Putri Es Jilid 20 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

"HA-HA, tambah satu lagi yang cantik. Eh, siapa kau, nona Hidungmu mancung. Kau bukan gadis Han asli!"

"Keparat!" Shintala membentak. "Aku seorang nyonya, kakek jahanam, bukan nona. Buka telinga dan matamu baik-baik dan kau rupanya kakek ceriwis..... plak-dess!" pukulan Shintala mengenai kakek itu namun membalik, mental dan membuat si nyonya terpekik.

Tapi Shintala menerjang lagi. Ia berkelebat mengeluarkan Ang-tiauw Gin-kang, terbang mengelilingi kakek itu sementara Wan-siocia dan Yo-siocia tak kalah sengit menyerang kakek ini. Namun ketika si kakek tertawa-tawa dan semua pukulan itu dikelit atau ditangkis, terpental dan membuat pemillknya menjerit maka enak saja kakek ini melayani tiga wanita lihai itu. Dan Shintala maupun Yo-siocia pucat.

"Siapa tua bangka ini, apa hubungannya dengan orang-orang Pulau Api!"

"Dia Hantu Putih, susiok Tan-pangcu. Awas, jangan terlampau dekat, siauw-hujin. Hati-hati dengan kuku jarinya...bret!"

Shintala membanting tubuh bergulingan ketika Yo-siocia berseru, memperingatkan dan hampir saja ia terlambat. Kakek itu menggerakkan kuku jarinya dan nyaris kuku itu mengenai pundaknya, baju robek dan tampaklah kulit pundak yang halus dari nyonya ini. Dan ketika Shintala bergulingan meloncat bangun sementara kakek itu kagum akan pundak si nyonya yang mulus maka kakek itu terkekeh-kekeh menyipratkan liurnya.

"Heh-heh, cantik... dan luar biasa, menyerahlah baik-baik, anak manis. Aku tak perduli kau nona atau nyonya. Heh-heh, kau mulus dan masih menggiurkan!"

Shintala merah padam. la hampir tergurat kuku kakek itu.namun yang lebih membuatnya marah adalah kekurangajaran kakek itu. Si kakek hendak mencengkeramnya dengan tingkah memuakkan. Dan ketika ia mencabut tongkat dan mainkan Sing-thian-sin-hoat, warisan kakeknya maka mengandalkan Ang-tiauw Gin-kang (Ginkang Rajawali Merah) ia menyelamatkan diri dari sambaran kuku-kuku kakek itu, berhasil dan si kakek diam-diam kagum.

Ang-tiauw Gin-kang adalah ilmu milik Thai Liong dan meskipun tidak sesempurna suaminya namun tubuh wanita ini beterbangan seperti rajawali betina. nyonya bergerak dengan amat cepat dan tongkatpun diputar menyerang dan menangkis. Tapi karena yang dihadapi adalah dedengkot Pulau Api dan betapapun kakek itu menang segalanya maka tongkat dan ilmu meringankan tubuh selalu dikejar dan hampir didahului.

Untunglah ada Yo-siocia dan encinya di situ, membantu dan menghantam kakek ini dari belakang hingga lawan terpaksa membatalkan serangan. Dan ketika si kakek mulai marah dikeroyok dari kiri kanan dan gemas tiga wanita itu demikian lincah mengelak sana-sini maka di sana Thio Leng sudah berhadapan. dengan Tan-pangcu dan masing-masing tanpa banyak cakap langsung bertanding hebat, sama-sama merah.

"Jahanam. berani kau datang lagi, Tan-pangcu, dan rupanya kali ini membawa bantuan lain. Keparat, mampuslah dan terima pukulanku...des-dess!"

Tan-pangcu mengelak dan menangkis dan keduanya bertanding seru. Seperti dulu, ketua Pulau Api ini juga mendengus dan membentak marah. la menanyakan di mana Puteri Es namun Thio Leng menjawabnya dengan Bu-kek-kang. Pukulan dingin itu menghantam dan menyambarnya dahsyat. Dan ketika ia mengelak den mengeluarkan Giam-lui-ciang, bertemu dan meledak maka masing-masing terpental tapi gadis Puteri Es itu masih lebih jauh Iagi. Tan-pangcu menang seusap karena tenaganya lebih kuat.

"Tak usah sombong. Kau bukan lawanku, Thio Leng. Suruh majikanmu keluar atau kau mampus!"

Thio Leng menjawab dengan lengkingan. la menerjang dan maju lagi dan sepasang roda di tangan sudah menyambar lawan. Langkah sakti Jit-cap ji-poh-kun juga dikeluarkan. Tapi ketika lawan tertawa mengejek dan menggunakan langkah yang sama bergerak dan menggeser dengan cepat maka gadis Lembah Es itu memaki dan menerjang lebih hebat. Ilmu langkah Sakti itu sebenarnya adalah milik penghuni lembah bukan Pulau Api.

"Ha-ha, tak usah mengungkit-ungkit. Jit-cap-ji-poh-kun bukan milik semuanya, Thio Leng, itu adalah milik Hwe-ci. Lembah Es juga pencuri karena Kim Kong Sengjin tak pernah mewariskan."

"Keparat, tak tahu malu. Lembah Es lebih berhak, karena Hwe-Ci adalah sahabat Lembah Es. Kalian yang tak tahu malu dan mencurinya lewat leluhur. Pulau Api yang selalu licik!"

"Tak usah menyebut-nyebut nama leluhur. Kau dan aku sama-sama gemblengan generasi tua, Thio Leng, kita selamanya tak pernah akur. Tutup mulutmu dan menyerah baik-baik atau kau roboh...dess"

Bu-kek-kang bertemu Giam-lui-ciang dan sekali lagi Thio Leng terpental. Tan-pangcu terhuyung sementara gadis itu melempar tubuh berjungkir balik, turun dan menyambar lagi dan bertandinglah mereka dengan hebat. Dan karena masing-masing tak mau mengalah sementara Thio Leng menggigit bibir, bertekad mengadu jiwa maka pertandingan di sini berjalan alot meskipun gadis Lembah Es itu sering terdesak dan dipukul mundur.

Namun Thio Leng benar-benar gadis gagah perkasa yang pantang mundur. la harus mengakui bahwa lawan setimpal ketua Pulau Api ini adalah ketuanya sendiri, Puteri Es. Namun karena dia tak mau mundur dan lebih baik mati berkalang tanah, betapapun dia akan menghadapi lawannya ini sampai titik darah penghabisan maka tekad dan semangatnya yang luar biasa itu membuat Tan-pangcu kewalahan dan kagum, juga marah.

Berkali-kali Bu-kek-kang dihantam namun gadis itu maju lagi. Sinkang yang dimiliki setingkat lebih tinggi namun semangat dan tekad gadis itu mengalahkan segala-galanya. Tan-pange ini gemas. Dan ketika pertandingan berjalan alot dan tentu saja lama, orang-orang Pulau Api sudah menyerbu wanita-wanita Lembah Es maka disana Kim-mou-eng juga masih bertanding seru dengan kakek kulit hitam.

Hantu ini, yang tak menyangka Kim-mou-eng memiliki Pek-sian-sut tentu saja terkejut dan marah sekali. Ilmu itu membuat Pendekar Rambut Emas lenyap dan menyerang di tempat tak kelihatan. Tapi setelah iapun mengeluarkan ilmu hitamnya dan berkelebat menghilang, tubuhnya berubah menjadi asap hitam maka di dunia alam sihir ini mereka bertarung dan Kim-mou-eng dibentak dan dikejar sebagaimana ketika mereka berada di tanah. Dan Pendekar Rambut Emas kembali terdesak.

"Hayoh, ke mana kau lari, Kim-mou-eng. Menghilang ke nerakapun kau akan kuhajar. Ha-ha, sekarang kau tak dapat bersembunyi lagi!"

Pendekar ini mengeluh. Menghadapi tokoh seperti ini ia benar-benar kewalahan, apalagi setelah Giam-lui-ciang menyambar dan membuat semua ilmunya luluh. Hawa panas dari ilmu itu amat luar biasa dan warisan Han Sun Kwi ini memang tak ada tandingannya. Hanya Bu-kek-kang yang dapat menahan sementara dia tak memiliki ilmu itu. Dan ketika dia terdesak dan terus terdesak, kakek itu terkekeh-kekeh maka Giam-lui-ciang menyambar pundaknya dan Pendekar Rambut Emas terpelanting.

"Heh-heh, kena kau sekarang. Bagus, menyerah atau mampuslah, Kim-mou-eng. Ayo berlutut dan katakan menyerah kalau tak ingin mampus!"

Kim-mou-eng bergulingan meloncat bangun. la menggigit bibir namun tentu saja tak mau menyerah, bertahan dan mengerahkan Khi-bal-sin-kangnya untuk menerima pukulan-pukulan kakek itu. lapun tak mau lari atau meninggalkan pertempuran. Dan ketika ia semakin terdesak lagi dan kakek itu kagum tapi juga oleh kebandelan sikapnya maka Giam-lu-ciang menyambar dan kali ini baju pendekar itu terbakar. Kim-mou-eng pucat.

"Ha-ha, sombong dan keras kepala kau ini, Kim-mou-eng. Untuk apa mati-matian membela Lembah Es. Kau akan mampus, membuang nyawa sia-sia!"

Pendekar itu bergulingan dan mengebut padam api di bajunya. Ia terhuyung dan pucat akan tetapi masih melakukan perlawanan, mengelak dan menangkis lagi ketika dikejar dan diserang. Akan tetapi ketika ia masih bertahan dan kegagahannya benar-benar mengagumkan, pendekar itu berseru bahwa yang dibela adalah kebenaran maka sesosok bayangan putih berkelebat dan sebuah payung lebar menusuk si kakek hitam, menyambar dengan amat tiba-tiba.

"Kim-taihiap, terima kasih. Akan tetapi tak perlu khawatir karena aku datang membantumu!"

Kakek hitam berteriak keras. la sedang mendesak pendekar itu ketika tiba-tiba dari samping menyambar sesosok bayangan putih, menusuk dengan ujung payung sementara kain payung menghalangi pandangannya. Dan ketika ia menangkis tapi terhuyung membelalakkan mata, kaget maka di situ telah berdiri sesosok wanita anggun dengan cadar putih menyembunyikan muka.

"Puteri Es!"

Kakek itu terkejut. Seruan Kim-mou-eng membuat ia melebarkan matanya tapi tiba-tiba tertawa panjang. Gadis cantik jelita yang berdiri di depannya ini kiranya Puteri Es, gadis yang anggun tapi bermata dingin. Dan ketika ia terbahak dan terkekeh-kekeh, sejenak terkejut tapi girang melihat majikan Lembah Es ini maka kakek itu berseru menudingkan telunjuk, liurnya muncrat.

"Heh, kau Puteri Es majikan lembah ini? Kau pemimpin đi sini? Heh-heh, cantik dan menggiurkan, bocah. Tapi kau tak mungkin melawanku karena tandinganku adalah tokoh-tokoh tua Lembah Es. Ha-ha, menyerahlah, dan biarkan tubuhmu kusentuh!" kakek itu bergerak dan tangan yang menuding tiba-tiba memanjang. la begitu girang bertemu gadis ini matanya membelalak lebar. Tapi ketika gadis itu berkelit dan tentu saja menangkis, payung bergerak menghantam maka kakek itu tergetar sementara sang Puteri sudah meloncat mundur.

"Plak!" Kakek itu melotot tapi terkekeh. la merasakan lagi tenaga gadis itu namun geli, tadi sudah merasakan pertama kalinya dan sejenak saja dia terkejut. Dan karena tenaga gadis itu masih di bawahnya dan ia tertawa, melompat dan menerkam ke depan maka Puteri Es tiba-tiba ditubruk dan hendak dipeluk. Kakek ini tak memperdulikan lagi Kim-mou-eng.

Dan pendekar itu tentu saja mengerutkan kening. Melihat sikap ini seperti melihat seorang tua bangka mengganggu gadis muda, tak malu dan segan-segan lagi menubruk korbannya. Tapi karena gadis itu bukan gadis sembarangan dan ini adalah Puteri Es majikan lembah maka tentu saja tubrukan kakek itu luput karena sang puteri sudah berputar dan mengelak serta menangkis, terhuyung dan dikejar dan segera tampak betapa si Hantu Hitam amat bernafsu. Bau harum tubuh gadis itu merangsang gairahnya, ia tergila-gila. 

Namun ketika si gadis membentak dan membalasnya, betapapun gadis itu bukan gadis biasa maka kakek ini melotot dan mempercepat gerakannya. Dan segera sang puteri didesak karena payung atau tangkisannya terpental.

"Heh-heh, kau tak mungkin mengalahkan aku. Tak mungkin menang. Menyerahlah, Puteri Es. Biarkan dirimu kubawa dan kita hidup bahagia berdua!"

"Kakek tak tahu malu!" gadis itu berkelebatan, membentak. "Jangan harap menyentuh tubuhku, tua bangka. Atau aku bunuh diri dan kau hanya mendapatkan mayatku!"

"Heh-heh, kau tak boleh bunuh diri. Aihh, kau harus ikut baik-baik denganku. Heiii... serahkan payungmu, anak manis. Atau aku terpaksa merobohkanmu... plak-dess!"

Puteri Es yang terlempar tapi berjungkir balik tinggi akhirnya melengking dan bergerak amat cepat menghindari terkaman-terkaman kakek itu, mengelak dan menangkis tapi semua tangkisannya terpental. Dari adu tenaga ini segera tampak bahwa dia kalah, kakek itu hebat sinkangnya. Tapi ketika dia mengeluarkan bentakan nyaring dan rambut mengibas bersama payung yang membuka tutup maka lawan tertegun kagum karena betapapun puteri itu memang amat lihai. Dan Pendekar Rambut Emas tentu saja tak mau tinggal diam, segera bergerak dan membentak kakek itu.

"Bagus, tak tahu malu. Kau tua bangka berwatak rendah, kakek iblis. Tak ragu aku memusuhimu karena sikap dan sepak terjangmu benar-benar tak tahu Malu!"

"Majulah. Ayo maju! Kalian bocah-bocah ingusan bagiku, Kim-mou-eng. Ditambah sepuluhpun aku tak takut. Aku akan merobohkan kalian... des-plakk!"

Pendekar Rambut Emas yang terhuyung ditangkis kakek itu lalu bergerak lagi sementara Puteri Es menggunakan langkah-langkah sakti Jit-cap-ji-poh-kun yang dimiliki Lembah Es, maju mundur dengan amat cepat sementara tak jarang tubuhnya beterbangan mengitari lawan, menampar dan memukul namun kakek itu benar-benar lihai. 

Tapi ketika hawa dingin mulai menyambar dan sang puteri mengeluarkan Bu-kek-kang, andalan Lembah Es maka Hantu Hitam yang semula menyimpan Giam-lui-ciang akhirnya mengeluarkan lagi ilmunya itu karena hawa dingin dengan cepat telah menyerang tempat itu membuat segalanya beku!

"Ha-ha, bagus. Bu-kek-kang tak akan membuat tubuhku kedinginan. Lihat, aku akan memanaskannya lagi, Puteri Es, dan sampai di mana kau mampu menghadapi Giam-lui-ciangku... blarr!"

Api menyembur dari telapak kakek itu dan tiba-tiba membakar hawa dingin, menghancurkan pengaruh Bu-kek-kang dan gadis itu terkejut. Hawa dingin segera berobah menjadi panas, begitu cepatnya. Dan ketika ia membentak dan melepas pukulannya lagi si kakek menangkis dan menambah tenaganya maka hawa panas menindih hawa dingin dan Bu-kek-kang terdesak mundur kalah kuat!

"Ha-ha, lihat. Ilmuku masih lebih tinggi. Eh, tak usah melawan dan menyerah baik-baik, Puteri Es, atau nanti tubuhmu terbakar, ha-ha..."

Sang puteri menggigit bibir. la mengelak dan menangkis tapi selalu terpental sementara Pendekar Rambut Emas juga terhuyung oleh Giam-lui-ciang. Sudah sejak tadi kakek ini memang hebat. Akan tetapi karena keduanya bukan orang-orang lemah dan betapapun kakek itu harus bekerja keras maka meskipun terdesak dua orang ini masih dapat bertahan. Dan kakek itu tentu saja gemas dan penasaran.

"Puteri, sebaiknya bantu saja anak buahmu di sana. Aku dapat menahan kakek ini meskipun ia mendesakku!"

"Hm, tidak. Aku tak khawatir akan anak buahku, Kim-taihiap, justeru aku mengkhawatirkan dirimu karena kakek ini berbahaya dan hendak membunuhmu. Kau telah membela kami, kau sahabat Lembah Es. Biar kita hadapi berdua dan mati hidup kakek ini biar tahu rasa!"

Kim-mou-eng menarik napas dalam. Setelah dia membujuk dan dijawab seperti itu maka apa boleh buat dia harus mengeroyok lagi. Sebenarnya dia melihat kakek putih mendesak gadis-gadis di sana, khawatir tapi tak dapat berbuat apa-apa karena kakek hitam mendesaknya. Dibantu Puteri Es sebenarnya lumayan juga, meskipun tetap terdesak dan berkali-kali pukulan mereka mental bertemu kakek itu. Ada kekebalan aneh yang dimiliki iblis hitam ini, terutama kedua lengannya yang begitu kuat dan istimewa.

Dua kali ujung payung mengenai lengan itu tapi mental, ketiga kalinya bahkan hangus terbakar dan Puteri Es menjerit kaget. Dan ketika ia sendiri terhuyung dan terbanting oleh kibasan Giam-lui-ciang, pukulan panas itu tak kuat ditahannya mendadak terdengar jerit dan teriakan Shintala, Kim-mou-eng menoleh dan pucat melihat menantunya itu terlempar dan roboh terguling , Hantu Putih, dikeroyok tiga lawannya ini ternyata sudah mulai menyelesaikan pertandingan.

Kakek itupun terkekeh-kekeh dan Shintala maupun Yo-siocia dan Wan Sui Keng tak mampu bertahan lagi. Langkah sakti yang dipergunakan kakek itu ditambah kecepatannya, menggeser dan meloncat hingga Shintala yang tak mengenal ilmu ini menjadi kaget. Dan karena Hantu Putih memiliki sepasang kaki yang dapat terlontar-lontar sepertl bola, maju mundur dengan amat cepat dan hawa panas yang dikeluarkan dari Giam-lui-ciang juga luar biasa maka sang nyonya terkesiap ketika tiba-tiba gerakan Ang-tiauw Gin-kangnya tercegat di tengah jalan. la sedang beterbangan dan mengelilingi kakek itu ketika mendadak si kakek memutar tubuh, gerakannya cepat dan mengejutkan sekali.

Dan ketika tangan kiri kakek itu tahu-tahu berada di mukanya dan menyambar sambil tertawa bergelak, nyonya ini berkelit dan membanting tubuh maka ia kalah cepat dan pundaknya sudah dicengkeram dan dilempar kakek itu, hangus kehitaman. Dan saat itu Yo-siocia juga mendapat giliran, terhuyung oleh sebuah kibasan dan kaki si kakek mengait betisnya. Tanpa ampun lagi ia terjungkal dan Hantu Putih menyambar. Tapi ketika Sui Keng membentak dan menghantamkan sepasang rodanya ke kepala kakek itu maka si kakek mengerahkan sinkang dan roda hancur mengenai batok kepala yang keras.

"Ha-ha, kalian robohlah. Bertiga boleh menjadi tawananku!"

Wan-siocia pucat. la terhuyung oleh lemparannya yang kuat dan kakek itu membalik, tangan kanan bergerak dan menangkap pinggangnya. Dan ketika ia berkelit namun baju pinggangnya robek, gadis ini pucat maka kaki sang kakek menendang dan gadis itu mencelat terlempar, menjerit. Dan selanjutnya tiga wanita ini jatuh bangun.

Sui Keng dan sumoinya sudah mengeluarkan Bu-kek-kang namun ilmu itu kalah oleh Giam-lui-ciang. Bukan apa-apa, melainkan semata karena tingkat kepandaian kakek itu lebih tinggi. Dan ketika kakek ini melihat saudaranya juga mendesak Puteri Es, Kim-mou-eng jatuh bangun oleh Giam-lui-ciang adiknya maka kakek itu berseru dan tertawa-tawa.

"Sute, kau beruntung mendapat Puteri Es. Tapi aku di sini juga tak kalah denganmu mendapatkan tiga wanita cantik. Ha-ha, nanti kita dapat saling tukar-menukar, sute. Si hidung mancung bermata biru ini tak kalah dengan gadis itu dan kita berdua nanti dapat bersenang-senang."

"Betul," Hantu Hitam terkekeh. "Kau mendapatkan tak kalah olehku, suheng, tapi Kim-mou-eng ini menyebalkan. memiliki kepandaian lumayan juga."

"Bunuh saja. Atau aku membantumu setelah mereka bertiga ini benar-benar kurobohkan!"

Terdengar jerit dan pekik Shintala lagi. Nyonya itu disambar dan susah payah berkelit, terpelanting dan Yo-siocia juga terbanting bergulingan. Dan ketika kakek itu mencicit mengeluarkan Jari Api, menusuk dan mengenai dua orang itu maka Shintala dan gadis Lembah Es itu mengaduh. Mereka benar-benar jatuh bangun menghadapi kakek sakti ini dan Sui Keng pucat. Dialah yang lebih dapat bertahan karena kepandaiannya lebih tinggi daripada sumoinya, juga karena mengenal ilmu-ilmu kakek itu daripada Shintala.

Maka ketika nyonya itu roboh lagi dan terkena serangan lebih dulu, pucat dan bergulingan menjauh namun tak bakal dapat bertahan lama maka tak jauh dari situ Thio Leng atau Thio-siocia juga terdesak dan bertahan gigih dari serangan-serangan Tan-pangcu, yang kini sudah mengeluarkan tongkatnya dan memutar senjata itu disertai pukulan-pukulan Giam-lui-ciang.

Hanya anak murid mereka saja yang tampaknya berjalan imbang, Seru dan ramai. sementara tokoh-tokohnya terdesak dan bertahan mati-matian. Dan ketika keadaan semakin mencemaskan dengan suasana seperti itu mendadak muncul tiga bayangan kecil di mana dua di antaranya menyerggap Hantu Putih sementara yang satu membentak dan menubruk Hantu Hitam menggigit punggungnya.

"Kong-kong, aku datang menolong. Jangan takut, biar aku menggigitnya!"

"Dan aku juga," dua bayangan yang lain membentak dan menyergap Hantu Putih. "Aku datang menolongmu, ibu. Kalau kakek ini demikian jahat biar ia kugigit dan tak akan kulepaskan!"

Tentu saja dua kakek itu terkejut. Tiga anak kecil, yang bukan lain Bun Tiong dan Siang Hwa serta Siang Lan tahu-tahu menyergap dan menyambar mereka dari belakang. Siang Hwa sudah meloncat dan menggigit punggung kakek hitam. Sementara Siang Lan sudah menubruk dan menggigit paha Hantu Putih. Dan ketika kakek itu terkejut dan tentu saja berteriak keras, datangnya anak-anak kecil ini sungguh di luar dugaan maka Bun Tong sudah menerkam dan bagai Srikatan menyambar sudah hinggap dan menggigit punggung kakek itu kuat-kuat.

"Aduh!" Kakek ini tentu saja terbelalak. Baik dia maupun adiknya sedetik hilang tenaga oleh serangan itu. Sinkang yang melindungi tubuh seketika berhenti, bukan oleh kaget melainkan oleh heran dan tercengang ada anak-anak di situ, satu anak lelaki dan dua anak perempuan yang masih kecil-kecil. Tapi ketika Bun Tiong maupun Siang Lan melekat bagai lintah, menggigit dan menancapkan giginya membuat kesakitan maka sadarlah kakek itu otomatis mereka melengking dan menggoyang tubuh seperti anjing membersihkan bulu.

"Enyahlah!"

Akan tetapi dua bocah itu tak gampang dilempar. Mereka melingkarkan pula kaki dan tangan di pinggang si kakek, diguncang dan dibentak seperti apapun tak mungkin terlepas. Tapi ketika dua kakek itu berteriak dan mengerahkan sinkang mereka, hawa panas membakar punggung maka Bun Tiong maupun Siang Hwa menjerit karena gigi mereka seakan bertemu api. Dan saat itulah gigitan terlepas dan kakek ini mencengkeram dan membuang mereka bagai layang-layang putus.

"Bun Tiong...!"

"Siang Hwa...!"

Sang ibu dan sang kakek sama-sama berteriak kaget. Mereka juga tercengang dan sedetik heran oleh datangnya anak-anak itu, Shintala bahkan pucat. Tapi ketika dua anak itu terlempar dan gigi mereka bertemu punggung yang panasnya seperti api maka Siang Lan yang menggigit paha Hantu Putih juga melepaskan gigitannya dan ditendang hingga jauh terguling-guling.

Dan alangkah marahnya kakek-kakek itu. Mereka, dua dedengkot Pulau Api tiba-tiba harus dibuat terkejut dan kesakitan oleh ulah anak-anak. Mereka kaget dan marah sekali. Dan ketika mereka sadar dan menggereng marah, rasa sakit di punggung masih membekas maka keduanya tiba-tiba bergerak dan hampir serentak menyambar anak-anak itu. Tangan kanan mereka.berkerotok dan menyala bagai bara, siap menghancurkan leher anak-anak itu.

"Keparat, kubunuh kalian!"

Namun Kim-mou-eng dan Puteri Es tentu saja tak mau diam. Shintala yang hangus dan terbakar pundaknya juga menjerit melihat tubrukan itu, sebisanya menolong anak. Tapi ketika Puteri Es maupun Kim-mou-eng menjadi kaget, mereka membentak dan sudah menangkap bagian belakang tubuh kakek itu namun telapak tiba-tiba menjadi kemerahan, mereka terbakar oleh dahsyatnya Giam-lui-kang (Tenaga Petir Neraka) maka keduanya berteriak dari melepaskan tangan yang menangkap tubuh itu. Dua kakek ini terus bergerak dan tidak memperdulikan mereka.

Akan tetapi pada saat itu berkelebat sesosok bayangan hitam luar biasa cepatnya. Bersamaan dengan menyambarnya bayangan ini terdengar teriakan dan jerit kaget orang-orang Pulau Api, bahkan Tan-pangcu juga terlempar dan berteriak keras. Deru angin amat dahsyat menyertai gerak bayangan hitam itu, tubuh orang-orang Pulau Api yang merah marong juga tiba-tiba padam. 

Dan ketika bayangan itu terus melesat dan menyambar Bun Tiong dan Siang Hwa, juga Siang Lan maka kakek hitam dan kakek putih yang sudah menyambar tapi luput mengenai sasaran tiba-tiba terdorong dan jatuh ke samping. Tubuh mereka yang menyala juga padam bersamaan dengan ledakan di puncak gunung kelima.

"Blarr!"

Dua kakek itu kaget bukan main. Masing-masing yang terdorong dan jatuh bagai ditiup angin topan sekonyong-konyong tersentak, melihat tiga anak itu lenyap dibawa bayangan hitam yang amat cepatnya. Deru bayangan itu membuat segalalanya yang disambar beku, termasuk tubuh dan pakaian mereka. 

Tapi ketika bayangan itu lenyap dan sudah di puncak gunung, begitu cepatnya hingga mereka tak tahu siapakah lawan mereka ini maka Hantu Putih maupun adiknya melengking namun mata mereka yang tajam samar-samar melihat pinggang langsing seorang wanita, begitu pula Kim-mou-eng yang tertegun dan membelalakkan mata.

"Keparat, jahanam siapa itu. Heh, apa yang kau lihat, sute. Siluman dari mana berani menculik calon korban kita. Kejar!"

"Benar, aku melihat seorang waníta, suheng. Entah siapa dan dari mana tapi telah mengganggu kita. Kejar!"

Kim-mou-eng membelalakkan mata. Sebagai orang berkepandaian tinggi tentu saja dia melihát bagian belakang bayangan hitam luar biasa itu, pinggang langsing seorang wanita. Maka ketika dua kakek itu berteriak dan tiba-tiba mengejar, meledakken tangan dan lenyap menuju puncak gunung iapun bergerak tapi tiba-tiba menoleh pada Puteri Es, tertegun melihat puteri itu tersenyum.

"Siapa dia, penolong dari mana?"

"Hm, guruku muncul. Tak usah mencampuri, taihiap. Boleh diikuti tapi jangan sekali-kali ikut campur."

"Gurumu?"

Puteri Es tak menjawab. Gadis ini berkelebat dan tiba-tiba lenyap pula memukulkan payungnya. Benda itu memuncratkan bunga api dan sang puteri telah melesat ke atas gunung pula. Dan ketika Pendekar Rambut Emas sadar dan bergerak mengikuti, ia kagum akan kecepatan bayangan hitam itu maka orang-orang Pulau Api pucat dan Tan-pangeu tampak mundur membelalakkan mata, membalik dan lari.

"Pergi... kita pergi. Tinggalkan tempat ini!"

Orang-orang itu bergerak dan memutar tubuh. Mereka yang padam sinkangnya disambar deru bayangan hitam itu tampak pucat dan ngeri. Api di tubuh mereka lenyap, sudah mengerahkan sinkang namun gagal dan tetap saja tak berhasil. Dan karena Tan-pangcu sendiri juga kehilangan tenaga saktinya itu karena hembusan atau tiupan dingin dari bayangan hitam itu membuat sekujur tubuhnya beku, menggigil dan ia tak mampu membangkitkan Giam-lui-kang maka sadarlah tokoh Pulau Api itu bahwa seseorang yang amat luar biasa dan memiliki kesaktian yang amat mengerikan telah datang dan melumpuhkan mereka.

Maka ketika berturut-turut orang-orang Pulau Api itu mengikuti jejak tokohnya dan tubuh mereka tak lagi menyala seperti obor, sinkang di tubuh mereka lumpuh oleh hembusan bayungan hitamn itu maka mereka jatuh bangun sementara murid-murid Lembah Es tertegun dan membelalakkan mata dengan muka berubah. Mereka juga ditiup hawa amat dingin namun yangn membuat mereka malah segar dan semakin bersemangat!

Dan saat itu Yo-siocia juga sadar dan berseru keras. Gadis itu, yang telah jatuh bangun oleh kesaktian Hantu Putih tiba-tiba menjadi girang luar biasa melihat bayangan hitam itu. Bayangan itu seperti kilat menyambar dan lenyap sepersekian detik saja. Tak ada diantara mereka yang dapat melihat siapakah adanya bayangan hitam itu, manusia ataukah iblis!

Tapi Yo-siocia yang dapat merasa hawa dingin itu dan betapa dia dan para murid lain malah menjadi segar dan seakan bertambah tenaganya, sementara orang-orang Pulau Api bahkan padam dan mati sinkangnya maka gadis ini berteriak dan memberi aba-aba agar mengejar dan membunuh orang-orang itu, lelaki yang tubuhnya hitam legam dan kini tampak seperti gosong. Giam-lui-kang di tubuh mereka hilang kekuatannya.

"Kejar, bunuh mereka itu. Hancurkan lawan!"

Teriakannya ini disambut pekik sorak gadis-gadis Lembah Es. Mereka seakan mendapat tambahan tenaga baru dengan berkesiurnya angin dingin itu. Kalau orang-orang Palau Api malah padam dan hilang kekuatan Petir Nerakanya adalah mereka justeru bertambah dan malah menjadi kuat. Bu-kek-kang di tubuh tiba-tiba seakan bangkit dan bergolak, mendidih dan minta disalurkan. Dan ketika mereka melompat dan orang-orang Pulau Api terkejut karena lompatan itu panjang sekali, tujuh delapan tombak maka mereka disambar dan langsung dipukul, tak dapat mengelak.

"Aduh!" Tan-pangcu terkejut dan menoleh. la mendengar jeritan pertama itu dan melihat robohnya sang anak murid. Anak buahnya terbanting dan tewas kepalanya pecah. Lalu ketika yang lain berteriak dan menjerit pula, dengan amat cepat murid-murid Lembah Es menghajar dan membunuh anak muridnya maka Yo-siocia menyambar dan menghantamnya dari belakang. Gerakan gadis baju merah itu terasa amat cepatnya dan lebih dari biasa.

"Dan kaupun mampuslah!"

Ketua Pulau Api membelalak. la membalik dan menangkis tapi diri sendiri terpelanting. Tenaganya berkurang lebih dari setengah! Dan ketika ia bergulingan terkejut dan pucat sekali maka gadis itu mengejarnya dan laki-laki ini cepat berseru mengelak dan membentak anak buahnya melindungi. Namun anak-anak murid Lembah Es yang lain bergerak den menyerang anak buahnya itu. Yo-siocia berkelebatan dan dua pukulannya kembali mengenai ketua Pulau Api.

Gadis yang sebenarnya masih di bawah Tan-pangcu itu mendadak seakan menjadi lebih hebat, Tan-pangcu mengelak dan terbanting lagi. Dan ketika ketua Pulau Api itu benar-benar pucat karena ia masih kehilangan sebagian besar tenaga saktinya, datangnya bayangan hitam itu melumpuhkan Giam-lui-kang andalannya maka ketua Pulau Api ini jatuh bangun dan jeritan serta teriakan ngeri terdengar dari murid-murid Pulau Api. Tan-pangcu pucat dan tidak melihat jalan keluar!

Akan tetapi tiba-tiba terdengar gemuruh dan suara dahsyat dari langit. Puncak gunung kelima runtuh, batu dan bongkahan salju berguguran Dan ketika semua itu ditambah dengan cairnya lapisan beku dari salju yang ada di lembah itu maka air bagai bah meluncur dari atas menuju bawah. Dahsyat!

"Awas, puncak meleleh. Minggir!"

Semua terkejut. Murid-murid Lembah Es maupun orang-orang Pulau Api sama sama tersentak melihat kejadian itu. Perobahan mendadak terjadi dengan amat cepat, gunung kelima roboh disusul gunung keempat dan ketiga. Dan ketika sekejap kemudian gunung-gunung yang lain juga berguguran dan mencair, salju di padang es leleh dan menyerang siapa saja maka semua berteriak dan saat itu tampak dua sinar api mengejar atau memburu sesosok bayangan hitam. Dan paniklah murid-murid Lembah Es maupun orang-orang Pulau Api.

Mereka ini, tak pelak Tan-pangcu mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan diri. Air bah menerjang mereka dan murid-murid Lembah Es sibuk. Orang-orang Pulau Api sudah bergerak dan lintang-pukang lagi, menyelamatkan diri, bukan hanya dari murid-murid Lembah Es itu namun juga dari salju yang mencair dan leleh dengan cepat. Apa saja yang mereka injak menjadi licin. Belum lagi hujan batu atau pohon-pohon yang tumbang akibat akarnya tercabut.

Dan ketika semua itu menguntungkan orang-orang Pulau Api, gadis-gadis Lembah Es terbelalak dan memandang dua sinar api yang bergerak dan mengejar bayangan hitam maka pertempuran otomatis berhenti dan mereka yang sudah berlindung segera memandang tiga benda aneh yang berpindah-pindah begitu cepatnya dari atas gunung yang satu ke atas gunung yang lain. Apakah yang terjadi? Bukan lain adalah kemarahan Hantu Putih den Hantu hitam yang menyerang lawan mereka itu.

Dua kekek ini, yang terkejut dan marah bahwa Bun Tiong dan Siang Hwa tahu-tahu disambar orang lain untuk dibawa ke puncak gunung sudah bergerak dan mengejar naik. Mereka tadi terkejut bahwa tahu-tahu mereka terdorong dan jatuh. Akan tetapi karena lawan meninggalkan mereka dan tentu saja mereka marah, tak lagi mereka takut atau kaget maka dua dedengkot Pulau Api ini membentak dan mengerahkan ilmu mereka untuk mengejar dan mendapatkan musuh. Dan merekapun mengeluarkan ilmu hitam agar cepat menyusul lawan mereka ini, lawan yang tak diketahui siapa.

Akan tetapi dua kakek itu terkejut. Meskipun mereka telah mengeluarkan ilmu hitam dan lenyap menyusul ke atas namun lawan mereka itu tak kelihatan. Terpaksa mereka berhenti di atas dan mencari sekeliling, jelalatan. Lalu ketika bayangan lawan tak tampak juga maka Hantu Hitam memekik dan dihantamnya puncak gunung hingga roboh. Dan pukulan kakek itu tidak main-main. Giam-lui-kang yang dilepas langsung membuat puncak gunung roboh, salju mencair dan leleh ke bawah. Dan ketika lawan masih juga belum didapat dan Hantu Putih juga memekik seperti adiknya maka kakek itupun menghantam dan robohlah gunung itu disertai bongkahan salju yang memuncrat!

Akibatnya batu-batu berguguran, pohon juga terlempar dan salju yang dingin menjadi panas. Petir Neraka yang dimiliki kakek-kakek itu memang hebat apa yang disentuh seketika leleh, hangus terbakar. Dan ketika pekikan mereka membahana bagai suara dahsyat dari langit maka tiba-tiba tampaklah lawan mereka itu di gunung keempat. Tak ayal lagi dua kakek ini menyambar namun lawan menghilang lagi, gunung itu digempur dan roboh lagi, hancur dan salju menjadi air bah yang meluncur ke bawah.

Dan ketika lawan tampak di gunung ketiga namun menghilang lagi maka dua kakek ini marah dan akibatnya mereka mengamuk, mencari dan merobohkan apa saja lalu tampaklah tubuh mereka bergerak ke sana ke mari, mengejar bayangan hitam itu dan Giam-lui-kang yang sudah mendidih membuat tubuh dua kakek ini seperti cahaya api, menyambar dan melesat ke sana ke mari sementara lawan mereka itu masih tampak sebagai sosok bayangan hitam yang tak dapat disentuh.

Dua kakek itu masih tak dapat melihat lawan mereka ini, yang tampak hanya bagian belakangnya saja, punggung atau pinggang yang ramping itu. Tapi ketika gunung demi gunung dihancurkan roboh dan salju atau Lembah Es menjadi terbakar, hawa panas menyerang di mana-mana maka bayangan itu akhirnya berhenti dan membalik di puncak gunung keenam.

"Mo-ko, cukup sampai di sini. Kalian kembalilah atau nanti kulempar"

Dua kakek itu menyambar. Mereka girang dan kaget bahwa lawan akhirnya membalik, wajah itu kelihatan. Tapi ketika mereka melihat dan mengenal itu tiba-tiba keduanya berseru dan berteriak hampir berbareng.

"Hwe Hwe Moli!"

Namun pukulan mereka sudah terlanjur dilepas. Mereka menyambar dari kiri kanan dan masing-masing mengerahkan Giam-lui-kang delapan bagian. Wanita itu, yang sudah memperlihatkan wajahnya ternyata malah membuat dua kakek ini tersentak. Bukan wajah cantik yang tampak melainkan wajah yang mengerikan, wajah dengan dua bola mata putih seperti iblis. Tak ada manik mata atau bagian hitam di situ. Mata itu putih seluruhnya, seperti orang buta!

Dan ketika mereka terkejut dan tentu saja kaget bukan main, inilah lawan yang dulu mengalahkan mereka maka pukulan menyambari namun Hwe Hwe Moli atau wanita ini menyambut tenang dengan mengangkat kedua lengannya ke depan. Dari sepasang lengan itu keluar cahaya berkilat yang langsung membuat padam sinar merah dari pukulan Giam-lui-kang.

"Klap!" Dua kakek ini terbanting. Mereka berteriak dan kedinginan tapi bergulingan meloncat bangun. Hantu Putih nmelotot. Tapi ketika mereka bergerak dan menerjang, Petir Neraka menyambar lebih dahsyat maka wanita berpakaian hitam-hitam itu mengelak dan menyambut dengan tenang. Dan setiap gerakannya tentu membuat Giam-lui-kang yang dimiliki sepasang kakek ini padam, seperti api bertemu Es.

"Keparat!" dua Hantu itu melengking. "Kau kiranya masih hidup, Hwe Hwe Moli, tapi kali ini kami tak mau sudah. Kau atau kami yang terbunuh" dan dua kakek itu yang menyerang semakin dahsyat akhirnya menggabung pukulan-pukulan mereka hingga membuat gunung tergetar dan menjadi merah, siap terbakar dan menyala kalau saja tak ada Hwe iwe Mo-li di situ. Wanita inilah yang meredam dan mendinginkan pukulan-pukulan lawan.

Semakin dahsyat mereka menyerang semakin tenang gerak-gerik wanita itu. Dan ketika Giam-lui-kang akhirnya meledak dan menyambar wajahnya tiba-tiba dari bola mata yang serba putih itu meluncur satu kekuatan dingin yang merupakan inti Bu-kek-kang. Cahaya seperti sinar laser.

"Mo-ko, cukup kataku. Pergilah dan cari kebebasan setelah tiga puluh tahun terhukum ...blarr!"

Giam-lui-kang pecah dan hancur sinarnya, ditembus atau diserang kekuatan Bu-kek-kang dan dua kakek itu berteriak. Mereka merasa ditusuk dari depan dan sinar atau cahaya dari mata yang serba putih itu menembus dahi mereka, dingin membungkus kulit dan otakpun seketika beku. Dan ketika dua kakek itu mengeluh dan roboh terbanting, gedebuk bagai pohon pisang maka selesailah pertandingan dan wanita itu tiba-tiba lenyap dan dua tubuh itu terangkat dan terbang jauh melewati padang salju, keluar Lembah Es.

"Wuuttt.....!"

Orang tak akan percaya melihat keajaiban ini. Tubuh dua kakek itu bukan hanya keluar Lembah Es melainkan terus meluncur dan melewati samudera, melayang di angkasa luas dan terus ke selatan. Dan ketika dua tubuh itu lenyap entah ke mana maka Kim-mou-eng dan Puteri Es yang mengikuti pertandingan ini dari jauh akhirnya sadar setelah mendengar seruan anak-anak. Bun Tiong dan Siang Hwa serta Siang Lan muncul.

"Nenek hebat sekali, luar biasa, amat sakti!"

Namun tiga anak itu terpekik kaget. Tadi mereka dilempar dan disembunyikan di balik gunung ketika dua kakek iblis itu menyerang wanita ini. Bun Tiong maupun Siang Hwa tak melihat wajah si nenek. Maka begitu mereka muncul dan melontarkan pujian, Hwe Hwe Mo-li menleh dan memperlihatkan sepasang matanya yang putih berkilau-kilauan mendadak anak-anak itu tersentak dan menjadi kaget, terpaku dan berhenti namun tiba-tiba wanita itu mendengus.

Tidak seperti tadi yang bersikap melindungi dan menyayang anak-anak ini adalah sekarang Hwe Hwe Moli memasang sikap bermusuhan Wajahnya tiba-tiba menjadi bengis. Dan ketika tiga anak itu terkejut dan tertegun, menghentikan langkah maka wanita itu mengibas dan sudah berseru dingin.

"Kalianpun tak perlu tinggal di sini lagi, pergilah!"

Bun Tiong dan Siang Hwa menjerit. Bersamaan dengan itu tubuh mereka terangkat naik, terbang dan terlempar keluar Lembah Es. Dan ketika Siang Lan juga menyusul dan sang kakek tentu saja berteriak keras, Kim-mou-eng berkelebat maju mendadak nenek itupun mengibas dan melempar pendekar ini.

"Tak ada siapapun yang boleh di sini. Menghormati Sian-su biarlah kaupun pergi."

Pendekar Rambut Emas mencelat dan terbang mengikuti cucu-cucunya. Bagai daun kering saja pendekar itu dikibas dedengkot Lembah Es, tak mampu melawan dan tertiup kencang. Dan ketika di sana Shintala menjerit dan melompat mengejar mendadak wanita itupun mengebutpun lengan bajunya dan tak ayal lagi nyonya ini terbang menyusul ayahnya.

"Gak-hu..!"

"Ibu...."

Tak ada siapapun yang dapat mencegah. Pendekar Rambut Emas kaget sekali dan semakin kaget lagi ketika tiba-tiba tak dapat mengerahkan tenaganya. Sinkangnya lumpuh. Maka ketika ia dan cucu serta menantunya melayang di atas Lembah Es, terbang dan terlempar bagai boneka-boneka tak berarti maka berturut-turut wanita itu membuang orang-orang Pulau Api yang ada di bawah. Mereka ini ditiup seperti dua kakek iblis tadi, mencelat dan angin topan seketika mengangkat mereka. Dan ketika di atas samudera mereka berjatuhan ke bawah.

Kim-mou-eng dan anak menantunya terbelalak dan melihat itu sambil masih terus meluncur maka mereka memejamkan mata dan melayang menuju utara. Entah bagaimana selanjutnya kejadian di Lembah Es pendekar itu dan keluarganya tak tahu lagi. Mereka jatuh di daratan besar. Semua ini seakan mimpi. Dan ketika berturut-turut mereka roboh dan pingsan, kesaktian penghuni Lembah Es benar-benar mengerikan maka hanya Beng An yang tertinggal dan masih berada di perahu!

Pemuda itu memang benar dibawa sepasang kakek iblis Hantu Hitam dan Putih menyertai perjalanan ke Lembah. Tapi karena dua kakek itu meninggalkan Beng An di perahu dan hanya dijaga beberapa murid saja, kakek-kakek ini memiliki kepercayaan untuk menundukkan lawan mereka maka ketika semuanya berbalik dan justeru mengejutkan mereka maka pemuda ini selamat sendirian.

Waktu itu Beng An tertotok dan diikat. Tubuhnya selama ini dilumpuhkan dua kakek itu. Maka ketika Tan-pangcu tiba-tiba datang berlarian dan puluhan murid-muridnya menuju perahu, berhamburan dan tampak ketakutan maka enam murid yang menjaga Beng An jadi pucat dan ikut melarikan diri. Mereka ini mendengar tentang munculnya Hwe Hwe Moli, tokoh yang hanya disebut sebagai bayangan hitam yang melumpuhkan semua tenaga orang-orang Pulau Api. Hanya dengan desir tubuhnya saja Giam-lui-kang di tubuh mereka padam, lumpuh oleh angin dingin yang keluar dari tubuh wanita itu.

Dan karena Tan-pangcu terbirit-birit sementara dedengkot mereka terjatuh di sana, rupanya tak kuat pula melawan wanita itu maka mereka yang ketakutan dan dibawa Tan pangcu ini menjadi panik dan terburu-buru. Dan enam penjaga itu melihat betapa Tan-pangcu dan teman-teman mereka itu sudah tidak memiliki tubuh yang kemerah-merahan lagi, tanda bahwa Giam-lui-kang di tubuh memang sudah dilumpuhkan. 

Dan ketika semua sudah menyambar perahu dan mendayung pergi, cepat maka tak pelak lagi yang menjaga Beng An melompat ke perahu teman mereka dan meninggalkan Beng An sendiri, apalagi ketika kemudian puluhan tubuh meluncur dan melayang di atas kepala, jatuh ke laut. Tubuh atau mayat teman-teman sendiri!

Orang-orang ini menjadi gentar dan tak ingat apa-apa lagi. Beng An ditinggalkan begitu saja. Maka ketika mereka berhamburan dan meninggakan Lembah mengikuti perahu Tan-pangcu maka hanya pemuda ituluh yang tertinggal. Namun Beng An tak tahu semu ini. la cukup lama di bawah tawanan kakek-kakek iblis itu, karena totokan yang terlalu lama membuat darahnya tak mengalir lancar.

Beng An masih pingsan dan bahkan menderita luka dalam. Maka ketika ditinggalkan dan sendirian di situ, perahunya tergolek dan terobang- ambing perlahan maka pemuda ini tak tahu apa-apa sampai tiga hari tiga malam. Namun ketika semua kerusuhan itu berakhir dan Lebah Es kembali sunyi maka pada hari keempat sesosok bayangan muncul dan perahu serta pemuda ini ditemukan.

* * * * * * * *

"Kim-kongcu!" bayangan itu terpekik dan langsung berhenti begitu melongok si perahu. la adalah seorang gadis cantik berpakaian pelayan, telinganya putus sebelah namun ditutupi rambutnya yang hitam tebal. Dan ketika gadis itu berhenti dan terpekik melihat Beng An, sejak tadi ia curiga akan perahu yang sendirian ini maka gadis itu tertegun namun tiba-tiba menangis dan menyambar Beng An dari perahu.

"Kim-kongcu... Kim-kongcu!" ia mengguncang-guncang tubuh pemuda itu namun Beng An tak sadar dan tentu saja tak menjawab. Gadis ini bukan lain adalah Hwa Seng yang dulu diselamatkan Beng An dari Pulau Api, gadis yang nyaris menjadi korban kebiadaban orang-orang Pulau Api. Dan ketika gadis itu tertegun dan pucat melihat keadaan Beng An yang tak bergerak atau membuka mata maka gadis ini membawa pemuda itu dan memanggulnya sambil menangis tersedu-sedu.

Hwa Seng langsung membawanya ke Lembah Es, masuk tapi melalui jalan berliku yang tak banyak dilalui murid-murid lain. Dan ketika ia jatuh bangun dengan tangisnya yang mengguguk maka bayangan merah berkelebat dan Yo-siocia muncul di situ, menghadang.

"Hwa Seng, siapa yang kau bawa. Berani benar kau memasukkan laki-laki...!"

Hampir saja gadis baju merah ini menampar dan mengayun tangan ke kepala Hwa Seng. Akan tetapi melihat gadis itu mengguguk dan menjatuhkan diri berlutut, meletakkan Beng Ani maka Hwa Seng tersedu-sedu memberi tahu.

"Maaf, ampunkan diriku. Aku membawa Kim-kongcu, siocia. Kudapatkan ia di perahu orang-orang Pulau Api dalam keadaan begini. Kim-kongcu rupanya luka-luka, aku hendak membawanya kepada Puteri. Tolonglah sampaikan padanya dan jangan biarkan pemuda ini tewas!"

Yo-siocia tertegun. Tak disangkanya bahwa yang dibawa pelayan itu adalah Beng An. Meskipun Hwa Seng memasuki jalan lain namun sejak serbuan orang-orang Pulau Api keadaan menjadi diperketat. Jalan sekecil apapun pasti dijaga. Maka ketika ia melihat pelayan itu dan curiga kenapa pelayan itu mencari jalanan sunyi, menghindar dan selalu mengelak tempat-tempat yang dijaga maka ia berkelebat dan muncul di situ, mencegat dan ingin memberi hajaran tapi tak tahunya malah dibuat terkejut.

Hwa Seng ternyata membawa Beng An, putera Kim-mou-eng. Dan karena pemuda itu, telah memiliki tali persahabatan dengan Lembah Es, hanya pemuda ini satu-satunya yang diterima dan dikagumi tocunya maka gadis itu sejenak tak mampu menjawab dan berdiri dengan muka kebingungan. Sesungguhnya, empat hari sejak peristiwa besar adanya serbuan dua kakek iblis itu sesepuh mereka Hwe Hwe Mo-Li telah mengadakan ancaman bahwa siapapun yang masuk harus dibunuh. Sekarang bukan hanya laki-laki saja melainkan juga perempuan.

Dalam waktu setahun ini Lembah Es tak boleh didatangi siapapun. Hawa yang dibawa orang-orang Pulau Api menyebar jahat, telapak kaki mereka itu masih meninggalkan noda bagi Lembah Es, setahun baru bersih dan setelah itu larangan berjalan seperti biasa lagi, yakni hanya laki-laki yang tak boleh masuk. Maka ketika tiba-tiba hari itu Hwa Seng membawa Beng An dan kini menyerahkannya kepadanya, minta agar diserahkan Puteri Es kontan saja gadis baju merah ini tak dapat menjawab dan bingung!

"Hm, kau memberikan sebuah kesulitan. Keparat, apa yang harus kulakukan, Hwa Seng, bukankah kau tahu bahwa su-pek-bo kita mengadakan ancaman. Bagaimana kau membawa Kim-kongcu ini dan hendak menyerahkannya kepada Tocu!"

"Kalau begitu biarkan aku lewat. Demi pemuda ini aku sanggup menerjang bahaya, Siocia. Paling-paling mati! Aku tahu larangan tetua kita tapi semua ini terjadi tanpa kusengaja. Kim-kongcu luka. iapun berada di perahu orang-orang Pulau Api. Kalau kau tak dapat membawanya kepada Tocu biarlah aku lewat dan aku yang menyerahkannya sendiri!"

"Hm, kau nekat. Kau menerjang bahaya. Eh, apa yang membuatmu begini, Hwa Seng. Jawab pertanyaanku dan katakan dengan jujur!"

"Tak ada lain, hutang budinya. Tanpa pertolongannya dahulu tak mungkin aku selamat. siocia, tak mungkin masih hidup. Aku semata ingin membalas budinya dan belum pernah kulihat pemuda seperti ini yang berani berkorban demi orang lain!”

"Hm, kau... eh, tak mencintainya?"

Hwa Seng terkejut, tapi tiba-tiba tertawa geli. "Orang macam aku ini tak pantas untuknya. Seribu kalipun tak pantas. Tidak, aku semata ingin membalas budinya dan tak ada kamus seperti itu di hatiku. Pemuda seperti ini hanya pantas untuk orang-orang yang jauh di atasku, kau misalnya, atau Tocu!"

"Baiklah," Yo-siocia semburat. "Akupun merasa tak pantas, Hwa Seng. Bawa dia pergi dan temui saja Wan-cici."

"Kau tak akan menghalang jalan?"

"Pergi dan jangan banyak cakap. Bawa surat pengantar ini agar kau menemui Wan-cici!"

Hwa Seng terkejut dan girang. Gadis baju merah itu bahkan memberinya sepucuk surat singkat untuk Wan-siocia, orang nomor tiga setelah Puteri Es. Dan ketika ia berlutut menyatakan terima kasih, iniah bantuan yang juga mengandung resiko bagi gadis baju merah itu maka Yo-siocia berkelebat dan pergi meninggalkannya. Gadis ini melompat bangun. la bangkit semangatnya mendapat bantuan ini, Yo-siocia berada di belakangnya.

Dan ketika ia menyambar dan pergi membawa Beng An lagi, kembali air matanya berderai maka benar saja di beberapa tikungan ia kepergok beberapa rekan-rekan lain yang muncul secara tiba-tiba. Namun mereka segera minggir melihat surat Yo-siocia, juga siapa pemuda yang dibawa gadis ini. Dan ketika akhirnya Orang yang dicari ditemukan juga, Sui Keng atau Wan-siocia itu tertegun maka tampak jelas bahwa gadis inipun berubah mukanya.

"Kim-kongcu!"

"Benar...!" Hwa Seng cepat menjatuhkan diri berlutut. "Hamba menemukannya di perahu orang-orang Pulau Api, Ji-siocia, sendirian dan terluka. Mohon bantuannya agar bertemu Tocu atau kau yang menyembuhkan!"

"Kau bertemu Yo-sumoi?"

"Yo-siocia menyuruhku menemuimu. Mohon lewat atau biarlah Kim-kongcu ini siocia bawa kepada Tocu!"

"Hm!" wajah gadis dingin ini memerah, membawa dan sudah menerima surat itu. "Berani mati kau ini, Hwa Seng. Kami sekarang kau libatkan!"

"Maaf, tidak disengaja, Ji-siocia. Kalau hamba tak dihadang dan dicegat rekan-rekan sendiri tentu semuanya tak ada yang tahu. Hamba kepergok, dan hamba harus melaksanakan tugas. Mohon keputusanmu agar nyawa Kim-kongcu ini segera diselamatkan!"

Gadis itu bingung. Sama seperti sang sumoi iapun tak berani gegabah. Ancaman keras yang baru saja mereka terima adalah langsung dari orang yang lebih tinggi, bahkan masih di atas Puteri Es. Tapi karena Beng An adalah sesuatu yang istimewa dan tak mungkin menolaknya begitu saja akhirnya tokoh nomor tiga ini berkelebat mengajak Hwa Seng menemui encinya, Thio Leng.

"Kau ikut aku dan menghadap Thio-cici!"

Hwa Seng girang. Dari nada bicara ini ia melihat suatu harapan besar, paling tidak sikap lunuk dari pimpinan yang sebenarnya keras ini. Wan-siocia dan Thio-siocia adalah tokoh-tokoh yang teramat disiplin, tak segan melakukan hukuman. Dan ketika Hwa Seng bergerak dan ikut sang pimpihan itu, tentu saja lebih mudah dan amat gampang maka di kamarnya Thio Leng dibuat terkejut oleh hadirnya dua orang ini, dan seketika berubah melihat Beng An.

"Kim-kongcu!"

"Benar...!" Sui Keng langsung mendahului Hwa Seng. "Dia, cici, Hwa Seng yang menemukannya. Terluka dan berada di perahu orang-orang Pulau Api. Rupanya ditangkap kakek iblis Hantu Putih dan Hitam lalu lupa tertinggal di situ."

Thio Leng berdiri dengan mata terbelalak. la berkelebat dan menyambar nadi pergelangan Beng An dan terkejut bahwa pemuda itu luka dalam. Wajah itupun pucat dan masih pingsan, napasnya hampir tak kedengaran. Tapi membalik dan tajam memandang saudaranya gadis ini bertanya,

"Keng-moi, ceritakan padaku kenapa kau membawanya ke sini. Bukankah kau tahu bahwa tak mungkin aku menolongnya, aku juga begitu. Tapi kau pimpinan tertinggi setelah Tocu, cici. Kalau kau menghendaki pemuda ini dibuang maka sekarang juga Hwa Seng kusuruh melemparkannya."

"Tidak!" Hwa Seng menjerit, melompat dan buru-buru mencekal lengan pemuda yang masih pingsan itu, gemetar. "kalau ji-wi hendak membuangnya biarlah aku yang menjadi penggantinya, siocia. Kalian tak boleh memperlakukan seperti itu karena pemuda ini bukan masuk secara tak sengaja. la dibawa orang-orang Pulau Api, ditingglkan dan terluka. Aku hendak membawanya kepada Tocu dan tolong ji-wi antarkan atau biarkan aku lewat!"

"Hm, kau melanggar larangan. Kau sudah mempertaruhkan jiwamu dengan membawa pemuda ini ke sini, Hwa Seng. Tidak tahukah kau bagaimana kalau supek-bo marah!"

"Aku tahu... tapi, tapi... ah!" gadis itu menangis. "Apapun akan kulakukan untuk pemuda ini. Toa-siocia. Hukuman apapun bakal kuterima asal Kim-kongcu sudah diterima Tocu. Kalian tolonglah dan aku siap menanggung semua dosa!"

"Hm, kau membuat kami repot. Aku tak dapat mengambil keputusan kalau hanya sendiri. Aku harus bertanya yang lain-lain. Mana Yo-sumoi!"

"Aku di sini!" gadis baju merah ternyata muncul, gemetar dan pucat. "Aku mendukung keinginan Hwa Seng, Cici akupun siap menerima hukuman kalau su-pek-bo marah!"

"Dan kami juga..."

"Kami juga!"

Ui Hong dan Ing Sim serta Yu Piao tiba-tiba muncul, cepat dan susul-menyusul dan mendadak tempat itu sudah penuh dengan murid-murid Lembah Es. Ternyata kedatangan Beng An ini sudah menyebar dengan cepat dan tahu-tahu mereka sudah memenuhi ruangan itu, bagai barisan berani mati! Dan ketika Thio-siocia maupun Sui Keng terkejut dan membelalakkan mata, simpati mereka terhadap Beng An ternyata masih luar biasa maka sejenak gadis bersanggul tinggi ini berseri namun sepasang matanya tiba-tiba meredup kembali, dingin.

"Hm... kalian ternyata sudah bertekad menantang maut. Bagus, apa alasanmu bersikap seperti itu, Yo-sumoi, dan kalian juga yang lain."

"Aku melihat Kim-kongcu adalah pengecualian. Dia adalah satu-satunya pemuda yang telah menolong kita semua, Thio-cici, dan aku merasa berhutang budi. Perasaanku hampir mirip dengan Hwa Seng. Tanpa bantuannya dulu mungkin aku sudah tewas di tangan sute Tan-pang-cu!"'

"Kami juga..."

"Dan kami juga! Kalau dulu tak ada Kim-kongcu ini mungkin Yang Tek telah membunuhku, Thio-cici. Aku dan adik-adik merasa berhutang budi kepada Kim-kongcu!" Ui Hong berseru dan menyambung ucapan Yo-siocia.

Mereka yang lain mengangguk dan bersinar-sinar dan Thio-cici akhirnya menarik napas dalam-dalam. Kalau dulu tak ada Beng An mungkin dia juga celaka di tangan Bu Kok, yang waktu itu dibantu si gila San Tek yang amat lihai. Dan karena masing-masing menyatakan alasan yang sama sementara Iapun tak luput dan akhirnya Thio-cici itu mengangguk dan berkata, mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

"Baiklah, agaknya kita sudah bersatupadu menghadapi persoalan ini Yo-sumoi. Mati satu mati semua, hidup satu hidup semua. Kalau supek-bo marah dan menghukum kita maka semua dari kita tak boleh melawan. Hm, kita bawa Kim-kongcu menghadap majikan tapi kalian nanti tunggu di luar!"

Hwa Seng hampir bersorak. Tak disangkanya sama sekali bahwa semua teman-temannya bersatu-padu membulatkan kata. Kalau tahu begitu mungkin ia tak perlu sembunyi-sembunyi, terang-terangan saja dan langsung menghadap Tocu. Maka ketika Thio Leng keluar dari kamarnya dan membawa semua anak buahnya maka dapat dibayangkan betapa kagetnya Puteri Es menerima pembantu-pembantunya ini, terutama melihat Beng An yang tidak sadarkan diri dan pucat dipanggul Thio eng sendiri!

"Apa... apa ini! Kalian, eh... Siapa yang kalian bawa itu, Thio-cici. Berani benar membawa laki-laki!"

"Ampunkan kami, semua berlutut dan berada di kamar sang puteri. "Hamba tak bermaksud melanggar larangan, Tocu, tapi apa boleh buat. Kim-kongcu luka dalam dan perlu pertolongan. Kami tak dapat menyembunyikannya dan terserah Tocu mau diapakan."

Sang puteri pucat dan gemetar. Waktu itu ia sedang bersisir rambut di depan sebuah cermin lebar, melihat satu demi satu para penbantunya itu dan tersentak melihat seorang pemuda di atas pundak Thio Leng. Tapi ketika ia membalik dan pemuda itu diletakkan di lantai, ternyata Beng An adanya maka bagai disambar petir sang puteri tertegun dan seketika berubah hebat. Malu dan girang tapi juga marah menjadi satu. Mengira bahwa semua itu adalah sandiwara dan mungkin atas persekongkolan pembantu-pembantunya ini.

"Thio Leng, apa maksudmu membawa pemuda ini ke sini? Tahukah kau apa akibat yang bakal kau terima?"

"Ampunkan hamba," gadis itu tetap berlutut. "Hamba membawa Kim-kongcu karena memang dipaksa keadaan, Tocu. Maksud hamba ada sesuatu yang membuat hamba tak berdaya. Hamba... dess!" gadis itu terlempar dan mencelat, tak sempat menghabiskan kata-katanya karena sang puteri menendangnya cepat.

Puteri Es merasa dipermainkan dan para pembantunya itu berpura-pura, marah sekali. Dan ketika yang lain menjerit dan sang puteri melengking-lengking, berkelebat dan menghajar pembantu itu maka Thio Leng mengeluh dan terlempar serta menabrak dinding lagi, tak melawan dan tak sempat bicara karena dianggap berpura-pura. 

Dia yang kelihatan membawa Beng An, jadi dia yang harus bertanggung jawab. Tapi ketika Sui Keng bergerak dan menerima sebuah tendangan terlempar dan buru-buru meloncat bangun untuk melindungi encinya maka gadis itu menghadapi sebuah kemarahan dengan sikap yang tenang namun sedikit pucat.

"Ampunkan hamba, maafkan kami....enci Thio Leng tak bersalah, Tocu. Yang membawa Kim-kongcu adalah hamba, bukan Thio-cici. Kalau paduka marah dan hendak melampiaskan kemarahan maka sepantasnya kepada hamba, bukan Thio-cici. Hamba membawanya ke mari dan sengaja melibatkan Thio-cici."

"Kau... kau yang membawanya?"

"Benar, Tocu, hamba... dess! gadis itupun mencelat dan terlempar.

Sang puteri telah bergerak dan ganti melengking padanya, marah dan menghajar wakilnya ini. Tapi ketika Yo-siocia bergerak dan ganti melindungi cicinya itu maka sang puteri tertegun dan sudah berhadapan dengan gadis baju merah ini , buru-buru menerangkan bahwa ia yang membawa tapi kakipun menutup omongannya. la mencelat oleh tendangan sang puteri. Dan ketika sang puteria akhirnya mengamuk dan menghajar tiga pembantunya itu maka Hwa Seng dan Ui Hong serta yang lain-lain menangis meloncat berteriak.

"Tocu, tahan dulu. Paduka Puteri, jangan salahkan mereka. Hambalah yang membawa, hamba yang pertama kali menemukan Kim-kongcu!"

Sang puteri akhirnya berhenti menyerang. la terengah-engah dan merah pedam menghajar Yo-siocia dan Thio Leng serta Sui Keng. Mereka itu telah babak-belur, tak melakukan perlawanan dan sama sekali mandah dipukul. Matipun mereka rela. Tapi ketika Ui Hong dan lain-lain berseru dan melihat Hwa Seng berlutut dan melindungi para pimpinannya itu maka sang puteri membelalakkan mata mendengar pelayannya.

"Ampunkan hamba...! Mereka itu tak tahu semua, Tocu. Hamba yang menjadi sebab utama. Hamba yang membawa Kim-kongcu dan meminta pertolongan mereka untuk bertemu paduka. Kim-kongcu luka-luka, mungkin parah. Mohon paduka menolongnya dan biarlah nyawa hamba sebagai penggantinya!"

"Kau... kau yang membawanya ke sini? Jadi kau biang keladinya?"

"Benar, Tocu, dan hamba siap dihukum!"

"Srat!" Sinar pedang mencuat menyilaukan mata, memotong ucapan itu dan Hwa Seng menggigil hebat. Puteri Es tampak marah berapi-api dengan pedang di tangan, pedang Soat-im-kiam yang amat ampuh. Dan ketika perlahan-lahan puteri itu menghampiri gadis ini, gemetar maka pedang diangkat dan siap membacok leher si pelayan setia.

"Jangan, Hwa Seng tidak bersalah!" Wan Sui Keng dan Thio Leng tiba-tiba meloncat ke depan, serentak berseru. "la tak boleh dibunuh, Tocu. Kalau kau hendak membunuhnya maka kamilah yang berhak. Kami yang membawanya ke sini!"

"Minggir!" sang puteri beringas. "Minggir dan pergilah, Thio-cici. Tak ada alasan untuk jahanam ini!"

"Tidak, kami yang bersalah. Hwa Seng tak akan ke tempat ini kalau bukan kami yang membawanya. Maaf, masukkan pedang itu Puteri, atau kami siap mengorbankan jiwa...crat!" dua gadis itu menubruk ketika sang puteri membentak dan berkelebat ke depan.

Hwa Seng menunduk dan diam saja ketika pedang menyambar, sang puteri tak dapat menahan marah. Tapi ketika Thio Leng dan Sui Keng maju berkelebat, menendang Hwa Seng untuk kemudian memasang diri sendiri maka sang puteri terkejut dan melencengkan pedang sedemikian rupa, membabat rambut dua pembantunya dan habislah rambut panjang itu. Kulit leher yang putih halus hampir juga dibabat pedang. 

Dan ketika dua orang itu menggigil dan jatuh berlutut, sang puteri tertegun maka dua pembantunya itu terisak dan Ui Hong serta yang lain-lain serentak melindungi dan berlutut di belakang dua orang itu. Hwa Seng di tengah dan dikepung rapat,setelah tadi ditolong dan diangkat bangun rekan-rekannya.

"Tocu, kami semua bersalah. Kalau satu menerima hukuman maka yang lain harus solider. Kami menyiapkan diri untuk dibunuh dan bunuhlah semua!"

"Kau.. kalian... kau. kalian, sudah gila semua? Kalian membela gadis keparat Hwa Seng ini? Kalian tak tahu larangan subo beberapa hari yang lalu Keparat, minggir dan biarkan biang keladi ini kuhabisi, Yo Lin. Atau kalian bunuh dan benar-benar menerima dosa...!"

Putri Es Jilid 20

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

"HA-HA, tambah satu lagi yang cantik. Eh, siapa kau, nona Hidungmu mancung. Kau bukan gadis Han asli!"

"Keparat!" Shintala membentak. "Aku seorang nyonya, kakek jahanam, bukan nona. Buka telinga dan matamu baik-baik dan kau rupanya kakek ceriwis..... plak-dess!" pukulan Shintala mengenai kakek itu namun membalik, mental dan membuat si nyonya terpekik.

Tapi Shintala menerjang lagi. Ia berkelebat mengeluarkan Ang-tiauw Gin-kang, terbang mengelilingi kakek itu sementara Wan-siocia dan Yo-siocia tak kalah sengit menyerang kakek ini. Namun ketika si kakek tertawa-tawa dan semua pukulan itu dikelit atau ditangkis, terpental dan membuat pemillknya menjerit maka enak saja kakek ini melayani tiga wanita lihai itu. Dan Shintala maupun Yo-siocia pucat.

"Siapa tua bangka ini, apa hubungannya dengan orang-orang Pulau Api!"

"Dia Hantu Putih, susiok Tan-pangcu. Awas, jangan terlampau dekat, siauw-hujin. Hati-hati dengan kuku jarinya...bret!"

Shintala membanting tubuh bergulingan ketika Yo-siocia berseru, memperingatkan dan hampir saja ia terlambat. Kakek itu menggerakkan kuku jarinya dan nyaris kuku itu mengenai pundaknya, baju robek dan tampaklah kulit pundak yang halus dari nyonya ini. Dan ketika Shintala bergulingan meloncat bangun sementara kakek itu kagum akan pundak si nyonya yang mulus maka kakek itu terkekeh-kekeh menyipratkan liurnya.

"Heh-heh, cantik... dan luar biasa, menyerahlah baik-baik, anak manis. Aku tak perduli kau nona atau nyonya. Heh-heh, kau mulus dan masih menggiurkan!"

Shintala merah padam. la hampir tergurat kuku kakek itu.namun yang lebih membuatnya marah adalah kekurangajaran kakek itu. Si kakek hendak mencengkeramnya dengan tingkah memuakkan. Dan ketika ia mencabut tongkat dan mainkan Sing-thian-sin-hoat, warisan kakeknya maka mengandalkan Ang-tiauw Gin-kang (Ginkang Rajawali Merah) ia menyelamatkan diri dari sambaran kuku-kuku kakek itu, berhasil dan si kakek diam-diam kagum.

Ang-tiauw Gin-kang adalah ilmu milik Thai Liong dan meskipun tidak sesempurna suaminya namun tubuh wanita ini beterbangan seperti rajawali betina. nyonya bergerak dengan amat cepat dan tongkatpun diputar menyerang dan menangkis. Tapi karena yang dihadapi adalah dedengkot Pulau Api dan betapapun kakek itu menang segalanya maka tongkat dan ilmu meringankan tubuh selalu dikejar dan hampir didahului.

Untunglah ada Yo-siocia dan encinya di situ, membantu dan menghantam kakek ini dari belakang hingga lawan terpaksa membatalkan serangan. Dan ketika si kakek mulai marah dikeroyok dari kiri kanan dan gemas tiga wanita itu demikian lincah mengelak sana-sini maka di sana Thio Leng sudah berhadapan. dengan Tan-pangcu dan masing-masing tanpa banyak cakap langsung bertanding hebat, sama-sama merah.

"Jahanam. berani kau datang lagi, Tan-pangcu, dan rupanya kali ini membawa bantuan lain. Keparat, mampuslah dan terima pukulanku...des-dess!"

Tan-pangcu mengelak dan menangkis dan keduanya bertanding seru. Seperti dulu, ketua Pulau Api ini juga mendengus dan membentak marah. la menanyakan di mana Puteri Es namun Thio Leng menjawabnya dengan Bu-kek-kang. Pukulan dingin itu menghantam dan menyambarnya dahsyat. Dan ketika ia mengelak den mengeluarkan Giam-lui-ciang, bertemu dan meledak maka masing-masing terpental tapi gadis Puteri Es itu masih lebih jauh Iagi. Tan-pangcu menang seusap karena tenaganya lebih kuat.

"Tak usah sombong. Kau bukan lawanku, Thio Leng. Suruh majikanmu keluar atau kau mampus!"

Thio Leng menjawab dengan lengkingan. la menerjang dan maju lagi dan sepasang roda di tangan sudah menyambar lawan. Langkah sakti Jit-cap ji-poh-kun juga dikeluarkan. Tapi ketika lawan tertawa mengejek dan menggunakan langkah yang sama bergerak dan menggeser dengan cepat maka gadis Lembah Es itu memaki dan menerjang lebih hebat. Ilmu langkah Sakti itu sebenarnya adalah milik penghuni lembah bukan Pulau Api.

"Ha-ha, tak usah mengungkit-ungkit. Jit-cap-ji-poh-kun bukan milik semuanya, Thio Leng, itu adalah milik Hwe-ci. Lembah Es juga pencuri karena Kim Kong Sengjin tak pernah mewariskan."

"Keparat, tak tahu malu. Lembah Es lebih berhak, karena Hwe-Ci adalah sahabat Lembah Es. Kalian yang tak tahu malu dan mencurinya lewat leluhur. Pulau Api yang selalu licik!"

"Tak usah menyebut-nyebut nama leluhur. Kau dan aku sama-sama gemblengan generasi tua, Thio Leng, kita selamanya tak pernah akur. Tutup mulutmu dan menyerah baik-baik atau kau roboh...dess"

Bu-kek-kang bertemu Giam-lui-ciang dan sekali lagi Thio Leng terpental. Tan-pangcu terhuyung sementara gadis itu melempar tubuh berjungkir balik, turun dan menyambar lagi dan bertandinglah mereka dengan hebat. Dan karena masing-masing tak mau mengalah sementara Thio Leng menggigit bibir, bertekad mengadu jiwa maka pertandingan di sini berjalan alot meskipun gadis Lembah Es itu sering terdesak dan dipukul mundur.

Namun Thio Leng benar-benar gadis gagah perkasa yang pantang mundur. la harus mengakui bahwa lawan setimpal ketua Pulau Api ini adalah ketuanya sendiri, Puteri Es. Namun karena dia tak mau mundur dan lebih baik mati berkalang tanah, betapapun dia akan menghadapi lawannya ini sampai titik darah penghabisan maka tekad dan semangatnya yang luar biasa itu membuat Tan-pangcu kewalahan dan kagum, juga marah.

Berkali-kali Bu-kek-kang dihantam namun gadis itu maju lagi. Sinkang yang dimiliki setingkat lebih tinggi namun semangat dan tekad gadis itu mengalahkan segala-galanya. Tan-pange ini gemas. Dan ketika pertandingan berjalan alot dan tentu saja lama, orang-orang Pulau Api sudah menyerbu wanita-wanita Lembah Es maka disana Kim-mou-eng juga masih bertanding seru dengan kakek kulit hitam.

Hantu ini, yang tak menyangka Kim-mou-eng memiliki Pek-sian-sut tentu saja terkejut dan marah sekali. Ilmu itu membuat Pendekar Rambut Emas lenyap dan menyerang di tempat tak kelihatan. Tapi setelah iapun mengeluarkan ilmu hitamnya dan berkelebat menghilang, tubuhnya berubah menjadi asap hitam maka di dunia alam sihir ini mereka bertarung dan Kim-mou-eng dibentak dan dikejar sebagaimana ketika mereka berada di tanah. Dan Pendekar Rambut Emas kembali terdesak.

"Hayoh, ke mana kau lari, Kim-mou-eng. Menghilang ke nerakapun kau akan kuhajar. Ha-ha, sekarang kau tak dapat bersembunyi lagi!"

Pendekar ini mengeluh. Menghadapi tokoh seperti ini ia benar-benar kewalahan, apalagi setelah Giam-lui-ciang menyambar dan membuat semua ilmunya luluh. Hawa panas dari ilmu itu amat luar biasa dan warisan Han Sun Kwi ini memang tak ada tandingannya. Hanya Bu-kek-kang yang dapat menahan sementara dia tak memiliki ilmu itu. Dan ketika dia terdesak dan terus terdesak, kakek itu terkekeh-kekeh maka Giam-lui-ciang menyambar pundaknya dan Pendekar Rambut Emas terpelanting.

"Heh-heh, kena kau sekarang. Bagus, menyerah atau mampuslah, Kim-mou-eng. Ayo berlutut dan katakan menyerah kalau tak ingin mampus!"

Kim-mou-eng bergulingan meloncat bangun. la menggigit bibir namun tentu saja tak mau menyerah, bertahan dan mengerahkan Khi-bal-sin-kangnya untuk menerima pukulan-pukulan kakek itu. lapun tak mau lari atau meninggalkan pertempuran. Dan ketika ia semakin terdesak lagi dan kakek itu kagum tapi juga oleh kebandelan sikapnya maka Giam-lu-ciang menyambar dan kali ini baju pendekar itu terbakar. Kim-mou-eng pucat.

"Ha-ha, sombong dan keras kepala kau ini, Kim-mou-eng. Untuk apa mati-matian membela Lembah Es. Kau akan mampus, membuang nyawa sia-sia!"

Pendekar itu bergulingan dan mengebut padam api di bajunya. Ia terhuyung dan pucat akan tetapi masih melakukan perlawanan, mengelak dan menangkis lagi ketika dikejar dan diserang. Akan tetapi ketika ia masih bertahan dan kegagahannya benar-benar mengagumkan, pendekar itu berseru bahwa yang dibela adalah kebenaran maka sesosok bayangan putih berkelebat dan sebuah payung lebar menusuk si kakek hitam, menyambar dengan amat tiba-tiba.

"Kim-taihiap, terima kasih. Akan tetapi tak perlu khawatir karena aku datang membantumu!"

Kakek hitam berteriak keras. la sedang mendesak pendekar itu ketika tiba-tiba dari samping menyambar sesosok bayangan putih, menusuk dengan ujung payung sementara kain payung menghalangi pandangannya. Dan ketika ia menangkis tapi terhuyung membelalakkan mata, kaget maka di situ telah berdiri sesosok wanita anggun dengan cadar putih menyembunyikan muka.

"Puteri Es!"

Kakek itu terkejut. Seruan Kim-mou-eng membuat ia melebarkan matanya tapi tiba-tiba tertawa panjang. Gadis cantik jelita yang berdiri di depannya ini kiranya Puteri Es, gadis yang anggun tapi bermata dingin. Dan ketika ia terbahak dan terkekeh-kekeh, sejenak terkejut tapi girang melihat majikan Lembah Es ini maka kakek itu berseru menudingkan telunjuk, liurnya muncrat.

"Heh, kau Puteri Es majikan lembah ini? Kau pemimpin đi sini? Heh-heh, cantik dan menggiurkan, bocah. Tapi kau tak mungkin melawanku karena tandinganku adalah tokoh-tokoh tua Lembah Es. Ha-ha, menyerahlah, dan biarkan tubuhmu kusentuh!" kakek itu bergerak dan tangan yang menuding tiba-tiba memanjang. la begitu girang bertemu gadis ini matanya membelalak lebar. Tapi ketika gadis itu berkelit dan tentu saja menangkis, payung bergerak menghantam maka kakek itu tergetar sementara sang Puteri sudah meloncat mundur.

"Plak!" Kakek itu melotot tapi terkekeh. la merasakan lagi tenaga gadis itu namun geli, tadi sudah merasakan pertama kalinya dan sejenak saja dia terkejut. Dan karena tenaga gadis itu masih di bawahnya dan ia tertawa, melompat dan menerkam ke depan maka Puteri Es tiba-tiba ditubruk dan hendak dipeluk. Kakek ini tak memperdulikan lagi Kim-mou-eng.

Dan pendekar itu tentu saja mengerutkan kening. Melihat sikap ini seperti melihat seorang tua bangka mengganggu gadis muda, tak malu dan segan-segan lagi menubruk korbannya. Tapi karena gadis itu bukan gadis sembarangan dan ini adalah Puteri Es majikan lembah maka tentu saja tubrukan kakek itu luput karena sang puteri sudah berputar dan mengelak serta menangkis, terhuyung dan dikejar dan segera tampak betapa si Hantu Hitam amat bernafsu. Bau harum tubuh gadis itu merangsang gairahnya, ia tergila-gila. 

Namun ketika si gadis membentak dan membalasnya, betapapun gadis itu bukan gadis biasa maka kakek ini melotot dan mempercepat gerakannya. Dan segera sang puteri didesak karena payung atau tangkisannya terpental.

"Heh-heh, kau tak mungkin mengalahkan aku. Tak mungkin menang. Menyerahlah, Puteri Es. Biarkan dirimu kubawa dan kita hidup bahagia berdua!"

"Kakek tak tahu malu!" gadis itu berkelebatan, membentak. "Jangan harap menyentuh tubuhku, tua bangka. Atau aku bunuh diri dan kau hanya mendapatkan mayatku!"

"Heh-heh, kau tak boleh bunuh diri. Aihh, kau harus ikut baik-baik denganku. Heiii... serahkan payungmu, anak manis. Atau aku terpaksa merobohkanmu... plak-dess!"

Puteri Es yang terlempar tapi berjungkir balik tinggi akhirnya melengking dan bergerak amat cepat menghindari terkaman-terkaman kakek itu, mengelak dan menangkis tapi semua tangkisannya terpental. Dari adu tenaga ini segera tampak bahwa dia kalah, kakek itu hebat sinkangnya. Tapi ketika dia mengeluarkan bentakan nyaring dan rambut mengibas bersama payung yang membuka tutup maka lawan tertegun kagum karena betapapun puteri itu memang amat lihai. Dan Pendekar Rambut Emas tentu saja tak mau tinggal diam, segera bergerak dan membentak kakek itu.

"Bagus, tak tahu malu. Kau tua bangka berwatak rendah, kakek iblis. Tak ragu aku memusuhimu karena sikap dan sepak terjangmu benar-benar tak tahu Malu!"

"Majulah. Ayo maju! Kalian bocah-bocah ingusan bagiku, Kim-mou-eng. Ditambah sepuluhpun aku tak takut. Aku akan merobohkan kalian... des-plakk!"

Pendekar Rambut Emas yang terhuyung ditangkis kakek itu lalu bergerak lagi sementara Puteri Es menggunakan langkah-langkah sakti Jit-cap-ji-poh-kun yang dimiliki Lembah Es, maju mundur dengan amat cepat sementara tak jarang tubuhnya beterbangan mengitari lawan, menampar dan memukul namun kakek itu benar-benar lihai. 

Tapi ketika hawa dingin mulai menyambar dan sang puteri mengeluarkan Bu-kek-kang, andalan Lembah Es maka Hantu Hitam yang semula menyimpan Giam-lui-ciang akhirnya mengeluarkan lagi ilmunya itu karena hawa dingin dengan cepat telah menyerang tempat itu membuat segalanya beku!

"Ha-ha, bagus. Bu-kek-kang tak akan membuat tubuhku kedinginan. Lihat, aku akan memanaskannya lagi, Puteri Es, dan sampai di mana kau mampu menghadapi Giam-lui-ciangku... blarr!"

Api menyembur dari telapak kakek itu dan tiba-tiba membakar hawa dingin, menghancurkan pengaruh Bu-kek-kang dan gadis itu terkejut. Hawa dingin segera berobah menjadi panas, begitu cepatnya. Dan ketika ia membentak dan melepas pukulannya lagi si kakek menangkis dan menambah tenaganya maka hawa panas menindih hawa dingin dan Bu-kek-kang terdesak mundur kalah kuat!

"Ha-ha, lihat. Ilmuku masih lebih tinggi. Eh, tak usah melawan dan menyerah baik-baik, Puteri Es, atau nanti tubuhmu terbakar, ha-ha..."

Sang puteri menggigit bibir. la mengelak dan menangkis tapi selalu terpental sementara Pendekar Rambut Emas juga terhuyung oleh Giam-lui-ciang. Sudah sejak tadi kakek ini memang hebat. Akan tetapi karena keduanya bukan orang-orang lemah dan betapapun kakek itu harus bekerja keras maka meskipun terdesak dua orang ini masih dapat bertahan. Dan kakek itu tentu saja gemas dan penasaran.

"Puteri, sebaiknya bantu saja anak buahmu di sana. Aku dapat menahan kakek ini meskipun ia mendesakku!"

"Hm, tidak. Aku tak khawatir akan anak buahku, Kim-taihiap, justeru aku mengkhawatirkan dirimu karena kakek ini berbahaya dan hendak membunuhmu. Kau telah membela kami, kau sahabat Lembah Es. Biar kita hadapi berdua dan mati hidup kakek ini biar tahu rasa!"

Kim-mou-eng menarik napas dalam. Setelah dia membujuk dan dijawab seperti itu maka apa boleh buat dia harus mengeroyok lagi. Sebenarnya dia melihat kakek putih mendesak gadis-gadis di sana, khawatir tapi tak dapat berbuat apa-apa karena kakek hitam mendesaknya. Dibantu Puteri Es sebenarnya lumayan juga, meskipun tetap terdesak dan berkali-kali pukulan mereka mental bertemu kakek itu. Ada kekebalan aneh yang dimiliki iblis hitam ini, terutama kedua lengannya yang begitu kuat dan istimewa.

Dua kali ujung payung mengenai lengan itu tapi mental, ketiga kalinya bahkan hangus terbakar dan Puteri Es menjerit kaget. Dan ketika ia sendiri terhuyung dan terbanting oleh kibasan Giam-lui-ciang, pukulan panas itu tak kuat ditahannya mendadak terdengar jerit dan teriakan Shintala, Kim-mou-eng menoleh dan pucat melihat menantunya itu terlempar dan roboh terguling , Hantu Putih, dikeroyok tiga lawannya ini ternyata sudah mulai menyelesaikan pertandingan.

Kakek itupun terkekeh-kekeh dan Shintala maupun Yo-siocia dan Wan Sui Keng tak mampu bertahan lagi. Langkah sakti yang dipergunakan kakek itu ditambah kecepatannya, menggeser dan meloncat hingga Shintala yang tak mengenal ilmu ini menjadi kaget. Dan karena Hantu Putih memiliki sepasang kaki yang dapat terlontar-lontar sepertl bola, maju mundur dengan amat cepat dan hawa panas yang dikeluarkan dari Giam-lui-ciang juga luar biasa maka sang nyonya terkesiap ketika tiba-tiba gerakan Ang-tiauw Gin-kangnya tercegat di tengah jalan. la sedang beterbangan dan mengelilingi kakek itu ketika mendadak si kakek memutar tubuh, gerakannya cepat dan mengejutkan sekali.

Dan ketika tangan kiri kakek itu tahu-tahu berada di mukanya dan menyambar sambil tertawa bergelak, nyonya ini berkelit dan membanting tubuh maka ia kalah cepat dan pundaknya sudah dicengkeram dan dilempar kakek itu, hangus kehitaman. Dan saat itu Yo-siocia juga mendapat giliran, terhuyung oleh sebuah kibasan dan kaki si kakek mengait betisnya. Tanpa ampun lagi ia terjungkal dan Hantu Putih menyambar. Tapi ketika Sui Keng membentak dan menghantamkan sepasang rodanya ke kepala kakek itu maka si kakek mengerahkan sinkang dan roda hancur mengenai batok kepala yang keras.

"Ha-ha, kalian robohlah. Bertiga boleh menjadi tawananku!"

Wan-siocia pucat. la terhuyung oleh lemparannya yang kuat dan kakek itu membalik, tangan kanan bergerak dan menangkap pinggangnya. Dan ketika ia berkelit namun baju pinggangnya robek, gadis ini pucat maka kaki sang kakek menendang dan gadis itu mencelat terlempar, menjerit. Dan selanjutnya tiga wanita ini jatuh bangun.

Sui Keng dan sumoinya sudah mengeluarkan Bu-kek-kang namun ilmu itu kalah oleh Giam-lui-ciang. Bukan apa-apa, melainkan semata karena tingkat kepandaian kakek itu lebih tinggi. Dan ketika kakek ini melihat saudaranya juga mendesak Puteri Es, Kim-mou-eng jatuh bangun oleh Giam-lui-ciang adiknya maka kakek itu berseru dan tertawa-tawa.

"Sute, kau beruntung mendapat Puteri Es. Tapi aku di sini juga tak kalah denganmu mendapatkan tiga wanita cantik. Ha-ha, nanti kita dapat saling tukar-menukar, sute. Si hidung mancung bermata biru ini tak kalah dengan gadis itu dan kita berdua nanti dapat bersenang-senang."

"Betul," Hantu Hitam terkekeh. "Kau mendapatkan tak kalah olehku, suheng, tapi Kim-mou-eng ini menyebalkan. memiliki kepandaian lumayan juga."

"Bunuh saja. Atau aku membantumu setelah mereka bertiga ini benar-benar kurobohkan!"

Terdengar jerit dan pekik Shintala lagi. Nyonya itu disambar dan susah payah berkelit, terpelanting dan Yo-siocia juga terbanting bergulingan. Dan ketika kakek itu mencicit mengeluarkan Jari Api, menusuk dan mengenai dua orang itu maka Shintala dan gadis Lembah Es itu mengaduh. Mereka benar-benar jatuh bangun menghadapi kakek sakti ini dan Sui Keng pucat. Dialah yang lebih dapat bertahan karena kepandaiannya lebih tinggi daripada sumoinya, juga karena mengenal ilmu-ilmu kakek itu daripada Shintala.

Maka ketika nyonya itu roboh lagi dan terkena serangan lebih dulu, pucat dan bergulingan menjauh namun tak bakal dapat bertahan lama maka tak jauh dari situ Thio Leng atau Thio-siocia juga terdesak dan bertahan gigih dari serangan-serangan Tan-pangcu, yang kini sudah mengeluarkan tongkatnya dan memutar senjata itu disertai pukulan-pukulan Giam-lui-ciang.

Hanya anak murid mereka saja yang tampaknya berjalan imbang, Seru dan ramai. sementara tokoh-tokohnya terdesak dan bertahan mati-matian. Dan ketika keadaan semakin mencemaskan dengan suasana seperti itu mendadak muncul tiga bayangan kecil di mana dua di antaranya menyerggap Hantu Putih sementara yang satu membentak dan menubruk Hantu Hitam menggigit punggungnya.

"Kong-kong, aku datang menolong. Jangan takut, biar aku menggigitnya!"

"Dan aku juga," dua bayangan yang lain membentak dan menyergap Hantu Putih. "Aku datang menolongmu, ibu. Kalau kakek ini demikian jahat biar ia kugigit dan tak akan kulepaskan!"

Tentu saja dua kakek itu terkejut. Tiga anak kecil, yang bukan lain Bun Tiong dan Siang Hwa serta Siang Lan tahu-tahu menyergap dan menyambar mereka dari belakang. Siang Hwa sudah meloncat dan menggigit punggung kakek hitam. Sementara Siang Lan sudah menubruk dan menggigit paha Hantu Putih. Dan ketika kakek itu terkejut dan tentu saja berteriak keras, datangnya anak-anak kecil ini sungguh di luar dugaan maka Bun Tong sudah menerkam dan bagai Srikatan menyambar sudah hinggap dan menggigit punggung kakek itu kuat-kuat.

"Aduh!" Kakek ini tentu saja terbelalak. Baik dia maupun adiknya sedetik hilang tenaga oleh serangan itu. Sinkang yang melindungi tubuh seketika berhenti, bukan oleh kaget melainkan oleh heran dan tercengang ada anak-anak di situ, satu anak lelaki dan dua anak perempuan yang masih kecil-kecil. Tapi ketika Bun Tiong maupun Siang Lan melekat bagai lintah, menggigit dan menancapkan giginya membuat kesakitan maka sadarlah kakek itu otomatis mereka melengking dan menggoyang tubuh seperti anjing membersihkan bulu.

"Enyahlah!"

Akan tetapi dua bocah itu tak gampang dilempar. Mereka melingkarkan pula kaki dan tangan di pinggang si kakek, diguncang dan dibentak seperti apapun tak mungkin terlepas. Tapi ketika dua kakek itu berteriak dan mengerahkan sinkang mereka, hawa panas membakar punggung maka Bun Tiong maupun Siang Hwa menjerit karena gigi mereka seakan bertemu api. Dan saat itulah gigitan terlepas dan kakek ini mencengkeram dan membuang mereka bagai layang-layang putus.

"Bun Tiong...!"

"Siang Hwa...!"

Sang ibu dan sang kakek sama-sama berteriak kaget. Mereka juga tercengang dan sedetik heran oleh datangnya anak-anak itu, Shintala bahkan pucat. Tapi ketika dua anak itu terlempar dan gigi mereka bertemu punggung yang panasnya seperti api maka Siang Lan yang menggigit paha Hantu Putih juga melepaskan gigitannya dan ditendang hingga jauh terguling-guling.

Dan alangkah marahnya kakek-kakek itu. Mereka, dua dedengkot Pulau Api tiba-tiba harus dibuat terkejut dan kesakitan oleh ulah anak-anak. Mereka kaget dan marah sekali. Dan ketika mereka sadar dan menggereng marah, rasa sakit di punggung masih membekas maka keduanya tiba-tiba bergerak dan hampir serentak menyambar anak-anak itu. Tangan kanan mereka.berkerotok dan menyala bagai bara, siap menghancurkan leher anak-anak itu.

"Keparat, kubunuh kalian!"

Namun Kim-mou-eng dan Puteri Es tentu saja tak mau diam. Shintala yang hangus dan terbakar pundaknya juga menjerit melihat tubrukan itu, sebisanya menolong anak. Tapi ketika Puteri Es maupun Kim-mou-eng menjadi kaget, mereka membentak dan sudah menangkap bagian belakang tubuh kakek itu namun telapak tiba-tiba menjadi kemerahan, mereka terbakar oleh dahsyatnya Giam-lui-kang (Tenaga Petir Neraka) maka keduanya berteriak dari melepaskan tangan yang menangkap tubuh itu. Dua kakek ini terus bergerak dan tidak memperdulikan mereka.

Akan tetapi pada saat itu berkelebat sesosok bayangan hitam luar biasa cepatnya. Bersamaan dengan menyambarnya bayangan ini terdengar teriakan dan jerit kaget orang-orang Pulau Api, bahkan Tan-pangcu juga terlempar dan berteriak keras. Deru angin amat dahsyat menyertai gerak bayangan hitam itu, tubuh orang-orang Pulau Api yang merah marong juga tiba-tiba padam. 

Dan ketika bayangan itu terus melesat dan menyambar Bun Tiong dan Siang Hwa, juga Siang Lan maka kakek hitam dan kakek putih yang sudah menyambar tapi luput mengenai sasaran tiba-tiba terdorong dan jatuh ke samping. Tubuh mereka yang menyala juga padam bersamaan dengan ledakan di puncak gunung kelima.

"Blarr!"

Dua kakek itu kaget bukan main. Masing-masing yang terdorong dan jatuh bagai ditiup angin topan sekonyong-konyong tersentak, melihat tiga anak itu lenyap dibawa bayangan hitam yang amat cepatnya. Deru bayangan itu membuat segalalanya yang disambar beku, termasuk tubuh dan pakaian mereka. 

Tapi ketika bayangan itu lenyap dan sudah di puncak gunung, begitu cepatnya hingga mereka tak tahu siapakah lawan mereka ini maka Hantu Putih maupun adiknya melengking namun mata mereka yang tajam samar-samar melihat pinggang langsing seorang wanita, begitu pula Kim-mou-eng yang tertegun dan membelalakkan mata.

"Keparat, jahanam siapa itu. Heh, apa yang kau lihat, sute. Siluman dari mana berani menculik calon korban kita. Kejar!"

"Benar, aku melihat seorang waníta, suheng. Entah siapa dan dari mana tapi telah mengganggu kita. Kejar!"

Kim-mou-eng membelalakkan mata. Sebagai orang berkepandaian tinggi tentu saja dia melihát bagian belakang bayangan hitam luar biasa itu, pinggang langsing seorang wanita. Maka ketika dua kakek itu berteriak dan tiba-tiba mengejar, meledakken tangan dan lenyap menuju puncak gunung iapun bergerak tapi tiba-tiba menoleh pada Puteri Es, tertegun melihat puteri itu tersenyum.

"Siapa dia, penolong dari mana?"

"Hm, guruku muncul. Tak usah mencampuri, taihiap. Boleh diikuti tapi jangan sekali-kali ikut campur."

"Gurumu?"

Puteri Es tak menjawab. Gadis ini berkelebat dan tiba-tiba lenyap pula memukulkan payungnya. Benda itu memuncratkan bunga api dan sang puteri telah melesat ke atas gunung pula. Dan ketika Pendekar Rambut Emas sadar dan bergerak mengikuti, ia kagum akan kecepatan bayangan hitam itu maka orang-orang Pulau Api pucat dan Tan-pangeu tampak mundur membelalakkan mata, membalik dan lari.

"Pergi... kita pergi. Tinggalkan tempat ini!"

Orang-orang itu bergerak dan memutar tubuh. Mereka yang padam sinkangnya disambar deru bayangan hitam itu tampak pucat dan ngeri. Api di tubuh mereka lenyap, sudah mengerahkan sinkang namun gagal dan tetap saja tak berhasil. Dan karena Tan-pangcu sendiri juga kehilangan tenaga saktinya itu karena hembusan atau tiupan dingin dari bayangan hitam itu membuat sekujur tubuhnya beku, menggigil dan ia tak mampu membangkitkan Giam-lui-kang maka sadarlah tokoh Pulau Api itu bahwa seseorang yang amat luar biasa dan memiliki kesaktian yang amat mengerikan telah datang dan melumpuhkan mereka.

Maka ketika berturut-turut orang-orang Pulau Api itu mengikuti jejak tokohnya dan tubuh mereka tak lagi menyala seperti obor, sinkang di tubuh mereka lumpuh oleh hembusan bayungan hitamn itu maka mereka jatuh bangun sementara murid-murid Lembah Es tertegun dan membelalakkan mata dengan muka berubah. Mereka juga ditiup hawa amat dingin namun yangn membuat mereka malah segar dan semakin bersemangat!

Dan saat itu Yo-siocia juga sadar dan berseru keras. Gadis itu, yang telah jatuh bangun oleh kesaktian Hantu Putih tiba-tiba menjadi girang luar biasa melihat bayangan hitam itu. Bayangan itu seperti kilat menyambar dan lenyap sepersekian detik saja. Tak ada diantara mereka yang dapat melihat siapakah adanya bayangan hitam itu, manusia ataukah iblis!

Tapi Yo-siocia yang dapat merasa hawa dingin itu dan betapa dia dan para murid lain malah menjadi segar dan seakan bertambah tenaganya, sementara orang-orang Pulau Api bahkan padam dan mati sinkangnya maka gadis ini berteriak dan memberi aba-aba agar mengejar dan membunuh orang-orang itu, lelaki yang tubuhnya hitam legam dan kini tampak seperti gosong. Giam-lui-kang di tubuh mereka hilang kekuatannya.

"Kejar, bunuh mereka itu. Hancurkan lawan!"

Teriakannya ini disambut pekik sorak gadis-gadis Lembah Es. Mereka seakan mendapat tambahan tenaga baru dengan berkesiurnya angin dingin itu. Kalau orang-orang Palau Api malah padam dan hilang kekuatan Petir Nerakanya adalah mereka justeru bertambah dan malah menjadi kuat. Bu-kek-kang di tubuh tiba-tiba seakan bangkit dan bergolak, mendidih dan minta disalurkan. Dan ketika mereka melompat dan orang-orang Pulau Api terkejut karena lompatan itu panjang sekali, tujuh delapan tombak maka mereka disambar dan langsung dipukul, tak dapat mengelak.

"Aduh!" Tan-pangcu terkejut dan menoleh. la mendengar jeritan pertama itu dan melihat robohnya sang anak murid. Anak buahnya terbanting dan tewas kepalanya pecah. Lalu ketika yang lain berteriak dan menjerit pula, dengan amat cepat murid-murid Lembah Es menghajar dan membunuh anak muridnya maka Yo-siocia menyambar dan menghantamnya dari belakang. Gerakan gadis baju merah itu terasa amat cepatnya dan lebih dari biasa.

"Dan kaupun mampuslah!"

Ketua Pulau Api membelalak. la membalik dan menangkis tapi diri sendiri terpelanting. Tenaganya berkurang lebih dari setengah! Dan ketika ia bergulingan terkejut dan pucat sekali maka gadis itu mengejarnya dan laki-laki ini cepat berseru mengelak dan membentak anak buahnya melindungi. Namun anak-anak murid Lembah Es yang lain bergerak den menyerang anak buahnya itu. Yo-siocia berkelebatan dan dua pukulannya kembali mengenai ketua Pulau Api.

Gadis yang sebenarnya masih di bawah Tan-pangcu itu mendadak seakan menjadi lebih hebat, Tan-pangcu mengelak dan terbanting lagi. Dan ketika ketua Pulau Api itu benar-benar pucat karena ia masih kehilangan sebagian besar tenaga saktinya, datangnya bayangan hitam itu melumpuhkan Giam-lui-kang andalannya maka ketua Pulau Api ini jatuh bangun dan jeritan serta teriakan ngeri terdengar dari murid-murid Pulau Api. Tan-pangcu pucat dan tidak melihat jalan keluar!

Akan tetapi tiba-tiba terdengar gemuruh dan suara dahsyat dari langit. Puncak gunung kelima runtuh, batu dan bongkahan salju berguguran Dan ketika semua itu ditambah dengan cairnya lapisan beku dari salju yang ada di lembah itu maka air bagai bah meluncur dari atas menuju bawah. Dahsyat!

"Awas, puncak meleleh. Minggir!"

Semua terkejut. Murid-murid Lembah Es maupun orang-orang Pulau Api sama sama tersentak melihat kejadian itu. Perobahan mendadak terjadi dengan amat cepat, gunung kelima roboh disusul gunung keempat dan ketiga. Dan ketika sekejap kemudian gunung-gunung yang lain juga berguguran dan mencair, salju di padang es leleh dan menyerang siapa saja maka semua berteriak dan saat itu tampak dua sinar api mengejar atau memburu sesosok bayangan hitam. Dan paniklah murid-murid Lembah Es maupun orang-orang Pulau Api.

Mereka ini, tak pelak Tan-pangcu mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan diri. Air bah menerjang mereka dan murid-murid Lembah Es sibuk. Orang-orang Pulau Api sudah bergerak dan lintang-pukang lagi, menyelamatkan diri, bukan hanya dari murid-murid Lembah Es itu namun juga dari salju yang mencair dan leleh dengan cepat. Apa saja yang mereka injak menjadi licin. Belum lagi hujan batu atau pohon-pohon yang tumbang akibat akarnya tercabut.

Dan ketika semua itu menguntungkan orang-orang Pulau Api, gadis-gadis Lembah Es terbelalak dan memandang dua sinar api yang bergerak dan mengejar bayangan hitam maka pertempuran otomatis berhenti dan mereka yang sudah berlindung segera memandang tiga benda aneh yang berpindah-pindah begitu cepatnya dari atas gunung yang satu ke atas gunung yang lain. Apakah yang terjadi? Bukan lain adalah kemarahan Hantu Putih den Hantu hitam yang menyerang lawan mereka itu.

Dua kekek ini, yang terkejut dan marah bahwa Bun Tiong dan Siang Hwa tahu-tahu disambar orang lain untuk dibawa ke puncak gunung sudah bergerak dan mengejar naik. Mereka tadi terkejut bahwa tahu-tahu mereka terdorong dan jatuh. Akan tetapi karena lawan meninggalkan mereka dan tentu saja mereka marah, tak lagi mereka takut atau kaget maka dua dedengkot Pulau Api ini membentak dan mengerahkan ilmu mereka untuk mengejar dan mendapatkan musuh. Dan merekapun mengeluarkan ilmu hitam agar cepat menyusul lawan mereka ini, lawan yang tak diketahui siapa.

Akan tetapi dua kakek itu terkejut. Meskipun mereka telah mengeluarkan ilmu hitam dan lenyap menyusul ke atas namun lawan mereka itu tak kelihatan. Terpaksa mereka berhenti di atas dan mencari sekeliling, jelalatan. Lalu ketika bayangan lawan tak tampak juga maka Hantu Hitam memekik dan dihantamnya puncak gunung hingga roboh. Dan pukulan kakek itu tidak main-main. Giam-lui-kang yang dilepas langsung membuat puncak gunung roboh, salju mencair dan leleh ke bawah. Dan ketika lawan masih juga belum didapat dan Hantu Putih juga memekik seperti adiknya maka kakek itupun menghantam dan robohlah gunung itu disertai bongkahan salju yang memuncrat!

Akibatnya batu-batu berguguran, pohon juga terlempar dan salju yang dingin menjadi panas. Petir Neraka yang dimiliki kakek-kakek itu memang hebat apa yang disentuh seketika leleh, hangus terbakar. Dan ketika pekikan mereka membahana bagai suara dahsyat dari langit maka tiba-tiba tampaklah lawan mereka itu di gunung keempat. Tak ayal lagi dua kakek ini menyambar namun lawan menghilang lagi, gunung itu digempur dan roboh lagi, hancur dan salju menjadi air bah yang meluncur ke bawah.

Dan ketika lawan tampak di gunung ketiga namun menghilang lagi maka dua kakek ini marah dan akibatnya mereka mengamuk, mencari dan merobohkan apa saja lalu tampaklah tubuh mereka bergerak ke sana ke mari, mengejar bayangan hitam itu dan Giam-lui-kang yang sudah mendidih membuat tubuh dua kakek ini seperti cahaya api, menyambar dan melesat ke sana ke mari sementara lawan mereka itu masih tampak sebagai sosok bayangan hitam yang tak dapat disentuh.

Dua kakek itu masih tak dapat melihat lawan mereka ini, yang tampak hanya bagian belakangnya saja, punggung atau pinggang yang ramping itu. Tapi ketika gunung demi gunung dihancurkan roboh dan salju atau Lembah Es menjadi terbakar, hawa panas menyerang di mana-mana maka bayangan itu akhirnya berhenti dan membalik di puncak gunung keenam.

"Mo-ko, cukup sampai di sini. Kalian kembalilah atau nanti kulempar"

Dua kakek itu menyambar. Mereka girang dan kaget bahwa lawan akhirnya membalik, wajah itu kelihatan. Tapi ketika mereka melihat dan mengenal itu tiba-tiba keduanya berseru dan berteriak hampir berbareng.

"Hwe Hwe Moli!"

Namun pukulan mereka sudah terlanjur dilepas. Mereka menyambar dari kiri kanan dan masing-masing mengerahkan Giam-lui-kang delapan bagian. Wanita itu, yang sudah memperlihatkan wajahnya ternyata malah membuat dua kakek ini tersentak. Bukan wajah cantik yang tampak melainkan wajah yang mengerikan, wajah dengan dua bola mata putih seperti iblis. Tak ada manik mata atau bagian hitam di situ. Mata itu putih seluruhnya, seperti orang buta!

Dan ketika mereka terkejut dan tentu saja kaget bukan main, inilah lawan yang dulu mengalahkan mereka maka pukulan menyambari namun Hwe Hwe Moli atau wanita ini menyambut tenang dengan mengangkat kedua lengannya ke depan. Dari sepasang lengan itu keluar cahaya berkilat yang langsung membuat padam sinar merah dari pukulan Giam-lui-kang.

"Klap!" Dua kakek ini terbanting. Mereka berteriak dan kedinginan tapi bergulingan meloncat bangun. Hantu Putih nmelotot. Tapi ketika mereka bergerak dan menerjang, Petir Neraka menyambar lebih dahsyat maka wanita berpakaian hitam-hitam itu mengelak dan menyambut dengan tenang. Dan setiap gerakannya tentu membuat Giam-lui-kang yang dimiliki sepasang kakek ini padam, seperti api bertemu Es.

"Keparat!" dua Hantu itu melengking. "Kau kiranya masih hidup, Hwe Hwe Moli, tapi kali ini kami tak mau sudah. Kau atau kami yang terbunuh" dan dua kakek itu yang menyerang semakin dahsyat akhirnya menggabung pukulan-pukulan mereka hingga membuat gunung tergetar dan menjadi merah, siap terbakar dan menyala kalau saja tak ada Hwe iwe Mo-li di situ. Wanita inilah yang meredam dan mendinginkan pukulan-pukulan lawan.

Semakin dahsyat mereka menyerang semakin tenang gerak-gerik wanita itu. Dan ketika Giam-lui-kang akhirnya meledak dan menyambar wajahnya tiba-tiba dari bola mata yang serba putih itu meluncur satu kekuatan dingin yang merupakan inti Bu-kek-kang. Cahaya seperti sinar laser.

"Mo-ko, cukup kataku. Pergilah dan cari kebebasan setelah tiga puluh tahun terhukum ...blarr!"

Giam-lui-kang pecah dan hancur sinarnya, ditembus atau diserang kekuatan Bu-kek-kang dan dua kakek itu berteriak. Mereka merasa ditusuk dari depan dan sinar atau cahaya dari mata yang serba putih itu menembus dahi mereka, dingin membungkus kulit dan otakpun seketika beku. Dan ketika dua kakek itu mengeluh dan roboh terbanting, gedebuk bagai pohon pisang maka selesailah pertandingan dan wanita itu tiba-tiba lenyap dan dua tubuh itu terangkat dan terbang jauh melewati padang salju, keluar Lembah Es.

"Wuuttt.....!"

Orang tak akan percaya melihat keajaiban ini. Tubuh dua kakek itu bukan hanya keluar Lembah Es melainkan terus meluncur dan melewati samudera, melayang di angkasa luas dan terus ke selatan. Dan ketika dua tubuh itu lenyap entah ke mana maka Kim-mou-eng dan Puteri Es yang mengikuti pertandingan ini dari jauh akhirnya sadar setelah mendengar seruan anak-anak. Bun Tiong dan Siang Hwa serta Siang Lan muncul.

"Nenek hebat sekali, luar biasa, amat sakti!"

Namun tiga anak itu terpekik kaget. Tadi mereka dilempar dan disembunyikan di balik gunung ketika dua kakek iblis itu menyerang wanita ini. Bun Tiong maupun Siang Hwa tak melihat wajah si nenek. Maka begitu mereka muncul dan melontarkan pujian, Hwe Hwe Mo-li menleh dan memperlihatkan sepasang matanya yang putih berkilau-kilauan mendadak anak-anak itu tersentak dan menjadi kaget, terpaku dan berhenti namun tiba-tiba wanita itu mendengus.

Tidak seperti tadi yang bersikap melindungi dan menyayang anak-anak ini adalah sekarang Hwe Hwe Moli memasang sikap bermusuhan Wajahnya tiba-tiba menjadi bengis. Dan ketika tiga anak itu terkejut dan tertegun, menghentikan langkah maka wanita itu mengibas dan sudah berseru dingin.

"Kalianpun tak perlu tinggal di sini lagi, pergilah!"

Bun Tiong dan Siang Hwa menjerit. Bersamaan dengan itu tubuh mereka terangkat naik, terbang dan terlempar keluar Lembah Es. Dan ketika Siang Lan juga menyusul dan sang kakek tentu saja berteriak keras, Kim-mou-eng berkelebat maju mendadak nenek itupun mengibas dan melempar pendekar ini.

"Tak ada siapapun yang boleh di sini. Menghormati Sian-su biarlah kaupun pergi."

Pendekar Rambut Emas mencelat dan terbang mengikuti cucu-cucunya. Bagai daun kering saja pendekar itu dikibas dedengkot Lembah Es, tak mampu melawan dan tertiup kencang. Dan ketika di sana Shintala menjerit dan melompat mengejar mendadak wanita itupun mengebutpun lengan bajunya dan tak ayal lagi nyonya ini terbang menyusul ayahnya.

"Gak-hu..!"

"Ibu...."

Tak ada siapapun yang dapat mencegah. Pendekar Rambut Emas kaget sekali dan semakin kaget lagi ketika tiba-tiba tak dapat mengerahkan tenaganya. Sinkangnya lumpuh. Maka ketika ia dan cucu serta menantunya melayang di atas Lembah Es, terbang dan terlempar bagai boneka-boneka tak berarti maka berturut-turut wanita itu membuang orang-orang Pulau Api yang ada di bawah. Mereka ini ditiup seperti dua kakek iblis tadi, mencelat dan angin topan seketika mengangkat mereka. Dan ketika di atas samudera mereka berjatuhan ke bawah.

Kim-mou-eng dan anak menantunya terbelalak dan melihat itu sambil masih terus meluncur maka mereka memejamkan mata dan melayang menuju utara. Entah bagaimana selanjutnya kejadian di Lembah Es pendekar itu dan keluarganya tak tahu lagi. Mereka jatuh di daratan besar. Semua ini seakan mimpi. Dan ketika berturut-turut mereka roboh dan pingsan, kesaktian penghuni Lembah Es benar-benar mengerikan maka hanya Beng An yang tertinggal dan masih berada di perahu!

Pemuda itu memang benar dibawa sepasang kakek iblis Hantu Hitam dan Putih menyertai perjalanan ke Lembah. Tapi karena dua kakek itu meninggalkan Beng An di perahu dan hanya dijaga beberapa murid saja, kakek-kakek ini memiliki kepercayaan untuk menundukkan lawan mereka maka ketika semuanya berbalik dan justeru mengejutkan mereka maka pemuda ini selamat sendirian.

Waktu itu Beng An tertotok dan diikat. Tubuhnya selama ini dilumpuhkan dua kakek itu. Maka ketika Tan-pangcu tiba-tiba datang berlarian dan puluhan murid-muridnya menuju perahu, berhamburan dan tampak ketakutan maka enam murid yang menjaga Beng An jadi pucat dan ikut melarikan diri. Mereka ini mendengar tentang munculnya Hwe Hwe Moli, tokoh yang hanya disebut sebagai bayangan hitam yang melumpuhkan semua tenaga orang-orang Pulau Api. Hanya dengan desir tubuhnya saja Giam-lui-kang di tubuh mereka padam, lumpuh oleh angin dingin yang keluar dari tubuh wanita itu.

Dan karena Tan-pangcu terbirit-birit sementara dedengkot mereka terjatuh di sana, rupanya tak kuat pula melawan wanita itu maka mereka yang ketakutan dan dibawa Tan pangcu ini menjadi panik dan terburu-buru. Dan enam penjaga itu melihat betapa Tan-pangcu dan teman-teman mereka itu sudah tidak memiliki tubuh yang kemerah-merahan lagi, tanda bahwa Giam-lui-kang di tubuh memang sudah dilumpuhkan. 

Dan ketika semua sudah menyambar perahu dan mendayung pergi, cepat maka tak pelak lagi yang menjaga Beng An melompat ke perahu teman mereka dan meninggalkan Beng An sendiri, apalagi ketika kemudian puluhan tubuh meluncur dan melayang di atas kepala, jatuh ke laut. Tubuh atau mayat teman-teman sendiri!

Orang-orang ini menjadi gentar dan tak ingat apa-apa lagi. Beng An ditinggalkan begitu saja. Maka ketika mereka berhamburan dan meninggakan Lembah mengikuti perahu Tan-pangcu maka hanya pemuda ituluh yang tertinggal. Namun Beng An tak tahu semu ini. la cukup lama di bawah tawanan kakek-kakek iblis itu, karena totokan yang terlalu lama membuat darahnya tak mengalir lancar.

Beng An masih pingsan dan bahkan menderita luka dalam. Maka ketika ditinggalkan dan sendirian di situ, perahunya tergolek dan terobang- ambing perlahan maka pemuda ini tak tahu apa-apa sampai tiga hari tiga malam. Namun ketika semua kerusuhan itu berakhir dan Lebah Es kembali sunyi maka pada hari keempat sesosok bayangan muncul dan perahu serta pemuda ini ditemukan.

* * * * * * * *

"Kim-kongcu!" bayangan itu terpekik dan langsung berhenti begitu melongok si perahu. la adalah seorang gadis cantik berpakaian pelayan, telinganya putus sebelah namun ditutupi rambutnya yang hitam tebal. Dan ketika gadis itu berhenti dan terpekik melihat Beng An, sejak tadi ia curiga akan perahu yang sendirian ini maka gadis itu tertegun namun tiba-tiba menangis dan menyambar Beng An dari perahu.

"Kim-kongcu... Kim-kongcu!" ia mengguncang-guncang tubuh pemuda itu namun Beng An tak sadar dan tentu saja tak menjawab. Gadis ini bukan lain adalah Hwa Seng yang dulu diselamatkan Beng An dari Pulau Api, gadis yang nyaris menjadi korban kebiadaban orang-orang Pulau Api. Dan ketika gadis itu tertegun dan pucat melihat keadaan Beng An yang tak bergerak atau membuka mata maka gadis ini membawa pemuda itu dan memanggulnya sambil menangis tersedu-sedu.

Hwa Seng langsung membawanya ke Lembah Es, masuk tapi melalui jalan berliku yang tak banyak dilalui murid-murid lain. Dan ketika ia jatuh bangun dengan tangisnya yang mengguguk maka bayangan merah berkelebat dan Yo-siocia muncul di situ, menghadang.

"Hwa Seng, siapa yang kau bawa. Berani benar kau memasukkan laki-laki...!"

Hampir saja gadis baju merah ini menampar dan mengayun tangan ke kepala Hwa Seng. Akan tetapi melihat gadis itu mengguguk dan menjatuhkan diri berlutut, meletakkan Beng Ani maka Hwa Seng tersedu-sedu memberi tahu.

"Maaf, ampunkan diriku. Aku membawa Kim-kongcu, siocia. Kudapatkan ia di perahu orang-orang Pulau Api dalam keadaan begini. Kim-kongcu rupanya luka-luka, aku hendak membawanya kepada Puteri. Tolonglah sampaikan padanya dan jangan biarkan pemuda ini tewas!"

Yo-siocia tertegun. Tak disangkanya bahwa yang dibawa pelayan itu adalah Beng An. Meskipun Hwa Seng memasuki jalan lain namun sejak serbuan orang-orang Pulau Api keadaan menjadi diperketat. Jalan sekecil apapun pasti dijaga. Maka ketika ia melihat pelayan itu dan curiga kenapa pelayan itu mencari jalanan sunyi, menghindar dan selalu mengelak tempat-tempat yang dijaga maka ia berkelebat dan muncul di situ, mencegat dan ingin memberi hajaran tapi tak tahunya malah dibuat terkejut.

Hwa Seng ternyata membawa Beng An, putera Kim-mou-eng. Dan karena pemuda itu, telah memiliki tali persahabatan dengan Lembah Es, hanya pemuda ini satu-satunya yang diterima dan dikagumi tocunya maka gadis itu sejenak tak mampu menjawab dan berdiri dengan muka kebingungan. Sesungguhnya, empat hari sejak peristiwa besar adanya serbuan dua kakek iblis itu sesepuh mereka Hwe Hwe Mo-Li telah mengadakan ancaman bahwa siapapun yang masuk harus dibunuh. Sekarang bukan hanya laki-laki saja melainkan juga perempuan.

Dalam waktu setahun ini Lembah Es tak boleh didatangi siapapun. Hawa yang dibawa orang-orang Pulau Api menyebar jahat, telapak kaki mereka itu masih meninggalkan noda bagi Lembah Es, setahun baru bersih dan setelah itu larangan berjalan seperti biasa lagi, yakni hanya laki-laki yang tak boleh masuk. Maka ketika tiba-tiba hari itu Hwa Seng membawa Beng An dan kini menyerahkannya kepadanya, minta agar diserahkan Puteri Es kontan saja gadis baju merah ini tak dapat menjawab dan bingung!

"Hm, kau memberikan sebuah kesulitan. Keparat, apa yang harus kulakukan, Hwa Seng, bukankah kau tahu bahwa su-pek-bo kita mengadakan ancaman. Bagaimana kau membawa Kim-kongcu ini dan hendak menyerahkannya kepada Tocu!"

"Kalau begitu biarkan aku lewat. Demi pemuda ini aku sanggup menerjang bahaya, Siocia. Paling-paling mati! Aku tahu larangan tetua kita tapi semua ini terjadi tanpa kusengaja. Kim-kongcu luka. iapun berada di perahu orang-orang Pulau Api. Kalau kau tak dapat membawanya kepada Tocu biarlah aku lewat dan aku yang menyerahkannya sendiri!"

"Hm, kau nekat. Kau menerjang bahaya. Eh, apa yang membuatmu begini, Hwa Seng. Jawab pertanyaanku dan katakan dengan jujur!"

"Tak ada lain, hutang budinya. Tanpa pertolongannya dahulu tak mungkin aku selamat. siocia, tak mungkin masih hidup. Aku semata ingin membalas budinya dan belum pernah kulihat pemuda seperti ini yang berani berkorban demi orang lain!”

"Hm, kau... eh, tak mencintainya?"

Hwa Seng terkejut, tapi tiba-tiba tertawa geli. "Orang macam aku ini tak pantas untuknya. Seribu kalipun tak pantas. Tidak, aku semata ingin membalas budinya dan tak ada kamus seperti itu di hatiku. Pemuda seperti ini hanya pantas untuk orang-orang yang jauh di atasku, kau misalnya, atau Tocu!"

"Baiklah," Yo-siocia semburat. "Akupun merasa tak pantas, Hwa Seng. Bawa dia pergi dan temui saja Wan-cici."

"Kau tak akan menghalang jalan?"

"Pergi dan jangan banyak cakap. Bawa surat pengantar ini agar kau menemui Wan-cici!"

Hwa Seng terkejut dan girang. Gadis baju merah itu bahkan memberinya sepucuk surat singkat untuk Wan-siocia, orang nomor tiga setelah Puteri Es. Dan ketika ia berlutut menyatakan terima kasih, iniah bantuan yang juga mengandung resiko bagi gadis baju merah itu maka Yo-siocia berkelebat dan pergi meninggalkannya. Gadis ini melompat bangun. la bangkit semangatnya mendapat bantuan ini, Yo-siocia berada di belakangnya.

Dan ketika ia menyambar dan pergi membawa Beng An lagi, kembali air matanya berderai maka benar saja di beberapa tikungan ia kepergok beberapa rekan-rekan lain yang muncul secara tiba-tiba. Namun mereka segera minggir melihat surat Yo-siocia, juga siapa pemuda yang dibawa gadis ini. Dan ketika akhirnya Orang yang dicari ditemukan juga, Sui Keng atau Wan-siocia itu tertegun maka tampak jelas bahwa gadis inipun berubah mukanya.

"Kim-kongcu!"

"Benar...!" Hwa Seng cepat menjatuhkan diri berlutut. "Hamba menemukannya di perahu orang-orang Pulau Api, Ji-siocia, sendirian dan terluka. Mohon bantuannya agar bertemu Tocu atau kau yang menyembuhkan!"

"Kau bertemu Yo-sumoi?"

"Yo-siocia menyuruhku menemuimu. Mohon lewat atau biarlah Kim-kongcu ini siocia bawa kepada Tocu!"

"Hm!" wajah gadis dingin ini memerah, membawa dan sudah menerima surat itu. "Berani mati kau ini, Hwa Seng. Kami sekarang kau libatkan!"

"Maaf, tidak disengaja, Ji-siocia. Kalau hamba tak dihadang dan dicegat rekan-rekan sendiri tentu semuanya tak ada yang tahu. Hamba kepergok, dan hamba harus melaksanakan tugas. Mohon keputusanmu agar nyawa Kim-kongcu ini segera diselamatkan!"

Gadis itu bingung. Sama seperti sang sumoi iapun tak berani gegabah. Ancaman keras yang baru saja mereka terima adalah langsung dari orang yang lebih tinggi, bahkan masih di atas Puteri Es. Tapi karena Beng An adalah sesuatu yang istimewa dan tak mungkin menolaknya begitu saja akhirnya tokoh nomor tiga ini berkelebat mengajak Hwa Seng menemui encinya, Thio Leng.

"Kau ikut aku dan menghadap Thio-cici!"

Hwa Seng girang. Dari nada bicara ini ia melihat suatu harapan besar, paling tidak sikap lunuk dari pimpinan yang sebenarnya keras ini. Wan-siocia dan Thio-siocia adalah tokoh-tokoh yang teramat disiplin, tak segan melakukan hukuman. Dan ketika Hwa Seng bergerak dan ikut sang pimpihan itu, tentu saja lebih mudah dan amat gampang maka di kamarnya Thio Leng dibuat terkejut oleh hadirnya dua orang ini, dan seketika berubah melihat Beng An.

"Kim-kongcu!"

"Benar...!" Sui Keng langsung mendahului Hwa Seng. "Dia, cici, Hwa Seng yang menemukannya. Terluka dan berada di perahu orang-orang Pulau Api. Rupanya ditangkap kakek iblis Hantu Putih dan Hitam lalu lupa tertinggal di situ."

Thio Leng berdiri dengan mata terbelalak. la berkelebat dan menyambar nadi pergelangan Beng An dan terkejut bahwa pemuda itu luka dalam. Wajah itupun pucat dan masih pingsan, napasnya hampir tak kedengaran. Tapi membalik dan tajam memandang saudaranya gadis ini bertanya,

"Keng-moi, ceritakan padaku kenapa kau membawanya ke sini. Bukankah kau tahu bahwa tak mungkin aku menolongnya, aku juga begitu. Tapi kau pimpinan tertinggi setelah Tocu, cici. Kalau kau menghendaki pemuda ini dibuang maka sekarang juga Hwa Seng kusuruh melemparkannya."

"Tidak!" Hwa Seng menjerit, melompat dan buru-buru mencekal lengan pemuda yang masih pingsan itu, gemetar. "kalau ji-wi hendak membuangnya biarlah aku yang menjadi penggantinya, siocia. Kalian tak boleh memperlakukan seperti itu karena pemuda ini bukan masuk secara tak sengaja. la dibawa orang-orang Pulau Api, ditingglkan dan terluka. Aku hendak membawanya kepada Tocu dan tolong ji-wi antarkan atau biarkan aku lewat!"

"Hm, kau melanggar larangan. Kau sudah mempertaruhkan jiwamu dengan membawa pemuda ini ke sini, Hwa Seng. Tidak tahukah kau bagaimana kalau supek-bo marah!"

"Aku tahu... tapi, tapi... ah!" gadis itu menangis. "Apapun akan kulakukan untuk pemuda ini. Toa-siocia. Hukuman apapun bakal kuterima asal Kim-kongcu sudah diterima Tocu. Kalian tolonglah dan aku siap menanggung semua dosa!"

"Hm, kau membuat kami repot. Aku tak dapat mengambil keputusan kalau hanya sendiri. Aku harus bertanya yang lain-lain. Mana Yo-sumoi!"

"Aku di sini!" gadis baju merah ternyata muncul, gemetar dan pucat. "Aku mendukung keinginan Hwa Seng, Cici akupun siap menerima hukuman kalau su-pek-bo marah!"

"Dan kami juga..."

"Kami juga!"

Ui Hong dan Ing Sim serta Yu Piao tiba-tiba muncul, cepat dan susul-menyusul dan mendadak tempat itu sudah penuh dengan murid-murid Lembah Es. Ternyata kedatangan Beng An ini sudah menyebar dengan cepat dan tahu-tahu mereka sudah memenuhi ruangan itu, bagai barisan berani mati! Dan ketika Thio-siocia maupun Sui Keng terkejut dan membelalakkan mata, simpati mereka terhadap Beng An ternyata masih luar biasa maka sejenak gadis bersanggul tinggi ini berseri namun sepasang matanya tiba-tiba meredup kembali, dingin.

"Hm... kalian ternyata sudah bertekad menantang maut. Bagus, apa alasanmu bersikap seperti itu, Yo-sumoi, dan kalian juga yang lain."

"Aku melihat Kim-kongcu adalah pengecualian. Dia adalah satu-satunya pemuda yang telah menolong kita semua, Thio-cici, dan aku merasa berhutang budi. Perasaanku hampir mirip dengan Hwa Seng. Tanpa bantuannya dulu mungkin aku sudah tewas di tangan sute Tan-pang-cu!"'

"Kami juga..."

"Dan kami juga! Kalau dulu tak ada Kim-kongcu ini mungkin Yang Tek telah membunuhku, Thio-cici. Aku dan adik-adik merasa berhutang budi kepada Kim-kongcu!" Ui Hong berseru dan menyambung ucapan Yo-siocia.

Mereka yang lain mengangguk dan bersinar-sinar dan Thio-cici akhirnya menarik napas dalam-dalam. Kalau dulu tak ada Beng An mungkin dia juga celaka di tangan Bu Kok, yang waktu itu dibantu si gila San Tek yang amat lihai. Dan karena masing-masing menyatakan alasan yang sama sementara Iapun tak luput dan akhirnya Thio-cici itu mengangguk dan berkata, mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

"Baiklah, agaknya kita sudah bersatupadu menghadapi persoalan ini Yo-sumoi. Mati satu mati semua, hidup satu hidup semua. Kalau supek-bo marah dan menghukum kita maka semua dari kita tak boleh melawan. Hm, kita bawa Kim-kongcu menghadap majikan tapi kalian nanti tunggu di luar!"

Hwa Seng hampir bersorak. Tak disangkanya sama sekali bahwa semua teman-temannya bersatu-padu membulatkan kata. Kalau tahu begitu mungkin ia tak perlu sembunyi-sembunyi, terang-terangan saja dan langsung menghadap Tocu. Maka ketika Thio Leng keluar dari kamarnya dan membawa semua anak buahnya maka dapat dibayangkan betapa kagetnya Puteri Es menerima pembantu-pembantunya ini, terutama melihat Beng An yang tidak sadarkan diri dan pucat dipanggul Thio eng sendiri!

"Apa... apa ini! Kalian, eh... Siapa yang kalian bawa itu, Thio-cici. Berani benar membawa laki-laki!"

"Ampunkan kami, semua berlutut dan berada di kamar sang puteri. "Hamba tak bermaksud melanggar larangan, Tocu, tapi apa boleh buat. Kim-kongcu luka dalam dan perlu pertolongan. Kami tak dapat menyembunyikannya dan terserah Tocu mau diapakan."

Sang puteri pucat dan gemetar. Waktu itu ia sedang bersisir rambut di depan sebuah cermin lebar, melihat satu demi satu para penbantunya itu dan tersentak melihat seorang pemuda di atas pundak Thio Leng. Tapi ketika ia membalik dan pemuda itu diletakkan di lantai, ternyata Beng An adanya maka bagai disambar petir sang puteri tertegun dan seketika berubah hebat. Malu dan girang tapi juga marah menjadi satu. Mengira bahwa semua itu adalah sandiwara dan mungkin atas persekongkolan pembantu-pembantunya ini.

"Thio Leng, apa maksudmu membawa pemuda ini ke sini? Tahukah kau apa akibat yang bakal kau terima?"

"Ampunkan hamba," gadis itu tetap berlutut. "Hamba membawa Kim-kongcu karena memang dipaksa keadaan, Tocu. Maksud hamba ada sesuatu yang membuat hamba tak berdaya. Hamba... dess!" gadis itu terlempar dan mencelat, tak sempat menghabiskan kata-katanya karena sang puteri menendangnya cepat.

Puteri Es merasa dipermainkan dan para pembantunya itu berpura-pura, marah sekali. Dan ketika yang lain menjerit dan sang puteri melengking-lengking, berkelebat dan menghajar pembantu itu maka Thio Leng mengeluh dan terlempar serta menabrak dinding lagi, tak melawan dan tak sempat bicara karena dianggap berpura-pura. 

Dia yang kelihatan membawa Beng An, jadi dia yang harus bertanggung jawab. Tapi ketika Sui Keng bergerak dan menerima sebuah tendangan terlempar dan buru-buru meloncat bangun untuk melindungi encinya maka gadis itu menghadapi sebuah kemarahan dengan sikap yang tenang namun sedikit pucat.

"Ampunkan hamba, maafkan kami....enci Thio Leng tak bersalah, Tocu. Yang membawa Kim-kongcu adalah hamba, bukan Thio-cici. Kalau paduka marah dan hendak melampiaskan kemarahan maka sepantasnya kepada hamba, bukan Thio-cici. Hamba membawanya ke mari dan sengaja melibatkan Thio-cici."

"Kau... kau yang membawanya?"

"Benar, Tocu, hamba... dess! gadis itupun mencelat dan terlempar.

Sang puteri telah bergerak dan ganti melengking padanya, marah dan menghajar wakilnya ini. Tapi ketika Yo-siocia bergerak dan ganti melindungi cicinya itu maka sang puteri tertegun dan sudah berhadapan dengan gadis baju merah ini , buru-buru menerangkan bahwa ia yang membawa tapi kakipun menutup omongannya. la mencelat oleh tendangan sang puteri. Dan ketika sang puteria akhirnya mengamuk dan menghajar tiga pembantunya itu maka Hwa Seng dan Ui Hong serta yang lain-lain menangis meloncat berteriak.

"Tocu, tahan dulu. Paduka Puteri, jangan salahkan mereka. Hambalah yang membawa, hamba yang pertama kali menemukan Kim-kongcu!"

Sang puteri akhirnya berhenti menyerang. la terengah-engah dan merah pedam menghajar Yo-siocia dan Thio Leng serta Sui Keng. Mereka itu telah babak-belur, tak melakukan perlawanan dan sama sekali mandah dipukul. Matipun mereka rela. Tapi ketika Ui Hong dan lain-lain berseru dan melihat Hwa Seng berlutut dan melindungi para pimpinannya itu maka sang puteri membelalakkan mata mendengar pelayannya.

"Ampunkan hamba...! Mereka itu tak tahu semua, Tocu. Hamba yang menjadi sebab utama. Hamba yang membawa Kim-kongcu dan meminta pertolongan mereka untuk bertemu paduka. Kim-kongcu luka-luka, mungkin parah. Mohon paduka menolongnya dan biarlah nyawa hamba sebagai penggantinya!"

"Kau... kau yang membawanya ke sini? Jadi kau biang keladinya?"

"Benar, Tocu, dan hamba siap dihukum!"

"Srat!" Sinar pedang mencuat menyilaukan mata, memotong ucapan itu dan Hwa Seng menggigil hebat. Puteri Es tampak marah berapi-api dengan pedang di tangan, pedang Soat-im-kiam yang amat ampuh. Dan ketika perlahan-lahan puteri itu menghampiri gadis ini, gemetar maka pedang diangkat dan siap membacok leher si pelayan setia.

"Jangan, Hwa Seng tidak bersalah!" Wan Sui Keng dan Thio Leng tiba-tiba meloncat ke depan, serentak berseru. "la tak boleh dibunuh, Tocu. Kalau kau hendak membunuhnya maka kamilah yang berhak. Kami yang membawanya ke sini!"

"Minggir!" sang puteri beringas. "Minggir dan pergilah, Thio-cici. Tak ada alasan untuk jahanam ini!"

"Tidak, kami yang bersalah. Hwa Seng tak akan ke tempat ini kalau bukan kami yang membawanya. Maaf, masukkan pedang itu Puteri, atau kami siap mengorbankan jiwa...crat!" dua gadis itu menubruk ketika sang puteri membentak dan berkelebat ke depan.

Hwa Seng menunduk dan diam saja ketika pedang menyambar, sang puteri tak dapat menahan marah. Tapi ketika Thio Leng dan Sui Keng maju berkelebat, menendang Hwa Seng untuk kemudian memasang diri sendiri maka sang puteri terkejut dan melencengkan pedang sedemikian rupa, membabat rambut dua pembantunya dan habislah rambut panjang itu. Kulit leher yang putih halus hampir juga dibabat pedang. 

Dan ketika dua orang itu menggigil dan jatuh berlutut, sang puteri tertegun maka dua pembantunya itu terisak dan Ui Hong serta yang lain-lain serentak melindungi dan berlutut di belakang dua orang itu. Hwa Seng di tengah dan dikepung rapat,setelah tadi ditolong dan diangkat bangun rekan-rekannya.

"Tocu, kami semua bersalah. Kalau satu menerima hukuman maka yang lain harus solider. Kami menyiapkan diri untuk dibunuh dan bunuhlah semua!"

"Kau.. kalian... kau. kalian, sudah gila semua? Kalian membela gadis keparat Hwa Seng ini? Kalian tak tahu larangan subo beberapa hari yang lalu Keparat, minggir dan biarkan biang keladi ini kuhabisi, Yo Lin. Atau kalian bunuh dan benar-benar menerima dosa...!"