THAI LIONG agak menyesal memandang isterinya. Ia tak menyangka bahwa Shintala tak dapat menahan diri, langsung memberi tahu kematian ibunya itu. Dan ketika di sana Siang Le menolong Soat Eng sementara dia sendiri tertegun memandang anak laki-laki kecil di gendongannya ini, itulah anak Siang Le nomor tiga maka Soat Eng yang sadar dan mengguguk serta menjerit tiba-tiba menubruk kakaknya dan munculah Cao Cun di pintu.
"Liong-ko, ibu... ibu tewas? Siapa pembunuhnya? Siapa jahanam keparat itu? Beritahukan kepadaku, Liong-ko, biar kucari dan kubunuh dia!"
"Hm, tenanglah, sabar...."
Thai Liong mengusap lalu mendorong adiknya ini. "Semuanya terjadi begitu tiba-tiba, Eng-moi, tak disangka. Tapi ini sudah suratan nasib. Sabar dan lihat anakmu menangis. Itu bibi Cao Cun."
Thai Liong membalik dan menyerahkan Hok Gi kepada ibunya, menghadap Cao Cun dan wanita itu tampak terguncang dan pucat. Ia baru saja berlari kecil ketika mendengar ribut-ribut ini, cemas dan mengira siapa tapi tidak tahunya adalah Thai Liong, suami isteri muda itu. Tapi begitu mendengar bahwa Kim-hujin tewas, kembali perasaannya tertusuk maka wanita ini memegang dinding dan gemetar. Thai Liong membungkuk dan memberi hormat padanya.
"Bibi, maaf. Kami membawa berita buruk."
"Ooh, kau... ibumu ia... tewas, Thai Liong? Ibumu dibunuh orang?"
"Benar, bibi, dan kini ayah memanggil semua di sini untuk ke utara. Ada sesuatu yang hebat terjadi."
"Liong-ko, siapa jahanam itu. Siapa dia. Biar kucari dan ku bunuh iblis terkutuk itu!"
Soat Eng melengking marah, menangis dan memukul-mukul kakaknya tapi Thai Liong memberi isyarat kepada Siang Le. Si buntung itu maju dan menenangkan isterinya. Berita itu memang tak terduga. Dan ketika Soat Eng mengguguk dan Shintala menyesal merangkul iparnya, ia merasa terlalu terburu-buru maka wanita itu disuruh membawa Soat Eng ke kamar.
"Tenangkan ia di sana, bersama bibi Cao Cun. Nanti kita bertemu lagi dan lihat anak-anak ketakutan melihat ini."
Shintala berurai air mata. Nyonya cantik inipun tak kalah sedih dibanding Soat Eng. Kemarahannya juga membubung. Namun karena ia didinginkan Thai Liong dan suaminya itu berlaku bijak, betapapun musuh tak ada di depan mereka maka Thai Liong menarik napas dalam-dalam dan ketika Siang Le memberikan sebuah kursi maka si buntung itu duduk terpaku.
"Thai Liong, bagaimana terjadinya peristiwa ini? Bukankah ada ayah dan kau di sana?"
"Aku tak ada di sana waktu peristiwa itu, Siang Le, aku dan isteriku sedang berburu, begitu juga anakku Bun Tiong. Kami tak tahu apa-apa sampai akhirnya ketika kami pulang kami lihat peristiwa itu."
"Bagaimana dengan gak-hu..."
"Ayah luka-luka, itulah sebabnya mengutus aku ke sini. Ayah menghadapi orang-orang sakti."
"Orang-orang sakti? Bukankah sudah tak ada orang-orang sakti lagi di dunia kang-ouw? Bukankah kalian keluarga terhebat sekarang?"
"Bumi selalu berputar, Siang Le, yang dulu kuat bisa jadi sekarang lemah. Yang dulu hebat sekarang mungkin lumpuh. Ayah akhir-akhir ini sering sakit-sakitan. Beliau agaknya penasaran memikirkan kalian di sini kenapa tiga tahun tidak pernah berkunjung!"
"Hm," Siang Le sadar akan teguran ini, kata-kata Thai Liong tajain dan keras. "Semua karena adikmu, Thai Liong. lsteriku itu aneh dan keras. Dialah yang tak mau berkunjung. Aku berulang kali sudah membujuknya!"
"Kenapa?"
"Gara-gara ibu...."
"Hm, apalagi ini, Siang Le? Apa yang ibu lakukan?"
"Ah, tak apa-apa. Sudahlah tak usah bicara itu. Yang jelas Soat Eng ingin agar ibu ke sini dan mendapat kejutan!"
"Hm, kamu tak perlu bohong kepadaku. Apakah karena ibu memakimu sebagai suami bodoh, Siang Le? Bahwa kau memberikan anak perempuan melulu dan di-anggap goblok tak becus membuat anak laki-laki?"
"Kau tahu?"
"Ibu bertengkar dengan ayah, secara kebetulan kudengar. Ah, ibu memang aneh-aneh tapi kulihat anakmu terkecil itu. Siapa namanya!"
Siang Le terkejut, tak menjawab. "Thai Liong, ibu sampai bertengkar dengan ayah? Mereka ribut-ribut gara-gara ini?"
"Hm, kau tak menjawab pertanyaanku."
"Memang benar, Siang le, tapi setelah itu mereka tenang kembali. Ayah membelamu, dan ibu rupanya sadar."
Siang Le merah mukanya. Tiba-tiba pemuda ini menitikkan air mata dan menutupi wajah. Siang Le membayangkan pembelaan gak-hunya itu. Dan ketika ia merasa teriris dan terharu, dari dulu sampai sekarang gak-hunya itu selalu sayang padanya maka ia tersedak dan mengguguk,
"Liong-ko, ibu... ibu tewas? Siapa pembunuhnya? Siapa jahanam keparat itu? Beritahukan kepadaku, Liong-ko, biar kucari dan kubunuh dia!"
"Hm, tenanglah, sabar...."
Thai Liong mengusap lalu mendorong adiknya ini. "Semuanya terjadi begitu tiba-tiba, Eng-moi, tak disangka. Tapi ini sudah suratan nasib. Sabar dan lihat anakmu menangis. Itu bibi Cao Cun."
Thai Liong membalik dan menyerahkan Hok Gi kepada ibunya, menghadap Cao Cun dan wanita itu tampak terguncang dan pucat. Ia baru saja berlari kecil ketika mendengar ribut-ribut ini, cemas dan mengira siapa tapi tidak tahunya adalah Thai Liong, suami isteri muda itu. Tapi begitu mendengar bahwa Kim-hujin tewas, kembali perasaannya tertusuk maka wanita ini memegang dinding dan gemetar. Thai Liong membungkuk dan memberi hormat padanya.
"Bibi, maaf. Kami membawa berita buruk."
"Ooh, kau... ibumu ia... tewas, Thai Liong? Ibumu dibunuh orang?"
"Benar, bibi, dan kini ayah memanggil semua di sini untuk ke utara. Ada sesuatu yang hebat terjadi."
"Liong-ko, siapa jahanam itu. Siapa dia. Biar kucari dan ku bunuh iblis terkutuk itu!"
Soat Eng melengking marah, menangis dan memukul-mukul kakaknya tapi Thai Liong memberi isyarat kepada Siang Le. Si buntung itu maju dan menenangkan isterinya. Berita itu memang tak terduga. Dan ketika Soat Eng mengguguk dan Shintala menyesal merangkul iparnya, ia merasa terlalu terburu-buru maka wanita itu disuruh membawa Soat Eng ke kamar.
"Tenangkan ia di sana, bersama bibi Cao Cun. Nanti kita bertemu lagi dan lihat anak-anak ketakutan melihat ini."
Shintala berurai air mata. Nyonya cantik inipun tak kalah sedih dibanding Soat Eng. Kemarahannya juga membubung. Namun karena ia didinginkan Thai Liong dan suaminya itu berlaku bijak, betapapun musuh tak ada di depan mereka maka Thai Liong menarik napas dalam-dalam dan ketika Siang Le memberikan sebuah kursi maka si buntung itu duduk terpaku.
"Thai Liong, bagaimana terjadinya peristiwa ini? Bukankah ada ayah dan kau di sana?"
"Aku tak ada di sana waktu peristiwa itu, Siang Le, aku dan isteriku sedang berburu, begitu juga anakku Bun Tiong. Kami tak tahu apa-apa sampai akhirnya ketika kami pulang kami lihat peristiwa itu."
"Bagaimana dengan gak-hu..."
"Ayah luka-luka, itulah sebabnya mengutus aku ke sini. Ayah menghadapi orang-orang sakti."
"Orang-orang sakti? Bukankah sudah tak ada orang-orang sakti lagi di dunia kang-ouw? Bukankah kalian keluarga terhebat sekarang?"
"Bumi selalu berputar, Siang Le, yang dulu kuat bisa jadi sekarang lemah. Yang dulu hebat sekarang mungkin lumpuh. Ayah akhir-akhir ini sering sakit-sakitan. Beliau agaknya penasaran memikirkan kalian di sini kenapa tiga tahun tidak pernah berkunjung!"
"Hm," Siang Le sadar akan teguran ini, kata-kata Thai Liong tajain dan keras. "Semua karena adikmu, Thai Liong. lsteriku itu aneh dan keras. Dialah yang tak mau berkunjung. Aku berulang kali sudah membujuknya!"
"Kenapa?"
"Gara-gara ibu...."
"Hm, apalagi ini, Siang Le? Apa yang ibu lakukan?"
"Ah, tak apa-apa. Sudahlah tak usah bicara itu. Yang jelas Soat Eng ingin agar ibu ke sini dan mendapat kejutan!"
"Hm, kamu tak perlu bohong kepadaku. Apakah karena ibu memakimu sebagai suami bodoh, Siang Le? Bahwa kau memberikan anak perempuan melulu dan di-anggap goblok tak becus membuat anak laki-laki?"
"Kau tahu?"
"Ibu bertengkar dengan ayah, secara kebetulan kudengar. Ah, ibu memang aneh-aneh tapi kulihat anakmu terkecil itu. Siapa namanya!"
Siang Le terkejut, tak menjawab. "Thai Liong, ibu sampai bertengkar dengan ayah? Mereka ribut-ribut gara-gara ini?"
"Hm, kau tak menjawab pertanyaanku."
"Memang benar, Siang le, tapi setelah itu mereka tenang kembali. Ayah membelamu, dan ibu rupanya sadar."
Siang Le merah mukanya. Tiba-tiba pemuda ini menitikkan air mata dan menutupi wajah. Siang Le membayangkan pembelaan gak-hunya itu. Dan ketika ia merasa teriris dan terharu, dari dulu sampai sekarang gak-hunya itu selalu sayang padanya maka ia tersedak dan mengguguk,
"Thai Liong, aku selalu membuat persoalan di antara orang-orang tua. Ah, aku selalu menjadi sumber pertikaian. Apakah dosa di kelahiranku dulu yang menjadikan semua ini? Apakah ini salah diriku sebelum lahir ke dunia? Ooh, aku menyesal, Thai Liong, aku memang bodoh sebagai suami. Ibu tidak salah. Ia benar kalau menantunya tak dapat memberikan keturunan laki-laki!"
"Tapi sekarang kau telah memiliki anak itu. Kau telah berputera! Eh, siapa, nama anakmu, Siang Le. Siapa keponakan ku yang tampan dan manis itu!"
"la Hok Gi..."
"Hok Gi? Ah, cocok sckali. Namanya tepat. Anak itu membawa rejeki bagi rumah ini!" "Tapi gak-bo (ibu mertua) sekarang tiada. Percuma aku memberikan Hok Gi!"
"Tapi sekarang kau telah memiliki anak itu. Kau telah berputera! Eh, siapa, nama anakmu, Siang Le. Siapa keponakan ku yang tampan dan manis itu!"
"la Hok Gi..."
"Hok Gi? Ah, cocok sckali. Namanya tepat. Anak itu membawa rejeki bagi rumah ini!" "Tapi gak-bo (ibu mertua) sekarang tiada. Percuma aku memberikan Hok Gi!"
Siang Le yang tersedu dan tak dapat menahan kesedihannya lalu menutupi wajah semakin rapat dan Thai Liong menepuk-nepuk pundak pemuda ini. Pemuda itu terharu bahwa Siang Le tak pernah menyalahkan ibunya. Pemuda itu selalu menyalahkan diri sendiri. Inilah watak Siang Le yang mulia! Dan ketika Thai Liong kagum dan menenangkan pemuda itu agar tak bersedih kepanjangan maka pemuda ini berkata bahwa sebaiknya saudaranya itu siap-siap ke utara.
"Ayah meminta semua yang ada di pulau ini ke utara. Ayah ingin bertemu kalian semua. Dua tiga hari lagi kita berangkat, Siang Le, dan siapkan dirimu serta bibi Cao Cun!"
"Tapi kau tak menceritakan bagaimana peristiwa itu terjadi. Bagaimana gak-bo terbunuh, oleh siapa!"
"Hm, orang-orang Pulau Api..."
"Pulau Api? Di mana itu?"
"Aku juga belum tahu, Siang Le, bahkan ayahpun tak tahu di mana dan siapa orang-orang Pulau Api itu."
"Kalau begitu aneh bahwa mereka memusuhi gak-hu, ada persoalan apa!"
"Hm, ini karena adik kita Beng An. Ialah yang dicari!"
"Beng An?"
"Benar, Siang Le. Barangkali untuk ini baiklah kuceritakan sebentar. Di sana tentu isteriku juga bercerita kepada Soat Eng. Hm, memang dunia selalu penuh dengan permusuhan!" dan ketika pemuda itu menarik napas dalam-dalam dan duduk merenung sedih maka Siang Le tergetar dan rnendengarkan cerita itu.
Sebagaimana diceritakan di depan, Pendekar Rambut Emas meraih isterinya ini ketika menangis dan rindu akan Soat Eng. Puteri mereka itu telah lama tak memberi kabar dan Swat Lian atau nyonya Pendekar Rambut Emas ini sedih. Ia terisak-isak. Dan ketika suaminya mengelus dan mengusap rambutnya, Pendekar Rambut Emas batuk-batuk maka pendekar itu bicara bahwa tentu ada sesuatu hingga puteri mereka tak datang berkunjung.
"Pasti ada sebab, pasti ada sesuatu. Barangkali saja karena tahun lalu kau pernah bertengkar dengan puteri kita itu." "Bertengkar? Tidak, aku dan Soat Eng tak ada persoalan apa-apa, suamiku. Aku dan dia biasa-biasa saja!"
"Kalau begitu harus datang. Barangkali ada halangan mungkin anak-anak sakit atau apa."
"Hm," nyonya ini berkerut kening. "Siang Hwa dan Siang Lan tak pernah sakit. Mereka itu anak-anak sehat. Ayah, ibunya tak pernah lalai!"
"Kalau begitu kenapa tak datang? Kalau hanya karena capai atau malas tempat kita terlalu jauh tak mungkin, niocu. Jangan-jangan...." Pendekar ini berhenti, melirik sang isteri. Dan ketika sang isteri terkejut dilirik halus maka wanita itu menarik diri berkerut kening.
"Jangan-jangan apa? Kenapa kau tak melanjutkan?"
"Hm, bolehkah aku meneruskan?"
"tentu saja. Aku penasaran, suamiku. Kau seolah hendak menyalahkan aku!"
"Hm-hm, bukan begitu. Kalau belum apa-apa sudah tersinggung dan cepat marah lebih baik aku tak usah melanjutkan saja. Kau tak dapat diajak bicara terbuka."
"Bicaralah, aku siap dan terbuka. Aku tak merasa melakukan apa-apa dengan Soat Eng!" "Bukan Soat Eng," sang suami tersenyum, "melainkan Siang Le, niocu. Barangkali ada apa-apa yang pernah kau lakukan dengan menantu kita itu."
Nyonya ini mendadak merah. Ia teringat makiannya kepada Siang Le lewat Soat Eng. Tapi karena ia tak pernah memaki langsung dan ia dapat berkelit maka jawabannyapun acuh meskipun dingin. "Aku tak ada urusan dengan Siang Le. Aku tak pernah bertengkar dengannya."
"Sungguh?"
"Kau tak percaya?"
"Bukan tak percaya," pendekar ini tertawa. "Hanya semalam kau bermimpi apa, niocu. Igauanmu membuat aku bangun."
"Mimpi apa," nyonya ini berkerut kening. "Aku tak mimpi apa-apa!"
"Kalau begitu ya sudah, tunggu saja dengan sabar anak dan menantu kita itu."
Wanita ini penasaran. Ia melihat suaminya tersenyum dengan aneh, senyum itu seakan menggoda dan menelanjanginya. Tapi karena ia tak merasa apa-apa dan semalam ia hanya bermimpi tentang keluarga di Sam-liong-to, ia cemberut maka hari itu mereka menunggu lagi ke-datangan Soat Eng namun yang ditunggu tak datang-datang.
Thai Liong memberi kesempatan untuk ayah dan ibunya ini berdua. Pemuda yang tahu kegalauan ibunya itu tak berani mencampuri. Sekarang ia sering berburu bersama isteri dan anak-anaknya. Dan ketika hari demi hari dilewatkan lagi dan Pendekar Rambut Emas tak menyinggung-nyinggung lagi urusan dengan isterinya, diam-diam tertawa karena beberapa hari yang lalu isterinya itu memaki-maki Siang Le dengan kata-kata "goblok.... goblok tak punya anak laki-laki..." maka pendekar ini juga diam saja dan pura-pura tak tahu akan apa yang mengganjal di hati isterinya itu.
Pendekar ini adalah orang yang sabar dan penuh kasih sayang. Kalau sang isteri tak mengaku sendiri dan ia tak diajak bercakap-cakap tentu ia tak mendesak. Sikapnya ini diketahui benar oleh isterinya dan sejak pembicaraan di malam itu Kim-hujin ini menaruh penasaran. Senyum suaminya itu tak pernah hilang. Diam-diam ia bertanya apa yang ia igaukan ketika tidur. Ia mengingat-ingat dan tiba-tiba semburatlah wajah nyonya ini akan mimpinya itu.
Teringat ia bahwa ia memaki-maki Siang Le. Ia memaki-maki mantunya itu sebagai suami goblok. Suami yang tak bisa bikin anak laki-laki! Dan ketika ia semburat oleh ini, apakah igauan itu yang didengar suaminya maka malam itu ketika untuk kesekian kalinya mereka duduk bercakap-cakap lagi maka nyonya ini terisak dan membuka percakapan dengan pertanyaan apakah yang didengar suaminya itu ketika ia mengigau!
"Lho, menyambung pembicaraan itu lagi? Bukankah sudah lewat? Wah, mana kuingat, niocu. Aku lupa!"
"Bohong, senyummu menyatakan lain! Kau membuatku penasaran dalam beberapa hari ini, suamiku. Hayo mengaku apa yang kau dengar itu!"
"Lho, lho.... aku tak ingat. Lupa, sungguh lupa!"
"Aku tak percaya. Kau bukan kakek-kakek pikun dan katakan apa yang kau dengar. Atau, hmm... aku tak mau tidur di kamar dan biar di hutan saja!"
"Eh-eh," sang pendekar menarik dan menyambar isterinya itu, tertawa. "Kau cepat sekali perasa, niocu. heran amat begini mudah marah-marah. Baiklah, kukatakan hmm.... kalau tidak salah kau marah-marah kepada Siang Le...."
"Apa yang ku katakan!"
"Kau eh... menggoblok-goblokkan menantu kita itu."
"Menggoblok-goblokkan bagaimana, apa yang ku katakan. Ini yang ingin ku tahu!"
"Hm," pendekar itu menarik isterinya duduk. "Mimpi adalah buah tidur, niocu, tapi mimpi dapat berarti juga pelepasan ketegangan jiwa yang ditahan-tahan. Kau tak usah mendesakku karena tentu kau lebih tahu dari pada aku. Kau bilang bahwa kau siap dan terbuka untuk bicara berdua, kenapa ada yang kini kau sembunyikan? Kau bilang tak pernah bertengkar dengan Soat Eng atau mantu kita Siang Le, niocu. Tapi mimpimu menunjukkan lain. Boleh jadi kau tak pernah berhadapan langsung dengan pemuda itu, tapi makian atau kata-katamu lewat Soat Eng tentu diberitahukan suaminya karena Soat Eng amat mencinta suaminya itu. Nah, katakan dan mari bicara baik-baik!"
Nyonya ini tiba-tiba tersedu. Kalau suaminya sudah bicara seperti itu maka tak ada alasan lagi untuk berbohong-bohong. Gejolak jiwanya ternyata telah tersalur lewat mimpi. Suaminya sebetulnya sudah tahu tapi semata menjaga perasaannya saja suaminya itu pura-pura tidak tahu. Ya, ia tak perlu bohong lagi. la harus buka kartu! Maka ketika ia tersedu dan menutupi mukanya, suaminya terkejut tapi memeluknya lembut maka suaminya itu berkata, halus, penuh perasaan. "Niocu, agaknya tak perlu ada yang disembunyikan Iagi. Kau bicaralah. Aku mendengarkan dan percayalah bahwa aku tak menyalahkan atau marah kepadamu."
"Aku.... aku, ahh...!" nyonya itu mengguguk. "Kau benar, suamiku. Aku... tak tak senang kepada Siang Le. Aku.... aku kecewa ia tak punya anak laki-laki!"
"Hm, bagaimana ini. Kenapa tak senang. Bukankah ada Bun Tiong di sini...." "Aku.... aku ingin menimang cucuku sendiri yang laki-laki. Aku.... maafkan suamiku, aku rupanya terbius egoku sendiri dan selalu tak puas. Aku.... ooh..!"
Wanita itu yang menubruk dan mengguguk di dada suaminya lalu berat untuk bicara tapi Pendekar Rambut Emas mengangguk-angguk dan tersenyum, mengusap dan mencium rambut isterinya itu.
"Hm, mengerti aku. Kiranya kau ingin menimang dan memiliki cucu laki-laki dari keturunanmu langsung, isteriku. Kau tak puas karena selama ini menantu kita Siang Le hanya memberi keturunan perempuan. Bun Tiong memang bukan cucumu langsung, ia anak Thai Liong. Dan karena kau mengharapkan dari Siang Le maka mengerti aku sekarang mengapa kau marah-marah. Tapi kau tak pernah bilang padanya, apakah kalau begitu kau marah-marah kepadanya lewat Soat Eng?"
"Benar, aku... aku mengomeli pemuda itu lewat anak kita Soat Eng. Ku bodoh-bodohkan dia. Ku maki-maki dia. Dan Soat Eng yang rupanya marah dan tersinggung oleh ini maka tak mau datang lagi dan memberitahukannya kepada suaminya!"
"Hm, aneh kau ini. Sikapmu selalu keras kepada Siang Le. Niocu, tidakkah kau lihat bahwa manusia boleh berusaha tapi Tuhan pula yang menentukan? Barangkali sudah begitu, niocu. Takdir memberikan cucu perempuan untukmu. Tapi kupikir laki perempuan sama saja."
"Tidak, bagiku jauh berbeda. Lelaki lebih memiliki segalanya dari pada perempuan, suamiku. Wanita tak mungkin sebebas laki-laki dalam sepak terjangnya. Dan lelaki bagiku lebih berwibawa dibanding wanita. Laki-laki dapat diandalkan menjaga wanita sementara wanita tak mungkin begitu. Aku tidak membenci cucuku perempuan tapi aku ingin cucu laki-laki. Aku juga tidak membenci Bun Tiong tapi aku ingin juga agar dari garis keturunanku terdapat cucu laki-laki!"
"Hm-hm, aku mengerti. Perasaan dan keinginanmu dapat kupahami, niocu. Tapi bagaimana lagi kalau menantu kita hanya memberikan anak perempuan..."
"Siang Le dapat berusaha! Ia masih muda dan dapat melakukan itu!"
"Maksudmu?" "Ia dapat memberikan seorang dua orang putera lagi, suamiku. Dan Soat Eng masih muda untuk mengandung dan melahirkan. Aku berharap mereka itu menambah anak!"
Pendekar ini tersenyum. Sang isteri demikian bersemangat ketika bicara dan ia mengangguk-angguk. Kalau sudah begini teringatlah dia kepada mendiang mertuanya dulu, Hu Beng Kui atau Hu-taihiap di mana mertuanya itupun orang yang keras hati dan keras kemauan. Melihat isterinya ini tak ubahnya melihat kakek gagah itu. Darah Hu-taihiap memang mengalir di situ, kental. Watak Hu taihiap kental pula di tubuh isterinya.
Maka ketika dia tersenyum dan mengangguk-angguk, dapat mengerti dan sama sekali tak tersinggung bahwa Bun Tiong seolah dianggap "orang luar", darah dari Hu Beng Kui memang tak mengalir di tubuh anak laki-laki itu maka pendekar ini menarik napas panjang dan akhirnya berkata,
"Baiklah, kalau begitu bagaimana sekarang. Apa yang hendak kau lakukan dan bagaimana dengan keluarga di Sam-liong-to itu."
"Aku.... aku ingin ke sana. Aku ingin menengok."
"Hm, menengok? Dan kau akan menegur langsung menantu kita itu?"
Wanita ini semburat. "Aku tak menegur, suamiku. Tapi aku akan menemui dan bicara dengan Soat Eng."
"Melihat apakah mereka sudah berusaha?" "Ya, di samping melepas kangen. Aku rindu mereka, dan.... dan aku mau minta maaf kepada Soat Eng kalau dulu kata-kataku terlalu keras!"
Pendekar ini tertawa. Dengan lembut ia menyambar isterinya itu dan berseri-seri. Meskipun keras tapi isterinya ini gagah, cukup sportif untuk minta maaf kalau tindakannya keliru. Inilah juga watak jantan Hu-taihiap. Dan ketika ia mengangguk dan mengecup manis maka ia berkata baiklah besok semuanya diatur. "Aku setuju, tapi tentu saja aku ikut. Masa kau pergi sendiri dan aku di sini? Besok kita berdua berangkat, niocu. Dan kita lihat cucu-cucu kita di sana!"
"Hm, sambil mengawasi agar aku terkendali? Aku tak mengamuk atau marah-marah di sana, suamiku. Aku sadar bahwa masalah ini tergantung sepenuhnya kepada Thian Yang Maha Kuasa pula. Ah, kau tak perlu khawatir!"
"kau pandai menebak maksudku. Benar, niocu, di samping melindungi memang aku ingin mengawasimu agar tidak marah-marah kepada Siang Le. Wah, tak perlu sembunyi-sembunyi lagi. Tapi aku juga kangen kepada mereka terutama cucu-cucuku perempuan. Aku rindu Siang Hwa dan Siang Lan karena di sini hanya ada cucu laki-laki!"
Wanita itu tersenyum. la telah membongkar maksud tersembunyi suaminya itu yang ternyata cocok. Tiga puluh tahun berkumpul cukup bagi masing-masing untuk mengenal dan mengetahui isi hati lawan. Ia tertawa. dan ketika suaminya memeluk dan geli tak malu-malu, ia membalas dan mencium leher suaminya itu maka mereka masuk kamar dan malam itu dilewatkan dengan penuh kebahagiaan. Mereka sudah bukan orang-orang muda lagi namun kehangatan dan kemesraan begini tak pernah luntur. Mereka masih saling mencinta dan memberi. ltulah kehidupan suami isteri ini.
Tapi ketika keesokan harinya Thai Liong dan anak isterinya belum kembali, mereka berburu maka wanita ini mengerutkan kening dan Pendekar Rambut Emas mengajaknya bersabar. "Hm, tak mungkin kita pergi begini saja. Pembantu kita boleh diberi tahu tapi tak enak kepada Thai Liong. Biarlah kita bersabar dulu dan tak lari gunung di kejar."
Swat Lian rnengangguk. Sehari itu ia bersabar diri tapi malam tiba putera mereka itupun belum pulang. Thai Liong rupanya berburu terlalu jauh, wanita ini tak sabar. Dan ketika keesokannya mereka menunggu maka yang datang bukan pemuda itu melainkan tiga orang laki-laki yang tubuh mereka seolah menyala bagai obor!
"Hm!" wanita itu terkejut, menoleh dan melihat tiga laki-laki itu sudah berdiri di depan pintu. Seorang di antaranya tinggi besar dan gagah dengan jenggot kemerah-merahan, jubahnya yang merah juga berkibar dan gagah serta berkeson seram, yang satunya lagi tinggi sedang dengan rantai perak melilit leher sementara orang ketiga adalah laki-laki tinggi kurus perlente.
"Siapa kalian, orang-orang busuk. Kenapa memasuki rumah orang tanpa ijin!"
"Hm, apakah kami berhadapan dengan Pendekar Rambut Emas," laki-laki gagah itu, yang berjenggot dan berjubah merah menjawab pertanyaan dengan pertanyaan pula, tak perduli bentakan Kim-hujin dan langsung memandang pendekar berusia lima puluh enam tahun yang duduk bersila itu, tajam, sorot matanya bagai seekor naga. "Kami orang-orang Pulau Api datang bertamu, Kim-taihiap, dan maaf kalau tak memberi tahu!"
Pendekar Rambut Emas bangkit berdiri. Siang itu bersama isterinya ia duduk-duduk di ruang depan menikmati silirnya angin lembut. Mereka menunggu Thai Liong dan siap-siap pergi. Rencana ke Sam-liong-to tetap jalan tapi mereka harus menunggu putera mereka itu dulu. Thai Liong harus diberi tahu dan pemuda itu nanti ganti memimpin bangsa Tar-tar. Kedatangan orang-orang ini memang mengejutkan dan Pendekar Rambut Emas yang semula tak merasa apa-apa mendadak berdesir.
Tubuh yang menyala bagai obor itu jelas penuh tenaga Yang-kang (Panas),. Mereka ahli tenaga Yang dan ini mengejutkan. Tapi karena Kim-mou-eng adalah pendekar kelas atas dan keterkejutannya itu tak diperlihatkan mukanya, dia menyambut dan melangkah maju maka sinar matanya yang mencorong dan berwibawa ganti menghadapi orang-orang ini. Sikap dan kata-katanya ramah namun kuat dan tegas.
"Sam-wi (anda bertiga) agaknya tamu-tamu baru yang memang tidak kami undang. Siapakah sam-wi dan di manakah Pulau Api itu?"
"Kami bertiga adalah ketua dan wakil ketua, Kim-taihiap. Aku sendiri Tan Siok. Dua adikku ini adalah Bu Kok dan See Lam."
"Hm, Tan-pangcu kiranya, ketua Pulau Api sendiri. Bagus, ku ucapkan selamat datang, pangcu. Ada perlu apakah kiranya, silakan duduk!"
"Kami mencari puteramu Beng An. Ia mengacau dan menghina kami di Pulau Api. Suruh ia keluar dan hendak kami bawa pulang!"
"Tamu-tamu apa ini!" Swat Lian membentak dan berkelebat maju, tak sabar seperti suaminya dan tentu saja marah mendengar puteranya dicari. Orang-orang ini seperti raja dan sombong di rumah orang lain. Siapa tidak panas! Dan berdiri dengan tangan bertolak pinggang langsung saja wanita ini menuding. "Kau!" katanya kepada ketua Pulau Api itu. "Datang-datang mencari anak orang dan hendak menangkapnya, Tan-pangcu. Apakah kau kira begitu gampang mengambil anakku Beng An. Ada urusan apa hingga puteraku menghina kalian. Kalau kalian tidak bersalah tak mungkin putera ku mengganggu kalian!"
"Hm!" Bu Kok tertawa mengejek, sekarang wakil nomor satu ini ganti maju, tak tahan melihat sikap nyonya rumah yang petentang-petenteng. "Kalau anakmu - tahu aturan tak mungkin kami datang ke sini, Kim-hujin. Kami datang secara baik-baik untuk membawa anakmu pergi dan jangan sombong menyalahkan orang lain. Justeru kami menuduh kau sebagai orang tuanya tak mampu mendidik, punya anak kurang ajar di rumah orang lain!"
"Keparat!" nyonya itu marah. "Lan-cang mulutmu, orang busuk. Anakku tak mungkin kurang ajar kalau orang lain tak melakukan tindakan jahat. Kalian ini tentu orang-orang busuk hingga anakku tak dapat menahan diri. Minggir !" dan si nyonya yang mendorong dan melepas pukulan tiba-tiba menyuruh lawan mundur tapi wakil Pulau Api ini tentu saja tak mau didorong. Ia sudah berada di situ dan sambutan begini sudah diduga. Kedatangan mereka memang untuk mencari keributan dan tak perlu berbasa-basi lagi.
Percakapan pertama hanya untuk pemanis bibir belaka. Yang jelas mereka ingin , membalas Beng An dengan kekalahan di Lembah Es. Ayah ibunya harus bertanggung jawab. Maka begitu si nyonya mendorong dan ia mengangkat tangannya menolak, Giam-lui-ciang atau Petir Neraka menyambar mengeluarkan sinar merah maka Khi-bal-sin-kang, yang dikerahkan nyonya itu meledak dan memuncratkan bunga api.
"Desss!" Si nyonya terhuyung sementara lawan tergetar dua tindak. Dari adu pukulan ini dapat dilihat bahwa tenaga masing-masing sama hebat. Dua-duanya merasa betapa pukulan mereka bertemu sinkang kuat tapi yang kaget adalah Kim-hujin ini. Khi-bal-sin-kang, pukulannya, tak membuat daya tolak seperti biasanya. Pukulan Bola Sakti itu membentur hawa panas dan hilang kekenyalannya. Pukulan lawan seperti neraka dan panasnya bukan main. Hanya dengan sinkangnya yang sudah mencapai tingkat tinggi ia mampu bertahan, itupun sudah membuat kagum Bu Kok.
Dan ketika laki-laki ini terdorong tapi Kim-hujin juga terhuyung, wanita itu melotot dan siap menyerang lagi maka Pendekar Rambut Emas yang dapat merasa hasil benturan ini cepat-cepat maju melerai. Diam-diam ia juga terkejut bahwa Pukulan Bola Sakti atau isterinya lumer oleh hawa panas luar biasa itu. Dinding ruangan seketika menjadi merah namun padam lagi setelah dua pukulan itu lenyap.
"Maaf, ada urusan dapat diurus. Ada persoalan dapat diselesaikan. Anak kami Beng An tak ada di sini, pangcu. Kalau ingin bertemu kalian sia-sia. Bolehkah kami tahu apa yang dilakukan putera kami hingga kalau ia benar bersalah kami akan menegurnya!"
"Hm, bocah itu tak ada di sini? Bohong! Kau menyembunyikan puteramu, Pendekar Rambut Emas. Kalau begitu kau saja yang ikut kami untuk mempertanggung jawabkan perbuatan anakmu. Kalau ia datang biar ia menyusul!"
See Lam, tokoh nomor tiga tertawa mengejek. Laki-laki tinggi kurus berpakaian perlente ini mendahului suhengnya setelah Bu Kok dan suhengnya maju bicara. la ingin mendapat bagian dan kini maju ke depan. lapun ingin menjajal kepandaian Pendekar Rambut Emas ini. Di sepanjang jalan ternyata mereka mendapat keterangan bahwa Kim-mou-eng suami isteri ini lihai. Mereka orang-orang kang-ouw yang bernama besar, kesaktiannya tinggi. Dan karena tadi ji-suhengnya sudah mencoba dan benar saja Kim-hujin itu mampu menerima Giam-lui-ciang, hanya orang-orang tertentu saja yang dapat menyambut pukulan itu.
Maka tokoh nomor tiga dari Pulau Api ini menjadi penasaran dan ingin mencoba sendiri. Diapun ingin pamer kepandaian dan dilihatnya Pendekar Rambut Emas itu agak lunak. Sikapnya lembut dan penuh sabar, tidak seperti isterinya yang galak dan keras itu. Dan karena pendekar ini belum menunjukkan kepandaiannya dan tentu saja ia ingin tahu, maju dan mengeluarkan kata-kata menyakitkan maka sang nyonya tak tahan dan berseru.
"Mulut busuk, sungguh kurang ajar!" dan belum Pendekar Rambut Emas menjawab lagi Kim-hujin inipun berkelebat dan melakukan tamparan kuat. Kali ini sang nyonya mengeluarkan dua pukulan sekaligus Khi-bal-sin-kang dan Lui-ciang-hoat. Gabungan itu tentu saja lebih hebat dari pada Khi-bal-sin-kang atau Lui-ciang-hoat saja, tokoh nomor tiga ini belum tahu. Maka begitu ia terkejut tapi tertawa mengeluarkan Giam-lui-ciangnya, tadi sang kakak mampu mendorong mundur maka tawa mengejek segera menjadi teriakan kaget ketika tahu-tahu laki-laki perlente ini terpental dan mencelat terlempar.
"Heiii.... bress!" Tokoh nomor tiga dari Pulau Api itu membuang tubuh ke atas. Ia disambar dua pukulan berbeda yang bukan main dahsyatnya, Giam-lui-ciangnya terdesak dan akibatnya ia terlempar. Dan karena ia tak mau pukulan itu menghimpit, ia sudah merasa sesak napas maka laki-laki itu berjungkir balik turun sementara Kim-hujin ganti tertawa mengejek.
"Hm, kiranya sebegitu saja. Maju dan rasakan lagi pukulanku kalau ingin mampus, orang she See. Ayo keluarkan kesombonganmu dan lihat kepandaian Kim-hujin!"
Laki-laki itu berubah. Ia marah sekali dan penasaran. Giam-lui-ciangnya tak kuat karena ia tak menduga bahwa nyonya itu melancarkan dua pukulan sekaligus. Tadi ketika menghadapi ji-suhengnya nyonya itu hanya mengeluarkan satu pukulan, dan iapun dengar bahwa keluarga ini mempunyai ilmu-ilmu andalan, satu di antaranya adalah Khi-bal-sin-kang atau pukulan Bola Karet Sakti.
Dan karena mereka belum berkenalan dan baru kali itu saling jajal, memang benar ia sudah berkenalan dengan Beng An tapi lain ibu lain anak maka ketika nyonya itu mengeluarkan dua pukulan sekaligus sementara ia hanya satu maka laki-laki ini terlempar tapi berkat kepandaiannya ia berhasil membuang sisa pukulan itu dan kini merah padam memandang si nyonya. Dan saat itu suhengnya menarik tangannya sementara di sana Pendekar Rambut Emas juga menarik dan mencengkeram lengan isterinya.
"Mundur, belum waktunya. Nanti kau bakal mendapat bagian, sute. Aku masih ingin bercakap-cakap dulu dengan Pendekar Rambut Emas ini sebelum kita bertindak!"
"Hm, benar," Pendekar Rambut Emas juga mengangguk dan tersenyum tenang lega bahwa dengan gabungan pukulan itu isterinya dapat menahan orang-orang pulau Api.
"Kau dan aku memang masih harus bicara, pangcu. Nah, kukatakan kepadamu bahwa puteraku Beng An tak ada. la sudah lama pergi, belum kembali. Kalau ingin bertemu dengannya silakan tunggu dan kami sebagai orang tuanya tentu akan menegur dan memberi peringatan kalau dia salah. Ceritakanlah apa yang terjadi dan kenapa puteraku sampai bermusuhan dengan kalian. Dan di manakah Pulau Api itu."
Tan-pangcu mengerutkan kening. Kalau disuruh menceritakan sebab-sebab permusuhan tentu saja dia enggan. Waktu itu mereka sedang mengadakan upacara, pimpinan Pulau Api akhirnya tetap seperti susunan sekarang ini dan calon korban dibawa lari Beng An. Mereka memiliki tradisi sendiri dan menceritakan bahwa gadis Lembah Es akan dibunuh tentu bakal disalahkan pendekar ini pula. Tak usah dia bercerita. Maka ketika dia mendengus dan memandang pendekar itu maka kata-katanya pun cukup lantang ketika berseru,
"Pendekar Rambut Emas, apn yang di kata suteku kupikir betul. Kami mau percaya bahwa puteramu tak ada di sini. Tapi karena kami juga tak mau sia-sia pulang dengan tangan kosong, tempat kami amatlah jauh biar kau atau isterimu ini ikut bersama kami. Kami tak akan membuat ribut kalau kau mau. Cukup satu di antara kalian saja ikut kanm. Nanti puteramu biar menyusul dan terserah kau bagaimana menanggapi ini!"
"Hm, tentu saja kami keberatan. Kami belum tahu kesalahan anak kami, pangcu. Tak mungkin menuruti permintaanmu. Baik aku ataupun isteriku tak mungkin suka dibawa kalian ke Pulau Api. Kau sajalah yang menunggu dan bersabar sampai anak kami kembali. Atau kami mempersilakan kalian menunggu di sini dan menjadi tamu-tamu kami yang baik."
"Hm-hm, itu tak mungkin. Kalau kau atau isterimu tak mau ikut tentu kami akan melakukan kekerasan, Pendekar Rambut Emas. Dan maaf jangan katakan kami berbuat kasar!"
"Kita orang-orang kang-ouw sudah saling mengetahui itu. Kalau sam-wi tak dapat memenuhi permintaan ini terserah apa yang hendak kalian lakukan. Kami sebagai tuan rumah hanya ingin mengiringi kehendak tamu."
"Wutt!" ketua Pulau Api tiba-tiba sudah membentak dan melepas serangan, maju dan mencengkeram pundak pendekar itu. "Kalau begitu ancaman kami terpaksa. kami lakukan, Kim-taihiap. Maaf bahwa kau saja yang ikut kami!"
Namun pendekar ini mengelak. Sebagai orang yang sudah matang akan pengalaman dan pengetahuan Pendekar Rambut Emas tak mau sembrono. Dalam bercakap-cakap tadi ia sudah melihat kedua tangan ketua Pulau Api itu dikerotok-kerotokkan. Uap merah menyala cepat dan tangan itu seperti bara. Kesaktian Yang-kang ditunjukkan laki-laki ini sebagai gertak pula. Dan ketika lawan maju membentak dan kedua tangan itu menyambar pundaknya, cepat sekali maka pendekar ini mundur dan dengan mudah tapi tepat ia lolos menghindar.
Tangan itu mengenai angin namun pendekar ini kagum bahwa hawa panas masih menyambar. Ujung bajunya hangus! Dan ketika lawan terbelalak dan mengejar maju, ia berkelit dan tiga kali berturut-turut lolos dari tangkapan laki-laki itu maka ketua Pulau Api membentak dan kini dijulurkanlah kedua tangan untuk menghantam!
"Pendekar Rambut Emas, jangan berkelit saja. Terimalah pukulanku dan coba lah, clap!" Api menyembur dan berkobar dari tangan ketua Pulau Api itu. Agaknya tak sabar melihat lawan berkelit melulu maka naiklah hawa amarah laki-laki tinggi besar itu. Ketua Pulau Api sudah menerjang dan pukulan mautnya ganas menderu.
Giam-lui-ciang, andalannya itu menyambar dan berkobar. Kalau Pendekar Rambut Emas mengelak maka dinding di belakang bakal tersambar. Rumah itu bakal roboh dan runtuh. Dan ketika Pendekar Rambut Emas terkejut dan berseru keras, lawan tak segan-segan lagi mengeluarkan pukulannya maka Lui-ciang-hoat meledak bersama Khi-bal-sin-kang.
"Blarrr!" Hebat pertemuan dua tenaga sakti orang-orang luar biasa ini. Pendekar Rambut Emas, yang sudah mengerahkan sin-kang dan waspada terhadap pukulan lawan dibuat terhuyung. Dia terbelalak sementara ketua Pulau Api juga tergetar dan terguncang di sana, terdorong dua langkah. Dan ketika masing-masing kagum bahwa lawan dapat menahan pukulan, ketua Pulau Api terkejut dan berseru marah maka laki-laki itu berkelebat dan Pendekar Rambut Emas tak dapat lagi tinggal di dalan rumah. Api sudah berkobar dari telapak tangan lawannya itu!
"Tan-pangcu, tak enak bertempur di dalam rumah. Marilah keluar dan tunjukkan kepandaianmu... blar-blarr!" pukulan itu menyusul dan mengejar di belakang Pendekar Rambut Emas. Lidah atau ekor api seperti naga menjilat, cepat menyambar namun pendekar itu mengibas.
Dan ketika Tan-pangcu berkelebat dan maju menerjang lagi maka tubuh ketua Pulau Api ini bergerak naik turun bagai naga beterbangan. Telapak tangannya menyembur-nyembur dan hawa panas membuat Kim-hujin terdorong. Ledakan atau kilatan api menggelegar bagai halilintar. Apa saja yang tersentuh tiba-tiba hangus dan gosong. Dan ketika baju Pendekar Rambut Emas juga terbakar dan berkali-kali pendekar ini harus memadamkan itu maka daun dan pohon-pohon menjadi kering dan terbakar. Asap mengepul dan memenuhi tempat itu. Segala penjuru tiba-tiba sudah dipenuhi api!
"Hebat, ini tenaga Yang-kang yang sudah mencapai kesempurnaan tingkat tinggi. Kau hebat dan luar biasa, Tan-pangcu Tapi akupun akan menandingimu dan biar kita lihat siapa yang menang.... blub-dar!" dan api yang dikebut padam tapi muncul lagi akhirnya membuat Pendekar Rambut Emas bergerak mengadu kecepatan, mengeluarkan ilmunya meringankan tubuh dan dengan Jing-sian-eng atau Bayangan Seribu Dewa dia beradu cepat dengan ketua Pulau Api ini.
Tan Siok atau Tan-pangcu itu penasaran dan laki-laki inipun mempercepat gerakannya. Dia sudah beterbangan dan melepas pukulan bertubi-tubi namun semua pukulan-pukulan-nya dapat dihalau Pendekar Rambut Emas. Sinar atau cahnya putih berkeredep dari lengan pendekar itu, memadamkan pukulan-pukulan apinya dan hawa dingin bertarung melawan hawa panas.
"Ayah meminta semua yang ada di pulau ini ke utara. Ayah ingin bertemu kalian semua. Dua tiga hari lagi kita berangkat, Siang Le, dan siapkan dirimu serta bibi Cao Cun!"
"Tapi kau tak menceritakan bagaimana peristiwa itu terjadi. Bagaimana gak-bo terbunuh, oleh siapa!"
"Hm, orang-orang Pulau Api..."
"Pulau Api? Di mana itu?"
"Aku juga belum tahu, Siang Le, bahkan ayahpun tak tahu di mana dan siapa orang-orang Pulau Api itu."
"Kalau begitu aneh bahwa mereka memusuhi gak-hu, ada persoalan apa!"
"Hm, ini karena adik kita Beng An. Ialah yang dicari!"
"Beng An?"
"Benar, Siang Le. Barangkali untuk ini baiklah kuceritakan sebentar. Di sana tentu isteriku juga bercerita kepada Soat Eng. Hm, memang dunia selalu penuh dengan permusuhan!" dan ketika pemuda itu menarik napas dalam-dalam dan duduk merenung sedih maka Siang Le tergetar dan rnendengarkan cerita itu.
Sebagaimana diceritakan di depan, Pendekar Rambut Emas meraih isterinya ini ketika menangis dan rindu akan Soat Eng. Puteri mereka itu telah lama tak memberi kabar dan Swat Lian atau nyonya Pendekar Rambut Emas ini sedih. Ia terisak-isak. Dan ketika suaminya mengelus dan mengusap rambutnya, Pendekar Rambut Emas batuk-batuk maka pendekar itu bicara bahwa tentu ada sesuatu hingga puteri mereka tak datang berkunjung.
"Pasti ada sebab, pasti ada sesuatu. Barangkali saja karena tahun lalu kau pernah bertengkar dengan puteri kita itu." "Bertengkar? Tidak, aku dan Soat Eng tak ada persoalan apa-apa, suamiku. Aku dan dia biasa-biasa saja!"
"Kalau begitu harus datang. Barangkali ada halangan mungkin anak-anak sakit atau apa."
"Hm," nyonya ini berkerut kening. "Siang Hwa dan Siang Lan tak pernah sakit. Mereka itu anak-anak sehat. Ayah, ibunya tak pernah lalai!"
"Kalau begitu kenapa tak datang? Kalau hanya karena capai atau malas tempat kita terlalu jauh tak mungkin, niocu. Jangan-jangan...." Pendekar ini berhenti, melirik sang isteri. Dan ketika sang isteri terkejut dilirik halus maka wanita itu menarik diri berkerut kening.
"Jangan-jangan apa? Kenapa kau tak melanjutkan?"
"Hm, bolehkah aku meneruskan?"
"tentu saja. Aku penasaran, suamiku. Kau seolah hendak menyalahkan aku!"
"Hm-hm, bukan begitu. Kalau belum apa-apa sudah tersinggung dan cepat marah lebih baik aku tak usah melanjutkan saja. Kau tak dapat diajak bicara terbuka."
"Bicaralah, aku siap dan terbuka. Aku tak merasa melakukan apa-apa dengan Soat Eng!" "Bukan Soat Eng," sang suami tersenyum, "melainkan Siang Le, niocu. Barangkali ada apa-apa yang pernah kau lakukan dengan menantu kita itu."
Nyonya ini mendadak merah. Ia teringat makiannya kepada Siang Le lewat Soat Eng. Tapi karena ia tak pernah memaki langsung dan ia dapat berkelit maka jawabannyapun acuh meskipun dingin. "Aku tak ada urusan dengan Siang Le. Aku tak pernah bertengkar dengannya."
"Sungguh?"
"Kau tak percaya?"
"Bukan tak percaya," pendekar ini tertawa. "Hanya semalam kau bermimpi apa, niocu. Igauanmu membuat aku bangun."
"Mimpi apa," nyonya ini berkerut kening. "Aku tak mimpi apa-apa!"
"Kalau begitu ya sudah, tunggu saja dengan sabar anak dan menantu kita itu."
Wanita ini penasaran. Ia melihat suaminya tersenyum dengan aneh, senyum itu seakan menggoda dan menelanjanginya. Tapi karena ia tak merasa apa-apa dan semalam ia hanya bermimpi tentang keluarga di Sam-liong-to, ia cemberut maka hari itu mereka menunggu lagi ke-datangan Soat Eng namun yang ditunggu tak datang-datang.
Thai Liong memberi kesempatan untuk ayah dan ibunya ini berdua. Pemuda yang tahu kegalauan ibunya itu tak berani mencampuri. Sekarang ia sering berburu bersama isteri dan anak-anaknya. Dan ketika hari demi hari dilewatkan lagi dan Pendekar Rambut Emas tak menyinggung-nyinggung lagi urusan dengan isterinya, diam-diam tertawa karena beberapa hari yang lalu isterinya itu memaki-maki Siang Le dengan kata-kata "goblok.... goblok tak punya anak laki-laki..." maka pendekar ini juga diam saja dan pura-pura tak tahu akan apa yang mengganjal di hati isterinya itu.
Pendekar ini adalah orang yang sabar dan penuh kasih sayang. Kalau sang isteri tak mengaku sendiri dan ia tak diajak bercakap-cakap tentu ia tak mendesak. Sikapnya ini diketahui benar oleh isterinya dan sejak pembicaraan di malam itu Kim-hujin ini menaruh penasaran. Senyum suaminya itu tak pernah hilang. Diam-diam ia bertanya apa yang ia igaukan ketika tidur. Ia mengingat-ingat dan tiba-tiba semburatlah wajah nyonya ini akan mimpinya itu.
Teringat ia bahwa ia memaki-maki Siang Le. Ia memaki-maki mantunya itu sebagai suami goblok. Suami yang tak bisa bikin anak laki-laki! Dan ketika ia semburat oleh ini, apakah igauan itu yang didengar suaminya maka malam itu ketika untuk kesekian kalinya mereka duduk bercakap-cakap lagi maka nyonya ini terisak dan membuka percakapan dengan pertanyaan apakah yang didengar suaminya itu ketika ia mengigau!
"Lho, menyambung pembicaraan itu lagi? Bukankah sudah lewat? Wah, mana kuingat, niocu. Aku lupa!"
"Bohong, senyummu menyatakan lain! Kau membuatku penasaran dalam beberapa hari ini, suamiku. Hayo mengaku apa yang kau dengar itu!"
"Lho, lho.... aku tak ingat. Lupa, sungguh lupa!"
"Aku tak percaya. Kau bukan kakek-kakek pikun dan katakan apa yang kau dengar. Atau, hmm... aku tak mau tidur di kamar dan biar di hutan saja!"
"Eh-eh," sang pendekar menarik dan menyambar isterinya itu, tertawa. "Kau cepat sekali perasa, niocu. heran amat begini mudah marah-marah. Baiklah, kukatakan hmm.... kalau tidak salah kau marah-marah kepada Siang Le...."
"Apa yang ku katakan!"
"Kau eh... menggoblok-goblokkan menantu kita itu."
"Menggoblok-goblokkan bagaimana, apa yang ku katakan. Ini yang ingin ku tahu!"
"Hm," pendekar itu menarik isterinya duduk. "Mimpi adalah buah tidur, niocu, tapi mimpi dapat berarti juga pelepasan ketegangan jiwa yang ditahan-tahan. Kau tak usah mendesakku karena tentu kau lebih tahu dari pada aku. Kau bilang bahwa kau siap dan terbuka untuk bicara berdua, kenapa ada yang kini kau sembunyikan? Kau bilang tak pernah bertengkar dengan Soat Eng atau mantu kita Siang Le, niocu. Tapi mimpimu menunjukkan lain. Boleh jadi kau tak pernah berhadapan langsung dengan pemuda itu, tapi makian atau kata-katamu lewat Soat Eng tentu diberitahukan suaminya karena Soat Eng amat mencinta suaminya itu. Nah, katakan dan mari bicara baik-baik!"
Nyonya ini tiba-tiba tersedu. Kalau suaminya sudah bicara seperti itu maka tak ada alasan lagi untuk berbohong-bohong. Gejolak jiwanya ternyata telah tersalur lewat mimpi. Suaminya sebetulnya sudah tahu tapi semata menjaga perasaannya saja suaminya itu pura-pura tidak tahu. Ya, ia tak perlu bohong lagi. la harus buka kartu! Maka ketika ia tersedu dan menutupi mukanya, suaminya terkejut tapi memeluknya lembut maka suaminya itu berkata, halus, penuh perasaan. "Niocu, agaknya tak perlu ada yang disembunyikan Iagi. Kau bicaralah. Aku mendengarkan dan percayalah bahwa aku tak menyalahkan atau marah kepadamu."
"Aku.... aku, ahh...!" nyonya itu mengguguk. "Kau benar, suamiku. Aku... tak tak senang kepada Siang Le. Aku.... aku kecewa ia tak punya anak laki-laki!"
"Hm, bagaimana ini. Kenapa tak senang. Bukankah ada Bun Tiong di sini...." "Aku.... aku ingin menimang cucuku sendiri yang laki-laki. Aku.... maafkan suamiku, aku rupanya terbius egoku sendiri dan selalu tak puas. Aku.... ooh..!"
Wanita itu yang menubruk dan mengguguk di dada suaminya lalu berat untuk bicara tapi Pendekar Rambut Emas mengangguk-angguk dan tersenyum, mengusap dan mencium rambut isterinya itu.
"Hm, mengerti aku. Kiranya kau ingin menimang dan memiliki cucu laki-laki dari keturunanmu langsung, isteriku. Kau tak puas karena selama ini menantu kita Siang Le hanya memberi keturunan perempuan. Bun Tiong memang bukan cucumu langsung, ia anak Thai Liong. Dan karena kau mengharapkan dari Siang Le maka mengerti aku sekarang mengapa kau marah-marah. Tapi kau tak pernah bilang padanya, apakah kalau begitu kau marah-marah kepadanya lewat Soat Eng?"
"Benar, aku... aku mengomeli pemuda itu lewat anak kita Soat Eng. Ku bodoh-bodohkan dia. Ku maki-maki dia. Dan Soat Eng yang rupanya marah dan tersinggung oleh ini maka tak mau datang lagi dan memberitahukannya kepada suaminya!"
"Hm, aneh kau ini. Sikapmu selalu keras kepada Siang Le. Niocu, tidakkah kau lihat bahwa manusia boleh berusaha tapi Tuhan pula yang menentukan? Barangkali sudah begitu, niocu. Takdir memberikan cucu perempuan untukmu. Tapi kupikir laki perempuan sama saja."
"Tidak, bagiku jauh berbeda. Lelaki lebih memiliki segalanya dari pada perempuan, suamiku. Wanita tak mungkin sebebas laki-laki dalam sepak terjangnya. Dan lelaki bagiku lebih berwibawa dibanding wanita. Laki-laki dapat diandalkan menjaga wanita sementara wanita tak mungkin begitu. Aku tidak membenci cucuku perempuan tapi aku ingin cucu laki-laki. Aku juga tidak membenci Bun Tiong tapi aku ingin juga agar dari garis keturunanku terdapat cucu laki-laki!"
"Hm-hm, aku mengerti. Perasaan dan keinginanmu dapat kupahami, niocu. Tapi bagaimana lagi kalau menantu kita hanya memberikan anak perempuan..."
"Siang Le dapat berusaha! Ia masih muda dan dapat melakukan itu!"
"Maksudmu?" "Ia dapat memberikan seorang dua orang putera lagi, suamiku. Dan Soat Eng masih muda untuk mengandung dan melahirkan. Aku berharap mereka itu menambah anak!"
Pendekar ini tersenyum. Sang isteri demikian bersemangat ketika bicara dan ia mengangguk-angguk. Kalau sudah begini teringatlah dia kepada mendiang mertuanya dulu, Hu Beng Kui atau Hu-taihiap di mana mertuanya itupun orang yang keras hati dan keras kemauan. Melihat isterinya ini tak ubahnya melihat kakek gagah itu. Darah Hu-taihiap memang mengalir di situ, kental. Watak Hu taihiap kental pula di tubuh isterinya.
Maka ketika dia tersenyum dan mengangguk-angguk, dapat mengerti dan sama sekali tak tersinggung bahwa Bun Tiong seolah dianggap "orang luar", darah dari Hu Beng Kui memang tak mengalir di tubuh anak laki-laki itu maka pendekar ini menarik napas panjang dan akhirnya berkata,
"Baiklah, kalau begitu bagaimana sekarang. Apa yang hendak kau lakukan dan bagaimana dengan keluarga di Sam-liong-to itu."
"Aku.... aku ingin ke sana. Aku ingin menengok."
"Hm, menengok? Dan kau akan menegur langsung menantu kita itu?"
Wanita ini semburat. "Aku tak menegur, suamiku. Tapi aku akan menemui dan bicara dengan Soat Eng."
"Melihat apakah mereka sudah berusaha?" "Ya, di samping melepas kangen. Aku rindu mereka, dan.... dan aku mau minta maaf kepada Soat Eng kalau dulu kata-kataku terlalu keras!"
Pendekar ini tertawa. Dengan lembut ia menyambar isterinya itu dan berseri-seri. Meskipun keras tapi isterinya ini gagah, cukup sportif untuk minta maaf kalau tindakannya keliru. Inilah juga watak jantan Hu-taihiap. Dan ketika ia mengangguk dan mengecup manis maka ia berkata baiklah besok semuanya diatur. "Aku setuju, tapi tentu saja aku ikut. Masa kau pergi sendiri dan aku di sini? Besok kita berdua berangkat, niocu. Dan kita lihat cucu-cucu kita di sana!"
"Hm, sambil mengawasi agar aku terkendali? Aku tak mengamuk atau marah-marah di sana, suamiku. Aku sadar bahwa masalah ini tergantung sepenuhnya kepada Thian Yang Maha Kuasa pula. Ah, kau tak perlu khawatir!"
"kau pandai menebak maksudku. Benar, niocu, di samping melindungi memang aku ingin mengawasimu agar tidak marah-marah kepada Siang Le. Wah, tak perlu sembunyi-sembunyi lagi. Tapi aku juga kangen kepada mereka terutama cucu-cucuku perempuan. Aku rindu Siang Hwa dan Siang Lan karena di sini hanya ada cucu laki-laki!"
Wanita itu tersenyum. la telah membongkar maksud tersembunyi suaminya itu yang ternyata cocok. Tiga puluh tahun berkumpul cukup bagi masing-masing untuk mengenal dan mengetahui isi hati lawan. Ia tertawa. dan ketika suaminya memeluk dan geli tak malu-malu, ia membalas dan mencium leher suaminya itu maka mereka masuk kamar dan malam itu dilewatkan dengan penuh kebahagiaan. Mereka sudah bukan orang-orang muda lagi namun kehangatan dan kemesraan begini tak pernah luntur. Mereka masih saling mencinta dan memberi. ltulah kehidupan suami isteri ini.
Tapi ketika keesokan harinya Thai Liong dan anak isterinya belum kembali, mereka berburu maka wanita ini mengerutkan kening dan Pendekar Rambut Emas mengajaknya bersabar. "Hm, tak mungkin kita pergi begini saja. Pembantu kita boleh diberi tahu tapi tak enak kepada Thai Liong. Biarlah kita bersabar dulu dan tak lari gunung di kejar."
Swat Lian rnengangguk. Sehari itu ia bersabar diri tapi malam tiba putera mereka itupun belum pulang. Thai Liong rupanya berburu terlalu jauh, wanita ini tak sabar. Dan ketika keesokannya mereka menunggu maka yang datang bukan pemuda itu melainkan tiga orang laki-laki yang tubuh mereka seolah menyala bagai obor!
"Hm!" wanita itu terkejut, menoleh dan melihat tiga laki-laki itu sudah berdiri di depan pintu. Seorang di antaranya tinggi besar dan gagah dengan jenggot kemerah-merahan, jubahnya yang merah juga berkibar dan gagah serta berkeson seram, yang satunya lagi tinggi sedang dengan rantai perak melilit leher sementara orang ketiga adalah laki-laki tinggi kurus perlente.
"Siapa kalian, orang-orang busuk. Kenapa memasuki rumah orang tanpa ijin!"
"Hm, apakah kami berhadapan dengan Pendekar Rambut Emas," laki-laki gagah itu, yang berjenggot dan berjubah merah menjawab pertanyaan dengan pertanyaan pula, tak perduli bentakan Kim-hujin dan langsung memandang pendekar berusia lima puluh enam tahun yang duduk bersila itu, tajam, sorot matanya bagai seekor naga. "Kami orang-orang Pulau Api datang bertamu, Kim-taihiap, dan maaf kalau tak memberi tahu!"
Pendekar Rambut Emas bangkit berdiri. Siang itu bersama isterinya ia duduk-duduk di ruang depan menikmati silirnya angin lembut. Mereka menunggu Thai Liong dan siap-siap pergi. Rencana ke Sam-liong-to tetap jalan tapi mereka harus menunggu putera mereka itu dulu. Thai Liong harus diberi tahu dan pemuda itu nanti ganti memimpin bangsa Tar-tar. Kedatangan orang-orang ini memang mengejutkan dan Pendekar Rambut Emas yang semula tak merasa apa-apa mendadak berdesir.
Tubuh yang menyala bagai obor itu jelas penuh tenaga Yang-kang (Panas),. Mereka ahli tenaga Yang dan ini mengejutkan. Tapi karena Kim-mou-eng adalah pendekar kelas atas dan keterkejutannya itu tak diperlihatkan mukanya, dia menyambut dan melangkah maju maka sinar matanya yang mencorong dan berwibawa ganti menghadapi orang-orang ini. Sikap dan kata-katanya ramah namun kuat dan tegas.
"Sam-wi (anda bertiga) agaknya tamu-tamu baru yang memang tidak kami undang. Siapakah sam-wi dan di manakah Pulau Api itu?"
"Kami bertiga adalah ketua dan wakil ketua, Kim-taihiap. Aku sendiri Tan Siok. Dua adikku ini adalah Bu Kok dan See Lam."
"Hm, Tan-pangcu kiranya, ketua Pulau Api sendiri. Bagus, ku ucapkan selamat datang, pangcu. Ada perlu apakah kiranya, silakan duduk!"
"Kami mencari puteramu Beng An. Ia mengacau dan menghina kami di Pulau Api. Suruh ia keluar dan hendak kami bawa pulang!"
"Tamu-tamu apa ini!" Swat Lian membentak dan berkelebat maju, tak sabar seperti suaminya dan tentu saja marah mendengar puteranya dicari. Orang-orang ini seperti raja dan sombong di rumah orang lain. Siapa tidak panas! Dan berdiri dengan tangan bertolak pinggang langsung saja wanita ini menuding. "Kau!" katanya kepada ketua Pulau Api itu. "Datang-datang mencari anak orang dan hendak menangkapnya, Tan-pangcu. Apakah kau kira begitu gampang mengambil anakku Beng An. Ada urusan apa hingga puteraku menghina kalian. Kalau kalian tidak bersalah tak mungkin putera ku mengganggu kalian!"
"Hm!" Bu Kok tertawa mengejek, sekarang wakil nomor satu ini ganti maju, tak tahan melihat sikap nyonya rumah yang petentang-petenteng. "Kalau anakmu - tahu aturan tak mungkin kami datang ke sini, Kim-hujin. Kami datang secara baik-baik untuk membawa anakmu pergi dan jangan sombong menyalahkan orang lain. Justeru kami menuduh kau sebagai orang tuanya tak mampu mendidik, punya anak kurang ajar di rumah orang lain!"
"Keparat!" nyonya itu marah. "Lan-cang mulutmu, orang busuk. Anakku tak mungkin kurang ajar kalau orang lain tak melakukan tindakan jahat. Kalian ini tentu orang-orang busuk hingga anakku tak dapat menahan diri. Minggir !" dan si nyonya yang mendorong dan melepas pukulan tiba-tiba menyuruh lawan mundur tapi wakil Pulau Api ini tentu saja tak mau didorong. Ia sudah berada di situ dan sambutan begini sudah diduga. Kedatangan mereka memang untuk mencari keributan dan tak perlu berbasa-basi lagi.
Percakapan pertama hanya untuk pemanis bibir belaka. Yang jelas mereka ingin , membalas Beng An dengan kekalahan di Lembah Es. Ayah ibunya harus bertanggung jawab. Maka begitu si nyonya mendorong dan ia mengangkat tangannya menolak, Giam-lui-ciang atau Petir Neraka menyambar mengeluarkan sinar merah maka Khi-bal-sin-kang, yang dikerahkan nyonya itu meledak dan memuncratkan bunga api.
"Desss!" Si nyonya terhuyung sementara lawan tergetar dua tindak. Dari adu pukulan ini dapat dilihat bahwa tenaga masing-masing sama hebat. Dua-duanya merasa betapa pukulan mereka bertemu sinkang kuat tapi yang kaget adalah Kim-hujin ini. Khi-bal-sin-kang, pukulannya, tak membuat daya tolak seperti biasanya. Pukulan Bola Sakti itu membentur hawa panas dan hilang kekenyalannya. Pukulan lawan seperti neraka dan panasnya bukan main. Hanya dengan sinkangnya yang sudah mencapai tingkat tinggi ia mampu bertahan, itupun sudah membuat kagum Bu Kok.
Dan ketika laki-laki ini terdorong tapi Kim-hujin juga terhuyung, wanita itu melotot dan siap menyerang lagi maka Pendekar Rambut Emas yang dapat merasa hasil benturan ini cepat-cepat maju melerai. Diam-diam ia juga terkejut bahwa Pukulan Bola Sakti atau isterinya lumer oleh hawa panas luar biasa itu. Dinding ruangan seketika menjadi merah namun padam lagi setelah dua pukulan itu lenyap.
"Maaf, ada urusan dapat diurus. Ada persoalan dapat diselesaikan. Anak kami Beng An tak ada di sini, pangcu. Kalau ingin bertemu kalian sia-sia. Bolehkah kami tahu apa yang dilakukan putera kami hingga kalau ia benar bersalah kami akan menegurnya!"
"Hm, bocah itu tak ada di sini? Bohong! Kau menyembunyikan puteramu, Pendekar Rambut Emas. Kalau begitu kau saja yang ikut kami untuk mempertanggung jawabkan perbuatan anakmu. Kalau ia datang biar ia menyusul!"
See Lam, tokoh nomor tiga tertawa mengejek. Laki-laki tinggi kurus berpakaian perlente ini mendahului suhengnya setelah Bu Kok dan suhengnya maju bicara. la ingin mendapat bagian dan kini maju ke depan. lapun ingin menjajal kepandaian Pendekar Rambut Emas ini. Di sepanjang jalan ternyata mereka mendapat keterangan bahwa Kim-mou-eng suami isteri ini lihai. Mereka orang-orang kang-ouw yang bernama besar, kesaktiannya tinggi. Dan karena tadi ji-suhengnya sudah mencoba dan benar saja Kim-hujin itu mampu menerima Giam-lui-ciang, hanya orang-orang tertentu saja yang dapat menyambut pukulan itu.
Maka tokoh nomor tiga dari Pulau Api ini menjadi penasaran dan ingin mencoba sendiri. Diapun ingin pamer kepandaian dan dilihatnya Pendekar Rambut Emas itu agak lunak. Sikapnya lembut dan penuh sabar, tidak seperti isterinya yang galak dan keras itu. Dan karena pendekar ini belum menunjukkan kepandaiannya dan tentu saja ia ingin tahu, maju dan mengeluarkan kata-kata menyakitkan maka sang nyonya tak tahan dan berseru.
"Mulut busuk, sungguh kurang ajar!" dan belum Pendekar Rambut Emas menjawab lagi Kim-hujin inipun berkelebat dan melakukan tamparan kuat. Kali ini sang nyonya mengeluarkan dua pukulan sekaligus Khi-bal-sin-kang dan Lui-ciang-hoat. Gabungan itu tentu saja lebih hebat dari pada Khi-bal-sin-kang atau Lui-ciang-hoat saja, tokoh nomor tiga ini belum tahu. Maka begitu ia terkejut tapi tertawa mengeluarkan Giam-lui-ciangnya, tadi sang kakak mampu mendorong mundur maka tawa mengejek segera menjadi teriakan kaget ketika tahu-tahu laki-laki perlente ini terpental dan mencelat terlempar.
"Heiii.... bress!" Tokoh nomor tiga dari Pulau Api itu membuang tubuh ke atas. Ia disambar dua pukulan berbeda yang bukan main dahsyatnya, Giam-lui-ciangnya terdesak dan akibatnya ia terlempar. Dan karena ia tak mau pukulan itu menghimpit, ia sudah merasa sesak napas maka laki-laki itu berjungkir balik turun sementara Kim-hujin ganti tertawa mengejek.
"Hm, kiranya sebegitu saja. Maju dan rasakan lagi pukulanku kalau ingin mampus, orang she See. Ayo keluarkan kesombonganmu dan lihat kepandaian Kim-hujin!"
Laki-laki itu berubah. Ia marah sekali dan penasaran. Giam-lui-ciangnya tak kuat karena ia tak menduga bahwa nyonya itu melancarkan dua pukulan sekaligus. Tadi ketika menghadapi ji-suhengnya nyonya itu hanya mengeluarkan satu pukulan, dan iapun dengar bahwa keluarga ini mempunyai ilmu-ilmu andalan, satu di antaranya adalah Khi-bal-sin-kang atau pukulan Bola Karet Sakti.
Dan karena mereka belum berkenalan dan baru kali itu saling jajal, memang benar ia sudah berkenalan dengan Beng An tapi lain ibu lain anak maka ketika nyonya itu mengeluarkan dua pukulan sekaligus sementara ia hanya satu maka laki-laki ini terlempar tapi berkat kepandaiannya ia berhasil membuang sisa pukulan itu dan kini merah padam memandang si nyonya. Dan saat itu suhengnya menarik tangannya sementara di sana Pendekar Rambut Emas juga menarik dan mencengkeram lengan isterinya.
"Mundur, belum waktunya. Nanti kau bakal mendapat bagian, sute. Aku masih ingin bercakap-cakap dulu dengan Pendekar Rambut Emas ini sebelum kita bertindak!"
"Hm, benar," Pendekar Rambut Emas juga mengangguk dan tersenyum tenang lega bahwa dengan gabungan pukulan itu isterinya dapat menahan orang-orang pulau Api.
"Kau dan aku memang masih harus bicara, pangcu. Nah, kukatakan kepadamu bahwa puteraku Beng An tak ada. la sudah lama pergi, belum kembali. Kalau ingin bertemu dengannya silakan tunggu dan kami sebagai orang tuanya tentu akan menegur dan memberi peringatan kalau dia salah. Ceritakanlah apa yang terjadi dan kenapa puteraku sampai bermusuhan dengan kalian. Dan di manakah Pulau Api itu."
Tan-pangcu mengerutkan kening. Kalau disuruh menceritakan sebab-sebab permusuhan tentu saja dia enggan. Waktu itu mereka sedang mengadakan upacara, pimpinan Pulau Api akhirnya tetap seperti susunan sekarang ini dan calon korban dibawa lari Beng An. Mereka memiliki tradisi sendiri dan menceritakan bahwa gadis Lembah Es akan dibunuh tentu bakal disalahkan pendekar ini pula. Tak usah dia bercerita. Maka ketika dia mendengus dan memandang pendekar itu maka kata-katanya pun cukup lantang ketika berseru,
"Pendekar Rambut Emas, apn yang di kata suteku kupikir betul. Kami mau percaya bahwa puteramu tak ada di sini. Tapi karena kami juga tak mau sia-sia pulang dengan tangan kosong, tempat kami amatlah jauh biar kau atau isterimu ini ikut bersama kami. Kami tak akan membuat ribut kalau kau mau. Cukup satu di antara kalian saja ikut kanm. Nanti puteramu biar menyusul dan terserah kau bagaimana menanggapi ini!"
"Hm, tentu saja kami keberatan. Kami belum tahu kesalahan anak kami, pangcu. Tak mungkin menuruti permintaanmu. Baik aku ataupun isteriku tak mungkin suka dibawa kalian ke Pulau Api. Kau sajalah yang menunggu dan bersabar sampai anak kami kembali. Atau kami mempersilakan kalian menunggu di sini dan menjadi tamu-tamu kami yang baik."
"Hm-hm, itu tak mungkin. Kalau kau atau isterimu tak mau ikut tentu kami akan melakukan kekerasan, Pendekar Rambut Emas. Dan maaf jangan katakan kami berbuat kasar!"
"Kita orang-orang kang-ouw sudah saling mengetahui itu. Kalau sam-wi tak dapat memenuhi permintaan ini terserah apa yang hendak kalian lakukan. Kami sebagai tuan rumah hanya ingin mengiringi kehendak tamu."
"Wutt!" ketua Pulau Api tiba-tiba sudah membentak dan melepas serangan, maju dan mencengkeram pundak pendekar itu. "Kalau begitu ancaman kami terpaksa. kami lakukan, Kim-taihiap. Maaf bahwa kau saja yang ikut kami!"
Namun pendekar ini mengelak. Sebagai orang yang sudah matang akan pengalaman dan pengetahuan Pendekar Rambut Emas tak mau sembrono. Dalam bercakap-cakap tadi ia sudah melihat kedua tangan ketua Pulau Api itu dikerotok-kerotokkan. Uap merah menyala cepat dan tangan itu seperti bara. Kesaktian Yang-kang ditunjukkan laki-laki ini sebagai gertak pula. Dan ketika lawan maju membentak dan kedua tangan itu menyambar pundaknya, cepat sekali maka pendekar ini mundur dan dengan mudah tapi tepat ia lolos menghindar.
Tangan itu mengenai angin namun pendekar ini kagum bahwa hawa panas masih menyambar. Ujung bajunya hangus! Dan ketika lawan terbelalak dan mengejar maju, ia berkelit dan tiga kali berturut-turut lolos dari tangkapan laki-laki itu maka ketua Pulau Api membentak dan kini dijulurkanlah kedua tangan untuk menghantam!
"Pendekar Rambut Emas, jangan berkelit saja. Terimalah pukulanku dan coba lah, clap!" Api menyembur dan berkobar dari tangan ketua Pulau Api itu. Agaknya tak sabar melihat lawan berkelit melulu maka naiklah hawa amarah laki-laki tinggi besar itu. Ketua Pulau Api sudah menerjang dan pukulan mautnya ganas menderu.
Giam-lui-ciang, andalannya itu menyambar dan berkobar. Kalau Pendekar Rambut Emas mengelak maka dinding di belakang bakal tersambar. Rumah itu bakal roboh dan runtuh. Dan ketika Pendekar Rambut Emas terkejut dan berseru keras, lawan tak segan-segan lagi mengeluarkan pukulannya maka Lui-ciang-hoat meledak bersama Khi-bal-sin-kang.
"Blarrr!" Hebat pertemuan dua tenaga sakti orang-orang luar biasa ini. Pendekar Rambut Emas, yang sudah mengerahkan sin-kang dan waspada terhadap pukulan lawan dibuat terhuyung. Dia terbelalak sementara ketua Pulau Api juga tergetar dan terguncang di sana, terdorong dua langkah. Dan ketika masing-masing kagum bahwa lawan dapat menahan pukulan, ketua Pulau Api terkejut dan berseru marah maka laki-laki itu berkelebat dan Pendekar Rambut Emas tak dapat lagi tinggal di dalan rumah. Api sudah berkobar dari telapak tangan lawannya itu!
"Tan-pangcu, tak enak bertempur di dalam rumah. Marilah keluar dan tunjukkan kepandaianmu... blar-blarr!" pukulan itu menyusul dan mengejar di belakang Pendekar Rambut Emas. Lidah atau ekor api seperti naga menjilat, cepat menyambar namun pendekar itu mengibas.
Dan ketika Tan-pangcu berkelebat dan maju menerjang lagi maka tubuh ketua Pulau Api ini bergerak naik turun bagai naga beterbangan. Telapak tangannya menyembur-nyembur dan hawa panas membuat Kim-hujin terdorong. Ledakan atau kilatan api menggelegar bagai halilintar. Apa saja yang tersentuh tiba-tiba hangus dan gosong. Dan ketika baju Pendekar Rambut Emas juga terbakar dan berkali-kali pendekar ini harus memadamkan itu maka daun dan pohon-pohon menjadi kering dan terbakar. Asap mengepul dan memenuhi tempat itu. Segala penjuru tiba-tiba sudah dipenuhi api!
"Hebat, ini tenaga Yang-kang yang sudah mencapai kesempurnaan tingkat tinggi. Kau hebat dan luar biasa, Tan-pangcu Tapi akupun akan menandingimu dan biar kita lihat siapa yang menang.... blub-dar!" dan api yang dikebut padam tapi muncul lagi akhirnya membuat Pendekar Rambut Emas bergerak mengadu kecepatan, mengeluarkan ilmunya meringankan tubuh dan dengan Jing-sian-eng atau Bayangan Seribu Dewa dia beradu cepat dengan ketua Pulau Api ini.
Tan Siok atau Tan-pangcu itu penasaran dan laki-laki inipun mempercepat gerakannya. Dia sudah beterbangan dan melepas pukulan bertubi-tubi namun semua pukulan-pukulan-nya dapat dihalau Pendekar Rambut Emas. Sinar atau cahnya putih berkeredep dari lengan pendekar itu, memadamkan pukulan-pukulan apinya dan hawa dingin bertarung melawan hawa panas.
Pendekar Rambut Emas rupanya mengeluarkan Im-kangnya dan tenaga Im ini melawan tenaga Yang. Panas bertemu dingin. Dan ketika sinar merah bertemu sinar putih, selalu terdengar suara "ces" atau 'blub", api padam namun berkobar lagi maka dua jago ini bertanding hebat dan Pendekar Rambut Emas terbelalak karena berkali-kali ia terdorong mundur!
Khi-bal-sin-kang, yang sudah dikeluarkan tak berapa manjur. Hawa panas itu membuat pukulan Bola Karet meleleh, hilang kekenyalannya dan akibatnya lawanpun tak terpental. Biasanya, dengan ilmu ini berapapun lawan kuat memukul maka sekuat itu pula Khi-bal-sin-kang mendorong.
Khi-bal-sin-kang, yang sudah dikeluarkan tak berapa manjur. Hawa panas itu membuat pukulan Bola Karet meleleh, hilang kekenyalannya dan akibatnya lawanpun tak terpental. Biasanya, dengan ilmu ini berapapun lawan kuat memukul maka sekuat itu pula Khi-bal-sin-kang mendorong.
Tapi karena kali ini yang dihadapi adalah pukulan Petir Neraka dan ilmu ini adalah warisan kakek dahsyat Han Sun Kwi maka Pendekar Rambut Emas belalakkan mata karena berkali-kali ia merasa tenaga yang amat kuat dan panas menggempur dirinya. Hanya berkat kematangan dan sinkangnya yang kuat ia berhasil melindungi diri. Kalau tidak tentu ia merasa gugup dan perasaan ini bakal membahayakan.
Bertanding dengan orang yang sudah tinggi kepandaiannya adalah pantang grogy. Rasa gugup atau takut hanya akan membawa petaka bagi diri sendiri. Maka ketika ia berkelit dan mengelak serta membalas, lawan menambah kecepatan hingga terpaksa ia membentak dan mengeluarkan ilmu meringankan tubuhnya yang lain, Cui-sian Gin-kang maka pendekar ini sudah lenyap bayangannya dan tiga empat kali ketua Pulau Api mengeluarkan teriakan keras karena tak mampu bertanding sama cepat!
Namun Tan-pangcu atau ketua Pulau Api ini benar-benar hebat. Ia melihat betapa Pendekar Rambut Emas mulai memburu napasnya. Dalam usianya yang kian tua ternyata napas pendekar ini tak seperti dulu di waktu muda. Bergerak dan menggabungkan dua ilmunya meringankan tubuh membuat Pendekar Rambut Emas cepat dikuras tenaga.
Bertanding dengan orang yang sudah tinggi kepandaiannya adalah pantang grogy. Rasa gugup atau takut hanya akan membawa petaka bagi diri sendiri. Maka ketika ia berkelit dan mengelak serta membalas, lawan menambah kecepatan hingga terpaksa ia membentak dan mengeluarkan ilmu meringankan tubuhnya yang lain, Cui-sian Gin-kang maka pendekar ini sudah lenyap bayangannya dan tiga empat kali ketua Pulau Api mengeluarkan teriakan keras karena tak mampu bertanding sama cepat!
Namun Tan-pangcu atau ketua Pulau Api ini benar-benar hebat. Ia melihat betapa Pendekar Rambut Emas mulai memburu napasnya. Dalam usianya yang kian tua ternyata napas pendekar ini tak seperti dulu di waktu muda. Bergerak dan menggabungkan dua ilmunya meringankan tubuh membuat Pendekar Rambut Emas cepat dikuras tenaga.
Apalagi akhir-akhir ini iapun sering sakit-sakitan, masuk angin dan sering merasa cepat lelah. Maklum, mulai memasuki usia senja. Maka ketika lawan melihat kelemahannya itu dan Tan-pangcu yang cerdik dan tajam pandangan ini tak mau menyia-nyiakan maka ketua Pulau Api itu bertempur sambil mengulur waktu!
Ia berkelebatan mengimbangi pendekar itu dan pukulannya yang bertubi-tubi memaksa Pendekar Rambut Emas beradu tenaga. Mereka sama terpental tapi kian lama kian tampak bahwa Pendekar Rambut Emas terdorong lebih jauh. Hal ini karena kurangnya tenaga pendekar itu. Kim-mou-eng mengeluh dan tentu saja jalannya pertandingan inipun dilihat sang isteri.
Kim-hujin, nyonya Swat Lian, cemas dan gelisah. Dalam adu pukulan bersama ji-pangcu atau wakil pimpinan ia dapat merasakan betapa orang-orang Pulau Api ini kuat-kuat dan hebat. Sinkang dan pukulan panas mereka itu luar biasa sekali. Dan karena sang ketua tentu lebih hebat lagi, sayang suaminya cepat berkurang tenaga maka nyonya ini membentak keras ketika tiba-tiba suaminya terpelanting.
"Heiii..!" Kim-hujin itu tak dapat menahan diri lagi. la begitu tergesa dan cemas melihat suaminya bergulingan terlempar, melihat ketua Pulau Api itu mengejar dan satu pukulan lagi menyambar suaminya itu. Maka ketika ia berkelebat dan menangkis pukulan itu, dua yang lain di sana berteriak dan marah maka Tan-pang cu yang juga terkejut tapi meneruskan serangannya itu beradu keras dengan tangkisan nyonya ini.
"Desss!" Sang nyonya terjerigkang dan bergulingan. Ternyata menghadapi ketua Pulau Api ini perhitungannya di atas kertas benar. Ketua itu masih setingkat lebih lihai dibanding dua adiknya. Giam-lui-ciang yang dimiliki sudah mencapai tingkat delapan sementara Bu Kok dan See Lam tingkat tujuh. Tak aneh kalau nyonya ini terjengkang dan mengeluh, apalagi tangkisannya tadi dilakukan dalarn keadaan tergesa-gesa, tak tahan melihat suami terbanting dan bergulingan. Dan ketika nyonya itu mengeluh terhuyung bangun, ujung bajunya hangus maka Bu Kok dan sutenya berkelebat ke depan.
"Curang, main keroyok. Perbuatan macam apa itu! Heii, kau boleh berhadapan dengan kami, biarkan suamimu berhadapan dengan suheng kami dan kau dengan aku!"
See Lam, si kurus perlente yang penasaran akan kalahnya tadi berseru dan memaki. la sudah bergerak mendahului suhengnya dan Bu Kok tertegun. Tanpa banyak bicara lagi sutenya itu menerjang nyonya ini. Dan ketika si nyonya menangkis dan berseru marah maka Khi-bal-sin-kang dan Lui-ciang-hoat itu digabung namun kali ini tokoh nomor tiga dari Pulau Api itu siap.
"Dess!" Dua-duanya terpental. Si nyonya terbelalak karena lawan tidak mencelat dan terlempar seperti tadi. Laki-laki ini tertawa mengejek dan maju lagi menyerang. Dan ketika ia membentak dan berseru keras maka Kim-hujin ini bertanding dan tidak menonton lagi.
"Plak-dess!" Kembali dua pukulan lagi bertemu dan nyonya itu melotot. Lawan terhuyung sementara ia tergetar setindak, maju dan diserang lagi dan selanjutnya dua orang ini bertanding seru. Si kurus perlente itu tak mau nyonya ini membantu suaminya. Pendekar Rambut Emas sudah di bawah angin. Dan ketika nyonya itu menjadi marah bukan main sementara Pendekar Rambut Emas berkerut kening, ia meloncat bangun dan melihat pertempuran itu maka ketua Pulau Api tak mau memberinya kesempatan dan menyerang lagi.
Akibatnya ia harus menerima dan pendekar ini batuk-batuk. Tenaganya dirasa kurang sekali dan ia mengeluh. Sehebat-hebatnya dan Lui-ciang-hoat kalau tak diisi tenaga yang cukup tentu percuma juga, apalagi lawan adalah tokoh Pulau Api. Maka ketika ia menangkis dan terpental lagi, lawan tertawa dan menyerang lagi maka di sana isterinya mencabut pedang dan dengan Ilmu Pedang Maut isterinya itu berkelebatan dan menyambar-nyambar bagai elang betina haus darah, tangan kiri bergerak dan maju silih berganti dengan pukulan-pukulan Khi-bal-sin-kang dan Lui-ciang-hoat.
Pendekar Rambut Emas menarik napas dalam-dalam. Maklumlah ia sekarang bahwa setelah lama tidak bertemu lawan tangguh hari ini ia dipaksa kerja keras. Sudah bertahun-tahun ini ia tidak berlatih serius. Tak disangka bahwa ada orang di luar daratan memiliki kepandaian demikian tinggi. Pukulan panas yang dimiliki lawan amat berbahaya dan berkali-kali ia mengelak dan menyelamatkan diri.
Dan ketika ia didesak sementara sang isteri melengking-lengking di sana, ilmu pedang Hu Beng Kui dipergunakan maka apa boleh buat iapun mencabut senjatanya dan pit hitam sudah di tangan kiri, tangan kanan menyambut dan menangkis dengan pukulan-pukulan sinkang.
"Pangcu, kau hebat. Aku sudah tua. Tenagaku banyak berkurang dan maaf bahwa aku mengeluarkan senjata!"
"Ha-ha, boleh saja. Tak kunyana bahwa nama besarmu begini saja, Pendekar Rambut Emas. Kau tak patut bernama besar kalau menghadapi orang-orang Pulau Api kau kalah!"
"Tak usah sombong. Kaupun agaknya. hanya mengandalkan ilmu-ilmu yang itu saja pangcu. Kau tak memiliki variasi ilmu lain dan bisanya hanya pukulan-pukulan."
"Ha-ha, siapa bilang? Giam-lui-ciang-ku memang ilmu andalan, Pendekar Rambut Emas. Tapi kumi orang-orang Pulau Api memiliki pula ilmu-ilmu lain. Lihatlah.... crit!" dan tusukan jari api yang tiba-tiba mencuat dan menyambar dahi Pendekar Rambut Emas membuat pendekar itu terkejut dan mengelak, disusul kemudian dengsn Pek-hong-koan-jit dan Pai-hai-jiu.
Ini adalah pukulan-pukulan Tung-hai Siu-li di mana kemudian dicuri dua bersaudara Bu Sit dan Yogiwara. Mereka menurunkan ilmu itu kepada murid-murid sebelum mendapatkan ilmu puncak Petir Neraka. Dan ketika tiba-tibu ketua Pulau Api juga mengeluarkan langkah-langkah saktinya Jit-cap-ji-poh-kun (Tujuh Puluh Dua Langkah Sakti) yang dulu dimiliki mendiamg Hwe-sin maka Kim-mou-eng atau Pendekar Rambut E-mas terbelalak.
"Hebat, kau ternyata pantas menjadi ketua, pangcu. Ilmu-ilmumu beragam dan semuanya bermutu tinggi!" Pendekar Rambut Emas memuji, mengelak dan membalas sana-sini dan lawan tertawa bergelak. Setelah Tan-pangcu itu mengeluarkan ilmu-ilmunya yang lain maka lawan harus mengakui bahwa kepandaiannya tidak itu-itu saja. Ketua Pulau Api ini memang orang pandai. Dan ketika Pendekar Rambut Emas bergerak dan mengimbangi lawan maka dia harus kagum akan Tujuh Puluh Dua Langkah Sakti yang dimiliki ketua Pulau Api ini.
Sekarang ketua itu dapat berkelit dan mengelak dari pukulan-pukulan Khi-bal-sin-kangnya, juga Lui-ciang-hoat. Ketua ini tidak harus menyambut karena ingin memamerkan kepandaiannya itu. Dan karena ini adalah milik Hwe-sin dan di jamannya itu Malaikat Api itu sudah amat terkenal maka ketika semua ilmu itu dipamerkan kepada lawan maka See Lam, tokoh nomor tiga dari Pulau Api juga mengeluarkan ilmu-ilmunya, tertawa nyaring.
Si kurus perlente itu membuka mata Kim-hujin bahwa ia terlampau cepat gembira. Ia tadi terlempar karena semata menganggap enteng, tidak seperti sekarang di mana ia kemudian bertempur sungguh-sungguh. Khi-bal-sin-kang, dan Lui-ciang-hoat, yang menyambar dan melesat dari tangan kiri nyonya itu dapat dengan mudah dielak. Begitu pula pek ciang yang menyambar dan mendesing-desing itu.
Dengan Tujuh Puluh Dua Langkah Sakti orang nomor tiga dari Pulau Api ini dapat meladeni lawan dengan baik. Kim-hujin melotot. Dan ketika semua pukulan atau serangan pedangnya luput menghadapi langkah-langkah aneh dari Jit-cap-ji-poh-kun itu maka lawan tertawa bergelak dan melepas Giam-lui-ciangnya.
"Ha-ha, ini bagianmu, hujin. Coba terima dan tangkis ... blarr!" pukulan meledak dan disambar pedang. Kim-hujin tergetar tapi lawan sudah bergerak licik ke belakang, maju dengan langkah saktinya yang luar biasa itu. Dan ketika tahu-tahu ia sudah di belakang dan menghantam punggung nyonya itu, Swat Lian melengking dan membalik maka tangan kirinya menyambut dan hantaman keras sama keras itu bertemu.
Dess!" Si perlente masih kalah. Tokoh nomor tiga dari Pulau Api ini masih terdorong dua tindak, sang nyonya setindak. Dari sini dapat dilihat bahwa dalam hal sinkang Kim-hujin itu lebih kuat. Tapi ketika laki-laki itu tertawa dan menyerang lagi, ilmunya yang beraneka ragam dikeluarkan maka Swat Lian memekik dan menyambut lagi dengan penuh gusar. Nyonya ini melihat betapa lawan cukup tungguh, biarpun terdorong namun masih dapat bergerak dan menyerang lagi. Langkah saktinya itulah yang menolong. Langkah atau gerak kaki itu memang luar biasa.
Dan karena Han Sun Kwi hanya menurunkan Giam-lui-ciang sementara ilmu-ilmu yang lain didapat dari Hwe-sin atau Tung-hai Sian-li, orang-orang Pulau Api ini memperdalam dan meningkatkan kepandaian itu maka biarpun Khi-bal-sin-kang dan Lui-ciang-hoat boleh hebat tapi menghadapi orang-orang selihai tokoh Pulau Api ini Kim-hujin kewalahan juga. Nyonya ini menjadi beringas dan ia menerjang bagai setan kalap. Lawan tertawa-tawa dan maju mundur, menungkis dan membalas sementara Pendekar Rambut Emas di sana juga kewalahan. Pendekar ini menyesalkan tenaganya yang sudah berkurang banyak.
Tan-pangcu itu empat puluh enam tahun sementara dia sepuluh tahun lebih tua. Umur yang berbeda banyuk cukup menonjol pula. Ketua Pulau Api itu masih kuat sementara ia semakin lemah. Inilah resikonya dimakan umur. Dan ketika pit juga mulai terpental sementara lawan berkelebatan dengan Ilmunya yang bermacam-macam, untuk serangan balasan selalu ketua Pulau Api itu mempergunakan Giam-lui-ciang yang berbahaya maka dua ratus jurus kemudian Pendekar Rambut Emas. terdesak. Napasnya memburu dan hujan keringat membasahi tubuh.
Sampai saat itupun ia tak banyak berdaya mengeluarkan dua ilmu andalan, Khi-bal-sin-kung dan Lui-ciang-hoat. Dan karena menggabung dua ilmu meringankan tubuh terasa amat menguras tenaga, Jing-sian-eng dan Gin-lui ciang akhirnya dipergunakan silih berganti maka Tan-pangcu yang diam-diam kagum tapi juga penuh semangat dan penasaran meledakkan kedua tangannya mengeluarkan Ngo-thian-hoet-sutnya (Sihir Lima Langit).
"Kim-mou-eng, kau tak dapat bertahan lagi. Tenagamu habis. Lihat lime ekor naga ini menyerangmu dari lima penjuru dan cepat tengkurap.... dar!"
Lima ekor naga benar-benar muncul dan keluar dari telapak tangan ketua Pulau Api itu. Ilmu ini, sebagaimana diketahui adalah milik mendiang kakek Thian-tok (India) Dhiran Singh, guru dari Bu Sit dan Yogiwara. Kakek sakti itu pandai sihir dan kesaktiannyapun tinggi. la begitu tergila-gila sebelum ajal di tangan Dewi Laut Timur. Dan karena dua muridnya itu menurunkan ilmu-ilmu ini kepada para ahli waris, akhirnya jatuh dan dipelajari orang orang Pulau Api maka hanya para tokoh yang mampu memiliki. Kini ilmu itu dikeluarkan dalam rasa gemas dan marahnya ketua Pulau Api ini.
Tan-pangcu kagum tapi juga penasaran akan kehebatan Pendekar Rambut Emas itu. Seharusnya pendekar ini sudah roboh namun kegagahan dan jiwa pantang menyerahnya luar biasa sekali, laki-laki itu gemas. Maka ketika ia membentak dan mengeluarkan Ngo-thian-hoat-sutnya, Pendekar Rambut Emas terkejut karena lawan memiliki pula ilmu sihir maka dia yang sudah berkurang tenaganya itu mendadak terpengaruh dan melihat lima ekor naga dari lima penjuru menyergapnya. Sedetik pendekar ini terkejut dan memutar pit hitamnya. Tapi begitu lima naga terpental dan berkaok nyaring, deru angin merah menyambar dari depan maka Giam-lui-ciang menghantam dan pendekar itu kaget menyambut gugup.
"Desss..!" Dia terlempar dan terguling-guling. Lawan tertawa bergelak dan mengeluarkan lagi bentakan sihirnya itu, lima ekor naga kembali datang dan menyergap. Tapi ketika Pendekar Rambut Emas membentak dan meledakkan kedua tangan, dalam saat seperti itu tak ada jalan lain mengeluarkan Pek-sian-sutnya maka pendekar ini menghilang dan secepat kilat tubuhnya sudah menjadi seberkas cahaya putih.
"Blarrr!" Ledakan itu bersamaan dengan ledakan Pek-sian-sut. Giam-lui-ciang menyambar angin kosong tapi pohon di belakang pendekar itu roboh. Daun dan batangnya seketika kering, hangus. Dan ketika sekejap kemudian pohon itu terbakar dan nyala api membubung tinggi maka naga ciptaan yang lenyap terganti lima jenggot rambut yang runtuh ke tanah.
Tan-pangcu terkejut dan mernbelalakkan mata. Rasa girangnya sirna. Lawan lenyap mengeluarkan kekuatan sihir juga. Dia tersentak. Dan ketika dia bengong dan mencari-cari maka sutenya, See Lam, menjerit dan terbanting roboh. Pendekar Rambut Emas sudah di sana dan membantu isterinya.
"Aduh...!" Tan-pangcu berkelebat ke depan. la mencabut tongkat dan menerjang, membentak dan mengeluarkan sihirnya lagi tapi Pendekar Rambut Emas lenyap. Lagi-lagi pendekar itu mengeluarkan Pek-sian-sutnya. Dan ketika seberkas cahaya putih melesat dan lenyap, Kim-hujin itu juga terbawa cahaya ini maka sadarlah tokoh Pulau Api itu bahwa Pendekar Rambut Emas sesungguhnya orang luar biasa. Tadi pendekar itu masih menyimpan ilmunya dan baru sekarang dipakai. Dia terlalu memandang rendah dan cepat gembira kalau menyangka pendekar itu dapat dirobohkan.
Maka ketika adik-adiknya juga terkejut tapi dia melihat cahaya putih itu, membentak dan mengejar maka See Lam, tokoh nomor tiga Pulau Api itu juga marah dan melihat ini, menyerang dan mencabut ikat pinggangnya sementara Bu Kok, sang ji-suheng, terkejut dan melepas rantai perak. Rantai itu diledakkan dan menyambarlah kekuatan dahsyat menghantam cahaya putih. Dari kiri menyambar pula tongkat Tan-pangcu yang menderu bagai angin topan, disusul lecutan sabuk di tangan si kurus perlente.
Dan karena cahaya putih itu disambar tiga kekuatan dari kiri kanan, Pendekar Rambut Emas terkejut maka Pek-sian-sut buyar dan muncullah lagi tubuhnya di situ. Sang isteri meronta dan menjerit pula.
"Lepaskan aku!"
Sang pendekar melempar dan melepaskan isterinya. Dengan Pek-sian-sut ia dapat berlindung tapi tiga tokoh-tokoh Pulau Api ini ternyata orang-orang hebat. Mereka mampu membentak dan membuyarkan ilmu sihirnya itu. Dan karena sang ketua juga memiliki sihir dan tahu cara memunahkan sihir maka Pendekar Rambut Emas mengeluh ketika tiga serangan menghantamnya dari depan dan kiri kanan.
"Des-des-dess!"
Sang pendekar terguncang dan terpelanting roboh. Akhirnya tiga orang itu maju berbareng setelah tadi ia menolong isterinya. Ketua dan wakilnya menjadi marah karena ia menyerang sute mereka. Dan ketika mereka maju kebali dan tongkat di tangan ketua Pulau Api menyambar disertai ledakan, api melesat dan menghantam tubuhnya maka dua yang lain juga melancarkan Giam-lui-cian maka pendekar itu jatuh bangun.
"Curang, jangan mengeroyok!" Swat Lian tak dapat menahan diri dan melengking marah. Nyonya itu gusar karena suaminya terhuyung-huyung. Hanya berkat sinkangnya yang kuat saja suaminya itu dapat menahan pukulan. Selebihnya, tergetar dan jatuh terduduk. Dan karena tentu saja ia tak mau melihat ini dan menerjang dengan pedangnya maka nyonya itu menyambar tapi Bu Kok, wakil kesatu menangkis dan menggeram padanya.
"Kau tak perlu maju. Hadapi aku dan kita bertanding dess!"
Nyonya itu mencelat dan berjungkir balik. Pedang ditangkis terpental dan Bu Kok yang sudah melepas rantai peraknya itu mementalkan pedang. Tangan kiri menangkis pukulan dan Kim-hujin kaget karena lawan lebih kuat dari pada yang tadi. Hal ini tak aneh karena kepandaian pria ini memang lebih tinggi dibanding sutenya. Dan ketika Bu Kok menyambar dan berkelebat ke depan, langkah saktinya juga bekerja dan tahu-tahu di dekat sang nyonya maka pukulannya menderu sementara rantai perak menusuk lurus ke dada sang nyonya, bagai tombak!
"Cring-brett!"
Swat Lian memekik dan kancing bajunya lepas. Ia hampir terlambat berkelit karena begitu cepatnya lawan datang. Langkah sakti itulah yang hebat. Dan ketika ia meloncat bangun dan membentak membalas lawan, melengking-lengking maka keduanya sudah bertanding seru sementara Pendekar Rambut Emas di sana dikeroyok dua.
Pendekar ini bersinar-sinar. Ia marah dan mulai naik darah. Orang-orang Pulau Api ini tak pantang lagi melakukan keroyokan, padahal tadi mereka seakan tak suka keroyokan. Maka sadar bahwa mereka bukan orang baik-baik, mulai dapat mempertimbangkan bahwa puteranya dipihak benar iapun hergerak dan menangkis serta membalas dengan pukulan-pukulan jarak jauh. Pek-sian-sut dikeluarkan tapi ikat pinggang dan tongkat di tangan ketua membuyarkan lagi.
Ketua Pulau Api itu juga berkemak-kemik. Dan ketika ia mulai marah bahwa lawan terlampau mendesak, bangkitlah semangat pendekar ini untuk menghadapi lawan secara sungguh-sungguh maka tampangnya tiba-tiba berubah ketika napasnya tidak memburu dan wajah itupun tidak pucat lagi. Pendekar ini mendadak seperti remaja segar bugar.
"Tan-pangcu, kau dan sutemu orang-orang tak tahu diri. Kalian tak malu melakukan keroyokan. Baiklah, kita bertanding sampai ada yang roboh dan kau atau aku menggeletak di tanah dar-dar!" pit hitam tiba-tiba terlepas dan menyambar-nyambar. Bagai benda hidup atau bernyawa saja pit itu menyerang dua tokoh Pulau Api. Hal ini dapat dilakukan karena pendekar itu mengerahkan kekuatan batin, berseru dan melepas pit itu dengan iringan bentakannya.
Dan karena bentakan itu mengandung tenaga kuat dan tenaga inilah yang mendorong pit itu, melesat dan menyambar sana-sini maka Tan-pangcu dan sutenya terkejut dan rnembelalakkan mata, menangkis tapi pit itu membalik untuk menyerang lagi. Inilah kepandaian yang jarang dikeluarkan Pendekar Rambut Emas kalau tidak terpaksa.
Ia berkelebatan mengimbangi pendekar itu dan pukulannya yang bertubi-tubi memaksa Pendekar Rambut Emas beradu tenaga. Mereka sama terpental tapi kian lama kian tampak bahwa Pendekar Rambut Emas terdorong lebih jauh. Hal ini karena kurangnya tenaga pendekar itu. Kim-mou-eng mengeluh dan tentu saja jalannya pertandingan inipun dilihat sang isteri.
Kim-hujin, nyonya Swat Lian, cemas dan gelisah. Dalam adu pukulan bersama ji-pangcu atau wakil pimpinan ia dapat merasakan betapa orang-orang Pulau Api ini kuat-kuat dan hebat. Sinkang dan pukulan panas mereka itu luar biasa sekali. Dan karena sang ketua tentu lebih hebat lagi, sayang suaminya cepat berkurang tenaga maka nyonya ini membentak keras ketika tiba-tiba suaminya terpelanting.
"Heiii..!" Kim-hujin itu tak dapat menahan diri lagi. la begitu tergesa dan cemas melihat suaminya bergulingan terlempar, melihat ketua Pulau Api itu mengejar dan satu pukulan lagi menyambar suaminya itu. Maka ketika ia berkelebat dan menangkis pukulan itu, dua yang lain di sana berteriak dan marah maka Tan-pang cu yang juga terkejut tapi meneruskan serangannya itu beradu keras dengan tangkisan nyonya ini.
"Desss!" Sang nyonya terjerigkang dan bergulingan. Ternyata menghadapi ketua Pulau Api ini perhitungannya di atas kertas benar. Ketua itu masih setingkat lebih lihai dibanding dua adiknya. Giam-lui-ciang yang dimiliki sudah mencapai tingkat delapan sementara Bu Kok dan See Lam tingkat tujuh. Tak aneh kalau nyonya ini terjengkang dan mengeluh, apalagi tangkisannya tadi dilakukan dalarn keadaan tergesa-gesa, tak tahan melihat suami terbanting dan bergulingan. Dan ketika nyonya itu mengeluh terhuyung bangun, ujung bajunya hangus maka Bu Kok dan sutenya berkelebat ke depan.
"Curang, main keroyok. Perbuatan macam apa itu! Heii, kau boleh berhadapan dengan kami, biarkan suamimu berhadapan dengan suheng kami dan kau dengan aku!"
See Lam, si kurus perlente yang penasaran akan kalahnya tadi berseru dan memaki. la sudah bergerak mendahului suhengnya dan Bu Kok tertegun. Tanpa banyak bicara lagi sutenya itu menerjang nyonya ini. Dan ketika si nyonya menangkis dan berseru marah maka Khi-bal-sin-kang dan Lui-ciang-hoat itu digabung namun kali ini tokoh nomor tiga dari Pulau Api itu siap.
"Dess!" Dua-duanya terpental. Si nyonya terbelalak karena lawan tidak mencelat dan terlempar seperti tadi. Laki-laki ini tertawa mengejek dan maju lagi menyerang. Dan ketika ia membentak dan berseru keras maka Kim-hujin ini bertanding dan tidak menonton lagi.
"Plak-dess!" Kembali dua pukulan lagi bertemu dan nyonya itu melotot. Lawan terhuyung sementara ia tergetar setindak, maju dan diserang lagi dan selanjutnya dua orang ini bertanding seru. Si kurus perlente itu tak mau nyonya ini membantu suaminya. Pendekar Rambut Emas sudah di bawah angin. Dan ketika nyonya itu menjadi marah bukan main sementara Pendekar Rambut Emas berkerut kening, ia meloncat bangun dan melihat pertempuran itu maka ketua Pulau Api tak mau memberinya kesempatan dan menyerang lagi.
Akibatnya ia harus menerima dan pendekar ini batuk-batuk. Tenaganya dirasa kurang sekali dan ia mengeluh. Sehebat-hebatnya dan Lui-ciang-hoat kalau tak diisi tenaga yang cukup tentu percuma juga, apalagi lawan adalah tokoh Pulau Api. Maka ketika ia menangkis dan terpental lagi, lawan tertawa dan menyerang lagi maka di sana isterinya mencabut pedang dan dengan Ilmu Pedang Maut isterinya itu berkelebatan dan menyambar-nyambar bagai elang betina haus darah, tangan kiri bergerak dan maju silih berganti dengan pukulan-pukulan Khi-bal-sin-kang dan Lui-ciang-hoat.
Pendekar Rambut Emas menarik napas dalam-dalam. Maklumlah ia sekarang bahwa setelah lama tidak bertemu lawan tangguh hari ini ia dipaksa kerja keras. Sudah bertahun-tahun ini ia tidak berlatih serius. Tak disangka bahwa ada orang di luar daratan memiliki kepandaian demikian tinggi. Pukulan panas yang dimiliki lawan amat berbahaya dan berkali-kali ia mengelak dan menyelamatkan diri.
Dan ketika ia didesak sementara sang isteri melengking-lengking di sana, ilmu pedang Hu Beng Kui dipergunakan maka apa boleh buat iapun mencabut senjatanya dan pit hitam sudah di tangan kiri, tangan kanan menyambut dan menangkis dengan pukulan-pukulan sinkang.
"Pangcu, kau hebat. Aku sudah tua. Tenagaku banyak berkurang dan maaf bahwa aku mengeluarkan senjata!"
"Ha-ha, boleh saja. Tak kunyana bahwa nama besarmu begini saja, Pendekar Rambut Emas. Kau tak patut bernama besar kalau menghadapi orang-orang Pulau Api kau kalah!"
"Tak usah sombong. Kaupun agaknya. hanya mengandalkan ilmu-ilmu yang itu saja pangcu. Kau tak memiliki variasi ilmu lain dan bisanya hanya pukulan-pukulan."
"Ha-ha, siapa bilang? Giam-lui-ciang-ku memang ilmu andalan, Pendekar Rambut Emas. Tapi kumi orang-orang Pulau Api memiliki pula ilmu-ilmu lain. Lihatlah.... crit!" dan tusukan jari api yang tiba-tiba mencuat dan menyambar dahi Pendekar Rambut Emas membuat pendekar itu terkejut dan mengelak, disusul kemudian dengsn Pek-hong-koan-jit dan Pai-hai-jiu.
Ini adalah pukulan-pukulan Tung-hai Siu-li di mana kemudian dicuri dua bersaudara Bu Sit dan Yogiwara. Mereka menurunkan ilmu itu kepada murid-murid sebelum mendapatkan ilmu puncak Petir Neraka. Dan ketika tiba-tibu ketua Pulau Api juga mengeluarkan langkah-langkah saktinya Jit-cap-ji-poh-kun (Tujuh Puluh Dua Langkah Sakti) yang dulu dimiliki mendiamg Hwe-sin maka Kim-mou-eng atau Pendekar Rambut E-mas terbelalak.
"Hebat, kau ternyata pantas menjadi ketua, pangcu. Ilmu-ilmumu beragam dan semuanya bermutu tinggi!" Pendekar Rambut Emas memuji, mengelak dan membalas sana-sini dan lawan tertawa bergelak. Setelah Tan-pangcu itu mengeluarkan ilmu-ilmunya yang lain maka lawan harus mengakui bahwa kepandaiannya tidak itu-itu saja. Ketua Pulau Api ini memang orang pandai. Dan ketika Pendekar Rambut Emas bergerak dan mengimbangi lawan maka dia harus kagum akan Tujuh Puluh Dua Langkah Sakti yang dimiliki ketua Pulau Api ini.
Sekarang ketua itu dapat berkelit dan mengelak dari pukulan-pukulan Khi-bal-sin-kangnya, juga Lui-ciang-hoat. Ketua ini tidak harus menyambut karena ingin memamerkan kepandaiannya itu. Dan karena ini adalah milik Hwe-sin dan di jamannya itu Malaikat Api itu sudah amat terkenal maka ketika semua ilmu itu dipamerkan kepada lawan maka See Lam, tokoh nomor tiga dari Pulau Api juga mengeluarkan ilmu-ilmunya, tertawa nyaring.
Si kurus perlente itu membuka mata Kim-hujin bahwa ia terlampau cepat gembira. Ia tadi terlempar karena semata menganggap enteng, tidak seperti sekarang di mana ia kemudian bertempur sungguh-sungguh. Khi-bal-sin-kang, dan Lui-ciang-hoat, yang menyambar dan melesat dari tangan kiri nyonya itu dapat dengan mudah dielak. Begitu pula pek ciang yang menyambar dan mendesing-desing itu.
Dengan Tujuh Puluh Dua Langkah Sakti orang nomor tiga dari Pulau Api ini dapat meladeni lawan dengan baik. Kim-hujin melotot. Dan ketika semua pukulan atau serangan pedangnya luput menghadapi langkah-langkah aneh dari Jit-cap-ji-poh-kun itu maka lawan tertawa bergelak dan melepas Giam-lui-ciangnya.
"Ha-ha, ini bagianmu, hujin. Coba terima dan tangkis ... blarr!" pukulan meledak dan disambar pedang. Kim-hujin tergetar tapi lawan sudah bergerak licik ke belakang, maju dengan langkah saktinya yang luar biasa itu. Dan ketika tahu-tahu ia sudah di belakang dan menghantam punggung nyonya itu, Swat Lian melengking dan membalik maka tangan kirinya menyambut dan hantaman keras sama keras itu bertemu.
Dess!" Si perlente masih kalah. Tokoh nomor tiga dari Pulau Api ini masih terdorong dua tindak, sang nyonya setindak. Dari sini dapat dilihat bahwa dalam hal sinkang Kim-hujin itu lebih kuat. Tapi ketika laki-laki itu tertawa dan menyerang lagi, ilmunya yang beraneka ragam dikeluarkan maka Swat Lian memekik dan menyambut lagi dengan penuh gusar. Nyonya ini melihat betapa lawan cukup tungguh, biarpun terdorong namun masih dapat bergerak dan menyerang lagi. Langkah saktinya itulah yang menolong. Langkah atau gerak kaki itu memang luar biasa.
Dan karena Han Sun Kwi hanya menurunkan Giam-lui-ciang sementara ilmu-ilmu yang lain didapat dari Hwe-sin atau Tung-hai Sian-li, orang-orang Pulau Api ini memperdalam dan meningkatkan kepandaian itu maka biarpun Khi-bal-sin-kang dan Lui-ciang-hoat boleh hebat tapi menghadapi orang-orang selihai tokoh Pulau Api ini Kim-hujin kewalahan juga. Nyonya ini menjadi beringas dan ia menerjang bagai setan kalap. Lawan tertawa-tawa dan maju mundur, menungkis dan membalas sementara Pendekar Rambut Emas di sana juga kewalahan. Pendekar ini menyesalkan tenaganya yang sudah berkurang banyak.
Tan-pangcu itu empat puluh enam tahun sementara dia sepuluh tahun lebih tua. Umur yang berbeda banyuk cukup menonjol pula. Ketua Pulau Api itu masih kuat sementara ia semakin lemah. Inilah resikonya dimakan umur. Dan ketika pit juga mulai terpental sementara lawan berkelebatan dengan Ilmunya yang bermacam-macam, untuk serangan balasan selalu ketua Pulau Api itu mempergunakan Giam-lui-ciang yang berbahaya maka dua ratus jurus kemudian Pendekar Rambut Emas. terdesak. Napasnya memburu dan hujan keringat membasahi tubuh.
Sampai saat itupun ia tak banyak berdaya mengeluarkan dua ilmu andalan, Khi-bal-sin-kung dan Lui-ciang-hoat. Dan karena menggabung dua ilmu meringankan tubuh terasa amat menguras tenaga, Jing-sian-eng dan Gin-lui ciang akhirnya dipergunakan silih berganti maka Tan-pangcu yang diam-diam kagum tapi juga penuh semangat dan penasaran meledakkan kedua tangannya mengeluarkan Ngo-thian-hoet-sutnya (Sihir Lima Langit).
"Kim-mou-eng, kau tak dapat bertahan lagi. Tenagamu habis. Lihat lime ekor naga ini menyerangmu dari lima penjuru dan cepat tengkurap.... dar!"
Lima ekor naga benar-benar muncul dan keluar dari telapak tangan ketua Pulau Api itu. Ilmu ini, sebagaimana diketahui adalah milik mendiang kakek Thian-tok (India) Dhiran Singh, guru dari Bu Sit dan Yogiwara. Kakek sakti itu pandai sihir dan kesaktiannyapun tinggi. la begitu tergila-gila sebelum ajal di tangan Dewi Laut Timur. Dan karena dua muridnya itu menurunkan ilmu-ilmu ini kepada para ahli waris, akhirnya jatuh dan dipelajari orang orang Pulau Api maka hanya para tokoh yang mampu memiliki. Kini ilmu itu dikeluarkan dalam rasa gemas dan marahnya ketua Pulau Api ini.
Tan-pangcu kagum tapi juga penasaran akan kehebatan Pendekar Rambut Emas itu. Seharusnya pendekar ini sudah roboh namun kegagahan dan jiwa pantang menyerahnya luar biasa sekali, laki-laki itu gemas. Maka ketika ia membentak dan mengeluarkan Ngo-thian-hoat-sutnya, Pendekar Rambut Emas terkejut karena lawan memiliki pula ilmu sihir maka dia yang sudah berkurang tenaganya itu mendadak terpengaruh dan melihat lima ekor naga dari lima penjuru menyergapnya. Sedetik pendekar ini terkejut dan memutar pit hitamnya. Tapi begitu lima naga terpental dan berkaok nyaring, deru angin merah menyambar dari depan maka Giam-lui-ciang menghantam dan pendekar itu kaget menyambut gugup.
"Desss..!" Dia terlempar dan terguling-guling. Lawan tertawa bergelak dan mengeluarkan lagi bentakan sihirnya itu, lima ekor naga kembali datang dan menyergap. Tapi ketika Pendekar Rambut Emas membentak dan meledakkan kedua tangan, dalam saat seperti itu tak ada jalan lain mengeluarkan Pek-sian-sutnya maka pendekar ini menghilang dan secepat kilat tubuhnya sudah menjadi seberkas cahaya putih.
"Blarrr!" Ledakan itu bersamaan dengan ledakan Pek-sian-sut. Giam-lui-ciang menyambar angin kosong tapi pohon di belakang pendekar itu roboh. Daun dan batangnya seketika kering, hangus. Dan ketika sekejap kemudian pohon itu terbakar dan nyala api membubung tinggi maka naga ciptaan yang lenyap terganti lima jenggot rambut yang runtuh ke tanah.
Tan-pangcu terkejut dan mernbelalakkan mata. Rasa girangnya sirna. Lawan lenyap mengeluarkan kekuatan sihir juga. Dia tersentak. Dan ketika dia bengong dan mencari-cari maka sutenya, See Lam, menjerit dan terbanting roboh. Pendekar Rambut Emas sudah di sana dan membantu isterinya.
"Aduh...!" Tan-pangcu berkelebat ke depan. la mencabut tongkat dan menerjang, membentak dan mengeluarkan sihirnya lagi tapi Pendekar Rambut Emas lenyap. Lagi-lagi pendekar itu mengeluarkan Pek-sian-sutnya. Dan ketika seberkas cahaya putih melesat dan lenyap, Kim-hujin itu juga terbawa cahaya ini maka sadarlah tokoh Pulau Api itu bahwa Pendekar Rambut Emas sesungguhnya orang luar biasa. Tadi pendekar itu masih menyimpan ilmunya dan baru sekarang dipakai. Dia terlalu memandang rendah dan cepat gembira kalau menyangka pendekar itu dapat dirobohkan.
Maka ketika adik-adiknya juga terkejut tapi dia melihat cahaya putih itu, membentak dan mengejar maka See Lam, tokoh nomor tiga Pulau Api itu juga marah dan melihat ini, menyerang dan mencabut ikat pinggangnya sementara Bu Kok, sang ji-suheng, terkejut dan melepas rantai perak. Rantai itu diledakkan dan menyambarlah kekuatan dahsyat menghantam cahaya putih. Dari kiri menyambar pula tongkat Tan-pangcu yang menderu bagai angin topan, disusul lecutan sabuk di tangan si kurus perlente.
Dan karena cahaya putih itu disambar tiga kekuatan dari kiri kanan, Pendekar Rambut Emas terkejut maka Pek-sian-sut buyar dan muncullah lagi tubuhnya di situ. Sang isteri meronta dan menjerit pula.
"Lepaskan aku!"
Sang pendekar melempar dan melepaskan isterinya. Dengan Pek-sian-sut ia dapat berlindung tapi tiga tokoh-tokoh Pulau Api ini ternyata orang-orang hebat. Mereka mampu membentak dan membuyarkan ilmu sihirnya itu. Dan karena sang ketua juga memiliki sihir dan tahu cara memunahkan sihir maka Pendekar Rambut Emas mengeluh ketika tiga serangan menghantamnya dari depan dan kiri kanan.
"Des-des-dess!"
Sang pendekar terguncang dan terpelanting roboh. Akhirnya tiga orang itu maju berbareng setelah tadi ia menolong isterinya. Ketua dan wakilnya menjadi marah karena ia menyerang sute mereka. Dan ketika mereka maju kebali dan tongkat di tangan ketua Pulau Api menyambar disertai ledakan, api melesat dan menghantam tubuhnya maka dua yang lain juga melancarkan Giam-lui-cian maka pendekar itu jatuh bangun.
"Curang, jangan mengeroyok!" Swat Lian tak dapat menahan diri dan melengking marah. Nyonya itu gusar karena suaminya terhuyung-huyung. Hanya berkat sinkangnya yang kuat saja suaminya itu dapat menahan pukulan. Selebihnya, tergetar dan jatuh terduduk. Dan karena tentu saja ia tak mau melihat ini dan menerjang dengan pedangnya maka nyonya itu menyambar tapi Bu Kok, wakil kesatu menangkis dan menggeram padanya.
"Kau tak perlu maju. Hadapi aku dan kita bertanding dess!"
Nyonya itu mencelat dan berjungkir balik. Pedang ditangkis terpental dan Bu Kok yang sudah melepas rantai peraknya itu mementalkan pedang. Tangan kiri menangkis pukulan dan Kim-hujin kaget karena lawan lebih kuat dari pada yang tadi. Hal ini tak aneh karena kepandaian pria ini memang lebih tinggi dibanding sutenya. Dan ketika Bu Kok menyambar dan berkelebat ke depan, langkah saktinya juga bekerja dan tahu-tahu di dekat sang nyonya maka pukulannya menderu sementara rantai perak menusuk lurus ke dada sang nyonya, bagai tombak!
"Cring-brett!"
Swat Lian memekik dan kancing bajunya lepas. Ia hampir terlambat berkelit karena begitu cepatnya lawan datang. Langkah sakti itulah yang hebat. Dan ketika ia meloncat bangun dan membentak membalas lawan, melengking-lengking maka keduanya sudah bertanding seru sementara Pendekar Rambut Emas di sana dikeroyok dua.
Pendekar ini bersinar-sinar. Ia marah dan mulai naik darah. Orang-orang Pulau Api ini tak pantang lagi melakukan keroyokan, padahal tadi mereka seakan tak suka keroyokan. Maka sadar bahwa mereka bukan orang baik-baik, mulai dapat mempertimbangkan bahwa puteranya dipihak benar iapun hergerak dan menangkis serta membalas dengan pukulan-pukulan jarak jauh. Pek-sian-sut dikeluarkan tapi ikat pinggang dan tongkat di tangan ketua membuyarkan lagi.
Ketua Pulau Api itu juga berkemak-kemik. Dan ketika ia mulai marah bahwa lawan terlampau mendesak, bangkitlah semangat pendekar ini untuk menghadapi lawan secara sungguh-sungguh maka tampangnya tiba-tiba berubah ketika napasnya tidak memburu dan wajah itupun tidak pucat lagi. Pendekar ini mendadak seperti remaja segar bugar.
"Tan-pangcu, kau dan sutemu orang-orang tak tahu diri. Kalian tak malu melakukan keroyokan. Baiklah, kita bertanding sampai ada yang roboh dan kau atau aku menggeletak di tanah dar-dar!" pit hitam tiba-tiba terlepas dan menyambar-nyambar. Bagai benda hidup atau bernyawa saja pit itu menyerang dua tokoh Pulau Api. Hal ini dapat dilakukan karena pendekar itu mengerahkan kekuatan batin, berseru dan melepas pit itu dengan iringan bentakannya.
Dan karena bentakan itu mengandung tenaga kuat dan tenaga inilah yang mendorong pit itu, melesat dan menyambar sana-sini maka Tan-pangcu dan sutenya terkejut dan rnembelalakkan mata, menangkis tapi pit itu membalik untuk menyerang lagi. Inilah kepandaian yang jarang dikeluarkan Pendekar Rambut Emas kalau tidak terpaksa.
Pendekar itu mengeluarkan siulan yang akhirnya membuat pit hitam terbang semakin cepat lagi. Dan ketika orang nomor tiga menjerit dan terpelanting, dialah yang menjadi korban pertama maka Tan-pangcu terkejut melihat betapa senjata itu menyambar dan mematuk dahinya.
"Plak!"Tan-pangcu marah dan membuka ujung lengan bajunya. Dia tidak sekedar menangkis melainkan menggulung. Pit yang baru datang itu terperangkap. Dan ketika senjata itu terbelit dan masuk ke dalam gulungan lengan baju, dijepit dan patah maka Pendekar Rambut Emas terbelalak karena lawan dapat menghancurkan pit hitamnya.
"Bagus, kau dan aku sekarang satu. Kita bertanding secara ksatria, pangcu. Kau atau aku roboh!"
Si kurus perlente ternyata merintih dan menggeliat-geliat di mana. Pit itu menghantam belakang tengkuknya dan ia merasa gelap. Untung, sinkangnya cukup kuat hingga ia tak sampai pingsan. Orang lain tentu sudah terkapar. Pit itu dapat menancap dan tembus melukai kulit daging. Dan ketika si perlente ini menggeliat dan merintih-rintih, ia masih kesakitan oleh pit itu maka di sana berjalan pertandingan seru antara ji-suhengnya melawan Kim-hujin.
"Sute, kau bantu aku saja. Kita robohkan wanita ini dan setelah itu membantu suheng!"
Tokoh ini mendesis. Setelah dihajar tadi terus terang ia merasa gentar menghadapi Pendekar Rambut Emas. Terpikir olehnya bahwa ajakan ji-suhengnya itu benar. Apalagi karena twa-suhengnya dapat melayani Pendekar Ranibut Emas dengan baik. Maka ketika ia terhuyung bangkit berdiri, menyeringai dan masih kesakitan maka iapun mendengar seruan agar membantu saja suhengnya nomor dua itu.
"Cepat, twa-suheng mulai sibuk. Bantu aku dan nanti kita bantu twa-suheng!"
Laki-laki itu melompat. Setelah dia merasakan hajaran Pendekar Rambut Emas maka timbul marahnya kepada Kim-hujin itu. la harus membalas dan ini kesempatan baik. Dan ketika ia membentak dan menerjang maju, lawan yang dipilih adalah yang lebih lemah maka Swat Lian terkejut dan dua orang itu sudah mengeroyoknya.
"Keparat, tak tahu malu. Jahanam licik! Kalian bukan orang-orang gagah, manusia-manusia busuk. Kalian bilang tak suka keroyokan tapi sekarang malah mengeroyok. Keparat, kubunuh kalian.... singgg!" dan pedang yang membacok dan membalik miring tiba-tiba menyambut serangan si kurus perlente itu dengan amat ganasnya.
Swat Lian marah bahwa tokoh-tokoh Pulau Api ini tak malu-malu mengeroyok dirinya. dua laki-laki mengeroyok seorang wanita. Namun ketika laki-laki itu mengelak dan rantai perak menyambar lagi, dahsyat menuju telinga maka nyonya ini menyabet dan saat itu si perlente bergerak dan maju terkekeh meledakkan ikat pinggangnya, yang juga tiba-tiba lurus dan kaku seperti mata tombak.
"Crit-cratt!"
Bunga api memuncrat. Rantai dan ikat pinggang itu ternyata sudah berobah menjadi senjata-senjata keras tiada ubahnya tombak atau pedang sendiri, berani beradu keras dan senjata yang sudah terisi lweekang kuat itu memercikkan bunga api! Dan ketika Swat Lian terdorong karena lawan maju berdua, ia melengking dan memekik lagi ternyata Bu Kok sudah mendahuluinya dan dengan pukulan-pukulan Giam-lui-ciang di tangan kiri laki-laki itu mencecar dan merangsek. Sebentar kemudian membuat Kim-hujin sibuk dan si kurus perlente maju lagi.
Dua tokoh ini ganti-berganti melepas serangan, kadang-kadang mereka malah bersatu juga. Dan karena Kim-hujin hanya mampu menghadapi satu di antara mereka, sedikit di atas tokoh nomor tiga dan berat kalau dikeroyok maka ketika berkali-kali ia terpental dan terdorong mundur maka nyonya ini terdesak dan sebentar kemudian ia hanya sebagai pihak bertahan.
"Des-dess!"
Kim-hujin melotot dan terhuyung mundur. Ia hanya mampu menangkis dan Khi bal-sin-kangnya melindungi tubuh. Tapi karena dua orang itu adalah tokoh-tokoh Pulau Apl dan pukulan-pukulan mereka amatlah kuat, apalagi Giam-lui-ciang adalah ciptaan dewa Han Sun Kwi maka nyonya ini pucat dan akhirnya jatuh bangun, tak kuat tapi pembelaan dirinya hebat sekali. Pedang diputar menangkis sana-sini meskipun jatuh terduduk. Dua orang lawannya kagum. Dan ketika mereka tak juga dapat merobohkan nyonya itu sementara di sana Pendekar Rambut Emas terkejut dan berseru keras maka Pek-sian-sut bekerja dan pendekar ini berkelebat ke arah isterinya.
Namun Tan-pangcu mengejar dan dua orang di sana itu juga tak tinggal diam. Rantai dan ikat pinggang meledak membuyarkan Pek-sian-sut itu. Dan karena betapapun Pendekar Rambut Emas mulai dimakan umur, tenaganya berkurang lagi maka usahanya gagal dan tongkat di tangan Tan-pangcu bahkan menghantam punggungnya.
"Bukk..." Tongkat itu mental. Sang Pendekar terhuyung dan si nyonya pucat.
Swat Lian mendelik. Dan ketika Pendeker Rambut Emas terpaksa menghadapi ketua Pulau Api lagi dan isterinya menghadapi keroyokan maka terdengar jerit isterinya ketika rantai dan ikat pinggang menghantam tubuhnya, menoleh dan sang isteri terhuyung-huyung mendekap dada. Rupanya dua senjata itu mengenai dada. Dan muka pendekar ini pucat dan marah namun dua lawan itu tertawa bergelak dan dengan lompatan tinggi dua senjata itu menyambar kepala isterinya....
"Plak!"Tan-pangcu marah dan membuka ujung lengan bajunya. Dia tidak sekedar menangkis melainkan menggulung. Pit yang baru datang itu terperangkap. Dan ketika senjata itu terbelit dan masuk ke dalam gulungan lengan baju, dijepit dan patah maka Pendekar Rambut Emas terbelalak karena lawan dapat menghancurkan pit hitamnya.
"Bagus, kau dan aku sekarang satu. Kita bertanding secara ksatria, pangcu. Kau atau aku roboh!"
Si kurus perlente ternyata merintih dan menggeliat-geliat di mana. Pit itu menghantam belakang tengkuknya dan ia merasa gelap. Untung, sinkangnya cukup kuat hingga ia tak sampai pingsan. Orang lain tentu sudah terkapar. Pit itu dapat menancap dan tembus melukai kulit daging. Dan ketika si perlente ini menggeliat dan merintih-rintih, ia masih kesakitan oleh pit itu maka di sana berjalan pertandingan seru antara ji-suhengnya melawan Kim-hujin.
"Sute, kau bantu aku saja. Kita robohkan wanita ini dan setelah itu membantu suheng!"
Tokoh ini mendesis. Setelah dihajar tadi terus terang ia merasa gentar menghadapi Pendekar Rambut Emas. Terpikir olehnya bahwa ajakan ji-suhengnya itu benar. Apalagi karena twa-suhengnya dapat melayani Pendekar Ranibut Emas dengan baik. Maka ketika ia terhuyung bangkit berdiri, menyeringai dan masih kesakitan maka iapun mendengar seruan agar membantu saja suhengnya nomor dua itu.
"Cepat, twa-suheng mulai sibuk. Bantu aku dan nanti kita bantu twa-suheng!"
Laki-laki itu melompat. Setelah dia merasakan hajaran Pendekar Rambut Emas maka timbul marahnya kepada Kim-hujin itu. la harus membalas dan ini kesempatan baik. Dan ketika ia membentak dan menerjang maju, lawan yang dipilih adalah yang lebih lemah maka Swat Lian terkejut dan dua orang itu sudah mengeroyoknya.
"Keparat, tak tahu malu. Jahanam licik! Kalian bukan orang-orang gagah, manusia-manusia busuk. Kalian bilang tak suka keroyokan tapi sekarang malah mengeroyok. Keparat, kubunuh kalian.... singgg!" dan pedang yang membacok dan membalik miring tiba-tiba menyambut serangan si kurus perlente itu dengan amat ganasnya.
Swat Lian marah bahwa tokoh-tokoh Pulau Api ini tak malu-malu mengeroyok dirinya. dua laki-laki mengeroyok seorang wanita. Namun ketika laki-laki itu mengelak dan rantai perak menyambar lagi, dahsyat menuju telinga maka nyonya ini menyabet dan saat itu si perlente bergerak dan maju terkekeh meledakkan ikat pinggangnya, yang juga tiba-tiba lurus dan kaku seperti mata tombak.
"Crit-cratt!"
Bunga api memuncrat. Rantai dan ikat pinggang itu ternyata sudah berobah menjadi senjata-senjata keras tiada ubahnya tombak atau pedang sendiri, berani beradu keras dan senjata yang sudah terisi lweekang kuat itu memercikkan bunga api! Dan ketika Swat Lian terdorong karena lawan maju berdua, ia melengking dan memekik lagi ternyata Bu Kok sudah mendahuluinya dan dengan pukulan-pukulan Giam-lui-ciang di tangan kiri laki-laki itu mencecar dan merangsek. Sebentar kemudian membuat Kim-hujin sibuk dan si kurus perlente maju lagi.
Dua tokoh ini ganti-berganti melepas serangan, kadang-kadang mereka malah bersatu juga. Dan karena Kim-hujin hanya mampu menghadapi satu di antara mereka, sedikit di atas tokoh nomor tiga dan berat kalau dikeroyok maka ketika berkali-kali ia terpental dan terdorong mundur maka nyonya ini terdesak dan sebentar kemudian ia hanya sebagai pihak bertahan.
"Des-dess!"
Kim-hujin melotot dan terhuyung mundur. Ia hanya mampu menangkis dan Khi bal-sin-kangnya melindungi tubuh. Tapi karena dua orang itu adalah tokoh-tokoh Pulau Apl dan pukulan-pukulan mereka amatlah kuat, apalagi Giam-lui-ciang adalah ciptaan dewa Han Sun Kwi maka nyonya ini pucat dan akhirnya jatuh bangun, tak kuat tapi pembelaan dirinya hebat sekali. Pedang diputar menangkis sana-sini meskipun jatuh terduduk. Dua orang lawannya kagum. Dan ketika mereka tak juga dapat merobohkan nyonya itu sementara di sana Pendekar Rambut Emas terkejut dan berseru keras maka Pek-sian-sut bekerja dan pendekar ini berkelebat ke arah isterinya.
Namun Tan-pangcu mengejar dan dua orang di sana itu juga tak tinggal diam. Rantai dan ikat pinggang meledak membuyarkan Pek-sian-sut itu. Dan karena betapapun Pendekar Rambut Emas mulai dimakan umur, tenaganya berkurang lagi maka usahanya gagal dan tongkat di tangan Tan-pangcu bahkan menghantam punggungnya.
"Bukk..." Tongkat itu mental. Sang Pendekar terhuyung dan si nyonya pucat.
Swat Lian mendelik. Dan ketika Pendeker Rambut Emas terpaksa menghadapi ketua Pulau Api lagi dan isterinya menghadapi keroyokan maka terdengar jerit isterinya ketika rantai dan ikat pinggang menghantam tubuhnya, menoleh dan sang isteri terhuyung-huyung mendekap dada. Rupanya dua senjata itu mengenai dada. Dan muka pendekar ini pucat dan marah namun dua lawan itu tertawa bergelak dan dengan lompatan tinggi dua senjata itu menyambar kepala isterinya....