Putri Es Jilid 18 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

"AYO, majulah. Lihat aku merobohkan kalian dengan mudah!"

Tiga gadis itu merah padam. Mereka adalah murid-murid utama di situ, kepandaian mereka cukup tinggi. Maka diejek dan melihat sikap nyonya itu mereka bergerak dan maju lagi, membentak dan mengayunkan pedang namun dengan mudah Shintala berkelit ke sana kemari tertawa dan berkata bahwa gerakan mereka kurang cepat. Nyonya itu mempergunakan Ang-tiauw Gin-kangnya untuk mengelak semua serangan-serangan iní. Dan ketika lawan menjadi marah dan mempercepat gerakan maka nyonya itu mengibaskan tangannya dan tiga pedang ditampar Khi-bal-sin-kang.

"Plak-plak-plak!"

Ui Hong dan dua temannya terbanting. Mereka mengeluh karena untuk yang kedua kalinya ini wanita itu menambah tenaganya. Pedang terpental demikian keras hingga mencelat dan jatuh ke dalam salju, amblas sampai gagangnya. Lalu ketika mereka terbelalak dan terhuyung bangun, Bun Tiong dan Siang Hwa serta Siang Lan bersorak maka tiga anak itu melompat dan lari memasuki lembah.

"Hore, cici roboh. Kami boleh masuk dan tak ada yang mencegah lagi!"

Tiga gadis itu terkejut. Mereka berteriak namun anak-anak itu tak menggubris, Bun Tiong berlari paling cepat hingga berada paling depan, Dan ketika dua bayangan juga berkelebat dan nyonya muda itu serta Pendekar Rambut Emas melewati mereka maka Shintala berseru bahwa mereka ingin masuk dan datang secara baik-baik. Ui Hong bingung dan membelalakkan mata. la telah dirobohkan dan tak mungkin mencegah rombongan itu. Tiga anak itu tertawa-tawa gembira dan lenyap di balik bukit. Mereka demikian senang dan riang memasuki lembah.

Namun ketika Pendekar Rambut Emas bergerak mengiring cucu-cucunya ini, Shintala tersenyum-senyum melihat kegembiraan puteranya maka bayangan merah berkelebat dan muncullah gadis yang gagah dan cantik jelita, juga bayangan-bayangan lain yang membuat rombongan kecil itu berhenti.

"Stop, berhenti dan jangan kurang ajar. Kalian dilarang masuk dan pulang baik-baik atau mati di sini!!"

Siang Hwa yang terkejut tapi gembira melihat bibinya mampu menghadapi tiga gadis Lembah tiba-tiba tertawa dan lari memutar. la terkejut sejenak oleh bayangan merah ini namun keberaniannya timbul lagi karena Kong-kong dan bibinya ada di situ. Maka ketika ia tak menghiraukan dan lari memutar, disusul oleh Bun Tiong dan Siang Lan yang terkekeh-kekeh maka tiga anak ini tak perduli dan memutari rombongan gadis baju merah itu.

"Hi-hik, kalian tak dapat menghalangi kami, cici. Dan kamipun tidak takut ancamanmu. Ayo, tangkap dan kejar kami!"

Gadis baju merah ini, Yo Lin, marah dan terbelalak melihat keberanian anak anak itu. Sama seperti tiga sumoinya di Sana Iapun mendapat tugas dari Thio Leng dan Sui Keng menahan majunya keluarga ini. Akhirnya Thio Leng melihat robohnya Ui Hong dan Yu Pio serta Ing Sim, memanggil dan memerintahkan sumoinya terlihai ini menghadapi Pendekar Rambut Emas. Dan karena tak mau gagal melaksanakan tugas, Yo Lin akhirnya memanggil murid-murid Lembah maka Ia menghadang setelah Ui Hong dan kawan-kawannya roboh.

Kini, Bun Tiong dan dua anak perempuan itu lewat di depan hidungnya sambil tertawa-tawa. Meskipun mereka memutar namun tetap saja hendak memasuki Lembah, anak-anak itu kurang ajar bukan main. Dan karena Siang Hwa yang pertama kali mengajak teman-temannya, lari dan mengejek dirinya maka gadis ini berkelebat sementara tangannya mengibas Bun Tiong dan Siang Lan.

"Ke sini kalian, robohlah!"

Yo Lin berbeda dengan Ui Hong atau tiga gadis pertama tadi. Gadis ini adalah Sumoi langsung dari Puteri Es, tokoh nomor tiga setelah Thio Leng dan Sui Keng. Dia adalah keturunan dari Yo-ongya, jelas kepandaiannya tinggi. Maka ketika Siang Hwa terkejut tak mampu mengelak, di sana Bun Tiong dan Siang Lan juga terpekik disambar angin amat kuat maka ketika dua anak itu roboh terlempar gadis inipun tertangkap dan dicengkeram pundaknya.

"Aughh!"

Shintala dan ayahnya terkejut mendengar jeritan Siang Hwa. Gadis itu tahu-tahu telah dicengkeram dan meronta-ronta, roboh ketika satu totokan mengenai belikatnya. Dan ketika Yo Lin melempar anak itu pada anak buahnya maka Shintala berkelebat dan marah sekali. "Lepaskan keponakanku!"

Yo Lin mendengus. Gadis baju merah ini gembira memberi pelajaran. Sekarang lawan tak akan main-main lagi dan meremehkannya. Maka ketika nyonya itu berkelebat dan menamparnya, membalik dan menangkis mengerahkan sinkang maka dua pukulan beradu.

"Dess!" Yo Lin terpental dan kaget. la membuat lawan tergetar namun diri sendiri justeru terlempar. la tak tahu bahwa ia bertemu Khi-bal-sin-kang dan pukulan karet itu membuat tenaganya membalik. Maka ketika ia berjungkir balik namun Shintala tak berhenti di situ saja, bergerak dan menyambar ke depan maka anak murid yang baru saja menerima Siang Hwa tahu-tahu ditendang dan roboh mencelat, Siang Hwa sendiri dirampas dan kembali dia tangan bibinya, membuat semua terkejut oleh kecepatan dan kelihaian nyonya ini.

"Bagus, terima kasih. Hi-hik, kau telah menyelamatkan enci, bibi. Sekarang lempar cici baju merah itu dan hajar dia!"

Yo Lin melotot mendengar seruan Siang Lan. Gadis cilik itu menerima encinya tapi sang bibi berseru agar mereka tak ke mana-mana dulu. Pendekar Rambut Emas juga bergerak dan mencengkeram cucu-cucunya ini. Dan ketika Bun Tiong meringis oleh cengkeraman kakeknya, Pendekar Rambut Emas tak mau cucunya ke mana-mana maka pendekar ini juga menendesis agar Bun Tiong tak membuat ulah.

"Gadis baju merah ini lihai, ia agaknya Yo-siocia seperti yang diceritakan pamanmu Beng An!"

"Ah, itu cici Yo Lin, kong-kong? Kalau begitu biar kau saja yang maju, jangan ibu. Nanti ibu bersikap keras dan cici itu luka."

"Tidak, ibumu akan berhati-hati," dan ketika gadis baju merah melotot Bun Tiong berkata dengan keras maka Pendekar Rambut Emas berseru pada menantunya agar Shintala tidak bertangan besi disambut anggukan nyonya muda itu.

"Aku tahu, tak usah khawatir, gak-hu. Kalau aku tidak dalam bahaya tak mungkin aku mencelakai adik manis ini."

"Sombong!" Yo Lin menjadi marah. "Siapa namamu, hujin. Sebutkan atau nanti kau menyesal!"

"Hm, aku Shintala, kakak ipar Beng An. Kau kiranya yang bernama Yo Lin dan aku sudah mendengar tentang dirimu dari adikku."

"Tak usah menyebut-nyebut nama Kim kongcu. Kalian datang bukan untuk berpesiar hujin, dan kau tahu bahwa tempat ini larangan bagi siapapun. Kembalilah dan sekali lagi kuperingatkan atau terpaksa kalian dibunuh!"

"Hi-hik, mudahnya. Kami bukan ayam atau kelinci, Yo-siocia. Coba kau tangkap atau robohkan kami. Majulah!"

Yo Iin sudah mencabut pedangnya. Sinar merah berkeredep ketika Ang-kong-kiam dicabut, itu adalah pedang andalannya. Dan maklum bahwa lawan tak mau kembali, ia ditantang maka gadis ini melengking dan sudah meloncat maju, menusuk dan menikam namun lawan berkelit dan menghindar, dikejar dan Shintala pun menangkis. Dan ketika telapak tangan gadis itu tergetar namun pedang tidak terlepas, Shintala memuji maka sumoi dari Puteri Es itu bergerak dan sebentar kemudian sinar merah sudah bergulung-gulung menyambar naik turun, mendesing dan mencicit dan angin dingin segera tercipta di situ.

Shintala kagun namun nyonya inipun tak mau kalah, berkelebat dan mengerahkan Jing-sian-eng-nya dan pedang segera mengejar atau memburu nyonya itu. Akan tetapi ketika si nyonya menampar dan memukul badan pedang, lagi-lagi gadis baju merah tergetar maka Bun Tiong bersorak melihat ibunya mampu mengatasi lawannya itu.

Pertandingan menjadi semakin seru karena Yo-siocia menjadi semakin penasaran. Ia sengit sekali oleh teriakan Bun Tiong. Dan ketika Siang Hwa dan Siang Lan juga bersorak riuh maka bayangan Shintala berkelebatan lebih cepat daripada sambaran pedang.

"Bagus, hi-hik.... tak kena lagi! Eh, luput. Eh, balas lawanmu itu, bibi. Tampar semakin keras agar lepas pedangnya."

Yo Lin memuncak kemarahannya. la sudah mainkan Ang-kong Kiam-sut namun tubuh si nyonya benar-benar cepat luar biasa. Dengan Jing-sian-eng saja nyonya ini mampu mengatasi lawan. Dan ketika Shintala melakukan tamparan-tamparan sambil menambah tenaga, kini Yo Lin mulai terhuyung. dan pucat maka gadis baju merah itu mengaku bahwa lawan benar-benar lihai, masih di atas dirinya namun ia tak mau mengaku.

Betapapun masih belum mengeluarkan Bu-kek-kangnya. Ilmu andalan Lembah Es itu masih disimpan karena ia masih mainkan pedangnya dengan hebat dan kuat. Namun setelah ia terhuyung dan tertolak, mundur oleh tamparan lawan, Khi-bal sin-kang membuatnya terbelalak dan kaget serta penasaran akhirnya ketika ia menusuk perut nyonya itu tiba-tiba Shintala membentak dan menggerakkan dua tangannya berbareng.

"Cukup, robohlah!"

Yo-siocia terpekik. Ujung pedangnya tiba-tiba ditangkap dan ia didorong, begitu kuatnya dorongan itu hingga ia terjengkang. Dan ketika gadis itu meloncat bangun namun pedang masih tetap di tangan, Shintala tak bermaksud merampas maka gadis itu terbelalak namun tiba-tiba ia menerjang lagi. "Aku masih belum kalah, kau belum merobohkan aku!"

Shintala tertawa dingin. la telah mengukur kepandaian gadis ini dan tenaganya pula, tak takut dan tetap mengandalkan Khi-bal-sin-kang dan Jing-sian-eng untuk berkelebat. Tapi ketika tangan kiri lawan bergerak dan hawa luar biasa dingin menyambar, ia terkejut maka gadis baju merah itu membentak agar menyambut serangannya.

"Bu-kek-kang...!" Pendekar Rambut Emas berseru dari luar memperingatkan menantunya.

Shintala ingat dan segera menyambut dengan tangan kanannya. Mengerahkan Khi-bal-sin-kang. Tapi ketika pukulan karet itu menjadi beku dan tak dapat didorong keluar, sang nyonya terkesiap maka Bu-kek-kang menyambarnya dahsyat dan nyonya ini cepat membanting tubuh bergulingan.

"Dess!" Tanah di depan mereka beku! Gumpalan es terjadi di sini dan Pendekar Rambut Emas cepat menyambar tiga cucunya menjauhi tempat itu. Hawa di Sekitar tiba-tiba menjadi dingin, Shintala berkeratak dan mengeluh tertahan. Namun ketika Pendekar Rambut Emas menepuk pundaknya menyalurkan hawa hangat, rasa dingin membeku di tubuh wanita itu lenyap maka Pendekar Rambut Emas menyuruh semuanya menjauh. Bun Tiong dan Siang Hwa serta Siang Lan disuruh mengerahkan sinkang mereka.

"Mundur, jangan terlampau dekat. Biar ibumu melawan!"

Bun Tiong berubah. Dia segera terbelalak melihat betapa Bu-kek-kang kini menyambar ibunya lagi, mengejar namun sang ibu berjungkir balik menghindar. Dan ketika pedang juga masih terus menyambar dan menusuk atau menikam di tangan kanan maka sejenak nyonya muda ini pucat dan berubah. 

Namun isteri Rajawali Merah ini bukanlah wanita sembarangan. la adalah cucu Drestawala yang sakti, senjatanya adalah tongkat panjang dengan ilmu silatnya Sing-thian-sin-hoat. Dan karena setelah ia menjadi isteri Thai Liong kepandaiannya tentu saja semakin tinggi, menguasai Sin-tiauw-kang di samping Silat Rajawali maka nyonya ini membentak dan tiba-tiba berkelebatlah tongkatnya menghadapi pedang. Shintala tak mau main-main lagi.

"Bagus, kau masih hebat, Yo-siocia. Tapi betapapun kau tak dapat mengalahkan aku. Lihat tongkat... wherrrr!" dan tongkat yang datang menyambut pedang akhirnya menahan senjata di tangan gadis itu sementara tangan kiri sang nyonya bergerak menyambut Bu-kek-kang, penuh terisi Sin-tiauw-kang dan kini dengan tenaga Rajawali Sakti itu lawan tergetar.

Yo-siocia memang masih kalah tenaga. Dan ketika gadis itu tergetar dan mundur, menyerang namun disambut tenaga Rajawali Sakti itu maka sumoi dari Puteri Es ini terdorong dan terdorong lagi, penasaran dan marah namun Shintala tak mau membuang-buang waktu lagi. Dengan Ang-tiauw Gin-kangnya yang hebat ia terbang menyambar-nyambar, naik turun tak menginjak tanah lagi.

Dan ketika gadis baju merah itu bingung dan pusing maka tongkat si nyonya menotok dan menggetarkan, maksudnya membuat roboh namun lawan memiliki kepandaian lain, Tutup Hawa Lindungi Jalan Darah. Dan ketika empat kali totokan dibuat. gagal, Shintala terkejut dan marah akhirnya tongkat menyambar dan menghantam tengkuk gadis itu.

"Dess!" Yo-siocia terbanting dan mengeluh kaget. Untuk yang ini ia tak kuat menahan, tongkat terlampau hebat menghajar. Namun ketika nyonya itu hendak menyerang dan mengulangi pukulannya tahu-tahu dua bayangan berkelebat dan satu diantara dua bayangan ini menahan tongkat sang nyonya.

"Cukup... plakk!"

Shintala terhuyung dan terkejut membelalakkan mata. Dua wanita berpakaian gemerlap berdiri di depannya dengan mata bersinar-sinar. Rambut mereka digelung tinggi sementara anting-anting di kedua telinga bergoyang ke sana ke mari, lembut dan menambah kecantikan dua wanita ini hingga mirip bangsawan agung. Namun ketika dia sadar dan menjadi marah,siap menggerakkan tongkat tiba-tiba ayahnyna melompat dan Pendekar Rambut Emas buru-buru menjura.

"Maaf, tentu ini Thio-siocia dan Wan-siocia adanya. Selamat bertemu, jiwi-siocia, selamat berkenalan. Aku adalah ayah Beng An dan datang dengan maksud baik-baik, ingin menghadap Puteri. Mohon kalian maafkan dan rupanya baru sekarang kalian turun dari bukit itu!"

Dua wanita ini terkejut dan tertegun. Kiranya mereka sudah diketahui Pendekar Rambut Emas ini dan diam-diam mereka kagum. Memang benar mereka terpaksa turun setelah meihat sumoi dan anak buah mereka tak dapat menahan rombongan pendekar itu. Sejak tadi tentu saja mereka menyaksikan kelihaian Shintala dan diam-diam memuji. Namun karena tak mungkin menerima masuk, Lembah Es tak boleh dimasuki orang asing maka Sui Keng atau Wan-siocia itu mengibaskan rambut bersikap bengis, dingin.

"Kim-taihiap, kami telah mengetahui maksud kedatanganmu. Tapi maaf, kami tak dapat menerima dan dengan memperlihatkan kesombongan di sini. Kami masih memandang Kim-kongcu dan harap kalian mundur, pulang. Atau kami bersikap keras dan tak melihat muka puteramu lagi."

"Kami ingin bertemu Puteri..."

"Tak bisa!"

"Nanti dulu jangan potong kata-kataku siocia. Maksudku adalah bahwa cucu-cucuku ini ingin berkenalan dengan Ratu kalian sebagaimana pamannya telah datang di sini. Kami akan pergi setelah semuanya selesai!"

"Hm, tak dapat. Sekali tak dapat tetap tak dapat, Kim-taihiap. Jangan memaksa atau kami melempar kalian. Lembah Es tak boleh dimasuki orang asing!"

"Tapi orang-orang Pulau Api datang seenaknya!" Bun Tiong tiba-tiba berseru. "Kalian tak adil, cici. Orang-orang Pulau Api juga orang asing tapi akhirnya masuk juga. Lembah Es bukan pantang dimasuki orang asing melainkan hanya pria, laki laki dewasa!"

"Betul Siang Hwa tiba-tiba menyambung, suaranya melengking tinggi. Kami anak-anak hanya diantar kakek kami, cici. Kalau larangan itu berlaku maka hanya kakek yang tak boleh. Kami anak-anak dan wanita boleh!"

Dua wanita itu terkejut. Mereka memandang kepada Siang Hwa dan Bun Tiong dan untuk kesekian kalinya lagi Thio-cici dan Wan-cici ini kagum. Mereka memang bukan anak-anak biasa. Tapi ketika mereka hendak menggeleng dan Pendekar Rambut Emas tersenyum lebar tiba-tiba pendekar itu berkata dan maju lagi.

"Nah, benar. Yang tak boleh masuk hanyalah aku nona. Mereka yang lain ini wanita dan anak-anak. Baiklah, aku mematuhi larangan Lembah Es dan biar mereka saja yang masuk!"

"Horee...!" Siang Lan tiba-tiba melonjak. "Kalau begitu aku masuk, kong-kong. Lembah Es tak mungkin menyakiti anak-anak! Dan kong-kong boleh tinggal di situ. Kami hendak menemui Puteri" dan melompat serta masuk ke Lembah tiba-tiba Siang Hwa dan Bun Tiong tak perduli lagi kepada dua wanita ini, berkejaran dan tertawa-tewa dan Shintala pun tersenyum bergerak melindungi. Thio-siocia dan Wan-siocia dijebak.

Tapi ketika tiga anak itu berlarian dan Shintala bergerak masuk tiba-tiba Sui Keng menjeletarkan rambut dan berkelebat menghadang nyonya ini, Thio-cici menyambar dan menahan anak-anak itu. "Tahan, tak boleh masuk, anak-anak. Kalian tak boleh kurang ajar!"

Bun Tiong dan adiknya terkejut. Mereka bertiga tiba-tiba dihadang sebuah pukulan kuat bagai dinding baja, tak dapat ditembus namun tiga anak itu memukul. Akan tetapi ketika mereka terbanting dan menjerit satu sama lain maka Shintala sendiri mengelak dan menangkis pukulan Wan-siocia.

"Dukk!" Dua-duanya tergetar. Sui Keng, atau Wan-siocia mencengkeram pundak nyonya ini dalam usahanya menahan lawan. Ia telah melihat kepandaian Shintala namun belum merasakan sendiri. Meka ketika ia mencengkeram namun ditangkis, Sin-tiau-kang bertemu Bu-kek-kang maka gadis itu memuji dan terhuyung mundur.

"Bagus, tak memalukan sebagai enci Kim-kongcu. Tapi larangan tetap larangan, hujin. Yang bukan keluarga Lembah Es tak boleh masuk!"

"Tapi kami sahabat, bukan musuh!"

"Yang sahabat adalah Kim Beng An, bukan keluarganya. Kalau kalian hendak memaksa masuk satu-satunya jalan harus merobohkan kami. Nah, pergi atau kita bertanding!"

"Bagus!" Shintala tak sabar lagi, tongkat bergerak dan memutar, bagai baling-baling. "Kalau begitu mari main-main, adik manis. sebutkan apakah kau Thio-siocía atau Wan-siocia!"

"Aku Sui Keng, Wan Sui Keng. Kalau kau mau coba-coba mari bertanding dan perlihatkanlah kepandaianmu kepadaku!"

Shintala tak menunggu waktu lagi dan melengking. la sekarang tahu bahwa laWan adalah Wan-siocia. Beng An telah bercerita tentang dua wanita ini dan betapa mereka hanya dapat dikalahkan setelah memakai Pek-sian-sut. Tapi karena sekarang yang maju hanyalah Wan-siocia sementara Thio-siocia bergerak dan mundur, Bun Tiong dan Siang Hwa serta Siang Lan disambar kakeknya maka nyonya itu berkelebat dan langsung mengeluarkan Ang-tiauw Gin-kangnya. Ginkang atau ilmu adalah meringankan andalan Thai Liong Rajawali merah.

Begitu bergerak seketika kaki nyonya inipun tak menginjak tanah lagi. Ginkang ini lebih tinggi daripada Jing-sian-eng dan begitu dikeluarkan tubuh wanita itupun menyambar-nyambar bagai rajawali merah. Begitu cepat gerakannya hingga Sui Keng atau Wan-siocia ini terkejut juga, Tapi karena dia adalah kakak seperguruan Yo Lin dan ilmunya tentu saja lebih tinggi, berkelebat dan mengelak maka rambut di kepalanya meledak ketika menghantam dua tangan Shintala yang menyerang dengan cepat.

"Plak-plak!"

Dua-duanya terhuyung. Shintala menjadi marah dan tongkat diputar bagai kitiran mainkan sing-thian-sin-hoat namun tenaganya adalah Sin-tiauw-kang. Dan ketika ia membuat lawan terdorong sementara diri sendiri hanya tergetar dan terpental sedikit, lawan menjadi marah dan balik melengking maka Wan-siocia bergerak dan mainkan rambutnya disertai pukulan-pukulan Bu-kek-kang, menyambar dan membalas dan sebentar kemudian dua wanita ini bertanding seru.

Masing-masing tak mau kalah dan mempercepat gerakannya. Tapi ketika Ang-tiauw Gin-kang lebih unggul dan tampak dalam ilmu meringankan tubuh itu Wan-siocia kalah setingkat, wakil Lembah Es ini terkejut maka Shintala menghajarnya dua kali namun tongkat mental bertemu Bu-kek kang, disusul pukulan-pukulan lain akan tetapi semuanya itu ditahan Bu-kek-kang.

Sang nyonya menjadi penasaran dan menambah kecepatannya lagi. Dia sekarang lenyap menjadi bayangan cepat yang menyambar-nyambar, kelebihan ilmu meringankan tubuh ini dipergunakan untuk mencapai kemenangan. Namun ketika lawan memperkuat Bu-kek-kangnya dan tubuh gadis itu dibungkus hawa dingin maka Shintala penasaran karena ujung tongkatnya mulai membeku, berat!

"Pergunakan Yang-kang dari Sin-tiauw-kang, Shintala. Lawan hawa dingin itu dengan hawa panas!"

Shintala terkejut. Dalam nafsunya merobohkean lawan ia lupa kepada diri sendiri bahwa Sin-tiauw-kang atau Tenaga Sakti Rajawali itu dapat dipecah menjadi hawa dingin atau panas. Maka begitu diingatkan dan melengking merobah gerakan segera tangan kirinya menampar dengan tenaga Yang-kang, memecah hawa dingin dan benar saja ujung tongkat yang berat dan beku itu berhasil dicairkan. Es yang menempel di tongkatnya perlahan lahan hilang, menguap. Dan ketika dengan petunjuk ini ia mendesak lawan, wakil Lembah Es terkejut dan membelalakkan mata maka Thio Leng atau rekannya itu berseru padanya, ganti memberi petunjuk.

"Keng-moi, keluarkan senjatamu. Lepaskan Siang-lun-jong-san!"

Wanita itu mengangguk. Sambaran Sin-tiauw-kang dielak dan dihindarkan tapi ketika tongkat menyambar mendadak ia berseru keras, Sepasang benda putih berkilau tahu-tahu berkelebat membentur tongkat di tangan nyonya itu. Dan ketika tongkat terpental tapi benda putih berkilau itu terus menyambar Shintala, nyonya ini kaget maka ia melempar tubuh bergulingan dan benda itu meledak lalu kembali kepada majikannya.

"Roda Terbang!" Shintala berubah dan melihat itu. Kiranya itu adalah sepasang roda putih yang dilepas dan dilontar pemiliknya, terbang bagai benda bernyawa dan hampir saja mencelakainya. Tapi ketika nyonya ini sadar dan hilang kagetnya, teringatlah Ia bahwa Beng An dulu pernah bercerita maka nyonya ini bergerak dan menyerang lagi, membentak dan kini hati-hati dan lawan menyambut lagi.

Siang-lun-jong-san atau Sepasang Roda Menembus Bukit dihadapi menantu Kim-mou-eng ini, tak gentar dan segera dielak dan balas menyerang dan serulah kemudian pertempuran itu. Sui Keng telah mendapat petunjuk saudaranya. Namun karena nyonya muda itu adalah isteri Thai Liong dan sebagai isteri dari Rajawali Merah yang lihai ia hanya sebentar saja terkejut dan kaget oleh perubahan itu maka tak lama kemudian dengan Sin-thian-sin-hoat (Silat Sakti Pengacau Langit) nyonya ini berhasil menahan roda dan pukulan atau sambaran tongkatnya menderu-deru, naik turun mengikuti gerakan Ang-tiauw Gin-kang dan Ginkan Rajawali ini benar-benar luar biasa.

Dengan geraknya yang cepat dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain nyonya itu mampu mengelak sambaran siang-lun (roda sepasang), balik dan membalas dengan gerakan tongkatnya yang terisi Sin-tiauw-kang itu. Dan ketika Sui Keng kembali kewalahan dan Bu-kek-kang ditahan hawa panas yang keluar dari pukulan atau sambaran tubuh wanita itu maka lima puluh jurus kemudian Shintala berhasil mendesak dan menekan lawannya lagi. Permainan roda akhirnya dikenal dan dihapal.

"Wut-plak-dess!"

Roda menyambar disusul benturan telapak tangan. Bu-kek-kang, andalan Lembah Es tertahan Sin-tiauw-kang yang dimiliki si nyonya. Sui Keng terhuyung sementara lawan tergetar sedikit, mampu menyerang dan membentak kembali. Dan ketika dua puluh jurus kemudian nyonya muda ini juga mengeluarkan Lui-Ciang-hoat dan pukulan Soan-hoan-ciang (Kibasan Angin Puyuh) yang diselang-seling dengan permainan tongkat dan pukulan tangan kirinya maka lawan terdesak dan semakin tertekan saja.

Dan Thio Leng atau wakil nomor satu dari Lembah Es itu menjadi marah, pandang matanya kini berkilat gusar. "Keng-moi, pergunakan Jit-cap-ji-poh-kun dan Pek-hong-koan-jit. Keluarkan Pai-hai-jiu!"

Pendekar Rambut Emas terkejut. Lawan tiba-tiba merobah gerakan dan ketika terdengar seruan keras maka melenggak-lenggoklah lawannya itu mempergunakan langkah-langkah aneh. Jit-cap-ji-poh-kun (Tujuh Puluh Langkah Sakti) tiba-tíba dikeluarkan untuk mengelak dan menghindar dari serangan-rangan cepat. Shintala memang bagai rajawali menyambarnyambar dengan tongkat dan tangan kirinya itu. Dan ketika semua serangan luput dan Shintala terbelalak, lagi-lagi cerita Beng An benar maka tahu-tahu lawan menghilang dan Sui Keng atau Wan-siocia itu sudah berada di belakang laWan.

"Awas, ibu!"

Sang nyonya terkejut. la tak sempat membalik oleh teriakan Bun Tiong ini, anak laki-laki itu memberi tahu namun Shintala terlambat mengelak. Ang-tiauw Gin-kang ternyata mendapat tandingan Jit-cap-ji-poh-kun, hebat sekali. Dan ketika roda menyambar dan mengenai tengkuk, nyonya itu terpelanting maka Sui Keng mengejar dan Kim-mou-eng berdebar tegang, jurus demi jurus lewat lagi dengan cepat dan ia harus mengakui bahwa wakil Lembah Es itu amat lihai. Lui-ciang-hoat dan Soan-hoan-ciang yang dikeluarkan menantunya tak berdaya lagi begitu dihadapi ilmu langkah sakti itu.

Wan-siocia mengelak dengan cepat berdasarkan langkah-langkah saktinya. Dan ketika semua serangan menjadi kosong dan kini lawan tertawa mengejek, Shintala terbakar dan marah maka nyonya ini berteriak dan mata gelap. Tapi inilah kesalahannya. Sebagai pertandingan kelas tinggi adalah pantangan bagi seseorang untuk bermata gelap. serangan-serangan menjadi ngawur dan kurang terarah lagi. Shintala marah karena Thio Leng memberi petunjuk-petunjuk kepada sumoinya, mengelak dan melancarkan serangan sementara ayah mertuanya tak memberi petunjuk-petunjuk lagi.

Nyonya ini tak tahu betapa saat itu Pendekar Rambut Emas sedang mempelajari gerakan langkah-langkah sakti itu, sudah mendengar dari Beng An tapi satu-satunya jalan untuk menghadapi itu hanyalah Pek-sian-sut. Dan karena menantunya tak memiliki ini karena yang memiliki itu hanya dia dan Beng An maka ketika Pendekar Rambut Emas menahan napas dalam oleh satu lontaran roda maka tak ayal lagi pendekar ini berkelebat menolong menantunya. Shintala terpelanting oleh satu tendangan keras.

"Cukup, berhenti saja sampai di sini!" Sui Keng berteriak ketika tahu-tahu sesosok asap putih menyambar dirinya. Ia sedang melontarkan roda di tangan kanannya ketika roda itu tiba-tiba meledak dan terhenti di tengah jalan. Dan ketika ia terbelalak dan mengelak namun kalah cepat maka asap itu menepuk pundaknya dan iapun roboh, bersamaan dengan Shintala yang juga terduduk dan jatuh di sana.

"Bluk!" Dua wanita itu sama-sama melotot. Sui Keng yang melihat asap menyambar dan menarik Shintala segera menjadi gentar ketika asap itu meledak dan muncul kembali sebagai ujudnya semula, Pendekar Rambut Emas. Lalu ketika pendekar itu tertawa dan mengusap-usap menantunya, Shintala pulih lagi maka pendekar itu memandang cucunya dan bertanya dengan suara nyaring,

"Bun Tiong, Siang Hwa dan Sian Lan. Masihkah kalian ingin melihat Puteri Es setelah menyaksikan kelihaian gadis-gadis ini? Tidakkah kalian takut dan membatalkan niat?"

Tiga anak itu terkejut. Mereka tadi berseru cemas melihat ibu mereka diserang roda. Tapi begitu kakek mereka bergerak dan menolong sang ibu maka Bun Tiong berseru girang menubruk ibunya ini, gagah dan nyaring. "Tidak, aku tak takut menghadapi siapapun kong-kong. Menghadapi iblis dan siluman pun aku tak takut. Aku masih ingin bertemu Puteri Es!"

"Dan aku juga!"

"Aku juga. Siang Hwa dan Siang Lan tak mau kalah. "Aku juga tak takut kong-kong. Kalau mereka hendak membunuh aku biarlah paman Beng An yang membalas!"

"Ha-ha kalau begitu berangkatlah. Tak percuma kalian menjadi cucu Pendekar Rambut Emas dan sambutlah bahaya di depan!"

Semua terkejut dan tak mengerti ketika mula-mula pendekar ini bicara. Tapi begitu tangannya menangkap Bun Tiong dan melempar anak itu tinggi-tinggi, jauh melampaui gadis-gadis Lembah Es itu maka secepat kilat dan berturut-turut pendekar ini melempar Siang Hwa dan Siang Lan pula, tinggi dan jauh pula dan terakhir adalah Shintala. Di telinga nyonya itu Pendekar Rambut Emas berbisik tak usah takut.

Sang nyonya diperintahkan melindungi anak-anak sementara dia akan mencegat menghadapi gadis-gadis itu, Pendekar Rambut Emas telah mempergunakan Pek-sian-sutnya tadi. Dan ketika Shintala juga dilempar dan berjungkir balik tinggi, Bun Tiong dan Sian Hwa serta Siang Lan terbanting dan berjungkir balik pula maka Thio Leng dan Wan-siocia kaget bukan main oleh perbuatan Kim-mou-eng ini.

"Kau.... kau berani memasukkan anak-anak?"

"Ha-ha maaf. Jauh-jauh ke sini memang ingin bertemu Ratu kalian, nona-nona, Kalau anak-anak itu pulang begitu saja tentu seumur hidup bakal menggerutui. Ah, sudahlah. Kalian hebat dan mari main-main sebentar!"

Pendekar Rambut Emas yang bergerak dan mendahului mereka tiba-tiba mengibas dan menampar penghuni-penghuni Lembah, tak memberi kesempatan kepada mereka untuk mengejar dan mencegah Bun Tiong karena mereka sudah đihempas dan dibanting ke sana ke mari. Anak-anak murid menjerit. Dan ketika mereka meloncat bangun akan tetapi pendekar itu bergerak kembali, tak memperbolehkan mereka mengejar maka Thio-cici dan Wan Sui Keng marah sekali.

"Keparat, kau membuat kami naik darah, Kim-mou-eng. Kami tak perduli lagi kepada puteramu!"

"Ha-ha, majulah. Aku juga tak ingin menebeng puteraku. Aku ingin menyenangkan anak cucuku. Majulah... majulah nona-nona. Hadapi aku dan awas pukulan ini... dess!"

Thio Leng melempar tubuh ke kiri ketika pendekar itu melepas pukulan sinkang, jatuh menimpa pohon dan robohlah pohon itu memuncratkan bongkah-bongkah salju. Tempat itu segera menjadi ajang keramaian ketika pendekar ini bergerak ke sana ke sini, berkelebat dan merobohkan siapa saja tak mau bertumpu pada satu atau dua orang saja.

Thio Leng ditinggal ketika berkelit, menyambar Sui Keng namun berkelebat ke arah murid-murid yang lain ketika gadis itu mengelak. Dan ketika yang lain tunggang-langgang dan gerak cepat pendekar itu sungguh luar biasa maka Thio Leng tiba-tiba mencabut roda terbangnya disusul Sui Keng, membentak dan melontarkannya ke arah pendekar itu.

"Siuutttt... blar-blarr!"

Pendekar Rambut Emas tertawa bergelak dan mengelak roda terbang ini. Benda itu menyambar tanah dan memumcratkan bunga-bunga salju. Dan ketika dua wanita itu mengejarnya sambil melepas serangan lagi, roda membalik dan kembali pada tuannya maka secara licin pendekar ini menyelinap ke dalam kepungan anak murid yang berteriak-teriak.

"Bagus, seranglah aku, nona-nona. Lontarkan roda itu tapi hati-hati mengenai murid sendiri!"

Thio Leng dan Sui Keng panas. Empat kali mereka menyerang tapi roda terbang menghantam angin kosong, terakhir malah mengenai murid sendiri hingga mereka berteriak dan roboh. Anggauta sendiri malah menjadi korban! Dan karena pendekar itu menyelinap ke sana-sini, menampar dan merobohkan anak-anak murid akhirnya dua wanita ini menjadi berang dan menyuruh mereka semua mundur.

"Minggir... pergi dari sini, minggir! Tangkap anak-anak itu, dan biarkan kami menghadapi Kim-mou-eng!"

Anak-anak murid buyar. Yo Lin, yang menggigit bibir dan gemas oleh kejadian ini lalu diminta mengejar dan menangkap anak-anak itu. Mereka sekarang lenyap dan Pendekar Rambut Emas membiarkannya saja, Bun Tiong dan ibu serta saudara-saudaranya sudah jauh dari tempat itu, menghilang. Entah di mana dan barangkali sudah menuju istana. Maka ketika dua pimpinan cantik itu mendamprat dan mengejar Kim-mou-eng, melempar dan membanting murid yang lamban berkelit maka Pendekar Rambut Emas segera dikeroyok dan menghadapi roda terbang yang mendesing-desing.

Pendekar ini tertawa-tawa dan bergeraklah dia mengimbangi dua gadis itu. Thio Leng mainkan Siang-lun-jong-san lebih hebat daripada Sui Keng. Roda terbangnya meledak dan menghancurkan dinding tebing. Apa saja yang dihantam segera pecah dan berhamburan. Dan ketika dua gadis itu mengelilingi Kim-mou-eng dan pendekar itu tak lagi menyelinap di antara para murid, sengaja menerima dan melayani dua gadis ini maka pertandingan tak dapat dihindarkan lagi dan Bu-kek kang menderu-deru menyambar tubuh pendekar itu.

"Des-desss!" Pendekar Rambut Emas mengelak dan menangkis. Ia mengeluarkan Jing-sian-eng nya sekaligus Cui-sian Gin-kang. Dua ilmu meringankan tubuh ini sekaligus digabung untuk menghadapi kecepatan gerak dua lawannya itu. Dan ketika Thio Leng maupun Sui Keng marah melengking-lengking, tak sekalipun senjata mereka mengenai pendekar itu maka mereka mengeluarkan langkah-langkah saktinya untuk mengejar dan menandingi dua ilmu meringankan tubuh itu.

"Set-set!" Gerakan cepat Ini sampai mengeluarkan suara di bawah sepatu. Mereka ganti berganti menyerang namun Pendekar Rambut Emas mengelak dan lincah membuang tubuh ke sana-sini. Gerakannya kian cepat juga mengimbangi gerakan dua gadis itu. Dan karena Pendekar Rambut Emas telah memperhatikan dan sedikit banyak telah mempelajari atau menghapal gerak kaki dua gadis itu maka ketika mereka mengejar dan menggerakkan kakinya silih berganti tetap saja tubuh lawan tak dapat dipegang.

Gabungan Cui-sian Gin-kang tak kalah dengan Ang-tiauw Gin-kang. Ilmu meringankan tubuh ini hebat sekali apalagi kalau dimainkan Pendekar Rambut Emas, tokoh yang telah matang asam garam dunia dan pertempuran. Maka ketika dua gadis itu semakin penasaran dan Pendekar Rambut Emas melayani seenaknya, roda terbang mendesing kian gila maka Bu-kek-kang dilepaskan atau didorongkan ke depan membentuk pukulan dahsyat.

"Kau di depan, aku di belakang! Jaga dan kurung dia rapat-rapat, Keng-moi. Mainkan Siang-lun-jong-san lebih hebat lagi!"

Thio Leng berseru dan marah sekali. Ia benar-benar merasa dipermainkan oleh lawannya ini karena Kim-mou-eng tampak begitu seenaknya. Dia beterbangan mengikuti gerakan mereka pula. Tapi ketika roda terbang pecah menjadi delapan, masing-masing menyambar dan mengurung dari delapan penjuru maka Pendekar Rambut Emas terkejut juga dan terpaksa menangkis.

"Plak-plak!" Roda terpental dan membalik kepada tuannya. Akan tetapi begitu Kim-mou-eng menangkis mendadak dua pukulan Bu-kek-kang menderu. "Wherrrr…!” Kim-mou-eng tak sempat mengelak maupun menangkis, Ia baru saja mementalkan roda terbang yang berbahaya, tak mungkin menghadapi pukulan itu. Maka ketika dia membentak dan meledakkan tangannya sekonyong-konyong asap putih membubung dan lenyaplah pendekar itu di balik Pek-sian-sut.

"Iblis, ilmu siluman. Awas, Keng-moi, jangan sampai berbenturan!"

Sui Keng berteriak dan melencengkan pukulannya dengan pucat. Ia dan rekannya sama-sama menghantam ketika pendekar itu baru saja menangkis roda. Mereka yakin bahwa pukulan pastl kena, mereka berhasil. Tapi ketika lawan lenyap dan Kim-mou-eng berobah menjadi asap putih, tubuh pendekar itu berubah seperti roh maka tak ampun lagi dua-duanya melencengkan pukulan tapi tetap saja saling serempet.

"Bresss!" Dua-duanya terjengkang dan bergulingan. Thio Leng yang memaki-maki dan mendamprat merah padam disusul rekannya yang menyumpah-nyumpah. Ilmu ini pernah mereka lihat dikeluarkan Beng An, mereka pucat dan gentar. Namun karena tak boleh mereka membiarkan pendekar itu memasuki Lembah, anak dan menantunya akan ditangkap nanti maka mereka meloncat bangun dan menyerang lagi. Pendekar itu telah muncul dan tertawa-tawa.

"Bagus, hati-hati. Aku tak bermaksud mencelakai kalian, nona-nona. Mundurlah dan sebaiknya ijinkan aku menemui Puteri!"

"Keparat, kau atau kami yang mampus, Pendekar Rambut Emas. Bunuhlah kami atau kau roboh!"

"Hm," Pendekar Rambut Emas menarik napas dalam, kagum. "Kalian wanita-wanita yang gagah, Thio Leng. Aku sudah mendengar banyak dari puteraku. Tapi maaf, keinginanku tak mungkin dibatalkan dan biarlah kalian mengejar aku kalau bisa.... wutt!"

Pendekar itu lenyap lagi dalam bentuk asap putihnya. Ia mengeluarkan Pek-sian-sut dan Thio Leng maupun Sui Keng tentu saja marah sekali. Mereka mengejar dan melontar roda terbangnya. Tapi ketika senjata itu lewat dan tembus melalui jasad halus ini, Kim-mou-eng bergerak dan meluncur ke depan maka pendekar yang telah merasa cukup menghalang-halangi itu tertawa di depan. "Ji-wi-siocia, kejarlah aku!"

Dua gadis itu pucat. Seumur hidup baru Beng An lah yang mengelahkan mereka dengan ilmu seperti itu. Kini ayahnya melakukan hal yang sama dan Thio Leng serta Sui Keng tiba-tiba menangis. Mereka melengking dan mengguguk mengejar pendekar itu. Tapi ketika Pendekar Rambut Emas lenyap dan mendahului di depan maka dua wanita ini membanting-banting kaki dan Thio Leng akhirnya berkelebat menemui Ratunya.

"Kau kerahkan semua anak murid. Aku nenghadap Tocu, Keng-moi. Tangkap dan bunuh Pendekar Rambut Emas itu. Kerahkan semua kekuatan!" Sui Keng mengangguk. la tersedu berpisah dengan saudaranya dan masing-masing melakukan pekerjaannya sendiri. Pendekar Rambut Emas itu telah mencoreng moreng muka meraka. Tak ada hukuman lain kecuali bunuh. Maka berkelebat dan membunyikan tanda bahaya, Lembah Es geger maka di sana Pendekar Rambut Emas dihadang dan menghadapi ratusan gadis cantik yang sudah dikerahkan Sui leng ini. Yo Lin gadis baju merah memberi aba-aba dan memecah sebagian anggautanya mencari Shintala dan tiga anak itu.

"Jangan berkumpul di sini semua. Berpencar. Cari anak-anak itu dan ibunya,Berpencar, tangkap mereka...!"

Lembah Es ribut dan kacau. Mereka seperti diserang orang-orang Pulau Api dulu dan banyak murid bertanya-tanya. Mereka bertanya mana orang-orang Pulau Api itu tapi ketika dijawab yang datang adalah Kim-mou-eng, ayah Kim Beng An mereka malah tertegun, tak percaya.

"Apa, Pendekar Rambut Emas? Menyerbu dan menyerang kemari? Ayah, dari Kim-kongcu itu?"

"Benar, ia datang bersama wanita dan tiga anak laki-laki perempuan, kawan-kawan Mereka lolos dan memasuki Lembah. Mereka ingin bertemu Tocu, dilarang tapi nekat masuk. Cari dan tangkap mereka!"

Ributlah gadis-gadis cantik penghuni Lembah ini. Akhirnya mereka tahu bahwa pendekar itu lolos melewati dua wakil mereka Thio-cici dan Wan-cici. Mereka terkejut dan pucat mendengar ini. Tapi karena dulu Kim Beng An itu juga masuk dan mampu melewati penjagaan, merobohkan dan mengalahkan mereka semua maka dalam keheranan tapi jUgFa kebingungan mereka para murid ini bergerak dan sebagian bertemu anak-anak yang dimaksud itu. Mula-mula Bun Tiong yang mereka lihat.

Anak ini, seperti diceritakan di depan lari paling dulu setelah dilontar oleh kong-kongnya demikian kuat. Anak itu terbanting dan bergulingan namun tidak luka menimpa salju, bangkit dan lari dengan cepat tertawa-tawa. Bun Tiong memang anak pemberani yang tak kenal takut. Dia sudah berkata kepada kong-kongnya bahwa kelihaian Thio-cici dan Wan-chi tak membuatnya gentar. la tetap ingin menemui Puteri Es.

Maka dilempar dan jatuh melewati gadis-gadis Lembah itu, Bun Tiong bangkit dan lari dengan cepat akhirnya anak ini tiba di gunung pertama. Dua kali ia terjeblos di lubang salju akan tetapi anak ini mampu keluar berjungkir balik. la telah mendengar dari pamannya bahwa di Lembah Es banyak jebakan. Bun Tiong berhati-hati dan pengalamannya tadi membuat ia lebih waspada.

Tapi ketika dari puncak gunung berkelebatan bayangan-bayangan langsing, anak ini tak mungkin menyembunyikan dirinya lagi maka Bun Tiong sudah berhadapan dengan tujuh wanita cantik yang bukan lain adalah Sam-cici dan kawan-kawannya, gadis atau wanita yang galak itu.

"Berhenti, bocah dari mana kau!"

Bun Tiong berhenti. la memandang tujuh wanita ini dan lagi-lagi kagum bahwa mereka rata-rata cantik. Ah, penghuni lembah memang cantik-cantik! Maka memuji dan tertawa mencengangkan Sam-cici anak itu berseru, "Aih, cici ini cantik-cantik. Haii, kenalkan. Aku Bun Tiong keponakan pamanku Beng An, cici. Ingin bertemu Puteri Es dan melihat keagungan dan kecantikannya. Minggir, biarkan aku lewat!"

Bun Tiong menerobos dan lewat di sela-sela kaki tujuh wanita ini. Kakinya yang pendek dan kecil membuat gerakannya begitu lincah hingga tujuh wanita ini terkejut. Mereka berteriak tapi anak itu telah lolos di sana. Dan ketika Bun Tiong mengerahkan Jing-sian-engnya dan ilmu meringankan tubuh itu membuat gerakannya secepat kijang, Sam-cici dan kawan-kawannya terkejut maka anak itu sudah berlari dan naik ke gunung dua.

"Heii, kembali. Berhenti!" gadis itu membentak dan tentu saja mengejar lagi. Gerak cepat nan lincah dari anak ini benar-benar mengagetkan. Bocah itu seperti siluman saja. Tapi ketika mereka mengejar dan membentak si bocah mendadak muncul seorang anak perempuan yang melambai dan tertawa kepada Bun Tiong.

"Heii, kita berlomba, Bun Tiong. Kau jalan dari situ aku dari sini!"

Sam-cici terbelalak. Anak itu lenyap dan menghilang di balik dinding gunung sementara anak laki-laki yang mereka kejar terkekeh-kekeh dan mengangguk. Bun Tiong melambaikan tangannya pula dan bergeraklah anak itu lebih cepat. Maka bergerak dan mempercepat larinya akhirnya Sam-cici ini membentak dan menimpuk pelor-pelor salju. Dia menyambar dan menggenggam salju-salju itu lalu mengepalnya membentuk pelor-pelor bulat.

"Berhenti! Berhenti, anak siluman. Atau kau roboh!"

Bun Tiong mendengar desing dari peluru salju. ini. la mengelak dan Sam-cici tertegun. Tiga pelornya luput! Tapi ketika ia mengejar dan menimpuk lagi maka kawan-kawannya juga melakukan hal yang sama sehingga Bun Tiong tak mungkin mengelak saja, membalik dan mengibaskan lengannya ke belakang, mengerahkan Khi-bal-sin-kang.

"Plak-plak-plak!"

Dan tujuh wanita itu berseru terkejut karena pelor-pelor yang mereka sambitkan membalik dan menghantam mereka sendiri. "Awas!" Sam-cici menangkis dan menghancurkan pelor-pelor saljunya ini. Enam temannya yang lain juga melakukan hal yang sama tapi anak di depan itu sudah lari lagi. Bun Tiong tertawa dan melanjutkan petak umpetnya. Dan ketika anak itu hilang dan lenyap di balik dinding salju, entah ke mana maka anak itu tahu-tahu sudah naik di puncak gunung nomor dua dan tampak sedang balapan dengan anak perempuan yang tadi mereka lihat Siang Lan!

"Hi-hik, aku menang, Bun Tiong. Aku lebih dulu di puncak. Kau kalah!"

Sam-cici mengutuk habis-habisan. Tak disangkanya anak-anak itu demiklan hebat dan lincahnya berlari cepat. Mereka menyelinap dan lolos sepertl siluman-siluman cilik saja. Tapi ketika dari gunung kedua muncul bayangan-bayangan Iain, Siang Lan terpekik dan menjerit di sana maka gadis itu menerima terkaman dan melempar tubuh bergulingan rnenyelamatkan diri.

"Heii, celaka. Tolong, Bun Tiong, ada cici-cici galak di sini!"

Bun Tiong tertawa besar. Anak itu geli dan riang melihat temannya melempar tubuh. Siang Lan berguling dan akhirnya meluncur dari atas ke bawah, cepat dan berada dekat dengannya. Dan ketika ia menyambar dan menangkap temannya itu, dari bawah mengejar Sam-cici dan teman-temannya maka Bun Tiong berseru agar masing-masing mencari jalan lain.

"Tak usah berlomba adu cepat. Puncak-puncak gunung ini berpenghuni semuanya. Ayo, berpencar dan bingungkan mereka,. Siang Lan, jangan berkumpul dan biar sendiri-sendiri. .Awas kulempar kau ke sana dan hati-hati... huup!"

Anak itu mengangkat dan melempar Siang Lan kuat-kuat. Seperti kong-kongnya Bun Tiong mencoba melakukan hal yang sama, dia melempar dan melontarkan Siang Lan ke gunung nomor tiga. Tapi karena tenaganya tak sekuat sang kakek dan Siang Lan terlempar tinggi ke atas maka anak itu jatuh dan nyangsang ke pohon yang seluruh daun dan batangnya tertutup salju.

"Bruukk!" Siang Lan meringis kesakitan. Dia memaki Bun liong namun dilihatnya anak itu berlari dan menghindar dari terkaman banyak orang. Gadis penghuni Lembah berteriak-teriak memaki anak ini, menyuruh yang lain mengepung dan menangkap namun si bocah sudah terbang turun bukit. Bun Tiong mengambil jalan lain dan memotong. Lalu ketika anak itu lari dan tampak serta hilang lagi di balik dinding-dinding salju, kelincahan dan kecepatannya menggemaskan banyak orang maka di tempat lain Siang Hwa juga berlari dan menyusup lebih dulu di gunung nomor tiga.

Seperti temannya, yang lari secara zig-zag dan mendekati batu-batu besar atau dinding salju untuk tempat persembunyian, gadis inipun menuju depan de-ngan lari secepat anak kijang. Siang Hwa pun memiliki Jing-sian-eng dan dengan ilmu meringankan tubuh itu ia menghindari kejaran murid-murid Lembah Es. Namun karena tanda bahaya telah dibunyikan dan semua murid turun gunung, gadis baju hijau dan biru serta kuning juga memencar mencari anak-anak ini maka Siang Hwa bertemu dengan Ing Sim, gadis baju biru!

"Berhenti, dan menyerahlah. Atau kau kurobohkan!"

Siang Hwa terkejut. Ia tentu saja mengenal gadis ini karena bibinya telah mengalahkan. Maka tak gentar dan tertawa mengejek ia mencabut pedangnya dan menusuk, sebatang pedang pendek sebagai bekal. "Bagus, robohkan aku kalau bisa, cici. Atau kau minggir dan biarkan aku bertemu Puteri!"

Ing Sim mengelak dan terbelalak marah. Serangan pedang luput menusuk perutnya tapi bukan itu tujuan Siang Hwa. Gadis cilik ini hanya menggertak dan membuat lawan minggir, memberi jalan. Maka ketika hal itu didapat dan ia terkekeh maka cucu Pendekar Rambut Emas inipun melejit dan lewat di samping gadis baju biru itu, lari meninggalkan lawannya lagi.

"Hi-hik, terima kasih, cici. Kau sungguh baik!"

Gadis ini menjadi gusar. Ia sadar dipermainkan Siang Hwa dan tentu saja membentak mengejar. Keponakan Kim Beng An ini sungguh kurang ajar! Tapi ketika ia berkelebat dan meraih gadis itu ternyata Siang Hwa melempar tubuh kekiri terjun ke jalan setapak di bawah kirinya.

"Wut!" terkaman itu luput dan tentu saja si bocah sudah berjungkir balik disana. lng Sim terkejut memuji keberanian Siang Hwa karena tempat itu tak kurang dari sepuluh tombak tingginya. Kalau tidak memiliki keberanian dan ginkang yang hebat tak mungkin orang sembarangan melompat, apalagi melempar tubuh dan terjun seperti orang membuang tubuh ke sungai! Maka membentak dan melempar tubuh pula gadis ini melakukan hal yang sama dan Siang Hwa lari lagi, berlenggak-lenggok.

"Berhenti, atau kubunuh kau, anak siluman. Sekali lagi berhenti dan serahkan dirimu!"

"Hi-hik, aku anak ayah ibuku, bukan siluman. Kau telah memaki aku, cici. Kejar dan cobalah tangkap aku. Aku tak takut kau bunuh, paling-paling kaupun akan dibunuh Tocu!"

"Keparat, apa kau bilang? Tocu membunuh aku?"

"Benar, karena pamanku sahabat majikanmu. Kalau kau membunuh aku dan pamanku tahu maka Tocu akan membunuhmu, tak enak kepada pamanku Beng An, hi-hiik!"

Siang Hwa lari dan berlenggang-lenggok lagi. Ia memang lincah dan Jing-sian-eng yang dimiliki cukup tinggi. Meskipun tak setinggi orang tuanya namun bagi anak seumur dia sudahlah hebat. Bukti bahwa ia mampu terjun dan berjungkir balik di kedalaman setinggi pohon kelapa sudah cukup! Tapi karena ia tak mengenal medan sementara lawannya adalah penghuni Lembah, tentu saja gadis baju biru ini jauh lebih mengenal keadaan dibanding dirinya.

Maka Ing Sim tahu-tahu muncul setelah lenyap dan menghilang sekejap, mengejutkan Siang Hwa yang kontan menabrak. Lawan mendengus dan marah tapi juga geli. Siang Hwa begitu terkejut hingga berteriak, pedang bergerak tapi dikelit sedikit. Lalu ketika gadis itu menampar dan mengenai pangkal lengan maka Siang Hwa terbanting namun gadis itu bergulingan meloncat bangun, lari lagi.

"Curang, kau licik. Kau tak memberi aba-aba dan muncul seperti iblis!"

Gadis ini tersenyum. Sikap dan kata-kata yang kekanak-kanakan itu membuatnya semakin geli. Sebenarnya ia suka dan kagum akan gadis cilik ini, apalagi karena keponakan Kim-kongcu. Namun karena dia merasa dipermainkan dan anak itu tak mau berhenti, apa boleh buat ia harus bersikap keras maka Ing Sim tiba-tiba menyambar tiga batu keras dan menimpukkannya ke punggung Siang Hwa. Gadis itu sedang berlari cepat dan tak mungkin tahu. Tapi ketika tiba-tiba Siang Hwa tersandung dan roboh di depan, terantuk batu maka tiga batu itu melayang dan lewat di atas kepalanya. Selamat!

"Kau... kau menyerang secara gelap? Cih, memalukan. Tak patut kau sebagai penghuni Lembah Es, cici. Ayo bertanding dan jangan kira aku takut!"

Siang Hwa melompat bangun dan melihat itu. Ia terbelalak dan marah dan kini tak mungkin melarikan diri lagi. Batu keparat itu menyandung kakinya. Maka meloncat dan menusukkan pedang ke depan, lawan telah berjungkir balik dan mencegat larinya cucu Pendekar Rambut Emas ini mengamuk dan menyerang, marah dan memaki-maki.

Dan gadis baju biru itu memerah mukanya. Ia memang menimpuk secara gelap agar lawannya ini roboh. Siang Hwa seperti anak kijang betina yang lincah melarikan diri, ia tak mau membuang-buang waktu lagi. Maka ketika gadis itu menyerang dan ia tak mengelak seperti biasa, menampar dan mengerahkan Bu-kek-kang maka Siang Hwa menjerit karena pedang dan seluruh tubuhnya menggigil kedinginan.

"Robohlah.... plak!"

Namun cucu Pendekar Rambut Emas ini memang luar biasa. Begitu diserang hawa dingin dan menggigil serasa dibungkus es tiba-tiba Siang Hwa membanting tubuh. Ia menghindar dan menjauhkan diri dari lawan. Tapi ketika lawan mengejar dan mendorong dengan Bu-kek-kang nya lagi, Siang Hwa menjerit dan memaki-maki ternyata anak ini masih belum tandingan lawan.

Ing Sim adalah murid utama dan kepandaiannyapun tinggi. Kalau ia kalah terhadap Shintala maka itu adalah karena bukan tingkatnya. Nyonya itu bukan kelasnya, sama seperti ketika dia sekarang menghadapi Siang Hwa ini. Maka ketika anak itu bergulingan dan sia-sia menggerakkan pedang, akhirnya tertampar dan terlepas dari tangannya maka cucu Pendekar Rambut Emas itu mengeluh ketika sebuah totokan membuatnya tak berdaya.

"Tuk!" Selesailah pertandingan kecil ini. Ing Sim bersuit dan muncul empat bayangan murid-murid Lembah. Gadis itu memerintahkan agar tawanan ditangkap, Siang Hwa memaki-maki namun ia diikat dan disumpal mulutnys. Lalu ketika lawannya itu berkelebat dan pergi mencari yang lain-lain maka Siang Hwa dibawa dan menjadi tawanan pertama Lembah Es.

Bun Tiong, yang naik dan berada puncak nomor tiga juga bukannya tanpa halangan. la berhasil lolos dan melewati lawan-lawan di gunung pertama dan kedua. Tapi ketika ia turun dan hendak menuju gunung keempat ternyata bayangan hijau dan kuning mencegat.

"Berhenti, serahkan dirimu!"

Anak ini terbelalak. la segera mengenal dua orang itu yang bukan lain adalah Ui Hong dan Yu Pio, dua gadis yang juga dirobohkan ibunya. Maka tertawa dan meloncat pergi anak ini tak perduli dan memutar ke kanan. "Ha-ha, kalian belum menangkap aku, cici. Aku menyerah kalau sudah tertangkap. Kejarlah, dan tangkap aku!"

Dua wanita itu gemas. Mereka membentak dan masing-masing menyambar dari kiri dan kanan, Bun Tlong digunting dan dicengkeram kedua pundaknya. Namun ketika anak itu berkelit dan licin bagai belut, melempar tubuh ke kiri dan bergulingan meloncat bangun di sana maka dua gadis itu merah padam. Ui Hong tertampar.

"Kau berani main-main? Kau hendak menghina kami?"

"Ha-ha, aku ingin bertemu Puteri Es, cici. Biarkan dulu dan nanti menyerah secara baik-baik!"

"Tidak bisa, kau laki-laki. Lembah Es tak boleh dimasuki"

"Tapi aku anak-anak, belum tahu apa-apa. Kalian, eitt.... licik!" dan Bun Tiong yang terkejut menghentikan kata-katanya tiba-tiba membanting tubuh lagi ketika disergap dari kiri kanan. la diajak bicara hingga angin sambaran tubuh lawan tak dapat ditangkap. la memaki-maki. Dan ketika ia meloncat bangun dan dua wanita itu merah padam, luput lagi maka Bun Tiong berlari dan terjun di balik punggung bukit sebelah sana.

"Bresss!" Anak ini terjatuh dan terguling-guling di bawah. la sudah berada di puncak ketika tak mungkin harus bersembunyi lagi. Tak ada dinding atau batu. karang yang dapat dipakai berlindung. Maka nekat dan membuang tubuh di situ, meluncur dan menabrak ini itu maka Ui Hong dan temannya terbelalak melihat keberanian anak itu. Bun Tiong harus mengerahkan sinkangnya agar tentu saja tidak babak-belur.

"Ha-ha, kalian masih di atas. Ayo, kejar dan tangkap aku. Terjunlah kalau berani dan tirulah aku!"

Dua wanita itu memaki. Mereka tentu saja tak mau membuang tubuh seperti Bun Tiong, bukan takut melainkan tak mau tergores dan membuat pakaian robek-robek. Anak itu memang gila dan edan-edanan, siapa mau meniru! Maka ketika Bun Tiong tertawa di sana dan melambai mengejek mereka, Ui Hong dan sumoinya panas maka mereka melepas ikat pinggang dan tiba-tiba meluncurkannya ke bawah mereka sudah meledakkan ikat pinggang itu yang menangkap dan membelit pohon-pohon atau bebatuan di bawah.

"Bagus, kau boleh tertawa. Tapi sekarang tahu rasa, bocah. Lihat di belakangmu dan apakah kau dapat meninggalkan kami!"

Bun Tiong terkejut. la membalik ketika puluhan orang berkelebatan. Bayangan-bayangan langsing berdatangan lagi. Dan ketika ia harus lari dan pergi secepatnya, tak mau dihadang tapi dari kiri dan kanan muncul bayangan-bayangan yang lain lagi maka tak kurang dari empat puluh wanita mengepung anak kecil ini. "Ha-ha, bagus. Aku seperti tikus tersudut. Majulah, cici, tangkap aku dan rasakan pukulanku kalau ada yang ingin menerimanya."

Bun Tiong tak mungkin lari lagi dan mendahului lawan-lawannya ltu. Keberaniannya benar-benar membuat kagum dan gadis-gadis penghuni Lembah Es itu memuji. Mereka teringat Beng An, begitulah pemuda itu menunjukkan keberaniannya pula. Tapi karena anak ini harus ditangkap dan mereka telah mendengar perintah itu, mereka berkelit dan menubruk anak ini maka Bun Tiong membalik dan menangkis atau membagi pukulannya.

"Des-dess!" Anak itu terhuyung dan melotot. la kalah banyak dan kalah kuat. Gadia-gadis itu membentak dan saat itu Ui Hong dan sumoinya sudah datang. Dan ketika dua gadis itu membentak dan menerkam maju, dari muka dan belakang puluhan lengan juga mencengkeram anak ini maka Bun Tiong kewalahan dan tiba-tiba membanting tubuh meraup tanah salju dan melemparkannya ke mata lawan-lawannya itu. Perbuatan yang tak diduga.

"Aiihhh!"

"Auuphhh!"

Para murid menjerit. Bun Tiong tertawa-tawa melihat gadis-gadis Lembah Es itu kelilipan. Mereka tak menduga perbuatannya itu dan banyak yang kena. Mata mereka pedih dan sakit. Tapi ketika bayangan kuning dan hijau kembali menyambar, Ui Hong dan sumoinya mengelak dari serangannya tadi maka anak in terkejut dan tahu-tahu kena cengkeran, la baru saja bergulingan meloncat bangun.

"Kau bocah kurang ajar, sekarang aku tak akan melepaskan dirimu!"

Tapi putera Rajawali Merah ini benar-benar Luar biasa. Begitu terkejut dicengkeram bahunya tiba-tiba Bun Tiong menendang pusar gadis-gadis itu, tendangannya cepat dan kembali tak diduga. Dan ketika Ui Hong maupun sumoinya mengaduh melepaskan cengkeraman, kaki anak itu mengenai selangkangan mereka maka keduanya merah padam dan tiba-tiba mencabut pedang. Tendangan itu menghina mereka, lupa bahwa Bun Tiong hanyalah anak-anak, bukan pria dewasa!

"Bunuh, cincang anak ini, sumoi. Bunuh dia!"

Bun Tiong terbelalak. la maklum bahwa dirinya dalam bahaya karena dua lawannya ini tiba-tiba mende!ik. Mereka marah bukan main karena tendangannya tadl tepat mengenai bagian paling rahasia, kalau saja Bun Tiong dewasa tentu ia mengerti. Tapi karena ia masih anak-anak dan tendangan tadipun dilakukan agar dirinya terlepas dari cengkeraman maka anak itu mengelak ketika pedang menyambar.

"Singgg!" Namun Ui Hong maupun sumoinya tak mau berhenti di situ saja. Mereka sekarang benar-benar bernafsu membunuh dan tak akan memberi ampun. Mereka tak ingat lagi kepeda Beng An karena kemarahannya oleh tendangan tadi. Bagian yang disentuh kaki Bun Tiong tadi selamanya belum pernah disentuh pria, maka tak heran kalau mereka begitu mata gelap. Tapi ketika mereka mengejar dan menusuk atau membacok anak ini, Bun Tiong mengelak dan menjadi gelisah juga, baju pundaknya akhirnya terbabat maka terdengar suara lembut namun penuh wibawa, tidak keras namun cukup jelas terdengar sampai di bawah gunung itu.

"Jangan bunuh, tangkap saja anak itu. Jangan dilukai!"

Ui Hong dan sumoinya terkejut. Di puncak, hanya sekilas dan sekelebatan saja muncullah sesosok wanita anggun berpakaian serba putih. Wanita itulah yang berseru dan Bun Tiong yang kebetulan menengok tampak ternganga. Wajah seorang wanita luar biasa cantiknya terlihat dari situ, gemerlap dan penuh cahaya. Dan ketika anak ini tertegun namun wanita itu lenyap, ia berdesir menyebut nama Puteri Es maka Ui Hong sudah membalik dan secepat kilat menampar tengkuknya.

"Plak!" Bun Tiong terpelanting dan tak ingat apa-apa lagi. la masih terpesona dan ternganga oleh wajah jelita itu. Demikian agung dan cantik luar biasa. Dan ketika ia roboh namun bawah sadarnya membawanya melayang-layang ke wajah jelita itu, wajah Puteri Es maka Ui Hong yang masih mendongkol dan marah kepada anak ini menendangnya mencelat kepada anak buahnya.

"Bawa anak itu. Tocu menghendakinya hidup-hidup!"

Bun Tiong selamat dan terhindarlah dia dari kemarahan dua orang ini. Para murid lalu membawanya dan anak itu merupakan tawanan nomor dua. Di sana Siang Hwa telah mendahului. Dan ketika Ui Hong bergerak dan mencari yang lain, Siang Lan dan bibinya maka anak ini ternyata sudah di gunung nomor lima bersama Shintala!

"Hati-hati, mana Bun Tiong dan encimu Siang Hwa. Eh, kau sebaiknya duduk di atas pundakku ini, Siang Lan. Dan kita lihat dua buah gunung terakhir itu. Di sana pasti istana Puteri Es!"

"Benar, tepat sekali seperti cerita paman. Eh, tadi Bun Tiong tak jauh dariku, bibi. Tapi ia memisahkan diri agar tak gampang ditangkap. Bun Tiong pemberani, ia mengejek dan melambai-lambai kepada para cici itu!"

"Hm, tempat ini cukup berbahaya. Kita tak boleh terlalu main-main, Siang Lan. Cengkeram kedua pundakku yang kuat dan awas jatuh!" sang nyonya menyambar dan mendudukkan gadis cilik itu diatas pundaknya. Shintala bergerak lagi mencari anak-anak itu namun yang ketemu adalah Siang Lan ini. Puteranya Bun Tiong dan Siang Hwa entah ke mana.

Namun karena gak-hunya berkata tak usah khawatir karena Beng An adalah sahabat puteri Es, tak mungkin mereka membunuh anak-anak itu maka nyonya ini agak tenang dan meluncur menuju gunung ke enam, dicegat dan melihat bayanga kiri kanan mengejar....

Putri Es Jilid 18

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

"AYO, majulah. Lihat aku merobohkan kalian dengan mudah!"

Tiga gadis itu merah padam. Mereka adalah murid-murid utama di situ, kepandaian mereka cukup tinggi. Maka diejek dan melihat sikap nyonya itu mereka bergerak dan maju lagi, membentak dan mengayunkan pedang namun dengan mudah Shintala berkelit ke sana kemari tertawa dan berkata bahwa gerakan mereka kurang cepat. Nyonya itu mempergunakan Ang-tiauw Gin-kangnya untuk mengelak semua serangan-serangan iní. Dan ketika lawan menjadi marah dan mempercepat gerakan maka nyonya itu mengibaskan tangannya dan tiga pedang ditampar Khi-bal-sin-kang.

"Plak-plak-plak!"

Ui Hong dan dua temannya terbanting. Mereka mengeluh karena untuk yang kedua kalinya ini wanita itu menambah tenaganya. Pedang terpental demikian keras hingga mencelat dan jatuh ke dalam salju, amblas sampai gagangnya. Lalu ketika mereka terbelalak dan terhuyung bangun, Bun Tiong dan Siang Hwa serta Siang Lan bersorak maka tiga anak itu melompat dan lari memasuki lembah.

"Hore, cici roboh. Kami boleh masuk dan tak ada yang mencegah lagi!"

Tiga gadis itu terkejut. Mereka berteriak namun anak-anak itu tak menggubris, Bun Tiong berlari paling cepat hingga berada paling depan, Dan ketika dua bayangan juga berkelebat dan nyonya muda itu serta Pendekar Rambut Emas melewati mereka maka Shintala berseru bahwa mereka ingin masuk dan datang secara baik-baik. Ui Hong bingung dan membelalakkan mata. la telah dirobohkan dan tak mungkin mencegah rombongan itu. Tiga anak itu tertawa-tawa gembira dan lenyap di balik bukit. Mereka demikian senang dan riang memasuki lembah.

Namun ketika Pendekar Rambut Emas bergerak mengiring cucu-cucunya ini, Shintala tersenyum-senyum melihat kegembiraan puteranya maka bayangan merah berkelebat dan muncullah gadis yang gagah dan cantik jelita, juga bayangan-bayangan lain yang membuat rombongan kecil itu berhenti.

"Stop, berhenti dan jangan kurang ajar. Kalian dilarang masuk dan pulang baik-baik atau mati di sini!!"

Siang Hwa yang terkejut tapi gembira melihat bibinya mampu menghadapi tiga gadis Lembah tiba-tiba tertawa dan lari memutar. la terkejut sejenak oleh bayangan merah ini namun keberaniannya timbul lagi karena Kong-kong dan bibinya ada di situ. Maka ketika ia tak menghiraukan dan lari memutar, disusul oleh Bun Tiong dan Siang Lan yang terkekeh-kekeh maka tiga anak ini tak perduli dan memutari rombongan gadis baju merah itu.

"Hi-hik, kalian tak dapat menghalangi kami, cici. Dan kamipun tidak takut ancamanmu. Ayo, tangkap dan kejar kami!"

Gadis baju merah ini, Yo Lin, marah dan terbelalak melihat keberanian anak anak itu. Sama seperti tiga sumoinya di Sana Iapun mendapat tugas dari Thio Leng dan Sui Keng menahan majunya keluarga ini. Akhirnya Thio Leng melihat robohnya Ui Hong dan Yu Pio serta Ing Sim, memanggil dan memerintahkan sumoinya terlihai ini menghadapi Pendekar Rambut Emas. Dan karena tak mau gagal melaksanakan tugas, Yo Lin akhirnya memanggil murid-murid Lembah maka Ia menghadang setelah Ui Hong dan kawan-kawannya roboh.

Kini, Bun Tiong dan dua anak perempuan itu lewat di depan hidungnya sambil tertawa-tawa. Meskipun mereka memutar namun tetap saja hendak memasuki Lembah, anak-anak itu kurang ajar bukan main. Dan karena Siang Hwa yang pertama kali mengajak teman-temannya, lari dan mengejek dirinya maka gadis ini berkelebat sementara tangannya mengibas Bun Tiong dan Siang Lan.

"Ke sini kalian, robohlah!"

Yo Lin berbeda dengan Ui Hong atau tiga gadis pertama tadi. Gadis ini adalah Sumoi langsung dari Puteri Es, tokoh nomor tiga setelah Thio Leng dan Sui Keng. Dia adalah keturunan dari Yo-ongya, jelas kepandaiannya tinggi. Maka ketika Siang Hwa terkejut tak mampu mengelak, di sana Bun Tiong dan Siang Lan juga terpekik disambar angin amat kuat maka ketika dua anak itu roboh terlempar gadis inipun tertangkap dan dicengkeram pundaknya.

"Aughh!"

Shintala dan ayahnya terkejut mendengar jeritan Siang Hwa. Gadis itu tahu-tahu telah dicengkeram dan meronta-ronta, roboh ketika satu totokan mengenai belikatnya. Dan ketika Yo Lin melempar anak itu pada anak buahnya maka Shintala berkelebat dan marah sekali. "Lepaskan keponakanku!"

Yo Lin mendengus. Gadis baju merah ini gembira memberi pelajaran. Sekarang lawan tak akan main-main lagi dan meremehkannya. Maka ketika nyonya itu berkelebat dan menamparnya, membalik dan menangkis mengerahkan sinkang maka dua pukulan beradu.

"Dess!" Yo Lin terpental dan kaget. la membuat lawan tergetar namun diri sendiri justeru terlempar. la tak tahu bahwa ia bertemu Khi-bal-sin-kang dan pukulan karet itu membuat tenaganya membalik. Maka ketika ia berjungkir balik namun Shintala tak berhenti di situ saja, bergerak dan menyambar ke depan maka anak murid yang baru saja menerima Siang Hwa tahu-tahu ditendang dan roboh mencelat, Siang Hwa sendiri dirampas dan kembali dia tangan bibinya, membuat semua terkejut oleh kecepatan dan kelihaian nyonya ini.

"Bagus, terima kasih. Hi-hik, kau telah menyelamatkan enci, bibi. Sekarang lempar cici baju merah itu dan hajar dia!"

Yo Lin melotot mendengar seruan Siang Lan. Gadis cilik itu menerima encinya tapi sang bibi berseru agar mereka tak ke mana-mana dulu. Pendekar Rambut Emas juga bergerak dan mencengkeram cucu-cucunya ini. Dan ketika Bun Tiong meringis oleh cengkeraman kakeknya, Pendekar Rambut Emas tak mau cucunya ke mana-mana maka pendekar ini juga menendesis agar Bun Tiong tak membuat ulah.

"Gadis baju merah ini lihai, ia agaknya Yo-siocia seperti yang diceritakan pamanmu Beng An!"

"Ah, itu cici Yo Lin, kong-kong? Kalau begitu biar kau saja yang maju, jangan ibu. Nanti ibu bersikap keras dan cici itu luka."

"Tidak, ibumu akan berhati-hati," dan ketika gadis baju merah melotot Bun Tiong berkata dengan keras maka Pendekar Rambut Emas berseru pada menantunya agar Shintala tidak bertangan besi disambut anggukan nyonya muda itu.

"Aku tahu, tak usah khawatir, gak-hu. Kalau aku tidak dalam bahaya tak mungkin aku mencelakai adik manis ini."

"Sombong!" Yo Lin menjadi marah. "Siapa namamu, hujin. Sebutkan atau nanti kau menyesal!"

"Hm, aku Shintala, kakak ipar Beng An. Kau kiranya yang bernama Yo Lin dan aku sudah mendengar tentang dirimu dari adikku."

"Tak usah menyebut-nyebut nama Kim kongcu. Kalian datang bukan untuk berpesiar hujin, dan kau tahu bahwa tempat ini larangan bagi siapapun. Kembalilah dan sekali lagi kuperingatkan atau terpaksa kalian dibunuh!"

"Hi-hik, mudahnya. Kami bukan ayam atau kelinci, Yo-siocia. Coba kau tangkap atau robohkan kami. Majulah!"

Yo Iin sudah mencabut pedangnya. Sinar merah berkeredep ketika Ang-kong-kiam dicabut, itu adalah pedang andalannya. Dan maklum bahwa lawan tak mau kembali, ia ditantang maka gadis ini melengking dan sudah meloncat maju, menusuk dan menikam namun lawan berkelit dan menghindar, dikejar dan Shintala pun menangkis. Dan ketika telapak tangan gadis itu tergetar namun pedang tidak terlepas, Shintala memuji maka sumoi dari Puteri Es itu bergerak dan sebentar kemudian sinar merah sudah bergulung-gulung menyambar naik turun, mendesing dan mencicit dan angin dingin segera tercipta di situ.

Shintala kagun namun nyonya inipun tak mau kalah, berkelebat dan mengerahkan Jing-sian-eng-nya dan pedang segera mengejar atau memburu nyonya itu. Akan tetapi ketika si nyonya menampar dan memukul badan pedang, lagi-lagi gadis baju merah tergetar maka Bun Tiong bersorak melihat ibunya mampu mengatasi lawannya itu.

Pertandingan menjadi semakin seru karena Yo-siocia menjadi semakin penasaran. Ia sengit sekali oleh teriakan Bun Tiong. Dan ketika Siang Hwa dan Siang Lan juga bersorak riuh maka bayangan Shintala berkelebatan lebih cepat daripada sambaran pedang.

"Bagus, hi-hik.... tak kena lagi! Eh, luput. Eh, balas lawanmu itu, bibi. Tampar semakin keras agar lepas pedangnya."

Yo Lin memuncak kemarahannya. la sudah mainkan Ang-kong Kiam-sut namun tubuh si nyonya benar-benar cepat luar biasa. Dengan Jing-sian-eng saja nyonya ini mampu mengatasi lawan. Dan ketika Shintala melakukan tamparan-tamparan sambil menambah tenaga, kini Yo Lin mulai terhuyung. dan pucat maka gadis baju merah itu mengaku bahwa lawan benar-benar lihai, masih di atas dirinya namun ia tak mau mengaku.

Betapapun masih belum mengeluarkan Bu-kek-kangnya. Ilmu andalan Lembah Es itu masih disimpan karena ia masih mainkan pedangnya dengan hebat dan kuat. Namun setelah ia terhuyung dan tertolak, mundur oleh tamparan lawan, Khi-bal sin-kang membuatnya terbelalak dan kaget serta penasaran akhirnya ketika ia menusuk perut nyonya itu tiba-tiba Shintala membentak dan menggerakkan dua tangannya berbareng.

"Cukup, robohlah!"

Yo-siocia terpekik. Ujung pedangnya tiba-tiba ditangkap dan ia didorong, begitu kuatnya dorongan itu hingga ia terjengkang. Dan ketika gadis itu meloncat bangun namun pedang masih tetap di tangan, Shintala tak bermaksud merampas maka gadis itu terbelalak namun tiba-tiba ia menerjang lagi. "Aku masih belum kalah, kau belum merobohkan aku!"

Shintala tertawa dingin. la telah mengukur kepandaian gadis ini dan tenaganya pula, tak takut dan tetap mengandalkan Khi-bal-sin-kang dan Jing-sian-eng untuk berkelebat. Tapi ketika tangan kiri lawan bergerak dan hawa luar biasa dingin menyambar, ia terkejut maka gadis baju merah itu membentak agar menyambut serangannya.

"Bu-kek-kang...!" Pendekar Rambut Emas berseru dari luar memperingatkan menantunya.

Shintala ingat dan segera menyambut dengan tangan kanannya. Mengerahkan Khi-bal-sin-kang. Tapi ketika pukulan karet itu menjadi beku dan tak dapat didorong keluar, sang nyonya terkesiap maka Bu-kek-kang menyambarnya dahsyat dan nyonya ini cepat membanting tubuh bergulingan.

"Dess!" Tanah di depan mereka beku! Gumpalan es terjadi di sini dan Pendekar Rambut Emas cepat menyambar tiga cucunya menjauhi tempat itu. Hawa di Sekitar tiba-tiba menjadi dingin, Shintala berkeratak dan mengeluh tertahan. Namun ketika Pendekar Rambut Emas menepuk pundaknya menyalurkan hawa hangat, rasa dingin membeku di tubuh wanita itu lenyap maka Pendekar Rambut Emas menyuruh semuanya menjauh. Bun Tiong dan Siang Hwa serta Siang Lan disuruh mengerahkan sinkang mereka.

"Mundur, jangan terlampau dekat. Biar ibumu melawan!"

Bun Tiong berubah. Dia segera terbelalak melihat betapa Bu-kek-kang kini menyambar ibunya lagi, mengejar namun sang ibu berjungkir balik menghindar. Dan ketika pedang juga masih terus menyambar dan menusuk atau menikam di tangan kanan maka sejenak nyonya muda ini pucat dan berubah. 

Namun isteri Rajawali Merah ini bukanlah wanita sembarangan. la adalah cucu Drestawala yang sakti, senjatanya adalah tongkat panjang dengan ilmu silatnya Sing-thian-sin-hoat. Dan karena setelah ia menjadi isteri Thai Liong kepandaiannya tentu saja semakin tinggi, menguasai Sin-tiauw-kang di samping Silat Rajawali maka nyonya ini membentak dan tiba-tiba berkelebatlah tongkatnya menghadapi pedang. Shintala tak mau main-main lagi.

"Bagus, kau masih hebat, Yo-siocia. Tapi betapapun kau tak dapat mengalahkan aku. Lihat tongkat... wherrrr!" dan tongkat yang datang menyambut pedang akhirnya menahan senjata di tangan gadis itu sementara tangan kiri sang nyonya bergerak menyambut Bu-kek-kang, penuh terisi Sin-tiauw-kang dan kini dengan tenaga Rajawali Sakti itu lawan tergetar.

Yo-siocia memang masih kalah tenaga. Dan ketika gadis itu tergetar dan mundur, menyerang namun disambut tenaga Rajawali Sakti itu maka sumoi dari Puteri Es ini terdorong dan terdorong lagi, penasaran dan marah namun Shintala tak mau membuang-buang waktu lagi. Dengan Ang-tiauw Gin-kangnya yang hebat ia terbang menyambar-nyambar, naik turun tak menginjak tanah lagi.

Dan ketika gadis baju merah itu bingung dan pusing maka tongkat si nyonya menotok dan menggetarkan, maksudnya membuat roboh namun lawan memiliki kepandaian lain, Tutup Hawa Lindungi Jalan Darah. Dan ketika empat kali totokan dibuat. gagal, Shintala terkejut dan marah akhirnya tongkat menyambar dan menghantam tengkuk gadis itu.

"Dess!" Yo-siocia terbanting dan mengeluh kaget. Untuk yang ini ia tak kuat menahan, tongkat terlampau hebat menghajar. Namun ketika nyonya itu hendak menyerang dan mengulangi pukulannya tahu-tahu dua bayangan berkelebat dan satu diantara dua bayangan ini menahan tongkat sang nyonya.

"Cukup... plakk!"

Shintala terhuyung dan terkejut membelalakkan mata. Dua wanita berpakaian gemerlap berdiri di depannya dengan mata bersinar-sinar. Rambut mereka digelung tinggi sementara anting-anting di kedua telinga bergoyang ke sana ke mari, lembut dan menambah kecantikan dua wanita ini hingga mirip bangsawan agung. Namun ketika dia sadar dan menjadi marah,siap menggerakkan tongkat tiba-tiba ayahnyna melompat dan Pendekar Rambut Emas buru-buru menjura.

"Maaf, tentu ini Thio-siocia dan Wan-siocia adanya. Selamat bertemu, jiwi-siocia, selamat berkenalan. Aku adalah ayah Beng An dan datang dengan maksud baik-baik, ingin menghadap Puteri. Mohon kalian maafkan dan rupanya baru sekarang kalian turun dari bukit itu!"

Dua wanita ini terkejut dan tertegun. Kiranya mereka sudah diketahui Pendekar Rambut Emas ini dan diam-diam mereka kagum. Memang benar mereka terpaksa turun setelah meihat sumoi dan anak buah mereka tak dapat menahan rombongan pendekar itu. Sejak tadi tentu saja mereka menyaksikan kelihaian Shintala dan diam-diam memuji. Namun karena tak mungkin menerima masuk, Lembah Es tak boleh dimasuki orang asing maka Sui Keng atau Wan-siocia itu mengibaskan rambut bersikap bengis, dingin.

"Kim-taihiap, kami telah mengetahui maksud kedatanganmu. Tapi maaf, kami tak dapat menerima dan dengan memperlihatkan kesombongan di sini. Kami masih memandang Kim-kongcu dan harap kalian mundur, pulang. Atau kami bersikap keras dan tak melihat muka puteramu lagi."

"Kami ingin bertemu Puteri..."

"Tak bisa!"

"Nanti dulu jangan potong kata-kataku siocia. Maksudku adalah bahwa cucu-cucuku ini ingin berkenalan dengan Ratu kalian sebagaimana pamannya telah datang di sini. Kami akan pergi setelah semuanya selesai!"

"Hm, tak dapat. Sekali tak dapat tetap tak dapat, Kim-taihiap. Jangan memaksa atau kami melempar kalian. Lembah Es tak boleh dimasuki orang asing!"

"Tapi orang-orang Pulau Api datang seenaknya!" Bun Tiong tiba-tiba berseru. "Kalian tak adil, cici. Orang-orang Pulau Api juga orang asing tapi akhirnya masuk juga. Lembah Es bukan pantang dimasuki orang asing melainkan hanya pria, laki laki dewasa!"

"Betul Siang Hwa tiba-tiba menyambung, suaranya melengking tinggi. Kami anak-anak hanya diantar kakek kami, cici. Kalau larangan itu berlaku maka hanya kakek yang tak boleh. Kami anak-anak dan wanita boleh!"

Dua wanita itu terkejut. Mereka memandang kepada Siang Hwa dan Bun Tiong dan untuk kesekian kalinya lagi Thio-cici dan Wan-cici ini kagum. Mereka memang bukan anak-anak biasa. Tapi ketika mereka hendak menggeleng dan Pendekar Rambut Emas tersenyum lebar tiba-tiba pendekar itu berkata dan maju lagi.

"Nah, benar. Yang tak boleh masuk hanyalah aku nona. Mereka yang lain ini wanita dan anak-anak. Baiklah, aku mematuhi larangan Lembah Es dan biar mereka saja yang masuk!"

"Horee...!" Siang Lan tiba-tiba melonjak. "Kalau begitu aku masuk, kong-kong. Lembah Es tak mungkin menyakiti anak-anak! Dan kong-kong boleh tinggal di situ. Kami hendak menemui Puteri" dan melompat serta masuk ke Lembah tiba-tiba Siang Hwa dan Bun Tiong tak perduli lagi kepada dua wanita ini, berkejaran dan tertawa-tewa dan Shintala pun tersenyum bergerak melindungi. Thio-siocia dan Wan-siocia dijebak.

Tapi ketika tiga anak itu berlarian dan Shintala bergerak masuk tiba-tiba Sui Keng menjeletarkan rambut dan berkelebat menghadang nyonya ini, Thio-cici menyambar dan menahan anak-anak itu. "Tahan, tak boleh masuk, anak-anak. Kalian tak boleh kurang ajar!"

Bun Tiong dan adiknya terkejut. Mereka bertiga tiba-tiba dihadang sebuah pukulan kuat bagai dinding baja, tak dapat ditembus namun tiga anak itu memukul. Akan tetapi ketika mereka terbanting dan menjerit satu sama lain maka Shintala sendiri mengelak dan menangkis pukulan Wan-siocia.

"Dukk!" Dua-duanya tergetar. Sui Keng, atau Wan-siocia mencengkeram pundak nyonya ini dalam usahanya menahan lawan. Ia telah melihat kepandaian Shintala namun belum merasakan sendiri. Meka ketika ia mencengkeram namun ditangkis, Sin-tiau-kang bertemu Bu-kek-kang maka gadis itu memuji dan terhuyung mundur.

"Bagus, tak memalukan sebagai enci Kim-kongcu. Tapi larangan tetap larangan, hujin. Yang bukan keluarga Lembah Es tak boleh masuk!"

"Tapi kami sahabat, bukan musuh!"

"Yang sahabat adalah Kim Beng An, bukan keluarganya. Kalau kalian hendak memaksa masuk satu-satunya jalan harus merobohkan kami. Nah, pergi atau kita bertanding!"

"Bagus!" Shintala tak sabar lagi, tongkat bergerak dan memutar, bagai baling-baling. "Kalau begitu mari main-main, adik manis. sebutkan apakah kau Thio-siocía atau Wan-siocia!"

"Aku Sui Keng, Wan Sui Keng. Kalau kau mau coba-coba mari bertanding dan perlihatkanlah kepandaianmu kepadaku!"

Shintala tak menunggu waktu lagi dan melengking. la sekarang tahu bahwa laWan adalah Wan-siocia. Beng An telah bercerita tentang dua wanita ini dan betapa mereka hanya dapat dikalahkan setelah memakai Pek-sian-sut. Tapi karena sekarang yang maju hanyalah Wan-siocia sementara Thio-siocia bergerak dan mundur, Bun Tiong dan Siang Hwa serta Siang Lan disambar kakeknya maka nyonya itu berkelebat dan langsung mengeluarkan Ang-tiauw Gin-kangnya. Ginkang atau ilmu adalah meringankan andalan Thai Liong Rajawali merah.

Begitu bergerak seketika kaki nyonya inipun tak menginjak tanah lagi. Ginkang ini lebih tinggi daripada Jing-sian-eng dan begitu dikeluarkan tubuh wanita itupun menyambar-nyambar bagai rajawali merah. Begitu cepat gerakannya hingga Sui Keng atau Wan-siocia ini terkejut juga, Tapi karena dia adalah kakak seperguruan Yo Lin dan ilmunya tentu saja lebih tinggi, berkelebat dan mengelak maka rambut di kepalanya meledak ketika menghantam dua tangan Shintala yang menyerang dengan cepat.

"Plak-plak!"

Dua-duanya terhuyung. Shintala menjadi marah dan tongkat diputar bagai kitiran mainkan sing-thian-sin-hoat namun tenaganya adalah Sin-tiauw-kang. Dan ketika ia membuat lawan terdorong sementara diri sendiri hanya tergetar dan terpental sedikit, lawan menjadi marah dan balik melengking maka Wan-siocia bergerak dan mainkan rambutnya disertai pukulan-pukulan Bu-kek-kang, menyambar dan membalas dan sebentar kemudian dua wanita ini bertanding seru.

Masing-masing tak mau kalah dan mempercepat gerakannya. Tapi ketika Ang-tiauw Gin-kang lebih unggul dan tampak dalam ilmu meringankan tubuh itu Wan-siocia kalah setingkat, wakil Lembah Es ini terkejut maka Shintala menghajarnya dua kali namun tongkat mental bertemu Bu-kek kang, disusul pukulan-pukulan lain akan tetapi semuanya itu ditahan Bu-kek-kang.

Sang nyonya menjadi penasaran dan menambah kecepatannya lagi. Dia sekarang lenyap menjadi bayangan cepat yang menyambar-nyambar, kelebihan ilmu meringankan tubuh ini dipergunakan untuk mencapai kemenangan. Namun ketika lawan memperkuat Bu-kek-kangnya dan tubuh gadis itu dibungkus hawa dingin maka Shintala penasaran karena ujung tongkatnya mulai membeku, berat!

"Pergunakan Yang-kang dari Sin-tiauw-kang, Shintala. Lawan hawa dingin itu dengan hawa panas!"

Shintala terkejut. Dalam nafsunya merobohkean lawan ia lupa kepada diri sendiri bahwa Sin-tiauw-kang atau Tenaga Sakti Rajawali itu dapat dipecah menjadi hawa dingin atau panas. Maka begitu diingatkan dan melengking merobah gerakan segera tangan kirinya menampar dengan tenaga Yang-kang, memecah hawa dingin dan benar saja ujung tongkat yang berat dan beku itu berhasil dicairkan. Es yang menempel di tongkatnya perlahan lahan hilang, menguap. Dan ketika dengan petunjuk ini ia mendesak lawan, wakil Lembah Es terkejut dan membelalakkan mata maka Thio Leng atau rekannya itu berseru padanya, ganti memberi petunjuk.

"Keng-moi, keluarkan senjatamu. Lepaskan Siang-lun-jong-san!"

Wanita itu mengangguk. Sambaran Sin-tiauw-kang dielak dan dihindarkan tapi ketika tongkat menyambar mendadak ia berseru keras, Sepasang benda putih berkilau tahu-tahu berkelebat membentur tongkat di tangan nyonya itu. Dan ketika tongkat terpental tapi benda putih berkilau itu terus menyambar Shintala, nyonya ini kaget maka ia melempar tubuh bergulingan dan benda itu meledak lalu kembali kepada majikannya.

"Roda Terbang!" Shintala berubah dan melihat itu. Kiranya itu adalah sepasang roda putih yang dilepas dan dilontar pemiliknya, terbang bagai benda bernyawa dan hampir saja mencelakainya. Tapi ketika nyonya ini sadar dan hilang kagetnya, teringatlah Ia bahwa Beng An dulu pernah bercerita maka nyonya ini bergerak dan menyerang lagi, membentak dan kini hati-hati dan lawan menyambut lagi.

Siang-lun-jong-san atau Sepasang Roda Menembus Bukit dihadapi menantu Kim-mou-eng ini, tak gentar dan segera dielak dan balas menyerang dan serulah kemudian pertempuran itu. Sui Keng telah mendapat petunjuk saudaranya. Namun karena nyonya muda itu adalah isteri Thai Liong dan sebagai isteri dari Rajawali Merah yang lihai ia hanya sebentar saja terkejut dan kaget oleh perubahan itu maka tak lama kemudian dengan Sin-thian-sin-hoat (Silat Sakti Pengacau Langit) nyonya ini berhasil menahan roda dan pukulan atau sambaran tongkatnya menderu-deru, naik turun mengikuti gerakan Ang-tiauw Gin-kang dan Ginkan Rajawali ini benar-benar luar biasa.

Dengan geraknya yang cepat dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain nyonya itu mampu mengelak sambaran siang-lun (roda sepasang), balik dan membalas dengan gerakan tongkatnya yang terisi Sin-tiauw-kang itu. Dan ketika Sui Keng kembali kewalahan dan Bu-kek-kang ditahan hawa panas yang keluar dari pukulan atau sambaran tubuh wanita itu maka lima puluh jurus kemudian Shintala berhasil mendesak dan menekan lawannya lagi. Permainan roda akhirnya dikenal dan dihapal.

"Wut-plak-dess!"

Roda menyambar disusul benturan telapak tangan. Bu-kek-kang, andalan Lembah Es tertahan Sin-tiauw-kang yang dimiliki si nyonya. Sui Keng terhuyung sementara lawan tergetar sedikit, mampu menyerang dan membentak kembali. Dan ketika dua puluh jurus kemudian nyonya muda ini juga mengeluarkan Lui-Ciang-hoat dan pukulan Soan-hoan-ciang (Kibasan Angin Puyuh) yang diselang-seling dengan permainan tongkat dan pukulan tangan kirinya maka lawan terdesak dan semakin tertekan saja.

Dan Thio Leng atau wakil nomor satu dari Lembah Es itu menjadi marah, pandang matanya kini berkilat gusar. "Keng-moi, pergunakan Jit-cap-ji-poh-kun dan Pek-hong-koan-jit. Keluarkan Pai-hai-jiu!"

Pendekar Rambut Emas terkejut. Lawan tiba-tiba merobah gerakan dan ketika terdengar seruan keras maka melenggak-lenggoklah lawannya itu mempergunakan langkah-langkah aneh. Jit-cap-ji-poh-kun (Tujuh Puluh Langkah Sakti) tiba-tíba dikeluarkan untuk mengelak dan menghindar dari serangan-rangan cepat. Shintala memang bagai rajawali menyambarnyambar dengan tongkat dan tangan kirinya itu. Dan ketika semua serangan luput dan Shintala terbelalak, lagi-lagi cerita Beng An benar maka tahu-tahu lawan menghilang dan Sui Keng atau Wan-siocia itu sudah berada di belakang laWan.

"Awas, ibu!"

Sang nyonya terkejut. la tak sempat membalik oleh teriakan Bun Tiong ini, anak laki-laki itu memberi tahu namun Shintala terlambat mengelak. Ang-tiauw Gin-kang ternyata mendapat tandingan Jit-cap-ji-poh-kun, hebat sekali. Dan ketika roda menyambar dan mengenai tengkuk, nyonya itu terpelanting maka Sui Keng mengejar dan Kim-mou-eng berdebar tegang, jurus demi jurus lewat lagi dengan cepat dan ia harus mengakui bahwa wakil Lembah Es itu amat lihai. Lui-ciang-hoat dan Soan-hoan-ciang yang dikeluarkan menantunya tak berdaya lagi begitu dihadapi ilmu langkah sakti itu.

Wan-siocia mengelak dengan cepat berdasarkan langkah-langkah saktinya. Dan ketika semua serangan menjadi kosong dan kini lawan tertawa mengejek, Shintala terbakar dan marah maka nyonya ini berteriak dan mata gelap. Tapi inilah kesalahannya. Sebagai pertandingan kelas tinggi adalah pantangan bagi seseorang untuk bermata gelap. serangan-serangan menjadi ngawur dan kurang terarah lagi. Shintala marah karena Thio Leng memberi petunjuk-petunjuk kepada sumoinya, mengelak dan melancarkan serangan sementara ayah mertuanya tak memberi petunjuk-petunjuk lagi.

Nyonya ini tak tahu betapa saat itu Pendekar Rambut Emas sedang mempelajari gerakan langkah-langkah sakti itu, sudah mendengar dari Beng An tapi satu-satunya jalan untuk menghadapi itu hanyalah Pek-sian-sut. Dan karena menantunya tak memiliki ini karena yang memiliki itu hanya dia dan Beng An maka ketika Pendekar Rambut Emas menahan napas dalam oleh satu lontaran roda maka tak ayal lagi pendekar ini berkelebat menolong menantunya. Shintala terpelanting oleh satu tendangan keras.

"Cukup, berhenti saja sampai di sini!" Sui Keng berteriak ketika tahu-tahu sesosok asap putih menyambar dirinya. Ia sedang melontarkan roda di tangan kanannya ketika roda itu tiba-tiba meledak dan terhenti di tengah jalan. Dan ketika ia terbelalak dan mengelak namun kalah cepat maka asap itu menepuk pundaknya dan iapun roboh, bersamaan dengan Shintala yang juga terduduk dan jatuh di sana.

"Bluk!" Dua wanita itu sama-sama melotot. Sui Keng yang melihat asap menyambar dan menarik Shintala segera menjadi gentar ketika asap itu meledak dan muncul kembali sebagai ujudnya semula, Pendekar Rambut Emas. Lalu ketika pendekar itu tertawa dan mengusap-usap menantunya, Shintala pulih lagi maka pendekar itu memandang cucunya dan bertanya dengan suara nyaring,

"Bun Tiong, Siang Hwa dan Sian Lan. Masihkah kalian ingin melihat Puteri Es setelah menyaksikan kelihaian gadis-gadis ini? Tidakkah kalian takut dan membatalkan niat?"

Tiga anak itu terkejut. Mereka tadi berseru cemas melihat ibu mereka diserang roda. Tapi begitu kakek mereka bergerak dan menolong sang ibu maka Bun Tiong berseru girang menubruk ibunya ini, gagah dan nyaring. "Tidak, aku tak takut menghadapi siapapun kong-kong. Menghadapi iblis dan siluman pun aku tak takut. Aku masih ingin bertemu Puteri Es!"

"Dan aku juga!"

"Aku juga. Siang Hwa dan Siang Lan tak mau kalah. "Aku juga tak takut kong-kong. Kalau mereka hendak membunuh aku biarlah paman Beng An yang membalas!"

"Ha-ha kalau begitu berangkatlah. Tak percuma kalian menjadi cucu Pendekar Rambut Emas dan sambutlah bahaya di depan!"

Semua terkejut dan tak mengerti ketika mula-mula pendekar ini bicara. Tapi begitu tangannya menangkap Bun Tiong dan melempar anak itu tinggi-tinggi, jauh melampaui gadis-gadis Lembah Es itu maka secepat kilat dan berturut-turut pendekar ini melempar Siang Hwa dan Siang Lan pula, tinggi dan jauh pula dan terakhir adalah Shintala. Di telinga nyonya itu Pendekar Rambut Emas berbisik tak usah takut.

Sang nyonya diperintahkan melindungi anak-anak sementara dia akan mencegat menghadapi gadis-gadis itu, Pendekar Rambut Emas telah mempergunakan Pek-sian-sutnya tadi. Dan ketika Shintala juga dilempar dan berjungkir balik tinggi, Bun Tiong dan Sian Hwa serta Siang Lan terbanting dan berjungkir balik pula maka Thio Leng dan Wan-siocia kaget bukan main oleh perbuatan Kim-mou-eng ini.

"Kau.... kau berani memasukkan anak-anak?"

"Ha-ha maaf. Jauh-jauh ke sini memang ingin bertemu Ratu kalian, nona-nona, Kalau anak-anak itu pulang begitu saja tentu seumur hidup bakal menggerutui. Ah, sudahlah. Kalian hebat dan mari main-main sebentar!"

Pendekar Rambut Emas yang bergerak dan mendahului mereka tiba-tiba mengibas dan menampar penghuni-penghuni Lembah, tak memberi kesempatan kepada mereka untuk mengejar dan mencegah Bun Tiong karena mereka sudah đihempas dan dibanting ke sana ke mari. Anak-anak murid menjerit. Dan ketika mereka meloncat bangun akan tetapi pendekar itu bergerak kembali, tak memperbolehkan mereka mengejar maka Thio-cici dan Wan Sui Keng marah sekali.

"Keparat, kau membuat kami naik darah, Kim-mou-eng. Kami tak perduli lagi kepada puteramu!"

"Ha-ha, majulah. Aku juga tak ingin menebeng puteraku. Aku ingin menyenangkan anak cucuku. Majulah... majulah nona-nona. Hadapi aku dan awas pukulan ini... dess!"

Thio Leng melempar tubuh ke kiri ketika pendekar itu melepas pukulan sinkang, jatuh menimpa pohon dan robohlah pohon itu memuncratkan bongkah-bongkah salju. Tempat itu segera menjadi ajang keramaian ketika pendekar ini bergerak ke sana ke sini, berkelebat dan merobohkan siapa saja tak mau bertumpu pada satu atau dua orang saja.

Thio Leng ditinggal ketika berkelit, menyambar Sui Keng namun berkelebat ke arah murid-murid yang lain ketika gadis itu mengelak. Dan ketika yang lain tunggang-langgang dan gerak cepat pendekar itu sungguh luar biasa maka Thio Leng tiba-tiba mencabut roda terbangnya disusul Sui Keng, membentak dan melontarkannya ke arah pendekar itu.

"Siuutttt... blar-blarr!"

Pendekar Rambut Emas tertawa bergelak dan mengelak roda terbang ini. Benda itu menyambar tanah dan memumcratkan bunga-bunga salju. Dan ketika dua wanita itu mengejarnya sambil melepas serangan lagi, roda membalik dan kembali pada tuannya maka secara licin pendekar ini menyelinap ke dalam kepungan anak murid yang berteriak-teriak.

"Bagus, seranglah aku, nona-nona. Lontarkan roda itu tapi hati-hati mengenai murid sendiri!"

Thio Leng dan Sui Keng panas. Empat kali mereka menyerang tapi roda terbang menghantam angin kosong, terakhir malah mengenai murid sendiri hingga mereka berteriak dan roboh. Anggauta sendiri malah menjadi korban! Dan karena pendekar itu menyelinap ke sana-sini, menampar dan merobohkan anak-anak murid akhirnya dua wanita ini menjadi berang dan menyuruh mereka semua mundur.

"Minggir... pergi dari sini, minggir! Tangkap anak-anak itu, dan biarkan kami menghadapi Kim-mou-eng!"

Anak-anak murid buyar. Yo Lin, yang menggigit bibir dan gemas oleh kejadian ini lalu diminta mengejar dan menangkap anak-anak itu. Mereka sekarang lenyap dan Pendekar Rambut Emas membiarkannya saja, Bun Tiong dan ibu serta saudara-saudaranya sudah jauh dari tempat itu, menghilang. Entah di mana dan barangkali sudah menuju istana. Maka ketika dua pimpinan cantik itu mendamprat dan mengejar Kim-mou-eng, melempar dan membanting murid yang lamban berkelit maka Pendekar Rambut Emas segera dikeroyok dan menghadapi roda terbang yang mendesing-desing.

Pendekar ini tertawa-tawa dan bergeraklah dia mengimbangi dua gadis itu. Thio Leng mainkan Siang-lun-jong-san lebih hebat daripada Sui Keng. Roda terbangnya meledak dan menghancurkan dinding tebing. Apa saja yang dihantam segera pecah dan berhamburan. Dan ketika dua gadis itu mengelilingi Kim-mou-eng dan pendekar itu tak lagi menyelinap di antara para murid, sengaja menerima dan melayani dua gadis ini maka pertandingan tak dapat dihindarkan lagi dan Bu-kek kang menderu-deru menyambar tubuh pendekar itu.

"Des-desss!" Pendekar Rambut Emas mengelak dan menangkis. Ia mengeluarkan Jing-sian-eng nya sekaligus Cui-sian Gin-kang. Dua ilmu meringankan tubuh ini sekaligus digabung untuk menghadapi kecepatan gerak dua lawannya itu. Dan ketika Thio Leng maupun Sui Keng marah melengking-lengking, tak sekalipun senjata mereka mengenai pendekar itu maka mereka mengeluarkan langkah-langkah saktinya untuk mengejar dan menandingi dua ilmu meringankan tubuh itu.

"Set-set!" Gerakan cepat Ini sampai mengeluarkan suara di bawah sepatu. Mereka ganti berganti menyerang namun Pendekar Rambut Emas mengelak dan lincah membuang tubuh ke sana-sini. Gerakannya kian cepat juga mengimbangi gerakan dua gadis itu. Dan karena Pendekar Rambut Emas telah memperhatikan dan sedikit banyak telah mempelajari atau menghapal gerak kaki dua gadis itu maka ketika mereka mengejar dan menggerakkan kakinya silih berganti tetap saja tubuh lawan tak dapat dipegang.

Gabungan Cui-sian Gin-kang tak kalah dengan Ang-tiauw Gin-kang. Ilmu meringankan tubuh ini hebat sekali apalagi kalau dimainkan Pendekar Rambut Emas, tokoh yang telah matang asam garam dunia dan pertempuran. Maka ketika dua gadis itu semakin penasaran dan Pendekar Rambut Emas melayani seenaknya, roda terbang mendesing kian gila maka Bu-kek-kang dilepaskan atau didorongkan ke depan membentuk pukulan dahsyat.

"Kau di depan, aku di belakang! Jaga dan kurung dia rapat-rapat, Keng-moi. Mainkan Siang-lun-jong-san lebih hebat lagi!"

Thio Leng berseru dan marah sekali. Ia benar-benar merasa dipermainkan oleh lawannya ini karena Kim-mou-eng tampak begitu seenaknya. Dia beterbangan mengikuti gerakan mereka pula. Tapi ketika roda terbang pecah menjadi delapan, masing-masing menyambar dan mengurung dari delapan penjuru maka Pendekar Rambut Emas terkejut juga dan terpaksa menangkis.

"Plak-plak!" Roda terpental dan membalik kepada tuannya. Akan tetapi begitu Kim-mou-eng menangkis mendadak dua pukulan Bu-kek-kang menderu. "Wherrrr…!” Kim-mou-eng tak sempat mengelak maupun menangkis, Ia baru saja mementalkan roda terbang yang berbahaya, tak mungkin menghadapi pukulan itu. Maka ketika dia membentak dan meledakkan tangannya sekonyong-konyong asap putih membubung dan lenyaplah pendekar itu di balik Pek-sian-sut.

"Iblis, ilmu siluman. Awas, Keng-moi, jangan sampai berbenturan!"

Sui Keng berteriak dan melencengkan pukulannya dengan pucat. Ia dan rekannya sama-sama menghantam ketika pendekar itu baru saja menangkis roda. Mereka yakin bahwa pukulan pastl kena, mereka berhasil. Tapi ketika lawan lenyap dan Kim-mou-eng berobah menjadi asap putih, tubuh pendekar itu berubah seperti roh maka tak ampun lagi dua-duanya melencengkan pukulan tapi tetap saja saling serempet.

"Bresss!" Dua-duanya terjengkang dan bergulingan. Thio Leng yang memaki-maki dan mendamprat merah padam disusul rekannya yang menyumpah-nyumpah. Ilmu ini pernah mereka lihat dikeluarkan Beng An, mereka pucat dan gentar. Namun karena tak boleh mereka membiarkan pendekar itu memasuki Lembah, anak dan menantunya akan ditangkap nanti maka mereka meloncat bangun dan menyerang lagi. Pendekar itu telah muncul dan tertawa-tawa.

"Bagus, hati-hati. Aku tak bermaksud mencelakai kalian, nona-nona. Mundurlah dan sebaiknya ijinkan aku menemui Puteri!"

"Keparat, kau atau kami yang mampus, Pendekar Rambut Emas. Bunuhlah kami atau kau roboh!"

"Hm," Pendekar Rambut Emas menarik napas dalam, kagum. "Kalian wanita-wanita yang gagah, Thio Leng. Aku sudah mendengar banyak dari puteraku. Tapi maaf, keinginanku tak mungkin dibatalkan dan biarlah kalian mengejar aku kalau bisa.... wutt!"

Pendekar itu lenyap lagi dalam bentuk asap putihnya. Ia mengeluarkan Pek-sian-sut dan Thio Leng maupun Sui Keng tentu saja marah sekali. Mereka mengejar dan melontar roda terbangnya. Tapi ketika senjata itu lewat dan tembus melalui jasad halus ini, Kim-mou-eng bergerak dan meluncur ke depan maka pendekar yang telah merasa cukup menghalang-halangi itu tertawa di depan. "Ji-wi-siocia, kejarlah aku!"

Dua gadis itu pucat. Seumur hidup baru Beng An lah yang mengelahkan mereka dengan ilmu seperti itu. Kini ayahnya melakukan hal yang sama dan Thio Leng serta Sui Keng tiba-tiba menangis. Mereka melengking dan mengguguk mengejar pendekar itu. Tapi ketika Pendekar Rambut Emas lenyap dan mendahului di depan maka dua wanita ini membanting-banting kaki dan Thio Leng akhirnya berkelebat menemui Ratunya.

"Kau kerahkan semua anak murid. Aku nenghadap Tocu, Keng-moi. Tangkap dan bunuh Pendekar Rambut Emas itu. Kerahkan semua kekuatan!" Sui Keng mengangguk. la tersedu berpisah dengan saudaranya dan masing-masing melakukan pekerjaannya sendiri. Pendekar Rambut Emas itu telah mencoreng moreng muka meraka. Tak ada hukuman lain kecuali bunuh. Maka berkelebat dan membunyikan tanda bahaya, Lembah Es geger maka di sana Pendekar Rambut Emas dihadang dan menghadapi ratusan gadis cantik yang sudah dikerahkan Sui leng ini. Yo Lin gadis baju merah memberi aba-aba dan memecah sebagian anggautanya mencari Shintala dan tiga anak itu.

"Jangan berkumpul di sini semua. Berpencar. Cari anak-anak itu dan ibunya,Berpencar, tangkap mereka...!"

Lembah Es ribut dan kacau. Mereka seperti diserang orang-orang Pulau Api dulu dan banyak murid bertanya-tanya. Mereka bertanya mana orang-orang Pulau Api itu tapi ketika dijawab yang datang adalah Kim-mou-eng, ayah Kim Beng An mereka malah tertegun, tak percaya.

"Apa, Pendekar Rambut Emas? Menyerbu dan menyerang kemari? Ayah, dari Kim-kongcu itu?"

"Benar, ia datang bersama wanita dan tiga anak laki-laki perempuan, kawan-kawan Mereka lolos dan memasuki Lembah. Mereka ingin bertemu Tocu, dilarang tapi nekat masuk. Cari dan tangkap mereka!"

Ributlah gadis-gadis cantik penghuni Lembah ini. Akhirnya mereka tahu bahwa pendekar itu lolos melewati dua wakil mereka Thio-cici dan Wan-cici. Mereka terkejut dan pucat mendengar ini. Tapi karena dulu Kim Beng An itu juga masuk dan mampu melewati penjagaan, merobohkan dan mengalahkan mereka semua maka dalam keheranan tapi jUgFa kebingungan mereka para murid ini bergerak dan sebagian bertemu anak-anak yang dimaksud itu. Mula-mula Bun Tiong yang mereka lihat.

Anak ini, seperti diceritakan di depan lari paling dulu setelah dilontar oleh kong-kongnya demikian kuat. Anak itu terbanting dan bergulingan namun tidak luka menimpa salju, bangkit dan lari dengan cepat tertawa-tawa. Bun Tiong memang anak pemberani yang tak kenal takut. Dia sudah berkata kepada kong-kongnya bahwa kelihaian Thio-cici dan Wan-chi tak membuatnya gentar. la tetap ingin menemui Puteri Es.

Maka dilempar dan jatuh melewati gadis-gadis Lembah itu, Bun Tiong bangkit dan lari dengan cepat akhirnya anak ini tiba di gunung pertama. Dua kali ia terjeblos di lubang salju akan tetapi anak ini mampu keluar berjungkir balik. la telah mendengar dari pamannya bahwa di Lembah Es banyak jebakan. Bun Tiong berhati-hati dan pengalamannya tadi membuat ia lebih waspada.

Tapi ketika dari puncak gunung berkelebatan bayangan-bayangan langsing, anak ini tak mungkin menyembunyikan dirinya lagi maka Bun Tiong sudah berhadapan dengan tujuh wanita cantik yang bukan lain adalah Sam-cici dan kawan-kawannya, gadis atau wanita yang galak itu.

"Berhenti, bocah dari mana kau!"

Bun Tiong berhenti. la memandang tujuh wanita ini dan lagi-lagi kagum bahwa mereka rata-rata cantik. Ah, penghuni lembah memang cantik-cantik! Maka memuji dan tertawa mencengangkan Sam-cici anak itu berseru, "Aih, cici ini cantik-cantik. Haii, kenalkan. Aku Bun Tiong keponakan pamanku Beng An, cici. Ingin bertemu Puteri Es dan melihat keagungan dan kecantikannya. Minggir, biarkan aku lewat!"

Bun Tiong menerobos dan lewat di sela-sela kaki tujuh wanita ini. Kakinya yang pendek dan kecil membuat gerakannya begitu lincah hingga tujuh wanita ini terkejut. Mereka berteriak tapi anak itu telah lolos di sana. Dan ketika Bun Tiong mengerahkan Jing-sian-engnya dan ilmu meringankan tubuh itu membuat gerakannya secepat kijang, Sam-cici dan kawan-kawannya terkejut maka anak itu sudah berlari dan naik ke gunung dua.

"Heii, kembali. Berhenti!" gadis itu membentak dan tentu saja mengejar lagi. Gerak cepat nan lincah dari anak ini benar-benar mengagetkan. Bocah itu seperti siluman saja. Tapi ketika mereka mengejar dan membentak si bocah mendadak muncul seorang anak perempuan yang melambai dan tertawa kepada Bun Tiong.

"Heii, kita berlomba, Bun Tiong. Kau jalan dari situ aku dari sini!"

Sam-cici terbelalak. Anak itu lenyap dan menghilang di balik dinding gunung sementara anak laki-laki yang mereka kejar terkekeh-kekeh dan mengangguk. Bun Tiong melambaikan tangannya pula dan bergeraklah anak itu lebih cepat. Maka bergerak dan mempercepat larinya akhirnya Sam-cici ini membentak dan menimpuk pelor-pelor salju. Dia menyambar dan menggenggam salju-salju itu lalu mengepalnya membentuk pelor-pelor bulat.

"Berhenti! Berhenti, anak siluman. Atau kau roboh!"

Bun Tiong mendengar desing dari peluru salju. ini. la mengelak dan Sam-cici tertegun. Tiga pelornya luput! Tapi ketika ia mengejar dan menimpuk lagi maka kawan-kawannya juga melakukan hal yang sama sehingga Bun Tiong tak mungkin mengelak saja, membalik dan mengibaskan lengannya ke belakang, mengerahkan Khi-bal-sin-kang.

"Plak-plak-plak!"

Dan tujuh wanita itu berseru terkejut karena pelor-pelor yang mereka sambitkan membalik dan menghantam mereka sendiri. "Awas!" Sam-cici menangkis dan menghancurkan pelor-pelor saljunya ini. Enam temannya yang lain juga melakukan hal yang sama tapi anak di depan itu sudah lari lagi. Bun Tiong tertawa dan melanjutkan petak umpetnya. Dan ketika anak itu hilang dan lenyap di balik dinding salju, entah ke mana maka anak itu tahu-tahu sudah naik di puncak gunung nomor dua dan tampak sedang balapan dengan anak perempuan yang tadi mereka lihat Siang Lan!

"Hi-hik, aku menang, Bun Tiong. Aku lebih dulu di puncak. Kau kalah!"

Sam-cici mengutuk habis-habisan. Tak disangkanya anak-anak itu demiklan hebat dan lincahnya berlari cepat. Mereka menyelinap dan lolos sepertl siluman-siluman cilik saja. Tapi ketika dari gunung kedua muncul bayangan-bayangan Iain, Siang Lan terpekik dan menjerit di sana maka gadis itu menerima terkaman dan melempar tubuh bergulingan rnenyelamatkan diri.

"Heii, celaka. Tolong, Bun Tiong, ada cici-cici galak di sini!"

Bun Tiong tertawa besar. Anak itu geli dan riang melihat temannya melempar tubuh. Siang Lan berguling dan akhirnya meluncur dari atas ke bawah, cepat dan berada dekat dengannya. Dan ketika ia menyambar dan menangkap temannya itu, dari bawah mengejar Sam-cici dan teman-temannya maka Bun Tiong berseru agar masing-masing mencari jalan lain.

"Tak usah berlomba adu cepat. Puncak-puncak gunung ini berpenghuni semuanya. Ayo, berpencar dan bingungkan mereka,. Siang Lan, jangan berkumpul dan biar sendiri-sendiri. .Awas kulempar kau ke sana dan hati-hati... huup!"

Anak itu mengangkat dan melempar Siang Lan kuat-kuat. Seperti kong-kongnya Bun Tiong mencoba melakukan hal yang sama, dia melempar dan melontarkan Siang Lan ke gunung nomor tiga. Tapi karena tenaganya tak sekuat sang kakek dan Siang Lan terlempar tinggi ke atas maka anak itu jatuh dan nyangsang ke pohon yang seluruh daun dan batangnya tertutup salju.

"Bruukk!" Siang Lan meringis kesakitan. Dia memaki Bun liong namun dilihatnya anak itu berlari dan menghindar dari terkaman banyak orang. Gadis penghuni Lembah berteriak-teriak memaki anak ini, menyuruh yang lain mengepung dan menangkap namun si bocah sudah terbang turun bukit. Bun Tiong mengambil jalan lain dan memotong. Lalu ketika anak itu lari dan tampak serta hilang lagi di balik dinding-dinding salju, kelincahan dan kecepatannya menggemaskan banyak orang maka di tempat lain Siang Hwa juga berlari dan menyusup lebih dulu di gunung nomor tiga.

Seperti temannya, yang lari secara zig-zag dan mendekati batu-batu besar atau dinding salju untuk tempat persembunyian, gadis inipun menuju depan de-ngan lari secepat anak kijang. Siang Hwa pun memiliki Jing-sian-eng dan dengan ilmu meringankan tubuh itu ia menghindari kejaran murid-murid Lembah Es. Namun karena tanda bahaya telah dibunyikan dan semua murid turun gunung, gadis baju hijau dan biru serta kuning juga memencar mencari anak-anak ini maka Siang Hwa bertemu dengan Ing Sim, gadis baju biru!

"Berhenti, dan menyerahlah. Atau kau kurobohkan!"

Siang Hwa terkejut. Ia tentu saja mengenal gadis ini karena bibinya telah mengalahkan. Maka tak gentar dan tertawa mengejek ia mencabut pedangnya dan menusuk, sebatang pedang pendek sebagai bekal. "Bagus, robohkan aku kalau bisa, cici. Atau kau minggir dan biarkan aku bertemu Puteri!"

Ing Sim mengelak dan terbelalak marah. Serangan pedang luput menusuk perutnya tapi bukan itu tujuan Siang Hwa. Gadis cilik ini hanya menggertak dan membuat lawan minggir, memberi jalan. Maka ketika hal itu didapat dan ia terkekeh maka cucu Pendekar Rambut Emas inipun melejit dan lewat di samping gadis baju biru itu, lari meninggalkan lawannya lagi.

"Hi-hik, terima kasih, cici. Kau sungguh baik!"

Gadis ini menjadi gusar. Ia sadar dipermainkan Siang Hwa dan tentu saja membentak mengejar. Keponakan Kim Beng An ini sungguh kurang ajar! Tapi ketika ia berkelebat dan meraih gadis itu ternyata Siang Hwa melempar tubuh kekiri terjun ke jalan setapak di bawah kirinya.

"Wut!" terkaman itu luput dan tentu saja si bocah sudah berjungkir balik disana. lng Sim terkejut memuji keberanian Siang Hwa karena tempat itu tak kurang dari sepuluh tombak tingginya. Kalau tidak memiliki keberanian dan ginkang yang hebat tak mungkin orang sembarangan melompat, apalagi melempar tubuh dan terjun seperti orang membuang tubuh ke sungai! Maka membentak dan melempar tubuh pula gadis ini melakukan hal yang sama dan Siang Hwa lari lagi, berlenggak-lenggok.

"Berhenti, atau kubunuh kau, anak siluman. Sekali lagi berhenti dan serahkan dirimu!"

"Hi-hik, aku anak ayah ibuku, bukan siluman. Kau telah memaki aku, cici. Kejar dan cobalah tangkap aku. Aku tak takut kau bunuh, paling-paling kaupun akan dibunuh Tocu!"

"Keparat, apa kau bilang? Tocu membunuh aku?"

"Benar, karena pamanku sahabat majikanmu. Kalau kau membunuh aku dan pamanku tahu maka Tocu akan membunuhmu, tak enak kepada pamanku Beng An, hi-hiik!"

Siang Hwa lari dan berlenggang-lenggok lagi. Ia memang lincah dan Jing-sian-eng yang dimiliki cukup tinggi. Meskipun tak setinggi orang tuanya namun bagi anak seumur dia sudahlah hebat. Bukti bahwa ia mampu terjun dan berjungkir balik di kedalaman setinggi pohon kelapa sudah cukup! Tapi karena ia tak mengenal medan sementara lawannya adalah penghuni Lembah, tentu saja gadis baju biru ini jauh lebih mengenal keadaan dibanding dirinya.

Maka Ing Sim tahu-tahu muncul setelah lenyap dan menghilang sekejap, mengejutkan Siang Hwa yang kontan menabrak. Lawan mendengus dan marah tapi juga geli. Siang Hwa begitu terkejut hingga berteriak, pedang bergerak tapi dikelit sedikit. Lalu ketika gadis itu menampar dan mengenai pangkal lengan maka Siang Hwa terbanting namun gadis itu bergulingan meloncat bangun, lari lagi.

"Curang, kau licik. Kau tak memberi aba-aba dan muncul seperti iblis!"

Gadis ini tersenyum. Sikap dan kata-kata yang kekanak-kanakan itu membuatnya semakin geli. Sebenarnya ia suka dan kagum akan gadis cilik ini, apalagi karena keponakan Kim-kongcu. Namun karena dia merasa dipermainkan dan anak itu tak mau berhenti, apa boleh buat ia harus bersikap keras maka Ing Sim tiba-tiba menyambar tiga batu keras dan menimpukkannya ke punggung Siang Hwa. Gadis itu sedang berlari cepat dan tak mungkin tahu. Tapi ketika tiba-tiba Siang Hwa tersandung dan roboh di depan, terantuk batu maka tiga batu itu melayang dan lewat di atas kepalanya. Selamat!

"Kau... kau menyerang secara gelap? Cih, memalukan. Tak patut kau sebagai penghuni Lembah Es, cici. Ayo bertanding dan jangan kira aku takut!"

Siang Hwa melompat bangun dan melihat itu. Ia terbelalak dan marah dan kini tak mungkin melarikan diri lagi. Batu keparat itu menyandung kakinya. Maka meloncat dan menusukkan pedang ke depan, lawan telah berjungkir balik dan mencegat larinya cucu Pendekar Rambut Emas ini mengamuk dan menyerang, marah dan memaki-maki.

Dan gadis baju biru itu memerah mukanya. Ia memang menimpuk secara gelap agar lawannya ini roboh. Siang Hwa seperti anak kijang betina yang lincah melarikan diri, ia tak mau membuang-buang waktu lagi. Maka ketika gadis itu menyerang dan ia tak mengelak seperti biasa, menampar dan mengerahkan Bu-kek-kang maka Siang Hwa menjerit karena pedang dan seluruh tubuhnya menggigil kedinginan.

"Robohlah.... plak!"

Namun cucu Pendekar Rambut Emas ini memang luar biasa. Begitu diserang hawa dingin dan menggigil serasa dibungkus es tiba-tiba Siang Hwa membanting tubuh. Ia menghindar dan menjauhkan diri dari lawan. Tapi ketika lawan mengejar dan mendorong dengan Bu-kek-kang nya lagi, Siang Hwa menjerit dan memaki-maki ternyata anak ini masih belum tandingan lawan.

Ing Sim adalah murid utama dan kepandaiannyapun tinggi. Kalau ia kalah terhadap Shintala maka itu adalah karena bukan tingkatnya. Nyonya itu bukan kelasnya, sama seperti ketika dia sekarang menghadapi Siang Hwa ini. Maka ketika anak itu bergulingan dan sia-sia menggerakkan pedang, akhirnya tertampar dan terlepas dari tangannya maka cucu Pendekar Rambut Emas itu mengeluh ketika sebuah totokan membuatnya tak berdaya.

"Tuk!" Selesailah pertandingan kecil ini. Ing Sim bersuit dan muncul empat bayangan murid-murid Lembah. Gadis itu memerintahkan agar tawanan ditangkap, Siang Hwa memaki-maki namun ia diikat dan disumpal mulutnys. Lalu ketika lawannya itu berkelebat dan pergi mencari yang lain-lain maka Siang Hwa dibawa dan menjadi tawanan pertama Lembah Es.

Bun Tiong, yang naik dan berada puncak nomor tiga juga bukannya tanpa halangan. la berhasil lolos dan melewati lawan-lawan di gunung pertama dan kedua. Tapi ketika ia turun dan hendak menuju gunung keempat ternyata bayangan hijau dan kuning mencegat.

"Berhenti, serahkan dirimu!"

Anak ini terbelalak. la segera mengenal dua orang itu yang bukan lain adalah Ui Hong dan Yu Pio, dua gadis yang juga dirobohkan ibunya. Maka tertawa dan meloncat pergi anak ini tak perduli dan memutar ke kanan. "Ha-ha, kalian belum menangkap aku, cici. Aku menyerah kalau sudah tertangkap. Kejarlah, dan tangkap aku!"

Dua wanita itu gemas. Mereka membentak dan masing-masing menyambar dari kiri dan kanan, Bun Tlong digunting dan dicengkeram kedua pundaknya. Namun ketika anak itu berkelit dan licin bagai belut, melempar tubuh ke kiri dan bergulingan meloncat bangun di sana maka dua gadis itu merah padam. Ui Hong tertampar.

"Kau berani main-main? Kau hendak menghina kami?"

"Ha-ha, aku ingin bertemu Puteri Es, cici. Biarkan dulu dan nanti menyerah secara baik-baik!"

"Tidak bisa, kau laki-laki. Lembah Es tak boleh dimasuki"

"Tapi aku anak-anak, belum tahu apa-apa. Kalian, eitt.... licik!" dan Bun Tiong yang terkejut menghentikan kata-katanya tiba-tiba membanting tubuh lagi ketika disergap dari kiri kanan. la diajak bicara hingga angin sambaran tubuh lawan tak dapat ditangkap. la memaki-maki. Dan ketika ia meloncat bangun dan dua wanita itu merah padam, luput lagi maka Bun Tiong berlari dan terjun di balik punggung bukit sebelah sana.

"Bresss!" Anak ini terjatuh dan terguling-guling di bawah. la sudah berada di puncak ketika tak mungkin harus bersembunyi lagi. Tak ada dinding atau batu. karang yang dapat dipakai berlindung. Maka nekat dan membuang tubuh di situ, meluncur dan menabrak ini itu maka Ui Hong dan temannya terbelalak melihat keberanian anak itu. Bun Tiong harus mengerahkan sinkangnya agar tentu saja tidak babak-belur.

"Ha-ha, kalian masih di atas. Ayo, kejar dan tangkap aku. Terjunlah kalau berani dan tirulah aku!"

Dua wanita itu memaki. Mereka tentu saja tak mau membuang tubuh seperti Bun Tiong, bukan takut melainkan tak mau tergores dan membuat pakaian robek-robek. Anak itu memang gila dan edan-edanan, siapa mau meniru! Maka ketika Bun Tiong tertawa di sana dan melambai mengejek mereka, Ui Hong dan sumoinya panas maka mereka melepas ikat pinggang dan tiba-tiba meluncurkannya ke bawah mereka sudah meledakkan ikat pinggang itu yang menangkap dan membelit pohon-pohon atau bebatuan di bawah.

"Bagus, kau boleh tertawa. Tapi sekarang tahu rasa, bocah. Lihat di belakangmu dan apakah kau dapat meninggalkan kami!"

Bun Tiong terkejut. la membalik ketika puluhan orang berkelebatan. Bayangan-bayangan langsing berdatangan lagi. Dan ketika ia harus lari dan pergi secepatnya, tak mau dihadang tapi dari kiri dan kanan muncul bayangan-bayangan yang lain lagi maka tak kurang dari empat puluh wanita mengepung anak kecil ini. "Ha-ha, bagus. Aku seperti tikus tersudut. Majulah, cici, tangkap aku dan rasakan pukulanku kalau ada yang ingin menerimanya."

Bun Tiong tak mungkin lari lagi dan mendahului lawan-lawannya ltu. Keberaniannya benar-benar membuat kagum dan gadis-gadis penghuni Lembah Es itu memuji. Mereka teringat Beng An, begitulah pemuda itu menunjukkan keberaniannya pula. Tapi karena anak ini harus ditangkap dan mereka telah mendengar perintah itu, mereka berkelit dan menubruk anak ini maka Bun Tiong membalik dan menangkis atau membagi pukulannya.

"Des-dess!" Anak itu terhuyung dan melotot. la kalah banyak dan kalah kuat. Gadia-gadis itu membentak dan saat itu Ui Hong dan sumoinya sudah datang. Dan ketika dua gadis itu membentak dan menerkam maju, dari muka dan belakang puluhan lengan juga mencengkeram anak ini maka Bun Tiong kewalahan dan tiba-tiba membanting tubuh meraup tanah salju dan melemparkannya ke mata lawan-lawannya itu. Perbuatan yang tak diduga.

"Aiihhh!"

"Auuphhh!"

Para murid menjerit. Bun Tiong tertawa-tawa melihat gadis-gadis Lembah Es itu kelilipan. Mereka tak menduga perbuatannya itu dan banyak yang kena. Mata mereka pedih dan sakit. Tapi ketika bayangan kuning dan hijau kembali menyambar, Ui Hong dan sumoinya mengelak dari serangannya tadi maka anak in terkejut dan tahu-tahu kena cengkeran, la baru saja bergulingan meloncat bangun.

"Kau bocah kurang ajar, sekarang aku tak akan melepaskan dirimu!"

Tapi putera Rajawali Merah ini benar-benar Luar biasa. Begitu terkejut dicengkeram bahunya tiba-tiba Bun Tiong menendang pusar gadis-gadis itu, tendangannya cepat dan kembali tak diduga. Dan ketika Ui Hong maupun sumoinya mengaduh melepaskan cengkeraman, kaki anak itu mengenai selangkangan mereka maka keduanya merah padam dan tiba-tiba mencabut pedang. Tendangan itu menghina mereka, lupa bahwa Bun Tiong hanyalah anak-anak, bukan pria dewasa!

"Bunuh, cincang anak ini, sumoi. Bunuh dia!"

Bun Tiong terbelalak. la maklum bahwa dirinya dalam bahaya karena dua lawannya ini tiba-tiba mende!ik. Mereka marah bukan main karena tendangannya tadl tepat mengenai bagian paling rahasia, kalau saja Bun Tiong dewasa tentu ia mengerti. Tapi karena ia masih anak-anak dan tendangan tadipun dilakukan agar dirinya terlepas dari cengkeraman maka anak itu mengelak ketika pedang menyambar.

"Singgg!" Namun Ui Hong maupun sumoinya tak mau berhenti di situ saja. Mereka sekarang benar-benar bernafsu membunuh dan tak akan memberi ampun. Mereka tak ingat lagi kepeda Beng An karena kemarahannya oleh tendangan tadi. Bagian yang disentuh kaki Bun Tiong tadi selamanya belum pernah disentuh pria, maka tak heran kalau mereka begitu mata gelap. Tapi ketika mereka mengejar dan menusuk atau membacok anak ini, Bun Tiong mengelak dan menjadi gelisah juga, baju pundaknya akhirnya terbabat maka terdengar suara lembut namun penuh wibawa, tidak keras namun cukup jelas terdengar sampai di bawah gunung itu.

"Jangan bunuh, tangkap saja anak itu. Jangan dilukai!"

Ui Hong dan sumoinya terkejut. Di puncak, hanya sekilas dan sekelebatan saja muncullah sesosok wanita anggun berpakaian serba putih. Wanita itulah yang berseru dan Bun Tiong yang kebetulan menengok tampak ternganga. Wajah seorang wanita luar biasa cantiknya terlihat dari situ, gemerlap dan penuh cahaya. Dan ketika anak ini tertegun namun wanita itu lenyap, ia berdesir menyebut nama Puteri Es maka Ui Hong sudah membalik dan secepat kilat menampar tengkuknya.

"Plak!" Bun Tiong terpelanting dan tak ingat apa-apa lagi. la masih terpesona dan ternganga oleh wajah jelita itu. Demikian agung dan cantik luar biasa. Dan ketika ia roboh namun bawah sadarnya membawanya melayang-layang ke wajah jelita itu, wajah Puteri Es maka Ui Hong yang masih mendongkol dan marah kepada anak ini menendangnya mencelat kepada anak buahnya.

"Bawa anak itu. Tocu menghendakinya hidup-hidup!"

Bun Tiong selamat dan terhindarlah dia dari kemarahan dua orang ini. Para murid lalu membawanya dan anak itu merupakan tawanan nomor dua. Di sana Siang Hwa telah mendahului. Dan ketika Ui Hong bergerak dan mencari yang lain, Siang Lan dan bibinya maka anak ini ternyata sudah di gunung nomor lima bersama Shintala!

"Hati-hati, mana Bun Tiong dan encimu Siang Hwa. Eh, kau sebaiknya duduk di atas pundakku ini, Siang Lan. Dan kita lihat dua buah gunung terakhir itu. Di sana pasti istana Puteri Es!"

"Benar, tepat sekali seperti cerita paman. Eh, tadi Bun Tiong tak jauh dariku, bibi. Tapi ia memisahkan diri agar tak gampang ditangkap. Bun Tiong pemberani, ia mengejek dan melambai-lambai kepada para cici itu!"

"Hm, tempat ini cukup berbahaya. Kita tak boleh terlalu main-main, Siang Lan. Cengkeram kedua pundakku yang kuat dan awas jatuh!" sang nyonya menyambar dan mendudukkan gadis cilik itu diatas pundaknya. Shintala bergerak lagi mencari anak-anak itu namun yang ketemu adalah Siang Lan ini. Puteranya Bun Tiong dan Siang Hwa entah ke mana.

Namun karena gak-hunya berkata tak usah khawatir karena Beng An adalah sahabat puteri Es, tak mungkin mereka membunuh anak-anak itu maka nyonya ini agak tenang dan meluncur menuju gunung ke enam, dicegat dan melihat bayanga kiri kanan mengejar....