X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Rajawali Merah Jilid 12

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Rambut Emas Episode Rajawali Merah Jilid 12 Karya Batara

RAJAWALI MERAH
JILID 12
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
SOAT ENG tergetar hebat. Menyaksikan manusia terbang seperti burung, tanpa sayap, adalah seperti dongeng saja baginya. Sebenarnya ibu dan ayahnya, juga dirinya, mampu terbang dan bergerak seperti burung. Namun itu adalah berkat ilmu meringankan tubuh Jing-sian-eng dan Cui-sian Gin-kang. Dengan ilmu meringankan tubuh ini mereka memang dapat berkelebatan dan terbang seperti burung.

Namun karena mereka bukanlah burung dan suatu ketika harus hinggap di tanah, tidak seperti burung yang hinggap dan dapat beterbangan dari pohon yang satu ke pohon yang lain maka apa yang akan diperlihatkan kakaknya ini adalah lain dari yang lain. Ang-tiauw Sin-kun dikabarkan dapat membuat pemiliknya seperti burung, entahlah bagaimana itu. Tapi ketika kakak dan ayahnya sudah sama-sama berhadapan dan kakaknya tampak mengerutkan kening, bingung, maka ayahnya tertawa membentak,

“Liong-ji, siapkan dirimu sepenuhnya. Aku akan menghadapimu tanpa tanggung-tanggung lagi. Siap?”

“Nanti dulu,” Thai Liong mundur mengulapkan lengan. “Kenapa harus bertanding ayah? Bukankah ibu sudah mencobaku tadi?”

“Aku kurang puas. Belum semua kepandaianmu kau keluarkan. Nah, sekarang hadapi aku dan kalau perlu ibumu juga!” dan ketika puteranya terbelalak dan sang ayah membentak, melepas pukulan maka angin menderu dan menyambar pemuda itu. Khi-bal-sin-kang dikeluarkan dan Thai Liong mengelak. Tapi ketika sinar putih kembali menyambar dan mengejar, ledakan kedua terdengar lebih keras maka Pendekar Rambut Emas mengajak adu tenaga.

“Tangkis.... dukk!”

Thai Liong tak diberi kesempatan mengelak. Ayahnya sudah menyerang bertubi-tubi dan pukulan Bola Sakti mengejar dan menghantam dengan dahsyat. Thai Liong mau berkelit tapi pukulan ayahnya sudah mengurung dari delapan penjuru. Dan ketika apa boleh buat dia harus menangkis dan itu satu-satunya jalan maka Pendekar Rambut Emas terpental sementara puteranya terhuyung!

“Bagus!” sang ayah memuji dan berseru tertawa. “Sinkangmu pun hebat sekali, Thai Liong. Kemajuanmu pesat. Tapi hati-hati, aku akan merangsek dan mendesakmu terus.... wut-blarr!” dan sang pendekar yang sudah bergerak dan lenyap mengelilingi puteranya akhirnya terbang berputaran mendesak lawannya itu. Pukulan-pukulannya menggelegar bertubi-tubi dan lain Pendekar Rambut Emas lain pula isterinya. Setiap pukulan mengeluarkan sinar bercuit dan menggelegar. Tanah seketika berderak dan nyatalah banwa pukulan-pukulan pendekar itu memang lebih hebat dari isterinya.

Thai Liong berkali-kali terhuyung dan berseru kaget. Sudah lama dia tidak berlatih dengan ayahnya ini dan sekarang tahu-tahu sekali “berlatih” sudah mendapat serangan ayahnya yang hebat. Pendekar Rambut Emas bersungguh-sungguh karena tak lama kemudian bayangan kuning emas sudah berkelebatan dan terbang menyambar-nyambar mengelilingi pemuda ini. Thai Liong didesak dan dipaksa menangkis berkali-kali. Dan ketika pemuda itu terhuyung tapi ayahnya juga terpental, hal yang mengejutkan pendekar itu maka Kim-mou-eng atau Pendekar Rambut Emas ini bergerak lebih cepat lagi.

“Sekarang aku akan mengeluarkan Lui-ciang-hoat pula!”

Seruan itu sudah dibarengi dengan ledakan seperti petir. Suara dahsyat pecah di situ dan sinar kebiruan bercampur merah menyambar Thai Liong. Thai Liong mengelak tapi pohon di belakangnya segera hancur, roboh dan tumbang. Dan ketika ayahnya membentak dan menyerang lagi, sinar biru dan merah berganti-ganti dengan sinar putih dari pukulan Bola Sakti maka tempat itu sudah tak dapat diinjak manusia lagi karena sudah hancur dan berlubang-lubang, debu dan pasir berhamburan. Gelap!

“Ayah jangan terlalu bersungguh-sungguh. Aku tak tahan!”

“Tidak, kau harus mengeluarkan semua kepandaianmu, Thai Liong. Dan perlihatkan Ang-tiauw Sin-kun sepenuh hatimu. Hayo, aku ingin melihat kehebatanmu!”

“Tapi.... tapi aku tak ingin bersungguh-sungguh. Aku tak ingin bertanding mati-matian!”

“Kalau begitu kau mati, Thai Liong. “Aku bersungguh-sungguh dan terserah kau mau bersungguh-sungguh atau tidak... blarrr!” dan sepercik api yang meledak dan membakar pemuda ini tiba-tiba membukit dan sudah bergumpal-gumpal, mengejutkan Thai Liong yang tentu saja melempar tubuh bergulingan.

Khi-bal-sin-kang dan Lui-ciang-hoat sudah dikerahkan ayahnya sepenuh tenaga dan telapak ayahnya pun berasap. Api itu timbul dari situ dan Thai Liong tentu saja pucat mukanya. Dan ketika ayahnya mengejar dan pukulan itu kembali menyambar, pukulan maut yang akan menghanguskan dan menghancurkan siapa saja maka pemuda itu membentak dan kedua tangannya bergerak merentang jubah, persis sayap rajawali.

“Des-dess!”

Dua pukulan Pendekar Rambut Emas terpental. Pendekar itu bahkan terhuyung dan membelalakkan matanya. Puteranya tak bergeming! Dan ketika pendekar itu terkejut namun matanya berkilat gembira, Thai Liong mulai mengeluarkan kepandaiannya yang diharap maka pendekar itu membentak lagi dan Thai Liong mulai meliak-liuk sambil mengibas-ngibaskan jubahnya, bergeser maju mundur.

“Bagus, ha-ha. Ini yang kutunggu-tunggu, Liong-ji. Coba kita lihat siapa yang menang di antara Khi-bal-sin-kang dan Ang-tiauw Sin-kun!”

Dua orang itu bertanding lagi. Sekarang Thai Liong tak dapat tinggal di tempatnya lagi karena tanah yang diinjak sudah hancur dan berlubang-lubang. Tanah itu juga panas sehingga tak dapat ditinggali. Orang biasa yang menginjak tanah ini tentu terbakar kakinya dan mungkin hangus. Dan ketika ayah dan anak bertanding lagi, dahsyat dan hiruk-pikuk maka pertempuran sudah bergeser dan menuju sebuah bukit.

Kim -mou-eng mengeluarkan pukulan-pukulan panas dan ganti-berganti Khi-bal-sin-kang dan Lui-ciang-hoat menyambar puteranya. Bahkan, digabung lagi dengan Tiat-lui-kang atau Pek-sian-ciang (Pukulan Dewa Putih), ilmu yang menjadi andalannya dulu sebelum mendapat Khi-bal-sin-kang dan Lui-ciang-hoat. Tapi ketika Thai Liong tak bergeming dan pemuda itu mampu menahan atau mementalkan pukulan-pukulannya dengan kebutan jubah merah itu, yang bergerak dan mengibas-ngibas bagai sepasang sayap rajawali maka Kim-mou-eng tertegun kaget karena dengan gerakan itu puteranya mampu mendorong dan bahkan membuatnya terhuyung-huyung!

Thai Liong seakan tembok baja yang tak terpengaruh sedikitpun oleh pukulan-pukulan panasnya, bahkan, tak terpengaruh pula oleh ledakan atau guncangan yang dibuatnya. Dan ketika semua pukulannya membalik dan Khi-bal-sin-kang yang dipunyai juga membalik, luar biasa sekali, maka Pendekar Rambut Emas terbanting ketika tubuhnya terangkat dan tertolak tinggi.

“Bress!” Kim-mou-eng terkejut bergulingan melompat bangun. Thai Liong memandangnya dan tampak tertegun, diam, tak bergerak. Tapi ketika ayahnya melompat bangun dan membentak lagi, ayahnya itu tak apa-apa maka Pendekar Rambut Emas melengking dan mengeluarkan senjatanya, pit hitam, senjata yang hampir tak pernah dipergunakan kalau tidak betul-betul perlu!

“Thai Liong, kau luar biasa sekali. Hebat. Tapi aku masih mempunyai pit ini dan coba tahan kalau bisa... cuittt!” dan pit hitam yang menyambar dan dilepas pendekar itu, terbang dan mengelilingi Thai Liong tiba-tiba seakan benda hidup yang melakukan totokan atau pagutan-pagutan seperti ular.

Thai Liong sibuk menangkis atau mengelak tapi pada saat itu ayahnya bergerak, menyerang dan berkelebat lagi dan jadilah pemuda itu diserang oleh dua lawan. Satu pukulan atau tamparan-tamparan ayahnya sedang yang lain adalah gerakan pit hitam yang beterbangan itu. Dengan ilmunya yang tinggi pendekar ini mampu menggerakkan senjatanya dari jauh, sepintas, seperti sihir. Dan ketika Thai Liong sibuk dan repot serta kewalahan maka pit hitam mematuk tubuhnya sekali.

“Tak!” Namun pit itu patah. Bertemu tubuh Thai Liong yang keras dan atos seperti besi tiba-tiba benda itu runtuh, patah menjadi dua. Tapi begitu Pendekar Rambut Emas membentak dan menggerakkan tangannya ke bawah tiba-tiba pit hitam yang patah menjadi dua itu “berdiri” dan menyambar Thai Liong lagi.

“Eiihhhh....!” Thai Liong terkejut. “Kau hebat, ayah. Seperti siluman!”

“Ha-ha, belum semua, Thai Liong. Aku akan membuat pit itu menjadi beratus-ratus.... tak-tak!” dan pit yang kembali runtuh dan patah bertemu Thai Liong tiba-tiba menjadi banyak karena setiap patah tentu bergerak dan “hidup” lagi. Patah dua menjadi empat, patah empat menjadi delapan. Dan ketika tak lama kemudian ratusan pit hitam menyambar-nyambar maka Thai Liong benar-benar terkejut dan kaget sekali, belum pernah melihat ilmu seperti yang dikeluarkan ayahnya saat ini.

“Haiittt..... plak-plak-plak!”

Namun celaka. Seperti tadi ketika patah menjadi dua tiba-tiba pit hitam itu menjadi berganda. Kalau tadi ratusan maka sekarang ribuan, kecil-kecil dan beterbangan dan Thai Liong tentu saja kaget karena seluruh tubuhnya disambar pit-pit hitam ini. Dari kaki sampai ke kepala tak ada yang terlewatkan. Dan karena saat itu ayahnya juga berkelebatan dan menyerang di balik ribuan pit-pit hitam ini, yang entah bagaimana berobah begitu banyak maka Thai Liong tiba-tiba mengeluarkan pekikan dan mendadak pemuda itu lenyap.

“Wushh!”

Kim-mou-eng kehilangan lawan. Puteranya lenyap seperti siluman dan saat itu pit-pit hitam bertabrakan sendiri. Mereka hancur dan runtuh, menjadi serpihan-serpihan yang tak mungkin dipergunakan lagi, nyaris menjadi debu. Tapi ketika sebuah bayangan merah bergerak dan menyambar di belakangnya, kibasan angin pukulan menghantamnya dahsyat maka Pendekar Rambut Emas membalik dan menangkis.

“Dess!” Pukulannya mengenai angin kosong. Thai Liong puteranya telah berpindah ke lain tempat lagi dan dari situ puteranya tertawa melepas pukulan. Kim-mou-eng membalik namun puteranya lenyap lagi. Dan ketika pendekar itu tertegun namun sadar bahwa puteranya tak berbentuk badan kasar lagi, lenyap dengan ilmunya Beng-tau-sin-jin maka pendekar itu berseru nyaring dan tertawa gembira.

“Bagus, kau mengajak bertempur tanpa jasad, Liong-ji. Aku tak dapat melihatmu tapi pasti dengan ini kita sama-sama di alam halus.... blarr!” letupan kecil terdengar dari telapak pendekar itu. Kim-mou-eng menggerakkan kedua kakinya menjejak tanah, mulut berkemak-kemik dan tiba-tiba terdengar ledakan itu. Dan ketika asap putih muncul dari dalam bumi dan mengangkat naik pendekar ini tiba-tiba Kim-mou-eng pun menghilang karena telah mempergunakan Pek-kwi-sutnya (Ilmu Bersatu Dengan Dewa), yakni tandingan Hek-kwi-sut (Lebur Bersama Iblis) yang dulu dipunyai See-ong!

“Ha-ha, sekarang sama-sama, Liong-ji. Coba kalahkan ayahmu atau aku tak akan puas kalau belum roboh!”

Swat Lian dan Soat Eng terbelalak. Ibu dan anak sama-sama menyaksikan pertandingan itu sejak mula, mulai dari kemah darurat sampai kini ke puncak bukit. Api dan asap yang sambar-menyambar membuat mereka tak berani mendekat. Mereka sama-sama tahu kedahsyatan pendekar itu. Tapi ketika Thai Liong menghilang sementara Pendekar Rambut Emas juga lenyap mempergunakan ilmu batinnya, Pek-kwi-sut bertemu dengan Beng-tau-sin-jin (Manusia Menembus Alam Roh) maka Swat Lian maupun puterinya tak dapat mengikuti jalannya pertandingan lagi.

“Sialan,” sang ibu mengumpat. “Ayah dan kakakmu ini sama-sama gila, Eng-ji. Masa tak mau dilihat dan mempergunakan jasad halusnya!”

“Tapi inipun tak kalah menarik. Lihat, asap putih melawan asap merah, ibu. Kita dapat menyaksikan mereka itu!”

“Benar, tapi bentuk tubuh mereka tak kelihatan, Eng-ji. Kita hanya bengong saja memandang dua asap yang bergulung saling desak!”

“Tapi itu sudah cukup. Orang lain tak mungkin dapat melihatnya. Ah, asap merah mendesak dan memukul asap putih. Asap putih itu tentu ayah!”

Swat Lian melebarkan bola matanya. Pertandingan memang sudah tidak bisa dilihat lagi dengan mata biasa. Kalau mereka ingin melihat, maka harus bersamadhi dan memasuki alam batin. Yang mereka lihat hanyalah gulungan asap putih dan merah, itupun sering lenyap karena pertandingan batin tak dapat diikuti secara lahiriah. Dan ketika asap putih tampak terdorong dan terdesak, teriakan puterinya membuat nyonya ini penasaran untuk melihat jelas maka Swat Lian tiba-tiba melompat dan duduk bersila di balik sebuah batu hitam. Dan begitu nyonya itu memejamkan mata dan mengerahkan tenaga batinnya, sang puteri tertegun maka Swat Lian sudah tenggelam dan mampu menyaksikan pertandingan aneh itu.

“Ah, aku juga ingin melihatnya. Biar aku bersama ibu!”

Namun baru Soat Eng berkelebat dan duduk di sisi ibunya, ingin melakukan hal yang sama tiba-tiba terdengar ledakan dan guncangan yang dahsyat. Ibunya terpental dan Soat Eng sendiri terlempar berjungkir balik, kaget dan berteriak dan tahu-tahu asap putih dan merah itu sudah menghilang. Sebagai gantinya tampaklah Pendekar Rambut Emas roboh terbanting, muncul dan muntah darah. Dan ketika Thai Liong juga tampak dan muncul di tengah asap yang membuyar maka pemuda itu mandi keringat dan berseru memanggil ayahnya, berkelebat dan cepat berlutut.

“Ayah terluka. Ah, ini tak boleh terjadi!”

Swat Lian dan Soat Eng tertegun. Soat Eng berjungkir balik melayang turun ketika melihat kakaknya itu berteriak dan berseru tertahan, wajah kakaknya pucat. Namun ketika ibunya meloncat bangun dan berkelebat datang, mencengkeram ayahnya maka ayahnya itu tampak membuka mata tapi tertawa, aneh sekali.

“Ouhh, aku tak dapat menghadapi anak kita ini. Thai Liong... dia... dia hebat sekali!”

“Tak perlu ayah bicara!” Thai Liong bergerak dan menekan pundak ayahnya, langsung menyalurkan sinkang. “Kau terluka, yah. Dan ini karena kekerasan kepalamu sendiri. Aku menyesal, jangan ayah bicara lagi dan cepat telan obat dari Sian-su ini!”

Pendekar Rambut Emas bersinar-sinar. Pertempuran telah selesai dan dia tadi terlempar dari gulungan asap putih. Adu tenaga di antara mereka membuat pukulannya membalik, Thai Liong luar biasa kuat dan pemuda itu tak apa-apa, bagai tembok atau dinding baja yang tak bergeming. Dan ketika pemuda itu memberikan obat dan cepat dia menelan ini, tersenyum tapi batuk-batuk melontakkan darah maka Thai Liong menyuruh ayahnya memusatkan konsentrasi dan meminta ibunya mundur pula.

“Ini dapat kuselesaikan sendiri, harap ibu duduk saja menjauh.”

Swat Lian terbelalak dan khawatir. Ia tahu kekerasan hati suaminya ini tapi tak tega membiarkan. Iapun ingin memberikan sinkangnya namun Thai Liong berkata bahwa sinkang mereka bisa bertolak belakang, itu berbahaya. Dan karena pemuda itu menolong ayahnya sendiri dan Kim-mou-eng pun memberi tanda agar dia mundur, Swat Lian bingung tapi juga gelisah maka Thai Liong sudah menyalurkan sinkang di pundak ayahnya itu. Tadi ayahnya mendesak dan berseru berulang-ulang agar dia mengeluarkan semua kepandaiannya. Bertubi-tubi pukulan Tiat-lui-kang atau Pek-sian-ciang menyambar, dibantu pula oleh Lui-ciang-hoat dan Khi-bal-sin-kang.

Tapi karena dia mengenal ilmu-ilmu silat ayahnya itu sementara ayahnya tak mengenal Ang-tiauw Sin-kun, Silat Rajawali yang dahsyat itu maka berkali-kali pukulan ayahnya terpental balik. Thai Liong terpaksa mempergunakan Beng-tau-sin-jinnya karena tak mampu menghadapi ribuan pit-pit hitam. Benda kecil-kecil itu benar-benar merepotkannya dan setiap dikebut patah tentu patahannya itu menyerang kembali. Inilah keistimewaan ayahnya di mana selama ini belum pernah dia melihatnya.

Maka begitu dia terdesak dan apa boleh buat mengeluarkan Beng-tau-sin-jinnya itu, berkelebat dan menghilang di balik cahaya merah tidak tahunya ayahnya mengejar dan menghilang pula dalam ilmu Pek-kwi-sutnya. Di sini mereka bertemu dan Thai Liong dikejar dan dihujani pukulan, ayahnya tak mau sudah kalau dia tidak berhasil merobohkan. Dan ketika apa boleh buat dia harus memperlihatkan kepandaiannya dan Ang-tiauw Sin-kun dimainkan dalam alam halus, luar biasa sekali, maka pemuda itu terbang dan menyambar-nyambar di balik kebutan jubahnya. Ayah dan anak bertanding tiada ubahnya dua ekor naga sakti yang sama-sama mengeluarkan kecepatannya.

Tapi ketika anaknya beterbangan dan mampu menindih kecepatannya, Jing-sian-eng kalah cepat dibanding gerakan sayap sepasang jubah merah itu maka Kim mou-eng terbelalak melihat puteranya menyambar-nyambar bagai rajawali sakti. Di sini pendekar itu melihat kelebihan puteranya. Thai Liong mampu terbang dan benar-benar tidak menginjak tanah lagi. Cahaya merah bergulung naik turun membungkus cahaya putih, kian lama kian lebar hingga cahaya atau asap putih menciut. Dan ketika dia terdesak dan Thai Liong melepaskan pukulan aneh, sepasang tangannya bergerak seperti cakar maka pendekar itu menangkis tapi Khi-bal-sin-kang atau Lui-ciang-hoatnya membalik!

Tadi ketika mereka belum sama-sama mengeluarkan kesaktian menghilang, masih bertempur dan mempergunakan jasad kasar pemuda itu sudah tak mampu disentuh lagi oleh pukulan-pukulannya. Swat Lian mampu mengikuti jalannya pertandingan ini sementara Soat Eng kabur. Gadis atau nyonya muda itu kalah setingkat dengan ibunya, apalagi gerakan Thai Liong pun luar biasa cepat hingga kakinya tak menginjak tanah lagi, melayang atau menyambar-nyambar seperti burung. Dan karena jubah merah itu selalu meledak-ledak dan mengibas atau mendorong, persis sayap rajawali yang membentang maka pukulan atau serangan suaminya tak pernah sampai.

Yang sampai justeru pit-pit hitam itu, benda-benda kecil yang berseliweran demikian banyaknya karena runtuh satu menjadi dua, runtuh dua menjadi empat. Tapi karena Thai Liong mengerahkan sinkangnya dan tenaga sakti pemuda itu merontokkan benda-benda itu, kecuali bagian-bagian lemah seperti mata atau hidung maka Thai Liong kewalahan dan mempergunakan ilmunya menghilang tadi. Dan Swat Lian duduk bersila, mengikuti secara batin, tertarik dan luar biasa tegangnya karena suaminya pun sudah mengejar dan mempergunakan Pek-kwi-sutnya. Dulu Pek-kwi-sut mampu menandingi Hek-kwi-sut dan See-ong akhirnya roboh, kalah.

Tapi setelah kini Pek-kwi-sut menghadapi Beng-tau-sin-jin, ilmu menembus roh maka Swat Lian terbelalak karena pukulan-pukulan suaminya itu tak ada yang menyentuh lawannya, tembus dan lewat begitu saja dan tentu saja suaminya terkejut. Baru kali ini Kim-mou-eng menghadapi peristiwa luar biasa, lawan tak dapat dipukul! Dan karena semua itu menjadikannya penasaran dan gemas hebat, pendekar ini lupa diri maka Swat Lian yang menonton jalannya pertandingan itu ternganga dan membuka mulutnya. Di sini wanita itu benar-benar melihat kesaktian Thai Liong. Suaminya, tokoh tanpa tanding tiba-tiba saja tak mampu merobohkan puteranya itu.

Thai Liong benar-benar seperti roh atau mahluk yang tembus dipukul, dan pemuda itupun bergerak-gerak seperti burung. Ujung jubahnya itu merentang lebar-lebar dan dengan gerakan jubah inilah pemuda itu menolak semua pukulan ayahnya. Dan ketika Pendekar Rambut Emas kebingungan karena tak mampu memukul, justeru dipukul dan ditolak balik maka akhir dari pertandingan itu membuat Pendekar Rambut Emas terlempar dan terbanting dari udara. Buyar Pek-kwi-sutnya dan muntah darah, terlalu bernafsu mengalahkan puteranya namun sang putera benar-benar terlampau hebat. Bagai rajawali sakti!

Dan ketika pendekar itu roboh dan Swat Lian tertegun, sempat menyaksikan bagian akhir dari pertandingan yang dahsyat itu maka Soat Eng terpekik dan terkejut ketika terlempar oleh guncangan atau ledakan yang menggetarkan puncak bukit, melihat ayahnya dan kakaknya sama-sama keluar dari alam halus namun ayahnya roboh muntah darah. Gadis itu tertegun dan tak sempat melihat apa yang terjadi. Hanya ibunyalah yang tahu dan tentu saja Kim-mou-eng sendiri, orang yang bersangkutan! Tapi ketika Thai Liong menolong dan menempelkan lengannya, ayahnya menelan obat maka tak lama kemudian ayahnya membuka mata dan tertawa melompat bangun, agak terhuyung.

“Cukup!” seruan itu melegakan. “Sekarang aku benar-benar yakin, Liong-ji. Kau sudah menjadi pemuda luar biasa dengan gemblengan Sian-su. Aku tak mampu menghadapimu!”

Thai Liong mengusap keringat. Dia telah mengeluarkan banyak tenaga untuk menolong ayahnya ini. Pertandingan tadi terlampau mendebarkan. Tapi melihat ayahnya pulih, mukapun sudah kemerahan maka Thai Liong lega dan berlutut. “Maafkan aku,” pemuda itu berkata lirih. “Kau mendesak dan membuatku bingung, ayah. Tidak dilawan aku celaka tapi kalau dilawan kau yang celaka. Ah, aku mohon ampun dan maaf!”

“Tak apa,” sang ayah berseri dan tertawa. “Aku ingin mengujimu sampai habis, Liong-ji. Kalau begitu benar apa yang dikatakan Sian-su dan aku girang!”

“Ayah bertemu Sian-su? Apa katanya?”

“Banyak sekali. Tapi mari ke lembah dan kita bicara di sana. Kemah kita hancur!”

Thai Liong tertegun. Ayahnya berkelebat dan benar-benar sudah tak apa-apa lagi, itulah berkat sinkangnya tadi tapi juga obat pemberian Sian-su. Dan ketika dia berdiri dan Soat eng berkelebat, menyambar lengannya maka Swat Lian bergerak dan sudah mengejar suaminya pula. Thai Liong lega bahwa ayahnya tak apa, juga ibunya tak marah dan Soat Eng pun bersikap biasa. Tapi teringat kenapa adiknya sendiri, Siang Le tak ada di situ maka pemuda ini bertanya ketika adiknya mengajak ke lembah, mengejar sang ayah.

“Aku.... aku sedang sial. Suamiku diculik gurunya!”

“Apa? See-ong membawa Siang Le? Bagaimana ini?”

“Bukan hanya itu, Liong-ko. Adik kita pun, Beng An, juga diculik penjahat dan dibawa lari. Dan kami tak mampu menghadapi penjahat itu!”

“Ah!” dan Thai Liong yang terkejut tapi tak berani bertanya lagi, adiknya ini menangis maka sudah bergerak dan tiba di lembah. Ini adalah tempat ayahnya setelah kemah di perkemahan bangsa Tar-tar itu, kemah yang hancur dan diam-diam membuat pemuda itu tertegun karena tak tahu apa yang terjadi. Tapi ketika mereka sudah masuk dan ayah mereka duduk di situ, menunggu, maka Thai Liong mengambil tempat sementara ayahnya bersinar-sinar kagum memandangnya, pandangan yang membuat pemuda itu kikuk dan jengah tapi Soat Eng sudah duduk dan menariknya. Dan ketika semua duduk dan ibunya memandangnya pula, aneh dan penuh selidik maka sang ayah bertanya dulu bagaimana tiba-tiba dia datang.

“Aku sudah selesai. Sian-su membangunkan tapaku.”

“Hm, jadi selama ini kau di Himalaya, Liong-ji? Kau bertapa dan memperdalam kesaktianmu di sana?”

“Benar, Sian-su yang menyuruhku begitu, ayah. Dan aku disuruh bertapa di sana sambil diberinya ilmu-ilmu baru itu, Beng-tau-sin-jin dan Thian-jong-sin-im serta Ang-tiauw Sin-kun!”

“Hebat, dan aku tak mampu mengalahkanmu!”

“Bukan begitu. Aku telah mengenal ilmu-ilmu yang kau punyai, ayah. Jadi aku dapat menghadapinya jauh lebih baik daripada orang-orang yang tidak mengenal Khi-bal-sin-kang dan Lui-ciang-hoat!”

“Tapi betapapun aku tak mampu mengalahkanmu. Dan keistimewaanmu agaknya di ujung jubahmu itu. Kau seperti pendeta!”

“Sian-su yang memberikan jubah ini,” Thai Liong agak tersipu. “Aku hanya menerima dan melaksanakan perintahnya, ayah. Coba sekarang ceritakan kepadaku kenapa tiba-tiba semuanya berobah begini!”

“Kami ditimpa musibah....”

“Ya, aku tahu. Kemah-kemah di sini hancur dan banyak gundukan tanah kuburan!”

“Itulah, aku hendak menceritakannya kepadamu, Liong-ji. Dan kaulah yang agaknya paling dapat kami andalkan! Kami kedatangan dua kakek iblis luar biasa bernama Poan-jin-poan-kwi!”

“Poan-jin-poan-kwi? Siapa mereka ini?”

“Aku juga belum tahu siapa mereka, namun mereka adalah paman-paman guru See-ong!”

“Ah, hebat kalau begitu. Kepandaian mereka tentu luar biasa dan amat mengerikan!”

“Bukan hanya mengerikan!” Soat Eng tiba-tiba berseru. “Melainkan juga menjijikkan dan memuakkan, Liong-ko. Mereka itu siluman yang tubuhnya busuk dan amis, membuat orang ingin muntah!”

“Benar,” ibunya, Swat Lian, mengangguk membenarkan. “Poan-kwi masih lebih mengerikan dan menjijikkan dibanding , sutenya, Thai Liong. Kakek itu busuk baunya melebihi nanah!”

“Ibu pernah bertanding?”

“Ya, dan aku kalah!”

“Dan aku juga kalah, tak sanggup menghadapi Poan-jin!”

“Hm-hm, luar biasa kalau begitu. Kalau begitu agaknya untuk urusan ini aku disiapkan Sian-su!” Thai Liong mengangguk-angguk, mengerutkan kening dan mendengarkan ibu dan adiknya bercerita tapi akhirnya sang ayah menarik perhatian untuk masalah lain. Dan ketika Swat Lian maupun puterinya tak bicara lagi maka Pendekar Rambut Emas itu menerangkan.

“Banyak hal-hal yang tidak kusangkai. Pertama adalah tentang kakek-kakek iblis itu, lalu tentang Ituchi dan Togur!”

“Togur?” Thai Liong terkejut, membelalakkan mata. “Bukankah sudah tewas, ayah? Ada apa dengan pemuda itu? Dan ada apa lagi tentang Ituchi?”

“Hm, Ituchi tewas, Thai Liong. Dan Togur masih hidup!”

“Apa?” Thai Liong mencelat. “Ituchi terbunuh? Dan Togur masih hidup?” lalu ketika ayahnya mengangguk dan pemuda itu turun kembali maka Pendekar Rambut Emas menerangkan bahwa semuanya itu benar.

“Ituchi tewas, terbunuh. Dan yang membunuh justeru adalah si Togur itu. Pemuda ini masih hidup dan kini kakinya buntung sebelah. Tapi di samping semuanya itu maka adikmu Beng An juga diculik dan dibawa musuh. Dan penculiknya adalah Poan-jin-poan-kwi ini. Aku tak dapat menghadapi semuanya kalau berbarengan begini. Kita harus membagi tugas, dengarlah...”

Dan ketika Thai Liong tertegun dan mukanya berobah, sejenak saja karena setelah itu wajahnya kembali seperti biasa kecuali sinar matanya yang bercahaya dan mencorong maka keluarlah semacam perbawa yang menggetarkan Swat Lian dan Soat Eng. Thai Liong tak berkedip memandang ayahnya karena begitu ayahnya bercerita dan bicara tentang semuanya itu semua perhatiannya tertuju ke sini.

Dari tubuh pemuda itu memancar semacam cahaya merah yang kian terang, jubahnya menggelembung dan Swat Lian terkejut karena itulah tanda pemuda ini menahan marah. Hawa saktinya bergerak dan tiba-tiba jubah di bagian punggung meledak! Dan ketika semua terkejut sementara Thai Liong sendiri sadar, ayahnya bercerita pada bagian Beng An diculik maka pemuda itu menghapus semua getaran-getaran sinkang yang meluap tadi, terpengaruh oleh emosinya.

“Maaf,” pemuda ini tersipu. “Aku terbawa ceritamu, ayah. Tapi sekarang lanjutkanlah lagi dan aku tak apa-apa.”

“Astaga, bukankah itu pengaruh Ang-tiauw Sin-kang (Tenaga Sakti Rajawali Merah), Liong-ji? Apakah setiap marah tubuhmu tiba-tiba menggembung begitu?”

“Aku... aku tak sadar. Tapi barangkali begitu. Sudahlah, teruskanlah, ayah. Aku akan mendengarkan lagi.”

Pendekar Rambut Emas tertegun. Bahwa puteranya ini tiba-tiba menggelembung besar di waktu marah, kian lama kian besar kalau jubahnya tidak meledak tadi barangkali di situ akan muncul seorang Thai Liong raksasa. Dia teringat semacam kekuatan mujijat yang timbul dari tenaga sakti seseorang yang telah mencapai kepandaian seperti dewa, atau, minimal, setengah dewa. Bahwa seseorang yang telah memiliki kepandaian sehebat ini akan mampu menggembung dan terus menggembung.

Tenaga sakti bergolak di tubuh dan kalau sudah begitu maka orang ini dapat menjadi setinggi bukit, tentu saja mengerikan. Bagai raksasa! Dan ketika Thai Liong mampu melakukan itu namun puteranya tidak menyadari, barangkali karena baru turun gunung dan belum banyak tahu maka diam-diam Pendekar Rambut Emas itu kagum dan ngeri akan kesaktian puteranya ini. Kalau sudah begitu puteranya ini dapat menjadi raksasa. Siapapun tak akan mampu menandingi! Tapi teringat ceritanya lagi maka dia kembali pada persoalan semula.

“Beng An dibawa atau diculik dua kakek iblis ini. Sementara Ituchi tewas dibunuh Togur yang masih hidup. Dan karena beberapa hari yang lalu aku tak ada di rumah karena mencari Sian-su maka ibu dan adikmu ini yang bertemu Poan-jin-poan-kwi. Sekarang bagaimana pendapatmu setelah semuanya ini kau ketahui, Liong-ji? Dapatkah kau menolong kami membagi tugas?”

“Maksud ayah?”

“Musuh terlalu banyak, juga tempatnya berlainan. Dan karena tak mungkin aku atau ibumu mencari mereka semua maka hendak kuminta pertolonganmu untuk mencari atau menemukan musuh-musuh kita ini. Aku hendak mencari Beng An bersama ibumu dan kau pergi mencari Togur dan See-ong, yang membawa Siang Le! Sanggupkah?”

“Dan aku bersama Liong-ko!” Soat Eng tiba-tiba mendahului, berseru. “Kalau ayah dan ibu mencari Beng An biarlah aku menemukan suamiku, ayah. Dan aku tak akan sudah sebelum membunuh kakek iblis itu!”

“Sabar,” ayahnya mengangguk-angguk tanda mengerti. “Aku dapat memahami perasaanmu, Eng-ji. Tapi See-ong bukanlah kakek sembarangan yang dapat kau bunuh begitu saja. Dan di situ juga ada Togur, pemuda yang licik dan amat berbahaya. Kalau kau main hantam saja justeru nanti dapat mencelakakan dirimu sendiri. Tidak, kau harus taat dan berlindung di balik kakakmu. Thai Liong inilah yang dapat menghadapi mereka dan kupercaya. See-ong tetap kakek iblis yang culas meskipun ilmunya Hek-kwi-sut sudah kuhancurkan!”

“Baiklah, aku akan tunduk kepada kata-katamu, ayah. Dan aku juga percaya kepada Liong-ko. Apakah boleh sekarang juga kami berangkat!”

“Hm, nafsumu besar. Tapi agaknya cukup kita bicara. Baiklah, apakah kakakmu sendiri siap berangkat?”

“Aku. siap, ayah. Tapi barangkali aku ingin bertemu bibi Cao Cun sejenak. Siapa nanti yang akan mengantarkannya ke Chi-cou?”

Pendekar Rambut Emas tertegun.

“Dan ke mana pula Ji Pin? Aku tak melihatnya!”

“Hm,” sang ayah gelap mukanya. “Aku juga tak melihat orang she Ji ini, Liong-ji. Entah ke mana kata ibumu dia juga tak ada. Barangkali....”

“Dia ke bangsa U-min!” sesosok bayangan tiba-tiba muncul, terisak. “Aku dilarang memberitahukannya kepada kalian, Kim-twako. Tapi sekarang terpaksa kukatakan agar kalian tidak menyalahkannya!” dan ketika di situ muncul Cao Cun dan wanita itu menangis, menutupi mukanya maka Pendekar Rambut Emas terkejut tapi puterinya sudah berkelebat dan menyambar wanita ini.

“Bibi, kau datang? Ada apa?”

“Aku.... aku merasa merepotkan kalian. Aku hendak ke Chi-cou sendiri ke tempat ayahku!”

“Ah!” Soat Eng terkejut. “Gila, bibi. Itu tidak mungkin. Mari duduk!” dan ketika Soat Eng menarik dan mengajak duduk wanita ini maka Cao Cun tersedu teringat nasibnya.

“Aku memang tak pernah jauh dengan penderitaan. Aku selalu merepotkan banyak orang. Ah, aku ingin pamit meninggalkan kalian, Kim-twako. Aku mau pergi dan tak usah diantar!”

Kim-mou-eng dan lain-lain terkejut. Cao Cun sudah menangis mengguguk dan tangisnya yang begitu sedih membuat Kim-mou-eng dan anak isterinya terharu. Soat Eng bahkan mencucurkan air mata. Tapi ketika Pendekar Rambut Emas menarik napas dalam-dalam dan Thai Liong tertegun melihat wanita itu, wanita yang malang dan kehilangan putera tersayangnya tiba-tiba bangkit berdiri dan menggenggam lengan Cao Cun.

“Bibi, tak usah sedih. Ada kami di sini yang akan membela dan melindungimu. Itu kewajiban kami, tak ada kata merepotkan. Kalau kau kehilangan puteramu biarlah kau anggap aku sebagai penggantinya. Ituchi adalah sahabatku dan kami seperti saudara. Tanpa kau mintapun pasti aku akan mencari pembunuhnya dan menuntut tanggung jawab. Harap bibi tak usah berduka dan pandanglah aku sebagai puteramu sendiri.”

“Thai Liong, ah, kau.... ohh!” dan Cao Cun yang tersedu dan menubruk pemuda ini tiba-tiba mengguguk dan menangis di situ, mencengkeram dan meremas-remas pemuda ini karena melihat Thai Liong membuat dia seperti melihat mendiang puteranya sendiri. Ituchi dan pemuda ini memang sebaya dan masing-masing merupakan sahabat karib.

Kini mendengar kata-kata pemuda itu bahwa Thai Liong minta dianggap sebagai puteranya sendiri, pengganti Ituchi tiba-tiba Cao Cun tak kuat dan menangis serta meremas-remas pemuda itu. Untuk sejenak semua kedukaan dan keharuannya ditumpahkan di sini. Dia tak menyangka Thai Liong ada di situ dan hadirnya pemuda ini mengingatkan dia akan puteranya sendiri. Tapi ketika sedu dan sedan itu tiada habisnya dan Thai Liong menitikkan air mata pula maka Kim-mou-eng batuk-batuk dan berkata menghentikan tangis itu.

“Cun-moi, apa yang dikata anakku adalah benar. Anggap saja dia puteramu dan pengganti Ituchi. Thai Liong tentu akan membantu dan melindungimu. Sudahlah, Thai Liong memang ingin menemuimu dan kebetulan kau datang. Barangkali kalian dapat bicara karena mereka segera akan pergi melaksanakan tugas!”

“Kalian.... kalian mau mencari Togur?”

“Benar,” Soat Eng menjawab, memeluk dan terharu memandang wanita ini. “Kami sudah memutuskan untuk mencari Togur, bibi, dan bukan hanya Togur melainkan juga See-ong. Kami akan segera berangkat!”

“Dan kau akan diantar ke Chi-cou,” Pendekar Rambut Emas tiba-tiba menyela. “Barangkali Thai Liong tak keberatan Cun-moi. Tentunya dia akan mengamankanmu sampai di sana.”

“Tidak,” Thai Liong tiba-tiba berkata. “Aku sudah berkata bahwa aku adalah puteranya pula, ayah, pengganti Ituchi. Kalau bibi diantar ke Chi-cou tentu dia akan berjauhan denganku. Kupikir, sebaiknya bibi ikut saja dan bersama kami berdua!”

“Oouh!” wanita itu terpekik, girang tapi segera sadar. “Kau... kau akan membawa aku, Thai Liong? Merepotkan kalian berdua di tengah jalan?”

“Tidak,” Thai Liong berkata tegas. “Aku tak merasa repot membawamu, bibi. Itu tak usah dipikirkan. Yang jelas, apakah bibi mau bersama kami saja. Di Chi-cou tentu bibi akan kesepian, aku tak menghendaki itu!”

“Ouh, aku.... ah, terima kasih!” dan Cao Cun yang terharu dan memejamkan mata memeluk pemuda ini tiba-tiba menahan tangis karena Thai Liong benar-benar memperhatikan kedukaannya. Semula dia memang ingin ke ayahnya di Chi-cou dan siap menghadapi kesepian yang mencekam. Di sana tentu dia merana hebat teringat anak-anaknya. Maka ketika Thai Liong bicara seperti itu dan berada di samping pemuda ini tentu merupakan jaminan keamanan yang hebat maka tentu saja dia lebih merasa senang bersama pemuda itu daripada di tempat ayahnya. Lagi, ayahnyapun pasti sudah tua, tak mampu melindungi dirinya seperti dulu-dulu.

Dan karena keluarga ayahnya di Chi-cou juga sudah berobah, kedudukan ayahnya akan segera diganti yang muda maka Cao Cun girang bukan main mendengar penawaran Thai Liong tadi. Diam-diam terharu dan bangga bahwa pemuda ini ingin memperhatikan nasibnya, membuatnya bahagia. Dan ketika selanjutnya Thai Liong berkata bahwa dia tak merepotkan pemuda itu, Kim-mou-eng juga menyerahkan kepada puteranya sendiri maka Thai Liong bangkit berdiri menutup pembicaraan.

“Kalau begitu tak ada masalah lagi. Biarlah malam ini juga kami berangkat dan kami mohon diri.”

“Benar,” Soat Eng melompat bangun, bersinar-sinar tapi agak ragu memandang kakaknya. “Aku juga siap, Liong-ko. Mari berangkat tapi urusan bibi Cao Cun harap kau yang lebih memperhatikannya kepandaianmu jauh di atas kepandaianku!”

Thai Liong tersenyum. Dia tahu apa yang menjadi pikiran adiknya itu dan mengibaskan lengan jubah. Cao Cun berkedip-kedip memandang pemuda ini, pakaiannya yang gerombyongan dan seperti pendeta. Tapi ketika Pendekar Rambut Emas bangkit berdiri dan menyentuh pundak puteranya, berpesan agar pemuda itu berhati-hati maka Swat Lian bangkit pula dan memeluk Cao Cun, matanya berlinang.

“Cun-moi, maafkan kalau selama ini sikapku kurang baik kepadamu. Aku kurang memperhatikan dirimu. Biarlah Thai Liong yang mengobati kecewamu dan pergilah hati-hati. Kalau saja anakku Beng An tak diculik orang tentu aku juga akan menghajar Togur dan mencari pemuda itu!"

“Tak apa,” Cao Cun memeluk dan menangis di pundak nyonya ini, hatinya sama sekali tak merasa sakit diperlakukan tak acuh, selama dia di situ. “Aku hanya menumpang, Lian-cici. Aku sudah senang bahwa kalian mau menerimaku di sini. Aku tak merasa apa-apa denganmu, sikapmu cukup baik!” dan ketika Swat Lian memejamkan mata karena kata-kata itu justeru menusuk hatinya, mengiris, maka Soat Eng menarik dan berkelebat.

“Ibu, kami pergi. Harap kalian juga berhati-hati karena lawan amatlah lihai!”

Nyonya itu mengangguk. Swat Lian sudah membuka mata melihat puterinya menyambar Cao Cun, tak lama kemudian disusul Thai Liong yang berseru pada ayah ibunya pula. Dan ketika tiga orang itu lenyap di luar sementara sang nyonya masih tertegun maka Pendekar Rambut Emas yang melihat sesuatu pada gerak-gerik puteranya tiba-tiba berseru dan berkelebat keluar.

“Mari kita lihat, bagaimana Thai Liong membawa bibinya!”

Swat Lian tak mengerti. Dia tertegun tapi sudah ditarik sang suami, berkelebat dan menyusul pula dua muda-mudi itu. Dan ketika mereka melihat bahwa Thai Liong sudah keluar lembah, cepat sekali, maka mereka melihat pemuda itu mengebutkan jubah.

“Eng-moi, serahkan bibi Cao Cun kepadaku. Biar aku yang menyimpannya!”

“Menyimpan?” Soat Eng dan Swat Lian yang mendengarkan kata-kata itu dari jauh tampak terkejut, membelalakkan mata. “Menyimpan bagaimana, Liong-ko? Memangnya bibi Cao Cun barang mainan?”

“Sudahlah,” pemuda itu tersenyum. “Berikan dia kepadaku, Eng-moi, agar perjalanan kita lebih cepat dan aman. Mari!” dan ketika jubah meledak dan menyambar wanita itu, Cao Cun berpindah tangan tiba-tiba Soat Eng berseru kaget karena bibinya menghilang, lenyap dan terbungkus gulungan jubah dan entah bagaimana tiba-tiba bibinya itu sudah “tersimpan” baik-baik.

Cao Cun sendiri terpekik ketika disambar Thai Liong, masuk dan lenyap ke dalam ujung jubah. Tapi ketika wanita itu merasa aman dan tak ada apa-apa, Thai Liong dan Soat Eng dapat dipandangnya sementara dia tak sadar bahwa tubuhnya sudah mengecil, sebesar jari kelingking maka Soat Eng takjub dan terheran-heran.

“Ah, begitu caramu membawa bibi Cao Cun, Liong-ko? Kau menyimpannya dengan ilmu siluman?”

“Bukan ilmu siluman,” Thai Liong tertawa. “Aku mempergunakan Beng-tau-sin-jin. Dengan begini tentu bibi Cao Cun aman dan perjalanan kita lancar!”

Soat Eng terkagum-kagum. Apa yang diperlihatkan kakaknya ini sungguh membuatnya takjub. Bayangkan, seorang manusia dapat “disimpan” kakaknya seperti orang menyimpan barang mainan kecil. Dan ketika kakaknya berkata bahwa dua atau tiga orang sekaligus juga dapat disimpan dengan ilmunya Beng-tau-sin-jin itu maka ketakjuban wanita ini memuncak.

“Kau dapat menyimpan dua tiga orang sekaligus? Kau dapat menyembunyikannya di balik ilmumu itu?”

“Ah, Beng-tau-sin-jin yang kupunyai masih tak seberapa, Eng-moi. Sian-su yang memiliki bahkan mampu menyimpan ratusan orang!”

“Luar biasa!” Soat Eng terpekik. “Ilmu itu sungguh luar biasa, Liong-ko. Aku jadi ingin memilikinya kalau saja kau mau menurunkannya!”

“Hm, harus seijin Sian-su,” Thai Liong tersenyum menolak keinginan adiknya. “Aku tak berani memberikannya tanpa sepengetahuan beliau, Eng-moi. Lain kali saja kita temui dan kau katakan keinginanmu.” lalu ketika dua muda-mudi itu terbang melanjutkan perjalanannya maka Pendekar Rambut Emas dan isterinya yang mendengarkan dan melihat itu dari jauh sama-sama menggelengkan kepala dan berseru kagum.

“Ah, Pek-kwi-sut yang kupunyai tak sehebat Beng-tau-sin-jin yang dipunyai anakku itu. Thai Liong benar-benar luar biasa setelah mendapat gemblengan Sian-su sendiri!”

“Dan pantas kalau dia tak merasa repot membawa Cao Cun. Kiranya dia mampu membawanya dengan Beng-tau-sin-jin!”

“Ya, dan kepandaiannya benar-benar mengagumkan, niocu. Ah, aku merasa tua dan kalah segala-galanya. Mari, kita juga pergi dan melaksanakan tugas kita sendiri!”

Dan ketika Pendekar Rambut Emas berkelebat dan membawa isterinya lagi, kagum dan takjub akan kepandaian puteranya tadi maka Swat Lian mengangguk dan mengikuti suaminya. Dan begitu mereka berangkat sementara bangsa Tar-tar ditinggalkan kepada lima pembantu mereka setelah Ji Pin maka anak dan orang tua telah sama-sama mencari musuh mereka.

* * * * * * * *

Mari kita ikuti perjalanan Thai Liong bersama Soat Eng, kita tinggalkan dulu kisah perjalanan Pendekar Rambut Emas bersama isterinya, Swat Lian. Seperti diterangkan di atas, pemuda ini menyimpan Cao Cun dalam ilmunya Beng-tau-sin-jin. Cao Cun sendiri tak merasa bahwa tubuhnya sudah seperti disihir, kecil dan berlindung aman di balik gulungan jubah Thai Liong. Dan ketika Thai Liong bergerak dan mendampingi adiknya, Soat Eng mengerahkan Jing-sian-eng dan Cui-sian Gin-kangnya sekaligus, ingin menguji sang kakak, maka pemuda itu bergerak tenang-tenang di samping adiknya. Beberapa kali Soat Eng melirik namun kakaknya seolah berlari demikian enak.

Dulu, setahun dua yang lalu kalau mereka berdua berlari cepat maka dia kalah sedikit saja dibanding kakaknya ini. Kalau dia sudah mandi keringat maka kakaknya juga mandi peluh, paling tidak, muka kakaknya akan berkeringat. Akan tetapi setelah sekarang dia mengerahkan seluruh ilmunya, terbang dan bergerak luar biasa cepat ternyata kakaknya itu sama sekali tak kelihatan berkeringat apalagi letih!

Muka yang dulu pasti akan bergelantungan butir-butir keringat itu ternyata sekarang bersih dan kering. Justeru, dia sendirilah yang mandi peluh! Dan ketika Soat Eng kagum dan malam itu perjalanan dilakukan luar biasa cepat, kakak dan adik tak pernah istirahat maka menjelang pagi mereka sudah sampai di wilayah bangsa U-min!

“Jangan cepat-cepat, berhenti dulu di sini,” Thai Liong berkata dan mengulapkan lengannya.

Soat Eng tertegun dan ingin meneruskan langkah namun tiba-tiba tubuhnya tersedot ke belakang. Kakaknya tersenyum. Dan ketika Soat Eng terkejut dan mau marah, kakaknya menariknya dengan sinkangnya tadi maka kakaknya itu buru-buru menjawab.

“Hari masih terlalu pagi, matahari pun belum muncul. Kalau kita datang dan ribut-ribut sekarang tentu dianggap tak sopan karena semua sedang tidur!”

“Ah, perduli amat!” Soat Eng membentak, melotot bersinar-sinar memandang perkampungan bangsa U-min itu, daerah yang luas dan penuh kemah atau tenda, seperti bangsanya. “Mereka juga bukan orang-orang sopan, Liong-ko. Apalagi si Togur itu. Aku ingin melihat tampangnya!”

“Hm, bukan hanya kau. Akupun juga ingin tahu dan melihatnya lagi,” Thai Liong tak berkedip, tampak juga tak sabar namun lebih dapat menahan diri dibanding adiknya. Dan ketika pemuda itu membungkuk dan memunguti kayu-kayu kering, adiknya bertanya untuk apa maka pemuda itu tersenyum dan menjentikkan ujung jarinya ke dalam hutan. “Kau dan aku boleh tak lapar, tapi bibi Cao Cun tentu ingin sarapan.... nguik!” dan ketika seekor kelinci terlempar dan roboh menjerit, kepalanya pecah.

Maka Soat Eng sadar bahwa mereka harus memperhatikan bibi mereka itu, Cao Cun. “Kau benar,” Soat Eng berkelebat dan menyambar bangkai kelinci itu. “Bibi tentu lapar, Liong-ko. Tapi keluarkanlah dia agar kita dapat bercakap-cakap!”

“Sudah keluar,” sang kakak tertawa dan mengebutkan jubah. “Bibi juga baru bangun, Eng-moi. Agaknya lelap benar ia tidur!” dan ketika Cao Cun terhuyung dan kaget berseru tertahan, Thai Liong menahan pundaknya maka wanita itu baru sadar bahwa semalam dia keenakan dan tidur di bawah gulungan jubah si pemuda.

“Thai Liong, kau.... ah, bagaimana menyimpan aku di balik jubah seperti itu? Masa seorang manusia mampu muat digulung jubah?”

“Liong-ko mempergunakan kesaktiannya,” Soat Eng berseru, mendahului menjawab. “Tanpa itu tak mungkin bisa, bibi. Kakakku sekarang ini luar biasa sekali!”

“Ah, benar. Dan aku benar-benar takjub. Rasanya seperti mimpi!”

Dan ketika Thai Liong tersenyum dan membuat api unggun, dari ujung jubahnya menyambar angin panas di mana percikan api tiba-tiba membakar kayu-kayu kering itu, menyala, maka Soat Eng sudah diminta untuk menguliti bangkai kelinci. “Sudahlah, bibi perlu sarapan dan setelah itu kita memasuki bangsa U-min.”

Cao Cun tertegun. Untuk kedua kali ia melihat bahwa mereka sudah tiba di tapal batas bangsa U-min. Dia yang bertahun-tahun tinggal di situ segera mengetahui bahwa mereka sudah memasuki wilayah musuh, padahal semalam dia masih berada di tengah-tengah bangsa Tar-tar, di tempat Pendekar Rambut Emas. Dan takjub bahwa hanya dengan beberapa jam perjalanan saja Thai Liong telah sampai ke situ maka wanita ini mendecak dan memuji tak habis-habisnya.

“Luar biasa, kalau begitu kalian berdua bergerak seperti terbang. Padahal aku sendiri harus seminggu lebih baru tiba di tempat ini, itupun bersama pengawal!”

“Sudahlah, kau duduk dan beristirahat, bibi. Nanti setelah itu kau masuk kembali karena kami akan segera mencari Togur.”

“Dan berikan kesempatan kepadaku untuk mengerat jantungnya,” wanita itu tiba-tiba menggigil, berkeretuk. “Aku juga ingin membunuhnya, Thai Liong. Aku benci dan sakit hati atas kematian puteraku!”

“Dan dua puteri bibi juga belum ditemukan,” Soat Eng menyambung, tiba-tiba mengingatkan. “Kalau nanti kita bertemu dengannya lebih baik tanyakan dulu dua anak perempuan bibi itu sebelum dia dibunuh!”

“Betul, korek keterangan darinya, Soat Eng. Aku gemas dan terkutuk sekali pemuda itu!”

“Sebaiknya bibi tak perlu marah-marah. Musuh belum kita temukan dan mari menikmati daging kelinci ini dulu. Lihat, sudah ada yang matang!”

Thai Liong menyambar dan memberikan sepotong paha kelinci sudah terpanggang dan Cao Cun dialihkan perhatiannya. Dan ketika Soat Eng diberi kedipan agar tidak bicara itu dulu, kematian Ituchi hanya membangkitkan kesedihan dan kedukaan belaka maka Soat Eng mengangguk dan mengerti maksud kakaknya. Diapun menyambar dan segera menikmati daging kelinci itu, matahari sudah mulai memerah di ufuk timur. Dan ketika tak lama kemudian hari benar-benar terang dan Thai Liong mengebutkan jubahnya maka Cao Cun diminta bersiap untuk “disimpan” lagi dalam ilmu Beng-tau-sin-jin.

“Sekarang kita akan berangkat, harap bibi masuk!”

Seperti sihir saja tahu-tahu ujung jubah sudah menggulung dan membungkus wanita ini. Cao Cun tak lagi terpekik karena sekarang dia sudah tahu, aman dan senang dan justeru bahagia terlindung di balik jubah Thai Liong ini, kesaktian yang membuatnya kagum dan tak habis-habisnya berpikir. Lalu ketika Soat Eng terbelalak dan juga kagum, kakaknya sudah menyimpan bibinya itu maka Thai Liong mengajak mereka berangkat.

“Sudah cukup, mereka sudah bangun. , Mari pergi dan cari Togur.”

Soat Eng mengangguk. Kakaknya berkelebat dan ia pun sudah mengikuti. Bekas api unggun diinjak padam dan kakak beradik itupun memasuki wilayah musuh. Dan begitu mereka tampak oleh para penjaga, Thai Liong memang tidak takut dan tidak ingin bersembunyi maka kontan saja mereka dibentak dan puluhan penjaga tiba-tiba berlompatan dengan senjata di tangan.

“Berhenti, kalian siapa. Mau ke mana!”

Soat Eng tak sabar. Sebelum kakaknya menjawab tiba-tiba dia melengking dan balas membentak penjaga-penjaga itu, tubuh bergerak dan kaki tanganpun melempar ke sana ke mari. Dan ketika belasan orang itu terpekik dan mencelat ke sana-sini, gerakan Soat Eng luar biasa cepat dan tentu saja bukan lawan orang-orang itu maka para penjaga itu roboh terbanting dan semuanya patah-patah tulangnya.

“Aku mencari Togur. Di mana pemuda siluman itu dan jangan kalian banyak tingkah!”

Belasan orang itu pucat. Empat di antaranya pingsan, yang lain merintih-rintih dan dua di antaranya mengenal wanita ini, puteri Pendekar Rambut Emas. Dan ketika mereka terbelalak dan tentu saja tutup mulut, menggigil, maka kebetulan Soat Eng menyambar seorang di antaranya dan menghardik.

“Mana bedebah itu, mana raja kalian Cucigawa dan antek-anteknya!”

“Ampun....!” laki-laki itu merintih. “Aku.... aku tak tahu, lihiap. Tapi tentunya di kemah besar...!”

“Kau dapat memberitahukannya? Kau masih ingin hidup atau mati?”

“Aku, ah.... aku ingin hidup, jangan bunuh! Aku dapat memberitahukannya tapi dengan mengira-ngiranya saja!”

“Bagus, itu sudah cukup. Tapi jangan panggil teman-temanmu!” dan ketika Soat Eng mendepak dan membuat penjaga ini jungkir balik, menjerit dan berteriak kesakitan maka penjaga satunya tiba-tiba bangkit berlari dan terhuyung terseok-seok.

“Awas, puteri Pendekar Rambut Emas datang... kita kedatangan musuh.... awas..!”

Soat Eng melotot. Baru saja dia melempar dan mengancam penjaga untuk tidak memanggil-manggil temannya mendadak penjaga yang satu itu terpincang dan berlari-lari memberi tahu kawan-kawannya. Di situ memang banyak penjaga lain yang saling meronda, terdiri dari beberapa regu dan tiap-tiap regu ada belasan orang. Tentu saja mereka itu muncul dan berkelebatan ke tempat ini. Dan ketika mereka terkejut melihat belasan teman mereka malang-melintang, yang seorang itu berteriak-teriak memberi tahu adanya musuh mendadak Soat Eng menggerakkan tangannya dan penjaga itu roboh terjungkal, punggungnya ditembus sebutir batu hitam.

“Keparat, anjing-anjing busuk. Disuruh diam malah menggonggong!” dan ketika penjaga yang baru tertegun dan terbelalak melihat Soat Eng, Thai Liong berkelebat dan lenyap entah ke mana maka nyonya muda itu sendirian menghadapi musuh, bergerak dan menampar serta menendang mereka bergantian. “Hayo, ini aku, musuhmu. Mana Cucigawa dan Togur.... des-des-dess!”

Dan penjaga yang berteriak dan mencelat terbanting ke sana-sini akhirnya membuat Soat Eng naik darah dan beringas. Penjaga-penjaga yang lain berdatangan dan tak lama kemudian tanda bahaya dibunyikan, suaranya teng-teng-teng dan tentu saja orang-orang U-min terkejut. Mereka baru saja bangun dan sedang menikmati kopi panas atau teh manis, tahu-tahu para penjaga berteriak bahwa tempat mereka kedatangan musuh. Dan ketika musuh yang datang itu dikatakan sebagai puteri Pendekar Rambut Emas, bangsa U-min berjengit dan lari menyambar senjata masing-masing maka di sana Soat Eng sudah dikepung dan dikeroyok ratusan orang!

“Jaga, awas jangan terlalu dekat. Wanita ini mencari Siauw-ongya!”

“Dan dia akan membantai kita. Awas, panggil teman-teman kita, kawan-kawan. Kepung dan jangan sampai wanita ini lolos.... cring-crang-dess!” dan mereka yang menjerit dan terpekik oleh tendangan Soat Eng tiba-tiba menghentikan seruannya karena nyonya muda itu berkelebatan dan menyambar-nyambar, membentak dan mengangkat tinggi-tinggi lawan yang ditangkap untuk kemudian dibanting hancur.

Soat Eng tak dapat menerobos kepungan karena roboh satu maju dua, roboh dua maju empat. Dan ketika belasan orang sudah menjadi ratusan dan tak lama kemudian sepasukan besar sudah datang, seribu lebih dengan kuda-kuda mereka maka bentakan dan seruan menggegap-gempita di pagi yang masih hangat itu.

“Berikan jalan, biar kuhadapi wanita itu!”

“Yang lain harap waspada dan menjaga di empat penjuru. Awas kalau ada lagi musuh yang lain!”

Soat Eng mendengus. Dirintangi dan dihalangi seperti itu tiba-tiba saja kemarahannya berkobar. Dia tak melihat kakaknya namun Soat Eng yakin kakaknya itu tak jauh di situ, mungkin mencari Togur di tempat lain, mempergunakan kesempatan selagi semua orang tertarik perhatiannya ke sini untuk menerobos atau mencari kelemahan lawan. Dan ketika dia berkelebatan dan tangan atau kaki membagi-bagi pukulan, lawan banyak yang roboh binasa maka empat panah besar tiba-tiba menyambarnya dari samping kiri.

“Wher-wher!”

Soat Eng tak mengelak. Di sela-sela amukannya menghajar ratusan orang itu dia menggerakkan tangan ke kiri, mata melirik dan seketika empat panah itu patah-patah, hancur bertemu dengannya. Dan ketika dia melihat seorang tinggi besar berseru keras di sana, kecewa, maka matanya berkilat karena itulah Cucigawa, raja yang curang!

“Licik!” Soat Eng mengincar lawannya itu, membentak, melihat Cucigawa memasang lagi enam panah di gendewa yang dipentang, diam-diam mengerahkan sinkang di ujung-ujung jarinya. “Kalau kau berani jangan menyerang dari jauh, Cucigawa. Maju dan mendekatlah ke mari!”

“Ha-ha, rupanya sudah kau kenal,” raja tinggi besar itu tertawa bergelak, terbahak tapi menjepretkan enam panahnya itu, panah yang besar-besar dan berat. “Kalau kau berani justeru kaulah yang mendekat dan maju ke mari, Kim-siocia (nona Kim). Lihat aku mengirim lagi hadiah-hadiah manis untukmu!”

“Keparat, aku bukan lagi Kim-siocia, aku Siang-hujin (nyonya Siang). Buka telinga dan matamu baik-baik, Cucigawa. Meskipun kau mengeroyok bersama ribuan orangmu tapi aku tak takut.... pratt!” dan enam panah yang ditampar sekaligus tiba-tiba membalik dan tidak patah seperti tadi, menyambar dan menuju Cucigawa sendiri dan raja itu tentu saja kaget bukan main.

Soat Eng mengerahkan Khi-bal-sin-kangnya hingga panah-panah itu bertemu jari-jari tangannya yang seperti karet, terpental dan membalik menyambar raja itu sendiri dan sang raja terkejut berseru keras, mau menangkis namun tidak sempat. Dan karena satu-satunya jalan hanya mengelak dan raja itu sudah melempar tubuhnya dari atas kuda maka binatang tunggangannya itulah yang menjadi korban dan meringkik serta roboh. Enam panah menancap di tubuhnya, berjajar-jajar!

“Keparat, jahanam bedebah!” raja itu memaki-maki dan bergulingan meloncat bangun. “Serang dan serbu lagi wanita itu, kerbau-kerbau dungu. Jangan biarkan ia menyerang aku sementara kalian di sini!” dan pucat serta memaki-maki anak buahnya sendiri, yang terkejut dan kagum akan kehebatan Soat Eng maka Soat Eng sudah dikeroyok dan dihujani senjata-senjata tajam.

Wanita itu kecewa karena lawan mampu menyelamatkan diri, jarak memang cukup jauh hingga lawan sempat melempar tubuhnya. Dan ketika melihat Cucigawa tak berani menyerang lagi, bersembunyi dan menyelinap di balik pasukannya maka muncullah dua orang lain menggantikan raja itu.

“Kiranya kau!” dua orang itu membentak, muncul dari depan dan belakang, juga terlindung di balik puluhan orang yang mengeroyok. “Kau mencari mati, bocah she Kim. Meskipun ayah ibumu ada di si sini tak mungkin kau selamat... sing-siut!”

Dan dua pisau belati yang dilepas dari dua arah tiba-tiba menyambar Soat Eng yang menerjang dan menerobos kepungan. Lawan yang ada di depan roboh binasa sementara yang lain mundur-mundur, memberikan kesempatan untuk maju tapi muncullah dua orang itu, yang melepas senjata secara gelap. Tapi ketika Soat Eng menengok dan meniup, dua pisau belati itu sudah tiba di mukanya maka pisau-pisau itu runtuh sementara dia melihat siapa yang datang.

“Hm, panglima-panglima curang!” Soat Eng membentak. “Kiranya kalian, Horok. Ayo maju dan serahkan nyawa kalian ke mari. Aku mencari Togur tapi tak apa kalau kalian juga muncul.... serr!” dan Soat Eng yang menendang dua pisau yang runtuh tiba-tiba membuat dua lawannya kaget karena pisau-pisau itu menyambar mereka, dikelit tapi menyambar dua orang di belakang mereka, dua di antara pasukan pengeroyok. Dan ketika dua orang itu terjungkal dan tentu saja berteriak, tewas, maka dua laki-laki ini terkejut dan menyelinap di balik pasukan yang lain, sama seperti Cucigawa.

“Bunuh wanita itu. Tusuk atau panggang tubuhnya dengan tombak atau panah!"

Soat Eng mendapat hujan serangan lagi. Setelah Horok dan Ramba, pembantu-pembantu Cucigawa gentar oleh kehebatan Soat Eng maka mereka mencari tempat aman untuk melancarkan serangan lagi. Empat panah besar kembali menyambar namun Soat Eng menyampok dan mementalkannya ke kanan. Cucigawa secara licik menyerang lagi, namun gagal. Dan ketika pisau-pisau belati juga menyambar namun runtuh bertemu jari-jari Soat Eng, yang gemas dan kini meretournya balik hingga mengenai para pengeroyok maka Cucigawa dan pembantunya pucat menjauhkan diri tetapi mulut berteriak-teriak agar pasukan lebih hebat menyerang wanita muda itu.

Dan Soat Eng juga menjadi lebih marah. Mereka yang berani mendekat segera dihajar jatuh bangun, wanita ini mulai mengerahkan Jing-sian-engnya hingga tubuhnya berkelebatan lenyap. Dan ketika lawan menjadi panik karena wanita itu tak dapat diikuti lagi, menyambar-nyambar bagai rajawali betina maka seratus lebih roboh mandi darah dan tumpang tindih. Hal ini membuat Cucigawa mengerutkan alis dan Horok serta Ramba tak berani dekat-dekat. Mereka berbisik dan membicarakan sesuatu, Cucigawa mengangguk tanda setuju. Dan ketika Horok meninggalkan pertempuran dan Soat Eng terus mengamuk hingga mendekati kemah pusat, di sana juga terjadi ribut-ribut maka muncullah seorang pemuda bermata dingin.

“Mundur, semua mundur. Biarkan siluman betina ini menjadi bagianku!”

Soat Eng terkejut. Entah dari mana datangnya tahu-tahu muncul seorang pemuda bermuka kehijauan di mukanya, membentak dan melempar-lempar para perajurit hingga mereka berhamburan menjerit-jerit. Pemuda itu tidak membunuh karena agaknya memang bukan musuh, bahkan, agaknya pembantu atau orang andalan Cucigawa. Karena begitu pemuda itu muncul dan mendekati Soat Eng, melempar-lempar para perajurit maka raja tinggi besar itu berani menampakkan diri dan berseru, menyambut.

“Bagus, selamat datang, San-kongcu. Mana gurumu dan kenapa hanya kau seorang!”

“Hm, kau merendahkan aku? Tak perlu banyak mulut kalau tak mampu menghadapi lawan, Cucigawa. Mundur dan jangan pentang bacot di situ!”

Soat Eng tertegun. Cucigawa dimaki dan muka raja itu agak merah. Namun karena pemuda ini rupanya ditakuti dan raja itu menyeringai, mundur, maka pemuda ini sudah berhadapan dengan Soat Eng dan langsung berkelebat. “Kau puteri Pendekar Rambut Emas, musuhku. Mampuslah dan jangan banyak lagak di sini!”

Soat Eng terkejut. Serangkum angin dingin menyambarnya dan sebelas orang tiba-tiba terangkat naik, terbanting dan menjerit. Mereka itulah orang-orang yang berada di sekitarnya tapi terkena pukulan angin dingin itu. Dan ketika angin ini terus menyambarnya dan Soat Eng berdetak karena angin itu amatlah kuatnya, sinkang pemuda bermata dingin ini rupanya tak boleh dibuat main-main maka wanita itu membentak dan langsung menggerakkan tangan kiri menangkis, lupa-lupa ingat melihat wajah pemuda itu.

“Dess!” dan Soat Eng terlempar. Pemuda itu tertawa dan Soat Eng kaget bukan main karena dia terpental, berjungkir balik tapi sudah dikejar lagi oleh pukulan kiri dan kanan. Pemuda itu kini menyerangnya dengan dua pukulan sekaligus. Dan ketika Soat Eng melayang turun dan kaget serta penasaran, membentak dan menangkis lagi maka dia terjengkang sementara pemuda itu hanya terhuyung dan tertawa-tawa saja.

“Des-dess...!”

Soat Eng bergulingan meloncat bangun. Dia berteriak karena benar-benar tak menyangka tenaga sakti pemuda ini. Tapi ketika pemuda itu mengejar dan menyerangnya lagi, tangan kiri dan kanannya bergerak saling susul maka Soat Eng memekik mengeluarkan Khi-bal-sin-kangnya.

“Dess...!” dan pernuda itulah yang terpental. Soat Eng membelalakkan mata karena pemuda itu tidak apa-apa, terbanting dan menyeringai dan bola matanya berpijar-pijar seperti api yang hidup, bangkit dan terhuyung lagi terkekeh-kekeh. Sungguh Soat Eng ngeri! Pemuda itu seperti orang tidak waras! Tapi ketika terdengar sorak dan tepuk tangan riuh, Cucigawa dan pasukannya berjingkrak melihat itu maka Soat Eng berkelebat dan kini mendahului lawan mengeluarkan pukulan-pukulan saktinya.

“Kau manusia sinting, kalau tidak kubunuh tentu tidak kapok!”

Selanjutnya nyonya ini beterbangan mengelilingi lawan. Cucigawa yang semula bersorak-sorak karena pemuda muka hijau itu tak apa-apa, hanya terbanting dan sudah bangun berdiri lagi tiba-tiba menghentikan tepukannya ketika Soat Eng menyerang bertubi-tubi. Pukulan demi pukulan mendarat di tubuh pemuda itu namun anehnya pemuda ini hanya terpelanting dan terjungkal saja, terkekeh dan kembali menghadapi lawannya meskipun terdesak hebat. Dan ketika semua menonton karena pertandingan terpusat di sini....