"BRESSS...." Nenek dan kakek gundul itu mengeluh. Mereka terbanting dan terlempar menabrak pohon dan tujuh orang di sana terbelalak. Ngo-mo-hengte, dan dua saudara Pak, yang baru saja bangkit dan meloncat bangun melihat kejadian itu. Lengan dua orang itu hancur sementara kulit dagingnya leleh.
Tai-bo dan Gwat Kong tak mampu menahan kekuatan Hwe-kang.naga Api dari Malaikat itu sungguh dahsyat dan mengerikan. Dan ketika mereka dilempar dan menabrak pohon, lemparan Hwe-sin adalah lemparan seorang sakti maka nenek dan kakek gundul itu hancur tulangnya, tewas seketika.
"Hwe-sin, kau pembunuh!"
Pak Heng, yang lebih dulu sadar dan berseru keras tiba-tiba pucat tapi juga marah. Ia mengejutkan teman-temannya yang lain namun semua mengangguk. Ngo-mo-hengte juga sadar dan berseru keras. Dan ketika Pak Heng menerjang maju sementara Pak Wi juga menggerakkan senjatanya, lima iblis bersaudara juga turut menerjang maka Hwe-sin kembali dikeroyok dan tujuh orang melepas pukulan-pukulan dahsyat.
Namun Hwe-sin mendengus. Ia telah membunuh dua dari sembilan lawannya dan kini matanya berkilat berbahaya memandang lawan-lawannya itu. Dengan Jari Apinya ia mengelak dan menangkis. Dan karena Jari Api ini amat ditakuti dan lagi-lagi mereka terpental, Pak Heng maupun Ngo-mo-hengte melengking tinggi maka dengan Jit-cap-ci-poh-kun nya laki-laki ini bergerak dan maju dengan cepat di antara sambaran-sambaran lawan.
Gunting. dan gaetan telah diremas hancur namun dua kakek growong itu mencabut senjata yang baru, lagi-lagi menyerang tapi kini tentu saja lebih hati-hati ditangkap lawan. Pengalaman tadi amatlah berharga dan dua bersaudara Pak ini tak mau diremas lagi senjatanya. Setiap jari atau tangan Malaikat Api bergerak mendekati senjata maka secepat itu pula mereka menarik mundur. Siraman logam panas yang amat berbahaya itu tak mau lagi terulang.
Dan karena dua saudara Pak kini amat berhati-hati sementara Lima Iblis Bersaudara juga bertanding saling melindungi, berkelebatan dan naik turun di antara bayangan lelaki ini maka Hwe-sin atau Malaikat Api kerepotan juga. Lawan menyingkir sebelum terpegang! Namun Hwe-sin adalah jago istana yang paling hebat. Kepandaian dan pengalamannya yang banyak membuat ia sejenak saja dihujani serangan gencar. Lawan tak lagi berani berdepan melainkan menyerang dan menghantam dari belakang. Hal itu dimungkinkan karena mereka dapat berpindah-pindah.
Tapi ketika laki-laki itu mengeluarkan bentakan keras dan mau tidak mau ia harus merobohkan lawan, satu atau dua orang harus ditangkap maka ketika semua meloncat menghindari Jari Apinya maka laki-laki ini melakukan langkah yang disebut Sin-hwe-hoan-sin (Dewa Api Balikkan Tubuh). Langkah ini adalah langkah ajaib karena sambil terus maju tiba-tiba iapun sudah berputar.
Dan ketika semua lawan sudah berada di belakang tapi secepat itu pula kembali berhadapan, Malaikat ini menotolkan kakinya dengan gerakan Jit-cap-ji-poh-kun maka tahu-tahu orang termuda dari Lima Iblis Bersaudara dan Pak Heng ditubruknya. Dan dari dua telunjuknya menyambar sinar laser itu!
"Awas!" Teriakan itu diserukan Pak Wi yang terkejut melihat ini. Pak Heng disambar dan bersamaan itu pula Malaikat Api meluncur ke depan. Gerak kakinya cepat luar biasa dan tahu-tahu ujung telunjukpun sudah di depan hidung. Bukan main kagetnya Pak Heng. Dan karena ia baru saja menghindari dari serangan Hwe-ci dan kini lawan membalik dan meluncur maju, gerakannya seperti di atas sepatu roda saja maka kakek ini tak sempat mengelak kecuali menangkis, begitu pula orang termuda dari Ngo-mo-hengte.
"Clap-clap!"
Semua orang silau. Sinar laser yang menyambar dari telunjuk Hwe-sin amat terang dan tajam sekali. Jari Api memang amat hebat dan menakutkan. Namun karena tak ada kesempatan menghindar kecuali menangkis, dua orang itu melakukannya maka Pak Heng maupun Ngo-heng-te (saudara kelima) mengeluarkan jerit tinggi. Mereka tertusuk dan sinar api itu menembus telapak mereka, terus menghantarn dahi dan tentu saja dua-duanya terjengkang. Dan ketika dua orang itu menjerit dan roboh tak bergerak-gerak lagi, dari lubang di depan dahi keluar asap seperti bekas las listrik maka dua orang ini tewas dan menjadi korban nomor dua.
"Aiiihhhhhh...!"
Ngo-mo-hengte mengeluarkan pekik gentar. Mereka pucat dan ngeri sekali melihat kematian adik mereka itu. Bagai kena bor menyala dahi saudara mereka itu terbakar, tembus dan api berbahaya itu masih juga menyambar dan meledak di atas tanah. Dan ketika Pak Wi juga pucat dan gentar bukan main, Malaikat Api masih terlampau sakti maka empat orang temannya memutar tubuh dan melarikan diri.
Namun Hwe-sin tertawa dingin. Ia mempergunakan langkah saktinya Jit-cap-ji-poh-kun, bergerak dan meluncur dan tahu-tahu seperti di atas sepatu roda saja ia sudah mendekati Su-hengte (saudara ke empat). Lalu ketika ia menudingkan telunjuknya dan jari laser menyambar maka jerit tinggi terdengar di sini karena punggung laki-laki itu tembus disambar.
"Bluk!" Su-heng-te roboh. Sam-hengte, orang nomor tiga, menoleh dan tersentak. Ia tadi selangkah di depan adiknya tapi menengok begitu adiknya menjerit. Dan ketika melihat Hwe-sin di situ maka semangatnya bagai terbang lebih dulu, berteriak dan mempercepat lari namun telunjuk yang lain dari tokoh istana itu bergerak. Suara crit dan sinar clap menyambar. Dan begitu Sam-hengte menjerit maka ia pun roboh. "Bluk!"
Dua kali suara ini membuat Toa-heng-te dan Ji-hengte terkesiap. Dua orang itu kaget dan tahu apa yang terjadi dan karena itu mempercepat lari mereka, tak berani menoleh dan kabur mengeluarkan semua ilmu meringankan tubuh. Namun karena lawan memiliki Jit-cap-ji-poh-kun dan tanpa inipun Hwe-sin masih di atas mereka, terbukti ketika tadi sama-sama memasuki hutan laki-laki itu lebih dulu dibanding lawannya maka begitu tertawa dingin anginpun berkesiur di belakang dua orang ini.
"Toa-tok, dan kau Ji-lok, jangan kabur. Saudara kalian minta diiring ke neraka. Berhentilah, dan terima ini!"
Dua orang itu pucat. Mereka tahu-tahu menerima serangan Jari Api dan bunyi itu amat dikenal. Dan ketika apa boleh buat mereka harus berhenti dan mengelak, melempar tubuh ke kiri kanan maka dua orang itu selamat tapi ketika bergulingan meloncat bangun mereka sudah berhadapan dengan lawannya ini, Hwe-sin yang sudah di depan mereka.
"Hwe-sin, kau jahanam keparat!"
Sabit di tangan dua orang itu tiba-tiba bergerak. Ji-lok, orang kedua, kebetulan lebih dekat dengan lawannya dan langsung membacok. Dalam panik dan marahnya ia tak perduli lagi apa yang terjadi. Dan ketika sabit menyambar namun ditendang, terpental menyambut sabit di tangan kakaknya yang saat itu juga bergerak menyambar Hwe-sin maka dua senjata itu bertemu nyaring dan masing-masing mencelat, terlepas.
Dan Hwe-sin yang tertawa dingin bergerak maju menusukkan dua Jari Apinya. Telunjuknya menyambar dua orang itu dan Toa-tok maupun Ji-lok terbeliak, kesempatan mengelak tak ada lagi dan merekapun memekik. Tangan kiri bergerak menyambut Jari Api itu. Namun ketika telapak mereka tembus dan terbakar, Jari Api meluncur dan terus menghantam maka dua-duanya terjengkang karena dada dan leher mereka disambar jari maut ini. "Ces-cess!" Dua orang itu roboh. Toa-tok dan Ji-lok langsung terjengkang dan merekapun tewas. Lengkaplah kini lima iblis itu ke akherat.
Dan ketika Hwe-sin membalik namun Pak Wi tak ada di situ lagi, lawan satunya ini sudah kabur maka Malaikat itu mendesis dan mencari lawannya namun orang terakhir ini lenyap. Dalam gebrakan-gebrakan cepat itu kakek growong ini telah menghilang dan kalau Toa-tok maupun Ji-lok keluar hutan adalah kakek ini memasuki hutan. la menembus gerombolan pohon dan berlindung di balik kegelapan malam ia menyembunyikan diri. Dan karena ini memang betul sebab kalau tidak tentu ia bakal ketahuan, Hwe-sin berkelebat dan dua kali mengelilingi hutan itu maka kakek ini selamat ketika akhirnya Hwe-sin pulang ke kota raja.
Malaikat itu mengira lawannya keluar lewat mulut hutan satunya, bersembunyi atau mungkin keluar lagi lewat hutan-hutan yang lain. Tempat itu memang banyak hutannya. Dan karena ia lelah tak mau lagi mencari lebih jauh maka kakek ini selamat tapi beberapa minggu kemudian Hwe-sin menghadapi lawan-lawan baru yang dulu merupakan musuh-musuhnya.
Semua orang itu datang ke istana dan satu demi satu menuntut dendam, tentu seja istana menjadi kaget dan perang tanding pecah di situ. Hanya beberapa saja yang mau menyelesaikan di luar. Dan ketika semua itu diselesaikan Malaikat ini dan satu demi satu pula musuhnya roboh, ini tentu perbuatan Pak Wi yang dulu lolos maka muncullah orang terakhir yang amat ditakuti Hwe-sin, yakni orang yang dicintanya si cantik Tung-hai Sian-li!
Malam itu, istirahat dengan tubuh lunglai Hwe-sin duduk bersila di kamarnya. Hampir sebulan penuh ia menghadapi musuh-musuh berat. Satu demi satu dirobohkan dan akhirnya musuh-musuh lama itu dihancurkan. Ia mulai tenang karena sejumlah besar musuhnya telah tewas. Ia mengingat-ingat bahwa tinggal musuh-musuh tak berarti yang tersisa, itupun tak mungkin datang karena tak mungkin mereka berani. Enam puluh sembilan orang telah ia binasakan.
Dan ketika ia was-was karena dari semua musuh yang datang hanyalah Tung-hai Sian-li yang belum, entah karena wanita itu sudah meninggal atau mungkin belum mengetahui keberadaannya di istana maka laki-laki ini mulai berpikir untuk meninggalkan saja istana mencari tempat lain, karena toh persembunyiannya sudah diketahui.
Namun kaisar menolak permohonannya. Ia tak mengijinkan pengawal pribadinya ini pergi kalau hanya semata alasan itu, bahwa Hwe-sin sungkan terhadap istana gara-gara perbuatannya maka orang-orang kang-ouw pun meluruk ke situ. Dan ketika kaisar menggeleng dan menarik napas dalam-dalam maka sri baginda berkata bahwa alasan itu tak tepat.
"Kau sudah tiga puluh tahun di sini, sudah bekerja membantuku. Kau bukan lagi pengawal biasa melainkan seolah sudah seperti keluargaku sendiri. Tidak, aku tak setuju kau pergi hanya karena alasan itu, Hwe-sin. Urusanmu adalah urusanku sebagaimana halnya urusanku adalah urusanmu. Biarkan musuh-musuhmu itu datang, dan biarkan kau menyelesaikannya. Kalau keselamatanku terancam maka kau tak usah khawatir karena tidak sekarangpun besok juga manusia akan mati. Aku tak apa-apa urusanmu melibatkan istana, biar saja. Asal tidak membawa-bawa rakyat jelata yang tidak tahu apa-apa itu. Lagi pula, kalau kau pergi maka siapakah penggantimu di sini yang pantas menduduki jabatan ini!"
Hwe-sin mengangguk-angguk, menarik napas dalam-dalam. Tapi ketika ia berkata bahwa ia merasa tak tenang, ada seorang musuh paling tangguh yang belum datang maka sebelum ia bicara kaisar sudah lebih dulu menjawab, tersenyum.
"Aku tahu, tapi akupun tak takut. Tung-hai Sian-li dapat kubujuk kalau ia ke sini, Hwe-sin. Justeru aku ingin mengikat jodoh dan melamarnya untukmu. Sudahlah, justeru aku menunggu kedatangannya dan biar nanti aku yang bicara. Seminggu lagi aku merencanakan memberi gelar kebangsawanan untukmu, mungkin Kok-su (Guru Negara)!"
"Kok-su?"
"Ya, kenapa? Kedudukan itu belum ada, Hwe-sin, dan kaulah yang pantas menerima ini. Sebetulnya sudah lama aku ingin memberikan ini tapi karena sifat kerahasiaanmu yang besar membuat aku ragu-ragu memberi gelar. Sekarang kau sudah dikenal umum, tak apa menyebutmu Kok-su karena kau berkepandaian tinggi. Lagi pula jasamu sudah besar!"
Laki-laki ini tertegun tak dapat bicara. Ia sebenarnya adalah seorang pendiam dan karena itu tak banyak membantah. Kok-su adalah kedudukan amat tinggi dan ini setingkat dengan Thai-suma, juga Kepala Agama hanya bidang mereka berbeda. Benar-benar setingkat di bawah kaisar dan tentu saja menjadi orang nomor dua di seluruh negeri. Dia, pengawal pribadi, akan diangkat sebagai Kok-su!
Tapi mendengar kaisar akan melamarkan Tung-hai Sian-li untuknya, hal yang membuat ia tergetar dan terkesiap maka justeru kepada omongan inilah Hwe-sin menaruh perhatian. Kaisar, putera Tuhan, akan menjodohkannya dengan wanita yang amat dicintainya itu. Bukan main besarnya penghargaan ini baginya. Jauh di atas Kok-su! Dan karena hal itu yang membuat Hwe-sin berdebar-debar cemas, mengharap tapi juga bimbang maka selanjutnya ia tak membicarakan lagi niat pengunduran dirinya dan bahkan ia tegang menanti datangnya Dewi Laut Timur itu.
Terbayanglah olehnya kisah tiga puluh tahun yang lalu. Pertandingan hebat yang mendebarkan diantara dirinya dengan wanita cantik itu. Betapa dengan kegigihan dan keuletannya yang luar biasa wanita cantik itu mampu mengimbangi semua pukulan-pukulannya. Baik ginkang maupun sinkang atau lweekang dapat diimbangi baik oleh Dewi Laut Timur itu. Tapi karena ia menang pengalaman bertanding, dan inilah yang membuat dirinya seusap di atas lawan maka setelah sehari semalam ia dapat merobohkan lawannya itu, melukai paha lawan yang tembus bolong, hal yang membuat Tung-hai Sian-li cacad dan seumur hidup pincang!
Malaikat ini menarik napas dalam-dalam. Membayangkan itu tiba-tiba timbul penyesalan besar. Air mata tiba-tiba menetes dan tangis atau jerit Tung-hai Sian-li seolah terngiang lagi di telinganya saat itu. Betapa wanita itu mengguguk dan menuding-nuding dirinya dengan gemetar. Betapa dengan marah dan penuh kebencian Dewi Laut Timur itu akan membalaanya kelak. Dan ketika semua kejadian itu lewat seperti baru saja terjadi maka laki-laki ini menghela napas dan tepekur.
Aneh, samadhinya tiba-tiba hilang. Ia tak dapat lagi mengkonsentrasikan diri karena bayangan dan kejadian itu berulang di depan matanya. Dan tepat laki-laki ini memandang jauh ke depan, kosong, ke arah lubang kunci mendadak sebuah mata yang tajam memandangnya. Bagai iblis!
"Eh!" Hwe-sin tersentak dan mencelat. Secepat itu pula ini menendang pintu kamarnya namun ketika terbuka ternyata tak ada siapa-siapa di situ. Kosong! Dan ketika laki-laki ini tertegun dan memutar pandangannya mendadak di lubang jendela terlihat bola mata itu lagi.
"Cet!'' gerakan Tujuh puluh Dua Langkah Sakti membuat Hwe-sin meluncur di situ, cepat dan jauh melebihi kilat menyambar dan sekali ia di sini jendela itu pun dihantamnya. Seseorang mengintai. Namun ketika jendela pecah dihantam ternyata di situpun tak ada siapa-siapa.
"Iblis!" Hwe-sin terbeliak dan terpaku. la segera mendengar desir-desir halus dan tiba-tiba bola mata itu muncul lagi di atas lubang angin, disambar tapi. lenyap dan muncul lagi di kisi-kisi lubang lain dan di-kejar tapi lenyap lagi untuk muncul di lubang-lubang yang lain lagi. Dan ketika laki-laki ini kaget sekali karena lima kali ia terkecoh dan seseorang atau lima orang sekaligus sedang mempermainkannya, ia sadar dan menjadi marah maka Jari Api atau Hwe-cinya menyambar.
"Clap-clap!"
Sekarang terdengar jerit atau seruan tertahan. Lima suara merdu, suara gadis-gadis muda membuat Hwe-sin tertegun. Ia berkelebat dan di taman kecil terlihat lima bayangan susul-menyusul. Dan ketika ia tiba di situ dan melihat lima orang gadis berpakaian hijau biru dan kuning serta hitam dan putih berdiri menantinya maka terkejutlah tokoh istana ini karena ia sama sekali tak mengenal siapa lawan-lawannya itu tapi harus diakui bahwa mereka cantik-cantik!
"Siapa kalian?" Laki-laki ini heran, kaget. "Apa yang kalian perbuat, nona-nona. Kenapa mempermainkan aku dan masuk istana. Tidak tahukah kalian bahwa tempat ini adalah larangan!"
"Hm," gadis baju putih, yang paling cantik dan berbibir indah menjebi. "Kami tak takut memasuki tempat apapun, Hwe-sin. Jangankan istana, sarang nagapun tak takut kami terjang. Kau hebat, tapi kami tak boleh menyerangmu. Kami hanya hendak mengantar dan menyerahkan sepucuk surat untukmu. Terimalah!"
Laki-laki itu terkejut. Sebuah surat, yang tipis dan panjang menyambar ke arahnya. Surat itu menyambar bukan lagi seperti sehelai kertas melainkan lebih mirip sekeping papan baja. Bunyi "singg" yang mengikuti lemparan itu cukup membuktikan ini. Tapi karena Hwe-sin adalah tokoh istana dan cepat ia menangkap, tentu saja mengerahkan sinkangnya maka laki-laki ini tergetar karena ujung lengan bajunya robek.
"Bret!" Laki-laki ini terbelalak. Surat itu telah ada ditangannya namun ujung lengan baju yang robek tersambar surat membuat laki-laki itu tertegun. Dari sini tahulah dia bahwa gadis baju putih ini amatlah lihai. Bahkan, diukur tenaganya dia masih tiga tingkat di atas kakek gundul Gwat Kong ataupun Ngo-mo-hengte! Dan ketika Hwe-sin terkesiap karena lawan amat berbahaya mendatanginya, tapi ia tak kenal dan memandang gadis itu maka gadis itu diam-diam juga kagum karena sesungguhnya ia tadi mengerahkan semua tenaganya untuk melempar surat, kertas yang sudah menjadi kaku dan keras seperti papan baja, yang kalau mengenai dinding saja pasti bolong dan tembus!
"Kau siapa," pertanyaan ini tak digubris gadis baju putih itu. "Surat dari siapa ini, bocah. Dan kenapa tak bicara saja."
"Kami hanya utusan, tak berhak banyak bicara. Dan karena kau telah menerima,surat itu maka sekarang kami pergi!" gadis itu bergerak, memberi aba-aba kepada teman-temannya dan tiba-tiba mereka berkelebatan melompati tembok taman. Sekali melayang dan turun di sana merekapun lenyap. Bukan main cepatnya!
Tapi Hwe-sin yang tentu saja tak membiarkan ini dan mengejar tiba-tiba meloncat dan hilang pula di balik tembok taman itu. "Anak-anak, tunggu!"
Hwe-sin mengeluarkan Jari Apinya. Tadi ia telah membuat lima gadis-gadis cantik itu terpekik dan berseru kaget, kini iapun mengeluarkan Hwe-cinya itu dan gadis baju putih itulah yang disambar. Gadis ini agaknya pemimpin. Dan ketika Hwe-ci lewat di antara gadis-gadis baju hijau dan kuning untuk menuju gadis baju putih, gadis itu berada di depan teman-temannya maka ia yang mendengar suara mencicit ini langsung berteriak keras dan membalik.
"Prat!" Hwe-ci memercik ke atas. Sinar laser itu ditangkis dan sang Malaikat berseru pendek melihat gadis itu terhuyung marah, tidak apa-apa dan sudah berdiri tegak padahal dulu Pak Heng maupun kelima iblis Ngo-mo-hengte tertembus telapaknya, roboh dan tewas. Dan ketika Hwe-sin terkejut sementara gadis itu marah sekali, keempat temannya berhenti dan mengepung maka gadis baju putih itu membentak, gusar.
"Hwe-sin, jangan kira aku takut melawanmu. Hanya karena larangan suboku maka aku tak berani menyerangmu. Biarkan kami pergi atau nanti kami mengamuk!"
"Hm, bagus sekali, mengamuklah. Aku justeru. ingin tahu siapa kalian ini dan siapa subo kalian itu. Kalian dapat menangkis Jari Apiku, tanda kalian benar-benar lihai tapi sayang aku tak mengijinkan kalian pergi sebelum urusan belum jelas. Nah, katakan siapa kalian ini dan apa artinya semua ini!"
"Baca surat itu dan kau akan tahu, tak usah bertanya!"
"Hmm, aku semakin tertarik, anak-anak. Semakin kalian merahasiakan diri semakin bulat keputusanku untuk menangkap dan membiarkan kalian di sini. Aku tak mau membuka surat kalau kalian tidak menerangkan siapa dan dari mana kalian!"
"Begitukah? Boleh, coba tangkap dan kejarlah aku. Tapi maaf bahwa aku akan sedikit melanggar larangan guruku!" dan gadis baju putih yang kembali memutar tubuh dan bergerak meloncat tiba-tiba meninggalkan Hwe-sin dan lenyap di tembok yang lain. Empat gadis yang mengepung meloncat pula karena Hwe-sin berkelebat mengejar, membentak dan mengincar gadis baju putih itu sebagai orang yang paling dikehendakinya. Dan ketika Hwe-sin tak menghiraukan empat gadis itu karena pemimpinnya adalah gadis baju putih maka empat gadis hijau biru dan kuning ini melepas pukulan, juga gadis berbaju hitam.
"Wuutttt!" Empat pukulan dahsyat menyambar punggung tokoh ini. Hwe-sin, yang tadi tak menghiraukan lawan-lawannya mendadak terkejut dan berseru keras. Angin amat dahsyat menghantam punggungnya disertai hawa dingin menggigit. Dan ketika ia membalik dan menangkis dan melihat empat gadis itu mendorongkan sepasang tangan mereka dengan gerakan terbang seperti garuda menyambar, lutut ditekuk sedikit dan masing-masing marah kepadanya maka gadis baju putih yang tadi lenyap dan hilang di depan sekonyong-konyong muncul lagi dan ikut menyerangnya dengan sepasang tangan mendorong ke depan, posisinya juga dalam posisi meloncat di mana kedua lututnya sedikit tertekuk.
"Pai-hai-jiu (Menggempur Samodera)!" Hwe-sin kaget dan berubah pucat. Pukulan ini, pukulan yang amat dikenal tiba-tiba datang menggempurnya dari dua jurusan. Pertama dari empat gadis di belakang sementara yang kedua adalah dari gadis baju putih itu. Dan karena muka dan belakang digencet Pai-hai-jiu, inilah ilmu yang dimiliki Tung-hai Sian-Li maka Hwe-sin yang tersentak dan berubah mukanya cepat menangkis dan menahan dengan Jari Apinya itu. Pukulan gadis baju putih tak mungkin ditangkisnya, ia sudah membalik menghadapi empat gadis di belakang.
"Dess!" Dan lima tubuh mencelat terlempar. Hwe-sin roboh dan terduduk dan seketika sesak napas. Untuk sejenak Malaikat ini mendelik. la tercekik! Dan ketika di sana lima tubuh berjungkir balik, gadis baju putih dan teman-temannya membuang tolakan Malaikat Api itu maka lima gadis ini sudah turun di tanah dan masing-masing mengeluarkan decak kagum.
"Hebat, Hwe-sin memang luar biasa. Tapi kita berlima tak perlu takut!"
"Benar" yang lain berseru. "la hebat, Pek-cici. Tapi menghadapi kita berlima tak mungkin ia menang!"
"Tapi subo melarang kita menyerang!" yang lain lagi berseru.
"Tapi kalau ia berani memaksa kita lagi inilah kesempatan kita merobohkannya!"
"Hm!" Hwe-sin bangkit berdiri, batuk-batuk. "Kalian kiranya murid-murid Tung-hai Sian-li, anak-anak. Bagus, aku sekarang mengenal dan silahkan kalian pergi. Surat ini akan kubaca!"
"Kau tak berusaha menangkapku lagi?" gadis baju putih mengejek, matanya bersinar-sinar, marah, tapi juga kagum. "Kalau ingin menangkap silahkan tangkap, Hwe-sin. Dan aku tak takut kepadamu!"
"Hmm, cukup. Yang berurusan adalah gurumu. Sampaikan bahwa suratnya telah kuterima dan nanti kubaca."
"Baik," gadis itu mengangguk. "Dan jangan lupa menemui subo kami, Hwe-sin. Jangan melarikan diri atau coba-coba melarikan diri dari sini!"
"Hm!" laki-laki itu tertawa, kecut. "Hwe-sin tak pernah melarikan diri menghadapi siapapun, bocah. Pergilah dan sampaikan salamku!"
Gadis baju putih itu mengebutkan lengan bajunya. Ia memberi tanda kepada teman-temannya dan mendengus pendek, berkelebat dan lenyap dari tempat itu dan Hwe-sin menarik napas dalam-dalam. Baru sekarang ia tahu bahwa lima gadis-gadis cantik itu adalah murid-murid Tung-hai Sian-li, musuh paling tangguh sekaligus orang yang amat dicintanya.
Namun ketika ia Sejenak telah terpaku dan sadar dari lamunannya maka surat itu dibuka dan dengan jari gemetar ia melihat tulisan tangan halus seorang wanita, membaca dan tak berkejap dan ia menekan debaran hatinya yang meningkat. Surat itu, seperti sudah diduga, adalah surat tantangan. Isi-nya meminta agar ia datang di Lembah Hijau menemui wanita itu, bukan untuk memadu kasih tentunya melainkan untuk bertanding, menuntaskan hutang lama! Dan ketika Hwe-sin memejamkan mata meremas surat itu, air mata tiba-tiba menitik maka Laki-laki ini tiba-tibe mengeluh.
"Eng Siu, kau ingin membalas sakit hatimu? Baik, aku akan datang. Aku datang bukan untuk bertanding melainkan untuk menyerahkan jiwaku!" dan membuka matanya kembali menyimpan surat itu lalu laki-laki ini memenuhi permintaan itu datang ke Lembah Hijau.
Lembah ini adalah lembah tempat peristirahatan kaisar di luar hutan, yakni bila kaisar merasa lelah dan ingin mengaso setelah berburu. Letaknya di kelokan sungai Huang-ho dengan rumput-rumputnya yang gemuk segar, tak boleh didatangi orang lain tanpa seijin istana. Tapi karena Tung-hai Sian-li bukanlah wanita biasa dan tempat itu memang tepat untuk pertemuan mereka maka tengah malam sesuai dengan isi surat itu Hwe-sin sudah berada di sini.
Sebuah bangunan kecil, tempat yang menjadi inti pertemuan adalah tempat yang dipilih wanita itu. Bangunan ini adalah rumah tanpa dinding tapi ada seperangkat meja kursi di situ, juga lampu kecil di mana kaisar sering duduk-duduk sambil membaca buku. Dan karena Hwe-sin tentu saja tak mau memperlihatkan diri, bergerak dan menuju tempat ini secara bersembunyi maka ia kecelik karena ia tak melihat wanita itu di situ, juga gadis-gadis cantik yang lihai itu. Dan ketika ia tertegun sementara bulan sudah semakin condong ke barat, mengintai dan menunggu namun lawan yang dicari tak muncul juga maka ia teringat bahwa ia diharuskan duduk di salah satu kursi yang ada ditempat itu, dan ia tak memenuhi permintaan ini.
"Aku akan muncul kalau kau melaksanakan perintahku. Pertama datanglah tempat tengah malam di Lembah Hijau dan kedua duduklah di kursi palihg timur dari bangunan milik kaisar."
Begitulah antara lain bunyi surat itu. Dan dia, yang sebenarnya tak ingin memperlihatkan diri lebih dulu ternyata harus gigit jari menunggu lawan sia-sia. Tung-hai Sian-li tak akan muncul kalau ia justeru bersembunyi. Dengan lain kata wanita itu tak mau dilihat dirinya lebih dulu sebelum melihat lawan. Dan karena ia tak sabar ingin menyelesaikan persoalan, apa boleh buat harus muncul dan masuk lebih dulu ke bangunan itu maka begitu duduk di kursi iapun tiba-tiba mendengar tawa dingin.
"Hm, mau juga ke situ, Hwe-sin? Bagus, kau suciah melaksanakan perintahku dengan baik!"
Malaikat ini girang. Ia mengenal tawa dan suara itu tapi begitu menoleh mendadak kursi yang diduduki meledak! Tiga panah kecil dan tujuh jarum-jarum merah mendadak menyambar dari bawah. Dan karena ia sedang duduk sementara semua senjata-senjata gelap itu menyambar pantatnya, juga anggauta rahasianya maka laki-laki ini terkejut dan ketika ia membentak menghantamkan tangan ke bawah sekonyong-konyong lantai bangunan amblong.
"Aih, terkutuk!" Hwe-sin berteriak dan tak menduga. la sungguh tak menyangka bahwa wanita yang dicintainya itu begitu keji, juga curang. Dan karena lantai membuka dengan cepat sementara ia menangkis dan mengebut panah dan jarum-jarum merah maka terjeblos ke bawah ia tak sempat meloncat naik.
Namun laki-laki ini adalah pengawal pribadi kaisar yang amat lihai, ilmu kepandaiannya sudah tinggi dan begitu ia terjeblos begitu pula ia berjungkir balik di lubang gelap, menangkap dua di antara tiga panah kecil itu dan secepat kilat menusukkannya ke dinding. Lalu begitu ia menahan panah ini dan tubuhnya tergantung sedetik, Hwe-sin mengayun dan panah lain digunakan untuk pijakan kakinya maka ia sudah menjejak dan meloncat keluar dengan cara berjungkir balik empat kali. Dan di situ sudah berkelebat enam bayangan susul-menyusul.
"Bagus... hebat!"
Pujian dan seruan terdengar sana-sini. Hwe-sin telah keluar dari lubang lantai itu dan di tepian sebelah barat berdiri lima gadis itu dan seorang wanita berpa-kaian merah berkembang-kembang, dengan satu kaki lebih pendek dibanding yang lain, Dan ketika wanita ini mendengus namun pandang mata kekaguman juga tak dapat dihindarkannya, Hwe-sin menyelamatkan diri dengan cara yang amat luar biasa maka laki-laki itu sendiri tertegun dan berdetak melihat wanita berbaju kembang ini, wanita empat puluh tujuh tahun namun yang kecantikannya masih menonjol, dengan bibir ditarik mengejek namun justeru itulah kekuatannya utama.
"Eng Siu...!"
Mereka berdiri berhadapan. Dua musuh besar, dengan dihalangi lubang sumur yang menganga gelap menjadi saksi bisu di samping lima gadis cantik-cantik itu. Tung-hai Sian-li, wanita berbaju kembang ini telah berdiri di situ dengan pandang matanya yang dingin. Bibirnya masih semanis dulu meskipun kini agak kering. Usia telah menggeragoti masing-masing pihak namun masing-masing pihak tetap tak dapat melupakan lawannya.
Tung-hai Sian-li memandang Hwe-sin dengan mata setajam srigala betina, galak dan menggigit dan wajah laki-laki itu dipandanginya dengan keras. Kebencian dan dendamnya jelas memancar. Tapi ketika Hwe-sin tiba-tiba mengeluh dan maju dengan wajah pucat, langkah kakinya gontai dan keringat membasahi dahi mendadak wanita ini tertegun karena laki-laki itu sudah berlutut, air mata bercucuran.
"Eng Siu, maafkan aku. Sudah lama kunanti pertemuan ini. Aku tahu apa maksudmu dan aku siap menebus dosa. Bunuhlah, kau boleh balas sakit hatimu!"
Semua terkejut. Hwe-sin, laki-laki gagah pengawal bayangan ini mendadak tersedu dan memeluk kaki kiri Tung-hai Sian li. Kaki yang lebih pendek daripada kaki kanan itu didekap dan diciumi. Dan ketika wanita ini tersentak sementara gadis baju putih dan empat yang lain tertegun, mata mereka terbelalak tiba-tiba Tung-hai Sian-li yang marah dan sadar dari rasa kagetnya itu membentak dan menendang, lutut bergerak menghantam dagu lawan.
"Hwe-sin, apa katamu ini. Siapa sudi menerima musuh secara cuma-cuma. Aku menginginkan nyawamu tapi dengan cara bertanding. Berdirilah.... dukk!"
Hwe-sin terlempar. Hantaman lutut yang mengenai dagunya itu tidaklah main-main, kuat dan keras dan seketika gigi la-ki-laki itu gemeratak. Kalau bukan Hwe-sin tentu rahang itu patah! Tapi ketika Hwe-sin mengeluh pendek dan sudah bangkit terhuyung, berlutut dan kembali meratap di depan wanita itu maka Tung-hai Sian-li benar-benar tertegun, untuk kedua kalinya ia terkejut.
"Bagus, boleh tendang sekali lagi, Eng Siu, dan arahkan ke ulu hatiku. Pasti mampus. Kau tendanglah lagi dan aku pasrah kau bunuh!"
Wanita ini terbelalak. Nama kecilnya yang disebut-sebut membuat ia merah dan pucat berganti-ganti. Hwe-sin memanggil nama kecilnya dengan begitu mesra dan lembut, menahan sakit namun laki-laki ini tak menyalahkannya. Membalas pun tidak! Namun ketika ia merasa malu dilihat murid-muridnya, dan rasa malu ini menjadi rasa marah maka ia mandur dan kaki hampir saja bergerak kembali menendang laki-laki itu.
"Hwe-sin, kau pengecut hina. Kau laki-laki tak tahu malu. Mana kegagahanmu dulu dan jangan harap aku mau membunuhmu kalau kau sama sekali tak melawan!"
"Aku memang tak melawan, dan tak akan melawan. Aku menyadari dosa dan salahku, Eng Siu, dan aku siap menebus dosa. Bunuhlah aku dan cuci kebencianmu dengan darahku."
"Kau.... kau begitu pengecut? Kau berani menghina aku seperti itu? Keparat, pantang Tung-hai membunuh orang tak melawan, Hwe-sin. Jangan membuat aku marah dan benci kalau kau bersikap begini rendah. Mana kegagahanmu dulu, mana kejantananmu!"
"Kau tak mau membunuhku?"
"Tidak, kalau kau tak mau melawan. Tapi aku menuntut kegagahanmu sebagai Hwe-sin yang perkasa dan sombong itu. Atau nanti murid-muridku yang akan membunuhmu dan kau kupaksa melawan!"
"Hm, orang lain boleh coba membunuh aku tapi tak mungkin aku menyerahkan nyawaku, Eng Siu. Kecuali kau orang yang kucinta dan yang membuat aku merana seumur hidup. Kau boleh cabut nyawaku, tapi jangan orang lain. Kalau kau tak mau membunuhku maka kuanggap kau menerima cintaku!" dan tak memperdulikan muka lawan yang semburat merah padam Hwe-sin mengeluarkan sesuatu dan menyerahkan sepotong kain merah bekas robekan celana wanita itu. "Lihat, dan saksikan ini. Benda ini kusimpan selama tiga puluh tahun, Eng Siu. Dan sekali lagi ingin kunyatakan perasaan hatiku kepadamu, bahwa aku mencintaimu, dunia akherat. Aku tak perlu malu kepada murid-muridmu ini karena mereka pun tentu akan mengalami apa yang dinamakan cinta. Terimalah!"
Tung-hai Sian-li pucat. ia mundur dan terbelalak memandang robekan kain merah itu dan terkejutlah dia bahwa itulah potongan celananya dulu, ketika robek tersambar Jari Api. Dan bahwa Hwe-sin masih menyimpan itu dan tigapuluh tahun yang lalu laki-laki itu pernah bersumpah tak akan menyentuh atau menikah dengan wanita lain dan robekan kain itulah yang akan disimpannya sebagai pengganti dirinya, kini hal itu benar-benar dibuktikan dan Hwe-sin memang tak pernah menikah maka Tung-hai Sian-li tiba-tiba mengeluarkan isak tertahan dan robekankam merah itu disambarnya.
"Hwe-sin, kau tak tahu malu!"
Hwe-sin bercahaya gembira. la membiarkan robekan kain celana itu dirampas sementara lawan merah padam bagai kepiting direbus. Namun begitu wanita ini melengking tiba-tiba dia berkelebat maju dan.... plak-plak, terpelantinglah Hwe-sin oleh dua tamparan keras. Hwe-sin tidak mengeluh namun ketika ia meringis meloncat bangun Tung-hai Sian-li berkelebat keluar dari bangunan kecil itu. Lima muridnya, yang terhenyak namun juga merah padam melihat semua ini mendengar bentakan subonya bahwa Hwe-sin harus dibunuh.
Gadis baju putih dan empat yang lain tercengang. Mereka terkejut dan baru sekarang tahu bahwa sesungguhnya Hwe-sin mencinta subo mereka, ditolak tapi laki-laki itu demikian teguh mempertahankan cinta. Dan karena robekan kain merah itu masih tetap disimpan selama tigapuluh tahun, hal yang luar biasa maka lima murid ini terharu dan sebagai wanita dapatlah mereka rasakan betapa besar dan dalamnya perasaan cinta pria ini terhadap subo mereka. Selama ini subo mereka tak pernah bercerita apa-apa kecuali bahwa di dunia ini ada seorang musuh besar yang amat menyakiti hati subonya, mengalahkan subonya itu dan membuat subonya cacad, pincang.
Tapi begitu percakapan di antara dua orang itu terjadi dan mereka seketika tertegun, permusuhan itu sebenarnya ber-campur dengan cinta sepihak di hati Hwe-sin maka perasaan memusuhi yang semula berkobar di hati mereka mendadak terganti oleh rasa kasihan dan iba. Amat sulit dicari laki-Laki seperti Hwe-sin ini. Tiga puluh tahun lebih tetap mencinta subo mereka dan tak sekalipun goyah, padahal biasanya lelaki adalah mahluk yang mudah melupakan janji dan setianya sendiri terhadap wanita.
Tapi begitu subo mereka mengeluarkan bentakan dl sana dan betapa subo mereka amat malu dan marah, Hwe-sin bangun dan hendak mengejar maka gadis baju putih yang bergerak dan menghadang tiba-tiba berseru, keempat temannya diberi tanda. Haru dan iba terpaksa ditindas, meskipun diam-diam mereka bangga dan kagum bahwa orang seperti Hwe-sin mencintai subo mereka.
"Hwe-sin, berhenti. Dengar dan lihat kata-kata subo kami. Cabut senjatamu, dan kita bertanding!"
Namun Hwe-sin tak memperdulikan gadis baju putih ini. Ia mendengar lengking dan isak Tung-hai Sian-li, mendengar betapa keluhan kuat tertahan di situ, di dalam. Dan ketika wanita itu berkelebat dan menghilang, menyuruh murid-muridnya menghadang mendadak tokoh istana ini berkelebat dan lewat di bawah ketiak gadis baju putih itu, mendorong.
"Eng Siu, tunggu. Kenapa menyuruh orang lain membunuhku. Kalau kau tak menerima cintaku maka katakanlah dan kita boleh bertanding lagi seribu jurus!"
"Keparat!" bentakan itu bukan dikeluarkan oleh Tung-hai Sian-li melainkan oleh gadis baju putih, Hwe-sin menginjak ujung sepatunya dan lewat di saat ia tentu saja tak dapat bergerak, mata kakinya diinjak. "Kau laki-laki licik, Hwe-sin. Jangan lari dan kembali!"
Tai-bo dan Gwat Kong tak mampu menahan kekuatan Hwe-kang.naga Api dari Malaikat itu sungguh dahsyat dan mengerikan. Dan ketika mereka dilempar dan menabrak pohon, lemparan Hwe-sin adalah lemparan seorang sakti maka nenek dan kakek gundul itu hancur tulangnya, tewas seketika.
"Hwe-sin, kau pembunuh!"
Pak Heng, yang lebih dulu sadar dan berseru keras tiba-tiba pucat tapi juga marah. Ia mengejutkan teman-temannya yang lain namun semua mengangguk. Ngo-mo-hengte juga sadar dan berseru keras. Dan ketika Pak Heng menerjang maju sementara Pak Wi juga menggerakkan senjatanya, lima iblis bersaudara juga turut menerjang maka Hwe-sin kembali dikeroyok dan tujuh orang melepas pukulan-pukulan dahsyat.
Namun Hwe-sin mendengus. Ia telah membunuh dua dari sembilan lawannya dan kini matanya berkilat berbahaya memandang lawan-lawannya itu. Dengan Jari Apinya ia mengelak dan menangkis. Dan karena Jari Api ini amat ditakuti dan lagi-lagi mereka terpental, Pak Heng maupun Ngo-mo-hengte melengking tinggi maka dengan Jit-cap-ci-poh-kun nya laki-laki ini bergerak dan maju dengan cepat di antara sambaran-sambaran lawan.
Gunting. dan gaetan telah diremas hancur namun dua kakek growong itu mencabut senjata yang baru, lagi-lagi menyerang tapi kini tentu saja lebih hati-hati ditangkap lawan. Pengalaman tadi amatlah berharga dan dua bersaudara Pak ini tak mau diremas lagi senjatanya. Setiap jari atau tangan Malaikat Api bergerak mendekati senjata maka secepat itu pula mereka menarik mundur. Siraman logam panas yang amat berbahaya itu tak mau lagi terulang.
Dan karena dua saudara Pak kini amat berhati-hati sementara Lima Iblis Bersaudara juga bertanding saling melindungi, berkelebatan dan naik turun di antara bayangan lelaki ini maka Hwe-sin atau Malaikat Api kerepotan juga. Lawan menyingkir sebelum terpegang! Namun Hwe-sin adalah jago istana yang paling hebat. Kepandaian dan pengalamannya yang banyak membuat ia sejenak saja dihujani serangan gencar. Lawan tak lagi berani berdepan melainkan menyerang dan menghantam dari belakang. Hal itu dimungkinkan karena mereka dapat berpindah-pindah.
Tapi ketika laki-laki itu mengeluarkan bentakan keras dan mau tidak mau ia harus merobohkan lawan, satu atau dua orang harus ditangkap maka ketika semua meloncat menghindari Jari Apinya maka laki-laki ini melakukan langkah yang disebut Sin-hwe-hoan-sin (Dewa Api Balikkan Tubuh). Langkah ini adalah langkah ajaib karena sambil terus maju tiba-tiba iapun sudah berputar.
Dan ketika semua lawan sudah berada di belakang tapi secepat itu pula kembali berhadapan, Malaikat ini menotolkan kakinya dengan gerakan Jit-cap-ji-poh-kun maka tahu-tahu orang termuda dari Lima Iblis Bersaudara dan Pak Heng ditubruknya. Dan dari dua telunjuknya menyambar sinar laser itu!
"Awas!" Teriakan itu diserukan Pak Wi yang terkejut melihat ini. Pak Heng disambar dan bersamaan itu pula Malaikat Api meluncur ke depan. Gerak kakinya cepat luar biasa dan tahu-tahu ujung telunjukpun sudah di depan hidung. Bukan main kagetnya Pak Heng. Dan karena ia baru saja menghindari dari serangan Hwe-ci dan kini lawan membalik dan meluncur maju, gerakannya seperti di atas sepatu roda saja maka kakek ini tak sempat mengelak kecuali menangkis, begitu pula orang termuda dari Ngo-mo-hengte.
"Clap-clap!"
Semua orang silau. Sinar laser yang menyambar dari telunjuk Hwe-sin amat terang dan tajam sekali. Jari Api memang amat hebat dan menakutkan. Namun karena tak ada kesempatan menghindar kecuali menangkis, dua orang itu melakukannya maka Pak Heng maupun Ngo-heng-te (saudara kelima) mengeluarkan jerit tinggi. Mereka tertusuk dan sinar api itu menembus telapak mereka, terus menghantarn dahi dan tentu saja dua-duanya terjengkang. Dan ketika dua orang itu menjerit dan roboh tak bergerak-gerak lagi, dari lubang di depan dahi keluar asap seperti bekas las listrik maka dua orang ini tewas dan menjadi korban nomor dua.
"Aiiihhhhhh...!"
Ngo-mo-hengte mengeluarkan pekik gentar. Mereka pucat dan ngeri sekali melihat kematian adik mereka itu. Bagai kena bor menyala dahi saudara mereka itu terbakar, tembus dan api berbahaya itu masih juga menyambar dan meledak di atas tanah. Dan ketika Pak Wi juga pucat dan gentar bukan main, Malaikat Api masih terlampau sakti maka empat orang temannya memutar tubuh dan melarikan diri.
Namun Hwe-sin tertawa dingin. Ia mempergunakan langkah saktinya Jit-cap-ji-poh-kun, bergerak dan meluncur dan tahu-tahu seperti di atas sepatu roda saja ia sudah mendekati Su-hengte (saudara ke empat). Lalu ketika ia menudingkan telunjuknya dan jari laser menyambar maka jerit tinggi terdengar di sini karena punggung laki-laki itu tembus disambar.
"Bluk!" Su-heng-te roboh. Sam-hengte, orang nomor tiga, menoleh dan tersentak. Ia tadi selangkah di depan adiknya tapi menengok begitu adiknya menjerit. Dan ketika melihat Hwe-sin di situ maka semangatnya bagai terbang lebih dulu, berteriak dan mempercepat lari namun telunjuk yang lain dari tokoh istana itu bergerak. Suara crit dan sinar clap menyambar. Dan begitu Sam-hengte menjerit maka ia pun roboh. "Bluk!"
Dua kali suara ini membuat Toa-heng-te dan Ji-hengte terkesiap. Dua orang itu kaget dan tahu apa yang terjadi dan karena itu mempercepat lari mereka, tak berani menoleh dan kabur mengeluarkan semua ilmu meringankan tubuh. Namun karena lawan memiliki Jit-cap-ji-poh-kun dan tanpa inipun Hwe-sin masih di atas mereka, terbukti ketika tadi sama-sama memasuki hutan laki-laki itu lebih dulu dibanding lawannya maka begitu tertawa dingin anginpun berkesiur di belakang dua orang ini.
"Toa-tok, dan kau Ji-lok, jangan kabur. Saudara kalian minta diiring ke neraka. Berhentilah, dan terima ini!"
Dua orang itu pucat. Mereka tahu-tahu menerima serangan Jari Api dan bunyi itu amat dikenal. Dan ketika apa boleh buat mereka harus berhenti dan mengelak, melempar tubuh ke kiri kanan maka dua orang itu selamat tapi ketika bergulingan meloncat bangun mereka sudah berhadapan dengan lawannya ini, Hwe-sin yang sudah di depan mereka.
"Hwe-sin, kau jahanam keparat!"
Sabit di tangan dua orang itu tiba-tiba bergerak. Ji-lok, orang kedua, kebetulan lebih dekat dengan lawannya dan langsung membacok. Dalam panik dan marahnya ia tak perduli lagi apa yang terjadi. Dan ketika sabit menyambar namun ditendang, terpental menyambut sabit di tangan kakaknya yang saat itu juga bergerak menyambar Hwe-sin maka dua senjata itu bertemu nyaring dan masing-masing mencelat, terlepas.
Dan Hwe-sin yang tertawa dingin bergerak maju menusukkan dua Jari Apinya. Telunjuknya menyambar dua orang itu dan Toa-tok maupun Ji-lok terbeliak, kesempatan mengelak tak ada lagi dan merekapun memekik. Tangan kiri bergerak menyambut Jari Api itu. Namun ketika telapak mereka tembus dan terbakar, Jari Api meluncur dan terus menghantam maka dua-duanya terjengkang karena dada dan leher mereka disambar jari maut ini. "Ces-cess!" Dua orang itu roboh. Toa-tok dan Ji-lok langsung terjengkang dan merekapun tewas. Lengkaplah kini lima iblis itu ke akherat.
Dan ketika Hwe-sin membalik namun Pak Wi tak ada di situ lagi, lawan satunya ini sudah kabur maka Malaikat itu mendesis dan mencari lawannya namun orang terakhir ini lenyap. Dalam gebrakan-gebrakan cepat itu kakek growong ini telah menghilang dan kalau Toa-tok maupun Ji-lok keluar hutan adalah kakek ini memasuki hutan. la menembus gerombolan pohon dan berlindung di balik kegelapan malam ia menyembunyikan diri. Dan karena ini memang betul sebab kalau tidak tentu ia bakal ketahuan, Hwe-sin berkelebat dan dua kali mengelilingi hutan itu maka kakek ini selamat ketika akhirnya Hwe-sin pulang ke kota raja.
Malaikat itu mengira lawannya keluar lewat mulut hutan satunya, bersembunyi atau mungkin keluar lagi lewat hutan-hutan yang lain. Tempat itu memang banyak hutannya. Dan karena ia lelah tak mau lagi mencari lebih jauh maka kakek ini selamat tapi beberapa minggu kemudian Hwe-sin menghadapi lawan-lawan baru yang dulu merupakan musuh-musuhnya.
Semua orang itu datang ke istana dan satu demi satu menuntut dendam, tentu seja istana menjadi kaget dan perang tanding pecah di situ. Hanya beberapa saja yang mau menyelesaikan di luar. Dan ketika semua itu diselesaikan Malaikat ini dan satu demi satu pula musuhnya roboh, ini tentu perbuatan Pak Wi yang dulu lolos maka muncullah orang terakhir yang amat ditakuti Hwe-sin, yakni orang yang dicintanya si cantik Tung-hai Sian-li!
* * * * * * * *
Malam itu, istirahat dengan tubuh lunglai Hwe-sin duduk bersila di kamarnya. Hampir sebulan penuh ia menghadapi musuh-musuh berat. Satu demi satu dirobohkan dan akhirnya musuh-musuh lama itu dihancurkan. Ia mulai tenang karena sejumlah besar musuhnya telah tewas. Ia mengingat-ingat bahwa tinggal musuh-musuh tak berarti yang tersisa, itupun tak mungkin datang karena tak mungkin mereka berani. Enam puluh sembilan orang telah ia binasakan.
Dan ketika ia was-was karena dari semua musuh yang datang hanyalah Tung-hai Sian-li yang belum, entah karena wanita itu sudah meninggal atau mungkin belum mengetahui keberadaannya di istana maka laki-laki ini mulai berpikir untuk meninggalkan saja istana mencari tempat lain, karena toh persembunyiannya sudah diketahui.
Namun kaisar menolak permohonannya. Ia tak mengijinkan pengawal pribadinya ini pergi kalau hanya semata alasan itu, bahwa Hwe-sin sungkan terhadap istana gara-gara perbuatannya maka orang-orang kang-ouw pun meluruk ke situ. Dan ketika kaisar menggeleng dan menarik napas dalam-dalam maka sri baginda berkata bahwa alasan itu tak tepat.
"Kau sudah tiga puluh tahun di sini, sudah bekerja membantuku. Kau bukan lagi pengawal biasa melainkan seolah sudah seperti keluargaku sendiri. Tidak, aku tak setuju kau pergi hanya karena alasan itu, Hwe-sin. Urusanmu adalah urusanku sebagaimana halnya urusanku adalah urusanmu. Biarkan musuh-musuhmu itu datang, dan biarkan kau menyelesaikannya. Kalau keselamatanku terancam maka kau tak usah khawatir karena tidak sekarangpun besok juga manusia akan mati. Aku tak apa-apa urusanmu melibatkan istana, biar saja. Asal tidak membawa-bawa rakyat jelata yang tidak tahu apa-apa itu. Lagi pula, kalau kau pergi maka siapakah penggantimu di sini yang pantas menduduki jabatan ini!"
Hwe-sin mengangguk-angguk, menarik napas dalam-dalam. Tapi ketika ia berkata bahwa ia merasa tak tenang, ada seorang musuh paling tangguh yang belum datang maka sebelum ia bicara kaisar sudah lebih dulu menjawab, tersenyum.
"Aku tahu, tapi akupun tak takut. Tung-hai Sian-li dapat kubujuk kalau ia ke sini, Hwe-sin. Justeru aku ingin mengikat jodoh dan melamarnya untukmu. Sudahlah, justeru aku menunggu kedatangannya dan biar nanti aku yang bicara. Seminggu lagi aku merencanakan memberi gelar kebangsawanan untukmu, mungkin Kok-su (Guru Negara)!"
"Kok-su?"
"Ya, kenapa? Kedudukan itu belum ada, Hwe-sin, dan kaulah yang pantas menerima ini. Sebetulnya sudah lama aku ingin memberikan ini tapi karena sifat kerahasiaanmu yang besar membuat aku ragu-ragu memberi gelar. Sekarang kau sudah dikenal umum, tak apa menyebutmu Kok-su karena kau berkepandaian tinggi. Lagi pula jasamu sudah besar!"
Laki-laki ini tertegun tak dapat bicara. Ia sebenarnya adalah seorang pendiam dan karena itu tak banyak membantah. Kok-su adalah kedudukan amat tinggi dan ini setingkat dengan Thai-suma, juga Kepala Agama hanya bidang mereka berbeda. Benar-benar setingkat di bawah kaisar dan tentu saja menjadi orang nomor dua di seluruh negeri. Dia, pengawal pribadi, akan diangkat sebagai Kok-su!
Tapi mendengar kaisar akan melamarkan Tung-hai Sian-li untuknya, hal yang membuat ia tergetar dan terkesiap maka justeru kepada omongan inilah Hwe-sin menaruh perhatian. Kaisar, putera Tuhan, akan menjodohkannya dengan wanita yang amat dicintainya itu. Bukan main besarnya penghargaan ini baginya. Jauh di atas Kok-su! Dan karena hal itu yang membuat Hwe-sin berdebar-debar cemas, mengharap tapi juga bimbang maka selanjutnya ia tak membicarakan lagi niat pengunduran dirinya dan bahkan ia tegang menanti datangnya Dewi Laut Timur itu.
Terbayanglah olehnya kisah tiga puluh tahun yang lalu. Pertandingan hebat yang mendebarkan diantara dirinya dengan wanita cantik itu. Betapa dengan kegigihan dan keuletannya yang luar biasa wanita cantik itu mampu mengimbangi semua pukulan-pukulannya. Baik ginkang maupun sinkang atau lweekang dapat diimbangi baik oleh Dewi Laut Timur itu. Tapi karena ia menang pengalaman bertanding, dan inilah yang membuat dirinya seusap di atas lawan maka setelah sehari semalam ia dapat merobohkan lawannya itu, melukai paha lawan yang tembus bolong, hal yang membuat Tung-hai Sian-li cacad dan seumur hidup pincang!
Malaikat ini menarik napas dalam-dalam. Membayangkan itu tiba-tiba timbul penyesalan besar. Air mata tiba-tiba menetes dan tangis atau jerit Tung-hai Sian-li seolah terngiang lagi di telinganya saat itu. Betapa wanita itu mengguguk dan menuding-nuding dirinya dengan gemetar. Betapa dengan marah dan penuh kebencian Dewi Laut Timur itu akan membalaanya kelak. Dan ketika semua kejadian itu lewat seperti baru saja terjadi maka laki-laki ini menghela napas dan tepekur.
Aneh, samadhinya tiba-tiba hilang. Ia tak dapat lagi mengkonsentrasikan diri karena bayangan dan kejadian itu berulang di depan matanya. Dan tepat laki-laki ini memandang jauh ke depan, kosong, ke arah lubang kunci mendadak sebuah mata yang tajam memandangnya. Bagai iblis!
"Eh!" Hwe-sin tersentak dan mencelat. Secepat itu pula ini menendang pintu kamarnya namun ketika terbuka ternyata tak ada siapa-siapa di situ. Kosong! Dan ketika laki-laki ini tertegun dan memutar pandangannya mendadak di lubang jendela terlihat bola mata itu lagi.
"Cet!'' gerakan Tujuh puluh Dua Langkah Sakti membuat Hwe-sin meluncur di situ, cepat dan jauh melebihi kilat menyambar dan sekali ia di sini jendela itu pun dihantamnya. Seseorang mengintai. Namun ketika jendela pecah dihantam ternyata di situpun tak ada siapa-siapa.
"Iblis!" Hwe-sin terbeliak dan terpaku. la segera mendengar desir-desir halus dan tiba-tiba bola mata itu muncul lagi di atas lubang angin, disambar tapi. lenyap dan muncul lagi di kisi-kisi lubang lain dan di-kejar tapi lenyap lagi untuk muncul di lubang-lubang yang lain lagi. Dan ketika laki-laki ini kaget sekali karena lima kali ia terkecoh dan seseorang atau lima orang sekaligus sedang mempermainkannya, ia sadar dan menjadi marah maka Jari Api atau Hwe-cinya menyambar.
"Clap-clap!"
Sekarang terdengar jerit atau seruan tertahan. Lima suara merdu, suara gadis-gadis muda membuat Hwe-sin tertegun. Ia berkelebat dan di taman kecil terlihat lima bayangan susul-menyusul. Dan ketika ia tiba di situ dan melihat lima orang gadis berpakaian hijau biru dan kuning serta hitam dan putih berdiri menantinya maka terkejutlah tokoh istana ini karena ia sama sekali tak mengenal siapa lawan-lawannya itu tapi harus diakui bahwa mereka cantik-cantik!
"Siapa kalian?" Laki-laki ini heran, kaget. "Apa yang kalian perbuat, nona-nona. Kenapa mempermainkan aku dan masuk istana. Tidak tahukah kalian bahwa tempat ini adalah larangan!"
"Hm," gadis baju putih, yang paling cantik dan berbibir indah menjebi. "Kami tak takut memasuki tempat apapun, Hwe-sin. Jangankan istana, sarang nagapun tak takut kami terjang. Kau hebat, tapi kami tak boleh menyerangmu. Kami hanya hendak mengantar dan menyerahkan sepucuk surat untukmu. Terimalah!"
Laki-laki itu terkejut. Sebuah surat, yang tipis dan panjang menyambar ke arahnya. Surat itu menyambar bukan lagi seperti sehelai kertas melainkan lebih mirip sekeping papan baja. Bunyi "singg" yang mengikuti lemparan itu cukup membuktikan ini. Tapi karena Hwe-sin adalah tokoh istana dan cepat ia menangkap, tentu saja mengerahkan sinkangnya maka laki-laki ini tergetar karena ujung lengan bajunya robek.
"Bret!" Laki-laki ini terbelalak. Surat itu telah ada ditangannya namun ujung lengan baju yang robek tersambar surat membuat laki-laki itu tertegun. Dari sini tahulah dia bahwa gadis baju putih ini amatlah lihai. Bahkan, diukur tenaganya dia masih tiga tingkat di atas kakek gundul Gwat Kong ataupun Ngo-mo-hengte! Dan ketika Hwe-sin terkesiap karena lawan amat berbahaya mendatanginya, tapi ia tak kenal dan memandang gadis itu maka gadis itu diam-diam juga kagum karena sesungguhnya ia tadi mengerahkan semua tenaganya untuk melempar surat, kertas yang sudah menjadi kaku dan keras seperti papan baja, yang kalau mengenai dinding saja pasti bolong dan tembus!
"Kau siapa," pertanyaan ini tak digubris gadis baju putih itu. "Surat dari siapa ini, bocah. Dan kenapa tak bicara saja."
"Kami hanya utusan, tak berhak banyak bicara. Dan karena kau telah menerima,surat itu maka sekarang kami pergi!" gadis itu bergerak, memberi aba-aba kepada teman-temannya dan tiba-tiba mereka berkelebatan melompati tembok taman. Sekali melayang dan turun di sana merekapun lenyap. Bukan main cepatnya!
Tapi Hwe-sin yang tentu saja tak membiarkan ini dan mengejar tiba-tiba meloncat dan hilang pula di balik tembok taman itu. "Anak-anak, tunggu!"
Hwe-sin mengeluarkan Jari Apinya. Tadi ia telah membuat lima gadis-gadis cantik itu terpekik dan berseru kaget, kini iapun mengeluarkan Hwe-cinya itu dan gadis baju putih itulah yang disambar. Gadis ini agaknya pemimpin. Dan ketika Hwe-ci lewat di antara gadis-gadis baju hijau dan kuning untuk menuju gadis baju putih, gadis itu berada di depan teman-temannya maka ia yang mendengar suara mencicit ini langsung berteriak keras dan membalik.
"Prat!" Hwe-ci memercik ke atas. Sinar laser itu ditangkis dan sang Malaikat berseru pendek melihat gadis itu terhuyung marah, tidak apa-apa dan sudah berdiri tegak padahal dulu Pak Heng maupun kelima iblis Ngo-mo-hengte tertembus telapaknya, roboh dan tewas. Dan ketika Hwe-sin terkejut sementara gadis itu marah sekali, keempat temannya berhenti dan mengepung maka gadis baju putih itu membentak, gusar.
"Hwe-sin, jangan kira aku takut melawanmu. Hanya karena larangan suboku maka aku tak berani menyerangmu. Biarkan kami pergi atau nanti kami mengamuk!"
"Hm, bagus sekali, mengamuklah. Aku justeru. ingin tahu siapa kalian ini dan siapa subo kalian itu. Kalian dapat menangkis Jari Apiku, tanda kalian benar-benar lihai tapi sayang aku tak mengijinkan kalian pergi sebelum urusan belum jelas. Nah, katakan siapa kalian ini dan apa artinya semua ini!"
"Baca surat itu dan kau akan tahu, tak usah bertanya!"
"Hmm, aku semakin tertarik, anak-anak. Semakin kalian merahasiakan diri semakin bulat keputusanku untuk menangkap dan membiarkan kalian di sini. Aku tak mau membuka surat kalau kalian tidak menerangkan siapa dan dari mana kalian!"
"Begitukah? Boleh, coba tangkap dan kejarlah aku. Tapi maaf bahwa aku akan sedikit melanggar larangan guruku!" dan gadis baju putih yang kembali memutar tubuh dan bergerak meloncat tiba-tiba meninggalkan Hwe-sin dan lenyap di tembok yang lain. Empat gadis yang mengepung meloncat pula karena Hwe-sin berkelebat mengejar, membentak dan mengincar gadis baju putih itu sebagai orang yang paling dikehendakinya. Dan ketika Hwe-sin tak menghiraukan empat gadis itu karena pemimpinnya adalah gadis baju putih maka empat gadis hijau biru dan kuning ini melepas pukulan, juga gadis berbaju hitam.
"Wuutttt!" Empat pukulan dahsyat menyambar punggung tokoh ini. Hwe-sin, yang tadi tak menghiraukan lawan-lawannya mendadak terkejut dan berseru keras. Angin amat dahsyat menghantam punggungnya disertai hawa dingin menggigit. Dan ketika ia membalik dan menangkis dan melihat empat gadis itu mendorongkan sepasang tangan mereka dengan gerakan terbang seperti garuda menyambar, lutut ditekuk sedikit dan masing-masing marah kepadanya maka gadis baju putih yang tadi lenyap dan hilang di depan sekonyong-konyong muncul lagi dan ikut menyerangnya dengan sepasang tangan mendorong ke depan, posisinya juga dalam posisi meloncat di mana kedua lututnya sedikit tertekuk.
"Pai-hai-jiu (Menggempur Samodera)!" Hwe-sin kaget dan berubah pucat. Pukulan ini, pukulan yang amat dikenal tiba-tiba datang menggempurnya dari dua jurusan. Pertama dari empat gadis di belakang sementara yang kedua adalah dari gadis baju putih itu. Dan karena muka dan belakang digencet Pai-hai-jiu, inilah ilmu yang dimiliki Tung-hai Sian-Li maka Hwe-sin yang tersentak dan berubah mukanya cepat menangkis dan menahan dengan Jari Apinya itu. Pukulan gadis baju putih tak mungkin ditangkisnya, ia sudah membalik menghadapi empat gadis di belakang.
"Dess!" Dan lima tubuh mencelat terlempar. Hwe-sin roboh dan terduduk dan seketika sesak napas. Untuk sejenak Malaikat ini mendelik. la tercekik! Dan ketika di sana lima tubuh berjungkir balik, gadis baju putih dan teman-temannya membuang tolakan Malaikat Api itu maka lima gadis ini sudah turun di tanah dan masing-masing mengeluarkan decak kagum.
"Hebat, Hwe-sin memang luar biasa. Tapi kita berlima tak perlu takut!"
"Benar" yang lain berseru. "la hebat, Pek-cici. Tapi menghadapi kita berlima tak mungkin ia menang!"
"Tapi subo melarang kita menyerang!" yang lain lagi berseru.
"Tapi kalau ia berani memaksa kita lagi inilah kesempatan kita merobohkannya!"
"Hm!" Hwe-sin bangkit berdiri, batuk-batuk. "Kalian kiranya murid-murid Tung-hai Sian-li, anak-anak. Bagus, aku sekarang mengenal dan silahkan kalian pergi. Surat ini akan kubaca!"
"Kau tak berusaha menangkapku lagi?" gadis baju putih mengejek, matanya bersinar-sinar, marah, tapi juga kagum. "Kalau ingin menangkap silahkan tangkap, Hwe-sin. Dan aku tak takut kepadamu!"
"Hmm, cukup. Yang berurusan adalah gurumu. Sampaikan bahwa suratnya telah kuterima dan nanti kubaca."
"Baik," gadis itu mengangguk. "Dan jangan lupa menemui subo kami, Hwe-sin. Jangan melarikan diri atau coba-coba melarikan diri dari sini!"
"Hm!" laki-laki itu tertawa, kecut. "Hwe-sin tak pernah melarikan diri menghadapi siapapun, bocah. Pergilah dan sampaikan salamku!"
Gadis baju putih itu mengebutkan lengan bajunya. Ia memberi tanda kepada teman-temannya dan mendengus pendek, berkelebat dan lenyap dari tempat itu dan Hwe-sin menarik napas dalam-dalam. Baru sekarang ia tahu bahwa lima gadis-gadis cantik itu adalah murid-murid Tung-hai Sian-li, musuh paling tangguh sekaligus orang yang amat dicintanya.
Namun ketika ia Sejenak telah terpaku dan sadar dari lamunannya maka surat itu dibuka dan dengan jari gemetar ia melihat tulisan tangan halus seorang wanita, membaca dan tak berkejap dan ia menekan debaran hatinya yang meningkat. Surat itu, seperti sudah diduga, adalah surat tantangan. Isi-nya meminta agar ia datang di Lembah Hijau menemui wanita itu, bukan untuk memadu kasih tentunya melainkan untuk bertanding, menuntaskan hutang lama! Dan ketika Hwe-sin memejamkan mata meremas surat itu, air mata tiba-tiba menitik maka Laki-laki ini tiba-tibe mengeluh.
"Eng Siu, kau ingin membalas sakit hatimu? Baik, aku akan datang. Aku datang bukan untuk bertanding melainkan untuk menyerahkan jiwaku!" dan membuka matanya kembali menyimpan surat itu lalu laki-laki ini memenuhi permintaan itu datang ke Lembah Hijau.
Lembah ini adalah lembah tempat peristirahatan kaisar di luar hutan, yakni bila kaisar merasa lelah dan ingin mengaso setelah berburu. Letaknya di kelokan sungai Huang-ho dengan rumput-rumputnya yang gemuk segar, tak boleh didatangi orang lain tanpa seijin istana. Tapi karena Tung-hai Sian-li bukanlah wanita biasa dan tempat itu memang tepat untuk pertemuan mereka maka tengah malam sesuai dengan isi surat itu Hwe-sin sudah berada di sini.
Sebuah bangunan kecil, tempat yang menjadi inti pertemuan adalah tempat yang dipilih wanita itu. Bangunan ini adalah rumah tanpa dinding tapi ada seperangkat meja kursi di situ, juga lampu kecil di mana kaisar sering duduk-duduk sambil membaca buku. Dan karena Hwe-sin tentu saja tak mau memperlihatkan diri, bergerak dan menuju tempat ini secara bersembunyi maka ia kecelik karena ia tak melihat wanita itu di situ, juga gadis-gadis cantik yang lihai itu. Dan ketika ia tertegun sementara bulan sudah semakin condong ke barat, mengintai dan menunggu namun lawan yang dicari tak muncul juga maka ia teringat bahwa ia diharuskan duduk di salah satu kursi yang ada ditempat itu, dan ia tak memenuhi permintaan ini.
"Aku akan muncul kalau kau melaksanakan perintahku. Pertama datanglah tempat tengah malam di Lembah Hijau dan kedua duduklah di kursi palihg timur dari bangunan milik kaisar."
Begitulah antara lain bunyi surat itu. Dan dia, yang sebenarnya tak ingin memperlihatkan diri lebih dulu ternyata harus gigit jari menunggu lawan sia-sia. Tung-hai Sian-li tak akan muncul kalau ia justeru bersembunyi. Dengan lain kata wanita itu tak mau dilihat dirinya lebih dulu sebelum melihat lawan. Dan karena ia tak sabar ingin menyelesaikan persoalan, apa boleh buat harus muncul dan masuk lebih dulu ke bangunan itu maka begitu duduk di kursi iapun tiba-tiba mendengar tawa dingin.
"Hm, mau juga ke situ, Hwe-sin? Bagus, kau suciah melaksanakan perintahku dengan baik!"
Malaikat ini girang. Ia mengenal tawa dan suara itu tapi begitu menoleh mendadak kursi yang diduduki meledak! Tiga panah kecil dan tujuh jarum-jarum merah mendadak menyambar dari bawah. Dan karena ia sedang duduk sementara semua senjata-senjata gelap itu menyambar pantatnya, juga anggauta rahasianya maka laki-laki ini terkejut dan ketika ia membentak menghantamkan tangan ke bawah sekonyong-konyong lantai bangunan amblong.
"Aih, terkutuk!" Hwe-sin berteriak dan tak menduga. la sungguh tak menyangka bahwa wanita yang dicintainya itu begitu keji, juga curang. Dan karena lantai membuka dengan cepat sementara ia menangkis dan mengebut panah dan jarum-jarum merah maka terjeblos ke bawah ia tak sempat meloncat naik.
Namun laki-laki ini adalah pengawal pribadi kaisar yang amat lihai, ilmu kepandaiannya sudah tinggi dan begitu ia terjeblos begitu pula ia berjungkir balik di lubang gelap, menangkap dua di antara tiga panah kecil itu dan secepat kilat menusukkannya ke dinding. Lalu begitu ia menahan panah ini dan tubuhnya tergantung sedetik, Hwe-sin mengayun dan panah lain digunakan untuk pijakan kakinya maka ia sudah menjejak dan meloncat keluar dengan cara berjungkir balik empat kali. Dan di situ sudah berkelebat enam bayangan susul-menyusul.
"Bagus... hebat!"
Pujian dan seruan terdengar sana-sini. Hwe-sin telah keluar dari lubang lantai itu dan di tepian sebelah barat berdiri lima gadis itu dan seorang wanita berpa-kaian merah berkembang-kembang, dengan satu kaki lebih pendek dibanding yang lain, Dan ketika wanita ini mendengus namun pandang mata kekaguman juga tak dapat dihindarkannya, Hwe-sin menyelamatkan diri dengan cara yang amat luar biasa maka laki-laki itu sendiri tertegun dan berdetak melihat wanita berbaju kembang ini, wanita empat puluh tujuh tahun namun yang kecantikannya masih menonjol, dengan bibir ditarik mengejek namun justeru itulah kekuatannya utama.
"Eng Siu...!"
Mereka berdiri berhadapan. Dua musuh besar, dengan dihalangi lubang sumur yang menganga gelap menjadi saksi bisu di samping lima gadis cantik-cantik itu. Tung-hai Sian-li, wanita berbaju kembang ini telah berdiri di situ dengan pandang matanya yang dingin. Bibirnya masih semanis dulu meskipun kini agak kering. Usia telah menggeragoti masing-masing pihak namun masing-masing pihak tetap tak dapat melupakan lawannya.
Tung-hai Sian-li memandang Hwe-sin dengan mata setajam srigala betina, galak dan menggigit dan wajah laki-laki itu dipandanginya dengan keras. Kebencian dan dendamnya jelas memancar. Tapi ketika Hwe-sin tiba-tiba mengeluh dan maju dengan wajah pucat, langkah kakinya gontai dan keringat membasahi dahi mendadak wanita ini tertegun karena laki-laki itu sudah berlutut, air mata bercucuran.
"Eng Siu, maafkan aku. Sudah lama kunanti pertemuan ini. Aku tahu apa maksudmu dan aku siap menebus dosa. Bunuhlah, kau boleh balas sakit hatimu!"
Semua terkejut. Hwe-sin, laki-laki gagah pengawal bayangan ini mendadak tersedu dan memeluk kaki kiri Tung-hai Sian li. Kaki yang lebih pendek daripada kaki kanan itu didekap dan diciumi. Dan ketika wanita ini tersentak sementara gadis baju putih dan empat yang lain tertegun, mata mereka terbelalak tiba-tiba Tung-hai Sian-li yang marah dan sadar dari rasa kagetnya itu membentak dan menendang, lutut bergerak menghantam dagu lawan.
"Hwe-sin, apa katamu ini. Siapa sudi menerima musuh secara cuma-cuma. Aku menginginkan nyawamu tapi dengan cara bertanding. Berdirilah.... dukk!"
Hwe-sin terlempar. Hantaman lutut yang mengenai dagunya itu tidaklah main-main, kuat dan keras dan seketika gigi la-ki-laki itu gemeratak. Kalau bukan Hwe-sin tentu rahang itu patah! Tapi ketika Hwe-sin mengeluh pendek dan sudah bangkit terhuyung, berlutut dan kembali meratap di depan wanita itu maka Tung-hai Sian-li benar-benar tertegun, untuk kedua kalinya ia terkejut.
"Bagus, boleh tendang sekali lagi, Eng Siu, dan arahkan ke ulu hatiku. Pasti mampus. Kau tendanglah lagi dan aku pasrah kau bunuh!"
Wanita ini terbelalak. Nama kecilnya yang disebut-sebut membuat ia merah dan pucat berganti-ganti. Hwe-sin memanggil nama kecilnya dengan begitu mesra dan lembut, menahan sakit namun laki-laki ini tak menyalahkannya. Membalas pun tidak! Namun ketika ia merasa malu dilihat murid-muridnya, dan rasa malu ini menjadi rasa marah maka ia mandur dan kaki hampir saja bergerak kembali menendang laki-laki itu.
"Hwe-sin, kau pengecut hina. Kau laki-laki tak tahu malu. Mana kegagahanmu dulu dan jangan harap aku mau membunuhmu kalau kau sama sekali tak melawan!"
"Aku memang tak melawan, dan tak akan melawan. Aku menyadari dosa dan salahku, Eng Siu, dan aku siap menebus dosa. Bunuhlah aku dan cuci kebencianmu dengan darahku."
"Kau.... kau begitu pengecut? Kau berani menghina aku seperti itu? Keparat, pantang Tung-hai membunuh orang tak melawan, Hwe-sin. Jangan membuat aku marah dan benci kalau kau bersikap begini rendah. Mana kegagahanmu dulu, mana kejantananmu!"
"Kau tak mau membunuhku?"
"Tidak, kalau kau tak mau melawan. Tapi aku menuntut kegagahanmu sebagai Hwe-sin yang perkasa dan sombong itu. Atau nanti murid-muridku yang akan membunuhmu dan kau kupaksa melawan!"
"Hm, orang lain boleh coba membunuh aku tapi tak mungkin aku menyerahkan nyawaku, Eng Siu. Kecuali kau orang yang kucinta dan yang membuat aku merana seumur hidup. Kau boleh cabut nyawaku, tapi jangan orang lain. Kalau kau tak mau membunuhku maka kuanggap kau menerima cintaku!" dan tak memperdulikan muka lawan yang semburat merah padam Hwe-sin mengeluarkan sesuatu dan menyerahkan sepotong kain merah bekas robekan celana wanita itu. "Lihat, dan saksikan ini. Benda ini kusimpan selama tiga puluh tahun, Eng Siu. Dan sekali lagi ingin kunyatakan perasaan hatiku kepadamu, bahwa aku mencintaimu, dunia akherat. Aku tak perlu malu kepada murid-muridmu ini karena mereka pun tentu akan mengalami apa yang dinamakan cinta. Terimalah!"
Tung-hai Sian-li pucat. ia mundur dan terbelalak memandang robekan kain merah itu dan terkejutlah dia bahwa itulah potongan celananya dulu, ketika robek tersambar Jari Api. Dan bahwa Hwe-sin masih menyimpan itu dan tigapuluh tahun yang lalu laki-laki itu pernah bersumpah tak akan menyentuh atau menikah dengan wanita lain dan robekan kain itulah yang akan disimpannya sebagai pengganti dirinya, kini hal itu benar-benar dibuktikan dan Hwe-sin memang tak pernah menikah maka Tung-hai Sian-li tiba-tiba mengeluarkan isak tertahan dan robekankam merah itu disambarnya.
"Hwe-sin, kau tak tahu malu!"
Hwe-sin bercahaya gembira. la membiarkan robekan kain celana itu dirampas sementara lawan merah padam bagai kepiting direbus. Namun begitu wanita ini melengking tiba-tiba dia berkelebat maju dan.... plak-plak, terpelantinglah Hwe-sin oleh dua tamparan keras. Hwe-sin tidak mengeluh namun ketika ia meringis meloncat bangun Tung-hai Sian-li berkelebat keluar dari bangunan kecil itu. Lima muridnya, yang terhenyak namun juga merah padam melihat semua ini mendengar bentakan subonya bahwa Hwe-sin harus dibunuh.
Gadis baju putih dan empat yang lain tercengang. Mereka terkejut dan baru sekarang tahu bahwa sesungguhnya Hwe-sin mencinta subo mereka, ditolak tapi laki-laki itu demikian teguh mempertahankan cinta. Dan karena robekan kain merah itu masih tetap disimpan selama tigapuluh tahun, hal yang luar biasa maka lima murid ini terharu dan sebagai wanita dapatlah mereka rasakan betapa besar dan dalamnya perasaan cinta pria ini terhadap subo mereka. Selama ini subo mereka tak pernah bercerita apa-apa kecuali bahwa di dunia ini ada seorang musuh besar yang amat menyakiti hati subonya, mengalahkan subonya itu dan membuat subonya cacad, pincang.
Tapi begitu percakapan di antara dua orang itu terjadi dan mereka seketika tertegun, permusuhan itu sebenarnya ber-campur dengan cinta sepihak di hati Hwe-sin maka perasaan memusuhi yang semula berkobar di hati mereka mendadak terganti oleh rasa kasihan dan iba. Amat sulit dicari laki-Laki seperti Hwe-sin ini. Tiga puluh tahun lebih tetap mencinta subo mereka dan tak sekalipun goyah, padahal biasanya lelaki adalah mahluk yang mudah melupakan janji dan setianya sendiri terhadap wanita.
Tapi begitu subo mereka mengeluarkan bentakan dl sana dan betapa subo mereka amat malu dan marah, Hwe-sin bangun dan hendak mengejar maka gadis baju putih yang bergerak dan menghadang tiba-tiba berseru, keempat temannya diberi tanda. Haru dan iba terpaksa ditindas, meskipun diam-diam mereka bangga dan kagum bahwa orang seperti Hwe-sin mencintai subo mereka.
"Hwe-sin, berhenti. Dengar dan lihat kata-kata subo kami. Cabut senjatamu, dan kita bertanding!"
Namun Hwe-sin tak memperdulikan gadis baju putih ini. Ia mendengar lengking dan isak Tung-hai Sian-li, mendengar betapa keluhan kuat tertahan di situ, di dalam. Dan ketika wanita itu berkelebat dan menghilang, menyuruh murid-muridnya menghadang mendadak tokoh istana ini berkelebat dan lewat di bawah ketiak gadis baju putih itu, mendorong.
"Eng Siu, tunggu. Kenapa menyuruh orang lain membunuhku. Kalau kau tak menerima cintaku maka katakanlah dan kita boleh bertanding lagi seribu jurus!"
"Keparat!" bentakan itu bukan dikeluarkan oleh Tung-hai Sian-li melainkan oleh gadis baju putih, Hwe-sin menginjak ujung sepatunya dan lewat di saat ia tentu saja tak dapat bergerak, mata kakinya diinjak. "Kau laki-laki licik, Hwe-sin. Jangan lari dan kembali!"
Namun Hwe-sin sudah lenyap pula di luar. Dengan langkah saktinya Jit-cap-ji-poh-kun laki-laki ini mengejar Tung-hai Sian-li sambil berseru keras. Empat gadis di kiri kanannya juga didorong dan angin kebutan lengan bajunya membuat empat gadis berteriak karena debu dan pasir-pasir kecil berhamburan ke wajah. Tadi, ketika terjeblos dan masuk ke dalam lubang Hwe-sin ditimpa pasir-pasir kecil ini, juga dan debu dan kotoran yang melekat di pakaiannya.
Maka begitu ia bergerak dan ujung lengan bajunya dikebutkan ke wajah empat gadis itu, sementara gadis baju putih diinjak dan dikunci jempol kakinya maka Hwe-sin melesat dan lima gadis itu tentu saja kaget dan marah merasa dicekoki, berteriak dan mengejar pula. Namun laki-laki ini sudah menghilang.
Malam yang gelap dan bulan temaram di atas sa-na tak cukup dipakai pegangan, apalagi untuk mengejar orang seperti Hwe-sin. Tapi ketika di luar lembah terdengar lengkingan dan itulah suara guru mereka, Hwe sin tentu ke sana dan ke situ pula mereka mengejar maka tampaklah bayangan laki-laki itu memaggil-manggil subo mereka.
"Eng Siu, tunggu. Jawab dulu pertanyaanku apakah kau menerima atau masih menolak cintaku. Kalau kau menolak maka aku sedia bertanding, tapi kalau kau menerima maka ampunilah semua kesalahanku yang dulu dan kau boleh bunuh aku!"
Gila, lima gadis dibelakang bergumam penasaran. Mana ada orang membunuh orang yang dicintanya kalau cinta itu diterima? Dan Hwe-sin berulang-ulang menyerukan itu. Mereka tak tahu bahwa orang-orang kang-ouw seperti Hwe-sin dan guru mereka ini dapat melakukan apa saja yang aneh-aneh. Tak tahu bahwa sebenarnya guru mereka itupun amat mengagumi dan mau menerima cinta Malaikat Api ini, kalau saja dulu Malaikat itu tak melukai dan membuat cacad Tung-hai Sian-li.
Dan karena wanita ini amat marah dan terhina oleh cacadnya, terutama oleh kekalahannya dulu karena sesungguhnya Tung-hai Sian-li adalah wanita yang keras hati dan keras kepala, tak mau kalah kepada siapa pun termasuk laki-laki itu maka kekerasan kepala dan hatinya ini menimbulkan peristiwa seperti itu, dendam dan memusuhi yang sebenarnya dicinta itu dan tigapuluh tahun terkenang Hwe-sin adalah siksaan yang hebat juga. Baru Malaikat Api itulah yang mampu mengalahkannya dan kekalahannya itu sebenarnya menimbulkan rasa kagum yang hebat. Cinta memang timbul dari rasa kagum atau senang dulu.
Dan ketika Hwe-sin terus mengejar dan gerak langkah Jit-cap-ji-poh-kun memang gerak langkah sakti, Tung-hai Sian-li sudah coba untuk jauh meninggalkan lawan namun sedikit tetapi pasti Hwe-sin menyusulnva juga, wanita ini kaget dan marah maka tepat di luar lembah Hwe-sin ada di belakangnya dalam jarak semeter saja. Suara "set-set" dari langkah laki-laki itu memang mengagumkan.
"Eng Siu, tunggu. Jawab dulu pertanyaanku!"
Wanita itu memekik. Hwe-sin mengulurkan lengan dan menangkap pundaknya. Dalam jarak sedekat itu tak mungkin dia berkelit. Maka memekik dan membentak marah tiba-tiba wanita inipun membalik dan keluarlah pukulannya yang dahsyat. "Dukk!" Mereka sama-sama terpental. Hwe-sin gagal menangkap lawannya sementara wanita itu terlempar berjungkir balik di depan. Tapi begitu melayang turun dan berhadapan kembali Tung-hai Sian-li melengking, bayangan murid-muridnya muncul. "Pek Lian, bagaimana tugasmu merobohkan musuh. Masa aku harus turun ta-ngan dulu!"
"Maaf," gadis baju putih itu berseru. "Dia menginjak jempol kakiku, subo, licik menyelinap di bawah ketiak. Teecu mengejar tapi dia keburu lolos!"
"Dan Hwe-sin mengebutkan debu-debu pakaiannya ke muka kami," empat yang lain berseru, juga berkelebatan datang. "Dia licik berbuat curang, subo. Tapi sekarang kami akan memberinya pelajaran kalau kau menyerahkannya kepada kami!"
Lima gadis itu susul-menyusul menyerang Hwe-sin. Mereka sekarang dapat mengejar setelah subo mereka menangkis, dua-duanya terpental dan itulah kesempatan mereka menyusul. Dan ketika bentakan subonya menandakan rasa marah kelima-nya bergerak dan menyerang Hwe-sin maka Malaikat Api itu sudah dikepung dan bertubi-tubi mendapat pukulan.
"Plak-plak-plakk!"
Hwe-sin tergetar dan terhuyung-huyung Lima gadis itu hebat benar karena gabungan tenaga mereka tak kalah dengan Tung-hai Sian-li sendiri. Dan ketika mereka bergerak kembali dan berkeleoatan dari kiri kanan, mencegat dan mendahului laki-itu agar tak mengejar subonya maka Hwe-sin terbelalak dan berkelit serta menangkis, tergetar dan terhuyung lagi dan seianjutnya lima gadis itu bertubi-tubi mendesaknya. Pukulan dan tamparan silih berganti. Dan ketika di sana Tung-hai mendesis dan tertawa mengejek, menonton bertolak pinggang maka Hwe-sin tak sempat mendekati lagi dan hanya berteriak.
"Eng Siu, bagaimana jawabanmu. Apakah kau menerima cintaku atau tidak!"
"Tak usah banyak mulut," wanita itu menghardik. "Kau kalahkan dulu murid-muridku, Hwe-sin. Baru setelah itu bicara!"
"Ah, jadi kau menerimanya?" Malaikat itu tertawa, girang. "Bagus, kalau begitu aku akan merobohkan murid-muridmu, Eng Siu. Dan setelah itu aku mendekatimu!" dan melengking menunjukkan kegembiraan hati yang sangat, membentak dan melakukan langkah-langkah saktinya tiba-tiba lelaki ini maju mundur di antara pukulan-pukulan lawan dan Pek Lian serta keempat temannya terkejut karena dengan gerak-gerak yang aneh Hwe-sin mulai mengikuti gerakan mereka dan membalas.
Jari Api juga mencicit dan begitu menyambar gadis ini dan keempat yang lain berteriak. Hwe-sin tertawa dan kini membiarkan diri dipukul di mana kemudian jarinyapun bergerak dengan telunjuk menusuk. Dan karena Hwe-kang atau Tenaga Api telah melindungi laki-laki itu sementara Hwe-ci menyambar bagai cahaya laser, kuat dan panas maka gadis baju putih dan empat temannya kelabakan. Mereka tiba-tiba berantakan, pecah.
"Mainkan. Pek-hong-ko.-jit. Gunakan tangan kiri kalian untuk menyerang dengan Pai-hai-jiu!"
Bentakan itu adalah seruan Tung-hai Sian-li. Wanita ini terkejut melihat kelima murid-muridnya tiba-tiba berantakan. Pukulan dan tamparan mereka mental bertemu tubuh laki-laki itu, Hwe-sin terlindung oleh Tenaga Apinya. Tapi begitu gadis baju putih dan empat yang lain melengking dan merobah gerakan, mereka mengepretkan tangan kanan sementara tangan kiri melakukan dorongan dengan Pai-hai-jiu, tangan kanan mereka itu mengeluarkan sinar warna-warni menghantam ke depan maka Hwe-sin terkejut karena Jari Apinya ditembus oleh tujuh sinar di tangan kanan lima gadis itu.
"Prat-prat!"
Hwe-sin tergetar dan hampir roboh. Tujuh sinar itu menembus Jari Apinya dan hebatnya mereka itu terus menusuk dan menghantam dirinya. Jari Api yang tajam dan kuat ternyata mampu dicoblos tujuh sinar warna-warni ini, Hwe-sin terkejut dan berseru keras. Dan ketika ia mendoyongkan tubuh ke belakang, kaget dan bertahan namun kalah kuat hingga nyaris punggungnya menyentuh tanah maka laki-laki itu melempar tubuh bergulingan dan Pek-hong-koan-jit atau Bianglala Menembus Matahari meledak di tanah.
"Dar-darr!"
Hwe-sin kaget bukan main. Ia meloncat bangun di sana dan Tung-hai terkekeh. Wajah wanita itu berseri-seri dan lima gadis muridnya berseru gembira. Mereka berhasil mengejutkan lawan dan Hwe-ci atau Jari Api yang dimiliki Hwe-sin tertembus. Itu kemajuan besar! Dan karena baru sekarang Hwe-sin melihat ilmu itu, Tung-hai Sian-li rupanya mencipta ilmu baru maka wanita itu berseru mengejek, Hwe-sin memang tidak menyangka.
"Hi-hik, lihat dan buktikan. Jangan sombong dengan Jari Apimu, Hwe-sin. Aku ternyata mampu menumbangkan Hwe-cimu dengan ilmuku yang baru. Dan Kau akan roboh menghadapi murid-muridku!"
Kegagahan laki-laki ini tiba-tiba bangkit. Ia terbakar dan panas oleh kata-kata itu, Pek-hong-koan-jit memang mengejutkannya. Tapi karena ia adalah tokoh kawakan dan Jit-cap-ji-poh-kunnya adalah juga ilmu baru, tadi Tung-hai Sian-li dibuat terkejut dengan langkah-langkah saktinya ini maka pengawal sakti itu berseru, mata terbelalak,
"Eng Siu, ilmu barumu memang hebat. Tapi aku belum roboh, apalagi hanya anak-anak muridmu. Kalau mereka dapat mengalahkan aku biarlah kupotong leherku di depan mereka!"
Lima gadis itu terkejut. Mereka panas dan marah mendengar ini. Kata-kata itu jelas menunjukkan watak tinggi hati Malaikat Api ini, mungkin karena mereka dianggap kanak-kanak! Dan ketika gadis baju putih membentak dan melengking lagi, petunjuk atau seruan subo mereka tadi membawa hasil maka ia berkelebat dan empat temannya yang lain juga maju menerjang.
"Eng Siu, tunggu. Jawab dulu pertanyaanku apakah kau menerima atau masih menolak cintaku. Kalau kau menolak maka aku sedia bertanding, tapi kalau kau menerima maka ampunilah semua kesalahanku yang dulu dan kau boleh bunuh aku!"
Gila, lima gadis dibelakang bergumam penasaran. Mana ada orang membunuh orang yang dicintanya kalau cinta itu diterima? Dan Hwe-sin berulang-ulang menyerukan itu. Mereka tak tahu bahwa orang-orang kang-ouw seperti Hwe-sin dan guru mereka ini dapat melakukan apa saja yang aneh-aneh. Tak tahu bahwa sebenarnya guru mereka itupun amat mengagumi dan mau menerima cinta Malaikat Api ini, kalau saja dulu Malaikat itu tak melukai dan membuat cacad Tung-hai Sian-li.
Dan karena wanita ini amat marah dan terhina oleh cacadnya, terutama oleh kekalahannya dulu karena sesungguhnya Tung-hai Sian-li adalah wanita yang keras hati dan keras kepala, tak mau kalah kepada siapa pun termasuk laki-laki itu maka kekerasan kepala dan hatinya ini menimbulkan peristiwa seperti itu, dendam dan memusuhi yang sebenarnya dicinta itu dan tigapuluh tahun terkenang Hwe-sin adalah siksaan yang hebat juga. Baru Malaikat Api itulah yang mampu mengalahkannya dan kekalahannya itu sebenarnya menimbulkan rasa kagum yang hebat. Cinta memang timbul dari rasa kagum atau senang dulu.
Dan ketika Hwe-sin terus mengejar dan gerak langkah Jit-cap-ji-poh-kun memang gerak langkah sakti, Tung-hai Sian-li sudah coba untuk jauh meninggalkan lawan namun sedikit tetapi pasti Hwe-sin menyusulnva juga, wanita ini kaget dan marah maka tepat di luar lembah Hwe-sin ada di belakangnya dalam jarak semeter saja. Suara "set-set" dari langkah laki-laki itu memang mengagumkan.
"Eng Siu, tunggu. Jawab dulu pertanyaanku!"
Wanita itu memekik. Hwe-sin mengulurkan lengan dan menangkap pundaknya. Dalam jarak sedekat itu tak mungkin dia berkelit. Maka memekik dan membentak marah tiba-tiba wanita inipun membalik dan keluarlah pukulannya yang dahsyat. "Dukk!" Mereka sama-sama terpental. Hwe-sin gagal menangkap lawannya sementara wanita itu terlempar berjungkir balik di depan. Tapi begitu melayang turun dan berhadapan kembali Tung-hai Sian-li melengking, bayangan murid-muridnya muncul. "Pek Lian, bagaimana tugasmu merobohkan musuh. Masa aku harus turun ta-ngan dulu!"
"Maaf," gadis baju putih itu berseru. "Dia menginjak jempol kakiku, subo, licik menyelinap di bawah ketiak. Teecu mengejar tapi dia keburu lolos!"
"Dan Hwe-sin mengebutkan debu-debu pakaiannya ke muka kami," empat yang lain berseru, juga berkelebatan datang. "Dia licik berbuat curang, subo. Tapi sekarang kami akan memberinya pelajaran kalau kau menyerahkannya kepada kami!"
Lima gadis itu susul-menyusul menyerang Hwe-sin. Mereka sekarang dapat mengejar setelah subo mereka menangkis, dua-duanya terpental dan itulah kesempatan mereka menyusul. Dan ketika bentakan subonya menandakan rasa marah kelima-nya bergerak dan menyerang Hwe-sin maka Malaikat Api itu sudah dikepung dan bertubi-tubi mendapat pukulan.
"Plak-plak-plakk!"
Hwe-sin tergetar dan terhuyung-huyung Lima gadis itu hebat benar karena gabungan tenaga mereka tak kalah dengan Tung-hai Sian-li sendiri. Dan ketika mereka bergerak kembali dan berkeleoatan dari kiri kanan, mencegat dan mendahului laki-itu agar tak mengejar subonya maka Hwe-sin terbelalak dan berkelit serta menangkis, tergetar dan terhuyung lagi dan seianjutnya lima gadis itu bertubi-tubi mendesaknya. Pukulan dan tamparan silih berganti. Dan ketika di sana Tung-hai mendesis dan tertawa mengejek, menonton bertolak pinggang maka Hwe-sin tak sempat mendekati lagi dan hanya berteriak.
"Eng Siu, bagaimana jawabanmu. Apakah kau menerima cintaku atau tidak!"
"Tak usah banyak mulut," wanita itu menghardik. "Kau kalahkan dulu murid-muridku, Hwe-sin. Baru setelah itu bicara!"
"Ah, jadi kau menerimanya?" Malaikat itu tertawa, girang. "Bagus, kalau begitu aku akan merobohkan murid-muridmu, Eng Siu. Dan setelah itu aku mendekatimu!" dan melengking menunjukkan kegembiraan hati yang sangat, membentak dan melakukan langkah-langkah saktinya tiba-tiba lelaki ini maju mundur di antara pukulan-pukulan lawan dan Pek Lian serta keempat temannya terkejut karena dengan gerak-gerak yang aneh Hwe-sin mulai mengikuti gerakan mereka dan membalas.
Jari Api juga mencicit dan begitu menyambar gadis ini dan keempat yang lain berteriak. Hwe-sin tertawa dan kini membiarkan diri dipukul di mana kemudian jarinyapun bergerak dengan telunjuk menusuk. Dan karena Hwe-kang atau Tenaga Api telah melindungi laki-laki itu sementara Hwe-ci menyambar bagai cahaya laser, kuat dan panas maka gadis baju putih dan empat temannya kelabakan. Mereka tiba-tiba berantakan, pecah.
"Mainkan. Pek-hong-ko.-jit. Gunakan tangan kiri kalian untuk menyerang dengan Pai-hai-jiu!"
Bentakan itu adalah seruan Tung-hai Sian-li. Wanita ini terkejut melihat kelima murid-muridnya tiba-tiba berantakan. Pukulan dan tamparan mereka mental bertemu tubuh laki-laki itu, Hwe-sin terlindung oleh Tenaga Apinya. Tapi begitu gadis baju putih dan empat yang lain melengking dan merobah gerakan, mereka mengepretkan tangan kanan sementara tangan kiri melakukan dorongan dengan Pai-hai-jiu, tangan kanan mereka itu mengeluarkan sinar warna-warni menghantam ke depan maka Hwe-sin terkejut karena Jari Apinya ditembus oleh tujuh sinar di tangan kanan lima gadis itu.
"Prat-prat!"
Hwe-sin tergetar dan hampir roboh. Tujuh sinar itu menembus Jari Apinya dan hebatnya mereka itu terus menusuk dan menghantam dirinya. Jari Api yang tajam dan kuat ternyata mampu dicoblos tujuh sinar warna-warni ini, Hwe-sin terkejut dan berseru keras. Dan ketika ia mendoyongkan tubuh ke belakang, kaget dan bertahan namun kalah kuat hingga nyaris punggungnya menyentuh tanah maka laki-laki itu melempar tubuh bergulingan dan Pek-hong-koan-jit atau Bianglala Menembus Matahari meledak di tanah.
"Dar-darr!"
Hwe-sin kaget bukan main. Ia meloncat bangun di sana dan Tung-hai terkekeh. Wajah wanita itu berseri-seri dan lima gadis muridnya berseru gembira. Mereka berhasil mengejutkan lawan dan Hwe-ci atau Jari Api yang dimiliki Hwe-sin tertembus. Itu kemajuan besar! Dan karena baru sekarang Hwe-sin melihat ilmu itu, Tung-hai Sian-li rupanya mencipta ilmu baru maka wanita itu berseru mengejek, Hwe-sin memang tidak menyangka.
"Hi-hik, lihat dan buktikan. Jangan sombong dengan Jari Apimu, Hwe-sin. Aku ternyata mampu menumbangkan Hwe-cimu dengan ilmuku yang baru. Dan Kau akan roboh menghadapi murid-muridku!"
Kegagahan laki-laki ini tiba-tiba bangkit. Ia terbakar dan panas oleh kata-kata itu, Pek-hong-koan-jit memang mengejutkannya. Tapi karena ia adalah tokoh kawakan dan Jit-cap-ji-poh-kunnya adalah juga ilmu baru, tadi Tung-hai Sian-li dibuat terkejut dengan langkah-langkah saktinya ini maka pengawal sakti itu berseru, mata terbelalak,
"Eng Siu, ilmu barumu memang hebat. Tapi aku belum roboh, apalagi hanya anak-anak muridmu. Kalau mereka dapat mengalahkan aku biarlah kupotong leherku di depan mereka!"
Lima gadis itu terkejut. Mereka panas dan marah mendengar ini. Kata-kata itu jelas menunjukkan watak tinggi hati Malaikat Api ini, mungkin karena mereka dianggap kanak-kanak! Dan ketika gadis baju putih membentak dan melengking lagi, petunjuk atau seruan subo mereka tadi membawa hasil maka ia berkelebat dan empat temannya yang lain juga maju menerjang.
Mereka terhina oleh kata-kata ini dan tangan kanan kembali bergerak dengan sambaran Pek-hong-koan-jit, tangan kiri tetap melakukan pukulan Pai-hai-jiu. Tapi begitu Hwe-sin mengelak den langkah saktinya dikeluarkan maka... wut-wut, serangan merekapun mengenai tempat kosong. Hwee asin telah berpindah dan beralih tempat dengan amat cepatnya.
"Ha-ha!" Malaikat itu berseru. "Lihat, Eng Siu. Mana murid-muridmu dapat merobohkan aku. Menyentuh bajuku saja sekarang tidak, lihat dan buktikan!"
Tung-hai Sian-li terbelalak. Pek-hong-koan-jit yang tadi dapat mengejutkan laki-laki ini ternyata sekarang tak dapat mengenai tubuhnya lagi karena dengan langkah-langkah cepat laki-laki itu menyelamatkan diri. Hasil mengagetkan yang tadi membuat Hwe-sin tersentak sudah tak mau diulang lagi. Hwe-sin tak mau menerima sambaran Pek-hong-koan-jit dengan Jari Apinya.
Dan karena laki-laki itu sudah menyelinap dan bergerak ke sana ke mari dengan amat lincah dan cepat, ujung kakinya menotol sana-sini seperti bola yang mental-mental maka ketika lima gadis itu menjadi penasaran maka dari belakang atau samping Hwe-sin melancarkan tudingan apinya itu. "Cret-cret!" Dan baju gadis berpakaian hitam terbakar. Gadis itu berteriak tapi Hwe-sin sudah bergerak ke tempat lainnya lagi menusuk dan menuding gadis berbaju kuning.
Dan ketika gadis ini juga berteriak karena, menjadi sasaran Jari Api maka menusuk dan menuding lagi gadis-gadis yang lain, membuat mereka sibuk dan .selanjutnya Malaikat Api ini mempermainkan mereka dengan tusukan Hwe-ciriya. Pek-hong-koan-jit yang berbahaya itu, selalu dielaknya dengan langkah sakti Jit-cap-ji-poh-kun. Dan karena langkah ini memang luar biasa dan lima gadis itu kalah pengalaman maka Hwe-sin yang berkelebetan di antara mereka malah menjadi pihak penyerang yang agresip, berbahaya. Dan akibatnya tentu saja Tung-hai Sian-li marah besar!
"Ha-ha!" Malaikat itu berseru. "Lihat, Eng Siu. Mana murid-muridmu dapat merobohkan aku. Menyentuh bajuku saja sekarang tidak, lihat dan buktikan!"
Tung-hai Sian-li terbelalak. Pek-hong-koan-jit yang tadi dapat mengejutkan laki-laki ini ternyata sekarang tak dapat mengenai tubuhnya lagi karena dengan langkah-langkah cepat laki-laki itu menyelamatkan diri. Hasil mengagetkan yang tadi membuat Hwe-sin tersentak sudah tak mau diulang lagi. Hwe-sin tak mau menerima sambaran Pek-hong-koan-jit dengan Jari Apinya.
Dan karena laki-laki itu sudah menyelinap dan bergerak ke sana ke mari dengan amat lincah dan cepat, ujung kakinya menotol sana-sini seperti bola yang mental-mental maka ketika lima gadis itu menjadi penasaran maka dari belakang atau samping Hwe-sin melancarkan tudingan apinya itu. "Cret-cret!" Dan baju gadis berpakaian hitam terbakar. Gadis itu berteriak tapi Hwe-sin sudah bergerak ke tempat lainnya lagi menusuk dan menuding gadis berbaju kuning.
Dan ketika gadis ini juga berteriak karena, menjadi sasaran Jari Api maka menusuk dan menuding lagi gadis-gadis yang lain, membuat mereka sibuk dan .selanjutnya Malaikat Api ini mempermainkan mereka dengan tusukan Hwe-ciriya. Pek-hong-koan-jit yang berbahaya itu, selalu dielaknya dengan langkah sakti Jit-cap-ji-poh-kun. Dan karena langkah ini memang luar biasa dan lima gadis itu kalah pengalaman maka Hwe-sin yang berkelebetan di antara mereka malah menjadi pihak penyerang yang agresip, berbahaya. Dan akibatnya tentu saja Tung-hai Sian-li marah besar!
"Keparat!" wanita itu memekik. "Kalian bodoh dan tak berguna, Pek Lian. Tolol sekali. Jangan dikacau oleh Jari Api itu dan satukan konsentrasi kepada Pek-hong-koan-jit!"
"Ha-ha, sebaiknya kau saja yang maju," Hwe-sin tertawa. "Mereka masih anak-anak, Eng Siu. Diperintahpun tak mungkin mengerti. Ayo, majulah. Kau telah memiliki ilmu baru dan aku gatal tangan untuk merasakannya langsung!"
Wanita ini mendelik. Ia melihat murid-muridnya kelabakan karena Hwe-sin bergerak dengan langkah saktinya itu. Pek-hong-koan-jit tak dapat dilancarkan kalau laki-laki itu selalu mendahului. Dan karena Jari Api selalu menggigit, kulit atau daging mereka tak sampai terbakar tapi pakaian yang menjadi korban, lima gadis itu telah memiliki kekebalan yang cukup dari sinkang yang tinggi.
Maka Hwe-sin yang diam-diam kagum dan gembira menghadapi gadis-gadis itu sesungguhnya mengakui bahwa tanpa akal atau kecerdikan tak mungkin dia menang. Gabungan tenaga lima gadis ini di atas Tung-hai Sian-li sendiri, apalagi kalau mereka melancarkan Pek-hong-koan-jit itu, tujuh sinar warna-warni yang mampu menembus Jari Apinya.
Dan karena Pek-hong-koan-jit selalu dihindari dan dengan langkah-langkah saktinya dia selalu bergerak di samping atau belakang gadis-gadis itu maka dengan leluasa ia berhasil "menggigitkan" jari saktinya itu, sayang tak sampai merobohkan karena gadis-gadis itu dilindungi sinkangnya yang hebat, meskipun cukup mengganggu dan akibatnya lima gadis itu kelabakan memadamkan baju mereka yang terbakar. Dan ketika teriakan atau bentakan Tung-hai Sian-li tak dapat dikerjakan murid-muridnya, Hwe-sin dengan licik mendahului menyelinap ke sana-sini maka tawa Malaikat itu agar Sian-li maju sendiri membuat wanita itu terbakar.
"Percuma, murid-muridmu belum pengalaman. Kepandaian mereka memang tinggi namun pengalaman mereka amatlah rendah. Kau saja yang maju dan kita bertanding lagi seribu jurus!"
"Baik!" Tung-hai Sian-li akhirnya mengibaskan lengan bajunya. "Mundur kalian, anak-anak. Jaga sekitar tempat ini agar tak ada orang lain membantu.... tak!" dan ujung lengan baju yang meledak mendahului wanita itu tiba-tiba meletupkan sinar berwarna-warni menyambar Hwe-sin.
Saat itu pengawal kaisar ini ada di belakang gadis baju hijau dan Hwe-sin menudingkan Jari Apinya ke leher lawan. Gadis itu berjengit dan memaki-maki, membalik dan melepas Pek-hong-koan-jit namun Hwe-sin sudah berpindah ke tempat lain. Langkah saktinya itu memungkinkan laki-laki ini bergerak dan ujung kakinya yang begitu lincah dan menotol ke sana-sini membuat lima gadis itu kewalahan.
Mereka kalah cepat dan inilah yang membuat penasaran, meskipun mereka diam-diam kagum dan terbelalak oleh kelincahan gerak laki-laki ini. Dan ketika Hwe-sin menuding lagi gadis yang lain untuk akhirnya kembali ke gadis baju hijau, saat itulah Tung-hai Sian-li berkelebat marah maka letupan sinar berbahaya dari ujung lengan bajunya itu menyambar Hwe-sin, mendahului gerakannya ke depan.
"Plak!" Dan Hwe-sin pun terpelanting. Laki-laki ini mengeluh tapi secepat itu ia bergulingan meloncat bangun. Lima gadis di depannya berlompatan mundur dan kini majulah Tung-hai Sian-li mengejar lawan. Dan ketika Hwe-sin disambar pukulan itu lagi sementara tangan kiri wanita itu bergerak melepas Pai-hai-jiu, pukulan inilah yang dulu dikalahkan Jari Api maka Hwe-sin terpekik karena tangan kanan wanita itu tiba-tiba mendahului tangan kiri menghantam tengkuknya.
"Plakk!" Hwe-sin terpaksa menggerakkan tangannya pula. Hwe-ci, tusukan Jari Apinva, dilempar dan dikerahkan ke depan. Dua pukulan itu disambut dua tangannya pula karena inilah satu-satunya jalan. la tak akan dapat meloncat bangun kalau wanita itu tak didorong atau disuruh mundur. Dan maklum bahwa tigapuluh tahun ini tentu masing-masing pihak meningkat tenaga saktinya, tadi segebrakan mereka sudah saling merasakan maka menyambut dan menerima dua pukulan ini Hwe-sin ingin mencoba sekali lagi.
Dan kagetlah pengawal bayangan ini. Tangan kanan Tung-hai Sian-li yang mengeluarkan tujuh sinar bianglala itu melekat dan tembus memasuki Jari Apinya, seperti bor menyelinap di sebatang kayu bulat. Tapi karena sinkang wanita ini ternyata tak sekuat gabungan lima muridnya, hal inilah yang sedikit meringankan Hwe-sin maka tangan kiri wanita itu yang diterima dengan tangan kanannya justeru Membuat Tung-hai Sian-li tertembus dan kemasukan Jari Api. Pai-hai-jiu, Pukulan Menggempur Samodera ternyata adalah pukulan berhawa dingin.
Dan karena Pek-hong-koan-jit selalu dihindari dan dengan langkah-langkah saktinya dia selalu bergerak di samping atau belakang gadis-gadis itu maka dengan leluasa ia berhasil "menggigitkan" jari saktinya itu, sayang tak sampai merobohkan karena gadis-gadis itu dilindungi sinkangnya yang hebat, meskipun cukup mengganggu dan akibatnya lima gadis itu kelabakan memadamkan baju mereka yang terbakar. Dan ketika teriakan atau bentakan Tung-hai Sian-li tak dapat dikerjakan murid-muridnya, Hwe-sin dengan licik mendahului menyelinap ke sana-sini maka tawa Malaikat itu agar Sian-li maju sendiri membuat wanita itu terbakar.
"Percuma, murid-muridmu belum pengalaman. Kepandaian mereka memang tinggi namun pengalaman mereka amatlah rendah. Kau saja yang maju dan kita bertanding lagi seribu jurus!"
"Baik!" Tung-hai Sian-li akhirnya mengibaskan lengan bajunya. "Mundur kalian, anak-anak. Jaga sekitar tempat ini agar tak ada orang lain membantu.... tak!" dan ujung lengan baju yang meledak mendahului wanita itu tiba-tiba meletupkan sinar berwarna-warni menyambar Hwe-sin.
Saat itu pengawal kaisar ini ada di belakang gadis baju hijau dan Hwe-sin menudingkan Jari Apinya ke leher lawan. Gadis itu berjengit dan memaki-maki, membalik dan melepas Pek-hong-koan-jit namun Hwe-sin sudah berpindah ke tempat lain. Langkah saktinya itu memungkinkan laki-laki ini bergerak dan ujung kakinya yang begitu lincah dan menotol ke sana-sini membuat lima gadis itu kewalahan.
Mereka kalah cepat dan inilah yang membuat penasaran, meskipun mereka diam-diam kagum dan terbelalak oleh kelincahan gerak laki-laki ini. Dan ketika Hwe-sin menuding lagi gadis yang lain untuk akhirnya kembali ke gadis baju hijau, saat itulah Tung-hai Sian-li berkelebat marah maka letupan sinar berbahaya dari ujung lengan bajunya itu menyambar Hwe-sin, mendahului gerakannya ke depan.
"Plak!" Dan Hwe-sin pun terpelanting. Laki-laki ini mengeluh tapi secepat itu ia bergulingan meloncat bangun. Lima gadis di depannya berlompatan mundur dan kini majulah Tung-hai Sian-li mengejar lawan. Dan ketika Hwe-sin disambar pukulan itu lagi sementara tangan kiri wanita itu bergerak melepas Pai-hai-jiu, pukulan inilah yang dulu dikalahkan Jari Api maka Hwe-sin terpekik karena tangan kanan wanita itu tiba-tiba mendahului tangan kiri menghantam tengkuknya.
"Plakk!" Hwe-sin terpaksa menggerakkan tangannya pula. Hwe-ci, tusukan Jari Apinva, dilempar dan dikerahkan ke depan. Dua pukulan itu disambut dua tangannya pula karena inilah satu-satunya jalan. la tak akan dapat meloncat bangun kalau wanita itu tak didorong atau disuruh mundur. Dan maklum bahwa tigapuluh tahun ini tentu masing-masing pihak meningkat tenaga saktinya, tadi segebrakan mereka sudah saling merasakan maka menyambut dan menerima dua pukulan ini Hwe-sin ingin mencoba sekali lagi.
Dan kagetlah pengawal bayangan ini. Tangan kanan Tung-hai Sian-li yang mengeluarkan tujuh sinar bianglala itu melekat dan tembus memasuki Jari Apinya, seperti bor menyelinap di sebatang kayu bulat. Tapi karena sinkang wanita ini ternyata tak sekuat gabungan lima muridnya, hal inilah yang sedikit meringankan Hwe-sin maka tangan kiri wanita itu yang diterima dengan tangan kanannya justeru Membuat Tung-hai Sian-li tertembus dan kemasukan Jari Api. Pai-hai-jiu, Pukulan Menggempur Samodera ternyata adalah pukulan berhawa dingin.
Sejenak Hwe-sin merasa direndam sebongkah es beku namun berkat pengalamannya dulu dia mampu bertahan, menambah tenaga dan ternyata tangan kiri wanita ini berhasil didesak. Sedikit tetapi pasti Hwe-cinya menembus lawan. Tapi karena di lain pihak ia juga ditembus Pek-hong-koan-jit dan Hwe-cinya terdesak, masing-masing ternyata memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri maka ketika masing-masing terbelalak dan mengeluh maka... cess, dua pihak melepaskan diri ,dan sama-sama melempar tubuh bergulingan,
"Bress!"
Hwe-sin maupun lawannya menahan sesak di dada. Mereka sudah meloncat bangun namun masing-masing sama gemetar. Hwe-sin terkejut dan juga kagum karena lawan meningkat pesat. Sekarang wanita ini sudah mampu menandinginya. Tung-hai Sian-li sudah setingkat dengannya. Dan ketika ia tertawa bergelak namun batuk-batuk, Tung-hai Sian-Li mendengus dan berkelebat maju maka wanita itu menerjang dan menyerangnya lagi.
"Hwe-sin, tak usah tertawa. Kau sekarang tak mungkin mengalahkan aku!"
"Ha-ha, justeru itu. Aku kagum dan bangga kepadamu, Eng Siu. Kau sekarang hebat dan Pek-hong-koan-jit mu luar biasa sekali. Tapi aku memiliki Jit-cap-ji-poh-kun, coba kau robohkan aku dan lihat apakah kau pun mampu mengalahkan aku!"
Dua orang itu sudah bertanding. Hwe-sin sudah bergerak dan mengelak cepat begitu lawan menyerang. Langkah saktinya Jit-cap-ji-poh-kun dipergunakan dan terbeliaklah lawan melihat gerak kaki yang cepat itu. Dan karena Tung-hai Sian-li memiliki kaki yang cacad di mana kaki kirinya pendek dibanding kaki kanan, ia marah dan terkejut karena Hwe-sin tampaknya bergerak lebin cepat daripada tadi.
Maka loloslah laki-laki itu dari sergapan-sergapan Pek-hong-koan-jitnya, karena kini pukulan Pai-hai-jiu disimpan dan hanya dalam kesempatan bagus dipakai untuk merobohkan lawannya ini. Dan karena cacadnya kaki itu benar-benar mengganggu, wanita ini marah dan melengking-lengking maka Pek-hong-koan-jit atau Bianglala Menembus Matahari itu meledak dan menyambar-nyambar di belakang tubuh Hwe-sin.
"Des-dess!"
Batu dan pasir berhamburan. Hwe-sin, yang merasakan dan sudah tahu kelebihan lawan tak mau menangkis atau menyambut. Dengan langkah kakinya ia menghindar dan dari belakang atau samping ia membalas. Dan ketika Jari Api atau Hwe-ci menusuk dan mengenai lawannya, Tung-hai Sian-li berteriak namun cepat mengusp sana-sini maka seluruh pakaian wanita itu tiba-tiba sudah dibalut dan minyak atau semacam cairan licin membungkus wanita ini dari jari api lawan.
"Ha-ha, cerdik, hebat!" Hwe-sin tergelak dan memuji, serangannya pun gagal. "Kau pintar dan cerdik, Eng Siu. Kalau dulu kau seperti ini tak mungkin Jari Apiku melukaimu. Aih, kau wanita luar biasa. Minyak siluman apa yang kau pergunakan itu!"
"Tak usah banyak cakap. Aku akan merobohkanmu, Hwe-sin. Dan satu kebanggaan bagiku dapat mengalahkanmu!"
Dua orang itu bertanding lagi. Hwe-sin tertawa bergelak mendengar kata-kata lawannya ini sementara lawan gemas melihat sikapnya. Tung-hai Sian-li sudah memiliki keunggulan namun Hwe-sin memiliki kelebihannya yang lain, yakni langkah sakti Jit-cap-ji-poh-kun itu. Dan karena Pek-hong-koan-jit selalu dielak dan tak pernah mengenai sasaran, Tung-hai Sian-li gemas memaki-maki lawannya ini maka Hwe-sin juga sia-sia menusukkan Jari Apinya karena dengan kekebalannya dan minyak yang melumuri tubuhnya itu wanita ini tak terbakar.
Murid-muridnya terbelalak dan satu sama lain mulai berbisik-bisik. Dan ketika pertandingan meningkat tajam namun Hwe-sin maupun lawan sama-sama tak dapat merobohkan, Malaikat Api ini kagum dan bercahaya mukanya maka malam mulai beringsut dan perlahan tetapi pasti matahari mulai menerangi tanah. Kegelapan terusir secara lembut dan Lembah Hijaupun membuka diri. Warna-warna hitam terganti warna-warna hijau dan daun atau rumput-rumput segar bermandi embun.
Mereka semakin berkilau-kilauan bermandi cahaya yang menyaput permukaan lembah. Elok dan mempesona. Namun ketika pertandingan masih terus berjalan dan kini pohon atau barak-barak kecil mulai roboh, di sekeliling bangunan utama terdapat bangunan kecil dari barak-barak sederhana maka Tung-hai penasaran sekali tak dapat merobohkan lawan.
"Hwe-sin, jangan berlarian seperti pengecut. Terimalah, dan sambut pukulanku!"
"Ha-ha, aku tak berniat mengadu jiwa. Ini pertandingan untuk melihat siapa yang unggul di antara kita. Eh, kau dan aku sekarang sama, Eng Siu. Kau sudah mampu menyamai tingkatku dan kita berimbang. Kau dan aku tak mungkin menang atau kalah."
"Omongan busuk! Siapa bilang begitu? Kalau kau berani menyambut Pek-hong-koan-jitku maka aku yang unggul, Hwe-sin. Tapi kau pengecut, selalu menghindar dan tak berani menerima!"
"Ha-ha, itu benar, tapi juga salah. Kalau aku menerima berarti kita mengadu jiwa, dan aku mungkin akan tewas lebih dulu tapi kaupun tak mungkin selamat. Tidak, aku tak menghendaki begitu, Eng Siu. Kalau kau ingin nyawaku maka tanpa bertandingpun pasti kuserahkan. Tapi kalau kita jujur mengukur kepandaian maka inilah hasilnya, kau dan aku sama!"
Dewi Laut Timur melengking. Inilah yang tak membuatnya puas karena tiga puluh tahun sudah ia berlatih keras. Keinginannya hanya satu, menang dan mengalahkan lawannya itu. Dan karena tentu saja ia tak mau menerima kematian lawan secara cuma-cuma, ia ingin gagah merobohkan lawannya itu maka tiba-tiba Tung-hai Sian-li yang keras hati dan keras kemauan ini membentak. "Hwe-sin, aku masih mempunyai kepandaian lain. Siapkah kau menerimanya dan beranikah kau menerimanya!"
"Ha-ha, kepandaian lain? Tak kulihat kepandaianmu itu, Eng Siu, tapi kalau ada tentu saja boleh kau keluarkan. Aku ingin tahu dan tentu saja berani menerimanya!"
"Sungguh?"
"Aku tak bohong."
"Baik!" baru saja ucapan itu selesai di tengah jalan mendadak Tung-hai Sian-li menggedruk kakinya tiga kali di tanah. Wanita ini mengeluarkan seruan panjang dan kedua tanganpun diledakkan dengan kuat. Dan ketika asap merah pecah di udara, bergulung tebal mendadak wanita ini memekik. "Hwe-sin, kau menghadapi seribu Tung-hai Sian-li!"
Kaget sekali laki-laki ini. Tung-hai Sian-li, wanita yang dicintanya itu tiba-tiba meledakkan ilmu sihir dengan menggetarkan Lembah Hijau. Suara nyaring yang keluar dari tepukannya tadi membuat roboh sebatang pohon di sebelah kirinya. Dan ketika pohon itu berdebum sementara gulungan asap merah menebal dan pecah, menyambar dirinya maka dari delapan penjuru muncullah seribu Tung-hai Sian-li yang lain yang sama-sama menyerangnya.
"Aiihhhh...!" Hwe-sin mengeluarkan teriakan atau pekik panjang. Selama ini, tiga puluh tahun yang lalu, Tung-hai Sian-li tak dilihatnya mernpunyai sihir. Wanita itu melulu berkepandaian silat bukannva sihir. Tapi begitu diserang dan maklum bahwa inilah ilmu sihir berbahaya, ia tak tahu di mana Tung-hai Sian-li yang sejati maka Hwe-sin mengebutkan lengan bajunya dan dari ujung lengan baju ini tiba-tiba meluncur benang-benang putih seperti jala, jala laba-laba.
"Rrt-rrrttt!"
Seribu Tung-hai Sian-li terperangkap dan masuk ke sini. Hwe-sin sendiri cepat menghilang karena sekali tertangkap tentu ia tak lepas lagi. Tung-hai Sian-li yang asli dapat menyerangnya dari tempat yang berbeda. Dan ketika sihir dibalas sihir dan itulah jala sihirnya yang sakti, dikebut dan keluar maka seribu Tung-hai Sian-li masuk dan terjebak di sini. Teriakan keras terdengar dari luar dan asap merah itu buyar. Sebagai gantinya berjatuhanlah daun-daun kering yang tercipta dari sihir wanita itu.
Dan ketika Tung-hai Sian-li gagal namun menyerang lagi, melepas Pek-hong-koan-jitnya maka ketika Hwe-sin mengelak iapun menggedruk dan meledak-kan sihirnya lagi. Hwe-sin tertegun karena dua kali lawannya melakukan hal yang sama. Dan ketika ia mengeluarkan jala sihirnya dan menghancurkan sihir lawan maka terdengar tawa terkekeh-kekeh dan seorang kakek-kakek berhidung bengkung muncul di situ.
"Heh-heh, tak mungkin menang kalau tak mengikat kelingking kirinya. Kau keras kepala dan tak menurut nasihatku, Sian-li. Biarlah kubantu dan sekarang robohkan lawanmu!"
Hwe-sin terkejut. la sedang mengelak dari Pek-hong-koan-jit ketika tiba-tiba dari belakang kiri menyambar seekor ular kecil. Ular ini panjang dan sepintas seperti tali merah kuning. Iapun tadinya mengira tali tapi begitu dekat segera ia melihat kepala ular dengan matanya yang kecil merah itu, bulat. Ular ini menyambar cepat dan tahu-tahu menuju kelingkingnya.
Dan ketika ia kaget bahwa itulah kunci lumpuhnya sihir, ia sudah tersentak mendengar dan melihat kedatangan kakek berhidung bengkung itu maka ia mengelak namun ekor ular menyabet dan tepat sekali mengenai ujung kelingkingnya. Dan ketika ia terkejut dan saat itu Tung-hai Sian-li berkelebat dan menyerangnya lagi maka kakek itu menggerakkan ular kedua menyambar keliingking kanannya pula.
"Curang!"
Hwe-sin pucat dan berseru keras. Ular pertama sudah melilit dan mengunci kelingking kirinya. Dan ketika ular kedua juga menyambar kelingking kanan sementara Tung-hai Sian-li menyerangnya dengan Pek-hong-koan-jit, ia merasa setengah dari kekuatannya sudah berkurang maka Hwe-sin tak sempat mengelak dan serangan ular kedua ini dan menangkis serangan Tung-hai Sian-li.
"Pratt!" Sinar bianglala itu menembus Jari Apinya. Hwe-sin terjengkang dan seketika mengeluh. Ular kedua sudah membelit dan mengunci kelingking kanannya pula di mana tenaga sakti laki-laki ini macet. Hwe-sin terkena serangan Pek-hong-koan-jit cian langsung terbanting. Dan karena Tung-hai Sian-li menyerangnya sungguh-sungguh sementara kehadiran kakek itu tak diduga, Hwe-sin tak tahu siapa kakek ini namun tahu bahwa kakek itu amat berbahaya terbukti dapat mengetahui kunci kelemahan sihirnya.
Maka kakek itu tiba-tiba terkekeh mengejutkan dan kakinya secepat kilat bergerak ke arah Hwe-sin. Seutas tali hitam telah berada di tangannya menebas leher Hwe-sin, mendesing. "Sekarang ia harus dibunuh....!"
"Des-dess!"
Batu dan pasir berhamburan. Hwe-sin, yang merasakan dan sudah tahu kelebihan lawan tak mau menangkis atau menyambut. Dengan langkah kakinya ia menghindar dan dari belakang atau samping ia membalas. Dan ketika Jari Api atau Hwe-ci menusuk dan mengenai lawannya, Tung-hai Sian-li berteriak namun cepat mengusp sana-sini maka seluruh pakaian wanita itu tiba-tiba sudah dibalut dan minyak atau semacam cairan licin membungkus wanita ini dari jari api lawan.
"Ha-ha, cerdik, hebat!" Hwe-sin tergelak dan memuji, serangannya pun gagal. "Kau pintar dan cerdik, Eng Siu. Kalau dulu kau seperti ini tak mungkin Jari Apiku melukaimu. Aih, kau wanita luar biasa. Minyak siluman apa yang kau pergunakan itu!"
"Tak usah banyak cakap. Aku akan merobohkanmu, Hwe-sin. Dan satu kebanggaan bagiku dapat mengalahkanmu!"
Dua orang itu bertanding lagi. Hwe-sin tertawa bergelak mendengar kata-kata lawannya ini sementara lawan gemas melihat sikapnya. Tung-hai Sian-li sudah memiliki keunggulan namun Hwe-sin memiliki kelebihannya yang lain, yakni langkah sakti Jit-cap-ji-poh-kun itu. Dan karena Pek-hong-koan-jit selalu dielak dan tak pernah mengenai sasaran, Tung-hai Sian-li gemas memaki-maki lawannya ini maka Hwe-sin juga sia-sia menusukkan Jari Apinya karena dengan kekebalannya dan minyak yang melumuri tubuhnya itu wanita ini tak terbakar.
Murid-muridnya terbelalak dan satu sama lain mulai berbisik-bisik. Dan ketika pertandingan meningkat tajam namun Hwe-sin maupun lawan sama-sama tak dapat merobohkan, Malaikat Api ini kagum dan bercahaya mukanya maka malam mulai beringsut dan perlahan tetapi pasti matahari mulai menerangi tanah. Kegelapan terusir secara lembut dan Lembah Hijaupun membuka diri. Warna-warna hitam terganti warna-warna hijau dan daun atau rumput-rumput segar bermandi embun.
Mereka semakin berkilau-kilauan bermandi cahaya yang menyaput permukaan lembah. Elok dan mempesona. Namun ketika pertandingan masih terus berjalan dan kini pohon atau barak-barak kecil mulai roboh, di sekeliling bangunan utama terdapat bangunan kecil dari barak-barak sederhana maka Tung-hai penasaran sekali tak dapat merobohkan lawan.
"Hwe-sin, jangan berlarian seperti pengecut. Terimalah, dan sambut pukulanku!"
"Ha-ha, aku tak berniat mengadu jiwa. Ini pertandingan untuk melihat siapa yang unggul di antara kita. Eh, kau dan aku sekarang sama, Eng Siu. Kau sudah mampu menyamai tingkatku dan kita berimbang. Kau dan aku tak mungkin menang atau kalah."
"Omongan busuk! Siapa bilang begitu? Kalau kau berani menyambut Pek-hong-koan-jitku maka aku yang unggul, Hwe-sin. Tapi kau pengecut, selalu menghindar dan tak berani menerima!"
"Ha-ha, itu benar, tapi juga salah. Kalau aku menerima berarti kita mengadu jiwa, dan aku mungkin akan tewas lebih dulu tapi kaupun tak mungkin selamat. Tidak, aku tak menghendaki begitu, Eng Siu. Kalau kau ingin nyawaku maka tanpa bertandingpun pasti kuserahkan. Tapi kalau kita jujur mengukur kepandaian maka inilah hasilnya, kau dan aku sama!"
Dewi Laut Timur melengking. Inilah yang tak membuatnya puas karena tiga puluh tahun sudah ia berlatih keras. Keinginannya hanya satu, menang dan mengalahkan lawannya itu. Dan karena tentu saja ia tak mau menerima kematian lawan secara cuma-cuma, ia ingin gagah merobohkan lawannya itu maka tiba-tiba Tung-hai Sian-li yang keras hati dan keras kemauan ini membentak. "Hwe-sin, aku masih mempunyai kepandaian lain. Siapkah kau menerimanya dan beranikah kau menerimanya!"
"Ha-ha, kepandaian lain? Tak kulihat kepandaianmu itu, Eng Siu, tapi kalau ada tentu saja boleh kau keluarkan. Aku ingin tahu dan tentu saja berani menerimanya!"
"Sungguh?"
"Aku tak bohong."
"Baik!" baru saja ucapan itu selesai di tengah jalan mendadak Tung-hai Sian-li menggedruk kakinya tiga kali di tanah. Wanita ini mengeluarkan seruan panjang dan kedua tanganpun diledakkan dengan kuat. Dan ketika asap merah pecah di udara, bergulung tebal mendadak wanita ini memekik. "Hwe-sin, kau menghadapi seribu Tung-hai Sian-li!"
Kaget sekali laki-laki ini. Tung-hai Sian-li, wanita yang dicintanya itu tiba-tiba meledakkan ilmu sihir dengan menggetarkan Lembah Hijau. Suara nyaring yang keluar dari tepukannya tadi membuat roboh sebatang pohon di sebelah kirinya. Dan ketika pohon itu berdebum sementara gulungan asap merah menebal dan pecah, menyambar dirinya maka dari delapan penjuru muncullah seribu Tung-hai Sian-li yang lain yang sama-sama menyerangnya.
"Aiihhhh...!" Hwe-sin mengeluarkan teriakan atau pekik panjang. Selama ini, tiga puluh tahun yang lalu, Tung-hai Sian-li tak dilihatnya mernpunyai sihir. Wanita itu melulu berkepandaian silat bukannva sihir. Tapi begitu diserang dan maklum bahwa inilah ilmu sihir berbahaya, ia tak tahu di mana Tung-hai Sian-li yang sejati maka Hwe-sin mengebutkan lengan bajunya dan dari ujung lengan baju ini tiba-tiba meluncur benang-benang putih seperti jala, jala laba-laba.
"Rrt-rrrttt!"
Seribu Tung-hai Sian-li terperangkap dan masuk ke sini. Hwe-sin sendiri cepat menghilang karena sekali tertangkap tentu ia tak lepas lagi. Tung-hai Sian-li yang asli dapat menyerangnya dari tempat yang berbeda. Dan ketika sihir dibalas sihir dan itulah jala sihirnya yang sakti, dikebut dan keluar maka seribu Tung-hai Sian-li masuk dan terjebak di sini. Teriakan keras terdengar dari luar dan asap merah itu buyar. Sebagai gantinya berjatuhanlah daun-daun kering yang tercipta dari sihir wanita itu.
Dan ketika Tung-hai Sian-li gagal namun menyerang lagi, melepas Pek-hong-koan-jitnya maka ketika Hwe-sin mengelak iapun menggedruk dan meledak-kan sihirnya lagi. Hwe-sin tertegun karena dua kali lawannya melakukan hal yang sama. Dan ketika ia mengeluarkan jala sihirnya dan menghancurkan sihir lawan maka terdengar tawa terkekeh-kekeh dan seorang kakek-kakek berhidung bengkung muncul di situ.
"Heh-heh, tak mungkin menang kalau tak mengikat kelingking kirinya. Kau keras kepala dan tak menurut nasihatku, Sian-li. Biarlah kubantu dan sekarang robohkan lawanmu!"
Hwe-sin terkejut. la sedang mengelak dari Pek-hong-koan-jit ketika tiba-tiba dari belakang kiri menyambar seekor ular kecil. Ular ini panjang dan sepintas seperti tali merah kuning. Iapun tadinya mengira tali tapi begitu dekat segera ia melihat kepala ular dengan matanya yang kecil merah itu, bulat. Ular ini menyambar cepat dan tahu-tahu menuju kelingkingnya.
Dan ketika ia kaget bahwa itulah kunci lumpuhnya sihir, ia sudah tersentak mendengar dan melihat kedatangan kakek berhidung bengkung itu maka ia mengelak namun ekor ular menyabet dan tepat sekali mengenai ujung kelingkingnya. Dan ketika ia terkejut dan saat itu Tung-hai Sian-li berkelebat dan menyerangnya lagi maka kakek itu menggerakkan ular kedua menyambar keliingking kanannya pula.
"Curang!"
Hwe-sin pucat dan berseru keras. Ular pertama sudah melilit dan mengunci kelingking kirinya. Dan ketika ular kedua juga menyambar kelingking kanan sementara Tung-hai Sian-li menyerangnya dengan Pek-hong-koan-jit, ia merasa setengah dari kekuatannya sudah berkurang maka Hwe-sin tak sempat mengelak dan serangan ular kedua ini dan menangkis serangan Tung-hai Sian-li.
"Pratt!" Sinar bianglala itu menembus Jari Apinya. Hwe-sin terjengkang dan seketika mengeluh. Ular kedua sudah membelit dan mengunci kelingking kanannya pula di mana tenaga sakti laki-laki ini macet. Hwe-sin terkena serangan Pek-hong-koan-jit cian langsung terbanting. Dan karena Tung-hai Sian-li menyerangnya sungguh-sungguh sementara kehadiran kakek itu tak diduga, Hwe-sin tak tahu siapa kakek ini namun tahu bahwa kakek itu amat berbahaya terbukti dapat mengetahui kunci kelemahan sihirnya.
Maka kakek itu tiba-tiba terkekeh mengejutkan dan kakinya secepat kilat bergerak ke arah Hwe-sin. Seutas tali hitam telah berada di tangannya menebas leher Hwe-sin, mendesing. "Sekarang ia harus dibunuh....!"