut Emas! Dia ayah Kim-kongcu!"

"Hm, aku puteranya," Thai Liong tersenyum, mengangguk pada empat orang itu. "Siapa yang kalian maksud dengan Kim-kongcu, sobat-sobat. Apakah Beng An adikku. Rupanya kalian orang-orang Pulau Api!"

Soat Eng dan Siang Le terkejut. Mereka tak memiliki dugaan sama sekali tentang ini, sadar setelah Thai Liong menyebut itu. Dan ketika empat orang itu tertegun dan membelalakan mata, empat gadis di sana mengeluh dan menggeliat maka Soat Eng meloncat dan sekali ia menabaskan jari maka ikatan itu putus, marah pada empat orang itu.

"Rupanya kalian orang-orang Pulau Api, bagus, aku dapat meminta pertanggungan jawab kalian dengan semua perbuatan ini. He, tak usah menangis dan pergilah kalian. Kalian selamat!"

Yang terakhir itu diserukan Soat Eng kepada empat gadis dusun ini. Mereka menangis dan terisak-isak dan nyonya itu gemas. Sekarang tentu saja ia tak mau diganggu dengan tangis gadis-gadis ini. Maka ketika ia mendorong mereka dan menyuruh pulang, urusannya adalah dengan murid-murid Pulau Api itu maka lalu bangkit berdiri dan ketakutan memandang nyonya muda ini.

"Pulang kataku," Soat Eng tak sabar. "kembali dan pulanglah dan tak perlu ke sini lagi. Mereka ini urusanku dan harap kalian pulang!"

Empat gadis itu mengangguk. Mereka menangis mengucap terima kasih lalu berlarian tergesa-gesa, tersandung dan bangun lagi namun kegembiraan tak dapat disembunyikan lagi. Hutan yang gelap tak diperdulikan lagi. Lalu ketika empat gadis itu hilang dan Soat Eng menghadapi empat orang ini maka pedangnya dicabut mengancam tenggorokan. Siang Le dan Thai Liong membiarkannya di pinggir, maklum bahwa Soat Eng ingin dihargai.

"Kau!" bentaknya. "Beginikah caramu memasuki tempat orang, tikus busuk. Mencuri sekaligus mencari wanita. Begitukah ketuamu Tan pangcu mengajari kalian!"

Empat murid itu terkejut. Kalau wanita ini sudah menyebut Tan-pangcu berarti tidak asing lagi, dan karena mereka sudah mengenal Beng An dan pemuda jubah merah di sana itu seperti Kim-mou-eng, mengaku sebagai puteranya jelas ada hubungan dengan Kim-kongcu itu maka mereka tak berani macam-macam den bentakan ini disambut dengan kepala menunduk.

"Hayo, siapa lagi kawan-kawan kalian yang lain. Mana ketuamu itu atau tokoh-tokoh Pulau Api lainnya!"

"Kami hanya sendiri," satu di antara mereka mengangkat muka, tapi menunduk lagi. "Kami hanya berlima, hujin, maafkan kami!"

"Maafkan, gampang saja! Apakah kalian kira begitu enak mendapat maaf... hah, pimpinan kalian telah membunuh ibuku, dan sekarang antarlah kami ke Pulau Api, atau kalian kubunuh semua dan pedang ini mencoblos tenggorokan!"

Soat Eng main-main dan menggerakkan tangannya tapi wajah empat orang itu tiba-tiba pucat, bukan oleh pedang ini melainkan oleh perintah itu. Siapa berani membawa orang asing ke Pulau Api. Betapa marahnya ketua mereka nanti! Dan ketika masing-masing menggeleng dan minta ampun menyatakan tak berani membawa ke Pulau Api maka Soat Eng tertegun melihat betapa empat tawanannya ini menggigil.

"Kami tak berani membawa ke sana. Kalau hujin ingin berkunjung silakan sendiri, jangan dengan kami. Atau bunuhlah kami dan biar kami mati di sini.”

"Kalian banyak tingkah? Benar-benar ingin kubunuh?"

"Ampun, kami tak berani melanggar hujin. Atau kami siap mati di sini... srat!"

Pedang Soat Eng bergerak menabas ke atas tapi orang itu tak menjerit. la meramkan mata dan saat itu putuslah rambutnya. Soat Eng menggerakkan pedang ke atas bukan ke lehernya. Dan ketika nyonya itu tertegun, ia menggertak saja, main-main dan ingin membuktikan maka Siang Le berkelebat dan si buntung itu berseru.

"Eng moi, rupanya kita harus membebaskan orang-orang ini. Sudahlah, mereka memang tak berani. Biar kita lepaskan dan suruh pergi!"

Siang Le menotok dan membuka jalan darah murid-murid Pulau Api itu. la telah berbisik-bisik dengan Thai Liong dan temannya itu mengangguk. Tapi ketika isterinya marah dan melompat ke depan, enak saja orang-orang itu dilepaskan maka nyonya ini berseru, nyaring, galak,

"Le-ko, manusia-manusia macam ini tak perlu dikasih hati, tak perlu dikasihani. Daripada dibebaskan lebih baik kubunuh!" namun ketika pedang bergerak dan benar-benar hendak menebas leher empat murid itu pucat maka Siang Le menahan lengan isterinya dan di kakaknya berseru.

"Eng-moi, Suaminmu benar. Mereka ini tak berguna. Biarkan merek pergi dan mari kita juga pergi!"

Thai Liong bergerak dan menyambar tangannya. la dibawa keluar hutan dan Siang Le menyusul. Lalu ketika ia terkejut dan menjadi marah, juga Penasaran, maka di sana Thai Liong berbisik lirih, "Jangan bodoh, di tanganku masih ada seorang tawanan. Kalau mereka memilih mati daripada pulang tentu ancaman di sana menakutkan mereka, Eng-moi. Biarkan mereka pergi dan kita menguntit di belakang."

Sadarlah wanita ini. Soat Eng lenyap kemarahannya dan iapun tak meronta-ronta lagi. Tadinya ia menjerit dan berteriak agar orang-orang itu dibunuh. Empat murid Pulau Api itu pucat dan ngeri. Mereka lebih takut menghadapi Soat Eng daripada Siang Le atau Thai Liong. Maka ketika Siang Le membebaskan mereka dan tak ayal lagi semua memutar tubuh,lari. maka mereka tak tahu bahwa di dalam hutan Thai Liong berhenti dan tersenyum, melepaskan adik perempuannya itu.

"Nah, sekarang bagus. Kita disangka benar-benar membebeskan mereka dan mari ikuti lagi. Tentu mereka ke pantai dan mengambil perahu. Ayo, kembali dan hati-hati jangan terlihat."

Nyonya ini berseri. Setelah dia tahu yang dimaksud kakaknya tentu saja dia lega. Tawenan yang satu masih dibawa dan dia bertanya untuk apa itu, bukankah sebaiknya dibuang. Tapi ketika Thai Liong menjawab bahwa tawanan masih diperlukan, siapn tahu nanti berguna maka wanita itu tak bertanya lagi sementara Thai Liong berkelebat ke depan menghilang mengejar empat orang itu.

Siang Le memandang isterinya dan mengangguk. Selama ini mereka memang menyusuri pantai dan selalu berdekatan dengan kampung-kampung nelayan, hanya beberapa saja yang agak jauh ke dalam tapi itupun tidak banyak. Maka ketika ia menyambar lengan isterinya dan Soat Eng tak cemberut mengangguk, mereka bergerak maka benar saja di luar hutan itu empat tawanan tadi berlompatan ke dalam dua perahu, bergerak dan mendayung dan sebentar kemudian telah ke tengah laut.

"Hm, tak ada perahu," Siang Le mengomel. "Bagaimana kita, Eng-moi. Bisakah mereka tak mengetahui kita kalau mengejar?"

"Tanya Liong-ko saja," So Eng memandang kakaknya yang juge mencari-cari perahu, celingukan. "Bagaimana pendapatmu, Liong-ko, dikejar atau tidak!"

"Sebenarnya aku dapat mempergunakan Beng-tau-sin-jin (ilmu Roh), tapi masa tiga orang harus memasuki jubahku!"

"Kalau begitu cari perahu saja, Thai Liong. Lihat di balik gerumbul itu ada!"

Siang Le berseru setelah celingukan ke sana ke mari, menuding dan benar saja di balik pohon-pohon gelap terdapat sebuah perahu yang bergoyang-goyang, tapi tak lari dari tempatnya dan tentu saja si buntung itu girang. Dan ketika ia sudah melompat dan menyambar perahu itu, melepas ikatannya maka Thai Liong terenyum berkelebat menyusul, tawanan dilempar ke dalam.

"Bagus, ayo Eng-moi masuk!"

Soat Eng tak menunggu waktu lagi. Ia pun tak banyak bicara dan berkelebat memasuki perahu itu, hampir saja miring namun Thal Liong sudah menyeimbangkan perahu dengan tangannya. Lalu ketika kakaknya itu mendayung mempergunakan tangannya yang kuat , perahu melesat dan mengejar perahu di depan maka disusullah perahu murid-murid Pulau Api itu, dibantu Siang Le yang membuat perahu melesat lebih cepat lagi, seakan terbang.

"Hei, jangan cepat-cepat, Siang Le, jangan buru-buru. Kita atur jarak agar tak kehilangan jejak saja!"

Siang Le sadar. la mengangguk dan akhirnya di malam gelap itu tiga perahu bergerak di tengah lautan. Bagi Si buntung ini bukanlah sukar kalau bermain-main di laut. Tempat tinggalnya adalah Sam-liong-to, pulau yang dikelilingi lautan. Tapi ketika dua jam kemudian perahu di depan memisah diri, pemuda itu terkejut maka Thai Liong juga tertegun karena seakan tahu dikuntit mendadak peranu-perahu itu mengambil arah berlainan!

"Hm, apa yang terjadi. Masa kita ketahuan!"

"Tak mungkin," Siang Le menggeleng. "Lautan ini gelap, hanya bintang di langit yang buram menerangi sedikit. Aku curiga bahwa itulah peraturan murid-murid Pulau Api apabila pergi secara berkelompok!"

Dugaan ini memang benar Tan Siok atau Tan-pangcu sudah menetapkan peraturan bahwa siapapun murid-murid Pulau Api tak boleh bergerombol mendatangi pulau, apalagi kalau baru saja bertemu musuh. Maka ketika dua perahu itu berpisah dan ini membingungkan Thai Liong, siapa yang akan diikuti tiba-tiba pemuda itu teringat tawanannya dan membebaskan totokannya menyadarkan dengan tekanan kuat.

"Hei... bangun, beri tahu kami arah mana menuju Pulau Api!"

Murid itu terkejut. la mengeluh dan sadar dan sejenak bingung melihat bintang-bintang bertaburan. Ia menggeletak di lantai perahu menghadap ke atas, yang ada ialah bintang-bintang itu. Tapi ketika ia didudukkan dan tengkuknya ditekan Thai Liong, tersentak maka murid ini berubah dan tiba-tiba berteriak.

"Lepaskan aku!"

Namun Thai Liong menotok pundaknya. Tawanan roboh dan urat gagupun diketuk, ia tak mampu bersuara. Dan ketika ia terbelalak sementara Soat Eng bengis mencabut pedang, kembali mengancam dengan menekan leher lawan maka nyonya itu tak sabar melihat perahu semakin menjauh, dua perahu itu berpencar lebar.

"Cepat, atau tenggorokanmu kutusuk!"

Siang Le menggeleng kepala. Lagi-lagi ia melihat isterinya bersikap bengis,sikap yang dapat dibuktikan sewaktu-waktu kalau lawan membuat marah. Dan ketika ia khawatir namun Thai Liong tersenyum mengedip, sang kakak selalu berjaga maka tawanan mengeluh dan ah-uh-ah-uh tak mampu bicara.

"Hm, jangan berteriak kalau tak ingin tersiksa. Bicara baik-baik atau kepalamu kubenamkan ke air," Thai Liong membebaskan urat gagu dan pura-pura bersikap bengis pula. la menekan punggung orang yang membuat murid Pulau Api itu mengerang, ribuan semut api seakan menggigiti tubuhnya. Dan ketika ia mengangguk dan meminta ampun, biarlah bicara baik-baik maka Soat Eng disuruh meryimpan pedangnya agar tak membuatnya ketakutan.

"Aku... aku tak berani bicara. Tapi kalau hendak mengikuti mereka belokkanlah perahu mengejar yang kiri itu. Ampun... lepaskan aku!"

"Hm, tentu kulepaskan, tapi setelah menemukan pulaumu. Baik, terima kasih, sobat. Tidurlah lagi tapi awas kalau bohong!" Thai Liong menggerakkan jarinya lagi dan murid itu roboh. Ia tak melihat betapa pucat wajah tawanannya ini. Kata-kata Thai Liong seakan mengantarnya ke neraka. Tapi karena ia ditotok kembali dan roboh terguling, Thai Liong menggerakkan perahu mengejar yang kiri maka Soat Eng membantu karena jarak sudah terlalu jauh.

Tapi Thai Liong dibuat curiga. Lewat tengah malam menjelang pagi, setelah perjalanan dilakukan enam jam maka yang mulai terlihat adalah segundukan tanah hitam di depan sana. Mereka rupanya mendekati daratan namun bukan Pulau Api. Pulau itu seperti pulau biasa-biasa saja yang tak memiliki keistimewaan, ia curiga. Dan ketika ia bertanya bagaimana baiknya sekarang, sebentar lagi mereka bakal terlihat maka Soat Eng berdiri mengepalkan tinju.

"Baiknya didahului saja, cegat dan tangkap. Suruh mereka membawa kita kepada pemimpinnya, Liong-ko, atau bunuh karena kita sudah di sini!"

"Hm, ini bukan Pulau Api, kita rupanya dibawa ke tempat lain. Tangkap dan bunuh pekerjaan gampang, Eng-moi, tapi bukan tujuan utama. Bagaimana pendapat suamimu atau aku harus memutuskan cepat!"

"Kau benar, aku juga curiga. Ini bukan Pulau Api, Thai Liong, ini pulau biasa. Sebaiknya mendarat di tempat lain saja dan kita ikuti dari jauh!"

"Untuk apa!" Soat Eng berseru. "Semalam kita mengejar, Le-ko, masa masih juga tak ada penyelesaian. Tidak, aku lebih baik menangkap mereka dan biar mereka tahu... hooiiiii!" nyonya itu tiba- tiba membawa telapak ke mulut, berteriak, mengejutkan Thai Liong dan juga perahu di depan, yang tiba-tiba berhenti.

"Jangan kalian maju lagi, tikus-tikus busuk. Berhenti di situ dan lihat kami datang!"

Dengan gerakan kuat tiba-tiba nyonya itu mengangkat perahunya yang meluncur ke depan. Perahu tidak menyentuh permukaan air lagi melainkan terangkat naik, benar-benar terbang dan ketika jatuh wanita ini sudah memukulkan telapaknya ke permukaan laut, membuat perahu meloncat dan terbang lagi ke depan. Dan ketika gerakan ini membuat lawan menjadi terkejut, sekejap saja Soat Eng sudah mendekati mereka maka tak ayal lagi dua murid Pulau Api itu memekik dan merekapun menggerakkan perahu melarikan diri!

Namun Soat Eng tertawa mengejek. la sudah mencegat di depan dan dua orang itu pucat, ke manapun berputar kesitu pula si nyonya menghadang. Ketika mereka berseru dan bangkit berdiri tiba-tiba keduanya mencebur meninggalkan perahu. Matahari di timur sudah menampakkan cahayanya yang kemerah-merahan.

"Byuuuuurrrr!"

Sang nyonya mengerutkan kening. Ia tak menyangka lawan meninggalkan perahu mencebur ke laut. Dan ketika ia tertegun membelalakkan mata mendadak perahu berguncang dan terangkat naik. Kiranya dua orang itu menyelam dan kini mencoba membalikkan perahu untuk mencelakai mereka! Akan tetapi yang ada di atas perahu adalah orang-orang keturunan Pendeker Rambut Emas. Thai Liong tersenyum-senyum saja tak melakukan sesuatu, sengaja membiarkan semuanya diselesaikan adiknya itu. Dan ketika di sana Siang Lee juga tersenyum-senyum, sejenak terkejut tapi tertawa kecil maka Soat Eng membentak dan mengerahkan Jing-kin-kang (Tenaga Seribu Kati).

Tenaga membuat perahu menjadi berat dan dua orang di bawah terkejut. Mereka memang hendak membalikkan perahu dan menyangka dengan begitu dapat menguasai lawan. Kalau tiga orang itu tercebur tentu di dalam air mereka dapat mencelakai nyonya muda dan dua temannya itu. Maka ketika perahu tiba-tiba turun lagi dan mereka tersentak, mengangkat namun tertekan ke bawah maka Soat Eng mengibaskan lengannya dan kepala dua orang itu yang muncul sedikit dihantam.

"Plak!" Kepala itu terbenam. Dua orang ini berteriak di dalam air dan sebelum mereka berbuat banyak nyonya itupun sudah melepas ikat pinggangnya. Sekali senjata itu meledak tahu-tahu membelit kaki lawan menarik dan membetot mereka hingga tak ampun lagi dua orang ini pucat. Mereka masih pening oleh pukulan di kepala tadi. Dan ketika mereka berdebuk dan jatuh di lantai perahu, setengah pingsan maka nyonya itu menginjak dada mereka dengan kemarahan ditahan. Perahu terus bergerak dan kini sudah mendarat di pulau itu.

"Nah, macam-macam apalagi. Bicara terus terang atau kalian mampus!"

Dua orang itu pucat. Thai Liong dan siang Le sudah melompat turun dan Rajawali Merah itu rupanya tak mau mengganggu Soat Eng, membiarkan adiknya mengancam dua murid Pulau Api itu namun Siang Le tiba-tiba berteriak. Si buntung itu menunjuk ke dalam. Dan ketika Thai Liong terkejut karena tawanan pertama mulutnya berdarah, ujung lidahnya keluar maka Siang Le sudah bergerak dan menyambar pemuda Pulau Api ini, berseru tertahan.

"la tewas, lidahnya putus!"

Thai Liong terkejut. Kiranya tawanan akhirnya membunuh diri dan menyesallah dia kenapa tak memperhatikan lagi. Lama totokannya memang sudah berakhir, urat gagu itu terbebas dan tawanan dapat menggerakkan rahang. Dan ketika ia tertegun dan sedikit berubah, Siang Le juga tampak menyesal mendadak satu dari dua tawanan Soat Eng melompat dan menubruk nyonya itu, menggigit.

"Keparat!" Soat Eng menjadi marah dan tanpa ampun lagi menggerakkan tangan kiri menampar. la sudah menahan-nahan kemarahannya sejak tadi dan kini tahu-tahu diserang secara gelap, ketika ia lengah dan memandang pemuda Pulau Api yang membunuh diri itu. Maka ketika jarinya menampar dan Khi-bal-sin-kang mengenai pelipis lawan, menjerit dan roboh maka murid Pulau Api itu tewas dengan kepala retak!

"Ah, jangan membunuh!" Siang Le melompat dan menegur isterinya itu. "Mereka bukan lawan utama kita, Eng-moi. Tak perlu menurunkan tangan keras. Jangan membunuh!" tapi karena murid itu sudah roboh dan tak bergerak-gerak lagi.

Soat Eng gemas mendengar kata-kata suaminya ini iapun menendang dan dua mayat itu terlempar ke lautan. "Tidak membunuhpun mereka mampus. Kalau ia tak menyerangku secara tiba-tiba tak mungkin aku menghajarnya, Le-ko. Tikus-tikus macam begini tak perlu dikasihani lagi. Hayo, kaupun mampuslah!"

Bentakan itu ditujukan kepada tawanan terakhir. Soat Eng masih di atas perahu dan tawanan gemetar, murid Pulau Api itu gentar. Tapi ketika ia pucat menjatuhkan diri berlutut, kematian dua temannya rupanya membuatnya takut maka ia menangis mengiba-iba.

"Ampun.. ampunkan aku. Aku tak akan membunuh diri tapi juga jangan dibunuh, hujin. Aku akan membawa kalian ke Pulau Api tapi segera bebaskan aku begitu di sana. Aku akan menunjukkan kepada kalian tempat itu!"

Thai Liong bergerak dan mencengkeram tawanan ini, mendahului Soat Eng. "Kau sungguh-sungguh? Kau tidak main-main heh...!"

"Ampun... aku sungguh-sungguh, siauwhiap, tapi lindungi aku dari kemarahan pangcu. Aku akan membawa kalian ke sana tapi bebaskan aku sebelum ketahuan!"

"Baik," Thai Liong melihat kesungguhan tawanannya ini. "Kalau kau bohong jangan tanya dosa lagi, kecoa cilik. Aku akan melemparmu dan membenamkanmu ke laut. Biar dimakan hiu!"

Murid itu mengangguk-angguk dan menggigil ketakutan. Ternyata ngeri melihat kematian. Bunuh diri atau dibunuh ternyata sama-sama tak enak, dia begitu gelisah. Maka ketika berkat murid ini Thai Liong dibawa ke Pulau Api, menuju pulau yang dari jauh sudah tampak kemerah-merahan maka tujuh ratus meter dari tempat itu murid itu sudah buru-buru minta dibebaskan. Thai Liong dan Siang Le maupun Soat Engt tertegun melihat sekeliling air laut mendidih, kian dekat ke pulau kian panas, bergemuruh!

"Hm, aku percaya. Ini tentu Pulau Api. Bagaimana pendapatmu, Siang Le, apakah sebaiknya tawanan dibebaskan."

"Kupikir begitu. Pulau di Sana itu bentuknya luar biasa, Thai Liong, seolah terbakar. Aku percaya bahwa itu Pulau Api dan biar ia bebas!"

Tawanan menjadi girang. Dua orang yang bicara itu merupakan jaminan dan matahari sudah naik tinggi. Maka ketika ia dibebaskan tapi bingung tak ada perahu, bagaimana ia lari maka Thai Liong menunjuk pulau lain tak jauh dari situ.

"Bagaimana dengan pulau itu. Maukah kulempar ke sana?"

"Aku... aku hendak dilempar?"

"Ya, kalau kau mau bebas, sobat. Tapi boleh juga berenang kalau tak mau kubantu."

"Ah, tidak, tentu saja! Eh, aku mau dilempar daripada berenang. Tapi, eh... bisakah siauw-hiap melakukannya!"

Thai Liong tak banyak bicara lagi. Begitu lawan mau dilempar mendadak ia menggerakkan jubahnya. Jubah itu menggelembung dan tiba-tiba serangkum angin dahsyat menyambar, menerpa dan mengangkat murid Pulau Api itu hingga terlempar dari perahu, terbang dan berteriak menuju pulau tak jauh dari Pulau Api itu. Dan ketika Siang Le tersenyum dan tertawa geli, cepat sekali murid itu melayang di sana maka ia jatuh dan terbanting di pulau yang dimaksud ini.

Tapi dua bayangan tiba-tiba muncul. Thai Liong tertegun melihat itu, juga Siang Le dan Soat Eng. Lalu ketika mereka mengerutkan kening karena itulah dua murid yang lain, yang semalam berada di perahu kedua maka tampak kelebatan pedang dan jerit ngeri memecah pulau karena tawanan yang baru saja mereka bebaskan itu ditusuk pedang.

"Aughhh...!" Siang Le memejamkan mata. Kiranya ditempat itu menunggu orang-orang Pulau Api yang lain, terbukti dari bayangan-bayangan yang berkelebat tapi kemudian menghilang. Dan ketika ia termangu-mangu namun isterinya tertawa dingin, Soat Eng sama sekali tak merasa kasihan mendadak nyonya ini memutar perahu menuju ke pulau itu, tidak lagi ke Pulau Api.

"Kita ke sana, rupanya tikus busuk itu menipu lagi...!"