Putri Es Jilid 11 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

"AKU... aku takut, kongcu. Aku tak berani memberitahunya tanpa ijin pimpinan"

"Hm, kau maksudkan Thio-cici dan Wan cici itu?"

"Antara lain..."

"Baik, kalau begitu sekarang tentang kutuk. Apakah kedatanganku membawa kutuk dan sial di tempat ini. Masa kau tidak tahu?"

"Aku.. aku tahu, kongcu, tapi selama ini tak pernah membuktikan. Dan aku... aku sudah menerima dosa. Lihat telingaku ini!" gadis itu menyingkap rambutnya dan Beng An kaget sekali melihat betapa telinga kiri gadis itu buntung. Hwa Seng dipapas sebelah telinganya. Mengejutkan!

Dan ketika gadis itu terisak memberi tahu bahwa itulah hukuman untuknya, melanggar larangan maka ia menangis bicara lagi. "Lihat, untuk larangan ini saja aku telah menerima kutung telinga, kongcu, kalau aku menambah lagi tentu maut bagiku. Kalau kau mendesak aku tentu percuma pertolonganmu di Pulau Api dulu dan sia-sialah semua. Maafkan dan jangan memaksa."

"Baiklah," Beng An tertegun. Aku tak mendesakmu lagi, Seng-cici. Kalau begitu ku tanya saja dua pimpinanmu itu. Dan maaf bahwa setelah ini aku harus pergi. Kembalilah!"

Beng An mendorong dan berkelebat meninggalkan gadis itu. Sekarang ia tak mau memaksa dan datang ke Thio-cici dan Wan-cici itu. Lalu ketika ia membungkuk dan memberi hormat Beng An bertanya, "Cici berdua, bolehkah aku bertanya sesuatu sebelum meninggalkan tempat ini? Aku ingin tahu nama tocu, Hwa Seng tak berani memberitahunya!"

Dua gadis itu saling pandang, sejenak alis mereka berkerut, tapi ketika gadis she Thio maju ke depan ia balas bertanya, "Kongcu, perlu benarkah kau mengetahui nama tocu?"

"Perlu!"

"Untuk apa?"

Beng An terkejut, bingung.

"Hm, tak ada perlunya kau ketahui kongcu. Kau sekedar ingin tahu memuaskan hati sendiri. Nama tidak penting. Kau telah bertemu dan cukup. Harap ingat bahwa kaulah satu-satunya pria yang berhasil menemui tocu. Ini lebih dari cukup. Pergilah dan sekarang jangan ganggu kami."

"Tapi..."

"Srat!" dua gadis itu tiba-tiba mencabut pedang, sikap mereka seketika bengis. "Tak ada tapi, kongcu. Cukup dan pergilah.Mari kami antar dan kau tidak lama-lama lagi di sini!"

Beng An tergetar dan penasaran memandang istana. Dia sudah di luar pintu gerbang dan sikap dua gadis ini membuatnya kecut jugą. Kalau dia melawan tentu jelek, meskipun dia telah mengalahkan gadis she Thio dan she Wan ini. Dan ketika mereka menodongkan pedang dan itu berarti dia harus pergi, apa boleh buat Beng An memutar tubuh maka pemuda ini angkat kaki dan berkelebat.

"Thio-cici, agaknya tak usah diantar. Cukup di sini saja dan terima kasih. Aku dapat keluar sendiri!"

"Tidak! Dua gadis itu menyusul. "Kami harus mengawalmu sampai di batas Lembah, kongcu. Tamu kehormatan tak boleh disuruh pergi begini saja!"

Beng An maklum. la kecewa dan mendongkol berat karena segera dua gadis Lembah Es itu mengejarnya dengan cepat. Kepandaian mereka memang tinggi dan hanya dengan Pek-sian-sut saja dia bisa meninggalkan jejak. Tapi karena ia tak mau melakukan itu dan maklum bahwa lawan ingin melihat dia benar-benar pergi, itu isyarat bahwa dia benar-benar tak boleh kembali maka Beng An turun gunung dan segera ratusan pasang mata melihatnya berkelebat disusul dua gadis wakil tocu.

Beng An melewati barisan buaya tapi ketika tiba di jembatan yang patah ia disuruh belok ke kiri, menuju tempat lain di mana akhirnya gadis she Thio dan she Wan itu memandu. Ternyata banyak jalan melingkar dan naik turun. Kalau saja hati tak sedang mendongkol Beng An pasti menikmati keindahan tempat itu. Ada bagian lain dari sisi Lembah Es yang mengagumkan, yakni pohon-pohon hijau segar di antara tumpukan salju. Ajaib. Tempat ini aneh sekali!

Tapi karena Beng An dipimpin dan mau tak mau pemuda itu harus mengikuti, berbelok dan naik turun beberapa kali akhirnya mereka tiba di laut es itu di mana sebuah perahu kecil tertancap di pinggiran. Bukan perahu Hwa Seng!

"Kongcu, sudah sampai. Pergilah dan terima kasih atas kunjunganmu."

Beng An tertegun. Kalau dia mau, dia dapat merobohkan dua gadis ini dan masuk kembali. Tapi tentu bahaya. Penghüni akan mencari dua gadis ini dan itu bakal dicurigai. Sang tocu akan menjadi marah dan tak ada ampun baginya. Dikeroyok penghuni Lembah Es bukanlah hal main-main. Meskipun ia dapat menghilang dengan Pek-sian-sutnya namun hubungan sudah terlanjur buruk, padahal ia ingin bersahabat dan berbaik dengan mereka itu, terutama sang tocu, yang demikian anggun dan cantik benar-benar bagai seorang ratu. Meskipun dingin dan beku seperti es! Dan ketika Beng An menarik napas dalam-dalam dan mengangguk membuang kecewa maka ia melompat dan memasuki perahu itu.

"Baik, terima kasih kembali, Wan-cici. Sampai jumpa dan selamat tinggal!"

Dua gadis itu mengerutkan kening. Mereka tak senang mendengar "sampai jumpa" dan ketika Beng An melepaskan perahunya itu maka satu di antaranya bergerak, tahu-tahu menghadang dan menahan sejenak ujung perahu. Lalu ketika Beng An tertegun dan ganti mengerutkan kening gadis itu berkata, "Kim-kongcu, pantangan bagi kami menerima mu lagi. Karena itu tak ada istilah sampai jumpa karena ini adalah pertemuan dan perpisahan terakhir!"

Beng An tertawa getir. "Baiklah, Thio- cici. Maaf dan sekarang minggirlah!"

Perahu tercabut dan meloncat. Beng An mengerahkan tenaga hingga tiba-tiba perahu itu terbang di atas kepala si gadis yang mengelak dan terkejut tetapi kagum melihat betapa perahu tiba-tiba meluncur dan terbang di atas permukaan es. Dan ketika Beng An sudah merupakan titik putih dan jauh di sana. Membelok dan akhir lenyap maka dua gadis ini mendecak dan masing-masing memuji tak sembunyi-sembunyi lagi.

"Hebat, luar biasa. Kim-kongcu itu sungguh pemuda mengagumkan!"

"Dan ia bertemu tocu. Hm... alangkah tepatnya kalau pemuda seperti itu men-dampingi Ratu, Thio-cici. Sayang tempat ini tak boleh dimasuki lelaki!"

Gadis she Thio mengangguk-angguk. Ia sedikit terkejut mendengar kata-kata kawannya tadi tapi kemudian menarik napas panjang. Seumur hidup baru kali itu Lembah Es dibuat geger. Dan baru satu kali itu pula seorang lelaki berhasil memasuki istana, padahal orang-orang Pulau Api paling hanya di batas lembah saja. Dan ketika keduanya membalik dan berkelebat meninggalkan tempat itu maka padang es itu kembali sunyi namun kedatangan dan sepak terjang Beng An meninggalkan getar dan kesan hebat di hati masing-masing penghuni.

* * * * * * * *

Beng An duduk termenung. Pengalaman dan kenangannya di dua pulau itu menimbulkan kenangan berbeda di hatinya. Pulau Api, pulau yang dikusai orang-orang keras dan kasar tapi memiliki tokoh-tokoh lihai membuat dia mengangguk-angguk. Dibandingkan Lembah Es maka Pulau Api adalah pulau ganas. Pohon Api ditengah pulau yang mentakjubkan itu membuat para penghuninya bertemperamen tinggi. Rata-rata berdarah panas dan mudah terbakar.

Tapi dibandingkan Lembah Es maka harus secara jujur diakui bahwa lembah itu lebih mengesankan daripada Pulau Api. Barangkali karena penghuninya yang semua wanita itu, wanita-wanita muda yang rata-rata cantik. Tapi benarkah ini? Benarkah karena Lembah Es dihuni wanita-wanita muda maka dia merasa lebih tertarik dengan tempat itu?

"Hm, tidak..." Dia bukan mata keranjang. Seminggu satu perahu dengan Hwa Seng penghuni lembah itu tidak meninggalkan kesan apa-apa baginya. Biasa saja. Tapi begitu dia bertemu dan berhadapan dengan tocu atau Ratu lembah maka dia terguncang dan merasa mabok! Setan, apa gerangan ini? Bukankah Ratu Lembah Es itu bercadar? Entahlah, Beng An tak dapat menjawab. Memang harus diakui bahwa wajah si Ratu tidak jelas semua, hanya lapat-lapat saja.

Tapi karena yang lapat-lapat ini justeru mampu menciptakan pesona sendiri, bahwa yang sedikit justeru membuat orang penasaran dan ingin tahu lebih jauh maka Beng An menarik napas dalam dan menggigit bibir. Gejala apa ini? Jatuh cinta? Dia hampir tertawa. Usianya sudah duapuluh tahun tapi masalah yang satu itu belum pernah dirasakannya. Dia merasa tertarik dan penasaran untuk menemui Ratu Lembah Es itu lagi. Tapi bagaimana akal? Ratu itu angkuh. Kalau dia ke sana tapi sang Ratu tak mau menemui maka percuma juga maksudnya. Dan Lembah Es konon tak boleh dimasuki pria. Bisa membawa sial, begitu katanya.

Kutuk. Hm... kutuk apa? Sial apa? Dan benarkah kira-kira hal itu? Tapi kepercayaan itu diketahui penghuni lembah, meskipun ada di antara mereka yang tak percaya, seperti Hwa Seng itu misalnya. Dan penasaran tapi harus menghargai kepercayaan ini. Gadis she Thio dan she Wan itu tegas melarangnya kembali maka Beng An bingung sendiri dikacau pikirannya. Kalau kepercayaan itu dibuat-buat tak mungkin dua gadis itu demikian serius mengusirnya. Waktu ucapannya salahpun ia ditegur. Hm, Lembah Es memang tak boleh didatangi laki-laki. Dan ketika Beng An bingung dikalutkan wajah si Ratu maka tiba-tiba ia mengepal tinju mengeraskan hati.

"Aku akan pulang. Aku akan menengok ayah ibu!" lalu ketika Beng An menggerakkan perahunya lagi dan menindas keragu-raguan ia pun meluncur dan membelah permukaan laut dengan kekuatan mengagumkan. Tiga hari ini Beng An tepekur di laut lepas setelah keluar dari laut es beku. Ia ragu-ragu antara ingin balik dan pergi. Namun ketika akhirnya iaharus pergi, ia tak mau melukai dan bermusuhan dengan penghuni lembah itu maka tetaplah pikiran pemuda ini bahwa dia harus pulang dan menuju utara.

Enam tahun ini ia tak bertemu ayah ibunya. Enam tahun ini ia .digembleng di Lembah Malaikat oleh Bu-beng Sian-su secara langsung, guru tapi yang tak mau disebut guru karena kakek itu minta agar menyebutnya Sian-su saja, sebutan yang banyak dipakai orang. dan selama ini dikenal. Dan ketika Beng An menggerakkan perahunya di laut bebas, perut berkeruyuk dan tiba-tiba merasa lapar maka dilihatnya sirip-sirip kasar memotong permukaan laut seperti pisau-pisau tajam, menyisir dengan cepat.

Beng An tak tahu bahwa inilah hiu-hiu ganas yang sedang mencari mangsa. Maka ketika tiba-tiba sirip ikan-ikan hiu itu menuju arahnya dan siap memotong perahu, gerakan mereka begitu cepat dan tahu-tahu sudah di depan mata maka Beng An baru sadar bahwa ia berhadapan dengan ikan buas.

"Haiii…” Beng An menjejak dan melompat ke atas. Perahu yang diinjak tiba-tiba melekat dan ketika ia melompat tinggi maka perahu itupun terangkat naik. Sirip hiu ganas lewat di bawah perahunya dan binatang itu rupanya terkejut. Ada perahu bisa terbang! Tapi ketika Beng An harus turun lagi sementara hiu-hiu yang lain bergerak dan menyongsongnya maka perahu siap dibabat sirip itu dan Beng An berseru keras.

"Pergilah!" Tangan pemuda itu bergerak ke bawah. Serangkum angin pukulan menyambar dan tiga ekor hiu di depan tenggelam. Mereka dihantam pukulan pemuda ini dan amblas, sirip itu lenyap ke bawah. Dan ketika perahu mendarat turun tapi dari kiri kanan meluncur hiu-hiu lain maka Beng An terkejut dan membelalakan mata. Tempat itu tahu-tahu sudah đikepung puluhan ikan hiu!

"Hm! " pemuda ini membentak tapi tidak menjadi takut. Watak nakalnya tiba-tiba muncul. Ada pikiran bahwa tiba-tiba ia ingin menunggang hiu. Ia ingin menyeberangi laut dengan ikan buas itu. Tentu nyaman! Maka ketika belasan hiu tahu-tahu bergerak di kiri kanan dan dua di antaranya tiba-tiba muncul ke permukaan air, mulut yang lebar dengan gigi selancip gergaji mencuat mengerikan maka Beng An menyodorkan perahunya dan secepat kilat menghantam satu dari dua hiu ganas itu.

"Krakk!" perahunya menancap dan mengganjal mulut ikan itu. Sang ikan terkejut dan kelabakan. Kalau perahu terpasang lurus tentu ia akan menelan dan menghabiskan perahu dan penumpangnya itu. Tapi Beng An memasangnya melintang, akibatnya perahu menancap dan jauh lebih lebar dari mulut ikan. Dan ketika ikan itu terkejut dan mengibaskan ekor, air memuncrat memukul tinggi maka Beng An tertawa dan... hup, sudah berada dipunggung ikan satunya, mencengeram atau menancapkan jari kuat-kuat di bawah sirip leher binatang itu, yang tentu saja kesakitan dan juga berontak.

"Ha-ha, kau menjadi tungganganku, ikan bodoh. Hayo maju dan ikuti kendaliku!"

Beng An menekan setengah mencoblos sirip kiri yang membuat si binatang melonjak, bergerak ke kiri tapi tiba-tiba menyelam! Dan ketika Beng An terkejut karena dibawa meluncur cepat, ia melesat ke bawah permukaan air laut maka binatang itu berenang kesetanan dan membuat Beng An gelagapan!

Betapa berbahayanya keadaan pemuda itu. Kalau Beng An tidak tenang dan ceroboh tentu dia dibawa semekin ke dalam dan tekanan air yang kuat membuatnya kehabisan napas. Ikan memang benar melonjak ke kiri tapi yang tak disangka adalah langsung menyelam. Beng An lupa ini. Tapi ketika dia tergelagap dan meluncur sejauh beberapa tombak maka Beng An menendang bagian bawah perut binatang ini dan tepat sekali mengenai bagian kelaminnya.

"Duk!" Ikan terlonjak dan kesakitan. Secara otomatis dia terdongak dan saat itulah ikan ini meluncur ke atas, cepat separti cara menyelamnya tadi dan tahu-tahu muncul kembali di atas permukaan laut. Beng An lega. Dan ketika dia menarik napas dalam dan tahu apa yang harus di- perbuatnya maka pemuda itu segera menekan atau mencoblos sirip leher bawah, menendang atau menekan kalau menyuruh naik atau turun. Dan ketika sebentar kemudian ikan itu berhasil dikemudikan pemuda ini tertawa-tawa maka sekejap kemudian Beng An tak takut lagi dibawa menyelam.

Tendangan ke bawah perut itu akan membuat si ikan naik ke atas, tekanan pada punggung atau belakang kepala akan menyuruhnya tenggelam. Dan karena tekanan pada sirip kiri ikan menyuruh binatang itu berbelok seperti yang dia kehendaki maka Beng An benar-benar Sudah menguasai ikan ini dan si hiu berenang dengan takut dan bingung ke sana ke mari.

"Ha-ha, Kau tak boleh kurang ajar lagi, Hitam. Ayo berbelok dan sekarang kita, berputar-putar!"

Beng An telah menguasai dan mahir mengendalikan hiu taklukannya ini. Ia melihat dengan tertawa betapa hiu satunya masih berkecipak dan berbelok-belok dengan perahu menancap di rahang. Ekor hiu itu berkali-kali dipukulkan ke permukaan air hingga memuncrat tinggi. Tapi ketika dia kebingungan dan lenyap ke bawah, menyelam di dasar laut maka kawanan-kawannya yang lain didekati pemuda ini yang nakal menarik atau membetot ekor mereka. Beng An main-main. Pemuda ini menepuk atau menjentik kepala hiu-hiu itu sementara hiu tunggangannya berenang ke sana ke mari sesuai perintah.

Kali ini dia tak berani menyelam karena Beng An tentu akan menendang bawah perutnya. Anggauta yang dihantam itu sakit sekali, hiu ini pintar dan akhirnya berenang saja di permukaan laut. Dan ketika Beng An membuat hiu-hiu yang lain gentar, satu demi satu menyingkir dan melarikan diri maka hiu ini merupakan satu-satunya ikan buas di permukaan laut luas. Beng An akhirnya puas dan sadar akan maksudnya semula, bahwa dia akan kembali dan ke darat. Maka ketika dia menekan dua sirip hiu itu secara berbareng, tanda agar si hiu berenang lurus akhirnya hiu ini menuju daratan dan Beng An telungkup di atas punggungnya.

"Ha-ha, selesai. Sekarang antar ke pantai dan lurus ke depan!"

Hiu itu meluncur dan berenang cepat. la benar-benar sudah dikuasai pemuda ini dan apapun yang dikatakan selalu dituruti. Tapi ketika Beng An mengarungi samudera dan menuju pantai mendadak perahu-perahu besar bermunculan dari sebelah kiri. Mula-mula Beng An mengira itu kaum nelayan pencari ikan. Tapi ketika dia melihat bendera segi tiga di atas perahu itu perahu-perahu jung yang ditumpangi laki-laki berkulit merah maka dia terkejut dan membelalakkan mata.

"Orang-orang Pulau Api! Ah, apa yang mereka hendak lakukan? Mau ke mana?”

Beng An menghentikan binatang tunggangannya. la terbelalak melihat lima perahu jung menuju selatan, semuanya penuh dan sarat penumpang. Dan ketika orang-orang seperti Yang Tek dan Bu Kok dikenalnya, masing-masing berada di perahu terdepan maka Beng An mendengar suara tawa bergelak yang lapat-lapat diingat.

"Ha-ha, Lembah Es. Mana itu, pangcu? Kenapa lama amat dan tidak sampai-sampai? Huh, jemu aku berperahu. Jaan-jangan kalian orang-orang Pulau Api bohong!"

"Ah, siapa bohong," seseorang terdengar berkata dengan suara batuk-batuk berat dan dalam. Suara ketua Pulau Api! "Jarak yang kami tempuh memang lama, San-siauwhiap. Dan kau harus sabar sampai kita benar-benar tiba."

"Tapi aku bosan. Beberapa hari berlayar hanya laut melulu. Heh, berikan dayung padaku dan kita berlomba!"

Seorang pemuda muncul di antara orang-orang Pulau Api itu. Rambutnya gimbal-gimbal sementara mukanya pucat kehijauan. Lalu ketika dia merampas atau menyambar dayung seorang anggauta, menghantamnya kepermukaan laut maka perahu tiba-tiba meloncat dan terbang melewati dua perahu di depan yang ditumpangi Bu Kok dan Yang Tek.

Hei.., kalian orang-orang lamban. Lihat caraku dan dayung lebih cepat!"

Semua terbelalak dan ngerí. Perahu yang digerakkan pemuda itu melesat seperti bersayap dan meluncur di depan dua perahu terdepan. Penumpangnya berteriak kalang-kabut kecuali ketua Pulau Api, yang bertengger dan kini kelihatan di antara anak-anak muridnya, yang terpelanting dan berpegangan pinggiran perahu. Dan ketika perahu turun ke bawah tapi tidak mengeluarkan suara, hanya kecipak kecil muncrat ke atas maka perahu itu meluncur dan didayung seperti biasa. Pemuda muka kehijauan itu.

"ha-ha-he-he..! Nah, lihat. Ini yang harus kalian lakukan, orang-orang tolol. Contoh gerakanku dan dayung bersama agar cepat tiba di tempat tujuan!"

Pemuda itu menggerakkan dayung dan bersikap congkak atau edan-edanan. Dia telah mengejutkan semua orang di perahunya ketika tadi tiba-tiba perahu itu meloncat dan terbang melewati dua perahu kawan. Lalu .ketika kini .dia berseru memaki yang lain dan mendayung sendirian, perahu bagai didorong tangan raksasa maka perahu itu melesat dan meninggalkan perahu-perahu lain. Sibuk dan kagetlah orang-orang di lima perahu belakang. Mereka tertinggal jauh dan ketua Pulau Api berseru keras.

Tan-pangcu atau ketua itu berteriak agar kawan-kawannya mengejar. Dan ketika semua orang menyambar dayung dan menyatukan tenaga, tiga puluh orang di masing-masing perahu bergerak mengayuh cepat maka perahu si gila itu tersusul dan terjadilah kini adu lomba perahu untuk menjadi yang tercepat.

"Itu baru bagus. Kalian seperti kucing-kucing kelaparan. Hayo, semua menandingi dan lawan aku, tikus-tikus busuk Atau kita tak sampai ke tempat musuh dan percuma aku membantu kalian.”

Beng An terbelalak dan berubah mukanya. Dari jauh ia serasa mengenal dan tiba-tiba berdetak. Tawa dan sikap edan-edanan itu akhirnya mengingatkan akan seseoran Dan ketika dia mengenal dan untung orang-orang di enam perahu itu tak melihatnya maka tiba-tiba ia menekan punggung ikan hiunya mengejar.

"San-suheng! San Tek...!"

Beng An kaget sekali. Akhirnya ia tahu siapa pemuda di perahu ketua Pulau Api itu. Bukan lain adalah San Tek putera mendiang San-ciangkun yang gila. Pemuda ini pernah menjadi murid Poan jin-poan-kwi dan bersama dia yang waktu itu menjadi tawanan berada di bawah pengaruh dua kakek iblis ini. San Tek mempelajari ilmu secara jungkir balik dan akibatnya miring. Kepandaian dua kakek iblis itu ditelan begitu saja hingga salah jalan. Dan ketika secara kebetulan pemuda itu mendapatkan Im-kan-thai-lek-kang Tenaga Inti Neraka akibat latihan yang salah maka pemuda ini menjadí hebat tapi berbareng kemiringan otaknya semakin bertambah!

Poan-jin-poan-kwi sampai terkejut melihat dahsyatnya sinkang si gila ini. Mereka tak mampu menandingi. Namun karena dua kakek itu akhirnya tewas dan San Tek keluyuran tanpa kendali, luka setelah dikeroyok ayah dan kakaknya maka pemuda itu tak pernah muncul lagi dan kini. tiba-tiba secara mengejutkan berada satu perahu dengan orang-orang Pulau Api!

Beng An tergetar dan pucat. San Tek adalah bekas suhengnya dan justeru bekas suheng inilah yang dulu secara tidak langsung menyembuhkannya dari kebekuan Ping-im-kang, meskipun untuk keşembuhan totalnya dia masih harus dibantu kakek dewa Bu-beng Sian-su. Dan karena San Tek ini adalah pemuda gila berkepandaian tinggi, ayahnva sendiri Pendekar Rambut Emas tak mampu menandingi maka berkat bantuan kakaknya Thai Liong, si gila ini dapat diusir (baca: Rajawali Merah).

Dan kini si gila yang hebat itu ada di tengah-tengah rombongan Pulau Api. Dan San Tek menyebut-nyebut pula Lembah Es! Ah, apa artinya ini kalau bukan rencana serbuan besar-besaran? Lembah Es akan diserbu, dan itu berarti bahaya! Maka terkejut dan sadar akan ini tiba-tiba Beng An memutar arah ikannya mengejar rombongan itu. Dan begitu hiu itu bergerak ikan besar inipun meluncur atas kendali Beng An.

Namun Beng An bukan pemuda ceroboh. Sadar bahwa di atas perahu terdapat orang-orang lihai, terutama San Tek si gila itu pemuda ini tak berani memperlihatkan diri. Ia menyuruh ikannya menyelam dan dari bawah menyundul perahu paling belakang. Di situ anak-anak murid Pulau Api paling rendah. Dan ketika ia menendang perut ikannya muncul keatas, tepat ke perut perahu maka semuanya berteriak karena perahu tiba-tiba terangkat dan jatuh terbalik.

"Heiii... byurr!"

Semua tak ada yang mengira datangnya serangan. Hiu tunggangan Beng An menyundul perut perahu dari bawah dengan kuat. Tendangan Beng An yang membuatnya kesakitan menjadikan binatang itu buas. la marah. Maka ketika perahu terangkat dan terbalik, tiga puluh penumpangnya terlempar keluar maka orang-orang Pulau Api itu tercebur namun beberapa di antaranya berjungkir balik turun di badan perahu yang tengkurap, melihat hiu itu berenang namun lenyap kebawah, menyundul dan menyerang perahu lain dan berturut-turut dua perahu lagi terangkat dan terlempar.

Kejadian demikian cepat dan enam puluh orang lagi terpekik. Beng An membuat tiga perahu paling belakang kacau. Dan ketika semua penumpang di tiga perahu itu tercebur namun perahu para tokoh menengok dan berhenti, Beng An tak berani memperlihatkan diri maka hiu tunggangannya dilepas dan cepat luar biasa ia meloncat dan menempel di perahu keempat yang ditumpangi Tan Beng, putera dari ketua Puiau Api Tan Siok.

"Hiu! ikan keparat. Heii... ikan itu yang menumbuk perahu kalian, anak-anak. Cepat minggir dan biar kubunuh!”

See Lam, tokoh Pulau Api nomor tiga tiba-tiba berseru dan terbelalak. la melihat hiu yang berenang ke sana ke mari itu dan melotot karena perahu tiga anak buahnya morat-marit. Untung anak-anak murid yang cekatan berhasil membalikkan perahu lagi dan kini berlompatan ke dalam, basah kuyup. Dan ketika ia marah dan tangan kirinya bergerak, sebuah pisau menyambar maka hiu itu berjengit dan pisau lemparan tokoh Pulau Api tembus melukai kepalanya. Hiu itu menggelepar dan mengibaskan ekornya kuat-kuat, darah memuncrat membasahi air laut.

Namun ketika ia tenggelam dan lenyap, roboh oleh senjata di tangan tokoh Pulau Api maka sang ketua memaki sutenya itu yang membunuh hiu di tengah laut. "Bodoh, kurang pikir! Kau sembrono membunuh binatang itu, sute. Kau mengundang bahaya lebih besar dengan pisaumu itu!"

"Apa maksudmu suheng," laki-laki ini berseru tak merasa salah. "Aku membunuh binatang itu agar tak mengganggu yang lain suheng. Kalau tidak dibunuh akan menumbuk dan mencelakai kita!"

"Bodoh, tolol sekali. Hiu adalah binatang pemangsa, sute, indra penciumannya tajam akan bau darah. Dan kau melakukan itu. Suruh murid-murid cepat pergi dan dayung hindari daerah ini!"

Benar saja, beberapa murid terkejut dan berteriak menuding sana-sini. Dari jauh namun cepat mendekat tiba-tiba tampak puluhan sirip hitam meluncur menuju tempat di mana hiu tadi tenggelam. Darah di permukaan laut tercium binatang ganas itu dan karena sebelumnya mereka sudah menyerang Beng An, digebah namun tidak pergi jauh maka ketika kawannya terbunuh bau darah itu mengundang mereka untuk datang. Sirip-sirip hitam meluncur di permukaan laut seperti pedang-pedang tajam.

Anggauta Pulau Api terkejut namun barisan ikan itu sudah menyerbu. Mereka menabrak dan menghantam perahu-perahu ini. Dan karena tak mau perahu terbalik atau hancur, murid yang panik menggerakkan dayung memukul maka dak-duk suara dayung melukai kepala-kepala hitam itu di mana ada yang bocor dan kontan mengalirkan darah lagi

"Bodoh! Jangan serang! Jangan lukai binatang itu hingga mengalirkan darah!" bentakan atau teriakan ketua Pulau Api ini terlambat.

Anak-anak murid, yang kaget dan takut oleh serangan hiu-hiu ganas itu terlanjur. melukai dan menghantam kepala atau tubuh ikan dengan dayung di tangan. Pukulan keras ini dimaksudkan untuk menggebah atau menghalau agar binatang tak datang mendekat dan jera. Tapi karena pukulan atau hantaman itu membeset kulit, ujung dayung berlapis besi maka begitu darah mengalir mendadak ikan-ikan yang lain menyerang ikan yang terluka ini dan air laut tiba tiba bergolak ketika tubuh-tubuh besar itu membalik dan mengibaskan ekornya masing-masing.

Air memuncrat tinggi dan anak murid berteriak. Laut berbuih dan puluhan ikan saling gigit. Teman yang luka diserang. Dan karena yang luka menjadi marah dan ganas, melawan dan melejit sana-sini akhirnya perahu orang-orang Pulau Api terbentur dan tak dapat dicegah lagi mereka terlempar dan jatuh ke laut.

"Celaka, bodoh dan goblok!"

Tan Siok sang ketua menjadi marah dan melengking. Ia diguncang lima hiu buas nanmun karena ia tokoh Pulau Api maka perahu dapat dikendalikan dan tak terbalik. Anak-anak murid yang berteriak dapat ditenangkan. Semua panik kecuali San Tek, pemuda gila itu. Dan ketika Tan-pangcu juga melempar pisau-pisau belati, apa boleh buat harus membunuh dan menghajar binatang-binatang itu maka ia berteriak agar murid-murid yang tercebur ditolong dan ditarik dengan tali.

"Ini kebodohan ji-sute. Keparat, kita harus menghabisi mereka dan pergi dari sini... crat-crat!" belasan pisau menyambar dan membunuh hiu-hiu ganas, membentak para murid agar keluar dari kepungan hiu dan ketua serta para tokoh menghajar binatang-binatang itu.

Mereka yang saling gigit menjadi kaget. Diri sendiri tahu-tahu menjadi korban. Dan ketika yang lain menyelam dan tahu bahaya, menggigit atau menyerang teman-temannya dari bawah maka sebentar kemudian ratusan sirip hitam lenyap namun tampaklah pemandangan mengerikan ketika laut menjadi merah dan lima belas anak murid hilang. Tewas dimangsa hiu!

"Pergi! Dayung dan cepat pergi! Tinggalkan tempat ini dan jangan berbuat macam-macam!"

See Lam tokoh nomor tiga menjadi menyesal. Sekarang ia mengakui kata-kata suhengnya itu dan cepat menggerakkan tangan mendayung perahu. Lima belas anak murid menjadi korban. Waktu demikian singkat dan cepat. Tapi ketika perahu suhengnya dikejutkan oleh tak adanya Si gila, San Tek pemuda miring itu tak ada di perahu maka terdengar tawa, bergelak ketika dari sebelah kanan muncul pemuda itu menunggang seekor hiu.

"Ha-ha, lihat. Binatang itu baik dan penurut sekali, pangeu.. Aku suka! Lihat, ia pandai berputar-putar dan berenang melebihi kecepatan perahu kalian. Sekarang aku tak perlu mendayung!"

Semua terbelalak dan kaget. Si gila yang entah bagaimana berada di punggung seekor hiu ganas tiba-tiba bergerak dan berenang ke sana ke mari dengan ikan tunggangannya. Hiu itu berenang dan mengelilingi enam perahu dengan amat cepatnya. Tentu saja cepat karena sirip ikan itu dijepit dua jari telunjuk pemuda ini , kesakitan dan dengan cara itulah San Tek mengendalikan tunggangannya. Namun ketika tiba-tiba ikan itu menyelam dan lenyap, semua berteriak keras maka untuk sesaat San Tek tak kelihatan lagi namun tiba-tiba tawanya muncul di depan, jauh sekali.

"Heii, jangan bengong. Kejar dan ikuti aku, pangcu. Aku di sini. Aku tak mau menumpang perahu kalian lagi, terlalu lamban. Hayo kejar dan sekarang kita berlomba!"

Ternyata si gila telah berada di depan dan melambai. Hiu tunggangannya muncul di sana dan kecepatan berenangnya benar-benar mentakjubkan. Tigapuluh orang mendayung perahu tak mungkin menang. Hiu itu masih lebih cepat! Tapi ketika Tan-pangcu tertawa dan berseri mukanya, pemuda lihai itu tak mati tenggelam maka Tan-pangcu menggebrak dan memukul permukaan laut memerintahkan bergerak, tadi mereka bengong dan berhenti sejenak.

"Ha- gila. Bocah itu tak mau di perahu kita lagi, anak-anak. Tak apa.kejar dan mari cepat!"

Anak murid mengangguk. Mereka takjub dan kagum namun perahu sudah bergerak lagi. Kini enam perahu berguncang kuat dan barisan hiu lenyap. Mereka telah mengusir binatang buas itu. Dan ketika San Tek tertawa-tawa dan orang-orang Pulau Api mengikuti, hiu bergerak dan meluncur di depan maka si gila itu harus berkali-kali mengurangi kecepatan tunggangannya agar tidak terlalu jauh dengan teman-teman di belakang. Semua kagum dan Beng An sendiri yang menempel dan masih berada di buritan perahu mendecak. Apa yang dilakukan itu mirip yang dilakukannya tadi.

Tapi maklum bahwa bekas suheng itu memang hebat, ia tak perlu kagum maka Beng An diam saja dan duduk di celah perahu dengan sesekali mengusir ikan-ikan besar. Perahu yang ditumpangi terus bergerak dan melaju, dia tadi juga bertahan dari serangan ikan buas kalau mereka menggigit dan menyerang. Dan ketika orang-orang Pulau Api itu melanjutkan perjalanan dan jelas mereka menuju Lembah Es maka Beng An berdebar dan diam-diam berpikir apa yang harus dilakukan.

Ada dua cara menghadapi semua ini. Pertama ialah mengganggu orang-orang ini sebelum sampai tujuan. Ini adalah pertolongannya kepada Lembah Es. Tapi karena pertolongan itu amatlah berbahaya,diri sendiri bisa terancam dan merugikan maka Beng An mengurungkan niat dan tak jadi mengganggu. Puteri dan penghuni Lembah Es belum tentu tahu, dan itu tak ada untungnya. Maka ketika dia tiba pada keputusan kedua, yakni biarlah orang-orang inį mendarat dan di Lembah Es nanti dia berkiprah maka hal ini agaknya lebih menguntungkan dan dia gembira.

Hal itu berarti perjumpaannya lagi dengan Ratu atau Puteri Es. Bukankah dia datang untuk menolong? Dan kali ini tidak tanggung-tanggung. Dia bukan hanya menolong seorang dua melainkan seluruh penghuni. Lembah Es tentu dapat menerimanya lebih baik. Dan berseri bahwa dia akan bertemu dengan Puteri, bukan secara lancang melainkan secara kebetulan demi membantu sahabat maka Beng An tak memberikan gangguan apa-apa kepada perahu orang-orang Pulau Api ini.

San Tek sang bekas suheng tertawa-tawa gila bermain dengan hiu tunggangannya. Susah payah orang-orang Pulau Api mengejar. Namun ketika tiga hari kemudian permukaan laut sudah mulai beku hawa dingin terasa menggigit tulang maka San Tek tak mampu mempertahankan binatang tunggangannya itu lagi. Binatang ini berkali-kali menyelam dan akan memutar balik. Permukaan laut kian lama kian dingin. Kebekuan sudah mencapai puluhan meter.

Dan ketika apa boleh buat hiu itu harus dilepas, perahu orang-orang Pulau Api juga menabrak karang es maka sampai di sini San Tek meloncat dan menendang ikan itu yang membalik dan lenyap menyelam. Si gila ini tertawa-tawa menginjak daratan es seperti orang menapak di tanah biasa saja, dengan kaki telanjang.

"Ha-ha, sialan. Kudaku tak mampu meluncur lebih jauh lagi, pangcu. Laut es ini membeku. Ayo kita jalan kaki dan turun!"

Semua berlompatan. Melihat pemuda itu begitu enak menginjak laut beku maka semua mengira hawa dingin masih dapat dilawan. Tapi begitu kaki menginjak laut keras tiba-tiba semua menjerit dan kaget melompat kembali ke perahu.

"Haii, dingin! San-siauwhiap tak dapat kita tiru!"

"Hm!" Tan Siok atau ketua Pulau Api mendengus. "Turun dan kerahkan Giam-lui-kang, anak-anak. Atau minimal Hwe-kang agar sepasang kaki kalian tak kedinginan!"

Laki-laki itu sendiri berketruk dan gemas memandang anak-anak muridnya. Ia turun dan menginjak lantai daratan tanpa terkejut. Ketua Pulau Api ini telah mengerahkan Hwe-kangnya hingga Tenaga Api itu membuat telapak kakinya panas. Bahkan, saking mendongkol ia membuat permukaan es beku amblong, cair oleh tenaga panasnya itu. Dan ketika anak-anak murid teringat dan mengerahkan ilmu mereka, menginjak daratan beku ini tak boleh mereka main-main maka semua berlompatan dan turun kembali dengan muka merah. Orang-orang Pulau Api mengerahkan Yang-kang mereka hingga tubuhpun menyala seperti obor!

"Tak perlu kuat-kuat, kendalikan secukupnya saja. Ingat bahwa yang kita injak adalah laut beku dan sekali ia cair maka kalian terjeblos ke bawah!" sang ketua, yang mendemonstrasikan dan sudah memberanikan hati anak-anak muridnya lagi bicara dengan suara sungguh-sungguh. Ia membuat amblong permukaan yang diinjak tapi sudah mengatur tenaganya sedemikian rupa hingga cukup melawan hawa dingin saja. Murid-murid sadar dan mengikuti jejaknya. Dan ketika dua sutenya berseru dan berlompatan meninggalkan perahu maka San Tek terbahak dan berkelebat ke depan. Kaki telanjangnya itu dipamerkan membuat tokoh-tokoh Pulau Api membersit merah.

"Pangcu, anak-anak muridmu itu lemah sekali. Masa jalanan begini enak harus berteriak dan berkaok-kaok seperti anak kecil. Hayo, mana itu tempat tinggal Puteri Es dan biar kubekuk dia!"

"Hm," sang ketua menendang dan melepas sepatunya pula, tak mau kalah di hadapan anak-anak murid yang begitu banyak. "Tempat ini memang cocok bagi kita, San-siauwhiap, tapi belum cocok bagi anak-anak muridku yang kepandaiannya rendah. Mari bersamaku dan jangan jalan sendiri. Aku memandu!"

Sang ketua berkelebat dan bergerak di samping si gila ini. Ia tak mau kehilangan muka dan begitu melesat iapun unjuk kehebatan. San Tek dikejar dan disusul. Dan ketika si gila terbahak tapi harus mengikuti ketua pulau ini, ia tak kenal jalan maka berturut-turut Bu Kok dan sutenya juga melempar sepatu mereka, bertelanjang kaki di permukaan laut beku.

"Siauw Lok, simpan sepatuku ini. Awas, tuntun dan pimpin saudara-saudaramu mengikuti pangcu!"

"Benar, dan sepatuku juga, Tan Bong. Susul ayahmu dan mari kejar!" laki-laki berpakaian indah, tokoh nomor tiga dari Pulau Api juga berseru dan menendang sepatunya itu kepada murid keponakannya.

Tan Bong adalah putera sang ketua sementara Siauw Lok adalah murid nomor dua setelah Yang Tek, tokoh muda nomor satu di Pulau Api. Dan begitu tiga orang itu berkelebatan dan masing-masing mengerahkan tenaga Yang-kang, hawa dingin semakin hebat maka Tan-pangcu dan dua sutenya ini sudah berubah menjadi tiga manusia obor yang terbang dan melesat di depan. San Tek tertawa-tawa dan dia mengerahkan ilmunya di sebelah kiri ketua Pulau Api.

"Hebat. Ilmumu Giam-lui-kang tak ada cela, pangcu. Tapi Im-kan-thai-lek-kang kupun agaknya tak boleh dipandang rendah. Lihat, aku akan meninggalkan tapak obor di bawah kakiku.... plash!"

Api menyembur dan hidup di tubuh pemuda ini. Sama seperti Tan-pangcu si gila itupun tiba-tiba menjadi manusia api. Telapak kakinya berkobar dan api inilah yang meninggalkan bekas di bawah, hidup dan menjalar seperti ular api! Dan ketika anak-anak murid mengikuti dan semua berdecak kagum, di atas permukaan laut beku pemuda itu mampu menciptakan api maka Tan-pangcu tak mau kalah dan berseru,

"Siauwhiap, Im-kan-thai-lek-kang mu hebat. Agaknya kita masih serumpun. Tapi karena apimu cepat padam dan anak-anak murid tertinggal di belakang, jauh ketinggalan biarlah kuperkuat dan lihat aku pun membuat ular api.... blarr!"

Tan-pangcu mengibas dan mengeluarkan pukulan panasnya. Ular api ciptaan San Tek memang berkobar di permukaan es beku namun tak dapat tahan lama. Hawa amat lah dingin dan bagi murid-murid yang jauh di belakang tentu sulit. Mereka kehilangan jejak dan sukar mengikuti tokoh-tokoh itu. Maka ketika Tan-pangcu meledakkan pukulan apinya dan pukulan ini memperkuat ular api yang dibuat San Tek, lama dan tahan beberapa menit untuk menjadi pegangan para murid maka Bu Kok dan sutenya tak mau kalah.

"Ha-ha, hawa dingin semakin dingin, suheng. Kasihan anak-anak murid yang kedinginan. Biarlah kubuat selimut hangat untuk mereka dan aku sekedar meramaikan suasana...dess!" tokoh ketiga melempar tangan ke belakang, meniupkan hawa panas.

Dan benar saja para murid tiba-tiba dibungkus atau menerima "selimut" aneh, yakni hawa panas yang menyembur melingkupi mereka dan tertawalah para murid itu. Lalu ketika tokoh kedua juga melakukan hal yang sama melengkapi sutenya, kebekuan lenyap terganti kehangatan maka murid-murid bersorak dan mereka berkelebatan menyusul para pimpinan ini. Beng An kagum sekaligus khawatir. Kalau saja di situ tak ada San Tek dia yakin bahwa orang-orang Pulau Api tak perlu ditakuti penghuni lembah. Kepandaian Thio-cici dan Wan-cici telah diketahuinya, begitu juga sang Ratu.

Namun karena San Tek ada di situ dan Im-kan-thai-lek-kang yang dimiliki bekas suhengnya itu bukanlah main-main, kalau bergabung dengan tokoh-tokoh Pulau Api ini tentu hebat dan mengerikan sekali maka Beng An tiba-tiba berpikir bagaimana kalau dia mendahului rombongan ini memberi tahu penghuni. Dengan Pek-sian-sut dia sanggup melesat di depan, tak mungkin diketahui. Tapi ketika dia ragu-ragu dan maju mundur, San Tek dan ketua Pulau Api terus berkelebat dan meluncur di depan tiba-tiha mereka sudah bertemu dengan penjaga yakni belasan wanita muda Lembah.

"Heii, berhenti. Siapa kalian!"

Empat orang di depan terkejut. Bu Kok, orang nomor dua menoleh. Dari sebeleh kiri berkelebat tiga belas bayangan wanita-wanita muda yang menjadi murid atau penjaga. Mereka inilah yang berada di ujung tombak menjaga perbatasan. Maka begitu melihat rombongan kecil ini dan belum melihat rombongan yang lain, orang-orang Pulau Api yang berada di belakang tiba-tiba Bu Kok tokoh nomor dua itu tertawa dingin, tangan kirinya mendorong dan melepas Giam-lui-kang.

"Ha, kalian tikus-tikus betina Lembah Es? Sudah keluar sarang? Bagus, roboh dan mampuslah di situ, tikus-tikus cilik. Kami dari Pulau Api datang menyebar maut dess!" pukulan panas sang tokoh menghantam, cepat dan ganas dan dari telapaknya itu muncul bola api mengejutkan. Bola ini menyambar dan meledak ke tubuh tiga belas wanita muda itu. Dan ketika mereka menjerit dan sadar bahwa inilah pukulan berbahaya, berkelit namun terlambat maka semuanya terjengkang dan tewas dengan tubuh kehitaman. Gosong!

"Ha-ha, kejam sekali, Bu-taihiap. Kasihan sekali kau bunuh gadis cantik-cantik itu. Aih, sayang!"

San Tek berseru, tapi meneruskan perjalanan. "Di dalam masih ada yang lebih cantik lagi, San-kongcu, jauh lebih cantik daripada ini. Yang itu bukan apa-apa, tenanglah!"

"Ha-ha, begitukah? Tapi aku tak suka wanita. Mereka itu menggelikan bagiku, seperti ular... Iihh, aku tak mau menyentuh mereka kalau tidak terpaksa!"

Laki-laki itu tertawa. Mereka telah tiba di daerah musuh dan sambutan tiga belas gadis cantik tadi membuat mereka waspada. Dan ketika mereka mulai menyeberangi jembatan bambu untuk akhirnya tiba di kaki gunung pertama, gunung yang tegak di depan maka San Tek me-lihat bayangan-bayangan lain berkelebatan turun gunung. Merah hijau kuning berwarna-warni.

"Ha ha, datang lagi, Bu-taihiap. Banyak sekali. Kita rupanya disambut dan lebih meriah!"

Tokoh itu mengangguk. Dia tak menjawab melainkan saling memberi tanda dengan suhengnya, memperlambat langkah tapi mempercepat aliran Yang-kang hingga tubuh mereka semakin merah marong. Dan ketika San Tek terus meluncur dan tak sadar meninggalkan teman-temannya, tokoh-tokoh Pulau Api memasang kewaspadaan maka si gila itu sudah berhadapan dengan puluhan penghuni lembah, dipimpin gadis baju kuning yang bukan lain Ui Hong.

"Berhenti, siapa kau! Manusia liar dari mana ini yang berani masuk Lembah!"

"Ha-ha, aku.... eh!" San Tek menoleh dan tertegun memandang ke belakang. Tan-pangcu dan dua sutenya lenyap! "Eh, aku.... eh, aku datang mengantar kawan-kawanku, nona. Kami dari Pulau Api ingin main-main di sini. Aku...."

"Sudah kuduga!" bentakan itu disusul berkelebatnya bayangan Ui Hong, memotong bicara si gila ini, tangan menampar dan melepas Bu-kek-kang. "Kau orang Pulau Api, pemuda siluman. Dan tak ada ampun untuk bicara lagi. Mampuslah!"

San Tek terkejut dan membelalakkan mata. Dia sedang mencari-cari bayangan tiga temannya tadi ketika mendadak gadis baju kuning ini menghantam. Tapi karena dia bukan pemuda sembarangan dan sesungguhnya diajak atas bujukan tiga ketua maka dia mengelak dan Bu-kek-kang menghantam salju di belakangnya.

"Blarrr!" Salju membeku dan percikannya menjadi batu. San Tek membelalakkan mata kagum, meleletkan lidah. Tapi ketika ia tertawa dan melihat bayangan merah di depan mendadak ia meloncat dan mengejar bayangan itu, yang bukan lain ketua Pulau Api dan dua sutenya.

"He, jangan tinggalkan aku, Tan-pang. Mana janji kalian untuk saling bantu. Aku ngeri sendirian menghadapi wanita-wanita cantik!"

Ui Hong terkejut dan berseru keras. Lawan di depannya ini melayang dan tahu-tahu terbang melewati kepala. Anak buahnya dilewati begitu saja karena merekapun sedang bengong. Pemuda itu tampaknya tidak waras, tapi lihai. Dan ketika pemuda itu meluncur dan naik gunung, menyusul atau mengejar tiga bayangan merah yang samar-samar tampak maka gadis baju kuning ini kaget sekali dan berseru keras. "Kejar, tangkap mereka. Hadang jangan sampai masuk!"

Puluhan murid Lembah berloncatan. Mereka kaget melihat tiga asap merah melesat naik gunung, melayang dan dikejar pemuda aneh yang berteriak-teriak seperti tidak waras itu. Dan ketika pimpinan mereka juga membentak dan terbang menyusul, suitan nyaring bergema memantul dinding gunung maka dari belakang dan kiri kanan gunung muncul teman-teman mereka yang terkejut oleh Suitan dan lengking Ui Hong ini.

"Awas, cegat! Orang-orang Pulau Api! Hadang dan jangan biarkan mereka maju!"

Puluhan penghuni lain meluncur turun dan memapak tiga orang ini. Tapi ketika Tan-pangcu meledakkan tangan dan mereka lenyap, sang ketua mempergunakan kesaktiannya maka tinggallah San Tek yang memang tak memiliki semacam ilmu gaib. Pemuda ini terbang ke atas tapi disambut puluhan gadis-gadis cantik itu. San Tek terkejut karena lagi-lagi tiga temannya menghilang. Tapi begitu ia berseru keras dan mengelak hujan pukulan, meloncat dan berjungkir balik tinggi ke atas tiba-tiba iapun sudah lolos dan melewati kepala anak-anak murid Lembah Es ini, kabur ke puncak gunung.

"Hei, kenapa kau tinggalkan aku, pangcu. Ke mana kau menghilang. Hei, kau... eh, kau di sana!" si gila sudah tiba di puncak gunung dan melihat tiga asap merah kembali meluncur di depan.

Kali ini tiga ketua itu menaiki gunung kedua dengan cepatnya. Mereka memong meninggalkan San Tek untuk menghalau atau menahan anak-anak murid itu, agar perjalanan tidak terganggu. Tapi karena San Tek tak mau menghadapi wanita dan paling ngeri bersentuhan dengan kulit halus, si gila ini lebih baik bertanding dengan laki-laki kasar atau kalau berhadapan dengan wanita janganlah sendirian maka begitu ditinggal iapun mendongkol dan mengejar lagi tiga tokoh Pulau Api itu, berteriak-teriak. Dan karena kepandaiannya memang tinggi dan ilmu lari cepatnya luar biasa maka sebentar kemudian ia sudah menyusul dan memaki-maki tiga orang ini. Tan-pangcu dan dua sutenya kagum.

"Pangcu, kau gila. Mana janjimu kepadaku. Masa aku harus sendirian menghadapi wanita-wanita cantik itu sementara kau kabur di depan. He, aku tak mau begini, pangcu. Aku tak mau dicubit gadis-gadis cantik itu agar kulitku tak gatal-gatal. Kau curang!"

"Ha-ha, bukan curang!" See Lam atau See Kiat Lam tokoh nomor tiga dari Pulau Api tertawa, tahu kemiringan otak pemuda ini. ”Kami sekedar mengenalkanmu kepada mereka, San-siauwhiap. Bahwa kau lihai dan tak boleh dipandang rendah. Lihat, kau berhasil melampaui mereka dan itu cukup membuat kaget!"

"Ah, begitukah? Ha-ha, memang aku berhasil melampaui mereka. Kepala mereka kulompati dan dengan mudah aku meninggalkan mereka."

"Dan kalau mau tentu kau dapat merobohkan mereka. Nah, inilah yang dimaksud pangcu, siauwhiap, agar kau menunjukkan kelihaian supaya musuh tidak memandang ringan!"

San Tek tertawa-tawa. Akhirnya ia merasa bangga bahwa sebenarnya ia dipuji. Gadis-gadis Lembah Es itu memang dibuatnya terkejut. la berhasil meloloskan diri dengan mudah. Dan ketika ia berendeng kembali namun dari puncak gunung dan tempat-tempat lain muncul musuh lebih banyak maka di gunung ketiga para ketua Pulau Api ini dicegat gadis baju merah dan .wakil sang Ratu alias Thio-cici dan Wan-cici. Dua gadis bersanggul tinggi itu berkesiur dan tahu-tahu di belakang Tan-pangcu dan Bu Kok.

"Orang she Tan, kau rupanya. Bagus sekali kau datang. Tapi berhentilah dan jangan macam-macam di tempat kami.... plak!" rambut dilepas dan terurai menyambar dua pimpinan Pulau Api ini. Yo Lin, gadis baju merah itu berkelebat di samping tokoh nomor tiga dan gadis inipun membentak menampar laki-laki perlente itu.

Dan ketika tiga orang itu berhenti dan ratusan penghuni datang mengepung, tak mungkin meneruskan perjalanan maka Tan-pangcu dan dua adiknya menangkis. Hawa panas menyambar bertemu hawa dingin, meledak dan tiga gadis Lembah Es terhuyung. namun ketika mereka berhasil tegak kembali dan tiga tokoh Lembah Es bersinar marah maka Thio-cici atau yang namanya Thio Leng ini membentak, dialah tokoh paling tua di situ, wakil langsung dari Puteri Es.

"Orang she Tan, lama kau tidak datang. Sekarang muncul bersama pemuda asing. Inikah bantuan yang kau harapkan untuk mengalahkan Lembah Es?"

"Hm, aku tak mau bicara denganmu, gadis she Thio. Panggil Ratumu dan biar-kan aku berhadapan dengannya. Karni orang-orang Pulau Api ingin menuntut balas. Tujuh tahun aku menggembleng diri. Mundurlah dan suruh tocumu keluar!"

"Tocu tak akan keluar kalau tidak atas kehendaknya sendiri. Kaulah yang harus pergi atau mampus di tempat ini!"

"Ha-ha!" See Kiat atau tokoh nomor tiga tiba-tiba tertawa terkekeh, matanya berkilat dan kagum memandang gadis ini, juga gadis baju merah, yang tadi ditangkisnya. "Kau selamanya bermulut besar, Thio Leng. Dan tak perlu bicara panjang lebar lagi karena kita selamanya bermusuhan. Majulah, kau kuhadapi dan biar suheng menonton!" lalu tanpa banyak bicara dan tidak memberi tahu mendadak tubuh laki-laki perlente ini mencelat. Ia tahu bahwa hadangan di depan cukup kuat, ini harus disingkirkan. Maka tertawa tapi berkelebat melepas Giam-lui-kang tiba-tiba ia sudah menghantam lawannya itu.

"Dess!" Thio Leng tak mengelak dan menangkis. Sekarang ia menerima lawan dan mengerahkan Bu-kek-kang, beradu dengan Giam-lui-kang dan tokoh Pulau Api itu terhuyung. Benturan keras di antara mereka ternyata menunjukkan si gadis lebih unggul. Hanya terhadap Tan-pang cu tadi gadis she Thio ini terdorong. Maka ketika kini ia berhasil memukul lawan dan tokoh Pulau Api itu terbelalak maka laki-laki ini mendesis dan Wan-cici atau yang namanya Wan Sui Keng itu maju menjeletarkan rambut.

"Thio-cici, kepandaianmu masih lebih unggul. Jangan buang-buang tenaga kalau hanya menghadapi orang she See ini. Biar aku yang maju dan jaga Tan-pangcu itu!" dan baru saja seruan berhenti mendadak gadis ini menerjang dan menghantam tokoh Pulau Api itu.

See Kiat Lam baru saja berdiri tegak ketika tiba-tiba diserang. Bu-kek-kang menyambar meniupkan hawa dingin. Ujung bajunya tiba-tiba beku. Namun ketika ia berseru keras dan mengibaskan lengan ternyata ia dapat bertahan meskipun sedikit tergetar. Tapi itu tidak lama. Sui Keng, gadis ini' sudah terlanjur marah melihat kehadiran tokoh-tokoh Pulau Api.

Ia menerjang dan melepas lagi Bu-kek-kangnya, beruntun tiga kali mumpung lawan masih belum berhasil memperbaiki posisinya. Dan ketika laki-laki perlente itu kelabakan dan marah berteriak tinggi maka orang she See ini melempar tubuh ke bawah dan sekaligus sambil menyelamatkan diri ia melepas Giam-lui-kang menghantam perut gadis itu.

"Desss!" Sui Keng terhuyung dan ganti memperbaiki posisi. Lawan meloncat bangun dan adu gebrak ini menunjukkan bahwa keduanya berimbang. Tak salah, gadis she Wan itu adalah tokoh nomor tiga di Lembah Es, tandingan bagi tokoh nomor tiga dari Pulau Api ini. Dan ketika laki-laki itu melotot dan merasa gusar, ia dirangsek tapi untung mampu balas memukul maka ganti tubuhnya berkelebat dan mendahului gadis itu menyerang. Sui Keng berkelit dan mengelak, dikejar dan akhirnya menangkis.

Dan ketika masing-masing sama tergetar dan San Tek bersorak, dua orang itu sudah bertanding maka Thio Leng memberi isyarat dan tiba-tiba gadis baju merah membentak dan menyerang Bu Kok. Thio Leng sendiri sudah berkelebat ke arah Tan Siok melepas Bu-kek-kangnya, disusul gerakan anak-anak murid yang mengeroyok tokoh-tokoh Pulau Api itu.

"Sumoi, jangan biarkan musuh menonton. Serang, bunuh!"

Semua bergerak dan membentak. Gadis she Thio itu sudah meledakkan rambutnya dan anting-anting di sepasang telinganya yang indah itu menyambar. Gadis ini mengerahkan seluruh kepandaiannya menghadapi ketua Pulau Api. Lawan bukan main-main. Namun ketika ketua Pulau Api mendengus dan meledakkan tangannya, lenyap menjadi asap merah maka anting-anting menghantam tanah dan mental kembali.

Gadis ini terkejut namun sekejap saja. Selanjutnya ia melihat asap merah berkelebat pergi, menuju gunung keempat Dan tak mungkin ia membiarkan ketua Pulau Api mendekati lstana Es maka gadis itu membentak dan mengejar. Bu Kok dan sutenya sudah dikeroyok penghuni Lembah dipimpin gadis baju .merah dan Sui Keng, Sumoi dari Thio Ieng.

"Tan-pangcu, jangan harap dapat memasuki istana. Berhenti dan kita bertempur dulu seribu jurus!"

"Hm, kau bukan lawanku," tokoh Pulau Api itu menjengek. "Lawanku adalah majikanmu, Thio Leng. Panggil dia keluar atau kau mampus...dess!" sang ketua membalik dan harus menangkis pukulan Bu-kek-kang.

Thio Leng marah dan melepas pukulan jarak jauhnya, terhuyung dan mengejar lagi karena sang ketua sudah mendaki puncek. Dan ketika dua kali gadis itu membentak namun dua kali pula ia terhuyung, pukulannya tak mampu menahan si ketua maka Tan-pangcu mendengus dan sudah melewati puncak gunung ini, siap menuju gunung kelima.

Thio Leng pucat dan marah. Ia melihat bahwa ketua Pulau Api ini sudah memiliki Giam-lui-kang di atas sutenya. Bu-kek-kangnya dipukul ambyar. Tapi melihat lawan siap mendaki gunung kelima iapun mencabut pedangnya dan sekali pedang dilontar maka pedang itupun mendesing mendahului ketua Pulau Api melayang melewati kepala dan membalik menuju ulu hati, bagai pedang bernyawa.

"Ah!" si ketua terkejut dan kaget juga. la berhenti dan menggeram, tanganpun menangkis. Dan ketika pedang terpental tapi mampu menyerang lagi, Thio Leng mengejar dan berhasil menyusul maka ketua yang menjadi marah tapi kagum akan gadis itu memainkan pedang segera membentak. "Thio Leng, kau tak tahu diri. Tapi kepandaianmu cukup hebat. Baiklah, mari main-main sejenak dan lihat berapa jurus kau roboh....plak-ting!" dan si ketua yang menangkis dan mengeluarkan tongkatnya akhirnya menghalau pedang sementara tangan kirinya mengibas pukulan gadis itu.

Thio Leng terlempar tapi berjungkir balik menangkap pedang, turun dan kini dengan pedang. di tangan kanan dan Bu-kek-kang di tangan kiri ia menyerang ketua Pulau Api itu. Dan ketika lawan di paksa melayani dan apa boleh buat harus bertempur maka api menyambar mencairkan hawa dingin Bu-kek-kang.

"Des-desss!" Gadis ini melotot. Ia terhuyung lagi namun pedang di tangan kiri berdesing dan menusuk. Namun ketika tongkat menerima pedangnya dan dari adu tenaga lagi-lagi pedangnya mental maka gadis ini mengeluh namun melengking melecut dengan rambutnya lagi. Rambut dan pedang kini silih berganti. Rambut itupun dapat berubah menjadi senjata-senjata berbahaya macam kawat baja, jumlahnya ribuan dan sibuk juga ketua Pulau Api itu melayani keberingasan lawannya.

Dan ketika Thio Leng mengerahkan ginkang-nya dan berkelebatan bagai walet menyambar-nyambar, rambut dan pedang silih berganti mengiringi pukulan hawa dingin maka sang ketua harus mengakui bahwa gadis Lembah Es ini benar-benar bukan lawan empuk. Ditambah semangat juangnya yang tinggi mencegah lawan memasuki istana membuat gadis itu seperti harimau betina diganggu anaknya.

Thio Leng meluncur dengan serangan berbahayanya. Tapi karena yang dihadapi adalah ketua Pulau Api dan jenggot sang ketua kini mulai mengebut naik turun menghalau rarnbut, ribuan bulu halus itu juga dapat berubah menjadi kawat-kawat baja menangkis rambut panjang Thio Leng maka gadis ini terdesak dan akhirnya pedang di tangan kananpun terpental keluar bertemu tongkat lawan yang kini membara. Gadis ini pucat. Ia terdesak dan marah tapi juga gelisah. Thio Leng melengking-lengking ketika perlahan tetapi pasti Bu-kek-kangnya ditembus Giam-lui-kang.

Pukulan panas yang dilepas ketua pulau itu menembus hawa dingin Bu-kek-kang. Ini terjadi karena sinkangnya kalah kuat. Dan ketika hawa dingin sudah mulai dikuasai hawa panas, Giam-lui-kang lebih unggul dibanding Bu-kek-kang maka di sana sumoinya dan anak-anak murid Lembah Es berteriak jatuh bangun menghadapi tiga orang lawan mereka karena San Tekpun sudah bergerak dan dikeroyok oleh semua penghuni Lembah Es ini.

"Ha-ha, ini baru aku senang. Ini namanya kawan. Sekarang kita sama-sama menghadapi gadis-gadis cantik ini, Bu-taihiap. Kau dan aku sama-sama dikeroyok. Aduh, eloknya mereka semua ini. Tapi ihh, tangan-tangan mereka menggeliat seperti ular. Hii, aku takut dan biar kalian saja yang berhadapan langsung!"

San Tek mengelak dan maju mundur, tak berani atau ngeri menangkap lengan-lengan halus itu dan ia mendorong atau menghalau setiap penyerang yang coba membacok. Semua penghuni sudah mencabut senjata dan ratusan pedang berseliweran naik turun. Tapi karena yang mereka hadapi adalah seorang pemuda lihai, San Tek tertawa-tawa menghalau mereka maka Bu Kok dan sutenya melotot. Pemuda itu sama sekali tak merobohkan lawan, hanya mendorong atau memukul jatuh.

"San-kongcu, jangan begitu. Mereka hanya akan merepotkan kami saja. Bunuh, atau robohkan!"

"Wah, bukankah sudah kurobohkan? Hei, membunuh mereka ini aku tak berani, Bu-taihiap. Aku teringat ibuku. Mereka ini perempuan, seperti ibuku. Biar mereka kupermainkan seperti ini saja dan lihat mereka jatuh bangun.... buk-bress!"

San Tek terbahak melihat gadis-gadis Lembah Es itu terlempar. Mereka berdebukan dan ada yang menangis, ini bagi-nya lucu sekali. Namun ketika sebatang pedang menyambar dan mengenai punggungnya, patah dan dia menoleh maka Yo Lin, gadis baju merah itu mendelik padanya. Gadis ini melontar pedang namun patah bertemu sinkang San Tek yang kuat.

"Orang gila, kau akan kubunuh nanti. Awas, kubunuh nanti!"

San Tek meleletkan lidah. Ia memang menghadapi murid-murid rendahan dan meskipun jumlah mereka banyak namun tentu saja bukan tandingannya. Dan ketika ia melihat gadis baju merah melotot sementara dari bawah gunung terdengar sorak-sorai, itulah anggauta Pulau Api yang mulai berdatangan maka Yang Tek dan Siauw Lok serta Tan Bong bermunculan. Penghuni Lembah Es terkejut melihat bahwa rupanya lawan menyerbu secara besar-besaran.

"Keparat, kita dikepung. Awas, berpencar dan sebagian turun menyambut musuh di bawah!"

Sui Keng, gadis tertua di situ berseru dan kaget sekali. Ia tak menyangka bahwu tokoh-tokoh Pulau Api ini membawa serta seluruh muridnya. Ia melotot dan benci sekali menerjang Bu Kok. Ini ternyata perang besar! Dan ketika lawan terbahak gembira dan menangkis, mereka sama tergetar maka gadis inipun mencabut pedangnya dan dengan sengit menyerang tokoh nomor dua dari Pulau Api itu. Namun ia adalah tokoh nomor tiga. Seharusnya, menghadapi laki-laki berkalung rantai perak ini sucinya Thio Leng lah yang maju. Bu Kok laki-laki garang itu memiliki sinkang lebih kuat, terbukti dari pukulan atau pedangnya yang mental. Kalau ia terhuyung maka laki-laki ini hanya tergetar.

Dan ketika di sana Yo Lin juga tak mampu mendesak tokoh nomor tiga, sumoinya baju merah itu melengking-lengking dibantu anak buah maka datangnya orang-orang Pulau Api yang tadi tertinggal ketuanya itu membuat keadaan menjadi kacau dan panik. Tiga pemuda berbaju kulit biru merah dan hitam bergerak memelopori barisannya.

"Serbu! Tangkap dan robohkan wanita-wanita Lembah Es ini. Tawan mereka untuk kita nanti!"

Orang-orang kasar dan rata-rata bertubuh tinggi besar itu bersorak. Yang Tek telah memberi komando dan pemuda itu sendiri sudah bergerak di depan. Tapi ketika bayangan kuning berkelebat dan inilah Ui Hong, lawan setimpal maka gadis itu membentak dan sudah bertanding. Siauw Lok, pemuda berbaju merah dihadang gadis baju hijau, Yu Pio. Lalu ketika sutenya Tan Bong berhadapan dengan gadis baju biru, Ing Sim maka pertempuran anak-anak muda itu pecah. Lembah Es benar-benar gegap-gempita.

"Keparat, kiranya kalian telah merencanakan serbuan besar-besaran, Yang Tek. Dan kau muncul menyerahkan nyawa. Bagus, aku dapat mengupas kulit dagingmu untuk dijadikan tumbal.... sing-plak!"

Ui Hong menggerakkan pedang dan marah menyerang lawannya itu, dielak tapi akhirnya ditangkis dan Yang Tek tertawa bergelak menghadapi gadis ini. Mereka sama-sama muda di tempat masing-masing, dan sudah lama pula ia tergila-gila kepada Ui Hong ini. Maka ketika mereka bertemu dan Ui Hong langsung membentak dan menyerangnya, Yang Tek mengelak dan balas menyerangnya. Dua tokoh dari dua tempat yang berbeda itu sudah bertanding seru. Yang Tek tak berani main-main sementara sutenya di sana berhadapan dengan lawan setingkat pula.

Gadis baju biru menghadapi Tan Bong sementara si baju hijau menahan Siauw Lok. Pertandingan mereka itupun seru. Dan ketika di sana susiok mereka juga bertemu dengan Wan Sui Keng dan Yo Lin, tertawa-tawa di tengah keroyokan dibantu San Tek maka Beng An yang tiba dan bersembunyi tak jauh dari situ menonton dengan khawatir. Ia tak maju cepat-cepat karena pihak Lembah Es belum terdesak benar, pantangan bagi orang-orang gagah macam mereka itu kalau belum apa-apa sudah di bantu, seolah sudah tak kuat benar.

Dan ketika ia melayangkan pandangan ke gunung nomor lima,gelisah melihat Thio Leng terdesak oleh ketua oulau api, maka digunung ketiga gadis baju merah dan Wan Sui Leng juga mulai terdesak, karena anak- anak buah mereka di kacaukan oleh San Tek hingga tak mampu membantu. Dan sementara ia bingung harus membantu yang mana, ke gunung nomor tiga atau lima tiba-tiba berkesiur angin dingin dan sosok tubuh anggun bercadar putih berdiri di belakangnya....

Putri Es Jilid 11

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

"AKU... aku takut, kongcu. Aku tak berani memberitahunya tanpa ijin pimpinan"

"Hm, kau maksudkan Thio-cici dan Wan cici itu?"

"Antara lain..."

"Baik, kalau begitu sekarang tentang kutuk. Apakah kedatanganku membawa kutuk dan sial di tempat ini. Masa kau tidak tahu?"

"Aku.. aku tahu, kongcu, tapi selama ini tak pernah membuktikan. Dan aku... aku sudah menerima dosa. Lihat telingaku ini!" gadis itu menyingkap rambutnya dan Beng An kaget sekali melihat betapa telinga kiri gadis itu buntung. Hwa Seng dipapas sebelah telinganya. Mengejutkan!

Dan ketika gadis itu terisak memberi tahu bahwa itulah hukuman untuknya, melanggar larangan maka ia menangis bicara lagi. "Lihat, untuk larangan ini saja aku telah menerima kutung telinga, kongcu, kalau aku menambah lagi tentu maut bagiku. Kalau kau mendesak aku tentu percuma pertolonganmu di Pulau Api dulu dan sia-sialah semua. Maafkan dan jangan memaksa."

"Baiklah," Beng An tertegun. Aku tak mendesakmu lagi, Seng-cici. Kalau begitu ku tanya saja dua pimpinanmu itu. Dan maaf bahwa setelah ini aku harus pergi. Kembalilah!"

Beng An mendorong dan berkelebat meninggalkan gadis itu. Sekarang ia tak mau memaksa dan datang ke Thio-cici dan Wan-cici itu. Lalu ketika ia membungkuk dan memberi hormat Beng An bertanya, "Cici berdua, bolehkah aku bertanya sesuatu sebelum meninggalkan tempat ini? Aku ingin tahu nama tocu, Hwa Seng tak berani memberitahunya!"

Dua gadis itu saling pandang, sejenak alis mereka berkerut, tapi ketika gadis she Thio maju ke depan ia balas bertanya, "Kongcu, perlu benarkah kau mengetahui nama tocu?"

"Perlu!"

"Untuk apa?"

Beng An terkejut, bingung.

"Hm, tak ada perlunya kau ketahui kongcu. Kau sekedar ingin tahu memuaskan hati sendiri. Nama tidak penting. Kau telah bertemu dan cukup. Harap ingat bahwa kaulah satu-satunya pria yang berhasil menemui tocu. Ini lebih dari cukup. Pergilah dan sekarang jangan ganggu kami."

"Tapi..."

"Srat!" dua gadis itu tiba-tiba mencabut pedang, sikap mereka seketika bengis. "Tak ada tapi, kongcu. Cukup dan pergilah.Mari kami antar dan kau tidak lama-lama lagi di sini!"

Beng An tergetar dan penasaran memandang istana. Dia sudah di luar pintu gerbang dan sikap dua gadis ini membuatnya kecut jugą. Kalau dia melawan tentu jelek, meskipun dia telah mengalahkan gadis she Thio dan she Wan ini. Dan ketika mereka menodongkan pedang dan itu berarti dia harus pergi, apa boleh buat Beng An memutar tubuh maka pemuda ini angkat kaki dan berkelebat.

"Thio-cici, agaknya tak usah diantar. Cukup di sini saja dan terima kasih. Aku dapat keluar sendiri!"

"Tidak! Dua gadis itu menyusul. "Kami harus mengawalmu sampai di batas Lembah, kongcu. Tamu kehormatan tak boleh disuruh pergi begini saja!"

Beng An maklum. la kecewa dan mendongkol berat karena segera dua gadis Lembah Es itu mengejarnya dengan cepat. Kepandaian mereka memang tinggi dan hanya dengan Pek-sian-sut saja dia bisa meninggalkan jejak. Tapi karena ia tak mau melakukan itu dan maklum bahwa lawan ingin melihat dia benar-benar pergi, itu isyarat bahwa dia benar-benar tak boleh kembali maka Beng An turun gunung dan segera ratusan pasang mata melihatnya berkelebat disusul dua gadis wakil tocu.

Beng An melewati barisan buaya tapi ketika tiba di jembatan yang patah ia disuruh belok ke kiri, menuju tempat lain di mana akhirnya gadis she Thio dan she Wan itu memandu. Ternyata banyak jalan melingkar dan naik turun. Kalau saja hati tak sedang mendongkol Beng An pasti menikmati keindahan tempat itu. Ada bagian lain dari sisi Lembah Es yang mengagumkan, yakni pohon-pohon hijau segar di antara tumpukan salju. Ajaib. Tempat ini aneh sekali!

Tapi karena Beng An dipimpin dan mau tak mau pemuda itu harus mengikuti, berbelok dan naik turun beberapa kali akhirnya mereka tiba di laut es itu di mana sebuah perahu kecil tertancap di pinggiran. Bukan perahu Hwa Seng!

"Kongcu, sudah sampai. Pergilah dan terima kasih atas kunjunganmu."

Beng An tertegun. Kalau dia mau, dia dapat merobohkan dua gadis ini dan masuk kembali. Tapi tentu bahaya. Penghüni akan mencari dua gadis ini dan itu bakal dicurigai. Sang tocu akan menjadi marah dan tak ada ampun baginya. Dikeroyok penghuni Lembah Es bukanlah hal main-main. Meskipun ia dapat menghilang dengan Pek-sian-sutnya namun hubungan sudah terlanjur buruk, padahal ia ingin bersahabat dan berbaik dengan mereka itu, terutama sang tocu, yang demikian anggun dan cantik benar-benar bagai seorang ratu. Meskipun dingin dan beku seperti es! Dan ketika Beng An menarik napas dalam-dalam dan mengangguk membuang kecewa maka ia melompat dan memasuki perahu itu.

"Baik, terima kasih kembali, Wan-cici. Sampai jumpa dan selamat tinggal!"

Dua gadis itu mengerutkan kening. Mereka tak senang mendengar "sampai jumpa" dan ketika Beng An melepaskan perahunya itu maka satu di antaranya bergerak, tahu-tahu menghadang dan menahan sejenak ujung perahu. Lalu ketika Beng An tertegun dan ganti mengerutkan kening gadis itu berkata, "Kim-kongcu, pantangan bagi kami menerima mu lagi. Karena itu tak ada istilah sampai jumpa karena ini adalah pertemuan dan perpisahan terakhir!"

Beng An tertawa getir. "Baiklah, Thio- cici. Maaf dan sekarang minggirlah!"

Perahu tercabut dan meloncat. Beng An mengerahkan tenaga hingga tiba-tiba perahu itu terbang di atas kepala si gadis yang mengelak dan terkejut tetapi kagum melihat betapa perahu tiba-tiba meluncur dan terbang di atas permukaan es. Dan ketika Beng An sudah merupakan titik putih dan jauh di sana. Membelok dan akhir lenyap maka dua gadis ini mendecak dan masing-masing memuji tak sembunyi-sembunyi lagi.

"Hebat, luar biasa. Kim-kongcu itu sungguh pemuda mengagumkan!"

"Dan ia bertemu tocu. Hm... alangkah tepatnya kalau pemuda seperti itu men-dampingi Ratu, Thio-cici. Sayang tempat ini tak boleh dimasuki lelaki!"

Gadis she Thio mengangguk-angguk. Ia sedikit terkejut mendengar kata-kata kawannya tadi tapi kemudian menarik napas panjang. Seumur hidup baru kali itu Lembah Es dibuat geger. Dan baru satu kali itu pula seorang lelaki berhasil memasuki istana, padahal orang-orang Pulau Api paling hanya di batas lembah saja. Dan ketika keduanya membalik dan berkelebat meninggalkan tempat itu maka padang es itu kembali sunyi namun kedatangan dan sepak terjang Beng An meninggalkan getar dan kesan hebat di hati masing-masing penghuni.

* * * * * * * *

Beng An duduk termenung. Pengalaman dan kenangannya di dua pulau itu menimbulkan kenangan berbeda di hatinya. Pulau Api, pulau yang dikusai orang-orang keras dan kasar tapi memiliki tokoh-tokoh lihai membuat dia mengangguk-angguk. Dibandingkan Lembah Es maka Pulau Api adalah pulau ganas. Pohon Api ditengah pulau yang mentakjubkan itu membuat para penghuninya bertemperamen tinggi. Rata-rata berdarah panas dan mudah terbakar.

Tapi dibandingkan Lembah Es maka harus secara jujur diakui bahwa lembah itu lebih mengesankan daripada Pulau Api. Barangkali karena penghuninya yang semua wanita itu, wanita-wanita muda yang rata-rata cantik. Tapi benarkah ini? Benarkah karena Lembah Es dihuni wanita-wanita muda maka dia merasa lebih tertarik dengan tempat itu?

"Hm, tidak..." Dia bukan mata keranjang. Seminggu satu perahu dengan Hwa Seng penghuni lembah itu tidak meninggalkan kesan apa-apa baginya. Biasa saja. Tapi begitu dia bertemu dan berhadapan dengan tocu atau Ratu lembah maka dia terguncang dan merasa mabok! Setan, apa gerangan ini? Bukankah Ratu Lembah Es itu bercadar? Entahlah, Beng An tak dapat menjawab. Memang harus diakui bahwa wajah si Ratu tidak jelas semua, hanya lapat-lapat saja.

Tapi karena yang lapat-lapat ini justeru mampu menciptakan pesona sendiri, bahwa yang sedikit justeru membuat orang penasaran dan ingin tahu lebih jauh maka Beng An menarik napas dalam dan menggigit bibir. Gejala apa ini? Jatuh cinta? Dia hampir tertawa. Usianya sudah duapuluh tahun tapi masalah yang satu itu belum pernah dirasakannya. Dia merasa tertarik dan penasaran untuk menemui Ratu Lembah Es itu lagi. Tapi bagaimana akal? Ratu itu angkuh. Kalau dia ke sana tapi sang Ratu tak mau menemui maka percuma juga maksudnya. Dan Lembah Es konon tak boleh dimasuki pria. Bisa membawa sial, begitu katanya.

Kutuk. Hm... kutuk apa? Sial apa? Dan benarkah kira-kira hal itu? Tapi kepercayaan itu diketahui penghuni lembah, meskipun ada di antara mereka yang tak percaya, seperti Hwa Seng itu misalnya. Dan penasaran tapi harus menghargai kepercayaan ini. Gadis she Thio dan she Wan itu tegas melarangnya kembali maka Beng An bingung sendiri dikacau pikirannya. Kalau kepercayaan itu dibuat-buat tak mungkin dua gadis itu demikian serius mengusirnya. Waktu ucapannya salahpun ia ditegur. Hm, Lembah Es memang tak boleh didatangi laki-laki. Dan ketika Beng An bingung dikalutkan wajah si Ratu maka tiba-tiba ia mengepal tinju mengeraskan hati.

"Aku akan pulang. Aku akan menengok ayah ibu!" lalu ketika Beng An menggerakkan perahunya lagi dan menindas keragu-raguan ia pun meluncur dan membelah permukaan laut dengan kekuatan mengagumkan. Tiga hari ini Beng An tepekur di laut lepas setelah keluar dari laut es beku. Ia ragu-ragu antara ingin balik dan pergi. Namun ketika akhirnya iaharus pergi, ia tak mau melukai dan bermusuhan dengan penghuni lembah itu maka tetaplah pikiran pemuda ini bahwa dia harus pulang dan menuju utara.

Enam tahun ini ia tak bertemu ayah ibunya. Enam tahun ini ia .digembleng di Lembah Malaikat oleh Bu-beng Sian-su secara langsung, guru tapi yang tak mau disebut guru karena kakek itu minta agar menyebutnya Sian-su saja, sebutan yang banyak dipakai orang. dan selama ini dikenal. Dan ketika Beng An menggerakkan perahunya di laut bebas, perut berkeruyuk dan tiba-tiba merasa lapar maka dilihatnya sirip-sirip kasar memotong permukaan laut seperti pisau-pisau tajam, menyisir dengan cepat.

Beng An tak tahu bahwa inilah hiu-hiu ganas yang sedang mencari mangsa. Maka ketika tiba-tiba sirip ikan-ikan hiu itu menuju arahnya dan siap memotong perahu, gerakan mereka begitu cepat dan tahu-tahu sudah di depan mata maka Beng An baru sadar bahwa ia berhadapan dengan ikan buas.

"Haiii…” Beng An menjejak dan melompat ke atas. Perahu yang diinjak tiba-tiba melekat dan ketika ia melompat tinggi maka perahu itupun terangkat naik. Sirip hiu ganas lewat di bawah perahunya dan binatang itu rupanya terkejut. Ada perahu bisa terbang! Tapi ketika Beng An harus turun lagi sementara hiu-hiu yang lain bergerak dan menyongsongnya maka perahu siap dibabat sirip itu dan Beng An berseru keras.

"Pergilah!" Tangan pemuda itu bergerak ke bawah. Serangkum angin pukulan menyambar dan tiga ekor hiu di depan tenggelam. Mereka dihantam pukulan pemuda ini dan amblas, sirip itu lenyap ke bawah. Dan ketika perahu mendarat turun tapi dari kiri kanan meluncur hiu-hiu lain maka Beng An terkejut dan membelalakan mata. Tempat itu tahu-tahu sudah đikepung puluhan ikan hiu!

"Hm! " pemuda ini membentak tapi tidak menjadi takut. Watak nakalnya tiba-tiba muncul. Ada pikiran bahwa tiba-tiba ia ingin menunggang hiu. Ia ingin menyeberangi laut dengan ikan buas itu. Tentu nyaman! Maka ketika belasan hiu tahu-tahu bergerak di kiri kanan dan dua di antaranya tiba-tiba muncul ke permukaan air, mulut yang lebar dengan gigi selancip gergaji mencuat mengerikan maka Beng An menyodorkan perahunya dan secepat kilat menghantam satu dari dua hiu ganas itu.

"Krakk!" perahunya menancap dan mengganjal mulut ikan itu. Sang ikan terkejut dan kelabakan. Kalau perahu terpasang lurus tentu ia akan menelan dan menghabiskan perahu dan penumpangnya itu. Tapi Beng An memasangnya melintang, akibatnya perahu menancap dan jauh lebih lebar dari mulut ikan. Dan ketika ikan itu terkejut dan mengibaskan ekor, air memuncrat memukul tinggi maka Beng An tertawa dan... hup, sudah berada dipunggung ikan satunya, mencengeram atau menancapkan jari kuat-kuat di bawah sirip leher binatang itu, yang tentu saja kesakitan dan juga berontak.

"Ha-ha, kau menjadi tungganganku, ikan bodoh. Hayo maju dan ikuti kendaliku!"

Beng An menekan setengah mencoblos sirip kiri yang membuat si binatang melonjak, bergerak ke kiri tapi tiba-tiba menyelam! Dan ketika Beng An terkejut karena dibawa meluncur cepat, ia melesat ke bawah permukaan air laut maka binatang itu berenang kesetanan dan membuat Beng An gelagapan!

Betapa berbahayanya keadaan pemuda itu. Kalau Beng An tidak tenang dan ceroboh tentu dia dibawa semekin ke dalam dan tekanan air yang kuat membuatnya kehabisan napas. Ikan memang benar melonjak ke kiri tapi yang tak disangka adalah langsung menyelam. Beng An lupa ini. Tapi ketika dia tergelagap dan meluncur sejauh beberapa tombak maka Beng An menendang bagian bawah perut binatang ini dan tepat sekali mengenai bagian kelaminnya.

"Duk!" Ikan terlonjak dan kesakitan. Secara otomatis dia terdongak dan saat itulah ikan ini meluncur ke atas, cepat separti cara menyelamnya tadi dan tahu-tahu muncul kembali di atas permukaan laut. Beng An lega. Dan ketika dia menarik napas dalam dan tahu apa yang harus di- perbuatnya maka pemuda itu segera menekan atau mencoblos sirip leher bawah, menendang atau menekan kalau menyuruh naik atau turun. Dan ketika sebentar kemudian ikan itu berhasil dikemudikan pemuda ini tertawa-tawa maka sekejap kemudian Beng An tak takut lagi dibawa menyelam.

Tendangan ke bawah perut itu akan membuat si ikan naik ke atas, tekanan pada punggung atau belakang kepala akan menyuruhnya tenggelam. Dan karena tekanan pada sirip kiri ikan menyuruh binatang itu berbelok seperti yang dia kehendaki maka Beng An benar-benar Sudah menguasai ikan ini dan si hiu berenang dengan takut dan bingung ke sana ke mari.

"Ha-ha, Kau tak boleh kurang ajar lagi, Hitam. Ayo berbelok dan sekarang kita, berputar-putar!"

Beng An telah menguasai dan mahir mengendalikan hiu taklukannya ini. Ia melihat dengan tertawa betapa hiu satunya masih berkecipak dan berbelok-belok dengan perahu menancap di rahang. Ekor hiu itu berkali-kali dipukulkan ke permukaan air hingga memuncrat tinggi. Tapi ketika dia kebingungan dan lenyap ke bawah, menyelam di dasar laut maka kawanan-kawannya yang lain didekati pemuda ini yang nakal menarik atau membetot ekor mereka. Beng An main-main. Pemuda ini menepuk atau menjentik kepala hiu-hiu itu sementara hiu tunggangannya berenang ke sana ke mari sesuai perintah.

Kali ini dia tak berani menyelam karena Beng An tentu akan menendang bawah perutnya. Anggauta yang dihantam itu sakit sekali, hiu ini pintar dan akhirnya berenang saja di permukaan laut. Dan ketika Beng An membuat hiu-hiu yang lain gentar, satu demi satu menyingkir dan melarikan diri maka hiu ini merupakan satu-satunya ikan buas di permukaan laut luas. Beng An akhirnya puas dan sadar akan maksudnya semula, bahwa dia akan kembali dan ke darat. Maka ketika dia menekan dua sirip hiu itu secara berbareng, tanda agar si hiu berenang lurus akhirnya hiu ini menuju daratan dan Beng An telungkup di atas punggungnya.

"Ha-ha, selesai. Sekarang antar ke pantai dan lurus ke depan!"

Hiu itu meluncur dan berenang cepat. la benar-benar sudah dikuasai pemuda ini dan apapun yang dikatakan selalu dituruti. Tapi ketika Beng An mengarungi samudera dan menuju pantai mendadak perahu-perahu besar bermunculan dari sebelah kiri. Mula-mula Beng An mengira itu kaum nelayan pencari ikan. Tapi ketika dia melihat bendera segi tiga di atas perahu itu perahu-perahu jung yang ditumpangi laki-laki berkulit merah maka dia terkejut dan membelalakkan mata.

"Orang-orang Pulau Api! Ah, apa yang mereka hendak lakukan? Mau ke mana?”

Beng An menghentikan binatang tunggangannya. la terbelalak melihat lima perahu jung menuju selatan, semuanya penuh dan sarat penumpang. Dan ketika orang-orang seperti Yang Tek dan Bu Kok dikenalnya, masing-masing berada di perahu terdepan maka Beng An mendengar suara tawa bergelak yang lapat-lapat diingat.

"Ha-ha, Lembah Es. Mana itu, pangcu? Kenapa lama amat dan tidak sampai-sampai? Huh, jemu aku berperahu. Jaan-jangan kalian orang-orang Pulau Api bohong!"

"Ah, siapa bohong," seseorang terdengar berkata dengan suara batuk-batuk berat dan dalam. Suara ketua Pulau Api! "Jarak yang kami tempuh memang lama, San-siauwhiap. Dan kau harus sabar sampai kita benar-benar tiba."

"Tapi aku bosan. Beberapa hari berlayar hanya laut melulu. Heh, berikan dayung padaku dan kita berlomba!"

Seorang pemuda muncul di antara orang-orang Pulau Api itu. Rambutnya gimbal-gimbal sementara mukanya pucat kehijauan. Lalu ketika dia merampas atau menyambar dayung seorang anggauta, menghantamnya kepermukaan laut maka perahu tiba-tiba meloncat dan terbang melewati dua perahu di depan yang ditumpangi Bu Kok dan Yang Tek.

Hei.., kalian orang-orang lamban. Lihat caraku dan dayung lebih cepat!"

Semua terbelalak dan ngerí. Perahu yang digerakkan pemuda itu melesat seperti bersayap dan meluncur di depan dua perahu terdepan. Penumpangnya berteriak kalang-kabut kecuali ketua Pulau Api, yang bertengger dan kini kelihatan di antara anak-anak muridnya, yang terpelanting dan berpegangan pinggiran perahu. Dan ketika perahu turun ke bawah tapi tidak mengeluarkan suara, hanya kecipak kecil muncrat ke atas maka perahu itu meluncur dan didayung seperti biasa. Pemuda muka kehijauan itu.

"ha-ha-he-he..! Nah, lihat. Ini yang harus kalian lakukan, orang-orang tolol. Contoh gerakanku dan dayung bersama agar cepat tiba di tempat tujuan!"

Pemuda itu menggerakkan dayung dan bersikap congkak atau edan-edanan. Dia telah mengejutkan semua orang di perahunya ketika tadi tiba-tiba perahu itu meloncat dan terbang melewati dua perahu kawan. Lalu .ketika kini .dia berseru memaki yang lain dan mendayung sendirian, perahu bagai didorong tangan raksasa maka perahu itu melesat dan meninggalkan perahu-perahu lain. Sibuk dan kagetlah orang-orang di lima perahu belakang. Mereka tertinggal jauh dan ketua Pulau Api berseru keras.

Tan-pangcu atau ketua itu berteriak agar kawan-kawannya mengejar. Dan ketika semua orang menyambar dayung dan menyatukan tenaga, tiga puluh orang di masing-masing perahu bergerak mengayuh cepat maka perahu si gila itu tersusul dan terjadilah kini adu lomba perahu untuk menjadi yang tercepat.

"Itu baru bagus. Kalian seperti kucing-kucing kelaparan. Hayo, semua menandingi dan lawan aku, tikus-tikus busuk Atau kita tak sampai ke tempat musuh dan percuma aku membantu kalian.”

Beng An terbelalak dan berubah mukanya. Dari jauh ia serasa mengenal dan tiba-tiba berdetak. Tawa dan sikap edan-edanan itu akhirnya mengingatkan akan seseoran Dan ketika dia mengenal dan untung orang-orang di enam perahu itu tak melihatnya maka tiba-tiba ia menekan punggung ikan hiunya mengejar.

"San-suheng! San Tek...!"

Beng An kaget sekali. Akhirnya ia tahu siapa pemuda di perahu ketua Pulau Api itu. Bukan lain adalah San Tek putera mendiang San-ciangkun yang gila. Pemuda ini pernah menjadi murid Poan jin-poan-kwi dan bersama dia yang waktu itu menjadi tawanan berada di bawah pengaruh dua kakek iblis ini. San Tek mempelajari ilmu secara jungkir balik dan akibatnya miring. Kepandaian dua kakek iblis itu ditelan begitu saja hingga salah jalan. Dan ketika secara kebetulan pemuda itu mendapatkan Im-kan-thai-lek-kang Tenaga Inti Neraka akibat latihan yang salah maka pemuda ini menjadí hebat tapi berbareng kemiringan otaknya semakin bertambah!

Poan-jin-poan-kwi sampai terkejut melihat dahsyatnya sinkang si gila ini. Mereka tak mampu menandingi. Namun karena dua kakek itu akhirnya tewas dan San Tek keluyuran tanpa kendali, luka setelah dikeroyok ayah dan kakaknya maka pemuda itu tak pernah muncul lagi dan kini. tiba-tiba secara mengejutkan berada satu perahu dengan orang-orang Pulau Api!

Beng An tergetar dan pucat. San Tek adalah bekas suhengnya dan justeru bekas suheng inilah yang dulu secara tidak langsung menyembuhkannya dari kebekuan Ping-im-kang, meskipun untuk keşembuhan totalnya dia masih harus dibantu kakek dewa Bu-beng Sian-su. Dan karena San Tek ini adalah pemuda gila berkepandaian tinggi, ayahnva sendiri Pendekar Rambut Emas tak mampu menandingi maka berkat bantuan kakaknya Thai Liong, si gila ini dapat diusir (baca: Rajawali Merah).

Dan kini si gila yang hebat itu ada di tengah-tengah rombongan Pulau Api. Dan San Tek menyebut-nyebut pula Lembah Es! Ah, apa artinya ini kalau bukan rencana serbuan besar-besaran? Lembah Es akan diserbu, dan itu berarti bahaya! Maka terkejut dan sadar akan ini tiba-tiba Beng An memutar arah ikannya mengejar rombongan itu. Dan begitu hiu itu bergerak ikan besar inipun meluncur atas kendali Beng An.

Namun Beng An bukan pemuda ceroboh. Sadar bahwa di atas perahu terdapat orang-orang lihai, terutama San Tek si gila itu pemuda ini tak berani memperlihatkan diri. Ia menyuruh ikannya menyelam dan dari bawah menyundul perahu paling belakang. Di situ anak-anak murid Pulau Api paling rendah. Dan ketika ia menendang perut ikannya muncul keatas, tepat ke perut perahu maka semuanya berteriak karena perahu tiba-tiba terangkat dan jatuh terbalik.

"Heiii... byurr!"

Semua tak ada yang mengira datangnya serangan. Hiu tunggangan Beng An menyundul perut perahu dari bawah dengan kuat. Tendangan Beng An yang membuatnya kesakitan menjadikan binatang itu buas. la marah. Maka ketika perahu terangkat dan terbalik, tiga puluh penumpangnya terlempar keluar maka orang-orang Pulau Api itu tercebur namun beberapa di antaranya berjungkir balik turun di badan perahu yang tengkurap, melihat hiu itu berenang namun lenyap kebawah, menyundul dan menyerang perahu lain dan berturut-turut dua perahu lagi terangkat dan terlempar.

Kejadian demikian cepat dan enam puluh orang lagi terpekik. Beng An membuat tiga perahu paling belakang kacau. Dan ketika semua penumpang di tiga perahu itu tercebur namun perahu para tokoh menengok dan berhenti, Beng An tak berani memperlihatkan diri maka hiu tunggangannya dilepas dan cepat luar biasa ia meloncat dan menempel di perahu keempat yang ditumpangi Tan Beng, putera dari ketua Puiau Api Tan Siok.

"Hiu! ikan keparat. Heii... ikan itu yang menumbuk perahu kalian, anak-anak. Cepat minggir dan biar kubunuh!”

See Lam, tokoh Pulau Api nomor tiga tiba-tiba berseru dan terbelalak. la melihat hiu yang berenang ke sana ke mari itu dan melotot karena perahu tiga anak buahnya morat-marit. Untung anak-anak murid yang cekatan berhasil membalikkan perahu lagi dan kini berlompatan ke dalam, basah kuyup. Dan ketika ia marah dan tangan kirinya bergerak, sebuah pisau menyambar maka hiu itu berjengit dan pisau lemparan tokoh Pulau Api tembus melukai kepalanya. Hiu itu menggelepar dan mengibaskan ekornya kuat-kuat, darah memuncrat membasahi air laut.

Namun ketika ia tenggelam dan lenyap, roboh oleh senjata di tangan tokoh Pulau Api maka sang ketua memaki sutenya itu yang membunuh hiu di tengah laut. "Bodoh, kurang pikir! Kau sembrono membunuh binatang itu, sute. Kau mengundang bahaya lebih besar dengan pisaumu itu!"

"Apa maksudmu suheng," laki-laki ini berseru tak merasa salah. "Aku membunuh binatang itu agar tak mengganggu yang lain suheng. Kalau tidak dibunuh akan menumbuk dan mencelakai kita!"

"Bodoh, tolol sekali. Hiu adalah binatang pemangsa, sute, indra penciumannya tajam akan bau darah. Dan kau melakukan itu. Suruh murid-murid cepat pergi dan dayung hindari daerah ini!"

Benar saja, beberapa murid terkejut dan berteriak menuding sana-sini. Dari jauh namun cepat mendekat tiba-tiba tampak puluhan sirip hitam meluncur menuju tempat di mana hiu tadi tenggelam. Darah di permukaan laut tercium binatang ganas itu dan karena sebelumnya mereka sudah menyerang Beng An, digebah namun tidak pergi jauh maka ketika kawannya terbunuh bau darah itu mengundang mereka untuk datang. Sirip-sirip hitam meluncur di permukaan laut seperti pedang-pedang tajam.

Anggauta Pulau Api terkejut namun barisan ikan itu sudah menyerbu. Mereka menabrak dan menghantam perahu-perahu ini. Dan karena tak mau perahu terbalik atau hancur, murid yang panik menggerakkan dayung memukul maka dak-duk suara dayung melukai kepala-kepala hitam itu di mana ada yang bocor dan kontan mengalirkan darah lagi

"Bodoh! Jangan serang! Jangan lukai binatang itu hingga mengalirkan darah!" bentakan atau teriakan ketua Pulau Api ini terlambat.

Anak-anak murid, yang kaget dan takut oleh serangan hiu-hiu ganas itu terlanjur. melukai dan menghantam kepala atau tubuh ikan dengan dayung di tangan. Pukulan keras ini dimaksudkan untuk menggebah atau menghalau agar binatang tak datang mendekat dan jera. Tapi karena pukulan atau hantaman itu membeset kulit, ujung dayung berlapis besi maka begitu darah mengalir mendadak ikan-ikan yang lain menyerang ikan yang terluka ini dan air laut tiba tiba bergolak ketika tubuh-tubuh besar itu membalik dan mengibaskan ekornya masing-masing.

Air memuncrat tinggi dan anak murid berteriak. Laut berbuih dan puluhan ikan saling gigit. Teman yang luka diserang. Dan karena yang luka menjadi marah dan ganas, melawan dan melejit sana-sini akhirnya perahu orang-orang Pulau Api terbentur dan tak dapat dicegah lagi mereka terlempar dan jatuh ke laut.

"Celaka, bodoh dan goblok!"

Tan Siok sang ketua menjadi marah dan melengking. Ia diguncang lima hiu buas nanmun karena ia tokoh Pulau Api maka perahu dapat dikendalikan dan tak terbalik. Anak-anak murid yang berteriak dapat ditenangkan. Semua panik kecuali San Tek, pemuda gila itu. Dan ketika Tan-pangcu juga melempar pisau-pisau belati, apa boleh buat harus membunuh dan menghajar binatang-binatang itu maka ia berteriak agar murid-murid yang tercebur ditolong dan ditarik dengan tali.

"Ini kebodohan ji-sute. Keparat, kita harus menghabisi mereka dan pergi dari sini... crat-crat!" belasan pisau menyambar dan membunuh hiu-hiu ganas, membentak para murid agar keluar dari kepungan hiu dan ketua serta para tokoh menghajar binatang-binatang itu.

Mereka yang saling gigit menjadi kaget. Diri sendiri tahu-tahu menjadi korban. Dan ketika yang lain menyelam dan tahu bahaya, menggigit atau menyerang teman-temannya dari bawah maka sebentar kemudian ratusan sirip hitam lenyap namun tampaklah pemandangan mengerikan ketika laut menjadi merah dan lima belas anak murid hilang. Tewas dimangsa hiu!

"Pergi! Dayung dan cepat pergi! Tinggalkan tempat ini dan jangan berbuat macam-macam!"

See Lam tokoh nomor tiga menjadi menyesal. Sekarang ia mengakui kata-kata suhengnya itu dan cepat menggerakkan tangan mendayung perahu. Lima belas anak murid menjadi korban. Waktu demikian singkat dan cepat. Tapi ketika perahu suhengnya dikejutkan oleh tak adanya Si gila, San Tek pemuda miring itu tak ada di perahu maka terdengar tawa, bergelak ketika dari sebelah kanan muncul pemuda itu menunggang seekor hiu.

"Ha-ha, lihat. Binatang itu baik dan penurut sekali, pangeu.. Aku suka! Lihat, ia pandai berputar-putar dan berenang melebihi kecepatan perahu kalian. Sekarang aku tak perlu mendayung!"

Semua terbelalak dan kaget. Si gila yang entah bagaimana berada di punggung seekor hiu ganas tiba-tiba bergerak dan berenang ke sana ke mari dengan ikan tunggangannya. Hiu itu berenang dan mengelilingi enam perahu dengan amat cepatnya. Tentu saja cepat karena sirip ikan itu dijepit dua jari telunjuk pemuda ini , kesakitan dan dengan cara itulah San Tek mengendalikan tunggangannya. Namun ketika tiba-tiba ikan itu menyelam dan lenyap, semua berteriak keras maka untuk sesaat San Tek tak kelihatan lagi namun tiba-tiba tawanya muncul di depan, jauh sekali.

"Heii, jangan bengong. Kejar dan ikuti aku, pangcu. Aku di sini. Aku tak mau menumpang perahu kalian lagi, terlalu lamban. Hayo kejar dan sekarang kita berlomba!"

Ternyata si gila telah berada di depan dan melambai. Hiu tunggangannya muncul di sana dan kecepatan berenangnya benar-benar mentakjubkan. Tigapuluh orang mendayung perahu tak mungkin menang. Hiu itu masih lebih cepat! Tapi ketika Tan-pangcu tertawa dan berseri mukanya, pemuda lihai itu tak mati tenggelam maka Tan-pangcu menggebrak dan memukul permukaan laut memerintahkan bergerak, tadi mereka bengong dan berhenti sejenak.

"Ha- gila. Bocah itu tak mau di perahu kita lagi, anak-anak. Tak apa.kejar dan mari cepat!"

Anak murid mengangguk. Mereka takjub dan kagum namun perahu sudah bergerak lagi. Kini enam perahu berguncang kuat dan barisan hiu lenyap. Mereka telah mengusir binatang buas itu. Dan ketika San Tek tertawa-tawa dan orang-orang Pulau Api mengikuti, hiu bergerak dan meluncur di depan maka si gila itu harus berkali-kali mengurangi kecepatan tunggangannya agar tidak terlalu jauh dengan teman-teman di belakang. Semua kagum dan Beng An sendiri yang menempel dan masih berada di buritan perahu mendecak. Apa yang dilakukan itu mirip yang dilakukannya tadi.

Tapi maklum bahwa bekas suheng itu memang hebat, ia tak perlu kagum maka Beng An diam saja dan duduk di celah perahu dengan sesekali mengusir ikan-ikan besar. Perahu yang ditumpangi terus bergerak dan melaju, dia tadi juga bertahan dari serangan ikan buas kalau mereka menggigit dan menyerang. Dan ketika orang-orang Pulau Api itu melanjutkan perjalanan dan jelas mereka menuju Lembah Es maka Beng An berdebar dan diam-diam berpikir apa yang harus dilakukan.

Ada dua cara menghadapi semua ini. Pertama ialah mengganggu orang-orang ini sebelum sampai tujuan. Ini adalah pertolongannya kepada Lembah Es. Tapi karena pertolongan itu amatlah berbahaya,diri sendiri bisa terancam dan merugikan maka Beng An mengurungkan niat dan tak jadi mengganggu. Puteri dan penghuni Lembah Es belum tentu tahu, dan itu tak ada untungnya. Maka ketika dia tiba pada keputusan kedua, yakni biarlah orang-orang inį mendarat dan di Lembah Es nanti dia berkiprah maka hal ini agaknya lebih menguntungkan dan dia gembira.

Hal itu berarti perjumpaannya lagi dengan Ratu atau Puteri Es. Bukankah dia datang untuk menolong? Dan kali ini tidak tanggung-tanggung. Dia bukan hanya menolong seorang dua melainkan seluruh penghuni. Lembah Es tentu dapat menerimanya lebih baik. Dan berseri bahwa dia akan bertemu dengan Puteri, bukan secara lancang melainkan secara kebetulan demi membantu sahabat maka Beng An tak memberikan gangguan apa-apa kepada perahu orang-orang Pulau Api ini.

San Tek sang bekas suheng tertawa-tawa gila bermain dengan hiu tunggangannya. Susah payah orang-orang Pulau Api mengejar. Namun ketika tiga hari kemudian permukaan laut sudah mulai beku hawa dingin terasa menggigit tulang maka San Tek tak mampu mempertahankan binatang tunggangannya itu lagi. Binatang ini berkali-kali menyelam dan akan memutar balik. Permukaan laut kian lama kian dingin. Kebekuan sudah mencapai puluhan meter.

Dan ketika apa boleh buat hiu itu harus dilepas, perahu orang-orang Pulau Api juga menabrak karang es maka sampai di sini San Tek meloncat dan menendang ikan itu yang membalik dan lenyap menyelam. Si gila ini tertawa-tawa menginjak daratan es seperti orang menapak di tanah biasa saja, dengan kaki telanjang.

"Ha-ha, sialan. Kudaku tak mampu meluncur lebih jauh lagi, pangcu. Laut es ini membeku. Ayo kita jalan kaki dan turun!"

Semua berlompatan. Melihat pemuda itu begitu enak menginjak laut beku maka semua mengira hawa dingin masih dapat dilawan. Tapi begitu kaki menginjak laut keras tiba-tiba semua menjerit dan kaget melompat kembali ke perahu.

"Haii, dingin! San-siauwhiap tak dapat kita tiru!"

"Hm!" Tan Siok atau ketua Pulau Api mendengus. "Turun dan kerahkan Giam-lui-kang, anak-anak. Atau minimal Hwe-kang agar sepasang kaki kalian tak kedinginan!"

Laki-laki itu sendiri berketruk dan gemas memandang anak-anak muridnya. Ia turun dan menginjak lantai daratan tanpa terkejut. Ketua Pulau Api ini telah mengerahkan Hwe-kangnya hingga Tenaga Api itu membuat telapak kakinya panas. Bahkan, saking mendongkol ia membuat permukaan es beku amblong, cair oleh tenaga panasnya itu. Dan ketika anak-anak murid teringat dan mengerahkan ilmu mereka, menginjak daratan beku ini tak boleh mereka main-main maka semua berlompatan dan turun kembali dengan muka merah. Orang-orang Pulau Api mengerahkan Yang-kang mereka hingga tubuhpun menyala seperti obor!

"Tak perlu kuat-kuat, kendalikan secukupnya saja. Ingat bahwa yang kita injak adalah laut beku dan sekali ia cair maka kalian terjeblos ke bawah!" sang ketua, yang mendemonstrasikan dan sudah memberanikan hati anak-anak muridnya lagi bicara dengan suara sungguh-sungguh. Ia membuat amblong permukaan yang diinjak tapi sudah mengatur tenaganya sedemikian rupa hingga cukup melawan hawa dingin saja. Murid-murid sadar dan mengikuti jejaknya. Dan ketika dua sutenya berseru dan berlompatan meninggalkan perahu maka San Tek terbahak dan berkelebat ke depan. Kaki telanjangnya itu dipamerkan membuat tokoh-tokoh Pulau Api membersit merah.

"Pangcu, anak-anak muridmu itu lemah sekali. Masa jalanan begini enak harus berteriak dan berkaok-kaok seperti anak kecil. Hayo, mana itu tempat tinggal Puteri Es dan biar kubekuk dia!"

"Hm," sang ketua menendang dan melepas sepatunya pula, tak mau kalah di hadapan anak-anak murid yang begitu banyak. "Tempat ini memang cocok bagi kita, San-siauwhiap, tapi belum cocok bagi anak-anak muridku yang kepandaiannya rendah. Mari bersamaku dan jangan jalan sendiri. Aku memandu!"

Sang ketua berkelebat dan bergerak di samping si gila ini. Ia tak mau kehilangan muka dan begitu melesat iapun unjuk kehebatan. San Tek dikejar dan disusul. Dan ketika si gila terbahak tapi harus mengikuti ketua pulau ini, ia tak kenal jalan maka berturut-turut Bu Kok dan sutenya juga melempar sepatu mereka, bertelanjang kaki di permukaan laut beku.

"Siauw Lok, simpan sepatuku ini. Awas, tuntun dan pimpin saudara-saudaramu mengikuti pangcu!"

"Benar, dan sepatuku juga, Tan Bong. Susul ayahmu dan mari kejar!" laki-laki berpakaian indah, tokoh nomor tiga dari Pulau Api juga berseru dan menendang sepatunya itu kepada murid keponakannya.

Tan Bong adalah putera sang ketua sementara Siauw Lok adalah murid nomor dua setelah Yang Tek, tokoh muda nomor satu di Pulau Api. Dan begitu tiga orang itu berkelebatan dan masing-masing mengerahkan tenaga Yang-kang, hawa dingin semakin hebat maka Tan-pangcu dan dua sutenya ini sudah berubah menjadi tiga manusia obor yang terbang dan melesat di depan. San Tek tertawa-tawa dan dia mengerahkan ilmunya di sebelah kiri ketua Pulau Api.

"Hebat. Ilmumu Giam-lui-kang tak ada cela, pangcu. Tapi Im-kan-thai-lek-kang kupun agaknya tak boleh dipandang rendah. Lihat, aku akan meninggalkan tapak obor di bawah kakiku.... plash!"

Api menyembur dan hidup di tubuh pemuda ini. Sama seperti Tan-pangcu si gila itupun tiba-tiba menjadi manusia api. Telapak kakinya berkobar dan api inilah yang meninggalkan bekas di bawah, hidup dan menjalar seperti ular api! Dan ketika anak-anak murid mengikuti dan semua berdecak kagum, di atas permukaan laut beku pemuda itu mampu menciptakan api maka Tan-pangcu tak mau kalah dan berseru,

"Siauwhiap, Im-kan-thai-lek-kang mu hebat. Agaknya kita masih serumpun. Tapi karena apimu cepat padam dan anak-anak murid tertinggal di belakang, jauh ketinggalan biarlah kuperkuat dan lihat aku pun membuat ular api.... blarr!"

Tan-pangcu mengibas dan mengeluarkan pukulan panasnya. Ular api ciptaan San Tek memang berkobar di permukaan es beku namun tak dapat tahan lama. Hawa amat lah dingin dan bagi murid-murid yang jauh di belakang tentu sulit. Mereka kehilangan jejak dan sukar mengikuti tokoh-tokoh itu. Maka ketika Tan-pangcu meledakkan pukulan apinya dan pukulan ini memperkuat ular api yang dibuat San Tek, lama dan tahan beberapa menit untuk menjadi pegangan para murid maka Bu Kok dan sutenya tak mau kalah.

"Ha-ha, hawa dingin semakin dingin, suheng. Kasihan anak-anak murid yang kedinginan. Biarlah kubuat selimut hangat untuk mereka dan aku sekedar meramaikan suasana...dess!" tokoh ketiga melempar tangan ke belakang, meniupkan hawa panas.

Dan benar saja para murid tiba-tiba dibungkus atau menerima "selimut" aneh, yakni hawa panas yang menyembur melingkupi mereka dan tertawalah para murid itu. Lalu ketika tokoh kedua juga melakukan hal yang sama melengkapi sutenya, kebekuan lenyap terganti kehangatan maka murid-murid bersorak dan mereka berkelebatan menyusul para pimpinan ini. Beng An kagum sekaligus khawatir. Kalau saja di situ tak ada San Tek dia yakin bahwa orang-orang Pulau Api tak perlu ditakuti penghuni lembah. Kepandaian Thio-cici dan Wan-cici telah diketahuinya, begitu juga sang Ratu.

Namun karena San Tek ada di situ dan Im-kan-thai-lek-kang yang dimiliki bekas suhengnya itu bukanlah main-main, kalau bergabung dengan tokoh-tokoh Pulau Api ini tentu hebat dan mengerikan sekali maka Beng An tiba-tiba berpikir bagaimana kalau dia mendahului rombongan ini memberi tahu penghuni. Dengan Pek-sian-sut dia sanggup melesat di depan, tak mungkin diketahui. Tapi ketika dia ragu-ragu dan maju mundur, San Tek dan ketua Pulau Api terus berkelebat dan meluncur di depan tiba-tiha mereka sudah bertemu dengan penjaga yakni belasan wanita muda Lembah.

"Heii, berhenti. Siapa kalian!"

Empat orang di depan terkejut. Bu Kok, orang nomor dua menoleh. Dari sebeleh kiri berkelebat tiga belas bayangan wanita-wanita muda yang menjadi murid atau penjaga. Mereka inilah yang berada di ujung tombak menjaga perbatasan. Maka begitu melihat rombongan kecil ini dan belum melihat rombongan yang lain, orang-orang Pulau Api yang berada di belakang tiba-tiba Bu Kok tokoh nomor dua itu tertawa dingin, tangan kirinya mendorong dan melepas Giam-lui-kang.

"Ha, kalian tikus-tikus betina Lembah Es? Sudah keluar sarang? Bagus, roboh dan mampuslah di situ, tikus-tikus cilik. Kami dari Pulau Api datang menyebar maut dess!" pukulan panas sang tokoh menghantam, cepat dan ganas dan dari telapaknya itu muncul bola api mengejutkan. Bola ini menyambar dan meledak ke tubuh tiga belas wanita muda itu. Dan ketika mereka menjerit dan sadar bahwa inilah pukulan berbahaya, berkelit namun terlambat maka semuanya terjengkang dan tewas dengan tubuh kehitaman. Gosong!

"Ha-ha, kejam sekali, Bu-taihiap. Kasihan sekali kau bunuh gadis cantik-cantik itu. Aih, sayang!"

San Tek berseru, tapi meneruskan perjalanan. "Di dalam masih ada yang lebih cantik lagi, San-kongcu, jauh lebih cantik daripada ini. Yang itu bukan apa-apa, tenanglah!"

"Ha-ha, begitukah? Tapi aku tak suka wanita. Mereka itu menggelikan bagiku, seperti ular... Iihh, aku tak mau menyentuh mereka kalau tidak terpaksa!"

Laki-laki itu tertawa. Mereka telah tiba di daerah musuh dan sambutan tiga belas gadis cantik tadi membuat mereka waspada. Dan ketika mereka mulai menyeberangi jembatan bambu untuk akhirnya tiba di kaki gunung pertama, gunung yang tegak di depan maka San Tek me-lihat bayangan-bayangan lain berkelebatan turun gunung. Merah hijau kuning berwarna-warni.

"Ha ha, datang lagi, Bu-taihiap. Banyak sekali. Kita rupanya disambut dan lebih meriah!"

Tokoh itu mengangguk. Dia tak menjawab melainkan saling memberi tanda dengan suhengnya, memperlambat langkah tapi mempercepat aliran Yang-kang hingga tubuh mereka semakin merah marong. Dan ketika San Tek terus meluncur dan tak sadar meninggalkan teman-temannya, tokoh-tokoh Pulau Api memasang kewaspadaan maka si gila itu sudah berhadapan dengan puluhan penghuni lembah, dipimpin gadis baju kuning yang bukan lain Ui Hong.

"Berhenti, siapa kau! Manusia liar dari mana ini yang berani masuk Lembah!"

"Ha-ha, aku.... eh!" San Tek menoleh dan tertegun memandang ke belakang. Tan-pangcu dan dua sutenya lenyap! "Eh, aku.... eh, aku datang mengantar kawan-kawanku, nona. Kami dari Pulau Api ingin main-main di sini. Aku...."

"Sudah kuduga!" bentakan itu disusul berkelebatnya bayangan Ui Hong, memotong bicara si gila ini, tangan menampar dan melepas Bu-kek-kang. "Kau orang Pulau Api, pemuda siluman. Dan tak ada ampun untuk bicara lagi. Mampuslah!"

San Tek terkejut dan membelalakkan mata. Dia sedang mencari-cari bayangan tiga temannya tadi ketika mendadak gadis baju kuning ini menghantam. Tapi karena dia bukan pemuda sembarangan dan sesungguhnya diajak atas bujukan tiga ketua maka dia mengelak dan Bu-kek-kang menghantam salju di belakangnya.

"Blarrr!" Salju membeku dan percikannya menjadi batu. San Tek membelalakkan mata kagum, meleletkan lidah. Tapi ketika ia tertawa dan melihat bayangan merah di depan mendadak ia meloncat dan mengejar bayangan itu, yang bukan lain ketua Pulau Api dan dua sutenya.

"He, jangan tinggalkan aku, Tan-pang. Mana janji kalian untuk saling bantu. Aku ngeri sendirian menghadapi wanita-wanita cantik!"

Ui Hong terkejut dan berseru keras. Lawan di depannya ini melayang dan tahu-tahu terbang melewati kepala. Anak buahnya dilewati begitu saja karena merekapun sedang bengong. Pemuda itu tampaknya tidak waras, tapi lihai. Dan ketika pemuda itu meluncur dan naik gunung, menyusul atau mengejar tiga bayangan merah yang samar-samar tampak maka gadis baju kuning ini kaget sekali dan berseru keras. "Kejar, tangkap mereka. Hadang jangan sampai masuk!"

Puluhan murid Lembah berloncatan. Mereka kaget melihat tiga asap merah melesat naik gunung, melayang dan dikejar pemuda aneh yang berteriak-teriak seperti tidak waras itu. Dan ketika pimpinan mereka juga membentak dan terbang menyusul, suitan nyaring bergema memantul dinding gunung maka dari belakang dan kiri kanan gunung muncul teman-teman mereka yang terkejut oleh Suitan dan lengking Ui Hong ini.

"Awas, cegat! Orang-orang Pulau Api! Hadang dan jangan biarkan mereka maju!"

Puluhan penghuni lain meluncur turun dan memapak tiga orang ini. Tapi ketika Tan-pangcu meledakkan tangan dan mereka lenyap, sang ketua mempergunakan kesaktiannya maka tinggallah San Tek yang memang tak memiliki semacam ilmu gaib. Pemuda ini terbang ke atas tapi disambut puluhan gadis-gadis cantik itu. San Tek terkejut karena lagi-lagi tiga temannya menghilang. Tapi begitu ia berseru keras dan mengelak hujan pukulan, meloncat dan berjungkir balik tinggi ke atas tiba-tiba iapun sudah lolos dan melewati kepala anak-anak murid Lembah Es ini, kabur ke puncak gunung.

"Hei, kenapa kau tinggalkan aku, pangcu. Ke mana kau menghilang. Hei, kau... eh, kau di sana!" si gila sudah tiba di puncak gunung dan melihat tiga asap merah kembali meluncur di depan.

Kali ini tiga ketua itu menaiki gunung kedua dengan cepatnya. Mereka memong meninggalkan San Tek untuk menghalau atau menahan anak-anak murid itu, agar perjalanan tidak terganggu. Tapi karena San Tek tak mau menghadapi wanita dan paling ngeri bersentuhan dengan kulit halus, si gila ini lebih baik bertanding dengan laki-laki kasar atau kalau berhadapan dengan wanita janganlah sendirian maka begitu ditinggal iapun mendongkol dan mengejar lagi tiga tokoh Pulau Api itu, berteriak-teriak. Dan karena kepandaiannya memang tinggi dan ilmu lari cepatnya luar biasa maka sebentar kemudian ia sudah menyusul dan memaki-maki tiga orang ini. Tan-pangcu dan dua sutenya kagum.

"Pangcu, kau gila. Mana janjimu kepadaku. Masa aku harus sendirian menghadapi wanita-wanita cantik itu sementara kau kabur di depan. He, aku tak mau begini, pangcu. Aku tak mau dicubit gadis-gadis cantik itu agar kulitku tak gatal-gatal. Kau curang!"

"Ha-ha, bukan curang!" See Lam atau See Kiat Lam tokoh nomor tiga dari Pulau Api tertawa, tahu kemiringan otak pemuda ini. ”Kami sekedar mengenalkanmu kepada mereka, San-siauwhiap. Bahwa kau lihai dan tak boleh dipandang rendah. Lihat, kau berhasil melampaui mereka dan itu cukup membuat kaget!"

"Ah, begitukah? Ha-ha, memang aku berhasil melampaui mereka. Kepala mereka kulompati dan dengan mudah aku meninggalkan mereka."

"Dan kalau mau tentu kau dapat merobohkan mereka. Nah, inilah yang dimaksud pangcu, siauwhiap, agar kau menunjukkan kelihaian supaya musuh tidak memandang ringan!"

San Tek tertawa-tawa. Akhirnya ia merasa bangga bahwa sebenarnya ia dipuji. Gadis-gadis Lembah Es itu memang dibuatnya terkejut. la berhasil meloloskan diri dengan mudah. Dan ketika ia berendeng kembali namun dari puncak gunung dan tempat-tempat lain muncul musuh lebih banyak maka di gunung ketiga para ketua Pulau Api ini dicegat gadis baju merah dan .wakil sang Ratu alias Thio-cici dan Wan-cici. Dua gadis bersanggul tinggi itu berkesiur dan tahu-tahu di belakang Tan-pangcu dan Bu Kok.

"Orang she Tan, kau rupanya. Bagus sekali kau datang. Tapi berhentilah dan jangan macam-macam di tempat kami.... plak!" rambut dilepas dan terurai menyambar dua pimpinan Pulau Api ini. Yo Lin, gadis baju merah itu berkelebat di samping tokoh nomor tiga dan gadis inipun membentak menampar laki-laki perlente itu.

Dan ketika tiga orang itu berhenti dan ratusan penghuni datang mengepung, tak mungkin meneruskan perjalanan maka Tan-pangcu dan dua adiknya menangkis. Hawa panas menyambar bertemu hawa dingin, meledak dan tiga gadis Lembah Es terhuyung. namun ketika mereka berhasil tegak kembali dan tiga tokoh Lembah Es bersinar marah maka Thio-cici atau yang namanya Thio Leng ini membentak, dialah tokoh paling tua di situ, wakil langsung dari Puteri Es.

"Orang she Tan, lama kau tidak datang. Sekarang muncul bersama pemuda asing. Inikah bantuan yang kau harapkan untuk mengalahkan Lembah Es?"

"Hm, aku tak mau bicara denganmu, gadis she Thio. Panggil Ratumu dan biar-kan aku berhadapan dengannya. Karni orang-orang Pulau Api ingin menuntut balas. Tujuh tahun aku menggembleng diri. Mundurlah dan suruh tocumu keluar!"

"Tocu tak akan keluar kalau tidak atas kehendaknya sendiri. Kaulah yang harus pergi atau mampus di tempat ini!"

"Ha-ha!" See Kiat atau tokoh nomor tiga tiba-tiba tertawa terkekeh, matanya berkilat dan kagum memandang gadis ini, juga gadis baju merah, yang tadi ditangkisnya. "Kau selamanya bermulut besar, Thio Leng. Dan tak perlu bicara panjang lebar lagi karena kita selamanya bermusuhan. Majulah, kau kuhadapi dan biar suheng menonton!" lalu tanpa banyak bicara dan tidak memberi tahu mendadak tubuh laki-laki perlente ini mencelat. Ia tahu bahwa hadangan di depan cukup kuat, ini harus disingkirkan. Maka tertawa tapi berkelebat melepas Giam-lui-kang tiba-tiba ia sudah menghantam lawannya itu.

"Dess!" Thio Leng tak mengelak dan menangkis. Sekarang ia menerima lawan dan mengerahkan Bu-kek-kang, beradu dengan Giam-lui-kang dan tokoh Pulau Api itu terhuyung. Benturan keras di antara mereka ternyata menunjukkan si gadis lebih unggul. Hanya terhadap Tan-pang cu tadi gadis she Thio ini terdorong. Maka ketika kini ia berhasil memukul lawan dan tokoh Pulau Api itu terbelalak maka laki-laki ini mendesis dan Wan-cici atau yang namanya Wan Sui Keng itu maju menjeletarkan rambut.

"Thio-cici, kepandaianmu masih lebih unggul. Jangan buang-buang tenaga kalau hanya menghadapi orang she See ini. Biar aku yang maju dan jaga Tan-pangcu itu!" dan baru saja seruan berhenti mendadak gadis ini menerjang dan menghantam tokoh Pulau Api itu.

See Kiat Lam baru saja berdiri tegak ketika tiba-tiba diserang. Bu-kek-kang menyambar meniupkan hawa dingin. Ujung bajunya tiba-tiba beku. Namun ketika ia berseru keras dan mengibaskan lengan ternyata ia dapat bertahan meskipun sedikit tergetar. Tapi itu tidak lama. Sui Keng, gadis ini' sudah terlanjur marah melihat kehadiran tokoh-tokoh Pulau Api.

Ia menerjang dan melepas lagi Bu-kek-kangnya, beruntun tiga kali mumpung lawan masih belum berhasil memperbaiki posisinya. Dan ketika laki-laki perlente itu kelabakan dan marah berteriak tinggi maka orang she See ini melempar tubuh ke bawah dan sekaligus sambil menyelamatkan diri ia melepas Giam-lui-kang menghantam perut gadis itu.

"Desss!" Sui Keng terhuyung dan ganti memperbaiki posisi. Lawan meloncat bangun dan adu gebrak ini menunjukkan bahwa keduanya berimbang. Tak salah, gadis she Wan itu adalah tokoh nomor tiga di Lembah Es, tandingan bagi tokoh nomor tiga dari Pulau Api ini. Dan ketika laki-laki itu melotot dan merasa gusar, ia dirangsek tapi untung mampu balas memukul maka ganti tubuhnya berkelebat dan mendahului gadis itu menyerang. Sui Keng berkelit dan mengelak, dikejar dan akhirnya menangkis.

Dan ketika masing-masing sama tergetar dan San Tek bersorak, dua orang itu sudah bertanding maka Thio Leng memberi isyarat dan tiba-tiba gadis baju merah membentak dan menyerang Bu Kok. Thio Leng sendiri sudah berkelebat ke arah Tan Siok melepas Bu-kek-kangnya, disusul gerakan anak-anak murid yang mengeroyok tokoh-tokoh Pulau Api itu.

"Sumoi, jangan biarkan musuh menonton. Serang, bunuh!"

Semua bergerak dan membentak. Gadis she Thio itu sudah meledakkan rambutnya dan anting-anting di sepasang telinganya yang indah itu menyambar. Gadis ini mengerahkan seluruh kepandaiannya menghadapi ketua Pulau Api. Lawan bukan main-main. Namun ketika ketua Pulau Api mendengus dan meledakkan tangannya, lenyap menjadi asap merah maka anting-anting menghantam tanah dan mental kembali.

Gadis ini terkejut namun sekejap saja. Selanjutnya ia melihat asap merah berkelebat pergi, menuju gunung keempat Dan tak mungkin ia membiarkan ketua Pulau Api mendekati lstana Es maka gadis itu membentak dan mengejar. Bu Kok dan sutenya sudah dikeroyok penghuni Lembah dipimpin gadis baju .merah dan Sui Keng, Sumoi dari Thio Ieng.

"Tan-pangcu, jangan harap dapat memasuki istana. Berhenti dan kita bertempur dulu seribu jurus!"

"Hm, kau bukan lawanku," tokoh Pulau Api itu menjengek. "Lawanku adalah majikanmu, Thio Leng. Panggil dia keluar atau kau mampus...dess!" sang ketua membalik dan harus menangkis pukulan Bu-kek-kang.

Thio Leng marah dan melepas pukulan jarak jauhnya, terhuyung dan mengejar lagi karena sang ketua sudah mendaki puncek. Dan ketika dua kali gadis itu membentak namun dua kali pula ia terhuyung, pukulannya tak mampu menahan si ketua maka Tan-pangcu mendengus dan sudah melewati puncak gunung ini, siap menuju gunung kelima.

Thio Leng pucat dan marah. Ia melihat bahwa ketua Pulau Api ini sudah memiliki Giam-lui-kang di atas sutenya. Bu-kek-kangnya dipukul ambyar. Tapi melihat lawan siap mendaki gunung kelima iapun mencabut pedangnya dan sekali pedang dilontar maka pedang itupun mendesing mendahului ketua Pulau Api melayang melewati kepala dan membalik menuju ulu hati, bagai pedang bernyawa.

"Ah!" si ketua terkejut dan kaget juga. la berhenti dan menggeram, tanganpun menangkis. Dan ketika pedang terpental tapi mampu menyerang lagi, Thio Leng mengejar dan berhasil menyusul maka ketua yang menjadi marah tapi kagum akan gadis itu memainkan pedang segera membentak. "Thio Leng, kau tak tahu diri. Tapi kepandaianmu cukup hebat. Baiklah, mari main-main sejenak dan lihat berapa jurus kau roboh....plak-ting!" dan si ketua yang menangkis dan mengeluarkan tongkatnya akhirnya menghalau pedang sementara tangan kirinya mengibas pukulan gadis itu.

Thio Leng terlempar tapi berjungkir balik menangkap pedang, turun dan kini dengan pedang. di tangan kanan dan Bu-kek-kang di tangan kiri ia menyerang ketua Pulau Api itu. Dan ketika lawan di paksa melayani dan apa boleh buat harus bertempur maka api menyambar mencairkan hawa dingin Bu-kek-kang.

"Des-desss!" Gadis ini melotot. Ia terhuyung lagi namun pedang di tangan kiri berdesing dan menusuk. Namun ketika tongkat menerima pedangnya dan dari adu tenaga lagi-lagi pedangnya mental maka gadis ini mengeluh namun melengking melecut dengan rambutnya lagi. Rambut dan pedang kini silih berganti. Rambut itupun dapat berubah menjadi senjata-senjata berbahaya macam kawat baja, jumlahnya ribuan dan sibuk juga ketua Pulau Api itu melayani keberingasan lawannya.

Dan ketika Thio Leng mengerahkan ginkang-nya dan berkelebatan bagai walet menyambar-nyambar, rambut dan pedang silih berganti mengiringi pukulan hawa dingin maka sang ketua harus mengakui bahwa gadis Lembah Es ini benar-benar bukan lawan empuk. Ditambah semangat juangnya yang tinggi mencegah lawan memasuki istana membuat gadis itu seperti harimau betina diganggu anaknya.

Thio Leng meluncur dengan serangan berbahayanya. Tapi karena yang dihadapi adalah ketua Pulau Api dan jenggot sang ketua kini mulai mengebut naik turun menghalau rarnbut, ribuan bulu halus itu juga dapat berubah menjadi kawat-kawat baja menangkis rambut panjang Thio Leng maka gadis ini terdesak dan akhirnya pedang di tangan kananpun terpental keluar bertemu tongkat lawan yang kini membara. Gadis ini pucat. Ia terdesak dan marah tapi juga gelisah. Thio Leng melengking-lengking ketika perlahan tetapi pasti Bu-kek-kangnya ditembus Giam-lui-kang.

Pukulan panas yang dilepas ketua pulau itu menembus hawa dingin Bu-kek-kang. Ini terjadi karena sinkangnya kalah kuat. Dan ketika hawa dingin sudah mulai dikuasai hawa panas, Giam-lui-kang lebih unggul dibanding Bu-kek-kang maka di sana sumoinya dan anak-anak murid Lembah Es berteriak jatuh bangun menghadapi tiga orang lawan mereka karena San Tekpun sudah bergerak dan dikeroyok oleh semua penghuni Lembah Es ini.

"Ha-ha, ini baru aku senang. Ini namanya kawan. Sekarang kita sama-sama menghadapi gadis-gadis cantik ini, Bu-taihiap. Kau dan aku sama-sama dikeroyok. Aduh, eloknya mereka semua ini. Tapi ihh, tangan-tangan mereka menggeliat seperti ular. Hii, aku takut dan biar kalian saja yang berhadapan langsung!"

San Tek mengelak dan maju mundur, tak berani atau ngeri menangkap lengan-lengan halus itu dan ia mendorong atau menghalau setiap penyerang yang coba membacok. Semua penghuni sudah mencabut senjata dan ratusan pedang berseliweran naik turun. Tapi karena yang mereka hadapi adalah seorang pemuda lihai, San Tek tertawa-tawa menghalau mereka maka Bu Kok dan sutenya melotot. Pemuda itu sama sekali tak merobohkan lawan, hanya mendorong atau memukul jatuh.

"San-kongcu, jangan begitu. Mereka hanya akan merepotkan kami saja. Bunuh, atau robohkan!"

"Wah, bukankah sudah kurobohkan? Hei, membunuh mereka ini aku tak berani, Bu-taihiap. Aku teringat ibuku. Mereka ini perempuan, seperti ibuku. Biar mereka kupermainkan seperti ini saja dan lihat mereka jatuh bangun.... buk-bress!"

San Tek terbahak melihat gadis-gadis Lembah Es itu terlempar. Mereka berdebukan dan ada yang menangis, ini bagi-nya lucu sekali. Namun ketika sebatang pedang menyambar dan mengenai punggungnya, patah dan dia menoleh maka Yo Lin, gadis baju merah itu mendelik padanya. Gadis ini melontar pedang namun patah bertemu sinkang San Tek yang kuat.

"Orang gila, kau akan kubunuh nanti. Awas, kubunuh nanti!"

San Tek meleletkan lidah. Ia memang menghadapi murid-murid rendahan dan meskipun jumlah mereka banyak namun tentu saja bukan tandingannya. Dan ketika ia melihat gadis baju merah melotot sementara dari bawah gunung terdengar sorak-sorai, itulah anggauta Pulau Api yang mulai berdatangan maka Yang Tek dan Siauw Lok serta Tan Bong bermunculan. Penghuni Lembah Es terkejut melihat bahwa rupanya lawan menyerbu secara besar-besaran.

"Keparat, kita dikepung. Awas, berpencar dan sebagian turun menyambut musuh di bawah!"

Sui Keng, gadis tertua di situ berseru dan kaget sekali. Ia tak menyangka bahwu tokoh-tokoh Pulau Api ini membawa serta seluruh muridnya. Ia melotot dan benci sekali menerjang Bu Kok. Ini ternyata perang besar! Dan ketika lawan terbahak gembira dan menangkis, mereka sama tergetar maka gadis inipun mencabut pedangnya dan dengan sengit menyerang tokoh nomor dua dari Pulau Api itu. Namun ia adalah tokoh nomor tiga. Seharusnya, menghadapi laki-laki berkalung rantai perak ini sucinya Thio Leng lah yang maju. Bu Kok laki-laki garang itu memiliki sinkang lebih kuat, terbukti dari pukulan atau pedangnya yang mental. Kalau ia terhuyung maka laki-laki ini hanya tergetar.

Dan ketika di sana Yo Lin juga tak mampu mendesak tokoh nomor tiga, sumoinya baju merah itu melengking-lengking dibantu anak buah maka datangnya orang-orang Pulau Api yang tadi tertinggal ketuanya itu membuat keadaan menjadi kacau dan panik. Tiga pemuda berbaju kulit biru merah dan hitam bergerak memelopori barisannya.

"Serbu! Tangkap dan robohkan wanita-wanita Lembah Es ini. Tawan mereka untuk kita nanti!"

Orang-orang kasar dan rata-rata bertubuh tinggi besar itu bersorak. Yang Tek telah memberi komando dan pemuda itu sendiri sudah bergerak di depan. Tapi ketika bayangan kuning berkelebat dan inilah Ui Hong, lawan setimpal maka gadis itu membentak dan sudah bertanding. Siauw Lok, pemuda berbaju merah dihadang gadis baju hijau, Yu Pio. Lalu ketika sutenya Tan Bong berhadapan dengan gadis baju biru, Ing Sim maka pertempuran anak-anak muda itu pecah. Lembah Es benar-benar gegap-gempita.

"Keparat, kiranya kalian telah merencanakan serbuan besar-besaran, Yang Tek. Dan kau muncul menyerahkan nyawa. Bagus, aku dapat mengupas kulit dagingmu untuk dijadikan tumbal.... sing-plak!"

Ui Hong menggerakkan pedang dan marah menyerang lawannya itu, dielak tapi akhirnya ditangkis dan Yang Tek tertawa bergelak menghadapi gadis ini. Mereka sama-sama muda di tempat masing-masing, dan sudah lama pula ia tergila-gila kepada Ui Hong ini. Maka ketika mereka bertemu dan Ui Hong langsung membentak dan menyerangnya, Yang Tek mengelak dan balas menyerangnya. Dua tokoh dari dua tempat yang berbeda itu sudah bertanding seru. Yang Tek tak berani main-main sementara sutenya di sana berhadapan dengan lawan setingkat pula.

Gadis baju biru menghadapi Tan Bong sementara si baju hijau menahan Siauw Lok. Pertandingan mereka itupun seru. Dan ketika di sana susiok mereka juga bertemu dengan Wan Sui Keng dan Yo Lin, tertawa-tawa di tengah keroyokan dibantu San Tek maka Beng An yang tiba dan bersembunyi tak jauh dari situ menonton dengan khawatir. Ia tak maju cepat-cepat karena pihak Lembah Es belum terdesak benar, pantangan bagi orang-orang gagah macam mereka itu kalau belum apa-apa sudah di bantu, seolah sudah tak kuat benar.

Dan ketika ia melayangkan pandangan ke gunung nomor lima,gelisah melihat Thio Leng terdesak oleh ketua oulau api, maka digunung ketiga gadis baju merah dan Wan Sui Leng juga mulai terdesak, karena anak- anak buah mereka di kacaukan oleh San Tek hingga tak mampu membantu. Dan sementara ia bingung harus membantu yang mana, ke gunung nomor tiga atau lima tiba-tiba berkesiur angin dingin dan sosok tubuh anggun bercadar putih berdiri di belakangnya....