"HAMBA siap!" gadis itu sesenggukan. "Bunuhlah kalau layak dibunuh, Tocu. Kami Semua tak akan melawan jika layak menerima hukuman. Bunuhlah!"
"Dan kami tak mau tinggal diam," Ui Hong dan lain-lain mengguguk."
"Membunuh Yo Lin cici berarti harus membunuh kami semua, Tocu. Jangan sisakan kami dan bunuhlah. kami tak melawan!"
Pedang yang terangkat dan menggigil itu bergetar. Hebat omongan semua gadis-gadis ini hingga Puteri Es pucat. la tak menyangka demikian sungguh-sungguh. sikap pembantunya itu. Mereka jelas tidak bersandiwara. Dan ketika ia menurunkan pedang dan mengeluh, membelalak dengan muka merah padam maka Thio Leng berlutut dan menahan cucuran air mata.
"Tocu, kami tidaklah main-main. Kami tidak berpura-pura. Kalau kau mengira kami bersekongkol dan sengaja mempermainkanmu biarlah sekarang juga pedang itu tancapkan ke dada hamba. Kim-kongcu ditemukan dan butuh pertolongan, Tocu, ditemukan Hwa Seng tanpa sengaja dan bukan berpura-pura. Kalau hamba bohong biarlah arwah leluhur hamba mengutuk tujuh turunan."
Sang Puteri tak dapat berprasangka lagi. Pembantu utamanya ini bicara dengan sungguh-sungguh dan mengangkat sumpah. Nama leluhur amatlah diagungkan. Maka ketika ia melempar pedang dan mundur terhuyung, jatuh di kursinya maka serentak Sui Keng dan lainnya menubruk kakinya. "Aku. kalian, ah... bagaimana ini sampai terjadi, Thio Leng. Bukankah kalian tahu larangan supek-bo. Apa katanya nanti kalau kita ketahuan!"
"Hamba siap mengganti nyawa," Thio Leng berkata gagah. "Dan Kim-kongcu ini bukan seperti pria kebanyakan, Tocu. Dia telah berjasa menolong kita. Pemuda ini luka dalam, Hwa Seng mendapatkannya pula di perahu orang-orang Pulau Api. Tentu Kim-kongcu ini bertemu mereka tapi tak mampu menandingi kakek-kakek jahat itu. Tocu sendiri hampir roboh menghadapi sepasang kakek iblis itu."
"Benar, dan kami telah bersatu untuk menghadapi apapun, Tocu. Kalau supek-bo marah biarlah kami hadapi pula. Kami siap menyerahkan nyawa demi keselamatan Kim-kongcu ini!"
"Hm, Wan-cici dan Thio-cici bicara enak saja. Kalau kalian menghadapi kemarahan supek-bo apakah aku bakal diam saja? Tak mungkin aku membiarkan kalian!, jelek-jelek kalian adalah pembantuku. Baiklah, aku telah mendengar ini. Letakkan pemuda itu dan harap yang lain keluar. Aku ingin hanya bersama Thio-cici dan Wan-cici!"
Semua girang. Perubahan sikap dan kata-kata Puteri Es menggembirakan semuanya. Nada suara Puteri itu telah lunak, sinar mata itu tidak seganas tadi. Dan ketika mereka berseru dan mencium kaki Sang junjungan, membersit rasa haru di Puteri itu maka terhadap Hwa Seng Puteri ini berbisik,
"Hwa Seng, maafkan aku. Tadi hampir aku membunuhmu."
"Tak apa, hamba menyadari kelancangan hamba, Puteri. Betapapun hamba telah melanggar. Hamba bersyukur dan berterima kasih behwa paduka mengampuni hamba!"
Semua segera keluar. Mereka telah lega hati dan gembira besar bahwa Puteri tak marah lagi. Membayangkan amukan tadi membuat semua ngeri, apalagi pedang yang telah dicabut itu. Hwa Seng tentu menjadi korban dan tinggal nama. Dan ketika semua gembira dan saling berpelukan, Hwa Seng dicium sana-sini maka pelayan yang penuh keberanian itu mendapat puji kagum.
"Dan kami tak mau tinggal diam," Ui Hong dan lain-lain mengguguk."
"Membunuh Yo Lin cici berarti harus membunuh kami semua, Tocu. Jangan sisakan kami dan bunuhlah. kami tak melawan!"
Pedang yang terangkat dan menggigil itu bergetar. Hebat omongan semua gadis-gadis ini hingga Puteri Es pucat. la tak menyangka demikian sungguh-sungguh. sikap pembantunya itu. Mereka jelas tidak bersandiwara. Dan ketika ia menurunkan pedang dan mengeluh, membelalak dengan muka merah padam maka Thio Leng berlutut dan menahan cucuran air mata.
"Tocu, kami tidaklah main-main. Kami tidak berpura-pura. Kalau kau mengira kami bersekongkol dan sengaja mempermainkanmu biarlah sekarang juga pedang itu tancapkan ke dada hamba. Kim-kongcu ditemukan dan butuh pertolongan, Tocu, ditemukan Hwa Seng tanpa sengaja dan bukan berpura-pura. Kalau hamba bohong biarlah arwah leluhur hamba mengutuk tujuh turunan."
Sang Puteri tak dapat berprasangka lagi. Pembantu utamanya ini bicara dengan sungguh-sungguh dan mengangkat sumpah. Nama leluhur amatlah diagungkan. Maka ketika ia melempar pedang dan mundur terhuyung, jatuh di kursinya maka serentak Sui Keng dan lainnya menubruk kakinya. "Aku. kalian, ah... bagaimana ini sampai terjadi, Thio Leng. Bukankah kalian tahu larangan supek-bo. Apa katanya nanti kalau kita ketahuan!"
"Hamba siap mengganti nyawa," Thio Leng berkata gagah. "Dan Kim-kongcu ini bukan seperti pria kebanyakan, Tocu. Dia telah berjasa menolong kita. Pemuda ini luka dalam, Hwa Seng mendapatkannya pula di perahu orang-orang Pulau Api. Tentu Kim-kongcu ini bertemu mereka tapi tak mampu menandingi kakek-kakek jahat itu. Tocu sendiri hampir roboh menghadapi sepasang kakek iblis itu."
"Benar, dan kami telah bersatu untuk menghadapi apapun, Tocu. Kalau supek-bo marah biarlah kami hadapi pula. Kami siap menyerahkan nyawa demi keselamatan Kim-kongcu ini!"
"Hm, Wan-cici dan Thio-cici bicara enak saja. Kalau kalian menghadapi kemarahan supek-bo apakah aku bakal diam saja? Tak mungkin aku membiarkan kalian!, jelek-jelek kalian adalah pembantuku. Baiklah, aku telah mendengar ini. Letakkan pemuda itu dan harap yang lain keluar. Aku ingin hanya bersama Thio-cici dan Wan-cici!"
Semua girang. Perubahan sikap dan kata-kata Puteri Es menggembirakan semuanya. Nada suara Puteri itu telah lunak, sinar mata itu tidak seganas tadi. Dan ketika mereka berseru dan mencium kaki Sang junjungan, membersit rasa haru di Puteri itu maka terhadap Hwa Seng Puteri ini berbisik,
"Hwa Seng, maafkan aku. Tadi hampir aku membunuhmu."
"Tak apa, hamba menyadari kelancangan hamba, Puteri. Betapapun hamba telah melanggar. Hamba bersyukur dan berterima kasih behwa paduka mengampuni hamba!"
Semua segera keluar. Mereka telah lega hati dan gembira besar bahwa Puteri tak marah lagi. Membayangkan amukan tadi membuat semua ngeri, apalagi pedang yang telah dicabut itu. Hwa Seng tentu menjadi korban dan tinggal nama. Dan ketika semua gembira dan saling berpelukan, Hwa Seng dicium sana-sini maka pelayan yang penuh keberanian itu mendapat puji kagum.
Di kamar sang Puteri masih duduk di kursinya. Bukan tanpa sebab kalau ia menyuruh dua pembantunya tetap di situ. Ia tak mau berduaan saja dengan seorang pemuda, meskipun itu adalah Beng An, yang masih pingsan pula. Dan ke dua pembantunya bertanya apa yang harus mereka lakukan maka Puteri ini menggigit bibir.
"Kalian teleh memojokkan aku pula. Hm masa aku kalah dengan kalian, jiwi cici. Kalau kalian berani menghadapi kemarahanku biarlah sekarang aku siap menerima kemarahan supek-bo pula. kalian menjadi Saksi. kita menyelamatkan pemuda ini semata kerena budi baiknya ketika dulu menolong Lembah Es. Sekareng harap kalian jaga baik-baik sementara aku memeriksanya."
Puteri Es turun dari kursinya. Ia melangkah maju dan menghampiri Beng An dengan mata bersinar-sinar. Menghadapi pemuda ini tiba-tiba saja pandang matanya menjadi dingin, aneh, padahal ketika Beng An meninggalkan lembah Es jelas puteri ini menjadi murung dan kasmaran.
Banyak yang tahu betapa puteri sesungguhnya terguncang oleh kehadiran pemuda itu, bukan semata ketampanannya melainkan jugu kepandaiannya yang luar biasa. Sang Puteri kagum dan perasaan ini dapat berkembang jauh, cinta misalnya. Tapi ketika Puteri itu menjadi dingin dan pandang matanya seolah acuh, Sui Keng dan Thio Leng memandang saling kedip maka Puteri berlutut dan memeriksa nadi pemuda itu. Dan wajah sang puteri berobah.
"Dia luka dalam, berat. Hm, satu-satunya cara harus menyalurkan sinkang, Thio-cici. Apakah kalian sudah melihatnya dan memeriksa!"
"Sudah, ampunkan kami. Sinkang kami tak sekuat pemuda itu, Tocu. Kalau kami membantu dan kalah salah-salah bisa menjadi bahaya bagi kami sendiri. Kaulah yang dapat menolongnya, sinkangmu setingkat!"
"Tapi ini berarti pengorbanan. Dan aku... aku harus membuka bajunya!"
"Ada kami di sini, Tocu, kami menjadi saksi. Kami tahu dan silakan lakukan itu. Pemuda itu sudah lama menderita!"
"Hmm...!" Sang puteri semburat padam, memerah. "Aku belum pernah menyentuh laki-laki, Thio-cici, seperti halnya tak pernah pula disentuh laki-laki. Hanya karena kalian biarlah kulakukan hal ini."
Puteri Es melepaskan kancing Beng An. Tak dapat disembunyikan lagi wajah itu semakin memerah melihat kulit dada Beng An yang putih dan halus. Dada itu tampak tegap dan bidang. Dan ketika sejenak ia tertegun dengan jari-jari menggigil, wajah yang jelita itu terpejam sejenak akhirnya dengan tangan gemetar puteri ini menempelkan tangan kanannya ke dada Beng An, melekat di situ dan bulu lentik yang panjang halus itu bergetar. Mata itu sedikit dibuka dan ragu. Tapi ketika terdengar seruan Thio Leng agar secepatnya Beng An dibantu maka sang puteri menunduk dan memejamkan mata, menyalurkan sinkang.
Mula-mula sukar bagi puteri ini melakukan pekerjaannya. Begitu menempel kulit dada Beng An iapun gemetar. Seumur hidup baru kali inilah jarinya menyentuh tubuh lelaki. Magnit yang kuat bergerak dan sang puteri terguncang. Dari dada Beng An seakan ada getaran yang membuat perasaannya kacau. Hal ini dilihat oleh dua pembantunya. Dan ketika kali ini Sui Keng berseru agar sang puteri tak ragu-ragu akhirnya mata itu dipejamkan rapat dan Puteri Es mengangguk.
"Tocu, buang semua pikiran yang mengacau. Konsentrasikan kekuatan. Salurkan sinkangmu dan cepatlah jangan ragu!"
Puteri itu telah mulai bekerja. Setelah dia mulai menindas getar aneh yang membuatnya menggigil maka telapak itu menekan dada Beng An dengan kuat. Tubuh pemuda ini dingin seperti es, kaku. Tapi ketika sang puteri menarik napas dalam dan mengerahkan sinkangnya maka dari telapaknya meluncur hawa hangat yang menembus kulit dingin dada Beng An.
"Kalian teleh memojokkan aku pula. Hm masa aku kalah dengan kalian, jiwi cici. Kalau kalian berani menghadapi kemarahanku biarlah sekarang aku siap menerima kemarahan supek-bo pula. kalian menjadi Saksi. kita menyelamatkan pemuda ini semata kerena budi baiknya ketika dulu menolong Lembah Es. Sekareng harap kalian jaga baik-baik sementara aku memeriksanya."
Puteri Es turun dari kursinya. Ia melangkah maju dan menghampiri Beng An dengan mata bersinar-sinar. Menghadapi pemuda ini tiba-tiba saja pandang matanya menjadi dingin, aneh, padahal ketika Beng An meninggalkan lembah Es jelas puteri ini menjadi murung dan kasmaran.
Banyak yang tahu betapa puteri sesungguhnya terguncang oleh kehadiran pemuda itu, bukan semata ketampanannya melainkan jugu kepandaiannya yang luar biasa. Sang Puteri kagum dan perasaan ini dapat berkembang jauh, cinta misalnya. Tapi ketika Puteri itu menjadi dingin dan pandang matanya seolah acuh, Sui Keng dan Thio Leng memandang saling kedip maka Puteri berlutut dan memeriksa nadi pemuda itu. Dan wajah sang puteri berobah.
"Dia luka dalam, berat. Hm, satu-satunya cara harus menyalurkan sinkang, Thio-cici. Apakah kalian sudah melihatnya dan memeriksa!"
"Sudah, ampunkan kami. Sinkang kami tak sekuat pemuda itu, Tocu. Kalau kami membantu dan kalah salah-salah bisa menjadi bahaya bagi kami sendiri. Kaulah yang dapat menolongnya, sinkangmu setingkat!"
"Tapi ini berarti pengorbanan. Dan aku... aku harus membuka bajunya!"
"Ada kami di sini, Tocu, kami menjadi saksi. Kami tahu dan silakan lakukan itu. Pemuda itu sudah lama menderita!"
"Hmm...!" Sang puteri semburat padam, memerah. "Aku belum pernah menyentuh laki-laki, Thio-cici, seperti halnya tak pernah pula disentuh laki-laki. Hanya karena kalian biarlah kulakukan hal ini."
Puteri Es melepaskan kancing Beng An. Tak dapat disembunyikan lagi wajah itu semakin memerah melihat kulit dada Beng An yang putih dan halus. Dada itu tampak tegap dan bidang. Dan ketika sejenak ia tertegun dengan jari-jari menggigil, wajah yang jelita itu terpejam sejenak akhirnya dengan tangan gemetar puteri ini menempelkan tangan kanannya ke dada Beng An, melekat di situ dan bulu lentik yang panjang halus itu bergetar. Mata itu sedikit dibuka dan ragu. Tapi ketika terdengar seruan Thio Leng agar secepatnya Beng An dibantu maka sang puteri menunduk dan memejamkan mata, menyalurkan sinkang.
Mula-mula sukar bagi puteri ini melakukan pekerjaannya. Begitu menempel kulit dada Beng An iapun gemetar. Seumur hidup baru kali inilah jarinya menyentuh tubuh lelaki. Magnit yang kuat bergerak dan sang puteri terguncang. Dari dada Beng An seakan ada getaran yang membuat perasaannya kacau. Hal ini dilihat oleh dua pembantunya. Dan ketika kali ini Sui Keng berseru agar sang puteri tak ragu-ragu akhirnya mata itu dipejamkan rapat dan Puteri Es mengangguk.
"Tocu, buang semua pikiran yang mengacau. Konsentrasikan kekuatan. Salurkan sinkangmu dan cepatlah jangan ragu!"
Puteri itu telah mulai bekerja. Setelah dia mulai menindas getar aneh yang membuatnya menggigil maka telapak itu menekan dada Beng An dengan kuat. Tubuh pemuda ini dingin seperti es, kaku. Tapi ketika sang puteri menarik napas dalam dan mengerahkan sinkangnya maka dari telapaknya meluncur hawa hangat yang menembus kulit dingin dada Beng An.
Pertama yang harus dilakukan adalah menembus benteng penyakit yang membuat pemuda itu luka dalam. Ada semacam kekuatan aneh yang bertahan dari dalam. Hal ini dirasakan sang puteri karena ketika sinkangnya disalurkan mendadak kekuatan itu bekerja, menolak dan melawan sinkangnya dan tentu saja dia terkejut.
Tapi ketika dia menambah sinkangnya dan kekuatan itu terdorong, sedikit tetapi pasti ia lebih kuat mendadak ada kekuatan lain yang timbul dari pusar Beng An membantu tenaganya. Ping-im kang yang dimiliki Beng An kiranya bekerja, bersatu dengan sinkang yang dimiliki puteri itu dan didoronglah kekuatan aneh yang bertahan di dada. Itu adalah sisa kekuatan dari sepasang kakek Hantu Hitam dan Putih yang dulu mencelakai Beng An. Dan ketika dua kekuatan itu tiba-tiba bekerja dan sang puteri girang, ia mendapat bantuan dari Beng An sendiri maka tubuh yang semula tidak bergerak itu kini mulai bergerak!
Thio Leng dan sumoinya girang. Sang puteri sendiri tak melihat itu karena seluruh konsentrasi dan kekuatan dikerahkan. Pewaris Lembah Es ini mengerahkan Bu-kek-kangnya, bersatu dengan Ping-im-kang dan terjadilah keajaiban luar biasa ketika bersama-sama menggempur sisa pukulan Giam-lui-ciang dari kakek Hitam dan Putih. Dan ketika perlahan tetapi pasti dua sumber tenaga itu menghalau sisa pukulan di dada Beng An tiba-tiba jalan darah yu-ceng-hiat di dada Beng An terbuka.
"Brol!" darah mengalir lancar bagai banjir. Sumber penyakit diterjang dan Puteri Es menambah tenaganya, mendesak dan terus mendorong dan sisa pukulan itu mundur ke leher, didesak dan terus didorong sampai akhirnya lari ke wajah Beng An. Dari sini sisa pukulan Giam-lui-ciang itu berpindah-pindah, antara dagu sampai pelipis. Puteri Es menghendakinya agar menuju hidung, atau mulut, dua tempat yang bakal menghembuskan sisa pukulan jahat itu keluar. Dan ketika di sini wajah Beng An merah dan pucat berganti-ganti, pukulan jahat itu tak mau diusir maka Thio Leng dan Sui Keng yang melihat itu gelisah.
"Yu-ceng-hiat telah terbuka, tapi pukulan itu tak mau pergi!"
"Benar, dan Tocu agaknya bekerja keras. Lihat mukanya mulai pucat."
Puteri Es memang gemetar. Wajahnya memutih dan berat benar perjuangan itu. Sisa Giam-lui-ciang masih berputar-putar, jahat sekali. Dan ketika empat jam masih juga belum berhasil maka sang puteri melemah tenaganya dan tiba-tiba saja pukulan itu membalik. Puteri Es pucat dan kaget dan akhirnya terdorong. Dia bertahan namun gagal. Dan ketika sisa pukulan jahat itu menyerang dan turun sampai ke leher akhirnya Puteri Es terdesak dan mengeluh. Sisa pukulan jahat ini mendorong dan akhirnya kembali ke dada. Dan ketika Yu-ceng-hiat tertutup dan Beng An menggeliat sedikit maka pemuda itu tidak bergerak lagi dan kaku seperti balok es.
"Tocu gagal, pukulan itu bisa menghantamnya!"
Sui Keng terkejut. Thio Leng sudah melompat dan berseru keras. Semua kejadian diikuti dan mereka sebagai orang-orang berkepandaian tinggi tentu saja tahu. Itulah sebabnya kenapa dua orang ini tak berani mengobati Beng An. Luka dalam pemuda itu berat. Yang diharap bisa membantu hanyalah junjungan mereka. Tapi ketika Puteri Es tersentak dan pucat pasi yu-ceng-hiat kembali tertutup dan hawa pukulan itu menghantam sang puteri maka Thio Leng tak dapat tinggal diam lagi dan menyambar Tocunya.
Gadis ini membentak dan menampar pundak Tocu, menyalurkan atau mengerahkan sinkang untuk membantu melawan hawa pukulan jahat itu. Dan ketika pukulan tertahan namun tubuh sang Puteri bergoyang, telah empat jam puteri ini mengeluarkan tenaganya maka sejenak bantuan itu menolongnya namun Thio Leng tiba-tiba terkejut. Junjungannya kehabisan tenaga. Puteri terengah-engah dan pucat. Dan ketika tenaga Puteri tampak lolos dan Thio Leng sendirian saja menghadapi hawa pukulan itu maka gadis itu tersentak dan pucat. Kena gempur!
"Augh! Thio Leng atuh terduduk dan bersila. Gadis ini menjadi pucat dan ngeri. Sisa pukulan dári dedengkot Pulau Api itu memang bukan tandingannya. la diserang balik. Dan ketika gadis ini mengeluh namun sumoinya berkelebat cepat, duduk dan memegang pundaknya maka berdua mereka menghadapi sisa pukulan jahat ini.
"Tocu kehabisan tenaga kita bertahan. Ah, mudah-mudahan kita kuat, su-moi. Atau kita berdua mampus!"
Sui Keng pucat. Ia telah bersila di belakang saudaranya ini dan meletakkan tangan di punggung. la mendorong dan membantu encinya. Dan ketika sejenak perlawanan itu membuahkan hasil, tertahan dan masing-masing berkutat maka satu jam dua orang gadis ini mendesak tapi hawa pukulan itu benar-benar jahat seperti gelembung yang dapat mengempis atau mengembang maka begitulah keadaan mereka. Yu-ceng-hiat belum terbuka, masing-masing masih berkutat di daerah itu.
Dan ketika dua gadis ini mulai kelelahan, yang dilawan adalah sisa pukulan dedengkot Pulau Api maka Thio Leng kehabisan tenaga bersamaan dengan sumoinya pula. Dan begitu melemah maka hawa pukulan itu menerjang! Sui Keng berteriak. Dia yang berada di belakang hingga ke situlah akhir pukulan menghantam. Encinya hanya menerima dan meneruskan, Thio Leng seperti perantara saja. Namun ketika gedis itu berteriak dan dalam bahaya mendadak Puteri Es membuka mata dan berseru,
"Keng-Cici tahan. Aku telah memulihkan tenagaku!"
Hebat sekali seruan ini. Sui Keng yang terdesak dan pucat pasi mendadak kosong melompong. Hawa juhat itu dipotong sang puteri, diserang dan kehilangan tenaga untuk kemudian didesak ke depan. Dan ketika gadis itu dapat bernapas lega dan membuka mata tampklah bahwa junjungannya telah kembali melakukan perlawann hebat. Mata itu bersínar-sinar, penuh amarah dan geram. Dan ketika ia girang dan encinya berseru memperingatkan maka Thio Leng mengempos semangat lagi menggempur musuh.
"Keng-moi, bantu dan dorongkan lagi sinkangmu. Bertiga kita hantam sisa pukulan jahat itu"
Gadis ini sadar. Begitu encinya membentak dan mendorong pundak Tocu maka iapun membentak dan memukul punggung encinya. Dari sini pukulan meluncur kedepan, bergabung dengan tenaga Tocu dan Tio Leng untuk akhirnya menggempur sisa pukulan jahat itu. Dan ketika bagaikan dihantam badai gurun kekuatan jahat ini terlempar, mencelat sempai di wajah Beng An maka yu-ceng-hiat terbuka kembali dan sang Puteri berseru agar Thio Leng dan Sui Keng mendesak dari kiri kanan.
"Awas, jangan sampai lari. Tahan mereka di kiri kanan dan biar kudesak dari tengah!"
Hebat sekali. Sisa pukulan jahat yang seperti gelembung asap itu dikejar. Thio Leng dan sumoinya mendesak dari kiri kanan Sementara sang Puteri dari tengah. Yu-ceng-hiat sudah dibuka dan jalan lari ditutup. Tenaga Beng An bangkit lagi dan bekerja. Dan ketika dengan penuh semangat Puteri ini mendorong dari tengah maka sisa pukulan jahat itu tak dapat kemana-mana lagi dan akhirnya keluar melalui hidung dan mulut Beng An, berhembus.
"Prott!" Suara itu seperti ledakan kentut. Sui Keng terkekeh tak dapat menahan geli, Thio Leng juga tersenyum karena lucu. Namun ketika Beng An terbebas dan sembuh luka dalamnya mendadak Puteri Es mengeluh dan roboh pingsan.
Kiranya Puteri ini mengerahkan tenaga habis-habisan., la khawatir jangan-jangan usahanya yang terakhir itu gagal. Kalau itu terjadi maka bukan dia saja yang dalam bahaya melainkan juga dua orang pembantunya. Maka ketika dia berseru dan membentak kuat, memforsir seluruh tenaga maka usahanya berhasil namun dia sendiri kehabisan tenaga. Bagai balon melembung yang tiba-tiba pecah maka inilah yang dialami Puteri Es. Ia kehabisan tenaga.
Tapi ketika dua pembantunya terkejut menolong, Thio Leng dan Sui Keng kaget dan cepat memeriksa maka dua orang ini lega bahwa sang Puteri hanya pingsan biasa saja. Dan Beng An mulai membuka mata. Setelah pertandingan mati hidup yang tak diketahuinya itu maka pemuda ini merasa dadanya pulih kembali. Sesak itu hilang. Tapi karena sudah sekian lama ia dalam keadaan tak sadar, kini lupa-lupa ingat maka Beng An tak segera bangkit dan memandang langit-langit ruangan dengan mata heran. la melihat ruangan yang bersih dan lebar.
Hidungnya mulai pula mencium bau-bauan harum. Dan ketika Beng An terbelalak dan melebarkan mata , ia masih lemah dan sakit di sana-sini maka pemuda itu mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi. Dan tiba-tiba ia terkejut. Langit-langit ruangan mendadak berobah menjadi laut luas. la teringat bahwa ia berada di Kepulauan Api di akhirnya bertemu dengan sepasang kakek licik yang amat hebat, Hantu Hitam dan Hantu Putih, Dan ketika ai bergerak meloncat bangun, dilihat dan didengar dua orang itu maka pemuda ini kaget melihat Thio Leng dan Sui Keng.
"Thio-cici! Wan-cici...!"
Dua orang itu bergerak. Mereka telah menolong puteri mereka dan girang. Sang puteri sebentar lagi sadar dan tidak apa-apa. Maka melihat Beng An memanggil mereka namun jatuh terhuyung, Beng An masih lemas maka dua orang itu berkelebat mengangkat bangun, tertawa manis.
"Kim-kongcu, kau sembuh. Selamat!"
"Benar, dan kami berjuang ekstra keras untuk menolongmu, kongcu. Lihat Tocu pingsan!"
"Aku... aku...!" Beng An seperti mimpi. "Berada di mana? Apakah di Surga."
"Hi-hik, kau di Lembah Es, kongcu, di istana. Lihat baru saja kami menyelamatkanmu!"
Beng An bingung. la benar-benar tak mengerti bagaimana mimpinya di Pulau Api tiba-tiba sudah berada di Lembah Es. Mungkin dia belum sadar benar. Dan ketika ia melihat Puteri Es tergeletak pingsan, dua gadis cantik ini demikian ramah dan lembut kepadanya maka Beng An seakan tak percaya karena dulu mereka ini amat ganas dan galak. Persis seperti kucing diganggu anjing!
"Cici, aku benar-benar di tempat kalian? Aku di Lembah Es?"
"Benar, kau di sini, kongcu, di tempat kami. Hwa Seng membawamu ke sini dan kami menolong."
"Hwa Seng? Gadis itu? Mana mungkin. Aku roboh dan ditangkap dua kakek iblis dedengkot Pulau Api... Cici... Kalian, ah. tentu bohong. Ini bukan dunia yang kuinjak, ini kahyangan."
"Hi-hik, kenapa begitu?"
"Jelas, kalian berbeda dengan dulu. Dulu kalian ganas dan keras kepadaku. Sekarang, ah... kalian begini lembut dan bersikap manis!"
Dua gadis itu terkekeh tak dapat menahan diri lagi. Mereka tertawa begitu lepas dan Beng An semakin terbengong-bengong lagi. Kapan dua gadis ini bersikap seperti itu kepadanya? Sikap yang diperlihatkan persis terhadap kerabat atau keluarga sendiri. Mereka tertawa begitu bebas, lepas. Tapi ketika seseorang mengeluh di sana dan sang Puteri sadar, Thio Leng dan Sui Keng menutup mulut maka wajah mereka tiba-tiba memerah dan sadar bahwa baru saja mereka bersikap seperti terhadap rekan-rekan wanita.
"Tocu siuman, kita lihat dia!"
"Benar, dan aku akan mengambil minuman, Keng-moi. Urus dia dan hati-hati."
Beng An tertegun. Ingatannya yang masih kacau ditambah kebingungan yang tiada henti membuat dia terbelalak memandang semua itu. Dia belum begitu jelas melihat Puteri Es. Tapi begitu dia mulai percaya dan sedikit tetapi pasti ingatanpun berjalan normal maka dia dapat menduga bahwa rupanya dia ditolong penghuni Lembah Es ini. Dan iapun terkejut melihat Puteri yang bangkit dudukitu, memandang, terpesona dan tergetar, namun sang Puteri justeru baru siuman.
Orang yang baru sadar tak dapat mengingat semuanya dengan cepat. Maka ketika sang Puteri belum tahu dan hanya pemuda ini yang bengong di tempat maka Sui Keng menolong Tocunya itu bangkit duduk, menyerahkan kursi. Dan saat itu Thio Leng muncul membawa segelas air putih.
"Selamat, kita berhasil menolong Kim-kongcu Puteri. Lihat ia sehat dan bugar di sana."
"Tapi ia masih terbengong-bengong, ia menyangka berada di kahyangan bersama kita, Tocu. Lihat pandang matanya masih belum pulih!"
Sang Puteri terkejut dan ingat Sui Keng telah memberinya kursi dan ia duduk di situ, anggun. Cadar tak menutupi mukanya lagi dan Beng An melihat jelas wajah jelita itu, sepasang alis hitam menjelirit yang indah, bibir yang merah basah namun membayangkan sikap dingin dari kebiasaan bertahun-tahun.
Tapi ketika dia menambah sinkangnya dan kekuatan itu terdorong, sedikit tetapi pasti ia lebih kuat mendadak ada kekuatan lain yang timbul dari pusar Beng An membantu tenaganya. Ping-im kang yang dimiliki Beng An kiranya bekerja, bersatu dengan sinkang yang dimiliki puteri itu dan didoronglah kekuatan aneh yang bertahan di dada. Itu adalah sisa kekuatan dari sepasang kakek Hantu Hitam dan Putih yang dulu mencelakai Beng An. Dan ketika dua kekuatan itu tiba-tiba bekerja dan sang puteri girang, ia mendapat bantuan dari Beng An sendiri maka tubuh yang semula tidak bergerak itu kini mulai bergerak!
Thio Leng dan sumoinya girang. Sang puteri sendiri tak melihat itu karena seluruh konsentrasi dan kekuatan dikerahkan. Pewaris Lembah Es ini mengerahkan Bu-kek-kangnya, bersatu dengan Ping-im-kang dan terjadilah keajaiban luar biasa ketika bersama-sama menggempur sisa pukulan Giam-lui-ciang dari kakek Hitam dan Putih. Dan ketika perlahan tetapi pasti dua sumber tenaga itu menghalau sisa pukulan di dada Beng An tiba-tiba jalan darah yu-ceng-hiat di dada Beng An terbuka.
"Brol!" darah mengalir lancar bagai banjir. Sumber penyakit diterjang dan Puteri Es menambah tenaganya, mendesak dan terus mendorong dan sisa pukulan itu mundur ke leher, didesak dan terus didorong sampai akhirnya lari ke wajah Beng An. Dari sini sisa pukulan Giam-lui-ciang itu berpindah-pindah, antara dagu sampai pelipis. Puteri Es menghendakinya agar menuju hidung, atau mulut, dua tempat yang bakal menghembuskan sisa pukulan jahat itu keluar. Dan ketika di sini wajah Beng An merah dan pucat berganti-ganti, pukulan jahat itu tak mau diusir maka Thio Leng dan Sui Keng yang melihat itu gelisah.
"Yu-ceng-hiat telah terbuka, tapi pukulan itu tak mau pergi!"
"Benar, dan Tocu agaknya bekerja keras. Lihat mukanya mulai pucat."
Puteri Es memang gemetar. Wajahnya memutih dan berat benar perjuangan itu. Sisa Giam-lui-ciang masih berputar-putar, jahat sekali. Dan ketika empat jam masih juga belum berhasil maka sang puteri melemah tenaganya dan tiba-tiba saja pukulan itu membalik. Puteri Es pucat dan kaget dan akhirnya terdorong. Dia bertahan namun gagal. Dan ketika sisa pukulan jahat itu menyerang dan turun sampai ke leher akhirnya Puteri Es terdesak dan mengeluh. Sisa pukulan jahat ini mendorong dan akhirnya kembali ke dada. Dan ketika Yu-ceng-hiat tertutup dan Beng An menggeliat sedikit maka pemuda itu tidak bergerak lagi dan kaku seperti balok es.
"Tocu gagal, pukulan itu bisa menghantamnya!"
Sui Keng terkejut. Thio Leng sudah melompat dan berseru keras. Semua kejadian diikuti dan mereka sebagai orang-orang berkepandaian tinggi tentu saja tahu. Itulah sebabnya kenapa dua orang ini tak berani mengobati Beng An. Luka dalam pemuda itu berat. Yang diharap bisa membantu hanyalah junjungan mereka. Tapi ketika Puteri Es tersentak dan pucat pasi yu-ceng-hiat kembali tertutup dan hawa pukulan itu menghantam sang puteri maka Thio Leng tak dapat tinggal diam lagi dan menyambar Tocunya.
Gadis ini membentak dan menampar pundak Tocu, menyalurkan atau mengerahkan sinkang untuk membantu melawan hawa pukulan jahat itu. Dan ketika pukulan tertahan namun tubuh sang Puteri bergoyang, telah empat jam puteri ini mengeluarkan tenaganya maka sejenak bantuan itu menolongnya namun Thio Leng tiba-tiba terkejut. Junjungannya kehabisan tenaga. Puteri terengah-engah dan pucat. Dan ketika tenaga Puteri tampak lolos dan Thio Leng sendirian saja menghadapi hawa pukulan itu maka gadis itu tersentak dan pucat. Kena gempur!
"Augh! Thio Leng atuh terduduk dan bersila. Gadis ini menjadi pucat dan ngeri. Sisa pukulan dári dedengkot Pulau Api itu memang bukan tandingannya. la diserang balik. Dan ketika gadis ini mengeluh namun sumoinya berkelebat cepat, duduk dan memegang pundaknya maka berdua mereka menghadapi sisa pukulan jahat ini.
"Tocu kehabisan tenaga kita bertahan. Ah, mudah-mudahan kita kuat, su-moi. Atau kita berdua mampus!"
Sui Keng pucat. Ia telah bersila di belakang saudaranya ini dan meletakkan tangan di punggung. la mendorong dan membantu encinya. Dan ketika sejenak perlawanan itu membuahkan hasil, tertahan dan masing-masing berkutat maka satu jam dua orang gadis ini mendesak tapi hawa pukulan itu benar-benar jahat seperti gelembung yang dapat mengempis atau mengembang maka begitulah keadaan mereka. Yu-ceng-hiat belum terbuka, masing-masing masih berkutat di daerah itu.
Dan ketika dua gadis ini mulai kelelahan, yang dilawan adalah sisa pukulan dedengkot Pulau Api maka Thio Leng kehabisan tenaga bersamaan dengan sumoinya pula. Dan begitu melemah maka hawa pukulan itu menerjang! Sui Keng berteriak. Dia yang berada di belakang hingga ke situlah akhir pukulan menghantam. Encinya hanya menerima dan meneruskan, Thio Leng seperti perantara saja. Namun ketika gedis itu berteriak dan dalam bahaya mendadak Puteri Es membuka mata dan berseru,
"Keng-Cici tahan. Aku telah memulihkan tenagaku!"
Hebat sekali seruan ini. Sui Keng yang terdesak dan pucat pasi mendadak kosong melompong. Hawa juhat itu dipotong sang puteri, diserang dan kehilangan tenaga untuk kemudian didesak ke depan. Dan ketika gadis itu dapat bernapas lega dan membuka mata tampklah bahwa junjungannya telah kembali melakukan perlawann hebat. Mata itu bersínar-sinar, penuh amarah dan geram. Dan ketika ia girang dan encinya berseru memperingatkan maka Thio Leng mengempos semangat lagi menggempur musuh.
"Keng-moi, bantu dan dorongkan lagi sinkangmu. Bertiga kita hantam sisa pukulan jahat itu"
Gadis ini sadar. Begitu encinya membentak dan mendorong pundak Tocu maka iapun membentak dan memukul punggung encinya. Dari sini pukulan meluncur kedepan, bergabung dengan tenaga Tocu dan Tio Leng untuk akhirnya menggempur sisa pukulan jahat itu. Dan ketika bagaikan dihantam badai gurun kekuatan jahat ini terlempar, mencelat sempai di wajah Beng An maka yu-ceng-hiat terbuka kembali dan sang Puteri berseru agar Thio Leng dan Sui Keng mendesak dari kiri kanan.
"Awas, jangan sampai lari. Tahan mereka di kiri kanan dan biar kudesak dari tengah!"
Hebat sekali. Sisa pukulan jahat yang seperti gelembung asap itu dikejar. Thio Leng dan sumoinya mendesak dari kiri kanan Sementara sang Puteri dari tengah. Yu-ceng-hiat sudah dibuka dan jalan lari ditutup. Tenaga Beng An bangkit lagi dan bekerja. Dan ketika dengan penuh semangat Puteri ini mendorong dari tengah maka sisa pukulan jahat itu tak dapat kemana-mana lagi dan akhirnya keluar melalui hidung dan mulut Beng An, berhembus.
"Prott!" Suara itu seperti ledakan kentut. Sui Keng terkekeh tak dapat menahan geli, Thio Leng juga tersenyum karena lucu. Namun ketika Beng An terbebas dan sembuh luka dalamnya mendadak Puteri Es mengeluh dan roboh pingsan.
Kiranya Puteri ini mengerahkan tenaga habis-habisan., la khawatir jangan-jangan usahanya yang terakhir itu gagal. Kalau itu terjadi maka bukan dia saja yang dalam bahaya melainkan juga dua orang pembantunya. Maka ketika dia berseru dan membentak kuat, memforsir seluruh tenaga maka usahanya berhasil namun dia sendiri kehabisan tenaga. Bagai balon melembung yang tiba-tiba pecah maka inilah yang dialami Puteri Es. Ia kehabisan tenaga.
Tapi ketika dua pembantunya terkejut menolong, Thio Leng dan Sui Keng kaget dan cepat memeriksa maka dua orang ini lega bahwa sang Puteri hanya pingsan biasa saja. Dan Beng An mulai membuka mata. Setelah pertandingan mati hidup yang tak diketahuinya itu maka pemuda ini merasa dadanya pulih kembali. Sesak itu hilang. Tapi karena sudah sekian lama ia dalam keadaan tak sadar, kini lupa-lupa ingat maka Beng An tak segera bangkit dan memandang langit-langit ruangan dengan mata heran. la melihat ruangan yang bersih dan lebar.
Hidungnya mulai pula mencium bau-bauan harum. Dan ketika Beng An terbelalak dan melebarkan mata , ia masih lemah dan sakit di sana-sini maka pemuda itu mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi. Dan tiba-tiba ia terkejut. Langit-langit ruangan mendadak berobah menjadi laut luas. la teringat bahwa ia berada di Kepulauan Api di akhirnya bertemu dengan sepasang kakek licik yang amat hebat, Hantu Hitam dan Hantu Putih, Dan ketika ai bergerak meloncat bangun, dilihat dan didengar dua orang itu maka pemuda ini kaget melihat Thio Leng dan Sui Keng.
"Thio-cici! Wan-cici...!"
Dua orang itu bergerak. Mereka telah menolong puteri mereka dan girang. Sang puteri sebentar lagi sadar dan tidak apa-apa. Maka melihat Beng An memanggil mereka namun jatuh terhuyung, Beng An masih lemas maka dua orang itu berkelebat mengangkat bangun, tertawa manis.
"Kim-kongcu, kau sembuh. Selamat!"
"Benar, dan kami berjuang ekstra keras untuk menolongmu, kongcu. Lihat Tocu pingsan!"
"Aku... aku...!" Beng An seperti mimpi. "Berada di mana? Apakah di Surga."
"Hi-hik, kau di Lembah Es, kongcu, di istana. Lihat baru saja kami menyelamatkanmu!"
Beng An bingung. la benar-benar tak mengerti bagaimana mimpinya di Pulau Api tiba-tiba sudah berada di Lembah Es. Mungkin dia belum sadar benar. Dan ketika ia melihat Puteri Es tergeletak pingsan, dua gadis cantik ini demikian ramah dan lembut kepadanya maka Beng An seakan tak percaya karena dulu mereka ini amat ganas dan galak. Persis seperti kucing diganggu anjing!
"Cici, aku benar-benar di tempat kalian? Aku di Lembah Es?"
"Benar, kau di sini, kongcu, di tempat kami. Hwa Seng membawamu ke sini dan kami menolong."
"Hwa Seng? Gadis itu? Mana mungkin. Aku roboh dan ditangkap dua kakek iblis dedengkot Pulau Api... Cici... Kalian, ah. tentu bohong. Ini bukan dunia yang kuinjak, ini kahyangan."
"Hi-hik, kenapa begitu?"
"Jelas, kalian berbeda dengan dulu. Dulu kalian ganas dan keras kepadaku. Sekarang, ah... kalian begini lembut dan bersikap manis!"
Dua gadis itu terkekeh tak dapat menahan diri lagi. Mereka tertawa begitu lepas dan Beng An semakin terbengong-bengong lagi. Kapan dua gadis ini bersikap seperti itu kepadanya? Sikap yang diperlihatkan persis terhadap kerabat atau keluarga sendiri. Mereka tertawa begitu bebas, lepas. Tapi ketika seseorang mengeluh di sana dan sang Puteri sadar, Thio Leng dan Sui Keng menutup mulut maka wajah mereka tiba-tiba memerah dan sadar bahwa baru saja mereka bersikap seperti terhadap rekan-rekan wanita.
"Tocu siuman, kita lihat dia!"
"Benar, dan aku akan mengambil minuman, Keng-moi. Urus dia dan hati-hati."
Beng An tertegun. Ingatannya yang masih kacau ditambah kebingungan yang tiada henti membuat dia terbelalak memandang semua itu. Dia belum begitu jelas melihat Puteri Es. Tapi begitu dia mulai percaya dan sedikit tetapi pasti ingatanpun berjalan normal maka dia dapat menduga bahwa rupanya dia ditolong penghuni Lembah Es ini. Dan iapun terkejut melihat Puteri yang bangkit dudukitu, memandang, terpesona dan tergetar, namun sang Puteri justeru baru siuman.
Orang yang baru sadar tak dapat mengingat semuanya dengan cepat. Maka ketika sang Puteri belum tahu dan hanya pemuda ini yang bengong di tempat maka Sui Keng menolong Tocunya itu bangkit duduk, menyerahkan kursi. Dan saat itu Thio Leng muncul membawa segelas air putih.
"Selamat, kita berhasil menolong Kim-kongcu Puteri. Lihat ia sehat dan bugar di sana."
"Tapi ia masih terbengong-bengong, ia menyangka berada di kahyangan bersama kita, Tocu. Lihat pandang matanya masih belum pulih!"
Sang Puteri terkejut dan ingat Sui Keng telah memberinya kursi dan ia duduk di situ, anggun. Cadar tak menutupi mukanya lagi dan Beng An melihat jelas wajah jelita itu, sepasang alis hitam menjelirit yang indah, bibir yang merah basah namun membayangkan sikap dingin dari kebiasaan bertahun-tahun.
Dan ketika Beng An takjub dan menjadi kagum, ia begitu terpesona oleh wajah yang halus dan bulu lentik yang memikat itu maka sang Puteri juga baru sadar bahwa ada lelaki di situ. Pandang mata Beng An akhirnya kuat menyambar dan sang Puteri pun menoleh. Dan begitu melihat Beng An serta baju yang masih terbuka maka Puteri Es berseru tertahan dan meloncat turun dari kursinya.
Terjadilah pemandangan yang mengasyikkan bagi dua pembantu ini. Puteri Es maupun Beng An tiba-tiba terbelalak, tak dapat disembunyikan lagi pandang mata Beng An penuh kemesraan dan kekaguman. Sudah lama pemuda in memang merasa jatuh cinta. Wajah itu kini dapat dilihat sebebas-bebasnya tanpa penutup lagi, cuping hidung yang kembang-kempis bagai hidung kelinci yang ketakutan atau sepasang mata yang bak bintang kejora dan terbelalak tidak berkedip itu. Dan ketika Beng An merasa kagum akan mulut yang indah dengan bibir merah basah itu, mulut yang segar bagai tomat masak maka Beng An tak dapat menahan diri lagi dan memuji dengan decak nyaring.
"Betapa cantiknya!"
Puteri Es terkejut. Dia juga terkesima memandang pemuda ini. Jantungnya berdegup teringat betapa dia membuka kancing baju itu, menempelkan tangan di dada Beng An dan betapa wajah serta pribadi pemuda ini menggetarkan sukmanya. Tapi begitu Beng An memujinya dan kebiasaannya yang dingin muncul lagi, wajahnya memerah dan berkelebat tiba-tiba ia membentak dan pipi Beng An ditampar.
"Di Lembah Es tak boleh ada orang kurang ajar... plak!"
Beng An terpelanting. Pemuda ini jatuh terduduk, tidak mengeluh atau mengaduh melainkan semakin terbelalak memandang wajah jelita itu. Hanya Beng An yang tahu betapa tamparan itu, meskipun keras, tidak menyakitkan. Sang Puteri tidak mempergunakan tenaganya alias menipu dua pembantunya itu, mereka mengira Beng An kesakitan oleh tamparan kuat, terisi sinkang misalnya. Maka ketika dua orang itu berseru kaget dan justeru meloncat membangunkan Beng An, menlong maka tiba-tiba pemuda itu tertawa bergelak.
"Thio-cici, Wan-cici, terima kasih. Aku tak apa-apa. Pukulan Sang Puteri malah membuat aku merasakan betapa lunaknya jari-jari tangan itu. Mundurlah, aku tak apa-apa!"
Sang Puteri memerah. Memang ia tidak mengerahkan tenaga ketika melakukan tamparan tadi. Entahlah, mata Beng An begitu menggetarkannya. Suara nyaring dari tamparan itu hanyalah suara luar ketika telapaknya bertemu pipi Beng An, tidak membekas apa-apa seperti seorang ibu menepuk seekor nyamuk di pipi anaknya. Sang anak tak akan kesakitan. Maka ketika hanya Beng An yang tahu sementara dua gadis itu terbelalak memandang Beng An, menganggap pemuda itu tidak waras maka bentakan Sang Puteri membuat mereka terkejut dan memutar tubuh.
“Thio-ci Wan-cici, masukkan pemuda ini di ruang bawah tanah. Otaknya miring. Jaga dia baik-baik dan beri makan minum secukupnya!"
Sang Puteri berkelebat. la menyuruh dua pembantunya memasukkan Beng An di ruang bawah tanah dan tentu saja kaget. Tapi ketika Beng An tertawa geli dan mengangguk-angguk maka lebih aneh lagi pemuda ini menyodorkan lengan.
"Benar, masukkan aku ke penjara itu, Thio-cici, dan beri aku makan minum. Ha-ha, kebetulan aku memang lapar!"
Dua gadis itu saling pandang. Mereka tiba-tiba ragu kepada pemuda yang gagah ini. Terguncangkah otak pemuda itu oleh luka dalam yang baru diderita? Ataukah pengobatan mereka tadi melampuai batas, Beng An tak kuat lalu otaknya terganggu? Dan karena pemuda itu juga mengulurkan lengannya siap diikat maka tak pelak lagi dua gadis ini menjadi iba namun keharuan tiba-tiba timbul.
"Kim-kongcu, kau rupanya belum sehat seluruhnya. Otakmu terganggu. Baiklah kami bawa ke ruanganmu tapi tak usah di ikat. Kami akan menjagamu baik-baik."
Beng An terkekeh. la melihat sebelum pergi betapa pandang mata Puteri Es tersirat jengah, bukan marah melainkan jengah. Dan karena bekas tamparan tadi juga tidak meninggalkan rasa sakit, jelas sang Puteri tidak bersungguh-sungguh maka Beng An merasa kebetulan kalau kini dimasukkan penjara bawah tanah. la dapat merasa bahwa Sang Puteri harus melindungi muka, menjaga harga điri dan tak boleh bebas di depan orang lain, meskipun itu adalah dua pembantunya sendiri.
Dan karena ia merasa pandang mata Sang Puteri begitu gugup, jantungnya bergetar dan menunjukkan bahwa perasaannya bersambut maka Beng An telah merancang bahwa ia akan datang dan menemui Puteri itu, berdua! Ia akan mencari kesempatan dan mudah baginya melakukan hal itu. Dengan ilmunya yang hebat Pek-sian-sut ia mampu memasuki kamar sang puteri itu, tak mungkin diketahui Thio Leng maupun Sui Keng.
Maka ketika ia tersenyum-senyum dan dua gadis ini semakin menggeleng-gelengkan kepala maka pemuda itu disangka miring otaknya dan masih menerima akibat dari bekas pukulan dedengkot Pulau Api. Mereka tentu saja tak tahu apa yang terjadi dan hanya pemuda itulah yang tahu, juga Puteri Es tentunya. Maka ketika Beng An dibawa ke ruang bawah tanah dan duduk di situ, menerima makan dan minum akhirnya dua gadis ini menarik nafas dalam karena Beng An benar-benar seperti orang tidak waras.
Betapa tidak, pemuda itu masih tertawa-tawa. Tingkahnyapun aneh karena sering duduk dan berdiri berulang-ulang. Hal ini karena sebenarnya Beng An tidak sabar untuk menemui Puteri Es, jantungnya sudah berdegup dan berdebaran tak keruan membayangkan apa yang terjadi nanti. Dia tak akan sembunyi-sembunyi lagi. Dia akan menyatakan cintanya! Dan ketika dua gadis itu masih menunggunya di luar, berjaga dan mungkin akan melayaninya ini-itu maka Beng An justeru merasa kikuk, tak bebas.
"Jiwi-cici, kalian tinggalkan saja aku. Perutku sudah kenyang. Terima kasih dan tak usah berdiri di situ!"
"Hm, kami menjagamu kalau ada sesuatu yang kau perlukan. Kami takut ada apa-apa denganmu, kongcu. Tak usah khawatir dan biar kami tetap di sini saja?"
"Ha-ha, kalian takut otakku semakin miring lagi? Wah, terlalu ini. Aku tak apa-apa, Cici Aku benar-benar merasa sembuh. Lihat, aku kenyang dan ingin tidur. Masa kalian harus mengawasi aku seperti anak kecil. Bagaimana kalau misalnya aku, eh... ingin kencing!"
Dua gadis itu semburat. Mereka tertegun dan heran lagi bahwa bicara pemuda ini begitu genah (baik), jelas tidak menunjukkan tanda-tanda miring otak dan mungkin rupanya benar-benar sembuh. Dan ketika Beng An memegang celananya hingga dua gadis itu cepat melengos, Beng An tertawa hingga dua gadis itu cepat pergi maka bebaslah pemuda ini di ruang tahanannya.
Tentu saja dia sengaja menggoda pura-pura ingin kencing. Tapi pemuda ini tak dapat melaksanakan maksudnya dengan segera. Hari masih cukup terang dan ditunggunya malam gelap. Waktu menunggu ini diisinya baik-baik, beristirahat dan duduk siulian (samadhi) hingga benaar-benar tenaganya pulih, apalagi setelah perutnya terisi. Dan ketika Beng An hampir tertawa namun menahan geli hatinya, di lubang kunci mengintai Thio Leng dan Sui Keng maka iapun- pura-pura tidur dan terdengar bisikan dua gadis itu bahwa dia rupanya sudah sehat.
"Aneh, apa yang terjadi dengan Kim-kongcu iní. Tadi suka tertawa dan senyum-senyum sekarang kelihatan tenang dan begitu gembira. Wajahnya berseri-seri!"
"Mungkin pertemuannya dengan Tocu tadi. Lihat, Tocu kitapun beristirahat dan tak mau diganggu di kamarnya, Leng-cici, berkali-kali minta agar kita mengawasi pemuda itu. Kim-kongcu dikhawatirkan miring otak!"
"Tapi sekarang rupanya tidak. la telah dapat berbicara dengan baik, Keng-moi, dan gerak-geriknyapun normal. Aneh kenapa tadi seperti orang tidak waras!"
"Akupun juga tak mengerti, tapi semua itu diawali dengan tamparan Tocu."
"Eh, benar!"
"Apanya yang benar?"
"Tamparan itu, lihat! Ada sesuatu yang mencurigakan, Keng-moi. Coba lihat pipi pemuda itu!"
"Aku tak melihat apa-apa..."
"Bodoh, itulah buktinya, Keng-moi! Kim-kongcu ini rupanya merasakan sesuatu yang lain dari sini. Dan benar, eh...hi-hik, mengerti aku. Kiranya ini!" dan ketika Thio Leng tertawa tapi menahan mulutnya, sang adik terbelalak dan memandang bingung maka gadis itu tentu saja bertanya apa yang dimaksud saudaranya ini, khawatir jangan-jangan seng cici inipun terpengaruh Beng An, tidek waras.
"Cici, kaupun mulai tidak normal. Ada apa terkekeh-kekeh. Apa yang kau lihat dan rasakan di sini!"
"Hi-hik, bodoh, kau bodoh. Eh, tidakkah kau lihat tak ada bekas tamparan di situ, Keng-moi. Bukankah berarti tamparan Tocu tak meninggalkan rasa sakit bagi pemuda itu. Dan kita menyangka sebaliknya. Ah, pantas pemuda itu tertawa-tawa. Kim-kongcu geli dan rupanya tahu!"
Sui Keng membelalakkan mata. Mula-mula memang belum jelas benar tapi setelah pikirannya bekerja maka gadis itupun terkejut. Dan ketika dia mengangguk dan tertawa mengerti, Beng An disangka lelap dalam tidurnya maka gadis itu menarik encinya meledakkan geli.
"Busyet, kita tertipu. Aih, ini kiranya, Leng-cici. Pantas kalau begitu, hi-hik...tahu aku!" dan keduanya yang berkelebat pergi dengan tertawa-tawa lalu membuat Beng An tersipu merah namun diam-diam memuji dua pembantu Puteri Es itu cerdik. Meskipun baru tahu belakangan akan tetapi rahasia itu terbuka juga.
Puteri mereka melakukan tamnparan semu. Dan ketika Beng An menyeringai dan tertawa juga, merah maka malam itu ia tak dijaga dan ini membuat Beng An bebas. Ia telah mendengar Puteri sendirian di kamar, bagus. Tak sukar beginya menemui Puteri itu. Dan ketika Beng An berkelebat mengeluarkan Pek-sian-sut nya maka bagai siluman pemuda ini lenyap terganti sosok tipis asap putih yang melucur lewat tembok.
Melalui pintu atau tidak sama saja. Pek-sian-sut adalah ilmu roh yang membuat pemuda itu mampu menembus segala benda-benda kasar, dinding atau baja setebal apapun. Maka ketika ia bergerak dan lenyap dari kamar itu Beng Anpun melewati berbagai ruangan dengan mudah untuk akhirnya tiba di kamar sang Puteri.
Beng An tertegun. Sesampai di pintu tiba-tiba ia mendengar suara tangis perlahan saja dan hatipun tergerak. Suara siapa lagi itu kalau bukan sang Puteri! Dan ketika ia masuk dan berada di dalam kamar maka benar seja Puterj Es duduk di meja menopangkan dagu menghadapi sebuah gembar yang bukan lain dirinya! Beng An terkejut. Tak diduganya sama sekali bahwa Puteri Es menggambar wajahnya begitu cermat dan tepat. Wajah dirinya terlihat jelas di situ, gagah dan tampan dan Beng An kagum.
Kalau bukan seorang ahli lukis tak mungkin gambar itu dapat dibuat sedemikian persis. Pit dan tinta hitam. itu masih di tangan,basah. Dan ketika Beng An menarik napas dalam dan melepaskan Pek-sian-sut nya, muncul dan membuat gerakan maka Puterl Es terkejut dan kontan membalikkan tubuh.
"Kau?!"
Beng An mengangguk. Pit di tangan kanan itu gemetar namun sang Puteri tiba-tiba membuang gambar di atas meja itu, tepat mengenai tinta dan tergulinglah botol itu mengeluarkan isinya. (Gambar seketika menjadi basah, hitam). Dan ketika Beng An terkejut namun berseru keras, menyambar dan menyelamatkan sisa gambar maka sang Puteri membentak dan menerjangnya.
"Kim Beng An, ada apa kau memasuki kamar seorang wanita. Pergilah, keparat!"
Beng An mengelak. "Tunggu," serunya. "Jangan ribut dan gaduh di kamar ini, Puteri. Aku datang tanpa diketahui siapapun. Tahan dan jangan biarkan para pembantumu tahu!"
"Kau!" sang Puteri berapi-api menahan serangan, merah padam. "Berani kau bicara seperti itu? Berani kau... merampas milikku? Keparat kembalikan itu, Beng An. Jangan bersikap tak tahu malu atau aku membunuhmu!"
"Hm," Beng An tersenyum getir, menarik napas lagi. "Agaknya tak perlu ada yang perlu disembunyikan lagi di antara kita, Puteri. Aku datang untuk membuat pernyataan. Aku tidak bermaksud membuat ribut. Dengarlah dan bolehkah aku bicara?"
Sang Puteri menggigil. Melihat Beng An masih membawa lukisannya itu maka sang Puteri merah padam, Ia hendak bergerak akan tetapi Beng An mendahului, menyimpan dan menyembunyikan lukisan itu di dalam bajunya, tak perduli betapa bajupun menjadi kotor oleh tinta. Dan ketika Puteri itu melotot namun Beng An tenang-tenang saja, tersenyum dan senyumnya membuat sang Puteri gelisah maka pemuda itu membungkuk menjura hormat.
"Maaf, Puteri, aku ingin mulai bicara. Bolehkah?"
"Hm, kau mau bicara apa!" sang Puteri mengepalkan tinju. Kalau mau bicara tak usah berbelit-belit, Beng An, dan kembalikan barang milikku itu!"
"Mudah," Beng An tersenyum lebar. "Aku ingin menyatakan sesuatu, Puteri dan kalau kau siap mendengarnya apapun kuberikan."
"Tak usah banyak cakap, cepatlah!"
Bentakan ini tak membuat Beng An keder. Dia bahkan melangkah maju dan Puteripun mundur. Mata indah yang terbelalak itu melebar, seperti takut akan tetapi juga marah. Dan ketika Beng An berhenti dan sang Puteri juga berhenti maka Beng An tersenyum melihat Puteri telah mepet tembok, tak sadar.
"Pertama aku ingin mengucapkan terima kasih," Beng An berkata. "Sedangkan yang kedua adalah...."
"Hanya itu?" Sang Puteri membentak. "Keparat, untuk ini tak perlu kau memasuki kamarku, Beng An. Tak perlu bersikap seperti ini. Kau kurang ajar!"
"Nanti dulu, jangan memotong," Beng An bergerak maju, tiba-tiba menyambar lengan Puteri itu. "Kedua adalah yang terpenting, puteri. Yakni aku mencintaimu!"
Bukan main kagetnya sang Puteri. Ia tertangkap dan tak dapat mundur, berteriak karena membentur tembok. Dan ketika saat itu Beng An selesai mengucapkan kata-katanya maka Puteri Es terbelalak dan aneh sekali mata yang indah itu terpejam. Pandang mata Beng An yang demikian tajam dan sungguh-sungguh tak dapat dilawannya. Beng An memandangnya dengar sinar mata mesra. la begitu mesra dan lembut hingga jantung sang Puteri seakan tertusuk. Pandangan itu menembus jantungnya. Tapi ketika Beng An mempererat cekalannya dan Puteri sadar tiba-tiba gadis itu memberontek dan melepaskan tendangan ke perut Beng An.
"Lepaskan aku!"
Beng An terlempar. Tidak seperti ketika melakukan tamparan adalah kali ini gadis itu bersungguh-sungguh. la terguncang dan tíba-tiba menjadi marah. Rasa malu membuatnya panik. Pernyataan pertama dari seorang pemuda itu membuatnya tak keruan, sang Puteri merah padam dan menggigil. Tapi ketika ia merasa bahwa jari-jarinya digenggam Beng An dan betapa pemuda itu hendak menariknya ke depan mendadak gadis ini melepaskan diri dan perut Beng An yang menjadi sasaran membuat pemuda itu terlempar dan terbanting.
"Dess!" Beng An menggeliat. Untung bahwa sinkangnya bekerja otomatis, kalau tidak tentu isi. perutnya hancur. Tapi karena tendangan itu amatlah hebat dan betapapun ia merasa melilit, Beng An tak segera bangun maka Puteri Es berseru tertahan dan pucat melihat pemuda itu roboh lagi.
"Bunuhlah," Beng An tiba-tiba berseru, lirih. "Kau bunuhpun aku tetap menyatakan cintaku, Wei Ling. Tak ada orang yang dapat menghalangiku biar dewa atau iblis sekalipun!"
"Kau...?" Puteri ini menggigil. "Kau...kau tak apa-apa!'
Beng An melengak. "Apa?"
"Kau... tendanganku tidak terlalu kuat? Kau tak sakit?"
Beng An tiba-tiba tertawa geli. Perut yang melilit seketika lenyap, Beng An bangun dan berseri-seri memandang gadis itu. Puteri Es tampak khawatir, gelisah akan keselamatannya. Dan ketika Beng An maklum apa artinya ini maka iapun melangkah maju dan berseru, "Ah, perasaanmu menyambut hatiku, Wei Ling. Kau menyambut cintaku. Terima kasih!" tapi ketika Puteri berkelit dan membentak marah tiba-tiba Puteri itu menyerang lagi dan menendang tiga kali berturut-turut.
"Beng An, kau penipu. Kau mempermainkan aku. Keparat!"
Beng An terkejut. la tak menduga kemarahan ini dan menerima tendangan lagi, mencelat dan terlempar menabrak dinding. Dan ketika ia mengeluh bergulingan menjauh, sang Puteri benar-benar marah maka pemuda itu berkelit sana-sini ketika mendapat pukulan dan tendangan. Namun Beng An tak melawan. Pemuda ini, setelah berteriak dan menghindar sana-sini akhirnya menyerah dan memberikan tubuhnya. Suara bak-bik-buk pukulan membuat pèmuda itu babak-belur. Dan ketika sang Puteri mencabut pedang dan Beng An pucat maka bertiup angin dingin dan sesosok bayangan langsing berseru perlahan.
"Bagus, bunuhlah pemuda itu, Wei Ling. Tunjukkan padanya bahwa penghuni Lembah Es tak akan jatuh cinta kepada siapapun!"
Gadis itu terkejut bukan main. We We Moli, bibi gurunya muncul bagai iblis. Beng An meloncat bangun dan pucat, terhuyung, la tak tahu siapa wanita ini namun pengaruh dan wibawanya mendirikan bulu roma. Puteri Es yang dingin rasanya masih lebih dingin lagi, Beng An mengkirik. Namun ketika pedang itu dijatuhkan dan gadis ini berlutut maka Beng An tertegun.
"Supek-bo, pemuda ini, dia..... dia!"
"Aku tahu. Dia mengganggumu Wei Ling, karena itu bunuh dan lenyapkan dia. Ambil pedangmu!"
"Tidak, dia.. dia...!"
"Apalagi?" pedang melayang dan tiba-tiba disambar wanita ini. "Kau betul, Wei Ling, pemuda ini mengacau perasaanmu. Terimalah dan bunuh dia!"
Pedang bergerak dan menyambar gadis itu. Wei Ling, Puteri Es menangkap dan menerima. Tapi ketika dia mengguguk dan menggelengkan kepala maka dia meletakkan pedang tersedu-sedu berseru, "Aku... aku tak sanggup, supek-bo. Aku tak dapat membunuhnya!"
"Hm, karena kepandaiannya amat tinggi?"
"Tidak, bukan itu. Dia... dia....!"
Wanita ini berkelebat dan tiba-tiba menyambar Beng An. Pemuda yang sejak tadi tertegun dan membelalakkan mata itu tiba-tiba berseru kaget. Cepat dan kuat tahu-tahu lehernya dicengkeram. Dan ketika Beng An tak dapat melepaskan diri dan terkejut bukan main maka iapun dilempar ke arah Puteri Es dalam keadaan tertotok. Bukan main hebatnya wanita itu.
"Wei Ling, sekarang aku sudah melumpuhkannya. Ambil pedang itu dan bunuh dia!"
Gadis ini mengguguk. Beng An yang dilempar dan jatuh di dekatnya dipandang dengan air mata bercucuran, sejenak pandang matanya membuat Beng An tergetar. Mata itu sayu dan redup! Dan ketika gadis ini menggeleng dan Beng An kaget oleh kelihaian wanita riap-riapan itu maka Wei Ling berseru tak mengangkat pedangnya.
"Supek-bo, aku... aku benar-benar tak sanggup. Dia... dia tak dapat kubunuh!"
"Hm, bukankah kau telah mencabut pedangmu? Bukankah kau telah menghajarnya? Jangan main-main, di depanku kau harus bersungguh-sungguh, Wei Ling. Bunuh pemuda ini atau kau menerima hukuman!"
"Aku... aku menerima hukuman...!"
"Apa...!"
"Benar, aku tak sanggup membunuhnya, supek-bo. Aku... aku tak dapat melakukannya!"
Beng An berdesir dan kaget serta girang. Mata gadis itu memandangnya sayu dan segala kebengisan yang tadi tampak sekarang hilang musnah. Dari pandang mata itu bahkan memancar sinar mesra! Dan ketika Beng An terbelalak dan masih lumpuh maka wanita yang ternyata bibi guru gadis itu berkelebat dan kini menyambar tengkuk Wei Ling, suaranya dingin dan menyeramkan ketika berkata,
"Wei Ling, kau mencintai pemuda ini ? Kau berani melanggar perintahku?"
Gadis itu tersedu-sedu, tak menjawab.
"Bagus, kalau begitu kau harus menerima hukuman, Wei Ling, minggat dari Lembah Es atau kubunuh!"
"Aku memilih yang kedua. Aku tak dapat meninggalkan tempat ini, supek-bo. Aku ingin mati di tanganmu!"
"Kalau begitu terimalah kematianmu!" tapi ketika tangan wanita itu bergerak dan siap menghantam kepala gadis ini mendadak berkelebat bayangan Thio Leng dan Sui Keng.
"Supek-bo, tahan...des-dess!" gadis itu menangkis pukulan We We Moli dan mereka mencelat bergulingan. We We mo-li terkejut dan Beng An serta Puteri Es juga terkejut.
Beng An berseru keras melihat gerakan tangan wanita itu, tahu bahaya mengancam Wei Ling tapi tak dapat berbuat apa-apa. Dia lumpuh tertotok. Tapi ketika dua gadis itu datang menolong dan mereka sudah bergulingan meloncat bangun, menggigil maka keduanya berlutut dan bersiap-siap di belakang junjungannya ini.
"Supek-bo, atas nama seluruh penghuni lembah ampunkanlah Tocu. la tak bersalah. Kami yang membawa pemuda itu dan kamilah yang bertanggung jawab!"
"Hm, apa maksudmu?"
"Kami yang menyelamatkan pemuda ini dari pukulan orang-orang Pulau Api, supek-bo, dan kami yang membawanya kepada Puteri. Kalau terjadi hal-hal lain yang menjadi akibat sampingan dari hadirnya pemuda ini maka itu berawal dari kami. Kamilah yang bersalah, kami yang patut menerima hukuman!"
"Benar," bayangan-bayangan lain berkelebat. "Kami yang bersalah dan menjadi sebabnya, supek-bo. Kalau kau hendak menghukum maka kamilah orangnya!"
We We Moli terbelalak dan melebarkan mata. Yo-siocia, dan lain-lain tiba-tiba bermunculan satu persatu. Kamar itu menjadi penuh sementara di luar masih tampak murid-murid yang lain. Dan ketika sekejap kemudian tempat itu penuh orang, tangis dan isak gentar membayang di wajah-wajah yang pucat maka seluruh penghuni rupanya telah berkumpul di situ dan Beng An serta Puteri Es terkejut. Ini lagi-lagi di luar dugaan mereka.
"Hm bagus. Kalau begitu pilih satu di antara dua. Kau mampus atau meninggalkan tempat ini secepat mungkin, Thio Leng. Sekarang atau aku habis sabar!"
"Tidak! Puteri Es berseru, "Yang bersalah adalah aku, supek-bo. Ini persoalanku dengan pemuda itu bukan mereka dengannya. Thio Leng dan lain-lain tak ada sangkut-pautnya!"
"Hm maksudmu ini adalah persoalan hati antara kau dan pemuda itu? Maksudmu bahwa kau tak dapat melaksanakan perintahku karena kau mencintainya?"
"Aku.... aku tak tahu..."
"Bohong! Kau mencintainya, Wei Ling. Kau jatuh hati. Kau telah melanggar larangan Lembah Es dan merupakan pelanggaran berat!"
"Aku siap dihukum," gadis itu tersedu-sedu. "Aku tak ingin bicara tentang ini supek-bo. Aku memilih kematian dan siaplah menurunkannya!"
"Tidak!" dua pembantunya berseru. "Kami yang bersalah, Tocu, kami yang menjadi gara-gara. Kalau dulu kami tak menerima pemuda ini dan tak mempertemukannya denganmu tentu tak akan ada kejadian ini. Kami yang patut dibunuh dan kau bebas!"
"Dan kami mengikuti jejak Thio-cici," Yo Lin berseru dan mengguguk pula." Mati satu mati semua, Thio-cici, ingat perjanjian kita di awal pembicaraan!"
We We Moli terbelalak. Wanita ini melengking lirih ketika hampir serentak semua murid mendukung pernyataan gadis baju merah itu. Membunuh Thio Leng berarti harus membunuh semuanya pula. Tak mungkin ini! Dan ketika wanita itu Mengibaskan lengan dan dua gadis itu mencelat maka We We Moli telah menyambar gadis berpakaian serba putih itu.
"Wei Ling, kau merusak tatanan Lembah Es. Kalau begitu kau harus pergi!"
Gadis itu menjerit. Gerakan wanita i-ni membuatnya terlempar dan mencelat jauh, langsung melampaui kepala anak-anak murid dan mereka yang melihat berteriak kaget. Demikian jauh gadis itu terlempar hingga melewati jurang dan bukit-bukit, langsung keluar dari Lembah Es! Dan ketika semua menjerit dan Thio Leng maupun Sui Keng berseru tertahan maka Beng An disambar wanita itu dan membuat yang lain terkesiap.
"Dan kau adalah biang gara-gara. Mampus atau susul kekasihmu bocah. Dan jangan kembali lagi ke sini!"
Thio Leng dan sumoinya terbelalak pucat. Tadinya mereka hendak menerjang dan melindungi Beng An kalau pemuda itu dipukul. Tapi ketika pemuda itu hanya dikibas dan melayang jauh, menyusul Puteri Es maka Beng An pun melewati kepala anak-anak murid dan untuk kedua kali mereka itu berteriak memanggil namanya, satu di antaranya adalah Hwa Seng.
"Kim-kongcu...!"
Beng An tak mendengar lagi karena telinga tertutup oleh desau angin yang amat keras. Begitu hebatnya lemparan itu hingga ia seakan ditiup mulut raksasa, bagaikan benda kecil yang ringkih dan amat lemah. Dan ketika bukit dan jurang-jurang dilewati dengan amat cepat di bawah kakinya, Beng An mengeluh dan tak dapat berbuat apa-apa maka pemuda itu terus keluar dari Lembah Es dan berdebuk jauh di perbatasan.
Penghuni Lembah berhamburan. Yang pertama kali meloncat adalah Thio Leng, lalu Sui Keng dan disusul Yo-siocia dan lain-lain. Ratusan anak murid menyambar bagai walet-walet hitam. Malam hanya diterangi bulan dan bintang-bintang. Dan ketika mereka itu berteriak dan mengejar Beng An maka di sana pemuda itu mengeluh dan terbanting dengan amat keras. Kalau bukan Beng An yang mengalami tentu remuk tubuhnya, paling tidak patah kaki atau tangannya. Dan karena, pemuda itu masih tertotok dan tak mampu membebaskan diri maka Wei Ling muncul dan tersedu menghampiri pemuda itu, membebaskan totokan.
"Kongcu, kita telah menerima hukuman supek-bo. Pergilah dan jangan ke sini lagi."
Beng An terhuyung, melompat bangun. Tiba-tiba ia menjadi begitu terharu akan semua yang menimpa gadis itu. Puteri Es adalah tokoh terhormat tapi kini diusir mentah-mentah. Ini gara-gara dia. Maka ketika totokan dibuka dan ia dapat bergerak lagi, gadis itu memutar tubuh maka Beng An menangkap dan memanggilnya menggigil,
"Wei Ling, tunggu dulu...."
Gadis itu mengelak. la tersedu-sedu menghindari tangkapan Beng An hingga pemuda itu mengenai angin kosong. Tapi karena Beng An terus mengejar dan tak mau sudah, punggung baju itu akhirnya tertangkap maka Beng An berseru agar gadis itu tak meninggalkannya.
"Ling-moi, tunggu. Aku mencintaimu. Berhenti dan dengar kata-kataku atau kau boleh membunuhku!"
Wei Ling atau gadis ini menutupi muka. la tak memberontak lagi ketika ditangkap, bahkan ketika dipelukpun ia tak melawan. Dan ketika Beng An menggigil dan mendekap tubuh itu, haru dan penuh kasih sayang maka pemuda ini gemetar bicara,
"Ling-moi, kita berdua telah sama-sama diusir dari Lembah Es. Tapi kau paling berat. Biarlah aku melindungimu dan jiwa raga ini untukmu!"
Gadis itu tersedu-sedu. Sikapnya yang dingin dan keras tak tampak lagi di sini, hancur, luluh oleh cinta. Dan ketika Beng An mendekapnya penuh kasih sayang dan mengelus-elus rambutnya maka pemuda itupun basah air mata oleh keharuan yang dalam. Tak ada kata-kata lagi yang keluar dari mulut pemuda ini namun getar dan cintanya tertangkap jelas. Jari-jari Beng An yang menggigil dan mengusap rambut itu menyatakan segalanya. Dan ketika Puteri itu mengguguk dan membenamkan mukanya di dada Beng An maka pemuda ini menangis penuh bahagia.
"Ling-moi, kau... kau menerima cintaku, bukan? Kau tak akan menyalahkan aku, bukan? Semuanya mungkin kesalahanku, Ling-moi, tapi aku tak dapat melupakanmu sejak berpisah di Lembah Es. Aku seperti orang linglung, aku tak enak makan dan tidur.”
Gadis itu tak menjawab masih tersedu-sedu. Tapi ketika lengannya balas memeluk pinggang Beng An dan betapa lengan itu gemetar dan seperti kelinci ketakutan maka Beng An menyambar lengan ini dan membawanya ke hidung. Lalu begitu dia mencium dan sang Puteri menangis maka Beng An tak tahan menengadahkan wajah itu menghadap kepadanya. Dan betapa cantik serta mengharukannya wajah itu. Beng An terpesona.
"Ling-moi, kau mencintaiku, bukan?" dia bertanya, mata itu terpejam. "Kalau benar jawablah, Ling-moi, agar aku tak ragu!"
"Kau sudah tahu lebih dari itu. Aku tak perlu menjawabnya, Kim-kongcu. Kau tahu apa yang ada di hatiku!"
"Apa? Kau memanggilku kongcu (tuan muda)? Terlalu, kita sekarang satu, moi-moi, bukan orang lain. Jawablah pertanyaanku dan diamlah kalau benar."
Puteri Es membuka mata dan heran. la tak tahu apa maksud Beng An ketika tiba-tiba pemuda itu mencium bibirnya. Sentuhan halus lunak ini bagai aliran listrik yang mengejutkannya. la diminta membuktikan cintanya dengan diam kalau dicium. Dan ketika ia tersentak namun diam saja, Beng An segera melumat bibir itu maka sang Puteri pun mengeluh dan terbang ke langit bahagia, tersedu dan menyambut Beng An dan alangkah girangnya hati pemuda ini. Beng An melumat dan mencium lagi penuh mesra, sang Puteri menggigil dan roboh. Lemas! Tapi ketika Beng An menahan dan gadis itu menyembunyikan muka maka mereka tak sadar bahwa Thio Leng dan kawan-kawan sudah ada di situ, muncul.
"Kim-kongcu...!"
"Tocu...!"
Dua muda-mudi ini kaget. Mereka tahu-tahu melihat betapa semua anak murid sudah berlutut di situ, melirik dan tersenyum-senyum memandang mereka. Dan ketika keduanya seketika menjadi merah dan malu maka Puteri Es melepaskan diri dan merenggut tubuhnya dari Beng An.
"Thio-cici, ada apa kalian ke sini!"
"Maaf," gadis itu tersenyum dan mengusap air matanya, haru. "Kami ingin mengucapkan selamat jalan, Tocu. Dan...dan harap Kim-kongcu melindungimu baik-baik!"
"Benar, dan mungkin kami juga akan menyusul. Berangkat dan pergilah lebih dulu, Tocu. Kami akan mengikutimu dan jumpa lagi di daratan besar!"
Puteri Es terkejut. Dua pembantunya tiba-tiba bangkit dan memeluknya. Thio Leng yang semula dapat menahan air mata tiba-tiba tak dapat menguasai diri lagi, gadis itu tersedu-sedu. Dan ketika Sui Keng juga mengguguk dan meledak dalam tangis maka semua yang tadinya bahagia melihat adegan Puteri mereka mendadak tunduk dan menangis pula.
"Tocu, jagalah diri baik-baik. Kami tak akan lama pula di Lembah. Kami akan pergi dan menyusulmu. Yo-sumoi yang akan mengatur tempat ini."
"Benar, dan pergi serta doa kami untukmu, Tocu. Kim-kongcu pemuda yang tepat untukmu dan kami percaya. Mungkin kami akan berkunjung ke rumahnya!"
Sang Puteri pun tak dapat menahan diri. Akhirnya dia menangis dan berangkulan dengan pembantunya ini, yang lain menambahi dan suasanapun menjadi berisik. Bulan dan bintang gemintang meredup sayu, rupanya merekapun dapat terharu oleh kejadian di muka bumi ini. Namun setelah Thio Leng melepaskan diri dan mampu menguasai keadaan maka gadis itulah yang lebih dulu menyadarkan semuanya, mundur dan membungkuk.
"Sudahlah, pergi dan berangkatlah, Tocu. Kami mengiringimu dengan doa seluruh penghuni. Selamat jalan dan mudah-mudahan kita bertemu lagi."
Beng An terharu melihat ini. Ia merasakan betapa besar cinta kasih murid-murid Lembah kepada Puterinya. Namun karena Puteri telah diusir dan ini semua gara-gara dia maka Beng An berkata di depan dua gadis itu. "Thio-cici, Wan-cici, maafkan aku. Semua ini gara-gara aku. Kalau aku tidak datang dan mengganggu kalian tak mungkin akan terjadi semuanya ini. Aku berjanji dan bersumpah menjaga Puteri kalian dan jiwa serta darahku kusiapkan untuknya!"
"Kami percaya!" gadis itu tersenyum. "Kodrat rupanya harus memutar roda kehidupan kami, kongcu. Semuanya telah terjadi dan kami tak perlu menyesal. Justeru kami bangga, kau satu-satunya pemuda yang tepat untuk menjadi jodoh Puteri. Pergilah dan selamat jalan!"
Salju tiba-tiba turun. Hawa udara yang dingin tiba-tiba bertiup, menerpa dan membuat orang menggigil namun anak-anak murid sudah mengerahkan sin-kang. Mereka cepat menghangatkan tubuh begitu serangan datang. Dan ketika Thio Leng mundur dan membungkuk sekali lagi, para murid berdiri dan memandang sedih maka seseorang tiba-tiba meloncat dan berseru,
"Kim-kongcu , selamat jalan dan hati-hati. Aku pribadi mohon agar jagalah Puteri seperti dulu kau menjaga dan melindungi aku!"
Kiranya Hwa Seng. Gadis itu, yang mengguguk dan tak dapat menahan tangisnya tiba-tiba berlutut di kaki Beng An dan Puteri Es, mencium dan memeluk kaki majikannya penuh haru. Dan ketika Puteri Es tertegun dan melihat sebelah telinga gadis itu yang buntung maka Puteri mengangkatnya bangun dan memeluk.
"Hwa Seng, kau adalah pelayan dan murid Lembah Es yang setia. Aku menyesal memperlakukanmu sekejam itu. Biarlah ini kutinggalkan untukmu dan kenanglah aku seperti biasa!" Sang Puteri melepaskan tusuk rambut bermata giok, menancapkan itu di rambut pelayannya dan tentu saja gadis ini semakin tersedu-sedu. Kehormatan besar baginya menerima langsung hadiah itu. Maka ketika ia menjatuhkan diri berlutut namun sang Puteri mengangkatnya bangun, mencium pipinya maka pelayan ini semakin melambung saja oleh cinta kasih dan keharuan yang dalam.
"Hwa Seng, berkat kaulah aku bertemu Kim-kongcu. Selamat tinggal dan jaga baik-baik tempat kita."
"Hm, nanti dulu," Beng An menahan dan memegang pundak gadis itu."
Puterimu telah memberikan tanda matanya biarlah aku juga, Hwa Seng. Hanya aku tak memiliki benda berharga, kecuali ini. Simpanlah dan siapa tahu ada gunanya. Pemuda itu melepaskan kancing bajunya dan Puteri Es merah. la teringat ketika membuka baju pemuda ini sewaktu mengobati Beng An, Semburat namur melirik tersenyum. Dan ketika Hwa Seng menerimanya dan mencium benda itu, menyimpannya baik-baik maka Beng An menepuk gadis itu dan mengangguk.
"Sekarang cukup, selamat tinggal dan maafkan semua kesalahanku."
Meledaklah sedu-sedan lagi. Para murid yang semula diam dan dapat menahan tangis tiba-tiba tak mampu menahan diri lagi. Beng An melambai dan menggandeng puteri mereka. Lalu ketika sang Puteri juga melambai dan terisak ditahan, memutar tubuh maka dua orang itu berkelebat dan lenyap di kegelapan malam.
"Tocu...!"
"Tocu...!"
Sang Puteri menggigit bibir kuat-kuat. Murid-murid berteriak tapi gadis ini tak mau menoleh, hancur perasaannya oleh seruan itu. Dan ketika Thio Leng dan Sui Keng juga menahan tangis mereka, meledak dan akhirnya saling tubruk maka hujan air mata terjadi di perbatasan ini. Mereka hanya melihat dua bayangan hitam bergerak di tengah malam, menjauh dan akhirnya lenyap merupakan titik kecil yang tak mungkin terlihat lagi.
Dan ketika semua saling rangkul dan sedu-sedan terjadi sampai pagi maka murid-murid Lembah ternyata tak meninggalkan tempat itu sampai matahari terbit di timur. Mereka akhirnya terpaku dan memandang hamparan es dengan mata kosong. Daratan di seberang tampak hening, gumpalan es membeku dan tampaknya sedih ditinggal seseorang.
Namun setelah matahari cukup tinggi dan Thio Leng menggerakkan anak murid kembali maka mereka memutar tubuh dan isak tangis masih terdengar di sana-sini. Lembah Es kehilangan tokohnya dan wajahpun terasa muram. Keputusan yang telah dijatuhkan sesepuh mereka tak mungkin ditarik. Puteri telah diusir. Dan ketika untuk hari-hari berikut wajah Lembah ini semakin muram, apalagi setelah Thio Leng dan Sui Keng menyusul pergi maka Yo Lin yang menggantikan kedudukan selama berhari-hari menangis terus.
Wajah gadis itu sembab dan pipipun bengkak. Berbeda dengan kepergian Puteri ES yang diketahui semua anak murid adalah Thio Leng dan sumoinya ini tak mau diketahui. Mereka lenyap setelah sehari sebelumnya melepas pesan-pesan, gadis baju merah itulah yang menerima. Dan ketika suasana Lembah menjadi muram dan penuh duka.
Maka Beng An dan kekasihnya telah jauh meninggalkan Lembah Es untuk memulai babakan sebuah kehidupan baru terutama bagi Puteri yang kini meninggalkan istananya itu, jauh dari pelayanan hamba sahaya dan kesenangan duniawi. Hal yang membuat Beng An kian terharu. Tapi sementara penghuni Lembah terisi kedukaan adalah dua muda-mudi ini melakukan perjalanan dengan bahagia!
Mula-mula Beng An merasa bingung. Di hari pertama meninggalkan Lembah Es maka yang menjadi pokok persoalan adalah makanan sehari-hari. Tak gampang bagi puteri ini untuk makan seadanya saja, sayur misalnya. Dan ketika siang itu Beng An memetik sayur dan merebusnya dengan garam dan sedikit bumbu-bumbu maka sang Puteri muntah!
"Maaf!" Beng An gugup. "Kau rupanya tak tahan untuk makan seperti ini, Ling-moi. Aku lupa bahwa selama ini makananmu terjamin dan serba enak. Ah, biar kucari seekor kelinci dan kita panggang!"
Beng An berkelebat dan tak lama kemudian datang lagi. Mereka masih berada di dalam hutan setelah semalam menyeberangi lautan. Atas petunjuk Puteri pemuda ini dapat menemukan daratan, jauh lebih cepat daripada dirinya sendiri. Dan ketika mereka tiba di hutan namun semuanya masih serbe es, Beng An tak tahu berada di mana maka sayuran sederhana yang tak dapat dimakan gedis itu membuat pemuda bingung mencari pengganti. Dan seekor kelinci gemuk telah berada di tangannya.
Akan tetapi sial, karena Beng An hanya membawa garam dan sedikit lemak beku maka kelinci itupun tak dapat diolah macam-macam. Beng An mengulitinya dan memanggangnya seperti gaya seorang padang pasir, serba sederhana dan tidak lengkap. Dan ketika sepotong paha itu dikunyah namun sang Puteri menghentikan gigitannya maka Beng An melihat betapa puteri itu mau muntah.
"Amis, kurang bersih, Beng An. Kau terburu-buru. Atau mungkin aku yang terbiasa dimanja!"'
"Hm, aku yang bodoh. Sayang tak kutemukan penduduk dusun di sekitar sini, moi-moi. Kalau ada tentu kuambilkan langsung dari mereka. Coba yang ini saja dan buang paha itu!"
Beng An memberikan hati dan jantung kelinci, membersihkannya lebih bersih tapi daging itu terasa kenyal, alot. Dan ketika sang puteri menarik napas dan menggigitnya gemas akhirnya benda itu memasuki mulutnya tapi Beng An merah padam melihat pelayanannya kurang memuaskan. Dia sendiri jadi tak tertarik kepada sepotong paha lain dan membuang itu, jengkel. Dan ketika sang Puteri terkejut tapi tertawa maka gadis itu berkata agar Beng An tak usah gusar.
"Sudahlah, rupanya perutku belum terbiasa dengan cara hidupmu. Kau sudah biasa berkelana, makan dan minum seadanya. Biarlah aku. berlatih tak memanjakan perutku, Beng An. Betapapun aku sekarang juga bukan seorang puteri!"
"Hm-hm, nanti dulu. Kalau ada ibuku atau enciku di sini tentu dapat kuhidangkan yang lebih baik, Mol-moi. Sayang bahwa dulu aku enggan mempelajari resep memasak ibuku!"
"Aku akan terbiasa, sudahlah." dan ketika gadis itu bangkit mencari air minum.
Maka Beng An sadar bahwa dia belum menyiapkan itu, meloncat dan buru-buru mencari itu dan dengan tergesa dia membawa sehelai daun talas. Dengan inilah dia menampung air jernih. Tapi ketika sang Puteri berkerut kening memandang daun itu, melihat seekor semut hitam maka hampir ia muntah namun diterima dan diteguknya air itu. Dan Beng An segera melihat semut ini.
"Kurang ajar!" bentaknya. "Berani benar kau mengotori daun ini!"
Beng An memijat dan semut itu mati. Sang Puteri tersenyum dan Beng An serba salah. Dia sadar bahwa sang Puteri terbiasa hidup yang bersih-bersih. Di istananya semua cawan dan gelas minun tentu terbilas baik, sekarang masih harus minum dari setangkai daun talas tapi bersemut! Maka ketika Beng An semakin hati-hati dan memberikan makanan atau minuman secara seksama akhirnya Beng An melihat bahwa dia dan sang Puteri tak memiliki pakaian lain kecuali yang menempel di tubuh mereka....!
Terjadilah pemandangan yang mengasyikkan bagi dua pembantu ini. Puteri Es maupun Beng An tiba-tiba terbelalak, tak dapat disembunyikan lagi pandang mata Beng An penuh kemesraan dan kekaguman. Sudah lama pemuda in memang merasa jatuh cinta. Wajah itu kini dapat dilihat sebebas-bebasnya tanpa penutup lagi, cuping hidung yang kembang-kempis bagai hidung kelinci yang ketakutan atau sepasang mata yang bak bintang kejora dan terbelalak tidak berkedip itu. Dan ketika Beng An merasa kagum akan mulut yang indah dengan bibir merah basah itu, mulut yang segar bagai tomat masak maka Beng An tak dapat menahan diri lagi dan memuji dengan decak nyaring.
"Betapa cantiknya!"
Puteri Es terkejut. Dia juga terkesima memandang pemuda ini. Jantungnya berdegup teringat betapa dia membuka kancing baju itu, menempelkan tangan di dada Beng An dan betapa wajah serta pribadi pemuda ini menggetarkan sukmanya. Tapi begitu Beng An memujinya dan kebiasaannya yang dingin muncul lagi, wajahnya memerah dan berkelebat tiba-tiba ia membentak dan pipi Beng An ditampar.
"Di Lembah Es tak boleh ada orang kurang ajar... plak!"
Beng An terpelanting. Pemuda ini jatuh terduduk, tidak mengeluh atau mengaduh melainkan semakin terbelalak memandang wajah jelita itu. Hanya Beng An yang tahu betapa tamparan itu, meskipun keras, tidak menyakitkan. Sang Puteri tidak mempergunakan tenaganya alias menipu dua pembantunya itu, mereka mengira Beng An kesakitan oleh tamparan kuat, terisi sinkang misalnya. Maka ketika dua orang itu berseru kaget dan justeru meloncat membangunkan Beng An, menlong maka tiba-tiba pemuda itu tertawa bergelak.
"Thio-cici, Wan-cici, terima kasih. Aku tak apa-apa. Pukulan Sang Puteri malah membuat aku merasakan betapa lunaknya jari-jari tangan itu. Mundurlah, aku tak apa-apa!"
Sang Puteri memerah. Memang ia tidak mengerahkan tenaga ketika melakukan tamparan tadi. Entahlah, mata Beng An begitu menggetarkannya. Suara nyaring dari tamparan itu hanyalah suara luar ketika telapaknya bertemu pipi Beng An, tidak membekas apa-apa seperti seorang ibu menepuk seekor nyamuk di pipi anaknya. Sang anak tak akan kesakitan. Maka ketika hanya Beng An yang tahu sementara dua gadis itu terbelalak memandang Beng An, menganggap pemuda itu tidak waras maka bentakan Sang Puteri membuat mereka terkejut dan memutar tubuh.
“Thio-ci Wan-cici, masukkan pemuda ini di ruang bawah tanah. Otaknya miring. Jaga dia baik-baik dan beri makan minum secukupnya!"
Sang Puteri berkelebat. la menyuruh dua pembantunya memasukkan Beng An di ruang bawah tanah dan tentu saja kaget. Tapi ketika Beng An tertawa geli dan mengangguk-angguk maka lebih aneh lagi pemuda ini menyodorkan lengan.
"Benar, masukkan aku ke penjara itu, Thio-cici, dan beri aku makan minum. Ha-ha, kebetulan aku memang lapar!"
Dua gadis itu saling pandang. Mereka tiba-tiba ragu kepada pemuda yang gagah ini. Terguncangkah otak pemuda itu oleh luka dalam yang baru diderita? Ataukah pengobatan mereka tadi melampuai batas, Beng An tak kuat lalu otaknya terganggu? Dan karena pemuda itu juga mengulurkan lengannya siap diikat maka tak pelak lagi dua gadis ini menjadi iba namun keharuan tiba-tiba timbul.
"Kim-kongcu, kau rupanya belum sehat seluruhnya. Otakmu terganggu. Baiklah kami bawa ke ruanganmu tapi tak usah di ikat. Kami akan menjagamu baik-baik."
Beng An terkekeh. la melihat sebelum pergi betapa pandang mata Puteri Es tersirat jengah, bukan marah melainkan jengah. Dan karena bekas tamparan tadi juga tidak meninggalkan rasa sakit, jelas sang Puteri tidak bersungguh-sungguh maka Beng An merasa kebetulan kalau kini dimasukkan penjara bawah tanah. la dapat merasa bahwa Sang Puteri harus melindungi muka, menjaga harga điri dan tak boleh bebas di depan orang lain, meskipun itu adalah dua pembantunya sendiri.
Dan karena ia merasa pandang mata Sang Puteri begitu gugup, jantungnya bergetar dan menunjukkan bahwa perasaannya bersambut maka Beng An telah merancang bahwa ia akan datang dan menemui Puteri itu, berdua! Ia akan mencari kesempatan dan mudah baginya melakukan hal itu. Dengan ilmunya yang hebat Pek-sian-sut ia mampu memasuki kamar sang puteri itu, tak mungkin diketahui Thio Leng maupun Sui Keng.
Maka ketika ia tersenyum-senyum dan dua gadis ini semakin menggeleng-gelengkan kepala maka pemuda itu disangka miring otaknya dan masih menerima akibat dari bekas pukulan dedengkot Pulau Api. Mereka tentu saja tak tahu apa yang terjadi dan hanya pemuda itulah yang tahu, juga Puteri Es tentunya. Maka ketika Beng An dibawa ke ruang bawah tanah dan duduk di situ, menerima makan dan minum akhirnya dua gadis ini menarik nafas dalam karena Beng An benar-benar seperti orang tidak waras.
Betapa tidak, pemuda itu masih tertawa-tawa. Tingkahnyapun aneh karena sering duduk dan berdiri berulang-ulang. Hal ini karena sebenarnya Beng An tidak sabar untuk menemui Puteri Es, jantungnya sudah berdegup dan berdebaran tak keruan membayangkan apa yang terjadi nanti. Dia tak akan sembunyi-sembunyi lagi. Dia akan menyatakan cintanya! Dan ketika dua gadis itu masih menunggunya di luar, berjaga dan mungkin akan melayaninya ini-itu maka Beng An justeru merasa kikuk, tak bebas.
"Jiwi-cici, kalian tinggalkan saja aku. Perutku sudah kenyang. Terima kasih dan tak usah berdiri di situ!"
"Hm, kami menjagamu kalau ada sesuatu yang kau perlukan. Kami takut ada apa-apa denganmu, kongcu. Tak usah khawatir dan biar kami tetap di sini saja?"
"Ha-ha, kalian takut otakku semakin miring lagi? Wah, terlalu ini. Aku tak apa-apa, Cici Aku benar-benar merasa sembuh. Lihat, aku kenyang dan ingin tidur. Masa kalian harus mengawasi aku seperti anak kecil. Bagaimana kalau misalnya aku, eh... ingin kencing!"
Dua gadis itu semburat. Mereka tertegun dan heran lagi bahwa bicara pemuda ini begitu genah (baik), jelas tidak menunjukkan tanda-tanda miring otak dan mungkin rupanya benar-benar sembuh. Dan ketika Beng An memegang celananya hingga dua gadis itu cepat melengos, Beng An tertawa hingga dua gadis itu cepat pergi maka bebaslah pemuda ini di ruang tahanannya.
Tentu saja dia sengaja menggoda pura-pura ingin kencing. Tapi pemuda ini tak dapat melaksanakan maksudnya dengan segera. Hari masih cukup terang dan ditunggunya malam gelap. Waktu menunggu ini diisinya baik-baik, beristirahat dan duduk siulian (samadhi) hingga benaar-benar tenaganya pulih, apalagi setelah perutnya terisi. Dan ketika Beng An hampir tertawa namun menahan geli hatinya, di lubang kunci mengintai Thio Leng dan Sui Keng maka iapun- pura-pura tidur dan terdengar bisikan dua gadis itu bahwa dia rupanya sudah sehat.
"Aneh, apa yang terjadi dengan Kim-kongcu iní. Tadi suka tertawa dan senyum-senyum sekarang kelihatan tenang dan begitu gembira. Wajahnya berseri-seri!"
"Mungkin pertemuannya dengan Tocu tadi. Lihat, Tocu kitapun beristirahat dan tak mau diganggu di kamarnya, Leng-cici, berkali-kali minta agar kita mengawasi pemuda itu. Kim-kongcu dikhawatirkan miring otak!"
"Tapi sekarang rupanya tidak. la telah dapat berbicara dengan baik, Keng-moi, dan gerak-geriknyapun normal. Aneh kenapa tadi seperti orang tidak waras!"
"Akupun juga tak mengerti, tapi semua itu diawali dengan tamparan Tocu."
"Eh, benar!"
"Apanya yang benar?"
"Tamparan itu, lihat! Ada sesuatu yang mencurigakan, Keng-moi. Coba lihat pipi pemuda itu!"
"Aku tak melihat apa-apa..."
"Bodoh, itulah buktinya, Keng-moi! Kim-kongcu ini rupanya merasakan sesuatu yang lain dari sini. Dan benar, eh...hi-hik, mengerti aku. Kiranya ini!" dan ketika Thio Leng tertawa tapi menahan mulutnya, sang adik terbelalak dan memandang bingung maka gadis itu tentu saja bertanya apa yang dimaksud saudaranya ini, khawatir jangan-jangan seng cici inipun terpengaruh Beng An, tidek waras.
"Cici, kaupun mulai tidak normal. Ada apa terkekeh-kekeh. Apa yang kau lihat dan rasakan di sini!"
"Hi-hik, bodoh, kau bodoh. Eh, tidakkah kau lihat tak ada bekas tamparan di situ, Keng-moi. Bukankah berarti tamparan Tocu tak meninggalkan rasa sakit bagi pemuda itu. Dan kita menyangka sebaliknya. Ah, pantas pemuda itu tertawa-tawa. Kim-kongcu geli dan rupanya tahu!"
Sui Keng membelalakkan mata. Mula-mula memang belum jelas benar tapi setelah pikirannya bekerja maka gadis itupun terkejut. Dan ketika dia mengangguk dan tertawa mengerti, Beng An disangka lelap dalam tidurnya maka gadis itu menarik encinya meledakkan geli.
"Busyet, kita tertipu. Aih, ini kiranya, Leng-cici. Pantas kalau begitu, hi-hik...tahu aku!" dan keduanya yang berkelebat pergi dengan tertawa-tawa lalu membuat Beng An tersipu merah namun diam-diam memuji dua pembantu Puteri Es itu cerdik. Meskipun baru tahu belakangan akan tetapi rahasia itu terbuka juga.
Puteri mereka melakukan tamnparan semu. Dan ketika Beng An menyeringai dan tertawa juga, merah maka malam itu ia tak dijaga dan ini membuat Beng An bebas. Ia telah mendengar Puteri sendirian di kamar, bagus. Tak sukar beginya menemui Puteri itu. Dan ketika Beng An berkelebat mengeluarkan Pek-sian-sut nya maka bagai siluman pemuda ini lenyap terganti sosok tipis asap putih yang melucur lewat tembok.
Melalui pintu atau tidak sama saja. Pek-sian-sut adalah ilmu roh yang membuat pemuda itu mampu menembus segala benda-benda kasar, dinding atau baja setebal apapun. Maka ketika ia bergerak dan lenyap dari kamar itu Beng Anpun melewati berbagai ruangan dengan mudah untuk akhirnya tiba di kamar sang Puteri.
Beng An tertegun. Sesampai di pintu tiba-tiba ia mendengar suara tangis perlahan saja dan hatipun tergerak. Suara siapa lagi itu kalau bukan sang Puteri! Dan ketika ia masuk dan berada di dalam kamar maka benar seja Puterj Es duduk di meja menopangkan dagu menghadapi sebuah gembar yang bukan lain dirinya! Beng An terkejut. Tak diduganya sama sekali bahwa Puteri Es menggambar wajahnya begitu cermat dan tepat. Wajah dirinya terlihat jelas di situ, gagah dan tampan dan Beng An kagum.
Kalau bukan seorang ahli lukis tak mungkin gambar itu dapat dibuat sedemikian persis. Pit dan tinta hitam. itu masih di tangan,basah. Dan ketika Beng An menarik napas dalam dan melepaskan Pek-sian-sut nya, muncul dan membuat gerakan maka Puterl Es terkejut dan kontan membalikkan tubuh.
"Kau?!"
Beng An mengangguk. Pit di tangan kanan itu gemetar namun sang Puteri tiba-tiba membuang gambar di atas meja itu, tepat mengenai tinta dan tergulinglah botol itu mengeluarkan isinya. (Gambar seketika menjadi basah, hitam). Dan ketika Beng An terkejut namun berseru keras, menyambar dan menyelamatkan sisa gambar maka sang Puteri membentak dan menerjangnya.
"Kim Beng An, ada apa kau memasuki kamar seorang wanita. Pergilah, keparat!"
Beng An mengelak. "Tunggu," serunya. "Jangan ribut dan gaduh di kamar ini, Puteri. Aku datang tanpa diketahui siapapun. Tahan dan jangan biarkan para pembantumu tahu!"
"Kau!" sang Puteri berapi-api menahan serangan, merah padam. "Berani kau bicara seperti itu? Berani kau... merampas milikku? Keparat kembalikan itu, Beng An. Jangan bersikap tak tahu malu atau aku membunuhmu!"
"Hm," Beng An tersenyum getir, menarik napas lagi. "Agaknya tak perlu ada yang perlu disembunyikan lagi di antara kita, Puteri. Aku datang untuk membuat pernyataan. Aku tidak bermaksud membuat ribut. Dengarlah dan bolehkah aku bicara?"
Sang Puteri menggigil. Melihat Beng An masih membawa lukisannya itu maka sang Puteri merah padam, Ia hendak bergerak akan tetapi Beng An mendahului, menyimpan dan menyembunyikan lukisan itu di dalam bajunya, tak perduli betapa bajupun menjadi kotor oleh tinta. Dan ketika Puteri itu melotot namun Beng An tenang-tenang saja, tersenyum dan senyumnya membuat sang Puteri gelisah maka pemuda itu membungkuk menjura hormat.
"Maaf, Puteri, aku ingin mulai bicara. Bolehkah?"
"Hm, kau mau bicara apa!" sang Puteri mengepalkan tinju. Kalau mau bicara tak usah berbelit-belit, Beng An, dan kembalikan barang milikku itu!"
"Mudah," Beng An tersenyum lebar. "Aku ingin menyatakan sesuatu, Puteri dan kalau kau siap mendengarnya apapun kuberikan."
"Tak usah banyak cakap, cepatlah!"
Bentakan ini tak membuat Beng An keder. Dia bahkan melangkah maju dan Puteripun mundur. Mata indah yang terbelalak itu melebar, seperti takut akan tetapi juga marah. Dan ketika Beng An berhenti dan sang Puteri juga berhenti maka Beng An tersenyum melihat Puteri telah mepet tembok, tak sadar.
"Pertama aku ingin mengucapkan terima kasih," Beng An berkata. "Sedangkan yang kedua adalah...."
"Hanya itu?" Sang Puteri membentak. "Keparat, untuk ini tak perlu kau memasuki kamarku, Beng An. Tak perlu bersikap seperti ini. Kau kurang ajar!"
"Nanti dulu, jangan memotong," Beng An bergerak maju, tiba-tiba menyambar lengan Puteri itu. "Kedua adalah yang terpenting, puteri. Yakni aku mencintaimu!"
Bukan main kagetnya sang Puteri. Ia tertangkap dan tak dapat mundur, berteriak karena membentur tembok. Dan ketika saat itu Beng An selesai mengucapkan kata-katanya maka Puteri Es terbelalak dan aneh sekali mata yang indah itu terpejam. Pandang mata Beng An yang demikian tajam dan sungguh-sungguh tak dapat dilawannya. Beng An memandangnya dengar sinar mata mesra. la begitu mesra dan lembut hingga jantung sang Puteri seakan tertusuk. Pandangan itu menembus jantungnya. Tapi ketika Beng An mempererat cekalannya dan Puteri sadar tiba-tiba gadis itu memberontek dan melepaskan tendangan ke perut Beng An.
"Lepaskan aku!"
Beng An terlempar. Tidak seperti ketika melakukan tamparan adalah kali ini gadis itu bersungguh-sungguh. la terguncang dan tíba-tiba menjadi marah. Rasa malu membuatnya panik. Pernyataan pertama dari seorang pemuda itu membuatnya tak keruan, sang Puteri merah padam dan menggigil. Tapi ketika ia merasa bahwa jari-jarinya digenggam Beng An dan betapa pemuda itu hendak menariknya ke depan mendadak gadis ini melepaskan diri dan perut Beng An yang menjadi sasaran membuat pemuda itu terlempar dan terbanting.
"Dess!" Beng An menggeliat. Untung bahwa sinkangnya bekerja otomatis, kalau tidak tentu isi. perutnya hancur. Tapi karena tendangan itu amatlah hebat dan betapapun ia merasa melilit, Beng An tak segera bangun maka Puteri Es berseru tertahan dan pucat melihat pemuda itu roboh lagi.
"Bunuhlah," Beng An tiba-tiba berseru, lirih. "Kau bunuhpun aku tetap menyatakan cintaku, Wei Ling. Tak ada orang yang dapat menghalangiku biar dewa atau iblis sekalipun!"
"Kau...?" Puteri ini menggigil. "Kau...kau tak apa-apa!'
Beng An melengak. "Apa?"
"Kau... tendanganku tidak terlalu kuat? Kau tak sakit?"
Beng An tiba-tiba tertawa geli. Perut yang melilit seketika lenyap, Beng An bangun dan berseri-seri memandang gadis itu. Puteri Es tampak khawatir, gelisah akan keselamatannya. Dan ketika Beng An maklum apa artinya ini maka iapun melangkah maju dan berseru, "Ah, perasaanmu menyambut hatiku, Wei Ling. Kau menyambut cintaku. Terima kasih!" tapi ketika Puteri berkelit dan membentak marah tiba-tiba Puteri itu menyerang lagi dan menendang tiga kali berturut-turut.
"Beng An, kau penipu. Kau mempermainkan aku. Keparat!"
Beng An terkejut. la tak menduga kemarahan ini dan menerima tendangan lagi, mencelat dan terlempar menabrak dinding. Dan ketika ia mengeluh bergulingan menjauh, sang Puteri benar-benar marah maka pemuda itu berkelit sana-sini ketika mendapat pukulan dan tendangan. Namun Beng An tak melawan. Pemuda ini, setelah berteriak dan menghindar sana-sini akhirnya menyerah dan memberikan tubuhnya. Suara bak-bik-buk pukulan membuat pèmuda itu babak-belur. Dan ketika sang Puteri mencabut pedang dan Beng An pucat maka bertiup angin dingin dan sesosok bayangan langsing berseru perlahan.
"Bagus, bunuhlah pemuda itu, Wei Ling. Tunjukkan padanya bahwa penghuni Lembah Es tak akan jatuh cinta kepada siapapun!"
Gadis itu terkejut bukan main. We We Moli, bibi gurunya muncul bagai iblis. Beng An meloncat bangun dan pucat, terhuyung, la tak tahu siapa wanita ini namun pengaruh dan wibawanya mendirikan bulu roma. Puteri Es yang dingin rasanya masih lebih dingin lagi, Beng An mengkirik. Namun ketika pedang itu dijatuhkan dan gadis ini berlutut maka Beng An tertegun.
"Supek-bo, pemuda ini, dia..... dia!"
"Aku tahu. Dia mengganggumu Wei Ling, karena itu bunuh dan lenyapkan dia. Ambil pedangmu!"
"Tidak, dia.. dia...!"
"Apalagi?" pedang melayang dan tiba-tiba disambar wanita ini. "Kau betul, Wei Ling, pemuda ini mengacau perasaanmu. Terimalah dan bunuh dia!"
Pedang bergerak dan menyambar gadis itu. Wei Ling, Puteri Es menangkap dan menerima. Tapi ketika dia mengguguk dan menggelengkan kepala maka dia meletakkan pedang tersedu-sedu berseru, "Aku... aku tak sanggup, supek-bo. Aku tak dapat membunuhnya!"
"Hm, karena kepandaiannya amat tinggi?"
"Tidak, bukan itu. Dia... dia....!"
Wanita ini berkelebat dan tiba-tiba menyambar Beng An. Pemuda yang sejak tadi tertegun dan membelalakkan mata itu tiba-tiba berseru kaget. Cepat dan kuat tahu-tahu lehernya dicengkeram. Dan ketika Beng An tak dapat melepaskan diri dan terkejut bukan main maka iapun dilempar ke arah Puteri Es dalam keadaan tertotok. Bukan main hebatnya wanita itu.
"Wei Ling, sekarang aku sudah melumpuhkannya. Ambil pedang itu dan bunuh dia!"
Gadis ini mengguguk. Beng An yang dilempar dan jatuh di dekatnya dipandang dengan air mata bercucuran, sejenak pandang matanya membuat Beng An tergetar. Mata itu sayu dan redup! Dan ketika gadis ini menggeleng dan Beng An kaget oleh kelihaian wanita riap-riapan itu maka Wei Ling berseru tak mengangkat pedangnya.
"Supek-bo, aku... aku benar-benar tak sanggup. Dia... dia tak dapat kubunuh!"
"Hm, bukankah kau telah mencabut pedangmu? Bukankah kau telah menghajarnya? Jangan main-main, di depanku kau harus bersungguh-sungguh, Wei Ling. Bunuh pemuda ini atau kau menerima hukuman!"
"Aku... aku menerima hukuman...!"
"Apa...!"
"Benar, aku tak sanggup membunuhnya, supek-bo. Aku... aku tak dapat melakukannya!"
Beng An berdesir dan kaget serta girang. Mata gadis itu memandangnya sayu dan segala kebengisan yang tadi tampak sekarang hilang musnah. Dari pandang mata itu bahkan memancar sinar mesra! Dan ketika Beng An terbelalak dan masih lumpuh maka wanita yang ternyata bibi guru gadis itu berkelebat dan kini menyambar tengkuk Wei Ling, suaranya dingin dan menyeramkan ketika berkata,
"Wei Ling, kau mencintai pemuda ini ? Kau berani melanggar perintahku?"
Gadis itu tersedu-sedu, tak menjawab.
"Bagus, kalau begitu kau harus menerima hukuman, Wei Ling, minggat dari Lembah Es atau kubunuh!"
"Aku memilih yang kedua. Aku tak dapat meninggalkan tempat ini, supek-bo. Aku ingin mati di tanganmu!"
"Kalau begitu terimalah kematianmu!" tapi ketika tangan wanita itu bergerak dan siap menghantam kepala gadis ini mendadak berkelebat bayangan Thio Leng dan Sui Keng.
"Supek-bo, tahan...des-dess!" gadis itu menangkis pukulan We We Moli dan mereka mencelat bergulingan. We We mo-li terkejut dan Beng An serta Puteri Es juga terkejut.
Beng An berseru keras melihat gerakan tangan wanita itu, tahu bahaya mengancam Wei Ling tapi tak dapat berbuat apa-apa. Dia lumpuh tertotok. Tapi ketika dua gadis itu datang menolong dan mereka sudah bergulingan meloncat bangun, menggigil maka keduanya berlutut dan bersiap-siap di belakang junjungannya ini.
"Supek-bo, atas nama seluruh penghuni lembah ampunkanlah Tocu. la tak bersalah. Kami yang membawa pemuda itu dan kamilah yang bertanggung jawab!"
"Hm, apa maksudmu?"
"Kami yang menyelamatkan pemuda ini dari pukulan orang-orang Pulau Api, supek-bo, dan kami yang membawanya kepada Puteri. Kalau terjadi hal-hal lain yang menjadi akibat sampingan dari hadirnya pemuda ini maka itu berawal dari kami. Kamilah yang bersalah, kami yang patut menerima hukuman!"
"Benar," bayangan-bayangan lain berkelebat. "Kami yang bersalah dan menjadi sebabnya, supek-bo. Kalau kau hendak menghukum maka kamilah orangnya!"
We We Moli terbelalak dan melebarkan mata. Yo-siocia, dan lain-lain tiba-tiba bermunculan satu persatu. Kamar itu menjadi penuh sementara di luar masih tampak murid-murid yang lain. Dan ketika sekejap kemudian tempat itu penuh orang, tangis dan isak gentar membayang di wajah-wajah yang pucat maka seluruh penghuni rupanya telah berkumpul di situ dan Beng An serta Puteri Es terkejut. Ini lagi-lagi di luar dugaan mereka.
"Hm bagus. Kalau begitu pilih satu di antara dua. Kau mampus atau meninggalkan tempat ini secepat mungkin, Thio Leng. Sekarang atau aku habis sabar!"
"Tidak! Puteri Es berseru, "Yang bersalah adalah aku, supek-bo. Ini persoalanku dengan pemuda itu bukan mereka dengannya. Thio Leng dan lain-lain tak ada sangkut-pautnya!"
"Hm maksudmu ini adalah persoalan hati antara kau dan pemuda itu? Maksudmu bahwa kau tak dapat melaksanakan perintahku karena kau mencintainya?"
"Aku.... aku tak tahu..."
"Bohong! Kau mencintainya, Wei Ling. Kau jatuh hati. Kau telah melanggar larangan Lembah Es dan merupakan pelanggaran berat!"
"Aku siap dihukum," gadis itu tersedu-sedu. "Aku tak ingin bicara tentang ini supek-bo. Aku memilih kematian dan siaplah menurunkannya!"
"Tidak!" dua pembantunya berseru. "Kami yang bersalah, Tocu, kami yang menjadi gara-gara. Kalau dulu kami tak menerima pemuda ini dan tak mempertemukannya denganmu tentu tak akan ada kejadian ini. Kami yang patut dibunuh dan kau bebas!"
"Dan kami mengikuti jejak Thio-cici," Yo Lin berseru dan mengguguk pula." Mati satu mati semua, Thio-cici, ingat perjanjian kita di awal pembicaraan!"
We We Moli terbelalak. Wanita ini melengking lirih ketika hampir serentak semua murid mendukung pernyataan gadis baju merah itu. Membunuh Thio Leng berarti harus membunuh semuanya pula. Tak mungkin ini! Dan ketika wanita itu Mengibaskan lengan dan dua gadis itu mencelat maka We We Moli telah menyambar gadis berpakaian serba putih itu.
"Wei Ling, kau merusak tatanan Lembah Es. Kalau begitu kau harus pergi!"
Gadis itu menjerit. Gerakan wanita i-ni membuatnya terlempar dan mencelat jauh, langsung melampaui kepala anak-anak murid dan mereka yang melihat berteriak kaget. Demikian jauh gadis itu terlempar hingga melewati jurang dan bukit-bukit, langsung keluar dari Lembah Es! Dan ketika semua menjerit dan Thio Leng maupun Sui Keng berseru tertahan maka Beng An disambar wanita itu dan membuat yang lain terkesiap.
"Dan kau adalah biang gara-gara. Mampus atau susul kekasihmu bocah. Dan jangan kembali lagi ke sini!"
Thio Leng dan sumoinya terbelalak pucat. Tadinya mereka hendak menerjang dan melindungi Beng An kalau pemuda itu dipukul. Tapi ketika pemuda itu hanya dikibas dan melayang jauh, menyusul Puteri Es maka Beng An pun melewati kepala anak-anak murid dan untuk kedua kali mereka itu berteriak memanggil namanya, satu di antaranya adalah Hwa Seng.
"Kim-kongcu...!"
Beng An tak mendengar lagi karena telinga tertutup oleh desau angin yang amat keras. Begitu hebatnya lemparan itu hingga ia seakan ditiup mulut raksasa, bagaikan benda kecil yang ringkih dan amat lemah. Dan ketika bukit dan jurang-jurang dilewati dengan amat cepat di bawah kakinya, Beng An mengeluh dan tak dapat berbuat apa-apa maka pemuda itu terus keluar dari Lembah Es dan berdebuk jauh di perbatasan.
Penghuni Lembah berhamburan. Yang pertama kali meloncat adalah Thio Leng, lalu Sui Keng dan disusul Yo-siocia dan lain-lain. Ratusan anak murid menyambar bagai walet-walet hitam. Malam hanya diterangi bulan dan bintang-bintang. Dan ketika mereka itu berteriak dan mengejar Beng An maka di sana pemuda itu mengeluh dan terbanting dengan amat keras. Kalau bukan Beng An yang mengalami tentu remuk tubuhnya, paling tidak patah kaki atau tangannya. Dan karena, pemuda itu masih tertotok dan tak mampu membebaskan diri maka Wei Ling muncul dan tersedu menghampiri pemuda itu, membebaskan totokan.
"Kongcu, kita telah menerima hukuman supek-bo. Pergilah dan jangan ke sini lagi."
Beng An terhuyung, melompat bangun. Tiba-tiba ia menjadi begitu terharu akan semua yang menimpa gadis itu. Puteri Es adalah tokoh terhormat tapi kini diusir mentah-mentah. Ini gara-gara dia. Maka ketika totokan dibuka dan ia dapat bergerak lagi, gadis itu memutar tubuh maka Beng An menangkap dan memanggilnya menggigil,
"Wei Ling, tunggu dulu...."
Gadis itu mengelak. la tersedu-sedu menghindari tangkapan Beng An hingga pemuda itu mengenai angin kosong. Tapi karena Beng An terus mengejar dan tak mau sudah, punggung baju itu akhirnya tertangkap maka Beng An berseru agar gadis itu tak meninggalkannya.
"Ling-moi, tunggu. Aku mencintaimu. Berhenti dan dengar kata-kataku atau kau boleh membunuhku!"
Wei Ling atau gadis ini menutupi muka. la tak memberontak lagi ketika ditangkap, bahkan ketika dipelukpun ia tak melawan. Dan ketika Beng An menggigil dan mendekap tubuh itu, haru dan penuh kasih sayang maka pemuda ini gemetar bicara,
"Ling-moi, kita berdua telah sama-sama diusir dari Lembah Es. Tapi kau paling berat. Biarlah aku melindungimu dan jiwa raga ini untukmu!"
Gadis itu tersedu-sedu. Sikapnya yang dingin dan keras tak tampak lagi di sini, hancur, luluh oleh cinta. Dan ketika Beng An mendekapnya penuh kasih sayang dan mengelus-elus rambutnya maka pemuda itupun basah air mata oleh keharuan yang dalam. Tak ada kata-kata lagi yang keluar dari mulut pemuda ini namun getar dan cintanya tertangkap jelas. Jari-jari Beng An yang menggigil dan mengusap rambut itu menyatakan segalanya. Dan ketika Puteri itu mengguguk dan membenamkan mukanya di dada Beng An maka pemuda ini menangis penuh bahagia.
"Ling-moi, kau... kau menerima cintaku, bukan? Kau tak akan menyalahkan aku, bukan? Semuanya mungkin kesalahanku, Ling-moi, tapi aku tak dapat melupakanmu sejak berpisah di Lembah Es. Aku seperti orang linglung, aku tak enak makan dan tidur.”
Gadis itu tak menjawab masih tersedu-sedu. Tapi ketika lengannya balas memeluk pinggang Beng An dan betapa lengan itu gemetar dan seperti kelinci ketakutan maka Beng An menyambar lengan ini dan membawanya ke hidung. Lalu begitu dia mencium dan sang Puteri menangis maka Beng An tak tahan menengadahkan wajah itu menghadap kepadanya. Dan betapa cantik serta mengharukannya wajah itu. Beng An terpesona.
"Ling-moi, kau mencintaiku, bukan?" dia bertanya, mata itu terpejam. "Kalau benar jawablah, Ling-moi, agar aku tak ragu!"
"Kau sudah tahu lebih dari itu. Aku tak perlu menjawabnya, Kim-kongcu. Kau tahu apa yang ada di hatiku!"
"Apa? Kau memanggilku kongcu (tuan muda)? Terlalu, kita sekarang satu, moi-moi, bukan orang lain. Jawablah pertanyaanku dan diamlah kalau benar."
Puteri Es membuka mata dan heran. la tak tahu apa maksud Beng An ketika tiba-tiba pemuda itu mencium bibirnya. Sentuhan halus lunak ini bagai aliran listrik yang mengejutkannya. la diminta membuktikan cintanya dengan diam kalau dicium. Dan ketika ia tersentak namun diam saja, Beng An segera melumat bibir itu maka sang Puteri pun mengeluh dan terbang ke langit bahagia, tersedu dan menyambut Beng An dan alangkah girangnya hati pemuda ini. Beng An melumat dan mencium lagi penuh mesra, sang Puteri menggigil dan roboh. Lemas! Tapi ketika Beng An menahan dan gadis itu menyembunyikan muka maka mereka tak sadar bahwa Thio Leng dan kawan-kawan sudah ada di situ, muncul.
"Kim-kongcu...!"
"Tocu...!"
Dua muda-mudi ini kaget. Mereka tahu-tahu melihat betapa semua anak murid sudah berlutut di situ, melirik dan tersenyum-senyum memandang mereka. Dan ketika keduanya seketika menjadi merah dan malu maka Puteri Es melepaskan diri dan merenggut tubuhnya dari Beng An.
"Thio-cici, ada apa kalian ke sini!"
"Maaf," gadis itu tersenyum dan mengusap air matanya, haru. "Kami ingin mengucapkan selamat jalan, Tocu. Dan...dan harap Kim-kongcu melindungimu baik-baik!"
"Benar, dan mungkin kami juga akan menyusul. Berangkat dan pergilah lebih dulu, Tocu. Kami akan mengikutimu dan jumpa lagi di daratan besar!"
Puteri Es terkejut. Dua pembantunya tiba-tiba bangkit dan memeluknya. Thio Leng yang semula dapat menahan air mata tiba-tiba tak dapat menguasai diri lagi, gadis itu tersedu-sedu. Dan ketika Sui Keng juga mengguguk dan meledak dalam tangis maka semua yang tadinya bahagia melihat adegan Puteri mereka mendadak tunduk dan menangis pula.
"Tocu, jagalah diri baik-baik. Kami tak akan lama pula di Lembah. Kami akan pergi dan menyusulmu. Yo-sumoi yang akan mengatur tempat ini."
"Benar, dan pergi serta doa kami untukmu, Tocu. Kim-kongcu pemuda yang tepat untukmu dan kami percaya. Mungkin kami akan berkunjung ke rumahnya!"
Sang Puteri pun tak dapat menahan diri. Akhirnya dia menangis dan berangkulan dengan pembantunya ini, yang lain menambahi dan suasanapun menjadi berisik. Bulan dan bintang gemintang meredup sayu, rupanya merekapun dapat terharu oleh kejadian di muka bumi ini. Namun setelah Thio Leng melepaskan diri dan mampu menguasai keadaan maka gadis itulah yang lebih dulu menyadarkan semuanya, mundur dan membungkuk.
"Sudahlah, pergi dan berangkatlah, Tocu. Kami mengiringimu dengan doa seluruh penghuni. Selamat jalan dan mudah-mudahan kita bertemu lagi."
Beng An terharu melihat ini. Ia merasakan betapa besar cinta kasih murid-murid Lembah kepada Puterinya. Namun karena Puteri telah diusir dan ini semua gara-gara dia maka Beng An berkata di depan dua gadis itu. "Thio-cici, Wan-cici, maafkan aku. Semua ini gara-gara aku. Kalau aku tidak datang dan mengganggu kalian tak mungkin akan terjadi semuanya ini. Aku berjanji dan bersumpah menjaga Puteri kalian dan jiwa serta darahku kusiapkan untuknya!"
"Kami percaya!" gadis itu tersenyum. "Kodrat rupanya harus memutar roda kehidupan kami, kongcu. Semuanya telah terjadi dan kami tak perlu menyesal. Justeru kami bangga, kau satu-satunya pemuda yang tepat untuk menjadi jodoh Puteri. Pergilah dan selamat jalan!"
Salju tiba-tiba turun. Hawa udara yang dingin tiba-tiba bertiup, menerpa dan membuat orang menggigil namun anak-anak murid sudah mengerahkan sin-kang. Mereka cepat menghangatkan tubuh begitu serangan datang. Dan ketika Thio Leng mundur dan membungkuk sekali lagi, para murid berdiri dan memandang sedih maka seseorang tiba-tiba meloncat dan berseru,
"Kim-kongcu , selamat jalan dan hati-hati. Aku pribadi mohon agar jagalah Puteri seperti dulu kau menjaga dan melindungi aku!"
Kiranya Hwa Seng. Gadis itu, yang mengguguk dan tak dapat menahan tangisnya tiba-tiba berlutut di kaki Beng An dan Puteri Es, mencium dan memeluk kaki majikannya penuh haru. Dan ketika Puteri Es tertegun dan melihat sebelah telinga gadis itu yang buntung maka Puteri mengangkatnya bangun dan memeluk.
"Hwa Seng, kau adalah pelayan dan murid Lembah Es yang setia. Aku menyesal memperlakukanmu sekejam itu. Biarlah ini kutinggalkan untukmu dan kenanglah aku seperti biasa!" Sang Puteri melepaskan tusuk rambut bermata giok, menancapkan itu di rambut pelayannya dan tentu saja gadis ini semakin tersedu-sedu. Kehormatan besar baginya menerima langsung hadiah itu. Maka ketika ia menjatuhkan diri berlutut namun sang Puteri mengangkatnya bangun, mencium pipinya maka pelayan ini semakin melambung saja oleh cinta kasih dan keharuan yang dalam.
"Hwa Seng, berkat kaulah aku bertemu Kim-kongcu. Selamat tinggal dan jaga baik-baik tempat kita."
"Hm, nanti dulu," Beng An menahan dan memegang pundak gadis itu."
Puterimu telah memberikan tanda matanya biarlah aku juga, Hwa Seng. Hanya aku tak memiliki benda berharga, kecuali ini. Simpanlah dan siapa tahu ada gunanya. Pemuda itu melepaskan kancing bajunya dan Puteri Es merah. la teringat ketika membuka baju pemuda ini sewaktu mengobati Beng An, Semburat namur melirik tersenyum. Dan ketika Hwa Seng menerimanya dan mencium benda itu, menyimpannya baik-baik maka Beng An menepuk gadis itu dan mengangguk.
"Sekarang cukup, selamat tinggal dan maafkan semua kesalahanku."
Meledaklah sedu-sedan lagi. Para murid yang semula diam dan dapat menahan tangis tiba-tiba tak mampu menahan diri lagi. Beng An melambai dan menggandeng puteri mereka. Lalu ketika sang Puteri juga melambai dan terisak ditahan, memutar tubuh maka dua orang itu berkelebat dan lenyap di kegelapan malam.
"Tocu...!"
"Tocu...!"
Sang Puteri menggigit bibir kuat-kuat. Murid-murid berteriak tapi gadis ini tak mau menoleh, hancur perasaannya oleh seruan itu. Dan ketika Thio Leng dan Sui Keng juga menahan tangis mereka, meledak dan akhirnya saling tubruk maka hujan air mata terjadi di perbatasan ini. Mereka hanya melihat dua bayangan hitam bergerak di tengah malam, menjauh dan akhirnya lenyap merupakan titik kecil yang tak mungkin terlihat lagi.
Dan ketika semua saling rangkul dan sedu-sedan terjadi sampai pagi maka murid-murid Lembah ternyata tak meninggalkan tempat itu sampai matahari terbit di timur. Mereka akhirnya terpaku dan memandang hamparan es dengan mata kosong. Daratan di seberang tampak hening, gumpalan es membeku dan tampaknya sedih ditinggal seseorang.
Namun setelah matahari cukup tinggi dan Thio Leng menggerakkan anak murid kembali maka mereka memutar tubuh dan isak tangis masih terdengar di sana-sini. Lembah Es kehilangan tokohnya dan wajahpun terasa muram. Keputusan yang telah dijatuhkan sesepuh mereka tak mungkin ditarik. Puteri telah diusir. Dan ketika untuk hari-hari berikut wajah Lembah ini semakin muram, apalagi setelah Thio Leng dan Sui Keng menyusul pergi maka Yo Lin yang menggantikan kedudukan selama berhari-hari menangis terus.
Wajah gadis itu sembab dan pipipun bengkak. Berbeda dengan kepergian Puteri ES yang diketahui semua anak murid adalah Thio Leng dan sumoinya ini tak mau diketahui. Mereka lenyap setelah sehari sebelumnya melepas pesan-pesan, gadis baju merah itulah yang menerima. Dan ketika suasana Lembah menjadi muram dan penuh duka.
Maka Beng An dan kekasihnya telah jauh meninggalkan Lembah Es untuk memulai babakan sebuah kehidupan baru terutama bagi Puteri yang kini meninggalkan istananya itu, jauh dari pelayanan hamba sahaya dan kesenangan duniawi. Hal yang membuat Beng An kian terharu. Tapi sementara penghuni Lembah terisi kedukaan adalah dua muda-mudi ini melakukan perjalanan dengan bahagia!
* * * * * * * *
Mula-mula Beng An merasa bingung. Di hari pertama meninggalkan Lembah Es maka yang menjadi pokok persoalan adalah makanan sehari-hari. Tak gampang bagi puteri ini untuk makan seadanya saja, sayur misalnya. Dan ketika siang itu Beng An memetik sayur dan merebusnya dengan garam dan sedikit bumbu-bumbu maka sang Puteri muntah!
"Maaf!" Beng An gugup. "Kau rupanya tak tahan untuk makan seperti ini, Ling-moi. Aku lupa bahwa selama ini makananmu terjamin dan serba enak. Ah, biar kucari seekor kelinci dan kita panggang!"
Beng An berkelebat dan tak lama kemudian datang lagi. Mereka masih berada di dalam hutan setelah semalam menyeberangi lautan. Atas petunjuk Puteri pemuda ini dapat menemukan daratan, jauh lebih cepat daripada dirinya sendiri. Dan ketika mereka tiba di hutan namun semuanya masih serbe es, Beng An tak tahu berada di mana maka sayuran sederhana yang tak dapat dimakan gedis itu membuat pemuda bingung mencari pengganti. Dan seekor kelinci gemuk telah berada di tangannya.
Akan tetapi sial, karena Beng An hanya membawa garam dan sedikit lemak beku maka kelinci itupun tak dapat diolah macam-macam. Beng An mengulitinya dan memanggangnya seperti gaya seorang padang pasir, serba sederhana dan tidak lengkap. Dan ketika sepotong paha itu dikunyah namun sang Puteri menghentikan gigitannya maka Beng An melihat betapa puteri itu mau muntah.
"Amis, kurang bersih, Beng An. Kau terburu-buru. Atau mungkin aku yang terbiasa dimanja!"'
"Hm, aku yang bodoh. Sayang tak kutemukan penduduk dusun di sekitar sini, moi-moi. Kalau ada tentu kuambilkan langsung dari mereka. Coba yang ini saja dan buang paha itu!"
Beng An memberikan hati dan jantung kelinci, membersihkannya lebih bersih tapi daging itu terasa kenyal, alot. Dan ketika sang puteri menarik napas dan menggigitnya gemas akhirnya benda itu memasuki mulutnya tapi Beng An merah padam melihat pelayanannya kurang memuaskan. Dia sendiri jadi tak tertarik kepada sepotong paha lain dan membuang itu, jengkel. Dan ketika sang Puteri terkejut tapi tertawa maka gadis itu berkata agar Beng An tak usah gusar.
"Sudahlah, rupanya perutku belum terbiasa dengan cara hidupmu. Kau sudah biasa berkelana, makan dan minum seadanya. Biarlah aku. berlatih tak memanjakan perutku, Beng An. Betapapun aku sekarang juga bukan seorang puteri!"
"Hm-hm, nanti dulu. Kalau ada ibuku atau enciku di sini tentu dapat kuhidangkan yang lebih baik, Mol-moi. Sayang bahwa dulu aku enggan mempelajari resep memasak ibuku!"
"Aku akan terbiasa, sudahlah." dan ketika gadis itu bangkit mencari air minum.
Maka Beng An sadar bahwa dia belum menyiapkan itu, meloncat dan buru-buru mencari itu dan dengan tergesa dia membawa sehelai daun talas. Dengan inilah dia menampung air jernih. Tapi ketika sang Puteri berkerut kening memandang daun itu, melihat seekor semut hitam maka hampir ia muntah namun diterima dan diteguknya air itu. Dan Beng An segera melihat semut ini.
"Kurang ajar!" bentaknya. "Berani benar kau mengotori daun ini!"
Beng An memijat dan semut itu mati. Sang Puteri tersenyum dan Beng An serba salah. Dia sadar bahwa sang Puteri terbiasa hidup yang bersih-bersih. Di istananya semua cawan dan gelas minun tentu terbilas baik, sekarang masih harus minum dari setangkai daun talas tapi bersemut! Maka ketika Beng An semakin hati-hati dan memberikan makanan atau minuman secara seksama akhirnya Beng An melihat bahwa dia dan sang Puteri tak memiliki pakaian lain kecuali yang menempel di tubuh mereka....!