RAJAWALI MERAH
JILID 16
KARYA BATARA
“TAK PERLU serang-menyerang ini. Tahan kemarahanmu. Ingat akan jenasah kakekmu, nona. Karena betapapun kita harus lebih mendahulukan merawat jenasahnya daripada pertengkaran ini. Kakekmu tewas memang sengaja dikehendakinya. Kalau kau menganggap kami yang salah baiklah aku yang bertanggung jawab dan nanti kita selesaikan. Kau tenta tak akan menelantarkan jenasah kakekmu, bukan?”
Shintala tersedu-sedu. Setelah dipukul mundur dan Pendekar Rambut Emas tidak membela isterinya maupun dirinya sendiri, bersikap adil, .maka mau tak mau gadis ini merasa bahwa pendekar itu betul. Dan ketika ia tak menjawab karena segera menubruk jenasah kakeknya, mengguguk, maka Shintala tiba-tiba berontak ketika Pendekar Rambut Emas berlutut dan mau mengurus jenasah kakeknya itu.
“Tak usah ikut campur!” gadis itu berteriak, kasar. “Biarkan kuurus, Pendekar Rambut Emas. Dan terima kasih atas pertolonganmu hingga kakekku begini!” dan meloncat menyambar jenasah kakeknya, merebut dari tangan pendekar itu tiba-tiba gadis ini terbang dan meninggalkan tempat itu.
Swat Lian marah dan mau membentak ketika tiba-tiba suaminya berdiri dan menahan lengannya. Gadis itu sedang dalam keadaan duka. Dan ketika gadis itu meluncur dan jauh di sana, siap menghilang maka Pendekar Rambut Emas tiba-tiba berseru mengeluarkan ilmunya mengirim suara, lirih namun tajam.
“Shintala, tanpa kehadiranku pun kakekmu pasti tewas. Lihat kejadian di atas bukit sebelum kami suami isteri datang. Ingat dan lihat kejadian itu baik-baik!”
Shintala terkejut. Tiba-tiba iapun kembali sadar karena itu benar. Memang, kakeknya pasti tewas kalau pertempuran di atas bukit tidak dicampuri Pendekar Rambut Emas. Tapi karena Pendekar Rambut Emas datang dan suami isteri itu menolong, kakek dan dirinya selamat maka kematian kakeknya itu seharusnya tak dapat ditimpakan kepada pendekar itu. Pendekar Rambut Emas sudah menolong dan buktinya musuh akhirnya melarikan diri. Kalau kakeknya akhirnya nekat dan sengaja mengadu jiwa, hal yang di luar perkiraan maka Pendekar Rambut Emas tak dapat disalahkan untuk itu.
Pendekar itu telah menolong mereka tapi apa boleh buat kakeknya bertindak lain. Dia tak tahu kenapa kakeknya sampai berlaku seperti itu, nekat. Tapi ketika Shintala tersedu dan meneruskan larinya maka gadis itu tak menjawab dan hilang di kegelapan malam. Pendekar Rambut Emas telah bicara dan gadis itu telah mendengar. Selanjutnya terserah gadis itu sendiri dan pendekar ini menarik napas dalam-dalam. Dan ketika Swat Lian berkelebat, dan menghadapi suaminya maka nyonya itu mendengus menyatakan rasa tidak puasnya.
“Gadis itu tak tahu diri. Kalau mau membalas kepada kita biarlah kita hadapi. Toh kita benar!”
“Hm, tidak begitu. Ia sedang dilanda sakit hati dan duka, niocu. Pikirannya kalut. Kita sebagai orang tua tak perlu melayani sikapnya ini karena kalau ia sadar tentu pikirannya sudah berubah.”
“Tapi nyatanya tidak!”
“Itu sekarang, karena ia sedang kacau."
“Apakah kau yakin?”
“Tentu, seyakin-yakinnya. Gadis itu orang baik-baik, ia dapat menimbang buruk dan tidaknya. Kalau nanti ia sadar dan jernih kembali tentu tidak akan menyalahkan kita!”
“Tapi aku tidak takut...”
“Bukan takut atau tidak,” sang suami memotong. “Kau sekarang mudah naik darah, niocu. Apa sebabnya dan kenapa begini!”
Sang isteri terisak. Ditegur dan dipandang suaminya seperti itu mendadak nyonya ini mengguguk. Dia teringat puteranya tadi dan segera menceritakan itu. Tapi ketika suaminya berkata bahwa anak mereka yang lain, Siang Le, dapat diselamatkan tiba-tiba nyonya ini melepaskan diri, berapi-api.
“Dia bukan anak kita, hanya anak mantu. Masa aku harus sudah bergembira? Aku hanya dapat gembira kalau anak kita sendiri selamat, suamiku. Siang Le itu bagiku orang lain!”
“Niocu!” Pendekar Rambut Emas kaget sekali. “Kau... kau demikian membenci Siang Le? Kau sebagai ibu mertuanya masih juga tak dapat mengenggap ia sebagai anak sendiri? Ah, terlalu sekali, niocu. Kalau Eng-ji tahu tentu ia bakal gusar. Kau tidak bersikap bijak!”
Sang nyonya menangis lagi. Dibentak dan ditegur suaminya untuk kedua kali .tiba-tiba membuat perasaannya sakit. Memang, ia tak dapat menerima mantunya itu di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, betapapun ia coba memaksa. Tapi begitu diingatkan akan Soat Eng dan puterinya itu tentu marah bukan main melihat ia memperlakukan Siang Le seperti itu maka nyonya ini hanya tersedu-sedu saja membalikkan tubuh.
Siang Le bukan apa-apa baginya bila dibanding Beng An. Anak mantunya itu tak berharga sesenpun dibanding anak kandungnya. Tapi ketika suaminya mencengkeram dan meremas pundaknya, mengingatkan bahwa puteri mereka akan marah besar maka nyonya ini diam saja ketika kembali ditegur.
“Beng An ataupun Eng-ji sama saja bagimu, sama-sama anak. Mendapatkan Beng An kehilangan Eng-ji adalah sama buruk. Siang Le adalah bagian dari anak-anak kita itu. Dia bukanlah See-ong meskipun muridnya, bekas murid!”
Sang nyonya terisak-isak. Sekarang ia diomeli dan Pendekar Rambut Emas berkerut-kerut memarahi isterinya ini. Sungguh tak disangka bahwa kebencian isterinya masih juga tinggal, padahal dulu sudah dinasehati Bu-beng Sian-su sendiri, Tapi ketika terdengar keluhan di sana dan Siang Le menggeliat, pendekar ini teringat dan berkelebat melihat pemuda itu maka Siang Le membuka mata dan merintih kesakitan.
“Aduh, aku di mana? Ah, kau, gak-hu (ayah mertua)? Mana gak-bo (ibu mertua)?"
“Ibumu di sana,” Pendekar Rambut Emas menotok, menolong pemuda ini. “Kau di Lam-hai, Siang Le, kami menyelamatkanmu. Tenanglah dan bagaimana keadaanmu.”
“Tubuhku sakit-sakit, aku... aku, eh.... mana Poan-jin-poan-kwi? Dan mana adik Beng An?” pemuda itu melompat bangun, totokan ayah mertuanya sudah mengurangi rasa sakit dan seketika itu juga pemuda ini tertegun celingukan ke sana-sini. Dia baru sadar dan Pendekar Rambut Emas lega bahwa menantunya ini tidak mendengarkan pembicaraan isterinya tadi. Kalau dengar, hm.. barangkali gawat! Dan ketika pemuda itu melihat isterinya, berseri, tiba-tiba Siang Le berkelebat dan menjatuhkan diri berlutut.
“Gak-bo..!”
Namun Swat Lian mendengus dingin. Tidak menghiraukan pemuda ini tiba-tiba nyonya itu berkelebat meninggalkan mantunya, sepatah pun tidak menjawab atau mengomentari. Dan ketika Siang Le terpukul dan merah mukanya, rasa sakit tiba-tiba datang kembali mendadak pemuda mengeluh dan terguling.
“Apa yang terjadi!” Pendekar Rambut Emas terkejut dan berkelebat, menyambar menantunya. “Apa yang dilakukan gak-bomu, Siang Le. Apakah dia menyerangmu!”
“Tidak,” pemuda itu merintih. “Gak-bo tidak melakukan apa-apa, gak-hu. Hanya... hanya dadaku sesak. Aku teringat Poan-jin menotok dadaku sebelum melumpuhkan!”
“Hm, begitukah? Coba kuperiksa!” dan Pendekar Rambut Emas yang menekan serta mengurut jalan darah lalu memeriksa dan terkejut karena dada mantunya ini tiba-tiba terasa panas membakar. Dia cepat melemaskan jari-jarinya dan menyalurkan sinkang. Pendekar Rambut Emas cepat mengeluarkan sebutir obat untuk ditelan pemuda itu. Dan ketika dada itu kembali hangat dan tidak membakar maka Siang Le batuk-batuk dan tidak lagi kesakitan, bukan oleh perbuatan Poan-jin melainkan oleh sikap gak-bonya yang amat dingin dan menusuk tadi!
“Sudah, terima kasih, gak-hu. Aku.. aku sudah sehat!”
“Hm, berpura-pura saja!” Swat Lian tiba-tiba muncul, berkelebat lagi. “Tak usah terlalu bermanja-manja, Siang Le. Kau bukan anak kecil dan cepat kembali pulang ke utara!”
Kim-mou-eng terkejut. Isterinya ini tiba-tiba jelas menampakkan rasa tidak senang dan Siang Le juga terkejut melihat sikap gak-bonya itu. Mereka beradu pandang namun pemuda ini cepat menunduk. Dia mau berbicara tapi ditahannya lagi mulutnya itu. Di situ ada gak-hunya, tak enak menanyakan sikap gak-bonya yang kaku dan dingin ini. Dan ketika Pendekar Rambut Emas bergerak dan menghadapi isterinya itu maka pendekar ini mengedip memberi peringatan.
“Niocu, Siang Le baru saja sembuh, jangan memarahi dia. Kalau kau masih kecewa Beng An belum berhasil kita selamatkan biarlah kita cari lagi dan menantu kita ini kita suruh pulang baik-baik menemui isterinya, tak perlu bersikap dingin!” dan menghadapi pemuda itu melihat sikap isterinya yang tidak bersahabat pendekar ini menerangkan, buru-buru mencegah salah paham. “Ibumu marah dan kecewa karena adikmu Beng An belum dirampas kembali, Siang Le. Harap maklumi kemarahannya dan jangan kecil hati. Pulanglah, isterimu menunggu di sana. Katakan bahwa kami meneruskan pencarian dan kalian tunggu kami di sana.”
“Tapi aku tak ingin tinggal diam. Aku juga ingin ikut mencari!”
“Hm, kepandaianmu tak nempil dibanding iblis-iblis itu, Siang Le. Pulang dan turuti perintah gak-humu!” sang gak-bo membentak, bengis dan tidak berperasaan hingga pemuda itu kembali terkejut. Swat Lian benar-benar bersikap kasar dan Pendekar Rambut Emas pun terbelalak melihat sikap isterinya ini. Tapi ketika pemuda itu menyadari dan Siang Le mengangguk maka pemuda itu berlutut dan berkata lirih.
“Baiklah, terima kasih, gak-bo. Aku hanya tak mau disebut pemuda tak tahu diri yang hanya menunggu hasil kerja orang tua saja.”
“Tidak,” Pendekar Rambut Emas kini menepuk pundak mantunya itu. “Kau cukup tinggal di rumah menghibur Eng-ji, Siang Le, juga sekalian bertugas menjaga bangsa Tar-tar. Cepatlah pergi dan jangan lihat sikap gak-bomu!”
“Aku tahu..” pemuda itu berdiri. “Aku pergi, gak-hu. Dan maaf bahwa kepandaianku benar-benar masih mengecewakan!” dan terhuyung menahan air mata, pemuda ini terpukul oleh kekasaran ibu mertuanya maka Siang Le terseok melangkah meninggalkan gak-hu dan gak-bonya itu, tahu apa yang dibenci ibu mertuanya ini dan mengerti bahwa kemarahan nyonya tu bukan semata hilangnya Beng An saja. Ada yang lebih mendasar dan itu yang justeru lebih menyakitkan! Dan begitu pemuda ini berlari meninggalkan mertuanya maka Pendekar Rambut Emas mengerutkan kening memandang isterinya itu.
“Kau aneh, kita sama-sama tahu bahwa Eng-ji tak ada di utara. Kenapa menyuruhnya ke sana dan tidak bersama kita saja? Bukankah Eng-ji ada bersama Thai Liong?”
“Hm, kaupun juga berbohong pula, setuju dengan kebohonganku. Kenapa kau tidak menyuruhnya kembali saja? Aku pribadi tak suka semua kejadian ini, suamiku. Karena kalau dipikir-pikir maka bocah itu ikut bertanggung jawab pula!”
“Maksudmu?”
“Siapa menantu kita itu!”
“Dia suami puteri kita...”
“Bukan itu, dia murid atau bekas murid See-ong! Dan See-ong murid keponakan Poan-jin-poan-kwi! Ah, bukankah kalau tidak ada pemuda ini kita tak perlu mengalami peristiwa ini? Bukankah kalau tak ada dia maka anak kita Beng An tak harus diculik orang? Aku benci kepadanya, suamiku. Rasa tidak senangku bangkit lagi setelah See-ong dan kakek-kakek iblis itu muncul!”
Sang pendekar tertegun. Isterinya lagi-lagi menangis setelah berteriak menyebut-nyebut itu. Kebencian atau rasa tidak senangnya kepada Siang Le tiba-tiba muncul lagi setelah putera mereka diculik. Isterinya marah-marah dan Siang Le dituding sebagai biang keladi pula, padahal pemuda itu jelas tak tahu apa-apa, tak berkomplot! Tapi mendebat dalam keadaan seperti ini jelas hanya memancing keributan saja, isterinya sedang tenggelam dalam kekecewaan berat karena putera mereka masih di tangan musuh maka pendekar itu diam saja tak menjawab, membiarkan isterinya menangis dan memaki-maki lawan sampai akhirnya kehabisan suara sendiri. Dan ketika isterinya itu tinggal terisak-isak belaka, tertegun karena tak diladeni maka Pendekar Rambut Emas dengan lembut merangkul isterinya membelai rambutnya.
“Kau sedang lelah, sedang tertekan. Biarlah aku tak meladeni pertanyaanmu tapi Siang Le memang sebaiknya tak usah ikut dengan kita. Kalau kau sudah menghendakinya pulang maka aku hanya mendukungmu saja. Anak itu memang sebaiknya menjaga rumah. Sekarang apakah tetap di sini saja? Tidak segera mencari musuh?”
“Aku ingin segera menyelamatkan Beng An...”
“Akupun begitu, niocu. Satu sudah kita selamatkan dan mudah-mudahan yang lain juga akan dapat segera kita rampas, Beng An juga anakku!”
Swat Lian berlinang. Pendekar Rambut Emas membujuknya untuk tidak marah-marah lagi kepada Siang Le, pemuda itu tak tahu apa-apa dan sudah tak ada hubungan lagi dengan bekas gurunya. Suami isteri ini masih tak mengetahui akan tewasnya See-ong. Dan ketika pendekar itu merasa dapat meredakan. kemarahan isterinya, Swat Lian tak berkata apa-apa lagi tentang Siang Le maka pendekar itu menarik dan membawa isterinya ini pergi.
Mereka tahu bahwa satu di antara musuh-musuh mereka terluka. Poan-kwi menerima luka cukup lebar dari cengkeraman Drestawala tadi. Dan ini harus mereka pergunakan untuk memperoleh kemenangan, atau mereka akan menghadapi musuh tangguh lagi kalau kakek iblis itu sembuh. Maka begitu isterinya mau dibujuk dan Pendekar Rambut Emas berkelebat mengerahkan kesaktiannya maka tiba-tiba keduanya menghilang meninggalkan tempat itu, tempat yang mengerikan dari bekas pertempuran yang amat dahsyat!
* * * * * * * *
Pemuda tinggi besar itu terhuyung-huyung memasuki hutan. Ia terluka di sana-sini dan kaki atau tangannya ada yang membiru. Luka itu tidak berat namun cukup mengganggu, karena berkali-kali pemuda itu mendesis pedih dan mengusap luka-lukanya. Dan ketika ia memasuki mulut hutan dan mengeluh di sini, roboh, maka pemuda itu memejamkan mata menelentangkan tubuh.
“Thai Liong, kau keparat jahanam. Awas kau, kubunuh dirimu kelak!”
Geram atau umpatan ini terdengar pertama kali meluncur dari mulut pemuda itu. Ia menahan sakit dan sejenak menatap pucuk-pucuk daun dengan mulut meringis. Pedih-pedih di tubuhnya membuat ia menghentikan perjalanannya dan rebah di situ. Mata memejam namun kemudian dibuka untuk melihat langit yang biru di antara celah-celah dedaunan yang hijau segar. Nikmat benar rasanya begitu, berlama-lama memandangi awan yang berarak atau burung-burung bangau yang berbaris rapi, tinggi sekali di sana.
Tapi ketika pemuda ini lupa rasa sakitnya terbawa oleh pemandangan di atas, ia telentang dengan mata berbinar-binar mendadak belasan orang melompat dan tahu-tahu mengurung dirinya, dipimpin seorang laki-laki berkumis lebat yang juga tinggi besar dan garang, matanya buas.
“Hei, anak muda. Siapa kau. Bangun!”
Pemuda itu terkejut. Dia sedang mengamati kelepak burung di atas sana dan juga dedaunan hijau segar. Langit yang biru bersih membuat ia lupa dan terlena sejenak, tak melihat atau mendengar kedatangan orang-orang ini. Tapi begitu dia dibentak dan delapanbelas orang mengurung dirinya tiba-tiba pemuda ini menggeliat dan tongkat di tangannya disambar menopang tubuh.
“Heii, dia buntung!”
“Ah, kiranya pemuda cacad!”
Semua tertegun. Pemuda yang kini sudah berdiri dan menghadapi mereka itu kiranya pemuda buntung yang menyangga tubuhnya dengan sebatang tongkat kecil. Sepintas, patut dikasihani dan mengharukan. Tapi begitu semua orang mendengar suara berkerincing dan pundi-pundi di ikat pinggang pemuda itu bergoyang penuh uang tiba-tiba mereka melotot dan sang pemimpin tertawa bergelak.
“Ha-ha, seekor ikan gemuk. Ah, benar kata A-pong. Heii, kau periksa pemuda ini, A-pong. Tanya dari mana ia dan apakah sudah meminta ijin untuk beristirahat di tempat ini!”
Seorang laki-laki kurus maju. Ia menyeringai dan berkilat-kilat memandang pundi-pundi di ikat pinggang pemuda itu, bukan sebuah melainkan dua pundi-pundi yang penuh dan kencang. Sepintas, orang tahu bahwa pundi-pundi itu penuh uang, apalagi telah dibuktikan dengan berkerincingnya ketika pemuda itu melompat bangun, kaget oleh kedatangan mereka. Dan ketika si kurus itu menyeringai dan mencabut goloknya, menakut-nakuti maka ia membentak dan berlagak jagoan.
“Hei, anak muda. Siapa kau dan dari mana. Kenapa datang ke tempat ini dan enak saja tidur di bawah pohon. Kau kira ini wilayah bapakmu dan enak saja tiduran di sini? Hayo serahkan dirimu dan kuperiksa pundi-pundimu itu. Kalau cukup biarlah kau tiduran lagi dan kami tak akan mengganggu. Kemarikan milikmu!”
Pemuda ini mengerutkan kening. Begitu orang-orang ini datang tiba-tiba sorot matanya menjadi mengerikan. Ada kilatan cahaya membunuh namun sementara itu ia tetap tegak berdiri. Bentakan si kumis lebat tak dijawab dan kini tiba-tiba si kurus ini mencabut golok menakut-nakutinya. Ia sedang kesal dan marah oleh peristiwa yang dialami. Ia sedang menderita luka-luka dan kekalahan. Maka begitu si kurus mengancam dan melompat maju, golok di tangan diayun-ayunkan dengan pongah mendadak jarinya bergerak, dan si kurus yang mau menyambar pundi-pundinya itu sekonyong-konyong menjerit roboh, dahinya berlubang oleh sebuah tusukan jarak jauh yang tadi dilancarkan.
“Aduh!”
Semua geger. Si kumis lebat tiba-tiba berteriak dan berobah mukanya melihat anak buahnya terjengkang. Pemuda itu hanya menggerakkan sebuah jari dan tiba-tiba A-pong, si kurus itu, menjerit. Dan ketika yang lain berteriak dan berlompatan mundur, si buntung tak berkata apa-apa kecuali tertawa dingin maka si kumis lebat menjadi marah dan berseru keras mencabut goloknya, juga gada berduri yang tadi digantungkan di belakang punggung.
“Keparat, bocah ini iblis. Awas, cabut senjata kalian dan serbu!”
Belasan orang itu tiba-tiba bergerak. Mereka mencabut senjata dan si kumis lebat sudah menerjang dan mengayun gada berdurinya. Golok di tangan kanan juga menderu tapi pemuda itu tenang mengelak. Dan ketika serangan luput dan si kepala rampok berteriak, kaget dan marah maka pemuda itu membalik dan dua tendangan beruntun menghajar perut dan dada laki-laki ini.
“Des-dess!”
Si kepala rampok menjerit ngeri. Ia terlempar dan terbanting roboh, mengaduh-aduh namun dapat bangun lagi, melotot. Dia tak tahu bahwa lawannya itu bersikap murah, ingin menghajarnya dulu sebelum membunuh. Maka ketika ia menerjang lagi namun si buntung berkelit ke sana-sini, anak buahnya mengikuti dan melakukan bacokan atau tikaman-tikaman gencar maka belasan orang itu mengira si buntung ini kewalahan.
“Serang, terus serang. Bunuh dan rampas pundi-pundinya itu!”
Si pemuda mengeluarkan tawa aneh. Tiba-tiba ia bergerak cepat ketika hujan bacokan membabi-buta menghantam dirinya, menggerakkan tongkat dan segera terdengar pekik-pekik kaget ketika golok atau tombak patah-patah bertemu tongkat di tangan pemuda ini. Dan ketika lawan terkejut karena terhuyung mundur terbelalak memandang senjata mereka yang tinggal sepotong maka saat itu jari pemuda ini menusuk dan tiga orang mendadak roboh terjungkal.
“Sekarang kalian mampus.... augh!”
Tiga orang itu benar-benar terjungkal. Mereka menjerit dan terbanting dengan dahi berlubang, yang lain tersentak dan mundur menjauh namun pemuda itu meneruskan gerakan jarinya. Dan ketika berturut-turut terdengar pekik dan jerit mengerikan maka belasan orang itu roboh dengan dahi berlubang pula, kecuali si kumis lebat yang mencelat dan ditendang si buntung!
“Ampun....!” tubuh itu berdebuk. “Ampun, anak muda.... ampun!” namun ketika ia menghentikan kata-katanya karena tongkat menyentuh batang tenggorok, dingin dan kuat maka si kepala rampok tak dapat melanjutkan kata-katanya karena pucat dan menggigil dengan nyawa seakan sudah melayang ke dasar neraka.
“Aku mengampunimu, namun kau harus dihajar!” si buntung mengeluarkan kata-kata dingin yang mendirikan bulu roma. “Kubur mayat teman-temanmu itu namun korek jantungnya satu per satu!”
“Ap... apa?”
“Kau tidak tuli, bukan?” tongkat menotok belakang telinga, si kepala rampok menjerit. “Kubur teman-temanmu, pongah. Namun cabut dulu jantung mereka satu per satu!”
“A... a.. akan kulaksanakan!” si kumis lebat tak lancar bicaranya. “Akan kukubur mereka, taihiap (pendekar besar), tapi jangan bunuh aku!”
“Tak usah cerewet!” si kepala rampok ditendang mencelat, terguling-guling lagi. “Kubur tapi korek jantungnya satu per satu, tikus busuk. Dan aku minta utuh lalu kumpulkan di sini!”
Si kepala rampok terbang semangatnya. Dia merasa ngeri dan pucat menghadapi lawannya itu, si buntung ini luar biasa lihai dan kiranya ia kena batunya. Tahu begitu barangkali tak usah ia mengganggu, kini celaka sendiri! Tapi ketika ia tertatih melompat bangun dan memandangi mayat teman-temannya itu, ngeri karena diperintahkan mengambili jantungnya satu per satu mendadak si kepala rampok ini menangis dan tak kuat, jatuh berlutut.
“Taihiap, aku... aku harus mengambil jantung mereka itu? Semuanya? Dikumpulkan di sini?”
“Hm, apakah kau minta aku yang mendodet jantungmu terlebih dahulu? Apakah harus kuulang-ulang lagi kata-kataku tadi? Aku tak mau lama-lama, tikus busuk. Laksanakan perintahku atau dodet jantungmu terlebih dahulu!”
“Tit... tidak. Aku mengerti!” dan si kepala rampok yang pucat dan berteriak tertahan lalu bangun berdiri dan apa boleh buat menusuk dada mayat anak buahnya dan mencongkel jantungnya. Si kumis lebat itu telah menyambar golok dan dengan muka ngeri serta tangan gemetar ia mengambili jantung anak-anak buahnya. Mula-mula hampir ia muntah dan tak tahan, sempoyongan dan berkali-kali menutupi muka.
Tapi ketika tawa si buntung membuatnya lebih ngeri lagi dan apa boleh buat dia mengeraskan hati maka belasan mayat itu ditusuk dan dicongkel jantungnya untuk dikumpulkan di depan si buntung. Darah berlepotan di jari-jarinya dan kepala rampok ini nyaris gila. Sekejam-kejamnya dia ternyata masih lebih kejam pemuda buntung ini. Sungguh dia bisa mati berdiri!
Tapi ketika semuanya selesai dan tujuh belas mayat itu dilubangi dadanya, diambil jantungnya dan sudah terkumpul di dekat si buntung maka laki-laki ini mengeluh membuat lubang besar. Ia kini harus mengubur semua mayat itu dan menangis dengan air mata bercucuran. Sungguh, kalau ia tahu bahwa si buntung ini ternyata iblis yang amat keji dan lihai tentu dia tak akan datang merampok. Barangkali, itu memang sudah nasibnya. Dan ketika satu per satu mayat-mayat yang sudah tak berjantung itu dilempar ke dalam lubang, dikubur maka si buntung tertawa gembira dan mengangguk-angguk.
“Bagus... bagus... kau anak manis yang menyenangkan. Sekarang kumpulkan kayu-kayu kering dan buat api unggun!”
“Ampun...!“ laki-laki itu sudah jatuh mentalnya. “Apakah aku belum bebas, taihiap? Bukankah permintaanmu sudah kupenuhi?”
“Hm, siapa bilang? Masa harus aku yang memasak jantung-jantung ini?”
“Apa? Taihiap... taihiap hendak memakannya?”
“Kau kira apa lagi? Jantung manusia paling nikmat, tikus busuk. Hayo buatkan api dan kita habiskan itu!”
“Oohhhh....!” si kepala rampok mendeprok lagi. “Aku.. aku tak sanggup, taihiap. Aku tak biasa memasak jantung manusia!”
“Kalau begitu biar jantungmu saja!” tongkat bergerak dan tiba-tiba menempel di dada. “Kau pejamkan mata dan kucabut perlahan-lahan, tikus busuk. Tentu nikmat dan menyenangkan, heh-heh...!”
Laki-laki ini berteriak ngeri. Dia melompat dan berseru jangan seraya mendorong ujung tongkat. Namun ketika tiba-tiba lututnya tertotok lemas dan jatuh ke tanah, menggerung-gerung maka si buntung itu berkata agar dia memilih.
“Kalau begitu laksanakan perintahku atau jantungmu kukorek. Aku tidak akan mengambil jantungmu secara cepat namun perlahan-lahan. Nah, kau pilih yang mana dan terserah mau hidup atau mati!”
Laki-laki ini jatuh mentalnya. Tentu saja dia pilih hidup dan apa boleh buat ia mengangguk berulang-ulang menyatakan bersedia, pilih hidup dan jangan dibunuh. Dan ketika pemuda itu tertawa aneh dan menarik tongkatnya maka dia ditanya masakan apa yang paling cocok dengan hidangan istimewa itu.
“Aku... aku tak tahu. Aku belum pernah merasakan jantung manusia!”
“Kalau begitu dibuat yang paling mudah saja. Sate! Siapkan tujuh belas tusuk bambu dan kita bakar santapan istimewa ini. Setuju?”
“Aku... aku terserah kepadamu, taihiap. Aku hanya melaksanakan perintah!”
“Heh-heh, benar. Kau memang tinggal melaksanakan perintahku. Bagus, kita sate saja, tikus busuk. Siapkan tujuhbelas tusuk bambu dan buat yang besar-besar. Siapkan api dan bakar di sini. Awas, jangan coba-coba lari!”
Si kepala rampok tak mampu menjawab. Ia hanya mengangguk-angguk sementara mukanya sudah seperti kertas, putih dan pucat. Dan ketika ia diminta membuat api unggun dan meraut tujuhbelas tusuk bambu, yang besar-besar, maka tak lama kemudian pekerjaan itu selesai.
“Nah, bakar dan tusuk mereka satu per satu. Beri sedikit garam dan kecap!"
“Aku tak membawa garam ataupun kecap....”
“Bodoh! Kenapa begitu goblok? Masa sebagai kepala rampok kau tak pernah makan atau minum?”
“Aku selalu disediakan anak buahku, taihiap. Merekalah yang mencari dan mendapatkannya di dusun-dusun...”
“Kalau begitu ini, untung aku bawa!” dan ketika si kepala rampok tertegun dan menerima, pemuda itu mengeluarkan kecap dan garam maka kembali dengan perasaan ngeri dan tak keruan ia melumuri jantung-jantung manusia itu dengan bumbu yang diberikan.
Laki-laki ini tak berani melirik dan akhirnya dengan tangan menggigil dan jari-jari kaku ia membakar daging-daging istimewa itu. Tak pernah terbayangkan bahwa di suatu hari ia harus membuat sate jantung manusia. Bahkan, yang lebih hebat lagi, jantung dari anak buahnya sendiri, yang dulu memberi makan dan minum! Dan ketika dengan menangis ia melakukan semuanya itu, jantung-jantung itu mulai coklat dan matang maka tiba-tiba, mengejutkan sekali, pemuda itu menyambar dan menyuruhnya menikmati sebuah!
“Coba, rasakan ini. Kuberi kehormatan sebagai orang pertama yang menikmati hidanganku!”
“Tidak!” laki-laki itu tentu saja berteriak, pucat pasi. “Aku... aku tak sanggup, taihiap. Aku tak dapat!”
“Hm, mesti dapat, mesti sanggup. Hayo, jangan menghina aku karena sekarang kau tamuku!”
Si kepala rampok mengeluh. Ia coba melompat dan membuang sisa satenya namun tongkat kembali bergerak dan menempel di dadanya. Dan ketika tongkat itu ditekan sedikit dan laki-laki ini ngeri, jantungnya siap dikeluarkan maka apa boleh buat ia menyambar dan menerima “sate jamu” itu. Dengan mata terpejam dan air mata bercucuran ia menggigit sepotong.
Namun ketika si buntung tertawa dan menyuruhnya menggigit lagi, bertanya enak atau tidak maka si kepala rampok hampir dibuat gila dengan menurut si buntung itu. Lawannya ini benar-benar membuat si kepala rampok mati daya, mau menolak tapi takut ancaman. Dan ketika setusuk besar akhirnya habis, laki-laki itu mengguguk sambil mengunyah makanannya maka si buntungpun meraup dan menikmati setusuk sate jantung dan mengunyahnya lambat-lambat sambit terkekeh.
“Mmmm... nikmat dan gurih.... mmm.... lezat benar. Heh-heh, bagaimana pendapatmu, anak manis? Lezat dan nikmat, bukan? Ayo tambah, ambil lagi!”
“Tidak... tidak, aku cukup. Aku tak mau tambah!”
“Hm, kau pikir semuanya ini dapat kuhabiskan seorang diri? Ayoh, kita bagi dua. Kau delapan dan aku sembilan!”
“Tidak... ampun. Aku... aku mau muntah-muntah, taihiap. Aku tak dapat meneruskan makanku!”
“Kalau begitu telan ini. Kau tak akan muntah-muntah lagi!” si buntung mengeluarkan sebutir kapsul, memberikannya kepada si kepala rampok dan seperti disihir saja laki-laki itupun menerima. Ia mengira racun dan bertekad biarlah mati begitu, daripada mati didodet jantungnya dan dimakan pemuda ini! Namun ketika mual di perutnya tiba-tiba hilang dan benar saja ia tak muntah-muntah, laki-laki itu tertegun dan memandang lawannya maka si buntung tersenyum dan menyambar lagi setusuk jantung panas.
“Ayo, bantu aku atau nanti jantungmu yang kutambus di sini!”
Si kepala rampok mengeluh. Baru kali ini seumur hidupnya dia dipaksa orang sedemikian rupa, diinjak-injak dan dipermainkan seenaknya. Tapi karena lawan memang terlalu hebat dan ia bukan tandingannya maka begitu disuruh iapun tidak mau banyak bicara lagi. Setusuk jantung besar sudah disodorkan kepadanya, diterima dan dikunyah. Dan ketika menahan tangisnya karena teringat itu jantung temannya sendiri, dimamah dan dimakan maka si buntung terkekeh-kekeh menyuruh ia menghabiskan.
Tujuh belas jantung itu sudah dibagi, dia delapan sementara lawannya sembilan. Dan ketika satu demi satu ditelan dan masuk ke dalam mulut maka pada hitungan terakhir laki-laki sudah tak kuat lagi. Ia muntah berat dan muntahannya mengotori baju si buntung. Celaka! Dan ketika si buntung terkejut dan mengerutkan keningnya, si kepala rampok terhuyung dan bangkit berdiri tiba-tiba laki-laki itu memutar tubuhnya dan lari meninggalkan lawan, memaki.
“Kau iblis tak berjantung. Kau pemuda tak berperikemanusiaan. Ouh, terkutuk!”
Si buntung tertawa mengejek. Tiba-tiba ia membentak menggerakkan tongkat. Lawan yang lintang-pukang di sana disedot. Dan ketika serangkum angin menghisap dan menarik tubuh laki-laki itu, yang menjerit dan berteriak kaget maka kepala rampok ini kembali dan melayang ke arah lawannya, tak dapat ditahan lagi.
“Ha-ha, kau lari tanpa permisi, tikus busuk. Dan berani memaki aku lagi. Ah, dosamu tak dapat diampuni!”
“Jahanam, keparat bedebah!” laki-laki itu meronta, meluncur dan tertarik ke arah lawannya tapi sayang gagal membebaskan diri. “Kau iblis tak berperasaan, anak muda. Kau manusia tak berjantung. Lepaskan aku, lepaskan...!”
Namun si buntung memperkuat sedotannya. Si kepala rampok yang meronta-ronta di tengah udara justeru seperti babi siap disembelih di atas tongkat pemburu. Tubuhnya sudah dikuasai sedemikian rupa hingga tak dapat melepaskan diri. Dan ketika laki-laki itu berdebuk dan jatuh di kaki lawannya, si buntung bangkit dan tertawa aneh tiba-tiba si kepala rampok memekik dan menyambar golok di atas tanah, menyerang.
“Dess!” Tubuhnya malah ditendang dan terlempar ke api unggun. Api itu masih menyala panas dan laki-laki ini tentu saja menjerit-jerit. Bajunya terbakar namun cepat ia bergulingan memadamkan api di punggungnya. Dan ketika ia meloncat dan mengamuk lagi, menerjang, maka si buntung itu dihujaninya dengan tusukan atau bacokan-bacokan golok. Namun semuanya itu sia-sia. Si buntung mengelak sana-sini dan hujan serangan itupun gagal. Lalu ketika laki-laki itu berteriak dan putus asa, golok membacok namun terpental bertemu tongkat maka sebuah totokan tiba-tiba menyambar dahinya, totokan maut.
“Mampuslah.... cret!”
Dahi itu berlubang. Si kepala rampok roboh dan terjengkang ke belakang, celaka sekali jatuh di tempat api unggun. Dan ketika tubuhnya ambruk dan menimpa bara menyala, si buntung tertawa aneh dan mengebutkan ujung bajunya tiba-tiba bara itu menyala dan berobah menjadi api besar, menjilat dan seketika membakar baju laki-laki ini di mana akhirnya juga melahap dan membakar tubuh si kepala rampok. Tentu saja berkobar dan menjilat-jilat! Dan ketika pemuda itu terbahak dan menyambar kayu-kayu lain untuk menambah kobaran api maka kepala rampok itu tewas dipanggang dengan keji!
“Ha-ha, keji dan berdarah dingin. Aih, bagaimana pendapatmu, suheng? Bagaimana dengan bocah mengerikan ini?”
Si buntung terkejut. Tiba-tiba terdengar suara tanpa rupa, di tempat itu muncul sesosok asap hitam tapi kemudian lenyap lagi. Dan ketika pemuda itu terkejut karena di tempat lain terdengar jawaban dingin bahwa omongan itu betul, si buntung terkesiap dan menoleh ke belakang maka di situ muncul seorang kakek berwajah pucat dengan misai sepanjang lutut. Muncul begitu saja seperti iblis!
“Hm, kau benar. Anak ini mengesankan sekali, sute. Aku terus terang tertarik. Tapi harus kulihat dulu apakah dia cukup berharga!”
“Siapa kau!” si buntung membentak kaget. “Ada apa membicarakan diriku, tua bangka. Enyah dan mana sutemu!”
Namun si buntung mengeluarkan teriakan tertahan. Tongkat yang bergerak dan menusuk cepat tiba-tiba menembus di tubuh kakek itu. Si kakek tak mengelak dan membiarkan saja serangan pemuda ini. Dan ketika si buntung tersentak dan menarik senjatanya, tongkat itu menembus badan halus maka sadarlah pemuda itu bahwa seorang tokoh luar biasa sedang dihadapinya. Dia meloncat mundur dan kakek itu tersenyum, senyumnya aneh karena disertai pula oleh pandang mata yang tiba-tiba membakar. Segumpal cahaya panas muncul dan menyambarlah api ke muka pemuda ini, bagai lidah naga atau kilatan petir. Tapi ketika pemuda itu membentak dan menangkis dengan tongkatnya, lidah api meledak bertemu senjata di tangan pemuda ini maka lidah api itu lenyap tapi pemuda ini terhuyung mundur!
“Hm, cukup pandai, cukup bagus. Namun kalau aku sehat tentu kau tak mampu melawan!”
Si buntung tertegun, pucat. Dia merasa benturan kuat menyambar tongkatnya tadi, terbelalak dan berobah mukanya. Tapi ketika dia marah dan berkata bahwa dirinyapun sedang terluka, tidak sehat, maka dia membalas dengan ejekan dingin.
“Jangan sombong. Akupun sedang tidak sehat, tua bangka. Kalau aku tidak luka-luka tentu akupun tak bakal terhuyung. Siapa kau, dan mana sutemu yang masih bersembunyi!”
“Wut!” si kakek tiba-tiba lenyap. “Coba kau cari kami, anak muda. Mana suteku dan mana aku!”
Si buntung terkejut. Si kakek menghilang dengan ilmu silumannya, entah di mana. Tapi ketika ia sadar bahwa kakek itu mempergunakan ilmu hitam tiba-tiba diapun membentak dan mengayun tongkat ke kiri. Tanah dipukul dan seketika pemuda inipun lenyap. Dan ketika segumpal asap hitam muncul dan bergerak memasuki hutan tiba-tiba terdengar seruan tertahan dua orang kakek yang berobah ujudnya di balik sebatang pohon besar.
“Heii, dia mem pergunakan Hek-kwi-sut!”
“Benar, dan gaya pukulan tongkatnya seperti Khi-bal-sin-kang, sute. Bocah ini aneh dan luar biasa!”
“Hm!” pemuda yang sudah berobah menjadi asap hitam itu menyerang dua asap hitam lainnya. “Kalian kiranya di sini, tua bangka. Aku sudah menemukan persembunyian kalian dan tak takut akan ilmu hitam apapun.... des-dess!”
Asap hitam di depan membuyar, dipukul dan menyibak dan segera terdengar pekik atau seruan kakek pertama. Kakek itu memekik karena si buntung menghantam pundaknya, masing-masing sekarang sudah tidak berbadan kasar lagi. Dan ketika kakek yang lain melesat dan menghilang dengan cepat maka kakek pertama dikejar dan dihujani pukulan bertubi-tubi. Si buntung ternyata juga pandai ilmu hitam.
“Ha-ha, ke mana kau lari, kakek tua. Ke ujung dunia pun pasti kukejar!”
“Keparat!” kakek itu memekik, melecutkan misainya. “Jangan sombong, anak muda. Biarpun aku juga baru saja bertanding dan masih lelah namun kau tak mungkin dapat mengalahkan aku.... plak!” tongkat dipukul misai, terpental tapi sudah menyerang lagi dan kakek itu berkelebatan dengan marah.
Orang akan terheran-heran karena tidak melihat pertempuran di atas tanah. Yang ada ialah dua bayang dan asap hitam yang saling maki dan kejar, asap yang satu memiliki sebelah kaki sedang asap yang lain utuh. Itulah si buntung dan lawannya. Tapi ketika asap si kakek bermisai menolak dan mampu mementalkan tongkat, si buntung itu terkejut maka terdengar seruan kakek yang lain agar mereka ke alam kasar lagi.
“Sute, biarkan lawanmu bertanding di atas tanah. Dan kau kembalilah ke alam kasar lagi... plak!” asap hitam hancur dua-duanya, disambar cahaya merah bagai petir yang meledak menghantam asap hitam itu. Si buntung berseru tertahan karena tiba-tiba ia terlempar dan jatuh ke bumi, Hek-kwi-sutnya dilumpuhkan. Dan ketika ia membentak dan lawannya muncul di atas bumi, mendelik, maka kakek itu berkelebat dan tiba-tiba menyerangnya dengan misainya yang panjang itu.
“Bocah, suhengku menghendaki kita bertempur di atas tanah. Nah, aku akan mengujimu. Keluarkan semua kepandaianmu dan juga Khi-bal-sin-kangmu itu. Kau tak dapat lagi mempergunakan Hek-kwi-sut.... des-dess!”
Tongkat cepat menangkis dan si buntung terhuyung, terkejut karena tiba-tiba ia tak dapat mengerahkan ilmu hitamnya. Tongkat sudah diayun dan menghajar tanah namun tidak terjadi ledakan. Itu berarti Hek-kwi-sutnya ditahan atau “dimatikan” lawan, tombolnya dikunci! Dan ketika si buntung terkejut karena tiga empat kali ia gagal, tongkat tak pernah meledak memanggil Hek-kwi-sut maka si kakek bermisai menyambar bagai elang dengan misainya yang kaku dan lurus menusuk atau membabat bagai tombak!
“Ha-ha!” tawa itu menggetarkan hutan. “Keluarkan semua kepandaianmu, anak muda. Pergunakan Khi-bal-sing-kang mu untuk menghadapi serangan-seranganku!”
Si buntung sibuk. Ia dipaksa berlompatan dan menangkis atau mengelak. Tapi ketika misai menotok atau menusuknya bagai elang lapar, tak terpental oleh Khi-bal-sin-kang yang dikeluarkan maka pemuda itu berseru keras dengan muka berobah. Apalagi ketika tangan kanan atau kiri kakek itu juga mulai melakukan pukulan-pukulan.
“Ha-ha, ayo, buntung. Kau tentu memiliki ilmu beragam karena kaupun mempunyai Hek-kwi-sut. Ayo, tangkis atau elak serangan ini.... des-dess!”
Si buntung terhuyung-huyung, sebentar kemudian terdesak hebat karena Khi-bal-sin-kangnya tak seberapa berpengaruh bagi kakek yang luar biasa itu. Tongkatnya segera bergerak berputaran melindungi diri, apa boleh buat dia lalu membentak dan mengeluarkan Jing-sian-engnya. Si buntung berkelebat dan lenyap. Dan ketika kakek itu berseru tertahan karena si buntung bergerak luar biasa cepat, mendahului atau mengelilingi dirinya bagai rajawali menyambar-nyambar maka tiba-tiba tongkat bergerak naik turun dengan pukulan sendal pancing.
“Haiii...!” kakek itu terkejut. “Kau benar-benar memiliki kepandaian beragam, bocah. Tapi aku tak takut. Ayolah, gebuk sekuat tenagamu.... buk-bukk!”
Tongkat benar saja menghantam dengan keras, tepat mendarat di punggung kakek itu dan si kakek terhuyung. Satu pukulan tangan kiri pemuda itu melayang pula ke mukanya, dikelit tapi jatuh di pundak. Dan ketika si kakek tergetar karena pukulan itu keras dan dahsyat, letupan sinar kilat menyambar dari sini maka si kakek tertegun dan sebuah pujian terdengar.
“Cam-kong-ciang (Tangan Pembunuh Petir)!”
“Hm!” pemuda itu terus berseliweran “Matamu tajam, kakek siluman. Tapi coba yang ini.... dess!” tongkat berpindah ke tangan kiri, tangan kanan menghantam dan terdengarlah ledakan kuat mengguncangkan kakek itu. Lehernya menerima sebuah pukulan lain dan kakek itu bergoyang-goyang. Tapi ketika si kakek tertawa bergelak dan maju kembali, tidak apa-apa maka kakek itu berseru menyebut nama pukulan ini.
“Tee-sin-kang (Pukulan Menghajar Bumi). Ha-ha, kau kiranya pernah menjadi murid nenek Naga!”
Si buntung yang terkejut dan tertegun mendengar ini lalu melihat si kakek berkelebatan dan mengimbangi dirinya, tangan bergerak naik turun namun pemuda itu berkelebatan mendahului si kakek. Dia melancarkan lagi sebuah pukulan lain yang disebut Mo-seng-ciang (Pukulan Bintang Iblis). Tapi ketika si kakek tahu dan dapat menyebut itu, pemuda ini terbelalak maka berturut-turut enam pukulan lain ganti-berganti menghajar kakek itu, yang tetap tak apa-apa.
“Ah-ah, kau kiranya murid mendiang Enam Iblis Dunia. Kalau begitu tentu kau bocah yang bernama Togur. Ha-ha, ini kiranya bocah itu, suheng. Tapi bagaimana dia dapat memiliki Khi-bal-sin-kang dan Jing-sian-eng ini. Lihat, ilmu meringankan tubuh ini adalah Jing-sian-eng seperti yang dipakai Kim-hujin atau Pendekar Rambut Emas itu!”
Si buntung terkejut. Lawannya segera terkekeh-kekeh dan mengenal semua ilmu-ilmu yang dimilikinya. Mula-mula Khi-bal-sin-kang atau Hek-kwi-sutnya tadi. Lalu sekarang Cam-kong-ciang dan Tee-sin-kang atau Mo-seng-ciang. Dan karena betul semua pukulan yang dipakainya adalah seperti kata-kata lawannya, pemuda ini memang bukan lain adalah Togur maka. kakek bermisai itu terbahak-bahak ketika tiba-tiba dia mengeluarkan seruan keras dan terbang berkelebatan mengelilingi pemuda ini.
“Ha-ha, kau tak memiliki Cui-sian Gin-kang seperti yang dipunyai keluarga Pendekar Rambut Emas itu. Kau hanya memiliki Khi-bal-sin-kang dan Jing-sian-eng saja, di samping ilmu-ilmu yang kau warisi dari mendiang Enam Iblis Dunia. Heh, sekarang kau roboh, bocah. Cukup main-main ini dan aku kagum kepadamu.... plak-plak!” misai menyambar dan menggubat tongkat, tahu-tahu mengunci gerakan pemuda itu.
Dan si buntung terkejut. Dia menggerakkan tangan yang lain namun dipapak tangan kakek ini. Dan karena kakek itu masih memiliki tangan yang lain karena misainya menarik dan menyendal maka begitu berkutat dan bersitegang sejenak tiba-tiba tangan kanan kakek itu melakukan tepukan dan mencelatlah pemuda ini dengan tongkat terlepas.
“Bluk-dess!”
Si buntung terpekik bergulingan kaget. Dia kalah cepat karena belakang kepalanya tahu-tahu sudah menerima tepukan, tongkat tertarik atau terbetot misai panjang itu. Dan ketika ia melompat bangun namun segulung asap hitam berkelebat dan mencengkeram belakang lututnya tiba-tiba ia terguling dan menjerit keras, roboh.
“Aduh!” Si buntung pucat. Ia terbelalak dan kakek yang lebih lihai muncul, menotok atau mencengkeram belakang lututnya tadi. Dan ketika kakek itu mendengus dan meniup ubun-ubunnya maka pemuda itu mengeluh dan lunglai total, lumpuh.
“Kau mengagumkan, namun mencuri Hek-kwi-sut. Hayo, dari mana kau dapatkan ini dan mana murid keponakanku See-ong!”
Togur, pemuda buntung itu, terkejut. Dia terbelalak memandang kakek yang lebih lihai ini dan berganti-ganti memadang kakek satunya lagi. Mereka hampir serupa kecuali misai panjangnya itu. Kakek yang ini memiliki misai sampai ke mata kaki sementara kakek yang sana sang sute, memiliki misai setinggi lutut. Kalau memperhatikan sepintas saja tentu orang tak tahu, karena misai mereka sering bergerak naik turun oleh gerakan kepala. Tapi begitu kakek itu menyebut See-ong sebagai murid keponakannya, jadi mereka ini adalah susiok atau paman guru dari See-ong yang hebat maka tiba-tiba si buntung ini menjublak dan kagum serta kaget. Pantas dapat “mengunci” Hek-kwi-sutnya!
“Ah, locianpwe Poan-jin-poan-kwi? Locianpwe adalah susiok dari sahabatku See-ong? Celaka, See-ong tewas, locianpwe. Murid keponakanmu itu telah dibunuh orang!”
Togur tiba-tiba mengeluh panjang, pura-pura meratap dan menyesali kematian temannya itu dan dua kakek ini tentu saja terkejut. Mereka memang Poan-jin-poan-kwi adanya dan kebetulan saja bertemu Togur di sini. Mereka melarikan diri dari keroyokan Pendekar Rambut Emas dan Drestawala, karena Poan-kwi luka perutnya oleh cengkeraman kakek India itu. Poan-jin juga mengalami nasib jelek dengan adanya keroyokan Swat Lian dan Shintala, cucu Drestawala yang amat lihai. Dan karena mereka tak mau bertanding lagi dan pergi meninggalkan lawan.
Kim-mou-eng tentu dapat membahayakan mereka karena Poan-kwi terluka maka tak disangka dan dinyana tiba-tiba bertemu si buntung itu di sini. Mereka mempergunakan ilmu hitam dan di balik ilmu hitamnya itu melihat sepak terjang Togur. Kekejaman pemuda ini dari mulai membunuh anak buah rampok sampai memaksa kepala rampoknya disuruh mencongkel jantung anak buahnya sendiri. Kekejaman itu menarik perhatian mereka dan Poan-jin terbelalak berbisik kepada suhengnya bahwa pemuda ini luar biasa. Kekejamannya pantas sebagai orang sesat dan Poan-kwi mengangguk membenarkan.
Mereka tak tahu siapa pemuda itu namun Poan-kwi mencegah adiknya untuk muncul memperlihatkan diri. Mereka hendak melihat apa yang akan dilakukan si buntung itu dengan si kepala rampok, korban terakhirnya. Poan-jin berkata bahwa kepala rampok itu pasti akan dibunuh si buntung itu pula, karena mata si buntung memperlihatkan sinar aneh dan bibir itupun terangkat mengejek. Dan ketika benar saja si buntung membunuh korbannya, setelah menakut-nakuti sampai sedemikian rupa.
Maka Poan-jin tak tahan dan muncul lebih dulu, disusul suhengnya namun mereka tetap berlindung di balik ilmu hitam, hanya tampak sebagai asap yang bergerak-gerak tapi pemuda itu mampu melihat mereka pula, dengan lenyap dan masuk ke dalam ilmu hitam pula. Dan karena pemuda itu mempergunakan Hek-kwi-sut dan ilmu ini tentu saja dikenal maka Poan-jin-poan-kwi terkejut sekaligus terheran-heran sambil menduga, siapa gerangan si buntung yang lihai dan kejam ini, di mana akhirnya Poan-kwi menyuruh adiknya menghadapi pemuda itu dan ilmu-ilmu yang diperlihatkan pemuda ini akhirnya diketahui sebagai murid dari mendiang Enam Iblis Dunia.
Togur, si buntung itu, memang murid dari nenek Naga dan lain-lain. Poan-jin tertegun tapi segera dapat merobohkan lawannya, apalagi karena suhengnya telah mengunci Hek-kwi-sut yang dimiliki pemuda itu. Dan ketika pemuda itu sekarang roboh dan memberi tahu tewasnya See-ong, menangis dan menunjukkan rasa duka mendalam maka Poan-jin maupun Poan-kwi terjebak oleh kecerdikan pemuda ini dalam usahanya mengambil hati. Maklumlah, Togur sekarang tahu bahwa dia berhadapan dengan orang-orang sakti!
“Benar,” pemuda itu berderai air matanya. “See-ong tewas terbunuh, ji-wi lopicianpwe. Dan yang membunuh adalah putera Pendekar Rambut Emas. Akupun jatuh bangun dan luka-luka gara-gara jahanam ini!”
“Hm, ceritakan kepada kami bagaimana itu!” Poan-kwi bergerak dan mencengkeram pemuda ini, mata berkilat marah, “Kapan terjadinya dan bagaimana kau memiliki Hek-kwi-sut pula, juga Jing-sian-eng dan Khi-bal-sin-kang!”
“Aduh..!.” si buntung merintih, mencari, iba. “Bebaskan dulu totokanmu, locianpwe. Setelah sekarang kutahu kalian berdua adalah orang sendiri tak mungkin aku melakukan perlawanan. Aku menyerah, aku sudah kalah!”
Poan-kwi mengangguk. Memang ia melihat bahwa pemuda ini tak mungkin melakukan perlawanan lagi. Mereka sanggup melumpuhkannya. Tapi karena pemuda itu memiliki Khi-bal-sin-kang dan ilmu ini jelas milik Pendekar Rambut Emas, jadi kakek itu curiga apakah pemuda ini memiliki hubungan baik dengan musuh mereka itu maka totokan dibebaskan namun cengkeraman tetap dilakukan. Untuk berjaga-jaga kalau pemuda itu melarikan diri!
“Locianpwe tak perlu curiga kepadaku. Aku sudah kalah, aku sudah tunduk. Tolong jangan cengkeram aku karena tak mungkin aku melarikan diri!”
“Tapi tindak-tanduk dan ilmumu mencurigakan. Kau memiliki warisan Pendekar Rambut Emas, anak muda. Dan kami tak dapat mempercayaimu begitu saja!”
“Ah, ilmu ini kudapat dengan mencuri, locianpwe. Aku bukan murid Pendekar Rambut Emas meskipun memiliki dua ilmunya!”
“Hm, ceritakan itu, yang jujur. Jangan bohong atau aku akan membunuhmu!” cengkeraman dilepaskan, Poan-kwi memandang penuh ancaman tapi si buntung ini tersenyum lebar.
Setelah dibebaskan dan tidak dicengkeram lagi maka rasa sakit hilang semua. Togur tenang-tenang saja dan terpincang menyambar tongkatnya. Dan ketika ia mengangguk dan menopang tubuh dengan wajah muram, mimik kesedihan diperlihatkan maka bekas murid Enam Iblis Dunia ini bertutur.
“Aku tak akan bohong kepada ji-wi locianpwe. Aku tentu akan bersikap jujur. Nah, pertama Khi-bal-sin-kang dan Jing-sian-eng ini kudapat dari mencuri, locianpwe. Ji-wi boleh bertanya kepada Pendekar Rambut Emas ataupun isterinya apakah betul atau tidak. Tapi ilmu ini bukan kudapat dari Kim-mou-eng sendiri melainkan dari mendiang mertuanya si jago pedang Hu Beng Kui! Nah, itu pertama. Sedang kedua aku memiliki Hek-kwi-sut karena tukar-menukar dengan mendiang See-ong...”
“Tukar-menukar?” si kakek terbelalak. “Dengan apa?”
“Dengan Jing-sian-eng dan Khi-bal-sin-kang ini, locianpwe. Aku telah berjanji dengan murid keponakanmu itu untuk sama-sama memberi dan menerima!”
“Hm, kau pintar. Lalu See-ong sendiri, bagaimana dia tewas? Kapan terjadinya?”
“Belum lama, baru seminggu yang lalu. Dan kami benar-benar tak dapat melawan musuh kami yang lihai itu!”
“Jadi kalian mengeroyok?”
“Benar, locianpwe. Tapi kami kalah!”
“Ha-ha, memang kalah. Dan aku juga roboh di tangan putera Pendekar Rambut Emas itu!” seorang pemuda bermuka kehijauan tiba-tiba muncul, tertawa-tawa dan terhuyung menarik kakinya dengan langkah terseok-seok. Poan-jin terkejut karena pemuda itupun tiba-tiba muncul seperti iblis, langsung ada begitu saja. Dan ketika pemuda itu mendekat dan berseru kepada Togur, mereka rupanya sudah saling kenal maka pemuda itu menuding Poan-kwi.
“Heii, siapa tua bangka ini, Togur? Bagaimana kau berkenalan dengan mereka? Ah, seharusnya tak perlu banyak cakap. Sikat mereka dan lempar ke kubur!” pemuda itu berkelebat, tiba-tiba menghilang.
Poan-kwi terkejut karena segumpal asap hitam menerjang dirinya. Inilah Hek-kwi-sut dan si kakek terbelalak. Tapi ketika ia menggeram dan menghilang tubuhnya lenyap menghindar serangan lawan maka dari belakang ia membentak dan mencengkeram kepala asap hitam itu. “Bocah, kau tak tahu adat. Berani benar mempergunakan Hek-kwi-sut. Hayo, muncul dan jangan main-main di sini. Kuhancurkan ilmumu.... dar!”
Ledakan kecil terdengar di situ, asap hitam terpukul buyar dan terdengar jerit atau pekikan pemuda ini. Dia berteriak karena ilmu hitamnya tiba-tiba dikunci, ubun-ubun kepalanya ditampar. Dan ketika dia terlempar dan terbanting keluar, Hek-kwi-sut macet tak dapat dikeluarkan maka pemuda itu terkejut dan kaget memandang kakek ini, yang muncul dan telah mencengkeram sebagian rambutnya.
“Iblis! Tua bangka ini keparat! Eh, kubunuh kau, kakek siluman. Kuhajar kau!” dan pemuda ini yang kembali membentak dan berteriak marah, maju lagi tiba-tiba menyerang dan melepas pukulan dahsyat ke arah lawannya. Namun Poan-kwi mendengus dan pukulan itu dibiarkannya menghantam. Dan ketika tubuhnya dipukul namun pukulan itu terus lewat dan “tembus” memasuki rongga dadanya, seakan menghantam roh halus maka pemuda ini menjerit ketika tiba-tiba si kakek menggerakkan kaki dan menendang.
“Kaulah yang harus dihajar. Pergilah dess..!”
Pemuda itu mengeluh, roboh dan terbanting lagi dan si buntung tiba-tiba berseru agar kakek itu tidak membalas lawannya. Poan-kwi siap menggerakkan tangannya lagi untuk memukul dan melepas pukulan jarak jauh. Dan ketika si buntung bergerak dan berdiri di tengah-tengah, mengangkat lengannya tinggi-tinggi maka pemuda itu menghardik pemuda bermuka kehijauan ini.
“San Tek, jangan kurang ajar. Ini adalah kakek gurumu sendiri!” dan cepat menahan Poan-kwi yang tak segera menurunkan tangannya si buntung memberi tahu, “Locianpwe, pemuda ini adalah cucu muridmu sendiri. Dia adalah San Tek, murid See-ong. Harap kau turunkan tangan dan jangan menyerang lagi. Dia memang tidak waras!”
“Heh-heh, kaulah yang tidak waras!” San Tek, pemuda itu, berseru memaki Togur. “Biarkan tua bangka ini menyerang aku, Togur. Kalau aku cucu muridnya justeru aku harus meminta pelajaran darinya. Guruku belum lengkap menurunkan semua kepandaiannya. Tua bangka ini mematikan Hek-kwi-sut ku!”
“Jangan kurang ajar!” Togur membentak. “Cucu harus hormat kepada kakeknya, San Tek. Atau aku menghajarmu dan melapor ayahmu di akherat agar menerimamu pula di neraka!”
“Jangan!” pemuda itu berteriak, tiba-tiba ketakutan. “Aku belum membunuh, musuh besarku, Togur. Aku masih harus membalas dendam kepada Pendekar Rambut Emas. Dia pembunuh jahanam!”
“Kalau begitu kau harus bersikap manis,” si buntung tersenyum, tertawa pada Poan-kwi. “Sekarang beri hormat kepada kakek gurumu, San Tek. Dan turut semua kata-katanya atau nanti aku melapor pada ayahmu di akherat!”
“Tidak, jangan... ah, biar aku memberi hormat dan turut kepada semua kata-katamu!” dan berlutut serta menggigil di depan Poan-kwi pemuda yang tidak waras ini berseru, “Sukong (kakek guru), ampunkan aku. Aku tak tahu siapa kau tapi kini tak akan kurang ajar lagi. Biarlah kutampar pipiku kalau kau suka... plak-plak-plak!” dan si gila yang memukul atau menampar pipinya sendiri akhirnya membuat Togur tertawa tapi Poan-kwi maupun Poan-jin mengerutkan kening. Tidak senang karena mereka mempunyai cucu murid yang gila!
“Hm, kau murid See-ong? Bagaimana gurumu bisa mempunyai murid macam kau? Bukankah muridnya adalah Siang Le?"
“Ampun...!” San Tek masih menampari pipinya berulang-ulang. “Siang Le adalah suhengku, sukong. Tapi dia keparat karena berpihak kepada musuh!”
“Hm, kau harus memanggilnya susiok-kong (paman kakek guru),” Togur tiba-tiba melangkah maju dengan mengetuk bahu temannya ini dengan ujung tongkat. “Mereka ini adalah susiok dari gurumu, San Tek. Tak perlu takut-takut dan memukuli diri sendiri. Hentikan tamparanmu, dan bicaralah baik-baik!”
San Tek bangkit berdiri, matanya berseri-seri. “Mereka ini tak marah kepadaku?” dia berbisik.
“Tentu tidak, kalau kau baik-baik kepadanya. Nah, dengarkan apa yang hendak ditanyakan kepadamu, San Tek. Jawab dengan jujur dan bagaimana kau tiba di tempat ini.”
“Aku diampuni Thai Liong, ditendang adiknya dan disuruh pergi!”
“Hm, lagi-lagi Thai Liong... Thai Liong ..! Apakah pemuda ini putera Pendekar Rambut Emas? Masa anak lebih hebat dari bapaknya? Eh, kau!” Poan-kwi tiba-tiba membentak cucu muridnya ini. “Ke sini dan berdiri, bocah. Tunjukkan kepandaianmu dan bagaimana tiga orang tak mampu menghadapi seorang Thai Liong!”
San Tek terpekik. Tubuhnya tahu-tahu terangkat naik ketika Poan-kwi mengayun lengannya. Serangkum angin menyambar dan si gila itu terbanting. Dan ketika pemuda itu berdiri dan Poan-kwi memanggil adiknya, Poan-jin berkelebat dan tertawa di depan pemuda itu maka krah baju pemuda ini disambar dan langsung di cengkeram.
“Kau..!” serunya. “Boleh main-main sebentar, bocah. Ayo keluarkan semua kepandaianmu dan jangan ragu-ragu!”
“Aku... aku tak berani!” si gila menoleh kepada Togur, berteriak-teriak. “Lepaskan, susiok-kong. Aku tak akan lancang agar Togur tak melaporkan aku kepada ayahku di akherat!”
“Ha-ha!” Togur menyeringai senang. “Kau hendak diuji dan diberi pelajaran kakek gurumu, San Tek. Jangan bodoh atau takut-takut lagi. Aku tak akan melaporkanmu di akherat, kalau kau mau menurut. Tapi kalau kau menolak tentu tak segan-segan aku membawamu kepada ayahmu.”
“Tidak, jangan...! Jadi aku harus melawan kakek guruku ini? Boleh bertanding sepuas hatiku?”
“Ya, tunjukkan semua kepandaianmu, San Tek. Juga Khi-bal-sin-kang atau Jing-sian-eng yang diberikan gurumu!”
“Baik, kalau begitu awas!” dan San Tek yang memberontak serta melepaskan dirinya tiba-tiba tertawa aneh dan menghantam lawannya.
Poan-jin tertawa mendongkol karena cucu muridnya ini betul-betul tidak waras. Sungguh sial bagaimana See-ong bisa mendapatkan murid seorang bocah edan! Tapi begitu lawan menyerang dan pukulan dahsyat menyambar kepalanya maka kakek ini mengelak namun lengan San Tek mendadak terulur panjang dan tahu-tahu mencengkeram atau mencekik batang lehernya, yang kurus dan tipis!
“Aihh-brett...!” si kakek menendang dan melempar tubuh ke kiri. San Tek yang direndahkan dan tak dipandang sebelah mata tiba-tiba menjadi begitu garang dan beringas, lihai karena itulah Sin-re-ciang atau Tangan Karet peninggalan See-ong di samping Hek-kwi-sutnya. Dan ketika kakek itu bergulingan dan San Tek terkekeh-kekeh, geli dan menerjang lagi maka tangan karetnya bergerak dan kakek itu dikejar, dicengkeram atau ditusuk.
“Heh-heh, kau tak boleh meremehkan aku, susiok-kong. Jelek-jelek cucu muridmu ini hebat sekali!”
Poan-jin mengumpat. Setelah dia tahu pemuda ini hebat juga maka dia menangkis dan tak berani meremehkan kepandaiannya, berkelebat dan misai di bawah dagunya melakukan gerakan-gerakan membabat atau menampar. San Tek terhuyung dan pemuda itu terkejut. Namun ketika dia membentak dan maju dengan pukulan-pukulan berat, tangan semakin mulur dan memanjang lagi maka pemuda itu coba mendesak sambil terkekeh-kekeh.
Poan-kwi mengerutkan kening dan Poan-jin tak berani merendahkan lagi. Ternyata, pemuda ini hampir setingkat dengan See-ong sendiri. Tapi karena dia adalah kakek sakti dan lecutan-lecutan misainya juga semakin keras dan tegang, misai itu berobah bagai toya atau besi baja maka setiap uluran tangan ditolak dan dipukul tegas, San Tek kesakitan.
“Eh, kau jangan menghajar aku, susiok-kong. Akupun dapat menghajarmu. Lihat, aku akan mengelilingimu seperti burung.... wut-wut!” dan pemuda ini yang bergerak mengerahkan ginkang tiba-tiba berkeliweran dan naik turun mengelilingi lawannya, semakin cepat dan cepat namun kakek itu tentu saja tak mau didesak.
Poan-jin tiba-tiba membentak dan berseru keras dan tubuhnyapun tiba-tiba bergerak menghilang. Dan ketika dua bayangan saling berkelebatan namun misai panjang kakek ini berubah menjadi ribuan benda-benda kecil yang melecut atau menghantam pemuda itu maka San Tek mulai kesakitan karena rambut-rambut itu bagai lecutan kawat baja yang menggores kulitnya, bertubi-tubi dan cepat serta selalu mendahului atau menahan tubrukan tangan karetnya.
“Hek-kwi-sut, ayo keluar. Ayo bantu aku!” San Tek mulai mencak-mencak, kebingungan dan marah karena setiap ia meledakkan tangannya selalu ilmu hitamnya itu gagal dikeluarkan.
Poan-kwi telah mengunci ilmunya ini dan Poan-jin terbahak-bahak. Lawan mulai dibalas dan ganti tertekan. Dan ketika pemuda itu marah-marah menerima lecutan rambut, bilur-bilur matang biru maka Poan-jin berseru pada kakaknya agar Hek-kwi-sut pemuda itu dibuka kembali.
“Suheng, biarkan ia memiliki Hek-kwi-sutnya kembali. Coba kita lihat apakah dia sama seperti See-ong!"
“Baik!” Poan-kwi mendengus dan menggerakkan tangan ke arah pemuda ini. Sebuah sinar api meledak dan menimpa kepala San Tek. “Jangan biarkan ia mendesakmu, sute. Kalau empat puluh jurus ia mampu bertahan maka bocah ini hampir menyamai gurunya... blarr!”
San Tek terpelanting dan menjerit. Poan-kwi mengembalikan ilmu hitam pemuda itu dengan melancarkan pukulan jarak jauh. Pekik atau jeritan pemuda itu disusul bayangan hitam di atas kepalanya. Dan ketika San Tek terguling-guling namun meloncat bangun, terkekeh-kekeh, maka pemuda itu merasa ubun-ubunnya seperti melembung, kekuatan Hek-kwi-sut memang tersimpan di situ.
“Ha-ha, Hek-kwi-sut ku pulih, Togur. Lihat aku akan membalas kakek guruku ini... klap!” San Tek tiba-tiba lenyap tertawa girang, meledakkan kedua tangannya dan berobahlah pemuda itu menjadi segumpal asap hitam.
Poan-jin tidak terkejut karena kakek itupun berseru keras meledakkan kedua tangannya. Dan ketika iapun lenyap dan dua asap hitam bergulung menjadi satu, San Tek menyerang dan tertawa-tawa di balik ilmu hitam maka benturan atau suara keras terdengar berulang-ulang dari benturan atau tumbukan dua asap hitam itu. Namun San Tek kemudian mengeluh terhuyung-huyung.
Bayangan pemuda ini tampak samar-samar dan Togur menyaksikan temannya terdesak, kian lama kian jelas padahal bayangan Poan-jin masih gelap dan pekat. Tanda kakek itu masih kuat dan lebih unggul. Dan ketika ledakan terdengar kesekian kalinya lagi dan San Tek muncul di balik asap hitam, tak mampu bersembunyi lagi maka pemuda itu tiba-tiba terbanting dan menjerit....
Shintala tersedu-sedu. Setelah dipukul mundur dan Pendekar Rambut Emas tidak membela isterinya maupun dirinya sendiri, bersikap adil, .maka mau tak mau gadis ini merasa bahwa pendekar itu betul. Dan ketika ia tak menjawab karena segera menubruk jenasah kakeknya, mengguguk, maka Shintala tiba-tiba berontak ketika Pendekar Rambut Emas berlutut dan mau mengurus jenasah kakeknya itu.
“Tak usah ikut campur!” gadis itu berteriak, kasar. “Biarkan kuurus, Pendekar Rambut Emas. Dan terima kasih atas pertolonganmu hingga kakekku begini!” dan meloncat menyambar jenasah kakeknya, merebut dari tangan pendekar itu tiba-tiba gadis ini terbang dan meninggalkan tempat itu.
Swat Lian marah dan mau membentak ketika tiba-tiba suaminya berdiri dan menahan lengannya. Gadis itu sedang dalam keadaan duka. Dan ketika gadis itu meluncur dan jauh di sana, siap menghilang maka Pendekar Rambut Emas tiba-tiba berseru mengeluarkan ilmunya mengirim suara, lirih namun tajam.
“Shintala, tanpa kehadiranku pun kakekmu pasti tewas. Lihat kejadian di atas bukit sebelum kami suami isteri datang. Ingat dan lihat kejadian itu baik-baik!”
Shintala terkejut. Tiba-tiba iapun kembali sadar karena itu benar. Memang, kakeknya pasti tewas kalau pertempuran di atas bukit tidak dicampuri Pendekar Rambut Emas. Tapi karena Pendekar Rambut Emas datang dan suami isteri itu menolong, kakek dan dirinya selamat maka kematian kakeknya itu seharusnya tak dapat ditimpakan kepada pendekar itu. Pendekar Rambut Emas sudah menolong dan buktinya musuh akhirnya melarikan diri. Kalau kakeknya akhirnya nekat dan sengaja mengadu jiwa, hal yang di luar perkiraan maka Pendekar Rambut Emas tak dapat disalahkan untuk itu.
Pendekar itu telah menolong mereka tapi apa boleh buat kakeknya bertindak lain. Dia tak tahu kenapa kakeknya sampai berlaku seperti itu, nekat. Tapi ketika Shintala tersedu dan meneruskan larinya maka gadis itu tak menjawab dan hilang di kegelapan malam. Pendekar Rambut Emas telah bicara dan gadis itu telah mendengar. Selanjutnya terserah gadis itu sendiri dan pendekar ini menarik napas dalam-dalam. Dan ketika Swat Lian berkelebat, dan menghadapi suaminya maka nyonya itu mendengus menyatakan rasa tidak puasnya.
“Gadis itu tak tahu diri. Kalau mau membalas kepada kita biarlah kita hadapi. Toh kita benar!”
“Hm, tidak begitu. Ia sedang dilanda sakit hati dan duka, niocu. Pikirannya kalut. Kita sebagai orang tua tak perlu melayani sikapnya ini karena kalau ia sadar tentu pikirannya sudah berubah.”
“Tapi nyatanya tidak!”
“Itu sekarang, karena ia sedang kacau."
“Apakah kau yakin?”
“Tentu, seyakin-yakinnya. Gadis itu orang baik-baik, ia dapat menimbang buruk dan tidaknya. Kalau nanti ia sadar dan jernih kembali tentu tidak akan menyalahkan kita!”
“Tapi aku tidak takut...”
“Bukan takut atau tidak,” sang suami memotong. “Kau sekarang mudah naik darah, niocu. Apa sebabnya dan kenapa begini!”
Sang isteri terisak. Ditegur dan dipandang suaminya seperti itu mendadak nyonya ini mengguguk. Dia teringat puteranya tadi dan segera menceritakan itu. Tapi ketika suaminya berkata bahwa anak mereka yang lain, Siang Le, dapat diselamatkan tiba-tiba nyonya ini melepaskan diri, berapi-api.
“Dia bukan anak kita, hanya anak mantu. Masa aku harus sudah bergembira? Aku hanya dapat gembira kalau anak kita sendiri selamat, suamiku. Siang Le itu bagiku orang lain!”
“Niocu!” Pendekar Rambut Emas kaget sekali. “Kau... kau demikian membenci Siang Le? Kau sebagai ibu mertuanya masih juga tak dapat mengenggap ia sebagai anak sendiri? Ah, terlalu sekali, niocu. Kalau Eng-ji tahu tentu ia bakal gusar. Kau tidak bersikap bijak!”
Sang nyonya menangis lagi. Dibentak dan ditegur suaminya untuk kedua kali .tiba-tiba membuat perasaannya sakit. Memang, ia tak dapat menerima mantunya itu di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, betapapun ia coba memaksa. Tapi begitu diingatkan akan Soat Eng dan puterinya itu tentu marah bukan main melihat ia memperlakukan Siang Le seperti itu maka nyonya ini hanya tersedu-sedu saja membalikkan tubuh.
Siang Le bukan apa-apa baginya bila dibanding Beng An. Anak mantunya itu tak berharga sesenpun dibanding anak kandungnya. Tapi ketika suaminya mencengkeram dan meremas pundaknya, mengingatkan bahwa puteri mereka akan marah besar maka nyonya ini diam saja ketika kembali ditegur.
“Beng An ataupun Eng-ji sama saja bagimu, sama-sama anak. Mendapatkan Beng An kehilangan Eng-ji adalah sama buruk. Siang Le adalah bagian dari anak-anak kita itu. Dia bukanlah See-ong meskipun muridnya, bekas murid!”
Sang nyonya terisak-isak. Sekarang ia diomeli dan Pendekar Rambut Emas berkerut-kerut memarahi isterinya ini. Sungguh tak disangka bahwa kebencian isterinya masih juga tinggal, padahal dulu sudah dinasehati Bu-beng Sian-su sendiri, Tapi ketika terdengar keluhan di sana dan Siang Le menggeliat, pendekar ini teringat dan berkelebat melihat pemuda itu maka Siang Le membuka mata dan merintih kesakitan.
“Aduh, aku di mana? Ah, kau, gak-hu (ayah mertua)? Mana gak-bo (ibu mertua)?"
“Ibumu di sana,” Pendekar Rambut Emas menotok, menolong pemuda ini. “Kau di Lam-hai, Siang Le, kami menyelamatkanmu. Tenanglah dan bagaimana keadaanmu.”
“Tubuhku sakit-sakit, aku... aku, eh.... mana Poan-jin-poan-kwi? Dan mana adik Beng An?” pemuda itu melompat bangun, totokan ayah mertuanya sudah mengurangi rasa sakit dan seketika itu juga pemuda ini tertegun celingukan ke sana-sini. Dia baru sadar dan Pendekar Rambut Emas lega bahwa menantunya ini tidak mendengarkan pembicaraan isterinya tadi. Kalau dengar, hm.. barangkali gawat! Dan ketika pemuda itu melihat isterinya, berseri, tiba-tiba Siang Le berkelebat dan menjatuhkan diri berlutut.
“Gak-bo..!”
Namun Swat Lian mendengus dingin. Tidak menghiraukan pemuda ini tiba-tiba nyonya itu berkelebat meninggalkan mantunya, sepatah pun tidak menjawab atau mengomentari. Dan ketika Siang Le terpukul dan merah mukanya, rasa sakit tiba-tiba datang kembali mendadak pemuda mengeluh dan terguling.
“Apa yang terjadi!” Pendekar Rambut Emas terkejut dan berkelebat, menyambar menantunya. “Apa yang dilakukan gak-bomu, Siang Le. Apakah dia menyerangmu!”
“Tidak,” pemuda itu merintih. “Gak-bo tidak melakukan apa-apa, gak-hu. Hanya... hanya dadaku sesak. Aku teringat Poan-jin menotok dadaku sebelum melumpuhkan!”
“Hm, begitukah? Coba kuperiksa!” dan Pendekar Rambut Emas yang menekan serta mengurut jalan darah lalu memeriksa dan terkejut karena dada mantunya ini tiba-tiba terasa panas membakar. Dia cepat melemaskan jari-jarinya dan menyalurkan sinkang. Pendekar Rambut Emas cepat mengeluarkan sebutir obat untuk ditelan pemuda itu. Dan ketika dada itu kembali hangat dan tidak membakar maka Siang Le batuk-batuk dan tidak lagi kesakitan, bukan oleh perbuatan Poan-jin melainkan oleh sikap gak-bonya yang amat dingin dan menusuk tadi!
“Sudah, terima kasih, gak-hu. Aku.. aku sudah sehat!”
“Hm, berpura-pura saja!” Swat Lian tiba-tiba muncul, berkelebat lagi. “Tak usah terlalu bermanja-manja, Siang Le. Kau bukan anak kecil dan cepat kembali pulang ke utara!”
Kim-mou-eng terkejut. Isterinya ini tiba-tiba jelas menampakkan rasa tidak senang dan Siang Le juga terkejut melihat sikap gak-bonya itu. Mereka beradu pandang namun pemuda ini cepat menunduk. Dia mau berbicara tapi ditahannya lagi mulutnya itu. Di situ ada gak-hunya, tak enak menanyakan sikap gak-bonya yang kaku dan dingin ini. Dan ketika Pendekar Rambut Emas bergerak dan menghadapi isterinya itu maka pendekar ini mengedip memberi peringatan.
“Niocu, Siang Le baru saja sembuh, jangan memarahi dia. Kalau kau masih kecewa Beng An belum berhasil kita selamatkan biarlah kita cari lagi dan menantu kita ini kita suruh pulang baik-baik menemui isterinya, tak perlu bersikap dingin!” dan menghadapi pemuda itu melihat sikap isterinya yang tidak bersahabat pendekar ini menerangkan, buru-buru mencegah salah paham. “Ibumu marah dan kecewa karena adikmu Beng An belum dirampas kembali, Siang Le. Harap maklumi kemarahannya dan jangan kecil hati. Pulanglah, isterimu menunggu di sana. Katakan bahwa kami meneruskan pencarian dan kalian tunggu kami di sana.”
“Tapi aku tak ingin tinggal diam. Aku juga ingin ikut mencari!”
“Hm, kepandaianmu tak nempil dibanding iblis-iblis itu, Siang Le. Pulang dan turuti perintah gak-humu!” sang gak-bo membentak, bengis dan tidak berperasaan hingga pemuda itu kembali terkejut. Swat Lian benar-benar bersikap kasar dan Pendekar Rambut Emas pun terbelalak melihat sikap isterinya ini. Tapi ketika pemuda itu menyadari dan Siang Le mengangguk maka pemuda itu berlutut dan berkata lirih.
“Baiklah, terima kasih, gak-bo. Aku hanya tak mau disebut pemuda tak tahu diri yang hanya menunggu hasil kerja orang tua saja.”
“Tidak,” Pendekar Rambut Emas kini menepuk pundak mantunya itu. “Kau cukup tinggal di rumah menghibur Eng-ji, Siang Le, juga sekalian bertugas menjaga bangsa Tar-tar. Cepatlah pergi dan jangan lihat sikap gak-bomu!”
“Aku tahu..” pemuda itu berdiri. “Aku pergi, gak-hu. Dan maaf bahwa kepandaianku benar-benar masih mengecewakan!” dan terhuyung menahan air mata, pemuda ini terpukul oleh kekasaran ibu mertuanya maka Siang Le terseok melangkah meninggalkan gak-hu dan gak-bonya itu, tahu apa yang dibenci ibu mertuanya ini dan mengerti bahwa kemarahan nyonya tu bukan semata hilangnya Beng An saja. Ada yang lebih mendasar dan itu yang justeru lebih menyakitkan! Dan begitu pemuda ini berlari meninggalkan mertuanya maka Pendekar Rambut Emas mengerutkan kening memandang isterinya itu.
“Kau aneh, kita sama-sama tahu bahwa Eng-ji tak ada di utara. Kenapa menyuruhnya ke sana dan tidak bersama kita saja? Bukankah Eng-ji ada bersama Thai Liong?”
“Hm, kaupun juga berbohong pula, setuju dengan kebohonganku. Kenapa kau tidak menyuruhnya kembali saja? Aku pribadi tak suka semua kejadian ini, suamiku. Karena kalau dipikir-pikir maka bocah itu ikut bertanggung jawab pula!”
“Maksudmu?”
“Siapa menantu kita itu!”
“Dia suami puteri kita...”
“Bukan itu, dia murid atau bekas murid See-ong! Dan See-ong murid keponakan Poan-jin-poan-kwi! Ah, bukankah kalau tidak ada pemuda ini kita tak perlu mengalami peristiwa ini? Bukankah kalau tak ada dia maka anak kita Beng An tak harus diculik orang? Aku benci kepadanya, suamiku. Rasa tidak senangku bangkit lagi setelah See-ong dan kakek-kakek iblis itu muncul!”
Sang pendekar tertegun. Isterinya lagi-lagi menangis setelah berteriak menyebut-nyebut itu. Kebencian atau rasa tidak senangnya kepada Siang Le tiba-tiba muncul lagi setelah putera mereka diculik. Isterinya marah-marah dan Siang Le dituding sebagai biang keladi pula, padahal pemuda itu jelas tak tahu apa-apa, tak berkomplot! Tapi mendebat dalam keadaan seperti ini jelas hanya memancing keributan saja, isterinya sedang tenggelam dalam kekecewaan berat karena putera mereka masih di tangan musuh maka pendekar itu diam saja tak menjawab, membiarkan isterinya menangis dan memaki-maki lawan sampai akhirnya kehabisan suara sendiri. Dan ketika isterinya itu tinggal terisak-isak belaka, tertegun karena tak diladeni maka Pendekar Rambut Emas dengan lembut merangkul isterinya membelai rambutnya.
“Kau sedang lelah, sedang tertekan. Biarlah aku tak meladeni pertanyaanmu tapi Siang Le memang sebaiknya tak usah ikut dengan kita. Kalau kau sudah menghendakinya pulang maka aku hanya mendukungmu saja. Anak itu memang sebaiknya menjaga rumah. Sekarang apakah tetap di sini saja? Tidak segera mencari musuh?”
“Aku ingin segera menyelamatkan Beng An...”
“Akupun begitu, niocu. Satu sudah kita selamatkan dan mudah-mudahan yang lain juga akan dapat segera kita rampas, Beng An juga anakku!”
Swat Lian berlinang. Pendekar Rambut Emas membujuknya untuk tidak marah-marah lagi kepada Siang Le, pemuda itu tak tahu apa-apa dan sudah tak ada hubungan lagi dengan bekas gurunya. Suami isteri ini masih tak mengetahui akan tewasnya See-ong. Dan ketika pendekar itu merasa dapat meredakan. kemarahan isterinya, Swat Lian tak berkata apa-apa lagi tentang Siang Le maka pendekar itu menarik dan membawa isterinya ini pergi.
Mereka tahu bahwa satu di antara musuh-musuh mereka terluka. Poan-kwi menerima luka cukup lebar dari cengkeraman Drestawala tadi. Dan ini harus mereka pergunakan untuk memperoleh kemenangan, atau mereka akan menghadapi musuh tangguh lagi kalau kakek iblis itu sembuh. Maka begitu isterinya mau dibujuk dan Pendekar Rambut Emas berkelebat mengerahkan kesaktiannya maka tiba-tiba keduanya menghilang meninggalkan tempat itu, tempat yang mengerikan dari bekas pertempuran yang amat dahsyat!
* * * * * * * *
Pemuda tinggi besar itu terhuyung-huyung memasuki hutan. Ia terluka di sana-sini dan kaki atau tangannya ada yang membiru. Luka itu tidak berat namun cukup mengganggu, karena berkali-kali pemuda itu mendesis pedih dan mengusap luka-lukanya. Dan ketika ia memasuki mulut hutan dan mengeluh di sini, roboh, maka pemuda itu memejamkan mata menelentangkan tubuh.
“Thai Liong, kau keparat jahanam. Awas kau, kubunuh dirimu kelak!”
Geram atau umpatan ini terdengar pertama kali meluncur dari mulut pemuda itu. Ia menahan sakit dan sejenak menatap pucuk-pucuk daun dengan mulut meringis. Pedih-pedih di tubuhnya membuat ia menghentikan perjalanannya dan rebah di situ. Mata memejam namun kemudian dibuka untuk melihat langit yang biru di antara celah-celah dedaunan yang hijau segar. Nikmat benar rasanya begitu, berlama-lama memandangi awan yang berarak atau burung-burung bangau yang berbaris rapi, tinggi sekali di sana.
Tapi ketika pemuda ini lupa rasa sakitnya terbawa oleh pemandangan di atas, ia telentang dengan mata berbinar-binar mendadak belasan orang melompat dan tahu-tahu mengurung dirinya, dipimpin seorang laki-laki berkumis lebat yang juga tinggi besar dan garang, matanya buas.
“Hei, anak muda. Siapa kau. Bangun!”
Pemuda itu terkejut. Dia sedang mengamati kelepak burung di atas sana dan juga dedaunan hijau segar. Langit yang biru bersih membuat ia lupa dan terlena sejenak, tak melihat atau mendengar kedatangan orang-orang ini. Tapi begitu dia dibentak dan delapanbelas orang mengurung dirinya tiba-tiba pemuda ini menggeliat dan tongkat di tangannya disambar menopang tubuh.
“Heii, dia buntung!”
“Ah, kiranya pemuda cacad!”
Semua tertegun. Pemuda yang kini sudah berdiri dan menghadapi mereka itu kiranya pemuda buntung yang menyangga tubuhnya dengan sebatang tongkat kecil. Sepintas, patut dikasihani dan mengharukan. Tapi begitu semua orang mendengar suara berkerincing dan pundi-pundi di ikat pinggang pemuda itu bergoyang penuh uang tiba-tiba mereka melotot dan sang pemimpin tertawa bergelak.
“Ha-ha, seekor ikan gemuk. Ah, benar kata A-pong. Heii, kau periksa pemuda ini, A-pong. Tanya dari mana ia dan apakah sudah meminta ijin untuk beristirahat di tempat ini!”
Seorang laki-laki kurus maju. Ia menyeringai dan berkilat-kilat memandang pundi-pundi di ikat pinggang pemuda itu, bukan sebuah melainkan dua pundi-pundi yang penuh dan kencang. Sepintas, orang tahu bahwa pundi-pundi itu penuh uang, apalagi telah dibuktikan dengan berkerincingnya ketika pemuda itu melompat bangun, kaget oleh kedatangan mereka. Dan ketika si kurus itu menyeringai dan mencabut goloknya, menakut-nakuti maka ia membentak dan berlagak jagoan.
“Hei, anak muda. Siapa kau dan dari mana. Kenapa datang ke tempat ini dan enak saja tidur di bawah pohon. Kau kira ini wilayah bapakmu dan enak saja tiduran di sini? Hayo serahkan dirimu dan kuperiksa pundi-pundimu itu. Kalau cukup biarlah kau tiduran lagi dan kami tak akan mengganggu. Kemarikan milikmu!”
Pemuda ini mengerutkan kening. Begitu orang-orang ini datang tiba-tiba sorot matanya menjadi mengerikan. Ada kilatan cahaya membunuh namun sementara itu ia tetap tegak berdiri. Bentakan si kumis lebat tak dijawab dan kini tiba-tiba si kurus ini mencabut golok menakut-nakutinya. Ia sedang kesal dan marah oleh peristiwa yang dialami. Ia sedang menderita luka-luka dan kekalahan. Maka begitu si kurus mengancam dan melompat maju, golok di tangan diayun-ayunkan dengan pongah mendadak jarinya bergerak, dan si kurus yang mau menyambar pundi-pundinya itu sekonyong-konyong menjerit roboh, dahinya berlubang oleh sebuah tusukan jarak jauh yang tadi dilancarkan.
“Aduh!”
Semua geger. Si kumis lebat tiba-tiba berteriak dan berobah mukanya melihat anak buahnya terjengkang. Pemuda itu hanya menggerakkan sebuah jari dan tiba-tiba A-pong, si kurus itu, menjerit. Dan ketika yang lain berteriak dan berlompatan mundur, si buntung tak berkata apa-apa kecuali tertawa dingin maka si kumis lebat menjadi marah dan berseru keras mencabut goloknya, juga gada berduri yang tadi digantungkan di belakang punggung.
“Keparat, bocah ini iblis. Awas, cabut senjata kalian dan serbu!”
Belasan orang itu tiba-tiba bergerak. Mereka mencabut senjata dan si kumis lebat sudah menerjang dan mengayun gada berdurinya. Golok di tangan kanan juga menderu tapi pemuda itu tenang mengelak. Dan ketika serangan luput dan si kepala rampok berteriak, kaget dan marah maka pemuda itu membalik dan dua tendangan beruntun menghajar perut dan dada laki-laki ini.
“Des-dess!”
Si kepala rampok menjerit ngeri. Ia terlempar dan terbanting roboh, mengaduh-aduh namun dapat bangun lagi, melotot. Dia tak tahu bahwa lawannya itu bersikap murah, ingin menghajarnya dulu sebelum membunuh. Maka ketika ia menerjang lagi namun si buntung berkelit ke sana-sini, anak buahnya mengikuti dan melakukan bacokan atau tikaman-tikaman gencar maka belasan orang itu mengira si buntung ini kewalahan.
“Serang, terus serang. Bunuh dan rampas pundi-pundinya itu!”
Si pemuda mengeluarkan tawa aneh. Tiba-tiba ia bergerak cepat ketika hujan bacokan membabi-buta menghantam dirinya, menggerakkan tongkat dan segera terdengar pekik-pekik kaget ketika golok atau tombak patah-patah bertemu tongkat di tangan pemuda ini. Dan ketika lawan terkejut karena terhuyung mundur terbelalak memandang senjata mereka yang tinggal sepotong maka saat itu jari pemuda ini menusuk dan tiga orang mendadak roboh terjungkal.
“Sekarang kalian mampus.... augh!”
Tiga orang itu benar-benar terjungkal. Mereka menjerit dan terbanting dengan dahi berlubang, yang lain tersentak dan mundur menjauh namun pemuda itu meneruskan gerakan jarinya. Dan ketika berturut-turut terdengar pekik dan jerit mengerikan maka belasan orang itu roboh dengan dahi berlubang pula, kecuali si kumis lebat yang mencelat dan ditendang si buntung!
“Ampun....!” tubuh itu berdebuk. “Ampun, anak muda.... ampun!” namun ketika ia menghentikan kata-katanya karena tongkat menyentuh batang tenggorok, dingin dan kuat maka si kepala rampok tak dapat melanjutkan kata-katanya karena pucat dan menggigil dengan nyawa seakan sudah melayang ke dasar neraka.
“Aku mengampunimu, namun kau harus dihajar!” si buntung mengeluarkan kata-kata dingin yang mendirikan bulu roma. “Kubur mayat teman-temanmu itu namun korek jantungnya satu per satu!”
“Ap... apa?”
“Kau tidak tuli, bukan?” tongkat menotok belakang telinga, si kepala rampok menjerit. “Kubur teman-temanmu, pongah. Namun cabut dulu jantung mereka satu per satu!”
“A... a.. akan kulaksanakan!” si kumis lebat tak lancar bicaranya. “Akan kukubur mereka, taihiap (pendekar besar), tapi jangan bunuh aku!”
“Tak usah cerewet!” si kepala rampok ditendang mencelat, terguling-guling lagi. “Kubur tapi korek jantungnya satu per satu, tikus busuk. Dan aku minta utuh lalu kumpulkan di sini!”
Si kepala rampok terbang semangatnya. Dia merasa ngeri dan pucat menghadapi lawannya itu, si buntung ini luar biasa lihai dan kiranya ia kena batunya. Tahu begitu barangkali tak usah ia mengganggu, kini celaka sendiri! Tapi ketika ia tertatih melompat bangun dan memandangi mayat teman-temannya itu, ngeri karena diperintahkan mengambili jantungnya satu per satu mendadak si kepala rampok ini menangis dan tak kuat, jatuh berlutut.
“Taihiap, aku... aku harus mengambil jantung mereka itu? Semuanya? Dikumpulkan di sini?”
“Hm, apakah kau minta aku yang mendodet jantungmu terlebih dahulu? Apakah harus kuulang-ulang lagi kata-kataku tadi? Aku tak mau lama-lama, tikus busuk. Laksanakan perintahku atau dodet jantungmu terlebih dahulu!”
“Tit... tidak. Aku mengerti!” dan si kepala rampok yang pucat dan berteriak tertahan lalu bangun berdiri dan apa boleh buat menusuk dada mayat anak buahnya dan mencongkel jantungnya. Si kumis lebat itu telah menyambar golok dan dengan muka ngeri serta tangan gemetar ia mengambili jantung anak-anak buahnya. Mula-mula hampir ia muntah dan tak tahan, sempoyongan dan berkali-kali menutupi muka.
Tapi ketika tawa si buntung membuatnya lebih ngeri lagi dan apa boleh buat dia mengeraskan hati maka belasan mayat itu ditusuk dan dicongkel jantungnya untuk dikumpulkan di depan si buntung. Darah berlepotan di jari-jarinya dan kepala rampok ini nyaris gila. Sekejam-kejamnya dia ternyata masih lebih kejam pemuda buntung ini. Sungguh dia bisa mati berdiri!
Tapi ketika semuanya selesai dan tujuh belas mayat itu dilubangi dadanya, diambil jantungnya dan sudah terkumpul di dekat si buntung maka laki-laki ini mengeluh membuat lubang besar. Ia kini harus mengubur semua mayat itu dan menangis dengan air mata bercucuran. Sungguh, kalau ia tahu bahwa si buntung ini ternyata iblis yang amat keji dan lihai tentu dia tak akan datang merampok. Barangkali, itu memang sudah nasibnya. Dan ketika satu per satu mayat-mayat yang sudah tak berjantung itu dilempar ke dalam lubang, dikubur maka si buntung tertawa gembira dan mengangguk-angguk.
“Bagus... bagus... kau anak manis yang menyenangkan. Sekarang kumpulkan kayu-kayu kering dan buat api unggun!”
“Ampun...!“ laki-laki itu sudah jatuh mentalnya. “Apakah aku belum bebas, taihiap? Bukankah permintaanmu sudah kupenuhi?”
“Hm, siapa bilang? Masa harus aku yang memasak jantung-jantung ini?”
“Apa? Taihiap... taihiap hendak memakannya?”
“Kau kira apa lagi? Jantung manusia paling nikmat, tikus busuk. Hayo buatkan api dan kita habiskan itu!”
“Oohhhh....!” si kepala rampok mendeprok lagi. “Aku.. aku tak sanggup, taihiap. Aku tak biasa memasak jantung manusia!”
“Kalau begitu biar jantungmu saja!” tongkat bergerak dan tiba-tiba menempel di dada. “Kau pejamkan mata dan kucabut perlahan-lahan, tikus busuk. Tentu nikmat dan menyenangkan, heh-heh...!”
Laki-laki ini berteriak ngeri. Dia melompat dan berseru jangan seraya mendorong ujung tongkat. Namun ketika tiba-tiba lututnya tertotok lemas dan jatuh ke tanah, menggerung-gerung maka si buntung itu berkata agar dia memilih.
“Kalau begitu laksanakan perintahku atau jantungmu kukorek. Aku tidak akan mengambil jantungmu secara cepat namun perlahan-lahan. Nah, kau pilih yang mana dan terserah mau hidup atau mati!”
Laki-laki ini jatuh mentalnya. Tentu saja dia pilih hidup dan apa boleh buat ia mengangguk berulang-ulang menyatakan bersedia, pilih hidup dan jangan dibunuh. Dan ketika pemuda itu tertawa aneh dan menarik tongkatnya maka dia ditanya masakan apa yang paling cocok dengan hidangan istimewa itu.
“Aku... aku tak tahu. Aku belum pernah merasakan jantung manusia!”
“Kalau begitu dibuat yang paling mudah saja. Sate! Siapkan tujuh belas tusuk bambu dan kita bakar santapan istimewa ini. Setuju?”
“Aku... aku terserah kepadamu, taihiap. Aku hanya melaksanakan perintah!”
“Heh-heh, benar. Kau memang tinggal melaksanakan perintahku. Bagus, kita sate saja, tikus busuk. Siapkan tujuhbelas tusuk bambu dan buat yang besar-besar. Siapkan api dan bakar di sini. Awas, jangan coba-coba lari!”
Si kepala rampok tak mampu menjawab. Ia hanya mengangguk-angguk sementara mukanya sudah seperti kertas, putih dan pucat. Dan ketika ia diminta membuat api unggun dan meraut tujuhbelas tusuk bambu, yang besar-besar, maka tak lama kemudian pekerjaan itu selesai.
“Nah, bakar dan tusuk mereka satu per satu. Beri sedikit garam dan kecap!"
“Aku tak membawa garam ataupun kecap....”
“Bodoh! Kenapa begitu goblok? Masa sebagai kepala rampok kau tak pernah makan atau minum?”
“Aku selalu disediakan anak buahku, taihiap. Merekalah yang mencari dan mendapatkannya di dusun-dusun...”
“Kalau begitu ini, untung aku bawa!” dan ketika si kepala rampok tertegun dan menerima, pemuda itu mengeluarkan kecap dan garam maka kembali dengan perasaan ngeri dan tak keruan ia melumuri jantung-jantung manusia itu dengan bumbu yang diberikan.
Laki-laki ini tak berani melirik dan akhirnya dengan tangan menggigil dan jari-jari kaku ia membakar daging-daging istimewa itu. Tak pernah terbayangkan bahwa di suatu hari ia harus membuat sate jantung manusia. Bahkan, yang lebih hebat lagi, jantung dari anak buahnya sendiri, yang dulu memberi makan dan minum! Dan ketika dengan menangis ia melakukan semuanya itu, jantung-jantung itu mulai coklat dan matang maka tiba-tiba, mengejutkan sekali, pemuda itu menyambar dan menyuruhnya menikmati sebuah!
“Coba, rasakan ini. Kuberi kehormatan sebagai orang pertama yang menikmati hidanganku!”
“Tidak!” laki-laki itu tentu saja berteriak, pucat pasi. “Aku... aku tak sanggup, taihiap. Aku tak dapat!”
“Hm, mesti dapat, mesti sanggup. Hayo, jangan menghina aku karena sekarang kau tamuku!”
Si kepala rampok mengeluh. Ia coba melompat dan membuang sisa satenya namun tongkat kembali bergerak dan menempel di dadanya. Dan ketika tongkat itu ditekan sedikit dan laki-laki ini ngeri, jantungnya siap dikeluarkan maka apa boleh buat ia menyambar dan menerima “sate jamu” itu. Dengan mata terpejam dan air mata bercucuran ia menggigit sepotong.
Namun ketika si buntung tertawa dan menyuruhnya menggigit lagi, bertanya enak atau tidak maka si kepala rampok hampir dibuat gila dengan menurut si buntung itu. Lawannya ini benar-benar membuat si kepala rampok mati daya, mau menolak tapi takut ancaman. Dan ketika setusuk besar akhirnya habis, laki-laki itu mengguguk sambil mengunyah makanannya maka si buntungpun meraup dan menikmati setusuk sate jantung dan mengunyahnya lambat-lambat sambit terkekeh.
“Mmmm... nikmat dan gurih.... mmm.... lezat benar. Heh-heh, bagaimana pendapatmu, anak manis? Lezat dan nikmat, bukan? Ayo tambah, ambil lagi!”
“Tidak... tidak, aku cukup. Aku tak mau tambah!”
“Hm, kau pikir semuanya ini dapat kuhabiskan seorang diri? Ayoh, kita bagi dua. Kau delapan dan aku sembilan!”
“Tidak... ampun. Aku... aku mau muntah-muntah, taihiap. Aku tak dapat meneruskan makanku!”
“Kalau begitu telan ini. Kau tak akan muntah-muntah lagi!” si buntung mengeluarkan sebutir kapsul, memberikannya kepada si kepala rampok dan seperti disihir saja laki-laki itupun menerima. Ia mengira racun dan bertekad biarlah mati begitu, daripada mati didodet jantungnya dan dimakan pemuda ini! Namun ketika mual di perutnya tiba-tiba hilang dan benar saja ia tak muntah-muntah, laki-laki itu tertegun dan memandang lawannya maka si buntung tersenyum dan menyambar lagi setusuk jantung panas.
“Ayo, bantu aku atau nanti jantungmu yang kutambus di sini!”
Si kepala rampok mengeluh. Baru kali ini seumur hidupnya dia dipaksa orang sedemikian rupa, diinjak-injak dan dipermainkan seenaknya. Tapi karena lawan memang terlalu hebat dan ia bukan tandingannya maka begitu disuruh iapun tidak mau banyak bicara lagi. Setusuk jantung besar sudah disodorkan kepadanya, diterima dan dikunyah. Dan ketika menahan tangisnya karena teringat itu jantung temannya sendiri, dimamah dan dimakan maka si buntung terkekeh-kekeh menyuruh ia menghabiskan.
Tujuh belas jantung itu sudah dibagi, dia delapan sementara lawannya sembilan. Dan ketika satu demi satu ditelan dan masuk ke dalam mulut maka pada hitungan terakhir laki-laki sudah tak kuat lagi. Ia muntah berat dan muntahannya mengotori baju si buntung. Celaka! Dan ketika si buntung terkejut dan mengerutkan keningnya, si kepala rampok terhuyung dan bangkit berdiri tiba-tiba laki-laki itu memutar tubuhnya dan lari meninggalkan lawan, memaki.
“Kau iblis tak berjantung. Kau pemuda tak berperikemanusiaan. Ouh, terkutuk!”
Si buntung tertawa mengejek. Tiba-tiba ia membentak menggerakkan tongkat. Lawan yang lintang-pukang di sana disedot. Dan ketika serangkum angin menghisap dan menarik tubuh laki-laki itu, yang menjerit dan berteriak kaget maka kepala rampok ini kembali dan melayang ke arah lawannya, tak dapat ditahan lagi.
“Ha-ha, kau lari tanpa permisi, tikus busuk. Dan berani memaki aku lagi. Ah, dosamu tak dapat diampuni!”
“Jahanam, keparat bedebah!” laki-laki itu meronta, meluncur dan tertarik ke arah lawannya tapi sayang gagal membebaskan diri. “Kau iblis tak berperasaan, anak muda. Kau manusia tak berjantung. Lepaskan aku, lepaskan...!”
Namun si buntung memperkuat sedotannya. Si kepala rampok yang meronta-ronta di tengah udara justeru seperti babi siap disembelih di atas tongkat pemburu. Tubuhnya sudah dikuasai sedemikian rupa hingga tak dapat melepaskan diri. Dan ketika laki-laki itu berdebuk dan jatuh di kaki lawannya, si buntung bangkit dan tertawa aneh tiba-tiba si kepala rampok memekik dan menyambar golok di atas tanah, menyerang.
“Dess!” Tubuhnya malah ditendang dan terlempar ke api unggun. Api itu masih menyala panas dan laki-laki ini tentu saja menjerit-jerit. Bajunya terbakar namun cepat ia bergulingan memadamkan api di punggungnya. Dan ketika ia meloncat dan mengamuk lagi, menerjang, maka si buntung itu dihujaninya dengan tusukan atau bacokan-bacokan golok. Namun semuanya itu sia-sia. Si buntung mengelak sana-sini dan hujan serangan itupun gagal. Lalu ketika laki-laki itu berteriak dan putus asa, golok membacok namun terpental bertemu tongkat maka sebuah totokan tiba-tiba menyambar dahinya, totokan maut.
“Mampuslah.... cret!”
Dahi itu berlubang. Si kepala rampok roboh dan terjengkang ke belakang, celaka sekali jatuh di tempat api unggun. Dan ketika tubuhnya ambruk dan menimpa bara menyala, si buntung tertawa aneh dan mengebutkan ujung bajunya tiba-tiba bara itu menyala dan berobah menjadi api besar, menjilat dan seketika membakar baju laki-laki ini di mana akhirnya juga melahap dan membakar tubuh si kepala rampok. Tentu saja berkobar dan menjilat-jilat! Dan ketika pemuda itu terbahak dan menyambar kayu-kayu lain untuk menambah kobaran api maka kepala rampok itu tewas dipanggang dengan keji!
“Ha-ha, keji dan berdarah dingin. Aih, bagaimana pendapatmu, suheng? Bagaimana dengan bocah mengerikan ini?”
Si buntung terkejut. Tiba-tiba terdengar suara tanpa rupa, di tempat itu muncul sesosok asap hitam tapi kemudian lenyap lagi. Dan ketika pemuda itu terkejut karena di tempat lain terdengar jawaban dingin bahwa omongan itu betul, si buntung terkesiap dan menoleh ke belakang maka di situ muncul seorang kakek berwajah pucat dengan misai sepanjang lutut. Muncul begitu saja seperti iblis!
“Hm, kau benar. Anak ini mengesankan sekali, sute. Aku terus terang tertarik. Tapi harus kulihat dulu apakah dia cukup berharga!”
“Siapa kau!” si buntung membentak kaget. “Ada apa membicarakan diriku, tua bangka. Enyah dan mana sutemu!”
Namun si buntung mengeluarkan teriakan tertahan. Tongkat yang bergerak dan menusuk cepat tiba-tiba menembus di tubuh kakek itu. Si kakek tak mengelak dan membiarkan saja serangan pemuda ini. Dan ketika si buntung tersentak dan menarik senjatanya, tongkat itu menembus badan halus maka sadarlah pemuda itu bahwa seorang tokoh luar biasa sedang dihadapinya. Dia meloncat mundur dan kakek itu tersenyum, senyumnya aneh karena disertai pula oleh pandang mata yang tiba-tiba membakar. Segumpal cahaya panas muncul dan menyambarlah api ke muka pemuda ini, bagai lidah naga atau kilatan petir. Tapi ketika pemuda itu membentak dan menangkis dengan tongkatnya, lidah api meledak bertemu senjata di tangan pemuda ini maka lidah api itu lenyap tapi pemuda ini terhuyung mundur!
“Hm, cukup pandai, cukup bagus. Namun kalau aku sehat tentu kau tak mampu melawan!”
Si buntung tertegun, pucat. Dia merasa benturan kuat menyambar tongkatnya tadi, terbelalak dan berobah mukanya. Tapi ketika dia marah dan berkata bahwa dirinyapun sedang terluka, tidak sehat, maka dia membalas dengan ejekan dingin.
“Jangan sombong. Akupun sedang tidak sehat, tua bangka. Kalau aku tidak luka-luka tentu akupun tak bakal terhuyung. Siapa kau, dan mana sutemu yang masih bersembunyi!”
“Wut!” si kakek tiba-tiba lenyap. “Coba kau cari kami, anak muda. Mana suteku dan mana aku!”
Si buntung terkejut. Si kakek menghilang dengan ilmu silumannya, entah di mana. Tapi ketika ia sadar bahwa kakek itu mempergunakan ilmu hitam tiba-tiba diapun membentak dan mengayun tongkat ke kiri. Tanah dipukul dan seketika pemuda inipun lenyap. Dan ketika segumpal asap hitam muncul dan bergerak memasuki hutan tiba-tiba terdengar seruan tertahan dua orang kakek yang berobah ujudnya di balik sebatang pohon besar.
“Heii, dia mem pergunakan Hek-kwi-sut!”
“Benar, dan gaya pukulan tongkatnya seperti Khi-bal-sin-kang, sute. Bocah ini aneh dan luar biasa!”
“Hm!” pemuda yang sudah berobah menjadi asap hitam itu menyerang dua asap hitam lainnya. “Kalian kiranya di sini, tua bangka. Aku sudah menemukan persembunyian kalian dan tak takut akan ilmu hitam apapun.... des-dess!”
Asap hitam di depan membuyar, dipukul dan menyibak dan segera terdengar pekik atau seruan kakek pertama. Kakek itu memekik karena si buntung menghantam pundaknya, masing-masing sekarang sudah tidak berbadan kasar lagi. Dan ketika kakek yang lain melesat dan menghilang dengan cepat maka kakek pertama dikejar dan dihujani pukulan bertubi-tubi. Si buntung ternyata juga pandai ilmu hitam.
“Ha-ha, ke mana kau lari, kakek tua. Ke ujung dunia pun pasti kukejar!”
“Keparat!” kakek itu memekik, melecutkan misainya. “Jangan sombong, anak muda. Biarpun aku juga baru saja bertanding dan masih lelah namun kau tak mungkin dapat mengalahkan aku.... plak!” tongkat dipukul misai, terpental tapi sudah menyerang lagi dan kakek itu berkelebatan dengan marah.
Orang akan terheran-heran karena tidak melihat pertempuran di atas tanah. Yang ada ialah dua bayang dan asap hitam yang saling maki dan kejar, asap yang satu memiliki sebelah kaki sedang asap yang lain utuh. Itulah si buntung dan lawannya. Tapi ketika asap si kakek bermisai menolak dan mampu mementalkan tongkat, si buntung itu terkejut maka terdengar seruan kakek yang lain agar mereka ke alam kasar lagi.
“Sute, biarkan lawanmu bertanding di atas tanah. Dan kau kembalilah ke alam kasar lagi... plak!” asap hitam hancur dua-duanya, disambar cahaya merah bagai petir yang meledak menghantam asap hitam itu. Si buntung berseru tertahan karena tiba-tiba ia terlempar dan jatuh ke bumi, Hek-kwi-sutnya dilumpuhkan. Dan ketika ia membentak dan lawannya muncul di atas bumi, mendelik, maka kakek itu berkelebat dan tiba-tiba menyerangnya dengan misainya yang panjang itu.
“Bocah, suhengku menghendaki kita bertempur di atas tanah. Nah, aku akan mengujimu. Keluarkan semua kepandaianmu dan juga Khi-bal-sin-kangmu itu. Kau tak dapat lagi mempergunakan Hek-kwi-sut.... des-dess!”
Tongkat cepat menangkis dan si buntung terhuyung, terkejut karena tiba-tiba ia tak dapat mengerahkan ilmu hitamnya. Tongkat sudah diayun dan menghajar tanah namun tidak terjadi ledakan. Itu berarti Hek-kwi-sutnya ditahan atau “dimatikan” lawan, tombolnya dikunci! Dan ketika si buntung terkejut karena tiga empat kali ia gagal, tongkat tak pernah meledak memanggil Hek-kwi-sut maka si kakek bermisai menyambar bagai elang dengan misainya yang kaku dan lurus menusuk atau membabat bagai tombak!
“Ha-ha!” tawa itu menggetarkan hutan. “Keluarkan semua kepandaianmu, anak muda. Pergunakan Khi-bal-sing-kang mu untuk menghadapi serangan-seranganku!”
Si buntung sibuk. Ia dipaksa berlompatan dan menangkis atau mengelak. Tapi ketika misai menotok atau menusuknya bagai elang lapar, tak terpental oleh Khi-bal-sin-kang yang dikeluarkan maka pemuda itu berseru keras dengan muka berobah. Apalagi ketika tangan kanan atau kiri kakek itu juga mulai melakukan pukulan-pukulan.
“Ha-ha, ayo, buntung. Kau tentu memiliki ilmu beragam karena kaupun mempunyai Hek-kwi-sut. Ayo, tangkis atau elak serangan ini.... des-dess!”
Si buntung terhuyung-huyung, sebentar kemudian terdesak hebat karena Khi-bal-sin-kangnya tak seberapa berpengaruh bagi kakek yang luar biasa itu. Tongkatnya segera bergerak berputaran melindungi diri, apa boleh buat dia lalu membentak dan mengeluarkan Jing-sian-engnya. Si buntung berkelebat dan lenyap. Dan ketika kakek itu berseru tertahan karena si buntung bergerak luar biasa cepat, mendahului atau mengelilingi dirinya bagai rajawali menyambar-nyambar maka tiba-tiba tongkat bergerak naik turun dengan pukulan sendal pancing.
“Haiii...!” kakek itu terkejut. “Kau benar-benar memiliki kepandaian beragam, bocah. Tapi aku tak takut. Ayolah, gebuk sekuat tenagamu.... buk-bukk!”
Tongkat benar saja menghantam dengan keras, tepat mendarat di punggung kakek itu dan si kakek terhuyung. Satu pukulan tangan kiri pemuda itu melayang pula ke mukanya, dikelit tapi jatuh di pundak. Dan ketika si kakek tergetar karena pukulan itu keras dan dahsyat, letupan sinar kilat menyambar dari sini maka si kakek tertegun dan sebuah pujian terdengar.
“Cam-kong-ciang (Tangan Pembunuh Petir)!”
“Hm!” pemuda itu terus berseliweran “Matamu tajam, kakek siluman. Tapi coba yang ini.... dess!” tongkat berpindah ke tangan kiri, tangan kanan menghantam dan terdengarlah ledakan kuat mengguncangkan kakek itu. Lehernya menerima sebuah pukulan lain dan kakek itu bergoyang-goyang. Tapi ketika si kakek tertawa bergelak dan maju kembali, tidak apa-apa maka kakek itu berseru menyebut nama pukulan ini.
“Tee-sin-kang (Pukulan Menghajar Bumi). Ha-ha, kau kiranya pernah menjadi murid nenek Naga!”
Si buntung yang terkejut dan tertegun mendengar ini lalu melihat si kakek berkelebatan dan mengimbangi dirinya, tangan bergerak naik turun namun pemuda itu berkelebatan mendahului si kakek. Dia melancarkan lagi sebuah pukulan lain yang disebut Mo-seng-ciang (Pukulan Bintang Iblis). Tapi ketika si kakek tahu dan dapat menyebut itu, pemuda ini terbelalak maka berturut-turut enam pukulan lain ganti-berganti menghajar kakek itu, yang tetap tak apa-apa.
“Ah-ah, kau kiranya murid mendiang Enam Iblis Dunia. Kalau begitu tentu kau bocah yang bernama Togur. Ha-ha, ini kiranya bocah itu, suheng. Tapi bagaimana dia dapat memiliki Khi-bal-sin-kang dan Jing-sian-eng ini. Lihat, ilmu meringankan tubuh ini adalah Jing-sian-eng seperti yang dipakai Kim-hujin atau Pendekar Rambut Emas itu!”
Si buntung terkejut. Lawannya segera terkekeh-kekeh dan mengenal semua ilmu-ilmu yang dimilikinya. Mula-mula Khi-bal-sin-kang atau Hek-kwi-sutnya tadi. Lalu sekarang Cam-kong-ciang dan Tee-sin-kang atau Mo-seng-ciang. Dan karena betul semua pukulan yang dipakainya adalah seperti kata-kata lawannya, pemuda ini memang bukan lain adalah Togur maka. kakek bermisai itu terbahak-bahak ketika tiba-tiba dia mengeluarkan seruan keras dan terbang berkelebatan mengelilingi pemuda ini.
“Ha-ha, kau tak memiliki Cui-sian Gin-kang seperti yang dipunyai keluarga Pendekar Rambut Emas itu. Kau hanya memiliki Khi-bal-sin-kang dan Jing-sian-eng saja, di samping ilmu-ilmu yang kau warisi dari mendiang Enam Iblis Dunia. Heh, sekarang kau roboh, bocah. Cukup main-main ini dan aku kagum kepadamu.... plak-plak!” misai menyambar dan menggubat tongkat, tahu-tahu mengunci gerakan pemuda itu.
Dan si buntung terkejut. Dia menggerakkan tangan yang lain namun dipapak tangan kakek ini. Dan karena kakek itu masih memiliki tangan yang lain karena misainya menarik dan menyendal maka begitu berkutat dan bersitegang sejenak tiba-tiba tangan kanan kakek itu melakukan tepukan dan mencelatlah pemuda ini dengan tongkat terlepas.
“Bluk-dess!”
Si buntung terpekik bergulingan kaget. Dia kalah cepat karena belakang kepalanya tahu-tahu sudah menerima tepukan, tongkat tertarik atau terbetot misai panjang itu. Dan ketika ia melompat bangun namun segulung asap hitam berkelebat dan mencengkeram belakang lututnya tiba-tiba ia terguling dan menjerit keras, roboh.
“Aduh!” Si buntung pucat. Ia terbelalak dan kakek yang lebih lihai muncul, menotok atau mencengkeram belakang lututnya tadi. Dan ketika kakek itu mendengus dan meniup ubun-ubunnya maka pemuda itu mengeluh dan lunglai total, lumpuh.
“Kau mengagumkan, namun mencuri Hek-kwi-sut. Hayo, dari mana kau dapatkan ini dan mana murid keponakanku See-ong!”
Togur, pemuda buntung itu, terkejut. Dia terbelalak memandang kakek yang lebih lihai ini dan berganti-ganti memadang kakek satunya lagi. Mereka hampir serupa kecuali misai panjangnya itu. Kakek yang ini memiliki misai sampai ke mata kaki sementara kakek yang sana sang sute, memiliki misai setinggi lutut. Kalau memperhatikan sepintas saja tentu orang tak tahu, karena misai mereka sering bergerak naik turun oleh gerakan kepala. Tapi begitu kakek itu menyebut See-ong sebagai murid keponakannya, jadi mereka ini adalah susiok atau paman guru dari See-ong yang hebat maka tiba-tiba si buntung ini menjublak dan kagum serta kaget. Pantas dapat “mengunci” Hek-kwi-sutnya!
“Ah, locianpwe Poan-jin-poan-kwi? Locianpwe adalah susiok dari sahabatku See-ong? Celaka, See-ong tewas, locianpwe. Murid keponakanmu itu telah dibunuh orang!”
Togur tiba-tiba mengeluh panjang, pura-pura meratap dan menyesali kematian temannya itu dan dua kakek ini tentu saja terkejut. Mereka memang Poan-jin-poan-kwi adanya dan kebetulan saja bertemu Togur di sini. Mereka melarikan diri dari keroyokan Pendekar Rambut Emas dan Drestawala, karena Poan-kwi luka perutnya oleh cengkeraman kakek India itu. Poan-jin juga mengalami nasib jelek dengan adanya keroyokan Swat Lian dan Shintala, cucu Drestawala yang amat lihai. Dan karena mereka tak mau bertanding lagi dan pergi meninggalkan lawan.
Kim-mou-eng tentu dapat membahayakan mereka karena Poan-kwi terluka maka tak disangka dan dinyana tiba-tiba bertemu si buntung itu di sini. Mereka mempergunakan ilmu hitam dan di balik ilmu hitamnya itu melihat sepak terjang Togur. Kekejaman pemuda ini dari mulai membunuh anak buah rampok sampai memaksa kepala rampoknya disuruh mencongkel jantung anak buahnya sendiri. Kekejaman itu menarik perhatian mereka dan Poan-jin terbelalak berbisik kepada suhengnya bahwa pemuda ini luar biasa. Kekejamannya pantas sebagai orang sesat dan Poan-kwi mengangguk membenarkan.
Mereka tak tahu siapa pemuda itu namun Poan-kwi mencegah adiknya untuk muncul memperlihatkan diri. Mereka hendak melihat apa yang akan dilakukan si buntung itu dengan si kepala rampok, korban terakhirnya. Poan-jin berkata bahwa kepala rampok itu pasti akan dibunuh si buntung itu pula, karena mata si buntung memperlihatkan sinar aneh dan bibir itupun terangkat mengejek. Dan ketika benar saja si buntung membunuh korbannya, setelah menakut-nakuti sampai sedemikian rupa.
Maka Poan-jin tak tahan dan muncul lebih dulu, disusul suhengnya namun mereka tetap berlindung di balik ilmu hitam, hanya tampak sebagai asap yang bergerak-gerak tapi pemuda itu mampu melihat mereka pula, dengan lenyap dan masuk ke dalam ilmu hitam pula. Dan karena pemuda itu mempergunakan Hek-kwi-sut dan ilmu ini tentu saja dikenal maka Poan-jin-poan-kwi terkejut sekaligus terheran-heran sambil menduga, siapa gerangan si buntung yang lihai dan kejam ini, di mana akhirnya Poan-kwi menyuruh adiknya menghadapi pemuda itu dan ilmu-ilmu yang diperlihatkan pemuda ini akhirnya diketahui sebagai murid dari mendiang Enam Iblis Dunia.
Togur, si buntung itu, memang murid dari nenek Naga dan lain-lain. Poan-jin tertegun tapi segera dapat merobohkan lawannya, apalagi karena suhengnya telah mengunci Hek-kwi-sut yang dimiliki pemuda itu. Dan ketika pemuda itu sekarang roboh dan memberi tahu tewasnya See-ong, menangis dan menunjukkan rasa duka mendalam maka Poan-jin maupun Poan-kwi terjebak oleh kecerdikan pemuda ini dalam usahanya mengambil hati. Maklumlah, Togur sekarang tahu bahwa dia berhadapan dengan orang-orang sakti!
“Benar,” pemuda itu berderai air matanya. “See-ong tewas terbunuh, ji-wi lopicianpwe. Dan yang membunuh adalah putera Pendekar Rambut Emas. Akupun jatuh bangun dan luka-luka gara-gara jahanam ini!”
“Hm, ceritakan kepada kami bagaimana itu!” Poan-kwi bergerak dan mencengkeram pemuda ini, mata berkilat marah, “Kapan terjadinya dan bagaimana kau memiliki Hek-kwi-sut pula, juga Jing-sian-eng dan Khi-bal-sin-kang!”
“Aduh..!.” si buntung merintih, mencari, iba. “Bebaskan dulu totokanmu, locianpwe. Setelah sekarang kutahu kalian berdua adalah orang sendiri tak mungkin aku melakukan perlawanan. Aku menyerah, aku sudah kalah!”
Poan-kwi mengangguk. Memang ia melihat bahwa pemuda ini tak mungkin melakukan perlawanan lagi. Mereka sanggup melumpuhkannya. Tapi karena pemuda itu memiliki Khi-bal-sin-kang dan ilmu ini jelas milik Pendekar Rambut Emas, jadi kakek itu curiga apakah pemuda ini memiliki hubungan baik dengan musuh mereka itu maka totokan dibebaskan namun cengkeraman tetap dilakukan. Untuk berjaga-jaga kalau pemuda itu melarikan diri!
“Locianpwe tak perlu curiga kepadaku. Aku sudah kalah, aku sudah tunduk. Tolong jangan cengkeram aku karena tak mungkin aku melarikan diri!”
“Tapi tindak-tanduk dan ilmumu mencurigakan. Kau memiliki warisan Pendekar Rambut Emas, anak muda. Dan kami tak dapat mempercayaimu begitu saja!”
“Ah, ilmu ini kudapat dengan mencuri, locianpwe. Aku bukan murid Pendekar Rambut Emas meskipun memiliki dua ilmunya!”
“Hm, ceritakan itu, yang jujur. Jangan bohong atau aku akan membunuhmu!” cengkeraman dilepaskan, Poan-kwi memandang penuh ancaman tapi si buntung ini tersenyum lebar.
Setelah dibebaskan dan tidak dicengkeram lagi maka rasa sakit hilang semua. Togur tenang-tenang saja dan terpincang menyambar tongkatnya. Dan ketika ia mengangguk dan menopang tubuh dengan wajah muram, mimik kesedihan diperlihatkan maka bekas murid Enam Iblis Dunia ini bertutur.
“Aku tak akan bohong kepada ji-wi locianpwe. Aku tentu akan bersikap jujur. Nah, pertama Khi-bal-sin-kang dan Jing-sian-eng ini kudapat dari mencuri, locianpwe. Ji-wi boleh bertanya kepada Pendekar Rambut Emas ataupun isterinya apakah betul atau tidak. Tapi ilmu ini bukan kudapat dari Kim-mou-eng sendiri melainkan dari mendiang mertuanya si jago pedang Hu Beng Kui! Nah, itu pertama. Sedang kedua aku memiliki Hek-kwi-sut karena tukar-menukar dengan mendiang See-ong...”
“Tukar-menukar?” si kakek terbelalak. “Dengan apa?”
“Dengan Jing-sian-eng dan Khi-bal-sin-kang ini, locianpwe. Aku telah berjanji dengan murid keponakanmu itu untuk sama-sama memberi dan menerima!”
“Hm, kau pintar. Lalu See-ong sendiri, bagaimana dia tewas? Kapan terjadinya?”
“Belum lama, baru seminggu yang lalu. Dan kami benar-benar tak dapat melawan musuh kami yang lihai itu!”
“Jadi kalian mengeroyok?”
“Benar, locianpwe. Tapi kami kalah!”
“Ha-ha, memang kalah. Dan aku juga roboh di tangan putera Pendekar Rambut Emas itu!” seorang pemuda bermuka kehijauan tiba-tiba muncul, tertawa-tawa dan terhuyung menarik kakinya dengan langkah terseok-seok. Poan-jin terkejut karena pemuda itupun tiba-tiba muncul seperti iblis, langsung ada begitu saja. Dan ketika pemuda itu mendekat dan berseru kepada Togur, mereka rupanya sudah saling kenal maka pemuda itu menuding Poan-kwi.
“Heii, siapa tua bangka ini, Togur? Bagaimana kau berkenalan dengan mereka? Ah, seharusnya tak perlu banyak cakap. Sikat mereka dan lempar ke kubur!” pemuda itu berkelebat, tiba-tiba menghilang.
Poan-kwi terkejut karena segumpal asap hitam menerjang dirinya. Inilah Hek-kwi-sut dan si kakek terbelalak. Tapi ketika ia menggeram dan menghilang tubuhnya lenyap menghindar serangan lawan maka dari belakang ia membentak dan mencengkeram kepala asap hitam itu. “Bocah, kau tak tahu adat. Berani benar mempergunakan Hek-kwi-sut. Hayo, muncul dan jangan main-main di sini. Kuhancurkan ilmumu.... dar!”
Ledakan kecil terdengar di situ, asap hitam terpukul buyar dan terdengar jerit atau pekikan pemuda ini. Dia berteriak karena ilmu hitamnya tiba-tiba dikunci, ubun-ubun kepalanya ditampar. Dan ketika dia terlempar dan terbanting keluar, Hek-kwi-sut macet tak dapat dikeluarkan maka pemuda itu terkejut dan kaget memandang kakek ini, yang muncul dan telah mencengkeram sebagian rambutnya.
“Iblis! Tua bangka ini keparat! Eh, kubunuh kau, kakek siluman. Kuhajar kau!” dan pemuda ini yang kembali membentak dan berteriak marah, maju lagi tiba-tiba menyerang dan melepas pukulan dahsyat ke arah lawannya. Namun Poan-kwi mendengus dan pukulan itu dibiarkannya menghantam. Dan ketika tubuhnya dipukul namun pukulan itu terus lewat dan “tembus” memasuki rongga dadanya, seakan menghantam roh halus maka pemuda ini menjerit ketika tiba-tiba si kakek menggerakkan kaki dan menendang.
“Kaulah yang harus dihajar. Pergilah dess..!”
Pemuda itu mengeluh, roboh dan terbanting lagi dan si buntung tiba-tiba berseru agar kakek itu tidak membalas lawannya. Poan-kwi siap menggerakkan tangannya lagi untuk memukul dan melepas pukulan jarak jauh. Dan ketika si buntung bergerak dan berdiri di tengah-tengah, mengangkat lengannya tinggi-tinggi maka pemuda itu menghardik pemuda bermuka kehijauan ini.
“San Tek, jangan kurang ajar. Ini adalah kakek gurumu sendiri!” dan cepat menahan Poan-kwi yang tak segera menurunkan tangannya si buntung memberi tahu, “Locianpwe, pemuda ini adalah cucu muridmu sendiri. Dia adalah San Tek, murid See-ong. Harap kau turunkan tangan dan jangan menyerang lagi. Dia memang tidak waras!”
“Heh-heh, kaulah yang tidak waras!” San Tek, pemuda itu, berseru memaki Togur. “Biarkan tua bangka ini menyerang aku, Togur. Kalau aku cucu muridnya justeru aku harus meminta pelajaran darinya. Guruku belum lengkap menurunkan semua kepandaiannya. Tua bangka ini mematikan Hek-kwi-sut ku!”
“Jangan kurang ajar!” Togur membentak. “Cucu harus hormat kepada kakeknya, San Tek. Atau aku menghajarmu dan melapor ayahmu di akherat agar menerimamu pula di neraka!”
“Jangan!” pemuda itu berteriak, tiba-tiba ketakutan. “Aku belum membunuh, musuh besarku, Togur. Aku masih harus membalas dendam kepada Pendekar Rambut Emas. Dia pembunuh jahanam!”
“Kalau begitu kau harus bersikap manis,” si buntung tersenyum, tertawa pada Poan-kwi. “Sekarang beri hormat kepada kakek gurumu, San Tek. Dan turut semua kata-katanya atau nanti aku melapor pada ayahmu di akherat!”
“Tidak, jangan... ah, biar aku memberi hormat dan turut kepada semua kata-katamu!” dan berlutut serta menggigil di depan Poan-kwi pemuda yang tidak waras ini berseru, “Sukong (kakek guru), ampunkan aku. Aku tak tahu siapa kau tapi kini tak akan kurang ajar lagi. Biarlah kutampar pipiku kalau kau suka... plak-plak-plak!” dan si gila yang memukul atau menampar pipinya sendiri akhirnya membuat Togur tertawa tapi Poan-kwi maupun Poan-jin mengerutkan kening. Tidak senang karena mereka mempunyai cucu murid yang gila!
“Hm, kau murid See-ong? Bagaimana gurumu bisa mempunyai murid macam kau? Bukankah muridnya adalah Siang Le?"
“Ampun...!” San Tek masih menampari pipinya berulang-ulang. “Siang Le adalah suhengku, sukong. Tapi dia keparat karena berpihak kepada musuh!”
“Hm, kau harus memanggilnya susiok-kong (paman kakek guru),” Togur tiba-tiba melangkah maju dengan mengetuk bahu temannya ini dengan ujung tongkat. “Mereka ini adalah susiok dari gurumu, San Tek. Tak perlu takut-takut dan memukuli diri sendiri. Hentikan tamparanmu, dan bicaralah baik-baik!”
San Tek bangkit berdiri, matanya berseri-seri. “Mereka ini tak marah kepadaku?” dia berbisik.
“Tentu tidak, kalau kau baik-baik kepadanya. Nah, dengarkan apa yang hendak ditanyakan kepadamu, San Tek. Jawab dengan jujur dan bagaimana kau tiba di tempat ini.”
“Aku diampuni Thai Liong, ditendang adiknya dan disuruh pergi!”
“Hm, lagi-lagi Thai Liong... Thai Liong ..! Apakah pemuda ini putera Pendekar Rambut Emas? Masa anak lebih hebat dari bapaknya? Eh, kau!” Poan-kwi tiba-tiba membentak cucu muridnya ini. “Ke sini dan berdiri, bocah. Tunjukkan kepandaianmu dan bagaimana tiga orang tak mampu menghadapi seorang Thai Liong!”
San Tek terpekik. Tubuhnya tahu-tahu terangkat naik ketika Poan-kwi mengayun lengannya. Serangkum angin menyambar dan si gila itu terbanting. Dan ketika pemuda itu berdiri dan Poan-kwi memanggil adiknya, Poan-jin berkelebat dan tertawa di depan pemuda itu maka krah baju pemuda ini disambar dan langsung di cengkeram.
“Kau..!” serunya. “Boleh main-main sebentar, bocah. Ayo keluarkan semua kepandaianmu dan jangan ragu-ragu!”
“Aku... aku tak berani!” si gila menoleh kepada Togur, berteriak-teriak. “Lepaskan, susiok-kong. Aku tak akan lancang agar Togur tak melaporkan aku kepada ayahku di akherat!”
“Ha-ha!” Togur menyeringai senang. “Kau hendak diuji dan diberi pelajaran kakek gurumu, San Tek. Jangan bodoh atau takut-takut lagi. Aku tak akan melaporkanmu di akherat, kalau kau mau menurut. Tapi kalau kau menolak tentu tak segan-segan aku membawamu kepada ayahmu.”
“Tidak, jangan...! Jadi aku harus melawan kakek guruku ini? Boleh bertanding sepuas hatiku?”
“Ya, tunjukkan semua kepandaianmu, San Tek. Juga Khi-bal-sin-kang atau Jing-sian-eng yang diberikan gurumu!”
“Baik, kalau begitu awas!” dan San Tek yang memberontak serta melepaskan dirinya tiba-tiba tertawa aneh dan menghantam lawannya.
Poan-jin tertawa mendongkol karena cucu muridnya ini betul-betul tidak waras. Sungguh sial bagaimana See-ong bisa mendapatkan murid seorang bocah edan! Tapi begitu lawan menyerang dan pukulan dahsyat menyambar kepalanya maka kakek ini mengelak namun lengan San Tek mendadak terulur panjang dan tahu-tahu mencengkeram atau mencekik batang lehernya, yang kurus dan tipis!
“Aihh-brett...!” si kakek menendang dan melempar tubuh ke kiri. San Tek yang direndahkan dan tak dipandang sebelah mata tiba-tiba menjadi begitu garang dan beringas, lihai karena itulah Sin-re-ciang atau Tangan Karet peninggalan See-ong di samping Hek-kwi-sutnya. Dan ketika kakek itu bergulingan dan San Tek terkekeh-kekeh, geli dan menerjang lagi maka tangan karetnya bergerak dan kakek itu dikejar, dicengkeram atau ditusuk.
“Heh-heh, kau tak boleh meremehkan aku, susiok-kong. Jelek-jelek cucu muridmu ini hebat sekali!”
Poan-jin mengumpat. Setelah dia tahu pemuda ini hebat juga maka dia menangkis dan tak berani meremehkan kepandaiannya, berkelebat dan misai di bawah dagunya melakukan gerakan-gerakan membabat atau menampar. San Tek terhuyung dan pemuda itu terkejut. Namun ketika dia membentak dan maju dengan pukulan-pukulan berat, tangan semakin mulur dan memanjang lagi maka pemuda itu coba mendesak sambil terkekeh-kekeh.
Poan-kwi mengerutkan kening dan Poan-jin tak berani merendahkan lagi. Ternyata, pemuda ini hampir setingkat dengan See-ong sendiri. Tapi karena dia adalah kakek sakti dan lecutan-lecutan misainya juga semakin keras dan tegang, misai itu berobah bagai toya atau besi baja maka setiap uluran tangan ditolak dan dipukul tegas, San Tek kesakitan.
“Eh, kau jangan menghajar aku, susiok-kong. Akupun dapat menghajarmu. Lihat, aku akan mengelilingimu seperti burung.... wut-wut!” dan pemuda ini yang bergerak mengerahkan ginkang tiba-tiba berkeliweran dan naik turun mengelilingi lawannya, semakin cepat dan cepat namun kakek itu tentu saja tak mau didesak.
Poan-jin tiba-tiba membentak dan berseru keras dan tubuhnyapun tiba-tiba bergerak menghilang. Dan ketika dua bayangan saling berkelebatan namun misai panjang kakek ini berubah menjadi ribuan benda-benda kecil yang melecut atau menghantam pemuda itu maka San Tek mulai kesakitan karena rambut-rambut itu bagai lecutan kawat baja yang menggores kulitnya, bertubi-tubi dan cepat serta selalu mendahului atau menahan tubrukan tangan karetnya.
“Hek-kwi-sut, ayo keluar. Ayo bantu aku!” San Tek mulai mencak-mencak, kebingungan dan marah karena setiap ia meledakkan tangannya selalu ilmu hitamnya itu gagal dikeluarkan.
Poan-kwi telah mengunci ilmunya ini dan Poan-jin terbahak-bahak. Lawan mulai dibalas dan ganti tertekan. Dan ketika pemuda itu marah-marah menerima lecutan rambut, bilur-bilur matang biru maka Poan-jin berseru pada kakaknya agar Hek-kwi-sut pemuda itu dibuka kembali.
“Suheng, biarkan ia memiliki Hek-kwi-sutnya kembali. Coba kita lihat apakah dia sama seperti See-ong!"
“Baik!” Poan-kwi mendengus dan menggerakkan tangan ke arah pemuda ini. Sebuah sinar api meledak dan menimpa kepala San Tek. “Jangan biarkan ia mendesakmu, sute. Kalau empat puluh jurus ia mampu bertahan maka bocah ini hampir menyamai gurunya... blarr!”
San Tek terpelanting dan menjerit. Poan-kwi mengembalikan ilmu hitam pemuda itu dengan melancarkan pukulan jarak jauh. Pekik atau jeritan pemuda itu disusul bayangan hitam di atas kepalanya. Dan ketika San Tek terguling-guling namun meloncat bangun, terkekeh-kekeh, maka pemuda itu merasa ubun-ubunnya seperti melembung, kekuatan Hek-kwi-sut memang tersimpan di situ.
“Ha-ha, Hek-kwi-sut ku pulih, Togur. Lihat aku akan membalas kakek guruku ini... klap!” San Tek tiba-tiba lenyap tertawa girang, meledakkan kedua tangannya dan berobahlah pemuda itu menjadi segumpal asap hitam.
Poan-jin tidak terkejut karena kakek itupun berseru keras meledakkan kedua tangannya. Dan ketika iapun lenyap dan dua asap hitam bergulung menjadi satu, San Tek menyerang dan tertawa-tawa di balik ilmu hitam maka benturan atau suara keras terdengar berulang-ulang dari benturan atau tumbukan dua asap hitam itu. Namun San Tek kemudian mengeluh terhuyung-huyung.
Bayangan pemuda ini tampak samar-samar dan Togur menyaksikan temannya terdesak, kian lama kian jelas padahal bayangan Poan-jin masih gelap dan pekat. Tanda kakek itu masih kuat dan lebih unggul. Dan ketika ledakan terdengar kesekian kalinya lagi dan San Tek muncul di balik asap hitam, tak mampu bersembunyi lagi maka pemuda itu tiba-tiba terbanting dan menjerit....