PENDEKAR Rambut Emas mendecak takjub. Dia kagum akan cerita ini dan selanjutnya Beng An berkisah akan serbuan orang-orang Pulau Api. Betapa mereka bertempur dahsyat dan betapa dua pihak dama-sama jatuh korban. Tapi karena ia lalu membantu gadis-gadis Lembah dan pihak Pulau Api terdesak akhirnya mereka mundur dan di sini Beng An mengerutkan keningnya.
"Ada sesuatu yang tidak kuduga. Ayah ingat putera mendiang San-ciangkun?"
"Hm San-ciangkun (perwira San)? Maksudmu yang mana?"
"Itu, yang tewas oleh serbuan Togur, ayah. Puteranya bernama San Tek!"
"Astaga, bekas suhengmu itu? Si bocah gila itu?" sang ayah memotong.
"Benar dia. Bekas suhengku ini ada di sana dan dia membela orang-orang Pulau Api."
"Bocah itu? Dia bersama orang-orang Pulau Api? Tuhan Yang Maha Agung, iblis yang berbahaya sekali. San Tek pemilik Im-kan-thai-lek-kang. Kalau đia bergabung dengan orang-orang Pulau Api maka dunia bisa guncang!"
"Benar, aku hampir tak dapat mengusirnya. Namun untung nama Liong-ko kupakai, ayah. Kugertak dia itu dan akhirnya pergi. Kalau dia tidak pergi belum tentu orang-orang Pulau Api dapat diusir dari Lembah Es!"
Sang ayah terkejut dan pucat. Jantung Pendekar Rambut Emas tergetar karena berita ini hebat sekali. San Tek adalah pemuda gila yang ilmunya dahsyat bukan main. Im-kan-thai-lek-kang yang dimiliki itu bukan ulah-ulah. Dia sendiri tak dapat menandingi. Hanya berkat ilmu sihirnya Pek-sian-sut dia mampu menyelamatkan diri. Dan karena si gila itu hanya takut kepada Thai Liong, puteranya itu memiliki Im-kang dari Sin-tiauw-kang, penangkis atau peredam Im-kan-thai-lek-kang yang dahsyat milik si gila itu maka Pendekar Rambut Emas mengangguk-angguk namun diam-diam dia tergetar dan pucat.
Im-kang dari Sin-tiauw-kang itu mirip Ping-im-sut (Tenaga Inti Es) yang dipunyai Beng An. Juga Thai Liong mampu merobah Im-kang ini menjadi Yang-kang. Dua pukulan panas dan dingin itu dapat diganti-gantinya dari silat tunggalnya Sin-tiauw-kun (Silat Rajawali Sakti). Dan karena puteranya ini masih memiliki pula Beng-tau-sin-jin, silat gaib setingkat di atas Pek-sian-sut yang dimiliki maka terhadap puteranya yang satu itu San Tek memang paling gentar. Tapi sekarang anak itu ada di Pulau Api!'
"Hm, dan kakakmu mencari ke sana. Kalau mereka bertemu dan kakakmu harus menghadapi San Tek tentu enci dan kakak iparmu dalam keadaan bahaya. Baik, secepatnya saja kau menyusul mereka, Beng An. Barangkali besok kau boleh pergi!"
"Aku memang akan pergi. Tapi mudah-mudahan enci atau Siang Le-ko tak di sana duluan, ayah. Kalau betul begitu dan mereka bertemu San Tek tentu Thai Liong-ko repot."
"Ya, repot sekali. Dan orang-orang Pulau Api itu pasti membujuk San Tek. Pemuda itu akan dibuat berani dan kalau si gila itu mengajak kakakmu bertanding mereka dapat merobohkan atau mencelakai enci mu dan Siang Le!"
Beng An menarik napas dalam. Itu memang bisa saja terjadi. Meskipun San Tek takut menghadapi kakaknya tapi kalau si gila itu mengganggu dan kucing-kucingan dengan kakaknya tentu encinya Soat Eng atau Siang Le dihadapi orang-orang Pulau Api. Tan-pangcu dan sutenya itu bisa merupakan bahaya. Maka mengangguk dan memancarkan kemarahan pemuda ini berkata bahwa besok dia akan berangkat.
Malam itu ayah dan bibinya masih ingin mendengar ceritanya. Perihal Orang-orang Pulau Api dan Lembah Es begitu menarik perhatian. Tapi karena dia diminta untuk lebih banyak menceritakan penghuni Lembah Es daripada orang-orang Pulau Api yang kejam, latar belakang dan sejarah nenek moyang penghuni Lembah dinilai lebih menarik daripada nenek moyang orang-orang Pulau Api maka Beng An menceritakan sejarah atau kisah pada mulanya nenek moyang penghuni Lembah itu.
"Kau tadi bicara tentang Hwe-sin (Malaikat Api), siapa dia ini dan apa hubungannya dengan orang-orang Lembah Es!"
"Hwe-sin adalah pengawal sakti kaisar Han pengawal rahasia. Dia inilah pencipta Jit-cap-ji-poh-kun yang lihai itu. Ilmu langkah saktinya membuat dia terkenal dan ditakuti banyak musuh."
"Tapi apakah dia nenek moyang penghuni Pulau Api?"
"Bukan, ayah. Nenek moyang orang-orang Pulau Api adalah pangeran pemberontak."
"Itulah. Lalu bagaimana ilmu langkah saktinya itu didapat orang-orang Pulau Api?"
"Mereka ini mendapatkanlicisecara licik. Ini berawal dari Tung-hai Sian-li (Dewi Laut Timur)"
"Ah, siapa itu Tung-hai Sian-li!"
"Orang yang dicinta Hwe-sin."
"Astaga, isterinya?"
"Bukan, ayah, melainkan kekasih. Tung-hai Sian-li ini, hmm... dia inilah cikal-bakal pewaris ilmu silat Lembah Es, sebelum datang Kim Kong Seng-jin dan dewa Han Sun Kwi itu."
"Ah-ah, coba ceritakan sebentar. Mundurlah pada generasi terdahulu ini. Menarik sekali cerita mereka!"
"Benar, memang menarik sekali, ayah. Tapi bicara tentang Dewi Laut Timur ini berarti harus bicara pula tentang kakek Thian-tok Dhiran Singh, laki-laki yang tergila-gila kepada Tung-hai Sian-li ini."
Beng An lalu bercerita tentang tokoh-tokoh tua itu, betapa Dhiran Singh membantu Tung-hai Sian-li membalas dendam kepada Hwe-sin tapi ketika Hwe-sin roboh justeru Tung-hai Sian-li berbalik. Hwe-sin pernah memiliki kesalahan kepada keluarga Dewi Laut Timur ini dan kesalahan itu membuat Dewi Laut Timur sakit hati.
Dan karena sesungguhnya wanita ini juga mencinta Hwe-sin, laki-laki itu menyerah ketika dipukul dan ditendang Tung-hai Sian-li maka masuknya Dhiran Singh membuat Dewi Laut Timur marah besar, padahal sebelumnya wanita ini setuju berdua menghadapi lawan. Cinta memang aneh. Di saat Hwe-sin roboh maka tumbuhlah belas kasih wanita itu, apalagi ketika Malaikat Api memberikan kitabnya kepada Tung-hai Sian-Li.
Tapi ketika kitab itu lalu dicuri dua murid Dhiran Singh, kakek ini akhirnya roboh di tangan Tung-hai Sian-li maka murid-murid itulah yang membalas dendam dan selanjutnya dendam turun-temurun di mulai dari sini sampai anak cucu mereka itu. Dan ilmu mereka semakin menjadi hebat setelah turunnya dua dewa yang saling bermusuhan itu, Kim Kong Sengjin dan Han Sun Kwi, pencipta atau cikal bakal dua ilmu dahsyat Bu-kek-kang dan Giam-lui-ciang!"
"Ah-ah, pantas sekali. Memang hebat. Dan aku sudah merasakan kedahsyatan pukulan orang-orang Pulau Api itu. Aduh, hebat pengalamanmu, Beng An. Ceritamu seperti dongeng saja!"
Beng An menarik napas, mengangguk.
"Dan Puteri Es itu tentu cantik jelita sekali." Siang Hwa tiba-tiba berseru. "Ah, aku ingin bertemu, paman Beng An. Dan melihat bagaimana hebatnya Bu-kek-kang!"
"Ha-Ha... keponakanmu ini rupanya ingin melihat wajah seorang ratu. Eh, aku juga kepingin melihat para penghuni Lembah itu, Beng An. Kapankah aku dapat!"
"Hm, lelaki tak boleh memasuki tempat itu," Beng An buru-buru memperingatkan, mengerutkan kening. "Pantangan bagi Lembah Es untuk didatangi laki-laki, ayah, kecuali musuh. Dan itu berarti kematian."
"Tapi paman sudah ke sana dan paman bersahabat pula dengan Puteri Es!"
"Hm-Hm, itu lain. Aku mula-mula juga dimusuhi, hampir dibunuh. Kalau aku tidak berhati-hati tentu pulang tinggal nama."
"Wah, masa terhadap paman dia tega berbuat kejam? Kau sudah menolong muridnya, paman. Tak mungkin itu terjadi!"
"Penghuni Lembah Es adalah orang-orang aneh. Mereka ini pembenci berat laki-laki, terutama orang Pulau Api. Dan karena penghuni Pulau Api adalah keturunan pemberontak, mereka ini juga mencuri ilmu dari cikal bakal penghuni Lembah maka tak heran kalau mereka pantang sekali dimasuki lelaki, biarpun itu aku!"
"Tapi paman lolos dari sana, selamat!"
"Benar, Siang Lan, itu karena beberapa sebab. Tapi sekarangpun aku juga dilarang masuk, kecuali ada keperluan yang maha penting!"
"Hm-hm, aneh sekali perangai Ratu Lembah itu. Tapi aku justeru ingin tahu bagaimana rupa dan kepandaiannya. Kong kong, kau dapat mengajakku ke Sana?" tiba-tiba anak itu berseri, memandang kakeknya.
"Apa?" sang kakek terkejut. "Kesana? Mau apa?"
"Berkenalan, kong-kong. Aku penasaran mendengar cerita paman ini!"
"Aku juga, aku ingin berkenalan dengan Puteri Es!" Siang Hwa tiba-tiba tak mau kalah.
"Eh-eh, kalian ini bicara apa?" Beng An terkejut, membelalakkan mata. "Jangan main-main, Siang Hwa. Nanti aku kena marah!"
"Ha-ha omongan anak tak usah digubris." Pendekar Rambut Emas tiba-tiba tertawa. "Anak-anak kecil seperti mereka ini tak mungkin ke sana, Beng An. Jangan dimasukkan hati!"
Namun Cao Cun yang melirik dan melihat pandang mata bersinar-sinar pendekar itu justeru mengerutkan kening. Beng An tak tahu betapa ayahnya tiba-tiba menanggapi dua omongan anak itu dengan serius. Pendekar ini tiba-tiba ingin membawa cucu-cucunya ke Lembah Es. Diapun ingin berkenalan dengan pewaris ilmu-ilmu Kim Kong Seng-jin itu. Dan karena Pendekar Rambut Emas belum merasakan kelihaian penghuni Lembah, yang dia rasakan adalah hebatnya ilmu-ilmu Pulau Api maka pendekar yang pada dasarnya berwatak petualang ini ingin mencoba-coba.
Cerita Beng An amat menarik, kebetulan dua cucunya mencetuskan gagasan itu. Maka ketika diam-diam pendekar ini ingin membuktikan itu, berkelana sambil menambah pengalaman cucunya tiba-tiba dia mengedip pada Siang Hwa dan Siang Lan agar tak bicara lagi. Beng An selesai bercerita dan pemuda itu ngantuk. Siang Hwa dan Siang Lan heran akan kedipan kakeknya ini. Namun ketika malam itu semuanya beristirahat dan Beng An memasuki kamarnya, begitu juga dua anak perempuan ini maka Pendekar Rambut Emas mengantarnya dan di pintu masuk pendekar ini berbisik,
"Sst, kalian benar-benar ingin ke Lembah Es? Kalian mau kuantar?”
"Apa?"
"Jangan keras-keras. Aku juga tertarik mendengar cerita pamanmu tadi. Siang Hwa. Aku mulai bosan pula di tempat ini. Bertahun-tahun aku tak keluar, sekarang ingin melihat dunia yang lain. Kalian mau kubawa?"
"Horeee.."
Sang pendekar menutup mulut anak ini. "Jangan bersorak, Siang Hwa, Nanti pamanmu bangun. Anggukkan kepalamu saja kalau kalian berdua mau!"
Siang Hwa dan Siang Lan menubruk kakek mereka ini. Bertubi-tubi anak itu menciumi wajah sang kong-kong dan tentu saja rasa girang bukan main merasuki hati. Mereka mau, seribu kali. Dan ketika malam itu dua anak ini berbisik tak ada habisnya, ajakan sang kakek sungguh đi luar dugaan maka keesokannya sebelum berangkat Beng An juga memberi sesuatu yang di luar dugaan bagi ayahnya ini.
"Aku akan berangkat, tapi ada satu permintaanku kepada ayah. Apakah ayah mau mengabulkan?"
Sang pendekar berdetak. Dia mengira Beng An akan melarangnya ke Lembah Es, padahal semalam dia telah berjanji kepada dua anak itu. Maka terkejut dan mengerutkan kening, serba salah pendekar ini balik bertanya, "Kau mau minta apa, Beng An? Permintaan apa yang dapat kukabulkan?"
"Soal bibi Cao Cun!" Pemuda ini menarik napas dalam. "Apakah ayah mau mengambilnya sebagai pengganti ibu."
"Apa?"
"Benar!" sesosok bayangan tiba-tiba juga berkelebat. "Aku juga berpikiran sama seperti Beng An, gak-hu. Bibi Cao Cun pantas sebagai isterimu!"
"Ahh!" sang pendekar benar-benar tak menyangka, wajah tiba-tiba memerah. "Kalian... eh, kalian sudah berkomplot untuk bicara ini? Kau..." pendekar itu tiba-tiba menuding Shintala. "Nakal kau ini, Shintala. Datang-datang menyambar saja. Apa-apaan ini?"
"Maaf," Shintala tersenyum, tahu hubungan yang pernah ada di antara bibinya dan gak-hunya ini. Aku hanya menyokong pendapat Beng An, gak-hu. Kalau Beng An tidak bicara tentu aku juga tidak menimbrung. Sekarang kembali lagi kepada Beng An!"
Pemuda itu terkejut. Beng An tak menyangka bahwa kakak iparnya ini tiba-tiba juga mendengar itu, mula-mula dia kaget. Tapi melihat betapa usulnya didukung rupanya ada persamaan pikiran antara dirinya dengan kakak iparnya ini maka Beng An tersenyum menghadapi ayahnya kembali, wajahnya berseri-seri,
"Ayah, nasib bibi Cao Cun sungguh merana sekali. Sejak dia gagal menjadi selir kaisar dan jatuh bangun di tangan orang-orang jahat sesungguhnya kita wajib melindungi. lbu kini tiada, dia pengganti paling tepat. Kalau ayah setuju dan dapat menerima permintaanku ini sungguh aku berterima kasih sekali. Aku mengembalikannya kepada ayah."
"Hm, kalian anak-anak muda nakal sekali mencarikan jodoh orang tua. Aku pribadi tak ada niat beristeri lagi, Beng An. Tapi bicara tentang Cao Cun memang bicara tentang sesuatu yang menyedihkan. Nasibnya buruk. Aku tak menerima atau menolak usulmu ini karena harus kudengar dulu bagaimana pendapat kakakmu Thai Liong dan encimu Soat Eng!"
"Liong-ko dan Eng-cici pasti setuju. Aku yakin!"
"Sudahlah," tangan pendekar itu mengibas. "Pergilah, Beng An. Jangan buat muka ayahmu merah. Aku belum setahun berkabung!"
"Aku juga tak bermaksud menyuruh ayah menikah sekarang juga," Beng An tersenyum. "Hanya usul untuk masa depanmu, ayah, juga kami anak dan cucumu ini. Baiklah dan maaf serta terima kasih kalau ayah mau memikirkan ini!" dan ketika Beng An membalik dan berkelebat pergi maka Pendekar Rambut Emas tertegun sementara di sana tiga bayangan anak kecil tiba-tiba berlarian.
"Hei... paman Beng An. Kau belum berpamitan pada kami!"
"Benar, dan jangan begitu, paman. Aku ingin memberi oleh-oleh!"
Beng An terkejut dan membalik. Dia melihat tiga keponakannya sudah bermunculan dengan cepat, masing-masing membawa bungkusan. Dan ketika mereka dekat dan menyerahkan itu maka Beng An terharu karena Siang Hwa memberinya roti kering sementara Siang Lan dan Bun Tiong masing-masing sebotol arak dan sebungkus dendeng.
"Ini aku berikan paman untuk bekal perjalanan. Tidak berharga, tapi cukup lumayan!"
"Dan itu dendeng hasil buruanku," Bun Tiong menunjuk bangga. "Dendeng harimau, paman. Kudapat ketika diajak ayah dan ibu berburu."
"Hm-hm, terima kasih!" Beng An tertawa. "Kalian anak-anak yang manis, Bun Tiong. Baiklah, sekali lagi terima kasih dan paman sekarang pergi!"
Beng An berkelebat dan meninggalkan tiga anak itu. Dia tak ingin berlama-lama karena semalam dianggapnya sudah berpamitan juga kepada semua. Tapi ketika ia terbang dan keluar lembah ternyata di situ sudah menunggu bibinya Cao Cun. "Bibi!"
"Hm, anak nakal. Wanita itu memeluk, air mata meleleh. "Kenapa tak berpamitan padaku, Beng An? Memangnya aku bukan bibimu?"
"Ah..., ah, maaf, bukan begitu! Aku, eh... aku semalam putar balik mengolah pikiranku, bibi. Dan tiba-tiba pagi ini aku malu bertemu denganmu!"
"Malu?"
"Ya, malu. Tapi sekarang tidak, ha-ha!" dan Beng An yang teringat permintaannya tadi kepada sang ayah tiba-tiba terbahak dan gembira sekali.
Sang bibi mengerutkan kening dan Cao Cun curiga,,heran. Tapi karena Beng An tidak memberitahukan itu maka wanita inipun mencengkeram lengan pemuda itu. "Kau berahasia, tampaknya ada apa-apa. Hayo beritahukan aku atau nanti bungkusan ini tak kuberikan padamu!"
Beng An terkejut. Sebuah bungkusan kecil dikeluarkan dan mata pemuda ini terbelalak. Dia terkejut juga melihat itu. Tadi keponakannya sekarang bibinya ini. Ah, semua begitu penuh perhatian. Dia memang masih mempunyai orang-orang yang mencintanya ini. Dan ketika dengan terharu dia meraih bungkusan itu namun sang bibi mengelak dan mundur, tak memberikan maka Cao Cun mendesis padanya menyuruh pemuda itu menceritakan kenapa tertawa-tawa.
"Aku tak mau kau mempermainkan bibimu. Nah. katakan dulu kenapa kau malu tapi sekarang tidak!"
"Ha-ha, bibi memaksa?"
"Tidak, kalau kau inginkan bungkusan ini!"
"Kalau begitu berikan itu, nanti kuberi tahu."
"Tidak, bicara dulu baru setelah itu menerima bungkusan ini!"
Beng An tertawa bergelak. Tiba-tiba saja dia merasa geli dan lucu oleh sikap bibinya ini. Mereka berdua benar-benar sudah bukan seperti orang lain lagi. Benar-benar seperti anak dan ibu. Wanita ini berani memarahinya! Tapi menghentikan tawa dan berseri memandang wanita itu Beng An berkata, "Bibi siap menerima?"
"Hm... kenapa tidak? Aku juga hendak berkata sesuatu kepadamu, Beng An. Katakanlah dulu baru setelah itu kata-kataku!"
"Baik, semalam aku memutuskan bahwa bibi harus menjadi isteri ayah. Dan aku sudah bicara itu dengan ayah!"
"Apa?" wanita ini terbelalak, bungkusan tiba-tiba jatuh. "Kau... kau...!"
Beng An menyambar bibinya ini, terharu, memeluk. "Maafkan aku, bibi. Semalam aku telah bolak-balik memikirkan ini, hampir tak dapat tidur. Aku ingin kau menjadi ibuku dan pendamping ayah seumur hidup. Kau pantas di sisi kami. Kau telah bukan orang lain lagi. Tapi bukan maksudku bahwa kalian segera menikah karena ayah belum setahun melepaskan perkabungan."
Wanita itu menggigil, tiba-tiba tersedu. Dan ketika Beng An terkejut karena bibinya ini mengeluh panjang mendadak wanita itu roboh pingsan.
"Bibi!" Shintala berkelebat datang. Nyonya muda ini telah mendengar percakapan itu dan mengangguk-angguk. Tapi melihat sang bibi pingsan maka Shintala pun terkejut, datang dan menolong. Dan ketika Beng An menyadarkan kembali dan heran tak melihat apa-apa, mungkin hanya pukulan atau guncangan batin maka wanita itu tersedu menubruk Beng An.
"Kau... kau gila, Beng An. Kau tidak Waras! Apa-apaan usulmu tadi!"
Beng An tersenyum kecut, manggut-manggut. Tapi ketika Shintala tersenyum dan memeluk lembut bahu sang bibi ini maka Cao Cun terbelalak mendengar kata-kata yang sama.
"Bibi, apa yang dikata Beng An betul. Akupun juga memikirkan itu. Dan karena kami sudah memberi tahu ayah, harap bibi tidak menolak karena betapapun bibi pernah mencinta ayah!"
"Kau... kaupun gila!"
"Mungkin. Barangkali kami gila, bibi. Tapi itu pandangan kami yang telah kami nyatakan."
"Oohhh..." dan Cao Cun yang mengeluh dan menampar pundak Beng An akhirnya tersedu lagi namun tiba-tiba dia teringat bungkusannya. "Beng An, aku juga hendak berpesan padamu. Jaga bungkusan itu dan kembalilah dengan selamat. Atau aku tak mau perduli dengan kehendak kalian yang gila itu dan pergi dari sini!"
Beng An terkejut. "Bibi marah?"
"Bukan, hanya aku tak mau kehilangan kau lagi, Beng An. Aku tak mau kehilangan seperti dulu aku kehilangan anakku Ituchi. Nah, berangkatlah dan bawa restuku!"
Beng An dicium kedua keningnya. Untuk kesekian kalinya lagi pemuda ini terharu. Bibinya itu benar-benar seperti ibu sendiri. Dan ketika dia bergerak dan memutar tubuh, mengejapkan mata membuang dua titik air mata maka Beng An berkelebat dan kini benar-benar pergi meninggalkan bibinya itu. Pulau Api menunggu di sana dan Beng An mengerahkan kepandaiannya, meluncur dan terbang serta lenyap di luar lembah. Dan ketika Cao Cun masih termangu dan deras mengucurkan air mata, hatinya seperti diremas-remas maka wanita ini mendengar ajak pulang dari Shintala.
"Pulang...?"
"Ya, pulang, bibi. Kita pulang, kembali ke rumah."
"Tapi.... tapi..."
"Bun Tiong dan cucumu Siang Hwa menanti. Ayo kita pulang dan harap bibi tidak memikirkan Beng An lagi."
Cao Cun tiba-tiba menggigil. Ia seakan berat melangkah ketika diajak memasuki lembah. Tempat itu adalah rumah Pendekar Rambut Emus, calon suaminya! Dan karena terngiang-ngiang ucapan Beng An, begitu juga Shintala, mendadak wanita ini seakan memasuki sebuah rumah asing yang belum dikenalnya sama sekali. Cao Cun seakan melayang-layang diajak pulang. Kakinya berat tapi pikirannya demikian ringan.
"Ada sesuatu yang tidak kuduga. Ayah ingat putera mendiang San-ciangkun?"
"Hm San-ciangkun (perwira San)? Maksudmu yang mana?"
"Itu, yang tewas oleh serbuan Togur, ayah. Puteranya bernama San Tek!"
"Astaga, bekas suhengmu itu? Si bocah gila itu?" sang ayah memotong.
"Benar dia. Bekas suhengku ini ada di sana dan dia membela orang-orang Pulau Api."
"Bocah itu? Dia bersama orang-orang Pulau Api? Tuhan Yang Maha Agung, iblis yang berbahaya sekali. San Tek pemilik Im-kan-thai-lek-kang. Kalau đia bergabung dengan orang-orang Pulau Api maka dunia bisa guncang!"
"Benar, aku hampir tak dapat mengusirnya. Namun untung nama Liong-ko kupakai, ayah. Kugertak dia itu dan akhirnya pergi. Kalau dia tidak pergi belum tentu orang-orang Pulau Api dapat diusir dari Lembah Es!"
Sang ayah terkejut dan pucat. Jantung Pendekar Rambut Emas tergetar karena berita ini hebat sekali. San Tek adalah pemuda gila yang ilmunya dahsyat bukan main. Im-kan-thai-lek-kang yang dimiliki itu bukan ulah-ulah. Dia sendiri tak dapat menandingi. Hanya berkat ilmu sihirnya Pek-sian-sut dia mampu menyelamatkan diri. Dan karena si gila itu hanya takut kepada Thai Liong, puteranya itu memiliki Im-kang dari Sin-tiauw-kang, penangkis atau peredam Im-kan-thai-lek-kang yang dahsyat milik si gila itu maka Pendekar Rambut Emas mengangguk-angguk namun diam-diam dia tergetar dan pucat.
Im-kang dari Sin-tiauw-kang itu mirip Ping-im-sut (Tenaga Inti Es) yang dipunyai Beng An. Juga Thai Liong mampu merobah Im-kang ini menjadi Yang-kang. Dua pukulan panas dan dingin itu dapat diganti-gantinya dari silat tunggalnya Sin-tiauw-kun (Silat Rajawali Sakti). Dan karena puteranya ini masih memiliki pula Beng-tau-sin-jin, silat gaib setingkat di atas Pek-sian-sut yang dimiliki maka terhadap puteranya yang satu itu San Tek memang paling gentar. Tapi sekarang anak itu ada di Pulau Api!'
"Hm, dan kakakmu mencari ke sana. Kalau mereka bertemu dan kakakmu harus menghadapi San Tek tentu enci dan kakak iparmu dalam keadaan bahaya. Baik, secepatnya saja kau menyusul mereka, Beng An. Barangkali besok kau boleh pergi!"
"Aku memang akan pergi. Tapi mudah-mudahan enci atau Siang Le-ko tak di sana duluan, ayah. Kalau betul begitu dan mereka bertemu San Tek tentu Thai Liong-ko repot."
"Ya, repot sekali. Dan orang-orang Pulau Api itu pasti membujuk San Tek. Pemuda itu akan dibuat berani dan kalau si gila itu mengajak kakakmu bertanding mereka dapat merobohkan atau mencelakai enci mu dan Siang Le!"
Beng An menarik napas dalam. Itu memang bisa saja terjadi. Meskipun San Tek takut menghadapi kakaknya tapi kalau si gila itu mengganggu dan kucing-kucingan dengan kakaknya tentu encinya Soat Eng atau Siang Le dihadapi orang-orang Pulau Api. Tan-pangcu dan sutenya itu bisa merupakan bahaya. Maka mengangguk dan memancarkan kemarahan pemuda ini berkata bahwa besok dia akan berangkat.
Malam itu ayah dan bibinya masih ingin mendengar ceritanya. Perihal Orang-orang Pulau Api dan Lembah Es begitu menarik perhatian. Tapi karena dia diminta untuk lebih banyak menceritakan penghuni Lembah Es daripada orang-orang Pulau Api yang kejam, latar belakang dan sejarah nenek moyang penghuni Lembah dinilai lebih menarik daripada nenek moyang orang-orang Pulau Api maka Beng An menceritakan sejarah atau kisah pada mulanya nenek moyang penghuni Lembah itu.
"Kau tadi bicara tentang Hwe-sin (Malaikat Api), siapa dia ini dan apa hubungannya dengan orang-orang Lembah Es!"
"Hwe-sin adalah pengawal sakti kaisar Han pengawal rahasia. Dia inilah pencipta Jit-cap-ji-poh-kun yang lihai itu. Ilmu langkah saktinya membuat dia terkenal dan ditakuti banyak musuh."
"Tapi apakah dia nenek moyang penghuni Pulau Api?"
"Bukan, ayah. Nenek moyang orang-orang Pulau Api adalah pangeran pemberontak."
"Itulah. Lalu bagaimana ilmu langkah saktinya itu didapat orang-orang Pulau Api?"
"Mereka ini mendapatkanlicisecara licik. Ini berawal dari Tung-hai Sian-li (Dewi Laut Timur)"
"Ah, siapa itu Tung-hai Sian-li!"
"Orang yang dicinta Hwe-sin."
"Astaga, isterinya?"
"Bukan, ayah, melainkan kekasih. Tung-hai Sian-li ini, hmm... dia inilah cikal-bakal pewaris ilmu silat Lembah Es, sebelum datang Kim Kong Seng-jin dan dewa Han Sun Kwi itu."
"Ah-ah, coba ceritakan sebentar. Mundurlah pada generasi terdahulu ini. Menarik sekali cerita mereka!"
"Benar, memang menarik sekali, ayah. Tapi bicara tentang Dewi Laut Timur ini berarti harus bicara pula tentang kakek Thian-tok Dhiran Singh, laki-laki yang tergila-gila kepada Tung-hai Sian-li ini."
Beng An lalu bercerita tentang tokoh-tokoh tua itu, betapa Dhiran Singh membantu Tung-hai Sian-li membalas dendam kepada Hwe-sin tapi ketika Hwe-sin roboh justeru Tung-hai Sian-li berbalik. Hwe-sin pernah memiliki kesalahan kepada keluarga Dewi Laut Timur ini dan kesalahan itu membuat Dewi Laut Timur sakit hati.
Dan karena sesungguhnya wanita ini juga mencinta Hwe-sin, laki-laki itu menyerah ketika dipukul dan ditendang Tung-hai Sian-li maka masuknya Dhiran Singh membuat Dewi Laut Timur marah besar, padahal sebelumnya wanita ini setuju berdua menghadapi lawan. Cinta memang aneh. Di saat Hwe-sin roboh maka tumbuhlah belas kasih wanita itu, apalagi ketika Malaikat Api memberikan kitabnya kepada Tung-hai Sian-Li.
Tapi ketika kitab itu lalu dicuri dua murid Dhiran Singh, kakek ini akhirnya roboh di tangan Tung-hai Sian-li maka murid-murid itulah yang membalas dendam dan selanjutnya dendam turun-temurun di mulai dari sini sampai anak cucu mereka itu. Dan ilmu mereka semakin menjadi hebat setelah turunnya dua dewa yang saling bermusuhan itu, Kim Kong Sengjin dan Han Sun Kwi, pencipta atau cikal bakal dua ilmu dahsyat Bu-kek-kang dan Giam-lui-ciang!"
"Ah-ah, pantas sekali. Memang hebat. Dan aku sudah merasakan kedahsyatan pukulan orang-orang Pulau Api itu. Aduh, hebat pengalamanmu, Beng An. Ceritamu seperti dongeng saja!"
Beng An menarik napas, mengangguk.
"Dan Puteri Es itu tentu cantik jelita sekali." Siang Hwa tiba-tiba berseru. "Ah, aku ingin bertemu, paman Beng An. Dan melihat bagaimana hebatnya Bu-kek-kang!"
"Ha-Ha... keponakanmu ini rupanya ingin melihat wajah seorang ratu. Eh, aku juga kepingin melihat para penghuni Lembah itu, Beng An. Kapankah aku dapat!"
"Hm, lelaki tak boleh memasuki tempat itu," Beng An buru-buru memperingatkan, mengerutkan kening. "Pantangan bagi Lembah Es untuk didatangi laki-laki, ayah, kecuali musuh. Dan itu berarti kematian."
"Tapi paman sudah ke sana dan paman bersahabat pula dengan Puteri Es!"
"Hm-Hm, itu lain. Aku mula-mula juga dimusuhi, hampir dibunuh. Kalau aku tidak berhati-hati tentu pulang tinggal nama."
"Wah, masa terhadap paman dia tega berbuat kejam? Kau sudah menolong muridnya, paman. Tak mungkin itu terjadi!"
"Penghuni Lembah Es adalah orang-orang aneh. Mereka ini pembenci berat laki-laki, terutama orang Pulau Api. Dan karena penghuni Pulau Api adalah keturunan pemberontak, mereka ini juga mencuri ilmu dari cikal bakal penghuni Lembah maka tak heran kalau mereka pantang sekali dimasuki lelaki, biarpun itu aku!"
"Tapi paman lolos dari sana, selamat!"
"Benar, Siang Lan, itu karena beberapa sebab. Tapi sekarangpun aku juga dilarang masuk, kecuali ada keperluan yang maha penting!"
"Hm-hm, aneh sekali perangai Ratu Lembah itu. Tapi aku justeru ingin tahu bagaimana rupa dan kepandaiannya. Kong kong, kau dapat mengajakku ke Sana?" tiba-tiba anak itu berseri, memandang kakeknya.
"Apa?" sang kakek terkejut. "Kesana? Mau apa?"
"Berkenalan, kong-kong. Aku penasaran mendengar cerita paman ini!"
"Aku juga, aku ingin berkenalan dengan Puteri Es!" Siang Hwa tiba-tiba tak mau kalah.
"Eh-eh, kalian ini bicara apa?" Beng An terkejut, membelalakkan mata. "Jangan main-main, Siang Hwa. Nanti aku kena marah!"
"Ha-ha omongan anak tak usah digubris." Pendekar Rambut Emas tiba-tiba tertawa. "Anak-anak kecil seperti mereka ini tak mungkin ke sana, Beng An. Jangan dimasukkan hati!"
Namun Cao Cun yang melirik dan melihat pandang mata bersinar-sinar pendekar itu justeru mengerutkan kening. Beng An tak tahu betapa ayahnya tiba-tiba menanggapi dua omongan anak itu dengan serius. Pendekar ini tiba-tiba ingin membawa cucu-cucunya ke Lembah Es. Diapun ingin berkenalan dengan pewaris ilmu-ilmu Kim Kong Seng-jin itu. Dan karena Pendekar Rambut Emas belum merasakan kelihaian penghuni Lembah, yang dia rasakan adalah hebatnya ilmu-ilmu Pulau Api maka pendekar yang pada dasarnya berwatak petualang ini ingin mencoba-coba.
Cerita Beng An amat menarik, kebetulan dua cucunya mencetuskan gagasan itu. Maka ketika diam-diam pendekar ini ingin membuktikan itu, berkelana sambil menambah pengalaman cucunya tiba-tiba dia mengedip pada Siang Hwa dan Siang Lan agar tak bicara lagi. Beng An selesai bercerita dan pemuda itu ngantuk. Siang Hwa dan Siang Lan heran akan kedipan kakeknya ini. Namun ketika malam itu semuanya beristirahat dan Beng An memasuki kamarnya, begitu juga dua anak perempuan ini maka Pendekar Rambut Emas mengantarnya dan di pintu masuk pendekar ini berbisik,
"Sst, kalian benar-benar ingin ke Lembah Es? Kalian mau kuantar?”
"Apa?"
"Jangan keras-keras. Aku juga tertarik mendengar cerita pamanmu tadi. Siang Hwa. Aku mulai bosan pula di tempat ini. Bertahun-tahun aku tak keluar, sekarang ingin melihat dunia yang lain. Kalian mau kubawa?"
"Horeee.."
Sang pendekar menutup mulut anak ini. "Jangan bersorak, Siang Hwa, Nanti pamanmu bangun. Anggukkan kepalamu saja kalau kalian berdua mau!"
Siang Hwa dan Siang Lan menubruk kakek mereka ini. Bertubi-tubi anak itu menciumi wajah sang kong-kong dan tentu saja rasa girang bukan main merasuki hati. Mereka mau, seribu kali. Dan ketika malam itu dua anak ini berbisik tak ada habisnya, ajakan sang kakek sungguh đi luar dugaan maka keesokannya sebelum berangkat Beng An juga memberi sesuatu yang di luar dugaan bagi ayahnya ini.
"Aku akan berangkat, tapi ada satu permintaanku kepada ayah. Apakah ayah mau mengabulkan?"
Sang pendekar berdetak. Dia mengira Beng An akan melarangnya ke Lembah Es, padahal semalam dia telah berjanji kepada dua anak itu. Maka terkejut dan mengerutkan kening, serba salah pendekar ini balik bertanya, "Kau mau minta apa, Beng An? Permintaan apa yang dapat kukabulkan?"
"Soal bibi Cao Cun!" Pemuda ini menarik napas dalam. "Apakah ayah mau mengambilnya sebagai pengganti ibu."
"Apa?"
"Benar!" sesosok bayangan tiba-tiba juga berkelebat. "Aku juga berpikiran sama seperti Beng An, gak-hu. Bibi Cao Cun pantas sebagai isterimu!"
"Ahh!" sang pendekar benar-benar tak menyangka, wajah tiba-tiba memerah. "Kalian... eh, kalian sudah berkomplot untuk bicara ini? Kau..." pendekar itu tiba-tiba menuding Shintala. "Nakal kau ini, Shintala. Datang-datang menyambar saja. Apa-apaan ini?"
"Maaf," Shintala tersenyum, tahu hubungan yang pernah ada di antara bibinya dan gak-hunya ini. Aku hanya menyokong pendapat Beng An, gak-hu. Kalau Beng An tidak bicara tentu aku juga tidak menimbrung. Sekarang kembali lagi kepada Beng An!"
Pemuda itu terkejut. Beng An tak menyangka bahwa kakak iparnya ini tiba-tiba juga mendengar itu, mula-mula dia kaget. Tapi melihat betapa usulnya didukung rupanya ada persamaan pikiran antara dirinya dengan kakak iparnya ini maka Beng An tersenyum menghadapi ayahnya kembali, wajahnya berseri-seri,
"Ayah, nasib bibi Cao Cun sungguh merana sekali. Sejak dia gagal menjadi selir kaisar dan jatuh bangun di tangan orang-orang jahat sesungguhnya kita wajib melindungi. lbu kini tiada, dia pengganti paling tepat. Kalau ayah setuju dan dapat menerima permintaanku ini sungguh aku berterima kasih sekali. Aku mengembalikannya kepada ayah."
"Hm, kalian anak-anak muda nakal sekali mencarikan jodoh orang tua. Aku pribadi tak ada niat beristeri lagi, Beng An. Tapi bicara tentang Cao Cun memang bicara tentang sesuatu yang menyedihkan. Nasibnya buruk. Aku tak menerima atau menolak usulmu ini karena harus kudengar dulu bagaimana pendapat kakakmu Thai Liong dan encimu Soat Eng!"
"Liong-ko dan Eng-cici pasti setuju. Aku yakin!"
"Sudahlah," tangan pendekar itu mengibas. "Pergilah, Beng An. Jangan buat muka ayahmu merah. Aku belum setahun berkabung!"
"Aku juga tak bermaksud menyuruh ayah menikah sekarang juga," Beng An tersenyum. "Hanya usul untuk masa depanmu, ayah, juga kami anak dan cucumu ini. Baiklah dan maaf serta terima kasih kalau ayah mau memikirkan ini!" dan ketika Beng An membalik dan berkelebat pergi maka Pendekar Rambut Emas tertegun sementara di sana tiga bayangan anak kecil tiba-tiba berlarian.
"Hei... paman Beng An. Kau belum berpamitan pada kami!"
"Benar, dan jangan begitu, paman. Aku ingin memberi oleh-oleh!"
Beng An terkejut dan membalik. Dia melihat tiga keponakannya sudah bermunculan dengan cepat, masing-masing membawa bungkusan. Dan ketika mereka dekat dan menyerahkan itu maka Beng An terharu karena Siang Hwa memberinya roti kering sementara Siang Lan dan Bun Tiong masing-masing sebotol arak dan sebungkus dendeng.
"Ini aku berikan paman untuk bekal perjalanan. Tidak berharga, tapi cukup lumayan!"
"Dan itu dendeng hasil buruanku," Bun Tiong menunjuk bangga. "Dendeng harimau, paman. Kudapat ketika diajak ayah dan ibu berburu."
"Hm-hm, terima kasih!" Beng An tertawa. "Kalian anak-anak yang manis, Bun Tiong. Baiklah, sekali lagi terima kasih dan paman sekarang pergi!"
Beng An berkelebat dan meninggalkan tiga anak itu. Dia tak ingin berlama-lama karena semalam dianggapnya sudah berpamitan juga kepada semua. Tapi ketika ia terbang dan keluar lembah ternyata di situ sudah menunggu bibinya Cao Cun. "Bibi!"
"Hm, anak nakal. Wanita itu memeluk, air mata meleleh. "Kenapa tak berpamitan padaku, Beng An? Memangnya aku bukan bibimu?"
"Ah..., ah, maaf, bukan begitu! Aku, eh... aku semalam putar balik mengolah pikiranku, bibi. Dan tiba-tiba pagi ini aku malu bertemu denganmu!"
"Malu?"
"Ya, malu. Tapi sekarang tidak, ha-ha!" dan Beng An yang teringat permintaannya tadi kepada sang ayah tiba-tiba terbahak dan gembira sekali.
Sang bibi mengerutkan kening dan Cao Cun curiga,,heran. Tapi karena Beng An tidak memberitahukan itu maka wanita inipun mencengkeram lengan pemuda itu. "Kau berahasia, tampaknya ada apa-apa. Hayo beritahukan aku atau nanti bungkusan ini tak kuberikan padamu!"
Beng An terkejut. Sebuah bungkusan kecil dikeluarkan dan mata pemuda ini terbelalak. Dia terkejut juga melihat itu. Tadi keponakannya sekarang bibinya ini. Ah, semua begitu penuh perhatian. Dia memang masih mempunyai orang-orang yang mencintanya ini. Dan ketika dengan terharu dia meraih bungkusan itu namun sang bibi mengelak dan mundur, tak memberikan maka Cao Cun mendesis padanya menyuruh pemuda itu menceritakan kenapa tertawa-tawa.
"Aku tak mau kau mempermainkan bibimu. Nah. katakan dulu kenapa kau malu tapi sekarang tidak!"
"Ha-ha, bibi memaksa?"
"Tidak, kalau kau inginkan bungkusan ini!"
"Kalau begitu berikan itu, nanti kuberi tahu."
"Tidak, bicara dulu baru setelah itu menerima bungkusan ini!"
Beng An tertawa bergelak. Tiba-tiba saja dia merasa geli dan lucu oleh sikap bibinya ini. Mereka berdua benar-benar sudah bukan seperti orang lain lagi. Benar-benar seperti anak dan ibu. Wanita ini berani memarahinya! Tapi menghentikan tawa dan berseri memandang wanita itu Beng An berkata, "Bibi siap menerima?"
"Hm... kenapa tidak? Aku juga hendak berkata sesuatu kepadamu, Beng An. Katakanlah dulu baru setelah itu kata-kataku!"
"Baik, semalam aku memutuskan bahwa bibi harus menjadi isteri ayah. Dan aku sudah bicara itu dengan ayah!"
"Apa?" wanita ini terbelalak, bungkusan tiba-tiba jatuh. "Kau... kau...!"
Beng An menyambar bibinya ini, terharu, memeluk. "Maafkan aku, bibi. Semalam aku telah bolak-balik memikirkan ini, hampir tak dapat tidur. Aku ingin kau menjadi ibuku dan pendamping ayah seumur hidup. Kau pantas di sisi kami. Kau telah bukan orang lain lagi. Tapi bukan maksudku bahwa kalian segera menikah karena ayah belum setahun melepaskan perkabungan."
Wanita itu menggigil, tiba-tiba tersedu. Dan ketika Beng An terkejut karena bibinya ini mengeluh panjang mendadak wanita itu roboh pingsan.
"Bibi!" Shintala berkelebat datang. Nyonya muda ini telah mendengar percakapan itu dan mengangguk-angguk. Tapi melihat sang bibi pingsan maka Shintala pun terkejut, datang dan menolong. Dan ketika Beng An menyadarkan kembali dan heran tak melihat apa-apa, mungkin hanya pukulan atau guncangan batin maka wanita itu tersedu menubruk Beng An.
"Kau... kau gila, Beng An. Kau tidak Waras! Apa-apaan usulmu tadi!"
Beng An tersenyum kecut, manggut-manggut. Tapi ketika Shintala tersenyum dan memeluk lembut bahu sang bibi ini maka Cao Cun terbelalak mendengar kata-kata yang sama.
"Bibi, apa yang dikata Beng An betul. Akupun juga memikirkan itu. Dan karena kami sudah memberi tahu ayah, harap bibi tidak menolak karena betapapun bibi pernah mencinta ayah!"
"Kau... kaupun gila!"
"Mungkin. Barangkali kami gila, bibi. Tapi itu pandangan kami yang telah kami nyatakan."
"Oohhh..." dan Cao Cun yang mengeluh dan menampar pundak Beng An akhirnya tersedu lagi namun tiba-tiba dia teringat bungkusannya. "Beng An, aku juga hendak berpesan padamu. Jaga bungkusan itu dan kembalilah dengan selamat. Atau aku tak mau perduli dengan kehendak kalian yang gila itu dan pergi dari sini!"
Beng An terkejut. "Bibi marah?"
"Bukan, hanya aku tak mau kehilangan kau lagi, Beng An. Aku tak mau kehilangan seperti dulu aku kehilangan anakku Ituchi. Nah, berangkatlah dan bawa restuku!"
Beng An dicium kedua keningnya. Untuk kesekian kalinya lagi pemuda ini terharu. Bibinya itu benar-benar seperti ibu sendiri. Dan ketika dia bergerak dan memutar tubuh, mengejapkan mata membuang dua titik air mata maka Beng An berkelebat dan kini benar-benar pergi meninggalkan bibinya itu. Pulau Api menunggu di sana dan Beng An mengerahkan kepandaiannya, meluncur dan terbang serta lenyap di luar lembah. Dan ketika Cao Cun masih termangu dan deras mengucurkan air mata, hatinya seperti diremas-remas maka wanita ini mendengar ajak pulang dari Shintala.
"Pulang...?"
"Ya, pulang, bibi. Kita pulang, kembali ke rumah."
"Tapi.... tapi..."
"Bun Tiong dan cucumu Siang Hwa menanti. Ayo kita pulang dan harap bibi tidak memikirkan Beng An lagi."
Cao Cun tiba-tiba menggigil. Ia seakan berat melangkah ketika diajak memasuki lembah. Tempat itu adalah rumah Pendekar Rambut Emus, calon suaminya! Dan karena terngiang-ngiang ucapan Beng An, begitu juga Shintala, mendadak wanita ini seakan memasuki sebuah rumah asing yang belum dikenalnya sama sekali. Cao Cun seakan melayang-layang diajak pulang. Kakinya berat tapi pikirannya demikian ringan.
la hendak menjadi calon isteri Pendekar Rambut Emas, pria yang sesungguhnya telah dicintanya tiga puluh tahun yang lalu. Waktu yang bukan sedikit. Dan ketika ia memasuki lembah dan anak-anak itu menyambutnya, untung Kim-mou-eng sendiri tak ada di situ maka wanita ini baru kembali pikirannya seakan sadar.
Dua hari sejak kepergian Beng An ia tak bertemu sedikitpun dengan pendekar Rambut Emas. Tapi ketika hari ketiga datang tiba-tiba ia dipanggil. Dan wanita ini gemetaran tak keruan, masuk dan sudah diantar cucunya Siang Lan yang tadi memanggilnya, melihat pendekar itu duduk dengan tiga cucunya yang lain. Hok Gi di pangkuan Shintala.
"Duduklah" Pendekar Rambut Emas seakan tak mempunyai perasaan apa-apa. "Ada yang hendak kami bicarakan denganmu, Cao Cun. Duduk dan dengarlah apa yang hendak kukatakan."
Wanita itu duduk, menunduk, suaranya lirih ketika bertanya, "Taihiap hendak bicara apa?"
"Hm Pendekar Rambut Emas menarik napas dalam-dalam. "Aku dan anak-anak hendak pergi, Cao Cun. Ingin bertanya kepadamu apakah kau ikut atau tidak."
"Pergi?" wanita ini mengangkat muka, terkejut. "Ke mana, taihiap? Lama atau tidak?"
"Aku tak tahu, tapi mungkin lumayan."
“Taihiap mau ke mana?"
"Lembah Es."
"Apa?"
"Benar, kami hendak ke Lembah Es Cao Cun. Karena itu kau ikut atau tidak?"
Wanita ini tiba-tiba tertegun. Ia membelalakkan mata dan Shintala tiba-tiba memegang lengannya. Lalu ketika ia menoleh dan berkerut kening, nyonya muda itu tersenyum maka wanita ini berkata,
"Gak-hu telah menetapkan untuk pergi. Siang Hwa dan Siang Lan ngotot sekali ingin mengetahui penghuni Lembah itu. Kalau bibi mau ikut segeralah siap-siap karena kami segera berangkat."
"Ah, dan puteramu?"
"Bun Tiong juga pergi, bibi, aku juga ikut."
"Dan... dan Hok Gi?"
"Anak ini mungkin kami bawa, kalau kau juga ikut."
"Tidak!" wanita itu tiba-tiba menggeleng. "Anak sekecil itu jangan dibawa bepergian jauh, Shintala. Biarkan ia di sini dan aku menjaganya!"
"Bibi tidak ikut?"
"Aku wanita lemah, pengganggu saja kalau ikut bersama kalian. Biarlah aku di sini merawat dan menjaga rumah ini. Dan kalau kalian tidak keberatan serahkan Hok Gi kepadaku karena ia seperti cucuku sendiri!"
"Hm," Pendekar Rambut Emas mengangguk-angguk, tersenyum. "Kalau begitu keputusanmu tentu saja kami tak keberatan, Cao Cun. Kami memang merasa repot kalau anak sekecil ini ikut, kecuali kau ikut pula."
"Tidak, aku di rumah saja. Aku menyadari diriku, taihiap, lain dengan kalian orang-orang yang berkepandaian. Biarlah aku di sini dan Hok Gi bersamaku!"
"Bibi benar-benar tidak ikut?"
"Aku di rumah saja, Shintala, menjaga dan menunggu kalian di sini. Aku tak mau membuat kesenangan kalian terganggu. Berangkatlah, hati-hati dan pulanglah dengan selamat. Ini permintaanku!"
Shintala terharu. Ia memeluk dan mencium wanita itu sementara Siang Hwa dan Siang Lan tiba-tiba bersorak. Mereka tadi khawatir jangan-jangan nenek mereka ini melarang, atau marah dan tidak membiarkan mereka pergi karena Lembah Es amatlah jauh dan berbahaya. Maka begitu nenek mereka itu tinggal di rumah dan mereka mendapat kebebasan, kakek mereka Kim-mou-eng cukup menjadi andalan maka Siang Lan yang biasa manja kepada Cao Cun melompat dan berseru, menubruk wanita ini.
"Hura, nenek tidak marah. Beritahukan ayah bahwa kami diajak kong-kong dan terima kasih atas kebaikan nenek!"
Cao Cun tersenyum. la diciumi dan dirangkuli cucunya itu, Siang Hwa juga tertawa dan melakukan hal yang sama. Dan ketika semua gembira dan Cao Cun ternyata tidak menghalangi niat kepergian Pendekar Rambut Emas ini, semalam pendekar itu bicara dengan menantunya dan Shintala girang menyambut, wanita inipun ingin tahu bagaimana penghuni Lembah Es itu maka diambil kesepakatan bahwa semua akan pergi, kecuali Cao Cun tidak ikut.
"Aku ingin mengajak anak-anak mencari pengalaman. Aku juga bosan tinggal di sini bertahun-tahun tak pernah keluar. Sekarang ada berita menarik ini, aku ingin berkunjung sekalian menyusul Beng An dan suamimu Thai Liong."
"Aku setuju," Shintala girang luar biasa. "Aku juga tertarik mendengar itu juga gak-hu. Kalau kau mau pergi dan membawa kami tentu saja aku girang sekali. Hanya bagaimana dengan bibi Cao Cun dan Hok Gi yang masih kecil ini."
"Kita panggil dia besok, kita tanya. Kita beritahukan maksud ini tapi kukira ia tak mau ikut."
Dan benar saja, wanita itu pilih tinggal di rumah. Cao Cun adalah wanita tahu diri dan maklum bahwa Pendekar Rambut Emas adalah seorang petualang, di masa mudanya tak mungkin betah dirumah saja maka begitu dia diberi tahu begitu pula ia menggeleng, tak mau ikut. Wanita ini tahu kesukaan orang-orang kang-ouw dan melihat kegembiraan pendekar itu cucu-cucunya dia maklumn bahwa dia tak boleh menghalangi.
Justeru dia merasa kebetulan dengan ini, dapat merawat rumah dan menjaga Hok Gi di situ. Terlalu lama berdua dengan Pendekar Rambut Emas membuat dia kikuk. Kalau saja Siang Le sudah pulang dan kembali ke Sam-liong-to tentu dia pilih turut, tak mau berlama-lama di situ. Maka ketika pendekar ini mau pergi dan justeru membawa cucu-cucunya, Shintala juga ikut maka dia pilih di situ dan menanti di rumah.
Pendekar Rambut Emas berterima kasih karena kalau wanita ini ikut tentu repot sekali di perjalanan. Mereka tak dapat melakukan perjalanan cepat, lain kalau Thai Liong yang membawa karena puteranya itu dapat "menyimpan' orang di balik jubah saktinya lewat ilmunya Beng-tau-sin-jin itu, ilmu yang masih di atas Pek-sian-sut. Maka ketika diputuskan bahwa hari itu juga mereka berangkat, Cao Cun mengangguk dan menerima Hok Gi maka wanita ini melambaikan tangan ketika Pendekar Rambut Emas menyambar cucunya sementara Bun Tiong dibawa ibunya.
"Hati-hatilah," Wanita itu berpesan. "Pulang dan cepatlah kembali kalau mungkin, taihiap. Titip cucuku Siang Hwa dan Siang Lan agar tidak nakal di perjalanan!"
"Kami tak mungkin. nakal," Siang Hwa tertawa. "Kong-kong akan menjewer kami, nenek. Kau tenanglah di situ dan tolong adikku Hok Gi dijaga baik-baik!"
"Benar, dan kami akan cepat pulang, nek, kalau sudah di sana. Tunggulah dan katakan kepada ayah bahwa kong-kong yang mengajak kami. Heiii..." Siang Lan berteriak, meloncat dan tiba-tiba terbang dibawa kakeknya.
Pendekar Rambut Emas tertawa dan mengerahkan ilmunya dan sekonyong-konyong ia sudah meluncur keluar lembah. Gerakannya begitu cepat seperti kijang melompat. Atau bahkan seperti anak panah menyambar. Dan ketika pohon dan dinding jurang berseliweran cepat di kanan kiri, anak itu bersorak dan berteriak maka Siang Hwa yang digandeng kakeknya juga melengking dan tertawa-tawa girang, terbang tak menginjak tanah lagi saking cepatnya sang kakek menyentak tubuhnya. Anak dibawa berlari cepat dan ketika Siang Hwa tak menginjak tanah lagi saking cepatnya dibawa lari maka Bun Tiong, yang disambar dan dibawa ibunya juga berteriak dan tertawa-tawa.
"Heii, aku terbang, enci Siang Hwa. Lihat kakiku melayang seperti burung!"
"Aku juga. Lihat kong-kong membawaku demikian cepat!"
"Hi-hik, dan aku paling enak. Aku dapat melihat jauh lebih tinggi di atas pundak kong-kongl" Siang Lan, yang tak mau kalah berseru tertawa-tawa.
Tiga anak itu gembira dan diajak menuju Lembah Es seolah diajak pesiar ke bulan. Mereka begitu senang, riuh dan saling jawab-menjawab. Namun ketika Pendekar Rambut Emas menyuruh anak-anak itu diam, begitu pula Bun Tiong maka Shintala menyusul gak-hunya dan mereka akhirnya terbang berendeng.
Cao Cun memandang kepergian rombongan itu dengan mata berkejap-kejap. Sesungguhnya dia berat juga berpisah dengan anak-anak itu. Namun karena mereka dibawa kakeknya sendiri dan kependaian Pendekar Rambut Emas tidaklah main-main akhirnya wanita ini tenang kembali dan setelah menarik napas dalam-dalam ia pun masuk rumah dan kebetulan Hok Gi menangis karena lapar. Dan begitu semua sunyi dan tinggallah wanita îtu sendiri maka Pendekar Rambut Emas di sana sudah meluncur ke utara mencari dimana letaknya Lembah Es itu, sesuai keterangan Beng An.
Marilah kita ikuti perjalanan Beng An yang menuju Pulau Api. Pemuda ini, karena mengenal jalan tentu saja lebih dulu tiba di sana daripada kakaknya atau encinya. Beng An mengayuh perahu dan akhirnya melompat ke daratan begitu sampai di pulau ini. Tak banyak kesukaran baginya meskipun pulau itu berbahaya. Tapi ketika ia melompat dan tiba disini tiba-tiba ia tertegun. Pulau itu sepi, tak ada siapa-siapa. Dan ketika ia berkelebat dan mencari kemana-mana ternyata pulau kosong dan benar-benar tak berpenghuni. Aneh!
Beng An mengerutkan kening. Sebenarnya, seperti yang ia katakan kepada ayahnya ia tak bermaksud membalas dendam kepada orang-orang Pulau Api itu. Ia hanya hendak mengintai dan mencari kesempatan saja, menunggu orang-orang itu melakukan tindakan yang menyimpang dari kebenaran. Tapi ketika pulau benar-benar sepi dan ia tak menemukan siapa-siapa maka Beng An menjadi kesal dan kecewa, Ke manakah perginya orang-orang itu?
la tak tahu bahwa karena menderita kekalahan dari Pendekar Rambut Emas yang mengakibatkan dua sutenya luka maka Tan-pangcu tak tinggal lagi di pulau yang paling besar itu. Ketua Pulau Api ini mengajak menyingkir semua muridnya, pergi dari pulau itu menuju pulau lain yang lebih kecil. Dan karena Kepulauan Akherat ini memang penuh dengan pulau-pulau kecil, bertebaran dan merata di situ maka ketua ini memilih Pulau Hitam, Hek-to, menjadi markasnya sementara luka yang diderita oleh Bu Kok dan sutenya See Kiat memang cukup berat. Paling tidak dua orang itu harus beristirahat empat bulan.
Maka tak mau mengambil resiko kalau dia mendapat pembalasan, diam-diam Tan-pangcu ini gentar tapi juga penasaran oleh hebatnya Pendekar Rambut Emas maka ketua ini di Pulau Hitam sambil menyembunyikan diri juga memperdalam ilmunya. Kesempatan itu adalah yang terbagus baginya. Sutenya luka, harus memulihkan diri. Dan dia dapat memperdalam ilmu sementara dua sutenya itu beristirahat.
Maka ketika Pulau Hitam dipilih untuk persembunyian sementara, pulau ini di ujung barat Pulau Api maka Beng An tak akan menemukan bila tak bergerak dan mencari. Dan Beng An memang belum tahu banyak akan gugusan pulau-pulau di situ. Yang diketahui baik hanyalah Pulau Api, selebihnya belum. Maka ketika pemuda ini tak mendapatkan siapapun dan heran serta bertanya-tanya maka dia menunggu dan coba bersabar sampai seminggu. Tapi pulau tetap saja kosong!
Beng An kesal. Kalau begini jelas dia sia-sia. Entah ke mana orang-orang Pulau Api itu. Maka membuang kesal dan mengambil perahunya maka Beng An bermaksud untuk putar-putar dan mencari di tempat lain. Dan saat itulah dia mendengar suara lapat-lapat orang merintih.
"Aduh, keparat... aduh..."
Beng An terkejut. Dia sudah berada di laut lepas ketika tiba-tiba suara itu terdengar. Dia sudah jauh dari Pulau Api. Dan karena delapean penjuru hanya laut melulu dan yang paling dekat hanya sebuah pulau kecil di sana, jauh dan hanya merupakan titik hitam di laut bebas maka Beng An mengkirik karena apakah suara tadi adalah suara hantu yang gentayangan. Dan tiba-tiba terdengar suara rintihan pula yang lain. Namun ketika suara ini disusul maki-makian maka Beng An semakin merasa seram karena suara itu Seolah datangnya dari bawah air!
"Jahanam... blub! Keparat jahanam...blub-blub! Kau anjing betina liar keparat We We Moli. Kau membuat aku mati tidak hidup pun bukan. Bedebah, kau membuat aku menjadi manusia sungsang..blub-blub!"
Suara air itu membuat Beng An menjatuhkan pandang ke bawah. la merasa seolah suara itu dari bawah laut di bawah perahunya. Suara blub-blub itu seakan suara air menggelembung. Tapi tak yakin akan pendengarannya maka Beng An tiba-tiba mendengar suara rintihan pertama itu tadi, kini ditujukan kepadanya,
"Heii, bocah! Ada apa kau berputar-putar di laut ini. Tak akan ada ikan untukmu. Tolong aku dan lepaskan ikatan ini!"
Beng An terkejut. la tiba-tiba merasa suara itu dari pulau di tempat jauh itu. Suaranya menjalar di permukaan air dan jelas sekali, bukan main! Dan ketika ia memandang tajam dan kaget sekali, terbelalak tiba-tiba tampaklah sebuah benda terapung timbul tenggelam di tepian pulau kecil itu. Entah apa. Dan Beng An mendengar bentakan itu lagi. Ia dimaki dan disuruh datang. Rintihan dan makian kini silih berganti. Dan ketika ia menggerakkan perahu dan menuju tempat itu maka suara kedua, yang berasal dari bawah air itu muncul lagi, menghardik.
"Heii, jangan. Ke sini dulu! Lepaskan kakiku dari celah dinding terjal ini!"
Beng An terkejut. Tiba-tiba ia melihat dua batu karang menonjol kecil di atas air, kecil saja dan kalau tidak dilihat baik-baik tentu lepas dari pengamatan. Dari situlah suara kedua itu berasal. Dan ketika ia tertegun dan menghentikan perahunya, otomatis menengok maka suara pertama, yang kini menggeram tiba-tiba disusul oleh pukulan jarak jauh yang membuat perahunya terangkat tinggi, maju ke depan.
"Tidak, kau sudah ke sini dulu, bocah. Tolong aku dan lepaskan ikatan ini!"
Beng An kaget bukan main. Ia terhisap dan tersedot ke depan dan karena tak menjaga diri maka perahupun meluncur dan terbang ke depan. Pukulan jarak jauh itu membuat ombak melingkar dan membalik, mengangkat dan mendorong perahunya seakan dilempar tangan raksasa. Dan ketika ia berteriak dan memukulkan dayung, perahu terbanting dan terjaga ke seimbangannya lagi maka tampaklah sebuah kepala gundul di atas permukaan air sana, di pulau itu.
"Ke sini kau!" suara itu kini jelas arahnya. "Lepaskan ikatan ini dan baru setelah itu si buruk itu!"
Beng An tertegun. Seorang kakek, gundul mengkilap terapung timbul tenggelam di permukaan laut. Kakek ini seakan benda kecil yang lucu sekali naik turun diair, atau seperti perenang yang tak mampu maju, diam dan tinggal di tempatnya sementara napas mulai habis, terengah-engah. Dan ketika Beng An mendekat dan tentu saja tertarik sekali, entah siapakah kakek ini maka đia berseru seraya berjaga dengan dayung. Pukulan jarak jauh tadi membuatnya maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang sakti, entah gila atau sinting berendam di air laut.
"Heii, locianpwe yang aneh. Ada apa kau terapung timbul tenggelam di situ. ikatan apa yang kau maksud. Bagaimana aku menolongmu!"
"Bodoh! Maju dan mendekat saja, anak muda. Aku terapung timbul tenggelam karena batu keparat di bawah kakiku ini. Aku terikat, kakiku terkunci. Lepaskan ikatan ini atau bawa aku ke darat. Seret dengan perahumu itu!"
"Terikat? Locianpwe terikat?"
"Tak usah banyak mulut. Kau tentu bukan bocah sembarangan kalau sudah berani berkeliaran di Pulau Akherat ini. Ayo tolong aku dan lepaskan batu besar di kakiku ini. Aduh, aku terapung timbul tenggelam!"
Beng An terbelalak. Sekarang kakek itu lenyap den kepala gundulnya masuk di bawah air. Jelas bukan menyelam karena kedua tangan lalu menggapai-gapai ke atas, persis orang kalap (dibawa banjir). Maka bergerak dan memukulkan dayungnya tiba-tiba Beng An membuat perahu melejit dan sekali sambar ia menarik tangan kakek itu. Namun alangkah kagetnya Beng An. la tak mampu menarik karena tubuh si kakek luar biasa beratnya. Tak kurang dari sepuluh ton! Dan ketika ia tertegun sementara si kakek muncul lagi, megap-megap maka kakek itu menyeringai dan tertawa.
"Heh-heh, kau mau coba menarik aku? Bodoh, gila. Di bawah kakiku ini ada sepasang batu menggantung, bocah. Kakiku diikat di situ. Kalau kau mau menolongku lepaskan tali itu atau seret aku ke daratan!"
Beng An membelalakkan mata. Sungguh tak disangka bahwa kaki kakek ini dibanduli sepasang batu seberat itu. Pantas ia tak kuat. Tapi kagum bahwa kakek ini dapat naik turun, kiranya dia menjejak dan selalu mumbul apabila terbawa tenggelam maka Beng An penasaran sekali oleh orang yang melakukan ini.
"Siapa yang melakukan itu. Kenapa locianpwe diperlakukan seperti ini!"
"Heh-heh, tak usah tanya, bocah. Lepas saja ikatan di bawah itu atau seret aku dengan perahumu ke darat."
"Melepaskan tali? Bagaimana caranya?" "Tentu saja menyelam ke bawah. Bodoh! Terjunlah ke air atau seret tubuhku dengan perahumu!"
Beng An terbelalak. Tiba-tiba keinginan tahunya besar sekali. Ia penasaran oleh batu di bawah kakek itu, mengapa ia sampai tak kuat. Dan ketika ia mengangguk dan ingin melihat di bawah tiba-tiba ia meloncat dan.. , byurr, Beng An telah menyelam di bawah laut. Kakek itu melotot tapi tiba-tiba terkekeh. Ia melihat keberanian dan nyali besar pada diri pemuda ini. Dan ketika ia merasa ditarik dan dipegang serta diguncang, di bawah sana Beng An menengkeram kaki kakek itu maka kakek ini terbelalak tapi tiba-tiba berteriak.
"Heiii.... aduuhhh!"
Beng An terkejut. Sekarang ia sudah berada di bawah laut dan melihat apa yang terjadi. Sepasang batu raksasa, menggelantung dan berada beberapa meter dari dasar laut tampak menyiksa kakek . Kakek itu bakal tertarik dan tenggelam kalau batu ini turun ke bawah. Dasar laut tidak terlalu jauh lagi namun sekali tenggelam tentu nyawa taruhannya. Siapa bisa bertahan hidup terus-menerus kecuali ikan. Maka ketika kakek itu harus sering menarik tubuhnya ke atas melawan beban seberat itu, entah berapa lama kakek ini berada dalam keadaan seperti itu maka Beng An melihat bahwa dua buah batu ini dililit tali sebesar lengan orang yang menyatu dan saling gubat-menggubat.
Ikatan itu hebat dan cerdik sekali merupakan ikatan mati. Membuka yang sini harus membuka yang sana, padahal membuka yang sana berarti harus membuka ikatan yang lain lagi, begitu seterusnya , Dan karena ini tak mungkin dan satu-satunya jalan harus membabat atau membacok putus setiap ikatan itu, jumlahnya bukan main banyaknya maka Beng An kehabisan napas dan harus keluar dulu menghirup udara segar. Ia tak kuat lama-lama di dalam air.
"Hah, bagaimana!" kakek itu membentak. "Kenapa tak berbuat apa-apa, bocah. Ada apa keluar lagi!"
"Wah, tali yang melilit di bawah banyak sekali," Beng An berseru. Ratusan jumlahnya, locianpwe. Tak mungkin putus dalam sekejap. Aku sedang berpikir bagaimana baiknya."
"Bodoh, goblok tolol! Seret saja aku ke darat, bocah. Tak usah banyak berpikir!"
"Benar...!" Beng An akhirnya mengalah. "Nanti di darat kita putuskan semua karena di dalam air harus berpacu dengan waktu. "Siaplah dan awas kudorong!"
Beng An meloncat di dalam perahunya dan menyambar dayung. Ia dapat memutuskan ikatan semua tali itu namun berlama-lama di air ia tak suka. Meskipun ia dapat mengerahkan sinkang namun basah kuyup menolong kakek ini bukan hal yang menyenangkan. Maka berpikir bahwa menarik rupanya lebih cocok, ia dapat menyeret kakek itu sampai ke darat maka iapun mendorongkan dayungnya dan sekali berteriak menyuruh kakek itu berpegangan pinggir perahu Beng An mengerahkan sinkangnya hingga perahu melejit bagai dipukul tangan raksasa.
Si kakek menyambar pinggiran perahunya namun di tengah jalan terhenti. Sepasang batu di bawah laut bergerak, terbawa naik dan Beng An merasa betapa beratnya batu itu. Meskipun di bawah air namun batu ini luar biasa sekali. Batu tak kurang dari besar seekor gajah. Dan karena batu itu ada sepasang dan masing-masing memiliki bobot yang lebih kurang sama, perahu tersentak dan kakek itu berseru kecewa maka perahu terbalik dan usaha Beng An yang pertama ini gagal.
"Byuurrr...."
Pemuda itu malah masuk lagi ke laut. Si kakek mengomel panjang pendek namun Beng An berenang lagi, membetulkan perahunya dan meloncat ke atas. Dan ketika ia merah padam merasa gagal, batu itu benar-benar luar biasa berat maka Beng An berkata biarlah kakek itu berpegangan tangannya dan ia menendang perahunya agar maju ke depan.
"Kau bodoh, goblok tolol. Lihat pinggiran perahumu pecah tak dapat menahan cengkeramanku. Kalau sekarang kau memberikan tanganmu jangan berteriak kalau nanti patah!"
"Hm,..." Beng An merasa dapat bertahan. "Aku dapat mengerahkan tenagaku, locianpwe. Kalaupun patah sudah nasib. Mari dan pegang erat-erat dan awas kutarik!"
Beng An mengeluarkan bentakan untuk kedua kali. Ia penasaran dan kaget sekali untuk kegagalannya itu. Pinggiran perahunya hancur tak kuat menerima cengkeraman kakek itu,, dayung juga patah dan terlempar masuk laut. Maka mempergunakan dasar perahu untuk menendang dan mendorong, ia mengerahkan tenaga maka, kakek itu terbawa ke depan dan sepasang batu raksasa di bawah kaki terangkat. Kakek itu tertawa bergelak dan girang bukan main namun lantai perahu tiba-tiba jebol.
Beng An semakin menambah tenaganya untuk menarik kakek ini, lantai tak kuat dan akhirnya berkeratak. Dan ketika perahu jebol dan airpun masuk ke dalam, tak ampun lagi Beng An terbanting dan bergulingan masuk laut maka pemuda itu sia-sia dan untuk kedua kalinya gagal. Kini perahu malah hancur.
"Goblok. sungguh goblok! Kau pemuda macam apa yang tak dapat menarik aku si tua bangka ini. Heh, pergi saja kalau begitu, anak muda. Panggil temanmu yang lain atau yang lebih kuat darimu!"
Beng An basah kuyup. la mendongkol oleh makian ini namun lebih mendongkol lagi oleh kegagalannya. Ke mana ia hendak pergi kalau perahu sudah hancur begitu. Maka berenang dan menuju daratan, pulau kecil itu akhirnya Beng An gemas melihat banyaknya akar malang-melintang dari pohon-pohon raksasa yang banyak terdapat di situ, mata tiba-tiba bersinar dan berseri. "Locianpwe tak usah mengomel," katanya. "Masih ada banyak jalan menuju kota raja."
"Heh, kau bicara apa? Kau memaki si tua bangka ini?"
"Hm, diam dan tenanglah saja di situ. Aku akan memilin akar-akar panjang ini, locianpwe, membentuk tali sekuat tali di sepasang batu itu. Nanti kau menarik pinggangku dan aku menarik tali ini." Beng An tak perduli.
"Apa kau bilang?" kakek itu marah.
"Diam dan tenang saja?”
“Heh, sudah tiga puluh tahun aku di sini, bocah. Menyabung nyawa mencoba mempertahankan hidup. Kalau kau memaki-maki aku jangan-jangan kaupun kubenamkan ke laut. He, untuk apa akar-akar panjang itu!"
Beng An tak menjawab. Tiba-tiba ia sudah bergerak dan berseri menyambar akar-akar pohon ini. la menyentak-nyentak mereka dan mendapat kenyataan betapa kuat dan liatnya akar itu. Dan ketika ia menyambung-nyambung cepat dan tak lama kemudian tali sebesar lengan orang terdapat, panjangnya tak kurang dari lima puluh meter maka Beng An melonjak dan bersorak. "Sudah jadi, sekarang aku yakin dapat!"
Kakek itu membelalakkan mata melihat saja pemuda itu bekerja dan maki-makianpun akhirnya hilang. Ia melihat betapa sungguh-sungguhnya pemuda itu bekerja. Dan ketika ia masih belum mengerti tapi Beng An tiba-tiba melempar ujung tali membelit sebatang pohon besar, menarik dan mengencangkan tali itu hingga tak terlepas maka pemuda ini tertawa melempar tubuh ke kakek itu, ujung tali yang satu sudah diikat dan dikencang kuat di pinggangnya.
"Ha-ha, sekarang tarik pinggangku, locianpwe. Aku akan menarik tali itu dari pohon itu!"
Kakek ini berseri. Tiba-tiba sekarang ia mengerti apa yang dimaksud Beng An. Kiranya pemuda itu mengikatkan ujung tali di sana sementara ujung yang sini dililitkan ke pinggang. Beng An melempar tubuh kepadanya dan tentu saja ia menangkap. Dan karena pemuda itu membawa tali yang sini dan tali di sana terentang, tentu saja menarik maka pinggang pemuda itu sudah dicengkeram kakek ini dan sekali berseru keras Beng An menarik atau merayap di tali panjang merentang itu.
"Awas, satu... dua..!" Aba-aba atau teriakan ini mulai terdengar. Beng An menarik atau membetot tali panjang itu sementara si kakek menarik atau membetot pinggangnya. Terdengar suara berkeratak ketika tulang-belulang kakek itu bekerja, penuh tenaga dan rupanya terlalu lama ia terendam di laut. Beng An memberi aba-aba dan setiap bicara tentu selangkah dia maju. Tali mengencang di batang pohon raksasa itu.
Dan ketika dengan tenaganya yang dahsyat Beng An menarik kakek ini melalui bantuan tali itu, bunyi berkeratak semakin sering membuat si kakek mengeluh maka perlahan tetapi pasti Beng An berhasi mengangkat naik tubuh kakek ini, berikut sepasang batu raksasa itu.
"Awas, tujuh... delapan...!" Beng An tak mau berhenti. la telah berhasii dan kian lama kian mendekati daratan.
Kakek dan batu itu juga terbawa. Dan ketika Beng An tiba pada hitungan kedua puluh, si kakek takjub maka batu sebesar gajah itu muncul di permukaan air dan kini Beng An menyentak tali sekuat tenaganya agar batu itu bergulir.
"Awas, tiga puluh satu....!"
Dahsyat dan mengagumkan sekali tenaga sakti pemuda ini. Beng An berseru keras hingga si kakek terangkat tinggi, begitu tinggi hingga kedua batu raksasa di bawah kakinya juga ikut terangkat naik, dua meter lebih. Namun ketika terdengar suara di depan dan pohon itu roboh, tali melesak ke dalam dan melukai tubuhnya maka pohon inilah yang tak kuat dan ambruk ke tempat Beng An. Pohon itu berdebum dahsyat.
"Buuummmm...!"
Beng An dan kakek ini tertimpa bagai gajah menimpa semut. Tali masih kencang di pinggang Beng An sementara kakek itu tak melepaskannya. Jadilah mereka tertindih dan tergencet pohon raksasa ini. Tøpi ketika terdengar suara kekeh riang dan Beng An mengeluh di dalam, muncul dan mendorong ranting atau cabang-cabang raksasa maka kakek itu tertawa-tawa di sebelah kiri Beng An, selamat karena sepasang batu itu kebetulan melindunginya.
"Ha-hah-he-heh.... bebas, sekarang aku bebas. Heh-heh, aku bebas, We We Moli. Siapa bilang kau dapat menghukumku seumur hidup. Ha-ha, aku selamat."
Beng An terhuyung dan keluar dari balik gerumbul daun. Ia tak apa-apa kecuali sedikit kesakitan. Kakek itu melepaskan pinggangnya setelah ia tertimpa, kena duluan dan kini terkekeh-kekeh bangkit berdiri pula. Tapi ketika dia tertegun ditahan batu raksasa itu, tak mampu menyeretnya karena terlalu lama ia disiksa maka kakek ini mengeluh dan tiba-tiba menangis.
"Hu-huu... keparat jahanam iblis wanita Bedebah terkutuk We We Moli itu. Hu-huu... kau kejam dan tak berperasaan, We We Moli. Kau siluman betina keji. Tak berjantung!"
Beng An menarik napas dalam. Setelah ia berhasil menolong kakek itu keluar dari air maka ia ngeri melihat sepasang batu besar yang masih terikat di bawah kaki kakek ini. Berat dan besarnya batu itu sudah Ia rasakan. Maka mendengar kakek itu menangis dan ia tak tahan, mengebutkan baju dan maju menghampiri maka ia berkata menepuk pundak kakek ini.
"Locianpwe tak usah sedih. Sekarang kita dapat melepas semua ikatan itu dengan mudah."
Kakek itu mendongak, teringat Beng An. Dan lenyap tangisnya terganti tawa girang ia balas menepuk bahu pemuda itu. "Ha-ha, benar. Ada kau di sini. Eh... menolong orang jangan setengah-setengah anak muda. Putuskan semua ikatan itu biar aku bebas merdeka!"
“Tak usah khawatir!" Beng An tersenyum. "Sekarang batu ini sudah terangkat naik, locianpwe. Tentu saja aku akan membebaskanmu dan mengerahkan sin-kang menabas putus ikatan demi ikatan. Akhirnya Beng An bekerja tak kurang dari setengah jam untuk membuka belenggu itu. Dihitung ada sekitar dua ratus ikatan yang saling kait-mengait, itu banyak, begitu rapat. Tapi ketika batu terlepas dan kakek itu bebas mendadak ia terguling dan roboh merintih-rintih.
"Aduh, aku tak dapat jalan. Kakiku...uratnya... uratnya kencang."
Beng An mengerutkan alis. Ia segera memeriksa dan terkejut mendapat kenyataan bahwa kaki yang sudah sedemikian lama itu tak dapat dibengkok-bengkol lagi. Kaki itu hanya lurus ke depan, persis batang bambu. Dan karena memang hanya gerakan ke atas ke bawah yang dapat dilakukan, seperti apa yang tiga puluh tahun ini dilakukan kakek itu maka si kakek meloncat-loncat dan itulah caranya bila ingin berjalan.
"Keparat, terkutuk We We Moli itu. la membuat kedua kakiku kaku lurus terus."
Beng An menahan tawa. Si kakek memang tak dapat berjalan kecuali meloncat-loncat lucu. Gerakan ini didapat karena selama tiga puluh tahun ini ia menjejak naik turun melawan batu raksasa itu. Kakinya tak dapat dibengkokkan lagi seperti orang biasa. la cacad, Tapi karena gerakan itu membuat si kakek memiliki daya jejak luar biasa, dalam marahnya ia sampai tak dapat mengatur diri maka ketika ia menjerit tiba-tiba tubunya mencelat puluhan meter, setinggi pohon kelapa!
"Heiii...!"
Beng An dan kakek itu sama-sama mengeluarkan seruan terkejut. Beng An kaget karena orang meluncur begitu tinggi sementara si kakek terkejut kerena bagaimana jatuhnya nanti la tak dapat membengkokkan kaki. Maka ketika benar saja ia meluncur turun dan kaki itupun lurus ke bawah, kaku menghunjam maka tanah melesak dalam dan kakek itu terbenam sebatas pusar.
"Blesss!"
Beng An takjub dan kagum. Kaki itu tak apa-apa sementara pasir dan tanah berhamburan. Namun karena si kakek tak dapat membengkokkan kakinya dan tentu saja tak dapat keluar maka ia berkaok-kaok karena begitu dalam terbenam.
"Keparat, jahanam keparat. Aku tak dapat mengeluarkan diriku!"
"Jangan khawatir," Beng An berkelebat. "Aku dapat menolongmu, locianpwe. Tapi jangan lagi meloncat setinggi itu atau nanti kau terkubur lagi... rrrttt!'"
Beng An menarik dan mencabut kakek itu, lepas dari benaman dan si kakek berseri-seri. Dua kali Beng An menolongnya. Tapi ketika kakek tertawa-tawa dan Beng An kagum memandang kakek ini maka suara di bawah laut itu. Suara marah membelubub lagi, aneh dan mengerikan.
"Heh, kau telah menolong saudaraku si Hantu Putih. Datang dan sekarang bebaskan aku, anak muda. Atau aku mencekikmu mampus... blub!"
Beng An terkejut. la segera teringat Suara ini dan memandang ke laut lepas. Tadi ada suara di balik dua tonjolan batu karang. Tentu di dalam laut di bawah karang itulah orang aneh kedua terhukum. Maka bergerak tapi ingat perahunya hancur, merandek dan tertegun lagi iapun mendenger kakek gundul pelontos ini terkekeh.
"Ah, kau mau menolong saudaraku si Hitam itu? Awas, ia jahat, anak muda. Salah-salah kau dicaploknya nanti."
"Omong kosong!" suara itu menyahut, dari tengah laut. "Dia itulah yang bakal mencelakaimu, anak muda. Jangan percaya kebaikannya karena ia baik di luar busuk di dalam!"
"Ha-ha, tak usah marah. Kau diam dan tinggal saja di sana, sute. Hukumanmu belum habis. Biar anak muda ini bersamaku dan besok atau besok lagi ia menolongmu!"
Beng An terkejut. Tibe-tiba ia disambar dan dicengkeram kakek ini, entah mau diapakan. Namun karena ia mengelak dan sambaran itu luput, si kakek terbelalak tiba-tiba kakek ini menerkam wajahnya dan berseru beringas.
"Kau anak muda tak tahu sopan. Ikuti perintahku atau kau mampus!"
Beng An kaget sekali. Si kakek meloncat dan karena gerakannya kaku namun cepat, tahu-tahu jari itu sudah menyambar mukanya maka ia menangkis dan tak mungkin mengelak lagi. Dan begitu menangkis ia maupun kakek itu sama-sama terpental.
"Duk!" Si kakek meraung. Bagai srigala kelaparan mendadak kakek ini bergulingan. la roboh ketika terpental, tak mampu membengkokkan kaki namun kini dengan cepat dan luar biasa ia bersikap seperti trenggiling, maju mendekati Beng An dari bawah. Dan ketika sepuluh jarinya mencengkeram dan terdengar suara mendesis di bawah maka pasir atau tanah di mana kakek itu mencengkeram menjadi hangus dan terbakar. Beng An berjungkir balik dan jauh menyelamatkan diri. Kakek itu melenting dan akhirnya berhadapan dengan mata melotot.
"Kau.... kau berani melawan aku? Kau minta mampus!"
"Hm " Beng An tergetar, kakek ini jelas marah sekali, tak ingat segala budi baiknya. "Kau aneh, locianpwe. Mau menolong orang lain kenapa tak boleh. Aku tak takut padamu, tapi kalau sekali kau coba-coba menyerangku tentu kubalas!"
"Heh, kau berani? Bagus, bocah kurang ajar. Kubunuh kau!" dan si kakek yang mencelat dan kemudian berpusing mengeluarkan jurus-jurus aneh akhirnya mencengkeram dan berusaha menangkap Beng An dengen sepuluh kuku jarinya yang panjang. Setelah kakek ini di darat tampaklah bahwa tubuhnya tinggi kurus, pakaian compang-camping dan kulitnya yang putih itu kehijau-hijauan.
Tadi ketika menangkis Beng An merasa kulit lengan yang licin dan kuat, begitu licin seperti lumut. Dan ketika sekarang ia mengelak dan berlompatan ke sana-sini, menangkis maka ia mendapat kenyataan bahwa sesungguhnya seluruh bagian tubuh kakek itu licin berminyak! Kulit yang kehijau-hijauan ini seperti tumbuh jamur mungkin karena begitu lamanya terendam di laut. Seperti ganggang! Dan ketika ia berlompatan dan membalas atau menangkis, mengerahkan sinkangnya maka ia mendapat kenyataan bahwa sesungguhnya sinkang atau tenaga sakti kakek ini juga hebat sekali.
"Duk-dukk!"
Beng An tergetar dan terhuyung mundur. Ia belum mengeluarkan Ping-im-kangnya karena lawanpun bersifat coba-coba. Kakek itu coba bergerak cepat untuk merobohkannya. Tapi karena belasan jurus kemudian Beng An juga bergerak kian cepat, Jing-sian-eng atau Bayangan Seribu Dewa dikeluarkan untuk mengimbangi maka kakek itu melotot karena pemuda ini bagaikan bayang-bayang yang sudah ditangkap.
"Heh, kalau begitu coba kau rasakan ini."
Beng An terkejut. Kulit yang putih kehijauan mendadak berobah kemerahan kemudian sudah menjadi bara dan menyambarlah pukulan yang dikenal. Giam-lui- ciang! Dan ketika kakek itu terbang. Beng An melempar tubuh bergulingan, api menyambar dan menjilat belakang akhirnya Beng An sadar bahwa ia berhadapan dengan seorang tokoh Pulau Api, entah yang mana!
"Kau tokoh Pulau Api. Itu ilmumu Giam-lui-ciang... blarr!"
Beng An mendengar kakek itu tertawa bergelak dan membanting tubuh bergulingan. Tak di sangkanya bahwa kakek yang ditolong ini adalah orang Pulau Api, agaknya penghuni istimewa. Dan ketika ia meloncat bangun dan Giam-lui-ciang kembali meledak dan menyambar, kakek itu sat-set-sat-set menggerakkan kaki yang kaku tak dapat dibengkokkan maka Beng An melihat bahwa inilah ilmu langkah sakti milik Hwe-sin. Beng An terbelalak. Apa boleh buat ia berseru keras melayani kakek itu. Dan begitu ia membentak dan mengeluarkan Ping-im-kangnya maka pukulan dingin itu menghantam pukulan panas.
"Cess!" Api padam bertemu es. Beng An membalas dan segera kakek ini terkejut. Pemuda itu berkelebatan dengan ginkangnya yang istimewa pula. Dan ketika perlahan tetapi pasti Beng An mampu melawan, kakek itu masih akan mainkan ilmu silatnya, maka kakek ini melengking-lengking penuh heran dan keget.
"Heii, ini seperti Bu-kek-kang. Eh, tidak. Lain sama sekali. Eh, apa nama ilmumu ini, bocah. Kau kiranya lihai dan hebat sekali. Kukira hanya tenagamu yang besar... bres-bress!"
kakek itu terpelanting dan bergulingan menerima Ping im-kang, menggigil dan kedinginan namun sejenak kemudian dia menggeber tubuhnya. Gerakan ini seperti anjing membersihkan bulu, atau anjing yang kecemplung kolam. Dan ketika hawa dingin sirna dengan gerakan itu, kakek ini meloncat dan menerjang lagi maka Beng An mendapat kenyataan bahwa sesungguhnya kakek ini lihai bukan main.
Beng An melihat gerakan yang masih kaku dan susah tapi setiap angin menderu tentu menimbulkan hawa panas menyambar. Ini tentu karena kekek itu bertahun-tahun tenggelam di laut. Kakipun hanya dapat meloncat dan menjejak-jejak Seperti katak. Tapi ketika pertempuran itu berjalan tiga puluh jurus dan si kakek mendapatkan kegembiraan, perlahan tetapi pasti kelihaiannya juga mulai timbul maka Giam-lui-ciang yang menderu menyambar Beng An juga kian hebat. Laut di pantai mengering dan lenyap!
Beng An terkejut, Maklumlah dia bahwa kakek yang dihadapi ini adalah dedengkot Pulau Api. Dia mulai bertanya dan berseru apa hubungan kakek itu dengan Tan-pangcu. Orang mula-mula melengak dan bertanya siapa Tan-pangcu itu. Tapi ketika Beng An memberi tahu bahwa Tan-pangcu bukan lain adalah ketua Pulau Api, kakek ini bergelak maka dia mencemooh.
"Ha-ha, Tan Siok itu? Bocah ingusan. Eh, dia anak kemarin sore dibanding aku, anak muda. Masih keponakan muridku beberapa tingkat di bawah. Kalau dia menjadi ketua tentu terlampau sombong dan biar nanti kuhajar."
Giam-lui-ciang menyambar dan diterima Beng An, tertahan dan meledak dan sebagai-gantinya tampaklah bunga api berhamburan. Pukulan Es yang dilancarkan Beng An mulai tertahan. Kakek itu semakin lihai, tidak terdesak lagi Dan ketika jurůs-jurus berikut menunjukan kakek ini semakin kuat, ia mulai lemas dan hebat sekali mainkan pukulannya maka Beng An ganti terdesak dan dipukul mundur, bertubi-tubi.
"Ha-ha, hebat juga. Ini anak istimewa, Ha-ha pukulanmu mirip Bu-kek-kang tapi asal tenaganya lain. Ha-ha, kau bakat alam, rupanya kebetulan menerima mujijat. Eh, roboh dan tunduklah kepadaku, bocah. Atau mampus menerima pukulanku... blarrr!"
Giam-lui-ciang menyemburkan api dahsyat, jauh belasan meter dan Beng An melempar tubuh bergulingan. Ia tak sempat menangkis karena didesak bertubi-tubi. Hebat sekali kakek gundul pelontos itu. Dan ketika ia mulai marah bahwa kakek ini jahat sekali, tak kenal budi maka Beng An berkemak-kemik dan digosoklah kedua tangannya mengeluarkan andalannya, Pek-sian-sut.
"Heiii, pandai sihir. Ha-ha, mau lari ke mana kau. Ayo, akupun juga dapat dan lihat ini... klep!" kakek itu menepukkan kedua tangannya hingga menggelegar. Asap merah membubung tinggi dan sebelum Beng An lenyap dībungkus asap putihnya tahu-tahu asap merah ini menyambar, cepat sekali. Dan ketika Beng An terkejut dan berseru menangkis maka asap putihnya terpental dan kakek itu justeru menghilang, lenyap!
"Wuuusshhh!"
Beng An melengak dan heran. Ia hendak mencari ketika tiba-tiba bayangan kakek itu muncul lagi, cepat sekali, di belakangnya. Dan ketika ia membalik dan menangkis maka kakek itupun terpental dan Beng An ganti menghilang dengan ilmu sihirnya.
"Dess!" Kakek itu terhuyung-huyung. la terbelalak melihat lawarn menghilang meniru dirinya, Beng An lenyap entah ke mana. Tapi ketika kakek itu mendengar kesiur di belakangnya dan Beng An muncul membalas, membalik dan menangkis maka Beng An terpental den kakek itu tertawa bergelak, ganti menghilang dan menyambar di belakang Beng An, ditangkis dan Beng An kembali menghilang dan selanjutnya dua orang ini muncul silih berganti....
Dua hari sejak kepergian Beng An ia tak bertemu sedikitpun dengan pendekar Rambut Emas. Tapi ketika hari ketiga datang tiba-tiba ia dipanggil. Dan wanita ini gemetaran tak keruan, masuk dan sudah diantar cucunya Siang Lan yang tadi memanggilnya, melihat pendekar itu duduk dengan tiga cucunya yang lain. Hok Gi di pangkuan Shintala.
"Duduklah" Pendekar Rambut Emas seakan tak mempunyai perasaan apa-apa. "Ada yang hendak kami bicarakan denganmu, Cao Cun. Duduk dan dengarlah apa yang hendak kukatakan."
Wanita itu duduk, menunduk, suaranya lirih ketika bertanya, "Taihiap hendak bicara apa?"
"Hm Pendekar Rambut Emas menarik napas dalam-dalam. "Aku dan anak-anak hendak pergi, Cao Cun. Ingin bertanya kepadamu apakah kau ikut atau tidak."
"Pergi?" wanita ini mengangkat muka, terkejut. "Ke mana, taihiap? Lama atau tidak?"
"Aku tak tahu, tapi mungkin lumayan."
“Taihiap mau ke mana?"
"Lembah Es."
"Apa?"
"Benar, kami hendak ke Lembah Es Cao Cun. Karena itu kau ikut atau tidak?"
Wanita ini tiba-tiba tertegun. Ia membelalakkan mata dan Shintala tiba-tiba memegang lengannya. Lalu ketika ia menoleh dan berkerut kening, nyonya muda itu tersenyum maka wanita ini berkata,
"Gak-hu telah menetapkan untuk pergi. Siang Hwa dan Siang Lan ngotot sekali ingin mengetahui penghuni Lembah itu. Kalau bibi mau ikut segeralah siap-siap karena kami segera berangkat."
"Ah, dan puteramu?"
"Bun Tiong juga pergi, bibi, aku juga ikut."
"Dan... dan Hok Gi?"
"Anak ini mungkin kami bawa, kalau kau juga ikut."
"Tidak!" wanita itu tiba-tiba menggeleng. "Anak sekecil itu jangan dibawa bepergian jauh, Shintala. Biarkan ia di sini dan aku menjaganya!"
"Bibi tidak ikut?"
"Aku wanita lemah, pengganggu saja kalau ikut bersama kalian. Biarlah aku di sini merawat dan menjaga rumah ini. Dan kalau kalian tidak keberatan serahkan Hok Gi kepadaku karena ia seperti cucuku sendiri!"
"Hm," Pendekar Rambut Emas mengangguk-angguk, tersenyum. "Kalau begitu keputusanmu tentu saja kami tak keberatan, Cao Cun. Kami memang merasa repot kalau anak sekecil ini ikut, kecuali kau ikut pula."
"Tidak, aku di rumah saja. Aku menyadari diriku, taihiap, lain dengan kalian orang-orang yang berkepandaian. Biarlah aku di sini dan Hok Gi bersamaku!"
"Bibi benar-benar tidak ikut?"
"Aku di rumah saja, Shintala, menjaga dan menunggu kalian di sini. Aku tak mau membuat kesenangan kalian terganggu. Berangkatlah, hati-hati dan pulanglah dengan selamat. Ini permintaanku!"
Shintala terharu. Ia memeluk dan mencium wanita itu sementara Siang Hwa dan Siang Lan tiba-tiba bersorak. Mereka tadi khawatir jangan-jangan nenek mereka ini melarang, atau marah dan tidak membiarkan mereka pergi karena Lembah Es amatlah jauh dan berbahaya. Maka begitu nenek mereka itu tinggal di rumah dan mereka mendapat kebebasan, kakek mereka Kim-mou-eng cukup menjadi andalan maka Siang Lan yang biasa manja kepada Cao Cun melompat dan berseru, menubruk wanita ini.
"Hura, nenek tidak marah. Beritahukan ayah bahwa kami diajak kong-kong dan terima kasih atas kebaikan nenek!"
Cao Cun tersenyum. la diciumi dan dirangkuli cucunya itu, Siang Hwa juga tertawa dan melakukan hal yang sama. Dan ketika semua gembira dan Cao Cun ternyata tidak menghalangi niat kepergian Pendekar Rambut Emas ini, semalam pendekar itu bicara dengan menantunya dan Shintala girang menyambut, wanita inipun ingin tahu bagaimana penghuni Lembah Es itu maka diambil kesepakatan bahwa semua akan pergi, kecuali Cao Cun tidak ikut.
"Aku ingin mengajak anak-anak mencari pengalaman. Aku juga bosan tinggal di sini bertahun-tahun tak pernah keluar. Sekarang ada berita menarik ini, aku ingin berkunjung sekalian menyusul Beng An dan suamimu Thai Liong."
"Aku setuju," Shintala girang luar biasa. "Aku juga tertarik mendengar itu juga gak-hu. Kalau kau mau pergi dan membawa kami tentu saja aku girang sekali. Hanya bagaimana dengan bibi Cao Cun dan Hok Gi yang masih kecil ini."
"Kita panggil dia besok, kita tanya. Kita beritahukan maksud ini tapi kukira ia tak mau ikut."
Dan benar saja, wanita itu pilih tinggal di rumah. Cao Cun adalah wanita tahu diri dan maklum bahwa Pendekar Rambut Emas adalah seorang petualang, di masa mudanya tak mungkin betah dirumah saja maka begitu dia diberi tahu begitu pula ia menggeleng, tak mau ikut. Wanita ini tahu kesukaan orang-orang kang-ouw dan melihat kegembiraan pendekar itu cucu-cucunya dia maklumn bahwa dia tak boleh menghalangi.
Justeru dia merasa kebetulan dengan ini, dapat merawat rumah dan menjaga Hok Gi di situ. Terlalu lama berdua dengan Pendekar Rambut Emas membuat dia kikuk. Kalau saja Siang Le sudah pulang dan kembali ke Sam-liong-to tentu dia pilih turut, tak mau berlama-lama di situ. Maka ketika pendekar ini mau pergi dan justeru membawa cucu-cucunya, Shintala juga ikut maka dia pilih di situ dan menanti di rumah.
Pendekar Rambut Emas berterima kasih karena kalau wanita ini ikut tentu repot sekali di perjalanan. Mereka tak dapat melakukan perjalanan cepat, lain kalau Thai Liong yang membawa karena puteranya itu dapat "menyimpan' orang di balik jubah saktinya lewat ilmunya Beng-tau-sin-jin itu, ilmu yang masih di atas Pek-sian-sut. Maka ketika diputuskan bahwa hari itu juga mereka berangkat, Cao Cun mengangguk dan menerima Hok Gi maka wanita ini melambaikan tangan ketika Pendekar Rambut Emas menyambar cucunya sementara Bun Tiong dibawa ibunya.
"Hati-hatilah," Wanita itu berpesan. "Pulang dan cepatlah kembali kalau mungkin, taihiap. Titip cucuku Siang Hwa dan Siang Lan agar tidak nakal di perjalanan!"
"Kami tak mungkin. nakal," Siang Hwa tertawa. "Kong-kong akan menjewer kami, nenek. Kau tenanglah di situ dan tolong adikku Hok Gi dijaga baik-baik!"
"Benar, dan kami akan cepat pulang, nek, kalau sudah di sana. Tunggulah dan katakan kepada ayah bahwa kong-kong yang mengajak kami. Heiii..." Siang Lan berteriak, meloncat dan tiba-tiba terbang dibawa kakeknya.
Pendekar Rambut Emas tertawa dan mengerahkan ilmunya dan sekonyong-konyong ia sudah meluncur keluar lembah. Gerakannya begitu cepat seperti kijang melompat. Atau bahkan seperti anak panah menyambar. Dan ketika pohon dan dinding jurang berseliweran cepat di kanan kiri, anak itu bersorak dan berteriak maka Siang Hwa yang digandeng kakeknya juga melengking dan tertawa-tawa girang, terbang tak menginjak tanah lagi saking cepatnya sang kakek menyentak tubuhnya. Anak dibawa berlari cepat dan ketika Siang Hwa tak menginjak tanah lagi saking cepatnya dibawa lari maka Bun Tiong, yang disambar dan dibawa ibunya juga berteriak dan tertawa-tawa.
"Heii, aku terbang, enci Siang Hwa. Lihat kakiku melayang seperti burung!"
"Aku juga. Lihat kong-kong membawaku demikian cepat!"
"Hi-hik, dan aku paling enak. Aku dapat melihat jauh lebih tinggi di atas pundak kong-kongl" Siang Lan, yang tak mau kalah berseru tertawa-tawa.
Tiga anak itu gembira dan diajak menuju Lembah Es seolah diajak pesiar ke bulan. Mereka begitu senang, riuh dan saling jawab-menjawab. Namun ketika Pendekar Rambut Emas menyuruh anak-anak itu diam, begitu pula Bun Tiong maka Shintala menyusul gak-hunya dan mereka akhirnya terbang berendeng.
Cao Cun memandang kepergian rombongan itu dengan mata berkejap-kejap. Sesungguhnya dia berat juga berpisah dengan anak-anak itu. Namun karena mereka dibawa kakeknya sendiri dan kependaian Pendekar Rambut Emas tidaklah main-main akhirnya wanita ini tenang kembali dan setelah menarik napas dalam-dalam ia pun masuk rumah dan kebetulan Hok Gi menangis karena lapar. Dan begitu semua sunyi dan tinggallah wanita îtu sendiri maka Pendekar Rambut Emas di sana sudah meluncur ke utara mencari dimana letaknya Lembah Es itu, sesuai keterangan Beng An.
* * * * * * * *
Marilah kita ikuti perjalanan Beng An yang menuju Pulau Api. Pemuda ini, karena mengenal jalan tentu saja lebih dulu tiba di sana daripada kakaknya atau encinya. Beng An mengayuh perahu dan akhirnya melompat ke daratan begitu sampai di pulau ini. Tak banyak kesukaran baginya meskipun pulau itu berbahaya. Tapi ketika ia melompat dan tiba disini tiba-tiba ia tertegun. Pulau itu sepi, tak ada siapa-siapa. Dan ketika ia berkelebat dan mencari kemana-mana ternyata pulau kosong dan benar-benar tak berpenghuni. Aneh!
Beng An mengerutkan kening. Sebenarnya, seperti yang ia katakan kepada ayahnya ia tak bermaksud membalas dendam kepada orang-orang Pulau Api itu. Ia hanya hendak mengintai dan mencari kesempatan saja, menunggu orang-orang itu melakukan tindakan yang menyimpang dari kebenaran. Tapi ketika pulau benar-benar sepi dan ia tak menemukan siapa-siapa maka Beng An menjadi kesal dan kecewa, Ke manakah perginya orang-orang itu?
la tak tahu bahwa karena menderita kekalahan dari Pendekar Rambut Emas yang mengakibatkan dua sutenya luka maka Tan-pangcu tak tinggal lagi di pulau yang paling besar itu. Ketua Pulau Api ini mengajak menyingkir semua muridnya, pergi dari pulau itu menuju pulau lain yang lebih kecil. Dan karena Kepulauan Akherat ini memang penuh dengan pulau-pulau kecil, bertebaran dan merata di situ maka ketua ini memilih Pulau Hitam, Hek-to, menjadi markasnya sementara luka yang diderita oleh Bu Kok dan sutenya See Kiat memang cukup berat. Paling tidak dua orang itu harus beristirahat empat bulan.
Maka tak mau mengambil resiko kalau dia mendapat pembalasan, diam-diam Tan-pangcu ini gentar tapi juga penasaran oleh hebatnya Pendekar Rambut Emas maka ketua ini di Pulau Hitam sambil menyembunyikan diri juga memperdalam ilmunya. Kesempatan itu adalah yang terbagus baginya. Sutenya luka, harus memulihkan diri. Dan dia dapat memperdalam ilmu sementara dua sutenya itu beristirahat.
Maka ketika Pulau Hitam dipilih untuk persembunyian sementara, pulau ini di ujung barat Pulau Api maka Beng An tak akan menemukan bila tak bergerak dan mencari. Dan Beng An memang belum tahu banyak akan gugusan pulau-pulau di situ. Yang diketahui baik hanyalah Pulau Api, selebihnya belum. Maka ketika pemuda ini tak mendapatkan siapapun dan heran serta bertanya-tanya maka dia menunggu dan coba bersabar sampai seminggu. Tapi pulau tetap saja kosong!
Beng An kesal. Kalau begini jelas dia sia-sia. Entah ke mana orang-orang Pulau Api itu. Maka membuang kesal dan mengambil perahunya maka Beng An bermaksud untuk putar-putar dan mencari di tempat lain. Dan saat itulah dia mendengar suara lapat-lapat orang merintih.
"Aduh, keparat... aduh..."
Beng An terkejut. Dia sudah berada di laut lepas ketika tiba-tiba suara itu terdengar. Dia sudah jauh dari Pulau Api. Dan karena delapean penjuru hanya laut melulu dan yang paling dekat hanya sebuah pulau kecil di sana, jauh dan hanya merupakan titik hitam di laut bebas maka Beng An mengkirik karena apakah suara tadi adalah suara hantu yang gentayangan. Dan tiba-tiba terdengar suara rintihan pula yang lain. Namun ketika suara ini disusul maki-makian maka Beng An semakin merasa seram karena suara itu Seolah datangnya dari bawah air!
"Jahanam... blub! Keparat jahanam...blub-blub! Kau anjing betina liar keparat We We Moli. Kau membuat aku mati tidak hidup pun bukan. Bedebah, kau membuat aku menjadi manusia sungsang..blub-blub!"
Suara air itu membuat Beng An menjatuhkan pandang ke bawah. la merasa seolah suara itu dari bawah laut di bawah perahunya. Suara blub-blub itu seakan suara air menggelembung. Tapi tak yakin akan pendengarannya maka Beng An tiba-tiba mendengar suara rintihan pertama itu tadi, kini ditujukan kepadanya,
"Heii, bocah! Ada apa kau berputar-putar di laut ini. Tak akan ada ikan untukmu. Tolong aku dan lepaskan ikatan ini!"
Beng An terkejut. la tiba-tiba merasa suara itu dari pulau di tempat jauh itu. Suaranya menjalar di permukaan air dan jelas sekali, bukan main! Dan ketika ia memandang tajam dan kaget sekali, terbelalak tiba-tiba tampaklah sebuah benda terapung timbul tenggelam di tepian pulau kecil itu. Entah apa. Dan Beng An mendengar bentakan itu lagi. Ia dimaki dan disuruh datang. Rintihan dan makian kini silih berganti. Dan ketika ia menggerakkan perahu dan menuju tempat itu maka suara kedua, yang berasal dari bawah air itu muncul lagi, menghardik.
"Heii, jangan. Ke sini dulu! Lepaskan kakiku dari celah dinding terjal ini!"
Beng An terkejut. Tiba-tiba ia melihat dua batu karang menonjol kecil di atas air, kecil saja dan kalau tidak dilihat baik-baik tentu lepas dari pengamatan. Dari situlah suara kedua itu berasal. Dan ketika ia tertegun dan menghentikan perahunya, otomatis menengok maka suara pertama, yang kini menggeram tiba-tiba disusul oleh pukulan jarak jauh yang membuat perahunya terangkat tinggi, maju ke depan.
"Tidak, kau sudah ke sini dulu, bocah. Tolong aku dan lepaskan ikatan ini!"
Beng An kaget bukan main. Ia terhisap dan tersedot ke depan dan karena tak menjaga diri maka perahupun meluncur dan terbang ke depan. Pukulan jarak jauh itu membuat ombak melingkar dan membalik, mengangkat dan mendorong perahunya seakan dilempar tangan raksasa. Dan ketika ia berteriak dan memukulkan dayung, perahu terbanting dan terjaga ke seimbangannya lagi maka tampaklah sebuah kepala gundul di atas permukaan air sana, di pulau itu.
"Ke sini kau!" suara itu kini jelas arahnya. "Lepaskan ikatan ini dan baru setelah itu si buruk itu!"
Beng An tertegun. Seorang kakek, gundul mengkilap terapung timbul tenggelam di permukaan laut. Kakek ini seakan benda kecil yang lucu sekali naik turun diair, atau seperti perenang yang tak mampu maju, diam dan tinggal di tempatnya sementara napas mulai habis, terengah-engah. Dan ketika Beng An mendekat dan tentu saja tertarik sekali, entah siapakah kakek ini maka đia berseru seraya berjaga dengan dayung. Pukulan jarak jauh tadi membuatnya maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang sakti, entah gila atau sinting berendam di air laut.
"Heii, locianpwe yang aneh. Ada apa kau terapung timbul tenggelam di situ. ikatan apa yang kau maksud. Bagaimana aku menolongmu!"
"Bodoh! Maju dan mendekat saja, anak muda. Aku terapung timbul tenggelam karena batu keparat di bawah kakiku ini. Aku terikat, kakiku terkunci. Lepaskan ikatan ini atau bawa aku ke darat. Seret dengan perahumu itu!"
"Terikat? Locianpwe terikat?"
"Tak usah banyak mulut. Kau tentu bukan bocah sembarangan kalau sudah berani berkeliaran di Pulau Akherat ini. Ayo tolong aku dan lepaskan batu besar di kakiku ini. Aduh, aku terapung timbul tenggelam!"
Beng An terbelalak. Sekarang kakek itu lenyap den kepala gundulnya masuk di bawah air. Jelas bukan menyelam karena kedua tangan lalu menggapai-gapai ke atas, persis orang kalap (dibawa banjir). Maka bergerak dan memukulkan dayungnya tiba-tiba Beng An membuat perahu melejit dan sekali sambar ia menarik tangan kakek itu. Namun alangkah kagetnya Beng An. la tak mampu menarik karena tubuh si kakek luar biasa beratnya. Tak kurang dari sepuluh ton! Dan ketika ia tertegun sementara si kakek muncul lagi, megap-megap maka kakek itu menyeringai dan tertawa.
"Heh-heh, kau mau coba menarik aku? Bodoh, gila. Di bawah kakiku ini ada sepasang batu menggantung, bocah. Kakiku diikat di situ. Kalau kau mau menolongku lepaskan tali itu atau seret aku ke daratan!"
Beng An membelalakkan mata. Sungguh tak disangka bahwa kaki kakek ini dibanduli sepasang batu seberat itu. Pantas ia tak kuat. Tapi kagum bahwa kakek ini dapat naik turun, kiranya dia menjejak dan selalu mumbul apabila terbawa tenggelam maka Beng An penasaran sekali oleh orang yang melakukan ini.
"Siapa yang melakukan itu. Kenapa locianpwe diperlakukan seperti ini!"
"Heh-heh, tak usah tanya, bocah. Lepas saja ikatan di bawah itu atau seret aku dengan perahumu ke darat."
"Melepaskan tali? Bagaimana caranya?" "Tentu saja menyelam ke bawah. Bodoh! Terjunlah ke air atau seret tubuhku dengan perahumu!"
Beng An terbelalak. Tiba-tiba keinginan tahunya besar sekali. Ia penasaran oleh batu di bawah kakek itu, mengapa ia sampai tak kuat. Dan ketika ia mengangguk dan ingin melihat di bawah tiba-tiba ia meloncat dan.. , byurr, Beng An telah menyelam di bawah laut. Kakek itu melotot tapi tiba-tiba terkekeh. Ia melihat keberanian dan nyali besar pada diri pemuda ini. Dan ketika ia merasa ditarik dan dipegang serta diguncang, di bawah sana Beng An menengkeram kaki kakek itu maka kakek ini terbelalak tapi tiba-tiba berteriak.
"Heiii.... aduuhhh!"
Beng An terkejut. Sekarang ia sudah berada di bawah laut dan melihat apa yang terjadi. Sepasang batu raksasa, menggelantung dan berada beberapa meter dari dasar laut tampak menyiksa kakek . Kakek itu bakal tertarik dan tenggelam kalau batu ini turun ke bawah. Dasar laut tidak terlalu jauh lagi namun sekali tenggelam tentu nyawa taruhannya. Siapa bisa bertahan hidup terus-menerus kecuali ikan. Maka ketika kakek itu harus sering menarik tubuhnya ke atas melawan beban seberat itu, entah berapa lama kakek ini berada dalam keadaan seperti itu maka Beng An melihat bahwa dua buah batu ini dililit tali sebesar lengan orang yang menyatu dan saling gubat-menggubat.
Ikatan itu hebat dan cerdik sekali merupakan ikatan mati. Membuka yang sini harus membuka yang sana, padahal membuka yang sana berarti harus membuka ikatan yang lain lagi, begitu seterusnya , Dan karena ini tak mungkin dan satu-satunya jalan harus membabat atau membacok putus setiap ikatan itu, jumlahnya bukan main banyaknya maka Beng An kehabisan napas dan harus keluar dulu menghirup udara segar. Ia tak kuat lama-lama di dalam air.
"Hah, bagaimana!" kakek itu membentak. "Kenapa tak berbuat apa-apa, bocah. Ada apa keluar lagi!"
"Wah, tali yang melilit di bawah banyak sekali," Beng An berseru. Ratusan jumlahnya, locianpwe. Tak mungkin putus dalam sekejap. Aku sedang berpikir bagaimana baiknya."
"Bodoh, goblok tolol! Seret saja aku ke darat, bocah. Tak usah banyak berpikir!"
"Benar...!" Beng An akhirnya mengalah. "Nanti di darat kita putuskan semua karena di dalam air harus berpacu dengan waktu. "Siaplah dan awas kudorong!"
Beng An meloncat di dalam perahunya dan menyambar dayung. Ia dapat memutuskan ikatan semua tali itu namun berlama-lama di air ia tak suka. Meskipun ia dapat mengerahkan sinkang namun basah kuyup menolong kakek ini bukan hal yang menyenangkan. Maka berpikir bahwa menarik rupanya lebih cocok, ia dapat menyeret kakek itu sampai ke darat maka iapun mendorongkan dayungnya dan sekali berteriak menyuruh kakek itu berpegangan pinggir perahu Beng An mengerahkan sinkangnya hingga perahu melejit bagai dipukul tangan raksasa.
Si kakek menyambar pinggiran perahunya namun di tengah jalan terhenti. Sepasang batu di bawah laut bergerak, terbawa naik dan Beng An merasa betapa beratnya batu itu. Meskipun di bawah air namun batu ini luar biasa sekali. Batu tak kurang dari besar seekor gajah. Dan karena batu itu ada sepasang dan masing-masing memiliki bobot yang lebih kurang sama, perahu tersentak dan kakek itu berseru kecewa maka perahu terbalik dan usaha Beng An yang pertama ini gagal.
"Byuurrr...."
Pemuda itu malah masuk lagi ke laut. Si kakek mengomel panjang pendek namun Beng An berenang lagi, membetulkan perahunya dan meloncat ke atas. Dan ketika ia merah padam merasa gagal, batu itu benar-benar luar biasa berat maka Beng An berkata biarlah kakek itu berpegangan tangannya dan ia menendang perahunya agar maju ke depan.
"Kau bodoh, goblok tolol. Lihat pinggiran perahumu pecah tak dapat menahan cengkeramanku. Kalau sekarang kau memberikan tanganmu jangan berteriak kalau nanti patah!"
"Hm,..." Beng An merasa dapat bertahan. "Aku dapat mengerahkan tenagaku, locianpwe. Kalaupun patah sudah nasib. Mari dan pegang erat-erat dan awas kutarik!"
Beng An mengeluarkan bentakan untuk kedua kali. Ia penasaran dan kaget sekali untuk kegagalannya itu. Pinggiran perahunya hancur tak kuat menerima cengkeraman kakek itu,, dayung juga patah dan terlempar masuk laut. Maka mempergunakan dasar perahu untuk menendang dan mendorong, ia mengerahkan tenaga maka, kakek itu terbawa ke depan dan sepasang batu raksasa di bawah kaki terangkat. Kakek itu tertawa bergelak dan girang bukan main namun lantai perahu tiba-tiba jebol.
Beng An semakin menambah tenaganya untuk menarik kakek ini, lantai tak kuat dan akhirnya berkeratak. Dan ketika perahu jebol dan airpun masuk ke dalam, tak ampun lagi Beng An terbanting dan bergulingan masuk laut maka pemuda itu sia-sia dan untuk kedua kalinya gagal. Kini perahu malah hancur.
"Goblok. sungguh goblok! Kau pemuda macam apa yang tak dapat menarik aku si tua bangka ini. Heh, pergi saja kalau begitu, anak muda. Panggil temanmu yang lain atau yang lebih kuat darimu!"
Beng An basah kuyup. la mendongkol oleh makian ini namun lebih mendongkol lagi oleh kegagalannya. Ke mana ia hendak pergi kalau perahu sudah hancur begitu. Maka berenang dan menuju daratan, pulau kecil itu akhirnya Beng An gemas melihat banyaknya akar malang-melintang dari pohon-pohon raksasa yang banyak terdapat di situ, mata tiba-tiba bersinar dan berseri. "Locianpwe tak usah mengomel," katanya. "Masih ada banyak jalan menuju kota raja."
"Heh, kau bicara apa? Kau memaki si tua bangka ini?"
"Hm, diam dan tenanglah saja di situ. Aku akan memilin akar-akar panjang ini, locianpwe, membentuk tali sekuat tali di sepasang batu itu. Nanti kau menarik pinggangku dan aku menarik tali ini." Beng An tak perduli.
"Apa kau bilang?" kakek itu marah.
"Diam dan tenang saja?”
“Heh, sudah tiga puluh tahun aku di sini, bocah. Menyabung nyawa mencoba mempertahankan hidup. Kalau kau memaki-maki aku jangan-jangan kaupun kubenamkan ke laut. He, untuk apa akar-akar panjang itu!"
Beng An tak menjawab. Tiba-tiba ia sudah bergerak dan berseri menyambar akar-akar pohon ini. la menyentak-nyentak mereka dan mendapat kenyataan betapa kuat dan liatnya akar itu. Dan ketika ia menyambung-nyambung cepat dan tak lama kemudian tali sebesar lengan orang terdapat, panjangnya tak kurang dari lima puluh meter maka Beng An melonjak dan bersorak. "Sudah jadi, sekarang aku yakin dapat!"
Kakek itu membelalakkan mata melihat saja pemuda itu bekerja dan maki-makianpun akhirnya hilang. Ia melihat betapa sungguh-sungguhnya pemuda itu bekerja. Dan ketika ia masih belum mengerti tapi Beng An tiba-tiba melempar ujung tali membelit sebatang pohon besar, menarik dan mengencangkan tali itu hingga tak terlepas maka pemuda ini tertawa melempar tubuh ke kakek itu, ujung tali yang satu sudah diikat dan dikencang kuat di pinggangnya.
"Ha-ha, sekarang tarik pinggangku, locianpwe. Aku akan menarik tali itu dari pohon itu!"
Kakek ini berseri. Tiba-tiba sekarang ia mengerti apa yang dimaksud Beng An. Kiranya pemuda itu mengikatkan ujung tali di sana sementara ujung yang sini dililitkan ke pinggang. Beng An melempar tubuh kepadanya dan tentu saja ia menangkap. Dan karena pemuda itu membawa tali yang sini dan tali di sana terentang, tentu saja menarik maka pinggang pemuda itu sudah dicengkeram kakek ini dan sekali berseru keras Beng An menarik atau merayap di tali panjang merentang itu.
"Awas, satu... dua..!" Aba-aba atau teriakan ini mulai terdengar. Beng An menarik atau membetot tali panjang itu sementara si kakek menarik atau membetot pinggangnya. Terdengar suara berkeratak ketika tulang-belulang kakek itu bekerja, penuh tenaga dan rupanya terlalu lama ia terendam di laut. Beng An memberi aba-aba dan setiap bicara tentu selangkah dia maju. Tali mengencang di batang pohon raksasa itu.
Dan ketika dengan tenaganya yang dahsyat Beng An menarik kakek ini melalui bantuan tali itu, bunyi berkeratak semakin sering membuat si kakek mengeluh maka perlahan tetapi pasti Beng An berhasi mengangkat naik tubuh kakek ini, berikut sepasang batu raksasa itu.
"Awas, tujuh... delapan...!" Beng An tak mau berhenti. la telah berhasii dan kian lama kian mendekati daratan.
Kakek dan batu itu juga terbawa. Dan ketika Beng An tiba pada hitungan kedua puluh, si kakek takjub maka batu sebesar gajah itu muncul di permukaan air dan kini Beng An menyentak tali sekuat tenaganya agar batu itu bergulir.
"Awas, tiga puluh satu....!"
Dahsyat dan mengagumkan sekali tenaga sakti pemuda ini. Beng An berseru keras hingga si kakek terangkat tinggi, begitu tinggi hingga kedua batu raksasa di bawah kakinya juga ikut terangkat naik, dua meter lebih. Namun ketika terdengar suara di depan dan pohon itu roboh, tali melesak ke dalam dan melukai tubuhnya maka pohon inilah yang tak kuat dan ambruk ke tempat Beng An. Pohon itu berdebum dahsyat.
"Buuummmm...!"
Beng An dan kakek ini tertimpa bagai gajah menimpa semut. Tali masih kencang di pinggang Beng An sementara kakek itu tak melepaskannya. Jadilah mereka tertindih dan tergencet pohon raksasa ini. Tøpi ketika terdengar suara kekeh riang dan Beng An mengeluh di dalam, muncul dan mendorong ranting atau cabang-cabang raksasa maka kakek itu tertawa-tawa di sebelah kiri Beng An, selamat karena sepasang batu itu kebetulan melindunginya.
"Ha-hah-he-heh.... bebas, sekarang aku bebas. Heh-heh, aku bebas, We We Moli. Siapa bilang kau dapat menghukumku seumur hidup. Ha-ha, aku selamat."
Beng An terhuyung dan keluar dari balik gerumbul daun. Ia tak apa-apa kecuali sedikit kesakitan. Kakek itu melepaskan pinggangnya setelah ia tertimpa, kena duluan dan kini terkekeh-kekeh bangkit berdiri pula. Tapi ketika dia tertegun ditahan batu raksasa itu, tak mampu menyeretnya karena terlalu lama ia disiksa maka kakek ini mengeluh dan tiba-tiba menangis.
"Hu-huu... keparat jahanam iblis wanita Bedebah terkutuk We We Moli itu. Hu-huu... kau kejam dan tak berperasaan, We We Moli. Kau siluman betina keji. Tak berjantung!"
Beng An menarik napas dalam. Setelah ia berhasil menolong kakek itu keluar dari air maka ia ngeri melihat sepasang batu besar yang masih terikat di bawah kaki kakek ini. Berat dan besarnya batu itu sudah Ia rasakan. Maka mendengar kakek itu menangis dan ia tak tahan, mengebutkan baju dan maju menghampiri maka ia berkata menepuk pundak kakek ini.
"Locianpwe tak usah sedih. Sekarang kita dapat melepas semua ikatan itu dengan mudah."
Kakek itu mendongak, teringat Beng An. Dan lenyap tangisnya terganti tawa girang ia balas menepuk bahu pemuda itu. "Ha-ha, benar. Ada kau di sini. Eh... menolong orang jangan setengah-setengah anak muda. Putuskan semua ikatan itu biar aku bebas merdeka!"
“Tak usah khawatir!" Beng An tersenyum. "Sekarang batu ini sudah terangkat naik, locianpwe. Tentu saja aku akan membebaskanmu dan mengerahkan sin-kang menabas putus ikatan demi ikatan. Akhirnya Beng An bekerja tak kurang dari setengah jam untuk membuka belenggu itu. Dihitung ada sekitar dua ratus ikatan yang saling kait-mengait, itu banyak, begitu rapat. Tapi ketika batu terlepas dan kakek itu bebas mendadak ia terguling dan roboh merintih-rintih.
"Aduh, aku tak dapat jalan. Kakiku...uratnya... uratnya kencang."
Beng An mengerutkan alis. Ia segera memeriksa dan terkejut mendapat kenyataan bahwa kaki yang sudah sedemikian lama itu tak dapat dibengkok-bengkol lagi. Kaki itu hanya lurus ke depan, persis batang bambu. Dan karena memang hanya gerakan ke atas ke bawah yang dapat dilakukan, seperti apa yang tiga puluh tahun ini dilakukan kakek itu maka si kakek meloncat-loncat dan itulah caranya bila ingin berjalan.
"Keparat, terkutuk We We Moli itu. la membuat kedua kakiku kaku lurus terus."
Beng An menahan tawa. Si kakek memang tak dapat berjalan kecuali meloncat-loncat lucu. Gerakan ini didapat karena selama tiga puluh tahun ini ia menjejak naik turun melawan batu raksasa itu. Kakinya tak dapat dibengkokkan lagi seperti orang biasa. la cacad, Tapi karena gerakan itu membuat si kakek memiliki daya jejak luar biasa, dalam marahnya ia sampai tak dapat mengatur diri maka ketika ia menjerit tiba-tiba tubunya mencelat puluhan meter, setinggi pohon kelapa!
"Heiii...!"
Beng An dan kakek itu sama-sama mengeluarkan seruan terkejut. Beng An kaget karena orang meluncur begitu tinggi sementara si kakek terkejut kerena bagaimana jatuhnya nanti la tak dapat membengkokkan kaki. Maka ketika benar saja ia meluncur turun dan kaki itupun lurus ke bawah, kaku menghunjam maka tanah melesak dalam dan kakek itu terbenam sebatas pusar.
"Blesss!"
Beng An takjub dan kagum. Kaki itu tak apa-apa sementara pasir dan tanah berhamburan. Namun karena si kakek tak dapat membengkokkan kakinya dan tentu saja tak dapat keluar maka ia berkaok-kaok karena begitu dalam terbenam.
"Keparat, jahanam keparat. Aku tak dapat mengeluarkan diriku!"
"Jangan khawatir," Beng An berkelebat. "Aku dapat menolongmu, locianpwe. Tapi jangan lagi meloncat setinggi itu atau nanti kau terkubur lagi... rrrttt!'"
Beng An menarik dan mencabut kakek itu, lepas dari benaman dan si kakek berseri-seri. Dua kali Beng An menolongnya. Tapi ketika kakek tertawa-tawa dan Beng An kagum memandang kakek ini maka suara di bawah laut itu. Suara marah membelubub lagi, aneh dan mengerikan.
"Heh, kau telah menolong saudaraku si Hantu Putih. Datang dan sekarang bebaskan aku, anak muda. Atau aku mencekikmu mampus... blub!"
Beng An terkejut. la segera teringat Suara ini dan memandang ke laut lepas. Tadi ada suara di balik dua tonjolan batu karang. Tentu di dalam laut di bawah karang itulah orang aneh kedua terhukum. Maka bergerak tapi ingat perahunya hancur, merandek dan tertegun lagi iapun mendenger kakek gundul pelontos ini terkekeh.
"Ah, kau mau menolong saudaraku si Hitam itu? Awas, ia jahat, anak muda. Salah-salah kau dicaploknya nanti."
"Omong kosong!" suara itu menyahut, dari tengah laut. "Dia itulah yang bakal mencelakaimu, anak muda. Jangan percaya kebaikannya karena ia baik di luar busuk di dalam!"
"Ha-ha, tak usah marah. Kau diam dan tinggal saja di sana, sute. Hukumanmu belum habis. Biar anak muda ini bersamaku dan besok atau besok lagi ia menolongmu!"
Beng An terkejut. Tibe-tiba ia disambar dan dicengkeram kakek ini, entah mau diapakan. Namun karena ia mengelak dan sambaran itu luput, si kakek terbelalak tiba-tiba kakek ini menerkam wajahnya dan berseru beringas.
"Kau anak muda tak tahu sopan. Ikuti perintahku atau kau mampus!"
Beng An kaget sekali. Si kakek meloncat dan karena gerakannya kaku namun cepat, tahu-tahu jari itu sudah menyambar mukanya maka ia menangkis dan tak mungkin mengelak lagi. Dan begitu menangkis ia maupun kakek itu sama-sama terpental.
"Duk!" Si kakek meraung. Bagai srigala kelaparan mendadak kakek ini bergulingan. la roboh ketika terpental, tak mampu membengkokkan kaki namun kini dengan cepat dan luar biasa ia bersikap seperti trenggiling, maju mendekati Beng An dari bawah. Dan ketika sepuluh jarinya mencengkeram dan terdengar suara mendesis di bawah maka pasir atau tanah di mana kakek itu mencengkeram menjadi hangus dan terbakar. Beng An berjungkir balik dan jauh menyelamatkan diri. Kakek itu melenting dan akhirnya berhadapan dengan mata melotot.
"Kau.... kau berani melawan aku? Kau minta mampus!"
"Hm " Beng An tergetar, kakek ini jelas marah sekali, tak ingat segala budi baiknya. "Kau aneh, locianpwe. Mau menolong orang lain kenapa tak boleh. Aku tak takut padamu, tapi kalau sekali kau coba-coba menyerangku tentu kubalas!"
"Heh, kau berani? Bagus, bocah kurang ajar. Kubunuh kau!" dan si kakek yang mencelat dan kemudian berpusing mengeluarkan jurus-jurus aneh akhirnya mencengkeram dan berusaha menangkap Beng An dengen sepuluh kuku jarinya yang panjang. Setelah kakek ini di darat tampaklah bahwa tubuhnya tinggi kurus, pakaian compang-camping dan kulitnya yang putih itu kehijau-hijauan.
Tadi ketika menangkis Beng An merasa kulit lengan yang licin dan kuat, begitu licin seperti lumut. Dan ketika sekarang ia mengelak dan berlompatan ke sana-sini, menangkis maka ia mendapat kenyataan bahwa sesungguhnya seluruh bagian tubuh kakek itu licin berminyak! Kulit yang kehijau-hijauan ini seperti tumbuh jamur mungkin karena begitu lamanya terendam di laut. Seperti ganggang! Dan ketika ia berlompatan dan membalas atau menangkis, mengerahkan sinkangnya maka ia mendapat kenyataan bahwa sesungguhnya sinkang atau tenaga sakti kakek ini juga hebat sekali.
"Duk-dukk!"
Beng An tergetar dan terhuyung mundur. Ia belum mengeluarkan Ping-im-kangnya karena lawanpun bersifat coba-coba. Kakek itu coba bergerak cepat untuk merobohkannya. Tapi karena belasan jurus kemudian Beng An juga bergerak kian cepat, Jing-sian-eng atau Bayangan Seribu Dewa dikeluarkan untuk mengimbangi maka kakek itu melotot karena pemuda ini bagaikan bayang-bayang yang sudah ditangkap.
"Heh, kalau begitu coba kau rasakan ini."
Beng An terkejut. Kulit yang putih kehijauan mendadak berobah kemerahan kemudian sudah menjadi bara dan menyambarlah pukulan yang dikenal. Giam-lui- ciang! Dan ketika kakek itu terbang. Beng An melempar tubuh bergulingan, api menyambar dan menjilat belakang akhirnya Beng An sadar bahwa ia berhadapan dengan seorang tokoh Pulau Api, entah yang mana!
"Kau tokoh Pulau Api. Itu ilmumu Giam-lui-ciang... blarr!"
Beng An mendengar kakek itu tertawa bergelak dan membanting tubuh bergulingan. Tak di sangkanya bahwa kakek yang ditolong ini adalah orang Pulau Api, agaknya penghuni istimewa. Dan ketika ia meloncat bangun dan Giam-lui-ciang kembali meledak dan menyambar, kakek itu sat-set-sat-set menggerakkan kaki yang kaku tak dapat dibengkokkan maka Beng An melihat bahwa inilah ilmu langkah sakti milik Hwe-sin. Beng An terbelalak. Apa boleh buat ia berseru keras melayani kakek itu. Dan begitu ia membentak dan mengeluarkan Ping-im-kangnya maka pukulan dingin itu menghantam pukulan panas.
"Cess!" Api padam bertemu es. Beng An membalas dan segera kakek ini terkejut. Pemuda itu berkelebatan dengan ginkangnya yang istimewa pula. Dan ketika perlahan tetapi pasti Beng An mampu melawan, kakek itu masih akan mainkan ilmu silatnya, maka kakek ini melengking-lengking penuh heran dan keget.
"Heii, ini seperti Bu-kek-kang. Eh, tidak. Lain sama sekali. Eh, apa nama ilmumu ini, bocah. Kau kiranya lihai dan hebat sekali. Kukira hanya tenagamu yang besar... bres-bress!"
kakek itu terpelanting dan bergulingan menerima Ping im-kang, menggigil dan kedinginan namun sejenak kemudian dia menggeber tubuhnya. Gerakan ini seperti anjing membersihkan bulu, atau anjing yang kecemplung kolam. Dan ketika hawa dingin sirna dengan gerakan itu, kakek ini meloncat dan menerjang lagi maka Beng An mendapat kenyataan bahwa sesungguhnya kakek ini lihai bukan main.
Beng An melihat gerakan yang masih kaku dan susah tapi setiap angin menderu tentu menimbulkan hawa panas menyambar. Ini tentu karena kekek itu bertahun-tahun tenggelam di laut. Kakipun hanya dapat meloncat dan menjejak-jejak Seperti katak. Tapi ketika pertempuran itu berjalan tiga puluh jurus dan si kakek mendapatkan kegembiraan, perlahan tetapi pasti kelihaiannya juga mulai timbul maka Giam-lui-ciang yang menderu menyambar Beng An juga kian hebat. Laut di pantai mengering dan lenyap!
Beng An terkejut, Maklumlah dia bahwa kakek yang dihadapi ini adalah dedengkot Pulau Api. Dia mulai bertanya dan berseru apa hubungan kakek itu dengan Tan-pangcu. Orang mula-mula melengak dan bertanya siapa Tan-pangcu itu. Tapi ketika Beng An memberi tahu bahwa Tan-pangcu bukan lain adalah ketua Pulau Api, kakek ini bergelak maka dia mencemooh.
"Ha-ha, Tan Siok itu? Bocah ingusan. Eh, dia anak kemarin sore dibanding aku, anak muda. Masih keponakan muridku beberapa tingkat di bawah. Kalau dia menjadi ketua tentu terlampau sombong dan biar nanti kuhajar."
Giam-lui-ciang menyambar dan diterima Beng An, tertahan dan meledak dan sebagai-gantinya tampaklah bunga api berhamburan. Pukulan Es yang dilancarkan Beng An mulai tertahan. Kakek itu semakin lihai, tidak terdesak lagi Dan ketika jurůs-jurus berikut menunjukan kakek ini semakin kuat, ia mulai lemas dan hebat sekali mainkan pukulannya maka Beng An ganti terdesak dan dipukul mundur, bertubi-tubi.
"Ha-ha, hebat juga. Ini anak istimewa, Ha-ha pukulanmu mirip Bu-kek-kang tapi asal tenaganya lain. Ha-ha, kau bakat alam, rupanya kebetulan menerima mujijat. Eh, roboh dan tunduklah kepadaku, bocah. Atau mampus menerima pukulanku... blarrr!"
Giam-lui-ciang menyemburkan api dahsyat, jauh belasan meter dan Beng An melempar tubuh bergulingan. Ia tak sempat menangkis karena didesak bertubi-tubi. Hebat sekali kakek gundul pelontos itu. Dan ketika ia mulai marah bahwa kakek ini jahat sekali, tak kenal budi maka Beng An berkemak-kemik dan digosoklah kedua tangannya mengeluarkan andalannya, Pek-sian-sut.
"Heiii, pandai sihir. Ha-ha, mau lari ke mana kau. Ayo, akupun juga dapat dan lihat ini... klep!" kakek itu menepukkan kedua tangannya hingga menggelegar. Asap merah membubung tinggi dan sebelum Beng An lenyap dībungkus asap putihnya tahu-tahu asap merah ini menyambar, cepat sekali. Dan ketika Beng An terkejut dan berseru menangkis maka asap putihnya terpental dan kakek itu justeru menghilang, lenyap!
"Wuuusshhh!"
Beng An melengak dan heran. Ia hendak mencari ketika tiba-tiba bayangan kakek itu muncul lagi, cepat sekali, di belakangnya. Dan ketika ia membalik dan menangkis maka kakek itupun terpental dan Beng An ganti menghilang dengan ilmu sihirnya.
"Dess!" Kakek itu terhuyung-huyung. la terbelalak melihat lawarn menghilang meniru dirinya, Beng An lenyap entah ke mana. Tapi ketika kakek itu mendengar kesiur di belakangnya dan Beng An muncul membalas, membalik dan menangkis maka Beng An terpental den kakek itu tertawa bergelak, ganti menghilang dan menyambar di belakang Beng An, ditangkis dan Beng An kembali menghilang dan selanjutnya dua orang ini muncul silih berganti....