Rajawali Merah Jilid 10

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Rambut Emas Episode Rajawali Merah Jilid 10 Karya Batara
Sonny Ogawa

RAJAWALI MERAH
JILID 10
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
“CRESSS!” suara seperti es mengejutkan nyonya ini. Soat Eng merasa suatu benda dingin dan lembut, namun menjijikkan, tersentuh tangannya. Benda itu seperti bubur daging dan Soat Eng tentu saja kaget bukan main, melengking dan menarik tangannya dengan cepat. Dan ketika serangkum hawa dingin menyambar dan balik menamparnya, Soat Eng ngeri, maka nyonya ini sudah melempar tubuh bergulingan dan berteriak tertahan.

“Aihhh.... bres-bress!” sang nyonya menabrak suami dan paman-pamannya. Soat Eng meloncat bangun dan pucat, tiga orang temannya sudah meloncat pula ke pantai, meninggalkan getek menyusul nyonya itu. Dan ketika Siang Le dan yang lain ngeri memandang kakek itu, yang ternyata berdiri mengambang maka Siang Le pucat berseru tertahan.

“Dia iblis...!”

Yang lain-lain tertegun. Gwan Beng dan sutenya juga melihat itu dan mereka seketika mundur. Kakek itu ternyata tak berdiri di tanah alias mengambang. Kedua kakinya tak memiliki jari-jari alias papak begitu saja, bentuknya segi empat dan tumpul seperti layaknya orang yang terpapas jari-jarinya. Kiranya itu adalah mahluk roh, bukan manusia! Dan ketika Hauw Kam pucat berseru tertahan dan suhengnya juga mundur semakin terbelalak maka kakek itu membalikkan tubuhnya dan.... melayang pergi ke tengah laut, bergerak-gerak seperti layaknya hantu yang berjalan di atas air!

“Heii, cegah kakek itu. Rampas adikku Beng An!”

Semua bergerak serentak. Siang Le sendiri akhirnya sadar dan membentak menggerakkan tangannya. Pukulan dahsyat menyambar namun kakek itu tak mengelak. Tubuhnya tak bergeming karena pukulan itu lewat begitu saja menembus tubuhnya, jadi seperti menghantam angin. Dan ketika Hauw Kam maupun suhengnya juga melakukan serangan yang sama namun kakek itu terus meluncur di atas permukaan air, seperti roh, maka Soat Eng membentak dan berkelebat mengejar kakek itu, melepas pukulan.

“Kakek siluman, serahkan adikku!”

Namun yang terjadi malah nyonya itu yang berteriak kaget. Pukulannya menghantam laut dan air muncrat tinggi mengenai mukanya sendiri. Kakek itu meluncur dan terus bergerak ke depan, cepat sekali, tahu-tahu sudah lenyap di balik gulungan ombak yang besar. Dan ketika Soat Eng harus melempar tubuh ke atas dan kembali ke pantai, dengan muka pucat dan penuh keringat maka nyonya itu berseru pada teman-temannya untuk mengejar dengan getek.

“Kita tak boleh lengah, hayo kejar dan tangkap kakek itu!”

Gwan Beng dan sutenya mengangguk. Mereka ngeri tapi tak boleh berpangku tangan saja, apa boleh buat harus mengejar kakek itu meskipun dia siluman jejadian. Dan ketika masing-masing sudah meloncat ke atas getek dan menggerakkan tangan untuk mendorong maka perahu aneh ini meluncur dan membelah ombak, cepat sekali, mengejar si kakek iblis. Namun belum jauh mereka bergerak tiba-tiba getek itu kembali tertahan dan.... balik ke tepian.

“Heh-heh, tak boleh kalian lari, anak-anak. Hayo hadapi aku dulu dan setelah itu boleh pergi!”

Bukan main kagetnya empat orang ini. Soat Eng menoleh dan melihat kakek itu tahu-tahu sudah ada di belakangnya, tertawa dan menggerak-gerakkan tangan hingga perahu mereka tertarik mundur, sebentar saja sudah terseret dan terbalik. Itulah Poan-jin-poan-kwi, tapi tidak membawa Beng An! Dan ketika getek terbalik dan Hauw Kam serta suhengnya tercebur di laut, di samping ngeri juga karena kaget, bagaimana musuh tahu-tahu sudah ada di belakang mereka maka Siang Le dan isterinya yang berjungkir balik menyelamatkan diri tiba-tiba membentak dan melepaskan pukulan dari udara. Soat Eng merah dan pucat berganti-ganti merasa dipermainkan.

“Terkutuk, jahanam keparat.... dess!” pukulan nyonya itu mengenai tepat, telak menghantam lambung si kakek dan di sini sang nyonya merasa heran.

Dia tidak merasa pukulannya jatuh di tempat seperti bubur daging melainkan mendarat di tempat empuk seperti layaknya tubuh manusia normal, tidak dingin melainkan hangat dan kakek itu terdorong. Aneh, ini sudah seperti kakek yang dipukulnya di pulau tadi, bukan seperti kakek yang membawa pergi Beng An! Dan ketika Soat Eng memekik karena lawan terhuyung mundur, pukulannya rupanya membuat kakek itu kesakitan maka suaminya juga mendaratkan pukulan tapi malah terbanting sendiri.

“Dess!” Siang Le terlempar tiga tombak. Pemuda itu berteriak karena pukulannya menghantam sesuatu yang keras, yakni tulang paha si kakek. Dan ketika Siang Le berteriak karena diri sendiri merasa kesakitan, aneh sekali, maka kakek itu terkekeh dan berkelebat ke depan, mendahului Soat Eng.

“Kalian harus dihajar, robohlah!”

Soat Eng terbelalak. Dia bingung dan merasa tak mengerti akan ini. Tadi kakek itu seperti roh tapi kini seperti manusia biasa lagi. Namun ketika si kakek berkelebat dan dua jarinya menusuk mata, satu serangan berbahaya maka si nyonya mengerahkan Khi-bal-sin-kang dan mengelak serta menangkis dua jari kakek itu dengan amat kerasnya, penuh kemarahan.

“Dukk!” Soat Eng terpelanting. Sang nyonya berteriak terkejut karena Khi-bal-sin-kangnya tiba-tiba membalik, padahal biasanya pukulan lawanlah yang akan membunuh tuannya sendiri. Tapi ketika dia bergulingan dan berteriak meloncat bangun, terbelalak memaki kakek itu ternyata suaminya roboh dan menjadi korban.

“Dess!” Siang Le terlempar dan mengeluh di sana. Suaminya itu tidak bergerak-gerak lagi karena pingsan. Siang Le tak sempat mengelak dan pukulan kakek itu mengenai pelipisnya, pemuda ini roboh dan terjengkang. Dan ketika Soat Eng terbelalak karena tak tahu apakah suaminya masih hidup atau tidak, melengking dan berkelebat ke depan maka Hauw Kam dan suhengnya juga membentak dan marah menerjang kakek itu.

“Keparat, kau mengganggu kami!”

Tiga orang itu susul-menyusul. Soat Eng lebih dulu namun kembali nyonya ini terbanting, Khi-bal-sin-kangnya tertolak. . Dan ketika dia menjerit dan kaget serta gentar, tapi juga marah maka Hauw Kam dan suhengnya mendaratkan pukulan mereka di tubuh kakek itu.

“Des-dess!”

Si kakek tertawa melebarkan matanya. Dua orang itu telah memukulnya namun sama seperti Soat Eng tadi maka Hauw Kam dan suhengnya terbelalak. Mereka merasa pukulan mereka mendarat di tubuh yang empuk dan hangat, bukan lagi di tempat yang kosong dan tembus sia-sia. Jadi, kakek itu benar-benar manusia, bukan iblis, atau roh! Tapi ketika mereka tertegun dan tergetar, dari tubuh kakek itu keluar daya tolak yang besar maka misai si kakek melecut dan.... dua orang itu menjerit berteriak.

“Augh.... bluk-dess!”

Hauw Kam dan suhengnya terguling-guling. Mereka disambar misai itu yang tiba-tiba terangkat seperti cambuk, kaku dan melecut dan mereka coba menghindar namun kalah cepat. Dan ketika mereka menjerit dan terguling-guling, kakek itu terkekeh maka Soat Eng sudah mengulangi serangannya dan memukul bertubi-tubi sambil berkelebatan dengan cepat, melengking dan memekik dan sebentar saja kakek itu sudah dibuat sibuk mengelak ke sana-sini.

Soat Eng menujukan serangan-serangannya ke bagian-bagian berbahaya, mulut atau hidung dan juga mata. Karena kakek itu sudah berobah seperti manusia lagi maka Soat Eng menujukan serangan-serangannya ke sini, benar saja si kakek mengelak dan tak berani membiarkan saja semua pukulan-pukulannya itu. Tapi ketika si kakek mendengus dan berputaran cepat, mengikuti gerakan tubuhnya maka tiba-tiba misai itu meledak-ledak dan menangis semua serangannya.

“Heh-heh, kau tak dapat mengalahkan aku, bocah. Biarpun itu Khi-bal-sin-kang!”

Soat Eng terkejut. Semua pukulannya tiba-tiba benar saja tak ada gunanya, patah di tengah jalan karena bertemu misai panjang itu. Dan karena misai adalah segumpal rambut yang pada dasarnya halus dan luwes, tak bertenaga, maka begitu dipukul tentu saja tak apa-apa dan ketika Soat Eng terkejut mendadak misai yang tadi lembut dan tak bertenaga itu sekonyong-konyong terangkat naik dan kaku menotok tubuhnya.

“Aihh.... tar-des!” tanah yang tadi diinjak Soat Eng meledak dan hangus, sang nyonya sendiri sudah melempar tubuh bergulingan dan tiba-tiba dia balik didesak. Sang kakek mengejar dan terkekeh melecut-lecutkan misainya. Benda itu tiba-tiba menjadi kaku dan lemas berganti-ganti, tentu saja Soat Eng sibuk. Dan ketika nyonya itu lengah dan harus bergulingan ke sana-sini maka pundaknya kena juga.

Soat Eng mati separoh namun saat itu datanglah bantuan dua pamannya. Hauw Kam dan suhengnya membentak dan menerjang marah. Mereka sebenarnya jerih namun marah melihat keponakannya didesak, terus dirangsek dan dicecar bertubi-tubi. Dan ketika pukulan mereka mendarat namun si kakek tak apa-apa, sama seperti tadi maka kakek itu membalik dan tiba-tiba berseru marah,

“Heii, kalian tak dapat di ampuni...!”

Gwan Beng berteriak pada sutenya untuk loncat menghindar. Misai si kakek bergerak lagi dan seperti ular hidup tahu-tahu menyambar dahi, bukan main berbahayanya dan juga cepat. Tapi kalau Gwan Beng melempar diri untuk menyelamatkan tubuh adalah Hauw Kam berteriak dan mencabut pedang untuk membabat misai yang seperti ular hidup itu.

“Crat!” dan bukan misai yang putus melainkan pedang! Hauw Kam kaget bukan main karena tiba-tiba saja pedangnya itu putus. Misai selain kaku juga tiba-tiba kiranya tajam, entah dengan tenaga apa kakek itu mempergunakannya. Tapi ketika laki-laki ini tertegun dan Hauw Kam membelalakkan mata, si kakek terkekeh maka ujung misai itu terus menyambar dan terdengarlah jeritan ngeri ketika dahi atau jidat Hauw Kam dicoblos bolong.

“Crott!” Hauw Kam terbanting seperti pohon pisang dibabat. Laki-laki itu seketika tewas dan Gwan Beng terkejut melihat sutenya binasa. Laki-laki itu tertegun tapi misai tiba-tiba bergerak meledak, mengejar atau menyerangnya lagi. Namun ketika Soat Eng membentak dan menendang paman gurunya, Gwan Beng mencelat maka senjata si kakek yang aneh mengenai batu karang di belakang yang seketika hancur berkeping-keping.

“Dar!” Gwan Beng ngeri dan pucat. Apa boleh buat dia mencabut pedangnya tapi sementara itu Soat Eng sudah berkelebatan menyambar-nyambar. Nyonya ini juga mencabut pedang dan ilmu pedang warisan kakeknya dimainkan, yakni Ilmu Pedang Maut. Dan ketika tenaga yang dipergunakan adalah gabungan Khi-bal-sin-kang dan Lui-ciang-hoat sementara kecepatan tubuhnya mengandalkan Jing-sian-eng dan Cui-sian Gin-kang.

Maka serangan atau tusukan-tusukan si nyonya bukan main hebatnya hingga si kakek mendecak dan mundur-mundur, terbabat atau terbacok tapi kulit tubuhnya atos melebihi besi. Pedang sering mengeluarkan suara tang-ting-tang-ting ketika bertemu tubuh kakek itu, hal yang membuat Soat Eng terbelalak. Dan ketika tak lama kemudian tubuh si kakek malah berpijar setiap dibacok, semakin panas dan kemerah-merahan akhirnya pedang nyonya ini patah menjadi tiga.

“Ha-ha, cukup sekarang. Dan kau harus roboh!”

Soat Eng mengeluh. Dia terjerumus oleh bacokannya yang bertubi-tubi, bacokan penuh nafsu karena dia merasa penasaran dan juga marah oleh kehebatan kakek itu. Tapi ketika pedangnya patah dan si kakek menggerakkan misai panjangnya, menggubat dan melilit maka tubuh si nyonya terbanting dan berdebum.

“Bress!” Soat Eng kesakitan. Sejenak pandangannya gelap dan nyonya itu tak dapat berbuat apa-apa, dia mengeluh dan kaget serta pucat. Tapi ketika si kakek tertawa-tawa dan mau menggerakkan misainya lagi, sorot matanya buas maka saat itu Gwan Beng berteriak dan menerjang dari samping.

“Jangan...!” Soat Eng berteriak lemah. “Harap supek melarikan diri dan jangan menghiraukan kakek iblis itu....!”

Namun Gwan Beng terlanjur marah. Kakek ini marah karena sutenya tewas begitu mengerikan. Darah yang mengalir dari jidat atau dahi sutenya itu terlihat jelas, mancur seperti kran air. Maka ketika Soat Eng berteriak padanya tapi kakek ini nekat, menubruk dan menyerang maka bertubi-tubi dia sudah menusuk atau menikam tubuh lawan.

Tapi Poan-jin-poan-kwi terkekeh-kekeh, berkelit dan membiarkan beberapa tikaman atau bacokan mengenai tubuhnya, crang-cring-crang-cring dan mengeluarkan bunga api, juga asap. Tapi ketika kakek itu berseru keras dan membentak ganas, tangan kirinya bergerak mendorong maka pedang ditangkis patah dan seketika itu juga patahan yang tajam membalik menyambar pemiliknya sendiri.

“Awas!”

Namun terlambat. Gwan Beng berteriak ketika ujung pedang menancap di dadanya, tembus sampai ke belakang. Dan ketika laki-laki itu terbelalak dan mengeluh, darah mengalir membasahi bajunya maka laki-laki itu roboh dan tengkurap.

“Bluk!”

Soat Eng membelalakkan matanya. Dia memberi peringatan tapi supeknya tak sanggup mengelak. Memang Poan-jin-poan-kwi ini terlalu sakti, bukan lawan mereka. Dan ketika supeknya roboh dan terjerembab, pertandingan berhenti maka Soat Eng melihat kakek itu meledakkan misainya dan tiba-tiba dia mengeluh. Wanita itu tak sadarkan diri lagi ketika misai menghantam tengkuknya.

Empat tubuh sudah malang-melintang tak keruan, dua pingsan dan dua tewas. Dan ketika kakek itu tertawa-tawa dan girang serta menendang mayat Hauw Kam kakak beradik maka kakek ini berkelebat dan meluncur di atas permukaan air laut, meninggalkan pulau.

“Heh-heh, puas aku, anak-anak. Biarlah dua kuberi hidup dan yang lain mampus!”

Soat Eng tak mendengar apa-apa lagi. Wanita itu pingsan dan menderita luka, agak berat. Dan karena suaminya juga pingsan tapi tak seberat nyonya itu maka suaminya inilah yang nanti lebih dulu siuman.

* * * * * * * *

“Eng-moi, di mana kau?”

Siang Le benar saja tiba-tiba siuman lebih dulu. Pemuda itu membuka mata dan merasa pening, sejenak tak tahu apa yang terjadi karena pertama kali yang dilihat adalah awan putih berarak. Dia bingung tapi pikirannya segera bekerja. Dan ketika dia sadar dan bangun gemetar, seluruh persendian serasa remuk maka dia bertanya di mana isterinya itu, terbelalak dan segera melihat mayat Hauw Kam dan suhengnya, terkejut dan berteriak tertahan dan segera dilihatnya pula tubuh isterinya itu, meringkuk di sana. Dan ketika pemuda ini menjerit dan melompat berlari, lupa kepada semua rasa sakit di persendian tiba-tiba pemuda ini terjatuh namun bangkit lagi, menubruk dan memanggil nama isterinya, yang dikira tewas.

“Eng-moi, ah.... jahanam kakek iblis itu!” Siang Le tersedu, menyambar dan mengangkat tubuh isterinya tapi segera dilihatnya bahwa isterinya itu masih hidup. Dada isterinya berombak meskipun perlahan, wajah itu pucat. Dan ketika Siang Le tertegun tetapi girang, isterinya tidak tewas maka cepat pemuda ini menotok dan memberikan pertolongan.

“Eng-moi, sadarlah. Bangunlah!”

Siang Le merogoh saku bajunya. Di situ ia mengeluarkan beberapa butir obat, gugup menelankan ke mulut isterinya dan cepat dia mengurut dan menotok sana-sini lagi. Dan ketika isterinya mengeluh dan Soat Eng membuka mata, sadar, maka Siang Le girang bukan main dan menciumi muka isterinya itu, lupa kepada mayat Hauw Kam dan Gwan Beng.

“Bangunlah, sadarlah. Kakek itu telah pergi!”

Soat Eng merintih. Dia terluka agak berat karena sebagian dari Khi-bal-sin-kang membalik kepada dirinya sendiri. Ledakan atau pukulan misai di tengkuknya membuat nyonya itu merasa pening. Dia teringat apa yang baru terjadi. Maka menggigil mengerotokkan buku-buku jarinya, nyonya ini tiba-tiba mencoba bangun namun roboh. “Aduh, aku tak kuat. Kepalaku pening!”

“Sabar, jangan khawatir. Ada aku di sini, Eng-moi. Aku akan menolongmu!” Siang Le mengangkat isterinya, membopong tapi tiba-tiba Soat Eng melihat dua mayat itu. Wanita ini terpekik dan suaminya berhenti, melihat pula dua mayat itu, sadar. Dan ketika Soat Eng mengguguk dan minta diturunkan, sang suami sudah menurunkan maka wanita ini berlari terhuyung ke mayat dua pamannya itu, jatuh bangun.

“Supek.... supek.... kubalaskan kematianmu. Ah, terkutuk Poan-jin-poan-kwi itu...!” dan Soat Eng yang roboh di mayat supeknya Gwan Beng, mengguguk dan menggerung-gerung di sini akhirnya mencabut pedang atau patahan pedang di dada supeknya itu, berteriak, memaki lagi, “Poan-jin-poan-kwi, aku bersumpah untuk menuntut balas. Kalau bukan kau yang mati maka aku!”

“Hm, sudahlah,” Siang Le menghampiri, tahu-tahu sudah di dekat isterinya ini pula. “Mereka bukan manusia, Eng-moi, mereka siluman. Melawan siluman tiada gunanya. Biarlah kukubur mereka itu dan kau tenanglah!”

“Tidak... tidak. Aku ingin mencari dulu mereka itu, Le-ko. Dan adikku Beng An juga dibawanya. Ah, jahanam. Keparat!” dan Soat Eng yang meloncat bangun namun roboh lagi, dihantam peningnya itu lalu terguling dan membuat sibuk sang suami.

Siang Le kelabakan melihat sikap isterinya ini. Soat Eng berteriak-teriak dan mau mencari kakek itu, padahal sudah tak ada di pulau. Dan ketika pemuda ini kebingungan namun membujuk isterinya untuk tidak marah-marah, Soat Eng seperti orang kesetanan maka saat itu terdengar suara tawa yang aneh dan melingkar-lingkar, kecil.

“Heh-heh, biarkan isterimu mengamuk, Siang Le. Biarkan dia gila dan roboh lagi!"

Siang Le terkejut, celingukan.

“Aku gurumu, datang untuk menghukum murid murtad!”

Siang Le kaget, Sekarang dia merasa yakin bahwa itu memang suara gurunya. Dia tadi segera mengenal dan terkejut dan muka seketika berubah. Itu memang gurunya tapi dia tak tahu di mana. Siang Le teringat bahwa gurunya itu memiliki Hek-kwi-sut, ilmu menghilang. Maka ketika suara tawa itu terdengar lagi namun kecil melingkar-lingkar, Siang Le bingung maka pemuda itu menjatuhkan diri berlutut ke sembarang tempat, berseru girang meskipun juga cemas.

“Suhu, tak usah kau main-main kepadaku. Kalau kau datang untuk menghukum silahkan, sejak dulupun tak pernah aku melarikan diri!”

“Heh-heh, kau memang murid yang mengagumkan, meskipun membuat gurumu mendongkol. Baiklah, aku di sini dan lihat..."

"Aduh!” Siang Le tiba-tiba menjerit, kaget berteriak kesakitan karena mata kakinya tiba-tiba seakan digigit kelabang, pedih dan sakit bukan main. Namun begitu dia menengok ke bawah dan memijit mata kakinya itu maka sebuah sinar hitam kecil melejit dan itulah See-ong yang sudah berdiri di depan mukanya yang sedang berlutut, kakek menyeramkan namun yang kini hanya sebesar telunjuk jari!

“Suhu...!” Siang Le kaget dan girang bukan main. Seketika pemuda itu mencium gurunya namun karena See-ong hanya sebesar telunjuk saja maka hidung Siang Le sama besar dengan tubuh gurunya itu.

See-ong melejit dan menghilang lagi. Dan ketika Siang Le merasa bokongnya dicubit atau ditendang, See-ong berpindah tempat maka kakek kerdil yang amat luar biasa mininya itu sudah meloncat dan beterbangan menghajar muridnya ini, seperti lalat atau tawon yang “menggigit” seluruh tubuh muridnya hingga Siang Le berteriak-teriak. Pemuda itu berjengit sana-sini namun tidak minta ampun. Bahkan, Siang Le mempersilahkan gurunya untuk membunuh, kalau kakek itu mau.

Namun ketika kakek ini hanya beterbangan dan menyakiti tubuh muridnya dengan tendangan atau pukulan, hal yang sudah membuat tubuh pemuda itu merah biru tak keruan maka Soat Eng yang melihat kakek itu dan tertegun serta terbelalak tiba-tiba memekik dan menggerakkan jarinya menerkam, seperti seorang yang hendak menyambar atau menangkap kupu.

“See-ong, lepaskan suamiku. Atau kau mampus!”

Namun terkaman atau sambaran jari-jari nyonya ini luput. See-ong sudah meloncat dan seperti siluman mini saja dia melejit dan beterbangan ke tempat lain. Kakek itu terkekeh-kekeh. Geraknya luar biasa cepat, tak dapat diikuti mata. Dan ketika Soat Eng membentak karena suaminya merintih-rintih, kakek itu masih terus menghajar muridnya maka dia meraup segumpal pasir putih dan menghamburkannya ke tubuh si kakek, yang tiba-tiba terkepung dari segala penjuru oleh raupan pasir yang berhamburan itu.

“Aihh, keparat!” See-ong menghentikan siksaannya pada sang murid, meloncat tinggi menghantamkan kedua lengannya ke depan. Dan ketika pasir-pasir itu tertahan dan Soat Eng tertegun, tak melihat bayangan lawannya di balik pasir tebal maka si kakek menerobos dan seperti meteor jatuh tahu-tahu jari telunjuknya sudah menotok dahi si nyonya.

“Jangan bunuh isteriku!”

Soat Eng dan si kakek sama-sama terkejut. Siang Le membentak dan menyambar tubuh gurunya itu. See-ong terbang seperti tawon dan meluncur dari bawa ke atas, menyerang dahi si nyonya. Tapi karena saat itu Siang Le membentak dan menyerang gurunya, di mana tak mau isterinya dibunuh maka tepat jari itu mengenai dahi maka tubuh See-ong tertangkap pula dan dibanting!

“Brukk!” Siang Le tertegun mengeluarkan seruan tertahan. Guru dan isterinya sama-sama berteriak, roboh dan Soat Eng seketika pingsan. Maklumlah, sebelumnya dia sudah terluka. Dan ketika See-ong bergulingan meloncat bangun dan memaki muridnya, yang menangkap dan membantingnya di tanah maka sang kakek melotot dan bertolak pinggang di depan muridnya itu, lucu, seperti anak kerdil berhadapan dengan seorang raksasa!

“Siang Le, kau berani menyerang gurumu? Kau mau melawan dan menantang aku?”

“Maaf,” Siang Le menjatuhkan diri berlutut, pucat dan bingung berganti-ganti. “Kalau kau membunuh isteriku maka bunuh terlebih dahulu diriku ini, suhu. Isteriku sedang terluka dan jangan kau melukainya lagi!”

“Tapi dia keluarga Pendekar Rambut Emas, musuhku!”

“Kalau begitu akupun juga musuh suhu, aku juga sudah menjadi keluarga Pendekar Rambut Emas!”

“Keparat, kau muridku, Siang Le. Kau tak ada hubungan dengan pendekar itu!”

“Tidak, kau merestui perjodohanku, suhu. Aku telah menjadi mantu Pendekai Rambut Emas, atas perkenanmu!”

“Tapi, ah...!” kakek ini bingung, juga marah. “Aku tak perduli itu, Siang Le. Pokoknya aku ingin membunuh wanita itu dan kau jangan menghalangi.... wut!”

Namun Siang Le yang berkelebat dan menghadang di depan isterinya, gagah dan bersinar-sinar tiba-tiba membentak, mencengkeram dan siap menusuk batok kepalanya sendiri. “Suhu, sekali kau bergerak tentu aku akan bunuh diri di sini. Aku tak dapat melawanmu. Silahkan, kau boleh membunuhnya tapi aku bunuh diri terlebih dahulu atau kau pergi dan jangan ganggu kami berdua. Poan-jin-poan-kwi mencarimu!”

“Apa?” si kakek mencelat, kaget dan seketika hilang kemarahannya. “Poan-jin poan-kwi? Mereka mencari-cariku?”

“Ya, dan justeru karena itu maka aku dan yang lain-lain ini terluka, suhu. Dia datang mencarimu dan mengobrak-abrik Sam-liong-to!”

“Ha-ha!” kakek itu tertawa bergelak. “Kalau begitu tidak sia-sia isyarat yang kuberikan. Eh, di mana mereka, Siang Le? Kenapa tak ada di sini?”

“Mereka?” Siang Le terbelalak.

“Kakek itu hanya seorang, tidak lebih!”

“Ha-ha, Poan-jin-poan-kwi ada dua orang. Yang satu adalah supekku (uwa guru) sedang yang lain adalah susiokku (paman guru). Sebutkan mereka itu dan di mana sekarang!”

“Ah,” Siang Le tertegun, tiba-tiba terkejut. “Jadi mereka dua orang? Tidak hanya seorang?”

“Eh,” sang guru marah. “Belum menjawab tak usah bertanya, Siang Le. Hayo katakan di mana mereka itu dan apa katanya!”

“Mereka.... mereka sudah meninggalkan pulau....” Siang Le terbelalak. “Dan Hauw Kam-locianpwe serta Gwan Beng locianpwe ini dibunuhnya....!”

“Wut!” See-ong berkelebat, menotok muridnya. “Kalau begitu kau ikut aku, Siang Le. Sudah saatnya membalas dendam dan menemui mereka!”

Siang Le terkejut. Dia tak kuasa menghindari itu dan tahu-tahu lututnya tertekuk roboh. Pemuda ini berteriak namun gurunya sudah mengangkat tubuhnya, menyambar dan menendangnya tiga kali hingga tubuh pemuda ini terlempar berturut-turut. Dan ketika See-ong mempergunakan punggungnya untuk menerima dan melemparnya lagi ke atas maka tubuh pemuda itu sudah jatuh di atas perahu dan See-ong menggerakkan tangan mendorong.

“Hayo, sekarang kita berangkat!”

Siang Le memaki-maki. Dia membentak dan marah-marah kepada gurunya itu, mendamprat dan mencaci habis-habisan. Tapi ketika See-ong menotok urat gagunya dan pemuda itu tak dapat bicara maka See-ong meluncur dan meninggalkan pulau, tertawa dan terkekeh-kekeh dan sama sekali tak menghiraukan tubuh-tubuh di Sam-liong-to itu. Kakek ini bergerak namun kesaktian serta kehebatannya mengagumkan. Meskipun sebesar jari telunjuk namun tenaga atau sinkang kakek itu luar biasa sekali.

Karena begitu dia mendorong dan air laut muncrat tinggi maka perahu yang ditumpangi itu melesat dan terbang meninggalkan pulau. Siang Le mengeluh dan tak dapat berbuat apa-apa. Dia teringat isterinya dan dua mayat di sana. Tapi karena ditotok gurunya dan dia tak dapat menggerakkan tubuh maka pemuda ini akhirnya menggigit bibir dan pingsan oleh rasa cemas yang hebat.

See-ong sendiri tertawa-tawa dan mendorong perahu dengan tenaga luar biasa. Kakek itu meninggalkan pulau dan cepat sekali perahunya lenyap di kejauhan. Dan ketika kakek itu pergi sambil membawa muridnya, Soat Eng masih pingsan di sana maka setengah jam kemudian nyonya ini sadar, membuka mata. Mula-mula Soat Eng melihat awan berarak. Itulah yang juga dilihat suaminya pertama kali, ketika Siang Le tadi siuman. Tapi ketika dia kaget dan teringat See-ong, kaget bahwa kakek itu datang di Sam-liong-to maka Soat Eng melompat bangun dan merasa dahinya sedikit nyeri.

“Le-ko!”

Tak ada siapa-siapa. Soat Eng tertegun dan teringat suaminya itu. Tadi Siang Le ada di situ tapi kini entah ke mana. Bergeraklah nyonya ini dan berteriak-teriaklah dia memanggil suaminya itu. Tapi ketika seluruh pulau dikitari dan Siang Le tetap tak ada, Soat Eng menangis dan memaki-maki See-ong akhirnya wanita itu tiba kembali di tempat semula dan mengguguk di mayat dua orang supeknya.

“Oh, keparat jahanam. Apa yang kalian lakukan ini, Poan-jin-poan-kwi. Dan apa yang kau lakukan pula. See-ong, bedebah terkutuk!” dan ketika Soat Eng bangun dan memekik menghantam sebuah batu karang maka terdengarlah suara ledakan ketika batu itu hancur, disusul oleh batu-batu yang lain karena Soat Eng segera mengamuk dan menghajar apa saja yang ada di situ. Wanita ini marah dan tak kuat menahan perasaannya lagi. Adik dan suaminya diculik. Tapi ketika batu-batu karang hancur dan laut bergolak diterjang angin pukulannya maka Soat Eng roboh terbanting dan jatuh terduduk sendirian.

Di situ nyonya ini menangis dan sesengukan. Apa yang dialami memang hebat sekali. Ketenteraman rumah tangganya hancur. Itu akibat ulah iblis-iblis yang berdatangan. Dan ketika nyonya itu mengguguk namun teringat mayat-mayat supeknya, bahwa mereka itu harus dikubur dan dia mencari suami dan adiknya maka Soat Eng menghentikan tangisnya dan melompat bangun. Wanita ini berapi-api dan beringas. Laut sekali lagi ditantangnya tapi hanya dijawab debur ombak yang bergemuruh. Bumi diinjaknya namun ternyata diam membisu. Dan ketika Soat Eng bergerak dan membuat lubang maka jenasah dua orang pamannya dimakamkan sambil bercucuran air mata.

Wanita ini tak tahu apalagi yang harus dilakukan. Yang jelas, dia harus meninggalkan pulau. Sam-liong-to sudah terlalu panas baginya. Dia sudah tak kerasan. Ingin cepat-cepat dia mencari suami dan adiknya itu. Dan ketika rasa nyeri di dahi dan tengkuk terasa lagi, Soat Eng sadar bahwa dia baru sembuh dari luka maka nyonya itu beristirahat dan duduk bersila. Soat Eng menangis sambil memejamkan mata.

Dia coba menenangkan perasaannya dan memulihkan tenaga namun tak begitu berhasil. Tenaga bisa pulih tapi otaknya semrawut, kacau. Dan ketika wanita itu meloncat bangun dan beringas memandang pantai, jauh ke daratan besar sana maka wanita ini mengambil sepotong papan dan berjungkir balik di situ, Lalu begitu dia menggerakkan tangan dan mengayuh, seperti orang mendorong perahu maka wanita inipun melaju cepat meninggalkan Sam-liong-to.

Dia telah bersembahyang di makan paman-pamannya. Soat Eng minta doa restu dan akan mengejar. Kalau bukan Poan-jin-poan-kwi ya See-ong itulah yang akan diajak mengadu jiwa. Dua-duanya iblis keparat! Dan ketika Soat Eng bergerak dan melaju seperti siluman, kakinya juga sering bergerak naik turun melawan gelombang maka wanita itu bagai seorang dewi yang meluncur dipermukaan air laut.

Siapapun tak menyangka bahwa itu manusia, karena tak ada manusia yang dapat mengarungi lautan, apalagi sedermikian luas, tanpa perahu. Tapi karena Soat Eng adalah puteri Pendekar Rambut Emas dan apa saja dapat dilakukan wanita berkepandaian tinggi ini maka begitu dia meluncur dan jauh meninggalkan pulau akhirnya Soat Eng lenyap di balik gulungan ombak.

* * * * * * * *

“Hm..!” laki-laki yang bersila itu menarik napas panjang. “Akan ada gangguan datang, niocu. Akan ada badai menimpa kita?”

“Apa yang terjadi? Apa yang kau lihat?”

“Kita akan menghadapi musuh-musuh tangguh. Ah, itu See-ong muncul lagi!” dan ketika laki-laki itu terkejut dan tertegun, mata masih dipejamkan namun seolah dia melihat sesuatu di kejauhan sana, di alam batin maka isterinya, wanita yang duduk di sebelahnya itu gelisah dan beringsut.

“Coba alirkan getaran sinkangmu kepadaku. Biar kulihat apa yang terjadi!”

Pendekar Rambut Emas, laki-laki itu segera meletakkan tangannya di pundak sang isteri. Sejak tadi isterinya memang berada di sampingnya mengikuti pandangan batin suaminya. Pagi itu Pendekar Rambut Emas mendapat getaran tak enak dan cepat-cepat dia bersamadhi. Dia segera menyatu kepada keheningan dan alam mayapada dilihatnya. Sekarang Pendekar Rambut Emas telah mencapai satu tingkatan batin di mana dia dapat menangkap atau melihat sesuatu yang masih jauh-jauh di sana.

Kesabaran dan kelembutan jiwa pendekar ini telah mengantarnya pada satu kesaktian lebih tinggi lagi, yakni memperoleh ilmu yang disebut Tee-jong-gan (Menembus Dunia), satu ilmu yang lebih bersifat kebatinan daripada lahiriah. Dan ketika dia mulai melihat apa yang terjadi sementara isterinya tertegun dan memperhatikan semua gerak-geriknya, wanita itu belum memiliki ilmu seperti suaminya maka begitu pundaknya ditempel dan getaran tenaga sakti mengalir dari tangan suaminya itu mendadak Swat Lan, nyonya ini, terpekik melihat apa yang terjadi.

“Aihh, itu See-ong. Keparat, dia datang ke Sam-liong-to!”

“Hm, benar. Dan itu, ada pendatang-pendatang lain lagi. Ah, siapa mereka ini? Astaga, yang seorang tak dapat kulihat jelas!”

Swat Lian berseru tertahan. Dia segera melihat dua orang berada di Sam-liong-to, yakni orang-orang sebelum See-ong. Tapi ketika yang seorang tak dapat dilihat karena hanya berupa bayang-bayang saja, seperti roh, maka nyonya itu terpekik dan betapa kagetnya dia ketika melihat justeru orang yang melayang-layang seperti roh ini merampas Beng An.

“Terkutuk, jahanam keparat.... dess!” sang nyonya menghantam pundak suami, kaget dan tidak sadar dan seketika itu juga penglihatan batin tiba-tiba buyar. Nyonya ini telah menghilangkannya dengan tepukan kaget tadi, tepukan yang sebenarnya akan dapat menghancurkan sebuah batu karang sebesar bukit. Dan ketika Pendekar Rambut Emas terkejut dan otomatis melakukan daya tolak, berarti konsentrasinya pecah maka saat itulah isterinya meloncat bangun dan menggigil, tak perduli pada suami yang sedikit menyeringai dan membuka mata, bangun berdiri.

“Suamiku, Beng An.... Beng An....”

“Tenang,” sang suami menarik napas dalam-dalam. “Ada sebab pasti ada akibat, isteriku. Inilah badai yang rupanya akan mengganggu kita.”

“Tapi aku akan mencari anakku. Ben An dirampas, dia diculik!”

“Benar, dan agaknya aku harus turun tangan sendiri, niocu. Orang itu luar biasa sekali. Dia seperti bukan manusia!”

“Dan kita harus ke Sam-liong-to, sekarang juga!”

“Bagaimana dengan Cao Cun? Dia telah lama di sini, isteriku, menunggu dan sabar menantikan pertolongan kita. Aku tak tega.”

“Sudah kubilang kau harus memanggi Thai Liong. Kenapa tidak segera kau panggil dan suruh datang puteramu itu? Aku lebih mementingkan puteraku di Sam-liong-to, suamiku. Urusan orang lain sekaran nomor dua!”

“Hm, janji tetaplah janji,” Pendekar Rambut Emas menggeleng. “Dan lagi membiarkan Togur di sana terlalu lama tidak baik, niocu. Kita harus bergerak dan menangkap pemuda itu.”

“Tidak!” sang isteri membentak. “Kalau kau ingin ke sana silahkan, suamiku. Tapi aku akan mencari Beng An!”

“Aku sudah enggan mencampuri urusan dunia, aku sudah tak bersemangat...”

“Kalau begitu panggil Thai Liong dengan cepat, pergunakan ilmumu Tee-jong-gan itu!”

“Hm, baiklah. Tapi jangan sekarang kau berangkat!” dan ketika Pendekar Rambut Emas menarik dan mencegah isterinya pergi, karena wanita itu sudah bergerak dan akan meloncat maka pendekar ini membujuk isterinya agar tidak terburu-buru, tenang.

“Kau tak akan dapat berpikir baik kalau tergesa-gesa begini. Turut nasihatku dan biar kupanggil Thai Liong datang!”

“Tapi aku tak dapat menahan diri. Aku tak mau lama-lama anakku diculik orang. Lepaskan, atau aku akan menyerangmu.... duk-duk!” dan Swat Lian yang sudah menyerang suaminya untuk melepaskan diri tiba-tiba mengamuk dan menerjang.

Pendekar Rambut Emas mengelak dan menangkis pukulan-pukulan isterinya. Dia tak membiarkan isterinya pergi karena selalu menghadang ke sana-sini. Dan karena nyonya itu melengking dan semakin marah, bujukan suaminya tak digubris akhirnya menerjanglah dia dengan seluruh ilmunya!

“Kim-mou-eng, kau tak dapat menahan aku membela anak. Kalau aku tak dapat mencari penculik itu biarlah aku mampus di tanganmu!”

Kim-mou-eng atau Pendekar Rambut Emas terkejut. Dia tak bermaksud membuat isterinya marah-marah seperti ini. Watak Hu-taihiap, mendiang mertuanya tiba-tiba muncul di hati isterinya ini, keras dan ganas. Dan ketika dia berloncatan namun dikejar dan dihujani pukulan bertubi-tubi akhirnya pendekar ini mengeluh dan memperingatkan.

“Niocu, aku sudah akan memanggil Thai Liong. Sabarlah, tahanlah pukulan-pukulanmu ini....”

“Aku akan menahan pukulan-pukulan ini kalau kau minggir dan memberi aku jalan. Hayo, kita bertanding dan kau atau aku yang mampus.... des-dess!” sang nyonya menjawab, tapi bukannya mereda melainkan justeru semakin gila dan marah-marah. Lui-ciang-hoat meledak dan sebongkah batu sebesar gunung hancur, ditambah kemudian dengan pepohonan yang tumbang dihajar tamparan-tamparan Khi-bal-sin-kangnya.

Dan ketika lembah seketika bergetar dan tubuh nyonya itu sudah beterbangan seperti walet atau garuda yang haus darah maka Kim-mou-eng atau Pendekar Rambut Emas mengeluh dan mempercepat gerakannya pula. Kalau begini isterinya sudah tak dapat didamaikan lagi. Kemarahan dan nafsu membunuh tiba-tiba timbul. Dan ketika pendekar itu sibuk berpikir apa yang sebaiknya ia lakukan, menghadapi keras dengan keras atau mengalah membiarkan isterinya pergi maka saat itu berkelebatlah sesosok bayangan dan puteri mereka, Soat Eng, muncul.

“Ibu...!”

Pendekar Rambut Emas dan isterinya terkejut. Soat Eng sudah berteriak dan melayang di tengah-tengah mereka. Pukulan ibunya menyambar dan gadis ini menerima, tentu saja ibunya terpekik dan secepat kilat Swat Lian membuang pukulannya ke samping. Dan ketika tanah meletup keras seperti ditimpa meriam maka Swat Lian berjungkir balik dan melayang turun dengan muka pucat.

“Gila, kau... kau gila!”

“Tidak, kau yang gila. Ooh, kau gila, ibu. Kau gila. Daripada membunuh ayah lebih baik kau bunuh saja diriku!” dan Soat Eng yang menubruk serta mencengkeram ibunya, marah dan bingung akhirnya menangis tersedu-sedu melerai mereka, menceritakan kemalangannya di Sam-liong-to dan seketika ibunya tertegun.

Pendekar Rambut Emas sendiri berdiri mengusap keringat sambil berkali-kali menarik napas panjang. Ah, isterinya seperti kesetanan. Tapi ketika Soat Eng mengguguk dan menceritakan peristiwa di Sam-liong-to, hal yang baru sebagian mereka lihat melalui ilmu batin maka Swat Lian mendorong puterinya bertanya, berkeretuk.

“Siapa yang menculik adikmu itu. Siapa kakek yang seperti roh itu!”

“Ibu tahu?” Soat Eng tertegun. “Ibu sudah mendengar ceritanya?”

“Belum, tapi... tapi ayahmu tahu. Kami tadi melihatnya dalam Tee-jong-gan!”

“Tee-jong-gan (Melihat Dunia)?”

“Ya, ayahmu sekarang bertambah hebat, Eng-ji. Dia setingkat lebih tinggi ilmu batinnya!”

“Hm,” Pendekar Rambut Emas melangkah, mendekati mereka. “Aku mendapat firasat batin, Eng-ji, firasat tak enak. Karena itu bersama ibumu lalu aku melihat. Dan tampak kejadian di Sam-liong-to itu. Tapi belum semua selesai tiba-tiba ibumu marah-marah dan memukul aku.“

“Ah, ibu harus minta maaf!” Soat Eng menegur, teringat itu. “Betapapun ayah tak bersalah kepadamu, ibu. Apa yang ayah lakukan adalah demi kebaikan dirimu juga!”

“Tak apa,” sang ayah memeluk isterinya, tak tampak kemarahan atau dendam. “Ibumu marah karena adikmu diculik, Eng-ji. Aku dapat memaklumi dan tak sakit hati oleh ini.”

“Ahh..!” dan sang nyonya yang menubruk dan memeluk suaminya lalu sadar dan minta maaf, mencium pipi kiri kanan dan Pendekar Rambut Emas tersenyum bahagia. Itulah yang seharusnya terjadi, bukan bertengkar! Dan ketika Soat Eng tertegun tapi juga terharu melihat ibunya berbaik kembali maka dia teringat dan kagum akan ilmu yang dimiliki ayahnya itu, Tee-jong-gan.

“Coba ayah ceritakan apa yang ayah lihat itu. Aku ingin tahu!”

“Hm, aku melihat tiga orang mendatangi pulau, satu di antaranya adalah See-ong!”

“Tiga orang?” Soat Eng menggeleng. “Tidak, hanya dua, ayah. Poan-jin-poan-kwi dan See-ong!”

“Poan-jin-poan-kwi? Siapa dia ini?' sang pendekar malah tertegun, tak pernah mendengar namanya.

“Katanya adalah paman guru See-ong kakek iblis yang seperti siluman!”

“Ahh!” dan Pendekar Rambut Emas yang terkejut serta berobah, kaget, segera mendengar cerita puterinya tentang kakek itu, kelanjutannya.

“Kami bertanding dan kalah. Kakek itu luar biasa sekali. Sebentar seperti berjasad tapi sebentar kemudian seperti roh. Pukulan-pukulanku tak mempan, bahkan Khi-bal-sin-kang membalik!”

“Hm, begitukah? Dan kemudian?”

“Kemudian.... kemudian Gwan Beng-supek dan Hauw Kam-supek tewas, ayah. Mereka dibunuh kakek jahanam itu!”

“Keparat..... dess!” Swat Lian tiba-tiba memekik, kaget dan marah dan tiba-tiba berkelebat ke sebuah pohon besar. Pohon itu dihantam dan seketika roboh, suaranya hiruk-pikuk. Tapi ketika suaminya menahan dan mencekal isterinva, Swat Lian merah padam maka Soat Eng mengguguk dan menubruk ibunya lagi.

“Aku.... aku tak berdaya. Poan-jin-poan-kwi sungguh lihai dan tidak seperti manusia!”

“Tapi aku akan mencarinya!” nyonya ini mengepal tinju, mendesis-desis. “Aku tak akan membiarkan kakek itu, Eng-ji, Biarpun dia siluman aku tidak takut. Akan kucari dan kuhajar dia!"

“Dan Beng An dirampas kakek ini....”

“Ya, aku sudah melihat. Dan suamimu?” sang ibu tiba-tiba tertegun, terbelalak memandang puterinya. Mana suamimu itu, Eng-ji? Kenapa Siang Le tidak ikut?”

“Dia.... dia tak ada pula. Habis bertengkar dengan gurunya.”

“Heh, tak ada? jadi meninggalkan Sam-liong-to?”

“Tidak, kupikir bukan meninggalkan aku, ibu, melainkan dipaksa atau dirobohkan gurunya itu. Siang Le dibawa gurunya.”

“Tapi dia sudah mewarisi Khi-bal-sin-kang dan jing-sian-eng, juga Lui-ciang-hoat dan Cui-sian-ginkang!”

“Tidak, Le-ko sudah tak mempelajari ilmu-ilmu itu lagi, ibu. Aku tak tahu kenapa dia begitu. Katanya ogah-ogahan.”

“Apa?”

“Benar, aku sendiri juga heran. Tapi itulah kenyataannya. Dia tak mau mempelajari ilmu-ilmu kita dan aku tak tahu apa sebabnya!”

Sang nyonya tiba-tiba tertegun. Pendekar Rambut Emas juga terkejut dan tampak mengerutkan kening. Aneh, diwarisi ilmu tinggi ternyata hanya ditinggalkan begitu saja, sejenak pendekar ini merasa terpukul dan terhina! Tapi ketika rasa marah ditekan dan Pendekar Rambut Emas merasa sesuatu, entah apa, maka pendekar yang bijak dan tidak tergesa-gesa mengambil kesimpulan itu lalu melirik isteri dan puterinya. Siang Le dikenalnya sebagai pemuda yang baik wataknya dan Bu-beng Sian-su sendiri memberi jaminan akan itu. Pemuda itu seolah ikan di laut yang asin. Meskipun kejahatan dan sepak terjang gurunya sehari-hari mengungkungi hidupnya namun tak pernah pemuda itu terpengaruh.

Siang Le memiliki kepribadian sendiri dan justeru kepribadiannya yang teguh dan tegar seolah batu karang inilah yang sering membuat gurunya marah-marah dan mendongkol. See-ong acap kali menghajar muridnya itu namun tak pernah Siang Le membalas. Bahkan, pemuda itu sering menasihati gurunya dengan cinta kasih, tak dendam atau marah atas perlakuan gurunya kepadanya, bahkan ketika gurunya hendak membunuhnya sekalipun! Dan ketika pendekar itu melihat bahwa yang memiliki perobahan muka hanya isterinya, puterinya tidak menunjukkan perobahan apa-apa maka pendekar ini curiga dan mulai menujukan perhatiannya pada sang isteri!

Memang tak aneh. Dulu, ketika puteri mereka ngotot dan ingin menikah dengan Siang Le, hal yang membuat isterinya gusar maka Swat Lian inilah yang menentang dan menolak mati-matian. Ibu dan anak bahkan bentrok (baca: Istana Hantu). Tapi karena Swat Lian mengalah dan Soat Eng sendiri rela dibunuh ibunya demi cintanya kepada Siang Le sedemikian kuat maka isterinya itu menerima dan Siang Le akhirnya menjadi menantu mereka.

Pendekar Rambut Emas sendiri percaya bahwa Siang Le adalah pemuda baik-baik. Dia sendiri sudah melihat watak dasar pemuda itu, pemuda yang mulia dan berbatin bersih. Maka ketika Siang Le didengarnya tak mau mempelajari ilmu-ilmu dahsyat, empat ilmu warisan yang dimiliki Pendekar Rambut Emas maka pendekar itu melirik dan mencurigai isterinya. Perasaannya menangkap bahwa ada apa-apa di antara isterinya dengan menantunya. Tapi karena di situ ada puteri mereka dan tak enak untuk menyelidiki ini, karena tentu bakal terjadi sesuatu yang tak diingini maka pendekar itu memendam saja perasaannya, mengerling dan memandang kembali puterinya.

“Coba ceritakan bagaimana semuanya itu terjadi. Bagaimana tiga orang itu datang ke Sam-liong-to.”

“Bukan tiga orang, yah, melainkan dua!”

“Hm, aku melihatnya tiga. Kau yang salah lihat, Eng-ji. Ceritakan saja apa yang kau alami dan bagaimana See-ong tiba-tiba muncul pula!”

“Aku tak tahu,” Soat Eng tergetar, kagum karena ayahnya berkeras ada tiga orang yang datang, hal yang pasti benar. “Tapi kalau See-ong barangkali secara kebetulan saja, ayah. Mungkin mau menengok Le-ko!”

“Atau menghukum muridnya itu!” sang ayah menukas, mata bersinar-sinar. “Diceritakan bagaimana Poan-jin-poan-kwi itu datang, Eng-ji. Bagaimana tiba-tiba dia muncul dan mencari kalian.”

“Dia tidak mencari aku, melainkan See-ong!”

“Hm, begitukah? Lalu?”

“Lalu dia marah-marah, dan menggangu kami!”

“Dan kalian tak dapat mengalahkannya....”

“Benar; kakek itu luar biasa, ayah. Dan aku benar-benar meremang bulu kudukku. Sebentar dia seperti siluman tapi sebentar kemudian seperti manusia biasa!”

“Maksudmu?”

“Maksudku kakek itu mengerikan. Sewaktu dia seperti siluman maka tubuhnya tembus dipukul. Tapi kalau dia seperti manusia biasa maka pukulan-pukulanku dapat mendarat dan membuatnya kesakitan. Dan, ah...” nyonya itu mual. “Sewaktu dia seperti siluman maka tubuhnva seperti bubur daging, ayah. Aku jijik dan hampir muntah-muntah!”

Pendekar Rambut Emas terkejut. “Mahluk apakah dia itu?”

“Entahlah, aku tak tahu, ayah. Yang jelas dia sungguh mengerikan!”

Pendekar ini tertegun. Isterinya juga membelalakkan mata namun Swat Lian yang keras hati dan tak kenal takut ini mengeluarkan dengus marah. Dia tak gentar dan berkata pada suaminya bahwa mereka harus mencari kakek-kakek itu, mencari dan merampas Beng An karena hal itu harus dilakukan cepat-cepat. Dan ketika pendekar ini mengangguk namun menarik napas dalam, teringat sesuatu maka pendekar ini berkata,

“Itu benar, tapi barangkali perlu kuminta petunjuk Sian-su. Sebaiknya kalian berdua di sini dulu, niocu. Tunggu Thai Liong yang akan kupanggil datang. Kalian jangan bergerak kalau tidak bersama aku. “Nanti kita membagi tugas!”

“Ayah mau ke mana?”

“Ke Lembah Malaikat.”

“Aku ikut!”

“Tidak, kau di sini, Eng-ji. Kau bersama ibumu menjaga bibimu Cao Cun.”

“Apa, bibi Cao Cun ada di sini?”

“Ya, dia ditimpa kemalangan. Puteranya, Ituchi, tewas dibunuh Togur!”

“Togur?” Soat Eng mencelat, kaget bukan main. “Bukankah.... bukankah dia sudah dibunuh, ayah? Bukankah pemuda itu sudah mampus?”

“Hm, banyak ceritanya, dan panjang. Agaknya tak sempat kuceritakan di sini, Biar nanti ibumu yang bercerita dan bibimu Cao Cun tentu akan lebih melengkapinya. Aku hendak menghadap Sian-su!”

Dan ketika puterinya tertegun dan pucat, kaget mendengar Togur masih hidup padahal dulu sudah terbunuh di Sam-liong-to maka Pendekar Rambut Emas memeluk dan mencium isterinya, berkata bahwa dia akan ke Lembah Malaikat menemui Sian-su. Guru atau orang yang diaku guru itu akan ditanya tentang beberapa hal, Soat Eng terbelalak dan menahan napas dalam-dalam. Tapi ketika ayahnya selesai dan pendekar itu berkelebat lenyap maka tinggallah Soat Eng berdua dengan ibunya, menggigil.

“Ibu, ben.... benarkah Togur masih hidup? Pemuda itu membunuh Ituchi?”

“Hm, benar,” sang ibu mengangguk, acuh. “Ituchi katanya terbunuh pemuda itu Eng-ji. Tapi aku belum membuktikan.”

“Dan bibi Cao Cun meminta pertolongan kita?”

“Begitu kata ayahmu, tapi aku sendiri tak perduli.”

“Ibu!” Soat Eng kaget. “Apa maksudmu ini? Kenapa kau bicara seperti itu?”

“Hm, urusanku sendiri banyak, Eng-ji. Daripada menolong wanita itu agaknya lebih baik kutolong puteraku sendiri. Kau tahu Beng An diculik orang!”

“Tapi bibi Cao Cun agaknya sudah berhari-hari tinggal di sini!"

“Ya, berduaan dengan ayahmu, ketika dulu kutinggal di Sam-liong-to. Sudahlah, aku tak mau pusing dan kau tanya wanita itu!” dan ketika Soat Eng melengak dan kaget, ibunya tiba-tiba tampak tak senang dan marah maka nyonya ini terbelalak tapi segera mengerti apa yang kiranya terjadi. Ibunya, ah.... ibunya cemburu!

Sebagai sama-sama wanita tiba-tiba Soat Eng tahu apa ketidaksenangan ibunya itu. Ah, ibunya tak senang ayahnya berduaan dengan wanita lain, meskipun ayahnya sama sekali tak melakukan apa-apa karena dia tahu betul siapa ayahnya itu. Tapi karena dulu wanita itu pernah mencintai ayahnya dan siapapun tahu bahwa Cao Cun memang cantik jelita, calon selir kaisar yang gagal maka Soat Eng tertegun tapi segera sadar dan tak dapat menerima sikap ibunya itu. Dia juga tahu siapa bibi Cao Cun itu.

Dan karena dia sudah mendengar kisah malang yang dialami berkali-kali oleh wanita ini maka Soat Eng tak beralasan untuk tak senang pula. Kalau Ituchi terbunuh memang keluarga Pendekar Rambut Emaslah yang dapat dimintai tolong. Wanita itu adalah wanita baik-baik dan jarang wanita itu berkunjung kalau tidak ada kepentingan besar. Dulu pernah datang karena Ituchi membenci ibunya, setelah itu hampir tak pernah. Dan ketika sekarang juga datang karena puteranya terbunuh, dan pembunuhnya adalah Togur maka Soat Eng berdebar dan tiba-tiba berkelebat ke perkemahan bangsanya.

Di sini segera Soat Eng mencari dan begitu diberi tahu bahwa wanita itu sedang ke ladang, bercocok tanam, maka Soat Eng berkelebat dan mendatangi tempat itu. Dan alangkah terharunya Soat Eng. Wanita itu, bekas calon selir kaisar yang gagal, isteri mendiang Raja Hu yang gagah perkasa, tampak membungkuk-bungkuk bertanam padi.

Cao Cun tak mau diam di rumah dan berhari-hari dia membantu wanita-wanita Tar-tar untuk bercocok tanam. Kadang-kadang wanita itu juga ikut menggiring ternak dan menjahit atau menyulam. Cao Cun tak pernah mau diam di rumah merenung sendiri. Ada-ada saja yang dilakukan wanita itu hingga banyak orang-orang Tar-tar merasa hormat, juga kagum. Dan ketika pagi itu Soat Eng melihat wanita ini sendirian bercocok tanam, membungkuk-bungkuk maka Soat Eng tiba-tiba terisak dan memanggil.

“Bibi...!”

Cao Cun menoleh. Wanita itu tampak terkejut dan segenggam padi di tangannya tiba-tiba terlepas. Tentu saja dia mengenal Soat Eng dan tiba-tiba Soat Eng menangis dan menubruknya. Cao Cun terkejut karena tangannya berlepotan lumpur. Tapi ketika Soat Eng tak perduli dan terus menangis menciumi wajahnya, Soat Eng tak dapat menahan haru akhirnya wanita ini sadar dan melepaskannya, bercucuran air mata, girang dan bahagia karena ada orang yang mau berbagi duka dengannya!

“Soat Eng, ah..... bukankah ini kau? Kau sudah semakin matang dan dewasa?' Aduh, maafkan bibi, nak. Dulu bibi tak dapat berkunjung ketika pernikahanmu. Aku.... aku tak boleh ke mana-mana oleh raja Cucigawa!”

“Tak apa, aku tahu. Tapi, ah... kenapa kau merendahkan diri seperti ini, bibi? Kenapa sampai bercocok tanam dan mengotori tanganmu yang halus? Ah, tidak, bibi. Kalau ayah tahu tentu kau akan ditegur. Hayo pulang dan bersihkan dirimu!”

“Hm, terima kasih. Aku membuang kesepianku dengan cara seperti ini, Soat Eng. Aku tak takut ayahmu marah. Eh, mana suamimu? Bukankah sekarang kau Siang-hujin (nyonya Siang)?”

Soat Eng tiba-tiba meledak, tangisnya pecah lagi. Dan ketika Cao Cun terkejut karena Soat Eng menubruk dan memeluknya kembali maka wanita ini tertegun dan pucat mendengar jawabannya. “Aku.... aku datang sendiri. Suamiku Ah, nasib buruk menimpaku, bibi. Orang-orang jahat menggangguku di sana. Aku datang karena hendak melapor ayah!”

“Apa yang terjadi? Bagaimana ini?” Cao Cun terkejut, mundur dan terbelalak memandang Soat Eng dan segera nyonya muda itu bercerita singkat. Dan ketika Cao Cun mengucap nama Tuhan dan berseru mendekap dada tiba-tiba wanita itu jatuh terduduk, batuk-batuk. “Ah, orang jahat selalu ada di mana-mana. Ah, keji mereka itu. Maaf.... maafkan bibimu, Soat Eng. Aku tak tahu...!”

“Tidak, tak apa-apa. Dan kau sendiri, betulkah puteramu dibunuh, bibi? Jahanam Togur hidup lagi?”

Wanita ini menyeringai, menahan perih. “Kedukaanku tak seberat dirimu, tak usah dipikirkan. Nasib buruk sudah berkali-kali kualami, Soat Eng. Tak usah kau tanyakan itu!”

“Tapi bibi kehilangan anak kandung, anak yang paling bibi harapkan!”

“Tapi kaupun kehilangan suami, Soat Eng. Suami yang kau cinta, apalagi kalian masih termasuk pengantin baru. Tidak, kupikir justeru kedukaanmu yang lebih berat, Soat Eng, tak sebanding dengan kedukaanku. Sudahlah, lalu bagaimana dan sekarang apa yang akan kau lakukan?”

Soat Eng tertegun. Wanita di hadapannya ini tiba-tiba lebih memperhatikan kedukaannya daripada kedukaan diri sendiri. Dipikir-pikir, justeru kedukaan wanita itulah yang lebih besar. Bayangkan, Cao Cun telah kehilangan putera satu-satunya, bukan seperti dia yang masih dapat dicari atau ditemukan. Dan melihat wanita itu bertanya tanpa menghiraukan kedukaan sendiri, Cao Cun menahan air mata maka Soat Eng tak kuat menahan haru, duduk dan memeluk pula wanita ini.

“Bibi, kau sebenarnya lebih berduka. Jangan berpura-pura! Ceritakan padaku bagaimana peristiwa itu dan bagaimana tanggapan ayah ibuku!”

“Ayah ibumu baik-baik. Mereka... mereka berjanji menolong...!”

“Dan bibi sudah mendesak ayah? Kenapa ayah tak mau mencari Togur?”

“Ayahmu tak bernafsu menghadapi kericuhan dunia, Soat Eng. Dia... dia sudah seperti pendeta!”

“Dan ibu? Kenapa dia juga tidak segera ke bangsa U-min? Kenapa tidak mencari dan menangkap binatang itu?”

“Oohhh...!” wanita ini tiba-tiba tersedu-sedu. “Ibumu repot, Soat Eng. Katanya hendak menunggu kakakmu Thai Liong. Aku.... aku sebagai yang minta tolong berani memaksa!”

“Tapi ibu mempunyai banyak waktu!” Soat Eng terkejut, bersinar-sinar, teringat akan kecemburuan ibunya tadi, “Seharusnya kau mendesak dan meminta mereka, bibi. Bukan hanya menunggu dan menunggu begini. Kalau begini kapan habisnya. Ibu tidak benar!”

Dan ketika Cao Cun terkejut karena Soat Eng bangkit berdiri, mengepal tinju, maka wanita itu berdiri pula melihat Soat Eng mau meninggalkannya. “Kau mau ke mana....”

“Ke ibu!”

“Untuk apa?”

“Bertanya tentang ini, bibi. Kenapa ibu harus menunggu kakakku Thai Liong!”

“Tidak, jangan...!” Cao Cun terkejut. “Ibumu sedang dilanda duka, Soat Eng. Kalian sedang prihatin dengan diculiknya Beng An. Jangan menambah-nambah urusan kalau ibumu sedang sibuk. Aku bisa bersabar!”

“Hm, aku tidak, bibi. Sebelum ada peristiwa ini sebenarnya ibu dapat segera mencari atau menangkap Togur. Sudahlah, aku akan menemuinya dan kau tunggu di sini!” dan ketika Soat Eng berkelebat dan lenyap.

Cao Cun berteriak maka wanita itu pucat melihat Soat Eng tak mau mendengar kata-katanya dan terbang ke lembah. Soat Eng marah kenapa ibunya tidak segera menolong, padahal ibunya bisa. Dan ketika nyonya itu tiba di lembah dan menemui ibunya maka Swat Lian tertegun melihat wajah puterinya ini yang merah padam.

“Ibu, aku ingin bicara denganmu!”

Sang ibu terkejut. "Bicara apa? Kenapa kau tampak marah dan habis menangis begini?”

“Hm, tentang bibi Cao Cun. Tak seharusnya kau cemburu dan membiarkannya seperti itu!”

“Apa?” sang ibu terbelalak. “Cemburu.? Kau bilang apa?”

“Ya, cemburu. Aku bilang kau cemburu, ibu. Kau tidak patut mencemburui bibi Cao Cun. Kau tak patut membiarkannya dilanda duka. Kau seharusnya sudah ke bangsa U-min dan membekuk atau membunuh Togur!”

“Keparat!” wanita ini tiba-tiba marah. Jaga mulutmu, Eng-ji. Atau kuhajar kau nanti!”

“Ibu boleh menghajarku, tapi aku akan bicara apa adanya!” dan ketika sang ibu melotot namun Soat Eng tak perduli, tegak dan bersinar-sinar memandang ibunya ini maka gadis atau nyonya muda itu meneruskan, “Ibu tak bisa beralasan Beng An. Sebelum adikku itu diculik maka bibi Cao Cun terlebih dahulu sudah ada sini, menceritakan kemalangannya itu. Kenapa ibu tidak segera menolong dan ke bangsa U-min? Kenapa ibu membiarkannya dan acuh di rumah? Hm, alasanmu menunggu kakak Thai Liong tak dapat diterima, ibu. Kau cemburu dan karena itu ogah menolong!”

“Soat Eng!” sang ibu tiba-tiba membentak. “Kalau kau hendak membela wanita itu dan menjelek-jelekkan aku maka kau tak akan kuampuni lagi. Siapa bilang aku tak menolong dan membiarkannya saja? Bukankah ia ada di sini merupakan bukti aku tak apa-apa dengannya? Kalau aku tak senang tentu dia sudah kuusir, tapi itu tidak kulakukan. Kau menghina dan bicara jelek kepada ibumu!”

“Kalau begitu kenapa ibu tidak segera mencari Togur? Bukankah ibu amat membenci pemuda itu? Hm, jujur saja, ibu. Kita sama tahu bahwa bibi Cao Cun pernah mencintai ayah tetapi itu adalah dulu. Sekarang ayah dan bibi Cao Cun sama-sama tua, dan ayah juga bukan seorang laki-laki mata keranjang! Kenapa ibu menaruh cemburu dan tidak segera mencari Togur? Aku boleh kau hajar, ibu, kalau aku salah. Tapi kalau ibu jujur dan menghargai diri sendiri maka ibu tak perlu menolak tuduhanku ini. Tadi ibu bersikap acuh, dan ibu jelas membiarkan penderitaan bibi Cao Cun karena kecemburuan ibu kepadanya!”

Swat Lian menggigil, pucat mukanya. Kalau bukan puterinya yang bicara tentu sudah melengking dan menghajar orang ini, barangkali membunuh! Tapi karena puterinya bicara berdasarkan alasan-alasan tepat dan nyonya itu tak dapat menyangkal tiba-tiba dia mengguguk dan berkelebat sambil menampar anaknya ini.

“Eng-ji, kau membuat ibumu malu. Kau menelanjangi orang tua. Ah, keparat kau.... plak!” dan Soat Eng yang terhuyung tapi tidak apa-apa, ibunya tidak mengeluarkan tenaga sakti akhirnya menangis dan menyusul ibunya itu pula, minta maaf.

“Ibu, maafkan aku. Tapi.... tapi aku tak bermaksud menyakiti hatimu. Aku hanya menegur untuk menyadarkanmu saja, Aku sekarang akan ke bangsa U-min dan mencari jahanam Togur itu!”

Sang ibu terkejut. Swat Lian tiba-tiba berhenti dan membalik, Soat Eng ditangkap dan dicengkeramnya erat-erat. Dan ketika ibu dan anak saling menatap tajam, Swat Lian merah padam maka nyonya itu menggeleng. “Tidak, sekarang tak akan kuijinkan, Eng-ji. Ayahmu telah berpesan agar kau dan aku di sini. Aku tidak bicara berdasar cemburu melainkan semata mengikuti nasihat ayahmu. Jangan pergi, tunggu sampai ayahmu kembali. Dan kalau dia kembali maka aku yang akan ke sana dan mencari binatang keparat itu!”

“Ibu akan ke bangsa U-min?”

“Ya!”

“Tidak mencari adik Beng An?”

“Hm,” wanita itu menggigit bibir. “Biar ayahmu yang mencari, Eng-ji. Kami membagi tugas!”

“Ooh...!” dan Soat Eng yang terharu dan menubruk ibunya lalu melihat ibunya ini sudah tidak dilanda cemburu lagi. Rupanya ibunya itu terpukul dan sadar. Tapi ketika ibu dan anak berangkulan, Soat Eng menciumi ibunya ini mendadak terdengar jerit dan teriakan Cao Cun.

“Aduh, tolong....!”

Soat Eng dan ibunya menoleh cepat. Mereka mendengar teriakan itu di lereng gunung, tepat di samping kanan. Dan ketika Soat Eng menoleh dan terkejut, ibunya juga maka tampaklah dua bayangan berkelebat dan beriring di balik pinggang gunung, menangkap atau menenteng Cao Cun yang berteriak-teriak, persis seperti kelinci meronta-ronta di mulut seekor harimau buas!

“Ha-ha, tunjukkan kepadaku di mana tempat Pendekar Rambut Emas itu, wanita ayu. Atau kau kulempar dan kubuang ke dalam jurang!”

“Ah, tidak.... oh, tolong.... tolong...!”

Dan Soat Eng yang berkelebat dan tak dapat menahan diri tiba-tiba melengking dan terbang ke arah dua bayangan itu, langsung menghantam begitu dekat, yakni ke bayangan yang menangkap bibinya ini. Tapi begitu pukulannya diterima dan bayangan itu membalik, menangkis, maka Soat Eng kaget bukan main karena lawannya itu ternyata kakek iblis yang dulu datang di Sam-liong-to.

“Poan-jin-poan-kwi.... dess!” dan Soat Eng yang terlempar dan roboh bergulingan akhirnya meloncat bangun dan pucat memandang lawannya itu, yang terkekeh-kekeh dan saat itu ibunya berkelebat datang, terkejut dan membentak....

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.