Putri Es Jilid 07 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

GADIS itu terbelalak. Bu Sit, pemuda itu memutar tubuhnya dan berkelebat pergi. Tawa aneh terdengar disitu dan alangkah menyakitkan. la dituduh dan dipojokkan. Umur kehamilannya disamakan dengan lama pertemuannya dengan suheng kekasihnya itu. Tapi karena tak merasa melakukan itu dan benih di perutnya ini benar-benar dari pemuda itu, gadis ini marah maka murid Tung-hai Sian-li itu membentak dan mengejar, berkelebat berjungkir balik.

"Bu Sit, berhenti!"

Pemuda itu terkejut. Ui Yang meluncur di atas kepalanya dan berdiri bertolak pinggang,, muka merah padam dan cuping hidung itu kembang kernpis. Dalam keadaan biasa tentu hal ini amat menarik dan penuh pesona. Wajah dan pipi yang mangar-mangar itu amat menggairahkan. Biasanya kalau sudah begitu maka Bu Sit akan tertawa dan memeluk kekasihnya ini, mencium. Tapi karena pemuda itu sedang marah dan dia juga tak senang, dua kali gadis ini menghadangnya maka pemuda itupun berhenti dan bertolak pinggang.

"Hm, mau apalagi, Ui Yang. Apakah kau kira aku takut padamu. Aku mau pergi, persoalan kita sudah beres. Kenapa menghadang dan mencari permusuhan."

"Pergi? Sudah beres? Keparat, apanya yang beres, Bu Sit. Kau manusia terkutuk yang belum membereskan persoalan. Aku di sini ingin menuntut tanggung jawabmu, bagaimana dengan benih ini. Apakah demikian enak kau menghindar. Heh, laki-laki sepertimu ini harus diberi pelajaran, Bu Sit. Kalau kau hendak meninggalkan aku dan lepas tanggung jawab maka kita bertanding sampai kau atau aku yang binasa. Aku tak dapat menerima sikapmu!"

"Hm, begitukah? Sudah kubilang agar menunggu sampai anakmu lahir. Aku tak dapat memenuhi permintaanmu kalau belum melihat anak itu mirip wajah slapakah. Kenapa mendesak dan mencari perkara? Masalah bertanding dapat saja kita lakukan, Ui Yang, tapi kau akan roboh. Kau bukan tandinganku. Berpikirlah jernih atau nanti kau kubunuh."

"Membunuh? Bagus! Kau rupanya sudah tidak berjantung lagi, Bu Sit. Kalau kau tak mau menemaniku lagi baiklah kau atau aku yang mati... wut!" dan si gadis yang menerjang dengan amat marahnya, mendidih dan bergolak akhirnya menerjang murid Dhiran Sing itu dengan amat hebatnya. Ia melepas Pai-hai-jiu namun si pemuda berkelit, dikejar dan dipukul lagi dengan pukulan kedua namun masih juga menghindar. Dan ketika empat pukulan menyambar cuma-cuma, lawan tertawa mengejek maka untuk pukulan kelima pemuda ini menangkis.

"Ui Yang, kau tak tahu diri. Kalau ingin melawan lelaki jangan dengan aku. Kau akan mampus... duk!" dan gadis itu yang terpental dan berjungkir balik akhirnya memekik dan turun lagi menyambar-nyambar, ditangkis dan terpental namun menyerang lagi. Pemuda itu sudah tak mau bersamanya lagi dan hamil tanpa suami di samping tentu saja membuat gadis itu mata gelap. Ui Yang menerjang dan mainkan Pek-hong-koan-jit.

Tapi karena murid Dhiiran Sing itu jauh lebih tinggi dan semua ilmu-ilmu Dewi Laut Timur juga sudah dikenal, mengelak dan menangkis sana-sini maka langkah-langkah kakinya yang mengandalkan Jit-cap-ji-poh-kun benar-benar luar biasa dan warisan dari kitab Hwe-sin ini benar-benar luar biasa. Kaki yang bergeser maju mundur sudah bergerak ke sana ke mari dengan amat cepatnya, selalu mendahului dan bahkan di depan lawan. Dan karena murid Tung-hai Sian-li itu memang masih bukan tandingannya dan pemuda ini melepas Hwe-ci maka jari api mencicit dan... bret, lukalah leher gadis itu oleh guratan panjang.

"Ha-ha, lihat. Bagaimana kau melawan aku, Ui Yang. Hentikan atau nanti kubunuh!"

"Lebih baik mati!" gadis itu berteriak. "Kau boleh bunuh aku, Bu Sit. Bunuh pula anak di perutku ini. Ayolah, bunuh aku... atau kau mampus... wherrr!" gadis itu melepas lagi, dahsyat menyambar.

Dan si pemuda mengerutkan kening. Dia melihat bahwa gadis ini benar-benar sudah nekat, sejenak tergetar oleh teriakan dan seruan itu tapi wajah dingin dan kakunya kembali. Dia sangsi keterangan itu dan tidak percaya. Anaknya atau bukan yang jelas si ibu ini terlalu menuntut, tentu saja dia marah. Maka ketika pukulan itu menyambar dan dia berkelit dengan Tujuh puluh Dua Langkah Sakti, mengelak dan tahu-tahu di samping Ui Yang maka Hwe-cinya meluncur dan kali ini menusuk ketiak, tembus.

"Augh!" Ui Yang terlempar dan terbanting. Gadis itu bergulingan dan menangis serta merintih. Ia meloncat bangun tapi roboh lagi dan mengguguk. Namun ketika ia meloncat lagi dan menggigil dengan tubuh limbung, sang kekasih tertawa aneh dan maju dengan cepat tiba-tiba tudingan Jari Api menyambar dahinya.

"Ui Yang, sayang sekali kau harus ke akherat. Pergilah menyusul subomu dan jangan kejar-kejar aku lagi dengan tingkahmu... cet!"

Jari Api itu menembus dahi, berlubang dan murid Tung-hai Sian-li itu roboh. Ui Yang terpekik namun sedetik kemudian menggeliat, tak bersuara dan tewaslah dia dengan mata mendelik. Dan ketika pemuda itu tersenyum dan membersihkan tangannya, seolah ingin melepas noda maka dengan tenang pemuda itu memutar tubuh dan melanjutkan langkahnya lagi. Dia tak mengurus mayat itu dan murid Tung-hai Sian-li kembali berkurang seorang.

Dua tewas di tangan dua pemuda dan masing-masing sama menderita dengan amat menyedihkan. Orang yang mereka cinta dan harapkan ternyata begitu keji, tak segan-segan membunuh mereka sendiri. Dan ketika pemuda itu lenyap dan turun di bawah gunung maka untuk beberapa lama murid-murid kakek India ini tak terdengar kabar beritanya. Lenyap seperti siluman. Amblas!

* * * * * * * *

Namun perhitungan di antara mereka tentu saja tetap berjalan. Pek Lian, gadis baju putih itu, bersama dua sumoinya yang lain mencari dan tetap memburu murid-murid Dhiran Sing ini. Dendam telah tertanam dan tak mungkin kematian Tung-hai Sian-li itu dibiarkan. Hampir satu tahun tiga gadis itu mencari sampai akhirnya bertemu secara kebetulan, yakni ketika gegernya kota raja oleh serbuan pemberontak. Waktu itu Wan-thai-suma dan Thio-taijin serta menteri-menteri lain sedang berkabung atas wafatnya ibu-suri.

Tiga hari yang lalu ibu-suri meninggal dan kini mereka memperingati wafatnya, mengadakan sembahyangan dan Thio-taijin sebagai Kepala Agama tentu saja menjadi pemimpinnya. Kaisar juga hadir dan kesedihan ini tampak di wajah setiap orang. Sudah setahun lebih kaisar selalu murung mendengar tewasnya Hwe-sin. Jago andalannya itu tiada. Untung, karena tokoh-tokoh sesat juga sudah banyak dibunuh Hwe-sin dan hampir tak ada gangguan berarti di istana maka meskipun tokoh itu tewas namun istana tenang dan tenteram setahun lebih ini, kecuali hari itu.

Malam itu, dalam suasana berkabung dan berkumpul di Kuil Naga dalam suasana sembahyangan tiba-tiba saja terjadi pukulan genta berkali-kali. Pukulan ini menggetarkan dinding istana dan kaisar terbelalak, marah. Genta di atas menara tak boleh sembarangan dipukul kalau tidak ada sesuatu yang hebat. Dan untuk memukul genta pun harus seijin Wan-thai-suma, padahal Wan-thai-suma saat itu ada di dalam.

Jadi, betapa lancangnya pemukul genta itu. Dia dapat dihukum berat untuk kesalahannya ini, penjara seumur hidup atau bunuh. Dan ketika semua juga terguncang karena genta bertalu-talu itu merobek keheningan suasana, acara sembahyangan hancur dan buyar maka kaisar melotot dan marah, melihat seorang pengawal roboh mandi darah di muka kuil, menyeruak masuk.

"Ampun... bahaya... pemberontak... Ada pemberontak!"

Pengawal itu roboh. Dia tak sempat melaporkan semuanya karena sudah terguling dan tewas. Di dadanya terdapat sebuah golok menancap dalam, baju dan pakaiannya bersimbah darah. Dan baru saja pengawal itu roboh maka terdengarlah sorak-sorai dan gegap-gempitanya pasukan pemberontak. Istana bagai roboh oleh teriakan dan pekik mereka.

"Bunuh kaisar! Tangkap Wan-thai-suma, Bunuh Thio-taijin dan antek-anteknya."

Suasana menjadi riuh. Thio-taijin, yang berhenti memimpin sembahyangan tiba-tiba melihat bayangan-bayangan di luar kuil. Pengawal diserbu dan crat-crot robohnya penjaga disusul oleh pekik dan jerit kesakitan. Seratus lebih kerabat istana dan pembantu-pembantu kaisar menjadi panik. Mereka tiba-tiba melompat dan berlarian, mencari selamat dan jerit atau pekik para wanita tak dihiraukan. Jangankan wanita-wanita itu, para selir atau puteri istana, sedang kaisar sendiri tak mereka hiraukan dan lupa menyelamatkan diri sendiri-sendiri.

Hanya Wan-thai-suma dan Thio-taijIn saja yang tidak berlarian seperti kerabat-kerabat istana itu. Mereka berdiri dan terbelalak di situ. Penjaga atau pasukan di luar dibantai satu-satu, roboh dan mereka lihat dengan jelas tapi Wan-thai-suma tiba-tiba menyambar dan menarik lengan kaisar. Dialah yang berada paling dekat dengan kaisar dan Menteri Utama inilah yang tiba-tiba mengajak kaisar lari ke belakang.

Ada jalan rahasia di situ, ada dinding rahasia yang dapat mereka pergunakan untuk masuk ke ruangan bawah tanah, terowongan rahasia. Dan ketika Thio-taijin juga ingat dan sadar dilindungi pembantu-pembantunva, laki-laki tua inipun ditarik dan diseret mengikuti Wan-thai-suma maka di dalam kuil sudah masuk belasan pemberontak dengan pedang atau golok berlepotan darah.

"Heii.. itu Wan-thai-suma!"

"Dan itu kaisar!"

"Itu Thio-taijin. Tangkap!"

Belasan orang ini menyergap. Mereka mengejar dengan bentakan-bentakan menyeramkan dan dua di antara mereka melemparkan piauw, pisau belati kecil. Dan ketika dua senjata itu mendesing dan mendahului orang-orang di belakang maka Wan-thai-suma menjerit tertahan bahunya tertembus senjata gelap itu, juga Thio-tai-jin yang terguling dan seketika roboh.

"Cep-cep!" Dua pembesar istana Itu terguling. Kaisar tersentak tapi Wan-thai-suma bangkit lagi, menarik dan mengajak lari junjungannya karena pintu rahasia tinggal beberapa meter lagi. Di depan itu mereka akan membelok dan lenyap. Tapi ketika dua pisau terbang lagi menyambar dan mengenai dua orang ini, kaisar juga tertancap bahunya maka dua orang itu roboh dan sri baginda berteriak.

"Augh!" Mereka sama-sama jatuh. Untunglah, karena di belakang ada Ngo-busu, lima pengawal yang muncul dan cepat melindungi maka lima orang ini menyambar bangku dan apa saja dilontarkan kepada orang-orang di belakang itu, para pengejar.

"Sri baginda, berdirilah. Biar kami berlima menghadangnya!"

Kaisar menahan sakit. Pisau menancap dalam dan menembus tulang belikatnya. Terbiasa hidup enak dan tak pernah sengsara membuat kaisar hampir pingsan, penderitaan itu membuatnya tak kuat. Tapi ketika Wan-thai-suma terhuyung bangun dan dua pisau di pundak kiri kanannya itu tak dihiraukan, para pengawal dan busu-busu lihai sudah berdatangan maka menteri ini menyambar junjungannya dan lari tersaruk-saruk.

"Baginda, peluk pinggang hamba. Lari kita lari...!"

Sri baginda setengah sadar setengah tidak. Genta bertalu-talu masih saja terus terdengar tapi tiba-tiba berhenti. Seseorang berteriak ngeri dari atas menara dan jatuh, suaranya berdetak dan menggetarkan. Kepalanya pecah! Dan ketika sri baginda mengeluh dan mencengkeram pinggang Wan-suma, lari dan terseok membelok di tikungan depan maka Wan-thai-su-ma sudah menekan tombol biru dan dinding tiba-tiba membuka.

"Kita masuk, bersembunyi!" Kaisar didorong. Wan-suma mendahulukan junjungannya baru diri sendiri. Tapi ketika ia masuk dan siap menutup pintu tiba-tiba Thio-taijin muncul dan jatuh bangun dengan lengan dan pundak ditancapi piauw.

"Taijin...!" Wan-thai-suma tertegun. Tentu saja sebagai sesama pembesar negara tak mungkin dia membiarkan rekannya terbunuh di luar. Kaisar sudah lenyap di dalam sementara dia mau menyusul, berhenti dan melompat lagi menunggu Kepala Agama itu. Tapi karena ini berarti menunda beberapa detik, riuh dan ribut di luar semakin menjadi maka tepat mereka saling menyambar tangan mendadak seseorang muncul dan dua orang itu kaget bukan main.

"Ha-ha, apa kabar, Wan-thai-suma? Siap bersembunyi?" Nanti dulu, tengoklah aku!"

Angin berdesir dan dua orang itu menoleh. Seorang laki-laki perlente, gagah tapi bermata keji terdapat di situ, di belakang mereka, tertawa dan di sebelah laki-laki ini terdapat pemuda berusia tiga-puluhan tahun yang tersenyum-senyum, mendorong dan tiba-tiba pintu rahasia hancur, roboh. Dan ketika dua orang itu terkejut dan mundur membelalakkan mata maka hampir berbareng mereka berseru,

"Tan-ongya!"

"Tan Kiong!"

Laki-laki itu tertawa. Dia memang bukan lain Tan Kiong adanya, pangeran tertua yang dulu dua tahun lalu dibuang di pulau pengasingan, datang dan kini muncul di situ dengan cara mengejutkan, menyerbu dan jelas inilah pimpinan pemberontak! Dan ketika Wan-thai-suma dan Thio-taijin tertegun, pucat tapi lalu marah bukan main maka pemuda di samping itu berkelebat dan tertawa.

"Ongya, biarlah kutangkap Wan-thai-suma ini untukmu!"

Wan-thai-suma mencabut pedang. Dia kesakitan oleh piauw yang menancap namun tak perduli, menusuk namun pemuda itu menampar dan pedangpun patah! Dan ketika pemuda itu tertawa dan meneruskan gerakannya maka Wan-thai-suma tertangkap namun berbareng tiba-tiba terdengar bentakan dan kawannyapun roboh di tangan seorang gadis baju putih.

"Bu Sit, lepaskan Wan-thai-Suma!"

Pemuda itu terkejut. Dia tak menyangka dan Tan Kiong, pangeran itu, tertotok dan mengeluh ditangkap seseorang. Bayangan putih berkelebat di belakang pangeran itu bersamaan dengan berkelebatnya pemuda itu menangkap Thai-suma. Maka ketika pemuda itu membalik dan menoleh tiba-tiba saja dia tertegun karena itulah gadia baju putih murid utama Tung-hal Sian-Li.

"Ha-ha, bagus!" pemuda ini tertawa bergelak dan girang. "Kau kiranya, Pek Lian. Bagus sekali. Ha-ha, berikan Tan-ongya dan kulemparkan Wan-thai-suma ini kepadamu. Aduh, rupanya kau datang tak sabar menemuiku. Ha-ha, akupun rindu!"

Gadis baju putih melotot. la mencengkeram Tan-ongya dan mengangkat serta memutar-mutarnya. Bu Sit, pemuda itu masih juga mencengkeram Wan-suma namun tidak melontarkan, biarpun mulut bicara untuk tukar-menukar tapi hanya berhenti sampai di situ saja. Dan ketika ia membentak sementara cengkeraman diperkeras, Tan-ongya mengaduh maka ia membentak agar pemuda itu melepaskan. tawanan.

"Berikan. Wan-suma, atau anjing pemberontak ini kubunuh!"

Terpaksa, pemuda itu melemparkan Wan-suma. Ada dua hal yang membuat ia tak boleh mengulur waktu, yakni pandang mata beringas gadis itu serta lebih berharganya diri Tan-ongya dibanding Wan-suma. Tan Kiong adalah pucuk pimpinan pemberontak dan kehilangan pangeran itu berarti akan kehilangan segala-galanya. Janji dan kedudukan muluk telah mengiming-imingi pemuda ini untuk dinikmati. Murid Tung-hai Sian-li itu benar-benar akan membunuh lawannya kalau dia main-main. Dan karena gadis itu juga tak perlu ditakuti, mendiang Tung-hai Sian-li roboh di tangannya maka diapun melempar Wan-suma dan tertawa agar lawan menyerahkan pula Tan-ongya.

"Baik, aku memenuhi permintaanmu, adik manis. Serahkan Tan-ongya dan mana dua adikmu yang lain!"

Gadis itu menangkap dan menerima. la melempar pula Tan-ongya tapi Thio-taijin tiba-tiba berseru dan meloncat bangun agar gadis itu tak memberikan tawanannya, menahan sejenak tapi tetap pula melempar pangeran pemberontak itu. Dan ketika Thio-taijin membanting-banting kaki dan mengepal tinju, Wan-suma terhuyung bangun dan merangkul laki-laki tua itu maka Wan-suma berkata,

"Sudahlah, gadis itu benar, taijin. la seorang gagah sejati. Kita harus berterima kasih karena ia telah menolong kita. Kau masuklah ke sana dan biar aku di sini."

"Tidak," gadis itu menoleh, berkelebat dan sudah melindungi dua pembesar ini. "Kau dan Thio-taijin selamatkan dirimu, Wan-suma. Tentang orang ini... hm, dia bagianku!"

"Ha-ha," Bu Sit bersiap dan mendorong pula Tan-ongya, yang bangkit dan terhuyung pucat. "Kau juga berlindung sebentar, ongya. Gadis ini kawan lamaku dan biar kalian tak ikut campur!" dan membalik serta menyerang dengan tiba-tiba, curang sekali mendadak ia melepas Hwe-ci dan sinar merah menyambar.

"Dar!" Gadis itu mengelak dan menendang roboh Thai-suma dan Thio-taijin. Serangan itu amat licik namun untung gadis ini selalu waspada. la memaki dan berjungkir balik menghindar, untung. Dan ketika ia meluncur turun namun sudah disambut serangan pemuda itu, Bu Sit bergerak dan maju dengan bukulan-pukulan Hwe-kang maka Wan-suma- dan Thio-taijin terguling-guling di balik pintu rahasia dan bangun dengan muka pucat.

Pintu itu sudah hancur sementara Tan Kiong lenyap bersembunyi. Agaknya, begitu pemuda itu menghadapi lawan tangguh segera dia ngacir, khawatir kalau Wan-suma atau orang-orangnya nanti datang. Dan ketika Thio-taijin mengeluh namun sudah disambar tangannya diajak lari ke dalam mencari kaisar maka dua orang itu meninggalkan pertempuran dan sekarang mereka tahu siapa dalang dari kerusuhan ini.

Gadis baju putih sudah bertanding dan .bergerak naik turun menghadapi lawannya. Dia menangkis dan membalas dan pertempuran seru terjadi di sini. Pai-hai-jiu menyambar amat hebatnya namun dengan langkah-langkah sakti pemuda itu mengelak dan menangkis. Dan ketika adu pukulan menunjukkan tenaganya lebih kuat, seorang lawan seorang tak perlu dibuat takut maka pemuda ini tertawa bergelak dan gadis baju putih terpental berkali-kali oleh Hwe-ci atau pukulan-pukulannya yang hebat.

"Ha-ha,kau bukan tandinganku, nona Pek. Kau bukan lawanku. Daripada bermusuh lebih baik berteman. Lihat, kau kalah lihai.... duk-plak!"

Gadis itu terlempar dan berjungkir balik. Bu Sit mengejar dan tertawa-tawa dan Jit-cap-ji-poh-kun milik Hwe-sin benar-benar membuat gadis ini kewalahan. Dulupun ilmu langkah sakti ini selalu membuat repot. Tapi berang bahwa pemuda itu mencuri kepandaian orang lain, membunuh dan menewaskan subo serta sumoinya maka gadis ini meledak-ledak dan tiba-tiba melengking yang membuat genteng di atas berhamburan.

"Jahanam she Bu, kau kiranya bersembunyi di pulau pengasingan. Bagus, dan sekarang kau membantu pemberontak. Pantas aku tak dapat mencarimu tapi hari ini kau atau aku yang mampus.... plak-duk!"

Gadis itu terlempar dan berjungkir balik kembali, menyerang tapi ditangkis dan ia tak sempat mengelak. Tujuh kali ia terpental tapi tujuh kali itu pula ia menerjang lagi. Keganasan sikapnya seperti mendiang Tung-hai Sian-li, tak kenal menyerah, tak ada ampun! Dan ketika ia meluncur dan mencabut pedangnya, kini dengan pedang di tangan kanan dan pukulan-pukulan di tangan kiri ia menerjang pemuda itu maka sambil tertawa-tawa pemuda ini melayani dan gembira, berkelebatan dan mereka sambar-menyambar sementara pemuda itu benar-benar mengandalkan langkah-langkah saktinya Jit-cap-ji-poh-kun.

Ilmu dari mendiang Hwe-sin ini memang luar biasa karena dengan cara tiba-tiba dan amat mengejutkan ia dapat berada di kiri atau kanan lawan, bahkan di belakang dan menusuk dengan Jari Api ia membuat gadis itu! menghindar dan melempar tubuh bergulingan. Tapi ketika gadis baju putih terdesak dan lengkingan kembali menggetarkan gedung itu, si gadis memanggil bala bantuan maka gadis baju biru, sumoinya nomor dua datang.

"Cici, jangan takut. Aku tak menemukan suheng jahanam ini dan maaf terlambat!" dan dua gadis yang segera mengeroyok dan menerjang pemuda itu membuat Bu Sit terkejut tapi hanya sekejap saja, tertawa dan mengelak dan selanjutnya bunyi "set-set" dari langkah kakinya itu semakin kuat. Ia dikeroyok tapi dengan Hwe-ci dan Tujuh puluh Dua Langkah Sakti ia selalu di atas angin. Dan ketika tangkisan atau pukulannya juga membuat gadis baju biru terpental, pemuda ini hebat maka keadaan bertambah seru karena murid Dhiran Sing ini benar-benar luar biasa, apalagi ketika dia mulai menggosok-gosok telapak tangannya siap mengeluarkan Ngo-thian-hoat-sut (Sihir Lima Langit).

"Awas!" sang suci berteriak. "Hati-hati, sumoi. Keluarkan Pek-hong-koan-jit!"

"Ha-ha," pemuda itu tertawa. "Boleh, adik-adik manis. Boleh! Ayo, keluarkan Pek-hong-koan-jit dan mari sama-sama mengadu siapa lebih kuat.... dar!" pemuda itupun mengeluarkan pukulan yang sama, tujuh sinar warna-warni di mana keduanya meledak dan terlempar.

Pemuda itu hanya terhuyung sementara lawan terpental berjungkir balik. Dan ketika dua gadis itu menjadi marah dan menerjang kian hebat maka di dalam kuil berkelebat bayangan hijau dan para pemberontak dihajar. Hal ini tak diketahui dua gadis itu karena mereka bertanding di belakang. Tapi ketika teriakan pemberontak lenyap diganti tepuk riuh pengawal kerajaan, yang mendapat bantuan amat lihai maka Bu Sit yang tak memperhatikan tapi kini heran oleh sorak-sorai lawan menjadi kaget.

"Bagus, bunuh mereka itu. Tangkap pimpinan pemberontak. Hajar!"

Bak-bik-buk di ruang dalam membuat Bu Sit curiga. la harus berhati-hati tapi tak perlu khawatir terhadap dua gadis ini. Bahkan, ia siap merobohkan dan mempermainkan. Telapak tangannya sudah memerah dan ilmu sihir siap dikeluarkan. Tapi begitu suara pemberontak kian surut sementara di ruang kuil sorak riuh pasukan kerajaan menjadi-jadi maka di tempat lain pertempuran masih berkobar dan keadaan berjalan imbang. Malam itu serbuan pemberontak memang tak diduga-duga dan kaisar serta menterinya kalang-kabut.

Wanthai-suma nyaris tertangkap tapi munculnya gadis baju putih membuat keadaan berubah. Namun karena murid Dhiran Sing itu benar-benar lihai dan ia dapat mengatasi lawan, datang gadis baju biru tapi bantuan itu tak banyak berarti, pemuda ini tetap unggul maka di ruang kuil berkelebat bayangan hijau tapi di ruang kuil dan tempat-tempat lain berkecamuk pertempuran berdarah yang membuat pasukan pemberontak berhadapan dengan pasukan istana yang siap mati.

p Tiga panglima lihai menyatroni pemberontak-pemberontak itu dan mereka ini berada di sebelah timur dan barat. Mereka tak berhadapan dengan Bu Sit karena pemuda itu lewat tengah, membentak dan menahan pemberontak-pemberontak itu dan mereka berhasil. Po-ciangkun, yang bersenjatakan siang-kek atau sepasang tombak pendek menusuk dan menikam yang membuat musuh-musuhnya roboh. Lim-ciangkun, yang bersenjatakan gaetan juga mengamuk tak kalah garang dengan Po-ciangkun, menusuk dan menggaet lawan hingga banyak perut atau dada terobek.

Tapi karena serbuan itu berjalan tiba-tiba dan semua orang tak menyangka, genta yang menggetarkan dinding istana itu akhirnya juga mengguncangkan penduduk maka suasana kalut dan ramai menjadi satu dengan dencing senjata dan teriakan atau pekik ngeri orang-orang yang luka. Tiga panglima yang mengamuk akhirnya dapat mendesak para pemberontak dan gadis baju hijau di ruang kuil juga menyelesaikan pekerjaannya. Gadis ini telah merobohkan tak kurang dari empat puluh pemberontak namun bersamaan itu di belakang kuil terdengar jeritan dan keluhan tertahan.

Bu Sit, pemuda itu akhirnya melepas sihir di mana Pek Lian dan sumoinya menjerit. Telapak pemuda itu yang kemerah-merahan sudah ditepuk dan begitu meledak muncullah seekor naga siluman, berkoak dan menyambar mereka dan ketika mereka mengelak tahu-tahu pukulan tangan kiri pemuda itu menyambar. Lawan mengeluarkan Ngo-thian-hoat-sut dan saat sihir meledak tiba-tiba pemuda Itu berkelebat di balik sihirnya melepas Hwe-ci. Jari api itu menyambar di saat dua gadis mengelak.

Dan ketika tudingan itu mengenai Pek Lian dan sumoinya dan gadis baju biru terbanting menjerit maka gadis baju putih, Pek Lian, mengeluh dan roboh bergulingan dengan baju terbakar di dada, robek dan kulit dadanya hangus! Dan saat itulah sihir meledak lagi disusul tawa bergelak pemuda ini. Gadis baju biru merintih sementara gadis baju putih bergulingan meloncat bangun, dadanya yang hangus memperlihatkan sebagian kulit pundak yang putih bersih.

"Ha-ha, sekarang kau roboh, nona Pek. Dan sebentar lagi kaupun menjadi kekasihku...dar!"

Kilatan cahaya hitam menyambar melindungi tubrukan pemuda itu ke arah lawan. Gadis baju putih mengeluh dan menggigit bibir dengan muka pucat. Terhadap sihir ia kurang kuat, apalagi menghadapi pemuda sernacam Bu Sit ini, murid seorang tokoh lndia yang memang pandai sihir. Dan ketika ia terkejut melihat naga siluman kembali menyerang, mulutnya dibuka lebar memperlihatkan lidah merah menjilat-jilat maka ia tak melihat tubuh lawannya di balik naga atau asap hitam itu.

Ia mengelak dan menangkis dan kepala naga tiba-tiba pecah. Ia menghantam dengan Pek-hong-koan-jitnya yang lihai itu. Naga tiba-tiba berobah menjadi ikat pinggang, runtuh dan menggeliat sejenak di tanah, diam. Dan ketika ia tertegun dan sadar melompat bangun, tertipu maka saat itulah sepasang lengan kuat menotok dan memeluk pinggangnya, membuat ia roboh dan kembali terguling.

"Ha-ha, kena.... crep!"

Lengan kuat murid Dhiran Sing itu memeluk. Gadis baju putih terbanting dan pemuda itupun ikut terbanting. Dan ketika mereka bergulingan namun gadis ini tertangkap, roboh dan lemas di bawah totokan lawan maka ia tak dapat berbuat apa-apa namun saat itu bayangan Hijau berkelebat dan sebatang pedang menusuk leher pemuda ini.

"Jahanam binatang, lepaskan ciciku!"

Pemuda itu terkejut. la segera merobohkan lawan-lawannya begitu sorak riuh di ruang kuil terganti oleh pengawal istana. Suara pemberontak tak terdengar lagi dan karena itulah ia ingin melihat, harus merobohkan dua gadis ini dulu sebelum ke sana. Tapi begitu ia berhasil melumpuhkan lawan dan saat itu sebatang pedang menyambar lehernya, cepat sekali maka pemuda yang terkejut dan melompat bangun ini tiba-tiba membentak dan apa boleh buat dia menangkis seraya melepaskan gadis baju putih itu.

"Plak!" pedang itu terpental. Gadis baju hijau berdiri di situ dan pemuda ini tiba-tiba tertawa bergelak. Sekarang ia sudah meloncat bangun dan melihat siapa lawannya. Dan ketika ia tak kaget lagi dan sadar dengan wajah berseri-seri, lawan terhuyung dan sudah menyerangnya lagi maka gadis baju putih, yang tertotok dan menggeliat sudah membebaskan dirinya dan meloncat bangun. Mampu membuka jalan darahnya sendiri!

"Sumoi, jahanam ini minta dibunuh. Awas, ia mengeluarkan sihirnya. Jangan beri kesempatan dan mari kita selesaikan dia!"

Murid Dhiran Sing itu terbelalak. Ia kagum bahwa gadis baju putih ini mampu membebaskan totokannya lagi. Dan ketika gadis itu menerjang sementara gadis baju biru juga bangkit dan sudah pulih lagi, tadi ia terjengkang oleh pukulan lawan maka Bu Sit dikeroyok lagi dan kini oleh tiga lawan sekaligus.

"Ha-ha, bagus. Hmm, mana suheng. Keparat, kalian tak boleh diampuni lagi dan aku akan menurunkan tangan lebih keras!" pemuda itu berseru dan gemas. Ia tak takut dikeroyok tiga tapi suhengnya yang tak muncul membuat ia marah.

Sebenarnya ia dan suhengnya datang berdua tapi suhengnya itu kekaputren. Tadi suhengnya berkata bahwa biarlah urusan itu diselesaikannya sendirian, toh tak ada yang perlu ditakuti karena di istana tak ada tokoh-tokoh berarti. Yang ada hanya panglima-panglima tinggi dengan kepandaian rendah. Bagi mereka orang-orang macam itu tak perlu dibuat takut dan tentu saja munculnya murid-murid Tung-hai Sian-li ini di luar perhitungan. Baik Bu Sit maupun suhengnya tak menduga bahwa tiga gadis ini hadir di situ, mengacau dan menahan mereka dan Bu Sit marah karena ia harus menghadapi sendirian murid-murid Tung-hai Sian-li ini.

Yogiwara, suhengnya, sedang mencari kesenangannya di kaputren. Pemuda itu sedang mencari puteri-puteri tercantik untuk ditangkap dan dipermainkan. Mereka telah mendapat janji bahwa di samping kedudukan dan pangkat mulia juga boleh mengambil puteri-puteri cantik untuk dijadikan pelepas nafsu. Pemuda yang satu itu memang amat mata keranjang dan tak pandang bulu. Maka ketika ia memasuki kaputren sementara sutenya disuruh memberesi dulu lawan-lawan mereka dan nanti mendapat bagiannya yang sama, Bu Sit tertawa dan senang membayangkan hasil maka pemuda itu menjadi kaget dan marah ketika tiga murid Tung-hai Sian-li ini muncul.

la tak takut tapi hilangnya suara pemberontak membuat ia was-was. Ia tak tahu apa yang terjadi di luar kuil tapi melihat berdatangannva pengawal kerajaan membuat ia marah. Hal ini berarti bahwa pemberontak mendapat halangan, mungkin terdesak, atau, lebih hebat lagi gagal dan dipukul mundur! Dan marah kalau itu benar maka pemuda ini berseru keras dan ketika gadis baju hijau masuk diapun tidak main-main lagi dan semua pukulan ditangkis sementara dia mengeluarkan sihirnya lagi, Ngo-thian-hoat-sut.

"Nona-nona, kalian tak dapat mengalahkan aku. Lihat, subo kalian datang dan dengar bahwa ia meminta kalian berlutut... dar!"

Suara dahsyat ini disusul jeritan kaget tiga gadis itu karena tiba-tiba entah dari mana datangnya mendadak subo mereka Tung-hai muncul, membentak dan berseru kepada mereka dan gadis baju putih serta sumoinya kontan saja terkejut bukan main. Pek Lian, gadis baju putih telah berseru kepada sumoinya agar hati-hati terhadap sihir pemuda itu. Ngo-thian-hoat-sut telah mereka kenal tapi bahwa sihir itu dipakai untuk "memanggil" subo mereka tentu saja mereka kaget bukan main.

Di tengah ledakan asap tiba-tiba muncul subo mereka yang garang itu, berseru dan mengangkat tangan dan benar saja menyuruh mereka berlutut. Bentakan lawan berubah menjadi bentakan seorang wanita dan suara itu benar-benar suara guru mereka Tung-hai Sian-li. Pek Lian gadis baju putih sampai bengong, tertegun, begitu juga dua gadis baju biru dan hijau.

Dua sumoi gadis beju putih ini juga sampai tersentak dan kaget, wajah mereka pucat. Dan ketika dua gadis itu tertegun menekuk lutut, gadis baju putih juga kehilangan akalnya dan sedetik mereka dimasuki pengaruh sihir maka pemuda itu berkelebat dan di bawah bayang-bayang Tung-hai Sian-li pemuda ini merampas pedang dan telunjuk tangan kirinya menotok tiga gadis itu sekaligus.

"Ha-ha, robohlah...!"

Tawa ini menggugah segala-galanya. Gadis baju putih seketika sadar namun ke adaan tak memungkinkan lagi. Dia tertipu oleh lawan dan kecerdikan pemuda itu mempergunakan wajah subonya benar-benar berhasil. Murid mana tak akan tunduk kepada guru kecuali murid pemberontak. Tiga gadis ini juga begitu dan merekapun terkecoh oleh lawan, sadar mendengar tawa ltu tapi terlambat. Tak ada waktu mengelak dan Bu Sit benar-benar cerdik, licik. Namun ketika jari pemuda itu siap rnenyentuh pundak gadis-gadis itu mendadak terdengar seruan perlahan dan seorang kakek tua tiba-tiba muncul.

"Anak muda, kau curang. Tak boleh mempergunakan orang yang sudah meninggal untuk menakut-nakuti orang lain.... plak!" dan sebuah telapak lembut yang menangkis dan menolak jari Bu Sit tiba-tiba membuat pemuda itu berteriak dan terbanting.

"Aduh...!"

Tiga gadis itu selamat. Pek Lian dan lain-lain sudah disambar kakek berjenggot sedada ini dan mereka ditarik bangun, meloncat sementara pemuda itu bergulingan mengaduh-aduh. Bu Sit merasa jarinya tadi menusuk sekeping papan lembut namun kuat dan berdaya tolak besar, tertekuk dan jarinya seakan patah. Tapi ketika ia melompat bangun dan melihat kakek itu, melotot, maka ia mendesis dan membentak, memaki.

"Tua bangka, kau siapa. Ada apa mencampuri urusan orang-orang muda dan ikut-ikutan!"

"Hm, aku Kim Kong Sengjin, sahabat mendiang Hwe-sin dan Tung-hai Sian-Li. Maaf kalau aku mencampuri urusanmu, anak muda. Tapi melihat sepak terjangmu ini sungguh aku si tua tak dapat tinggal diam. Kau mempergunakan ilmu-ilmu sahabatku dan Dhiran Sing, aneh. Kau siapakah dan bagaimana dapat memillki gabungan ilmu-ilmu orang banyak. Apakah tak salah mataku melihat."

"Keparat," pemuda itu memaki. "Aku tak kenal padamu, Kim Kong Sengjin. Tapi karena kau telah menangkis pukulanku coba terima lagi dan sanggupkah kau menangkisnya lagi!"

Pemuda itu berkelebat, marah dan tak mau tahu siapa lawannya karena memang ia tak kenal. la tak tahu bahwa inilah seorang pertapa sakti dari Himalaya, sahabat dari mendiang Hwe-sin terutama suhengnya, Gin Goat Cinjin, tokoh yang sudah meninggal dan yang dulu menampakkan rohnya di hadapan adik seperguruannya itu.

Kepandaiannya dua tingkat di atas Hwe-sin dan tentu saja hebat bukan main, sayangnya tak pernah muncul karena sudah limapuluh tahun tokoh ini bertapa. Maka ketika pemuda itu menerjangnya dan Bu Sit marah bukan main, kakek ini menghela napas dan menerima maka Hwe-ci, Jari Api yang amat dahsyat itu menyambarnya, menusuk dengan keji.

"Cussshhh...!" Kakek itu menerima dan tak mengelak. la diam saja dan jari pemuda itu tepat mengenai dahinya. Bu Sit terkejut dan heran tapi juga girang, menusuk dan tentu saja serangannya hebat sekali. la menusuk dengan penuh kebencian. Kemarahannya menggelegak. Tapi begitu jarinya mengenai dahi dan kakek itu memandangnya lembut, tersenyum, maka dahi yang ditusuk ini berubah seperti karet dan api yang menyambar kakeK itu juga padam dan Bu Sit menjerit karena telunjuknya patah!

"Augh...!" Pemuda itu pucat dan berguling-guling. la roboh melempar tubuh karena sekali ini jarinya tidak hanya tertekuk. Jari itu patah dan tentu saja sakitnya bukan main, Bu Sit menjerit dan melengking-lengking.

Dan ketika ia meloncat bangun tapi gadis baju putih dan dua sumoinya berkelebat, sadar dan mellhat kesempatan bagus maka gadis itu melepas Pek-hong-koan-jit dan tangan kanannya menampar ke tengkuk lawan, begitu juga dua sumoinya.

"Bu Sit, terimalah kematianmu. Pemuda ini terkejut. la mengelak tapi kalah cepat, terpelanting dan roboh lagi dan tiga gadis itu segera mengejarnya. Pek-hong-koan-jit meluncur bertubi-tubi dan pernuda itu tentu saja kewalahan. Ia sedang patah jarinya dan sakit yang hebat benar-benar menggigit, sinkangnya tak mampu dikerahkan seperti biasa. Dan ketika tiga pukulan mengenai tubuhnya, mengeluh dan bergulingan mencari selamat maka berkelebatlah kakek itu menahan tiga gadis ini, pundak mereka disentuh.

"Nona, biarkan pemuda itu pergi. Kalian menjauhlah!"

Gadis baju putih terkejut. la disentuh pundaknya namun tiba-tiba semua tenaganya hilang. la seakan dilolosi begitu pula dua sumoinya yang lain. Tapi begitu mereka terhuyung maka Bu Sit yang meloncat bangun dan marah di sana menghantam mereka dengan tangan yang lain.

"Kalian gadis-gadis keparat!"

Namun kakek itu lagi-lagi bergerak. Kakek ini telah melumpuhkan Pek Lian dan sumoi-sumoinya dengan tepukan sinkang, membuat tiga gadis itu kehilangan tenaga dan terhuyung. Maka ketika pukululan itu menyambar dan mereka tentu saja tak dapat mengelak, mereka belum hilang kagetnya maka kakek itulah yang lagi-lagi menangkis dan menyerahkan dadanya untuk dihantam.

"Anak muda, tarik pukulanmu, atau tanganmu patah."

Bu Sit kaget bukan main. ia telah patah telunjuk kanannya dan kini dengan tangan kiri ia menghantam. Yang dituju adalah Pek Lian dan dua saudaranya itu tapi yang menerima justeru si kakek. Sedetik ada rasa kaget tapi pemuda ini nekat. Bu Sit penasaran oleh gebrak pertama tadi dan sesungguhnya ingin mengulang. Masa ia kalah! Maka ketika kesempatan itu ada dan si kakek maju melindungi gadis-gadis itu, ia marah bahwa kakek ini pengacau di tengah jalan maka ia membentak dan justeru menambah tenaganya. Hwe-kang atau Tenaga Api menyembur dari tangan pemuda ini.

"Wuuut...Traakk...!"

Dan Bu Sit terbanting. Pemuda itu memekik karena pergelangannya ,tiba-tiba patah. Bahkan, ujung siku sampai ke ujung jari terbakar. Hwe-kang membalik dan pemuda itu tak kuat. Dan ketika Bu Sit berteriak dan terbanting bergulingan maka berkalebat bayangan lain dan Yogiwara, pemuda asing itu muncul.

"Sute, apa yang terjadi. Siapa tua bangka ini!"

"Aduh...!" pemuda itu merintih dan mengeluh. Bu Sit bercucuran air mata menahan sakit! "Dia... dia Kim Kong Seng-jin, suheng. Entah tua bangka dari mana tapi datang menyakiti aku. Oouhh.... ke mana saja kau ini. Kenapa terlambat datang dan membuat aku menderita!"

Yogiwara terkejut. Dia telah menikmati kesenangannya dengan menangkap tiga puteri cantik di kaputren, melempar dan membunuh pengawal-pengawal yang berjaga. Tapi mendengar jerit dan pekik sutenya, terkejut dan mengerutkan kening karena sutenva tentu sedang menghadapt bahaya maka ia menendang pintu kamar dan dengan buru-buru dan celana masih kedodoran ia datang ke tempat itu, tak sadar bahwa kancing celananya menganga.

"Kim Kong Sengjin?" ia menuding, terbelalak. "Bagus sekali, tua bangka. Aku tak mengenal dirimu tapi kau telah mengganggu suteku. Bagus, kau mencari mampus!" pemuda itu membentak dan berkelebat, marah dan tiba-tiba bergerak dengan langkah saktinya dan tahu-tahu iapun sudah di dekat si tua. Gerak cepat Yogiwara ini jauh lebih hebat daripada sutenya, dua kali lipat. Tapi ketika ia menggerakkan tangan dan menusuk dengan Hwe-ci, ilmu andalan itu maka kakek inipun tersenyum dan tak menangkis.

"Kau murid pertama Dhiran Sing? Hm... baik sekali. Tapi Sinar matamu jahat. Ah, kau rupanya telah melakukan sesuatu yang tak terpuji, anak muda. Aku jadi prihatin dan pedih lagi. Pemuda semacammu tak seharusnya berwatak kotor. Bersihkanlah atau nanti kau celaka... cesshh!" dan leher si kakek yang mental ditusuk Hwe-ci membuat Yogiwara berteriak dan tertekuk jarinya, melempar tubuh dan pemuda ini kaget karena telunjuknya matang biru!

la terbelalak dan melompat bangun dan di sana sutenya berseru agar ia hati-hati, kakek itu memang lihai. Dan ketika pemuda ini melompat bangun dan pucat tapi penasaran, sama seperti sutenya tadi maka murid Dhiran Sing ini membentak dan menerjang lagi, cepat bertubi-tubi namun si kakek tenang tak mengelak ke sana-sini, diam dan menerima dan semua tusukan Hwe-ci mental. Kian keras Yogiwara menusuknya kian sakit Pemuda itu mengeluarkan teriakannya. la kaget dan berubah. Dan ketika semua pukulannya mental dan sepuluh jari sudah matang biru maka jari kelingkingnya patah.

"Krek!" Yogiswara melempar tubuh menjerit tertahan. la pucat bergulingan bangun dan sepasang matanya membelalak lebar, sadar bahwa kiranya ia berhadapan dengan orang sakti. Tapi ketika ia gentar dan jerih menghadapi lawan tiba-tiba terdengar tawa menggetarkan yang membuat semua orang di situ terpelanting dan roboh. Yogi sendiri terjengkang, begitu pula tiga gadis di sana!

"Ha-ha, kau mencampuri urusan anak-anak muda, Kim Kong Sengjin. Kalau begitu aku keluar dan ikut campur pula!" di situ berdiri seorang laki-laki gagah yang entah dari mana munculnya, bermuka merah dan laki-laki ini tahu-tahu menyambar Yogi. Pemuda itu berkelit tapi kena juga, kaget dan mendadak ubun-ubunnya ditiup. Tenaga dahsyat menyembur keluar. Dan ketika pemuda itu terkejut dan wajah tiba-tiba merah pula, seperti laki-laki gagah itu maka ini mendorongnya dan berseru,

"Hadapi kembali lawanmu, bunuh dia!"

Yogiwara berubah seperti jago berkeruyuk yang baru disiram air. Pemuda ini tiba-tiba beringas dan ia tertawa bergelak. Semacam tenaga sakti memasuki kepalanya dan ia seakan ditiup, melembung dan tiba-tiba pemuda itu melompat dengan amat garangnya. Lompatannya jauh dan kuat sekali, menderu dan siapapun roboh diterjang angin lompatannya ini, termasuk gadis baju putih yang baru saja berdiri bangun dihantam tawa menggetarkan laki-laki bermuka merah itu. Dan ketika gadis itu berteriak karena pemuda ini seakan harimau tumbuh sayap, si kakek terkejut dan mengelak maka Hwe-ci yang tadi diterima sekarang ditangkis.

"Plak!" dan... kakek itu terdorong mundur. Sekarang lawannya kuat bukan main dan murid Dhiran Sing itu tertawa bergelak, menerjang dan melepas lagi serangan bertubi-tubi dan Kim Kong Sengjin mengelak dan menangkis. Setiap menangkis tentu tergetar. Dan ketika kakek itu berubah dan menjadi merah, lawan kesurupan tenaga gaib maka ia membentak dan kedua tangannya tiba-tiba meledak mengeluarkan cahaya biru. Laki-laki bermuka merah sudah diam mematung dan tubuhnyapun tidak bergerak-gerak lagi. Rohnya telah memasuki pemuda itu!

"Han Sun, kau terlalu. Keluarlah dan jangan pergunakan tubuh pemuda ini untuk menandingiku!"

"Ha-ha!" terdengar tawa berat dan menggetarkan. "Di mana aku berada di situ aku dapat mempergunakan segalanya, Kim Kong, Sengjin. Kalau kau takut kepadaku larilah dan cari wadag lain untuk bersembunyi!"

"Aku tidak takut, tapi aku tak mau melukai pemuda ini. Keluarlah, dan bertandinglah dengan jantan!"

Gadis baju putih dan lain-lain menjadi heran. Mereka melihat bahwa kakek ini mengelak dan mundur ke sana-sini dan berkali-kali tergetar beradu dengan lengan lawan. Yogiwara, yang ganas menerjang si kakek juga berubah. Suara pemuda itu bukan lagi suaranya sendiri melainkan suara laki-laki gagah bermuka merah itu. Dan ketika ia memandang laki-laki itu sementara Bu Sit berdiri dan menghampiri laki-laki ini, menyentuh punggungnya tiba-tiba laki-laki itu roboh. Seperti batang pisang.

"Heii..." Yogiwara membentak, menoleh pada sutenya. "Jangan dekati tubuhku., anak muda. Pergi!"

Bu Sit terkejut. Ia bingung dan kaget mendengar kata-kata suhengnya itu. Ia di panggil anak muda, bukan sute! Dan ketika ia mundur dan pucat memandang sang suheng, yang sudah bukan seperti suhengnya lagi maka suhengnya itu berkelebatan cepat dan Hwe-kang atau Tenaga Api menyembur-nyembur ganas, menghantam dinding dan apa saja yang sebentar kemudian menimbulkan kebakaran besar.

"Mundur.... mundur...!" kakek itu berseru berulang-ulang. "Mundur, anak-anak. Jauhi tempat ini. Awas... blarr!"

Api menyambar lagi dengan amat hebat, dikelit dan menghantam pilar dan pilar itupun roboh. Apinya menjilat dan belakang kuil itupun terbakar. Dan ketika si kakek marah namun lawan tertawa bergelak, Pek Lian dan adik-adiknya menjauh maka sekali lagi kakek itu membentak dan menyuruh lawan keluar dari badan orang lain.

"Han Sun, jangan celakai tubuh pemuda itu, jangan membuat onar. Aku peringatkan sekali lagi atau aku memaksamu:"

"Ha-ha, paksalah. Cobalah! Aku tidak takut ancamanmu, Kim Kong Sengjin. Kau melanggar perjanjian dengan turun gunung. Dan siapa melanggar dia harus dihajar!"

"Aku diminta sahabatku Gin Goat Cin-jin melerai pertikaian ini. Pemuda-pemuda itu tak boleh mengganggu tiga gadis ini!"

"Ha-ha, terserah. Kau dan aku terikat untuk tidak turun gunung, Kim Kong Seng jin, dan sekarang kau melanggarnya. Aku tak perduli!"

"Dan kaupun melanggar juga, ikut-ikut turun gunung!"

"Aku marah melihatmu. Aku juga dimintai bantuannya oleh sahabatku Dhiran Sing!"

"Hm, kau selalu membela yang sesat, Han Sun Kwi. Aku tak bermaksud membunuh pemuda-pemuda ini kecuali melarang-nya mengganggu tiga gadis itu."

"Dan kau selalu membela yang benar. Keparat, kita sama tahu kewajiban kita, Kim Kong Sengjin. Kau dan aku selalu berada pada pihak yang berlawanan. Tak usah banyak cakap atau kembalilah ke Himalaya….blarr!" pukulan Hwe-kang kembali menghantam, ditangkis dan menimbulkan ledakan dahsyat dan apinya menyambar ke segala penjuru.

Kuil sudah berkobar dan kakek itu marah. Mukanya semakin merah dan mata kakek itu mencorong. Pek Lian dan dua sumoinya mundur menjauh dan merekapun ngeri. Dua orang itu sudah bertanding di tengah-tengah api yang menyala! Dan ketika kakek itu membentak dan berkelebatan mengimbangi lawan, Yogiswara sudah dipakai tubuhnya untuk bertanding maka sinar biru menghantam sinar merah dan Hwe-kang atau Tenaga Api terpental.

Selanjutnya kakek ini membalas dan Pek Lian serta Bu Sit menonton. Pemuda itu sudah tak dapat bertanding karena telunjuk dan tangan kirinya patah. Bu Sit mengharapkan laki-laki aneh ini mengalahkan lawan, terkejut dan kagum karena suhengnya menyambar-nyambar di tengah jilatan api, tak apa-apa tapi kini kakek itu melepas pukulan-pukulan biru. Sinar merah tertahan dan akhirnya terpenta. Ada suara menggeram-geram di tubuh suhengnya itu untuk mengeluarkan ilmu-ilmu lain.

Tapi karena si pemuda hanya memiliki Hwe-ci atau Pek-hong-koan-jit, juga Pai-hai-iju dan ilmu-ilmu silat dari Dhiran Sing di mana semuanya itu sebenarnya masih di bawah kesaktian Kim Kong Seng-jin maka ketika kakek itu membalas dan mengeluarkan pukulannya bersinar biru semua pukulan dari pemuda ini terpental dan hanya tenaga gaib itu saja yang masih bekerja di tubuh Yogiwara, melindungi pemuda ini.

"Goblok! Pergunakan ilmu lain, bocah. Mana ilmu-ilmu silatmu yang lain bukan dari si tolol Tung-hai Sian-li atau Hwe-sin, begitu juga gurumu si tua India itu!"

"Aku... aku tak memiliki lainnya lagi. Kepandaianku hanya ini saja, locianpwe. Aku tak punya lain.... bress!" sinar biru menyambar dan menghantam pemuda itu. Orang akan merasa ganjil dan terheran-heran bahwa pemuda ini bicara dengan suara berbeda, tapi dari mulut yang sama. Dan ketika pemuda itu terlempar dan suara berat menggetarkan itu memakinya, aneh sekali maka Kim Kong Sengjin mengejar dan satu pukulan lagi menimpa kepala Yogiwara.

"Han Sun Kwi, keluarlah. Atau pemuda ini menjadi korban!"

Pemuda itu terlempar. Sekarang ia terdesak namun roh di dalam tubuhnya tak mau keluar. Han Sun Kwi masih bertahan dan apa boleh buat kakek itu mengejar dan melepas pukulan lagi. Dan ketika pukulan itu dielak namun melejit ke bawah, mengenai paha pemuda ini maka pemuda itu mengaduh dan Kim Kong Seng jin sekali lagi mengancam agar tidak mengorbankan orang lain.

"Ha-ha, kau memerintahku? Keparat, aku akan keluar kalau ingin keluar, Seng-jin. Kaiau pemuda ini memiliki ilmu-ilmuku tak mungkin kau dapat mendesaknya. Goblok, pemuda ini sungguh tolol!''

"Kalau begitu aku akan memaksamu keluar. Nah, kau mengorbankan orang lain dan jangan salahkan aku!" seberkas sinar biru meluncur dari telapak kakek ini, mengejar lawan yang sedang bergulingan dan Yogiwara berusaha mengelak. Akan tetapi karena kesaktian kakek itu dua tingkat di atas kepandaian guru-guru yang diwarisi ilmunya, Hwe-sin maupun Tung-hai Sian-li dan Dhiran Sing masih di bawah Kim Kong Sengjin maka ketika kakek itu berkelebat dan mengejar melepas dua pukulan beruntun, lawan tak mampu berkelit dan menangkis. Dan inilah akhir dari pertandingan.

Kakek itu mengeluarkan tenaga Bu-kek-kangnya dan begitu tenaga ini menyambar si pemuda Yogiwara merasa disambar hawa dingin. Hawa ini membekukan tubuhnya dan tiba-tiba Hwee-kan atau Tenaga Api padam. Kepandaian si kakek yang lebih tinggi tingkatnya membuat Bu-kek-kang (Tenaga Tak Berkutub) terasa dahsyat. Gadis baju putih dan Bu Sit yang ada di kejauhan sana sampai berteriak kaget.

Tubuh mereka tiba-tiba beku! Dan ketika Yogiwara juga terkejut oleh sinkang dahsyat ini, menangkis namun darah tubuhnya tiba-tiba berhenti, beku, maka saat itulah pukulan kedua mengenai dadanya dan... "ngeek" pemuda itupun mendelik dan roboh terjengkang. Sekujur tubuh dan rambutnya dingin kaku dan pemuda ini seketika tetbantung.

"Aughh...!" Sesosok cahaya melesat dari kepala Yogiwara. Pemuda itu sendiri sudah terbanting dan tidak bergerak-gerak lagi. Murid Dhiran Sing ini tewas dengan tubuh sedingin es. la tak tahan oleh Bu-kek-kang itu.

Namun ketika cahaya itu melesat dari kepalanya, roh dari Han Sun Kwi keluar maka bermuka merah itu memasuki tubuhnya lagi dan badan yang semula diam kaku mendadak bangkit dan menerjang kakek ini. Sekarang Kim Kong Sengjin menghadapi lawannya secara berdepan. Kakek itu mengelak sana-sini tapi tetap dikejar. Dan ketika Han Sun Kwi berteriak dan melepas dorongan sinar merah, seperti Hwe-kang tapi lebih dahsyat lagi maka letupan menggelegar terjadi di situ dan para pengawal roboh muntah darah. Tempat itu sudah dipenuhi orang karena pemberontak melarikan diri.

Tan Kiong, pangeran pengkhianat, sudah lenyap meninggalkan tempat itu. Dengan amat cerdik dan licik pangeran ini mendahului Bu Sit meninggalkan kota raja. Dia telah mendengar tentang hadirnya seorang kakek sakti dan robohnya pemuda itu. Dan marah tapi juga penasaran bahwa orang-orang sakti selalu mengganggu, Ia tak mau ambil resiko maka pangeran ini melarikan diri dan menarik pasukannya, dapat menduga bahwa penyerbuannya gagal. Maka ketika dia pergi dan tak tahu akan munculnya seorang sakti lain, lawan tangguh dari Kim Kong Sengjin maka pemberontak sudah meninggalkan tempat itu dan hanya Bu Sit serta suhengnya inilah yang ada.

Sang suheng akhirnya tewas dan tinggallah pemuda itu sendirian. Tempat itu sudah dikepung tapi begitu laki-laki bermuka merah menerjang tiba-tiba pukulannya meledak menggetarkan siapa saja. Bu-kek-kang bertemu sinar merah dan Kim Kong Sengjin berseru tertahan menyebut Giam-lui-ciang (Petir Neraka), ilmu dahsyat yang dimiliki lawannya bermuka merah itu. Dan ketika apa saja akhirnya roboh dan kuil pun ambruk, keadaan menjadi gempar maka kakek itu berseru keras berpindah tempat. Rumput dan tanah terbakar dan apa saja menjadi panas.

“Han Sun Kwi, kau tak boleh membunuh orang-orang lain. Ayolah, kita ke gunung dan kembali ke tempat asal!"

"Keparat, tak usah kembali" laki-laki itu membentak, suaranya membuat genteng dan pohon-pohon rontok, demikian dahsyatnya. "Kau atau aku mampus di sini, Kim Kong Sengjin. Dan mari kita adu Bu-kek-kangmu dengan Giam-lui-ciang….blarr!"

Suara dahysat itu kembali terdengar, merobohkan dinding yang masih ada dan gemparlah orang-orang di sekitar tertimpa gedung yang ambruk. Tanah dan rumput menjadi hangus dan akhirnya mereka ini menyala. Kompleks istana dirubah menjadi lautan api. Dan ketika Kim Kong Sengjin terbelalak dan menggerakkan tubuhnva ke sana ke mari maka kakek ini mengibas dan Pukulan Tak Berkutub memadamkan semua api di situ namun keadaan yang panas menyala sekonyong-konyong menjadi beku. Orang roboh dan ganti kedinginan!

"Bagus ha-ha.. Kaupun akan membunuh orang di sini, Kim Kong Sengjin. Bagus. Kau dan aku sama. Baiklah, mari berlomba dan lihat siapa lebih dahsyat... klap-klap!" pukulan Giam-lui-ciang kembali menyambar, menyapu permukaan tanah dingin dan-tiba-tiba api berkobar. Panas dan dingin silh berganti.

Dan ketika kakek itu terbelalak dan memadamkannya kembali dengan Bu-kek-kang, dihantam dan dihajar lagi oleh Petir Neraka maka kompleks istana menjadi porak-poranda dan kakek itu merah padam, mereka sekarang berkelebatan cepat dan lenyap sambar-menyambar. "Han Sun Kwi, jangan merusak tempat orang. Hentikan, atau aku mengajakmu mengadu jiwa!"

"Ha-Ha... itu yang kukehendaki. Ayolah, mana jiwamu, Kim Kong Sengjin, ini jiwaku. Mari, kita adu dan lihat siapa yang kuat ...blarr! " Giam-lui-ciang kembali menyambar namun cepat dipadamkan Bu-kek-kang. Panas dan dingin menyambar tempat itu dan semua orangpun cerai-berai.

Pek Lian dan dua sumoinya juga mundur menjauh dan menonton dengan jantung berdebar. Pertandingan dua orang sakti ini jauh lebih hebat daripada pertandingan subo mereka dulu dengan mendiang Hwe-sin. Sekarang dua orang itu beterbangan dan tak menginjak tanah lagi. Setiap tubuh bergerak tentu api atau es sambar-menyambar, bukan main hebatnya. Dan ketika pohon-pohon juga tumbang dan taman menjadi hangus kehitaman. Si kakek berkelebat dan menuju ke tempat lebih terbuka maka lawan mengejar dan di sini Han Sun Kwi menyerang kakek itu dengan pukulan-pukulan Giam-lui-ciang.

Dua orang ini bertanding dan si kakek mengelak dan berlompatan. Bu-kek-kang dipakai meredam Giam-lui-ciang namun Petir Neraka itu muncul dan menghantam lagi. Repot. Lama-lama seluruh istana bisa habis sementara tokoh bermuka merah itu kian ganas. Han Sun Kwi nenambah tenaganya hingga dalam jarak seratus meter Giam-lui-ciangnya menderu. Siapapun yang tersambar pasti roboh.

Gadis baju putih dan dua sumoinya juga keserempet dan pakaian mereka hangus. Kulit serasa perih dan lecet disambar angin pukulan tokoh bermuka merah itu, padahal mereka seratus meter di luar pertandingan. Dan ketika pertempuran itu berjalan kian menghebat sementara si kakek berkerut-kerut, takkan ada yang kalah atau menang diantara mereka maka kakek itu membentak dan menangkis pukulan , yang saat itu kembali menderu dan menyambar dahsyat.

"Han Sun Kwi, kita kembali ke gunung!"

Benturan dahsyat terjadi di sini. Dua lengan tokoh itu bertemu dan si kakek mencengkeram tangan lawan. Dua pasang tangan saling remas dan masing-masing juga saling mengerahkan tenaga. Kim Kong Sengjin tak menghendaki lawan melempar-lempar pukulannya merusak tempat itu dan karena itu dia nenangkap dan mencengkeram telapak lawan. Bu-kek-kang bertemu Giam-lui-kang dan terdengar suara berkeretek seakan tulang-tulang mereka patah. Tapi ketika mereka diam tak bergerak dan tokoh muka merah itu mendengus, matanya berpijar dan keluar cahaya meneorong maka si kakek mengimbanginya dan dua kekuatan mata meledak di udara.

"Kau minta mampus. Kubunuh kau..kubunuh kau... klap!" dua benturan tenaga mata itu bertemu, meledak dalam sinar biru dan merah dan dua-duanya tergetar.

Hawa di sekitar dua orang itu panas dan dingin dan gadis baju putih bersama sumoinya memandang terbelalak. Mereka tegang menyaksikan tontonan itu karena dua pihak mengedu sinkang. Siapa kuat akan keluar sebagai pemeneng tapi siapa kalah tentu hancur dan tewas. Dan ketika dari dua kepala tokoh itu muncul uap biru dan Merah, yang biru akhirnya menjadi putih dan yang merah berubah hitam maka terdengar lagi suara berkeretek dan lutut kedua orang itu melesak ke dalam tanah.

"Krek!" Pek Lian dan sumoinya terkejut. Sebagai orang-orang persilatan tentu saja mereka tahu apa artinya itu. Dengus dari lawan si kakek tiba-tiba menjadi uap merah. Tapi ketika dari lubang hidung kakek itu juga keluar uap dingin memukul uap merah maka kaki mereka melesak lagi dan lutut terpendam sebatas paha!

"Kita harus menolong locianpwe itu. Kita harus membantu,..." gadis baju putih tiba-tiba berbisik dan khawatir. la tentu saja cemas karena tuan penolongnya mengadu sinkang. Dua saudaranya juga mengangguk tapi bingung tak tahu bagaimana. Menolong orang-orang sakti yang kepandaiannya sudah jauh di atas mereka amatlah berbahaya. Tapi karena kakek itu menolong mereka dan betapapun mereka harus bergerak, tak boleh kakek itu roboh maka gadis beju putih mencabut ikat pinggangnya dan tiba-tiba melontarkan ikat pinggang itu ke tengkuk laki-laki bermuka merah, tokoh gagah perkasa itu.

"Tuk!” Ikat pinggang itu hancur. Si tokoh menoleh dan melotot, gadis baju biru dan hijau juga melakukan hal yang sama tapi sabuk atau ikat pinggang mereka hancur begitu bertemu langsung terbakar dan hangus. Tengkuk si tokoh seperti api. Dan ketika laki-laki itu melotot dan membuang bentakan, meniup, maka tiga gadis itu terbanting dan mereka bagai dilempar tenaga raksasa yang amat kuatnya.

"Bress!" Tiga gadis itu menjerit dan berteriak. Mereka terguling-guling tapi gangguan ini membuat si kakek menang angin. Kim Kong Sengjin berseru keras mendorong lawan, berhasil dan tokoh bermuka merah itu mengeluh, terhuyung. Tapi ketika ia didesak lagi dan semakin miring, tubuhnya doyong ke belakang maka laki-laki ini mengeluh dan terhuyung tapi karena didesak lagi dan semakin miring tubuhnya doyong kebelakang maka laki laki ini merebahkan tubuhnya dan secepat kilat melepaskan diri.

Ia seakan tidur telentang dan Kim Kong Sengjin terbawa ke depan, terkejut dan otomatis kakinya tertarik keluar. Dan karena lawan sudah melepaskan diri sementara ia siap menimpa, Han Sun Kwi tertawa bergelak maka tokoh luar biasa itu mencengkeram perut lawan dan Giam-lui-ciang siap merobek usus!

"Aughh!" kakek itu menjejak dan melempar tubuh tinggi-tinggi. la tak mau dicenhkeram meskipun saat itu ia dapat melepas pukulan pula ke muka lawan. Mereka akan sama-sama roboh dan masing-masing sama hancur. Tapi karena kakek ini berwatak lembut dan ia sudah girang melihat lawan melepaskan cengkeraman berarti mau damai maka ia tak menyangka bahwa lawan hanya berpura-pura saja dan kini menggerakkan tangan ke bawah siap menghancurkan perutnya.

Kim Kong Sengjin berseru keras menjejakkan kakinya, terbang dan terkaman itu luput tapi lawan menggeliat dan menarik tubuhnya keluar, menjejak dan mengejar kakek itu lagi dan sama-sama terbang menyambar. Kejadian ini terjadi dengan amat cepat hingga gadis beju putih dan sumoinya sendiri tak mampu menangkap. Tapi ketika kaki itu menangkis dan suara menggetarkan membuat mereka roboh, tokoh muka merah terpental dan menyambar ke kiri tiba-tiba ia mencengkeram gadis baju putih dengan telapak tangannya yang lebar itu.

"Awas!" Kim Kong Sengjin membentak dan marah. Kakek itu tak menyangka kelicikan lawan karena gagal menyerangnya lawanpun mencari korban lain, gadis itu. Dan ketika ia tak tinggal diam dan menyerang pula, menyuruh gadis itu bergulingan maka Han Sun Kwi tertawa bergelak dan tiba-tiba membuang tubuhnya ke gadis baju hijau.

"Dess!" gadis itu kena tabrak. Ia tak menyangka dan terlempar, menjerit namun tiba-tiba bergulingan meloncat bangun, dan ketika Ia berdiri dan membelalakkan mata maka tawa bergelak terdengar dari mulutnya dan roh Han Sun Kwi telah berpindah!

"Ha-ha, aku di sini, Kim Kong Sengjin. Ayo, maju dan kita bertempur lagi!"

Kim Kong Sengjin tersentak. la melihat lawan menghilang dan sebagai gantinya gadis baju hijau itu bergelak menantang. Adalah mendirikan bulu roma kalau seorang gadis tawanya seperti laki-laki, kasar dan berat. Dan ketika ia tertegun namun sadar, lawan telah mempergunakan orang lain sebagai badan kasarnya maka membentak dan menyambut terjangan gadis baju hijau yang sudah bukan gadis itu lagi.

Pek Lian dan sumoinya si baju biru terbelalak. Mereka ngeri dan pucat melihat itu. Kesaktian seperti ini belum pernah mereka lihat, menyeramkan! Dan ketika sumoi mereka itu berkelebatan dan sepak terjangnya bagai laki-laki, dak-dik-duk beradu pukulan maka Kim Kong Seng-jin menjadi susah karena gadis itu bisa menjadi korban lagi, seperti murid utama Dhiran Sing tadi.

"Han Sun Kwi, kau licik, curang. Kau mempergunakan mahluk lemah untuk menekan aku!"

"Ha-he, tak usah banyak cakap. Bunuhlah gadis ini, Kim Kong Sengjin, seperti tadi kau membunuh pemuda itu. Ayo, bunuh dan lepaskan Bu-kek-kang mu!"

Si kakek pucat. la tiba-tiba menggigil dan mengelak sana-sini dengan marah. Bu-kek-kang tak berani dikeluarkan dan akibatnya ia terdesak. Dan ketika Petir Kilat menyambar dan ia terlempar, roboh bergulingan maka Bu Sit tertawa di sana dan bersorak.

"Bagus... bagus, locianpwe. Hajar tua bangka itu dan bunuh dia!"

"Diam!" bentakan ini mengejutkan. "Jangan cecowetan di sana, anak muda. Bantu aku menyelamatkan tubuhku dan lindungi."

Gadis baju putih tiba-tiba berkelebat. la sadar mendahuiui lawan, bergerak dan menusuk tubuh yang kaku itu dengan jarinya. Tapi ketika jarinya terpental karena tubuh itu semacam karet, membal dan dia berteriak maka adiknya juga bergerak dan mendahului Bu Sit.

"Jangan.. jangan sentil tubuhnya, namun Kim Kong Sengjin tiba-tiba berseru, mencegah. "Jangan dekati badan kasarnya itu, anak-anak. Pergi...!"

Putri Es Jilid 07

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

GADIS itu terbelalak. Bu Sit, pemuda itu memutar tubuhnya dan berkelebat pergi. Tawa aneh terdengar disitu dan alangkah menyakitkan. la dituduh dan dipojokkan. Umur kehamilannya disamakan dengan lama pertemuannya dengan suheng kekasihnya itu. Tapi karena tak merasa melakukan itu dan benih di perutnya ini benar-benar dari pemuda itu, gadis ini marah maka murid Tung-hai Sian-li itu membentak dan mengejar, berkelebat berjungkir balik.

"Bu Sit, berhenti!"

Pemuda itu terkejut. Ui Yang meluncur di atas kepalanya dan berdiri bertolak pinggang,, muka merah padam dan cuping hidung itu kembang kernpis. Dalam keadaan biasa tentu hal ini amat menarik dan penuh pesona. Wajah dan pipi yang mangar-mangar itu amat menggairahkan. Biasanya kalau sudah begitu maka Bu Sit akan tertawa dan memeluk kekasihnya ini, mencium. Tapi karena pemuda itu sedang marah dan dia juga tak senang, dua kali gadis ini menghadangnya maka pemuda itupun berhenti dan bertolak pinggang.

"Hm, mau apalagi, Ui Yang. Apakah kau kira aku takut padamu. Aku mau pergi, persoalan kita sudah beres. Kenapa menghadang dan mencari permusuhan."

"Pergi? Sudah beres? Keparat, apanya yang beres, Bu Sit. Kau manusia terkutuk yang belum membereskan persoalan. Aku di sini ingin menuntut tanggung jawabmu, bagaimana dengan benih ini. Apakah demikian enak kau menghindar. Heh, laki-laki sepertimu ini harus diberi pelajaran, Bu Sit. Kalau kau hendak meninggalkan aku dan lepas tanggung jawab maka kita bertanding sampai kau atau aku yang binasa. Aku tak dapat menerima sikapmu!"

"Hm, begitukah? Sudah kubilang agar menunggu sampai anakmu lahir. Aku tak dapat memenuhi permintaanmu kalau belum melihat anak itu mirip wajah slapakah. Kenapa mendesak dan mencari perkara? Masalah bertanding dapat saja kita lakukan, Ui Yang, tapi kau akan roboh. Kau bukan tandinganku. Berpikirlah jernih atau nanti kau kubunuh."

"Membunuh? Bagus! Kau rupanya sudah tidak berjantung lagi, Bu Sit. Kalau kau tak mau menemaniku lagi baiklah kau atau aku yang mati... wut!" dan si gadis yang menerjang dengan amat marahnya, mendidih dan bergolak akhirnya menerjang murid Dhiran Sing itu dengan amat hebatnya. Ia melepas Pai-hai-jiu namun si pemuda berkelit, dikejar dan dipukul lagi dengan pukulan kedua namun masih juga menghindar. Dan ketika empat pukulan menyambar cuma-cuma, lawan tertawa mengejek maka untuk pukulan kelima pemuda ini menangkis.

"Ui Yang, kau tak tahu diri. Kalau ingin melawan lelaki jangan dengan aku. Kau akan mampus... duk!" dan gadis itu yang terpental dan berjungkir balik akhirnya memekik dan turun lagi menyambar-nyambar, ditangkis dan terpental namun menyerang lagi. Pemuda itu sudah tak mau bersamanya lagi dan hamil tanpa suami di samping tentu saja membuat gadis itu mata gelap. Ui Yang menerjang dan mainkan Pek-hong-koan-jit.

Tapi karena murid Dhiiran Sing itu jauh lebih tinggi dan semua ilmu-ilmu Dewi Laut Timur juga sudah dikenal, mengelak dan menangkis sana-sini maka langkah-langkah kakinya yang mengandalkan Jit-cap-ji-poh-kun benar-benar luar biasa dan warisan dari kitab Hwe-sin ini benar-benar luar biasa. Kaki yang bergeser maju mundur sudah bergerak ke sana ke mari dengan amat cepatnya, selalu mendahului dan bahkan di depan lawan. Dan karena murid Tung-hai Sian-li itu memang masih bukan tandingannya dan pemuda ini melepas Hwe-ci maka jari api mencicit dan... bret, lukalah leher gadis itu oleh guratan panjang.

"Ha-ha, lihat. Bagaimana kau melawan aku, Ui Yang. Hentikan atau nanti kubunuh!"

"Lebih baik mati!" gadis itu berteriak. "Kau boleh bunuh aku, Bu Sit. Bunuh pula anak di perutku ini. Ayolah, bunuh aku... atau kau mampus... wherrr!" gadis itu melepas lagi, dahsyat menyambar.

Dan si pemuda mengerutkan kening. Dia melihat bahwa gadis ini benar-benar sudah nekat, sejenak tergetar oleh teriakan dan seruan itu tapi wajah dingin dan kakunya kembali. Dia sangsi keterangan itu dan tidak percaya. Anaknya atau bukan yang jelas si ibu ini terlalu menuntut, tentu saja dia marah. Maka ketika pukulan itu menyambar dan dia berkelit dengan Tujuh puluh Dua Langkah Sakti, mengelak dan tahu-tahu di samping Ui Yang maka Hwe-cinya meluncur dan kali ini menusuk ketiak, tembus.

"Augh!" Ui Yang terlempar dan terbanting. Gadis itu bergulingan dan menangis serta merintih. Ia meloncat bangun tapi roboh lagi dan mengguguk. Namun ketika ia meloncat lagi dan menggigil dengan tubuh limbung, sang kekasih tertawa aneh dan maju dengan cepat tiba-tiba tudingan Jari Api menyambar dahinya.

"Ui Yang, sayang sekali kau harus ke akherat. Pergilah menyusul subomu dan jangan kejar-kejar aku lagi dengan tingkahmu... cet!"

Jari Api itu menembus dahi, berlubang dan murid Tung-hai Sian-li itu roboh. Ui Yang terpekik namun sedetik kemudian menggeliat, tak bersuara dan tewaslah dia dengan mata mendelik. Dan ketika pemuda itu tersenyum dan membersihkan tangannya, seolah ingin melepas noda maka dengan tenang pemuda itu memutar tubuh dan melanjutkan langkahnya lagi. Dia tak mengurus mayat itu dan murid Tung-hai Sian-li kembali berkurang seorang.

Dua tewas di tangan dua pemuda dan masing-masing sama menderita dengan amat menyedihkan. Orang yang mereka cinta dan harapkan ternyata begitu keji, tak segan-segan membunuh mereka sendiri. Dan ketika pemuda itu lenyap dan turun di bawah gunung maka untuk beberapa lama murid-murid kakek India ini tak terdengar kabar beritanya. Lenyap seperti siluman. Amblas!

* * * * * * * *

Namun perhitungan di antara mereka tentu saja tetap berjalan. Pek Lian, gadis baju putih itu, bersama dua sumoinya yang lain mencari dan tetap memburu murid-murid Dhiran Sing ini. Dendam telah tertanam dan tak mungkin kematian Tung-hai Sian-li itu dibiarkan. Hampir satu tahun tiga gadis itu mencari sampai akhirnya bertemu secara kebetulan, yakni ketika gegernya kota raja oleh serbuan pemberontak. Waktu itu Wan-thai-suma dan Thio-taijin serta menteri-menteri lain sedang berkabung atas wafatnya ibu-suri.

Tiga hari yang lalu ibu-suri meninggal dan kini mereka memperingati wafatnya, mengadakan sembahyangan dan Thio-taijin sebagai Kepala Agama tentu saja menjadi pemimpinnya. Kaisar juga hadir dan kesedihan ini tampak di wajah setiap orang. Sudah setahun lebih kaisar selalu murung mendengar tewasnya Hwe-sin. Jago andalannya itu tiada. Untung, karena tokoh-tokoh sesat juga sudah banyak dibunuh Hwe-sin dan hampir tak ada gangguan berarti di istana maka meskipun tokoh itu tewas namun istana tenang dan tenteram setahun lebih ini, kecuali hari itu.

Malam itu, dalam suasana berkabung dan berkumpul di Kuil Naga dalam suasana sembahyangan tiba-tiba saja terjadi pukulan genta berkali-kali. Pukulan ini menggetarkan dinding istana dan kaisar terbelalak, marah. Genta di atas menara tak boleh sembarangan dipukul kalau tidak ada sesuatu yang hebat. Dan untuk memukul genta pun harus seijin Wan-thai-suma, padahal Wan-thai-suma saat itu ada di dalam.

Jadi, betapa lancangnya pemukul genta itu. Dia dapat dihukum berat untuk kesalahannya ini, penjara seumur hidup atau bunuh. Dan ketika semua juga terguncang karena genta bertalu-talu itu merobek keheningan suasana, acara sembahyangan hancur dan buyar maka kaisar melotot dan marah, melihat seorang pengawal roboh mandi darah di muka kuil, menyeruak masuk.

"Ampun... bahaya... pemberontak... Ada pemberontak!"

Pengawal itu roboh. Dia tak sempat melaporkan semuanya karena sudah terguling dan tewas. Di dadanya terdapat sebuah golok menancap dalam, baju dan pakaiannya bersimbah darah. Dan baru saja pengawal itu roboh maka terdengarlah sorak-sorai dan gegap-gempitanya pasukan pemberontak. Istana bagai roboh oleh teriakan dan pekik mereka.

"Bunuh kaisar! Tangkap Wan-thai-suma, Bunuh Thio-taijin dan antek-anteknya."

Suasana menjadi riuh. Thio-taijin, yang berhenti memimpin sembahyangan tiba-tiba melihat bayangan-bayangan di luar kuil. Pengawal diserbu dan crat-crot robohnya penjaga disusul oleh pekik dan jerit kesakitan. Seratus lebih kerabat istana dan pembantu-pembantu kaisar menjadi panik. Mereka tiba-tiba melompat dan berlarian, mencari selamat dan jerit atau pekik para wanita tak dihiraukan. Jangankan wanita-wanita itu, para selir atau puteri istana, sedang kaisar sendiri tak mereka hiraukan dan lupa menyelamatkan diri sendiri-sendiri.

Hanya Wan-thai-suma dan Thio-taijIn saja yang tidak berlarian seperti kerabat-kerabat istana itu. Mereka berdiri dan terbelalak di situ. Penjaga atau pasukan di luar dibantai satu-satu, roboh dan mereka lihat dengan jelas tapi Wan-thai-suma tiba-tiba menyambar dan menarik lengan kaisar. Dialah yang berada paling dekat dengan kaisar dan Menteri Utama inilah yang tiba-tiba mengajak kaisar lari ke belakang.

Ada jalan rahasia di situ, ada dinding rahasia yang dapat mereka pergunakan untuk masuk ke ruangan bawah tanah, terowongan rahasia. Dan ketika Thio-taijin juga ingat dan sadar dilindungi pembantu-pembantunva, laki-laki tua inipun ditarik dan diseret mengikuti Wan-thai-suma maka di dalam kuil sudah masuk belasan pemberontak dengan pedang atau golok berlepotan darah.

"Heii.. itu Wan-thai-suma!"

"Dan itu kaisar!"

"Itu Thio-taijin. Tangkap!"

Belasan orang ini menyergap. Mereka mengejar dengan bentakan-bentakan menyeramkan dan dua di antara mereka melemparkan piauw, pisau belati kecil. Dan ketika dua senjata itu mendesing dan mendahului orang-orang di belakang maka Wan-thai-suma menjerit tertahan bahunya tertembus senjata gelap itu, juga Thio-tai-jin yang terguling dan seketika roboh.

"Cep-cep!" Dua pembesar istana Itu terguling. Kaisar tersentak tapi Wan-thai-suma bangkit lagi, menarik dan mengajak lari junjungannya karena pintu rahasia tinggal beberapa meter lagi. Di depan itu mereka akan membelok dan lenyap. Tapi ketika dua pisau terbang lagi menyambar dan mengenai dua orang ini, kaisar juga tertancap bahunya maka dua orang itu roboh dan sri baginda berteriak.

"Augh!" Mereka sama-sama jatuh. Untunglah, karena di belakang ada Ngo-busu, lima pengawal yang muncul dan cepat melindungi maka lima orang ini menyambar bangku dan apa saja dilontarkan kepada orang-orang di belakang itu, para pengejar.

"Sri baginda, berdirilah. Biar kami berlima menghadangnya!"

Kaisar menahan sakit. Pisau menancap dalam dan menembus tulang belikatnya. Terbiasa hidup enak dan tak pernah sengsara membuat kaisar hampir pingsan, penderitaan itu membuatnya tak kuat. Tapi ketika Wan-thai-suma terhuyung bangun dan dua pisau di pundak kiri kanannya itu tak dihiraukan, para pengawal dan busu-busu lihai sudah berdatangan maka menteri ini menyambar junjungannya dan lari tersaruk-saruk.

"Baginda, peluk pinggang hamba. Lari kita lari...!"

Sri baginda setengah sadar setengah tidak. Genta bertalu-talu masih saja terus terdengar tapi tiba-tiba berhenti. Seseorang berteriak ngeri dari atas menara dan jatuh, suaranya berdetak dan menggetarkan. Kepalanya pecah! Dan ketika sri baginda mengeluh dan mencengkeram pinggang Wan-suma, lari dan terseok membelok di tikungan depan maka Wan-thai-su-ma sudah menekan tombol biru dan dinding tiba-tiba membuka.

"Kita masuk, bersembunyi!" Kaisar didorong. Wan-suma mendahulukan junjungannya baru diri sendiri. Tapi ketika ia masuk dan siap menutup pintu tiba-tiba Thio-taijin muncul dan jatuh bangun dengan lengan dan pundak ditancapi piauw.

"Taijin...!" Wan-thai-suma tertegun. Tentu saja sebagai sesama pembesar negara tak mungkin dia membiarkan rekannya terbunuh di luar. Kaisar sudah lenyap di dalam sementara dia mau menyusul, berhenti dan melompat lagi menunggu Kepala Agama itu. Tapi karena ini berarti menunda beberapa detik, riuh dan ribut di luar semakin menjadi maka tepat mereka saling menyambar tangan mendadak seseorang muncul dan dua orang itu kaget bukan main.

"Ha-ha, apa kabar, Wan-thai-suma? Siap bersembunyi?" Nanti dulu, tengoklah aku!"

Angin berdesir dan dua orang itu menoleh. Seorang laki-laki perlente, gagah tapi bermata keji terdapat di situ, di belakang mereka, tertawa dan di sebelah laki-laki ini terdapat pemuda berusia tiga-puluhan tahun yang tersenyum-senyum, mendorong dan tiba-tiba pintu rahasia hancur, roboh. Dan ketika dua orang itu terkejut dan mundur membelalakkan mata maka hampir berbareng mereka berseru,

"Tan-ongya!"

"Tan Kiong!"

Laki-laki itu tertawa. Dia memang bukan lain Tan Kiong adanya, pangeran tertua yang dulu dua tahun lalu dibuang di pulau pengasingan, datang dan kini muncul di situ dengan cara mengejutkan, menyerbu dan jelas inilah pimpinan pemberontak! Dan ketika Wan-thai-suma dan Thio-taijin tertegun, pucat tapi lalu marah bukan main maka pemuda di samping itu berkelebat dan tertawa.

"Ongya, biarlah kutangkap Wan-thai-suma ini untukmu!"

Wan-thai-suma mencabut pedang. Dia kesakitan oleh piauw yang menancap namun tak perduli, menusuk namun pemuda itu menampar dan pedangpun patah! Dan ketika pemuda itu tertawa dan meneruskan gerakannya maka Wan-thai-suma tertangkap namun berbareng tiba-tiba terdengar bentakan dan kawannyapun roboh di tangan seorang gadis baju putih.

"Bu Sit, lepaskan Wan-thai-Suma!"

Pemuda itu terkejut. Dia tak menyangka dan Tan Kiong, pangeran itu, tertotok dan mengeluh ditangkap seseorang. Bayangan putih berkelebat di belakang pangeran itu bersamaan dengan berkelebatnya pemuda itu menangkap Thai-suma. Maka ketika pemuda itu membalik dan menoleh tiba-tiba saja dia tertegun karena itulah gadia baju putih murid utama Tung-hal Sian-Li.

"Ha-ha, bagus!" pemuda ini tertawa bergelak dan girang. "Kau kiranya, Pek Lian. Bagus sekali. Ha-ha, berikan Tan-ongya dan kulemparkan Wan-thai-suma ini kepadamu. Aduh, rupanya kau datang tak sabar menemuiku. Ha-ha, akupun rindu!"

Gadis baju putih melotot. la mencengkeram Tan-ongya dan mengangkat serta memutar-mutarnya. Bu Sit, pemuda itu masih juga mencengkeram Wan-suma namun tidak melontarkan, biarpun mulut bicara untuk tukar-menukar tapi hanya berhenti sampai di situ saja. Dan ketika ia membentak sementara cengkeraman diperkeras, Tan-ongya mengaduh maka ia membentak agar pemuda itu melepaskan. tawanan.

"Berikan. Wan-suma, atau anjing pemberontak ini kubunuh!"

Terpaksa, pemuda itu melemparkan Wan-suma. Ada dua hal yang membuat ia tak boleh mengulur waktu, yakni pandang mata beringas gadis itu serta lebih berharganya diri Tan-ongya dibanding Wan-suma. Tan Kiong adalah pucuk pimpinan pemberontak dan kehilangan pangeran itu berarti akan kehilangan segala-galanya. Janji dan kedudukan muluk telah mengiming-imingi pemuda ini untuk dinikmati. Murid Tung-hai Sian-li itu benar-benar akan membunuh lawannya kalau dia main-main. Dan karena gadis itu juga tak perlu ditakuti, mendiang Tung-hai Sian-li roboh di tangannya maka diapun melempar Wan-suma dan tertawa agar lawan menyerahkan pula Tan-ongya.

"Baik, aku memenuhi permintaanmu, adik manis. Serahkan Tan-ongya dan mana dua adikmu yang lain!"

Gadis itu menangkap dan menerima. la melempar pula Tan-ongya tapi Thio-taijin tiba-tiba berseru dan meloncat bangun agar gadis itu tak memberikan tawanannya, menahan sejenak tapi tetap pula melempar pangeran pemberontak itu. Dan ketika Thio-taijin membanting-banting kaki dan mengepal tinju, Wan-suma terhuyung bangun dan merangkul laki-laki tua itu maka Wan-suma berkata,

"Sudahlah, gadis itu benar, taijin. la seorang gagah sejati. Kita harus berterima kasih karena ia telah menolong kita. Kau masuklah ke sana dan biar aku di sini."

"Tidak," gadis itu menoleh, berkelebat dan sudah melindungi dua pembesar ini. "Kau dan Thio-taijin selamatkan dirimu, Wan-suma. Tentang orang ini... hm, dia bagianku!"

"Ha-ha," Bu Sit bersiap dan mendorong pula Tan-ongya, yang bangkit dan terhuyung pucat. "Kau juga berlindung sebentar, ongya. Gadis ini kawan lamaku dan biar kalian tak ikut campur!" dan membalik serta menyerang dengan tiba-tiba, curang sekali mendadak ia melepas Hwe-ci dan sinar merah menyambar.

"Dar!" Gadis itu mengelak dan menendang roboh Thai-suma dan Thio-taijin. Serangan itu amat licik namun untung gadis ini selalu waspada. la memaki dan berjungkir balik menghindar, untung. Dan ketika ia meluncur turun namun sudah disambut serangan pemuda itu, Bu Sit bergerak dan maju dengan bukulan-pukulan Hwe-kang maka Wan-suma- dan Thio-taijin terguling-guling di balik pintu rahasia dan bangun dengan muka pucat.

Pintu itu sudah hancur sementara Tan Kiong lenyap bersembunyi. Agaknya, begitu pemuda itu menghadapi lawan tangguh segera dia ngacir, khawatir kalau Wan-suma atau orang-orangnya nanti datang. Dan ketika Thio-taijin mengeluh namun sudah disambar tangannya diajak lari ke dalam mencari kaisar maka dua orang itu meninggalkan pertempuran dan sekarang mereka tahu siapa dalang dari kerusuhan ini.

Gadis baju putih sudah bertanding dan .bergerak naik turun menghadapi lawannya. Dia menangkis dan membalas dan pertempuran seru terjadi di sini. Pai-hai-jiu menyambar amat hebatnya namun dengan langkah-langkah sakti pemuda itu mengelak dan menangkis. Dan ketika adu pukulan menunjukkan tenaganya lebih kuat, seorang lawan seorang tak perlu dibuat takut maka pemuda ini tertawa bergelak dan gadis baju putih terpental berkali-kali oleh Hwe-ci atau pukulan-pukulannya yang hebat.

"Ha-ha,kau bukan tandinganku, nona Pek. Kau bukan lawanku. Daripada bermusuh lebih baik berteman. Lihat, kau kalah lihai.... duk-plak!"

Gadis itu terlempar dan berjungkir balik. Bu Sit mengejar dan tertawa-tawa dan Jit-cap-ji-poh-kun milik Hwe-sin benar-benar membuat gadis ini kewalahan. Dulupun ilmu langkah sakti ini selalu membuat repot. Tapi berang bahwa pemuda itu mencuri kepandaian orang lain, membunuh dan menewaskan subo serta sumoinya maka gadis ini meledak-ledak dan tiba-tiba melengking yang membuat genteng di atas berhamburan.

"Jahanam she Bu, kau kiranya bersembunyi di pulau pengasingan. Bagus, dan sekarang kau membantu pemberontak. Pantas aku tak dapat mencarimu tapi hari ini kau atau aku yang mampus.... plak-duk!"

Gadis itu terlempar dan berjungkir balik kembali, menyerang tapi ditangkis dan ia tak sempat mengelak. Tujuh kali ia terpental tapi tujuh kali itu pula ia menerjang lagi. Keganasan sikapnya seperti mendiang Tung-hai Sian-li, tak kenal menyerah, tak ada ampun! Dan ketika ia meluncur dan mencabut pedangnya, kini dengan pedang di tangan kanan dan pukulan-pukulan di tangan kiri ia menerjang pemuda itu maka sambil tertawa-tawa pemuda ini melayani dan gembira, berkelebatan dan mereka sambar-menyambar sementara pemuda itu benar-benar mengandalkan langkah-langkah saktinya Jit-cap-ji-poh-kun.

Ilmu dari mendiang Hwe-sin ini memang luar biasa karena dengan cara tiba-tiba dan amat mengejutkan ia dapat berada di kiri atau kanan lawan, bahkan di belakang dan menusuk dengan Jari Api ia membuat gadis itu! menghindar dan melempar tubuh bergulingan. Tapi ketika gadis baju putih terdesak dan lengkingan kembali menggetarkan gedung itu, si gadis memanggil bala bantuan maka gadis baju biru, sumoinya nomor dua datang.

"Cici, jangan takut. Aku tak menemukan suheng jahanam ini dan maaf terlambat!" dan dua gadis yang segera mengeroyok dan menerjang pemuda itu membuat Bu Sit terkejut tapi hanya sekejap saja, tertawa dan mengelak dan selanjutnya bunyi "set-set" dari langkah kakinya itu semakin kuat. Ia dikeroyok tapi dengan Hwe-ci dan Tujuh puluh Dua Langkah Sakti ia selalu di atas angin. Dan ketika tangkisan atau pukulannya juga membuat gadis baju biru terpental, pemuda ini hebat maka keadaan bertambah seru karena murid Dhiran Sing ini benar-benar luar biasa, apalagi ketika dia mulai menggosok-gosok telapak tangannya siap mengeluarkan Ngo-thian-hoat-sut (Sihir Lima Langit).

"Awas!" sang suci berteriak. "Hati-hati, sumoi. Keluarkan Pek-hong-koan-jit!"

"Ha-ha," pemuda itu tertawa. "Boleh, adik-adik manis. Boleh! Ayo, keluarkan Pek-hong-koan-jit dan mari sama-sama mengadu siapa lebih kuat.... dar!" pemuda itupun mengeluarkan pukulan yang sama, tujuh sinar warna-warni di mana keduanya meledak dan terlempar.

Pemuda itu hanya terhuyung sementara lawan terpental berjungkir balik. Dan ketika dua gadis itu menjadi marah dan menerjang kian hebat maka di dalam kuil berkelebat bayangan hijau dan para pemberontak dihajar. Hal ini tak diketahui dua gadis itu karena mereka bertanding di belakang. Tapi ketika teriakan pemberontak lenyap diganti tepuk riuh pengawal kerajaan, yang mendapat bantuan amat lihai maka Bu Sit yang tak memperhatikan tapi kini heran oleh sorak-sorai lawan menjadi kaget.

"Bagus, bunuh mereka itu. Tangkap pimpinan pemberontak. Hajar!"

Bak-bik-buk di ruang dalam membuat Bu Sit curiga. la harus berhati-hati tapi tak perlu khawatir terhadap dua gadis ini. Bahkan, ia siap merobohkan dan mempermainkan. Telapak tangannya sudah memerah dan ilmu sihir siap dikeluarkan. Tapi begitu suara pemberontak kian surut sementara di ruang kuil sorak riuh pasukan kerajaan menjadi-jadi maka di tempat lain pertempuran masih berkobar dan keadaan berjalan imbang. Malam itu serbuan pemberontak memang tak diduga-duga dan kaisar serta menterinya kalang-kabut.

Wanthai-suma nyaris tertangkap tapi munculnya gadis baju putih membuat keadaan berubah. Namun karena murid Dhiran Sing itu benar-benar lihai dan ia dapat mengatasi lawan, datang gadis baju biru tapi bantuan itu tak banyak berarti, pemuda ini tetap unggul maka di ruang kuil berkelebat bayangan hijau tapi di ruang kuil dan tempat-tempat lain berkecamuk pertempuran berdarah yang membuat pasukan pemberontak berhadapan dengan pasukan istana yang siap mati.

p Tiga panglima lihai menyatroni pemberontak-pemberontak itu dan mereka ini berada di sebelah timur dan barat. Mereka tak berhadapan dengan Bu Sit karena pemuda itu lewat tengah, membentak dan menahan pemberontak-pemberontak itu dan mereka berhasil. Po-ciangkun, yang bersenjatakan siang-kek atau sepasang tombak pendek menusuk dan menikam yang membuat musuh-musuhnya roboh. Lim-ciangkun, yang bersenjatakan gaetan juga mengamuk tak kalah garang dengan Po-ciangkun, menusuk dan menggaet lawan hingga banyak perut atau dada terobek.

Tapi karena serbuan itu berjalan tiba-tiba dan semua orang tak menyangka, genta yang menggetarkan dinding istana itu akhirnya juga mengguncangkan penduduk maka suasana kalut dan ramai menjadi satu dengan dencing senjata dan teriakan atau pekik ngeri orang-orang yang luka. Tiga panglima yang mengamuk akhirnya dapat mendesak para pemberontak dan gadis baju hijau di ruang kuil juga menyelesaikan pekerjaannya. Gadis ini telah merobohkan tak kurang dari empat puluh pemberontak namun bersamaan itu di belakang kuil terdengar jeritan dan keluhan tertahan.

Bu Sit, pemuda itu akhirnya melepas sihir di mana Pek Lian dan sumoinya menjerit. Telapak pemuda itu yang kemerah-merahan sudah ditepuk dan begitu meledak muncullah seekor naga siluman, berkoak dan menyambar mereka dan ketika mereka mengelak tahu-tahu pukulan tangan kiri pemuda itu menyambar. Lawan mengeluarkan Ngo-thian-hoat-sut dan saat sihir meledak tiba-tiba pemuda Itu berkelebat di balik sihirnya melepas Hwe-ci. Jari api itu menyambar di saat dua gadis mengelak.

Dan ketika tudingan itu mengenai Pek Lian dan sumoinya dan gadis baju biru terbanting menjerit maka gadis baju putih, Pek Lian, mengeluh dan roboh bergulingan dengan baju terbakar di dada, robek dan kulit dadanya hangus! Dan saat itulah sihir meledak lagi disusul tawa bergelak pemuda ini. Gadis baju biru merintih sementara gadis baju putih bergulingan meloncat bangun, dadanya yang hangus memperlihatkan sebagian kulit pundak yang putih bersih.

"Ha-ha, sekarang kau roboh, nona Pek. Dan sebentar lagi kaupun menjadi kekasihku...dar!"

Kilatan cahaya hitam menyambar melindungi tubrukan pemuda itu ke arah lawan. Gadis baju putih mengeluh dan menggigit bibir dengan muka pucat. Terhadap sihir ia kurang kuat, apalagi menghadapi pemuda sernacam Bu Sit ini, murid seorang tokoh lndia yang memang pandai sihir. Dan ketika ia terkejut melihat naga siluman kembali menyerang, mulutnya dibuka lebar memperlihatkan lidah merah menjilat-jilat maka ia tak melihat tubuh lawannya di balik naga atau asap hitam itu.

Ia mengelak dan menangkis dan kepala naga tiba-tiba pecah. Ia menghantam dengan Pek-hong-koan-jitnya yang lihai itu. Naga tiba-tiba berobah menjadi ikat pinggang, runtuh dan menggeliat sejenak di tanah, diam. Dan ketika ia tertegun dan sadar melompat bangun, tertipu maka saat itulah sepasang lengan kuat menotok dan memeluk pinggangnya, membuat ia roboh dan kembali terguling.

"Ha-ha, kena.... crep!"

Lengan kuat murid Dhiran Sing itu memeluk. Gadis baju putih terbanting dan pemuda itupun ikut terbanting. Dan ketika mereka bergulingan namun gadis ini tertangkap, roboh dan lemas di bawah totokan lawan maka ia tak dapat berbuat apa-apa namun saat itu bayangan Hijau berkelebat dan sebatang pedang menusuk leher pemuda ini.

"Jahanam binatang, lepaskan ciciku!"

Pemuda itu terkejut. la segera merobohkan lawan-lawannya begitu sorak riuh di ruang kuil terganti oleh pengawal istana. Suara pemberontak tak terdengar lagi dan karena itulah ia ingin melihat, harus merobohkan dua gadis ini dulu sebelum ke sana. Tapi begitu ia berhasil melumpuhkan lawan dan saat itu sebatang pedang menyambar lehernya, cepat sekali maka pemuda yang terkejut dan melompat bangun ini tiba-tiba membentak dan apa boleh buat dia menangkis seraya melepaskan gadis baju putih itu.

"Plak!" pedang itu terpental. Gadis baju hijau berdiri di situ dan pemuda ini tiba-tiba tertawa bergelak. Sekarang ia sudah meloncat bangun dan melihat siapa lawannya. Dan ketika ia tak kaget lagi dan sadar dengan wajah berseri-seri, lawan terhuyung dan sudah menyerangnya lagi maka gadis baju putih, yang tertotok dan menggeliat sudah membebaskan dirinya dan meloncat bangun. Mampu membuka jalan darahnya sendiri!

"Sumoi, jahanam ini minta dibunuh. Awas, ia mengeluarkan sihirnya. Jangan beri kesempatan dan mari kita selesaikan dia!"

Murid Dhiran Sing itu terbelalak. Ia kagum bahwa gadis baju putih ini mampu membebaskan totokannya lagi. Dan ketika gadis itu menerjang sementara gadis baju biru juga bangkit dan sudah pulih lagi, tadi ia terjengkang oleh pukulan lawan maka Bu Sit dikeroyok lagi dan kini oleh tiga lawan sekaligus.

"Ha-ha, bagus. Hmm, mana suheng. Keparat, kalian tak boleh diampuni lagi dan aku akan menurunkan tangan lebih keras!" pemuda itu berseru dan gemas. Ia tak takut dikeroyok tiga tapi suhengnya yang tak muncul membuat ia marah.

Sebenarnya ia dan suhengnya datang berdua tapi suhengnya itu kekaputren. Tadi suhengnya berkata bahwa biarlah urusan itu diselesaikannya sendirian, toh tak ada yang perlu ditakuti karena di istana tak ada tokoh-tokoh berarti. Yang ada hanya panglima-panglima tinggi dengan kepandaian rendah. Bagi mereka orang-orang macam itu tak perlu dibuat takut dan tentu saja munculnya murid-murid Tung-hai Sian-li ini di luar perhitungan. Baik Bu Sit maupun suhengnya tak menduga bahwa tiga gadis ini hadir di situ, mengacau dan menahan mereka dan Bu Sit marah karena ia harus menghadapi sendirian murid-murid Tung-hai Sian-li ini.

Yogiwara, suhengnya, sedang mencari kesenangannya di kaputren. Pemuda itu sedang mencari puteri-puteri tercantik untuk ditangkap dan dipermainkan. Mereka telah mendapat janji bahwa di samping kedudukan dan pangkat mulia juga boleh mengambil puteri-puteri cantik untuk dijadikan pelepas nafsu. Pemuda yang satu itu memang amat mata keranjang dan tak pandang bulu. Maka ketika ia memasuki kaputren sementara sutenya disuruh memberesi dulu lawan-lawan mereka dan nanti mendapat bagiannya yang sama, Bu Sit tertawa dan senang membayangkan hasil maka pemuda itu menjadi kaget dan marah ketika tiga murid Tung-hai Sian-li ini muncul.

la tak takut tapi hilangnya suara pemberontak membuat ia was-was. Ia tak tahu apa yang terjadi di luar kuil tapi melihat berdatangannva pengawal kerajaan membuat ia marah. Hal ini berarti bahwa pemberontak mendapat halangan, mungkin terdesak, atau, lebih hebat lagi gagal dan dipukul mundur! Dan marah kalau itu benar maka pemuda ini berseru keras dan ketika gadis baju hijau masuk diapun tidak main-main lagi dan semua pukulan ditangkis sementara dia mengeluarkan sihirnya lagi, Ngo-thian-hoat-sut.

"Nona-nona, kalian tak dapat mengalahkan aku. Lihat, subo kalian datang dan dengar bahwa ia meminta kalian berlutut... dar!"

Suara dahsyat ini disusul jeritan kaget tiga gadis itu karena tiba-tiba entah dari mana datangnya mendadak subo mereka Tung-hai muncul, membentak dan berseru kepada mereka dan gadis baju putih serta sumoinya kontan saja terkejut bukan main. Pek Lian, gadis baju putih telah berseru kepada sumoinya agar hati-hati terhadap sihir pemuda itu. Ngo-thian-hoat-sut telah mereka kenal tapi bahwa sihir itu dipakai untuk "memanggil" subo mereka tentu saja mereka kaget bukan main.

Di tengah ledakan asap tiba-tiba muncul subo mereka yang garang itu, berseru dan mengangkat tangan dan benar saja menyuruh mereka berlutut. Bentakan lawan berubah menjadi bentakan seorang wanita dan suara itu benar-benar suara guru mereka Tung-hai Sian-li. Pek Lian gadis baju putih sampai bengong, tertegun, begitu juga dua gadis baju biru dan hijau.

Dua sumoi gadis beju putih ini juga sampai tersentak dan kaget, wajah mereka pucat. Dan ketika dua gadis itu tertegun menekuk lutut, gadis baju putih juga kehilangan akalnya dan sedetik mereka dimasuki pengaruh sihir maka pemuda itu berkelebat dan di bawah bayang-bayang Tung-hai Sian-li pemuda ini merampas pedang dan telunjuk tangan kirinya menotok tiga gadis itu sekaligus.

"Ha-ha, robohlah...!"

Tawa ini menggugah segala-galanya. Gadis baju putih seketika sadar namun ke adaan tak memungkinkan lagi. Dia tertipu oleh lawan dan kecerdikan pemuda itu mempergunakan wajah subonya benar-benar berhasil. Murid mana tak akan tunduk kepada guru kecuali murid pemberontak. Tiga gadis ini juga begitu dan merekapun terkecoh oleh lawan, sadar mendengar tawa ltu tapi terlambat. Tak ada waktu mengelak dan Bu Sit benar-benar cerdik, licik. Namun ketika jari pemuda itu siap rnenyentuh pundak gadis-gadis itu mendadak terdengar seruan perlahan dan seorang kakek tua tiba-tiba muncul.

"Anak muda, kau curang. Tak boleh mempergunakan orang yang sudah meninggal untuk menakut-nakuti orang lain.... plak!" dan sebuah telapak lembut yang menangkis dan menolak jari Bu Sit tiba-tiba membuat pemuda itu berteriak dan terbanting.

"Aduh...!"

Tiga gadis itu selamat. Pek Lian dan lain-lain sudah disambar kakek berjenggot sedada ini dan mereka ditarik bangun, meloncat sementara pemuda itu bergulingan mengaduh-aduh. Bu Sit merasa jarinya tadi menusuk sekeping papan lembut namun kuat dan berdaya tolak besar, tertekuk dan jarinya seakan patah. Tapi ketika ia melompat bangun dan melihat kakek itu, melotot, maka ia mendesis dan membentak, memaki.

"Tua bangka, kau siapa. Ada apa mencampuri urusan orang-orang muda dan ikut-ikutan!"

"Hm, aku Kim Kong Sengjin, sahabat mendiang Hwe-sin dan Tung-hai Sian-Li. Maaf kalau aku mencampuri urusanmu, anak muda. Tapi melihat sepak terjangmu ini sungguh aku si tua tak dapat tinggal diam. Kau mempergunakan ilmu-ilmu sahabatku dan Dhiran Sing, aneh. Kau siapakah dan bagaimana dapat memillki gabungan ilmu-ilmu orang banyak. Apakah tak salah mataku melihat."

"Keparat," pemuda itu memaki. "Aku tak kenal padamu, Kim Kong Sengjin. Tapi karena kau telah menangkis pukulanku coba terima lagi dan sanggupkah kau menangkisnya lagi!"

Pemuda itu berkelebat, marah dan tak mau tahu siapa lawannya karena memang ia tak kenal. la tak tahu bahwa inilah seorang pertapa sakti dari Himalaya, sahabat dari mendiang Hwe-sin terutama suhengnya, Gin Goat Cinjin, tokoh yang sudah meninggal dan yang dulu menampakkan rohnya di hadapan adik seperguruannya itu.

Kepandaiannya dua tingkat di atas Hwe-sin dan tentu saja hebat bukan main, sayangnya tak pernah muncul karena sudah limapuluh tahun tokoh ini bertapa. Maka ketika pemuda itu menerjangnya dan Bu Sit marah bukan main, kakek ini menghela napas dan menerima maka Hwe-ci, Jari Api yang amat dahsyat itu menyambarnya, menusuk dengan keji.

"Cussshhh...!" Kakek itu menerima dan tak mengelak. la diam saja dan jari pemuda itu tepat mengenai dahinya. Bu Sit terkejut dan heran tapi juga girang, menusuk dan tentu saja serangannya hebat sekali. la menusuk dengan penuh kebencian. Kemarahannya menggelegak. Tapi begitu jarinya mengenai dahi dan kakek itu memandangnya lembut, tersenyum, maka dahi yang ditusuk ini berubah seperti karet dan api yang menyambar kakeK itu juga padam dan Bu Sit menjerit karena telunjuknya patah!

"Augh...!" Pemuda itu pucat dan berguling-guling. la roboh melempar tubuh karena sekali ini jarinya tidak hanya tertekuk. Jari itu patah dan tentu saja sakitnya bukan main, Bu Sit menjerit dan melengking-lengking.

Dan ketika ia meloncat bangun tapi gadis baju putih dan dua sumoinya berkelebat, sadar dan mellhat kesempatan bagus maka gadis itu melepas Pek-hong-koan-jit dan tangan kanannya menampar ke tengkuk lawan, begitu juga dua sumoinya.

"Bu Sit, terimalah kematianmu. Pemuda ini terkejut. la mengelak tapi kalah cepat, terpelanting dan roboh lagi dan tiga gadis itu segera mengejarnya. Pek-hong-koan-jit meluncur bertubi-tubi dan pernuda itu tentu saja kewalahan. Ia sedang patah jarinya dan sakit yang hebat benar-benar menggigit, sinkangnya tak mampu dikerahkan seperti biasa. Dan ketika tiga pukulan mengenai tubuhnya, mengeluh dan bergulingan mencari selamat maka berkelebatlah kakek itu menahan tiga gadis ini, pundak mereka disentuh.

"Nona, biarkan pemuda itu pergi. Kalian menjauhlah!"

Gadis baju putih terkejut. la disentuh pundaknya namun tiba-tiba semua tenaganya hilang. la seakan dilolosi begitu pula dua sumoinya yang lain. Tapi begitu mereka terhuyung maka Bu Sit yang meloncat bangun dan marah di sana menghantam mereka dengan tangan yang lain.

"Kalian gadis-gadis keparat!"

Namun kakek itu lagi-lagi bergerak. Kakek ini telah melumpuhkan Pek Lian dan sumoi-sumoinya dengan tepukan sinkang, membuat tiga gadis itu kehilangan tenaga dan terhuyung. Maka ketika pukululan itu menyambar dan mereka tentu saja tak dapat mengelak, mereka belum hilang kagetnya maka kakek itulah yang lagi-lagi menangkis dan menyerahkan dadanya untuk dihantam.

"Anak muda, tarik pukulanmu, atau tanganmu patah."

Bu Sit kaget bukan main. ia telah patah telunjuk kanannya dan kini dengan tangan kiri ia menghantam. Yang dituju adalah Pek Lian dan dua saudaranya itu tapi yang menerima justeru si kakek. Sedetik ada rasa kaget tapi pemuda ini nekat. Bu Sit penasaran oleh gebrak pertama tadi dan sesungguhnya ingin mengulang. Masa ia kalah! Maka ketika kesempatan itu ada dan si kakek maju melindungi gadis-gadis itu, ia marah bahwa kakek ini pengacau di tengah jalan maka ia membentak dan justeru menambah tenaganya. Hwe-kang atau Tenaga Api menyembur dari tangan pemuda ini.

"Wuuut...Traakk...!"

Dan Bu Sit terbanting. Pemuda itu memekik karena pergelangannya ,tiba-tiba patah. Bahkan, ujung siku sampai ke ujung jari terbakar. Hwe-kang membalik dan pemuda itu tak kuat. Dan ketika Bu Sit berteriak dan terbanting bergulingan maka berkalebat bayangan lain dan Yogiwara, pemuda asing itu muncul.

"Sute, apa yang terjadi. Siapa tua bangka ini!"

"Aduh...!" pemuda itu merintih dan mengeluh. Bu Sit bercucuran air mata menahan sakit! "Dia... dia Kim Kong Seng-jin, suheng. Entah tua bangka dari mana tapi datang menyakiti aku. Oouhh.... ke mana saja kau ini. Kenapa terlambat datang dan membuat aku menderita!"

Yogiwara terkejut. Dia telah menikmati kesenangannya dengan menangkap tiga puteri cantik di kaputren, melempar dan membunuh pengawal-pengawal yang berjaga. Tapi mendengar jerit dan pekik sutenya, terkejut dan mengerutkan kening karena sutenva tentu sedang menghadapt bahaya maka ia menendang pintu kamar dan dengan buru-buru dan celana masih kedodoran ia datang ke tempat itu, tak sadar bahwa kancing celananya menganga.

"Kim Kong Sengjin?" ia menuding, terbelalak. "Bagus sekali, tua bangka. Aku tak mengenal dirimu tapi kau telah mengganggu suteku. Bagus, kau mencari mampus!" pemuda itu membentak dan berkelebat, marah dan tiba-tiba bergerak dengan langkah saktinya dan tahu-tahu iapun sudah di dekat si tua. Gerak cepat Yogiwara ini jauh lebih hebat daripada sutenya, dua kali lipat. Tapi ketika ia menggerakkan tangan dan menusuk dengan Hwe-ci, ilmu andalan itu maka kakek inipun tersenyum dan tak menangkis.

"Kau murid pertama Dhiran Sing? Hm... baik sekali. Tapi Sinar matamu jahat. Ah, kau rupanya telah melakukan sesuatu yang tak terpuji, anak muda. Aku jadi prihatin dan pedih lagi. Pemuda semacammu tak seharusnya berwatak kotor. Bersihkanlah atau nanti kau celaka... cesshh!" dan leher si kakek yang mental ditusuk Hwe-ci membuat Yogiwara berteriak dan tertekuk jarinya, melempar tubuh dan pemuda ini kaget karena telunjuknya matang biru!

la terbelalak dan melompat bangun dan di sana sutenya berseru agar ia hati-hati, kakek itu memang lihai. Dan ketika pemuda ini melompat bangun dan pucat tapi penasaran, sama seperti sutenya tadi maka murid Dhiran Sing ini membentak dan menerjang lagi, cepat bertubi-tubi namun si kakek tenang tak mengelak ke sana-sini, diam dan menerima dan semua tusukan Hwe-ci mental. Kian keras Yogiwara menusuknya kian sakit Pemuda itu mengeluarkan teriakannya. la kaget dan berubah. Dan ketika semua pukulannya mental dan sepuluh jari sudah matang biru maka jari kelingkingnya patah.

"Krek!" Yogiswara melempar tubuh menjerit tertahan. la pucat bergulingan bangun dan sepasang matanya membelalak lebar, sadar bahwa kiranya ia berhadapan dengan orang sakti. Tapi ketika ia gentar dan jerih menghadapi lawan tiba-tiba terdengar tawa menggetarkan yang membuat semua orang di situ terpelanting dan roboh. Yogi sendiri terjengkang, begitu pula tiga gadis di sana!

"Ha-ha, kau mencampuri urusan anak-anak muda, Kim Kong Sengjin. Kalau begitu aku keluar dan ikut campur pula!" di situ berdiri seorang laki-laki gagah yang entah dari mana munculnya, bermuka merah dan laki-laki ini tahu-tahu menyambar Yogi. Pemuda itu berkelit tapi kena juga, kaget dan mendadak ubun-ubunnya ditiup. Tenaga dahsyat menyembur keluar. Dan ketika pemuda itu terkejut dan wajah tiba-tiba merah pula, seperti laki-laki gagah itu maka ini mendorongnya dan berseru,

"Hadapi kembali lawanmu, bunuh dia!"

Yogiwara berubah seperti jago berkeruyuk yang baru disiram air. Pemuda ini tiba-tiba beringas dan ia tertawa bergelak. Semacam tenaga sakti memasuki kepalanya dan ia seakan ditiup, melembung dan tiba-tiba pemuda itu melompat dengan amat garangnya. Lompatannya jauh dan kuat sekali, menderu dan siapapun roboh diterjang angin lompatannya ini, termasuk gadis baju putih yang baru saja berdiri bangun dihantam tawa menggetarkan laki-laki bermuka merah itu. Dan ketika gadis itu berteriak karena pemuda ini seakan harimau tumbuh sayap, si kakek terkejut dan mengelak maka Hwe-ci yang tadi diterima sekarang ditangkis.

"Plak!" dan... kakek itu terdorong mundur. Sekarang lawannya kuat bukan main dan murid Dhiran Sing itu tertawa bergelak, menerjang dan melepas lagi serangan bertubi-tubi dan Kim Kong Sengjin mengelak dan menangkis. Setiap menangkis tentu tergetar. Dan ketika kakek itu berubah dan menjadi merah, lawan kesurupan tenaga gaib maka ia membentak dan kedua tangannya tiba-tiba meledak mengeluarkan cahaya biru. Laki-laki bermuka merah sudah diam mematung dan tubuhnyapun tidak bergerak-gerak lagi. Rohnya telah memasuki pemuda itu!

"Han Sun, kau terlalu. Keluarlah dan jangan pergunakan tubuh pemuda ini untuk menandingiku!"

"Ha-ha!" terdengar tawa berat dan menggetarkan. "Di mana aku berada di situ aku dapat mempergunakan segalanya, Kim Kong, Sengjin. Kalau kau takut kepadaku larilah dan cari wadag lain untuk bersembunyi!"

"Aku tidak takut, tapi aku tak mau melukai pemuda ini. Keluarlah, dan bertandinglah dengan jantan!"

Gadis baju putih dan lain-lain menjadi heran. Mereka melihat bahwa kakek ini mengelak dan mundur ke sana-sini dan berkali-kali tergetar beradu dengan lengan lawan. Yogiwara, yang ganas menerjang si kakek juga berubah. Suara pemuda itu bukan lagi suaranya sendiri melainkan suara laki-laki gagah bermuka merah itu. Dan ketika ia memandang laki-laki itu sementara Bu Sit berdiri dan menghampiri laki-laki ini, menyentuh punggungnya tiba-tiba laki-laki itu roboh. Seperti batang pisang.

"Heii..." Yogiwara membentak, menoleh pada sutenya. "Jangan dekati tubuhku., anak muda. Pergi!"

Bu Sit terkejut. Ia bingung dan kaget mendengar kata-kata suhengnya itu. Ia di panggil anak muda, bukan sute! Dan ketika ia mundur dan pucat memandang sang suheng, yang sudah bukan seperti suhengnya lagi maka suhengnya itu berkelebatan cepat dan Hwe-kang atau Tenaga Api menyembur-nyembur ganas, menghantam dinding dan apa saja yang sebentar kemudian menimbulkan kebakaran besar.

"Mundur.... mundur...!" kakek itu berseru berulang-ulang. "Mundur, anak-anak. Jauhi tempat ini. Awas... blarr!"

Api menyambar lagi dengan amat hebat, dikelit dan menghantam pilar dan pilar itupun roboh. Apinya menjilat dan belakang kuil itupun terbakar. Dan ketika si kakek marah namun lawan tertawa bergelak, Pek Lian dan adik-adiknya menjauh maka sekali lagi kakek itu membentak dan menyuruh lawan keluar dari badan orang lain.

"Han Sun, jangan celakai tubuh pemuda itu, jangan membuat onar. Aku peringatkan sekali lagi atau aku memaksamu:"

"Ha-ha, paksalah. Cobalah! Aku tidak takut ancamanmu, Kim Kong Sengjin. Kau melanggar perjanjian dengan turun gunung. Dan siapa melanggar dia harus dihajar!"

"Aku diminta sahabatku Gin Goat Cin-jin melerai pertikaian ini. Pemuda-pemuda itu tak boleh mengganggu tiga gadis ini!"

"Ha-ha, terserah. Kau dan aku terikat untuk tidak turun gunung, Kim Kong Seng jin, dan sekarang kau melanggarnya. Aku tak perduli!"

"Dan kaupun melanggar juga, ikut-ikut turun gunung!"

"Aku marah melihatmu. Aku juga dimintai bantuannya oleh sahabatku Dhiran Sing!"

"Hm, kau selalu membela yang sesat, Han Sun Kwi. Aku tak bermaksud membunuh pemuda-pemuda ini kecuali melarang-nya mengganggu tiga gadis itu."

"Dan kau selalu membela yang benar. Keparat, kita sama tahu kewajiban kita, Kim Kong Sengjin. Kau dan aku selalu berada pada pihak yang berlawanan. Tak usah banyak cakap atau kembalilah ke Himalaya….blarr!" pukulan Hwe-kang kembali menghantam, ditangkis dan menimbulkan ledakan dahsyat dan apinya menyambar ke segala penjuru.

Kuil sudah berkobar dan kakek itu marah. Mukanya semakin merah dan mata kakek itu mencorong. Pek Lian dan dua sumoinya mundur menjauh dan merekapun ngeri. Dua orang itu sudah bertanding di tengah-tengah api yang menyala! Dan ketika kakek itu membentak dan berkelebatan mengimbangi lawan, Yogiswara sudah dipakai tubuhnya untuk bertanding maka sinar biru menghantam sinar merah dan Hwe-kang atau Tenaga Api terpental.

Selanjutnya kakek ini membalas dan Pek Lian serta Bu Sit menonton. Pemuda itu sudah tak dapat bertanding karena telunjuk dan tangan kirinya patah. Bu Sit mengharapkan laki-laki aneh ini mengalahkan lawan, terkejut dan kagum karena suhengnya menyambar-nyambar di tengah jilatan api, tak apa-apa tapi kini kakek itu melepas pukulan-pukulan biru. Sinar merah tertahan dan akhirnya terpenta. Ada suara menggeram-geram di tubuh suhengnya itu untuk mengeluarkan ilmu-ilmu lain.

Tapi karena si pemuda hanya memiliki Hwe-ci atau Pek-hong-koan-jit, juga Pai-hai-iju dan ilmu-ilmu silat dari Dhiran Sing di mana semuanya itu sebenarnya masih di bawah kesaktian Kim Kong Seng-jin maka ketika kakek itu membalas dan mengeluarkan pukulannya bersinar biru semua pukulan dari pemuda ini terpental dan hanya tenaga gaib itu saja yang masih bekerja di tubuh Yogiwara, melindungi pemuda ini.

"Goblok! Pergunakan ilmu lain, bocah. Mana ilmu-ilmu silatmu yang lain bukan dari si tolol Tung-hai Sian-li atau Hwe-sin, begitu juga gurumu si tua India itu!"

"Aku... aku tak memiliki lainnya lagi. Kepandaianku hanya ini saja, locianpwe. Aku tak punya lain.... bress!" sinar biru menyambar dan menghantam pemuda itu. Orang akan merasa ganjil dan terheran-heran bahwa pemuda ini bicara dengan suara berbeda, tapi dari mulut yang sama. Dan ketika pemuda itu terlempar dan suara berat menggetarkan itu memakinya, aneh sekali maka Kim Kong Sengjin mengejar dan satu pukulan lagi menimpa kepala Yogiwara.

"Han Sun Kwi, keluarlah. Atau pemuda ini menjadi korban!"

Pemuda itu terlempar. Sekarang ia terdesak namun roh di dalam tubuhnya tak mau keluar. Han Sun Kwi masih bertahan dan apa boleh buat kakek itu mengejar dan melepas pukulan lagi. Dan ketika pukulan itu dielak namun melejit ke bawah, mengenai paha pemuda ini maka pemuda itu mengaduh dan Kim Kong Seng jin sekali lagi mengancam agar tidak mengorbankan orang lain.

"Ha-ha, kau memerintahku? Keparat, aku akan keluar kalau ingin keluar, Seng-jin. Kaiau pemuda ini memiliki ilmu-ilmuku tak mungkin kau dapat mendesaknya. Goblok, pemuda ini sungguh tolol!''

"Kalau begitu aku akan memaksamu keluar. Nah, kau mengorbankan orang lain dan jangan salahkan aku!" seberkas sinar biru meluncur dari telapak kakek ini, mengejar lawan yang sedang bergulingan dan Yogiwara berusaha mengelak. Akan tetapi karena kesaktian kakek itu dua tingkat di atas kepandaian guru-guru yang diwarisi ilmunya, Hwe-sin maupun Tung-hai Sian-li dan Dhiran Sing masih di bawah Kim Kong Sengjin maka ketika kakek itu berkelebat dan mengejar melepas dua pukulan beruntun, lawan tak mampu berkelit dan menangkis. Dan inilah akhir dari pertandingan.

Kakek itu mengeluarkan tenaga Bu-kek-kangnya dan begitu tenaga ini menyambar si pemuda Yogiwara merasa disambar hawa dingin. Hawa ini membekukan tubuhnya dan tiba-tiba Hwee-kan atau Tenaga Api padam. Kepandaian si kakek yang lebih tinggi tingkatnya membuat Bu-kek-kang (Tenaga Tak Berkutub) terasa dahsyat. Gadis baju putih dan Bu Sit yang ada di kejauhan sana sampai berteriak kaget.

Tubuh mereka tiba-tiba beku! Dan ketika Yogiwara juga terkejut oleh sinkang dahsyat ini, menangkis namun darah tubuhnya tiba-tiba berhenti, beku, maka saat itulah pukulan kedua mengenai dadanya dan... "ngeek" pemuda itupun mendelik dan roboh terjengkang. Sekujur tubuh dan rambutnya dingin kaku dan pemuda ini seketika tetbantung.

"Aughh...!" Sesosok cahaya melesat dari kepala Yogiwara. Pemuda itu sendiri sudah terbanting dan tidak bergerak-gerak lagi. Murid Dhiran Sing ini tewas dengan tubuh sedingin es. la tak tahan oleh Bu-kek-kang itu.

Namun ketika cahaya itu melesat dari kepalanya, roh dari Han Sun Kwi keluar maka bermuka merah itu memasuki tubuhnya lagi dan badan yang semula diam kaku mendadak bangkit dan menerjang kakek ini. Sekarang Kim Kong Sengjin menghadapi lawannya secara berdepan. Kakek itu mengelak sana-sini tapi tetap dikejar. Dan ketika Han Sun Kwi berteriak dan melepas dorongan sinar merah, seperti Hwe-kang tapi lebih dahsyat lagi maka letupan menggelegar terjadi di situ dan para pengawal roboh muntah darah. Tempat itu sudah dipenuhi orang karena pemberontak melarikan diri.

Tan Kiong, pangeran pengkhianat, sudah lenyap meninggalkan tempat itu. Dengan amat cerdik dan licik pangeran ini mendahului Bu Sit meninggalkan kota raja. Dia telah mendengar tentang hadirnya seorang kakek sakti dan robohnya pemuda itu. Dan marah tapi juga penasaran bahwa orang-orang sakti selalu mengganggu, Ia tak mau ambil resiko maka pangeran ini melarikan diri dan menarik pasukannya, dapat menduga bahwa penyerbuannya gagal. Maka ketika dia pergi dan tak tahu akan munculnya seorang sakti lain, lawan tangguh dari Kim Kong Sengjin maka pemberontak sudah meninggalkan tempat itu dan hanya Bu Sit serta suhengnya inilah yang ada.

Sang suheng akhirnya tewas dan tinggallah pemuda itu sendirian. Tempat itu sudah dikepung tapi begitu laki-laki bermuka merah menerjang tiba-tiba pukulannya meledak menggetarkan siapa saja. Bu-kek-kang bertemu sinar merah dan Kim Kong Sengjin berseru tertahan menyebut Giam-lui-ciang (Petir Neraka), ilmu dahsyat yang dimiliki lawannya bermuka merah itu. Dan ketika apa saja akhirnya roboh dan kuil pun ambruk, keadaan menjadi gempar maka kakek itu berseru keras berpindah tempat. Rumput dan tanah terbakar dan apa saja menjadi panas.

“Han Sun Kwi, kau tak boleh membunuh orang-orang lain. Ayolah, kita ke gunung dan kembali ke tempat asal!"

"Keparat, tak usah kembali" laki-laki itu membentak, suaranya membuat genteng dan pohon-pohon rontok, demikian dahsyatnya. "Kau atau aku mampus di sini, Kim Kong Sengjin. Dan mari kita adu Bu-kek-kangmu dengan Giam-lui-ciang….blarr!"

Suara dahysat itu kembali terdengar, merobohkan dinding yang masih ada dan gemparlah orang-orang di sekitar tertimpa gedung yang ambruk. Tanah dan rumput menjadi hangus dan akhirnya mereka ini menyala. Kompleks istana dirubah menjadi lautan api. Dan ketika Kim Kong Sengjin terbelalak dan menggerakkan tubuhnva ke sana ke mari maka kakek ini mengibas dan Pukulan Tak Berkutub memadamkan semua api di situ namun keadaan yang panas menyala sekonyong-konyong menjadi beku. Orang roboh dan ganti kedinginan!

"Bagus ha-ha.. Kaupun akan membunuh orang di sini, Kim Kong Sengjin. Bagus. Kau dan aku sama. Baiklah, mari berlomba dan lihat siapa lebih dahsyat... klap-klap!" pukulan Giam-lui-ciang kembali menyambar, menyapu permukaan tanah dingin dan-tiba-tiba api berkobar. Panas dan dingin silh berganti.

Dan ketika kakek itu terbelalak dan memadamkannya kembali dengan Bu-kek-kang, dihantam dan dihajar lagi oleh Petir Neraka maka kompleks istana menjadi porak-poranda dan kakek itu merah padam, mereka sekarang berkelebatan cepat dan lenyap sambar-menyambar. "Han Sun Kwi, jangan merusak tempat orang. Hentikan, atau aku mengajakmu mengadu jiwa!"

"Ha-Ha... itu yang kukehendaki. Ayolah, mana jiwamu, Kim Kong Sengjin, ini jiwaku. Mari, kita adu dan lihat siapa yang kuat ...blarr! " Giam-lui-ciang kembali menyambar namun cepat dipadamkan Bu-kek-kang. Panas dan dingin menyambar tempat itu dan semua orangpun cerai-berai.

Pek Lian dan dua sumoinya juga mundur menjauh dan menonton dengan jantung berdebar. Pertandingan dua orang sakti ini jauh lebih hebat daripada pertandingan subo mereka dulu dengan mendiang Hwe-sin. Sekarang dua orang itu beterbangan dan tak menginjak tanah lagi. Setiap tubuh bergerak tentu api atau es sambar-menyambar, bukan main hebatnya. Dan ketika pohon-pohon juga tumbang dan taman menjadi hangus kehitaman. Si kakek berkelebat dan menuju ke tempat lebih terbuka maka lawan mengejar dan di sini Han Sun Kwi menyerang kakek itu dengan pukulan-pukulan Giam-lui-ciang.

Dua orang ini bertanding dan si kakek mengelak dan berlompatan. Bu-kek-kang dipakai meredam Giam-lui-ciang namun Petir Neraka itu muncul dan menghantam lagi. Repot. Lama-lama seluruh istana bisa habis sementara tokoh bermuka merah itu kian ganas. Han Sun Kwi nenambah tenaganya hingga dalam jarak seratus meter Giam-lui-ciangnya menderu. Siapapun yang tersambar pasti roboh.

Gadis baju putih dan dua sumoinya juga keserempet dan pakaian mereka hangus. Kulit serasa perih dan lecet disambar angin pukulan tokoh bermuka merah itu, padahal mereka seratus meter di luar pertandingan. Dan ketika pertempuran itu berjalan kian menghebat sementara si kakek berkerut-kerut, takkan ada yang kalah atau menang diantara mereka maka kakek itu membentak dan menangkis pukulan , yang saat itu kembali menderu dan menyambar dahsyat.

"Han Sun Kwi, kita kembali ke gunung!"

Benturan dahsyat terjadi di sini. Dua lengan tokoh itu bertemu dan si kakek mencengkeram tangan lawan. Dua pasang tangan saling remas dan masing-masing juga saling mengerahkan tenaga. Kim Kong Sengjin tak menghendaki lawan melempar-lempar pukulannya merusak tempat itu dan karena itu dia nenangkap dan mencengkeram telapak lawan. Bu-kek-kang bertemu Giam-lui-kang dan terdengar suara berkeretek seakan tulang-tulang mereka patah. Tapi ketika mereka diam tak bergerak dan tokoh muka merah itu mendengus, matanya berpijar dan keluar cahaya meneorong maka si kakek mengimbanginya dan dua kekuatan mata meledak di udara.

"Kau minta mampus. Kubunuh kau..kubunuh kau... klap!" dua benturan tenaga mata itu bertemu, meledak dalam sinar biru dan merah dan dua-duanya tergetar.

Hawa di sekitar dua orang itu panas dan dingin dan gadis baju putih bersama sumoinya memandang terbelalak. Mereka tegang menyaksikan tontonan itu karena dua pihak mengedu sinkang. Siapa kuat akan keluar sebagai pemeneng tapi siapa kalah tentu hancur dan tewas. Dan ketika dari dua kepala tokoh itu muncul uap biru dan Merah, yang biru akhirnya menjadi putih dan yang merah berubah hitam maka terdengar lagi suara berkeretek dan lutut kedua orang itu melesak ke dalam tanah.

"Krek!" Pek Lian dan sumoinya terkejut. Sebagai orang-orang persilatan tentu saja mereka tahu apa artinya itu. Dengus dari lawan si kakek tiba-tiba menjadi uap merah. Tapi ketika dari lubang hidung kakek itu juga keluar uap dingin memukul uap merah maka kaki mereka melesak lagi dan lutut terpendam sebatas paha!

"Kita harus menolong locianpwe itu. Kita harus membantu,..." gadis baju putih tiba-tiba berbisik dan khawatir. la tentu saja cemas karena tuan penolongnya mengadu sinkang. Dua saudaranya juga mengangguk tapi bingung tak tahu bagaimana. Menolong orang-orang sakti yang kepandaiannya sudah jauh di atas mereka amatlah berbahaya. Tapi karena kakek itu menolong mereka dan betapapun mereka harus bergerak, tak boleh kakek itu roboh maka gadis beju putih mencabut ikat pinggangnya dan tiba-tiba melontarkan ikat pinggang itu ke tengkuk laki-laki bermuka merah, tokoh gagah perkasa itu.

"Tuk!” Ikat pinggang itu hancur. Si tokoh menoleh dan melotot, gadis baju biru dan hijau juga melakukan hal yang sama tapi sabuk atau ikat pinggang mereka hancur begitu bertemu langsung terbakar dan hangus. Tengkuk si tokoh seperti api. Dan ketika laki-laki itu melotot dan membuang bentakan, meniup, maka tiga gadis itu terbanting dan mereka bagai dilempar tenaga raksasa yang amat kuatnya.

"Bress!" Tiga gadis itu menjerit dan berteriak. Mereka terguling-guling tapi gangguan ini membuat si kakek menang angin. Kim Kong Sengjin berseru keras mendorong lawan, berhasil dan tokoh bermuka merah itu mengeluh, terhuyung. Tapi ketika ia didesak lagi dan semakin miring, tubuhnya doyong ke belakang maka laki-laki ini mengeluh dan terhuyung tapi karena didesak lagi dan semakin miring tubuhnya doyong kebelakang maka laki laki ini merebahkan tubuhnya dan secepat kilat melepaskan diri.

Ia seakan tidur telentang dan Kim Kong Sengjin terbawa ke depan, terkejut dan otomatis kakinya tertarik keluar. Dan karena lawan sudah melepaskan diri sementara ia siap menimpa, Han Sun Kwi tertawa bergelak maka tokoh luar biasa itu mencengkeram perut lawan dan Giam-lui-ciang siap merobek usus!

"Aughh!" kakek itu menjejak dan melempar tubuh tinggi-tinggi. la tak mau dicenhkeram meskipun saat itu ia dapat melepas pukulan pula ke muka lawan. Mereka akan sama-sama roboh dan masing-masing sama hancur. Tapi karena kakek ini berwatak lembut dan ia sudah girang melihat lawan melepaskan cengkeraman berarti mau damai maka ia tak menyangka bahwa lawan hanya berpura-pura saja dan kini menggerakkan tangan ke bawah siap menghancurkan perutnya.

Kim Kong Sengjin berseru keras menjejakkan kakinya, terbang dan terkaman itu luput tapi lawan menggeliat dan menarik tubuhnya keluar, menjejak dan mengejar kakek itu lagi dan sama-sama terbang menyambar. Kejadian ini terjadi dengan amat cepat hingga gadis beju putih dan sumoinya sendiri tak mampu menangkap. Tapi ketika kaki itu menangkis dan suara menggetarkan membuat mereka roboh, tokoh muka merah terpental dan menyambar ke kiri tiba-tiba ia mencengkeram gadis baju putih dengan telapak tangannya yang lebar itu.

"Awas!" Kim Kong Sengjin membentak dan marah. Kakek itu tak menyangka kelicikan lawan karena gagal menyerangnya lawanpun mencari korban lain, gadis itu. Dan ketika ia tak tinggal diam dan menyerang pula, menyuruh gadis itu bergulingan maka Han Sun Kwi tertawa bergelak dan tiba-tiba membuang tubuhnya ke gadis baju hijau.

"Dess!" gadis itu kena tabrak. Ia tak menyangka dan terlempar, menjerit namun tiba-tiba bergulingan meloncat bangun, dan ketika Ia berdiri dan membelalakkan mata maka tawa bergelak terdengar dari mulutnya dan roh Han Sun Kwi telah berpindah!

"Ha-ha, aku di sini, Kim Kong Sengjin. Ayo, maju dan kita bertempur lagi!"

Kim Kong Sengjin tersentak. la melihat lawan menghilang dan sebagai gantinya gadis baju hijau itu bergelak menantang. Adalah mendirikan bulu roma kalau seorang gadis tawanya seperti laki-laki, kasar dan berat. Dan ketika ia tertegun namun sadar, lawan telah mempergunakan orang lain sebagai badan kasarnya maka membentak dan menyambut terjangan gadis baju hijau yang sudah bukan gadis itu lagi.

Pek Lian dan sumoinya si baju biru terbelalak. Mereka ngeri dan pucat melihat itu. Kesaktian seperti ini belum pernah mereka lihat, menyeramkan! Dan ketika sumoi mereka itu berkelebatan dan sepak terjangnya bagai laki-laki, dak-dik-duk beradu pukulan maka Kim Kong Seng-jin menjadi susah karena gadis itu bisa menjadi korban lagi, seperti murid utama Dhiran Sing tadi.

"Han Sun Kwi, kau licik, curang. Kau mempergunakan mahluk lemah untuk menekan aku!"

"Ha-he, tak usah banyak cakap. Bunuhlah gadis ini, Kim Kong Sengjin, seperti tadi kau membunuh pemuda itu. Ayo, bunuh dan lepaskan Bu-kek-kang mu!"

Si kakek pucat. la tiba-tiba menggigil dan mengelak sana-sini dengan marah. Bu-kek-kang tak berani dikeluarkan dan akibatnya ia terdesak. Dan ketika Petir Kilat menyambar dan ia terlempar, roboh bergulingan maka Bu Sit tertawa di sana dan bersorak.

"Bagus... bagus, locianpwe. Hajar tua bangka itu dan bunuh dia!"

"Diam!" bentakan ini mengejutkan. "Jangan cecowetan di sana, anak muda. Bantu aku menyelamatkan tubuhku dan lindungi."

Gadis baju putih tiba-tiba berkelebat. la sadar mendahuiui lawan, bergerak dan menusuk tubuh yang kaku itu dengan jarinya. Tapi ketika jarinya terpental karena tubuh itu semacam karet, membal dan dia berteriak maka adiknya juga bergerak dan mendahului Bu Sit.

"Jangan.. jangan sentil tubuhnya, namun Kim Kong Sengjin tiba-tiba berseru, mencegah. "Jangan dekati badan kasarnya itu, anak-anak. Pergi...!"