Putri Es Jilid 13 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

"Eh...Eh, ibu bicara apa ini? Ibu memaki Siang Le? la tidak goblok, ibu, semuanya tergantung Yang Maha Kuasa. Kau tak boleh bicara seperti itu karena betapapun Liong-ko adalah kakakku juga, putera ayah!"

"Benar, tapi aku ingin kau mempunyai keturunan laki-laki, Soat Eng. Lihat betapa gagah dan lucunya putera Thai Liong itu. Kau hanya memiliki anak perempuan melulu. Aku ingin anak laki-laki yang gagah seperti Bun Tiong itu!"

“Hm-hm, ibu ini aneh-aneh saja. Laki perempuan bagiku sama. Bun Tiong tiada ubahnya anakku juga. Ia bergaris turunan ayah. Kenapa ibu hendak membeda-bedakannya? Kalaupun aku memiliki anak lelaki maka ia cucu luarmu, ibu, bukan cucu dalam. Sedang Bun Tiong termasuk cucu dalam karena ia putera Liong-ko, keturunan langsung ayah yang laki-laki!"

"Hm, aku tetap tak puas juga. Pokoknya aku ingin kau mendapatkan anak laki-laki atau memang suamimu itu yang goblok!"

"Ibu..!"

"Kenapa? Marah? Aku kecewa, Eng-ji. Aku rindu akan cucu laki-laki. Atau barangkali Beng An yang dapat memberikan ini!" dan sang ibu yang terisak membanting kaki lalu memutar tubuh dan berkelebat pergi meninggalkan sang anak.

Soat Eng tertegun dan tak jadi marah karena ibunya menangis. Ada perasaan sesal atau rindu yang sangat di hati ibunya itu. lbunya ingin anak laki-laki! Dan ketika ia menarik napas dalam dan pulang ke Sam-liong-to, bicara itu kepada suaminya maka sang suami yang bijak dan lembut hati itu tersenyum pahit, tidak gusar atau tersinggung.

"Hm, baranngkali memang aku goblok.Ibumu benar. Cobalah minta pendapatnya bagaimana kira-kira mendapatkan anak lelaki, Eng-moi. Barangkali dia punya resep atau jamunya."

"Resep? Jamu? Kau inipun sinting! Laki-laki atau perempuan adalah anugerah Yang Maha Kuasa, Le-ko. Biarpun ada resep atau jamu kalau Yang Maha Kuasa tidak memberi anak laki-laki tak mungkin berhasil. Kau jangan mengada-ada!"

"Hm, maksudku bukan begitu. Maksudku adalah coba dekati ibumu itu dan tanyalah barangkali ia mempunyai sebuah pengalaman menarik tentang bagaimana bisa mendapatkan anak laki-laki atau perempuan. Kita mencobanya. Siapa tahu bahwa adik kita Beng An itu juga hasil pengalaman ibumu yang kita tidak tahu. Sudahlah, coba tanyakan dan siapa tahu ada petunjuk."

"Aku tak mau. Ini memalukan! Masa bikin anak harus tanya sama orang tua, bagaimana bisa mendapatkan laki-laki atau perempuan. Cih, aku wanita yang peka perasaannya, Le-ko. Tabu benar rasanya bertanya tentang itu. Kau ini aneh-aneh saja, melehihi ibu. Tidak, aku tak mau bertanya dan tetap menyerahkan itu kepada Yang Maha Kuasa!"

Siang Le tersenyum pahit. Ia mengangkat pundak dan membiarkan saja isterinya melepas kemarahan. Sang isteri mengomel panjang pendek dan seperti biasa ia pun diam, tak membantah. Siang Le pemuda lembut hati dan penyabar. Wataknya amat pengalah dan memang waktu itu "saru" benar rasanya bicara tentang bagaimana mendapatkan anak lelaki atau perempuan, biarpun kepada ibu kandung-nya sendiri. Namun karena sang isteri membawa persoalan itu demikian serius, Siang Le teringat ibu mertuanya itu maka dia menarik napas dalam-dalam dan teringat gak-bonya (ibu mertua) ini ia agak keder. Ibu mertua ini amat keras dan sekali memusuhi orang lain bakal dilakukan habis-habisan.

Teringatlah dia ketika betapa dulu diapun kenyang akan sikap bermusuhan yang dilakukan sang gak-bo ini. Tapi karena dia bukan pendendam dan semua itu diterimanya ringan, dia baik-briik saja maka ketika kini sang isteri membawa persoalan itu iapun menjadi tak nyaman dan menganggap diri sendiri goblok. Barangkali gak-bonya benar. Ia goblok Maka ketika berhari-hari kemudian pemuda ini termenung dan sendirian di pantai sunyi, tepekur memandangi ombak menderu tiba-tiba teringatlah dia akan seorang tua di seberang laut sana.

Dia mengenal Siong-lopek seorang nelayan ramah. Kakek itu banyak pengalaman dan sering dia ngobrol bersama. Kalau persediaan makanan di Sam-liong-to habis biasanya dia pergi dan menemui kakek ini, belanja beberapa macam keperluan barang dan keramahan serta kepandaian kakek itu bercerita membuat dia betah. Maka ketika tiba-tiba pemuda ini berseri dan menaruh harapan pada kakek itu maka keesokannya Siang Le meninggalkan Sam-liong-to berlayar ke seberang.

"Bumbu dapur kita habis. Biar kutangkap ikan dan kutukar di daratan sana!"

Sang isteri tak curiga. Memang selama ini suaminyalah yang mencari bumbu dan rempah-rempah. Dua anak mereka Siang Hwa dan Siang Lan harus dijaga, Soat Englah yang menjaga anak-anak itu. Maka ketika Siang Le berangkat sementara sebuah jala lebar dipakai untuk menangkap ikan, dengan hasil ini Siang Lee akan menukarkan keperluan dapurnya maka dengan riang pemuda itu menyeberang daratan dan dengan kepandaiannya yang tinggi tentu saja mudah baginya mendapat banyak ikan sampai perahu sarat terbenam timbul tenggelam.

Dan kakek Siong gembira menerima kedatangannya. Kakek itu laki-laki tua yang tak mungkin sekuat orang muda lagi mendapatkan ikan. Tenaganya terbatas. Siang Le inilah yang sering memberi tambahan hidup dengan ikan tangkapan-nya itu. Maka ketika kakek itu berseri melihat tamu Sam-liong-tonya ini, sebulan mereka tak bertemu cepat saja si kakek menghambur dan terkekeh-kekeh.

"Heii.... kau, Siang-kongcu. Lama amat! Sudah kutunggu-tunggu kedatanganmu dan lihat apa yang kusiapkan!" si kakek menuding dan memperlihatkan beberapa kantung rempah-rempah. Di muka rumahnya sudah terdapat barang-barang keperluan dapur itu.

Siang le tertawa berseri. la meloncat dari perahunya dan menuding pula hasil tangkapan di dalam perahu. Dan ketika keduanya tertawa bergelak dan si kakek menepuk-nepuk pundak pemuda ini maka Siang Ie diajak masuk rumah yang memang tak jauh dari pantai itu.

"Mari.... mari. Ada arak hangat, atau teh wangi. Aku sudah mendapatkan sepoci besar arak Kang-lam, kongcu, harum dan nikmat menyegarkan tenggorokan. Atau kau boleh coba teh pegunungan asli dari Ho-san. Wah-wah, sudah lama kutunggu-tunggu. Kau mengeram di pulaumu tak pernah keluar. agaknya berbulan madu lagi!"

"Hmm, ada-ada saja," Siang Le tersenyum, agak memerah. "Kau bergurau, Siong-lopek. Masa sih sudah sekian tahun pernikahan masih ada bulan madu Iagi. Wah, meledek! Tapi aku ada keperluan dengan-mu barangkali kau orang tua dapat menolong." Siang Le langsung saja teringat maksud dan tujuannya, duduk dan sudah menghadapi dua poci tanggung berisi arak harum dan teh wangi. Bingung dia memilih. Arak dan teh itu sama-sama menarik!

Tapi ketika tuan rumah terkekeh dan memberikan secawan arak harum maka dia diminta menikmati itu dulu untuk penyegar tenggorokan. "Arak ini dingin dan keras, cocok di-minum sehabis melaut. Udara gerah bakal sirna. Mari, coba minum dulu, kongcu. Baru setelah itu teh wangi dari Ho-san!"

Tuan rumah mengiringi. Siang Le senang dan mengucap terima kasih, meneguk secawan kecil arak itu dan benar saja tenggorokannya terasa segar. Arak yang dingin dan keras membuatnya tambah semangat. Ia minum dan tambah lagi. Dan ketika lidah sudah mencecap tiga empat kali, si kakek terkekeh-kekeh maka teh wangi ganti disodorkan tapi si pemuda masih merasa kenyang. "Cukup, nanti dulu. Wah, kembung perutku kalau diisi air melulu!"

"Ha-ha, minta panganan? Jangan khawatir. Lihat bak-pao panas ini, kongcu, dan juga tong-ciu-pia itu. Ayo, ada kumbu atau kacang ijo. Atau itu isi babi atau coklat. Khusus kuambil dari toko terkenal di Wu-han!"

Siang Le mendecak. Di atas meja sudah berhamburan bermacam makanan basah dan kering. Bagai tukang sulap saja kakek itu mengeluarkan semua itu dari bawah meja. Sekeranjang penuh penganan mahal dikeluarkan satu per satu, terbelalak pemuda ini. Tapi ketika dengan tertawa ia menerima semua itu, makan dan sepotong bak-pao tebal tergigit mulut maka Siang Le kagum karena semua ini benar-benar lezat. Bak-pao panas itu berisi daging tebal yang empuk dan gurih.

"Luar biasa, bagaimana kau bisa mendapatkan semua ini, lopek. Dan kapan kau belanja!"

"Ha-ha, kemarin. Sudah kutunggu-tunggu kedatanganmu. Dan bak-pao itu baru saja kupanaskan hingga dapat dinikmati dengan lezat. Wah, kau rupanya lapar!"

"Ha-ha, aku memang belum sarapan. Pagi tadi terus berangkat. Tapi, uh... ter Iampau banyak semua ini, Siong-lopek. Tak muat perutku melahap semuanya!"

"Jangan serakah. Itu bukan untukmu semua. Lainnya untuk cucuku yang manis Siang Hwa dan Siang Lan. Eh, kenapa tak kau bawa mereka itu ke sini!"

Siang Le tiba-tiba tersedak. Bicara sambil makan dan mulut penuh begini membuat dia geli sendiri. Rasa geli membuat gatal di kerongkongan dan tersedaklah dia. Tapi begitu ditanya tentang Siang Hwa dan Siang Lan, kenapa dia tak membawa anak-anaknya itu ke sini maka dia membersihkan mulut menelan semua sisa makanan itu. "Hm-hm... aku, eh... aku memang sengaja tak membawa anak-anak nakal itu. Ada urusan penting. Ada pembicaraan yang tak boleh didengur anak-anak. Wah, bagaimana aku mulai!"

"Ha-ha, teguk dulu teh Ho-san ini, kongcu. Sekarang kau nikmati minuman ini dan hentikan arak itu!"

Siang Le mengangguk. Dia meneguk teh wangi itu dan mendecak. Bukan main, teh inipun begitu harum dan mewangikan seluruh ruangan. Begitu diminum kontan baunya menyebar di udara. Wangi teh itu merata segenap ruang tamu. Dan ketika ia mendecak dan kagum karena ini tentu teh yang mahal, minuman berkwalitas tinggi maka dia geleng-geleng karena si kakek menyediakan semua itu untuknya. Tidak sedikit uang yang harus di keluarkan.

"Kau boros, tapi ku ucapkan terima kasih. Berapa banyak yang kau keluarkan untuk semua ini, lopek. Kau seakan sedang berpesta saja!"

"Ha-ha, tidak ada artinya. Tak sesuai dibanding semua yang kau berikan kepadaku. Aku si tua justeru ingin mengucap terima kasih dan bersyukur kepadamu, kongcu. Kau pemuda luar biasa yang begitu penuh perhatian kepadaku. Kau memberi kebahagiaan yang tak dapat kubalas dengan apa saja!"

"Hm-hm, kumat lagi. Aku tak suka bicara tentang budi dan balas budi, lopek. Kau tiada ubahnya orang tuaku laki-laki karena sejak kecil aku tak mengetahui ayah ibuku..."

"Tapi Wang-hujin (nyonya Wang)...."

"Benar, ia pengganti ibu kandungku, lopek, dan iapun memang ku anggap ibu kandungku pula. Tapi, ah sudahlah... aku mau omong-omong tentang sedikit kebodohanku."

Si kakek terbelalak. Tamunya mulai bersikap serius sementara makanan dan minuman di atas meja disingkirkan. Pemuda ini muram dan tentu saja ia terkejut. Wajah yang tadi berseri itu mendadak gelap. Dan ketika kakek ini berserius pula dan bertanya apa gerangan yang dimaksud pemuda itu maka Siang Le agak terbata menjawab.

"Aku, hmm... aku dimaki ibu mertuaku tentang anak. Aku, hmm... aku dinilai goblok...!"

"Goblok? Tentang apa? Kau pandai dan tinggi kepandaianmu, kongcu. Kau pemuda luar biasa. Bagaimana Kim-hujin (nyonya Kim) berani memakimu. Kesalahan apa yang kau buat. Aku jadi penasaran!"

"Hmm, aku juga. Tapi kupikir ia benar, lopek. Aku memang goblok. Urusannya, maaf... tentang anak!"

Si kakek terbelalak. Tamunya tampak memerah dan semburat malu memancar di wajah itu. Heran dia. Maka ketika dia bangkit berdiri dan rnenyambar lengan pemuda itu, bertanya apa yang dimaksud maka kakek ini berseru dengan nada tinggi, "Ah? Tentang anak? Eh, apa yang kau maksud, kongcu. Kenapa dengan anak mu. Bukankah mereka baik-baik dan tak ada masalah!"

"Hm, bukan itu. Maksudku adalah aku tak pandai membuat anak laki-laki, lopek. Ibu mertuaku minta yang laki-laki karena dua anakku perempuan melulu. Aku dinilai goblok. Dan aku rupanya memang goblok!"

"Ha-ha!" kakek itu meledak tawanya. "Inikah kiranya persoalan itu? Ah, kukira apa. Sampai tegang aku. Tak tahunya hanya itu. Ha-ha, soal anak soal Tuhan, kongcu. Dialah pemberi dan kita penerimanya. Bukankah laki-laki atau perempuan sama saja!"

"Benar, tapi bagi ibuku tidak, lopek. Dia minta cucu laki-laki. Dan aku, ah... dua kali goblok juga!"

Kakek ini terbahak-bahak. Dia melihat betapa wajah pemuda itu tiba-tiba murung dan penuh sesal diri. Siang Le, menantu Pendekar Rambut Emas ini tiba-tiba tampak begitu loyo dan putus harapan. Kutuk dan maki ditujukan kepada diri sendiri. Namun ketika kakek itu berhenti tertawa dan mengusap matanya yang sampai menangis, geli dan haru campur aduk maka kakek ini melepaskan tangan kokoh itu duduk kembali, senyum dan tawanya masih mengembang.

"Maaf.... maaf... jangan tersinggung. Aku tertawa karena geli. Lucu! Ah, baru kali ini kulihat kau begitu susah dan putus asa, kongcu. Begitu memelas dan sedih sekali kau ini. Baik, bagaimana kalau begitu dan apa yang si tua ini dapat lakukan!"

"Aku, aku minta resep bagaimana bisa membuat anak laki-laki!"

"Kepada si tua yang sebatang-kara ini? Kau minta kepadaku yang tidak pernah kawin lagi? Wah, repot juga, kongcu. Tapi aku dapat merasakan kesulitanmu. Hm, tunggu. Aku menggali dulu semua ingatanku tentang ini. Wah-wah, coba kuingat baik-baik pengalaman apa saja yang pernah kutemui!"

Si kakek garuk-garuk kepala dan berpikir keras. la tidak lagi tertawa karena persoalan itu dirasanya serius juga. Dia tahu bagaimana Kim-hujin itu. Wanita keras yang galak dan ingin semuanya dituruti. Kalau sudah punya mau biasanya tak akan sudah kalau belum selesai. Ia harus menolong pemuda ini. Tapi ketika ia menggaruk-garuk semua kepalanya sampai beberapa rambut putihnya rontok, resep atau dewa penolong itu belum ditemukan mendadak kakek ini meringis dan ia tertawa masam.

"Ada... agaknya ada. Tapi wah... harus menunggu bulan purnama!"

"Maksudmu?"

"Pikiranku biasanya terang kalau sudah disiram sinar bulan purnama, kongcu. Segala yang butek dapat dihalau dan bisa jernih. Bagaimana kalau kau tunggu bulan purnama dulu dan selama ini bersabar!"

"Hm, berapa hari lagi?"

"Kupikir barang seminggu. Dan selama ini, eh... perhatikan buik-baik segala tingkah laku isterimu itu. Maksudku, eh... kapan ia mulai hangat!"

"Hangat?"

"Eh, jangan tolol, kongcu. Semua wanita sehat akan mengalami saat-saat seperti itu. Gejolak ingin bermain asmara di saat-saat tertentu, gejolak yang meninggi!"

Wajah Siag Le memerah. Tak dapat ditahan. lagi iapun bersemu dadu. Kalau bukan bersama kakek ini tak mungkin ia mau bicara tentang soal-soal begitu. Tapi mereka sudah akrab. Kakek ini tiada ubahnya keluarga sendiri, seperti paman atau ayahnya. Dan karena kakek itu memang tua dan tentu menang pengalaman, dalam soal-soal begini siapa lagi yang di toleh kalau bukan kakek itu.

Maka Siang Le menarik napus dalam-dalam dan membayangkan isterinya iapun tiba-tiba tersenyum dan maklum apa yang dimaksud kakek itu. Memang isterinya kadang-kadang di saat tertentu bersikap "panas" dan berlebihan. Temperamennya naik. Suhu tubuh atau gairahnya meninggi. Tapi tak tahu apa maksud kakek itu hingga ia harus memperhatikan segala maka Siang Le bertanya untuk apa itu.

"Untuk apa? Heh-heh, tentu saja untuk keperluanmu ini, kongcu. Agar kau waspada dan tidak kehilangan tenaga sebelum waktunya. Seminggu ini kau harus menahan diri dan jangan dulu melayani. Kalau ingin alihkanlah ke hal-hal lain, bukan itu. Pokoknya perhatikan baik-baik dan ingat pesanku tadi. Dan sebaiknya kau bicara dengan ibumu pula, Wang-hujin itu. Pengalamannya mungkin dapat di padu dengan pengalamanku!"

"Ibuku? Harus bicara tentang ini? Wah, berabe, lopek. Mana bisa itu. Aku tak sanggup!"

"Hush, bukan untuk bicara yang kotor-kotor. Maksudku bicaralah juga dengannya bagaimana agar bisa mendapatkan anak lelaki. Sebagai orang tua tentu sedikit atau banyak ia punya pengalaman. Nah, inilah yang kumaksud dan tidak kurang atau lebih!"

Siang Le memerah. Tiba-tiba saja dia menjadi repot dan kikuk. Tak diperhitungkannya bahwa dia harus berkonsultasi tentang ini dengan ibunya. Ibunya itu wanita, dia laki-laki. Bagaimana tidak canggung dan kikuk? Tapi karena Siong-lopek sudah bicara seperti itu dan betapapun ia sendiri merasa sebagai orang muda yang mentah pengalaman maka sambil menarik napas berat ia mengangguk juga.

"Baiklah, kuturut. nasihatmu ini, lopek. Meskipun sebenarnya hanya kaulah yang ingin kumintakan sarannya. Kita sesama lelaki agak bebas. Tapi bersama ibuku rasanya sulit juga lidah ini meluncur."

"Ha-ha, tak perlu likat. Kau bukan anak-anak lagi, kongcu. Kau sudah lebih dari dewasa. Kau sudah menjadi bapak dari dua orang anak. Ayolah buang likat itu dan bicara dari hati ke hati dengan ibumu. Tak apa, siapa lagi yang dapat dimintai petunjuk kalau bukan beliau itu. Kau belum mengutarakan ini dengannya?"

"Aku malu..."

"Ha-ha, lucu. Sudah segede ini masih malu segala. Kita bukan untuk beromong yang jorok. Kita bicara ini sebagai kekurangan atau kelemahan kita dalam mencari kebahagiaan hidup, dalam hal ini kebahagiaan rumah tanggamu. Sudahlah, tunggu seminggu lagi, kongcu. Kembalilah setelah bulan purnama. Dan ingat bahwa ibumu perlu dimintai saran pendapatnya!"

"Ya-ya, baiklah. Terima kasih, lopek. Dan barangkali aku perlu pulang sekarang. Isteriku menunggu bumbu-bumbu dapur ini, persediaan habis. Terima kasih untuk semua nasihatmu dan baiklah seminggu lagi aku kembali!"

Wajah Tuan rumah berseri-seri. Pemuda itu sudah gembira lagi penuh harapan. Ia terharu. Maka ketika ia menolong menaikkan kantung-kantung itu, bumbu dan rempah-rempah maka tak lama kemudian pemilik Sam-liong-to itu melambaikan tangan dan Siang Le berseru untuk kembali seminggu kemudian. Resep untuk anak lelaki benar-benar diharapkannya.

"Lopek, bantu aku sungguh-sungguh. Tolong agar gundahku hilang!"

"Tentu, dan jangan lupa ibumu itu, kongcu. Jelek-jelek ia wanita terpelajar yang jauh lebih pandai daripada aku. Temui dia!"

Siang Le mengangguk. la sudah berlayar dan melambaikan tangan kepada kakek itu. Siong-lopek tak ubahnya paman sendiri. Dan ketika ia sampui di Sam-liong-to dan mendarat penuh harapan, dua anaknya berlari-larian menyambutnya maka sang isteri juga muncul dan tampak gembira. Sama sekali tak tahu bahwa pemuda ini sedang mencari "ilham" untuk mendapatkan anak laki-laki. Siang hwa dan Siang Lan membantu ayah mereka itu mengeluarkan kantung-kantung di perahu, bumbu dan rempah-rempnh dapur sementara ibu mereka juga sudah tertawa dan menyeret perahu ke pinggir. Rumah tangga ini memang bahagia.

Dan ketika muncul pula seorang wanita tua separuh baya, tersenyum menghampiri mereka maka Wang Cao Cun, wanita ini terharu melihat kebahagiaan rumah tangga anaknya. "Dari mana saja kau, kenapa tak memberi tahu ibumu. Eh, tak biasanya kau pergi diam-diam, Siang Le. Kau biasanya mengajak aku kalau menyeberang daratan!"

"Maaf," Siang Le memeluk, mencium kening ibunya ini. "Aku terburu-buru, ibu. Aku tak ingin kemalaman pulang kembali. Gelombang agak besar dan kalau aku membawamu takut kalau kau tak tahan."

Wanita itu tersenyum. Ia menyambar pula dua kantung rempah-rempah untuk dibawa bersama. Nenek dan cucu bergandeng ria menuju rumah mereka. Dan ketika malam itu mereka berkumpul bersama berlindung dari angin ribut, gelombang mendampar-dampar maka Siang Le maju mundur untuk bicara dan mulai memberi isyarat. Anak dan isterinya akhirnya pergi tidur. Api di tungku perapian masih menyala. Ruangan menjadi hangat oleh kobaran tungku ini.

Dan karena sikapnya agak aneh, sang ibu melihat gelagat mencurigakan maka wanita itu memandang puteranya dan bangkit berdiri. "Kau agaknya hendak bicara sesuatu denganku. Ada apa. Menyimpan persoalan?"

"Tidak... aku, eh... tak ada apa-apa yang perlu kubicarakan, ibu. Aku hanya hendak bercerita tentang Siong-lopek yang menyambutku tadi. Dia begitu baik. Orang tua itu membeli bermacam-macam untuk kita di sini!"

"Hm, bukan ini. Kau tak dapat menipu ibumu, Siang Le. Ada persoalan yang hendak kau bicarakan. Ayolah, jujur saja."

"Tidak, aku... eh, aku sudah mengantuk!" pemuda ini tiba-tiba gugup dan bangkit berdiri, memutar tubuh dan mau menghindari tatapan mata ibunya itu tapi sang ibu tiba-tiba berdiri pula. Dan ketika Siang Le hendak memadamkan sisa api di tungku perapian maka ibunya itu memegang pundaknya dan menghela napas lembut.

"Kau ada urusan dengan gak-bo mu lagi? Tentang anak laki-laki yang diidamkan darimu?"

Siang Le terkejut, membalik bagai disentuh ular. Tapi ketika ibunya tersenyum dan mengangguk maka ibu itu menarik lengan anaknya dengan lembut dan penuh kasih sayang. "Siang Le, urusanmu adalah urusanku. Duduklah, kita bicara tentang ini."

"Kau.... kau tahu?"

"Hm, seorang ibu yang baik harus tahu kesusahan anaknya, Siang Le, dan tentu saja aku tahu."

"Ibu diberi tahu Soat Eng!"

"Tak usah tahu dari mana aku tahu. Duduklah, kita bicara tentang ini."

Siang Le tertegun. Ia sudah turut dibawa ibunya dan duduk berhadapan dengan mata terbelalak. Ia terkejut, tapi ju ga gugup. Namun ketika ibunya tersenyum ringan dan ia berdegupan maka ibunya itu mengajak bicara kembali.

"Ayo, kau belum menjawab. Bukankah kau akan bicara dengan ibumu masalah ini."

"Beb.... benar!" akhirnya pemuda ini hilang juga gugupnya, wajah masih memerah. "Tapi bagaimana aku harus mulai, ibu. Berat rasanya bertanya tentang ini kepada ibu!"

"Hm, kau sudah ke seberang daratan. Tentu kau bertanya pula kepada Siong-lopek itu. Nah, katakan apa yang dia katakan"

Siang Le tak dapat bersembunyi lagi. Ibunya ini memang wanita yang bermata tajam dan apa boleh buat ia tak mungkin berpura-pura terus. Ia harus bicara!. Maka ketika ia menarik napas panjang dan warna malu mulai hilang, ia adalah laki-laki dewasa dan harus bicara secara dewasa pula maka pemuda itu menceritakan hasil akhir dari pembicaraannya dengan kakek tua itu. "Siong-lopek menyuruh aku kembali seminggu lagi. la belum menemukan jawabnya. Dan.... dan aku diharuskan mengamati gerak-gerik Eng-moi!"

"Maksudnya?"

"Eh, maksudnya... eh, katanya ada saat-saat tertentu bagi wanita untuk berada pada gairahnya yang tinggi, ibu. Dan ini harus kuperhatikan. Aku dilarang bermesraan dulu dengan isteriku!"

"Hm-hm!" wajah itu bersemu dadu "Dia benar anakku. Memang ada saat-saat tertentu bagi wanita untuk timbul gairahnya pada kondisi puncak. Dan kakek itu rupanya ingin menghitung!"

"Menghitung?"

"Menghitung saat mana seorang suami boleh tidur bersama isterinya untuk mendapatkan anak perempuan atau lelaki. Kau selama ini tak memperhatikan itu. Tapi biarlah kakek itu yang bicara denganmu karena tentu kalian laki-laki. Sama laki-laki lebih bebas!"

Siang Le semburat wajahnya. Sang ibu juga agak memerah dan rupanya wanita ini tersentuh juga kelikatannya. Mereka dua orang berlainan jenis di mana pihak wanita lebih peka daripada laki-laki. Kalau bukan karena nyonya ini sudah berumur tentu Wang-hujin itu jengah juga. Dan ketika Siang Le mengangguk-angguk dan mengerti, memang Siong-lopek bakal lebih bebas memberitahunya maka ibunya itu bangkit berdiri- mengambil segebung hio.

"Semua harus dimulai dengan cara yang bersih. Mari, ikuti aku, Siang Le. Kita ke belakang sebentar!"

Pemuda itu tertegun. Dupa atau hio di tangan ibunya itu memberi isyarat sembahyang. Dia rupanya akan diajak sembahyang. Dan ketika benar saja mereka menuju ruang pemujaan, di sini ibunya berhenti dan di situlah biasanya ibunya itu berdoa atau sembahyang memohon ke bahagiaan maka Siang Le terharu ketika ibunya itu berkata,

"Tak ada sesuatu tanpa adanya Sang Pencipta. Manusia boleh berusaha tapi Dia yang menentukan, anakku. Rencanamu baik tapi kau lupa sembahyang. Memulai sesuatu harus dengan berdoa dulu apalagi kalau sesuatu itu yang amat penting. Nah, mari ibu ajak bersembahyang dan memohon agar keinginanmu terkabul."

Siang Le tergetar dan ingat akan kebiasaan ibunya ini. Memang, sejak mereka sama-sama di Sam-liong-to maka ruangan ini diminta khusus oleh ibunya untuk sembahyang. Kalau sudah sembahyang atau berdoa biasanya ibunya itu betah benar. Semalam suntuk pun dirinya tak bergeming. Ah, ibunya ini memang wanita bertuhan, tak pernah lupa kepada Sang Khalik dan tentu saja dia terharu. Dia lupa itu. Tuhan adalah segala-galanya. Maka ketika dia berlutut dan sang ibu membimbing, bibir halus itu berkemak-kemik maka pemuda inipun mengikuti dan hio atau dupa biting itupun mulai mengepul menyebarkan bau harum.

Siang Le tertunduk dan berkaca-kaca. Jarang ada wanita seperti ini yang berwatak mulia. Bertahun-tahun berkumpul dengan ibunya ini Siang Le mendapat sesuatu yang positip. Ibunya selalu mulai hal-hal penting dengan sembahyang dulu. Dan ketikn semalam itu dia diajak sembahyang dan segebung hio hampir habis, demikian khusuk ibunya berdoa maka kokok ayam hutan terdengar di luar dan pagi pun beringsut tiba.

"Cukup, sekarang selesai. Mari mandi dan bersihkan tubuh, anakku. Kalau Siong lopek tak mampu memberikan jawabannya ibulah yang nanti memberitahumu. Nah, berdiri dan kita keluar."

Siang Le kagum. Ibunya tak nampak mengantuk meskipun semalaman tak tidur. Ibunya ini hebat. Dan ketika ia keluar dan mandi membersihkan tubuh maka di sana isterinya telah menyiapkan makan minum untuk mereka, makanan pagi.

"Hm, tahu rasa kau," isterinya tertawa. "Lihat ibu mengajakmu begadang, Le-ko. Heran benar bahwa kau tahan. Biasanya masih sore sudah ngorok!"

"Kau nakal," Siang Le mencubit lengan isterinya ini. Kau lapor kepada ibu, Eng-moi. Sial benar kenapa kau membuat malu!"

"Weh-eh, kenapa malu," sang isteri berkelit terkekeh. "Aku pribadi cuek dengan permintaan ibu, Le-ko. Kaulah yang rupanya ngotot dan tak kusangka menemui Siong-lopek segala!"

"Kau tahu?"

"Tentu saja. Aku punya telinga dan dengar!"

"Sialan!"

"Hi-hikk..." dan ketika keduanya berkelit dan saling cubit maka pagi itu pemuda ini merasakan suatu kebahagiaan yang lebih segar.

Siang Hwa dan Siang Lan muncul dan dua anak mereka itu terkekeh melihat ibu dan ayahnya saling serang. Mereka geli. Tapi ketika Soat Eng berteriak untuk dibantu, sang ayah ditahan maka dua anak perempuan itu menghambur dan melompat di punggung sang ayah untuk mencubiti Siang Le.

"Hei-hei! Apa ini! Curang! Mengeroyok! Heii...! Wah, lepaskan aku, Siang Hwa. Hei, kuku kalian itu terlalu tajam. Aduh, Siang Lan menggigit pula!" dan ketika suasana menjadi riuh dan ramai, segar maka Soat Eng melompat dan meninggalkan suaminya dikeroyok anak-anak mereka sendiri. Siang Lan dan Siang Hwa ternyata membantu ibu mereka dan wanita itu terkekeh-kekeh di tempat lain. Tapi ketika muncul Wang-hujin dan Siang Hwa serta adiknya meloncat turun maka mereka berlarian tak mau ditegur, terkekeh-kekeh.

"Hi-hik, nenek datang. Awas, dia tentu membantu ayah."

Siang Le meringis dan tertawa senang Kebahagiaan pagi itu terasa menyegarkan dan ia nikmat. Betapa bahagianya rumah tangga Dan ketika Cao Cun menarik napas panjang, anak-anak nakal itu melepaskan ayah mereka maka pagi itu mereka sarapan dan Soat Eng tertawa menggoda suaminya itu

"Itu hukuman buat orang yang pergi secara diam-diam, pergi dengan urusan rahasia. Pantas, kau tak mau membawa anak-anak, Le-ko. Kiranya kasak-kusuk dengan Siong-lopek!"

"Hm-hm, ini demi kebahagiaan anak-anak kita. Eh, mereka bakal mendukung rencanaku, Eng-moi. Tanya saja Siang Hwa atau Siang Lan!"

"Rencana apa?"

"Memberikan adik laki-laki kepada mereka ini. Tanya mereka apakah Siang Lan atau encinya tak suka adik laki-laki!"

"Cis, kau bicara apa?"

"Ha-ha, bicara kebahagiaan anak-anak kita ini, Eng-moi. Coba kutanya mereka apakah tak suka adik laki-laki!" lalu ketika Siang Le menyambar dan bertanya kepada anak-anaknya, tentu saja Siang hwa dan Siang Lan bersorak kontan saja mereka itu berseru,

"Aku mau... aku mau! Lan Lan dan Hwa-cici mau adik Iaki-laki. Nanti bisi main layang-layang!"

"Ha-ha, bagaimana, Eng-moi. Bukankah benar mereka pingin adik laki-laki untuk main layang-layang!" dan ketika isterinya memaki dan meloncat keluar, sarapan sudah selesai maka Siang Le terbahak-bahak sementara sang ibu tersenyum dan tertawa-tawa kecil.

Soat Eng tak dapat menahan malu lagi setelah balik digoda. Suaminya nakal sekali. Dan ketika hari itu Siang Le mulai menghitung saat bulan purnama, juga memperhatikan gerak-gerik isteri ternyata benar saja mendekati bulan purnama isterinya itu menunjukkan tanda-tanda gairah yang meninggi. "Kau nakal, kau membuat malu. Cih, masa di depan anak-anak kau bicara seperti itu, Le-ko? Kau membuat aku jengah sekali!"

"Ha-ha, jengah bagaimana. Mereka itu anak-anak yang tak tahu seluk-beluk hubungan kita. Mereka masih terlalu kecil. Mereka mendapat adik seolah mendapat boneka saja."

"Tapi Siang Lan bertanya yang merepotkan aku. Dari mana adik itu didapat!"

"Eh-eh, kenapa sukar menjawab? Bilang saja dari Tuhan!"

"Tapi dia mendesak. Bagaimana sang ibu membesar perutnya dan ada bayi di situ!"

"Ha-ha, dari mana dia tahu?"

"Anak-anak itu melihat pasangan monyet di hutan, Le-ko. Mereka mulai bertanya-tanya dan repot aku menjawab!"

"Ha-ha, tak perlu repot. Bilang saja perut ibu dititipi Tuhan untuk menjaga anak itu. Nah, bukankah beres? Sudahlah, tak perlu bingung, Eng-moi. Mereka akan tahu sendiri sesuai dengan umurnya. Mereka wajar, kita jawab yang wajar juga dan sesuai kemampuan daya serap anak-anak. Kau cemberut tapi wajahmu bersinar cemerlang malam ini. Entah gembira soal apa atau mataku yang barangkali salah!"

Sang isteri mencubit, gemas. "Kau merayu?"

"Eh-eh, aduh.... lepaskan, niocu. Aku tidak merayu namun kulihat jelas kecemerlangan itu. Kau gembira. Kau bahagia. Kau rupanya berseri dan senang bahwa Siang Hwa mau punya adik lagi.... aduh!" Siang Le berteriak dan meloncat meninggalkan isterinya. Cubitan kuat yang keras sekali membuat dia menjerit. Lengannya matang biru!

Tapi ketika sang isteri terisak dan dia terkejut, berhenti, maka isterinya itu dilihatnya membenamkan muka di bantal. Siang Le terkejut, bingung. "Niocu, ada apa? Kau marah?" Sedu-sedan tiba-tiba terdengar. Siang Le kaget dan tentu saja heran. Dan ketika ia kembali dan duduk membelai isteri nya, lupa kepada bekas cubitan maka iapun tersentak lagi ketika isterinya itu mengguguk!

"Eh-eh, ada apa, niocu? Kenapa mengguguk. Maaf kalau aku salah. Kau.... aneh benar, aku jadi salah tingkah. Apa yang kulakukan dan perlukah ibu kupanggil!"

"Jangan!" suara itu tiba-tiba bersamaan dengan kepala yang diangkat, bantal dibuang. "Jangan panggil ibu, Le-ko. Aku malu!"

"Malu?"

"Ya-ya, kau yang membuat aku malu. Kau meledek terus. Kau membuat aku malu tentang pembicaraan adik laki-laki itu. Kau tak kasihan isterimu!"

"Lho, tak kasihan?"

"Ah, tak mengertikah kau?"

"Tidak," pemuda ini bingung, alis berkerut. "Aku tak mengerti, Eng-moi, tak tahu...."

"Dasar bodoh!" dan sang isteri yang mengguguk dan menangis lagi akhirnya menyambar bantal itu untuk membenamkan mukanya lagi, berguncang-guncang, naik turun pundaknya tapi Siang Le kali ini mendengar suara tangis yang lain. Tangis itu bukan tangis duka. Tangis itu bukan tangis marah! Dan ketika ia bengong karena tangis itu malah tangis bahagia, aneh!, iapun berjingkat dan pura-pura mau menemui ibunya lagi, keluar. Tapi begitu ia membuka pintu mendadak isterinya mencelat dan menahan daun pintu itu, bersitegang.

"Kau mau ke mana!"

"Ke ibu..."

"Tidak! Jangan panggil ibu, Le-ko. Jangan membuat aku bertambah malu. Kau... kau harus tahu perasaan isterimu!"

"Perasaan bagaimana? Aku bingung. Kau.... kau menangis. Tapi tangismu tangis gembira. Aku bingung masa orang gembira bisa menangis!"

"Kau tidak tahu?"

"Tidak."

"Memang bodoh!" dan sang isteri yang mengunci dan menyimpan kunci kamar lalu membiarkan sang suami bengong karena Soat Eng sudah balik dan meloncat lagi ke pembaringannya, tinggal isak-isak kecil tapi wajah dan mulut itu geli!

Pemuda ini melihat jelas betapa isterinya memang betul-betul tidak marah. Wajah dan bibir itu tersenyum! Dan karena ia bingung dan bengong maka iapun balik lagi dan bertanya dengan suara ketidakpastian, "Eng-moi, kau ini marah atau senang? Kau ini gusar atau gembira? Aku tak mengerti tindak-tandukmu ini. Kau aneh, aku jadi takut...."

"Takut apa?"

"Takut membuatmu malu lagi. Takut, eh.... takut salah bicara. takut kalau aku sendiri jadi takut menghadapimu!"

Kekeh geli tiba-tiba meledak. Siang Le bengong melihat betapa isterinya itu tiba-tiba tertawa demikian nyaringnYa. Aneh, wanita sungguh aneh. Dan ketika ia menganggap isterinya atau diri sendiri yang gila maka isterinya itu menyambar lengannya dan berseru,

"Le-ko, duduklah. Kujawab pertanyaan mu. Aku jadi kasihan kalau kau serba takut. Hi-hik, duduklah, Le-ko. Duduklah! Kau memang laki-laki dan suami yang tolol!" lalu ketika Siang Le geleng-geleng kepala dimaki seenaknya, duduk dan membelalakkan mata maka berkatalah isteri-nya itu penuh tawa, "Aku girang bahwa kau berjuang sedemikian besar. Aku juga ingin anak laki-laki, meskipun aku cuek terhadap omongan ibu. Dan karena kau rupanya melihat semuanya itu maka aku bertambah malu namun sekaligus senang, Le-ko. Bahwa kau suami yang baik dan penuh cinta terhadap keluarga!"

"Maksudmu?"

"Kau memang tolol. Aku diam-diam juga pingin punya anak laki-laki, Le-ko, tapi bukan karena takut kepada ibu. Aku juga lama mendambakan ini. Dan karena malam ini rupanya kegembiraanku tak dapat kusembunyikan, kau menebak tepat maka aku malu dan menumpahkan itu dalam tangis!"

"Aku bingung, masih belum mengerti..."

"Eh-eh, kau bilang apa tadi. Coba ingat apa yang kau katakan ketika pertama melihat aku!"

"Hm, aku melihat wajahmu cemerlang Kau berseri dan segar benar malam ini."

"Itulah! Itu yang tepat kau lihat, Le-ko. Aku memang senang dan bahagia sekali malam ini. Aku girang bahwa kau ingin anak laki-laki. Aku.... aku senang bahwa kau berjuang untuk mendapatkan semuanya itu!"

"Jadi?"

"Benar, kau saja yang tolol. Kau menelanjangi mukaku habis-habisan. Siapa tidak malu meskipun senang!"

"Wah, jadi kau setuju dengan semua tindakanku ini?"

"Benar, aku senang bahwa kau menemui Siong-lopek, Le-ko. Bahwa kau berjuang untuk mendqpatkan anak laki-laki.Aku juga takut kalau nanti hamil perempuan lagi. Aku kasihan Siang Hwa dan Siang Lan!"

"Ha-ha..!" siang Le meraih dan menyambar isterinya ini. "Kau tiada ubahnya wanita-wanita lain di dunia ini, Eng-moi. Selalu membuat bingung dan takut laki-laki. Ah, aku memang takut setelah kau menangis melulu. Tapi ketika kudengar bahwa tangismu bukan tangis marah, kau rupanya menangis bahagia maka aku mendekatimu lagi dan baru sekarang mengerti. Ha..ha.. wanita memang aneh dan sering membuat bingung laki-laki!"

Siang Le yang langsung mencium dan melumat bibir isterinya lalu disambut erang dan keluh manja. Soat Eng menggeliat dan tiba-tiba balas memeluk suaminya itu. Tangan tahu-tahu membuka kancing baju. Wanita ini cepat sekali naik birahi! Tapi ketika Siang Le teringat pesanan Siong-lopek dan dia tak boleh bermesraan dulu, mendorong dan menjauhkan isterinya ini maka Soat Eng terkejut dan membelalakkan mata.

"Tak boleh... belum boleh!"

Soat Eng terkejut semburat.

"Siong-lopek melarangku bermesraan dulu, moi-moi, tunggu sampai bulan purnama. Kita harus menahan diri kalau ingin punya anak laki-laki!"

"Hm, apa maksud kakek itu..."

"Ada perhitungan tertentu. Aku juga belum tahu tapi tentu kakek itu tak bohong. Maaf, kita menahan diri dulu dan jangan buat aku panas dingin!"

Soat Eng kecewa. Sebagai wanita tentu saja tak mungkin dia mendesak. Tabu! Tapi ketika suaminya menggandeng dan membawa lengannya maka dia terhibur juga.

"Moi-moi, menginginkan sesuatu rupanya memang harus selalu prihatin. Sabarlah, bukan aku tak cinta. Kau percaya, bukan? Tunggu seminggu lagi, moi-moi. Nanti aku datang dengan semangat baru!"

"Hm! " sang isteri tersenyum.

"Semangat baru? Memangnya kau kini tidak bersemangat?"

"Ha-ha, bukan. Tapi keterangan Siong lopek tentu bakal membuat semuanya seolah baru, moi-moi, termasuk semangatku nanti. Siapa tahu kita bakal seperti pengantin baru!" dan ketika sang isteri mencibir dan si suami gemas maka Siang Le mencium lagi isterinya itu dan malam itu mereka tak berani berlebihan.

Benar bahwa gejolak meningkat terjadi pada wanita ini. Siang Le memperhatikan dan diam-diam kasihan. Siapa tak ingin menuangkan cinta di saat-saat seperti itu. Dan ketika malam-malam berikut juga di lewatkan dengan perasaan ditahan, Cao Cun membawa puteranya untuk sembahyang tujuh malam berturut-turut maka keesokan harinya pemuda ini berlayar lagi menuju daratan seberang.

"Aku ingin ikut. Tapi, hmm.... malu rasanya bertemu kakek itu."

"Ha-ha, ada ibu di sini, Eng-moi. Kau boleh bertanya pada ibu saja. Dia juga rupanya tahu. Sesama wanita tentu lebih bebas!"

"Begitukah?"

"Benar, tanya saja ibu. Tuh...!" dan ketika Cao Cun muncul dan tersenyum di balik batu karang maka nyonya ini semburat dan Siang Le tertawa bergelak meninggalkan Sam-liong-to. "Moi-moi, sampai ketemu lagi!"

Siang Le bergerak mendorong perahunya. Pemuda ini gembira dan harapan besar terpancar di wajah. Siapa tidak girang kalau akan mendapatkan resep meraih rejeki. Dan ketika pemuda itu bergerak dan lenyap di balik gulungan ombak, Soat Eng menarik napas panjang maka ibu angkatnya ini menyentuh lengannya dan tersenyum penuh pengertian.

"Biarkan ia mendapat pengetahuan baru. Mari kau ikuti aku, Soat Eng. Coba kita lihat apakah petunjuk kakek itu akan sama dengan petunjukku."

"Ibu akan memberi tahu....?"

"Ya, kita sama-sama wanita. Likat juga kalau aku harus bicara dengan Siang Le. Biarkan ia dengan Siong-lopek dan kita sama kita!" lalu ketika wanita itu menggandeng dan membawa Soat Eng maka di sana Siang Le sudah ditunggu kakek itu dan pemuda ini meloncat dari perahunya dengan jantung berdebar-debar.

"Ha-ha, tepat. Seminggu tepat! Eh, jangan terlampau tegang dan ikat perahumu, kongcu. Nanti hanyut terbawa ombak!"

Siang Le membalik. la lupa mengikat perahunya dan mukapun merah berseri-seri. Siong-lopek ini bakal gurunya mencari ilmu. Ia akan diberi pelajaran bagaimana mencapai cita-cita. Dan ketika perahu terikat kuat dan ia pun dibawa tuan rumah maka Siang Le tercengang lagi bahwa penganan dan apa saja tersedia di meja.

"Bukan untukmu, ha-ha.... bukan untukmu. Itu untuk cucu-cucuku di Sam-liong-to, Siang-kongcu.. Berikan kepada mereka dan biarkan mereka senang!"

"Tapi aku tak membawa tangkapan..."

"Siapa mau ikan? Eh, aku juga masih cukup, kongcu. Tak perlu kedatanganmu harus membawa ikan. Hari ini kita akan menyelesaikan urusan lain. Ayo, duduk dan katakan apa hasilnya. Bagaimana dengan ibumu itu, Wang-hujin!"

"Hm, ibu tidak menerangkan apa-apa. Ia mengajakku sembahyang, lopek. Katanya harus sembahyang dulu sebelum meraih cita-cita!"

"Ha-ha, Wang-hujin benar. la betul. Cocok! Wah, aku yang lupa tidak memberitahu itu. Eh, manusia boleh berusaha tapi Tuhan yang menentukan, kongcu. Memang betul. Resep itu sudah ku dapat tapi tanpa kehendakNya tak mungkin terkabul!" lalu mengangguk-angguk dan kagum membayangkan wanita itu kakek ini duduk menarik napas dalam-dalam.

Siang Le mendengarkan dengan jantung berdegupan. "Lopek sudah mendapatkan itu?"

"Sudah. Tapi, hmm.... bagaimana dengan isterimu?"

"Lopek benar. Ia... ia agak hangat!"

"Ha-ha, maksudmu agak panas? Benar, Im dan Yang sudah mulai bekerja, kongcu. Itu tanda yang baik. Tapi kau tak melanggar pesanku, bukan?"

"Hm, aku dapat menahan diri," Siang Le agak memerah.

"Tak apa, tapi coba kuraba denyut nadimu." Kakek itu tersenyum-senyum, menyambar dan memegang denyut nadi pemuda itu dan dihitungnya menurut waktu yang tetap-tetap. Siang Le mengerutkan kening dan tak mengerti. Bagai tabib saja layaknya orang tua itu. Tapi ketika ia mengangguk-angguk dan melepaskan pergelangan Siang Le maka ia tertawa berkata,

"Kau tak bohong. Tenagamu masih utuh!"

"Hm, lopek mengira aku kehilangan tenagaku?"

"Ha-ha, benar. Orang yang sudah bermain cinta bakal lelah dan denyut nadinya melemah, kongcu. tapi kau masih keras dan berdenyar. Kau utuh, tenagamu belum hilang. Dan ini berarti kekuatan Im atau Yang-mu berimbang dengan isterimu itu. Sekarang baca dan lihat saja ini!" kakek itu melempar sebuah buku kecil, meneguk secawan arak dan tertawa-tawa tak menghiraukan Siang Le.

Pemuda itu terkejut dan meraih buku kecil itu. Lalu ketika keterangan demi keterangan terdapat di situ, ia tertegun dan melonjak tiba-tiba Siang Le girang luar biasa seakan mendapat lotre besar. "Ha-ha, kiranya begitu, lopek. Mengerti aku sekarang. Ah, pantas kalau anakku semuanya perempuan. Aku terbalik melaksanakan resep. Ha-ha, terima kasih. dan buku ini kiranya benar. Wah, akan kucoba dan terima kasih banyak!"

"Eh-eh, nanti dulu. Jangan terburu dan mau pulang, kongcu. Ini untuk anak-anakmu. Heiii...!"

Siang Le terbang dan meloncat membawa buku kecil itu. Di situ ia mendapat penjelasan tentang unsur-unsur Im dan Yang di tubuh manusia. Baik wanita mau pun pria harus memadukan unsur-unsur ini kalau ingin mendapatkan yang dicari. Dan karena selama ini ia terbalik melaksanakan ketentuan, unsur Im dan Im akan membuat ia selalu memiliki keturunan perempuan maka Siang Le melonjak luar biasa ketika diberi tahu bahwa perpaduan Im dan Yang akan menghasilkan anak laki-laki. Terutama kalau unsur "Yang" dua kali lebih banyak dari unsur Im.

"Ha-ha, terima kasih. Aku akan memberi tahu isteriku!" Siang Le tak perduli pada kakek itu dan melepas ikatan perahunya. Ia sampai lupa kepada sekeranjang makanan untuk Siang Hwa dan Siang Lan. Siong-lopek menyiapkan itu semua untuk anak-anaknya di Sam-liong-to.

Tapi ketika si kakek berlarian dan kebetulan tali perahu nyangkut di semak berduri, perahu terputar membalik maka kakek itu berseru mengacung-acungkan keranjang bawaannya. "Heii.... heii! Bawa dan berikan ini pada cucu-cucuku, kongcu. Ini untuk Siang Hwa dan Siang Lan. Jangan terlalu girang karena semuanya itu tergantung Yang Maha Kuasa. Manusia berusaha Dia yang menentukan!"

Siang Le teringat. la melihat kakek itu jatuh dan melompat keluar lagi. Bawaan keranjang rupanya berat juga. Dan ketika ia menolong dan menepuk si kakek, kegirangannya tak dapat disembunyikan lagi maka Siang Le melompat dan naik lagi ke perahunya. Keranjang makanan itu dibawa. "Lopek boleh ikut aku kalau mau. Mari!"

"Tidak.. tidak...! Aku si tua biar di sini, kongcu. Menunggu kabar. Berangkatlah dan kudoakan sukses!"

Siang Le tertawa bergelak. Ia girang dan senang seolah keturunan laki-laki itu sudah pasti didapatnya. Ia bahagia dan begitu gembira hingga tak banyak bicara lagi kepada Siong-lopek. Dan ketika ia meninggalkan kakek itu dan perahu meluncur membelah ombak, tenaga si anak muda demikian luar biasa hingga perahu melesat dan naik di antara buih-buih ombak maka kakek di seberang daratan itu berdecak menggeleng kepala berulang-ulang.

"Siang-kongcu, hati-hati. Sampaikan salamku kepada Wang-hujin dan isterimu!"

Siang Le tak menjawab. Ia sudah jauh dan menggerakkan perahu seperti kesetanan. Buku kecil di tangannya itu bagai jimat yang amat bertuah. Dan ketika sebentar kemudian ia sudah lenyap di balik ombak bergulung-gulung, kakek Siong tersenyum dan menarik napas pendek panjang maka pemuda ini sendiri sudah meluncur dan menari serta menyelinap di tengah laut buas. Siang Le tak menghiraukan apa saja kecuali ingin cepat sampai dan tiba di tujuan. la mendayung begitu cepat hingga perahu meloncat dan terbang di atas buih ombak, jatuh dan meloncat lagi hingga orang akan geleng-geleng kepala melihatnya.

Sekali perahu itu tak kuat tentu pecah dasarnya. Salah-salah pemuda itu bisa tenggelam! Namun karena Siang Le adalah mantu Pendekar Rambut Emas dan ilmu-ilmu tinggi didapatnya dari sang gak-hu (ayah mertua) maka pemuda itu sebentar kemudian sudah sampai di Sam-liong-to. Dan begitu meloncat keluar iapun tertawa bergelak. Pulau seakan runtuh oleh getar suaranya.

"Ha-ha, berhasil, Eng-moi. Berhasil! Aku telah mendapatkan kuncinya bagaimana mendapat anak laki-laki!"

Soat Eng berkelebat. la mendengar tawa suaminya itu dan melihat sang suami menghambur dan terbang ke lstana Hantu. Mereka memang tinggal di istana itu. Dan ketika sang suami melihatnya dan langsung saja menubruk, Siang Le menyambar dan mengangkat isterinya ini maka sambil terbahak-bahak ia menciumi isterinya itu.

"Berhasil, kita berhasil. Malam nanti kita coba, ha-ha...!"

"Hush, coba apa? Kenapa seperti gila begini? Turunkan aku, Le-ko. Anak-anak datang!"

"Tak apa. Aku ingin menciumi mereka pula dan memberi tahu bahwa adik laki-lakinya siap datang!" Siang Le membuang isterinya itu, meloncat dan berjungkir balik menyambar dua anak perempuannya dan Soat Eng memaki suami nya berjungkir balik. la dibuang dan dilempar begitu saja. Kalau bukan dia tentu celaka. Dan ketika suaminya itu terbahak-bahak menciumi anaknya, sang ibu muncul maka Cao Cun geli melihat tingkah pemuda itu.

"Siang Le, kau seperti menang lotre. ingat, tanpa Tuhan tak akan terjadi semuanya itu."

"Ha-ha, Tuhan merestui, ibu. Aku Ingin menyenangkan isteri dan gak-boku. ha-ha, sudah kudapat resep itu!"

"Ayah bicara tentang apa," Siang Hwa mengomel. "Bajumu bau, ayah. Kau penuh keringat!"

"Ha-ha, tak apa. Nanti ibumu yang mencuci!"

"Enaknya!" Soat Eng membanting kaki "Isteri sibuk suami harus membantu, Le-ko. Nah, aku belum selesai masak dan kau mencuci bajumu itu dulu!" dan ketika Siang Le tertawa melihat isterinya berkelebat maka sesuatu tiba-tiba jatuh dari saku isterinya itu.

"Heii, apa itu!"

Soat Eng terkejut. Siang Lan, anaknya kedua berteriak padanya. Tapi sang suami yang bergerak dan berkelebat lebih cepat sudah menyambar dan mengambil itu, membukanya. Dan Siang Le terbelalak melihat itu. Racikan jamu!

"Eh, kau minum jamu? Suka pahit-pahit?"

"Berikan!" sang isteri merampas. "Itu bukan untuk laki-laki, Le-ko. Kau berusaha akupun tak mau kalah!" dan ketika sang suami terbelalak sementara sang isteri melotot maka Soat Eng berkelebat meninggalkan suami dan anak-anaknya itu. Muka memerah.

"Hei-hei...! Apa itu. Aku juga mau jamu!"

"Itu khusus wanita," Cao Cun bergerak dan menengahi. "Laki-laki tak cocok minum itu, Siang Le. Itu untuk pembersih dan penguat kandungan. Kau ada sendiri dan sudah kubuatkan di belakang."

Siang Le tertawa. Akhirnya ia geli begitu mendengar ini. Untuk kandungan? Wah, laki-laki tak punya itu. Hanya wanitalah yang punya. Dan ketika ia terbahak dan gembira benar maka sang ibu bertanya bagaimana hasilnya. "Bagus... bagus, aku sudah mengetahui kuncinya. Terima kasih, ibu. Kaupun ikut berjasa!"

"Tapi ingat," sang ibu menunjuk. "Manusia berusaha Tuhan yang menentukan, anakku. Aku akan berdoa sepanjang malam untuk keberhasilanmu. Mudah-mudahan gak-bomu tak marah dan senang mendapat cucu laki-laki!"

Hari itu Siang Le gembira benar. Ia menyantap hidangan isterinya dan berkali-kali memuji. Sang isteri melerok namun tertawa juga. Kegembiraan suami menular. Dan ketika hari demi hari dilewatkan bahagia dan dua bulan kemudian isterinya hamil maka Siang Le bersorak mendengar kata-kata nenek pijat bahwa bayinya laki-laki. Nenek itu dipanggil dan akhirnya dipersiapkan untuk mengurus atau menjaga kesehatan Siang-hujin.

"Laki-laki. Selamat, tuan muda. Nyonya mengandung bayi laki-laki."

"Dari mana kau tahu?"

"Jempol dan mata kakinya, tuan muda. Denyut dan gerakan nadinya menunjukkan laki-laki. Keras dan kuat. Bayimu sehat sekali. Selamat!"

Siang Le berjingkrak. Nenek pijat ini bukan sembarang pemijat melainkan juga seorang ahli kebidanan yang tahu betul tentang wanita hamil. Dulu, dua kali kehamilan isterinya nenek ini jugalah yang dipanggil. Dan dua kali itu pula nenek ini menyatakan bayinya perempuan, hal yang cocok karena kemudian lahir Siang Hwa dan Siang Lan itu. Maka ketika kini sang nenek bicara bahwa bayinya laki-laki, bukan main girangnya Siang Le maka pemuda ini berjingkrak dan bersorak. Tingkahnya seperti anak kecil.

"Jangan gila," sang isteri menegur. "Kau seperti orang sinting, Le-ko. Lihat nenek Lui tertawa!"

"Ha-ha, biar ia tertawa. Biar aku gila. Yang jelas aku gembira sekali, Eng-moi. Apa yang dikata Siong-lopek benar. la cocok. Ah, bahagianya gak-bo kalau mendengar ini!"

Lui-ma, nenek itu terkekeh-kekeh. Sudah lama ia mengenal keluarga ini sejak kehamilan pertama dulu. Sayang ia tak mau tinggal di Sam-liong-to karena ada keluarganya di seberang. Nenek itu pulang sebulan dua kali. Dan ketika sekarang ia pun diminta tinggal di situ sampai kelahiran tiba, nenek ini tak menolak asal sebulan dua kali menengok keluarganya maka pada bulan terakhir dari kehamilannya Soat Eng sudah merasa sakit-sakit yang sangat dari tanda-tanda kehamilan.

"Hm, dua tiga hari lagi. Baik, sediakan popok dan keperluan ibu dan anak, tuan muda. Aku akan menjaga di sini dan biar Wang-hujin membantuku."

"Tapi ia laki-laki, bukan?"

"Laki-laki, tuan muda. Semakin kuat dan meyakinkan tanda-tandanya. Aku yakin dia laki-laki!"

"Huraaa...!"

"Eh, jangan berhura. Hujin mulai kesakitan!"

Siang Le sadar. la melihat isterinya menangis dan munculah sang ibu yang menyediakan ini itu. Popok dan keperluan ibu anak ternyata sudah disiapkan wanita ini. Dan ketika dua hari kemudian, diwaktu gelombang pasang sedang menghantam Sam-liong-to maka di tengah malam di sela-sela petir dan hujan deras lahirlah anak nomor tiga dari keluarga ini. Seorang bocah laki-laki tepat seperti ramalan nenek Lui!

"Ha-ha, laki-laki. Benar laki-laki. Ah, ini untukmu, gak-bo. Menantumu ternyata pandai dan tidak goblok. Ha-ha, Siang Le masih pandai!"

Soat Eng menangis terisak-isak. Ia dapat merasakan kebahagiaan dan kegembiraan suaminya itu. Suaminya paling takut kalau sudah dimusuhi ibunya. Ibunya memang keras dan kadang-kadang kejam. Dan ketika hari itu mereka merasakan kegembiraan luar biasa, Soat Eng bertanya siapa nama anak laki-laki mereka maka Siang le bingung dan tertegun.

"Celaka, aku belum tahu. Biar kutanya ibu!"

"Eh, kenapa ibu? Kau sendiri coba cari nama, Le-ko. Jangan ibu ter.. Dulu Siang Hwa dan Siang Lan juga begitu!"

"Hm-hm, kalau begitu siapa namanya. Aku belum siap. Wah, biar sehari ini kucarikan nama anakku dan coba kupasang hio sebentar!" Siang Le berkelebat ke belakang. Ia memasang hio dan teringat cara ibunya ia pun tiba-tiba ingin minta tolong mendapatkan nama yang bagus. Nama itu penting. Anaknya sekarang laki-laki dan ia akan mencari bobot bagi nama anaknya. itu.

Dan ketika ia hampir bertabrakan dengan sang ibu yang keluar dari ruang pemujaan maka Cao Cun tersenyum melihat kegugupan sikap puteranya itu. "Apa ini, semua serba tergesa-gesa. Harusnya dari dulu kau mencari nama itu, Siang Le, bukan dadakan begini. Di meja sembahyang ada tiga nama untukmu. Pilihlah yang cocok. Mudah-mudahan kau berkenan."

Siang Le tertegun. Ia cepat berlutut di altar sembahyang dan ternyata situ telah ada tiga nama pilihan. la tergetar. Nama itu bagus-bagus. Dan ketika ia terbelalak dan mernbaca sekali lagi maka berturut-turut terdapat nama yang masing-masing mempunyai arti besar:

Siang Hok Gi, Siang Houw To dan Siang Lo Siong!

"Hm, mana yang kupilih? Dan apa arti nama terakhir ini? Wah, biar ibu kupanggil lagi!"

Namun ketika Cao Cun ke-uar dan muncul di pintu pemujaan maka wanita itu tertawa. "Aku tahu, kau pasti akan mencari aku lagi. Baik, apa yang hendak kau tanyakan, Siang Le. Nama itu cukup berbobot tapl coba kira-kira mana yang akan kau pilih!"

"Hm-hm, aku bingung untuk mengira-ngira arti dari ketiga nama ini. Tapi kalau tidak salah nama yang pertama cocok untukku, ibu. Siang Hok Gi berarti 'Rejeki Keluarga Siang'!"

"Heh-heh, cocok. Dan nama kedua?"

"Houw artinya Harimau. Dan To, hmm.... apalagi kalau bukan Sam-liong-to yang kau ambil ekornya? Siang Houw To berarti Harimau Keluarga Siang Dari Sam-liong-to, ibu. Tapi benar atau tidak aku tidak tahu!"

"Cerdas, kau cerdas! Heh-heh, kau benar, Siang Le. Tapi coba nama yang ketiga!"

"Wah, ini aku bingung. Lo artinya Tua, dan Siong...."

"Siapa lagi kalau bukan kakek di seberang sana? Aku mengambil nama itu untuk mengingat jasa baiknya, Siang Le. Nama itu memang nama tua tapi kalau kau lebih cocok yang pertama tentu saja boleh ambil!"

"Ha-ha, bagus. Kalau begitu yang pertama itu saja. Hok Gi adalah Rejeki, dan aku benar-benar merasa mendapat rejeki. wah, ini saja yang kupilih, ibu. Terima kasih. Tapi, sst.... jangan bilang pada iseriku bahwa nama ini lagi-lagi hasil buah pikiranmu!" dan Siang Le yang meloncat dan meninggalkan ibunya lalu membuat wanita itu tertawa tapi Cao Cun tentu tak menolak.

Siang Le adalah puteranya yang baik dan pemuda itu amat disayangnya. Dia sudah tahu bahwa pemuda ini seperti biasa tentu tak pernah mempersiapkan nama. Baru setelah lahir dicarilah nama itu serabutan. Dia mempersiapkannya sendiri selama beberapa bulan terakhir ini. Dan ketika Hok Gi, nama itu dicantumkan pada cucunya laki-laki maka resmilah nama itu menjadi milik penghuni kecil Sam-liong-to.

Anak ini tumbuh dengan sehat dan sempurna. Jarang kena penyakit meskipun cuaca mudah berubah-ubah di Sam-liong-to. Tapi ketika Siang Le hendak pergi menengok ke utara, berkunjung pada gak-hu dan gak-bonya ternyata Soat Eng menolak. Aneh.

"Tidak, kali ini kita ingin membuat kejutan. Biar ibu atau ayah ke mari. Hok Gi masih kecil, belum waktunya dibawa melakukan perjalanan jauh. Dan karena ibu yang menginginkan cucu laki-laki biarlah ia yang datang dan menengok sendiri!"

"Kau gila?" Siang Le terkejut, tentu saja tak setuju. "Nanti aku yang disalahkan, Eng-moi. Sudah mempunyai keluarga baru tidak memberi tahu orang tua. Ah, ibumu bisa marah-marah!"

"Aku yang menghadapinya. Ibu tak akan marah kepadamu, Le-ko. Aku yang akan menjelaskan. Dan lagi ada ibu Cao Cun di sini!"

"Hm, aku hanya pendengar saja," Cao Cun menjawab bijak. "Urusan ini kalian berdua yang memutuskannya, Soat Eng. Tapi benar bahwa anak seusia begini memang masih terlalu kecil dibawa melakukan perjalanan jauh. Bagaimana kalau setahun dua lagi."

"Tidak, aku ingin membuat ibu cemas. Biar ia datang dan nanti kusuguhi kebahagiaan ini. Kalau ia marah tentu bakal berubah setelah melihat Hok Gi!"

"Hm, kalau begitu bagaimana jika Siang Le dipersalahkan? Ibumu keras, Soat Eng. Ia bisa marah karena dianggapnya suamimu diam-diam saja."

"Aku yang bicara. Aku yang menanggung itu, ibu. Aku yang akan bicara kepada ibu bahwa aku memang melarang suamiku memberi tahu. Aku ingin ibu datang ke sini dan melihat betapa cucunya laki-laki sudah lahir. Sudahlah, kalian tenang saja dan ibu pasti datang ke mari, apalagi kalau dua tiga tahu kami tak memberi kabar!"

Siang Le kecut. Sebenarnya ia tak setuju dengan cara ini tapi apa boleh buat. Isterinya yang menentukan. Isterinya yang bertanggung jawab. Dan ketika setahun kemudian mereka tak mengisi kebiasaan berkunjung, tahun kedua juga begitu sampai pada tahun ketiga maka hari itu menjelang gelap dua orang muncul di tempat mereka. Thai Liong Si Rajawali Merah bersama isterinya yang cantik jelita Shintala, juga anak mereka laki-laki yang dipondong ibunya.

"Liong-ko...!"

"Shintala!"

Soat Eng berseru lebih dulu melihat datangaya kakak dan iparnya ini. Nyonya yang sedang menggendong dan menyusui bayinya itu meloncat berteriak girang. Siang Le, yang ada di sampingnya juga terkejut dan bangkit berdiri. Anak mereka Siang Lan dan Siang HWa sedang bermain-main dekat tungku api. Tapi ketikta Soat Eng menubruk dan memeluk iparnya, Bun Tiong diturunkan dan bengong memandang dua anak perempuan di sana mendadak Shintala mengguguk dan menangis tersedu-sedu.

"Eng-moi, ibu.... ibu tewas. Orang jahat membunuhnya!"

"Apa?" Soat Eng bagai mendengar gelegar halilintar. "Ibu.... tewas? Ia... la..."

"Benar, kau ditunggu-tunggu, Eng-moi. Beliau merindukanmu setiap saat. Ia... ia tewas terbunuh!"

Soat Eng terjengkang. Tiba-tiba saja ia roboh dan pingsan. Kedatangan tamu yang membawa berita duka ini sungguh mengejutkan. Jauh melebihi geledek di siang bolong. Namun ketika Thai Liong menyambar dan menolong adiknya maka Siang Le yang pucat dan juga terkejut. mendengar tiba-tiba mengeluh dan menolong Hok Gi. Bocah itu menangis dan menjerit tertimpa ibunya. Untung Thai Liong menyelamatkan dan menahan tubuh Soat Eng.

"Siapa anak ini. Siapa dia..dia... dia anak kami. Oh... biarkan aku menolong isteriku, Thai Liong. Tolong terima anakku ini dulu dan kedatangan kalian sungguh mengejutkan....!"

Putri Es Jilid 13

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

"Eh...Eh, ibu bicara apa ini? Ibu memaki Siang Le? la tidak goblok, ibu, semuanya tergantung Yang Maha Kuasa. Kau tak boleh bicara seperti itu karena betapapun Liong-ko adalah kakakku juga, putera ayah!"

"Benar, tapi aku ingin kau mempunyai keturunan laki-laki, Soat Eng. Lihat betapa gagah dan lucunya putera Thai Liong itu. Kau hanya memiliki anak perempuan melulu. Aku ingin anak laki-laki yang gagah seperti Bun Tiong itu!"

“Hm-hm, ibu ini aneh-aneh saja. Laki perempuan bagiku sama. Bun Tiong tiada ubahnya anakku juga. Ia bergaris turunan ayah. Kenapa ibu hendak membeda-bedakannya? Kalaupun aku memiliki anak lelaki maka ia cucu luarmu, ibu, bukan cucu dalam. Sedang Bun Tiong termasuk cucu dalam karena ia putera Liong-ko, keturunan langsung ayah yang laki-laki!"

"Hm, aku tetap tak puas juga. Pokoknya aku ingin kau mendapatkan anak laki-laki atau memang suamimu itu yang goblok!"

"Ibu..!"

"Kenapa? Marah? Aku kecewa, Eng-ji. Aku rindu akan cucu laki-laki. Atau barangkali Beng An yang dapat memberikan ini!" dan sang ibu yang terisak membanting kaki lalu memutar tubuh dan berkelebat pergi meninggalkan sang anak.

Soat Eng tertegun dan tak jadi marah karena ibunya menangis. Ada perasaan sesal atau rindu yang sangat di hati ibunya itu. lbunya ingin anak laki-laki! Dan ketika ia menarik napas dalam dan pulang ke Sam-liong-to, bicara itu kepada suaminya maka sang suami yang bijak dan lembut hati itu tersenyum pahit, tidak gusar atau tersinggung.

"Hm, baranngkali memang aku goblok.Ibumu benar. Cobalah minta pendapatnya bagaimana kira-kira mendapatkan anak lelaki, Eng-moi. Barangkali dia punya resep atau jamunya."

"Resep? Jamu? Kau inipun sinting! Laki-laki atau perempuan adalah anugerah Yang Maha Kuasa, Le-ko. Biarpun ada resep atau jamu kalau Yang Maha Kuasa tidak memberi anak laki-laki tak mungkin berhasil. Kau jangan mengada-ada!"

"Hm, maksudku bukan begitu. Maksudku adalah coba dekati ibumu itu dan tanyalah barangkali ia mempunyai sebuah pengalaman menarik tentang bagaimana bisa mendapatkan anak laki-laki atau perempuan. Kita mencobanya. Siapa tahu bahwa adik kita Beng An itu juga hasil pengalaman ibumu yang kita tidak tahu. Sudahlah, coba tanyakan dan siapa tahu ada petunjuk."

"Aku tak mau. Ini memalukan! Masa bikin anak harus tanya sama orang tua, bagaimana bisa mendapatkan laki-laki atau perempuan. Cih, aku wanita yang peka perasaannya, Le-ko. Tabu benar rasanya bertanya tentang itu. Kau ini aneh-aneh saja, melehihi ibu. Tidak, aku tak mau bertanya dan tetap menyerahkan itu kepada Yang Maha Kuasa!"

Siang Le tersenyum pahit. Ia mengangkat pundak dan membiarkan saja isterinya melepas kemarahan. Sang isteri mengomel panjang pendek dan seperti biasa ia pun diam, tak membantah. Siang Le pemuda lembut hati dan penyabar. Wataknya amat pengalah dan memang waktu itu "saru" benar rasanya bicara tentang bagaimana mendapatkan anak lelaki atau perempuan, biarpun kepada ibu kandung-nya sendiri. Namun karena sang isteri membawa persoalan itu demikian serius, Siang Le teringat ibu mertuanya itu maka dia menarik napas dalam-dalam dan teringat gak-bonya (ibu mertua) ini ia agak keder. Ibu mertua ini amat keras dan sekali memusuhi orang lain bakal dilakukan habis-habisan.

Teringatlah dia ketika betapa dulu diapun kenyang akan sikap bermusuhan yang dilakukan sang gak-bo ini. Tapi karena dia bukan pendendam dan semua itu diterimanya ringan, dia baik-briik saja maka ketika kini sang isteri membawa persoalan itu iapun menjadi tak nyaman dan menganggap diri sendiri goblok. Barangkali gak-bonya benar. Ia goblok Maka ketika berhari-hari kemudian pemuda ini termenung dan sendirian di pantai sunyi, tepekur memandangi ombak menderu tiba-tiba teringatlah dia akan seorang tua di seberang laut sana.

Dia mengenal Siong-lopek seorang nelayan ramah. Kakek itu banyak pengalaman dan sering dia ngobrol bersama. Kalau persediaan makanan di Sam-liong-to habis biasanya dia pergi dan menemui kakek ini, belanja beberapa macam keperluan barang dan keramahan serta kepandaian kakek itu bercerita membuat dia betah. Maka ketika tiba-tiba pemuda ini berseri dan menaruh harapan pada kakek itu maka keesokannya Siang Le meninggalkan Sam-liong-to berlayar ke seberang.

"Bumbu dapur kita habis. Biar kutangkap ikan dan kutukar di daratan sana!"

Sang isteri tak curiga. Memang selama ini suaminyalah yang mencari bumbu dan rempah-rempah. Dua anak mereka Siang Hwa dan Siang Lan harus dijaga, Soat Englah yang menjaga anak-anak itu. Maka ketika Siang Le berangkat sementara sebuah jala lebar dipakai untuk menangkap ikan, dengan hasil ini Siang Lee akan menukarkan keperluan dapurnya maka dengan riang pemuda itu menyeberang daratan dan dengan kepandaiannya yang tinggi tentu saja mudah baginya mendapat banyak ikan sampai perahu sarat terbenam timbul tenggelam.

Dan kakek Siong gembira menerima kedatangannya. Kakek itu laki-laki tua yang tak mungkin sekuat orang muda lagi mendapatkan ikan. Tenaganya terbatas. Siang Le inilah yang sering memberi tambahan hidup dengan ikan tangkapan-nya itu. Maka ketika kakek itu berseri melihat tamu Sam-liong-tonya ini, sebulan mereka tak bertemu cepat saja si kakek menghambur dan terkekeh-kekeh.

"Heii.... kau, Siang-kongcu. Lama amat! Sudah kutunggu-tunggu kedatanganmu dan lihat apa yang kusiapkan!" si kakek menuding dan memperlihatkan beberapa kantung rempah-rempah. Di muka rumahnya sudah terdapat barang-barang keperluan dapur itu.

Siang le tertawa berseri. la meloncat dari perahunya dan menuding pula hasil tangkapan di dalam perahu. Dan ketika keduanya tertawa bergelak dan si kakek menepuk-nepuk pundak pemuda ini maka Siang Ie diajak masuk rumah yang memang tak jauh dari pantai itu.

"Mari.... mari. Ada arak hangat, atau teh wangi. Aku sudah mendapatkan sepoci besar arak Kang-lam, kongcu, harum dan nikmat menyegarkan tenggorokan. Atau kau boleh coba teh pegunungan asli dari Ho-san. Wah-wah, sudah lama kutunggu-tunggu. Kau mengeram di pulaumu tak pernah keluar. agaknya berbulan madu lagi!"

"Hmm, ada-ada saja," Siang Le tersenyum, agak memerah. "Kau bergurau, Siong-lopek. Masa sih sudah sekian tahun pernikahan masih ada bulan madu Iagi. Wah, meledek! Tapi aku ada keperluan dengan-mu barangkali kau orang tua dapat menolong." Siang Le langsung saja teringat maksud dan tujuannya, duduk dan sudah menghadapi dua poci tanggung berisi arak harum dan teh wangi. Bingung dia memilih. Arak dan teh itu sama-sama menarik!

Tapi ketika tuan rumah terkekeh dan memberikan secawan arak harum maka dia diminta menikmati itu dulu untuk penyegar tenggorokan. "Arak ini dingin dan keras, cocok di-minum sehabis melaut. Udara gerah bakal sirna. Mari, coba minum dulu, kongcu. Baru setelah itu teh wangi dari Ho-san!"

Tuan rumah mengiringi. Siang Le senang dan mengucap terima kasih, meneguk secawan kecil arak itu dan benar saja tenggorokannya terasa segar. Arak yang dingin dan keras membuatnya tambah semangat. Ia minum dan tambah lagi. Dan ketika lidah sudah mencecap tiga empat kali, si kakek terkekeh-kekeh maka teh wangi ganti disodorkan tapi si pemuda masih merasa kenyang. "Cukup, nanti dulu. Wah, kembung perutku kalau diisi air melulu!"

"Ha-ha, minta panganan? Jangan khawatir. Lihat bak-pao panas ini, kongcu, dan juga tong-ciu-pia itu. Ayo, ada kumbu atau kacang ijo. Atau itu isi babi atau coklat. Khusus kuambil dari toko terkenal di Wu-han!"

Siang Le mendecak. Di atas meja sudah berhamburan bermacam makanan basah dan kering. Bagai tukang sulap saja kakek itu mengeluarkan semua itu dari bawah meja. Sekeranjang penuh penganan mahal dikeluarkan satu per satu, terbelalak pemuda ini. Tapi ketika dengan tertawa ia menerima semua itu, makan dan sepotong bak-pao tebal tergigit mulut maka Siang Le kagum karena semua ini benar-benar lezat. Bak-pao panas itu berisi daging tebal yang empuk dan gurih.

"Luar biasa, bagaimana kau bisa mendapatkan semua ini, lopek. Dan kapan kau belanja!"

"Ha-ha, kemarin. Sudah kutunggu-tunggu kedatanganmu. Dan bak-pao itu baru saja kupanaskan hingga dapat dinikmati dengan lezat. Wah, kau rupanya lapar!"

"Ha-ha, aku memang belum sarapan. Pagi tadi terus berangkat. Tapi, uh... ter Iampau banyak semua ini, Siong-lopek. Tak muat perutku melahap semuanya!"

"Jangan serakah. Itu bukan untukmu semua. Lainnya untuk cucuku yang manis Siang Hwa dan Siang Lan. Eh, kenapa tak kau bawa mereka itu ke sini!"

Siang Le tiba-tiba tersedak. Bicara sambil makan dan mulut penuh begini membuat dia geli sendiri. Rasa geli membuat gatal di kerongkongan dan tersedaklah dia. Tapi begitu ditanya tentang Siang Hwa dan Siang Lan, kenapa dia tak membawa anak-anaknya itu ke sini maka dia membersihkan mulut menelan semua sisa makanan itu. "Hm-hm... aku, eh... aku memang sengaja tak membawa anak-anak nakal itu. Ada urusan penting. Ada pembicaraan yang tak boleh didengur anak-anak. Wah, bagaimana aku mulai!"

"Ha-ha, teguk dulu teh Ho-san ini, kongcu. Sekarang kau nikmati minuman ini dan hentikan arak itu!"

Siang Le mengangguk. Dia meneguk teh wangi itu dan mendecak. Bukan main, teh inipun begitu harum dan mewangikan seluruh ruangan. Begitu diminum kontan baunya menyebar di udara. Wangi teh itu merata segenap ruang tamu. Dan ketika ia mendecak dan kagum karena ini tentu teh yang mahal, minuman berkwalitas tinggi maka dia geleng-geleng karena si kakek menyediakan semua itu untuknya. Tidak sedikit uang yang harus di keluarkan.

"Kau boros, tapi ku ucapkan terima kasih. Berapa banyak yang kau keluarkan untuk semua ini, lopek. Kau seakan sedang berpesta saja!"

"Ha-ha, tidak ada artinya. Tak sesuai dibanding semua yang kau berikan kepadaku. Aku si tua justeru ingin mengucap terima kasih dan bersyukur kepadamu, kongcu. Kau pemuda luar biasa yang begitu penuh perhatian kepadaku. Kau memberi kebahagiaan yang tak dapat kubalas dengan apa saja!"

"Hm-hm, kumat lagi. Aku tak suka bicara tentang budi dan balas budi, lopek. Kau tiada ubahnya orang tuaku laki-laki karena sejak kecil aku tak mengetahui ayah ibuku..."

"Tapi Wang-hujin (nyonya Wang)...."

"Benar, ia pengganti ibu kandungku, lopek, dan iapun memang ku anggap ibu kandungku pula. Tapi, ah sudahlah... aku mau omong-omong tentang sedikit kebodohanku."

Si kakek terbelalak. Tamunya mulai bersikap serius sementara makanan dan minuman di atas meja disingkirkan. Pemuda ini muram dan tentu saja ia terkejut. Wajah yang tadi berseri itu mendadak gelap. Dan ketika kakek ini berserius pula dan bertanya apa gerangan yang dimaksud pemuda itu maka Siang Le agak terbata menjawab.

"Aku, hmm... aku dimaki ibu mertuaku tentang anak. Aku, hmm... aku dinilai goblok...!"

"Goblok? Tentang apa? Kau pandai dan tinggi kepandaianmu, kongcu. Kau pemuda luar biasa. Bagaimana Kim-hujin (nyonya Kim) berani memakimu. Kesalahan apa yang kau buat. Aku jadi penasaran!"

"Hmm, aku juga. Tapi kupikir ia benar, lopek. Aku memang goblok. Urusannya, maaf... tentang anak!"

Si kakek terbelalak. Tamunya tampak memerah dan semburat malu memancar di wajah itu. Heran dia. Maka ketika dia bangkit berdiri dan rnenyambar lengan pemuda itu, bertanya apa yang dimaksud maka kakek ini berseru dengan nada tinggi, "Ah? Tentang anak? Eh, apa yang kau maksud, kongcu. Kenapa dengan anak mu. Bukankah mereka baik-baik dan tak ada masalah!"

"Hm, bukan itu. Maksudku adalah aku tak pandai membuat anak laki-laki, lopek. Ibu mertuaku minta yang laki-laki karena dua anakku perempuan melulu. Aku dinilai goblok. Dan aku rupanya memang goblok!"

"Ha-ha!" kakek itu meledak tawanya. "Inikah kiranya persoalan itu? Ah, kukira apa. Sampai tegang aku. Tak tahunya hanya itu. Ha-ha, soal anak soal Tuhan, kongcu. Dialah pemberi dan kita penerimanya. Bukankah laki-laki atau perempuan sama saja!"

"Benar, tapi bagi ibuku tidak, lopek. Dia minta cucu laki-laki. Dan aku, ah... dua kali goblok juga!"

Kakek ini terbahak-bahak. Dia melihat betapa wajah pemuda itu tiba-tiba murung dan penuh sesal diri. Siang Le, menantu Pendekar Rambut Emas ini tiba-tiba tampak begitu loyo dan putus harapan. Kutuk dan maki ditujukan kepada diri sendiri. Namun ketika kakek itu berhenti tertawa dan mengusap matanya yang sampai menangis, geli dan haru campur aduk maka kakek ini melepaskan tangan kokoh itu duduk kembali, senyum dan tawanya masih mengembang.

"Maaf.... maaf... jangan tersinggung. Aku tertawa karena geli. Lucu! Ah, baru kali ini kulihat kau begitu susah dan putus asa, kongcu. Begitu memelas dan sedih sekali kau ini. Baik, bagaimana kalau begitu dan apa yang si tua ini dapat lakukan!"

"Aku, aku minta resep bagaimana bisa membuat anak laki-laki!"

"Kepada si tua yang sebatang-kara ini? Kau minta kepadaku yang tidak pernah kawin lagi? Wah, repot juga, kongcu. Tapi aku dapat merasakan kesulitanmu. Hm, tunggu. Aku menggali dulu semua ingatanku tentang ini. Wah-wah, coba kuingat baik-baik pengalaman apa saja yang pernah kutemui!"

Si kakek garuk-garuk kepala dan berpikir keras. la tidak lagi tertawa karena persoalan itu dirasanya serius juga. Dia tahu bagaimana Kim-hujin itu. Wanita keras yang galak dan ingin semuanya dituruti. Kalau sudah punya mau biasanya tak akan sudah kalau belum selesai. Ia harus menolong pemuda ini. Tapi ketika ia menggaruk-garuk semua kepalanya sampai beberapa rambut putihnya rontok, resep atau dewa penolong itu belum ditemukan mendadak kakek ini meringis dan ia tertawa masam.

"Ada... agaknya ada. Tapi wah... harus menunggu bulan purnama!"

"Maksudmu?"

"Pikiranku biasanya terang kalau sudah disiram sinar bulan purnama, kongcu. Segala yang butek dapat dihalau dan bisa jernih. Bagaimana kalau kau tunggu bulan purnama dulu dan selama ini bersabar!"

"Hm, berapa hari lagi?"

"Kupikir barang seminggu. Dan selama ini, eh... perhatikan buik-baik segala tingkah laku isterimu itu. Maksudku, eh... kapan ia mulai hangat!"

"Hangat?"

"Eh, jangan tolol, kongcu. Semua wanita sehat akan mengalami saat-saat seperti itu. Gejolak ingin bermain asmara di saat-saat tertentu, gejolak yang meninggi!"

Wajah Siag Le memerah. Tak dapat ditahan. lagi iapun bersemu dadu. Kalau bukan bersama kakek ini tak mungkin ia mau bicara tentang soal-soal begitu. Tapi mereka sudah akrab. Kakek ini tiada ubahnya keluarga sendiri, seperti paman atau ayahnya. Dan karena kakek itu memang tua dan tentu menang pengalaman, dalam soal-soal begini siapa lagi yang di toleh kalau bukan kakek itu.

Maka Siang Le menarik napus dalam-dalam dan membayangkan isterinya iapun tiba-tiba tersenyum dan maklum apa yang dimaksud kakek itu. Memang isterinya kadang-kadang di saat tertentu bersikap "panas" dan berlebihan. Temperamennya naik. Suhu tubuh atau gairahnya meninggi. Tapi tak tahu apa maksud kakek itu hingga ia harus memperhatikan segala maka Siang Le bertanya untuk apa itu.

"Untuk apa? Heh-heh, tentu saja untuk keperluanmu ini, kongcu. Agar kau waspada dan tidak kehilangan tenaga sebelum waktunya. Seminggu ini kau harus menahan diri dan jangan dulu melayani. Kalau ingin alihkanlah ke hal-hal lain, bukan itu. Pokoknya perhatikan baik-baik dan ingat pesanku tadi. Dan sebaiknya kau bicara dengan ibumu pula, Wang-hujin itu. Pengalamannya mungkin dapat di padu dengan pengalamanku!"

"Ibuku? Harus bicara tentang ini? Wah, berabe, lopek. Mana bisa itu. Aku tak sanggup!"

"Hush, bukan untuk bicara yang kotor-kotor. Maksudku bicaralah juga dengannya bagaimana agar bisa mendapatkan anak lelaki. Sebagai orang tua tentu sedikit atau banyak ia punya pengalaman. Nah, inilah yang kumaksud dan tidak kurang atau lebih!"

Siang Le memerah. Tiba-tiba saja dia menjadi repot dan kikuk. Tak diperhitungkannya bahwa dia harus berkonsultasi tentang ini dengan ibunya. Ibunya itu wanita, dia laki-laki. Bagaimana tidak canggung dan kikuk? Tapi karena Siong-lopek sudah bicara seperti itu dan betapapun ia sendiri merasa sebagai orang muda yang mentah pengalaman maka sambil menarik napas berat ia mengangguk juga.

"Baiklah, kuturut. nasihatmu ini, lopek. Meskipun sebenarnya hanya kaulah yang ingin kumintakan sarannya. Kita sesama lelaki agak bebas. Tapi bersama ibuku rasanya sulit juga lidah ini meluncur."

"Ha-ha, tak perlu likat. Kau bukan anak-anak lagi, kongcu. Kau sudah lebih dari dewasa. Kau sudah menjadi bapak dari dua orang anak. Ayolah buang likat itu dan bicara dari hati ke hati dengan ibumu. Tak apa, siapa lagi yang dapat dimintai petunjuk kalau bukan beliau itu. Kau belum mengutarakan ini dengannya?"

"Aku malu..."

"Ha-ha, lucu. Sudah segede ini masih malu segala. Kita bukan untuk beromong yang jorok. Kita bicara ini sebagai kekurangan atau kelemahan kita dalam mencari kebahagiaan hidup, dalam hal ini kebahagiaan rumah tanggamu. Sudahlah, tunggu seminggu lagi, kongcu. Kembalilah setelah bulan purnama. Dan ingat bahwa ibumu perlu dimintai saran pendapatnya!"

"Ya-ya, baiklah. Terima kasih, lopek. Dan barangkali aku perlu pulang sekarang. Isteriku menunggu bumbu-bumbu dapur ini, persediaan habis. Terima kasih untuk semua nasihatmu dan baiklah seminggu lagi aku kembali!"

Wajah Tuan rumah berseri-seri. Pemuda itu sudah gembira lagi penuh harapan. Ia terharu. Maka ketika ia menolong menaikkan kantung-kantung itu, bumbu dan rempah-rempah maka tak lama kemudian pemilik Sam-liong-to itu melambaikan tangan dan Siang Le berseru untuk kembali seminggu kemudian. Resep untuk anak lelaki benar-benar diharapkannya.

"Lopek, bantu aku sungguh-sungguh. Tolong agar gundahku hilang!"

"Tentu, dan jangan lupa ibumu itu, kongcu. Jelek-jelek ia wanita terpelajar yang jauh lebih pandai daripada aku. Temui dia!"

Siang Le mengangguk. la sudah berlayar dan melambaikan tangan kepada kakek itu. Siong-lopek tak ubahnya paman sendiri. Dan ketika ia sampui di Sam-liong-to dan mendarat penuh harapan, dua anaknya berlari-larian menyambutnya maka sang isteri juga muncul dan tampak gembira. Sama sekali tak tahu bahwa pemuda ini sedang mencari "ilham" untuk mendapatkan anak laki-laki. Siang hwa dan Siang Lan membantu ayah mereka itu mengeluarkan kantung-kantung di perahu, bumbu dan rempah-rempnh dapur sementara ibu mereka juga sudah tertawa dan menyeret perahu ke pinggir. Rumah tangga ini memang bahagia.

Dan ketika muncul pula seorang wanita tua separuh baya, tersenyum menghampiri mereka maka Wang Cao Cun, wanita ini terharu melihat kebahagiaan rumah tangga anaknya. "Dari mana saja kau, kenapa tak memberi tahu ibumu. Eh, tak biasanya kau pergi diam-diam, Siang Le. Kau biasanya mengajak aku kalau menyeberang daratan!"

"Maaf," Siang Le memeluk, mencium kening ibunya ini. "Aku terburu-buru, ibu. Aku tak ingin kemalaman pulang kembali. Gelombang agak besar dan kalau aku membawamu takut kalau kau tak tahan."

Wanita itu tersenyum. Ia menyambar pula dua kantung rempah-rempah untuk dibawa bersama. Nenek dan cucu bergandeng ria menuju rumah mereka. Dan ketika malam itu mereka berkumpul bersama berlindung dari angin ribut, gelombang mendampar-dampar maka Siang Le maju mundur untuk bicara dan mulai memberi isyarat. Anak dan isterinya akhirnya pergi tidur. Api di tungku perapian masih menyala. Ruangan menjadi hangat oleh kobaran tungku ini.

Dan karena sikapnya agak aneh, sang ibu melihat gelagat mencurigakan maka wanita itu memandang puteranya dan bangkit berdiri. "Kau agaknya hendak bicara sesuatu denganku. Ada apa. Menyimpan persoalan?"

"Tidak... aku, eh... tak ada apa-apa yang perlu kubicarakan, ibu. Aku hanya hendak bercerita tentang Siong-lopek yang menyambutku tadi. Dia begitu baik. Orang tua itu membeli bermacam-macam untuk kita di sini!"

"Hm, bukan ini. Kau tak dapat menipu ibumu, Siang Le. Ada persoalan yang hendak kau bicarakan. Ayolah, jujur saja."

"Tidak, aku... eh, aku sudah mengantuk!" pemuda ini tiba-tiba gugup dan bangkit berdiri, memutar tubuh dan mau menghindari tatapan mata ibunya itu tapi sang ibu tiba-tiba berdiri pula. Dan ketika Siang Le hendak memadamkan sisa api di tungku perapian maka ibunya itu memegang pundaknya dan menghela napas lembut.

"Kau ada urusan dengan gak-bo mu lagi? Tentang anak laki-laki yang diidamkan darimu?"

Siang Le terkejut, membalik bagai disentuh ular. Tapi ketika ibunya tersenyum dan mengangguk maka ibu itu menarik lengan anaknya dengan lembut dan penuh kasih sayang. "Siang Le, urusanmu adalah urusanku. Duduklah, kita bicara tentang ini."

"Kau.... kau tahu?"

"Hm, seorang ibu yang baik harus tahu kesusahan anaknya, Siang Le, dan tentu saja aku tahu."

"Ibu diberi tahu Soat Eng!"

"Tak usah tahu dari mana aku tahu. Duduklah, kita bicara tentang ini."

Siang Le tertegun. Ia sudah turut dibawa ibunya dan duduk berhadapan dengan mata terbelalak. Ia terkejut, tapi ju ga gugup. Namun ketika ibunya tersenyum ringan dan ia berdegupan maka ibunya itu mengajak bicara kembali.

"Ayo, kau belum menjawab. Bukankah kau akan bicara dengan ibumu masalah ini."

"Beb.... benar!" akhirnya pemuda ini hilang juga gugupnya, wajah masih memerah. "Tapi bagaimana aku harus mulai, ibu. Berat rasanya bertanya tentang ini kepada ibu!"

"Hm, kau sudah ke seberang daratan. Tentu kau bertanya pula kepada Siong-lopek itu. Nah, katakan apa yang dia katakan"

Siang Le tak dapat bersembunyi lagi. Ibunya ini memang wanita yang bermata tajam dan apa boleh buat ia tak mungkin berpura-pura terus. Ia harus bicara!. Maka ketika ia menarik napas panjang dan warna malu mulai hilang, ia adalah laki-laki dewasa dan harus bicara secara dewasa pula maka pemuda itu menceritakan hasil akhir dari pembicaraannya dengan kakek tua itu. "Siong-lopek menyuruh aku kembali seminggu lagi. la belum menemukan jawabnya. Dan.... dan aku diharuskan mengamati gerak-gerik Eng-moi!"

"Maksudnya?"

"Eh, maksudnya... eh, katanya ada saat-saat tertentu bagi wanita untuk berada pada gairahnya yang tinggi, ibu. Dan ini harus kuperhatikan. Aku dilarang bermesraan dulu dengan isteriku!"

"Hm-hm!" wajah itu bersemu dadu "Dia benar anakku. Memang ada saat-saat tertentu bagi wanita untuk timbul gairahnya pada kondisi puncak. Dan kakek itu rupanya ingin menghitung!"

"Menghitung?"

"Menghitung saat mana seorang suami boleh tidur bersama isterinya untuk mendapatkan anak perempuan atau lelaki. Kau selama ini tak memperhatikan itu. Tapi biarlah kakek itu yang bicara denganmu karena tentu kalian laki-laki. Sama laki-laki lebih bebas!"

Siang Le semburat wajahnya. Sang ibu juga agak memerah dan rupanya wanita ini tersentuh juga kelikatannya. Mereka dua orang berlainan jenis di mana pihak wanita lebih peka daripada laki-laki. Kalau bukan karena nyonya ini sudah berumur tentu Wang-hujin itu jengah juga. Dan ketika Siang Le mengangguk-angguk dan mengerti, memang Siong-lopek bakal lebih bebas memberitahunya maka ibunya itu bangkit berdiri- mengambil segebung hio.

"Semua harus dimulai dengan cara yang bersih. Mari, ikuti aku, Siang Le. Kita ke belakang sebentar!"

Pemuda itu tertegun. Dupa atau hio di tangan ibunya itu memberi isyarat sembahyang. Dia rupanya akan diajak sembahyang. Dan ketika benar saja mereka menuju ruang pemujaan, di sini ibunya berhenti dan di situlah biasanya ibunya itu berdoa atau sembahyang memohon ke bahagiaan maka Siang Le terharu ketika ibunya itu berkata,

"Tak ada sesuatu tanpa adanya Sang Pencipta. Manusia boleh berusaha tapi Dia yang menentukan, anakku. Rencanamu baik tapi kau lupa sembahyang. Memulai sesuatu harus dengan berdoa dulu apalagi kalau sesuatu itu yang amat penting. Nah, mari ibu ajak bersembahyang dan memohon agar keinginanmu terkabul."

Siang Le tergetar dan ingat akan kebiasaan ibunya ini. Memang, sejak mereka sama-sama di Sam-liong-to maka ruangan ini diminta khusus oleh ibunya untuk sembahyang. Kalau sudah sembahyang atau berdoa biasanya ibunya itu betah benar. Semalam suntuk pun dirinya tak bergeming. Ah, ibunya ini memang wanita bertuhan, tak pernah lupa kepada Sang Khalik dan tentu saja dia terharu. Dia lupa itu. Tuhan adalah segala-galanya. Maka ketika dia berlutut dan sang ibu membimbing, bibir halus itu berkemak-kemik maka pemuda inipun mengikuti dan hio atau dupa biting itupun mulai mengepul menyebarkan bau harum.

Siang Le tertunduk dan berkaca-kaca. Jarang ada wanita seperti ini yang berwatak mulia. Bertahun-tahun berkumpul dengan ibunya ini Siang Le mendapat sesuatu yang positip. Ibunya selalu mulai hal-hal penting dengan sembahyang dulu. Dan ketikn semalam itu dia diajak sembahyang dan segebung hio hampir habis, demikian khusuk ibunya berdoa maka kokok ayam hutan terdengar di luar dan pagi pun beringsut tiba.

"Cukup, sekarang selesai. Mari mandi dan bersihkan tubuh, anakku. Kalau Siong lopek tak mampu memberikan jawabannya ibulah yang nanti memberitahumu. Nah, berdiri dan kita keluar."

Siang Le kagum. Ibunya tak nampak mengantuk meskipun semalaman tak tidur. Ibunya ini hebat. Dan ketika ia keluar dan mandi membersihkan tubuh maka di sana isterinya telah menyiapkan makan minum untuk mereka, makanan pagi.

"Hm, tahu rasa kau," isterinya tertawa. "Lihat ibu mengajakmu begadang, Le-ko. Heran benar bahwa kau tahan. Biasanya masih sore sudah ngorok!"

"Kau nakal," Siang Le mencubit lengan isterinya ini. Kau lapor kepada ibu, Eng-moi. Sial benar kenapa kau membuat malu!"

"Weh-eh, kenapa malu," sang isteri berkelit terkekeh. "Aku pribadi cuek dengan permintaan ibu, Le-ko. Kaulah yang rupanya ngotot dan tak kusangka menemui Siong-lopek segala!"

"Kau tahu?"

"Tentu saja. Aku punya telinga dan dengar!"

"Sialan!"

"Hi-hikk..." dan ketika keduanya berkelit dan saling cubit maka pagi itu pemuda ini merasakan suatu kebahagiaan yang lebih segar.

Siang Hwa dan Siang Lan muncul dan dua anak mereka itu terkekeh melihat ibu dan ayahnya saling serang. Mereka geli. Tapi ketika Soat Eng berteriak untuk dibantu, sang ayah ditahan maka dua anak perempuan itu menghambur dan melompat di punggung sang ayah untuk mencubiti Siang Le.

"Hei-hei! Apa ini! Curang! Mengeroyok! Heii...! Wah, lepaskan aku, Siang Hwa. Hei, kuku kalian itu terlalu tajam. Aduh, Siang Lan menggigit pula!" dan ketika suasana menjadi riuh dan ramai, segar maka Soat Eng melompat dan meninggalkan suaminya dikeroyok anak-anak mereka sendiri. Siang Lan dan Siang Hwa ternyata membantu ibu mereka dan wanita itu terkekeh-kekeh di tempat lain. Tapi ketika muncul Wang-hujin dan Siang Hwa serta adiknya meloncat turun maka mereka berlarian tak mau ditegur, terkekeh-kekeh.

"Hi-hik, nenek datang. Awas, dia tentu membantu ayah."

Siang Le meringis dan tertawa senang Kebahagiaan pagi itu terasa menyegarkan dan ia nikmat. Betapa bahagianya rumah tangga Dan ketika Cao Cun menarik napas panjang, anak-anak nakal itu melepaskan ayah mereka maka pagi itu mereka sarapan dan Soat Eng tertawa menggoda suaminya itu

"Itu hukuman buat orang yang pergi secara diam-diam, pergi dengan urusan rahasia. Pantas, kau tak mau membawa anak-anak, Le-ko. Kiranya kasak-kusuk dengan Siong-lopek!"

"Hm-hm, ini demi kebahagiaan anak-anak kita. Eh, mereka bakal mendukung rencanaku, Eng-moi. Tanya saja Siang Hwa atau Siang Lan!"

"Rencana apa?"

"Memberikan adik laki-laki kepada mereka ini. Tanya mereka apakah Siang Lan atau encinya tak suka adik laki-laki!"

"Cis, kau bicara apa?"

"Ha-ha, bicara kebahagiaan anak-anak kita ini, Eng-moi. Coba kutanya mereka apakah tak suka adik laki-laki!" lalu ketika Siang Le menyambar dan bertanya kepada anak-anaknya, tentu saja Siang hwa dan Siang Lan bersorak kontan saja mereka itu berseru,

"Aku mau... aku mau! Lan Lan dan Hwa-cici mau adik Iaki-laki. Nanti bisi main layang-layang!"

"Ha-ha, bagaimana, Eng-moi. Bukankah benar mereka pingin adik laki-laki untuk main layang-layang!" dan ketika isterinya memaki dan meloncat keluar, sarapan sudah selesai maka Siang Le terbahak-bahak sementara sang ibu tersenyum dan tertawa-tawa kecil.

Soat Eng tak dapat menahan malu lagi setelah balik digoda. Suaminya nakal sekali. Dan ketika hari itu Siang Le mulai menghitung saat bulan purnama, juga memperhatikan gerak-gerik isteri ternyata benar saja mendekati bulan purnama isterinya itu menunjukkan tanda-tanda gairah yang meninggi. "Kau nakal, kau membuat malu. Cih, masa di depan anak-anak kau bicara seperti itu, Le-ko? Kau membuat aku jengah sekali!"

"Ha-ha, jengah bagaimana. Mereka itu anak-anak yang tak tahu seluk-beluk hubungan kita. Mereka masih terlalu kecil. Mereka mendapat adik seolah mendapat boneka saja."

"Tapi Siang Lan bertanya yang merepotkan aku. Dari mana adik itu didapat!"

"Eh-eh, kenapa sukar menjawab? Bilang saja dari Tuhan!"

"Tapi dia mendesak. Bagaimana sang ibu membesar perutnya dan ada bayi di situ!"

"Ha-ha, dari mana dia tahu?"

"Anak-anak itu melihat pasangan monyet di hutan, Le-ko. Mereka mulai bertanya-tanya dan repot aku menjawab!"

"Ha-ha, tak perlu repot. Bilang saja perut ibu dititipi Tuhan untuk menjaga anak itu. Nah, bukankah beres? Sudahlah, tak perlu bingung, Eng-moi. Mereka akan tahu sendiri sesuai dengan umurnya. Mereka wajar, kita jawab yang wajar juga dan sesuai kemampuan daya serap anak-anak. Kau cemberut tapi wajahmu bersinar cemerlang malam ini. Entah gembira soal apa atau mataku yang barangkali salah!"

Sang isteri mencubit, gemas. "Kau merayu?"

"Eh-eh, aduh.... lepaskan, niocu. Aku tidak merayu namun kulihat jelas kecemerlangan itu. Kau gembira. Kau bahagia. Kau rupanya berseri dan senang bahwa Siang Hwa mau punya adik lagi.... aduh!" Siang Le berteriak dan meloncat meninggalkan isterinya. Cubitan kuat yang keras sekali membuat dia menjerit. Lengannya matang biru!

Tapi ketika sang isteri terisak dan dia terkejut, berhenti, maka isterinya itu dilihatnya membenamkan muka di bantal. Siang Le terkejut, bingung. "Niocu, ada apa? Kau marah?" Sedu-sedan tiba-tiba terdengar. Siang Le kaget dan tentu saja heran. Dan ketika ia kembali dan duduk membelai isteri nya, lupa kepada bekas cubitan maka iapun tersentak lagi ketika isterinya itu mengguguk!

"Eh-eh, ada apa, niocu? Kenapa mengguguk. Maaf kalau aku salah. Kau.... aneh benar, aku jadi salah tingkah. Apa yang kulakukan dan perlukah ibu kupanggil!"

"Jangan!" suara itu tiba-tiba bersamaan dengan kepala yang diangkat, bantal dibuang. "Jangan panggil ibu, Le-ko. Aku malu!"

"Malu?"

"Ya-ya, kau yang membuat aku malu. Kau meledek terus. Kau membuat aku malu tentang pembicaraan adik laki-laki itu. Kau tak kasihan isterimu!"

"Lho, tak kasihan?"

"Ah, tak mengertikah kau?"

"Tidak," pemuda ini bingung, alis berkerut. "Aku tak mengerti, Eng-moi, tak tahu...."

"Dasar bodoh!" dan sang isteri yang mengguguk dan menangis lagi akhirnya menyambar bantal itu untuk membenamkan mukanya lagi, berguncang-guncang, naik turun pundaknya tapi Siang Le kali ini mendengar suara tangis yang lain. Tangis itu bukan tangis duka. Tangis itu bukan tangis marah! Dan ketika ia bengong karena tangis itu malah tangis bahagia, aneh!, iapun berjingkat dan pura-pura mau menemui ibunya lagi, keluar. Tapi begitu ia membuka pintu mendadak isterinya mencelat dan menahan daun pintu itu, bersitegang.

"Kau mau ke mana!"

"Ke ibu..."

"Tidak! Jangan panggil ibu, Le-ko. Jangan membuat aku bertambah malu. Kau... kau harus tahu perasaan isterimu!"

"Perasaan bagaimana? Aku bingung. Kau.... kau menangis. Tapi tangismu tangis gembira. Aku bingung masa orang gembira bisa menangis!"

"Kau tidak tahu?"

"Tidak."

"Memang bodoh!" dan sang isteri yang mengunci dan menyimpan kunci kamar lalu membiarkan sang suami bengong karena Soat Eng sudah balik dan meloncat lagi ke pembaringannya, tinggal isak-isak kecil tapi wajah dan mulut itu geli!

Pemuda ini melihat jelas betapa isterinya memang betul-betul tidak marah. Wajah dan bibir itu tersenyum! Dan karena ia bingung dan bengong maka iapun balik lagi dan bertanya dengan suara ketidakpastian, "Eng-moi, kau ini marah atau senang? Kau ini gusar atau gembira? Aku tak mengerti tindak-tandukmu ini. Kau aneh, aku jadi takut...."

"Takut apa?"

"Takut membuatmu malu lagi. Takut, eh.... takut salah bicara. takut kalau aku sendiri jadi takut menghadapimu!"

Kekeh geli tiba-tiba meledak. Siang Le bengong melihat betapa isterinya itu tiba-tiba tertawa demikian nyaringnYa. Aneh, wanita sungguh aneh. Dan ketika ia menganggap isterinya atau diri sendiri yang gila maka isterinya itu menyambar lengannya dan berseru,

"Le-ko, duduklah. Kujawab pertanyaan mu. Aku jadi kasihan kalau kau serba takut. Hi-hik, duduklah, Le-ko. Duduklah! Kau memang laki-laki dan suami yang tolol!" lalu ketika Siang Le geleng-geleng kepala dimaki seenaknya, duduk dan membelalakkan mata maka berkatalah isteri-nya itu penuh tawa, "Aku girang bahwa kau berjuang sedemikian besar. Aku juga ingin anak laki-laki, meskipun aku cuek terhadap omongan ibu. Dan karena kau rupanya melihat semuanya itu maka aku bertambah malu namun sekaligus senang, Le-ko. Bahwa kau suami yang baik dan penuh cinta terhadap keluarga!"

"Maksudmu?"

"Kau memang tolol. Aku diam-diam juga pingin punya anak laki-laki, Le-ko, tapi bukan karena takut kepada ibu. Aku juga lama mendambakan ini. Dan karena malam ini rupanya kegembiraanku tak dapat kusembunyikan, kau menebak tepat maka aku malu dan menumpahkan itu dalam tangis!"

"Aku bingung, masih belum mengerti..."

"Eh-eh, kau bilang apa tadi. Coba ingat apa yang kau katakan ketika pertama melihat aku!"

"Hm, aku melihat wajahmu cemerlang Kau berseri dan segar benar malam ini."

"Itulah! Itu yang tepat kau lihat, Le-ko. Aku memang senang dan bahagia sekali malam ini. Aku girang bahwa kau ingin anak laki-laki. Aku.... aku senang bahwa kau berjuang untuk mendapatkan semuanya itu!"

"Jadi?"

"Benar, kau saja yang tolol. Kau menelanjangi mukaku habis-habisan. Siapa tidak malu meskipun senang!"

"Wah, jadi kau setuju dengan semua tindakanku ini?"

"Benar, aku senang bahwa kau menemui Siong-lopek, Le-ko. Bahwa kau berjuang untuk mendqpatkan anak laki-laki.Aku juga takut kalau nanti hamil perempuan lagi. Aku kasihan Siang Hwa dan Siang Lan!"

"Ha-ha..!" siang Le meraih dan menyambar isterinya ini. "Kau tiada ubahnya wanita-wanita lain di dunia ini, Eng-moi. Selalu membuat bingung dan takut laki-laki. Ah, aku memang takut setelah kau menangis melulu. Tapi ketika kudengar bahwa tangismu bukan tangis marah, kau rupanya menangis bahagia maka aku mendekatimu lagi dan baru sekarang mengerti. Ha..ha.. wanita memang aneh dan sering membuat bingung laki-laki!"

Siang Le yang langsung mencium dan melumat bibir isterinya lalu disambut erang dan keluh manja. Soat Eng menggeliat dan tiba-tiba balas memeluk suaminya itu. Tangan tahu-tahu membuka kancing baju. Wanita ini cepat sekali naik birahi! Tapi ketika Siang Le teringat pesanan Siong-lopek dan dia tak boleh bermesraan dulu, mendorong dan menjauhkan isterinya ini maka Soat Eng terkejut dan membelalakkan mata.

"Tak boleh... belum boleh!"

Soat Eng terkejut semburat.

"Siong-lopek melarangku bermesraan dulu, moi-moi, tunggu sampai bulan purnama. Kita harus menahan diri kalau ingin punya anak laki-laki!"

"Hm, apa maksud kakek itu..."

"Ada perhitungan tertentu. Aku juga belum tahu tapi tentu kakek itu tak bohong. Maaf, kita menahan diri dulu dan jangan buat aku panas dingin!"

Soat Eng kecewa. Sebagai wanita tentu saja tak mungkin dia mendesak. Tabu! Tapi ketika suaminya menggandeng dan membawa lengannya maka dia terhibur juga.

"Moi-moi, menginginkan sesuatu rupanya memang harus selalu prihatin. Sabarlah, bukan aku tak cinta. Kau percaya, bukan? Tunggu seminggu lagi, moi-moi. Nanti aku datang dengan semangat baru!"

"Hm! " sang isteri tersenyum.

"Semangat baru? Memangnya kau kini tidak bersemangat?"

"Ha-ha, bukan. Tapi keterangan Siong lopek tentu bakal membuat semuanya seolah baru, moi-moi, termasuk semangatku nanti. Siapa tahu kita bakal seperti pengantin baru!" dan ketika sang isteri mencibir dan si suami gemas maka Siang Le mencium lagi isterinya itu dan malam itu mereka tak berani berlebihan.

Benar bahwa gejolak meningkat terjadi pada wanita ini. Siang Le memperhatikan dan diam-diam kasihan. Siapa tak ingin menuangkan cinta di saat-saat seperti itu. Dan ketika malam-malam berikut juga di lewatkan dengan perasaan ditahan, Cao Cun membawa puteranya untuk sembahyang tujuh malam berturut-turut maka keesokan harinya pemuda ini berlayar lagi menuju daratan seberang.

"Aku ingin ikut. Tapi, hmm.... malu rasanya bertemu kakek itu."

"Ha-ha, ada ibu di sini, Eng-moi. Kau boleh bertanya pada ibu saja. Dia juga rupanya tahu. Sesama wanita tentu lebih bebas!"

"Begitukah?"

"Benar, tanya saja ibu. Tuh...!" dan ketika Cao Cun muncul dan tersenyum di balik batu karang maka nyonya ini semburat dan Siang Le tertawa bergelak meninggalkan Sam-liong-to. "Moi-moi, sampai ketemu lagi!"

Siang Le bergerak mendorong perahunya. Pemuda ini gembira dan harapan besar terpancar di wajah. Siapa tidak girang kalau akan mendapatkan resep meraih rejeki. Dan ketika pemuda itu bergerak dan lenyap di balik gulungan ombak, Soat Eng menarik napas panjang maka ibu angkatnya ini menyentuh lengannya dan tersenyum penuh pengertian.

"Biarkan ia mendapat pengetahuan baru. Mari kau ikuti aku, Soat Eng. Coba kita lihat apakah petunjuk kakek itu akan sama dengan petunjukku."

"Ibu akan memberi tahu....?"

"Ya, kita sama-sama wanita. Likat juga kalau aku harus bicara dengan Siang Le. Biarkan ia dengan Siong-lopek dan kita sama kita!" lalu ketika wanita itu menggandeng dan membawa Soat Eng maka di sana Siang Le sudah ditunggu kakek itu dan pemuda ini meloncat dari perahunya dengan jantung berdebar-debar.

"Ha-ha, tepat. Seminggu tepat! Eh, jangan terlampau tegang dan ikat perahumu, kongcu. Nanti hanyut terbawa ombak!"

Siang Le membalik. la lupa mengikat perahunya dan mukapun merah berseri-seri. Siong-lopek ini bakal gurunya mencari ilmu. Ia akan diberi pelajaran bagaimana mencapai cita-cita. Dan ketika perahu terikat kuat dan ia pun dibawa tuan rumah maka Siang Le tercengang lagi bahwa penganan dan apa saja tersedia di meja.

"Bukan untukmu, ha-ha.... bukan untukmu. Itu untuk cucu-cucuku di Sam-liong-to, Siang-kongcu.. Berikan kepada mereka dan biarkan mereka senang!"

"Tapi aku tak membawa tangkapan..."

"Siapa mau ikan? Eh, aku juga masih cukup, kongcu. Tak perlu kedatanganmu harus membawa ikan. Hari ini kita akan menyelesaikan urusan lain. Ayo, duduk dan katakan apa hasilnya. Bagaimana dengan ibumu itu, Wang-hujin!"

"Hm, ibu tidak menerangkan apa-apa. Ia mengajakku sembahyang, lopek. Katanya harus sembahyang dulu sebelum meraih cita-cita!"

"Ha-ha, Wang-hujin benar. la betul. Cocok! Wah, aku yang lupa tidak memberitahu itu. Eh, manusia boleh berusaha tapi Tuhan yang menentukan, kongcu. Memang betul. Resep itu sudah ku dapat tapi tanpa kehendakNya tak mungkin terkabul!" lalu mengangguk-angguk dan kagum membayangkan wanita itu kakek ini duduk menarik napas dalam-dalam.

Siang Le mendengarkan dengan jantung berdegupan. "Lopek sudah mendapatkan itu?"

"Sudah. Tapi, hmm.... bagaimana dengan isterimu?"

"Lopek benar. Ia... ia agak hangat!"

"Ha-ha, maksudmu agak panas? Benar, Im dan Yang sudah mulai bekerja, kongcu. Itu tanda yang baik. Tapi kau tak melanggar pesanku, bukan?"

"Hm, aku dapat menahan diri," Siang Le agak memerah.

"Tak apa, tapi coba kuraba denyut nadimu." Kakek itu tersenyum-senyum, menyambar dan memegang denyut nadi pemuda itu dan dihitungnya menurut waktu yang tetap-tetap. Siang Le mengerutkan kening dan tak mengerti. Bagai tabib saja layaknya orang tua itu. Tapi ketika ia mengangguk-angguk dan melepaskan pergelangan Siang Le maka ia tertawa berkata,

"Kau tak bohong. Tenagamu masih utuh!"

"Hm, lopek mengira aku kehilangan tenagaku?"

"Ha-ha, benar. Orang yang sudah bermain cinta bakal lelah dan denyut nadinya melemah, kongcu. tapi kau masih keras dan berdenyar. Kau utuh, tenagamu belum hilang. Dan ini berarti kekuatan Im atau Yang-mu berimbang dengan isterimu itu. Sekarang baca dan lihat saja ini!" kakek itu melempar sebuah buku kecil, meneguk secawan arak dan tertawa-tawa tak menghiraukan Siang Le.

Pemuda itu terkejut dan meraih buku kecil itu. Lalu ketika keterangan demi keterangan terdapat di situ, ia tertegun dan melonjak tiba-tiba Siang Le girang luar biasa seakan mendapat lotre besar. "Ha-ha, kiranya begitu, lopek. Mengerti aku sekarang. Ah, pantas kalau anakku semuanya perempuan. Aku terbalik melaksanakan resep. Ha-ha, terima kasih. dan buku ini kiranya benar. Wah, akan kucoba dan terima kasih banyak!"

"Eh-eh, nanti dulu. Jangan terburu dan mau pulang, kongcu. Ini untuk anak-anakmu. Heiii...!"

Siang Le terbang dan meloncat membawa buku kecil itu. Di situ ia mendapat penjelasan tentang unsur-unsur Im dan Yang di tubuh manusia. Baik wanita mau pun pria harus memadukan unsur-unsur ini kalau ingin mendapatkan yang dicari. Dan karena selama ini ia terbalik melaksanakan ketentuan, unsur Im dan Im akan membuat ia selalu memiliki keturunan perempuan maka Siang Le melonjak luar biasa ketika diberi tahu bahwa perpaduan Im dan Yang akan menghasilkan anak laki-laki. Terutama kalau unsur "Yang" dua kali lebih banyak dari unsur Im.

"Ha-ha, terima kasih. Aku akan memberi tahu isteriku!" Siang Le tak perduli pada kakek itu dan melepas ikatan perahunya. Ia sampai lupa kepada sekeranjang makanan untuk Siang Hwa dan Siang Lan. Siong-lopek menyiapkan itu semua untuk anak-anaknya di Sam-liong-to.

Tapi ketika si kakek berlarian dan kebetulan tali perahu nyangkut di semak berduri, perahu terputar membalik maka kakek itu berseru mengacung-acungkan keranjang bawaannya. "Heii.... heii! Bawa dan berikan ini pada cucu-cucuku, kongcu. Ini untuk Siang Hwa dan Siang Lan. Jangan terlalu girang karena semuanya itu tergantung Yang Maha Kuasa. Manusia berusaha Dia yang menentukan!"

Siang Le teringat. la melihat kakek itu jatuh dan melompat keluar lagi. Bawaan keranjang rupanya berat juga. Dan ketika ia menolong dan menepuk si kakek, kegirangannya tak dapat disembunyikan lagi maka Siang Le melompat dan naik lagi ke perahunya. Keranjang makanan itu dibawa. "Lopek boleh ikut aku kalau mau. Mari!"

"Tidak.. tidak...! Aku si tua biar di sini, kongcu. Menunggu kabar. Berangkatlah dan kudoakan sukses!"

Siang Le tertawa bergelak. Ia girang dan senang seolah keturunan laki-laki itu sudah pasti didapatnya. Ia bahagia dan begitu gembira hingga tak banyak bicara lagi kepada Siong-lopek. Dan ketika ia meninggalkan kakek itu dan perahu meluncur membelah ombak, tenaga si anak muda demikian luar biasa hingga perahu melesat dan naik di antara buih-buih ombak maka kakek di seberang daratan itu berdecak menggeleng kepala berulang-ulang.

"Siang-kongcu, hati-hati. Sampaikan salamku kepada Wang-hujin dan isterimu!"

Siang Le tak menjawab. Ia sudah jauh dan menggerakkan perahu seperti kesetanan. Buku kecil di tangannya itu bagai jimat yang amat bertuah. Dan ketika sebentar kemudian ia sudah lenyap di balik ombak bergulung-gulung, kakek Siong tersenyum dan menarik napas pendek panjang maka pemuda ini sendiri sudah meluncur dan menari serta menyelinap di tengah laut buas. Siang Le tak menghiraukan apa saja kecuali ingin cepat sampai dan tiba di tujuan. la mendayung begitu cepat hingga perahu meloncat dan terbang di atas buih ombak, jatuh dan meloncat lagi hingga orang akan geleng-geleng kepala melihatnya.

Sekali perahu itu tak kuat tentu pecah dasarnya. Salah-salah pemuda itu bisa tenggelam! Namun karena Siang Le adalah mantu Pendekar Rambut Emas dan ilmu-ilmu tinggi didapatnya dari sang gak-hu (ayah mertua) maka pemuda itu sebentar kemudian sudah sampai di Sam-liong-to. Dan begitu meloncat keluar iapun tertawa bergelak. Pulau seakan runtuh oleh getar suaranya.

"Ha-ha, berhasil, Eng-moi. Berhasil! Aku telah mendapatkan kuncinya bagaimana mendapat anak laki-laki!"

Soat Eng berkelebat. la mendengar tawa suaminya itu dan melihat sang suami menghambur dan terbang ke lstana Hantu. Mereka memang tinggal di istana itu. Dan ketika sang suami melihatnya dan langsung saja menubruk, Siang Le menyambar dan mengangkat isterinya ini maka sambil terbahak-bahak ia menciumi isterinya itu.

"Berhasil, kita berhasil. Malam nanti kita coba, ha-ha...!"

"Hush, coba apa? Kenapa seperti gila begini? Turunkan aku, Le-ko. Anak-anak datang!"

"Tak apa. Aku ingin menciumi mereka pula dan memberi tahu bahwa adik laki-lakinya siap datang!" Siang Le membuang isterinya itu, meloncat dan berjungkir balik menyambar dua anak perempuannya dan Soat Eng memaki suami nya berjungkir balik. la dibuang dan dilempar begitu saja. Kalau bukan dia tentu celaka. Dan ketika suaminya itu terbahak-bahak menciumi anaknya, sang ibu muncul maka Cao Cun geli melihat tingkah pemuda itu.

"Siang Le, kau seperti menang lotre. ingat, tanpa Tuhan tak akan terjadi semuanya itu."

"Ha-ha, Tuhan merestui, ibu. Aku Ingin menyenangkan isteri dan gak-boku. ha-ha, sudah kudapat resep itu!"

"Ayah bicara tentang apa," Siang Hwa mengomel. "Bajumu bau, ayah. Kau penuh keringat!"

"Ha-ha, tak apa. Nanti ibumu yang mencuci!"

"Enaknya!" Soat Eng membanting kaki "Isteri sibuk suami harus membantu, Le-ko. Nah, aku belum selesai masak dan kau mencuci bajumu itu dulu!" dan ketika Siang Le tertawa melihat isterinya berkelebat maka sesuatu tiba-tiba jatuh dari saku isterinya itu.

"Heii, apa itu!"

Soat Eng terkejut. Siang Lan, anaknya kedua berteriak padanya. Tapi sang suami yang bergerak dan berkelebat lebih cepat sudah menyambar dan mengambil itu, membukanya. Dan Siang Le terbelalak melihat itu. Racikan jamu!

"Eh, kau minum jamu? Suka pahit-pahit?"

"Berikan!" sang isteri merampas. "Itu bukan untuk laki-laki, Le-ko. Kau berusaha akupun tak mau kalah!" dan ketika sang suami terbelalak sementara sang isteri melotot maka Soat Eng berkelebat meninggalkan suami dan anak-anaknya itu. Muka memerah.

"Hei-hei...! Apa itu. Aku juga mau jamu!"

"Itu khusus wanita," Cao Cun bergerak dan menengahi. "Laki-laki tak cocok minum itu, Siang Le. Itu untuk pembersih dan penguat kandungan. Kau ada sendiri dan sudah kubuatkan di belakang."

Siang Le tertawa. Akhirnya ia geli begitu mendengar ini. Untuk kandungan? Wah, laki-laki tak punya itu. Hanya wanitalah yang punya. Dan ketika ia terbahak dan gembira benar maka sang ibu bertanya bagaimana hasilnya. "Bagus... bagus, aku sudah mengetahui kuncinya. Terima kasih, ibu. Kaupun ikut berjasa!"

"Tapi ingat," sang ibu menunjuk. "Manusia berusaha Tuhan yang menentukan, anakku. Aku akan berdoa sepanjang malam untuk keberhasilanmu. Mudah-mudahan gak-bomu tak marah dan senang mendapat cucu laki-laki!"

Hari itu Siang Le gembira benar. Ia menyantap hidangan isterinya dan berkali-kali memuji. Sang isteri melerok namun tertawa juga. Kegembiraan suami menular. Dan ketika hari demi hari dilewatkan bahagia dan dua bulan kemudian isterinya hamil maka Siang Le bersorak mendengar kata-kata nenek pijat bahwa bayinya laki-laki. Nenek itu dipanggil dan akhirnya dipersiapkan untuk mengurus atau menjaga kesehatan Siang-hujin.

"Laki-laki. Selamat, tuan muda. Nyonya mengandung bayi laki-laki."

"Dari mana kau tahu?"

"Jempol dan mata kakinya, tuan muda. Denyut dan gerakan nadinya menunjukkan laki-laki. Keras dan kuat. Bayimu sehat sekali. Selamat!"

Siang Le berjingkrak. Nenek pijat ini bukan sembarang pemijat melainkan juga seorang ahli kebidanan yang tahu betul tentang wanita hamil. Dulu, dua kali kehamilan isterinya nenek ini jugalah yang dipanggil. Dan dua kali itu pula nenek ini menyatakan bayinya perempuan, hal yang cocok karena kemudian lahir Siang Hwa dan Siang Lan itu. Maka ketika kini sang nenek bicara bahwa bayinya laki-laki, bukan main girangnya Siang Le maka pemuda ini berjingkrak dan bersorak. Tingkahnya seperti anak kecil.

"Jangan gila," sang isteri menegur. "Kau seperti orang sinting, Le-ko. Lihat nenek Lui tertawa!"

"Ha-ha, biar ia tertawa. Biar aku gila. Yang jelas aku gembira sekali, Eng-moi. Apa yang dikata Siong-lopek benar. la cocok. Ah, bahagianya gak-bo kalau mendengar ini!"

Lui-ma, nenek itu terkekeh-kekeh. Sudah lama ia mengenal keluarga ini sejak kehamilan pertama dulu. Sayang ia tak mau tinggal di Sam-liong-to karena ada keluarganya di seberang. Nenek itu pulang sebulan dua kali. Dan ketika sekarang ia pun diminta tinggal di situ sampai kelahiran tiba, nenek ini tak menolak asal sebulan dua kali menengok keluarganya maka pada bulan terakhir dari kehamilannya Soat Eng sudah merasa sakit-sakit yang sangat dari tanda-tanda kehamilan.

"Hm, dua tiga hari lagi. Baik, sediakan popok dan keperluan ibu dan anak, tuan muda. Aku akan menjaga di sini dan biar Wang-hujin membantuku."

"Tapi ia laki-laki, bukan?"

"Laki-laki, tuan muda. Semakin kuat dan meyakinkan tanda-tandanya. Aku yakin dia laki-laki!"

"Huraaa...!"

"Eh, jangan berhura. Hujin mulai kesakitan!"

Siang Le sadar. la melihat isterinya menangis dan munculah sang ibu yang menyediakan ini itu. Popok dan keperluan ibu anak ternyata sudah disiapkan wanita ini. Dan ketika dua hari kemudian, diwaktu gelombang pasang sedang menghantam Sam-liong-to maka di tengah malam di sela-sela petir dan hujan deras lahirlah anak nomor tiga dari keluarga ini. Seorang bocah laki-laki tepat seperti ramalan nenek Lui!

"Ha-ha, laki-laki. Benar laki-laki. Ah, ini untukmu, gak-bo. Menantumu ternyata pandai dan tidak goblok. Ha-ha, Siang Le masih pandai!"

Soat Eng menangis terisak-isak. Ia dapat merasakan kebahagiaan dan kegembiraan suaminya itu. Suaminya paling takut kalau sudah dimusuhi ibunya. Ibunya memang keras dan kadang-kadang kejam. Dan ketika hari itu mereka merasakan kegembiraan luar biasa, Soat Eng bertanya siapa nama anak laki-laki mereka maka Siang le bingung dan tertegun.

"Celaka, aku belum tahu. Biar kutanya ibu!"

"Eh, kenapa ibu? Kau sendiri coba cari nama, Le-ko. Jangan ibu ter.. Dulu Siang Hwa dan Siang Lan juga begitu!"

"Hm-hm, kalau begitu siapa namanya. Aku belum siap. Wah, biar sehari ini kucarikan nama anakku dan coba kupasang hio sebentar!" Siang Le berkelebat ke belakang. Ia memasang hio dan teringat cara ibunya ia pun tiba-tiba ingin minta tolong mendapatkan nama yang bagus. Nama itu penting. Anaknya sekarang laki-laki dan ia akan mencari bobot bagi nama anaknya. itu.

Dan ketika ia hampir bertabrakan dengan sang ibu yang keluar dari ruang pemujaan maka Cao Cun tersenyum melihat kegugupan sikap puteranya itu. "Apa ini, semua serba tergesa-gesa. Harusnya dari dulu kau mencari nama itu, Siang Le, bukan dadakan begini. Di meja sembahyang ada tiga nama untukmu. Pilihlah yang cocok. Mudah-mudahan kau berkenan."

Siang Le tertegun. Ia cepat berlutut di altar sembahyang dan ternyata situ telah ada tiga nama pilihan. la tergetar. Nama itu bagus-bagus. Dan ketika ia terbelalak dan mernbaca sekali lagi maka berturut-turut terdapat nama yang masing-masing mempunyai arti besar:

Siang Hok Gi, Siang Houw To dan Siang Lo Siong!

"Hm, mana yang kupilih? Dan apa arti nama terakhir ini? Wah, biar ibu kupanggil lagi!"

Namun ketika Cao Cun ke-uar dan muncul di pintu pemujaan maka wanita itu tertawa. "Aku tahu, kau pasti akan mencari aku lagi. Baik, apa yang hendak kau tanyakan, Siang Le. Nama itu cukup berbobot tapl coba kira-kira mana yang akan kau pilih!"

"Hm-hm, aku bingung untuk mengira-ngira arti dari ketiga nama ini. Tapi kalau tidak salah nama yang pertama cocok untukku, ibu. Siang Hok Gi berarti 'Rejeki Keluarga Siang'!"

"Heh-heh, cocok. Dan nama kedua?"

"Houw artinya Harimau. Dan To, hmm.... apalagi kalau bukan Sam-liong-to yang kau ambil ekornya? Siang Houw To berarti Harimau Keluarga Siang Dari Sam-liong-to, ibu. Tapi benar atau tidak aku tidak tahu!"

"Cerdas, kau cerdas! Heh-heh, kau benar, Siang Le. Tapi coba nama yang ketiga!"

"Wah, ini aku bingung. Lo artinya Tua, dan Siong...."

"Siapa lagi kalau bukan kakek di seberang sana? Aku mengambil nama itu untuk mengingat jasa baiknya, Siang Le. Nama itu memang nama tua tapi kalau kau lebih cocok yang pertama tentu saja boleh ambil!"

"Ha-ha, bagus. Kalau begitu yang pertama itu saja. Hok Gi adalah Rejeki, dan aku benar-benar merasa mendapat rejeki. wah, ini saja yang kupilih, ibu. Terima kasih. Tapi, sst.... jangan bilang pada iseriku bahwa nama ini lagi-lagi hasil buah pikiranmu!" dan Siang Le yang meloncat dan meninggalkan ibunya lalu membuat wanita itu tertawa tapi Cao Cun tentu tak menolak.

Siang Le adalah puteranya yang baik dan pemuda itu amat disayangnya. Dia sudah tahu bahwa pemuda ini seperti biasa tentu tak pernah mempersiapkan nama. Baru setelah lahir dicarilah nama itu serabutan. Dia mempersiapkannya sendiri selama beberapa bulan terakhir ini. Dan ketika Hok Gi, nama itu dicantumkan pada cucunya laki-laki maka resmilah nama itu menjadi milik penghuni kecil Sam-liong-to.

Anak ini tumbuh dengan sehat dan sempurna. Jarang kena penyakit meskipun cuaca mudah berubah-ubah di Sam-liong-to. Tapi ketika Siang Le hendak pergi menengok ke utara, berkunjung pada gak-hu dan gak-bonya ternyata Soat Eng menolak. Aneh.

"Tidak, kali ini kita ingin membuat kejutan. Biar ibu atau ayah ke mari. Hok Gi masih kecil, belum waktunya dibawa melakukan perjalanan jauh. Dan karena ibu yang menginginkan cucu laki-laki biarlah ia yang datang dan menengok sendiri!"

"Kau gila?" Siang Le terkejut, tentu saja tak setuju. "Nanti aku yang disalahkan, Eng-moi. Sudah mempunyai keluarga baru tidak memberi tahu orang tua. Ah, ibumu bisa marah-marah!"

"Aku yang menghadapinya. Ibu tak akan marah kepadamu, Le-ko. Aku yang akan menjelaskan. Dan lagi ada ibu Cao Cun di sini!"

"Hm, aku hanya pendengar saja," Cao Cun menjawab bijak. "Urusan ini kalian berdua yang memutuskannya, Soat Eng. Tapi benar bahwa anak seusia begini memang masih terlalu kecil dibawa melakukan perjalanan jauh. Bagaimana kalau setahun dua lagi."

"Tidak, aku ingin membuat ibu cemas. Biar ia datang dan nanti kusuguhi kebahagiaan ini. Kalau ia marah tentu bakal berubah setelah melihat Hok Gi!"

"Hm, kalau begitu bagaimana jika Siang Le dipersalahkan? Ibumu keras, Soat Eng. Ia bisa marah karena dianggapnya suamimu diam-diam saja."

"Aku yang bicara. Aku yang menanggung itu, ibu. Aku yang akan bicara kepada ibu bahwa aku memang melarang suamiku memberi tahu. Aku ingin ibu datang ke sini dan melihat betapa cucunya laki-laki sudah lahir. Sudahlah, kalian tenang saja dan ibu pasti datang ke mari, apalagi kalau dua tiga tahu kami tak memberi kabar!"

Siang Le kecut. Sebenarnya ia tak setuju dengan cara ini tapi apa boleh buat. Isterinya yang menentukan. Isterinya yang bertanggung jawab. Dan ketika setahun kemudian mereka tak mengisi kebiasaan berkunjung, tahun kedua juga begitu sampai pada tahun ketiga maka hari itu menjelang gelap dua orang muncul di tempat mereka. Thai Liong Si Rajawali Merah bersama isterinya yang cantik jelita Shintala, juga anak mereka laki-laki yang dipondong ibunya.

"Liong-ko...!"

"Shintala!"

Soat Eng berseru lebih dulu melihat datangaya kakak dan iparnya ini. Nyonya yang sedang menggendong dan menyusui bayinya itu meloncat berteriak girang. Siang Le, yang ada di sampingnya juga terkejut dan bangkit berdiri. Anak mereka Siang Lan dan Siang HWa sedang bermain-main dekat tungku api. Tapi ketikta Soat Eng menubruk dan memeluk iparnya, Bun Tiong diturunkan dan bengong memandang dua anak perempuan di sana mendadak Shintala mengguguk dan menangis tersedu-sedu.

"Eng-moi, ibu.... ibu tewas. Orang jahat membunuhnya!"

"Apa?" Soat Eng bagai mendengar gelegar halilintar. "Ibu.... tewas? Ia... la..."

"Benar, kau ditunggu-tunggu, Eng-moi. Beliau merindukanmu setiap saat. Ia... ia tewas terbunuh!"

Soat Eng terjengkang. Tiba-tiba saja ia roboh dan pingsan. Kedatangan tamu yang membawa berita duka ini sungguh mengejutkan. Jauh melebihi geledek di siang bolong. Namun ketika Thai Liong menyambar dan menolong adiknya maka Siang Le yang pucat dan juga terkejut. mendengar tiba-tiba mengeluh dan menolong Hok Gi. Bocah itu menangis dan menjerit tertimpa ibunya. Untung Thai Liong menyelamatkan dan menahan tubuh Soat Eng.

"Siapa anak ini. Siapa dia..dia... dia anak kami. Oh... biarkan aku menolong isteriku, Thai Liong. Tolong terima anakku ini dulu dan kedatangan kalian sungguh mengejutkan....!"