Putri Es Jilid 17 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

Pek-sian-sut bertemu ilmu aneh dan keduanya segera bertanding hebat. Kakek itu tertawa-tawa tapi lama-lama tawanya hilang, anak muda itu mampu mengimbangi semua kepandaiannya. Dan ketika tangkisan atau benturan tenaga sakti mereka menunjukkan kekuatan berimbang, Beng An kagum dan diam-diam kaget sekali maka Beng An mendapat kenyataan bahwa kakek ini dua tingkat di atas Tan-pangcu. Giam-lui-ciang atau pukulan Petir Nerakanya itu nyaris sempurna!

"Ha-ha, ini bocah siluman, tapi kau anak muda keparat. Wehhh, tak akan kuampuni kau, bocah. Aku akan membunuhmu dan lihat kali ini kau roboh.... blarr!" api menyambar dan mendahului Beng An yang mau ke kiri, terkejut dan menangkis dan Beng An mengebut dengan pukulan esnya.

Ping-im-kang ditambah tenaganya namun kali itu dia terhuyung. Dan ketika si kakek berkelebat dan mengejar serta melepas pukulan lagi maka Beng An mundur tak diberi kesempatan, ditekan dan didesak namun anak muda ini tetap bertahan. Kakek itu melakukan langkah-langkah aneh milik Hwe-sin, Beng An akhirnya mengimbangi dengan gerakan Jing-sian-eng atau Cui-sian Gin-kangnya, Pek-sian-sut tetap juga dipergunakan hingga kakek ini sering gusar.

Anak muda itu lenyap kalau sudah tak mampu mengelak. Dan ketika pertandingan berjalan semakin cepat sementara Beng An sebagai pihak bertahan, pemuda itu tak diberi kesempatan untuk banyak membalas maka terdengar tawa serak di tengah lautan itu, tawa orang kedua.

"Heh-heh, lihat, tidak benarkah kata-kataku. Hantu Putih itu tak punya budi, anak muda. Sudah ditolong malah sekarang ingin mernbunuhmu. Ke sinilah dan aku akan menolongmu!"

Beng An mengerutkan kening. Sebenarnya ia tak bersungguh-sungguh menghadapi kakek aneh ini, dalam arti kata tak ingin bertempur mati hidup. la tak merasa punya permusulum serius dan pertemuannya dengan kakek inipun secara kebetulan saja. Kalau ia tidak berputar-putar dan mencari Tan-pangcu tak mungkin ia bertemu. Kakek ini memang aneh dan rupanya kejam, wataknya tidak baik. Maka mendengar kekeh dan kata-kata itu, tiba-tiba timbul keinginannya untuk mengetahui kakek kedua itu mendadak Beng An berseru keras berjungkir balik tinggi di udara.

"Locianpwe, kau rupanya rnemang orang sesat. Kau dan aku sebenarnya tak ada permusuhan apa-apa. Baiklah lain kali kita bertemu dan sekarang maaf aku pergi!"

"Heii...!" kakek itu marah. "Ke mana kau, anak muda. Jangan ke sana atau terima dulu pukulanku... bress!"

Beng An menjejakkan kakinya lagi tinggi ke atas dan tak jadi melayang turun, melesat dan berjungkir balik lagi untuk kemUdian tiba di atas laut, turun dan di sini ia mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya hingga sepasang kakinya menyentuh ringan, bagai kepas melayang-layang saja. Lalu ketika ia tersenyum dan melambalkan tangannya maka iapun sudah bergerak dan meluncur di atas permukaan laut dengan tubuh tanpa bobot, kedua kaki bergerak maju mundur dengan cepat meninggalkan kakek itu.

"Heii...!" si kakek melotot, tertegun. "Kembali, anak muda. Kembali!"

Beng An rnengelak. Dari sana meluncur pukulan kuat menyarnbar punggungnya, kakek itu marah dan menghantamnya namun ia berkelit. Dan ketika Beng An rneluncur dan terus menjauhi kakek ini, lawan tak berani mengejar maka Beng An sudah bergerak bebas di tengah lautan mendekati dua batu karang di mana kakek kedua terkekeh-kekeh, suaranya di bawah laut.

"Bagus blub-blub.... bagus, anak muda. Kau pintar. Dia tak mungkin berani mengejar karena kakinya akan lurus tercebur di air. Ha-ha, mendekatlah dan terima kesih atas niat baikmu!" air di tempat itu bergolak dan berputar.

Beng An merasa betapa dirinya tersedot dan cepat dia berhenti. Dia sudah tiba di tempat ini dan memandang ke bawah, terbelalak melihat seseorang sungsang di dalam air, kaki di atas kepala di bawah dan berkali-kali kaki itu bergerak menendang-nendang, membentuk pusaran air dan lubang atau pusaran ini memberikan udara masuk. Dengan udara itulah kakek ini bernapas. Tapi karena air segera datang lagi dan kakek itu tertutup lagi, akibatnya hidung atau mulut mengeluarkan suara "blub-blub" maka Beng An tertegun karena kakek ini terikat tangannya oleh sebuah batu besar yang membuat ia tak mampu naik.

"Ha-ha... blub... eh, blub... eh, cepat tolong aku, anak muda. Tanganku terikat batu besar yang tak dapat kutarik. Batu itu dikaitkan ke bawah. Tolong putuskan ikatan itu dan biarkan kaitnya lepas!"

Beng An menarik napas dalam-dalam. Ia mendekati kakek ini karena semata ingin tahu, sekarang sudah tahu dan iapun menjadi ragu. Seorang kakek berkulit hitam, legam, dengan matanya yang bulat dan kemerah-merahan terhukum di situ dengan cara aneh, sungsang. Beda dengan kakek pertama di mana sepasang kakinya yang diikat dan diganduli batu besar adalah kakek ini diikat sepasang tangannya. Batu besar itu membuat dia terjungkir dan masuk ke laut, sungsang namun hebatnya kakek ini masih dapat hidup.

Beng An teringat bahwa tentu kakek ini telah menjalani hukuman puluhan tahun pula, mengingat bahwa kakek berkulit putih di sana sudah tiga puluh tahun terhukum, jadi kakek ini tak jauh beda. Tapi berkerut bahwa kakek ini adalah tokoh-tokoh Pulau Akherat, sama dengan suhengnya tadi maka Beng An ragu untuk menolong. Jangan-jangan dia nanti diserang seperti kakek pertama tadi. Kakek ini adalah sute dari kakek di sana. Tapi ketika dia belum bergerak dan masih ragu, Beng An sedang berpikir apa yang sebaiknya dilakukan mendadak kakek itu menangis dan berseru padanya.

"Anak muda, cepat tolonglah aku. Atau bunuhlah aku agar tak menderita seperti sekarang... blub!"

Beng An kasihan. Pada dasarnya ia adalah pemuda lembut hati. Hanya kadang-kadang ia dapat bersikap keras dan kaku seperti mendiang kakeknya, kalau orang berlaku kelewatan dan tidak menghargainya. Maka melihat tangis dan mendengar kata-kata itu tiba-tiba rasa kasihanpun timbul, tak ingat lagi siapa kakek ini dan Beng An menarik kuki itu. Tapi begitu ia mengangkat dan menyentak kuat tiba-tiba ia malah tertarik ke bawah dan batu besar yang menahan kakek itu balas membetotnya ke dalam.

"Heii, jangan begitu. Lepaskan dulu kaitan di bawah batu besar itu. Kau tak akan berhasil!"

Beng An terkejut. Ia hampir saja terjelungup dan cepat melepaskan kakek itu lagi, lupa bahwa di bawah sana batu besar itu dikait dengan sesuatu, seperti kata kakek ini. Maka ia membelalakkan mata namun berseru keras tiba-tiba ia mencebur dan menyelam di bawah kakek ini. "Baik, aku akan melihat ke bawah, locianpwe. Akan kuperiksa dan kulepaskan kaitan itu!"

Kakek itu tertawa senang. Ia menggerak-gerakkan kakinya lagi ke atas sementara Beng An sudah menyelam di bawahnya. Pemuda ini memeriksa dan benar saja terdapat kaitan di situ, bukan tali melainkan besi! Dan ketika Beng An tertegun namun mengerahkan sinkangnya, memegang dan menyentuh besi kaitan itu maka sekali cengkeram ia membuat patah besi itu. Dan tubuh si kakek tiba-tiba mumbul ke atas, bagai terlontar.

"Heii... ah! Terima kasih, anak muda. Ha-ha, sekarang aku bebas!"

Beng An muncul dan keluar lagi. Kakek hitam ini, yang memiliki kekuatan luar biasa pada sepasang lengannya tiba-tiba menarik dan merasa kaitan lepas. Batu sebesar gajah itu terbawa. Dan ketika ia tertawa bergelak dan memutar-mutar batu ini, membentak dan mengayun lengannya maka batu terlempar ke atas dan jatuh menimpa Beng An yang saat itu baru muncul keluar. Ikatan di pergelangan tangannya sudah putus bersamaan dengan putusnya besi kaitan di bawah air.

"Ha-ha, bebas aahhhh, bebas! Aku dapat merasakan segarnya udara lagi, We We Moli, kau tak dapat menghukumku seumur hidup. Ha-ha, kau gagal.... bress!" batu itu muncrat ketika jatuh menimpa laut, suaranya dahsyat namun untung secepat kilat Beng An menghindar.

Anak muda ini terkejut mengelak bahaya, berseru keras. Dan ketika ia menyadarkan kakek itu dan kakek ini terbelalak, sudah berada di atas permukaan air dan bergerak-gerak dengan sepasang kakinya yang telanjang untuk mengatur keseimbangan maka Beng An juga sudah berjungkir balik dan turun di permukaan air dengan kedua kaki bergerak-gerak pula.

"Locianpwe, kau mau membunuh aku. Kejam!"

"Ah, ha-ha, tak sengaja. Maaf, anak muda. Aku tak sengaja. Tapi mari sekarang kita ke sana dan lihat pakaianmu basah kuyup!"

Beng An terkejut. Ia disambar dan di remas dan tiba-tiba kakek ini dengan ilmunya yang hebat meluncur ke pulau kecil itu. Ilmu meringankan tubuh yang dipunyai kakek inipun luar biasa. Ia mampu pula "berjalan" di atas air, terbang dan cepat sekali seperti Beng An. Dan ketika Beng An sadar namun sudah dibawa meloncat ke darat, kakek berkulit putih menyambut maka Beng An terkejut karena kakek itu tiba-tiba menyerang.

"Ha-ha, bagus, sute. Kau membawa kembali anak muda ini. Sekarang aku akan menangkapnya atau merobohkannya sampai mampus!"

Beng An mengelak dan mengeluarkan seruan marah. Ia sadar setelah tiba kembali di pulau. Kakek hitam itu membuatnya tertegun kagum. Ilmu meluncur di atas air tadi tak kalah dengan ilmu yang dimiliki keluarganya, Cui-sian Ginkang atau Jing-sian-eng. Tapi karena ia sudah diserang dan kakek hitam tertawa-tawa, ia mengelak dan berlompatan maka Beng An berang dan tiba-tiba melompat tinggi berjungkir balik untuk kabur lagi ke laut, tak mau melayani kakek ini.

Namun kakek hitam tiba-tiba tertawa panjang. Tahu bahwa Beng An tak mau melayani saudaranya mendadak ia mendahului dan berkelebat, menyambar Beng An yang baru saja melayang turun. Dan ketika Beng An terkejut karena kakek ini mencengkeram dan melemparnya kembali maka kakek itu berseru bahwa dia harus bertanding!

"Ha-ha, tak boleh pergi. Ayo kembali dan hadapi suhengku, anak muda. Tak boleh lari kalau tidak seijin kami berdua!"

Beng An marah. Akhirnya ia berseru keras disambut si kakek putih, menangkis dan berkelebatan dan kakek putih terbahak-bahak. Ia menyerang dan berkali-kali berusaha menangkap anak muda ini. Tapi karena Beng An menangkis dan tak mau ditangkap, Beng An rnembentak dan membalas lawan maka kakek hitam terkekeh berjaga-jaga di laut, menonton.

"Bagus,ha-ha... bagus sekali. Ayo bertanding dan biar aku menjadi hakim. Keluarkan semua kepandaianmu, anak muda. Atau kau mampus dihajar suhengku!"

Beng An marah sekali. Ia sadar bahwa orang-orang ini memang bukan manusia baik-baik. Kakek hitam itupun sama saja, tepat seperti dugaannya. Namun karena ia tak takut dan apa boleh buat harus bertanding sungguh-sungguh, ia harus melepaskan diri maka Beng An membalas kakek itu dan lawan terkejut ketika Beng An mengeluarkan Khi-bal-sin-kang, di samping Ping-im-kangnya.

"Dess-plak!" kakek itu terhuyung dan terbelalak. Khi-bal-sin-kang, yang dicampur dengan Ping-im-kang memang lain dengan yang dulu dipakai mendiang ibunya melawan orang-orang Pulau Api. Waktu itu Kim-hujin atau Swat Lian leleh pukulannya menghadapi Giam-lui-ciang yang dahsyat. Khi-bal-sin-kang tak tahan panas dan Bola Sakti yang dipakai ini tembus, lawan tak terpental dan justeru nyonya itu yang terhuyung-huyung.

Namun karena Beng An memiliki Ping-im-kang dan tenaga Inti Es ini mampu menahan pukulan Giam-lui-ciang, sepanas apapun pukulan Petir Neraka itu selalu dapat didinginkan kembali maka ketika pemuda itu mengeluarkan Khi-bal-sin-kangnya si kakekpun terpental dan terhuyung-huyung, melotot dan melepas pukulan-pukulannya lagi namun Khi-bal-sin-kang membuat dia membalik.

Semakin keras dia menyerang semakin keras pukulannya mental. Dan karena baru sekarang ini Beng An mengeluarkannya karena marah kepada kakek tu, kakek ini menjadi penasaran maka Beng An yang dapat mendesak dan menangkis pukulan-pukulan itu dengan Kin-bal-sin-kangnya lalu membalas dengan Ping-im-kang di mana dua ilmunya ini isi-mengisi melindungi dan menolak. Si kakek terkejut dan sadar bahwa anak muda ini betul-betul hebat.

Tadi bocah itu belum mengeluarkan ini dan sekarang dia maklum bahwa lawan belum bersungguh-sungguh. Sekaranglah dia mendapat perlawanan sengit dan marah. Beng An memang gemas. Dan ketika tak lama kemudian pemuda ini membuat si kakek terpental dan terhuyung-huyung, hawa panas Giam-lui-ciang diredam Ping-im-kang maka kakek itu melotot karena dia terdesak dan ganti ditekan!

"Keparat, lihai sekali. Pukulan macam apa ini. Eh, jangan menonton saja, sute. Anak ini memiliki pukulan aneh. Majulah, dan lihat betapa ia memiliki tenaga karet. Pukulanku mental!"

Kakek hitam, yang rnenonton dan terkekeh-kekeh mendadak menghentikan kekehnya. Ia tadi berseri dan tertawa-tawa melihat pertandingan itu, yakin bahwa suhengnya akan kembali mendesak dan pemuda itu akan roboh. Kalau Beng An hendak melarikan diri maka dialah yang menjaga, menyerang dan memaksa pemuda itu kembali ke tengah. Tapi ketika pemuda ini mengeluarkan pukulan-pukulan hebat yang membuat suhengnya terpental dan terhuyung-huyung, ia terbelalak dan kaget serta mengerutkan kening maka suhengnya berteriak agar ia maju mengeroyok.

Mereka, Sepasang Hantu harus maju menghadapi seorang pemuda belia, padahal satu di antara mereka saja biasanya cukup. Hanya terhadap We We Moli mereka melakukan kerubutan, tokoh Lembah Es itu amat luar biasa. Maka melihat betapa dirinya harus maju, pemuda yang dihadapi suhengnya itu benar-benar membuat suhengnya terdesak dan terpental terus maka Hantu Putih akhirnya terlempar bergulingan ketika satu tangkisan Khi-bal-sin-kang membuat ia terjengkang dan terbanting roboh.

"Sute, bantu aku!"

Hantu Hitam tak berdiam diri lagi. Suhengnya benar-benar menjerit dan pemuda yang membuat suhengnya bergulingan itu mengejar. Beng An tidak lagi berniat meninggalkan lawan setelah si kakek hitam berjaga. Dia harus merobohkan kakek ini dan baru akan keluar kalau bebas. Kalau tidak tentu ia dihalangi dan ini membuat kemarahannya bergolak. Maka ketika ia membentak dan membuat lawan terjengkang, berkelebat dan melepas Ping-im-kang untuk membuat si kakek benar-benar roboh mendadak Hantu Hitam berkelebat dan dari belakang kakek ini menghantam Beng An dengan pukulan panas, tanpa peringatan.

"Wuttt!" Beng An membalik dan melepaskan kakek putih. Ia tak mungkin meneruskan serangannya kalau bokongan ini tak ditangkis. Apa gunanya merobohkan lawan kalau diri sendiri celaka. Maka membalik dan menangkis pukulan ini, membatalkan serangan ke depan Beng An berseru keras memaki kakek itu.

"Curang... plak-dess!"

Dua pukulan bertemu. Bunyi menggelegar menggetarkan tempat itu namun si kakek tertawa aneh, lengan kirinya memanjang ke bawah sementara lengan kanan menjulur ke atas. Bagai gurita saja tahu-tahu ia mencengkeram pergelangan Beng An, membelit. Dan ketika Beng An terkejut karena pukulannya tertahan, kakek itu tahu-tahu membelit tangannya maka lawan terkekeh berseru nyaring,

"Suheng, ia sudah kutangkap. Robohkan!"

Beng An terbelalak. Lawan tahu-tahu mengunci pergelangannya tapi tentu saja ia tak mau menyerah. Kakek putih berkelebat tertawa dan saat itu ia melepas tendangan. Tapi ketika lawan berkelit dan Beng An terbawa ke depan, ia kaget mengerahkan Ping-im-kang maka kakek putih menyambar dan tahu-tahu menghantam tengkuknya.

"Desss!" Beng An tak mungkin menghindar dan menerima telak. Ia tergetar namun tidak roboh, Ping-ini-kang membuat tubuhnya sedingin es hingga kakek itu terkejut, mental dan saat itu Beng An meronta melepaskan diri. Kakek hitam terbelalak karena begitu kuatnya pukulan suhengnya tadi, diterima dan secara cerdik disalurkan Beng An kepadanya, tentu saja ia berteriak. Dan ketika otomatis ia melepaskan cengkeraman dan Beng An juga meronta melepaskan diri maka pemuda itu bebas dan kakek ini menjadi kagum. Beng An berkelebat dan menyerang mereka berdua.

"Wehhh, luar biasa. Bocah hebat. Kita harus berhati-hati!"

"Benar, dan jangan gegabah, sute. Mainkan Silat Guritamu dan biar aku menyerampangnya dengan sepasang kakiku. Kerahkan Giam-lui-kang (Tenaga Petir Neraka)!"

Hantu Hitam mengangguk. Silat Gurita, yang aneh dan pandai membelit itu lalu menyambut Beng An dengan hebat dan mengejutkan. Sepasang lengan kakek ini mulur mengkeret bagai karet, menyerang dan menarik kalau Beng An membalas dengan bahaya. Dan ketika kakek putih juga melakukan serampangan-serampangan berbahaya, dari bawah kakek itu bergulingan dan membabat kaki Beng An maka pemuda ini terkejut namun bertahan dengan Ping-im-kang dan Khi-bal-sin-kangnya itu. Dan dua kakek itu memuji kagum.

Hantu Hitam, yang ternyata pandai mainkan sepasang lengannya bagai belalai gurita berkali-kali gagal menangkap atau membelit Beng An lagi. Pemuda ini mengelak dan menangkis dan Beng An berkelebatan dengan Jing-sian-eng atau Cui-sian Gin-kangnya itu. Tapi ketika kakek itu membentak dan mainkan langkah-langkah Jit-cap-ji-poh-kun, silat Tujuh puluh Dua Langkah Sakti maka kakek ini membayangi dan berhasil mendekati Beng An, sering melakukan cengkeraman-cengkeraman berbahaya.

Dan kalau saja tak ada kakek putih di situ tentu Beng An dapat seratus persen menujukan perhatian pada tangkapan atau belitan ini, karena betapapun itu berbahaya. Dan ketika ia dikacau oleh serangan dari bawah, sementara dari atas kakek hitam menjulur majukan lengannya dengan cepat maka satu ketika Beng An tertangkap dan belitan atau lengan gurita itu sungguh kuat sekali.

"Ha-ha, kena. Bekuk kakinya!"

Beng An terkejut. Waktu itu ia baru saja menghindar tendangan berguling dari kakek putih, meloncat tapi kakek hitam bergerak di belakangnya. Langkah sakti Jit-cap-ji-poh-kun itulah yang hebat. Dan ketika Beng An tahu-tahu terbelit dan belitan ini sungguh kuat, pundak dan lehernya dibuat terkunci maka kakek putih tertawa bergelak menubruknya lagi, sepasang kakinya naik turun menyambar lutut.

"Bagus, jangan lepaskan. Aku akan merobohkannya!"

Tapi Beng An mengeluarkan Pek-sian-sut. Secepat lawan menubruk secepat itu pula ia menyelamatkan diri. Ia meledak dan hilang. Dan ketika si hitam melengak tak membelit apa-apa lagi, suhengnya berteriak kecewa maka Beng An muncul di belakang dan ganti menghantam kakek itu.

"Kalian curang, tapi terimalah ini untuk pelajaran!"

Hantu Hitam menjerit. la menerima pukulan dan terbanting, Beng An muncul lagi dan kini menyerang kakek putih. Tapi ketika lawan membentak dan meloncat bangun, meledakkan tangannya maka kakek itu menghilang dan sebagai gantinya asap merah menyambar Beng An.

"Plak!" Beng An terbelalak dan gemas. Ia terhuyung dan marah dan kakek hitam melengking di sana. Dan ketika ia bergulingan meloncat bangun dan suhengnya berseru bahwa pemuda itu memiliki tenaga sihir, mampu menghilang dan muncul lagi maka kakek itu berseru agar sutenya mengimbangi.

"Keluarkan Ngo-thian-hoat-sut. Hadapi dengan tenaga sihir pula!"

Kakek itu mengangguk. Ia tak menyangka bahwa pemuda ini memiliki sihir, mampu menghilang dan muncul lagi seperti siluman. Tapi ketika ia membentak dan meledakkan tangannya, menerjang dan membalas Beng An maka iapun lenyap menjadi asup merah.

"Wusshhh!" Beng An dikeroyok lagi. Sekarang pemuda ini menghadapi lawan yang muncul dan menghilang seperti dirinya, asap putih dan merah sambar-menyambar. Namun ketika Beng An melihat bahwa percuma mengeluarkan Pek-sian-sut, dua kakek itu selalu mengejar maka dia muncul lagi dan membentak agar bertempur di atas tanah.

"Kalian benar-benar orang-orang tak tahu diri. Sudah ditolong sekarang ingin membunuh aku. Baik, aku tak akan menyerah begitu saja, kakek-kakek siluman. Mari bertanding biasa saja dan lihat berapa lama aku atau kalian roboh!"

Dua kakek itu mengejek. Mereka tertawa namun diam-diam kagum akan kelihaian anak muda ini. Betapapun anak muda itu tak dapat rneloloskan diri lagi setelah dikeroyok. Dari depan dan belakang mereka selalu menjaga. Dan karens Beng An memang mulai kewalahan menghadapi kakek-kakek ini, Ping-im-kang tertahan oleh Giam-lui-ciang sementara pukulan Petir Neraka itu juga tak banyak berpengaruh terhadap dirinya, tenaga Inti Es itu mampu menghalau uap panas maka pemuda ini berkelebatan naik turun menghadapi dua lawannya.

Namun Silat Gurita dari si kakek hitam merepotkan. Melihat lengan yang terulur maju mundur itu mengingatkan Beng An akan Sin-te-ciang milik Siang Le. Namun karena kakek ini bukanlah Siang Le dan langkah-langkah sakti dari Jit-cap-ji-poh-kun itu luar biasa sekali, itulah warisan Hwe-sin Malaikat Api maka Beng An kewalahan dikejar dua kakek yang sama-sama mengandalkan ilmu langkah sakti ini. 

Bayangan Seribu Dewa (Jing-sian-eng) benar-benar menemui lawan tangguh berhadapan dengan Tujuh Puluh Langkah Sakti itu. Dan karena yang menjalankan adalah tokoh-tokoh Pulau Api, betapapun Beng An tak mungkin bertahan saja maka dia mulai terdesak dan satu dua pukulan mengenai dirinya.

Akan tetapi anak muda ini memang hebat. Khi-bal-sin-kang yang dimiliki masih bekerja dengan baik. Gempuran-gempuran kakek itu selalu dipentalkan. Namun karena Beng An juga mulai berkeringat sementara lawan mempercepat gerakan mereka dari atas bawah, memotong dan mencegat jalan lari pemuda itu maka Beng An terdesak dan terus terdesak sampai akhirnya sinkangnya tinggal separoh di mana daya tolak Khi-bal-sin-kang akhirnya tak sekuat tadi juga.

"Ha-ha, tenaganya mulai habis. Pukulan-pukulan kita mulai masuk. Bagus, sergap dan robohkan dari bawah, suheng, dan biar aku menangkapnya dari atas!"

"Benar, tapi hati-hati. Bocah ini masih tahan pukulan. Luar biasa, ia memiliki Im-kang yang serupa dengan We We Moli. Jangan-jangan dia muridnya!"

"Ah, tak mungkin. We We Moli tak memiliki ilmu karet yang membuat pukulan kita selalu mental, suheng. Anak muda ini lain. Entah siapa gurunya!"

"Kalau begitu kita robohkan saja, jangan dibunuh!"

"Ya, aku juga berpikir begitu. Jangan dibunuh dan robohkan saja, apalagi dia telah menolong kita, ha-ha dan kakek hitam yang terbahak dan maju membelitkan tangan tahu-tahu telah menangkap pinggang dan melipat tubuh Beng An, membentak dan berseru keras sementara kakek putih menendang lutut.

Gerakan Beng An memang mulai lamban dan pemuda itu terkejut. Akan tetapi karena semuanya telah terjadi dengan cepat dan tak mungkin dia mengelak, dia mengerahkan sinkang namun jari kakek hitam menekan pusarnya, melumpuhkan aliran tenaga sakti itu maka tak ampun lagi lutut Beng An kena tendangan kakek putih.

"Bluk!" Beng An roboh dan mengeluh. Akan tetapi anak muda ini belum menyerah. Dia bergulingan bersama kakek hitam yang melekat dan masih membelit tubuhnya itu, meronta dan coba melepaskan diri. Tapi ketika kakek putih terbahak dan menotok pundaknya maka Beng An roboh dan benar-benar tak berdaya. Dua kakek itu tertawa-tawa. Si hitam akhirnya melepaskan pemuda ini. Namun ketika mereka melihat betapa tubuh Beng An seputih salju, Ping-im-kang menyebar dan mengeluarkan butir-butir es yang amat dingin maka pemuda itu membujur kaku dan seperti mati. Berobah seperti manusia es.

"Ah, mampuskah dia. Bagaimana tiba-tiba begini!"

"Coba kulihat. Kupikir tidak, sute, aku tidak menotoknya binasa. Ini seperti mati semu!" dan ketika kakek itu menyambar dan menekan denyut nadi Beng An, juga mendengarkan bunyi detak jantung maka kakek ini terbelalak dan terheran-heran. "Anak ini masih hidup. Detak jantungnya ada. Ah, luar biasa sekali dan Im-kangnya itu hebat bukan main!"

"Mana lebih hebat dengan We We Mo li. Wanita itu juga memiliki Im-kang luar biasa."

"Ah, We We Moli tentu saja lebih hebat. Kita berdua mampu dirobohkannya. Sudahlah kita bawa pemuda ini dan katanya di Pulau Api Tan Siok sudah menjadi pangcu (ketua)!"

"Apa? Bocah ingusan itu? Ah, kurang, ajar. la tak menghargai susioknya. Hayo kita labrak dan pergi ke sana!"

"Nanti dulu. Kakiku masih kaku. Aku tak dapat menyeberang tanpa bantuan!"

"Heh-heh, kau cacad setelah tiga puluh tahun menjejak naik turun di dalam laut? Naik saja ke pundakku. Aku membawamu ke sana, suheng, tapi anak itu bawa di atas pundakmu!"

"Kau mau menolong?"

"Segala pertikaian harus disingkirkan dulu. Kalau ada anak muda selihai ini jangan-jangan di tempat lain muncul jago-jago muda perkasa. Kita harus membalas dendam kepada We We Moli. Kita dapat mengerahkan anak murid. Ayo lupakan itu dan naiklah ke pundak!"

Kakek putih terkekeh. Tiba-tiba ia menjejak dan sudah berdiri di atas pundak sutenya, Beng An sendiri di atas pundaknya. Dan ketika kakek hitam terbahak dan berkelebat ke depan maka kakek ini meluncur ke laut dan berjalan atau "terbang" menuju Pulau Api. Pemandangan aneh terjadi secara mentakjubkan. Dari jauh orang akan melihat seorang bertubuh tinggi jangkung meluncur lewat, bergerak dan naik turun di atas gelombang laut bagai siluman. Bagian bawahnya hitam sementara bagian atas putih, menyeramkan!

Dan ketika "siluman" ini terus bergerak dan meluncur dengan amat cepatnya, menuju Pulau Api yang kemerah-merahan maka mahluk itu membentak merentangkan tangan untuk kemudian berjungkir balik dan memecahkan diri. Yang putih lebih dulu tiba di tanah sementara yang hitam belakangan, masing-masing terkekeh dengan gembira. Lalu ketika kakek putih melempar Beng An di pulau ini, berkelebat dan mencari penghuni maka kakek hitam juga melakukan yang sama dan heran karena pulau itu kosong.

Sebagai bekas penghuni lama tentu saja mereka mengenal keadaan. Wilayah Kepulauan Akherat tidaklah asing. Maka ketika masing-masing bertemu lagi dan saling pandang, dua kakek itu maklum apa yang terjadi maka sang suheng berseru agar mencari di tempat lain.

"Tempat ini kosong, mereka pergi. Tak mungkin jauh-jauh dan mari kita temukan!"

"Baik, tapi bagaimana anak muda ini, suheng? Apakah kita bawa?"

"Tak usah, biar saja. Mari kita ke pulau-pulau lain dan temukan anak-anak kita!"

Kakek hitam mengangguk. Dia setuju dan sang suhengpun melompat, berdiri lagi di kedua pundaknya. Lalu begitu ia berkelebat dan meluncur di air maka kakek inipun bergerak lagi mencari anggauta Pulau Api, masuk dan menyelidiki pulau demi pulau sampai akhirnya Pulau Hitam geger.

Tan-pangcu, yang kedatangan dua orang ini tentu saja terkejut bukan main. Dia mengenal betul dua orang itu, dedengkot atau tokoh-tokoh Pulau Api sebelum dirinya. Maka ketika dia tertegun tapi cepat menjatuhkan diri berlutut, semua anak murid juga melakukan hal yang sama maka dua kakek ini terkekeh-kekeh dan girang bahwa para murid mereka ternyata ada di situ, menyembunyikan diri.

"He, kau tentu Tan Siok adanya! Ha-ha, kau menjadi ketua Pulau Api? Kau tak menghormat paman-paman gurumu? Awas, serahkan kedudukan kepadaku, bocah, dan mana tongkat ketua itu. Berikan!"

Tongkat tahu-tahu disambar dan di-ambil kakek ini, kakek muka putih. Lalu ketika kakek itu memandang dan menimang-nimang tongkat, bertanya apakah tak ada orang Iain di situ maka ketua Pulau Api yang terkejut melihat kedatangan dua susioknya ini terbata.

"Ampun, ada susiok, tapi tak dapat hadir. Mereka... mereka dua suteku Bu Kok dan Kiat Lam!"

"Bu Kok? Mana bocah itu? Bukankah dia murid Ji-suheng?"

"Benar, susiok, tapi sute terluka. Kami bersembunyi karena peristiwa ini juga. Kami baru saja menghadapi musuh tangguh!"

"Ah, orang Lembah Es?"

"Bukan, melainkan orang dari daratan besar. Dia bernama Kim-mou-eng dan kami dikalahkan!"

"Apa? Orang pedalaman berani mengalahkan murid-murid Pulau Api? Keparat! Hanya penghuni Lembah Es musuh tangguh kita, Tan Siok. Siapa itu Kim-mou-eng dan bagaimana rupanya!"

"Dia lihai, dan puteranya juga lihai. Tapi kami berhasil membunuh isterinya dan melarikon diri ke sini, takut pembalasan!"

“Ah, orang Pulau Api tak perlu takut terhadap musuh. Hayo, mana sutemu Itu dan biar kullhat sampai di mana lukanya."

Tergopoh-gopoh Tan-pangcu ini menyuruh orangnya membawa Bu Kok dan su-tenya yang lain, Kiat Lam. Dua orang itu dipanggul dan wakil ketua Pulau Api ini terkejut melihat dua suslok mereka itu, mendengar dari anak murid bahwa dedengkot mereka datang. Dan ketika mereka girang tapi mengeluh tak mampu bangun, kakek hitam berkelebat dan meraba dada dua orang ini maka terbata-bata Bu Kok dan sutenya memberi hormat, merangkap tangan sambil telentang.

"Susiok, kami...dilukai musuh. Ah, jiwi susiok ternyata masih hidup dan syukur kalian datang. Kami dilukai Kim-mou-eng!"

"Aku sudah dengar," kakek hitam berseru, menyeringai. "Jangan kalian khawatir, Bu Kok. Ada kami di sini yang akan membalaskan sakit hati. lukamu cukup parah tapi ini akan mempercepat penyembuhan lukamu...plak!" kakek itu melepaskan sinkang, menepuk dada sang murid keponakan dan Bu Kok tiba-tiba dapat menarik napas lega. Tadinya dia sesak dan batuk-batuk, kini sesak itu hilang. Dan ketika dia dapat bergerak dan turun dari bahu anggauta Pulau Api, terhuyung dan menjatuhkan diri berlutut maka sutenya Kiat Lam juga mendapat perlakuan sama, bergerak dan turun dari gendongan.

"Terima kasih... kami menghaturkan terima kasih dan selamat datang kepada ji-wi susiok!"

"Bangunlah!" kakek putih tiba-tibu berkelebat, kini maju dan berseru nyaring. "Kalian tak usah takut kepada siapapun, anak-anak. Kami sudah bebas dari hukuman Lembah Es. Apakah We We Moli masih hidup dan ada di sana!"

"Kami tak tahu," Bu Kok terbelalak, menggeleng. "Kami juga sudah ke Lembah Es, susiok, tapi tak ada We We Mo-li atau tokoh-tokoh angkatan tua. Di sana sekarang dipimpin Puteri Es!"

"Siapa Puteri Es?"

"Han Wei Ling itu, murid We We Mo-li."

"Ah, bocah perempuan yang dulu pernah dibawa gurunya?"

"Benar, barangkali itu. Lembah Es sudah berganti orang-orang muda dan kami baru saja melakukan serbuan ke sana, gagal!"

"Gagal?"

"Benar, susiok. Dan ini gara-gara putera Kim-mou-eng itu, Beng An!"

"Ah, siapa bocah ini?"

"Dia pemuda yang amat lihai, barangkali di atas ayahnya. Kami bertandIng dan pemuda itu membantu Puteri Es!"

"Keparat, bocah itu harus dihajar. Ayo kita ke Lembah Es dan balas kekalahan kita!"

"Nanti dulu. Kita juga menangkap seorang pemuda, suheng. Dia juga lihai tapi kita tidak tahu namanya. Lebih baik kembali dulu dan biarkan Tan Siok ini melihatnya. Siapa tahu anak muda itu ada hubungannya dengan orang bernama Kim-mou-eng itu, atau mungkin mata-mata dari Lembah Es!"

"Ah, benar. Ha-ha, betul! Kau mengingatkan aku, sute. Tidak salah. Ayo kita kembali dulu ke Pulau Api dan jangan bersembunyi di sini. Hayo, kalian keluar dan kembali ke tempat semula!"

Tan Siok dan semua orang mengerutkan alis. Mereka terkejut mendengar susiok mereka menangkap seorang pemuda. Tapi melihat susiok mereka berkelebat dan meninggalkan Pulau Hitam, tak ada takut lagi setelah paman guru mereka muncul maka ketua Pulau Api ini bergerak dan memberi isyarat kepada puteranya ia pun mengikuti dua kakek itu melambaikan tangan kepada semua anak murid. Pimpinan otomatis dipegang susiok mereka dan Tan-pangcu diam-diam menggigit bibir.

Sungguh tak disangka bahwa kedua paman guru yang menghilang tiga puluh tahun ini muncul begitu tiba-tiba, masih hidup dan kini tentu saja memegang tampuk pimpinan. Tapi karena dia tak berani membantah sementara Kim-mou-eng dan Puteri Es merupakan lawon-lawan berbahaya, dua sutenya sakit dan tokoh-tokoh tua ini dapat dijadikan andalan, besar juga hati ini maka menekan kekecewaan sendiri yang harus mengalah memberikan kedudukan ketua. lelaki itu meninggalkan Pulau Hitam untuk kembali ke Pulau Api. Dan alangkah kagetnya Tan-pangcu melihat pemuda tawanan itu, kaget sekaligus girang!

"Ah, ini Beng An. Itu pemuda yang kami ceritakan. Itulah putera Kim-mou-eng!"

"Apa? Jadi pemuda ini yang rnenggagalkan kalian di Lembah Es?"

"Benar, dan beruntung sekali kalian menangkapnya, susiok. Tapi kenapa tidak segera dibunuh!"

"Benar, bunuh saja!" Bu Kok dan sutenya berseru hampir berbareng, terbelalak dan girang. "Bocah ini berbahaya, susiok. Dia berkepandaian tinggi. Kalau sudah di tangkap mau diapakan lagi. Bunuh saja!"

Namun kakek muka hitarn berkelebat dan menggeleng. Dia berseru bahwa pemuda ini berguna sekali. Kalau benar Puteri Es dan Kim-mou-eng adalah orang-orang berbahaya maka justeru adanya pemuda ini dapat dijadikan pegangan. Sewaktu-waktu amat berguna. Dan ketika kakek muka putih juga berseru menyetujui pendapat itu maka dua kakek ini berdiri berhadapan menghadapi para muridnya.

"Benar, tak boleh dibunuh. Dan aku juga ingin bertemu dengan pendekar yang namanya Kim-mou-eng itu. Kalian tak usah ribut karena dia tangkapanku. Sekarang bersiap-siap saja melakukan serbuan ke Lembah Es lagi!"

"Ah, kapan berangkat?"

"Tiga empat hari lagi, Tan Siok, aku sudah gatal tangan menghajar mereka!"

"Tapi Bu-sute dan Kiat-sute masih sakit, belum sembuh!"

"Tak apa, nonton saja. Mereka boleh ikut tapi tak usah bertempur. Aku sudah ingin cepat-cepat ke sana dan membalas sakit hati tiga puluh tahun ini!"

"Dan anak muda itu?"

"Kita bawa, lalu kita menyerbu Kim-mou-eng!"

"Bagus, kalau begitu kusiapkan segalanya, susiok. Dan aku yakin bahwa kali ini tak akan gagal!"

Para murid bersorak. Kalau tokoh mereka sudah bicara seperti itu maka girang bukan main perasaan mereka. Ini artinya pembalasan mereka bakal terkabul. Mereka dapat menguasai dan mempermainkan penghuni-penghuni Lembah Es! Dan membayangkan bahwa rnereka dapat berbuat sesuka hatinya terhadap gadis-gadis cantik lembah itu, wanita-wanita pilihan bekas Dinasti Han maka darah mereka bergetar dan birahipun belum apa-apa sudah naik ke kepala. Mereka melonjak dan kegirangan.

Murid-murid Pulau Api yang kasar dan buas ini serentak berjingkrak-jingkrak. Dan ketika empat atau lima hari kemudian mereka benar-benar berangkat, Beng An dibawa dan masih sebagai tawanan maka pemuda itu ngeri namun tak dapat berbuat apa-apa. Sudah mencoba untuk membebaskan diri namun gagal. Dua orang itu selalu memperkuat totokan sebelum waktunya habis, mereka terkekeh-kekeh. Dan ketika semua berangkat dan meninggalkan Pulau Api maka serbuan kedua kali bakal mengguncangkan penghuni Lembah Es!

* * * * * * * * * *

Mari kita tengok keadaan lembah ini sebelum orang-orang Pulau Api itu datang. Puteri Es, majikan atau pemimpin lembah tampak mengurung diri setelah serbuan itu. Berkat bantuan Beng An mereka dapat mengusir orang-orang Pulau Api. Tapi ketika Beng An akhirnya disuruh pergi, betapapun tempat itu tak boleh dihuni laki-laki maka Wei Ling atau Puteri Es ini seminggu tak mau keluar. Para murid memberesi kembali suasana yang kacau. Mayat dan orang-orang yang luka diambil.

Khusus untuk orang-orang Pulau Api tentu saja mendapat perlakuan berbeda. Mereka ini, yang luka dan tak sempat melarikan diri langsung dibunuh. Ada yang kepalanya dipenggal atau tubuhnya dicincang, langsung dibuang dan dimasukkan jurang, diuruk timbunan salju. Dan ketika seminggu kemdian suasana sudah pulih kembali, para murid bekerja seperti biasa tapi pembicaraan akan Beng An masih menjadi bisik-bisik di sana-sini maka Thio Leng, juga Sui Keng mengetuk pintu kamar majikan mereka ketika hari kedelapan masih saja puteri mereka di dalam kamar.

"Maaf, ampunkan kami. Mohon ijin sebentar, Tocu. Bolehkah kami masuk dan bicara di dalam."

"Hm, tak kukunci. Silakan masuk, Thio-cici. Ada keperluan apa," jawaban dari kamar terdengar lirih dan pendek, tidak seperti biasa dan wakil pertama itu masuk.

Sui Keng mengikuti dan mereka membungkuk memberi hormat ketika di balik tirai tampak puteri rnereka duduk memberikan punggung, melamun. Dan ketika mereka disuruh maju dan Thio Leng mengerutkan kening melihat wajah yang pucat dari puteri mereka maka sang puteri bertanya apa maksud mereka datang.

"Maaf, kami menunggu Tocu keluar. Apakah tidak ada perintah atau pesan-pesan lain untuk kami."

"Hm, pesan apa? Perintah apa? Kau sudah. dapat mengatur anak buah semua, Thio-cici, tak ada yang perlu kuberitahukan!"

"Maaf, tidak seluruhnya benar. Ada khusus yang tentunya tak dapat kami laksanakan, Tocu, seperti misalnya apakah kita membalas serbuan orang-orang Pulau Api itu. Kami menunggu perintah!"

Puteri Es membalik. Untuk sekejap ia terkejut, memandang wakilnya namun tiba-tiba dingin kembali, acuh. Dan ketika ia berdiri dan berjalan menghampiri jendela maka puteri itu menarik napas panjang bicara seadanya, "Aku tak bermaksud ke mana-mana. Kalau Thio-cici ingin membalas dan pergi ke Pulau Api silakan saja, aku setuju."

"Ah, masa begini? Tadi yang kubicarakan adalah pengandaian, Tocu, seandainya kita pergi dan membalas orang-orang terkutuk itu!"

"Benar, dan ada yang lain lagi. Bagaimana umpamanya kalau kita mulai mencari bantuan di luar secara resmi. Maksudnya, apakah Tocu tak keberatan kalau lembah Es terbuka bagi orang luar!"

Puteri yang memandang keluar jendela itu tiba-tiba tersentak. Bagai disengat kalajengking saja ia membalik, kaget memandang pembantunya nomor dua itu. Tapi ketika Sui Keng menunduk dan melipat tangan maka wanita ini buru-buru berkata,

"Maaf, semua itu hanya pengandaian saja, Tocu. Bilamana disetujui tentu harus dengan perkenan Tocu. Beberapa anak murid ada yang bisik-bisik seperti ini."

"Hm, siapa mereka yang berbisik-bisik itu. Tidak tahukah bahwa Lembah Es pantang bagi lelaki!"

"Maaf, bukan lelaki, Tocu, melainkan wanita. Maksudnya bagaimana kalau kita mulai berhubungan dengan orang-orang gagah di dunia kang-ouw, di mana saja, para lihiap (pendekar wanita) yang mungkin dapat membantu kita."

"Kenapa kau tiba-tiba berpikiran seperti itu? Bukankah Sui Keng-cici juga menyetujui bisik-bisik itu?"

"Setuju sih tidak, Tocu. Hanya aku hendak mengimbangi orang-orang Pulau Api itu. Mereka juga sudah mulai berhubungan dengan orang-orang luar. Lihat umpamanya si gila San Tek itu. Bukankah mereka juga mulai membuka pantangan!"

"Hm, Lembah Es tak perlu bantuan orang luar!" sang puteri tiba-tiba menjawab ketus. "Beratus tahun kita tinggal di sini tak pernah meminta bantuan orang kang-ouw, Sui Keng-cici. Apakah sekarang hendak merendahkan diri. Tidak, aku tak setuju!"

"Maaf, aku tak bermaksud menyinggung perasaan Tocu. Kami berdua sebenarnya hendak melihat kenapakah Tocu tak pernah menampakkan diri. Apakah sakit. Omong-omong tadi anggap saja sebagai sesuatu yang sifatnya kosong!"

"Benar, kami hendak melihat keadaan mu, Tocu. Kenapakah seminggu ini tak menampakkan diri. Apakah ada sesuatu yang membuat galau. Kami siap membantu kalau Tocu memerintahkan!"

Thio Leng kini bicara dan menyela rekannya. Bukan maksud mereka untuk membuat marah dan sikap berang itu harus buru-buru diredam. Sebenarnya mereka memancing saja apa yang dimurungkan majikan, apakah junjungan mereka sakit. Dan Sui Keng yang cepat tanggap akan sikap rekannya ini mengangguk dan tak berani bicara lagi.

"Hm, aku... aku malas keluar. Entahlah beberapa hari ini aku merasa tak senang."

"Ada apa, Tocu?" dua wanita itu cepat-cepat berseru hampir berbareng. "Apakah perbuatan jahat orang-orang Pulau Api itu? Kalau betul tentu saja kami siap membalas. Kami memang menunggu perintah!"

"Hm, aku enggan keluar. Biarkan saja mereka datang lagi kalau tidak kapok. Nanti kita bunuh mereka!"

"Kalau begitu apa yang menyebabkan Tocu tak senang? Apakah tentang putera Kim-mou-eng itu? Kalau benar tentang ini biar kami mencarinya, Tocu. Kami akan menyeretnya ke mari untuk bertemu Tocu!"

Puteri Es terbelalak. Dia menangkap suara ketus dalam kata-kata itu namun pandang mata dan bibir pembantunya tersenyum. Aneh! Dan ketika dia bersemu dadu dan mendengus pendek, entah kenapa, tiba-tiba marah tanpa sebab maka ia membentak dan memutar tubuh berkelebat pergi.

"Thio-cici, aku tak perduli bocah she Kim itu. Kita sudah membebaskannya, untuk apa mencari dan membawanya ke mari. Kalian pergilah dan jangan ganggu aku lagi. Aku akan ke taman!"

Dua pembantu itu meleletkan lidah. Mereka saling pandang namun tiba-tiba tersenyum. Bentakan Tocu terdengar galak tapi getaran suaranya terkandung isak. Heran! Dan ketika mereka saling mengangguk namun tak berani mengganggu, majikan berkelebat dan menuju taman maka dari kejauhan mereka mengawasi dan berbisik-bisik sendiri.

"Tepat dugaanku, bocah she Kim itu mengacau perasaannya. Wah, gawat. Bagaimana ini, Thio-cici. Apakah kita perlu menghadap Sian-li (Dewi). Apakah perlu kita bertanya!"

"Hm, bagaimana menurutmu? Begitukah orang mulai kasmaran?"

"Sst, jangan keras-keras, cici. Tapi kira-kira begitu. Mari kita tanya Sian-li bagaimana baiknya."

"Nanti dulu. Bagaimana menurutmu bocah she Kim itu. Apakah pantas!"

"Pantas? Ah, banyak di antara kita yang tergila-gila, cici. Dan kita berdua agaknya juga begitu kalau saja diperhatikan! Namun Kim-kongcu itu memperhatikan Tocu, ia rupanya juga kasmaran!"

"Hm-hm, kau bicara begitu blak-blakan. Kalau bukan kau tentu kutampar! Eh, siapa tergila-gila pada bocah itu, sumoi. Aku pribadi tidak. Aku pantang didekati lelaki!"

"Aku juga! Tapi ini lain, cici. Dia menolong kita lebih dari segalanya. Kim-kongcu telah malepas banyak budi. Bayangkan bagairnana kalau tidak ada dia sewaktu serbuan itu datang, terutama sepak terjang si gila San Tek itu. Bukankah kita bakal menjadi korban, dan tidak ngerikah hatimu melihat anak-anak murid kita menjadi mangsa kebiadaban orang-orang Pulau Api! Tidak, aku pribadi juga pantang berdekatan dengan lelaki, cici, seperti yang lain di sini. Tapi Kim-kongcu itu lain. Dia luar biasa, gagah dan tampan. Dan lihat betapa dia mampu memasuki Lembah seorang diri, lolos dari tujuh rintangan kita. Bukankah ini belum pernah terjadi apalagi sampai berhadapan langsung dengan Tocu. Bocah itu benar-benar mengagumkan!"

Thio Leng menarik napas dalam-dalam. Memang tak dapat disangkal bahwa Kim Beng An itu gagah perkasa, juga lembut dan sopan terhadap wanita. Dan karena pemuda itu juga telah menyelamatkan seluruh penghuni Lembah, entah akan bagaimana jadinya kalau orang-orang Pulau Api sampai berhasil merobohkan mereka maka wanita ini diam tak menjawab ketika sumoinya memuji-muji pemuda itu, diam-diam menahan perasaan sendiri karena entah kenapa di dalam hatinya ada semacam perasaan perih. Dia kagum kepada pemuda itu, pemuda yang dapat mengalahkannya meskipun dikeroyok.

Tapi karena dia membekukan hatinya terhadap lelaki, betapapun dia lebih kuat daripada sumoinya ini maka dia tak banyak membantah ketika sumoinya memuji-muji Beng An, menatap jauh memandang Tocunya yang sedang bermain-main di kolam, merendam kaki dan menendang-nendang ikan mas atau kecebong. Dan ketika pembicaraan beralih lagi kepada Sian-li, Thio Leng mengerutkan kening maka wanita itu menjawab,

"Kupikir boleh saja. Marilah, kita tanya apa jawabannya."

Sian-li atau Tung-hai Sian Li adalah patung yang dikeramatkan penghuni Lembah ini. Dewi Laut Timur yang menjadi nenek moyang murid-murid Lembah Es selalu menjadi tumpuan pertanyaan para murid ini, bila mereka mendapat sesuatu yang dirasa penting. Maka ketika keduanya pergi dan membiarkan puteri seorang diri, melamun dan masih menendang-nendangi ikan di kolam, dua wanita ini memasuki Ruang Samadhi di mana patung Itu dipuja.

Kim Kong Sengjin atau dewa pencipta Bu-kek-kang itu juga dibuatkan patungnya, di tempat tersendiri. Lalu ketika keduanya berlutut dan sudah memasang hio, beginilah biasanya mereka berkomunikasi dengan arwah nenek moyang maka aneh sekali patung itu bergerak-gerak dan hidup seolah bicara.

"Kami mohon jawaban tentang Kim Beng An. Apakah Tocu layak bersahabat dengannya atau tidak. Ampun, kami terpaksa mengganggu karena seminggu ini Tocu tak mau keluar, Sian-li. Mohon petunjuk apa yang harus kami lakukan. Berilah jawaban sewaktu kami tidur!"

Patung itu meledak kecil. Dua sorot matanya tiba-tiba mengeluarkan sinar, asap mengepul dan lenyap. Dan ketika patung tak bergerak lagi dan tenang, arwah Sian-li seolah pergi maka dua murid itu membungkuk mencium lantai untuk pamit mundur. Mereka menunggu malam nanti. Biasanya akan ada jawaban dalam semacam mimpi. Mimpi ini dipercaya mereka sebagai hasil kontak batin. Maka ketika malam itu mereka tidur dan masing-masing akan mencocokkannya besok, Sui Keng dan sucinya menunggu dengan perasaan berdebar maka keesokannya mereka terkejut bukan main. Mimpi mereka buruk!

"Aku... aku merasa dicekik seorang kakek hitam legam. Semalam aku tak dapat bernapas!"

"Dan aku diinjak seorang kakek berkulit putih, tubuhnya anyir. Aih, semalam aku juga tak dapat bernapas, Keng-moi. Entah apa artinya mimpi itu. Jawabannya melenceng!"

"Aku juga merasa begitu, tapi ada sesuatu lagi. Aku bertemu dengan tiga anak laki dan perempuan. Mereka main-main di tempat ini!"

"Ah, aku juga, Keng-moi, tapi seorang bayi dan dua wanita serta pria yang amat gagah. Kepalanya keemas-emasan, aneh sekali. Dan pria inilah yang menolongku dari injakan kakek putih!"

Dua wanita itu bingung. Mereka mendapat mimpi tapi tak menyinggung-nyinggung sama sekali tentang Beng An. Bahkan mengurut lehernya seakan bekas di-cekik, Sui Keng menjadi pucat wanita ini menggigil tak mengerti arti mimpinya.

"Aneh, aku tak kuasa mencernanya. Aku bingung. Apa artinya mimpi itu, cici. Aku selamanya belum pernah bertemu dengan kakek hitam legam itu, kenalpun tidak!"

"Aku juga begitu. Aku tak tahu siapa kakek berkulit putih ini, sumoi, tapi ia lihai bukan main. Ia membantingku roboh, menginjak dan hendak membunuhku!"

"Ah, siapa mereka ini. Bukankah tak ada orang-orang seperti itu di Pulau Api!"

"Aku juga bingung, tapi baiklah kita simpan saja mimpi kita ini. Kita tunggu dan lihat perkembangannya!"

Dua wanita itu menyimpan rahasia mimpi mereka bersama-sama. Tocu sudah keluar dan berjalan-jalan tapi masih tak mau diganggu. Wajahnya masih murung, gerak-geriknya lebih pendiam. Dan ketika mereka bekerja lagi seperti biasa, sebulan lewat dengan cepat maka, terdengar laporan bahwa di pantai mendarat sebuah perahu dengan beberapa penumpangnya.

"Siapa mereka, apakah orang-orang Pulau Api!"

"Bukan, rupanya seperti sebuah keluarga, Thio-cici, ada ayah dan ibunya, juga anak-anak!"

Dua wanita ini melengak. "Anak-anak? Kalian tidak salah lihat?"

"Tidak, mereka anak-anak perempuan dan lelaki, cici, juga berikut ayah dan ibunya, begitu tampaknya!"

Thio Leng dan sumoinya saling pandang. Tiba-tiba mereka tergetar, ingat mimpi itu. Dan ketika mereka mengangguk dan ingin melihat sendiri maka keduanya sepakat untuk keluar lembah.

"Baik, kami akan melihatnya sendiri.Kalian berjaga dan siapkan semuanya!"

Dua wakil Lembah Es itu berkelebat. Mereka tidak memberi tahu Tocu karena ingin menangani sendiri. Kaget dan heran juga bahwa Lembah Es yung begitu dingin didatangi anak-anak. Bocah dari manakah gerangan. Apakah orang tuanya gila, bagaimana kalau sampai anak-anak itu mati beku! Maka ketika berkelebat dan langsung ke pantai, memotong jalan maka benar saja rombongan aneh itu, seorang pria dan dua wanita bersama tiga anak perempuan dan menuju Lembah Es dan perahu di tepian sana, dibiarkan sendiri.

"Hm, siapa laki-laki itu. Rupanya bukan tersesat!"

"Benar, dan eh.... rambutnya keemasan cici. Lihat berkilau tertimpa kilatan salju!"

Thio Leng mengangguk. Dia juga sudah melihat itu dan tergetar. Seorang lelaki gagah, berusia lima puluhan tahun berjalan menggandeng tiga orang anak. Dua wanita di belakangnya berjalan bergandengan dan satu di antaranya membopong bayi. Dan ketika wanita yang membopong bayi itu terpeleset dan menjerit, ditahan dan dicengkeram wanita di sebelahnya maka Thio Leng maupun sumoinya tertegun,

"Ini.... ini seperti mimpi. Pria itulah yang menolongku dari injakan kakek putih!"

"Dan tiga anak itu.... ah, persis seperti mimpiku, cici. Mereka itulah yang kumaksud. He, apa artinya ini!"

"Cepat suruh anak buah menghadang, kita lihat saja disini. Suruh Ing Sim dan Ui Hong mencegat, juga Yu Pio!"

Sui Keng mengangguk berkelebat pergi. Sejenak dia meninggalkan sucinya lalu tak lama kemudian datang lagi, di bawah sana berkelebat bayangan biru kuning dan hijau. Dan ketika tiga anak murid sudah membentak orang-orang ini, itulah anak-anak murid yang kepandaiannya paling tinggi, tiga gadis gagah bermata tajam maka rombongan ini, yang berhenti dan tampak terkejut sudah dipimpin lelaki gagah itu merangkapkan tangan. Di atas Thio Leng dan sumoinya mendengar.

"Siapa kalian, tidak tahukah larangan Lembah Es. Berhenti dan sebutkan nama kalian, orang-orang asing. Dan apa keperluan kalian datang!"

Rombongan itu, yang bukan lain Kim-mou-eng adanya sudah berseri-seri. Tiga anak di gandengan bersorak, mereka melepaskan diri dan kagum memandang gadis-gadis cantik ini. Dan ketika kongkongnya bicara dan menjawab pertanyaan maka Siang Hwa, juga Siang Lan meloncat ke dekat tiga wanita itu dan tidak takut-takut.

"Maafkan kami, aku adalah Kim-mou-eng, ayah dari Beng An. Tentu kalian murid-murid Lembah Es dan beritahukan Puteri bahwa kami ingin menghadap."

Ui Hong dan dua saudaranya tertegun. Tiba-tiba mereka memandang Pendekar Rambut Emas dengan pandangan agak berubah, tidak segalak dan sekeras tadi dan masing-masing saling pandang. Melihat rambut keemas-emasan itu memang mereka sudah berdebar, teringat Beng An dan keluarganya karena pemuda itu katanya putera Kim-mou-eng. Dan karena pemuda itu sudah berjasa besar dan tak mungkin bersikap kasar, sejenak mereka bingung maka Siang Hwa, yang bermantel bulu tebal tiba-tiba memegangi bajunya dan kagum berseru nyaring,

"Eh, hebat sekali kau ini, cici. Hawa sedingin ini kau memakai pakaian tipis. Apakah tidak kedinginan!"

"Dan kau juga," Siang Lan tak mau kalah, kagum dan menyambar lengan Ing Sim, gadis baju biru. "Kau hebat dan mengagumkan, cici. Aku Siang Lan dan siapa namamu!"

"Dan aku Bun Tiong, putera ayahku Rajawali Merah. Pamanku Beng An sudah bercerita tentang kalian dan semuanya ternyata benar. Penghuni Lembah Es cantik-cantik!"

"Hush!" sang ibu membentak, menyambar puteranya. "Ke mari, Bun Tiong, jangan kurang ajar!"

Bun Tiong dan Siang Hwa serta Siang Lan ditarik mundur. Shintala, wanita itu membentak dan berkelebat lalu berdiri di samping ayah mertuanya lagi. Geraknya amat cepat dan Ui Hong serta rekannya terkejut. Gerakan itu bagai rajawali menyambar. Tapi ketika mereka mendengar bisikan bahwa tamu tak boleh masuk, Lembah Es tak boleh diinjak orang asing maka gadis baju kuning ini lega menentukan sikap.

"Usir mereka, jangan boleh meneruskan langkah. Kita menghormati Kim-kong cu dan harap ayah atau ibunya kembali!"

Gadis ini mengangguk. Bisikan Thio Leng lewat Coan-im-jip-bit atau mengirim suara dari jauh melepaskan himpitan batinnya. Sekarang perintah tinggal melaksanakan, tanggung jawab ada di pucuk pimpinan. Maka merobah sikap menjadi kaku dan dingin Ui Hongpun seakan tak berekspresi menghadapi pendekar itu.

"Maaf, kami menghormati maksud kunjunganmu, Kim-taihiap, tapi sayang sekali tak boleh masuk. Kim-kongcu sendiri telah kami suruh pergi, Lembah Es tak boleh dimasuki orang lain. Harap kau kembali dan jangan meneruskan niat!"

"Wah, mana mungkin itu!" Bun Tiong tiba-tiba berseru. "Kami bukan orang-orang jahat, cici. Bukan orang-orang Pulau Api. Kami ingin bersahabat, datang dengan maksud baik. Masa susah payah ke tempat ini lalu disuruh pergi begitu saja. Aku ingin bertemu Puteri Es!"

"Benar," Siang Hwa dan Siang Lan berseru berbareng. "Kami datang ingin berkenalan dengan kalian, cici, dan tak mungkin pulang kalau belum tahu tempat ini. Aku ingin bertemu Puteri!"

"Hm, tidak bisa," Ui Hong memandang anak-anak itu dengan melotot, kagum. "Siapapun tak boleh masuk, adik-adik. Kalau kalian memaksa tentu dihajar!"

"Eh, siapa takut?" Bun Tiong tiba-tiba melepaskan diri dari ibunya. "Cobalah hajar, cici, kalau engkau bisa. Biar aku masuk dan siapa dapat menghalang!" anak itu melompat dan lari secepat kijang. Dan belum Ui Hong hilang kagetnya mendadak Siang Hwa dan Siang Lan juga meloncat dan terkekeh-kekeh, mengejar Bun Tiong.

"Bagus, ayo kejar-kejaran, Bun Tiong. Siapa lebih dulu masuk!"

Tiga wanita ini kaget. Ing Sim dan Yu Pio tersentak dan mereka merasa ditampar. Keberanian anak-anak itu sungguh terlalu. Dan karena orang tuanya diam saja, Pendekar Rambut Emas bahkan tersenyum-senyum maka Ui Hong berkelebat dan membentak Bun Tiong, Ing Sim dan Yu Pio menyambar Siang Hwa dan Siang Lan.

"He, kalian. Kembali!"

Namun anak-anak itu bukanlah anak-anak sembarangan. Mereka adalah cucu Pendekar Rambut Emas, Bun Tiong malah keturunan dari Si Rajawali Merah, memiliki Ang-tiauw Gin-kang atau ilmu meringankan tubuh Rajawali Merah yang diajarkan ayah ibunya. Maka ketika dia mengelak dan melejit ke kiri, Ui Hong luput menyambar maka anak itupun tertawa-tawa meneruskan larinya, kini berputar.

"Ha-ha, cici luput. Ayo kejar-kejaran dan bermain petak umpet!"

Meledaklah kemarahan Ui Hong. Ia merasa dipermainkan sementara rekannya juga menjadi gusar. Dua anak perempuan di sana juga mengelak dan melejit ke kiri, luput dan meneruskan lari mendahului Bun Tiong, bukan mempergunakan Ang-tiauw Gin-kang melainkan Jing-sian-eng, ilmu meringankan tubuh Bayangan Seribu Dewa itu. Dan ketika keduanya terkekeh-kekeh dan meneruskan lari dengan geli.

Ing Sim dan Yu Pio menjadi marah maka mereka membentak dan menubruk lagi, lebih cepat. Namun tiga anak ini adalah bocah-bocah yang gesit bukan main. Tubuh mereka yang kecil dan lincah mengelit membuat tubrukan kembali gagal. Dan ketika gadis-gadis itu dibuat naik pitam maka mereka mencabut senjata dan membacok dari belakang,ayah ibunya sengaja diam saja.

"Mampuslah, kalian kelewatan mempermainkan kami!"

Namun dua bayangan berkelebat. Pendekar Rambut Emas yang tentu saja tak mungkin membiarkan ini terjadi sudah bergerak ke arah Ing Sim dan Yu Pio. Dia berseru mengibaskan dua tangan ke arah pedang itu dan murid-murid Lembah Es inipun terkejut, memekik dan pedang ditampar lepas. Dan ketika di sana Bun Tiong juga ditolong ibunya, Ui Hong menjerit ditangkis pedangnya maka ibu dan kakek itu sudah berdiri gagah, masing-masing melindungi anak.

"Jangan salahkan mereka, ini tanggung jawab kami. Maaf kami tak mungkin undur, nona bertiga. Siapakah kalian dan bolehkah kami tahu bagaimana caranya masuk. Apakah harus melewati tujuh rintangan seperti apa yang dilakukan puteraku."

Ui Hong dan temannya tertegun. Mereka meringis menahan sakit dan memungut pedang yang terlempar di atas salju. Mereka terkejut oleh kelihaian Kim-mou-eng dan wanita cantik itu, Shintala. Namun ketika terdengar bisikan lagi, bahwa mereka harus melawan, Thio Leng berkata agar dicegah sekuatnya maka gadis baju kuning itu membentak menghadapi Pendekar Rambut Emas, bangkit semangatnya lagi.

"Kim-mou-eng, kau tak tahu dihormati orang. Kesabaran kami habis. Tak usah membawa-bawa nama puteramu karena kami tetap melarang. Pergi atau kami membunuhmu!"

"Hm, kalian hadapi aku saja. Kalau aku roboh biar kami semua kembali. Kalau aku menang kalian tak usah banyak cakap! Bagaimana?" Shintala, yang tak sabar dan sudah mengukur kepandaian gadis-gadis ini berseru. Dia mendapat anggukan dari ayahnya dan Pendekar Rambut Emas mundur. Memang tiga gadis ini rupanya akan dapat diatasi mantunya, meskipun mereka mengerdyok. Dan ketika dia tersenyum namun Ui Hong dan kawan-kawannya menjadi marah, merah padam maka mereka menyambut dan tentu saja tidak banyak cakap lagi.

"Baik, kau sudah menantang, hujin, dan lihat serangan pedang...!" gadis itu tak bicara lagi dan menusuk. Ia melompat dan menyerang nyonya ini dan Shintala mengelak, dikejar dan diserang lagi dan jari nyonya itu tiba-tiba menampar. Dan ketika pedang terpental dan Ui Hong berseru terkejut, membalik dan menyerang lagi maka nyonya itu sudah berkelebatan dan mempergunakan Ang-tiauw Gin kangnya yang hebat bukan main, menyambar dan naik turun tak dapat disentuh pedang!

"Bocah, maju saja kalian semua. Aku tak ingin berlama-lama!"

Ui Hong terkejut. Bayangan si nyonya tiba-tiba tak menginjak tanah lagi dan benar-benar terbang seperti rajawali, demikian cepat hingga ia pusing! Dan ketika si nyonya membentak dan menampar pundaknya tiba-tiba ia terpelanting, menjerit dan bergulingan meloncat bangun namun rekannya tak mau tinggal diam lagi, berseru keras dan menerjang. Dan ketika tiga bayangan biru kuning dan hijau mengeroyok nyonya ini, Shintala tertawa dingin, maka ia mengerahkan Khi-bal-sin-kangnya dan tiga pedang di tangan hadis-gadis itu terpental dan menyerang mereka sendiri.

"Plak-plak-plak!"

Ui Hong dan dua saudaranya berteriak. Mereka harus melempar tubuh bergulingan menolak bahaya ini. Pedang seakan tak mau ikut perintah. Dan ketika masing-masing terbabat baju pundaknya, seketika wajah mereka menjadi pucat lalu meloncat bangun. Maka nyonya itu tertawa dingin menantang mereka kembali....

Putri Es Jilid 17

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

Pek-sian-sut bertemu ilmu aneh dan keduanya segera bertanding hebat. Kakek itu tertawa-tawa tapi lama-lama tawanya hilang, anak muda itu mampu mengimbangi semua kepandaiannya. Dan ketika tangkisan atau benturan tenaga sakti mereka menunjukkan kekuatan berimbang, Beng An kagum dan diam-diam kaget sekali maka Beng An mendapat kenyataan bahwa kakek ini dua tingkat di atas Tan-pangcu. Giam-lui-ciang atau pukulan Petir Nerakanya itu nyaris sempurna!

"Ha-ha, ini bocah siluman, tapi kau anak muda keparat. Wehhh, tak akan kuampuni kau, bocah. Aku akan membunuhmu dan lihat kali ini kau roboh.... blarr!" api menyambar dan mendahului Beng An yang mau ke kiri, terkejut dan menangkis dan Beng An mengebut dengan pukulan esnya.

Ping-im-kang ditambah tenaganya namun kali itu dia terhuyung. Dan ketika si kakek berkelebat dan mengejar serta melepas pukulan lagi maka Beng An mundur tak diberi kesempatan, ditekan dan didesak namun anak muda ini tetap bertahan. Kakek itu melakukan langkah-langkah aneh milik Hwe-sin, Beng An akhirnya mengimbangi dengan gerakan Jing-sian-eng atau Cui-sian Gin-kangnya, Pek-sian-sut tetap juga dipergunakan hingga kakek ini sering gusar.

Anak muda itu lenyap kalau sudah tak mampu mengelak. Dan ketika pertandingan berjalan semakin cepat sementara Beng An sebagai pihak bertahan, pemuda itu tak diberi kesempatan untuk banyak membalas maka terdengar tawa serak di tengah lautan itu, tawa orang kedua.

"Heh-heh, lihat, tidak benarkah kata-kataku. Hantu Putih itu tak punya budi, anak muda. Sudah ditolong malah sekarang ingin mernbunuhmu. Ke sinilah dan aku akan menolongmu!"

Beng An mengerutkan kening. Sebenarnya ia tak bersungguh-sungguh menghadapi kakek aneh ini, dalam arti kata tak ingin bertempur mati hidup. la tak merasa punya permusulum serius dan pertemuannya dengan kakek inipun secara kebetulan saja. Kalau ia tidak berputar-putar dan mencari Tan-pangcu tak mungkin ia bertemu. Kakek ini memang aneh dan rupanya kejam, wataknya tidak baik. Maka mendengar kekeh dan kata-kata itu, tiba-tiba timbul keinginannya untuk mengetahui kakek kedua itu mendadak Beng An berseru keras berjungkir balik tinggi di udara.

"Locianpwe, kau rupanya rnemang orang sesat. Kau dan aku sebenarnya tak ada permusuhan apa-apa. Baiklah lain kali kita bertemu dan sekarang maaf aku pergi!"

"Heii...!" kakek itu marah. "Ke mana kau, anak muda. Jangan ke sana atau terima dulu pukulanku... bress!"

Beng An menjejakkan kakinya lagi tinggi ke atas dan tak jadi melayang turun, melesat dan berjungkir balik lagi untuk kemUdian tiba di atas laut, turun dan di sini ia mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya hingga sepasang kakinya menyentuh ringan, bagai kepas melayang-layang saja. Lalu ketika ia tersenyum dan melambalkan tangannya maka iapun sudah bergerak dan meluncur di atas permukaan laut dengan tubuh tanpa bobot, kedua kaki bergerak maju mundur dengan cepat meninggalkan kakek itu.

"Heii...!" si kakek melotot, tertegun. "Kembali, anak muda. Kembali!"

Beng An rnengelak. Dari sana meluncur pukulan kuat menyarnbar punggungnya, kakek itu marah dan menghantamnya namun ia berkelit. Dan ketika Beng An rneluncur dan terus menjauhi kakek ini, lawan tak berani mengejar maka Beng An sudah bergerak bebas di tengah lautan mendekati dua batu karang di mana kakek kedua terkekeh-kekeh, suaranya di bawah laut.

"Bagus blub-blub.... bagus, anak muda. Kau pintar. Dia tak mungkin berani mengejar karena kakinya akan lurus tercebur di air. Ha-ha, mendekatlah dan terima kesih atas niat baikmu!" air di tempat itu bergolak dan berputar.

Beng An merasa betapa dirinya tersedot dan cepat dia berhenti. Dia sudah tiba di tempat ini dan memandang ke bawah, terbelalak melihat seseorang sungsang di dalam air, kaki di atas kepala di bawah dan berkali-kali kaki itu bergerak menendang-nendang, membentuk pusaran air dan lubang atau pusaran ini memberikan udara masuk. Dengan udara itulah kakek ini bernapas. Tapi karena air segera datang lagi dan kakek itu tertutup lagi, akibatnya hidung atau mulut mengeluarkan suara "blub-blub" maka Beng An tertegun karena kakek ini terikat tangannya oleh sebuah batu besar yang membuat ia tak mampu naik.

"Ha-ha... blub... eh, blub... eh, cepat tolong aku, anak muda. Tanganku terikat batu besar yang tak dapat kutarik. Batu itu dikaitkan ke bawah. Tolong putuskan ikatan itu dan biarkan kaitnya lepas!"

Beng An menarik napas dalam-dalam. Ia mendekati kakek ini karena semata ingin tahu, sekarang sudah tahu dan iapun menjadi ragu. Seorang kakek berkulit hitam, legam, dengan matanya yang bulat dan kemerah-merahan terhukum di situ dengan cara aneh, sungsang. Beda dengan kakek pertama di mana sepasang kakinya yang diikat dan diganduli batu besar adalah kakek ini diikat sepasang tangannya. Batu besar itu membuat dia terjungkir dan masuk ke laut, sungsang namun hebatnya kakek ini masih dapat hidup.

Beng An teringat bahwa tentu kakek ini telah menjalani hukuman puluhan tahun pula, mengingat bahwa kakek berkulit putih di sana sudah tiga puluh tahun terhukum, jadi kakek ini tak jauh beda. Tapi berkerut bahwa kakek ini adalah tokoh-tokoh Pulau Akherat, sama dengan suhengnya tadi maka Beng An ragu untuk menolong. Jangan-jangan dia nanti diserang seperti kakek pertama tadi. Kakek ini adalah sute dari kakek di sana. Tapi ketika dia belum bergerak dan masih ragu, Beng An sedang berpikir apa yang sebaiknya dilakukan mendadak kakek itu menangis dan berseru padanya.

"Anak muda, cepat tolonglah aku. Atau bunuhlah aku agar tak menderita seperti sekarang... blub!"

Beng An kasihan. Pada dasarnya ia adalah pemuda lembut hati. Hanya kadang-kadang ia dapat bersikap keras dan kaku seperti mendiang kakeknya, kalau orang berlaku kelewatan dan tidak menghargainya. Maka melihat tangis dan mendengar kata-kata itu tiba-tiba rasa kasihanpun timbul, tak ingat lagi siapa kakek ini dan Beng An menarik kuki itu. Tapi begitu ia mengangkat dan menyentak kuat tiba-tiba ia malah tertarik ke bawah dan batu besar yang menahan kakek itu balas membetotnya ke dalam.

"Heii, jangan begitu. Lepaskan dulu kaitan di bawah batu besar itu. Kau tak akan berhasil!"

Beng An terkejut. Ia hampir saja terjelungup dan cepat melepaskan kakek itu lagi, lupa bahwa di bawah sana batu besar itu dikait dengan sesuatu, seperti kata kakek ini. Maka ia membelalakkan mata namun berseru keras tiba-tiba ia mencebur dan menyelam di bawah kakek ini. "Baik, aku akan melihat ke bawah, locianpwe. Akan kuperiksa dan kulepaskan kaitan itu!"

Kakek itu tertawa senang. Ia menggerak-gerakkan kakinya lagi ke atas sementara Beng An sudah menyelam di bawahnya. Pemuda ini memeriksa dan benar saja terdapat kaitan di situ, bukan tali melainkan besi! Dan ketika Beng An tertegun namun mengerahkan sinkangnya, memegang dan menyentuh besi kaitan itu maka sekali cengkeram ia membuat patah besi itu. Dan tubuh si kakek tiba-tiba mumbul ke atas, bagai terlontar.

"Heii... ah! Terima kasih, anak muda. Ha-ha, sekarang aku bebas!"

Beng An muncul dan keluar lagi. Kakek hitam ini, yang memiliki kekuatan luar biasa pada sepasang lengannya tiba-tiba menarik dan merasa kaitan lepas. Batu sebesar gajah itu terbawa. Dan ketika ia tertawa bergelak dan memutar-mutar batu ini, membentak dan mengayun lengannya maka batu terlempar ke atas dan jatuh menimpa Beng An yang saat itu baru muncul keluar. Ikatan di pergelangan tangannya sudah putus bersamaan dengan putusnya besi kaitan di bawah air.

"Ha-ha, bebas aahhhh, bebas! Aku dapat merasakan segarnya udara lagi, We We Moli, kau tak dapat menghukumku seumur hidup. Ha-ha, kau gagal.... bress!" batu itu muncrat ketika jatuh menimpa laut, suaranya dahsyat namun untung secepat kilat Beng An menghindar.

Anak muda ini terkejut mengelak bahaya, berseru keras. Dan ketika ia menyadarkan kakek itu dan kakek ini terbelalak, sudah berada di atas permukaan air dan bergerak-gerak dengan sepasang kakinya yang telanjang untuk mengatur keseimbangan maka Beng An juga sudah berjungkir balik dan turun di permukaan air dengan kedua kaki bergerak-gerak pula.

"Locianpwe, kau mau membunuh aku. Kejam!"

"Ah, ha-ha, tak sengaja. Maaf, anak muda. Aku tak sengaja. Tapi mari sekarang kita ke sana dan lihat pakaianmu basah kuyup!"

Beng An terkejut. Ia disambar dan di remas dan tiba-tiba kakek ini dengan ilmunya yang hebat meluncur ke pulau kecil itu. Ilmu meringankan tubuh yang dipunyai kakek inipun luar biasa. Ia mampu pula "berjalan" di atas air, terbang dan cepat sekali seperti Beng An. Dan ketika Beng An sadar namun sudah dibawa meloncat ke darat, kakek berkulit putih menyambut maka Beng An terkejut karena kakek itu tiba-tiba menyerang.

"Ha-ha, bagus, sute. Kau membawa kembali anak muda ini. Sekarang aku akan menangkapnya atau merobohkannya sampai mampus!"

Beng An mengelak dan mengeluarkan seruan marah. Ia sadar setelah tiba kembali di pulau. Kakek hitam itu membuatnya tertegun kagum. Ilmu meluncur di atas air tadi tak kalah dengan ilmu yang dimiliki keluarganya, Cui-sian Ginkang atau Jing-sian-eng. Tapi karena ia sudah diserang dan kakek hitam tertawa-tawa, ia mengelak dan berlompatan maka Beng An berang dan tiba-tiba melompat tinggi berjungkir balik untuk kabur lagi ke laut, tak mau melayani kakek ini.

Namun kakek hitam tiba-tiba tertawa panjang. Tahu bahwa Beng An tak mau melayani saudaranya mendadak ia mendahului dan berkelebat, menyambar Beng An yang baru saja melayang turun. Dan ketika Beng An terkejut karena kakek ini mencengkeram dan melemparnya kembali maka kakek itu berseru bahwa dia harus bertanding!

"Ha-ha, tak boleh pergi. Ayo kembali dan hadapi suhengku, anak muda. Tak boleh lari kalau tidak seijin kami berdua!"

Beng An marah. Akhirnya ia berseru keras disambut si kakek putih, menangkis dan berkelebatan dan kakek putih terbahak-bahak. Ia menyerang dan berkali-kali berusaha menangkap anak muda ini. Tapi karena Beng An menangkis dan tak mau ditangkap, Beng An rnembentak dan membalas lawan maka kakek hitam terkekeh berjaga-jaga di laut, menonton.

"Bagus,ha-ha... bagus sekali. Ayo bertanding dan biar aku menjadi hakim. Keluarkan semua kepandaianmu, anak muda. Atau kau mampus dihajar suhengku!"

Beng An marah sekali. Ia sadar bahwa orang-orang ini memang bukan manusia baik-baik. Kakek hitam itupun sama saja, tepat seperti dugaannya. Namun karena ia tak takut dan apa boleh buat harus bertanding sungguh-sungguh, ia harus melepaskan diri maka Beng An membalas kakek itu dan lawan terkejut ketika Beng An mengeluarkan Khi-bal-sin-kang, di samping Ping-im-kangnya.

"Dess-plak!" kakek itu terhuyung dan terbelalak. Khi-bal-sin-kang, yang dicampur dengan Ping-im-kang memang lain dengan yang dulu dipakai mendiang ibunya melawan orang-orang Pulau Api. Waktu itu Kim-hujin atau Swat Lian leleh pukulannya menghadapi Giam-lui-ciang yang dahsyat. Khi-bal-sin-kang tak tahan panas dan Bola Sakti yang dipakai ini tembus, lawan tak terpental dan justeru nyonya itu yang terhuyung-huyung.

Namun karena Beng An memiliki Ping-im-kang dan tenaga Inti Es ini mampu menahan pukulan Giam-lui-ciang, sepanas apapun pukulan Petir Neraka itu selalu dapat didinginkan kembali maka ketika pemuda itu mengeluarkan Khi-bal-sin-kangnya si kakekpun terpental dan terhuyung-huyung, melotot dan melepas pukulan-pukulannya lagi namun Khi-bal-sin-kang membuat dia membalik.

Semakin keras dia menyerang semakin keras pukulannya mental. Dan karena baru sekarang ini Beng An mengeluarkannya karena marah kepada kakek tu, kakek ini menjadi penasaran maka Beng An yang dapat mendesak dan menangkis pukulan-pukulan itu dengan Kin-bal-sin-kangnya lalu membalas dengan Ping-im-kang di mana dua ilmunya ini isi-mengisi melindungi dan menolak. Si kakek terkejut dan sadar bahwa anak muda ini betul-betul hebat.

Tadi bocah itu belum mengeluarkan ini dan sekarang dia maklum bahwa lawan belum bersungguh-sungguh. Sekaranglah dia mendapat perlawanan sengit dan marah. Beng An memang gemas. Dan ketika tak lama kemudian pemuda ini membuat si kakek terpental dan terhuyung-huyung, hawa panas Giam-lui-ciang diredam Ping-im-kang maka kakek itu melotot karena dia terdesak dan ganti ditekan!

"Keparat, lihai sekali. Pukulan macam apa ini. Eh, jangan menonton saja, sute. Anak ini memiliki pukulan aneh. Majulah, dan lihat betapa ia memiliki tenaga karet. Pukulanku mental!"

Kakek hitam, yang rnenonton dan terkekeh-kekeh mendadak menghentikan kekehnya. Ia tadi berseri dan tertawa-tawa melihat pertandingan itu, yakin bahwa suhengnya akan kembali mendesak dan pemuda itu akan roboh. Kalau Beng An hendak melarikan diri maka dialah yang menjaga, menyerang dan memaksa pemuda itu kembali ke tengah. Tapi ketika pemuda ini mengeluarkan pukulan-pukulan hebat yang membuat suhengnya terpental dan terhuyung-huyung, ia terbelalak dan kaget serta mengerutkan kening maka suhengnya berteriak agar ia maju mengeroyok.

Mereka, Sepasang Hantu harus maju menghadapi seorang pemuda belia, padahal satu di antara mereka saja biasanya cukup. Hanya terhadap We We Moli mereka melakukan kerubutan, tokoh Lembah Es itu amat luar biasa. Maka melihat betapa dirinya harus maju, pemuda yang dihadapi suhengnya itu benar-benar membuat suhengnya terdesak dan terpental terus maka Hantu Putih akhirnya terlempar bergulingan ketika satu tangkisan Khi-bal-sin-kang membuat ia terjengkang dan terbanting roboh.

"Sute, bantu aku!"

Hantu Hitam tak berdiam diri lagi. Suhengnya benar-benar menjerit dan pemuda yang membuat suhengnya bergulingan itu mengejar. Beng An tidak lagi berniat meninggalkan lawan setelah si kakek hitam berjaga. Dia harus merobohkan kakek ini dan baru akan keluar kalau bebas. Kalau tidak tentu ia dihalangi dan ini membuat kemarahannya bergolak. Maka ketika ia membentak dan membuat lawan terjengkang, berkelebat dan melepas Ping-im-kang untuk membuat si kakek benar-benar roboh mendadak Hantu Hitam berkelebat dan dari belakang kakek ini menghantam Beng An dengan pukulan panas, tanpa peringatan.

"Wuttt!" Beng An membalik dan melepaskan kakek putih. Ia tak mungkin meneruskan serangannya kalau bokongan ini tak ditangkis. Apa gunanya merobohkan lawan kalau diri sendiri celaka. Maka membalik dan menangkis pukulan ini, membatalkan serangan ke depan Beng An berseru keras memaki kakek itu.

"Curang... plak-dess!"

Dua pukulan bertemu. Bunyi menggelegar menggetarkan tempat itu namun si kakek tertawa aneh, lengan kirinya memanjang ke bawah sementara lengan kanan menjulur ke atas. Bagai gurita saja tahu-tahu ia mencengkeram pergelangan Beng An, membelit. Dan ketika Beng An terkejut karena pukulannya tertahan, kakek itu tahu-tahu membelit tangannya maka lawan terkekeh berseru nyaring,

"Suheng, ia sudah kutangkap. Robohkan!"

Beng An terbelalak. Lawan tahu-tahu mengunci pergelangannya tapi tentu saja ia tak mau menyerah. Kakek putih berkelebat tertawa dan saat itu ia melepas tendangan. Tapi ketika lawan berkelit dan Beng An terbawa ke depan, ia kaget mengerahkan Ping-im-kang maka kakek putih menyambar dan tahu-tahu menghantam tengkuknya.

"Desss!" Beng An tak mungkin menghindar dan menerima telak. Ia tergetar namun tidak roboh, Ping-ini-kang membuat tubuhnya sedingin es hingga kakek itu terkejut, mental dan saat itu Beng An meronta melepaskan diri. Kakek hitam terbelalak karena begitu kuatnya pukulan suhengnya tadi, diterima dan secara cerdik disalurkan Beng An kepadanya, tentu saja ia berteriak. Dan ketika otomatis ia melepaskan cengkeraman dan Beng An juga meronta melepaskan diri maka pemuda itu bebas dan kakek ini menjadi kagum. Beng An berkelebat dan menyerang mereka berdua.

"Wehhh, luar biasa. Bocah hebat. Kita harus berhati-hati!"

"Benar, dan jangan gegabah, sute. Mainkan Silat Guritamu dan biar aku menyerampangnya dengan sepasang kakiku. Kerahkan Giam-lui-kang (Tenaga Petir Neraka)!"

Hantu Hitam mengangguk. Silat Gurita, yang aneh dan pandai membelit itu lalu menyambut Beng An dengan hebat dan mengejutkan. Sepasang lengan kakek ini mulur mengkeret bagai karet, menyerang dan menarik kalau Beng An membalas dengan bahaya. Dan ketika kakek putih juga melakukan serampangan-serampangan berbahaya, dari bawah kakek itu bergulingan dan membabat kaki Beng An maka pemuda ini terkejut namun bertahan dengan Ping-im-kang dan Khi-bal-sin-kangnya itu. Dan dua kakek itu memuji kagum.

Hantu Hitam, yang ternyata pandai mainkan sepasang lengannya bagai belalai gurita berkali-kali gagal menangkap atau membelit Beng An lagi. Pemuda ini mengelak dan menangkis dan Beng An berkelebatan dengan Jing-sian-eng atau Cui-sian Gin-kangnya itu. Tapi ketika kakek itu membentak dan mainkan langkah-langkah Jit-cap-ji-poh-kun, silat Tujuh puluh Dua Langkah Sakti maka kakek ini membayangi dan berhasil mendekati Beng An, sering melakukan cengkeraman-cengkeraman berbahaya.

Dan kalau saja tak ada kakek putih di situ tentu Beng An dapat seratus persen menujukan perhatian pada tangkapan atau belitan ini, karena betapapun itu berbahaya. Dan ketika ia dikacau oleh serangan dari bawah, sementara dari atas kakek hitam menjulur majukan lengannya dengan cepat maka satu ketika Beng An tertangkap dan belitan atau lengan gurita itu sungguh kuat sekali.

"Ha-ha, kena. Bekuk kakinya!"

Beng An terkejut. Waktu itu ia baru saja menghindar tendangan berguling dari kakek putih, meloncat tapi kakek hitam bergerak di belakangnya. Langkah sakti Jit-cap-ji-poh-kun itulah yang hebat. Dan ketika Beng An tahu-tahu terbelit dan belitan ini sungguh kuat, pundak dan lehernya dibuat terkunci maka kakek putih tertawa bergelak menubruknya lagi, sepasang kakinya naik turun menyambar lutut.

"Bagus, jangan lepaskan. Aku akan merobohkannya!"

Tapi Beng An mengeluarkan Pek-sian-sut. Secepat lawan menubruk secepat itu pula ia menyelamatkan diri. Ia meledak dan hilang. Dan ketika si hitam melengak tak membelit apa-apa lagi, suhengnya berteriak kecewa maka Beng An muncul di belakang dan ganti menghantam kakek itu.

"Kalian curang, tapi terimalah ini untuk pelajaran!"

Hantu Hitam menjerit. la menerima pukulan dan terbanting, Beng An muncul lagi dan kini menyerang kakek putih. Tapi ketika lawan membentak dan meloncat bangun, meledakkan tangannya maka kakek itu menghilang dan sebagai gantinya asap merah menyambar Beng An.

"Plak!" Beng An terbelalak dan gemas. Ia terhuyung dan marah dan kakek hitam melengking di sana. Dan ketika ia bergulingan meloncat bangun dan suhengnya berseru bahwa pemuda itu memiliki tenaga sihir, mampu menghilang dan muncul lagi maka kakek itu berseru agar sutenya mengimbangi.

"Keluarkan Ngo-thian-hoat-sut. Hadapi dengan tenaga sihir pula!"

Kakek itu mengangguk. Ia tak menyangka bahwa pemuda ini memiliki sihir, mampu menghilang dan muncul lagi seperti siluman. Tapi ketika ia membentak dan meledakkan tangannya, menerjang dan membalas Beng An maka iapun lenyap menjadi asup merah.

"Wusshhh!" Beng An dikeroyok lagi. Sekarang pemuda ini menghadapi lawan yang muncul dan menghilang seperti dirinya, asap putih dan merah sambar-menyambar. Namun ketika Beng An melihat bahwa percuma mengeluarkan Pek-sian-sut, dua kakek itu selalu mengejar maka dia muncul lagi dan membentak agar bertempur di atas tanah.

"Kalian benar-benar orang-orang tak tahu diri. Sudah ditolong sekarang ingin membunuh aku. Baik, aku tak akan menyerah begitu saja, kakek-kakek siluman. Mari bertanding biasa saja dan lihat berapa lama aku atau kalian roboh!"

Dua kakek itu mengejek. Mereka tertawa namun diam-diam kagum akan kelihaian anak muda ini. Betapapun anak muda itu tak dapat rneloloskan diri lagi setelah dikeroyok. Dari depan dan belakang mereka selalu menjaga. Dan karens Beng An memang mulai kewalahan menghadapi kakek-kakek ini, Ping-im-kang tertahan oleh Giam-lui-ciang sementara pukulan Petir Neraka itu juga tak banyak berpengaruh terhadap dirinya, tenaga Inti Es itu mampu menghalau uap panas maka pemuda ini berkelebatan naik turun menghadapi dua lawannya.

Namun Silat Gurita dari si kakek hitam merepotkan. Melihat lengan yang terulur maju mundur itu mengingatkan Beng An akan Sin-te-ciang milik Siang Le. Namun karena kakek ini bukanlah Siang Le dan langkah-langkah sakti dari Jit-cap-ji-poh-kun itu luar biasa sekali, itulah warisan Hwe-sin Malaikat Api maka Beng An kewalahan dikejar dua kakek yang sama-sama mengandalkan ilmu langkah sakti ini. 

Bayangan Seribu Dewa (Jing-sian-eng) benar-benar menemui lawan tangguh berhadapan dengan Tujuh Puluh Langkah Sakti itu. Dan karena yang menjalankan adalah tokoh-tokoh Pulau Api, betapapun Beng An tak mungkin bertahan saja maka dia mulai terdesak dan satu dua pukulan mengenai dirinya.

Akan tetapi anak muda ini memang hebat. Khi-bal-sin-kang yang dimiliki masih bekerja dengan baik. Gempuran-gempuran kakek itu selalu dipentalkan. Namun karena Beng An juga mulai berkeringat sementara lawan mempercepat gerakan mereka dari atas bawah, memotong dan mencegat jalan lari pemuda itu maka Beng An terdesak dan terus terdesak sampai akhirnya sinkangnya tinggal separoh di mana daya tolak Khi-bal-sin-kang akhirnya tak sekuat tadi juga.

"Ha-ha, tenaganya mulai habis. Pukulan-pukulan kita mulai masuk. Bagus, sergap dan robohkan dari bawah, suheng, dan biar aku menangkapnya dari atas!"

"Benar, tapi hati-hati. Bocah ini masih tahan pukulan. Luar biasa, ia memiliki Im-kang yang serupa dengan We We Moli. Jangan-jangan dia muridnya!"

"Ah, tak mungkin. We We Moli tak memiliki ilmu karet yang membuat pukulan kita selalu mental, suheng. Anak muda ini lain. Entah siapa gurunya!"

"Kalau begitu kita robohkan saja, jangan dibunuh!"

"Ya, aku juga berpikir begitu. Jangan dibunuh dan robohkan saja, apalagi dia telah menolong kita, ha-ha dan kakek hitam yang terbahak dan maju membelitkan tangan tahu-tahu telah menangkap pinggang dan melipat tubuh Beng An, membentak dan berseru keras sementara kakek putih menendang lutut.

Gerakan Beng An memang mulai lamban dan pemuda itu terkejut. Akan tetapi karena semuanya telah terjadi dengan cepat dan tak mungkin dia mengelak, dia mengerahkan sinkang namun jari kakek hitam menekan pusarnya, melumpuhkan aliran tenaga sakti itu maka tak ampun lagi lutut Beng An kena tendangan kakek putih.

"Bluk!" Beng An roboh dan mengeluh. Akan tetapi anak muda ini belum menyerah. Dia bergulingan bersama kakek hitam yang melekat dan masih membelit tubuhnya itu, meronta dan coba melepaskan diri. Tapi ketika kakek putih terbahak dan menotok pundaknya maka Beng An roboh dan benar-benar tak berdaya. Dua kakek itu tertawa-tawa. Si hitam akhirnya melepaskan pemuda ini. Namun ketika mereka melihat betapa tubuh Beng An seputih salju, Ping-im-kang menyebar dan mengeluarkan butir-butir es yang amat dingin maka pemuda itu membujur kaku dan seperti mati. Berobah seperti manusia es.

"Ah, mampuskah dia. Bagaimana tiba-tiba begini!"

"Coba kulihat. Kupikir tidak, sute, aku tidak menotoknya binasa. Ini seperti mati semu!" dan ketika kakek itu menyambar dan menekan denyut nadi Beng An, juga mendengarkan bunyi detak jantung maka kakek ini terbelalak dan terheran-heran. "Anak ini masih hidup. Detak jantungnya ada. Ah, luar biasa sekali dan Im-kangnya itu hebat bukan main!"

"Mana lebih hebat dengan We We Mo li. Wanita itu juga memiliki Im-kang luar biasa."

"Ah, We We Moli tentu saja lebih hebat. Kita berdua mampu dirobohkannya. Sudahlah kita bawa pemuda ini dan katanya di Pulau Api Tan Siok sudah menjadi pangcu (ketua)!"

"Apa? Bocah ingusan itu? Ah, kurang, ajar. la tak menghargai susioknya. Hayo kita labrak dan pergi ke sana!"

"Nanti dulu. Kakiku masih kaku. Aku tak dapat menyeberang tanpa bantuan!"

"Heh-heh, kau cacad setelah tiga puluh tahun menjejak naik turun di dalam laut? Naik saja ke pundakku. Aku membawamu ke sana, suheng, tapi anak itu bawa di atas pundakmu!"

"Kau mau menolong?"

"Segala pertikaian harus disingkirkan dulu. Kalau ada anak muda selihai ini jangan-jangan di tempat lain muncul jago-jago muda perkasa. Kita harus membalas dendam kepada We We Moli. Kita dapat mengerahkan anak murid. Ayo lupakan itu dan naiklah ke pundak!"

Kakek putih terkekeh. Tiba-tiba ia menjejak dan sudah berdiri di atas pundak sutenya, Beng An sendiri di atas pundaknya. Dan ketika kakek hitam terbahak dan berkelebat ke depan maka kakek ini meluncur ke laut dan berjalan atau "terbang" menuju Pulau Api. Pemandangan aneh terjadi secara mentakjubkan. Dari jauh orang akan melihat seorang bertubuh tinggi jangkung meluncur lewat, bergerak dan naik turun di atas gelombang laut bagai siluman. Bagian bawahnya hitam sementara bagian atas putih, menyeramkan!

Dan ketika "siluman" ini terus bergerak dan meluncur dengan amat cepatnya, menuju Pulau Api yang kemerah-merahan maka mahluk itu membentak merentangkan tangan untuk kemudian berjungkir balik dan memecahkan diri. Yang putih lebih dulu tiba di tanah sementara yang hitam belakangan, masing-masing terkekeh dengan gembira. Lalu ketika kakek putih melempar Beng An di pulau ini, berkelebat dan mencari penghuni maka kakek hitam juga melakukan yang sama dan heran karena pulau itu kosong.

Sebagai bekas penghuni lama tentu saja mereka mengenal keadaan. Wilayah Kepulauan Akherat tidaklah asing. Maka ketika masing-masing bertemu lagi dan saling pandang, dua kakek itu maklum apa yang terjadi maka sang suheng berseru agar mencari di tempat lain.

"Tempat ini kosong, mereka pergi. Tak mungkin jauh-jauh dan mari kita temukan!"

"Baik, tapi bagaimana anak muda ini, suheng? Apakah kita bawa?"

"Tak usah, biar saja. Mari kita ke pulau-pulau lain dan temukan anak-anak kita!"

Kakek hitam mengangguk. Dia setuju dan sang suhengpun melompat, berdiri lagi di kedua pundaknya. Lalu begitu ia berkelebat dan meluncur di air maka kakek inipun bergerak lagi mencari anggauta Pulau Api, masuk dan menyelidiki pulau demi pulau sampai akhirnya Pulau Hitam geger.

Tan-pangcu, yang kedatangan dua orang ini tentu saja terkejut bukan main. Dia mengenal betul dua orang itu, dedengkot atau tokoh-tokoh Pulau Api sebelum dirinya. Maka ketika dia tertegun tapi cepat menjatuhkan diri berlutut, semua anak murid juga melakukan hal yang sama maka dua kakek ini terkekeh-kekeh dan girang bahwa para murid mereka ternyata ada di situ, menyembunyikan diri.

"He, kau tentu Tan Siok adanya! Ha-ha, kau menjadi ketua Pulau Api? Kau tak menghormat paman-paman gurumu? Awas, serahkan kedudukan kepadaku, bocah, dan mana tongkat ketua itu. Berikan!"

Tongkat tahu-tahu disambar dan di-ambil kakek ini, kakek muka putih. Lalu ketika kakek itu memandang dan menimang-nimang tongkat, bertanya apakah tak ada orang Iain di situ maka ketua Pulau Api yang terkejut melihat kedatangan dua susioknya ini terbata.

"Ampun, ada susiok, tapi tak dapat hadir. Mereka... mereka dua suteku Bu Kok dan Kiat Lam!"

"Bu Kok? Mana bocah itu? Bukankah dia murid Ji-suheng?"

"Benar, susiok, tapi sute terluka. Kami bersembunyi karena peristiwa ini juga. Kami baru saja menghadapi musuh tangguh!"

"Ah, orang Lembah Es?"

"Bukan, melainkan orang dari daratan besar. Dia bernama Kim-mou-eng dan kami dikalahkan!"

"Apa? Orang pedalaman berani mengalahkan murid-murid Pulau Api? Keparat! Hanya penghuni Lembah Es musuh tangguh kita, Tan Siok. Siapa itu Kim-mou-eng dan bagaimana rupanya!"

"Dia lihai, dan puteranya juga lihai. Tapi kami berhasil membunuh isterinya dan melarikon diri ke sini, takut pembalasan!"

“Ah, orang Pulau Api tak perlu takut terhadap musuh. Hayo, mana sutemu Itu dan biar kullhat sampai di mana lukanya."

Tergopoh-gopoh Tan-pangcu ini menyuruh orangnya membawa Bu Kok dan su-tenya yang lain, Kiat Lam. Dua orang itu dipanggul dan wakil ketua Pulau Api ini terkejut melihat dua suslok mereka itu, mendengar dari anak murid bahwa dedengkot mereka datang. Dan ketika mereka girang tapi mengeluh tak mampu bangun, kakek hitam berkelebat dan meraba dada dua orang ini maka terbata-bata Bu Kok dan sutenya memberi hormat, merangkap tangan sambil telentang.

"Susiok, kami...dilukai musuh. Ah, jiwi susiok ternyata masih hidup dan syukur kalian datang. Kami dilukai Kim-mou-eng!"

"Aku sudah dengar," kakek hitam berseru, menyeringai. "Jangan kalian khawatir, Bu Kok. Ada kami di sini yang akan membalaskan sakit hati. lukamu cukup parah tapi ini akan mempercepat penyembuhan lukamu...plak!" kakek itu melepaskan sinkang, menepuk dada sang murid keponakan dan Bu Kok tiba-tiba dapat menarik napas lega. Tadinya dia sesak dan batuk-batuk, kini sesak itu hilang. Dan ketika dia dapat bergerak dan turun dari bahu anggauta Pulau Api, terhuyung dan menjatuhkan diri berlutut maka sutenya Kiat Lam juga mendapat perlakuan sama, bergerak dan turun dari gendongan.

"Terima kasih... kami menghaturkan terima kasih dan selamat datang kepada ji-wi susiok!"

"Bangunlah!" kakek putih tiba-tibu berkelebat, kini maju dan berseru nyaring. "Kalian tak usah takut kepada siapapun, anak-anak. Kami sudah bebas dari hukuman Lembah Es. Apakah We We Moli masih hidup dan ada di sana!"

"Kami tak tahu," Bu Kok terbelalak, menggeleng. "Kami juga sudah ke Lembah Es, susiok, tapi tak ada We We Mo-li atau tokoh-tokoh angkatan tua. Di sana sekarang dipimpin Puteri Es!"

"Siapa Puteri Es?"

"Han Wei Ling itu, murid We We Mo-li."

"Ah, bocah perempuan yang dulu pernah dibawa gurunya?"

"Benar, barangkali itu. Lembah Es sudah berganti orang-orang muda dan kami baru saja melakukan serbuan ke sana, gagal!"

"Gagal?"

"Benar, susiok. Dan ini gara-gara putera Kim-mou-eng itu, Beng An!"

"Ah, siapa bocah ini?"

"Dia pemuda yang amat lihai, barangkali di atas ayahnya. Kami bertandIng dan pemuda itu membantu Puteri Es!"

"Keparat, bocah itu harus dihajar. Ayo kita ke Lembah Es dan balas kekalahan kita!"

"Nanti dulu. Kita juga menangkap seorang pemuda, suheng. Dia juga lihai tapi kita tidak tahu namanya. Lebih baik kembali dulu dan biarkan Tan Siok ini melihatnya. Siapa tahu anak muda itu ada hubungannya dengan orang bernama Kim-mou-eng itu, atau mungkin mata-mata dari Lembah Es!"

"Ah, benar. Ha-ha, betul! Kau mengingatkan aku, sute. Tidak salah. Ayo kita kembali dulu ke Pulau Api dan jangan bersembunyi di sini. Hayo, kalian keluar dan kembali ke tempat semula!"

Tan Siok dan semua orang mengerutkan alis. Mereka terkejut mendengar susiok mereka menangkap seorang pemuda. Tapi melihat susiok mereka berkelebat dan meninggalkan Pulau Hitam, tak ada takut lagi setelah paman guru mereka muncul maka ketua Pulau Api ini bergerak dan memberi isyarat kepada puteranya ia pun mengikuti dua kakek itu melambaikan tangan kepada semua anak murid. Pimpinan otomatis dipegang susiok mereka dan Tan-pangcu diam-diam menggigit bibir.

Sungguh tak disangka bahwa kedua paman guru yang menghilang tiga puluh tahun ini muncul begitu tiba-tiba, masih hidup dan kini tentu saja memegang tampuk pimpinan. Tapi karena dia tak berani membantah sementara Kim-mou-eng dan Puteri Es merupakan lawon-lawan berbahaya, dua sutenya sakit dan tokoh-tokoh tua ini dapat dijadikan andalan, besar juga hati ini maka menekan kekecewaan sendiri yang harus mengalah memberikan kedudukan ketua. lelaki itu meninggalkan Pulau Hitam untuk kembali ke Pulau Api. Dan alangkah kagetnya Tan-pangcu melihat pemuda tawanan itu, kaget sekaligus girang!

"Ah, ini Beng An. Itu pemuda yang kami ceritakan. Itulah putera Kim-mou-eng!"

"Apa? Jadi pemuda ini yang rnenggagalkan kalian di Lembah Es?"

"Benar, dan beruntung sekali kalian menangkapnya, susiok. Tapi kenapa tidak segera dibunuh!"

"Benar, bunuh saja!" Bu Kok dan sutenya berseru hampir berbareng, terbelalak dan girang. "Bocah ini berbahaya, susiok. Dia berkepandaian tinggi. Kalau sudah di tangkap mau diapakan lagi. Bunuh saja!"

Namun kakek muka hitarn berkelebat dan menggeleng. Dia berseru bahwa pemuda ini berguna sekali. Kalau benar Puteri Es dan Kim-mou-eng adalah orang-orang berbahaya maka justeru adanya pemuda ini dapat dijadikan pegangan. Sewaktu-waktu amat berguna. Dan ketika kakek muka putih juga berseru menyetujui pendapat itu maka dua kakek ini berdiri berhadapan menghadapi para muridnya.

"Benar, tak boleh dibunuh. Dan aku juga ingin bertemu dengan pendekar yang namanya Kim-mou-eng itu. Kalian tak usah ribut karena dia tangkapanku. Sekarang bersiap-siap saja melakukan serbuan ke Lembah Es lagi!"

"Ah, kapan berangkat?"

"Tiga empat hari lagi, Tan Siok, aku sudah gatal tangan menghajar mereka!"

"Tapi Bu-sute dan Kiat-sute masih sakit, belum sembuh!"

"Tak apa, nonton saja. Mereka boleh ikut tapi tak usah bertempur. Aku sudah ingin cepat-cepat ke sana dan membalas sakit hati tiga puluh tahun ini!"

"Dan anak muda itu?"

"Kita bawa, lalu kita menyerbu Kim-mou-eng!"

"Bagus, kalau begitu kusiapkan segalanya, susiok. Dan aku yakin bahwa kali ini tak akan gagal!"

Para murid bersorak. Kalau tokoh mereka sudah bicara seperti itu maka girang bukan main perasaan mereka. Ini artinya pembalasan mereka bakal terkabul. Mereka dapat menguasai dan mempermainkan penghuni-penghuni Lembah Es! Dan membayangkan bahwa rnereka dapat berbuat sesuka hatinya terhadap gadis-gadis cantik lembah itu, wanita-wanita pilihan bekas Dinasti Han maka darah mereka bergetar dan birahipun belum apa-apa sudah naik ke kepala. Mereka melonjak dan kegirangan.

Murid-murid Pulau Api yang kasar dan buas ini serentak berjingkrak-jingkrak. Dan ketika empat atau lima hari kemudian mereka benar-benar berangkat, Beng An dibawa dan masih sebagai tawanan maka pemuda itu ngeri namun tak dapat berbuat apa-apa. Sudah mencoba untuk membebaskan diri namun gagal. Dua orang itu selalu memperkuat totokan sebelum waktunya habis, mereka terkekeh-kekeh. Dan ketika semua berangkat dan meninggalkan Pulau Api maka serbuan kedua kali bakal mengguncangkan penghuni Lembah Es!

* * * * * * * * * *

Mari kita tengok keadaan lembah ini sebelum orang-orang Pulau Api itu datang. Puteri Es, majikan atau pemimpin lembah tampak mengurung diri setelah serbuan itu. Berkat bantuan Beng An mereka dapat mengusir orang-orang Pulau Api. Tapi ketika Beng An akhirnya disuruh pergi, betapapun tempat itu tak boleh dihuni laki-laki maka Wei Ling atau Puteri Es ini seminggu tak mau keluar. Para murid memberesi kembali suasana yang kacau. Mayat dan orang-orang yang luka diambil.

Khusus untuk orang-orang Pulau Api tentu saja mendapat perlakuan berbeda. Mereka ini, yang luka dan tak sempat melarikan diri langsung dibunuh. Ada yang kepalanya dipenggal atau tubuhnya dicincang, langsung dibuang dan dimasukkan jurang, diuruk timbunan salju. Dan ketika seminggu kemdian suasana sudah pulih kembali, para murid bekerja seperti biasa tapi pembicaraan akan Beng An masih menjadi bisik-bisik di sana-sini maka Thio Leng, juga Sui Keng mengetuk pintu kamar majikan mereka ketika hari kedelapan masih saja puteri mereka di dalam kamar.

"Maaf, ampunkan kami. Mohon ijin sebentar, Tocu. Bolehkah kami masuk dan bicara di dalam."

"Hm, tak kukunci. Silakan masuk, Thio-cici. Ada keperluan apa," jawaban dari kamar terdengar lirih dan pendek, tidak seperti biasa dan wakil pertama itu masuk.

Sui Keng mengikuti dan mereka membungkuk memberi hormat ketika di balik tirai tampak puteri rnereka duduk memberikan punggung, melamun. Dan ketika mereka disuruh maju dan Thio Leng mengerutkan kening melihat wajah yang pucat dari puteri mereka maka sang puteri bertanya apa maksud mereka datang.

"Maaf, kami menunggu Tocu keluar. Apakah tidak ada perintah atau pesan-pesan lain untuk kami."

"Hm, pesan apa? Perintah apa? Kau sudah. dapat mengatur anak buah semua, Thio-cici, tak ada yang perlu kuberitahukan!"

"Maaf, tidak seluruhnya benar. Ada khusus yang tentunya tak dapat kami laksanakan, Tocu, seperti misalnya apakah kita membalas serbuan orang-orang Pulau Api itu. Kami menunggu perintah!"

Puteri Es membalik. Untuk sekejap ia terkejut, memandang wakilnya namun tiba-tiba dingin kembali, acuh. Dan ketika ia berdiri dan berjalan menghampiri jendela maka puteri itu menarik napas panjang bicara seadanya, "Aku tak bermaksud ke mana-mana. Kalau Thio-cici ingin membalas dan pergi ke Pulau Api silakan saja, aku setuju."

"Ah, masa begini? Tadi yang kubicarakan adalah pengandaian, Tocu, seandainya kita pergi dan membalas orang-orang terkutuk itu!"

"Benar, dan ada yang lain lagi. Bagaimana umpamanya kalau kita mulai mencari bantuan di luar secara resmi. Maksudnya, apakah Tocu tak keberatan kalau lembah Es terbuka bagi orang luar!"

Puteri yang memandang keluar jendela itu tiba-tiba tersentak. Bagai disengat kalajengking saja ia membalik, kaget memandang pembantunya nomor dua itu. Tapi ketika Sui Keng menunduk dan melipat tangan maka wanita ini buru-buru berkata,

"Maaf, semua itu hanya pengandaian saja, Tocu. Bilamana disetujui tentu harus dengan perkenan Tocu. Beberapa anak murid ada yang bisik-bisik seperti ini."

"Hm, siapa mereka yang berbisik-bisik itu. Tidak tahukah bahwa Lembah Es pantang bagi lelaki!"

"Maaf, bukan lelaki, Tocu, melainkan wanita. Maksudnya bagaimana kalau kita mulai berhubungan dengan orang-orang gagah di dunia kang-ouw, di mana saja, para lihiap (pendekar wanita) yang mungkin dapat membantu kita."

"Kenapa kau tiba-tiba berpikiran seperti itu? Bukankah Sui Keng-cici juga menyetujui bisik-bisik itu?"

"Setuju sih tidak, Tocu. Hanya aku hendak mengimbangi orang-orang Pulau Api itu. Mereka juga sudah mulai berhubungan dengan orang-orang luar. Lihat umpamanya si gila San Tek itu. Bukankah mereka juga mulai membuka pantangan!"

"Hm, Lembah Es tak perlu bantuan orang luar!" sang puteri tiba-tiba menjawab ketus. "Beratus tahun kita tinggal di sini tak pernah meminta bantuan orang kang-ouw, Sui Keng-cici. Apakah sekarang hendak merendahkan diri. Tidak, aku tak setuju!"

"Maaf, aku tak bermaksud menyinggung perasaan Tocu. Kami berdua sebenarnya hendak melihat kenapakah Tocu tak pernah menampakkan diri. Apakah sakit. Omong-omong tadi anggap saja sebagai sesuatu yang sifatnya kosong!"

"Benar, kami hendak melihat keadaan mu, Tocu. Kenapakah seminggu ini tak menampakkan diri. Apakah ada sesuatu yang membuat galau. Kami siap membantu kalau Tocu memerintahkan!"

Thio Leng kini bicara dan menyela rekannya. Bukan maksud mereka untuk membuat marah dan sikap berang itu harus buru-buru diredam. Sebenarnya mereka memancing saja apa yang dimurungkan majikan, apakah junjungan mereka sakit. Dan Sui Keng yang cepat tanggap akan sikap rekannya ini mengangguk dan tak berani bicara lagi.

"Hm, aku... aku malas keluar. Entahlah beberapa hari ini aku merasa tak senang."

"Ada apa, Tocu?" dua wanita itu cepat-cepat berseru hampir berbareng. "Apakah perbuatan jahat orang-orang Pulau Api itu? Kalau betul tentu saja kami siap membalas. Kami memang menunggu perintah!"

"Hm, aku enggan keluar. Biarkan saja mereka datang lagi kalau tidak kapok. Nanti kita bunuh mereka!"

"Kalau begitu apa yang menyebabkan Tocu tak senang? Apakah tentang putera Kim-mou-eng itu? Kalau benar tentang ini biar kami mencarinya, Tocu. Kami akan menyeretnya ke mari untuk bertemu Tocu!"

Puteri Es terbelalak. Dia menangkap suara ketus dalam kata-kata itu namun pandang mata dan bibir pembantunya tersenyum. Aneh! Dan ketika dia bersemu dadu dan mendengus pendek, entah kenapa, tiba-tiba marah tanpa sebab maka ia membentak dan memutar tubuh berkelebat pergi.

"Thio-cici, aku tak perduli bocah she Kim itu. Kita sudah membebaskannya, untuk apa mencari dan membawanya ke mari. Kalian pergilah dan jangan ganggu aku lagi. Aku akan ke taman!"

Dua pembantu itu meleletkan lidah. Mereka saling pandang namun tiba-tiba tersenyum. Bentakan Tocu terdengar galak tapi getaran suaranya terkandung isak. Heran! Dan ketika mereka saling mengangguk namun tak berani mengganggu, majikan berkelebat dan menuju taman maka dari kejauhan mereka mengawasi dan berbisik-bisik sendiri.

"Tepat dugaanku, bocah she Kim itu mengacau perasaannya. Wah, gawat. Bagaimana ini, Thio-cici. Apakah kita perlu menghadap Sian-li (Dewi). Apakah perlu kita bertanya!"

"Hm, bagaimana menurutmu? Begitukah orang mulai kasmaran?"

"Sst, jangan keras-keras, cici. Tapi kira-kira begitu. Mari kita tanya Sian-li bagaimana baiknya."

"Nanti dulu. Bagaimana menurutmu bocah she Kim itu. Apakah pantas!"

"Pantas? Ah, banyak di antara kita yang tergila-gila, cici. Dan kita berdua agaknya juga begitu kalau saja diperhatikan! Namun Kim-kongcu itu memperhatikan Tocu, ia rupanya juga kasmaran!"

"Hm-hm, kau bicara begitu blak-blakan. Kalau bukan kau tentu kutampar! Eh, siapa tergila-gila pada bocah itu, sumoi. Aku pribadi tidak. Aku pantang didekati lelaki!"

"Aku juga! Tapi ini lain, cici. Dia menolong kita lebih dari segalanya. Kim-kongcu telah malepas banyak budi. Bayangkan bagairnana kalau tidak ada dia sewaktu serbuan itu datang, terutama sepak terjang si gila San Tek itu. Bukankah kita bakal menjadi korban, dan tidak ngerikah hatimu melihat anak-anak murid kita menjadi mangsa kebiadaban orang-orang Pulau Api! Tidak, aku pribadi juga pantang berdekatan dengan lelaki, cici, seperti yang lain di sini. Tapi Kim-kongcu itu lain. Dia luar biasa, gagah dan tampan. Dan lihat betapa dia mampu memasuki Lembah seorang diri, lolos dari tujuh rintangan kita. Bukankah ini belum pernah terjadi apalagi sampai berhadapan langsung dengan Tocu. Bocah itu benar-benar mengagumkan!"

Thio Leng menarik napas dalam-dalam. Memang tak dapat disangkal bahwa Kim Beng An itu gagah perkasa, juga lembut dan sopan terhadap wanita. Dan karena pemuda itu juga telah menyelamatkan seluruh penghuni Lembah, entah akan bagaimana jadinya kalau orang-orang Pulau Api sampai berhasil merobohkan mereka maka wanita ini diam tak menjawab ketika sumoinya memuji-muji pemuda itu, diam-diam menahan perasaan sendiri karena entah kenapa di dalam hatinya ada semacam perasaan perih. Dia kagum kepada pemuda itu, pemuda yang dapat mengalahkannya meskipun dikeroyok.

Tapi karena dia membekukan hatinya terhadap lelaki, betapapun dia lebih kuat daripada sumoinya ini maka dia tak banyak membantah ketika sumoinya memuji-muji Beng An, menatap jauh memandang Tocunya yang sedang bermain-main di kolam, merendam kaki dan menendang-nendang ikan mas atau kecebong. Dan ketika pembicaraan beralih lagi kepada Sian-li, Thio Leng mengerutkan kening maka wanita itu menjawab,

"Kupikir boleh saja. Marilah, kita tanya apa jawabannya."

Sian-li atau Tung-hai Sian Li adalah patung yang dikeramatkan penghuni Lembah ini. Dewi Laut Timur yang menjadi nenek moyang murid-murid Lembah Es selalu menjadi tumpuan pertanyaan para murid ini, bila mereka mendapat sesuatu yang dirasa penting. Maka ketika keduanya pergi dan membiarkan puteri seorang diri, melamun dan masih menendang-nendangi ikan di kolam, dua wanita ini memasuki Ruang Samadhi di mana patung Itu dipuja.

Kim Kong Sengjin atau dewa pencipta Bu-kek-kang itu juga dibuatkan patungnya, di tempat tersendiri. Lalu ketika keduanya berlutut dan sudah memasang hio, beginilah biasanya mereka berkomunikasi dengan arwah nenek moyang maka aneh sekali patung itu bergerak-gerak dan hidup seolah bicara.

"Kami mohon jawaban tentang Kim Beng An. Apakah Tocu layak bersahabat dengannya atau tidak. Ampun, kami terpaksa mengganggu karena seminggu ini Tocu tak mau keluar, Sian-li. Mohon petunjuk apa yang harus kami lakukan. Berilah jawaban sewaktu kami tidur!"

Patung itu meledak kecil. Dua sorot matanya tiba-tiba mengeluarkan sinar, asap mengepul dan lenyap. Dan ketika patung tak bergerak lagi dan tenang, arwah Sian-li seolah pergi maka dua murid itu membungkuk mencium lantai untuk pamit mundur. Mereka menunggu malam nanti. Biasanya akan ada jawaban dalam semacam mimpi. Mimpi ini dipercaya mereka sebagai hasil kontak batin. Maka ketika malam itu mereka tidur dan masing-masing akan mencocokkannya besok, Sui Keng dan sucinya menunggu dengan perasaan berdebar maka keesokannya mereka terkejut bukan main. Mimpi mereka buruk!

"Aku... aku merasa dicekik seorang kakek hitam legam. Semalam aku tak dapat bernapas!"

"Dan aku diinjak seorang kakek berkulit putih, tubuhnya anyir. Aih, semalam aku juga tak dapat bernapas, Keng-moi. Entah apa artinya mimpi itu. Jawabannya melenceng!"

"Aku juga merasa begitu, tapi ada sesuatu lagi. Aku bertemu dengan tiga anak laki dan perempuan. Mereka main-main di tempat ini!"

"Ah, aku juga, Keng-moi, tapi seorang bayi dan dua wanita serta pria yang amat gagah. Kepalanya keemas-emasan, aneh sekali. Dan pria inilah yang menolongku dari injakan kakek putih!"

Dua wanita itu bingung. Mereka mendapat mimpi tapi tak menyinggung-nyinggung sama sekali tentang Beng An. Bahkan mengurut lehernya seakan bekas di-cekik, Sui Keng menjadi pucat wanita ini menggigil tak mengerti arti mimpinya.

"Aneh, aku tak kuasa mencernanya. Aku bingung. Apa artinya mimpi itu, cici. Aku selamanya belum pernah bertemu dengan kakek hitam legam itu, kenalpun tidak!"

"Aku juga begitu. Aku tak tahu siapa kakek berkulit putih ini, sumoi, tapi ia lihai bukan main. Ia membantingku roboh, menginjak dan hendak membunuhku!"

"Ah, siapa mereka ini. Bukankah tak ada orang-orang seperti itu di Pulau Api!"

"Aku juga bingung, tapi baiklah kita simpan saja mimpi kita ini. Kita tunggu dan lihat perkembangannya!"

Dua wanita itu menyimpan rahasia mimpi mereka bersama-sama. Tocu sudah keluar dan berjalan-jalan tapi masih tak mau diganggu. Wajahnya masih murung, gerak-geriknya lebih pendiam. Dan ketika mereka bekerja lagi seperti biasa, sebulan lewat dengan cepat maka, terdengar laporan bahwa di pantai mendarat sebuah perahu dengan beberapa penumpangnya.

"Siapa mereka, apakah orang-orang Pulau Api!"

"Bukan, rupanya seperti sebuah keluarga, Thio-cici, ada ayah dan ibunya, juga anak-anak!"

Dua wanita ini melengak. "Anak-anak? Kalian tidak salah lihat?"

"Tidak, mereka anak-anak perempuan dan lelaki, cici, juga berikut ayah dan ibunya, begitu tampaknya!"

Thio Leng dan sumoinya saling pandang. Tiba-tiba mereka tergetar, ingat mimpi itu. Dan ketika mereka mengangguk dan ingin melihat sendiri maka keduanya sepakat untuk keluar lembah.

"Baik, kami akan melihatnya sendiri.Kalian berjaga dan siapkan semuanya!"

Dua wakil Lembah Es itu berkelebat. Mereka tidak memberi tahu Tocu karena ingin menangani sendiri. Kaget dan heran juga bahwa Lembah Es yung begitu dingin didatangi anak-anak. Bocah dari manakah gerangan. Apakah orang tuanya gila, bagaimana kalau sampai anak-anak itu mati beku! Maka ketika berkelebat dan langsung ke pantai, memotong jalan maka benar saja rombongan aneh itu, seorang pria dan dua wanita bersama tiga anak perempuan dan menuju Lembah Es dan perahu di tepian sana, dibiarkan sendiri.

"Hm, siapa laki-laki itu. Rupanya bukan tersesat!"

"Benar, dan eh.... rambutnya keemasan cici. Lihat berkilau tertimpa kilatan salju!"

Thio Leng mengangguk. Dia juga sudah melihat itu dan tergetar. Seorang lelaki gagah, berusia lima puluhan tahun berjalan menggandeng tiga orang anak. Dua wanita di belakangnya berjalan bergandengan dan satu di antaranya membopong bayi. Dan ketika wanita yang membopong bayi itu terpeleset dan menjerit, ditahan dan dicengkeram wanita di sebelahnya maka Thio Leng maupun sumoinya tertegun,

"Ini.... ini seperti mimpi. Pria itulah yang menolongku dari injakan kakek putih!"

"Dan tiga anak itu.... ah, persis seperti mimpiku, cici. Mereka itulah yang kumaksud. He, apa artinya ini!"

"Cepat suruh anak buah menghadang, kita lihat saja disini. Suruh Ing Sim dan Ui Hong mencegat, juga Yu Pio!"

Sui Keng mengangguk berkelebat pergi. Sejenak dia meninggalkan sucinya lalu tak lama kemudian datang lagi, di bawah sana berkelebat bayangan biru kuning dan hijau. Dan ketika tiga anak murid sudah membentak orang-orang ini, itulah anak-anak murid yang kepandaiannya paling tinggi, tiga gadis gagah bermata tajam maka rombongan ini, yang berhenti dan tampak terkejut sudah dipimpin lelaki gagah itu merangkapkan tangan. Di atas Thio Leng dan sumoinya mendengar.

"Siapa kalian, tidak tahukah larangan Lembah Es. Berhenti dan sebutkan nama kalian, orang-orang asing. Dan apa keperluan kalian datang!"

Rombongan itu, yang bukan lain Kim-mou-eng adanya sudah berseri-seri. Tiga anak di gandengan bersorak, mereka melepaskan diri dan kagum memandang gadis-gadis cantik ini. Dan ketika kongkongnya bicara dan menjawab pertanyaan maka Siang Hwa, juga Siang Lan meloncat ke dekat tiga wanita itu dan tidak takut-takut.

"Maafkan kami, aku adalah Kim-mou-eng, ayah dari Beng An. Tentu kalian murid-murid Lembah Es dan beritahukan Puteri bahwa kami ingin menghadap."

Ui Hong dan dua saudaranya tertegun. Tiba-tiba mereka memandang Pendekar Rambut Emas dengan pandangan agak berubah, tidak segalak dan sekeras tadi dan masing-masing saling pandang. Melihat rambut keemas-emasan itu memang mereka sudah berdebar, teringat Beng An dan keluarganya karena pemuda itu katanya putera Kim-mou-eng. Dan karena pemuda itu sudah berjasa besar dan tak mungkin bersikap kasar, sejenak mereka bingung maka Siang Hwa, yang bermantel bulu tebal tiba-tiba memegangi bajunya dan kagum berseru nyaring,

"Eh, hebat sekali kau ini, cici. Hawa sedingin ini kau memakai pakaian tipis. Apakah tidak kedinginan!"

"Dan kau juga," Siang Lan tak mau kalah, kagum dan menyambar lengan Ing Sim, gadis baju biru. "Kau hebat dan mengagumkan, cici. Aku Siang Lan dan siapa namamu!"

"Dan aku Bun Tiong, putera ayahku Rajawali Merah. Pamanku Beng An sudah bercerita tentang kalian dan semuanya ternyata benar. Penghuni Lembah Es cantik-cantik!"

"Hush!" sang ibu membentak, menyambar puteranya. "Ke mari, Bun Tiong, jangan kurang ajar!"

Bun Tiong dan Siang Hwa serta Siang Lan ditarik mundur. Shintala, wanita itu membentak dan berkelebat lalu berdiri di samping ayah mertuanya lagi. Geraknya amat cepat dan Ui Hong serta rekannya terkejut. Gerakan itu bagai rajawali menyambar. Tapi ketika mereka mendengar bisikan bahwa tamu tak boleh masuk, Lembah Es tak boleh diinjak orang asing maka gadis baju kuning ini lega menentukan sikap.

"Usir mereka, jangan boleh meneruskan langkah. Kita menghormati Kim-kong cu dan harap ayah atau ibunya kembali!"

Gadis ini mengangguk. Bisikan Thio Leng lewat Coan-im-jip-bit atau mengirim suara dari jauh melepaskan himpitan batinnya. Sekarang perintah tinggal melaksanakan, tanggung jawab ada di pucuk pimpinan. Maka merobah sikap menjadi kaku dan dingin Ui Hongpun seakan tak berekspresi menghadapi pendekar itu.

"Maaf, kami menghormati maksud kunjunganmu, Kim-taihiap, tapi sayang sekali tak boleh masuk. Kim-kongcu sendiri telah kami suruh pergi, Lembah Es tak boleh dimasuki orang lain. Harap kau kembali dan jangan meneruskan niat!"

"Wah, mana mungkin itu!" Bun Tiong tiba-tiba berseru. "Kami bukan orang-orang jahat, cici. Bukan orang-orang Pulau Api. Kami ingin bersahabat, datang dengan maksud baik. Masa susah payah ke tempat ini lalu disuruh pergi begitu saja. Aku ingin bertemu Puteri Es!"

"Benar," Siang Hwa dan Siang Lan berseru berbareng. "Kami datang ingin berkenalan dengan kalian, cici, dan tak mungkin pulang kalau belum tahu tempat ini. Aku ingin bertemu Puteri!"

"Hm, tidak bisa," Ui Hong memandang anak-anak itu dengan melotot, kagum. "Siapapun tak boleh masuk, adik-adik. Kalau kalian memaksa tentu dihajar!"

"Eh, siapa takut?" Bun Tiong tiba-tiba melepaskan diri dari ibunya. "Cobalah hajar, cici, kalau engkau bisa. Biar aku masuk dan siapa dapat menghalang!" anak itu melompat dan lari secepat kijang. Dan belum Ui Hong hilang kagetnya mendadak Siang Hwa dan Siang Lan juga meloncat dan terkekeh-kekeh, mengejar Bun Tiong.

"Bagus, ayo kejar-kejaran, Bun Tiong. Siapa lebih dulu masuk!"

Tiga wanita ini kaget. Ing Sim dan Yu Pio tersentak dan mereka merasa ditampar. Keberanian anak-anak itu sungguh terlalu. Dan karena orang tuanya diam saja, Pendekar Rambut Emas bahkan tersenyum-senyum maka Ui Hong berkelebat dan membentak Bun Tiong, Ing Sim dan Yu Pio menyambar Siang Hwa dan Siang Lan.

"He, kalian. Kembali!"

Namun anak-anak itu bukanlah anak-anak sembarangan. Mereka adalah cucu Pendekar Rambut Emas, Bun Tiong malah keturunan dari Si Rajawali Merah, memiliki Ang-tiauw Gin-kang atau ilmu meringankan tubuh Rajawali Merah yang diajarkan ayah ibunya. Maka ketika dia mengelak dan melejit ke kiri, Ui Hong luput menyambar maka anak itupun tertawa-tawa meneruskan larinya, kini berputar.

"Ha-ha, cici luput. Ayo kejar-kejaran dan bermain petak umpet!"

Meledaklah kemarahan Ui Hong. Ia merasa dipermainkan sementara rekannya juga menjadi gusar. Dua anak perempuan di sana juga mengelak dan melejit ke kiri, luput dan meneruskan lari mendahului Bun Tiong, bukan mempergunakan Ang-tiauw Gin-kang melainkan Jing-sian-eng, ilmu meringankan tubuh Bayangan Seribu Dewa itu. Dan ketika keduanya terkekeh-kekeh dan meneruskan lari dengan geli.

Ing Sim dan Yu Pio menjadi marah maka mereka membentak dan menubruk lagi, lebih cepat. Namun tiga anak ini adalah bocah-bocah yang gesit bukan main. Tubuh mereka yang kecil dan lincah mengelit membuat tubrukan kembali gagal. Dan ketika gadis-gadis itu dibuat naik pitam maka mereka mencabut senjata dan membacok dari belakang,ayah ibunya sengaja diam saja.

"Mampuslah, kalian kelewatan mempermainkan kami!"

Namun dua bayangan berkelebat. Pendekar Rambut Emas yang tentu saja tak mungkin membiarkan ini terjadi sudah bergerak ke arah Ing Sim dan Yu Pio. Dia berseru mengibaskan dua tangan ke arah pedang itu dan murid-murid Lembah Es inipun terkejut, memekik dan pedang ditampar lepas. Dan ketika di sana Bun Tiong juga ditolong ibunya, Ui Hong menjerit ditangkis pedangnya maka ibu dan kakek itu sudah berdiri gagah, masing-masing melindungi anak.

"Jangan salahkan mereka, ini tanggung jawab kami. Maaf kami tak mungkin undur, nona bertiga. Siapakah kalian dan bolehkah kami tahu bagaimana caranya masuk. Apakah harus melewati tujuh rintangan seperti apa yang dilakukan puteraku."

Ui Hong dan temannya tertegun. Mereka meringis menahan sakit dan memungut pedang yang terlempar di atas salju. Mereka terkejut oleh kelihaian Kim-mou-eng dan wanita cantik itu, Shintala. Namun ketika terdengar bisikan lagi, bahwa mereka harus melawan, Thio Leng berkata agar dicegah sekuatnya maka gadis baju kuning itu membentak menghadapi Pendekar Rambut Emas, bangkit semangatnya lagi.

"Kim-mou-eng, kau tak tahu dihormati orang. Kesabaran kami habis. Tak usah membawa-bawa nama puteramu karena kami tetap melarang. Pergi atau kami membunuhmu!"

"Hm, kalian hadapi aku saja. Kalau aku roboh biar kami semua kembali. Kalau aku menang kalian tak usah banyak cakap! Bagaimana?" Shintala, yang tak sabar dan sudah mengukur kepandaian gadis-gadis ini berseru. Dia mendapat anggukan dari ayahnya dan Pendekar Rambut Emas mundur. Memang tiga gadis ini rupanya akan dapat diatasi mantunya, meskipun mereka mengerdyok. Dan ketika dia tersenyum namun Ui Hong dan kawan-kawannya menjadi marah, merah padam maka mereka menyambut dan tentu saja tidak banyak cakap lagi.

"Baik, kau sudah menantang, hujin, dan lihat serangan pedang...!" gadis itu tak bicara lagi dan menusuk. Ia melompat dan menyerang nyonya ini dan Shintala mengelak, dikejar dan diserang lagi dan jari nyonya itu tiba-tiba menampar. Dan ketika pedang terpental dan Ui Hong berseru terkejut, membalik dan menyerang lagi maka nyonya itu sudah berkelebatan dan mempergunakan Ang-tiauw Gin kangnya yang hebat bukan main, menyambar dan naik turun tak dapat disentuh pedang!

"Bocah, maju saja kalian semua. Aku tak ingin berlama-lama!"

Ui Hong terkejut. Bayangan si nyonya tiba-tiba tak menginjak tanah lagi dan benar-benar terbang seperti rajawali, demikian cepat hingga ia pusing! Dan ketika si nyonya membentak dan menampar pundaknya tiba-tiba ia terpelanting, menjerit dan bergulingan meloncat bangun namun rekannya tak mau tinggal diam lagi, berseru keras dan menerjang. Dan ketika tiga bayangan biru kuning dan hijau mengeroyok nyonya ini, Shintala tertawa dingin, maka ia mengerahkan Khi-bal-sin-kangnya dan tiga pedang di tangan hadis-gadis itu terpental dan menyerang mereka sendiri.

"Plak-plak-plak!"

Ui Hong dan dua saudaranya berteriak. Mereka harus melempar tubuh bergulingan menolak bahaya ini. Pedang seakan tak mau ikut perintah. Dan ketika masing-masing terbabat baju pundaknya, seketika wajah mereka menjadi pucat lalu meloncat bangun. Maka nyonya itu tertawa dingin menantang mereka kembali....