Putri Es Jilid 06 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

BUKAN hanya lima gdis di sana yang terkejut. Tung-hai Sian Li yang telah merobohkan dan siap memperoleh kemenangan tiba-tiba juga kaget sekali oleh tali hitam di tangan kakek berhidung bengkung itu. Gerak dan kecepatan tali itu luar biasa sekali, tak mungkin Hwe-sin mengelak. Tapi membentak dan berseru keras tiba-tiba wanita ini berkelebat ke depan melepas Pek-hong-koan-jitnya, menangkis serangan maut itu.

"Dhiran, jangan bunuh dia!"

Tali hitam bertemu tujuh sinar Pek-hong-koan-jit. Kakek renta terkejut karena talinya mental, dihembus atau disambar pukulan jarak jauh itu. Namun karena serangan sudah dekat dan ujung talinya tetap saja mengenai kulit leher Hwe-sin, menusuk dan melukai bagai pedang maka tokoh istana itu mengeluh dan darahpun muncrat bagai tikaman pedang tulen, selamat tapi terluka dan Tung-hai Sian-li telah berdiri di sini.

Wanita itu pucat tapi lega melihat ini dan Hwe-sin pun terhuyung meloncat bangun. Dia telah diselamatkan lawannya namun kepedihan besar membayang di wajah Malaikat itu, Hwe-sin terbelalak dan memandang kakek renta dengan sinar mata menusuk. Dia lebih terpukul oleh kehadiran kakek ini daripada lukanya di leher. Dan ketika dia gemetar dan menuding kakek itu, bertanya kepada Dewi Laut Timur maka Tung-hai Sian-li menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.

"Dia sahabatku, Dhiran Sing, orang yang selama tigapuluh tahun ini menemani dan menghiburku. Dia tahu sakit hatiku kepadamu, Hwe-sin, tapi bukan maksudku untuk berlaku curang. Aku... kau..., lukamu harus diobati. Tali itu mengandung racun!"

Wanita ini bergerak dan tahu-tahu sudah memegang leher lawannya, merobek bajunya sendiri dan tanpa ragu-ragu membalut dan menorehkan obat penawar ke luka itu. Hwe-sin tertegun dan kaget, Tung-hai Sian-li tiba-tiba bersikap begitu mesra kepadanya. Mata wanita itu berlinang! Tapi ketika dia memandang kakek renta itu dan teringat betapa selama ini orang yang dicintanya bergaul dengan kakek itu, kakek yang hampir saja merenggut nyawanya mendadak Hwe-sin meronta dan mundur melepaskan diri, obat di luka-nya dicabut dan dibuang!

"Eng Siu, kau.... kau tiga puluh tahun ini berdua dengan kakek jahanam itu Kau... kalian, ah.... sudah selalu bersama-sama? Oohhh... ha-ha!" Hwe-sin tiba-tiba tertawa bergelak. "Alangkah bodohnya aku, Eng Siu, alangkah tololnya! Ah, sia-sia aku mencintaimu dan sekarang jahanam tua bangka itu melukaiku. Keparat! Aku boleh mati di tanganmu, Eng Siu, tapi bukan oleh orang lain, apalagi yang curang membokongku. Aku tak terima!"

Dan membentak melengking dahsyat tiba-tiba Hwe-sin meloncat dan menubruk kakek ini. Kekecewaan dan marahnya tiba-tiba meledak, darahnya mendidih! Dan karena dua ekor ular di tangannya sudah dibuang dan dicabut Tung-hai Sian-li, dia tadi tak sempat berbuat apa-apa karena tertegun dan menjublak memandang kakek tua itu maka sekarang menerjang dan menghantam kakek itu dengan pukulan Apinya dia seolah orang kesetanan.

Namun Kakek ini terkekeh. Dhiran Sing, kakek India itu, sejenak tertegun dan melotot melihat adegan tadi, betapa Tung-hai Sian-li mengobati dan membalut luka Hwe-sin dengan mesra. Tapi begitu dia diserang dan pukulan dahsyat menyambarnya mendadak kakek ini merendahkan tubuh dan tali hitam yang masih dipegangnya itu meledak menangkis pukulan Hwe-sin.

"Tas!" dan... Hwe-sin terpelanting. Tokoh istana ini mengeluh karena tiba-tiba dia merasa tali hitam di tangan lawannya itu menyambutnya amat hebat, membuat dia terbanting namun laki-laki gagah ini melompat bangun lagi. menyerang dan segera kakek itu maju mundur berkelit dan menangkis. Dan ketika pertandingan berjalan seru karena Hwe-sin mengejar dan bagai orang kesetanan, tak perduli kepada rasa panas dan pedih di leher yang disertai rasa kejang-kejang maka tampak bahwa pengawal kaisar ini memaksa diri.

Dia tak pernah mampu mendaratkan serangannya sementara tali hitam di tangan kakek itu meledak-ledak menyambar tubuhnya. Setiap kali kena tentu membuat luka matang biru, bahkan membuat kulit dan daging kehitaman karena racun di tali hitam itu bekerja dengan amat kejamnya. Dan ketika Hwe-sin melotot sementara Tung-hai Sian-li terbelalak ngeri, Dhiran Sing mulai mencambuki lawannya sambil terkekeh-kekeh akhirnya Tung-hai Sian-li tak kuat dan berseru maju, kembali berkelebat.

"Dhiran Sing, hentikan seranganmu. Atau nanti aku membunuhmu!"

"Eh, ha-ha...! Kau mencinta juga laki-laki ini, Tung-hai Sian-li? Mana janjimu kepadaku? Ah, aku hanya membela diri. Dialah yang menyerang dan menubrukku bagai harimau kelaparan. Lihat dia menyerangku lagi.... dess!"

Cambuk menghajar muka Hwe-sin, menimbulkan gurat memanjang dan kakek itu mengelak dari terkaman lawan yang bagai gila. Hwe-sin menggeram dan jatuh bangun menyerang kakek itu padahal dia tak pernah mampu. Racun di leher membuat uratnya tegang dan justeru ini mencelakakan laki-laki gagah itu sendiri. Kian dia mengamuk kian cepat racun bekerja di dalam tubuhnya.

Dan ketika semua itu masih ditambah oleh guratan-guratan cambuk di seluruh tubuhnya, racun di tali hitam masuk dan merembes mengganggu tubuh Hwe-sin maka tampaklah laki-laki ini sekarang kejang-kejang dan menyerang dengan cara lucu tapi menyedihkan. Cambukan di mukartya membuat luka dalam dan kalau laki-laki ini hidup berarti seumur hidup dia bakal cacad. Tung-hai Sian-li terbelalak. Dan ketika kakek itu masih mengelak sana-sini dan Hwe-sin rnenyerangnya dengan tubuh kejang-kejang akhirnya dia membentak agar kakek itu mundur.

"Mundur? Ha-ha, dia akan mengejarku. Lebih baik kau suruh dia berhenti atau aku terus membela diri!"

Tung-hai Sian-li pucat. Akhirnya dia bergerak dan menghadapi Hwe-sin, berseru agar laki-laki itu mundur. Tapi ketika Hwe-sin tertawa bergelak dan beringas memandang lawan ternyata laki-laki ini menolak, tubuh dan muka sudah mandi darah.

"Kepalang tanggung. Biar aku roboh, Eng Siu, mampus sebagai laki-laki gagah. Ha-ha, kau majulah sekalian dan robohkan aku. Mati di tanganmu agaknya lebih baik!"

Wanita ini gelisah. Sekarang ia tak dapat menyembunyikan kekhawatirannya lagi melihat Hwe-sin luka-luka. Dendam dan kebenciannya sudah berobah menjadi kasih dan cinta mendalam melihat keadaan laki-laki itu. Betapapun, ia sesungguhnya mencinta laki-laki ini. Maka ketika Hwe-sin menubruk tapi tali hitam melecut mukanya, roboh dan bangun lagi tiba-tiba ia berkelebat dan menyambar tubuh laki-laki itu.

"Hwe-sin, kau keras kepala. Sungguh tak pernah mengalah!" dan membentak menghalau tali hitam tiba-tiba Tung-hai Sian-li sudah menotok laki-laki itu, meloncat dan terbang meninggalkan Lembah Hijau dan terdengarlah teriakan kaget Dhiran Sing.

Kakek India itu terpental dan berjungkir balik menyelamatkan diri. Tadi tali hitamnya membalik dipukul tangkisan Tung-hai Sian-li. Dan ketika dia terbelalak dan merah melotot, mau mengejar mendadak lima murid wanita itu menghadang dan terdengarlah seruan Tung-hai Sian-li agar kakek itu tak datang mengganggu.

"Pek Lian, cegat si tua bangka itu kalau mau mengejar aku. Aku hendak menyelamatkan Hwe-sin!"

Kakek ini mendelik. Dia gusar tapi tiba-tiba tertawa panjang, tali hitam meledak namun gadis baju putih dan teman-temannya menangkis. Dan ketika tali hitam terpental dan dia jelas akan dihalang-halangi, wanita itu tak mau diganggu maka kakek ini memaki dan membanting kakinya.

"Baiklah, kau sudah berobah melihat kekasihmu, Tung-hai Sian-li. Namun tak mungkin dia selamat dan kelak kau tentu kembali padaku, ha-ha!" dan memutar tubuh berkelebat pergi kakek inipun tak jadi menyusul Tung-hai Sian-li karena wanita itu dilindungi murid-muridnya. Bergebrak dengan Tung-hai Sian-li adalah berbahaya. Hubungan tiga puluh tahun tak perlu dirusak dengan persoalan itu. Maka lenyap dan meninggalkan Lembah Hijau kakek inipun tak mau menyerang lima gadis itu.

Pek Lian dan empat temannya lega, tapi begitu saling pandang dan sama-sama mengangguk maka merekapun memutar tubuh dan menyusul subo mereka itu. Ternyata Tung-hai Sian-li gagal. Hwe-sin yang terluka parah oleh racun dan pukulan kakek India tak dapat ditolong lagi. Dia pingsan dan roboh dibawa wanita itu. Tapi ketika Tung-hai Sian-li berhasil menyadarkannya dan laki-laki gagah itu membuka mata maka Hwe-sin berkata agar di-dudukkan sejenak.

"Kau percuma menolong aku lagi. Sakit hatimu bakal impas, Eng Siu, tapi sungguh tak sungguh aku tak pernah mengira kau membawa bala bantuan. Ah... kau tikam dadaku dan biar aku mampus. Luka-lukaku tak mungkin sembuh, atau dudukkan aku sejenak dan biar kupanggil suhengku."

"Tidak. aku, ah!" Tung-hai Sian-li tiba-tiba tersedu. "Aku sama sekali tak memanggil bantuan, Hwe-sin. Kakek keparat itu datang atas kehendaknya sendiri. Aku tak mengundang!"

"Tapi dia datang, dan kau telah bergaul dengannya selama tiga puluh tahun! Ah...." lelaki ini batuk-batuk, muntah. "Sungguh, tak nyana bahwa wanita yang kucinta berlaku hina, Eng Siu, mendapat suami yang curang dan culas wataknya!"

"Dia bukan suamiku!" wanita ini tiba-tiba membentak, wajah menyala-nyala. "Siapa bilang dia suamiku, Hwe-sin. Tua bangka itu bukan suamiku!"

"Tapi dia galang-gulung denganmu selama tiga puluh tahun..."

"Betul, tapi hanya sebatas sahabat, tidak lebih! Dhiran memang hendak membantuku untuk membalaskan sakit hati kepadamu, tapi aku tak pernah mendekatinya dan tak pernah mau didekati kalau dia coba-coba membujukku! Eh, kau jangan melepas cemburu buta, Hwe-sin. Dhiran memang mencintaiku tapi aku tidak mencintainya. Aku... aku...."

Dua mata beradu tajam, Tung-hai Sian-li tersentak dan berhenti bicara ketika Hwe-sin memandangnya dengan senyum mengejek. Senyum itu menyatakan tidak percaya. Dan ketika ia marah namun Hwe-sin bertanya kepada siapakah sebenarnya ia mencinta maka wanita ini tertegun dan tak mampu menjawab, muka merah padam.

"Baik, kalau begitu katakan kepadaku kepada siapakah kau mencinta. Coba, apakah bukan kepada kakek buruk itu!"

"Aku.... aku..."

"Katakan terus terang, Eng Siu, jangan gagap. Sebentar lagi aku mampus dan kau tak perlu malu!"

"Hm, kau laki-laki bodoh, pria tak berotak! Tak perlu kujawab seharusnya kau tahu, Hwe-sin. Untuk apa aku membawamu ke sini kalau aku mencinta tua bangka itu!"

"Kau mencintaiku?" Wanita ini tersedu. "Jawab, apakah kau mencintaiku, Eng Siu. Kalau benar kenapa dulu kau menolak cintaku!"

"Kau... kau laki-laki bodoh. Kau laki-laki keras kepala! Kau sombong dan tak mau mengerti perasaan wanita, Hwe-sin. Aku tak mau menerima cintamu karena kesombongan dan watakmu yang tak pernah mengalah itu. Dan kau... kau membuatku cacad pula. Wanita manakah yang takkan benci dan sakit hati terhadap laki-laki sepertimu!"

Tung-hai Sian-li sekarang mengangkat wajahnya, merah menyala-nyala dan lawan terkejut. Hwe-sin dicap sombong dan tak mau mengalah, tak mau mengerti perasaan wanita. Dan ketika laki-laki itu tertegun tapi tertawa aneh, duduk dan bersandar guha maka Hwe-sin bertanya kesombongan dan sikap bagaimana yang dikata tak mau mengerti perasaan wanita itu.

"Jelas, kau laki-laki dan aku wanita. Kalau dulu dalam pertandingan sehari semalam itu kau mau mengalah dan memberi muka kepadaku tak mungkin ada kejadian seperti ini. Tapi kau sombong, kau laki-laki congkak. Kau tak mau mengalah kepada wanita seperti aku, Hwe-sin, dan kau ngotot untuk memperlihatkan kelebihanmu. Dan inilah yang ku sebut buta! Tanpa kau tonjolkan kalau kau memang hebat maka wanita akan tahu diri, Hwe-sin, kagum. Aku tak mungkin akan menghina dan merendahkanmu kalau kau memang lebih tinggi dari aku. Tapi kau tidak. Kau justeru ngotot dan ingin memperlihatkan keperkasaanmu kepadaku. Kau tak mau mengalah dan menghentikan pertandingan dan membiarkan aku mengagumimu dengan caraku sendiri. Dan kau malah melukaiku, membuatku cacad! Siapa tak benci dan marah kalau begini? Jawab, apakah bukan karena kesombongan dan keangkuhanmu maka kau tak mau mengalah padaku, Hwe-sin. Apakah bukan karena ini maka hubungan di antara kita rusak!"

Pengawal bayangan ini terbelalak. Wanita yang dicintainya itu bicara begitu berapi-api dan penuh semangat. Tung-hai Sian-li yang gagah dan tinggi kepandaiannya ini sekarang mengeluarkan semua bibit kebenciannya. Benci tapi sesungguhnya cinta! Dan ketika dia tertegun dan mengingat-ingat kejadian itu, benar bahwa dia tak mau mengalah dan ingin memperlihatkan keperkasaannya di depan wanita ini maka dipejamkanlah matanya dan air matapun tiba-tiba deras mengucur. Hwe-sin sadar bahwa sesungguhnya wanita juga ingin dihargai, jangan terlalu ditekan atau ditindas, biarpun laki-laki lebih gagah dan perwira.

"Maafkan aku...." laki-laki ini akhirnya mengeluh. "Kau benar dan tidak salah, Eng Siu. Memang waktu itu aku tak mau mengalah dan ingin merobohkanmu. Kita sama-sama keras kepala. Dan aku sebagai laki-laki yang seharusnya mengalah kepada wanita malah tak mau melakukan itu dan menunjukkan kecongkakanku pula. Ah, maafkan aku, Eng Siu maafkan aku. Tapi tapi.... sesungguhnya kau menyambut cintaku, bukan? Bahwa sebenarnya aku tak bertepuk sebelah tangan?"

"Kalau dulu kau memberi muka dan tidak membuatku begini tentu saat itu juga aku menyambut, Hwe-sin. Tapi kau menyakiti hatiku. Kau membuatku cacad!"

"Maafkan aku.., aku mengaku salah. Sekarang, ah... apakah kau masih mencintaiku, Eng Siu? Kau tidak membenciku lagi, bukan?"

"Aku tak perlu benci lagi. Tapi.... tapi kau..."

"Aku akan mampus! Oh, terima kasih, Eng Siu. Kalau begitu balaskan sakit hatiku kepada tua bangka itu dan bunuh Dhiran!"

Tung-hai Sian-li tertegun. Mendengar ini mendadak ia menangis lagi, kelihatan bingung. Dan ketika Hwe-sin mengejang dan batuk-batuk, laki-laki itu penasaran maka Hwe-sin bertanya kenapakah permintaannya berat dipenuhi.

"Kau tampaknya bimbang, padahal kakek itu mencurangi aku. Ada apakah, Eng Siu? Apakah kau dan dia..."

"Tidak... tidak!" wanita ini berseru, menggeleng. "Sekarang panggil dulu suheng mu, Hwe-sin. Bukankah kau ingin memanggilnya!"

Hwe-sin terkejut. Tiba-tiba dia sadar bahwa maksudnya tadi belum dilaksanakan. Dia sudah duduk bersandar guha namun belum juga memanggil suhengnya. Dan karena dadanya sesak dan kembali dia muntah darah, keadaan rupanya tak mengijinkan lagi maka dia memejamkan mata dan seluruh pikiran tiba-tiba dipusatkan pada puncak Himalaya. Ilmu Beng-sut (Batin) dikerahkan dan begitu dia duduk tegak maka berobahlah Hwe-sin bagai patung batu. 

Tangis dan isak Tung-hai Sian-li tak didengarkan lagi. Dan ketika Dewi Laut Timur itu mengangkat wajahnya dan Hwe-sin berubah kaku, dari kepala muncul uap putih yang perlahan-lahan naik ke atas maka lima menit kemudian terdengar ledakan dan seorang pertapa jubah putih muncul di dalam guha, melayang-layang.

"Sute, ada apa. Kenapa kau memanggilku."

"Ooh!" Tung-hai Sian-li yang menjadi kaget, berseru tertahan. Hwe-sin yang memanggil tapi ia yang terkejut. Namun ketika ia melompat mundur dan cepat bersiap, pertapa itu menoleh kepadanya maka tawa dan helaan napas getir ditujukan kepadanya.

"Tung-hai Sian-li, pinto adalah roh Gin Goat Cinjin, bersemayam di puncak Himalaya tapi kini dipanggil sute pinto Hwe-sin. Jangan takut dan maaf kedatangan pinto tak seperti biasa!"

Wanita ini terbelalak. la seakan tak berkedip memandang pertapa itu, bertemu dengan sepasang mata lembut namun amat tajam dan berpengaruh, coba menentang tapi tak kuat. Dan ketika ia menunduk dan Hwe-sin membuka mata, laki-laki itu gembira maka Hwe-sin mengeluh.

"Suheng...!" dan begitu menggerakkan tubuhnya maka diapun roboh!

"Siancai, kau luka parah. Hm, apa yang terjadi, sute. Bagaimana bisa begini."

Gin Goat Cinjin, pertapa sakti itu tahu-tahu menyambar pundak sutenya. Ia meraba dan mengusap sana-sini namun helaan napas berulang-ulang yang terdengar. Dan ketika dia menolong sutenya dan Hwe-sin duduk bersandar maka laki-laki itu menggigil, gemetaran. "Suheng, aku tahu bahwa luka-lukaku parah. Aku tahu tak mungkin dapat hidup lebih lama lagi. Tapi bukan untuk ini aku mau minta tolong, melainkan.... melainkan...."

"Kau seharusnya tak boleh banyak bicara," Sang suheng menepuk dan melancarkan kembali tenggorokannya yang tersendat. "Apa yang mau kau minta sudah kuketahui, sute, tentu tentang pembalasan dendammu. Siancai, sayang sekali pinto tak dapat!"

"Ah, suheng.... suheng..."

"Benar, pinto telah melepaskan diri dari dendam dan kebencian, sute. Pinto telah melepaskan diri dari segala ikatan duniawi. Justeru kalau kau mau maka ikutlah pinto dan kita sama-sama bersemayam di puncak."

"Oohhhh.... kalau begitu....”

“Kalau begitu! Aku yang akan membalaskan dendammu!"

Tung-hai Sian-li tiba-tiba berseru, berkelebat dan sudah menghadang di tengah-tengah dua orang ini. "Tapi Dhiran dan aku setingkat, Hwe-sin. Dia mati akupun pasti mati. Baik, kita bertiga akan sama-sama mati!"

"Kau...?"

"Benar, aku dan Dhiran Sing telah sama-sama menukar ilmu, Hwe-sin. Aku belajar ilmu sihirnya sedang dia mendapat Pai-hai-jiu milikku itu. Dan Pek-hong-koan jit, hm... itulah ilmu ciptaan kami berdua untuk menghadapi ilmumu Hwe-ci!"

Hwe-sin terkejut. "Jadi kalau begitu kalian sudah sama-sama tahu kelebihan dan kelemahan masing-masing?"

"Tak salah, dan itulah sebabnya aku tadi ragu-ragu memenuhi permintaanmu, Hwe-sin. Sebab kalau aku membunuhnya maka diapun juga akan mampu membunuhku alias kita berdua bakal sampyuh. Tapi tak apa, aku akan menghajar tua bangka itu demi sakit hatimu. Aku siap menyusulmu dan kita sama-sama hidup di alam baka!"

"Eng Siu!"

Wanita itu tersedu. Tung-hai Sian-li menubruk dan memeluk erat-erat kekasihnya ini. Hwe-sin juga memeluk dan balas mendekap wanita itu. Sejenak mereka bertangisan, keharuan dan kebahagiaan bercampur menjadi satu. Tapi ketika Hwe-sin mendorong dan teringat sesuatu mendadak dia berkata kepada kekasihnya itu,

"Eng Siu, tak boleh terjadi seperti itu. Betapapun kau harus menang dan tak boleh sampyuh. Apa artinya dia terbunuh tapi kaupun mati. Tidak, tidak, Eng Siu. Aku tak membiarkan ini dan ada jalan membunuh kakek itu. Di kamarku.... ah, di kamarku..." Hwe-sin terbatuk-batuk. "Ada sebuah kitab simpananku, Eng Siu. Ambil itu dan pelajari isinya. Kau dapat menggabung ilmu-ilmu yang kupunyai dengan ilmu-ilmu yang kau punyai. Nah, cari di sudut kamar dan temukan lantai marmer berkembang merah. Cungkil marmer itu dan kitabku ada di sana... uhh!"

Hwe-sin terbatuk dan berhenti bicara. Dia telah berusaha sekuatnya memberi tahu dan Tung-hai Sian-li tertegun. Kalau dia mempelajari ilmu-ilmu Hwe-sin tentu saja dia akan dapat mengalahkan kakek itu. Dhiran Sing tak memiliki ilmu-ilmu Hwe-sin, inilah kelebihannya. Dan ketika ia mengangguk tapi Hwe-sin gemetaran hebat, tenaganya habis dipakai bercakap-cakap tadi maka Gin Goat Cinjin sang suheng menjadi muram mukanya.

"Sute, balas-membalas tak akan ada habisnya. Putuskan rantai ini atau kelak dendam ini bakal turun-menurun."

"Tidak," sang sute menggeleng dan marah berapi-api. "Tua bangka itu mencurangi aku, suheng. Kalau kau tak mau membalaskan sakit hatiku biarlah Tung-hai Sian-li yang memenuhi permintaanku. Maaf aku menolak nasihatmu."

"Terserah," sang pertapa menarik napas dalam. "Tapi kelak kau akan menyesal, sute. Api dendam bakal menjalar sampai tujuh turunan. Siancai, sekarang bagaimanakah dengan pinto? Apakah kau tak memerlukannya lagi?"

"Aku mengharap suheng membimbingku dalam soal kerohanian. Aku ingin rohku tinggal di puncak Himalaya."

"Ha-ha, belajar rohani tapi batinmu penuh benci dan dendam, sute, mana dapat! Tak mungkin itu kalau nafsu dan amarahmu menggelapkan pikiran jernih. Kau telah menyuruh kekasihmu mempelajari ilmu-ilmumu, dan ini berarti bunuh-membunuh bakal berakibat panjang. Ah, kau tak akan berhasil, sute. Mencari kedamaian rohani tapi sekaligus meninggalkan dosa dan balas dendam di bumi. Sian-cai, tak akan berhasil! Hm, turut nasihat pinto atau sekarang juga pinto pergi!"

"Ah, suheng benar-benar tak mau membantuku?" Hwe-sin pucat.

"Membantu bagaimana? Membantu membalas dendam jelas tak mungkin, sute. Pinto sekarang pertapa. Kalau kau ingin mendapatkan ketenangan batin maka ikutlah pinto tapi buang maksudmu membalas dendam. Pinto dapat menghancurkan kitab simpananmu dan sekarang juga kita sama-sama tinggal di puncak!"

Hwe-sin menggigil. Kalau saja tak ada tua bangka Dhiran Sing itu tentu dia akan mengikuti nasihat suhengnya ini. Suhengnya sudah meninggal tapi dengan ilmu Beng-sut dia dapat mengontak suhengnya itu. Kadang-kadang, dengan kesaktian dan rohnya yang tinggi suhengnya itu dapat melakukan sesuatu di dunia, menyembuhkan orang luka umpamanya, atau menolong seorang sekarat untuk hidup lagi. Maka mendengar kata-kata suhengnya tadi dan dia bingung, harus memilih satu di antara dua maka bayangan kakek Dhiran ternyata lebih kuat dibanding yang lain-lain.

Bayangan kakek itu menimbulkan kebencian hebat dan ini yang menang. Kalau suhengnva tak mau mengajaknya ke puncak Himalaya, ah... biarlah dia mampus dengan roh gentayangan. Yang penting, kakek itu harus mampus dan dia dibalaskan sakit hatinya. Rasa ke-aku-an lebih kuat daripada yang lain. Maka menggeleng dan mengeraskan wajah, pria gagah perkasa ini menolak. Dia berkata dendamnya tak dapat dihapus. Darah lawan harus direguk. Dan begitu Hwe-sin memutuskan begini maka Gin Goat Cinjin, pertapa sakti itu menghilang. Caranya pergi seperti caranya datang.

"Baik, maaf, sute. Kalau begitu pinto pergi!"

Tung-hai Sian-li terkejut. Pertapa itu melewati tubuhnya dan tahu-tahu keluar dari guha. Tadi tubuhnya ditembus dan terasa dingin. Pertapa itu lewat begitu saja memasuki tubuhnya, keluar dan sudah menghilang dengan amat cepatnya. Dan ketika ia berseru tertahan dan menengok ke belakang, roh dari pertapa sakti itu sudah lenyap seperti iblis maka terdengar suara benda jatuh dan Hwe-sin roboh pula di dinding guha itu. Nyawanya melayang!

"Hwe-sin...!" Wanita ini menjerit dan histeris. Hwe-sin, pengawal sakti itu, telah tewas meninggalkan dirinya. la kaget dan menubruk namun laki-laki itu telah menjadi mayat. Tubuh Hwe-sin kaku dan membujur. Kekasihnya ini telah pergi. Dan ketika Tung-hai Sian-li menjerit dan mengguncang-guncang mayat itu maka lima muridnya berkelebat dan memasuki guha.

Pek Lian dan empat saudaranya tertegun. Mereka melihat betapa subo mereka itu mengguguk dan terpukul jiwanya, menangis dan sesenggukan meratapi mayat itu. Tapi ketika ia sadar dan roh Hwe-sin muncul di situ, samar-samar di dalam guha maka Tung-hai Sian-Li histeris dan menubruk roh ini karena Hwe-sin mengingatkannya akan kakek lndia itu.

"Eng Siu, balaskan sakit hatiku. Pergi dan ambillah kitab pusakaku. Aku pergi!"

Lima gadis di dalan guha meremang. Mereka melihat itu dan masing-masing bergenggaman tangan. Hwe-sin telah tewas namun rohnya memperlihatkan diri, ditubruk tapi menghilang. Dan ketika subo mereka melengking dan menjadi kian histeris, menubruk dan menyambar mayat Hwe-sin maka Tung-hai Sian-li berkelebat dan seperti kesetanan.

"Dhiran Sing, kau tua bangka keparat. Awas, kubunuh kau... kubunuh kau!"

Gadis baju putih dan teman-temannya bergidik. Mereka lari dan keluar pula dan melihat subo mereka itu telah terbang ke utara. Mayat Hwe-sin dipanggul dan mereka tentu saja mengikuti. Namun karena subo mereka dalam keadaan berduka dan sedikit kesalahan bisa membahayakan mereka maka berkelebat membayang-bayangi subo mereka itu. Gadis baju putih ini berkata agar tak usah dekat-dekat. Ia minta agar mengikuti saja dari jauh.

Maka ketika subo mereka bergerak dan memasuki kota raja, lenyap dan muncul lagi membawa kitab maka lima muridnya memandang saja dari jauh. Gerak-gerik Tung-hai Sian-li tak ada yang berani mencampuri. Gadis baju putih dan kawan-kawannya selalu mengawasi dari jauh. Maka ketika tak lama kemudian wanita itu sudah mempelajari dan mewarisi Hwe-ci, juga Jit-cap-ji-poh-kun yang amat luar biasa itu maka setengah tahun kemudian wanita ini mencari Dhiran Sing. Dan begitu bertemu tentu saja terjadi pertandingan hebat.

Dhiran Sing, kakek India itu, kaget setengah mati ketika lawannya bagai harimau tumbuh sayap. Enam bulan kakek ini menunggu di tempatnya sendiri dan yakin bahwa Tung-hai Sian-li akan mencari dirinya. Dulu sudah ada semacam perjanjian bahwa kalau Hwe-sin berhasil dikalahkan maka wanita itu bersedia menjadi isterinya. Kakek ini memang cinta berat terhadap wanita itu. Tapi karena robohnya Hwe-sin justeru oleh kelicikannya, inilah yang tak dikehendaki Tung-hai Sian-li maka bibit cinta yang semula ada menjadi kambuh lagi dan wanita itu marah melihat Hwe-sin terbunuh.

Dhiran Sing harus bertanggung jawab dan karena itu ia melabrak. Maka ketika hari itu ia datang dan kakek itu langsung diterjang, si tua kaget setengah mati melihat jari-jari Api yang menyambar dan Iangkah-langkah sakti dari Jit-cap-ji-poh-kun maka kakek berhidung bengkung ini pucat pasi dan jatuh bangun, terlempar dan terhempas. Mereka berada di Laut Selatan, di balik bayang-bayang ombak membukit yang bergemuruh.

"Heiii.... ah, eiitt! Aduh, apa ini, Sian-li. Bagaimana kau tiba-tiba seperti kesetanan menyerang aku. Heii, tahan. Aih, bukankah ini Hwe-ci.... cess!" baju kakek itu terbakar, bolong dan langsung tembus ke kulit dan si tua terpekik melempar tubuh bergulingan. Dia berteriak tapi lawan mengejar. Tujuh puluh Dua Langkah Sakti (Jit-cap-ji-poh-kun) dikeluarkan dan Tung-hai Sian-li tahu-tahu kembali sudah berada dekat dengan lawan. Dan ketika kembali Jari Api menyambar dan kakek itu menjerit maka Dhiran Sing terlempar dan masuk ke laut, diserbu oleh gelombang setinggi bukit.

"Sian-li, apa ini. Heii... haepp!" si kakek tertelan ombak, digulung dan diseret ke tengah dan kata-katanya terhenti di tengah jalan. Dia kaget dan pucat sekali oleh serangan-serangan wanita ini dan lebih kaget lagi karena semua serangan itu adalah Hwe-ci dan Jit-cap-ji-poh-kun. Langkah sakti ini benar-benar mengejutkannya karena dengan ilmu itu Tung-hai Sian-li dapat bergerak secepat setan dan tahu-tahu selalu ada di dekatnya. Ini adalah milik Hwe-sin dan tentu saja dia pucat. Tapi ketika ombak menggulung dan membawanya ke tengah, dia gelagapan dan menyelamatkan diri maka ketika dia muncul ternyata wanita itu sudah menantinya di atas gulungan ombak.

"Dhiran Sing, kau harus mampus!"

Kakek ini terkesiap. Sebagai sama-sama orang sakti sebenarnya dia dapat melakukan perlawanan. Tadi dia lebih banyak berkelit dan melindungi diri karena menyangka Tung-hai Sian-li sedang main-main. Tapi begitu wanita ini menunjukkan kesungguhannya dan nyawanva terancam, dia benar-benar hendak dibunuh maka marahlah kakek ini dan secepat kilat dia menepuk tangannya mengeluarkan sihir.

"Kau wanita busuk tak tahu budi. Mampuslah Tung-hai Sian-Li," Dhiran Sing masih dapat melakukan perlawanan... dar!!" ilmu sihir meledak, pecah membentuk bayangan hitam dan muncullah kepala siluman menyambar wanita itu.

Namun karena Tung-hai Sian-li juga dapat mengenyahkan sihir dan wanita itu tau dan mampu melawan sihir maka diapun mengebut dan sihir si kakek lenyap. Ledakan keras terdengar di atas laut yang bergemuruh dan kakek itu mencelat. Dan ketika Dhiran Sing mencoba melakukan perlawanan lagi namun lawan amat hebat, Tung-hai Sian-li rnengeluarkan pula ilmunya digabung dengan ilmu-ilmu Hwe-sin maka si kakek jatuh bangun dan kelebihan ini benar-benar tak dapat ditandinginya. Dia mengeluarkan pukulan dan bentakan namun semua dapat dipukul balik. Ganti-berganti wanita itu menyerang dengan ilmu-ilmu Hwe-sin.

Dan karena Tujuh puluh Dua Langkah Sakti itu susah dilawan dan ke manapun Dhiran Sing menghindar di situ pula Tung-hai Sian-li sudah datang mendekat maka satu pukulan akhirnya mengenai tengkuk kakek ini. Si tua terhempas dan lenyap digulung ombak, muncul dan dipukul lagi bertubi-tubi. Dan karena Tung-hai Sian-li benar-benar bagai harimau betina haus darah, si kakek diburu dan mendapat pukulan-pukulan berat akhirnya Dhiran Sing muntah darah dihantam dadanya.

Kakek itu coba bertahan namun lawan memang terlampau hebat. Setelah mempelajari ilmu-ilmu Hwe-sin maka kesaktian Tung-hai Sian-li bertambah. Wanita itu bagai harimau tumbuh sayap, sudah garang semakin garang. Maka ketika satu pukulannya kembali mengenai kakek itu maka robohlah Dhiran Sing oleh tusukan Hwe-ci yang mengenai matanya.

Si kakek terjungkal dan berteriak. Tusukan jari maut itu tak mungkin dielakkannya lagi. Dan ketika dia terjengkang dan roboh dengan mata tembus, otaknya berlubang maka kakek itu tewas dan mayatnya ditendang Dewi Laut Timur ke tengah gulungan ombak besar. Wanita itu mandi peluh.

"Hwe-sin, dendammu terbalas. Lihat dan terimalah rohnya di neraka!"

Lima murid Tung-hai Sian-li terbelalak. Dua di antara mereka saling pandang dan pucat melihat mayat si kakek lenyap di-gulung ombak. Tak ada yang tahu betapa dua gadis ini, yang berbaju hitam dan kuning diam-diam saling memberikan isyarat rahasia dengan kedipan mata. Dan ketika Tung-hai Sian-li kembali dan pulang ke tempatnya, lima muridnya mengikuti maka tujuh bulan kemudian muncul dua pria gagah menuntut balas, yakni murid-murid dari Dhiran Sing!

Waktu itu, bersamadhi dan tinggal bersama dua muridnya keempat dan kelima wanita ini tak menyangka datangnya bahaya. Gadis baju putih, Pek Lian, bersama dua temannya yang lain keluar ke kampung. Mereka mencari ransum dan menyiapkan bahan makanan vang sudah habis. Kebetulan merekalah yang bertugas dan gadis baju kuning dan hitam yang ada di rumah, menemani subo mereka. Maka ketika dua laki-laki gagah tiba-tiba memasuki kamarnya dan membentak dengan seruan keras maka Tung-hai Sian-li membuka mata dan terkejut karena seperti iblis saja dua orang itu masuk di situ.

"Tung-hai Slan-li, keluarlah. Terima kematianmu!"

Wanita ini mencelat bangun. Setelah ia sadar dan melihat dua laki-laki itu, pemuda-pemuda berusia tiga puluhan tahun yang gagah dan tegap. Iapun terkejut dan membelalakkan mata. la tak tahu siapa orang- orang muda ini tapi melihat bahwa satu di antaranya berwajah asing dengan hidung yang mancung ia terkesiap. Melihat pemuda ini seperti melihat mendiang Dhiran Sing. Pemuda itu bukan orang Han! Dan ketika ia membentak karena dua pemuda itu dirasanya kurang ajar memasuki kamarnya, dua laki-laki memasuki kamar wanita maka Tung-hai Sian-li yang melotot dan merah padam mengeluarkan bentakannya yang menggetarkan.

"Siapa kalian yang berani memasuki kamar wanita. Keluarlah, kita bicara di luar!"

Dua pemuda itu mengangguk. Mereka mendengus dan berkelebat keluar dan gerak langkah kaki mereka yang cepat dan amat ringan membuat Tung-hai Sian-li terbelalak dan hampir berseru tertahan. Itulah gerak dan langkah-langkah ji-poh-kun! Dan ketika wanita itu berkelebatdan keluar pula, terbelalak memandang dua kaki pemuda itu yang menyarang dan bergeser-geser cepat sekali maka mereka sudah berhadapan dan berada di ruang tengah.

"Hm, kami murid-murid Dhiran" Begitu pemuda berwajah asing memperkenalkan diri, gagah dan bersinar-sinar tapi matanya mengandung kecabulan dan tersenyum mengejek memandang Dewi Laut Timur ini. Pandang matanya tak lepas memandang lekuk-lengkung Tung-hai Sian-li, yang meskipun sudah berumur tapi sesungguhnya masih perawan, belum disentuh laki-laki.

"Aku Yogiwara, Tung-hai Sian-Li, dan ini suteku Bu Sit. Kami datang untuk membunuhmu kecuali kau minta ampun dan berlaku baik-baik kepadaku."

"kau... kalian... murid-mund Dhiran Sing? Kapan tua bangka itu mempunyai murid?"

"Ha-ha, kami murid-murid rahasia, Tung-hai Sian-li, dan guru kami memang tak pernah memperkenalkannya kepadamu. Tapi kau tentu percaya ini kalau kami membuktikan sedikit kepandaian guru kami... wut-wut!"

Yogiwara bersilat dengan lengan ditekuk dan tubuh membungkuk, melepas pukulan kuat yang membuat dinding ruangan bergetar dan pemuda di sebelahnya juga tertawa memperlihatkan gerak-gerak silat yang dipunyai. Dan karena semua itu memang milik mendiang Dhiran Sing, Tung-hai Sian-li terbelalak maka dua pemuda itu menutup.

"Dan ini Pek-hong-koan-jit, tentu kau kenal...!"

"Dan ini Jit-cap-ji-poh-kun serta Ngo-thian-hoat-sut (Sihir Lima Langit).... dar!" dan ketika dua pemuda itu berhenti sementara tembok berlubang, mundur dan tersenyum-senyum maka Tung-hai Sian-li berteriak karena tadi Hwe-ci atau Jari Api juga diperlihatkan pemuda itu.

"Keparat! Kalian... kalian dari mana mendapatkan ilmu-ilmu Hwe-sin? Bagaimana kalian dapat mernpelajari Hwe-ci dan Tujuh puluh Dua Langkah Sakti?"

"Ha-ha, ini berkat kebaikan Hek Lan dan Ui Yang, Tung-hai Sian-li. Kitab inilah yang menuntun kami!"

Bukan main kagetnya Tung-hai Sian-Li. Yogiwara, pemuda asing itu, mengeluarkan sebuah kitab dan itu adalah kitab peninggalan Hwe-sin. Sampul merah dengan benang kuning amat dikenalnya sekali. ltu-lah kitab yang berisi pelajaran Jari Api dan Jit-cap-ji-poh-kun. Dan ketika wanita ini mencelat mundur dan terbelalak lebar, mukanya pucat dan merah berganti-ganti, mendadak ia melengking dan tubuhnya yang bergerak maju sudah menerjang dan. merampas kitab itu.

"Manusia hina-dina, kembalikan kitabku!"

Pemuda ini mengelak. Dia tertawa mengejek dan berkelit ke kiri, dikejar tapi tiba-tiba kakinya bergeser dengan lang-kah-langkah Jit-cap-ji-poh-kun. Dan ketika empat kali wanita itu menyerang tapi empat kali itu juga luput menyambar, kitab disimpan dan sekarang pemuda ini mengelak dan menangkis maka Tung-hai Sian-li kaget sekali karena lawan memiliki sinkang amat kuat dan ia terhuyung.

"Dukk!"

Pemuda itu tergetar dan terdorong selangkah. Tung-hai Sian-li membeliak karena darl adu pukulan ini ia maklum bahwa lawan hanya seusap saja di bawahnya. Murid Dhiran Sing itu sudah lebih hebat dari gurunya. Namun karena tangkisan tadi dilakukan dengan tenaga Hwe-kang, dan ini adalah ilmu silat Hwe-sin maka wanita itu menggelegak marah dan ia menerjang lagi melengking-lengking. Pertandingan terjadi dengan cepat namun semua pukulan-pukulan Tung-hai Sian-li dapat dilayani baik. Apapun yang dikeluarkan wanita itu diimbangi juga oleh ilmu silat yang sama, oleh pemuda ini.

Dan ketika mereka sudah; bergebrak limapuluh jurus dan hanya tenaga sinkang saja selisih sedikit, Tung-hai, Sian-li juga menang pengalaman, bertandinglah dua orang itu dengan amat serunya dan Hwe-ci maupun poh-kun silih berganti memenuhi ruangan itu. Suara "set-set" dari langkah kaki mereka yang cepat membuat lantai ruangan: tiba-tiba menjadi panas. Uap tipis membayang rata dan ketika pukulan-pukulan Hwe-ci juga menyambar maka ramailah!

Sinar-sinar laser hantam-berhantam setiap kali bertemu tentu mengeluarkan ledakan dan guncangan nyaring. Pemuda satunya masih menonton tapi ketika seratus jurua lewat dengan cepat maka temannya itu mulai terdesak, tertekan dan mulai mundur-mundur sampai akhirnya mepet tembok. Dan ketika dua tiga pukulan mengenai tubuhnya dan pemuda ini mengeluh, Tung-hai Sian-li benar-benar hebat sekali maka pemuda kedua tak dapat berdiam diri dan diapun masuk menyerang wanita itu. Keroyokan segera terjadi.

"Tung-hai Sian-li, jangan sombong dan menekan suhengku. Awas, akupun datang membantu!"

Wanita itu membentak. la sudah memutar tubuh dan menangkis pukulan itu dan iapun terpental. Pemuda itu terdorong tiga langkah namun selanjutnya sudah bergerak menyerang kembali. Suhengnya terlepas dari himpitan dan kini mengejar Tung-hai yang baru saja terpental dan kaget karena sinkang pemuda kedua itu sama dengan pemuda pertama. Jadi keduanya berimbang. Dan ketika selanjutnya la dikeroyok dan beratlah bagi wanita ini menghadapi dua lawan tangguh, mereka itu telah mengetahui ilmu-ilmunya dan juga ilmu-ilmu Hwe-sin maka sambil mendelik dan melengking-lengking wanita itu benci sekali kepada dua muridnya keempat dan kelima.

Ternyata Hek Lan dan Ui Yang itulah yang mencuri kitabnya untuk selanjutnya diberikan kepada murid-murid Dhiran Sing ini. Ia telah tidak menghiraukan kitab pelajaran silat itu setelah Dhiran Sing dibunuhnya. Ilmu-ilmu silat itu telah diwarisinya, kitabnya disimpan dan ditaruh baik-baik di dalam kamarnya dan selama ini memang tak pernah dilihatnya lagi. Peti penyimpan kitab itu masih di sana tapi sama sekali tak disangkanya bahwa isinya telah hilang.

Dua pemuda itulah yang bicara dan kini mereka tertawa-tawa mendesaknya. Hwe-ci dan Pek-hong-koan-jit sambar-menyambar namun Tung-hai Sian-li terdesak. Lawan juga mahir Tujuh puluh Dua Langkah Sakti dan inilah yang amat berbahaya. Dengan langkah dan gerak cepat mereka itu tahu-tahu berada di dekatnya lagi, ia tak dapat menjauhkan diri. Dan ketika perlahan tetapi pasti ia terdesak hebat, mundur dan jatuh bangun menghadapi dua lawannya itu maka Yogiwara, murid pertama Dhiran Sing itu berkata kepada sutenya agar tidak membunuh dulu wanita ini.

"Robohkan ia, tangkap dan lumpuhkan saja. Nanti kita permainkan dan setelah itu baru dibunuh!"

"Ah, maksudmu?" sang sute tak mengerti.

"Ha-ha, kita nikmati dulu wanita ini, Bu Sit. Ia masih perawan biarpun tua. Guru kita tak sempat menjamahnya dan biarlah kita murid-muridnya menikmati sekarang. Ha-ha, tentu masih nikmat!"

Tung-hai marah bukan main. Ia merasa dihina dan dipermainkan dan kini ia mencabut sabuknya untuk dilontar dan dicipta sebagai sihir. Tapi ketika sihir itu dipatahkan lawan karena dua pemuda itu murid-murid Dhiran Sing, buyar dan menyihir lagi namun ambyar dihancurkan lawan maka Tung-hai Sian-li merah padam mendengar kata-kata lawan yang semakin kotor.

"Ha-ha, lontarkan semua pakaianmu, Tung-hai Sian-li. Copot dan lepas semua bajumu. Nanti kalau sudah telanjang tentu kami tak akan menyakitimu melainkan justeru memberimu api cinta. Aih, tentu menggairahkan sekali, ha-ha...!"

Wanita ini melengking-lengking. la melepas tusuk rambut dan beberapa assesori lain, disambitkan atau dilontarkan kepada pemuda-pemuda itu namun semua dapat dipukul runtuh. Dan karena tentu saja ia tak mau melepas baju atau kancing-kancing bajunya, ia hanya akan membuat lawan bergairah dan tertawa mengeluarkan omongan lebih kotor lagi maka ia mengeluarkan jeritannya memanggil semua murid-muridnya. Ui Yang dan Hek Lan tiba-tiba muncul.

"Jahanam!" begitu wanita ini langsung memaki. "Kalian berdua anjing-anjing hina-dina, Ui Yang. Tak tahu malu dan kiranya menjalin hubungan gelap dengan murid-murid Dhiran Sing ini. Ayo, majulah dan keroyok subomu!"

Dua gadis itu terisak. Sesungguhnya mereka mengintai dan diam-diam berdebar tegang. Mereka berkata kepada kekasih mereka itu bahwa saat itu adalah saat paling baik menemui Tung-hai Sian-li. Seluruh murid sedang mencari bahan makanan dan merekapun ikut, padahal diam-diam mereka di situ karena ingin melihat apa yang dilakukan kekasih-kekasih mereka ini. Hanya Pek Lian dan dua suci yang lain itulah yang pergi.

Maka ketika dua gadis itu muncul dan Bu Sit serta suheng-nya terkejut, omongan-omongan mereka tadi tentu didengar gadis-gadis ini maka Yogiwara maupun sutenya sejenak menahan diri. Bu Sit terbawa-bawa watak suhengnya yang kotor pula. Tapi begitu Tung-hai Sian-li marah-marah dan muridnya menangis, Hek Lan dan Ui Yang tahu bahwa subo mereka memanggil saudara-saudara vang lain maka dua gadis ini melompat maju tapi bukan untuk menyerang melainkan menarik dua pemuda itu mundur, melarikan diri.

"Yogi, Bu-twako, subo sedang memanggil suci-suci yang lain. Pergi dan kita tinggalkan saja tempat. ini!"

"Eh!" dua pemuda itu terkejut. "Jangan gila, Hek Lan. Kita kepalang basah!"

"Tapi saudara-saudaraku yang lain akan muncul!"

"Ha-ha, tak perlu takut, Hek Lan. Kalau mereka datang kita robohkan sekalian. Jangan kira subomu mengampunimu kalau kita pergi tanpa membunuhnya dulu!"

"Benar," Bu Sit, murid nomor dua berkata. "Suhengku benar, Hek Lan. Kalau Wanita ini tak dibunuh maka kelak ia akan mengganggu kita. Kita kepalang basah, maju dan bantu kami dan percepat merobohkan wanita ini!"

Dua gadis itu tertegun. Mereka akhirnya sadar bahwa pergi tanpa membereskan Tung-hai Sian-li ibarat memelihara penyakit yang kelak akan membunuh mereka sendiri. Tapi karena wanita itu adalah subo mereka dan sukar untuk menggerakkan tangan menyerang guru sendiri maka dua gadis itu menangis dan Tung-hai Sian-li kembali memekik dengan jeritan panjang.

"Nah, dengar ia memanggil murid-muridnya lagi. Kau tak akan lolos kalau wanita ini tak dibunuh, Hek Lan. Cepat ber-gerak dan bunuh ia!"

Hek Lan, gadis baju hitam ini mengguguk. Ia menggeleng dan menutupi mulutnya dan saat itu terdengar pekikan atau jeritan yang sama. Rupanya pekikan atau jeritan Tung-hai Sian-li bersambut. Dan ketika Ui Yang juga pucat dan bingung melihat itu, tiga sucinya datang maka Tung-hai Sian-li mendapat satu totokan Hwe-ci dan wanita itu terjengkang disusul pukulan lain dari dua lawannya yang tak mau diajak pergi kekasih-kekasihnya ini.

Yogiwara bergerak dengan langkah Jit-cap-ji-poh-kun dan sutenya juga bergerak dengan langkah yang sama, set-set mendekati wanita itu dan Tung-hai Sian-li yang bergulingan mengeluh tertahan meloncat bangun. Namun karena dua pemuda itu ada di dekatnya karena mereka mengejar dan bergerak dengan langkah sakti Jit-cap-ji-poh-kun maka ketika ia meloncat bangun begitu pula dua pemuda itu melepas pukulan lagi. Yogi mencengkeram buah dadanya dan Bu Sit menusuk pangkal pahanya.

"Aughh...!" Wanita itu mendelik. Tusukan pangkal pahanya mengena tepat tapi yang lebih kurang ajar lagi adalah cengkeraman kebuah dadanya itu. Yogi, pemuda asing itu, mencengkeram dan meremas buah dadanya dengan tidak sungkan-sungkan. Pemuda itu tersenyum dan menyeringai cabul, pandang matanya kurang ajar sekali.

Dan ketika Tung-hai Sian-li kembali roboh sementara Hek Lan terbelalak melihat perbuatan itu, ia membuka matanya dan melihat ini maka pemuda itu bergerak lagi dan dengan langkah-langkah saktinya ia mendekat dan mengusap bagian-bagian lain tubuh subonya secara kurang ajar, paha dan bawah perut.

"Ha-ha, kau masih mulus, Tung-hai Sian-li. Sayang kalau dibunuh cepat-cepat. Hm, biarlah kau mati dengan mata mendelik tapi membawa nikmat!" pemuda ini tanpa sungkan atau malu-malu meraba dan mengusap tubuh wanita itu. Tung-hai Sian-li sudah terdesak hebat dan mengelakpun ia tak mampu. Ganti berganti dua pemuda itu menekannya. Tapi ketika Hek Lan berkelebat dan marah menampar pemuda itu, Yogi terkejut dan sadar maka dia tertawa dan menusuk ulu hati Tung-hai Sian-li dengan Jari Api.

"Aduh, jangan marah-marah, Hek Lan. Aku sekedar membalas sakit hati guruku. Baiklah, kuhabisi ia dan lihat tiga sucimu yang lain datang.... crat!"

Darah memuncrat dari luka di ulu hati Tung-hai Sian-li, terhuyung dan roboh karena saat itu ia benar-benar tak dapat mengelak. Sakit hati dan kemarahannya membuat banyak tenaga terbuang sia-sia. Ia melotot dan girang melihat tiga muridnya datang namun saat itu tusukan Yogiwara mengenai ulu hatinya. la baru saja juga ditampar Bu Sit, pemuda yang lain. 

Dan ketika ia mengeluh dan gadis baju putih serta yang lain terpekik melihat keadaan subo mereka, juga tertegun dan heran melihat Hek Lan dan Ui Yang di situ namun sama sekali tidak membantu maka mereka bergerak dan sekali berkelebat mereka sudah menyambar dan menolong subo mereka itu. Dan saat itu Hek Lan serta sumoinya berkelebat keluar, menarik dan membawa lari kekasih-kekasih mereka.

"Subo..."

Tung-hai Sian-li luka parah. Wanita itu menuding dan mendelik menunjuk-nunjuk Hek Lan tapi roboh tak kuat meneruskan maksudnya. Gadis baju putih menolongnya dan pucatlah dua yang lain melihat keadaan subo mereka. Ulu hati wanita itu tembus dan tak ada harapan hidup. Namun karena mereka harus menolong dan apapun harus dilakukan untuk menyelamatkan subo mereka ini maka setelah susah payah menolong segera subo mereka menceritakan kejadiannya. Dengan mata merah dan napas terputus-putus Tung-hai Sian-li menceritakan duduknya perkara. Dan begitu jelas iapun terguling lagi.

"Cari Hek Lan dan Ui Yang itu. Bunuh mereka. Dan kitab itu.... kitab itu.... ah, rampas kembali, Pek Lian. Pelajari oleh kalian bertiga dan balaskan sakit hatiku!"

Tung-hai Sian-li roboh dan menghembuskan napasnya yang terakhir. Ia benar-benar tak kuat lagi dan menjeritlah tiga muridnya oleh kejadian ini. Tapi begitu mereka sadar dan melengking, gadis baju putih meloncat bangun maka musuh yang belum lari terlalu jauh dikejar. Dan benar saja, Hek Lan sedang berkutat dan tarik-menarik dengan kekasihnya. Yogi, pemuda asing itu, tak mau meninggalkan tempat karena ia akan menghabisi pula tiga yang lain agar tak mengganggu di kelak kemudian hari.

Pemuda ini berkilah bahwa Pek Lian dan dua yang lain harus dibunuh, padahal sebenarnya diam-diam pemuda itu tergetar dan tergerak melihat kecantikan gadis baju putih ini, juga dua yang lain karena dia sudah mulai bosan dengan Hek Lan. Kekasihnya ini terlalu takut-takut padahal mereka sudah terlanjur melangkah jauh. Maka berdalih ingin melenyapkan pula gadis baju putih itu, dalih yang dikatakan dengan mata mengandung minyak maka Hek Lan vang tahu dan justeru tak ingin kekasih-nya berdekatan dengan sucinya membentak dan mencengkeram kuat.

"Tidak, kita harus lari, Yogi. Kau telah membunuh subo. Cukup! Itu adalah niatmu utama dan jangan mengganggu suci-suciku yang lain. Ingat janjimu!"

"Tapi mereka akan mengejar-ngejar kita. Hidup kita tak aman..."

"Kita lari jauh, ke negerimu. Tak mungkin mereka menemukan kita dan ayo pergi. Atau kau memang menaksir suciku karena pandang matamu jelalatan!"

"Ha-he, laki-laki sudah dikodratkan untuk mengagumi dan mencinta wanita, apa/lagi yang cantik. Eh, kau tak usah cemburu Hek Lan. Baiklah terus terang Saja aku memang tertarik pada sucimu itu, si baju putih. Kalau ia mau kuajak pergi dan sama-sama ke Thian-tok (India) biarlah kuturut omonganmu den kita berbahagia di sana."

"Apa? Kau.. kau...."

"Sst, ia datang," Yogiwara tersenyum dan menyeringai girang. "sucimu, Hek Lan. Kita hadapi dan mari sambut."

Gadis ini terbelalak. Kekasihnya, yang telah membunuh dan diberi segala-galanya ini ternyata terang-terangan ingin mengambil sucinya untuk dijadikan kekasihnya. Ini berarti semua pengorbanan sia-sia dan marahlah ia melihat sikap itu. Dan ketika benar saja sucinye datang dan disambut degup gembira, mata pemuda itu bersinar dan dengus hidung menunjukkan berahi menaik, tanda-tanda ini dikenal baik oleh gadis itu maka Hek Lan meledak dan diterjanglah kekasihnya ini.

"Yogiwara, kau pemuda terkutuk!"

Pemuda ini berkelit. Dia terkejut tapi tertawa menerima serangan ini, mengelak dan mengibas dan terpelantinglah Hek Lan oleh tangkisannya yang kuat. Dan ketika ia itu meloncat bangun sementara gadis baju putih sudah berkelebat datang maka pemuda ini berkata bahwa Hek Lan bukan apa-apa baginya.

"Kau tak mungkin menang melawan aku. Lihat saja subomu, tak mungkin kau mengalahkan aku. Ha-ha, turut dan ikuti kehendakku, Hek Lan. Atau nanti kau kuhajar."

"Keparat!" gadis baju hitam itu sudah menerjang dan memaki-maki. "Kau binatang jahanam, Yogi. Kau tak menghargai cintaku. Aih, kubunuh kau. kubunuh...!"

Namun Si pemuda yang mengelak dan menangkis lagi akhirnya menunjukkan bahwa lawan bukan tandingannya. Hwe-ci mencicit dan robeklah pundak Hek Lan. Kekasihnya sekarang mulai bersikap keras, ia dilukai! Dan ketika gadis itu melengking namun Yogi tertawa-tawa, gadis baju putih tertegun dan berhenti sejenak maka pemuda itu memandangnya dan melambaikan tangan.

"Adik manis, kemarliah. Sumoimu nakal. Bantu aku dan mari ikut ke Thian-tok!"

Gadis ini melotot. la berapi-api tapi melihat pertengkaran itu tentu saja ia membela sumoinya. Urusan pengkhianatan nanti dulu, yang penting pemuda ini harus dibunuh dan kematian subonya harus dibalas. Maka ketika ia membentak dan menerjang maju, Hek Lan dimaki dan gadis itu menangis tersedu-sedu maka dikeroyoklah pemuda ini namun Yogi ternyata pemuda amat lihai. Setelah ia memperoleh kitab dan mempelajari ilmu-ilmu Hwe-sin maka kepandaiannya sungguh luar biasa. Gerak langkah saktinya bergeser amat cepat dan inilah yang sulit ditandingi.

Dulu Hwe-sin juga membuat lima gadis kewalahan gara-gara ilmunya ini. Tapi ketika berturut-turut datang dua saudara yang lain, gadis baju biru dan hijau maka pemuda Thian-tok ini kewalahan. Dia boleh hebat tapi menghadapi kemarahan murid-murid Tung-hai Sian-li bukanlah pekerjaan ringan, apalagi karena dia telah bertempur hebat dengan Tung-hai Sian-li sendiri, pertempuran yang cukup menguras tenaga dan kini harus menghadapi keempat muridnya yang marah. Hek Lan, kekasihnya itu, paling sengit menerjang karena merasa marah dan benci dilukai perasaannya. Terang-terangan kekasihnya itu hendak mengambil suci-sucinya sebagai kekasih baru, siapa tak terbakar!

Dan ketika sucinya baju biru dan baju hijau juga tak luput dari permintaan ini, ternyata Yogiwara adalah pemuda hidung belang maka kekecewaan dan penyesalan melanda Hek Lan. Gadis baju hitam ini menangis tersedu-sedu dan ketika keroyokan semakin sengit ia pun menyerang semakin hebat. Lawan mereka mulai lelah dan mandi keringat. Sedikit tetapi pasti mereka berhasil mendesak, meskipun untuk merobohkan kiranya adalah pekerjaan suiit karena Hwe-kang atau Tenaga Api melindungi pemuda itu, kebal dan tahan terhadap serangan-serangan mereka.

Namun karena pemuda itu juga kesakitan, lawan juga mulai mencabut senjata dan tikaman atau bacokan ditujukan ke daerah-daerah berbahaya, seperti hidung dan matanya akhirnya pemuda ini tertawa dan tiba-tiba mencabut tiga paku berulir yang ujungnya mengkilap kebiruan.

"Ha-ha, kau dilanda cemburumu, Hek Lan. Sayang sekali. Kau agaknya sudah tak mengingat asyik-masyuk kita di kala bercumbu. Aih, betapa kau merengek dan minta kulucuti. Baiklah, kau menjadi pengganggu dan aku bosan kepadamu. Terimalah dan semoga dapat bercinta di akherat!"

Tiga paku berulir itu menyambar dengan cepat. Hek Lan terlalu bernafsu dan serangan-serangannya membuat ia lengah. Bagian depannya terbuka. Maka begitu tiga sinar biru menyambar dada dan tenggorokannya, juga bawah pusar di mana tentu saja gadis itu menjadi kaget maka ia mengibas namun aneh dan luar biasa paku-paku itu menggeliat dan.... crep-crep-crep, semuanya menancap di tiga bagian tubuhnya.

Gadis ini roboh dan pemuda itu meloncat mundur, tertawa dan mempergunakan kesempatan itu karena gadis baju putih dan yang lain tertegun, menghentikan serangan. Dan ketika ia berkelebat dan memutar tubuhnya, Hek Lan sekarat maka murid Dhiran Sing ini meninggalkan lawan-lawannya dengan tawa menyakitkan. Gadis baju hijau mau mengejar namun ditahan gadis baju biru. Gadis baju biru memandang gadis baju putih.

Dan ketika gadis baju putih mengangguk dan melarang pergi, pemuda itu terlalu berbahaya sedangkan Hek Lan terluka maka mereka menolong namun sumoi mereka itu tak tahan. Hek Lan mengeluh dan menangis bercucuran air mata menyatakan penyesalannya, sayang tak berguna karena semuanya terlambat. Dan ketika gadis itu minta maaf dan mohon dibalaskan sakit hatinya, tiga sucinya mengangguk maka Pek Lian berkata menggenggam lengan sumoinya.

"Apa yang terjadi telah terjadi. Kau telah mencelakai dan menewaskan subo, Lan-moi. Tapi sekarang kau telah menebus dosa. Baiklah, tanpa kau mintapun pasti kami menuntut balas. Pergilah, dan tenangkan jiwamu!"

Hek Lan mengejang sejenak. la mencengkeram dan balas menggenggam lengan sucinya lalu terkulai, tewas. Dua tubuh telah menjadi korban dari perbuatan murid Dhiran Sing itu. Tapi begitu gadis baju putih berdiri dan mengurus jenasah sumoinya, pergi dan mengejar lagi maka sejak itu mereka bertiga mencari-cari pemuda Thian-tok ini. 

Sumoi mereka yang lain, Ui Yang, tak mereka temukan jejaknya karena rupanya pergi ke arah lain. Mereka tak tahu bahwa gadis inipun tewas dibunuh Bu Sit. Karena ketika Hek Lan menarik dan membawa lari kekasihnya maka gadis baju kuning itupun berlari bersama murid nomor dua Dhiran Sing ini.

"Kita tinggalkan tempat ini, pergi sejauh-jauhnya. Kau dan suhengmu melanggar perjanjian, Bu-twako. Kalian membuka rahasia kami. Kalian memberi tahu siapa yang mencuri kitab. Keparat!"

"Ah, jangan memaki-maki." Bu Sit, pemuda gagah tampan nomor dua tak senang. "Dibuka atau tidak kelak ketahuan juga, Ui Yang. Sama saja. Dan lagi yang membuka adalah suheng, bukan aku!"

"Tapi kau dapat mencegahnya, bukan membiarkan begitu saja. Dan kau.... kau sama dengan suhengmu, mulai bejat!"

"Eh-eh," pemuda ini marah. "Apa maksudmu, Ui Yang. Hati-hati kalau bicara!"

"Tak usah pura-pura," gadis itu panas, membentak. "Sudah kudengar omongan kalian berdua, Bu-twako. Dan tadi kaupun ikut-ikutan mengusap paha subo. Ayo, apa artinya ini kalau tidak hidung belang!"

"Eit, sabar," sang pemuda menyambar dan memegang lengan gadis itu, tersenyum. Watak suhengnya memang menular, ada kenikmatan sendiri kalau memegang-megang paha wanita lain. "Kau tak perlu bicara, yang sudah- sudah Yang-moi. Sekarang ke mana kita mau pergi dan apa selanjutnya yang akan kita lakukan!"

"Lepaskan aku!" sang gadis membentak, pipinya mangar-mangar. Aku tak suka kau ikut-ikutan suhengmu, Bu-ko. Sekali kulihat lagi maka kau kubunuh!"

"Eh-eh, menantang, kurang ajar! Apa maumu Ui Yang. Jangan membentak-bentak lelaki atau nanti kutinggal!"

"Apa? Meninggalkan aku setelah semua pengorbanan ini? Kau mau menjadi lak-lakii tak berbudi dan lepas tanggung jawab? Jangan main-main, aku bukan wanita murahan, Bu Sit. Tutup mulutmu dan jangan main ancam begitu!"

Pemuda ini mendelik. Tiba-tiba dia marah merasa tak dihargai. Ui Yang memang gadis keras tapi tak selayaknya bersikap begitu keras. Betapapun dia adalah. laki-laki. Maka tertawa dingin dan berkelebat pergi tiba-tiba pemuda itu meninggalkan kekasihnya dan menantang. "Baik, bagaimana kalau sekarang aku benar-benar meninggalkanmu, Ui Yang. Beranikah kau mengancam aku dan membunuhku!"

Gadis itu terbelalak. Sekarang kekasihnya benar-benar pergi dan ia ditantang untuk membuktikan kata-katanya. Bukan main panasnya! Maka membentak dan berseru keras iapun meloncat dan mengejar. "Bu Sit, jangan lari. Berhenti dan pertanggung jawabkan dulu benih di dalam perutku ini!"

"Apa?" pemuda ini terkejut, menoleh. Gadis itu menyambar dan berjungkir balik di atas kepalanya, turun dengan wajah beringas. Mereka kini berhadap-hadapan. "Apa katamu tadi, Ui Yang? Benih di dalam perutmu?"

"Benar, aku telah hamil. Gara-gara perbuatanmu maka aku akan menjadi ibu!"

"Ha-ha, nanti dulu. Ceritakan dulu bagaimanakah sikap suhengku empat bulan yang lalu ketika menemuimu di bawah pohon siong itu!"

Ui Yang terkejut. Gadis ini berubah pucat mendengar kata-kata ini. Pertanyaan itu berupa todongan. Tapi kembali dan pulih lagi ia bertanya, tak menjawab, "Apa maksudmu, Bu-ko? Pohon siong yang mana?"

"Ha-ha, tak usah berpura-pura. Empat bulan lalu kau dan suheng bertemu di dalam hutan. Katanya kalian bercakap-cakap dan suheng menceritakan betapa mesranya sambutanmu terhadapnya!"

"Binatang, bohong sekali! Kalau itu yang kau maksud maka kujawab bahwa justeru suhengmu itulah yang membujuk dan coba merayu aku, Bu-ko. Aku sama sekall tak bersikap mesra atau menyambutnya seperti kata-katamu!"

"Tapi pertemuan itu betul, bukan?" Sang gadis tertodong, bingung, tiba-tiba marah tapi juga takut, takut akan fitnah. "Jawab," pemuda itu sekarang membentak, suaranya lantang. "Tidak benarkah pertemuan itu, Ui Yang. Atau suhengku perlu kupanggil dan kau berhadapan dengannya!"

"Baik," murid Tung-hai Sian-li ini tiba-tiba menjadi marah. "Kuakui itu, Bu-ko. Tapi di antara kami tak terjadi apa-apa. Aku...."

"Ha-ha, nanti dulu. Kalau benar ada kejadian begitu kenapa kau tidak memberitahukannya kepadaku? Kenapa empat bulan lebih diam-diam saja dan berusaha menyembunyikan diri? Hm, suhengku adalah laki-laki yang suka wanita cantik, Ui Yang. Siapapun akan dibujuk ditaklukkan-nya sampai dapat. Aku kenal betul wataknya. Dan kau, hmm... diam-diam saja tak memberi tahu kepadaku sampai kini tiba-tiba menyatakan hamil! Eh, benih siapa jabang bayi di perutmu itu, Ui Yang. Kau jangan main-main!"

"Bu Sit!" bentakan itu terdengar me-lengking. "Kau berani menuduh aku yang tidak-tidak? Kau berani meragukan kesetiaan cintaku? Keparat, memang kuakui peristiwa itu tak kusampaikan kepadamu, Bu Sit. Tapi semata menjaga agar hubunganmu dengan suhengmu itu tetap baik. Aku tak mengira kau tahu ini dan tentu suhengmu itu yang bicara. Aku berani sumpah bahwa ini adalah benihmu!"

"Ha-ha, sekali wanita menyembunyikan sesuatu maka selanjutnya ia juga akan menyembunyikan hal-hal lain. Jangan mengira aku bodoh. Suheng pengejar wanita nomor wahid, Ui Yang. Mustahil bahwa kau luput dari rayuannya. Peristiwa empat bulan lalu tak pernah kau beri tahu, jangan-jangan sebuah pertanyaanku lagi inipun tak bakal kau jawab. Baiklah, berapa bulan kandunganmu itu!"

"Empat..." wanita ini terkejut, tiba-tiba menghentikan kata-katanya sendiri. Dan begitu ia sadar, maka pemuda itu pun tertawa bergelak.

"Empat? Ha-ha...! Jawab kalau begitu, kapan kau dan suheng bertemu di pohon siong itu, Ui Yang. Ulangi dan jawab pertanyaanku kalau kau jujur!"

"Bu Sit!"

"Tidak, tak perlu berteriak. Jawab kapan pertemuan itu terjadi dan tak usah melotot-lotot. Telingaku cukup baik. Coba katakan kepadaku kapan pertemuan itu terjadi."

Gadis ini tiba-tiba menangis. Ia harus menjawab tapi jawabannya bakal menyakitkan. la didesak, dipojokkan! Tapi karena ia harus menjawab dan betapapun ia tak merasa melakukan penyelewengan maka sambil menengadahkan muka dan dengan bibir gemetar menjawab,

"Bu-ko, tak kusangkal bahwa pertemuan dengan suhengmu itu terjadi empat bulan yang lalu. Tapi jangan kaitkan ini dengan umur kandunganku yang sudah empat bulan. Aku tak melakukan apa-apa dengan suhengmu, Bu-ko, sumpah demi bumi dan Langit. Kalau aku bohong biarlah mati disambar geledek!"

"Ha-ha Sumpah? Ah, sumpah wanita macammu tak dapat dipercaya, Ui Yang. Sekali kau meragukan hatiku selamanya aku tetap bimbang. Baiklah, begini saja, tunggu sampai bayi itu lahir dan lihat mirip siapakah dia. Aku atau suheng. Sekarang jangan ganggu aku dan biar aku pergi....!"

Putri Es Jilid 06

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

BUKAN hanya lima gdis di sana yang terkejut. Tung-hai Sian Li yang telah merobohkan dan siap memperoleh kemenangan tiba-tiba juga kaget sekali oleh tali hitam di tangan kakek berhidung bengkung itu. Gerak dan kecepatan tali itu luar biasa sekali, tak mungkin Hwe-sin mengelak. Tapi membentak dan berseru keras tiba-tiba wanita ini berkelebat ke depan melepas Pek-hong-koan-jitnya, menangkis serangan maut itu.

"Dhiran, jangan bunuh dia!"

Tali hitam bertemu tujuh sinar Pek-hong-koan-jit. Kakek renta terkejut karena talinya mental, dihembus atau disambar pukulan jarak jauh itu. Namun karena serangan sudah dekat dan ujung talinya tetap saja mengenai kulit leher Hwe-sin, menusuk dan melukai bagai pedang maka tokoh istana itu mengeluh dan darahpun muncrat bagai tikaman pedang tulen, selamat tapi terluka dan Tung-hai Sian-li telah berdiri di sini.

Wanita itu pucat tapi lega melihat ini dan Hwe-sin pun terhuyung meloncat bangun. Dia telah diselamatkan lawannya namun kepedihan besar membayang di wajah Malaikat itu, Hwe-sin terbelalak dan memandang kakek renta dengan sinar mata menusuk. Dia lebih terpukul oleh kehadiran kakek ini daripada lukanya di leher. Dan ketika dia gemetar dan menuding kakek itu, bertanya kepada Dewi Laut Timur maka Tung-hai Sian-li menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.

"Dia sahabatku, Dhiran Sing, orang yang selama tigapuluh tahun ini menemani dan menghiburku. Dia tahu sakit hatiku kepadamu, Hwe-sin, tapi bukan maksudku untuk berlaku curang. Aku... kau..., lukamu harus diobati. Tali itu mengandung racun!"

Wanita ini bergerak dan tahu-tahu sudah memegang leher lawannya, merobek bajunya sendiri dan tanpa ragu-ragu membalut dan menorehkan obat penawar ke luka itu. Hwe-sin tertegun dan kaget, Tung-hai Sian-li tiba-tiba bersikap begitu mesra kepadanya. Mata wanita itu berlinang! Tapi ketika dia memandang kakek renta itu dan teringat betapa selama ini orang yang dicintanya bergaul dengan kakek itu, kakek yang hampir saja merenggut nyawanya mendadak Hwe-sin meronta dan mundur melepaskan diri, obat di luka-nya dicabut dan dibuang!

"Eng Siu, kau.... kau tiga puluh tahun ini berdua dengan kakek jahanam itu Kau... kalian, ah.... sudah selalu bersama-sama? Oohhh... ha-ha!" Hwe-sin tiba-tiba tertawa bergelak. "Alangkah bodohnya aku, Eng Siu, alangkah tololnya! Ah, sia-sia aku mencintaimu dan sekarang jahanam tua bangka itu melukaiku. Keparat! Aku boleh mati di tanganmu, Eng Siu, tapi bukan oleh orang lain, apalagi yang curang membokongku. Aku tak terima!"

Dan membentak melengking dahsyat tiba-tiba Hwe-sin meloncat dan menubruk kakek ini. Kekecewaan dan marahnya tiba-tiba meledak, darahnya mendidih! Dan karena dua ekor ular di tangannya sudah dibuang dan dicabut Tung-hai Sian-li, dia tadi tak sempat berbuat apa-apa karena tertegun dan menjublak memandang kakek tua itu maka sekarang menerjang dan menghantam kakek itu dengan pukulan Apinya dia seolah orang kesetanan.

Namun Kakek ini terkekeh. Dhiran Sing, kakek India itu, sejenak tertegun dan melotot melihat adegan tadi, betapa Tung-hai Sian-li mengobati dan membalut luka Hwe-sin dengan mesra. Tapi begitu dia diserang dan pukulan dahsyat menyambarnya mendadak kakek ini merendahkan tubuh dan tali hitam yang masih dipegangnya itu meledak menangkis pukulan Hwe-sin.

"Tas!" dan... Hwe-sin terpelanting. Tokoh istana ini mengeluh karena tiba-tiba dia merasa tali hitam di tangan lawannya itu menyambutnya amat hebat, membuat dia terbanting namun laki-laki gagah ini melompat bangun lagi. menyerang dan segera kakek itu maju mundur berkelit dan menangkis. Dan ketika pertandingan berjalan seru karena Hwe-sin mengejar dan bagai orang kesetanan, tak perduli kepada rasa panas dan pedih di leher yang disertai rasa kejang-kejang maka tampak bahwa pengawal kaisar ini memaksa diri.

Dia tak pernah mampu mendaratkan serangannya sementara tali hitam di tangan kakek itu meledak-ledak menyambar tubuhnya. Setiap kali kena tentu membuat luka matang biru, bahkan membuat kulit dan daging kehitaman karena racun di tali hitam itu bekerja dengan amat kejamnya. Dan ketika Hwe-sin melotot sementara Tung-hai Sian-li terbelalak ngeri, Dhiran Sing mulai mencambuki lawannya sambil terkekeh-kekeh akhirnya Tung-hai Sian-li tak kuat dan berseru maju, kembali berkelebat.

"Dhiran Sing, hentikan seranganmu. Atau nanti aku membunuhmu!"

"Eh, ha-ha...! Kau mencinta juga laki-laki ini, Tung-hai Sian-li? Mana janjimu kepadaku? Ah, aku hanya membela diri. Dialah yang menyerang dan menubrukku bagai harimau kelaparan. Lihat dia menyerangku lagi.... dess!"

Cambuk menghajar muka Hwe-sin, menimbulkan gurat memanjang dan kakek itu mengelak dari terkaman lawan yang bagai gila. Hwe-sin menggeram dan jatuh bangun menyerang kakek itu padahal dia tak pernah mampu. Racun di leher membuat uratnya tegang dan justeru ini mencelakakan laki-laki gagah itu sendiri. Kian dia mengamuk kian cepat racun bekerja di dalam tubuhnya.

Dan ketika semua itu masih ditambah oleh guratan-guratan cambuk di seluruh tubuhnya, racun di tali hitam masuk dan merembes mengganggu tubuh Hwe-sin maka tampaklah laki-laki ini sekarang kejang-kejang dan menyerang dengan cara lucu tapi menyedihkan. Cambukan di mukartya membuat luka dalam dan kalau laki-laki ini hidup berarti seumur hidup dia bakal cacad. Tung-hai Sian-li terbelalak. Dan ketika kakek itu masih mengelak sana-sini dan Hwe-sin rnenyerangnya dengan tubuh kejang-kejang akhirnya dia membentak agar kakek itu mundur.

"Mundur? Ha-ha, dia akan mengejarku. Lebih baik kau suruh dia berhenti atau aku terus membela diri!"

Tung-hai Sian-li pucat. Akhirnya dia bergerak dan menghadapi Hwe-sin, berseru agar laki-laki itu mundur. Tapi ketika Hwe-sin tertawa bergelak dan beringas memandang lawan ternyata laki-laki ini menolak, tubuh dan muka sudah mandi darah.

"Kepalang tanggung. Biar aku roboh, Eng Siu, mampus sebagai laki-laki gagah. Ha-ha, kau majulah sekalian dan robohkan aku. Mati di tanganmu agaknya lebih baik!"

Wanita ini gelisah. Sekarang ia tak dapat menyembunyikan kekhawatirannya lagi melihat Hwe-sin luka-luka. Dendam dan kebenciannya sudah berobah menjadi kasih dan cinta mendalam melihat keadaan laki-laki itu. Betapapun, ia sesungguhnya mencinta laki-laki ini. Maka ketika Hwe-sin menubruk tapi tali hitam melecut mukanya, roboh dan bangun lagi tiba-tiba ia berkelebat dan menyambar tubuh laki-laki itu.

"Hwe-sin, kau keras kepala. Sungguh tak pernah mengalah!" dan membentak menghalau tali hitam tiba-tiba Tung-hai Sian-li sudah menotok laki-laki itu, meloncat dan terbang meninggalkan Lembah Hijau dan terdengarlah teriakan kaget Dhiran Sing.

Kakek India itu terpental dan berjungkir balik menyelamatkan diri. Tadi tali hitamnya membalik dipukul tangkisan Tung-hai Sian-li. Dan ketika dia terbelalak dan merah melotot, mau mengejar mendadak lima murid wanita itu menghadang dan terdengarlah seruan Tung-hai Sian-li agar kakek itu tak datang mengganggu.

"Pek Lian, cegat si tua bangka itu kalau mau mengejar aku. Aku hendak menyelamatkan Hwe-sin!"

Kakek ini mendelik. Dia gusar tapi tiba-tiba tertawa panjang, tali hitam meledak namun gadis baju putih dan teman-temannya menangkis. Dan ketika tali hitam terpental dan dia jelas akan dihalang-halangi, wanita itu tak mau diganggu maka kakek ini memaki dan membanting kakinya.

"Baiklah, kau sudah berobah melihat kekasihmu, Tung-hai Sian-li. Namun tak mungkin dia selamat dan kelak kau tentu kembali padaku, ha-ha!" dan memutar tubuh berkelebat pergi kakek inipun tak jadi menyusul Tung-hai Sian-li karena wanita itu dilindungi murid-muridnya. Bergebrak dengan Tung-hai Sian-li adalah berbahaya. Hubungan tiga puluh tahun tak perlu dirusak dengan persoalan itu. Maka lenyap dan meninggalkan Lembah Hijau kakek inipun tak mau menyerang lima gadis itu.

Pek Lian dan empat temannya lega, tapi begitu saling pandang dan sama-sama mengangguk maka merekapun memutar tubuh dan menyusul subo mereka itu. Ternyata Tung-hai Sian-li gagal. Hwe-sin yang terluka parah oleh racun dan pukulan kakek India tak dapat ditolong lagi. Dia pingsan dan roboh dibawa wanita itu. Tapi ketika Tung-hai Sian-li berhasil menyadarkannya dan laki-laki gagah itu membuka mata maka Hwe-sin berkata agar di-dudukkan sejenak.

"Kau percuma menolong aku lagi. Sakit hatimu bakal impas, Eng Siu, tapi sungguh tak sungguh aku tak pernah mengira kau membawa bala bantuan. Ah... kau tikam dadaku dan biar aku mampus. Luka-lukaku tak mungkin sembuh, atau dudukkan aku sejenak dan biar kupanggil suhengku."

"Tidak. aku, ah!" Tung-hai Sian-li tiba-tiba tersedu. "Aku sama sekali tak memanggil bantuan, Hwe-sin. Kakek keparat itu datang atas kehendaknya sendiri. Aku tak mengundang!"

"Tapi dia datang, dan kau telah bergaul dengannya selama tiga puluh tahun! Ah...." lelaki ini batuk-batuk, muntah. "Sungguh, tak nyana bahwa wanita yang kucinta berlaku hina, Eng Siu, mendapat suami yang curang dan culas wataknya!"

"Dia bukan suamiku!" wanita ini tiba-tiba membentak, wajah menyala-nyala. "Siapa bilang dia suamiku, Hwe-sin. Tua bangka itu bukan suamiku!"

"Tapi dia galang-gulung denganmu selama tiga puluh tahun..."

"Betul, tapi hanya sebatas sahabat, tidak lebih! Dhiran memang hendak membantuku untuk membalaskan sakit hati kepadamu, tapi aku tak pernah mendekatinya dan tak pernah mau didekati kalau dia coba-coba membujukku! Eh, kau jangan melepas cemburu buta, Hwe-sin. Dhiran memang mencintaiku tapi aku tidak mencintainya. Aku... aku...."

Dua mata beradu tajam, Tung-hai Sian-li tersentak dan berhenti bicara ketika Hwe-sin memandangnya dengan senyum mengejek. Senyum itu menyatakan tidak percaya. Dan ketika ia marah namun Hwe-sin bertanya kepada siapakah sebenarnya ia mencinta maka wanita ini tertegun dan tak mampu menjawab, muka merah padam.

"Baik, kalau begitu katakan kepadaku kepada siapakah kau mencinta. Coba, apakah bukan kepada kakek buruk itu!"

"Aku.... aku..."

"Katakan terus terang, Eng Siu, jangan gagap. Sebentar lagi aku mampus dan kau tak perlu malu!"

"Hm, kau laki-laki bodoh, pria tak berotak! Tak perlu kujawab seharusnya kau tahu, Hwe-sin. Untuk apa aku membawamu ke sini kalau aku mencinta tua bangka itu!"

"Kau mencintaiku?" Wanita ini tersedu. "Jawab, apakah kau mencintaiku, Eng Siu. Kalau benar kenapa dulu kau menolak cintaku!"

"Kau... kau laki-laki bodoh. Kau laki-laki keras kepala! Kau sombong dan tak mau mengerti perasaan wanita, Hwe-sin. Aku tak mau menerima cintamu karena kesombongan dan watakmu yang tak pernah mengalah itu. Dan kau... kau membuatku cacad pula. Wanita manakah yang takkan benci dan sakit hati terhadap laki-laki sepertimu!"

Tung-hai Sian-li sekarang mengangkat wajahnya, merah menyala-nyala dan lawan terkejut. Hwe-sin dicap sombong dan tak mau mengalah, tak mau mengerti perasaan wanita. Dan ketika laki-laki itu tertegun tapi tertawa aneh, duduk dan bersandar guha maka Hwe-sin bertanya kesombongan dan sikap bagaimana yang dikata tak mau mengerti perasaan wanita itu.

"Jelas, kau laki-laki dan aku wanita. Kalau dulu dalam pertandingan sehari semalam itu kau mau mengalah dan memberi muka kepadaku tak mungkin ada kejadian seperti ini. Tapi kau sombong, kau laki-laki congkak. Kau tak mau mengalah kepada wanita seperti aku, Hwe-sin, dan kau ngotot untuk memperlihatkan kelebihanmu. Dan inilah yang ku sebut buta! Tanpa kau tonjolkan kalau kau memang hebat maka wanita akan tahu diri, Hwe-sin, kagum. Aku tak mungkin akan menghina dan merendahkanmu kalau kau memang lebih tinggi dari aku. Tapi kau tidak. Kau justeru ngotot dan ingin memperlihatkan keperkasaanmu kepadaku. Kau tak mau mengalah dan menghentikan pertandingan dan membiarkan aku mengagumimu dengan caraku sendiri. Dan kau malah melukaiku, membuatku cacad! Siapa tak benci dan marah kalau begini? Jawab, apakah bukan karena kesombongan dan keangkuhanmu maka kau tak mau mengalah padaku, Hwe-sin. Apakah bukan karena ini maka hubungan di antara kita rusak!"

Pengawal bayangan ini terbelalak. Wanita yang dicintainya itu bicara begitu berapi-api dan penuh semangat. Tung-hai Sian-li yang gagah dan tinggi kepandaiannya ini sekarang mengeluarkan semua bibit kebenciannya. Benci tapi sesungguhnya cinta! Dan ketika dia tertegun dan mengingat-ingat kejadian itu, benar bahwa dia tak mau mengalah dan ingin memperlihatkan keperkasaannya di depan wanita ini maka dipejamkanlah matanya dan air matapun tiba-tiba deras mengucur. Hwe-sin sadar bahwa sesungguhnya wanita juga ingin dihargai, jangan terlalu ditekan atau ditindas, biarpun laki-laki lebih gagah dan perwira.

"Maafkan aku...." laki-laki ini akhirnya mengeluh. "Kau benar dan tidak salah, Eng Siu. Memang waktu itu aku tak mau mengalah dan ingin merobohkanmu. Kita sama-sama keras kepala. Dan aku sebagai laki-laki yang seharusnya mengalah kepada wanita malah tak mau melakukan itu dan menunjukkan kecongkakanku pula. Ah, maafkan aku, Eng Siu maafkan aku. Tapi tapi.... sesungguhnya kau menyambut cintaku, bukan? Bahwa sebenarnya aku tak bertepuk sebelah tangan?"

"Kalau dulu kau memberi muka dan tidak membuatku begini tentu saat itu juga aku menyambut, Hwe-sin. Tapi kau menyakiti hatiku. Kau membuatku cacad!"

"Maafkan aku.., aku mengaku salah. Sekarang, ah... apakah kau masih mencintaiku, Eng Siu? Kau tidak membenciku lagi, bukan?"

"Aku tak perlu benci lagi. Tapi.... tapi kau..."

"Aku akan mampus! Oh, terima kasih, Eng Siu. Kalau begitu balaskan sakit hatiku kepada tua bangka itu dan bunuh Dhiran!"

Tung-hai Sian-li tertegun. Mendengar ini mendadak ia menangis lagi, kelihatan bingung. Dan ketika Hwe-sin mengejang dan batuk-batuk, laki-laki itu penasaran maka Hwe-sin bertanya kenapakah permintaannya berat dipenuhi.

"Kau tampaknya bimbang, padahal kakek itu mencurangi aku. Ada apakah, Eng Siu? Apakah kau dan dia..."

"Tidak... tidak!" wanita ini berseru, menggeleng. "Sekarang panggil dulu suheng mu, Hwe-sin. Bukankah kau ingin memanggilnya!"

Hwe-sin terkejut. Tiba-tiba dia sadar bahwa maksudnya tadi belum dilaksanakan. Dia sudah duduk bersandar guha namun belum juga memanggil suhengnya. Dan karena dadanya sesak dan kembali dia muntah darah, keadaan rupanya tak mengijinkan lagi maka dia memejamkan mata dan seluruh pikiran tiba-tiba dipusatkan pada puncak Himalaya. Ilmu Beng-sut (Batin) dikerahkan dan begitu dia duduk tegak maka berobahlah Hwe-sin bagai patung batu. 

Tangis dan isak Tung-hai Sian-li tak didengarkan lagi. Dan ketika Dewi Laut Timur itu mengangkat wajahnya dan Hwe-sin berubah kaku, dari kepala muncul uap putih yang perlahan-lahan naik ke atas maka lima menit kemudian terdengar ledakan dan seorang pertapa jubah putih muncul di dalam guha, melayang-layang.

"Sute, ada apa. Kenapa kau memanggilku."

"Ooh!" Tung-hai Sian-li yang menjadi kaget, berseru tertahan. Hwe-sin yang memanggil tapi ia yang terkejut. Namun ketika ia melompat mundur dan cepat bersiap, pertapa itu menoleh kepadanya maka tawa dan helaan napas getir ditujukan kepadanya.

"Tung-hai Sian-li, pinto adalah roh Gin Goat Cinjin, bersemayam di puncak Himalaya tapi kini dipanggil sute pinto Hwe-sin. Jangan takut dan maaf kedatangan pinto tak seperti biasa!"

Wanita ini terbelalak. la seakan tak berkedip memandang pertapa itu, bertemu dengan sepasang mata lembut namun amat tajam dan berpengaruh, coba menentang tapi tak kuat. Dan ketika ia menunduk dan Hwe-sin membuka mata, laki-laki itu gembira maka Hwe-sin mengeluh.

"Suheng...!" dan begitu menggerakkan tubuhnya maka diapun roboh!

"Siancai, kau luka parah. Hm, apa yang terjadi, sute. Bagaimana bisa begini."

Gin Goat Cinjin, pertapa sakti itu tahu-tahu menyambar pundak sutenya. Ia meraba dan mengusap sana-sini namun helaan napas berulang-ulang yang terdengar. Dan ketika dia menolong sutenya dan Hwe-sin duduk bersandar maka laki-laki itu menggigil, gemetaran. "Suheng, aku tahu bahwa luka-lukaku parah. Aku tahu tak mungkin dapat hidup lebih lama lagi. Tapi bukan untuk ini aku mau minta tolong, melainkan.... melainkan...."

"Kau seharusnya tak boleh banyak bicara," Sang suheng menepuk dan melancarkan kembali tenggorokannya yang tersendat. "Apa yang mau kau minta sudah kuketahui, sute, tentu tentang pembalasan dendammu. Siancai, sayang sekali pinto tak dapat!"

"Ah, suheng.... suheng..."

"Benar, pinto telah melepaskan diri dari dendam dan kebencian, sute. Pinto telah melepaskan diri dari segala ikatan duniawi. Justeru kalau kau mau maka ikutlah pinto dan kita sama-sama bersemayam di puncak."

"Oohhhh.... kalau begitu....”

“Kalau begitu! Aku yang akan membalaskan dendammu!"

Tung-hai Sian-li tiba-tiba berseru, berkelebat dan sudah menghadang di tengah-tengah dua orang ini. "Tapi Dhiran dan aku setingkat, Hwe-sin. Dia mati akupun pasti mati. Baik, kita bertiga akan sama-sama mati!"

"Kau...?"

"Benar, aku dan Dhiran Sing telah sama-sama menukar ilmu, Hwe-sin. Aku belajar ilmu sihirnya sedang dia mendapat Pai-hai-jiu milikku itu. Dan Pek-hong-koan jit, hm... itulah ilmu ciptaan kami berdua untuk menghadapi ilmumu Hwe-ci!"

Hwe-sin terkejut. "Jadi kalau begitu kalian sudah sama-sama tahu kelebihan dan kelemahan masing-masing?"

"Tak salah, dan itulah sebabnya aku tadi ragu-ragu memenuhi permintaanmu, Hwe-sin. Sebab kalau aku membunuhnya maka diapun juga akan mampu membunuhku alias kita berdua bakal sampyuh. Tapi tak apa, aku akan menghajar tua bangka itu demi sakit hatimu. Aku siap menyusulmu dan kita sama-sama hidup di alam baka!"

"Eng Siu!"

Wanita itu tersedu. Tung-hai Sian-li menubruk dan memeluk erat-erat kekasihnya ini. Hwe-sin juga memeluk dan balas mendekap wanita itu. Sejenak mereka bertangisan, keharuan dan kebahagiaan bercampur menjadi satu. Tapi ketika Hwe-sin mendorong dan teringat sesuatu mendadak dia berkata kepada kekasihnya itu,

"Eng Siu, tak boleh terjadi seperti itu. Betapapun kau harus menang dan tak boleh sampyuh. Apa artinya dia terbunuh tapi kaupun mati. Tidak, tidak, Eng Siu. Aku tak membiarkan ini dan ada jalan membunuh kakek itu. Di kamarku.... ah, di kamarku..." Hwe-sin terbatuk-batuk. "Ada sebuah kitab simpananku, Eng Siu. Ambil itu dan pelajari isinya. Kau dapat menggabung ilmu-ilmu yang kupunyai dengan ilmu-ilmu yang kau punyai. Nah, cari di sudut kamar dan temukan lantai marmer berkembang merah. Cungkil marmer itu dan kitabku ada di sana... uhh!"

Hwe-sin terbatuk dan berhenti bicara. Dia telah berusaha sekuatnya memberi tahu dan Tung-hai Sian-li tertegun. Kalau dia mempelajari ilmu-ilmu Hwe-sin tentu saja dia akan dapat mengalahkan kakek itu. Dhiran Sing tak memiliki ilmu-ilmu Hwe-sin, inilah kelebihannya. Dan ketika ia mengangguk tapi Hwe-sin gemetaran hebat, tenaganya habis dipakai bercakap-cakap tadi maka Gin Goat Cinjin sang suheng menjadi muram mukanya.

"Sute, balas-membalas tak akan ada habisnya. Putuskan rantai ini atau kelak dendam ini bakal turun-menurun."

"Tidak," sang sute menggeleng dan marah berapi-api. "Tua bangka itu mencurangi aku, suheng. Kalau kau tak mau membalaskan sakit hatiku biarlah Tung-hai Sian-li yang memenuhi permintaanku. Maaf aku menolak nasihatmu."

"Terserah," sang pertapa menarik napas dalam. "Tapi kelak kau akan menyesal, sute. Api dendam bakal menjalar sampai tujuh turunan. Siancai, sekarang bagaimanakah dengan pinto? Apakah kau tak memerlukannya lagi?"

"Aku mengharap suheng membimbingku dalam soal kerohanian. Aku ingin rohku tinggal di puncak Himalaya."

"Ha-ha, belajar rohani tapi batinmu penuh benci dan dendam, sute, mana dapat! Tak mungkin itu kalau nafsu dan amarahmu menggelapkan pikiran jernih. Kau telah menyuruh kekasihmu mempelajari ilmu-ilmumu, dan ini berarti bunuh-membunuh bakal berakibat panjang. Ah, kau tak akan berhasil, sute. Mencari kedamaian rohani tapi sekaligus meninggalkan dosa dan balas dendam di bumi. Sian-cai, tak akan berhasil! Hm, turut nasihat pinto atau sekarang juga pinto pergi!"

"Ah, suheng benar-benar tak mau membantuku?" Hwe-sin pucat.

"Membantu bagaimana? Membantu membalas dendam jelas tak mungkin, sute. Pinto sekarang pertapa. Kalau kau ingin mendapatkan ketenangan batin maka ikutlah pinto tapi buang maksudmu membalas dendam. Pinto dapat menghancurkan kitab simpananmu dan sekarang juga kita sama-sama tinggal di puncak!"

Hwe-sin menggigil. Kalau saja tak ada tua bangka Dhiran Sing itu tentu dia akan mengikuti nasihat suhengnya ini. Suhengnya sudah meninggal tapi dengan ilmu Beng-sut dia dapat mengontak suhengnya itu. Kadang-kadang, dengan kesaktian dan rohnya yang tinggi suhengnya itu dapat melakukan sesuatu di dunia, menyembuhkan orang luka umpamanya, atau menolong seorang sekarat untuk hidup lagi. Maka mendengar kata-kata suhengnya tadi dan dia bingung, harus memilih satu di antara dua maka bayangan kakek Dhiran ternyata lebih kuat dibanding yang lain-lain.

Bayangan kakek itu menimbulkan kebencian hebat dan ini yang menang. Kalau suhengnva tak mau mengajaknya ke puncak Himalaya, ah... biarlah dia mampus dengan roh gentayangan. Yang penting, kakek itu harus mampus dan dia dibalaskan sakit hatinya. Rasa ke-aku-an lebih kuat daripada yang lain. Maka menggeleng dan mengeraskan wajah, pria gagah perkasa ini menolak. Dia berkata dendamnya tak dapat dihapus. Darah lawan harus direguk. Dan begitu Hwe-sin memutuskan begini maka Gin Goat Cinjin, pertapa sakti itu menghilang. Caranya pergi seperti caranya datang.

"Baik, maaf, sute. Kalau begitu pinto pergi!"

Tung-hai Sian-li terkejut. Pertapa itu melewati tubuhnya dan tahu-tahu keluar dari guha. Tadi tubuhnya ditembus dan terasa dingin. Pertapa itu lewat begitu saja memasuki tubuhnya, keluar dan sudah menghilang dengan amat cepatnya. Dan ketika ia berseru tertahan dan menengok ke belakang, roh dari pertapa sakti itu sudah lenyap seperti iblis maka terdengar suara benda jatuh dan Hwe-sin roboh pula di dinding guha itu. Nyawanya melayang!

"Hwe-sin...!" Wanita ini menjerit dan histeris. Hwe-sin, pengawal sakti itu, telah tewas meninggalkan dirinya. la kaget dan menubruk namun laki-laki itu telah menjadi mayat. Tubuh Hwe-sin kaku dan membujur. Kekasihnya ini telah pergi. Dan ketika Tung-hai Sian-li menjerit dan mengguncang-guncang mayat itu maka lima muridnya berkelebat dan memasuki guha.

Pek Lian dan empat saudaranya tertegun. Mereka melihat betapa subo mereka itu mengguguk dan terpukul jiwanya, menangis dan sesenggukan meratapi mayat itu. Tapi ketika ia sadar dan roh Hwe-sin muncul di situ, samar-samar di dalam guha maka Tung-hai Sian-Li histeris dan menubruk roh ini karena Hwe-sin mengingatkannya akan kakek lndia itu.

"Eng Siu, balaskan sakit hatiku. Pergi dan ambillah kitab pusakaku. Aku pergi!"

Lima gadis di dalan guha meremang. Mereka melihat itu dan masing-masing bergenggaman tangan. Hwe-sin telah tewas namun rohnya memperlihatkan diri, ditubruk tapi menghilang. Dan ketika subo mereka melengking dan menjadi kian histeris, menubruk dan menyambar mayat Hwe-sin maka Tung-hai Sian-li berkelebat dan seperti kesetanan.

"Dhiran Sing, kau tua bangka keparat. Awas, kubunuh kau... kubunuh kau!"

Gadis baju putih dan teman-temannya bergidik. Mereka lari dan keluar pula dan melihat subo mereka itu telah terbang ke utara. Mayat Hwe-sin dipanggul dan mereka tentu saja mengikuti. Namun karena subo mereka dalam keadaan berduka dan sedikit kesalahan bisa membahayakan mereka maka berkelebat membayang-bayangi subo mereka itu. Gadis baju putih ini berkata agar tak usah dekat-dekat. Ia minta agar mengikuti saja dari jauh.

Maka ketika subo mereka bergerak dan memasuki kota raja, lenyap dan muncul lagi membawa kitab maka lima muridnya memandang saja dari jauh. Gerak-gerik Tung-hai Sian-li tak ada yang berani mencampuri. Gadis baju putih dan kawan-kawannya selalu mengawasi dari jauh. Maka ketika tak lama kemudian wanita itu sudah mempelajari dan mewarisi Hwe-ci, juga Jit-cap-ji-poh-kun yang amat luar biasa itu maka setengah tahun kemudian wanita ini mencari Dhiran Sing. Dan begitu bertemu tentu saja terjadi pertandingan hebat.

Dhiran Sing, kakek India itu, kaget setengah mati ketika lawannya bagai harimau tumbuh sayap. Enam bulan kakek ini menunggu di tempatnya sendiri dan yakin bahwa Tung-hai Sian-li akan mencari dirinya. Dulu sudah ada semacam perjanjian bahwa kalau Hwe-sin berhasil dikalahkan maka wanita itu bersedia menjadi isterinya. Kakek ini memang cinta berat terhadap wanita itu. Tapi karena robohnya Hwe-sin justeru oleh kelicikannya, inilah yang tak dikehendaki Tung-hai Sian-li maka bibit cinta yang semula ada menjadi kambuh lagi dan wanita itu marah melihat Hwe-sin terbunuh.

Dhiran Sing harus bertanggung jawab dan karena itu ia melabrak. Maka ketika hari itu ia datang dan kakek itu langsung diterjang, si tua kaget setengah mati melihat jari-jari Api yang menyambar dan Iangkah-langkah sakti dari Jit-cap-ji-poh-kun maka kakek berhidung bengkung ini pucat pasi dan jatuh bangun, terlempar dan terhempas. Mereka berada di Laut Selatan, di balik bayang-bayang ombak membukit yang bergemuruh.

"Heiii.... ah, eiitt! Aduh, apa ini, Sian-li. Bagaimana kau tiba-tiba seperti kesetanan menyerang aku. Heii, tahan. Aih, bukankah ini Hwe-ci.... cess!" baju kakek itu terbakar, bolong dan langsung tembus ke kulit dan si tua terpekik melempar tubuh bergulingan. Dia berteriak tapi lawan mengejar. Tujuh puluh Dua Langkah Sakti (Jit-cap-ji-poh-kun) dikeluarkan dan Tung-hai Sian-li tahu-tahu kembali sudah berada dekat dengan lawan. Dan ketika kembali Jari Api menyambar dan kakek itu menjerit maka Dhiran Sing terlempar dan masuk ke laut, diserbu oleh gelombang setinggi bukit.

"Sian-li, apa ini. Heii... haepp!" si kakek tertelan ombak, digulung dan diseret ke tengah dan kata-katanya terhenti di tengah jalan. Dia kaget dan pucat sekali oleh serangan-serangan wanita ini dan lebih kaget lagi karena semua serangan itu adalah Hwe-ci dan Jit-cap-ji-poh-kun. Langkah sakti ini benar-benar mengejutkannya karena dengan ilmu itu Tung-hai Sian-li dapat bergerak secepat setan dan tahu-tahu selalu ada di dekatnya. Ini adalah milik Hwe-sin dan tentu saja dia pucat. Tapi ketika ombak menggulung dan membawanya ke tengah, dia gelagapan dan menyelamatkan diri maka ketika dia muncul ternyata wanita itu sudah menantinya di atas gulungan ombak.

"Dhiran Sing, kau harus mampus!"

Kakek ini terkesiap. Sebagai sama-sama orang sakti sebenarnya dia dapat melakukan perlawanan. Tadi dia lebih banyak berkelit dan melindungi diri karena menyangka Tung-hai Sian-li sedang main-main. Tapi begitu wanita ini menunjukkan kesungguhannya dan nyawanva terancam, dia benar-benar hendak dibunuh maka marahlah kakek ini dan secepat kilat dia menepuk tangannya mengeluarkan sihir.

"Kau wanita busuk tak tahu budi. Mampuslah Tung-hai Sian-Li," Dhiran Sing masih dapat melakukan perlawanan... dar!!" ilmu sihir meledak, pecah membentuk bayangan hitam dan muncullah kepala siluman menyambar wanita itu.

Namun karena Tung-hai Sian-li juga dapat mengenyahkan sihir dan wanita itu tau dan mampu melawan sihir maka diapun mengebut dan sihir si kakek lenyap. Ledakan keras terdengar di atas laut yang bergemuruh dan kakek itu mencelat. Dan ketika Dhiran Sing mencoba melakukan perlawanan lagi namun lawan amat hebat, Tung-hai Sian-li rnengeluarkan pula ilmunya digabung dengan ilmu-ilmu Hwe-sin maka si kakek jatuh bangun dan kelebihan ini benar-benar tak dapat ditandinginya. Dia mengeluarkan pukulan dan bentakan namun semua dapat dipukul balik. Ganti-berganti wanita itu menyerang dengan ilmu-ilmu Hwe-sin.

Dan karena Tujuh puluh Dua Langkah Sakti itu susah dilawan dan ke manapun Dhiran Sing menghindar di situ pula Tung-hai Sian-li sudah datang mendekat maka satu pukulan akhirnya mengenai tengkuk kakek ini. Si tua terhempas dan lenyap digulung ombak, muncul dan dipukul lagi bertubi-tubi. Dan karena Tung-hai Sian-li benar-benar bagai harimau betina haus darah, si kakek diburu dan mendapat pukulan-pukulan berat akhirnya Dhiran Sing muntah darah dihantam dadanya.

Kakek itu coba bertahan namun lawan memang terlampau hebat. Setelah mempelajari ilmu-ilmu Hwe-sin maka kesaktian Tung-hai Sian-li bertambah. Wanita itu bagai harimau tumbuh sayap, sudah garang semakin garang. Maka ketika satu pukulannya kembali mengenai kakek itu maka robohlah Dhiran Sing oleh tusukan Hwe-ci yang mengenai matanya.

Si kakek terjungkal dan berteriak. Tusukan jari maut itu tak mungkin dielakkannya lagi. Dan ketika dia terjengkang dan roboh dengan mata tembus, otaknya berlubang maka kakek itu tewas dan mayatnya ditendang Dewi Laut Timur ke tengah gulungan ombak besar. Wanita itu mandi peluh.

"Hwe-sin, dendammu terbalas. Lihat dan terimalah rohnya di neraka!"

Lima murid Tung-hai Sian-li terbelalak. Dua di antara mereka saling pandang dan pucat melihat mayat si kakek lenyap di-gulung ombak. Tak ada yang tahu betapa dua gadis ini, yang berbaju hitam dan kuning diam-diam saling memberikan isyarat rahasia dengan kedipan mata. Dan ketika Tung-hai Sian-li kembali dan pulang ke tempatnya, lima muridnya mengikuti maka tujuh bulan kemudian muncul dua pria gagah menuntut balas, yakni murid-murid dari Dhiran Sing!

Waktu itu, bersamadhi dan tinggal bersama dua muridnya keempat dan kelima wanita ini tak menyangka datangnya bahaya. Gadis baju putih, Pek Lian, bersama dua temannya yang lain keluar ke kampung. Mereka mencari ransum dan menyiapkan bahan makanan vang sudah habis. Kebetulan merekalah yang bertugas dan gadis baju kuning dan hitam yang ada di rumah, menemani subo mereka. Maka ketika dua laki-laki gagah tiba-tiba memasuki kamarnya dan membentak dengan seruan keras maka Tung-hai Sian-li membuka mata dan terkejut karena seperti iblis saja dua orang itu masuk di situ.

"Tung-hai Slan-li, keluarlah. Terima kematianmu!"

Wanita ini mencelat bangun. Setelah ia sadar dan melihat dua laki-laki itu, pemuda-pemuda berusia tiga puluhan tahun yang gagah dan tegap. Iapun terkejut dan membelalakkan mata. la tak tahu siapa orang- orang muda ini tapi melihat bahwa satu di antaranya berwajah asing dengan hidung yang mancung ia terkesiap. Melihat pemuda ini seperti melihat mendiang Dhiran Sing. Pemuda itu bukan orang Han! Dan ketika ia membentak karena dua pemuda itu dirasanya kurang ajar memasuki kamarnya, dua laki-laki memasuki kamar wanita maka Tung-hai Sian-li yang melotot dan merah padam mengeluarkan bentakannya yang menggetarkan.

"Siapa kalian yang berani memasuki kamar wanita. Keluarlah, kita bicara di luar!"

Dua pemuda itu mengangguk. Mereka mendengus dan berkelebat keluar dan gerak langkah kaki mereka yang cepat dan amat ringan membuat Tung-hai Sian-li terbelalak dan hampir berseru tertahan. Itulah gerak dan langkah-langkah ji-poh-kun! Dan ketika wanita itu berkelebatdan keluar pula, terbelalak memandang dua kaki pemuda itu yang menyarang dan bergeser-geser cepat sekali maka mereka sudah berhadapan dan berada di ruang tengah.

"Hm, kami murid-murid Dhiran" Begitu pemuda berwajah asing memperkenalkan diri, gagah dan bersinar-sinar tapi matanya mengandung kecabulan dan tersenyum mengejek memandang Dewi Laut Timur ini. Pandang matanya tak lepas memandang lekuk-lengkung Tung-hai Sian-li, yang meskipun sudah berumur tapi sesungguhnya masih perawan, belum disentuh laki-laki.

"Aku Yogiwara, Tung-hai Sian-Li, dan ini suteku Bu Sit. Kami datang untuk membunuhmu kecuali kau minta ampun dan berlaku baik-baik kepadaku."

"kau... kalian... murid-mund Dhiran Sing? Kapan tua bangka itu mempunyai murid?"

"Ha-ha, kami murid-murid rahasia, Tung-hai Sian-li, dan guru kami memang tak pernah memperkenalkannya kepadamu. Tapi kau tentu percaya ini kalau kami membuktikan sedikit kepandaian guru kami... wut-wut!"

Yogiwara bersilat dengan lengan ditekuk dan tubuh membungkuk, melepas pukulan kuat yang membuat dinding ruangan bergetar dan pemuda di sebelahnya juga tertawa memperlihatkan gerak-gerak silat yang dipunyai. Dan karena semua itu memang milik mendiang Dhiran Sing, Tung-hai Sian-li terbelalak maka dua pemuda itu menutup.

"Dan ini Pek-hong-koan-jit, tentu kau kenal...!"

"Dan ini Jit-cap-ji-poh-kun serta Ngo-thian-hoat-sut (Sihir Lima Langit).... dar!" dan ketika dua pemuda itu berhenti sementara tembok berlubang, mundur dan tersenyum-senyum maka Tung-hai Sian-li berteriak karena tadi Hwe-ci atau Jari Api juga diperlihatkan pemuda itu.

"Keparat! Kalian... kalian dari mana mendapatkan ilmu-ilmu Hwe-sin? Bagaimana kalian dapat mernpelajari Hwe-ci dan Tujuh puluh Dua Langkah Sakti?"

"Ha-ha, ini berkat kebaikan Hek Lan dan Ui Yang, Tung-hai Sian-li. Kitab inilah yang menuntun kami!"

Bukan main kagetnya Tung-hai Sian-Li. Yogiwara, pemuda asing itu, mengeluarkan sebuah kitab dan itu adalah kitab peninggalan Hwe-sin. Sampul merah dengan benang kuning amat dikenalnya sekali. ltu-lah kitab yang berisi pelajaran Jari Api dan Jit-cap-ji-poh-kun. Dan ketika wanita ini mencelat mundur dan terbelalak lebar, mukanya pucat dan merah berganti-ganti, mendadak ia melengking dan tubuhnya yang bergerak maju sudah menerjang dan. merampas kitab itu.

"Manusia hina-dina, kembalikan kitabku!"

Pemuda ini mengelak. Dia tertawa mengejek dan berkelit ke kiri, dikejar tapi tiba-tiba kakinya bergeser dengan lang-kah-langkah Jit-cap-ji-poh-kun. Dan ketika empat kali wanita itu menyerang tapi empat kali itu juga luput menyambar, kitab disimpan dan sekarang pemuda ini mengelak dan menangkis maka Tung-hai Sian-li kaget sekali karena lawan memiliki sinkang amat kuat dan ia terhuyung.

"Dukk!"

Pemuda itu tergetar dan terdorong selangkah. Tung-hai Sian-li membeliak karena darl adu pukulan ini ia maklum bahwa lawan hanya seusap saja di bawahnya. Murid Dhiran Sing itu sudah lebih hebat dari gurunya. Namun karena tangkisan tadi dilakukan dengan tenaga Hwe-kang, dan ini adalah ilmu silat Hwe-sin maka wanita itu menggelegak marah dan ia menerjang lagi melengking-lengking. Pertandingan terjadi dengan cepat namun semua pukulan-pukulan Tung-hai Sian-li dapat dilayani baik. Apapun yang dikeluarkan wanita itu diimbangi juga oleh ilmu silat yang sama, oleh pemuda ini.

Dan ketika mereka sudah; bergebrak limapuluh jurus dan hanya tenaga sinkang saja selisih sedikit, Tung-hai, Sian-li juga menang pengalaman, bertandinglah dua orang itu dengan amat serunya dan Hwe-ci maupun poh-kun silih berganti memenuhi ruangan itu. Suara "set-set" dari langkah kaki mereka yang cepat membuat lantai ruangan: tiba-tiba menjadi panas. Uap tipis membayang rata dan ketika pukulan-pukulan Hwe-ci juga menyambar maka ramailah!

Sinar-sinar laser hantam-berhantam setiap kali bertemu tentu mengeluarkan ledakan dan guncangan nyaring. Pemuda satunya masih menonton tapi ketika seratus jurua lewat dengan cepat maka temannya itu mulai terdesak, tertekan dan mulai mundur-mundur sampai akhirnya mepet tembok. Dan ketika dua tiga pukulan mengenai tubuhnya dan pemuda ini mengeluh, Tung-hai Sian-li benar-benar hebat sekali maka pemuda kedua tak dapat berdiam diri dan diapun masuk menyerang wanita itu. Keroyokan segera terjadi.

"Tung-hai Sian-li, jangan sombong dan menekan suhengku. Awas, akupun datang membantu!"

Wanita itu membentak. la sudah memutar tubuh dan menangkis pukulan itu dan iapun terpental. Pemuda itu terdorong tiga langkah namun selanjutnya sudah bergerak menyerang kembali. Suhengnya terlepas dari himpitan dan kini mengejar Tung-hai yang baru saja terpental dan kaget karena sinkang pemuda kedua itu sama dengan pemuda pertama. Jadi keduanya berimbang. Dan ketika selanjutnya la dikeroyok dan beratlah bagi wanita ini menghadapi dua lawan tangguh, mereka itu telah mengetahui ilmu-ilmunya dan juga ilmu-ilmu Hwe-sin maka sambil mendelik dan melengking-lengking wanita itu benci sekali kepada dua muridnya keempat dan kelima.

Ternyata Hek Lan dan Ui Yang itulah yang mencuri kitabnya untuk selanjutnya diberikan kepada murid-murid Dhiran Sing ini. Ia telah tidak menghiraukan kitab pelajaran silat itu setelah Dhiran Sing dibunuhnya. Ilmu-ilmu silat itu telah diwarisinya, kitabnya disimpan dan ditaruh baik-baik di dalam kamarnya dan selama ini memang tak pernah dilihatnya lagi. Peti penyimpan kitab itu masih di sana tapi sama sekali tak disangkanya bahwa isinya telah hilang.

Dua pemuda itulah yang bicara dan kini mereka tertawa-tawa mendesaknya. Hwe-ci dan Pek-hong-koan-jit sambar-menyambar namun Tung-hai Sian-li terdesak. Lawan juga mahir Tujuh puluh Dua Langkah Sakti dan inilah yang amat berbahaya. Dengan langkah dan gerak cepat mereka itu tahu-tahu berada di dekatnya lagi, ia tak dapat menjauhkan diri. Dan ketika perlahan tetapi pasti ia terdesak hebat, mundur dan jatuh bangun menghadapi dua lawannya itu maka Yogiwara, murid pertama Dhiran Sing itu berkata kepada sutenya agar tidak membunuh dulu wanita ini.

"Robohkan ia, tangkap dan lumpuhkan saja. Nanti kita permainkan dan setelah itu baru dibunuh!"

"Ah, maksudmu?" sang sute tak mengerti.

"Ha-ha, kita nikmati dulu wanita ini, Bu Sit. Ia masih perawan biarpun tua. Guru kita tak sempat menjamahnya dan biarlah kita murid-muridnya menikmati sekarang. Ha-ha, tentu masih nikmat!"

Tung-hai marah bukan main. Ia merasa dihina dan dipermainkan dan kini ia mencabut sabuknya untuk dilontar dan dicipta sebagai sihir. Tapi ketika sihir itu dipatahkan lawan karena dua pemuda itu murid-murid Dhiran Sing, buyar dan menyihir lagi namun ambyar dihancurkan lawan maka Tung-hai Sian-li merah padam mendengar kata-kata lawan yang semakin kotor.

"Ha-ha, lontarkan semua pakaianmu, Tung-hai Sian-li. Copot dan lepas semua bajumu. Nanti kalau sudah telanjang tentu kami tak akan menyakitimu melainkan justeru memberimu api cinta. Aih, tentu menggairahkan sekali, ha-ha...!"

Wanita ini melengking-lengking. la melepas tusuk rambut dan beberapa assesori lain, disambitkan atau dilontarkan kepada pemuda-pemuda itu namun semua dapat dipukul runtuh. Dan karena tentu saja ia tak mau melepas baju atau kancing-kancing bajunya, ia hanya akan membuat lawan bergairah dan tertawa mengeluarkan omongan lebih kotor lagi maka ia mengeluarkan jeritannya memanggil semua murid-muridnya. Ui Yang dan Hek Lan tiba-tiba muncul.

"Jahanam!" begitu wanita ini langsung memaki. "Kalian berdua anjing-anjing hina-dina, Ui Yang. Tak tahu malu dan kiranya menjalin hubungan gelap dengan murid-murid Dhiran Sing ini. Ayo, majulah dan keroyok subomu!"

Dua gadis itu terisak. Sesungguhnya mereka mengintai dan diam-diam berdebar tegang. Mereka berkata kepada kekasih mereka itu bahwa saat itu adalah saat paling baik menemui Tung-hai Sian-li. Seluruh murid sedang mencari bahan makanan dan merekapun ikut, padahal diam-diam mereka di situ karena ingin melihat apa yang dilakukan kekasih-kekasih mereka ini. Hanya Pek Lian dan dua suci yang lain itulah yang pergi.

Maka ketika dua gadis itu muncul dan Bu Sit serta suheng-nya terkejut, omongan-omongan mereka tadi tentu didengar gadis-gadis ini maka Yogiwara maupun sutenya sejenak menahan diri. Bu Sit terbawa-bawa watak suhengnya yang kotor pula. Tapi begitu Tung-hai Sian-li marah-marah dan muridnya menangis, Hek Lan dan Ui Yang tahu bahwa subo mereka memanggil saudara-saudara vang lain maka dua gadis ini melompat maju tapi bukan untuk menyerang melainkan menarik dua pemuda itu mundur, melarikan diri.

"Yogi, Bu-twako, subo sedang memanggil suci-suci yang lain. Pergi dan kita tinggalkan saja tempat. ini!"

"Eh!" dua pemuda itu terkejut. "Jangan gila, Hek Lan. Kita kepalang basah!"

"Tapi saudara-saudaraku yang lain akan muncul!"

"Ha-ha, tak perlu takut, Hek Lan. Kalau mereka datang kita robohkan sekalian. Jangan kira subomu mengampunimu kalau kita pergi tanpa membunuhnya dulu!"

"Benar," Bu Sit, murid nomor dua berkata. "Suhengku benar, Hek Lan. Kalau Wanita ini tak dibunuh maka kelak ia akan mengganggu kita. Kita kepalang basah, maju dan bantu kami dan percepat merobohkan wanita ini!"

Dua gadis itu tertegun. Mereka akhirnya sadar bahwa pergi tanpa membereskan Tung-hai Sian-li ibarat memelihara penyakit yang kelak akan membunuh mereka sendiri. Tapi karena wanita itu adalah subo mereka dan sukar untuk menggerakkan tangan menyerang guru sendiri maka dua gadis itu menangis dan Tung-hai Sian-li kembali memekik dengan jeritan panjang.

"Nah, dengar ia memanggil murid-muridnya lagi. Kau tak akan lolos kalau wanita ini tak dibunuh, Hek Lan. Cepat ber-gerak dan bunuh ia!"

Hek Lan, gadis baju hitam ini mengguguk. Ia menggeleng dan menutupi mulutnya dan saat itu terdengar pekikan atau jeritan yang sama. Rupanya pekikan atau jeritan Tung-hai Sian-li bersambut. Dan ketika Ui Yang juga pucat dan bingung melihat itu, tiga sucinya datang maka Tung-hai Sian-li mendapat satu totokan Hwe-ci dan wanita itu terjengkang disusul pukulan lain dari dua lawannya yang tak mau diajak pergi kekasih-kekasihnya ini.

Yogiwara bergerak dengan langkah Jit-cap-ji-poh-kun dan sutenya juga bergerak dengan langkah yang sama, set-set mendekati wanita itu dan Tung-hai Sian-li yang bergulingan mengeluh tertahan meloncat bangun. Namun karena dua pemuda itu ada di dekatnya karena mereka mengejar dan bergerak dengan langkah sakti Jit-cap-ji-poh-kun maka ketika ia meloncat bangun begitu pula dua pemuda itu melepas pukulan lagi. Yogi mencengkeram buah dadanya dan Bu Sit menusuk pangkal pahanya.

"Aughh...!" Wanita itu mendelik. Tusukan pangkal pahanya mengena tepat tapi yang lebih kurang ajar lagi adalah cengkeraman kebuah dadanya itu. Yogi, pemuda asing itu, mencengkeram dan meremas buah dadanya dengan tidak sungkan-sungkan. Pemuda itu tersenyum dan menyeringai cabul, pandang matanya kurang ajar sekali.

Dan ketika Tung-hai Sian-li kembali roboh sementara Hek Lan terbelalak melihat perbuatan itu, ia membuka matanya dan melihat ini maka pemuda itu bergerak lagi dan dengan langkah-langkah saktinya ia mendekat dan mengusap bagian-bagian lain tubuh subonya secara kurang ajar, paha dan bawah perut.

"Ha-ha, kau masih mulus, Tung-hai Sian-li. Sayang kalau dibunuh cepat-cepat. Hm, biarlah kau mati dengan mata mendelik tapi membawa nikmat!" pemuda ini tanpa sungkan atau malu-malu meraba dan mengusap tubuh wanita itu. Tung-hai Sian-li sudah terdesak hebat dan mengelakpun ia tak mampu. Ganti berganti dua pemuda itu menekannya. Tapi ketika Hek Lan berkelebat dan marah menampar pemuda itu, Yogi terkejut dan sadar maka dia tertawa dan menusuk ulu hati Tung-hai Sian-li dengan Jari Api.

"Aduh, jangan marah-marah, Hek Lan. Aku sekedar membalas sakit hati guruku. Baiklah, kuhabisi ia dan lihat tiga sucimu yang lain datang.... crat!"

Darah memuncrat dari luka di ulu hati Tung-hai Sian-li, terhuyung dan roboh karena saat itu ia benar-benar tak dapat mengelak. Sakit hati dan kemarahannya membuat banyak tenaga terbuang sia-sia. Ia melotot dan girang melihat tiga muridnya datang namun saat itu tusukan Yogiwara mengenai ulu hatinya. la baru saja juga ditampar Bu Sit, pemuda yang lain. 

Dan ketika ia mengeluh dan gadis baju putih serta yang lain terpekik melihat keadaan subo mereka, juga tertegun dan heran melihat Hek Lan dan Ui Yang di situ namun sama sekali tidak membantu maka mereka bergerak dan sekali berkelebat mereka sudah menyambar dan menolong subo mereka itu. Dan saat itu Hek Lan serta sumoinya berkelebat keluar, menarik dan membawa lari kekasih-kekasih mereka.

"Subo..."

Tung-hai Sian-li luka parah. Wanita itu menuding dan mendelik menunjuk-nunjuk Hek Lan tapi roboh tak kuat meneruskan maksudnya. Gadis baju putih menolongnya dan pucatlah dua yang lain melihat keadaan subo mereka. Ulu hati wanita itu tembus dan tak ada harapan hidup. Namun karena mereka harus menolong dan apapun harus dilakukan untuk menyelamatkan subo mereka ini maka setelah susah payah menolong segera subo mereka menceritakan kejadiannya. Dengan mata merah dan napas terputus-putus Tung-hai Sian-li menceritakan duduknya perkara. Dan begitu jelas iapun terguling lagi.

"Cari Hek Lan dan Ui Yang itu. Bunuh mereka. Dan kitab itu.... kitab itu.... ah, rampas kembali, Pek Lian. Pelajari oleh kalian bertiga dan balaskan sakit hatiku!"

Tung-hai Sian-li roboh dan menghembuskan napasnya yang terakhir. Ia benar-benar tak kuat lagi dan menjeritlah tiga muridnya oleh kejadian ini. Tapi begitu mereka sadar dan melengking, gadis baju putih meloncat bangun maka musuh yang belum lari terlalu jauh dikejar. Dan benar saja, Hek Lan sedang berkutat dan tarik-menarik dengan kekasihnya. Yogi, pemuda asing itu, tak mau meninggalkan tempat karena ia akan menghabisi pula tiga yang lain agar tak mengganggu di kelak kemudian hari.

Pemuda ini berkilah bahwa Pek Lian dan dua yang lain harus dibunuh, padahal sebenarnya diam-diam pemuda itu tergetar dan tergerak melihat kecantikan gadis baju putih ini, juga dua yang lain karena dia sudah mulai bosan dengan Hek Lan. Kekasihnya ini terlalu takut-takut padahal mereka sudah terlanjur melangkah jauh. Maka berdalih ingin melenyapkan pula gadis baju putih itu, dalih yang dikatakan dengan mata mengandung minyak maka Hek Lan vang tahu dan justeru tak ingin kekasih-nya berdekatan dengan sucinya membentak dan mencengkeram kuat.

"Tidak, kita harus lari, Yogi. Kau telah membunuh subo. Cukup! Itu adalah niatmu utama dan jangan mengganggu suci-suciku yang lain. Ingat janjimu!"

"Tapi mereka akan mengejar-ngejar kita. Hidup kita tak aman..."

"Kita lari jauh, ke negerimu. Tak mungkin mereka menemukan kita dan ayo pergi. Atau kau memang menaksir suciku karena pandang matamu jelalatan!"

"Ha-he, laki-laki sudah dikodratkan untuk mengagumi dan mencinta wanita, apa/lagi yang cantik. Eh, kau tak usah cemburu Hek Lan. Baiklah terus terang Saja aku memang tertarik pada sucimu itu, si baju putih. Kalau ia mau kuajak pergi dan sama-sama ke Thian-tok (India) biarlah kuturut omonganmu den kita berbahagia di sana."

"Apa? Kau.. kau...."

"Sst, ia datang," Yogiwara tersenyum dan menyeringai girang. "sucimu, Hek Lan. Kita hadapi dan mari sambut."

Gadis ini terbelalak. Kekasihnya, yang telah membunuh dan diberi segala-galanya ini ternyata terang-terangan ingin mengambil sucinya untuk dijadikan kekasihnya. Ini berarti semua pengorbanan sia-sia dan marahlah ia melihat sikap itu. Dan ketika benar saja sucinye datang dan disambut degup gembira, mata pemuda itu bersinar dan dengus hidung menunjukkan berahi menaik, tanda-tanda ini dikenal baik oleh gadis itu maka Hek Lan meledak dan diterjanglah kekasihnya ini.

"Yogiwara, kau pemuda terkutuk!"

Pemuda ini berkelit. Dia terkejut tapi tertawa menerima serangan ini, mengelak dan mengibas dan terpelantinglah Hek Lan oleh tangkisannya yang kuat. Dan ketika ia itu meloncat bangun sementara gadis baju putih sudah berkelebat datang maka pemuda ini berkata bahwa Hek Lan bukan apa-apa baginya.

"Kau tak mungkin menang melawan aku. Lihat saja subomu, tak mungkin kau mengalahkan aku. Ha-ha, turut dan ikuti kehendakku, Hek Lan. Atau nanti kau kuhajar."

"Keparat!" gadis baju hitam itu sudah menerjang dan memaki-maki. "Kau binatang jahanam, Yogi. Kau tak menghargai cintaku. Aih, kubunuh kau. kubunuh...!"

Namun Si pemuda yang mengelak dan menangkis lagi akhirnya menunjukkan bahwa lawan bukan tandingannya. Hwe-ci mencicit dan robeklah pundak Hek Lan. Kekasihnya sekarang mulai bersikap keras, ia dilukai! Dan ketika gadis itu melengking namun Yogi tertawa-tawa, gadis baju putih tertegun dan berhenti sejenak maka pemuda itu memandangnya dan melambaikan tangan.

"Adik manis, kemarliah. Sumoimu nakal. Bantu aku dan mari ikut ke Thian-tok!"

Gadis ini melotot. la berapi-api tapi melihat pertengkaran itu tentu saja ia membela sumoinya. Urusan pengkhianatan nanti dulu, yang penting pemuda ini harus dibunuh dan kematian subonya harus dibalas. Maka ketika ia membentak dan menerjang maju, Hek Lan dimaki dan gadis itu menangis tersedu-sedu maka dikeroyoklah pemuda ini namun Yogi ternyata pemuda amat lihai. Setelah ia memperoleh kitab dan mempelajari ilmu-ilmu Hwe-sin maka kepandaiannya sungguh luar biasa. Gerak langkah saktinya bergeser amat cepat dan inilah yang sulit ditandingi.

Dulu Hwe-sin juga membuat lima gadis kewalahan gara-gara ilmunya ini. Tapi ketika berturut-turut datang dua saudara yang lain, gadis baju biru dan hijau maka pemuda Thian-tok ini kewalahan. Dia boleh hebat tapi menghadapi kemarahan murid-murid Tung-hai Sian-li bukanlah pekerjaan ringan, apalagi karena dia telah bertempur hebat dengan Tung-hai Sian-li sendiri, pertempuran yang cukup menguras tenaga dan kini harus menghadapi keempat muridnya yang marah. Hek Lan, kekasihnya itu, paling sengit menerjang karena merasa marah dan benci dilukai perasaannya. Terang-terangan kekasihnya itu hendak mengambil suci-sucinya sebagai kekasih baru, siapa tak terbakar!

Dan ketika sucinya baju biru dan baju hijau juga tak luput dari permintaan ini, ternyata Yogiwara adalah pemuda hidung belang maka kekecewaan dan penyesalan melanda Hek Lan. Gadis baju hitam ini menangis tersedu-sedu dan ketika keroyokan semakin sengit ia pun menyerang semakin hebat. Lawan mereka mulai lelah dan mandi keringat. Sedikit tetapi pasti mereka berhasil mendesak, meskipun untuk merobohkan kiranya adalah pekerjaan suiit karena Hwe-kang atau Tenaga Api melindungi pemuda itu, kebal dan tahan terhadap serangan-serangan mereka.

Namun karena pemuda itu juga kesakitan, lawan juga mulai mencabut senjata dan tikaman atau bacokan ditujukan ke daerah-daerah berbahaya, seperti hidung dan matanya akhirnya pemuda ini tertawa dan tiba-tiba mencabut tiga paku berulir yang ujungnya mengkilap kebiruan.

"Ha-ha, kau dilanda cemburumu, Hek Lan. Sayang sekali. Kau agaknya sudah tak mengingat asyik-masyuk kita di kala bercumbu. Aih, betapa kau merengek dan minta kulucuti. Baiklah, kau menjadi pengganggu dan aku bosan kepadamu. Terimalah dan semoga dapat bercinta di akherat!"

Tiga paku berulir itu menyambar dengan cepat. Hek Lan terlalu bernafsu dan serangan-serangannya membuat ia lengah. Bagian depannya terbuka. Maka begitu tiga sinar biru menyambar dada dan tenggorokannya, juga bawah pusar di mana tentu saja gadis itu menjadi kaget maka ia mengibas namun aneh dan luar biasa paku-paku itu menggeliat dan.... crep-crep-crep, semuanya menancap di tiga bagian tubuhnya.

Gadis ini roboh dan pemuda itu meloncat mundur, tertawa dan mempergunakan kesempatan itu karena gadis baju putih dan yang lain tertegun, menghentikan serangan. Dan ketika ia berkelebat dan memutar tubuhnya, Hek Lan sekarat maka murid Dhiran Sing ini meninggalkan lawan-lawannya dengan tawa menyakitkan. Gadis baju hijau mau mengejar namun ditahan gadis baju biru. Gadis baju biru memandang gadis baju putih.

Dan ketika gadis baju putih mengangguk dan melarang pergi, pemuda itu terlalu berbahaya sedangkan Hek Lan terluka maka mereka menolong namun sumoi mereka itu tak tahan. Hek Lan mengeluh dan menangis bercucuran air mata menyatakan penyesalannya, sayang tak berguna karena semuanya terlambat. Dan ketika gadis itu minta maaf dan mohon dibalaskan sakit hatinya, tiga sucinya mengangguk maka Pek Lian berkata menggenggam lengan sumoinya.

"Apa yang terjadi telah terjadi. Kau telah mencelakai dan menewaskan subo, Lan-moi. Tapi sekarang kau telah menebus dosa. Baiklah, tanpa kau mintapun pasti kami menuntut balas. Pergilah, dan tenangkan jiwamu!"

Hek Lan mengejang sejenak. la mencengkeram dan balas menggenggam lengan sucinya lalu terkulai, tewas. Dua tubuh telah menjadi korban dari perbuatan murid Dhiran Sing itu. Tapi begitu gadis baju putih berdiri dan mengurus jenasah sumoinya, pergi dan mengejar lagi maka sejak itu mereka bertiga mencari-cari pemuda Thian-tok ini. 

Sumoi mereka yang lain, Ui Yang, tak mereka temukan jejaknya karena rupanya pergi ke arah lain. Mereka tak tahu bahwa gadis inipun tewas dibunuh Bu Sit. Karena ketika Hek Lan menarik dan membawa lari kekasihnya maka gadis baju kuning itupun berlari bersama murid nomor dua Dhiran Sing ini.

"Kita tinggalkan tempat ini, pergi sejauh-jauhnya. Kau dan suhengmu melanggar perjanjian, Bu-twako. Kalian membuka rahasia kami. Kalian memberi tahu siapa yang mencuri kitab. Keparat!"

"Ah, jangan memaki-maki." Bu Sit, pemuda gagah tampan nomor dua tak senang. "Dibuka atau tidak kelak ketahuan juga, Ui Yang. Sama saja. Dan lagi yang membuka adalah suheng, bukan aku!"

"Tapi kau dapat mencegahnya, bukan membiarkan begitu saja. Dan kau.... kau sama dengan suhengmu, mulai bejat!"

"Eh-eh," pemuda ini marah. "Apa maksudmu, Ui Yang. Hati-hati kalau bicara!"

"Tak usah pura-pura," gadis itu panas, membentak. "Sudah kudengar omongan kalian berdua, Bu-twako. Dan tadi kaupun ikut-ikutan mengusap paha subo. Ayo, apa artinya ini kalau tidak hidung belang!"

"Eit, sabar," sang pemuda menyambar dan memegang lengan gadis itu, tersenyum. Watak suhengnya memang menular, ada kenikmatan sendiri kalau memegang-megang paha wanita lain. "Kau tak perlu bicara, yang sudah- sudah Yang-moi. Sekarang ke mana kita mau pergi dan apa selanjutnya yang akan kita lakukan!"

"Lepaskan aku!" sang gadis membentak, pipinya mangar-mangar. Aku tak suka kau ikut-ikutan suhengmu, Bu-ko. Sekali kulihat lagi maka kau kubunuh!"

"Eh-eh, menantang, kurang ajar! Apa maumu Ui Yang. Jangan membentak-bentak lelaki atau nanti kutinggal!"

"Apa? Meninggalkan aku setelah semua pengorbanan ini? Kau mau menjadi lak-lakii tak berbudi dan lepas tanggung jawab? Jangan main-main, aku bukan wanita murahan, Bu Sit. Tutup mulutmu dan jangan main ancam begitu!"

Pemuda ini mendelik. Tiba-tiba dia marah merasa tak dihargai. Ui Yang memang gadis keras tapi tak selayaknya bersikap begitu keras. Betapapun dia adalah. laki-laki. Maka tertawa dingin dan berkelebat pergi tiba-tiba pemuda itu meninggalkan kekasihnya dan menantang. "Baik, bagaimana kalau sekarang aku benar-benar meninggalkanmu, Ui Yang. Beranikah kau mengancam aku dan membunuhku!"

Gadis itu terbelalak. Sekarang kekasihnya benar-benar pergi dan ia ditantang untuk membuktikan kata-katanya. Bukan main panasnya! Maka membentak dan berseru keras iapun meloncat dan mengejar. "Bu Sit, jangan lari. Berhenti dan pertanggung jawabkan dulu benih di dalam perutku ini!"

"Apa?" pemuda ini terkejut, menoleh. Gadis itu menyambar dan berjungkir balik di atas kepalanya, turun dengan wajah beringas. Mereka kini berhadap-hadapan. "Apa katamu tadi, Ui Yang? Benih di dalam perutmu?"

"Benar, aku telah hamil. Gara-gara perbuatanmu maka aku akan menjadi ibu!"

"Ha-ha, nanti dulu. Ceritakan dulu bagaimanakah sikap suhengku empat bulan yang lalu ketika menemuimu di bawah pohon siong itu!"

Ui Yang terkejut. Gadis ini berubah pucat mendengar kata-kata ini. Pertanyaan itu berupa todongan. Tapi kembali dan pulih lagi ia bertanya, tak menjawab, "Apa maksudmu, Bu-ko? Pohon siong yang mana?"

"Ha-ha, tak usah berpura-pura. Empat bulan lalu kau dan suheng bertemu di dalam hutan. Katanya kalian bercakap-cakap dan suheng menceritakan betapa mesranya sambutanmu terhadapnya!"

"Binatang, bohong sekali! Kalau itu yang kau maksud maka kujawab bahwa justeru suhengmu itulah yang membujuk dan coba merayu aku, Bu-ko. Aku sama sekall tak bersikap mesra atau menyambutnya seperti kata-katamu!"

"Tapi pertemuan itu betul, bukan?" Sang gadis tertodong, bingung, tiba-tiba marah tapi juga takut, takut akan fitnah. "Jawab," pemuda itu sekarang membentak, suaranya lantang. "Tidak benarkah pertemuan itu, Ui Yang. Atau suhengku perlu kupanggil dan kau berhadapan dengannya!"

"Baik," murid Tung-hai Sian-li ini tiba-tiba menjadi marah. "Kuakui itu, Bu-ko. Tapi di antara kami tak terjadi apa-apa. Aku...."

"Ha-ha, nanti dulu. Kalau benar ada kejadian begitu kenapa kau tidak memberitahukannya kepadaku? Kenapa empat bulan lebih diam-diam saja dan berusaha menyembunyikan diri? Hm, suhengku adalah laki-laki yang suka wanita cantik, Ui Yang. Siapapun akan dibujuk ditaklukkan-nya sampai dapat. Aku kenal betul wataknya. Dan kau, hmm... diam-diam saja tak memberi tahu kepadaku sampai kini tiba-tiba menyatakan hamil! Eh, benih siapa jabang bayi di perutmu itu, Ui Yang. Kau jangan main-main!"

"Bu Sit!" bentakan itu terdengar me-lengking. "Kau berani menuduh aku yang tidak-tidak? Kau berani meragukan kesetiaan cintaku? Keparat, memang kuakui peristiwa itu tak kusampaikan kepadamu, Bu Sit. Tapi semata menjaga agar hubunganmu dengan suhengmu itu tetap baik. Aku tak mengira kau tahu ini dan tentu suhengmu itu yang bicara. Aku berani sumpah bahwa ini adalah benihmu!"

"Ha-ha, sekali wanita menyembunyikan sesuatu maka selanjutnya ia juga akan menyembunyikan hal-hal lain. Jangan mengira aku bodoh. Suheng pengejar wanita nomor wahid, Ui Yang. Mustahil bahwa kau luput dari rayuannya. Peristiwa empat bulan lalu tak pernah kau beri tahu, jangan-jangan sebuah pertanyaanku lagi inipun tak bakal kau jawab. Baiklah, berapa bulan kandunganmu itu!"

"Empat..." wanita ini terkejut, tiba-tiba menghentikan kata-katanya sendiri. Dan begitu ia sadar, maka pemuda itu pun tertawa bergelak.

"Empat? Ha-ha...! Jawab kalau begitu, kapan kau dan suheng bertemu di pohon siong itu, Ui Yang. Ulangi dan jawab pertanyaanku kalau kau jujur!"

"Bu Sit!"

"Tidak, tak perlu berteriak. Jawab kapan pertemuan itu terjadi dan tak usah melotot-lotot. Telingaku cukup baik. Coba katakan kepadaku kapan pertemuan itu terjadi."

Gadis ini tiba-tiba menangis. Ia harus menjawab tapi jawabannya bakal menyakitkan. la didesak, dipojokkan! Tapi karena ia harus menjawab dan betapapun ia tak merasa melakukan penyelewengan maka sambil menengadahkan muka dan dengan bibir gemetar menjawab,

"Bu-ko, tak kusangkal bahwa pertemuan dengan suhengmu itu terjadi empat bulan yang lalu. Tapi jangan kaitkan ini dengan umur kandunganku yang sudah empat bulan. Aku tak melakukan apa-apa dengan suhengmu, Bu-ko, sumpah demi bumi dan Langit. Kalau aku bohong biarlah mati disambar geledek!"

"Ha-ha Sumpah? Ah, sumpah wanita macammu tak dapat dipercaya, Ui Yang. Sekali kau meragukan hatiku selamanya aku tetap bimbang. Baiklah, begini saja, tunggu sampai bayi itu lahir dan lihat mirip siapakah dia. Aku atau suheng. Sekarang jangan ganggu aku dan biar aku pergi....!"