"HM, memalukan!" pemuda ini bersungut. "Nanti di kota akan kucarikan pakaian untukmu, moi-moi. Masa hanya itu saja yang terbawa. Ah, seharusnya aku lebih teliti!"
"Tak apa," puteri ini tertawa. "Kita serba terburu-buru, Beng An. Tak perlu hal-hal sekecil itu sampai kau pikirkan. Sudahlah, aku juga dapat memikirkan diriku."
"Tidak," pemuda ini bersikeras. "Aku bertanggung jawab penuh atas dirimu, Moi-moi. Apa kata orang kalau kubiarkan dirimu begitu saja. Ah, mari berangkat dan kita cari pakaian yang pantas!"
Gadis. itu menarik napas dalam. Sesungguhnya ia merasa risi hanya dengan pakaian yang menempel di tubuh itu. Bagaimana jika ingin bersalin, bagaimana kalau harus berganti yang bersih sementara itu mulai kotor. Dan ketika mereka melanjutkan perjalanan namun kota masih terlalu jauh, dusun sederhana yang mereka jumpai maka di sini Beng An berhenti dan mengerutkan alisnya. Itu perjalanan hari kedua sejak menikmati kelinci panggang.
"Kau đi sini dulu," katanya. "Aku masuk ke dusun itu, moi-moi. Kucarikan ke butuhanmu dulu dan jangan ikut agar tidak menarik perhatian orang."
"Kenapa begitu? Bukankah aku dapat melumuri wajahku?"
"Tidak, jangan, moi-moi. Kau tak usah melumuri wajahmu dan jangan membuat kotor. Sudahlah, kau di sini dulu dan aku ke sana!" Beng An berkelebat dan tak mau dibantah lagi. Kekasihnya memang dapat melumuri wajah akan tetapi dia tak mau. Sayang akan wajah cantik itu. Maka ketika ia bergerak dan masuk dusun, mencari dan menemukan sebuah jemuran maka tanpa ba-bi-bu lagi pemuda itu menyambar ini, membawa lari.
"Hei, hei...!" seorang nenek tiba-tiba berteriak, muncul. "Apa yang kau lakukan anak muda. Heii, itu pakaian anakku. Jangan dibawa lari. Heiii...!"
Beng An berkelebat hilang. Mukanya merah padam karerna tentu saja tak disangkanya pemiliknya muncul. Ia sudah menengok sana-sini dan tak melihat apa-apa. Haru dan kasih sayang kepada kekasih membuat ia tak banyak berpikir panjang lagi. Ini gara-gara cinta! Dan ketika ia muncul di luar dusun itu dan Puteri Es duduk menunggu, tenang dan santai maka ia tersenyum dan tertawa berseru,
"Moi-moi, sudah kudapat. Kupikir cocok. Pakailah, tapi sayang terbuat dari kain kasar!"
Puteri berdiri dan bangkit menyambut pemuda itu. Wajahnya berseri dan kemerahan tapi ketika menerima itu mendadak alisnya berkerut. Wajah yang gembira itu tiba-tiba gelap, sinar matanya tajam menyambar Beng An dengan tuduhan curiga. Beng An terkejut. Dan ketika pemuda itu mundur dan berdebar tak enak maka kekasihnya bertanya, dingin,
"Kau dapatkan dari mana ini?"
"Dari dusun..."
"Benar tapi kenapa basah, Beng An. Pasti kau menyambarnya dari jemuran. Kau mencuri!"
Beng An kelabakan. la begitu tergesa hingga lupa bahwa kekasihnya ini bukan gadis sembarangan. Puteri Es adalah wanita cerdas yang dapat menangkap sesutu dengan tajam. Sedikit kejanggalan saja dapat ditebaknya. Dan itu cocok! Maka ketika gadis itu melemparnya kembali dan minta dikembalikan tentu saja Beng An merah padam, apalagi ketika nenek itu tiba-tiba muncul, berteriak-teriak.
"Heii, kembalikan itu, anak muda. Itu satu-satunya yang dimiliki anak perempuanku yang paling bungsu. Dia akan menikah, itu dari calon pengantin pria!"
Bukan main malunya Beng An. la merah padam dan gugup serta jengah. Wei Ling memandangnya dingin. Dan ketika ia semburat bagai kepiting direbus maka Wei Ling berkelebat dan menyuruh ia meminta maaf! "Aku bersalah," Beng An bergerak dan mendahului nenek itu, menunduk dalam- dalam. "Aku telah mencuri milikmu, nek. Terimalah kembali dan maafkan aku!"
Nenek itu tertegun. la telah berhadapan dengan Beng An ketika tiba-tiba pemuda itu membungkuk dan menyerahkan kembali dua potong pakaian itu. Baru sekarang ada pencuri mengembalikan baik-baik, dan pemuda itu menangis pula! Dan ketika nenek ini terbelalak dan heran serta aneh, kemarahan lenyap terganti rasa iba maka iapun tertegun bertanya,
"Kau... kau tak punya uang untuk membeli? Siapa gadis cantik bersamamu tadi? Kekasihmu?"
"Maaf," Beng An menghapus air matanya, terpukul dan membalik. "Aku telah menyerahkan milikmu, nek. Sudahlah jangan bertanya macam-macam karena perasaanku jadi sakit saja!"
"Hei nenek itu berseru, Beng An berkelebat pergi. "Tunggu, anak muda. Kalau begitu kuberikan ini. Kalian tampaknya baru melakukan perjalanan jauh!"
"Terima kasih," Beng An tak menggubris "kekasihku terlanjur marah, nek. Pulanglah dan sekali lagi maafkan aku!"
Nenek itu bengong. Tiba-tiba ia mengerti bahwa apa yang dilakukan pemuda itu demi kekasihnya yang dicinta itu. Sekilas Ia melihat wajah Puteri Es yang jelita, wajah seorang ningrat! Dan ketika ia termangu dan menyesal kenapa memarahi pemuda itu maka di sana Beng An menyusul kekasihnya yang cemberut di batu hitam. Puteri Es marah.
"Maafkan aku!" Beng An mengeluh dan memegang lengan kekasihnya ini. "Pikiranku memang buruk, moi-moi, tapi semua itu sudah kubersihkan dan kukembalikan kepada pemiliknya. Aku tak akan kuulangi lagi."
"Kau memang terlalu," gadis itu cemberut. "Hilang harga điriku kalau memakai barang curian, Beng An. Masa sebegitu dangkal pikiranmu. Kau membuatku malu!"
"Aku tak akan mengulanginya lagi" Beng An berjanji. "Tapi.. . tapi aku tak mempunyai uang, moi-moi, padahal kau membutuhkan itu. Kau perlu ganti pakaian!"
"Benar, tapi bukan dengan mencuri, Beng An. Kau membuat aku marah!'"
"Maafkanlah, aku tak akan mengulanginya. Aku... aku bingung melihat kita seperti ini dan bagaimana sekarang baiknya?"
Puteri itu tepekur. Kegembiraan lenyap terganti rasa marah. la malu dan marah oleh perbuatan Beng An. Namun karena pemuda ini sudah meminta maaf dan mengembalikan pada si nenek akhirnya ia mendorong Beng An meloncat turun, berkata singkat, "Kita lanjutkan perjalanan dan jangan hiraukan persoalan kecil ini!"
Beng An tertegun. la merasa salah namun mengeraskan hati. Apa yang dilakukan adalah demi kekasihnya ini. Kalau dia kena marah memang wajar, kekasih mana mau memakai baju curian! Dan ketika ia tersenyum dan tiba-tiba tertawa, gadis itu menengok dan terkejut maka pemuda ini mengambil batu merobohkan sebatang pohon. Sekali sambit membuat pohon itu tumbang.
"Heii, tunggu, moi-moi. Ada akal bagus... bumm!"
Puteri Es berhenti. Ia terkejut oleh perbuatan Beng An tapi lebih terkejut lagi ketika pemuda itu berkelebat dan menggerakkan tangannya lima kali membacok. Pohon besar itu terpotong-potong dan pemuda ini masih menggunakan dua jarinya menusuk dan merobek. Luar biasa, potongan pohon itupun terbelah menjadi kayu bakar. Lalu ketika Beng An mengikat dan mengangkut itu lewat pundaknya maka pemuda inipun melangkah tegap memasuki dusun, kembali ke tempat nenek itu.
"Aku akan menukar ini dengan cara barter. Aku akan menemui nenek itu. Tunggulah di sini dan kuambil lagi pakaian itu untukmu!"
Sang puteri terbelalak. Mata yang lebar jernih itu terkejut, alis yang hitam menjelirit itu terangkat naik. Betapa manisnya. Tapi ketika wajah itu memerah dan pandang mata itu berseri mendadak sang puteri terkekeh dan memuji. "Hi-hik, kau hendak menjual kayu itu kepada nenek itu, Beng An? Kau hendak kembali ke dusun?"
"Untukmu, moi-moi. Segala siap kulakukan tapi kini berjalan halal, ha-ha..."
Puteri Es terkekeh-kekeh geli. Beng An memanggul kayu itu dengan cara lucu dan terseok-seok. la gembira mendengar kekasihnya tertawa. Tapi ketika ia berkelebat dan lenyap menggunakan langkah kakinya yang ringan maka Beng An sudah di tempat nenek itu yang tentu saja bengong dan terkejut melihat pemuda itu memikul dua onggok kayu bakar sebesar bukit. Hanya kepala dan sedikit rambut itu yang tampak!
"Heii, kau ini?"
"Benar...!" Beng An meletakkan kayu itu hingga berderak, suaranya menggetarkan tanah berpijak. "Aku ingin barter, nek, tukar-menukar. Aku tak mau cuma-cuma menerima milikmu dan ambillah ini tapi berikan dua potong pakaian tadi!"
"Heh-heh..." si nenek terpingkal-pingkal. Kau lucu, anak muda. Mencuri dan bertobat lalu sekarang menjual kayu bakar. Heh-heh, tanpa inipun sudah kurelakan untukmu. Ambillah, aku juga masih menyimpannya. Tak perlu kayu sebanyak ini kalau kau benar-benar memerlukan pakaian itu."
"Tidak, aku tak mau cuma-cuma, nek. Nanti kekasihkupun marah lagi. Terimalah atau kubawa lagi kayu ini kalau kau menolak!"
Sang nenek tertegun. Beng An berkata sungguh-sungguh dan tawa itupun berhenti. Aneh, si nenek menangis pula saking geli. Tapi ketika ia menarik napas dalam-dalam dan mengamati pemuda itu maka ia kagum akan wajah dan sikap yang gagah ini, mengangguk dan masuk. "Baiklah, barter ya barter, tapi harus adil. Tunggu sebentar dan kubawa sesuatu."
Beng An mengerutkan kening. Ia mengusap peluh dan bertanya-tanya apa yang hendak diambil nenek itu. la sebenarnya mau cepat-cepat pergi. Tapi ketika nenek itu muncul dan membawa bungkusan, serta segelas air maka nenek itu tersenyum memberikannya.
"Kau anak muda penuh semangat, aku yang tua ini kagum. Baiklah, minum segelas air ini, anak muda, dan terimalah ini sebagai tambahan."
"Apa itu?' Beng An mengerutkan kening. "Dua potong pakaian laki-laki, punya menantuku yang lain. Terimalah tapi maaf pakaian petani yang sederhana saja."
Beng An tertawa. la menerima dan mengucapkan terima kasih dan air minum itupun disambarnya. Peluh di dahinya itu rupanya menimbulkan iba si nenek. Maka ketika ia menghabiskan air dingin itu dan tertawa mengucap terima kasih, mengembalikannya kepada si nenek maka Beng An berkelebat dan lenyap seperti iblis. "Ha-ha, terima kasih. Kau baik dan lembut hati, nek. Tak akan kulupa jasa baikmu ini dan selamat berpisah!"
Si nenek mengangguk-angguk. la masih kagum oleh kekuatan Beng An memikul kayu bakar tadi. Kayu itu masih disitu dan tingginya hampir menyentuh genteng. Bukan main kuat dan hebatnya pemuda itu. Tapi ketika Beng An bergerak dan lenyap seperti iblis mau tak mau ia merinding juga. "Hm... demitkah pemuda itu. Atau hantu kesiangan!"
Beng An tertawa geli membawa buntalan si nenek. la tentu saja tak menghiraukan nenek itu lagi ketika tiba di tempat kekasihnya. Wei Ling menunggu berseri-seri. Dan ketika wajah itu tampak gembira sementara bulu lentik itu juga terangkat naik berseri-seri maka Beng An melempar pakaian wanitanya kepada kekasihnya. "Moi-moi, kali ini halal. Pakailah pakaian itu dan jangan khawatir barang curian."
Puteri Es tertawa. Rasa marahnya lenyap terganti rasa kagum, juga haru. Demikian besar perhatian Beng An kepadanya. Maka ketika ia menangkap dan menerima itu tapi heran oleh bungkusan di tangan Beng An maka gadis ini bertanya, "Hei, apa lagi itu? Kau membawa apa?"
"Ha-ha, nenek itu benar-bena baik, memberiku pakaian pula, laki-laki.Hayo kita saling bertukar pakaian dan lihat siapakah yang lebih patut!"
Gadis ini tertawa. Akhirnya ia mengangguk dan gembira sementara Beng An sendiri sudah berkelebat dan lenyap di balik sebatang pohon. Puteri Es juga bergerak dan lenyap di balik pohon. Dan ketika tak lama kemudian masing-masing sudah muncul kembali, Beng An dengan pakaian petani dan caping di kepala maka gadis itu terkekeh betapa Beng An sudah berubah, bukan lagi seorang pendekar muda melainkan petani sederhana yang biarpun cakap tapi berkesan lucu, bodoh. Pakaian itu kedodoran!
"Hi-hik, aneh, lucu sekali. Ah, kau jenaka dengan pakaian seperti itu Beng An, gerombyongan! Kau benar-benar seperti petani yang habis mencangkul sawah!"
"Dan kau, ah... " Beng An terkagum tak menghiraukan ejekan. "Kau seperti bidadari salin rupa, moi-moi Pakaianmu sederhana tapi wajahmu kian agung. Aduh, cantik dan manis sekali. Kau seperti bakal pengantin!"
"Apa...?"
"Benar, kau.... ah, ck-ck, luar biasa sekali. Kau seperti pengantin wanita. Aduh, warna jambon itu patut sekali di kulitmu, kian halus!" Beng An memang kagum dan terbelalak. Pakaian kekasihnya yang sederhana namun bersih ini menghilangkan semua warna kumal di tubuh. Wei Ling telah membuang pakaian lamanya itu. Dan ketika Beng An terpesona dan kagum, gadis di depannya ini seperti gadis desa sedang mekar maka Puteri Es yang jengah dan semburat itu buru-buru menaburkan bubuk ke wajah dan pakaiannya.
"Heii...!" Beng An terkejut. "Kenapa kau lakukan itu!"
"Biar tidak menarik perhatian orang," sang puteri menjawab sekenanya. "Kalau kau saja kagum dan melotot tiada habisnya apalagi orang lain, Beng An. Aku tak ingin menarik perhatian dan biar begini saja!"
Beng An mengeluh dan melihat pakaian itu segera kusam. Kekasihnya malu dipuji, sementara dia ingin melampiaskan kekagumannya. Siapa tak kagum kalau dengan pakaian begitu saja kekasihnya sudah demikian elok, anggun dan tak dapat menyembunyikan keagungannya dan agaknya darah ningrat itulah yang menonjol. Entah kenapa gadis ini tetap cantik luar biasa. Tapi ketika Wei Ling tertawa dan gadis itu ganti memandangnya maka puteri ini berkata,
"Sudahlah, lihat kau sendiri, Beng An. Dengan pakaian bersahaja begitu kau tetap juga gagah. Di luarnya seperti petani muda, namun wajah dan sinar matamu itu tetap tajam mencorong. Ah, kaupun masih gagah dan tampan!"
"He, kau memuji seorang pria?"
"Kenapa tidak? Kau bukan orang lain bagiku. Kau kau sahabat Lembah Es!"
"Ha-ha!" Beng An menyambar dan merangkul kekasihnya ini. "Kau tak berani bicara terus terang bahwa aku kekasihmu, moi-moi, calon suamimu. Kau masih malu-malu tapi semakin menggemaskan!"
"Iih!" sang puteri berkelit dan mengelak. "Jangan main cium di sini, Beng An, malu aku. Nanti ada orang!"
"Ha-ha, orang siapa. Paling-paling kau dan aku!" Beng An yang meraih dan menyambar kembali lalu mendaratkan ciuman di pipi, ditepis tapi mengulang lagi dan sang puteripun menjerit. Beng An terbahak-bahak. Tapi ketika ia melepaskan kekasihnya yang bersemu dadu, gadis itu melengos maka Puteri Es meloncat dan berkelebat pergi.
"Beng An, urusan kita masih banyak. Hayo berangkat dan kita cari ayahmu!"
"Ah, benar, ha-ha Aku ingin ayah segera melamarmu, moi-moi, kita menikah dan segera mendirikan rumah tangga baru. Ha-ha, benar, mari mencari ayah!"
"Eit, siapa bilang begitu? Kau menyangka aku ingin cepat kawin?"
"Ha-ha, bukan, bukan kau. Aku yang ingin cepat menikah dan jangan bertolak pinggang begini. Aduh, aku takut!" Beng An yang menyambar dan membawa kekasihnya lari lalu mengajak gadis itu melanjutkan perjalanan. Kekasihnya berhenti ketika ia bicara begitu, malu dan marah mengira dia merendahkan. Tapi ketika ia menjawab cepat dan tidak menyinggung kekasihnya maka gadis ini mau diajak pergi, tertawa dan sehari itu mereka bergembira lagi.
Perjalanan terasa menyenangkan dan mulailah sang puteri terbiasa oleh kehidupan luar. Makan dan minumpun tidak rewel lagi. Perlahan-lahan dia mulai biasa dengan kehidupan Beng An. Dan ketika. beberapa hari kemudian mereka meninggalkan tapal batas paling ujung, daratan besar mereka injak maka kota dan kehidupan ramai di-sentuh. Pagi itu sang puteri memasuki kota Ih-yang. Beng An merasa lapar dan minta berhenti di sebuah rumah makan.
Sebenarnya mereka berdua mulai berkeruyuk, bau masakan sedap menyambar hidung dan tak terasa sang puteri memuji kagum. Seminggu ini mereka hanya makan makanan bersahaja, tak aneh kalau tiba-tiba merasa lapar mencium bau masakan dari restoran besar. Tapi ketika di pintu ini Beng An berhenti dan tertegun, sang puteri ikut berhenti maka Beng An merah tersipu berkata,
"Celaka, aku tak membawa uang. Kita tak bisa masuk!"
"Hm, kenapa tidak? Aku masih memiliki ini, Beng An, sedikit perhiasan dan batu kemala. Kita dapat menukarnya dan makan di sini."
"Jangan, terlalu berharga! Eh, sebaiknya ke pasar dulu, moi-moi. Aku ada ide!"
"Ide apa?"
"Pokoknya kau tahu. Ayo ke sana dulu dan jangan berikan itu!"
Beng An mendorong dan menyuruh kekasihnya rnenyimpan perhiasannya, tiga butir batu kemala dan pemuda ini cepat mengajak. Langkahnya ini tentu saja diikuti pandang mata heran dan pelayan yang sudah nenyambut menjadi bengong. Beng An tampak tidak perduli. Dan ketika ia meninggalkan rumah makan dan menuju tengah kota, pusat keramaian di mana terjadi jual beli barang maka di sini pemuda itu celingukan mencari-cari.
"Kau mencari apa," sang puteri berbisik. "Tindakanmu aneh sekali, Beng An. Ada apa ke sini?"
"Sst, lihat toko kain itu. Hm, majikannya ada di situ dan biar kau di sini dulu. Aku ke sana!" Beng An melangkah lebar dan meninggalkan kekasihnya.
Sang puteri terkejut tapi pemuda itu sudah melangkah jauh, terpaksa ia menunggu. Dan ketika ia terbelalak mengawasi Beng An, penasaran dan ingin tahu maka sang puteri mengerahkan tenaga mendengarkan percakapan di sana. Ternyata Beng An menawarkan tenaga!
"Loya (tuan), bisakah kau menolong aku sedikit. Berapa kau berani bayar kalau barang di kereta itu dapat kubawa sekaligus!"
Laki-laki tua berpakaian sutera itu terkejut. Dia berada di depan tokonya ketika Beng An tiba-tiba datang. Di luar toko sebuah gerobak sedang menurunkan barang-barangnya, tak kurang dari tujuh orahg kuli pengangkut. Maka ketika ia membalik dan tentu saja membelalakkan mata, seorang pemuda berpakaian petani datang menawarkan tenaga tiba-tiba ia terkekeh. "Heh-heh, kau dari dusun mana? Kau mencari pekerjaan?"
"Benar, loya, aku orang baru di tempat ini. Aku, hmm.... aku dapat membawa segerobak barang-barangmu itu sekali angkat. Berapa upah yang kuterima dan bolehkah kukerjakan!"
"Sekali angkat? Ha-ha-heh-heh! Kau membual, anak muda. Dua ekor kudapun tak mampu membawanya sekaligus. Kau gila. Jangan membual di sini dan pergilah. Lihat tujuh orang itu saja mandi keringat!"
"Hm, berat mana dengan ini?" Beng An tiba-tiba mengangkat sebuah patung singa yang tertanam di Iantai, seketika jebol. "Kalau itu lebih berat biarlah aku mengaku kalah, loya. Tapi kalau tujuh orang itu mampu menerima ini aku boleh pergi!"
Gegerlah orang-orang di sekitar. Sang juragan tampak terpekik dan meloncat mundur. Patung singa-singaan itu besar dan berat. Kalau tertanam di lantai paling tidak membutuhkan sepuluh ekor kuda untuk mencabutnya. Maka ketika ia terpekik dan berseru kaget, Beng An tertawa maka tujuh kuli panggul menghentikan pekerjaan dan kaget melihat itu.
"Hei, anak muda itu menjebol patung. Celaka, ia membuat onar!"
"Tunggu...!" sang juragan tiba-tiba berseru mengangkat tangan. "Anak muda ini ingin menggantikan kalian, A-siong. Katanya sanggup mengangkat segerobak kain itu sekali jalan. Biar ia kucoba dan kalian mingirlah!"
"Hm, nanti dulu," Beng An tersenyum. "Berapa kau berani bayar, loya. Kalau cukup kulakukan tapi kalau tidak lebih baik mencari yang lain!"
"Tunggu, nanti dulu! He-he... aku membayarmu sepuluh tail. Ya, sepuluh, tail. Kau berani angkat?"
"Sepuluh tail?" Beng An mengerutkan kening. "Kau tak pandai menghargai tenaga manusia, orang tamak. Ongkos itu paling-paling untuk seorang kuli. Kau mempergunakan tujuh!"
"Ha-ha, kalau begitu dua puluh. Ya, dua puluh tail!"
"Tidak, aku minta tujuh puluh tail dan nanti kuangkat. Sama dengan mereka."
"Wah, tidak bisa. Aku rugi. Kau, eh...tunggu!"
Beng An memutar tubuh dan berjalan pergi, ulahnya sudah menarik perhatian orang banyak. "Jangan pergi dulu, anak muda. Tunggu! Baiklah.... baik, kubayar kau tujuh puluh tapi buktikan sekarang!"
Beng An berhenti, tertawa. "Kau siap?"
"Tentu, dan tujuh puluh tail untukmu!"
"Kalau begitu berikan uangnya, atau aku mencari lain."
Sang juragan buru-buru menghitung uang. la telah melihat Beng An melirik juragan-juragan lain dan ia tak ingin kehilangan, cepat uang itu dihitung dan di-berikan. Dan ketika Puteri Es berkerut kening melihat itu, Beng An merampas rejeki orang lain maka pemuda itu tertawa menerima.
"Heii, kalian kubagi separoh. Tiga puluh lima untukku dan tiga puluh lima untuk kalian!"
Tujuh orang itu terkejut. Mereka semula merasa marah dan siap menghadang pemuda itu yang dianggap merebut rejeki. Siapa tak panas kalau bagian masing-masing mendadak dirampas. Bagaimana anak isteri mereka nanti. Tapi ketika Beng An melemparkan tiga puluh lima tail itu dan menyimpan sisanya untuk sendiri, ditangkap dan membuat orang-orang ini tertegun maka pemuda itu sudah menghampiri gerobak dan sekali ia berseru keras maka gerobak dan isinya diangkat. Persis seorang raksasa mengangkat sebuah mainan anak-anak!
"Hayo, di mana ini kuletakkan, loya. cepat dan aku ingin mencari lain!"
Gemparlah seisi pasar. Beng An mengangkat segerobak penuh kain-kain sutera yang beratnya tak kurang dari tiga ribu kati. Begitu mudah dan gampangnya pemuda itu menunjukkan kepandaian. Dan ketika si juragan terbelalak kaget tapi sorak dan tepuk riuh menyadarkannya, semua orang kagum maka juragan itu tergopoh-gopoh berseru terkekeh. "Di sana, di sudut itu. Heii, letakkan di dalam gudang di balik pintu!"
Beng An tersenyum dan melangkah lebar membawa beban yang berat ini. Dia tak merasa berat atau capai, gerobak dan isinya itu begitu mudah diangkat. Dan ketika ia tiba di dalam gudang dan meletakkan itu di sudut maka sorak dan tepuk riuh kembali meledak.
"Bummm!" Beng An meletakkan itu sampai tergetar. Pemilik tertawa-tawa sementara yang lain tak habis-habisnya memuji. Puteri Es tersenyum di sana, geli, mengangguk-angguk. Dan ketika sebentar kemudian tawaran lain datang, bertubi-tubi maka sepuluh juragan dilayani dan riuhlah pasar oleh demonstrasi Beng An. Yang lain mendekati namun Beng An rasa cukup. Hampir seribu tail berada di tangannya. Dan ketika ia mengebutkan baju dan berkelebat ke atas tiba-tiba pemuda itu lenyap melewati kepala banyak orang. Manusia penuh sesak di situ.
"Cukup, terima kasih, cuwi-loya. Aku telah mendapatkan apa yang aku inginkan dan biar yang lain bekerja!"
Untuk kesekian kali pasar gempar Beng An lenyap seperti iblis dan siapapun tak tahu ke mana. Sekilas mereka melihat pemuda itu berputar dan berayun di belandar besi, berjungkir balik dan lenyap entah ke mana. Dan ketika sepak terjang pemuda itu menjadi bahan pembicaraan maka Beng An telah berada di samping kekasihnya tertawa-tawa.
"Nah, ini uang halal, hasil kerja keras. Ayo ke restoran itu, moi-moi, dan kau boleh menghabiskan sepuluh porsi tim ayam, ha-ha!"
Puteri Es bergerak dan kagum kepada kekasihnya ini. Disangkanya tadi Beng An merebut rejeki para kuli panggul, tak tahunya pemuda itu membagi hasil hingga adillah masing-masing pihak. Maka ketika ia tertawa dan berkelebat di rumah makan itu pelayanpun tertegun melihat kembalinya muda-mudi ini.
"Ji-wi (kalian berdua) benar-benar ingin makan? Kalian tidak pergi lagi?"
"Ha-ha, tadi uangku ketinggalan, bung pelayan. Sekarang sudah kuambil. Ayo siapkan masakan paling enak dan kucium bau tim ayam di sini. Keluarkan resepmu!"
"Ah, sobat berhidung tajam. Kami tentu saja memiliki semua yang terbaik. Tapi maaf, tamu bayar dulu sebagai uang muka!"
Beng An terbelalak. Tiba-tiba ia menghentikan langkah dan membalik menghadapi pelayan itu. Ia tak tahu bahwa pakaian dan capingnya itu menimbulkan keraguan. Dua muda-mudi ini berpakaian sederhana meskipun sikap dan pandang mata mereka bukan sebagai petani. Tapi ketika kekasihnya menggamit dan tersenyum mengangguk maka lirik dan isyarat kekasihnya itu menyadarkannya.
"Ha, kau mengira kami petani miskin? Baik, ini untuk uang muka, pelayan. Bilang kalau tidak cukup...cringg!" seratus tail dibuang ke atas meja dan terkejutlah pelayan itu.
Ia tak menyangka uang berceceran sedemikian banyak. Itu cukup untuk makan dan minum sepuluh orang, kenyang dan pasti padat. Maka ketika ia buru-buru tertawa dan meminta maaf, meraih dan mengantungi uang itu maka lelaki ini bergegas menuju ruang dalam. Sebagian dari uang itu ditaruh di kantung yang lain untuk diri sendiri!
"Hm, menyebalkan. Hidup masih selalu seperti ini. Uang dan penampilan lahiriah selalu nomor satu!"
"Sudahlah, yang penting kita kenyang, Beng An, dan aku girang bahwa makanan dan minuman yang kutelan halal. Kau benar-benar luar biasa!"
"Ha-ha, kau kira aku mau mencuri lagi? Ah, tidak. Demi kau aku siap kerja keras, moi-moi, tapi maaf itulah sementara yang dapat kulakukan. Kau tak malu aku menjadi kuli panggul? Juga penjual kayu bakar?"
"Hi-hik, kau lucu, Beng An. Yang kau lakukan hanya bersifat darurat saja. Kau bukan seperti itu, kau putera seorang pendekar gagah!"
"Ah, aku adalah aku, jangan bawa-bawa ayahku. Ha,ha.. itu makanan datang, moi-moi, perutku lapar dan tiba-tiba tak kuat!"
Benar saja pelayan datang dengan sebuah penampan penuh. Makanan dan minuman panas ada di situ, juga bak-pao dan kue-kue serba lezat serta buah-buahan apel dan pisang. Dan ketika Beng An tersenyum dan menerima itu maka pelayan bersikap amat hormat meletakkan semuanya di atas meja.
"Silakan ji-wi nikmati, kalau kurang bisa tambah."
"Ha-ha, terima kasih. Pergilah dan biarkan kami berdua!"
Pelayan mundur dan tertawa. Beng An tak mau banyak bicara lagi dan menyambar mangkok, diisinya penuh dengan nasi dan ayam tim. Lalu ketika ia menyerahkan itu kepada kekasihnya maka sang puteri tersenyum berseri gembira.
"Kau dulu, laki-laki belakangan. Ayo, sikat dan habiskan ini, moi-moi. Perutmu lapar!"
"Hm, makan yang baik adalah makan perlahan-lahan. Kalau kau lapar silakan kebut, Beng An, aku santai-santai saja."
Beng An tertawa. Ia sadar bahwa gadis ini adalah Puteri Es, gadis ningrat yang tak mau memalukan istana. Maka ketika gadis itu makan perlahan-lahan dan tenang kalem, sementara ia terlanjur lahap maka mulutpun ditahan dan mengikuti kekasihnya itu. "Sial, aku lupa. Maaf, moi-moi, aku-pun harus kalem dan perlahan-lahan. Ha-ha... perutku harus diajar adat!"
Sang puteri tersenyum. Dalam beberapa hari menikmati suka-duka bersama maka masing-masing pihak mulai dapat mengerti dan memahami yang lain. Beng An seorang pemuda amat bebas yang jarang berpanjang sopan santun, meskipun bukan berarti pemuda liar yang tak tahu tata krama. Sedangkan Puteri Es yang adalah keturunan ningrat, penerus Dinasti Han maka gadis itu terikat tata sopan santun dan ikatan budaya istana. Masing-masing berbeda dalam ikatan tradisi namun bukan berarti berbeda watak. Masing-masing sama-sama keturunan orang gagah.
Maka ketika hal yang amat mendasar itu didapati masing-masing pihak, keduanya memberi dan menerima maka apa yang kurang dalam pribadi mereka segera diisi. Puteri Es misalnya, kini telah dapat menyesuaikan diri untuk makan dan minum seadanya biarpun itu air gunung yang jernih!
Tapi saat mereka makan minum tiba-tiba berderap delapan ekor kuda. Delapan orang turun di halaman dan masuklah delapan laki-laki gagah berpakaian pengawal. Mereka membawa tombak beronce merah dan baju besi mereka yang mengkilap berkilauan itu terasa menyeramkan. Mereka langsung menghampiri meja Beng An dan terkejutlah pemuda itu ketika tahu-tahu dikurung. Rumah makan seketika ribut. Dan ketika satu di antara delapan orang itu menodong Beng An, tajam menatap pemuda ini sementara kemudian melirik Puteri Es, tertegun bahwa seorang gadis cantik berada di situ maka pengawal ini membentak,
"Kaukah yang membuat onar di pasar? Kaukah yang menunjukkan kesombongan dengan pamer kekuatan? He, kami petugas keamanan diperintahkan menangkap dirimu, anak muda. Sekarang juga kau menghadap Lim-taijin untuk ditanyai hal-hal penting!"
Beng An tiba-tiba tertawa. Gertak dan cara pengawal ini menakut-nakuti dirinya membuat Beng An geli. Sejenak saja ia terkejut, tapi kini sudah tidak. Maka ketika ia berdiri dan menangkap ujung tombak itu, memutarnya perlahan maka pemiliknya berseru kaget karena ujung tombaknya patah.
"Hm, kau. Tak usah mengganggu dan mencari alasan yang tidak-tidak, pengawal. Siapa itu Lim-taijin dan apa pula perduliku kepadanya. Aku tak mau ditangkap dan kalian pergilah... krak!"
Sang pengawal terdorong. la tak menyangka sekali putar ujung tombaknya patah. Gerakan tangan Beng An membuatnya terhuyung pula. Tapi ketika ia hilang kagetnya dan berseru keras, tujuh temannya yang lain bergerak maka lima di antaranya menusuk Beng An sementara dua yang lain menodong Puteri Es. "Heii, jangan sombong, anak muda. Lihat gadis ini kami ancam!"
Namun Beng An tertawa geli. Tentu saja ia tak perlu khawatir karena saat itu juga kekasihnya menggerakkan tangan perlahan. Tombak dua orang patah berpeletakan, putus menjadi dua. Dan ketika ia mengelak dan menampar lima kali maka tombak-tombak itu juga patah seperti lainnya.
"Ha-ha, semakin tengik. Pergi dan jangan mengganggu lagi, tikus busuk, atau tubuh kalian patah-patah sebagai pengganti.... krak-krakk!"
Beng An membuat gentar semua pengawal, menendang dan semua berteriak dan terlemparlah mereka itu keluar pintu. Wei Ling juga melakukan hal yang sama dan tiba-tiba sikap dingin kembali muncul. Wajah gadis ini membeku. Tapi ketika semua pengawal bergulingan dan meloncat pergi, Beng An disangka mengejar maka pemuda ini menahan lengan kekasihnya yang tiba-tiba berubah bengis.
"Sudahlah, tak guna melayani mereka, Ling-moi. Sebaiknya kita pergi dan tinggalkan tempat ini. Hm, makan kita terganggu."
"Nanti dulu, terlalu enak bagi mereka. Pemimpinnya itu rupanya sombong, Beng An, biar kuberi sedikit hadiah dan aku justeru ingin tahu siapa itu Lim-taijin!"
Beng An terkejut. Kekasihnya menggerakkan tangan dan sebuah jarum hitam menyambar cepat, tepat mengenai punggung dan menembus baju besi itu. Dan ketika laki-laki itu berteriak dan terjungkal dari kudanya, ditolong yang lain maka tujuh orang itu menoleh pada gadis ini dan seketika pucat, cepat melarikan diri lagi.
"Gagal, kita lapor Lim-taijin!"
Gadis itu mendengus. Kalau saja Beng An tidak mencekalnya erat mungkin puteri ini berkelebat ke depan. la siap dengan tujuh jarum lagi akan tetapi Beng An menahannya. Cukup seorang itu saja yang luka. Dan ketika Beng An menarik napas dalam dan mencari pelayan ternyata yang dicari tak ada, yang keluar justeru seorang laki-laki gemuk yang gemetaran dan menggigil. Pemilik rumah makan.
"Ampun am... ampun. lni mencelakai kami, anak-anak muda. Mereka... mereka orang-orang berbahaya dari Lim-taijin. Harap kalian tak usah pergi dan lindungi kami. Nanti rumah makan ini dihancurkan!"
Beng An mengerutkan kening. "Dihancurkan? Masa orang tak bersalah di ikut campurkan!"
"Benar, kami, ah...tolonglah, anak-anak muda. Lim-taijin dan orang-orangnya itu bukan orang biasa. Mereka menekan. Kalau pergi tentu aku kena sasaran. Bisa seribu tail disuruh mengganti. Mati, celaka aku!"
"Hm, siapa sebenarnya orang ini. Masa kejam terhadap rakyat."
"Sungguh, celaka anak muda, celaka. Lim-taijin itu tak akan berhenti kalau orang yang bermusuhan dengannya tak tertangkap. Ah, sebaiknya kalian di sini dulu dan biarkan mereka datang lagi atau bantulah aku seribu tail perak. Itu untuk menahan kemarahan mereka!"
"Seribu tail?" Beng An teringat kerjanya yang susah payah. "Hm, enak dan kurang ajar sekali, paman gemuk. Kalau benar katamu biar kuhadapi di sini saja."
"Tidak," Wei Ling tiba-tiba berseru. "Kita ke sana, Beng An. Kita temui dan hajar mereka. Aku ingin tahu dan sudah kukatakan siapa itu tikus busuk itu!"
"Hm, ini persoalan baru kita," Beng An tak setuju. "Bukan maksudku ingin membuat ribut di sini moi-moi, ingat bahwa kita ingin cepat-cepet pulang".
"Aku penasaran", dan gadis itu memotong. "Dan apa sebab kita tiba tiba di ganggu,tentu bukan persoalan biasa."
Derap kuda yang amat besar tiba-tiba terdengar. Debu mengepul tiggi Ketika gadis itu belum berhenti bicara. Dan ketika wajah-wajah garang tersembul dari balik kepulan asap putih. Dari empat penjuru muncul barisan berkuda amat besar. Tahu-tahu rumah makan itu dikepung. Sepasukan tak kurang dari seratus jumlahnya membunyikan tombak dan golok.
"Anak muda sombong, kami pasukan keamanan kota Ih-yang ingin menangkapmu hidup-hidup. Ini perintah Lim-taijin. Menyerahlah atau kami membunuhmu!"
Pemilik restoran lari terbirit-birit. Ia tak jadi membujuk seribu tail itu lagi begitu pasukan besar itu muncul. La berteriak-teriak. Dan ketika Beng An mengerutkan kening dan tiga laki-laki setengah tua muncul di depan sendiri, yang di tengah memandang dengan kilatan penuh api maka pemuda ini tertegun karena dia serasa mengenal kakek garang itu. Setidaknya sepasang matanya yang mencorong dan amat hebat.
"Hm, siapa kau," Beng An maju dan tidak main-main lagi, mata itu menunjukan dia berhadapan dengan orang berbahaya. "Aku dan kalian sesungguhnya tidak saling mengenal, kawan. Ada apa ribut-ribut dan hendak menangkap aku. Apa salahku?"
"Kau mengganggu, keamanan kota Ih-yang, dan lebih lagi karena kau adalah putera Kim-mou-eng!"
Beng An terkejut. Disebut dan dikenal dirinya tiba-tiba membuat pemuda ini berdetak. Aneh bagaimana lawan tahu. Tapi ketika ia menekan perasaannya dan Wei Lihg tampak heran, melirik Beng maka pemuda ini berbisik bahwa ia tak mengenal kakek itu, musuh ayahnya memang banyak.
"Hm, tenang saja. Aku tak mengenal kakek ini, Wei Ling, tapi agaknya ia tahu ayahku. Minggir dan hati-hati terhadap serangan gelap!" lalu membalik dan menghadapi kakek itu lagi Beng An berkata,sikapnya waspada, "Orang tua, agaknya kau telah mengenal aku dengan baiknya, bagus. Sekarang siapa kau dan cukup jantankah menyebutkan namamu?. Aku tak akan ikut begitu saja tanpa sebab sebab yang jelas, aku seakan mengenalmu!"
Heh heh, kau berhadapan dengan Sin Sam Yo Cu (Tiga elang sakti). Aku adalah Toa-yo-cu Tong-kek bocah dan ini dua saudaraku Tong Lai dan Tong Hu. Kau dan aku belum pernah bertemu, betul. Tapi aku sudah lama tahu dan mendengar ilmu tangan dewa pecahan dari Pek Sian Ciang ayahmu dan kau telah menunjukkan itu dibpasar. Siapa lagi kalau bukan keluarga Pendekar Rambut Emas yang coba coba sombong!"
Beng An terkejut, memang benar bahwa didalam pasar tadu ia menggunakan tenaga tangan dewa atau Sin Ciang Kang pecahan Pek Sian Ciang untuk mengangkat gerobak dan isinya. Dengan tenaga itu batu sebesar gunung pun dapat diangkat, maka ketika tiba-tiba ilmunya diketahui namun ia tak pernah mengenal kakek ini, Tiga Elang Sakti baru kali itu dilihat maka Beng An menarik napas panjang berkata mendongkol.
"Kau rupanya mellhat perbuatanku tadi, aneh, kenapa tidak segera muncul dan mencari aku. Hm, betapapun aku tak mengenal kau, orang tua, dan aku juga tak ingin mengikat permusuhan. Aku tak merasa berurusan dengan Lim-taijin dan tak merasa membuat ribut di kota ini. Bukalah jalan dan biarkan aku pergi balk-baik, atau nanti terpaksa aku mempergunakan kekerasan."
"Ha-ha, seperti ayahnya, sombong! Heh, aku dan kau memang tak ada urusan apa-apa, anak muda. Tapi ayahmu berhutang banyak denganku. Nanti di tempat Lim-taijin kau kuberi tahu. Menyerah dan ikut baik-baik. Atau aku mempergunakan kekerasan dan jangan kira dengan kepandaian ayahmu kau dapat pergi!"
"Hm, tua bangka menyebalkan!" Wei Ling tiba-tiba terseru, suaranya mengejutkan semua orang. "Kalau kau ingin menangkap kami tak perlu banyak cakap lagi, elang tua. Maju dan tangkaplah. Lihat kami akan merobohkan seekor elang yang sudah rapuh!"
"Kau siapa," kakek itu membentak. "Aku belum pernah melihatmu tapi Lim-Taijin pasti suka kepadamu!"
"Benar," kakek kedua tiba-tiba berseru tertawa. "Kalau betina ini dapat kita berikan pada taijin tentu upah kita besar, suheng. Apalagi kalau calon mantu Kim-mou-eng!"
"Atau kita pakai sendiri," kakek ketiga menyeringai dan terkekeh, mencabut sepasang cakar elang yang ujungnya runcing, kebiru-biruan. "Kalau bocah ini dapat kita tangkap sebaiknya dipakai sendiri, suheng. Aku masih kuat dan kalian boleh buktikan!"
Semua tertawa. Seratus pengawal yang berjaga dan mengepung dan semula tegang tiba-tiba meledak tawanya. Mereka tak tanu bahwa meraka berhadapan dengan Puteri Es, heran dan kagum karena di balik pakaian kasar gadis itu masih cantik dan menonjol kemolekannya. Tubuh itu singsat dan padat, menggairahkan. Tapi ketika pengawal tertawa dan kakek itu terkekeh-kekeh mendadak gadis ini berkelebat dan lenyap membentuk bayangan cepat menyambar kakek itu.
"Tua bangka bermulut kotor...!"
Kakek ini terkejut. Wei Ling yang lenyap dan menyambar bagai kilat di angkasa benar-benar membuatnya tersirap. Gadis itu tahu-tahu di depannya dan dua jari itu menusuk mata, sekali coblos tentu buta. Dan karena tak ada waktu mengelak kecuali menangkis, sepasang cakar elang itu bergerak buru-buru maka telapak gadis ini bertemu cakar elang di tangan lawan.
"Plak !" Lawan terbanting bergulingan. Si kakek berteriak dan semua pengawal terkejut. Gerak cepat gadis itu benar-benar luar biasa, tak aneh karena gadis ini mempergunakan langkah saktinya Jit-cap-ji-poh-kun, warisan Malaikat Api yang menjadi andalan penghuni Lembah Es. Maka ketika kakek Itu terpelanting karena kalah kuat, telapak halus itu membuat senjatanya terpental naaka kakek itu pucat meloncat bangun sernentara gadis itu sendiri sudah kembali dan berdiri di tempatnya semula, tertawa.
"Bagaimana, apakah mau minta pelajaran lagi?"
Elang nomer tiga itu merah padam. Hilang kagetnya berubah menjadi kemarahan, dua aaudaranya terkejut dan membelalakkan mata. Mereka jaga tak sempat menolong adik mereka itu, gerakan lawan amat cepat dan tahu-tahu sudeh di depan mata. Tapi ketika kakek itu marah dan maju membentak memutar senjatanya berapi-api. Gebrakan itu belum dapat dijadikan ukuran untuk kalah atau menang.
"‘Gadis siluman, kau tak perlu sombong. Siapa takut padamu. aku akan menelanjangimu dan lihat siapa yang minta pelajaran!"
Gadis ini berkilat. Selama hidupnya belum pernan ada laki laki bicara Seperti itu. Biasanya, ia selalu di istana dan para pembantunyalah yang bergerak. Kini karena bersama Beng An ia telah meninggalkan tempatnya, bukan untuk dihina orang melainkan justeru menghajar orang macam ini. Maka ketika kakek itu membentak dan maju menerjang tiba-tiba ia mendengus dan Beng An melihat kilatan berbahaya pada mata kekasihnya itu. Sinar membunuh!
"Wut!" cakar elang menyambar namun Wei Ling menggunakan langkah saktinya berkelit. Cepat seperti tadi tahu-tahu ia-pun menghilang. Gerakannya ini mengejutkan lawan dan gadis itu tahu-tahu berada di belakangnya, lima jari tangan mengepret tengkuk. Namun ketika laki-laki ini berseru keras dan cepat membalik ternyata ia mampu menangkis, geraknya cepat dan menandakan bahwa Sam-yo-cu Tong Hu ini memang bukan orang sernbarangan.
"Plak!" Akan tetapi cakar itu terpental. Puteri Es sedang marah dan meskipun kakek itu menambah tenaganya namun gadis ini mempergunakan Bu-kek-kang, hawa dingin keluar dari telapaknya dan tahu-tahu menerpa wajah. Lawan terkejut karena kulit mukanya menjadi kaku. Dan ketika senjata itu terpental sementara tangan yang lain masih bergerak maka kakek ini berteriak dan membanting tubuh menyelamatkan diri.
"Dess!" Tanah menjadi beku dan mengepulkan uap es. Sekitar lima meter dari situ orang-orang yang dekat merasa menggigil. Inilah hebatnya Bu-kek-kang yang dikeluarkan Wei Ling, padahal belum sepenuhnya gadis itu mengerahkan tenaga. Dan ketika kakek itu terguling-guling dan gemetaran di sana, berketruk maka Sam-yo cu gagal melompat bangun karena wajah dan seluruh kulitnya beku oleh hawa pukulan itu.
"Uh-uh!" Dua saudaranya berkelebat dan menolong. Mereka terkejut oleh kehebatan gadis ini karena benar-benar tak menyangka. Siapa menduga gadis ini begini. Tapi ketika adik mereka itu diangkat bangun dan Toa-yo-cu Tong Kek menepuk-nepuk pundak adiknya, mengerahkan sin-kang maka kakek itu dapat berdiri lagi dan pucat memandang gadis itu. Dua gebrakan lagi-lagi dia kalah!
"Siluman, iblis! Gadis itu... gadis itu memiliki tenaga Im-kang!"
"Kau tak perlu takut," Toa-yo-cu batuk-batuk menahan marah. "Masih ada kami di sini, Sam-te, ada aku dan kakakmu nomor dua. Kau terlalu memandang rendah. Majulah dan biar kau dan kakakmu merobohkan gadis sombong itu."
"Bagus! " Ji-yo-cu Tong Lai mengangguk "Aku memang hendak membantu Sam-te, suheng. Kalau kau dapat menjaga anak muda itu biar gadis ini bagian kami."
"Majulah," Elang tertua berkata. "Aku di sini, Ji-te. Kalau anak itu macam-macam aku dapat menghalanginya. Hati-hati, kita belum tahu benar siapa gadis itu."
Ji-yo-cu Tong Lai berkelebat. la juga menggenggam sepasang cakar besi dan tiga bersaudara ini memang rupanya memiliki kepandaian khas, Beng An lega dan tersenyum melihat hasil pertandingan itu. Kekasihnya telah menghajar lawan. Maka ketika ia tenang-tenang saja melihat kakek kedua maju, jeles hendak mengeroyok Wei Ling iapun acuh saja dan mengangguk pada kekasihnya.
"Bagaimana, kau ataukah aku. Kalau kau tak ingin mengotori tanganmu silakan beristirahat, moi-moi, tapi kalau kau ingin menghajar mereka biar aku menajaga di sini."
"Aku akan menghajar mereka, membunuh orang yang bermulut kotor itu. Biar kau di sini dan aku yang maju!"
"Baiklah," Beng An mengangguk. "Tua bangka nomor tiga itu memang bermulut kotor, moi-moi, aku juga tak senang dan kau lukai saja, tak perlu membunuh. Hajar agar tahu adat!"
Gadis ini tersenyum dingin. la bergerak dan berhenti ketika dua orang itu maju dengan sikap mengancam., Tak ada basa-basi di antara mereka. Tapi ketika Ji-yo-cu Tong Lai menyipítkan mata ternyata ia bertanya dulu nama gadis itu.
"Aku enggan merobohkan lawan yang tak mempunyai nama. Sebutkan siapa kau atau gurumu. Nah, cepat atau aku tak sabar!"
"Namaku terlalu besar, tua bangka macam kalian tak perlu tahu. Nah, anggap saja aku Dewi Kematianmu, Ji-yo-cu dan cepat agar kukirim nyawamu ke neraka!"
Kakek ini terbeliak. Sikap dan kata-kata itu membuatnya marah. Maka mendengar gadis itu tak mau menjawab malah justeru menghinanya kontan ia berseru keras dan cakar besi di kedua tangannya bergerak dan tahu-tahu menyambar wajah Wei Ling. Dan bersamaan dengan seruan itu Sam-yo-cu pun bergerak dan menyerang dari samping.
"Plak-dess!" Akan tetapi yang dilakukan gadis ini benar-benar luar biasa. Wei Ling tidak berkelit atau mengelak melainkan menangkis dengan sepasang lengannya. Ujung lengan baju itu berkibar dan tepat sekali menghantam cakar baja, membuat Sam-yo-cu menjerit dan terpelanting namun Ji-yo-cu kakaknya tidak. Kakek nomor dua itu hanya terhuyung dan mampu menahan Bu-kek-kang. Dan ketika kakek itu menggereng dan melompat lagi, ternyata lebih kuat dari adiknya maka kakek ini menerjang dan Wei Ling mengelak ke kiri kanan ketika cakar baja itu menyambarnya, apalagi ketika sang adik bangkit dan menyerang lagi, mengeroyok dan empat senjata di tangan mendesing dan menderu-deru menutup segala penjuru.
Orang biasa tentu sibuk menghadapi ini namun bukan bagi Puteri Es. Gadis itu mempergunakan langkah-langkah saktinya untuk berkelit, membentak dan membalas dan tiba-tiba tubuhnya lenyap berkelebat. Sam-yo-cu tak tahu ke mana lawan namun tiba-tiba tengkuknya tertampar. Sebuah ledakan terdengar dan berteriaklah kakek itu terbanting. Tubuhnya seketika beku. Putih kebiruan seperti es.
Namun ketika Toa-yo-cu Tong Kek berkelebat dan mengusap-usap adiknya itu, menepuk dan memijat maka kakek ini bangun lagi dan terkekeh-kekeh. Ada semacam uap hijau dari tangan kakaknya tadi ketika mengusap-usap tubuhnya. Ilmu hitam!
"Heh-heh, kau tak dapat membunuhku. Ayo, pukul dan robohkan aku lagi, gadis siluman. Seribu kali mati seribu kali itu pula aku hidup...ha-ha!"
Wei Ling terkejut. Sesungguhnya ia telah menghantam dengan Bu-kek-kang setengah bagian dan kakek itu pasti tewas. Pukulannya tadi tidak main-main, ia benci kakek ini. Namun ketika lawan bangkit lagi dan itulah hasil kerja Toa-yo-cu Tong Kek, Elang Pertama maka gadis ini terbelalak dan penasaran. la berkelit dan menghindar dari serangan ke bawah perutnya dan majunya Sam-yo-cu yang terkekeh-kekeh itu membuatnya merah.
Sambaran cakar baja dikelit, Ji-yo-cu berteriak kecewa namun secepat itu ia memindahkan kaki mempergunakan Tujuh Puluh Dua Langkah Saktinya untuk mendekati Sam-yo-cu. Dan ketika kakek ini terkejut namun menggerakkan sepasang cakarnya, dipapak dan terpental oleh Bu-kek-kang maka Puteri Es menendangnya dan tepat sekali perut lawan terkena kakinya.
"Buk...!" Sam-yo-cu menjerit terlempar. Jelas ia menggeliat dan roboh di sana, tak bangun lagi. Tapi ketika Toa-yo-cu berkelebat dan mengusap adiknya lagi maka kakek itu bangun kernbali dan maju menerjang. "Ha-ha-heh-heh... Kau boleh bunuh aku, gadis siluman. Tapi kakakku akan menyembuhkan aku lagi. Ha-ha... kau akan roboh!"
Wei Ling berubah. Bukan hanya gadis itu yang menjadi pucat melainkan Beng An yang ada di situ juga membelalakkan matanya. Pemuda ini terkejut sekali karena ia mengenal gaya usapan itu, tiupan di ubun-ubun dan sedikit mantra ketika berkemak-kemik. Su-siang-sin-kang! Dan ketika dia terbelalak dan pucat memandang kakek itu, Toa-yo-cu maka Beng An mengenal bahwa pandang mata kakek itu adalah pandang mata bekas gurunya yang jahat, Poan-jin-poan-kwi.
"Ah, kau kiranya!" Beng An membentak dan berkelebat menyambar, kakek itu juga memandangnya. "Kau merasuk di tubuh orang lain, kakek iblis. Kau mengganggu aku lagi. Keparat!"
Pengawal terheran dan terkejut oleh seruan itu. Beng An seakan bicara dengan orang lain padahal jelas ditujukan kepada Toa-yo-cu. Tak ada orang ketiga di situ. Dan ketika pemuda ini berkelebat dan Si kakek terkekeh, aneh sekali suara kakek itu berubah maka Toa-yo-cu berkelit menangkis cengkeraman Beng An. Tawanya tinggi dan seperti kuda meringkik.
"Heh-heh, herrr! Bagus kau mengenalku, Beng An. Kau murid murtad tak tahu adat. Kau membunuh gurumu!"
Orang semakin tercengang lagi. Toa-yo-cu sudah bersikap lain seperti guru yang marah kepada muridnya, berkelit dan menangkis dan terdengarlah benturan keras ketika cengkeraman Beng An ditangkis. Dan ketika pemuda itu menerjang lagi sementara lawan mengelak dan membalas maka si kakek tiba-tiba lenyap dan berubah menjadi segulung asap hitam tebal.
"Ha-ha-heh-heh! Kau semakin lihai dan tangkas. Bagus, eiitt, apa macam pukulanmu ini, Beng An. ltukah Ping-im-kang. Ha-ha, tenaga Inti Es mu hebat..."
"Dess!" pengawal terjungkal dan roboh berpelantingan. Kali ini benturan demikian hebat hingga suaranya saja mirip gunung meletus, dahsyat menggelegar meringkiklah puluhan kuda oleh gentar dan takut. Dan ketika semua pengawal menjadi panik dan kaget, Toa-yo-cu bergerak seperti asap berpindah-pindah maka Beng An meledakkan tangannya dan lenyaplah pemuda itu berubah menjadi gulungan asap putih. Pek-sian-sut!
Dan segera dua asap hitam dan putih tebal itu bergulung-gulung menjadi satu, saling belit dan terjang hingga masing-masing terpental dan terdorong mundur. Beng An kaget sekali menemui bekas gurunya di situ, atau lebih tepat menemui roh gurunya memasuki tubuh Toa-yo-cu. Entah bagaimana orang ini memiliki Bu-siang-sin-kang bertemu Poan-jin-poan-kwi itu. Tapi karena kejadian begini tentu dapat terjadi hanya karena tapa, atau samadhi khusuk di tempat-tempat setan.
Maka Beng An maklum bahwa Toa-yo-cu adalah seorang ahli tapa dan secara kebetulan bertemu bekas gurunya itu, mendiang Poan-jin-poan Kwi yang amat jahat dan Bu-siang-sin-kang (Ilmu Sakti Tak Berwujud) yang dimiliki kakek itu membuat sepasang kakek itu hanya mati badan kasarnya saja. Roh atau badan halusnya masih melayang-layang, gentayangan dan sewaktu-waktu dapat berpindah dan masuk ke badan orang lain.
Hanya mereka-mereka yang khusuk dan kuat tapa saja yang dapat menerima roh Poan-jin-poan-kwi. Ini membuktikan betapa Toa-yo-cu adalah seorang gemblengan. Maka ketika roh itu memasuki tubuhnya dan kini seluruh kepandaian atau kesaktian Poan-jin-poan- kwi muncul, terdapat di pribadi kakek ini maka Beng An menggigit bibir karena tak ada jalan lain kecuali melenyapkan roh itu dengan membunuh Toa-yo-cu, padahal sesungguhnya ia tak kenal kakek ini yang mungkin dulunya dikalahkan ayahnya, orang yang memusuhi ayahnya.
"Bagus, kau licik. Jahat dan kejam sekali kalian berdua, Poan-jin-poan-kwi. Kalian muncul dan mempergunakan wadag orang .Hayo keluar atau aku melenyapkanmu!"
"Ha-ha-heh-heh, dulu kau sudah membunuhku, Beng An. Giliranmu untuk kubunuh dan lihat apa hukuman bagi seorang murid murtad. Kau harus dihajar!"
"Dan kau menggigit leherku, kau menyedot darahku. Heh-heh, kini aku akan ganti menggigit lehermu, Beng An, dan meneguk darahmu agar kami dapat kembali ke bumi. Heh-heh, tak ada lagi orang yang dapat melindungimu!"
Wei Ling terkejut dan membelalakkan matanya. Setelah Beng An bergerak dan menyerang Toa-yo-cu maka Sam-yo-cu yang ditampar dan kembali menerima sebuah pukulan terjengkang. Gadis ini marah menambah tenaga, sepasang cakar baja itu hancur dan akhirnya patah-patah bertemu ujung jarinya. Dan ketika kakek itu menjerit dan minta tolong kakaknya, di sana sang kakak bertanding dengan Beng An maka kakek itu roboh dan tulang dadanya yang pecah ditampar gadis ini membuat kakek itu tak bergerak-gerak lagi. Dan kontan Ji-yo-cu si kakek nomor dua pucat.
"Suheng, tolong aku. Sute roboh!"
"Heh-heh, lempar adikmu ke sini Tong Lai. Anak muda ini tak dapat kami tinggalkan."
"Begitukah? Baik!" dan Tong Lai yang menendang adiknya lalu sibuk mengelak tamparan Wei Ling yang membekukan tulang. Bu-kek-kang menyambar namun kakek itu terhuyung. Akan tetapi ketika di sana Beng An mengibas dan mayat itu terhenti lagi maka kakek itu terbelalak dan marah sekali, membalik dan menghadapi Wei Ling yang tertawa dingin.
"Elang tua, adikmu sudah mampus. Percuma kau berteriak-teriak karena sebentar lagipun kau menyusul!"
Kakek ini mengeluh. la terhuyung dan jatuh bangun menerima pukulan Puteri Es, namun daya tahan tubuhnya ternyata kuat sekali. Samar-samar ada uap hijau keluar dari punggungnya. Wei Ling mengerutkan kening. Dan karena di Lembah Es juga terdapat ilmu-ilmu gaib untuk menandingi tingkah laku orang-orang Pulau Api maka gadis ini maklum bahwa kakek itu memiliki semacam ilmu ini rupanya baru dalam taraf belajar tapi ternyata mampu menghadapi Bu-kek-kang. Dari sini saja dapat diketahui bahwa lawan memang cukup hebat.
Gadis itu tak tahu bahwa menghadapi tanda-tanda Bu-siang-sin-kang, ilmu di daratan Tiongkok yang dulu dimiliki sepasang kakek iblis Poan-jin-poan-kwi, dedengkot para siluman atau kaum hitam. Maka ketika ia kagum namun berkali-kali lawan jatuh bangun, Bu-kek-kang dan langkah saktinya Jit-cap-ji-poh-kun tak dapat ditandingi lawan akhirnya kakek itu berteriak dan seratus pengawal yang ada di situ disuruh maju. Akan tetapi kakek ini tertegun. Pengawal, yang tadi berada di situ mengepung rapat ternyata roboh bergelimpangan.
Hawa pukulan Beng An yang menyambar-nyambar dan bergulung naik turun dengan pukulan Poan-jin-poan-kwi tak dapat dihadapi pengawal itu. Jangankan mereka. Wei Ling dan Ji-yo-cu sendiri terkejut oleh bau amis dan pukulan dingin. Pukulan itu jelas dari Beng An tapi bau amis itu dari lawan. Dan ketika bau itu semakin tajam dan membuat perut ingin muntah-muntah maka gadis ini menahan dengan sinkangnya.
Sementara Ji-yo-cu terganggu dan tampak menutupi hidung. Kakek ini tak tahan dan gerakannya menjadi kacau. Hal itu membuatnya terdesak dan akhirnya satu dari sepasang cakarnya mencelat. Tamparan Bu-kek-kang itu mengenai pergelangannya. Dan ketika ia terpelanting sementara Beng An semakin seru di sana maka Wei Ling berkelebat dan satu jarinya menusuk dahi kakek ini yang bergulingan dan hendak meloncat bangun.
"Cep!" Wei Ling terkejut. Lawan berteriak namun dahi itu dilindungi semacam kekuatan gaib, membal dan membuat jarinya terpental meskipun kakek itu terbanting lagi. Dan ketika ia tertegun dan mengejar, mental dan lawan mendekati pertempuran di antara Beng An tiba-tiba Ji-yo-cu berteriak melempar sisa senjatanya kepada gadis itu.
"Suheng, kau bantu aku atau nanti mampus!"
Toa-yo-cu mengeluarkan tali panjang dari balik gulungan asap hitam. la membentak dan tali tahu-tahu meluncur ke leher kakek ini menjerat dan melempar tinggi-tinggi dan tubuh Ji-yo-cu terbawa naik, begitu tinggi dan melewati asap hitam untuk tahu-tahu melayang melewati rumah-rumah penduduk. Begitu kuat dan dahsyat lemparan itu hingga Ji-yo-cu sendiri terpekik. la kaget namun terbang melewati semuanya, kembali ke gedung Lim-taijin. Dan ketika ia hilang di antara rumah-rumah penduduk, Wei Ling tertegun maka Beng An berseru keras melepaskan pukulan dahsyat.
"Poan-jin-poan-kwi, kau rupanya hendak beralih wadag. Berhenti dan kuringkus kau!"
Kakek itu tertawa bergelak. Asap hitam meledak dihantam asap putih, Toa-yo-cu muncul lagi namun dalam muka yang lain, wajahnya beringas dan seperti iblis. Dan ketika ia jatuh dikejar Beng An bergulingan menjauh maka pemuda itu tak mau melepas lawan berseru pada kekasihnya.
"Ling-moi, lawanmu itu. Tangkap dan jangan biarkan ia lolos!"
"Kenapa?"
"Iblis hendak melarikan diri, rohnya siap meloncat. Tangkap lawanmu itu dan jangan dimasuki olehnya!"
Gadis ini bingung. "Beng An, kau bicara apa. Siapa yang kau maksudkan?"
"Ah, dua roh jahat mengeram di tubuh kakek ini moi-mpi. Toa-yo-cu dipergunakan wadagnya. Awas mereka lari dan cepat tangkap Ji-yo-cu itu...blarr!"
Beng An mengelak dan menangkis dengan Ping-im-kang namun granat hitam itu terlanjur meledak. Di saat bergulingan kakek melempar senjata maut. Dan ketika Beng An mendorong kėkasihnya menyelamatkan diri, kesempatan itu dipergunakan lawan maka kakek itu meloncat bangun dan terkekeh, melarikan diri.
"Heh-heh, kau busuk tapi berotak cerdas. Tak rugi kami pernah menggemblengmu Beng An. Tapi lihat bagaimana kau menangkap kami!"
Beng An meloncat bangun. Capingnya terlempar namun ia menyambar kembali, bukan dipakai di kepala melainkan dilontar ke punggung lawan. Toa-yo-cu yang berisi Poan-jin-poan-kwi itu hendak melarikan diri, Beng An mencegah. Maka ketika daya lontarnya demikian hebat dan kakek itu berteriak, caping hancur bertemu punggung maka kakek ini terguling-guling nanun meloncat bangun dan melarikan diri lagi.
"Keparat, kau hebat. Aku akan menangkap dan meringkusmu, Poan-jin-poan kwi. Kemanapun kau bersembunyi ke situ aku mengejar!" dan Beng An yang berkelebat mengejar kakek ini tiba-tiba berseru pada kekasihnya, "Moi-moi, cari dan tangkap kakek yang satu itu. Jangan biarkan ia lolos. Mereka ahli-ahli tapa yang mewarisi Bu-siang-sin-kang. Cepat dan tangkap dia!"
Wei Ling bingung. Beng An bergerak dan mengejar ke barat sementara Ji-cu tadi ke timur. Kalau ia menuruti permintaan ini berarti mereka berpisah, dia tak senang. Tapi mendengar tentang ilmu gaib Bu-siang-sin-kang dan ia merinding namun tertarik, di daratan besar ternyata banyak orang-orang hebat maka terpaksa ia bersungut dan menggerakkan kakinya, apa boleh buat berpisah dengan kekasihnya dan sekali ia menggerakkan kakinya lenyaplah ia dari situ. Gadis ini menuju gedung Lim-taijin, mencari atau mencium jejak dari debu yang ditinggalkan lawan.
Dan sementara ia menuju tengah kota justeru Beng An berkelebat dan mengejar keluar kota!. Pemuda ini kaget sekali bahwa Poan-kan-poan kwi menyusup ke dalam badan seorang. Sebagai bekas murid kakek-kakek iblis itu tentu saja dia tahu bagaimana dan apa artinya Kakek itu hendak membuat onar di dunia, lewat wadag orang lain. Maka ketika ia mencium usapan Bu-siang-sin-kang dan itulah ilmu gaib warisan Poan-jin-poan-kwi, kakek itu telah tewas di tangan kakaknya namun rohnya masih gentayangan dan mencari sarana di bumi tentu saja Beng An pucat dan tidak membiarkan ini.
Dia tahu kelemahan Bu-siang-sin-kang dan karena itu akan dikejar dan ditangkapnya lawan. Kelemahan Bu-siang-sinkang terletak di leher depan, di daerah jakun dan kalau ia menggigit dan menghisap itu maka Bu-siang-sin-kang lumpuh. Tulang rawan di leher depan ini pusat kekuatan Bu-siang-sin-kang, hanya dia yang tahu. Maka ketika ia mengejar dan akhirnya membentak kakek itu, Toa-yo-cu sudah berobah pribadi maka dari belakang Beng An melepas bajunya dan sekali ia menggerakkan itu ke bawah maka kaki lawan terbelit.
"Robohlah!"
Lawan terkejut. Beng An membelit dan mengerahkan Ping-im-kang hingga baju itu seperti gulungan baja, kuat dan dingin dan tergulinglah kakek itu ke depan. Dan karena pemuda itu menubruk dan cepat menangkap, tak menyia-nyiakan kesempatan maka Beng An mencekik dan memeluk tubuh itu.
"Kakek iblis, keluar dan terkurunglah kalian. Lihat apa yang kubawa ini!"
Sebuah benda dicabut keluar dan itulah sebuah botol dari bekas arak yang telah diminum. Beng An bukan kebetulan membawa, melainkan menyambarnya dari rumah makan tadi. Cepat dan marah menyodokkan tutup botol ke mulut, terus membungkam kakek itu yang tersentak dan tentu saja kaget bukan main. Dan ketika ia meronta namun Beng An memeluk kuat, pemuda ini menggerakkan rahangnya maka di saat sama-sama bergulingan pemuda itu mendekatkan mulut dan...cep, gigi Beng An menancap kuat di jakun lawan, menggigit, pecah....!
"Tak apa," puteri ini tertawa. "Kita serba terburu-buru, Beng An. Tak perlu hal-hal sekecil itu sampai kau pikirkan. Sudahlah, aku juga dapat memikirkan diriku."
"Tidak," pemuda ini bersikeras. "Aku bertanggung jawab penuh atas dirimu, Moi-moi. Apa kata orang kalau kubiarkan dirimu begitu saja. Ah, mari berangkat dan kita cari pakaian yang pantas!"
Gadis. itu menarik napas dalam. Sesungguhnya ia merasa risi hanya dengan pakaian yang menempel di tubuh itu. Bagaimana jika ingin bersalin, bagaimana kalau harus berganti yang bersih sementara itu mulai kotor. Dan ketika mereka melanjutkan perjalanan namun kota masih terlalu jauh, dusun sederhana yang mereka jumpai maka di sini Beng An berhenti dan mengerutkan alisnya. Itu perjalanan hari kedua sejak menikmati kelinci panggang.
"Kau đi sini dulu," katanya. "Aku masuk ke dusun itu, moi-moi. Kucarikan ke butuhanmu dulu dan jangan ikut agar tidak menarik perhatian orang."
"Kenapa begitu? Bukankah aku dapat melumuri wajahku?"
"Tidak, jangan, moi-moi. Kau tak usah melumuri wajahmu dan jangan membuat kotor. Sudahlah, kau di sini dulu dan aku ke sana!" Beng An berkelebat dan tak mau dibantah lagi. Kekasihnya memang dapat melumuri wajah akan tetapi dia tak mau. Sayang akan wajah cantik itu. Maka ketika ia bergerak dan masuk dusun, mencari dan menemukan sebuah jemuran maka tanpa ba-bi-bu lagi pemuda itu menyambar ini, membawa lari.
"Hei, hei...!" seorang nenek tiba-tiba berteriak, muncul. "Apa yang kau lakukan anak muda. Heii, itu pakaian anakku. Jangan dibawa lari. Heiii...!"
Beng An berkelebat hilang. Mukanya merah padam karerna tentu saja tak disangkanya pemiliknya muncul. Ia sudah menengok sana-sini dan tak melihat apa-apa. Haru dan kasih sayang kepada kekasih membuat ia tak banyak berpikir panjang lagi. Ini gara-gara cinta! Dan ketika ia muncul di luar dusun itu dan Puteri Es duduk menunggu, tenang dan santai maka ia tersenyum dan tertawa berseru,
"Moi-moi, sudah kudapat. Kupikir cocok. Pakailah, tapi sayang terbuat dari kain kasar!"
Puteri berdiri dan bangkit menyambut pemuda itu. Wajahnya berseri dan kemerahan tapi ketika menerima itu mendadak alisnya berkerut. Wajah yang gembira itu tiba-tiba gelap, sinar matanya tajam menyambar Beng An dengan tuduhan curiga. Beng An terkejut. Dan ketika pemuda itu mundur dan berdebar tak enak maka kekasihnya bertanya, dingin,
"Kau dapatkan dari mana ini?"
"Dari dusun..."
"Benar tapi kenapa basah, Beng An. Pasti kau menyambarnya dari jemuran. Kau mencuri!"
Beng An kelabakan. la begitu tergesa hingga lupa bahwa kekasihnya ini bukan gadis sembarangan. Puteri Es adalah wanita cerdas yang dapat menangkap sesutu dengan tajam. Sedikit kejanggalan saja dapat ditebaknya. Dan itu cocok! Maka ketika gadis itu melemparnya kembali dan minta dikembalikan tentu saja Beng An merah padam, apalagi ketika nenek itu tiba-tiba muncul, berteriak-teriak.
"Heii, kembalikan itu, anak muda. Itu satu-satunya yang dimiliki anak perempuanku yang paling bungsu. Dia akan menikah, itu dari calon pengantin pria!"
Bukan main malunya Beng An. la merah padam dan gugup serta jengah. Wei Ling memandangnya dingin. Dan ketika ia semburat bagai kepiting direbus maka Wei Ling berkelebat dan menyuruh ia meminta maaf! "Aku bersalah," Beng An bergerak dan mendahului nenek itu, menunduk dalam- dalam. "Aku telah mencuri milikmu, nek. Terimalah kembali dan maafkan aku!"
Nenek itu tertegun. la telah berhadapan dengan Beng An ketika tiba-tiba pemuda itu membungkuk dan menyerahkan kembali dua potong pakaian itu. Baru sekarang ada pencuri mengembalikan baik-baik, dan pemuda itu menangis pula! Dan ketika nenek ini terbelalak dan heran serta aneh, kemarahan lenyap terganti rasa iba maka iapun tertegun bertanya,
"Kau... kau tak punya uang untuk membeli? Siapa gadis cantik bersamamu tadi? Kekasihmu?"
"Maaf," Beng An menghapus air matanya, terpukul dan membalik. "Aku telah menyerahkan milikmu, nek. Sudahlah jangan bertanya macam-macam karena perasaanku jadi sakit saja!"
"Hei nenek itu berseru, Beng An berkelebat pergi. "Tunggu, anak muda. Kalau begitu kuberikan ini. Kalian tampaknya baru melakukan perjalanan jauh!"
"Terima kasih," Beng An tak menggubris "kekasihku terlanjur marah, nek. Pulanglah dan sekali lagi maafkan aku!"
Nenek itu bengong. Tiba-tiba ia mengerti bahwa apa yang dilakukan pemuda itu demi kekasihnya yang dicinta itu. Sekilas Ia melihat wajah Puteri Es yang jelita, wajah seorang ningrat! Dan ketika ia termangu dan menyesal kenapa memarahi pemuda itu maka di sana Beng An menyusul kekasihnya yang cemberut di batu hitam. Puteri Es marah.
"Maafkan aku!" Beng An mengeluh dan memegang lengan kekasihnya ini. "Pikiranku memang buruk, moi-moi, tapi semua itu sudah kubersihkan dan kukembalikan kepada pemiliknya. Aku tak akan kuulangi lagi."
"Kau memang terlalu," gadis itu cemberut. "Hilang harga điriku kalau memakai barang curian, Beng An. Masa sebegitu dangkal pikiranmu. Kau membuatku malu!"
"Aku tak akan mengulanginya lagi" Beng An berjanji. "Tapi.. . tapi aku tak mempunyai uang, moi-moi, padahal kau membutuhkan itu. Kau perlu ganti pakaian!"
"Benar, tapi bukan dengan mencuri, Beng An. Kau membuat aku marah!'"
"Maafkanlah, aku tak akan mengulanginya. Aku... aku bingung melihat kita seperti ini dan bagaimana sekarang baiknya?"
Puteri itu tepekur. Kegembiraan lenyap terganti rasa marah. la malu dan marah oleh perbuatan Beng An. Namun karena pemuda ini sudah meminta maaf dan mengembalikan pada si nenek akhirnya ia mendorong Beng An meloncat turun, berkata singkat, "Kita lanjutkan perjalanan dan jangan hiraukan persoalan kecil ini!"
Beng An tertegun. la merasa salah namun mengeraskan hati. Apa yang dilakukan adalah demi kekasihnya ini. Kalau dia kena marah memang wajar, kekasih mana mau memakai baju curian! Dan ketika ia tersenyum dan tiba-tiba tertawa, gadis itu menengok dan terkejut maka pemuda ini mengambil batu merobohkan sebatang pohon. Sekali sambit membuat pohon itu tumbang.
"Heii, tunggu, moi-moi. Ada akal bagus... bumm!"
Puteri Es berhenti. Ia terkejut oleh perbuatan Beng An tapi lebih terkejut lagi ketika pemuda itu berkelebat dan menggerakkan tangannya lima kali membacok. Pohon besar itu terpotong-potong dan pemuda ini masih menggunakan dua jarinya menusuk dan merobek. Luar biasa, potongan pohon itupun terbelah menjadi kayu bakar. Lalu ketika Beng An mengikat dan mengangkut itu lewat pundaknya maka pemuda inipun melangkah tegap memasuki dusun, kembali ke tempat nenek itu.
"Aku akan menukar ini dengan cara barter. Aku akan menemui nenek itu. Tunggulah di sini dan kuambil lagi pakaian itu untukmu!"
Sang puteri terbelalak. Mata yang lebar jernih itu terkejut, alis yang hitam menjelirit itu terangkat naik. Betapa manisnya. Tapi ketika wajah itu memerah dan pandang mata itu berseri mendadak sang puteri terkekeh dan memuji. "Hi-hik, kau hendak menjual kayu itu kepada nenek itu, Beng An? Kau hendak kembali ke dusun?"
"Untukmu, moi-moi. Segala siap kulakukan tapi kini berjalan halal, ha-ha..."
Puteri Es terkekeh-kekeh geli. Beng An memanggul kayu itu dengan cara lucu dan terseok-seok. la gembira mendengar kekasihnya tertawa. Tapi ketika ia berkelebat dan lenyap menggunakan langkah kakinya yang ringan maka Beng An sudah di tempat nenek itu yang tentu saja bengong dan terkejut melihat pemuda itu memikul dua onggok kayu bakar sebesar bukit. Hanya kepala dan sedikit rambut itu yang tampak!
"Heii, kau ini?"
"Benar...!" Beng An meletakkan kayu itu hingga berderak, suaranya menggetarkan tanah berpijak. "Aku ingin barter, nek, tukar-menukar. Aku tak mau cuma-cuma menerima milikmu dan ambillah ini tapi berikan dua potong pakaian tadi!"
"Heh-heh..." si nenek terpingkal-pingkal. Kau lucu, anak muda. Mencuri dan bertobat lalu sekarang menjual kayu bakar. Heh-heh, tanpa inipun sudah kurelakan untukmu. Ambillah, aku juga masih menyimpannya. Tak perlu kayu sebanyak ini kalau kau benar-benar memerlukan pakaian itu."
"Tidak, aku tak mau cuma-cuma, nek. Nanti kekasihkupun marah lagi. Terimalah atau kubawa lagi kayu ini kalau kau menolak!"
Sang nenek tertegun. Beng An berkata sungguh-sungguh dan tawa itupun berhenti. Aneh, si nenek menangis pula saking geli. Tapi ketika ia menarik napas dalam-dalam dan mengamati pemuda itu maka ia kagum akan wajah dan sikap yang gagah ini, mengangguk dan masuk. "Baiklah, barter ya barter, tapi harus adil. Tunggu sebentar dan kubawa sesuatu."
Beng An mengerutkan kening. Ia mengusap peluh dan bertanya-tanya apa yang hendak diambil nenek itu. la sebenarnya mau cepat-cepat pergi. Tapi ketika nenek itu muncul dan membawa bungkusan, serta segelas air maka nenek itu tersenyum memberikannya.
"Kau anak muda penuh semangat, aku yang tua ini kagum. Baiklah, minum segelas air ini, anak muda, dan terimalah ini sebagai tambahan."
"Apa itu?' Beng An mengerutkan kening. "Dua potong pakaian laki-laki, punya menantuku yang lain. Terimalah tapi maaf pakaian petani yang sederhana saja."
Beng An tertawa. la menerima dan mengucapkan terima kasih dan air minum itupun disambarnya. Peluh di dahinya itu rupanya menimbulkan iba si nenek. Maka ketika ia menghabiskan air dingin itu dan tertawa mengucap terima kasih, mengembalikannya kepada si nenek maka Beng An berkelebat dan lenyap seperti iblis. "Ha-ha, terima kasih. Kau baik dan lembut hati, nek. Tak akan kulupa jasa baikmu ini dan selamat berpisah!"
Si nenek mengangguk-angguk. la masih kagum oleh kekuatan Beng An memikul kayu bakar tadi. Kayu itu masih disitu dan tingginya hampir menyentuh genteng. Bukan main kuat dan hebatnya pemuda itu. Tapi ketika Beng An bergerak dan lenyap seperti iblis mau tak mau ia merinding juga. "Hm... demitkah pemuda itu. Atau hantu kesiangan!"
Beng An tertawa geli membawa buntalan si nenek. la tentu saja tak menghiraukan nenek itu lagi ketika tiba di tempat kekasihnya. Wei Ling menunggu berseri-seri. Dan ketika wajah itu tampak gembira sementara bulu lentik itu juga terangkat naik berseri-seri maka Beng An melempar pakaian wanitanya kepada kekasihnya. "Moi-moi, kali ini halal. Pakailah pakaian itu dan jangan khawatir barang curian."
Puteri Es tertawa. Rasa marahnya lenyap terganti rasa kagum, juga haru. Demikian besar perhatian Beng An kepadanya. Maka ketika ia menangkap dan menerima itu tapi heran oleh bungkusan di tangan Beng An maka gadis ini bertanya, "Hei, apa lagi itu? Kau membawa apa?"
"Ha-ha, nenek itu benar-bena baik, memberiku pakaian pula, laki-laki.Hayo kita saling bertukar pakaian dan lihat siapakah yang lebih patut!"
Gadis ini tertawa. Akhirnya ia mengangguk dan gembira sementara Beng An sendiri sudah berkelebat dan lenyap di balik sebatang pohon. Puteri Es juga bergerak dan lenyap di balik pohon. Dan ketika tak lama kemudian masing-masing sudah muncul kembali, Beng An dengan pakaian petani dan caping di kepala maka gadis itu terkekeh betapa Beng An sudah berubah, bukan lagi seorang pendekar muda melainkan petani sederhana yang biarpun cakap tapi berkesan lucu, bodoh. Pakaian itu kedodoran!
"Hi-hik, aneh, lucu sekali. Ah, kau jenaka dengan pakaian seperti itu Beng An, gerombyongan! Kau benar-benar seperti petani yang habis mencangkul sawah!"
"Dan kau, ah... " Beng An terkagum tak menghiraukan ejekan. "Kau seperti bidadari salin rupa, moi-moi Pakaianmu sederhana tapi wajahmu kian agung. Aduh, cantik dan manis sekali. Kau seperti bakal pengantin!"
"Apa...?"
"Benar, kau.... ah, ck-ck, luar biasa sekali. Kau seperti pengantin wanita. Aduh, warna jambon itu patut sekali di kulitmu, kian halus!" Beng An memang kagum dan terbelalak. Pakaian kekasihnya yang sederhana namun bersih ini menghilangkan semua warna kumal di tubuh. Wei Ling telah membuang pakaian lamanya itu. Dan ketika Beng An terpesona dan kagum, gadis di depannya ini seperti gadis desa sedang mekar maka Puteri Es yang jengah dan semburat itu buru-buru menaburkan bubuk ke wajah dan pakaiannya.
"Heii...!" Beng An terkejut. "Kenapa kau lakukan itu!"
"Biar tidak menarik perhatian orang," sang puteri menjawab sekenanya. "Kalau kau saja kagum dan melotot tiada habisnya apalagi orang lain, Beng An. Aku tak ingin menarik perhatian dan biar begini saja!"
Beng An mengeluh dan melihat pakaian itu segera kusam. Kekasihnya malu dipuji, sementara dia ingin melampiaskan kekagumannya. Siapa tak kagum kalau dengan pakaian begitu saja kekasihnya sudah demikian elok, anggun dan tak dapat menyembunyikan keagungannya dan agaknya darah ningrat itulah yang menonjol. Entah kenapa gadis ini tetap cantik luar biasa. Tapi ketika Wei Ling tertawa dan gadis itu ganti memandangnya maka puteri ini berkata,
"Sudahlah, lihat kau sendiri, Beng An. Dengan pakaian bersahaja begitu kau tetap juga gagah. Di luarnya seperti petani muda, namun wajah dan sinar matamu itu tetap tajam mencorong. Ah, kaupun masih gagah dan tampan!"
"He, kau memuji seorang pria?"
"Kenapa tidak? Kau bukan orang lain bagiku. Kau kau sahabat Lembah Es!"
"Ha-ha!" Beng An menyambar dan merangkul kekasihnya ini. "Kau tak berani bicara terus terang bahwa aku kekasihmu, moi-moi, calon suamimu. Kau masih malu-malu tapi semakin menggemaskan!"
"Iih!" sang puteri berkelit dan mengelak. "Jangan main cium di sini, Beng An, malu aku. Nanti ada orang!"
"Ha-ha, orang siapa. Paling-paling kau dan aku!" Beng An yang meraih dan menyambar kembali lalu mendaratkan ciuman di pipi, ditepis tapi mengulang lagi dan sang puteripun menjerit. Beng An terbahak-bahak. Tapi ketika ia melepaskan kekasihnya yang bersemu dadu, gadis itu melengos maka Puteri Es meloncat dan berkelebat pergi.
"Beng An, urusan kita masih banyak. Hayo berangkat dan kita cari ayahmu!"
"Ah, benar, ha-ha Aku ingin ayah segera melamarmu, moi-moi, kita menikah dan segera mendirikan rumah tangga baru. Ha-ha, benar, mari mencari ayah!"
"Eit, siapa bilang begitu? Kau menyangka aku ingin cepat kawin?"
"Ha-ha, bukan, bukan kau. Aku yang ingin cepat menikah dan jangan bertolak pinggang begini. Aduh, aku takut!" Beng An yang menyambar dan membawa kekasihnya lari lalu mengajak gadis itu melanjutkan perjalanan. Kekasihnya berhenti ketika ia bicara begitu, malu dan marah mengira dia merendahkan. Tapi ketika ia menjawab cepat dan tidak menyinggung kekasihnya maka gadis ini mau diajak pergi, tertawa dan sehari itu mereka bergembira lagi.
Perjalanan terasa menyenangkan dan mulailah sang puteri terbiasa oleh kehidupan luar. Makan dan minumpun tidak rewel lagi. Perlahan-lahan dia mulai biasa dengan kehidupan Beng An. Dan ketika. beberapa hari kemudian mereka meninggalkan tapal batas paling ujung, daratan besar mereka injak maka kota dan kehidupan ramai di-sentuh. Pagi itu sang puteri memasuki kota Ih-yang. Beng An merasa lapar dan minta berhenti di sebuah rumah makan.
Sebenarnya mereka berdua mulai berkeruyuk, bau masakan sedap menyambar hidung dan tak terasa sang puteri memuji kagum. Seminggu ini mereka hanya makan makanan bersahaja, tak aneh kalau tiba-tiba merasa lapar mencium bau masakan dari restoran besar. Tapi ketika di pintu ini Beng An berhenti dan tertegun, sang puteri ikut berhenti maka Beng An merah tersipu berkata,
"Celaka, aku tak membawa uang. Kita tak bisa masuk!"
"Hm, kenapa tidak? Aku masih memiliki ini, Beng An, sedikit perhiasan dan batu kemala. Kita dapat menukarnya dan makan di sini."
"Jangan, terlalu berharga! Eh, sebaiknya ke pasar dulu, moi-moi. Aku ada ide!"
"Ide apa?"
"Pokoknya kau tahu. Ayo ke sana dulu dan jangan berikan itu!"
Beng An mendorong dan menyuruh kekasihnya rnenyimpan perhiasannya, tiga butir batu kemala dan pemuda ini cepat mengajak. Langkahnya ini tentu saja diikuti pandang mata heran dan pelayan yang sudah nenyambut menjadi bengong. Beng An tampak tidak perduli. Dan ketika ia meninggalkan rumah makan dan menuju tengah kota, pusat keramaian di mana terjadi jual beli barang maka di sini pemuda itu celingukan mencari-cari.
"Kau mencari apa," sang puteri berbisik. "Tindakanmu aneh sekali, Beng An. Ada apa ke sini?"
"Sst, lihat toko kain itu. Hm, majikannya ada di situ dan biar kau di sini dulu. Aku ke sana!" Beng An melangkah lebar dan meninggalkan kekasihnya.
Sang puteri terkejut tapi pemuda itu sudah melangkah jauh, terpaksa ia menunggu. Dan ketika ia terbelalak mengawasi Beng An, penasaran dan ingin tahu maka sang puteri mengerahkan tenaga mendengarkan percakapan di sana. Ternyata Beng An menawarkan tenaga!
"Loya (tuan), bisakah kau menolong aku sedikit. Berapa kau berani bayar kalau barang di kereta itu dapat kubawa sekaligus!"
Laki-laki tua berpakaian sutera itu terkejut. Dia berada di depan tokonya ketika Beng An tiba-tiba datang. Di luar toko sebuah gerobak sedang menurunkan barang-barangnya, tak kurang dari tujuh orahg kuli pengangkut. Maka ketika ia membalik dan tentu saja membelalakkan mata, seorang pemuda berpakaian petani datang menawarkan tenaga tiba-tiba ia terkekeh. "Heh-heh, kau dari dusun mana? Kau mencari pekerjaan?"
"Benar, loya, aku orang baru di tempat ini. Aku, hmm.... aku dapat membawa segerobak barang-barangmu itu sekali angkat. Berapa upah yang kuterima dan bolehkah kukerjakan!"
"Sekali angkat? Ha-ha-heh-heh! Kau membual, anak muda. Dua ekor kudapun tak mampu membawanya sekaligus. Kau gila. Jangan membual di sini dan pergilah. Lihat tujuh orang itu saja mandi keringat!"
"Hm, berat mana dengan ini?" Beng An tiba-tiba mengangkat sebuah patung singa yang tertanam di Iantai, seketika jebol. "Kalau itu lebih berat biarlah aku mengaku kalah, loya. Tapi kalau tujuh orang itu mampu menerima ini aku boleh pergi!"
Gegerlah orang-orang di sekitar. Sang juragan tampak terpekik dan meloncat mundur. Patung singa-singaan itu besar dan berat. Kalau tertanam di lantai paling tidak membutuhkan sepuluh ekor kuda untuk mencabutnya. Maka ketika ia terpekik dan berseru kaget, Beng An tertawa maka tujuh kuli panggul menghentikan pekerjaan dan kaget melihat itu.
"Hei, anak muda itu menjebol patung. Celaka, ia membuat onar!"
"Tunggu...!" sang juragan tiba-tiba berseru mengangkat tangan. "Anak muda ini ingin menggantikan kalian, A-siong. Katanya sanggup mengangkat segerobak kain itu sekali jalan. Biar ia kucoba dan kalian mingirlah!"
"Hm, nanti dulu," Beng An tersenyum. "Berapa kau berani bayar, loya. Kalau cukup kulakukan tapi kalau tidak lebih baik mencari yang lain!"
"Tunggu, nanti dulu! He-he... aku membayarmu sepuluh tail. Ya, sepuluh, tail. Kau berani angkat?"
"Sepuluh tail?" Beng An mengerutkan kening. "Kau tak pandai menghargai tenaga manusia, orang tamak. Ongkos itu paling-paling untuk seorang kuli. Kau mempergunakan tujuh!"
"Ha-ha, kalau begitu dua puluh. Ya, dua puluh tail!"
"Tidak, aku minta tujuh puluh tail dan nanti kuangkat. Sama dengan mereka."
"Wah, tidak bisa. Aku rugi. Kau, eh...tunggu!"
Beng An memutar tubuh dan berjalan pergi, ulahnya sudah menarik perhatian orang banyak. "Jangan pergi dulu, anak muda. Tunggu! Baiklah.... baik, kubayar kau tujuh puluh tapi buktikan sekarang!"
Beng An berhenti, tertawa. "Kau siap?"
"Tentu, dan tujuh puluh tail untukmu!"
"Kalau begitu berikan uangnya, atau aku mencari lain."
Sang juragan buru-buru menghitung uang. la telah melihat Beng An melirik juragan-juragan lain dan ia tak ingin kehilangan, cepat uang itu dihitung dan di-berikan. Dan ketika Puteri Es berkerut kening melihat itu, Beng An merampas rejeki orang lain maka pemuda itu tertawa menerima.
"Heii, kalian kubagi separoh. Tiga puluh lima untukku dan tiga puluh lima untuk kalian!"
Tujuh orang itu terkejut. Mereka semula merasa marah dan siap menghadang pemuda itu yang dianggap merebut rejeki. Siapa tak panas kalau bagian masing-masing mendadak dirampas. Bagaimana anak isteri mereka nanti. Tapi ketika Beng An melemparkan tiga puluh lima tail itu dan menyimpan sisanya untuk sendiri, ditangkap dan membuat orang-orang ini tertegun maka pemuda itu sudah menghampiri gerobak dan sekali ia berseru keras maka gerobak dan isinya diangkat. Persis seorang raksasa mengangkat sebuah mainan anak-anak!
"Hayo, di mana ini kuletakkan, loya. cepat dan aku ingin mencari lain!"
Gemparlah seisi pasar. Beng An mengangkat segerobak penuh kain-kain sutera yang beratnya tak kurang dari tiga ribu kati. Begitu mudah dan gampangnya pemuda itu menunjukkan kepandaian. Dan ketika si juragan terbelalak kaget tapi sorak dan tepuk riuh menyadarkannya, semua orang kagum maka juragan itu tergopoh-gopoh berseru terkekeh. "Di sana, di sudut itu. Heii, letakkan di dalam gudang di balik pintu!"
Beng An tersenyum dan melangkah lebar membawa beban yang berat ini. Dia tak merasa berat atau capai, gerobak dan isinya itu begitu mudah diangkat. Dan ketika ia tiba di dalam gudang dan meletakkan itu di sudut maka sorak dan tepuk riuh kembali meledak.
"Bummm!" Beng An meletakkan itu sampai tergetar. Pemilik tertawa-tawa sementara yang lain tak habis-habisnya memuji. Puteri Es tersenyum di sana, geli, mengangguk-angguk. Dan ketika sebentar kemudian tawaran lain datang, bertubi-tubi maka sepuluh juragan dilayani dan riuhlah pasar oleh demonstrasi Beng An. Yang lain mendekati namun Beng An rasa cukup. Hampir seribu tail berada di tangannya. Dan ketika ia mengebutkan baju dan berkelebat ke atas tiba-tiba pemuda itu lenyap melewati kepala banyak orang. Manusia penuh sesak di situ.
"Cukup, terima kasih, cuwi-loya. Aku telah mendapatkan apa yang aku inginkan dan biar yang lain bekerja!"
Untuk kesekian kali pasar gempar Beng An lenyap seperti iblis dan siapapun tak tahu ke mana. Sekilas mereka melihat pemuda itu berputar dan berayun di belandar besi, berjungkir balik dan lenyap entah ke mana. Dan ketika sepak terjang pemuda itu menjadi bahan pembicaraan maka Beng An telah berada di samping kekasihnya tertawa-tawa.
"Nah, ini uang halal, hasil kerja keras. Ayo ke restoran itu, moi-moi, dan kau boleh menghabiskan sepuluh porsi tim ayam, ha-ha!"
Puteri Es bergerak dan kagum kepada kekasihnya ini. Disangkanya tadi Beng An merebut rejeki para kuli panggul, tak tahunya pemuda itu membagi hasil hingga adillah masing-masing pihak. Maka ketika ia tertawa dan berkelebat di rumah makan itu pelayanpun tertegun melihat kembalinya muda-mudi ini.
"Ji-wi (kalian berdua) benar-benar ingin makan? Kalian tidak pergi lagi?"
"Ha-ha, tadi uangku ketinggalan, bung pelayan. Sekarang sudah kuambil. Ayo siapkan masakan paling enak dan kucium bau tim ayam di sini. Keluarkan resepmu!"
"Ah, sobat berhidung tajam. Kami tentu saja memiliki semua yang terbaik. Tapi maaf, tamu bayar dulu sebagai uang muka!"
Beng An terbelalak. Tiba-tiba ia menghentikan langkah dan membalik menghadapi pelayan itu. Ia tak tahu bahwa pakaian dan capingnya itu menimbulkan keraguan. Dua muda-mudi ini berpakaian sederhana meskipun sikap dan pandang mata mereka bukan sebagai petani. Tapi ketika kekasihnya menggamit dan tersenyum mengangguk maka lirik dan isyarat kekasihnya itu menyadarkannya.
"Ha, kau mengira kami petani miskin? Baik, ini untuk uang muka, pelayan. Bilang kalau tidak cukup...cringg!" seratus tail dibuang ke atas meja dan terkejutlah pelayan itu.
Ia tak menyangka uang berceceran sedemikian banyak. Itu cukup untuk makan dan minum sepuluh orang, kenyang dan pasti padat. Maka ketika ia buru-buru tertawa dan meminta maaf, meraih dan mengantungi uang itu maka lelaki ini bergegas menuju ruang dalam. Sebagian dari uang itu ditaruh di kantung yang lain untuk diri sendiri!
"Hm, menyebalkan. Hidup masih selalu seperti ini. Uang dan penampilan lahiriah selalu nomor satu!"
"Sudahlah, yang penting kita kenyang, Beng An, dan aku girang bahwa makanan dan minuman yang kutelan halal. Kau benar-benar luar biasa!"
"Ha-ha, kau kira aku mau mencuri lagi? Ah, tidak. Demi kau aku siap kerja keras, moi-moi, tapi maaf itulah sementara yang dapat kulakukan. Kau tak malu aku menjadi kuli panggul? Juga penjual kayu bakar?"
"Hi-hik, kau lucu, Beng An. Yang kau lakukan hanya bersifat darurat saja. Kau bukan seperti itu, kau putera seorang pendekar gagah!"
"Ah, aku adalah aku, jangan bawa-bawa ayahku. Ha,ha.. itu makanan datang, moi-moi, perutku lapar dan tiba-tiba tak kuat!"
Benar saja pelayan datang dengan sebuah penampan penuh. Makanan dan minuman panas ada di situ, juga bak-pao dan kue-kue serba lezat serta buah-buahan apel dan pisang. Dan ketika Beng An tersenyum dan menerima itu maka pelayan bersikap amat hormat meletakkan semuanya di atas meja.
"Silakan ji-wi nikmati, kalau kurang bisa tambah."
"Ha-ha, terima kasih. Pergilah dan biarkan kami berdua!"
Pelayan mundur dan tertawa. Beng An tak mau banyak bicara lagi dan menyambar mangkok, diisinya penuh dengan nasi dan ayam tim. Lalu ketika ia menyerahkan itu kepada kekasihnya maka sang puteri tersenyum berseri gembira.
"Kau dulu, laki-laki belakangan. Ayo, sikat dan habiskan ini, moi-moi. Perutmu lapar!"
"Hm, makan yang baik adalah makan perlahan-lahan. Kalau kau lapar silakan kebut, Beng An, aku santai-santai saja."
Beng An tertawa. Ia sadar bahwa gadis ini adalah Puteri Es, gadis ningrat yang tak mau memalukan istana. Maka ketika gadis itu makan perlahan-lahan dan tenang kalem, sementara ia terlanjur lahap maka mulutpun ditahan dan mengikuti kekasihnya itu. "Sial, aku lupa. Maaf, moi-moi, aku-pun harus kalem dan perlahan-lahan. Ha-ha... perutku harus diajar adat!"
Sang puteri tersenyum. Dalam beberapa hari menikmati suka-duka bersama maka masing-masing pihak mulai dapat mengerti dan memahami yang lain. Beng An seorang pemuda amat bebas yang jarang berpanjang sopan santun, meskipun bukan berarti pemuda liar yang tak tahu tata krama. Sedangkan Puteri Es yang adalah keturunan ningrat, penerus Dinasti Han maka gadis itu terikat tata sopan santun dan ikatan budaya istana. Masing-masing berbeda dalam ikatan tradisi namun bukan berarti berbeda watak. Masing-masing sama-sama keturunan orang gagah.
Maka ketika hal yang amat mendasar itu didapati masing-masing pihak, keduanya memberi dan menerima maka apa yang kurang dalam pribadi mereka segera diisi. Puteri Es misalnya, kini telah dapat menyesuaikan diri untuk makan dan minum seadanya biarpun itu air gunung yang jernih!
Tapi saat mereka makan minum tiba-tiba berderap delapan ekor kuda. Delapan orang turun di halaman dan masuklah delapan laki-laki gagah berpakaian pengawal. Mereka membawa tombak beronce merah dan baju besi mereka yang mengkilap berkilauan itu terasa menyeramkan. Mereka langsung menghampiri meja Beng An dan terkejutlah pemuda itu ketika tahu-tahu dikurung. Rumah makan seketika ribut. Dan ketika satu di antara delapan orang itu menodong Beng An, tajam menatap pemuda ini sementara kemudian melirik Puteri Es, tertegun bahwa seorang gadis cantik berada di situ maka pengawal ini membentak,
"Kaukah yang membuat onar di pasar? Kaukah yang menunjukkan kesombongan dengan pamer kekuatan? He, kami petugas keamanan diperintahkan menangkap dirimu, anak muda. Sekarang juga kau menghadap Lim-taijin untuk ditanyai hal-hal penting!"
Beng An tiba-tiba tertawa. Gertak dan cara pengawal ini menakut-nakuti dirinya membuat Beng An geli. Sejenak saja ia terkejut, tapi kini sudah tidak. Maka ketika ia berdiri dan menangkap ujung tombak itu, memutarnya perlahan maka pemiliknya berseru kaget karena ujung tombaknya patah.
"Hm, kau. Tak usah mengganggu dan mencari alasan yang tidak-tidak, pengawal. Siapa itu Lim-taijin dan apa pula perduliku kepadanya. Aku tak mau ditangkap dan kalian pergilah... krak!"
Sang pengawal terdorong. la tak menyangka sekali putar ujung tombaknya patah. Gerakan tangan Beng An membuatnya terhuyung pula. Tapi ketika ia hilang kagetnya dan berseru keras, tujuh temannya yang lain bergerak maka lima di antaranya menusuk Beng An sementara dua yang lain menodong Puteri Es. "Heii, jangan sombong, anak muda. Lihat gadis ini kami ancam!"
Namun Beng An tertawa geli. Tentu saja ia tak perlu khawatir karena saat itu juga kekasihnya menggerakkan tangan perlahan. Tombak dua orang patah berpeletakan, putus menjadi dua. Dan ketika ia mengelak dan menampar lima kali maka tombak-tombak itu juga patah seperti lainnya.
"Ha-ha, semakin tengik. Pergi dan jangan mengganggu lagi, tikus busuk, atau tubuh kalian patah-patah sebagai pengganti.... krak-krakk!"
Beng An membuat gentar semua pengawal, menendang dan semua berteriak dan terlemparlah mereka itu keluar pintu. Wei Ling juga melakukan hal yang sama dan tiba-tiba sikap dingin kembali muncul. Wajah gadis ini membeku. Tapi ketika semua pengawal bergulingan dan meloncat pergi, Beng An disangka mengejar maka pemuda ini menahan lengan kekasihnya yang tiba-tiba berubah bengis.
"Sudahlah, tak guna melayani mereka, Ling-moi. Sebaiknya kita pergi dan tinggalkan tempat ini. Hm, makan kita terganggu."
"Nanti dulu, terlalu enak bagi mereka. Pemimpinnya itu rupanya sombong, Beng An, biar kuberi sedikit hadiah dan aku justeru ingin tahu siapa itu Lim-taijin!"
Beng An terkejut. Kekasihnya menggerakkan tangan dan sebuah jarum hitam menyambar cepat, tepat mengenai punggung dan menembus baju besi itu. Dan ketika laki-laki itu berteriak dan terjungkal dari kudanya, ditolong yang lain maka tujuh orang itu menoleh pada gadis ini dan seketika pucat, cepat melarikan diri lagi.
"Gagal, kita lapor Lim-taijin!"
Gadis itu mendengus. Kalau saja Beng An tidak mencekalnya erat mungkin puteri ini berkelebat ke depan. la siap dengan tujuh jarum lagi akan tetapi Beng An menahannya. Cukup seorang itu saja yang luka. Dan ketika Beng An menarik napas dalam dan mencari pelayan ternyata yang dicari tak ada, yang keluar justeru seorang laki-laki gemuk yang gemetaran dan menggigil. Pemilik rumah makan.
"Ampun am... ampun. lni mencelakai kami, anak-anak muda. Mereka... mereka orang-orang berbahaya dari Lim-taijin. Harap kalian tak usah pergi dan lindungi kami. Nanti rumah makan ini dihancurkan!"
Beng An mengerutkan kening. "Dihancurkan? Masa orang tak bersalah di ikut campurkan!"
"Benar, kami, ah...tolonglah, anak-anak muda. Lim-taijin dan orang-orangnya itu bukan orang biasa. Mereka menekan. Kalau pergi tentu aku kena sasaran. Bisa seribu tail disuruh mengganti. Mati, celaka aku!"
"Hm, siapa sebenarnya orang ini. Masa kejam terhadap rakyat."
"Sungguh, celaka anak muda, celaka. Lim-taijin itu tak akan berhenti kalau orang yang bermusuhan dengannya tak tertangkap. Ah, sebaiknya kalian di sini dulu dan biarkan mereka datang lagi atau bantulah aku seribu tail perak. Itu untuk menahan kemarahan mereka!"
"Seribu tail?" Beng An teringat kerjanya yang susah payah. "Hm, enak dan kurang ajar sekali, paman gemuk. Kalau benar katamu biar kuhadapi di sini saja."
"Tidak," Wei Ling tiba-tiba berseru. "Kita ke sana, Beng An. Kita temui dan hajar mereka. Aku ingin tahu dan sudah kukatakan siapa itu tikus busuk itu!"
"Hm, ini persoalan baru kita," Beng An tak setuju. "Bukan maksudku ingin membuat ribut di sini moi-moi, ingat bahwa kita ingin cepat-cepet pulang".
"Aku penasaran", dan gadis itu memotong. "Dan apa sebab kita tiba tiba di ganggu,tentu bukan persoalan biasa."
Derap kuda yang amat besar tiba-tiba terdengar. Debu mengepul tiggi Ketika gadis itu belum berhenti bicara. Dan ketika wajah-wajah garang tersembul dari balik kepulan asap putih. Dari empat penjuru muncul barisan berkuda amat besar. Tahu-tahu rumah makan itu dikepung. Sepasukan tak kurang dari seratus jumlahnya membunyikan tombak dan golok.
"Anak muda sombong, kami pasukan keamanan kota Ih-yang ingin menangkapmu hidup-hidup. Ini perintah Lim-taijin. Menyerahlah atau kami membunuhmu!"
Pemilik restoran lari terbirit-birit. Ia tak jadi membujuk seribu tail itu lagi begitu pasukan besar itu muncul. La berteriak-teriak. Dan ketika Beng An mengerutkan kening dan tiga laki-laki setengah tua muncul di depan sendiri, yang di tengah memandang dengan kilatan penuh api maka pemuda ini tertegun karena dia serasa mengenal kakek garang itu. Setidaknya sepasang matanya yang mencorong dan amat hebat.
"Hm, siapa kau," Beng An maju dan tidak main-main lagi, mata itu menunjukan dia berhadapan dengan orang berbahaya. "Aku dan kalian sesungguhnya tidak saling mengenal, kawan. Ada apa ribut-ribut dan hendak menangkap aku. Apa salahku?"
"Kau mengganggu, keamanan kota Ih-yang, dan lebih lagi karena kau adalah putera Kim-mou-eng!"
Beng An terkejut. Disebut dan dikenal dirinya tiba-tiba membuat pemuda ini berdetak. Aneh bagaimana lawan tahu. Tapi ketika ia menekan perasaannya dan Wei Lihg tampak heran, melirik Beng maka pemuda ini berbisik bahwa ia tak mengenal kakek itu, musuh ayahnya memang banyak.
"Hm, tenang saja. Aku tak mengenal kakek ini, Wei Ling, tapi agaknya ia tahu ayahku. Minggir dan hati-hati terhadap serangan gelap!" lalu membalik dan menghadapi kakek itu lagi Beng An berkata,sikapnya waspada, "Orang tua, agaknya kau telah mengenal aku dengan baiknya, bagus. Sekarang siapa kau dan cukup jantankah menyebutkan namamu?. Aku tak akan ikut begitu saja tanpa sebab sebab yang jelas, aku seakan mengenalmu!"
Heh heh, kau berhadapan dengan Sin Sam Yo Cu (Tiga elang sakti). Aku adalah Toa-yo-cu Tong-kek bocah dan ini dua saudaraku Tong Lai dan Tong Hu. Kau dan aku belum pernah bertemu, betul. Tapi aku sudah lama tahu dan mendengar ilmu tangan dewa pecahan dari Pek Sian Ciang ayahmu dan kau telah menunjukkan itu dibpasar. Siapa lagi kalau bukan keluarga Pendekar Rambut Emas yang coba coba sombong!"
Beng An terkejut, memang benar bahwa didalam pasar tadu ia menggunakan tenaga tangan dewa atau Sin Ciang Kang pecahan Pek Sian Ciang untuk mengangkat gerobak dan isinya. Dengan tenaga itu batu sebesar gunung pun dapat diangkat, maka ketika tiba-tiba ilmunya diketahui namun ia tak pernah mengenal kakek ini, Tiga Elang Sakti baru kali itu dilihat maka Beng An menarik napas panjang berkata mendongkol.
"Kau rupanya mellhat perbuatanku tadi, aneh, kenapa tidak segera muncul dan mencari aku. Hm, betapapun aku tak mengenal kau, orang tua, dan aku juga tak ingin mengikat permusuhan. Aku tak merasa berurusan dengan Lim-taijin dan tak merasa membuat ribut di kota ini. Bukalah jalan dan biarkan aku pergi balk-baik, atau nanti terpaksa aku mempergunakan kekerasan."
"Ha-ha, seperti ayahnya, sombong! Heh, aku dan kau memang tak ada urusan apa-apa, anak muda. Tapi ayahmu berhutang banyak denganku. Nanti di tempat Lim-taijin kau kuberi tahu. Menyerah dan ikut baik-baik. Atau aku mempergunakan kekerasan dan jangan kira dengan kepandaian ayahmu kau dapat pergi!"
"Hm, tua bangka menyebalkan!" Wei Ling tiba-tiba terseru, suaranya mengejutkan semua orang. "Kalau kau ingin menangkap kami tak perlu banyak cakap lagi, elang tua. Maju dan tangkaplah. Lihat kami akan merobohkan seekor elang yang sudah rapuh!"
"Kau siapa," kakek itu membentak. "Aku belum pernah melihatmu tapi Lim-Taijin pasti suka kepadamu!"
"Benar," kakek kedua tiba-tiba berseru tertawa. "Kalau betina ini dapat kita berikan pada taijin tentu upah kita besar, suheng. Apalagi kalau calon mantu Kim-mou-eng!"
"Atau kita pakai sendiri," kakek ketiga menyeringai dan terkekeh, mencabut sepasang cakar elang yang ujungnya runcing, kebiru-biruan. "Kalau bocah ini dapat kita tangkap sebaiknya dipakai sendiri, suheng. Aku masih kuat dan kalian boleh buktikan!"
Semua tertawa. Seratus pengawal yang berjaga dan mengepung dan semula tegang tiba-tiba meledak tawanya. Mereka tak tanu bahwa meraka berhadapan dengan Puteri Es, heran dan kagum karena di balik pakaian kasar gadis itu masih cantik dan menonjol kemolekannya. Tubuh itu singsat dan padat, menggairahkan. Tapi ketika pengawal tertawa dan kakek itu terkekeh-kekeh mendadak gadis ini berkelebat dan lenyap membentuk bayangan cepat menyambar kakek itu.
"Tua bangka bermulut kotor...!"
Kakek ini terkejut. Wei Ling yang lenyap dan menyambar bagai kilat di angkasa benar-benar membuatnya tersirap. Gadis itu tahu-tahu di depannya dan dua jari itu menusuk mata, sekali coblos tentu buta. Dan karena tak ada waktu mengelak kecuali menangkis, sepasang cakar elang itu bergerak buru-buru maka telapak gadis ini bertemu cakar elang di tangan lawan.
"Plak !" Lawan terbanting bergulingan. Si kakek berteriak dan semua pengawal terkejut. Gerak cepat gadis itu benar-benar luar biasa, tak aneh karena gadis ini mempergunakan langkah saktinya Jit-cap-ji-poh-kun, warisan Malaikat Api yang menjadi andalan penghuni Lembah Es. Maka ketika kakek Itu terpelanting karena kalah kuat, telapak halus itu membuat senjatanya terpental naaka kakek itu pucat meloncat bangun sernentara gadis itu sendiri sudah kembali dan berdiri di tempatnya semula, tertawa.
"Bagaimana, apakah mau minta pelajaran lagi?"
Elang nomer tiga itu merah padam. Hilang kagetnya berubah menjadi kemarahan, dua aaudaranya terkejut dan membelalakkan mata. Mereka jaga tak sempat menolong adik mereka itu, gerakan lawan amat cepat dan tahu-tahu sudeh di depan mata. Tapi ketika kakek itu marah dan maju membentak memutar senjatanya berapi-api. Gebrakan itu belum dapat dijadikan ukuran untuk kalah atau menang.
"‘Gadis siluman, kau tak perlu sombong. Siapa takut padamu. aku akan menelanjangimu dan lihat siapa yang minta pelajaran!"
Gadis ini berkilat. Selama hidupnya belum pernan ada laki laki bicara Seperti itu. Biasanya, ia selalu di istana dan para pembantunyalah yang bergerak. Kini karena bersama Beng An ia telah meninggalkan tempatnya, bukan untuk dihina orang melainkan justeru menghajar orang macam ini. Maka ketika kakek itu membentak dan maju menerjang tiba-tiba ia mendengus dan Beng An melihat kilatan berbahaya pada mata kekasihnya itu. Sinar membunuh!
"Wut!" cakar elang menyambar namun Wei Ling menggunakan langkah saktinya berkelit. Cepat seperti tadi tahu-tahu ia-pun menghilang. Gerakannya ini mengejutkan lawan dan gadis itu tahu-tahu berada di belakangnya, lima jari tangan mengepret tengkuk. Namun ketika laki-laki ini berseru keras dan cepat membalik ternyata ia mampu menangkis, geraknya cepat dan menandakan bahwa Sam-yo-cu Tong Hu ini memang bukan orang sernbarangan.
"Plak!" Akan tetapi cakar itu terpental. Puteri Es sedang marah dan meskipun kakek itu menambah tenaganya namun gadis ini mempergunakan Bu-kek-kang, hawa dingin keluar dari telapaknya dan tahu-tahu menerpa wajah. Lawan terkejut karena kulit mukanya menjadi kaku. Dan ketika senjata itu terpental sementara tangan yang lain masih bergerak maka kakek ini berteriak dan membanting tubuh menyelamatkan diri.
"Dess!" Tanah menjadi beku dan mengepulkan uap es. Sekitar lima meter dari situ orang-orang yang dekat merasa menggigil. Inilah hebatnya Bu-kek-kang yang dikeluarkan Wei Ling, padahal belum sepenuhnya gadis itu mengerahkan tenaga. Dan ketika kakek itu terguling-guling dan gemetaran di sana, berketruk maka Sam-yo cu gagal melompat bangun karena wajah dan seluruh kulitnya beku oleh hawa pukulan itu.
"Uh-uh!" Dua saudaranya berkelebat dan menolong. Mereka terkejut oleh kehebatan gadis ini karena benar-benar tak menyangka. Siapa menduga gadis ini begini. Tapi ketika adik mereka itu diangkat bangun dan Toa-yo-cu Tong Kek menepuk-nepuk pundak adiknya, mengerahkan sin-kang maka kakek itu dapat berdiri lagi dan pucat memandang gadis itu. Dua gebrakan lagi-lagi dia kalah!
"Siluman, iblis! Gadis itu... gadis itu memiliki tenaga Im-kang!"
"Kau tak perlu takut," Toa-yo-cu batuk-batuk menahan marah. "Masih ada kami di sini, Sam-te, ada aku dan kakakmu nomor dua. Kau terlalu memandang rendah. Majulah dan biar kau dan kakakmu merobohkan gadis sombong itu."
"Bagus! " Ji-yo-cu Tong Lai mengangguk "Aku memang hendak membantu Sam-te, suheng. Kalau kau dapat menjaga anak muda itu biar gadis ini bagian kami."
"Majulah," Elang tertua berkata. "Aku di sini, Ji-te. Kalau anak itu macam-macam aku dapat menghalanginya. Hati-hati, kita belum tahu benar siapa gadis itu."
Ji-yo-cu Tong Lai berkelebat. la juga menggenggam sepasang cakar besi dan tiga bersaudara ini memang rupanya memiliki kepandaian khas, Beng An lega dan tersenyum melihat hasil pertandingan itu. Kekasihnya telah menghajar lawan. Maka ketika ia tenang-tenang saja melihat kakek kedua maju, jeles hendak mengeroyok Wei Ling iapun acuh saja dan mengangguk pada kekasihnya.
"Bagaimana, kau ataukah aku. Kalau kau tak ingin mengotori tanganmu silakan beristirahat, moi-moi, tapi kalau kau ingin menghajar mereka biar aku menajaga di sini."
"Aku akan menghajar mereka, membunuh orang yang bermulut kotor itu. Biar kau di sini dan aku yang maju!"
"Baiklah," Beng An mengangguk. "Tua bangka nomor tiga itu memang bermulut kotor, moi-moi, aku juga tak senang dan kau lukai saja, tak perlu membunuh. Hajar agar tahu adat!"
Gadis ini tersenyum dingin. la bergerak dan berhenti ketika dua orang itu maju dengan sikap mengancam., Tak ada basa-basi di antara mereka. Tapi ketika Ji-yo-cu Tong Lai menyipítkan mata ternyata ia bertanya dulu nama gadis itu.
"Aku enggan merobohkan lawan yang tak mempunyai nama. Sebutkan siapa kau atau gurumu. Nah, cepat atau aku tak sabar!"
"Namaku terlalu besar, tua bangka macam kalian tak perlu tahu. Nah, anggap saja aku Dewi Kematianmu, Ji-yo-cu dan cepat agar kukirim nyawamu ke neraka!"
Kakek ini terbeliak. Sikap dan kata-kata itu membuatnya marah. Maka mendengar gadis itu tak mau menjawab malah justeru menghinanya kontan ia berseru keras dan cakar besi di kedua tangannya bergerak dan tahu-tahu menyambar wajah Wei Ling. Dan bersamaan dengan seruan itu Sam-yo-cu pun bergerak dan menyerang dari samping.
"Plak-dess!" Akan tetapi yang dilakukan gadis ini benar-benar luar biasa. Wei Ling tidak berkelit atau mengelak melainkan menangkis dengan sepasang lengannya. Ujung lengan baju itu berkibar dan tepat sekali menghantam cakar baja, membuat Sam-yo-cu menjerit dan terpelanting namun Ji-yo-cu kakaknya tidak. Kakek nomor dua itu hanya terhuyung dan mampu menahan Bu-kek-kang. Dan ketika kakek itu menggereng dan melompat lagi, ternyata lebih kuat dari adiknya maka kakek ini menerjang dan Wei Ling mengelak ke kiri kanan ketika cakar baja itu menyambarnya, apalagi ketika sang adik bangkit dan menyerang lagi, mengeroyok dan empat senjata di tangan mendesing dan menderu-deru menutup segala penjuru.
Orang biasa tentu sibuk menghadapi ini namun bukan bagi Puteri Es. Gadis itu mempergunakan langkah-langkah saktinya untuk berkelit, membentak dan membalas dan tiba-tiba tubuhnya lenyap berkelebat. Sam-yo-cu tak tahu ke mana lawan namun tiba-tiba tengkuknya tertampar. Sebuah ledakan terdengar dan berteriaklah kakek itu terbanting. Tubuhnya seketika beku. Putih kebiruan seperti es.
Namun ketika Toa-yo-cu Tong Kek berkelebat dan mengusap-usap adiknya itu, menepuk dan memijat maka kakek ini bangun lagi dan terkekeh-kekeh. Ada semacam uap hijau dari tangan kakaknya tadi ketika mengusap-usap tubuhnya. Ilmu hitam!
"Heh-heh, kau tak dapat membunuhku. Ayo, pukul dan robohkan aku lagi, gadis siluman. Seribu kali mati seribu kali itu pula aku hidup...ha-ha!"
Wei Ling terkejut. Sesungguhnya ia telah menghantam dengan Bu-kek-kang setengah bagian dan kakek itu pasti tewas. Pukulannya tadi tidak main-main, ia benci kakek ini. Namun ketika lawan bangkit lagi dan itulah hasil kerja Toa-yo-cu Tong Kek, Elang Pertama maka gadis ini terbelalak dan penasaran. la berkelit dan menghindar dari serangan ke bawah perutnya dan majunya Sam-yo-cu yang terkekeh-kekeh itu membuatnya merah.
Sambaran cakar baja dikelit, Ji-yo-cu berteriak kecewa namun secepat itu ia memindahkan kaki mempergunakan Tujuh Puluh Dua Langkah Saktinya untuk mendekati Sam-yo-cu. Dan ketika kakek ini terkejut namun menggerakkan sepasang cakarnya, dipapak dan terpental oleh Bu-kek-kang maka Puteri Es menendangnya dan tepat sekali perut lawan terkena kakinya.
"Buk...!" Sam-yo-cu menjerit terlempar. Jelas ia menggeliat dan roboh di sana, tak bangun lagi. Tapi ketika Toa-yo-cu berkelebat dan mengusap adiknya lagi maka kakek itu bangun kernbali dan maju menerjang. "Ha-ha-heh-heh... Kau boleh bunuh aku, gadis siluman. Tapi kakakku akan menyembuhkan aku lagi. Ha-ha... kau akan roboh!"
Wei Ling berubah. Bukan hanya gadis itu yang menjadi pucat melainkan Beng An yang ada di situ juga membelalakkan matanya. Pemuda ini terkejut sekali karena ia mengenal gaya usapan itu, tiupan di ubun-ubun dan sedikit mantra ketika berkemak-kemik. Su-siang-sin-kang! Dan ketika dia terbelalak dan pucat memandang kakek itu, Toa-yo-cu maka Beng An mengenal bahwa pandang mata kakek itu adalah pandang mata bekas gurunya yang jahat, Poan-jin-poan-kwi.
"Ah, kau kiranya!" Beng An membentak dan berkelebat menyambar, kakek itu juga memandangnya. "Kau merasuk di tubuh orang lain, kakek iblis. Kau mengganggu aku lagi. Keparat!"
Pengawal terheran dan terkejut oleh seruan itu. Beng An seakan bicara dengan orang lain padahal jelas ditujukan kepada Toa-yo-cu. Tak ada orang ketiga di situ. Dan ketika pemuda ini berkelebat dan Si kakek terkekeh, aneh sekali suara kakek itu berubah maka Toa-yo-cu berkelit menangkis cengkeraman Beng An. Tawanya tinggi dan seperti kuda meringkik.
"Heh-heh, herrr! Bagus kau mengenalku, Beng An. Kau murid murtad tak tahu adat. Kau membunuh gurumu!"
Orang semakin tercengang lagi. Toa-yo-cu sudah bersikap lain seperti guru yang marah kepada muridnya, berkelit dan menangkis dan terdengarlah benturan keras ketika cengkeraman Beng An ditangkis. Dan ketika pemuda itu menerjang lagi sementara lawan mengelak dan membalas maka si kakek tiba-tiba lenyap dan berubah menjadi segulung asap hitam tebal.
"Ha-ha-heh-heh! Kau semakin lihai dan tangkas. Bagus, eiitt, apa macam pukulanmu ini, Beng An. ltukah Ping-im-kang. Ha-ha, tenaga Inti Es mu hebat..."
"Dess!" pengawal terjungkal dan roboh berpelantingan. Kali ini benturan demikian hebat hingga suaranya saja mirip gunung meletus, dahsyat menggelegar meringkiklah puluhan kuda oleh gentar dan takut. Dan ketika semua pengawal menjadi panik dan kaget, Toa-yo-cu bergerak seperti asap berpindah-pindah maka Beng An meledakkan tangannya dan lenyaplah pemuda itu berubah menjadi gulungan asap putih. Pek-sian-sut!
Dan segera dua asap hitam dan putih tebal itu bergulung-gulung menjadi satu, saling belit dan terjang hingga masing-masing terpental dan terdorong mundur. Beng An kaget sekali menemui bekas gurunya di situ, atau lebih tepat menemui roh gurunya memasuki tubuh Toa-yo-cu. Entah bagaimana orang ini memiliki Bu-siang-sin-kang bertemu Poan-jin-poan-kwi itu. Tapi karena kejadian begini tentu dapat terjadi hanya karena tapa, atau samadhi khusuk di tempat-tempat setan.
Maka Beng An maklum bahwa Toa-yo-cu adalah seorang ahli tapa dan secara kebetulan bertemu bekas gurunya itu, mendiang Poan-jin-poan Kwi yang amat jahat dan Bu-siang-sin-kang (Ilmu Sakti Tak Berwujud) yang dimiliki kakek itu membuat sepasang kakek itu hanya mati badan kasarnya saja. Roh atau badan halusnya masih melayang-layang, gentayangan dan sewaktu-waktu dapat berpindah dan masuk ke badan orang lain.
Hanya mereka-mereka yang khusuk dan kuat tapa saja yang dapat menerima roh Poan-jin-poan-kwi. Ini membuktikan betapa Toa-yo-cu adalah seorang gemblengan. Maka ketika roh itu memasuki tubuhnya dan kini seluruh kepandaian atau kesaktian Poan-jin-poan- kwi muncul, terdapat di pribadi kakek ini maka Beng An menggigit bibir karena tak ada jalan lain kecuali melenyapkan roh itu dengan membunuh Toa-yo-cu, padahal sesungguhnya ia tak kenal kakek ini yang mungkin dulunya dikalahkan ayahnya, orang yang memusuhi ayahnya.
"Bagus, kau licik. Jahat dan kejam sekali kalian berdua, Poan-jin-poan-kwi. Kalian muncul dan mempergunakan wadag orang .Hayo keluar atau aku melenyapkanmu!"
"Ha-ha-heh-heh, dulu kau sudah membunuhku, Beng An. Giliranmu untuk kubunuh dan lihat apa hukuman bagi seorang murid murtad. Kau harus dihajar!"
"Dan kau menggigit leherku, kau menyedot darahku. Heh-heh, kini aku akan ganti menggigit lehermu, Beng An, dan meneguk darahmu agar kami dapat kembali ke bumi. Heh-heh, tak ada lagi orang yang dapat melindungimu!"
Wei Ling terkejut dan membelalakkan matanya. Setelah Beng An bergerak dan menyerang Toa-yo-cu maka Sam-yo-cu yang ditampar dan kembali menerima sebuah pukulan terjengkang. Gadis ini marah menambah tenaga, sepasang cakar baja itu hancur dan akhirnya patah-patah bertemu ujung jarinya. Dan ketika kakek itu menjerit dan minta tolong kakaknya, di sana sang kakak bertanding dengan Beng An maka kakek itu roboh dan tulang dadanya yang pecah ditampar gadis ini membuat kakek itu tak bergerak-gerak lagi. Dan kontan Ji-yo-cu si kakek nomor dua pucat.
"Suheng, tolong aku. Sute roboh!"
"Heh-heh, lempar adikmu ke sini Tong Lai. Anak muda ini tak dapat kami tinggalkan."
"Begitukah? Baik!" dan Tong Lai yang menendang adiknya lalu sibuk mengelak tamparan Wei Ling yang membekukan tulang. Bu-kek-kang menyambar namun kakek itu terhuyung. Akan tetapi ketika di sana Beng An mengibas dan mayat itu terhenti lagi maka kakek itu terbelalak dan marah sekali, membalik dan menghadapi Wei Ling yang tertawa dingin.
"Elang tua, adikmu sudah mampus. Percuma kau berteriak-teriak karena sebentar lagipun kau menyusul!"
Kakek ini mengeluh. la terhuyung dan jatuh bangun menerima pukulan Puteri Es, namun daya tahan tubuhnya ternyata kuat sekali. Samar-samar ada uap hijau keluar dari punggungnya. Wei Ling mengerutkan kening. Dan karena di Lembah Es juga terdapat ilmu-ilmu gaib untuk menandingi tingkah laku orang-orang Pulau Api maka gadis ini maklum bahwa kakek itu memiliki semacam ilmu ini rupanya baru dalam taraf belajar tapi ternyata mampu menghadapi Bu-kek-kang. Dari sini saja dapat diketahui bahwa lawan memang cukup hebat.
Gadis itu tak tahu bahwa menghadapi tanda-tanda Bu-siang-sin-kang, ilmu di daratan Tiongkok yang dulu dimiliki sepasang kakek iblis Poan-jin-poan-kwi, dedengkot para siluman atau kaum hitam. Maka ketika ia kagum namun berkali-kali lawan jatuh bangun, Bu-kek-kang dan langkah saktinya Jit-cap-ji-poh-kun tak dapat ditandingi lawan akhirnya kakek itu berteriak dan seratus pengawal yang ada di situ disuruh maju. Akan tetapi kakek ini tertegun. Pengawal, yang tadi berada di situ mengepung rapat ternyata roboh bergelimpangan.
Hawa pukulan Beng An yang menyambar-nyambar dan bergulung naik turun dengan pukulan Poan-jin-poan-kwi tak dapat dihadapi pengawal itu. Jangankan mereka. Wei Ling dan Ji-yo-cu sendiri terkejut oleh bau amis dan pukulan dingin. Pukulan itu jelas dari Beng An tapi bau amis itu dari lawan. Dan ketika bau itu semakin tajam dan membuat perut ingin muntah-muntah maka gadis ini menahan dengan sinkangnya.
Sementara Ji-yo-cu terganggu dan tampak menutupi hidung. Kakek ini tak tahan dan gerakannya menjadi kacau. Hal itu membuatnya terdesak dan akhirnya satu dari sepasang cakarnya mencelat. Tamparan Bu-kek-kang itu mengenai pergelangannya. Dan ketika ia terpelanting sementara Beng An semakin seru di sana maka Wei Ling berkelebat dan satu jarinya menusuk dahi kakek ini yang bergulingan dan hendak meloncat bangun.
"Cep!" Wei Ling terkejut. Lawan berteriak namun dahi itu dilindungi semacam kekuatan gaib, membal dan membuat jarinya terpental meskipun kakek itu terbanting lagi. Dan ketika ia tertegun dan mengejar, mental dan lawan mendekati pertempuran di antara Beng An tiba-tiba Ji-yo-cu berteriak melempar sisa senjatanya kepada gadis itu.
"Suheng, kau bantu aku atau nanti mampus!"
Toa-yo-cu mengeluarkan tali panjang dari balik gulungan asap hitam. la membentak dan tali tahu-tahu meluncur ke leher kakek ini menjerat dan melempar tinggi-tinggi dan tubuh Ji-yo-cu terbawa naik, begitu tinggi dan melewati asap hitam untuk tahu-tahu melayang melewati rumah-rumah penduduk. Begitu kuat dan dahsyat lemparan itu hingga Ji-yo-cu sendiri terpekik. la kaget namun terbang melewati semuanya, kembali ke gedung Lim-taijin. Dan ketika ia hilang di antara rumah-rumah penduduk, Wei Ling tertegun maka Beng An berseru keras melepaskan pukulan dahsyat.
"Poan-jin-poan-kwi, kau rupanya hendak beralih wadag. Berhenti dan kuringkus kau!"
Kakek itu tertawa bergelak. Asap hitam meledak dihantam asap putih, Toa-yo-cu muncul lagi namun dalam muka yang lain, wajahnya beringas dan seperti iblis. Dan ketika ia jatuh dikejar Beng An bergulingan menjauh maka pemuda itu tak mau melepas lawan berseru pada kekasihnya.
"Ling-moi, lawanmu itu. Tangkap dan jangan biarkan ia lolos!"
"Kenapa?"
"Iblis hendak melarikan diri, rohnya siap meloncat. Tangkap lawanmu itu dan jangan dimasuki olehnya!"
Gadis ini bingung. "Beng An, kau bicara apa. Siapa yang kau maksudkan?"
"Ah, dua roh jahat mengeram di tubuh kakek ini moi-mpi. Toa-yo-cu dipergunakan wadagnya. Awas mereka lari dan cepat tangkap Ji-yo-cu itu...blarr!"
Beng An mengelak dan menangkis dengan Ping-im-kang namun granat hitam itu terlanjur meledak. Di saat bergulingan kakek melempar senjata maut. Dan ketika Beng An mendorong kėkasihnya menyelamatkan diri, kesempatan itu dipergunakan lawan maka kakek itu meloncat bangun dan terkekeh, melarikan diri.
"Heh-heh, kau busuk tapi berotak cerdas. Tak rugi kami pernah menggemblengmu Beng An. Tapi lihat bagaimana kau menangkap kami!"
Beng An meloncat bangun. Capingnya terlempar namun ia menyambar kembali, bukan dipakai di kepala melainkan dilontar ke punggung lawan. Toa-yo-cu yang berisi Poan-jin-poan-kwi itu hendak melarikan diri, Beng An mencegah. Maka ketika daya lontarnya demikian hebat dan kakek itu berteriak, caping hancur bertemu punggung maka kakek ini terguling-guling nanun meloncat bangun dan melarikan diri lagi.
"Keparat, kau hebat. Aku akan menangkap dan meringkusmu, Poan-jin-poan kwi. Kemanapun kau bersembunyi ke situ aku mengejar!" dan Beng An yang berkelebat mengejar kakek ini tiba-tiba berseru pada kekasihnya, "Moi-moi, cari dan tangkap kakek yang satu itu. Jangan biarkan ia lolos. Mereka ahli-ahli tapa yang mewarisi Bu-siang-sin-kang. Cepat dan tangkap dia!"
Wei Ling bingung. Beng An bergerak dan mengejar ke barat sementara Ji-cu tadi ke timur. Kalau ia menuruti permintaan ini berarti mereka berpisah, dia tak senang. Tapi mendengar tentang ilmu gaib Bu-siang-sin-kang dan ia merinding namun tertarik, di daratan besar ternyata banyak orang-orang hebat maka terpaksa ia bersungut dan menggerakkan kakinya, apa boleh buat berpisah dengan kekasihnya dan sekali ia menggerakkan kakinya lenyaplah ia dari situ. Gadis ini menuju gedung Lim-taijin, mencari atau mencium jejak dari debu yang ditinggalkan lawan.
Dan sementara ia menuju tengah kota justeru Beng An berkelebat dan mengejar keluar kota!. Pemuda ini kaget sekali bahwa Poan-kan-poan kwi menyusup ke dalam badan seorang. Sebagai bekas murid kakek-kakek iblis itu tentu saja dia tahu bagaimana dan apa artinya Kakek itu hendak membuat onar di dunia, lewat wadag orang lain. Maka ketika ia mencium usapan Bu-siang-sin-kang dan itulah ilmu gaib warisan Poan-jin-poan-kwi, kakek itu telah tewas di tangan kakaknya namun rohnya masih gentayangan dan mencari sarana di bumi tentu saja Beng An pucat dan tidak membiarkan ini.
Dia tahu kelemahan Bu-siang-sin-kang dan karena itu akan dikejar dan ditangkapnya lawan. Kelemahan Bu-siang-sinkang terletak di leher depan, di daerah jakun dan kalau ia menggigit dan menghisap itu maka Bu-siang-sin-kang lumpuh. Tulang rawan di leher depan ini pusat kekuatan Bu-siang-sin-kang, hanya dia yang tahu. Maka ketika ia mengejar dan akhirnya membentak kakek itu, Toa-yo-cu sudah berobah pribadi maka dari belakang Beng An melepas bajunya dan sekali ia menggerakkan itu ke bawah maka kaki lawan terbelit.
"Robohlah!"
Lawan terkejut. Beng An membelit dan mengerahkan Ping-im-kang hingga baju itu seperti gulungan baja, kuat dan dingin dan tergulinglah kakek itu ke depan. Dan karena pemuda itu menubruk dan cepat menangkap, tak menyia-nyiakan kesempatan maka Beng An mencekik dan memeluk tubuh itu.
"Kakek iblis, keluar dan terkurunglah kalian. Lihat apa yang kubawa ini!"
Sebuah benda dicabut keluar dan itulah sebuah botol dari bekas arak yang telah diminum. Beng An bukan kebetulan membawa, melainkan menyambarnya dari rumah makan tadi. Cepat dan marah menyodokkan tutup botol ke mulut, terus membungkam kakek itu yang tersentak dan tentu saja kaget bukan main. Dan ketika ia meronta namun Beng An memeluk kuat, pemuda ini menggerakkan rahangnya maka di saat sama-sama bergulingan pemuda itu mendekatkan mulut dan...cep, gigi Beng An menancap kuat di jakun lawan, menggigit, pecah....!