Putri Es Jilid 03 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

"YA, Bhi Li, pangeran. Kalau boleh..."

"Ha-ha, ambillah. Di sini masih ada segudang wanita-wanita cantik. Kau boleh ambil selirku itu asal tukang tenung itu mampu membunuh Wan-thai-suma!"

"Terima kasih," dan Yauw Seng yang berseri meloncat ke belakang, tak tahan dan segera mendapatkan pujaannya itu lalu melepas dulu gairah birahinya sebelum memanggil si "dukun"' ampuh.

Bhi Li terpekik ketika tiba-tiba pintu kamarnya dibuka, laki-laki ini berkelebat dan kemudian menutup kembali, langsung membuka baju dan pakaian sambil tertawa-tawa. Sikapnya sungguh seperti kucing mendapat dendeng, rakus, berkesan urakan pula. Yauw Seng memang laki-laki. Tapi ketika laki-laki itu menjelaskan bahwa si Cantik itu sekarang miliknya, pangeran telah memberikannya kepadanya maka Bhi Li tak dapat berbuat apa-apa dan rasa kaget atau marahnya hilang.

Wanita ini sebenarnya kecewa juga kenapa Tan-ongya melepasnya, memberikannya kepada pembantunya ini. Namun karena kehidupan laki-laki bangsawan memang begitu dan wanita hanyalah sebagai hiasan saja, Bhi Li menyerah maka Yauw Seng menubruknya dengan nafsu berkobar-kobar. Sudah lama sebenarnya dia tergila-gila kepada selir tercinta majikannya ini.

"Ha..Ha..ongya telah menghadiahkan dirimu kepadaku, Bhi Li. Kemarilah, kita bercumbu dan nanti boleh kau tanya pada pangeran kalau tidak percaya!"

"Aku percaya, tapi nanti dulu... jangan seperti kucing kelaparan begini. Ih, jangan main gigit, Yauw Seng. Aduh, kau menimpa tubuhku!"

Sute dari Kwee Huan itu terbahak-bahak. la begitu gembira dan bernafsu dan karena itu main timpa saja. Si cantik yang rupanya baru berdandan langsung diterkamnya, hidung mendengus-dengus dan tentu saja wanita ini menjerit. Permainen Yauw Seng brutal. Tapi ketika ia harus menerima dan pagi itu juga Yauw Seng bersenang-senang sepuas hati maka barulah malam harinya ia meninggalkan kekasihnya dan tiga hari kemudian dia sudah datang lagi dengan seorang kawannya tengkorak hidup yang tawanya bagai kuda, menghadap Tan-ongya.

* * * * * * * *

"Inilah orang yang hamba maksud," laki-laki itu berseri menghadap majikannya. "Hamba datang membawa pesanan paduka pangeran. Inilah Hwee-long Bong Cwan Ek!"

"Hm-hm..." sang pangeran agak ngeri, si muka tengkorak itu menyeringai, menjura. "Dari mana dia, Yauw Seng, dan apakah sudah tahu apa yang menjadi keinginanku? Ini rahasia besar, tak boleh orang lain tahu!"

"Heh-heh," Si muka tengkorak terkekeh, tawanya mirip kuda meringkik.

"Hamba tahu apa yang menjadi keinginan paduka, pangeran. Dan tentu saja ini rahasia kita bertiga. Hamba sanggup membunuh Wan-thai-suma, dengan ilmu hamba. Tapi apa yang akan hamba peroleh kalau sebelumnya hamba boleh tahu."

"Hm, hadiah diberikan kalau sudah ada bukti. Dan bisakah sebelumnya kau memberikan buktimu di sini."

"Paduka minta apa? Apa saja sanggup hamba lakukan di sini. Akan hamba buktikan!"

"Kau bunuh saja ayam di kandang pangeran. Biar yang kecil-kecil dulu menjadi bukti" Yauw Seng tiba-tiba berkata dan berseru kepada temannya itu, tahu maksud junjungannya. "Coba kau tunjukkan dari sini, Cwan Ek. Dan biar pangeran melihat dengan mata kepala langsung!"

"Baik, ayam mana yang kau minta. Yang putih ataukah hitam itu. Hm, ada juga jago merah!"

Sang pangeran tertegun. Si muka tengkorak ini mengeluarkan cermin dan tiba-tiba saja dari dalam cermin itu muncul bayang-bayang tiga ekor ayam jago di kandang. Bayang-bayang itu menjadi jelas setelah diusap tiga kali. Tiga ayam jago itu tampak gagah dan sombong di tempatnya masing-masing. Dan ketika kakek ini berkemak-kemik dan menjentik jago hitam di dalam cermin tiba-tiba terdengar keok yang keras sekali sampai terdengar di ruangan itu.

"Ah, apa yang kau lakukan" sang pangeran terkejut, terbelalak. "Jago hitam itu jangan diganggu, Bong Cwan Ek. Itu ayam kesayanganku!"

"Heh-heh, hamba hendak menunjukkan kepada paduka bahwa hamba mampu membunuh ayam itu dari sini. Kalau begitu ayam mana yang harus hamba bunuh!"

"Yang merah saja. Dia sering kalah bertarung dan coba kau buktikan kepadaku!" sang pangeran mengerti, tertawa dan berseri dan seketika harapannya timbul. Si muka tengkorak yang ketawanya mirip ringkik kuda ini ternyata hebat. Ia dapat mengganggu mahluk lain dari jarak jauh.

Dan ketika kakek itu terkekeh dan mengambil sebatang hio, dupa wangi, maka ia berkata bahwa ayam itu akan ditusuknya dari situ. "Lihat, dari sini hamba akan membunuh ayam itu, pangeran. Lehernya akan hamba tusuk. Maaf!"

kakek ini menusukkan batang hionya ke atas cermin, tepat di leher ayam jago merah dan ajaib hio itu tembus ke bawah. Dan begitu leher ayam ditusuk maka di kandang terdengar keok dan pekik kesakitan ayam itu, yang juga terlihat di situ dari cermin.

"Keoookkkk...!"

Tan-ongya meremang. la melihat betapa ayamnya tiba-tiba menggelepar, batang hio itu menancap sampai dalam namun karena kakek itu masih memeganginya maka ayam itu tidak roboh. la meronta-ronta dan menggelepar dan baru setelah, kakek ini menarik batang hionya kembali robohlah ayam itu. Darah mengucur dari lukanya di leher, deras.

Dan ketika Yauw Seng terbahak dan meminta agar pangeran Itu menyuruh orangnya mengambil ayam itu, yang tampak dari dalam cermin maka Tan-ongya meloncat dan bertepuk tangan memanggil pelayan. Dengan tergesa ia menyuruh pelayan itu berlari mengambil ayam merah, menunggu dan tak lama kemudian pelayan itu datang dengan ayam yang dimaksud. Dan ketika pangeran tertegun karena keadaan ayam persis sama seperti apa yang tadi dilihat di cermin maka Yauw Seng, pembantunya, tertawa bergelak.

"Ha-ha, bagaimana, pangeran. Bukankah persis sama!"

"Ya-ya, ajaib sekali. Ah... kalau begitu temanmu ini dapat pula membunuh musuhku dari sini. He, coba kau lakukan itu kepada Wan-thai-suma, Cwan Ek. Aku ingin melihat ia sekarat. Jangan bunuh dulu, siksa dan tusuk-tusuk lehernya seperti ayam itu. Ha-ha... aku ingin melihat!"

Laki-laki ini mengangguk. Pelayan itu sendiri sudah keluar lagi dan merekapun bertiga saja di ruangan dalam. Ini pekerjaan rahasia. Dan ketika kakek itu tertawa dan mengambil dupa-dupa wanginya maka ia menggosok cermin dan berkata,

"Apakah pangeran tak ingin melihat dulu di mana dan apa yang sedang dikerjakan musuh paduka itu. Dan hamba sendiri. hmm.... apa hadiahnya, pangeran. akankah paduka telah melihat bukti dari pekerjaan hamba."

"Ha-ha, kau mau minta apa. Apa saja dapat kuberikan!"

"Bagaimana kalau ia bekerja sekalian di sini?" Yauw Seng tiba-tiba mendahului, memotong. "Bong Cwan Ek ini setingkat dengan hamba, pangeran, dia juga berkepandaian tinggi. Hamba hanya kalah ilmu tenungnya itu. Dia dapat menggantikan suheng hamba Kwee Huan!"

"Ha-ha, boleh. Kau dapat bekerja pula disini!"

"Tapi hamba juga ingin main-main dengan wanita-wanita cantik," si muka tengkorak itu terkekeh, matanya melirik ke dalam, tempat para selir. "Kalau boleh tentu hamba tinggal di sini, pangeran. Tapi apakah paduka setuju atau tidak."

"Hm, mereka?" Tan-ongya tertegun, tapi akhirnya mengangguk. Tak tahu apakah ada selir-selirnya yang mau melayani Bong Cwan Ek ini. Habis, mukanya seperti tengkorak! "Kalau kau dapat menundukkan yang kau suka tentu saja boleh, Cwan Ek. Tapi jangan sampai menakut-nakuti!"

"Ha-ha!" Yauw Seng tahu maksud majikannya. "Kalau ada wanita yang menolak Bong Cwan Ek maka dia bukan si ahli tenung, pangeran. Teman hamba ini pandai. Dia dapat menundukkan siapapun untuk dijadikan kekasihnya. Kalau perlu, permaisuripun dapat direngkuhnya!"

"Hm, jangan bertindak yang melebihi bahaya. Di tempat kaisar ada orang-orang tertentu yang berkepandaian tinggi. Kalau kita sampai ketahuan tentu nanti celaka. Sudahlah, Cwan Ek boleh memilih siapa saja wanita di sini tapi jangan di luar!"

"Terima kasih, dan sekarang juga hamba akan bekerja." tetapi ketika kakek itu akan meletakkan dupa-dupa wanginya mendadak pangeran ingin tahu bagaimana kakek itu mampu menundukkan wanita.

"Tunggu, nanti dulu, Cwan Ek. Coba aku ingin tahu dulu bagaimana kau membuat seorang wanita jatuh hati kepadamu. Perlihatkan kepadaku apakah benar kau dapat melakukan itu dan cari serta datangkanlah seorang di antaranya!"

"Paduka suruh hamba menjatuhkan seorang selir?"

"Ya-ya, aku ingin tahu bagaimana dia itu bisa jatuh cinta kepadamu!"

"Heh-heh, gampang. Kalau begltu maaf hamba akan memilih dulu seorang di antara mereka. Bolehkah hamba memasuki keputren."

"Kau mau ke sana?"

"Tidak, dari sini saja."

"Baik, coba lakukan, Cwan Ek. Dan aku semakin tertarik saja!"

Kakek itu terkekeh. Cermin yang sudah diusap mendadak dihapus lagi, berkemak-kemik dan tiba-tiba ia membalik menghadapkan cerminnya keluar gedung, ke sebelah selatan. Di situ terletak keputren dan ke sinilah kakek itu mengarahkan cerminnya. Dan ketika ia menggosok dan meniup dua kali mendadak seluruh keputren tampak di cermin itu, termasuk semua selir dan dayang-dayangnya.

"Ha-ha, lihat, pangeran. Cwan Ek telah masuk ke keputren!"

Sang pangeran terkejut. Cepat dan mengejutkan tahu-tahu dua puluh tiga selirnya kelihatan di situ. Mereka ada yang berbaring-baring dan makan minum. Dan ketika pangeran kagum namun selir kedua puluh empat tak tampak di situ, ia memiliki dua puluh lima selir tapi yang satu sudah diberikan Yauw Seng, yakni si cantik Bhi Li itu maka pangeran berkerut kening dan berseru agar kakek itu mencari selir terakhirnya ini.

"Ada seorang yang kurang. Coba kau cari di mana dia dan sedang berbuat apa!"

"Hm, ada seorang lagi? Baik, akan hamba putar cermin ini, pangeran. mungkin di kamar lain..."

Ajaib, cermin itu lalu mengikuti semua sudut yang dicari laki-laki ini. Gerakan demi gerakan diputar bagai film, lalu ketika berhenti dan menumbuk sebuah kamar mandi maka tersenyumlah kakek itu, matanya bersinar-sinar. "Selir paduka ada di dalam bilik itu. Apakah hamba teropong."

"Ya-ya, coba lihat, Cwan Ek. Sedang apa dia!" dan baru kata-kata ini diselesaikan mendadak si kakek menggosok lebih terang dan.... tampaklah selir itu sedang mandi di dalam, gejebar-gejebur.

"Nah, itulah dia, pangeran. Maaf kita nonton wanita telanjang!"

"Ha-ha!" sang pangeran tertawa bergelak. "Kau hebat dan jempolan sekali, Cwan Ek. Aih, cerminmu luar biasa. Itu Hong Nio!"

"Hamba boleh terus merekam pemandangan ini?"

"Boleh-boleh! Ah, ha-ha... dia tak tahu kita tonton!" Tan-ongya kagum bukan main, tertawa dan mendecak tapi Yauw Seng pembantunya melotot. Birahi bangkit dengan cepat namun tiba-tiba kakek itu memadamkan cerminnya. Hong Nio, si cantik yang sedang mandi tiba-tiba ambyar, tak kelihatan lagi. Dan ketika Yauw Seng berseru kecewa karena gemas, si kakek terkekeh maka berkatalah kakek ini bahwa Hong Nio itulah yang dipilih.

"Hamba memilih wanita ini. Apakah paduka tak keberatan kalau dia hamba panggil ke sini."

"Kau memilih Hong Nio? Baik, boleh-boleh saja, Cwan Ek. Tapi buktikan bahwa dia mau menerimamu "

"Tentu menerima, hamba tanggung...." dan ketika kakek itu bersedakap dan berkemak-kemik, sihir atau ilmu tenung dilancarkan maka di sana, Hong Nio, si cantik yang sedang mandi tiba-tiba seakan mendengar seruan, lirih, bergetar.

"Hong Nio, kau dipanggil pangeran. Ke sinilah, seorang jejaka tampan sedang menunggumu. Berpakaianlah yang rapi dan harumkan sekujur tubuhmu dengan wangi-wangian!"

Aneh, wanita itu bergerak. Si kakek lalu mengambil cerminnya lagi dan memasang, menghidupkannya dan tampaklah tak lama kemudian si cantik itu menuju ruangan ini. Yauw Seng meleletkan lidah melihat lenggang yang aduhai ini. Gerak-gerik wanita itu ternyata halus. Dan ketika semua itu ditonton dari cermin, baik Tan-ongya maupun Yauw Seng terbelalak kagum maka tak lama kemudian muncullah wanita ini.

Sejenak ia tampak kebingungan namun suara bergetar yang kuat mempengaruhinya itu mendesau lagi, terus berbisik-bisik di telinganya dan masuklah wanita itu ke dalam. Dan ketika ia menguak kerai di tengah ruangan maka ia tertegun melihat Tan-Ongya, juga Yauw Sang. dan begitu pandang matanya beradu dengan Bong Cwan Ek tiba-tiba la mengluha tertahan dan tanpa dapat dicegah lagi wanita itu jatuh berlutut, menggigil.

"Ongya, apa... apa maksud paduka memanggil hamba?"

Suara itu lirih dan gemetar. Tan-ongya, yang terkejut dan terbelalak melihat ini tiba-tiba tertawa bergelak. Dipandanglah kakek itu dan seketika dia tahu bahwa jerat sudah terpasang. Hong Nio lumpuh melihat si kakek. Dan karena justeru si kakek itulah yang lebih berkepentingan, ia kagum dan tertawa bergelak maka ia berseru, "Hong Nio, kau akan diminta Hwee-long (Srigala Kelabu) Bong Cwan Ek ini. Maukah kau melayaninya dan menjadi kekasihnya?"

"Apa?"

"Kau dimintanya, Hong Nio. Aku mempunyai seorang pembantu pandai lagi. Nah, jawablah mau atau tidak kau menerima orang ini!"

Luar biasa Hong Nio mengangguk. Dan ketika wajahnya dan tampak tersipu-sipu, matanya berbinar sekali maka la menjawab, "Hamba siap menerima perintah ongya. Dan siapakah tak senang orang gagah ini. Kalau paduka perintahkan tentu saja hamba menurut, hidup hamba di tangan paduka, terserah paduka."

"Eh, ini bukan perintahku. Ini pertanyaanku. Senangkah kau dan maukah kau melayaninya. Cintakah kau kepadanya?“

"Hamba cinta..."

"Kau cinta? Benar-benar cinta?"

"Kalau paduka menyerahkan hamba tentu saja hamba menerimanya, ongya. Hamba memang cinta!"

"Ha-ha, luar biasa!" Tan-ongya tak habis kagum dan terbahak. "Lihat siapakah dia ini, Hong Nio. Bagaimanakah wajahnya menurut pendanganmu!"

"la gagah, tampan.... hamba... hamba mencintainya!"

Tan-ongya bertepuk tangan. ia terkejut dan tak habis pikir bahwa kakek bermuka tengkorak dikata gagah dan tampan. Kalau bukan pengaruh tenung adakah Hong Nio akan bicara seperti itu. Ah," orang glla saja yang dapat berkata seperti itu. Dan kagum bahwa guna-guna hitam telah menguasai Hong Nio maka kakek itu berseru kepada laki-laki itu,

"Cwan Ek, kau telah mendengar jawaban kekasihmu. Nah, bagaimana kalau tugas kau kerjakan dulu dan baru setelah itu kau bersenang-senang!"

"Heh-heh, hamba tak keberatan, pangeran. Kalau begitu biar dia hamba suruh tunggu di kamar tapi Hong Nio akan hamba suruh cium sebentar!" lalu melangkah dan berhenti di dekat wanita itu, menepuk pundaknya kakek ini berkata, serak, tapi di telinganya Hong Nio terdengar begitu manis dan mesra, "Hong Nio, kau tunggu aku di kamar. Siapkan segalanya di sana, rapikan pembaringan. Maukah kau menciumku di depan pangeran?"

"Tentu saja," wanita itu bangkit berdiri, jiwa dan perasaannya dikuasai cinta hitam. "Aku menunggumu, koko... jangan lama-lama!" dan tidak malu-malu atau canggung dl depan pangeran, kegembiraan bahkan memancar di wajah si cantik itu, maka Hong Nio memeluk dan mendaratkan ciumannya di bibir si kakek. Tak tanggung-tanggung, sampai berkecup keras!

Dan ketika kakek itu tertawa dan Hong Nlo terkekeh manja, didorong agar melepaskan pelukannya maka pangeran maupun Yauw Seng bengong akan peristiwa itu. Wanita secantik Hong Nio ternyata tak jijik mencium Bong Cwan Ek, laki-laki kurus yang sudah termasuk tua bangka. Dan ketika wanita itu lenyap dan melambaikan tangan nya di balik tirai, berlari dan menunggu laki-laki ini maka Bong Cwan Ek tersenyum dan berkata,

"Lihat, siapapun dapat hamba tundukkan, pangeran. Dan siapapun juga dapat hamba lenyapkan. Sekarang hamba akan bekerja dan lihat Wan-thai-suma akan hamba bunuh!"

"Nanti dulu, jangan dibunuh. Siksa dulu seperti tadi kau menyiksa ayam jagoku. Dan bolehkah aku ikut menusuk-nusuk agar dia tahu rasa!"

"Paduka mau ikut bermain? Boleh, mari, pangeran. Lihat berapa lama dia tahan, heh-heh!"

Tan-ongya berseri-seri. Si kakek sudah menyiapkan cerminnya dan mula-mula cermin itu diarahkan ke gedung Wan-thai-suma. Lalu begitu terdapat segeralah cermin itu digosok dan ditiup. Dan ketika kakek itu juga berkemak-kemik dan seluruh gedung Wan-thai-suma muncul, Tan-ongya takjub maka pangeran ini berseru keras melihat wajah adiknya.

"Itu dia... ha-ha, itu Wan Sut!"

"Itu Wan-thai-suma? Bagus, pegang hio-hio ini, pangeran. Dan biar hamba ketuk kepalanya dahulu!"

Si kakek menyeringai, jari bergerak dan diketuknya belakang kepala Wan-thai-suma itu. Waktu itu Wan-thai-suma sedang berjalan dan tiba-tiba terdengar jeritannya. Di dalam cermin itu laki-laki ini berteriak, jelas benar kelihatannya. Dan ketika ia roboh dan memegangi kepalanya, para pengawal berdatangan maka Bong Cwan Ek menyuruh pangeran menusuk-nusukkan hionya, batang dupa wangi itu.

"Mulai, hamba telah melumpuhkan, otaknya, pangeran. Tusuk ke bagian yang mana paduka suka!"

"Ha-ha, aku akan menusuk lehernya. Ugh, gemas aku. Lihat!" dan ketika Tan-ongya menggerakkan dan menusukkan batang dupanya, di sana Wan-thai-suma berteriak maka selanjutnya batang dupa itu ditarik dan ditusukkan lagi ke pundak dan kaki atau tangan menteri itu.

Wan-thai-suma menjerit dan meronta-ronta dan tentu saja kejadian ini menggemparkan. Pengawalnya, yang heran dan bingung bagaimana tuannya kesakitan tiba-tiba menolong dan coba membangunkan majikannya. Tapi begitu darah mengucur dan menyemprot dari luka-luka kecil sebesar lidi maka mereka pun panik dan berteriak-teriak.

Gedung Wan-thai-suma menjadi gaduh dan isteri atau kerabatnya menjerit. Mereka ini telah berlarian dan melihat apa yang terjadi. Namun ketika menteri itu berteriak dan berjengit-jengit, lakunya seperti orang ditusuki maka istanapun geger dan para tabib diundang. Namun tak ada yang mampu menolong.

Tan-ongya menusuk-nusuki atau mencobloskan batang dupanya di sana. Siapa yang tahu! ia terkekeh atau tertawa dan tampak pangeran ini gembira benar. Ia sekarang tak mau membunuh dulu adiknya itu sebelum disiksa, Biar Wan-thai-suma sekarat dan mati mengerikan. Dan ketika kejadian ini berlangsung selama tiga hari berturut-turut dan tentu saja kejadian ini meluas ke gedung-gedung lain, akhirnya tertangkap pula oleh Yo-ongya maka pangeran Yo itu menjenguk adiknya. Dan alangkah kagetnya melihat keadaan adiknya yang mengerikan.

Sekujur tubuh adiknya itu penuh lubang lubang kecil dan dari puluhan atau bahkan ratusan lubang itu keluar tetesan-tetesan darah. Isteri dan keluarganya menangis tak keruan. Wan-hujin (nyonya Wan) bahkan histeris dan roboh pingsan berulang-ulang. Dan karena ini lagi-lagi mengganggu tugas negara, Wan-thai-suma dinyatakan sakit maka tertegunlah Yo-ongya bertanya kepada para tabib yang sudah berusaha keras menyembuhkan derita adiknya yang tak kunjung berakhir.

"Apa yang terjadi. Penyakit apa ini Siapa yang tahu!”

"Hamba... hamba tak tahu. Kami semua bingung sendiri, ongya. Ini... ini penyakit aneh!"

"kalian tabib-tabib istana, masa tidak tahu. Heh, jangan berlagak bodoh, ahli-ahli pengobatan. Kalian pasti tahu!"

"Ampun" seorang tabib tua maju menggigil, punggungnya dilipat. "Kami bukan menghadapi penyakit biasa, ongya. Ini bukan penyakit melainkan akibat teluh. Kami tak sanggup. Kalau paduka hendak menyembuhkannya barangkali hanya ada satu jalan, yakni ke tempat Thio-taijin!"

"Thio-taijin? Kepala Agama-agama"

"Benar, kami bersepakat bahwa Thio-taijin lah yang mampu, ongya. Dia seorang berbatin tinggi dan penuh ilmu Keagamaannya tentu dapat menolong, sedikitnya dengan doa atau mantra-mantra!"

"Kalau begitu bawa ke sana!" sang pangeran terkejut, bergegas. "Hayo angkat dan tandu Wan-thai-suma, pengawal. Kita ke gedung Thio-taijin!"

Semua mengangguk dan tergesa. Seka-rang menteri Wan tak sadarkan diri dan sering berteriak atau terlonjak-lonjak sendirian. Mulutnya berbuih dan pipi serta mulutnya berlubang-lubang. Sekujur tubuhnya penuh bekas luka dan tak terhitung lagi bercak darah di permukaan tubuhnya, Tak pelak Wan-thai-suma seperti kesakitan ditusuk orang. Dan ketika semua bergegas dan menuju gedung Thio-taijin, Kepala Agama yang berusia tujuh puluhan tahun maka tertegunlah kakek ini melihat keadaan Wan-thai-suma.

"Thian Yang Maha Agung, ini akibat teluh. Duh, benar kiranya kabar yang kuterima, Yo-ongya. Hari ini aku akan ke sana tapi kalian ternyata mendahului. Hmm siapa yang berbuat. Keji benar!"

Wan-thai-suma lalu dimasukkan ke gedung Kepala Agama ini dan tampak betapa korban berjengit dan berteriak-teriak. Tubuhnya sudah kurus dan isteri serta kerabatnya mengguguk mengiringi. Semua tak tahan dan ikut menangis. Tapi ketika laki laki tua itu mengusir yang lain dan korban dimasukkan kamarnya, hanya Yo-ongya dan Wan-hujin yang boleh masuk maka kakek ini cepat bersila dan bersamadhi.

Dan terkejutlah kakek itu. Sebuah getaran kuat mencoba memasuki tubuhnya dan lampu mendadak bergoyang-goyang. Thio-taijin bertahan dan mendadak ia menggeram. Dan ketika cepat la membuka matanya dan mengebutkan ujung lengan baju, mengeluarkan sebuah telur dari logam kuningan mendadak kamar bergemuruh dan meja kursi serta almari ambruk.

"Berlindung, kita diserang kekuatan hitam!"

Wan-hujin dan Yo-ongya berteriak kaget. Lampu di atas kepala jatuh dan hampir saja menimpa mereka. Yo-ongya menarik Wan-hujin itu dan cepat bersembunyi di kolong tempat tidur. Itulah satu-satu-nya tempat aman. Wan-hujin menjerit-jerit, histeris! Dan ketika benda-benda di langit ruangan jatuh semua, pecah dan tang-ting-tang-ting maka Thio-taijin memegang erat-erat telur kuningannya itu, bibir berkemak-kemik. Dan cermin di dinding sebelah kiri tiba-tiba pecah.

"Tranggg...!" orang-orang di kolong pembaringan pucat. Yo-ongya telah mendekap mulut temannya namun saat itu Wan-hujin mengeluh dan roboh pingsan. Terlalu hebat semua kejadian itu bagi wanita ini. Dan ketika di sana Thio-taijin gemetaran dan terus berkemak-kemik, telur kuningan di tangannya tiba-tiba meledak maka tampaklah wajah si pelaku namun saat itu juga Bong Cwan Ek membanting hancur cerminnya. Apa yang terjadi?

Kiranya sebuah pertandingan seru, pertandingan batin yang tak kalah menegangkan dengan pertandingan tinju. Karena ketika Wan-thai-suma. Sudah mulai memasuki gedung Thio-taijin ini maka di sana Bong Cwan Ek terkejut karena bayang-bayang di cerminnya mulai buram. Kakek ini terkejut karena semacam awan atau kabut tipis mengganggu pandangannya, begitu pula Tan-ongya maupun Yauw Seng yang selama tiga hari ini terus memonitor hasil perbuatannya.

Dari tempat itu mereka tahu segala kejadian yang terjadi di tempat Wan-thai-suma. Dari cermin itu mereka melihat betapa Wan-thai-suma menjerit dan berjengit-jengit setiap kali ditusuki. Menteri ini sudah tak sadarkan diri. Tapi begitu ia dibawa ke tempat Thio-taijin dan di halaman Kepala Agama itu ternyata memancar kekuatan suci yang menolak hawa ilmu hitam, cermin yang semula jelas mendadak kabur dan buram maka Bong Cwan Ek berseru marah dan ia memperkuat tenaga batinnya, demikian kuat sampai getaran ilmu hitam itu menggemuruhkan isi kamar Kepala Agama, akhirnya menjatuhkan segala benda di langit-langit ruangan.

Tapi karena Thio-taijin juga memperkuat perlawanannya dan batin yang bersih dari penasihat kaisar ini sedikit tetapi pasti mendorong pengaruh hitam, telur ajimatnya juga memancarkan cahaya dan menolak pengaruh gaib itu maka telur tiba-tiba semakin terang dan tepat di dalam telur itu terlihat wajah Bong Cwan Ek maka secepat itu pula kakek ini membanting hancur cerminnya, tak mau ketahuan.

"Keparat, aku kalah!"

Tan-ongya dan Yauw Seng terkejut. Mereka tak tahu apa yang terjadi namun Bong Cwan Ek menggigil kedinginan, kakek ini berkeringat. Namun ketika ia pulih dan tenang kembali, pangeran ini bertanya kepadanya maka ia menjawab,

"Hamba membentur kekuatan batin yang luar biasa kuatnya. ilmu hamba tertolak. Siapakah kakek itu dan sekilas hamba sempat dilihatnya. Berbahaya!"

"Hm, Thio-taijin? Dia adalah Kepala Agama, Cwan Ek. Tapi kenapa kau tampak begitu ketakutan. Bagaimana sekarang, apakah pekerjaan kita terhenti."

"Ya, tentu saja. Selama Wan-thai-suma di tempat tua bangka itu maka hamba tak dapat menyerangnya, pangeran. Kekuatan batinnya tinggi sekali dan hamba kalah kuat. Sebaiknya begitu Wan-thai-surna keluar lagi maka secepat itu pula ia dibunuh. Kini ia dilindungi Kepala Agama!"

"Hm, begitukah? Jadi kita tak dapat menyerangnya lagi?"

"Tak dapat, pangeran. Dan hamba ingin beristirahat. Maaf, hamba agak terguncang!"

Yauw Seng terkejut. Temannya itu sudah memutar tubuhnya dan berkelebat pergi. Tan-ongnya juga tak dapat mencegah meskipun diam-diam kecewa. Selama tiga hari ini sebenarnya dia amat senang sekali menyiksa Wan-thai-suma. Adiknya itu menggelepar-gelepar dan keinginan membunuh tiba-tiba ditunda menjadi keinginan menyiksa. Nanti kalau dia sudah puas benar barulah ditusukkan batang dupanya itu ke jantung, berapa lama melakukan itu.

Tapi ketika sekarang Bong Cwan Ek pergi beristirahat dan tampak betapa kakek itu gentar dan pucat, ilmu hitamnya bertemu kekuatan Kepala Agama maka dia tak tahu bahwa ada kekhawatiran lebih yang dirasa Hwee-long Bong Cwan Ek itu. Wajahnya sudah terlihat Thio-taijin dan tadi seberkas cahaya menyambar mukanya. Kakek ini khawatir kalau dia nanti tentu bakal ketahuan. Dan ketika untuk melepas kecemasannya ini ia mencari Hong Nio, si cantik sudah diguna-gunai hingga rnenganggapnya sebagai seorang tampan bukannya kakek bermuka tengkorak, Hong Nio melakukan apa saja yang dikehendaki kakek ini maka benar saja dua hari kemudian Thio-taijin bertindak.

Kakek itu, seperti diketahui, telah melihat wajah si pembuat onar di telur wasiatnya. la tertegun tapi mengangguk-angguk. Dan ketika ia memanggil Yo-ongya, agar keluar dari kolong pembaringan, Wan hujin disadarkan maka kakek itu berkata bahwa Wan-thai-suma dapat disembuhkan.

"Aku hanya berdiri di belakang saja kalian yang nanti bekerja. Hm, aku telah melihat wajah si tukang teluh ini dan nanti kuperlihatkan kepada kalian. Tapi kita sembuhkan dulu Wan-thai-suma."

"Taijin telah melihat wajah orang itu?"

"Benar, tapi nanti sama-sama lihat lagi, ongya. Sekarang kita sembuhkan dulu adikmu dan biar Wan-hujin beristirahat di belakang."

"Tidak, aku di sini saja. Aku ingin menunggui suamiku!"

"Hm, kau baru saja sadar, hujin. Melihat semua ini saja kau sudah tak kuat. Sebaiknya tidak mencampuri urusan kami laki-laki dan kau tinggal di belakang. percayalah, suamimu bakal sembuh!"

"Tapi aku ingin melihat kesembuhannya dulu."

"Baiklah, biar kusembuhkan karena sekarang pengaruh ilmu hitam telah lenyap,"

kakek ini mengambil telur wasiatnya, menggosok dan meniup dan Wan-thai-suma yang semula berteriak dan melonjak-lonjak tiba-tiba membuka mata, tenang dan rupanya seolah baru terbangun dari mimpi buruk tapi yang hebat adalah lenyapnya semua lubang-lubang bekas tusukan ilmu hitam itu. Tak ada setitik pun bekas darah yang ada. Bersih! Dan ketika Wan-thai-suma bangkit dan terheran kenapa ia berada di tempat Thio-taijin, isteri dan kakaknya juga di situ maka Wan-hujin menangis dan menubruknya.

"Aduh, kau sembuh, suamiku. Sembuh!"

"Apa yang terjadi," menteri ini duduk, mau berdiri tapi terhuyung, perutnya lapar sekali. "Eh, apa yang terjadi, isteriku. Kenapa aku di sini. Dan tubuhku, ah.... kurus sekali!"

Wan-hujin tersedu-sedu. Girang dan haru bahwa suaminya kurus, tiga hari ini tak makan atau minum maka nyonya itu menceritakan apa yang terjadi. Wan-thai-Suma samar-samar teringat bahwa ia seakan berada dalam sebuah mimpi menyeramkan, bahwa ia seolah-olah di ruangan setan dengan ditusuki sekujur tubuhnya. Maka ketika isterinya bercerita bahwa selama tiga hari ini ia memang dalam keadaan seperti itu, tubuh penuh dengan luka-luka tusukan tapi Wan-thai-suma tak melihat luka-luka itu, ia merasa sehat tetapi lemah, lapar, maka isterinya itu menutup bahwa semua itu adalah berkat jasa Thio-taijin.

"Thio-taijin inilah yang menolongmu. Dialah yang menyembuhkan luka-lukamu. Ah, kau diserang ilmu hitam, suamiku. Orang yang amat keji hendak membunuhmu!“

"Hm, sebaiknya hujin sekarang beristirahat," Thio-tajin menarik napas dalam. "Sekarang telah kau lihat suamimu sembuh kembali, hujin. Dan tepatilah janjimu bahwa tak akan mencampuri kami lagi."

"Ya-ya, aku tahu... terima kasih. Aku tahu, taijin. Dan sekali lagi terima kasih bahwa kau telah menyembuhkan suamiku!"

Sang kakek tersenyum. Wan-thai-suma masih terheran-heran dan serasa mimpi saja. la belum dapat menerima semua cerita isterinya itu. Tapi ketika mereka sekarang tinggal bertiga dan Thio-taijin memandangnya bersinar-sinar maka menteri ini memandang kakaknya, pangeran Yo.

"Twako, benarkah apa yang dikata isteriku tadi? Benarkah bahwa aku diserang ilmu hitam?"

"Tanya saja Thio-taijin ini, adikku, dan nanti kau boleh tanya semua orang apa yang telah terjadi!"

"Tapi semua telah lewat," Thio-taijin mengangguk-angguk. "Dan kau barangkali merasa seperti sebuah mimpi buruk, Wan-suma. Tapi jangan khawatir, di sini kau terlindung!"

"Hm, coba ulangi apa yang diceritakan isteriku. Dan aku, maaf.... lapar sekali!"

"Makanlah buah-buahan itu," Thio-taijin menunjuk buah-buahan di atas meja, semua yang berantakan sudah diatur lagi. "Sambil makan kita dapat bercerita, Wan-suma, sekaligus mencari orang itu untuk dihukum!"

"Orang itu?"

"Ya, pembuat celaka itu. Si tukang teluh!"

"Hm, aku penasaran. Apa maksudnya dan siapa dia. Aku tak merasa bermusuhan dengan orang lain!"

"Jangan begitu," sang kakak tersenyum pahit. "Ingat saudara kita pangeran Tan, adikku. Betapapun kau dianggapnya musuh!"

"Tapi dia bukan tukang teluh!"

"Benar, tapi... ah, mari kita dengarkan saja apa kata Thio-taijin. Kita hendak diperlihatkan wajah orang itu. Siapa tahu lempar batu sembunyi tangan dan kita harus waspada."

"Hm., kalian berdua benar. Aku tak berani berkata jauh selain apa yang kulihat dan kumengerti ini. Kalian sama-sama kerabat istana. Mari kuperlihatkan wajah orang itu dan selanjutnya kalian harus mencari atau menangkapnya. Aku khawatir dia berbuat lebih jahat dengan mengganggu sri baginda umpamanya, tentu berbahaya!"

Wan-thai-suma maupun Yo-ongya mengangguk-angguk. Sekarang Menteri Utama ini mendengarkan cerita Thio-taijin dan sambil mengisi perutnya dengan buah-buahan Wan-thai-suma sering tersentak bila mendengar hal-hal mengerikan, umpama seperti ketika dia ditusuk-tusuk dari jauh dan betapa seseorang dengan keji menghendaki kematiannya.

Dan karena semua itu sudah dirasakan dan mimpi yang dirasa mimpi itu ternyata bukanlah mimpi, melainkan kejadian sungguh-sungguh yang dialaminya dalam keadaan biasa maka muka yang kemerah-merahan mulai tampak di wajah Wan-suma ini setelah Thio-taijin menutup.

"Jelas bahwa seseorang menghendaki kematianmu. Dan bahwa ia menyiksamu dulu sebelum mati maka orang ini benar-benar keji dan harus ditangkap. la tentu berada tak jauh dari sini. Kalian lihatlah wajahnya baik-baik dan kalau perlu dilukis!"

Thio-taijin memberikan sebuah kertas kepada Yo-ongya, minta agar pangeran itu memindahkan wajah di telur wasiat ke tempat lain, disambut dan jari pangeran ini bergetar penuh benci dan marah. la sudah ingin cepat-cepat melihat wajah itu. Dan ketika adiknya juga mengangguk dan tak sabar, telur digosok maka tertegunlah dua bangsawan ini melihat wajah tengkorak dari Bong Cwan Ek.

"Dia... dia tak kukenal!"

"Benar, aku juga," sang kakak juga berseru. "Dan lihat tampangnya itu. Ah, keji dan buruk, Wan-te. Dia pantas sebagai tukang teluh!"

"Dan dia menggangguku, hendak membunuhku. Keparat, akan kucari orang itu!"

Wan-thai-suma maupun Yo-ongya sama-sama marah. Thio-taijin mengangguk-angguk tapi kakek itu berseru agar Yo-ongya cepat melukis. Wajah itu harus dipindah dan selanjutnya dicari. Dan ketika pangeran ini menggerakkan alat tulisnya dan wajah Bong Cwan Ek dilukis, telur kemudian padam lagi maka kakek ini berkata bahwa secepatnya mereka harus bergerak.

"Ingat, kalian harus cepat-cepat menemukannya. Tapi untuk Wan-suma sebaiknya jangan keluar dulu dari gedungku. Di luar berbahaya, tak ada perlindungan. Atur saja semua dari sini dan terserah kalian bagaimana cara menangkapnya."

"Aku tak boleh pulang?"

"Sebaiknya begitu, pangeran, demi keamanan."

"Kalau begitu aku harus memberi tahu isteriku!"

"Wan-hujin dapat diberi tahu dari sini. Maaf, aku sudah tak dapat mencampuri lagi."

Thio-taijin, yang agaknya waspada akan sesuatu hal tiba-tiba bangkit berdiri dan pergi. Wajah Kepala Agama itu muram namun Yo-ongya sadar akan ini. la tahu bahwa pembicaraan dengan adiknya tak mau didengar lagi, itu urusan mereka. Dan karena pikirannya sudah melayang ke arah kakaknya, pangeran Tan, maka langsung saja Yo-ongya ini menudingkan telunjuk ke sana.

"Aku pikir harus dimulai dari tempat kanda Tan. Segala kejahatan ini agaknya bersumber dari sana. Bagaimana kalau Wan-te memanggil Hwe-sin Buan Tiong Pek ke sini!"

"Malaikat Api itu? Pengawal pribadi kanda kaisar?"

"Apa boleh buat. Orang keji ini harus dicari, Wan-te, dan ia harus dihukum. Aku tak melihat orang lain selain Malaikat Api Buan Tiong Pek itu. Bagaimana pendapatmu!"

Wan-thai-suma tertegun. Hwe-sin Buan Tiong Pek adalah pengawal pribadi sekaligus paling rahasia dari kaisar. Orang ini tak pernah jauh dari kaisar dan memanggilnya berarti minta ijin dulu dari sri baginda. Kalau begitu maka kaisar harus diberi tahu dan segala kejadian ini dibuka. Kalau nanti benar maka kakaknya pangeran Tan bakal menerima resiko berat, itu kalau dia otak dari semua ini. Dan karena dia sendiri telah kehilangan pengawal pribadinya yang paling dipercaya, Sun Cek Tojin itu maka apa boleh buat menteri ini nenerima. Apalagi karena Hwe-sin si Malaikat Api dapat diminta untuk bekerja secara rahasia pula.

"Baiklah, aku akan minta sri baginda mengizinkan Buan Tiong Pek, kanda. Tapi bagaimana aku ke sana padahal Thio-taijin tak memperkenankan aku keluar."

"Kau buat surat permohonan saja selebihnya aku yang mengantar."

Wan-thai-suma mengangguk. Sebenarnya berat baginya menuduh kakaknya Tan-ongya itu. Mereka masih saudara dan nanti bisa geger. Namun karena dia mau dibunuh dan perlakuan yang diterimanya sungguh keji sekali, hampir dia binasa maka dia menulis surat dan kakaknya Yo inilah yang mengantar. Dan kaisar tentu saja tertegun.

"Buan Tiong Pek mau dipinjam! Wan-thai-suma menghendakinya?"

"Benar, sri baginda, dan ini bersifat rahasia sekali. Paduka tentu telah mendengar nasib yang menimpa Wan-suma!"

"Ya-ya, aku telah mendengar. Tapi tak ku kira adalah tenung! Hm, baiklah, adik Tan. Bawalah Buan Tiong Pek dan tangkap jahanam itu. Seret dia ke mari dan kalau bisa ditangkap hidup-hidup!"

"Mana pengawal paduka...?"

"Aku sudah di sini!"

Sang pangeran terkejut, membalik dan sudah melihat seorang tinggi kurus meram-melek seperti orang mengantuk, kaget tapi seketika girang.

"Kalau baginda mengijinkan tentu hamba berangkat, ongya. Tapi sebaiknya hamba lindungi dulu baginda dengan selimut sakti...“

Wut...! sebuah jala terlempar, menakup dan tahu-tahu membungkus sri baginda dan pangeran terkejut. Buan Tiong Pek mendorongkan lengannya dan tahu-tahu sri baginda lenyap, bagai disihir! Dan ketika laki-laki itu tertawa sementara dari kejauhan sri baginda juga tertawa, entah di mana beradanya maka Hwe-sin Buan Tiong Pek berkelebat.

"Pangeran, pulanglah. Nanti malam akan hamba antar si hina-dina itu!"

"He, nanti dulu!" Yo-ongya berseru. "Di mana kau mengantarnya, Hwe-sin. Di mana aku menunggu!"

"Paduka tunggu saja di tempat Thio-taijin. Di sana nanti kita bertemu!" dan ketika pangeran itu mendelong dan takjub, baru kali ini dia bertemu pengawal amat rahasia itu maka dia kembali dan melapor kepada adiknya. Dan Wan-suma berseri-seri.

"Nanti malam? Dia sudah dapat menangkap dan membawa si iblis itu?"

"Benar, begitu katanya, Wan-te. Dan sekarang mari kita tunggu!"

Dua bangsawan ini tegang. Mereka merasa tak sabar dan berdebar oleh janji itu. Dan karena baru kali itu Tan-ongya melihat Buan Tiong Pek maka dia mendecak menyatakan kekagumannya.

"Hebat, luar biasa sekali. Hwe-sin Buan Tiong Pek itu amat sakti. Ia dapat pergi dan datang bagai siluman. Dan sri baginda dilindunginya pula dengan semacam jala sihir!"

"Hm, aku tahu. Dan aku juga sekali pernah bertemu dengannya, kanda. Dan dia memang benar-benar hebat. Aku juga kagum."

"Dan malam nanti dia datang. Entah bagaimana caranya dia menemukan dan menangkap tukang teluh itu!"

"Aku juga tak tahu, tapi aku percaya kepadanya. Marilah kita nantikan dan malam nanti pasti dia datang!"

Lalu ketika dua orang itu bercakap-cakap tak ada habisnya, yang dibicarakan adalah pengawal rahasia itu maka di tempat Tan-ongya terdengar jeritan. Malam itu, di kala bulan bersinar penuh dengan cahayanya yang buram, seakan nyeri melihat tindak-tanduk manusia sesat maka Hwee-long Bong Cwan Ek berada di kamar kekasihnya. Hong Nio begitu tergila-gila kepadanya hingga apapun yang disuruh dikerjakannya dengan baik, termasuk malam itu ketika dia harus memijati si kakek buruk.

Dalam pandangan Hong Nio kakek ini bukanlah seorang kakek melainkan seorang pria gagah berusia tiga puluh limaan tahun, cakap dan menggetarkan dan entahlah setiap dia beradu pandang maka jiwa dan perasaannya bergemuruh. Nafsu berahinya bangkit dan itulah tanda-tanda ilmu hitam, guna-guna atau mantra yang dilepas kakek ini untuk menjerat mangsanya. Dan ketika malam itu Bong Cwan Ek minta diselimuti, sehari tadi mereka puas bercinta maka kakek ini berkata agar wanita itupun masuk ke dalam selimutnya.

“Asyik!”

"Kau jangan ke mana-mana, ke sinilah, tinggal bersamaku di dalam selimut. Aku agak kedinginan, Hong Nio. Entah mengapa hatiku terasa tak tenteram."

"Kanda merasa apa, kenapa tak tenteram. Bukankah sudah kupijiti dan sehari penuh bersenang-senang. Kalau ingin hangat dapat kuhangati, kanda. Dan aku, hmm.... aku merasa kurang!"

"Nanti dulu... tidak!" sang kakek menepis tangan Hong Nio. Wanita itu menjulurkan tangannya ke bawah pusar dan hendak memegang-megang. Ngeri dia. Sehari sudah dikuras dan sekarang hendak diajak bercinta lagi, mana tubuhnya yang renta itu kuat. Tentu bakal mati kering! Dan ketika Hong Nio menarik tangannya dengan kecewa, kakek itu dipanggilnya sebagai "kanda" maka Bong Cwan Ek yang berdebar merasakan firasat tak enak sudah tengkurap dan minta dikeroki punggungnya.

"Apa?"

"Benar, keroki punggungku, Hong Nio. Aku merasa dingin. Punggungku ini berdiri bulu-bulu rambutnya!"

"Hi-hik, kok lucu. Kau ini aneh sekali, kanda. Masa bulu punggung bisa berdiri, seharusnya kan...."

"Sudahlah, aku tidak main-main. Keroki punggungku dan jangan banyak cakap!"

Si cantik tersentak. Dia dibentak dan tutup mulut dan tiba-tiba menangis. Air matanya meleleh namun ia tak berani mengeluarkan suaranya. Dan ketika ia bangkit dan mengeroki punggung itu, punggung si kakek benar saja dingin maka Bong Cwan Ek meram melek dan sejenak merasa tenang, nikmat. Namun tiba-tiba terdengar angin berdesir, lampu sekonyong-konyong padam. Dan ketika Hong Nio menjerit karena si kakek melompat dan menerkam tubuhnya, kaget, maka Cwan Ek berseru kenapa lampu padam.

"Siapa yang mematikan. Keparat, apa ini!" Bong Cwan Ek tergesa menyalakan kembali. Dia melihat bahwa lampu-lampu di luar masih terang menyala-nyala, tertegun dan melihat sekeliling namun tak ada apa-apa. Dan ketika dia mengumpat dan mengutuk merasa tak nyaman, ada sesuatu yang tak enak maka dia menyuruh Hong Nio mengambil pakaiannya. Kakek ini telanjang bulat.

"Biarkan saja, aku suka begini...."

"Hush, aku merasa seram, Hong Nio. Lampu tadi padam tiba-tiba. Tak enak kalau tidak berpakaian karena siapa tahu pangeran memanggilku secara mendadak!"

Terpaksa, wanita inipun mengambilkan pakaian si kakek. Bong Cwan Ek cepat mengenakan itu dan tidur kembali, kini telentang dan dadanya yang minta dikerok. Lucu kakek ini, ia seakan orang ketakutan. Dan ketika Hong Nio kembali bekerja dan mengerok kekasihnya, jari-jari lembut itu penuh kasih sayang mendadak berkesiur angin lagi dan lampu pun padam.

“Pet!" Ruangan gelap-gulita. Hong Nio menjerit dan si kakek melompat berseru keras. Kagetnya bukan main. Ini pasti perbuatan orang, bukan angin lalu. Dan ketika ia berjungkir balik dan menyalakan lampu, kakek ini hapal tempatnya maka ia tersentak karena Hong Nio tahu-tahu lenyap, melolong di tempat lain. Dan begitu ia melihat jendela terbuka dan ke situlah ia melayang maka kakek ini terkejut melihat sesosok bayangan tinggi kurus bergelantungan di atas pohon, seperti kelelawar!

"Bangsat, siapa kau!"

kakek ini kaget dan marah. Hong Nio berada di pelukan orang itu namun ketika ia berkelebat tiba-tiba orang itupun bergerak. Seperti kelelawar atau burung yang terbang terbalik ia berpindah ke dahan lain, yang lebih tinggi. Dan karena Hong Nio sudah tidak bersuara lagi karena rupanya ditotok, ia kaget dan pucat bagaimana orang itu mampu menyambar Hong Nio yang ada di dekatnya maka Cwan Ek berjungkir balik namun orang itupun bergerak dan naik ke dahan yang lebih tinggi lagi, disusul tapi bergerak lagi ke dahan yang paling tinggi. Dan ketika mereka tiba di puncak pohon di mana Cwan Ek membentak melepas pukulan, lawan tak mungkin naik ke atas lagi maka orang itu, yang kini tertawa aneh tiba-tiba menangkis dengan kakinya.

"Dess!" dan si muka tengkorak terpelanting. Bong Cwan Ek berteriak keras namun saat itu lawan menyusul, balas menotoknya dan angin bercuit menyambar dahi. Bukan main cepatnya. Dan ketika Cwan Ek harus melempar tubuh bergulingan dan saat itu Hong Nio dilepaskan, kepala wanita itu ditepuk maka lampu di luar jendela memperlihatkan wajah Bong Cwan Ek dan selir Tan-ongya yang selama berhari-hari ini menganggap kekasihnya sebagai laki-laki cakap tiba-tiba dibuat terpekik melihat muka tengkorak itu.

"Aiiihhhhh...!"

Seruan atau pekik wanita itu mengejutkan si muka tengkorak. Hong Nio menggigil menuding-nuding wajahnya, pucat dan ngeri dan tiba-tiba wanita itu roboh, pingsan. Dan ketika Cwan Ek tergetar karena sesuatu rupanya terjadi, pandang mata Hong Nio penuh jijik dan ngeri maka sadarlah kakek ini bahwa tepukan lawan di atas kepala wanita itu membuyarkan pengaruh ilmu hitamnya.

"Terkutuk, jahanam keparat. Siapa kau dan buka topengmu!"

Cwan Ek menerjang gusar, sudah meloncat bangun dan lawan ternyata menyembunyikan wajah di balik topeng karet. Sepintas mukanya juga seperti setan namun Cwan Ek tahu bahwa lawan menyembunyikan wajah. la membentak dan menerjang namun lawan berkelit ke kiri. Dan ketika ia agak terputar oleh ayunan tubuhnya sendiri, orang itu tertawa dingin maka keluarlah kata-katanya penuh ancaman.

"Hm, ini kiranya tikus busuk yang meneluh Wan-thai-suma. Pantas, kiranya Srigala Kelabu Bong Cwan Ek! Hm, kau akan ku bawa dan ku tangkap menghadap Wan-su-ma, Cwan Ek. Akui perbuatanmu atau nanti ku bunuh!"

Kakek ini berteriak. la menyerang dan menerjang lagi namun lawan menangkis dan ia terpental, diserang dan ditangkis lagi dan ia terbanting. Dan ketika tujuh kali ia terlempar dan bergulingan menjauh, kata-kata atau ancaman lawannya itu membuat ia gentar maka dipanggilnya temannya di dalam.

"Yauw Seng, ada penjahat. Keluarlah tolong!"

Namun orang itu tertawa dingin. la berkelebat dan si muka tengkorak terpekik karena dari dua jari lawan tiba-tiba menyambar kilatan api menuju matanya, dielak namun api itu turun ke bawah, tepat mengenai lehernya. Dan ketika ia terbanting dan tercekik suaranya, tak mampu memanggil Yauw Seng maka orang itu menendang dan tepat bayangan Yauw Seng berkelebat dari dalam gedung si muka tengkorak pun sudah disambar.

"Hm, aku hanya perlu kau, bukan orang lain. Mari menghadap Wan-thai-suma dan pertanggung jawabkan perbuatanmu!"

Kaget dan ngerilah si muka tengkorak ini. la tak dapat berbuat apa-apa begitu roboh dl tangan lawan. Urat gagunya tertotok, jalan darah di pundak dan punggungnya juga tertotok. Dan karena ia tak dapat berteriak ataupun meronta maka orang itu membawanya pergi sementara Yauw Seng terkejut dan berteriak melihat orang ini, yang berkelebat dan keluar pagar.

"Hei, siapa kau. Berhenti!"

Namun lawan menghilang cepat. Bagai iblis ditelan angin, orang itu lenyap, Yauw Seng sudah berjungkir balik dan mengenjot tubuhnya namun lawan yang dikejar tak tampak lagi batang hidungnya. Dan karena ia tak mendengar lagi teriakan Cwan Ek, temannya itu sudah roboh dan tertotok di tangan lawan maka Yauw Seng kembali dan melapor Tan-ongya. Orang itu tentu saja bukan lain adalah Hwe-sin Buan Tiong Pek.

"Celaka, ada sesuatu," begitu Yauw Seng melapor. "Cwan Ek diculik dan dirobohkan seseorang, pangeran. Hamba tak tahu siapa dia tapi bagaimana menurut paduka!"

"Diculik? Dirobohkan seseorang?"

"Benar, dan hamba tak tahu siapa dia, pangeran. Yang jelas tentu seorang lihai!"

"Kapan terjadinya...."

"Baru saja. Hamba mengejar namun orang itu sudah terlalu jauh. Cwan Ek baru memanggil hamba setelah dia roboh!"

"Goblok, kenapa diam saja. Tapi bukankah dia tadi bersama Hong Nio!"

"Benar, dan Hong Nio pingsan di dekat jendela. Barangkali paduka dapat bertanya apa dan bagaimana mula-mula peristiwa itu terjadi!"

Yauw Seng, yang berkelebat dan mengambil Hong Nio lalu menyadarkan wanita itu. Tapi begitu sadar Hong Nio malah menjerit histeris, berteriak-teriak. "Tidak.... tidak! Jangan serahkan hamba kepada si muka tengkorak itu, ongya. Jangan berikan hamba kepadanya. Hamba lebih baik melayani paduka. Atau hamba mati... aduh!"

Yauw Seng mencengkeram pundaknya, terkejut dan membentak wanita itu agar diam dan Tan-ongya membelalakkan mata. Dia kaget bagaimana Hong Nio tiba-tiba bicara seperti itu, Cwan Ek tidak lagi dianggapnya sebagai laki-laki cakap melainkan seorang bermuka tengkorak, berarti pengaruh guna-guna telah lenyap dan tentu saja pangeran itu tertegun. Namun ketika dia berseru agar wanita itu tenang, Cwan Ek tak ada di situ maka pangeran ini bertanya apa yang sebenarnya terjadi.

"Tak usah takut, tak usah gelisah. Cwan Ek tak ada di sini dan justeru ia ditangkap musuh. Ceritakan apa yang terjadi dan bagaimana tiba-tiba musuh itu datang, Hong Nio. Kau tak akan bersamanya lagi karena akan bersamaku."

"Hamba.... hamba tak tahu. Kamar waktu itu tiba-tiba padam dan dua kali angin berkesiur tajam!"

"Kau melihat laki-laki itu?"

"Tidak, mukanya tertutup topeng, ong-ya. Tapi jauh lebih baik daripada si muka tengkorak itu. Hamba disambarnya dan tahu-tahu sudah dibawa keluar kamar!"

"Hm, dan bagaimana dengan Cwan Ek?"

"Ia mengejar, sejenak berlompat-lompatan di atas pohon. Tapi ketika dua kali ia ditangkis dan terpelanting ke bawah maka hamba dilempar dan saat itulah hamba melihat siapa sesungguhnya si muka tengkorak itu. Paduka kejam memberikan hamba kepada seorang buruk rupa, tua bangka lagi!"

Hong Nio menangis dan menyalahkan Tan-ongya, mengguguk dan tersedu-sedu lagi dan selanjutnya wanita itu berkata bahwa ia tak tahu apa-apa lagi setelah dia pingsan. Wajah Cwan Ek terlalu mengerikannya. Berulang-ulang wanita ini menyesali Tan-ongya. Tapi ketika Tan-ongya terbelalak dan merah mukanya, hatinya tiba-tiba juga menjadi tak enak maka dia membentak menyuruh wanita itu masuk ke kamar.

"Cukup, baiklah. Tak usah menyalah-nyalahkan aku karena kau sendiri yang suka kepada kakek itu!" lalu memandang pembantunya bertanya bagaimana baiknya maka Yauw Seng justeru menyerahkan itu kepada tuannya.

"Hamba justeru menunggu perintah. Apa yang harus hamba lakukan dan bagaimana sekarang!"

"Baik, kalau begitu cari jahanam itu Yauw Seng. Kalau perlu kerahkan pengawal. Tapi hati-hati, aku khawatir orang itu adalah suruhan Wan-suma!"

"Tapi dia di tempat Thio-taijin!"

"Cari saja ke sana. Kalau perlu, bunuh Wan-suma!"

Laki-laki ini mengangguk. Dia sekarang dapat bekerja setelah ada perintah ini. Maka bergerak dan keluar dari tempat itu Yauw Seng pun mencari beberapa pengawal yang cukup berkepandaian, mereka adalah pembantu-pembantunya. Dan begitu bergerak dan menuju gedung Thio-taijin, tentu saja secara diam-diam maka di gedung itu Bong Cwan Ek sedang dikompres!

Waktu itu, berkelebat meninggalkan tempat Tan-ongya langsung saja Malaikat Api Buan Tiong Pek ini menuju tempat Thio-taijin. Dia telah mendapat gambar dari Yo-taijin tentang wajah si tukang teluh, tertegun dan langsung saja tahu bahwa itulah Hwee-long Bong Cwan Ek. Selama beberapa hari ini tentu saja dia sudah mendengar kabar tentang sakitnya Wan-thai-suma itu, acuh karena dia adalah pengawal pribadi kaisar bukannya pengawal atau pembantu Wan-thai-suma itu. Dan karena dia juga termasuk pengawal rahasia, tak boleh dia muncul atau memperlihatkan diri kepada sembarang orang maka tokoh ini cuek saja dan tidak perduli.

Dan baru setelah Yo-ongya menghadap kaisar dan minta tolong maka dia melaksanakan perintah tapi kaisar "disimpannya" dulu di balik ilmu saktinya seperti selimut sihir itu. Dan kini dia telah menangkap si biang penyakit. Dengan mudah dia meninggalkan Yauw Seng, dan Cwan Ek yang berada di bawah totokannya tak mungkin bisa melepaskan diri. Dan tepat malam itu dia menemui Yo-ongya maka sang pangeran tertegun melihat yang dibawa pengawal rahasia kaisar ini.

"Ah, tepat janji. Hebat! Kau datang setelah tak sabar kami menunggu-nunggu, Buan-enghiong (orang gagah Buan). Bagus sekali kau membawa tawananmu. Apakah ini tukang teluhnya!"

Hwe-sin Buan Tiong Pek mengangguk. Dia telah melepas topeng karetnya dan sang tawanan dibanting. Cwan Ek dibuka totokan urat gagunya dan si muka tengkorak itu terbelalak memandang tiga orang di situ, terutama Hwe-sin Si Malaikat Api yang ingin dikenal. Sudah sejak tadi ia ingin tahu siapa lawannya ini tapi baru sekarang dia tahu. Pengawal rahasia itu telah membuka wajahnya. Dan begitu ia tahu dan terpekik maka Hwee-long Bong Cwan Ek berteriak tertahan.

"Hwe-sin...!"

Laki-laki itu tersenyum dingin. la tidak memandang sebelah mata dan si tukang teluh seakan terbang semangatnya. Pantas ia roboh, kiranya lawannya adalah Malaikat Api, seorang amat sakti yang sudah puluhan tahun tak terdengar lagi namanya, kiranya bersembunyi di istana. Cwan Ek masih tak tahu bahwa lawannya itu adalah pelindung pribadi kaisar. Dan karena di situ ia berhadapan pula dengan Wan-thai-suma yang bersinar-sinar memandangnya, marah dan bengis maka laki-laki ini tiba-tiba menggigil dan menangis.

"Ampun... aku... aku tak tahu kau di sini, Buan-enghiong. Ampunkan aku dan jangan dibunuh!"

"Hm, terserah Wan-thai-suma. Kau telah membuat onar dan sepatutnya dihukum!"

"Aku hanya orang suruhan, aku bukan pelaku utama...."

"Bagus!" Yo-ongya membentak dan memasuki percakapan, orang sudah mulai mengaku sendiri. "Ini yang kami minta, manusia busuk. Tapi siapakah kau sebenarnya dan dari mana!"

"Ini Hwee-loong Bong Cwan Ek. la kutu busuk yang berdiam di Hutan Bangkai!"

"Srigala Kelabu? Aku pernah mendengar namamu, tapi tak sangka bahwa kau menyiksa adikku Wan-thai-suma sampai begitu. Hm, kau keji dan jahat sekali, orang she Bong. Katakan siapa yang menyuruhmu kalau ingin hidup. Atau nanti Buan-enghiong kusuruh menyiksamu sebelum dibunuh!"

Yo-ongya terkejut dan mendengar kata-kata Si malaikat Api tadi, marah dan membentak laki-laki ini dan Bong Cwan Ek ternyata menggigil hebat. Adanya lawan tangguh di situ membuat si muka tengkorak ini gentar. la ngeri dan pucat. Maka ketika ditanya dan ia tak akan dibunuh, kalau mengaku maka kontan saja ia menjawab.

"Hamba disuruh Tan-ongya, hamba hanya suruhan. Harap paduka ampunkan hamba karena sekarang hamba telah mengaku!"

Wan-thai-suma dan Yo-ongya terkejut, terutama Wan-suma itu. Karena meskipun ia sudah menduga dan kakaknya juga berkata begitu namun tak urung ia pucat dan berseru tertahan, mundur dan terhuyung memegangi kursi dan tampak betapa wajah Menteri pertama ini berubah-ubah. Ia terbelalak dan batuk-batuk, menggeram. Tapi ketika ia sadar dan marah, matanya berkilat penuh api maka Wan-thai-suma itu membentak dan maju mencengkeram. Hwe-sin Buan Tiong Pek tiba-tiba berkelebat menghilang.

"Orang she Bong, kau tak melempar fitnah atau kata-kata busuk di sini? Kau berani aku adu dengan kakakku?"

"Silahkan... asal hamba mendapat kebebasan tentu hamba berani diadu, Wan-suma, Kenapa tidak. Kakak paduka itulah yang mencari dan menyuruh hamba membunuh paduka!"

Wan-thai-suma melepaskan cengkeramannya. Dia menggigil dan berkerot-kerot dan sekarang percayalah dia bahwa kakaknya itulah yang hendak membunuhnya. Ini tentu gara-gara kedudukan thai-suma itu. Betapa kejinya. Namun ketika ia gemeretuk dan tinggal membawa Bong Cwan Ek ini menghadap kakaknya, diadu, maka saat itulah berkelebat beberapa bayangan dan Yauw Seng muncul, mengenakan kedok.

"Cwan Ek, kau pengkhianat!"

Si muka tengkorak terkejut. Ia tiba-tiba heran tak melihat Malaikat Api di situ. Namun begitu ia mengenal suara temannya dan saat itu ia masih tertotok, hanya urat gagunya saja yang dibuka maka serangan Yauw Seng ini amat mengejutkan. Dan saat itu enam bayangan lain juga bermunculan dan menyerangnya!

"Heiiii...!"

Wan-thai-suma dan Yo-ongya terkejut. Mereka adalah pembesar-pembesar tinggi dan masuknya orang-orang ini sungguh membuat kaget. Heran dan terkejutlah mereka kenapa para penjaga di luar tak mengetahui. Lebih heran dan kaget lagi karena baru sekaranglah mereka tahu bahwa Hwe-sin Buan Tiong Pek pun tak ada di situ! Tapi ketika mereka mundur dan siap berlindung di balik dinding, mungkin saja giliran mereka tiba mendadak berkesiur angin dingin dan Malaikat Api itu muncul dengan topeng karetnya.

"Yauw Seng, kau anjing buduk tak tahu malu!"

Yauw Seng terkejut. Saat itu dia sudah menghantam kepala temannya ini karena tak mau Cwan Ek membuka rahasia di depan Tan-ongya. Si muka tengkorak itu dalam keadaan tertotok dan mudah baginya membunuh. Dan karena enam temannya yang lain juga menyusul dan kematian si muka tengkorak ini tak mungkin dihindari, Yauw Seng telah mendengar percakapan itu dan itulah sebabnya Malaikat Api menghilang, datang dan muncul lagi dengan wajah yang lain maka suara dingin disertai angin dingin itu membuat Yauw Seng terkejut.

Pukulannya menyambar kepala Cwan Ek namun saat itu juga tertahan di udara. Dan ketika ia terpekik karena pukulannya membalik, begitu cepatnya maka saat itu enam yang lain juga Menjerit dan terpelanting tak Karuan karena senjata-senjata mereka mental dan tertolak oleh hawa pukulan dingin ini.

"Plak-plak-desss....!"

Enam orang itu roboh pingsan. Mereka juga mengenakan kedok-kedok hitam dan tinggal Yauw Seng yang membanting tubuh bergulingan ini. Di situ telah berdiri si bertopeng karet itu, laki-laki yang kiranya menangkap Cwan Ek dan kini muncul kembali, padahal tadi tak ada! Dan karena Yauw Seng tak mengenal siapa lawannya ini dan robohnya enam kawannya justeru membuat dia marah, dia dan kawan-kawannya bakal ketahuan maka laki-laki itu melompat bangun dan begitu ia melengking maka tujuh pisaunya menyambar terbang.

"Hmm...!" dengus atau seruan Buan Tiong Pek ini membelalakkan Yauw Seng. Lawan tidak mengelak namun meniup. Tapi begitu pisau-pisaunya runtuh maka laki-laki ini terkejut dan mencabut gelang-gelang besinya, sama seperti mendiang suhengnya dulu.

"Manusia siluman, siapa kau!"

Malaikat Api Buan Tiong Pek tertawa dingin. Sekarang ia mundur selangkah dan ketika gelang besi lewat di atas kepala tiba-tiba kakinya menendang. Yauw Seng terkejut dan mengangkat lututnya pula, menangkis. Tapi ketika ia terbanting dan menjerit keras, kesakitan, maka lawan menudingkan telunjuknya dan dua sinar api menyambar dahinya, cepat.

"Cret!" Yauw Seng terjengkang dan tak dapat bangkit berdiri. Ia berteriak dan gelang besi pun lepas. Hwe-sin berkelebat dan menghadiahinya lagi dengan totokan di belakang telinga. Dan ketika Yauw Seng mengeluh dan tidak dapat bergerak lagi, sama seperti Cwan Ek maka tutup mukanya direnggut dan tertegunlah Yo-ongya maupun Wan-thai-suma melihat siapa laki-laki ini, yang bukan lain adalah pembantu pangeran Tan.

"Nah, lihat, Wan-suma. Bukti apalagi yang harus dipegang kalau sudah begini!"

Menteri Wan itu terbelalak. Mukanya merah terbakar dan seketika ia menjadi marah sekali. Dari kejadian ini tahulah dia bahwa kakaknya hendak menyuruh bunuh Bong Cwan Ek, jadi akan menghilangkan jejak. Tapi ketika Yauw Seng malah roboh dan bukti-bukti dirasa cukup maka enam yang pingsan dibuka tutup mukanya pula dan mereka adalah juga pembantu-pembantu kakaknya.

"Keji, tak berperikemanusiaan. Panggil Tan-ongya dan sekarang juga kutanya dia!"

"Nanti dulu," Thio-taijin tiba-tiba muncul, kini Kepala Agama itu campur tangan lagi. "Urusan begini sebaiknya diputuskan di hadapan sri baginda, Wan-suma. Biarlah sri baginda yang memanggilnya dan tentu dia tak berkutik. Serahkan urusan ini kepada baginda biar diputuskan di sana saja, secara tertutup!"

Wan-suma tertegun. la sadar dan ingat itu dan ditekannya kemarahannya kuat-kuat. Kalau menurutkan emosi mau rasanya ia melabrak dan mencabik-cabik kakaknya itu. Terlalu keji kakaknya itu! Tapi menyadari urusan ini tak boleh lepas dari kaisar, mereka semua adalah kerabat istana maka Wan-suma mengangguk dan segera menghadap sri baginda.

Yauw Seng dan semua tawanan dibawa. Delapan orang ini mengejutkan kaisar yang sedang bercengkerama, selir-selir diusir dan duduklah sri baginda mendengar laporan Wan-thai-suma. Dan karena Thio-taijin juga mengantar dan Kepala Agama itu tampak muram, kaisar berdetak maka terbelalak serta merahlah wajah kaisar mendengar semuanya ini. Dan atas perintah kaisar maka malam itu juga Tan-ongya dipanggil.

"Bawa dia ke sini. Cepat. Katakan bahwa aku yang memanggilnya sendiri tapi sembunyikan dulu semua saksi-saksi ini!"

Tan-ongya terkejut. Malam itu dia dipanggil dan utusan kaisar datang menghadap. Dua jam ini dia mondar-mandir di kamar dan menanti datangnya Yauw Seng. Dan ketika yang datang bukanlah pembantunya melainkan utusan kaisar, jantungnya seakan terlompat maka dinginlah wajah sang pangeran mendengar panggilan itu. Darah tiba-tiba serasa beku.

"Paduka diminta datang menghadap sekarang juga. Sri baginda menunggu di ruang dalam."

Hati Tan-ongya berdebar. Sesuatu yang tidak enak mengganggunya. Dia merasa akan menghadapi bahaya. Namun karena orang-orang kepercayaannya tak ada disitu, mau tak mau ia hanya membawa pengawal-pengawal biasa saja maka di ruang dalam ia sudah ditunggu kaisar dan juga Wan-thai-suma, adiknya. Semua marah....!

Putri Es Jilid 03

Cerita Silat Mandarin Karya Batara

"YA, Bhi Li, pangeran. Kalau boleh..."

"Ha-ha, ambillah. Di sini masih ada segudang wanita-wanita cantik. Kau boleh ambil selirku itu asal tukang tenung itu mampu membunuh Wan-thai-suma!"

"Terima kasih," dan Yauw Seng yang berseri meloncat ke belakang, tak tahan dan segera mendapatkan pujaannya itu lalu melepas dulu gairah birahinya sebelum memanggil si "dukun"' ampuh.

Bhi Li terpekik ketika tiba-tiba pintu kamarnya dibuka, laki-laki ini berkelebat dan kemudian menutup kembali, langsung membuka baju dan pakaian sambil tertawa-tawa. Sikapnya sungguh seperti kucing mendapat dendeng, rakus, berkesan urakan pula. Yauw Seng memang laki-laki. Tapi ketika laki-laki itu menjelaskan bahwa si Cantik itu sekarang miliknya, pangeran telah memberikannya kepadanya maka Bhi Li tak dapat berbuat apa-apa dan rasa kaget atau marahnya hilang.

Wanita ini sebenarnya kecewa juga kenapa Tan-ongya melepasnya, memberikannya kepada pembantunya ini. Namun karena kehidupan laki-laki bangsawan memang begitu dan wanita hanyalah sebagai hiasan saja, Bhi Li menyerah maka Yauw Seng menubruknya dengan nafsu berkobar-kobar. Sudah lama sebenarnya dia tergila-gila kepada selir tercinta majikannya ini.

"Ha..Ha..ongya telah menghadiahkan dirimu kepadaku, Bhi Li. Kemarilah, kita bercumbu dan nanti boleh kau tanya pada pangeran kalau tidak percaya!"

"Aku percaya, tapi nanti dulu... jangan seperti kucing kelaparan begini. Ih, jangan main gigit, Yauw Seng. Aduh, kau menimpa tubuhku!"

Sute dari Kwee Huan itu terbahak-bahak. la begitu gembira dan bernafsu dan karena itu main timpa saja. Si cantik yang rupanya baru berdandan langsung diterkamnya, hidung mendengus-dengus dan tentu saja wanita ini menjerit. Permainen Yauw Seng brutal. Tapi ketika ia harus menerima dan pagi itu juga Yauw Seng bersenang-senang sepuas hati maka barulah malam harinya ia meninggalkan kekasihnya dan tiga hari kemudian dia sudah datang lagi dengan seorang kawannya tengkorak hidup yang tawanya bagai kuda, menghadap Tan-ongya.

* * * * * * * *

"Inilah orang yang hamba maksud," laki-laki itu berseri menghadap majikannya. "Hamba datang membawa pesanan paduka pangeran. Inilah Hwee-long Bong Cwan Ek!"

"Hm-hm..." sang pangeran agak ngeri, si muka tengkorak itu menyeringai, menjura. "Dari mana dia, Yauw Seng, dan apakah sudah tahu apa yang menjadi keinginanku? Ini rahasia besar, tak boleh orang lain tahu!"

"Heh-heh," Si muka tengkorak terkekeh, tawanya mirip kuda meringkik.

"Hamba tahu apa yang menjadi keinginan paduka, pangeran. Dan tentu saja ini rahasia kita bertiga. Hamba sanggup membunuh Wan-thai-suma, dengan ilmu hamba. Tapi apa yang akan hamba peroleh kalau sebelumnya hamba boleh tahu."

"Hm, hadiah diberikan kalau sudah ada bukti. Dan bisakah sebelumnya kau memberikan buktimu di sini."

"Paduka minta apa? Apa saja sanggup hamba lakukan di sini. Akan hamba buktikan!"

"Kau bunuh saja ayam di kandang pangeran. Biar yang kecil-kecil dulu menjadi bukti" Yauw Seng tiba-tiba berkata dan berseru kepada temannya itu, tahu maksud junjungannya. "Coba kau tunjukkan dari sini, Cwan Ek. Dan biar pangeran melihat dengan mata kepala langsung!"

"Baik, ayam mana yang kau minta. Yang putih ataukah hitam itu. Hm, ada juga jago merah!"

Sang pangeran tertegun. Si muka tengkorak ini mengeluarkan cermin dan tiba-tiba saja dari dalam cermin itu muncul bayang-bayang tiga ekor ayam jago di kandang. Bayang-bayang itu menjadi jelas setelah diusap tiga kali. Tiga ayam jago itu tampak gagah dan sombong di tempatnya masing-masing. Dan ketika kakek ini berkemak-kemik dan menjentik jago hitam di dalam cermin tiba-tiba terdengar keok yang keras sekali sampai terdengar di ruangan itu.

"Ah, apa yang kau lakukan" sang pangeran terkejut, terbelalak. "Jago hitam itu jangan diganggu, Bong Cwan Ek. Itu ayam kesayanganku!"

"Heh-heh, hamba hendak menunjukkan kepada paduka bahwa hamba mampu membunuh ayam itu dari sini. Kalau begitu ayam mana yang harus hamba bunuh!"

"Yang merah saja. Dia sering kalah bertarung dan coba kau buktikan kepadaku!" sang pangeran mengerti, tertawa dan berseri dan seketika harapannya timbul. Si muka tengkorak yang ketawanya mirip ringkik kuda ini ternyata hebat. Ia dapat mengganggu mahluk lain dari jarak jauh.

Dan ketika kakek itu terkekeh dan mengambil sebatang hio, dupa wangi, maka ia berkata bahwa ayam itu akan ditusuknya dari situ. "Lihat, dari sini hamba akan membunuh ayam itu, pangeran. Lehernya akan hamba tusuk. Maaf!"

kakek ini menusukkan batang hionya ke atas cermin, tepat di leher ayam jago merah dan ajaib hio itu tembus ke bawah. Dan begitu leher ayam ditusuk maka di kandang terdengar keok dan pekik kesakitan ayam itu, yang juga terlihat di situ dari cermin.

"Keoookkkk...!"

Tan-ongya meremang. la melihat betapa ayamnya tiba-tiba menggelepar, batang hio itu menancap sampai dalam namun karena kakek itu masih memeganginya maka ayam itu tidak roboh. la meronta-ronta dan menggelepar dan baru setelah, kakek ini menarik batang hionya kembali robohlah ayam itu. Darah mengucur dari lukanya di leher, deras.

Dan ketika Yauw Seng terbahak dan meminta agar pangeran Itu menyuruh orangnya mengambil ayam itu, yang tampak dari dalam cermin maka Tan-ongya meloncat dan bertepuk tangan memanggil pelayan. Dengan tergesa ia menyuruh pelayan itu berlari mengambil ayam merah, menunggu dan tak lama kemudian pelayan itu datang dengan ayam yang dimaksud. Dan ketika pangeran tertegun karena keadaan ayam persis sama seperti apa yang tadi dilihat di cermin maka Yauw Seng, pembantunya, tertawa bergelak.

"Ha-ha, bagaimana, pangeran. Bukankah persis sama!"

"Ya-ya, ajaib sekali. Ah... kalau begitu temanmu ini dapat pula membunuh musuhku dari sini. He, coba kau lakukan itu kepada Wan-thai-suma, Cwan Ek. Aku ingin melihat ia sekarat. Jangan bunuh dulu, siksa dan tusuk-tusuk lehernya seperti ayam itu. Ha-ha... aku ingin melihat!"

Laki-laki ini mengangguk. Pelayan itu sendiri sudah keluar lagi dan merekapun bertiga saja di ruangan dalam. Ini pekerjaan rahasia. Dan ketika kakek itu tertawa dan mengambil dupa-dupa wanginya maka ia menggosok cermin dan berkata,

"Apakah pangeran tak ingin melihat dulu di mana dan apa yang sedang dikerjakan musuh paduka itu. Dan hamba sendiri. hmm.... apa hadiahnya, pangeran. akankah paduka telah melihat bukti dari pekerjaan hamba."

"Ha-ha, kau mau minta apa. Apa saja dapat kuberikan!"

"Bagaimana kalau ia bekerja sekalian di sini?" Yauw Seng tiba-tiba mendahului, memotong. "Bong Cwan Ek ini setingkat dengan hamba, pangeran, dia juga berkepandaian tinggi. Hamba hanya kalah ilmu tenungnya itu. Dia dapat menggantikan suheng hamba Kwee Huan!"

"Ha-ha, boleh. Kau dapat bekerja pula disini!"

"Tapi hamba juga ingin main-main dengan wanita-wanita cantik," si muka tengkorak itu terkekeh, matanya melirik ke dalam, tempat para selir. "Kalau boleh tentu hamba tinggal di sini, pangeran. Tapi apakah paduka setuju atau tidak."

"Hm, mereka?" Tan-ongya tertegun, tapi akhirnya mengangguk. Tak tahu apakah ada selir-selirnya yang mau melayani Bong Cwan Ek ini. Habis, mukanya seperti tengkorak! "Kalau kau dapat menundukkan yang kau suka tentu saja boleh, Cwan Ek. Tapi jangan sampai menakut-nakuti!"

"Ha-ha!" Yauw Seng tahu maksud majikannya. "Kalau ada wanita yang menolak Bong Cwan Ek maka dia bukan si ahli tenung, pangeran. Teman hamba ini pandai. Dia dapat menundukkan siapapun untuk dijadikan kekasihnya. Kalau perlu, permaisuripun dapat direngkuhnya!"

"Hm, jangan bertindak yang melebihi bahaya. Di tempat kaisar ada orang-orang tertentu yang berkepandaian tinggi. Kalau kita sampai ketahuan tentu nanti celaka. Sudahlah, Cwan Ek boleh memilih siapa saja wanita di sini tapi jangan di luar!"

"Terima kasih, dan sekarang juga hamba akan bekerja." tetapi ketika kakek itu akan meletakkan dupa-dupa wanginya mendadak pangeran ingin tahu bagaimana kakek itu mampu menundukkan wanita.

"Tunggu, nanti dulu, Cwan Ek. Coba aku ingin tahu dulu bagaimana kau membuat seorang wanita jatuh hati kepadamu. Perlihatkan kepadaku apakah benar kau dapat melakukan itu dan cari serta datangkanlah seorang di antaranya!"

"Paduka suruh hamba menjatuhkan seorang selir?"

"Ya-ya, aku ingin tahu bagaimana dia itu bisa jatuh cinta kepadamu!"

"Heh-heh, gampang. Kalau begltu maaf hamba akan memilih dulu seorang di antara mereka. Bolehkah hamba memasuki keputren."

"Kau mau ke sana?"

"Tidak, dari sini saja."

"Baik, coba lakukan, Cwan Ek. Dan aku semakin tertarik saja!"

Kakek itu terkekeh. Cermin yang sudah diusap mendadak dihapus lagi, berkemak-kemik dan tiba-tiba ia membalik menghadapkan cerminnya keluar gedung, ke sebelah selatan. Di situ terletak keputren dan ke sinilah kakek itu mengarahkan cerminnya. Dan ketika ia menggosok dan meniup dua kali mendadak seluruh keputren tampak di cermin itu, termasuk semua selir dan dayang-dayangnya.

"Ha-ha, lihat, pangeran. Cwan Ek telah masuk ke keputren!"

Sang pangeran terkejut. Cepat dan mengejutkan tahu-tahu dua puluh tiga selirnya kelihatan di situ. Mereka ada yang berbaring-baring dan makan minum. Dan ketika pangeran kagum namun selir kedua puluh empat tak tampak di situ, ia memiliki dua puluh lima selir tapi yang satu sudah diberikan Yauw Seng, yakni si cantik Bhi Li itu maka pangeran berkerut kening dan berseru agar kakek itu mencari selir terakhirnya ini.

"Ada seorang yang kurang. Coba kau cari di mana dia dan sedang berbuat apa!"

"Hm, ada seorang lagi? Baik, akan hamba putar cermin ini, pangeran. mungkin di kamar lain..."

Ajaib, cermin itu lalu mengikuti semua sudut yang dicari laki-laki ini. Gerakan demi gerakan diputar bagai film, lalu ketika berhenti dan menumbuk sebuah kamar mandi maka tersenyumlah kakek itu, matanya bersinar-sinar. "Selir paduka ada di dalam bilik itu. Apakah hamba teropong."

"Ya-ya, coba lihat, Cwan Ek. Sedang apa dia!" dan baru kata-kata ini diselesaikan mendadak si kakek menggosok lebih terang dan.... tampaklah selir itu sedang mandi di dalam, gejebar-gejebur.

"Nah, itulah dia, pangeran. Maaf kita nonton wanita telanjang!"

"Ha-ha!" sang pangeran tertawa bergelak. "Kau hebat dan jempolan sekali, Cwan Ek. Aih, cerminmu luar biasa. Itu Hong Nio!"

"Hamba boleh terus merekam pemandangan ini?"

"Boleh-boleh! Ah, ha-ha... dia tak tahu kita tonton!" Tan-ongya kagum bukan main, tertawa dan mendecak tapi Yauw Seng pembantunya melotot. Birahi bangkit dengan cepat namun tiba-tiba kakek itu memadamkan cerminnya. Hong Nio, si cantik yang sedang mandi tiba-tiba ambyar, tak kelihatan lagi. Dan ketika Yauw Seng berseru kecewa karena gemas, si kakek terkekeh maka berkatalah kakek ini bahwa Hong Nio itulah yang dipilih.

"Hamba memilih wanita ini. Apakah paduka tak keberatan kalau dia hamba panggil ke sini."

"Kau memilih Hong Nio? Baik, boleh-boleh saja, Cwan Ek. Tapi buktikan bahwa dia mau menerimamu "

"Tentu menerima, hamba tanggung...." dan ketika kakek itu bersedakap dan berkemak-kemik, sihir atau ilmu tenung dilancarkan maka di sana, Hong Nio, si cantik yang sedang mandi tiba-tiba seakan mendengar seruan, lirih, bergetar.

"Hong Nio, kau dipanggil pangeran. Ke sinilah, seorang jejaka tampan sedang menunggumu. Berpakaianlah yang rapi dan harumkan sekujur tubuhmu dengan wangi-wangian!"

Aneh, wanita itu bergerak. Si kakek lalu mengambil cerminnya lagi dan memasang, menghidupkannya dan tampaklah tak lama kemudian si cantik itu menuju ruangan ini. Yauw Seng meleletkan lidah melihat lenggang yang aduhai ini. Gerak-gerik wanita itu ternyata halus. Dan ketika semua itu ditonton dari cermin, baik Tan-ongya maupun Yauw Seng terbelalak kagum maka tak lama kemudian muncullah wanita ini.

Sejenak ia tampak kebingungan namun suara bergetar yang kuat mempengaruhinya itu mendesau lagi, terus berbisik-bisik di telinganya dan masuklah wanita itu ke dalam. Dan ketika ia menguak kerai di tengah ruangan maka ia tertegun melihat Tan-Ongya, juga Yauw Sang. dan begitu pandang matanya beradu dengan Bong Cwan Ek tiba-tiba la mengluha tertahan dan tanpa dapat dicegah lagi wanita itu jatuh berlutut, menggigil.

"Ongya, apa... apa maksud paduka memanggil hamba?"

Suara itu lirih dan gemetar. Tan-ongya, yang terkejut dan terbelalak melihat ini tiba-tiba tertawa bergelak. Dipandanglah kakek itu dan seketika dia tahu bahwa jerat sudah terpasang. Hong Nio lumpuh melihat si kakek. Dan karena justeru si kakek itulah yang lebih berkepentingan, ia kagum dan tertawa bergelak maka ia berseru, "Hong Nio, kau akan diminta Hwee-long (Srigala Kelabu) Bong Cwan Ek ini. Maukah kau melayaninya dan menjadi kekasihnya?"

"Apa?"

"Kau dimintanya, Hong Nio. Aku mempunyai seorang pembantu pandai lagi. Nah, jawablah mau atau tidak kau menerima orang ini!"

Luar biasa Hong Nio mengangguk. Dan ketika wajahnya dan tampak tersipu-sipu, matanya berbinar sekali maka la menjawab, "Hamba siap menerima perintah ongya. Dan siapakah tak senang orang gagah ini. Kalau paduka perintahkan tentu saja hamba menurut, hidup hamba di tangan paduka, terserah paduka."

"Eh, ini bukan perintahku. Ini pertanyaanku. Senangkah kau dan maukah kau melayaninya. Cintakah kau kepadanya?“

"Hamba cinta..."

"Kau cinta? Benar-benar cinta?"

"Kalau paduka menyerahkan hamba tentu saja hamba menerimanya, ongya. Hamba memang cinta!"

"Ha-ha, luar biasa!" Tan-ongya tak habis kagum dan terbahak. "Lihat siapakah dia ini, Hong Nio. Bagaimanakah wajahnya menurut pendanganmu!"

"la gagah, tampan.... hamba... hamba mencintainya!"

Tan-ongya bertepuk tangan. ia terkejut dan tak habis pikir bahwa kakek bermuka tengkorak dikata gagah dan tampan. Kalau bukan pengaruh tenung adakah Hong Nio akan bicara seperti itu. Ah," orang glla saja yang dapat berkata seperti itu. Dan kagum bahwa guna-guna hitam telah menguasai Hong Nio maka kakek itu berseru kepada laki-laki itu,

"Cwan Ek, kau telah mendengar jawaban kekasihmu. Nah, bagaimana kalau tugas kau kerjakan dulu dan baru setelah itu kau bersenang-senang!"

"Heh-heh, hamba tak keberatan, pangeran. Kalau begitu biar dia hamba suruh tunggu di kamar tapi Hong Nio akan hamba suruh cium sebentar!" lalu melangkah dan berhenti di dekat wanita itu, menepuk pundaknya kakek ini berkata, serak, tapi di telinganya Hong Nio terdengar begitu manis dan mesra, "Hong Nio, kau tunggu aku di kamar. Siapkan segalanya di sana, rapikan pembaringan. Maukah kau menciumku di depan pangeran?"

"Tentu saja," wanita itu bangkit berdiri, jiwa dan perasaannya dikuasai cinta hitam. "Aku menunggumu, koko... jangan lama-lama!" dan tidak malu-malu atau canggung dl depan pangeran, kegembiraan bahkan memancar di wajah si cantik itu, maka Hong Nio memeluk dan mendaratkan ciumannya di bibir si kakek. Tak tanggung-tanggung, sampai berkecup keras!

Dan ketika kakek itu tertawa dan Hong Nlo terkekeh manja, didorong agar melepaskan pelukannya maka pangeran maupun Yauw Seng bengong akan peristiwa itu. Wanita secantik Hong Nio ternyata tak jijik mencium Bong Cwan Ek, laki-laki kurus yang sudah termasuk tua bangka. Dan ketika wanita itu lenyap dan melambaikan tangan nya di balik tirai, berlari dan menunggu laki-laki ini maka Bong Cwan Ek tersenyum dan berkata,

"Lihat, siapapun dapat hamba tundukkan, pangeran. Dan siapapun juga dapat hamba lenyapkan. Sekarang hamba akan bekerja dan lihat Wan-thai-suma akan hamba bunuh!"

"Nanti dulu, jangan dibunuh. Siksa dulu seperti tadi kau menyiksa ayam jagoku. Dan bolehkah aku ikut menusuk-nusuk agar dia tahu rasa!"

"Paduka mau ikut bermain? Boleh, mari, pangeran. Lihat berapa lama dia tahan, heh-heh!"

Tan-ongya berseri-seri. Si kakek sudah menyiapkan cerminnya dan mula-mula cermin itu diarahkan ke gedung Wan-thai-suma. Lalu begitu terdapat segeralah cermin itu digosok dan ditiup. Dan ketika kakek itu juga berkemak-kemik dan seluruh gedung Wan-thai-suma muncul, Tan-ongya takjub maka pangeran ini berseru keras melihat wajah adiknya.

"Itu dia... ha-ha, itu Wan Sut!"

"Itu Wan-thai-suma? Bagus, pegang hio-hio ini, pangeran. Dan biar hamba ketuk kepalanya dahulu!"

Si kakek menyeringai, jari bergerak dan diketuknya belakang kepala Wan-thai-suma itu. Waktu itu Wan-thai-suma sedang berjalan dan tiba-tiba terdengar jeritannya. Di dalam cermin itu laki-laki ini berteriak, jelas benar kelihatannya. Dan ketika ia roboh dan memegangi kepalanya, para pengawal berdatangan maka Bong Cwan Ek menyuruh pangeran menusuk-nusukkan hionya, batang dupa wangi itu.

"Mulai, hamba telah melumpuhkan, otaknya, pangeran. Tusuk ke bagian yang mana paduka suka!"

"Ha-ha, aku akan menusuk lehernya. Ugh, gemas aku. Lihat!" dan ketika Tan-ongya menggerakkan dan menusukkan batang dupanya, di sana Wan-thai-suma berteriak maka selanjutnya batang dupa itu ditarik dan ditusukkan lagi ke pundak dan kaki atau tangan menteri itu.

Wan-thai-suma menjerit dan meronta-ronta dan tentu saja kejadian ini menggemparkan. Pengawalnya, yang heran dan bingung bagaimana tuannya kesakitan tiba-tiba menolong dan coba membangunkan majikannya. Tapi begitu darah mengucur dan menyemprot dari luka-luka kecil sebesar lidi maka mereka pun panik dan berteriak-teriak.

Gedung Wan-thai-suma menjadi gaduh dan isteri atau kerabatnya menjerit. Mereka ini telah berlarian dan melihat apa yang terjadi. Namun ketika menteri itu berteriak dan berjengit-jengit, lakunya seperti orang ditusuki maka istanapun geger dan para tabib diundang. Namun tak ada yang mampu menolong.

Tan-ongya menusuk-nusuki atau mencobloskan batang dupanya di sana. Siapa yang tahu! ia terkekeh atau tertawa dan tampak pangeran ini gembira benar. Ia sekarang tak mau membunuh dulu adiknya itu sebelum disiksa, Biar Wan-thai-suma sekarat dan mati mengerikan. Dan ketika kejadian ini berlangsung selama tiga hari berturut-turut dan tentu saja kejadian ini meluas ke gedung-gedung lain, akhirnya tertangkap pula oleh Yo-ongya maka pangeran Yo itu menjenguk adiknya. Dan alangkah kagetnya melihat keadaan adiknya yang mengerikan.

Sekujur tubuh adiknya itu penuh lubang lubang kecil dan dari puluhan atau bahkan ratusan lubang itu keluar tetesan-tetesan darah. Isteri dan keluarganya menangis tak keruan. Wan-hujin (nyonya Wan) bahkan histeris dan roboh pingsan berulang-ulang. Dan karena ini lagi-lagi mengganggu tugas negara, Wan-thai-suma dinyatakan sakit maka tertegunlah Yo-ongya bertanya kepada para tabib yang sudah berusaha keras menyembuhkan derita adiknya yang tak kunjung berakhir.

"Apa yang terjadi. Penyakit apa ini Siapa yang tahu!”

"Hamba... hamba tak tahu. Kami semua bingung sendiri, ongya. Ini... ini penyakit aneh!"

"kalian tabib-tabib istana, masa tidak tahu. Heh, jangan berlagak bodoh, ahli-ahli pengobatan. Kalian pasti tahu!"

"Ampun" seorang tabib tua maju menggigil, punggungnya dilipat. "Kami bukan menghadapi penyakit biasa, ongya. Ini bukan penyakit melainkan akibat teluh. Kami tak sanggup. Kalau paduka hendak menyembuhkannya barangkali hanya ada satu jalan, yakni ke tempat Thio-taijin!"

"Thio-taijin? Kepala Agama-agama"

"Benar, kami bersepakat bahwa Thio-taijin lah yang mampu, ongya. Dia seorang berbatin tinggi dan penuh ilmu Keagamaannya tentu dapat menolong, sedikitnya dengan doa atau mantra-mantra!"

"Kalau begitu bawa ke sana!" sang pangeran terkejut, bergegas. "Hayo angkat dan tandu Wan-thai-suma, pengawal. Kita ke gedung Thio-taijin!"

Semua mengangguk dan tergesa. Seka-rang menteri Wan tak sadarkan diri dan sering berteriak atau terlonjak-lonjak sendirian. Mulutnya berbuih dan pipi serta mulutnya berlubang-lubang. Sekujur tubuhnya penuh bekas luka dan tak terhitung lagi bercak darah di permukaan tubuhnya, Tak pelak Wan-thai-suma seperti kesakitan ditusuk orang. Dan ketika semua bergegas dan menuju gedung Thio-taijin, Kepala Agama yang berusia tujuh puluhan tahun maka tertegunlah kakek ini melihat keadaan Wan-thai-suma.

"Thian Yang Maha Agung, ini akibat teluh. Duh, benar kiranya kabar yang kuterima, Yo-ongya. Hari ini aku akan ke sana tapi kalian ternyata mendahului. Hmm siapa yang berbuat. Keji benar!"

Wan-thai-suma lalu dimasukkan ke gedung Kepala Agama ini dan tampak betapa korban berjengit dan berteriak-teriak. Tubuhnya sudah kurus dan isteri serta kerabatnya mengguguk mengiringi. Semua tak tahan dan ikut menangis. Tapi ketika laki laki tua itu mengusir yang lain dan korban dimasukkan kamarnya, hanya Yo-ongya dan Wan-hujin yang boleh masuk maka kakek ini cepat bersila dan bersamadhi.

Dan terkejutlah kakek itu. Sebuah getaran kuat mencoba memasuki tubuhnya dan lampu mendadak bergoyang-goyang. Thio-taijin bertahan dan mendadak ia menggeram. Dan ketika cepat la membuka matanya dan mengebutkan ujung lengan baju, mengeluarkan sebuah telur dari logam kuningan mendadak kamar bergemuruh dan meja kursi serta almari ambruk.

"Berlindung, kita diserang kekuatan hitam!"

Wan-hujin dan Yo-ongya berteriak kaget. Lampu di atas kepala jatuh dan hampir saja menimpa mereka. Yo-ongya menarik Wan-hujin itu dan cepat bersembunyi di kolong tempat tidur. Itulah satu-satu-nya tempat aman. Wan-hujin menjerit-jerit, histeris! Dan ketika benda-benda di langit ruangan jatuh semua, pecah dan tang-ting-tang-ting maka Thio-taijin memegang erat-erat telur kuningannya itu, bibir berkemak-kemik. Dan cermin di dinding sebelah kiri tiba-tiba pecah.

"Tranggg...!" orang-orang di kolong pembaringan pucat. Yo-ongya telah mendekap mulut temannya namun saat itu Wan-hujin mengeluh dan roboh pingsan. Terlalu hebat semua kejadian itu bagi wanita ini. Dan ketika di sana Thio-taijin gemetaran dan terus berkemak-kemik, telur kuningan di tangannya tiba-tiba meledak maka tampaklah wajah si pelaku namun saat itu juga Bong Cwan Ek membanting hancur cerminnya. Apa yang terjadi?

Kiranya sebuah pertandingan seru, pertandingan batin yang tak kalah menegangkan dengan pertandingan tinju. Karena ketika Wan-thai-suma. Sudah mulai memasuki gedung Thio-taijin ini maka di sana Bong Cwan Ek terkejut karena bayang-bayang di cerminnya mulai buram. Kakek ini terkejut karena semacam awan atau kabut tipis mengganggu pandangannya, begitu pula Tan-ongya maupun Yauw Seng yang selama tiga hari ini terus memonitor hasil perbuatannya.

Dari tempat itu mereka tahu segala kejadian yang terjadi di tempat Wan-thai-suma. Dari cermin itu mereka melihat betapa Wan-thai-suma menjerit dan berjengit-jengit setiap kali ditusuki. Menteri ini sudah tak sadarkan diri. Tapi begitu ia dibawa ke tempat Thio-taijin dan di halaman Kepala Agama itu ternyata memancar kekuatan suci yang menolak hawa ilmu hitam, cermin yang semula jelas mendadak kabur dan buram maka Bong Cwan Ek berseru marah dan ia memperkuat tenaga batinnya, demikian kuat sampai getaran ilmu hitam itu menggemuruhkan isi kamar Kepala Agama, akhirnya menjatuhkan segala benda di langit-langit ruangan.

Tapi karena Thio-taijin juga memperkuat perlawanannya dan batin yang bersih dari penasihat kaisar ini sedikit tetapi pasti mendorong pengaruh hitam, telur ajimatnya juga memancarkan cahaya dan menolak pengaruh gaib itu maka telur tiba-tiba semakin terang dan tepat di dalam telur itu terlihat wajah Bong Cwan Ek maka secepat itu pula kakek ini membanting hancur cerminnya, tak mau ketahuan.

"Keparat, aku kalah!"

Tan-ongya dan Yauw Seng terkejut. Mereka tak tahu apa yang terjadi namun Bong Cwan Ek menggigil kedinginan, kakek ini berkeringat. Namun ketika ia pulih dan tenang kembali, pangeran ini bertanya kepadanya maka ia menjawab,

"Hamba membentur kekuatan batin yang luar biasa kuatnya. ilmu hamba tertolak. Siapakah kakek itu dan sekilas hamba sempat dilihatnya. Berbahaya!"

"Hm, Thio-taijin? Dia adalah Kepala Agama, Cwan Ek. Tapi kenapa kau tampak begitu ketakutan. Bagaimana sekarang, apakah pekerjaan kita terhenti."

"Ya, tentu saja. Selama Wan-thai-suma di tempat tua bangka itu maka hamba tak dapat menyerangnya, pangeran. Kekuatan batinnya tinggi sekali dan hamba kalah kuat. Sebaiknya begitu Wan-thai-surna keluar lagi maka secepat itu pula ia dibunuh. Kini ia dilindungi Kepala Agama!"

"Hm, begitukah? Jadi kita tak dapat menyerangnya lagi?"

"Tak dapat, pangeran. Dan hamba ingin beristirahat. Maaf, hamba agak terguncang!"

Yauw Seng terkejut. Temannya itu sudah memutar tubuhnya dan berkelebat pergi. Tan-ongnya juga tak dapat mencegah meskipun diam-diam kecewa. Selama tiga hari ini sebenarnya dia amat senang sekali menyiksa Wan-thai-suma. Adiknya itu menggelepar-gelepar dan keinginan membunuh tiba-tiba ditunda menjadi keinginan menyiksa. Nanti kalau dia sudah puas benar barulah ditusukkan batang dupanya itu ke jantung, berapa lama melakukan itu.

Tapi ketika sekarang Bong Cwan Ek pergi beristirahat dan tampak betapa kakek itu gentar dan pucat, ilmu hitamnya bertemu kekuatan Kepala Agama maka dia tak tahu bahwa ada kekhawatiran lebih yang dirasa Hwee-long Bong Cwan Ek itu. Wajahnya sudah terlihat Thio-taijin dan tadi seberkas cahaya menyambar mukanya. Kakek ini khawatir kalau dia nanti tentu bakal ketahuan. Dan ketika untuk melepas kecemasannya ini ia mencari Hong Nio, si cantik sudah diguna-gunai hingga rnenganggapnya sebagai seorang tampan bukannya kakek bermuka tengkorak, Hong Nio melakukan apa saja yang dikehendaki kakek ini maka benar saja dua hari kemudian Thio-taijin bertindak.

Kakek itu, seperti diketahui, telah melihat wajah si pembuat onar di telur wasiatnya. la tertegun tapi mengangguk-angguk. Dan ketika ia memanggil Yo-ongya, agar keluar dari kolong pembaringan, Wan hujin disadarkan maka kakek itu berkata bahwa Wan-thai-suma dapat disembuhkan.

"Aku hanya berdiri di belakang saja kalian yang nanti bekerja. Hm, aku telah melihat wajah si tukang teluh ini dan nanti kuperlihatkan kepada kalian. Tapi kita sembuhkan dulu Wan-thai-suma."

"Taijin telah melihat wajah orang itu?"

"Benar, tapi nanti sama-sama lihat lagi, ongya. Sekarang kita sembuhkan dulu adikmu dan biar Wan-hujin beristirahat di belakang."

"Tidak, aku di sini saja. Aku ingin menunggui suamiku!"

"Hm, kau baru saja sadar, hujin. Melihat semua ini saja kau sudah tak kuat. Sebaiknya tidak mencampuri urusan kami laki-laki dan kau tinggal di belakang. percayalah, suamimu bakal sembuh!"

"Tapi aku ingin melihat kesembuhannya dulu."

"Baiklah, biar kusembuhkan karena sekarang pengaruh ilmu hitam telah lenyap,"

kakek ini mengambil telur wasiatnya, menggosok dan meniup dan Wan-thai-suma yang semula berteriak dan melonjak-lonjak tiba-tiba membuka mata, tenang dan rupanya seolah baru terbangun dari mimpi buruk tapi yang hebat adalah lenyapnya semua lubang-lubang bekas tusukan ilmu hitam itu. Tak ada setitik pun bekas darah yang ada. Bersih! Dan ketika Wan-thai-suma bangkit dan terheran kenapa ia berada di tempat Thio-taijin, isteri dan kakaknya juga di situ maka Wan-hujin menangis dan menubruknya.

"Aduh, kau sembuh, suamiku. Sembuh!"

"Apa yang terjadi," menteri ini duduk, mau berdiri tapi terhuyung, perutnya lapar sekali. "Eh, apa yang terjadi, isteriku. Kenapa aku di sini. Dan tubuhku, ah.... kurus sekali!"

Wan-hujin tersedu-sedu. Girang dan haru bahwa suaminya kurus, tiga hari ini tak makan atau minum maka nyonya itu menceritakan apa yang terjadi. Wan-thai-Suma samar-samar teringat bahwa ia seakan berada dalam sebuah mimpi menyeramkan, bahwa ia seolah-olah di ruangan setan dengan ditusuki sekujur tubuhnya. Maka ketika isterinya bercerita bahwa selama tiga hari ini ia memang dalam keadaan seperti itu, tubuh penuh dengan luka-luka tusukan tapi Wan-thai-suma tak melihat luka-luka itu, ia merasa sehat tetapi lemah, lapar, maka isterinya itu menutup bahwa semua itu adalah berkat jasa Thio-taijin.

"Thio-taijin inilah yang menolongmu. Dialah yang menyembuhkan luka-lukamu. Ah, kau diserang ilmu hitam, suamiku. Orang yang amat keji hendak membunuhmu!“

"Hm, sebaiknya hujin sekarang beristirahat," Thio-tajin menarik napas dalam. "Sekarang telah kau lihat suamimu sembuh kembali, hujin. Dan tepatilah janjimu bahwa tak akan mencampuri kami lagi."

"Ya-ya, aku tahu... terima kasih. Aku tahu, taijin. Dan sekali lagi terima kasih bahwa kau telah menyembuhkan suamiku!"

Sang kakek tersenyum. Wan-thai-suma masih terheran-heran dan serasa mimpi saja. la belum dapat menerima semua cerita isterinya itu. Tapi ketika mereka sekarang tinggal bertiga dan Thio-taijin memandangnya bersinar-sinar maka menteri ini memandang kakaknya, pangeran Yo.

"Twako, benarkah apa yang dikata isteriku tadi? Benarkah bahwa aku diserang ilmu hitam?"

"Tanya saja Thio-taijin ini, adikku, dan nanti kau boleh tanya semua orang apa yang telah terjadi!"

"Tapi semua telah lewat," Thio-taijin mengangguk-angguk. "Dan kau barangkali merasa seperti sebuah mimpi buruk, Wan-suma. Tapi jangan khawatir, di sini kau terlindung!"

"Hm, coba ulangi apa yang diceritakan isteriku. Dan aku, maaf.... lapar sekali!"

"Makanlah buah-buahan itu," Thio-taijin menunjuk buah-buahan di atas meja, semua yang berantakan sudah diatur lagi. "Sambil makan kita dapat bercerita, Wan-suma, sekaligus mencari orang itu untuk dihukum!"

"Orang itu?"

"Ya, pembuat celaka itu. Si tukang teluh!"

"Hm, aku penasaran. Apa maksudnya dan siapa dia. Aku tak merasa bermusuhan dengan orang lain!"

"Jangan begitu," sang kakak tersenyum pahit. "Ingat saudara kita pangeran Tan, adikku. Betapapun kau dianggapnya musuh!"

"Tapi dia bukan tukang teluh!"

"Benar, tapi... ah, mari kita dengarkan saja apa kata Thio-taijin. Kita hendak diperlihatkan wajah orang itu. Siapa tahu lempar batu sembunyi tangan dan kita harus waspada."

"Hm., kalian berdua benar. Aku tak berani berkata jauh selain apa yang kulihat dan kumengerti ini. Kalian sama-sama kerabat istana. Mari kuperlihatkan wajah orang itu dan selanjutnya kalian harus mencari atau menangkapnya. Aku khawatir dia berbuat lebih jahat dengan mengganggu sri baginda umpamanya, tentu berbahaya!"

Wan-thai-suma maupun Yo-ongya mengangguk-angguk. Sekarang Menteri Utama ini mendengarkan cerita Thio-taijin dan sambil mengisi perutnya dengan buah-buahan Wan-thai-suma sering tersentak bila mendengar hal-hal mengerikan, umpama seperti ketika dia ditusuk-tusuk dari jauh dan betapa seseorang dengan keji menghendaki kematiannya.

Dan karena semua itu sudah dirasakan dan mimpi yang dirasa mimpi itu ternyata bukanlah mimpi, melainkan kejadian sungguh-sungguh yang dialaminya dalam keadaan biasa maka muka yang kemerah-merahan mulai tampak di wajah Wan-suma ini setelah Thio-taijin menutup.

"Jelas bahwa seseorang menghendaki kematianmu. Dan bahwa ia menyiksamu dulu sebelum mati maka orang ini benar-benar keji dan harus ditangkap. la tentu berada tak jauh dari sini. Kalian lihatlah wajahnya baik-baik dan kalau perlu dilukis!"

Thio-taijin memberikan sebuah kertas kepada Yo-ongya, minta agar pangeran itu memindahkan wajah di telur wasiat ke tempat lain, disambut dan jari pangeran ini bergetar penuh benci dan marah. la sudah ingin cepat-cepat melihat wajah itu. Dan ketika adiknya juga mengangguk dan tak sabar, telur digosok maka tertegunlah dua bangsawan ini melihat wajah tengkorak dari Bong Cwan Ek.

"Dia... dia tak kukenal!"

"Benar, aku juga," sang kakak juga berseru. "Dan lihat tampangnya itu. Ah, keji dan buruk, Wan-te. Dia pantas sebagai tukang teluh!"

"Dan dia menggangguku, hendak membunuhku. Keparat, akan kucari orang itu!"

Wan-thai-suma maupun Yo-ongya sama-sama marah. Thio-taijin mengangguk-angguk tapi kakek itu berseru agar Yo-ongya cepat melukis. Wajah itu harus dipindah dan selanjutnya dicari. Dan ketika pangeran ini menggerakkan alat tulisnya dan wajah Bong Cwan Ek dilukis, telur kemudian padam lagi maka kakek ini berkata bahwa secepatnya mereka harus bergerak.

"Ingat, kalian harus cepat-cepat menemukannya. Tapi untuk Wan-suma sebaiknya jangan keluar dulu dari gedungku. Di luar berbahaya, tak ada perlindungan. Atur saja semua dari sini dan terserah kalian bagaimana cara menangkapnya."

"Aku tak boleh pulang?"

"Sebaiknya begitu, pangeran, demi keamanan."

"Kalau begitu aku harus memberi tahu isteriku!"

"Wan-hujin dapat diberi tahu dari sini. Maaf, aku sudah tak dapat mencampuri lagi."

Thio-taijin, yang agaknya waspada akan sesuatu hal tiba-tiba bangkit berdiri dan pergi. Wajah Kepala Agama itu muram namun Yo-ongya sadar akan ini. la tahu bahwa pembicaraan dengan adiknya tak mau didengar lagi, itu urusan mereka. Dan karena pikirannya sudah melayang ke arah kakaknya, pangeran Tan, maka langsung saja Yo-ongya ini menudingkan telunjuk ke sana.

"Aku pikir harus dimulai dari tempat kanda Tan. Segala kejahatan ini agaknya bersumber dari sana. Bagaimana kalau Wan-te memanggil Hwe-sin Buan Tiong Pek ke sini!"

"Malaikat Api itu? Pengawal pribadi kanda kaisar?"

"Apa boleh buat. Orang keji ini harus dicari, Wan-te, dan ia harus dihukum. Aku tak melihat orang lain selain Malaikat Api Buan Tiong Pek itu. Bagaimana pendapatmu!"

Wan-thai-suma tertegun. Hwe-sin Buan Tiong Pek adalah pengawal pribadi sekaligus paling rahasia dari kaisar. Orang ini tak pernah jauh dari kaisar dan memanggilnya berarti minta ijin dulu dari sri baginda. Kalau begitu maka kaisar harus diberi tahu dan segala kejadian ini dibuka. Kalau nanti benar maka kakaknya pangeran Tan bakal menerima resiko berat, itu kalau dia otak dari semua ini. Dan karena dia sendiri telah kehilangan pengawal pribadinya yang paling dipercaya, Sun Cek Tojin itu maka apa boleh buat menteri ini nenerima. Apalagi karena Hwe-sin si Malaikat Api dapat diminta untuk bekerja secara rahasia pula.

"Baiklah, aku akan minta sri baginda mengizinkan Buan Tiong Pek, kanda. Tapi bagaimana aku ke sana padahal Thio-taijin tak memperkenankan aku keluar."

"Kau buat surat permohonan saja selebihnya aku yang mengantar."

Wan-thai-suma mengangguk. Sebenarnya berat baginya menuduh kakaknya Tan-ongya itu. Mereka masih saudara dan nanti bisa geger. Namun karena dia mau dibunuh dan perlakuan yang diterimanya sungguh keji sekali, hampir dia binasa maka dia menulis surat dan kakaknya Yo inilah yang mengantar. Dan kaisar tentu saja tertegun.

"Buan Tiong Pek mau dipinjam! Wan-thai-suma menghendakinya?"

"Benar, sri baginda, dan ini bersifat rahasia sekali. Paduka tentu telah mendengar nasib yang menimpa Wan-suma!"

"Ya-ya, aku telah mendengar. Tapi tak ku kira adalah tenung! Hm, baiklah, adik Tan. Bawalah Buan Tiong Pek dan tangkap jahanam itu. Seret dia ke mari dan kalau bisa ditangkap hidup-hidup!"

"Mana pengawal paduka...?"

"Aku sudah di sini!"

Sang pangeran terkejut, membalik dan sudah melihat seorang tinggi kurus meram-melek seperti orang mengantuk, kaget tapi seketika girang.

"Kalau baginda mengijinkan tentu hamba berangkat, ongya. Tapi sebaiknya hamba lindungi dulu baginda dengan selimut sakti...“

Wut...! sebuah jala terlempar, menakup dan tahu-tahu membungkus sri baginda dan pangeran terkejut. Buan Tiong Pek mendorongkan lengannya dan tahu-tahu sri baginda lenyap, bagai disihir! Dan ketika laki-laki itu tertawa sementara dari kejauhan sri baginda juga tertawa, entah di mana beradanya maka Hwe-sin Buan Tiong Pek berkelebat.

"Pangeran, pulanglah. Nanti malam akan hamba antar si hina-dina itu!"

"He, nanti dulu!" Yo-ongya berseru. "Di mana kau mengantarnya, Hwe-sin. Di mana aku menunggu!"

"Paduka tunggu saja di tempat Thio-taijin. Di sana nanti kita bertemu!" dan ketika pangeran itu mendelong dan takjub, baru kali ini dia bertemu pengawal amat rahasia itu maka dia kembali dan melapor kepada adiknya. Dan Wan-suma berseri-seri.

"Nanti malam? Dia sudah dapat menangkap dan membawa si iblis itu?"

"Benar, begitu katanya, Wan-te. Dan sekarang mari kita tunggu!"

Dua bangsawan ini tegang. Mereka merasa tak sabar dan berdebar oleh janji itu. Dan karena baru kali itu Tan-ongya melihat Buan Tiong Pek maka dia mendecak menyatakan kekagumannya.

"Hebat, luar biasa sekali. Hwe-sin Buan Tiong Pek itu amat sakti. Ia dapat pergi dan datang bagai siluman. Dan sri baginda dilindunginya pula dengan semacam jala sihir!"

"Hm, aku tahu. Dan aku juga sekali pernah bertemu dengannya, kanda. Dan dia memang benar-benar hebat. Aku juga kagum."

"Dan malam nanti dia datang. Entah bagaimana caranya dia menemukan dan menangkap tukang teluh itu!"

"Aku juga tak tahu, tapi aku percaya kepadanya. Marilah kita nantikan dan malam nanti pasti dia datang!"

Lalu ketika dua orang itu bercakap-cakap tak ada habisnya, yang dibicarakan adalah pengawal rahasia itu maka di tempat Tan-ongya terdengar jeritan. Malam itu, di kala bulan bersinar penuh dengan cahayanya yang buram, seakan nyeri melihat tindak-tanduk manusia sesat maka Hwee-long Bong Cwan Ek berada di kamar kekasihnya. Hong Nio begitu tergila-gila kepadanya hingga apapun yang disuruh dikerjakannya dengan baik, termasuk malam itu ketika dia harus memijati si kakek buruk.

Dalam pandangan Hong Nio kakek ini bukanlah seorang kakek melainkan seorang pria gagah berusia tiga puluh limaan tahun, cakap dan menggetarkan dan entahlah setiap dia beradu pandang maka jiwa dan perasaannya bergemuruh. Nafsu berahinya bangkit dan itulah tanda-tanda ilmu hitam, guna-guna atau mantra yang dilepas kakek ini untuk menjerat mangsanya. Dan ketika malam itu Bong Cwan Ek minta diselimuti, sehari tadi mereka puas bercinta maka kakek ini berkata agar wanita itupun masuk ke dalam selimutnya.

“Asyik!”

"Kau jangan ke mana-mana, ke sinilah, tinggal bersamaku di dalam selimut. Aku agak kedinginan, Hong Nio. Entah mengapa hatiku terasa tak tenteram."

"Kanda merasa apa, kenapa tak tenteram. Bukankah sudah kupijiti dan sehari penuh bersenang-senang. Kalau ingin hangat dapat kuhangati, kanda. Dan aku, hmm.... aku merasa kurang!"

"Nanti dulu... tidak!" sang kakek menepis tangan Hong Nio. Wanita itu menjulurkan tangannya ke bawah pusar dan hendak memegang-megang. Ngeri dia. Sehari sudah dikuras dan sekarang hendak diajak bercinta lagi, mana tubuhnya yang renta itu kuat. Tentu bakal mati kering! Dan ketika Hong Nio menarik tangannya dengan kecewa, kakek itu dipanggilnya sebagai "kanda" maka Bong Cwan Ek yang berdebar merasakan firasat tak enak sudah tengkurap dan minta dikeroki punggungnya.

"Apa?"

"Benar, keroki punggungku, Hong Nio. Aku merasa dingin. Punggungku ini berdiri bulu-bulu rambutnya!"

"Hi-hik, kok lucu. Kau ini aneh sekali, kanda. Masa bulu punggung bisa berdiri, seharusnya kan...."

"Sudahlah, aku tidak main-main. Keroki punggungku dan jangan banyak cakap!"

Si cantik tersentak. Dia dibentak dan tutup mulut dan tiba-tiba menangis. Air matanya meleleh namun ia tak berani mengeluarkan suaranya. Dan ketika ia bangkit dan mengeroki punggung itu, punggung si kakek benar saja dingin maka Bong Cwan Ek meram melek dan sejenak merasa tenang, nikmat. Namun tiba-tiba terdengar angin berdesir, lampu sekonyong-konyong padam. Dan ketika Hong Nio menjerit karena si kakek melompat dan menerkam tubuhnya, kaget, maka Cwan Ek berseru kenapa lampu padam.

"Siapa yang mematikan. Keparat, apa ini!" Bong Cwan Ek tergesa menyalakan kembali. Dia melihat bahwa lampu-lampu di luar masih terang menyala-nyala, tertegun dan melihat sekeliling namun tak ada apa-apa. Dan ketika dia mengumpat dan mengutuk merasa tak nyaman, ada sesuatu yang tak enak maka dia menyuruh Hong Nio mengambil pakaiannya. Kakek ini telanjang bulat.

"Biarkan saja, aku suka begini...."

"Hush, aku merasa seram, Hong Nio. Lampu tadi padam tiba-tiba. Tak enak kalau tidak berpakaian karena siapa tahu pangeran memanggilku secara mendadak!"

Terpaksa, wanita inipun mengambilkan pakaian si kakek. Bong Cwan Ek cepat mengenakan itu dan tidur kembali, kini telentang dan dadanya yang minta dikerok. Lucu kakek ini, ia seakan orang ketakutan. Dan ketika Hong Nio kembali bekerja dan mengerok kekasihnya, jari-jari lembut itu penuh kasih sayang mendadak berkesiur angin lagi dan lampu pun padam.

“Pet!" Ruangan gelap-gulita. Hong Nio menjerit dan si kakek melompat berseru keras. Kagetnya bukan main. Ini pasti perbuatan orang, bukan angin lalu. Dan ketika ia berjungkir balik dan menyalakan lampu, kakek ini hapal tempatnya maka ia tersentak karena Hong Nio tahu-tahu lenyap, melolong di tempat lain. Dan begitu ia melihat jendela terbuka dan ke situlah ia melayang maka kakek ini terkejut melihat sesosok bayangan tinggi kurus bergelantungan di atas pohon, seperti kelelawar!

"Bangsat, siapa kau!"

kakek ini kaget dan marah. Hong Nio berada di pelukan orang itu namun ketika ia berkelebat tiba-tiba orang itupun bergerak. Seperti kelelawar atau burung yang terbang terbalik ia berpindah ke dahan lain, yang lebih tinggi. Dan karena Hong Nio sudah tidak bersuara lagi karena rupanya ditotok, ia kaget dan pucat bagaimana orang itu mampu menyambar Hong Nio yang ada di dekatnya maka Cwan Ek berjungkir balik namun orang itupun bergerak dan naik ke dahan yang lebih tinggi lagi, disusul tapi bergerak lagi ke dahan yang paling tinggi. Dan ketika mereka tiba di puncak pohon di mana Cwan Ek membentak melepas pukulan, lawan tak mungkin naik ke atas lagi maka orang itu, yang kini tertawa aneh tiba-tiba menangkis dengan kakinya.

"Dess!" dan si muka tengkorak terpelanting. Bong Cwan Ek berteriak keras namun saat itu lawan menyusul, balas menotoknya dan angin bercuit menyambar dahi. Bukan main cepatnya. Dan ketika Cwan Ek harus melempar tubuh bergulingan dan saat itu Hong Nio dilepaskan, kepala wanita itu ditepuk maka lampu di luar jendela memperlihatkan wajah Bong Cwan Ek dan selir Tan-ongya yang selama berhari-hari ini menganggap kekasihnya sebagai laki-laki cakap tiba-tiba dibuat terpekik melihat muka tengkorak itu.

"Aiiihhhhh...!"

Seruan atau pekik wanita itu mengejutkan si muka tengkorak. Hong Nio menggigil menuding-nuding wajahnya, pucat dan ngeri dan tiba-tiba wanita itu roboh, pingsan. Dan ketika Cwan Ek tergetar karena sesuatu rupanya terjadi, pandang mata Hong Nio penuh jijik dan ngeri maka sadarlah kakek ini bahwa tepukan lawan di atas kepala wanita itu membuyarkan pengaruh ilmu hitamnya.

"Terkutuk, jahanam keparat. Siapa kau dan buka topengmu!"

Cwan Ek menerjang gusar, sudah meloncat bangun dan lawan ternyata menyembunyikan wajah di balik topeng karet. Sepintas mukanya juga seperti setan namun Cwan Ek tahu bahwa lawan menyembunyikan wajah. la membentak dan menerjang namun lawan berkelit ke kiri. Dan ketika ia agak terputar oleh ayunan tubuhnya sendiri, orang itu tertawa dingin maka keluarlah kata-katanya penuh ancaman.

"Hm, ini kiranya tikus busuk yang meneluh Wan-thai-suma. Pantas, kiranya Srigala Kelabu Bong Cwan Ek! Hm, kau akan ku bawa dan ku tangkap menghadap Wan-su-ma, Cwan Ek. Akui perbuatanmu atau nanti ku bunuh!"

Kakek ini berteriak. la menyerang dan menerjang lagi namun lawan menangkis dan ia terpental, diserang dan ditangkis lagi dan ia terbanting. Dan ketika tujuh kali ia terlempar dan bergulingan menjauh, kata-kata atau ancaman lawannya itu membuat ia gentar maka dipanggilnya temannya di dalam.

"Yauw Seng, ada penjahat. Keluarlah tolong!"

Namun orang itu tertawa dingin. la berkelebat dan si muka tengkorak terpekik karena dari dua jari lawan tiba-tiba menyambar kilatan api menuju matanya, dielak namun api itu turun ke bawah, tepat mengenai lehernya. Dan ketika ia terbanting dan tercekik suaranya, tak mampu memanggil Yauw Seng maka orang itu menendang dan tepat bayangan Yauw Seng berkelebat dari dalam gedung si muka tengkorak pun sudah disambar.

"Hm, aku hanya perlu kau, bukan orang lain. Mari menghadap Wan-thai-suma dan pertanggung jawabkan perbuatanmu!"

Kaget dan ngerilah si muka tengkorak ini. la tak dapat berbuat apa-apa begitu roboh dl tangan lawan. Urat gagunya tertotok, jalan darah di pundak dan punggungnya juga tertotok. Dan karena ia tak dapat berteriak ataupun meronta maka orang itu membawanya pergi sementara Yauw Seng terkejut dan berteriak melihat orang ini, yang berkelebat dan keluar pagar.

"Hei, siapa kau. Berhenti!"

Namun lawan menghilang cepat. Bagai iblis ditelan angin, orang itu lenyap, Yauw Seng sudah berjungkir balik dan mengenjot tubuhnya namun lawan yang dikejar tak tampak lagi batang hidungnya. Dan karena ia tak mendengar lagi teriakan Cwan Ek, temannya itu sudah roboh dan tertotok di tangan lawan maka Yauw Seng kembali dan melapor Tan-ongya. Orang itu tentu saja bukan lain adalah Hwe-sin Buan Tiong Pek.

"Celaka, ada sesuatu," begitu Yauw Seng melapor. "Cwan Ek diculik dan dirobohkan seseorang, pangeran. Hamba tak tahu siapa dia tapi bagaimana menurut paduka!"

"Diculik? Dirobohkan seseorang?"

"Benar, dan hamba tak tahu siapa dia, pangeran. Yang jelas tentu seorang lihai!"

"Kapan terjadinya...."

"Baru saja. Hamba mengejar namun orang itu sudah terlalu jauh. Cwan Ek baru memanggil hamba setelah dia roboh!"

"Goblok, kenapa diam saja. Tapi bukankah dia tadi bersama Hong Nio!"

"Benar, dan Hong Nio pingsan di dekat jendela. Barangkali paduka dapat bertanya apa dan bagaimana mula-mula peristiwa itu terjadi!"

Yauw Seng, yang berkelebat dan mengambil Hong Nio lalu menyadarkan wanita itu. Tapi begitu sadar Hong Nio malah menjerit histeris, berteriak-teriak. "Tidak.... tidak! Jangan serahkan hamba kepada si muka tengkorak itu, ongya. Jangan berikan hamba kepadanya. Hamba lebih baik melayani paduka. Atau hamba mati... aduh!"

Yauw Seng mencengkeram pundaknya, terkejut dan membentak wanita itu agar diam dan Tan-ongya membelalakkan mata. Dia kaget bagaimana Hong Nio tiba-tiba bicara seperti itu, Cwan Ek tidak lagi dianggapnya sebagai laki-laki cakap melainkan seorang bermuka tengkorak, berarti pengaruh guna-guna telah lenyap dan tentu saja pangeran itu tertegun. Namun ketika dia berseru agar wanita itu tenang, Cwan Ek tak ada di situ maka pangeran ini bertanya apa yang sebenarnya terjadi.

"Tak usah takut, tak usah gelisah. Cwan Ek tak ada di sini dan justeru ia ditangkap musuh. Ceritakan apa yang terjadi dan bagaimana tiba-tiba musuh itu datang, Hong Nio. Kau tak akan bersamanya lagi karena akan bersamaku."

"Hamba.... hamba tak tahu. Kamar waktu itu tiba-tiba padam dan dua kali angin berkesiur tajam!"

"Kau melihat laki-laki itu?"

"Tidak, mukanya tertutup topeng, ong-ya. Tapi jauh lebih baik daripada si muka tengkorak itu. Hamba disambarnya dan tahu-tahu sudah dibawa keluar kamar!"

"Hm, dan bagaimana dengan Cwan Ek?"

"Ia mengejar, sejenak berlompat-lompatan di atas pohon. Tapi ketika dua kali ia ditangkis dan terpelanting ke bawah maka hamba dilempar dan saat itulah hamba melihat siapa sesungguhnya si muka tengkorak itu. Paduka kejam memberikan hamba kepada seorang buruk rupa, tua bangka lagi!"

Hong Nio menangis dan menyalahkan Tan-ongya, mengguguk dan tersedu-sedu lagi dan selanjutnya wanita itu berkata bahwa ia tak tahu apa-apa lagi setelah dia pingsan. Wajah Cwan Ek terlalu mengerikannya. Berulang-ulang wanita ini menyesali Tan-ongya. Tapi ketika Tan-ongya terbelalak dan merah mukanya, hatinya tiba-tiba juga menjadi tak enak maka dia membentak menyuruh wanita itu masuk ke kamar.

"Cukup, baiklah. Tak usah menyalah-nyalahkan aku karena kau sendiri yang suka kepada kakek itu!" lalu memandang pembantunya bertanya bagaimana baiknya maka Yauw Seng justeru menyerahkan itu kepada tuannya.

"Hamba justeru menunggu perintah. Apa yang harus hamba lakukan dan bagaimana sekarang!"

"Baik, kalau begitu cari jahanam itu Yauw Seng. Kalau perlu kerahkan pengawal. Tapi hati-hati, aku khawatir orang itu adalah suruhan Wan-suma!"

"Tapi dia di tempat Thio-taijin!"

"Cari saja ke sana. Kalau perlu, bunuh Wan-suma!"

Laki-laki ini mengangguk. Dia sekarang dapat bekerja setelah ada perintah ini. Maka bergerak dan keluar dari tempat itu Yauw Seng pun mencari beberapa pengawal yang cukup berkepandaian, mereka adalah pembantu-pembantunya. Dan begitu bergerak dan menuju gedung Thio-taijin, tentu saja secara diam-diam maka di gedung itu Bong Cwan Ek sedang dikompres!

Waktu itu, berkelebat meninggalkan tempat Tan-ongya langsung saja Malaikat Api Buan Tiong Pek ini menuju tempat Thio-taijin. Dia telah mendapat gambar dari Yo-taijin tentang wajah si tukang teluh, tertegun dan langsung saja tahu bahwa itulah Hwee-long Bong Cwan Ek. Selama beberapa hari ini tentu saja dia sudah mendengar kabar tentang sakitnya Wan-thai-suma itu, acuh karena dia adalah pengawal pribadi kaisar bukannya pengawal atau pembantu Wan-thai-suma itu. Dan karena dia juga termasuk pengawal rahasia, tak boleh dia muncul atau memperlihatkan diri kepada sembarang orang maka tokoh ini cuek saja dan tidak perduli.

Dan baru setelah Yo-ongya menghadap kaisar dan minta tolong maka dia melaksanakan perintah tapi kaisar "disimpannya" dulu di balik ilmu saktinya seperti selimut sihir itu. Dan kini dia telah menangkap si biang penyakit. Dengan mudah dia meninggalkan Yauw Seng, dan Cwan Ek yang berada di bawah totokannya tak mungkin bisa melepaskan diri. Dan tepat malam itu dia menemui Yo-ongya maka sang pangeran tertegun melihat yang dibawa pengawal rahasia kaisar ini.

"Ah, tepat janji. Hebat! Kau datang setelah tak sabar kami menunggu-nunggu, Buan-enghiong (orang gagah Buan). Bagus sekali kau membawa tawananmu. Apakah ini tukang teluhnya!"

Hwe-sin Buan Tiong Pek mengangguk. Dia telah melepas topeng karetnya dan sang tawanan dibanting. Cwan Ek dibuka totokan urat gagunya dan si muka tengkorak itu terbelalak memandang tiga orang di situ, terutama Hwe-sin Si Malaikat Api yang ingin dikenal. Sudah sejak tadi ia ingin tahu siapa lawannya ini tapi baru sekarang dia tahu. Pengawal rahasia itu telah membuka wajahnya. Dan begitu ia tahu dan terpekik maka Hwee-long Bong Cwan Ek berteriak tertahan.

"Hwe-sin...!"

Laki-laki itu tersenyum dingin. la tidak memandang sebelah mata dan si tukang teluh seakan terbang semangatnya. Pantas ia roboh, kiranya lawannya adalah Malaikat Api, seorang amat sakti yang sudah puluhan tahun tak terdengar lagi namanya, kiranya bersembunyi di istana. Cwan Ek masih tak tahu bahwa lawannya itu adalah pelindung pribadi kaisar. Dan karena di situ ia berhadapan pula dengan Wan-thai-suma yang bersinar-sinar memandangnya, marah dan bengis maka laki-laki ini tiba-tiba menggigil dan menangis.

"Ampun... aku... aku tak tahu kau di sini, Buan-enghiong. Ampunkan aku dan jangan dibunuh!"

"Hm, terserah Wan-thai-suma. Kau telah membuat onar dan sepatutnya dihukum!"

"Aku hanya orang suruhan, aku bukan pelaku utama...."

"Bagus!" Yo-ongya membentak dan memasuki percakapan, orang sudah mulai mengaku sendiri. "Ini yang kami minta, manusia busuk. Tapi siapakah kau sebenarnya dan dari mana!"

"Ini Hwee-loong Bong Cwan Ek. la kutu busuk yang berdiam di Hutan Bangkai!"

"Srigala Kelabu? Aku pernah mendengar namamu, tapi tak sangka bahwa kau menyiksa adikku Wan-thai-suma sampai begitu. Hm, kau keji dan jahat sekali, orang she Bong. Katakan siapa yang menyuruhmu kalau ingin hidup. Atau nanti Buan-enghiong kusuruh menyiksamu sebelum dibunuh!"

Yo-ongya terkejut dan mendengar kata-kata Si malaikat Api tadi, marah dan membentak laki-laki ini dan Bong Cwan Ek ternyata menggigil hebat. Adanya lawan tangguh di situ membuat si muka tengkorak ini gentar. la ngeri dan pucat. Maka ketika ditanya dan ia tak akan dibunuh, kalau mengaku maka kontan saja ia menjawab.

"Hamba disuruh Tan-ongya, hamba hanya suruhan. Harap paduka ampunkan hamba karena sekarang hamba telah mengaku!"

Wan-thai-suma dan Yo-ongya terkejut, terutama Wan-suma itu. Karena meskipun ia sudah menduga dan kakaknya juga berkata begitu namun tak urung ia pucat dan berseru tertahan, mundur dan terhuyung memegangi kursi dan tampak betapa wajah Menteri pertama ini berubah-ubah. Ia terbelalak dan batuk-batuk, menggeram. Tapi ketika ia sadar dan marah, matanya berkilat penuh api maka Wan-thai-suma itu membentak dan maju mencengkeram. Hwe-sin Buan Tiong Pek tiba-tiba berkelebat menghilang.

"Orang she Bong, kau tak melempar fitnah atau kata-kata busuk di sini? Kau berani aku adu dengan kakakku?"

"Silahkan... asal hamba mendapat kebebasan tentu hamba berani diadu, Wan-suma, Kenapa tidak. Kakak paduka itulah yang mencari dan menyuruh hamba membunuh paduka!"

Wan-thai-suma melepaskan cengkeramannya. Dia menggigil dan berkerot-kerot dan sekarang percayalah dia bahwa kakaknya itulah yang hendak membunuhnya. Ini tentu gara-gara kedudukan thai-suma itu. Betapa kejinya. Namun ketika ia gemeretuk dan tinggal membawa Bong Cwan Ek ini menghadap kakaknya, diadu, maka saat itulah berkelebat beberapa bayangan dan Yauw Seng muncul, mengenakan kedok.

"Cwan Ek, kau pengkhianat!"

Si muka tengkorak terkejut. Ia tiba-tiba heran tak melihat Malaikat Api di situ. Namun begitu ia mengenal suara temannya dan saat itu ia masih tertotok, hanya urat gagunya saja yang dibuka maka serangan Yauw Seng ini amat mengejutkan. Dan saat itu enam bayangan lain juga bermunculan dan menyerangnya!

"Heiiii...!"

Wan-thai-suma dan Yo-ongya terkejut. Mereka adalah pembesar-pembesar tinggi dan masuknya orang-orang ini sungguh membuat kaget. Heran dan terkejutlah mereka kenapa para penjaga di luar tak mengetahui. Lebih heran dan kaget lagi karena baru sekaranglah mereka tahu bahwa Hwe-sin Buan Tiong Pek pun tak ada di situ! Tapi ketika mereka mundur dan siap berlindung di balik dinding, mungkin saja giliran mereka tiba mendadak berkesiur angin dingin dan Malaikat Api itu muncul dengan topeng karetnya.

"Yauw Seng, kau anjing buduk tak tahu malu!"

Yauw Seng terkejut. Saat itu dia sudah menghantam kepala temannya ini karena tak mau Cwan Ek membuka rahasia di depan Tan-ongya. Si muka tengkorak itu dalam keadaan tertotok dan mudah baginya membunuh. Dan karena enam temannya yang lain juga menyusul dan kematian si muka tengkorak ini tak mungkin dihindari, Yauw Seng telah mendengar percakapan itu dan itulah sebabnya Malaikat Api menghilang, datang dan muncul lagi dengan wajah yang lain maka suara dingin disertai angin dingin itu membuat Yauw Seng terkejut.

Pukulannya menyambar kepala Cwan Ek namun saat itu juga tertahan di udara. Dan ketika ia terpekik karena pukulannya membalik, begitu cepatnya maka saat itu enam yang lain juga Menjerit dan terpelanting tak Karuan karena senjata-senjata mereka mental dan tertolak oleh hawa pukulan dingin ini.

"Plak-plak-desss....!"

Enam orang itu roboh pingsan. Mereka juga mengenakan kedok-kedok hitam dan tinggal Yauw Seng yang membanting tubuh bergulingan ini. Di situ telah berdiri si bertopeng karet itu, laki-laki yang kiranya menangkap Cwan Ek dan kini muncul kembali, padahal tadi tak ada! Dan karena Yauw Seng tak mengenal siapa lawannya ini dan robohnya enam kawannya justeru membuat dia marah, dia dan kawan-kawannya bakal ketahuan maka laki-laki itu melompat bangun dan begitu ia melengking maka tujuh pisaunya menyambar terbang.

"Hmm...!" dengus atau seruan Buan Tiong Pek ini membelalakkan Yauw Seng. Lawan tidak mengelak namun meniup. Tapi begitu pisau-pisaunya runtuh maka laki-laki ini terkejut dan mencabut gelang-gelang besinya, sama seperti mendiang suhengnya dulu.

"Manusia siluman, siapa kau!"

Malaikat Api Buan Tiong Pek tertawa dingin. Sekarang ia mundur selangkah dan ketika gelang besi lewat di atas kepala tiba-tiba kakinya menendang. Yauw Seng terkejut dan mengangkat lututnya pula, menangkis. Tapi ketika ia terbanting dan menjerit keras, kesakitan, maka lawan menudingkan telunjuknya dan dua sinar api menyambar dahinya, cepat.

"Cret!" Yauw Seng terjengkang dan tak dapat bangkit berdiri. Ia berteriak dan gelang besi pun lepas. Hwe-sin berkelebat dan menghadiahinya lagi dengan totokan di belakang telinga. Dan ketika Yauw Seng mengeluh dan tidak dapat bergerak lagi, sama seperti Cwan Ek maka tutup mukanya direnggut dan tertegunlah Yo-ongya maupun Wan-thai-suma melihat siapa laki-laki ini, yang bukan lain adalah pembantu pangeran Tan.

"Nah, lihat, Wan-suma. Bukti apalagi yang harus dipegang kalau sudah begini!"

Menteri Wan itu terbelalak. Mukanya merah terbakar dan seketika ia menjadi marah sekali. Dari kejadian ini tahulah dia bahwa kakaknya hendak menyuruh bunuh Bong Cwan Ek, jadi akan menghilangkan jejak. Tapi ketika Yauw Seng malah roboh dan bukti-bukti dirasa cukup maka enam yang pingsan dibuka tutup mukanya pula dan mereka adalah juga pembantu-pembantu kakaknya.

"Keji, tak berperikemanusiaan. Panggil Tan-ongya dan sekarang juga kutanya dia!"

"Nanti dulu," Thio-taijin tiba-tiba muncul, kini Kepala Agama itu campur tangan lagi. "Urusan begini sebaiknya diputuskan di hadapan sri baginda, Wan-suma. Biarlah sri baginda yang memanggilnya dan tentu dia tak berkutik. Serahkan urusan ini kepada baginda biar diputuskan di sana saja, secara tertutup!"

Wan-suma tertegun. la sadar dan ingat itu dan ditekannya kemarahannya kuat-kuat. Kalau menurutkan emosi mau rasanya ia melabrak dan mencabik-cabik kakaknya itu. Terlalu keji kakaknya itu! Tapi menyadari urusan ini tak boleh lepas dari kaisar, mereka semua adalah kerabat istana maka Wan-suma mengangguk dan segera menghadap sri baginda.

Yauw Seng dan semua tawanan dibawa. Delapan orang ini mengejutkan kaisar yang sedang bercengkerama, selir-selir diusir dan duduklah sri baginda mendengar laporan Wan-thai-suma. Dan karena Thio-taijin juga mengantar dan Kepala Agama itu tampak muram, kaisar berdetak maka terbelalak serta merahlah wajah kaisar mendengar semuanya ini. Dan atas perintah kaisar maka malam itu juga Tan-ongya dipanggil.

"Bawa dia ke sini. Cepat. Katakan bahwa aku yang memanggilnya sendiri tapi sembunyikan dulu semua saksi-saksi ini!"

Tan-ongya terkejut. Malam itu dia dipanggil dan utusan kaisar datang menghadap. Dua jam ini dia mondar-mandir di kamar dan menanti datangnya Yauw Seng. Dan ketika yang datang bukanlah pembantunya melainkan utusan kaisar, jantungnya seakan terlompat maka dinginlah wajah sang pangeran mendengar panggilan itu. Darah tiba-tiba serasa beku.

"Paduka diminta datang menghadap sekarang juga. Sri baginda menunggu di ruang dalam."

Hati Tan-ongya berdebar. Sesuatu yang tidak enak mengganggunya. Dia merasa akan menghadapi bahaya. Namun karena orang-orang kepercayaannya tak ada disitu, mau tak mau ia hanya membawa pengawal-pengawal biasa saja maka di ruang dalam ia sudah ditunggu kaisar dan juga Wan-thai-suma, adiknya. Semua marah....!