X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Rajawali Merah Jilid 07

Cerita Silat Mandarin serial Pendekar Rambut Emas episode Rajawali Merah Jilid 07 karya Batara

RAJAWALI MERAH
JILID 07
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
RAMBA dan pasukannya terkejut. Laki-laki itu telah memperkenalkan diri sebagai utusan Pendekar Rambut Emas dan gerak-geriknya yang tangkas serta cepat sungguh boleh dipercaya. Tapi karena laki-laki itu memakai topeng dan Ramba kurang yakin maka pembantu Cucigawa itu memberi aba-aba dan pasukannya tiba-tiba melepas anak panah ke arah laki-laki ini.

“Plak-plak-plak!”

Pasukan terkejut. Laki-laki itu tertawa dan kedua tangannya bergerak maju mundur, semua anak panah runtuh dan Ramba serta panglima Horok tersentak. Benar, laki-laki itu lihai! Tapi karena mereka tak mau didahului dan Horok sudah memberi isyarat dengan matanya maka Ramba tiba-tiba bergerak dan kudanya dipacu untuk menerjang orang itu.

“Serang, bunuh laki-laki ini!”

Pasukan berderap. Ramba sudah menjepit trisulanya di ketiak, ujungnya mengarah lawan dan Horok bergerak pula dari samping kanan. Dua pembantu Cucigawa itu sudah menerjang dan mengeroyok laki-laki ini, pasukanpun maju serentak hingga laki-laki yang sebelumnya sudah berada di tengah kepungan itu mendapat hujan serangan dari mana-mana. Tapi ketika semua bergerak dan tombak atau pedang mendesing ke arah laki-laki ini mendadak dia tertawa dan bergerak lenyap.

Gerakan itu luar biasa sekali dan semua yang menerjang tersentak. Mereka terlanjur menggerakkan senjata masing-masing dan Ramba sudah menusuk dengan trisulanya itu. Horok yang ada di samping juga menggerakkan tombak menikam dari samping. Maka begitu lawan lenyap dan mereka hanya melihat laki-laki itu meloncat ke atas dan entah kini ke mana maka dua senjata mereka bertemu sementara tombak dan pedang pasukanpun berbentura satu sama lain.

“Cranggg!”

Semua orang terkejut. Ramba terhuyung di atas kudanya sementara Horok terdorong ke belakang, masing-masing sama berseru tertahan. Tapi ketika mereka mendesis dan pasukan berteriak satu sama lain tiba-tiba lawan yang tadi lenyap entah ke mana mendadak muncul seolah garuda menyambar.

“Ha-ha, ini hadiah kalian satu per satu.... des-des-dess!”

Horok dan Ramba terlempar dari atas kudanya, tak sempat mengelak lagi karena mereka baru saja beradu senjata. Dua-duanya terpekik dan orang itupun sudah berkelebatan ke sana ke mari, menampar dan menendang pasukan di situ dan ratusan orang ini tiba-tiba menjerit. Mereka tak tahu apa yang menyambar itu karena tahu-tahu tubuh sudah terangkat atau terlempar ke bawah.

Laki-laki itu kiranya meloncat begitu tinggi dan kini menukik turun bagai seekor burung besar, tentu saja lawan-lawannya terkejut dan Horok serta rekannya mengeluh membelalakkan mata. Dan ketika mereka terhuyung bangun dan melihat laki-laki itu bergerak ke sana ke mari mengobrak-abrik pasukan mereka maka keduanya menggigil dan gemetar.

“Celaka, kita bertemu siluman!”

Ramba juga berpikir begitu. Mereka tak mungkin lagi harus menyerang kalau belum apa-apa sudah didahului dan dirobohkan lawan. Dan ketika mereka pucat tapi teringat ibu suri yang masih di situ, di dekat Lisan yang terbelalak memandang kejadian itu maka keduanya tiba-tiba mengangguk dan tersenyum ke arah si pemuda, bergerak cepat.

“Kita tangkap ibu suri, dan bunuh pemuda itu!”

Namun Lisan tiba-tiba menoleh. Pemuda itu terkagum-kagum melihat gerak bayangan ini yang sudah tidak dapat dilihat rupanya lagi. Dia dan sisa pasukannya terbengong-bengong. Tapi begitu Ramba dan Horok bergerak mengancam sementara bayangan itu berkelebatan jauh di tengah maka pemuda ini sadar dan cepat berteriak,

“Awas...!” dan menangkis serta mendorong ibu suri untuk menjauh tiba-tiba pemuda itu sudah menyambut serangan dua orang ini. Tombak dan trisula di tangan Horok dan Ramba ditangkis dengan pedangnya, tentu saja mencelat! Dan ketika Lisan membanting tubuh dari atas kudanya dan berteriak keras maka kudanya melejit dan kaget meringkik panjang, mendepak dua orang itu.

“Plak-plak!”

Horok dan Ramba memaki. Mereka disambut kaki kuda dan tentu saja menangkis, kuda itu meringkik dan kesakitan. Dan ketika Horok menggerakkan tombaknya dan tepat menusuk jantung maka kuda itu roboh sementara Ramba mengejar lawannya yang bergulingan menjauh.

Namun anak buah Lisan bergerak. Mereka kini juga sadar dan bangkit semangatnya melihat sepak terjang si laki-laki bertopeng. Jelas mereka dibantu orang lihai dan itu membuat mereka berbesar hati. Dan karena pasukan di sana diobrak-abrik sementara Horok dan Ramba hanya berdua saja maka bekas pemimpin itu dilabrak dan Horok serta Ramba menggeram marah. Mereka menusuk dan menikam dengan senjata mereka tapi belasan orang itu menangkis.

Lisan datang membantu dan kini dua orang itu malah dikeroyok. Ramba memaki-maki dan sadarlah keduanya bahwa kalau sendirian saja mereka berdua tak mungkin menang. Maka ketika tombak atau trisula mereka terpental menghadapi terlalu banyak musuh maka dua orang ini berteriak agar pengawal atau pasukan mereka maju membantu.

“Heii, ke sini. Bunuh dan robohkan mereka ini. Bantu kami!”

Namun pasukannya menjerit. Ketika seorang dua mau datang membantu sekonyong-konyong sebutir batu hitam menyambar punggung, menotok dan merobohkan mereka ini. Dan ketika yang lain-lain juga mau bergerak tapi selalu roboh di tengah jalan, kiranya diserang bayangan lihai yang berkelebatan di sana maka Ramba maupun Horok menjadi gentar. Mereka terus mundur dan mundur dan apa boleh buat harus menyelamatkan diri.

Bayangan itu tertawa-tawa dan kiranya memperhatikan gerak-gerik dua pembantu Cucigawa ini, tentu saja membuat dua orang itu mendongkol tapi Ramba dan Horok benar-benar mengetahui kelihaian lawan. Dan karena mereka didesak dan dikeroyok belasan orang yang membuat mereka kerepotan akhirnya dua orang itu meloncat ke belakang dan melarikan diri menyambar kuda yang berkeliaran kehilangan tuannya, yang roboh atau diroboh-robohkan laki-laki bertopeng itu.

“Mundur.... semua mundur!”

Lisan dan pasukannya lega. Pemuda itu tak mengejar karena betapapun tahu kepandaian dua lawannya itu. Satu lawan satu jelas dia bukanlah tandingannya. Dan karena mereka mundur dan melarikan diri menarik pasukan maka laki-laki bertopeng yang memang sengaja mencegah ratusan pengawal membantu pimpinannya sudah berhenti dan tertawa-tawa, juga tidak mengejar.

“Nah, kalian selamat. Ayo masuk hutan dan lindungi ibu suri!”

Pemuda itu sadar. Melihat musuh diobrak-abrik laki-laki ini dan mereka dapat mengusir Ramba berdua maka Lisan girang dan berseri-seri. Semula dia sudah tak menaruh harapan karena di samping musuh yang banyak juga karena adanya dua pembantu utama Cucigawa itu. Kalau ayahnya saja tak dapat melawan apalagi dia. Maka begitu selamat dan laki-laki ini mengajak mereka lari ke hutan maka Lisan sendiri sudah melindungi Cao Cun dan cepat dibawanya wanita itu memasuki hutan. Sisa pasukannya mengiring sementara laki-laki itu di belakang. Dia menjaga dan melindungi pasukan itu dari serangan gelap, kalau ada.

Tapi ketika tak ada serangan dan semuanya selamat di hutan maka laki-laki itu tertawa dan mengajak mereka berpacu ke utara. “Mari, cepat. Sekarang kita bebas!”

“Nanti dulu!” Lisan berteriak, mengeprak kudanya karena laki-laki itu sudah berkelebat dan terbang mendahului. “Tunggu, in-kong (tuan penolong). Aku masih ingin bicara!” dan ketika laki-laki itu berhenti dan menoleh, topeng tetap menutupi mukanya maka pemuda ini meloncat turun dan berseru, menjatuhkan diri berlutut, “Kami ingin menghaturkan terima kasih dan mengenal lebih jauh siapakah in-kong sebenarnya. Bolehkah kami tahu dan in-kong tidak keberatan?”

“Ha-ha, untuk apa kau tahu?” laki-laki itu tertawa, setelah sejenak terkejut. “Yang penting aku akan membawa kalian ke Kim-taihiap (pendekar besar Kim), anak muda. Dan bangkitlah serta mari kita pergi!”

“Hm, in-kong keberatan?”

“Bukan begitu, tapi... ah, nanti kalian tahu juga!”

“Maaf,” sebuah suara tiba-tiba menyeruak. “Apakah kau Ji-siauw-heng (saudara muda Ji)?”

Laki-laki itu menoleh. Cao Cun atau ibu suri sudah memajukan kudanya dan menyusul Lisan. Wanita itu mengamati orang sedemikian rupa dan menyelediki bentuk tubuhnya, akhirnya mengenal, bertanya. Dan ketika laki-laki itu terkejut dan tertawa, cepat-cepat membuka topengnya maka dia berseru, merangkapkan kedua tangan di depan dada. “Ah, hujin benar-benar awas pandangan. Baiklah, benar aku adanya, hujin. Maaf bahwa aku telah main-main dan tidak segera membuka topengku.”

Lisan tertegun. Ternyata seorang laki-laki gagah berumur sekitar tigapuluh delapan tahun muncul di situ, alis matanya, tebal dan jelas raut muka seperti ini menunjukkan seorang jantan. Dan ketika laki-laki itu tertawa dan menjura di depan ibu suri, yang berseri tapi terisak menahan tangis maka Cao Cun mau meloncat turun namun dicegah laki-laki itu, yang ternyata Ji Pin!

Bagi pembaca Istana Hantu tentu mengenal laki-laki ini. Inilah laki-laki yang dulu bertemu Soat Eng dan Thai Liong di Sam-liong-to, sewaktu mereka menyelidiki peta dan harta karun, atas suruhan ayahnya. Dan karena Ji Pin akhirnya menjadi pembantu gadis itu atau keluarga Pendekar Rambut Emas maka Cao Cun yang dua tiga kali berkunjung tentu saja mengenal. Memang mula-mula wanita ini tak segera mengetahui.

Di amatinya dan dikernyitkannya dahi untuk melihat siapa sesungguhnya laki-laki ini, musuh yang berpura-pura ataukah kawan. Dan ketika dia mengingat-ingat bahwa di tempat Pendekar Rambut Emas memang terdapat pembantunya ini, yang lihai dan cukup dapat diandalkan karena dididik majikannya sendiri maka Cao Cun girang dan gembira.

Mula-mula dia menyangka Thai Liong. Tapi putera Pendekar Rambut Emas itu tak seperti Ji Pin. Thai Liong, pemuda sakti itu, tak suka main-main, pendiam. Lagi pula pemuda itu berambut keemasan seperti ayahnya. Maka begitu dia tahu bahwa itulah Ji Pin, pembantu Kim-mou-eng yang lihai maka Cao Cun menebak tepat dan laki-laki ini segera membuka topengnya.

“Hm, benar kau,” ibu suri atau Cao Cun menarik napas, menghapus dua titik air mata yang menetes. “Ada apa kau ke sini, Ji-siauw-heng? Bagaimana jauh-jauh kau berkeliaran hingga dekat tempat Cucigawa?”

“Maaf,” Ji Pin membungkuk, tak main-main lagi. “Aku disuruh Kim-taihiap menengok keadaanmu, hujin. Kim-taihiap mendapat getaran keras akan sesuatu yang mengguncang hidupmu. Aku disuruh menengok dan melihat, dan ternyata aku melihat kau dikejar-kejar orang-orang keparat tadi. Untung, kau tak apa-apa dan selamat. Kim-taihiap rupanya benar!”

“Ap... apa?” Cao Cun menggigil. “Dia.... dia telah mengetahui keadaanku? Majikanmu itu mendapat firasat akan kemalangan ini?”

“Rupanya begitu, hujin. Dan aku juga tercengang. Tapi, eh... mana anak-anakmu?”

Cao Cun mengeluh. Tiba-tiba dia roboh dan Ji Pin berseru kaget menahan wanita itu. Pasukan di belakang tiba-tiba berduka dan muram. Wajah mereka gelap. Dan ketika Ji Pin sadar bahwa dia telah melancarkan pertanyaan yang menusuk, yang amat menghunjam tiba-tiba laki-laki itu tak berani banyak bicara lagi dan pucat menolong wanita ini. Cao Cun hampir pingsan mendengar pertanyaan Ji Pin. Hal itu mengingatkan kemalangannya dan kematian Ituchi. Ah, hampir saja wanita itu pingsan! Tapi ketika Ji Pin menotok dan minta maaf, berulang-ulang minta maaf maka Cao Cun menahan tangis dan tersedak minta segera diantarkan ke Pendekar Rambut Emas.

“Tak apa.... tapi... tapi cepat antarkan aku ke majikanmu. Jangan bertanya-tanya lagi dan mari berangkat!”

Akhirnya rombongan itu berangkat lagi. Ji Pin pucat dan merasa salah, cepat menyambar dan memberikan tali kuda kepada Cao Cun. Dan ketika dia mengeprak dan membuat kuda melonjak maka laki-laki itu sudah bergerak dan dengan ringan serta enteng dia lari di samping kuda, berendeng.

“Cepat.... hayo cepat!”

Pasukan kagum. Kuda yang sudah berlari kencang tiba-tiba disuruh bertambah kencang saja. Kuda kemudian terbang tapi laki-laki itupun juga terbang mengikuti ringan. Orang-orang akhirnya terbelalak karena Ji Pin seolah tak menginjak tanah lagi, begitu cepatnya dia mengiringi kuda yang sedang berlari kencang. Dan ketika tak lama kemudian mereka sudah memasuki sebuah lembah di mana tenda atau kemah-kemah besar kecil berserakan di tempat itu maka bangsa Tar-tar atau suku bangsa Pendekar Rambut Emas sudah menyambut mereka.

Rombongan berkuda itu tentu saja menjadi perhatian mereka. Mula-mula mereka terkejut, tapi ketika melihat Ji Pin ada di situ, bersama seorang wanita yang rambutnya terurai namun berwajah pucat, letih, maka mereka segera tahu bahwa serombongan tamu yang sedang berduka datang di tempat mereka. Dan Ji Pin memberi isyarat agar bangsa Tar-tar tidak bersuara ribut.

Ji Pin langsung ke lembah di mana terdapat sebuah gubuk sederhana, terletak di tepi sungai yang airnya gemericik mengalir perlahan. Tempat itu tenang dan penuh kedamaian. Sepintas saja orang tahu bahwa tempat ini tempat yang cocok untuk menenangkan diri. Gemericik air dan semilir angin lembah yang lembut tampaknya sudah cukup membelai mereka. Dan ketika sesosok tubuh tampak bersila di tepi sungai, tak jauh dari gubuk sederhana itu maka Cao Cun sudah menjerit dan langsung berteriak,

“Kim-twako...!” dan menghambur serta sudah meloncat turun dari kudanya wanita ini berlari dan menubruk laki-laki yang bersila itu.

Siapapun dapat menduga bahwa laki-laki yang bersila membelakangi punggungnya itu adalah Pendekar Rambut Emas. Rambutnya yang keemasan dan berkilauan indah yang tetap dibiarkan terurai di belakang punggung memang menjadi ciri-ciri pendekar ini. Kim-mou-eng atau Pendekar Rambut Emas memang tak pernah memangkas rambutnya itu. Jadi mudah dikenal meskipun dari jauh. Dan ketika Cao Cun juga sudah melihat itu dan memanggil serta menjerit, kedukaannya tak dapat dihibur oleh semilir dan gemericiknya air yang lembut maka wanita itu sudah mengguguk dan roboh di pundak pendekar ini.

Kim-mou-eng membuka mata dan jerit atau teriakan itu menggugah samadhinya. Pendekar ini terkejut tapi segera berseri melihat siapa yang ada, Cao Cun, wanita yang dulu pernah mencinta dan ditolongnya dari berbagai kesulitan hidup. Tapi ketika wanita itu mengguguk dan memanggil-manggil namanya, begitu sedih dan penuh duka maka pendekar inipun tergetar dan bangkit berdiri, menahan sepasang lengan yang mencengkeram pundaknya itu.

“Hm, kau, Cun-moi (adik Cun). Selamat datang dan bertemu lagi. Tapi kenapa kau menangis begini sedih? Apa yang menimpa dirimu?”

“Aduh, aku... aku tak kuat menahannya, twako. Aku ingin mati. Ah, aku ingin menyusul puteraku!” dan ketika wanita itu menjerit dan roboh, pingsan, maka Pendekar Rambut Emas tertegun dan cepat memberi tanda agar Ji Pin dan orang orang yang ada di situ keluar.

“Pergilah, biarkan kami berdua. Sambut dan atur tamu-tamu kita itu, Ji Pin. Berikan mereka tempat yang baik untuk istirahat.”

Ji Pin mengangguk. Dia baru tahu sekarang bahwa sesuatu yang hebat kiranya betul-betul telah terjadi. Cao Cun menjerit minta mati, mau menyusul anaknya! Jadi agaknya, ah...! Ji Pin yang merinding dan mengkirik tak berani melanjutkan lalu membawa rombongan itu ke perkemahan di luar lembah. Di situ baru laki-laki ini tahu bahwa Ituchi telah tewas. Sebelum ini Lisan dan rombongannya tak mau bicara, maklumlah, ibu suri sedang berada di situ. Tapi begitu mereka sudah sendiri dan Ji Pin bertanya secara berbisik maka Lisan memberi tahu tiadanya Ituchi itu.

“Jagad Dewa. Batara...!” Ji Pin tertegun dan pucat. “Jadi.... jadi Hu-kongcu...”

“Benar,” Lisan mengangguk. “Hu-ongya (pangeran Hu) tewas, Ji-inkong (tuan penolong Ji). Dia tewas melawan musuh yang tangguh...”

“Keparat, kalau begitu kenapa kalian tidak memberi tahu tadi-tadi? Kalau tahu begitu tentu Ramba dan teman-temannya itu kubasmi tanpa ampun, tak akan kulepaskan!”

“Kami tak dapat banyak bicara karena ibu suri sedang ada di antara kita. Maafkan, inkong..”

“Ah, jangan panggil aku lagi dengan sebutan itu, saudara Lisan. Panggil saja aku dengan Ji-lo-heng (saudara tua Ji)!” Ji Pin cepat-cepat menolak, tak enak dan merah mukanya karena dia telah melepaskan orang-orang yang membunuh Ituchi. Kalau tahu begitu tentu dia tak akan melepaskan. Orang-orang itu patut dibunuh!

Tapi ketika Lisan berkata bahwa biarlah yang sudah dianggap tak ada maka Ji Pin sadar dan diam-diam memuji anak muda ini, yang tenang dan gagah serta dapat melihat keadaan. Akhirnya dia tak bertanya lagi siapa pembunuh Ituchi. Barangkali, kalau dia tahu bahwa pembunuhnya adalah Togur, pemuda yang dulu sudah “dibunuh” nyonya majikannya mungkin laki-laki ini akan terlonjak saking kagetnya, tak percaya. Barangkali, itu akan dianggapnya sebagai roh si pemuda! Dan ketika Ji Pin membawa tamunya ke perkemahan di situ dan mengira Ituchi tewas oleh keroyokan pasukan Cucigawa maka di sana Cao Cun mengguguk dan sudah disadarkan Pendekar Rambut Emas.

“Apa yang terjadi, ceritakan padaku.”

Namun Cao Cun masih tak dapat bicara. Wanita ini masih terpukul dan tersedu-sedu. Kematian puteranya memang terlalu hebat sekali. Maklumlah, Ituchi ibarat tiang penyangga hidupnya. Puteranya itulah yang kelak diharapkan menjadi tumpuan kalau dia sudah nenek-nenek. Tak ada ibu yang tak mengharap anaknya laki-laki sebagai masa depannya, masa di kala sudah menua. Dan ketika wanita itu masih mengguguk-guguk namun Pendekar Rambut Emas menekan dan memijat jalan darah di belakang tengkuk, yang menekan atau menghilangkan rasa sedih maka Cao Cun menghentikan tangisnya dan mulai dapat bicara.

“Ituchi... anakku, dia... dia tewas terbunuh....!”

“Hm!” Pendekar Rambut Emas tak seberapa kaget, tadi sudah menduga. “Bagaimana itu terjadinya, Cun-moi? Siapa yang membunuhnya?”

“Dia... dia... ah, di mana isteri dan anakmu? Kenapa aku tak melihat mereka?” Cao Cun tiba-tiba mengalihkan pertanyaannya, memang tak melihat Kim-hujin atau nyonya Kim bersama Beng An, putera bungsu Pendekar Rambut Emas. Tapi ketika dengan tersenyum pendekar itu menjawab bahwa ibu dan anak pergi ke Sam-liong-to, mengunjungi mantu maka Cao Cun memejamkan mata dan gemetar.

“Kau beruntung, Kim-twako. Anak-anakmu hebat dan lihai-lihai. Ah, kau beruntung memiliki dua anak laki-laki!”

“Hm, membandingkan kelebihan orang lain dengan kekurangan diri sendiri adalah kurang bijaksana, Cun-moi. Kalau aku memiliki kelebihan tentunya aku juga memiliki kekurangan. Kalau kau iri aku mempunyai dua anak laki-laki maka barangkali aku juga iri melihat kau mempunyai dua anak perempuan. Anak laki-laki selalu nakal, jarang di rumah. Aku sebenarnya ingin punya anak-anak perempuan yang penurut dan selalu tinggal di rumah. Nah, jangan bicarakan ini dan mari kembali ke persoalan kita. Iri-mengiri tak akan ada habis-habisnya!”

Cao Cun tertegun. “Kau tak suka punya anak laki-laki?”

“Bukan begitu, siapa bilang?” Pendekar Rambut Emas tersenyum. “Aku hanya mengatakan bahwa janganlah kelebihan orang lain dilihat dari satu sudut. Kitapun tentu memiliki kelebihan juga yang tak dipunyai orang lain. Sudahlah, ceritakan padaku bagaimana puteramu tewas.”

“Dia dibunuh....”

“Ya, aku sudah tahu. Sekarang, siapa pembunuhnya.”

“Togur...”

“Apa?” Pendekar Rambut Emas hampir terlonjak, tersentak dan kaget. “Togur? Maksudmu pemuda yang dulu sudah dibunuh isteriku itu?”

“Tidak,” Cao Cun tiba-tiba menangis lagi. “Pemuda itu belum mati, twako. Pemuda itu masih hidup. Dialah yang membunuh Ituchi. Togur masih hidup dan kini buntung sebelah kakinya. Dia ada di tempat Cucigawa dan membunuh puteraku!” dan ketika Cao Cun menceritakan sambil tersedu-sedu, sesekali berteriak dan histeris maka Pendekar Rambut Emas tertegun dan pucat serta merah berganti-ganti. Pendekar itu seperti mendengar dongeng orang mati hidup kembali. Nyaris tak percaya. Tapi ketika Cao Cun berkata bahwa dulu pemuda itu melempar diri ke laut, mayatnya tak ada maka wanita itu berkata bahwa bisa jadi kematian Togur belum tiba.

“Meskipun isterimu membunuhnya tapi kalau jatuh dan terlempar ke laut tak dapat dipastikan pemuda itu mati, twako. Bisa saja dia masih hidup dan pura-pura menyelam di bawah, menunggu sampai kalian pergi dan baru kemudian muncul lagi.”

“Hm, tak mungkin,” Kim-mou-eng menggeleng. “Sebelum jatuh ke laut Togur telah menerima pukulan berat isteriku, Cun-moi. Tak dapat dia berpura-pura dan menyelam ke bawah. Hanya satu yang mungkin terjadi, dia ditolong atau tertolong secara kebetulan oleh hiu!”

“Hiu?”

“Ya, di Sam-liong-to banyak hiu. Pemuda itu pasti digigit dan disambar hiu. Tapi karena dia hebat dan fisiknyapun luar biasa maka hanya kakinya itu saja yang buntung sementara dia dapat menyelamatkan diri!”

Cao Cun bengong. Memang dia harus mengakui bahwa putera mendiang Gurba itu amat luar biasa. Tubuhnya tinggi besar dan kekuatannya mengagumkan. Puteranya sendiri, Ituchi, kalah jauh dibanding pemuda itu. Maka menunduk dan menangis lagi, penuh duka, wanita ini berkata apa yang dapat dia lakukan sekarang.

“Kau tinggal saja di sini. Kalau benar Togur masih hidup maka tentu saja dia amat berbahaya bagimu.”

“Kau tidak menolongku?” Cao Cun membelalakkan mata, mengangkat mukanya. “Apakah twako hendak berkata bahwa aku tinggal di sini bersamamu?”

“Hm, benar.”

“Jadi... jadi kau tak mau membalaskan sakit hatiku, twako? Kau membiarkan saja puteraku terbunuh?”

“Hm!” Kim-mou-eng menarik napas dalam-dalam. “Segala permusuhan dan pertikaian sudah tak menarik hatiku, Cun-moi. Begitupun isteriku. Kami sekarang merasa sudah tua, tak ingin mencari permusuhan. Tapi kalau kau bilang aku mendiamkan saja kematian puteramu maka itupun salah.”

“Aku tak mengerti!” Cao Cun membanting kaki, kesal. Sudah mengetahui gerak-gerik dan sikap atau kata-kata Pendekar Rambut Emas ini. “Aku bingung dengan kata-katamu, twako. Kau tak membiarkan saja kematian puteraku tapi kau tetap di sini! Mana bisa pemuda itu kau bunuh? Mana mungkin dia datang sendiri seperti kelinci menuju mulut harimau? Kau jelaskan kepadaku, twako. Kenapa kau bicara begitu padahal kau sama sekali tak berbuat apa-apa!”

“Marilah duduk,” Kim-mou-eng tersenyum menarik tangan wanita itu. “Jangan emosi dan terburu-buru marah, Cun-moi. Meskipun aku tetap di sini tapi pikiran dan hatiku tentu saja bisa ke mana-mana. Nah, dengarlah,” lalu ketika lawan bicaranya duduk dan terbelalak, heran, pendekar ini segera berkata bahwa dia mempunyai anak-anak. “Kau tentu ingat Thai Liong dan Soat Eng, juga Siang Le, menantuku. Merekalah nanti yang kuharap menyelesaikan masalah ini karena aku tak tertarik lagi dengan segala macam keributan, apalagi yang ditimbulkan oleh anak-anak muda. Aku merasa sudah terlalu tua untuk melakukan semuanya itu, Cun-moi. Tapi karena hal ini bukan berarti aku lalu tinggal diam maka anak-anakku itulah yang akan kusuruh untuk mencari dan menangkap Togur....”

“Aku tidak ingin pemuda itu ditangkap, melainkan dibunuh!”

“Hm, baiklah. Itu terserah mereka. Aku pribadi tak senang membunuh...”

“Tapi puteraku telah dibunuh, Kim-twako. Tak dapat sakit hati ini dibiarkan begitu saja. Hutang darah bayar darah!”

“Baiklah, baiklah...” Kim-mou-eng melihat wanita itu meradang, seluruh mukanya merah terbakar. “Hutang darah memang bayar darah, Cun-moi. Tapi ada akibat pasti ada sebab. Aku tidak menolak pendapatmu, hanya bersabarlah sampai anak isteriku datang.”

“Kapan mereka pulang?”

“Beberapa hari lagi.”

“Baik, aku akan menunggu, twako. Dan aku tidak yakin bahwa isterimupun kehilangan semangat seperti kau!”

Kim-mou-eng terkejut. Cao Cun, yang dulu lemah lembut dan selalu halus mendadak saja hari ini seperti harimau betina yang kelaparan. Sikap dan kata-katanya begitu keras namun pendekar ini dapat memaklumi. Yach, wanita mana yang tak akan marah kalau putera satu-satunya dibunuh? Ibu mana yang dapat menahan semuanya itu? Dan ketika dia teringat bahwa Cao Cun masih mempunyai dua anak perempuan dari hasil perkawinannya dengan Cimochu maka dia bertanya bagaimana dengan anak-anak perempuan itu.

“Aku tak tahu,” Cao Cun menangis, namun tak sesedih kalau kehilangan anak laki-lakinya. “Mereka diculik dan dibawa anak buah Cucigawa, twako. Aku tak dapat menolong atau berbuat apa-apa...”

“Hm, nasibmu selalu buruk!” pendekar ini mengenang berkerut. “Dari dulu sampai sekarang kau tak mengalami kebahagiaan, Cun-moi. Ah, kau benar-benar malang!”

Cao Cun mengguguk. Pendekar Rambut Emas sudah mengusap pundaknya dan menangislah wanita itu teringat masa lalu. Dia berbisik bahwa kalau seandainya dia tidak menjadi isteri orang lain, melainkan isteri pendekar itu maka tentu nasibnya tak semalang dan seburuk ini. Pendekar Rambut Emas tersenyum pahit mendengar itu, tak menjawab. Dan ketika Cao Cun tersedu lagi namun sudah disuruh masuk, pendekar itu hendak melanjutkan samadhinya maka Cao Cun bangkit berdiri dan menurut.

Cao Cun memang boleh merasa tenang di tempat itu. Pendekar Rambut Emas akan melindunginya dan tak akan ada musuh yang dapat mengusik. Namun teringat betapa pendekar ini kehilangan semangat dan rupanya “melempem”, tak mau maju sendiri maka diam-diam Cao Cun ingin menunggu dan bercakap-cakap sendiri dengan Kim-hujin. Wanita itu terkenal keras dan tegas. Kim-hujin adalah puteri mendiang Hu-taihiap dan sekali dibangkitkan semangatnya tentu akan berkobar dan menyala-nyala seperti api sebesar gunung.

Dia akan membakar dan mengibaratkan wanita itu bagaimana kalau Kim-hujin kehilangan anak, apalagi laki-laki, seperti dirinya. Dan ketika Cao Cun bersiap dan mengepal tinju, menunggu, maka Pendekar Rambut Emas duduk bersamadhi dan seolah acuh terhadap sekitar, setelah tadi sejenak dikejutkan oleh hidupnya Togur!

* * * * * * * *

Sam-liong-to. Sudah lama kita tak mengunjungi tempat ini. Marilah kita lihat dan tengok sejenak. Seperti diketahui, di pulau ini, Pulau Tiga Naga, berdiam sepasang suami isteri muda yang gagah perkasa. Mereka Siang Le dan Soat Eng, menantu dan anak perempuan Kim-mou-eng (Pendekar Rambut Emas). Dan karena mereka merupakan sepasang pengantin baru, maka kebahagiaan melanda mereka.

Tapi ada sesuatu yang mengganjal. Soat Eng, yang malam-malam pertamanya dilalui dengan nikmat dan bahagia akhirnya seminggu dua minggu melihat kemurungan sang suami. Ada sesuatu yang mengganggu suaminya itu dan rupanya dipendam. Soat Eng bertanya apa yang menjadi sebab namun dijawab tak ada apa-apa. Suaminya tiba-tiba tertawa terpaksa dan berusaha menghilangkan kemurungannya itu. Soat Eng penasaran. Dia tahu persis gerak-gerik suaminya ini. Maka ketika suatu hari suaminya itu duduk di taman dan menyendiri dengan dahi berkerut, bertopang dagu maka wanita muda ini berkelebat dan tahu-tahu berjungkir balik di depan suaminya itu.

“Hayo, kau menyembunyikan sesuatu! Apa lagi yang kau renungkan, Le-koko (kanda Le)? Kenapa tidak berlatih silat dan tepekur sendirian? Kau akhir-akhir ini aneh, tidak berterus terang dan menyembunyikan rahasia!”

“Hm,” Siang Le terkejut, melihat isterinya itu sudah berkacak pinggang. Soat Eng bersinar-sinar dan pipi yang bersemu dadu itu tampak kemerah-merahan. Pagi yang hening dengan sinar matahari yang cerah sungguh membuat isterinya yang baru dua puluhan tahun itu tampak begitu anggun dan cantiknya. Isterinya itu berdiri tegak dengan rambut dibiarkan terurai, ah, betapa manisnya. Dan ketika dia terkejut dan bangkit berdiri, sadar, tiba-tiba tawa itu lepas lagi dan Soat Eng mendengarkan nada yang agak dipaksakan dalam kegembiraan semu ini, dipeluk dan diraih suami.

“Hm, apalagi yang kupikirkan? Ah, tak ada apa-apa, Eng-moi. Aku tak merenung atau memikirkan apa-apa. Aku tak menyembunyikan sesuatu.”

“Bohong!” sang isteri meronta, menghindar ciuman sang suami. “Sinar matamu tak bicara jujur, Le-ko. Kau tak usah berpura-pura atau malam nanti aku tak mau tidur bersamamu!”

Siang Le terkejut. Pemuda ini mundur namun akhirnya menunduk, menarik napas dalam-dalam. Memang dia tahu bahwa isterinya lama-lama curiga. Kedukaan itu serasa begitu menghimpitnya. Satu kedukaan yang memang dirahasiakan! Tapi ketika dia dipaksa dan apa boleh buat harus bicara maka dia menggenggam lengan isterinya itu dan berkata, “Jangan... jangan biarkan aku tidur sendiri. Aku, hmm... aku hanya rindu terhadap suhuku, Eng-moi. Ingin mengetahui apakah dia masih hidup dan sehat-sehat saja. Aku khawatir akan dia, tak tahu di mana ia berada!”

Soat Eng menatap tajam. Kali ini ia tak melepaskan diri dan merasa genggaman suami yang gemetar. Siang Le memejamkan matanya dan tiba-tiba dari pelupuk mata itu mengalir butir-butir air mata yang bening. Soat Eng tertegun. Tapi ketika ia sadar dan dapat menerima itu, meraih dan merangkul leher suaminya maka ia berbisik agar suaminya itu tak usah memikirkan gurunya. “Suhumu orang sesat, sudah sepantasnya menerima hukuman. Kalau ia datang dan menemui dirimu justeru aku yang tak suka, Le-ko. Kau tahu bahwa betapa jahat gurumu itu!”

Siang Le merapatkan mata. Tiba-tiba tanpa dapat dicegah lagi air matanya membanjir. Apa yang dikata sesungguhnya bukanlah yang benar tapi kata-kata Soat Eng tadi bahkan menambah luka yang sudah ada. Soat Eng tak tahu bahwa suaminya berbohong. Tidak, bukan itu yang membuat kedukaan Siang Le berlarut-larut. Tapi karena Soat Eng percaya dan sudah meraih serta mencium lehernya, penuh perasagan, maka Siang Le tak dapat menahan dirinya lagi dan mengguguk!

“Hush!” Soat Eng terkejut. “Kenapa kau ini, Le-ko. Masa hanya persoalan rindu saja sampai membuat kau menangis tersedu-sedu. Hayo, hentikan dan malulah terhadap diri sendiri. Kau menantu Pendekar Rambut Emas!”

Namun Siang Le tak dapat mengendalikan perasaannya. Justeru sang isteri bicara seperti itu justeru dia merasa tersayat-sayat. Sesungguhnya, dia malu bahwa dia telah berbohong. Isterinya itu mendapat dusta! Maka ketika dia dipeluk dan dicium hangat, Soat Eng tampak kaget maka pemuda yang baru saja menikah ini membalas dan memeluk isterinya itu. “Maaf.... maaf, Eng-moi. Aku memang lemah. Aku sebenarnya tak patut menjadi menantu ayahmu yang gagah perkasa!”

“Hush, omongan apalagi ini? Kau sinting? Eh, kalau kau bicara seperti itu lagi maka aku tak mau mengurus makan minummu, Le-ko. Biar kau masak sendiri dan menjerang air sendiri!”

Siang Le membuka mata. Dia melihat isterinya yang melotot dan mata bening itu marah kepadanya. Ah, Siang Le sadar. Maka ketika dia menunduk dan minta maaf, isterinya tersenyum mengangguk maka Siang Le sudah mencium dan Soat Eng pun menyambut. Selanjutnya Soat Eng menyeka air mata suaminya itu dan si pemuda terharu. Beginilah memang cinta isterinya itu. Tak pernah surut dan amat besar kepadanya.

Bahkan, untuk mempertahankan cintanya itu Soat Eng siap mati di tangan ibunya, karena dulunya sang ibu tak setuju puterinya itu berjodoh dengan Siang Le, pemuda yang menjadi murid seorang tokoh iblis yang amat kejam dan ganas. Tapi karena Siang Le ibarat ikan di laut, atau mutiara di lumpur yang pekat, tak kotor oleh kehidupan dan sepak terjang gurunya maka pemuda itu dapat diterima dan Soat Eng sendiri mati-matian membela kekasihnya.

Bagi pembaca yang telah mengikuti cerita Istana Hantu tentu tahu siapa pemuda ini. Murid See-ong si iblis yang kejam dan ganas tapi ilmu kesaktiannya tinggi. See-ong memiliki ilmu hitam Hek-kwi-sut (Lebur Bersama Iblis) di mana kakek itu dapat menghilang dan menyerang lawan di balik Hek-kwi-sutnya. Kakek itu memang amat luar biasa dan Kim-hujin, isteri Pendekar Rambut Emas sendiri kewalahan kalau sudah menghadapi kakek itu. Bukan karena kepandaiannya kalah tinggi melainkan karena kakek itu berlindung di balik ilmu hitamnya, tak dapat diserang dan akhirnya hanya menghadapi Pendekar Rambut Emas sajalah kakek itu kalah.

Kim-mou-eng ternyata memiliki Pek-sian-sut (Lebur Bersama Dewa) yang merupakan tandingan Hek-kwi-sut. Dan karena Kim-mou-eng atau Pendekar Rambut Emas juga dapat menghilang di balik ilmunya dan tentu saja di balik ilmunya itu pendekar ini dapat mengejar dan menyerang lawan, mereka sudah menjadi roh-roh halus yang tidak hidup di badan kasar lagi maka See-ong terbirit-birit dan akhirnya lintang-pukang menghadapi Pendekar Rambut Emas ini. Di Sam-liong-to akhirnya kakek itu roboh, ditangkap dan dijebloskan di dalam kurungan emas.

See-ong sendiri, yang lenyap dan musnah Hek-kwi-sutnya lalu berobah menjadi manusia mini. Kakek tinggi besar itu tiba-tiba saja tinggal sebesar jari telunjuk. Itulah akibat pengaruh ilmu hitamnya sendiri, yang menghancurkan dirinya sendiri. Dan ketika kakek itu ditangkap dan dijebloskan kurungan emas, yang juga mini dan kecil tapi merupakan kurungan ajaib di mana See-ong tak dapat melarikan diri maka Siang Le, muridnya itu, menjaganya sambil menangis setiap malam.

See-ong berteriak-teriak minta lepas namun kunci ada di tangan Kim-mou-eng. Berkali-kali dia membujuk muridnya itu tetapi sang murid tak mau. Seandainya mau, Siang Le pun tak mungkln sanggup membuka kurungan itu. Hanya Pendekar Rambut Emaslah yang mampu. Dan ketika peristiwa demi peristiwa berjalan terus dan See-ong yang mengumpat serta menghajar muridnya memaki-maki muridnya itu maka suatu hari kakek iblis itu lolos.

Kerangkeng emas, yang terbuka pintunya tiba-tiba membuat kakek itu melarikan diri. See-ong lolos dan selanjutnya meninggalkan Sam-liong-to, tinggal muridnya sendiri yang termangu-mangu dan pucat. Siang Le telah mendapat tugas sekaligus kepercayaan dari Pendekar Rambut Emas untuk menjaga gurunya. Kim-mou-eng sengaja memasang batu ujian untuk pemuda ini, apakah Siang Le layak dipercaya atau tidak, karena pemuda itu diketahui sudah menjalin hubungan cinta dengan puterinya.

Dan karena Siang Le bertanggung jawab dan ternyata teguh memegang kepercayaan, karena tetap di Sam-liong-to meskipun gurunya lolos maka pemuda itu menghadapi Pendekar Rambut Emas ketika pendekar itu bersama isterinya datang, juga Soat Eng.

Di situ pemuda ini ditanya bagaimana kerangkeng emas dapat terbuka. Bagaimana gurunya lolos sementara dia ada di situ. Dan ketika Siang Le siap mendapat tuduhan melepaskan gurunya, karena pemuda itulah satu-satunya yang berada di pulau maka Soat Eng yang marah dan tak percaya pemuda ini melanggar janji berhasil mengancam kekasihnya untuk berterus terang.

Dan Siang Le akhirnya mengaku, bahwa yang melepas bukan lain adalah Thai Liong, kakak gadis itu atau putera Pendekar Rambut Emas dengan mendiang sumoinya sendiri, Salima gadis Tar-tar yang gagah dan cantik. Dan ketika semua mendengar dan tertegun, Soat Eng membelalakkan mata maka gadis itu dan ibunya roboh pingsan.

Keadaan di Sam-liong-to waktu itu penuh tangis. Swat Lian, isteri Pendekar Rambut Emas atau ibu Soat Eng yang aekhirnya disadarkan suaminya menangis mengguguk-guguk, bukan apa-apa melainkan ngeri dan menyesal telah melepas sumpahnya. Tadi Kim-hujin atau isteri Pendekar Rambut Emas itu bersumpah bahwa dia akan membuntungi orang yang melepas See-ong, karena dianggapnya Siang Le itulah yang melepas gurunya.

Tapi begitu tahu bahwa Thai Liong yang membuka kerangkeng emas, demi menyelamatkan dan meneruskan perjodohan adiknya dengan Siang Le maka nyonya itu tersedu-sedu ngeri akan sumpahnya sendiri. Pek-kong-kiam (Pedang Sinar Perak) telah menjadi saksi sumpah. Juga di langit terdengar ledakan serta dentuman, Semua itu merupakan tanda dari para dewa bahwa mereka telah menjadi saksi, Sang nyonya menggigil dan pucat. 

Maka ketika dia tahu bahwa dugaannya keliru, puteranya telah diancam sumpah maka Kim-hujin atau nyonya Kim itu lalu membuang pedangnya ke laut. Pedang itu akhirnya disambar seekor hiu putih yang mulutnya tepat terbuka, menangkap atau menggigit pedang ini untuk akhirnya menyelam ke bawah. Dan ketika semua berakhir dan sang nyonya tenang, pedang itu tak mungkin membawa celaka maka Siang Le akhirnya diterima sebagai menantu dan suami Soat Eng.

Namun sang nyonya diam-diam masih membenci dan meragukan watak baik pemuda ini. Dia menganggap bahwa buah tak jauh dari pohonnya, bahwa anak tak akan jauh sepak terjangnya dengan orang tua. Dan ketika Siang Le diterima dan menjadi menantunya, suaminya bahkan menurunkan empat ilmu sakti kepada pemuda itu, hal yang sebenarnya tak disetujui nyonya ini maka Swat Lian atau wanita itu mengikat Siang Le dengan sebuah perjanjian, atau permintaan yang didorong oleh kebencian dan dendamnya terhadap See-ong, guru pemuda itu.

“Kau sekarang sudah menjadi menantuku, bahkan suamikupun sudah menurunkan ilmu-ilmu keluarga yang paling dahsyat kepadamu. Apakah kau sanggup membalas semua kebaikan ini dengan sesuatu, Siang Le? Apakah kau sanggup mengerjakan perintahku?”

Demikian suatu hari nyonya itu bicara kepada menantunya. Siang Le sedang sendirian dan ibu mertuanya itu muncul tiba-tiba. Tapi ketika dia berdiri dan memberi hormat, terkejut dan berdebar oleh kedatangan ibu mertuanya yang mendadak ini maka Swat Lian mengibas dan tak mau pemuda itu banyak adat.

“Aku tak mengerti,” Siang Le menjawab. “Gak-bo (ibu mertua) ada perintah apakah yang harus kujalankan.”

“Hm, tidak banyak, Siang Le. Melainkan menyuruh kau membunuh dan membawa kepala gurumu. Sanggupkah kau?”

Pemuda ini terbelalak, wajah tiba-tiba berobah. “Maksud gak-bo...”

“Ya, jelas, Siang Le. Gurumu telah membunuh ayahmu dan itu adalah hutang darah yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Kau sudah menjadi menantu Pendekar Rambut Emas dan See-ong sekarang adalah musuhmu!”

“Ooh...!” pemuda itu mengeluh, terhuyung dan tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut, pucat. “Ini... ini tak sanggup aku melaksanakannya, gak-bo. Betapapun jahat guruku itu dia telah memberi hidup kepadaku. Tanpa dia tak mungkin aku ada. Lagi pula, aku bukan tandingannya!”

“Hm, suamiku telah menurunkan ilmu-ilmu sakti Khi-bal-sin-kang dan Jing-sian-eng, Siang Le. Juga Lui-ciang-hoat dan Cui-sian Gin-kang. Kau akan dapat mengatasi gurumu kalau kau mau!”

“Aku tak sangup.... aku tak dapat...!” pemuda itu tiba-tiba menangis. “Lebih baik bunuhlah aku, gak-bo. Biarlah kubayar hutang jiwanya itu dengan jiwaku. Kau bunuhlah aku, aku tak dapat membunuh atau membawa kepalanya!”

“Hm!” mata sang nyonya berkilat marah, meletup bagai api. “Kau tak tahu diri, Siang Le. Kau berpura-pura. Kalau kau mengatakan bukan tandingan gurumu maka itu bohong. Kau sudah melatih Jing-sian-eng dan Khi-bal-sin-kang. Dan kau mewarisi pula Lui-ciang-hoat dan Cui-sian Gin-kang. Iblis mana yang dapat melawanmu lagi kalau sudah begini? Kau sudah mendapat kepercayaan penuh suamiku, Siang Le. Kau sudah berhutang banyak budi kepada keluarga ini. Kau harus tahu diri. Atau barangkali kau yang kelak akan memberontak dan melawan kami, menjadi bumerang!”

Siang Le mengguguk. “Gak-bo, kenapa kata-kata setajam ini dapat kau lancarkan kepadaku? Kenapa kau menusuk dan merendahkan aku seperti itu? Aku memang murid seorang sesat, gak-bo. Aku memang murid See-ong yag, jahat. Tapi aku dan guruku lain. Aku bukan See-ong dan aku sendiri sudah berkali-kali memusuhi guruku itu, memusuhi sepak terjangnya. Kalau gak-bo merasa tidak senang kepadaku baiklah gak-bo bunuh aku karena siapa tahu aku benar-benar akan menjadi bumerang bagi keluarga ini, keluarga Pendekar Rambut Emas yang gagah dan terhormat!”

“Hm, kau mau menghina aku? Kau mau mengajari aku?”

“Tidak, tapi... ah, aku tak sanggup melaksanakan perintahmu, gak-bo. See-ong betapapun adalah orang yang telah melepas banyak budi kepadaku. Tanpa dia tak mungkin aku masih hidup. Tanpa dia tak mungkin aku ada di sini. Daripada subo memerintahkan aku membunuh guruku itu biarlah sekarang juga subo membunuhku. Kurelakan nyawa yang hanya selembar ini!”

Swat Lian merah padam. Kalau saja dia tidak ingat bahwa puterinya amat mencintai pemuda itu, pemuda yang membuatnya marah ini tentu dia sudah bergerak dan barangkali benar-benar menurunkan tangan maut. Tapi Soat Eng ada di belakang pemuda itu. Sekali dia membunuh Siang Le tentu Soat Eng akan memusuhinya habis-habisan. Dan ngeri dia membayangkan itu. Teringat nyonya ini akan wataknya sendiri. Puterinya itu tak jauh beda.

Dulu, ketika dia masih remaja dan dihalangi ayahnya untuk berhubungan dengan Pendekar Rambut Emas maka darahpun siap dikorbankan demi membela kekasih. Dan puterinya itu juga seperti dia. Soat Eng akan mengamuk dan siap mati kalau dia membunuh pemuda ini. Tidak, sang nyonya ngeri. Maka ketika dia menahan marah dan melotot gusar, sang pemuda bercucuran air mata di depan kakinya tiba-tiba nyonya ini bertanya apakah Siang Le mau menangkap dan membawa gurunya saja ke situ.

“Kau menjengkelkan, omonganmu menyakitkan. Baiklah, kalau kau tak sanggup membunuh dan membawa kepala gurumu ke mari apakah kau juga tidak sanggup untuk menangkap dan membawanya saja, Siang Le? Atau apakah perintah seperti inipun juga tak dapat kau laksanakan?"

Siang Le menggigil. Sebenarnya, dia dapat memaklumi kebencian dan sakit hati subo (ibu guru) atau gak-bonya ini. Hu-taihiap, ayah wanita itu dibunuh gurunya. Gurunya memang kejam dan ganas. See-ong tindak-tanduknya seperti iblis dan berapa kali sudah dia bertengkar dan bermusuhan dengan gurunya sendiri itu. Bahkan, ketika gurunya memerintahkan dia untuk berlatih Hek-kwi-sut, ilmu keji yang berbau hitam itu dia menolak, dihajar dan nyaris dibunuh kalau dia bukan murid satu-satunya. Gurunya itu memang kejam dan tidak berperasaan.

Tapi karena dia berhutang budi dan justeru karena gurunya itulah dia hidup, maka Siang Le tak sanggup kalau disuruh membalaskan sakit hati nyonya ini kepada gurunya. Daripada begitu lebih baik dia menyerahkan diri saja, selembar nyawanya. Dan ketika dia menolak tapi kini permintaan yang agak lunak dimintakan kepadanya, hanya menangkap dan membawa saja gurunya itu ke mari maka Siang Le tertegun dan ragu-ragu.

Sebenarnya, sama saja baginya. Kalau dia dapat menangkap dan membawa gurunya tentu gurunya itu akan dibunuh oleh gak-bonya ini. Jadi, kematian gurunya atas perbuatannya juga, secara tidak langsung. Tapi karena menolak itu juga dirasanya berat, karena dia telah menerima budi dan banyak kebaikan dari keluarga ini, keluarga Pendekar Rambut Emas maka Siang Le berada di persimpangan jalan dan bingung.

Dia telah mempelajari ilmu-ilmu sakti dari Pendekar Rambut Emas. Khi-bal-sin-kang dan Jing-sian-eng, ilmu yang dulu diwarisi mendiang Hu Beng Kui atau ayah dari wanita yang sekarang berdiri di depannya ini adalah hebat dan luar biasa sekali. Jing-sian-eng (Bayangan Seribu Dewa) akan mampu membuat orang berkelebatan seolah terbang. 

Dan Khi-bal-sin-kang, hmm... siapapun mengakui bahwa ilmu sakti Bola Karet itu tak punya tandingan. Khi-bal-sin-kang membuat pemiliknya kebal dari semua pukulan karena pukulan yang mendarat akan ditolak balik seperti halnya sebuah karet yang membal. Semakin hebat lawan memukul maka semakin hebat pula daya tolaknya.

Gurunya sendiri sampai kewalahan menghadapi ilmu ini, terbukti ketika Togur, pemuda murid Enam Iblis Dunia itu mencuri ilmu ini dan menandingi gurunya. Hanya karena memiliki Hek-kwi-sut itulah gurunya dapat bertempur imbang, karena dengan Hek-kwi-sut akhirnya lawan kehilangan gurunya yang sudah berobah bentuk. Dan karena Khi-bal-sin-kang memang ilmu yang hebat luar biasa, yang saat ini belum ada tandingannya maka Siang Le yang mendapat kepercayaan untuk memiliki ilmu itu diam-diam merasa bangga tapi juga sadar bahwa kepercayaan yang demikian besar telah dilimpahkan kepadanya.

Dan itu masih ditambahi lagi dengan dua ilmu pendamping yang menjadikannya maha hebat, yakni ilmu-ilmu Lui-ciang-hoat (Silat Guntur) dan Cui-sian Gin kang (Ginkang Pengejar Dewa), ilmu yang kalau sudah digabung dengan Khi-bal-sin-kang dan Jing-sian-eng akan menjadikan pemiliknya pilih tanding. Hanya orang-orang dalam atau dekat sajalah yang dapat mewarisi ilmu-ilmu Pendekar Rambut Emas ini. Dan karena dia sudah menjadi menantu sekaligus murid Pendekar Rambut Emas maka pendekar yang amat sakti itu menurunkan ilmu-ilmunya kepadanya. Kalau tidak, jangan harap!

Siang Le sendiri mengakui bahwa dia menerima budi dan kebaikan yang besar sekali. Budi ini tak kalah dengan budi gurunya yang jahat, See-ong. Dan karena dua budi itu sama-sama berat dan Siang Le terhimpit dari dua arah, maka ketika dia ditanya dan diminta kesanggupannya untuk membawa dan menangkap gurunya tiba-tiba pemuda yang bingung dan resah ini mengangguk.

“Baiklah,” akhirnya pemuda itu berkata. “Aku akan mengusahakan perintahmu, gak-bo. Kalau aku dapat melakukannya tentu aku akan melakukannya. Kalau tidak dapat....”

“Jangan omong kosong!” bentakan itu menyergap kata-kata ini. “Dengan Lui-ciang-hoat dan Cui-sian Gin-kang kau akan dapat mengalahkan gurumu, Siang Le. Apalagi ditambah Khi-bal-sin-kang dan Jing-sian-eng. Tak usah kau berpura-pura dan banyak alasan!”

“Baiklah,” pemuda ini menunduk, sedih. “Aku akan melaksanakannya, gak-bo. Aku akan coba menjalankan perintahmu.”

Dan dengus sang gak-bo yang berkelebat pergi akhirnya mengikat pemuda itu dengan sebuah perjanjian diam-diam, Swat Lian sendiri memang tidak memberitahukannya kepada siapapun, apalagi suaminya, Pendekar Rambut Emas, yang tentu akan tidak setuju dan menentang kehendaknya. Siang Le sudah dikenal sebagai pemuda yang tahu budi dan tak mungkin pemuda itu murtad. Dan ketika hari itu pemuda ini sudah diikat dan diambil janjinya, Siang Le duduk tepekur maka sesungguhnya masalah itulah yang membuatnya menderita.

Pemuda ini sendiri akhirnya tak mau tinggal di utara, bersama mertua. Karena tak lama kemudian dia minta pindah ke Sam-liong-to dan hidup berdua bersama Soat Eng di situ. Dan karena dia dianggap dapat melaksanakan perintah karena mewarisi ilmu-ilmu Pendekar Rambut Emas, Khi-bal-sin-kang dan lain-lainnya itu maka Siang Le justeru akhirnya ogah dan enggan meneruskan latihannya.

“Kau tak boleh selisih jauh dengan isterimu. Suami isteri tak boleh banyak berbeda. Karena itu kuturunkan ilmu-ilmu ini kepadamu, Siang Le. Agar kau tak tergantung dengan isterimu itu. Nah, pelajarilah, latihlah. Aku percaya padamu karena tak mungkin kau mempergunakan ilmu-ilmu ini untuk perbuatan sesat!”

Begitu Pendekar Rambut Emas berkata. Lain Pendekar Rambut Emas memang lain pula isterinya. Siang Le merasa terharu sekaligus bangga mendapat kepercayaan itu. Bayangkan, ilmu-ilmu simpanan Pendekar Rambut Emas, empat ilmu sakti itu diberikan kepadanya. Kalau tidak karena kepercayaan yang demikian besar mana mungkin dia mendapatkan itu? Tapi karena kini gak-bonya menuntut dan mengikat dia dengan syarat menangkap atau membawa gurunya itu, See-ong, tiba-tiba Siang Le menjadi hambar dan ogah melatih ilmu-ilmu itu.

Memang dia dapat menangkap dan mengalahkan gurunya kalau ilmu-ilmu sakti itu telah diwarisi. Gurunya bakal terkejut kalau dia sudah memiliki Khi-bal-sin-kang dan lain-lainnya itu. Tapi karena Siang Le pemuda yang baik dan budi selalu dijunjungnya tinggi, tak akan dilupa meskipun disiksa derita dan duka maka pemuda itu mengambil putusan biarlah dia menghentikan pelajaran ilmu silatnya dan tetap dengan ilmu-ilmu silat yang lama, yang dulu diwarisi dari gurunya See-ong!

Siapapun tentu tak menyangka keputusan yang diambil pemuda ini. Pendekar Rambut Emas dan Swat Lian pun tentu tidak. Apalagi nyonya itu. Swat Lian tak menduga bahwa anugerah begitu luar biasa, ilmu-ilmu yang diberikan suaminya kepada pemuda itu akhirnya dihentikan dan dilupakan Siang Le. Pemuda lain yang tentu akan mengilar dan mau membayar dengan nyawanya sekalipun untuk mendapatkan Khi-bal-sin-kang dan lain-lainnya itu ternyata begitu saja dilepaskan pemuda ini.

Siang Le tak melatih dan meneruskan pelajarannya. Dan ketika dia tiba di Sam-liong-to dan tidak meneruskan pelajarannya, hal yang membuat isterinya tertegun maka dengan tenang pemuda itu menjawab bahwa dia belum bersemangat.

“Aku rasa tak ada musuh-musuh lagi yang mengganggu. Lagi pula ada kau di sini. Untuk apa mati-matian berlatih? Ah tidak. Aku ingin hidup tenang dan damai, Eng-moi. Aku rasa cukup dengan kepandaian yang sudah kumiliki ini. Tak perlu membuang-buang keringat percuma.”

“Tapi kau disuruh ayah! Ayah telah menurunkan ilmu-ilmu itu kepadamu. Bagaimana kau ini, Le-ko? Ayah tentu bisa marah, kecewa. Menganggap kau tak menghargai pemberiannya!”

“Hm, jangan bilang kepada gak-hu (ayah mertua),” Siang Le mengerutkan kening, sedikit terkejut. “Bukan aku tidak menghargai pemberian ayahmu, Eng-moi. Melainkan semata menganggap tak ada musuh lagi yang datang mengganggu. Bukankah Togur dan Enam Iblis Dunia sudah tak ada lagi? Mereka itu telah tewas, kita dapat hidup tenang.”

Soat Eng menarik napas dalam-dalam. Aneh suaminya ini, begitu dia berpikir. Orang lain mengilar dan menginginkan ilmu-ilmu Pendekar Rambut Emas eh... tiba-tiba saja suaminya ini tak begitu tertarik. Soat Eng tentu saja tak tahu bahwa keengganan suaminya itu adalah dikarenakan ibunya. Kalau saja ibunya tidak memaksa dan menyuruh pemuda itu menangkap gurunya, dengan ilmu-ilmu yang diturunkan Pendekar Rambut Emas tentu Siang Le akan dengan senang hati mempelajari ilmu-ilmu itu.

Pemuda ini bahkan akan merasa girang dan bangga melatih ilmu-ilmu ayah mertuanya. Dia dapat menjadi hebat, amat hebat. Seperti isterinya itu atau Thai Liong, kakak iparnya. Tapi karena dengan ilmu itu dia disuruh menangkap dan membawa gurunya, hal yang berat dilakukan pemuda ini maka Siang Le memilih meletakkan kesaktian itu dan tidak mempelajarinya!

Orang akan geleng-geleng kepala kalau mengetahui perbuatan ini. Bayangkan, kepandaian yang begitu hebat ternyata dibuang begitu saja oleh Siang Le, seperti orang membuang sebongkah emas dengan sikap tak acuh. Tapi karena Siang Le memang pemuda luar biasa dan pemuda ini mendapat pujian tinggi dari Bu-beng Sian-su, kakek dewa yang mengibaratkan pemuda itu seperti ikan di laut (baca: Istana Hantu) maka orang tak akan heran melihat tindak-tanduknya.

Siang Le memang pemuda amat baik. Pemuda itu berwatak mulia dan agung. Dan karena See-ong sendiri sudah berulang kali jengkel tapi juga kagum kepada muridnya itu, yang tak mau menuruni jahatnya maka diam-diam sang gurupun menaruh hormat. Kalau bukan karena ini mungkin kakek yang kejam itu telah membunuh muridnya. 

Berapa kali sudah See-ong dibuat tertegun-tegun atau terperangah oleh muridnya. Berapa kali sudah kakek itu harus mengalah dan mundur kalau muridnya sudah memberi “wejangan”. Siang Le memang sering menasihati gurunya untuk berbuat baik, membuang semua kejahatan-kejahatannya tapi See-ong tentu saja tak mau. Guru itu merasa digurui!

Tapi karena Siang Le berani mati dan kegagahan serta keberanian pemuda itu membangkitkan kekaguman besar di hati See-ong maka kalau dia sudah tidak dapat menahan marah terhadap muridnya yang aneh ini See-ong lalu melempar atau mendorong muridnya, ditinggal pergi. Selanjutnya kakek itu menyumpah-nyumpah dan diam-diam heran serta kaget.

Dia, tokoh sesat, mempunyai murid seperti itu. Sepantasnya Siang Le bukan muridnya tapi murid seorang pendekar gagah. Ganjil dan aneh sekali kalau murid seorang tokoh sesat justeru adalah pemuda baik-baik yang berwatak mulia dan agung. Kakek itu menjadi malu hati di samping penasaran.

Tapi karena Siang Le tetap tak berobah dan kegigihan serta keteguhan pemuda itu dalam membela kebenaran benar-benar mencengangkan hatinya maka See-ong lama-lama membiarkan muridnya begitu dan dia melampiaskan jengkelnya dengan perbuatan-perbuatan yang lebih jahat lagi. Kakek ini kecewa tapi juga kagum.

Iblis manakah yang membuat muridnya seperti itu? Bagaimana dia bisa mempunyai pewaris model pemuda ini? Dan membayangkan bahwa Siang Le hanya mempelajari Sin-re-ciang, Silat Tangan Karet dan tak mau mempelajari Hek kwi-sut maka kakek itu diam-diam mengeluh dan mengutuk.

Siang Le memang pemuda yang ganjil bahkan, barangkali, termasuk “tidak normal”, karena pemuda itu tak terpengaruh oleh sepak terjang gurunya. Kejahatan dan kekejaman See-ong justeru selalu dilawannya dengan petuah-petuah bijak agar gurunya itu tidak melanjutkan kejahatannya. Berapa kali pemuda ini harus bertengkar dengan gurunya dan bahkan menantang untuk dibunuh. See-ong kewalahan dan kakek itu sering kali mundur, bukan karena takut melainkan karena jengkel dan geram kepada muridnya itu.

Dia sering menahan tangan kalau sudah bergerak mau menurunkan pukulan maut, terbentur dengan sinar mata muridnya yang redup jernih, mata yang begitu hidup dan penuh keberanian dan kakek itu kagum. Ada sesuatu yang aneh yang terasa, di mata muridnya itu ada cinta kasih. Kasih terhadap guru dan juga kasih terhadap kebenaran. Kakek ini tertegun. Dan karena See-ong tak kuat beradu pandang karena dia selalu tergetar maka kakek itu memilih menyingkir dan melampiaskan kemarahannya di lain tempat. Itulah Siang Le.

Dan kini, setelah beberapa bulan hidup di Sam-liong-to mula-mula pemuda ini dapat hidup tenang. Artinya, dia tak usah setiap hari bertemu gak-bonya itu. Sekarang hanya dia dan isterinya itu dan mula-mula pemuda ini merasa bebas. Tapi ketika setengah tahun dia tinggal di situ dan suatu malam dia bermimpi ditanya gak-bonya, apakah dia sudah melaksanakan perintah atau belum maka pemuda ini mulai pucat.

Siang Le bermimpi gak-bonya itu datang kepadanya, bertanya apakah dia sudah mencari gurunya atau belum. Dan ketika Siang Le tertegun tak dapat menjawab, karena perintah itu memang belum dilaksanakannya maka mendadak keesokannya dia merasa muram dan itulah yang dilihat sang isteri. Hari-hari berikut Siang Le merasa tak tenang.

Tinggal di Sam-liong-to ternyata masih juga dibayang-bayangi gak-bonya itu. Ah, tak nyaman! Dan ketika berkali-kali dia tepekur dan berkali-kali isterinya memergoki maka hari itu dia terpaksa berbohong dengan mengaku bahwa dia rindu gurunya. Padahal, sebenarnya adalah karena bayang-bayang perintah itu, perjanjian dengan gak-bonya!

“Hm, mari masuk!” Siang Le meraih dan menyambar pinggang isterinya, setelah pagi itu dia ditegur dan dipergoki isterinya. “Aku sudah tak apa-apa lagi, Eng moi. Mari ke dalam dan ingin kunikmati sarapan pagimu!”

“Aku belum membuat sarapan!” Soat Eng cemberut, tak senang bahwa suaminya bicara tentang gurunya yang jahat. “Aku sama sekali belum membuat apa-apa, Le-ko. Aku jengkel dan mencarimu ke mana-mana. Justeru pagi ini aku ingin mengajakmu membuat sarapan bersama!”

Siang Le tertegun. “Mengajakku masak bubur?”

“Bukan, melainkan mencari ikan dan membuatnya panggang saos tomat!”

“Hm!” pemuda itu tiba-tiba berseri. “Sudah lama kita tidak membuat itu, Eng-moi. Mari, aku tiba-tiba mengilar. Kita cari ikan dan sarapan seperti itu!”

“Ya, tapi kau tidak boleh menyendiri lagi. Aku akan membuat masakan kesukaanmu dan kau harus berjanji untuk selalu gembira. Aku tak suka melihat suamiku murung. Kau bukan laki-laki cengeng!”

“Baik-baik,” dan Siang Le yang tertawa menyendal isterinya lalu berkelebat dan pergi ke laut. Mereka sendiri tinggal di Istana Hantu yang berada di tengah pulau. Jadi kalau isterinya mengajak mencari ikan berarti mereka harus ke pantai. Tapi ketika pemuda itu bergerak dan tertawa menyendal isterinya tiba-tiba terdengar teriakan panjang dan dua binatang besar berbulu hitam berlarian cepat mendahului Siang Le.

Siang Le tertegun dan berhenti, terkejut karena itulah dua piaraan mereka yang berupa dua ekor gorila jantan dan betina. Sebenarnya itu adalah milik Soat Eng karena gadis itulah yang dulu menundukkannya. Itulah Gotin dan Gosar, sepasang gorila penghuni Sam-liong-to sebelum Soat Eng maupun Siang Le ada di situ. Dan ketika Soat Eng juga terkejut dan berhenti, dua binatang itu berlarian menguik-nguik maka terlihatlah di kejauhan sana sebuah perahu sedang melaju dengan amat cepatnya, mendatangi pulau.

“Ah, ada tamu datang!” Soat Eng berseru.

“Atau musuh...!” Siang Le menyambung, pucat. Tapi ketika isterinya tertawa dan berkata bukan, itu adalah ibunya sendiri karena Soat Eng yang jauh lebih awas dari suaminya berkat kepandaiannya yang memang lebih tinggi lalu bergerak dan terbang menyambut.

“Ibu...!”

Siang Le berdetak. Akhirnya dia melihat bahwa itu adalah ibu mertuanya. Perahu yang meluncur dan seakan didorong tangan raksasa itu sebentar saja sudah tiba di pantai. Sepasang gorila jantan dan betina yang rupanya lebih dulu tahu berkat daya indera mereka yang lebih tajam juga menguik-nguik gembira di pantai, bukan menyambut wanita itu yang sudah berjungkir balik dan melayang turun ke tanah melainkan terhadap seorang anak laki-laki yang berusia sekitar tujuh delapan tahun, tadi duduk di belakang ibunya hingga tersembunyi dari jauh.

Anak itu sudah melengking gembira dan tertawa berjungkir balik, menyusul ibunya pula, maksudnya mau menyambut Soat Eng tapi dua gorila jantan dan betina itu mendahuluinya, menghadang dan langsung menubruk serta mengajak bergulingan. Itulah Beng An, putera bungsu Pendekar Rambut Emas atau adik dari Soat Eng, yang terkenal bengal dan pemberani. Dan ketika anak itu tertawa dan apa boleh buat menyambut sepasang gorila ini, berguling dan mendengus-dengus maka Swat Lian, nyonya itu, sudah ditubruk dan dicium puterinya, yang girang bukan main.

“Ah, kau datang, ibu. Kebetulan sekali. Aku sudah rindu dan kangen sekali!”

“Hm, mana suamimu? Kau sendirian?”

“Aku di sini..” Siang Le muncul, membungkuk dan memberi hormat. “Selamat datang, gak-bo. Sungguh kami tak mengira dan bahagia sekali.”

Swat Lian menoleh. Siang Le telah berdiri di belakangnya dan pemuda itu menunduk. Tampak betapa pemuda itu menekan debaran jantungnya, maklumlah, Siang Le teringat perjanjiannya. Dia merasa bahwa pembicaraan dulu akan berlanjut lagi. Sang ibu mertua rupanya datang untuk menagih, bukan uang melainkan janji. Janji yang sebenarnya ditakuti pemuda ini! Dan ketika Swat Lian tersenyum dan Siang Le mengangkat mukanya, melihat senyum itu maka si pemuda berdesir mendengar pertanyaan lembut.

“Siang Le, kau baik-baik saja, bukan? Kau tak lupa kepada kami?”

“Ah, tidak, tentu tidak. Aku tak lupa kepadamu maupun kepada gak-hu, gak-bo. Kami sehat-sehat dan bagaimana dengan gak-hu di sana. Tak ada apa-apa, bukan?”

“Hm, tak ada apa-apa. Aku datang hanya karena rindu dan ingin tahu keadaan kalian. Kenapa kalian tak pernah datang!”

“Maaf, kami sibuk, gak-bo. Aku dan Eng-moi selama ini belum pernah meninggalkan Sam-liong-to.”

“Bagus, dan kau tentu tak lupa kepada semua nasihat gak-hu atau gak-bomu. Atau ada yang kau lupakan, Siang Le?”

“Tidak, aku selalu ingat!” dan Siang Le yang lagi-lagi tergetar dan terguncang oleh senyum mengejek gak-bonya yang begitu dingin dan kaku maka Soat Eng yang tak menyangka apa-apa sudah tertawa ditubruk Beng An.

“Heii, kau semakin cantik dan gagah, enci Eng. Dan pagi ini kau tampak segar sekali. Ah, tentu Le-twako semakin cinta padamu!”

“Hush!” sang enci mencubit, merah bersemu dadu. “Kau jangan kurang ajar Beng An. Kujewer nanti. Kau tetap nakal dan suka mengganggu orang....!”