BENG AN tertegun. "Tujuh rintangan? Aku boleh menghadap tocu tapi harus melewati rintangan-rintangan yang kalian pasang? Ha-ha, boleh, nona. Asal kalian tidak curang aku bersedia menerima ini. Baik, rintangan apa itu. Sebutkan dan dimana aku harus mulai!"
si Gadis baju merah itu mengerutkan kening. Beng An tertawa gembira dan sikap pemuda ini membuatnya panas. Pemuda itu menerima tantangan seperti orang main-main saja. Tapi karena ia sudah melihat kepandaian pemuda itu dan pandang mata Beng An kepadanya membuatnya jengah, Beng An tak menyembunyikan kekagumannya kepada wajah cantik itu maka gadis ini membentak, malu tapi juga marah,
"Kau tak usah sombong. Kau belum menghadapi itu. Rintangan itu ada di depan sana dan apa itu boleh kau lihat sendiri, tak dapat kuberitahukan di sini. Kalau kau ingin tahu maka ujian berarti gagal. Orang yang berani tak usah bertanya!"
"Baik, ha-ha, Tak apa, nona. Aku Kim Beng An akan menghadapinya seperti orang buta. Nah, kalau begitu kapan kumulai?"
"Sekarang, silakan naik bukit itu dan lampaui tujuh rintangan kami sampai berhasil. Atau kau mampus dan kami tak dapat memberi tahu ayah ibumu!"
Beng An tertawa bergelak. Melihat gadis baju merah ini tiba-tiba kegembiraan dan kekagumannya meningkat. la mengagumi wajah jelita itu namun tidak sampai tergila-gila. Sebagai pemuda biasa tentu saja ia mengagumi dan suka memandang seorang gadis cantik, apalagi yang luar biasa seperti gadis baju merah ini. Namun karena dia hanya kagum dan tidak lebih, sikap tinggi hati dan congkak itu membuatnya tak senang juga maka ditantang untuk menghadapi bahaya ia malah gembira. Dan bahaya itu tak disebutkan apa, Beng An tidak takut malah tertarik.
"Boleh, Siapa gentar?" Maka begitu semua menyibak dan gadis baju merah itu mempersilakan, dengan dingin mengangkat tangan untuk memberi jalan Beng An maka tak ragu-ragu lagi pemuda itu berkelebat dan naik ke gunung atau bukit di depan itu. Di situlah tadi Hwa Seng lenyap dibawa teman-temannya, Dan ketika Beng An lewat didepan gadis baju merah ini maka bau harum menyambar hidungnya, bau yang membuat si pemuda malah bangkit semangatnya.
"Nona, aku tak akan mendesak tentang apa tujuh rintangan itu, tapi akan menghadapi dan mengatasinya langsung. Terima kasih dan numpang lewat!"
Gadis baju merah mendengus. Beng An lewat di depannya tak takut diserang atau dihalangi. Pemuda itu begitu yakin akan kepandaian sendiri. Siapa yang menghalang rupanya akan diterjang. Dan begitu pemuda itu berkelebat dan tahu-tahu sudah di atas bukit maka siapapun mendecak karena seperti iblis saja pemuda itu sudah lenyap dan di kejauhan sana, meluncur dan turun dan akhirnya menghilang di bawah.
Gerakan ini hanya dua tiga detik saja dan siapapun terkejut. Beng An mengeluarkan dua ilmunya meringankan tubuh Jing-sian-eng dan Cui-sian Gin-kang, menggabungnya sekaligus dan itu membuat si pemuda berkelebat secepat cahaya, lenyap dan menurun bukit dan tiba-tiba semua penghuni Lembah berteriak menyusulnya. Mereka lari dahulu-mendahului menuju puncak bukit. Gadis baju merah sendiri sudah lenyap dan menyusul Beng An, dia paling dulu di depan. Dan ketika Beng An tampak di atas meluncur di padang es beku secepat siluman, naik turun di antara gunduk-gunduk salju dengan amat mengagumkan maka semua penghuni akhirnya melihat dan seratus pasang mata mendecak penuh kagum.
Beng An sendiri tahu pandang mata itu tapi tak mau menengok. la melihat gunduk-gunduk salju di padang es itu, mula-mula mengira sebagai gunduk-gunduk biasa tapi mendadak kakinya terjeblos. Sekejap saja kejadian itu namun Beng An terkejut. Ujung kakinya terasa tersedot ke bawah namun dengan cepat ia tarik ke atas. Dan ketika ia menginjak gunduk-gunduk salju yang lain dan semua menjeblos ke bawah tahulah dia bahwa gunduk-gunduk itu sebenarnya perangkap di mana kalau tidak hati-hati orang akan terpelanting dan masuk ke lubang es beku!
Di situ kiranya bertaburan lubang-lubang neraka yang tertutup oleh lapisan es ini, dari jauh seperti gunduk tanah biasa tapi sebenarnya tanah kosong yang atasnya tertutup es beku. Es ini menutup ringan dan sekali terinjak bakal amblong. Inilah bahaya pertama! Maka tertawa dan menyadari bahaya ini, Beng An mengempos semangat menarik tenaga maka tiba-tiba ia mengerahkan semua ilmu meringankan tubuhnya hingga tubuhnya tak berbobot lagi menginjak gunduk-gunduk salju itu, terbang dan meluncur seringan kapas dan seratus gunduk putih yang diinjak sama sekali tak amblong. Jangankan amblong, bergetar sedikit saja tidak.
Dan ketika gadis baju merah mendecak dan memuji kagum, itulah rintangan pertama yang harus dilalui Beng An maka pemuda baju putih itu melakukan sesuatu melepas kegemasannya. Beng An gemas karena tak tahu jebakan itu. Untung, berkat kepandaiannya yang tinggi tak sampai celaka. Maka melepas gemas dan tahu bahwa seratus pasang mata memandangnya dari puncak bukit, Beng An membalik dan lari mundur ia melambaikan tangannya kepada gadis baju merah dan gadis-gadis penghuni Lembah Es,
"Hooiiii... ini kiranya tintangan pertama. Lihat aku menginjak lubang-lubang perangkapmu tanpa gentar!"
Semua terkejut. Beng An membalik dan lari cepat tanpa menengok belakang, larinya mundur. Dan karena ia lari dengan cara seperti itu, melambaikan tangan dan cepat melebihi angin maka siapapun sampai melompat berdiri dan terbelalak mengeluarkan suara tertahan. Dua kali Beng An lari seperti itu untuk akhirnya membalik lagi, lari membelakangi penghuni Lembah Es. Dan ketika ia lenyap melewati seratus jebakan, yang terakhir diinjak keras untuk akhirnya berjungkir balik melambung tinggi maka Beng An telah meninggalkan padang es itu untuk menuju ke bukit atau gunung kedua.
Di sini ia berlaku lebih hati-hati sementara anak murid mengejar dan menyusulnya. Mereka berteriak kagum melihat pemuda itu mampu melewati bukit pertama dengan mudah. Hanya penghuni Lembah Es saja yang tahu jebakan itu. Maka ketika mereka bergerak dan gadis baju merah juga menyusul dan berkelebat, Beng An menaiki gunung kedua maka pemuda itu melihat sebuah jalan lurus menuju hutan cemara putih dimana hutan itu menyambung sebuah bukit lain melalui sebuah jembatan sempit.
"Hm, apa yang akan kuhadapi di sana? Jebakan apalagi?" Beng An berpikir dan kini sudah menurun bukit ini. Akhirnya dia melihat bahwa ada tujuh bukit yang sambung-menyambung, di antara mereka terdapat lembah atau sungai-sungai beku. Tapi tak takut semuanya itu dan dia terus meluncur turun maka Beng An tiba di hutan cemara yang akan menyambung jembatan kecil itu.
Beng An tidak melihat siapapun. Seperti penghuninya yang beku dan dingin maka hutan cemara inipun tak menampakkan suasana bersahabat. Karena begitu tiba di tempat ini tiba-tiba Beng An berhadapan dengan seekor biruang salju yang mendadak menggereng dan berada di depannya. Beng An kaget karena binatang itu tadinya disangka pohon cemara pendek yang berada di mulut hutan, karena binatang itu berdiri dan kedua kaki depannya yang diangkat mirip cabang-cabang pohon bersalju tebal.
"Grrr!..." Beng An hampir saja melewati binatang ini. Dia sudah berada dekat dan baru terkejut ketika binatang itu bergerak, kedua kaki depannya itu menerkam dan kalau tidak cepat dia berkelit tentu kuku-kuku binatang itu sudah menancap di kulit dagingnya. Tapi begitu dia terkejut dan otomatis mengelak, berhenti dan membiarkan tangan binatang itu lewat di atas telinganya mendadak binatang ini menekuk siku dan bagian itulah yang mengetuk belakang kepalanya.
"Hai.. bret!" Beng An kaget dan tercakar baju lehernya. la tak menyangka binatang ini memiliki gerakan seorang ahli silat tapi melihat binatang itu tiba-tiba kegembiraannya bangkit. Di Sam-liong-to (Pulau Tiga Naga), tempat tinggal encinya Soat Eng dulu ada sepasang biruang hitam yang dipelihara baik-baik. Sayang, karena banyak orang jahat berdatangan akhirnya binatang itu tewas.
Kini melihat bahwa di Lembah Es ini ada seekor biruang salju yang tinggi besar, bobotnya tak kurang dari tujuh kuintal maka Beng An gembira teringat binatang di Sam-liong-to itu. Dia melihat binatang ini mampu bergerak seperti gaya seorang ahli silat, meskipun kaku dan lamban. Maka ketika leher bajunya robek dan dia tak menyangka binátang ini menguasai cara bersilat, dia menjejakkan kaki meloncat jauh maka binatang itu menggereng dan seperti Sudah diduganya dia mengejar dan langkah kaki binatang itu berdetak ketika menginjak tanah salju dengan suara berat.
"Ha-ha, ini kiranya ujian kedua!" Beng An tertawa, tidak mengelak dan kali ini justeru menyambut terkaman binatang itu.
Bayangan merah dan penghuni Lembah Es berkelebatan, Beng An melihat gadis-gadis itu. Dan maklum bahwa dia harus menunjukka kepandaian, ia memang sedang diuji maka begitu kuku-kuku biruang itu menyambarnya iapun cepat menangkap dan begitu mengerahkan sinkang maka sepuluh jari tangan binatang itu dicengkeramnya, ditekuk dan ketika binatang itu menguik Beng An pun sudah menggerakkan kaki menendang. Cengkeraman dan tekukan jarinya tadi membuat binatang itu kesakitan, terkejut. Maka begitu ditendang dan binatang itu menjerit iapun terlempar dan berdebuk terguling-guling di salju.
Tapi Beng An tidak berhenti sampai disini. la tidak membiarkan binátang itu bangun berdiri karena dengan cepat Ia pun berkelebat mengejar. Biruang salju itu berdebuk dengan keras dan ketika ia masih nanar tahu-tahu Beng An membungkuk dan menyambar tubuhnya. Dua lengan pemuda ini menggelembung ketika mengangkat tubuh binatang itu. Beng An mencengkeram rambut di leher dan pantatnya. Lalu sekali berseru keras iapun telah melempar binatang ini ke arah gadis baju merah dan penghuni Lembah Es.
"Ha-ha, terimalah! Aku tak suka diganggu binatang ini...blukk!" binatang itu jatuh dengan amat kerasnya di hadapan penghuni Lembah Es. Beng An telah mengangkat dan melempar biruang, seberat tujuh kuintal ini dan perbuatan itu disambut pekik kaget para penghuni.
Mereka tak menyangka bahwa pemuda sekecil itu mampu mengangkat dan melempar seekor biruang jantan yang amat berat. Berhadapan dengan biruang itu tubuh Beng An memang tiba-tiba kelihatan kecil, binatang raksasa itu memang jauh lebih besar dan berat. Tapi begitu berdebuk dan mereka sadar, Beng An membalik dan berkelebat meneruskan perjalanannya maka penghuni Lembah Es tiba-tiba bersorak dan kagum. Namun gadis baju merah membentak.
"Diam jangan memuji musuh!" lalu berkelebat menghampiri biruang itu, mengurut dan menepuk punggungnya gadis baju merah ini sudah mendorong bangun binatang itu. Tidak sanggup mengangkat apalagi melemparnya karena biruang jantan ini memang betul-betul berat. Tapi ketika dia menendang dan binatang itu terhuyung maka gadis baju merah sudah bergerak dan menyusul Beng An lagi.
"Bocah she Kim, kau telah lulus menghadapi dua ujian pertama. Tapi masih ada lima yang lain dan jangan bersombong!"
"Ha-ha," Beng An tertawa, menoleh. "Akan kuhadapi semua itu, nona. Kalau berhasil adalah kebanggaan bagiku. Siapa tidak bangga bertemu tocu Lembah Es, apalagi kalau aku sebagai laki-laki pertama!"
Gadis baju merah mendesis dan marah. la memang mengiringi pemuda ini untuk melihat apakah Beng An berhasil melewati tujuh rintangan. Kalau gagal tentu saja ia akan mengejeknya. Belum pernah ada lelaki berhasi melewati rintangan itu bahkan tokoh Pulau Api sekalipun. Maka ketika dia mengikuti Beng An sementara Beng An meluncur dan telah melewati jembatan sempit mendadak terdengar suara ledakan dan jembatan itu hancur. Kayu kayunya ternyata rapuh dan tak dapat dimuati biar oleh seorang pemuda seperti Beng An pun.
"Hik-hik, tahu rasa kau!" gadis baju merah terkekeh, tiba-tiba meledak tawanya. "Rasakan kau, bocah sombong. Mampuslah di dasar jurang!"
Ternyata jembatan itu adalah ujian nomor tiga. Beng An tak menyangka sama sekali bahwa jembatan gantung yang menghubungkan gunung kedua dengan gunung ketiga ini begitu rapuh. Baru tersentuh sedikit kakinya saja sudah ambrol! Tapi ketika gadis baju merah terkekeh dan baru kali itu terdengar suara tawanya yang merdu dan penuh kegembiraan menyangka Beng An terjeblos ke dasar jurang ternyata Beng An berjungkir balik dan menyambar potongan papan pemuda melempar potongan ini untuk akhirnya menangkap dan bergantungan di bibir jurang. Lalu ketika gadis itu terbelalak dan berhenti tertawa, Beng An telah mengatur tenaganya maka.... "hup", pemuda it meloncat dan tiba di seberang sana, tertawa, mengibas-ngibas bajunya.
"Ha-ha, kau tergesa-gesa mentertawakan aku, nona. Lihat aku selamat dan tak apa-apa!"
Gadis baju merah itu semburat. la benar-benar terkejut karena Beng An berhasil keluar lagi, selamat dan sudah tiba di seberang dan kini balik mentertawakannya. Maka mendengus dan membalikkan tubuh tiba-tiba ia berkelebat ke kiri dan lenyap entah ke mana. Jembatan itu telah ambrol dan tak mungkin mengikuti Beng An. Tak ada jalan lagi di situ. Dan begitu ia lenyap ke kiri maka anak-anak murid juga berkelebat dan lenyap ke tempat ini.
Beng An meneruskan perjalanannya dan tiga rintangan teiah dilewati, ia menarik napas lega. Tapi ketika Beng An melanjutkan perjalanannya mendadak di gunung keempat ia merandek melihat ratusan ekor buaya putih menghadang, mulut mereka terbuka lebar melihat Beng An. Kiranya jalan untuk menemui majikan Lembah Es masih sukar!
"Majulan!" suara bening nyaring terdengar di puncak gunung kelima, gadis baju merah itu nendadak muncul di sana. "Kau meneruskan langkahmu atau kembali pulang, Kim Beng An. Hayo kulihat bagaimana langkahmu!"
Beng An tertegun. Di lembah itu, dl depan gunung keempat ratusan buaya putih menghadang dengan buas. Mulut mereka terbuka lebar-lebar begitu melihat manusia masuk, beberapa di antaranya bahkan sudah merangkak dan maju. Beng An diancam! Dan ketika pemuda ini mengerutkan kening melihat buaya-buaya itu, tak mungkin ia melompati sekian ratus buaya dengan sekali lompatan saja maka di puncak gunung kelima muncul murid-murid Lembah Es yang cantik-cantik itu. Mereka telah menyusul dan berada di belakang gadis baju merah ini, lewat jalan lain.
"Hm, aku harus lewat sini? lnikah ujian keempat?" Beng An berpikir gemas. "Baik, apapun akan kuhadapi, nona-nona. Dan aku akan memperlihatkan kepada kalian bahwa rintangan ini bisa kuatasi!"
Beng An melolos ikat pinggangnya dan menjeletarkannya di udara. Menghadapi binatang-binatang itu ia tidak takut. Tapi maklum bahwa itu adalah piaraan penghuni lembah, betapapun ia tak boleh membunuh maka Beng An yang juga tidak melukai atau membunuh biruang salju tiba-tiba melompat dan tiga ekor buaya yang sudah merayap cepat menuju ke arahnya tiba-tiba dilompati dan sekali dia bergerak maka punggung seekor buaya sudah diinjak untuk akhirnya meloncat dan berlari cepat ke punggung buaya-buaya lain.
"Tar-tar!" Ikat pinggang atau sabuk pemuda ini menyambut mulut-mulut buaya yang akan menggigit. Beng An membuat buaya itu terlempar atau mendongak kepalanya ditampar ikat pinggang, maju dan bergerak lagi dan begitulah Beng An menuju puncak gunung keempat. Di lembah ini dia harus menghalau dulu ratusan buaya yang tiba-tiba bergerak, lari dan menyerbu pemuda itu sementara pemuda ini berlompat-lompatan dari punggung buaya yang satu ke punggung buaya yang lain. Kalau buaya itu membalik dan akan menggigit maka ikat pinggang itulah yang menghajar.
Beng An mengerahkan sinkangnya hingga setiap buaya terkatup mulutnya. Ikat pinggang di tangan pemuda itu membuat buaya yang kena tampar kesakitan. Mereka serasa retak rahangnya dan berlarianlah pemuda itu di atas punggung buaya-buaya lain. Dan karena setiap kali senjata di tangan menjeletar menghalau gigi-gigi tajam, juga ekor yang menyabet dari kiri kanan maka puluhan buaya sudah dilewati dan penghuni lembah yang menyaksikan itu mendecak dan terbelalak melihat kelihaian pemuda ini.
Beng An tidak melukai atau membunuh binatang-binatang itu kecuali membuatnya kesakitan dan kapok. Setiap buaya yang kena tampar pasti berjengit. Dan karena pemuda itu berpindah-pindah dari punggung buaya yang satu ke buaya yang lain dengan amat cepat, ginkang atau ilmu meringankan tubuhnya dipergunakan dengan amat baik maka seperempat jam kemudian Beng An sudah melampaui barisan buaya dan lebih dari separoh kelengar dan tak mampu membuka mulut mereka yang dihajar ikat pinggang.
Beng An tertawa bergelak dan buaya terakhir disabet lalu disendal, moncongnya kena pukul dan berjingkraklah buaya itu oleh sakit yang hebat. Lalu ketika dia berlari kencang tapi Beng An berjungkir balik mendarat di punggungnya, ikat pinggang menjeletar atau mencambuki kiri kanan tubuh binatang ini maka binatang itu lari cepat menuju puncak bukit keempat, menggeliat atau melenggak-lenggok mengikuti ayunan sabuk yang membuat tubuhnya kesakitan. Belok ke kiri kalau cambuk menjeletar di kiri dan belok ke kanan kalau cambuk menjeletar di kanan!
"Ha-ha, lihatlah!" Beng An berseru. "Rintangan inipun berhasil ku atasi, nona. Sekarang aku datang dan melewati rintangan keempat!"
Semua terkejut dan membelalakkan mata. Beng An mendaki gunung sambil menunggang buaya dan buaya yang tak berdaya itu benar-benar dipermainkan. Kebetulan dia adalah buaya paling besar dan tadi menyerang berkali-kali kepada Beng An, mundur dan menyerang lagi dan pemuda ini gemas dibuatnya. Maka ketika binatang itu dihajar paling belakangan dan kini dikemudikan dengan sabuk atau ikat pinggang menjeletar-jeletar, penghuni Lembah Es terbelalak kagum maka gadis baju merah terkejut karena Beng An membawa buaya itu ke rombongannya.
"Hei, berhenti! Jangan bawa binatang itu ke sini, bocah she Kim. la sedang mengamuk!"
"Ha-ha, mengamuk kepada siapa. la jinak dan tunduk kepadaku, nona. Lihat betapa ia mengikuti setiap aba-abaku.... tar-tarr!" Beng An nakal mengayun cambuknya, membuat buaya putih berjengit dan lari semakin kesetanan. Pemuda itu menambah sinkangnya hingga binatang itu lebih kesakitan. Dan ketika sebentar kemudian gunung keempat sudah dilewati untuk akhirnya menuju gunung kelima, anak murid atau penghuni Lembah Es menjerit maka berteriaklah mereka karena buaya itu menerjang dan akan mengamuk di depan mereka.
Tapi bayangan merah berkelebat. Dari atas gunung gadis baju merah itu mendahului yang lain-lain. la meluncur dan turun gunung seperti terbang. Dan ketika binatang itu hendak naik dan menjadi gila, gadis baju merah menjadi marah maka sebuah tamparan membuat binatang itu terlempar dan ketika Beng An berjungkir balik melepaskan diri maka tendangan gadis itu membuat si buaya putih mencelat dan jauh menimpa teman-temannya di sana, ratusan tombak.
"Desss!" Beng An melayang turun dan kagum. Buaya itu telah kembali ke asalnya dan menggelepar sejenak, menggeliat dan akhirnya berjalan dengan limbung, berhenti dan diam dengan mata meram melek. Rupanya dia pening atau mabok. Tamparan dan tendangan itu membuatnya seakan melayang-layang, entah berada di bumi atau tidak. Tapi ketika bentakan nyaring menyadarkan Beng An, dari atas gunung berkelebatan bayangan penghuni-penghuni lembah maka gadis baju merah itu telah berdiri di depan Beng An dengan tangan bertolak pinggang, wajah memerah dan terbakar.
"Kim Beng An, kau hebat tapi jangan sombong. Empat rintangan telah kau lalui. Tapi sekarang kau menghadapi aku sebagai rintangan nomor lima. Nah, bersiap dan jagalah seranganku!"
Beng An terkejut. Tanpa banyak kata lagi gadis itu tahu-tahu menyerangnya. Serangkum angin dingin menyambar. Dan ketika Beng An berkelit namun dikejar, berkelit dan dikejar lagi maka pemuda itu menangkis dan gadis baju merah itu terpental tapi berjungkir balik menyerang lagi dan sudah melancarkan sembilan pukulan berturut-turut yang semuanya hebat dan serba dingin.
"Plak-plak-plakk!"
Beng An tergetar dan terhuyung. Dari sembilan pukulan ini dua di antaranya mengenai tubuhnya, satu di pelipis dan satu di tengkuk. Dan ketika Beng An merasa meremang dan tubuh menggigil dingin, untung dia memiliki Ping-im-kang dan menerima hawa dingin itu untuk disatukan dengan sinkang dingin yang sudah dipunyainya maka selanjutnya ia merasa silau oleh bayangan merah yang berkelebatan menyambar-nyambar. Beng An tak dapat berpikir panjang lagi karena lawan menusuk dan menampar.
Dua jari itu bergerak silih berganti dengan lima jari yang lain, begitu cepat dan hebat hingga setiap ia menangkis tentu tergetar dan terhuyung-huyung. Khi-bal-sin-kang dipergunakan namun tak mempan. Dan ketika lengkingan dan jeritan mengiring tamparan-tamparan itu, salju yang dingin tiba-ttba membeku dan mengeras maka baju Beng An tak dapat lagi bertiup karena sudah keras bergemeratak seperti lempengan baja. Gadis itu mengeluarkan Bu-kek-kang tingkat tinggi!
"Bagus," Beng An tak mau berayal-ayal lagi. "Kau hebat dan mengagumkan, nona. Kalau aku tidak menandingimu tentu kau akan merendahkan aku..... plak-dukk!"
Beng An berputar dan menangkis dua serangan cepat. Dia mengerahkan Ping-im-kang dan Tenaga lnti Es ini beradu dengan Bu-kek-kang, memercikkan bunga api putih dan tempat itu seketika beku! Dan ketika sedetik gadis itu terhenti tak dapat bergerak, Beng An tergetar tapi tidak terhuyung maka Beng An membalasnya dan uap putih menyelimuti atau membungkus tubuh pemuda itu. Beng An membentak dan mengayun tangan kirinya. Dan ketika gadis itu dapat bergerak lagi namun kalah cepat maka pundaknya terpukul dan ia terpelanting.
"Dess!" Beng An telah membalas. Kini pemuda itu ganti berkelebatan dan gabungan Cui-sian Gin-kang dan Jing-sian-eng dipergunakan pemuda ini. Beng An tak mau berayal-ayalan lagi karena lawan mengelak dan berkelit. Dan karena gabungan dua ilmu meringankan tubuh itu amat cepat dan luar biasa, gadis baju merah ganti merasa silau maka tubuh Beng An sudah terselimuti uap putih di mana pemuda itu sudah menjadi manusia es yang melepas pukulan-pukulan beku jauh lebih dingin daripada Bu-kek-kang lawannya.
"Des-dess-aihhh...!" Gadis baju merah terkejut dan kelabakan. la harus mengelak sana-sini tapi bayangan dan gerakan Beng An jauh lebih cepat. Ia dipaksa mengikuti namun kalah juga. Dan ketika pukulan-pukulan Beng An mengenai tubuhnya empat lima kali, gadis itu terhuyung dan berjengit kesakitan maka Beng An girang karena lawan menjadi kaku tubuhnya oleh pengaruh Tenaga lnti Esnya (Ping-im-kang).
"Ha-ha, lihat. Kau tak dapat merobohkan aku, nona. Betapapun hebat ilmumu namun Ping-im-kangku lebih tinggi. Awas, aku menotokmu roboh!"
Gadis itu melotot. Beng An menggertak dengan totokan tangan kirinya namun jari kanan yang bekerja. Jalan darah di atas pundak kena. Tapi ketika jari Beng An mengenai daging yang lembut dan menggelincir maka totokannya gagal dan pemuda itu terkejut.
"Pi-khi-hu-hiat (Tutup Hawa Lindungi Jalan Darah)...!"
Beng An terbelalak namun gadis baju merah itu membentak mencabut pedang. la telah terdesak dan kena totok namun tidak roboh. Beng An benar bahwa ia telah melindungi dirinya dengan Pi-khi-hu-hiat, ilmu melindungi jalan darah itu. Tapi karena ia terdesak dan itu berarti kemenangan lawan, ia marah dan melengking maka sinar merah berkelebat ketika sebatang pedang tajam menyambar dan membacok Beng An.
"Trakk!" Beng An menangkis dan mempergunakan kuku jarinya. Ia terkejut oleh hu-hiat yang dipergunakan lawan namun segera sadar begitu sinar pedang merah menyambar. la mempergunakan kuku jarinya menangkis pedang itu. Dan ketika pedang terpental sementara gadis itu melengking dan kaget, pedang pusakanya ditolak kuku lawan maka Beng An yang diam-diam kagum tak tahu bahwa lawannya lebih kagum lagi. Ang-kong-kiam, Pedang Sinar Merah itu adalah pedang pusaka yang membacok batupun akan mudah dan tak memerlukan banyak tenaga.
Tapi begitu bertemu kuku Beng An dan jari pemuda itu tak apa-apa, jari itu sekeras baja dan putih terselimut es maka gadis yang terbelalak tapi kagum ini menjadi penasaran dan marah. Ia mainkan ilmu silat pedang di mana senjata di tangannya itu menusuk dan membacok. Pukulan-pukulan Bu-kek-kang ganti berpindah ke tangan kiri namun Ping-im-kang lawan terasa lebih hebat. Hawa dingin yang memancar dari depan bukan hanya dari tangan atau kaki melainkan seluruh tubuh Beng An.
Bahkan keringat pemuda itupun merupakan serangan benda-benda kecil yang tajam namun dingin, menyengat dan beberapa bajunya berlubang. Dan karena Bu-kek-kang terdesak oleh Ping-im-kang ini, ia baru menguasai ilmunya tujuh bagian sementara Beng An sempurna menguasai Ping-im-kangnya maka ketika keringat pemuda itu bercipratan menghantam muka dan tubuhnya maka gadis itu berdetak keras ketika pedangnyapun terpental oleh benturan keringat Beng An.
"Triikk!" Bunyi benturan itu nyaring dan kuat. Pedang terpental sementara keringat juga terpental, bukan ke mana-mana melainkan ke anak-anak murid yang menonton. Dan ketika satu di antara mereka menjerit dan roboh, pipinya bolong maka paniklah penghuni Lembah Es menyingkirkan temannya dan berlompatan menjauh.
"Minggir... awas, mundur semua!"
Beng An menyesal juga. Satu di antara penghuni ada yang luka, meskipun bukan oleh perbuatannya langsung melainkan oleh gerakan pedang yang menangkis keringatnya. Dan ketika gadis baju merah melengking dan gerakan pedang menjadi ganas, Beng An tak mau jatuh korban lagi maka ia berseru keras dan dengan tangan telanjang menangkap pedang itu, perbuatan yang berani.
"Nona, kita hentikan main-main ini. Kau tak dapat mengalahkan aku... bret!" dan pedang yang tertangkap lalu dicengkeram kuat tiba-tiba membuat gadis itu terkejut karena Ang-kong-kiam yang bersinar merah mendadak putih salju dipegang pemuda itu. Beng An mengerahkan Tenaga Inti Esnya hingga pedangpun beku dan berubah, uap es membungkus dan menggumpal di badan pedang. Lalu ketika pemuda itu berseru agar si nona melepaskan pedang, atau Ang-kong-kiam patah maka Beng An mendorong dan si nona terjengkang.
"Lepaskan, atau pedang ini patah!"
Gadis itu menjerit dan bergulingan. Pedang yang dicekal tiba-tiba sedingin es. Ia yang telah memiliki Bu-kek-kang masih juga menggigil beku. Dan ketika ia didorong dan otomatis melepaskan pedang, telapak tangannya tak kuat menahan lagi maka gadis itu mengeluh dan saat itu dari puncak gunung keenam terdengar seruan yang jernih namun menggetarkan,
"Yo-sumoi, mundurlah. Kau bukan tandingan Kim-kongcu ini. Biarkan ia naik ke sini dan tugas kami untuk mengujinya!"
Beng An menengok dan mengangkat mukanya. Dua orang berpakaian gemerlap indah dengan sanggul digelung tinggi tampak di gunung itu. Wajahnya samar-samar namun pakaiannya yang gemerlap memantulkan cahaya warna-warni. Beng An ter-kejut dan silau, ia kagum. Tapi ketika ia melepaskan pedang dan Ping-im-kang ditarik kembali, pedang telah bersinar kembali kemerahan maka ia menyerahkan pedang itu dan berseri.
"Yo-siocia (nona Yo), kau kiranya keturunan dari Pangeran Yo. Ah, pantas kau lihai. Entah siapa dua saudaramu di sana itu tapi maafkan bahwa aku akan ke sana. Terimalah pedangmu!" lalu berkelebat dan menuju gunung keenam, Beng An tak menghiraukan lawan yang menangis dan terisak maka kini seluruh gadis Lembah Es menyibak dan memberikan jalan.
Beng An telah melihat perobahan pada penghuni lembah ini, yakni panggilannya yang menjadi Kim-kongcu (tuan muda Kim), padahal sebelumnya ia dipanggil dan disebut bocah she Kim saja, sebutan tak bersahabat dan jelas kasar. Maka melihat dirinya ditunggu dan di puncak gunung keenam itu dua wanita bersanggul tinggi menantinya, Beng An berkelebat dan ber-jungkir balik dengan ilmu meringankan tubuhnya maka di sini ia sudah berhadapan dengan dua wanita itu yang kecantikannya cukup luar biasa. Jelita bagai seorang dewi tapi dingin dan beku seperti kutub!
"Hm!" begitu satu di antara dua wanita itu menyambut. "Kau telah melewati lima dari tujuh rintangan kami, Kim-kong-cu, sungguh hebat dan tinggi sekali kepandaianmu. Tapi kau memiliki ilmu yang mirip, sama-sama mengandalkan tenaga Im (Dingin). Apakah kau cucu murid atau orang sealiran dengan nenek moyang kami Kim Kong Sengjin?"
"Maaf," Beng An menjura dan menekan debaran jantungnya yang berguncang. "Apakah aku berhadapan dengan yang terhormat Puteri Es? Apakah aku sudah berhadapan dengan majikan Lembah?"
"Hm Ujlanmu belum habis. Begitu mudahkah kau kira menghadap tocu. Majikan kami tak sembarang dapat ditemui, Kim-kongcu, apalagi oleh seorang laki-laki.Kau telah beruntung dapat bertemu dengan kami yang menjadi wakil di sini. Baru kali inilah kami turun tangan menghadapi seorang pemuda liar!"
"Maaf " Beng An tertegun, wajah jelitá itu menyiratkan hawa marah tapi ditahan. "Aku bukan berhadapan dengan tocu, Aku masih berhadapan dengan wakil-wakilnya?"
"Tak usah banyak cakap. Kau telah bertemu dengan kami di sini, Kim-kongcu. Bersiaplah karena kami berdua akan menghadapimu secara berpasangan!"
Beng An terkejut. Baru saja wanita itu habis mengeluarkan kata-katanya sekonyong konyong leher wanita itu mengibas. Sepasang anting-anting di telinga kiri dan kanan mendadak menyambar, lepas dari lubang. telinga itu untuk menghantam dengan kecepatan kilat ke muka Beng An. Dan ketika Beng An mengelak namun wanita kedua bergerak dan mengibaskan rambutnya maka rambut itupun menjeletar dan menghantam dirinya.
"Aiihhh.. Beng An terkejut dan melompat menghindar. la melihat bahwa dua wanita penghuni Lembah Es ini ganas dan kejam. Dua-duanya sudah bergerak dengan amat cepat tanpa memberi tahu lagi. Dan ketika ia menghindar namun anting-anting itu mengikuti gerakannya, seolah benda hidup yang memiliki mata maka rambut juga meliuk dan menyambar kembali seperti seekor ular.
"Wut-tar-tar!"
Beng An menangkis dan tak mungkin mengelak lagi. la dikejar dan jalan satu-satunya harus berhadapan, lawan-lawannya itu ganas dan memiliki gerakan luar biasa cepat. Dan ketika ia tergetar namun lawan tidak terhuyung, untuk pertama kalinya Beng An beradu dengan lengan halus namun kuat berisi tenaga sinkang maka selanjutnya dua wanita itu sudah berkelebatan dan Beng An dikurung pukulan-pukulan cepat berhawa dingin.
"Plak-plak!" Dua wanita itu terbelalak. Beng An berhasil menangkis dengan tepat sementara pemuda itupun sudah bergerak dengan cepat mengimbangi mereka. Jing-siang-eng dan Cui-sian Gin-kang dikerahkan pemuda ini untuk menghadapi lawan. Wanita bersanggul tinggi memiliki kepandaian hebat, masih lebih tinggi daripáda gadis baju merah dan karena mereka bergerak berbareng maka Beng An kewalahan.
Apa boleh buat ia berseru keras mengerahkan Ping-im-kangnya. Hanya dengan ilmu itu Ia mampu menghadapi penghuni-penghuni Lembah Es. Ilmu-ilmu seperti Khi-bal-sin-kang dan Pek-lui-cian tak mampu, beku oleh Bu-kek-kang yang dipunyai orang-orang Lembah Es ini.
Maka tak mau menjadi korban dan dua wanita itu sudah bergerak lebih cepat, melengking dan ganti-berganti melepas pukulan maka Beng An akhirnya melihat sepasang anting-anting itu sudah melekat lagi di lubang telinga tuannya dan sebagai gantinya wanita itu menggerakkan sepasang lengannya dengan pukulan-pukulan Bu-kek-kang.
"Wiirrr-desss...!"
Beng An tergetar dan terhuyung. la sibuk menangkis wanita pertama sementara wanita kedua sudah menyusul dan mengikuti serangan temannya. Dua pasang lengan mereka mendesak sepasang lengan Beng An dan hanya jarena penguasaan Ping-im-kang yang sudah mendarah daging maka Beng An berhasil menangkis. Tapi karena ia tak mampu membalas dan dua wanita itu mendesak dan melengking-lengking penasaran bahwa pemuda itu hanya tergetar dan terhuyung saja maka mereka berseru satu sama lain dan tiba-tiba gerakan mereka ini berobah.
Hawa dingin menyambar kian hebat tapi pukulan mereka berjalan kian lambat. kian lama kian perlahan tapi dari angin pukulan itu Beng An merasa kian terhimpit. Lawan memojokkannya dengan pukul-pukulan berat. Dan ketika apa boleh buat iapun harus menambah sinkangnya dan Beng An membentak kuat maka seluruh kekuatan Ping-im-kang dikerahkan dan tubuh pemuda ini sudah terbungkus bungkahan es sehingga menjadi manusia salju.
"Des-desss....!" Dua wanita itu gemeratak dan terbelalak. Mereka sekarang tergetar dan terdorong mundur, tidak banyak melainkan hanya setengah langkah saja. Tapi karena ini berarti pukulan mereka tertahan, pemuda itu masih kuat melindungi diri maka keduanya berseru nyaring dan membentak.
"Keluarkan Siang-lun-jong-san (Sepasang Roda Menembus Bukit)...!"
Beng An terkejut dan berubah. Dari dua lengan wanita itu mendadak menyambar gulungan cahaya putih, lambat melaju dan dua wanita itupun tiba-tiba berlompatan ke muka dan belakang. Dan ketika ia dihimpit dan diserang dari dua arah, muka belakang maka dua gulungan putih yang mirip roda berjalan itu menghantam dan tak dapat dielakkannya. Udara seketika beku dan Beng An yang sudah mengerahkan Ping-im-kang merasa diterobos atau ditembus oleh pukulan dua wanita ini.
"Dess!" Sekali saja pukulan ini mengenai Beng An. Tapi karena masing-masing pukulan meluncur dari muka dan belakang, menghantam dada dan punggung maka Beng An seakan dibor dari dua arah dan Siang-lun-jong-san yang amat hebat itu menggetarkan jantungnya! Cepat Beng An memejamkan mata dan ketika ia mengempos semangat maka isi dada dilindungi.
si Gadis baju merah itu mengerutkan kening. Beng An tertawa gembira dan sikap pemuda ini membuatnya panas. Pemuda itu menerima tantangan seperti orang main-main saja. Tapi karena ia sudah melihat kepandaian pemuda itu dan pandang mata Beng An kepadanya membuatnya jengah, Beng An tak menyembunyikan kekagumannya kepada wajah cantik itu maka gadis ini membentak, malu tapi juga marah,
"Kau tak usah sombong. Kau belum menghadapi itu. Rintangan itu ada di depan sana dan apa itu boleh kau lihat sendiri, tak dapat kuberitahukan di sini. Kalau kau ingin tahu maka ujian berarti gagal. Orang yang berani tak usah bertanya!"
"Baik, ha-ha, Tak apa, nona. Aku Kim Beng An akan menghadapinya seperti orang buta. Nah, kalau begitu kapan kumulai?"
"Sekarang, silakan naik bukit itu dan lampaui tujuh rintangan kami sampai berhasil. Atau kau mampus dan kami tak dapat memberi tahu ayah ibumu!"
Beng An tertawa bergelak. Melihat gadis baju merah ini tiba-tiba kegembiraan dan kekagumannya meningkat. la mengagumi wajah jelita itu namun tidak sampai tergila-gila. Sebagai pemuda biasa tentu saja ia mengagumi dan suka memandang seorang gadis cantik, apalagi yang luar biasa seperti gadis baju merah ini. Namun karena dia hanya kagum dan tidak lebih, sikap tinggi hati dan congkak itu membuatnya tak senang juga maka ditantang untuk menghadapi bahaya ia malah gembira. Dan bahaya itu tak disebutkan apa, Beng An tidak takut malah tertarik.
"Boleh, Siapa gentar?" Maka begitu semua menyibak dan gadis baju merah itu mempersilakan, dengan dingin mengangkat tangan untuk memberi jalan Beng An maka tak ragu-ragu lagi pemuda itu berkelebat dan naik ke gunung atau bukit di depan itu. Di situlah tadi Hwa Seng lenyap dibawa teman-temannya, Dan ketika Beng An lewat didepan gadis baju merah ini maka bau harum menyambar hidungnya, bau yang membuat si pemuda malah bangkit semangatnya.
"Nona, aku tak akan mendesak tentang apa tujuh rintangan itu, tapi akan menghadapi dan mengatasinya langsung. Terima kasih dan numpang lewat!"
Gadis baju merah mendengus. Beng An lewat di depannya tak takut diserang atau dihalangi. Pemuda itu begitu yakin akan kepandaian sendiri. Siapa yang menghalang rupanya akan diterjang. Dan begitu pemuda itu berkelebat dan tahu-tahu sudah di atas bukit maka siapapun mendecak karena seperti iblis saja pemuda itu sudah lenyap dan di kejauhan sana, meluncur dan turun dan akhirnya menghilang di bawah.
Gerakan ini hanya dua tiga detik saja dan siapapun terkejut. Beng An mengeluarkan dua ilmunya meringankan tubuh Jing-sian-eng dan Cui-sian Gin-kang, menggabungnya sekaligus dan itu membuat si pemuda berkelebat secepat cahaya, lenyap dan menurun bukit dan tiba-tiba semua penghuni Lembah berteriak menyusulnya. Mereka lari dahulu-mendahului menuju puncak bukit. Gadis baju merah sendiri sudah lenyap dan menyusul Beng An, dia paling dulu di depan. Dan ketika Beng An tampak di atas meluncur di padang es beku secepat siluman, naik turun di antara gunduk-gunduk salju dengan amat mengagumkan maka semua penghuni akhirnya melihat dan seratus pasang mata mendecak penuh kagum.
Beng An sendiri tahu pandang mata itu tapi tak mau menengok. la melihat gunduk-gunduk salju di padang es itu, mula-mula mengira sebagai gunduk-gunduk biasa tapi mendadak kakinya terjeblos. Sekejap saja kejadian itu namun Beng An terkejut. Ujung kakinya terasa tersedot ke bawah namun dengan cepat ia tarik ke atas. Dan ketika ia menginjak gunduk-gunduk salju yang lain dan semua menjeblos ke bawah tahulah dia bahwa gunduk-gunduk itu sebenarnya perangkap di mana kalau tidak hati-hati orang akan terpelanting dan masuk ke lubang es beku!
Di situ kiranya bertaburan lubang-lubang neraka yang tertutup oleh lapisan es ini, dari jauh seperti gunduk tanah biasa tapi sebenarnya tanah kosong yang atasnya tertutup es beku. Es ini menutup ringan dan sekali terinjak bakal amblong. Inilah bahaya pertama! Maka tertawa dan menyadari bahaya ini, Beng An mengempos semangat menarik tenaga maka tiba-tiba ia mengerahkan semua ilmu meringankan tubuhnya hingga tubuhnya tak berbobot lagi menginjak gunduk-gunduk salju itu, terbang dan meluncur seringan kapas dan seratus gunduk putih yang diinjak sama sekali tak amblong. Jangankan amblong, bergetar sedikit saja tidak.
Dan ketika gadis baju merah mendecak dan memuji kagum, itulah rintangan pertama yang harus dilalui Beng An maka pemuda baju putih itu melakukan sesuatu melepas kegemasannya. Beng An gemas karena tak tahu jebakan itu. Untung, berkat kepandaiannya yang tinggi tak sampai celaka. Maka melepas gemas dan tahu bahwa seratus pasang mata memandangnya dari puncak bukit, Beng An membalik dan lari mundur ia melambaikan tangannya kepada gadis baju merah dan gadis-gadis penghuni Lembah Es,
"Hooiiii... ini kiranya tintangan pertama. Lihat aku menginjak lubang-lubang perangkapmu tanpa gentar!"
Semua terkejut. Beng An membalik dan lari cepat tanpa menengok belakang, larinya mundur. Dan karena ia lari dengan cara seperti itu, melambaikan tangan dan cepat melebihi angin maka siapapun sampai melompat berdiri dan terbelalak mengeluarkan suara tertahan. Dua kali Beng An lari seperti itu untuk akhirnya membalik lagi, lari membelakangi penghuni Lembah Es. Dan ketika ia lenyap melewati seratus jebakan, yang terakhir diinjak keras untuk akhirnya berjungkir balik melambung tinggi maka Beng An telah meninggalkan padang es itu untuk menuju ke bukit atau gunung kedua.
Di sini ia berlaku lebih hati-hati sementara anak murid mengejar dan menyusulnya. Mereka berteriak kagum melihat pemuda itu mampu melewati bukit pertama dengan mudah. Hanya penghuni Lembah Es saja yang tahu jebakan itu. Maka ketika mereka bergerak dan gadis baju merah juga menyusul dan berkelebat, Beng An menaiki gunung kedua maka pemuda itu melihat sebuah jalan lurus menuju hutan cemara putih dimana hutan itu menyambung sebuah bukit lain melalui sebuah jembatan sempit.
"Hm, apa yang akan kuhadapi di sana? Jebakan apalagi?" Beng An berpikir dan kini sudah menurun bukit ini. Akhirnya dia melihat bahwa ada tujuh bukit yang sambung-menyambung, di antara mereka terdapat lembah atau sungai-sungai beku. Tapi tak takut semuanya itu dan dia terus meluncur turun maka Beng An tiba di hutan cemara yang akan menyambung jembatan kecil itu.
Beng An tidak melihat siapapun. Seperti penghuninya yang beku dan dingin maka hutan cemara inipun tak menampakkan suasana bersahabat. Karena begitu tiba di tempat ini tiba-tiba Beng An berhadapan dengan seekor biruang salju yang mendadak menggereng dan berada di depannya. Beng An kaget karena binatang itu tadinya disangka pohon cemara pendek yang berada di mulut hutan, karena binatang itu berdiri dan kedua kaki depannya yang diangkat mirip cabang-cabang pohon bersalju tebal.
"Grrr!..." Beng An hampir saja melewati binatang ini. Dia sudah berada dekat dan baru terkejut ketika binatang itu bergerak, kedua kaki depannya itu menerkam dan kalau tidak cepat dia berkelit tentu kuku-kuku binatang itu sudah menancap di kulit dagingnya. Tapi begitu dia terkejut dan otomatis mengelak, berhenti dan membiarkan tangan binatang itu lewat di atas telinganya mendadak binatang ini menekuk siku dan bagian itulah yang mengetuk belakang kepalanya.
"Hai.. bret!" Beng An kaget dan tercakar baju lehernya. la tak menyangka binatang ini memiliki gerakan seorang ahli silat tapi melihat binatang itu tiba-tiba kegembiraannya bangkit. Di Sam-liong-to (Pulau Tiga Naga), tempat tinggal encinya Soat Eng dulu ada sepasang biruang hitam yang dipelihara baik-baik. Sayang, karena banyak orang jahat berdatangan akhirnya binatang itu tewas.
Kini melihat bahwa di Lembah Es ini ada seekor biruang salju yang tinggi besar, bobotnya tak kurang dari tujuh kuintal maka Beng An gembira teringat binatang di Sam-liong-to itu. Dia melihat binatang ini mampu bergerak seperti gaya seorang ahli silat, meskipun kaku dan lamban. Maka ketika leher bajunya robek dan dia tak menyangka binátang ini menguasai cara bersilat, dia menjejakkan kaki meloncat jauh maka binatang itu menggereng dan seperti Sudah diduganya dia mengejar dan langkah kaki binatang itu berdetak ketika menginjak tanah salju dengan suara berat.
"Ha-ha, ini kiranya ujian kedua!" Beng An tertawa, tidak mengelak dan kali ini justeru menyambut terkaman binatang itu.
Bayangan merah dan penghuni Lembah Es berkelebatan, Beng An melihat gadis-gadis itu. Dan maklum bahwa dia harus menunjukka kepandaian, ia memang sedang diuji maka begitu kuku-kuku biruang itu menyambarnya iapun cepat menangkap dan begitu mengerahkan sinkang maka sepuluh jari tangan binatang itu dicengkeramnya, ditekuk dan ketika binatang itu menguik Beng An pun sudah menggerakkan kaki menendang. Cengkeraman dan tekukan jarinya tadi membuat binatang itu kesakitan, terkejut. Maka begitu ditendang dan binatang itu menjerit iapun terlempar dan berdebuk terguling-guling di salju.
Tapi Beng An tidak berhenti sampai disini. la tidak membiarkan binátang itu bangun berdiri karena dengan cepat Ia pun berkelebat mengejar. Biruang salju itu berdebuk dengan keras dan ketika ia masih nanar tahu-tahu Beng An membungkuk dan menyambar tubuhnya. Dua lengan pemuda ini menggelembung ketika mengangkat tubuh binatang itu. Beng An mencengkeram rambut di leher dan pantatnya. Lalu sekali berseru keras iapun telah melempar binatang ini ke arah gadis baju merah dan penghuni Lembah Es.
"Ha-ha, terimalah! Aku tak suka diganggu binatang ini...blukk!" binatang itu jatuh dengan amat kerasnya di hadapan penghuni Lembah Es. Beng An telah mengangkat dan melempar biruang, seberat tujuh kuintal ini dan perbuatan itu disambut pekik kaget para penghuni.
Mereka tak menyangka bahwa pemuda sekecil itu mampu mengangkat dan melempar seekor biruang jantan yang amat berat. Berhadapan dengan biruang itu tubuh Beng An memang tiba-tiba kelihatan kecil, binatang raksasa itu memang jauh lebih besar dan berat. Tapi begitu berdebuk dan mereka sadar, Beng An membalik dan berkelebat meneruskan perjalanannya maka penghuni Lembah Es tiba-tiba bersorak dan kagum. Namun gadis baju merah membentak.
"Diam jangan memuji musuh!" lalu berkelebat menghampiri biruang itu, mengurut dan menepuk punggungnya gadis baju merah ini sudah mendorong bangun binatang itu. Tidak sanggup mengangkat apalagi melemparnya karena biruang jantan ini memang betul-betul berat. Tapi ketika dia menendang dan binatang itu terhuyung maka gadis baju merah sudah bergerak dan menyusul Beng An lagi.
"Bocah she Kim, kau telah lulus menghadapi dua ujian pertama. Tapi masih ada lima yang lain dan jangan bersombong!"
"Ha-ha," Beng An tertawa, menoleh. "Akan kuhadapi semua itu, nona. Kalau berhasil adalah kebanggaan bagiku. Siapa tidak bangga bertemu tocu Lembah Es, apalagi kalau aku sebagai laki-laki pertama!"
Gadis baju merah mendesis dan marah. la memang mengiringi pemuda ini untuk melihat apakah Beng An berhasil melewati tujuh rintangan. Kalau gagal tentu saja ia akan mengejeknya. Belum pernah ada lelaki berhasi melewati rintangan itu bahkan tokoh Pulau Api sekalipun. Maka ketika dia mengikuti Beng An sementara Beng An meluncur dan telah melewati jembatan sempit mendadak terdengar suara ledakan dan jembatan itu hancur. Kayu kayunya ternyata rapuh dan tak dapat dimuati biar oleh seorang pemuda seperti Beng An pun.
"Hik-hik, tahu rasa kau!" gadis baju merah terkekeh, tiba-tiba meledak tawanya. "Rasakan kau, bocah sombong. Mampuslah di dasar jurang!"
Ternyata jembatan itu adalah ujian nomor tiga. Beng An tak menyangka sama sekali bahwa jembatan gantung yang menghubungkan gunung kedua dengan gunung ketiga ini begitu rapuh. Baru tersentuh sedikit kakinya saja sudah ambrol! Tapi ketika gadis baju merah terkekeh dan baru kali itu terdengar suara tawanya yang merdu dan penuh kegembiraan menyangka Beng An terjeblos ke dasar jurang ternyata Beng An berjungkir balik dan menyambar potongan papan pemuda melempar potongan ini untuk akhirnya menangkap dan bergantungan di bibir jurang. Lalu ketika gadis itu terbelalak dan berhenti tertawa, Beng An telah mengatur tenaganya maka.... "hup", pemuda it meloncat dan tiba di seberang sana, tertawa, mengibas-ngibas bajunya.
"Ha-ha, kau tergesa-gesa mentertawakan aku, nona. Lihat aku selamat dan tak apa-apa!"
Gadis baju merah itu semburat. la benar-benar terkejut karena Beng An berhasil keluar lagi, selamat dan sudah tiba di seberang dan kini balik mentertawakannya. Maka mendengus dan membalikkan tubuh tiba-tiba ia berkelebat ke kiri dan lenyap entah ke mana. Jembatan itu telah ambrol dan tak mungkin mengikuti Beng An. Tak ada jalan lagi di situ. Dan begitu ia lenyap ke kiri maka anak-anak murid juga berkelebat dan lenyap ke tempat ini.
Beng An meneruskan perjalanannya dan tiga rintangan teiah dilewati, ia menarik napas lega. Tapi ketika Beng An melanjutkan perjalanannya mendadak di gunung keempat ia merandek melihat ratusan ekor buaya putih menghadang, mulut mereka terbuka lebar melihat Beng An. Kiranya jalan untuk menemui majikan Lembah Es masih sukar!
"Majulan!" suara bening nyaring terdengar di puncak gunung kelima, gadis baju merah itu nendadak muncul di sana. "Kau meneruskan langkahmu atau kembali pulang, Kim Beng An. Hayo kulihat bagaimana langkahmu!"
Beng An tertegun. Di lembah itu, dl depan gunung keempat ratusan buaya putih menghadang dengan buas. Mulut mereka terbuka lebar-lebar begitu melihat manusia masuk, beberapa di antaranya bahkan sudah merangkak dan maju. Beng An diancam! Dan ketika pemuda ini mengerutkan kening melihat buaya-buaya itu, tak mungkin ia melompati sekian ratus buaya dengan sekali lompatan saja maka di puncak gunung kelima muncul murid-murid Lembah Es yang cantik-cantik itu. Mereka telah menyusul dan berada di belakang gadis baju merah ini, lewat jalan lain.
"Hm, aku harus lewat sini? lnikah ujian keempat?" Beng An berpikir gemas. "Baik, apapun akan kuhadapi, nona-nona. Dan aku akan memperlihatkan kepada kalian bahwa rintangan ini bisa kuatasi!"
Beng An melolos ikat pinggangnya dan menjeletarkannya di udara. Menghadapi binatang-binatang itu ia tidak takut. Tapi maklum bahwa itu adalah piaraan penghuni lembah, betapapun ia tak boleh membunuh maka Beng An yang juga tidak melukai atau membunuh biruang salju tiba-tiba melompat dan tiga ekor buaya yang sudah merayap cepat menuju ke arahnya tiba-tiba dilompati dan sekali dia bergerak maka punggung seekor buaya sudah diinjak untuk akhirnya meloncat dan berlari cepat ke punggung buaya-buaya lain.
"Tar-tar!" Ikat pinggang atau sabuk pemuda ini menyambut mulut-mulut buaya yang akan menggigit. Beng An membuat buaya itu terlempar atau mendongak kepalanya ditampar ikat pinggang, maju dan bergerak lagi dan begitulah Beng An menuju puncak gunung keempat. Di lembah ini dia harus menghalau dulu ratusan buaya yang tiba-tiba bergerak, lari dan menyerbu pemuda itu sementara pemuda ini berlompat-lompatan dari punggung buaya yang satu ke punggung buaya yang lain. Kalau buaya itu membalik dan akan menggigit maka ikat pinggang itulah yang menghajar.
Beng An mengerahkan sinkangnya hingga setiap buaya terkatup mulutnya. Ikat pinggang di tangan pemuda itu membuat buaya yang kena tampar kesakitan. Mereka serasa retak rahangnya dan berlarianlah pemuda itu di atas punggung buaya-buaya lain. Dan karena setiap kali senjata di tangan menjeletar menghalau gigi-gigi tajam, juga ekor yang menyabet dari kiri kanan maka puluhan buaya sudah dilewati dan penghuni lembah yang menyaksikan itu mendecak dan terbelalak melihat kelihaian pemuda ini.
Beng An tidak melukai atau membunuh binatang-binatang itu kecuali membuatnya kesakitan dan kapok. Setiap buaya yang kena tampar pasti berjengit. Dan karena pemuda itu berpindah-pindah dari punggung buaya yang satu ke buaya yang lain dengan amat cepat, ginkang atau ilmu meringankan tubuhnya dipergunakan dengan amat baik maka seperempat jam kemudian Beng An sudah melampaui barisan buaya dan lebih dari separoh kelengar dan tak mampu membuka mulut mereka yang dihajar ikat pinggang.
Beng An tertawa bergelak dan buaya terakhir disabet lalu disendal, moncongnya kena pukul dan berjingkraklah buaya itu oleh sakit yang hebat. Lalu ketika dia berlari kencang tapi Beng An berjungkir balik mendarat di punggungnya, ikat pinggang menjeletar atau mencambuki kiri kanan tubuh binatang ini maka binatang itu lari cepat menuju puncak bukit keempat, menggeliat atau melenggak-lenggok mengikuti ayunan sabuk yang membuat tubuhnya kesakitan. Belok ke kiri kalau cambuk menjeletar di kiri dan belok ke kanan kalau cambuk menjeletar di kanan!
"Ha-ha, lihatlah!" Beng An berseru. "Rintangan inipun berhasil ku atasi, nona. Sekarang aku datang dan melewati rintangan keempat!"
Semua terkejut dan membelalakkan mata. Beng An mendaki gunung sambil menunggang buaya dan buaya yang tak berdaya itu benar-benar dipermainkan. Kebetulan dia adalah buaya paling besar dan tadi menyerang berkali-kali kepada Beng An, mundur dan menyerang lagi dan pemuda ini gemas dibuatnya. Maka ketika binatang itu dihajar paling belakangan dan kini dikemudikan dengan sabuk atau ikat pinggang menjeletar-jeletar, penghuni Lembah Es terbelalak kagum maka gadis baju merah terkejut karena Beng An membawa buaya itu ke rombongannya.
"Hei, berhenti! Jangan bawa binatang itu ke sini, bocah she Kim. la sedang mengamuk!"
"Ha-ha, mengamuk kepada siapa. la jinak dan tunduk kepadaku, nona. Lihat betapa ia mengikuti setiap aba-abaku.... tar-tarr!" Beng An nakal mengayun cambuknya, membuat buaya putih berjengit dan lari semakin kesetanan. Pemuda itu menambah sinkangnya hingga binatang itu lebih kesakitan. Dan ketika sebentar kemudian gunung keempat sudah dilewati untuk akhirnya menuju gunung kelima, anak murid atau penghuni Lembah Es menjerit maka berteriaklah mereka karena buaya itu menerjang dan akan mengamuk di depan mereka.
Tapi bayangan merah berkelebat. Dari atas gunung gadis baju merah itu mendahului yang lain-lain. la meluncur dan turun gunung seperti terbang. Dan ketika binatang itu hendak naik dan menjadi gila, gadis baju merah menjadi marah maka sebuah tamparan membuat binatang itu terlempar dan ketika Beng An berjungkir balik melepaskan diri maka tendangan gadis itu membuat si buaya putih mencelat dan jauh menimpa teman-temannya di sana, ratusan tombak.
"Desss!" Beng An melayang turun dan kagum. Buaya itu telah kembali ke asalnya dan menggelepar sejenak, menggeliat dan akhirnya berjalan dengan limbung, berhenti dan diam dengan mata meram melek. Rupanya dia pening atau mabok. Tamparan dan tendangan itu membuatnya seakan melayang-layang, entah berada di bumi atau tidak. Tapi ketika bentakan nyaring menyadarkan Beng An, dari atas gunung berkelebatan bayangan penghuni-penghuni lembah maka gadis baju merah itu telah berdiri di depan Beng An dengan tangan bertolak pinggang, wajah memerah dan terbakar.
"Kim Beng An, kau hebat tapi jangan sombong. Empat rintangan telah kau lalui. Tapi sekarang kau menghadapi aku sebagai rintangan nomor lima. Nah, bersiap dan jagalah seranganku!"
Beng An terkejut. Tanpa banyak kata lagi gadis itu tahu-tahu menyerangnya. Serangkum angin dingin menyambar. Dan ketika Beng An berkelit namun dikejar, berkelit dan dikejar lagi maka pemuda itu menangkis dan gadis baju merah itu terpental tapi berjungkir balik menyerang lagi dan sudah melancarkan sembilan pukulan berturut-turut yang semuanya hebat dan serba dingin.
"Plak-plak-plakk!"
Beng An tergetar dan terhuyung. Dari sembilan pukulan ini dua di antaranya mengenai tubuhnya, satu di pelipis dan satu di tengkuk. Dan ketika Beng An merasa meremang dan tubuh menggigil dingin, untung dia memiliki Ping-im-kang dan menerima hawa dingin itu untuk disatukan dengan sinkang dingin yang sudah dipunyainya maka selanjutnya ia merasa silau oleh bayangan merah yang berkelebatan menyambar-nyambar. Beng An tak dapat berpikir panjang lagi karena lawan menusuk dan menampar.
Dua jari itu bergerak silih berganti dengan lima jari yang lain, begitu cepat dan hebat hingga setiap ia menangkis tentu tergetar dan terhuyung-huyung. Khi-bal-sin-kang dipergunakan namun tak mempan. Dan ketika lengkingan dan jeritan mengiring tamparan-tamparan itu, salju yang dingin tiba-ttba membeku dan mengeras maka baju Beng An tak dapat lagi bertiup karena sudah keras bergemeratak seperti lempengan baja. Gadis itu mengeluarkan Bu-kek-kang tingkat tinggi!
"Bagus," Beng An tak mau berayal-ayal lagi. "Kau hebat dan mengagumkan, nona. Kalau aku tidak menandingimu tentu kau akan merendahkan aku..... plak-dukk!"
Beng An berputar dan menangkis dua serangan cepat. Dia mengerahkan Ping-im-kang dan Tenaga lnti Es ini beradu dengan Bu-kek-kang, memercikkan bunga api putih dan tempat itu seketika beku! Dan ketika sedetik gadis itu terhenti tak dapat bergerak, Beng An tergetar tapi tidak terhuyung maka Beng An membalasnya dan uap putih menyelimuti atau membungkus tubuh pemuda itu. Beng An membentak dan mengayun tangan kirinya. Dan ketika gadis itu dapat bergerak lagi namun kalah cepat maka pundaknya terpukul dan ia terpelanting.
"Dess!" Beng An telah membalas. Kini pemuda itu ganti berkelebatan dan gabungan Cui-sian Gin-kang dan Jing-sian-eng dipergunakan pemuda ini. Beng An tak mau berayal-ayalan lagi karena lawan mengelak dan berkelit. Dan karena gabungan dua ilmu meringankan tubuh itu amat cepat dan luar biasa, gadis baju merah ganti merasa silau maka tubuh Beng An sudah terselimuti uap putih di mana pemuda itu sudah menjadi manusia es yang melepas pukulan-pukulan beku jauh lebih dingin daripada Bu-kek-kang lawannya.
"Des-dess-aihhh...!" Gadis baju merah terkejut dan kelabakan. la harus mengelak sana-sini tapi bayangan dan gerakan Beng An jauh lebih cepat. Ia dipaksa mengikuti namun kalah juga. Dan ketika pukulan-pukulan Beng An mengenai tubuhnya empat lima kali, gadis itu terhuyung dan berjengit kesakitan maka Beng An girang karena lawan menjadi kaku tubuhnya oleh pengaruh Tenaga lnti Esnya (Ping-im-kang).
"Ha-ha, lihat. Kau tak dapat merobohkan aku, nona. Betapapun hebat ilmumu namun Ping-im-kangku lebih tinggi. Awas, aku menotokmu roboh!"
Gadis itu melotot. Beng An menggertak dengan totokan tangan kirinya namun jari kanan yang bekerja. Jalan darah di atas pundak kena. Tapi ketika jari Beng An mengenai daging yang lembut dan menggelincir maka totokannya gagal dan pemuda itu terkejut.
"Pi-khi-hu-hiat (Tutup Hawa Lindungi Jalan Darah)...!"
Beng An terbelalak namun gadis baju merah itu membentak mencabut pedang. la telah terdesak dan kena totok namun tidak roboh. Beng An benar bahwa ia telah melindungi dirinya dengan Pi-khi-hu-hiat, ilmu melindungi jalan darah itu. Tapi karena ia terdesak dan itu berarti kemenangan lawan, ia marah dan melengking maka sinar merah berkelebat ketika sebatang pedang tajam menyambar dan membacok Beng An.
"Trakk!" Beng An menangkis dan mempergunakan kuku jarinya. Ia terkejut oleh hu-hiat yang dipergunakan lawan namun segera sadar begitu sinar pedang merah menyambar. la mempergunakan kuku jarinya menangkis pedang itu. Dan ketika pedang terpental sementara gadis itu melengking dan kaget, pedang pusakanya ditolak kuku lawan maka Beng An yang diam-diam kagum tak tahu bahwa lawannya lebih kagum lagi. Ang-kong-kiam, Pedang Sinar Merah itu adalah pedang pusaka yang membacok batupun akan mudah dan tak memerlukan banyak tenaga.
Tapi begitu bertemu kuku Beng An dan jari pemuda itu tak apa-apa, jari itu sekeras baja dan putih terselimut es maka gadis yang terbelalak tapi kagum ini menjadi penasaran dan marah. Ia mainkan ilmu silat pedang di mana senjata di tangannya itu menusuk dan membacok. Pukulan-pukulan Bu-kek-kang ganti berpindah ke tangan kiri namun Ping-im-kang lawan terasa lebih hebat. Hawa dingin yang memancar dari depan bukan hanya dari tangan atau kaki melainkan seluruh tubuh Beng An.
Bahkan keringat pemuda itupun merupakan serangan benda-benda kecil yang tajam namun dingin, menyengat dan beberapa bajunya berlubang. Dan karena Bu-kek-kang terdesak oleh Ping-im-kang ini, ia baru menguasai ilmunya tujuh bagian sementara Beng An sempurna menguasai Ping-im-kangnya maka ketika keringat pemuda itu bercipratan menghantam muka dan tubuhnya maka gadis itu berdetak keras ketika pedangnyapun terpental oleh benturan keringat Beng An.
"Triikk!" Bunyi benturan itu nyaring dan kuat. Pedang terpental sementara keringat juga terpental, bukan ke mana-mana melainkan ke anak-anak murid yang menonton. Dan ketika satu di antara mereka menjerit dan roboh, pipinya bolong maka paniklah penghuni Lembah Es menyingkirkan temannya dan berlompatan menjauh.
"Minggir... awas, mundur semua!"
Beng An menyesal juga. Satu di antara penghuni ada yang luka, meskipun bukan oleh perbuatannya langsung melainkan oleh gerakan pedang yang menangkis keringatnya. Dan ketika gadis baju merah melengking dan gerakan pedang menjadi ganas, Beng An tak mau jatuh korban lagi maka ia berseru keras dan dengan tangan telanjang menangkap pedang itu, perbuatan yang berani.
"Nona, kita hentikan main-main ini. Kau tak dapat mengalahkan aku... bret!" dan pedang yang tertangkap lalu dicengkeram kuat tiba-tiba membuat gadis itu terkejut karena Ang-kong-kiam yang bersinar merah mendadak putih salju dipegang pemuda itu. Beng An mengerahkan Tenaga Inti Esnya hingga pedangpun beku dan berubah, uap es membungkus dan menggumpal di badan pedang. Lalu ketika pemuda itu berseru agar si nona melepaskan pedang, atau Ang-kong-kiam patah maka Beng An mendorong dan si nona terjengkang.
"Lepaskan, atau pedang ini patah!"
Gadis itu menjerit dan bergulingan. Pedang yang dicekal tiba-tiba sedingin es. Ia yang telah memiliki Bu-kek-kang masih juga menggigil beku. Dan ketika ia didorong dan otomatis melepaskan pedang, telapak tangannya tak kuat menahan lagi maka gadis itu mengeluh dan saat itu dari puncak gunung keenam terdengar seruan yang jernih namun menggetarkan,
"Yo-sumoi, mundurlah. Kau bukan tandingan Kim-kongcu ini. Biarkan ia naik ke sini dan tugas kami untuk mengujinya!"
Beng An menengok dan mengangkat mukanya. Dua orang berpakaian gemerlap indah dengan sanggul digelung tinggi tampak di gunung itu. Wajahnya samar-samar namun pakaiannya yang gemerlap memantulkan cahaya warna-warni. Beng An ter-kejut dan silau, ia kagum. Tapi ketika ia melepaskan pedang dan Ping-im-kang ditarik kembali, pedang telah bersinar kembali kemerahan maka ia menyerahkan pedang itu dan berseri.
"Yo-siocia (nona Yo), kau kiranya keturunan dari Pangeran Yo. Ah, pantas kau lihai. Entah siapa dua saudaramu di sana itu tapi maafkan bahwa aku akan ke sana. Terimalah pedangmu!" lalu berkelebat dan menuju gunung keenam, Beng An tak menghiraukan lawan yang menangis dan terisak maka kini seluruh gadis Lembah Es menyibak dan memberikan jalan.
Beng An telah melihat perobahan pada penghuni lembah ini, yakni panggilannya yang menjadi Kim-kongcu (tuan muda Kim), padahal sebelumnya ia dipanggil dan disebut bocah she Kim saja, sebutan tak bersahabat dan jelas kasar. Maka melihat dirinya ditunggu dan di puncak gunung keenam itu dua wanita bersanggul tinggi menantinya, Beng An berkelebat dan ber-jungkir balik dengan ilmu meringankan tubuhnya maka di sini ia sudah berhadapan dengan dua wanita itu yang kecantikannya cukup luar biasa. Jelita bagai seorang dewi tapi dingin dan beku seperti kutub!
"Hm!" begitu satu di antara dua wanita itu menyambut. "Kau telah melewati lima dari tujuh rintangan kami, Kim-kong-cu, sungguh hebat dan tinggi sekali kepandaianmu. Tapi kau memiliki ilmu yang mirip, sama-sama mengandalkan tenaga Im (Dingin). Apakah kau cucu murid atau orang sealiran dengan nenek moyang kami Kim Kong Sengjin?"
"Maaf," Beng An menjura dan menekan debaran jantungnya yang berguncang. "Apakah aku berhadapan dengan yang terhormat Puteri Es? Apakah aku sudah berhadapan dengan majikan Lembah?"
"Hm Ujlanmu belum habis. Begitu mudahkah kau kira menghadap tocu. Majikan kami tak sembarang dapat ditemui, Kim-kongcu, apalagi oleh seorang laki-laki.Kau telah beruntung dapat bertemu dengan kami yang menjadi wakil di sini. Baru kali inilah kami turun tangan menghadapi seorang pemuda liar!"
"Maaf " Beng An tertegun, wajah jelitá itu menyiratkan hawa marah tapi ditahan. "Aku bukan berhadapan dengan tocu, Aku masih berhadapan dengan wakil-wakilnya?"
"Tak usah banyak cakap. Kau telah bertemu dengan kami di sini, Kim-kongcu. Bersiaplah karena kami berdua akan menghadapimu secara berpasangan!"
Beng An terkejut. Baru saja wanita itu habis mengeluarkan kata-katanya sekonyong konyong leher wanita itu mengibas. Sepasang anting-anting di telinga kiri dan kanan mendadak menyambar, lepas dari lubang. telinga itu untuk menghantam dengan kecepatan kilat ke muka Beng An. Dan ketika Beng An mengelak namun wanita kedua bergerak dan mengibaskan rambutnya maka rambut itupun menjeletar dan menghantam dirinya.
"Aiihhh.. Beng An terkejut dan melompat menghindar. la melihat bahwa dua wanita penghuni Lembah Es ini ganas dan kejam. Dua-duanya sudah bergerak dengan amat cepat tanpa memberi tahu lagi. Dan ketika ia menghindar namun anting-anting itu mengikuti gerakannya, seolah benda hidup yang memiliki mata maka rambut juga meliuk dan menyambar kembali seperti seekor ular.
"Wut-tar-tar!"
Beng An menangkis dan tak mungkin mengelak lagi. la dikejar dan jalan satu-satunya harus berhadapan, lawan-lawannya itu ganas dan memiliki gerakan luar biasa cepat. Dan ketika ia tergetar namun lawan tidak terhuyung, untuk pertama kalinya Beng An beradu dengan lengan halus namun kuat berisi tenaga sinkang maka selanjutnya dua wanita itu sudah berkelebatan dan Beng An dikurung pukulan-pukulan cepat berhawa dingin.
"Plak-plak!" Dua wanita itu terbelalak. Beng An berhasil menangkis dengan tepat sementara pemuda itupun sudah bergerak dengan cepat mengimbangi mereka. Jing-siang-eng dan Cui-sian Gin-kang dikerahkan pemuda ini untuk menghadapi lawan. Wanita bersanggul tinggi memiliki kepandaian hebat, masih lebih tinggi daripáda gadis baju merah dan karena mereka bergerak berbareng maka Beng An kewalahan.
Apa boleh buat ia berseru keras mengerahkan Ping-im-kangnya. Hanya dengan ilmu itu Ia mampu menghadapi penghuni-penghuni Lembah Es. Ilmu-ilmu seperti Khi-bal-sin-kang dan Pek-lui-cian tak mampu, beku oleh Bu-kek-kang yang dipunyai orang-orang Lembah Es ini.
Maka tak mau menjadi korban dan dua wanita itu sudah bergerak lebih cepat, melengking dan ganti-berganti melepas pukulan maka Beng An akhirnya melihat sepasang anting-anting itu sudah melekat lagi di lubang telinga tuannya dan sebagai gantinya wanita itu menggerakkan sepasang lengannya dengan pukulan-pukulan Bu-kek-kang.
"Wiirrr-desss...!"
Beng An tergetar dan terhuyung. la sibuk menangkis wanita pertama sementara wanita kedua sudah menyusul dan mengikuti serangan temannya. Dua pasang lengan mereka mendesak sepasang lengan Beng An dan hanya jarena penguasaan Ping-im-kang yang sudah mendarah daging maka Beng An berhasil menangkis. Tapi karena ia tak mampu membalas dan dua wanita itu mendesak dan melengking-lengking penasaran bahwa pemuda itu hanya tergetar dan terhuyung saja maka mereka berseru satu sama lain dan tiba-tiba gerakan mereka ini berobah.
Hawa dingin menyambar kian hebat tapi pukulan mereka berjalan kian lambat. kian lama kian perlahan tapi dari angin pukulan itu Beng An merasa kian terhimpit. Lawan memojokkannya dengan pukul-pukulan berat. Dan ketika apa boleh buat iapun harus menambah sinkangnya dan Beng An membentak kuat maka seluruh kekuatan Ping-im-kang dikerahkan dan tubuh pemuda ini sudah terbungkus bungkahan es sehingga menjadi manusia salju.
"Des-desss....!" Dua wanita itu gemeratak dan terbelalak. Mereka sekarang tergetar dan terdorong mundur, tidak banyak melainkan hanya setengah langkah saja. Tapi karena ini berarti pukulan mereka tertahan, pemuda itu masih kuat melindungi diri maka keduanya berseru nyaring dan membentak.
"Keluarkan Siang-lun-jong-san (Sepasang Roda Menembus Bukit)...!"
Beng An terkejut dan berubah. Dari dua lengan wanita itu mendadak menyambar gulungan cahaya putih, lambat melaju dan dua wanita itupun tiba-tiba berlompatan ke muka dan belakang. Dan ketika ia dihimpit dan diserang dari dua arah, muka belakang maka dua gulungan putih yang mirip roda berjalan itu menghantam dan tak dapat dielakkannya. Udara seketika beku dan Beng An yang sudah mengerahkan Ping-im-kang merasa diterobos atau ditembus oleh pukulan dua wanita ini.
"Dess!" Sekali saja pukulan ini mengenai Beng An. Tapi karena masing-masing pukulan meluncur dari muka dan belakang, menghantam dada dan punggung maka Beng An seakan dibor dari dua arah dan Siang-lun-jong-san yang amat hebat itu menggetarkan jantungnya! Cepat Beng An memejamkan mata dan ketika ia mengempos semangat maka isi dada dilindungi.
la tak dapat membalas karena diserang dari muka belakang, lagi pula bukan maksudnya untuk bertempur mati hidup dengan penghuni Lembah Es ini. Maka begitu ia tersentak namun mampu bertahan, dua wanita itu melotot dan penasaran maka mereka mengerahkan semua sinkang dan Beng An bagai gunung yang ditembus dua roda sakti, dibor dari muka dan belakang!
"Jangan menyusahkan aku. Kurangi tenaga kalian atau kalian nanti celaka!” Beng An kaget dan berseru. la merasa digempur dengan amat hebatnya dan tentu saja pucat. la mengerahkan segenap Ping-im-kangnya namun Siang-lun-jong-san yang dikerahkan dua wanita itu amat kuat. Mereka seakan menghendaki nyawa pemuda ini.
"Jangan menyusahkan aku. Kurangi tenaga kalian atau kalian nanti celaka!” Beng An kaget dan berseru. la merasa digempur dengan amat hebatnya dan tentu saja pucat. la mengerahkan segenap Ping-im-kangnya namun Siang-lun-jong-san yang dikerahkan dua wanita itu amat kuat. Mereka seakan menghendaki nyawa pemuda ini.
Dan karena keadaan benar-benar berbahaya sementara seruan itu tak dihiraukan lawan, Beng An terbelalak maka tiba-tiba ia berkemak-kemik dan sekali ia menarik kedua tangan ditepuk kuat-kuat maka ledakan mengejutkan dua wanita itu karena bersamaan dengan itu Beng An lenyap membentuk gulungan asap putih. Seperti siluman!
"Wushh-bresss!" Tak dapat dihindarkan lagi dua wanita itu saling hantam. Mereka menjerit ketika tiba-tiba Beng An hilang. Pemuda itu lenyap seperti siluman dan akibatnya pukulan Siang-lun-jong-san menghantam sendiri. Dan karena masing-masing mengerahkan segenap tenaga dan dua pukulan itu kini bertemu, kehilangan sasaran maka dua wanita itu tertolak dan terbanting roboh. Muntah darah dan seketika pingsan!
"Siluman...!" Bayangan-bayangan berkelebat. Gadis baju merah, juga wanita-wanita lain penghuni lembah tiba-tiba muncul dengan wajah berubah. Mereka datang dengan kaget melihat betapa wakil pimpinan mereka saling hantam. Pemuda baju putih itu lenyap dan tentu saja dua pimpinan mereka ini saling pukul. Dan ketika semua menghambur dan berteriak menolong dua wanita itu maka Beng An muncul lagi dan ia berseru mengejutkan wanita-wanita penghuni.
"Biarkan ku tolong, kalian mundurlah!" lalu ketika semua terbelalak dan tertegun, pemuda ini muncul seperti iblis maka Beng An sudah menolong dua wanita itu dengan cara menempelkan lengannya di pundak. la mengerahkan sinkang dan Ping-im-kang mengalir ke tubuh dua wanita itu, menembus atau mengobati luka dalam dan lima menit kemudian dua wanita itu sadar.
"Wushh-bresss!" Tak dapat dihindarkan lagi dua wanita itu saling hantam. Mereka menjerit ketika tiba-tiba Beng An hilang. Pemuda itu lenyap seperti siluman dan akibatnya pukulan Siang-lun-jong-san menghantam sendiri. Dan karena masing-masing mengerahkan segenap tenaga dan dua pukulan itu kini bertemu, kehilangan sasaran maka dua wanita itu tertolak dan terbanting roboh. Muntah darah dan seketika pingsan!
"Siluman...!" Bayangan-bayangan berkelebat. Gadis baju merah, juga wanita-wanita lain penghuni lembah tiba-tiba muncul dengan wajah berubah. Mereka datang dengan kaget melihat betapa wakil pimpinan mereka saling hantam. Pemuda baju putih itu lenyap dan tentu saja dua pimpinan mereka ini saling pukul. Dan ketika semua menghambur dan berteriak menolong dua wanita itu maka Beng An muncul lagi dan ia berseru mengejutkan wanita-wanita penghuni.
"Biarkan ku tolong, kalian mundurlah!" lalu ketika semua terbelalak dan tertegun, pemuda ini muncul seperti iblis maka Beng An sudah menolong dua wanita itu dengan cara menempelkan lengannya di pundak. la mengerahkan sinkang dan Ping-im-kang mengalir ke tubuh dua wanita itu, menembus atau mengobati luka dalam dan lima menit kemudian dua wanita itu sadar.
Mereka mengeluh dan membuka mata namun kaget melihat pundak mereka disentuh laki-laki. Beng An menolong mereka! Dan ketika mereka melompat bangun namun terhuyung mau roboh, betapapun luka dalam itu belum sembuh betul maka gadis baju merah menolong temannya menahan punggung dua wakil pimpinan itu.
"Thio-cici, Wan-cici, kalian sabarlah jangan menyerang lagi Kim-kongcu ini. Dia menolong kalian menyembuhkan luka dalam Agaknya kita harus bertanya kepada tocu apa yang harus dilakukan sekarang!"
"Ah," dua wanita itu tertegun, Beng An tersenyum dan kini mengenal she (nama depan) dua wanita itu. Mereka kiranya adalah keturunan dari Thio-taijin dan Wan thai-suma, tokoh-tokoh dari Dinasti Han! Dan ketika ia mengangguk dan cepat meminta maaf, mundur dan membungkuk maka sikap sopan pemuda itu membuat dua wanita ini tak jadi marah.
"Maaf, tadi sudah kuberitahukan agar kalian mengurangi tenaga, Wan-siocia. Tapi kalian berkeras dan terpaksa aku mengeluarkan ilmuku yang lain untuk menghindar dari gempuran pukulan kalian tadi. Kalian hendak mencabut nyawaku!"
"Kau.... kau memiliki sihir!"
Wan-siocia wanita pertama terbelalak. "Kau mempergunakan ilmu siluman, Kim-kongcu. Tapi kau telah berhasil melewati ujian keenam! Dan kami harus mengaku kalah,"
Wanita kedua, Thio-siocia menarik napas dalam dan masih merasa sesak. "Tapi kalau dalam rintangan ketujuh ini kau tak mampu melewatinya maka kau dinyatakan gagal, Kim-kongcu. Dan maaf bahwa kau harus pergi tanpa syarat lagi!"
"Hm," Beng An bersinar dan berseri-seri. Dua wanita ini ternyata dapat juga bersikap lembut. "Keberuntunganku tergantung nasibku, Thio-siocia. Kalau aku sudah dinyatakan lulus melewati enam rintangan tapi gagal melewati yang terakhir maka nasibku harus kembali dengan membawa sial. Sudahlah, aku sudah sampai di sini dan rintangan apa yang terakhir ini. Di mana ku dapatkan."
"Tocu yang akan mengujimu langsung. Mari kami antar dan bersiap-siaplah!"
Beng An tergetar dan terbelalak. "To-cu kalian? Majikan Lembah Es akan mengujiku langsung? Bagus, antarkan aku ke sana, ji-wi siocia. Dan mudah-mudahan nasibku baik sehingga lulus!"
Dua wanita itu tak bicara lagi. Sekarang menghadapi Beng An mereka tidak lagi bersikap ketus. Kekalahan mereka di tangan pemuda ini benar-benar mutlak. Tapi sebelum berangkat tiba-tiba seorang di antaranya bertanya, melepas penasaran,
"Maaf, bolehkah kutahu ilmu apa yang kau gunakan tadi, kongcu? Kau dapat menghilang dan berubah seperti asap!"
"Hm, itu adalah Pek-sian-sut (Lebur Bersama Dewa), sejenis ilmu sihir yang dulu diciptakan untuk menandingi Hek-kwi-sut!"
"Pek-sian-sut? Kau warisi dari gurumu?"
"Benar, dan maaf, siocia, jangan bertanya-tanya lagi karena aku ingin segera cepat-cepat menghabiskan ujianku!"
Gadis atau wanita bersanggul itu mengangguk. Rupanya ia sudah puas dan ketika ia berkelebat maka diajaknya Beng An ke gunung terakhir. Hanya gadis baju merah itu saja yang boleh ikut karena wanita yang lain dilarang naik. Dan ketika empat orang ini bergerak tapi dua wanita itu sering menahan sesak di dada, menelan obat dan Beng An kasihan maka di sini di tempat paling akhir itu Beng An mulai melihat sebuah istana serba putih terbuat dari bongkahan salju!
Beng An takjub. Jauh dari keramaian dunia ternyata terdapat istana amat aneh ini. Dinding dan gentingnya serba putih. Jendela dan daun-daun pintunyapun putih salju. Dan ketika ia mendekati pintu gerbang dan istana salju ini menyebarkan hawa dingin, Beng An kagum dan terbelalak maka ia berpikir siapakah kira-kira yang membuat istana itu. Dan pikirannya ini rupanya terbaca oleh satu di antara dua wanita itu.
"Ini adalah hasil karya kami, kaum wanita. Di tempat kami terdapat tukang-tukang batu dan ahli-ahli pahat yang semuanya wanita. Selamat datang di istana kami, Kim-kongcu. Dan kaulah laki-laki pertama yang menginjak tempat ini!"
Beng An berseru takjub. Sekarang ia sudah di pintu gerbang dan gerbang kokoh yang terbuat dari bekuan salju itu membuka. Ada alat rahasia yang mengaturnya. Dan ketika ia masuk dan berada di dalam, tuan rumah mempersilakan maka Beng An terkesima melihat bunga warna-warni menghampar luas di balik istana salju ini, kontras sungguh dengan dinding dan bangunan itu yang serba putih.
"Astaga, seperti kahyangan. Aduh, indah nian tempat ini, Wan-siocia. Dingin dan sejuk namun mencengangkan!"
Wanita itu tersenyum. "Barangkali tak seindah istana di duniamu, kongcu. Tapi inilah hasil kerja wanita-wanita kami yang bekerja seadanya. Tidak terlalu bagus, dan barangkali masih jelek!"
"Jelek? Ah, lihat itu, siocia. Lihat taman dan bangunan-bangunan mungil yang kalian kerjakan. Juga bangku-bangku batu itu. Aduh, ini bukan lagi pekerjaan tangan biasa melainkan seniman tingkat tinggi. Dan aku merasa seakan di sorga! Ah, dan gemericik air itu aduh, ada air mengalir juga, siocia. Mentakjubkan! Kiranya di balik kebekuan dan kegersangan padang es ini tumbuh juga pohon-pohonan segar. Ada mangga dan apel, ada buah leci dan pir. Dan, ah.... itu bunga-bunga yang kalian tanam.... aduh, sukar dipercaya. Anggrek dan kembang Matahari Kuning yang kalian pelihara itu sungguh mentakjubkan. Ini tempat bidadari, bukan Lembah Es!"
Beng An takjub dan terkagum-kagum. Ternyata begitu ia masuk maka apa yang ada di luar sungguh berbeda dengan apa yang ada di dalam. Di tempat ini segala macam buah-buahan dan kembang warna-warni hidup subur dan segar. Bahkan, tanaman Iangka yang tak dapat ditanam di tempat biasa tampak hidup dan berkembang biak di situ, seperti misalnya Bunga Dewa yang konon katanya dapat dipakai penyembuh segala macam penyakit dalam, juga buah Naga yang konon katanya mampu untuk membuat usia manusia tetap muda.
Dan karena Beng An pernah mendengar itu semua dan Wan-siocia juga kebetulan menerangkan, mengambil dua kuntum bunga Dewaa untuk akhirnya di kunyah dan ditelan. Maka benar saja wanita itu sembuh dari bekas luka dalamnya. Thio-siocia juga melakukan hal yang sama dan dua wanita itu sekarang tampak sehat dan segar, berseri-seri!
"Barangkali kau pernah dengar ini," wanita itu menerangkan, mengambil bunga warna hitam keputih-putihan itu. "Ini Bunga Dewa atau Sian-hoa, kongcu. Dan itu buah Naga yang membuat kami rata-rata awet muda. Kau mau?"
Beng An mendecak dan berseru memuji. Tentu saja ia mau dan buah Naga yang sebesar buah jambu itu dipetik, digigit dan rasanya yang asam-asam manis itu lezat sekali di lidah. Sekali mencicipi rasanya lidahpun selalu akan digoyang. Begitu enak! Dan ketika Beng An mendecak oleh rasa kagum dan bangga, bangga bahwa ia adalah satu-satunya lelaki yang dapat memasuki tempat itu maka perjalanan dilanjutkan dan Beng An sampai bengong menikmati sana-sini, tak terasa sudah memasuki halaman istana dan ketika menginjak tangga yang gemerlap dan licin Beng An berseru takjub.
la dapat melihat wajahnya sendiri di lantai tangga itu, tiada ubahnya cermin besar! Dan ketika pemuda itu ber-seru tak habis-habisnya memuji keindahan Istana Es ini maka bagian dalam bangunan besar yang amat mentakjubkan ini membuat Beng An tak mampu berkata-kata lagi begitu lukisan dan ukir-ukiran indah terdapat di setiap pilar atau dinding! Menghampar luas tanpa batas!
"Ini sorga.... ini tempat dewa-dewi. Aduh, bagus nian istana kalian, ji-wi siocia. Dan siapakah kiranya arsitek atau perancang gedung ini!"
"Semuanya disempurnakan oleh tocu. Nenek moyang kami meninggalkan ini, kongcu, tapi dulu masih kasar dan belum sempurna."
"Tocu kalian? la juga seorang arsitek?"
"Hm, kami semua adalah wanita-wanita yang harus mandiri, kongcu. Apapun harus dapat dilakukan seperti halnya yang dilakukan lelaki. Sudahlah, kita sudah sampai!"
Sebuah tirai terkuak dari dalam. Empat pelayan cantik, satu di antaranya adalah Hwa Seng tampak berlutut dan menyambut wakil pimpinan ini, wanita-wanita bersanggul tinggi. Lalu ketika Beng An berseru girang menyapa Hwa Seng, gadis itu tersenyum tapi lalu menundukkan mukanya kembali maka Wan-siocia berseru bahwa ujian terakhir tiba.
"Kim-kongcu, kita sampai di tempat terakhir. Silakan masuk dan kami menunggu di sini!"
Wanita itu membuka sebuah pintu lain. Di balik tirai ini, tirai yang terbuat dari mutiara berwarna-warni maka Beng An melihat sebuah pintu tertutup rapat dari sebuah ruangan pribadi. Dinding dan pintu itu memiliki pinggiran warna emas, kuning menyilaukan mata dan Beng An terkejut karena garis atau pinggiran itu benar-benar adalah logam mulia.
"Thio-cici, Wan-cici, kalian sabarlah jangan menyerang lagi Kim-kongcu ini. Dia menolong kalian menyembuhkan luka dalam Agaknya kita harus bertanya kepada tocu apa yang harus dilakukan sekarang!"
"Ah," dua wanita itu tertegun, Beng An tersenyum dan kini mengenal she (nama depan) dua wanita itu. Mereka kiranya adalah keturunan dari Thio-taijin dan Wan thai-suma, tokoh-tokoh dari Dinasti Han! Dan ketika ia mengangguk dan cepat meminta maaf, mundur dan membungkuk maka sikap sopan pemuda itu membuat dua wanita ini tak jadi marah.
"Maaf, tadi sudah kuberitahukan agar kalian mengurangi tenaga, Wan-siocia. Tapi kalian berkeras dan terpaksa aku mengeluarkan ilmuku yang lain untuk menghindar dari gempuran pukulan kalian tadi. Kalian hendak mencabut nyawaku!"
"Kau.... kau memiliki sihir!"
Wan-siocia wanita pertama terbelalak. "Kau mempergunakan ilmu siluman, Kim-kongcu. Tapi kau telah berhasil melewati ujian keenam! Dan kami harus mengaku kalah,"
Wanita kedua, Thio-siocia menarik napas dalam dan masih merasa sesak. "Tapi kalau dalam rintangan ketujuh ini kau tak mampu melewatinya maka kau dinyatakan gagal, Kim-kongcu. Dan maaf bahwa kau harus pergi tanpa syarat lagi!"
"Hm," Beng An bersinar dan berseri-seri. Dua wanita ini ternyata dapat juga bersikap lembut. "Keberuntunganku tergantung nasibku, Thio-siocia. Kalau aku sudah dinyatakan lulus melewati enam rintangan tapi gagal melewati yang terakhir maka nasibku harus kembali dengan membawa sial. Sudahlah, aku sudah sampai di sini dan rintangan apa yang terakhir ini. Di mana ku dapatkan."
"Tocu yang akan mengujimu langsung. Mari kami antar dan bersiap-siaplah!"
Beng An tergetar dan terbelalak. "To-cu kalian? Majikan Lembah Es akan mengujiku langsung? Bagus, antarkan aku ke sana, ji-wi siocia. Dan mudah-mudahan nasibku baik sehingga lulus!"
Dua wanita itu tak bicara lagi. Sekarang menghadapi Beng An mereka tidak lagi bersikap ketus. Kekalahan mereka di tangan pemuda ini benar-benar mutlak. Tapi sebelum berangkat tiba-tiba seorang di antaranya bertanya, melepas penasaran,
"Maaf, bolehkah kutahu ilmu apa yang kau gunakan tadi, kongcu? Kau dapat menghilang dan berubah seperti asap!"
"Hm, itu adalah Pek-sian-sut (Lebur Bersama Dewa), sejenis ilmu sihir yang dulu diciptakan untuk menandingi Hek-kwi-sut!"
"Pek-sian-sut? Kau warisi dari gurumu?"
"Benar, dan maaf, siocia, jangan bertanya-tanya lagi karena aku ingin segera cepat-cepat menghabiskan ujianku!"
Gadis atau wanita bersanggul itu mengangguk. Rupanya ia sudah puas dan ketika ia berkelebat maka diajaknya Beng An ke gunung terakhir. Hanya gadis baju merah itu saja yang boleh ikut karena wanita yang lain dilarang naik. Dan ketika empat orang ini bergerak tapi dua wanita itu sering menahan sesak di dada, menelan obat dan Beng An kasihan maka di sini di tempat paling akhir itu Beng An mulai melihat sebuah istana serba putih terbuat dari bongkahan salju!
Beng An takjub. Jauh dari keramaian dunia ternyata terdapat istana amat aneh ini. Dinding dan gentingnya serba putih. Jendela dan daun-daun pintunyapun putih salju. Dan ketika ia mendekati pintu gerbang dan istana salju ini menyebarkan hawa dingin, Beng An kagum dan terbelalak maka ia berpikir siapakah kira-kira yang membuat istana itu. Dan pikirannya ini rupanya terbaca oleh satu di antara dua wanita itu.
"Ini adalah hasil karya kami, kaum wanita. Di tempat kami terdapat tukang-tukang batu dan ahli-ahli pahat yang semuanya wanita. Selamat datang di istana kami, Kim-kongcu. Dan kaulah laki-laki pertama yang menginjak tempat ini!"
Beng An berseru takjub. Sekarang ia sudah di pintu gerbang dan gerbang kokoh yang terbuat dari bekuan salju itu membuka. Ada alat rahasia yang mengaturnya. Dan ketika ia masuk dan berada di dalam, tuan rumah mempersilakan maka Beng An terkesima melihat bunga warna-warni menghampar luas di balik istana salju ini, kontras sungguh dengan dinding dan bangunan itu yang serba putih.
"Astaga, seperti kahyangan. Aduh, indah nian tempat ini, Wan-siocia. Dingin dan sejuk namun mencengangkan!"
Wanita itu tersenyum. "Barangkali tak seindah istana di duniamu, kongcu. Tapi inilah hasil kerja wanita-wanita kami yang bekerja seadanya. Tidak terlalu bagus, dan barangkali masih jelek!"
"Jelek? Ah, lihat itu, siocia. Lihat taman dan bangunan-bangunan mungil yang kalian kerjakan. Juga bangku-bangku batu itu. Aduh, ini bukan lagi pekerjaan tangan biasa melainkan seniman tingkat tinggi. Dan aku merasa seakan di sorga! Ah, dan gemericik air itu aduh, ada air mengalir juga, siocia. Mentakjubkan! Kiranya di balik kebekuan dan kegersangan padang es ini tumbuh juga pohon-pohonan segar. Ada mangga dan apel, ada buah leci dan pir. Dan, ah.... itu bunga-bunga yang kalian tanam.... aduh, sukar dipercaya. Anggrek dan kembang Matahari Kuning yang kalian pelihara itu sungguh mentakjubkan. Ini tempat bidadari, bukan Lembah Es!"
Beng An takjub dan terkagum-kagum. Ternyata begitu ia masuk maka apa yang ada di luar sungguh berbeda dengan apa yang ada di dalam. Di tempat ini segala macam buah-buahan dan kembang warna-warni hidup subur dan segar. Bahkan, tanaman Iangka yang tak dapat ditanam di tempat biasa tampak hidup dan berkembang biak di situ, seperti misalnya Bunga Dewa yang konon katanya dapat dipakai penyembuh segala macam penyakit dalam, juga buah Naga yang konon katanya mampu untuk membuat usia manusia tetap muda.
Dan karena Beng An pernah mendengar itu semua dan Wan-siocia juga kebetulan menerangkan, mengambil dua kuntum bunga Dewaa untuk akhirnya di kunyah dan ditelan. Maka benar saja wanita itu sembuh dari bekas luka dalamnya. Thio-siocia juga melakukan hal yang sama dan dua wanita itu sekarang tampak sehat dan segar, berseri-seri!
"Barangkali kau pernah dengar ini," wanita itu menerangkan, mengambil bunga warna hitam keputih-putihan itu. "Ini Bunga Dewa atau Sian-hoa, kongcu. Dan itu buah Naga yang membuat kami rata-rata awet muda. Kau mau?"
Beng An mendecak dan berseru memuji. Tentu saja ia mau dan buah Naga yang sebesar buah jambu itu dipetik, digigit dan rasanya yang asam-asam manis itu lezat sekali di lidah. Sekali mencicipi rasanya lidahpun selalu akan digoyang. Begitu enak! Dan ketika Beng An mendecak oleh rasa kagum dan bangga, bangga bahwa ia adalah satu-satunya lelaki yang dapat memasuki tempat itu maka perjalanan dilanjutkan dan Beng An sampai bengong menikmati sana-sini, tak terasa sudah memasuki halaman istana dan ketika menginjak tangga yang gemerlap dan licin Beng An berseru takjub.
la dapat melihat wajahnya sendiri di lantai tangga itu, tiada ubahnya cermin besar! Dan ketika pemuda itu ber-seru tak habis-habisnya memuji keindahan Istana Es ini maka bagian dalam bangunan besar yang amat mentakjubkan ini membuat Beng An tak mampu berkata-kata lagi begitu lukisan dan ukir-ukiran indah terdapat di setiap pilar atau dinding! Menghampar luas tanpa batas!
"Ini sorga.... ini tempat dewa-dewi. Aduh, bagus nian istana kalian, ji-wi siocia. Dan siapakah kiranya arsitek atau perancang gedung ini!"
"Semuanya disempurnakan oleh tocu. Nenek moyang kami meninggalkan ini, kongcu, tapi dulu masih kasar dan belum sempurna."
"Tocu kalian? la juga seorang arsitek?"
"Hm, kami semua adalah wanita-wanita yang harus mandiri, kongcu. Apapun harus dapat dilakukan seperti halnya yang dilakukan lelaki. Sudahlah, kita sudah sampai!"
Sebuah tirai terkuak dari dalam. Empat pelayan cantik, satu di antaranya adalah Hwa Seng tampak berlutut dan menyambut wakil pimpinan ini, wanita-wanita bersanggul tinggi. Lalu ketika Beng An berseru girang menyapa Hwa Seng, gadis itu tersenyum tapi lalu menundukkan mukanya kembali maka Wan-siocia berseru bahwa ujian terakhir tiba.
"Kim-kongcu, kita sampai di tempat terakhir. Silakan masuk dan kami menunggu di sini!"
Wanita itu membuka sebuah pintu lain. Di balik tirai ini, tirai yang terbuat dari mutiara berwarna-warni maka Beng An melihat sebuah pintu tertutup rapat dari sebuah ruangan pribadi. Dinding dan pintu itu memiliki pinggiran warna emas, kuning menyilaukan mata dan Beng An terkejut karena garis atau pinggiran itu benar-benar adalah logam mulia.
Lapisan emas murni menghias dinding dan pintu. Jumlahnya ribuan mata dan bukan main kagumnya Beng An. Dari situ dapat dilihat betapa hebatnya pemilik istana ini, betapa kayanya. Tapi ketika pintu sudah dibuka dan ia dipersilakan masuk, bau harum menyambar dari dalam maka Beng An sudah didorong dan begitu ia di dalam seketika pintu menutup rapat.
"Dar!" Pintu setengah dibanting. Beng An menoleh namun saat itu ribuan benda kecil-kecil menyambarnya. Pelor-pelor salju, yang putih menyilaukan mata mendadak menyerang dari segala penjuru. la tak mungkin mundur karena pintu sudah ditutup. Dan karena ia maklum bahwa seseorang menyerangnya, entah dari mana maka Beng An berseru keras dan iapun menjejakkan kaki kuat-kuat hingga semua benda itu lewat di bawah kakinya.
"Tap-tap!" Semua melekat dan menempel di tembok. Beng An melayang turun namun tiba-tiba ledakan kilat putih menyerang. Sinar atau kilat ini menyambar dari arah kanannya dan tentu saja ia menangkis. Dan ketika terdengar suara keras dan sinar itu pecah, Beng An terbelalak maka pemuda yang belum hilang kagetnya ini sudah mendapat serangan lagi dari pecahan sinar yang puluhan banyaknya itu.
"Plak-plak!" Beng An mengebutkan baju tapi sinar-sinar itu pecah lagi. Sinar yang pecah dan menyebar ini menyerangnya lagi, jauh lebih banyak dari pada tadi. Dan karena tak mungkin harus menghadapi itu sementara Beng An sudah silau oleh gemerlap pelor-pelor salju maka ia membentak dan berjungkir balik tinggi ke langit-langit ruangan, tak melayang turun karena saat itu ia sudah menempel di atas.
Bagai cecak atau tokek besar Beng An telah menyelamatkan diri dengan caranya ini. la khawatir bahwa di bawah bakal diserang lagi. Dan ketika benar saja sinar-sinar itu lenyap dan sebagai gantinya terdengar dengus atau seruan kagum maka Beng An mendengar kata-kata yang sukar ditangkap asal suaranya, suara merdu lembut namun yang menggetarkan dinding ruangan itu.
"Bagus, kau lihai dan cerdik, Kim-kong cu. Tapi turunlah atau ular ini akan terbang menggigitmu!"
Mahluk panjang putih tahu-tahu meluncur dan terbang menyambar Beng An. Seekor ular salju, yang jelas berbahaya dan amat berbisa melesat dari kiri dilontar seseorang. Beng An tak melihat siapa-siapa di ruangan itu tapi segala serangan dapat berhamburan dari sini. Dan ketika ia membentak dan menampar ular itu, si ular menggeliat dan robon maka selanjutnya Beng An diserang ular salju lain lagi yang entah muncul dari mana, memaksa pemuda itu turun. Lalu ketika Beng An berjungkir balik dan melayang turun, tak mungkin menempel diserang ular-ular berbahaya maka di bawah tiba-tiba bergerak ular-ular lain yang tercipta dari pelor-pelor salju yang tadi melekat tembok.
"Ah, ilmu sihir!" Beng An seketika sadar dan terkejut. la bergerak dan secepat kilat ikat pinggangnya dicabut, meledak dan terbanglah ikat pinggang itu menghajar ular-ular putih. Lalu ketika ular-ular itu roboh dan kembali menjadi pelor-pelor salju, kekuatan sihir sudah dipatahkan maka terdengar tawa dingin dan sebagai gantinya berkelebatlah sesosok bayangan ramping yang menyerang Beng An.
Pemuda ini tak tahu dari mana bayangan itu berasal dan tak dapat pula melihat wajah atau mukanya. Bayangan itu tahu-tahu menyerang dan yang membuat Beng An terkejut adalah bahwa lawan tidak menginjak bumi. Ilmu meringankan tubuh yang amat luar biasa hebatnya dipertontonkan di situ dan ketika Beng An mengelak sana-sini maka ujung sebuah tumit halus menyentak dagunya. Dan ketika ia terbanting dan Beng An mabok oleh bayangan ini, bau harum yang amat keras mengganggu konsentrasinya maka dia dikejar dan...des-des, iapun terlempar dan terbanting lagi.
Beng An mengeluh dan bergulingan di lantai. la kaget bahwa seseorang yang amat tinggi kepandaiannya menyerangnya begitu cepat. la tak sempat melihat siapa lawannya dan dari mana pula menyerang. Tapi ketika ia terguling-guling dan marah oleh ini, membentak dan meloncat bangun maka ia mengerahkan gabungan ilmu meringankan tubuhnya dan begitu sebuah tangan halus menamparnya lagi iapun merunduk dan mengerahkan Ping-im-kang.
"Plakk!" Sejenak saja Beng An bersentuhan dengan telapak lunak lembut namun yang berisi sinkang amat kuat. Dari pukulan itu Beng An dirasuki hawa dingin. Namun karena Ping-im-kang juga berhawa dingin dan pukulan lawan ibarat air memasuki sebuah sumur, ia tergetar namun sudah tak apa-apa lagi maka Beng An mulai dapat melihat bahwa lawannya adalah seorang wanita berpakaian serba putih yang memakai cadar!
"Tocu...!" Beng An teringat akan cerita Hwa Seng. Gadis Lembah Es itu pernah bercerita bahwa majikannya adalah seorang wanita cantik bercadar. Hanya para pimpinan atau tokoh-tokoh Lembah yang pernah melihat ratu Lembah Es ini, anak-anak murid jarang yang melihat atau kalaupun ada maka hanya cadar itulah yang mereka lihat, selebihnya mereka tak tahu. Maka begitu Beng An mampu melihat lawan dan ia berdetak teringat cerita Hwa Seng, ratu atau majikan Lembah adalah seorang bercadar maka Beng An segera berseru namun lawan tidak mengurangi serangannya karena seperti lebah beterbangan pukulan dan tamparan-tamparan berhawa dingin meluncur dan menghantam.
"Des-dess!" Beng An terhuyung dan terbelalak. Entah bagaimana jantungnya tiba-tiba meloncat-loncat. Ratu dari lstana Es telah berada di depannya dan kini ia dibuat jungkir balik oleh bayangan dan tubuh ratu itu. Sang ratu masih berkelebatan tak menginjak tanah dan Beng An harus mengakui bahwa agaknya hanya Ang-tiauw Gin-kang milik kakaknya sajalah yang mampu mengimbangi kecepatan si ratu ini. Cui-sian Gin-kang dan Jing-sian-eng agaknya kalah seusap.
"Dar!" Pintu setengah dibanting. Beng An menoleh namun saat itu ribuan benda kecil-kecil menyambarnya. Pelor-pelor salju, yang putih menyilaukan mata mendadak menyerang dari segala penjuru. la tak mungkin mundur karena pintu sudah ditutup. Dan karena ia maklum bahwa seseorang menyerangnya, entah dari mana maka Beng An berseru keras dan iapun menjejakkan kaki kuat-kuat hingga semua benda itu lewat di bawah kakinya.
"Tap-tap!" Semua melekat dan menempel di tembok. Beng An melayang turun namun tiba-tiba ledakan kilat putih menyerang. Sinar atau kilat ini menyambar dari arah kanannya dan tentu saja ia menangkis. Dan ketika terdengar suara keras dan sinar itu pecah, Beng An terbelalak maka pemuda yang belum hilang kagetnya ini sudah mendapat serangan lagi dari pecahan sinar yang puluhan banyaknya itu.
"Plak-plak!" Beng An mengebutkan baju tapi sinar-sinar itu pecah lagi. Sinar yang pecah dan menyebar ini menyerangnya lagi, jauh lebih banyak dari pada tadi. Dan karena tak mungkin harus menghadapi itu sementara Beng An sudah silau oleh gemerlap pelor-pelor salju maka ia membentak dan berjungkir balik tinggi ke langit-langit ruangan, tak melayang turun karena saat itu ia sudah menempel di atas.
Bagai cecak atau tokek besar Beng An telah menyelamatkan diri dengan caranya ini. la khawatir bahwa di bawah bakal diserang lagi. Dan ketika benar saja sinar-sinar itu lenyap dan sebagai gantinya terdengar dengus atau seruan kagum maka Beng An mendengar kata-kata yang sukar ditangkap asal suaranya, suara merdu lembut namun yang menggetarkan dinding ruangan itu.
"Bagus, kau lihai dan cerdik, Kim-kong cu. Tapi turunlah atau ular ini akan terbang menggigitmu!"
Mahluk panjang putih tahu-tahu meluncur dan terbang menyambar Beng An. Seekor ular salju, yang jelas berbahaya dan amat berbisa melesat dari kiri dilontar seseorang. Beng An tak melihat siapa-siapa di ruangan itu tapi segala serangan dapat berhamburan dari sini. Dan ketika ia membentak dan menampar ular itu, si ular menggeliat dan robon maka selanjutnya Beng An diserang ular salju lain lagi yang entah muncul dari mana, memaksa pemuda itu turun. Lalu ketika Beng An berjungkir balik dan melayang turun, tak mungkin menempel diserang ular-ular berbahaya maka di bawah tiba-tiba bergerak ular-ular lain yang tercipta dari pelor-pelor salju yang tadi melekat tembok.
"Ah, ilmu sihir!" Beng An seketika sadar dan terkejut. la bergerak dan secepat kilat ikat pinggangnya dicabut, meledak dan terbanglah ikat pinggang itu menghajar ular-ular putih. Lalu ketika ular-ular itu roboh dan kembali menjadi pelor-pelor salju, kekuatan sihir sudah dipatahkan maka terdengar tawa dingin dan sebagai gantinya berkelebatlah sesosok bayangan ramping yang menyerang Beng An.
Pemuda ini tak tahu dari mana bayangan itu berasal dan tak dapat pula melihat wajah atau mukanya. Bayangan itu tahu-tahu menyerang dan yang membuat Beng An terkejut adalah bahwa lawan tidak menginjak bumi. Ilmu meringankan tubuh yang amat luar biasa hebatnya dipertontonkan di situ dan ketika Beng An mengelak sana-sini maka ujung sebuah tumit halus menyentak dagunya. Dan ketika ia terbanting dan Beng An mabok oleh bayangan ini, bau harum yang amat keras mengganggu konsentrasinya maka dia dikejar dan...des-des, iapun terlempar dan terbanting lagi.
Beng An mengeluh dan bergulingan di lantai. la kaget bahwa seseorang yang amat tinggi kepandaiannya menyerangnya begitu cepat. la tak sempat melihat siapa lawannya dan dari mana pula menyerang. Tapi ketika ia terguling-guling dan marah oleh ini, membentak dan meloncat bangun maka ia mengerahkan gabungan ilmu meringankan tubuhnya dan begitu sebuah tangan halus menamparnya lagi iapun merunduk dan mengerahkan Ping-im-kang.
"Plakk!" Sejenak saja Beng An bersentuhan dengan telapak lunak lembut namun yang berisi sinkang amat kuat. Dari pukulan itu Beng An dirasuki hawa dingin. Namun karena Ping-im-kang juga berhawa dingin dan pukulan lawan ibarat air memasuki sebuah sumur, ia tergetar namun sudah tak apa-apa lagi maka Beng An mulai dapat melihat bahwa lawannya adalah seorang wanita berpakaian serba putih yang memakai cadar!
"Tocu...!" Beng An teringat akan cerita Hwa Seng. Gadis Lembah Es itu pernah bercerita bahwa majikannya adalah seorang wanita cantik bercadar. Hanya para pimpinan atau tokoh-tokoh Lembah yang pernah melihat ratu Lembah Es ini, anak-anak murid jarang yang melihat atau kalaupun ada maka hanya cadar itulah yang mereka lihat, selebihnya mereka tak tahu. Maka begitu Beng An mampu melihat lawan dan ia berdetak teringat cerita Hwa Seng, ratu atau majikan Lembah adalah seorang bercadar maka Beng An segera berseru namun lawan tidak mengurangi serangannya karena seperti lebah beterbangan pukulan dan tamparan-tamparan berhawa dingin meluncur dan menghantam.
"Des-dess!" Beng An terhuyung dan terbelalak. Entah bagaimana jantungnya tiba-tiba meloncat-loncat. Ratu dari lstana Es telah berada di depannya dan kini ia dibuat jungkir balik oleh bayangan dan tubuh ratu itu. Sang ratu masih berkelebatan tak menginjak tanah dan Beng An harus mengakui bahwa agaknya hanya Ang-tiauw Gin-kang milik kakaknya sajalah yang mampu mengimbangi kecepatan si ratu ini. Cui-sian Gin-kang dan Jing-sian-eng agaknya kalah seusap.
Dan karena ia hanya memiliki ilmu meringankan tubuh itu, bukan Ginkang Rajawali Merah yang dipunyai kakaknya maka ketika ia mengelak namun kurang cepat menghindar dua tamparan di kiri kanan pelipisnya membuat Beng An terjengkang dan roboh terguling-guling.
"Des-plak!" Beng An mengeluh dan pusing. la bergulingan namun tawa si ratu membayangi, mengejar dan kembali mendaratkan pukulan di punggung. Ping-im-kang sudah melindungi namun punggung Beng An berkeratak juga, ngilu, dan sakit! Dan ketika ia didesak dan lantai ruangan tiba-tiba membuka, Beng An melihat sumur gelap yang amat dalam maka seruan merdu majikan Lembah Es ini mengingatkan Beng An akan bahaya bagi dirinya sendiri.
"Kau agaknya gagal. Selamat mimpi didalam sumur, Kim-kongcu. Terimalah dan jangan menyalahkan aku!"
Beng An berseru keras. Dalam detik berbahaya itu tak ada lain jalan kecuali mengeluarkan Pek-sian-sut. llmu ini memang sejenis sihir dan hanya dikeluarkan kalau dia benar-benar dalam keadaan terjepit. Di dunia ini hanya dia dan ayahnya lah yang menguasai, mereka menerima ilmu itu dari warisan kakek dewa Bu-beng Sian-su. Maka begitu sumur slap menelannya dan Beng An tak mau dikubur hidup-hidup, Ia harus berusaha, maka pemuda itu menepuk kedua tangannya dan seketika berubahlah wujudnya menjadi asap halus.
"Dar!" Bentakan atau seruan Beng An ini menyelamatkan. Tepat pada saat yang gawat ia terpental ke bibir sumur, lenyap dan sebagai gantinya ia berujud jasad halus. Dan karena jasad halus tak mungkin dicelakai badan kasar, Beng An lolos dan sumur menutup kembali maka Beng An tertawa karena dapat melihat lawannya dari tempat tersembunyi. Gadis atau ratu Lembah Es itu tampak tertegun, celingukan.
"Ha-ha, aku di sini, tocu. Kau tak dapat mengalahkan aku. Lihat, aku selamat!"
Sang ratu mengeluarkan pekikan seram. la tak melihat Beng An yang mengubah badan kasarnya. Tapi ketika Beng An terbahak dan mau menggoda tiba-tiba ratu itu melolos ikat pinggangnya yang meledak dan lenyap menyembunyikan tubuhnya, seperti sihir. "Bagus, kau boleh memiliki Pek-sian-sut mu itu, Kim Beng An. Tapi akupun memiliki ini dan kau tak dapat memandang aku lagi!"
Beng An terkejut. Ikat pinggang berubah seperti payung lebar dan di balik payung itulah majikan Lembah Es bersembunyi. Ikat pinggang itu rupanya semacam senjata sakti warisan leluhur. Dan ketika ia tak mampu menembus dan Beng An kagum, lawan juga tak mampu melihatnya di balik bayangan Pek-sian-sutnya maka Beng An tertawa lebar dan muncul lagi menarik ilmunya itu.
"Baik, aku kalah, tocu. Sekarang aku memperlihatkan diri dan silakan kau memperlihatkan dirimu pula. Aku datang bukan untuk mencari musuh!"
"Wut!" sinar lebar payung bergerak. Ikat pinggang sudah mengecil dan tahu-tahu berdirilah di situ ratu Lembah Es ini. Wajahnya samar-samar karena masih bercadar. Dan ketika Beng An kagum karena lawan muncul lagi, bau harum memabokkan itu membuat seluruh ruangan terasa segar maka Beng An terpesona dan cepat menjura, diam-diam menekan debaran jantungnya yang berdegup kencang. Ratu Lembah Es ini rasanya jauh lebih cantik dibanding siapapun!
"Tocu, maafkan aku kalau dianggap lancang. Tapi ketahuilah, aku datang bukan untuk membuat ribut. Ada dua hal yang membuatku ke mari. Satu karena mengantar Hwa Seng dan dua karena ingin berkenalan dan bersahabat dengan penghuni Lembah Es. Aku datang membawa maksud baik!"
"Aku tahu," suara dingin namun agak bersahabat itu menjawab, "Hwa Seng telah menceritakannya kepadaku, Kim-kongcu. Dan baru kali ini ada orang asing, laki-laki pula, datang dan berhasil memasuki istanaku. Ketahuilah bahwa larangan bagi kami untuk menerima laki-laki. Tapi karena kau telah melewati tujuh rintangan dan berhasil dengan baik maka kaulah satu-satunya lelaki yang diperkenankan menghadap, meskipun untuk ini kami akan menerima kutuk dan kemarahan arwah leluhur!"
"Ah," Beng An terkejut, mengerutkan kening. "Kemarahan dan kutuk arwah leluhur, tocu? Maksudmu bahwa kedatanganku membawa sial?"
"Begitu kira-kira. Sekarang kau telah bertemu dengan aku dan kuharap dirimu puas. Aku tak dapat menerimamu lama-lama dan segeralah pergi!"
"Hm," Beng An penasaran. "Orang berkenalan tidak cukup sedetik dua, tocu. Aku masih belum puas. Aku ingin tahu lebih jauh lagi tentang dunia Lembah Es. Dan, maaf.... bolehkah kutahu nama tocu yang mulia?"
Pintu tiba-tiba terbuka. Wan-siocia, dan Thio-siocia mendadak telah muncul dengan sikap keren. Dua wanita gagah ini telah mendengar dering dari majikannya, membungkuk dan memberi hormat. Lalu ketika Beng An tertegun maka Puteri Es itu, majikan lembah menuding, tidak menjawab pertanyaan Beng An.
"Wan-cici, antarkan Kim-kongcu keluar. Aku telah memenuhi janjiku dan tutup pintu gerbang!"
"Tocu...!" Beng An berseru, kaget. "Ba gaimana dengan pertanyaanku tadi? Tidak-kah aku...."
"Cukup!" Thio-siocia kini berkelebat dan menjura di depan Beng An. "Tocu telah mempersilakan kau pulang, kongcu. Kami akan mengantar dan bersyukurlah akan nasibmu yang baik. Tak ada lelaki di dunia ini yang berhasil menemui tocu kecuali kau!"
"Des-plak!" Beng An mengeluh dan pusing. la bergulingan namun tawa si ratu membayangi, mengejar dan kembali mendaratkan pukulan di punggung. Ping-im-kang sudah melindungi namun punggung Beng An berkeratak juga, ngilu, dan sakit! Dan ketika ia didesak dan lantai ruangan tiba-tiba membuka, Beng An melihat sumur gelap yang amat dalam maka seruan merdu majikan Lembah Es ini mengingatkan Beng An akan bahaya bagi dirinya sendiri.
"Kau agaknya gagal. Selamat mimpi didalam sumur, Kim-kongcu. Terimalah dan jangan menyalahkan aku!"
Beng An berseru keras. Dalam detik berbahaya itu tak ada lain jalan kecuali mengeluarkan Pek-sian-sut. llmu ini memang sejenis sihir dan hanya dikeluarkan kalau dia benar-benar dalam keadaan terjepit. Di dunia ini hanya dia dan ayahnya lah yang menguasai, mereka menerima ilmu itu dari warisan kakek dewa Bu-beng Sian-su. Maka begitu sumur slap menelannya dan Beng An tak mau dikubur hidup-hidup, Ia harus berusaha, maka pemuda itu menepuk kedua tangannya dan seketika berubahlah wujudnya menjadi asap halus.
"Dar!" Bentakan atau seruan Beng An ini menyelamatkan. Tepat pada saat yang gawat ia terpental ke bibir sumur, lenyap dan sebagai gantinya ia berujud jasad halus. Dan karena jasad halus tak mungkin dicelakai badan kasar, Beng An lolos dan sumur menutup kembali maka Beng An tertawa karena dapat melihat lawannya dari tempat tersembunyi. Gadis atau ratu Lembah Es itu tampak tertegun, celingukan.
"Ha-ha, aku di sini, tocu. Kau tak dapat mengalahkan aku. Lihat, aku selamat!"
Sang ratu mengeluarkan pekikan seram. la tak melihat Beng An yang mengubah badan kasarnya. Tapi ketika Beng An terbahak dan mau menggoda tiba-tiba ratu itu melolos ikat pinggangnya yang meledak dan lenyap menyembunyikan tubuhnya, seperti sihir. "Bagus, kau boleh memiliki Pek-sian-sut mu itu, Kim Beng An. Tapi akupun memiliki ini dan kau tak dapat memandang aku lagi!"
Beng An terkejut. Ikat pinggang berubah seperti payung lebar dan di balik payung itulah majikan Lembah Es bersembunyi. Ikat pinggang itu rupanya semacam senjata sakti warisan leluhur. Dan ketika ia tak mampu menembus dan Beng An kagum, lawan juga tak mampu melihatnya di balik bayangan Pek-sian-sutnya maka Beng An tertawa lebar dan muncul lagi menarik ilmunya itu.
"Baik, aku kalah, tocu. Sekarang aku memperlihatkan diri dan silakan kau memperlihatkan dirimu pula. Aku datang bukan untuk mencari musuh!"
"Wut!" sinar lebar payung bergerak. Ikat pinggang sudah mengecil dan tahu-tahu berdirilah di situ ratu Lembah Es ini. Wajahnya samar-samar karena masih bercadar. Dan ketika Beng An kagum karena lawan muncul lagi, bau harum memabokkan itu membuat seluruh ruangan terasa segar maka Beng An terpesona dan cepat menjura, diam-diam menekan debaran jantungnya yang berdegup kencang. Ratu Lembah Es ini rasanya jauh lebih cantik dibanding siapapun!
"Tocu, maafkan aku kalau dianggap lancang. Tapi ketahuilah, aku datang bukan untuk membuat ribut. Ada dua hal yang membuatku ke mari. Satu karena mengantar Hwa Seng dan dua karena ingin berkenalan dan bersahabat dengan penghuni Lembah Es. Aku datang membawa maksud baik!"
"Aku tahu," suara dingin namun agak bersahabat itu menjawab, "Hwa Seng telah menceritakannya kepadaku, Kim-kongcu. Dan baru kali ini ada orang asing, laki-laki pula, datang dan berhasil memasuki istanaku. Ketahuilah bahwa larangan bagi kami untuk menerima laki-laki. Tapi karena kau telah melewati tujuh rintangan dan berhasil dengan baik maka kaulah satu-satunya lelaki yang diperkenankan menghadap, meskipun untuk ini kami akan menerima kutuk dan kemarahan arwah leluhur!"
"Ah," Beng An terkejut, mengerutkan kening. "Kemarahan dan kutuk arwah leluhur, tocu? Maksudmu bahwa kedatanganku membawa sial?"
"Begitu kira-kira. Sekarang kau telah bertemu dengan aku dan kuharap dirimu puas. Aku tak dapat menerimamu lama-lama dan segeralah pergi!"
"Hm," Beng An penasaran. "Orang berkenalan tidak cukup sedetik dua, tocu. Aku masih belum puas. Aku ingin tahu lebih jauh lagi tentang dunia Lembah Es. Dan, maaf.... bolehkah kutahu nama tocu yang mulia?"
Pintu tiba-tiba terbuka. Wan-siocia, dan Thio-siocia mendadak telah muncul dengan sikap keren. Dua wanita gagah ini telah mendengar dering dari majikannya, membungkuk dan memberi hormat. Lalu ketika Beng An tertegun maka Puteri Es itu, majikan lembah menuding, tidak menjawab pertanyaan Beng An.
"Wan-cici, antarkan Kim-kongcu keluar. Aku telah memenuhi janjiku dan tutup pintu gerbang!"
"Tocu...!" Beng An berseru, kaget. "Ba gaimana dengan pertanyaanku tadi? Tidak-kah aku...."
"Cukup!" Thio-siocia kini berkelebat dan menjura di depan Beng An. "Tocu telah mempersilakan kau pulang, kongcu. Kami akan mengantar dan bersyukurlah akan nasibmu yang baik. Tak ada lelaki di dunia ini yang berhasil menemui tocu kecuali kau!"
Lalu tak menghiraukan sikap penasaran pemuda ini wanita itu menyambar lengan Beng An, diajak keluar dan Ratu Lembah Es tiba-tiba mendorong dinding. Sebuah lubang terbuka dan meloncatlah puteri itu ke dalam, lenyap dan Beng An juga ditarik Wan-siocia yang melihatnya masih bengong. Dan begitu Beng An keluar dan melihat empat dayang cantik, satu di antaranya adalah Hwa Seng tiba-tiba pemuda ini berseru melepaskan tangannya.
"Nanti dulu, bolehkah aku tinggal di sini barang sehari dua hari, Thio-cici. Atau aku bicara sebentar dengan Hwa Seng!"
"Kongcu mau bicara apa?" wanita itu terkejut, Beng An telah melepaskan diri.
"Aku masih ingin menikmati lembah Es cici. Atau berbincang-bincang sebentar dengan Hwa Seng hanya empat mata."
"Hmm, kau harus keluar dari istana!" wanita itu tiba-tiba bersikap keras. "Tocu telah memerintahkan kami, kongcu Atau kami bersikap tak hormat dan mengajak-mu keluar secara paksa!"
"Nanti dulu. Kalau begitu biarkan aku bicara dengan Hwa Seng cici barang sekejap!"
"Tak boleh di sini. Tocu telah mengusirmu, kongcu. Kalau hendak bicara harus di luar. Kami mengijinkan kau bicara dengan Hwa Seng tapi tak boleh di istana!"
Beng An terbelalak. Thio-siocia dan Wan-siocia ini telah menghadang di depannya dengan sikap sungguh-sungguh. Gerakan tangan mereka memberi isyarat untuk menyerang. Tapi karena Beng An tak berniat membuat ribut dan bukan maksudnya bertanding lagi dengan wanita-wanita Lembah Es yang hebat ini, yang hanya dapat dikalahkan dengan Pek-sian-sutnya maka dia mengangguk dan tiba-tiba menyambar Hwa Seng, teman seperjalanannya sejak dari Pulau Api.
"Baik, kalau begitu aku bicara di luar, Thio-cici. Dan maaf kubawa sebentar anggautamu ini!"
Hwa Seng menjerit. Tubuhnya tiba-tiba disambar dan seperti iblis saja Beng An membawanya keluar. Ada sesuatu yang membuat pemuda itu masih penasaran. Sang puteri tak menjawab pertanyaannya. Dan begitu ia berkelebat dan dua wanita itu bergerak, mengira Beng An mau kurang ajar maka pemuda ini mendengar bentakan agar tidak main-main dengan wanita di situ.
"Kim-kongcu, jaga rasa hormat kami kepadamu. Jangan main-main dengan seorang anggauta Lembah!"
"Benar, atau kami siap mampus membela harga diri, Kim-kongcu. Mau kau bawa ke mana murid kami itu dan mau kau apakan!"
"Ah," Beng An terkejut, segera sadar. "Aku tak mempermainkan siapa-siapa, Thio-cici. Kalian boleh ikuti aku keluar istana tapi berdirilah menjauh kalau aku bercakap-cakap. Aku hanya hendak berbincang sebentar dengan Hwa Seng!"
Dua tokoh Lembah Es itu mengejar di belakang. Mereka tak tahu apa maksud Beng An. Mereka mengira Beng An akan mempermainkan Hwa Seng, melepas marah dengan menghina Lembah Es. Tapi mendengar Beng An memperkenankan mereka mengikuti, hanya melarang agar sedlklt menjauh kalau pemuda ltu bicara maka ketika berkelebat dan keluar dari pintu gerbang istana benar saja Beng An menurunkan nona itu di luar istana.
Hwa Seng terkejut dan pucat memandang pemuda ini dan sedetik pikirannya juga terguncang. Apakah pemuda yang sudah menolongnya ini akan bersikap kurang senonoh seperti Yang Tek, pernuda Pulau Api itu. Tapi ketika Beng An menurunkannya di luar pintu gerbang dan pemuda itu menggigil memandang ke dalam, penasaran maka ternyata dia ditanya untuk dua hal.
"Seng-cici, aku hanya ingin bertanya kepadamu tentang dua hal. Pertama siapakah nama majikanmu itu dan benarkah bahwa Lembah Es diancam kutuk dan kemarahan arwah leluhur apabila berani menerima laki-laki!"
Gadis ini terbelalak, gemetar. Lalu ketika dia mengangguk dan ngeri memandang Wan-siocia, pimpinannya maka ia berkata tersendat, "Be... benar, tapi siapakah yang memberitahumu itu, kongcu. Kami selama ini beluun pernah membuktikan dan aku sendiri ragu. Lembah Es belum pernah membuktikan."
"Jadi kutuk dan kemarahan arwah leluhur benar-benar mengancam penghuni Lembah Es? Jadi karena itu Lembah Es tak memperkenankan laki-laki datang ke sini?"
"Bukan hanya itu, kongcu, tetapi lebih dikarenakan karena permusuhan nenek moyang kami Kim Kong Sengjin dan Han Sun Kwi..."
"Ya-ya, itu telah kau ceritakan. Tapi kau tak menceritakan bahwa kedatanganku bakal membuat sial di tempat ini."
"Aku tak mempercayainya, kongcu. Aku lebih menganggapnya sebagai tahyul!"
"Jangan sebut aku kongcu. Kau biasa memanggil namaku Beng An, Seng-cici. Bagaimana sekarang tiba-tiba berobah!"
"Ah, aku... aku tak berani, Kim-koncu. Pimpinan dan tokoh-tokoh kami menyebutmu begitu. Aku orang kecil di sini. Aku harus tahu hormat."
"Baik, kalau begitu pertanyaan pertama. Siapa nama tocu mu itu dan tidak bolehkah aku tahu!"
"Ia... ia Puteri Es!"
"Itu julukannya, bukan nama....!"
"Nanti dulu, bolehkah aku tinggal di sini barang sehari dua hari, Thio-cici. Atau aku bicara sebentar dengan Hwa Seng!"
"Kongcu mau bicara apa?" wanita itu terkejut, Beng An telah melepaskan diri.
"Aku masih ingin menikmati lembah Es cici. Atau berbincang-bincang sebentar dengan Hwa Seng hanya empat mata."
"Hmm, kau harus keluar dari istana!" wanita itu tiba-tiba bersikap keras. "Tocu telah memerintahkan kami, kongcu Atau kami bersikap tak hormat dan mengajak-mu keluar secara paksa!"
"Nanti dulu. Kalau begitu biarkan aku bicara dengan Hwa Seng cici barang sekejap!"
"Tak boleh di sini. Tocu telah mengusirmu, kongcu. Kalau hendak bicara harus di luar. Kami mengijinkan kau bicara dengan Hwa Seng tapi tak boleh di istana!"
Beng An terbelalak. Thio-siocia dan Wan-siocia ini telah menghadang di depannya dengan sikap sungguh-sungguh. Gerakan tangan mereka memberi isyarat untuk menyerang. Tapi karena Beng An tak berniat membuat ribut dan bukan maksudnya bertanding lagi dengan wanita-wanita Lembah Es yang hebat ini, yang hanya dapat dikalahkan dengan Pek-sian-sutnya maka dia mengangguk dan tiba-tiba menyambar Hwa Seng, teman seperjalanannya sejak dari Pulau Api.
"Baik, kalau begitu aku bicara di luar, Thio-cici. Dan maaf kubawa sebentar anggautamu ini!"
Hwa Seng menjerit. Tubuhnya tiba-tiba disambar dan seperti iblis saja Beng An membawanya keluar. Ada sesuatu yang membuat pemuda itu masih penasaran. Sang puteri tak menjawab pertanyaannya. Dan begitu ia berkelebat dan dua wanita itu bergerak, mengira Beng An mau kurang ajar maka pemuda ini mendengar bentakan agar tidak main-main dengan wanita di situ.
"Kim-kongcu, jaga rasa hormat kami kepadamu. Jangan main-main dengan seorang anggauta Lembah!"
"Benar, atau kami siap mampus membela harga diri, Kim-kongcu. Mau kau bawa ke mana murid kami itu dan mau kau apakan!"
"Ah," Beng An terkejut, segera sadar. "Aku tak mempermainkan siapa-siapa, Thio-cici. Kalian boleh ikuti aku keluar istana tapi berdirilah menjauh kalau aku bercakap-cakap. Aku hanya hendak berbincang sebentar dengan Hwa Seng!"
Dua tokoh Lembah Es itu mengejar di belakang. Mereka tak tahu apa maksud Beng An. Mereka mengira Beng An akan mempermainkan Hwa Seng, melepas marah dengan menghina Lembah Es. Tapi mendengar Beng An memperkenankan mereka mengikuti, hanya melarang agar sedlklt menjauh kalau pemuda ltu bicara maka ketika berkelebat dan keluar dari pintu gerbang istana benar saja Beng An menurunkan nona itu di luar istana.
Hwa Seng terkejut dan pucat memandang pemuda ini dan sedetik pikirannya juga terguncang. Apakah pemuda yang sudah menolongnya ini akan bersikap kurang senonoh seperti Yang Tek, pernuda Pulau Api itu. Tapi ketika Beng An menurunkannya di luar pintu gerbang dan pemuda itu menggigil memandang ke dalam, penasaran maka ternyata dia ditanya untuk dua hal.
"Seng-cici, aku hanya ingin bertanya kepadamu tentang dua hal. Pertama siapakah nama majikanmu itu dan benarkah bahwa Lembah Es diancam kutuk dan kemarahan arwah leluhur apabila berani menerima laki-laki!"
Gadis ini terbelalak, gemetar. Lalu ketika dia mengangguk dan ngeri memandang Wan-siocia, pimpinannya maka ia berkata tersendat, "Be... benar, tapi siapakah yang memberitahumu itu, kongcu. Kami selama ini beluun pernah membuktikan dan aku sendiri ragu. Lembah Es belum pernah membuktikan."
"Jadi kutuk dan kemarahan arwah leluhur benar-benar mengancam penghuni Lembah Es? Jadi karena itu Lembah Es tak memperkenankan laki-laki datang ke sini?"
"Bukan hanya itu, kongcu, tetapi lebih dikarenakan karena permusuhan nenek moyang kami Kim Kong Sengjin dan Han Sun Kwi..."
"Ya-ya, itu telah kau ceritakan. Tapi kau tak menceritakan bahwa kedatanganku bakal membuat sial di tempat ini."
"Aku tak mempercayainya, kongcu. Aku lebih menganggapnya sebagai tahyul!"
"Jangan sebut aku kongcu. Kau biasa memanggil namaku Beng An, Seng-cici. Bagaimana sekarang tiba-tiba berobah!"
"Ah, aku... aku tak berani, Kim-koncu. Pimpinan dan tokoh-tokoh kami menyebutmu begitu. Aku orang kecil di sini. Aku harus tahu hormat."
"Baik, kalau begitu pertanyaan pertama. Siapa nama tocu mu itu dan tidak bolehkah aku tahu!"
"Ia... ia Puteri Es!"
"Itu julukannya, bukan nama....!"