Putri Es Jilid 15 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

"AWAS....!"

Swat Lian juga melihat itu. Nyonya ini terbelalak karena dua senjata meluncur berbareng. la jatuh terduduk dan pucat mendekap dada. Pukulan dua orang itu diterimanya telak sekali, isi dadanya seakan hancur. Maka ketika dua senjata itu menyambar kepalanya dan suaminya berteriak memperingatkan, Pendekar Rambut Emas tiba-tiba melengking dan melepas ikat rambutnya maka senjata aneh itu menyambar dan rantai serta ikat pinggang dibentur, sayang kurang kuat dan dua senjata itu tetap ke bawah.

Nyonya ini mengeluh dan coba mengelak, kalah cepat dan tiba-tiba terdengar bunyi berkeratak disusul robohnya nyonya itu. Kepala Kim-hujin ini retak! Dan ketika nyonya itu terguling dan Pendekar Rambut Emas melengking menggetarkan, suaranya dahsyat menggetarkan lembah maka tiba-tiba ia menghantam ketua Pulau Api itu hingga tongkat di tangan ketua ini patah. Sang ketua berteriak dan terbanting bergulingan.

"Krakk-desss!"

Hebat gempuran Pendekar Rambut Emas ini. Pendekar itu mencapai puncak kemarahannya dan ia mengerahkan seluruh tenaga. Lawan tak kuat dan roboh terguling-guling. Tenaga yang dimiliki Pendekar Rambut Emas adalah tenaga mujijat yang keluar oleh kecemasannya melihat keadaan sang isteri. Gunungpun bakal roboh dihantam pukulannya ini. Namun ketika lawan terjengkang dan pendekar ini meledakkan Pek-sian-sutnya, membalik dan menyambar dua orang itu maka Bu Kok dan sutenya kaget bukan main di sambar dua jari telunjuk yang hanya tampak berkeredep seperti halilintar menyambar.

"Awas!" Dua orang ini terlambat. Gerakan Pendekar Rambut Emas terlampau cepat dan tak mungkin dielak. Apalagi pendekar itu hilang di balik ilmu Pek-sian-sutnya, semacam sihir atau ilmu roh. Maka begitu dua telunjuk membagi tusukan, Bu Kok terkena dahinya sementara sang sute belakang telinganya, dua orang ini menjerit maka dua-duanya roboh dan dahi serta belakang telinga itu hangus bagai di-jilat api halilintar!

"Uuhh...!" Dua orang itu terguling. Pendekar Rambut Emas ternyata tidak melanjutkan serangannya lagi karena pendekar ini mengeluh menyambar isterinya. Sang isteri yang roboh dan tidak bergerak-gerak lagi membuat dia pucat, pendekar itu memanggil-manggil. Namun karena nyonya ini terkena serangan telak dan untung bahwa serangan itu ditangkis ikat rambut, kalau tidak tentu kepalanya pecah maka Kim-hujin yang retak pelipisnya ini membuat Pendekar Rambut Emas terbelalak dan tanpa perduli kiri kanan lagi pendekar itu duduk bersila menempelkan kedua tangannya di kepala dan punggung.

Dan usahanya berhasil, meskipun tidak sepenuhnya. Nyonya yang sekarat itu tiba-tiba mengeluh, membuka mata dan menggerak-gerakkan bibir namun yang terdengar hanya desis atau semacam suara tak jelas. Pendekar Rambut Emas menghentikan pertolongannya dan membuka mata. Ia tadi berjuang begitu sungguh-sungguh. Dan ketika sang isteri sadar dan ia girang, memeluk dan membawa isterinya ini ke dada maka pendekar itu menggigil bertanya.

"Apa yang ingin kau katakan, niocu. Bagaimana keadaanmu. Aku.... aku tak sanggup menolong lebih....!"

"Aku... aku akan mati. Aku.... aduh, jahanam keparat orang-orang Pulau Api itu, suiku.... aku ingin kau mernbalaskan sakit hati in....!"

"Jangan katakan itu. Yang jahat memang harus dibasmi. Lukamu parah, isteriku. Aku tak tahu apa lagi yang harus kulakukan selain mendengar pesanmu...!"

"Aku.... aku tak hendak bicara apa-apa lagi. Aku menyesal tak melihat anakku Beng An. Aku.. aduh... aku.... aku hanya mempunyai titipan untuk Soat Eng dan adiknya, suamiku. Ada dua gulung surat untuk mereka, di bawah bantal. Berikan itu dan.... dan balaskan sakit hati ini."

"Niocu!"

Sang nyonya terguling. Pendekar Rambut Emas sudah menahan dan mengguncang-guncang kepala itu namun kepala itu tergolek. Isterinya telah tewas. Pendekar Rambut Emas mengeluh dan sepasang matanya tiba-tiba berpijar bagai bola api. Dan ketika pendekar itu meletakkan isterinya dan bangkit membalikkan tubuh, di belakang terdengar gerakan maka pendekar ini membentak dan tiba-tiba menerjang melihat bayangan merah menyambar, mengira itu adalah Tan-pang cu ketua Pulau Api.

"Manusia iblis, kau telah membunuh isteriku. Terimalah, dan mari kita mengadu jiwa!"

Namun bayangan itu berkelit. Ia berteriak namun dikejar, berkelit dan berteriak lagi namun tetap dikejar dan menerima serangan bertubi-tubi. Dengus dan mata pendekar itu gelap. Dan ketika satu pukulan tak dapat dikelit lagi, bayangan ini menangkis maka Thai Liong, bayangan ini membentak dan berseru meayahnya itu. "Ayah, ini aku, Thai Liong. Lihatlah... dess!"

Dan dua-duanya yang terpelanting dan terlempar oleh pukulan mereka akhirnya membuat Pendekar Rambut Emas sesak napasnya dan bangun duduk di sana, mengeluh, membelalakkan mata lebar-lebar dan ternyata betul bahwa yang dihadapi bukanlah ketua Pulau Api. Thai Liong datang dan itulah puteranya. Dan ketika puteranya bangkit dan agak terhuyung, betapapun pukulan tadi cukuplah kuat maka pendekar ini menuding ke sana dan roboh pingsan. Habis oleh pertandingan mati hidup yang tadi dilakukannya bersama orang-orang Pulau Api.

Thai Liong terkejut. Rajawali Merah ini baru datang ketika di kejauhan sana ia mendengar lengking atau seruan ayahnya yang dahsyat. Pekik itu memberi tahu akan adanya bahaya. Tak biasanya ayahnya memekik seperti itu selama beberapa tahun ini. Maka ketika dia berkelebat dan menyuruh anak isterinya menyusul, tertegun dan diserang lalu menangkis serangan ayahnya maka pemuda itu sudah berlutut dan memeriksa ayahnya ketika dua bayangan lain berkelebat dan mengeluarkan seruan tertahan, bayangan Shintala dan Bun Tiong yang memanggul tiga ekor harimau di belakang punggungnya.

"Ada apa, apa yang terjadi!"

Thai Liong tak menjawab pertanyaan isterinya. Dia memeriksa ayahnya dan menjadi lega karena ayahnya hanya kehabisan tenaga saja. Denyut jantung ayahnya itu masih sehat. Tapi ketika Bun Tiong melihat keadaan neneknya dan anak itu sudah melempar buruannya, menubruk dan memanggil-manggil Kim-hujin maka anak ini berteriak dan memanggil ibunya.

"Ibu... ibu! Nenek tak mau bicara!"

Sang ibu menoleh. Shintala kurang memperhatikan gak-bonya itu karena suaminya menolong sang ayah. Dia baru menoleh ketika puteranya memanggil-manggil. Dan ketika nyonya ini membalik dan berkelebat ke arah gak-bonya, melihat betapa gak-bonya tewas dan tidak bergerak lagi maka nyonya ini menjerit dan memanggil suaminya pula.

"Liong-ko, ibu dibunuh orang!"

Thai Liong meloncat dan tahu-tahu sudah di samping isterinya. Ia sekarang juga memperhatikan ibunya itu dan tiba-tiba berobahlah mukanya melihat betapa bunya itu tak bernapas lagi. Pelipis itu retak dan darah mengalir di sini. Tubuh ibunya masih hangat tanda belum begitu lama tewas. Tapi ketika ia menggigil dan berlutut, isteri dan anaknya sudah mengguguk tak keruan maka ayahnya bangkit duduk dan sudah siuman. Pertolongan Thai Liong tadi membawa hasil.

"Ibumu memang tiada. Ia telah dibunuh orang-orang Pulau Api...!"

Shintala menjerit dan menubruk ayah mertuanya ini. Pendekar Rambut Emas tampak pucat namun jelas sekali pendekar ini sedang menahan perasaannya yang terguncang. Wajah gagah itu tiba-tiba tampak menua, betapa mengharukannya. Dan ketika Thai Liong bangkit dan menghampiri ayahnya, saling rangkul maka tak dapat dicegah lagi tiga orang itu meruntuhkan air mata. Shintala paling deras dan tersedu-sedu!

"Siapa orang-orang Pulau Api itu. Siapa jahanam keparat itu!"

"Benar!"

Bun Tiong meloncat dan tiba-tiba berseru nyaring. "Siapa orang-orang Pulau Api itu, kong-kong. Di mana mereka tinggal dan kenapa membunuh nenek. Biar kucari mereka dan kubalas sakit hati ini!"

"Hm..!" Pendekar Rambut Emas batuk-batuk. "Mari kita bawa jenasahnya ke dalam, anak-anak. Biar di sana kita bicara. Aku.... aku letih sekali."

Shintala mengguguk dan memeluk gak-hunya ini. Dia paling sayang dan hormat kepada ayah mertuanya ini, bukan karena apa-apa melainkan semata betapa ayah mertuanya itu banyak ditimpa kemalangan hidup. Sebagai menantu keluarga itu tentu saja dia tahu cerita pendekar ini, sejak mudanya sampai sekarang. Betapa di masa-masa mudanya pendekar itu banyak mengalami tekanan batin, mulai permusuhannya dengan mendiang suhengnya sampai kepada kematian sumoinya tercinta, ibu dari Thai Liong atau suaminya sekarang itu.

Dan ketika baru dalam beberapa tahun terakhir ini saja gak-hunya itu hidup bahagia, tenang dan tenteram sejak musuh-musuh mereka yang jahat tewas, mendiang Mo-ong dan sepasang kakek iblis Poan-jin-poan-kwi maka hari ini tiba-tiba saja gak-hunya itu harus kehilangan isteri ketika mereka tak ada di rumah. Tanda betapa hebat dan mengejutkan musuh-musuh yang datang itu.

"Siapa mereka, siapa orang-orang Pulau Api itu!" wanita ini menangis dan terus bertanya ketika mereka duduk di dalam. Jenasah Kim-hujin sudah ditutupi kain dan menantu ini mengepal tinju sampai berkerot-kerot. Gigi dan bibir itupun dikatup rapat. Dan ketika di sana Bun Tiong juga mengusap air matanya sambil tersedu memanggil neneknya, anak ini mengepal tinju seperti sang ibu.

Maka Pendekar Rambut Emas menarik napas dalam-dalam dan hanya dia dan puteranya Thai Liong yang dapat menahan diri. "Semua yang terjadi tentu terjadi. Emosi tak boleh bicara di sini. Aku juga tak tahu siapa orang-orang Pulau Api itu, Shintala. Aku tak tahu di mana mereka tinggal karena mereka juga tak memberi tahu...."

"Ah, gak-hu tak tahu siapa orang-orang ini? Gak-hu tak bertanya di mana mereka tinggal?"

"Aku tak sempat bertanya, menantu. Dan lagi semuanya itu berlangsung begitu cepat. Mereka datang secara tiba-tiba."

"Kalau begitu mengapa mereka memusuhi kita. Apakah mereka itu orang-orang gila yang tidak waras!"

"Hm, ini berawal dari Beng An. Adikmu itulah yang paling tahu...."

"Beng An?" Shintala terkejut. "Mereka memusuhi Beng An?"

"Begitu katanya, menantu. Dan mereka datang memang untuk mencari Beng An. Aku dan ibumu juga terkejut bahwa mereka memusuhi Beng An."

"Kalau begitu mereka orang jahat. Tak mungkin Beng An bermusuhan dengan orang baik-baik!"

"Hm, baik atau tidak biasanya tergantung pertimbangan pribadi. Masalah ini berkait dengan untung rugi. Kalau jahat dimaksud sebagai orang yang banyak merugikan orang lain agaknya betul, menantu. Dan aku juga merasa begitu. Tapi mereka betul-betul orang hebat. Mereka dapat menahan pukulan kita Khi-bal-sin-kang dan memiliki bermacam ilmu silat tinggi, juga langkah sakti yang tak kuketahui apa!"

Thai Liong tertegun. Kalau ayahnya sampai memuji seperti itu maka musuh tentu betul-betul hebat. Tapi melihat betapa ayahnya selamat kecuali ibunya saja maka pemuda ini bertanya dengan suara lirih, "Tapi sehebat-hebatnya mereka kau masih dapat mengusir lawan, ayah. Ini berarti tak perlu kita khawatir."

"Hm, takut memang tidak, tapi khawatir perlu. Aku dapat mengusir mereka karena nasibku yang baik saja, Liong-ji. Kalau aku tidak memiliki Pek-sian-sut kemungkinan aku sudah roboh seperti ibumu. Mereka betul-betul hebat, tapi harus diakui bahwa mereka belum sempurna menguasai ilmu."

"Ah, jadi mereka masih dapat lebih hebat lagi?"

"Benar, dan terutama ketuanya. Aku menghantam dia sekuat tenaga tapi yang patah hanya senjatanya. Dia terlempar dan masih dapat bergulingan meloncat bangun. Sementara dua sutenya, hmm... mereka roboh oleh pukulanku dan mungkin untuk tiga empat bulan harus beristirahat total!"

Pendekar ini menceritakan pertempurannya. Thai Liong mendengarkan dan Shintala mengerutkan kening. Bun Tiong berapi-api dan tidak menampakkan gentar. Dan ketika sang kakek selesai bercerita dan mereka mendengar dahsyatnya orang-orang Pulau Api, betapa mereka menguasai tenaga Yang-kang (Panas) hingga mirip obor berjalan maka anak ini berseru mengepal tinju,

"Mungkin itu sebabnya. Ilmu mereka kalah oleh paman!"

"Hm, diam kau," sang ayah menegur. "Kau anak kecil tak usah ikut campur pembicaraan orang tua, Bun Tiong. Dengarkan saja tapi jangan bersuara!"

Anak ini bersembunyi di belakang punggung ibunya. Dia meleletkan lidah dan sang ibu meraih. Kalau sudah begini memang anak itu lebih dekat sang ibu. Dia takut tapi kakeknya tersenyum. Dan ketika Pendekar Rambut Emas mengangguk-angguk dan merasa betul, omongan itu masuk akal maka dia membela halus cucunya laki-laki ini.

"Bun Tiong anak kecil, tapi pikirannya seperti orang dewasa. Kupikir apa yang dikatakan betul, Thai Liong. Kekalahan mereka yang membuat mereka ke mari. Mungkin dulu mereka roboh oleh Beng An, datang dan ingin membalas sakit hati."

"Tapi tak ada urusannya dengan gak-hu!" Shintala memprotes. "Mereka boleh mencari Beng An, gak-hu, tapi tak boleh memusuhi apalagi membunuh gak-bo. Apa namanya itu!"

"Hm, ini wajar terjadi," Pendekar Rambut Emas menarik napas dalam. "Aku adalah ayah Beng An, menantu, dan gak-bomu adalah ibunya. Jadi wajar saja kalau kami orang tuanya dilibatkan."

"Kalau begitu mereka orang-orang tak tahu malu. Kalah dengan Beng An lalu mencari dan memusuhi orang tuanya!"

"Sudahlah," Thai Liong melerai. "Ayah betul, Shintala, dan pandanganmu juga betul kalau ditinjau dari sudut pikiranmu. Sekarang apa yang harus kita lakukan dan bagaimana menurut ayah."

"Kita harus menemukan Beng An. Kita harus memberitahukan ini."

"Tapi di mana anak itu, ia dulu ikut Sian-su!"

"Benar, tapi kalau begini tentu anak itu sudah keluar, menantu. Kalau dia sudah bermusuhan dengan orang-orang Pulau Api itu berarti Sian-su telah melepasnya."

Thai Liong mengangguk. Perkataan ayahnya benar dan isterinya mengerutkan kening dengan mata bersinar. Shintala tampak geram dan marah oleh peristiwa ini. Wanita itu menahan-nahan ledakan perasaannya. Tapi ketika kemudian diputuskan bahwa keluarga di Sanm liong-to harus diberi tahu, Thai Lionglah yang mendapat tugas maka pemuda itu bangkit berdiri setelah jenasah ibunya dimakamkan. Tiga hari kemudian berangkat.

"Aku ikut. Aku juga ingin mengetahui keadaan Soat Eng di sana. Kenapa tiga tahun ini ia tak datang!"

Shintala bangkit pula berkata pada suaminya. Ia tak mau ditinggal di situ dan Thai Liong tertegun. Sebenarnya ia ingin agar isterinya menjaga di situ, bersama ayahnya. Dan ketika ia masih ragu mendadak putera mereka Bun Tiong juga berseru,

"Aku juga. Aku ingin bertemu cici Siang Hwa dan Siang Lan, ayah. Aku tak mau ditinggal di sini!"

"Hush, kong-kongmu tak boleh sendiri, butuh teman. Masa kau dan ibumu pergi bersama ayah? Eh, sebaiknya kau di sini, Bun Tiong. Temani kakekmu dan tak usah ikut!"

"Tak apa," Pendekar Rambut Emas muncul. "Anak ini masih ingin berdekatan dengan ayah ibunya, Liong-ji. Biarlah kalian bawa dan jangan pikirkan aku. Pergilah!"

"Tapi ayah sendiri, bagaimana kalau musuh datang lagi!"

"Kupikir tidak. Dalam waktu tiga empat bulan ini penghuni Pulau Api tak mungkin ke mari. Dua di antara tokohnya luka."

Thai Liong masih ragu. Sebenarnya yang ia kehendaki adalah teman bagi ayahnya itu. Alasan bahwa musuh datang hanyalah berandai-andai. Kalaupun datang mana mungkin anak sebesar Bun Tiong mampu menghadapi? Ia hanya ingin ayahnya berdua, Bun Tiong dirasa cukup di situ. Tapi karena ayahnya menolak dan benar juga bahwa puteranya itu ingin berdekatan dengan mereka, ayah ibunya maka pemuda ini mengangguk dan isterinya menyambar dan memeluk puteranya itu. Anak ini girang.

"Baiklah, kami tinggalkan dirimu, ayah. Kalau ada apa-apa hubungilah aku dengan getaran batin. Secepatnya aku akan datang!"

Pendekar Rambut Emas tersenyum. Ia mengangguk dan melambaikan tangan pada keluarga kecil itu, menyuruh Thai Liong berangkat dan meminta agar keluarga Sam-liong-to datang. Dan ketika Thai Liong bergerak dan lenyap mempergunakan kesaktiannya yang tinggi, anak isterinya disambar pergi maka pemuda itu menuju Sam-liong-to dan selanjutnya telah bertemu dengan Soat Eng dan anak serta suaminya.

* * * * * * * *

"Demikianlah," pemuda itu menutup cerita dengan wajah tak gembira. "Ibu tewas akibat serangan tokoh-tokoh Pulau Api, Siang Le. Dan celakanya kami tak tahu di mana Pulau Api itu. Hanya Beng An yang tahu!"

"Hm, kasihan, menyedihkan. Kiranya ini akibat sepak terjang Beng An. Ah, kalau begitu kau betul, Thai Liong. Kita harus menemukan adik kita itu dan secepatnya memberi tahu ini. Gak-bo tewas karena serangan orang-orang Pulau Api. Keji benar mereka itu!"

"Dan ibu tak sempat ke sini. Ia akan datang bersama ayah mencari tahu kenapa kalian tak pernah datang!"

"Hm, ini gara-gara Soat Eng. Ia tak datang karena menunggu besarnya Hok Gi, Thai Liong, juga karena waktu itu sedang hamil dan tak dapat bepergian jauh. Aku menyesal bahwa gak-bo menjadi susah gara-gara ini!"

"Sudahlah, sekarang sudah lewat. Ayah mengundang kalian datang dan barangkali besok kita bisa bersiap-siap."

"Hm...!" Siang Le mengangguk-angguk. "Tahu begini barangkali aku yang pergi ke sana, Thai Liong, tak usah menunggu isteriku. Ah, aku ingin ketemu gak-hu dan melihat bagaimana keadaannya sekarang!"

"Ayah semakin tampak tua. Ia sedih."

"Benar, dan aku ingin menghiburnya. Baiklah kusiapkan segalanya dan besok kita berangkat!"

Malam itu keluarga ini berbenah. Soat Eng juga mendengar cerita dari Shintala dan semalam itu nyonya ini menangis terus. Tak habis-habisnya ia mengutuk dan mengumpat orang-orang Pulau Api itu. Sesekali ia memekik dan mengepalkan tinju, wajahnya merah padam, mata berkilat-kilat dan tampak betapa kebencian dan api dendam memancar di sini. Nyonya ini memang terbakar.

Tapi ketika Cao Cun mengelus-elus pundaknya dan wanita setengah baya ini menenangkan dengan kata-kata halus, bahwa yang penting adalah ke utara dulu dan menghadap sang ayah maka nyonya itu dapat dibujuk dan ketika keesokannya mereka berangkat Sam-liong-to tak berpenghuni lagi. Siang Le mengajak semuanya bersicepat. Anak-anak, empat jumlahnya dibawa oleh Thai Liong dimasukkan jubah saktinya. Bibi mereka Cao Cun juga dimasukkan ke situ. Thai Liong memiliki kesaktian Beng-tau-sin-jin (Ilmu Menembus Roh), ilmu yang membuat pemuda itu dapat "mengantongi" manusia seperti mengantongi kelereng saja.

Maka ketika semua siap dan berangkat menuju utara dapat dibayangkan hujan tangis di sini, ketika Soat Eng bertemu ayahnya. Pendekar Rambut Emas duduk bersila ketika keluarga Sam-liong-to itu datang. Soat Eng menubruk dan memanggil ayahnya. Dan ketika pendekar ini membuka mata dan Cao Cun, wanita itu menggigil di pintu maka kedua mata pendekar ini tiba-tiba menjadi basah dan ia memeluk serta merangkul puterinya itu.

"Ayah..."

"Hm, kau... kau datang? Kau telah mendengar cerita kakakmu? Bagus, aku girang, Eng-ji. Tapi ibumu... ibumu...." Pendekar ini tak mampu melanjutkan kata-katanya.

Soat Eng telah mengguguk dan tersedu-sedu memeluk ayahnya itu. Hujan tangis tak dapat dicegah. Dan ketika di sana Siang Le mengusap air matanya dan anak-anak juga menangis sambil berlutut, Thai Liong menunduk dan menahan perasaannya yang bergetar-getar maka pertemuan ini dipenuhi keharuan sekaligus kesedihan.

Siang Le melihat betapa ayah mertuanya itu tiba-tiba sudah berubah rambutnya. Tak ada lagi yang kuning keemasan. Wajah itu sudah menua dan kurus. Dan ketika Cao Cun tiba-tiba menggigil dan jatuh berlutut, wanita ini mengucapkan bela sungkawa maka Pendekar Rambut Emas tertegun dan lekat memandang wanita ini. Air matanya tiba-tiba deras mengucur.

"Kim-taihiap, aku.... aku mengucapkan bela sungkawa. Maafkan bahwa kedatanganku terlambat."

"Ah, terima kasih, Cao Cun. Tapi.... tapi duduklah seperti yang lain. Jangan berlutut. Aku.... aku sudah siap menerima semuanya ini. Takdir tak dapat dirobah!"

Wanita itu tersedu-sedu. Akhirnya Soat Eng menarik tubuhnya dan dua wanita ini berdekapan. Pendekar Rambut Emas di tengah dan anak-anak jadi riuh menangis. Mereka terbawa oleh orang-orang tua ini. Tapi ketika terdengar tangis bayi dan itulah Hok Gi, sang pendekar terkejut maka pendekar itu mendorong semuanya memandang bocah mungil itu, terbelalak.

"Dia.... dia ini siapa? Anak siapa?"

"Dia Hok Gi, Siang Hok Gi, puteraku! Inilah anak kami ketiga, ayah. Anak laki-laki. Kami mendapatkannya setelah berusaha ke mana-mana!"

"Ah, dia.... dia anak lelaki? Berikan!"

Pendekar Rambut Emas menyambar dan meminta anak ini. Hok Gi menangis namun ketika disambar kakeknya anak ini tiba-tiba diam. Pendekar Rambut Emas menggigil dan terbelalak memeluk anak ini. Dan ketika dia mengeluh dan anak itu menangis lagi maka Soat Eng menerima dan ayahnya terduduk.

"Ah, ibumu keturutan. Kalian telah memberinya cucu laki-laki! Ohh, sayang ibumu tak melihat ini, Siang Le bukan menantu bodoh karena ia berhasil memberikan anak laki-laki. Thian Yang Maha Agung!"

Soat Eng tersedu dan memeluk ayahnya itu. Sang ayah tampak berduka sekaligus bahagia. Ibunya yang almarhum membuat ia sedih. Dan ketika ia menangis dan bertanva apa maksud kata-kata ayahnya tadi, wanita ini heran seolah ayahnya tahu pertikaian itu maka Pendekar Rambut Emas mengangguk dan gemetar, memejamkan mata.

"Ya-ya, aku tahu... ibumu sudah bercerita. Ah, malang benar nasib suamimu itu, Eng-ji. Ibumu membenci dan selalu marah-marah. Tapi setelah itu ia sadar. Ia ingin minta maaf. Ia ingin pergi ke Sam-liong-to menengok dirimu dan anak-anak, juga Siang Le..."

"Ibu tak tahu akan ini, bukan?"

"Tidak, ia belum tahu. Kami bermaksud ke Sam-liong-to ketika musuh tiba-tiba datang. Dan.... dan nasib itu datang. Ia keburu tewas sebelum melihat cucunya laki-laki. Ah, ibumu patut dikasihani, Eng-ji. Ia selalu terbawa emosinya. Sebaiknya kau bawa Hok Gi ke makam dan tunjukkan bahwa cucunya laki-laki telah lahir!"

Nyonya ini mengguguk. Tangis tak dapat dibendung lagi ketika pendekar itu memberi tahu. Kiranya sang ibu sudah mengaku. Dan ketika Thai Liong mengedip agar isterinya pergi, membawa Soat Eng ke makam maka Cao Cun juga ikut dan Pendekar Rambut Emas kembali duduk bersila. Pagi itu keadaan benar-benar mengharukan. Keluarga Pendekar Rambut Emas kumpul semua, kecuali Beng An. Dan ketika di makam Soat Eng tak dapat menahan diri lagi dan pingsan, roboh terguling maka Shintala itulah yang menolong dan menyadarkannya.

Siang Le berkelebat datang dan menolong isterinya pula. Pemuda buntung inipun menggigil, akhirnya berlutut dan sembahyang di makam gak-bonya itu. Dan ketika semua juga berlutut dan Hok Gi diangkat tinggi-tinggi, Soat Eng berseru seolah ibunya hidup maka terdengar kata-katanya lantang, dicampur sedu-sedan yang masih mengganjal. "Ibu, inilah putera kami Hok Gi. Janganlah kau memaki-maki Siang Le lagi karena ia sudah pintar menuruti permintaanmu. Lihatlah, ia cucumu laki-laki dan kami bersumpah untuk membalas sakit hatimu ini. Aku tak akan berhenti sebelum musuh-musuhmu terbunuh!"

Suasana berurai air mata lagi. Siang Le menggigit bibir dan merasa seram oleh ancaman isterinya ini. la tak sekeras Soat Eng, balas-membalas dendam sesungguhnya tabu baginya. Apa yang terjadi di anggapnya sebagai sesuatu yang sudah di putuskan oleh Yang Di Atas. Tak akan terjadi kalau Tuhan tak menghendaki. Namun ketika semua itu selesai dan mereka kembali ke dalam, sang gak-hu tampak bersila dengan wajah berkerut-kerut maka kedukaan itu menyelubungi keluarga ini dan selama tujuh hari Soat Eng mengenakan pakaian putih-putih, berikut semua anak dan yang lain.

Pendekar Rambut Emas tepekur dan banyak diam. la lebih ditemani oleh Thai Liong dan Siang Le dalam masa perkabungan. Soat Eng dan para wanita di dalam, juga tak banyak bicara kecuali tangis dan isak-isak ditahan. Cao Cun, yang lebih tabah, menyiapkan makanan dan minuman untuk mereka semuanya, terutama anak-anak. Dan ketika masa berkabung lewat dan diputuskan untuk mulai bekerja, Beng An masih belum kembali juga maka pendekar itu menetapkan bah-wa Thai Liong dan Siang Le pergi, anak-anak tetap di situ.

"Tak akan habis kalau hanya menangis dan membuang air mata saja. Kita harus bekerja. Kita mulai mencari Beng An atau bertanya pada Sian-su di mana anak itu."

"Dan ayah mengutus siapa?"

"Thai Liong dan suamimu boleh pergi, Eng-ji. Kau dan yang lain tinggal di sini. Biarlah pekerjaan ini diselesaikan laki-laki."

"Ah, tidak. Aku juga ikut! Aku tak dapat tinggal diam dan membiarkan ini!"

"Hm, mencari musuh tak boleh berlandaskan dendam. Dendam dan kebencian hanya akan mengeruhkan pikiran kita saja. Kalau kau mencari orang-orang Pulau Api maka alasan di hatimu adalah karena sepak terjang mereka yang jahat, Eng-ji, bukan semata karena tewasnya ibumu. Tapi sebaiknya kita temukan adikmu dulu karena dari situ kita bisa mendapat keterangan dan tempat berpijak yang benar."

"Aku akan mencari siapa yang lebih dulu kutemukan. Kalau mereka lebih dulu maka langsung saja kusikat, akan kuhajar. Tapi kalau Beng An kutemukan aku akan bertanya padanya apa yang telah menyebabkan dia bermusuhan dengan orang-orang Pulau Api!"

"Hm, kalau begitu kau harus bersama kakakmu Thai Liong. Mereka orang-orang lihai. Berdua dengan suamimu tak bakal kalian menang, apalagi kalau berternu sekaligus dengan tiga tokoh itu!"

"Aku tak takut!"

"Bukan takut atau tidak. Tapi hati-hati dan waspada adalah kewajibanmu, Eng-ji. Ingat bahwa kalau ada apa-apa maka kami di sini yang susah. Dan apakah kau akan melakukan ini semata menurutkan hawa nafsu dan kemarahanmu saja!"

Wanita itu menangis. Diingatkan akan ini ia sadar juga. Kalau ayah dan ibunya saja kewalahan menghadapi orang-orang itu maka dapat dibayangkan bahwa mereka betul-betul orang luar biasa. Gegabah atau takabur dengan ilmu sendiri bisa menjadikan bumerang. Kalau ia atau suaminya celaka tentu ayah dan saudara-saudaranya yang lain susah. la tak takut mati tapi tentu saja tak baik membiarkan ayah dan lain-lainnya ini berduka. Mereka sudah cukup kehilangan ibunya. Dan ketika diputuskan ia berangkat bersama Thai Liong, Rajawali Merah ini menarik napas maka Thai Liong berkata bagaimana kalau cukup ia sendiri, yang lain menemani ayahnya di situ.

"Bukan sombong, tapi aku mengkhawatirkan ayah. Kau sendiri di sini bersama anak-anak! Ayah. Bagaimana kalau biar isteriku saja yang ikut dan Siang Le dan Eng-moi di sini. Aku sanggup mencari mereka."

"Tidak. Aku tak mau tinggal diam. Aku juga ingin mencari dan menemukan musuhku, Liong-ko. Kalau kau sendiri lalu apa gunanya kami. Masa kami berpangku tangan!"

"Hm, bukan begitu, tapi semata menjaga keselamatan ayah. Ingat bahwa ayah perlu teman, Eng-moi. Ia melindungi pula anak-anak kita di sini. Bagaimana kalau musuh datang dan ayah seorang diri."

"Tak usah ribut-ribut. Mati hidup di tangan Tuhan. Berangkatlah dan biar isterimu di sini, Thai Liong. Aku tak akan sendiri karena adikmu Beng An pasti datang. Aku telah menangkap getarannya kalau kalian belum menemukan!"

"Hm," Thai Liong mengangguk. "Kalau begitu maksudmu aku tak akan cemas lagi, ayah. Dan titip anak-anak supaya kau lindungi. Baiklah, aku bertiga bersama Eng-moi akan berangkat!"

Soat Eng bersinar dan memeluk puterinya satu per satu. Ketika tiba bagian Hok Gi tiba-tiba ia tertegun. Anak ini masih terlalu kecil, iba juga kalau harus ditinggal. Tapi ketika ia mengeraskan hati dan memandang Cao Cun, bibi atau ibu angkatnya itulah yang pasti merawat maka Cao Cun mengangguk dan mengusap air matanya yang selalu banjir.

"Pergilah... pergilah. Aku yang akan merawat dan memberi susu Hok Gi. Kalau ayahmu sudah bicara seperti itu maka tak ada yang lebih baik, Soat Eng. Pergi tapi tetaplah bersama Thai Liong!"

Soat Eng mengangguk. la selesai menciumi anaknya satu persatu dan Siang Hwa maupun Siang Lan menahan tangis. Anak-anak perempuan ini sebenarnya sudah biasa ditinggal pergi ayah ibu mereka.. Tapi karena kali ini kepergian mereka adalah untuk mencari musuh, bukan ransum atau bekal makanan seperti biasa maka tak urung dua anak ini gemetar dan menggigit bibir, telah mendengar bahwa musuh yang dicari adalah orang-orang lihai berkesaktian tinggi.

"Ibu, hati-hatilah. Ingat bahwa masih ada kami anak-anakmu di sini. Kami menunggumu."

"Tenanglah," sang ibu hampir tak kuat dan menahan tangis. "Aku dan ayahmu akan pandai-pandai menjaga diri, Siang Hwa. Dan ada pamanmu Si Rajawali Merah di sini. Baik-baiklah kalian bersama kong-kong dan jangan pergi jauh-jauh!"

Siang Le juga tak kuat. Ayah yang memandang anak-anaknya itu tampak terharu. Keberangkatan mereka seolah perajurit maju perang. Dan ketika ia memeluk dan menciumi anaknya, Siang Lan terisak dipeluk ayahnya anak itu berbisik,

"Yah, cepatlah pulang. Lan Lan menunggumu!"

"Hm, tentu. Ayah akan segera pulang. Baik-baiklah menjaga diri, Siang Lan, jangan jauh-jauh dari kakekmu. dan jaga adikmu Hok Gi!"

Anak itu mengangguk. Mau dia menangis keras-keras namun takut kepada ibunya. Sang ibu mendidik untuk tidak bersikap cengeng. Ayah baginya lebih lembut namun anak ini tak dapat menumpahkan perasaannya di situ. Maka ketika ayah ibunya berkelebat dan Soat Eng mengusap air matanya, ternyata ibu inipun tak dapat menahan perasaan hati maka Siang Hwa dan Siang Lan akhirnya mengeluh dan roboh tersedu-sedu menangis di pangkuan kakeknya.

Hanya Bun Tiong yang tampak tabah. Anak lelaki ini memandang kepergian ayah dan pamannya dengan mata bersinar. la tidak menangis seperti dua anak perempuan itu, mungkin karena ia lelaki, atau mungkin karena ada ibunya di situ. Dan ketika dua anak perempuan itu sesenggukan dan Shintala maju memeluk, Cao Cun juga bergerak dan merangkul anak-anak itu maka Thai Liong lenyap menyusul mereka.

Pendekar Rambut Emas memejamkan mata sambil menyentuh pundak cucu-cucunya. Keharuan dan kepedihan berbareng menjadi satu, berkumpul dan bergolak dan hampir saja air matapun turun membanjir. Namun ketika pendekar ini batuk-batuk dan menyuruh mereka masuk, Shintala membawa anak-anak itu maka mulai hari itu anak-anak ini di bawah asuhan bibi mereka dan tinggallah pendekar itu seorang diri.

Cao Cun bertugas sebagai ibu rumah tangga. Melihat kepedihan keluarga itu membuat wanita ini menangis sendiri. Tak henti-hentinya ia terisak dan menangis sendirian, kalau semua sudah tidur. Dan ketika hari demi hari dilewatkan sambil menunggu, Pendekar Rambut Emas menaruh kepercayaan penuh kepada puteranya laki-laki maka lima hari kemudian muncullah Beng An!

Pemuda ini, seperti diketahui di depan akhirnya meninggalkan Lembah Es setelah membantu penghuni lembah itu mengusir orang-orang Pulau Api. Dia sama sekali tak menyangka ibunya tewas. Maka ketika dia memasuki lembah di mana ayah ibunya tinggal, wajah yang semula muram dibayangi wajah jelita dari Puteri Es itu mendadak berseri melihat pondok di tengah lembah.

Beng An berkelebat dan ingin memanggil. Tapi ketika seorang wanita keluar dari pintu belakang, membawa dan menaruh mangkok piring maka dia tak jadi berseru dan tiba-tiba terbelalak melihat wanita setengah tua yang bersikap anggun itu. Sosok wanita agung yang kini seolah menjadi pelayan!

"Bibi Cao Cun!"

Wanita itu menoleh. Beng An tak akan lupa dengan wajah ini dan Cao Cun, wanita itu terkejut dan membalik. Dia masih memegang dua mangkok di tangan, terkejut dan membalik dan tiba-tiba berseru keras melihat seorang pemuda gagah tampan berdiri di belakangnya. Pemuda ini muncul seperti iblis dan Beng An yang sudah dua puluhan tahun itu tak segera dikenal wanita ini.

Wajahnya sudah bukan kanak-kanak lagi. Lengan dan dadanya berotot. Tubuh itu amat gagah meskipun dibungkus pakaian sederhana putih-putih, ikat pinggangnya hitam membuat pemuda ini semakin tampak gagah lagi. Tapi ketika wanita itu terbelalak dan tidak mengenal, Beng An yang sekarang bukan Beng An yang masih kanak-kanak dulu maka wanita ini menuding dan gemetar,

"Kau, siapa kau? Kenapa membikin kaget aku?"

Beng An tersenyum. Tiba-tiba ia ingin menggoda dan disambarnya lengan wanita tua itu. Cao Cun menjerit namun pemuda ini sudah mencekal erat-erat. Dan ketika dia tertawa menanyakan dirinya sendiri, Beng An balik bertanya siapa dia maka berkelebat bayangan lain dan Shintala, kakak iparnya muncul. Beng An pura-pura tak tahu dan melanjutkan pertanyaannya.

"Ha-ha, siapa aku. Hayo bibi jawab. Bagaimana bibi ada di sini dan kenapa mencuci mangkok piring. Mana pembantu!"

Wanita itu menggigil. Shintala yang berkelebat di belakang Beng An hampir saja melepas serangan. Pemuda itu dianggapnya kurang ajar dan mengganggu orang tua. Tapi ketika Beng An pura-pura bertanya dan sikapnya jelas menggoda, wanita ini bergerak dan maju ke depan maka dialah yang menebak dan langsung tahu.

"Beng An, kau Beng An!"

"Ah, ha-ha. Dan ini cici Shintala tentu. Wah, semakin cantik dan anggun. Ha-ha, kau betul, enci. Aku Beng An. Aduh, bagaimana bibi Cao Cun bisa lupa kepadaku. Aih, apakah benar-benar pangling!"

Beng An gembira dan disambar encinya ini. Ia tak tahu betapa wajah dua wanita itu tiba-tiba pucat dan Beng An mengira mereka hanya terkejut saja. Kedatangannya memang tak disangka-sangka. Tapi ketika Shintala menangis dan menerkam-nerkam pundaknya, bibinya Cao Cun juga menjerit dan menubruk dirinya maka pemuda itu berubah dan merasa ada sesuatu yang tidak beres.

"Aih, Beng An. Kau kiranya. Anak nakal! Ah, kau membuat susah ayah ibumu, Beng An. Kau ditunggu-tunggu tapi tak pernah memberi kabar. Cepat temui ayahmu. Ibumu.... ibumu...”

Cao Cun mengguguk dan tak dapat meneruskan kata-katanya. Shintala juga tersedu dan anak-anak berlarian keluar. Mereka mendengar ribut-ribut dibelakang dan tertegunlah Beng An rnelihat Itu. Siang Hwa dan Siang Lan yang belum dikenal dipandangnya heran, begitu pula Bun Tiong karena selama ini anak-anak itu belum pernah bertemu paman mereka yang muda ini. Maka ketika dia menjublak dan Bun Tiong menyambar ujung baju ibunya, berbisik siapa pemuda gagah ini maka Shintala teringat dan masih tersedu-sedu ia memerintahkan anak-anak itu berlutut.

"Ini paman kalian Beng An. Hayo beri hormat dan jangan kurang ajar...!"

"Ah, anak-anak ini.... ah, mereka anak-anakmu semua, enci? Begitu cepat aku mempunyai tiga orang keponakan sekaligus?" Beng An bengong, terkejut tapi tiba-tiba gembira menyambar mereka satu persatu. Ia melihat anak-anak itu berlutut tapi anehnya mereka semua menangis. Beng An masih tak menduga bahwa ada berita buruk untuknya. Dia masih menganggap itu sebuah ledakan haru saja, meskipun hatinya berdebar dan diam-diam tak enak. Dan ketika dia menyambar Bun Tiong dan bertanya siapa nama anak itu, anak ini menggigil dan menuding ke hutan cemara maka anak itu langsung melapor.

"Paman... nenek... nenek dibunuh orang. Ada orang jahat datang ke sini. Ke mana saja kau selama ini dan kenapa tak pernah pulang-pulang!"

"Brukk!" Beng An tiba-tiba melepas anak itu seperti disengat kalajengking. Ia kaget bukan main dan wajah yang semula gembira dan berseri mendadak pucat dan merah berganti-ganti. Beng An menoleh dan melihat enci dan bibinya mengguguk. Mereka tak menjawab. Dan ketika Siang Hwa dan Siang Lan juga menegurnya kenapa paman mereka itu tak pulang-pulang, nenek mereka dibunuh orang maka Beng An tiba-tiba melengking dan berkelebat ke hutan cemara itu. Kuburan untuk para pemimpin Tar-tar atau orang-orang penting bangsa itu.

"Ibu...!!" Pekik panjang ini menggetarkan lembah. Beng An terbang seakan kesetanan dan sebentar kemudian ia sudah di hutan cemara itu. Sekali tangannya mengibas maka pintu makam roboh. Dua pohon cemara juga bergoyang oleh kibasan tangannya itu. Alangkah dahsyat tenaga pemuda ini. Dan ketika ia melompat dan rnasuk ke makam yang masih baru, makam itu mudah dikenal karena tanahnya masih memerah maka pemuda itu seakan berputar kepalanya melihat betapa sebuah papan nama terpampang di situ:

MAKAM KIM-HUJIN (Hu Swat Lian)

"Ibu..." Beng An roboh. Akhirnya pemuda ini tersedu-sedu dan ambruklah dia di depan makam itu. Tak salah lagi kata-kata tiga anak di sana itu. Mereka benar, ibunya tiada. Dan ketika pemuda itu mengguguk dan memanggil-manggilnya, betapapun Beng An amat terpukul dan terguncang maka pemuda itu pingsan dan tidak sadarkan diri.

Namun dua bayangan berkelebat datang. Mereka ini menolong Beng An dan membawa pemuda itu keluar. Apa yang diterima pemuda ini memang mengejutkan sekali. Beng An masih muda dan pukulan batin itu masih berat, meskipun kepandaiannya tinggi. Dan ketika pemuda itu siuman namun sudah berada di sebuah ruangan lain, di dalam rumah maka pemuda itu meloncat bangun dan yang pertama kali diteriakkan adalah nama ibunya, beringas.

"Ibu...!"

"Hm, duduklah," sebuah suara lembut menjawab. "Duduk dan tenangkan hatimu, Beng An. Apa yang terjadi tak mungkin ditarik kembali. Duduklah, dan bersikaplah dewasa."

Beng An membalik. Ia baru meloncat bangun dan tidak melihat sekelilingnya. Yang diingat hanya ibunya tapi begitu suara yang amat dikenal itu mengusap kalbunya maka iapun menoleh. Dan begitu melihat ayahnya di situ tiba-tiba pemuda inipun mengguguk dan menubruk. "Ayah...!"

Pendekar Rambut Emas pun memejamkan mata. Ia sudah terlalu sering meruntuhkan air mata hingga kini mata itu terasa kering. Habis sudah muaranya. Maka ketika ia memeluk dan meremas pundak puteranya itu maka Beng Anl ah yang menumpahkan air matanya hingga membanjir.

"Ayah, ibu.... ibu dibunuh orang? Ia tewas karena perbuatan orang jahat?"

"Hm, panjang ceritanya. Tenang dan hapus air matamu, Beng An. Hadapilah kejadian ini dengan tenang dan tabah. Ibumu tewas, memang benar dibunuh orang. Dan kau yang menjadi gara-gara hingga tak perlu disesali lagi."

"Aku? Ibu tewas karena aku? Ah, bagaimana bisa begitu, ayah. Apa yang kulakukan. Siapa jahanam keparat itu!"

"Hm, mereka adalah orang-orang Pulau Api, Tan-pangcu dan dua sutenya. Mereka mencari dirimu dan kau tentu kenal mereka."

Beng An seketika tersentak. Ia menarik lepas pundaknya dari sang ayah dan benar saja pemuda itu tampak terkejut. Jelas bagi Pendekar Rambut Emas bahwa antara puteranya ini dan orang-orang Pulau Api ada apa-apa. Permusuhan itu telah ada. Dan ketika pemuda itu meloncat bangun dan menggigil memandang sang ayah, gemetar dan mengucapkan kata-kata namun tak jelas akhirnya pemuda itu berhasil juga mengeluarkan suaranya.

"Orang-orang Pulau Api? Tan-pangcu dan dua sutenya? Mereka.... mereka itu datang ke mari?"

"Hm, duduk dan jelaskan bagaimana permusuhanmu dengan mereka itu, Beng An. Kami orang tuamu harus menerima akibat. Coba terangkan dan ceritakan kepada kami bagaimana asal mulanya."

"Ooh..!" Beng An jatuh terduduk. Pandang mata ayahnya itu mengingatkan kepadanya untuk bersikap tenang dan wajar. Tadi sepasang matanya berkilat dan mencorong. Mata itu bagai api yang menghanguskan siapa saja, termasuk membakar ayahnya itu. Tapi ketika sang ayah balik memandangnya lembut dan api itu bertemu semacam kesejukan dingin, meresap dan mengusir panas membara tiba-tiba Beng An mengeluh dan ditangkap ayahnya itu.

"Tenanglah, bicaralah senyatanya. Apa yang terjadi dan bagaimana kau bisa bermusuhan dengan orang-orang Pulau Api."

Beng An tiba-tiba menggigit bibir. Kemarahannya ditahan namun sebelum dia menjawab maka dia menengadahkan muka. Ditanyanya siapa pembunuh ibunya itu, sang ketua atau wakil ketua. Dan ketika sang ayah menarik napas dalam dan menepuk pundak puteranya maka Pendekar Rambut Emas menjawab bahwa yang menewaskan adalah dua orang sute Tan-pangcu itu.

"Tak perlu berlebihan. Ibumu dikeroyok. Aku menghadapi Tan-pangcu sementara ibu menghadapi dua wakilnya. Mereka itulah yang membunuh namun mereka juga luka terkena pukulanku."

"Dan Liong-ko... apakah tak ada di sini? Ayah dan ibu hanya bertanding berdua?"

"Kakak dan iparmu sedang pergi, Beng An, berburu. Lagi pula mereka tentu tak menyangka bahwa ada musuh kuat datang. Selama ini keadaan kami tenang-tenang saja."

Beng An mengetrukkan gigi. Ia mendesis dan menggigil mendengar bahwa pembunuh itu adalah dua orang tokoh Pulau Api. Dia kenal baik siapa Bu Kok dan See Lam itu, orang-orang yang memang licik dan curang meskipun berkepandaian tinggi. Dan ketika ia gemetar memejamkan mata, di sana iparnya terisak menyesali itu maka Shintala berkata bahwa ia dan suaminya minta maaf.

"Aku dan kakakmu tak menyangka itu. Kami terlalu lama berburu. Maafkan kami, Beng An. Kami benar-benar menyesal. Kalau saja kami ada di sini tak mungkin ada kejadian ini!"

"Hm, kehendak Tuhan tak mungkin di cegah. Semua yang terjadi pasti terjadi. Tak perlu kau menyesali itu, menantu. Betapapun setiap orang hidup harus mati. Satu saat kita semua harus kembali kepadaNya."

Shintala menangis. Wanita ini masih memiliki sumber air mata dan Beng An menggigil. Di sana pemuda itu menguat-nguatkan hati. Namun ketika ia bangkit dan terhuyung keluar, sang ayah mengerutkan kening maka pendekar itupun bangkit berdiri dan menegur sang putera.

"Kau mau ke mana?"

Beng An tak menjawab. Pemuda ini bercucuran air mata dan melangkah terus. Langkahnya gontai dan berkali-kali ia memanggil nama ibunya. Dan ketika Pendekar Rambut Emas bergerak dan rnengikuti puteranya ini ternyata puteranya itu menuju ke makam. Dan berturut-turut muncullah Bun Tiong dan Siang Hwa serta Siang Lan, mengiringi.

"Ibu, kau tewas tak menunggu aku dulu. Kau tega meninggalkan aku sebelum kita bertemu? Ah, nasib kejam memisah kita, ibu. Tapi lebih kejam lagi dua orang Pulau Api itu. Akan kubunuh mereka.... akan kubunuh mereka!"

Pendekar Rambut Emas berhenti dan akhirnya membiarkan sang putera sendiri. Ia memberi isyarat pada anak-anak itu agar jangan mengikuti. Di saat seperti itu biarlah Beng An melepas kedukaannya. Dan ketika pemuda itu terus melangkah dan jatuh di makam ibunya, terduduk dan memeluk batu nisan itu maka Pendekar Rambut Emas menjaga dan sehari itu Beng An menangis tiada habis-habisnya. Malam menggantikan siang dan tiga hari Beng An melepas kedukaan. Ratap tangisnya memilukan hati. Dan karena ia tak mau makan atau minum, kedukaan begitu menghimpit maka pemuda inipun rnenjadi kurus dan sama seperti sang ayah tiba-tiba iapun tampak lebih tua!

"Kim-taihiap!" bisikan itu menggugah pendekar ini. "Kau dan puteramu sama-sama tak makan. Nasi ini sudah dingin. Kuganti empat kali!"

"Hm!" pendekar itu menoleh dan terharu oleh langkah seorang wanita. "Terima kasih, Cao Cun. Tapi biarlah bawa kembali semuanya itu karena kami tak ada selera."

"Tapi kalian tiga hari tiga malam di sini. Bisa jatuh sakit. Kubawakan selimut dan berikan itu kepada puteramu!"

Pendekar Rambut Emas menarik napas dalam. Ia tersenyum dan terharu dan diterimanya dua selimut itu. Cao Cun, wanita ini begitu amat memperhatikan mereka. Diterimanya dua selimut itu dan disuruhnya wanita itu pergi. Dia berkata bahwa tak perlu wanita itu khawatir. Dingin dan panasnya matahari tak akan membuat mereka ayah dan anak sakit. Dan ketika wanita itu pergi namun tak lama kemudian duduk bersimpuh, Pendekar Rarnbut Emas terkejut dan heran maka wanita itu berkata biarlah dia di situ kalau ayah dan anak ingin memerintahkan sesuatu.

"Ah, tidak... tidak, tak perlu begitu. Pulang dan kembalilah, Cao Cun. Jaga anak-anak karena mereka lebih penting!"

"Mereka juga di sini," Cao Cun menuding. "Mereka bersembunyi dan ingin menemani pamannya, taihiap. Anak-anak itu terharu dan ingin berdekatan dengan sang paman. Mereka belum berkenalan penuh!"

Benar saja, Bun Tiong dan Siang Hwa serta Siang Lan melongok dari balik semak-semak. Sikap mereka itu lucu namun jelas mengharukan. Dan ketika Pendekar Rambut Emas bangkit berdiri dan merasa semuanya cukup, sang putera didekati maka ditepuklah puteranya itu untuk pulang dan kembali ke rumah.

"Sadarlah, hapus dan ingatlah dirimu. Sudah cukup semuanya ini, Beng An. Cukup masa kesedihanmu itu. Bangkit dan llhat tiga keponakanmu menunggu!"

Beng An seperti orang tak sadar. Pemuda ini memandang bodoh dan matanya menatap kosong ke depan. Kematian ibunya itu ternyata benar-benar berat baginya. Dan ketika ia diangkat dan dibawa pergi, menurut saja maka anak-anak itu mengintil dan Cao Cun berbisik agar mereka tidak ribut.

"Sst, tak boleh gaduh. Ayo berjalan di belakang kong-kong dan berbaris rapi!"

Tiga anak itu menurut. Seperti barisan kecil mereka bergerak di belakang kakek mereka. Sang paman yang linglung dan seperti orang hilang sadar membuat Siang Hwa dan adiknya menangis. Mereka juga sedih. Dan ketika di rumah Beng An mendelong dan masih seperti kosong, sang ayah menarik napas dalam-dalam maka Cao Cun berkata biarlah dia yang merawat pemuda ini.

"Beng An butuh kasih sayang seorang ibu, taihiap seorang laki-laki. Biarlah kau beristirahat dan aku yang merawat, taihiap. Dengan aku di sampingnya barang kali anak ini cepat sadar."

"Terima kasih," pendekar itupun maklum. "Aku mengerti, Cao Cun. Tapi kaupun telah bekerja keras selama ini. Kau capai!"

"Hm, aku tak merasa terlalu capai. Aku senang. Tinggalkanlah kami berdua, taihiap, dan kau beristirahatlah!"

Pendekar ini mengangguk. Akhirnya dia masuk dan Cao Cun lah yang berjaga. Ada beberapa hal yang dimengerti pendekar ini. Pertama, Beng An memang masih terpukul oleh kematian ibunya. Pemuda itu amat berat menerima kenyataan ini. Dan karena Cao Cun adalah wanita dan kebetulan setengah baya pula, cocok pengganti ibu maka wanita itu tepat merawat Beng An. Kedua, Cao Cun juga pernah mempunyai anak laki-laki. Wanita ini benar-benar pernah menjadi ibu dalam arti kata seutuhnya. Jadi merawat atau menjaga Beng An seperti anak sendiri tak canggung bagi wanita itu.

Dan karena semuanya ini bakal dilakukan sungguh-sungguh, benar saja wanita itu memperlakukan Beng An seperti puteranya sendiri maka Beng An yang terlongong-longong dan seperti orang hilang ingatan itu perlahan-lahan sadar. Pertama yang dilakukan wanita ini adalah menjaga Beng An di sampingnya. Begitu setia hingga iapun menahan kantuk dan lapar. Dan kalau Beng An mengeluarkan bunyi berkeruyuk, pemuda itu lapar maka dengan lembut Cao Cun membelai dan mengusap bahu pemuda ini.

"Sadarlah.... sadarlah, nak. Aku pengganti ibumu dan ingatlah bahwa kau belum kehilangan segala-galanya. Masih ada ayahmu di sini. Masih ada saudara dan keponakan-keponakanmu yang lain. Lihatlah Bun Tiong dan enci-encinya menungguimu pula!"

Beng An mulai bergerak bola matanya. Ada kesan hidup dan sadar pada pandang mata pemuda itu. Dan ketika di sebelah kiri Bun Tiong juga memanggil-manggilnya lirih, di sebelah kanan Siang Hwa dan adiknya terisak-isak mengguncang lengan pemuda itu maka Beng An semakin sadar dan ingat.

Perlahan-lahan pemuda ini memandang orang-orang itu. Tiga anak kecil di sampingnya membuat ia mengerutkan kening. Tapi ketika pandang matanya bertemu Cao Cun dan betapa sepasang mata wanita itu basah memandangnya, mata itu lembut dan penuh iba serta kasih sayang mendadak Beng An mengeluh dan merasa wanita ini ibunya sendiri.

"Ibu...!" Cao Cun tersedu dan memeluk pemuda ini. Beng An mengguguk dan tiba-tiba sadar. Wanita itu mendekapnya seperti terhadap putera sendiri dan meloncatlah getar-getar cinta kasih yang amat dahsyat. Cao Cun juga merasa bahwa yang dipeluknya saat itu adalah Ituchi, mendiang puteranya yang tewas.

Dan ketika Beng An dan wanita itu sama-sama merasa mendapatkan sesuatu yang sang anak saakan menemukan ibunya sementara sang ibu seakan mendapatkan anaknya maka keduanya sesenggukan dan tiba-tiba tanpa terasa Cao Cun mengecup dua kening pemuda itu.

"Ooh, kau ah, kau puteraku yang hilang, Beng An. Kau seperti Ituchi! Aku..aku bangga bahwa kau cepat sadar dan tidak berlarut-larut. Kau... kau akan menerima kasih sayangku seperti dari ibumu sendiri...!"

"Ibu.... bibi....!"

Beng An memeluk dan terguncang oleh kecupan di dua keningnya itu. Tanpa sadar Cao Cun melakukan apa yang pernah menjadi kebiasaan Kim-hujin, yakni memberi kecupan di kedua kening Beng An. Seperti itulah biasanya Kim-hujin menyatakan kasih sayangnya. Dan karena Cao Cun melakukan itu dan Beng An tak kuat, kasih sayang atau getar cinta ibunya tiba-tiba meledak di situ maka pemuda ini mengguguk dan dikecup atau diciumnya pula dua pipi wanita itu.

"Ooh, aku... ah, kau seperti ibuku sendiri, bibi Cao Cun. Kau membangkitkan semangatku dan menyadarkan aku akan apa yang harus kulakukan. Kau... ah, terima kasih atas perhatian dan perawatanmu selama ini. Aku... aku sadar. Mana ayah dan apa yang kulakukan selama ini!"

"Hm, aku di sini," sang ayah muncul, batuk-batuk dan terharu. "Benar kata bibimu Cao Cun, Beng An. Kau lebih cepat sadar ditemaninya daripada ditemani aku. Terima kasih dan syukur kau ingat diri."

Beng An membalik dan menubruk ayahnya ini. Selama berhari-hari ini ia seakan orang linglung dan tak tahu apa yang dilakukan. Ia tak ingat bahwa kerjanya hanya melamun saja, pikiran kosong dan keadaanpun seperti orang lupa diri. Maka begitu ia sadar dan getaran cinta kasih wanita membuatnya ingat semua, guncangan itu menghancurkan semua sisa-sisa duka maka Beng An sudah kembali dan utuh sebagni seorang pemuda gagah yang tidak larut dalam duka.

Ia telah berhasil menghalau semua itu dan kini dipeluknya sang ayah dengan haru. Air matanya masih mengucur, tapi bukan karena duka melainkan haru. Ia melihat betapa ayahnya ini sekarang tampak tua dan letih. Wajah itu wajah yang mengibakan sekali. Dan ketika Cao Cun berkata betapa ayahnya tiga hari tiga malam mendampingi dia di makam, duduk dan menjaganya maka Beng An tak kuasa menahan tangisnya lagi.

Namun sebentar kemudian pemuda itupun sudah mengusap air matanya. Ia mendorong sang ayah dan tampak betapa semangat dan kesadarannya tinggi. Mata itu sudah bersinar dan hidup bagai mata seekor naga. Dan ketika pemuda itu menarik napas dalam dan berkata bahwa dia akan mencari orang-orang Pulau Api itu, bertanya di manakah kakaknya Thai Liong maka Pendekar Rambut Emas mengerutkan kening dan mundur setindak.

"Hm, kau mau membalas kematian ibumu? Kau pergi dengan dorongan dendam?"

"Tidak, aku pergi bukan karena dorongan dendan ayah, melainkan ingin mengikuti dan melihat sepak terjang orang-orang itu. Mereka musuh bebuyutan penghuni Lembah Es. Aku akan menunggu sampai mereka melakukan sesuatu di mana saat itu aku baru muncul dan menghadapi mereka sebagai seorang pendekar menghadapi penjahat!"

"Lembah Es? Tempat apa ini?"

"Ini tempat di mana segala sesuatunya itu dimulai. Aku tak sengaja ke tempat ini, seperti aku juga tak sengaja menolong seorang murid Lembah yang disiksa orang-orang Pulau Api. Lembah Es adalah tempat di mana penghuninya semua wanita sementara Pulau Api adalah pulau yang dihuni oleh kaum laki-laki saja!"

"Hebat! Di mana tempat itu, Beng An, Kenapa selama ini aku tak pernah mendengar namanya!"

"Lembah Es di utara kutub, sementara Pulau Api diselatan. Ah, mereka memang jauh dari sini, ayah. Dan mendengar tentang itu bagai mendengar dongeng. Lembah Es dikuasai seorang puteri dan namanya adalah Puteri Es, sedang Pulau Api dikuasai oleh Tan-pangcu dan dua wakilnya itu!"

"Hm-hm, menarik. Barangkali kau dapat menceritakan ini sebelum pergi!"

"Aku memang akan menceritakannya, tapi di mana Thai Liong-ko dan siapa anak-anak ini!"

"Ah, aku Bun Tiong!"

"Dan aku Siang Hwa!"

"Aku Siang Lan, paman. Masa kau tidak kenal!"

"Ha-ha..!" Pendekar Rambut Emas tertawa, tiba-tiba gembira. "Lucu bahwa kau belum mengenal mereka ini, Beng An. Rupanya begitu lama kau dilanda kedukaan. Lihat, itu Bun Tiong, putera kakakmu Thai Liong. Dan ini, hmm... siapa lagi kalau bukan Siang Hwa dan Siang Lan? Mereka ini puteri encimu Soat Eng. Begitu lama kau meninggalkan kami sehingga tidak tahu perobahan keluarga!"

"Hm, begitukah? Jadi keponakanku yang cantik-cantik ini puteri Soat Eng-cici? Dan yang ini putera Liong-ko? Ah, cantik dan gagah mereka ini. Tapi yang enci Soat Eng tak mempunyai anak...."

"Tidak, inilah Hok Gi!" Shintala tiba-tiba muncul dan berseru, wajahnya girang. "Encimu juga mempunyai seorang anak lelaki, Beng An. Dan lihat betapa kau mempunyai empat keponakan yang cakep-cakep!"

"Ah, ini putera Eng-cici yang lain?" Beng An terkejut, menoleh. "Namanya Hok Gi? Ah, seperti kakak Siang Le. Aduh, tampan dan manis sekali, ha-ha...!"

"Dan kau!" Beng An tertegun. "Kapan memberikan cucu bagi ayahmu, Beng An? Lihat bahwa semua menunggu-nunggumu. Kau sudah pantas menikah!"

"Hm...!" Beng An semburat, wajah Puteri Es tiba-tiba terpampang di depan mata. "Kau jangan menggoda, enci. Aku jelek dan tak ada perempuan yang mau!"

"Ah, paman gagah dan tampan. Kalau paman sudah berkunjung ke Lembah Es tentu wanita-wanita di sana kecantol pada paman. Hi-hik, bukankah di sana perempuan melulu?"

"Benar, dan barangkali Puteri Es itu cocok untukmu, paman. Hayo ceritakan kepada kami dan siapa dia!"

Wajah Beng An tiba-tiba merah padam. Siang Hwa dan Siang Lan yang menggodanya secara main-main tiba-tiba secara tak disengaja tepat mengenai sasaran. Sang ayah tersenyum-senyum dan tentu saja memperhatikan semua perobahan wajah puteranya ini. Betapapun matanya yang tajam tak lepas dari itu. Dan ketika puteranya tampak gugup dan Cao Cun. tertawa, menyuruh anak-anak diam maka wanita itu memegang lengan Beng An.

"Benar atau tidak kau harus ceritakan kisah perjalananmu itu. Duduklah, semua sudah di sini, Beng An. Ceritakan pengalamanmu dan apakah penghuni Lembah Es itu cantik-cantik!"

"Ah, bibi jangan menggoda. Aku tak tahu apakah mereka cantik atau tidak. Yang jelas, mereka bermusuhan dengan orang-orang Pulau Api dan aku yang kebetulan bertemu lalu terlibat di sini!"

"Baiklah, coba ceritakan kepada kami," Pendekar Rambut Emas melirik semua orang, memberi isyarat. "Ceritamu tentu penting, Beng An. Dan biar kami dengar bagaimana sampai kau bermusuhan dengan orang-orang Pulau Api."

"Nanti dulu, aku ingin tahu di mana Thai Liong-ko. Dan apakah enci Soat Eng atau Siang Le-ko tak datang ke sini!"

"Hm, mereka ke Pulau Api. Enci mu marah dan ingin menghajar orang-orang itu, Beng An. Dan kakakmu Thai Liong menyertai. Sebenarnya Thai Liong dan kakakmu Siang Le yang pergi, tapi encimu ikut."

"Ah, apakah mereka tahu di mana letak Pulau Api itu?"

"Tidak, tapi mereka akan mencari sambil bertanya-tanya."

"Tak mungkin dapat. Tempat itu di luar daratan besar, jauh di selatan. Mereka tak akan dapat kalau tidak menyeberang dan mempergunakan perahu!"

"Hm, aku tak tahu. Yang jelas kakakmu pergi. Kau dapat menyusul dan mencarinya nanti. Sekarang ceritakan kisahmu dan siapakah penghuni Lembah Es itu pula."

Beng An duduk dan menarik napas panjang. Sekarang dia telah dapat menguasai diri dan dendam tak ada lagi di hati. Yang ada hanya kemarahan dan penasaran. Dia marah dan penasaran kenapa orang-orang Pulau Api itu mengganggu ibunya. Bukankah urusan hanya dia dan mereka. Tapi sadar bahwa semuanya bisa berkait, iapun harus bercerita kepada ayahnya maka pemuda itupun mulai kisahnya sejak dia dilepas Sian-su, turun gunung. Betapa dia tiba di Pulau Api karena tertarik oleh cahaya kemerah-merahan yang membakar pulau.

Cahaya dari pohon-pohon Api yang ribuan jumlahnya, cahaya yang membuat pulau itu bersinar dan tampak dari kejauhan seperti pulau yang terbakar, indah namun sesungguhnya penuh maut. Laut di sekitar itu mendidih dan Siang Hwa maupun adiknya meleletkan lidah mendengar ini. Dan ketika Beng An bercerita betapa dia menolong dan membebaskan seorang murid Lembah Es, yang hendak disiksa dan dijadikan korban upacara ritual maka di sinilah semuanya berlanjut.

"Aku tak dapat membiarkan itu. Mereka orang-orang kejam. Masa seorang gadis muda hendak dibunuh dan ditusuk di meja altar. Aku menolong dan akhirnya membebaskan gadis itu di mana orang-orang pulau Api lalu memusuhiku!"

"Hm, dan penghuni Lembah Es itu. la lalu membawamu ke utara?"

"Benar, ayah, sekalian aku mengantarnya. Dan di situ baru aku tahu bahwa sejak seribu tahun yang lalu orang-orang Lembah Es bermusuhan dengan orang-orang Pulau Api. Mereka itu para murid atau sisa-sisa Dinasti Han. Ratu atau Puteri Es adalah keturunan langsung kaisar, sedang Tan-pangcu dan orang-orang Pulau Api itu keturunan para pangeran yang memberontak!"

"Ah, dan mereka memiliki ilmu-Ilmu yang hebat. Tan-pangcu dan dua sutenya itu memiliki ilmu langkah sakti yang entah apa namanya!"

"Itu pasti Jit-cap-ji-poh-kun, milik Hwe-sin!"

"Dan mereka juga memiliki pukulan Yang-kang yang dahsyat sekall. Tubuh mereka seperti obor!"

"Benar, mereka ahli ayah. Dan tandingan untuk ini adalah Bu-kek-kang. Dua penghuni pulau itu masing-masing mendapatkan ilmu dari dua dewa sakti. Han Sun Kwi dan Kim Kong Seng-jin."

"Ah, ilmu dari para dewa?"

"Begitu menurut dongeng. Dan Ilmu atau kesaktian mereka hebat sekali. Pangcu itu baru mencapai tingkat delapan dari ilmunya Giam-lui-ciang. Sementara Puteri Es atau Ratu lembah itu juga pada tingkat yang sama dari ilmunya Bu-kek-kang (Pukulæn Tak Berkutub)....

Putri Es Jilid 15

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

"AWAS....!"

Swat Lian juga melihat itu. Nyonya ini terbelalak karena dua senjata meluncur berbareng. la jatuh terduduk dan pucat mendekap dada. Pukulan dua orang itu diterimanya telak sekali, isi dadanya seakan hancur. Maka ketika dua senjata itu menyambar kepalanya dan suaminya berteriak memperingatkan, Pendekar Rambut Emas tiba-tiba melengking dan melepas ikat rambutnya maka senjata aneh itu menyambar dan rantai serta ikat pinggang dibentur, sayang kurang kuat dan dua senjata itu tetap ke bawah.

Nyonya ini mengeluh dan coba mengelak, kalah cepat dan tiba-tiba terdengar bunyi berkeratak disusul robohnya nyonya itu. Kepala Kim-hujin ini retak! Dan ketika nyonya itu terguling dan Pendekar Rambut Emas melengking menggetarkan, suaranya dahsyat menggetarkan lembah maka tiba-tiba ia menghantam ketua Pulau Api itu hingga tongkat di tangan ketua ini patah. Sang ketua berteriak dan terbanting bergulingan.

"Krakk-desss!"

Hebat gempuran Pendekar Rambut Emas ini. Pendekar itu mencapai puncak kemarahannya dan ia mengerahkan seluruh tenaga. Lawan tak kuat dan roboh terguling-guling. Tenaga yang dimiliki Pendekar Rambut Emas adalah tenaga mujijat yang keluar oleh kecemasannya melihat keadaan sang isteri. Gunungpun bakal roboh dihantam pukulannya ini. Namun ketika lawan terjengkang dan pendekar ini meledakkan Pek-sian-sutnya, membalik dan menyambar dua orang itu maka Bu Kok dan sutenya kaget bukan main di sambar dua jari telunjuk yang hanya tampak berkeredep seperti halilintar menyambar.

"Awas!" Dua orang ini terlambat. Gerakan Pendekar Rambut Emas terlampau cepat dan tak mungkin dielak. Apalagi pendekar itu hilang di balik ilmu Pek-sian-sutnya, semacam sihir atau ilmu roh. Maka begitu dua telunjuk membagi tusukan, Bu Kok terkena dahinya sementara sang sute belakang telinganya, dua orang ini menjerit maka dua-duanya roboh dan dahi serta belakang telinga itu hangus bagai di-jilat api halilintar!

"Uuhh...!" Dua orang itu terguling. Pendekar Rambut Emas ternyata tidak melanjutkan serangannya lagi karena pendekar ini mengeluh menyambar isterinya. Sang isteri yang roboh dan tidak bergerak-gerak lagi membuat dia pucat, pendekar itu memanggil-manggil. Namun karena nyonya ini terkena serangan telak dan untung bahwa serangan itu ditangkis ikat rambut, kalau tidak tentu kepalanya pecah maka Kim-hujin yang retak pelipisnya ini membuat Pendekar Rambut Emas terbelalak dan tanpa perduli kiri kanan lagi pendekar itu duduk bersila menempelkan kedua tangannya di kepala dan punggung.

Dan usahanya berhasil, meskipun tidak sepenuhnya. Nyonya yang sekarat itu tiba-tiba mengeluh, membuka mata dan menggerak-gerakkan bibir namun yang terdengar hanya desis atau semacam suara tak jelas. Pendekar Rambut Emas menghentikan pertolongannya dan membuka mata. Ia tadi berjuang begitu sungguh-sungguh. Dan ketika sang isteri sadar dan ia girang, memeluk dan membawa isterinya ini ke dada maka pendekar itu menggigil bertanya.

"Apa yang ingin kau katakan, niocu. Bagaimana keadaanmu. Aku.... aku tak sanggup menolong lebih....!"

"Aku... aku akan mati. Aku.... aduh, jahanam keparat orang-orang Pulau Api itu, suiku.... aku ingin kau mernbalaskan sakit hati in....!"

"Jangan katakan itu. Yang jahat memang harus dibasmi. Lukamu parah, isteriku. Aku tak tahu apa lagi yang harus kulakukan selain mendengar pesanmu...!"

"Aku.... aku tak hendak bicara apa-apa lagi. Aku menyesal tak melihat anakku Beng An. Aku.. aduh... aku.... aku hanya mempunyai titipan untuk Soat Eng dan adiknya, suamiku. Ada dua gulung surat untuk mereka, di bawah bantal. Berikan itu dan.... dan balaskan sakit hati ini."

"Niocu!"

Sang nyonya terguling. Pendekar Rambut Emas sudah menahan dan mengguncang-guncang kepala itu namun kepala itu tergolek. Isterinya telah tewas. Pendekar Rambut Emas mengeluh dan sepasang matanya tiba-tiba berpijar bagai bola api. Dan ketika pendekar itu meletakkan isterinya dan bangkit membalikkan tubuh, di belakang terdengar gerakan maka pendekar ini membentak dan tiba-tiba menerjang melihat bayangan merah menyambar, mengira itu adalah Tan-pang cu ketua Pulau Api.

"Manusia iblis, kau telah membunuh isteriku. Terimalah, dan mari kita mengadu jiwa!"

Namun bayangan itu berkelit. Ia berteriak namun dikejar, berkelit dan berteriak lagi namun tetap dikejar dan menerima serangan bertubi-tubi. Dengus dan mata pendekar itu gelap. Dan ketika satu pukulan tak dapat dikelit lagi, bayangan ini menangkis maka Thai Liong, bayangan ini membentak dan berseru meayahnya itu. "Ayah, ini aku, Thai Liong. Lihatlah... dess!"

Dan dua-duanya yang terpelanting dan terlempar oleh pukulan mereka akhirnya membuat Pendekar Rambut Emas sesak napasnya dan bangun duduk di sana, mengeluh, membelalakkan mata lebar-lebar dan ternyata betul bahwa yang dihadapi bukanlah ketua Pulau Api. Thai Liong datang dan itulah puteranya. Dan ketika puteranya bangkit dan agak terhuyung, betapapun pukulan tadi cukuplah kuat maka pendekar ini menuding ke sana dan roboh pingsan. Habis oleh pertandingan mati hidup yang tadi dilakukannya bersama orang-orang Pulau Api.

Thai Liong terkejut. Rajawali Merah ini baru datang ketika di kejauhan sana ia mendengar lengking atau seruan ayahnya yang dahsyat. Pekik itu memberi tahu akan adanya bahaya. Tak biasanya ayahnya memekik seperti itu selama beberapa tahun ini. Maka ketika dia berkelebat dan menyuruh anak isterinya menyusul, tertegun dan diserang lalu menangkis serangan ayahnya maka pemuda itu sudah berlutut dan memeriksa ayahnya ketika dua bayangan lain berkelebat dan mengeluarkan seruan tertahan, bayangan Shintala dan Bun Tiong yang memanggul tiga ekor harimau di belakang punggungnya.

"Ada apa, apa yang terjadi!"

Thai Liong tak menjawab pertanyaan isterinya. Dia memeriksa ayahnya dan menjadi lega karena ayahnya hanya kehabisan tenaga saja. Denyut jantung ayahnya itu masih sehat. Tapi ketika Bun Tiong melihat keadaan neneknya dan anak itu sudah melempar buruannya, menubruk dan memanggil-manggil Kim-hujin maka anak ini berteriak dan memanggil ibunya.

"Ibu... ibu! Nenek tak mau bicara!"

Sang ibu menoleh. Shintala kurang memperhatikan gak-bonya itu karena suaminya menolong sang ayah. Dia baru menoleh ketika puteranya memanggil-manggil. Dan ketika nyonya ini membalik dan berkelebat ke arah gak-bonya, melihat betapa gak-bonya tewas dan tidak bergerak lagi maka nyonya ini menjerit dan memanggil suaminya pula.

"Liong-ko, ibu dibunuh orang!"

Thai Liong meloncat dan tahu-tahu sudah di samping isterinya. Ia sekarang juga memperhatikan ibunya itu dan tiba-tiba berobahlah mukanya melihat betapa bunya itu tak bernapas lagi. Pelipis itu retak dan darah mengalir di sini. Tubuh ibunya masih hangat tanda belum begitu lama tewas. Tapi ketika ia menggigil dan berlutut, isteri dan anaknya sudah mengguguk tak keruan maka ayahnya bangkit duduk dan sudah siuman. Pertolongan Thai Liong tadi membawa hasil.

"Ibumu memang tiada. Ia telah dibunuh orang-orang Pulau Api...!"

Shintala menjerit dan menubruk ayah mertuanya ini. Pendekar Rambut Emas tampak pucat namun jelas sekali pendekar ini sedang menahan perasaannya yang terguncang. Wajah gagah itu tiba-tiba tampak menua, betapa mengharukannya. Dan ketika Thai Liong bangkit dan menghampiri ayahnya, saling rangkul maka tak dapat dicegah lagi tiga orang itu meruntuhkan air mata. Shintala paling deras dan tersedu-sedu!

"Siapa orang-orang Pulau Api itu. Siapa jahanam keparat itu!"

"Benar!"

Bun Tiong meloncat dan tiba-tiba berseru nyaring. "Siapa orang-orang Pulau Api itu, kong-kong. Di mana mereka tinggal dan kenapa membunuh nenek. Biar kucari mereka dan kubalas sakit hati ini!"

"Hm..!" Pendekar Rambut Emas batuk-batuk. "Mari kita bawa jenasahnya ke dalam, anak-anak. Biar di sana kita bicara. Aku.... aku letih sekali."

Shintala mengguguk dan memeluk gak-hunya ini. Dia paling sayang dan hormat kepada ayah mertuanya ini, bukan karena apa-apa melainkan semata betapa ayah mertuanya itu banyak ditimpa kemalangan hidup. Sebagai menantu keluarga itu tentu saja dia tahu cerita pendekar ini, sejak mudanya sampai sekarang. Betapa di masa-masa mudanya pendekar itu banyak mengalami tekanan batin, mulai permusuhannya dengan mendiang suhengnya sampai kepada kematian sumoinya tercinta, ibu dari Thai Liong atau suaminya sekarang itu.

Dan ketika baru dalam beberapa tahun terakhir ini saja gak-hunya itu hidup bahagia, tenang dan tenteram sejak musuh-musuh mereka yang jahat tewas, mendiang Mo-ong dan sepasang kakek iblis Poan-jin-poan-kwi maka hari ini tiba-tiba saja gak-hunya itu harus kehilangan isteri ketika mereka tak ada di rumah. Tanda betapa hebat dan mengejutkan musuh-musuh yang datang itu.

"Siapa mereka, siapa orang-orang Pulau Api itu!" wanita ini menangis dan terus bertanya ketika mereka duduk di dalam. Jenasah Kim-hujin sudah ditutupi kain dan menantu ini mengepal tinju sampai berkerot-kerot. Gigi dan bibir itupun dikatup rapat. Dan ketika di sana Bun Tiong juga mengusap air matanya sambil tersedu memanggil neneknya, anak ini mengepal tinju seperti sang ibu.

Maka Pendekar Rambut Emas menarik napas dalam-dalam dan hanya dia dan puteranya Thai Liong yang dapat menahan diri. "Semua yang terjadi tentu terjadi. Emosi tak boleh bicara di sini. Aku juga tak tahu siapa orang-orang Pulau Api itu, Shintala. Aku tak tahu di mana mereka tinggal karena mereka juga tak memberi tahu...."

"Ah, gak-hu tak tahu siapa orang-orang ini? Gak-hu tak bertanya di mana mereka tinggal?"

"Aku tak sempat bertanya, menantu. Dan lagi semuanya itu berlangsung begitu cepat. Mereka datang secara tiba-tiba."

"Kalau begitu mengapa mereka memusuhi kita. Apakah mereka itu orang-orang gila yang tidak waras!"

"Hm, ini berawal dari Beng An. Adikmu itulah yang paling tahu...."

"Beng An?" Shintala terkejut. "Mereka memusuhi Beng An?"

"Begitu katanya, menantu. Dan mereka datang memang untuk mencari Beng An. Aku dan ibumu juga terkejut bahwa mereka memusuhi Beng An."

"Kalau begitu mereka orang jahat. Tak mungkin Beng An bermusuhan dengan orang baik-baik!"

"Hm, baik atau tidak biasanya tergantung pertimbangan pribadi. Masalah ini berkait dengan untung rugi. Kalau jahat dimaksud sebagai orang yang banyak merugikan orang lain agaknya betul, menantu. Dan aku juga merasa begitu. Tapi mereka betul-betul orang hebat. Mereka dapat menahan pukulan kita Khi-bal-sin-kang dan memiliki bermacam ilmu silat tinggi, juga langkah sakti yang tak kuketahui apa!"

Thai Liong tertegun. Kalau ayahnya sampai memuji seperti itu maka musuh tentu betul-betul hebat. Tapi melihat betapa ayahnya selamat kecuali ibunya saja maka pemuda ini bertanya dengan suara lirih, "Tapi sehebat-hebatnya mereka kau masih dapat mengusir lawan, ayah. Ini berarti tak perlu kita khawatir."

"Hm, takut memang tidak, tapi khawatir perlu. Aku dapat mengusir mereka karena nasibku yang baik saja, Liong-ji. Kalau aku tidak memiliki Pek-sian-sut kemungkinan aku sudah roboh seperti ibumu. Mereka betul-betul hebat, tapi harus diakui bahwa mereka belum sempurna menguasai ilmu."

"Ah, jadi mereka masih dapat lebih hebat lagi?"

"Benar, dan terutama ketuanya. Aku menghantam dia sekuat tenaga tapi yang patah hanya senjatanya. Dia terlempar dan masih dapat bergulingan meloncat bangun. Sementara dua sutenya, hmm... mereka roboh oleh pukulanku dan mungkin untuk tiga empat bulan harus beristirahat total!"

Pendekar ini menceritakan pertempurannya. Thai Liong mendengarkan dan Shintala mengerutkan kening. Bun Tiong berapi-api dan tidak menampakkan gentar. Dan ketika sang kakek selesai bercerita dan mereka mendengar dahsyatnya orang-orang Pulau Api, betapa mereka menguasai tenaga Yang-kang (Panas) hingga mirip obor berjalan maka anak ini berseru mengepal tinju,

"Mungkin itu sebabnya. Ilmu mereka kalah oleh paman!"

"Hm, diam kau," sang ayah menegur. "Kau anak kecil tak usah ikut campur pembicaraan orang tua, Bun Tiong. Dengarkan saja tapi jangan bersuara!"

Anak ini bersembunyi di belakang punggung ibunya. Dia meleletkan lidah dan sang ibu meraih. Kalau sudah begini memang anak itu lebih dekat sang ibu. Dia takut tapi kakeknya tersenyum. Dan ketika Pendekar Rambut Emas mengangguk-angguk dan merasa betul, omongan itu masuk akal maka dia membela halus cucunya laki-laki ini.

"Bun Tiong anak kecil, tapi pikirannya seperti orang dewasa. Kupikir apa yang dikatakan betul, Thai Liong. Kekalahan mereka yang membuat mereka ke mari. Mungkin dulu mereka roboh oleh Beng An, datang dan ingin membalas sakit hati."

"Tapi tak ada urusannya dengan gak-hu!" Shintala memprotes. "Mereka boleh mencari Beng An, gak-hu, tapi tak boleh memusuhi apalagi membunuh gak-bo. Apa namanya itu!"

"Hm, ini wajar terjadi," Pendekar Rambut Emas menarik napas dalam. "Aku adalah ayah Beng An, menantu, dan gak-bomu adalah ibunya. Jadi wajar saja kalau kami orang tuanya dilibatkan."

"Kalau begitu mereka orang-orang tak tahu malu. Kalah dengan Beng An lalu mencari dan memusuhi orang tuanya!"

"Sudahlah," Thai Liong melerai. "Ayah betul, Shintala, dan pandanganmu juga betul kalau ditinjau dari sudut pikiranmu. Sekarang apa yang harus kita lakukan dan bagaimana menurut ayah."

"Kita harus menemukan Beng An. Kita harus memberitahukan ini."

"Tapi di mana anak itu, ia dulu ikut Sian-su!"

"Benar, tapi kalau begini tentu anak itu sudah keluar, menantu. Kalau dia sudah bermusuhan dengan orang-orang Pulau Api itu berarti Sian-su telah melepasnya."

Thai Liong mengangguk. Perkataan ayahnya benar dan isterinya mengerutkan kening dengan mata bersinar. Shintala tampak geram dan marah oleh peristiwa ini. Wanita itu menahan-nahan ledakan perasaannya. Tapi ketika kemudian diputuskan bahwa keluarga di Sanm liong-to harus diberi tahu, Thai Lionglah yang mendapat tugas maka pemuda itu bangkit berdiri setelah jenasah ibunya dimakamkan. Tiga hari kemudian berangkat.

"Aku ikut. Aku juga ingin mengetahui keadaan Soat Eng di sana. Kenapa tiga tahun ini ia tak datang!"

Shintala bangkit pula berkata pada suaminya. Ia tak mau ditinggal di situ dan Thai Liong tertegun. Sebenarnya ia ingin agar isterinya menjaga di situ, bersama ayahnya. Dan ketika ia masih ragu mendadak putera mereka Bun Tiong juga berseru,

"Aku juga. Aku ingin bertemu cici Siang Hwa dan Siang Lan, ayah. Aku tak mau ditinggal di sini!"

"Hush, kong-kongmu tak boleh sendiri, butuh teman. Masa kau dan ibumu pergi bersama ayah? Eh, sebaiknya kau di sini, Bun Tiong. Temani kakekmu dan tak usah ikut!"

"Tak apa," Pendekar Rambut Emas muncul. "Anak ini masih ingin berdekatan dengan ayah ibunya, Liong-ji. Biarlah kalian bawa dan jangan pikirkan aku. Pergilah!"

"Tapi ayah sendiri, bagaimana kalau musuh datang lagi!"

"Kupikir tidak. Dalam waktu tiga empat bulan ini penghuni Pulau Api tak mungkin ke mari. Dua di antara tokohnya luka."

Thai Liong masih ragu. Sebenarnya yang ia kehendaki adalah teman bagi ayahnya itu. Alasan bahwa musuh datang hanyalah berandai-andai. Kalaupun datang mana mungkin anak sebesar Bun Tiong mampu menghadapi? Ia hanya ingin ayahnya berdua, Bun Tiong dirasa cukup di situ. Tapi karena ayahnya menolak dan benar juga bahwa puteranya itu ingin berdekatan dengan mereka, ayah ibunya maka pemuda ini mengangguk dan isterinya menyambar dan memeluk puteranya itu. Anak ini girang.

"Baiklah, kami tinggalkan dirimu, ayah. Kalau ada apa-apa hubungilah aku dengan getaran batin. Secepatnya aku akan datang!"

Pendekar Rambut Emas tersenyum. Ia mengangguk dan melambaikan tangan pada keluarga kecil itu, menyuruh Thai Liong berangkat dan meminta agar keluarga Sam-liong-to datang. Dan ketika Thai Liong bergerak dan lenyap mempergunakan kesaktiannya yang tinggi, anak isterinya disambar pergi maka pemuda itu menuju Sam-liong-to dan selanjutnya telah bertemu dengan Soat Eng dan anak serta suaminya.

* * * * * * * *

"Demikianlah," pemuda itu menutup cerita dengan wajah tak gembira. "Ibu tewas akibat serangan tokoh-tokoh Pulau Api, Siang Le. Dan celakanya kami tak tahu di mana Pulau Api itu. Hanya Beng An yang tahu!"

"Hm, kasihan, menyedihkan. Kiranya ini akibat sepak terjang Beng An. Ah, kalau begitu kau betul, Thai Liong. Kita harus menemukan adik kita itu dan secepatnya memberi tahu ini. Gak-bo tewas karena serangan orang-orang Pulau Api. Keji benar mereka itu!"

"Dan ibu tak sempat ke sini. Ia akan datang bersama ayah mencari tahu kenapa kalian tak pernah datang!"

"Hm, ini gara-gara Soat Eng. Ia tak datang karena menunggu besarnya Hok Gi, Thai Liong, juga karena waktu itu sedang hamil dan tak dapat bepergian jauh. Aku menyesal bahwa gak-bo menjadi susah gara-gara ini!"

"Sudahlah, sekarang sudah lewat. Ayah mengundang kalian datang dan barangkali besok kita bisa bersiap-siap."

"Hm...!" Siang Le mengangguk-angguk. "Tahu begini barangkali aku yang pergi ke sana, Thai Liong, tak usah menunggu isteriku. Ah, aku ingin ketemu gak-hu dan melihat bagaimana keadaannya sekarang!"

"Ayah semakin tampak tua. Ia sedih."

"Benar, dan aku ingin menghiburnya. Baiklah kusiapkan segalanya dan besok kita berangkat!"

Malam itu keluarga ini berbenah. Soat Eng juga mendengar cerita dari Shintala dan semalam itu nyonya ini menangis terus. Tak habis-habisnya ia mengutuk dan mengumpat orang-orang Pulau Api itu. Sesekali ia memekik dan mengepalkan tinju, wajahnya merah padam, mata berkilat-kilat dan tampak betapa kebencian dan api dendam memancar di sini. Nyonya ini memang terbakar.

Tapi ketika Cao Cun mengelus-elus pundaknya dan wanita setengah baya ini menenangkan dengan kata-kata halus, bahwa yang penting adalah ke utara dulu dan menghadap sang ayah maka nyonya itu dapat dibujuk dan ketika keesokannya mereka berangkat Sam-liong-to tak berpenghuni lagi. Siang Le mengajak semuanya bersicepat. Anak-anak, empat jumlahnya dibawa oleh Thai Liong dimasukkan jubah saktinya. Bibi mereka Cao Cun juga dimasukkan ke situ. Thai Liong memiliki kesaktian Beng-tau-sin-jin (Ilmu Menembus Roh), ilmu yang membuat pemuda itu dapat "mengantongi" manusia seperti mengantongi kelereng saja.

Maka ketika semua siap dan berangkat menuju utara dapat dibayangkan hujan tangis di sini, ketika Soat Eng bertemu ayahnya. Pendekar Rambut Emas duduk bersila ketika keluarga Sam-liong-to itu datang. Soat Eng menubruk dan memanggil ayahnya. Dan ketika pendekar ini membuka mata dan Cao Cun, wanita itu menggigil di pintu maka kedua mata pendekar ini tiba-tiba menjadi basah dan ia memeluk serta merangkul puterinya itu.

"Ayah..."

"Hm, kau... kau datang? Kau telah mendengar cerita kakakmu? Bagus, aku girang, Eng-ji. Tapi ibumu... ibumu...." Pendekar ini tak mampu melanjutkan kata-katanya.

Soat Eng telah mengguguk dan tersedu-sedu memeluk ayahnya itu. Hujan tangis tak dapat dicegah. Dan ketika di sana Siang Le mengusap air matanya dan anak-anak juga menangis sambil berlutut, Thai Liong menunduk dan menahan perasaannya yang bergetar-getar maka pertemuan ini dipenuhi keharuan sekaligus kesedihan.

Siang Le melihat betapa ayah mertuanya itu tiba-tiba sudah berubah rambutnya. Tak ada lagi yang kuning keemasan. Wajah itu sudah menua dan kurus. Dan ketika Cao Cun tiba-tiba menggigil dan jatuh berlutut, wanita ini mengucapkan bela sungkawa maka Pendekar Rambut Emas tertegun dan lekat memandang wanita ini. Air matanya tiba-tiba deras mengucur.

"Kim-taihiap, aku.... aku mengucapkan bela sungkawa. Maafkan bahwa kedatanganku terlambat."

"Ah, terima kasih, Cao Cun. Tapi.... tapi duduklah seperti yang lain. Jangan berlutut. Aku.... aku sudah siap menerima semuanya ini. Takdir tak dapat dirobah!"

Wanita itu tersedu-sedu. Akhirnya Soat Eng menarik tubuhnya dan dua wanita ini berdekapan. Pendekar Rambut Emas di tengah dan anak-anak jadi riuh menangis. Mereka terbawa oleh orang-orang tua ini. Tapi ketika terdengar tangis bayi dan itulah Hok Gi, sang pendekar terkejut maka pendekar itu mendorong semuanya memandang bocah mungil itu, terbelalak.

"Dia.... dia ini siapa? Anak siapa?"

"Dia Hok Gi, Siang Hok Gi, puteraku! Inilah anak kami ketiga, ayah. Anak laki-laki. Kami mendapatkannya setelah berusaha ke mana-mana!"

"Ah, dia.... dia anak lelaki? Berikan!"

Pendekar Rambut Emas menyambar dan meminta anak ini. Hok Gi menangis namun ketika disambar kakeknya anak ini tiba-tiba diam. Pendekar Rambut Emas menggigil dan terbelalak memeluk anak ini. Dan ketika dia mengeluh dan anak itu menangis lagi maka Soat Eng menerima dan ayahnya terduduk.

"Ah, ibumu keturutan. Kalian telah memberinya cucu laki-laki! Ohh, sayang ibumu tak melihat ini, Siang Le bukan menantu bodoh karena ia berhasil memberikan anak laki-laki. Thian Yang Maha Agung!"

Soat Eng tersedu dan memeluk ayahnya itu. Sang ayah tampak berduka sekaligus bahagia. Ibunya yang almarhum membuat ia sedih. Dan ketika ia menangis dan bertanva apa maksud kata-kata ayahnya tadi, wanita ini heran seolah ayahnya tahu pertikaian itu maka Pendekar Rambut Emas mengangguk dan gemetar, memejamkan mata.

"Ya-ya, aku tahu... ibumu sudah bercerita. Ah, malang benar nasib suamimu itu, Eng-ji. Ibumu membenci dan selalu marah-marah. Tapi setelah itu ia sadar. Ia ingin minta maaf. Ia ingin pergi ke Sam-liong-to menengok dirimu dan anak-anak, juga Siang Le..."

"Ibu tak tahu akan ini, bukan?"

"Tidak, ia belum tahu. Kami bermaksud ke Sam-liong-to ketika musuh tiba-tiba datang. Dan.... dan nasib itu datang. Ia keburu tewas sebelum melihat cucunya laki-laki. Ah, ibumu patut dikasihani, Eng-ji. Ia selalu terbawa emosinya. Sebaiknya kau bawa Hok Gi ke makam dan tunjukkan bahwa cucunya laki-laki telah lahir!"

Nyonya ini mengguguk. Tangis tak dapat dibendung lagi ketika pendekar itu memberi tahu. Kiranya sang ibu sudah mengaku. Dan ketika Thai Liong mengedip agar isterinya pergi, membawa Soat Eng ke makam maka Cao Cun juga ikut dan Pendekar Rambut Emas kembali duduk bersila. Pagi itu keadaan benar-benar mengharukan. Keluarga Pendekar Rambut Emas kumpul semua, kecuali Beng An. Dan ketika di makam Soat Eng tak dapat menahan diri lagi dan pingsan, roboh terguling maka Shintala itulah yang menolong dan menyadarkannya.

Siang Le berkelebat datang dan menolong isterinya pula. Pemuda buntung inipun menggigil, akhirnya berlutut dan sembahyang di makam gak-bonya itu. Dan ketika semua juga berlutut dan Hok Gi diangkat tinggi-tinggi, Soat Eng berseru seolah ibunya hidup maka terdengar kata-katanya lantang, dicampur sedu-sedan yang masih mengganjal. "Ibu, inilah putera kami Hok Gi. Janganlah kau memaki-maki Siang Le lagi karena ia sudah pintar menuruti permintaanmu. Lihatlah, ia cucumu laki-laki dan kami bersumpah untuk membalas sakit hatimu ini. Aku tak akan berhenti sebelum musuh-musuhmu terbunuh!"

Suasana berurai air mata lagi. Siang Le menggigit bibir dan merasa seram oleh ancaman isterinya ini. la tak sekeras Soat Eng, balas-membalas dendam sesungguhnya tabu baginya. Apa yang terjadi di anggapnya sebagai sesuatu yang sudah di putuskan oleh Yang Di Atas. Tak akan terjadi kalau Tuhan tak menghendaki. Namun ketika semua itu selesai dan mereka kembali ke dalam, sang gak-hu tampak bersila dengan wajah berkerut-kerut maka kedukaan itu menyelubungi keluarga ini dan selama tujuh hari Soat Eng mengenakan pakaian putih-putih, berikut semua anak dan yang lain.

Pendekar Rambut Emas tepekur dan banyak diam. la lebih ditemani oleh Thai Liong dan Siang Le dalam masa perkabungan. Soat Eng dan para wanita di dalam, juga tak banyak bicara kecuali tangis dan isak-isak ditahan. Cao Cun, yang lebih tabah, menyiapkan makanan dan minuman untuk mereka semuanya, terutama anak-anak. Dan ketika masa berkabung lewat dan diputuskan untuk mulai bekerja, Beng An masih belum kembali juga maka pendekar itu menetapkan bah-wa Thai Liong dan Siang Le pergi, anak-anak tetap di situ.

"Tak akan habis kalau hanya menangis dan membuang air mata saja. Kita harus bekerja. Kita mulai mencari Beng An atau bertanya pada Sian-su di mana anak itu."

"Dan ayah mengutus siapa?"

"Thai Liong dan suamimu boleh pergi, Eng-ji. Kau dan yang lain tinggal di sini. Biarlah pekerjaan ini diselesaikan laki-laki."

"Ah, tidak. Aku juga ikut! Aku tak dapat tinggal diam dan membiarkan ini!"

"Hm, mencari musuh tak boleh berlandaskan dendam. Dendam dan kebencian hanya akan mengeruhkan pikiran kita saja. Kalau kau mencari orang-orang Pulau Api maka alasan di hatimu adalah karena sepak terjang mereka yang jahat, Eng-ji, bukan semata karena tewasnya ibumu. Tapi sebaiknya kita temukan adikmu dulu karena dari situ kita bisa mendapat keterangan dan tempat berpijak yang benar."

"Aku akan mencari siapa yang lebih dulu kutemukan. Kalau mereka lebih dulu maka langsung saja kusikat, akan kuhajar. Tapi kalau Beng An kutemukan aku akan bertanya padanya apa yang telah menyebabkan dia bermusuhan dengan orang-orang Pulau Api!"

"Hm, kalau begitu kau harus bersama kakakmu Thai Liong. Mereka orang-orang lihai. Berdua dengan suamimu tak bakal kalian menang, apalagi kalau berternu sekaligus dengan tiga tokoh itu!"

"Aku tak takut!"

"Bukan takut atau tidak. Tapi hati-hati dan waspada adalah kewajibanmu, Eng-ji. Ingat bahwa kalau ada apa-apa maka kami di sini yang susah. Dan apakah kau akan melakukan ini semata menurutkan hawa nafsu dan kemarahanmu saja!"

Wanita itu menangis. Diingatkan akan ini ia sadar juga. Kalau ayah dan ibunya saja kewalahan menghadapi orang-orang itu maka dapat dibayangkan bahwa mereka betul-betul orang luar biasa. Gegabah atau takabur dengan ilmu sendiri bisa menjadikan bumerang. Kalau ia atau suaminya celaka tentu ayah dan saudara-saudaranya yang lain susah. la tak takut mati tapi tentu saja tak baik membiarkan ayah dan lain-lainnya ini berduka. Mereka sudah cukup kehilangan ibunya. Dan ketika diputuskan ia berangkat bersama Thai Liong, Rajawali Merah ini menarik napas maka Thai Liong berkata bagaimana kalau cukup ia sendiri, yang lain menemani ayahnya di situ.

"Bukan sombong, tapi aku mengkhawatirkan ayah. Kau sendiri di sini bersama anak-anak! Ayah. Bagaimana kalau biar isteriku saja yang ikut dan Siang Le dan Eng-moi di sini. Aku sanggup mencari mereka."

"Tidak. Aku tak mau tinggal diam. Aku juga ingin mencari dan menemukan musuhku, Liong-ko. Kalau kau sendiri lalu apa gunanya kami. Masa kami berpangku tangan!"

"Hm, bukan begitu, tapi semata menjaga keselamatan ayah. Ingat bahwa ayah perlu teman, Eng-moi. Ia melindungi pula anak-anak kita di sini. Bagaimana kalau musuh datang dan ayah seorang diri."

"Tak usah ribut-ribut. Mati hidup di tangan Tuhan. Berangkatlah dan biar isterimu di sini, Thai Liong. Aku tak akan sendiri karena adikmu Beng An pasti datang. Aku telah menangkap getarannya kalau kalian belum menemukan!"

"Hm," Thai Liong mengangguk. "Kalau begitu maksudmu aku tak akan cemas lagi, ayah. Dan titip anak-anak supaya kau lindungi. Baiklah, aku bertiga bersama Eng-moi akan berangkat!"

Soat Eng bersinar dan memeluk puterinya satu per satu. Ketika tiba bagian Hok Gi tiba-tiba ia tertegun. Anak ini masih terlalu kecil, iba juga kalau harus ditinggal. Tapi ketika ia mengeraskan hati dan memandang Cao Cun, bibi atau ibu angkatnya itulah yang pasti merawat maka Cao Cun mengangguk dan mengusap air matanya yang selalu banjir.

"Pergilah... pergilah. Aku yang akan merawat dan memberi susu Hok Gi. Kalau ayahmu sudah bicara seperti itu maka tak ada yang lebih baik, Soat Eng. Pergi tapi tetaplah bersama Thai Liong!"

Soat Eng mengangguk. la selesai menciumi anaknya satu persatu dan Siang Hwa maupun Siang Lan menahan tangis. Anak-anak perempuan ini sebenarnya sudah biasa ditinggal pergi ayah ibu mereka.. Tapi karena kali ini kepergian mereka adalah untuk mencari musuh, bukan ransum atau bekal makanan seperti biasa maka tak urung dua anak ini gemetar dan menggigit bibir, telah mendengar bahwa musuh yang dicari adalah orang-orang lihai berkesaktian tinggi.

"Ibu, hati-hatilah. Ingat bahwa masih ada kami anak-anakmu di sini. Kami menunggumu."

"Tenanglah," sang ibu hampir tak kuat dan menahan tangis. "Aku dan ayahmu akan pandai-pandai menjaga diri, Siang Hwa. Dan ada pamanmu Si Rajawali Merah di sini. Baik-baiklah kalian bersama kong-kong dan jangan pergi jauh-jauh!"

Siang Le juga tak kuat. Ayah yang memandang anak-anaknya itu tampak terharu. Keberangkatan mereka seolah perajurit maju perang. Dan ketika ia memeluk dan menciumi anaknya, Siang Lan terisak dipeluk ayahnya anak itu berbisik,

"Yah, cepatlah pulang. Lan Lan menunggumu!"

"Hm, tentu. Ayah akan segera pulang. Baik-baiklah menjaga diri, Siang Lan, jangan jauh-jauh dari kakekmu. dan jaga adikmu Hok Gi!"

Anak itu mengangguk. Mau dia menangis keras-keras namun takut kepada ibunya. Sang ibu mendidik untuk tidak bersikap cengeng. Ayah baginya lebih lembut namun anak ini tak dapat menumpahkan perasaannya di situ. Maka ketika ayah ibunya berkelebat dan Soat Eng mengusap air matanya, ternyata ibu inipun tak dapat menahan perasaan hati maka Siang Hwa dan Siang Lan akhirnya mengeluh dan roboh tersedu-sedu menangis di pangkuan kakeknya.

Hanya Bun Tiong yang tampak tabah. Anak lelaki ini memandang kepergian ayah dan pamannya dengan mata bersinar. la tidak menangis seperti dua anak perempuan itu, mungkin karena ia lelaki, atau mungkin karena ada ibunya di situ. Dan ketika dua anak perempuan itu sesenggukan dan Shintala maju memeluk, Cao Cun juga bergerak dan merangkul anak-anak itu maka Thai Liong lenyap menyusul mereka.

Pendekar Rambut Emas memejamkan mata sambil menyentuh pundak cucu-cucunya. Keharuan dan kepedihan berbareng menjadi satu, berkumpul dan bergolak dan hampir saja air matapun turun membanjir. Namun ketika pendekar ini batuk-batuk dan menyuruh mereka masuk, Shintala membawa anak-anak itu maka mulai hari itu anak-anak ini di bawah asuhan bibi mereka dan tinggallah pendekar itu seorang diri.

Cao Cun bertugas sebagai ibu rumah tangga. Melihat kepedihan keluarga itu membuat wanita ini menangis sendiri. Tak henti-hentinya ia terisak dan menangis sendirian, kalau semua sudah tidur. Dan ketika hari demi hari dilewatkan sambil menunggu, Pendekar Rambut Emas menaruh kepercayaan penuh kepada puteranya laki-laki maka lima hari kemudian muncullah Beng An!

Pemuda ini, seperti diketahui di depan akhirnya meninggalkan Lembah Es setelah membantu penghuni lembah itu mengusir orang-orang Pulau Api. Dia sama sekali tak menyangka ibunya tewas. Maka ketika dia memasuki lembah di mana ayah ibunya tinggal, wajah yang semula muram dibayangi wajah jelita dari Puteri Es itu mendadak berseri melihat pondok di tengah lembah.

Beng An berkelebat dan ingin memanggil. Tapi ketika seorang wanita keluar dari pintu belakang, membawa dan menaruh mangkok piring maka dia tak jadi berseru dan tiba-tiba terbelalak melihat wanita setengah tua yang bersikap anggun itu. Sosok wanita agung yang kini seolah menjadi pelayan!

"Bibi Cao Cun!"

Wanita itu menoleh. Beng An tak akan lupa dengan wajah ini dan Cao Cun, wanita itu terkejut dan membalik. Dia masih memegang dua mangkok di tangan, terkejut dan membalik dan tiba-tiba berseru keras melihat seorang pemuda gagah tampan berdiri di belakangnya. Pemuda ini muncul seperti iblis dan Beng An yang sudah dua puluhan tahun itu tak segera dikenal wanita ini.

Wajahnya sudah bukan kanak-kanak lagi. Lengan dan dadanya berotot. Tubuh itu amat gagah meskipun dibungkus pakaian sederhana putih-putih, ikat pinggangnya hitam membuat pemuda ini semakin tampak gagah lagi. Tapi ketika wanita itu terbelalak dan tidak mengenal, Beng An yang sekarang bukan Beng An yang masih kanak-kanak dulu maka wanita ini menuding dan gemetar,

"Kau, siapa kau? Kenapa membikin kaget aku?"

Beng An tersenyum. Tiba-tiba ia ingin menggoda dan disambarnya lengan wanita tua itu. Cao Cun menjerit namun pemuda ini sudah mencekal erat-erat. Dan ketika dia tertawa menanyakan dirinya sendiri, Beng An balik bertanya siapa dia maka berkelebat bayangan lain dan Shintala, kakak iparnya muncul. Beng An pura-pura tak tahu dan melanjutkan pertanyaannya.

"Ha-ha, siapa aku. Hayo bibi jawab. Bagaimana bibi ada di sini dan kenapa mencuci mangkok piring. Mana pembantu!"

Wanita itu menggigil. Shintala yang berkelebat di belakang Beng An hampir saja melepas serangan. Pemuda itu dianggapnya kurang ajar dan mengganggu orang tua. Tapi ketika Beng An pura-pura bertanya dan sikapnya jelas menggoda, wanita ini bergerak dan maju ke depan maka dialah yang menebak dan langsung tahu.

"Beng An, kau Beng An!"

"Ah, ha-ha. Dan ini cici Shintala tentu. Wah, semakin cantik dan anggun. Ha-ha, kau betul, enci. Aku Beng An. Aduh, bagaimana bibi Cao Cun bisa lupa kepadaku. Aih, apakah benar-benar pangling!"

Beng An gembira dan disambar encinya ini. Ia tak tahu betapa wajah dua wanita itu tiba-tiba pucat dan Beng An mengira mereka hanya terkejut saja. Kedatangannya memang tak disangka-sangka. Tapi ketika Shintala menangis dan menerkam-nerkam pundaknya, bibinya Cao Cun juga menjerit dan menubruk dirinya maka pemuda itu berubah dan merasa ada sesuatu yang tidak beres.

"Aih, Beng An. Kau kiranya. Anak nakal! Ah, kau membuat susah ayah ibumu, Beng An. Kau ditunggu-tunggu tapi tak pernah memberi kabar. Cepat temui ayahmu. Ibumu.... ibumu...”

Cao Cun mengguguk dan tak dapat meneruskan kata-katanya. Shintala juga tersedu dan anak-anak berlarian keluar. Mereka mendengar ribut-ribut dibelakang dan tertegunlah Beng An rnelihat Itu. Siang Hwa dan Siang Lan yang belum dikenal dipandangnya heran, begitu pula Bun Tiong karena selama ini anak-anak itu belum pernah bertemu paman mereka yang muda ini. Maka ketika dia menjublak dan Bun Tiong menyambar ujung baju ibunya, berbisik siapa pemuda gagah ini maka Shintala teringat dan masih tersedu-sedu ia memerintahkan anak-anak itu berlutut.

"Ini paman kalian Beng An. Hayo beri hormat dan jangan kurang ajar...!"

"Ah, anak-anak ini.... ah, mereka anak-anakmu semua, enci? Begitu cepat aku mempunyai tiga orang keponakan sekaligus?" Beng An bengong, terkejut tapi tiba-tiba gembira menyambar mereka satu persatu. Ia melihat anak-anak itu berlutut tapi anehnya mereka semua menangis. Beng An masih tak menduga bahwa ada berita buruk untuknya. Dia masih menganggap itu sebuah ledakan haru saja, meskipun hatinya berdebar dan diam-diam tak enak. Dan ketika dia menyambar Bun Tiong dan bertanya siapa nama anak itu, anak ini menggigil dan menuding ke hutan cemara maka anak itu langsung melapor.

"Paman... nenek... nenek dibunuh orang. Ada orang jahat datang ke sini. Ke mana saja kau selama ini dan kenapa tak pernah pulang-pulang!"

"Brukk!" Beng An tiba-tiba melepas anak itu seperti disengat kalajengking. Ia kaget bukan main dan wajah yang semula gembira dan berseri mendadak pucat dan merah berganti-ganti. Beng An menoleh dan melihat enci dan bibinya mengguguk. Mereka tak menjawab. Dan ketika Siang Hwa dan Siang Lan juga menegurnya kenapa paman mereka itu tak pulang-pulang, nenek mereka dibunuh orang maka Beng An tiba-tiba melengking dan berkelebat ke hutan cemara itu. Kuburan untuk para pemimpin Tar-tar atau orang-orang penting bangsa itu.

"Ibu...!!" Pekik panjang ini menggetarkan lembah. Beng An terbang seakan kesetanan dan sebentar kemudian ia sudah di hutan cemara itu. Sekali tangannya mengibas maka pintu makam roboh. Dua pohon cemara juga bergoyang oleh kibasan tangannya itu. Alangkah dahsyat tenaga pemuda ini. Dan ketika ia melompat dan rnasuk ke makam yang masih baru, makam itu mudah dikenal karena tanahnya masih memerah maka pemuda itu seakan berputar kepalanya melihat betapa sebuah papan nama terpampang di situ:

MAKAM KIM-HUJIN (Hu Swat Lian)

"Ibu..." Beng An roboh. Akhirnya pemuda ini tersedu-sedu dan ambruklah dia di depan makam itu. Tak salah lagi kata-kata tiga anak di sana itu. Mereka benar, ibunya tiada. Dan ketika pemuda itu mengguguk dan memanggil-manggilnya, betapapun Beng An amat terpukul dan terguncang maka pemuda itu pingsan dan tidak sadarkan diri.

Namun dua bayangan berkelebat datang. Mereka ini menolong Beng An dan membawa pemuda itu keluar. Apa yang diterima pemuda ini memang mengejutkan sekali. Beng An masih muda dan pukulan batin itu masih berat, meskipun kepandaiannya tinggi. Dan ketika pemuda itu siuman namun sudah berada di sebuah ruangan lain, di dalam rumah maka pemuda itu meloncat bangun dan yang pertama kali diteriakkan adalah nama ibunya, beringas.

"Ibu...!"

"Hm, duduklah," sebuah suara lembut menjawab. "Duduk dan tenangkan hatimu, Beng An. Apa yang terjadi tak mungkin ditarik kembali. Duduklah, dan bersikaplah dewasa."

Beng An membalik. Ia baru meloncat bangun dan tidak melihat sekelilingnya. Yang diingat hanya ibunya tapi begitu suara yang amat dikenal itu mengusap kalbunya maka iapun menoleh. Dan begitu melihat ayahnya di situ tiba-tiba pemuda inipun mengguguk dan menubruk. "Ayah...!"

Pendekar Rambut Emas pun memejamkan mata. Ia sudah terlalu sering meruntuhkan air mata hingga kini mata itu terasa kering. Habis sudah muaranya. Maka ketika ia memeluk dan meremas pundak puteranya itu maka Beng Anl ah yang menumpahkan air matanya hingga membanjir.

"Ayah, ibu.... ibu dibunuh orang? Ia tewas karena perbuatan orang jahat?"

"Hm, panjang ceritanya. Tenang dan hapus air matamu, Beng An. Hadapilah kejadian ini dengan tenang dan tabah. Ibumu tewas, memang benar dibunuh orang. Dan kau yang menjadi gara-gara hingga tak perlu disesali lagi."

"Aku? Ibu tewas karena aku? Ah, bagaimana bisa begitu, ayah. Apa yang kulakukan. Siapa jahanam keparat itu!"

"Hm, mereka adalah orang-orang Pulau Api, Tan-pangcu dan dua sutenya. Mereka mencari dirimu dan kau tentu kenal mereka."

Beng An seketika tersentak. Ia menarik lepas pundaknya dari sang ayah dan benar saja pemuda itu tampak terkejut. Jelas bagi Pendekar Rambut Emas bahwa antara puteranya ini dan orang-orang Pulau Api ada apa-apa. Permusuhan itu telah ada. Dan ketika pemuda itu meloncat bangun dan menggigil memandang sang ayah, gemetar dan mengucapkan kata-kata namun tak jelas akhirnya pemuda itu berhasil juga mengeluarkan suaranya.

"Orang-orang Pulau Api? Tan-pangcu dan dua sutenya? Mereka.... mereka itu datang ke mari?"

"Hm, duduk dan jelaskan bagaimana permusuhanmu dengan mereka itu, Beng An. Kami orang tuamu harus menerima akibat. Coba terangkan dan ceritakan kepada kami bagaimana asal mulanya."

"Ooh..!" Beng An jatuh terduduk. Pandang mata ayahnya itu mengingatkan kepadanya untuk bersikap tenang dan wajar. Tadi sepasang matanya berkilat dan mencorong. Mata itu bagai api yang menghanguskan siapa saja, termasuk membakar ayahnya itu. Tapi ketika sang ayah balik memandangnya lembut dan api itu bertemu semacam kesejukan dingin, meresap dan mengusir panas membara tiba-tiba Beng An mengeluh dan ditangkap ayahnya itu.

"Tenanglah, bicaralah senyatanya. Apa yang terjadi dan bagaimana kau bisa bermusuhan dengan orang-orang Pulau Api."

Beng An tiba-tiba menggigit bibir. Kemarahannya ditahan namun sebelum dia menjawab maka dia menengadahkan muka. Ditanyanya siapa pembunuh ibunya itu, sang ketua atau wakil ketua. Dan ketika sang ayah menarik napas dalam dan menepuk pundak puteranya maka Pendekar Rambut Emas menjawab bahwa yang menewaskan adalah dua orang sute Tan-pangcu itu.

"Tak perlu berlebihan. Ibumu dikeroyok. Aku menghadapi Tan-pangcu sementara ibu menghadapi dua wakilnya. Mereka itulah yang membunuh namun mereka juga luka terkena pukulanku."

"Dan Liong-ko... apakah tak ada di sini? Ayah dan ibu hanya bertanding berdua?"

"Kakak dan iparmu sedang pergi, Beng An, berburu. Lagi pula mereka tentu tak menyangka bahwa ada musuh kuat datang. Selama ini keadaan kami tenang-tenang saja."

Beng An mengetrukkan gigi. Ia mendesis dan menggigil mendengar bahwa pembunuh itu adalah dua orang tokoh Pulau Api. Dia kenal baik siapa Bu Kok dan See Lam itu, orang-orang yang memang licik dan curang meskipun berkepandaian tinggi. Dan ketika ia gemetar memejamkan mata, di sana iparnya terisak menyesali itu maka Shintala berkata bahwa ia dan suaminya minta maaf.

"Aku dan kakakmu tak menyangka itu. Kami terlalu lama berburu. Maafkan kami, Beng An. Kami benar-benar menyesal. Kalau saja kami ada di sini tak mungkin ada kejadian ini!"

"Hm, kehendak Tuhan tak mungkin di cegah. Semua yang terjadi pasti terjadi. Tak perlu kau menyesali itu, menantu. Betapapun setiap orang hidup harus mati. Satu saat kita semua harus kembali kepadaNya."

Shintala menangis. Wanita ini masih memiliki sumber air mata dan Beng An menggigil. Di sana pemuda itu menguat-nguatkan hati. Namun ketika ia bangkit dan terhuyung keluar, sang ayah mengerutkan kening maka pendekar itupun bangkit berdiri dan menegur sang putera.

"Kau mau ke mana?"

Beng An tak menjawab. Pemuda ini bercucuran air mata dan melangkah terus. Langkahnya gontai dan berkali-kali ia memanggil nama ibunya. Dan ketika Pendekar Rambut Emas bergerak dan rnengikuti puteranya ini ternyata puteranya itu menuju ke makam. Dan berturut-turut muncullah Bun Tiong dan Siang Hwa serta Siang Lan, mengiringi.

"Ibu, kau tewas tak menunggu aku dulu. Kau tega meninggalkan aku sebelum kita bertemu? Ah, nasib kejam memisah kita, ibu. Tapi lebih kejam lagi dua orang Pulau Api itu. Akan kubunuh mereka.... akan kubunuh mereka!"

Pendekar Rambut Emas berhenti dan akhirnya membiarkan sang putera sendiri. Ia memberi isyarat pada anak-anak itu agar jangan mengikuti. Di saat seperti itu biarlah Beng An melepas kedukaannya. Dan ketika pemuda itu terus melangkah dan jatuh di makam ibunya, terduduk dan memeluk batu nisan itu maka Pendekar Rambut Emas menjaga dan sehari itu Beng An menangis tiada habis-habisnya. Malam menggantikan siang dan tiga hari Beng An melepas kedukaan. Ratap tangisnya memilukan hati. Dan karena ia tak mau makan atau minum, kedukaan begitu menghimpit maka pemuda inipun rnenjadi kurus dan sama seperti sang ayah tiba-tiba iapun tampak lebih tua!

"Kim-taihiap!" bisikan itu menggugah pendekar ini. "Kau dan puteramu sama-sama tak makan. Nasi ini sudah dingin. Kuganti empat kali!"

"Hm!" pendekar itu menoleh dan terharu oleh langkah seorang wanita. "Terima kasih, Cao Cun. Tapi biarlah bawa kembali semuanya itu karena kami tak ada selera."

"Tapi kalian tiga hari tiga malam di sini. Bisa jatuh sakit. Kubawakan selimut dan berikan itu kepada puteramu!"

Pendekar Rambut Emas menarik napas dalam. Ia tersenyum dan terharu dan diterimanya dua selimut itu. Cao Cun, wanita ini begitu amat memperhatikan mereka. Diterimanya dua selimut itu dan disuruhnya wanita itu pergi. Dia berkata bahwa tak perlu wanita itu khawatir. Dingin dan panasnya matahari tak akan membuat mereka ayah dan anak sakit. Dan ketika wanita itu pergi namun tak lama kemudian duduk bersimpuh, Pendekar Rarnbut Emas terkejut dan heran maka wanita itu berkata biarlah dia di situ kalau ayah dan anak ingin memerintahkan sesuatu.

"Ah, tidak... tidak, tak perlu begitu. Pulang dan kembalilah, Cao Cun. Jaga anak-anak karena mereka lebih penting!"

"Mereka juga di sini," Cao Cun menuding. "Mereka bersembunyi dan ingin menemani pamannya, taihiap. Anak-anak itu terharu dan ingin berdekatan dengan sang paman. Mereka belum berkenalan penuh!"

Benar saja, Bun Tiong dan Siang Hwa serta Siang Lan melongok dari balik semak-semak. Sikap mereka itu lucu namun jelas mengharukan. Dan ketika Pendekar Rambut Emas bangkit berdiri dan merasa semuanya cukup, sang putera didekati maka ditepuklah puteranya itu untuk pulang dan kembali ke rumah.

"Sadarlah, hapus dan ingatlah dirimu. Sudah cukup semuanya ini, Beng An. Cukup masa kesedihanmu itu. Bangkit dan llhat tiga keponakanmu menunggu!"

Beng An seperti orang tak sadar. Pemuda ini memandang bodoh dan matanya menatap kosong ke depan. Kematian ibunya itu ternyata benar-benar berat baginya. Dan ketika ia diangkat dan dibawa pergi, menurut saja maka anak-anak itu mengintil dan Cao Cun berbisik agar mereka tidak ribut.

"Sst, tak boleh gaduh. Ayo berjalan di belakang kong-kong dan berbaris rapi!"

Tiga anak itu menurut. Seperti barisan kecil mereka bergerak di belakang kakek mereka. Sang paman yang linglung dan seperti orang hilang sadar membuat Siang Hwa dan adiknya menangis. Mereka juga sedih. Dan ketika di rumah Beng An mendelong dan masih seperti kosong, sang ayah menarik napas dalam-dalam maka Cao Cun berkata biarlah dia yang merawat pemuda ini.

"Beng An butuh kasih sayang seorang ibu, taihiap seorang laki-laki. Biarlah kau beristirahat dan aku yang merawat, taihiap. Dengan aku di sampingnya barang kali anak ini cepat sadar."

"Terima kasih," pendekar itupun maklum. "Aku mengerti, Cao Cun. Tapi kaupun telah bekerja keras selama ini. Kau capai!"

"Hm, aku tak merasa terlalu capai. Aku senang. Tinggalkanlah kami berdua, taihiap, dan kau beristirahatlah!"

Pendekar ini mengangguk. Akhirnya dia masuk dan Cao Cun lah yang berjaga. Ada beberapa hal yang dimengerti pendekar ini. Pertama, Beng An memang masih terpukul oleh kematian ibunya. Pemuda itu amat berat menerima kenyataan ini. Dan karena Cao Cun adalah wanita dan kebetulan setengah baya pula, cocok pengganti ibu maka wanita itu tepat merawat Beng An. Kedua, Cao Cun juga pernah mempunyai anak laki-laki. Wanita ini benar-benar pernah menjadi ibu dalam arti kata seutuhnya. Jadi merawat atau menjaga Beng An seperti anak sendiri tak canggung bagi wanita itu.

Dan karena semuanya ini bakal dilakukan sungguh-sungguh, benar saja wanita itu memperlakukan Beng An seperti puteranya sendiri maka Beng An yang terlongong-longong dan seperti orang hilang ingatan itu perlahan-lahan sadar. Pertama yang dilakukan wanita ini adalah menjaga Beng An di sampingnya. Begitu setia hingga iapun menahan kantuk dan lapar. Dan kalau Beng An mengeluarkan bunyi berkeruyuk, pemuda itu lapar maka dengan lembut Cao Cun membelai dan mengusap bahu pemuda ini.

"Sadarlah.... sadarlah, nak. Aku pengganti ibumu dan ingatlah bahwa kau belum kehilangan segala-galanya. Masih ada ayahmu di sini. Masih ada saudara dan keponakan-keponakanmu yang lain. Lihatlah Bun Tiong dan enci-encinya menungguimu pula!"

Beng An mulai bergerak bola matanya. Ada kesan hidup dan sadar pada pandang mata pemuda itu. Dan ketika di sebelah kiri Bun Tiong juga memanggil-manggilnya lirih, di sebelah kanan Siang Hwa dan adiknya terisak-isak mengguncang lengan pemuda itu maka Beng An semakin sadar dan ingat.

Perlahan-lahan pemuda ini memandang orang-orang itu. Tiga anak kecil di sampingnya membuat ia mengerutkan kening. Tapi ketika pandang matanya bertemu Cao Cun dan betapa sepasang mata wanita itu basah memandangnya, mata itu lembut dan penuh iba serta kasih sayang mendadak Beng An mengeluh dan merasa wanita ini ibunya sendiri.

"Ibu...!" Cao Cun tersedu dan memeluk pemuda ini. Beng An mengguguk dan tiba-tiba sadar. Wanita itu mendekapnya seperti terhadap putera sendiri dan meloncatlah getar-getar cinta kasih yang amat dahsyat. Cao Cun juga merasa bahwa yang dipeluknya saat itu adalah Ituchi, mendiang puteranya yang tewas.

Dan ketika Beng An dan wanita itu sama-sama merasa mendapatkan sesuatu yang sang anak saakan menemukan ibunya sementara sang ibu seakan mendapatkan anaknya maka keduanya sesenggukan dan tiba-tiba tanpa terasa Cao Cun mengecup dua kening pemuda itu.

"Ooh, kau ah, kau puteraku yang hilang, Beng An. Kau seperti Ituchi! Aku..aku bangga bahwa kau cepat sadar dan tidak berlarut-larut. Kau... kau akan menerima kasih sayangku seperti dari ibumu sendiri...!"

"Ibu.... bibi....!"

Beng An memeluk dan terguncang oleh kecupan di dua keningnya itu. Tanpa sadar Cao Cun melakukan apa yang pernah menjadi kebiasaan Kim-hujin, yakni memberi kecupan di kedua kening Beng An. Seperti itulah biasanya Kim-hujin menyatakan kasih sayangnya. Dan karena Cao Cun melakukan itu dan Beng An tak kuat, kasih sayang atau getar cinta ibunya tiba-tiba meledak di situ maka pemuda ini mengguguk dan dikecup atau diciumnya pula dua pipi wanita itu.

"Ooh, aku... ah, kau seperti ibuku sendiri, bibi Cao Cun. Kau membangkitkan semangatku dan menyadarkan aku akan apa yang harus kulakukan. Kau... ah, terima kasih atas perhatian dan perawatanmu selama ini. Aku... aku sadar. Mana ayah dan apa yang kulakukan selama ini!"

"Hm, aku di sini," sang ayah muncul, batuk-batuk dan terharu. "Benar kata bibimu Cao Cun, Beng An. Kau lebih cepat sadar ditemaninya daripada ditemani aku. Terima kasih dan syukur kau ingat diri."

Beng An membalik dan menubruk ayahnya ini. Selama berhari-hari ini ia seakan orang linglung dan tak tahu apa yang dilakukan. Ia tak ingat bahwa kerjanya hanya melamun saja, pikiran kosong dan keadaanpun seperti orang lupa diri. Maka begitu ia sadar dan getaran cinta kasih wanita membuatnya ingat semua, guncangan itu menghancurkan semua sisa-sisa duka maka Beng An sudah kembali dan utuh sebagni seorang pemuda gagah yang tidak larut dalam duka.

Ia telah berhasil menghalau semua itu dan kini dipeluknya sang ayah dengan haru. Air matanya masih mengucur, tapi bukan karena duka melainkan haru. Ia melihat betapa ayahnya ini sekarang tampak tua dan letih. Wajah itu wajah yang mengibakan sekali. Dan ketika Cao Cun berkata betapa ayahnya tiga hari tiga malam mendampingi dia di makam, duduk dan menjaganya maka Beng An tak kuasa menahan tangisnya lagi.

Namun sebentar kemudian pemuda itupun sudah mengusap air matanya. Ia mendorong sang ayah dan tampak betapa semangat dan kesadarannya tinggi. Mata itu sudah bersinar dan hidup bagai mata seekor naga. Dan ketika pemuda itu menarik napas dalam dan berkata bahwa dia akan mencari orang-orang Pulau Api itu, bertanya di manakah kakaknya Thai Liong maka Pendekar Rambut Emas mengerutkan kening dan mundur setindak.

"Hm, kau mau membalas kematian ibumu? Kau pergi dengan dorongan dendam?"

"Tidak, aku pergi bukan karena dorongan dendan ayah, melainkan ingin mengikuti dan melihat sepak terjang orang-orang itu. Mereka musuh bebuyutan penghuni Lembah Es. Aku akan menunggu sampai mereka melakukan sesuatu di mana saat itu aku baru muncul dan menghadapi mereka sebagai seorang pendekar menghadapi penjahat!"

"Lembah Es? Tempat apa ini?"

"Ini tempat di mana segala sesuatunya itu dimulai. Aku tak sengaja ke tempat ini, seperti aku juga tak sengaja menolong seorang murid Lembah yang disiksa orang-orang Pulau Api. Lembah Es adalah tempat di mana penghuninya semua wanita sementara Pulau Api adalah pulau yang dihuni oleh kaum laki-laki saja!"

"Hebat! Di mana tempat itu, Beng An, Kenapa selama ini aku tak pernah mendengar namanya!"

"Lembah Es di utara kutub, sementara Pulau Api diselatan. Ah, mereka memang jauh dari sini, ayah. Dan mendengar tentang itu bagai mendengar dongeng. Lembah Es dikuasai seorang puteri dan namanya adalah Puteri Es, sedang Pulau Api dikuasai oleh Tan-pangcu dan dua wakilnya itu!"

"Hm-hm, menarik. Barangkali kau dapat menceritakan ini sebelum pergi!"

"Aku memang akan menceritakannya, tapi di mana Thai Liong-ko dan siapa anak-anak ini!"

"Ah, aku Bun Tiong!"

"Dan aku Siang Hwa!"

"Aku Siang Lan, paman. Masa kau tidak kenal!"

"Ha-ha..!" Pendekar Rambut Emas tertawa, tiba-tiba gembira. "Lucu bahwa kau belum mengenal mereka ini, Beng An. Rupanya begitu lama kau dilanda kedukaan. Lihat, itu Bun Tiong, putera kakakmu Thai Liong. Dan ini, hmm... siapa lagi kalau bukan Siang Hwa dan Siang Lan? Mereka ini puteri encimu Soat Eng. Begitu lama kau meninggalkan kami sehingga tidak tahu perobahan keluarga!"

"Hm, begitukah? Jadi keponakanku yang cantik-cantik ini puteri Soat Eng-cici? Dan yang ini putera Liong-ko? Ah, cantik dan gagah mereka ini. Tapi yang enci Soat Eng tak mempunyai anak...."

"Tidak, inilah Hok Gi!" Shintala tiba-tiba muncul dan berseru, wajahnya girang. "Encimu juga mempunyai seorang anak lelaki, Beng An. Dan lihat betapa kau mempunyai empat keponakan yang cakep-cakep!"

"Ah, ini putera Eng-cici yang lain?" Beng An terkejut, menoleh. "Namanya Hok Gi? Ah, seperti kakak Siang Le. Aduh, tampan dan manis sekali, ha-ha...!"

"Dan kau!" Beng An tertegun. "Kapan memberikan cucu bagi ayahmu, Beng An? Lihat bahwa semua menunggu-nunggumu. Kau sudah pantas menikah!"

"Hm...!" Beng An semburat, wajah Puteri Es tiba-tiba terpampang di depan mata. "Kau jangan menggoda, enci. Aku jelek dan tak ada perempuan yang mau!"

"Ah, paman gagah dan tampan. Kalau paman sudah berkunjung ke Lembah Es tentu wanita-wanita di sana kecantol pada paman. Hi-hik, bukankah di sana perempuan melulu?"

"Benar, dan barangkali Puteri Es itu cocok untukmu, paman. Hayo ceritakan kepada kami dan siapa dia!"

Wajah Beng An tiba-tiba merah padam. Siang Hwa dan Siang Lan yang menggodanya secara main-main tiba-tiba secara tak disengaja tepat mengenai sasaran. Sang ayah tersenyum-senyum dan tentu saja memperhatikan semua perobahan wajah puteranya ini. Betapapun matanya yang tajam tak lepas dari itu. Dan ketika puteranya tampak gugup dan Cao Cun. tertawa, menyuruh anak-anak diam maka wanita itu memegang lengan Beng An.

"Benar atau tidak kau harus ceritakan kisah perjalananmu itu. Duduklah, semua sudah di sini, Beng An. Ceritakan pengalamanmu dan apakah penghuni Lembah Es itu cantik-cantik!"

"Ah, bibi jangan menggoda. Aku tak tahu apakah mereka cantik atau tidak. Yang jelas, mereka bermusuhan dengan orang-orang Pulau Api dan aku yang kebetulan bertemu lalu terlibat di sini!"

"Baiklah, coba ceritakan kepada kami," Pendekar Rambut Emas melirik semua orang, memberi isyarat. "Ceritamu tentu penting, Beng An. Dan biar kami dengar bagaimana sampai kau bermusuhan dengan orang-orang Pulau Api."

"Nanti dulu, aku ingin tahu di mana Thai Liong-ko. Dan apakah enci Soat Eng atau Siang Le-ko tak datang ke sini!"

"Hm, mereka ke Pulau Api. Enci mu marah dan ingin menghajar orang-orang itu, Beng An. Dan kakakmu Thai Liong menyertai. Sebenarnya Thai Liong dan kakakmu Siang Le yang pergi, tapi encimu ikut."

"Ah, apakah mereka tahu di mana letak Pulau Api itu?"

"Tidak, tapi mereka akan mencari sambil bertanya-tanya."

"Tak mungkin dapat. Tempat itu di luar daratan besar, jauh di selatan. Mereka tak akan dapat kalau tidak menyeberang dan mempergunakan perahu!"

"Hm, aku tak tahu. Yang jelas kakakmu pergi. Kau dapat menyusul dan mencarinya nanti. Sekarang ceritakan kisahmu dan siapakah penghuni Lembah Es itu pula."

Beng An duduk dan menarik napas panjang. Sekarang dia telah dapat menguasai diri dan dendam tak ada lagi di hati. Yang ada hanya kemarahan dan penasaran. Dia marah dan penasaran kenapa orang-orang Pulau Api itu mengganggu ibunya. Bukankah urusan hanya dia dan mereka. Tapi sadar bahwa semuanya bisa berkait, iapun harus bercerita kepada ayahnya maka pemuda itupun mulai kisahnya sejak dia dilepas Sian-su, turun gunung. Betapa dia tiba di Pulau Api karena tertarik oleh cahaya kemerah-merahan yang membakar pulau.

Cahaya dari pohon-pohon Api yang ribuan jumlahnya, cahaya yang membuat pulau itu bersinar dan tampak dari kejauhan seperti pulau yang terbakar, indah namun sesungguhnya penuh maut. Laut di sekitar itu mendidih dan Siang Hwa maupun adiknya meleletkan lidah mendengar ini. Dan ketika Beng An bercerita betapa dia menolong dan membebaskan seorang murid Lembah Es, yang hendak disiksa dan dijadikan korban upacara ritual maka di sinilah semuanya berlanjut.

"Aku tak dapat membiarkan itu. Mereka orang-orang kejam. Masa seorang gadis muda hendak dibunuh dan ditusuk di meja altar. Aku menolong dan akhirnya membebaskan gadis itu di mana orang-orang pulau Api lalu memusuhiku!"

"Hm, dan penghuni Lembah Es itu. la lalu membawamu ke utara?"

"Benar, ayah, sekalian aku mengantarnya. Dan di situ baru aku tahu bahwa sejak seribu tahun yang lalu orang-orang Lembah Es bermusuhan dengan orang-orang Pulau Api. Mereka itu para murid atau sisa-sisa Dinasti Han. Ratu atau Puteri Es adalah keturunan langsung kaisar, sedang Tan-pangcu dan orang-orang Pulau Api itu keturunan para pangeran yang memberontak!"

"Ah, dan mereka memiliki ilmu-Ilmu yang hebat. Tan-pangcu dan dua sutenya itu memiliki ilmu langkah sakti yang entah apa namanya!"

"Itu pasti Jit-cap-ji-poh-kun, milik Hwe-sin!"

"Dan mereka juga memiliki pukulan Yang-kang yang dahsyat sekall. Tubuh mereka seperti obor!"

"Benar, mereka ahli ayah. Dan tandingan untuk ini adalah Bu-kek-kang. Dua penghuni pulau itu masing-masing mendapatkan ilmu dari dua dewa sakti. Han Sun Kwi dan Kim Kong Seng-jin."

"Ah, ilmu dari para dewa?"

"Begitu menurut dongeng. Dan Ilmu atau kesaktian mereka hebat sekali. Pangcu itu baru mencapai tingkat delapan dari ilmunya Giam-lui-ciang. Sementara Puteri Es atau Ratu lembah itu juga pada tingkat yang sama dari ilmunya Bu-kek-kang (Pukulæn Tak Berkutub)....