X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Rajawali Merah Jilid 22

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Rambut Emas Episode Rajawali Merah Jilid 22 Karya Batara

RAJAWALI MERAH
JILID 22
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Rambut Emas Karya Batara
“SAN TEK, lepaskan. anak-isteriku!”

San Tek, si gila itu tertawa bergelak. Ia mendengar sambaran angin pukulan ini dan melepas Shintala. Angin pukulan itu dahsyat dan iapun tak boleh main-main. Dan ketika ia membalik dan menangkis pukulan itu, Pendekar Rambut Emas telah berkelebat dan menyerang pemuda ini maka dua pukulan keras beradu dan menggetarkan lembah.

“Dess!” Baju dan lengan baju Pendekar Rambut Emas terbakar. Pendekar itu telah kembali ke wadagnya lagi begitu melihat kejadian di bawah, anak isterinya tertangkap sementara menantunya pun sudah tak sadarkan diri. Maka meluncur dan masuk lagi ke badan kasarnya, bahaya mengancam di bawah maka pendekar ini telah bergerak dan menyerang pemuda itu.

Namun bukan main kagetnya pendekar ini. Dia yang telah mengerahkan tenaga dingin untuk melawan pengaruh panas itu masih juga terbakar dan kalah kuat. Baju dan lengan bajunya terbakar. Dan ketika pendekar itu terlempar dan berjungki balik ke atas, mengebut padam api yang membakar lengan bajunya maka pendekar ini berseru keras melayang turun. Shintala dibentak agar mundur.

“Ha-ha, ini Pendekar Rambut Emas. Hayo, maju dan kubunuh kau. Mana Tha Liong pemuda keparat itu!”

“Hm!” Kim-mou-eng tertegun dan berubah pandangannya. “Kau dari mana, San Tek. Ada apa datang ke sini dan membuat ribut. Lepaskan anak isteriku atau aku menghajarmu!”

“Ha-ha, akulah yang menghajarmu. Ayo, maju dan kupukul mampus!” dan San Tek yang berkelebat dan kini mendahului lawannya tiba-tiba mencengkeram dan mengeluarkan ilmunya yang dahsyat itu, Im-kan-thai-lek-kang dan menyambarlah hawa panas disertai api berpijar-pijar. Tubuh pemuda ini sudah merah membara dan setiap gerakan tangannya akan memercikkan bunga-bunga api ke sana ke mari.

Pendekar Rambut Emas terkejut dan menangkis. Tapi ketika terdengar benturan keras dan untuk kedua kalinya lagi ia terlempar, Khi-bal-sin-kang bertemu tenaga dahsyat yang membentur dan menolak balik maka pendekar itu kaget dan terlempar tinggi ke atas.

“Dess!” Pendekar Rambut Emas berseru tertahan. Untuk kedua kalinya lagi ia terpental dan terpukul kalah kuat, pemuda itu tertawa-tawa dan sudah memburunya lagi. Dan ketika api berhamburan ke sana-sini dan hawa panas menyambar pendekar itu maka Pendekar Rambut Emas mengelak dan berkelit ke sana ke mari, menangkis dan mengeluarkan pukulan-pukulannya yang bermacam-macam tapi semua itu bertemu Im-kan-thai-lek-kang yang dahsyat.

Lui-ciang-hoat, pukulannya yang biasanya diandalkan ternyata masih kalah hebat dan panas oleh Im-kan-thai-lek-kang yang dipunyai pemuda itu. Dan ketika San Tek bergerak maju mundur dan pemuda itu seolah menari-nari dengan tiga beban di pundak, betapa hebatnya maka Kim-mou-eng atau Pendekar Rambut Emas terdesak dan kewalahan oleh angin pukulan si pemuda yang selalu menghamburkan kembang-kembang api itu.

“Ha-ha, kau tak dapat mengalahkan aku, Kim-mou-eng. Dan aku akan membalas kematian guruku yang terbunuh!”

“Hm, kau tak dapat mengalahkan aku pula!” sang pendekar membentak dan berkelebatan dengan Jing-sian-engnya. “Kau memang hebat tapi belum dapat merobohkan aku, San Tek. Dan dari mana kau dapat selihai ini!”

“Aku berlatih sendiri. Ha-ha, Im-kan-thai-lek-kang akan membuatku menjadi orang nomor satu di dunia. Awas!” dan si gila yang berteriak dan menubruk lawan tiba-tiba dikelit ke kiri dan pukulannya menghantam batu gunung. Batu itu pecah dan seketika menjadi bara api, berkobar dan menjilat-jilat tinggi ke atas.

Dan ketika Pendekar Rambut Emas terkejut karena pemuda itu kini melepas pukulan yang jatuh ke mana saja, dia terpaksa berkelit dan menghindar ke sana-sini maka Lembah Malaikat tiba-tiba menjadi lembah neraka karena di mana-mana api tiba-tiba berkobar, kering dan menyala oleh hebatnya Im-kan-thai-lek-kang yang dipunyai pemuda itu.

“San Tek!” Pendekar Rambut Emas terkejut dan marah sekali. “Ini adalah tempat suci yang menjadi tempat tinggal Sian-su. Hentikan pukulan apimu atau kukembalikan kepadamu nanti!”

“Ha-ha, kembalikan kalau bisa, Pendekar Rambut Emas. Dan coba lakukan itu kalau kau mampu. Aku tak perduli siapa itu Sian-su dan apakah ini tempat tinggalnya atau bukan!”

“Ah, kalau begitu aku akan memberimu pelajaran... wut!” dan Pendekar Rambut Emas yang lenyap mengeluarkan ilmunya tiba-tiba telah berubah menjadi segulung asap putih yang tak dapat lagi diserang pemuda itu.

San Tek tertegun karena lawan telah berubah menjadi badan halus, Pendekar Rambut Emas mengeluarkan Pek-sian-sutnya, ilmu yang dulu menundukkan Hek-kwi-sut yang dimiliki mendiang See-ong. Dan ketika pemuda itu tertegun karena lawan menghilang tak diketahui di mana maka asap putih itu tiba-tiba menyambar di belakangnya dan telaklah sebuah pukulan menghantam tengkuk pemuda ini.

“Dess!” Kim-mou-eng mempergunakan kesaktiannya yang lain. Dia merasa tak sanggup berhadapan secara fisik dengan pemuda itu, San Tek benar-benar lihai dengan Im-kan-thai-lek-kangnya. Dan ketika dia lenyap mempergunakan Pek-sian-sutnya, ilmu sihir putih maka pemuda itu dihantamnya dari belakang, kena dan San Tek terpelanting namun pemuda itu terkekeh-kekeh bangun berdiri.

Pukulannya yang dahsyat tadi tak berpengaruh apa-apa dan San Tek tak roboh, bangkit dan kini memutar-mutar tubuhnya untuk mencari dirinya. Dan ketika pendekar itu tertegun namun berkelebat lagi ke belakang, menghantam dan tiga kali berturut-turut melepas pukulan maka tiga kali itu pula pemuda ini tersungkur namun bangkit berdiri lagi.

“Ha-ha, ayo pukul dan pukul lagi, Kim-mou-eng. Ayo pukul lebih keras dan lihat hebatnya Im-kan-thai-lek-kangku!”

Sang pendekar terbelalak. San Tek mengejeknya dengan tawa terbahak-bahak dan pemuda itu terhuyung bangkit berdiri. Pukulan terakhir amatlah keras namun pemuda itu tak apa-apa, meskipun merasa nanar dan sedikit pusing. Dan ketika pemuda itu melempar-lempar kepalanya membuang pening, lawan terkejut di balik sihirnya maka pemuda itu tiba-tiba melihat bayangan lawan.

“Ha, ini Pendekar Rambut Emas yang pengecut!”

Pendekar Rambut Emas mengelak. Ia cepat melesat ke kiri ketika tangan pemuda itu menubruk, hampir saja kena dan hancurlah sebatang pohon dicengkeram pemuda itu. Dan ketika pohon ini roboh sementara pemuda itu terbahak-bahak, pohon itupun terbakar dan menyala menjilat-jilat maka San Tek berputaran dengan mata liar, mencari-cari lawannya itu.

“Ayo... ayo Pendekar Rambut Emas, Ayo serang dan pukul lagi, Bagus sekali sikapmu ini. Ha-ha, seorang pendekar berbuat curang!”

Pendekar Rambut Emas tak jadi menyerang. Ia malu dan tersipu dikatakan seperti itu, bergerak ke sana ke mari dengan Pek-sian-sutnya namun selalu mengurungkan niat kalau hendak memukul. Pendekar ini bingung. Namun ketika Lembah Malaikat semakin berkobar dan San Tek melampiaskan marahnya dengan memukul apa saja, lawan tak dapat dilihat karena bersembunyi di balik ilmu sihir maka berkelebat bayangan merah dan tahu-tahu Thai Liong telah menggantikan ayahnya, menyambar dan menotok si gila itu.

“San Tek, kau memang hebat. Tapi ini bukan tempat main-main untukmu!”

San Tek terkejut. Ia sedang melampiaskan marahnya dengan melepas pukulan-pukulan api ke lembah itu, yang terbakar dan menyala menjilat-jilat dibakar Im-kan-thai-lek-kangnya. Tapi begitu Thai Liong bergerak dan menyerangnya, bunyi mencreces mengejutkan pemuda itu maka San Tek membalik dan gelegar yang amat dahsyat membuat pemuda itu terpental.

“Dess!” San Tek terlempar dan menjerit keras. Ia menerima pukulan dingin yang dilancarkan lawan dan tiba-tiba api di tubuh pemuda itu padam. Thai Liong mempergunakan tenaga Im-nya untuk melawan tenaga Yang, berhasil namun si gila sudah berteriak dan bergulingan meloncat bangun. Dan ketika Thai Liong muncul di situ dengan pakaian berkibar-kibar, pemuda itu mengeluarkan tenaga saktinya untuk menghembus semua hawa panas maka api yang menyala di tempat itu tertiup dan padam seketika oleh kibaran jubah atau pakaian pemuda ini.

“Augh, keparat...!” si gila meraung dan menggebrakkan kedua tangannya. “Kau dapat memadamkan api di sini namun tak dapat memadamkan api di tubuhku, Thai Liong. Lihat dan saksikan Im-kan-thai-lek-kangku.... blarr!” dan api yang kembali menyala dan berkobar di tubuh pemuda itu tiba-tiba disusul oleh kibasan atau dorongan pemuda itu ke kiri kanan. San Tek membakar lagi lembah itu dengan percikan-percikan bunga api yang ada di tubuhnya, karena tubuhnya tiba-tiba menjadi merah dan marong terbakar. Tapi ketika Thai Liong membentak dan mengibaskan lengan jubahnya lagi, yang berkibar dan meniup kencang maka api itu padam lagi dan San Tek melengking.

“Ces-cess!”

Api itu berjatuhan seperti ditimpa benda dingin. San Tek berteriak tapi Thai Liong kembali mengebutkan jubah merahnya itu, memadamkan percikan api yang menyambar dan kembali hendak membakar lembah. Dan ketika tujuh kali si gila gagal dan tujuh kali itu pula Thai Liong membentak dan mengeluarkan kesaktiannya, San Tek benar-benar berbahaya maka pemuda itu memekik dan menerjang Thai Liong.

“Bocah she Kim, kau keparat jahanam!"

Thai Liong mengerutkan kening. Ia melihat kemarahan lawannya itu dan cepat menangkis. Segumpal bola api yang membara menerjangnya bagai gunung meletus. Im-kan-thai-lek-kang menghantam depan. Dan ketika terdengar ledakan untuk kesekian kalinya lagi dan Thai Liong terpental, San Tek terlempar dan tertawa terbahak-bahak maka bola api itu sudah menerjang lagi dan Thai Liong tiba-tiba berseru kepada ayahnya agar menangkap atau menyelamatkan adik dan ibunya, juga Siang Le.

“Ayah, bocah ini tak waras. Ia dapat membunuh ibu atau Eng-moi. Awas ia kukecoh dan cepat sambar Eng-moi dan ibu. Aku menyambar Siang Le!”

Pendekar Rambut Emas terbelalak. Ia sudah melihat San Tek berubah menjadi gundukan api yang menerjang puteranya. Thai Liong telah memadamkan api itu namun Im-kan-thai-lek-kang terlalu kuat, muncul dan berkobar lagi hingga Thai Liongpun gagal menembus intinya. Dan ketika pemuda itu berseru dengan Coan-im-jip-bit atau ilmu mengirim suara dari jauh, tak terdengar San Tek maka Thai Liong berkelebat dan tiba-tiba lenyap mempergunakan Beng-tau-sin-jinnya.

“Slap!”

Si gila memekik. Ia kehilangan lawan dan kini bergeraklah Thai Liong di belakang pemuda itu, menampar atau menotok dan San Tek berteriak karena totokan atau tamparan Thai Liong sungguh jauh dibanding ayahnya. Totokan pemuda itu membuatnya tergetar dan saat itu juga tiga orang di atas pundak pemuda itu terlepas. Dan ketika Thai Liong muncul lagi dan menampar telinga maka San Tek terbanting dan tiga orang yang terlempar dari pundak pemuda ini sudah diterbangkan Thai Liong ke ayahnya.

“Ayah, tangkap!”

Pendekar Rambut Emas girang. Ia harus mengakui bahwa puteranya ini lebih hebat darinya. Thai Liong memiliki tenaga sakti lebih kuat dan karena itu pemuda itu dapat menghadapi lawannya lebih baik. Hawa panas dari Im-kan-thai-lek-kang dapat dihadapi sementara dia tidak, terbukti Thai Liong dapat meniup padam dan baju puteranya itupun tidak terbakar. Dan ketika ia bergerak dan menangkap tiga tubuh itu, isteri dan anak serta menantunya maka San Tek berteriak panjang dan menerjangnya.

“Serahkan mereka kepadaku!”

Namun Thai Liong bergerak melindungi sang ayah. San Tek terlalu hebat dan tak boleh ibu dan adiknya itu terampas kembali. Maka ketika ia membentak dan menggerakkan lengannya menangkis, Im-kan-thai-lek-kang bertemu tenaga Sin-tiau-kang (Tenaga Rajawali Sakti) maka lembah tergetar dan Pendekar Rambut Emas terlempar oleh suara benturan itu.

“Dukk!” San Tek marah-marah dan menerjang Thai Liong. Sekarang ia tidak memperdulikan Pendekar Rambut Emas karena seluruh kemarahannya tertumpah kepada pemuda ini. Thai Liong berkelit dan segera mengeluarkan Ang-tiauw-sin-kunnya, silat Rajawali Sakti. Dan ketika pemuda itu bergerak-gerak dan lawan menghantam atau melepas serangan Im-kan-thai-lek-kang suaranya dahsyat dengan api yang berkobar-kobar maka dua pemuda itu segera bertanding dengan San Tek sebagai pendesak.

Putera San-ciangkun yang lemah dan tak seberapa pandai itu medadak kini sudah menjadi manusia luar biasa. Ia mendengus-dengus dan dari dengusan inipun keluar asap atau api, menyambar dan ikut menyerang Thai Liong. Dan ketika pemuda itu merah terbakar dan sebentar kemudian mandi keringat, keringat yang panas dan memercik ke sana-sini maka keringat itupun lalu menjadi butiran-butiran api yang menyambar dan berpeletikan menghajar Thai Liong.

“Bukan main!” Pendekar Rambut Emas memuji dan ngeri, takjub. “Lawanmu itu benar-benar hebat sekali, Liong-ji. Awas dan jangan lengah!”

“Aku tahu,” Thai Liong juga kagum dan berseru dari jauh. “Pemuda ini benar-benar telah menguasai Im-kan-thai-lek-kang, ayah. Dan aku khawatir bahwa tak apa-apa biarpun dipukul. Tenaganya itu lebih hebat dari Khi-bal-sin-kang!”

“Ha-ha, kau tak akan menang!” San Tek sesumbar dengan wajah beringas. “Im-kan-thai-lek-kangku sanggup menghanguskan bumi ini, Thai Liong. Dan kau akan kupanggang hangus!”

Thai Liong mengelak dan melesat jauh. Lawan melontarkan pukulan api dan Im-kan-thai-lek-kang meledak di samping tubuhnya, pecah menjadi gundukan api yang menyambar atau membakar tempat itu. Tapi ketika Thai Liong mengibas dan angin pukulan kuat meniup padam api itu, San Tek berteriak dan gusar oleh perbuatan lawannya maka pemuda itu menerjang lagi dan Thai Liongpun sibuk mengebut atau memadamkan api-api baru.

“Ha-ha, ayo bertanding dan lihat kesaktianku, Thai Liong. Keluarkan semua ilmumu dan lihat siapa yang menang!”

Thai Liong bingung. Ia menghilang dan berkelebatan di balik Beng-tau-sin-jinnya namun harus selalu keluar dan mengebut padam pukulan-pukulan Im-kan-thai lek-kang. Percikan keringat api atau asap yang keluar dari hidung San Tek amatlah berbahaya bagi sekitar. Butiran keringat atau asap yang keluar dari dengus pemuda itu sungguh berbahaya bagi Lembah Malaikat. San Tek benar-benar luar biasa. Dan ketika dia terus berkelebatan sementara San Tek berteriak-teriak karena dengus atau api keringatnya selalu dipadamkan lawan, Thai Liong sedikit demi sedikit mengebut api yang berkobar di lembah maka tinggallah dua pemuda itu bertanding mengandalkan inti ilmunya masing-masing.

Thai Liong bergerak dengan Beng-tau-sin-jinnya sementara lawan bergerak dengan pukulan-pukulan Im-kan-thai-lek-kangnya, masing-masing sama hebat namun masing-masing tak dapat mengalahkan yang lain. San Tek tak dapat mengikuti gerakan lawan di balik Beng-tau-sin-jin yang amat luar biasa itu, sedangkan Thai Liong tak mampu menghembus padam inti bola api yang membungkus lawannya itu. Dan karena Thai Liong hanya mampu meniup padam api yang menjalar sekitar, tidak atau bukan Im-kan-thai-lek-kang itu sendiri maka masing-masing bertanding imbang dan San Tek terbahak-bahak.

“Ha-ha, ayo Thai Liong. Mana kesaktianmu yang lain dan bagaimana kau merobohkan aku!”

“Hm,” Thai Liong terkejut, mengerutkan kening. “Kau memang luar biasa, San Tek. Tapi kaupun tak dapat merobohkan aku!”

“Kau curang. Kau bersembunyi di balik Beng-tau-sin-jin!”

“Hm, kaupun murid Poan-kwi. Kau tentu memiliki Hek-kwi-sut pula...”

“Ah, benar. Kau mengingatkan aku, Thai Liong. Ha-ha, sekarang aku ingat.... blar!” dan api yang menjilat tinggi oleh tepukan si gila tiba-tiba disusul gulungan hitam yang menyambar ke atas. San Tek ingat itu dan pemuda inipun segera mengeluarkan Hek-kwi-sutnya. Dan ketika ia hilang dan terbahak di balik asap hitam, api tak terlihat lagi di tempat pemuda itu berdiri maka Thai Liong tersenyum dan melihat lawannya itu sama-sama mempergunakan badan halus. San Tek telah melihatnya pula.

"San Tek, kau memang hebat!”

Si gila terkekeh. Ia menyambut ketika Thai Liong melepas pukulan Sin-tiauw-kang, meledak dan membuat keduanya terpental tapi San Tek terkejut karena Im-kan-thai-lek-kangnya, tak dapat digunakan di sini. Ia tak sadar bahwa api tak mudah menyala di tempat dingin, padahal Hek-kwi-sutnya itu mengandung hawa dingin, karena ilmu hitam selamanya berlindung di tempat-tempat dingin atau gelap. Dan ketika ia terpekik karena Sin-tiauw-kang menghantamnya dahsyat, Im-kan-thai-lek-kang yang dipunyai tak mau jalan maka pemuda itu terlempar dan Thai Liong menjadi girang karena jalan keluar tiba-tiba ditemukan.

“Nah, roboh kau sekarang, San Tek. Im-kan-thai-lek-kangmu macet!”

Si gila menjerit. Ia terbanting dan terguling-guling lagi oleh pukulan Thai Liong, berteriak dan melempar tubuh menghindari serangan Thai Liong yang lain. Dan karena jelek-jelek ia adalah bekas putera San-ciangkun yang cerdik dan tahu keadaan, meskipun gila namun pemuda ini dapat juga berpikir baik maka San Tek melepas Hek-kwi-sutnya dan kembalilah ke alam asal, dunia kasarnya.

“Blar!”

Thai Liong kecewa dan kagum juga. Ia mengejar dan telah siap merobohkan lawannya ini dalam satu kebutan kuat, ia akan menangkap dan “membungkus” si gila itu ke dalam jubahnya. Tapi ketika San Tek melepas Hek-kwi-sutnya dan tentu saja ia gagal, pemuda telah kembali ke badan kasar dan mengelak pukulannya maka pemuda itu memaki-maki dan kini mampu mengeluarkan Im-kan-thai-lek-kangnya lagi.

“Keparat, kau licik, Thai Liong. Kau menipu aku!”

“Hm, aku tak menipumu. Kalau kau roboh maka itu adalah kebodohanmu sendiri. Hayo, hadapi aku dan jangan banyak , bicara lagi, San Tek. Terimalah dan kita keluar dari Lembah Malaikat!”

Pemuda itu marah-marah. Ia sekarang menyambut pukulan Thai Liong dengan Im-kan-thai-lek-kangnya, menggelegar dan Thai Liong terlempar oleh tenaga tolak lawan. Dan ketika San Tek terbahak-bahak menemukan kekuatannya kembali, tak berani lagi mengeluarkan Hek-kwi-sut maka Thai Liong kerepotan membujuk lawannya ini, menampar dan memukul namun Im-kan-thai-lek-kang terlalu kuat.

San Tek jatuh bangun namun berdiri lagi dengan tegar, pemuda itu benar-benar luar biasa. Dan karena San Tek juga tak dapat merobohkannya karena Beng-tau-sin-jin selalu melindunginya, keadaan berimbang dan sama-sama kuat maka sehari semalam dua pemuda itu menghabiskan waktunya hingga Pendekar Rambut Emas tertegun dan menjublak.

Pendekar ini akhirnya melihat bahwe San Tek memiliki tingkat yang sama dengan puteranya. Thai Liong tak dapat mengalahkan pemuda itu sementara San Tek pun tak dapat mengalahkan puteranya, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya. Dan ketika pertempuran berjalan lebih lambat, masing-masing mulai lelah maka San Tek berputar-putar bola matanya dan tiba-tiba melihat tubuh Beng An yang masih menggeletak di situ, tubuh yang kaku dingin dan berwarna putih, seperti salju. Si gila ini menyeringai dan tiba-tiba tertarik. Ia heran bagaimana anak laki-laki itu seperti bongkahan es, dingin dan beku.

Dan karena ia marah kepada Thai Liong yang belum juga dapat dirobohkannya, kesal dan marahnya meledak tiba-tiba ia ingin membalas kepada tubuh yang membujur kaku itu. Thai Liong maupun ayahnya tak melihat kilatan buas yang ada pada pandang mata pemuda itu, malam telah berganti pagi dan Thai Liong juga kesal menghadapi lawannya ini. Mereka sama kuat! Dan ketika Thai Liong mulai geram mengelak pukulan lawan, San Tek membalik dan tertawa aneh tiba-tiba pemuda itu mengayun dan melepas Im-kan-thai-lek-kang ke arah tubuh Beng An.

“Ha-ha, tak dapat membunuhmu biarlah membunuh adikmu, Thai Liong. Kau pemuda keparat yang tak berani berdepan secara jantan!”

Thai Liong terkejut. Ia baru saja melempar tubuh ke atas ketika Im-kan-thai-lek-kang meledak di bawah kakinya, mengobarkan api namun ia cepat mengebut padam api itu. Sudah ratusan kali ia melakukan ini hingga lembah selamat dari amukan Im-kan-thai-lek-kang. Tapi begitu lawan menyerang dan menujukan Im-kan-thai-lek-kangnya kepada adiknya, yang masih membujur dan kaku di sana maka pemuda itu terkejut, juga ayahnya yang berteriak tak menyangka.

“Heiii...!”

Namun pukulan sudah menyambar. San Tek terkekeh-kekeh karena Im-kan-thai-lek-kang menghantam tubuh Beng An yang kaku, tak menghiraukan atau melihat bayangan Pendekar Rambut Emas yang menyambar tubuhnya, membentak dan melepas pit hitam yang menjadi senjata pamungkas paling akhir. Dan ketika Thai Liong juga membentak dan melepas pukulan jarak jauh, Sin-tiauw-kang yang amat dahsyat maka tiga pukulan itu berbareng hampir susul-menyusul mengenai sasarannya.

“Des-des-dess!”

Beng An terangkat dan terbanting keras. Anak laki-laki yang mendapat pukulan Im-kan-thai-lek-kang itu terlempar dan seketika dijilat nyala api, terbakar tapi San Tek juga menerima dua pukulan Pendekar Rambut Emas dan Thai Liong. Dua orang itu kaget karena San Tek melepas pukulan maut ke arah Beng An padahal Beng An masih dalam penyakitnya yang aneh. Dan ketika mereka menyerang dan San Tek terpekik mencelat tinggi, terlempar oleh pukulan Thai Liong yang dahsyat dan juga pit hitam yang menancap di lehernya, Pendekar Rambut Emas mengerahkan semua tenaga untuk melontar senjata mautnya itu maka San Tek terbanting dan tiba-tiba melontakkan darah.

“Bruk-huaak...!” si gila itu mengeluh dan mengaduh sejenak. Ia terluka oleh pukulan Thai Liong dan juga pit hitam. Serangan dua orang itu tak dapat diterimanya dan barulah si gila gentar. Seorang lawan seorang dia sanggup tapi kalau ayah dan anak maju berbareng tiba-tiba saja dia tak kuat.

Pendekar Rambut Emas terpaksa melakukan serangannya karena San Tek membahayakan puteranya, Beng An yang masih membujur kaku di sana. Dan ketika si gila itu menyeringai dan kesakitan, terbatuk dan mencabut pit yang menancap di lehernya maka darah mengucur dan pemuda itu terhuyung-huyung bangkit berdiri. Thai Liong dan ayahnya berkelebat ke arah Beng An.

“Heh-heh, hebat kalian, Pendekar Rambut Emas. Pukulan dan pit hitammu telah melukai aku. Ugh, kalian licik, curang dan pengecut. Biarlah lain kali kita bertemu lagi dan akan kubunuh kalian!”

Pendekar Rambut Emas dan Thai Liong tidak menghiraukan si gila ini. Mereka telah membungkuk dan memeriksa Beng An, nyala api yang menyambar anak ini tiba-tiba padam karena bertemu gumpalan es di tubuh Beng An. Anak itu terbungkus hawa dingin yang kuat dan Im-kan-thai-lek-kang ternyata tak mampu membinasakannya. Bahkan, Kim-mou-eng maupun Thai Liong tiba-tiba tertegun dan terkejut melihat Beng An menggeliat dan mengeluh.

Dan ketika anak itu membuka mata dan tampaklah keajaiban luar biasa, tubuh Beng An sebelah kiri putih sementara yang kanan kemerah-merahan, anak itu bangkit dan duduk maka Beng An yang selama berhari-hari ini pingsan mendadak sadar dan bola matanya berputar memandang ayah dan kakaknya itu. Bola mata yang ganjil namun menunjukkan bahwa ada kesembuhan yang sudah terjadi, meskipun belum total!

“Beng An, kau sadar? Ah, kau tidak apa-apa?”

Aneh, anak itu tersenyum. Dan ketika ayah maupun kakaknya tertegun, heran, mendadak anak itu tertawa dan berkelebat melarikan diri. “Hi-hik, siapa membuat tubuhku sebelah kanan panas dan gatal-gatal begini? Ufh, aku ingin berendam. Ah, panas dan dingin!”

“Beng An!” Pendekar Rambut Emas terkejut dan mengejar, tentu saja kaget. “Kau mau ke mana? Heii, ini aku dan kakakmu!”

Namun Beng An tidak perduli. Ia tertawa dan terus melarikan diri, melihat sebuah sungai dan tiba-tiba mencebur. Dan ketika ia tertawa-tawa namun mendesis mengusap tubuhnya sebelah kiri yang dingin, ia meloncat dan lari lagi maka anak itu seperti orang kebingungan mencari-cari api.

“Aih, aku kedinginan. Tubuhku sebelah kiri dingin. Api..., aku ingin sumber panas!”

Kim-mou-eng menjublak. Ia melihat puteranya akhirnya berlari ke sana ke mari mencari-cari api. Bekas pohon-pohon yang terbakar tiba-tiba disambar dan bara apinya diusap-usapkan ke tubuh bagian kiri, Beng An menggigil dan mendesis-desis menahan dingin yang hebat. Dan ketika api itu mencreces dan padam bertemu tubuh sebelah kirinya yang putih dingin, Beng An masih terpengaruh oleh Ping-im-kang yang kuat maka anak itu membanting baranya yang padam bertemu tubuhnya yang dingin seperti es, beku!

“Sial... sial. Aku ingin sumber panas dan jangan buat aku kedinginan. Heii, mana api yang lain dan buatkan aku api unggun!”

Pendekar Rambut Emas terbelalak. Thai Liong di sana juga terkesima karena adiknya itu tiba-tiba berlari ke sana ke mari menyambar setiap bara api dari pohon-pohon yang terbakar oleh pukulan Im-kan-thai-lek-kang, menggosok-gosok dan mengusapnya kuat-kuat ke tubuh bagian sebelah kiri. Memang tubuh itulah yang kedinginan namun Beng An selalu berteriak kecewa karena setiap bara api digosokkan maka bara itu padam kemudian. Bara itu kalah oleh hawa dingin luar biasa yang menghuni tubuhnya, tubuh bagian kiri itu.

Dan ketika anak itu menjerit karena tak ada apapun yang dapat menghangati tubuhnya, semua bara sudah padam dan tak kuat bertemu tubuhnya maka ia melihat San Tek yang terkekeh-kekeh di sana, keluar lembah, pemuda yang masih kemerah-merahan oleh sisa Im-kan-thai-lek-kang yang dipunyainya.

“Hei, kau. Aku minta sumber apimu!”

San Tek terkejut. Ia tahu-tahu disambar dan dibentak anak ini. Beng An melejit bagai siluman terbang hingga Pendekar Rambut Emas maupun Thai Liong tersentak. Anak itu melesat dan tahu-tahu sudah mencengkeram tengkuk San Tek. Dan karena si gila itu sedang keluar dan gentar oleh pukulan Pendekar Rambut Emas maupun Thai Liong, yang tadi berbareng memukulnya maka si gila ini menjadi marah oleh serangan Beng An, membalik dan mengibas dengan Im-kan-thai-lek-kangnya itu.

“Pergi kau, heh-heh....!”

Ledakan api menyambar dan menghantam Beng An. Anak ini sedang bergerak dan mencengkeram San Tek, dia tertarik oleh tubuh kemerah-merahan dari si gila itu. Maka ketika San Tek mengeluarkan Im-kan-thai-lek-kangnya dan Pendekar Rambut Emas maupun Thai Liong terkejut, mereka tak dapat menolong karena Beng An jauh dengan mereka, anak itu mengejar San Tek yang keluar lembah maka mereka hanya dapat berteriak ketika San Tek membalik dan menghantam dengan Im-kan-thai-lek-kangnya itu.

“Awas...!”

Namun mereka tertegun. Thai Liong dan ayahnya yang berkelebat dan bergerak menghambur tiba-tiba mendengar Beng An tertawa nyaring. Anak itu riang menyambut Im-kan-thai-lek-kangnya dan tubuh yang terbungkus atau tersambar api sebesar bukit itu tiba-tiba membuat tubuhnya segar. Inilah yang dicari. Panas yang menyambar itu benar-benar cocok untuknya. Pas dan membuatnya hangat namun karena pukulan itu juga membawa angin yang keras, Beng An terangkat dan terlempar tinggi maka anak itu jatuh dan terguling-guling dengan tubuh penuh api. Menjilat-jilat!

“Ha-ha, segar. Ah, segar sekali!”

San Tek dan Pendekar Rambut Emas maupun Thai Liong tertegun. Mereka melihat Beng An bergulingan ke sana ke mari dengan riangnya. Anak itu seperti seekor ayam yang bergulingan mandi pasir, segar dan tertawa-tawa gembira karena itu benar-benar mampu membuang rasa dinginnya di tubuh sebelah kiri. Ping-im-kang yang menghuni anak ini mendapat tandingan setimpal dari pukulan Im-kan-thai-lek-kang. Namun ketika sebentar saja api itu juga padam dan Beng An berteriak kecewa, tubuhnya kembali menggigil dan kedinginan maka dia berteriak dan minta dipukul lagi. San Tek terkejut, ngeri!

“Hei, kau pukul aku lagi dengan sumber apimu yang hangat itu. Aku merasa nikmat, ayo!”

San Tek terbelalak. Segila-gilanya pemuda ini tetap juga ia memiliki rasa takut. Im-kan-thai-lek-kangnya yang hebat itu ternyata malah membuat Beng An keriangan, bergulingan dan tertawa-tawa seperti orang mandi dengan air segar. Dan ketika anak itu kini menyerangnya karena api Im-kan-thai-lek-kang telah padam tak kuat oleh hawa dingin Ping-im-kang yang menghuni cucu Hu Beng Kui itu maka San Tek tiba-tiba membalik dan melarikan diri. Ketakutan!

“Heii, jangan lari, engkoh (kakak) yang baik. Beri aku sumber apimu itu lagi atau nanti kuhajar kau!”

“Tidak... tidak...!” San Tek lari lintang pukang, gilanya kumat lagi. “Kau bukan manusia, adik kecil. Biarkan aku pergi dan jangan tangkap aku!”

“Ha-ha, aku tak mau melepasmu kalau tidak kau beri sumber apimu itu lagi. Hayo, atau nanti kuhajar!”

Thai Liong dan ayahnya terbelalak Beng An yang mengejar lawannya itu tiba-tiba bergerak dengan amat luar biasa cepatnya, terbang dan mampu menyusul San Tek yang gila. Dan ketika pemuda itu terkejut karena Beng An tahu-tahu menyambar seperti burung, bergerak dan mencengkeram tengkuknya maka apa boleh buat San Tek mengibas dan mengeluarkan Im-kan-thai-lek-kangnya itu.

“Bress!”

Api menyembur dan menyambar dahsyat. Si gila ketakutan dan dihantamnya Beng An dengan sekuat tenaga. Dan ketika anak itu terguling-guling dan mandi api, seluruh tubuh dibungkus warna merah maka Beng An tertawa-tawa dan riang sekali bermain dengan api yang berkobar-kobar membungkus tubuhnya itu. Namun Ping-im-kang lagi-lagi bereaksi. Hawa dingin dari tenaga mujijat itu bekerja, melawan hawa panas dari Im-kan-thai-lek-kang yang berkobar-kobar. Dan ketika sebentar kemudian api juga padam dan Beng An berteriak kecewa, tubuh yang semula hangat kembali dingin maka anak itu mengejar San Tek lagi yang berlari-lari ketakutan.

San Tek terbelalak dan terkesima ketika tadi anak itu bermain-main dengan apinya, gila atau konyolnya lagi-lagi kumat, tidak segera melarikan diri melainkan menonton. Edan! Maka ketika Beng An menggigil lagi karena api padam, anak itu berteriak kepada San Tek maka si gila terkejut dan baru sadar, buru-buru melarikan diri lagi. Tapi Beng An yang mengejar dan merasa keenakan oleh Im-kan-thai-lek-kang ini tidak membiarkannya pergi.

Anak itu marah-marah dan memaki-maki San Tek, terbang dan menyusul dan kembali San Tek harus menghadiahi Im-kan-thai-lek-kang lagi. Dan ketika Beng An bergulingang dan mandi api, riang tertawa-tawa maka San Tek berhenti lagi dan menonton, ikut riang dan tertawa-tawa pula tapi terkejut dan harus buru-buru melarikan diri lagi begitu api Im-kan-thai-lek-kang habis.

Beng An seolah orang haus yang mengejar-ngejar dan meminta Im-kan-thai-lek-kangnya lagi. Begitu terus-terusan. Dan ketika San Tek harus berlarian dan berhenti lagi setiap Beng An tertawa riang menerima pukulan apinya, si gila itu juga menonton dan lari lagi ketika dikejar maka Pendekar Rambut Emas dan puteranya terbelalak dan kaget serta cemas.

“Beng An tidak waras, adikmu itu gila...!”

“Benar, Beng An terganggu pikirannya ayah. Dan aku khawatir kalau ia terus-terusan mengejar San Tek. Si gila itu sampai ketakutan!”

“Tapi Im-kan-thai-lek-kang tidak membinasakannya. Adikmu itu mengalami sesuatu yang aneh!”

“Benar, dan aku tidak tahu, ayah. Bagaimana semuanya itu sampai terjadi. Tapi mereka telah keluar lembah, ayo kita kejar dan lihat tubuh yang ringan dari Beng An itu. Ia seakan tak berbobot dan San Tek kebingungan!”

Pendekar Rambut Emas tergetar. Ia sampai pucat melihat puteranya yang terbang dan seakan-akan burung sriti menyambar, begitu cepat dan luar biasa. Tapi ketika ia bergerak dan Thai Liong juga berseru mengejar, dua orang di depan itu sudah merupakan titik kecil yang naik turun bukit tiba-tiba terdengar batuk-batuk kecil dan sebuah seruan lembut terdengar di belakang.

“Biarkan saja. Beng An tak akan sampai celaka di tangan lawannya.”

Pendekar Rambut Emas dan puteranya terkejut. Entah bagaimana dan darimana tahu-tahu di situ muncul sesosok bayangan putih. Bayangan ini seperti kabut dan tahu-tahu telah berdiri di situ, jelas membentuk seorang manusia namun sama sekali tak dapat dilihat ujudnya. Entah laki-laki atau perempuan. Tapi begitu Pendekar Rambut Emas tertegun dan Thai Liong juga berseru tertahan, seorang sakti berada di depan mereka tiba-tiba keduanya serentak menjatuhkan diri berlutut dan memanggil,

“Sian-su...!”

Ayah dan anak girang luar biasa. Setelah berhari-hari mereka mencari ternyata Sian-su, kakek dewa ini, datang dan muncul! Tapi begitu mereka berlutut dan memanggil namanya, penuh hormat dan beriba maka kakek itu bergoyang-goyang dan menyuruh mereka bangun.

“Kim-mou-eng, sumber dari semuanya ini adalah isterimu. Tapi dari isterimu pula Beng An akan selamat atau celaka. Aku tak dapat bicara banyak karena belum waktunya. Nah, bangkit dan berdirilah dan pergilah ke Sam-liong-to. Di sana titik akhir dari semuanya ini.”

“Sian-su.... Sian-su tidak memberi wejangan apa-apa? Bagaimana selanjutnya dengan anakku Beng An itu?”

“Saksikan kejadian di Sam-liong-to, Kim-mou-eng. Di sana akan kau temui apa yang akan terjadi.”

“Tapi... tapi kami masih ingin bicara banyak!” Kim-mou-eng terkejut, bayangan kakek itu bergerak dan menjauh, kakek dewa itu hendak pergi! “Tunggu, tunggu dulu, Sian-su. Aku masih ingin bertanya!”

“Hm, aku tahu apa yang hendak kau tanyakan. Isi syair akan kukupas di Sam-liong-to, Kim-mou-eng. Pergi dan cari saja puteramu yang bungsu itu di sana. Nanti kita bertemu lagi!” dan ketika kakek itu bergerak dan lenyap, hilang seperti asap maka Kim-mou-eng meloncat bangun dan puteranyapun bangkit berdiri, Thai Liong tertegun.

“Ayah, Sian-su belum mau ditemui!”

“Benar, dan, ah... aku kecewa, Thai Liong. Sian-su tak mau memperlihatkan diri. Aku ingin minta maaf atas kebakaran di Lembah Malaikat ini!”

“Sian-su lebih tahu. Kebakaran ini bukan kita yang membuat, ayah, melainkan orang lain. Sebaiknya kita sadarkan ibu dan lain-lain itu untuk diajak ke Sam-liong-to. Ada sesuatu yang akan menggetarkan kita!”

“Benar, aku jadi berdebar akan kata-kata Sian-su tadi, Thai Liong. Apa yang dimaksud bahwa sumber dari semuanya ini adalah karena ibumu. Kita sadarkan dia dan mari cepat-cepat ke Sam-liong-to!”

Thai Liong mengangguk. Dia sudah bergerak dan menotok ibu dan saudara-saudaranya itu, yang tadi diletakkan ayahnya ketika berhenti mengejar San Tek. Tapi ketika ayahnya bergerak menolong ibunya, memberikan Shintala kepadanya maka Thai Liong semburat namun menyadarkan gadis itu, melirik ayahnya yang tampaknya sibuk menolong ibu dan adiknya perempuan itu. Dan ketika Shintal lebih dulu sadar karena ialah yang paling ringan menderita, Thai Liong bersinar matanya maka berturut-turut ibu dan adik-adiknya itu juga sadar dan membuka mata.

“Mana San Tek si gila itu. Bagaimana di sini!”

“Benar, mana si gila itu, ayah. Dan, ehh.... mana adik Beng An!”

Pendekar Rambut Emas menarik napas dalam-dalam. Ialah yang merasa sedih dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Ia diberondong dan ditanyai anak isterinya. Tapi ketika ia menjawab bahwa San Tek dan Beng An telah pergi, anak isterinya tertegun maka Soat Englah yang berseru heran.

“Bagaimana Beng An bisa pergi. Bukankah ia pingsan dan masih bersama kita!”

“Hm, sesuatu yang aneh telah terjadi, Eng-ji. Adikmu itu siuman dipukul Im-kan-thai-lek-kang. Ia mengalami penyembuhan meskipun separoh....”

“Sembuh? Separoh? Ah, bagaimana ini ayah? Dan bagaimana pula bisa sembuh dipukul Im-kan-thai-lek-kang!”

“Aku juga tak jelas, tapi Sian-su menyuruh kita membiarkan saja...”

“Sian-su?” sang isteri kini terkejut tampil bicara. “Mana kakek dewa itu, suamiku. Kenapa aku tak melihat!”

“Ia sudah pergi,” sang suami kembali menarik napas dalam. “Dan kita secepatnya diminta ke Sam-liong-to, niocu. Ada sesuatu yang akan kita temui di sana.”

“Sam-liong-to? Ah, itu tempat tinggalku. Aku juga kepingin melihat rumahku itu!” Soat Eng, sang nyonya muda berseru. Tiba-tiba ia merasa rindu dengan tempat tinggalnya itu. Sudah berbulan-bulan ia pergi dan berbulan-bulan pula ia tak kembali. Kini ayahnya tiba-tiba menyebut Sam-liong-to dan terbersitlah kerinduan yang dalam di wajah wanita ini. Dan ketika ayahnya mengangguk dan berkata bahwa Sian-su menghendaki mereka ke sana, nyonya itu berseri gembira tiba-tiba suaminya mencekal lengannya dan berbisik agar tidak cepat-cepat gembira dulu.

“Aku merasa sesuatu yang tidak enak akan terjadi. Jangan girang dulu dengan kembalinya kita ke rumah. Isyarat Sian-su memberi petunjuk jelek!”

“Petunjuk jelek?” sang isteri terkejut. “Kau merasa apa, Le-ko? Isyarat apa yang kau tangkap?"

“Aku belum jelas, tapi pokoknya jelek. Hm, sebaiknya tak usah kita mengira-ngira dan lihat ibumu memandang ke mari!” Siang Le mendesis pada isterinya, diam dan tidak mau bicara lagi karena ibu mertuanya, Kim-hujin, memandangnya. Dan ketika Soat Eng juga mengangguk, dan tak mau bertanya lagi, ibunya kembali memandang ayahnya maka ibunya itu tiba-tiba berkata,

“Kalau kita disuruh ke Sam-liong-to mari kita cepat-cepat berangkat. Tapi bagaimana dengan tempat tinggal kita di ke utara. Apakah suku bangsa Tar-tar tidak akan terlalu lama kita tinggal!”

“Hm, aku juga berpikir begitu, niocu. Satu di antara kita pulang sejenak dan setelah itu menyusul. Siapa yang mau melakukan ini.”

“Aku bersedia,” Thai Liong tiba-tiba maklum akan permintaan ayahnya. “Aku melihat sejenak keadaan di sana dan memberi tahu paman Ji Pin. Silahkan ayah berangkat dan aku menyusul belakangan.”

“Dan adik Shintala ini?” Soat Eng tiba-tiba berseru. “Ikut siapa dia?”

“Ah, sebaiknya ikut Liong-twako saja. Tentu dia likat.bersama kita atau ayah ibumu. Kita sama-sama sudah berumah tangga!” Siang Le menjawab dan mendahului yang lain, tepat dan memang benar karena saat itu Shintala tiba-tiba bingung harus ikut siapa. Sendirian saja di tengah-tengah orang-orang yang sudah beristeri tentu dia likat, kikuk. Tapi begitu Thai Liong disebut-sebut dan dia diminta berdua dengan pemuda itu tanpa dikehendak lagi iapun tiba-tiba iapun jengah!

“Ah, biar aku sendirian saja. Aku dapat ke Sam-liong-to mendahului kalian!”

“Jangan,” Pendekar Rambut Emas bergerak dan mencegah gadis itu, yang akan berkelebat. “Puteraku akan kesepian, Shintala, tak punya teman bicara. Biarlah kau temani dia dan kalian sama-sama menyusul kami di Sam-liong-to!”

“Tapi...”

“Sudahlah,” Kim-mou-eng tersenyum dan memberi isyarat puteranya. “Kau bawa gadis ini, Thai Liong. Lindungi dia dalam perjalanan. Beri tahu Ji Pin bahwa kami pergi agak lama dan setelah itu susul kami ke sana!” kemudian tidak memberi kesempatan dua orang itu membantah pendekar inipun berkelebat dan menyabar lengan isterinya. “Niocu, kita berangkat!” dan menepuk Siang Le agar meninggalkan tempat itu pendekar inipun mengajak menantu dan anak perempuannya pergi. Dan begitu empat orang itu bergerak dan meninggalkan Lembah Malaikat maka dua muda-mudi itu tertegun dan terbelalak dengan muka merah.

“Liong-ko, jaga baik-baik adik Shintala. Awas kalau kau hanya seorang diri datang ke rumahku!”

“Hm, terima kasih,” Thai Liong tersipu menjawab adiknya, Soat Eng sengaja menggoda. “Tanpa kau mintapun aku pasti akan menjaga Shintala, Eng-moi. Tapi kalau dia meninggalkan aku di tengah jalan harap kau jangan menyalahkan aku!”

“Aku tak akan meninggalkanmu,” Shintala tiba-tiba berkata tanpa sadar, meluncur begitu saja. “Kau sudah kuanggap pengganti kakekku, Liong-twako. Aku tentu saja senang kalau kau mau melindungiku!”

“Nah,” Soat Eng tertawa di sana, “Kau dengar sendiri kata-kata Shintala Liong-ko. Dia senang kalau kau lindungi. Awas kalau kau lengah!” dan ketika Shintala terkejut dan semburat, sadar bahwa kata-katanya tadi dipakai Soat Eng untuk menggoda maka gadis inipun mengeluh dan tiba-tiba berkelebat meninggalkan Thai Liong, tidak ke arah teman-temannya tadi melainkan ke arah lain.

“Heii...!” Thai Liong terkejut. “Mau ke mana, Shintala. Arah kita ke utara, bukan barat!”

“Aku malu kepada adikmu,” gadis itu berseru, agak terisak. “Aku gadis tak tahu malu, Liong-twako. Bicara tanpa diatur dan sembarangan saja!”

“Ah,” Thai Liong berkelebat, mengejar gadis itu. “Apa maksudmu, Shintala. Bicara apa yang tidak diatur. Kau tidak bicara apa-apa!”

“Tidak, aku... aku, ah, sudahlah, Aku pergi sendiri dan kau pergilah ke utara!”

Namun Thai Liong menyergap dan sudah menyambar lengan baju gadis ini. Thai Liong terkejut karena Shintala tiba-tiba menangis, pergi dan rupanya tak mau kembali. Dan ketika ia menangkap serta menghentikan lari gadis ini, berseru agar Shintala tidak pergi maka Thai Liong sudah menggigil memandang gadis itu.

“Shintala, kau marah kepada adikku? Kau marah pula kepadaku? Kau tahu bahwa adikku memang suka menggoda, maafkan kalau dia menyakiti hatimu. Kita sama-sama tahu bahwa apa yang dikatakan adalah benar!”

“Benar? Ap... apa maksudmu?”

“Hm,” Thai Liong gemetar dan meremas jari-jari gadis ini, Shintala tak menolak cengkeramannya. “Ayah ibuku sudah tahu perasaan kita, Shintala, dan kita memang tak perlu sembunyi-sembunyi lagi. Aku senang kalau kau mau bersamaku, bukan hanya kau saja!”

“Ah,” gadis ini meronta, melepaskan diri. “Apa maksudmu, twako. Senang yang bagaimana!”

“Senang bahwa... bahwa kita berdua. Bahwa kita ingin bersatu!”

“Apa?” gadis itu menjerit. “Kau tak tahu malu, Thai Liong. Kau lancang.... plak!” dan Thai Liong yang ditampar dan tertegun melihat gadis itu memutar tubuh, berkelebat dan menangis tiba-tiba bengong karena Shintala mengguguk di sana, tersedu-sedu dan sudah berlari kencang dengan muka ditutupi.

Thai Liong terkejut karena apa yang diterima sungguh tak disangka. Dia kena tampar! Tapi begitu Shintala pergi dan Thai Liong penasaran oleh sikap ini, hatinya berguncang maka pemuda itu mengejar dan berkelebat pula, menangkap dan menyambar bahu gadis ini, erat-erat. “Shintala, tunggu dulu. Kau boleh tampar aku lagi kalau isyarat yang kutangkap salah!”

“Isyarat?” gadis itu terkejut, membalik dan meronta namun Thai Liong tak melepaskannya. “Isyarat apa lagi, Thai Liong. Kau tak tahu malu dan lancang. Jangan pegang-pegang tanganku, lepaskan!"

“Aku akan melepaskah kalau satu pertanyaan yang mengganjal di hatiku kau jawab. Nah, bolehkah aku bertanya dan maukah kau menjawab!”

“Apa yang hendak kautanyakan. Cepat, dan lepaskan aku!”

“Hm,” Thai Liong kebingungan, menggigil dan merah mukanya. “Aku hendak bertanya tentang pandang matamu, Shintala, apakah aku keliru atau tidak!”

“Ada apa dengan pandang mataku. Kenapa!”

Thai Liong menelan ludah. Tiba-tiba ia tak dapat berkata ketika dua pasang mata mereka saling beradu. Gadis itu tampak galak dan marah, padahal biasanya lembut dan penuh mesra. Dan ketika ia “gentar” karena gadis itu berobah, tak seperti biasanya maka pemuda ini malah tertegun dan kembali menelan ludah, tak bisa bicara.

“Kalau begitu lepaskan tanganku!” Shintala membentak dan meronta, kali ini lepas. “Kau tak bertanya dan aku tak menjawab, Thai Liong. Selamat tinggal dan jangan ganggu aku lagi!”

“Eh!” Thai Liong terkejut, sadar. “Nanti dulu, Shintala. Tunggu!” dan ketika pemuda itu bergerak dan berjungkir balik melewati temannya, menghadang dan Shintala berteriak karena hampir menubruk pemuda itu maka Thai Liong sudah berdiri dan gemetar mengeraskan pandangan. “Aku hendak bertanya tentang pandang matamu. Yakni apakah benar tidak menerima cinta kasihku!”

“Apa?” gadis itu menggigil, tiba-tiba menurunkan tangan yang hendak menampar Thai Liong, tadi siap bergerak dar memukul pemuda itu. Marah! Tapi begitu Thai Liong meluncurkan pertanyaan dan ia harus menjawab, Shintala terkejut dan bingung tiba-tiba gadis itu terhuyung dan meruntuhkan pandang mata ke bawah, pucat tapi juga malu, sama-sama menggigil seperti Thai Liong.

“Ya, “ Thai Liong maju, menangkap dan mencekal erat-erat tangan gadis itu sekali lagi tak mau melepaskannya. “Aku hendak bertanya tentang itu, Shintala. Apakah keliru getar perasaanku bahwa kau menerima cintaku!”

“Oohh...!” gadis itu mengguguk, jatuh dan roboh ditangkap Thai Liong. “Aku... tak tahu, Thai Liong. Aku tak mengerti...!”

“Hm,” Thai Liong menangkap dan mengangkat naik dagu itu, dagu yang runcing gemetar. “Jangan kau bilang tidak mengerti, Shintala. Aku dan kau sama-sama yakin akan apa yang kita rasakan. Bagaimana kalau aku menyatakan cintaku dengan caraku sendiri!”

“Maksudmu?”

“Kau pandanglah aku!”

“Aku... aku tak kuat. Aku tak berani!”

“Kalau begitu maaf. Inilah caraku menyatakan cinta!” dan Thai Liong yang menunduk dan mencium mulut gadis itu tiba-tiba membuat Shintala tersentak dan kaget, membuka mata yang tadi dipejamkan namun Thai Liong sudah melumat bibirnya dengan lembut dan mesra, panas namun terkendali. Dan ketika gadis itu mengeluh dan berguncang tersedu, roboh dan terguling di pelukan pemuda ini maka Thai Liong girang karena kekasihnya itu menerima, tidak marah!

“Ooh, aku... aku malu, Thai Liong. Awas kalau dilihat orang!”

“Ha-ha, tak ada orang di sini, Shintala. Ibu dan ayahku telah pergi, begitu juga Eng-moi. Ah, kau manis dan menggemaskan!” dan ketika Thai Liong mencium dan melumat bibir kekasihnya lagi, gemas dan penuh sayang maka Shintala terlena dan tidak menolak, diam memberikan bibirnya dan Thai Liong mendekap kekasihnya ini erat-erat, melambung dan terayun ke sorga amat tinggi dan Shintalapun ikut mabok.

Sekarang dua muda-mudi ini sudah menyatukan hati mereka. Cucu Drestawala itu menyerah! Dan ketika Shintala menangis namun derai air matanya adalah derai air mata bahagia, Thai Liong resmi menjadi kekasihnya maka dua muda-mudi itu akhirnya mereguk bahagia dan manisnya madu cinta. Thai Liong bertanya kenapa tadi kekasihnya itu marah-marah, dijawab bahwa sesungguhnya Shintala malu oleh godaan Soat d Eng tadi, malu yang membuat dia kikuk dan bingung. Dan karena tak ada wanita yang mau begitu saja menyatakan isi hatinya, Thai Liong tertegun namun berseri-seri maka gadis itu menutup,

“Memangnya aku harus duluan menyatakan cinta? Cih, tak pantas dong, Liong-koko. Aku harus tahu diri dan tadi menyesal kenapa kelepasan bicara. Adikmu menggodaku hingga aku lalu sadar!”

“Ah, coba katakan itu lagi. Betapa manisnya!”

“Katakan apa?”

“Panggilan itu, Liong-koko (kanda Liong). Ha-ha, bukan Liong-twako (kakak Liong) melainkan Liong-koko... aduh!” dan Thai Liong yang berteriak karena sakit dicubit tiba-tiba tertawa bergelak mengelak satu tamparan lagi, berkelit dan dikejar dan Shintala tersipu-sipu menyambar kekasihnya ini. Tanpa sadar iapun sudah memanggil demikian mesra kekasihnya itu. Tentu saja Thai Liong tergelak bahagia. Namun ketika Thai Liong tertangkap dan dicubit lagi, keras sekali maka pemuda itu menjerit dan minta ampun.

“Aduh... tobaat. Ampun, La-moi... ampoun....!”

“Ampun apa, kau tidak minta ampun!”

“Huwaduh, aku sudah minta ampoun...!”

“Ampun apa, kau tidak minta ampun melainkan ampoun. Nah, apa itu ampoun dan aku tidak mengerti ampoun!” dan Shintala yang terkekeh-kekeh mencubit sambil memaki, Thai Liong memang bercanda maka gadis itu membuat Thai Lion, meringis karena dua jari gadis itu menggencet sambil memelintir. Cucu Drestawala ini gemas karena merasakan sakitpun masih juga Thai Liong main-main. Tapi ketika Thai Liong mengelak dan menotoknya roboh, terbahak sambil membawa lari kekasihnya maka Shintala berteriak-teriak karena diputar-putar.

“He.., he! Mau apa kau ini, Liong-ko.” Aih, jangan diputar seperti baling-baling. Jatuh aku nanti!”

“Ha-ha, aku ingin membalasmu, moi-moi. Kau sekarang harus minta ampun atau kubawa terbang sambil berputar-putar. Lihat, kulit tubuhku matang biru!”

“Ah, aku tak mau minta ampun. Kau yang salah!”

“Kalau begitu kulempar-lempar. Ha-hi aku akan melempar tubuhmu sambil berlari kencang!” dan ketika benar saja pemuda itu melempar-lempar tubuh kekasihnya sambil berlari kencang, Shintala berteriak dan menjerit-jerit maka Thai Liong menggoda kekasihnya agar minta ampun. Shintala memaki-maki namun tidak juga minta ampun. Dan ketika pemuda itu kehabisan akal karena kekasihnya keras kepala, Thai Liong bergerak dan menuju ke utara maka pemuda itu tertawa berseru,

“Baik, kalau tidak minta ampun kau akan kucium. Nah, pilih mana!” dan Thai Liong yang menangkap dan membebaskan kekasihnya lalu terbahak mencium bibir pujaan hati, dielak namun pemuda ini mengejar dan tertangkaplah mulut itu. Dan ketika Shintala tak berkutik karena kekasihnya telah melumat maka gadis itu mengeluh dan berbisik bahwa dia pilih yang ini, bukan minta ampun.

“Ha-ha, kau pilih ini? Tidak minta ampun? Baik, akan kulaksanakan hukumanmu moi-moi. Mulai sekarang sampai nanti kau menerima hukuman cium!”

Thai Liong yang terbahak dan mencium kekasihnya lalu membuat Shintala tertawa-tawa karena pemuda itu membawanya lari sambil berulang-ulang mengecup bibir, gemas dan penuh bahagia dan melambunglah cucu Drestawala itu untuk kesekian kalinya lagi. Kalau sudah begini maka hidup serasa milik sendiri, bukan orang lain. Dan ketika Thai Liong juga tertawa-tawa penuh bahagia, dia bercanda sepanjang jalan maka orang akan heran karena baru kali itulah putera Pendekar Rambut Emas yang biasanya pendiam dan tak banyak bicara ini tiba-tiba begitu berobah. Ah, inilah cinta!

* * * * * * * *

Pagi itu Siang Le dan isterinya berlayar menuju Sam-liong-to. Mereka di minta duluan oleh Pendekar Rambut Emas karena pendekar itu akan beristirahat dulu di tepi laut timur, sebelum menyeberang ke selatan. Dan karena ini juga atas permintaan Swat Lian, sang isteri, maka Siang Le mengangguk mendahului mertuanya.

“Kalian jalan saja dulu di depan. Aku dan gak-bomu akan menyusul belakangan. Gak-bomu ingin beristirahat sejenak, nanti menyeberang.”

“Baik,” Siang Le mengangguk dan cepat mencari perahu. Ada getar kegembiraan di hatinya bahwa sebentar lagi dia akan pulang kandang. Sam-liong-to adalah tempat tinggalnya dan justeru pemuda itu merasa kebetulan dengan begini. Ia akan dapat menyiapkan sambutan kalau gak-hu dan gak-bonya nanti datang. Soat Eng sudah diberi tahu dan isterinya itupun setuju. Dan ketika mereka berangkat dan Pendekar Rambut Emas melambai di pesisir, pasangan muda ini sudah bergerak menyeberangi laut maka Swat Lian atau Kim-hujin itu mengerutkan kening.

“Aku merasa pusing, mengantuk. Badanku tak enak benar hari ini dan entah karena apa!”

“Kau tentu kecapaian,” sang suami menghibur. “Mari kupijit, niocu, dan mari bersila mengembalikan tenaga. Kau kelewat memikiri anakmu bungsu.”

“Tentu saja! Mana ada ibu tega membiarkan anaknya hilang, suamiku? Aku khawatir akan Beng An, dan perasaanku hari ini tak enak benar. Apakah Beng An dapat kutemukan di sini sesuai omongan Sian-su!”

“Hm, aku percaya padanya, dan aku yakin akan kata-katanya. Hanya aku tak mengerti bagaimana bahwa semuanya ini bersumber dari dirimu. Apa yang telah kau lakukan dan bagaimana bisa begitu!”

“Sian-su bicara apa?” Swat Lian terkejut, muka agak berubah. “Apa yang dikatakan tentang aku?”

“Aku hanya mendengar bahwa kaulah yang akan menjadi kunci dari semuanya ini, niocu. Selamat atau tidaknya anak kita Beng An!”

“Begitu?”

“Ya, dan apa yang telah kau lakukan?”

“Aku tak merasa melakukan apa-apa, ah, kakek dewa itu membuat aku jadi merasa semakin tak enak saja. Dan semalam aku bertemu ayah!”

“Ayah?” Pendekar Rambut Emas tertegun. “Bukankah dia telah meninggal?”

“Ya, itulah, suamiku. Dan hari ini aku cemas. Semalam ayah melambaikan tangannya kepadaku, mengajak ke Ce-bu!”

“Hm, firasat tak baik,” Pendekar Rambut Emas menekan detak jantungnya. “Bertemu orang mati selamanya menandakan firasat buruk, niocu. Tapi bisa juga karena lelah batinmu!”

“Dan katanya bertemu orang mati seolah diajak ke liang kubur,” sang isteri gelisah. “Apakah ini isyarat kematian bagiku yang harus meninggalkan dunia!”

“Hush!” sang suami terkejut, setengah membentak. “Omongan apa yang kau omongkan ini, niocu? Jangan bicara yang tidak-tidak, urusan mati di tangan Tuhan. Mari bersila dan pejamkan matamu, kupijit!”

Sang nyonya terisak. Sungguh dia ingin menangis kalau kegelisahan dan kecemasan melanda hatinya. Saat itu dia merasa tak nyaman dan bayangan ayahnya yang semalam bertemu dengannya membuat ia tak tenang. Konon, kalau mimpi bertemu si mati katanya juga isyarat untuk masuk ke alam kubur. Dan nyonya itu ngeri akan ini! Tapi ketika suaminya membentak dan menyuruh dia duduk bersila, kaki dipijit dan getaran mesra muncul di ujung-ujung jari suaminya itu, Pendekar Rambut Emas menenangkan dan membelai isterinya mendadak nyonya ini tersedak dan butir-butir air matapun tak dapat di cegah lagi. Puteri Hu Beng Kui ini menangis!

“Suamiku, kau... kau masih mencintai aku?”

“Hush, omongan apalagi ini?” sang suami terkejut, membelalakkan mata. “Tentu saja aku masih mencintaimu, niocu. Kau isteriku dan ibu dari anak-anakku. Kau teman hidupku!”

“Tapi semalam aku bertemu ayah...”

“Tak usah dihiraukan itu!”

“Tidak..., tidak. Aku tidak hanya bertemu ayah, suamiku, melainkan juga kakakku Beng An. Ia mengajakku bercakap-cakap dan kami semalam tertawa riang. Baru kali itu aku bertemu dengannya. Ah, kakakku masih tampan dan gagah. Ia berkata bahwa dunianya sekarang jauh lebih indah dan membahagiakan. Tidak ada kerusuhan atau permusuhan. Semuanya damai dan tenteram. Aku diajaknya ikut!"

“Sudahlah,” Pendekar Rambut Emas jadi tersentak. “Kau jawab bagaimana, niocu, maukah kau atau tidak."

“Aku tak mau, aku... aku...”

“Bagus, kalau begitu kau masih mendampingi aku atau anak-anakmu!”

“Tidak, tidak suamiku. Ayah tiba-tiba muncul dan memaksaku. Ia menarik-narik tanganku dan berkata agar aku ikut dengannya. Aku bingung dan ketakutan. Dan... dan ketika...”

“Ketika apa?”

“Ketika.... ketika...” sang nyonya sudah tak dapat meneruskan kata-katanya karena kalah oleh tangis yang meledak. Kim-hujin ini tiba-tiba menubruk suaminya dan menciumi wajah yang mulai bercambang itu, Pendekar Rambut Emas terkejut. Namun ketika pendekar itu membelai rambut isterinya dan gagal pula memijit, yang terpaksa dihentikan maka dia bebertanya bagaimana selanjutnya, kenapa isterinya itu menangis.

“Kau tahu watak ayah yang keras dan dbengis. Ia membujuk dan memaksaku namun aku tetap menolak. Dan ketika ia marah-marah dan memaki-maki aku maka dia menampar dan bertanya kepadaku kenapa aku tak mau ikut dengannya!”

“Hm, kau jawab bagaimana?”

“Kujawab bahwa aku masih mencintaimu, suamiku. Tapi ayah tiba-tiba tertawa terbahak-bahak dan berkata bahwa kau sekarang sudah tidak mencintaiku lagi seperti dulu. Itulah sebabnya kenapa tadi kutanya apakah kau masih mencintaiku!”

“Hm,” Pendekar Rambut Emas tersenyum, geli. “Ayahmu memang keras dan bengis, niocu. Tapi kupikir ia benar...”

“Ah, benar bahwa kau sekarang tak mencintaiku lagi? Bahwa kau tak sayang dan kasih kepadaku seperti dulu?”

“Hm, duduklah, dan jangan berdiri seperti itu. Pandang matamu membuat aku merasa seram!”

“Tapi kau...”

“Dengarlah,” sang suami menarik dengan lembut, sabar. “Aku belum menjelaskannya secara lengkap, niocu. Jangan buru-buru marah atau apa. Dengarkan yang hendak kukatakan dan kuakui bahwa kata-kata ayahmu ada benarnya juga.”

“Kalau begitu kau sudah tak sayang kepadaku lagi. Kau tak cinta!”

“Ah, cinta seperti dulu memang tidak, niocu. Tapi cinta yang lain dan baru sekarang bersemi. Aku merasakan suatu perasaan lain yang lebih indah. Duduk dan dengarlah kataku!” dan ketika sang isteri ditarik dan disuruh duduk, nyonya itu terbelalak dan kecewa maka buru-buru pendekar ini berkata, “Niocu, cinta yang bagaimana yang kau harapkan sekarang? Apakah sama seperti dulu dan persis cintanya anak muda?”

Sang nyonya tertegun, tak menjawab.

“Kalau seperti itu maka hilang sudah, niocu. Cintaku yang seperti dulu memang sudah tiada lagi, terganti oleh cinta baru namun yang tak kalah hangat dan mesra!”

“Aku tak mengerti!”

“Kau akan segera mengerti. Nah, jawablah pertanyaanku ini. Apakah kau masih ingin kucumbu dan kurayu seperti gayanya anak-anak muda sekarang!”

Sang nyonya melengos. “Cih, pertanyaan apa itu?”

“Nah,” sang suami tertawa. “Kau jangan melengos, niocu. Jawab dan pandanglah aku. Cinta yang bagaimana yang kau inginkan itu. Apakah seperti cinta gayanya anak muda!”

“Hm, kau membuat aku bingung, juga malu. Katakan saja ke mana arah kata-katamu dan apa yang kau kehendaki dari aku!”

“Wah, siapa yang mengharap jawaban. Kau atau aku? Ha-ha, kau tadi bertanya apakah aku masih mencintaimu, niocu, dan sekarang ingin kujawab tapi terlebih dahulu kau jawablah pertanyaanku itu. Apakah kau masih ingin gaya cintaku seperti dulu, ketika kita masih sama-sama muda!”

“Hm, aku tak mengerti. Tapi baiklah kujawab juga. Barangkali adalah bukan...”

“Nah, itulah. Jadi kau tak ingin mendapat cintaku seperti semasa kita masih muda remaja, bukan? Bahwa kau tak mengharap cumbu atau rayuku? Kita sekarang sudah orang-orang tua, niocu, dan sudah setua begini tentunya bukan cinta fisik yang menonjol, melainkan cinta baru yang lebih menitikberatkan kebahagiaan batin. Kita tak seberapa memerlukan sentuhan-sentuhan fisik, melainkan sentuhan-sentuhan rohaniah. Kau tentu dapat merasakan ini dan itulah sebabnya kutanya cinta macam apa yang kau tanyakan tadi. Kalau seperti anak muda, wah, tentu sudah bukan masanya. Tapi cinta yang seperti inipun tak kalah indahnya dengan cinta anak-anak muda!”

“Ya-ya, aku juga merasa begitu. Tapi hmm.... apakah kau tak ingin menciumku juga, suamiku? Apakah hasratmu kendor? Kau tampak lain akhir-akhir ini, kau agak pendiam dan tidak perdulian. Aku takut tak kau perdulikan!”

“Ah, siapa bilang? Hasratku memang tidak seperti dulu, niocu, tidak menggebu-gebu. Namun tentu saja aku tak seacuh seperti yang kau kira. Lihat, akupun masih dapat menciummu mesra!” dan Pendekar Rambut Emas yang tertawa dan meraih isterinya lalu mencium dan memeluk lembut, disambut dan sang isteripun tertawa lega. Sang nyonya. mengira suaminya dingin, acuh. Tapi ketika hal itu dibuktikan dan Pendekar Rambut Emas tertawa melepas ciuman, gairah itu masih ada maka nyonya inipun tersipu dan berbisik untuk balas mencium suaminya.

“Aku takut, aku tadinya khawatir..."

“Ha-ha, sekarang tidak, bukan? Aku masih memiliki gairah, aku masih dapat menjadi suami yang baik. Tapi, eh...siapa yang menjerit minta tolong itu....!”