Putri Es Jilid 19 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

"BERHENTI, atau kami akan membunuh kalian!"

Shintala tersenyum mengejek. Tentu saja ia tahu kepandaian murid-murid Lembah Es itu, di sepanjang jalan ia telah menghalau dan mendorong mereka. Maka ketika mereka muncul dan membentak menyuruhnya berhenti, hanya Wan-siocia atau Thio-siocia yang dianggap yang paling berbahaya maka nyonya ini mengibas dan melancarkan pukulan jarak jauhnya.

"Minggir, atau kalian pergi!" Tujuh murid terlempar. Mereka berada paling dekat dan Siang Lan bersorak melihat bibinya melempar wanita-wanita Lembah es itu. Mereka tentu saja tak kuat menahan pukulan nyonya itu, berteriak dan terbanting. Dan ketika Shintala terus bergerak dan menyambar mendorong yang lain, berkelebat dengan Ang-tiauw Gin-kangnya dan tak gentar mendaki gunung keenam maka Sui Keng tiba-tiba muncul dan membentak nyonya ini.

"Siauw-hujin, kau tak dapat diberi hati. Menyerahlah atau kau mampus!"

Shintala terkejut. Justeru terhadap tokoh nomor dua dari Lembah Es ini ia harus berhati-hati. Namun karena ia bertekad untuk terus maju dan yang terjadi tak bakal membuatnya gentar maka nyonya ini mengelak dan ketika ia dikejar dan menerima tamparan kuat cepat nyonya inipun menangkis.

"Plak!" dan ia tergetar, Otomatis gerakannya tertahan dan berhenti di situ, mengelak dan melompat sana-sini ketika lawan mencecar dan mendesaknya lagi. Dan ketika bayangan merah berkelebat dan itulah Yo-siocia, sumoi dari Sui Keng maka gadis itupun meloncat namun yang disambar adalah Siang Lan.

"Cici, kau robohkan wanita ini, biar aku bocah itu!"

Shintala terkejut dan semakin berubah lagi. Siang Lan, yang ada di pondongannya tíba-tiba menjerit. Kelima jari lawan sudah menyambar muka dan mencengkeram. Tapi karena ia mengegos dan gerakan itu luput, Yo-siocia terbelalak maka sepasang roda tiba-tiba menghantam dari kiri menyambar wajah nyonya ini.

"Bagus, kau tangkap anak itu, Yo-sumoi, aku orang tuanya!"

Shintala kelabakan. Diserang dari kiri kanan dan muka belakang. oleh dua orang itu benar-benar membuatnya repot. Kalau saja Siang Lan tak ada di pundaknya mungkin ia dapat menghindar. Tapi karena Sepasang roda kembali menderu dan meledak ketika dikelit, terbang seperti benda bernyawa lagi maka ia membentak dan tiba-tiba melontar Siang Lan seperti yang dilakukan ayah mertuanya.

"Siang Lan, kau larilah ke puncak sana. Aku tak mungkin menghadapi lawanku dengan beban dirimu!"

Anak itu berjungkir balik. la maklum akan kerepotan bibinya ini dan berseru melengking, jauh melewati Wan-siocia dan Yo-siocia yang terkejut oleh lontaran itu. Tapi ketika bayangan putih berkelebat dan Thio Leng atau Thio-siocia muncul, menyambut dan menangkap anak ini maka Siang Lan kaget dan menjadi panik. "Bibi...."

Namun wanita itu mendengus. Thio Leng telah bergerak dan tak mungkin Siang Lan menyelamatkan diri. Terhadap Yo-siocia saja ia tak mungkin lolos, apa lagi wanita ini. Maka ketika Thio Leng menggerakkan jarinya dan menotok kaki anak itu, Siang Lan mengeluh maka anak ini roboh dan jatuh di tangan lawan.

Shintala terkejut. Ia membentak dan mencabut tongkatnya namun Thio Leng memutar tubuh. Wan-siocia mengejar dan menyerang nyonya ini dari belakang. Dan ketika Shintala harus membalik dan menerima serangan lawan, terpental dan terhuyung maka Thio Leng lenyap berseru agar nyonya itu ditangkap.

"Robohkan dia, jangan dibunuh. Tocu tak menghendaki kematian dan aku mencari Kim-mou-eng!"

Shintala melengking dan menangkis serangan Wan-siocia lagi. Sui Keng mengejar dan tak memberi ampun, bergerak dan roda terbangnya itu hidup menyambar-nyambar. Dan karena Yo-siocia akhirnya bergerak dan menyerangnya pula, sulit bagi Sui Keng untuk merobohkan lawan tanpa membunuh maka para murid yang lain menyerang dan berteriak-teriak pula. Sang nyonya berkelebatan dan menangkis serta membalas namun adanya Sui Keng membuat repot. la dan lawannya ini hampir setanding.

Maka ketika tongkatnya terpental dan sepasang roda itu menyambar naik turun, Bu-kek-kang dilancarkan wanita ini mendesak sang nyonya akhirnya Shintala mundur-mundur dan pucat serta memaki-maki. Dan saat itu ia mendengar bahwa Siang Hwa dan Bun Tiong tertangkap.

Ibu mana yang tak akan tergetar mendengar puteranya di tangan musuh, biarpun nyonya ini mendapat keyakinan bahwa tak mungkin puteranya dibunuh. Maka ketika pikirannya kacau sementara rangsekan dari kiri kanan semakin menghebat, tongkat akhirnya terlepas dihantam siang-lun maka nyonya itu mengeluh menerima Bu-kek-kang.

"Dess!" Sang nyonya tak segera roboh melainkan terhuyung. Shintala menggigit bibir namun Yo-siocia menyerangnya dari kiri, mengenai pundaknya dan ia terpelanting. Tapi ketika nyonya muda itu masih dapat melompat bangun dan mendorong anak-anak murid lain, Sui Keng kagum maka wanita ltu membentak dan melepas pukulan ke tengkuk si nyonya. Kali ini Shintala tak dapat mengelak dan mengerahkan Khi-bal-sin-kang, terjerembab namun Bu-kek-kang menembus daya tahannya.

Dan karena pukulan itu dilakukan tokoh Lembah Es dan sang nyonya sudah kacau oleh berita puteranya maka Shintala akhirnya terbanting dan tidak bergerak lagl, pingsan dan Sui Keng sendiri menyambarnya sebagai tawanan. Nyonya gagah itu dipanggulnya. Lalu ketika semua mendecak dan merasa kagum, betapapun perlawanan nyonya itu amat gigih maka Sui Keng bergerak menuju stana Lembah Es sementara murid-murid dlsuruh menyebar mencari Pendekar Rambut Emas yang belum mereka temukan.

* * * * * * * *

Ke mana Pendekar Rambut Emas ketika cucu dan menantunya memasuki Lembah? Tak ada yang tahu karena pendekar itu menghilang dengan ilmunya Pek-sian-sut. Ilmu ini memungkinkan Pendekar Rambut Emas menerobos pertahanan Lembah Es, begitu mudah dan gampang hingga tahu-tahu pendekar ini sudah berada di gunung ketujuh. 

Istana di puncak gunung itu terlihat dan betapa kagumnya pendekar ini melihat sesuatu yang lain yang berada di tempat itu. Bangunan yang kokoh indah dan berlapis emas memantulkan cahayanya ke sana kemari, belum lagi taman-taman bunganya yang mentakjubkan.

Kalau di bawah Lembah semuanya serba putih, salju melulu maka di tempat ini serba lain. Bunga warna-warni gemerlap dengan amat indahnya. Mulai dari bunga bakung sampai anggrek, ribuan jumlahnya. Dan ketika pendekar itu terpana dan kagum, takjub oleh semua keindhan itu maka ia tak tahu ketika sesosok bayangan putih telah berada di belakangnya dengan mata bersinar-sinar marah. Puteri Es!

Wanita yang telah melihat dan mengetahui kedatangan pendekar itu memang menunggu di situ. Dari puncak istana tentu saja ia dapat mengikuti gerak-gerik Pendekar Rambut Emas, asap putih yang melayang dan bergerak seperti kabut itu. Dan ketika ia kagum karena tak mungkin anak buahnya dapat menghadang, ilmu yang dipergunakan pendekar itu adalah ilmu yang kasat mata maka puteri ini teringat Beng An dan membandingkan antara ayah dan anak itu.

Namun Beng An tidak berambut keemasan seperti ayahnya. Beng An meniru ibunya dengan rambut yang hitam tebal, hanya kegagahan dan bentuk tubuh dua orang itu sama. Maka ketika Pendekar Rambut Emas berhenti di taman bunga dan muncul sebagaimana biasa, melepas Pek-sian-sutnya maka puteri itu lebih jelas memandang tamunya ini. Dan iapun melolos ikat pinggangnya dan dengan benda keramat ini sang puteri lenyap seperti peri, muncul tanpa diketahui pendekar itu, yang terkagum-kagum dan bengong memandang taman bunga.

"Hm inikah Kim-mou-eng dari daratan besar? Ini Pendekar Rambut Emas yang berani menginjak Lembah Es? Berlututlah, kau melanggar pantangan, Kim-mou-eng. Kau harus mati dan menerima hukuman di sini!"

Pendekar Rambut Emas terkejut. la begitu terlena oleh keindahan taman di situ hingga tak sadar didekati orang, tentu saja ia terkejut dan membalik. Namun ketika tak ada siapa-siapa di situ karena sang puteri terlindung sabuk pusaka, ikat pinggang yang membuat mata biasa tak mungkin melihatnya maka sesosok sinar putih tiba-tiba menyambar dahi pendekar ini.

"Tar!" Pendekar Rambut Emas terkejut dan menangkis. Ia tak tahu dari mana datangnya sinar itu namun tergetar ketika menangkis, mengelak ketika sinar itu menyambar lagi dan selanjutnya dari delapan penjuru sinar itu menyambar-nyambar lagi, cepat dan berpindah-pindah dan berkelebatanlah pendekar ini mengelak dan menangkis. Dan ketika ia sadar bahwa seseorang menyerang dari balik ilmu sihir, cepat ia mengerahkan tenags batin untuk mempertajam pandangan akhirnya ia melihat secercah sinar lebar memayungi seseorang di mana dari balik payung cahaya ini sinar putih itu menyambar-nyambar.

"Ah, Puteri Es!" Pendekar Rambut emas tak ragu untuk berseru dan melepas kekagumannya. Ia telah mendengar dari Beng An bahwa sang puteri memiliki kepandaian istimewa, ikat pinggang pusaka yang dapat membuatnya menghilang dari pandang mata biasa. Hanya Pek-sian-sutlah lawannya. Maka ketika ia tertawa dan meledakkan kedua tangan, lenyap dan membentuk sesosok asap putih lagi maka benar saja ia dapat melihat seorang gadis menyerangnya dengan hebat namun gadis itu bercadar. Siapa lagi kalau bukan Puteri Es!

"Hm, kau dapat mengenal aku, bagus!" sang puteri berseru. "Tapi jangan harap mendapat ampun, Kim-mou-eng. Kau melanggar pantangan Lembah Es dan pulang tinggal nama...tar-tar!" sinar putih itu menyambar dan meledak lagi.

Kim-mou-eng mengelak dan menangkis. Ia mengerahkan Khi-bal-sin-kang hingga ujung sabuk terpental. Tapi ketika sang puteri mendengus dingin dan menjadi marah, berkelebat dan memindah senjata ke tangan kiri sementara tangan kanan melepas pukulan dingin maka Bu-kek-kang, ilmu Tanpa Kutub itu menyambar dan dahsyat sekali menyerangnya, bergulung dan membuat rambutnya tiba-tiba kaku dan dingin dan tempurung kepalapun beku!

Pendekar Rambut Emas terkejut dan berseru keras dan tentu saja menggoyang kepala kuat-kuat. Ia dapat celaka kalau begitu! Dan ketika ia terbebas namun telapak sang puteri sudah menuju dadanya, tak mungkin ia menangkis maka Pendekar Rambut Emas mengerahkan sinkangnya menahan pukulan itu.

"Desss!" Dan iapun terlempar bergulingan, beku! Pendekar Rambut Emas merasa betapa sekujur tubuhnya dingin seperti es, tak mampu bergerak namun untung kekuatan Khi-bal-sin-kang yang mendarah daging membuat sang puteri terhuyung. Betapapun puteri itu juga tertolak! Dan ketika Pendekar Rambut Emas mengempos semangatnya dan mengerahkan hawa hangat, menerobos dan membebaskan dingin di semua jalan darahnya maka ia dapat bergerak lagi dan bergulingan meloncat bangun.

Sang puteri kagum namun sorot matanya tetap dingin dan beku! "Hm, kau hebat. Namun Bu-kek-kang bukan untuk main-main, Kim-mou Eng. Terimalah dan tahan lagi dengan ilmumu!"

Pendekar Rambut Emas mengelak dan menangkis lagi. la teringat cerita Beng An bahwa Bu-kek-kang mirip Ping-im-kang, Sama-sama berhawa dingin dan intinya adalah es, Maka ketika ia mengerahkan hawa hangatnya melawan hawa dingin, bergerak dan mampu menerobos pukulan-pukulan beku maka Puteri Es melengking tinggi dan tiba-tiba kedua kakinya bergerak dengan amat cepat mempergunakan langkah-langkah sakti.

"Ah, Jit-cap-ji-poh-kun!" Kim-mou-eng berseru dan terkejut sekali. Langkah itu adalah langkah Hwe-sin dan kini ia benar-benar seperti memasuki dunia Seribu tahun lalu. Hwe-sin, Malaikat Api itu seolah dihadapinya lagi melalui Puteri Es ini. Dan ketika gadis itu tertawa dingin dan menyimpan ikat pinggangnya, menggerakkan telunjuk kiri dan keluarlah Hwe-ci atau tusukan-tusukan Api itu maka di samping Bu-kek-kang pendekar ini menghadapi pula ahli waris Hwe-sin.

"Plak-brett!" Pendekar Rambut Emas melempar tubuh dengan teriakan kaget. la menerima serangan bertubi-tubi dan Hwe-ci (Jari Api) itu menyambar-nyambar dengan amat hebatnya, juga pukulan dingin yang masih dilancarkan. Dan karena semua itu ditunjang dengan gerak langkah sakti Jit-cap-ji-poh-kun, ilmu yang dulu membuat Hwe-sin ditakuti lawan maka Pendekar Rambut Emas berubah dan mengelak sana-sini dengan amat gugup, kagum tapi juga gelisah karena tak mungkin ia harus berkelit dan mengelak saja.

la sudah mempergunakan Khi-bal-sin-kangnya namun sang puteri amat lihai. Dengan cerdik dan mengingat pengalamannya yang lalu puteri ini melepas balik daya tolak Khi-bal-sin-kang dengan tangannya yang lain. Artinya kalau ia terpental ditangkis tangan kirinya maka daya pental itu dibuang ke tangan kanan, dilempar dan kembali menyerang Kim-mou-eng lewat tangan kanan itu. Dan kalau tangan kanan yang terpental maka tangan kiri itulah yang menjadi tempat buangan Khi-bal-sin-kang, keluar dan menyambar lagi arah Kim-mou-eng hingga Pendekar Rambut Emas kewalahan dan kagum.

Baru kali itu ia menghadapi seorang puteri demikian cerdik dan Iuar biasa, Khi-bal-sin kangnya tentu saja menjadi hilang keampuhannya. Dan ketika ia harus mengelak pukulannya sendiri, tentu saja ia tak mau menerima Khi-bal-sin-kang miliknya maka Puteri Es mendesaknya dan langkah-langkah sakti Jit-cap-ji-poh-kun itu membuatnya kewalahan karena begitu cepatnya lawan berpindah-pindah. Kim-mou-eng takjub. la sekarang merasakan sendiri cerita puteranya Beng An. Ilmu-ilmu hebat dari seribu tahun yang lalu dihadapi langsung, mengelak dan menangkis nemun semua itu membuatnya repot.

Khi-bal-sin-kang tak banyak berguna sementara langkah-langkah sakti itu kian menggila saja, dua kali Purteri Es tahu-tahu berada di belakangnya dan menampar, membuat ia dua kali terbanting dan melempar tubuh bergulingan. Dan karena tak ada jalan untuk menghadapi ilmu langkah sakti itu kecuali dengan gabungan ilmu meringankan tubuhnya, Jing-sian-eng dan Cui-sian Gin-kang maka Pendekar Rambut Emas berseru keras mengeluarkan ilmunya ini.

"Wut-wutt!" Sang pendekar lenyap dan Jit-cap-ji-poh-kun mendapat tandingan. Sekarang sang puteri terbelalak karena lawan bergerak luar biasa cepat, berkelit dan membalas dan ramailah pertandingan itu membuat taman bunga bergoyang-goyang. Istana tergetar oleh tamparan atau angin pukulan mereka. Namun karena bukan maksud Pendekar Rambut Emas untuk bertanding sungguh-sungguh, tak ada niatan untuk bertempur mati hidup maka di sini pendekar ini banyak mengalah dan membiarkan beberapa pukulan sang puteri mengenai tubuhnya.

Beberapa kali Kim-mou-eng merasa dibuat beku namun dengan sinkangnya yang sudah mencapai tingkat tinggi ia mampu membobol kebekuan itu, melancarkan lagi jalan-jalan darahnya yang dihantam hawa dingin. Dan ketika pertandingan berjalan dua ratus jurus dan sang puteri penasaran mempercepat gerakan, di sini Kim-mou-eng terengah dan mulai memburu napasnya maka berkelebatlah banyak bayangan dan muncullah di situ Thio Leng dan Sui Keng, dua pembantu utama Puteri Es ini.

"Dia di sini. Keparat, Kim-mou-eng telah bertemu Puteri!"

Tempat itu segera penuh. Thio Leng, yang marah dan mencari-cari pendekar ini langsung saja melompat ke depan dan hendak menerjang. Din telah mendengar dan melihat pertandingan itu dan tentu saja marah. Kim-mou-eng kiranya telah masuk taman bunga, lancang dan kurang ajar! Tapi ketika ia melompat dan hendak menyerang, sang puteri membentak maka tak jadilah wanita ini mengeroyok lawan.

"Berhenti, jangan maju. Biar aku yang menyelesaikannya, Thio-cici. la telah berani memasuki tempat ini dan aku yang akan merobohkannya!"

Terpaksa wanita itu mundur dan belalakkan mata. Sebenarnya ia tak sabar namun sang junjungan telah melepas perintah, apa boleh buat menonton pertandingan itu dan Pendekar Ramhut Emas melirik Shintala di tangan penghuni Lembah Es ini, juga Siang Lan. Dan ketika ia tergetar namun tersenyum tenang, cucu dan menantunya itu tak apa-apa maka timbullah niatnya untuk ditangkap secara tidak kentara, yakni menyerah dan roboh di tangan puteri ini. Dan karena tak baik menghina sang puteri, ia harus menjaga muka tuan rumah maka di saat ia menerima pukulan dari kiri tiba-tiba pendekar ini memperlambat gerakan dan menangkis dengan setengah tenaga pula.

"Dess!" ia terpelanting dan roboh terguling-guling. Sang puteri terbelalak tapi mengejar, berkelebat dan menyusuli dengan satu pukulan lagi. Dan ketika Kim-mou-eng lagi-lagi memperlambat gerakan dan menangkis dengan setengah tenaga, mencelat dan terlempar maka untuk kedua kalinya ia terbanting dan menabrak dinding taman, mengeluh dan dikejar lagi sampai akhirnya merintih menggeliat pendek.

Sang puteri diam-diam heran namun kesempatan itu tak disia-siakan. la harus merobohkan pendekar ini di bawah tontonan anak buahnya. Ia harus menegakkan wibawa. Dan ketika satu pukulan lagi membuat pendekar itu mengaduh dan terlempar maka Puteri Es mencabut ikat pinggangnya dan sekali senjata itu meluncur maka pinggang Kim-mou-eng tertotok dan robohlah pendekar itu.

"Tuk!" Pertandingan selesai. Anak murid bersorak dan Pendekar Rambut Emas pingsan. Pendekar itu tak bergerak-gerak dan Thio Leng tiba-tiba berseru melengking, bergerak dan menyabetkan sepasang rodanya ke leher sang pendekar. Sekali kena tentu Pendekar Rambut Emas tewas! Tapi ketika sinar putlh menyambar dan roda terpental bertemu ujung ikat pinggang, Puteri Es lagi-lagi membentak maka Thio Leng tertegun mendengar desis junjungannya.

"Jangan bunuh, ia tawananku. Lempar ke belakang istana dan masukkan ruang bawah tanah!"

"Ah, tapi tapi...."

"Tak ada tapi, Thio Leng, ini perintahku dan laksanakan kata-kataku!"

Wanita itu mengangguk. Ia pucat namun sang puteri berkelebat pergi, mengikat dan membawa pendekar itu ke ruang bawah tanah. Lalu ketika berturut-turut Shintala dan Bun Tiong serta yang lain juga dilempar ke ruangan bawah tanah, tak jauh dari Pendekar Rambut Emas maka keributan di Lembah Es berakhir dan ternyata pendekar itu bersama keluarganya mendapat perlakuan yang baik.

Mula-mula rnakanan dan minuman mengalir. Bun Tiong dan lain-lain melengak namun anak laki-laki itu tentu saja bersorak girang. Ada buah-buahan dan minuman segar di situ, apel dan sejenis anggur salju. Dan karena ia disekap bersama ibunya, juga Siang Hwa dan Siang Lan! maka anak itu melonjak dan merasa kegirangan.

"Horee, perutku lapar. Kebetulan sekali!"

"Jangan sentuh. Siapa tahu ada racunnya, Bun Tiong. Hati-hati, Lembah Es orangnya curang!"

"Benar, enci Siang Hwa tidak salah, Bun Tiong. Jangan dimakan dulu. Siapa tahu jebakan!"

Anak itu tertegun. Siang Lan dan Siang Hwa yang saling berseru membuat ia terkejut juga. Namun ketika ibunya tersenyum dan mengangguk di sana, menyambar dan menggigit apel merah maka ia tertawa dan tak ragu-ragu lagi.

"Bodoh, untuk apa meracuni kita kalau dibiarkan hidup, Siang Lan. Puteri Es tak mungkin membunuh kita karena ingat paman Beng An. Ayo, maju dan sikat saja!"

Anak itu sudah menyambar dan menggigit segerombol anggur salju, rasanya manis-manis kecut dan tawanya ini membuat hilang kecurigaan Siang Hwa. Omongan itu juga dirasa benar. Maka ketika adiknya menggigit dan menyambar buah lain, menenggak dan merasakan minuman segar maka mereka bertiga tak ragu-ragu lagi menikmati semua pemberian itu.

"Ha-ha, terima kasih, cici yang baik. Boleh tambah lagi kalau masih ada!"

Murid Lembah Es itu membuang muka. Ia geli tapi harus menunjukkan sikap garang di depan tawanan ini. Sang puteri memang memerintahkan begitu dan memperlakukan tawanan secara baik-baik, tak boleh melukai atau menyakiti mereka. Tapi ketika Siang Hwa rnenggigit jeruk. kuning berdaging tebal, tak jadi dan membuang makanan itu maka Bun Tiong terkejut dan heran.

"Hei, ada apa, Siang Hwa. Apakah rasanya tak enak!"

"Tidak, aku tak dapat makan. Aku... aku teringat kong-kong!"

"Benar," Siang Lan tiba-tiba juga bangkit membuang buahnya. "lh, bagaimana kong-kong Bun Tiong. Masa kita enak-enak makan sementara kong-kong tak tahu di mana. Jangan-jangan ia celaka!"

"Aku di sini..." suara lembut Pendekar Rambut Emas menghentak gembira cucu-cucunya. "Makan dan nikmatilah semuanya, Siang Hwa. Aku tak apa-apa dan juga mendapat hidangan yang sama. Kita tawanan terhormat!"

Bun Tiong tertawa bergelak. Ia meloncat dan menuju pintu jeruji namun tak melihat apa-apa. Mereka terkurung di tempat yang semuanya tertutup rapat, kecuali pintu besi itu, juga sedikit lubang hawa di atas dinding. Lalu ketika Siang Lan dan encinya juga bersorak memanggil kakek mereka, Pendekar Rambut Emas tertawa kembali maka kakek itu menghibur cucu-cucunya dengan suara halus.

"Kalian tak dapat melihat aku, namun aku dapat melihat kalian. Kita di tempat berbeda yang agak berjauhan. Sudahlah, tenang dan santai-santai sajalah nikmati buah dan anggur itu!"

"Ha-ha, syukur kalau begitu, kong-kong...!"

“Mari nikmati hidangan kita dan sampai ketemu Puteri Es lagi!"

Siang Hwa dan Siang Lan juga tertawa. Mereka gembira bahwa kakek mereka selamat, tapi ketika mereka hendak menyambar buah-buahan itu lagi mendadak Siang Lan menoleh pada bibinya Shintala. "Eh, bibi sedari tadi tenang-tenang saja. Apakah bibi sudah tahu keadaan kongkong!"

"Sudah," wanita itu tersenyum. "Kong-kongmu telah membisiki aku, Siang Lan, jauh sebelum murid Lembah Es itu datang."

Siang Lan mengangguk-angguk. Akhirnya ia mengerti kenapa bibinya ini demikian tenang, tersenyum dan membawa buah itu lagi. Lalu ketika semua makan dan tenang-tenang saja, di situ ada bibi mereka Shintala maka di sana Pendekar Rambut Emas juga tenang-tenang saja dan justeru menunggu sesuatu. Dan malam itu yang ditunggu muncul.

"Hm, selamat datang. Masuk dan jangan mengintai aku, Puteri. Kau hebat dan telah merobohkan aku!"

Sosok bayangan putih menyambar. Puteri Es, sang ratu, telah berdiri di situ dengan mata bersinar-sinar. Malam itu tak ada siapapun dan ia datang secara diam-diam, mengintai dari lubang di atas namun Kim-mou-eng tahu. Kagum tapi mendongkol juga Puteri ini. Maka ketika ia berhadapan dan Pendekar Rambut Emas bangkit berdiri, pendekar itu tersenyum maka Kim-mou-eng mengucap terima kasih atas semua perlakuan yang diterima.

"Aku tidak berbasa-basi, tapi betul-betul ucapan terima kasih yang tulus atas semua yang kau berikan kepada kami. Kau tak membunuh cucu dan menantuku, Puteri, dan aku secara pribadi meminta maaf atas kedatanganku ini."

"Hm, kau... kau memang pria lancang! Kau tahu larangan yang ada di sini, Kim mou-eng, tapi kau datang dan membuat marah aku. Apa maksudnu dan kenapa tadi kau mengalah hingga aku merobohkanmu dengan mudah!"

"Aku mengalah? Eh, tak ada yang berbuat begitu, Puteri. Aku tak mengerti maksudmu...."

"Tak usah berpura-pura!" Puteri itu membentak. "Kau masih dapat bertahan dan membalas aku, Pendekar Rambut Emas, tapi kau tidak melakukan itu setelah anak buahku datang. Aku tak perlu kau bohongi!"

Pendekar Rambut Emas menarik napas dalam. Akhirnya ia tertawa dan mengangguk, orang selihai Puteri Es ini memang tak perlu dibohongi. Maka lembut memandang wajah bercadar itu terus terang pendekar ini mengaku, "Aku tak dapat membuatmu malu di hadapan sekian banyak murid-murid Lembah Es, nona, lagi pula aku harus tahu diri bahwa aku memasuki wilayah terlarang. Aku harus menunjukkan di depan anak buahmu bahwa kau masih dapat menjaga kewibawaan dan kegagahanmu. Aku bukan orang-orang Pulau Api."

"Dan kau dapat lolos kalau mau, tapi kau tidak melakukan itu. Hm, aku ingat akan Pek-sian-sut yang dimiliki puteramu, Kim-taihiap, dan kau memiliki ilmu itu. Kau dapat pergi kalau mau, tapi kau tidak melakukan itu. Apa maksudmu dengan ingin tetap tinggal di sini!"

Pendekar Rambut Emas berseri-seri. Sekarang gadis atau Puteri Es ini memanggilnya taihiap, satu sebutan yang sudah menunjukkan perubahan sikap. Dan kagum bahwa gadis itu lagi-lagi tahu akan semua yang dapat dilakukan, memang benar ia dapat pergi kalau mau maka pendekar ini menjura memberi keterangan, jujur,

"Kau tak dapat kutipu dan rupanya harus berterus terang, nona. Baiklah kuakui apa yang menyebabkan aku ingin tinggal di sini, tak lain adalah aku ingin mengenal penghuni Lembah Es lebih baik, juga karena cucu-cucuku ingin berkenalan denganmu."

"Hm!" dengus itu terdengar dingin. "Sekarang sudah tahu, sudah berkenalan. Sebaiknya kau bawa pergi semua keluargamu itu dan jangan mengganggu kami. Ini terakhir peringatanku atau nanti kutukan akan menimpa kami!"

"Aku akan melaksanakan itu, tapi jangan sekarang. Cucu-cucuku masih senang tinggal di sini, nona. Mereka ingin melihat keindahan Lembah Es!"

"Tidak bisa. Besok kau dan semua keluargamu harus pergi, Kim-mou-eng. Lembah Es pantang dimasuki orang asing!"

"Tapi tiga di antara kami wanita, tempat ini hanya tak boleh dimasuki lelaki!"

Gadis itu melotot. Ia membentak bahwa pendekar itu harus pergi, Siang Hwa atau siapapun tak boleh di situ. Dan ketika sang puteri marah membanting kaki, terisak dan berkelebat pergi maka puteri itu berkata bahwa di belakang terdapat jalan tembus menuju laut beku. "Aku tak mau mendengar kata-katamu lagi, besok kau pergi atau aku membunuh cucu dan menantumu itu!"

Kim-mou-eng membelalakkan mata. Sikap itu sudah berubah lagi dan tidak manis atau bersahabat. Ia diminta pergi dan meninggalkan tempat itu. Dan ketika ia menarik napas dalam dan mengangguk-angguk, ancaman itu tidak main-main maka pendekar ini meledakkan tangannya dan lenyaplah dia menerobos dinding tebal penjara bawah tanah itu, mengeluarkan Pek-sian-sutnya.

"Shintala, kita rupanya tak boleh lama-lama lagi di tempat ini. Puteri Es memerintahkan kita untuk pergi besok!"

Shintala terkejut dan membuka mata. la duduk bersamadhi sementara anak-anak tertidur, ayah mertuanya itu tahu-tahu muncul dan sudah di tempat mereka. Lalu ketika ia bangkit dan menyambut gak-hunya itu, terbelalak maka Pendekar Rambut Emas muncul dalam ujudnya semula.

"Ada apa. Bagaimana Puteri Es menemuimu, gak-hu, di mana dia dan apa katanya!"

"Kita harus pergi, besok. Di belakang ada jalan tembus dan rupanya tak dapat ditawar-tawar lagi. Persiapkan anak-anak besok dan kita meninggalkan tempat ini!"

Pendekar Rambut Emas segera menceritakan pembicaraan itu dan Shintala mengerutkan kening. Dia pribadi belum melihat Puteri Es itu kecuali Siang Hwa dan Bun Tiong, penasaran juga kalau rasanya harus pergi secepat itu. Tapi ketika ia mendengar ancaman Puteri Es dan gak-hunya tak mau bahaya maka ia mengangguk saja ketika diminta bersiap-siap.

"Gadis itu bersungguh-sungguh, kali ini aku percaya. Cukuplah sudah mengenal dia dan besok kita pergi."

Pendekar Rambut Emas bergerak dan meninggalkan menantunya. Ia kembali lagi ke tempatnya semula sementara nyonya muda itu termenung. Sebenarnya tak puas juga kalau harus pergi. Namun karena sudah merupakan kebaikan luar biasa mereka tak dibunuh, larangan Lembah Es telah mereka langgar maka Shintala tak berkata apa-apa lagi sampai ketika esok paginya ia membangunkan anak-anak itu. Dan betapa terkejutnya mereka, terutama Bun Tiong.

"Pergi? Kita pergi? Ah, tidak, aku masih ingin di sini, ibu. Aku belum mengenal Puteri secara jelas. Beruntung benar kong-kong bercakap-cakap dengannya!"

"Benar, dan aku juga belum melihat wajahnya, bibi. Aku tak mau pergi. Beruntung enci Siang Hwa dan Bun Tiong melihatnya!"

"Mellhat apa? Aku hanya sekilas Siang Lan, ketika ia muncul dan lenyap lagi di puncak gunung. Yang benar beruntung adalah Siang Hwa ini!"

"Hm, ia memang cantik, cantik sekali," Siang Hwa bersinar-sinar, bangga. Aku melihatnya sekali saja, Bun Tiong, tapi cukup, meskipun ia bercadar dan tidak memperlihatkan semua wajahnya."

"Nah, itu, sedang aku belum! Ah, bilang saja sama kong-kong bahwa kita tak usah pergi!"

"Tak mungkin," ibunya menggeleng. "Puteri Es telah mengancam kita, Bun Tiong, dan kakekmu tentu tak dapat melindungi kita semua. Sudahlah kalian siap dan kita berangkat!"

Pintu penjara terbuka dan runtuhlah gembok besar di luar ltu. Pendekar Rambut Emas masuk dan cucu-cucunya bersorak. Tapi ketika pendekar itu juga menggeleng dan berseru bahwa mereka harus pergi, sang puteri tak mau menerima mereka maka pendekar ini membujuk bahwa satu keberuntungan besar dapat pergi dan datang dengan selamat.

"Cukup rasanya saat ini, tak dapat ditawar lagi. Kita harus pergi, Bun Tiong. Jangan buat Puteri Es lebih marah lagi. Marilah, bersiap dan kita berangkat."

"Tapi aku belum mengenal Puteri," Siang Lan tiba-tiba berseru. "Bun Tiong dan enci Siang Hwa beruntung, kong-kong, tapi bagalmana aku!"

"Eh, yang beruntung adalah encimu, juga kong-kong. Aku hanya sekilas dan tak tahu jelas!"

"Sudahlah," Pendekar Rambut Emas tiba-tiba tersenyum. "Puteri Es akan menyertai kalian, anak-anak, ke mana saja. Maukah kudatangkan dan kalian tidak ribut-ribut lagi."

"Kong-kong mau memanggilnya?" Bun Tiong bersorak. "Tentu saja mau, kong-kong. Ayo panggil dia dan biar aku berkenalan!"

"Hm, memanggilnya tak mungkin, tapi aku dapat membawanya dalam bentuk lain, Bun Tiong. Maukah kalian bersabar sebentar."

Anak itu melengak. Sang ibu juga melengak sementara Siang Hwa dan adiknya bingung. Apa yang dimaksudkan kakeknya ini? Tapi ketika Pendekar Rambut Emas mengeluarkan pit hitamnya dan kertas putih, mencorat-coret dan menggerakkan pitnya dengan cepat maka terdapatlah lukisan seorang wanita cantik bercadar putih, persis sama.

"Puteri Es!" Siang Hwa berseru dan Bun Tiong juga mengangguk. Meskipun hanya sekilas namun anak laki-laki itu juga dapat membayangkan si puteri. Itulah orangnya. Dan ketika anak itu kagum menerima lukisan, Siang Lan merebut dan hendak disambar Bun Tiong lagi maka pendekar itu tertawa melerai cucu-cucunya.

"Sudahlah, sudah... jangan berebut. Nanti semua mendapat satu dan tak perlu ribut. Biarkan itu untuk Siang Lan dan Bun Tiong akan kubuatkan satu. Sekarang pergi dan kita jangan lama-lama di sini."

Anak itu cemberut. Tapi ketika ibunya tertawa dan kagum membenarkan itu, Shintala memuji corat-coret gak-hunya itu maka ibu ini menyambar puteranya dan Siang Hwa, Siang Lan diberikan ayahnya. "Benar, kakekmu dapat membuat banyak, Bun Tiong, tak perlu bertengkar dan sekarang kita pergi. Ayo, Siang Lan biar bersama kong-kong!"

Pendekar Rambut Emas tertawa dan menyambar cucunya. Siang Lan gembira dan duduk di pundak kakeknya ini. Lalu begitu Pendekar Rambut Emas bergerak dan meninggalkan tempat itu maka mereka semua sudah pergi dari situ dan mengikuti petunjuk Puteri Es. Ternyata benar. Di belakang ruang bawah tanah itu terdapat lorong panjang menuju keluar. Tak sampai sepenanakan nasi Pendekar Rambut Emas telah muncul di luar. Dan ketika mereka menghirup udara segar dan padang salju membentang luas maka laut di depan mata telah mereka lihat.

"Hore, kita sampai. Kapan-kapan dapat datang lagi ke sini!"

"Hm, tak perlu terlalu berharap. Apa yang kita alami rasanya lebih dari cukup, Siang Lan. Tempat ini pantang untuk orang luar. Mari cari perahu kita dan cepat-cepat pergi!"

Siang Lan terbelalak. la masih di atas pundak kakeknya ketika dari jauh ia melihat sesuatu, barisan hitam seperti ular panjang. Dan ketika ia berseru dan menuding ke depan, tak menjawab kata-kata kakeknya maka Siang Hwa dan Bun Tiong juga berseru di atas pundak ibu mereka.

"Heii, rasanya ada orang. Itu ada tamu-tamu baru!"

Kim-mou-eng dan Shintala terkejut. Mereka tak melihat karena anak-anak itu lebih tinggi. Tapi begitu Pendekar Rambut Emas bergerak dan melayang ke atas sebatang pohon, diikuti menantunya maka dua orang itu terkejut karena mata mereka yang lebih tajam melihat puluhan perahu meluncur dan menuju tempat itu, penumpangnya adalah orang-orang bermuka merah yang tubuhnya menyala seperti obor.

"Penghuni Pulau Api!" Kim-mou-eng berseru terkejut. "Ah, tak salah lagi mereka itu, Shintala. Apakah kau melihat jelas!"

"Ya," nyonya ini menambah ketajaman penglihatannya. "Rasanya seperti mereka, gak-hu, orang-orang Pulau Api. Ah, ini serbuan ulang!"

"Dan mereka jelas tak bermaksud baik. Kita harus menolong penghuni Lembah Es. Biarkan Bun Tiong kembali ke ruang bawah tanah dan anak-anak bersembunyi di situ!"

Bun Tiong terkejut. Siang Lan dilempar kakeknya sementara dia sendiri juga sudah diturunkan ibunya, Siang Hwa juga sama dan mereka bertiga diperintahkan masuk. Penjara bawah tanah itu tempat persembunyian mereka. Dan ketika anak ini terbelalak dan rupanya enggan, sang kakek membentak dan menyuruh masuk maka Bun Tiong ditendang menuju mulut terowongan itu.

"Kau bantu kami dengan memberitahukan Puteri Es. Katakan bahwa di pantai terdapat penghuni Pulau Api. Cepat, kalian bertiga jangan di sini, Bun Tiong. Beri tahu Puteri bahwa musuh datang!"

Bun Tiong mengangguk dan sadar. Akhirnya ia gembira bahwa dapat bertemu sang puteri lagi, mereka tak jadi meninggalkan Lembah. Maka meloncat dan terbang memasuki terowongan, ia tahu tempat itu maka Siang Hwa dan Siang Lan juga menyusul di belakang.

"Heii, tunggu, Bun Tiong. Jangan sendiri"

"Cepat, ayo cepat...!" anak itu tertawa.

"Kerahkan ilmu lari cepatmu, Siang Hwa. Kita berlomba memberi tahu Puteri"

Siang Hwa berseru dan mengeluarkan Jing-sian-engnya. Bun Tiong disusul dan anak itu meloncat seperti kijang, Siang Lan berteriak dan menyusul encinya. Dan tiga anak itu lenyap memasuki terowongan, Pendekar Rambut Emas berdebar dan tegang maka pendekar ini berkata agar menantunya berjaga di situ.

"Aku akan melihat dulu siapa saja mereka itu. Kau di sini kalau anak-anak ke luar nanti. Jaga dan lindungi tempat Shintala, sampai murid-murid Lembah Es keluar semua!"

Nyonya itu mengangguk. Dibanding gak-hunya memang ia kalah lihai, biarlah ia di situ dan gak-hunya menyelidik. Dan ketika Pendekar Rambut Emas berkelebat dan lenyap mengeluarkan Pek-sian-sutnya maka di dalam Lembah sendiri geger oleh berita Bun Tiong.

* * * * * * * *

Pagi itu, setelah semalam mengunjungi dan memerintahkan Kim-mou-eng pergi Puteri Es tampak murung. Sesungguhnya ia kacau, bingung dan tak nyaman. Maka ketika pagi itu ia mendengar ribut-ribut dan Bun Tiong berlarian menuju istana, dikejar dan berteriak-teriak melapor datangnya musuh maka Siang Hwa dan adiknya juga berkelebat dan memanggil-manggil puteri.

"Cepat, ada musuh-musuh datang. 0rang-orang pulau Api datang. Cepat, cici-cici. Bersiap dan mana Puteri. Aku hendak melapor bahwa di pantai berdatangan orang-orang jahat!"

Murid-murid Lembah membentak dan mengejar anak-anak ini. Bun Tiong yang ada di depan berkelit dan lincah menghindari tubrukan seorang lawan, lari dan terbang lagi menuju istana. Dan ketika anak itu masuk dan mendaki tangga dengan cepat, menyelinap dan lincah di antara pilar-pilar kokoh maka para murid yang terkejut melihat anak-anak itu keluar menjadi marah dan sudah meloncat dari berbagai penjuru. Dan Sui Keng serta Thio Leng muncul, hampir bersamaan dengan gadis baju merah Yo-siocia.

"Berhenti! Bagaimana kalian lolos, tikus-tikus cilik. Ada apa berteriak-teriak dan membuat ribut. Berhenti, dan tutup mulut kalian!"

Bun Tiong tak mampu mengelak terkaman Thio-siocia ini. Ia berkelit namun jari-jari lawan menangkap lebih cepat, tahu-tahu mencengkeram baju lehernya dan terangkatlah dia bagai kelinci menjerit-jerit. Dan ketika di sana Siang Hwa dan adiknya juga dibekuk Yo-siocia dan Wan Sui Keng, dua anak ini meronta-ronta maka semuanya berseru bahwa musuh berada di luar.

"Kami melapor, kami hendak melapor. Orang-orang Pulau Api datang menyerbu Lembah!"

"Bohong!" bentakan Yo-siocia itu disambut pelototan mata Siang Lan. "Kalian di penjara bawah tanah, anak-anak. Bagaimana tahu!"

"Kami tahu, karena kami sudah keluar. Eh, kong-kong dan bibiku lolos hendak pulang, Yo-cici. Kami sudah di pantai ketika orang-orang Itu datang. Mereka berjumlah banyak, ratusan!"

Gadis baju merah ini terbelalak. Ia kaget bahwa Pendekar Rambut Emas dan cucu serta menantunya keluar, berarti mereka lolos. Tapi ketika semua terbelalak sementara tiga anak Itu masih meronta-ronta, menendangkan kaki maka jauh di gunung pertama terdengar sayup-sayup suara genta bahaya. Dan begitu suara ltu terdengar maka tanda bahaya di gunung kedua dan ketiga dipukul gencar.

"Tang-tang-tang!"

Kaget dan sibuklah penghuni-penghuni Lembah. Yo-siocia melempar Siang Lan dan berkelebat keluar, disusul oleh Wan-siocia dan Thio Leng. Dan ketika berturut-turut tiga anak itu dilempar dan dibanting, Bun Tiong memaki-maki maka Siang Hwa dan adiknya juga mengeluh dan mengumpat gadis-gadis galak itu.

"Kurang ajar, diberi tahu malah membanting. Ugh, awas kalau paman Beng An ada di sini. Kusuruh dia membalas perlakuanmu!"

"Benar, dan Yo-siocia itu tak tahu terima kasih. Keparat, kita temui Puteri Es, Bun Tiong, mungkin dia lebih berhati bijak daripada pembantu-pembantunya!"

Tiga anak itu bangkit dan berlari ke dalam. Mereka sudah tak diperdulikan anak-anak murid karena seluruh penghuni Lembah Es sibuk oleh tanda bahaya itu. Sekarang mereka percaya bahwa laporan anak-anak ini benar. Dan ketika Bun Tiong dan temannya berlari ke gedung istana mendadak mereka terjeblos ke dalam sumur rahasia, lantai yang tiba-tiba membuka tanpa diketahui siapa pelakunya.

"Anak-anak, terima kasih. Tapi kalian beristirahatlah di situ karena musuh yang datang amatlah berbahaya!"

"Puteri Es!" Bun Tiong berteriak ketika sempat melihat bayangan putih anggun, berkelebat dan menutup lubang sumur itu dan Siang Lan juga melihat sosok bayangan yang sama. Gadis itu juga menjerit dan memanggli seperti Bun Tiong. Namun karena mereka terpelanting dan jatuh ke bawah, lubang sumur rnenutup lagi maka tiga anak itu menimpa benda lunak seperti kasur tebal.

"Bluk-bluk!"

Bun Tiong dan teman-temannya selamat. Mereka kiranya jatuh di bantalan air seperti kasur raksasa, terpental lagi ke atas tapi kemudian jatuh dengan lunak. Dan ketika tiga anak itu terbelalak tapi tempat itu tidak gelap, ada penerangan dari dinding sumur maka Siang Lan menangis dan memukul-mukul dinding sumur itu.

"Puteri Es, keluarkan kami. Jahat, kau jahat!"

"Tidak," Bun Tiong mereih dan menangkap lengannya. "Puteri Es tidak jahat, Siang Lan, justeru ingin melindungi kita dari kekejaman orang-orang Pulau Api. Bersyukur dan berterima kasihlah bahwa kita terlindung di sini."

"Tapi kong-kong dan ibumu bagaimana. Mereka tak tahu kita di sini, Bun Tiong. Jangan enak saja bicara karena kita sebagai tawanan lagi!"

"Hm, sudahlah," Siang Hwa melerai, membujuk adiknya. "Kalau Puteri Es menyembunyikan kita di sini tentu dia tak bermaksud jahat, Lan-moi, tenanglah dan mungkin kita dapat keluar."

Tapi dinding itu terbuat dari baja dingin. Siang Hwa sudah mencari jalan keluar namun tak ada, Bun Tiong juga begitu. Dan ketika dua anak itu menarik napas dan duduk tepekur maka Siang Lan menangis dan memukul-mukul tinjunya.

"Keparat, bagaimana kalau Lembah Es kalah. Tentu kita celaka juga, Siang Hwa cici. Kita bakal mati di sini!"

"Lebih baik daripada di luar," Bun Tiong tertawa, tiba-tiba geli. "Mati hidup tak usah dipikir, Siang Lan, tenang saja dan tidur. Aku malah kerasan dan ingin melanjutkan tidurku. Ufh, aku tiba-tiba mengantuk!"

Siang Lan terbelalak. Bun Tiong, anak Itu tiba-tlba melingkar dan tidur dengan nikmat, tak perduli kiri kanan lagi dan mendengkur. Dan ketika encinya tertawa, ia gemas, encinya mengangguk maka siang Hwa pun melemparkan kakinya dan tidur telentang.

"Hi-hik, benar. Daripada susah payah memikirkan keluar lebih baik tidur dan beristirahat, Lan-moi. Aku juga mengantuk dan nikmat benar tidur di tempat sehangat ini. Ah, sumur ini tidak terlalu dingin!"

Siang Hwa memejamkan mata dan meniru jejak Bun Tiong. Mereka benar-benar rileks dan Siang Lan melotot. Tapi karena tak ada pekerjaan lain di situ kecuali memaki-maki, Puteri Es tak mungkin mendengarnya maka Siang Lan pun menampar pundak encinya dan tidur. Tiga anak ini benar-benar tak mau memikirkan keadaan di luar lagi. Bun Tiong dan Siang Hwa rupanya memiliki kepercayaan akan kakek dan bibinya itu, juga Puteri Fs yang tidak membunuh mereka.

Dan ketika tiga anak itu benar-benar tak perduli keadaan sekeliling maka di sana penghuni Lembah Es telah berhamburan dan menyambut musuh, dibantu Pendekar Rambut Emas yang telah bergerak dan bertanding dengan satu di antara dua dedengkot Pulau Api yang bukan lain adalah si Hantu Hitam! Waktu itu, seperti diceritakan di depan pendekar ini telah berkelebat melihat siapa saja orang-orang Pulau Api itu. Bagai gerombolan singa-singa lapar orang-orang Pulau Api itu berlompatan turun.

Mereka telah tiba di laut es dan perahu mereka tak dapat maju lagi, terbentur balok-balok es yang dingin yang memaksa mereka turun. Perahu ditinggalkan begitu saja dan tak kurang dari empat ratus orang berhamburan, satu di antaranya adalah Tan Siok, pangcu dari Pulau Api itu. Tapi ketika dari tempat itu menyambar dua bayangan hitam putih yang terbang begitu cepatnya, melesat dan tahu-tahu melewati Pendekar Rambut Emas maka pendekar ini tertegun dan terkejut karena dua bayangan yang dilihat itu jelas orang-orang yang amat hebat, kesaktiannya tinggi!

"Heh-heh, mana Puteri Es. Ayo kita hajar penghuni Lembah dan tangkap yang paling cantik!"

"Benar, dan sudah lama aku tak membelai tubuh halus wanita-wanita cantik, suheng. Ih, tentu nikmat mengusap dan menyentuh tubuh mereka, ha-ha!"

Pendekar Rambut Emas terbelalak. Dia mempergunakan ilmunya Pek-sian sut hingga tak kelihatan, juga karena dia berlindung di balik sebatang pohon, pohon yang penuh salju. Dan karena bayangan putihnya mirip pohon salju ini, tak mudah dikenal maka dua orang itu lewat tanpa menyangka dan Kim-mou-eng terkejut karena gerakan dua orang itu begitu cepatnya seperti kilat menyambar!

"Hm, siapa mereka. Dan bagaimana Tan-pangcu dapat membawa orang-orang seperti ini."

Pendekar Rambut Emas tentu saja tak tahu bahwa yang baru lewat itu adalah dedengkot Pulau Api, susiok atau paman guru dari Tan-pangcu dan pimpinan tertinggi sekarang berada di tangan dua orang ini, Hantu Putih dan Hantu Hitam yang tiga puluh tahun tersiksa di dalam laut. Maka ketika mereka muncul dan tahu-tahu menyambar seperti siluman, begitu cepatnya maka pendekar ini tertegun karena jelas mereka adalah orang-orang yang kepandaiannya masih di atas Tan-pangcu.

Namun Pendekar Rambut Emas bukanlah orang yang mudah gentar. Justeru ia menjadi tegang dan gembira karena sekarang berhadapan dengan pewaris Han Sun Kwi, setelah sebelumnya dia bertemu dan bertanding dengan pewaris Kim Kong Sengjin. Dan karena dia sudah tahu kehebatan Tan-pangcu dan lega tak melihat Bu Kok maupun See Lam, sute dari Tan-pangcu itu maka pendekar ini berkelebat dan menyambar bayangan dua kakek luar biasa yang telah lenyap dan mendahului di depan itu.

Akan tetapi Pendekar Rambut Emas benar-benar tak mampu menyusul. Sekejap saja dua kakek itu lewat jarak di antara mereka telah ratusan meter, bukan main terkejut dan kagumnya pendekar ini. Akan tetapi karena dia terus mengejar dan dua kakek itu akhirnya berhenti tolah-toleh, mereka bingung harus ke mana dulu maka kesempatan ini membuat Pendekar itu mampu menyusul dan sekali meledakkan tangannya pendekar ini langsung muncul di depan dua orang itu.

"Kakek-kakek aneh, siapa kalian dan ada apa mengganggu Lembah Es!"

Dua kakek itu terkejut. Mereka tak menyangka di tempat itu ada orang lain, apalagi laki-laki. Namun ketika mereka terbelalak dan memandang marah, Hantu Hitam terkekeh tiba-tiba ia menuding rambut pendekar itu, teringat cerita Tan Siok.

"Heii, kau.... ha-ha. Kau pasti Pendekar Rambut Emas. Ha-ha, ini Kim-mou-eng, ayah Beng An. Eh, ada apa kau di sini, Kim-mou-eng, dan kau kiranya yang telah melukai dua murid keponakan kami Bu Kok dan Kiat Lam!"

Pendekar Rambut Emas terkejut. Ia sama sekali tak menyangka bahwa Tan-pangcu masih memiliki dua paman guru, Beng An tak pernah menceritakan ini kepadanya. Maka ketika ia tertegun dan berubah, itu benar-benar tak disangka maka kakek hitam itu menuding dan berseru lagi,

"Heii, bukankah kau yang melukai dua murid keponakan kami. Sekarang mampuslah dan jangan melotot di situ!" Jari itu mencicit dan tiba-tiba meluncurkan lidah api.

Kim-mou-eng terkejut dan berseru mengelak, dikejar dan akhirnya membanting tubuh bergulingan. Dan ketika ia pucat meloncat bangun, itulah Hwe-ci yang dimiliki mendiang Hwe-sin maka dia mengeluarkan keringat dingin dan salju di belakangnya yang akhirnya terkena lidah api itu gosong dan berlubang. Hangus!

"Heh-heh, lihai, seperti anaknya. Eh, apakah kau tak ingin ketemu puteramu, Kim-mou-eng. Beng An ada di tangan kami dan kebetulan kami bawa di perahu!"

Pendekar Rnmbut Emas pucat. Sekali gebrakan itu membuktikan kepadanya bahwa kepandaian kakek hitam ini luar biasa. Namun karena ia adalah seorang pendekar besar dan pantang baginya merasa takut, betapapun lihainya musuh maka pendekar ini menggosok-gosok telapaknya dan keluarlah getaran Khi-bal-sin-kang yang siap digunakan, terkejut namun menahan perasaannya akan berita Beng An.

"Hm, kalian kiranya kakek-kakek busuk paman guru dari ketua Pulau Api. Bagus, aku Kim-mou-eng pembela kebenaran, kakek iblis. Sebutkan nama kalian agar kukenal musuhku!"

"Ha-ha, aku Hantu Hitam, dan itu...." kakek ini menuding. "Dia suhengku Hantu putih... klap!"

Di saat pendekar itu menoleh tiba-tiba lidah api kembali menyambar dari ujung telunjuk, langsung menuju leher dan Pendekar Rambut Emas berseru marah. Tak disangkanya tokoh seperti itu berbuat curang, menyerang di saat ia melepas perhatian. Namun karena ia waspada dan betapapun seluruh syarafnya bekerja baik, mengelak dan mengikuti lidah api itu maka Pendekar Rambut Emas mengibas dan menangkis serta menjajal kepandaian kakek ini.

"Plak!" dan ia terbanting. Pendekar Rambut Emas bergulingan dan kaget bukan main karena Khi-bal-sin-kangnya tak memukul balik. Tenaga karet yang dimiliki itu leleh oleh hawa panas Hwe-ci, tak mempan dan tentu saja lidah api itu masih terus menyambarnya. Dan ketika leher bajunya hangus dan ia meloncat bangun, mencabut pit hitamnya maka kakek itu terkekeh-kekeh sementara bayangan murid-murid Lembah Es mulai bermunculan, tanda bahwa laporan Bun Tiong telah diterima.

"Hm, hebat, tapi jangan sombong. Aku belum kalah, Hantu Hitam, dan kalian pun tak perlu bangga dengan ilmu curian. Itu adalah milik mendiang Hwe-ci dan kalian orang-orang curang!"

Pendekar Rambut Emas berkelebat dan segera menyerang kakek ini. Hantu Hitam mengelak sementara Hantu Putih mendengus. Ia melihat juga gerakan murid-murid Lembah Es itu, para wanita cantik yang sudah meluncur dan menuju tempat mereka. Maka ketika saudaranya menghadapi Pendekar Rambut Emas dan kakek ini tertawa mengejek, merendahkan pendekar itu maka Hantu Putih bergerak dan meninggalkan sutenya.

"Heh-heh, kau dapat memanaskan tubuhmu. Hajar dan bunuh lawanmu itu, sute, biar aku bersenang-senang menyambut mereka!"

Hantu Hitam juga melihat dan tertawa oleh berkelebatnya bayangan-bayangan langsing itu. la mengelak dan menerima serangan Kim-mou-eng namun segera terkejut ketika pendekar itu membentak berkelebatan mengelilingi, cepat dan luar biasa dan tiba-tibe ujung pit hitam menotok tengkuknya. Dan ketika ia tergetar karena lawan menyentuh tubuhnya, Kim-mou-eng sudah mengeluarkan Jing-sian-eng dan Cui-sian Gin-kangnya maka pendekar itu menusuk dan menotok dengan amat cepatnya, bertubi-tubi.

"Hm, kau kurang ajar, berani menyakiti aku. Baik, lihat dan perhatikan balasanku, Kim-mou-eng. Jangan kira aku tak dapat bergerak secepat dirimu.... set-set!"

Tujuh Puluh Dua Langkah Sakti tiba-tiba dikeluarkan dan luputlah sambaran-sambaran pit hitam. Kim-mou-eng telah merasakan itu dari Puteri Es dan kini melihatnya lagi dimainkan kakek ini, jauh lebih cepat dan lincah dan sebentar saja ilmu langkah sakti itu membuat bingung sendiri Pendekar Rambut Emas. 

Gerakan berpindah-pindah yang luar biasa cepatnya dari kakek ini malah lebih cepat daripada Puteri Es. Kim-mou-eng terkejut dan membelalakkan mata. Dan ketika ia silau oleh gerak langkah sakti yang amat mujijat itu, yang dimainkan oleh dedengkot Pulau Api maka pit hitamnya ditampar dan nyaris terlepas dari tangannya.

"Plak!" Si Hantu Hitam terkekeh-kekeh. Sekarang ia dapat menghindari Jing-sian-eng dan Cui-sian Gin-kang itu, menampar dan membalas dan Kim-mou-eng terpelanting. Jari Api (Hwe-ci) menyambar pendekar itu. Namun ketika si pendekar masih dapat bergulingan meloncat bangun dan tak apa-apa, hanya baju pundaknya yang hangus maka kakek ini kagum juga dan memuji.

"Bugus, sinkangmu lumayan juga. Tapi tak lama kau bertahan, Kim-mou-eng. Sebentar lagi pasti roboh, heh-heh!"

Pendekar Rambut Emas pucat. sin-kang yang diandalkan tak banyak berguna setelah Jari Api menyambar-nyambar, kian lama kian panas sebagai tanda bahwa kakek itu menambah sinkangnya. Hantu Hitam penasaran juga bahwa lawan masih dapat bertahan. Dan ketika pit akhirnya terlepas tapi disambar kembali pendekar ini, berjungkir balik menjauhi kakek itu maka Hantu Hitam menggeram dan mulai menggerakkan tangan kanan melepas Petir Neraka!

"Keparat, kau ulet. Mampus dan robohlah, Pendekar Rambut Emas. Terima pukulanku..blarrr!" asap membubung di sertai jilatan api yang tinggi, menyambar dan membakar pendekar itu.

Namun pendekar ini telah mendapat pengalaman dari Tan-pangcu. la tak berani menyambut dan bergulingan menjauh. Lalu ketika dari bawah Ia menyerang kakek itu, melepas Pek-sian-kang atau Tiat-lui-kang-nya maka membalas pukulan panas dengan pukulan panas pula, membuat si kakek terbelalak tapi kemudian terkekeh-kekeh karena pukulan panas itu masih kalah panas oleh Petir Nerakanya.

Kim-mou-eng juga mengakui. Dan ketika ia merobah gerakan dan melepas pit terbangnya menyambar-nyambar, mental bertemu kakek itu maka Pendekar Rarnbut Emas benar-benar kewalahan dan Giam-lui-ciang akhirnya menyambar dahsyat, kearah kepalanya.

"Mampuslah!"

Pendekar Rambut Emas tak mungkin bergulingan lagi. Ia berada dekat di bawah kakek ini ketika melancarkan serangan, gagal dan kini balik mendapat serangan yang tak mungkin dikelit lagi. Namun ketika kakek itu tertawa dan merasa yakin, Pendekar Rambut Emas meledakkan kedua tangannya maka pendekar itu lenyap di balik kesaktian Pek-sian-sut.

"Blarrr!" Hantu Hitam terkejut. Lawan menghilang dan saat itu asap putih menyambar, Kim-mou-eng muncul dalam bentuk jasad halus. Dan ketika pit hitam menotok dan nyaris mengenai matanya maka kakek ini berteriak dan menyumpah serapah. Kim-mou-eng mengejar dan selanjutnya membalas kakek itu. 

Tapi ketika Hantu Hitam membentak dan membuka mulutnya maka semburan Giam-lui-ciang membuat tempat itu panas terbakar dan Kim-mou-eng tak mampu mendekati. Dan dua orang ini lalu bertanding lagi dengan sengit, Kim-mou-eng sering menghilang dan muncul lagi di balik Pek-sian-sutnya.

"Keparat, manusia curang. Jangan licik mempergunakan ilmu silumanmu, Kim-mou-eng. Kalau kau tidak keluar aku akan membalasmu!"

Namun pendekar ini tetap berlindung di balik ilmu sakti warisan Bu-beng Sian-su itu. Lawan mencak-mencak dan akhirnya berkemak-kemik, Giam-lui-ciang menyambar dan tiba-tiba terdengar ledakan keras. Dan ketika batu dan salju berhamburan terbang, Kim-mou-eng mengelak maka kakek itupun menghilang dan lenyap dl balik ilmu hitam.

"Nah, kau dan aku sama. Mari mengadu kesaktian, Pendekar Rambut Emas. Lihat siapa yang lebih hebat!"

Pendekar Rambut Emas terkejut. la terlihat oleh lawan kemudian kini dikejar, berkelit sementara si kakek berlindung di balik asap hitamnya. Dan ketika dua asap putih dan hitam terjang-menerjang, membalas dan saling serang maka tampak bahwa Pendekar Rambut Emas terdesak dan terpental oleh sambaran asap hitam itu. 

Ini karena Si kakek menang matang, kesaktiannya lebih tinggi dan mundurlah asap putih oleh gempuran-gempuran asap hitam. Dan ketika asap putih mulai jatuh bangun dan tampak kewalahan, Kim-mou-eng mengeluh maka pendekar ini dalam bahaya seperti halnya murid-murid Lembah Es yang didatangi Hantu Putih itu.

Seperti adiknya kakek putih inipun mau main-main. la terkekeh ketika disambut puluhan gadis-gadis Lembah, menyerang dan membentaknya sementara di belakang mulai bergerak dan bersorak orang-orang Pulau Api. Dan ketika kakek itu mengibas dan puluhan lawan terlempar, gadis-gadis itu menjerit maka Hantu Putih terkekeh-kekeh menanyakan Puteri Es.

"Hayo, mana ratu kallan. Suruh la keluar dan berlutut di depanku. Ayo, atau kalian mampus des-dess!" kakek itu menggerak-gerakkan kedua tangannya dan wanita-wanita Lembah Es terlempar bagai daun-daun kering dihempas tiupan angin topan.

Mereka itu tak ada yang kuat sampai berkelebatnya bayangan gadis baju merah, Yo-siocia yang membentak dan tentu saja marah bukan main. Namun ketika gadis ini juga mencelat dan terbanting bergulingan, tak mengenal kakek itu maka Hantu Putih terbelalak berseri-seri bahwa ada seseorang yang mulai menarik perhatiannya.

"Ha ha.. kau cantik, paling cantik. Ayo ikut aku dan mana Puteri Es!"

Gadis itu bergulingan. la tak mengenal kakek ini karena Hantu Putih lenyap tiga puluhan tahun. Hanya tokoh-tokoh terdahulu yang mengenal. Maka ketika ia disambar namun melempar tubuh ke kiri, lawan terkejut dan kagum maka anak-anak murid yang lain menerjang dan membantu gadis baju merah ini.

"Keparat, kalian mengganggu. Pergi, ayo pergi...!"

Murid-murid terlempar. Memang mereka hanya seperti daun-daun kering saja menghadapi dedengkot Pulau Api ini, tapi ketika Sui Keng berkelebat dan Wan-siocia ini melengking, melepas roda terbangnya maka gadis yang amat lihai itu menyelamatkan sumoinya.

"Sing-singgg!" Roda terbang hampir saja menghantam kening kakek itu. Hantu Putih mengelit dan terbelalak, tapi ketika ia melihat ada gadis cantik lagi, setara gadis baju merah maka ia terkekeh-kekeh dan lebih gembira.

"Heh-heh, siapa kalian, aku tak mengenal kalian. Uh, lihai kalian, anak-anak. Tapi masih bukan tandinganku.... plak-plak!" roda terpental dan membalik menghantam Sui Keng sendiri.

Gadis itu berteriak dan melempar tubuh ke kanan. Lalu ketika ia meloncat bangun dan menyerang lagi, betapapun dua orang pimpinan Lembah Fs ini bukanlah gadis-gadis sembarangan maka kakek Itu gemblra karena dapat mengeluarkan keringatnya.

"Heh-heh, lumayan, bisa buat pemanasan. Eh, siapa kalian, anak-anak. Murid tingkat berapa di Lembah ini!"

"Keparat, kaulah yang harus memberi tahu namamu. Kau siapa, tua bangka. Apa hubunganmu dengan orang-orang Pulau Api!"

"Ha-ha, aku pemimpinnya. Aku susiok dari Tan-pangcu. Barangkali kalian pernah dengar namaku, Hantu Putih!"

"Hantu Putih?" dua gadis itu hampir berseru berbareng, kaget sekali. "Kau kakek iblis yang telah dibunuh bibi guru kami We We Moli? Ah, tak mungkin. Kau pendusta, kakek busuk. Kau penipu!"

"Ha-ha," kakek itu meloncat-loncat, belum mengeluarkan pukulan-pukulan Pulau Api. "Percaya atau tidak terserah, anak-anak. Tapi kedatangan kami memang untuk membalas perbuatan itu. Lihat kakiku masih kaku dan harus dipakai meloncat-loncat!"

Serangan dan pukulan gadis-gadis itu luput, tak ada yang kena sementara ketika si kakek mengibas maka keduanya terbanting dan terlempar bergulingan. Dan ketika Sui Keng maupun sumoinya terkejut setengah mati, di sana terdengar pekik dan lengking Hantu Hitam maka mereka melihat pertandingan itu, Kim-mou-eng melawan kakek lihai lain.

"Ha-ha, itu adikku Hantu Hitam. Barangkali kalian percaya."

"Kami tak percaya!" dua gadis itu menerjang dan menyerang lagi. "Kalau kau benar tokoh Pulau Api tentu dapat mainkan ilmu-ilmunya, kakek iblis. Keluarkan itu dan biarkan kami percaya!"

"Ha-ha, Giam-lui-ciang? Baik, tapi biar kukeluarkan Hwe-ci dulu, dan ini langkah-langkah Jit-cap-ji-poh-kun yang tentu kalian kenal!" kakek itu menggeser-geser dengan kaku dan Tujuh Puluh Dua Langkah Sakti tiba-tiba benar saja dikeluarkan. Lalu ketika Hwe-ci mencicit dan menyambar dua gadis itu maka Yo-siocia dan encinya berteriak kaget.

"Crit-wushh!" Api meledak dan membakar di belakang mereka. Dua gadis ini melempar tubuh dan sekarang percaya. Lalu ketika kakek itu terkekeh-kekeh dan mereka pucat, tak disangka sama sekali bahwa kakek ini masih hidup maka Hantu Putih menyerang mereka dan menerkam atau hendak merobohkan dengan jari-jari kurang ajar.

"Ayo, menyerahlah. Atau kalian kutangkap!"

Dua gadis ini menggigil. Mereka mengelak dan menangkis tapi pukulan-pukulan kakek itu membuat mereka terpelanting. Hwe-ci yang dilancarkan juga jauh di atas tingkat sendiri. Maka ketika mereka pucat namun anak-anak murid membantu, saat itu orang-orang Pulau Api sudah mendekat dan bersorak-sorak maka Tan-pangcu berkelebat dan membantu susiok-nya ini. Tapi Shintala tiba-tiba muncul dan membentak.

"Wan-siocia, Yo-siocia, tak perlu takut. Aku membantu kalian!"

Dua gadis itu terbelalak. Tadi mereka melihat Bun Tiong dan sekarang ibunya. Ah, para tawanan ini benar-benar lolos. Tapi karena nyonya itu bergerak dan membantu mereka, menyerang kakek itu maka Sui Keng melepaskan diri menghadapi Tan-pangcu itu. Dan saat itu Sui Leng pun muncul, berkelebat dan menyuruh saudaranya kembali ke Hantu putih. Kakek itu masih hebat dan terlalu kuat dikeroyok dua. Maka ketika gadis itu kembali dan membentak kakek itu bertiga dengan Shintala kakek itu dikeroyok....

Putri Es Jilid 19

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

"BERHENTI, atau kami akan membunuh kalian!"

Shintala tersenyum mengejek. Tentu saja ia tahu kepandaian murid-murid Lembah Es itu, di sepanjang jalan ia telah menghalau dan mendorong mereka. Maka ketika mereka muncul dan membentak menyuruhnya berhenti, hanya Wan-siocia atau Thio-siocia yang dianggap yang paling berbahaya maka nyonya ini mengibas dan melancarkan pukulan jarak jauhnya.

"Minggir, atau kalian pergi!" Tujuh murid terlempar. Mereka berada paling dekat dan Siang Lan bersorak melihat bibinya melempar wanita-wanita Lembah es itu. Mereka tentu saja tak kuat menahan pukulan nyonya itu, berteriak dan terbanting. Dan ketika Shintala terus bergerak dan menyambar mendorong yang lain, berkelebat dengan Ang-tiauw Gin-kangnya dan tak gentar mendaki gunung keenam maka Sui Keng tiba-tiba muncul dan membentak nyonya ini.

"Siauw-hujin, kau tak dapat diberi hati. Menyerahlah atau kau mampus!"

Shintala terkejut. Justeru terhadap tokoh nomor dua dari Lembah Es ini ia harus berhati-hati. Namun karena ia bertekad untuk terus maju dan yang terjadi tak bakal membuatnya gentar maka nyonya ini mengelak dan ketika ia dikejar dan menerima tamparan kuat cepat nyonya inipun menangkis.

"Plak!" dan ia tergetar, Otomatis gerakannya tertahan dan berhenti di situ, mengelak dan melompat sana-sini ketika lawan mencecar dan mendesaknya lagi. Dan ketika bayangan merah berkelebat dan itulah Yo-siocia, sumoi dari Sui Keng maka gadis itupun meloncat namun yang disambar adalah Siang Lan.

"Cici, kau robohkan wanita ini, biar aku bocah itu!"

Shintala terkejut dan semakin berubah lagi. Siang Lan, yang ada di pondongannya tíba-tiba menjerit. Kelima jari lawan sudah menyambar muka dan mencengkeram. Tapi karena ia mengegos dan gerakan itu luput, Yo-siocia terbelalak maka sepasang roda tiba-tiba menghantam dari kiri menyambar wajah nyonya ini.

"Bagus, kau tangkap anak itu, Yo-sumoi, aku orang tuanya!"

Shintala kelabakan. Diserang dari kiri kanan dan muka belakang. oleh dua orang itu benar-benar membuatnya repot. Kalau saja Siang Lan tak ada di pundaknya mungkin ia dapat menghindar. Tapi karena Sepasang roda kembali menderu dan meledak ketika dikelit, terbang seperti benda bernyawa lagi maka ia membentak dan tiba-tiba melontar Siang Lan seperti yang dilakukan ayah mertuanya.

"Siang Lan, kau larilah ke puncak sana. Aku tak mungkin menghadapi lawanku dengan beban dirimu!"

Anak itu berjungkir balik. la maklum akan kerepotan bibinya ini dan berseru melengking, jauh melewati Wan-siocia dan Yo-siocia yang terkejut oleh lontaran itu. Tapi ketika bayangan putih berkelebat dan Thio Leng atau Thio-siocia muncul, menyambut dan menangkap anak ini maka Siang Lan kaget dan menjadi panik. "Bibi...."

Namun wanita itu mendengus. Thio Leng telah bergerak dan tak mungkin Siang Lan menyelamatkan diri. Terhadap Yo-siocia saja ia tak mungkin lolos, apa lagi wanita ini. Maka ketika Thio Leng menggerakkan jarinya dan menotok kaki anak itu, Siang Lan mengeluh maka anak ini roboh dan jatuh di tangan lawan.

Shintala terkejut. Ia membentak dan mencabut tongkatnya namun Thio Leng memutar tubuh. Wan-siocia mengejar dan menyerang nyonya ini dari belakang. Dan ketika Shintala harus membalik dan menerima serangan lawan, terpental dan terhuyung maka Thio Leng lenyap berseru agar nyonya itu ditangkap.

"Robohkan dia, jangan dibunuh. Tocu tak menghendaki kematian dan aku mencari Kim-mou-eng!"

Shintala melengking dan menangkis serangan Wan-siocia lagi. Sui Keng mengejar dan tak memberi ampun, bergerak dan roda terbangnya itu hidup menyambar-nyambar. Dan karena Yo-siocia akhirnya bergerak dan menyerangnya pula, sulit bagi Sui Keng untuk merobohkan lawan tanpa membunuh maka para murid yang lain menyerang dan berteriak-teriak pula. Sang nyonya berkelebatan dan menangkis serta membalas namun adanya Sui Keng membuat repot. la dan lawannya ini hampir setanding.

Maka ketika tongkatnya terpental dan sepasang roda itu menyambar naik turun, Bu-kek-kang dilancarkan wanita ini mendesak sang nyonya akhirnya Shintala mundur-mundur dan pucat serta memaki-maki. Dan saat itu ia mendengar bahwa Siang Hwa dan Bun Tiong tertangkap.

Ibu mana yang tak akan tergetar mendengar puteranya di tangan musuh, biarpun nyonya ini mendapat keyakinan bahwa tak mungkin puteranya dibunuh. Maka ketika pikirannya kacau sementara rangsekan dari kiri kanan semakin menghebat, tongkat akhirnya terlepas dihantam siang-lun maka nyonya itu mengeluh menerima Bu-kek-kang.

"Dess!" Sang nyonya tak segera roboh melainkan terhuyung. Shintala menggigit bibir namun Yo-siocia menyerangnya dari kiri, mengenai pundaknya dan ia terpelanting. Tapi ketika nyonya muda itu masih dapat melompat bangun dan mendorong anak-anak murid lain, Sui Keng kagum maka wanita ltu membentak dan melepas pukulan ke tengkuk si nyonya. Kali ini Shintala tak dapat mengelak dan mengerahkan Khi-bal-sin-kang, terjerembab namun Bu-kek-kang menembus daya tahannya.

Dan karena pukulan itu dilakukan tokoh Lembah Es dan sang nyonya sudah kacau oleh berita puteranya maka Shintala akhirnya terbanting dan tidak bergerak lagl, pingsan dan Sui Keng sendiri menyambarnya sebagai tawanan. Nyonya gagah itu dipanggulnya. Lalu ketika semua mendecak dan merasa kagum, betapapun perlawanan nyonya itu amat gigih maka Sui Keng bergerak menuju stana Lembah Es sementara murid-murid dlsuruh menyebar mencari Pendekar Rambut Emas yang belum mereka temukan.

* * * * * * * *

Ke mana Pendekar Rambut Emas ketika cucu dan menantunya memasuki Lembah? Tak ada yang tahu karena pendekar itu menghilang dengan ilmunya Pek-sian-sut. Ilmu ini memungkinkan Pendekar Rambut Emas menerobos pertahanan Lembah Es, begitu mudah dan gampang hingga tahu-tahu pendekar ini sudah berada di gunung ketujuh. 

Istana di puncak gunung itu terlihat dan betapa kagumnya pendekar ini melihat sesuatu yang lain yang berada di tempat itu. Bangunan yang kokoh indah dan berlapis emas memantulkan cahayanya ke sana kemari, belum lagi taman-taman bunganya yang mentakjubkan.

Kalau di bawah Lembah semuanya serba putih, salju melulu maka di tempat ini serba lain. Bunga warna-warni gemerlap dengan amat indahnya. Mulai dari bunga bakung sampai anggrek, ribuan jumlahnya. Dan ketika pendekar itu terpana dan kagum, takjub oleh semua keindhan itu maka ia tak tahu ketika sesosok bayangan putih telah berada di belakangnya dengan mata bersinar-sinar marah. Puteri Es!

Wanita yang telah melihat dan mengetahui kedatangan pendekar itu memang menunggu di situ. Dari puncak istana tentu saja ia dapat mengikuti gerak-gerik Pendekar Rambut Emas, asap putih yang melayang dan bergerak seperti kabut itu. Dan ketika ia kagum karena tak mungkin anak buahnya dapat menghadang, ilmu yang dipergunakan pendekar itu adalah ilmu yang kasat mata maka puteri ini teringat Beng An dan membandingkan antara ayah dan anak itu.

Namun Beng An tidak berambut keemasan seperti ayahnya. Beng An meniru ibunya dengan rambut yang hitam tebal, hanya kegagahan dan bentuk tubuh dua orang itu sama. Maka ketika Pendekar Rambut Emas berhenti di taman bunga dan muncul sebagaimana biasa, melepas Pek-sian-sutnya maka puteri itu lebih jelas memandang tamunya ini. Dan iapun melolos ikat pinggangnya dan dengan benda keramat ini sang puteri lenyap seperti peri, muncul tanpa diketahui pendekar itu, yang terkagum-kagum dan bengong memandang taman bunga.

"Hm inikah Kim-mou-eng dari daratan besar? Ini Pendekar Rambut Emas yang berani menginjak Lembah Es? Berlututlah, kau melanggar pantangan, Kim-mou-eng. Kau harus mati dan menerima hukuman di sini!"

Pendekar Rambut Emas terkejut. la begitu terlena oleh keindahan taman di situ hingga tak sadar didekati orang, tentu saja ia terkejut dan membalik. Namun ketika tak ada siapa-siapa di situ karena sang puteri terlindung sabuk pusaka, ikat pinggang yang membuat mata biasa tak mungkin melihatnya maka sesosok sinar putih tiba-tiba menyambar dahi pendekar ini.

"Tar!" Pendekar Rambut Emas terkejut dan menangkis. Ia tak tahu dari mana datangnya sinar itu namun tergetar ketika menangkis, mengelak ketika sinar itu menyambar lagi dan selanjutnya dari delapan penjuru sinar itu menyambar-nyambar lagi, cepat dan berpindah-pindah dan berkelebatanlah pendekar ini mengelak dan menangkis. Dan ketika ia sadar bahwa seseorang menyerang dari balik ilmu sihir, cepat ia mengerahkan tenags batin untuk mempertajam pandangan akhirnya ia melihat secercah sinar lebar memayungi seseorang di mana dari balik payung cahaya ini sinar putih itu menyambar-nyambar.

"Ah, Puteri Es!" Pendekar Rambut emas tak ragu untuk berseru dan melepas kekagumannya. Ia telah mendengar dari Beng An bahwa sang puteri memiliki kepandaian istimewa, ikat pinggang pusaka yang dapat membuatnya menghilang dari pandang mata biasa. Hanya Pek-sian-sutlah lawannya. Maka ketika ia tertawa dan meledakkan kedua tangan, lenyap dan membentuk sesosok asap putih lagi maka benar saja ia dapat melihat seorang gadis menyerangnya dengan hebat namun gadis itu bercadar. Siapa lagi kalau bukan Puteri Es!

"Hm, kau dapat mengenal aku, bagus!" sang puteri berseru. "Tapi jangan harap mendapat ampun, Kim-mou-eng. Kau melanggar pantangan Lembah Es dan pulang tinggal nama...tar-tar!" sinar putih itu menyambar dan meledak lagi.

Kim-mou-eng mengelak dan menangkis. Ia mengerahkan Khi-bal-sin-kang hingga ujung sabuk terpental. Tapi ketika sang puteri mendengus dingin dan menjadi marah, berkelebat dan memindah senjata ke tangan kiri sementara tangan kanan melepas pukulan dingin maka Bu-kek-kang, ilmu Tanpa Kutub itu menyambar dan dahsyat sekali menyerangnya, bergulung dan membuat rambutnya tiba-tiba kaku dan dingin dan tempurung kepalapun beku!

Pendekar Rambut Emas terkejut dan berseru keras dan tentu saja menggoyang kepala kuat-kuat. Ia dapat celaka kalau begitu! Dan ketika ia terbebas namun telapak sang puteri sudah menuju dadanya, tak mungkin ia menangkis maka Pendekar Rambut Emas mengerahkan sinkangnya menahan pukulan itu.

"Desss!" Dan iapun terlempar bergulingan, beku! Pendekar Rambut Emas merasa betapa sekujur tubuhnya dingin seperti es, tak mampu bergerak namun untung kekuatan Khi-bal-sin-kang yang mendarah daging membuat sang puteri terhuyung. Betapapun puteri itu juga tertolak! Dan ketika Pendekar Rambut Emas mengempos semangatnya dan mengerahkan hawa hangat, menerobos dan membebaskan dingin di semua jalan darahnya maka ia dapat bergerak lagi dan bergulingan meloncat bangun.

Sang puteri kagum namun sorot matanya tetap dingin dan beku! "Hm, kau hebat. Namun Bu-kek-kang bukan untuk main-main, Kim-mou Eng. Terimalah dan tahan lagi dengan ilmumu!"

Pendekar Rambut Emas mengelak dan menangkis lagi. la teringat cerita Beng An bahwa Bu-kek-kang mirip Ping-im-kang, Sama-sama berhawa dingin dan intinya adalah es, Maka ketika ia mengerahkan hawa hangatnya melawan hawa dingin, bergerak dan mampu menerobos pukulan-pukulan beku maka Puteri Es melengking tinggi dan tiba-tiba kedua kakinya bergerak dengan amat cepat mempergunakan langkah-langkah sakti.

"Ah, Jit-cap-ji-poh-kun!" Kim-mou-eng berseru dan terkejut sekali. Langkah itu adalah langkah Hwe-sin dan kini ia benar-benar seperti memasuki dunia Seribu tahun lalu. Hwe-sin, Malaikat Api itu seolah dihadapinya lagi melalui Puteri Es ini. Dan ketika gadis itu tertawa dingin dan menyimpan ikat pinggangnya, menggerakkan telunjuk kiri dan keluarlah Hwe-ci atau tusukan-tusukan Api itu maka di samping Bu-kek-kang pendekar ini menghadapi pula ahli waris Hwe-sin.

"Plak-brett!" Pendekar Rambut Emas melempar tubuh dengan teriakan kaget. la menerima serangan bertubi-tubi dan Hwe-ci (Jari Api) itu menyambar-nyambar dengan amat hebatnya, juga pukulan dingin yang masih dilancarkan. Dan karena semua itu ditunjang dengan gerak langkah sakti Jit-cap-ji-poh-kun, ilmu yang dulu membuat Hwe-sin ditakuti lawan maka Pendekar Rambut Emas berubah dan mengelak sana-sini dengan amat gugup, kagum tapi juga gelisah karena tak mungkin ia harus berkelit dan mengelak saja.

la sudah mempergunakan Khi-bal-sin-kangnya namun sang puteri amat lihai. Dengan cerdik dan mengingat pengalamannya yang lalu puteri ini melepas balik daya tolak Khi-bal-sin-kang dengan tangannya yang lain. Artinya kalau ia terpental ditangkis tangan kirinya maka daya pental itu dibuang ke tangan kanan, dilempar dan kembali menyerang Kim-mou-eng lewat tangan kanan itu. Dan kalau tangan kanan yang terpental maka tangan kiri itulah yang menjadi tempat buangan Khi-bal-sin-kang, keluar dan menyambar lagi arah Kim-mou-eng hingga Pendekar Rambut Emas kewalahan dan kagum.

Baru kali itu ia menghadapi seorang puteri demikian cerdik dan Iuar biasa, Khi-bal-sin kangnya tentu saja menjadi hilang keampuhannya. Dan ketika ia harus mengelak pukulannya sendiri, tentu saja ia tak mau menerima Khi-bal-sin-kang miliknya maka Puteri Es mendesaknya dan langkah-langkah sakti Jit-cap-ji-poh-kun itu membuatnya kewalahan karena begitu cepatnya lawan berpindah-pindah. Kim-mou-eng takjub. la sekarang merasakan sendiri cerita puteranya Beng An. Ilmu-ilmu hebat dari seribu tahun yang lalu dihadapi langsung, mengelak dan menangkis nemun semua itu membuatnya repot.

Khi-bal-sin-kang tak banyak berguna sementara langkah-langkah sakti itu kian menggila saja, dua kali Purteri Es tahu-tahu berada di belakangnya dan menampar, membuat ia dua kali terbanting dan melempar tubuh bergulingan. Dan karena tak ada jalan untuk menghadapi ilmu langkah sakti itu kecuali dengan gabungan ilmu meringankan tubuhnya, Jing-sian-eng dan Cui-sian Gin-kang maka Pendekar Rambut Emas berseru keras mengeluarkan ilmunya ini.

"Wut-wutt!" Sang pendekar lenyap dan Jit-cap-ji-poh-kun mendapat tandingan. Sekarang sang puteri terbelalak karena lawan bergerak luar biasa cepat, berkelit dan membalas dan ramailah pertandingan itu membuat taman bunga bergoyang-goyang. Istana tergetar oleh tamparan atau angin pukulan mereka. Namun karena bukan maksud Pendekar Rambut Emas untuk bertanding sungguh-sungguh, tak ada niatan untuk bertempur mati hidup maka di sini pendekar ini banyak mengalah dan membiarkan beberapa pukulan sang puteri mengenai tubuhnya.

Beberapa kali Kim-mou-eng merasa dibuat beku namun dengan sinkangnya yang sudah mencapai tingkat tinggi ia mampu membobol kebekuan itu, melancarkan lagi jalan-jalan darahnya yang dihantam hawa dingin. Dan ketika pertandingan berjalan dua ratus jurus dan sang puteri penasaran mempercepat gerakan, di sini Kim-mou-eng terengah dan mulai memburu napasnya maka berkelebatlah banyak bayangan dan muncullah di situ Thio Leng dan Sui Keng, dua pembantu utama Puteri Es ini.

"Dia di sini. Keparat, Kim-mou-eng telah bertemu Puteri!"

Tempat itu segera penuh. Thio Leng, yang marah dan mencari-cari pendekar ini langsung saja melompat ke depan dan hendak menerjang. Din telah mendengar dan melihat pertandingan itu dan tentu saja marah. Kim-mou-eng kiranya telah masuk taman bunga, lancang dan kurang ajar! Tapi ketika ia melompat dan hendak menyerang, sang puteri membentak maka tak jadilah wanita ini mengeroyok lawan.

"Berhenti, jangan maju. Biar aku yang menyelesaikannya, Thio-cici. la telah berani memasuki tempat ini dan aku yang akan merobohkannya!"

Terpaksa wanita itu mundur dan belalakkan mata. Sebenarnya ia tak sabar namun sang junjungan telah melepas perintah, apa boleh buat menonton pertandingan itu dan Pendekar Ramhut Emas melirik Shintala di tangan penghuni Lembah Es ini, juga Siang Lan. Dan ketika ia tergetar namun tersenyum tenang, cucu dan menantunya itu tak apa-apa maka timbullah niatnya untuk ditangkap secara tidak kentara, yakni menyerah dan roboh di tangan puteri ini. Dan karena tak baik menghina sang puteri, ia harus menjaga muka tuan rumah maka di saat ia menerima pukulan dari kiri tiba-tiba pendekar ini memperlambat gerakan dan menangkis dengan setengah tenaga pula.

"Dess!" ia terpelanting dan roboh terguling-guling. Sang puteri terbelalak tapi mengejar, berkelebat dan menyusuli dengan satu pukulan lagi. Dan ketika Kim-mou-eng lagi-lagi memperlambat gerakan dan menangkis dengan setengah tenaga, mencelat dan terlempar maka untuk kedua kalinya ia terbanting dan menabrak dinding taman, mengeluh dan dikejar lagi sampai akhirnya merintih menggeliat pendek.

Sang puteri diam-diam heran namun kesempatan itu tak disia-siakan. la harus merobohkan pendekar ini di bawah tontonan anak buahnya. Ia harus menegakkan wibawa. Dan ketika satu pukulan lagi membuat pendekar itu mengaduh dan terlempar maka Puteri Es mencabut ikat pinggangnya dan sekali senjata itu meluncur maka pinggang Kim-mou-eng tertotok dan robohlah pendekar itu.

"Tuk!" Pertandingan selesai. Anak murid bersorak dan Pendekar Rambut Emas pingsan. Pendekar itu tak bergerak-gerak dan Thio Leng tiba-tiba berseru melengking, bergerak dan menyabetkan sepasang rodanya ke leher sang pendekar. Sekali kena tentu Pendekar Rambut Emas tewas! Tapi ketika sinar putlh menyambar dan roda terpental bertemu ujung ikat pinggang, Puteri Es lagi-lagi membentak maka Thio Leng tertegun mendengar desis junjungannya.

"Jangan bunuh, ia tawananku. Lempar ke belakang istana dan masukkan ruang bawah tanah!"

"Ah, tapi tapi...."

"Tak ada tapi, Thio Leng, ini perintahku dan laksanakan kata-kataku!"

Wanita itu mengangguk. Ia pucat namun sang puteri berkelebat pergi, mengikat dan membawa pendekar itu ke ruang bawah tanah. Lalu ketika berturut-turut Shintala dan Bun Tiong serta yang lain juga dilempar ke ruangan bawah tanah, tak jauh dari Pendekar Rambut Emas maka keributan di Lembah Es berakhir dan ternyata pendekar itu bersama keluarganya mendapat perlakuan yang baik.

Mula-mula rnakanan dan minuman mengalir. Bun Tiong dan lain-lain melengak namun anak laki-laki itu tentu saja bersorak girang. Ada buah-buahan dan minuman segar di situ, apel dan sejenis anggur salju. Dan karena ia disekap bersama ibunya, juga Siang Hwa dan Siang Lan! maka anak itu melonjak dan merasa kegirangan.

"Horee, perutku lapar. Kebetulan sekali!"

"Jangan sentuh. Siapa tahu ada racunnya, Bun Tiong. Hati-hati, Lembah Es orangnya curang!"

"Benar, enci Siang Hwa tidak salah, Bun Tiong. Jangan dimakan dulu. Siapa tahu jebakan!"

Anak itu tertegun. Siang Lan dan Siang Hwa yang saling berseru membuat ia terkejut juga. Namun ketika ibunya tersenyum dan mengangguk di sana, menyambar dan menggigit apel merah maka ia tertawa dan tak ragu-ragu lagi.

"Bodoh, untuk apa meracuni kita kalau dibiarkan hidup, Siang Lan. Puteri Es tak mungkin membunuh kita karena ingat paman Beng An. Ayo, maju dan sikat saja!"

Anak itu sudah menyambar dan menggigit segerombol anggur salju, rasanya manis-manis kecut dan tawanya ini membuat hilang kecurigaan Siang Hwa. Omongan itu juga dirasa benar. Maka ketika adiknya menggigit dan menyambar buah lain, menenggak dan merasakan minuman segar maka mereka bertiga tak ragu-ragu lagi menikmati semua pemberian itu.

"Ha-ha, terima kasih, cici yang baik. Boleh tambah lagi kalau masih ada!"

Murid Lembah Es itu membuang muka. Ia geli tapi harus menunjukkan sikap garang di depan tawanan ini. Sang puteri memang memerintahkan begitu dan memperlakukan tawanan secara baik-baik, tak boleh melukai atau menyakiti mereka. Tapi ketika Siang Hwa rnenggigit jeruk. kuning berdaging tebal, tak jadi dan membuang makanan itu maka Bun Tiong terkejut dan heran.

"Hei, ada apa, Siang Hwa. Apakah rasanya tak enak!"

"Tidak, aku tak dapat makan. Aku... aku teringat kong-kong!"

"Benar," Siang Lan tiba-tiba juga bangkit membuang buahnya. "lh, bagaimana kong-kong Bun Tiong. Masa kita enak-enak makan sementara kong-kong tak tahu di mana. Jangan-jangan ia celaka!"

"Aku di sini..." suara lembut Pendekar Rambut Emas menghentak gembira cucu-cucunya. "Makan dan nikmatilah semuanya, Siang Hwa. Aku tak apa-apa dan juga mendapat hidangan yang sama. Kita tawanan terhormat!"

Bun Tiong tertawa bergelak. Ia meloncat dan menuju pintu jeruji namun tak melihat apa-apa. Mereka terkurung di tempat yang semuanya tertutup rapat, kecuali pintu besi itu, juga sedikit lubang hawa di atas dinding. Lalu ketika Siang Lan dan encinya juga bersorak memanggil kakek mereka, Pendekar Rambut Emas tertawa kembali maka kakek itu menghibur cucu-cucunya dengan suara halus.

"Kalian tak dapat melihat aku, namun aku dapat melihat kalian. Kita di tempat berbeda yang agak berjauhan. Sudahlah, tenang dan santai-santai sajalah nikmati buah dan anggur itu!"

"Ha-ha, syukur kalau begitu, kong-kong...!"

“Mari nikmati hidangan kita dan sampai ketemu Puteri Es lagi!"

Siang Hwa dan Siang Lan juga tertawa. Mereka gembira bahwa kakek mereka selamat, tapi ketika mereka hendak menyambar buah-buahan itu lagi mendadak Siang Lan menoleh pada bibinya Shintala. "Eh, bibi sedari tadi tenang-tenang saja. Apakah bibi sudah tahu keadaan kongkong!"

"Sudah," wanita itu tersenyum. "Kong-kongmu telah membisiki aku, Siang Lan, jauh sebelum murid Lembah Es itu datang."

Siang Lan mengangguk-angguk. Akhirnya ia mengerti kenapa bibinya ini demikian tenang, tersenyum dan membawa buah itu lagi. Lalu ketika semua makan dan tenang-tenang saja, di situ ada bibi mereka Shintala maka di sana Pendekar Rambut Emas juga tenang-tenang saja dan justeru menunggu sesuatu. Dan malam itu yang ditunggu muncul.

"Hm, selamat datang. Masuk dan jangan mengintai aku, Puteri. Kau hebat dan telah merobohkan aku!"

Sosok bayangan putih menyambar. Puteri Es, sang ratu, telah berdiri di situ dengan mata bersinar-sinar. Malam itu tak ada siapapun dan ia datang secara diam-diam, mengintai dari lubang di atas namun Kim-mou-eng tahu. Kagum tapi mendongkol juga Puteri ini. Maka ketika ia berhadapan dan Pendekar Rambut Emas bangkit berdiri, pendekar itu tersenyum maka Kim-mou-eng mengucap terima kasih atas semua perlakuan yang diterima.

"Aku tidak berbasa-basi, tapi betul-betul ucapan terima kasih yang tulus atas semua yang kau berikan kepada kami. Kau tak membunuh cucu dan menantuku, Puteri, dan aku secara pribadi meminta maaf atas kedatanganku ini."

"Hm, kau... kau memang pria lancang! Kau tahu larangan yang ada di sini, Kim mou-eng, tapi kau datang dan membuat marah aku. Apa maksudnu dan kenapa tadi kau mengalah hingga aku merobohkanmu dengan mudah!"

"Aku mengalah? Eh, tak ada yang berbuat begitu, Puteri. Aku tak mengerti maksudmu...."

"Tak usah berpura-pura!" Puteri itu membentak. "Kau masih dapat bertahan dan membalas aku, Pendekar Rambut Emas, tapi kau tidak melakukan itu setelah anak buahku datang. Aku tak perlu kau bohongi!"

Pendekar Rambut Emas menarik napas dalam. Akhirnya ia tertawa dan mengangguk, orang selihai Puteri Es ini memang tak perlu dibohongi. Maka lembut memandang wajah bercadar itu terus terang pendekar ini mengaku, "Aku tak dapat membuatmu malu di hadapan sekian banyak murid-murid Lembah Es, nona, lagi pula aku harus tahu diri bahwa aku memasuki wilayah terlarang. Aku harus menunjukkan di depan anak buahmu bahwa kau masih dapat menjaga kewibawaan dan kegagahanmu. Aku bukan orang-orang Pulau Api."

"Dan kau dapat lolos kalau mau, tapi kau tidak melakukan itu. Hm, aku ingat akan Pek-sian-sut yang dimiliki puteramu, Kim-taihiap, dan kau memiliki ilmu itu. Kau dapat pergi kalau mau, tapi kau tidak melakukan itu. Apa maksudmu dengan ingin tetap tinggal di sini!"

Pendekar Rambut Emas berseri-seri. Sekarang gadis atau Puteri Es ini memanggilnya taihiap, satu sebutan yang sudah menunjukkan perubahan sikap. Dan kagum bahwa gadis itu lagi-lagi tahu akan semua yang dapat dilakukan, memang benar ia dapat pergi kalau mau maka pendekar ini menjura memberi keterangan, jujur,

"Kau tak dapat kutipu dan rupanya harus berterus terang, nona. Baiklah kuakui apa yang menyebabkan aku ingin tinggal di sini, tak lain adalah aku ingin mengenal penghuni Lembah Es lebih baik, juga karena cucu-cucuku ingin berkenalan denganmu."

"Hm!" dengus itu terdengar dingin. "Sekarang sudah tahu, sudah berkenalan. Sebaiknya kau bawa pergi semua keluargamu itu dan jangan mengganggu kami. Ini terakhir peringatanku atau nanti kutukan akan menimpa kami!"

"Aku akan melaksanakan itu, tapi jangan sekarang. Cucu-cucuku masih senang tinggal di sini, nona. Mereka ingin melihat keindahan Lembah Es!"

"Tidak bisa. Besok kau dan semua keluargamu harus pergi, Kim-mou-eng. Lembah Es pantang dimasuki orang asing!"

"Tapi tiga di antara kami wanita, tempat ini hanya tak boleh dimasuki lelaki!"

Gadis itu melotot. Ia membentak bahwa pendekar itu harus pergi, Siang Hwa atau siapapun tak boleh di situ. Dan ketika sang puteri marah membanting kaki, terisak dan berkelebat pergi maka puteri itu berkata bahwa di belakang terdapat jalan tembus menuju laut beku. "Aku tak mau mendengar kata-katamu lagi, besok kau pergi atau aku membunuh cucu dan menantumu itu!"

Kim-mou-eng membelalakkan mata. Sikap itu sudah berubah lagi dan tidak manis atau bersahabat. Ia diminta pergi dan meninggalkan tempat itu. Dan ketika ia menarik napas dalam dan mengangguk-angguk, ancaman itu tidak main-main maka pendekar ini meledakkan tangannya dan lenyaplah dia menerobos dinding tebal penjara bawah tanah itu, mengeluarkan Pek-sian-sutnya.

"Shintala, kita rupanya tak boleh lama-lama lagi di tempat ini. Puteri Es memerintahkan kita untuk pergi besok!"

Shintala terkejut dan membuka mata. la duduk bersamadhi sementara anak-anak tertidur, ayah mertuanya itu tahu-tahu muncul dan sudah di tempat mereka. Lalu ketika ia bangkit dan menyambut gak-hunya itu, terbelalak maka Pendekar Rambut Emas muncul dalam ujudnya semula.

"Ada apa. Bagaimana Puteri Es menemuimu, gak-hu, di mana dia dan apa katanya!"

"Kita harus pergi, besok. Di belakang ada jalan tembus dan rupanya tak dapat ditawar-tawar lagi. Persiapkan anak-anak besok dan kita meninggalkan tempat ini!"

Pendekar Rambut Emas segera menceritakan pembicaraan itu dan Shintala mengerutkan kening. Dia pribadi belum melihat Puteri Es itu kecuali Siang Hwa dan Bun Tiong, penasaran juga kalau rasanya harus pergi secepat itu. Tapi ketika ia mendengar ancaman Puteri Es dan gak-hunya tak mau bahaya maka ia mengangguk saja ketika diminta bersiap-siap.

"Gadis itu bersungguh-sungguh, kali ini aku percaya. Cukuplah sudah mengenal dia dan besok kita pergi."

Pendekar Rambut Emas bergerak dan meninggalkan menantunya. Ia kembali lagi ke tempatnya semula sementara nyonya muda itu termenung. Sebenarnya tak puas juga kalau harus pergi. Namun karena sudah merupakan kebaikan luar biasa mereka tak dibunuh, larangan Lembah Es telah mereka langgar maka Shintala tak berkata apa-apa lagi sampai ketika esok paginya ia membangunkan anak-anak itu. Dan betapa terkejutnya mereka, terutama Bun Tiong.

"Pergi? Kita pergi? Ah, tidak, aku masih ingin di sini, ibu. Aku belum mengenal Puteri secara jelas. Beruntung benar kong-kong bercakap-cakap dengannya!"

"Benar, dan aku juga belum melihat wajahnya, bibi. Aku tak mau pergi. Beruntung enci Siang Hwa dan Bun Tiong melihatnya!"

"Mellhat apa? Aku hanya sekilas Siang Lan, ketika ia muncul dan lenyap lagi di puncak gunung. Yang benar beruntung adalah Siang Hwa ini!"

"Hm, ia memang cantik, cantik sekali," Siang Hwa bersinar-sinar, bangga. Aku melihatnya sekali saja, Bun Tiong, tapi cukup, meskipun ia bercadar dan tidak memperlihatkan semua wajahnya."

"Nah, itu, sedang aku belum! Ah, bilang saja sama kong-kong bahwa kita tak usah pergi!"

"Tak mungkin," ibunya menggeleng. "Puteri Es telah mengancam kita, Bun Tiong, dan kakekmu tentu tak dapat melindungi kita semua. Sudahlah kalian siap dan kita berangkat!"

Pintu penjara terbuka dan runtuhlah gembok besar di luar ltu. Pendekar Rambut Emas masuk dan cucu-cucunya bersorak. Tapi ketika pendekar itu juga menggeleng dan berseru bahwa mereka harus pergi, sang puteri tak mau menerima mereka maka pendekar ini membujuk bahwa satu keberuntungan besar dapat pergi dan datang dengan selamat.

"Cukup rasanya saat ini, tak dapat ditawar lagi. Kita harus pergi, Bun Tiong. Jangan buat Puteri Es lebih marah lagi. Marilah, bersiap dan kita berangkat."

"Tapi aku belum mengenal Puteri," Siang Lan tiba-tiba berseru. "Bun Tiong dan enci Siang Hwa beruntung, kong-kong, tapi bagalmana aku!"

"Eh, yang beruntung adalah encimu, juga kong-kong. Aku hanya sekilas dan tak tahu jelas!"

"Sudahlah," Pendekar Rambut Emas tiba-tiba tersenyum. "Puteri Es akan menyertai kalian, anak-anak, ke mana saja. Maukah kudatangkan dan kalian tidak ribut-ribut lagi."

"Kong-kong mau memanggilnya?" Bun Tiong bersorak. "Tentu saja mau, kong-kong. Ayo panggil dia dan biar aku berkenalan!"

"Hm, memanggilnya tak mungkin, tapi aku dapat membawanya dalam bentuk lain, Bun Tiong. Maukah kalian bersabar sebentar."

Anak itu melengak. Sang ibu juga melengak sementara Siang Hwa dan adiknya bingung. Apa yang dimaksudkan kakeknya ini? Tapi ketika Pendekar Rambut Emas mengeluarkan pit hitamnya dan kertas putih, mencorat-coret dan menggerakkan pitnya dengan cepat maka terdapatlah lukisan seorang wanita cantik bercadar putih, persis sama.

"Puteri Es!" Siang Hwa berseru dan Bun Tiong juga mengangguk. Meskipun hanya sekilas namun anak laki-laki itu juga dapat membayangkan si puteri. Itulah orangnya. Dan ketika anak itu kagum menerima lukisan, Siang Lan merebut dan hendak disambar Bun Tiong lagi maka pendekar itu tertawa melerai cucu-cucunya.

"Sudahlah, sudah... jangan berebut. Nanti semua mendapat satu dan tak perlu ribut. Biarkan itu untuk Siang Lan dan Bun Tiong akan kubuatkan satu. Sekarang pergi dan kita jangan lama-lama di sini."

Anak itu cemberut. Tapi ketika ibunya tertawa dan kagum membenarkan itu, Shintala memuji corat-coret gak-hunya itu maka ibu ini menyambar puteranya dan Siang Hwa, Siang Lan diberikan ayahnya. "Benar, kakekmu dapat membuat banyak, Bun Tiong, tak perlu bertengkar dan sekarang kita pergi. Ayo, Siang Lan biar bersama kong-kong!"

Pendekar Rambut Emas tertawa dan menyambar cucunya. Siang Lan gembira dan duduk di pundak kakeknya ini. Lalu begitu Pendekar Rambut Emas bergerak dan meninggalkan tempat itu maka mereka semua sudah pergi dari situ dan mengikuti petunjuk Puteri Es. Ternyata benar. Di belakang ruang bawah tanah itu terdapat lorong panjang menuju keluar. Tak sampai sepenanakan nasi Pendekar Rambut Emas telah muncul di luar. Dan ketika mereka menghirup udara segar dan padang salju membentang luas maka laut di depan mata telah mereka lihat.

"Hore, kita sampai. Kapan-kapan dapat datang lagi ke sini!"

"Hm, tak perlu terlalu berharap. Apa yang kita alami rasanya lebih dari cukup, Siang Lan. Tempat ini pantang untuk orang luar. Mari cari perahu kita dan cepat-cepat pergi!"

Siang Lan terbelalak. la masih di atas pundak kakeknya ketika dari jauh ia melihat sesuatu, barisan hitam seperti ular panjang. Dan ketika ia berseru dan menuding ke depan, tak menjawab kata-kata kakeknya maka Siang Hwa dan Bun Tiong juga berseru di atas pundak ibu mereka.

"Heii, rasanya ada orang. Itu ada tamu-tamu baru!"

Kim-mou-eng dan Shintala terkejut. Mereka tak melihat karena anak-anak itu lebih tinggi. Tapi begitu Pendekar Rambut Emas bergerak dan melayang ke atas sebatang pohon, diikuti menantunya maka dua orang itu terkejut karena mata mereka yang lebih tajam melihat puluhan perahu meluncur dan menuju tempat itu, penumpangnya adalah orang-orang bermuka merah yang tubuhnya menyala seperti obor.

"Penghuni Pulau Api!" Kim-mou-eng berseru terkejut. "Ah, tak salah lagi mereka itu, Shintala. Apakah kau melihat jelas!"

"Ya," nyonya ini menambah ketajaman penglihatannya. "Rasanya seperti mereka, gak-hu, orang-orang Pulau Api. Ah, ini serbuan ulang!"

"Dan mereka jelas tak bermaksud baik. Kita harus menolong penghuni Lembah Es. Biarkan Bun Tiong kembali ke ruang bawah tanah dan anak-anak bersembunyi di situ!"

Bun Tiong terkejut. Siang Lan dilempar kakeknya sementara dia sendiri juga sudah diturunkan ibunya, Siang Hwa juga sama dan mereka bertiga diperintahkan masuk. Penjara bawah tanah itu tempat persembunyian mereka. Dan ketika anak ini terbelalak dan rupanya enggan, sang kakek membentak dan menyuruh masuk maka Bun Tiong ditendang menuju mulut terowongan itu.

"Kau bantu kami dengan memberitahukan Puteri Es. Katakan bahwa di pantai terdapat penghuni Pulau Api. Cepat, kalian bertiga jangan di sini, Bun Tiong. Beri tahu Puteri bahwa musuh datang!"

Bun Tiong mengangguk dan sadar. Akhirnya ia gembira bahwa dapat bertemu sang puteri lagi, mereka tak jadi meninggalkan Lembah. Maka meloncat dan terbang memasuki terowongan, ia tahu tempat itu maka Siang Hwa dan Siang Lan juga menyusul di belakang.

"Heii, tunggu, Bun Tiong. Jangan sendiri"

"Cepat, ayo cepat...!" anak itu tertawa.

"Kerahkan ilmu lari cepatmu, Siang Hwa. Kita berlomba memberi tahu Puteri"

Siang Hwa berseru dan mengeluarkan Jing-sian-engnya. Bun Tiong disusul dan anak itu meloncat seperti kijang, Siang Lan berteriak dan menyusul encinya. Dan tiga anak itu lenyap memasuki terowongan, Pendekar Rambut Emas berdebar dan tegang maka pendekar ini berkata agar menantunya berjaga di situ.

"Aku akan melihat dulu siapa saja mereka itu. Kau di sini kalau anak-anak ke luar nanti. Jaga dan lindungi tempat Shintala, sampai murid-murid Lembah Es keluar semua!"

Nyonya itu mengangguk. Dibanding gak-hunya memang ia kalah lihai, biarlah ia di situ dan gak-hunya menyelidik. Dan ketika Pendekar Rambut Emas berkelebat dan lenyap mengeluarkan Pek-sian-sutnya maka di dalam Lembah sendiri geger oleh berita Bun Tiong.

* * * * * * * *

Pagi itu, setelah semalam mengunjungi dan memerintahkan Kim-mou-eng pergi Puteri Es tampak murung. Sesungguhnya ia kacau, bingung dan tak nyaman. Maka ketika pagi itu ia mendengar ribut-ribut dan Bun Tiong berlarian menuju istana, dikejar dan berteriak-teriak melapor datangnya musuh maka Siang Hwa dan adiknya juga berkelebat dan memanggil-manggil puteri.

"Cepat, ada musuh-musuh datang. 0rang-orang pulau Api datang. Cepat, cici-cici. Bersiap dan mana Puteri. Aku hendak melapor bahwa di pantai berdatangan orang-orang jahat!"

Murid-murid Lembah membentak dan mengejar anak-anak ini. Bun Tiong yang ada di depan berkelit dan lincah menghindari tubrukan seorang lawan, lari dan terbang lagi menuju istana. Dan ketika anak itu masuk dan mendaki tangga dengan cepat, menyelinap dan lincah di antara pilar-pilar kokoh maka para murid yang terkejut melihat anak-anak itu keluar menjadi marah dan sudah meloncat dari berbagai penjuru. Dan Sui Keng serta Thio Leng muncul, hampir bersamaan dengan gadis baju merah Yo-siocia.

"Berhenti! Bagaimana kalian lolos, tikus-tikus cilik. Ada apa berteriak-teriak dan membuat ribut. Berhenti, dan tutup mulut kalian!"

Bun Tiong tak mampu mengelak terkaman Thio-siocia ini. Ia berkelit namun jari-jari lawan menangkap lebih cepat, tahu-tahu mencengkeram baju lehernya dan terangkatlah dia bagai kelinci menjerit-jerit. Dan ketika di sana Siang Hwa dan adiknya juga dibekuk Yo-siocia dan Wan Sui Keng, dua anak ini meronta-ronta maka semuanya berseru bahwa musuh berada di luar.

"Kami melapor, kami hendak melapor. Orang-orang Pulau Api datang menyerbu Lembah!"

"Bohong!" bentakan Yo-siocia itu disambut pelototan mata Siang Lan. "Kalian di penjara bawah tanah, anak-anak. Bagaimana tahu!"

"Kami tahu, karena kami sudah keluar. Eh, kong-kong dan bibiku lolos hendak pulang, Yo-cici. Kami sudah di pantai ketika orang-orang Itu datang. Mereka berjumlah banyak, ratusan!"

Gadis baju merah ini terbelalak. Ia kaget bahwa Pendekar Rambut Emas dan cucu serta menantunya keluar, berarti mereka lolos. Tapi ketika semua terbelalak sementara tiga anak Itu masih meronta-ronta, menendangkan kaki maka jauh di gunung pertama terdengar sayup-sayup suara genta bahaya. Dan begitu suara ltu terdengar maka tanda bahaya di gunung kedua dan ketiga dipukul gencar.

"Tang-tang-tang!"

Kaget dan sibuklah penghuni-penghuni Lembah. Yo-siocia melempar Siang Lan dan berkelebat keluar, disusul oleh Wan-siocia dan Thio Leng. Dan ketika berturut-turut tiga anak itu dilempar dan dibanting, Bun Tiong memaki-maki maka Siang Hwa dan adiknya juga mengeluh dan mengumpat gadis-gadis galak itu.

"Kurang ajar, diberi tahu malah membanting. Ugh, awas kalau paman Beng An ada di sini. Kusuruh dia membalas perlakuanmu!"

"Benar, dan Yo-siocia itu tak tahu terima kasih. Keparat, kita temui Puteri Es, Bun Tiong, mungkin dia lebih berhati bijak daripada pembantu-pembantunya!"

Tiga anak itu bangkit dan berlari ke dalam. Mereka sudah tak diperdulikan anak-anak murid karena seluruh penghuni Lembah Es sibuk oleh tanda bahaya itu. Sekarang mereka percaya bahwa laporan anak-anak ini benar. Dan ketika Bun Tiong dan temannya berlari ke gedung istana mendadak mereka terjeblos ke dalam sumur rahasia, lantai yang tiba-tiba membuka tanpa diketahui siapa pelakunya.

"Anak-anak, terima kasih. Tapi kalian beristirahatlah di situ karena musuh yang datang amatlah berbahaya!"

"Puteri Es!" Bun Tiong berteriak ketika sempat melihat bayangan putih anggun, berkelebat dan menutup lubang sumur itu dan Siang Lan juga melihat sosok bayangan yang sama. Gadis itu juga menjerit dan memanggli seperti Bun Tiong. Namun karena mereka terpelanting dan jatuh ke bawah, lubang sumur rnenutup lagi maka tiga anak itu menimpa benda lunak seperti kasur tebal.

"Bluk-bluk!"

Bun Tiong dan teman-temannya selamat. Mereka kiranya jatuh di bantalan air seperti kasur raksasa, terpental lagi ke atas tapi kemudian jatuh dengan lunak. Dan ketika tiga anak itu terbelalak tapi tempat itu tidak gelap, ada penerangan dari dinding sumur maka Siang Lan menangis dan memukul-mukul dinding sumur itu.

"Puteri Es, keluarkan kami. Jahat, kau jahat!"

"Tidak," Bun Tiong mereih dan menangkap lengannya. "Puteri Es tidak jahat, Siang Lan, justeru ingin melindungi kita dari kekejaman orang-orang Pulau Api. Bersyukur dan berterima kasihlah bahwa kita terlindung di sini."

"Tapi kong-kong dan ibumu bagaimana. Mereka tak tahu kita di sini, Bun Tiong. Jangan enak saja bicara karena kita sebagai tawanan lagi!"

"Hm, sudahlah," Siang Hwa melerai, membujuk adiknya. "Kalau Puteri Es menyembunyikan kita di sini tentu dia tak bermaksud jahat, Lan-moi, tenanglah dan mungkin kita dapat keluar."

Tapi dinding itu terbuat dari baja dingin. Siang Hwa sudah mencari jalan keluar namun tak ada, Bun Tiong juga begitu. Dan ketika dua anak itu menarik napas dan duduk tepekur maka Siang Lan menangis dan memukul-mukul tinjunya.

"Keparat, bagaimana kalau Lembah Es kalah. Tentu kita celaka juga, Siang Hwa cici. Kita bakal mati di sini!"

"Lebih baik daripada di luar," Bun Tiong tertawa, tiba-tiba geli. "Mati hidup tak usah dipikir, Siang Lan, tenang saja dan tidur. Aku malah kerasan dan ingin melanjutkan tidurku. Ufh, aku tiba-tiba mengantuk!"

Siang Lan terbelalak. Bun Tiong, anak Itu tiba-tlba melingkar dan tidur dengan nikmat, tak perduli kiri kanan lagi dan mendengkur. Dan ketika encinya tertawa, ia gemas, encinya mengangguk maka siang Hwa pun melemparkan kakinya dan tidur telentang.

"Hi-hik, benar. Daripada susah payah memikirkan keluar lebih baik tidur dan beristirahat, Lan-moi. Aku juga mengantuk dan nikmat benar tidur di tempat sehangat ini. Ah, sumur ini tidak terlalu dingin!"

Siang Hwa memejamkan mata dan meniru jejak Bun Tiong. Mereka benar-benar rileks dan Siang Lan melotot. Tapi karena tak ada pekerjaan lain di situ kecuali memaki-maki, Puteri Es tak mungkin mendengarnya maka Siang Lan pun menampar pundak encinya dan tidur. Tiga anak ini benar-benar tak mau memikirkan keadaan di luar lagi. Bun Tiong dan Siang Hwa rupanya memiliki kepercayaan akan kakek dan bibinya itu, juga Puteri Fs yang tidak membunuh mereka.

Dan ketika tiga anak itu benar-benar tak perduli keadaan sekeliling maka di sana penghuni Lembah Es telah berhamburan dan menyambut musuh, dibantu Pendekar Rambut Emas yang telah bergerak dan bertanding dengan satu di antara dua dedengkot Pulau Api yang bukan lain adalah si Hantu Hitam! Waktu itu, seperti diceritakan di depan pendekar ini telah berkelebat melihat siapa saja orang-orang Pulau Api itu. Bagai gerombolan singa-singa lapar orang-orang Pulau Api itu berlompatan turun.

Mereka telah tiba di laut es dan perahu mereka tak dapat maju lagi, terbentur balok-balok es yang dingin yang memaksa mereka turun. Perahu ditinggalkan begitu saja dan tak kurang dari empat ratus orang berhamburan, satu di antaranya adalah Tan Siok, pangcu dari Pulau Api itu. Tapi ketika dari tempat itu menyambar dua bayangan hitam putih yang terbang begitu cepatnya, melesat dan tahu-tahu melewati Pendekar Rambut Emas maka pendekar ini tertegun dan terkejut karena dua bayangan yang dilihat itu jelas orang-orang yang amat hebat, kesaktiannya tinggi!

"Heh-heh, mana Puteri Es. Ayo kita hajar penghuni Lembah dan tangkap yang paling cantik!"

"Benar, dan sudah lama aku tak membelai tubuh halus wanita-wanita cantik, suheng. Ih, tentu nikmat mengusap dan menyentuh tubuh mereka, ha-ha!"

Pendekar Rambut Emas terbelalak. Dia mempergunakan ilmunya Pek-sian sut hingga tak kelihatan, juga karena dia berlindung di balik sebatang pohon, pohon yang penuh salju. Dan karena bayangan putihnya mirip pohon salju ini, tak mudah dikenal maka dua orang itu lewat tanpa menyangka dan Kim-mou-eng terkejut karena gerakan dua orang itu begitu cepatnya seperti kilat menyambar!

"Hm, siapa mereka. Dan bagaimana Tan-pangcu dapat membawa orang-orang seperti ini."

Pendekar Rambut Emas tentu saja tak tahu bahwa yang baru lewat itu adalah dedengkot Pulau Api, susiok atau paman guru dari Tan-pangcu dan pimpinan tertinggi sekarang berada di tangan dua orang ini, Hantu Putih dan Hantu Hitam yang tiga puluh tahun tersiksa di dalam laut. Maka ketika mereka muncul dan tahu-tahu menyambar seperti siluman, begitu cepatnya maka pendekar ini tertegun karena jelas mereka adalah orang-orang yang kepandaiannya masih di atas Tan-pangcu.

Namun Pendekar Rambut Emas bukanlah orang yang mudah gentar. Justeru ia menjadi tegang dan gembira karena sekarang berhadapan dengan pewaris Han Sun Kwi, setelah sebelumnya dia bertemu dan bertanding dengan pewaris Kim Kong Sengjin. Dan karena dia sudah tahu kehebatan Tan-pangcu dan lega tak melihat Bu Kok maupun See Lam, sute dari Tan-pangcu itu maka pendekar ini berkelebat dan menyambar bayangan dua kakek luar biasa yang telah lenyap dan mendahului di depan itu.

Akan tetapi Pendekar Rambut Emas benar-benar tak mampu menyusul. Sekejap saja dua kakek itu lewat jarak di antara mereka telah ratusan meter, bukan main terkejut dan kagumnya pendekar ini. Akan tetapi karena dia terus mengejar dan dua kakek itu akhirnya berhenti tolah-toleh, mereka bingung harus ke mana dulu maka kesempatan ini membuat Pendekar itu mampu menyusul dan sekali meledakkan tangannya pendekar ini langsung muncul di depan dua orang itu.

"Kakek-kakek aneh, siapa kalian dan ada apa mengganggu Lembah Es!"

Dua kakek itu terkejut. Mereka tak menyangka di tempat itu ada orang lain, apalagi laki-laki. Namun ketika mereka terbelalak dan memandang marah, Hantu Hitam terkekeh tiba-tiba ia menuding rambut pendekar itu, teringat cerita Tan Siok.

"Heii, kau.... ha-ha. Kau pasti Pendekar Rambut Emas. Ha-ha, ini Kim-mou-eng, ayah Beng An. Eh, ada apa kau di sini, Kim-mou-eng, dan kau kiranya yang telah melukai dua murid keponakan kami Bu Kok dan Kiat Lam!"

Pendekar Rambut Emas terkejut. Ia sama sekali tak menyangka bahwa Tan-pangcu masih memiliki dua paman guru, Beng An tak pernah menceritakan ini kepadanya. Maka ketika ia tertegun dan berubah, itu benar-benar tak disangka maka kakek hitam itu menuding dan berseru lagi,

"Heii, bukankah kau yang melukai dua murid keponakan kami. Sekarang mampuslah dan jangan melotot di situ!" Jari itu mencicit dan tiba-tiba meluncurkan lidah api.

Kim-mou-eng terkejut dan berseru mengelak, dikejar dan akhirnya membanting tubuh bergulingan. Dan ketika ia pucat meloncat bangun, itulah Hwe-ci yang dimiliki mendiang Hwe-sin maka dia mengeluarkan keringat dingin dan salju di belakangnya yang akhirnya terkena lidah api itu gosong dan berlubang. Hangus!

"Heh-heh, lihai, seperti anaknya. Eh, apakah kau tak ingin ketemu puteramu, Kim-mou-eng. Beng An ada di tangan kami dan kebetulan kami bawa di perahu!"

Pendekar Rnmbut Emas pucat. Sekali gebrakan itu membuktikan kepadanya bahwa kepandaian kakek hitam ini luar biasa. Namun karena ia adalah seorang pendekar besar dan pantang baginya merasa takut, betapapun lihainya musuh maka pendekar ini menggosok-gosok telapaknya dan keluarlah getaran Khi-bal-sin-kang yang siap digunakan, terkejut namun menahan perasaannya akan berita Beng An.

"Hm, kalian kiranya kakek-kakek busuk paman guru dari ketua Pulau Api. Bagus, aku Kim-mou-eng pembela kebenaran, kakek iblis. Sebutkan nama kalian agar kukenal musuhku!"

"Ha-ha, aku Hantu Hitam, dan itu...." kakek ini menuding. "Dia suhengku Hantu putih... klap!"

Di saat pendekar itu menoleh tiba-tiba lidah api kembali menyambar dari ujung telunjuk, langsung menuju leher dan Pendekar Rambut Emas berseru marah. Tak disangkanya tokoh seperti itu berbuat curang, menyerang di saat ia melepas perhatian. Namun karena ia waspada dan betapapun seluruh syarafnya bekerja baik, mengelak dan mengikuti lidah api itu maka Pendekar Rambut Emas mengibas dan menangkis serta menjajal kepandaian kakek ini.

"Plak!" dan ia terbanting. Pendekar Rambut Emas bergulingan dan kaget bukan main karena Khi-bal-sin-kangnya tak memukul balik. Tenaga karet yang dimiliki itu leleh oleh hawa panas Hwe-ci, tak mempan dan tentu saja lidah api itu masih terus menyambarnya. Dan ketika leher bajunya hangus dan ia meloncat bangun, mencabut pit hitamnya maka kakek itu terkekeh-kekeh sementara bayangan murid-murid Lembah Es mulai bermunculan, tanda bahwa laporan Bun Tiong telah diterima.

"Hm, hebat, tapi jangan sombong. Aku belum kalah, Hantu Hitam, dan kalian pun tak perlu bangga dengan ilmu curian. Itu adalah milik mendiang Hwe-ci dan kalian orang-orang curang!"

Pendekar Rambut Emas berkelebat dan segera menyerang kakek ini. Hantu Hitam mengelak sementara Hantu Putih mendengus. Ia melihat juga gerakan murid-murid Lembah Es itu, para wanita cantik yang sudah meluncur dan menuju tempat mereka. Maka ketika saudaranya menghadapi Pendekar Rambut Emas dan kakek ini tertawa mengejek, merendahkan pendekar itu maka Hantu Putih bergerak dan meninggalkan sutenya.

"Heh-heh, kau dapat memanaskan tubuhmu. Hajar dan bunuh lawanmu itu, sute, biar aku bersenang-senang menyambut mereka!"

Hantu Hitam juga melihat dan tertawa oleh berkelebatnya bayangan-bayangan langsing itu. la mengelak dan menerima serangan Kim-mou-eng namun segera terkejut ketika pendekar itu membentak berkelebatan mengelilingi, cepat dan luar biasa dan tiba-tibe ujung pit hitam menotok tengkuknya. Dan ketika ia tergetar karena lawan menyentuh tubuhnya, Kim-mou-eng sudah mengeluarkan Jing-sian-eng dan Cui-sian Gin-kangnya maka pendekar itu menusuk dan menotok dengan amat cepatnya, bertubi-tubi.

"Hm, kau kurang ajar, berani menyakiti aku. Baik, lihat dan perhatikan balasanku, Kim-mou-eng. Jangan kira aku tak dapat bergerak secepat dirimu.... set-set!"

Tujuh Puluh Dua Langkah Sakti tiba-tiba dikeluarkan dan luputlah sambaran-sambaran pit hitam. Kim-mou-eng telah merasakan itu dari Puteri Es dan kini melihatnya lagi dimainkan kakek ini, jauh lebih cepat dan lincah dan sebentar saja ilmu langkah sakti itu membuat bingung sendiri Pendekar Rambut Emas. 

Gerakan berpindah-pindah yang luar biasa cepatnya dari kakek ini malah lebih cepat daripada Puteri Es. Kim-mou-eng terkejut dan membelalakkan mata. Dan ketika ia silau oleh gerak langkah sakti yang amat mujijat itu, yang dimainkan oleh dedengkot Pulau Api maka pit hitamnya ditampar dan nyaris terlepas dari tangannya.

"Plak!" Si Hantu Hitam terkekeh-kekeh. Sekarang ia dapat menghindari Jing-sian-eng dan Cui-sian Gin-kang itu, menampar dan membalas dan Kim-mou-eng terpelanting. Jari Api (Hwe-ci) menyambar pendekar itu. Namun ketika si pendekar masih dapat bergulingan meloncat bangun dan tak apa-apa, hanya baju pundaknya yang hangus maka kakek ini kagum juga dan memuji.

"Bugus, sinkangmu lumayan juga. Tapi tak lama kau bertahan, Kim-mou-eng. Sebentar lagi pasti roboh, heh-heh!"

Pendekar Rambut Emas pucat. sin-kang yang diandalkan tak banyak berguna setelah Jari Api menyambar-nyambar, kian lama kian panas sebagai tanda bahwa kakek itu menambah sinkangnya. Hantu Hitam penasaran juga bahwa lawan masih dapat bertahan. Dan ketika pit akhirnya terlepas tapi disambar kembali pendekar ini, berjungkir balik menjauhi kakek itu maka Hantu Hitam menggeram dan mulai menggerakkan tangan kanan melepas Petir Neraka!

"Keparat, kau ulet. Mampus dan robohlah, Pendekar Rambut Emas. Terima pukulanku..blarrr!" asap membubung di sertai jilatan api yang tinggi, menyambar dan membakar pendekar itu.

Namun pendekar ini telah mendapat pengalaman dari Tan-pangcu. la tak berani menyambut dan bergulingan menjauh. Lalu ketika dari bawah Ia menyerang kakek itu, melepas Pek-sian-kang atau Tiat-lui-kang-nya maka membalas pukulan panas dengan pukulan panas pula, membuat si kakek terbelalak tapi kemudian terkekeh-kekeh karena pukulan panas itu masih kalah panas oleh Petir Nerakanya.

Kim-mou-eng juga mengakui. Dan ketika ia merobah gerakan dan melepas pit terbangnya menyambar-nyambar, mental bertemu kakek itu maka Pendekar Rarnbut Emas benar-benar kewalahan dan Giam-lui-ciang akhirnya menyambar dahsyat, kearah kepalanya.

"Mampuslah!"

Pendekar Rambut Emas tak mungkin bergulingan lagi. Ia berada dekat di bawah kakek ini ketika melancarkan serangan, gagal dan kini balik mendapat serangan yang tak mungkin dikelit lagi. Namun ketika kakek itu tertawa dan merasa yakin, Pendekar Rambut Emas meledakkan kedua tangannya maka pendekar itu lenyap di balik kesaktian Pek-sian-sut.

"Blarrr!" Hantu Hitam terkejut. Lawan menghilang dan saat itu asap putih menyambar, Kim-mou-eng muncul dalam bentuk jasad halus. Dan ketika pit hitam menotok dan nyaris mengenai matanya maka kakek ini berteriak dan menyumpah serapah. Kim-mou-eng mengejar dan selanjutnya membalas kakek itu. 

Tapi ketika Hantu Hitam membentak dan membuka mulutnya maka semburan Giam-lui-ciang membuat tempat itu panas terbakar dan Kim-mou-eng tak mampu mendekati. Dan dua orang ini lalu bertanding lagi dengan sengit, Kim-mou-eng sering menghilang dan muncul lagi di balik Pek-sian-sutnya.

"Keparat, manusia curang. Jangan licik mempergunakan ilmu silumanmu, Kim-mou-eng. Kalau kau tidak keluar aku akan membalasmu!"

Namun pendekar ini tetap berlindung di balik ilmu sakti warisan Bu-beng Sian-su itu. Lawan mencak-mencak dan akhirnya berkemak-kemik, Giam-lui-ciang menyambar dan tiba-tiba terdengar ledakan keras. Dan ketika batu dan salju berhamburan terbang, Kim-mou-eng mengelak maka kakek itupun menghilang dan lenyap dl balik ilmu hitam.

"Nah, kau dan aku sama. Mari mengadu kesaktian, Pendekar Rambut Emas. Lihat siapa yang lebih hebat!"

Pendekar Rambut Emas terkejut. la terlihat oleh lawan kemudian kini dikejar, berkelit sementara si kakek berlindung di balik asap hitamnya. Dan ketika dua asap putih dan hitam terjang-menerjang, membalas dan saling serang maka tampak bahwa Pendekar Rambut Emas terdesak dan terpental oleh sambaran asap hitam itu. 

Ini karena Si kakek menang matang, kesaktiannya lebih tinggi dan mundurlah asap putih oleh gempuran-gempuran asap hitam. Dan ketika asap putih mulai jatuh bangun dan tampak kewalahan, Kim-mou-eng mengeluh maka pendekar ini dalam bahaya seperti halnya murid-murid Lembah Es yang didatangi Hantu Putih itu.

Seperti adiknya kakek putih inipun mau main-main. la terkekeh ketika disambut puluhan gadis-gadis Lembah, menyerang dan membentaknya sementara di belakang mulai bergerak dan bersorak orang-orang Pulau Api. Dan ketika kakek itu mengibas dan puluhan lawan terlempar, gadis-gadis itu menjerit maka Hantu Putih terkekeh-kekeh menanyakan Puteri Es.

"Hayo, mana ratu kallan. Suruh la keluar dan berlutut di depanku. Ayo, atau kalian mampus des-dess!" kakek itu menggerak-gerakkan kedua tangannya dan wanita-wanita Lembah Es terlempar bagai daun-daun kering dihempas tiupan angin topan.

Mereka itu tak ada yang kuat sampai berkelebatnya bayangan gadis baju merah, Yo-siocia yang membentak dan tentu saja marah bukan main. Namun ketika gadis ini juga mencelat dan terbanting bergulingan, tak mengenal kakek itu maka Hantu Putih terbelalak berseri-seri bahwa ada seseorang yang mulai menarik perhatiannya.

"Ha ha.. kau cantik, paling cantik. Ayo ikut aku dan mana Puteri Es!"

Gadis itu bergulingan. la tak mengenal kakek ini karena Hantu Putih lenyap tiga puluhan tahun. Hanya tokoh-tokoh terdahulu yang mengenal. Maka ketika ia disambar namun melempar tubuh ke kiri, lawan terkejut dan kagum maka anak-anak murid yang lain menerjang dan membantu gadis baju merah ini.

"Keparat, kalian mengganggu. Pergi, ayo pergi...!"

Murid-murid terlempar. Memang mereka hanya seperti daun-daun kering saja menghadapi dedengkot Pulau Api ini, tapi ketika Sui Keng berkelebat dan Wan-siocia ini melengking, melepas roda terbangnya maka gadis yang amat lihai itu menyelamatkan sumoinya.

"Sing-singgg!" Roda terbang hampir saja menghantam kening kakek itu. Hantu Putih mengelit dan terbelalak, tapi ketika ia melihat ada gadis cantik lagi, setara gadis baju merah maka ia terkekeh-kekeh dan lebih gembira.

"Heh-heh, siapa kalian, aku tak mengenal kalian. Uh, lihai kalian, anak-anak. Tapi masih bukan tandinganku.... plak-plak!" roda terpental dan membalik menghantam Sui Keng sendiri.

Gadis itu berteriak dan melempar tubuh ke kanan. Lalu ketika ia meloncat bangun dan menyerang lagi, betapapun dua orang pimpinan Lembah Fs ini bukanlah gadis-gadis sembarangan maka kakek Itu gemblra karena dapat mengeluarkan keringatnya.

"Heh-heh, lumayan, bisa buat pemanasan. Eh, siapa kalian, anak-anak. Murid tingkat berapa di Lembah ini!"

"Keparat, kaulah yang harus memberi tahu namamu. Kau siapa, tua bangka. Apa hubunganmu dengan orang-orang Pulau Api!"

"Ha-ha, aku pemimpinnya. Aku susiok dari Tan-pangcu. Barangkali kalian pernah dengar namaku, Hantu Putih!"

"Hantu Putih?" dua gadis itu hampir berseru berbareng, kaget sekali. "Kau kakek iblis yang telah dibunuh bibi guru kami We We Moli? Ah, tak mungkin. Kau pendusta, kakek busuk. Kau penipu!"

"Ha-ha," kakek itu meloncat-loncat, belum mengeluarkan pukulan-pukulan Pulau Api. "Percaya atau tidak terserah, anak-anak. Tapi kedatangan kami memang untuk membalas perbuatan itu. Lihat kakiku masih kaku dan harus dipakai meloncat-loncat!"

Serangan dan pukulan gadis-gadis itu luput, tak ada yang kena sementara ketika si kakek mengibas maka keduanya terbanting dan terlempar bergulingan. Dan ketika Sui Keng maupun sumoinya terkejut setengah mati, di sana terdengar pekik dan lengking Hantu Hitam maka mereka melihat pertandingan itu, Kim-mou-eng melawan kakek lihai lain.

"Ha-ha, itu adikku Hantu Hitam. Barangkali kalian percaya."

"Kami tak percaya!" dua gadis itu menerjang dan menyerang lagi. "Kalau kau benar tokoh Pulau Api tentu dapat mainkan ilmu-ilmunya, kakek iblis. Keluarkan itu dan biarkan kami percaya!"

"Ha-ha, Giam-lui-ciang? Baik, tapi biar kukeluarkan Hwe-ci dulu, dan ini langkah-langkah Jit-cap-ji-poh-kun yang tentu kalian kenal!" kakek itu menggeser-geser dengan kaku dan Tujuh Puluh Dua Langkah Sakti tiba-tiba benar saja dikeluarkan. Lalu ketika Hwe-ci mencicit dan menyambar dua gadis itu maka Yo-siocia dan encinya berteriak kaget.

"Crit-wushh!" Api meledak dan membakar di belakang mereka. Dua gadis ini melempar tubuh dan sekarang percaya. Lalu ketika kakek itu terkekeh-kekeh dan mereka pucat, tak disangka sama sekali bahwa kakek ini masih hidup maka Hantu Putih menyerang mereka dan menerkam atau hendak merobohkan dengan jari-jari kurang ajar.

"Ayo, menyerahlah. Atau kalian kutangkap!"

Dua gadis ini menggigil. Mereka mengelak dan menangkis tapi pukulan-pukulan kakek itu membuat mereka terpelanting. Hwe-ci yang dilancarkan juga jauh di atas tingkat sendiri. Maka ketika mereka pucat namun anak-anak murid membantu, saat itu orang-orang Pulau Api sudah mendekat dan bersorak-sorak maka Tan-pangcu berkelebat dan membantu susiok-nya ini. Tapi Shintala tiba-tiba muncul dan membentak.

"Wan-siocia, Yo-siocia, tak perlu takut. Aku membantu kalian!"

Dua gadis itu terbelalak. Tadi mereka melihat Bun Tiong dan sekarang ibunya. Ah, para tawanan ini benar-benar lolos. Tapi karena nyonya itu bergerak dan membantu mereka, menyerang kakek itu maka Sui Keng melepaskan diri menghadapi Tan-pangcu itu. Dan saat itu Sui Leng pun muncul, berkelebat dan menyuruh saudaranya kembali ke Hantu putih. Kakek itu masih hebat dan terlalu kuat dikeroyok dua. Maka ketika gadis itu kembali dan membentak kakek itu bertiga dengan Shintala kakek itu dikeroyok....