X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Rajawali Merah Jilid 18

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Rambut Emas Episode Rajawali Merah Jilid 18 Karya Batara

RAJAWALI MERAH
JILID 18
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
SI BUNTUNG terkejut. Kekagumanan dan gairahnya membuat pandang matanya berkilat dan menggetarkan lawan. Tenaga saktinya timbul dan itulah yang dirasakan gadis ini. Dan karena Togur hampir kelupaan dan tentu saja dia cepat mengendorkan semuanya itu maka matapun kembali meredup dan tidak memancarkan hawa sakti.

“Maaf, kau keliru. Aku betul-betul pencari kayu bakar di tempat ini, nona. Masalah silat, ah.. tak berani aku disebut ahlinya. Sedikit-sedikit memang aku bisa, tapi itu hanya untuk pembela diri diserang binatang-binatang buas. Aku sering mencari kayu bakar sampai di tempat-tempat yang jauh, tapi baru di tempat ini aku bertemu seorang kakek siluman yang mengusirku dengan kejam. Kakek itu berjenggot panjang!”

“Jenggot? Maksudmu misai?”

“Ya-ya, misai atau jenggot bersatu di wajah kakek itu, nona. Dia kakek iblis yang dapat menghilang pula. Dia....”

“Dialah yang kucari!” gadis itu .bergerak, menerkam dan tahu-tahu menangkap si buntung ini. “Kakek itulah orangnya Tok-pi. Di mana dia dan dapatkah kau mencarikannya untukku!”

“Aduh..!” Togur terkejut dan tak berani mengerahkan sinkangnya, kesakitan, betul-betul kesakitan. “Lepaskan cengkeramanmu, nona. Patah tulang pundakku nanti!"

“Hm, maaf,” gadis itu terkejut dan sadar. “Aku lupa, Tok-pi. Tapi katakan di mana kakek itu karena dialah yang kucari-cari!”

“Nona memusuhinya?”

“Dia musuh besarku. Dia membasmi habis semua keluargaku. Cepat, katakan di mana dia dan aku ingin bertemu dengannya!”

“Ah,” si buntung terbelalak, heran. “Nona bermusuhan dengan kakek siluman itu? Keluarga nona dibunuh? Keparat, kalau begitu kakek itu harus dicari, nona. Dan aku akan membantumu. Tapi siapa keluarga nona itu hingga kakek siluman itu membunuhnya!”

“Aku cucu Drestawala. Kakekku itu dibunuhnya...”

“Ah, Drestawala? Nona cucu kakek Thian-tok itu?”

“Kau mengenalnya?” gadis ini tertegun, lawan kelepasan bicara. “Siapa kau, buntung. Bagaimana tahu kakekku!”

“Ah, maaf... maaf!” Togur buru-buru merobah sikap, kata-katanya tadi memang kelepasan begitu saja karena tentu saja dia tahu nama itu dari suhu maupun ji-suhunya. Dulu Drestawala itu dikabarkan mengeroyok gurunya bersama Kim-mou-eng. Sungguh tak dinyana kalau kakek ini memiliki cucu demikian cantik jelitanya. Hal itu tak diceritakan Poan-kwi maupun Poan-jin! Dan karena Togur terkesima dan tentu saja kaget, di samping girang maka cepat-cepat ia membetulkan sikap karena pandang mata gadis itu penuh curiga, bangkit kembali mata tajamnya, penuh selidik!

“Aku tidak mengenal kakekmu, nona. Namun nama besar kakekmu tentu saja dikenal orang sejagat. Bukankah dia adalah kakek sakti yang dapat menghilang? Bukankah ia dapat terbang dan menjadi sahabat para dewa? Ah, nama kakekmu demikian tersohor dan amat terkenal. Kalau aku tidak pernah mendengar maka aku adalah seorang pria goblok yang buta akan nama-nama besar seperti kakekmu itu. Drestawala adalah nama yang hebat dan menjulang tinggi setinggi Himalaya. Anak kecilpun akan tahu ini dan tak perlu heran. Tapi bagaimana dia sampai terbunuh dan kejam benar pembunuh itu. Aku jadi khawatir kalau nona berhadapan dengan pembunuh itu dan gagal pula melaksanakan maksud!”

“Hm..!” mata itu bersinar biasa lagi, hilang tatapan penuh selidiknya karena si buntung pandai bicara. Kakeknya memang cukup terkenal dan kalau di Himalaya saja tentu tak ada yang tidak tahu. Maka mengangguk hilang curiganya gadis inipun berkata, sorotan matanya datar lagi, “Kau benar, Tok-pi. Tapi tak perlu kau takut kegagalanku. Aku telah bertekad untuk mencari dan membunuh musuh besarku itu. Dan aku menemukan jejaknya di sini. Katakan di mana kakek itu dan biar dia kubunuh!”

“Nona bertekad mencarinya? Aku siap membantumu, nona. Namun kakek itu siluman dan pandai pula menghilang. Aku khawatir nona...”

“Tak usah khawatir!” gadis itu bergerak dan mendahului. “Katakan di mana kakek itu dan kucari dia, Tok-pi. Dan aku berterima kasih sekali untuk jawabanmu ini!”

“Kakek itu suka berpindah-pindah, tapi ada satu guha yang rupanya menjadi tempat tinggal yang paling disenanginya.”

“Di mana guha itu, dan cepat karena aku tak mau membuang-buang waktu lagi!”

“Ah, dari sini tempatnya sulit, nona. “Aku tak dapat menunjuknya karena terhalang samping gunung itu. Aku akan membawamu saja tapi bagaimana kalau nona sampai gagal!”

“Kau tak usah perduli tentang itu. Aku dapat menjaga diriku!”

“Tapi... tapi kau demikian cantik jelitanya, nona. Sungguh sayang kalau sampai terbunuh. Aku bisa mati menuntut balas kalau kakek itu mengganggumu. Aku tak ingin kau binasa. Harus berhati-hati!”

“Hm!” wajah itu bersemu dadu, merah oleh pujian sekaligus kekhawatiran si buntung. Shintala jengah tapi juga terharu. “Kau tak usah mengkhawatirkan itu, Tok-pi. Kalau lawan benar-benar terlalu tangguh tentu aku melarikan diri. Aku tak akan terbunuh!”

“Tapi kakek itu lihai, dapat terbang dan menghilang pula!”

“Kau tak usah banyak cakap, beritahukan kepadaku dan kita lihat saja nanti!”

“Tapi...”

“Aku dapat mencari sendiri, buntung. Tanpa pertolonganmupun aku dapat ke sana. Kau tak usah cerewet dan tunjukkan atau aku pergi, sendiri!”

“Jangan..!” si buntung berteriak dan pura-pura kaget, tentu saja masih harus terus bersandiwara. “Kau jangan ke sana sendiri, nona. Biarlah bersama aku dan mari kutunjukkan. Tapi hati-hati, aku akan berputar saja meskipun sedikit lama...” dan Togur yang cepat membawa temannya ke gunung sebelah kanan, jatuh dan berdiri lagi dengan tongkat menopang lalu buru-buru mengajak temannya berangkat.

Pemuda itu melihat gadis ini siap berkelebat dan menghilang, tentu saja dicegah dan iapun sudah membawa gadis itu ke hutan di sebelah kanan. Si buntung ini pura-pura terhuyung dan jatuh tiga kali ketika melompati batu-batu besar, tongkat di tangan tampak susah payah menjaga tubuhnya agar tidak terguling. Maklumlah, daerah pegunungan itu memang tak rata dan banyak celah-celah curam. Lereng-lerengnyapun terjal dan gadis itu mengerutkan kening, terharu. Dan ketika kembali sebuah lompatan nyaris membuat si buntung berteriak, jatuh dan terpelanting ke bawah maka gadis itu menyambar dan menangkap tongkat.

“Tak usah takut. Ada aku di sini, Tok-pi. Pegang ujung tongkatmu yang satu dan biar aku memegang ujung tongkat yang ini... wut!” dan si gadis yang berjungkir balik dan menyelamatkan si buntung itu mendadak terbang dan meluncur seperti harimau bersayap. Temannya berseru tertahan namun tongkat menempel seperti lintah. Shintala mengerahkan sinkangnya hingga tak mungkin temannya itu lepas.

Tok-pi alias Togur si buntung ini tersedot mencengkeram tongkatnya, diam-diam terkejut karena tenaga gadis itu ternyata demikian hebatnya, tangannya tertarik dan terus melekat kepada tongkat! Dan ketika gadis itu membawanya terbang dan meluncur ke hutan sebelah kanan, si buntung terbelalak dan kagum serta berdebar maka hutan yang dituju itu sebentar saja sudah dekat.

“Hati-hati, sebentar lagi aku akan melepaskan dirimu!”

Si buntung menyeringai. Tiba-tiba gadis itu berseru bahwa pegangannya sebentar lagi akan dilepaskan. Berarti, getaran sinkang di tongkat itu bakal lenyap dan dia tak dapat merasakan hangatnya tenaga itu lagi. Dan karena Togur sudah merasa keenakan dan tentu saja tak mau begitu cepat maka tiba-tiba pemuda ini mengerahkan tenaga pemberatnya hingga tubuh seakan-akan berbobot seribu kilo.

“Eh..!” gadis itu tersentak. “Apa ini Tok-pi. Kenapa tubuhmu tiba-tiba begitu berat!”

“Ah, heh-heh...!” si buntung tertawa namun pura-pura bodoh. “Apa maksudmu, nona. Aku tidak melakukan apa-apa namun mungkin kau yang sudah capai. Kita sudah terbang sepanjang beberapa li!”

“Tapi aku masih kuat...”

“Kalau begitu teruskan lari lagi, tempat itu sudah dekat!”

Dan ketika si gadis terkejut dan heran, tubuh pemuda itu mendadak menjadi berat dan tentu saja larinya terganggu, tak secepat tadi maka ia penasaran dan menarik lagi. Kali ini mengeluarkan bentakan dan tubuh si buntung itupun tertarik kuat. Togur tak berani menambah tenaga pemberatnya karena itu bakal membuka rahasianya. Dan ketika si nona lari lagi namun tak secepat semula, si buntung tersenyum dan tertawa-tawa di dalam hati maka Shintala tak menduga seujung rambut pun akan perbuatan kawannya itu.

Dia mengira bahwa mungkin saja dia sudah mulai lelah, karena iapun telah melakukan perjalanan jauh yang cukup menguras tenaga. Dan karena kata-kata temannya itu mungkin benar, dia kehilangan sedikit tenaga maka beban yang samapun dikiranya bertambah berat padahal tidak! Gadis ini tak curiga dan karena itupun ia mengerahkan tenaganya menarik si buntung. Dan ketika akhirnya mereka tiba di hutan itu di mana tongkat lalu dilepaskan tiba-tiba gadis ini jatuh terduduk dan mandi keringat.

“Sialan, sungguh tak kunyana tenagaku demikian banyak habis. Ah, kita beristirahat sebentar di sini, Tok-pi. Setelah itu tunjukkan di mana guha tempat persembunyian kakek siluman itu!”

“Heh-heh, nona sungguh luar biasa,” Togur diam-diam kagum, kali ini tak berbasa-basi. “Kau telah menyeretku hampir duapuluh li, nona. Kalau orang lain tentu sudah roboh dan pingsan!”

“Hm, aku kehilangan banyak tenaga,” Shintala tak curiga, tetap tak menduga temannya itu. “Aku telah sebulan ini mencari kakek itu, Tok-pi. Tak heran kalau hari ini aku cepat capai. Biasanya, sepuluh orang seperti kaupun dapat kutarik tanpa lelah!”

“Aku percaya, tapi ah... istirahat memang betul, nona. Kalau sekarang kau mencari kakek itu jangan-jangan sudah roboh dulu sebelum bertempur. Mari, kotor pakaianmu di situ dan beristirahat sana di pohon besar itu. Di sana ada lubang cukup untuk dua orang!” dan terseok menyuruk-nyuruk tongkatnya, tak mau menimbulkan curiga si buntung ini sudah menguak dan memberi tahu adanya lubang besar di sebuah pohon raksasa.

Di situ memang betul saja ada lubang selebar satu meter. Si buntung berkata agar di situlah temannya beristirahat, jangan di atas tanah karena kotor pakaiannya nanti. Dan ketika gadis itu tertegun namun bangkit mengikuti, heran, maka dia bertanya bagaimana temannya itu tahu.

“Ah, tidak aneh. Aku sudah menjelajah hampir semua tempat ini, nona. Aku tahu mana tempat-tempat yang dapat dipakai istirahat. Aku juga sering melepas lelah di sini. Masuklah, duduklah!” dan ketika si buntung mempersilahkan temannya di situ, mata bersinar-sinar dan bercahaya maka murid Poan-jin-poan-kwi ini sudah mengilar untuk menubruk mangsanya.

Gadis itu tertawa dan langsung melompat, lubang itu ternyata menurun ke bawah dan dapat dipakai untuk menelentangkan tubuh, diri sendiri sudah melakukan itu namun cepat bangkit lagi karena di situ ada laki-laki lain, si buntung itu. Dan ketika gadis ini sadar dan tidak jadi telentang, si buntung menyeringai dan lahap pandangannya maka tiba-tiba gadis itu tertegun karena beradu kembali dengan sepasang mata yang penuh getaran tenaga sakti, kuat dan mencorong!

“Buntung, mata apa yang kau miliki itu? Kau seperti harimau buas, ganas dan siap menerkam!”

“Ah,” Togur terkejut dan sadar, muka seketika merah. “Kau ada-ada saja, nona. Masa pencari kayu seperti aku memiliki mata seperti harimau buas. Kau main-main!”

“Tidak, aku tidak main-main. Matamu tadi mencorong dan berkilat-kilat. Kau rnenakutkan!”

“Ah, maaf, nona. Barangkali suasana hutan yang membuat perasaanmu berlebihan. Aku tidak apa-apa, aku tidak menakutkan. Tidurlah kalau kau ingin tidur. Aku tak akan mengganggu!” dan sadar akan kecerobohannya tadi, bahwa dia terlalu bernafsu dan hampir membangkitkan kecurigaan orang maka si buntung ini memutar tubuh dan pura-pura mencari kayu kering.

Dia membuat api unggun dan seekor kelinci gemukpun ada di tangannya. Si gadis tak boleh dibuatnya kaget lagi, kecuali nanti. Dan ketika gadis itu dibiarkannya beristirahat namun tentu saja tak mau tidur, meskipun hanya tidur-tiduran maka bau sedap daging bakar menyengat hidung. Si buntung sudah menyiapkan makanan.

“Mari, sekedar makanan pemburu, Dan ini sedikit arak pelepas dahaga!”

Bau arak yang harum mengganggu hidung, kembali membuat gadis itu tertegun tapi Shintala tersenyum dan melompat turun, Gadis itu tak curiga karena dengan cepat si buntung itu berhasil memperbaiki sikap, mata sudah tidak berkilat-kilat lagi dan pandangan buas seperti harimau kelaparan itupun tak nampak. Pemuda ini telah menyembunyikannya dengan cerdik dan Togur yang tak ingin menguasai musuhnya lewat adu tenaga sudah akan merobohkannya dengan cara lain.

Dengan arak dan daging panggang itu. Dan ketik si nona turun dan tertawa memuji masakannya, arak dibuka dan diam-diam pemuda ini menaburkan sebungkus bubuk putih maka si gadis yang memang haus dan menerima tawaran itu berkata melempar sekeping uang emas.

“Tok-pi, kau baik dan pandai sekali mengambil hati. Nih, pengganti jasamu dan tak mau aku menerima cuma-cuma!”

“Ah, untuk apa uang ini, nona? Kalau mau minum silahkan minum. Aku tak biasa menerima balas budi!”

“Kalau begitu aku tak dapat menerima arakmu, aku tak mau minum...”

“Eh-eh, jangan begitu. Baiklah, ha-ha sekali ini aku menurut!” dan uang yang diambil atau diraih si buntung akhirnya diimbangi dengan arak yang diterima si nona.

Shintala tak curiga dan mendapatkannya secawan, langsung meneguknya sekali habis. Tapi ketika si nona tertegun merasa pusing, arak yang memasuki perut tiba-tiba terasa panas dan membakar, matapun berkunang dan muka memerah tiba-tiba gadis ini menerkam maju dan membentak si buntung itu. “Tok-pi, kenapa kepalaku pusing? Ada apa dengan arakmu itu?”

“Ha-ha..!” tubrukan luput, si buntung mengelak cepat. “Arakku arak yang istimewa, nona. Kalau sebentar lagi kau pusing maka selanjutnya kau akan merasa terbang dengan selaksa kenangan indah!”

“Ah, kau dapat mengelak seranganku? Kau bicara apa?” Shintala terkejut, merasa kepala menjadi berat dan elakan si buntung yang cepat itu mengagetkan hatinya. Tadi si buntung tak dapat berbuat seperti itu dan biarpun ia merasa pusing namun tak mungkin si buntung itu mampu menghindar, kalau ia benar-benar bukan seorang ahli silat. Maka terpekik dan marah oleh elakan si buntung, yang tiba-tiba tertawa dan bersikap kurang ajar maka sadarlah Shintala bahwa ia tertipu. Si buntung itu musuh dalam selimut!

“Siapa kau!” bentakan ini akhirnya melengking menggetarkan hutan cemara. Kau memberikan arak beracun, buntung. Kau keparat dan kurang ajar!”

“Ha-ha, tidak kurang ajar,” si buntung tampak wajah aslinya. “Aku tidak memberimu arak beracun, Shintala, melainkan arak yang akan membuat semangatmu terbang ke tempat dewa-dewi. Lihat, wajahmu semakin memerah. Kau akan merasa panas dan ingin bermain cinta. Kau...”

“Jahanam!” gadis itu berkelebat dan bentakannya mengejutkan si buntung, tiba-tiba menyambar bagai elang mematuk mangsa. “Kalau kau kira dapat meracuni aku maka kau salah, buntung. Aku dapat membebaskan diriku dan lihat pukulanku ini... dess!” dan sebatang pohon yang hancur oleh pukulan si gadis tiba-tiba membuat si buntung terbelalak karena gadis itu telah berkelebatan cepat tak terpengaruh araknya lagi.

Tadi ia memberi bubuk perangsang agar gadis itu roboh, tak mau merobohkannya dengan cara kekerasan melainkan dengan cara licik memberinya obat perangsang. Seekor kuda betina pun akan terbakar birahi kalau sudah merasakan bubuk putihnya, apalagi manusia biasa betapapun kuatnya. Tapi karena si buntung tak tahu bahwa Shintala memiliki wewangian Asap Dewa, peninggalan kakeknya yang dapat mengusir atau menghancurkan segala jenis racun maupun obat bius maka begitu gadis itu menghirup daya tangkalnya dan racun perangsangpun musnah dengan cepat maka iapun bangkit lagi dengan kemarahan meluap-luap.

Gadis ini menerjang dan kedua tangannya melakukan cengkeraman atau tamparan, sekali kena tentu kepala lawanpun hancur. Tapi ketika si buntung pandai berkelit dan ke manapun dia menyerang selalu pukulannya itu luput, menghantam pohon-pohon di belakang atau batu-batu besar yang tentu saja mengeluarkan suara hiruk-pikuk maka Shintala terkejut bukan main karena lawannya ini ternyata lihai!

“Terkutuk, busuk dan biadab!” Shintala pucat dan tergetar. “Kau kiranya iblis berkedok domba, buntung. Bilang tak memiliki kepandaian tapi nyatanya hebat dan sombong. Aih, sebutkan siapa kau sebenarnya atau tongkatku akan menghajarmu mampus.... des-dess!” tongkat tiba-tiba menyambar, Shintala mencabutnya.

Togur tak sempat berkelit. Dia sudah bergerak ke kanan ketika tiba-tiba tongkat itu datang, mencegat dan menyambarnya dengan luar biasa dahsyatnya. Dan karena ia tak sempat berkelit karena tongkat menyambar datang, apa boleh buat ditangkis dan diterima dengan tongkatnya sendiri maka gadis itu terpental sementara Togur terhuyung dan tergetar setindak.

“Ha-ha, kau akan tahu siapa aku, nona. Tapi berhentilah menyerang dan kita bicara baik-baik. Aku ingin menjalin persahabatan dan cinta yang akrab!”

“Cinta? Dengan manusia buntung macam dirimu ini? Ah, keparat, tak tahu malu. Cis, kau hidung belang dan laki-laki busuk yang tidak berahlak... des-dess!” dan tongkat yang kembali menghajar tanah setelah gadis itu berjungkir balik dan menyerang lagi tiba-tiba bergerak semakin cepat ketika Shintala mainkan Sing-thian-sin-hoatnya.

Gadis ini memang memiliki ilmu tongkat yang luar biasa hebatnya, ilmu yang belum diketahui si buntung hingga akhirnya si buntung itu terkejut ketika tiba-tiba dari bayangan tongkat yang ribuan banyaknya mendadak keluar tenaga sedot yang menarik dirinya ke dalam. Togur tercekat dan kaget. Tapi ketika ia mainkan tongkatnya pula dan menahan arus sedotan itu, heran dan kagum bahwa cucu Drestawala ini ternyata demikian lihai maka si buntung itupun berkelebatan dan mengeluarkan ilmunya.

Mula-mula dia mainkan tongkat dengan gaya bertahan, tangan kiri juga melakukan pukulan-pukulan cepat mengiringi tongkat. Tee-sin-kang maupun Mo-seng-ciang ganti-berganti dikeluarkan menahan serangan gadis itu. Tapi ketika semuanya buyar dan senjata di tangan gadis itu masuk dan menikam atau menyodok maka apa boleh buat dia bergerak dengan Jing-sian-engnya dan begitu dia mengeluarkan ilmu meringankan tubuhnya ini tiba-tiba si gadis berteriak tertahan karena tentu saja mengenal ilmu ginkang itu, milik keluarga Pendekar Rambut Emas.

“Jing-sian-eng, Bayangan Seribu Dewa....!”

“Ha-ha, kau mengenal? Bagus, kau bet? benar-benar lihai, nona. Dan mengagumkan. Aih, aku semakin cinta dan jatuh hati kepadamu!”

Namun lawan yang melengking dan kembali bergerak cepat akhirnya mainkan Sing-thian-sin-hoatnya dan Togur dipaksa berkelebatan cepat menghindari pukulan- pukulan tongkat itu. Lawan demikian marah dan Togur tak tahu betapa panasnya hati cucu kakek Drestawala itu. Shintala teringat Kim-hujin dan bayangan nyonya Pendekar Rambut Emas itu membuatnya benci setengah mati. Musuhnya ini ternyata ada hubungan dengan keluarga Pendekar Rambut Emas, jadi, musuh besarnya juga. Tapi karena Jing-sian-eng benar-benar ilmu luar biasa dan pemuda itu mampu bergerak seperti bayangan, tak dapat disentuh akhirnya tongkatnya gagal menyambar lawan dan luput mengenai angin kosong belaka, hal yang membuat Shintala gusar bukan main.

“Buntung, jangan mengelak saja. Hayo, balas atau terima tongkatku kalau berani!”

“Ha-ha, kau minta aku menerima tongkat? Kau kira aku tidak berani? Baik, demi cintaku kepadamu akan kuterima tiga kali gebukan, Shintala. Tapi setelah itu sudahi seranganmu dan kita berpasangan sebagai kekasih!”

Shintala mendelik. Lawan yang tertawa-tawa mengeluarkan kata-kata yang demikian membuatnya merah padam sungguh tak dapat diampuni lagi. Dia bergerak dan menghantam dari atas ke bawah, mengeluarkan jurus yang disebut Menyapu Bianglala Membersihkan Langit. Dan ketika gerakannya itu masih diteruskan dua serangan lain yang menyodok dan menusuk ulu hati maka Shintala terkejut ketika lawan tiba-tiba berhenti bergerak dan benar saja menerima serangannya itu, tidak mengelak.

“Des-des-dess!”

Tongkatnya terpental. Shintala terpekik karena tiba-tiba senjatanya itu bertemu dengan tubuh yang seperti karet, semakin keras dihantam semakin pula terpental ke atas, yang terakhir nyaris mental mengenai kepalanya sendiri. Dan ketika gadis itu bergulingan membuang sisa pentalan dan meloncat bangun maka Shintala terbelalak melihat lawan terkekeh-kekeh.

“Khi-bal-sin-kang!”

“Heh-heh, betul. Kau rupanya kenal baik semua ilmu-ilmuku, Shintala. Sungguh mentakjubkan. Aku semakin cinta dan jatuh hati saja kepadamu!”

“Keparat!” dan gadis itu yang menerjang dan marah bukan main akhirnya berkelebatan tapi harus selalu berhati-hati karena pemuda itu memamerkan lagi ilmu karetnya, tongkat membalik dan jadilah cucu Drestawala ini kalang-kabut karena berhadapan dengan Khi-bal-sin-kang. Ilmu itu memang menjengkelkan, dia sudah berkali-kali merasakannya ketika bertempur dengan Kim-hujin itu. Dan karena si buntung tampak sombong menerima pukulan-pukulannya, terkekeh dan tertawa-tawa maka gadis itu membentak agar si pemuda ganti menyerangnya.

“Jangan sombong, jangan tertawa-tawa. Coba kau sekarang balas menyerang dan apakah sanggup merobohkan aku!”

“Ha-ha, begitukah? Baik, aku hanya sekedar memenuhi perintahmu, Shintala. Disuruh apapun aku mau, apalagi kalau disuruh mencium!” dan ketika gadis itu merah mukanya memaki lawan, si buntung terkekeh dan kurang ajar maka Togur bergerak dan balas menyerang gadis itu. Dia telah bersombong dengan dua ilmunya dari Pendekar Rambut Emas itu, lawan bingung dan kalang-kabut sendiri. Tapi begitu dia bergerak dan menusukkan tongkat tiba-tiba senjatanya itu tersedot oleh Sing-thian-sin-hoat yang membungkus dan bergulung naik turun.

“Aihhh... plak-plak!”

Togur melempar tubuh ketika senjata tersedot masuk. Dia tentu saja menarik tongkatnya itu dan lupa bahwa lawan memang memiliki ilmu yang luar biasa, ilmu yang mampu menyedot apa saja asal berani mendekat. Dan ketika ia terpekik bergulingan melempar tubuh, gadis itu terkekeh-kekeh melihat ia menyelamatkan diri maka Togur merah mukanya meloncat bangun, gemas dan juga mendongkol.

“Ayo, coba dan serang lagi, buntung. Lihat apakah kesombonganmu sesuai dengan kepandaianmu!”

Si buntung tertawa, masam. Dia tentu saja tak gentar dan mencoba lagi. Tongkat bergerak dan mencari sasaran. Namun ketika tersedot dan kembali tertarik, Sing-thian-sin-hoat memang luar biasa maka ia gagal dalam tujuh serangan berturut-turut.

“Hi-hik, ayo buntung... ayo. Jangan jera dan coba lagi!”

Si buntung mendongkol. Ia jadi gemas dan marah karena gadis itu benar-benar hebat sekali. Keadaan menjadi satu-satu untuk mereka. Namun karena ia masih memiliki ilmu-ilmu yang lain, dan itu adalah ilmunya yang baru dari Poan-jin-poan-kwi tiba-tiba Togur membentak dan meledakkan kedua tangannya.

“Awas, jangan kau sombong, nona. Aku masih belum mengeluarkan semua ilmuku dan lihatlah ini... dar!” dan tepukan keras yang mengguncangkan tempat itu tiba-tiba membuat Shintala terkejut karena lawan mendadak lenyap. Asap hitam muncul di situ dan sebagai gantinya bergeraklah asap ini memasuki gulungan tongkatnya. Dan karena asap adalah benda halus yang tak mungkin ditahan maka sedotannya tak berpengaruh dan terkejutlah gadis itu ketika tiba-tiba sebuah ketukan mengenai pundaknya.

“Aihhh... Hek-kwi-sut!”

Shintala membanting tubuh bergulingan. Lawan terbahak-bahak di balik ilmu hitam dan gadis ini kaget setengah mati karena itulah Hek-kwi-sut, ilmu yang dimiliki Poan-jin-poan-kwi. Dan ketika ia meloncat bangun namun asap itu mengejar, si buntung menyerang di balik ilmu hitamnya maka Togur terbahak-bahak mempermainkan lawan.

“Ha-ha, lagi-lagi hebat dan banyak pengetahuan. Benar, ini Hek-kwi-sut, adik cantik. Kau sekarang tak dapat menyedotku lagi dan menyerahlah!”

“Kau... kau siapa?” Shintala terkejut dan pucat pasi, bergulingan dan melempar tubuh ke sana ke mari. “Biadab dan terkutuk dirimu, buntung. Kau memiliki bermacam-macam ilmu yang mungkin curian. Kau manusia sesat!”

“Ha-ha, aku adalah aku. Aku manusia baik-baik yang kini jatuh hati dan mencintaimu. Menyerahlah, kau tak dapat mempertahankan diri, Shintala. Aku ingin kau menyerah baik-baik atau terpaksa aku merobohkanmu dengan kasar!”

“Terkutuk, keparat jahanam. Aku tak akan menyerah!” dan Shintala yang menggerakkan tongkatnya mengibas ke sana-sini, gagal karena asap tak mungkin dipukul akhirnya mengeluh karena lawan muncul dan menyerang dari mana-mana.

Togur dengan enak menampar atau mencubit, tidak menyakitkan namun perasaan gadis itu tentu saja jauh lebih sakit dari sekedar tamparan atau cubitan itu. Sing-thian-sin-hoat tak dapat dipakai menyerang asap! Dan ketika Shintala mengeluh dan pucat pasi, tak tahu siapa lawannya ini maka Togur mulai kurang ajar dengan menowel atau meraba bagian-bagian tertentu dari cucu Drestawala ini. Si buntung itu ingin memuaskan dirinya dulu sebelum korbannya akhirnya ditelan bulat-bulat.

Shintala tak memiliki ilmu menghilang seperti kakeknya, tongkat di tangan menyambar atau membabat hanya lewat begitu saja menyambar asap hitam itu. Maklumlah, Togur berobah menjadi mahluk halus. Tapi ketika pemuda itu mempermainkan dan menghina lawan, pinggul atau pipi gadis itu diusapnya secara kurang ajar tiba-tiba terdengar suara tanpa rupa yang membuat si buntung itu terkejut.

“Togur, tak malu kau menghina seorang gadis? Lepaskan, atau aku akan menghajarmu.... blarr!” dan asap hitam yang buyar dipukul asap merah, terpekik dan muncul lagi sebagai si buntung yang asli mendadak terlempar dan berteriak ketika sesosok gulungan asap merah berkelebat dan menabrak asap hitam itu.

Shintala bergulingan meloncat bangun ketika di situ tiba-tiba berdiri seorang pemuda gagah, sikapnya agung dan penuh wibawa mengenakan jubah merah yang berkibar-kibar. Sepasang matanya tajam seperti rajawali sakti! Dan ketika gadis itu tertegun sementara si buntung bergulingan di sana, juga meloncat bangun, maka Shintala terpesona oleh sebuah wajah yang lembut namun gagah dan tampan, terutama sepasang mata yang tajam bak rajawali sakti itu, lain dengan lawannya yang terkejut setengah mati mengenal siapa kiranya pemuda berjubah merah ini.

“Thai Liong...!”

“Benar,” pemuda itu tersenyum dan membalik, sedikit mengangguk kepada Shintala, senyumnya amat menawan. “Kau terlalu dan berkali-kali mengganggu wanita, Togur. Sekarang enyahlah atau aku membunuhmu!” dan jubah yang berkibar mendorong ke depan tiba-tiba mengeluarkan angin dahsyat yang menyambar si buntung. Togur berteriak dan coba bertahan namun tetap saja terlempar. Dan ketika pemuda itu terpekik dan marah terguling-guling, Thai Liong membalik dan menghadapi lagi cucu Drestawala itu maka pemuda ini berkata, tak mengacuhkan lawan.

“Tak perlu takut. Ada aku di sini, nona. Kalau sekali lagi pemuda itu mengganggumu maka aku akan melumpuhkannya seumur hidup!”

Shintala bengong. Setelah dia berhadapan dan melihat kesaktian pemuda ini maka seluruh sukmanya tiba-tiba terbang ke langit. Entah kenapa muncul dan datangnya pemuda itu menggetarkan semua kalbunya. Ada detak berdegup-degup yang membuat ia tak dapat bicara. Ada palu godam yang memukul-mukul begitu dia memandang wajah gagah dan tampan ini, wajah yang lembut namun agung dan penuh wibawa. Tapi begitu pemuda itu membalik dan membelakangi si buntung, tak tahu bahwa si buntung tiba-tiba berkelebat dan melepas sebuah pukulan tiba-tiba gadis ini terpekik dan menjerit.

“Awas!”

Thai Liong tersenyum. Tentu saja dia tahu pukulan itu dan serangan Togur yang curang ini tidak membuatnya takut. Dan karena ia ingin memberi pelajaran dan seluruh sinkangnya sudah bergetar melindungi tubuh, menerima pukulan itu maka ledakan keras mengguncangkan tempat itu disusul oleh kilatan api yang membuat Thai Liong terkejut dan berseru tertahan.

“Dess!” Thai Liong terhuyung dan menoleh. Ia melihat lawannya terpental berjungkir balik dan si buntung melayang turun dengan muka pucat. Togur menghantam sepenuh tenaganya tapi bertemu kekuatan raksasa yang melindungi lawannya itu, seolah tembok baja yang hanya membuat lawan terhuyung, sama sekali tidak terpelanting apalagi roboh. Dan ketika Togur mengeluarkan teriakan keras sementara Thai Liong berseru tertahan, bukan pukulan pemuda itu yang membuatnya terkejut melainkan sinkangnya yang dahsyat berlipat-lipat maka Thai Liong tertegun dan menegur lawannya itu, lawan yang sejak kecil memang selalu memusuhinya.

“Togur, kau sudah maju demikian pesat? Dan sinkangmu itu, ah... dari mana kau mendapatkannya? Kau belajar ilmu baru?”

“Keparat!” si buntung memekik dan menggerakkan tongkatnya. “Tak usah banyak cakap, Thai Liong. Mari mampus atau kita sama-sama ke neraka....!” dan si buntung yang mencelat melepas serangan tiba-tiba sudah menghujani lawannya dengan sodokan atau tikaman maut. Tongkat berputar mengaung-ngaung dan terkejutlah Shintala melihat itu.

Sekarang si buntung mengeluarkan semua kepandaiannya dan gerakannya jauh lebih cepat daripada tadi. Berarti, si buntung menambah tenaganya dan tentu saja itu hebat bukan main. Dan ketika tongkat lenyap disusul pemiliknya, suara mengaung akhirnya berrobah menderu di mana batu atau pasir-pasir berhamburan, Shintala terpekik karena tubuhnya tiba-tiba bergoyang, naik turun oleh angin tongkat yang dahsyat maka gadis itu melompat mundur sementara Thai Liong, pemuda gagah yang agung dan penuh wibawa itu berkelebat mengikuti bayangan tongkat.

Cucu Drestawala ini tertegun karena si buntung yang tadi main-main dengannya itu mendadak kini menjadi demikian ganas dan dahsyat. Sepak terjangnya tidak seperti tadi lagi melainkan seolah burung garuda yang haus darah. Gerakan atau sapuan tongkatnya selalu mengeluarkan ledakan kilat. Batu atau apa saja akhirnya hancur dihajar tongkat itu, tongkat yang tiba-tiba berobah berkilauan dan penuh tenaga sakti. Dan ketika jubah pemuda itu berkibaran disambar pukulan tongkat, yang anginnya kian menderu dan dahsyat maka tampak pemuda gagah itu agak terdorong dan rupanya terdesak. Hebat!

“Kongcu, tak usah kau takut. Si buntung ini memang siluman. Biar kubantu kau dan mari kita keroyok!”

Shintala tiba-tiba tak tahan, bergerak dan maju memekik dengan seruannya yang nyaring. Dia khawatir dan cemas melihat jalannya pertandingan itu, di mana pemuda gagah yang menggetarkan hatinya itu kelihatannya terdesak dan mundur-mundur. Sekarang dia tahu kehebatan lawannya ini, si buntung ternyata benar-benar lihai. Tapi ketika ia bergerak dan melepas pukulannya, Togur menangkis dan ia terpental tiba-tiba sebuah tangan lembut mencengkeram bahunya.

“Nona, tak usah khawatir. Aku hanya sedang mempelajari ilmunya. Kau mundurlah dan biarkan aku melayani lawanku ini!”

Shintala terhuyung. Ia hampir jatuh ketika tahu-tahu jari lembut pemuda itu menahannya. Ada getaran hangat yang membuat dirinya tersentak, jantung berdegup aneh dan gadis itu merah mukanya didorong minggir. Tapi ketika pemuda gagah itu melindunginya dari sebuah serangan tongkat, yang menderu dan mau menimpa kepalanya maka dia tertegun melihat pemuda ini bergerak dengan amat cepatnya.

“Plak!” Tongkat membalik menyambar si buntung sendiri. Togur berteriak dan menerjang lawannya lagi karena Thai Liong melindungi gadis itu. Tongkatnya memang menyambar namun putera Pendekar Rambut Emas ini menolaknya. Dan ketika Shintala tertegun dan tak jadi membantu, melihat pemuda itu mulai dapat menghalau serangan-serangan tongkat akhirnya gadis ini kagum karena benar saja pemuda itu tak lagi terdesak. Tongkat mulai bertemu sepasang telapak aneh seperti karet.

“Togur, kau semakin lihai. Dan kau rupanya mendapat guru yang lebih baik. Hm, sayang tak diimbangi dengan ahlakmu yang tetap bejat. Awas, aku sekarang membalas, Togur. Dan hati-hati setelah ini... wut-wut!” Thai Liong tiba-tiba lenyap, bergerak menyilaukan mata dan tiba-tiba ujung jubahnya itu melebar seperti sayap burung. Dan ketika pemuda ini membentak beterbangan mengelilingi lawan tiba-tiba saja bayangan merah yang besar bergerak naik turun seperti rajawali sakti sedang mengintai korbannya.

Lawan terkejut karena dari sepasang ujung jubah itu meledak letusan-letusan kecil, kian lama kian nyaring hingga telinga terasa sakit. Dan ketika si buntung terbelalak merasa nyeri, ledakan-ledakan itu mengganggu telinganya maka lawan tak nampak lagi bayangannya karena bersembunyi di balik jubah lebarnya itu, yang naik turun seperti sayap. Kaki sudah tidak menginjak tanah lagi, melayang, atau terbang yang benar-benar terbang!

“Aihh... Ang-tiauw Sin-kun (Silat Sakti Rajawali Merah)!”

“Benar,” Thai Liong tersenyum, bergerak kian cepat lagi. “Sekarang kau merasakan kepandaianku, Togur. Dan hati-hati karena untuk pertama kali aku akan memukulmu.... plak!”

Dan si buntung yang berteriak menerima tamparan, kaget melempar tubuh bergulingan mendadak susah dikejar dan bertubi-tubi menerima serangan. Dia mengelak dan menangkis dengan tongkatnya namun selalu senjata itu kalah cepat. Lawan menyelinap di balik pertahanannya itu dan tiga kali ia terpelanting oleh sebuah tamparan, yang terakhir malah di pinggir telinganya dan Togur berteriak karena bukan main sakitnya. Telinganya seakan pecah! Dan ketika ia mengerahkan Jing-sian-eng namun lawan mendahului, Thai Liong tentu saja tahu ilmu keluarganya ini maka bertubi-tubi akhirnya lawannya itu dihajar. Togur kalang-kabut!

“Aduh, keparat kau, Thai Liong. Jahanam terkutuk!”

“Hm, kau pantas dihajar,” Thai Liong tak perduli, terus beterbangan tak menginjak tanah lagi. “Berkali-kali kau ganggu orang lain, Togur. Dan sekarang aku akan menangkapmu untuk kuikat di sebuah gunung!”

“Aduh, tobaat.... jahanam!” dan Togur yang pucat bergulingan melempar tubuh akhirnya melepas tongkatnya menghantam Thai Liong. Saat itu lawan mengejarnya bagai rajawali menerkam kelinci yang lemah, tujuh kali menerima kepretan jari dan tujuh kali itu pula si buntung ini kesakitan hebat. Tenaga sakti di ujung jari lawannya itu bagai petir menyengat tubuh. Juga dari kibasan ujung jubah itu lama-lama muncul hawa panas yang membakar.

Dan karena si buntung tak sanggup menahan, sudah mengerahkan sinkang namun tetap saja kepanasan, mandi keringat maka dia melempar tongkatnya itu untuk mengajak mati bersama. Thai Liong memburunya bagai memburu anak ayam yang berciap-ciap, Togur memang selalu menjerit setiap menerima sebuah tamparan, entah kepretan ujung-ujung jari atau ujung jubah. Dan ketika tongkat dilepaskan namun Thai Liong menggerakkan ujung jubahnya yang lain, menangkis, maka tongkat hancur berkeping-keping sementara Thai Liong menggerakkan dua jarinya ke depan dan terdengarlah suara “cus” yang keras ketika si buntung berteriak karena bahu sebelah kirinya berlubang, terkena totokan Jari Api.

“Aduh!” Si buntung benar-benar pucat. Dia sekarang tahu bahwa betapapun juga lawannya itu masih unggul, biarpun ia telah mewarisi ilmu-ilmu Poan-jin-poan-kwi. Namun karena serangan-serangan Thai Liong juga mampu ditahannya dengan Khi-bal-sin-kang, si buntung tak juga roboh meskipun jatuh bangun maka pemuda itu tiba-tiba meledakkan kedua tangannya dan menghilang di balik Hek-kwi-sutnya, hal yang membuat Thai Liong tertegun namun juga kagum, di samping gemas.

“Thai Liong, kita bertemu lagi lain kali. Awas, aku masih akan membalas kepadamu!”

Thai Liong membentak. Ujung jubahnya meledak di samping lawannya itu ketika tiba-tiba lawan menghilang. Namun karena ia mampu mengatasi Hek-kwi-sut dengan ilmu batinnya yang tinggi, Beng-tau-sin-jin (Manusia Menembus Roh) tiba-tiba pemuda itupun meledakkan kedua tangannya dan menghilang dalam bentuk asap putih, mengejar asap hitam.

“Togur, kau tak boleh lari begitu saja. Aku ingin mengikatmu dan menghukummu di tempat ini. Berhenti, dan menyerahlah!”

Shintala terbelalak. Tiba-tiba ia melihat dua asap hitam dan putih berkejaran, yang satu mendahului yang lain. Tapi ketika asap putih menang dulu dan mencegat asap hitam, menabrak, maka asa hitam buyar dan muncul lagi si buntung itu yang berteriak-teriak.

“Aduh... aduh.... tobaat!”

Gadis itu bercahaya. Tiba-tiba saja menjadi kagum bukan main kepada asap putih itu. Dia adalah pemuda gagah itu dan kiranya pemuda itu bukan hanya kepandaiannya saja yang tinggi melainkan juga ilmu batinnya. Ah, pemuda itu mentakjubkan sekali! Dan ketika gadis ini terbelalak dan kagum, mata dan hatinya berdetak-detak maka Thai Liong muncul lagi untuk meringkus lawannya namun lawan melarikan diri dan lenyap lagi di balik Hek-kwi-sut, hal yang terjadi berulang-ulang.

“Aku tak mau kau tangkap. Bunuh dan boleh habisi aku kalau bisa!”

“Hm!” Thai Liong terbelalak, mengejar dan lenyap lagi mengeluarkan Beng-tau-sin- jinnya. “Aku tak mau membunuhmu, Togur, hanya ingin menangkap dan menghukummu di Himalaya. Menyerahlah, atau nanti tubuhmu sakit-sakit!”

“Persetan kau. Keparat!” dan lawan yang terbang ke puncak gunung akhirnya memaki dan memekik setiap Thai Liong melepas pukulan.

Pemuda itu mengepretkan jari atau jubahnya dan lawan tentu terpelanting. Tapi karena lawannya itu memiliki Khi-bal-sin-kang dan ilmu ini memang hebat, mampu melindungi diri dengan baik maka Thai Liong gemas mengejar lawannya itu, sudah duapuluh kali menampar namun setiap kali itu pula lawan bangun berdiri, terhuyung dan lari berteriak-teriak ketakutan. Togur gentar namun juga marah karena ia dihajar jatuh bangun. Dan ketika ia lenyap lagi mengandalkan Hek-kwi-sut namun Thai Liong mengejar di balik Beng-tau-sin-jinnya, ilmu yang membuat si buntung itu merinding maka Shintala berteriak ketika tiba-tiba dua pemuda itu terbang ke puncak.

“Hei, tunggu...!” gadis inipun berkelebat. Cucu Drestawala itu tentu saja tak mau ditinggal sendirian, ingin menyaksikan bagaimana si buntung itu akhirnya dirobohkan. Dan ketika ia mengejar dan terbang mengikuti, kalah cepat oleh asap hitam dan putih yang silih berganti maka di puncak gunung si buntung ini memanggil-manggil gurunya.

“Suhu, tolong...! Ji-suhu, tolong. Aku dikejar Thai Liong...!”

Thai Liong terkejut. Saat itu ia lenyap di balik Beng-tau-sin-jinnya dan melesat mendahului lawan. Dia mencegat mengulurkan lengan. Dan ketika bahu lawannya ditangkap dan Togur menjerit, membalik dan menghantamnya dengan dua pukulan sekaligus maka di belakangnya tiba-tiba terdengar dengus dingin dan kesiur angin tajam.

“Jangan ganggu muridku!”

Thai Liong menangkis. Ia tersentak melihat bayangan seorang kakek tahu-tahu berada di belakangnya, seperti iblis. Dan karena ia harus menghadapi pula pukulan Togur, yang menyambar dan kesakitan oleh cengkeramannya maka pemuda itu melepaskan tangannya dan empat “tangan” tiba-tiba menangkis empat pukulan dari muka dan belakang.

“Plak-plak!”

Togur menjerit dan terpelanting. Ia kaget bagaimana Thai Liong dapat menyambut pula serangan di belakang tubuhnya itu, karena gurunya muncul dan Poan-kwi tahu-tahu melepas serangan dengan sepasang tangannya yang kuat, tangan yang mengeluarkan angin tajam. Tapi ketika ia terguling-guling dan melihat ujung jubah lawannya pecah, Thai Liong mempergunakan itu sebagai ganti tangannya yang lain maka si buntung itu tertegun dan Thai Liong tampak terhuyung mundur sementara dari ujung jubahnya yang pecah terlihat dua wanita terlempar atau terloncat keluar.

“Aihh, biar si Togur ini lawanku!”

Togur kian membelalakkan mata. Apa yang dilihat seakan mimpi saja, karena begitu Thai Liong tergetar dan mundur menerima pukulan gurunya maka Soat Eng dan seorang wanita cantik lain yang usianya sudah setengah baya tiba-tiba terloncat atau keluar dari ujung jubah yang sobek. Dan begitu ia tertegun dan membetalakkan mata maka gurunya juga terkejut dan berseru tertahan.

“Pemuda yang hebat!”

Thai Liong sudah memperbaiki diri. Gempuran kakek itu membuat adiknya yang disimpan di dalam jubah terlempar, begitu juga bibinya Cao Cun, karena wanita cantik setengah baya itu memang bukan lain Cao Cun adanya, dua wanita yang disimpan dan disembunyikannya di dalam jubah, lewat ilmu saktinya Beng-tau-sin-jin. Tapi begitu adiknya melengking dan bibinya menjerit tiba-tiba Thai Liong sudah menggerakkan tangannya dan wanita itu disambarnya untuk dimasukkan ke dalam.... saku baju.

“Hebat, bocah siluman...!”

Thai Liong mengusap keringat. Seruan kakek itu tidak disambutnya gembira karena tiba-tiba ia menyadari berhadapan dengan lawan berat. Togur menyebut kakek itu sebagai gurunya, berarti lawan yang lebih tangguh dan tentu saja ia harus memperhatikan. Dan ketika ia melihat bahwa ia berhadapan dengan seorang kakek bermisai panjang, matanya cekung seperti iblis maka adiknya rnembentak bahwa itulah Poan-jin-poan-kwi.

“Ini kakek siluman itu. Dialah yang menculik Siang Le dan Beng An!”

“Hm, ini gurumu?” Thai Liong melirik dan menyambar Togur. “Ini Poan-jin-poan-kwi?”

“Keparat!” si buntung itu membentak dan sudah berlindung di balik gurunya. “Kau akan mampus, Thai Liong. Inilah guruku dan kalian akan dicincang!”

“Manusia curang!” Soat Eng melengking dan tak tahan. “Kaulah yang akan kami cincang, Togur. Kau manusia busuk yang tidak tahu malu. Bedebah, aku tak takut kepadamu!” dan si nyonya yang berkelebat dan melepas Khi-bal-sin-kang tiba-tiba menghantam dan menyerang lawannya itu dengan marah. Soat Eng telah melihat pertandingan kakaknya dengan si buntung ini namun tak dapat keluar karena disimpan dalam ilmu sakti Beng-tau-sin-jin.

Tapi begitu jubah kakaknya sobek menangkis pukulan Poan-kwi, tergetar dan tak kuat maka dia terloncat dan kini bebas di udara terbuka. Soat Eng diam-diam kaget namun tentu saja tak takut melihat kepandaian lawannya sekarang. Ada kakaknya di situ! Maka melengking dan mengandalkan kakaknya di situ tiba-tiba ia sudah menerjang dan memaki lawannya ini, langsung melepas pukulan maut dan kepala si buntung menjadi sasarannya. Tapi ketika Togur berkelit dan menangkis, ia terpental sementara lawan juga terhuyung maka Soat Eng menerjang lagi dan girang karena lawannya mulai lemah, habis dihajar kakaknya tadi!

“Togur, sekarang kita boleh mengadu jiwa. Mari, keluarkan semua ilmumu dan aku tak takut meskipun kau sudah menjadi murid kakek siluman itu!”

Togur terkejut. Dia berkelit dan menangkis lagi namun selalu terhuyung, meskipun lawannya juga terpental dan harus berjungkir balik menyelamatkan diri. Dan karena ia sudah lelah sementara lawan masih segar-bugar, apalagi semangat bertandingnya demikian besar maka tak lama kemudian si buntung ini didesak hebat dan mundur-mundur. Togur telah kehilangan tongkatnya ketika dihancurkan Thai Liong tadi.

Dia hanya mengandalkan silat dan ilmu hitam tapi tenaganya sudah banyak berkurang dihajar Thai Liong. Dan karena lawan bertempur demikian bernafsu sementara ia gentar kepada pemuda di depannya itu, yang diam tak bergerak sementara gurunya juga tak melihat pertandingannya maka tiba-tiba sebuah tamparan keras meledak di pelipisnya, hal yang membuat si buntung itu mengaduh.

“Plak!” Poan-kwi bergetar. Kakek itu hampir bergerak ketika muridnya tiba-tiba bergulingan, berteriak oleh tamparan itu. Namun ketika muridnya dapat meloncat bangun dan berteriak kepadanya tiba-tiba, kakek ini mencabut sehelai misainya dan meniupnya ke arah muridnya itu, misai yang tiba-tiba berobah kaku seperti tongkat baja.

“Togur, terima dan pergunakan ini. Bunuh lawanmu!”

Togur berseri. Tentu saja ia menangkap dan menerima tongkat aneh itu, sehelai misai yang sudah menegang kaku oleh kesaktian gurunya. Dan ketika ia bergerak dan menyambut serangan lawannya, yang menyerang dan kembali bertubi-tubi menekannya maka misai ajaib itu mampu menggetarkan lawannya.

“Dukk!” Soat Eng kaget bukan main. Benda kecil yang lemah dan halus itu sekonyong-konyong sudah berubah seperti tongkat baja, kuatnya bukan main dan iapun terpental! Namun ketika ia memekik dan menyerang lagi, lawan memiliki senjata ajaib maka nyonya itupun tak gentar dan sudah mengeluarkan segenap kepandaiannya. Biasanya ia akan menang meskipun susah payah, kecuali kalau menghadapi Hek-kwi-sut. Dan ketika ia menyerang lagi dan pukulan-pukulan Khi-bal-sin-kang terus mengalir disertai Lui-ciang-hoat karena hanya gabungan dua ilmu itulah yang akan dapat mengantarkannya kepada kemenangan mendadak lawannya tertawa bergelak dan apa yang ditakuti tiba-tiba terjadi. Togur mempergunakan Hek-kwi-sut!

“Soat Eng, jangan sombong. Kau tak dapat rnengalahkan ataupun merobohkan aku.... dar!” tepukan tangan itu disertai asap hitam, si buntung lenyap dan tertegunlah Soat Eng kehilangan lawan. Ini yang memang paling tak disukai! Dan ketika ia tertegun dan celingukan ke sana ke mari mendadak pemuda itu muncul di belakangnya menghantamkan misai tongkatnya.

“Dess!” Nyonya ini mengeluh. Si buntung tiba-tiba tertawa bergelak dan selanjutnya ia menyerang bertubi-tubi, mengejar dan hilang lenyap muncul lagi. Tongkat kecil di tangannya bergerak menghajar dan nyonya itu jatuh bangun. Soat Eng tak dapat melihat lawannya. Tapi karena Khi-bal-sin-kang melindungi nyonya itu dan Togur tak mampu merobohkan, lawan selalu bangun dan memekik-mekik marah maka Poan-kwi menyeringai dan tiba-tiba berseru.

“Bocah, pergunakan Bu-siang-sin-kang-mu (Ilmu Sakti Tak Berwujud). Serang ubun-ubunnya dan cengkeram pusarnya!”

Soat Eng terkejut. Tiba-tiba ia melihat asap hitam berkelebatan berpindah-pindah tapi ubun-ubun dan pusarnya menjadi sasaran. Ia terkejut karena ada semacam bau amis menyertai asap hitam itu, bau yang memabokkan dan hendak membuatnya muntah. Dan ketika konsentrasinya pecah dan Khi-bal-sin-kangnya melemah, nyonya itu pusing maka totokan ke ubun-ubtin tiba-tiba menyambar disertai cengkeraman Togur ke bawah pusarnya. Satu serangan maut yang juga kurang ajar!

“Awas!” Thai Liong bergerak dan mengebutkan ujung jubahnya. Pemuda itu lenyap mempergunakan kesaktiannya dan tiba-tiba meluncur ke depan, cepat bagai kilat menyambar. Dan ketika ia mendorong lawan dan Soat Eng tahu-tahu sudah diraih dan diselamatkannya maka Togur terpelanting berteriak tertahan, muncul lagi dalam bentuk semula.

“Plak!” Asap hitam itu buyar. Thai Liong tak dapat menonton adiknya lagi setelah adiknya itu berada di dalam bahaya, mengebut asap hitam lawan dan hancurlah pengaruh Hek-kwi-sut oleh tamparan atau kebutan pemuda ini. Namun begitu Thai Liong bergerak dan menyelamatkan adiknya, membuat Togur terpelanting dan berteriak tertahan maka Poan-kwi lenyap dan mengejar pemuda itu dengan satu pukulan marah.

“Bluk!” Thai Liong tahu akan ini. Ia cepat mengerahkan sinkang Rajawali Saktinya dan tiba-tiba kakek itu terpental. Poan-kwi, yang tertegun dan berseru tertahan tiba-tiba bertemu punggung pemuda itu yang menolaknya begitu kuatnya. Pukulannya membal dan kakek itu terlempar oleh sebuah tenaga yang amat dahsyat, tenaga yang seperti karet tapi juga baja, alot dan kenyal! Dan ketika kakek itu melayang turun dan terbelalak memandang lawan, Thai Liong melepas dan mengusap mata adiknya maka pemuda itu berseru bahwa sekarang Hek-kwi-sut tak perlu ditakuti lagi.

“Kau tak akan kehilangan lawanmu. Ke manapun ia bergerak kau pasti akan melihatnya. Peganglah ini, dan majulah kembali, Eng-moi. Aku akan menghadapi kakek itu dan kalahkan musuhmu!” Thai Liong memberi sapu lidi yang ditiup, hitam dan tiba-tiba mengeluarkan asap lalu terdengarlah ledakan kecil yang mengeluarkan sinar terang-benderang. Dan ketika Soat Eng terbelalak karena pandang matanya tiba-tiba menjadi amat jelas, terang luar biasa maka iapun melihat lawannya itu ada di sana, pucat dan merintih.

“Bagus, aku memang tak takut, Liong-ko. Kalau dia mempergunakan ilmu hitamnya lagi biar kuhancurkan dengan ini.... haiiittt!” dan Soat Eng yang menerjang dan marah kepada lawannya itu tiba-tiba berkelebat dan mempergunakan sapu lidi pemberian kakaknya, sapu lidi hitam yang tiba-tiba bersinar-sinar dan memancarkan cahaya terang-benderang.

Itulah sapu lidi ciptaan Thai Liong yang diberikan kepada adiknya agar adiknya itu tak terpengaruh Hek-kwi-sut. Sapu lidi itu memancarkan cahaya terang yang menghancurkan Hek-kwi-sut. Dan ketika benar saja Togur mempergunakan ilmu hitamnya namun gagal menghadapi sapu lidi ini, yang memancarkan cahaya terang-benderang maka Soat Eng tak kehilangan lawannya lagi karena ke manapun lawannya itu bergerak ke situ pula ia dapat melihat!

“Ayo, boleh kau bersembunyi ke mana kau suka, Togur. Keluarkan ilmu hitammu lagi dan cobalah berbuat curang seperti tadi!”

“Keparat!” Togur membentak. “Kau jangan sombong berkat kesaktian kakakmu, Soat Eng. Lihat sekarang ia menghadapi guruku dan begitu ia mampus kaupun tak dapat mengandalkannya lagi!”

“Siapa bilang? Gurumu itulah yang akan dihancurkan kakakku. Kami telah bersiap sejak lama dan kau jangan banyak mulut lagi.... des-dess!” dan pukulan Soat Eng yang menyambar lawannya tiba-tiba disambut dan dua orang itu terpental.

Soat Eng menyerang lagi sementara di sana Poan-kwi mengeluarkan lengking aneh yang menggetarkan gunung. Lengking itu di samping sebagai tanda kemarahannya kepada Thai Liong juga sebagai panggilan kepada adiknya, karena di tempat lain Poan-jin siap melahap mentah-mentah otak dan jantung Beng An, tawanan mereka itu, yang sudah dipersiapkan lama sebagai usaha mengembalikan kesaktian Bu-siang-sin-kang yang hilang. Dan begitu kakek itu membentak dan berkelebat maju tiba-tiba misai panjangnya menyambar dan Thai Liong menangkis.

“Plak!” Thai Liong tak bergeming dan tak bergeser. Misai yang penuh tenaga sakti bertemu pula dengan tenaga saktinya, Ang-tiauw-sin-kang. Dan ketika kakek itu tersentak karena untuk kedua kalinya ia terlempar, sama seperti tadi ketika menghantam punggung pemuda itu maka Poan-kwi menjerit dan tiba-tiba mencelat lagi menyerang lawannya itu, cepat dan bertubi-tubi dan misai yang ribuan jumlahnya itu mendadak menjadi kawat-kawat baja yang bercuitan.

Thai Liong menangkis dan mengelak sana-sini namun lawan mempercepat gerakannya. Bukan hanya tubuhnya saja yang disambar melainkan juga lubang-lubang hidung atau telinga. Dan ketika misai juga menyambar mata dan Thai Liong terkejut maka pemuda itu sudah dikurung ribuan benang-benang baja yang bercuitan dan tak dapat putus.

“Ha-ha, coba keluarkan kepandaianmu, bocah. Setelah itu kesaktianmu!”

Thai Liong berkelebatan mengelak sana-sini. Ia telah menangkis atau menampar misai-misai itu namun, ternyata Poan-kwi hebat bukan main. Benang misainya tak putus dan rambut-rambut halus itu benar-benar seperti kawat-kawat baja, bahkan, mungkin lebih kuat lagi! Namun ketika Thai Liong mendengus dan bergerak mengelak sana-sini, dia mempergunakan Ang-tiauw-ginkangnya atau Ginkang Rajawali Merah maka pemuda itu melayang dan beterbangan mengikuti ribuan cambuk halus itu tak menginjak tanah, mengejek lawan.

“Boleh kau keluarkan semua kepandaianmu pula. Mari, kita bertanding dan lihat siapa yang kalah, Poan-kwi. Dan panggil saudaramu itu sekalian dan mana adikku Beng An!”

Kakek itu terbelalak. Thai Liong, pemuda ini, tiba-tiba berkelebatan demikian cepat hingga tak satupun dari ribuan cambuk halusnya itu mengenai lawan. Pemuda itu bergerak seperti burung dan karena ia mempergunakan jubah merah maka bayangannya benar-benar seperti garuda atau rajawali menyambar-nyambar. Hebat bukan main padahal itu bukanlah ilmu batin, karena apa yang diperlihatkan Thai Liong benar-benar ilmu meringankan tubuh yang luar biasa. Dan ketika kakek itu memekik karena tak satupun dari cambuk anehnya mengenai lawan maka dari bawah gunung terdengar lengking lain dan seorang gadis cantik muncul, Shintala yang langsung menyerbu lawannya.

“Sobat, aku membantumu. Mari kita bunuh kakek ini karena dia telah membunuh kakekku!”

Poan-kwi terkejut. Dia sedang menyerang lawannya ketika tiba-tiba cucu Drestawala itu datang. Tapi karena dia adalah kakek sakti dan pukulan atau hantaman gadis itu tentu saja disambutnya dengan dengus pendek maka misainya terpecah dan yang ini menyambar gadis itu.

“Plak-dess!” Shintala terbanting. Memang terhadap kakek ini tak mungkin dia menang, meskipun bukan berarti kakek itu dapat mengalahkannya dengan mudah, karena pasti ia akan bertempur mati-matian. Tapi begitu ia meloncat bangun dan berteriak marah, hendak maju lagi tiba-tiba Thai Liong berseru padanya agar tak usah membantu, menyuruh saja gadis itu menyerang Togur.

“Kakek ini tak berbahaya bagiku, aku dapat mengatasinya. Silahkan nona hadapi si buntung itu dan serahkan lawanku kepadaku!”

Gadis itu tertegun. “Siapa dia?” tanyanya, terkejut dan tiba-tiba cemburu karena di situ mendadak ada seorang gadis cantik lain. Ia tentu saja tak tahu bahwa Soat Eng muncul setelah Poan-kwi merobek jubah kakaknya dengan pukulan curang, Beng-tau-sin-jin tergetar dan terlemparlah gadis itu dari tempat persembunyiannya. Tapi ketika Thai Liong berkata bahwa itu adalah adik perempuannya, Soat Eng, mendadak cucu Drestawala ini berseri karena tak perlu lagi cemburu. Aneh!

“Dia adik perempuanku, Soat Eng namanya. Tolong kau bantu dia dan selesaikan si buntung itu!”

“Ah, baik. Kalau begitu sama saja, sobat. Dan terima kasih untuk bantuanmu tadi!”

Thai Liong tersenyum. Dia tentu saja melihat keraguan atau muka merah dari gadis cantik itu tadi. Maklum bahwa gadis itu rupanya berpikir yang tidak-tidak dan entah kenapa mendadak hatinyapun menjadi berdebar. Gadis itu cantik, di samping luar biasa. Dan karena gadis itu jelas bukan gadis Han karena hidungnya yang mancung dan kulitnya yang putih bersih menunjukkan sebagai gadis Persi atau Hindia maka Thai Liong berdetak melihat kerling sekilas yang disambarkan gadis itu tadi. Kerling itu menunjukkan kegembiraan dan semangat. Kerling yang membuat jantungnya berdetak dan berdebar kencang. Tapi ketika Poan-kwi membentaknya marah dan Thai Liong sadar maka empat helai rambut tiba-tiba kurang cepat dikelit dan mengenai pipi kirinya.

“Plak-plak!”

Thai Liong mengerahkan sinkang. Dia merasa pedas dan sakit namun untung tak tergores, cepat pemuda ini melayani lagi lawannya dengan konsentrasi penuh. Dan ketika kakek itu tertawa namun Thai Liong sudah berkelebatan lagi, terbang seperti burung maka kakek itu menggeram dan memaki lawannya itu, gusar karena tadi pemuda itu mengatakan dirinya tak takut. Dia tak dianggap berbahaya!

“Bocah, mulutmu tajam. Tapi tunggu, aku akan mencincangmu hancur!”

“Hm, kaulah yang sombong. Kau tekebur dan besar mulut, Poan-kwi. Dan sepak terjangmu tak berperikemanusiaan. Kembalikan adik dan iparku atau aku akan merobohkanmu!”

“Keparat, melebihi bapaknya... hargghh...!” dan Poan-kwi yang membentak meledakkan tangannya tiba-tiba merobah gerakan dan sepasang tangannya ikut menyambar dari luar ke dalam. Ribuan rambutnya masih melecut dan bercuitan namun kini sepasang tangan itu rupanya lebih berbahaya. Dari telapak kakek itu menyambar api merah biru dan Thai Liong terkejut melihat ini. Tapi karena pemuda itu memiliki Ang-tiauw-sin-kun dan dengan silat sakti Rajawali Merah ini ia menghindar dan berkelit maka batu di belakangnya hancur sementara api menjilat setinggi rumah.

“Blarr!”

Thai Liong kagum mengerutkan alis. Dia menghindar dari pukulan itu tapi selanjutnya kakek ini meledak-ledakkan kedua tangannya lagi. Api menyambar lebih dahsyat dan suaranyapun kian memekakkan telinga. Tapi ketika pemuda itu tak tersentuh dan tetap beterbangan seperti rajawali, api menjilat dan mulai berkobar membakar apa saja maka kakek itu menjadi marah dan Shintala serta Soat Eng yang bertempur di dekat situ terlempar berjungkir balik, termasuk Togur.

“Aih, kakek siluman itu murka. Dia tak mampu merobohkan kakakku!”

“Benar,” Shintala juga kagum, berseri-seri. “Kakakmu hebat sekali, cici. Dan dia telah menyelamatkan aku dari si buntung ini. Sungguh tak kusangka bahwa inilah Togur murid Enam Iblis Dunia. Tapi bagaimana dia menjadi murid Poan-jin-poan-kwi pula!”

“Manusia ini memang busuk. Dia jahat dan amat keji. Mari tak usah perdulikan siapa gurunya dan kita habisi dia!”

“Benar, mari, cici. Tapi awas... serangan kakek itu menyambar dirimu... blar!” dan api yang menjilat hampir mengenai tubuh Soat Eng tiba-tiba membuat wanita itu menjerit dan melempar tubuh bergulingan. Poan-kwi menyerang Thai Liong tapi api menyambar ke belakang, menuju pada mereka yang sedang bertempur ini. Dan ketika wanita itu berteriak dan Thai Liong terkejut melihat ini, bahwa pertempuran itu bisa membahayakan adiknya dan gadis cantik itu tiba-tiba pemuda ini membentak dan Poan-kwi yang kembali meledakkan tangannya tiba-tiba disambut dengan seruan pendek.

“Poan-kwi, jangan kira aku takut menghadapi apimu. Lihat, aku menangkis dan mari rasakan balasanku... dess!” dan sebuah ledakan dahsyat yang mengguncangkan tempat itu tiba-tiba disusul pekik Poan-kwi yang kaget melihat apinya membalik, tertiup atau ditolak pemuda itu dan api sebesar bukit menyambar kakek ini.

Thai Liong mengeluarkan kesaktiannya dan tiga-perempat Ang-tiauw-sin-kangnya dikeluarkan, ingin membalas atau menghajar kakek itu. Dan ketika benar saja lawannya menjerit dan terkejut, lenyap digulung api sebesar bukit maka Poan-kwi mengeluarkan teriakan yang menggetarkan puncak gunung. Seluruh Himalaya tiba-tiba seakan diguncang gempa bumi hebat, misai atau rambut panjang kakek itu terbakar! Dan ketika Poan-kwi melolong-lolong namun hilang di balik Hek-kwi-sutnya, tentu saja dia tak mau hangus maka Soat Eng dan Shintala berseru tertahan ketika tiba-tiba dari atas gunung berguguran batu-batu besar. Batu yang terlempar atau berpindah tempatnya oleh pekikan Poan-kwi tadi.

“Aiihhhh...!”

“Awas...!”

Dua wanita itu berjungkir balik. Togur, si buntung, juga terkejut oleh pekik gurunya tadi. Itu tanda gurunya tak mampu menandingi dan kalah kuat beradu kesaktian. Togur terbelalak. Tapi ketika ia juga dijatuhi batu-batu besar yang berderak dari atas maka di puncak Himalaya terdengar suara gemuruh dan kekeh tawa seorang bocah. Seorang anak laki-laki tiba-tiba muncul dengan pakaian hampir telanjang. Di tangannya tampak kepala seorang kakek yang putus berlumuran darah.

“Beng An!”

“Heii, dia membawa kepala Poan-jin!”

Soat Eng dan Shintala kaget berbareng. Mereka sama-sama kaget karena mengenal anak laki-laki itu dan kepala yang dibawanya. Bocah itu bukan lain Beng An sementara kepala yang putus berlumuran darah itu adalah Poan-jin. Dan ketika dua-duanya berteriak namun dari puncak terdengar suara menggelegar maka Himalaya tiba-tiba bergemuruh dan kilatan api menyembur menjilat langit...