RAJAWALI MERAH
JILID 15
KARYA BATARA
“KONG-KONG, aku akan menolongmu...!” dan melesat seperti seekor kijang betina, terbang dan menyambar ke arah kakek ini maka gadis cantik yang baru datang itu menghantam bunga-bunga api yang berhamburan ke arah kong-kongnya.
Kakek itu kiranya adalah kong-kong gadis ini, terbeliak tapi bola mata putih yang sejenak gembira itu mendadak tertutup meram-melek lagi, gelisah dan menunjukkan kecemasannya. Karena begitu gadis itu datang dan menghancurkan bunga-bunga api yang menyambar dari segala penjuru maka kakek itu berteriak, tongkat masih diputar cepat memadamkan semburan sinar biru dan merah.
“Shintala, jangan masuk ke sini. Jangan berhadapan secara langsung dengan mereka. Sembunyi dan berlindung di belakangku!”
“Tidak!” gadis itu dapat menghalau dan membuyarkan sinar warna-warni itu. “Aku dapat menghadapi mereka, kong-kong. Lihat ini aku mampu menghancurkan guna-guna mereka sampai lumat.... blarr!” namun segumpal cahaya api yang meluncur tiba-tiba, menyambar dan menghantam gadis ini dari belakang tiba-tiba tak dapat dikelit, meledak dan gadis itu terlempar berteriak kaget.
Swat Lian sampai terkesiap karena datangnya gumpalan api itu memang tidak disangka-sangka, cepat sekali. Tapi ketika gadis itu dapat bergulingan meloncat bangun dan hanya sedikit pakaian di belakang punggungnya hancur, memperlihatkan sedikit bagian punggung yang halus putih maka gadis itu pucat sementara kong-kongnya berseru tertahan berkelebat ke depan, menolong cucunya.
“Kau tak apa-apa?”
“Tidak, hanya... hanya punggungku dijilat api!”
“Ah, bersembunyi di belakangku, Shintala. Turut kata-kataku atau nanti kita berdua celaka.... blarr!” sebuah letupan kilat kembali terdengar, menggelegar dan kakek serta gadis itu terpelanting karena kurang cepat bergerak. Drestawala lengah memutar tongkat namun kini kakek itu sudah melindungi tubuhnya dengan putaran yang cepat, meloncat bangun dan duduk bersila dan melindungi pula cucunya dari sergapan api biru dan merah yang menyambar bertubi-tubi. Kakek itu mandi keringat sementara gadis cantik di sebelahnya juga tak mau tinggal diam, memutar kedua tangannya menghalau bola-bola api yang melesat dan menghantam mereka.
Dan ketika kakek dan cucunya mempertahankan diri, bukit itu bergetar dihujani bola-bola api besar maka Swat Lian yang menonton di luar tertegun dan kagum akan kepandaian kakek buta ini. Kakek itu mampu melindungi diri dengan putaran tongkatnya. Senjata di tangannya yang keriput bergerak luar biasa cepat menahan gempuran-gempuran bola api, menghancurkannya atau malah menyedotnya padam. Dari putaran tongkat itu keluar tenaga hisap dan Swat Lian kagum karena tak ada bola api yang mampu menerobos masuk.
Hal ini mengingatkan dia akan kepandaian gadis cantik itu, yang mampu berpusing dan menciptakan tenaga sedot dengan putaran tubuhnya. Dan karena kakek itu rupanya lebih lihai karena dengan tongkat di tangan ia mampu menghancurkan sambaran bola-bola api, bukit menjadi terang-benderang oleh tangkisan ini maka tawa menyeramkan yang tadi terdengar tiba-tiba tak terdengar lagi. Namun kakek itu masih memutar tongkatnya dengan amat cepat.
Swat Lian mulai berpikir, siapakah kakek buta yang hebat ini? Dan namanya tadi, hmm... Drestawala. Jadi seorang asing dan melihat mukanya kemungkinan besar adalah bangsa India. Kakek itu mandi keringat sementara cucunya juga mandi peluh. Dua-duanya berjuang keras melawan gempuran bola-bola api. Dan ketika sejam kemudian tangan kakek itu mulai menggigil, gadis di sebelahnya juga gemetar menahan serangan terus-menerus maka terdengarlah geraman itu lagi dan Swat Lian tahu-tahu melihat seorang kakek bermisai panjang muncul di sudut. Poan-jin-poan-kwi!
“Drestawala, kau tak akan mampu bertahan lagi. Tapi aku melihat beberapa temanmu ada di sini. Mana mereka dan kenapa licik menyembunyikan kekuatan? Suruh keluar, agar sekalian dapat kubunuh!”
“Aku tak membawa teman, kecuali cucuku ini. Kau Poan-jin atau Poan-kwi? Aku datang untuk memenuhi permintaan cucuku membalas sakit hati!”
“Ha-ha, lucu tapi tak tahu diri. Semakin tua ternyata semakin pandai bohong bicara. Heh, kau dusta kepadaku. Drestawala. Aku melihat dua orang lain yang menghilang di sini!”
“Aku tak tahu-menahu,” kakek itu terkejut mengerutkan kening, tongkat terus diputar menghalau atau memadamkan bola-bola api. “Kau percaya boleh tidak percaya juga tidak apa, Poan-jin. Sekarang aku dapat mengenal suaramu bahwa kau musuhku nomor dua!”
“Heh-heh, kau memang pintar. Tapi aku tak percaya!” dan Poan-jin yang bergerak melayang ke depan tiba-tiba menyambarkan misainya ke kakek itu. Shintala berada di belakang kakeknya dan gadis itu berseru memperingatkan akan adanya serangan ini. Namun ketika kakeknya mengangguk dan mendengar sambaran misai, tongkat masih tetap diputar kencang maka Drestawala menangkis dan kakek itu terpental.
“Ha-ha, tenagamu sudah mulai lemah, Drestawala. Coba ini lagi dan tangkis seperti tadi... dess!” si kakek bergulingan, terkejut dan menangkis dan tiba-tiba berteriaklah Shintala melihat Poan-jin mengejar dan menyerang lagi. Kakeknya menggigil dan tentu saja ia tak mau lawannya itu merobohkan. Tapi ketika gadis itu berkelebat dan mengayun tangannya maka Poan-jin menghilang dan Drestawala berteriak menggerakkan tongkat ke kiri.
“Awas... blarr!”
Ledakan tongkat menggetarkan tempat itu. Sebuah bola api menyambar dan Shintala terpelanting ketika tiba-tiba dari arah kiri muncul lawannya itu, seperti iblis saja tapi tiba-tiba dari arah yang lain muncul pula bayangan sesosok kakek bermisai yang berkelebatan melempar-lempar bola api. Dan ketika Shintala terkejut bergulingan meloncat bangun, dua bayangan Poan-jin tiba-tiba sambar-menyambar diiringi kilatan bola-bola api maka kakeknya berteriak bahwa Poan-kwi, iblis satunya, muncul.
“Awas, musuh-musuh kita muncul kedua-duanya!”
Shintala terbelalak. Untuk selanjutnya ia dikejar satu di antara dua kakek itu, yang terkekeh-kekeh dan menyerangnya dengan tamparan-tamparan maut. Dan ketika bola api juga terus sambar-menyambar, kakek yang satu menggerak-gerakkan ujung bajunya maka gadis itu tiba-tiba sudah dikurung dan berteriak mempertahankan diri.
“Pergunakan Sing-thian-sin-hoat (Silat Sakti Langit Berputar)!” Drestawala pucat, mendengar cucunya terdesak hebat dan berteriak berkaii-kali.
Gadis itu memang terdesak karena sebentar saja ia bingung menghadapi ribuan bola-bola api di udara, dikebut atau dipukul padam namun kakek bermisai ini menggerakkan tangannya yang lain untuk menampar atau melepas pukulan maut, belum lagi misainya yang bergerak maju mundur melecut-lecut itu. Poan-jin sungguh lihai! Tapi ketika gadis itu memperoleh kesadarannya kembali dan teriakan kakeknya memperingatkan dirinya mendadak ia melengking nyaring memutar tubuhnya seperti gasing.
Itulah ilmu silat yang pernah dipakainya menghadapi Swat Lian di bawah bukit, kini dipergunakan dan nyonya itu kagum karena sebentar kemudian gadis ini sudah terbungkus rapat. Tak mungkin Poan-jin menerobos pertahanan itu. Dan ketika kakek itu terbelalak dan kagum, bola-bola apinya hancur dipadamkan maka di sana Drestawala atau si kakek buta menghadapi lawan yang lebih tangguh.
“Kau Poan-kwi!” kakek itu berseru. “Mari kita bertanding, Poan-kwi. Baru sekarang kau muncul setelah menyembunyikan diri!”
“Hm!” Poan-kwi, kakek yang berkelebatan cepat menghilang berkali-kali itu mendengus. “Aku sekarang akan membunuhmu, Drestawala. Menunggu temanmu yang tak mau keluar juga dan rupanya akan keluar kalau kau sudah di ambang maut!”
“Aku tak membawa teman, kecuali cucuku itu!” kakek ini berteriak, terus memutar tongkatnya bak kitiran pesawat terbang. “Kau memandang rendah aku, Poan-kwi. Tak perlu si buta ini membawa bantuan!”
“Hm, tapi dua orang datang di bukit. Mereka bersembunyi. Kalau bukan temanmu tentu musuhku, sama saja!”
“Aku.... des-dess!” si kakek tak sempat meneruskan kata-katanya, menangkis sebuah pukulan maut dan terpentallah tongkat karena kakek itu menggigil berkurang tenaganya. Sejam terus-menerus memutar tongkat bukanlah pekerjaan ringan. Lawan amat licik karena selalu menyerang di balik ilmu hitam dan memaksa menangkis yang berarti mengeluarkan tenaga, tentu saja kakek ini gemetar. Dan ketika Poan-kwi berkelebat dan menusukkan dua jarinya, masuk di antara celah tongkat yang terpental maka si buta pucat melempar tubuh mendengar angin serangan yang bercuit ganas.
“Cuss!” Tanah membongkah mengepulkan asap. Drestawala bergulingan dan berteriak tertahan, diam-diam tak menyadari bahwa lawannya kagum akan pendengaran yang luar biasa tajam dari telinganya. Memang kakek buta itu hanya mengandalkan telinganya saja untuk menghadapi lawannya itu, lawan yang tidak main-main karena dia adalah Poan-kwi, tokoh yang amat sakti karena adalah paman guru See-ong, si iblis sesat yang namanya sudah menggetarkan dunia kang-ouw. Dan ketika kakek itu bergulingan meloncat bangun dan kembali memutar tongkatnya, mainkan Sing-thian-sin-hoat dan bertahan diri maka cucunya di sana basah kuyup menerima serangan gencar Poan-jin.
“Heh-heh, kaupun mampus, bocah. Kulalap jantungmu nanti. Heh-heh, tentu segar!”
“Keparat!” gadis itu melengking. “Kau boleh bunuh aku, Poan-jin. Tapi aku juga akan berusaha membunuhmu. Kau telah membunuh orang tuaku!”
“Ha-ha, kalau begitu mana mungkin? Orang tuamu saja telah kuantar ke neraka, apalagi kau anaknya!”
“Kau memang iblis terkutuk, biadab!” dan si gadis yang menangkis ledakan misai panjang tiba-tiba terhuyung karena lawan mempergunakan tenaga lemas, menotok tapi menariknya cepat ketika tersedot ke putaran Sing-thian-sin-hoat, licik dan curang dengan menendang sebuah batu hitam yang tepat mengenai lutut gadis itu, yang kontan berteriak dan terpincang! Tapi ketika gadis itu mampu bergerak cepat lagi dan memulihkan totokan di lututnya, lawan kagum, maka Swat Lian yang menonton di luar arena juga kagum dan semakin kagum saja.
“Dia hebat, lebih hebat daripada puteri kita Soat Eng!”
Sang nyonya terkejut. Entah kapan munculnya tahu-tahu bayangan kuning emas sudah berada di belakangnya, berseru lirih memuji gadis cantik itu. Dan ketika dia melonjak namun girang karena suaminya, Pendekar Rambut Emas, ada di situ maka nyonya ini balas berbisik menyatakan kekagumannya pula.
“Benar, ia hebat, suamiku. Dan kami telah bertanding dengan berimbang!”
“Kau bertempur?”
“Ya, secara tak sengaja. Ia mampu mengikuti gerakanku ketika mencari tempat si iblis Poan-kwi ini!”
“Hm, memang betul. Gadis itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang luar biasa. Lihat, kakinya tak menginjak tanah sama sekali, melayang berkelebatan cepat!”
“Aku sudah melihat. Dan ilmu meringankan tubuhnya itu setingkat Jing-sian-eng!”
“Hm, siapakah dia? Dan siapa si kakek buta itu? Kakek inipun hebat, ia memiliki kekuatan batin tinggi. Lihat sekarang ia mampu memutar tongkatnya tanpa tangan!”
Swat Lian tertegun. Ternyata si kakek sudah merobah gerakan. Ia bersedakap, duduk bersamadhi dan tongkatpun berputaran sendiri seperti benda bernyawa, cepat luar biasa hingga membungkus tuannya itu. Dan ketika pukulan atau serangan Poan-kwi terpental bertemu tongkat ini, si iblis terkejut maka kakek buta itu menggigil dan perlahan-lahan tubuhnyapun terangkat naik berkemak-kemik kepada tongkatnya itu.
“Terus... terus, Sin-tung. Teruslah berputar dan jangan berhenti menghadapi lawan!”
“Swat Lian terbelalak. Kakek itu naik perlahan-lahan sementara tongkat terus berkelebatan menjaga dirinya. Poan-kwi menggeram dan marah, lecutan misainya gagal. Tapi ketika kakek itu mendengus dan tertawa aneh, berseru perlahan, tiba-tiba iblis itu menghilang dan tongkat bergerak sendiri tanpa lawan.
Namun Pendekar Rambut Emas berseru tertahan. Tongkat yang melindungi tuannya dari kiri ke kanan tiba-tiba kecolongan akal cerdik. Segumpal asap hitam muncul dari atas menuju tengah-tengah lingkaran tongkat ini. ltulah bayangan Poan-kwi yang menghilang dengan ilmu hitamnya, tak dapat menerobos tongkat sekarang masuk dari atas, karena bagian inilah yang memang tidak terjaga. Tongkat tak berputaran di situ dan iblis tahu-tahu telah merobah bentuk dirinya, sebagai badan halus. Dan ketika dia masuk sementara si kakek buta tertegun sejenak, lawan menghilang maka saat itulah Poan-kwi muncul menghantamkan pukulannva ke ubun-ubun.
“Heh-heh, aku masih juga dapat masuk!”
Drestawala terkejut. Kakek itu membuka mata dan saat itu pukulan lawan sudah menyambar, tongkat masih terus berputaran tapi itu di luar. Dan karena Poan-kwi sudah masuk dan kini melancarkan serangan, tentu saja Drestawala terkejut maka kakek itu membentak dan mendorongkan kedua lengannya ke atas, karena ubun-ubunnya dipukul.
“Dess!” Kakek itu mencelat. Tongkat seketika, berhenti berputar karena pemiliknya mengaduh di sana, aneh dan ajaib mengikuti tuannya pula karena mendadak terbang menyusul Drestawala. Dan ketika kakek itu menyambar dan bergulingan meloncat bangun, Poan-kwi tak tinggal diam karena mengejar dan menghilang lagi dalam ilmu hitam maka Drestawala mengeluh karena selanjutnya ia dipukul bertubi-tubi dari atas ke bawah, terus didesak dan dicecar memutar tongkat.
Kini ia tak dapat mempergunakan ilmu batin karena lawan selalu mendahului. Setiap ia menggerakkan tongkat secara ilmu batin maka Poan-kwi lenyap mempergunakan ilmu hitam, muncul lagi dalam badan kasar kalau ia terpental oleh serangan lawan. Dan karena kakek buta sudah banyak kehilangan tenaga, sejam penuh memutar tongkat bukanlah pekerjaan ringan akhirnya kakek ini mendapat hajaran lawan menjadi bulan-bulanan pukulan.
“Ha-ha, ajal mendekatimu, Drestawala, Kau akan rnenyusul anak mantumu!”
Kakek itu pucat. Memang ia tak dapat berbuat banyak lagi setelah Poan-kwi muncul dan menghilang dengan ilmu hitamnya. Tujuh kali tubuhnya menerima tamparan dan tujuh kali itu pula ia terbanting dan mengeluh. Tapi ketika Poan-kwi terkekeh-kekeh dan Pendekar Rambut Emas mengerutkan kening melihat itu mendadak kakek ini mengeluarkan pekikan panjang dan dihantamkannyalah tongkatnya ke tanah.
“Blarr!”
Kakek itu tiba-tiba lenyap. Segumpal cahaya api muncul dari dalam bumi dan Drestawala hilang bagai siluman. Poan-kwi terkejut sejenak tapi tiba-tiba menggeram mengayun tangannya ke kiri. Dan ketika terdengar ledakan yang tak kalah dahsyat dengan hantaman tongkat maka muncul segumpal api pula di mana Poan-kwi tiba-tiba ikut menghilang.
“Ah, ke mana kakek itu?” Swat Lian terkejut. “Dan... heii, gadis itupun lenyap!"
Pendekar Rambut Emas tertegun. Di sebelah sana tiba-tiba Poan-jin juga kehilangan lawannya. Gadis itu, yang tadi bertanding mendadak disambar segumpal asap putih dan terbang ke bawah bukit. Iblis ini membelalakkan mata namun tiba-tiba tubuhnyapun disambar segumpal asap hitam, ditepuk pundaknya dan menghilang meluncur ke bawah bukit pula. Dan ketika suami isteri itu terkejut dan membelalakkan mata, Swat Lian tak tahu apa yang terjadi maka suaminya tiba-tiba menepuk kepalanya dan menghilang pula membawanya ke bawah bukit.
“Kakek itu mempergunakan ilmu rohnya, berujud badan halus. Mari kita lihat apa yang selanjutnya terjadi!”
“Ah!” sang isteri berseru tertahan. Kau bawa aku ke mana, suamiku? Apa ini? Heii, tubuhku menabrak pohon!” namun ketika seruan itu disertai rasa berdesir, pohon yang ditabrak ternyata dilewati atau “ditembus” begitu saja, sang nyonya tertegun maka Pendekar Rambut Emas tertawa bahwa ia telah mempergunakan Pek-sian-sutnya untuk lebur dalam badan halus.
“Poan-kwi dan Poan-jin lenyap mempergunakan kesaktiannya, begitu juga kakek buta yang hebat itu. Kalau kita berbadan halus juga dan mengejar mereka tentu tak bakalan ketemu. Jangan khawatir, aku mempergunakan Pek-sian-sutku, niocu. Kita berada di alam roh. Benda-benda kasar tak akan melukai kita meskipun tampaknya tertabrak!”
Sang nyonya tertegun. Akhirnya di meraba tubuhnya sendiri dan ternyata kaki maupun tangannya tak berbentuk badan kasar lagi. Dia tak dapat merasa bagaimanakah bentuk tubuhnya itu, kecuali perasaan ringan yang demikian entengnya hingga mampu bergerak dari satu tempat ke tempat lain dengan amat cepatnya. Pohon atau batu-batu besar mereka tembus atau lewati tanpa perasaan apa-apa, kecuali ngeri dan ringan! Tapi ketika semua itu berjalan beberapa detik dan untuk selanjutnya nyonya ini merasa biasa, bahkan girang, maka dilihatnya lagi kakek Drestawala itu bersama cucunya, juga Poan-jin-poan-kwi yang bergerak meluncur seperti iblis.
“Heii, itu mereka!”
“Benar,” sang suami mengangguk. “Tapi tanpa mempergunakan Pek-sian-sut tak mungkin kita melihatnya, niocu. Badan halus juga harus ditandingi atau dilihat secara badan halus. Dengan wadag kasar kita tak dapat mengikuti peristiwa di alam halus!”
Sang nyonya terkagum-kagum. Baru kali ini dia “dimasukkan” suaminya dalam ilmu kesaktian itu. Biasanya, suaminya mempergunakan sendiri untuk hal-hal tertentu, yang penting tentunya, seperti ketika menghajar dan menundukkan See-ong beberapa waktu yang lalu. Maka begitu sekarang menikmati rasanya di alam halus dan tubuh terasa begitu enteng dan ringan, mereka melayang-layang bagai peri atau mahluk mengambang maka Drestawala yang turun bukit meluncur begitu cepatnya meninggalkan lawan.
“Kakek itu seperti bermata saja. Dia tahu ke mana dia lari!”
“Hm, di alam halus mata kasar tak berguna lagi, isteriku. Ada mata lain yang lebih tajam daripada mata biasa. Kakek itu sudah tak buta lagi begitu masuk ke alam halus!”
“Dan gadis itu, ah..!” sang nyonya kagum. “Dia mampu menahan Poan-jin, suamiku, Meskipun akhirnya kewalahan dan terdesak. Cucu kakek buta itu hebat sekali!”
“Ya, tapi ia tak memiliki ilmu roh, Kakeknya itu lebih hebat namun Drestawala rupanya tak sanggup bertahan lagi terhadap Poan-kwi!”
“Lalu apa yang hendak kau lakukan?”
“Kita tolong mereka. Aku kakek buta itu dan kau cucunya! Mau?”
“Tentu saja. Poan-jin-poan-kwi juga musuhku tapi di mana anak-anak kita itu!
“Nanti saja dicari lagi. Nah, kita potong mereka, niocu. Aku akan mendahului di depan dan mencegat. Awas!” dan ketika Pendekar Rambut Emas berkelebat dan mengibaskan lengan ke belakang mendadak tubuh keduanya bagai didorong dan meluncur empat kali lipat daripada biasa.
Drestawala sudah di bawah bukit dan siap membelok ketika tiba-tiba saja Pendekar Rambut Emas dan isterinya ini meluncur di situ, berhenti dan mengerem tubuhnya kuat-kuat hingga sang kakek berteriak tertahan hampir menabrak, menghantamkan tangannya dan melesatlah tubuhnya ke kiri. Dan ketika kakek itu tertegun karena Pendekar Rambut Emas menjura di depannya, cepat mengangkat kedua lengan ke atas agar si kakek tidak menyerang maka Drestawala berseri melihat bantuan ini.
“Maaf, ji-wi berdua tak usah kaget. Aku Pendekar Rambut Emas dan ini isteriku Hu Swat Lian. Kami telah menyaksikan pertandingan kalian dan Poan-jin-poan-kwi adalah juga musuh kami. Aku akan membantumu dan isteriku membantu cucumu!”
“Ah-ah, ini Kim-taihiap yang gagah perkasa itu? Dan ini adalah Kim-hujin? Ah, kedatangan kalian adalah mengejutkan, taihiap. Tapi aku gembira bertemu kalian. Poan-kwi memang hebat, tapi aku bingung menyelamatkan cucuku. Tolong kalian bawa saja cucuku ini dan biar Poan-kwi menjadi bagianku!”
“Hm, kau terdesak, Drestawala-locianpwe. Poan-kwi setingkat di atas kepandaianmu, Aku sendiri ragu apakah mampu menghadapi iblis yang lihai itu. Tapi kalau kita berdua tentu mampu!”
“Ini... ini Kim-hujin?” Shintala, gadis cantik itu tiba-tiba berseru tertahan. Ia terkejut ketika dua orang itu tiba-tiba muncul, berkelebat dan telah menghadang di depan. Dan ketika ia terbelalak karena Swat Lian nyonya itu dikenalnya, mereka bahkan pernah bertempur maka gadis ini tak mampu berkata apa-apa ketika Pendekar Rambut Emas berbicara dengan kakeknya. Tapi begitu sadar dan selesai, kakeknya girang membalas penghormatan Kim-mou-eng maka iapun mengeluarkan seruannya tadi dan Swat Lian mengangguk, tersenyum.
“Benar, aku Kim-hujin, Shintala. Dan aku kagum sekali melihat kepandaianmu. Kau mampu menghadapi Poan-jin!”
“Ah, tapi... tapi kaupun hebat. Kau kiranya isteri Pendekar Rambut Emas!” dan ketika gadis itu terbelalak dan merah mukanya, teringat kelakuannya terhadap nyonya ini maka buru-buru ia minta maaf dan tersipu, mengherankan kakeknya. “Aku tak tahu, maafkan hujin. Pantas saja kau demikian lihai. Kalau begitu yang kau pergunakan tadi adalah Khi-bal-sin-kang yang amat tersohor!”
“Eh-eh, apa ini?” kakeknya terbelalak, heran. “Kenapa minta maaf? Apa yang kau lakukan terhadap Kim-hujin?”
“Ah, kami main-main sejenak, lo-enghiong (orang tua gagah). Karena cucumu semula menghadang aku ketika berkeliaran di tempat ini.”
“Ah, begitukah? jadi kalian bertanding?”
“Sudahlah,” Pendekar Rambut Emas tiba-tiba mengulapkan lengannya. “Kita tak dapat bicara lagi, Drestawala-locianpwe. Musuh datang!” dan ketika kakek itu menoleh dan menarik cucunya, Poan-jin-poan-kwi berkelebat maka dua kakek iblis itu muncul dan telah mengejar.
“Eihh, ada orang lain...!” Poan-jin, iblis nomor dua berseru. Kim-mou-eng sudah membalik dan terkejutlah iblis itu melihat empat orang ini, Di pihak Drestawala tiba-tiba bertambah dua orang! Tapi begitu melihat Swat Lian, Poan-jin pernah bertempur maka kakek itu terbahak menuding nyonya ini. “Dia Kim-hujin!”
“Benar, dan ini suamiku Kim-mou-eng,” Swat Lian berkelebat, berdiri gagah di depan suaminya dan dua orang itu terkejut.
Mereka, terutama Poan-kwi, memandang tajam pendekar ini. Dan ketika Swat Lian selesai berseru dan Pendekar Rambut Emas maju mendampingi isterinya maka Poan-kwi tiba-tiba menjengek dan mendengus. “Hm, ini kiranya si Pendekar Rambut Emas itu. Dicari ke mana-mana tak ketemu tiba-tiba muncul di sini. Bagus, kau rupanya memiliki sedikit kepandaian juga, Kim-mou-eng. Dan kehadiranmu di sini sudah menunjukkan bahwa kau cukup berharga. Aku ingin berkenalan denganmu... wut!”
Misai tiba-tiba menyambar, cepat dan luar biasa hingga Kim-mou-eng tiba-tiba tak sempat mengelak. Senjata itu sudah di depan hidung! Tapi ketika Pendekar Rambut Emas menggerakkan jarinya dan menampar, betapapun sudah memasang kewaspadaan maka misai itu ditangkis dan Khi-bal-sin-kang bekerja melindungi tuannya.
“Plak!” Dua-duanya tergetar. Poan-kwi surut selangkah sementara Pendekar Rambut Emas dua tindak! Hal itu menunjukkan bahwa Poan-kwi unggul setingkat, hal yang membuat Kim-mou-eng terkejut dan berseru tertahan. Dan ketika Poan-kwi tertawa dan menggerakkan kakinya lagi tiba-tiba kakek ini telah menyerang, untuk kedua kalinya.
“Kim-mou-eng, tak perlu kita banyak bicara lagi. Kau tentu ingin membela si Drestawala. Nah, terima pukulanku atau minggir.... plak-plak-plak!”
Dan tiga pukulan yang menghantam serta ditangkis tiba-tiba membuat Pendekar Rambut Emas terhuyung dan berobah mukanya, tak diberi kesempatan untuk mengelak dan karena itu dipaksa menangkis. Khi-bal-sin-kangnya menolak tapi lawanpun memiliki semacam tenaga karet yang membuat dia terhuyung. Dan ketika Pendekar Rambut Emas terkejut dan membelalakkan mata maka misai telah berpencar ribuan dan menotok atau menusuk tubuhnya dari segala penjuru, sebentar saja sudah mengurung!
“Aku adalah lawanmu!” Drestawala tiba-tiba membentak, tak membiarkan Pendekar Rambut Ernas didesak. “Hayo layani aku, Poan-kwi. Urusan kita belum selesai... des-dess!” dan tongkat yang menyambar serta menghantam misai tiba-tiba membuat benda-benda panjang itu berhamburan, pecah di sana-sini dan Pendekar Rambut Emas keluar dari kepungan. Si iblis menggeram namun selanjutnya kakek itu telah menyerangnya. Dan ketika Poan-kwi membentak dan menangkis tongkat maka Drestawala didesak dan kakek itu mendapat balasan.
“Jangan merobohkan lawan yang sudah lelah!” Pendekar Rambut Emas berkelebat dan ganti menolong Drestawala. “Kaupun lawanku, Poan-kwi. Mana anak dan mantuku dan kau apakan mereka!”
Poan-kwi melengking. Setelah Pendekar Rambut Emas masuk dan melepas pukulan pula maka dari dua penjuru dia dikeroyok. Tongkat Drestawala terlepas dari tekanan dan kini menyambarnya lagi, sementara pukulan-pukulan Pendekar Rambut Emas mulai bersiutan dan berat menyambar. Dan ketika sebentar kemudian dia yang terkurung dan malah terdesak maka iblis itu melengking panjang dan lenyap tubuhnya.
“Kim-mou-eng, kau manusia keparat!”
Pendekar Rambut Emas tak mengendorkan serangan. Begitu lawan berteriak dan terdesak, misainya tertolak oleh gabungan Khi-bal-sin-kang dan tongkat maka si iblis diserang dari segala penjuru hingga kewalahan. Drestawala girang karena Pendekar Rambut Emas benar-benar memiliki pukulan-pukulan ampuh. Mula-mula Khi-bal-sin-kang tapi kemudian ditambah dengan pukulan sinar putih yang bercuitan meledak-ledak. Itulah Lui-ciang-hoat yang menjadi pasangan Khi-bal-sin-kang.
Dan ketika Poan-kwi terhuyung maju mundur sementara tongkat mulai mendapatkan sasarannya, Poan-kwi kena gebuk maka Poan-jin di sana menjadi marah dan akan membantu saudaranya. Namun Shintala membentak kakek itu. Gadis ini berkelebat di depan ketika si iblis hendak menyerang, sejak tadi gerak-geriknya diawasi. Dan ketika Poan-jin melengking dan melecutkan misainya, dielak, maka Shintala diterjang karena saudaranya di sana sudah terdesak dan kian terdesak saja.
“Minggir!” iblis itu berseru marah. “Atau kau mampus, bocah. Dan lihat pukulanku... dess!” dan si gadis yang mengelak dari sebuah tamparan dahsyat akhirnya melihat bekas pukulan Poan-jin menghancurkan tanah, meledak dan selanjutnya kakek itu berkelebatan mengeliling gadis ini.
Shintala masih menghadang di antara dirinya dan kakeknya, karena itu Poan-jin menjadi marah sekali karena tak dapat membantu. Dan ketika gadis itu terdesak dan sebentar kemudian sudah melempar tubuh ke sana ke mari tak diberi kesempatan melompat bangun maka Swat Lian membentak dan menerjang kakek ini.
“Kau jangan menghadapi gadis yang sedang bergulingan. Inilah lawanmu, Poan-jin. Dan mari lanjutkan pertandingan kita dan kau atau aku yang mampus.... blarr! pukulan Khi-bal-sin-kang menyambar, suaranya menggelegar dan Poan-jin berteriak karena tubuhnya terlempar. Selanjutnya si nyonya menyerangnya gencar dan meledaklah pukulan-pukulan sakti itu, Swat Lian juga mengeluarkan Lui-ciang-hoatnya. Dan ketika si nyonya berkelebatan mengerahkan Jing-sian-engnya pula, Bayangan Seribu Dewa, maka Poan-jin terdesak karena Shintala sudah berdiri meloncat bangun dan menerjangnya pula.
“Bagus, kau beraninya hanya menghadapi wanita, Poan-jin. Nah, sekarang rasakan balasan kami berdua dan menari-narilah!”
Benar saja, Poan-jin dipaksa “menari-nari”. Kakek iblis ini harus melompat-lompat menghindari serangan dua wanita itu, yang kian lama kian gencar karena Shintala akhirnya juga mencabut tongkat pendek, tongkat yang tadi belum dikeluarkan karena dia merasa masih sanggup bertahan, biarpun terdesak. Dan begitu gadis ini mainkan Sing-thian-sin-hoatnya dan tongkat bergulung naik turun mengeluarkan tenaga sedot, Poan-jin terhuyung maju mundur karena ditolak Khi-bal-sin-kang maka kakek iblis itu berteriak marah karena didesak dua lawannya.
“Jahanam, tak tahu malu. Wehhh, kalian wanita-wanita curang, bocah. Beraninya mengeroyok!”
“Hm, mengeroyok iblis macam dirimu ini tak perlu malu, Poan-jin. Kaupun tak tahu malu menghadapi seorang wanita muda. Sekarang tak perlu berkaok-kaok atau cepat minta ampun kalau ingin kami menghentikan serangan!”
“Apa, minta ampun? Kepada tikus-tikus betina macam kalian? Keparat, kubungkam mulutmu nanti, Kim-hujin. Kutekuk punggungmu nanti menjadi dua!”
“Jangan banyak omong... dess!” dan Khi-bal-sin-kang yang mendarat dan menghantam di tubuh lawan tiba-tiba ditahan namun tongkat di tangan Shintala bergerak menyerampang, kuat dan cepat hingga Poan-jin terpelanting. Tubuhnya naik ke atas dan jatuh terjerembab. Dan ketika gadis itu terkekeh-kekeh sementara Swat Lian tersenyurn, geli, maka Poan-jin memaki-maki karena misainya ditahan Khi-bal-sin-kang sementara tubuhnya digebuki tongkat, tidak terluka tapi tetap juga sakit. Apalagi, yang menggebukinya adalah seorang gadis muda!
“Keparat, kukunyah dagingmu nanti. Kukuliti tubuhmu. Grr, kau siluman cilik yang licik, bocah. Aku akan mengeremus tulang-tulangmu nanti!”
Shintala tertawa berkelebatan mengejek. Ia tentu saja tak menghiraukan semua ancaman itu dan tongkat pendeknya justeru diputar gencar, mumpung mendapat bala bantuan dan Kim-hujin pun melakukan hal yang sama. Swat Lian atau nyonya Pendekar Rambut Emas ini juga mempergencar pukulan-pukulannya hingga Poan-jin tak mampu membalas. Iblis itu hanya menggerakkan misainya ke sana-sini seraya menampar atau menyambut pukulan-pukulan Khi-bal-sin-kang, juga Lui-ciang-hoat.
Tapi ketika sang nyonya melengking menggabung ilmu meringankan tubuhnya dengan Cui-sian Gin-kang, gerakan yang membuat tubuhnya berkelebatan dua kali lebih cepat daripada biasa maka Khi-bal-sin-kang maupun Lui-ciang-hoat akhirnya membuat si kakek iblis menggeram uring-uringan, terpental dan tidak lagi terhuyung mundur-mundur seperti tadi. Tongkat dan pukulan si nyonya demikian gencar mengepung dirinya, membuat Poan-jin terdesak hebat dan akhirnya satu gebukan kembali mengenai punggungnya, roboh terpelanting dan kakek itu marah sekali karena yang menggebuk adalah seorang gadis muda!
Kakek ini sampai melotot tapi ketika ia bergulingan meloncat bangun ternyata pukulan si nyonya menyambar, tak dapat dikelit dan lagi-lagi ia terbanting. Dan ketika Poan-jin melengking-lengking namun tidak terluka, hebat sekali kakek ini maka Swat Lian berteriak mencabut sesuatu dari saku bajunya. Itulah segulung tali di mana kemudian dengan cepat nyonya ini merakitnya menjadi jala. Poan-jin hendak ditangkap hidup-hidup. Barangkali, seperti harimau di tangan pemburu! Dan ketika kakek itu mendelik sampai biji matanya mau terloncat keluar maka jala di tangan nyonya ini melayang diiringi sebuah pukulan lain menyertai sambaran tongkat Shintala.
“Robohkan dia hidup-hidup. Bentur misainya, aku hendak mengikat!”
Shintala mengangguk. Tiba-tiba ia menjadi gembira karena lawan seperti domba yang hendak disembelih. Poan-jin memang terdesak hebat dan kini hanya berputaran mengikuti mereka tak dapat membalas. Satu-satunya jalan hanya nangkis tapi setiap bertemu Khi-bal-sin-kang tentu dia terpental, dipapak oleh gulungan tongkat yang mengeluarkan tenaga sedot dan kakek itu mati-matian melepaskan diri.
Jadilah dia bingung karena dua lawan satu ternyata dirinya tak mampu membalas. Satu lawan satu memang dapat diatasi kakek ini namun begitu dua wanita ini maju berbareng mendadak saja dia mati langkah. Poan-jin memang kebingungan! Tapi begitu tali menyambar dan siap menjala, kakek ini menggereng maka tangan kirinya bergerak dan misai yang tadi kaku sekonyong-konyong lemas tak mau dijerat.
“Plak-dess!”
Si nyonya kali ini tersentak. Poan-jin , memindah kekuatannya pada tangan kiri itu dan pada saat yang lain kakek itu meliuk mengelak sambaran tongkat. Shintala menyerangnya berseri-seri tapi gadis itu terkejut ketika tiba-tiba misai menjuntai lemas, tongkat meluncur dan saat itu tangan kanan si kakek bergerak, melakukan tamparan dahsyat karena sekarang tenaga di tangan kiri sudah dipindah ke tangan kanan, setelah tadi menghalau si nyonya. Dan ketika gadis itu tertegun tak mungkin menarik tongkatnya, misai menyibak di bawah ketiak maka saat itu tangan kanan lawan bertemu tongkatnya, sepenuh tenaga.
“Dess!” Gadis ini terpelanting. Satu lawan satu memang tak sanggup gadis itu melawan, betapapun dia kalah matang dan kalah kuat. Poan-jin dengan cerdik memecah tenaganya untuk kemudian dipakai menghantam mereka. Tentu saja gadis itu menjerit! Tapi karena Shintala memiliki kepandaian luar biasa dan cepat gadis itu melempar tubuh ke kiri membuang sisa tenaga lawan maka sambil mengeluh menahan sakit ia cepat bergulingan meloncat bangun karena saat itu Kim-hujin juga sudah berhasil menguasai diri dihantam sekuat tenaga.
“Iblis, kakek ini harus dibunuh!”
Namun Poan-jin tertawa panjang. Kakek itu memutar tubuh begitu dua lawannya terpelanting bergulingan, berkelebat dan lenyap karena saat itu dari arah lain terdengar rintih panjang dari suara Poan-kwi, yang juga berkelebat dan meninggalkan pertempuran karena tak mampu menahan gempuran-gempuran Kim-mou-eng. Drestawala membantu Pendekar Rambut Emas itu atau memang kedua-duanya saling bantu dan mendesaknya.
Lui-ciang-hoat dan Khi-bal-sin-kang yang berdentum setiap ditangkis akhirnya membuat Poan-kwi terhuyung-huyung, karena pada saat yang sama tongkat di tangan Drestawala juga menderu dan menghajar tubuhnya. Dan karena dua orang itu orang-orang yang memiliki kesaktian luar biasa dan hanya berkat kelebihan dan daya tahan tubuhnya yang luar biasa kakek iblis itu mampu mempertahankan diri maka begitu terdesak dan tak melihat keuntungan segera iblis ini melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan adiknya tadi.
Tangan kiri Poan-kwi menyambut pukulan Pendekar Rambut Emas ketika tiba-tiba misainya menjuntai lemas, menghindar sambaran tongkat. Dan ketika tenaga di tangan kanan dipindah ke tangan kiri, iblis itu melakukan pukulan yang disebut Thian-san-po-teng maka Khi-bal-sin-kang yang dilancarkan Pendekar Rambut Emas bertemu semacam tenaga dingin yang membekukan tulang, berdentum dan muncratlah bongkahan batu-batu es yang berhamburan ke sana-sini.
Poan-kwi sudah berlindung di balik tangkisannya ini dan ketika Pendekar Rambut Emas terbelalak dan terhuyung maka saat itulah dia merobah kedudukan kaki dengan meliukkan tubuh ke arah Drestawala. Tongkat saat itu menyambar dan secepat kilat tenaga tangan kiri ditarik ke tangan kanan, berbalik dengan tadi. Dan ketika tongkat di tangan Drestawala mencelat bertemu tangkisan amat dahsyat ini, Poan-kwi menggabung dua tenaganya di satu gerakan maka iblis itu melihat lubang untuk meloloskan diri dan kabur, memberi tanda kepada saudaranya berupa rintihan aneh.
“Kita pergi, lain kali saja diulang lagi!”
“Heii..!” Drestawala bergulingan meloncat bangun. “Jangan lari, Poan-kwi. Bayar dulu hutangmu!”
“Benar,” Shintala di sana juga berteriak. “Tunggu, Poan-jin. Kaupun kakek siluman yang tak boleh pergi!”
“Hm!” Swat Lian berkelebat dan langsung mengejar. “Kau menculik anak dan mantuku, Poan-jin. J angan lari dan berhenti dulu!”
Namun Poan-kwi tiba-tiba menggerakkan tangan ke belakang. Segumpal asap hitam meledak di muka nyonya itu dan Swat Lian terpekik berjungkir balik, cepat menghindar asap hitam yang tiba-tiba memenuhi udara itu. Tapi ketika nyonya ini melayang turun dan mengisap bau yang aneh mendadak tubuhnya terhuyung dan roboh.
“Hujin mencium Asap Hantu. Awas, yang lain menjauh!” Drestawala, kakek yang mengejar lawan tiba-tiba berseru sambil melepas ikat pinggangnya. Benda ini dikebutkan ke depan dan mendadak molor panjang, tahu-tahu menjirat dan menarik tubuh nyonya itu. Dan ketika sang nyonya mengeluh namun berhasil diselamatkan, Pendekar Rambut Emas berkelebat dan terkejut menerima isterinya ternyata isterinya itu pingsan.
“Cepat hirup Arak Dewa ini. Wewangiannya akan menghilangkan pengaruh Asap Hantu!” Drestawala, kakek itu, lagi-lagi berseru kepada Pendekar Rambut Emas. Kakek itu sudah melempar nyonya itu kepada suaminya, meloncat bangun dan menyambar cucunya sendiri agar tidak ceroboh memasuki gumpalan asap hitam. Poan-kwi telah menyebar buah racunnya, kakek itu marah. Dan ketika Pendekar Rambut Emas kembali terkejut menerima sebotol arak harum, si kakek menyuruh dia menghirupkan isinya maka hidung sang isteri didekati dan Swat Lianpun menghirup bau arak ini, langsung membuka mata kembali.
“Mana kakek jahanam itu!” sang nyonya membentak, sadar. “Apa yang dia lakukan kepadaku!”
“Sabar, kau menghisap hawa beracun, hujin. Poan-kwi melempar Asap Hantunya. Sekali terlambat ditolong tentu kaupun tewas. Lihat saja ketika sedetik kemudian kaupun pingsan!”
Swat Lian tertegun, memandang kakek ini. Tapi teringat anak-anaknya tiba-tiba ia menggigil. “Tapi... tapi anak-anakku...”
“Kita akan mengambilnya, niocu. Kita akan mengejar kembali. Tapi kau harus berhati-hati dan jangan ceroboh. Ikuti aku!” Pendekar Rambut Emas tiba-tiba meraih isterinya ini, melindungi. Dan ketika sang isteri terisak dan kakek itu mengangguk maka Shintala juga berseru bahwa dua kakek iblis itu harus dikejar.
“Akupun tak puas. Mari kejar, kong-kong. Perhitungan kita belum selesai!”
“Sabar,” sang kakek juga membujuk cucunya. “Kau juga harus turut kata-kataku, Shintala. Jangan sembrono atau nanti susah sendiri!”
“Tapi mereka menghilang, kita harus mencarinya. Atau bakal kehilangan jejak dan tak dapat mengejarnya!”
“Tentu, bagaimana pendapatmu, Kim-taihiap? Kita cari mereka lagi?”
“Ya, mari mencari. Kita jangan berpencar!” dan ketika pendekar itu berkelebat mengajak yang lain-lain maka Drestawala juga bergerak dan mengikuti pendekar itu. Kim-mou-eng memukul sisa-sisa asap dan melesat ke arah di mana iblis-iblis itu menghilang. Tapi ketika dua jam mereka berputaran tanpa hasil, Drestawala mengerutkan kening maka sejenak mereka berhenti.
“Barangkali taihiap dapat mencium jejak mereka. Aku sangsi.”
“Hm, tapi kaupun memiliki kesaktian tinggi, locianpwe. Semestinya kaupun mampu!”
“Baiklah, kalau begitu mari membagi tugas. Aku berputar seratus delapanpuluh derajat dari kiri ke kanan sedang kau seratus delapanpuluh derajat dari kanan ke kiri!” kakek itu tersenyum, diam-diam memang ingin menguji kepandaian Pendekar Rambut Emas dalam mempraktekkan “radar pencari musuh”.
Pendekar Rambut Emas tersenyum dan mengangguk memandang kakek itu. Dan ketika keduanya tiba-tiba bergerak ke kiri kanan dan duduk bersila, aneh sekali, maka keduanya tiba-tiba sudah bersedakep mendeteksi radar musuh!
Swat Lian dan Shintala bersinar-sinar memandang dua orang itu, diam-diam saling lirik dan tersenyum mengharap jagonyalah yang lebih dulu tahu. Swat Lian menjagoi suaminya sedang gadis cantik itu kakeknya. Aneh, merekapun juga ingin memamerkan keunggulan suami atau kakeknya! Tapi ketika mereka berdiri menonton dan menunggu sekejap, Kim-mou-eng maupun kakek itu sama-sama membuka mata tiba-tiba keduanya menuding ke selatan.
“Poan-kwi kembali ke Lam-hai. Kembali ke dunia!”
Dua wanita itu terkejut. Tiba-tiba mereka tertawa karena jago masing-masing ternyata sama tepat, tak ada yang kalah atau menang karena keduanya menunjuk berbareng ke arah yang sama. Kim-mou-eng dengan Tee-jong-gannya sementara kakek itu entah dengan ilmu batin apa. Dan begitu mereka tertawa memuji jago lawan maka Shintala berseru menyambar lengan kakeknya.
“Wah, Kim-taihiap pun sama seperti dirimu, kong-kong. Menunjuk tempat yang sama dalam waktu yang sama pula!”
“Ha-ha, Kim-taihiap memang memiliki kesaktian mengagumkan. Ilmu batinnya tinggi sekali!”
“Dan kaupun sama begitu, Drestawala-locianpwe. Aku kagum akan kepandaianmu ini.”
“Ah, tapi kau jauh lebih muda dibanding aku. Berarti, aku kalah dulu. Sudahlah, mari kembali ke dunia dan kita kejar Poan-jin-poan-kwi itu. Mereka kembali ke Lam-hai!”
“Baik, mari, locianpwe. Dan terima kasih untuk pertolonganmu kepada isteriku tadi!”
Drestawala tak menjawab. Kakek ini tersenyum saja ketika tiba-tiba Pendekar Rambut Emas menyambar isterinya, menampar atau menepuk ubun-ubun isterinya itu di mana tiba-tiba sinar putih meledak di tempat itu, pecah dan kemudian lenyap. Dan ketika Pendekar Rambut Emas menghilang dan lenyap meninggalkan alam halus, kembali di alam kasar maka Swat Lian seperti mimpi ketika tahu-tahu berada di depan laut Lam-hai, di depan debur ombak yang gemuruh!
“Kita tak boleh kehilangan iblis-iblis itu!” suaminya berkata, pendek dan singkat. “Mari ke balik bukit itu, niocu. Getar perasaanku menangkap sesuatu di sana!”
“Tapi Drestawala-lo-enghiong....”
“Aku sudah di sini, hujin. Dan suamimu benar!” kakek buta itu tiba-tiba muncul, sepasang matanya kembali berkejap-kejap.
Swat Lian tertegun karena di sini tiba-tiba kakek itu tak dapat melihat lagi. Lain alam halus lain pula alam kasar. Ah! Nyonya itu terbelaiak. Tapi ketika Drestawala tertawa dan berkata bahwa suaminya benar, kakek itupun menangkap getaran sesuatu di balik bukit maka bergeraklah kakek itu mendahului mereka.
“Kita kejar mereka, hujin. Atau nanti terlambat!”
“Dan aku tak akan membiarkan Poan-jin!” Shintala berseru, berkelebat di samping nyonya itu, bersama kakeknya. “Mari tangkap mereka, hujin. Aku tak akan membiarkannya lolos lagi!”
“Hm!” sang nyonya mengangguk, menyendal suaminya. “Kau benar, Shintala. Mari kejar dan tangkap mereka!”
Empat bayangan itu akhirnya bergerak. Mereka kembali ke bukit tapi langsung melewatinya. Di sini masih terasa hawa panas dari sisa pertempuran. Bunga-bunga api ada juga yang belum padam. Seluruh tempat itu hancur dan porak-poranda. Namun ketika mereka terus bergerak dan menuruni bukit, di sebelah sana, maka tiba-tiba tampak dua bayangan terbang meluncur di bawah penerangan bintang-bintang.
“Itu mereka!” Drestawala menuding, memang kakek itu ada di depan. “Jangan kehilangan jejak, Kim-taihiap. Mari kerahkan semua ilmu lari cepat dan tangkap mereka!”
Swat Lian tertegun. Dia terkejut dan heran bagaimana kakek itu tahu, padahal kedua matanya buta. Tapi ketika suaminya berbisik bahwa telinga kakek itulah yang amat terlatih, tahu gerakan atau bayangan lawan maka sang nyonya kagum dan mendecak memuji.
“Hebat sekali, luar biasa. Aku ingin mengetahui lebih jauh tentang kakek ini kalau nanti urusan sudah selesai!”
“Ha-ha!” Drestawala tiba-tiba tertawa di sana, menjawab pertanyaan sang nyonya. “Akupun ingin berkenalan lebih dalam dengan kalian, Kim-hujin, nanti kalau urusan sudah selesai. Akupun kagum dan telah mendengar nama kalian sebagai suami isteri yang gagah dan sakti!”
“Eh, kau mendengar?” sang nyonya terkejut. “Maaf, lo-enghiong. Telingamu luar biasa tajam sekali!”
“Ha-ha, hanya bisikan suamimu tadi yang tak kutangkap. Entah apa yang dia bicarakan!”
Pendekar Rambut Emas tersenyum. Akhirnya ia memberi tahu isterinya bahwa orang macam kakek itu dapat menangkap , suara dari jarak ratusan meter. Orang biasapun, kalau berbicara berbisik, akan dapat ditangkap dalam jarak tigaratus meter, apalagi kalau berbicara biasa seperti isterinya tadi. Dan ketika sang nyonya terkejut dan sadar, bertanya bagaimana kakek itu tak mengetahui kedatangan mereka ketika bertempur di puncak bukit maka suaminya menerangkan.
“Itu lain. Tadi segenap konsentrasi dan daya dengar kakek itu dicurahkan untuk Poan-jin-poan-kwi. Tapi begitu sudah dalam keadaan biasa lagi maka daya pendengarannya luar biasa tajam. Karena itu berbisik-bisiklah saja kalau tak ingin kata-katamu didengar kakek itu!”
Swat Lian mendusin. Akhirnya dia kagum dan mengerti itu, bersinar-sinar tapi tiba-tiba merah mukanya ketika bayangan Poan-jin-poan-kwi meluncur di depan. Suaminya menggandeng lengannya dan tiba-tiba berseru agar dia mengerahkan dua ilmu meringankan tubuhnya sekaligus, Jing sian-eng dan Cui-sian Gin-kang. Dan ketika tubuh mereka terbang dan meluncur ke depan, cepat luar biasa maka Drestawala juga mengerahkan ilmunya dan tiba-tiba lenyap di sana.
“Poan-kwi, berhenti!”
Dua iblis itu menoleh. Mereka terkejut melihat bayangan kuning emas menyambar bersama si kakek buta, hampir berbareng mencegat jalan, satu di kanan sedang yang lain di kiri. Dan ketika dua iblis itu terbelalak dan Swat Lian melihat di pundak lawannya terdapat dua sosok tubuh yang dipanggul maka kemarahan nyonya ini meledak mengetahui bahwa itulah Beng An dan mantunya, Siang Le!
“Lepaskan anak-anak itu!” sang nyonya sudah membentak dan menerjang maju. Swat Lian lupa nasihat suaminya dan kebetulan yang diserang adalah Poan-kwi, si iblis paling lihai. Maka begitu si nyonya bergerak dan Poan-kwi mendengus, berkelit dan menggerakkan tangannya yang lain maka segumpal asal hitam meledak di muka nyonya itu.
“Awas!” Pendekar Rambut Emas tak dapat membiarkan ini. Isterinya diancam bahaya dan dia tentu saja harus menolong, cepat membentak dan mendorong kedua tangannya menghantam buyar asap hitam itu. Tapi ketika asap terpental ke kiri dan jatuh di muka Drestawala dan cucunya maka Shintala batuk-batuk dan terhuyung roboh.
“Celaka!” kakek itu menjadi kaget. “Cepat hirup ini, Shintala. Awas!”
Pendekar Rambut Emas terkejut. Dia menyesal bahwa pukulan tangannya mengakibatkan asap beracun itu terpental ke arah Drestawala. Tapi melihat kakek itu sudah bergerak mencabut Arak Dewanya, Shintala menghirup dan pulih kembali maka pendekar itu berseru minta maaf dan cepat mendahului Poan-kwi agar tidak mengebutkan asap hitamnya itu.
“Maaf, mari kita hadapi lagi mereka ini, Drestawala-locianpwe. Biar isteriku menghadapi Poan-jin bersama cucumu!”
“Benar,” si kakek memutar tongkat, cucunya sudah tegak kembali. “Jangan biarkan isteri atau cucuku ini menghadapi Poan-kwi, Kim-taihiap. Dia adalah lawan kita dan Poan-jin itulah musuh cucu dan isterimu!”
Poan-kwi menggeram. Melihat Pendekar Rambut Emas sudah mendorong isterinya dan maju menyerang dengan pukulan-pukulan berbahaya cepat dia menyingkir sambil membentak. Saudaranya sudah diserang Kim-hujin karena nyonya itu tahu diri mencari lawan yang lebih lemah. Dan begitu nyonya itu membentak dan berkelebat menampar, Poan-jin menerima pukulan sakti maka angin menderu dan kakek itu dipaksa menangkis.
“Plak!” Poan-jin tergetar. Sang nyonya terpental tapi Swat Lian sudah melayang turun lagi menyerang lebih ganas, melengking dan menampar lagi dan untuk kedua kalinya dia membuat si iblis terhuyung. Kakek itu harus menjaga korban di pundaknya agar tidak dirampas. Dan ketika kakek itu menggeram karena Shintala juga berkelebat dan membentak nyaring, tongkat diputar menuju ulu hatinya maka kakek itu membalik dan lagi-lagi menangkis.
“Dukk!” Lengan si iblis seperti toya baja. Shintala terpental tapi seperti Kim-hujin iapun sudah melayang berjungkir balik, menyerang dan mengeroyok lagi karena Kim-hujin sudah berkelebatan mengerahkan ginkangnya. Cepat dan bertubi-tubi kakek itu sudah menghadapi kedua lawannya lagi seperti semula. Tapi karena sekarang kakek itu harus mempertahankan tawanannya, Swat Lian akhirnya mengetahui bahwa yang dibawa lawannya ini adalah Siang Le maka wanita itu tak memberi ampun dan Poan-jin sebentar saja terdesak hebat, memekik-mekik.
“Mundur kalian, mundur. Atau bocah ini kubunuh!”
Swat Lian terkejut. Kalau Siang Le dibunuh tentu dia repot, akhirnya mengendorkan serangan tapi hal itu dipergunakan kakek ini untuk membalas. Dan ketika Shintala melengking nyaring dan menyuruh Kim-hujin menekan lagi, hal yang membuat nyonya itu ragu-ragu maka Poan-jin tertawa-tawa mengejek lawannya.
“Boleh, tekan aku lagi, anak manis. Tapi bocah ini mampus. Hayo, beri jalan keluar atau dia kubunuh!”
Swat Lian memberi aba-aba. Nyonya itu jadi khawatir karena tiba-tiba melalui Coan-im-jip-bit suaminya juga berbisik agar tidak sampai mencelakakan mantunya. Poan-jin amat keji dan hal itu bisa saja dilakukan. Dan ketika kepungan mengendor dan di sana Poan-kwi juga mengancam Pendekar Rambut Emas, anak yang dibawa adalah Beng An maka Pendekar Rambut Emas juga ragu-ragu dan mengendorkan serangannya.
“Biarkan kami pergi, anak ini nanti kuserahkan. Minggir, atau bocah ini mampus... dess!” pukulan tongkat diterima Poan-kwi, yang meliuk dan menyambut Khi-bal-sin-kang yang dilancarkan Pendekar Rambut. Emas dengan tubuh Beng An. Dan ketika Pendekar Rambut Emas berseru keras menyelewengkan pukulannya, iblis itu benar-benar licik maka pendekar ini menjadi bingung karena Beng An tampak tak sadar di pundak kakek itu.
“Hayo, biarkan kami pergi, Kim-mou-eng. Atau anak-anak ini mampus!”
“Hm, lemparkan dulu kepada kami!” Pendekar Rambut Emas akhirnya berseru. “Baru setelah itu kalian bebas, Poan-kwi. Berikan dan jangan mengulur-ulur waktu!”
“Tidak!” tapi Shintala tiba-tiba membanting kaki, berteriak. “Mereka ini membunuh ayah ibuku, Kim-taihiap. Jangan dibiarkan lari atau aku akan mengadu jiwa!"
“Ha-ha!” si kakek terbahak. “Kau tinggal pilih, Pendekar Rambut Emas. Menerima tawaranku atau menerima permintaan bocah perempuan itu!”
“Keparat!” Drestawala menghantamkan tongkatnya lagi, keadaan menjadi tak enak karena pihaknya tiba-tiba bertentangan keinginan dengan Pendekar Rambut Emas. “Kau keji dan terkutuk, Poan-kwi. Tapi aku siap mengganti putera Kim-taihiap itu dengan nyawaku.... des-dess!” si kakek mencelat ditangkis tongkatnya, membentak dan menyuruh Pendekar Rambut Emas menyerang lagi.
Namun pendekar itu melihat gerakan tangan si kakek iblis ke tengkuk puteranya. Poan-kwi terkekeh-kekeh mengancam bahwa anak laki-laki itu akan diremukkan tulangnya, kalau pendekar itu berani mendesak. Dan ketika Kim-mou-eng terpaksa mundur dan tak jadi menekan lawan maka Poan-kwi membalik dan balas menghajar si kakek buta itu.
“Kau layak mampus!” bentakan itu disusul dengan gerakan misai yang melecut luar biasa cepat, menyambar leher Drestawala. “Mampuslah, buta tua. Dan aku senang mengganti bocah ini dengan nyawamu!”
Kakek itu mengelak. Dia mendengar sambaran misai namun ternyata dikejar juga, apa boleh buat menggerakkan tongkatnya tapi tongkat itu malah meledak, patah! Dan ketika Drestawala terkejut dan Pendekar Rambut Emas tersentak maka misai mengenai leher tapi untung tidak begitu kuat karena tiba-tiba Pendekar Rambut Emas menghantam kakek itu dengan dua pukulannya sekaligus, menyelamatkan temannya.
“Poan-kwi, jangan kejam!”
Si iblis terhuyung. Poan-kwi menyeringai dan bola matanya tiba-tiba berpijar seperti api. Kilatan cahaya merah menyambar dan Pendekar Rambut Emas terkejut karena mendadak sejulur lidah api menyambar alisnya. Tapi ketika ia cepat menghilang dengan kesaktiannya, lidah api itu meledak dan menghancurkan sebatang pohon di belakang maka Drestawala di sana menyeringai sakit menelan ludah.
Kakek ini merah mukanya dan patah atau hancurnya tongkat mendadak membuat wajahnya hitam gelap. Poan-kwi tertawa-tawa dan melihat lubang. Saat itu lawan dipukul mundur tapi Pendekar Rambut Emas mendadak muncul kembali, di depannya. Dan ketika kakek itu marah karena Pendekar Rambut Emas tak membiarkannya lolos, lubang itu sudah ditutup kembali maka terdengar geram atau pekik pendek si kakek buta.
“Kim-taihiap, aku akan mengadu jiwa. Tongkat saktiku dihancurkan. Jangan biarkan ia kalau berhasil kutangkap!”
Pendekar Rambut Emas tertegun. Ia tak mengerti apa yang dimaksud temannya ini ketika tiba-tiba Drestawala menubruk ke depan. Dengan kedua tangan kosong kakek itu menerkam lawan, kesepuluh jari-jarinya berkerotok. Dan ketika Poan-kwi terkejut karena si buta benar-benar mengadu jiwa, tak memperdulikan keselamatan sendiri kecuali menyerang dan melepas pukulan dahsyat maka si iblis melengking karena angin sebesar gunung menimpa dirinya.
”Aughhh...!”
Entah siapa yang mengeluarkan suara itu. Yang jelas terdengar dentuman menggelegar dan Poan-kwi menyambut tubrukan si kakek buta dengan tangan kirinya. Tangan kanan masih memanggul Beng An namun itu merupakan malapetaka bagi si iblis. Poan-kwi terpekik ketika tiba-tiba perutnya perih. Drestawala, si kakek buta, ternyata menerkam perutnya dengan seluruh kekuatan dahsyat.
Kuku kakek itu menggores dan kekebalan Poan-kwi ditembus, si iblis melengking tapi tiba-tiba ia melontarkan Beng An ke atas, tinggi sekali. Dan ketika tangannya bebas dan bergerak ke bawah, tangan kanan itu kini tak membawa Beng An lagi maka tangan itu langsung diayun ke bawah menghantam kepala Drestawala yang masih mencengkeram perutnya, merobek dan melukai setengah lingkaran.
“Dess!” Drestawala mengeluh. Kakek buta itu masih mencengkeram perut lawannya namun perlahan-lahan ia roboh, tertekuk. Kepalanya menerima pukulan berat dan retak! Dan ketika kakek itu terguling sementara Poan-kwi sendiri terhuyung mendekap perutnya, terluka, maka Beng An melayang ke bawah dan disambar lagi oleh iblis ini, karena Pendekar Rambut Emas waktu itu tertegun dan terbelalak melihat tewasnya Drestawala.
“Wut!” si iblis tak banyak membuang kesempatan. Detik itu juga ia berkelebat dan memutar tubuhnya, terbang meninggalkan pertempuran. Tapi ketika Pendekar Rambut Emas sadar dan berseru keras, mengejar, maka di sana juga terdengar keluhan dan terbantingnya tiga tubuh disusul lepasnya Siang Le dari tangan Poan-jin.
“Bluk-bluk!”
Pendekar Rambut Emas berhenti. Ia lagi-lagi tertegun karena isteri dan anak mantunya kebetulan terlempar ke arahnya, tentu saja tak menyia-nyiakan kesempatan itu dan menyambar Siang Le. Dan ketika isterinya meloncat bangun dan berteriak marah, tidak terluka maka di sana Shintala mengerang karena tongkatnya hancur tapi Poan-jin merintih karena “ngliyeng” (pusing) dihajar tongkat, juga pukulan si nyonya lihai yang menghantam berbareng! “Aduh, tobaatt...!”
Poan-kwi melihat keadaan adiknya itu. Pendekar Rambut Emas menolong isterinya pula dan cepat berkelebat ke arah Shintala yang terhuyung-huyung. Gadis ini ditangkis berat dan seluruh tubuhnya ngilu-ngilu. Maka begitu kesempatan ada dan menyambar adiknya ini Poan-jin tiba-tiba diajak melarikan diri. “Pendekar Rambut Emas, lain kali saja kita bertemu. Sekarang cukup!”
“Heii..!” Swat Lian tidak terima. “Jangan lari, Poan-kwi. Kau masih membawa anakku. Lepaskan, atau kau mampus!”
Poan-kwi mendengus. Sebatang pedang menyambar namun tanpa menoleh ia menyampok. Pedang itu terpental namun bayangan si nyonya mengejar, melepas pukulan tapi Poan-kwi mengebut lagi Asap Hantunya itu, asap yang meledak dan menuju muka si nyonya. Dan karena ini amat berbahaya dan Swat Lian harus melempar tubuh berjungkir balik memaki maka asap itu meledak dan keadaan yang sudah gelap menjadi semakin bertambah gelap lagi.
“Dar!” Poan-kwi menghilang. Swat Lian mencak-mencak dan selanjutnya terbang ke arah lain, mengitari asap hitam itu. Tapi ketika lawan tak berhasil dicari dan ia melengking-lengking maka bayangan suaminya berkelebat dan tiba-tiba menyambar lengannya.
“Drestawala tewas, Shintala menangis tersedu-sedu. Tolong dia dulu dan urus jenasah kakek itu!”
“Tewas?” Swat Lian tertegun, mukanya terbakar.
“Ya, tewas, niocu. Aku menyesal sekali karena ia berlaku nekat. Kakek itu mengadu jiwa untuk menyelamatkan Beng An. Tapi ketika Beng An terlepas aku malah tertegun melihat kematiannya. Untung masih dapat merampas Siang Le!”
Sang nyonya meredup pandangannya. Tertegun mendengar suaminya bercerita bahwa kakek itu tewas dalam usahanya menyelamatkan Beng An, dengan cara mengadu. jiwa maka mau tak mau ia harus kembali. Dia menyesal juga kenapa suaminya bengong sewaktu puteranya terlepas dari tangan si iblis. Kalau tidak, tentu Beng An dapat pula diselamatkan! Tapi menyadari bahwa kematian Drestawala memang mengejutkan suaminya, suaminya sudah bercerita tentang apa yang dilakukan kakek itu maka nyonya ini kembali dan melihat Shintala tersedu-sedu meratapi kematian kakeknya.
“Aduh, kau tega meninggalkan aku, kakek. Kau tega meninggalkan aku seorang diri. Ah, kau kejam. Kau tak kasihan kepada cucumu!”
“Hm, kematian kakekmu karena Poan-kwi,” Pendekar Rambut Emas membujuk dan menepuk pundak gadis ini. “Kakekmu tidak pergi begitu saja, Shintala. Ia tewas karena dibunuh Poan-kwi!”
“Benar,” Swat Lian juga menghibur, sudah memeluk dan mengangkat bangun gadis itu. “Poan-jin-poan-kwi sungguh keji, Shintala. Aku akan membalaskan kematian kakekmu karena ia telah berusaha menolong puteraku!”
“Kau!” gadis ini tiba-tiba meloncat bangun, menuding Swat Lian. “Gara-gara ini maka kakekku tewas, hujin. Keselamatan puteramu dibayar nyawa kakekku. Kalian juga yang menjadi gara-gara. Keparat!”
“Eh,” Swat Lian terkejut. “Apa katamu ini, Shintala? Kematian kakekmu bukan semata itu. Dia berlaku nekat dan sengaja mengadu jiwa dengan Poan-kwi!"
“Tapi itu dikarenakan kalian juga. Kakek ingin menolong anakmu!”
“Benar, dan untuk itu aku berterima kasih, Shintala. Aku.... wut!” sang nyonya mencelat kaget, diserang dan sudah dihantam bertubi-tubi oleh pukulan Shintala.
Gadis ini menjerit dan melengking karena tiba-tiba menganggap keluarga itulah yang salah. Kakeknya menjadi korban. Maka ketika sang nyonya belum menyelesaikan kata-katanya dan gadis itu berteriak melepas pukulan, Swat Lian tentu saja terkejut dan marah tiba-tiba saja mereka bertanding seru! “Keparat, kubunuh kau, Kim-hujin. Kubunuh kau!”
“Boleh....!” sang nyonya melengiking. “Mari bertanding sampai mampus, bocah. Kakekmu mati karena mencari penyakit, ia mati karena memang sudah tua bangka. Jahanam!”
Dua orang itu tampar-menampar. Tiba-tiba saja mereka berkelebatan pula dan Shintala memekik melihat perlawanan lawannya. Tubuhnya segera berpusing dengan ilmunya Sing-thian-sin-hoat dan pukulan-pukulan Khi-bal-sin-kang disedot ke dalam pusingan tubuhnya ini. Swat Lian membentak dan menarik pukulannya, bergerak mengandalkan Jing-sian-eng dan Cui-sian Gin-kangnya dan sebentar saja juga mengikuti pusingan tubuh gadis itu. Dan ketika serangan demi serangan silih berganti dan masing-masing coba menerobos pertahanan lawan, Pendekar Rambut Emas terkejut karena keduanya bertempur mati-matian maka pendekar itu bergerak dan mengembangkan lengannya ke kiri kanan memisah pertandingan.
“Berhenti, jenasah Drestawala masih di sini... des-dess!” dua wanita itu tertahan, masing-masing terhuyung namun Pendekar Rambut Emas sendiri harus menahan sesak dadanya karena dua pukulan itu menggencetnya di tengah-tengah. Sang isteri menarik pukulan dan ini melegakan pendekar itu. Dan ketika Shintala terhuyung berapi-api memandang lawannya maka Pendekar Rambut Emas berkata, menghela napas penuh penyesalan....
Kakek itu kiranya adalah kong-kong gadis ini, terbeliak tapi bola mata putih yang sejenak gembira itu mendadak tertutup meram-melek lagi, gelisah dan menunjukkan kecemasannya. Karena begitu gadis itu datang dan menghancurkan bunga-bunga api yang menyambar dari segala penjuru maka kakek itu berteriak, tongkat masih diputar cepat memadamkan semburan sinar biru dan merah.
“Shintala, jangan masuk ke sini. Jangan berhadapan secara langsung dengan mereka. Sembunyi dan berlindung di belakangku!”
“Tidak!” gadis itu dapat menghalau dan membuyarkan sinar warna-warni itu. “Aku dapat menghadapi mereka, kong-kong. Lihat ini aku mampu menghancurkan guna-guna mereka sampai lumat.... blarr!” namun segumpal cahaya api yang meluncur tiba-tiba, menyambar dan menghantam gadis ini dari belakang tiba-tiba tak dapat dikelit, meledak dan gadis itu terlempar berteriak kaget.
Swat Lian sampai terkesiap karena datangnya gumpalan api itu memang tidak disangka-sangka, cepat sekali. Tapi ketika gadis itu dapat bergulingan meloncat bangun dan hanya sedikit pakaian di belakang punggungnya hancur, memperlihatkan sedikit bagian punggung yang halus putih maka gadis itu pucat sementara kong-kongnya berseru tertahan berkelebat ke depan, menolong cucunya.
“Kau tak apa-apa?”
“Tidak, hanya... hanya punggungku dijilat api!”
“Ah, bersembunyi di belakangku, Shintala. Turut kata-kataku atau nanti kita berdua celaka.... blarr!” sebuah letupan kilat kembali terdengar, menggelegar dan kakek serta gadis itu terpelanting karena kurang cepat bergerak. Drestawala lengah memutar tongkat namun kini kakek itu sudah melindungi tubuhnya dengan putaran yang cepat, meloncat bangun dan duduk bersila dan melindungi pula cucunya dari sergapan api biru dan merah yang menyambar bertubi-tubi. Kakek itu mandi keringat sementara gadis cantik di sebelahnya juga tak mau tinggal diam, memutar kedua tangannya menghalau bola-bola api yang melesat dan menghantam mereka.
Dan ketika kakek dan cucunya mempertahankan diri, bukit itu bergetar dihujani bola-bola api besar maka Swat Lian yang menonton di luar tertegun dan kagum akan kepandaian kakek buta ini. Kakek itu mampu melindungi diri dengan putaran tongkatnya. Senjata di tangannya yang keriput bergerak luar biasa cepat menahan gempuran-gempuran bola api, menghancurkannya atau malah menyedotnya padam. Dari putaran tongkat itu keluar tenaga hisap dan Swat Lian kagum karena tak ada bola api yang mampu menerobos masuk.
Hal ini mengingatkan dia akan kepandaian gadis cantik itu, yang mampu berpusing dan menciptakan tenaga sedot dengan putaran tubuhnya. Dan karena kakek itu rupanya lebih lihai karena dengan tongkat di tangan ia mampu menghancurkan sambaran bola-bola api, bukit menjadi terang-benderang oleh tangkisan ini maka tawa menyeramkan yang tadi terdengar tiba-tiba tak terdengar lagi. Namun kakek itu masih memutar tongkatnya dengan amat cepat.
Swat Lian mulai berpikir, siapakah kakek buta yang hebat ini? Dan namanya tadi, hmm... Drestawala. Jadi seorang asing dan melihat mukanya kemungkinan besar adalah bangsa India. Kakek itu mandi keringat sementara cucunya juga mandi peluh. Dua-duanya berjuang keras melawan gempuran bola-bola api. Dan ketika sejam kemudian tangan kakek itu mulai menggigil, gadis di sebelahnya juga gemetar menahan serangan terus-menerus maka terdengarlah geraman itu lagi dan Swat Lian tahu-tahu melihat seorang kakek bermisai panjang muncul di sudut. Poan-jin-poan-kwi!
“Drestawala, kau tak akan mampu bertahan lagi. Tapi aku melihat beberapa temanmu ada di sini. Mana mereka dan kenapa licik menyembunyikan kekuatan? Suruh keluar, agar sekalian dapat kubunuh!”
“Aku tak membawa teman, kecuali cucuku ini. Kau Poan-jin atau Poan-kwi? Aku datang untuk memenuhi permintaan cucuku membalas sakit hati!”
“Ha-ha, lucu tapi tak tahu diri. Semakin tua ternyata semakin pandai bohong bicara. Heh, kau dusta kepadaku. Drestawala. Aku melihat dua orang lain yang menghilang di sini!”
“Aku tak tahu-menahu,” kakek itu terkejut mengerutkan kening, tongkat terus diputar menghalau atau memadamkan bola-bola api. “Kau percaya boleh tidak percaya juga tidak apa, Poan-jin. Sekarang aku dapat mengenal suaramu bahwa kau musuhku nomor dua!”
“Heh-heh, kau memang pintar. Tapi aku tak percaya!” dan Poan-jin yang bergerak melayang ke depan tiba-tiba menyambarkan misainya ke kakek itu. Shintala berada di belakang kakeknya dan gadis itu berseru memperingatkan akan adanya serangan ini. Namun ketika kakeknya mengangguk dan mendengar sambaran misai, tongkat masih tetap diputar kencang maka Drestawala menangkis dan kakek itu terpental.
“Ha-ha, tenagamu sudah mulai lemah, Drestawala. Coba ini lagi dan tangkis seperti tadi... dess!” si kakek bergulingan, terkejut dan menangkis dan tiba-tiba berteriaklah Shintala melihat Poan-jin mengejar dan menyerang lagi. Kakeknya menggigil dan tentu saja ia tak mau lawannya itu merobohkan. Tapi ketika gadis itu berkelebat dan mengayun tangannya maka Poan-jin menghilang dan Drestawala berteriak menggerakkan tongkat ke kiri.
“Awas... blarr!”
Ledakan tongkat menggetarkan tempat itu. Sebuah bola api menyambar dan Shintala terpelanting ketika tiba-tiba dari arah kiri muncul lawannya itu, seperti iblis saja tapi tiba-tiba dari arah yang lain muncul pula bayangan sesosok kakek bermisai yang berkelebatan melempar-lempar bola api. Dan ketika Shintala terkejut bergulingan meloncat bangun, dua bayangan Poan-jin tiba-tiba sambar-menyambar diiringi kilatan bola-bola api maka kakeknya berteriak bahwa Poan-kwi, iblis satunya, muncul.
“Awas, musuh-musuh kita muncul kedua-duanya!”
Shintala terbelalak. Untuk selanjutnya ia dikejar satu di antara dua kakek itu, yang terkekeh-kekeh dan menyerangnya dengan tamparan-tamparan maut. Dan ketika bola api juga terus sambar-menyambar, kakek yang satu menggerak-gerakkan ujung bajunya maka gadis itu tiba-tiba sudah dikurung dan berteriak mempertahankan diri.
“Pergunakan Sing-thian-sin-hoat (Silat Sakti Langit Berputar)!” Drestawala pucat, mendengar cucunya terdesak hebat dan berteriak berkaii-kali.
Gadis itu memang terdesak karena sebentar saja ia bingung menghadapi ribuan bola-bola api di udara, dikebut atau dipukul padam namun kakek bermisai ini menggerakkan tangannya yang lain untuk menampar atau melepas pukulan maut, belum lagi misainya yang bergerak maju mundur melecut-lecut itu. Poan-jin sungguh lihai! Tapi ketika gadis itu memperoleh kesadarannya kembali dan teriakan kakeknya memperingatkan dirinya mendadak ia melengking nyaring memutar tubuhnya seperti gasing.
Itulah ilmu silat yang pernah dipakainya menghadapi Swat Lian di bawah bukit, kini dipergunakan dan nyonya itu kagum karena sebentar kemudian gadis ini sudah terbungkus rapat. Tak mungkin Poan-jin menerobos pertahanan itu. Dan ketika kakek itu terbelalak dan kagum, bola-bola apinya hancur dipadamkan maka di sana Drestawala atau si kakek buta menghadapi lawan yang lebih tangguh.
“Kau Poan-kwi!” kakek itu berseru. “Mari kita bertanding, Poan-kwi. Baru sekarang kau muncul setelah menyembunyikan diri!”
“Hm!” Poan-kwi, kakek yang berkelebatan cepat menghilang berkali-kali itu mendengus. “Aku sekarang akan membunuhmu, Drestawala. Menunggu temanmu yang tak mau keluar juga dan rupanya akan keluar kalau kau sudah di ambang maut!”
“Aku tak membawa teman, kecuali cucuku itu!” kakek ini berteriak, terus memutar tongkatnya bak kitiran pesawat terbang. “Kau memandang rendah aku, Poan-kwi. Tak perlu si buta ini membawa bantuan!”
“Hm, tapi dua orang datang di bukit. Mereka bersembunyi. Kalau bukan temanmu tentu musuhku, sama saja!”
“Aku.... des-dess!” si kakek tak sempat meneruskan kata-katanya, menangkis sebuah pukulan maut dan terpentallah tongkat karena kakek itu menggigil berkurang tenaganya. Sejam terus-menerus memutar tongkat bukanlah pekerjaan ringan. Lawan amat licik karena selalu menyerang di balik ilmu hitam dan memaksa menangkis yang berarti mengeluarkan tenaga, tentu saja kakek ini gemetar. Dan ketika Poan-kwi berkelebat dan menusukkan dua jarinya, masuk di antara celah tongkat yang terpental maka si buta pucat melempar tubuh mendengar angin serangan yang bercuit ganas.
“Cuss!” Tanah membongkah mengepulkan asap. Drestawala bergulingan dan berteriak tertahan, diam-diam tak menyadari bahwa lawannya kagum akan pendengaran yang luar biasa tajam dari telinganya. Memang kakek buta itu hanya mengandalkan telinganya saja untuk menghadapi lawannya itu, lawan yang tidak main-main karena dia adalah Poan-kwi, tokoh yang amat sakti karena adalah paman guru See-ong, si iblis sesat yang namanya sudah menggetarkan dunia kang-ouw. Dan ketika kakek itu bergulingan meloncat bangun dan kembali memutar tongkatnya, mainkan Sing-thian-sin-hoat dan bertahan diri maka cucunya di sana basah kuyup menerima serangan gencar Poan-jin.
“Heh-heh, kaupun mampus, bocah. Kulalap jantungmu nanti. Heh-heh, tentu segar!”
“Keparat!” gadis itu melengking. “Kau boleh bunuh aku, Poan-jin. Tapi aku juga akan berusaha membunuhmu. Kau telah membunuh orang tuaku!”
“Ha-ha, kalau begitu mana mungkin? Orang tuamu saja telah kuantar ke neraka, apalagi kau anaknya!”
“Kau memang iblis terkutuk, biadab!” dan si gadis yang menangkis ledakan misai panjang tiba-tiba terhuyung karena lawan mempergunakan tenaga lemas, menotok tapi menariknya cepat ketika tersedot ke putaran Sing-thian-sin-hoat, licik dan curang dengan menendang sebuah batu hitam yang tepat mengenai lutut gadis itu, yang kontan berteriak dan terpincang! Tapi ketika gadis itu mampu bergerak cepat lagi dan memulihkan totokan di lututnya, lawan kagum, maka Swat Lian yang menonton di luar arena juga kagum dan semakin kagum saja.
“Dia hebat, lebih hebat daripada puteri kita Soat Eng!”
Sang nyonya terkejut. Entah kapan munculnya tahu-tahu bayangan kuning emas sudah berada di belakangnya, berseru lirih memuji gadis cantik itu. Dan ketika dia melonjak namun girang karena suaminya, Pendekar Rambut Emas, ada di situ maka nyonya ini balas berbisik menyatakan kekagumannya pula.
“Benar, ia hebat, suamiku. Dan kami telah bertanding dengan berimbang!”
“Kau bertempur?”
“Ya, secara tak sengaja. Ia mampu mengikuti gerakanku ketika mencari tempat si iblis Poan-kwi ini!”
“Hm, memang betul. Gadis itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang luar biasa. Lihat, kakinya tak menginjak tanah sama sekali, melayang berkelebatan cepat!”
“Aku sudah melihat. Dan ilmu meringankan tubuhnya itu setingkat Jing-sian-eng!”
“Hm, siapakah dia? Dan siapa si kakek buta itu? Kakek inipun hebat, ia memiliki kekuatan batin tinggi. Lihat sekarang ia mampu memutar tongkatnya tanpa tangan!”
Swat Lian tertegun. Ternyata si kakek sudah merobah gerakan. Ia bersedakap, duduk bersamadhi dan tongkatpun berputaran sendiri seperti benda bernyawa, cepat luar biasa hingga membungkus tuannya itu. Dan ketika pukulan atau serangan Poan-kwi terpental bertemu tongkat ini, si iblis terkejut maka kakek buta itu menggigil dan perlahan-lahan tubuhnyapun terangkat naik berkemak-kemik kepada tongkatnya itu.
“Terus... terus, Sin-tung. Teruslah berputar dan jangan berhenti menghadapi lawan!”
“Swat Lian terbelalak. Kakek itu naik perlahan-lahan sementara tongkat terus berkelebatan menjaga dirinya. Poan-kwi menggeram dan marah, lecutan misainya gagal. Tapi ketika kakek itu mendengus dan tertawa aneh, berseru perlahan, tiba-tiba iblis itu menghilang dan tongkat bergerak sendiri tanpa lawan.
Namun Pendekar Rambut Emas berseru tertahan. Tongkat yang melindungi tuannya dari kiri ke kanan tiba-tiba kecolongan akal cerdik. Segumpal asap hitam muncul dari atas menuju tengah-tengah lingkaran tongkat ini. ltulah bayangan Poan-kwi yang menghilang dengan ilmu hitamnya, tak dapat menerobos tongkat sekarang masuk dari atas, karena bagian inilah yang memang tidak terjaga. Tongkat tak berputaran di situ dan iblis tahu-tahu telah merobah bentuk dirinya, sebagai badan halus. Dan ketika dia masuk sementara si kakek buta tertegun sejenak, lawan menghilang maka saat itulah Poan-kwi muncul menghantamkan pukulannva ke ubun-ubun.
“Heh-heh, aku masih juga dapat masuk!”
Drestawala terkejut. Kakek itu membuka mata dan saat itu pukulan lawan sudah menyambar, tongkat masih terus berputaran tapi itu di luar. Dan karena Poan-kwi sudah masuk dan kini melancarkan serangan, tentu saja Drestawala terkejut maka kakek itu membentak dan mendorongkan kedua lengannya ke atas, karena ubun-ubunnya dipukul.
“Dess!” Kakek itu mencelat. Tongkat seketika, berhenti berputar karena pemiliknya mengaduh di sana, aneh dan ajaib mengikuti tuannya pula karena mendadak terbang menyusul Drestawala. Dan ketika kakek itu menyambar dan bergulingan meloncat bangun, Poan-kwi tak tinggal diam karena mengejar dan menghilang lagi dalam ilmu hitam maka Drestawala mengeluh karena selanjutnya ia dipukul bertubi-tubi dari atas ke bawah, terus didesak dan dicecar memutar tongkat.
Kini ia tak dapat mempergunakan ilmu batin karena lawan selalu mendahului. Setiap ia menggerakkan tongkat secara ilmu batin maka Poan-kwi lenyap mempergunakan ilmu hitam, muncul lagi dalam badan kasar kalau ia terpental oleh serangan lawan. Dan karena kakek buta sudah banyak kehilangan tenaga, sejam penuh memutar tongkat bukanlah pekerjaan ringan akhirnya kakek ini mendapat hajaran lawan menjadi bulan-bulanan pukulan.
“Ha-ha, ajal mendekatimu, Drestawala, Kau akan rnenyusul anak mantumu!”
Kakek itu pucat. Memang ia tak dapat berbuat banyak lagi setelah Poan-kwi muncul dan menghilang dengan ilmu hitamnya. Tujuh kali tubuhnya menerima tamparan dan tujuh kali itu pula ia terbanting dan mengeluh. Tapi ketika Poan-kwi terkekeh-kekeh dan Pendekar Rambut Emas mengerutkan kening melihat itu mendadak kakek ini mengeluarkan pekikan panjang dan dihantamkannyalah tongkatnya ke tanah.
“Blarr!”
Kakek itu tiba-tiba lenyap. Segumpal cahaya api muncul dari dalam bumi dan Drestawala hilang bagai siluman. Poan-kwi terkejut sejenak tapi tiba-tiba menggeram mengayun tangannya ke kiri. Dan ketika terdengar ledakan yang tak kalah dahsyat dengan hantaman tongkat maka muncul segumpal api pula di mana Poan-kwi tiba-tiba ikut menghilang.
“Ah, ke mana kakek itu?” Swat Lian terkejut. “Dan... heii, gadis itupun lenyap!"
Pendekar Rambut Emas tertegun. Di sebelah sana tiba-tiba Poan-jin juga kehilangan lawannya. Gadis itu, yang tadi bertanding mendadak disambar segumpal asap putih dan terbang ke bawah bukit. Iblis ini membelalakkan mata namun tiba-tiba tubuhnyapun disambar segumpal asap hitam, ditepuk pundaknya dan menghilang meluncur ke bawah bukit pula. Dan ketika suami isteri itu terkejut dan membelalakkan mata, Swat Lian tak tahu apa yang terjadi maka suaminya tiba-tiba menepuk kepalanya dan menghilang pula membawanya ke bawah bukit.
“Kakek itu mempergunakan ilmu rohnya, berujud badan halus. Mari kita lihat apa yang selanjutnya terjadi!”
“Ah!” sang isteri berseru tertahan. Kau bawa aku ke mana, suamiku? Apa ini? Heii, tubuhku menabrak pohon!” namun ketika seruan itu disertai rasa berdesir, pohon yang ditabrak ternyata dilewati atau “ditembus” begitu saja, sang nyonya tertegun maka Pendekar Rambut Emas tertawa bahwa ia telah mempergunakan Pek-sian-sutnya untuk lebur dalam badan halus.
“Poan-kwi dan Poan-jin lenyap mempergunakan kesaktiannya, begitu juga kakek buta yang hebat itu. Kalau kita berbadan halus juga dan mengejar mereka tentu tak bakalan ketemu. Jangan khawatir, aku mempergunakan Pek-sian-sutku, niocu. Kita berada di alam roh. Benda-benda kasar tak akan melukai kita meskipun tampaknya tertabrak!”
Sang nyonya tertegun. Akhirnya di meraba tubuhnya sendiri dan ternyata kaki maupun tangannya tak berbentuk badan kasar lagi. Dia tak dapat merasa bagaimanakah bentuk tubuhnya itu, kecuali perasaan ringan yang demikian entengnya hingga mampu bergerak dari satu tempat ke tempat lain dengan amat cepatnya. Pohon atau batu-batu besar mereka tembus atau lewati tanpa perasaan apa-apa, kecuali ngeri dan ringan! Tapi ketika semua itu berjalan beberapa detik dan untuk selanjutnya nyonya ini merasa biasa, bahkan girang, maka dilihatnya lagi kakek Drestawala itu bersama cucunya, juga Poan-jin-poan-kwi yang bergerak meluncur seperti iblis.
“Heii, itu mereka!”
“Benar,” sang suami mengangguk. “Tapi tanpa mempergunakan Pek-sian-sut tak mungkin kita melihatnya, niocu. Badan halus juga harus ditandingi atau dilihat secara badan halus. Dengan wadag kasar kita tak dapat mengikuti peristiwa di alam halus!”
Sang nyonya terkagum-kagum. Baru kali ini dia “dimasukkan” suaminya dalam ilmu kesaktian itu. Biasanya, suaminya mempergunakan sendiri untuk hal-hal tertentu, yang penting tentunya, seperti ketika menghajar dan menundukkan See-ong beberapa waktu yang lalu. Maka begitu sekarang menikmati rasanya di alam halus dan tubuh terasa begitu enteng dan ringan, mereka melayang-layang bagai peri atau mahluk mengambang maka Drestawala yang turun bukit meluncur begitu cepatnya meninggalkan lawan.
“Kakek itu seperti bermata saja. Dia tahu ke mana dia lari!”
“Hm, di alam halus mata kasar tak berguna lagi, isteriku. Ada mata lain yang lebih tajam daripada mata biasa. Kakek itu sudah tak buta lagi begitu masuk ke alam halus!”
“Dan gadis itu, ah..!” sang nyonya kagum. “Dia mampu menahan Poan-jin, suamiku, Meskipun akhirnya kewalahan dan terdesak. Cucu kakek buta itu hebat sekali!”
“Ya, tapi ia tak memiliki ilmu roh, Kakeknya itu lebih hebat namun Drestawala rupanya tak sanggup bertahan lagi terhadap Poan-kwi!”
“Lalu apa yang hendak kau lakukan?”
“Kita tolong mereka. Aku kakek buta itu dan kau cucunya! Mau?”
“Tentu saja. Poan-jin-poan-kwi juga musuhku tapi di mana anak-anak kita itu!
“Nanti saja dicari lagi. Nah, kita potong mereka, niocu. Aku akan mendahului di depan dan mencegat. Awas!” dan ketika Pendekar Rambut Emas berkelebat dan mengibaskan lengan ke belakang mendadak tubuh keduanya bagai didorong dan meluncur empat kali lipat daripada biasa.
Drestawala sudah di bawah bukit dan siap membelok ketika tiba-tiba saja Pendekar Rambut Emas dan isterinya ini meluncur di situ, berhenti dan mengerem tubuhnya kuat-kuat hingga sang kakek berteriak tertahan hampir menabrak, menghantamkan tangannya dan melesatlah tubuhnya ke kiri. Dan ketika kakek itu tertegun karena Pendekar Rambut Emas menjura di depannya, cepat mengangkat kedua lengan ke atas agar si kakek tidak menyerang maka Drestawala berseri melihat bantuan ini.
“Maaf, ji-wi berdua tak usah kaget. Aku Pendekar Rambut Emas dan ini isteriku Hu Swat Lian. Kami telah menyaksikan pertandingan kalian dan Poan-jin-poan-kwi adalah juga musuh kami. Aku akan membantumu dan isteriku membantu cucumu!”
“Ah-ah, ini Kim-taihiap yang gagah perkasa itu? Dan ini adalah Kim-hujin? Ah, kedatangan kalian adalah mengejutkan, taihiap. Tapi aku gembira bertemu kalian. Poan-kwi memang hebat, tapi aku bingung menyelamatkan cucuku. Tolong kalian bawa saja cucuku ini dan biar Poan-kwi menjadi bagianku!”
“Hm, kau terdesak, Drestawala-locianpwe. Poan-kwi setingkat di atas kepandaianmu, Aku sendiri ragu apakah mampu menghadapi iblis yang lihai itu. Tapi kalau kita berdua tentu mampu!”
“Ini... ini Kim-hujin?” Shintala, gadis cantik itu tiba-tiba berseru tertahan. Ia terkejut ketika dua orang itu tiba-tiba muncul, berkelebat dan telah menghadang di depan. Dan ketika ia terbelalak karena Swat Lian nyonya itu dikenalnya, mereka bahkan pernah bertempur maka gadis ini tak mampu berkata apa-apa ketika Pendekar Rambut Emas berbicara dengan kakeknya. Tapi begitu sadar dan selesai, kakeknya girang membalas penghormatan Kim-mou-eng maka iapun mengeluarkan seruannya tadi dan Swat Lian mengangguk, tersenyum.
“Benar, aku Kim-hujin, Shintala. Dan aku kagum sekali melihat kepandaianmu. Kau mampu menghadapi Poan-jin!”
“Ah, tapi... tapi kaupun hebat. Kau kiranya isteri Pendekar Rambut Emas!” dan ketika gadis itu terbelalak dan merah mukanya, teringat kelakuannya terhadap nyonya ini maka buru-buru ia minta maaf dan tersipu, mengherankan kakeknya. “Aku tak tahu, maafkan hujin. Pantas saja kau demikian lihai. Kalau begitu yang kau pergunakan tadi adalah Khi-bal-sin-kang yang amat tersohor!”
“Eh-eh, apa ini?” kakeknya terbelalak, heran. “Kenapa minta maaf? Apa yang kau lakukan terhadap Kim-hujin?”
“Ah, kami main-main sejenak, lo-enghiong (orang tua gagah). Karena cucumu semula menghadang aku ketika berkeliaran di tempat ini.”
“Ah, begitukah? jadi kalian bertanding?”
“Sudahlah,” Pendekar Rambut Emas tiba-tiba mengulapkan lengannya. “Kita tak dapat bicara lagi, Drestawala-locianpwe. Musuh datang!” dan ketika kakek itu menoleh dan menarik cucunya, Poan-jin-poan-kwi berkelebat maka dua kakek iblis itu muncul dan telah mengejar.
“Eihh, ada orang lain...!” Poan-jin, iblis nomor dua berseru. Kim-mou-eng sudah membalik dan terkejutlah iblis itu melihat empat orang ini, Di pihak Drestawala tiba-tiba bertambah dua orang! Tapi begitu melihat Swat Lian, Poan-jin pernah bertempur maka kakek itu terbahak menuding nyonya ini. “Dia Kim-hujin!”
“Benar, dan ini suamiku Kim-mou-eng,” Swat Lian berkelebat, berdiri gagah di depan suaminya dan dua orang itu terkejut.
Mereka, terutama Poan-kwi, memandang tajam pendekar ini. Dan ketika Swat Lian selesai berseru dan Pendekar Rambut Emas maju mendampingi isterinya maka Poan-kwi tiba-tiba menjengek dan mendengus. “Hm, ini kiranya si Pendekar Rambut Emas itu. Dicari ke mana-mana tak ketemu tiba-tiba muncul di sini. Bagus, kau rupanya memiliki sedikit kepandaian juga, Kim-mou-eng. Dan kehadiranmu di sini sudah menunjukkan bahwa kau cukup berharga. Aku ingin berkenalan denganmu... wut!”
Misai tiba-tiba menyambar, cepat dan luar biasa hingga Kim-mou-eng tiba-tiba tak sempat mengelak. Senjata itu sudah di depan hidung! Tapi ketika Pendekar Rambut Emas menggerakkan jarinya dan menampar, betapapun sudah memasang kewaspadaan maka misai itu ditangkis dan Khi-bal-sin-kang bekerja melindungi tuannya.
“Plak!” Dua-duanya tergetar. Poan-kwi surut selangkah sementara Pendekar Rambut Emas dua tindak! Hal itu menunjukkan bahwa Poan-kwi unggul setingkat, hal yang membuat Kim-mou-eng terkejut dan berseru tertahan. Dan ketika Poan-kwi tertawa dan menggerakkan kakinya lagi tiba-tiba kakek ini telah menyerang, untuk kedua kalinya.
“Kim-mou-eng, tak perlu kita banyak bicara lagi. Kau tentu ingin membela si Drestawala. Nah, terima pukulanku atau minggir.... plak-plak-plak!”
Dan tiga pukulan yang menghantam serta ditangkis tiba-tiba membuat Pendekar Rambut Emas terhuyung dan berobah mukanya, tak diberi kesempatan untuk mengelak dan karena itu dipaksa menangkis. Khi-bal-sin-kangnya menolak tapi lawanpun memiliki semacam tenaga karet yang membuat dia terhuyung. Dan ketika Pendekar Rambut Emas terkejut dan membelalakkan mata maka misai telah berpencar ribuan dan menotok atau menusuk tubuhnya dari segala penjuru, sebentar saja sudah mengurung!
“Aku adalah lawanmu!” Drestawala tiba-tiba membentak, tak membiarkan Pendekar Rambut Ernas didesak. “Hayo layani aku, Poan-kwi. Urusan kita belum selesai... des-dess!” dan tongkat yang menyambar serta menghantam misai tiba-tiba membuat benda-benda panjang itu berhamburan, pecah di sana-sini dan Pendekar Rambut Emas keluar dari kepungan. Si iblis menggeram namun selanjutnya kakek itu telah menyerangnya. Dan ketika Poan-kwi membentak dan menangkis tongkat maka Drestawala didesak dan kakek itu mendapat balasan.
“Jangan merobohkan lawan yang sudah lelah!” Pendekar Rambut Emas berkelebat dan ganti menolong Drestawala. “Kaupun lawanku, Poan-kwi. Mana anak dan mantuku dan kau apakan mereka!”
Poan-kwi melengking. Setelah Pendekar Rambut Emas masuk dan melepas pukulan pula maka dari dua penjuru dia dikeroyok. Tongkat Drestawala terlepas dari tekanan dan kini menyambarnya lagi, sementara pukulan-pukulan Pendekar Rambut Emas mulai bersiutan dan berat menyambar. Dan ketika sebentar kemudian dia yang terkurung dan malah terdesak maka iblis itu melengking panjang dan lenyap tubuhnya.
“Kim-mou-eng, kau manusia keparat!”
Pendekar Rambut Emas tak mengendorkan serangan. Begitu lawan berteriak dan terdesak, misainya tertolak oleh gabungan Khi-bal-sin-kang dan tongkat maka si iblis diserang dari segala penjuru hingga kewalahan. Drestawala girang karena Pendekar Rambut Emas benar-benar memiliki pukulan-pukulan ampuh. Mula-mula Khi-bal-sin-kang tapi kemudian ditambah dengan pukulan sinar putih yang bercuitan meledak-ledak. Itulah Lui-ciang-hoat yang menjadi pasangan Khi-bal-sin-kang.
Dan ketika Poan-kwi terhuyung maju mundur sementara tongkat mulai mendapatkan sasarannya, Poan-kwi kena gebuk maka Poan-jin di sana menjadi marah dan akan membantu saudaranya. Namun Shintala membentak kakek itu. Gadis ini berkelebat di depan ketika si iblis hendak menyerang, sejak tadi gerak-geriknya diawasi. Dan ketika Poan-jin melengking dan melecutkan misainya, dielak, maka Shintala diterjang karena saudaranya di sana sudah terdesak dan kian terdesak saja.
“Minggir!” iblis itu berseru marah. “Atau kau mampus, bocah. Dan lihat pukulanku... dess!” dan si gadis yang mengelak dari sebuah tamparan dahsyat akhirnya melihat bekas pukulan Poan-jin menghancurkan tanah, meledak dan selanjutnya kakek itu berkelebatan mengeliling gadis ini.
Shintala masih menghadang di antara dirinya dan kakeknya, karena itu Poan-jin menjadi marah sekali karena tak dapat membantu. Dan ketika gadis itu terdesak dan sebentar kemudian sudah melempar tubuh ke sana ke mari tak diberi kesempatan melompat bangun maka Swat Lian membentak dan menerjang kakek ini.
“Kau jangan menghadapi gadis yang sedang bergulingan. Inilah lawanmu, Poan-jin. Dan mari lanjutkan pertandingan kita dan kau atau aku yang mampus.... blarr! pukulan Khi-bal-sin-kang menyambar, suaranya menggelegar dan Poan-jin berteriak karena tubuhnya terlempar. Selanjutnya si nyonya menyerangnya gencar dan meledaklah pukulan-pukulan sakti itu, Swat Lian juga mengeluarkan Lui-ciang-hoatnya. Dan ketika si nyonya berkelebatan mengerahkan Jing-sian-engnya pula, Bayangan Seribu Dewa, maka Poan-jin terdesak karena Shintala sudah berdiri meloncat bangun dan menerjangnya pula.
“Bagus, kau beraninya hanya menghadapi wanita, Poan-jin. Nah, sekarang rasakan balasan kami berdua dan menari-narilah!”
Benar saja, Poan-jin dipaksa “menari-nari”. Kakek iblis ini harus melompat-lompat menghindari serangan dua wanita itu, yang kian lama kian gencar karena Shintala akhirnya juga mencabut tongkat pendek, tongkat yang tadi belum dikeluarkan karena dia merasa masih sanggup bertahan, biarpun terdesak. Dan begitu gadis ini mainkan Sing-thian-sin-hoatnya dan tongkat bergulung naik turun mengeluarkan tenaga sedot, Poan-jin terhuyung maju mundur karena ditolak Khi-bal-sin-kang maka kakek iblis itu berteriak marah karena didesak dua lawannya.
“Jahanam, tak tahu malu. Wehhh, kalian wanita-wanita curang, bocah. Beraninya mengeroyok!”
“Hm, mengeroyok iblis macam dirimu ini tak perlu malu, Poan-jin. Kaupun tak tahu malu menghadapi seorang wanita muda. Sekarang tak perlu berkaok-kaok atau cepat minta ampun kalau ingin kami menghentikan serangan!”
“Apa, minta ampun? Kepada tikus-tikus betina macam kalian? Keparat, kubungkam mulutmu nanti, Kim-hujin. Kutekuk punggungmu nanti menjadi dua!”
“Jangan banyak omong... dess!” dan Khi-bal-sin-kang yang mendarat dan menghantam di tubuh lawan tiba-tiba ditahan namun tongkat di tangan Shintala bergerak menyerampang, kuat dan cepat hingga Poan-jin terpelanting. Tubuhnya naik ke atas dan jatuh terjerembab. Dan ketika gadis itu terkekeh-kekeh sementara Swat Lian tersenyurn, geli, maka Poan-jin memaki-maki karena misainya ditahan Khi-bal-sin-kang sementara tubuhnya digebuki tongkat, tidak terluka tapi tetap juga sakit. Apalagi, yang menggebukinya adalah seorang gadis muda!
“Keparat, kukunyah dagingmu nanti. Kukuliti tubuhmu. Grr, kau siluman cilik yang licik, bocah. Aku akan mengeremus tulang-tulangmu nanti!”
Shintala tertawa berkelebatan mengejek. Ia tentu saja tak menghiraukan semua ancaman itu dan tongkat pendeknya justeru diputar gencar, mumpung mendapat bala bantuan dan Kim-hujin pun melakukan hal yang sama. Swat Lian atau nyonya Pendekar Rambut Emas ini juga mempergencar pukulan-pukulannya hingga Poan-jin tak mampu membalas. Iblis itu hanya menggerakkan misainya ke sana-sini seraya menampar atau menyambut pukulan-pukulan Khi-bal-sin-kang, juga Lui-ciang-hoat.
Tapi ketika sang nyonya melengking menggabung ilmu meringankan tubuhnya dengan Cui-sian Gin-kang, gerakan yang membuat tubuhnya berkelebatan dua kali lebih cepat daripada biasa maka Khi-bal-sin-kang maupun Lui-ciang-hoat akhirnya membuat si kakek iblis menggeram uring-uringan, terpental dan tidak lagi terhuyung mundur-mundur seperti tadi. Tongkat dan pukulan si nyonya demikian gencar mengepung dirinya, membuat Poan-jin terdesak hebat dan akhirnya satu gebukan kembali mengenai punggungnya, roboh terpelanting dan kakek itu marah sekali karena yang menggebuk adalah seorang gadis muda!
Kakek ini sampai melotot tapi ketika ia bergulingan meloncat bangun ternyata pukulan si nyonya menyambar, tak dapat dikelit dan lagi-lagi ia terbanting. Dan ketika Poan-jin melengking-lengking namun tidak terluka, hebat sekali kakek ini maka Swat Lian berteriak mencabut sesuatu dari saku bajunya. Itulah segulung tali di mana kemudian dengan cepat nyonya ini merakitnya menjadi jala. Poan-jin hendak ditangkap hidup-hidup. Barangkali, seperti harimau di tangan pemburu! Dan ketika kakek itu mendelik sampai biji matanya mau terloncat keluar maka jala di tangan nyonya ini melayang diiringi sebuah pukulan lain menyertai sambaran tongkat Shintala.
“Robohkan dia hidup-hidup. Bentur misainya, aku hendak mengikat!”
Shintala mengangguk. Tiba-tiba ia menjadi gembira karena lawan seperti domba yang hendak disembelih. Poan-jin memang terdesak hebat dan kini hanya berputaran mengikuti mereka tak dapat membalas. Satu-satunya jalan hanya nangkis tapi setiap bertemu Khi-bal-sin-kang tentu dia terpental, dipapak oleh gulungan tongkat yang mengeluarkan tenaga sedot dan kakek itu mati-matian melepaskan diri.
Jadilah dia bingung karena dua lawan satu ternyata dirinya tak mampu membalas. Satu lawan satu memang dapat diatasi kakek ini namun begitu dua wanita ini maju berbareng mendadak saja dia mati langkah. Poan-jin memang kebingungan! Tapi begitu tali menyambar dan siap menjala, kakek ini menggereng maka tangan kirinya bergerak dan misai yang tadi kaku sekonyong-konyong lemas tak mau dijerat.
“Plak-dess!”
Si nyonya kali ini tersentak. Poan-jin , memindah kekuatannya pada tangan kiri itu dan pada saat yang lain kakek itu meliuk mengelak sambaran tongkat. Shintala menyerangnya berseri-seri tapi gadis itu terkejut ketika tiba-tiba misai menjuntai lemas, tongkat meluncur dan saat itu tangan kanan si kakek bergerak, melakukan tamparan dahsyat karena sekarang tenaga di tangan kiri sudah dipindah ke tangan kanan, setelah tadi menghalau si nyonya. Dan ketika gadis itu tertegun tak mungkin menarik tongkatnya, misai menyibak di bawah ketiak maka saat itu tangan kanan lawan bertemu tongkatnya, sepenuh tenaga.
“Dess!” Gadis ini terpelanting. Satu lawan satu memang tak sanggup gadis itu melawan, betapapun dia kalah matang dan kalah kuat. Poan-jin dengan cerdik memecah tenaganya untuk kemudian dipakai menghantam mereka. Tentu saja gadis itu menjerit! Tapi karena Shintala memiliki kepandaian luar biasa dan cepat gadis itu melempar tubuh ke kiri membuang sisa tenaga lawan maka sambil mengeluh menahan sakit ia cepat bergulingan meloncat bangun karena saat itu Kim-hujin juga sudah berhasil menguasai diri dihantam sekuat tenaga.
“Iblis, kakek ini harus dibunuh!”
Namun Poan-jin tertawa panjang. Kakek itu memutar tubuh begitu dua lawannya terpelanting bergulingan, berkelebat dan lenyap karena saat itu dari arah lain terdengar rintih panjang dari suara Poan-kwi, yang juga berkelebat dan meninggalkan pertempuran karena tak mampu menahan gempuran-gempuran Kim-mou-eng. Drestawala membantu Pendekar Rambut Emas itu atau memang kedua-duanya saling bantu dan mendesaknya.
Lui-ciang-hoat dan Khi-bal-sin-kang yang berdentum setiap ditangkis akhirnya membuat Poan-kwi terhuyung-huyung, karena pada saat yang sama tongkat di tangan Drestawala juga menderu dan menghajar tubuhnya. Dan karena dua orang itu orang-orang yang memiliki kesaktian luar biasa dan hanya berkat kelebihan dan daya tahan tubuhnya yang luar biasa kakek iblis itu mampu mempertahankan diri maka begitu terdesak dan tak melihat keuntungan segera iblis ini melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan adiknya tadi.
Tangan kiri Poan-kwi menyambut pukulan Pendekar Rambut Emas ketika tiba-tiba misainya menjuntai lemas, menghindar sambaran tongkat. Dan ketika tenaga di tangan kanan dipindah ke tangan kiri, iblis itu melakukan pukulan yang disebut Thian-san-po-teng maka Khi-bal-sin-kang yang dilancarkan Pendekar Rambut Emas bertemu semacam tenaga dingin yang membekukan tulang, berdentum dan muncratlah bongkahan batu-batu es yang berhamburan ke sana-sini.
Poan-kwi sudah berlindung di balik tangkisannya ini dan ketika Pendekar Rambut Emas terbelalak dan terhuyung maka saat itulah dia merobah kedudukan kaki dengan meliukkan tubuh ke arah Drestawala. Tongkat saat itu menyambar dan secepat kilat tenaga tangan kiri ditarik ke tangan kanan, berbalik dengan tadi. Dan ketika tongkat di tangan Drestawala mencelat bertemu tangkisan amat dahsyat ini, Poan-kwi menggabung dua tenaganya di satu gerakan maka iblis itu melihat lubang untuk meloloskan diri dan kabur, memberi tanda kepada saudaranya berupa rintihan aneh.
“Kita pergi, lain kali saja diulang lagi!”
“Heii..!” Drestawala bergulingan meloncat bangun. “Jangan lari, Poan-kwi. Bayar dulu hutangmu!”
“Benar,” Shintala di sana juga berteriak. “Tunggu, Poan-jin. Kaupun kakek siluman yang tak boleh pergi!”
“Hm!” Swat Lian berkelebat dan langsung mengejar. “Kau menculik anak dan mantuku, Poan-jin. J angan lari dan berhenti dulu!”
Namun Poan-kwi tiba-tiba menggerakkan tangan ke belakang. Segumpal asap hitam meledak di muka nyonya itu dan Swat Lian terpekik berjungkir balik, cepat menghindar asap hitam yang tiba-tiba memenuhi udara itu. Tapi ketika nyonya ini melayang turun dan mengisap bau yang aneh mendadak tubuhnya terhuyung dan roboh.
“Hujin mencium Asap Hantu. Awas, yang lain menjauh!” Drestawala, kakek yang mengejar lawan tiba-tiba berseru sambil melepas ikat pinggangnya. Benda ini dikebutkan ke depan dan mendadak molor panjang, tahu-tahu menjirat dan menarik tubuh nyonya itu. Dan ketika sang nyonya mengeluh namun berhasil diselamatkan, Pendekar Rambut Emas berkelebat dan terkejut menerima isterinya ternyata isterinya itu pingsan.
“Cepat hirup Arak Dewa ini. Wewangiannya akan menghilangkan pengaruh Asap Hantu!” Drestawala, kakek itu, lagi-lagi berseru kepada Pendekar Rambut Emas. Kakek itu sudah melempar nyonya itu kepada suaminya, meloncat bangun dan menyambar cucunya sendiri agar tidak ceroboh memasuki gumpalan asap hitam. Poan-kwi telah menyebar buah racunnya, kakek itu marah. Dan ketika Pendekar Rambut Emas kembali terkejut menerima sebotol arak harum, si kakek menyuruh dia menghirupkan isinya maka hidung sang isteri didekati dan Swat Lianpun menghirup bau arak ini, langsung membuka mata kembali.
“Mana kakek jahanam itu!” sang nyonya membentak, sadar. “Apa yang dia lakukan kepadaku!”
“Sabar, kau menghisap hawa beracun, hujin. Poan-kwi melempar Asap Hantunya. Sekali terlambat ditolong tentu kaupun tewas. Lihat saja ketika sedetik kemudian kaupun pingsan!”
Swat Lian tertegun, memandang kakek ini. Tapi teringat anak-anaknya tiba-tiba ia menggigil. “Tapi... tapi anak-anakku...”
“Kita akan mengambilnya, niocu. Kita akan mengejar kembali. Tapi kau harus berhati-hati dan jangan ceroboh. Ikuti aku!” Pendekar Rambut Emas tiba-tiba meraih isterinya ini, melindungi. Dan ketika sang isteri terisak dan kakek itu mengangguk maka Shintala juga berseru bahwa dua kakek iblis itu harus dikejar.
“Akupun tak puas. Mari kejar, kong-kong. Perhitungan kita belum selesai!”
“Sabar,” sang kakek juga membujuk cucunya. “Kau juga harus turut kata-kataku, Shintala. Jangan sembrono atau nanti susah sendiri!”
“Tapi mereka menghilang, kita harus mencarinya. Atau bakal kehilangan jejak dan tak dapat mengejarnya!”
“Tentu, bagaimana pendapatmu, Kim-taihiap? Kita cari mereka lagi?”
“Ya, mari mencari. Kita jangan berpencar!” dan ketika pendekar itu berkelebat mengajak yang lain-lain maka Drestawala juga bergerak dan mengikuti pendekar itu. Kim-mou-eng memukul sisa-sisa asap dan melesat ke arah di mana iblis-iblis itu menghilang. Tapi ketika dua jam mereka berputaran tanpa hasil, Drestawala mengerutkan kening maka sejenak mereka berhenti.
“Barangkali taihiap dapat mencium jejak mereka. Aku sangsi.”
“Hm, tapi kaupun memiliki kesaktian tinggi, locianpwe. Semestinya kaupun mampu!”
“Baiklah, kalau begitu mari membagi tugas. Aku berputar seratus delapanpuluh derajat dari kiri ke kanan sedang kau seratus delapanpuluh derajat dari kanan ke kiri!” kakek itu tersenyum, diam-diam memang ingin menguji kepandaian Pendekar Rambut Emas dalam mempraktekkan “radar pencari musuh”.
Pendekar Rambut Emas tersenyum dan mengangguk memandang kakek itu. Dan ketika keduanya tiba-tiba bergerak ke kiri kanan dan duduk bersila, aneh sekali, maka keduanya tiba-tiba sudah bersedakep mendeteksi radar musuh!
Swat Lian dan Shintala bersinar-sinar memandang dua orang itu, diam-diam saling lirik dan tersenyum mengharap jagonyalah yang lebih dulu tahu. Swat Lian menjagoi suaminya sedang gadis cantik itu kakeknya. Aneh, merekapun juga ingin memamerkan keunggulan suami atau kakeknya! Tapi ketika mereka berdiri menonton dan menunggu sekejap, Kim-mou-eng maupun kakek itu sama-sama membuka mata tiba-tiba keduanya menuding ke selatan.
“Poan-kwi kembali ke Lam-hai. Kembali ke dunia!”
Dua wanita itu terkejut. Tiba-tiba mereka tertawa karena jago masing-masing ternyata sama tepat, tak ada yang kalah atau menang karena keduanya menunjuk berbareng ke arah yang sama. Kim-mou-eng dengan Tee-jong-gannya sementara kakek itu entah dengan ilmu batin apa. Dan begitu mereka tertawa memuji jago lawan maka Shintala berseru menyambar lengan kakeknya.
“Wah, Kim-taihiap pun sama seperti dirimu, kong-kong. Menunjuk tempat yang sama dalam waktu yang sama pula!”
“Ha-ha, Kim-taihiap memang memiliki kesaktian mengagumkan. Ilmu batinnya tinggi sekali!”
“Dan kaupun sama begitu, Drestawala-locianpwe. Aku kagum akan kepandaianmu ini.”
“Ah, tapi kau jauh lebih muda dibanding aku. Berarti, aku kalah dulu. Sudahlah, mari kembali ke dunia dan kita kejar Poan-jin-poan-kwi itu. Mereka kembali ke Lam-hai!”
“Baik, mari, locianpwe. Dan terima kasih untuk pertolonganmu kepada isteriku tadi!”
Drestawala tak menjawab. Kakek ini tersenyum saja ketika tiba-tiba Pendekar Rambut Emas menyambar isterinya, menampar atau menepuk ubun-ubun isterinya itu di mana tiba-tiba sinar putih meledak di tempat itu, pecah dan kemudian lenyap. Dan ketika Pendekar Rambut Emas menghilang dan lenyap meninggalkan alam halus, kembali di alam kasar maka Swat Lian seperti mimpi ketika tahu-tahu berada di depan laut Lam-hai, di depan debur ombak yang gemuruh!
“Kita tak boleh kehilangan iblis-iblis itu!” suaminya berkata, pendek dan singkat. “Mari ke balik bukit itu, niocu. Getar perasaanku menangkap sesuatu di sana!”
“Tapi Drestawala-lo-enghiong....”
“Aku sudah di sini, hujin. Dan suamimu benar!” kakek buta itu tiba-tiba muncul, sepasang matanya kembali berkejap-kejap.
Swat Lian tertegun karena di sini tiba-tiba kakek itu tak dapat melihat lagi. Lain alam halus lain pula alam kasar. Ah! Nyonya itu terbelaiak. Tapi ketika Drestawala tertawa dan berkata bahwa suaminya benar, kakek itupun menangkap getaran sesuatu di balik bukit maka bergeraklah kakek itu mendahului mereka.
“Kita kejar mereka, hujin. Atau nanti terlambat!”
“Dan aku tak akan membiarkan Poan-jin!” Shintala berseru, berkelebat di samping nyonya itu, bersama kakeknya. “Mari tangkap mereka, hujin. Aku tak akan membiarkannya lolos lagi!”
“Hm!” sang nyonya mengangguk, menyendal suaminya. “Kau benar, Shintala. Mari kejar dan tangkap mereka!”
Empat bayangan itu akhirnya bergerak. Mereka kembali ke bukit tapi langsung melewatinya. Di sini masih terasa hawa panas dari sisa pertempuran. Bunga-bunga api ada juga yang belum padam. Seluruh tempat itu hancur dan porak-poranda. Namun ketika mereka terus bergerak dan menuruni bukit, di sebelah sana, maka tiba-tiba tampak dua bayangan terbang meluncur di bawah penerangan bintang-bintang.
“Itu mereka!” Drestawala menuding, memang kakek itu ada di depan. “Jangan kehilangan jejak, Kim-taihiap. Mari kerahkan semua ilmu lari cepat dan tangkap mereka!”
Swat Lian tertegun. Dia terkejut dan heran bagaimana kakek itu tahu, padahal kedua matanya buta. Tapi ketika suaminya berbisik bahwa telinga kakek itulah yang amat terlatih, tahu gerakan atau bayangan lawan maka sang nyonya kagum dan mendecak memuji.
“Hebat sekali, luar biasa. Aku ingin mengetahui lebih jauh tentang kakek ini kalau nanti urusan sudah selesai!”
“Ha-ha!” Drestawala tiba-tiba tertawa di sana, menjawab pertanyaan sang nyonya. “Akupun ingin berkenalan lebih dalam dengan kalian, Kim-hujin, nanti kalau urusan sudah selesai. Akupun kagum dan telah mendengar nama kalian sebagai suami isteri yang gagah dan sakti!”
“Eh, kau mendengar?” sang nyonya terkejut. “Maaf, lo-enghiong. Telingamu luar biasa tajam sekali!”
“Ha-ha, hanya bisikan suamimu tadi yang tak kutangkap. Entah apa yang dia bicarakan!”
Pendekar Rambut Emas tersenyum. Akhirnya ia memberi tahu isterinya bahwa orang macam kakek itu dapat menangkap , suara dari jarak ratusan meter. Orang biasapun, kalau berbicara berbisik, akan dapat ditangkap dalam jarak tigaratus meter, apalagi kalau berbicara biasa seperti isterinya tadi. Dan ketika sang nyonya terkejut dan sadar, bertanya bagaimana kakek itu tak mengetahui kedatangan mereka ketika bertempur di puncak bukit maka suaminya menerangkan.
“Itu lain. Tadi segenap konsentrasi dan daya dengar kakek itu dicurahkan untuk Poan-jin-poan-kwi. Tapi begitu sudah dalam keadaan biasa lagi maka daya pendengarannya luar biasa tajam. Karena itu berbisik-bisiklah saja kalau tak ingin kata-katamu didengar kakek itu!”
Swat Lian mendusin. Akhirnya dia kagum dan mengerti itu, bersinar-sinar tapi tiba-tiba merah mukanya ketika bayangan Poan-jin-poan-kwi meluncur di depan. Suaminya menggandeng lengannya dan tiba-tiba berseru agar dia mengerahkan dua ilmu meringankan tubuhnya sekaligus, Jing sian-eng dan Cui-sian Gin-kang. Dan ketika tubuh mereka terbang dan meluncur ke depan, cepat luar biasa maka Drestawala juga mengerahkan ilmunya dan tiba-tiba lenyap di sana.
“Poan-kwi, berhenti!”
Dua iblis itu menoleh. Mereka terkejut melihat bayangan kuning emas menyambar bersama si kakek buta, hampir berbareng mencegat jalan, satu di kanan sedang yang lain di kiri. Dan ketika dua iblis itu terbelalak dan Swat Lian melihat di pundak lawannya terdapat dua sosok tubuh yang dipanggul maka kemarahan nyonya ini meledak mengetahui bahwa itulah Beng An dan mantunya, Siang Le!
“Lepaskan anak-anak itu!” sang nyonya sudah membentak dan menerjang maju. Swat Lian lupa nasihat suaminya dan kebetulan yang diserang adalah Poan-kwi, si iblis paling lihai. Maka begitu si nyonya bergerak dan Poan-kwi mendengus, berkelit dan menggerakkan tangannya yang lain maka segumpal asal hitam meledak di muka nyonya itu.
“Awas!” Pendekar Rambut Emas tak dapat membiarkan ini. Isterinya diancam bahaya dan dia tentu saja harus menolong, cepat membentak dan mendorong kedua tangannya menghantam buyar asap hitam itu. Tapi ketika asap terpental ke kiri dan jatuh di muka Drestawala dan cucunya maka Shintala batuk-batuk dan terhuyung roboh.
“Celaka!” kakek itu menjadi kaget. “Cepat hirup ini, Shintala. Awas!”
Pendekar Rambut Emas terkejut. Dia menyesal bahwa pukulan tangannya mengakibatkan asap beracun itu terpental ke arah Drestawala. Tapi melihat kakek itu sudah bergerak mencabut Arak Dewanya, Shintala menghirup dan pulih kembali maka pendekar itu berseru minta maaf dan cepat mendahului Poan-kwi agar tidak mengebutkan asap hitamnya itu.
“Maaf, mari kita hadapi lagi mereka ini, Drestawala-locianpwe. Biar isteriku menghadapi Poan-jin bersama cucumu!”
“Benar,” si kakek memutar tongkat, cucunya sudah tegak kembali. “Jangan biarkan isteri atau cucuku ini menghadapi Poan-kwi, Kim-taihiap. Dia adalah lawan kita dan Poan-jin itulah musuh cucu dan isterimu!”
Poan-kwi menggeram. Melihat Pendekar Rambut Emas sudah mendorong isterinya dan maju menyerang dengan pukulan-pukulan berbahaya cepat dia menyingkir sambil membentak. Saudaranya sudah diserang Kim-hujin karena nyonya itu tahu diri mencari lawan yang lebih lemah. Dan begitu nyonya itu membentak dan berkelebat menampar, Poan-jin menerima pukulan sakti maka angin menderu dan kakek itu dipaksa menangkis.
“Plak!” Poan-jin tergetar. Sang nyonya terpental tapi Swat Lian sudah melayang turun lagi menyerang lebih ganas, melengking dan menampar lagi dan untuk kedua kalinya dia membuat si iblis terhuyung. Kakek itu harus menjaga korban di pundaknya agar tidak dirampas. Dan ketika kakek itu menggeram karena Shintala juga berkelebat dan membentak nyaring, tongkat diputar menuju ulu hatinya maka kakek itu membalik dan lagi-lagi menangkis.
“Dukk!” Lengan si iblis seperti toya baja. Shintala terpental tapi seperti Kim-hujin iapun sudah melayang berjungkir balik, menyerang dan mengeroyok lagi karena Kim-hujin sudah berkelebatan mengerahkan ginkangnya. Cepat dan bertubi-tubi kakek itu sudah menghadapi kedua lawannya lagi seperti semula. Tapi karena sekarang kakek itu harus mempertahankan tawanannya, Swat Lian akhirnya mengetahui bahwa yang dibawa lawannya ini adalah Siang Le maka wanita itu tak memberi ampun dan Poan-jin sebentar saja terdesak hebat, memekik-mekik.
“Mundur kalian, mundur. Atau bocah ini kubunuh!”
Swat Lian terkejut. Kalau Siang Le dibunuh tentu dia repot, akhirnya mengendorkan serangan tapi hal itu dipergunakan kakek ini untuk membalas. Dan ketika Shintala melengking nyaring dan menyuruh Kim-hujin menekan lagi, hal yang membuat nyonya itu ragu-ragu maka Poan-jin tertawa-tawa mengejek lawannya.
“Boleh, tekan aku lagi, anak manis. Tapi bocah ini mampus. Hayo, beri jalan keluar atau dia kubunuh!”
Swat Lian memberi aba-aba. Nyonya itu jadi khawatir karena tiba-tiba melalui Coan-im-jip-bit suaminya juga berbisik agar tidak sampai mencelakakan mantunya. Poan-jin amat keji dan hal itu bisa saja dilakukan. Dan ketika kepungan mengendor dan di sana Poan-kwi juga mengancam Pendekar Rambut Emas, anak yang dibawa adalah Beng An maka Pendekar Rambut Emas juga ragu-ragu dan mengendorkan serangannya.
“Biarkan kami pergi, anak ini nanti kuserahkan. Minggir, atau bocah ini mampus... dess!” pukulan tongkat diterima Poan-kwi, yang meliuk dan menyambut Khi-bal-sin-kang yang dilancarkan Pendekar Rambut. Emas dengan tubuh Beng An. Dan ketika Pendekar Rambut Emas berseru keras menyelewengkan pukulannya, iblis itu benar-benar licik maka pendekar ini menjadi bingung karena Beng An tampak tak sadar di pundak kakek itu.
“Hayo, biarkan kami pergi, Kim-mou-eng. Atau anak-anak ini mampus!”
“Hm, lemparkan dulu kepada kami!” Pendekar Rambut Emas akhirnya berseru. “Baru setelah itu kalian bebas, Poan-kwi. Berikan dan jangan mengulur-ulur waktu!”
“Tidak!” tapi Shintala tiba-tiba membanting kaki, berteriak. “Mereka ini membunuh ayah ibuku, Kim-taihiap. Jangan dibiarkan lari atau aku akan mengadu jiwa!"
“Ha-ha!” si kakek terbahak. “Kau tinggal pilih, Pendekar Rambut Emas. Menerima tawaranku atau menerima permintaan bocah perempuan itu!”
“Keparat!” Drestawala menghantamkan tongkatnya lagi, keadaan menjadi tak enak karena pihaknya tiba-tiba bertentangan keinginan dengan Pendekar Rambut Emas. “Kau keji dan terkutuk, Poan-kwi. Tapi aku siap mengganti putera Kim-taihiap itu dengan nyawaku.... des-dess!” si kakek mencelat ditangkis tongkatnya, membentak dan menyuruh Pendekar Rambut Emas menyerang lagi.
Namun pendekar itu melihat gerakan tangan si kakek iblis ke tengkuk puteranya. Poan-kwi terkekeh-kekeh mengancam bahwa anak laki-laki itu akan diremukkan tulangnya, kalau pendekar itu berani mendesak. Dan ketika Kim-mou-eng terpaksa mundur dan tak jadi menekan lawan maka Poan-kwi membalik dan balas menghajar si kakek buta itu.
“Kau layak mampus!” bentakan itu disusul dengan gerakan misai yang melecut luar biasa cepat, menyambar leher Drestawala. “Mampuslah, buta tua. Dan aku senang mengganti bocah ini dengan nyawamu!”
Kakek itu mengelak. Dia mendengar sambaran misai namun ternyata dikejar juga, apa boleh buat menggerakkan tongkatnya tapi tongkat itu malah meledak, patah! Dan ketika Drestawala terkejut dan Pendekar Rambut Emas tersentak maka misai mengenai leher tapi untung tidak begitu kuat karena tiba-tiba Pendekar Rambut Emas menghantam kakek itu dengan dua pukulannya sekaligus, menyelamatkan temannya.
“Poan-kwi, jangan kejam!”
Si iblis terhuyung. Poan-kwi menyeringai dan bola matanya tiba-tiba berpijar seperti api. Kilatan cahaya merah menyambar dan Pendekar Rambut Emas terkejut karena mendadak sejulur lidah api menyambar alisnya. Tapi ketika ia cepat menghilang dengan kesaktiannya, lidah api itu meledak dan menghancurkan sebatang pohon di belakang maka Drestawala di sana menyeringai sakit menelan ludah.
Kakek ini merah mukanya dan patah atau hancurnya tongkat mendadak membuat wajahnya hitam gelap. Poan-kwi tertawa-tawa dan melihat lubang. Saat itu lawan dipukul mundur tapi Pendekar Rambut Emas mendadak muncul kembali, di depannya. Dan ketika kakek itu marah karena Pendekar Rambut Emas tak membiarkannya lolos, lubang itu sudah ditutup kembali maka terdengar geram atau pekik pendek si kakek buta.
“Kim-taihiap, aku akan mengadu jiwa. Tongkat saktiku dihancurkan. Jangan biarkan ia kalau berhasil kutangkap!”
Pendekar Rambut Emas tertegun. Ia tak mengerti apa yang dimaksud temannya ini ketika tiba-tiba Drestawala menubruk ke depan. Dengan kedua tangan kosong kakek itu menerkam lawan, kesepuluh jari-jarinya berkerotok. Dan ketika Poan-kwi terkejut karena si buta benar-benar mengadu jiwa, tak memperdulikan keselamatan sendiri kecuali menyerang dan melepas pukulan dahsyat maka si iblis melengking karena angin sebesar gunung menimpa dirinya.
”Aughhh...!”
Entah siapa yang mengeluarkan suara itu. Yang jelas terdengar dentuman menggelegar dan Poan-kwi menyambut tubrukan si kakek buta dengan tangan kirinya. Tangan kanan masih memanggul Beng An namun itu merupakan malapetaka bagi si iblis. Poan-kwi terpekik ketika tiba-tiba perutnya perih. Drestawala, si kakek buta, ternyata menerkam perutnya dengan seluruh kekuatan dahsyat.
Kuku kakek itu menggores dan kekebalan Poan-kwi ditembus, si iblis melengking tapi tiba-tiba ia melontarkan Beng An ke atas, tinggi sekali. Dan ketika tangannya bebas dan bergerak ke bawah, tangan kanan itu kini tak membawa Beng An lagi maka tangan itu langsung diayun ke bawah menghantam kepala Drestawala yang masih mencengkeram perutnya, merobek dan melukai setengah lingkaran.
“Dess!” Drestawala mengeluh. Kakek buta itu masih mencengkeram perut lawannya namun perlahan-lahan ia roboh, tertekuk. Kepalanya menerima pukulan berat dan retak! Dan ketika kakek itu terguling sementara Poan-kwi sendiri terhuyung mendekap perutnya, terluka, maka Beng An melayang ke bawah dan disambar lagi oleh iblis ini, karena Pendekar Rambut Emas waktu itu tertegun dan terbelalak melihat tewasnya Drestawala.
“Wut!” si iblis tak banyak membuang kesempatan. Detik itu juga ia berkelebat dan memutar tubuhnya, terbang meninggalkan pertempuran. Tapi ketika Pendekar Rambut Emas sadar dan berseru keras, mengejar, maka di sana juga terdengar keluhan dan terbantingnya tiga tubuh disusul lepasnya Siang Le dari tangan Poan-jin.
“Bluk-bluk!”
Pendekar Rambut Emas berhenti. Ia lagi-lagi tertegun karena isteri dan anak mantunya kebetulan terlempar ke arahnya, tentu saja tak menyia-nyiakan kesempatan itu dan menyambar Siang Le. Dan ketika isterinya meloncat bangun dan berteriak marah, tidak terluka maka di sana Shintala mengerang karena tongkatnya hancur tapi Poan-jin merintih karena “ngliyeng” (pusing) dihajar tongkat, juga pukulan si nyonya lihai yang menghantam berbareng! “Aduh, tobaatt...!”
Poan-kwi melihat keadaan adiknya itu. Pendekar Rambut Emas menolong isterinya pula dan cepat berkelebat ke arah Shintala yang terhuyung-huyung. Gadis ini ditangkis berat dan seluruh tubuhnya ngilu-ngilu. Maka begitu kesempatan ada dan menyambar adiknya ini Poan-jin tiba-tiba diajak melarikan diri. “Pendekar Rambut Emas, lain kali saja kita bertemu. Sekarang cukup!”
“Heii..!” Swat Lian tidak terima. “Jangan lari, Poan-kwi. Kau masih membawa anakku. Lepaskan, atau kau mampus!”
Poan-kwi mendengus. Sebatang pedang menyambar namun tanpa menoleh ia menyampok. Pedang itu terpental namun bayangan si nyonya mengejar, melepas pukulan tapi Poan-kwi mengebut lagi Asap Hantunya itu, asap yang meledak dan menuju muka si nyonya. Dan karena ini amat berbahaya dan Swat Lian harus melempar tubuh berjungkir balik memaki maka asap itu meledak dan keadaan yang sudah gelap menjadi semakin bertambah gelap lagi.
“Dar!” Poan-kwi menghilang. Swat Lian mencak-mencak dan selanjutnya terbang ke arah lain, mengitari asap hitam itu. Tapi ketika lawan tak berhasil dicari dan ia melengking-lengking maka bayangan suaminya berkelebat dan tiba-tiba menyambar lengannya.
“Drestawala tewas, Shintala menangis tersedu-sedu. Tolong dia dulu dan urus jenasah kakek itu!”
“Tewas?” Swat Lian tertegun, mukanya terbakar.
“Ya, tewas, niocu. Aku menyesal sekali karena ia berlaku nekat. Kakek itu mengadu jiwa untuk menyelamatkan Beng An. Tapi ketika Beng An terlepas aku malah tertegun melihat kematiannya. Untung masih dapat merampas Siang Le!”
Sang nyonya meredup pandangannya. Tertegun mendengar suaminya bercerita bahwa kakek itu tewas dalam usahanya menyelamatkan Beng An, dengan cara mengadu. jiwa maka mau tak mau ia harus kembali. Dia menyesal juga kenapa suaminya bengong sewaktu puteranya terlepas dari tangan si iblis. Kalau tidak, tentu Beng An dapat pula diselamatkan! Tapi menyadari bahwa kematian Drestawala memang mengejutkan suaminya, suaminya sudah bercerita tentang apa yang dilakukan kakek itu maka nyonya ini kembali dan melihat Shintala tersedu-sedu meratapi kematian kakeknya.
“Aduh, kau tega meninggalkan aku, kakek. Kau tega meninggalkan aku seorang diri. Ah, kau kejam. Kau tak kasihan kepada cucumu!”
“Hm, kematian kakekmu karena Poan-kwi,” Pendekar Rambut Emas membujuk dan menepuk pundak gadis ini. “Kakekmu tidak pergi begitu saja, Shintala. Ia tewas karena dibunuh Poan-kwi!”
“Benar,” Swat Lian juga menghibur, sudah memeluk dan mengangkat bangun gadis itu. “Poan-jin-poan-kwi sungguh keji, Shintala. Aku akan membalaskan kematian kakekmu karena ia telah berusaha menolong puteraku!”
“Kau!” gadis ini tiba-tiba meloncat bangun, menuding Swat Lian. “Gara-gara ini maka kakekku tewas, hujin. Keselamatan puteramu dibayar nyawa kakekku. Kalian juga yang menjadi gara-gara. Keparat!”
“Eh,” Swat Lian terkejut. “Apa katamu ini, Shintala? Kematian kakekmu bukan semata itu. Dia berlaku nekat dan sengaja mengadu jiwa dengan Poan-kwi!"
“Tapi itu dikarenakan kalian juga. Kakek ingin menolong anakmu!”
“Benar, dan untuk itu aku berterima kasih, Shintala. Aku.... wut!” sang nyonya mencelat kaget, diserang dan sudah dihantam bertubi-tubi oleh pukulan Shintala.
Gadis ini menjerit dan melengking karena tiba-tiba menganggap keluarga itulah yang salah. Kakeknya menjadi korban. Maka ketika sang nyonya belum menyelesaikan kata-katanya dan gadis itu berteriak melepas pukulan, Swat Lian tentu saja terkejut dan marah tiba-tiba saja mereka bertanding seru! “Keparat, kubunuh kau, Kim-hujin. Kubunuh kau!”
“Boleh....!” sang nyonya melengiking. “Mari bertanding sampai mampus, bocah. Kakekmu mati karena mencari penyakit, ia mati karena memang sudah tua bangka. Jahanam!”
Dua orang itu tampar-menampar. Tiba-tiba saja mereka berkelebatan pula dan Shintala memekik melihat perlawanan lawannya. Tubuhnya segera berpusing dengan ilmunya Sing-thian-sin-hoat dan pukulan-pukulan Khi-bal-sin-kang disedot ke dalam pusingan tubuhnya ini. Swat Lian membentak dan menarik pukulannya, bergerak mengandalkan Jing-sian-eng dan Cui-sian Gin-kangnya dan sebentar saja juga mengikuti pusingan tubuh gadis itu. Dan ketika serangan demi serangan silih berganti dan masing-masing coba menerobos pertahanan lawan, Pendekar Rambut Emas terkejut karena keduanya bertempur mati-matian maka pendekar itu bergerak dan mengembangkan lengannya ke kiri kanan memisah pertandingan.
“Berhenti, jenasah Drestawala masih di sini... des-dess!” dua wanita itu tertahan, masing-masing terhuyung namun Pendekar Rambut Emas sendiri harus menahan sesak dadanya karena dua pukulan itu menggencetnya di tengah-tengah. Sang isteri menarik pukulan dan ini melegakan pendekar itu. Dan ketika Shintala terhuyung berapi-api memandang lawannya maka Pendekar Rambut Emas berkata, menghela napas penuh penyesalan....