RAJAWALI MERAH
JILID 17
KARYA BATARA
“ADUH, ampun, susiok-kong. Tobaat...!”
San Tek terlempar dan roboh menabrak pohon. Pemuda itu tak mampu bergerak lagi karena seluruh tubuhnya matang biru dihajar misai kakek gurunya, bilur-bilur dan sebuah totokanpun mengenai lehernya, pemuda itu merintih dan tak mampu bangun lagi. Namun ketika Poan-jin terkekeh dan berkelebat menggerakkan misainya, membebaskan atau membuka totokan pemuda itu maka San Tek ditendang bangun dan pemuda itu terhuyung mendesis-desis.
“Aduh, ampun.... aku menyerah...!”
“Ha-ha, kau lumayan, San Tek. Dan ilmumu Jing-sian-eng benar-benar kau kuasai baik, juga Khi-bal-sin-kang itu. Bagaimana kau mendapatkan ini!”
“Aku mendapatkannya dari suhu...”
“Dan dari mana suhumu mendapatkannya.”
“Dari Togur!”
“Hm, kau, bocah? Dan kau dari mendiang Hu Beng Kui?”
”Benar,” Togur tersenyum. “Tapi ilmu itu tak ada gunanya berhadapan denganmu, locianpwe. Betapapun ilmumu masih lebih tinggi dan kesaktianmu luar biasa sekali!”
Poan-jin terkekeh. Dia senang oleh pujian ini dan selanjutnya kakek itu menghadapi suhengnya, bertanya apa yang akan dilakukan dan bagaimana pula dengan cucu murid yang tidak waras itu. Poan-kwi berkerut kening karena sungguh tak disangkanya bahwa dia memiliki cucu murid yang gila. Tapi ketika dia berpikir sejenak dan menyuruh sutenya mendekat, balik bertanya bagaimana pendapat sutenya itu maka Poan-jin bersinar dan berbisik.
“Aku rasa mereka ini adalah anak-anak muda yang dapat meneruskan cita-cita kita. San Tek murid See-ong, berarti cucu murid kita. Bagaimana kalau Togur juga kita ambil murid dan bersama kita?”
“Hm, aku juga berpikir begitu. Tapi si buntung itu cerdik dan licik, sute. Sebenarnya lebih baik San Tek tapi sayang bocah itu tidak waras!”
“Ha-ha, cerdik dan licik adalah kesukaan kita, suheng. Semakin cerdik dan licik semakin cocok dengan watak kita. Orang sesat memang harus cerdik dan licik. Aku pribadi suka kepada si bocah buntung itu, tapi terserah kau bagaimana baiknya!”
“Hm, aku pribadi juga suka, sute. Tapi entahlah, ada sesuatu yang tidak kusuka dalam senyum si buntung itu. Dia seperti ular berbahaya!”
“Ah, kita dapat mengendalikannya, suheng. Betapapun tak perlu kita memberikan semua kepandaian kita!”
“Kau betul. Baiklah, panggil dua anak dan suruh mereka ke mari.”
Poan-jin memanggil dan memutar tubuhnya. Dua kakek ini bicara agak jauh dan merekapun berbisik-bisik, yakin dua anak muda di sana itu tak mendengark percakapan mereka dan tak menyangka sama sekali bahwa dengan kelicikannya yang luar biasa Togur menekankan tongkatnya kuat-kuat di tanah untuk menangkap getaran pembicaraan itu.
San Tek terlempar dan roboh menabrak pohon. Pemuda itu tak mampu bergerak lagi karena seluruh tubuhnya matang biru dihajar misai kakek gurunya, bilur-bilur dan sebuah totokanpun mengenai lehernya, pemuda itu merintih dan tak mampu bangun lagi. Namun ketika Poan-jin terkekeh dan berkelebat menggerakkan misainya, membebaskan atau membuka totokan pemuda itu maka San Tek ditendang bangun dan pemuda itu terhuyung mendesis-desis.
“Aduh, ampun.... aku menyerah...!”
“Ha-ha, kau lumayan, San Tek. Dan ilmumu Jing-sian-eng benar-benar kau kuasai baik, juga Khi-bal-sin-kang itu. Bagaimana kau mendapatkan ini!”
“Aku mendapatkannya dari suhu...”
“Dan dari mana suhumu mendapatkannya.”
“Dari Togur!”
“Hm, kau, bocah? Dan kau dari mendiang Hu Beng Kui?”
”Benar,” Togur tersenyum. “Tapi ilmu itu tak ada gunanya berhadapan denganmu, locianpwe. Betapapun ilmumu masih lebih tinggi dan kesaktianmu luar biasa sekali!”
Poan-jin terkekeh. Dia senang oleh pujian ini dan selanjutnya kakek itu menghadapi suhengnya, bertanya apa yang akan dilakukan dan bagaimana pula dengan cucu murid yang tidak waras itu. Poan-kwi berkerut kening karena sungguh tak disangkanya bahwa dia memiliki cucu murid yang gila. Tapi ketika dia berpikir sejenak dan menyuruh sutenya mendekat, balik bertanya bagaimana pendapat sutenya itu maka Poan-jin bersinar dan berbisik.
“Aku rasa mereka ini adalah anak-anak muda yang dapat meneruskan cita-cita kita. San Tek murid See-ong, berarti cucu murid kita. Bagaimana kalau Togur juga kita ambil murid dan bersama kita?”
“Hm, aku juga berpikir begitu. Tapi si buntung itu cerdik dan licik, sute. Sebenarnya lebih baik San Tek tapi sayang bocah itu tidak waras!”
“Ha-ha, cerdik dan licik adalah kesukaan kita, suheng. Semakin cerdik dan licik semakin cocok dengan watak kita. Orang sesat memang harus cerdik dan licik. Aku pribadi suka kepada si bocah buntung itu, tapi terserah kau bagaimana baiknya!”
“Hm, aku pribadi juga suka, sute. Tapi entahlah, ada sesuatu yang tidak kusuka dalam senyum si buntung itu. Dia seperti ular berbahaya!”
“Ah, kita dapat mengendalikannya, suheng. Betapapun tak perlu kita memberikan semua kepandaian kita!”
“Kau betul. Baiklah, panggil dua anak dan suruh mereka ke mari.”
Poan-jin memanggil dan memutar tubuhnya. Dua kakek ini bicara agak jauh dan merekapun berbisik-bisik, yakin dua anak muda di sana itu tak mendengark percakapan mereka dan tak menyangka sama sekali bahwa dengan kelicikannya yang luar biasa Togur menekankan tongkatnya kuat-kuat di tanah untuk menangkap getaran pembicaraan itu.
Lewat getaran yang menjalar di tanah inilah pemuda itu berhasil menangkap percakapan. Dan ketika Togur berseri dan tenang-tenang menunggu, matanya bersinar-sinar sementara San Tek terbelalak sambil menggaruk-garuk rambut kepalanya yang tidak gatal maka Togur bergerak melihat lambaian Poan-jin, cepat tahu apa yang harus dia lakukan.
“San Tek, kakek-kakek gurumu memanggil kita. Ayo ke sana dan berlutut!”
San Tek juga bergerak. Dia telah dibebaskan dari pengaruh totokan meskipun rasa sakit masih menggigit seluruh tubuhnya. Dan ketika Togur bergerak dan meletakkan tongkatnya, berlutut, maka dengan hormat dan manis pemuda ini berseru.
“Locianpwe, ada pelajaran apalagi yang hendak kau berikan kepada kami berdua. Kalau aku hendak kau suruh pergi dan San Tek bersama locianpwe tentu saja hal itu wajar dan aku akan segera pergi. Aku gembira bahwa locianpwe dapat menemukan cucu murid locianpwe. Semoga San Tek tidak banyak ulah dan mewarisi kesaktian ji-wi (kalian berdua) yang amat hebat dan luar biasa!”
“Hm, kau tak usah pergi,” Poan-kwi tertegun dan heran, rasa kurang sukanya tiba-tiba lenyap. Si buntung ini pandai mengambil hati dan manis. “Kau boleh bersama kami, Togur. Aku hendak berkata bahwa bagaimana jika kau dan San Tek bersama-sama kami!”
“Maksud locianpwe?”
“Kami butuh penerus cita-cita, Togur. Dan San Tek ini agaknya tak dapat kami harapkan secara penuh. Dia tidak waras. Aku ingin kalian berdua menjadi muridku!“
“Ah!” Togur membelalakkan mata, pura-pura terkejut. Menjadi murid locianpwe? Mewarisi kesaktian locianpwe yang hebat luar biasa? Ah, aku tak berani menerimanya, locianpwe. Kurang pantas. Aku tak memiliki hubungan apapun deng ji-wi. San Tek inilah yang patut meneruskan cita-cita locianpwe. Dia murid langsung See-ong!”
“Hm, bocah ini kurang waras. Sedang kami mencari orang yang genah (sehat). Apakah kau tidak mau?”
“Bukan, bukan begitu, locianpwe. Tapi San Tek sebenarnya lebih berhak. Aku khawatir satu ketika dia akan marah-marah dan memusuhi aku, menganggap diri sendiri sebagai cucu murid langsung sementara aku orang luar!”
“Kau tak bisa dibilang orang luar, Togur!” Poan-jin tiba-tiba berseru. “Jelek-jelek kau telah memiliki Hek-kwi-sut dan itu cukup. Ini sudah dapat dianggap bawa kaupun keluarga kami!”
“Ha-ha, benar,” San Tek yang gila mengangguk-angguk, matanya berputaran. “Aku tak pernah benci kepadamu, Togur, tak pernah memusuhi. Kalau kau mau menjadi murid kakek guruku ini dan menemani aku tentu aku lebih senang karena mempunyai kawan!”
Togur tertegun, pura-pura mengernyitkan kening. Tapi ketika ia menghela napas dan menghadap Poan-kwi, mendesah dan seperti terpojok iapun mengangguk. “Baiklah, kalau San Tek sendiri tak keberatan tentu aku lebih senang, locianpwe. Meskipun aku jadi sungkan dan tak enak. Aku siap memenuhi permintaan locianpwe dan semoga tidak mengecewakan!”
“Ha-ha, kau tak akan mengecewakan!” Poan-jin lagi-lagi berseru, sudah melihat dan merasa girang oleh si buntung ini. Togur demikian tahu diri. “Kaulah yang dapat kami harapkan, Togur. Dan sebaiknya kau dipanggil suheng oleh sutemu ini. San Tek murid kami nomor dua!”
“Ah terima kasih. Aku tak dapat berkata apa-apa lagi...” dan ketika Togur berlutut dan membenturkan dahinya, girang luar biasa tapi menyembunyikan kegirangannya itu dengan wajah menghadap tanah, tak kelihatan, maka San Tek terkekeh-kekeh dan menepuk pundaknya, bangkit berdiri.
“Ha-ha, aku menyebutnya suheng, susiok-kong? Dia kakak seperguruanku? Wah, aku senang. Togur anak baik!” dan ketika si gila itu berlutut dan membentur-benturkan dahinya pula, ditarik atau disuruh mengikuti si buntung ini maka Poan-kwi mengerutkan kening dan membentak, untuk kedua kalinya melihat bahwa Togur pandai memikat hati, sebal kepada bekas cucu muridnya itu sendiri.
“San Tek, sekarang kau memanggil kami sebagai suhu dan ji-suhu (guru kedua). Hari ini juga kalian menjadi murid-murid kami. Tapi kalau kalian macam-macam dan coba-coba melakukan sesuatu yang merugikan maka kami akan membunuh kalian!”
San Tek mengkeret, nyalinya kuncup. Tapi Togur yang mengangguk dan justeru menimpali berkata, “Mati hidup kami sudah di tanganmu, locianpwe. Jangankan besok, sekarangpun kalau kami mau dibunuh tentu kami tak dapat berbuat apa-apa. Silahkan perintah apa saja yang harus kami lakukan.”
“Hm, kau harus menyebutnya suhu, Togur,” Poan-jin menegur. “Masa tidak dengar kata-kata suhengku bahwa kau sekarang menjadi murid kami? Buang sebutan locianpwe itu, panggil kami sebagai suhu atau ji-suhu!”
“Ah, baik... baik, aku hanya takut kurang menghargai saja. Maaf, suhu. Maaf, ji-suhu!” dan ketika Togur mengulang panggilannya dan girang memandang wajah-wajah gurunya, guru baru yang hebat luar biasa maka Poan-jin tersenyum sementara kakaknya juga bersinar dan kagum memandang si buntung ini.
Rasa kurang suka yang tadi ada di hati Poan-kwi mendadak lenyap, Togur membuang kilatan mata liciknya dan inilah yang membuat Poan-kwi heran. Dia tak tahu bahwa pembicaraannya tadi didengar pemuda ini, lewat tancapan tongkatnya yang kuat di tanah. Dan karena Togur memang pemuda cerdik dan amat licin, pandai merobah keadaan maka Poan-kwi terkecoh dan kakak beradik orang-orang luar biasa ini mengambil si buntung itu sebagai murid mereka.
Togur pandai membaca keadaan dan ketidakwarasan San Tek dipergunakannya baik-baik. Tentu saja dia tahu bahwa kakek-kakek itu tak senang memiliki cucu murid gila. Dialah yang diharap dan karena itu diapun harus pandai mengambil hati. Dia harus pandai membaca keadaan dan bisik-bisik di antara dua kakek ini ternyata berhasil “disadap”. Togur memang licik. Dan ketika hari itu mereka memanggil suhu dan ji-suhu, San Tek ha-ha-he-he sementara si buntung ini tersenyum-senyum, dalam perjalanan akhirnya Poan-kwi maupun Poan-jin menambah ilmu pemuda-pemuda itu maka di sinipun kecerdikan atau kelicinan Togur benar-benar dipraktekkan.
Berkali-kali pemuda itu menunjukkan sikap mengalah dengan membiarkan dua guru barunya memberi dulu ilmunya kepada San Tek. Namun karena San Tek memang gila dan pemuda itu acak-acakan, Poan-jin maupun Poan-kwi sering jengkel maka tiga bulan kemudian Poan-kwi berkata bahwa pemuda itu tak perlu sungkan-sungkan lagi.
“Kau adalah murid kami, dan kaupun memiliki kecerdasan yang lebih dari San Tek. Tak perlu sungkan-sungkan menyuruh kami memberikan ilmu kami kepada si dungu itu, Togur. Kau terima saja dan kami ingin kau meneruskan kepandaian ini kepada San Tek. Bocah itu memualkan kalau bukan karena See-ong tentu dia kami tendang atau lempar keluar!”
“Ah, suhu hendak menyuruh aku mewakili meneruskan kepandaian kepada San Tek?”
“Ya, aku maupun saudaraku ogah mengajari si tolol itu. Kau sajalah yang menerima pelajaran ini dan setelah itu teruskan kepada sutemu!”
“Terima kasih. Kalau begitu aku akan melaksanakan perintahmu, suhu. Menghadapi San Tek memang harus sabar dan telaten. Biarlah aku yang mengajarinya dan suhu boleh mengaso.”
Poan-kwi maupun Poan-jin senang. Mereka lalu mempercayakan ilmu-ilmu yang diturunkan kepada si buntung itu. Dalam beberapa bulan ini Togur memang telah memikat hati mereka dengan sikap dan kata-kata yang baik, sungguh bedanya dengan si San Tek itu, pemuda tidak waras dan edan. Dan ketika kepercayaan demi kepercayaan mulai mereka berikan kepada si buntung ini dan sebentar kemudian tambahan ilmu-ilmu kesaktian tinggi di warisi Togur, pemuda itu ganti melatih San Tek maka Togur yang terbahak-bahak dalam hatinya ini menjungkirbalikkan ilmu yang didapat dari kedua gurunya kepada San Tek.
Hwi-gan-san-hui-tok yang akhirnya diberikan kepada Togur dijungkir balik oleh pemuda itu ketika diberikan San Tek. Ilmu yang seharusnya berpusat pada kekuatan mata itu diberikan secara tidak beraturan melalui mulut. San Tek sering menggeram-geram kalau melatih ilmu yang satu ini, bukan matanya yang memiliki kekuatan melainkan justeru pada suaranya. Togur tak menduga bahwa main-mainnya ini kelak akan membuat sutenya itu memiliki tenaga dahsyat yang mampu menggugurkan bukit. San Tek di latih secara tidak karuan tapi hebatnya si gila yang tidak waras ini justeru memiliki kekuatan terpendam pada geramannya.
Enam bulan berlatih saja telah mampu mementalkan Togur dalam jarak empat meter. Togur terkesiap. Dan ketika setahun kemudian tanda-tanda kehebatan suara si gila itu menonjol luar biasa, setiap bentakan atau hardikan membuat batu pohon-pohon bergetar dan terloncat ke atas maka Togur terkejut dan berobah mukanya.
Tanda-tanda ini tak dilihat Poan-jin-poan-kwi karena mereka tak mau mendekati pemuda itu. Poan-jin maupun suhengnya muak kepada murid yang gila ini. Maka ketika suatu hari mereka sedang berlatih dan seperti biasanya si buntung itu menjungkirbalikkan latihan maka hari itu Togur diam-diam ingin melenyapkan pemuda ini, setelah semalam mereka cekcok karena San Tek dipukul dadanya hingga sesak!
“Kau tak boleh membantah,” demikian pagi itu Togur memaki temannya. “Suhu memerintahkan agar pagi ini kau melatih sinkang, San Tek, menarik hawa kuat-kuat melalui mulut dan menghembuskannya lewat hidung. Mulai, jangan membantah!”
“Heh-heh, kau hendak mengoceh tentang ini lagi? Semalam sudah kucoba, Togur. Tapi dadaku serasa tercekik. Aku susah bernapas!”
“Jadi kau tak mau berlatih?”
“Bukan tidak mau, tapi berhenti dulu....”
“Keparat, pagi ini kau harus berlatih lagi, San Tek. Atau nanti suhuku menegurku keras. Mulai dan jangan macam-macam!”
“Eit,” si gila mengelak dan tertawa mundur dan tahu-tahu cengkeraman si buntung luput. “Kau jangan main paksa, Togur. Aku sesak napas, masih belum hilang!”
“Aku suhengrnu, jangan panggil namaku begitu saja. Atau nanti kau kuhajar..." dan si buntung yang bergerak dan kembali menangkap temannya tiba-tiba berhasil dan langsung memencet keras.
San Tek kesakitan dan terkejut, tiba-tiba membentak dan keluarlah tenaga dahsyat yang membuat si buntung itu terlempar! Angin bentakannya saja sudah mampu menerbangkan Togur! Dan ketika Togur terpekik dan kaget berjungkir balik, dari mulut si gila itu menyembur tiupan angin raksasa maka Togur melayang turun dan pucat memandang temannya itu, marah tapi juga gentar!
“Iblis..” pemuda ini menggigil. “Kau menyerangku, San Tek? Kau berani menyerangku?”
“Ha-ha,” si gila tertawa, berkilat-kilat. “Kalau kau memaksaku tentu aku menyerangmu, Togur. Kau berani menghina sutemu.”
“Kau tetap memanggil namaku? Tak mau menyebut suheng?”
“Ha-ha, suheng macam dirimu suheng yang tidak pantas, Togur. Kau buntung dan cacad. Lagi pula sinkangmu tak sehebat sinkangku. Lihat sekali kubentak kaupun mencelat, ha-ha!”
Togur tak dapat menahan marahnya. Saat itu dua orang guru mereka sedang tidak berada di situ. Sekarang dia ingin menghajar dan mempergunakan kesempatan itu. Dia ingin memaksa si gila ini agar berlatih sinkang dan mampus, karena cara berlatih yang ia berikan memang terbalik, sengaja ingin menyingkirkan si gila ini agar hanya dialah murid Poan-jin-poan-kwi seorang. Togur memang mulai busuk, pikiran kejinya timbul.
Tapi melihat kepandaian dan suara bentakan tadi yang mengguntur dan membuatnya terlempar maka pemuda ini berhati-hati dan ingin mencobanya sekali lagi. Tadi dia tak bersiap dan karena itu sekarang waspada, San Tek dipandanginya dengan mata bercahaya tapi tiba-tiba pemuda ini tersenyum lebar. Dan ketika dia menarik napas dan tertawa menghadapi pemuda itu, sikapnya berobah dan manis dibuat-buat mendadak si buntung ini berkata membuang kemarahannya.
“San Tek, kau salah paham. Aku sama sekali tidak memaksamu melainkan semata melaksanakan perintah guru kita agar kau tetap berlatih rajin. Baiklah, begini saja. Kalau kau tak mau berlatih sinkang mari ikuti petunjukku tentang latihan baru yang baru saja kudapatkan dari ji-suhu. Mari berjungkir balik dan berdiri dengan kepala di bawah kaki di atas!”
Togur mendahului berjungkir balik dan sudah berdiri dengan kaki di atas kepala di bawah. Kepala itulah yang bertumpu menyangga tubuh dan San Tek terbelalak. Dia bertanya apa gunanya itu dan lawan menjawab bahwa inilah Hap-mo-kang, ilmu untuk mengusir iblis. Dan ketika pemuda itu tertawa dan mengangguk berjungkir balik, sudah mengikuti gerakan Togur dan berdiri dengan kepala di bawah maka Togur diam-diam menyiapkan sebungkus bubuk besi di tangan kanannya, mereka sudah sama-sama berhadapan.
“San Tek, sekarang ikuti gerakanku dan lakukan seperti apa yang kulakukan. Tarik napas kuat-kuat dan keluarkan lewat hidung!”
“Eh,” pemuda itu melotot. “Itu sama dengan berlatih sinkang, Togur. Kau menipu!”
“Tidak, kau hanya melakukannya tiga kali saja, San Tek. Lalu menjejakkan ke atas dan setelah itu berputar-putar di udara seperti terbang. Lakukan ini sebanyak tiga kali pula lalu turun dan langsung jongkok seperti katak. Keluarkan suara dari perut dan semburkan tenaga saktimu lewat mulut. Kalau ada uap merah di situ maka Hap-mo-kang berhasil kau kuasai dan iblis pun akan lari jauh-jauh tak berani mendekatimu!”
“Ha-ha, kembali ke neraka?”
“Ya, bersama ayahmu, San Tek. Ayo lakukan itu atau nanti mereka datang dan membawamu kepada ayahmu di sana itu!”
“Oh, tidak. Tak boleh mereka itu datang!” dan ketika pemuda ini terkejut dan pucat, Togur mulai menakut-nakutinya untuk bertemu dengan ayahnya di neraka maka si gila ini sudah menarik napas dan mengeluarkannya lewat hidung, Tapi baru sekali melakukan itu tiba-tiba si gila ini menjerit. Dadanya sesak dan tiba-tiba iapun tercekik. San Tek berteriak dan mendelik. Hawa saktinya membalik. Dan ketika ia mendelik itulah maka tongkat si buntung menyambar kepalanya sementara bubuk besi di tangan Togur terbang ke mata pemuda ini. Togur melancarkan serangan maut!
“Aughhh..!” Bentakan atau teriakan dahsyat itu bak menggugurkan gunung. San Tek terkejut sekali ketika di saat hawa saktinya membalik sekonyong-konyong tongkat Togur menyambar. Dan, yang lebih hebat lagi, bubuk besi kemerah-merahan menyambar matanya pula. Serangan itu amat dekat dan si gila inipun sedang melotot, tentu saja menjadi sasaran empuk.
Tapi ketika San Tek mengeluarkan teriakan kaget dan teriakannya itu bagai guntur menggelegar, dia tak melanjutkan tarikan napasnya tadi dan rasa sesak tentu saja hilang, tenaga saktinya kembali dan suara pemuda ini menggetarkan jagat maka secara otomatis pemuda itu memejamkan mata dan hamburan bubuk besi tertolak di udara namun satu di antaranya menyambar dan tepat mengenai mata kanan pemuda ini, bersamaan dengan datangnya tongkat yang menghantam kepala.
“Crat-dess!”
Togur terkejut dan kecewa. San Tek yang dihajar ternyata tak membawa hasil seperti yang diharapkan. Kekagetan lawannya itu mengembalikan sinkangnya lagi dan yang lebih mengerikan adalah bentakan atau teriakan si gila itu. Dia terkesiap dan kaget bukan main ketika bubuk-bubuk besinya terpental, tongkat hancur dan diapun terpelanting. Dan ketika Togur bergulingan menjauh dan pucat meloncat bangun, San Tek terhuyung dan mengeram-geram maka tampaklah lawannya itu bercucuran darah karena mata kanannya buta, tertusuk atau pecah oleh sebutir bubuk besi yang dihamburkan pemuda ini.
“Kau... kau melukaiku, Togur? Kau mau membunuh aku?”
Si buntung terbelalak. Togur kecewa karena niatnya gagal. Memang dia hendak membunuh lawannya ini agar Poa-jin-poan-kwi tak memiliki murid lagi. Togur berharap semua kesaktian kakek iblis itu jatuh ke tangannya. Dan ketika di terbelalak dan kecewa, tongkatnya hancur di tanah maka San Tek yang kesakitan tapi tertawa gila tiba-tiba menubruk dan menyambar dengan sebelah mata yang masih sehat.
“Kau keparat jahanam. Kau licik. Biar kukeremus jantungmu dan kutelan biji matamu nanti.... duk!” Togur menangkis, gagal mengelak dan tiba-tiba dia tergetar hebat. Tenaga sakti yang dikerahkan kalah kuat! Dan ketika Togur penasaran membentak marah, maju dan berkelebat mendahului lawan maka bertubi-tubi pemuda ini melancarkan pukulan.
"San Tek, kau manusia gila yang tidak dapat diatur. Baik-baik aku mengajari tapi kau malah menyerangku. Mampuslah, akupun tak takut kepadamu.... duk-dukk!”
San Tek yang menangkis dan terkekeh-kekeh, menutupi matanya yang buta dengan tangannya yang lain sementara tangan yang satu dipakai menampar atau menyambut pukulan lawan segera naik turun menerima pukulan-pukulan Togur. Si gila ini berkali-kali mendesis namun bukan karena pukulan itu melainkan oleh rasa sakit di mata kanannya. Mata itu hancur sementara darah terus bercucuran tak henti-hentinya.
“San Tek, kakek-kakek gurumu memanggil kita. Ayo ke sana dan berlutut!”
San Tek juga bergerak. Dia telah dibebaskan dari pengaruh totokan meskipun rasa sakit masih menggigit seluruh tubuhnya. Dan ketika Togur bergerak dan meletakkan tongkatnya, berlutut, maka dengan hormat dan manis pemuda ini berseru.
“Locianpwe, ada pelajaran apalagi yang hendak kau berikan kepada kami berdua. Kalau aku hendak kau suruh pergi dan San Tek bersama locianpwe tentu saja hal itu wajar dan aku akan segera pergi. Aku gembira bahwa locianpwe dapat menemukan cucu murid locianpwe. Semoga San Tek tidak banyak ulah dan mewarisi kesaktian ji-wi (kalian berdua) yang amat hebat dan luar biasa!”
“Hm, kau tak usah pergi,” Poan-kwi tertegun dan heran, rasa kurang sukanya tiba-tiba lenyap. Si buntung ini pandai mengambil hati dan manis. “Kau boleh bersama kami, Togur. Aku hendak berkata bahwa bagaimana jika kau dan San Tek bersama-sama kami!”
“Maksud locianpwe?”
“Kami butuh penerus cita-cita, Togur. Dan San Tek ini agaknya tak dapat kami harapkan secara penuh. Dia tidak waras. Aku ingin kalian berdua menjadi muridku!“
“Ah!” Togur membelalakkan mata, pura-pura terkejut. Menjadi murid locianpwe? Mewarisi kesaktian locianpwe yang hebat luar biasa? Ah, aku tak berani menerimanya, locianpwe. Kurang pantas. Aku tak memiliki hubungan apapun deng ji-wi. San Tek inilah yang patut meneruskan cita-cita locianpwe. Dia murid langsung See-ong!”
“Hm, bocah ini kurang waras. Sedang kami mencari orang yang genah (sehat). Apakah kau tidak mau?”
“Bukan, bukan begitu, locianpwe. Tapi San Tek sebenarnya lebih berhak. Aku khawatir satu ketika dia akan marah-marah dan memusuhi aku, menganggap diri sendiri sebagai cucu murid langsung sementara aku orang luar!”
“Kau tak bisa dibilang orang luar, Togur!” Poan-jin tiba-tiba berseru. “Jelek-jelek kau telah memiliki Hek-kwi-sut dan itu cukup. Ini sudah dapat dianggap bawa kaupun keluarga kami!”
“Ha-ha, benar,” San Tek yang gila mengangguk-angguk, matanya berputaran. “Aku tak pernah benci kepadamu, Togur, tak pernah memusuhi. Kalau kau mau menjadi murid kakek guruku ini dan menemani aku tentu aku lebih senang karena mempunyai kawan!”
Togur tertegun, pura-pura mengernyitkan kening. Tapi ketika ia menghela napas dan menghadap Poan-kwi, mendesah dan seperti terpojok iapun mengangguk. “Baiklah, kalau San Tek sendiri tak keberatan tentu aku lebih senang, locianpwe. Meskipun aku jadi sungkan dan tak enak. Aku siap memenuhi permintaan locianpwe dan semoga tidak mengecewakan!”
“Ha-ha, kau tak akan mengecewakan!” Poan-jin lagi-lagi berseru, sudah melihat dan merasa girang oleh si buntung ini. Togur demikian tahu diri. “Kaulah yang dapat kami harapkan, Togur. Dan sebaiknya kau dipanggil suheng oleh sutemu ini. San Tek murid kami nomor dua!”
“Ah terima kasih. Aku tak dapat berkata apa-apa lagi...” dan ketika Togur berlutut dan membenturkan dahinya, girang luar biasa tapi menyembunyikan kegirangannya itu dengan wajah menghadap tanah, tak kelihatan, maka San Tek terkekeh-kekeh dan menepuk pundaknya, bangkit berdiri.
“Ha-ha, aku menyebutnya suheng, susiok-kong? Dia kakak seperguruanku? Wah, aku senang. Togur anak baik!” dan ketika si gila itu berlutut dan membentur-benturkan dahinya pula, ditarik atau disuruh mengikuti si buntung ini maka Poan-kwi mengerutkan kening dan membentak, untuk kedua kalinya melihat bahwa Togur pandai memikat hati, sebal kepada bekas cucu muridnya itu sendiri.
“San Tek, sekarang kau memanggil kami sebagai suhu dan ji-suhu (guru kedua). Hari ini juga kalian menjadi murid-murid kami. Tapi kalau kalian macam-macam dan coba-coba melakukan sesuatu yang merugikan maka kami akan membunuh kalian!”
San Tek mengkeret, nyalinya kuncup. Tapi Togur yang mengangguk dan justeru menimpali berkata, “Mati hidup kami sudah di tanganmu, locianpwe. Jangankan besok, sekarangpun kalau kami mau dibunuh tentu kami tak dapat berbuat apa-apa. Silahkan perintah apa saja yang harus kami lakukan.”
“Hm, kau harus menyebutnya suhu, Togur,” Poan-jin menegur. “Masa tidak dengar kata-kata suhengku bahwa kau sekarang menjadi murid kami? Buang sebutan locianpwe itu, panggil kami sebagai suhu atau ji-suhu!”
“Ah, baik... baik, aku hanya takut kurang menghargai saja. Maaf, suhu. Maaf, ji-suhu!” dan ketika Togur mengulang panggilannya dan girang memandang wajah-wajah gurunya, guru baru yang hebat luar biasa maka Poan-jin tersenyum sementara kakaknya juga bersinar dan kagum memandang si buntung ini.
Rasa kurang suka yang tadi ada di hati Poan-kwi mendadak lenyap, Togur membuang kilatan mata liciknya dan inilah yang membuat Poan-kwi heran. Dia tak tahu bahwa pembicaraannya tadi didengar pemuda ini, lewat tancapan tongkatnya yang kuat di tanah. Dan karena Togur memang pemuda cerdik dan amat licin, pandai merobah keadaan maka Poan-kwi terkecoh dan kakak beradik orang-orang luar biasa ini mengambil si buntung itu sebagai murid mereka.
Togur pandai membaca keadaan dan ketidakwarasan San Tek dipergunakannya baik-baik. Tentu saja dia tahu bahwa kakek-kakek itu tak senang memiliki cucu murid gila. Dialah yang diharap dan karena itu diapun harus pandai mengambil hati. Dia harus pandai membaca keadaan dan bisik-bisik di antara dua kakek ini ternyata berhasil “disadap”. Togur memang licik. Dan ketika hari itu mereka memanggil suhu dan ji-suhu, San Tek ha-ha-he-he sementara si buntung ini tersenyum-senyum, dalam perjalanan akhirnya Poan-kwi maupun Poan-jin menambah ilmu pemuda-pemuda itu maka di sinipun kecerdikan atau kelicinan Togur benar-benar dipraktekkan.
Berkali-kali pemuda itu menunjukkan sikap mengalah dengan membiarkan dua guru barunya memberi dulu ilmunya kepada San Tek. Namun karena San Tek memang gila dan pemuda itu acak-acakan, Poan-jin maupun Poan-kwi sering jengkel maka tiga bulan kemudian Poan-kwi berkata bahwa pemuda itu tak perlu sungkan-sungkan lagi.
“Kau adalah murid kami, dan kaupun memiliki kecerdasan yang lebih dari San Tek. Tak perlu sungkan-sungkan menyuruh kami memberikan ilmu kami kepada si dungu itu, Togur. Kau terima saja dan kami ingin kau meneruskan kepandaian ini kepada San Tek. Bocah itu memualkan kalau bukan karena See-ong tentu dia kami tendang atau lempar keluar!”
“Ah, suhu hendak menyuruh aku mewakili meneruskan kepandaian kepada San Tek?”
“Ya, aku maupun saudaraku ogah mengajari si tolol itu. Kau sajalah yang menerima pelajaran ini dan setelah itu teruskan kepada sutemu!”
“Terima kasih. Kalau begitu aku akan melaksanakan perintahmu, suhu. Menghadapi San Tek memang harus sabar dan telaten. Biarlah aku yang mengajarinya dan suhu boleh mengaso.”
Poan-kwi maupun Poan-jin senang. Mereka lalu mempercayakan ilmu-ilmu yang diturunkan kepada si buntung itu. Dalam beberapa bulan ini Togur memang telah memikat hati mereka dengan sikap dan kata-kata yang baik, sungguh bedanya dengan si San Tek itu, pemuda tidak waras dan edan. Dan ketika kepercayaan demi kepercayaan mulai mereka berikan kepada si buntung ini dan sebentar kemudian tambahan ilmu-ilmu kesaktian tinggi di warisi Togur, pemuda itu ganti melatih San Tek maka Togur yang terbahak-bahak dalam hatinya ini menjungkirbalikkan ilmu yang didapat dari kedua gurunya kepada San Tek.
Hwi-gan-san-hui-tok yang akhirnya diberikan kepada Togur dijungkir balik oleh pemuda itu ketika diberikan San Tek. Ilmu yang seharusnya berpusat pada kekuatan mata itu diberikan secara tidak beraturan melalui mulut. San Tek sering menggeram-geram kalau melatih ilmu yang satu ini, bukan matanya yang memiliki kekuatan melainkan justeru pada suaranya. Togur tak menduga bahwa main-mainnya ini kelak akan membuat sutenya itu memiliki tenaga dahsyat yang mampu menggugurkan bukit. San Tek di latih secara tidak karuan tapi hebatnya si gila yang tidak waras ini justeru memiliki kekuatan terpendam pada geramannya.
Enam bulan berlatih saja telah mampu mementalkan Togur dalam jarak empat meter. Togur terkesiap. Dan ketika setahun kemudian tanda-tanda kehebatan suara si gila itu menonjol luar biasa, setiap bentakan atau hardikan membuat batu pohon-pohon bergetar dan terloncat ke atas maka Togur terkejut dan berobah mukanya.
Tanda-tanda ini tak dilihat Poan-jin-poan-kwi karena mereka tak mau mendekati pemuda itu. Poan-jin maupun suhengnya muak kepada murid yang gila ini. Maka ketika suatu hari mereka sedang berlatih dan seperti biasanya si buntung itu menjungkirbalikkan latihan maka hari itu Togur diam-diam ingin melenyapkan pemuda ini, setelah semalam mereka cekcok karena San Tek dipukul dadanya hingga sesak!
* * * * * * * *
“Kau tak boleh membantah,” demikian pagi itu Togur memaki temannya. “Suhu memerintahkan agar pagi ini kau melatih sinkang, San Tek, menarik hawa kuat-kuat melalui mulut dan menghembuskannya lewat hidung. Mulai, jangan membantah!”
“Heh-heh, kau hendak mengoceh tentang ini lagi? Semalam sudah kucoba, Togur. Tapi dadaku serasa tercekik. Aku susah bernapas!”
“Jadi kau tak mau berlatih?”
“Bukan tidak mau, tapi berhenti dulu....”
“Keparat, pagi ini kau harus berlatih lagi, San Tek. Atau nanti suhuku menegurku keras. Mulai dan jangan macam-macam!”
“Eit,” si gila mengelak dan tertawa mundur dan tahu-tahu cengkeraman si buntung luput. “Kau jangan main paksa, Togur. Aku sesak napas, masih belum hilang!”
“Aku suhengrnu, jangan panggil namaku begitu saja. Atau nanti kau kuhajar..." dan si buntung yang bergerak dan kembali menangkap temannya tiba-tiba berhasil dan langsung memencet keras.
San Tek kesakitan dan terkejut, tiba-tiba membentak dan keluarlah tenaga dahsyat yang membuat si buntung itu terlempar! Angin bentakannya saja sudah mampu menerbangkan Togur! Dan ketika Togur terpekik dan kaget berjungkir balik, dari mulut si gila itu menyembur tiupan angin raksasa maka Togur melayang turun dan pucat memandang temannya itu, marah tapi juga gentar!
“Iblis..” pemuda ini menggigil. “Kau menyerangku, San Tek? Kau berani menyerangku?”
“Ha-ha,” si gila tertawa, berkilat-kilat. “Kalau kau memaksaku tentu aku menyerangmu, Togur. Kau berani menghina sutemu.”
“Kau tetap memanggil namaku? Tak mau menyebut suheng?”
“Ha-ha, suheng macam dirimu suheng yang tidak pantas, Togur. Kau buntung dan cacad. Lagi pula sinkangmu tak sehebat sinkangku. Lihat sekali kubentak kaupun mencelat, ha-ha!”
Togur tak dapat menahan marahnya. Saat itu dua orang guru mereka sedang tidak berada di situ. Sekarang dia ingin menghajar dan mempergunakan kesempatan itu. Dia ingin memaksa si gila ini agar berlatih sinkang dan mampus, karena cara berlatih yang ia berikan memang terbalik, sengaja ingin menyingkirkan si gila ini agar hanya dialah murid Poan-jin-poan-kwi seorang. Togur memang mulai busuk, pikiran kejinya timbul.
Tapi melihat kepandaian dan suara bentakan tadi yang mengguntur dan membuatnya terlempar maka pemuda ini berhati-hati dan ingin mencobanya sekali lagi. Tadi dia tak bersiap dan karena itu sekarang waspada, San Tek dipandanginya dengan mata bercahaya tapi tiba-tiba pemuda ini tersenyum lebar. Dan ketika dia menarik napas dan tertawa menghadapi pemuda itu, sikapnya berobah dan manis dibuat-buat mendadak si buntung ini berkata membuang kemarahannya.
“San Tek, kau salah paham. Aku sama sekali tidak memaksamu melainkan semata melaksanakan perintah guru kita agar kau tetap berlatih rajin. Baiklah, begini saja. Kalau kau tak mau berlatih sinkang mari ikuti petunjukku tentang latihan baru yang baru saja kudapatkan dari ji-suhu. Mari berjungkir balik dan berdiri dengan kepala di bawah kaki di atas!”
Togur mendahului berjungkir balik dan sudah berdiri dengan kaki di atas kepala di bawah. Kepala itulah yang bertumpu menyangga tubuh dan San Tek terbelalak. Dia bertanya apa gunanya itu dan lawan menjawab bahwa inilah Hap-mo-kang, ilmu untuk mengusir iblis. Dan ketika pemuda itu tertawa dan mengangguk berjungkir balik, sudah mengikuti gerakan Togur dan berdiri dengan kepala di bawah maka Togur diam-diam menyiapkan sebungkus bubuk besi di tangan kanannya, mereka sudah sama-sama berhadapan.
“San Tek, sekarang ikuti gerakanku dan lakukan seperti apa yang kulakukan. Tarik napas kuat-kuat dan keluarkan lewat hidung!”
“Eh,” pemuda itu melotot. “Itu sama dengan berlatih sinkang, Togur. Kau menipu!”
“Tidak, kau hanya melakukannya tiga kali saja, San Tek. Lalu menjejakkan ke atas dan setelah itu berputar-putar di udara seperti terbang. Lakukan ini sebanyak tiga kali pula lalu turun dan langsung jongkok seperti katak. Keluarkan suara dari perut dan semburkan tenaga saktimu lewat mulut. Kalau ada uap merah di situ maka Hap-mo-kang berhasil kau kuasai dan iblis pun akan lari jauh-jauh tak berani mendekatimu!”
“Ha-ha, kembali ke neraka?”
“Ya, bersama ayahmu, San Tek. Ayo lakukan itu atau nanti mereka datang dan membawamu kepada ayahmu di sana itu!”
“Oh, tidak. Tak boleh mereka itu datang!” dan ketika pemuda ini terkejut dan pucat, Togur mulai menakut-nakutinya untuk bertemu dengan ayahnya di neraka maka si gila ini sudah menarik napas dan mengeluarkannya lewat hidung, Tapi baru sekali melakukan itu tiba-tiba si gila ini menjerit. Dadanya sesak dan tiba-tiba iapun tercekik. San Tek berteriak dan mendelik. Hawa saktinya membalik. Dan ketika ia mendelik itulah maka tongkat si buntung menyambar kepalanya sementara bubuk besi di tangan Togur terbang ke mata pemuda ini. Togur melancarkan serangan maut!
“Aughhh..!” Bentakan atau teriakan dahsyat itu bak menggugurkan gunung. San Tek terkejut sekali ketika di saat hawa saktinya membalik sekonyong-konyong tongkat Togur menyambar. Dan, yang lebih hebat lagi, bubuk besi kemerah-merahan menyambar matanya pula. Serangan itu amat dekat dan si gila inipun sedang melotot, tentu saja menjadi sasaran empuk.
Tapi ketika San Tek mengeluarkan teriakan kaget dan teriakannya itu bagai guntur menggelegar, dia tak melanjutkan tarikan napasnya tadi dan rasa sesak tentu saja hilang, tenaga saktinya kembali dan suara pemuda ini menggetarkan jagat maka secara otomatis pemuda itu memejamkan mata dan hamburan bubuk besi tertolak di udara namun satu di antaranya menyambar dan tepat mengenai mata kanan pemuda ini, bersamaan dengan datangnya tongkat yang menghantam kepala.
“Crat-dess!”
Togur terkejut dan kecewa. San Tek yang dihajar ternyata tak membawa hasil seperti yang diharapkan. Kekagetan lawannya itu mengembalikan sinkangnya lagi dan yang lebih mengerikan adalah bentakan atau teriakan si gila itu. Dia terkesiap dan kaget bukan main ketika bubuk-bubuk besinya terpental, tongkat hancur dan diapun terpelanting. Dan ketika Togur bergulingan menjauh dan pucat meloncat bangun, San Tek terhuyung dan mengeram-geram maka tampaklah lawannya itu bercucuran darah karena mata kanannya buta, tertusuk atau pecah oleh sebutir bubuk besi yang dihamburkan pemuda ini.
“Kau... kau melukaiku, Togur? Kau mau membunuh aku?”
Si buntung terbelalak. Togur kecewa karena niatnya gagal. Memang dia hendak membunuh lawannya ini agar Poa-jin-poan-kwi tak memiliki murid lagi. Togur berharap semua kesaktian kakek iblis itu jatuh ke tangannya. Dan ketika di terbelalak dan kecewa, tongkatnya hancur di tanah maka San Tek yang kesakitan tapi tertawa gila tiba-tiba menubruk dan menyambar dengan sebelah mata yang masih sehat.
“Kau keparat jahanam. Kau licik. Biar kukeremus jantungmu dan kutelan biji matamu nanti.... duk!” Togur menangkis, gagal mengelak dan tiba-tiba dia tergetar hebat. Tenaga sakti yang dikerahkan kalah kuat! Dan ketika Togur penasaran membentak marah, maju dan berkelebat mendahului lawan maka bertubi-tubi pemuda ini melancarkan pukulan.
"San Tek, kau manusia gila yang tidak dapat diatur. Baik-baik aku mengajari tapi kau malah menyerangku. Mampuslah, akupun tak takut kepadamu.... duk-dukk!”
San Tek yang menangkis dan terkekeh-kekeh, menutupi matanya yang buta dengan tangannya yang lain sementara tangan yang satu dipakai menampar atau menyambut pukulan lawan segera naik turun menerima pukulan-pukulan Togur. Si gila ini berkali-kali mendesis namun bukan karena pukulan itu melainkan oleh rasa sakit di mata kanannya. Mata itu hancur sementara darah terus bercucuran tak henti-hentinya.
Hal ini membangkitkan kegemasan dan kemarahan si gila itu. Dan ketika Togur mempercepat gerakannya dan San Tek bingung tak mampu mengikuti, darah itu menghalangi pandangannya maka satu pukulan kuat mendarat di tengkuknya tapi begitu pemuda ini berteriak maka Togur sendiri terpelanting.
“Aughhh!”
Si buntung kaget dan terperanjat akhirnya ia bergulingan bangun dan membentak mengeluarkan Hek-kwi-sut. Pukulan yang mendarat di tengkuk tak apa-apa dan Togur penasaran bahwa si gila ini demikian kuatnya. Ia tertolak dan tangannya sakit-sakit sendiri. Ada tenaga mujijat yang membuat pukulannya tadi terpental. Dan karena setiap lawan menjerit atau berteriak tentu keluar semacam kekuatan dahsyat yang membuat dada seakan dipukul palu godam, menggetarkan, maka Togur mengeluarkan ilmu hitamnya dan bermaksud menyerang lawannya itu dengan curang.
Tapi si gila terkekeh-kekeh Hek-kwi-sut yang dikeluarkan dibalas dengan Hek-kwi-sut pula. San Tek meledakkan tangannya dan lenyaplah pemuda itu menjadi segulung asap hitam. Dan ketika asap hitam ini bergerak naik turun bersama asap hitam yang lain, milik Togur, maka Togur mendapat kenyataan bahwa sinkang atau tenaga sakti di tubuh lawannya itu hebat luar biasa dan setiap geram atau bentakan selalu membuatnya terhuyung-huyung di balik asap hitam.
“Keparat, bedebah jahanam!” pemuda itu memaki dan pucat berkelebatan mengelilingi lawan. “Kau roboh dan mampuslah, San Tek. Roboh dan mampuslah!”
“Heh-heh, ini Hwi-gan-san-hui-tok? Kenapa berpusat di mata? Kau mengajariku di mulut, Togur. Dan kini kau mempergunakan itu lewat mata.... arghh!” si gila mengeluarkan pekik seperti gorila marah, mulut dibuka dan tiba-tiba terhempaslah si buntung oleh bentakan atau suara mengguntur itu. San Tek meniup dengan tenaga mujijatnya. Dan ketika Togur mengeluh karena tiupan mulut itu tak dapat ditahannya, hawa sakti lawan amatlah dahsyatnya maka si gila terkekeh-kekeh dan menggerak-gerakkan tangannya seraya menubruk sana-sini.
Empat pukulan Togur diterima dan empat kali itu pula Togur terpelanting. Si buntung marah dan mengeluarkan Khi-bal-sin-kang namun San Tek juga memiliki ilmu itu, menangkis dan nenolak dan jadilah Togur terpelanting lagi, kalah kuat. Dan ketika berkali-kali hal itu terjadi sementara geraman atau bentakan si gila itu selalu membuat Togur terpental, seperti ditiup angin raksasa saja maka berkelebatlah dua bayangan membentak mereka.
“Hei, apa yang kalian lakukan ini? Kenapa berkelahi?”
“Berhenti!” suara lain membentak penuh wibawa. “Jangan gila-gilaan, Togur. Berhenti dan kenapa kalian bertempur... des-dess!” Poan-kwi, bayangan kedua langsung bergerak dan berkelebat di tengah. Kakek itu memisah namun alangkah kagetnya ketika tiba-tiba suara tawa si San Tek menggelegar bagai mengguncang gunung. Muridnya itu menangkis dan terlemparlah kakek ini tinggi di udara. Dan ketika kakek itu melengking dan kaget mengibaskan lengan, berjungkir balik, maka tangannya kembali mengibas namun San Tek tiba-tiba membuka mulutnya dan berteriak.
“Pergi!”
Poan-kwi maupun adiknya terkejut. Mereka melihat betapa dari mulut pemuda itu menyembur tenaga dahsyat yang amat luar biasa hebatnya. Dari mulut itu meniup hawa mujijat yang membuat kibasan membalik. Dan ketika Poan-kwi terpekik karena tubuhnya malah terlempar lebih tinggi, San Tek kumat gilanya dan mengayun kakinya sebelah kiri maka Poan-kwi nyaris tak percaya ketika tiba-tiba dia terangkat begitu tingginya oleh tendangan dahsyat muridnya yang gila itu.
“Haiiittttt...!” Poan-kwi meledakkan tangan dan lenyap di balik Hek-kwi-sut. Kakek itu bisa terbanting dan remuk tulangnya kalau tidak cepat-cepat menghilang. Apa yang terjadi ini sungguh di luar dugaannya dan amat mengagetkan. San Tek, murid yang tak pernah ditengok itu mendadak saja memiliki tenaga mujijat yang mampu membuat orang terlempar seperti disapu tangan raksasa, atau ditiup angin topan yang begitu dahsyatnya. Dan ketika kakek itu lenyap dan marah di balik Hek-kwi-sut, menggeram dan muncul di belakang pemuda ini maka misai panjang melecut dan tepat menghantam belakang kepala muridnya itu.
“Plak!” San Tek terhuyung namun misai itu berodol. Poan-kwi tertegun dan kaget melihat si gila ini tak apa-apa, terkekeh dan membalik dan menggerakkan tangannya mengibas. Dan ketika ia menangkis namun terhuyung, Poan-kwi pucat maka kakek itu memekik dan mundur selangkah.
“Ilmu siluman!” kakek itu mengeluarkan seruan tertahan. “Heh, berhenti kau San Tek. Ilmu apa yang kau punyai ini dan kenapa menyerang suhengmu!”
“Heh-heh, dia membutakan aku,” si gila berkelebat dan kini menyerang lawannya lagi, sang guru mundur terbelalak. “Aku dicelakainya, susiok-kong. Lihat mataku buta sebelah!”
“Dia hendak membunuh aku!” Togur berkelebat dan mengelak cengkeraman si gila, batu di belakangnya hancur! “Bocah ini tak mau berlatih, suhu. Coba tanya dia bukankah dia tak mau menuruti nasihatku!”
“Benar, aku tak mau berlatih sinkang, San Tek tertawa dan terus mengejar lawannya. “Togur selalu memaksaku, susiok-kong, padahal aku lelah. Biar aku membunuhnya dan kalian berdiri saja menonton di situ.... blar-blarr!” kilatan uap merah menyambar dari tangan si gila ini, disusul kemudian oleh tiupan mulutnya di mana tiba-tiba menyembur uap merah pula. Angin dahsyat muncul dari sini dan San Tek terbahak-bahak mengatakan bahwa kesaktiannya sudah hebat. Gunungpun dapat ditiupnya hancur. Dan ketika benar saja batu karang di belakang Togur meledak dan hancur berkeping-keping, pukulan atau semburan pemuda itu menghempas apa saja maka Togur berkelebat dan bingung mengelak sana-sini.
“Suhu, San Tek sudah melawan perintah. Katanya ilmu-ilmu darimu tak sehebat miliknya. Itulah sebabnya ia tak mau berlatih karena pelajaran yang diterima katanya rendah dan tak berharga!”
“Hm, begitukah?” Poan-kwi terbelalak, mukanya menyiratkan hawa pembunuhan. “Kalau begitu bunuh saja dia, Togur. Murid seperti itu tak ada gunanya lagi!”
“Aku tak mampu membunuhnya!” si buntung kewalahan dan pucat. “San Tek menyimpan tenaga siluman, suhu. Entah dari mana dia mendapatkan itu dan melatih. Hek-kwi-sut dan apapun yang kupunya tak mempan!”
Memang benar, semua pukulan-pukulan si buntung ini tak mempan terhadap tubuh lawan. Jangankan pukulannya, pukulan atau tamparan Poan-kwi sendiri tak mampu merobohkan San Tek. Lecutan atau sabetan misai malah membuat rambut kakek itu berodol! Dan ketika Poan-kwi terbelalak karena San Tek terkekeh kekeh, merendahkan lawannya atau seakan merendahkan dirinya sendiri maka kakek itu berkelebat.
“San Tek, kau murid tak berbudi. Coba terima satu lagi ini dan enyahlah.... dess!” pemuda itu bergetar dihantam dari samping, menoleh dan melotot dengan sebelah mata yang sehat sementara Poan-kwi tertegun melihat mata yang lain pecah dan penuh darah. Semestinya dalam keadaan seperti itu si gila ini kesakitan, roboh dan terlempar. Tapi ketika pukulannya tak membuat San Tek bergeming dan pemuda itu marah kepadanya, membuka mulut dan terbahak tiba-tiba murid yang gila ini meniup dan Poan-kwi terlempar oleh sebuah tenaga mujijat.
“Ha-ha, kau pergilah, susiok-kong. Kau tak dapat mengalahkan aku.... wut!”
Poan-kwi terhempas dan mencelat tinggi, berteriak dan kaget dan tentu saja tiba-tiba meledakkan Hek-kwi-sutnya untuk menghilang. Dan ketika kakek itu lenyap dan berganti asap hitam, Poan-kwi melengking dan marah bukan main maka kakek itu bergerak dan sudah menyerang dengan amat cepatnya, tangan dan misai bergerak tak henti-henti menghantam muridnya itu. Namun apa yang terjadi? Semua pukulan kakek ini rnembalik! Hek-kwi-sut yang dikerahkan hanya membuatnya tak mampu dilihat namun San Tek yang sudah diserang dan dipukul bertubi-tubi itu tak bergeming atau bergoyah sedikitpun.
Pemuda itu tegak seperti gunung dan ketika membalik dan marah menangkis maka justeru dialah yang terlempar. Angin yang amat dahsyat meluncur dari tangan pemuda ini dan setiap memukul tentu diiringi tawanya yang menggetarkan itu. Bumi tiba-tiba berderak tak keruan seolah sedang digempur oleh tawa seratus raksasa, demikian hebat dan mengguncang hingga Poan-Jin yang ada di sana ikut menggigil dan pucat.
Pohon-pohon roboh dan batu-batu terlempar atau berguguran dari tempatnya, seolah ditendang raksasa-raksasa tak kelihatan. Dan ketika semuanya itu membuat Poan-kwi terpekik dan berjungkir balik, asap Hek-kwi-sutnya terdorong dan tak mampu mendekati pemuda itu maka dia berseru agar adiknya maju membantu. Togur terhuyung-huyung jatuh bangun!
“Sute, tangkap pemuda ini. Bekuk dan robohkan dia!”
Poan-jin mengangguk. Dia sendiri akhirnya lenyap dan meledakkan kedua tangan. Suhengnya sudah membentak dan mengeluarkan pukulan-pukulan api. Cahaya merah dan biru saling menyambar dan disentuhlah si gila itu oleh ledakan-ledakan cahaya panas. Tapi ketika San Tek terbahak-bahak dan lenyap mempergunakan Hek-kwi-sut, tadi pemuda itu disedot dan ditarik gurunya maka ledakan atau sambaran api itu ditiup terpental oleh pemuda ini.
“Ha-ha, mari serang aku, ji-susiok-kong. Lihat kesaktianku yang dapat menerima pukulan kalian!”
Poan-jin dan suhengnya terbelalak. Pemuda itu lenyap di balik Hek-kwi-sut dan tiupan-tiupan dahsyat menyembur dari mulut si gila, meruntuhkan atau menghancurkan bola-bola api yang mereka lepaskan. Tapi karena Hek-kwi-sut berada ditangan mereka dan Poan-kwi marah membentak muridnya maka kakek yang dapat menarik atau melenyapkan Hek-kwi-sut lawan tiba-tiba melengking dan melakukan gerakan ke ubun-ubun San Tek. Biasanya, sekali tangannya menyentuh maka Hek-kwi-sut yang dimiliki pemuda itu akan terkunci, macet dan San Tek akan berteriak-teriak.
Dulu di waktu pertemuan mereka yang pertama saja San Tek memang menjerit-jerit karena Hek-kwi-sutnya dilumpuhkan. Maklumlah, Poan-kwi memang pemilik paling berkuasa dari ilmu hitam itu. Tapi ketika tepukan gagal karena ubun-ubun pemuda itu mengeluarkan tenaga mujijat di mana daya tolak yang besar mementalkan tepukan Poan-kwi, San Tek sudah dilindungi semacam cahaya hitam yang tebal dan kuat maka kakek itu terkejut dan malah terpelanting ketika ditiup muridnya.
“Dess-wushh!”
Poan-kwi terkejut bukan main. Sa Tek, muridnya yang gila itu tiba-tiba saja memiliki kesaktian luar biasa yang tak dapat ditandingi. Tubuh dan kepala pemuda itu dibungkus cahaya hitam di mana semua pukulan atau tamparan terpental. Tenaga atau cahaya hitam itu bekerja otomatis dan hebatnya tak disadari sendiri oleh si gila itu. San Tek tertawa-tawa! Dan ketika pemuda itu membalas dengan tiupan atau kibasan lengannya maka baik Poan-jin maupun Poan-kwi terhuyung dan terpental.
“Im-kan-thai-lek-kang. Pemuda ini memiliki Im-kan-thai-lek-kang (Tenaga Inti Neraka)...!”
Poan-jin dan Togur terkejut. Mereka mendengar teriakan atau seruan Poan-kwi itu dan si kakek iblis yang biasanya berwajah dingin ini sekarang mendadak kelihatan pucat pasi. Poan-kwi terkejut bukan main karena San Tek tiba-tiba memiliki Im-kan-thai-lek-kang itu, satu kekuatan dahsyat yang orang seperti apapun tak mungkin dapat menandingi. Si gila itu tiba-tiba saja menjadi begini hebat.
Pantas kibasan atau tiupan-tiupan mulutnya mampu membuatnya tertolak, terhuyung atau bahkan terpelanting! Dan ketika Poan-jin di sana juga terbelalak dan pucat pasi, Im-kan-thai-lek-kang itu tak ada tandingannya maka San Tek tertawa bergelak dan menyemburkan cahaya merah ke arah dua gurunya ini.
“Ha-ha, kalau begitu kalian akan kubunuh, susiok-kong. Aku akan menyingkirkan kalian agar tidak menyebalkan hatiku lagi.... wushh!” segulung lidah api besar menyambar dua orang ini, meledak dan tidak mengenai sasaran karena secepat kilat dua kakek itu lenyap mengeluarkan Hek-kwi-sut.
Mereka muncul dan lenyap lagi karena berkali-kali si gila itu membalas, San Tek juga muncul dan lenyap pula di balik Hek-kwi-sutnya. Pemuda itu tak dapat ditahan! Tapi ketika Poan-kwi melihat setitik kelemahan di tubuh pemuda ini, yakni bagian matanya yang masih bercucuran darah maka kakek itu berseru agar saudaranya melancarkan serangan ke mata pemuda ini, begitu juga Togur.
“Serang kedua mata pemuda ini. Butakan kedua matanya!”
San Tek sibuk. Poan-kwi tiba-tiba berkelebat dan mengelilingi tubuhnya dengan misai menyambar-nyambar. Poan-jin juga mengikuti dan dua orang itu berseliweran naik turun dengan amat cepatnya. Dan ketika Togur juga mempergunakan Jing-sian-eng dan tiga orang itu silih berganti menusuk matanya, memang bagian inilah yang paling lemah dan tak dapat dilindungi kekebalan maka San Tek berteriak-teriak dan memaki lawannya sambil memukul atau mendorong, bahkan juga membentak, bentakan yang membuat tiga orang itu terpental seakan dihempas suara guntur!
“Poan-kwi, kau kakek licik dan curang. Awas, kubunuh kau lebih dulu!” tapi ketika Poan-jin ganti berkelebat di depan dan Poan-kwi naik turun di belakang maka Poan-jin inilah yang dimaki. “Hei, kau jangan macam-macam, ji-susiok-kong. Nanti kau kulempar ke neraka!”
“Hm, murid tak berbakti!” Poan-jin membentak dan memaki pemuda itu. “Kau yang akan kukirim ke neraka, San Tek. Mampus dan susullah bapakmu.... dar!” misai melecut bagai ledakan petir, tepat menyambar mata namun si pemuda mengelak dan misai itu mengenai pipi. Dan ketika San Tek marah dan menggerakkan tangannya yang lain, menyambar dan menangkap misai ini maka Poan-jin terpekik karena tiba-tiba tubuhnya tertarik ke depan.
“Aduh, lepaskan!”
Namun mana pemuda itu mau melepaskan. Justeru misai berhasil dicengkeram tiba-tiba dia menarik dan menyentak, hal yang membuat lawannya menjerit. Dan ketika kakek itu tertarik dan menghadapi lututnya maka Poan-jin pucat pasi diadu dengan lutut pemuda itu. “Brett!” kakek ini cepat melakukan jalan pintas. Misai panjangnya dibabat sendiri, tinggal separoh. Dan ketika dia terlepas dari bahaya maut dan sudah melempar tubuh bergulingan.
Maka San Tek tertawa-tawa memegang segenggam misai di tangan kanannya, mengobat-abitkan benda itu dan Poan-kwi melotot gusar melihat ini. Poan-jin sendiri merah padam dan marah bukan main. Misai panjangnya itu dibuat mainan. Tapi ketika mereka bergerak lagi dan Togur kagum dan terheran-heran bagaimana si gila ini mampu memiliki Im-kan-thai-lek-kang, tenaga yang membuatnya mengilar maka Poan-kwi tiba-tiba melepaskan sinar-sinar hitam ke mata lawannya itu.
“Ser-ser-serr....!”
Ratusan jarum kecil-kecil mendadak, sudah berhamburan ke wajah San Tek, Pemuda itu berteriak dan menangkis, misai itulah yang dipakai. Tapi ketika misainya putus-putus bersamaan dengan jarum-jarum yang juga patah-patah runtuh ke tanah maka Poan-jin juga melepaskan jarum hitam meniru jejak suhengnya.
“Bagus, agaknya ini yang paling baik, suheng. Serang terus dengan hek-tok-ciam (jarum racun hitam)...!”
San Tek kewalahan. Ratusan jarum yang demikian banyaknya akhirnya tak dapat juga dihindarkan semua. Dia telah meniup dan mendorong namun sebatang jarum masuk juga ke biji matanya, tepat di sebelah kanan yang sudah buta itu. Dan karena jarum ini juga masuk di tempat yang sudah ditancapi bubuk besi, sakitnya bukan main maka San Tek menjerit dan terdengarlah teriakan dahsyat yang membuat Poan-kwi dan dua temannya mencelat bagai diseruduk gajah.
“Aurghhhh...!”
Tiga orang itu terguling-guling. Empat batang pohon roboh dan celaka sekali menimpa mereka. Dan ketika batu di kiri kanan juga gugur dan bergemuruh terlepas dari tempatnya maka hujan batu tiba-tiba menyambar tiga orang ini.
“Awas, semua berguling ke kiri!”
Tapi sial. Dalam gugup dan paniknya memberi aba-aba ternyata bagian sebelah kiri adalah jurang. Poan-kwi terjerumus lebih dulu dan setelah itu adiknya serta Togur. Si buntung ini juga terkejut dan berteriak tertahan. Tempat itu tak dapat diinjak lagi karena bergetar oleh jeritan San Tek. Pemuda itu kesakitan hebat dan teriakannya bagai aum seratus singa, tentu saja batu-batu berguguran jatuh!
Tapi karena Poan-kwi maupun teman-temannya adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, mereka terkejut tapi cepat membentak mengeluarkan Hek-kwi-sut maka begitu terbanting segera mereka hilang menjadi sebungkus asap hitam, terbang dan naik lagi ke atas tapi di sana San Tek ternyata sudah pergi.
Pemuda itu lenyap setelah mengeluarkan teriakannya yang dahsyat tadi. Tenaga Im-kan-thai-lek-kang telah dipergunakan dan akibatnya sungguh luar biasa. Belum ada seorang pun di dunia ini yang memiliki Im-kan-thai-lek-kang. Baru pemuda itulah seorang! Dan ketika tiga orang ini tertegun dan termangu-mangu, tempat itu sudah menjadi gundukan batu dan pohon maka Poan-jin ngeri dan keluar lagi dari balik ilmu hitamnya.
“Luar biasa. Bocah itu sungguh bukan manusia lagi!”
“Hm, dan mengherankan bagaimana dia bisa memiliki Im-kan-thai-lek-kang!”
“Ya, benar, suheng. Bagaimana bocah itu memiliki Im-kan-thai-lek-kang!”
“Apakah ada orang lain yang selama ini diam-diam ada di dekatnya?”
“Kukira tidak, tapi coba tanya si Togur itu!”
“Tidak, tidak ada...” Togur, si buntung menggeleng, cepat menjawab. “Tak ada orang lain di dekat pemuda itu, suhu, kecuali hanya aku seorang. Tapi, hmmm bagaimana ilmu Thai-lek-kang itu dapat dilatih? Apakah bisa didapat secara kebetulan?”
“Maksudmu?”
“Aku tak tahu, suhu. Tapi mungkin saja suatu ilmu dapat dimiliki seseorang secara kebetulan.”
"Kemungkinan itu ada, tetapi kecil sekali. Dan untuk mendapat Im-kan-thai-lek-kang ini barangkali seseorang harus dijungkir balik dulu pikirannya. Tapi itu berbahaya, dan kurasa tak ada orang yang mau dijungkir balik!”
Si buntung tertegun. Mendengarkan itu tiba-tiba dia tercekat. Dijungkir balik? Dikacau pikirannya agar mendapat Im-kan-thai-lek-kang? Ah, dia telah melakukan itu. Si gila yang tidak waras itu telah disuruhnya berlatih sinkang secara kacau dan ternyata si gila itu mendapatkan Im-kan-thai-lek-kang. Ah, dia malah memberikan ilmu yang amat dahsyat kepada San Tek. Ilmu yang bahkan Poan-jin-poan-kwi sendiri tak mampu menandinginya!
Dan ketika Togur tertegun dan membelalakkan mata, diam-diam mengumpat maka dua kakek iblis itu sendiri menjublak dan tidak mengetahui ke mana si gila pergi, juga tidak tahu kejadian dua anak muda ini di mana Togur mempermainkan dan telah menjungkir balik latihan yang diberikan kepada temannya, latihan sinkang yang membuat San Tek sering sesak dadanya karena tiba-tiba Im-kan-thai-lek-kang itu timbul. Secara ajaib si gila itu memiliki kekuatan dahsyat yang mengerikan sekali. San Tek merupakan pemuda berbahaya yang tidak waras otaknya pula!
Dan ketika tiga orang itu tertegun dan Togur merupakan satu-satunya murid yang masih ada, si buntung inilah harapan mereka maka akhirnya mau tidak mau dua kakek ini memberikan semua ilmu-ilmunya kepada Togur. Keraguan yang semula ada kini lenyap, Togur memang pandai mengambil hati. Dan ketika untuk berikutnya Poan-jin-poan-kwi mewariskan semua kepandaiannya kepada pemuda ini, sebagai murid tunggal, maka Togur tertawa di dalam hati dan merasa menang.
Setahun saja pemuda itu sudah memiliki kepandaian berlipat-lipat. Togur yang sekarang sungguh sudah jauh bedanya dengan Togur yang dulu. Pemuda ini juga merupakan lawan yang amat berbahaya, barangkali Kim-hujin atau Swat Lian itu tak mampu mengalahkannya lagi. Dan ketika tiga orang itu pergi dan meninggalkan tempat itu, Poan-jin-poan-kwi telah mengambil keputusan untuk menurunkan semua ilmu mereka maka jauh di barat, di Himalaya, dua kakek ini tak melakukan kegiatan apa-apa kecuali menggembleng murid mereka itu sampai Togur akhirnya menjadi pemuda yang benar-benar lihai!
“Kau sekarang boleh turun,” pagi itu si buntung ini dipanggil gurunya, Poan-kwi. “Tak ada lagi ilmu kami yang belum kami berikan kepadamu, Togur. Pergi dan turunlah dan lakukan sesuatu untuk kami!”
Togur tertegun, tak melihat gurunya nomor dua, Poan-jin. “Di mana ji-suhu?”
“Ji-suhumu sedang mencari sesuatu. Dia hendak mengembalikan kekuatan hitamnya agar dapat menjadi roh halus lagi!”
“Hm, apakah ji-suhu benar-benar tak dapat kembali ke badan halus, suhu? Apa yang pernah terjadi hingga ji-suhu seperti itu?”
“Ilmu hitamnya dilumpuhkan seorang anak. Bu-siang-sin-kang (Ilmu Sakti Tak Berwujud) yang dimilikinya hancur sebagian.”
“Ah, hancur oleh seorang anak, suhu? Apa maksudmu ini? Apa artinya ini?”
Poan-kwi tertegun. Dia telah kelepasan bicara dan tiba-tiba menyesal. Sebenarnya, kakek ini tak ingin menceritakan keadaan saudaranya itu, betapa gara-gara Beng An yang menarik tali kolornya maka adiknya tak dapat kembali lagi ke alam halus. Hanya berkat pertolongannya sajalah maka Poan-jin dapat diajak atau ditarik ke alam halus. Adiknya itu kini tinggal berbadan kasar dan Bu-siang-sin-kang yang mereka miliki tak sepenuhnya lagi dimiliki adiknya itu.
Kolor jimat yang dipunyai adiknya telah diputuskan Beng An, padahal orang dewasa tak mungkin dapat melakukan itu karena memang hanya anak-anak sajalah yang dapat melakukannya, anak-anak yang masih bersih dan memiliki kekuatan netral yang akan melumpuhkan Bu-siang-sin-kang mereka. Dan karena Beng An telah mereka culik dan anak itu pulalah yang harus mengembalikan kekuatan adiknya, anak itu disimpan dan masih disembunyikan Poan-kwi maka Poan-kwi agak tertegun kenapa dia tiba-tiba bicara tentang kesialan yang pernah dialami adiknya.
Dia kelepasan bicara dan karena itu merasa menyesal. Untuk “pengapesan” ilmu ini tak ingin dia membicarakannya dengan Togur. Ada kilatan aneh yang kadang-kadang dilihatnya pada mata muridnya itu, kilatan licik atau apalagi yang membuat dia ragu. Poan-kwi kadang-kadang merasa bimbang dengan muridnya ini. Perasaannya yang tajam kadang-kadang memberi tahu padanya bahwa muridnya ini tak dapat dipercaya. Si buntung ini culas!
Namun karena Togur pandai melihat keadaan dan pemuda itu benar-benar cerdik luar biasa, pandai mengantisipasi keadaan maka begitu, gurunya tampak ragu dan bimbang akan dirinya maka secepat itu pula pemuda ini pandai mengembalikan kepercayaan. Dan hal itupun telah dilakukan pemuda ini begitu kali itu gurunya tampak ragu-ragu.
“Maaf,” si buntung ini berlutut dan mencium lantai, kata-katanya halus, enak didengar telinga. “Aku tak bermaksud memaksamu, suhu. Kalau ada sesuatu yang berat kau katakan lebih baik tak usah kau katakan. Aku mencabut kembali keinginanku tadi dan biarlah apa yang pernah di alami ji-suhu tak akan kutanyakan lagi sekarang apa yang hendak kau perintahkan dan kenapa aku harus pergi seorang diri.”
“Aku menunggu ji-suhumu. Kami ingin kau turun gunung dan pergi dulu nanti setelah itu kami susul. Cari pemuda bernama Thai Liong itu dan bawa dia ke mari. Aku masih penasaran akan ceritamu dulu!”
“Thai Liong?” Togur tertegun, muka tiba-tiba berubah. “Apakah dapat kucari dia, suhu? Bukankah kepandaianku masih meragukan?”
“Kau tak usah takut,” Poan-kwi tiba-tiba berkelebat dan menghilang. “Lihat kepandaianmu sekarang, Togur. Mari bertanding di luar dan percayai diri.... plak!”
Togur yang menerima pukulan siluman dan tergetar tapi tidak roboh tiba-tiba sudah bergerak dan menghilang keluar pula. Tadi gurunya lenyap dalam ilmunya Bu-siang-sin-kang itu dan memukulnya secara cepat. Dulu, dia pasti terpelanting dan roboh, paling tidak sembab! Tapi ketika dia tak apa-apa dan pukulan gurunya yang tak diduga itu hanya membuatnya tergetar sedikit, gurunya berkelebat dan menyuruhnya keluar maka pemuda inipun bergerak dan tiba-tiba lenyap seperti iblis. Itulah Bu-siang-sin-kang warisan Poan-kwi!
“Aku di sini!” Togur tiba-tiba muncul dan memperlihatkan diri lagi, tahu-tahu sudah ada di luar guha. “Muncul dan perlihatkan dirimu, suhu. Dan beritahukan apa yang harus kulakukan!”
“Kita bertanding!” sesosok bayangan hitam tiba-tiba muncul dan berada di belakang pemuda itu, seperti iblis. “Keluarkan semua ilmumu, Togur. Dan lihat bahwa kau sudah bukan seperti dirimu setahun yang lalu.... des-dess!”
Togur yang terkejut tapi tidak bergeming, terbelalak dan memutar tubuhnya akhirnya melihat bayangan gurunya itu berkelebatan cepat mengelilingi dirinya. Gurunya berkata bahwa dia diajak bertanding, bukan latihan lagi melainkan sungguh-sungguh sebuah pertandingan. Karena begitu dia tertegun dan terbelalak lebar tiba-tiba serangan demi serangan menghujani dirinya, cepat dan bertubi-tubi. Serangan-serangan maut!
“Togur, jangan lengah. Ini bukan latihan!”
Si buntung itu terkejut. Dia sudah mendapat pukulan-pukulan cepat di mana semua pukulan-pukulan itu mengarah tempat-tempat berbahaya yang tak dapat begitu saja dibiarkan. Tangan dan kaki gurunya bergerak silih berganti dan semuanya menuju bagian-bagian mematikan. Misai menyambar-nyambar pula dan terdengarlah ledakan-ledakan yang membuat telinga terasa pekak, sakit. Namun ketika pemuda ini bergerak dan naik turun pula mengimbangi lawannya, Jing-sian-eng dikeluarkan namun kalah cepat oleh Bu-siang-sin-kang yang dimiliki Poan-kwi maka pemuda itu tergetar ketika sebuah tamparan mengenai pelipisnya.
“Plak!" Togur terhuyung, Kalau dulu dia menerima tamparan itu tentu seketika itu juga dia terbanting dan terlempar. Tapi ketika dia hanya terhuyung dan gurunya tertawa mengejek, Jing-sian-eng kalah cepat dibanding Bu-siang-sin-kang maka Poan-kwi berseru agar dia mengeluarkan ilmu lainnya.
“Jangan mengandalkan Jing-sian-eng. Ilmu curian itu tak akan mampu menghadapi aku. Ayo, gabung dengan lain-lainnya, Togur. Atau kau mampus.... dess!”
Si buntung ini yang mengelak dan merah padam, dikata pencuri ilmu tiba-tiba membentak dan menangkis gurunya, Poan-kwi meledakkan misai sementara tangan kakek itu menyambar ulu hati, semuanya berbahaya. Dan karena Jing-sian-eng memang tak cukup diandalkan dan si buntung ini sudah menangkis dan mengerahkan tenaga maka tiba-tiba pemuda itu meliuk dan kedua tangannya bergerak cepat sebanyak duabelas kali membalas pukulan-pukulan gurunya itu.
“Bagus!” Poan-kwi berkelebat dan menghilang. “Ini baru bagus, Togur. Dan mari kita adu pukulan kita.... dess!” dan kakek itu yang tergetar dan terpental bersama muridnya tiba-tiba berseru keras karena gerakan duabelas kali yang dilancarkan si buntung itu tak dapat dikelit semua.
Pukulan atau balasan pemuda itu luar biasa cepatnya, Togur mempergunakan Cap-ji-lian-hoan-ciang atau Pukulan Berantai Duabelas Kali yang membuat gurunya sibuk. Dan ketika mereka sama terpental dan Poan-kwi memuji dan meluncur turun maka mereka akhirnya bertanding dan bukan sekedar latihan. Poan-kwi membentak dan memperlihatkan kepada muridnya akan kemajuan-kemajuan yang diterima muridnya itu. Kecepatan dilawan kecepatan dan tenaga dilawan pula oleh tenaga. Nyata, Togur mampu mengimbangi gurunya. Dan ketika rasa percaya diri mulai tumbuh dan Togur tertawa girang, semua gerakan atau pukulan gurunya dapat ditolak maka pemuda itu berseri-seri.
“Benar, kau benar, suhu, Kepandaianku sekarang benar-benar maju luar biasa cepatnya. Ayo coba kau robohkan aku atau aku yang akan merobohkanmu!”
“Hm, kau maupun aku tak akan ada yang dapat saling mengalahkan!” Poan-kwi berseru. “Ilmumu setingkat ilmuku, Togur. Tapi kalau kau menghadapi aku dan ji-suhumu maka kau pasti roboh!”
“Ah, suhu mau mengeroyok?”
“Bukan mengeroyok, melainkan memberitahumu saja, agar tidak sombong!” dan ketika mereka bergerak dan kembali saling serang-menyerang, tenaga maupun kecepatan ternyata sama.
Maka Togur benar-benar gembira karena sekarang ia mampu menghadapi gurunya nomor satu ini. Hanya kalau gurunya nomor dua maju berbareng ia masih kalah, itu tentu saja. Dan ketika si buntung tertawa bergelak dan Poan-kwi meremang mendengar tawa yang aneh dan menyeramkan ini maka Togur tiba-tiba berseru keras melakukan jurus yang disebut Hun-kong-kik-eng (Memencar Sinar Menyerang Bayangan).
“Aihhhh.... plak-dess!” Poan-kwi kaget berseru panjang. Kakek itu tak sempat mengelak dan misai di bawah dagunya menyambut pukulan itu, mereka sama terlempar dan terbanting dan dua-duanya terguling-guling. Dan ketika kakek itu batuk-batuk dan meloncat bangun, terbelalak, maka di sana Togur juga meloncat bangun dan memuji gurunya, pukulannya gagal.
“Bagus, kau hebat dan mengagumkan, suhu. Aku tak mampu merobohkanmu!”
“Hm, kau mau membunuh aku?” si guru membentak dan marah. “Kau mengeluarkan Hun-kong-kik-eng, Togur. Sinar pukulanmu mengurung aku!”
“Maaf,” si buntung tertawa dan memberi hormat, langkahnya agak terhuyung. Kaupun hendak membunuh aku, suhu, tapi kita sama-sama gagal. Ini bukan latihan, kau bilang sendiri pertandingan!”
“Hm, kau betul. Tapi kalau kau coba-coba membunuh aku maka aku akan membunuhmu!”
“Kalau begitu suhu bunuh saja aku sekarang!” Togur menjatuhkan diri berlutut. Aku menyerahkan jiwa ragaku, suhu. Ayunkan tanganmu kalau ada keraguan di hatimu!”
Poan-kwi tertegun. Lagi untuk kesekian kali kecurigaannya hilang. Tadi sinar pukulan muridnya itu memang seolah mau membunuh karena Hun-kong-kik-eng benar-benar memencarkan sinar ke sekeliling penjuru. Kalau bukan dia tentu repot menghadapi. Diapun tak dapat mengelak kecuali menangkis. Maka begitu sang murid berlutut dan tunduk dengan pasrah, kemarahannya lenyap maka kakek inipun tersenyum dan menendang pundak muridnya itu.
“Kau bangunlah, kata-katamu benar. Ini bukan latihan melainkan pertandingan sungguh-sungguh. Nah, kau lihat kepandaianmu sekarang, Togur. Kau telah menyamai aku dan hanya bila dikeroyok saja kau tak akan menang!”
“Aku tahu,” pemuda ini bangkit berdiri. “Dua kali kau bicara seperti ini, suhu. Seolah menyiratkan ancaman bahwa aku akan kau bunuh kalau aku macam-macam kepadamu, mengeroyok bersama ji-suhu. Kalau kau takut akan itu kenapa tidak melakukannya sekarang saja? Aku bukan murid tak tahu diri, suhu. Dan aku tak pernah membunuh guru-guruku sebelum aku berguru kepadamu!”
“Hm, kau benar,” Poan-kwi agak merah mukanya, ancaman yang tersirat tadi memang betul. “Kau tak perlu menaruh di hati kata-kataku tadi, Togur. Aku tahu kau tak akan macam-macam dan sekarang kau tahu kepandaianmu sendiri. Pendekar Rambut Emaspun agaknya tak dapat menandingi mu lagi!”
“Ah, benarkah, suhu? Pendekar Rambut Emas?”
“Ya, Pendekar Rambut Emas. Dia tak akan mampu menandingimu lagi karena dulupun dia harus mengeroyok aku ketika bertemu!”
“Oh, aku ingin mencobanya!” dan Togur yang berjingkrak serta girang luar biasa tiba-tiba menghadap gurunya apakah boleh dia mencari dan membunuh saja pendekar itu.
“Aku memang hendak menyuruhmu ke utara. Kalau Thai Liong belum kau temukan maka cari dan temukan saja Pendekar Rambut Emas itu. Bunuh dia. Dulu dia pernah mengeroyok aku bersama Drestawala!”
“Drestawala? Siapa ini?”
“Hm, Drestawala adalah kakek India yang hebat, Togur. Tapi dia berhasil kubunuh. Dulu kakek itu mencari aku dan mengeroyok bersama Pendekar Rambut Emas. Kim-mou-eng itu berhutang sekali kepadaku!”
“Tapi suhu kalah?”
“Aku tidak kalah. Waktu itu aku pergi karena menyelamatkan ji-suhumu yang sedang terluka. Tapi untuk ini kau tidak usah banyak tanya. Pergi dan turun gununglah. Aku di sini menemani ji-suhumu sampai dia dapat memulihkan Bu-siang-sin-kangnya seperti semula!”
Dan ketika Togur tertegun dan tak jadi bertanya, heran bagaimana ji-suhunya terluka dan pasti karena ada lawan yang lain maka pemuda ini mengangguk-angguk dan pandai melihat keadaan. Bekas murid Enam Iblis Dunia ini memang cerdik dan amat berhati-hati. Sebenarnya Togur ingin bertanya bagaimana ji-suhunya terluka, siapa musuh ji-suhunya itu karena kalau hanya Kim-hujin yang menyertai suaminya saja tentu ji-suhunya tak akan terluka.
Tapi karena gurunya sudah menukas pembicaraan itu dan Togur tak tahu akan peristiwa di puncak bukit, bahwa waktu itu ji-suhunya menghadapi Kim-hujin dan Shintala yang cantik jelita maka pemuda ini menahan mulut dan tak jadi bertanya. Ia mengangguk saja ketika gurunya menutup cerita, menyuruh ia pergi dan gurunya itu akan menemani ji-suhunya di situ, sampai ji-suhunya dapat memulihkan Bu-siang-sin-kangnya itu. Dan ketika Poan-kwi berkelebat dan masuk kembali ke dalam guha maka kakek itu menghilang namun suaranya terdengar di luar.
“Cukup, sekarang kau pergi lebih dulu, Togur. Seminggu atau sebulan lagi kami menyusul. Bawa Thai Liong atau bapaknya itu!”
Pemuda ini bergerak. Setelah gurunya sendiri sudah berkata seperti itu maka tak ada alasan untuk tinggal lebih lama tagi di Himalaya. Si buntung ini memang ingin turun gunung, menjajal atau membuktikan kepandaiannya yang sekarang itu dengan Pendekar Rambut Emas. Hebat, dia katanya dapat menandingi pendekar yang luar biasa itu. Dan berkelebat serta lenyap meninggalkan guha maka pemuda ini berseri-seri akan melaksanakan niatnya.
“Hm, rupanya sekarang waktunya membalas dendam, Kim-mou-eng. Awas kau, juga isterimu itu!”
Togur sudah mempunyai rencana-rencana keji. Terbayang olehnya nyonya yang masih cantik itu. Terbayang pula olehnya Soat Eng atau puteri Pendekar Rambut Emas yang cantik dan gagah. Dan tersenyum sendirian membayangkan maksud-maksudnya yang keji, balas dendamnya yang akan dilakukan dengan hebat maka pemuda ini turun gunung dengan melamun.
Togur bergerak dengan Bu-siang-sin-kangnya dan pemuda itu turun seperti sebungkus asap hitam yang meluncur dengan cepat. Jurang atau celah-celah lebar dilompatinya begitu saja. Tapi ketika ia tiba di kaki gunung dan siap terbang meninggalkan Himalaya, muncul dan akan bergerak seperti biasa mendadak ia tertegun melihat seorang gadis cantik mendaki dan berkelebat ke atas gunung.
“Aneh,” pemuda ini terkejut, sepasang matanya tiba-tiba bercahaya. “Gadis siapa gerangan? Mau apa ke atas?” dan heran serta kaget melihat gerakan gadis itu, yang cepat dan hilang di balik bebatuan tiba-tiba si buntung ini lenyap mengeluarkan Bu-siang-sin-kangnya. Togur mengejar ke arah gadis cantik itu dan akhirnya dilihatnya gadis itu, tinggi dan sudah jauh sekali di atas, hampir di pinggang gunung! Dan ketika pemuda ini terkejut tapi sekaligus gembira, gadis yang berkelebatan dan mendaki itu tak tahu dirinya maka Togur tiba-tiba melesat dan berdebuk menjatuhkan diri ketika tiba di belakang gadis itu.
“Aduh, siluman jahanam. Keparat kau, kakek iblis. Aduh.... bluk-blukk!” Togur melempar atau membanting tubuhnya sedemikian rupa hingga mengeluarkan suara seperti nangka jatuh, berdebuk dan mengejutkan gadis itu dan tentu saja gadis ini terpekik.
Dia tak tahu kapan pemuda itu ada di belakangnya dan bagaimana pula tiba-tiba berteriak dan terbanting, terguling-guling. Tapi ketika ia berhenti dan menoleh ke belakang, si buntung meringis dan memaki-maki sambil menudingkan tangannya ke atas maka gadis ini tertegun sementara Togur terkesiap dan berdetak melihat wajah yang begitu cantiknya, luar biasa cantik!
“Aduh, tolong, bidadari. Di atas sana ada kakek siluman. Aku dilempar dan dibantingnya ke mari!”
“Siapa kau!” gadis itu berkelebat dan mendekat, suaranya merdu membuat Togur tergetar jiwanya, pandang mata penuh kagum. “Apa yang terjadi, sobat. Bagaimana ada di sini dan siapa kakek siluman seperti katamu itu!”
“Aduh, aku... aku bertemu Kwan Im Pouwsat (Dewi Kwan Im) rupanya. Tolong, aku sedang ditimpa nasib buruk, bidadari. Aku pencari kayu bakar dan mendaki ke atas ketika tiba-tiba aku bertemu siluman!”
“Kau siapa, siapa namamu!”
“Aku... aku Tok-pi. Aduh, tolonglah aku, bidadari. Tempat ini sungguh menyeramkan dan seorang siluman mengusir aku tak boleh mencari kayu bakar di sana. Dia kejam, tolonglah aku!” dan ketika Togur mengeluh dan pura-pura menjatuhkan diri berlutut, menyambar dan memegang kaki si cantik tiba-tiba gadis itu menendang dan Togur mencelat oleh sebuah tendangan kilat yang hampir saja mengenai hidungnya!
“Heii, jangan kurang ajar. Jangan sentuh-sentuh kakiku.... dess!” dan Togur yang terlempar dan terguling-guling di sana, mengeluh, tiba-tiba membuat gadis itu terkejut karena pemuda ini tak menunjukkan tanda-tanda memiliki ilmu silat. Ditendang sekali saja sudah membuat kulitnya matang biru!
“Maaf,” si cantik berkelebat dan menyusul. “Aku tak sengaja, sobat. Bangun dan berdirilah!” dan ketika jari-jari yang lentik itu menyentuh dan menangkap pundak si pemuda.
Togur tergetar dan panas dingin maka gadis itu bertanya apakah dia penduduk dusun, pakaian pemuda ini memang kebetulan sederhana dan compang-camping. Poan-kwi memang tak pernah memperhatikan muridnya ini, dalam soal pakaian. “Beb... betul. Apakah Dewi baru turun dari kahyangan? Bagaimana ada di sini pula?”
“Aku bukan bidadari,” gadis itu tersipu merah, sikapnya jelas jengah. “Aku datang mencari seseorang dan ingin menemui orang itu!”
“Ah, tapi kau begini cantik jelita! Kau bukan manusia biasa. Aduh, jangan permainkan aku, Dewi. Kau pasti dari kahyangan dan barangkali mencari iblis di sini. Aduh, aku takut. Tolonglah aku,..." dan Togur yang kembali berlutut dan hendak menyentuh kaki yang halus putih itu dikelit dan dielak akhirnya mendengar bentakan agar dia tidak memegang-megang segala.
“Aku manusia biasa, bukan bidadari. Dengar, Tok-pi. Aku mencari seorang kakek iblis dan aku hendak membunuh kakek itu!”
“Apa? Kau... kau bukan bidadari? Kau manusia biasa? Ah, kau bohong, Dewi. Kulitmu begitu halus dan wajahmupun begitu cantik jelitanya. Kau bukan seperti orang Han dan berani sumpah tentu Dewi Sinta!”
“Hm, aku bukan Dewi Sinta, meskipun namaku Shintala. Kau jangan dekat-dekat karena bajumu bau!”
“Maaf,” Togur tertegun dan merah mukanya, bajunya memang apek dan bau. Seminggu belum dicuci! “Aku tak akan dekat-dekat, nona. Tapi sungguh tak dapat dipercaya kalau kau adalah manusia biasa. Wajahmu seperti dewi di kahyangan. Dan kepandaianmu yang seperti terbang itu, ah... apakah betul-betul kau manusia?”
“Terbang? Kau melihat aku mempergunakan ginkangku?”
“Ah, maaf...!” si buntung buru-buru menyadari kekeliruannya. “Aku melihatmu ketika di samping gunung itu, nona. Dan aku mengira kau seorang dewi yang mungkin akan menghajar kakek siluman itu. Aku sudah berteriak-teriak tapi kakek itu tiba-tiba melemparku dari atas!”
“Hm!” mata itu tak jadi curiga, alis yang semula menjelirit tiba-tiba memandang lagi, bibir tersenyum merekah, luar biasa manisnya. “Kau benar, Tok-pi. Aku memang datang untuk mencari siluman. Coba ceritakan kepadaku bagaimana kakek siluman yang kau temui itu. Siapa tahu dia orangnya!”
“Aku... aku ingin mengenalmu siapa dulu. Dari mana kau dan apakah betul kau bukan gadis Han. Kau begini cantiknya. Luar biasa sekali!”
“Hm, tak perlu melempar-lemparkan pujian,” gadis itu tiba-tiba tak senang, “Ceritakan kepadaku di mana kakek siluman itu, Tok-pi. Dan apakah benar kau penduduk bawah gunung. Kau tak pantas sebagai orang yang mencari kayu bakar, Kau seperti ahli silat...!”
“Aughhh!”
Si buntung kaget dan terperanjat akhirnya ia bergulingan bangun dan membentak mengeluarkan Hek-kwi-sut. Pukulan yang mendarat di tengkuk tak apa-apa dan Togur penasaran bahwa si gila ini demikian kuatnya. Ia tertolak dan tangannya sakit-sakit sendiri. Ada tenaga mujijat yang membuat pukulannya tadi terpental. Dan karena setiap lawan menjerit atau berteriak tentu keluar semacam kekuatan dahsyat yang membuat dada seakan dipukul palu godam, menggetarkan, maka Togur mengeluarkan ilmu hitamnya dan bermaksud menyerang lawannya itu dengan curang.
Tapi si gila terkekeh-kekeh Hek-kwi-sut yang dikeluarkan dibalas dengan Hek-kwi-sut pula. San Tek meledakkan tangannya dan lenyaplah pemuda itu menjadi segulung asap hitam. Dan ketika asap hitam ini bergerak naik turun bersama asap hitam yang lain, milik Togur, maka Togur mendapat kenyataan bahwa sinkang atau tenaga sakti di tubuh lawannya itu hebat luar biasa dan setiap geram atau bentakan selalu membuatnya terhuyung-huyung di balik asap hitam.
“Keparat, bedebah jahanam!” pemuda itu memaki dan pucat berkelebatan mengelilingi lawan. “Kau roboh dan mampuslah, San Tek. Roboh dan mampuslah!”
“Heh-heh, ini Hwi-gan-san-hui-tok? Kenapa berpusat di mata? Kau mengajariku di mulut, Togur. Dan kini kau mempergunakan itu lewat mata.... arghh!” si gila mengeluarkan pekik seperti gorila marah, mulut dibuka dan tiba-tiba terhempaslah si buntung oleh bentakan atau suara mengguntur itu. San Tek meniup dengan tenaga mujijatnya. Dan ketika Togur mengeluh karena tiupan mulut itu tak dapat ditahannya, hawa sakti lawan amatlah dahsyatnya maka si gila terkekeh-kekeh dan menggerak-gerakkan tangannya seraya menubruk sana-sini.
Empat pukulan Togur diterima dan empat kali itu pula Togur terpelanting. Si buntung marah dan mengeluarkan Khi-bal-sin-kang namun San Tek juga memiliki ilmu itu, menangkis dan nenolak dan jadilah Togur terpelanting lagi, kalah kuat. Dan ketika berkali-kali hal itu terjadi sementara geraman atau bentakan si gila itu selalu membuat Togur terpental, seperti ditiup angin raksasa saja maka berkelebatlah dua bayangan membentak mereka.
“Hei, apa yang kalian lakukan ini? Kenapa berkelahi?”
“Berhenti!” suara lain membentak penuh wibawa. “Jangan gila-gilaan, Togur. Berhenti dan kenapa kalian bertempur... des-dess!” Poan-kwi, bayangan kedua langsung bergerak dan berkelebat di tengah. Kakek itu memisah namun alangkah kagetnya ketika tiba-tiba suara tawa si San Tek menggelegar bagai mengguncang gunung. Muridnya itu menangkis dan terlemparlah kakek ini tinggi di udara. Dan ketika kakek itu melengking dan kaget mengibaskan lengan, berjungkir balik, maka tangannya kembali mengibas namun San Tek tiba-tiba membuka mulutnya dan berteriak.
“Pergi!”
Poan-kwi maupun adiknya terkejut. Mereka melihat betapa dari mulut pemuda itu menyembur tenaga dahsyat yang amat luar biasa hebatnya. Dari mulut itu meniup hawa mujijat yang membuat kibasan membalik. Dan ketika Poan-kwi terpekik karena tubuhnya malah terlempar lebih tinggi, San Tek kumat gilanya dan mengayun kakinya sebelah kiri maka Poan-kwi nyaris tak percaya ketika tiba-tiba dia terangkat begitu tingginya oleh tendangan dahsyat muridnya yang gila itu.
“Haiiittttt...!” Poan-kwi meledakkan tangan dan lenyap di balik Hek-kwi-sut. Kakek itu bisa terbanting dan remuk tulangnya kalau tidak cepat-cepat menghilang. Apa yang terjadi ini sungguh di luar dugaannya dan amat mengagetkan. San Tek, murid yang tak pernah ditengok itu mendadak saja memiliki tenaga mujijat yang mampu membuat orang terlempar seperti disapu tangan raksasa, atau ditiup angin topan yang begitu dahsyatnya. Dan ketika kakek itu lenyap dan marah di balik Hek-kwi-sut, menggeram dan muncul di belakang pemuda ini maka misai panjang melecut dan tepat menghantam belakang kepala muridnya itu.
“Plak!” San Tek terhuyung namun misai itu berodol. Poan-kwi tertegun dan kaget melihat si gila ini tak apa-apa, terkekeh dan membalik dan menggerakkan tangannya mengibas. Dan ketika ia menangkis namun terhuyung, Poan-kwi pucat maka kakek itu memekik dan mundur selangkah.
“Ilmu siluman!” kakek itu mengeluarkan seruan tertahan. “Heh, berhenti kau San Tek. Ilmu apa yang kau punyai ini dan kenapa menyerang suhengmu!”
“Heh-heh, dia membutakan aku,” si gila berkelebat dan kini menyerang lawannya lagi, sang guru mundur terbelalak. “Aku dicelakainya, susiok-kong. Lihat mataku buta sebelah!”
“Dia hendak membunuh aku!” Togur berkelebat dan mengelak cengkeraman si gila, batu di belakangnya hancur! “Bocah ini tak mau berlatih, suhu. Coba tanya dia bukankah dia tak mau menuruti nasihatku!”
“Benar, aku tak mau berlatih sinkang, San Tek tertawa dan terus mengejar lawannya. “Togur selalu memaksaku, susiok-kong, padahal aku lelah. Biar aku membunuhnya dan kalian berdiri saja menonton di situ.... blar-blarr!” kilatan uap merah menyambar dari tangan si gila ini, disusul kemudian oleh tiupan mulutnya di mana tiba-tiba menyembur uap merah pula. Angin dahsyat muncul dari sini dan San Tek terbahak-bahak mengatakan bahwa kesaktiannya sudah hebat. Gunungpun dapat ditiupnya hancur. Dan ketika benar saja batu karang di belakang Togur meledak dan hancur berkeping-keping, pukulan atau semburan pemuda itu menghempas apa saja maka Togur berkelebat dan bingung mengelak sana-sini.
“Suhu, San Tek sudah melawan perintah. Katanya ilmu-ilmu darimu tak sehebat miliknya. Itulah sebabnya ia tak mau berlatih karena pelajaran yang diterima katanya rendah dan tak berharga!”
“Hm, begitukah?” Poan-kwi terbelalak, mukanya menyiratkan hawa pembunuhan. “Kalau begitu bunuh saja dia, Togur. Murid seperti itu tak ada gunanya lagi!”
“Aku tak mampu membunuhnya!” si buntung kewalahan dan pucat. “San Tek menyimpan tenaga siluman, suhu. Entah dari mana dia mendapatkan itu dan melatih. Hek-kwi-sut dan apapun yang kupunya tak mempan!”
Memang benar, semua pukulan-pukulan si buntung ini tak mempan terhadap tubuh lawan. Jangankan pukulannya, pukulan atau tamparan Poan-kwi sendiri tak mampu merobohkan San Tek. Lecutan atau sabetan misai malah membuat rambut kakek itu berodol! Dan ketika Poan-kwi terbelalak karena San Tek terkekeh kekeh, merendahkan lawannya atau seakan merendahkan dirinya sendiri maka kakek itu berkelebat.
“San Tek, kau murid tak berbudi. Coba terima satu lagi ini dan enyahlah.... dess!” pemuda itu bergetar dihantam dari samping, menoleh dan melotot dengan sebelah mata yang sehat sementara Poan-kwi tertegun melihat mata yang lain pecah dan penuh darah. Semestinya dalam keadaan seperti itu si gila ini kesakitan, roboh dan terlempar. Tapi ketika pukulannya tak membuat San Tek bergeming dan pemuda itu marah kepadanya, membuka mulut dan terbahak tiba-tiba murid yang gila ini meniup dan Poan-kwi terlempar oleh sebuah tenaga mujijat.
“Ha-ha, kau pergilah, susiok-kong. Kau tak dapat mengalahkan aku.... wut!”
Poan-kwi terhempas dan mencelat tinggi, berteriak dan kaget dan tentu saja tiba-tiba meledakkan Hek-kwi-sutnya untuk menghilang. Dan ketika kakek itu lenyap dan berganti asap hitam, Poan-kwi melengking dan marah bukan main maka kakek itu bergerak dan sudah menyerang dengan amat cepatnya, tangan dan misai bergerak tak henti-henti menghantam muridnya itu. Namun apa yang terjadi? Semua pukulan kakek ini rnembalik! Hek-kwi-sut yang dikerahkan hanya membuatnya tak mampu dilihat namun San Tek yang sudah diserang dan dipukul bertubi-tubi itu tak bergeming atau bergoyah sedikitpun.
Pemuda itu tegak seperti gunung dan ketika membalik dan marah menangkis maka justeru dialah yang terlempar. Angin yang amat dahsyat meluncur dari tangan pemuda ini dan setiap memukul tentu diiringi tawanya yang menggetarkan itu. Bumi tiba-tiba berderak tak keruan seolah sedang digempur oleh tawa seratus raksasa, demikian hebat dan mengguncang hingga Poan-Jin yang ada di sana ikut menggigil dan pucat.
Pohon-pohon roboh dan batu-batu terlempar atau berguguran dari tempatnya, seolah ditendang raksasa-raksasa tak kelihatan. Dan ketika semuanya itu membuat Poan-kwi terpekik dan berjungkir balik, asap Hek-kwi-sutnya terdorong dan tak mampu mendekati pemuda itu maka dia berseru agar adiknya maju membantu. Togur terhuyung-huyung jatuh bangun!
“Sute, tangkap pemuda ini. Bekuk dan robohkan dia!”
Poan-jin mengangguk. Dia sendiri akhirnya lenyap dan meledakkan kedua tangan. Suhengnya sudah membentak dan mengeluarkan pukulan-pukulan api. Cahaya merah dan biru saling menyambar dan disentuhlah si gila itu oleh ledakan-ledakan cahaya panas. Tapi ketika San Tek terbahak-bahak dan lenyap mempergunakan Hek-kwi-sut, tadi pemuda itu disedot dan ditarik gurunya maka ledakan atau sambaran api itu ditiup terpental oleh pemuda ini.
“Ha-ha, mari serang aku, ji-susiok-kong. Lihat kesaktianku yang dapat menerima pukulan kalian!”
Poan-jin dan suhengnya terbelalak. Pemuda itu lenyap di balik Hek-kwi-sut dan tiupan-tiupan dahsyat menyembur dari mulut si gila, meruntuhkan atau menghancurkan bola-bola api yang mereka lepaskan. Tapi karena Hek-kwi-sut berada ditangan mereka dan Poan-kwi marah membentak muridnya maka kakek yang dapat menarik atau melenyapkan Hek-kwi-sut lawan tiba-tiba melengking dan melakukan gerakan ke ubun-ubun San Tek. Biasanya, sekali tangannya menyentuh maka Hek-kwi-sut yang dimiliki pemuda itu akan terkunci, macet dan San Tek akan berteriak-teriak.
Dulu di waktu pertemuan mereka yang pertama saja San Tek memang menjerit-jerit karena Hek-kwi-sutnya dilumpuhkan. Maklumlah, Poan-kwi memang pemilik paling berkuasa dari ilmu hitam itu. Tapi ketika tepukan gagal karena ubun-ubun pemuda itu mengeluarkan tenaga mujijat di mana daya tolak yang besar mementalkan tepukan Poan-kwi, San Tek sudah dilindungi semacam cahaya hitam yang tebal dan kuat maka kakek itu terkejut dan malah terpelanting ketika ditiup muridnya.
“Dess-wushh!”
Poan-kwi terkejut bukan main. Sa Tek, muridnya yang gila itu tiba-tiba saja memiliki kesaktian luar biasa yang tak dapat ditandingi. Tubuh dan kepala pemuda itu dibungkus cahaya hitam di mana semua pukulan atau tamparan terpental. Tenaga atau cahaya hitam itu bekerja otomatis dan hebatnya tak disadari sendiri oleh si gila itu. San Tek tertawa-tawa! Dan ketika pemuda itu membalas dengan tiupan atau kibasan lengannya maka baik Poan-jin maupun Poan-kwi terhuyung dan terpental.
“Im-kan-thai-lek-kang. Pemuda ini memiliki Im-kan-thai-lek-kang (Tenaga Inti Neraka)...!”
Poan-jin dan Togur terkejut. Mereka mendengar teriakan atau seruan Poan-kwi itu dan si kakek iblis yang biasanya berwajah dingin ini sekarang mendadak kelihatan pucat pasi. Poan-kwi terkejut bukan main karena San Tek tiba-tiba memiliki Im-kan-thai-lek-kang itu, satu kekuatan dahsyat yang orang seperti apapun tak mungkin dapat menandingi. Si gila itu tiba-tiba saja menjadi begini hebat.
Pantas kibasan atau tiupan-tiupan mulutnya mampu membuatnya tertolak, terhuyung atau bahkan terpelanting! Dan ketika Poan-jin di sana juga terbelalak dan pucat pasi, Im-kan-thai-lek-kang itu tak ada tandingannya maka San Tek tertawa bergelak dan menyemburkan cahaya merah ke arah dua gurunya ini.
“Ha-ha, kalau begitu kalian akan kubunuh, susiok-kong. Aku akan menyingkirkan kalian agar tidak menyebalkan hatiku lagi.... wushh!” segulung lidah api besar menyambar dua orang ini, meledak dan tidak mengenai sasaran karena secepat kilat dua kakek itu lenyap mengeluarkan Hek-kwi-sut.
Mereka muncul dan lenyap lagi karena berkali-kali si gila itu membalas, San Tek juga muncul dan lenyap pula di balik Hek-kwi-sutnya. Pemuda itu tak dapat ditahan! Tapi ketika Poan-kwi melihat setitik kelemahan di tubuh pemuda ini, yakni bagian matanya yang masih bercucuran darah maka kakek itu berseru agar saudaranya melancarkan serangan ke mata pemuda ini, begitu juga Togur.
“Serang kedua mata pemuda ini. Butakan kedua matanya!”
San Tek sibuk. Poan-kwi tiba-tiba berkelebat dan mengelilingi tubuhnya dengan misai menyambar-nyambar. Poan-jin juga mengikuti dan dua orang itu berseliweran naik turun dengan amat cepatnya. Dan ketika Togur juga mempergunakan Jing-sian-eng dan tiga orang itu silih berganti menusuk matanya, memang bagian inilah yang paling lemah dan tak dapat dilindungi kekebalan maka San Tek berteriak-teriak dan memaki lawannya sambil memukul atau mendorong, bahkan juga membentak, bentakan yang membuat tiga orang itu terpental seakan dihempas suara guntur!
“Poan-kwi, kau kakek licik dan curang. Awas, kubunuh kau lebih dulu!” tapi ketika Poan-jin ganti berkelebat di depan dan Poan-kwi naik turun di belakang maka Poan-jin inilah yang dimaki. “Hei, kau jangan macam-macam, ji-susiok-kong. Nanti kau kulempar ke neraka!”
“Hm, murid tak berbakti!” Poan-jin membentak dan memaki pemuda itu. “Kau yang akan kukirim ke neraka, San Tek. Mampus dan susullah bapakmu.... dar!” misai melecut bagai ledakan petir, tepat menyambar mata namun si pemuda mengelak dan misai itu mengenai pipi. Dan ketika San Tek marah dan menggerakkan tangannya yang lain, menyambar dan menangkap misai ini maka Poan-jin terpekik karena tiba-tiba tubuhnya tertarik ke depan.
“Aduh, lepaskan!”
Namun mana pemuda itu mau melepaskan. Justeru misai berhasil dicengkeram tiba-tiba dia menarik dan menyentak, hal yang membuat lawannya menjerit. Dan ketika kakek itu tertarik dan menghadapi lututnya maka Poan-jin pucat pasi diadu dengan lutut pemuda itu. “Brett!” kakek ini cepat melakukan jalan pintas. Misai panjangnya dibabat sendiri, tinggal separoh. Dan ketika dia terlepas dari bahaya maut dan sudah melempar tubuh bergulingan.
Maka San Tek tertawa-tawa memegang segenggam misai di tangan kanannya, mengobat-abitkan benda itu dan Poan-kwi melotot gusar melihat ini. Poan-jin sendiri merah padam dan marah bukan main. Misai panjangnya itu dibuat mainan. Tapi ketika mereka bergerak lagi dan Togur kagum dan terheran-heran bagaimana si gila ini mampu memiliki Im-kan-thai-lek-kang, tenaga yang membuatnya mengilar maka Poan-kwi tiba-tiba melepaskan sinar-sinar hitam ke mata lawannya itu.
“Ser-ser-serr....!”
Ratusan jarum kecil-kecil mendadak, sudah berhamburan ke wajah San Tek, Pemuda itu berteriak dan menangkis, misai itulah yang dipakai. Tapi ketika misainya putus-putus bersamaan dengan jarum-jarum yang juga patah-patah runtuh ke tanah maka Poan-jin juga melepaskan jarum hitam meniru jejak suhengnya.
“Bagus, agaknya ini yang paling baik, suheng. Serang terus dengan hek-tok-ciam (jarum racun hitam)...!”
San Tek kewalahan. Ratusan jarum yang demikian banyaknya akhirnya tak dapat juga dihindarkan semua. Dia telah meniup dan mendorong namun sebatang jarum masuk juga ke biji matanya, tepat di sebelah kanan yang sudah buta itu. Dan karena jarum ini juga masuk di tempat yang sudah ditancapi bubuk besi, sakitnya bukan main maka San Tek menjerit dan terdengarlah teriakan dahsyat yang membuat Poan-kwi dan dua temannya mencelat bagai diseruduk gajah.
“Aurghhhh...!”
Tiga orang itu terguling-guling. Empat batang pohon roboh dan celaka sekali menimpa mereka. Dan ketika batu di kiri kanan juga gugur dan bergemuruh terlepas dari tempatnya maka hujan batu tiba-tiba menyambar tiga orang ini.
“Awas, semua berguling ke kiri!”
Tapi sial. Dalam gugup dan paniknya memberi aba-aba ternyata bagian sebelah kiri adalah jurang. Poan-kwi terjerumus lebih dulu dan setelah itu adiknya serta Togur. Si buntung ini juga terkejut dan berteriak tertahan. Tempat itu tak dapat diinjak lagi karena bergetar oleh jeritan San Tek. Pemuda itu kesakitan hebat dan teriakannya bagai aum seratus singa, tentu saja batu-batu berguguran jatuh!
Tapi karena Poan-kwi maupun teman-temannya adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, mereka terkejut tapi cepat membentak mengeluarkan Hek-kwi-sut maka begitu terbanting segera mereka hilang menjadi sebungkus asap hitam, terbang dan naik lagi ke atas tapi di sana San Tek ternyata sudah pergi.
Pemuda itu lenyap setelah mengeluarkan teriakannya yang dahsyat tadi. Tenaga Im-kan-thai-lek-kang telah dipergunakan dan akibatnya sungguh luar biasa. Belum ada seorang pun di dunia ini yang memiliki Im-kan-thai-lek-kang. Baru pemuda itulah seorang! Dan ketika tiga orang ini tertegun dan termangu-mangu, tempat itu sudah menjadi gundukan batu dan pohon maka Poan-jin ngeri dan keluar lagi dari balik ilmu hitamnya.
“Luar biasa. Bocah itu sungguh bukan manusia lagi!”
“Hm, dan mengherankan bagaimana dia bisa memiliki Im-kan-thai-lek-kang!”
“Ya, benar, suheng. Bagaimana bocah itu memiliki Im-kan-thai-lek-kang!”
“Apakah ada orang lain yang selama ini diam-diam ada di dekatnya?”
“Kukira tidak, tapi coba tanya si Togur itu!”
“Tidak, tidak ada...” Togur, si buntung menggeleng, cepat menjawab. “Tak ada orang lain di dekat pemuda itu, suhu, kecuali hanya aku seorang. Tapi, hmmm bagaimana ilmu Thai-lek-kang itu dapat dilatih? Apakah bisa didapat secara kebetulan?”
“Maksudmu?”
“Aku tak tahu, suhu. Tapi mungkin saja suatu ilmu dapat dimiliki seseorang secara kebetulan.”
"Kemungkinan itu ada, tetapi kecil sekali. Dan untuk mendapat Im-kan-thai-lek-kang ini barangkali seseorang harus dijungkir balik dulu pikirannya. Tapi itu berbahaya, dan kurasa tak ada orang yang mau dijungkir balik!”
Si buntung tertegun. Mendengarkan itu tiba-tiba dia tercekat. Dijungkir balik? Dikacau pikirannya agar mendapat Im-kan-thai-lek-kang? Ah, dia telah melakukan itu. Si gila yang tidak waras itu telah disuruhnya berlatih sinkang secara kacau dan ternyata si gila itu mendapatkan Im-kan-thai-lek-kang. Ah, dia malah memberikan ilmu yang amat dahsyat kepada San Tek. Ilmu yang bahkan Poan-jin-poan-kwi sendiri tak mampu menandinginya!
Dan ketika Togur tertegun dan membelalakkan mata, diam-diam mengumpat maka dua kakek iblis itu sendiri menjublak dan tidak mengetahui ke mana si gila pergi, juga tidak tahu kejadian dua anak muda ini di mana Togur mempermainkan dan telah menjungkir balik latihan yang diberikan kepada temannya, latihan sinkang yang membuat San Tek sering sesak dadanya karena tiba-tiba Im-kan-thai-lek-kang itu timbul. Secara ajaib si gila itu memiliki kekuatan dahsyat yang mengerikan sekali. San Tek merupakan pemuda berbahaya yang tidak waras otaknya pula!
Dan ketika tiga orang itu tertegun dan Togur merupakan satu-satunya murid yang masih ada, si buntung inilah harapan mereka maka akhirnya mau tidak mau dua kakek ini memberikan semua ilmu-ilmunya kepada Togur. Keraguan yang semula ada kini lenyap, Togur memang pandai mengambil hati. Dan ketika untuk berikutnya Poan-jin-poan-kwi mewariskan semua kepandaiannya kepada pemuda ini, sebagai murid tunggal, maka Togur tertawa di dalam hati dan merasa menang.
Setahun saja pemuda itu sudah memiliki kepandaian berlipat-lipat. Togur yang sekarang sungguh sudah jauh bedanya dengan Togur yang dulu. Pemuda ini juga merupakan lawan yang amat berbahaya, barangkali Kim-hujin atau Swat Lian itu tak mampu mengalahkannya lagi. Dan ketika tiga orang itu pergi dan meninggalkan tempat itu, Poan-jin-poan-kwi telah mengambil keputusan untuk menurunkan semua ilmu mereka maka jauh di barat, di Himalaya, dua kakek ini tak melakukan kegiatan apa-apa kecuali menggembleng murid mereka itu sampai Togur akhirnya menjadi pemuda yang benar-benar lihai!
* * * * * * * *
“Kau sekarang boleh turun,” pagi itu si buntung ini dipanggil gurunya, Poan-kwi. “Tak ada lagi ilmu kami yang belum kami berikan kepadamu, Togur. Pergi dan turunlah dan lakukan sesuatu untuk kami!”
Togur tertegun, tak melihat gurunya nomor dua, Poan-jin. “Di mana ji-suhu?”
“Ji-suhumu sedang mencari sesuatu. Dia hendak mengembalikan kekuatan hitamnya agar dapat menjadi roh halus lagi!”
“Hm, apakah ji-suhu benar-benar tak dapat kembali ke badan halus, suhu? Apa yang pernah terjadi hingga ji-suhu seperti itu?”
“Ilmu hitamnya dilumpuhkan seorang anak. Bu-siang-sin-kang (Ilmu Sakti Tak Berwujud) yang dimilikinya hancur sebagian.”
“Ah, hancur oleh seorang anak, suhu? Apa maksudmu ini? Apa artinya ini?”
Poan-kwi tertegun. Dia telah kelepasan bicara dan tiba-tiba menyesal. Sebenarnya, kakek ini tak ingin menceritakan keadaan saudaranya itu, betapa gara-gara Beng An yang menarik tali kolornya maka adiknya tak dapat kembali lagi ke alam halus. Hanya berkat pertolongannya sajalah maka Poan-jin dapat diajak atau ditarik ke alam halus. Adiknya itu kini tinggal berbadan kasar dan Bu-siang-sin-kang yang mereka miliki tak sepenuhnya lagi dimiliki adiknya itu.
Kolor jimat yang dipunyai adiknya telah diputuskan Beng An, padahal orang dewasa tak mungkin dapat melakukan itu karena memang hanya anak-anak sajalah yang dapat melakukannya, anak-anak yang masih bersih dan memiliki kekuatan netral yang akan melumpuhkan Bu-siang-sin-kang mereka. Dan karena Beng An telah mereka culik dan anak itu pulalah yang harus mengembalikan kekuatan adiknya, anak itu disimpan dan masih disembunyikan Poan-kwi maka Poan-kwi agak tertegun kenapa dia tiba-tiba bicara tentang kesialan yang pernah dialami adiknya.
Dia kelepasan bicara dan karena itu merasa menyesal. Untuk “pengapesan” ilmu ini tak ingin dia membicarakannya dengan Togur. Ada kilatan aneh yang kadang-kadang dilihatnya pada mata muridnya itu, kilatan licik atau apalagi yang membuat dia ragu. Poan-kwi kadang-kadang merasa bimbang dengan muridnya ini. Perasaannya yang tajam kadang-kadang memberi tahu padanya bahwa muridnya ini tak dapat dipercaya. Si buntung ini culas!
Namun karena Togur pandai melihat keadaan dan pemuda itu benar-benar cerdik luar biasa, pandai mengantisipasi keadaan maka begitu, gurunya tampak ragu dan bimbang akan dirinya maka secepat itu pula pemuda ini pandai mengembalikan kepercayaan. Dan hal itupun telah dilakukan pemuda ini begitu kali itu gurunya tampak ragu-ragu.
“Maaf,” si buntung ini berlutut dan mencium lantai, kata-katanya halus, enak didengar telinga. “Aku tak bermaksud memaksamu, suhu. Kalau ada sesuatu yang berat kau katakan lebih baik tak usah kau katakan. Aku mencabut kembali keinginanku tadi dan biarlah apa yang pernah di alami ji-suhu tak akan kutanyakan lagi sekarang apa yang hendak kau perintahkan dan kenapa aku harus pergi seorang diri.”
“Aku menunggu ji-suhumu. Kami ingin kau turun gunung dan pergi dulu nanti setelah itu kami susul. Cari pemuda bernama Thai Liong itu dan bawa dia ke mari. Aku masih penasaran akan ceritamu dulu!”
“Thai Liong?” Togur tertegun, muka tiba-tiba berubah. “Apakah dapat kucari dia, suhu? Bukankah kepandaianku masih meragukan?”
“Kau tak usah takut,” Poan-kwi tiba-tiba berkelebat dan menghilang. “Lihat kepandaianmu sekarang, Togur. Mari bertanding di luar dan percayai diri.... plak!”
Togur yang menerima pukulan siluman dan tergetar tapi tidak roboh tiba-tiba sudah bergerak dan menghilang keluar pula. Tadi gurunya lenyap dalam ilmunya Bu-siang-sin-kang itu dan memukulnya secara cepat. Dulu, dia pasti terpelanting dan roboh, paling tidak sembab! Tapi ketika dia tak apa-apa dan pukulan gurunya yang tak diduga itu hanya membuatnya tergetar sedikit, gurunya berkelebat dan menyuruhnya keluar maka pemuda inipun bergerak dan tiba-tiba lenyap seperti iblis. Itulah Bu-siang-sin-kang warisan Poan-kwi!
“Aku di sini!” Togur tiba-tiba muncul dan memperlihatkan diri lagi, tahu-tahu sudah ada di luar guha. “Muncul dan perlihatkan dirimu, suhu. Dan beritahukan apa yang harus kulakukan!”
“Kita bertanding!” sesosok bayangan hitam tiba-tiba muncul dan berada di belakang pemuda itu, seperti iblis. “Keluarkan semua ilmumu, Togur. Dan lihat bahwa kau sudah bukan seperti dirimu setahun yang lalu.... des-dess!”
Togur yang terkejut tapi tidak bergeming, terbelalak dan memutar tubuhnya akhirnya melihat bayangan gurunya itu berkelebatan cepat mengelilingi dirinya. Gurunya berkata bahwa dia diajak bertanding, bukan latihan lagi melainkan sungguh-sungguh sebuah pertandingan. Karena begitu dia tertegun dan terbelalak lebar tiba-tiba serangan demi serangan menghujani dirinya, cepat dan bertubi-tubi. Serangan-serangan maut!
“Togur, jangan lengah. Ini bukan latihan!”
Si buntung itu terkejut. Dia sudah mendapat pukulan-pukulan cepat di mana semua pukulan-pukulan itu mengarah tempat-tempat berbahaya yang tak dapat begitu saja dibiarkan. Tangan dan kaki gurunya bergerak silih berganti dan semuanya menuju bagian-bagian mematikan. Misai menyambar-nyambar pula dan terdengarlah ledakan-ledakan yang membuat telinga terasa pekak, sakit. Namun ketika pemuda ini bergerak dan naik turun pula mengimbangi lawannya, Jing-sian-eng dikeluarkan namun kalah cepat oleh Bu-siang-sin-kang yang dimiliki Poan-kwi maka pemuda itu tergetar ketika sebuah tamparan mengenai pelipisnya.
“Plak!" Togur terhuyung, Kalau dulu dia menerima tamparan itu tentu seketika itu juga dia terbanting dan terlempar. Tapi ketika dia hanya terhuyung dan gurunya tertawa mengejek, Jing-sian-eng kalah cepat dibanding Bu-siang-sin-kang maka Poan-kwi berseru agar dia mengeluarkan ilmu lainnya.
“Jangan mengandalkan Jing-sian-eng. Ilmu curian itu tak akan mampu menghadapi aku. Ayo, gabung dengan lain-lainnya, Togur. Atau kau mampus.... dess!”
Si buntung ini yang mengelak dan merah padam, dikata pencuri ilmu tiba-tiba membentak dan menangkis gurunya, Poan-kwi meledakkan misai sementara tangan kakek itu menyambar ulu hati, semuanya berbahaya. Dan karena Jing-sian-eng memang tak cukup diandalkan dan si buntung ini sudah menangkis dan mengerahkan tenaga maka tiba-tiba pemuda itu meliuk dan kedua tangannya bergerak cepat sebanyak duabelas kali membalas pukulan-pukulan gurunya itu.
“Bagus!” Poan-kwi berkelebat dan menghilang. “Ini baru bagus, Togur. Dan mari kita adu pukulan kita.... dess!” dan kakek itu yang tergetar dan terpental bersama muridnya tiba-tiba berseru keras karena gerakan duabelas kali yang dilancarkan si buntung itu tak dapat dikelit semua.
Pukulan atau balasan pemuda itu luar biasa cepatnya, Togur mempergunakan Cap-ji-lian-hoan-ciang atau Pukulan Berantai Duabelas Kali yang membuat gurunya sibuk. Dan ketika mereka sama terpental dan Poan-kwi memuji dan meluncur turun maka mereka akhirnya bertanding dan bukan sekedar latihan. Poan-kwi membentak dan memperlihatkan kepada muridnya akan kemajuan-kemajuan yang diterima muridnya itu. Kecepatan dilawan kecepatan dan tenaga dilawan pula oleh tenaga. Nyata, Togur mampu mengimbangi gurunya. Dan ketika rasa percaya diri mulai tumbuh dan Togur tertawa girang, semua gerakan atau pukulan gurunya dapat ditolak maka pemuda itu berseri-seri.
“Benar, kau benar, suhu, Kepandaianku sekarang benar-benar maju luar biasa cepatnya. Ayo coba kau robohkan aku atau aku yang akan merobohkanmu!”
“Hm, kau maupun aku tak akan ada yang dapat saling mengalahkan!” Poan-kwi berseru. “Ilmumu setingkat ilmuku, Togur. Tapi kalau kau menghadapi aku dan ji-suhumu maka kau pasti roboh!”
“Ah, suhu mau mengeroyok?”
“Bukan mengeroyok, melainkan memberitahumu saja, agar tidak sombong!” dan ketika mereka bergerak dan kembali saling serang-menyerang, tenaga maupun kecepatan ternyata sama.
Maka Togur benar-benar gembira karena sekarang ia mampu menghadapi gurunya nomor satu ini. Hanya kalau gurunya nomor dua maju berbareng ia masih kalah, itu tentu saja. Dan ketika si buntung tertawa bergelak dan Poan-kwi meremang mendengar tawa yang aneh dan menyeramkan ini maka Togur tiba-tiba berseru keras melakukan jurus yang disebut Hun-kong-kik-eng (Memencar Sinar Menyerang Bayangan).
“Aihhhh.... plak-dess!” Poan-kwi kaget berseru panjang. Kakek itu tak sempat mengelak dan misai di bawah dagunya menyambut pukulan itu, mereka sama terlempar dan terbanting dan dua-duanya terguling-guling. Dan ketika kakek itu batuk-batuk dan meloncat bangun, terbelalak, maka di sana Togur juga meloncat bangun dan memuji gurunya, pukulannya gagal.
“Bagus, kau hebat dan mengagumkan, suhu. Aku tak mampu merobohkanmu!”
“Hm, kau mau membunuh aku?” si guru membentak dan marah. “Kau mengeluarkan Hun-kong-kik-eng, Togur. Sinar pukulanmu mengurung aku!”
“Maaf,” si buntung tertawa dan memberi hormat, langkahnya agak terhuyung. Kaupun hendak membunuh aku, suhu, tapi kita sama-sama gagal. Ini bukan latihan, kau bilang sendiri pertandingan!”
“Hm, kau betul. Tapi kalau kau coba-coba membunuh aku maka aku akan membunuhmu!”
“Kalau begitu suhu bunuh saja aku sekarang!” Togur menjatuhkan diri berlutut. Aku menyerahkan jiwa ragaku, suhu. Ayunkan tanganmu kalau ada keraguan di hatimu!”
Poan-kwi tertegun. Lagi untuk kesekian kali kecurigaannya hilang. Tadi sinar pukulan muridnya itu memang seolah mau membunuh karena Hun-kong-kik-eng benar-benar memencarkan sinar ke sekeliling penjuru. Kalau bukan dia tentu repot menghadapi. Diapun tak dapat mengelak kecuali menangkis. Maka begitu sang murid berlutut dan tunduk dengan pasrah, kemarahannya lenyap maka kakek inipun tersenyum dan menendang pundak muridnya itu.
“Kau bangunlah, kata-katamu benar. Ini bukan latihan melainkan pertandingan sungguh-sungguh. Nah, kau lihat kepandaianmu sekarang, Togur. Kau telah menyamai aku dan hanya bila dikeroyok saja kau tak akan menang!”
“Aku tahu,” pemuda ini bangkit berdiri. “Dua kali kau bicara seperti ini, suhu. Seolah menyiratkan ancaman bahwa aku akan kau bunuh kalau aku macam-macam kepadamu, mengeroyok bersama ji-suhu. Kalau kau takut akan itu kenapa tidak melakukannya sekarang saja? Aku bukan murid tak tahu diri, suhu. Dan aku tak pernah membunuh guru-guruku sebelum aku berguru kepadamu!”
“Hm, kau benar,” Poan-kwi agak merah mukanya, ancaman yang tersirat tadi memang betul. “Kau tak perlu menaruh di hati kata-kataku tadi, Togur. Aku tahu kau tak akan macam-macam dan sekarang kau tahu kepandaianmu sendiri. Pendekar Rambut Emaspun agaknya tak dapat menandingi mu lagi!”
“Ah, benarkah, suhu? Pendekar Rambut Emas?”
“Ya, Pendekar Rambut Emas. Dia tak akan mampu menandingimu lagi karena dulupun dia harus mengeroyok aku ketika bertemu!”
“Oh, aku ingin mencobanya!” dan Togur yang berjingkrak serta girang luar biasa tiba-tiba menghadap gurunya apakah boleh dia mencari dan membunuh saja pendekar itu.
“Aku memang hendak menyuruhmu ke utara. Kalau Thai Liong belum kau temukan maka cari dan temukan saja Pendekar Rambut Emas itu. Bunuh dia. Dulu dia pernah mengeroyok aku bersama Drestawala!”
“Drestawala? Siapa ini?”
“Hm, Drestawala adalah kakek India yang hebat, Togur. Tapi dia berhasil kubunuh. Dulu kakek itu mencari aku dan mengeroyok bersama Pendekar Rambut Emas. Kim-mou-eng itu berhutang sekali kepadaku!”
“Tapi suhu kalah?”
“Aku tidak kalah. Waktu itu aku pergi karena menyelamatkan ji-suhumu yang sedang terluka. Tapi untuk ini kau tidak usah banyak tanya. Pergi dan turun gununglah. Aku di sini menemani ji-suhumu sampai dia dapat memulihkan Bu-siang-sin-kangnya seperti semula!”
Dan ketika Togur tertegun dan tak jadi bertanya, heran bagaimana ji-suhunya terluka dan pasti karena ada lawan yang lain maka pemuda ini mengangguk-angguk dan pandai melihat keadaan. Bekas murid Enam Iblis Dunia ini memang cerdik dan amat berhati-hati. Sebenarnya Togur ingin bertanya bagaimana ji-suhunya terluka, siapa musuh ji-suhunya itu karena kalau hanya Kim-hujin yang menyertai suaminya saja tentu ji-suhunya tak akan terluka.
Tapi karena gurunya sudah menukas pembicaraan itu dan Togur tak tahu akan peristiwa di puncak bukit, bahwa waktu itu ji-suhunya menghadapi Kim-hujin dan Shintala yang cantik jelita maka pemuda ini menahan mulut dan tak jadi bertanya. Ia mengangguk saja ketika gurunya menutup cerita, menyuruh ia pergi dan gurunya itu akan menemani ji-suhunya di situ, sampai ji-suhunya dapat memulihkan Bu-siang-sin-kangnya itu. Dan ketika Poan-kwi berkelebat dan masuk kembali ke dalam guha maka kakek itu menghilang namun suaranya terdengar di luar.
“Cukup, sekarang kau pergi lebih dulu, Togur. Seminggu atau sebulan lagi kami menyusul. Bawa Thai Liong atau bapaknya itu!”
Pemuda ini bergerak. Setelah gurunya sendiri sudah berkata seperti itu maka tak ada alasan untuk tinggal lebih lama tagi di Himalaya. Si buntung ini memang ingin turun gunung, menjajal atau membuktikan kepandaiannya yang sekarang itu dengan Pendekar Rambut Emas. Hebat, dia katanya dapat menandingi pendekar yang luar biasa itu. Dan berkelebat serta lenyap meninggalkan guha maka pemuda ini berseri-seri akan melaksanakan niatnya.
“Hm, rupanya sekarang waktunya membalas dendam, Kim-mou-eng. Awas kau, juga isterimu itu!”
Togur sudah mempunyai rencana-rencana keji. Terbayang olehnya nyonya yang masih cantik itu. Terbayang pula olehnya Soat Eng atau puteri Pendekar Rambut Emas yang cantik dan gagah. Dan tersenyum sendirian membayangkan maksud-maksudnya yang keji, balas dendamnya yang akan dilakukan dengan hebat maka pemuda ini turun gunung dengan melamun.
Togur bergerak dengan Bu-siang-sin-kangnya dan pemuda itu turun seperti sebungkus asap hitam yang meluncur dengan cepat. Jurang atau celah-celah lebar dilompatinya begitu saja. Tapi ketika ia tiba di kaki gunung dan siap terbang meninggalkan Himalaya, muncul dan akan bergerak seperti biasa mendadak ia tertegun melihat seorang gadis cantik mendaki dan berkelebat ke atas gunung.
“Aneh,” pemuda ini terkejut, sepasang matanya tiba-tiba bercahaya. “Gadis siapa gerangan? Mau apa ke atas?” dan heran serta kaget melihat gerakan gadis itu, yang cepat dan hilang di balik bebatuan tiba-tiba si buntung ini lenyap mengeluarkan Bu-siang-sin-kangnya. Togur mengejar ke arah gadis cantik itu dan akhirnya dilihatnya gadis itu, tinggi dan sudah jauh sekali di atas, hampir di pinggang gunung! Dan ketika pemuda ini terkejut tapi sekaligus gembira, gadis yang berkelebatan dan mendaki itu tak tahu dirinya maka Togur tiba-tiba melesat dan berdebuk menjatuhkan diri ketika tiba di belakang gadis itu.
“Aduh, siluman jahanam. Keparat kau, kakek iblis. Aduh.... bluk-blukk!” Togur melempar atau membanting tubuhnya sedemikian rupa hingga mengeluarkan suara seperti nangka jatuh, berdebuk dan mengejutkan gadis itu dan tentu saja gadis ini terpekik.
Dia tak tahu kapan pemuda itu ada di belakangnya dan bagaimana pula tiba-tiba berteriak dan terbanting, terguling-guling. Tapi ketika ia berhenti dan menoleh ke belakang, si buntung meringis dan memaki-maki sambil menudingkan tangannya ke atas maka gadis ini tertegun sementara Togur terkesiap dan berdetak melihat wajah yang begitu cantiknya, luar biasa cantik!
“Aduh, tolong, bidadari. Di atas sana ada kakek siluman. Aku dilempar dan dibantingnya ke mari!”
“Siapa kau!” gadis itu berkelebat dan mendekat, suaranya merdu membuat Togur tergetar jiwanya, pandang mata penuh kagum. “Apa yang terjadi, sobat. Bagaimana ada di sini dan siapa kakek siluman seperti katamu itu!”
“Aduh, aku... aku bertemu Kwan Im Pouwsat (Dewi Kwan Im) rupanya. Tolong, aku sedang ditimpa nasib buruk, bidadari. Aku pencari kayu bakar dan mendaki ke atas ketika tiba-tiba aku bertemu siluman!”
“Kau siapa, siapa namamu!”
“Aku... aku Tok-pi. Aduh, tolonglah aku, bidadari. Tempat ini sungguh menyeramkan dan seorang siluman mengusir aku tak boleh mencari kayu bakar di sana. Dia kejam, tolonglah aku!” dan ketika Togur mengeluh dan pura-pura menjatuhkan diri berlutut, menyambar dan memegang kaki si cantik tiba-tiba gadis itu menendang dan Togur mencelat oleh sebuah tendangan kilat yang hampir saja mengenai hidungnya!
“Heii, jangan kurang ajar. Jangan sentuh-sentuh kakiku.... dess!” dan Togur yang terlempar dan terguling-guling di sana, mengeluh, tiba-tiba membuat gadis itu terkejut karena pemuda ini tak menunjukkan tanda-tanda memiliki ilmu silat. Ditendang sekali saja sudah membuat kulitnya matang biru!
“Maaf,” si cantik berkelebat dan menyusul. “Aku tak sengaja, sobat. Bangun dan berdirilah!” dan ketika jari-jari yang lentik itu menyentuh dan menangkap pundak si pemuda.
Togur tergetar dan panas dingin maka gadis itu bertanya apakah dia penduduk dusun, pakaian pemuda ini memang kebetulan sederhana dan compang-camping. Poan-kwi memang tak pernah memperhatikan muridnya ini, dalam soal pakaian. “Beb... betul. Apakah Dewi baru turun dari kahyangan? Bagaimana ada di sini pula?”
“Aku bukan bidadari,” gadis itu tersipu merah, sikapnya jelas jengah. “Aku datang mencari seseorang dan ingin menemui orang itu!”
“Ah, tapi kau begini cantik jelita! Kau bukan manusia biasa. Aduh, jangan permainkan aku, Dewi. Kau pasti dari kahyangan dan barangkali mencari iblis di sini. Aduh, aku takut. Tolonglah aku,..." dan Togur yang kembali berlutut dan hendak menyentuh kaki yang halus putih itu dikelit dan dielak akhirnya mendengar bentakan agar dia tidak memegang-megang segala.
“Aku manusia biasa, bukan bidadari. Dengar, Tok-pi. Aku mencari seorang kakek iblis dan aku hendak membunuh kakek itu!”
“Apa? Kau... kau bukan bidadari? Kau manusia biasa? Ah, kau bohong, Dewi. Kulitmu begitu halus dan wajahmupun begitu cantik jelitanya. Kau bukan seperti orang Han dan berani sumpah tentu Dewi Sinta!”
“Hm, aku bukan Dewi Sinta, meskipun namaku Shintala. Kau jangan dekat-dekat karena bajumu bau!”
“Maaf,” Togur tertegun dan merah mukanya, bajunya memang apek dan bau. Seminggu belum dicuci! “Aku tak akan dekat-dekat, nona. Tapi sungguh tak dapat dipercaya kalau kau adalah manusia biasa. Wajahmu seperti dewi di kahyangan. Dan kepandaianmu yang seperti terbang itu, ah... apakah betul-betul kau manusia?”
“Terbang? Kau melihat aku mempergunakan ginkangku?”
“Ah, maaf...!” si buntung buru-buru menyadari kekeliruannya. “Aku melihatmu ketika di samping gunung itu, nona. Dan aku mengira kau seorang dewi yang mungkin akan menghajar kakek siluman itu. Aku sudah berteriak-teriak tapi kakek itu tiba-tiba melemparku dari atas!”
“Hm!” mata itu tak jadi curiga, alis yang semula menjelirit tiba-tiba memandang lagi, bibir tersenyum merekah, luar biasa manisnya. “Kau benar, Tok-pi. Aku memang datang untuk mencari siluman. Coba ceritakan kepadaku bagaimana kakek siluman yang kau temui itu. Siapa tahu dia orangnya!”
“Aku... aku ingin mengenalmu siapa dulu. Dari mana kau dan apakah betul kau bukan gadis Han. Kau begini cantiknya. Luar biasa sekali!”
“Hm, tak perlu melempar-lemparkan pujian,” gadis itu tiba-tiba tak senang, “Ceritakan kepadaku di mana kakek siluman itu, Tok-pi. Dan apakah benar kau penduduk bawah gunung. Kau tak pantas sebagai orang yang mencari kayu bakar, Kau seperti ahli silat...!”