Putri Es Jilid 08 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

AKAN TETAPI gadis baju biru sudah mencengkeram dan menyambar tubuh kakek muka merah ini. Ia tidak menotok seperti encinya melainkan mencengkeram dan meremas leher itu. Tubuh Han Sun Kwi sudah seperti mayat namun bukan berarti mati, rohnya ada di gadis baju hijau itu. Dan ketika cengkeraman ini tepat mengenai leher dan gadis baju biru yang marah mengerahkan tenaga Pai-hai-kang (Menggempur Samudera) maka leher si kakek berkeretek namun saat itu gadis baju hijau melepaskan pukulan Giam-lui-ciang kearahnya.

"Dess..!" Kejadian cepat itu disusul keluhan tertahan gadis baju biru. la diserang saudaranya sendiri dan mencelat terlempar. Petir Neraka, pukulan itu menghantamnya telak dan seketika tubuh gadis baju biru hangus terbakar. Ia tewas dan tidak bergerak-gerak lagi, roboh. Dan ketika gadis baju putih terkejut dan mundur, terpekik maka Bu Sit sudah menyambar tubuh kakek itu dan membawanya ke tempat aman, jauh dari situ. Leher kakek ini miring sebelah karena bekas cengkeraman tadi.

"Heh-heh, bagus, anak muda. Bagus.. kau berlaku tepat sekali. Taruh tubuhku dibawah pohon itu dan jagalah!"

Gadis baju putih pucat. Ia terbelalak melihat saudaranya tewas, menjerit dan menyambar mayat gadis baju biru dan mengguguk di situ. Lalu ketika ia tersedu-sedu sementara pertandingan terus berjalan di antara dua orang sakti itu maka gadis baju hijau yang dipakai wadagnya oleh kakek muka merah terus mendesak dan menekan. Ia benar-benar bersikap seperti Han Sun Kwi dan ganas menyambar-nyambar. Pembunuhan yang baru saja dilakukan terhadap gadis baju biru disambutnya dengan tawa aneh, keji, tawa dari kakek muka merah karena sepenuhnya gadis baju hijau itu benar-benar telah dikuasai kakek ini.

Dan ketika ia terus menggempur dan menerjang kakek berjenggot pendek, Kim Kong Sengjin maka kakek itu menjadi susah dan repot. la terus menghindar dan mengelak sana-sini namun lawan terus mengejar, apa boleh buat menangkis dan Bu-kek-kang pun meledak bertemu pukulan panas. Dan ketika dua-duanya terhuyung namun tenaga gadis baju hijau kalah kuat, ia tak lebih kuat daripada Yogiwara tadi maka ia terpental dan kakek ini menggeram.

"Baik, kau rupanya mencari korban, iblis Han Sun Kwi. Kau tak akan sudah kalau aku belum merobohkan gadis ini. Baik tanggunglah dosamu di neraka dan maaf aku harus membunuh orang tak berdosa lagi"

Roh kakek muka merah tertawa bergelak. la diserang dan menangkis, terpental dan melototlah gadis baju hijau karena kalah tenaga. Dan ketika kakek itu membentak dan membalas dengan pukulan-pukulan berat maka gadis baju hijau terdesak karena si kakek sudah mengambil keputusan untuk melawan dan merobohkannya, apa boleh buat memaksa roh kakek muka merah keluar dan itu berarti membinasakan gadis itu.

Maka ketika Bu-kek-kang dikerahkan bertambah berat dan gadis baju hijau mengeluh akhirnya hawa panas dari Giam-lui-iang tertindih, terdesak dan terus menipis kemudian lenyap. Bu-kek-kang sekarang menguasai jalannya pertandingan dan akibatnya gadis ini pucat. Tawa yang semula terbahak-bahak tak terdengar lagi. Iblis Han Sun membiarkan wadagnya digempur tenaga dingin itu. Dan ketika pukulan terus menyambar tiada henti akhirnya gadis ini roboh terjengkang dan roh kakek itu melesat keluar dari tubuhnya.

"Dess!. Gadis baju hijau membeku. Ia memang dipakai kakek muka merah untuk membuat marah Kim Kong Sengjin, tewas dan kini roboh terkapar dengan tubuh membiru. Dan ketika iblis Han Sun Kwi melesat dan kembali ke wadagnya, yang dijaga Bu Sit maka tubuh kakek itu bergerak kembali dan tertawa, lehernya miring, agak sengkleh.

"Ha-ha, puas aku sekarang, Kim Kong Sengjin. Tapi keparat gadis baju biru itu. Dia membuat leherku miring, tak apa. Aku telah membunuhnya dan kau membunuh dua jiwa. Hayo, sekarang kita ke gunung dan boleh kita lanjutkan lagi pertempuran kita. Kau atau aku yang mampus!"

"Hm," kakek ini tertegun, wajahnya terbakar. "Kau telah berlaku benar-benar keji, Han Sun Kwi. Kau membunuh murid-murid Tung-hai Sian-li!"

"Ha-ha, kau membunuh murid Dhiran Sing, sama. Kau juga keji!"

"Tapi bukan aku yang memulai kau!" "Tidak, kau yang mulai dulu. Kau yang lebih dulu turun gunung, Kim Kong Seng-jin. Kau melanggar perjanjian!"

"Aku hanya mencegah bunuh-membunuh di sini, aku bukan hendak membunuh orang!"

"Tak perduli. Kau telah keluar dari pertapaanmu dan siapa yang lebih dulu keluar yang lain pun lalu ikut. Kau dulu juga menentang aku kalau aku keluar pertapaan. Tak usah cerewet, kau atau aku telah ditakdirkan untuk saling bermusuhan, Kim Kong Sengjin. Kau dan aku seumur jagad memang harus selalu bertikai. Ayolah, kita kembali dan boleh lanjutkan pertandingan lagi!"

Kakek ini tertegun. Ia memang telah melanggar perjanjian namun itu adalah untuk menolong sahabat-sahabatnya. Tapi karena lawan tak mau tahu dan siapa keluar harus siap menerima resiko, dulu Han Sun Kwi juga melanggar dan ia melabrak, maka kakek ini menarik napas dalam dan tiba-tiba bergerak melihat gadis baju putih itu.

"Han Sun Kwi, kau dan aku memang telah ditakdirkan untuk saling bermusuh, Kau selamanya tak mau tahu tentang alasan kebenaranku seperti juga aku tak mau tahu alasan kebenaranmu. Baik, kita lanjutkan tugas kita masing-masing, kakek iblis, Aku akan menandingimu tapi lewat gadis ini!"

"Ha-ha, kau mengambil murid? Bagus, aku juga punya pemuda ini, Kim Kong Seng jin. Boleh kita lanjutkan pertandingan kita melalui bocah-bocah ini!" kakek itu menyambar Bu Sit, mengangkatnya tinggi-tinggi lalu tertawa bergelak melompat jauh. Lawan telah menantangnya untuk melanjutkan pertarungan itu lewat murid, tentu saja ia menerima dan gembira. Capai juga kalau harus bertanding sendiri, terus-menerus. Jauh lebih baik mempunyai murid dan biar murid itulah yang meneruskan tugas mereka.

Dan ketika Kim Kong Sengjin juga menyambar dan mengangkat gadis baju putih, berkelebat dan lenyap meninggalkan tempat itu maka sejak itu, permusuhan di antara dua tokoh yang sudah ditakdirkan untuk gempur-menggempur ini diwakili murid-murid mereka. Pek Lian, gadis baju putih itu akhirnya menjadi murid Kim Kong Sengjin, menerima ilmu-ilmu dahsyat dan yang amat mengerikan adalah Bu-kek-kang yang berhawa dingin itu. Apapun bisa beku disambar ilmu ini.

Tapi karena di sana Bu Sit juga menjadi murid Han Sun Kwi dan tokoh hebat. ini juga memiliki Giam-lui-ciang, pukulan Petir Neraka maka setiap mereka beradu ilmu tak ada yang kalah atau menang di antara keduanya ini. Baik Bu Sit maupun gadis baju putih sudah sama-sama hebat dengan ilmu baru mereka. Berkali-kali mereka diadu guru mereka namun selalu berakhir seri. Tapi karena masíng-masing sama penasaran dan Pek Lian menyimpan dendam lamanya atas kematian subonya Tung-hai Sian-li dan juga saudara-saudaranya yang lain maka permusuhan itu tak pernah berhenti dan Bu Sit yang juga marah atas kematian suhu dan suhengnya sama-sama ngotot.

Adu ilmu di antara dua orang ini terus berlanjut dengan pewaris-pewaris baru, Kim Kong Sengjin dan Han Sun Kwi akhirnya hilang entah ke mana. Dan karena masing-masing juga terus bermusuh sampai mereka tua, mengambil murid dan murid-murid inilah yang melanjutkan permusuhan guru mereka maka keturunan atau generasi penerus dari gadis baju putih itu berada di Lembah Es, tinggal di tempat amat dingin itu sedang pewaris dari Bu Sit berada di Pulau Api, satu dari pulau-pulau berbahaya di Kepulauan Akherat.

Dan karena masing-masing bersumpah untuk membinasakan yang lain, tak mau sudah kalau belum membunuh musuh bebuyutan mereka maka tentu saja masing-masing juga membenci lawan jenis dan baik pihak Pulau Api ataupun pihak Lembah Es tak ada yang menikah! Dua tempat itu terisi oleh satu jenis kelamin saja, Lembah Es dengan wanitanya sedang Pulau Api dengan kaum laki-laki. Ratusan tahun permusuhan ini terus berlanjut.

Dan seribu tahun kemudian datanglah rombongan Gan-twako dan kawan-kawannya itu, tujuh belas lelaki yang akhirnya tewas terbunuh di situ. Dan ketika Ma-enghiong juga datang bersama dua temannya yang mencari dan menemukan jejak kawan-kawannya tapi tak mampu menghadapi pelayan-pelayan Puteri Es dan dua temannya juga terbunuh tapi laki-laki she Ma ini sendiri selamat berkat ampunan pemilik lembah.

Kisah di istana sendiri akhirnya berlanjut dengan mundurnya Wan-thai-suma dari kedudukannya. Menteri yang tertegun dan kecewa oleh perbuatan kakaknya pertama itu meletekkan jabatan. Tan Kiong, pangeran pemberontak ternyata tak hanya diam sampai di situ. Hilangnya pangeran itu setelah kegagalan di istana disusul oleh hilangnya pangeran nomor empat, adik bungsu mereka.

Dan karena memang sudah diketahui bahwa Tan Kiong berkomplot dengan saudara termuda maka Wan-thai-suma yang merupakan saudara ketiga menarik diri dan mundur dari jabatannya. Kali ini kaisar tak dapat memaksanya lagi dan kedudukan diserahkan kepada Yo Hong, pangeran nomor dua. Tapi karena pangeran ini merasa tak sebijak adiknya, Wan-thai-suma yang dikagumi maka dia juga menolak dan kaisar kecewa berat.

Dua orang saudaranya itu bahkan mengasingkan diri di luar kota raja dan urusan pemerintahan benar-benar ditangani kaisar sendiri. Ada banyak orang-orang di istana namun tak ada yang sebijak dan sepandai Wan-thai-suma. Kaisar tak percaya kepada orang-orangnya ini dan akibatnya tinggallah Thio-taijin mendampingi kaisar, sebisa-bisanya membantu kaisar menjalankan roda pemerintahan. Namun karena Ketua Agama ini adalah seorang yang sudah lanjut usia, tak lama kemudian sakit dan meninggal dunia maka sri baginda hilang semangatnya untuk memerintah lagi, apalagi Tan Kiong pangeran pemberontak itu akhirnya datang dan menyerbu lagi.

"Kalau boleh hamba pesankan agaknya tiada lain jalan bagi paduka adalah mengundurkan diri saja," begitu Thio-taijin memberi pesan sebelum meninggal. "Rakyat menjadi korban dari nafsu angkara murka, baginda. Hamba sependapat dengan Wan-thai-suma bahwa untuk ketenteraman batin adalah menyerahkan kedudukan dan hidup sebagai pertapa. Hamba sudah terlalu tua, tak dapat membantu paduka seperti orang-orang muda. Kalau paduka mau mengikuti nasihat hamba biarlah paduka mundur dan menyerahkan kekuasaan kepada Tan-ongya itu. Biarlah dia tahu bagaimana rasanya menjadi pemimpin dan dia tentu akan tergilas oleh nafsu ambisinya yang berlebihan. Maaf, hamba tak dapat berkata lain karena sesungguhnya pertikaian ini adalah pertikaian orang dalam istana sendiri. Terserah paduka, mau menyerahkannya atau tidak,"

Baginda termenung dan berhari-hari terngiang ucapan Ketua Agama itu. Dia juga sudah mulai digerogoti usia dan membayangkan betapa dirinya dirongrong dan diteror pemberontakan Tan-ongya itu dia menjadi marah juga. Kalau dulu dia memberikan kedudukan Thai-suma kepada Tan-ongya itu barangkali tak akan ada kejadian ini. Karena benci dan iri atas kedudukan itulah Tan-ongya memberontak. Dia merasa lebih pantas menduduki jabatan itu karena dialah pangeran tua. Haknya merasa dilanggar oleh yang muda dan karena itu lalu timbul permusuhan di antara pangeran itu dengan Wan-thai-suma.

Tapi karena Sri baginda melihat watak-watak Wan-suma lebih baik, Tan-ongya adalah seorang ambisius yang serakah maka dia sengaja menjatuhkan pilihan pada Wan-thai-suma bukannya Tan-ongya. Dan akibatnya adalah pemberontakan ini. Kalau dulu Tan-ongya sekedar ingin merebut kedudukan Menteri Utama maka tujuannya sekarang ditingkatkan, bukan hanya Thai-suma melainkan penguasa penuh, kaisar!

Dan sakit oleh pertikaian antar saudara ini kaisarpun menjadi pusing dan limbung. Dua hari kaisar sakit. Kematian Thio-taijin benar-benar membuatnya lemah semangat dan karena tak ada orang-orang yang cakap lagi maka kaisarpun mengambil keputusan, siap menyerahkan kedudukan asal Tan-ongya tak mengadakan bunuh-membunuh lagi. Rakyat juga mulai hidup sengsara dan ketakutan oleh setiap serbuan-serbuan yang dilakukan pemberontak.

Kaisar menggigit bibir dan tak ingin menumpahkan darah rakyatnya lagi, apalagi sebetulnya permusuhan itu adalah permusuhan kerabatnya sendiri. Maka ketika suatu hari kaisar mengumpulkan pembantu-pembantunya dan memanggil Wan-suma dan Pangeran Yo, yang hidup bertapa dan mengasingkan diri bersama keluarga, Sri baginda mengeluarkan kata-kata mengejutkan, bahwa ia ingin mundur!

"Aku tak ingin mengorbankan rakyat. Aku tak ingin darah rakyatku bercucuran lagi. Biarlah Tan-ongya menggantikan kedudukanku dan aku akan mengasingkan diri bersama Wan-suma dan Pangeran Yo!"

Para menteri gempar. Mereka kaget sekali dan Wan-suma serta Yo-ongya sendiri terkejut. Mereka datang karena perintah kaisar, bertanya-tanya dan kini tiba-tiba mendengar ucapan itu. Seorang kaisar hendak turun secara suka rela, hampir mustahil! Tapi karena keputusan telah ditetapkan dan semua itu dilakukan sri baginda untuk menghentikan korban-korban berjatuhan maka ketika kemudian Tan-ongya diberi tahu pangeran inipun hampir tak percaya. Ada rasa tersentak namun girang. Ia di ujung keberhasilan, perjuangannya tak sia-sia. Tapi ketika ia datang dan membawa pasukannya tentu saja, berhadap-hadapan maka wibawa dan sinar mencorong dari kaisar tak dapat dilepaskannya begitu saja.

"Saudaraku, aku hendak menyerahkan kedudukanku kepadamu, tulus. Aku tak ingin ada pertumpahan darah lagi di antara pengikut-pengikut kita. Betapapun mereka adalah rakyat kita, saudara-saudara kita juga. Maka terimalah kedudukanku tapi jagalah ketenteraman dan kesejahteraan rakyat, atau kau akan mendapat marah mereka dan sia-sia ambisimu untuk memperoleh kedudukan tinggi!"

Sang pangeran merah mukanya. Kalau kaisar bukan tokoh istana yang berwibawa dan saat itu dijaga bala tentaranya pula mungkin dia akan menyerang dan membunuh orang ini. Namun ada banyak mata di situ, jumlahnya tak kurang dengan jumlah pasukannya sendiri dan pangeran ini hanya merah saja. Dia tertawa masam, tentu saja tak ambil perduli dan selanjutnya dia menerima kedudukan itu. Baru kali ini ada kaisar mengosongkan kursi untuk diberikan orang lain, begitu mudahnya. Dan ketika ia menduduki jabatan itu dan kaisar pergi mengasingkan diri, turut bersama Wan-suma dan Yo-ongya maka beberapa dari keluarga istana ini, tentu saja wanita, dititipkan atau tinggal bersama murid Tung-hai Sian-li yang tinggal di Lembah Es itu.

Wan-thai-suma teringat gadis baju putih ini dan ketika gadis itu berkunjung maka diambilnya puteri-puteri yang cocoki untuk menjadi teman gadis ini. Gadis itu tak pernah menikah seumur hidupnya dan karena itu kesepian hidup sendiri, datang ke tempat Wan-thai-suma dan kebetulan dipilihlah puteri-puteri ayu sebagai teman. Satu di antaranya bahkan puteri Wan-suma sendiri, beserta keponakan dari Pangeran Yo di mana seorang puteri kaisar yang lain juga turut. Dan ketika gadis itu pergi membawa teman-teman baru, sahabat atau puteri-puteri istana ini mendapat ilmu silatnya pula maka Lembah Es atau tempat wanita-wanita bangsawan itu menjadi angker dan ratusan tahun lamanya tak pernah dijamah lelaki.

Bu Sit dan ahli warisnya juga tak pernah memperbolehkan wanita tinggal di situ. Bagi penghuni Pulau Api maka membawa wanita adalah pantangan. Mereka boleh saja mencari wanita dan mengambilnya sebagai isteri namun harus jauh di luar pulau, sekedar mencari keturunan dan keturunan inilah yang dibawa ke Pulau Api, tentu saja harus laki-laki. Dan ketika hal itu berlangsung beratus-ratus tahun dan penghuni Lembah Es maupun Pulau Api tetap.bermusuhan dalam, masing-masing belum ada yang kalah atau menang di saat itu maka Tan Kiong atau pangeran pemberontak akhirnya terbunuh oleh puteranya sendiri, karena pangeran itu ingin berkuasa seumur hidup dan bersikap bengis kepada setiap orang, termasuk puteranya itu.

Kejayaan pangeran ini memang tak berlangsung lama. Dinasti Han mulai runtuh dan satu demi satu berguguran. Terlampau banyak orang-orang berambisi lain yang ingin merebut kekuasaan. Mereka ingin menikmati kesenangan dan kemewahan hidup keduniawian, akibatnya saling gontok dan bunuh-membunuh sendiri. Dan ketika kaisar di pengasingan menutup mata, wafat, maka pangeran itu terbunuh oleh pemberontakan lain yang dicetuskan oleh puteranya sendiri.

Lembah Es dan Pulau Api tak berhubungan lagi dengan dunia luar. Mereka sibuk menggembleng murid-murid sendiri untuk menjadi pemenang dalam permusuhan abadi ini. Mereka adalah penerus Kim Kong Sengjin dan Han Sun Kwi si pertapa sakti, pewaris dari ilmu-ilmu dahsyat Bu-kek-kang dan Giam-lui-ciang. Dan karena mereka selalu menang kalah dalam pertandingan-pertandingan maut, masing-masing penasaran dan menjadi semakin sakit hati maka dua keturunan dari dua dedengkot Himalaya itu benar-benar menjadi musuh abadi.

Lembah Es tak memperkenankan laki-laki memasuki wilayahnya seperti juga Pulau Api tak memperkenankan wanita memasuki pulaunya. Tapi karena bumi terus berputar dan peristiwa-peristiwa baru selalu muncul maka ada-ada saja hal-hal buruk yang mengganggu dua tempat itu. Lembah Es dengan datangnya rombongan petualang sementara Pulau Api dengan kisahnya sendiri. Mari kita ikuti!

* * * * * * * *

Waktu itu, bertepatan dengan bulan purnama yang memancarkan cahayanya ke seluruh pelosok Kepulauan Akherat maka di tengah-tengah kepulauan ini, di Pulau Api terdengar pekik dan irama-irama genderang yang panas dan bertubi-tubi, gencar. Ada pesta adat di situ. Hari itu setahun sekali penghuni pulau hendak merayakan sesaji besar-besaran kepada nenek moyang mereka Han Sun Kwi. Biasanya pesta adat ini jatuh pada bulan keenam di hari kelima belas, jadi tepat pertengahan tahun di mana bulan purnama akan memancarkan sinarnya yang paling bundar.

Dan karena pesta ini sudah berlangsung turun-temurun, biasanya mereka akan mempersembahkan kepala kerbau atau hewan-hewan lain sebagai tumbal maka biasanya di pesta itu akan terjadi penambahan ilmu kepada murid-murid yang dinilai paling berjasa. Dan selama lima tahun ini hadiah-hadiah besar selalu jatuh kepada tiga murid utama, yang tampaknya memang selalu berjuang dan berusaha keras untuk membuat jasa yang paling besar. Tapi hari itu ada kegemparan besar yang mengguncang penghuni pulau. Yang Tek, satu di antara tiga murid utama konon katanya membawa seorang dari penghuni Lembah Es.

Pemuda itu dikatakan membawa hadiah paling berharga bagi upacara adat, bukan kepala kerbau yang akan dipersembahkan melainkan kepala gadis cantik penghuni lembah, musuh bebuyutan mereka. Dan karena kabar ini menggemparkan semua penghuni, malam itu upacara adat bakal menjadi ramai maka ketika bulan purnama muncul di langit yang hitam bersih maka semua laki-laki berkumpul di tengah lapangan merah di mana hampir semuanya memukul kendang dan kencrengan dengan suara hingar-bingar, disusul oleh pekik-pekik macam srigala kelaparan atau harimau buas.

Tiga ratus penghuni tampak garang-garang dan tinggi besar. Mereka rata-rata bertubuh tegap dengan otot-otot kuat. Tiga pemuda tampak duduk di barisan depan dengan sikap tenang namun pandangan tajam. Mereka sejak tadi tak bergerak dan hanya tiga orang inilah yang tak memukul kendang atau kencrengan. Mereka diam seperti arca sementara pemuda di tengah tersenyum-senyum. Inilah Yang Tek yang katanya berhasil membawa satu dari penghuni Lembah Es itu.

Pemuda ini bertubuh tinggi besar dengan kedua pundak kokoh. Wajahnya kemerah-merahan sementara matanya bagai elang menyambar-nyambar, tajam mengerling sana-sini sementara dua pemuda di kiri kanannya kelihatan acuh. Mereka adalah tiga murid utama Pulau Api yang hari itu bersiap meramaikan upacara, datang dan berada di barisan depan untuk sebentar lagi menghadapi ketua. Tapi ketika Yang Tek berseri-seri dan tampak sombong, merasa diri paling berharga maka dua pemuda di kiri kanannya yang juga tinggi besar dengan lengan berotot memandang mengejek dan satu sama lain tampak melempar isyarat rahasia.

Malam itu ketua akan hadir untuk memimpin upacara. Biasanya kalau bulan sudah hampir di atas kepala maka ketua baru muncul, para penghuni diharuskan menunggu dulu sambil memukul genderang atau alat-alat bunyi lainnya. Dan ketika suasana pesta mulai memuncak dan beberapa di antaranya menyoraki Yang Tek, memuji dan menyanjung-nyanjung pemuda itu sebagai pahlawan bagi sesaji maka pemuda ini sombong memancarkan kecongkakannya.

Pulau Api sudah semakin merah membara oleh tungku-tungku besar yang dinyalakan sebagai api unggun. Di tengah-tengah lapangan, di atas rumput memerah tampak sebuah panggung kecil dengan meja altar terbuat dari kayu hitam berukir. Ada panci dan gergaji di situ, juga bunga-bunga aneh yang baunya busuk namun bagi lelaki penghuni pulau amatlah harum dan dianggap bunga keramat. Bunga itu direndam dalam tengkorak seekor kerbau dan air bunga inilah yang nanti dibagi-bagikan.

Para murid atau penghuni akan berteriak histeris kalau sudah mendapat cipratan air bunga ini. Mereka percaya bahwa air bunga itu membawa keberuntungan, bunga dari nenek moyang mereka Han Sun Kwi si tokoh sakti. Dan karena air bunga itu dipercaya membawa berkat, siapa yang kecipratan dan tak kering meskipun digosok maka mereka percaya bahwa Han Sun Kwi sendiri akan turun ke dunia dan memberikan ilmunya yang paling tinggi kepada mereka.

Tiga pemuda itu, yang duduk di depan adalah pemuda-pemuda lihai yang kepandaiannya amat tinggi. Mereka adalah murid-murid tocu (pemilik pulau) dan menjadi murid utama. Yang Tek adalah murid nomor satu sedang dua yang lain adalah sute-sutenya. Masing-masing pemuda itu mengenakan baju dari kulit di mana baju ini mereka cat dengan warna-warna cerah. Yang Tek dengan warna biru sedang dua pemuda yang lain mencat baju kulit mereka dengan warna hitam dan merah.

Semuanya sebenarnya tampan namun karena mereka rata-rata garang dan tak pernah tersenyum, kecuali Yang Tek yang malam itu gembira mempersembahkan hasil maka hanya pemuda ini yang tampak sedikit ramah, meskipun keramahannya berkesan sombong karena sesungguhnya ia tersenyum karena girang dan bangga mampu menonjolkan diri di malam keramat itu, mempersembahkan satu di antara penghuni Lembah Es untuk dijadikan korban bagi nenek moyang mereka Han Sun Kwi.

Pemuda kedua, yang berbaju hitam sebenarnya bukan pemuda sembarangan. Ia justeru putera tunggal pemilik pulau yang bernama Tan Bong, tentu saja lihai namun karena ia sute dari suhengnya Yang Tek maka kepandaiannya sedikit di bawah pemuda tinggi besar itu meskipun kepandaian mereka sesungguhnya hanya berselisih seurat saja. Pemuda ketiga, yang berbaju merah adalah murid nomor dua dari pemilik pulau. Namanya Gun Siauw Lok dan kepandaiannya setengah urat dibanding suhengnya Yang Tek.

Melihat data-data ini saja dapat kita ketahui betapa tipisnya selisih kepandaian di antara tiga pemuda itu. Masing-masing sebenarnya sama hebat hanya mereka berbeda dalam masa lama latihan, Yang Tek sudah dua puluh tahun digembleng oleh tocu sedangkan Siauw Lok sembilan-belas tahun lebih sedikit. Tan Bong, yang termuda, baru delapan belas tahun digembleng ayahnya dan hanya karena masa didikan yang berbeda-beda inilah selisih kepandaian mereka terpaut tidak terlalu jauh. Dan karena selama ini tiga pemuda itu selalu berlomba dan dahulu-mendahului maka kepandaian mereka maju pesat dan tak aneh kalau mereka menjadi murid-murid utama andalan Pulau Api.

Tapi apakah hanya tiga pernuda ini yang menjadi tulang punggung pulau? Tidak, karena di pulau itu di samping ketua masih ada dua orang wakil lagi yang kepandaiannya amat hebat. Sang tocu, pemilik sendiri harus mengakui bahwa kalau ia tidak berlatih keras tentu kepandaiannya akan dilanggar oleh dua wakil itu. Mereka juga adik-adik seperguruannya dan di situ berlaku hukum siapa terkuat dialah yang memimpin. Yang di bawah harus minggir dan mengalah.

Dan karena diam-diam di pulau ini juga terjadi persaingan ketat antara ketua dan wakilnya maka tidak aneh kalau ketika mereka berlatih terdengar pekikan-pekikan atau jerit melengking yang suaranya dahsyat menggema keluar pulau. Dan suara-suara inilah yang oleh penduduk di luar gugusan Kepulauan Akherat dianggap sebagai suara-suara iblis atau siluman yang sakit hati!

Siapakah ketua dan dua wakilnya yang saat itu memimpin pulau? Mereka bukan lain adalah generasi keturunan Bu Sit dan keluarga pangeran pemberontak, generasi keluarga Tan dan See, yakni pangeran bungsu yang dulu membantu pangeran sulung. Mereka-mereka inilah yang menjadi dedengkot Pulau Api namun karena masing-masing dari nenek moyang yang berbeda maka sesungguhnya terjadi semacam perebutan pengaruh di antara pemimpin-pemimpin pulau ini.

Bu Sit, yang akhirnya menjadi cikal bakal keluarga Bu terus melahirkan keturunan-keturunan baru bermarga Bu. Tapi karena dulu pemuda itu juga berkomplot dengan Tan-ongya dan adik bungsunya, bergaul dan berhubungan dengan keluarga istana ini maka darah biru juga memasuki penghuni Pulau Api di mana keturunan atau penerus keluarga Tan dan See ikut mempelajari ilmu. Hal ini dilakukan Bu Sit setelah dulu gadis baju putih mengambil kerabat-kerabat keluarga Wan dan Yo, juga kaisar sendiri.

Pemuda itu melakukan ini semata untuk membuat perimbangan. Kalau dia dikeroyok dan harus menghadapi sekian banyak wanita berkepandaian tinggi tentu dia kalah. Maka ketlka dia mengambil keturunan-keturunan pangeran Tan dan See untuk memperkuat diri, menggembleng mereka dengan warisan Han Sun Kwi maka pemuda ini mengimbangi lawan di mana pihak Lembah Es juga memperkuat diri dengan barisan-barisan dari keluarga Wan-suma dan Yo-ongya. Hal itu berlangsung terus sampai masing-masing pihak tak ada yang kalah atau menang.

Setiap keluarga lawan menambah orangnya tentu pihak yang lain memperkuat tenaganya pula, begitu berabad-abad. Dan karena di pihak Pulau Api terdapat tiga keturunan dari masing-masing cikal bakal, keluarga Tan dan See akhirnya seimbang dan selihai keluarga Bu maka dalam pertandingan-pertandingan mencari yang terkuat di sini silih berganti keluarga Bu dan Tan atau See menjadi pemimpin. Waktu itu keluarga Tan kebetulan lebih kuat.

Tan Siok, ayah Tan Bong menjadi orang paling lihai di Pulau Api. Dialah yang paling hebat pukulan Petir Neraka-nya dan dua tokoh yang lain harus mengalah. Mereka kalah seusap dibanding ketua ini. Tapi karena mereka terus berlatih ilmu dan tiga tahun sekali ketua harus diuji, ini membuat persaingan di antara mereka ketat maka tokoh Pulau Api yang tentu saja tak mau digeser ini juga menggembleng dan melatih dirinya.

Hari itu acara adat kebetulan jatuh sama dengan masa jabatan ketua. Sudah tiga tahun ini Tan Siok memimpin Pulau Api dan sudah waktunya diuji. Kalau dia mundur, atau sakit misalnya, tentu saja harus menyerahkan jabatan kepada wakilnya. Dan dari dua orang wakil akan ditentukan siapa yang paling kuat, keluarga See atau keluarga Bu. Tapi karena ketua selama ini sehat-sehat saja, juga rajin melatih dan menggembleng diri maka agaknya sukar bagi dua wakil ketua untuk merebut kedudukan.

Malam itu acara adat akan dilanjutkan dengan pemilihan ketua baru Kalau dua wakil mengalah tentu tak akan terjadi pertandingan uji coba, berarti tak akan ada keramaian setelah itu. Tapi kalau dua wakil merasa ingin mencoba keberuntungan Pulau Api tak boleh dipimpin tokoh yang lemah maka penghuni tentu saja menjadi tegang dan gembira untuk melihat adanya pertandingan hebat. Ketua dan wakil ketua biasanya hampir berimbang. Masing-masing hampir sama namun kecerdikan dan keunggulan fisik turut berperan. Siapa kalah cerdik dan kalah prima biasanya kalah.

Maka ketika malam itu diumumkan akan adanya pemilihan ketua, wakil ketua diminta untuk tetap pada posisinya atau naik tingkat maka penghuni menjadi ramai berbisik-bisik untuk meramal apa yang kira-kira akan terjadi.Ketua bisa tetap menduduki jabatannya yang sekarang dan wakil mengalah atau mungkin wakil ketua akan maju dan menguji ketua. Kalau ini yang terjadi, ketua diuji wakilnya maka dua hasil yang akan diperoleh, sang ketua kalah atau wakil yang menang. Dan biasanya dalam adu ilmu demikian pasti salah seorang akan roboh. Mati atau luka berat dalam pertandingan ini tak boleh dilanjutkan dendam!

Bulan di atas kepala semakin tegak memancarkan cahayanya yang keemasan. Pulau Api sudah riuh dengan akan dimulainya pesta dan suasana panas mulai memuncak. Ada teriakan-teriakan bahwa ketua akan tetap menduduki kursinya. Tapi ketika ada teriakan pula bahwa it-hu-pangcu (wakil pertama) akan menggeser ketua maka penghuni ramai menyalak dengan suara mereka sendiri-sendiri. Dari teriakan atau pekikan kasar penghuni pulau dapat ditarik kesimpulan bahwa dua jago mendapat perhatian besar.

It-hu-pangcu adalah dari keluarga Bu sedang ketua adalah dari keluarga Tan. Masing-masing akan bertanding atau wakil ketua akan mempercayakan jabatan itu lagi kepada ketuanya. Tapi karena sudah tersimpan kabar bahwa it-hu-pangcu akan menguji, konon wakil pertama ini sudah mendapatkan kemajuan ilmunya yang amat dahsyat maka penghuni atau murid-murid Pulau Api menanti kejadian itu dengan hati tegang. Mereka sudah mulai menjagokan jagonya masing-masing dan terdengarlah teriakan-teriakan kasar itu.

Waktu semakin mendekati titik puncak dan ketika genderang dipukul semakin gencar ramailah terdengar seruan-seruan bahwa pangcu akan mundur, hal yang membuat merah muka pemuda baju hitam yang sejak tadi mendengarkan ini. Ia diam tak bergerak ketika teriakan-teriakan masih mengunggulkan nama ayahnya. Tapi ketika ayahnya disebut-sebut akan mundur dan nama it-hu-pangeu dijagokan ke atas maka pemuda yang tak dapat menahan diri dan menoleh ini tiba-tiba membentak,

"Diam, kalian tak perlu menggonggong seperti anjing!"

Dahsyat sekali bentakan itu. Tan Bong yang menyerukan suaranya dengan marah terdengar menggetarkan jantung orang-orang di situ. Ia meloncat dan sigap membalik, suara dari kelompok yang menyanjung it-hu-pangcu dipandang. Sepasang matanya mencorong merah dan terkejutlah kelompok itu oleh pandang mata pemuda ini. Dan ketika semua diam sementara genderang dan kencrengan berhenti dipukul maka Yang Tek, pemuda baju biru juga bangkit berdiri dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

"Kalian tak usah menjagokan siapa-siapa. Ini urusan pimpinan kita. Berhenti dan bicaralah yang lain!"

"Hm!" sebuah suara tiba-tiba terdengar, dingin dan bernada marah. "Kenapa mereka tidak boleh menyebut-nyebut namaku, Yang Tek? Bukankah setiap orang boleh menjagokan jagonya masing-masing? Bicaralah, berteriaklah. Siapapun boleh bicara bebas di pulau ini untuk saat seperti ini!"

Seorang laki-laki tinggi sedang tiba-tiba muncul. Ia tahu-tahu sudah berada di depan dua pemuda itu dan mengibas, perlahan saja tapi Yang Tek terhuyung, hampir terjungkal! Dan ketika Tan Bong mengelak mundur dengan cepat melompat jauh ke belakang maka ia terbebas dari kibasan, namun saat itu muncul bayangan lain berkelebat menengahi.

"Bu-suheng, tak usah meladeni omongan anak-anak. Sudahlah, kita sedang merayakan upacara adat dan menghormati nenek moyang kita. Pangcu akan datang!"

Muncul seorang laki-laki tinggi kurus berwajah tampan. Pakaiannya indah dan begitu ia datang begitu pula ia menahan pundak laki-laki tinggi sedang ini, yang lehernya berkalung rantai perak yang kemerah-merahan. Dan ketika laki-laki ini ter-belalak namun menahan marah, ia adalah it-hu-pangcu Bu Kok maka laki-laki tinggi kurus, yang bukan lain adalah wakil kedua sudah menenangkan dirinya dengan mengajaknya ke altar.

"Pangcu akan datang, Tan-suheng memerintahkan menyiapkan sesaji!"

"Hm!" hanya itu dengus pendek laki-laki ini. Ia berkelebat dan tahu-tahu sudah di altar tengah panggung itu, mengangkat tangan dan semua orangpun tak ada lagi yang berisik. Wajahnya yang kemerah-merahan ditimpa sinar bulan tampak begitu garang dan berwibawa, lengannya berotot dan tampak kokoh. Dan ketika ia mengangkat tangan tinggi-tinggi dan berseru ke segala penjuru maka terdengarlah suaranya yang jauh lebih hebat dari pada bentakan Tan Bong tadi, putera ketua,

"Anak-anak, kita malam ini akan mempersembahkan sesaji kepada dewa kita Han Sun Kwi. Dan malam ini kebetulan juga ketua akan mengakhiri masa jabatannya. Nah, karena waktu sudah tiba bagi kita untuk memulai upacara maka diminta kepada yang berkepentingan untuk menyerahkan dan mengeluarkan sesaji persembahan!"

Yang Tek, pemuda yang dimaksud bergerak menerima perintah. Dialah yang menyatakan diri sebagai penyerah tumbal dan karena semua sudah mendengar akan keberhasilannya menangkap penghuni Lembah Es maka pemuda itu menghilang sejenak ke gugusan batu-batu karang di belakang lapangan rumput itu. Dia tadi terkejut dan marah oleh kelakuan susioknya ini tapi karena menyadari keadaan ia menahan kemarahan. Ia tadi dikibas dan tidak siap, kalau siap belum tentu dapat dibuat malu. Tapi ketika kini ia diminta menyerahkan sesaji dan itu sebuah kehormatan, ia dapat berbangga kepada semuanya nanti tiba-tiba pemuda itu pucat mukanya karena gadis tawanan yang disembunyikannya di dalam sebuah guha ternyata lenyap!

"Ah, di mana dia?" pemuda ini kebingungan. "Keparat, di mana tawananku?" dan ketika dia mencari-cari namun tetap juga tak berhasil, gadis tawanan lenyap maka terdengar seruan menggelegar dari paman gurunya itu,

"Penyerah tumbal, harap cepat ke mari!" Pemuda ini terpaksa kembali. Ia harus datang menerima panggilan, tangan masih kosong tapi apa boleh buat. Dia sudah terlalu lama. Dan ketika semua orang heran bahwa ia tak membawa gadis tawanan itu, sesaji yang akan dijadikan tumbal maka Yang Tek berlutut di bawah altar melapor,

"Susiok, tawanan hilang. Maafkan teecu yang harus mencarinya dulu!"

"Hm, hilang? Atau kau hanya menjual berita kosong?" sang wakil ketua bicara bengis, tertawa mengejek. "Kau jangan main-main, Yang Tek. Semua tahu hukumanmu kalau tidak benar. Kami sudah tak ada waktu karena bulan sudah di atas kepala. Kalau kau ingin mencari maka hanya ada lima detik bagimu dan pergilah!"

"Susiok!"

"Tak ada tawar-menawar lagi. Pergi dan cari, lima detik. Atau kau menggantikannya dan menjadi tumbal di sini!"

Wajah riang dan bangga yang tadi ada tiba-tiba berubah menjadi pucat pasi pada wajah pemuda tinggi besar ini. Semua juga terkejut dan maklum akan apa yang bakal terjadi. Sudah menjadi peraturan bahwa penyerah tumbal yang gagal harus mengganti dengan dirinya sendiri. Yang Tek harus menyerahkan kepalanya dan dipenggal di situ. Darahnya akan ditampung di panci yang disiapkan dan ini berarti malapetaka. Siapa mau dibunuh!

Memang ada kesempatan bagi Yang Tek untuk mencari tawanan yang hilang tapi mendengar bahwa waktu yang diberikan adalah lima detik saja, begitu singkat dan tak masuk akal maka semua melengak dan terkejut. Tapi it-hu-pangcu berkata bahwa puncak upacara sudah akan dimulai, bulan memang sudah hampir tegak lurus di kepala dan waktu memang mepet. Maka ketika pemuda itu tertegun sementara orang-orang lain terbelalak, tak mungkin pemuda itu berhasil tiba-tiba terdengar suara berat yang ditujukan kepada pemuda ini,

"Yang Tek, tawananmu lari ke kamarku. Ambil dan bawalah dia ke mari!"

Bagai iblis muncul sesosok asap merah. Asap ini meledak dan tahu-tahu muncul seorang laki-laki gagah berjenggot kemerahan, berdiri dan sudah berada di antara it-hu-pangcu dan pemuda itu. Laki-laki ini mengenakan jubah merah dan wajahnya yang merah kehitaman tampak keras dengan sepasang mata berkilat-kilat, tajam bagai naga sakti! Dan ketika semua berseru menjatuhkan diri berlutut karena itulah tocu atau pangcu (ketua) dari Pulau Api maka Yang Tek yang terkejut tapi girang melihat kedatangan gurunya ini sekonyong-konyong berkelebat dan sekejap kemudian ia sudah menghilang muncul lagi dengan seorang gadis di pondongnya yang berteriak-teriak.

"Lepaskan aku... jahanam! Lepaskan aku...!"

Penghuni tiba-tiba bersorak. Mereka berdiri dan serentak memandang pemuda itu dan semua terbelalak melihat gadis Lembah Es ini. Gadis itu cantik sekali dan pakaiannya yang compang-camping membangkitkan gairah lelaki, apalagi ketika Yang Tek meraba pahanya dan mengelus-elus bagian itu. Gadis ini meronta-ronta, tersedu. Namun ketika Yang Tek melemparnya di panggung altar dan semua bersorak maka tocu atau pangcu dari Pulau Api mengangkat tangannya, berseru,

"Diam, jangan gaduh!" lalu ketika semua terkejut namun memandang beringas, adanya seorang wanita di situ menimbulkan birahi yang hebat maka tocu berseru lagi dengan suaranya yang berat dalam, penuh pengaruh, "Malam ini kita akan mengadakan pesta leluhur. Muridku Yang Tek telah dengan berani memasuki Lembah Es dan berhasil menangkap seorang penghuninya. Dan karena ia menjadi satu-satunya orang yang paling berjasa maka sesuai peraturan ia berhak menerima hadiah, pangkat atau ilmu kepandaian!"

Pemuda itu berseri-seri. Ia tidak lagi mengamati wajah susioknya yang berubah gelap, setelah tadi dengan wajah bengis dan senyum kemenangan siap menjatuhkan hukuman mati. Dan ketika tocu sudah bicara sementara ia diminta memilih, pangkat atau ilmu kepandaian maka sang tocu menyuruh pemuda itu berdiri di depan altar, menghadap tetua-tetua.

"Jawab, apa yang kau inginkan, Yang Tek. Kepandaian ataukah pangkat!"

"Teecu tak ingin kedudukan. Teecu Ingin kepandaian, suhu. Kalau boleh teecu ingin mewarisi Giam-lui-ciang hingga tingkat sepuluh!"

"Hm, aku dan susiokmu sendiri baru tingkat delapan dan tujuh. Kau terlalu berambisi, Yang Tek. Tapi tak apa, bagus. Itu menunjukkan semangatmu yang besar dan kau patut menjadi murid Pulau Api. Hm,sekarang kita mulai pesta dan lepaskan gadis itu!"

Sang ketua menggoyang lengan dan menyuruh lepaskan tawanan. Dan begitu tangan diangkat genderang dan kencrengpun dipukul gencar. Para penghuni bersorak! Yang Tek telah meminta hadiahnya dan ia betul. Kalau kedudukan, tentu ia menjadi wakil nomor tiga. Pemuda itu baru mewarisi Giam-lui-ciang sampai tingkat lima dan kalau ia ingin ke tingkat enam atau tujuh tentu saja harus meminta ilmu itu. Sudah menjadi peraturan bahwa murid yang berjasa wajib menerima hadiah, entah pangkat atau ilmu.

Maka begitu Yang Tek meminta kepandaian dan itu sudah dikabulkan maka adalah giliran pemuda itu untuk melepas tawanan dan mendemonstrasikan bagaimana dia menundukkan atau mengalahkan lawannya itu, seolah melakukan adegan ulang. Dan begitu pemuda ini bergerak dan membebaskan totokan, gadis Lembah Es itu meloncat bangun sekonyong-konyong ia berteriak dan menerjang pemuda itu.

"Yang Tek, kau iblis keji!"

Genderang dan bunyi-bunyian gencar kian ditinggikan. Suaranya begitu berisik sementara riuh dan sorak penghuni Pulau Api bagaikan iblis berpesta. Ketua sudah membuka isyarat dan adalah mengasyikkan menonton pertandingan itu. Gadis itu menerjang dengan pakaian compang-camping, memperlihatkan paha dan pundak atau kulit lengannya yang halus. Dan ketika Yang Tek mengelak dan gadis itu membalik, memekik maka dia sudah mengejar dan melancarkan pukulannya bertubi-tubi. Genderang dan bunyi-bunyian memekakkan telinga dan gadis itu bagaikan gila. Ia menjerit dan memaki-maki lawan namun suaranya tenggelam oleh pekik dan riuh genderang.

Para laki-laki di situ melonjak dan menari-nari melihat pertempuran ini. Yang Tek mengelak dan berloncatan namun ketika lawan berkelebat dan menyambar-nyambar mendadak iapun membentak dan mengikuti. Tubuh pemuda ini berseliweran naik turun dan lawan yang berkelebatan diimbangi dengan kecepatan yang sama. Dan ketika penghuni bersorak agar pemuda itu membalas lawan, Yang Tek berseri dan tertawa mengejek maka terdengar seruan agar gadis itu ditelanjangi.

"Yang-suheng, beri tontonan kepada kami yang menarik. Cabut pakaian gadis itu, telanjangi satu demi satu!"

"Benar," yang lain bersorak. "Beri kami pemandangan indah, suheng. Cabut pakaian gadis itu dan perlihatkan kepada kami kemulusan tubuhnya!"

"Ha-ha, dia cukup hebat, para sute, dan aku sudah menikmatinya. Karena dia akan menjadi tumbal biarlah untuk pelepas dahaga kalian lihat kemulusan tubuhnya... brett..!” tangan pemuda itu bergerak, menangkis sebuah serangan dan ketika dia merunduk dan menyelinap tahu-tahu jari-nya sudah menyusup di bawah ketiak gadis itu. Yang Tek meraba buah dada gadis ini untuk akhirnya menarik dan membetot baju di bagian itu. Dan ketika gadis ini menjerit karena kaget, juga marah dan pucat berganti-ganti maka ia sudah telanjang dadanya dan penghuni Pulau Api bersorak.

"Bagus... aih, bagus, suheng. Indah sekali!"

Gadis itu membanting tubuh bergulingan. Ia menutupi kedua dadanya dengan repot namun Yang Tek berkelebat dan menyusul, tertawa dan mencengkeram lagi bagian bawah perutnya ketika gadis itu meloncat bangun. Dan karena gadis itu baru saja berdiri tahu-tahu si pemuda sudah di sampingnya, merobek dan merenggut maka perutnyapun telanjang dan sorak riuh penghuni Pulau Api kian menghebat. Gadis ini menangis dan selanjutnya ia sibuk mengamankan bagian-bagiannya yang terbuka.

Sekarang otomatis ia tak dapat menyerang. ditelanjangi di depan banyak orang, laki-laki yang semuanya haus akan pelampiasan terhadap wanita. Dan ketika Yang Tek terus mempermainkan dan tampak bahwa gadis Lembah Es ini memang bukan tandingannya, pemuda itu tertawa mencengkeram bawah perut maka satu-satunya sisa pakaian terbuka. Sorak gemuruh mengimbangi riuhnya kencreng dan bunyi-bunyian lain. Yang Tek sudah membuat lawan tak berpakaian lagi dan gadis itu menjerit, roboh.

Belasan orang menubruk dan penghuni Pulau Api benar-benar sudah tak dapat menahan diri. Mereka yang ada di depan dibuat beringas, bergelak dan menyambar gadis ini dan seorang yang paling cepat berhasil memperolehnya. Tapi ketika dia memeluk dan mendekap tubuh mulus itu, menciumi mendadak gadis ini berontak dan kakinya tepat sekali menghantam selangkangan lawan

"Aduh...!"

Kiranya gadis itu masih hebat. Ia membuat penghuni Pulau Api bergulingan mendekap bawah pusarnya, yang lain-lain terkejut tapi mereka sudah menubruk sana-sini. Dan karena lawan terlalu banyak sementara gadis itu benar-benar berada di tengah sekelompok manusia buas maka ia roboh diterkam sana-sini dan kaki tangannya dipegangi banyak lawan.

"Ha-ha, aku dulu!"

"Tidak, aku dulu...!"

Gadis itu merintih dan tersedu-sedu. Ia benar-benar tak berdaya di tangan sedemikian banyak laki-laki dan jatuh dari satu penghuni ke penghuni yang lain. Para laki-laki yang mendengus oleh birahi itu ngak-ngik-ngok menciumi tubuhnya, tangan-tangan merekapun menggerayang kasar hingga si gadis menggelinjang-gelinjang, bukan geli melainkan ngeri! Dan ketika ia roboh ditimpa sekian banyak lelaki, keadaannya mirip kelinci di mulut harimau ganas maka penghuni yang lain berhamburan namun Yang Tek berkelebat menendang.

"Minggir.... des-des-dess!"

Semua mencelat dan terlempar oleh kaki pemuda ini. Yang Tek menyambar dan gadis tawanan pingsan. Pemuda itu telah memberikan sedikit kepuasan kepada teman-temannya namun mereka yang kehilangan korban berteriak-teriak. Nafsu terlanjur menggelegak dan terjadilah pemandangan menyeramkan ketika kaum laki-laki itu saling tubruk sendiri. Mereka menyambar teman-teman terdekat dan inilah yang dijadikan sasaran. Laki-laki memeluk laki-laki, berciuman! Dan ketika mereka bergulingan dan saling tindih, buas tak kenal malu maka mereka bercumbu dan melepas hasrat birahi dengan kelakuan aneh, jauh di atas tingkatan binatang!

Namun terdengar bentakan yang tiba-tiba membuat penghuni pulau terjengkang. Mereka yang sedang berciuman dan melepas berahi mendadak mengeluh. Suara bentakan itu dahsyat mengguncangkan dada mereka hingga terasa sakit, napas juga sesak. Dan ketika semua itu masih ditambah dengan bertiupnya angin kencang, panas membara maka orang-orang itu terlempar dan jatuh berdebuk dengan muka pucat. Nafsu seketika padam!

"Berhenti, puncak acara pesta belum dimulai!"

Semua mengerang dan merintih. Ketua kiranya turun tangan dan tadi mengibaskan tangannya dari panggung altar. Hebat sapuan kibasannya tadi karena penghuni dibuat sadar. Mereka yang terbakar birahi mendadak lenyap dan dingin lagi, semua pucat memandang tokoh di atas panggung itu. Dan ketika ketua memberi isyarat dan Yang Tek melangkah maju maka gadis Lembah Es tahu-tahu melayang dan menuju kearah ketua, disedot pukulan anehnya ketika telapak dibuka dan ditujukan kepada muridnya utama ini.

"Yang Tek, acara pembukaan sudah kau mulai. Bersiaplah kalian semua menuju ke acara inti!"

Genderang dipukul pendek dan berhenti. Dua wakil pimpinan bergerak dan masing-masing mengambil gergaji dan panci di meja altar. Gadis di tangan sang ketua dilempar dan jatuh tepat di meja ini, telentang. Dan ketika genderang dipukul lagi tiga kali, berhenti dan terompet kini bertiup maka terdengar lagu persembahan yang aneh dan mendirikan bulu roma. Penghuni Pulau Api tiba-tiba berlutut semua dan suara puja-puji terdengar dari mulut dua wakil pimpinan.

Lalu ketika suara itu disambung nyanyian sumbang ketua yang sudah mencabut tongkat hitam maka suasana menjadi lebih menyeramkan dengan adanya ketukan tongkat yang menggetarkan pulau. Nyanyian atau puja-puji para penghuni kalah dibanding ketukan tongkat di tangan ketua ini, apalagi nyanyiannya yang berat dan parau itu, sumbang.

Dan ketika ketua mendekati meja altar dan tangannya bergerak menghantam maka terdengar ledakan disusul bunyi genderang yang kembali berirama rancak, riuh. Sekejap suara ketua tertelan namun bunyi genderang melirih perlahan, terompet juga ditiup lebih rendah sampai akhirnya berhenti sama sekali. Dan ketika semua mengangkat wajah karena puja-puji atau doa selesai maka terdengarlah suara ketua yang dalam dan berat.

"Saudara-saudara, murid dan penghuni Pulau Api. Hari ini kita merayakan pesta persembahan untuk memuja keagungan nenek moyang kita Dewa Han Sun Kwi. Setiap tahun kita selalu mengorbankan sesaji dan darah binatang. Namun karena malam ini kita menangkap seorang murid dari musuh bebuyutan kita, penghuni Lembah Es maka adalah kehormatan bagi kita untuk memberikan persembahan lebih berharga kepada nenek moyang kita. Dewa kita Han Sun Kwi tentu senang, sudah lama kita tidak mempersembahkan darah seorang penghuni Lembah. Karena itu atas jasa murid kita Yang Tek malam ini kita patut bersyukur dan semoga dewa kita Han Sun Kwi memberikan berkah dan keberuntungannya. Mari kita mulai persembahan darah ini dan silahkan hu-pangcu membunuh gadis itu!"

Sorak pendek terdengar sejenak. Para penghuni berdiri dan gadis itu yang rupanya sudah sadar tiba-tiba membuka mata. Ia masih telanjang bulat dan benar-benar seperti bayi. Para lelaki, kaum penghuni pulau, bersinar-sinar dan tampak gelisah memandang gadis di meja altar itu namun mereka tak ada yang berani bergerak.

Berahi mereka telah ditindas oleh bentakan ketua tadi, juga hadirnya dua wakil ketua di meja itu membuat mereka tak berani sembarangan. Gadis itu adalah gadis korban, dia akan dibunuh. Maka ketika ketua mundur dan kini wakil ketua bergerak dan melangkah maju, gadis itu merintih maka it-hu-pangeu yang memegang gergaji menyeringai memandang gadis itu, tangan kirinya bergerak menangkap kepala.

"Gadis beruntung, kau akan menghadap dewa kami Han Sun Kwi. Bersyukurlah, darahmu akan menyucikan dirimu!"

"Keparat! Terkutuk...!" gadis itu meronta dan memaki-maki, menangis. "Kau bunuhlah aku dengan cepat, tua bangka. Kau bunuhlah aku dan jangan jadikan aku tontonan seperti ini. Kalian... kalian manusia iblis!"

"Hm, aku memang akan membunuhmu. Tapi ini adalah keberuntungan bagimu. Kau akan diperisteri dewa kami Han Sun Kwi. Bersiaplah!"

Gadis itu pucat. Ia melihat laki-laki tinggi besar ini mengangkat gergajinya, menempelkan ke leher dan siap menggorok! Dan ketika wakil ketua kedua membungkuk dan bersiap di bawah lehernya untuk menadah darah maka gadis itu menjerit karena ia akan disembelih seperti ayam, bahkan lebih keji lagi, karena yang dipakai adalah gergaji!

"Kalian iblis-iblis terkutuk. Kalian binatang... kalian, ah.... kalian melebihi binatang!"

"Ha-ha, bersiaplah, nona manis. Kau telah menjadi tumbal dan tak ada lagi hak bicara.... wutt!" gergaji itu bergerak, siap menggorok dan gadis ini serasa terbang semangatnya merasai benda dingin menempel di leher. Sungguh tak disangkanya bahwa ia akan dibunuh sekeji itu, digorok. Tapi ketika gergaji bergerak dan gadis ini menjerit, dia akan disembelih hidup-hidup mendadak berkelebat sebuah bayangan dan sebutir batu hitam menyambar gergaji itu.

"Kakek keji, tahan senjatamu.... takk!"

Gergaji terpental dan seorang pemuda gagah tahu-tahu telah berada di panggung dengan amat cepatnya. Dia bergerak bagai siluman dan begitu di meja altar diapun segera menendang dua wakil ketua dengan kaki berputar dari bawah ke atas. It-hu-pangcu, wakil pertama terkejut bukan main karena begitu senjata terpental iapun menerima tendangan luar biasa. Dagunyn disambar dan tentu ia terbanting roboh. Kejadian ini benar-benar di luar dugaan, siapa pun tak bakal menyangka!

Namun karena ia, bukan orang lemah dan begitu gergaji terpental iapun sudah meliuk dan merendahkan tubuh maka tendangan itu diterima dengan tangan kirinya dan.... duk-dukk... dua wakil ketua ini terhuyung karena di saat yang sama wakil nomor dua juga menangkis dan terbelalak lebar memandang musuh yang baru datang ini. Penghuni Pulau Api seketika gempar!

"Kau siapa!" bentakan itu menggetarkan panggung altar. "Siapa kau, anak muda. Bagaimana berani mati memasuki Pulau Api!"

Namun pemuda itu bergerak dan sudah menyambar gadis yang di meja altar ini. Dia sengaja membuat mundur dua wakil pimpinan itu setelah batu hitamnya mementalkan gergaji. Gadis yang akan disembelih itu sudah diraih dan diselamatkannya. Dan ketika ia melepas baju luarnya sendiri untuk dipakai menutupi tubuh telanjang itu, gadis ini terbeliak dan bebas dari totokan maka gadis Lembah Es itupun terkejut dan tercengang, heran dan kagum serta bengong.

Tapi ketika dia ditarik dan diajak melompat ke bawah, turun dari panggung altar maka seruan dan bentakan marah terdengar dari penghuni pulau. Mereka juga terkejut dan tersentak melihat pemuda gagah tampan itu. Usianya baru sembilan belas tahun namun sikap dan gerak-geriknya jelas menunjukkan pemuda yang berisi. Bahwa dia mampu memasuki Pulau Api sudah membuktikan kepandaiannya itu, apalagi mampu mementalkan senjata di tangan it-hu-pangcu dan membuat dua wakil ketua terhuyung.

Namun ketika semua sudah sadar dan kegembiraan berubah menjadi kemarahan maka it-hu-pangcu, yang merasakan lebih dulu serangan pemuda itu maju berkelebat dan lengannya yang kokoh berotot sampai berbunyi berkeriut-keriut, sang tocu atau ketua tampak tertegun di sana.

"Anak muda, kau siapa. Apakah sahabat dari Lembah Es hingga berani mengganggu kami!"

"Maaf," pemuda itu, yang tinggal mengenakan pakaian dalam karena pakaian luarnya diberikan kepada si gadis berkata gagah, wajahnya bersinar-sinar dan matanya tajam mencorong, bagai mata seekor naga sakti muda. "Aku adalah orang biasa, hu-pangcu. Aku orang luar tapi yang tak tahan oleh semua kejadian ini. Aku datang untuk membebaskan gadis ini karena tak layak kalian mempersembahkan korban berupa seorang manusia. Kebiasaan kalian tak patut dipertontonkan!"

"Keparat!" ji-hu-pangcu, wakil nomor dua bergerak dan sudah melayang turun ke bawah panggung pula, alisnya berkerut dan matapun terbakar. "Tak usah banyak mulut terhadap pemuda ini, ji-suheng. Tangkap dan bunuh dia!"

"Hm, aku memang akan melakukannya!" dan baru kata-kata ini habis tahu-tahu it-hu-pangcu itu menggerakkan lengan ke depan. Ia marah dihina pemuda ini dan hadirnya anak murid membuat ia tak mau bersabar lagi. Ia bergerak dan langsung melepas Giam-lui-ciang. Pukulan Petir Neraka itu menyambar dan angin panaspun menderu. Tapi ketika pemuda itu mengelak dan pukulan ini mengenai tempat kosong maka it-hu-pangcu terbelalak namun tiga pemuda tiba-tiba berkelebat dan berseru,

“Susiok, serahkan pemuda ini kepada kami!"

Kiranya Yang Tek dan dua sutenya. Siauw Lok, pemuda baju merah berkelebat paling depan tapi suhengnya itu lebih cepat mendahului. Datangnya pemuda pengacau itu membuat mereka terkejut dan Tan Bong juga bergerak dan maju ke depan. Namun karena dua suhengnya mendahului dan mereka nyaris saling berseru maka pemuda tinggi besar itu, Yang Tek, yung paling depan dan marah sudah langsung menyerang dan berseru pada susioknya agar mundur.

It-hu-pangeu tertegun namun mundur. Murid keponakannya, Yang Tek, sudah melepas pukulan sementara Siauw Lok juga bergerak di belakang suhengnya itu. Pukulan susiok mereka luput namun pukulan mereka menyambar. Dua pemuda itu dahulu-mendahului namun pemuda baju putih ini mengelak, dicegat dan diserang lagi dan terpaksa dia menangkis. Dan ketika mereka beradu tenaga dan Yang Tek mau pun sutenya terpental maka semua terkejut dan pemuda baju putih itu tiba-tiba bergerak dan lari, menyambar gadis penghuni Lernbah Es itu.

"Nona, kita pergi...!" Pemuda itu berkelebat meninggalkan panggung. la sudah bergerak dengan sama cepatnya seperti datang, meluncur dan tahu-tahu sudah melayang melewati kepala banyak orang, penghuni pulau. Namun karena mereka bukan orang-orang lemah dan yang dilompati kepalanya bergerak dan membentak maka pemuda itu dipegang kakinya tapi dengan gerakan luar biasa malah menendang dan tiga orang roboh menjerit.

"Aduh...!" Gadis Lembah Es tertegun dan kagum. Ia sudah dibawa lari dan pemuda ini memutar pulau. Batu-batu karang yang ada di belakang sudah dituju pemuda ini dan ke situlah pemuda ini terbang. Dan ketika ia ditarik dan terangkat naik maka dirinya berseru tertahan namun pemuda itu memberi isyarat agar dia tidak bersuara.

"Sst, hati-hati. Aku telah menyiapkan perahuku di ujung sana, nona. Pegang tanganku erat-erat dan kita tinggalkan tempat berbahaya ini!"

"Ah, kongcu... siauw-hiap... eh, siapakah?"

"Aku Beng An, datang secara kebetulan dan hampir terlambat menolongmu."

"Beng An? Ah, siauw-hiap... eh, memusuhi orang-orang Pulau Api?"

"Aku tak bermusuhan dengan siapapun, nona. Aku datang secara kebetulan saja dan tertarik melihat keramaian itu. Sudahlah, musuh mengejar dan kita secepatnya harus tiba di perahu!"

Namun dari depan dan kiri kanan tiba-tiba berkelebatan banyak bayangan. Pemuda ini dihadang dan gadis Lembah Es tampak terkejut. Ia sudah diselamatkan tapi kini dihadang orang-orang Pulau Api itu, satu di antaranya adalah Yang Tek! Dan ketika pemuda tinggi besar itu membentak berseru keras, tadi penasaran oleh hebatnya sinkang pemuda ini maka pemuda itu menghantam dan Beng An atau pemuda baju putih ini menangkis, apa boleh buat harus menghadapi dulu serangan itu.

"Dess!" Yang Tek berseru kaget dan terpelanting lagi. Ia memotong jalan dan bersama lima temannya mencegat di situ, melepas pukulan tapi kalah kuat. Dan ketika ia terlempar dan bergulingan meloncat bangun, lima temannya menyerang namun disambut tendangan cepat maka mereka juga terbanting dan murid-murid Pulau Api itu mengeluh semua.

Pemuda baju putih ternyata benar-benar lihai dan kini ia lari lagi. Dari tangkisan dan tendangannya dapat dilihat bahwa sepak terjangnya diatur, ia tak mau membunuh atau melukai berat. Namun ketika ia menuju pantai dan dari jauh gadis Lembah Es dapat melihat adanya perahu ternyata tempat itu sudah dikepung dan yang berdiri paling depan adalah it-hu-pangcu Bu Kok!

"Celaka, it-hu-pangcu ada di situ. Ia orang nomor dua paling kuat di Pulau Api. Putar dan lari ke arah lain saja, siauw hiap. Aku takut!"

"Hm, begitukah? Baik, aku juga tak bermaksud untuk bertempur habis-habisan. Ada kulihat perahu-perahu lain di sekitar pulau, mari kita ke sana dan pegang erat-erat tanganku!"

Gadis itu pucat. la ngeri melihat adanya wakil nomor satu itu tapi ketika mereka memutar dan bergerak menuju selatan ternyata wakil nomor dua ada di sana. Pemuda ini memutar tubuh lagi dan menuju timur. Tapi ketika di sini juga menunggu puluhan orang Pulau Api maka di tempat lain juga sama karena tempat itu benar-benar terkepung.

"Kita tak dapat keluar. Celaka, mereka telah mengepung pulau!"

"Tak usah takut. Kita kembali ke batu-batu karang itu, nona. Kita cari sebuah guha dan bersembunyi dulu!"

"Siauw-hiap tak takut dicari? Bagaimana kalau salah memasuki guha pimpinan pulau?"

"Apa boleh buat. Kita hadapi mereka itu, nona. Asal tidak dikeroyok ratusan orang kupikir aku sanggup menghadapi mereka. Mari, kita kembali dan ke tengah pulau!"

Pemuda itu menarik temannya dengan wajah bingung. Malam itu Pulau Api terang-benderang dan bayangan mereka mudah terlihat. Kalau saja tidak membawa gadis ini tentu dia menerjang orang-orang itu. Dia tak takut menghadapi penghuni pulau melainkan khawatir bagaimana melindungi gadis Lembah Es ini. Gadis itu telah letih dan guncangan demi guncangan yang dialami cukup melelahkan.

Maka bergerak dan kembali ke pulau, menuju batu-batu karang di dekat altar panggung pemuda itupun sudah mencari dan menemukan sebuah guha. Di tengah pulau memang banyak guha-guha gelap sebagai hunian para penghuni. Saat itu semua sedang keluar dan guha menjadi kosong. Maka begitu masuk dan entah guha siapa yang dimasuki maka pemuda ini melepaskan temannya dan gadis itu jatuh terduduk, menggigil.

"Siauw-hiap, bagaimana sekarang. Kita... kita malah terkepung!"

"Hm, tenang saja. Sementara ini kau memulihkan tenagamu dulu, nona. Nanti kita cari jalan lain. Sudahlah, tempat ini enak dan kosong. Kau dapat beristirahat dan aku berjaga di luar guha..."

"Tidak, nanti dulu!" gadis itu melompat dan pucat. "Aku tak mau sendirian di dalam, siauw-hiap. Kalau kau di mulut guha biarlah aku di situ juga!"

"Eh, kau harus memulihkan tenagamu."

"Tidak, di sini juga bisa, siauw-hiap. Kalau aku di dalam kau juga harus di sana!"

"Baiklah, kalau begitu kau boleh duduk di sini. Aku sedang mencari akal bagaimana bisa lolos dari sini. Mari, kita memasang kewaspadaan."

Gadis itu terisak. Ia lega bahwa ada teman di situ. Pemuda itu duduk dan pandang matanya ditujukan keluar. Dan ketika mereka mendengarkan teriakan-teriakan dan makian di luar sana, penghuni berlarian dan sibuk mencari mereka maka gadis ini memandang pemuda itu lebih cermat lagi dan dari samping ia melihat betapa pemuda ini benar-benar gagah dan tampan. Ia menggigit bibir dan teringat Yang Tek. Dan begitu teringat pemuda itu ia pun tak dapat menahan dirinya lagi dan menangis tersedu-sedu!

"Eh, jangan berisik. Kita sedang bersembunyi, nona. Nanti ketahuan mereka."

"Aku... aku benci orang-orang Pulau Api ini. Ah, kalau umurku masih panjang ingin rasanya kucincang tubuh si Yang Tek itu. dia merusak hidupku. Keparat!"

"Sudahlah, sementara diam di sini, nona, Jangan biarkan tangisrnu didengar mereka. Omong-omong, dari manakah kau ini dan orang macam apakah penghuni pulau ini."

"Aku dari Lembah Es...."

"Ya, tadi kudengar itu. Tapi di manakah Lembah Es, aku belum pernah dengar."

"Lembah Es di Semenanjung Hitam, ribuan li dari sini..."

"Semenanjung Hitam? Astaga, di tempat sejauh itu?"

"Benar, siauw-hiap. Dan kami orang-orang Lembah Es memang selalu bermusuhan dengan penghuni Pulau Api. Kami..."

"Nanti dulu, jangan sebut aku siauw-hiap (pendekar muda). Kita sesama kalangan orang kang-ouw dan tak enak rasanya mendengar sebutan itu. Panggil namaku Beng An, nona. Dan biar kusebut kau cici. Usiamu tampaknya lebih tua daripada aku."

Gadis itu tertegun. Ia melihat kesederhanaan pemuda ini dan akhirnya mengang-angguk, menarik napas dalam-dalam. Lalu kagum memandang wajah gagah itu diapun berkata, "Baik, dan kau boleh sebut aku Seng-Cici, Beng An. Namaku Hwa Seng...."

Putri Es Jilid 08

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

AKAN TETAPI gadis baju biru sudah mencengkeram dan menyambar tubuh kakek muka merah ini. Ia tidak menotok seperti encinya melainkan mencengkeram dan meremas leher itu. Tubuh Han Sun Kwi sudah seperti mayat namun bukan berarti mati, rohnya ada di gadis baju hijau itu. Dan ketika cengkeraman ini tepat mengenai leher dan gadis baju biru yang marah mengerahkan tenaga Pai-hai-kang (Menggempur Samudera) maka leher si kakek berkeretek namun saat itu gadis baju hijau melepaskan pukulan Giam-lui-ciang kearahnya.

"Dess..!" Kejadian cepat itu disusul keluhan tertahan gadis baju biru. la diserang saudaranya sendiri dan mencelat terlempar. Petir Neraka, pukulan itu menghantamnya telak dan seketika tubuh gadis baju biru hangus terbakar. Ia tewas dan tidak bergerak-gerak lagi, roboh. Dan ketika gadis baju putih terkejut dan mundur, terpekik maka Bu Sit sudah menyambar tubuh kakek itu dan membawanya ke tempat aman, jauh dari situ. Leher kakek ini miring sebelah karena bekas cengkeraman tadi.

"Heh-heh, bagus, anak muda. Bagus.. kau berlaku tepat sekali. Taruh tubuhku dibawah pohon itu dan jagalah!"

Gadis baju putih pucat. Ia terbelalak melihat saudaranya tewas, menjerit dan menyambar mayat gadis baju biru dan mengguguk di situ. Lalu ketika ia tersedu-sedu sementara pertandingan terus berjalan di antara dua orang sakti itu maka gadis baju hijau yang dipakai wadagnya oleh kakek muka merah terus mendesak dan menekan. Ia benar-benar bersikap seperti Han Sun Kwi dan ganas menyambar-nyambar. Pembunuhan yang baru saja dilakukan terhadap gadis baju biru disambutnya dengan tawa aneh, keji, tawa dari kakek muka merah karena sepenuhnya gadis baju hijau itu benar-benar telah dikuasai kakek ini.

Dan ketika ia terus menggempur dan menerjang kakek berjenggot pendek, Kim Kong Sengjin maka kakek itu menjadi susah dan repot. la terus menghindar dan mengelak sana-sini namun lawan terus mengejar, apa boleh buat menangkis dan Bu-kek-kang pun meledak bertemu pukulan panas. Dan ketika dua-duanya terhuyung namun tenaga gadis baju hijau kalah kuat, ia tak lebih kuat daripada Yogiwara tadi maka ia terpental dan kakek ini menggeram.

"Baik, kau rupanya mencari korban, iblis Han Sun Kwi. Kau tak akan sudah kalau aku belum merobohkan gadis ini. Baik tanggunglah dosamu di neraka dan maaf aku harus membunuh orang tak berdosa lagi"

Roh kakek muka merah tertawa bergelak. la diserang dan menangkis, terpental dan melototlah gadis baju hijau karena kalah tenaga. Dan ketika kakek itu membentak dan membalas dengan pukulan-pukulan berat maka gadis baju hijau terdesak karena si kakek sudah mengambil keputusan untuk melawan dan merobohkannya, apa boleh buat memaksa roh kakek muka merah keluar dan itu berarti membinasakan gadis itu.

Maka ketika Bu-kek-kang dikerahkan bertambah berat dan gadis baju hijau mengeluh akhirnya hawa panas dari Giam-lui-iang tertindih, terdesak dan terus menipis kemudian lenyap. Bu-kek-kang sekarang menguasai jalannya pertandingan dan akibatnya gadis ini pucat. Tawa yang semula terbahak-bahak tak terdengar lagi. Iblis Han Sun membiarkan wadagnya digempur tenaga dingin itu. Dan ketika pukulan terus menyambar tiada henti akhirnya gadis ini roboh terjengkang dan roh kakek itu melesat keluar dari tubuhnya.

"Dess!. Gadis baju hijau membeku. Ia memang dipakai kakek muka merah untuk membuat marah Kim Kong Sengjin, tewas dan kini roboh terkapar dengan tubuh membiru. Dan ketika iblis Han Sun Kwi melesat dan kembali ke wadagnya, yang dijaga Bu Sit maka tubuh kakek itu bergerak kembali dan tertawa, lehernya miring, agak sengkleh.

"Ha-ha, puas aku sekarang, Kim Kong Sengjin. Tapi keparat gadis baju biru itu. Dia membuat leherku miring, tak apa. Aku telah membunuhnya dan kau membunuh dua jiwa. Hayo, sekarang kita ke gunung dan boleh kita lanjutkan lagi pertempuran kita. Kau atau aku yang mampus!"

"Hm," kakek ini tertegun, wajahnya terbakar. "Kau telah berlaku benar-benar keji, Han Sun Kwi. Kau membunuh murid-murid Tung-hai Sian-li!"

"Ha-ha, kau membunuh murid Dhiran Sing, sama. Kau juga keji!"

"Tapi bukan aku yang memulai kau!" "Tidak, kau yang mulai dulu. Kau yang lebih dulu turun gunung, Kim Kong Seng-jin. Kau melanggar perjanjian!"

"Aku hanya mencegah bunuh-membunuh di sini, aku bukan hendak membunuh orang!"

"Tak perduli. Kau telah keluar dari pertapaanmu dan siapa yang lebih dulu keluar yang lain pun lalu ikut. Kau dulu juga menentang aku kalau aku keluar pertapaan. Tak usah cerewet, kau atau aku telah ditakdirkan untuk saling bermusuhan, Kim Kong Sengjin. Kau dan aku seumur jagad memang harus selalu bertikai. Ayolah, kita kembali dan boleh lanjutkan pertandingan lagi!"

Kakek ini tertegun. Ia memang telah melanggar perjanjian namun itu adalah untuk menolong sahabat-sahabatnya. Tapi karena lawan tak mau tahu dan siapa keluar harus siap menerima resiko, dulu Han Sun Kwi juga melanggar dan ia melabrak, maka kakek ini menarik napas dalam dan tiba-tiba bergerak melihat gadis baju putih itu.

"Han Sun Kwi, kau dan aku memang telah ditakdirkan untuk saling bermusuh, Kau selamanya tak mau tahu tentang alasan kebenaranku seperti juga aku tak mau tahu alasan kebenaranmu. Baik, kita lanjutkan tugas kita masing-masing, kakek iblis, Aku akan menandingimu tapi lewat gadis ini!"

"Ha-ha, kau mengambil murid? Bagus, aku juga punya pemuda ini, Kim Kong Seng jin. Boleh kita lanjutkan pertandingan kita melalui bocah-bocah ini!" kakek itu menyambar Bu Sit, mengangkatnya tinggi-tinggi lalu tertawa bergelak melompat jauh. Lawan telah menantangnya untuk melanjutkan pertarungan itu lewat murid, tentu saja ia menerima dan gembira. Capai juga kalau harus bertanding sendiri, terus-menerus. Jauh lebih baik mempunyai murid dan biar murid itulah yang meneruskan tugas mereka.

Dan ketika Kim Kong Sengjin juga menyambar dan mengangkat gadis baju putih, berkelebat dan lenyap meninggalkan tempat itu maka sejak itu, permusuhan di antara dua tokoh yang sudah ditakdirkan untuk gempur-menggempur ini diwakili murid-murid mereka. Pek Lian, gadis baju putih itu akhirnya menjadi murid Kim Kong Sengjin, menerima ilmu-ilmu dahsyat dan yang amat mengerikan adalah Bu-kek-kang yang berhawa dingin itu. Apapun bisa beku disambar ilmu ini.

Tapi karena di sana Bu Sit juga menjadi murid Han Sun Kwi dan tokoh hebat. ini juga memiliki Giam-lui-ciang, pukulan Petir Neraka maka setiap mereka beradu ilmu tak ada yang kalah atau menang di antara keduanya ini. Baik Bu Sit maupun gadis baju putih sudah sama-sama hebat dengan ilmu baru mereka. Berkali-kali mereka diadu guru mereka namun selalu berakhir seri. Tapi karena masíng-masing sama penasaran dan Pek Lian menyimpan dendam lamanya atas kematian subonya Tung-hai Sian-li dan juga saudara-saudaranya yang lain maka permusuhan itu tak pernah berhenti dan Bu Sit yang juga marah atas kematian suhu dan suhengnya sama-sama ngotot.

Adu ilmu di antara dua orang ini terus berlanjut dengan pewaris-pewaris baru, Kim Kong Sengjin dan Han Sun Kwi akhirnya hilang entah ke mana. Dan karena masing-masing juga terus bermusuh sampai mereka tua, mengambil murid dan murid-murid inilah yang melanjutkan permusuhan guru mereka maka keturunan atau generasi penerus dari gadis baju putih itu berada di Lembah Es, tinggal di tempat amat dingin itu sedang pewaris dari Bu Sit berada di Pulau Api, satu dari pulau-pulau berbahaya di Kepulauan Akherat.

Dan karena masing-masing bersumpah untuk membinasakan yang lain, tak mau sudah kalau belum membunuh musuh bebuyutan mereka maka tentu saja masing-masing juga membenci lawan jenis dan baik pihak Pulau Api ataupun pihak Lembah Es tak ada yang menikah! Dua tempat itu terisi oleh satu jenis kelamin saja, Lembah Es dengan wanitanya sedang Pulau Api dengan kaum laki-laki. Ratusan tahun permusuhan ini terus berlanjut.

Dan seribu tahun kemudian datanglah rombongan Gan-twako dan kawan-kawannya itu, tujuh belas lelaki yang akhirnya tewas terbunuh di situ. Dan ketika Ma-enghiong juga datang bersama dua temannya yang mencari dan menemukan jejak kawan-kawannya tapi tak mampu menghadapi pelayan-pelayan Puteri Es dan dua temannya juga terbunuh tapi laki-laki she Ma ini sendiri selamat berkat ampunan pemilik lembah.

Kisah di istana sendiri akhirnya berlanjut dengan mundurnya Wan-thai-suma dari kedudukannya. Menteri yang tertegun dan kecewa oleh perbuatan kakaknya pertama itu meletekkan jabatan. Tan Kiong, pangeran pemberontak ternyata tak hanya diam sampai di situ. Hilangnya pangeran itu setelah kegagalan di istana disusul oleh hilangnya pangeran nomor empat, adik bungsu mereka.

Dan karena memang sudah diketahui bahwa Tan Kiong berkomplot dengan saudara termuda maka Wan-thai-suma yang merupakan saudara ketiga menarik diri dan mundur dari jabatannya. Kali ini kaisar tak dapat memaksanya lagi dan kedudukan diserahkan kepada Yo Hong, pangeran nomor dua. Tapi karena pangeran ini merasa tak sebijak adiknya, Wan-thai-suma yang dikagumi maka dia juga menolak dan kaisar kecewa berat.

Dua orang saudaranya itu bahkan mengasingkan diri di luar kota raja dan urusan pemerintahan benar-benar ditangani kaisar sendiri. Ada banyak orang-orang di istana namun tak ada yang sebijak dan sepandai Wan-thai-suma. Kaisar tak percaya kepada orang-orangnya ini dan akibatnya tinggallah Thio-taijin mendampingi kaisar, sebisa-bisanya membantu kaisar menjalankan roda pemerintahan. Namun karena Ketua Agama ini adalah seorang yang sudah lanjut usia, tak lama kemudian sakit dan meninggal dunia maka sri baginda hilang semangatnya untuk memerintah lagi, apalagi Tan Kiong pangeran pemberontak itu akhirnya datang dan menyerbu lagi.

"Kalau boleh hamba pesankan agaknya tiada lain jalan bagi paduka adalah mengundurkan diri saja," begitu Thio-taijin memberi pesan sebelum meninggal. "Rakyat menjadi korban dari nafsu angkara murka, baginda. Hamba sependapat dengan Wan-thai-suma bahwa untuk ketenteraman batin adalah menyerahkan kedudukan dan hidup sebagai pertapa. Hamba sudah terlalu tua, tak dapat membantu paduka seperti orang-orang muda. Kalau paduka mau mengikuti nasihat hamba biarlah paduka mundur dan menyerahkan kekuasaan kepada Tan-ongya itu. Biarlah dia tahu bagaimana rasanya menjadi pemimpin dan dia tentu akan tergilas oleh nafsu ambisinya yang berlebihan. Maaf, hamba tak dapat berkata lain karena sesungguhnya pertikaian ini adalah pertikaian orang dalam istana sendiri. Terserah paduka, mau menyerahkannya atau tidak,"

Baginda termenung dan berhari-hari terngiang ucapan Ketua Agama itu. Dia juga sudah mulai digerogoti usia dan membayangkan betapa dirinya dirongrong dan diteror pemberontakan Tan-ongya itu dia menjadi marah juga. Kalau dulu dia memberikan kedudukan Thai-suma kepada Tan-ongya itu barangkali tak akan ada kejadian ini. Karena benci dan iri atas kedudukan itulah Tan-ongya memberontak. Dia merasa lebih pantas menduduki jabatan itu karena dialah pangeran tua. Haknya merasa dilanggar oleh yang muda dan karena itu lalu timbul permusuhan di antara pangeran itu dengan Wan-thai-suma.

Tapi karena Sri baginda melihat watak-watak Wan-suma lebih baik, Tan-ongya adalah seorang ambisius yang serakah maka dia sengaja menjatuhkan pilihan pada Wan-thai-suma bukannya Tan-ongya. Dan akibatnya adalah pemberontakan ini. Kalau dulu Tan-ongya sekedar ingin merebut kedudukan Menteri Utama maka tujuannya sekarang ditingkatkan, bukan hanya Thai-suma melainkan penguasa penuh, kaisar!

Dan sakit oleh pertikaian antar saudara ini kaisarpun menjadi pusing dan limbung. Dua hari kaisar sakit. Kematian Thio-taijin benar-benar membuatnya lemah semangat dan karena tak ada orang-orang yang cakap lagi maka kaisarpun mengambil keputusan, siap menyerahkan kedudukan asal Tan-ongya tak mengadakan bunuh-membunuh lagi. Rakyat juga mulai hidup sengsara dan ketakutan oleh setiap serbuan-serbuan yang dilakukan pemberontak.

Kaisar menggigit bibir dan tak ingin menumpahkan darah rakyatnya lagi, apalagi sebetulnya permusuhan itu adalah permusuhan kerabatnya sendiri. Maka ketika suatu hari kaisar mengumpulkan pembantu-pembantunya dan memanggil Wan-suma dan Pangeran Yo, yang hidup bertapa dan mengasingkan diri bersama keluarga, Sri baginda mengeluarkan kata-kata mengejutkan, bahwa ia ingin mundur!

"Aku tak ingin mengorbankan rakyat. Aku tak ingin darah rakyatku bercucuran lagi. Biarlah Tan-ongya menggantikan kedudukanku dan aku akan mengasingkan diri bersama Wan-suma dan Pangeran Yo!"

Para menteri gempar. Mereka kaget sekali dan Wan-suma serta Yo-ongya sendiri terkejut. Mereka datang karena perintah kaisar, bertanya-tanya dan kini tiba-tiba mendengar ucapan itu. Seorang kaisar hendak turun secara suka rela, hampir mustahil! Tapi karena keputusan telah ditetapkan dan semua itu dilakukan sri baginda untuk menghentikan korban-korban berjatuhan maka ketika kemudian Tan-ongya diberi tahu pangeran inipun hampir tak percaya. Ada rasa tersentak namun girang. Ia di ujung keberhasilan, perjuangannya tak sia-sia. Tapi ketika ia datang dan membawa pasukannya tentu saja, berhadap-hadapan maka wibawa dan sinar mencorong dari kaisar tak dapat dilepaskannya begitu saja.

"Saudaraku, aku hendak menyerahkan kedudukanku kepadamu, tulus. Aku tak ingin ada pertumpahan darah lagi di antara pengikut-pengikut kita. Betapapun mereka adalah rakyat kita, saudara-saudara kita juga. Maka terimalah kedudukanku tapi jagalah ketenteraman dan kesejahteraan rakyat, atau kau akan mendapat marah mereka dan sia-sia ambisimu untuk memperoleh kedudukan tinggi!"

Sang pangeran merah mukanya. Kalau kaisar bukan tokoh istana yang berwibawa dan saat itu dijaga bala tentaranya pula mungkin dia akan menyerang dan membunuh orang ini. Namun ada banyak mata di situ, jumlahnya tak kurang dengan jumlah pasukannya sendiri dan pangeran ini hanya merah saja. Dia tertawa masam, tentu saja tak ambil perduli dan selanjutnya dia menerima kedudukan itu. Baru kali ini ada kaisar mengosongkan kursi untuk diberikan orang lain, begitu mudahnya. Dan ketika ia menduduki jabatan itu dan kaisar pergi mengasingkan diri, turut bersama Wan-suma dan Yo-ongya maka beberapa dari keluarga istana ini, tentu saja wanita, dititipkan atau tinggal bersama murid Tung-hai Sian-li yang tinggal di Lembah Es itu.

Wan-thai-suma teringat gadis baju putih ini dan ketika gadis itu berkunjung maka diambilnya puteri-puteri yang cocoki untuk menjadi teman gadis ini. Gadis itu tak pernah menikah seumur hidupnya dan karena itu kesepian hidup sendiri, datang ke tempat Wan-thai-suma dan kebetulan dipilihlah puteri-puteri ayu sebagai teman. Satu di antaranya bahkan puteri Wan-suma sendiri, beserta keponakan dari Pangeran Yo di mana seorang puteri kaisar yang lain juga turut. Dan ketika gadis itu pergi membawa teman-teman baru, sahabat atau puteri-puteri istana ini mendapat ilmu silatnya pula maka Lembah Es atau tempat wanita-wanita bangsawan itu menjadi angker dan ratusan tahun lamanya tak pernah dijamah lelaki.

Bu Sit dan ahli warisnya juga tak pernah memperbolehkan wanita tinggal di situ. Bagi penghuni Pulau Api maka membawa wanita adalah pantangan. Mereka boleh saja mencari wanita dan mengambilnya sebagai isteri namun harus jauh di luar pulau, sekedar mencari keturunan dan keturunan inilah yang dibawa ke Pulau Api, tentu saja harus laki-laki. Dan ketika hal itu berlangsung beratus-ratus tahun dan penghuni Lembah Es maupun Pulau Api tetap.bermusuhan dalam, masing-masing belum ada yang kalah atau menang di saat itu maka Tan Kiong atau pangeran pemberontak akhirnya terbunuh oleh puteranya sendiri, karena pangeran itu ingin berkuasa seumur hidup dan bersikap bengis kepada setiap orang, termasuk puteranya itu.

Kejayaan pangeran ini memang tak berlangsung lama. Dinasti Han mulai runtuh dan satu demi satu berguguran. Terlampau banyak orang-orang berambisi lain yang ingin merebut kekuasaan. Mereka ingin menikmati kesenangan dan kemewahan hidup keduniawian, akibatnya saling gontok dan bunuh-membunuh sendiri. Dan ketika kaisar di pengasingan menutup mata, wafat, maka pangeran itu terbunuh oleh pemberontakan lain yang dicetuskan oleh puteranya sendiri.

Lembah Es dan Pulau Api tak berhubungan lagi dengan dunia luar. Mereka sibuk menggembleng murid-murid sendiri untuk menjadi pemenang dalam permusuhan abadi ini. Mereka adalah penerus Kim Kong Sengjin dan Han Sun Kwi si pertapa sakti, pewaris dari ilmu-ilmu dahsyat Bu-kek-kang dan Giam-lui-ciang. Dan karena mereka selalu menang kalah dalam pertandingan-pertandingan maut, masing-masing penasaran dan menjadi semakin sakit hati maka dua keturunan dari dua dedengkot Himalaya itu benar-benar menjadi musuh abadi.

Lembah Es tak memperkenankan laki-laki memasuki wilayahnya seperti juga Pulau Api tak memperkenankan wanita memasuki pulaunya. Tapi karena bumi terus berputar dan peristiwa-peristiwa baru selalu muncul maka ada-ada saja hal-hal buruk yang mengganggu dua tempat itu. Lembah Es dengan datangnya rombongan petualang sementara Pulau Api dengan kisahnya sendiri. Mari kita ikuti!

* * * * * * * *

Waktu itu, bertepatan dengan bulan purnama yang memancarkan cahayanya ke seluruh pelosok Kepulauan Akherat maka di tengah-tengah kepulauan ini, di Pulau Api terdengar pekik dan irama-irama genderang yang panas dan bertubi-tubi, gencar. Ada pesta adat di situ. Hari itu setahun sekali penghuni pulau hendak merayakan sesaji besar-besaran kepada nenek moyang mereka Han Sun Kwi. Biasanya pesta adat ini jatuh pada bulan keenam di hari kelima belas, jadi tepat pertengahan tahun di mana bulan purnama akan memancarkan sinarnya yang paling bundar.

Dan karena pesta ini sudah berlangsung turun-temurun, biasanya mereka akan mempersembahkan kepala kerbau atau hewan-hewan lain sebagai tumbal maka biasanya di pesta itu akan terjadi penambahan ilmu kepada murid-murid yang dinilai paling berjasa. Dan selama lima tahun ini hadiah-hadiah besar selalu jatuh kepada tiga murid utama, yang tampaknya memang selalu berjuang dan berusaha keras untuk membuat jasa yang paling besar. Tapi hari itu ada kegemparan besar yang mengguncang penghuni pulau. Yang Tek, satu di antara tiga murid utama konon katanya membawa seorang dari penghuni Lembah Es.

Pemuda itu dikatakan membawa hadiah paling berharga bagi upacara adat, bukan kepala kerbau yang akan dipersembahkan melainkan kepala gadis cantik penghuni lembah, musuh bebuyutan mereka. Dan karena kabar ini menggemparkan semua penghuni, malam itu upacara adat bakal menjadi ramai maka ketika bulan purnama muncul di langit yang hitam bersih maka semua laki-laki berkumpul di tengah lapangan merah di mana hampir semuanya memukul kendang dan kencrengan dengan suara hingar-bingar, disusul oleh pekik-pekik macam srigala kelaparan atau harimau buas.

Tiga ratus penghuni tampak garang-garang dan tinggi besar. Mereka rata-rata bertubuh tegap dengan otot-otot kuat. Tiga pemuda tampak duduk di barisan depan dengan sikap tenang namun pandangan tajam. Mereka sejak tadi tak bergerak dan hanya tiga orang inilah yang tak memukul kendang atau kencrengan. Mereka diam seperti arca sementara pemuda di tengah tersenyum-senyum. Inilah Yang Tek yang katanya berhasil membawa satu dari penghuni Lembah Es itu.

Pemuda ini bertubuh tinggi besar dengan kedua pundak kokoh. Wajahnya kemerah-merahan sementara matanya bagai elang menyambar-nyambar, tajam mengerling sana-sini sementara dua pemuda di kiri kanannya kelihatan acuh. Mereka adalah tiga murid utama Pulau Api yang hari itu bersiap meramaikan upacara, datang dan berada di barisan depan untuk sebentar lagi menghadapi ketua. Tapi ketika Yang Tek berseri-seri dan tampak sombong, merasa diri paling berharga maka dua pemuda di kiri kanannya yang juga tinggi besar dengan lengan berotot memandang mengejek dan satu sama lain tampak melempar isyarat rahasia.

Malam itu ketua akan hadir untuk memimpin upacara. Biasanya kalau bulan sudah hampir di atas kepala maka ketua baru muncul, para penghuni diharuskan menunggu dulu sambil memukul genderang atau alat-alat bunyi lainnya. Dan ketika suasana pesta mulai memuncak dan beberapa di antaranya menyoraki Yang Tek, memuji dan menyanjung-nyanjung pemuda itu sebagai pahlawan bagi sesaji maka pemuda ini sombong memancarkan kecongkakannya.

Pulau Api sudah semakin merah membara oleh tungku-tungku besar yang dinyalakan sebagai api unggun. Di tengah-tengah lapangan, di atas rumput memerah tampak sebuah panggung kecil dengan meja altar terbuat dari kayu hitam berukir. Ada panci dan gergaji di situ, juga bunga-bunga aneh yang baunya busuk namun bagi lelaki penghuni pulau amatlah harum dan dianggap bunga keramat. Bunga itu direndam dalam tengkorak seekor kerbau dan air bunga inilah yang nanti dibagi-bagikan.

Para murid atau penghuni akan berteriak histeris kalau sudah mendapat cipratan air bunga ini. Mereka percaya bahwa air bunga itu membawa keberuntungan, bunga dari nenek moyang mereka Han Sun Kwi si tokoh sakti. Dan karena air bunga itu dipercaya membawa berkat, siapa yang kecipratan dan tak kering meskipun digosok maka mereka percaya bahwa Han Sun Kwi sendiri akan turun ke dunia dan memberikan ilmunya yang paling tinggi kepada mereka.

Tiga pemuda itu, yang duduk di depan adalah pemuda-pemuda lihai yang kepandaiannya amat tinggi. Mereka adalah murid-murid tocu (pemilik pulau) dan menjadi murid utama. Yang Tek adalah murid nomor satu sedang dua yang lain adalah sute-sutenya. Masing-masing pemuda itu mengenakan baju dari kulit di mana baju ini mereka cat dengan warna-warna cerah. Yang Tek dengan warna biru sedang dua pemuda yang lain mencat baju kulit mereka dengan warna hitam dan merah.

Semuanya sebenarnya tampan namun karena mereka rata-rata garang dan tak pernah tersenyum, kecuali Yang Tek yang malam itu gembira mempersembahkan hasil maka hanya pemuda ini yang tampak sedikit ramah, meskipun keramahannya berkesan sombong karena sesungguhnya ia tersenyum karena girang dan bangga mampu menonjolkan diri di malam keramat itu, mempersembahkan satu di antara penghuni Lembah Es untuk dijadikan korban bagi nenek moyang mereka Han Sun Kwi.

Pemuda kedua, yang berbaju hitam sebenarnya bukan pemuda sembarangan. Ia justeru putera tunggal pemilik pulau yang bernama Tan Bong, tentu saja lihai namun karena ia sute dari suhengnya Yang Tek maka kepandaiannya sedikit di bawah pemuda tinggi besar itu meskipun kepandaian mereka sesungguhnya hanya berselisih seurat saja. Pemuda ketiga, yang berbaju merah adalah murid nomor dua dari pemilik pulau. Namanya Gun Siauw Lok dan kepandaiannya setengah urat dibanding suhengnya Yang Tek.

Melihat data-data ini saja dapat kita ketahui betapa tipisnya selisih kepandaian di antara tiga pemuda itu. Masing-masing sebenarnya sama hebat hanya mereka berbeda dalam masa lama latihan, Yang Tek sudah dua puluh tahun digembleng oleh tocu sedangkan Siauw Lok sembilan-belas tahun lebih sedikit. Tan Bong, yang termuda, baru delapan belas tahun digembleng ayahnya dan hanya karena masa didikan yang berbeda-beda inilah selisih kepandaian mereka terpaut tidak terlalu jauh. Dan karena selama ini tiga pemuda itu selalu berlomba dan dahulu-mendahului maka kepandaian mereka maju pesat dan tak aneh kalau mereka menjadi murid-murid utama andalan Pulau Api.

Tapi apakah hanya tiga pernuda ini yang menjadi tulang punggung pulau? Tidak, karena di pulau itu di samping ketua masih ada dua orang wakil lagi yang kepandaiannya amat hebat. Sang tocu, pemilik sendiri harus mengakui bahwa kalau ia tidak berlatih keras tentu kepandaiannya akan dilanggar oleh dua wakil itu. Mereka juga adik-adik seperguruannya dan di situ berlaku hukum siapa terkuat dialah yang memimpin. Yang di bawah harus minggir dan mengalah.

Dan karena diam-diam di pulau ini juga terjadi persaingan ketat antara ketua dan wakilnya maka tidak aneh kalau ketika mereka berlatih terdengar pekikan-pekikan atau jerit melengking yang suaranya dahsyat menggema keluar pulau. Dan suara-suara inilah yang oleh penduduk di luar gugusan Kepulauan Akherat dianggap sebagai suara-suara iblis atau siluman yang sakit hati!

Siapakah ketua dan dua wakilnya yang saat itu memimpin pulau? Mereka bukan lain adalah generasi keturunan Bu Sit dan keluarga pangeran pemberontak, generasi keluarga Tan dan See, yakni pangeran bungsu yang dulu membantu pangeran sulung. Mereka-mereka inilah yang menjadi dedengkot Pulau Api namun karena masing-masing dari nenek moyang yang berbeda maka sesungguhnya terjadi semacam perebutan pengaruh di antara pemimpin-pemimpin pulau ini.

Bu Sit, yang akhirnya menjadi cikal bakal keluarga Bu terus melahirkan keturunan-keturunan baru bermarga Bu. Tapi karena dulu pemuda itu juga berkomplot dengan Tan-ongya dan adik bungsunya, bergaul dan berhubungan dengan keluarga istana ini maka darah biru juga memasuki penghuni Pulau Api di mana keturunan atau penerus keluarga Tan dan See ikut mempelajari ilmu. Hal ini dilakukan Bu Sit setelah dulu gadis baju putih mengambil kerabat-kerabat keluarga Wan dan Yo, juga kaisar sendiri.

Pemuda itu melakukan ini semata untuk membuat perimbangan. Kalau dia dikeroyok dan harus menghadapi sekian banyak wanita berkepandaian tinggi tentu dia kalah. Maka ketlka dia mengambil keturunan-keturunan pangeran Tan dan See untuk memperkuat diri, menggembleng mereka dengan warisan Han Sun Kwi maka pemuda ini mengimbangi lawan di mana pihak Lembah Es juga memperkuat diri dengan barisan-barisan dari keluarga Wan-suma dan Yo-ongya. Hal itu berlangsung terus sampai masing-masing pihak tak ada yang kalah atau menang.

Setiap keluarga lawan menambah orangnya tentu pihak yang lain memperkuat tenaganya pula, begitu berabad-abad. Dan karena di pihak Pulau Api terdapat tiga keturunan dari masing-masing cikal bakal, keluarga Tan dan See akhirnya seimbang dan selihai keluarga Bu maka dalam pertandingan-pertandingan mencari yang terkuat di sini silih berganti keluarga Bu dan Tan atau See menjadi pemimpin. Waktu itu keluarga Tan kebetulan lebih kuat.

Tan Siok, ayah Tan Bong menjadi orang paling lihai di Pulau Api. Dialah yang paling hebat pukulan Petir Neraka-nya dan dua tokoh yang lain harus mengalah. Mereka kalah seusap dibanding ketua ini. Tapi karena mereka terus berlatih ilmu dan tiga tahun sekali ketua harus diuji, ini membuat persaingan di antara mereka ketat maka tokoh Pulau Api yang tentu saja tak mau digeser ini juga menggembleng dan melatih dirinya.

Hari itu acara adat kebetulan jatuh sama dengan masa jabatan ketua. Sudah tiga tahun ini Tan Siok memimpin Pulau Api dan sudah waktunya diuji. Kalau dia mundur, atau sakit misalnya, tentu saja harus menyerahkan jabatan kepada wakilnya. Dan dari dua orang wakil akan ditentukan siapa yang paling kuat, keluarga See atau keluarga Bu. Tapi karena ketua selama ini sehat-sehat saja, juga rajin melatih dan menggembleng diri maka agaknya sukar bagi dua wakil ketua untuk merebut kedudukan.

Malam itu acara adat akan dilanjutkan dengan pemilihan ketua baru Kalau dua wakil mengalah tentu tak akan terjadi pertandingan uji coba, berarti tak akan ada keramaian setelah itu. Tapi kalau dua wakil merasa ingin mencoba keberuntungan Pulau Api tak boleh dipimpin tokoh yang lemah maka penghuni tentu saja menjadi tegang dan gembira untuk melihat adanya pertandingan hebat. Ketua dan wakil ketua biasanya hampir berimbang. Masing-masing hampir sama namun kecerdikan dan keunggulan fisik turut berperan. Siapa kalah cerdik dan kalah prima biasanya kalah.

Maka ketika malam itu diumumkan akan adanya pemilihan ketua, wakil ketua diminta untuk tetap pada posisinya atau naik tingkat maka penghuni menjadi ramai berbisik-bisik untuk meramal apa yang kira-kira akan terjadi.Ketua bisa tetap menduduki jabatannya yang sekarang dan wakil mengalah atau mungkin wakil ketua akan maju dan menguji ketua. Kalau ini yang terjadi, ketua diuji wakilnya maka dua hasil yang akan diperoleh, sang ketua kalah atau wakil yang menang. Dan biasanya dalam adu ilmu demikian pasti salah seorang akan roboh. Mati atau luka berat dalam pertandingan ini tak boleh dilanjutkan dendam!

Bulan di atas kepala semakin tegak memancarkan cahayanya yang keemasan. Pulau Api sudah riuh dengan akan dimulainya pesta dan suasana panas mulai memuncak. Ada teriakan-teriakan bahwa ketua akan tetap menduduki kursinya. Tapi ketika ada teriakan pula bahwa it-hu-pangcu (wakil pertama) akan menggeser ketua maka penghuni ramai menyalak dengan suara mereka sendiri-sendiri. Dari teriakan atau pekikan kasar penghuni pulau dapat ditarik kesimpulan bahwa dua jago mendapat perhatian besar.

It-hu-pangcu adalah dari keluarga Bu sedang ketua adalah dari keluarga Tan. Masing-masing akan bertanding atau wakil ketua akan mempercayakan jabatan itu lagi kepada ketuanya. Tapi karena sudah tersimpan kabar bahwa it-hu-pangcu akan menguji, konon wakil pertama ini sudah mendapatkan kemajuan ilmunya yang amat dahsyat maka penghuni atau murid-murid Pulau Api menanti kejadian itu dengan hati tegang. Mereka sudah mulai menjagokan jagonya masing-masing dan terdengarlah teriakan-teriakan kasar itu.

Waktu semakin mendekati titik puncak dan ketika genderang dipukul semakin gencar ramailah terdengar seruan-seruan bahwa pangcu akan mundur, hal yang membuat merah muka pemuda baju hitam yang sejak tadi mendengarkan ini. Ia diam tak bergerak ketika teriakan-teriakan masih mengunggulkan nama ayahnya. Tapi ketika ayahnya disebut-sebut akan mundur dan nama it-hu-pangeu dijagokan ke atas maka pemuda yang tak dapat menahan diri dan menoleh ini tiba-tiba membentak,

"Diam, kalian tak perlu menggonggong seperti anjing!"

Dahsyat sekali bentakan itu. Tan Bong yang menyerukan suaranya dengan marah terdengar menggetarkan jantung orang-orang di situ. Ia meloncat dan sigap membalik, suara dari kelompok yang menyanjung it-hu-pangcu dipandang. Sepasang matanya mencorong merah dan terkejutlah kelompok itu oleh pandang mata pemuda ini. Dan ketika semua diam sementara genderang dan kencrengan berhenti dipukul maka Yang Tek, pemuda baju biru juga bangkit berdiri dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

"Kalian tak usah menjagokan siapa-siapa. Ini urusan pimpinan kita. Berhenti dan bicaralah yang lain!"

"Hm!" sebuah suara tiba-tiba terdengar, dingin dan bernada marah. "Kenapa mereka tidak boleh menyebut-nyebut namaku, Yang Tek? Bukankah setiap orang boleh menjagokan jagonya masing-masing? Bicaralah, berteriaklah. Siapapun boleh bicara bebas di pulau ini untuk saat seperti ini!"

Seorang laki-laki tinggi sedang tiba-tiba muncul. Ia tahu-tahu sudah berada di depan dua pemuda itu dan mengibas, perlahan saja tapi Yang Tek terhuyung, hampir terjungkal! Dan ketika Tan Bong mengelak mundur dengan cepat melompat jauh ke belakang maka ia terbebas dari kibasan, namun saat itu muncul bayangan lain berkelebat menengahi.

"Bu-suheng, tak usah meladeni omongan anak-anak. Sudahlah, kita sedang merayakan upacara adat dan menghormati nenek moyang kita. Pangcu akan datang!"

Muncul seorang laki-laki tinggi kurus berwajah tampan. Pakaiannya indah dan begitu ia datang begitu pula ia menahan pundak laki-laki tinggi sedang ini, yang lehernya berkalung rantai perak yang kemerah-merahan. Dan ketika laki-laki ini ter-belalak namun menahan marah, ia adalah it-hu-pangcu Bu Kok maka laki-laki tinggi kurus, yang bukan lain adalah wakil kedua sudah menenangkan dirinya dengan mengajaknya ke altar.

"Pangcu akan datang, Tan-suheng memerintahkan menyiapkan sesaji!"

"Hm!" hanya itu dengus pendek laki-laki ini. Ia berkelebat dan tahu-tahu sudah di altar tengah panggung itu, mengangkat tangan dan semua orangpun tak ada lagi yang berisik. Wajahnya yang kemerah-merahan ditimpa sinar bulan tampak begitu garang dan berwibawa, lengannya berotot dan tampak kokoh. Dan ketika ia mengangkat tangan tinggi-tinggi dan berseru ke segala penjuru maka terdengarlah suaranya yang jauh lebih hebat dari pada bentakan Tan Bong tadi, putera ketua,

"Anak-anak, kita malam ini akan mempersembahkan sesaji kepada dewa kita Han Sun Kwi. Dan malam ini kebetulan juga ketua akan mengakhiri masa jabatannya. Nah, karena waktu sudah tiba bagi kita untuk memulai upacara maka diminta kepada yang berkepentingan untuk menyerahkan dan mengeluarkan sesaji persembahan!"

Yang Tek, pemuda yang dimaksud bergerak menerima perintah. Dialah yang menyatakan diri sebagai penyerah tumbal dan karena semua sudah mendengar akan keberhasilannya menangkap penghuni Lembah Es maka pemuda itu menghilang sejenak ke gugusan batu-batu karang di belakang lapangan rumput itu. Dia tadi terkejut dan marah oleh kelakuan susioknya ini tapi karena menyadari keadaan ia menahan kemarahan. Ia tadi dikibas dan tidak siap, kalau siap belum tentu dapat dibuat malu. Tapi ketika kini ia diminta menyerahkan sesaji dan itu sebuah kehormatan, ia dapat berbangga kepada semuanya nanti tiba-tiba pemuda itu pucat mukanya karena gadis tawanan yang disembunyikannya di dalam sebuah guha ternyata lenyap!

"Ah, di mana dia?" pemuda ini kebingungan. "Keparat, di mana tawananku?" dan ketika dia mencari-cari namun tetap juga tak berhasil, gadis tawanan lenyap maka terdengar seruan menggelegar dari paman gurunya itu,

"Penyerah tumbal, harap cepat ke mari!" Pemuda ini terpaksa kembali. Ia harus datang menerima panggilan, tangan masih kosong tapi apa boleh buat. Dia sudah terlalu lama. Dan ketika semua orang heran bahwa ia tak membawa gadis tawanan itu, sesaji yang akan dijadikan tumbal maka Yang Tek berlutut di bawah altar melapor,

"Susiok, tawanan hilang. Maafkan teecu yang harus mencarinya dulu!"

"Hm, hilang? Atau kau hanya menjual berita kosong?" sang wakil ketua bicara bengis, tertawa mengejek. "Kau jangan main-main, Yang Tek. Semua tahu hukumanmu kalau tidak benar. Kami sudah tak ada waktu karena bulan sudah di atas kepala. Kalau kau ingin mencari maka hanya ada lima detik bagimu dan pergilah!"

"Susiok!"

"Tak ada tawar-menawar lagi. Pergi dan cari, lima detik. Atau kau menggantikannya dan menjadi tumbal di sini!"

Wajah riang dan bangga yang tadi ada tiba-tiba berubah menjadi pucat pasi pada wajah pemuda tinggi besar ini. Semua juga terkejut dan maklum akan apa yang bakal terjadi. Sudah menjadi peraturan bahwa penyerah tumbal yang gagal harus mengganti dengan dirinya sendiri. Yang Tek harus menyerahkan kepalanya dan dipenggal di situ. Darahnya akan ditampung di panci yang disiapkan dan ini berarti malapetaka. Siapa mau dibunuh!

Memang ada kesempatan bagi Yang Tek untuk mencari tawanan yang hilang tapi mendengar bahwa waktu yang diberikan adalah lima detik saja, begitu singkat dan tak masuk akal maka semua melengak dan terkejut. Tapi it-hu-pangcu berkata bahwa puncak upacara sudah akan dimulai, bulan memang sudah hampir tegak lurus di kepala dan waktu memang mepet. Maka ketika pemuda itu tertegun sementara orang-orang lain terbelalak, tak mungkin pemuda itu berhasil tiba-tiba terdengar suara berat yang ditujukan kepada pemuda ini,

"Yang Tek, tawananmu lari ke kamarku. Ambil dan bawalah dia ke mari!"

Bagai iblis muncul sesosok asap merah. Asap ini meledak dan tahu-tahu muncul seorang laki-laki gagah berjenggot kemerahan, berdiri dan sudah berada di antara it-hu-pangcu dan pemuda itu. Laki-laki ini mengenakan jubah merah dan wajahnya yang merah kehitaman tampak keras dengan sepasang mata berkilat-kilat, tajam bagai naga sakti! Dan ketika semua berseru menjatuhkan diri berlutut karena itulah tocu atau pangcu (ketua) dari Pulau Api maka Yang Tek yang terkejut tapi girang melihat kedatangan gurunya ini sekonyong-konyong berkelebat dan sekejap kemudian ia sudah menghilang muncul lagi dengan seorang gadis di pondongnya yang berteriak-teriak.

"Lepaskan aku... jahanam! Lepaskan aku...!"

Penghuni tiba-tiba bersorak. Mereka berdiri dan serentak memandang pemuda itu dan semua terbelalak melihat gadis Lembah Es ini. Gadis itu cantik sekali dan pakaiannya yang compang-camping membangkitkan gairah lelaki, apalagi ketika Yang Tek meraba pahanya dan mengelus-elus bagian itu. Gadis ini meronta-ronta, tersedu. Namun ketika Yang Tek melemparnya di panggung altar dan semua bersorak maka tocu atau pangcu dari Pulau Api mengangkat tangannya, berseru,

"Diam, jangan gaduh!" lalu ketika semua terkejut namun memandang beringas, adanya seorang wanita di situ menimbulkan birahi yang hebat maka tocu berseru lagi dengan suaranya yang berat dalam, penuh pengaruh, "Malam ini kita akan mengadakan pesta leluhur. Muridku Yang Tek telah dengan berani memasuki Lembah Es dan berhasil menangkap seorang penghuninya. Dan karena ia menjadi satu-satunya orang yang paling berjasa maka sesuai peraturan ia berhak menerima hadiah, pangkat atau ilmu kepandaian!"

Pemuda itu berseri-seri. Ia tidak lagi mengamati wajah susioknya yang berubah gelap, setelah tadi dengan wajah bengis dan senyum kemenangan siap menjatuhkan hukuman mati. Dan ketika tocu sudah bicara sementara ia diminta memilih, pangkat atau ilmu kepandaian maka sang tocu menyuruh pemuda itu berdiri di depan altar, menghadap tetua-tetua.

"Jawab, apa yang kau inginkan, Yang Tek. Kepandaian ataukah pangkat!"

"Teecu tak ingin kedudukan. Teecu Ingin kepandaian, suhu. Kalau boleh teecu ingin mewarisi Giam-lui-ciang hingga tingkat sepuluh!"

"Hm, aku dan susiokmu sendiri baru tingkat delapan dan tujuh. Kau terlalu berambisi, Yang Tek. Tapi tak apa, bagus. Itu menunjukkan semangatmu yang besar dan kau patut menjadi murid Pulau Api. Hm,sekarang kita mulai pesta dan lepaskan gadis itu!"

Sang ketua menggoyang lengan dan menyuruh lepaskan tawanan. Dan begitu tangan diangkat genderang dan kencrengpun dipukul gencar. Para penghuni bersorak! Yang Tek telah meminta hadiahnya dan ia betul. Kalau kedudukan, tentu ia menjadi wakil nomor tiga. Pemuda itu baru mewarisi Giam-lui-ciang sampai tingkat lima dan kalau ia ingin ke tingkat enam atau tujuh tentu saja harus meminta ilmu itu. Sudah menjadi peraturan bahwa murid yang berjasa wajib menerima hadiah, entah pangkat atau ilmu.

Maka begitu Yang Tek meminta kepandaian dan itu sudah dikabulkan maka adalah giliran pemuda itu untuk melepas tawanan dan mendemonstrasikan bagaimana dia menundukkan atau mengalahkan lawannya itu, seolah melakukan adegan ulang. Dan begitu pemuda ini bergerak dan membebaskan totokan, gadis Lembah Es itu meloncat bangun sekonyong-konyong ia berteriak dan menerjang pemuda itu.

"Yang Tek, kau iblis keji!"

Genderang dan bunyi-bunyian gencar kian ditinggikan. Suaranya begitu berisik sementara riuh dan sorak penghuni Pulau Api bagaikan iblis berpesta. Ketua sudah membuka isyarat dan adalah mengasyikkan menonton pertandingan itu. Gadis itu menerjang dengan pakaian compang-camping, memperlihatkan paha dan pundak atau kulit lengannya yang halus. Dan ketika Yang Tek mengelak dan gadis itu membalik, memekik maka dia sudah mengejar dan melancarkan pukulannya bertubi-tubi. Genderang dan bunyi-bunyian memekakkan telinga dan gadis itu bagaikan gila. Ia menjerit dan memaki-maki lawan namun suaranya tenggelam oleh pekik dan riuh genderang.

Para laki-laki di situ melonjak dan menari-nari melihat pertempuran ini. Yang Tek mengelak dan berloncatan namun ketika lawan berkelebat dan menyambar-nyambar mendadak iapun membentak dan mengikuti. Tubuh pemuda ini berseliweran naik turun dan lawan yang berkelebatan diimbangi dengan kecepatan yang sama. Dan ketika penghuni bersorak agar pemuda itu membalas lawan, Yang Tek berseri dan tertawa mengejek maka terdengar seruan agar gadis itu ditelanjangi.

"Yang-suheng, beri tontonan kepada kami yang menarik. Cabut pakaian gadis itu, telanjangi satu demi satu!"

"Benar," yang lain bersorak. "Beri kami pemandangan indah, suheng. Cabut pakaian gadis itu dan perlihatkan kepada kami kemulusan tubuhnya!"

"Ha-ha, dia cukup hebat, para sute, dan aku sudah menikmatinya. Karena dia akan menjadi tumbal biarlah untuk pelepas dahaga kalian lihat kemulusan tubuhnya... brett..!” tangan pemuda itu bergerak, menangkis sebuah serangan dan ketika dia merunduk dan menyelinap tahu-tahu jari-nya sudah menyusup di bawah ketiak gadis itu. Yang Tek meraba buah dada gadis ini untuk akhirnya menarik dan membetot baju di bagian itu. Dan ketika gadis ini menjerit karena kaget, juga marah dan pucat berganti-ganti maka ia sudah telanjang dadanya dan penghuni Pulau Api bersorak.

"Bagus... aih, bagus, suheng. Indah sekali!"

Gadis itu membanting tubuh bergulingan. Ia menutupi kedua dadanya dengan repot namun Yang Tek berkelebat dan menyusul, tertawa dan mencengkeram lagi bagian bawah perutnya ketika gadis itu meloncat bangun. Dan karena gadis itu baru saja berdiri tahu-tahu si pemuda sudah di sampingnya, merobek dan merenggut maka perutnyapun telanjang dan sorak riuh penghuni Pulau Api kian menghebat. Gadis ini menangis dan selanjutnya ia sibuk mengamankan bagian-bagiannya yang terbuka.

Sekarang otomatis ia tak dapat menyerang. ditelanjangi di depan banyak orang, laki-laki yang semuanya haus akan pelampiasan terhadap wanita. Dan ketika Yang Tek terus mempermainkan dan tampak bahwa gadis Lembah Es ini memang bukan tandingannya, pemuda itu tertawa mencengkeram bawah perut maka satu-satunya sisa pakaian terbuka. Sorak gemuruh mengimbangi riuhnya kencreng dan bunyi-bunyian lain. Yang Tek sudah membuat lawan tak berpakaian lagi dan gadis itu menjerit, roboh.

Belasan orang menubruk dan penghuni Pulau Api benar-benar sudah tak dapat menahan diri. Mereka yang ada di depan dibuat beringas, bergelak dan menyambar gadis ini dan seorang yang paling cepat berhasil memperolehnya. Tapi ketika dia memeluk dan mendekap tubuh mulus itu, menciumi mendadak gadis ini berontak dan kakinya tepat sekali menghantam selangkangan lawan

"Aduh...!"

Kiranya gadis itu masih hebat. Ia membuat penghuni Pulau Api bergulingan mendekap bawah pusarnya, yang lain-lain terkejut tapi mereka sudah menubruk sana-sini. Dan karena lawan terlalu banyak sementara gadis itu benar-benar berada di tengah sekelompok manusia buas maka ia roboh diterkam sana-sini dan kaki tangannya dipegangi banyak lawan.

"Ha-ha, aku dulu!"

"Tidak, aku dulu...!"

Gadis itu merintih dan tersedu-sedu. Ia benar-benar tak berdaya di tangan sedemikian banyak laki-laki dan jatuh dari satu penghuni ke penghuni yang lain. Para laki-laki yang mendengus oleh birahi itu ngak-ngik-ngok menciumi tubuhnya, tangan-tangan merekapun menggerayang kasar hingga si gadis menggelinjang-gelinjang, bukan geli melainkan ngeri! Dan ketika ia roboh ditimpa sekian banyak lelaki, keadaannya mirip kelinci di mulut harimau ganas maka penghuni yang lain berhamburan namun Yang Tek berkelebat menendang.

"Minggir.... des-des-dess!"

Semua mencelat dan terlempar oleh kaki pemuda ini. Yang Tek menyambar dan gadis tawanan pingsan. Pemuda itu telah memberikan sedikit kepuasan kepada teman-temannya namun mereka yang kehilangan korban berteriak-teriak. Nafsu terlanjur menggelegak dan terjadilah pemandangan menyeramkan ketika kaum laki-laki itu saling tubruk sendiri. Mereka menyambar teman-teman terdekat dan inilah yang dijadikan sasaran. Laki-laki memeluk laki-laki, berciuman! Dan ketika mereka bergulingan dan saling tindih, buas tak kenal malu maka mereka bercumbu dan melepas hasrat birahi dengan kelakuan aneh, jauh di atas tingkatan binatang!

Namun terdengar bentakan yang tiba-tiba membuat penghuni pulau terjengkang. Mereka yang sedang berciuman dan melepas berahi mendadak mengeluh. Suara bentakan itu dahsyat mengguncangkan dada mereka hingga terasa sakit, napas juga sesak. Dan ketika semua itu masih ditambah dengan bertiupnya angin kencang, panas membara maka orang-orang itu terlempar dan jatuh berdebuk dengan muka pucat. Nafsu seketika padam!

"Berhenti, puncak acara pesta belum dimulai!"

Semua mengerang dan merintih. Ketua kiranya turun tangan dan tadi mengibaskan tangannya dari panggung altar. Hebat sapuan kibasannya tadi karena penghuni dibuat sadar. Mereka yang terbakar birahi mendadak lenyap dan dingin lagi, semua pucat memandang tokoh di atas panggung itu. Dan ketika ketua memberi isyarat dan Yang Tek melangkah maju maka gadis Lembah Es tahu-tahu melayang dan menuju kearah ketua, disedot pukulan anehnya ketika telapak dibuka dan ditujukan kepada muridnya utama ini.

"Yang Tek, acara pembukaan sudah kau mulai. Bersiaplah kalian semua menuju ke acara inti!"

Genderang dipukul pendek dan berhenti. Dua wakil pimpinan bergerak dan masing-masing mengambil gergaji dan panci di meja altar. Gadis di tangan sang ketua dilempar dan jatuh tepat di meja ini, telentang. Dan ketika genderang dipukul lagi tiga kali, berhenti dan terompet kini bertiup maka terdengar lagu persembahan yang aneh dan mendirikan bulu roma. Penghuni Pulau Api tiba-tiba berlutut semua dan suara puja-puji terdengar dari mulut dua wakil pimpinan.

Lalu ketika suara itu disambung nyanyian sumbang ketua yang sudah mencabut tongkat hitam maka suasana menjadi lebih menyeramkan dengan adanya ketukan tongkat yang menggetarkan pulau. Nyanyian atau puja-puji para penghuni kalah dibanding ketukan tongkat di tangan ketua ini, apalagi nyanyiannya yang berat dan parau itu, sumbang.

Dan ketika ketua mendekati meja altar dan tangannya bergerak menghantam maka terdengar ledakan disusul bunyi genderang yang kembali berirama rancak, riuh. Sekejap suara ketua tertelan namun bunyi genderang melirih perlahan, terompet juga ditiup lebih rendah sampai akhirnya berhenti sama sekali. Dan ketika semua mengangkat wajah karena puja-puji atau doa selesai maka terdengarlah suara ketua yang dalam dan berat.

"Saudara-saudara, murid dan penghuni Pulau Api. Hari ini kita merayakan pesta persembahan untuk memuja keagungan nenek moyang kita Dewa Han Sun Kwi. Setiap tahun kita selalu mengorbankan sesaji dan darah binatang. Namun karena malam ini kita menangkap seorang murid dari musuh bebuyutan kita, penghuni Lembah Es maka adalah kehormatan bagi kita untuk memberikan persembahan lebih berharga kepada nenek moyang kita. Dewa kita Han Sun Kwi tentu senang, sudah lama kita tidak mempersembahkan darah seorang penghuni Lembah. Karena itu atas jasa murid kita Yang Tek malam ini kita patut bersyukur dan semoga dewa kita Han Sun Kwi memberikan berkah dan keberuntungannya. Mari kita mulai persembahan darah ini dan silahkan hu-pangcu membunuh gadis itu!"

Sorak pendek terdengar sejenak. Para penghuni berdiri dan gadis itu yang rupanya sudah sadar tiba-tiba membuka mata. Ia masih telanjang bulat dan benar-benar seperti bayi. Para lelaki, kaum penghuni pulau, bersinar-sinar dan tampak gelisah memandang gadis di meja altar itu namun mereka tak ada yang berani bergerak.

Berahi mereka telah ditindas oleh bentakan ketua tadi, juga hadirnya dua wakil ketua di meja itu membuat mereka tak berani sembarangan. Gadis itu adalah gadis korban, dia akan dibunuh. Maka ketika ketua mundur dan kini wakil ketua bergerak dan melangkah maju, gadis itu merintih maka it-hu-pangeu yang memegang gergaji menyeringai memandang gadis itu, tangan kirinya bergerak menangkap kepala.

"Gadis beruntung, kau akan menghadap dewa kami Han Sun Kwi. Bersyukurlah, darahmu akan menyucikan dirimu!"

"Keparat! Terkutuk...!" gadis itu meronta dan memaki-maki, menangis. "Kau bunuhlah aku dengan cepat, tua bangka. Kau bunuhlah aku dan jangan jadikan aku tontonan seperti ini. Kalian... kalian manusia iblis!"

"Hm, aku memang akan membunuhmu. Tapi ini adalah keberuntungan bagimu. Kau akan diperisteri dewa kami Han Sun Kwi. Bersiaplah!"

Gadis itu pucat. Ia melihat laki-laki tinggi besar ini mengangkat gergajinya, menempelkan ke leher dan siap menggorok! Dan ketika wakil ketua kedua membungkuk dan bersiap di bawah lehernya untuk menadah darah maka gadis itu menjerit karena ia akan disembelih seperti ayam, bahkan lebih keji lagi, karena yang dipakai adalah gergaji!

"Kalian iblis-iblis terkutuk. Kalian binatang... kalian, ah.... kalian melebihi binatang!"

"Ha-ha, bersiaplah, nona manis. Kau telah menjadi tumbal dan tak ada lagi hak bicara.... wutt!" gergaji itu bergerak, siap menggorok dan gadis ini serasa terbang semangatnya merasai benda dingin menempel di leher. Sungguh tak disangkanya bahwa ia akan dibunuh sekeji itu, digorok. Tapi ketika gergaji bergerak dan gadis ini menjerit, dia akan disembelih hidup-hidup mendadak berkelebat sebuah bayangan dan sebutir batu hitam menyambar gergaji itu.

"Kakek keji, tahan senjatamu.... takk!"

Gergaji terpental dan seorang pemuda gagah tahu-tahu telah berada di panggung dengan amat cepatnya. Dia bergerak bagai siluman dan begitu di meja altar diapun segera menendang dua wakil ketua dengan kaki berputar dari bawah ke atas. It-hu-pangcu, wakil pertama terkejut bukan main karena begitu senjata terpental iapun menerima tendangan luar biasa. Dagunyn disambar dan tentu ia terbanting roboh. Kejadian ini benar-benar di luar dugaan, siapa pun tak bakal menyangka!

Namun karena ia, bukan orang lemah dan begitu gergaji terpental iapun sudah meliuk dan merendahkan tubuh maka tendangan itu diterima dengan tangan kirinya dan.... duk-dukk... dua wakil ketua ini terhuyung karena di saat yang sama wakil nomor dua juga menangkis dan terbelalak lebar memandang musuh yang baru datang ini. Penghuni Pulau Api seketika gempar!

"Kau siapa!" bentakan itu menggetarkan panggung altar. "Siapa kau, anak muda. Bagaimana berani mati memasuki Pulau Api!"

Namun pemuda itu bergerak dan sudah menyambar gadis yang di meja altar ini. Dia sengaja membuat mundur dua wakil pimpinan itu setelah batu hitamnya mementalkan gergaji. Gadis yang akan disembelih itu sudah diraih dan diselamatkannya. Dan ketika ia melepas baju luarnya sendiri untuk dipakai menutupi tubuh telanjang itu, gadis ini terbeliak dan bebas dari totokan maka gadis Lembah Es itupun terkejut dan tercengang, heran dan kagum serta bengong.

Tapi ketika dia ditarik dan diajak melompat ke bawah, turun dari panggung altar maka seruan dan bentakan marah terdengar dari penghuni pulau. Mereka juga terkejut dan tersentak melihat pemuda gagah tampan itu. Usianya baru sembilan belas tahun namun sikap dan gerak-geriknya jelas menunjukkan pemuda yang berisi. Bahwa dia mampu memasuki Pulau Api sudah membuktikan kepandaiannya itu, apalagi mampu mementalkan senjata di tangan it-hu-pangcu dan membuat dua wakil ketua terhuyung.

Namun ketika semua sudah sadar dan kegembiraan berubah menjadi kemarahan maka it-hu-pangcu, yang merasakan lebih dulu serangan pemuda itu maju berkelebat dan lengannya yang kokoh berotot sampai berbunyi berkeriut-keriut, sang tocu atau ketua tampak tertegun di sana.

"Anak muda, kau siapa. Apakah sahabat dari Lembah Es hingga berani mengganggu kami!"

"Maaf," pemuda itu, yang tinggal mengenakan pakaian dalam karena pakaian luarnya diberikan kepada si gadis berkata gagah, wajahnya bersinar-sinar dan matanya tajam mencorong, bagai mata seekor naga sakti muda. "Aku adalah orang biasa, hu-pangcu. Aku orang luar tapi yang tak tahan oleh semua kejadian ini. Aku datang untuk membebaskan gadis ini karena tak layak kalian mempersembahkan korban berupa seorang manusia. Kebiasaan kalian tak patut dipertontonkan!"

"Keparat!" ji-hu-pangcu, wakil nomor dua bergerak dan sudah melayang turun ke bawah panggung pula, alisnya berkerut dan matapun terbakar. "Tak usah banyak mulut terhadap pemuda ini, ji-suheng. Tangkap dan bunuh dia!"

"Hm, aku memang akan melakukannya!" dan baru kata-kata ini habis tahu-tahu it-hu-pangcu itu menggerakkan lengan ke depan. Ia marah dihina pemuda ini dan hadirnya anak murid membuat ia tak mau bersabar lagi. Ia bergerak dan langsung melepas Giam-lui-ciang. Pukulan Petir Neraka itu menyambar dan angin panaspun menderu. Tapi ketika pemuda itu mengelak dan pukulan ini mengenai tempat kosong maka it-hu-pangcu terbelalak namun tiga pemuda tiba-tiba berkelebat dan berseru,

“Susiok, serahkan pemuda ini kepada kami!"

Kiranya Yang Tek dan dua sutenya. Siauw Lok, pemuda baju merah berkelebat paling depan tapi suhengnya itu lebih cepat mendahului. Datangnya pemuda pengacau itu membuat mereka terkejut dan Tan Bong juga bergerak dan maju ke depan. Namun karena dua suhengnya mendahului dan mereka nyaris saling berseru maka pemuda tinggi besar itu, Yang Tek, yung paling depan dan marah sudah langsung menyerang dan berseru pada susioknya agar mundur.

It-hu-pangeu tertegun namun mundur. Murid keponakannya, Yang Tek, sudah melepas pukulan sementara Siauw Lok juga bergerak di belakang suhengnya itu. Pukulan susiok mereka luput namun pukulan mereka menyambar. Dua pemuda itu dahulu-mendahului namun pemuda baju putih ini mengelak, dicegat dan diserang lagi dan terpaksa dia menangkis. Dan ketika mereka beradu tenaga dan Yang Tek mau pun sutenya terpental maka semua terkejut dan pemuda baju putih itu tiba-tiba bergerak dan lari, menyambar gadis penghuni Lernbah Es itu.

"Nona, kita pergi...!" Pemuda itu berkelebat meninggalkan panggung. la sudah bergerak dengan sama cepatnya seperti datang, meluncur dan tahu-tahu sudah melayang melewati kepala banyak orang, penghuni pulau. Namun karena mereka bukan orang-orang lemah dan yang dilompati kepalanya bergerak dan membentak maka pemuda itu dipegang kakinya tapi dengan gerakan luar biasa malah menendang dan tiga orang roboh menjerit.

"Aduh...!" Gadis Lembah Es tertegun dan kagum. Ia sudah dibawa lari dan pemuda ini memutar pulau. Batu-batu karang yang ada di belakang sudah dituju pemuda ini dan ke situlah pemuda ini terbang. Dan ketika ia ditarik dan terangkat naik maka dirinya berseru tertahan namun pemuda itu memberi isyarat agar dia tidak bersuara.

"Sst, hati-hati. Aku telah menyiapkan perahuku di ujung sana, nona. Pegang tanganku erat-erat dan kita tinggalkan tempat berbahaya ini!"

"Ah, kongcu... siauw-hiap... eh, siapakah?"

"Aku Beng An, datang secara kebetulan dan hampir terlambat menolongmu."

"Beng An? Ah, siauw-hiap... eh, memusuhi orang-orang Pulau Api?"

"Aku tak bermusuhan dengan siapapun, nona. Aku datang secara kebetulan saja dan tertarik melihat keramaian itu. Sudahlah, musuh mengejar dan kita secepatnya harus tiba di perahu!"

Namun dari depan dan kiri kanan tiba-tiba berkelebatan banyak bayangan. Pemuda ini dihadang dan gadis Lembah Es tampak terkejut. Ia sudah diselamatkan tapi kini dihadang orang-orang Pulau Api itu, satu di antaranya adalah Yang Tek! Dan ketika pemuda tinggi besar itu membentak berseru keras, tadi penasaran oleh hebatnya sinkang pemuda ini maka pemuda itu menghantam dan Beng An atau pemuda baju putih ini menangkis, apa boleh buat harus menghadapi dulu serangan itu.

"Dess!" Yang Tek berseru kaget dan terpelanting lagi. Ia memotong jalan dan bersama lima temannya mencegat di situ, melepas pukulan tapi kalah kuat. Dan ketika ia terlempar dan bergulingan meloncat bangun, lima temannya menyerang namun disambut tendangan cepat maka mereka juga terbanting dan murid-murid Pulau Api itu mengeluh semua.

Pemuda baju putih ternyata benar-benar lihai dan kini ia lari lagi. Dari tangkisan dan tendangannya dapat dilihat bahwa sepak terjangnya diatur, ia tak mau membunuh atau melukai berat. Namun ketika ia menuju pantai dan dari jauh gadis Lembah Es dapat melihat adanya perahu ternyata tempat itu sudah dikepung dan yang berdiri paling depan adalah it-hu-pangcu Bu Kok!

"Celaka, it-hu-pangcu ada di situ. Ia orang nomor dua paling kuat di Pulau Api. Putar dan lari ke arah lain saja, siauw hiap. Aku takut!"

"Hm, begitukah? Baik, aku juga tak bermaksud untuk bertempur habis-habisan. Ada kulihat perahu-perahu lain di sekitar pulau, mari kita ke sana dan pegang erat-erat tanganku!"

Gadis itu pucat. la ngeri melihat adanya wakil nomor satu itu tapi ketika mereka memutar dan bergerak menuju selatan ternyata wakil nomor dua ada di sana. Pemuda ini memutar tubuh lagi dan menuju timur. Tapi ketika di sini juga menunggu puluhan orang Pulau Api maka di tempat lain juga sama karena tempat itu benar-benar terkepung.

"Kita tak dapat keluar. Celaka, mereka telah mengepung pulau!"

"Tak usah takut. Kita kembali ke batu-batu karang itu, nona. Kita cari sebuah guha dan bersembunyi dulu!"

"Siauw-hiap tak takut dicari? Bagaimana kalau salah memasuki guha pimpinan pulau?"

"Apa boleh buat. Kita hadapi mereka itu, nona. Asal tidak dikeroyok ratusan orang kupikir aku sanggup menghadapi mereka. Mari, kita kembali dan ke tengah pulau!"

Pemuda itu menarik temannya dengan wajah bingung. Malam itu Pulau Api terang-benderang dan bayangan mereka mudah terlihat. Kalau saja tidak membawa gadis ini tentu dia menerjang orang-orang itu. Dia tak takut menghadapi penghuni pulau melainkan khawatir bagaimana melindungi gadis Lembah Es ini. Gadis itu telah letih dan guncangan demi guncangan yang dialami cukup melelahkan.

Maka bergerak dan kembali ke pulau, menuju batu-batu karang di dekat altar panggung pemuda itupun sudah mencari dan menemukan sebuah guha. Di tengah pulau memang banyak guha-guha gelap sebagai hunian para penghuni. Saat itu semua sedang keluar dan guha menjadi kosong. Maka begitu masuk dan entah guha siapa yang dimasuki maka pemuda ini melepaskan temannya dan gadis itu jatuh terduduk, menggigil.

"Siauw-hiap, bagaimana sekarang. Kita... kita malah terkepung!"

"Hm, tenang saja. Sementara ini kau memulihkan tenagamu dulu, nona. Nanti kita cari jalan lain. Sudahlah, tempat ini enak dan kosong. Kau dapat beristirahat dan aku berjaga di luar guha..."

"Tidak, nanti dulu!" gadis itu melompat dan pucat. "Aku tak mau sendirian di dalam, siauw-hiap. Kalau kau di mulut guha biarlah aku di situ juga!"

"Eh, kau harus memulihkan tenagamu."

"Tidak, di sini juga bisa, siauw-hiap. Kalau aku di dalam kau juga harus di sana!"

"Baiklah, kalau begitu kau boleh duduk di sini. Aku sedang mencari akal bagaimana bisa lolos dari sini. Mari, kita memasang kewaspadaan."

Gadis itu terisak. Ia lega bahwa ada teman di situ. Pemuda itu duduk dan pandang matanya ditujukan keluar. Dan ketika mereka mendengarkan teriakan-teriakan dan makian di luar sana, penghuni berlarian dan sibuk mencari mereka maka gadis ini memandang pemuda itu lebih cermat lagi dan dari samping ia melihat betapa pemuda ini benar-benar gagah dan tampan. Ia menggigit bibir dan teringat Yang Tek. Dan begitu teringat pemuda itu ia pun tak dapat menahan dirinya lagi dan menangis tersedu-sedu!

"Eh, jangan berisik. Kita sedang bersembunyi, nona. Nanti ketahuan mereka."

"Aku... aku benci orang-orang Pulau Api ini. Ah, kalau umurku masih panjang ingin rasanya kucincang tubuh si Yang Tek itu. dia merusak hidupku. Keparat!"

"Sudahlah, sementara diam di sini, nona, Jangan biarkan tangisrnu didengar mereka. Omong-omong, dari manakah kau ini dan orang macam apakah penghuni pulau ini."

"Aku dari Lembah Es...."

"Ya, tadi kudengar itu. Tapi di manakah Lembah Es, aku belum pernah dengar."

"Lembah Es di Semenanjung Hitam, ribuan li dari sini..."

"Semenanjung Hitam? Astaga, di tempat sejauh itu?"

"Benar, siauw-hiap. Dan kami orang-orang Lembah Es memang selalu bermusuhan dengan penghuni Pulau Api. Kami..."

"Nanti dulu, jangan sebut aku siauw-hiap (pendekar muda). Kita sesama kalangan orang kang-ouw dan tak enak rasanya mendengar sebutan itu. Panggil namaku Beng An, nona. Dan biar kusebut kau cici. Usiamu tampaknya lebih tua daripada aku."

Gadis itu tertegun. Ia melihat kesederhanaan pemuda ini dan akhirnya mengang-angguk, menarik napas dalam-dalam. Lalu kagum memandang wajah gagah itu diapun berkata, "Baik, dan kau boleh sebut aku Seng-Cici, Beng An. Namaku Hwa Seng...."