Rajawali Merah Jilid 05

RAJAWALI MERAH
JILID 05
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
“SRI BAGINDA datang. Beri hormat!”

Ituchi tergetar. Kiranya baru dia berpikir dan tiba-tiba saat itu juga musuhnya datang. Derap kaki kuda sudah dekat dan terdengarlah aba-aba atau seruan berhenti. Laki-laki tinggi besar di atas kuda itu, yang duduk dengan gagah dan agung tiba-tiba tersenyum lebar.

Ituchi segera mendengar tawa yang tak dapat dilupakannya, tawa berderai dan menusuk-nusuk jantung, tawa Cucigawa! Dan ketika laki-laki di atas kuda itu mengangkat lengan dan semua barisan berhenti, orang-orang di sekitar segera minggir dan berlutut maka Ituchi mendengar tawa yang menyakitkan hatinya itu.

“Orang she Ma, kau benar. Inilah Ituchi, saudaraku!”

Ma-twako, pemimpin pasukan Uighur tiba-tiba melangkah maju. Dia tadi mengiring di belakang dan kini maju dengan wajah berseri-seri. Tadi dia sudah menghadap dan melaporkan maksud kedatangannya, bahwa dia membawa tawanan dan itu bukan lain adalah Ituchi, saudara tapi juga musuh besar raja yang gagah ini. Maka begitu sri baginda memanggil dan ia cepat berlutut maka dengan wajah berseri dan tawa yang kegirangan laki-laki ini berseru,

“Begitulah, hamba tak bicara bohong, sri baginda. Sekarang paduka dapat membuktikan apakah laporan hamba benar atau tidak. Inilah Hu-ongya, tawanan yang tentu amat berharga bagi paduka. Sekarang silahkan paduka menjawab bagaimana dengan tawaran pemimpin kami!”

“Ha-ha, sungguh berharga, amat berharga. Eh, lepaskan saudaraku itu dari kerangkengnya, Ramba. Dan hadapkan dia kepadaku!”

Seseorang bergerak. Seorang laki-laki tigapuluhan tahun tiba-tiba meloncat dan menjawab seruan rajanya ini. Kerangkeng Ituchi siap dibuka sementara pasukan raja tiba-tiba juga maju bergerak, mengepung dan siap dengan senjata bergetar di tangan. Ituchi rupanya mau dibebaskan! Tapi ketika Ramba, laki-laki tigapuluhan tahun yang gagah dan tegap itu siap melaksanakan tugasnya mendadak orang she Ma ini berteriak,

“Tunggu, nanti dulu, sri baginda...!” dan maju menghalang dengan wajah berobah laki-laki ini segera berlutut lagi, muka tengadah. “Paduka belum memberi tahu apakah tukar-menukar ini disetujui. Paduka belum menjawab pertanyaan surat pemimpin kami apakah paduka mau membantu bangsa Uighur!”

“Ha-ha, betul,” sri baginda tertawa, memberi kedipan kepada pembantunya itu. “Pertanyaanmu tidak salah, orang she Ma. Tapi tentunya kau mengerti bahwa kalau sudah begini tentunya tawaran pemimpinmu tidak kutolak. Sampaikan kepada Hulai bahwa bangsa Uighur akan kubantu!”

“Ah, terima kasih. Kalau begitu paduka berhak atas tawanan ini. Tapi...” laki-laki itu ragu, menoleh ke sana-sini. “Hamba... hamba tak dapat melapor begini saja, sri baginda. Tentunya paduka tahu apa yang harus paduka lakukan!”

“Hm, apa maksudmu?” alis sri baginda terangkat, mata mulai berkilat. “Kau seorang perajurit rendahan berani memeritah aku?”

“Ah, tidak... tidak... ampun! Maksud hamba... hamba... eh, maksud hamba adalah mohon paduka suka memberi surat balasan kepada pemimpin kami. Hamba tentunya tak berani melapor secara lisan!”

“Keparat!” Ramba, laki-laki tegap di sebelah sri baginda itu tiba-tiba meloncat dan mencekik lawannya ini. “Kau tak menghargai pemimpin kami, perajurit goblok. Apa yang diucapkan sri baginda Cucigawa sudah jauh dari cukup untuk disampaikan kepada pemimpinmu. Pergilah, atau kau akan tinggal nama... bluk!”

Orang she Ma itu dibanting, langsung menjerit dan pasukan atau orang-orang Uighur terkejut. Mereka terbelalak dan bergerak namun kalah cepat oleh pengiring atau pasukan Cucigawa, yang bergerak dan tahu-tahu menodongkan tombaknya ke punggung orang-orang Uighur ini. Dan ketika mereka tertegun dan tentu saja pucat, kalah banyak, maka Cucigawa tertawa dan menuding.

“Antarkan mereka ini ke perbatasan, dan ucapkan terima kasih atas jasa-jasa mereka!”

Pemimpin pasukan mengangguk. Dia ia telah menerima isyarat atau kedipan raja. Kata-kata “antarkan” itu berarti luas, rahasia. Maksudnya adalah membunuh atau melenyapkan orang-orang ini. Tapi Ma-twako yang rupanya tahu dan mengerti akan isyarat itu tiba-tiba melejit berteriak marah.

“Kawan-kawan, awas. Kita ditipu!” dan menyambar serta menubruk lawan yang terdekat dengannya tiba-tiba laki-laki ini sudah menyerang dan menusuk sana-sini, berteriak-teriak dan beringas dan perbuatannya itu tentu saja mengejutkan yang lain-lain. Baik pasukan Uighur maupun pengiring Cucigawa sama-sama tersentak. Mereka melihat orang yang direbut tombaknya itu roboh menjerit, kena tusuk. Dan ketika Ma-twako memekik dan menyerang raja, yang duduk di atas kudanya tiba-tiba mereka bergerak tapi Cucigawa mendadak berseru mencegah orang-orangnya.

“Biarkan, jangan bantu aku!” dan raja yang mengelak serta mencabut sebatang golok berbadan lebar tiba-tiba tertawa menangkis tusukan tombak lawan. Perajurit she Ma itu berteriak ketika tombaknya terpental, telapak seketika pecah berdarah dan saat itu golok di tangan Cucigawa bergerak ke bawah. Laki-laki ini sedang terhuyung dan pucat serta menggigil. Serangannya gagal, dia akan menerima akibat. Dan ketika benar saja ia tak sempat mengelak balasan raja yang menggerakkan goloknya dari atas ke bawah maka terdengarlah jeritan panjang ketika bahu sampai perut orang itu belah.

“Crat!” Darah berhamburan membasahi tanah. Orang she Ma itu roboh dan seketika terjelungup, mengerang dan akhirnya tak bergerak-gerak lagi, tewas. Tapi ketika raja tertawa bergelak dan membersihkan goloknya mendadak kesempatan itu digunakan orang-orang Uighur untuk membalik dan menyerang pasukan raja yang sedang tertegun.

“Balas kematian Ma-twako. Bunuh, kita ditipu!”

Pengiring raja terkejut. Mereka saat itu memang sedang bengong menyaksikan rajanya membunuh lawan, dengan sekali bacokan dan gerakan saja. Maka begitu orang-orang Uighur membalik dan menyerang mereka, yang sedang mendelong maka tiga di antaranya menjerit dan roboh kena tusukan. Yang lain dapat menangkis dan selanjutnya orang-orang Uighur itu mengamuk. Sebagai utusan tentu saja mereka merasa diperlakukan kejam, pimpinan mereka dibunuh dan merekapun ditodong. Kalau tidak bergerak sekarang tentu mereka akan mati, secara konyol.

Maka begitu melihat kesempatan dan kesempatan itu ada karena lawan sedang bengong, menyaksikan terbunuhnya Ma-twako maka orang-orang Uighur ini membalik dan menyerang dengan marah. Sekarang mereka tahu bahwa keselamatan mereka terancam. Mereka menghadapi raja yang licik dan mereka tak mau mati konyol. 

Maka ketika belasan orang ini bergerak dan arena segera menjadi perkelahian adu jiwa maka pasukan Cucigawa yang tentu saja tak mau tinggal diam dan marah melihat empat temannya roboh sudah bergerak dan membalas orang-orang Uighur itu. Mereka bertempur dan maki serta bentakan riuh rendah terdengar di situ.

Tapi karena jumlah lawan lebih banyak dan orang-orang Uighur ini dikeroyok dari sana-sini maka satu per satu orang-orang Uighur itu roboh. Mereka berhasil membunuh beberapa orang lawan dan melukai yang lainnya lagi, sebelum ajal. Dan ketika sebentar kemudian belasan orang Uighur itu tewas dan dibantai lawan-lawannya maka Cucigawa yang sejak tadi mengamati jalannya pertempuran dengan mulut tersenyum-senyum, dingin, tiba-tiba dikejutkan oleh munculnya banyak bayangan hitam yang berkedok.

“Cucigawa, serahkan Hu-ongya kepada kami!”

Raja tersentak. Puluhan orang muncul dan pasukannya tiba-tiba diserang orang-orang ini. Mereka tak dapat dilihat mukanya karena bersaputangan hitam, hanya kedua matanya itu saja yang bergerak ke sana-sini dengan liar, merah. Dan ketika semua terkejut dan pasukan atau pengiring raja tersentak maka kerangkeng yang membawa Ituchi mendadak diangkat dan dilarikan tujuh dari para penyerang-penyerang baru ini.

“Heii..!” Cucigawa membentak. “Cegat mereka, Ramba. Jangan biarkan mereka membawa Ituchi!”

Ramba, pembantu raja terbelalak. Dia tadi tak ikut campur tangan ketika pasukannya meroboh-robohkan orang Uighur. Mereka itu menang jumlah dan tanpa dibantupun pasti menang. Tapi begitu muncul orang-orang berkedok hitam ini dan jumlah mereka seimbang dengan anak buahnya, hampir seratus orang maka Ramba atau laki-laki tegap itu bergerak. Dia mencabut tujuh pisau kecil dan sekali ayun tiba-tiba tujuh buah pisau itu menyambar bagai pisau-pisau terbang.

Hebatnya tujuh pisau itu dapat memecah ke tujuh jurusan dan tujuh orang yang melarikan kerangkeng tiba-tiba diburu pisau-pisau ini, pisau maut. Dan ketika benar saja teriakan susul-menyusul terdengar di situ dan tujuh orang itu roboh, kerangkeng berdentam keras maka maksud melarikan tawanan menjadi gagal dan orang-orang berkedok hitam yang lain terkejut.

“Selamatkan Hu-ongya. Balas kematian teman-teman kita!”

Ramba mendengus. Belasan orang tiba-tiba meluruk dan suasanapun menjadi gempar. Penonton atau rakyat kecil yang tadi menonton tiba-tiba buyar berantakan. Tempat itu sudah menjadi arena adu jiwa dan orang-orang kecil ini tentu saja lari tunggang-langgang. Mereka harus menyelamatkan diri kalau tak mau menjadi korban. Dan ketika Ramba menggerakkan pisaunya lagi dan tujuh dari sebelas orang itu roboh, menjerit, maka pembantu raja yang sigap dan kiranya berkepandaian tinggi ini sudah menyambut yang lain dan mencabut trisula menghadapi empat lawan yang datang menggeram.

Mereka itu adalah lawan-lawan yang dapat menyelamatkan diri dari sambaran pisau-pisau Ramba, karena pembantu Cucigawa ini sudah mencabut pisau-pisaunya yang lain lagi namun mereka dapat menangkis, mementalkan atau meruntuhkan pisau-pisau itu. Dan ketika mereka menerjang dan Ramba terkejut karena lawan-lawan yang dihadapi ini ternyata memiliki gerakan ringan dan tangkas seperti kijang maka laki-laki itu sudah dikeroyok sementara raja menjepretkan panah karena sudah di serang pula.

Terjadilah pertarungan mati hidup. Para pengiring atau pasukan raja ternyata menghadapi lawan yang imbang. Orang-orang bersaputangan hitam itu ternyata seperti perajurit-perajurit terlatih. Mereka memiliki kepandaian memainkan tombak atau golok, gagah dan ringan dan itu menandakan bahwa mereka bukan orang-orang biasa saja. Dan ketika dua pihak mulai bergelimpangan dan Cucigawa mrngusir musuh-musuhnya dengan jepretan gendewa maka raja terkejut ketika melihat bahwa musuh-musuh yang telah dirobohkannya itu adalah orang-orang dari bangsa U-min juga, sebagian perajurit-perajuritnya sendiri!

“Keparat, pemberontak jahanam. Kiranya pengkhianat!”

Raja gusar sekali. Kiranya orang-orang itu adalah perajurit-perajuritnya juga, entah di bawah pimpinan siapa. Tapi ketika dia membidik-bidikkan panahnya sambil memaki-maki mendadak berkelebat sesosok bayangan lain dengan gendewa di tangan.

“Cucigawa, sudah waktunya kau turun tahta. Maaf, turunlah!”

Cucigawa terkejut. Gendewa itu menyambarnya dan tentu saja dia menangkis. Lawan serasa dikenalnya tapi suara di balik saputangan hitam itu agak sengau terdengarnya, dia marah dan membentak. Dan ketika gendewa dipentalkan tapi terus menghantam kudanya maka kuda itu meringkik dan roboh dengan sebelah kaki hancur.

“Dess!” Cucigawa terlempar. Dalam keadaan seperti itu setiap orang harus menghadapi lawannya sendiri. Dia dan pasukannya tak menduga bahwa akan muncul kian banyak orang-orang berpakaian hitam, yang jumlahnya sama dengan pasukannya sendiri. Maka begitu kaki kudanya dihantam hancur dan kuda itu tentu saja meringkik-ringkik, roboh, tak dapat dipakai, maka Cucigawa yang berjungkir balik dan terlempar dari atas kudanya segera memaki dan menyumpah-nyumpah.

Lawan dipentalkan gendewanya tapi cerdik dan licik lawannya itu malah menghajar kaki kudanya, hancur dan tentu saja Cucigawa tak duduk lagi di atas kudanya. Dan ketika raja tinggi besar itu melayang turun dan gendewa bergetar dengan hebat maka lawannya itu dibentak dan secepat kilat Cucigawa melepas sebatang anak panah.

“Wirr!” Lawan bergerak sama cepat. Panah yang menyambar disambut pula dengan sebatang panah yang lain, patah dan runtuh ke tanah. Dan ketika sri baginda terkejut karena lawan ternyata juga seorang ahli panah mengagumkan, dapat mengimbangi kecepatan panahnya maka raja sudah melepas tiga panah berturut-turut tapi semuanya runtuh disambar anak panah lawannya pula.

“Keparat!” Cucigawa membentak. “Kiranya kau, Sudi. Bedebah jahanam! Buka, topengmu itu dan jangan bersembunyi lagi!”

Laki-laki itu, ahli panah yang mampu mengimbangi raja tiba-tiba terkejut. Dia tampak tergetar dan tertegun sejenak, lengah ketika Cucigawa melepas lagi sebatang anak panahnya, yang tak sempat ditangkis dan menyerempet bahunya, karena untung dia cepat melempar tubuh ke kiri ketika anak panah itu berdesing. Dan ketika raja membentak lagi namun laki-laki itu sudah sadar, menggerakkan sebatang anak panahnya sendiri maka untuk ketujuh kalinya panah raja dipatahkan di tengah jalan.

“Trakk!” Sekarang Cucigawa membanting gendewanya. Berang dan marah bahwa lawan adalah Sudi, tangan kanannya sendiri nomor tiga setelah Ramba tiba-tiba raja tinggi besar ini membentak dan menubruk ke depan. Sekarang dia tahu dan tak ragu lagi bahwa si ahli panah itu adalah Sudi, karena memang hanya pembantunya itulah yang paling jempolan seimbang dengannya, dalam hal bermain panah. Maka ketika dia menubruk dan busurnya dibanting ke tanah, menerkam dan menyergap lawan bagai seekor biruang terluka maka laki-laki itu tak sempat mengelak lagi ketika ditubruk.

“Brett!” Dan wajah laki-laki itupun tampak. Cucigawa mendelik karena seorang laki-laki bertampang gagah tampak di depannya, laki-laki berumur empatpuluhan tahun berkulit coklat. Itulah Sudi yang sudah diduganya tadi. Dan ketika dia menubruk lagi namun lawan mengelak ke kiri maka raja memaki-maki lawannya ini.

“Bedebah, terkutuk kau, Sudi. Kau berkhianat dan menjadi pemberontak!”

“Maaf, sudah masanya aku melepaskan diri darimu, sri baginda. Hu-ongya telah datang dan kau harus menepati janjimu, Tapi kau mau membunuhnya, aku tak dapat mengikuti lagi sepak terjangmu!” dan laki-laki ini yang terus mengelak dan berkelit sana-sini dari tubrukan Cucigawa tiba-tiba terpeleset ketika tanpa sengaja kakinya menginjak bebatuan berlumut, diterkam dan terkejut karena Cucigawa melepas bogem mentahnya.

Mereka sama-sama tak bersenjata karena Sudi juga membuang gendewanya. Ternyata laki-laki ini adalah seorang jantan yang tak mau mempergunakan busurnya lagi begitu lawan membuang panahnya. Maka ketika dia terpeleset dan bogem mentah itu menyambar kepalanya, tak dapat dielak maka laki-laki ini terpelanting dan jatuh tersungkur.

“Dess!” Cucigawa tertawa menyeramkan. Tinju kanannya tadi cukup dahsyat hingga kepala harimau pun pasti pecah. Sudi pasti merasakan pening tapi hebat pembantunya itu, karena masih sanggup berdiri setelah bergulingan menjauhkan diri. Dan ketika dia menubruk lagi dan lawannya itu menangkis maka laki-laki gagah ini terhuyung dan selanjutnya terdesak mundur-mundur. 

Cucigawa ternyata laki-laki hebat dan raja tinggi besar itu seorang tukang berkelahi juga, karena bangsa U-min memang bangsa yang keras dan kehidupan mereka di tanah-tanah tandus mengharuskan menggembleng fisik, tak terkecuali juga rajanya ini.

Tapi ketika lawan terdesak dan terus mundur-mundur, sering menahan sakit ternyata di tempat lain para pengiring atau pasukan Cucigawa ini tak mampu membendung lawan-lawannya. Dua pihak memang jatuh korban tapi di pihak Cucigawa lebih besar. Tiga puluh di antara mereka sudah roboh sementara lawan baru belasan orang saja. Dan ketika pertandingan berjalan tak imbang karena pihak musuh mulai mendesak maka di saat itulah tiga bayangan hitam membantu pemimpinnya, Sudi.

“Bagus, maju kalian semua, cecunguk-cecunguk busuk. Dan lihat aku akan membunuh kalian tanpa ampun!” Cucigawa marah, membentak dan tiba-tiba mencabut golok lebarnya yang tadi membunuh Ma-twako. Dengan goloknya itu raja tinggi besar ini menyerampang pendatang-pendatang itu. Dan ketika mereka terpental dan harus mengakui kehebatan raja tinggi besar ini maka selanjutnya Cucigawa dikeroyok sementara desakannya terhadap Sudi menjadi tertahan.

“Terkutuk, bedebah jahanam! Kubunuh kalian... kubunuh kalian!”

Sudi dan tiga temannya tak menjawab. Meskipun mereka dapat menahan namun sesungguhnya kegarangan dan kebuasan lawannya itu menggetarkan mereka. Sudi sendiri akhirnya mencabut pedang pendek dan dengan senjatanya ini dia melawan bekas rajanya itu, membela Ituchi dan berkali-kali berseru bahwa raja harus meletakkan jabatan.

Karena Ituchi sudah datang dan pemuda itulah yang sebenarnya lebih berhak, karena kalau tanpa Ituchi tentu bangsa U-min sudah menjadi jajahan bangsa Tiongkok yang dulu mengalahkan mereka. Dan ketika raja mencak-mencak dan Cucigawa tentu saja marah bukan main maka anak-anak buahnya kembali roboh bergelimpangan sementara raja tinggi besar ini melirik Ramba untuk meminta bantuan.

Namun sial. Ramba, tangan kanannya nomor dua itu, ternyata menghadapi kerubutan sengit. Empat lawannya yang mengeroyok itu tak membiarkan pembantunya ini menekan. Ramba sudah mencabut trisulanya sementara empat lawannya bersenjatakan golok dan pedang, seorang di antaranya mempergunakan tombak. Dan karena keahlian Ramba dalam melempar pisau tak pernah diberi kesempatan lagi maka pembantu nomor dua dari Cucigawa itu harus menggeram-geram ketika lawannya mengurung dan berkelebatan lincah mengadakan perlawanan hebat.

Ramba beringas dan dua kali mau mencabut pisau, gagal dan dua kali pula dia harus mengelak dari bacokan pedang dan tusukan tombak, yang sengaja dilancarkan lawan agar dia tak sempat melempar-lempar pisau terbangnya itu. Dan ketika laki-laki ini juga kebingungan seperti rajanya, tak dapat mendesak dan saling bertahan maka saat itu juga pasukan mereka semakin habis dan tipis.

“Heii... panggil bala bantuan. Suruh, Horok datang!”

Teriakan raja tak mendapat sambutan. Cucigawa bermaksud memanggil Horok, panglimanya nomor satu di atas pembantunya nomor dua itu, Ramba. Tapi karena lawan mengepung dan kini orang-orang bersaputangan hitam itu tak memberi kesempatan kepada pengiring raja untuk melarikan diri maka seruan itu gagal dan anak buah raja tinggi besar ini bergelimpangan semakin habis.

Cucigawa menjadi gusar dan raja itu tiba-tiba melompat menyambar busurnya. Gendewa yang berat dan termasuk raksasa itu diayunkan tiga empat kali, memaksa empat lawannya minggir dan tak tahan oleh deru gendewa yang begitu dahsyat. Dan ketika semua mundur sementara raja tinggi besar ini berlari ke kiri maka dia sudah menghantam tujuh laki-laki berpakaian hitam untuk menolong dua perajuritnya.

“Awas!”

Teriakan itu tak sempat menolong. Gendewa sudah menderu dan tujuh laki-laki ini menjerit dihajar gendewa, dua di antaranya roboh dengan kepala pecah! Dan ketika Cucigawa mengamuk dan mengayun-ayun gendewanya lagi maka dua orang perajuritnya itu dapat keluar dan bebas dari kepungan.

“Cepat, naik kuda. Beri tahu Horok dan suruh datang ke mari!”

“Hamba sudah di sini!” sebuah seruan tiba-tiba menjawab. “Tak perlu khawatir, sri baginda. Hamba akan membunuh orang-orang ini dan silahkan paduka beristirahat....wherr!”

Lima tombak panjang tiba-tiba meluncur dari tangan seorang laki-laki berkulit hitam di atas kuda. Entah dari mana mendadak muncul laki-laki itu, disusul oleh orang-orang lain yang berteriak-teriak memacu kudanya. Dan ketika tombak-tombak itu menyambar dan satu di antaranya menuju ke pemegang golok, yang mengeroyok Ramba, maka terdengarlah jerit lima kali disusul tumbangnya lima tubuh yang berdebuk di tanah.

“Bles-bles-bles!”

Cucigawa tertawa bergelak. Horok, pembantunya utama, tiba-tiba muncul. Dalam saat yang begitu tepat tiba-tiba saja bala bantuan datang. Dan ketika limaratus pasukan berkuda datang dengan derapnya yang gemuruh maka orang-orang bersaputangan hitam kaget dan gelisah.

“Mundur, bawa cepat Hu-ongya...!”

Orang-orang itu sadar. Rupanya mabok dalam kemenangan tadi mereka lupa kepada tujuan utama. Ituchi, yang ada di kerangkeng, terlupakan. Tapi begitu mereka membalik dan mau mundur sekonyong-konyong puluhan panah menyambar mereka dan Horok panglima yang berkulit hitam itu melempar-lempar pula tombaknya.

“Aduh..!”

“Ough... ah!”

Gegerlah orang-orang bersaputangan hitam. Sekarang mereka terlambat dan empat yang mendekati kerangkeng tertembus anak panah. Cucigawa terbahak-bahak dan raja tinggi besar itu tiba-tiba menuding ke arah Sudi, lawannya. Dan ketika dia menjepret panah namun dibalas maka Horok tertegun melihat lawan rajanya itu, yang mampu bermain imbang.

“Dia Sudi, orang kita yang berkhianat!”

Horok tertegun. Sudi, laki-laki gagah itu, memang telah menutup kembali mukanya dengan saputangan hitam. Dia tak mau dikenal setelah Horok datang. Tapi begitu namanya disebut dan Horok melebarkan mata maka laki-laki ini berkelebat dan bersembunyi di balik sebuah batu besar.

“Mundur, semua bersembunyi. Lepaskan panah!”

Orang-orang bersaputangan hitam bergerak ke sana-sini. Agaknya mereka tiba-tiba sadar akan seruan itu, berlompatan dan sudah menghilang dengan cepat, bukan melarikan diri melainkan bersembunyi di balik batu-batu besar. Dan ketika mereka lenyap diganti serangan anak-anak panah maka Sudi pemimpin mereka telah menjepretkan tujuh panah sekaligus ke panglima Horok dan pasukannya.

“Awas, minggir...!”

Terlambat. Horok, panglima itu menggerakkan tombaknya untuk menangkis anak-anak panah. Dia memang gagah dan lihai hingga serangan panah dapat dirontokkan. Tapi anak buahnya yang ada di belakang dan kalah cepat tiba-tiba menjerit, terjungkal dan roboh oleh anak-anak panah yang diluncurkan Sudi.

Laki-laki gagah itu memang mahir melepas panah hingga hujan panah kemudian sudah susul menyusul, cepat mencari korban dan gegerlah pasukan Horok oleh serangan gelap yang tak dapat dihindarkan ini. Dan ketika orang-orang bersaputangan hitam lainnya juga mengikuti jejak pemimpin mereka dan pasukan itu diserang hujan panah maka Horok dan pasukannya kalang kabut.

“Minggir, semua mencari tempat perlindungan!”

Lima ratus pasukan berkuda akhirnya berserabutan ke sana-sini. Bukan mereka saja yang dihujani serangan panah melainkan juga kuda tunggangan mereka, yang meringkik dan segera roboh begitu terkena anak panah menyambar. Dan ketika Horok menggeram marah-marah sementara Cucigawa juga membanting-banting kaki maka raja tinggi besar ini bergerak dan sudah meloncat di atas punggung seekor kuda. Lalu begitu dia memekik dan membedal kudanya maka raja itu sudah mengitari orang-orang bersaputangan hitam sambil menjepretkan anak-anak panahnya pula.

“Mampus kau. Siluman terkutuk!”

Rombongan saputangan hitam kaget. Cucigawa sudah melepaskan anak-anak panahnya dan karena raja itu sama mahir dengan pemimpin mereka maka sekali jepret bukan hanya sebatang dua saja panah-panah yang menyambar melainkan tujuh sampai sembilan batang panah. Suaranya menderu dan terkejutlah lawan-lawannya karena tak menduga. Dan ketika mereka membalas namun raja menggerakkan gendewanya, meruntuhkan dengan sekali pukul maka anak buah Sudi kacau-balau dan berteriak satu per satu, roboh terjungkal.

“Berpencar, kalian jangan berkumpul!” Sudi, sang pemimpin, berseru dengan muka berobah. Dia menyerang anak buah lawan tapi raja sekarang balik menyerang anak buahnya sendiri. Tak pelak laki-laki ini menjadi pucat dan kaget. Dan karena Cucigawa adalah seorang raja yang mahir, bermain panah sementara lawannya adalah dia sendiri maka apa boleh buat laki-laki ini terpaksa keluar dan menjepretkan anak-anak panahnya ke arah raja tinggi besar itu.

Semua anak-anak panah yang menyambar anak buahnya diruntuhkan terlebih dahulu, raja terbelalak dan marah kepadanya. Dan ketika kuda dikeprak dan Cucigawa menghambur ke arah laki-laki itu maka pasukan di belakang mengikuti dan tiba-tiba saja kelompok bersaputangan hitam itu diserbu, sebelumnya sudah diobrak-abrik oleh raja tinggi besar yang gagah perkasa ini.

“Bunuh mereka. Bantai!”

Yang berseru itu adalah Ramba. Tadi laki-laki ini tertegun oleh munculnya rekannya Horok, yang merobohkan satu di antara empat orang lawannya. Dan ketika musuh berhamburan di balik batu-batu besar untuk menyerang dengan panah, sementara Horok dan pasukannya tak dapat membalas maka Ramba berteriak geram setelah musuh-musuhnya itu dipaksa keluar oleh rajanya. 

Cucigawa memang raja yang terkenal pemberani karena raja itu juga seorang tukang berkelahi. Ilmu memanahnya tinggi dan hanya Sudi itulah yang mampu menandingi. Selebihnya, raja menang tenaga dan laki-laki bertopeng hitam itu harus mengakui hingga tadi ia membiarkan saja tiga temannya datang membantu.

Tapi ketika keadaan menjadi kalut dan Cucigawa melepaskan anak-anak panahnya yang luar biasa, yang sebentar kemudian sudah merobohkan belasan orang anak buahnya maka laki-laki itu berteriak agar anak buahnya tidak bergerombol, berpencar tapi hal ini memaksa mereka keluar dari balik batu-batu besar, dikurung dan sudah dikepung limaratus pasukan berkuda yang tadi mengikuti jejek Cucigawa, bersembunyi atau berlindung di balik serangan-serangan raja tinggi besar itu untuk mencuri kesempatan. Maka begitu kesempatan itu terbuka dan Ramba menerjang memberi aba-aba maka orang-orang bertopeng hitam mengeluh dan berteriak ketika panah atau tombak serta lembing menyambar dada mereka.

Selanjutnya keadaan sungguh menyedihkan karena mereka menjadi mangsa yang empuk dari hujan serangan lawan. Masing-masing orang bersaputangan hitam harus menghadapi enam sampai tujuh orang pasukan Cucigawa, yang dipimpin Horok yang juga sudah menggeram dan menerjang maju didahului rekannya Ramba. Dan ketika keadaan berbalik tidak menguntungkan bagi orang-orang ini sementara lawan bertindak buas dan tidak berperasaan maka saat itu melesatlah sebuah bayangan dari dalam kerangkeng.

“Mundur... semua mundur. Biar aku dan paman Sudi menghadapi tikus-tikus busuk ini... des-des-dess!”

Semua orang terbelalak. Ituchi, pemuda yang tadi di kerangkeng mendadak “hidup” dan berkelebatan menyambar-nyambar. Pasukan berkuda yang mengepung dan mengeroyok anak buah laki-laki bertopeng hitam itu mendadak diangkat dan dibanting-banting roboh. Ituchi kiranya telah berhasil membebaskan diri dan tadi dalam usahanya sekian lama dia mendengarkan semua percakapan itu.

Mula-mula utusan dari pemimpin Uighur yang akhirnya dibunuh Cucigawa, lalu Sudi dan orang-orangnya yang menyerang Cucigawa. Dan ketika semua percakapan-percakapan itu didengar Ituchi dan pemuda ini tertegun mendengar nama itu, Sudi, sahabat mendiang ayahnya yang dahulu bahu-membahu membangun bangsa U-min maka pemuda ini mengerahkan tenaganya dan putuslah semua tali ikatan yang membelit tubuhnya.

Ituchi hampir gagal ketika tadi konsentrasinya terganggu, yakni ketika Cucigawa datang dan akan menangkapnya, mengambil alih dari orang-orang Uighur yang dibunuhnya itu. Tapi begitu dia sadar dan semua pertempuran didengarnya berkali-kali, nyaris mengguncang perasaannya lagi maka pemuda ini berhasil mengempos semangat dan sekali menggeram tiba-tiba tali ikatan di tubuhnya putus.

Saat itu kelompok bersaputangan hitam dibantai pasukan berkuda, Sudi laki-laki gagah itu sendiri sudah berhadapan dengan Cucigawa karena raja membentak dan menerjang dirinya, tak mau menyerahkan kepada orang lain karena raja tinggi besar itu marah sekali. Pengkhianatan pembantunya nomor tiga ini membuat Cucigawa mata gelap, menerjang dan menggerakkan gendewanya yang berat ke kepala lawan. Dan ketika lawan menangkis namun terjengkang, tenaga raja tinggi besar itu memang hebat maka Sudi terdesak hebat dan akhirnya hanya dapat bertahan sementara pasukannya mulai dibantai dan roboh satu per satu.

Tapi itu tidak lama. Ituchi, yang mendengarkan dan telah mengetahui semuanya ini tiba-tiba bergerak dan menjebol pintu kerangkeng. Gembok kerangkeng dihancurkannya dan pemuda putera Raja Hu ini mengamuk, berkelebat dan menyambar-nyambar orang-orang yang membunuh-bunuhi kelompok bersaputangan hitam itu. Dan karena Ituchi sudah pulih tenaganya dan pertikaian atau percekcokan itu memberinya banyak waktu untuk memulihkan diri maka begitu bebas ia seakan harimau tumbuh sayap yang baru saja dilepaskan dari kandangnya!

“Des-des-dess!”

Ituchi menghantam orang-orang berkuda itu. Ginkangnya yang tinggi dan gerakannya yang cepat bagai garuda menyambar-nyambar membuat orang-orang itu berteriak kaget dan terpelanting bergulingan. Putera Raja Hu yang bebas dan segera berkelebatan menangkap dan melempar orang-orang ini membuat pasukan berkuda kalut. Mereka menjerit dan terlempar bagai daun kering yang ditiup angin kencang. Dan ketika sebentar kemudian pasukan berkuda tunggang-langgang dan binatang tunggangan mereka sendiri meringkik dan jatuh bangun, kena pukulan pemuda ini maka orang-orang bersaputangan hitam bersorak karena bebas dari kepungan.

“Hidup Hu-ongya... hidup junjungan kita!”

Raja Cucigawa terkejut. Dia dan Horok serta Ramba sedang enak-enaknya mendesak lawan dan siap rnerobohkan. Sudi, pria gagah yang menghadapi Cucigawa itu sudah mandi keringat dan terhuyung-huyung. Pundaknya yang keserempet gendewa sudah dua kali mengucurkan darah. Lama-lama lelaki ini pasti terguling karena lutut pun gemetar tak keruan. Gebukan atau hantaman gendewa telah membuat pria itu pucat, hanya berkat tekad dan semangat bajanya saja dia masih mampu bertahan, meskipun tak lama lagi dapat dipastikan dia akan roboh di tangan lawannya yang gagah perkasa itu.

Tapi ketika Ituchi keluar dan tiga empat kali pemuda itu membuyarkan kepungan pasukan berkuda maka laki-laki ini berseri gembira dan tertawa bergelak. “Ha-ha, bagus, Ituchi. Tolong anak buahku itu dan basmi antek-antek jahat tersebut!”

“Keparat!” raja merah padam. “Kau tak dapat membuka mulutmu seenaknya, Sudi. Lihat dan rasakan ini... crep!” dan sebatang panah yang tiba-tiba dicabut dan dilempar Cucigawa, mempergunakan tangan tiba-tiba menyambar dan menancap di leher kiri laki-laki itu.

Lawan sedang tertawa ketika melihat bantuan Ituchi, lengah dan anak panah yang melesat dari tangan Cucigawa tak sempat dielak lagi. Maka ketika panah menancap dan laki-laki itu mengeluh, berteriak tertahan maka Cucigawa sudah menggerakkan gendewanya dan menghantam kepalanya ini. “Dess!” Sudi mencelat.

Gendewa itu menyambar cepat tapi bukan kepala laki-laki itu yang kena melainkan sebatang tangan yang ampuh, tangan dari seorang pemuda yang sudah berkelebat dan secepat kilat membentak raja tinggi besar itu, menendang Sudi hingga pria ini mencelat dan gendewa ditangkis sebatang lengan yang kokoh, yang membuat gendewa terpental dan balik mengenai kepala Cucigawa sendiri, yang menjerit dan malah terpelanting roboh! Dan ketika raja berteriak tertahan dan kaget meloncat bangun maka dia melihat Ituchi sudah berdiri di situ dan berapi-api memandangnya.

“Cucigawa, kau manusia curang. Licik dan jahat. Kau tak malu-malu mempermainkan utusan dan membunuhnya! Hm, apa lagi yang hendak kau lakukan sekarang? Kau mau membunuh dan melenyapkan aku?”

“Tit... tidak!” raja menggigil dan pucat. “Ak... aku tak bermaksud seperti kata-katamu tadi, Ituchi. Kita adalah saudara! Aku tak berniat seperti itu, kau keliru! Aku.... des!” dan raja yang mencelat oleh sebuah tendangan Ituchi tiba-tiba tak dapat meneruskan kata-katanya karena dengan marah Ituchi sudah berkelebat dan menghajar laki-laki yang dibencinya ini.

Cucigawa justeru mengaku saudara tapi sikap dan sepak terjangnya sungguh lain. Juga Cucigawa inilah yang dulu mengejeknya habis-habisan masalah ibunya itu, yang kawin dengan anak tiri dan menjadi olok-oloka Cucigawa, padahal bangsa U-min sudah biasa akan itu karena anak sulung berhak atas semua warisan ayah, termasuk isteri dan segala sesuatu dari ayahnya itu.

Maka ketika raja bicara tentang ini karena takut dan gentar kepadanya, sikap yang amat pengecut sekali dibanding dengan semua tingkah dan sepak terjangnya tadi maka Ituchi menendang dan rajapun terbanting jatuh bangun. Cucigawa berteriak dan tiba-tiba dia melarikan diri, tahu bahwa percuma dia bicara banyak karena Ituchi tentu akan semakin geram saja. Maka begitu meloncat bangun dan menjauhkan diri tiba-tiba raja yang tinggi besar ini sudah berteriak minta perlindungan.

Namun Ituchi bergerak lagi. Pemuda itu mendengus ketika lawan mencari perlindungan, berkelebat dan kembali menggerakkan kaki menendang hingga raja terjungkal. Dan ketika dua tiga kali Cucigawa bangun namun kembali dihajar maka melototlah dia mementang gendewanya.

“Mampus kau... keparat!”

Ituchi mengeluarkan suara dari hidung. Dengan mudah ia menyampok dan meruntuhkan panah Cucigawa, dipanah lagi tapi kini ditangkis dan panah terpental mengenai tuannya. Namun ketika raja menjerit dan mengaduh kesakitan mendadak Horok dan pasukannya menyerbu masuk.

“Ituchi, kau pemuda jahanam!”

Ituchi mengerutkan kening. Tentu saja dia mengenal baik pembantu utama lawannya ini, Horok si panglima yang gagah tapi licik, suka mengeroyok dan tiba-tiba berkelebat pula bayangan Ramba dari sebelah kanan, menusuk dengan trisulanya dan membokong secara gelap. Pasukan berkuda berderap maju karena dihardik panglima Horok itu, takut dan mau tak mau menyerang Ituchi yang menghajar rajanya. Tapi begitu Ituchi menggerakkan kedua tangannya ke muka belakang tiba-tiba saja Horok dan Ramba serta pasukannya terpelanting berteriak kaget.

“Aduh.... bres-bress!”

Kiranya Ituchi mempergunakan pukulan sinkang. Tenaga sakti pemuda itu yang bergerak dan mendorong lawan tiba-tiba tak sanggup pula dihadapi dua lawan utamanya itu. Trisula terpental sementara tombak di tangan Horok juga membalik, menusuk dan terpaksa dilempar panglima ini agar tak mengenai dadanya. Dan ketika Ituchi berkelebat dan tertawa mengejek maka selanjutnya pemuda itu sudah membagi-bagi pukulan dan tamparan ke arah lawan-lawannya itu, yang sudah melindungi dan membiarkan rajanya menyelamatkan diri.

“Des-des-dess!”

Horok dan anak buahnya terlempar ke kiri kanan. Mereka berteriak kaget tapi panglima ini berseru marah menyerang lagi, membentak anak buahnya dan panglima itu sendiri sudah meloncat naik ke atas kudanya untuk menyerang Ituchi di bawah. Ramba juga berbuat serupa dan sebentar kemudian Ituchi sudah dikeroyok. Dan ketika pemuda itu berkelebatan namun anak-anak panah yang besar dilepas Cucigawa maka Ituchi tiba-tiba dihujani serangan dari segala penjuru.

“Bantu Hu-ongya. Lepaskan anak panah!”

Sudi, laki-laki gagah itu tak tahan. Akhirnya pria ini sadar dan membentak teman-temannya untuk melindungi Ituchi. Dia sendiri segera melepaskan anak-anak panahnya untuk menangkis anak-anak panah Cucigawa. Laki-laki ini memang ahli panah jempolan. Dan ketika raja memaki-maki karena setiap panahnya selalu dipatahkan Sudi maka orang-orang bersaputangan hitam itu juga bergerak dan menyerang pasukan Horok ini.

“Biarkan saja, kalian tetap di luar. Aku dapat mengendalikan mereka!” Ituchi, yang berkelebatan dan menangkis sana-sini tiba-tiba berseru. Pemuda ini sudah menggerakkan tangannya ke segala penjuru dan terpentallah golok atau tombak yang dipegang lawan.

Pasukan berkuda tiba-tiba berteriak gaduh ketika Ituchi menangkap sebatang tombak, bergerak dan menusuk-nusuk paha tunggangan mereka sehingga kuda meringkik dan roboh tunggang-langgang, kesakitan. Dan ketika Ituchi mempercepat gerakannya dan ratusan orang itu dibuat jatuh bangun, tak sanggup melihat bayangannya lagi yang bergerak luar biasa cepat akhirnya Horok dan pasukannya mawut!

“Minggir, mundur semua...!”

Namun orang-orang bersaputangan hitam bergerak. Justeru ketika lawan membalik dan mau melarikan diri maka di saat itulah mereka melepas anak-anak panah mereka. Dari dalam Ituchi meroboh-robohkan musuh sementara dari luar orang orang bersaputangan hitam itu menyerang dengan panah, kontan membuat pasukan berkuda itu terjungkal dan robohlah mereka satu per satu. Dan ketika semua kalut dan orang-orang bersaputangan hitam bersorak riuh maka Ituchi sudah membanting panglima Horok yang baru saja menggerakkan tombaknya untuk menusuk dari samping.

“Bress!” Panglima itu mengaduh bagai dibanting gajah. Dia melempar tubuh bergulingan dan Ituchi berkelebat ke arah Ramba, yang membokong dan tiba-tiba menggerakkan trisulanya untuk menyerang dari jauh. Dan ketika laki-laki itu juga berteriak dan roboh terlempar maka selanjutnya pasukan Cucigawa itu berserabutan mencari selamat sendiri-sendiri.

“Kejar Cucigawa, tangkap dia!”

Namun Cucigawa menghilang. Raja tinggi besar itu akhirnya melarikan diri setelah melihat keadaan tidak menguntungkan. Horok dan Ramba juga bergerak meninggalkan pasukan dengan meloncat di atas kuda, merampas kuda anak buahnya. Dan ketika orang-orang bersaputangan hitam mengejar namun kalah cepat, musuh melarikan diri di atas kudanya maka Ituchi akhirnya dikerubung orang-orang bersaputangan hitam itu, yang kini menjatuhkan diri berlutut.

“Kami gembira bahwa pangeran selamat. Selamat datang, pangeran, dan terima kasih atas bantuan paduka!”

“Hm, mana ibu?” Ituchi membangunkan laki-laki gagah perkasa itu, Sudi. “Aku datang untuk menengok ibuku, paman, di samping memang hendak membuat perhitungan dengan Cucigawa itu. Bangkitlah, dan ceritakan bagaimana kalian tiba-tiba bisa berada di sini semua!”

“Kami belum semua,” laki-laki itu berseru, gagah dan penuh semangat. “Masih ada seribu orang lain di dalam kota, pangeran. Tapi tak berani bergerak karena duaribu lebih pasukan Cucigawa masih lebih kuat!”

“Hm-hm, aku tahu itu. Tapi ceritakan bagaimana paman bisa berada di sini, dan lepaslah semua topeng-topeng di wajah kalian itu!”

Sudi mengangguk. Akhirnya laki-laki ini bercerita bahwa kabar kedatangan pemuda itu sudah didengar semua orang. Datangnya utusan bangsa Uighur sudah cepat menyebar ke mana-mana, mereka mendengarkan dan tentu saja terkejut. Maklum, Ituchi dikabarkan datang sebagai tawanan. Maka ketika Cucigawa datang menyambut sementara pasukannya dibawa sebagian saja, percaya bahwa Ituchi tak dapat berkutik maka Sudi memimpin pasukan secara diam-diam.

“Kami berjumlah seribu orang lebih sedikit, masih kalah banyak dengan pengikut Cucigawa yang duaribu orang. Tapi karena kami berbekal tekad dan pengabdian kepadamu maka kami tak takut menentang bahaya, pangeran. Dan kami siap mati untuk menyelamatkan dirimu. Sungguh tak kami sangka kalau kamilah yang malah kau selamatkan!”

“Hm, aku mendapat kesempatan ketika kalian bertanding. Kalau tidak, barangkali juga tidak. Ini semua karena pertolongan Yang Mahakuasa juga. Sudahlah, aku ingin bertemu ibuku, paman, dan juga kedua adikku. Aku ingin ke kota dan setelah itu kita mencari Cucigawa!”

“Dan kita taklukkan pengikut-pengikut Cucigawa di dalam kota. Kita serang mereka!”

“Baik, tapi kalau mereka mau menyerah jangan diserang, paman. Betapapun mereka adalah saudara-saudara kita juga. Mari, kita berangkat!”

Namun ketika Ituchi memasuki kota dan disambut rakyat banyak, yang mengelu-elukannya ternyata pengikut Cucigawa yang disangka masih ada di situ sudah tidak ada lagi. Sedikit pertumpahan darah terjadi di sini, yakni antara pengikut-pengikut Cucigawa dengan orang-orang yang diam-diam bersimpati kepada Ituchi. Tapi ketika Cucigawa dikalahkan dan pasukannya melarikan diri maka orang-orang itu juga melarikan diri dan meninggalkan sedikit bekas-bekas pertempuran yang tidak berjalan lama.

Ituchi dielu-elukan rakyatnya dan kiranya mereka itu sudah lama menanti-nantikan pemuda ini. Cucigawa berwatak kejam dan kesewenang-wenangannya dalam mengambil anak isteri orang membuat rakyat membencinya, meskipun raja itu cukup memperhatikan kesejahteraan rakyatnya dalam sandang pangan. Tapi ketika Ituchi diarak ke tempat ibunya, yang tak sabar ingin ditemui tiba-tiba jerit dan tangis menyambutnya di sini.

Cao Cun, wanita yang masih memiliki bekas-bekas kecantikan yang hebat itu tiba-tiba mengguguk dan menubruk puteranya. Ituchi terkejut dan mendelong, dia tak tahu apa yang terjadi. Tapi ketika ibunya bercerita bahwa dua adiknya perempuan dibawa pengikut-pengikut Cucigawa, dengan paksa dan biadab maka pemuda ini menggigil.

“Nangi dan Salini dibawa orang-orang berkuda itu. Adikmu dipaksa. Aduh, tolong, Ituchi. Aku... aku tak dapat mencegah mereka orang-orang yang biadab itu!”

“Hm!” Ituchi sejenak terguncang. “Kapan dibawanya, ibu? Sudah lamakah?”

“Kira-kira sejam. Aku berteriak-teriak tapi tak dapat menolong adikmu itu!”

Ituchi mengeretuk gigi. Dia girang melihat ibunya selamat tapi tiba-tiba dibuat merah mendengar dua adik tirinya perempuan diculik orang-orangnya Cucigawa. Mereka pasti akan dijadikan sandera. Itu pasti. Dan karena Ituchi harus menolog dua adik perempuannya itu dan apa boleh buat harus meninggalkan ibunya dulu, tak dapat melepas rindu dalam keadaan seperti itu maka dia berpamit untuk pergi sebentar.

“Aku akan mengejar, dan biar ibu tinggal dulu di sini. Baiklah, jangan khawatir ibu, aku akan membawa kembali adik-adikku itu!”

“Tapi...” Sudi tiba-tiba berseru, bingung. “Paduka baru datang, pangeran. Sebaiknya serahkan saja kepada hamba dan hamba yang akan mengejar!”

“Hm, kau bilang sendiri bahwa anak buahmu kalah banyak, paman Sudi. Membiarkanmu mengejar Cucigawa tentu akan mengantarkan nyawa sia-sia. Tidak, kau boleh ikut tapi harus aku sendiri yang memimpin!”

“Ah, kalau begitu terserah...” dan laki-laki gagah ini yang tak dapat membantah lagi lalu menyiapkan orang-orangnya lagi untuk mengejar pasukan Cucigawa. Sekarang mereka berada di kota dan mereka pun gampang mencari kuda.

Semua sudah siap berangkat ketika Cao Cun tiba-tiba menggigil memanggil puteranya. Dan ketika Ituchi mendekat dan dipeluk ibunya maka ibunya itu bertanya bagaimana dengan menantunya. “Mana Mei Hoa, kenapa kau sendiri. Tidak ada apa-apa dengannya bukan, Ituchi? Kalian tak bertengkar dan kini berpisah, bukan?”

“Tidak,” Ituchi menggeleng. “Aku dan Mei Hoa justeru bersama-sama ke sini, ibu, tapi di tengah jalan aku menemui halangan. Ah, aku dijebak orang-orang Uighur. Aku ditangkap. Tapi sudahlah, nanti saja aku bercerita setelah kembali membawa adik-adikku!”

“Dan... dan Pendekar Rambut Emas?” wanita itu berkaca-kaca. “Kau tak pernah ke tempatnya, anakku? Kau tak bertemu dengan pendekar itu?”

“Hm,” Ituchi menarik napas panjang. “Aku sibuk di kota raja, ibu. Membereskan urusan peperangan yang lalu. Aku belum sempat...”

“Dan setahun sudah kau menikah! Ah, apakah ibumu belum mendapatkan cucu, anakku? Kalian masih saja berdua?"

Ituchi terkejut, merah mukanya. “Kami, hmm.... Mei Hoa sudah hamil. Kau akan mendapatkan cucu, ibu. Menantumu itu sudah berbadan dua!”

“Ah, syukur kalau begitu. Terima kasih kepada Yang Maha Agung. Ooh, syukur, anakku.... syukur. Aku mendambakan sekali cucu laki-laki sebagai penerus dirimu! Aku... aku semalam bermimpi buruk, Kau dipanggil ayahmu!”

“Ibu...!”

Cao Cun menangis terkejut. Tiba-tiba wanita ini merasa kelepasan bicara dan semua yang mendengar berobah mukanya. Mimpi seperti itu tak baik, firasat perginya sang putera. Tapi ketika Ituchi tertawa dan menepuk-nepuk pundak ibunya, menganggap mimpi hanyalah kembang tidur maka pemuda itu berkata,

“Ibu, maafkan aku. Aku tidak bermaksud membentakmu. Ah, sudahlah. Nanti kita bertemu lagi dan ini bunga mawar untukmu. Simpanlah, sampai aku datang lagi!” Ituchi tiba-tiba mengeluarkan sekuntum bunga mawar, memberikannya kepada sang ibu dan Cao Cun tersedu menubruk puteranya itu, tersedak berkata agar sang putera berhati-hati. Dan ketika Ituchi mengangguk dan melepaskan diri maka pemuda itu mencium ibunya dan berangkat pergi.

* * * * * * * *

“Lepaskan... lepaskan aku, jahanam keparat. Kalian perajurit-perajurit tak tahu malu. Lepaskan aku atau nanti kalian kubunuh!”

Dua orang gadis meronta-ronta sambil berteriak-teriak dan menangis di atas pundak seorang perajurit yang memanggul mereka. Mereka menggigit dan menyepak-nyepak tapi kuda terus dipacu kencang, di belakang berderap pula ratusan berkuda lain yang melarikan kudanya bagai orang-orang kesetanan.

Itulah pasukan Cucigawa yang ada di dalam kota, pergi dan meninggalkan kota setelah mendengar kekalahan rajanya, datangnya Ituchi dan memberontaknya panglima Sudi, yakni pembantu nomor tiga dari raja Cucigawa yang diam-diam tak senang kepada rajanya. Dan ketika pengikut Sudi juga bergerak dan mulai menyerang mereka, bangkit semangatnya oleh kemenangan Ituchi maka pasukan Cucigawa itu buru-buru angkat kaki sebelum Ituchi dan panglima Sudi datang.

Dua gadis yang mereka panggul itu adalah Salini dan Nangi, adik-adik tiri Ituchi dari mendiang Cimochu, yakni putera sulung mendiang Raja Hu yang berhak atas warisan ayahnya termasuk Cao Cun, ibu tirinya sendiri. Dan karena adat bangsa itu memang mengharuskan begitu dan dari perkawinan dengan anak tirinya ini Cao Cun melahirkan dua orang puteri maka Nangi dan Salini hidup dan berkembang di tengah-tengah suku bangsanya yang berwatak aneh itu.

Mereka sedang bersama ibunya ketika tiba-tiba pintu kamar didobrak. Belasan perajurit masuk dan dua di antaranya langsung menyambar kakak beradik ini, yang lain mau menyambar Cao Cun tapi tiba-tiba dari belakang muncul bentakan-bentakan dan bayangan perajurit-perajurit lain. Cao Cun bengong dan terkejut, tak mengerti apa yang terjadi dan kenapa perajurit dengan perajurit tampaknya sedang kejar-kejaran. Yang di depan menyambar puteri-puterinya sementara yang di belakang membentak dan menyerang perajurit-perajurit di depan ini.

Cao Cun mengenal mereka sebagai sama-sama pasukan Cucigawa, jadi aneh kalau mereka bermusuhan sendiri. Tapi ketika para perajurit itu saling serang dan yang menyambar puterinya sudah melarikan diri ke pintu yang lain maka Cao Cun mendengar teriakan bahwa puteri-puterinya itu diculik.

“Awas, harap ibu suri menyingkir. Mereka menculik anak-anakmu!”

“Benar, dan selamatkan diri, ibu suri. Kami anak buah panglima Sudi yang melawan anak buah panglima Horok. Pangeran Ituchi datang, bersembunyilah!”

Cao Cun terbelalak dan menggigil. Wanita berusia empat puluhan tahun yang masih cantik dan bertubuh semampai ini tiba-tiba bingung dan gugup mendengar semuanya itu. Mula-mula bahwa anak-anaknya diculik. Lalu bahwa puteranya yang gagah, Ituchi, datang. Ah, harus bergembira atau susahkah dia? Mana yang lebih dulu datang? Tapi ketika mendengar jerit Salini yang menyepak dan meronta-ronta di pondongan perajurit itu tiba-tiba Cao Cun berteriak dan mengejar menyambar palang pintu.

“Hei, lepaskan puteriku.... buk!” perajurit itu roboh, tepat dikemplang palang pintu tapi temannya yang lain tiba-tiba membentak dan menendang Cao Cun. Wanita itu berteriak ketika terbanting, bangun dan mau mengejar lagi tapi hiruk-pikuk di kamar yang sempit membuatnya kehabisan jalan.

Puluhan orang yang tiba-tiba ribut dan baku hantam di kamarnya itu tiba-tiba membuat kamar yang sebenarnya luas menjadi sempit, begitu sempit hingga bernapaspun rasanya sukar! Dan ketika wanita ini terdorong ke sana ke mari oleh ulah perajurit yang baku hantam maka Nangi dan kakaknya sudah dibawa kabur oleh penawannya yang cepat naik ke atas kuda, yang rupanya sudah disiapkan di luar.

“Herr... hyehh!”

Cao Cun terbelalak dan melotot. Dia hanya dapat memandang semuanya itu sambil mendengar teriakan puteri-puterinya. Tempat mereka tiba-tiba sudah penuh oleh perajurit dan ringkik kuda. Kekacauan besar tiba-tiba terjadi. Dan ketika sebatang tombak meluncur dan hampir saja mengenai dadanya maka wanita ini ditarik seseorang hingga roboh bergulingan.

“Maaf, tempat ini berbahaya. Harap ibu suri bersembunyi. Hamba anak buah panglima Sudi!”

Cao Cun tak dapat berkata-kata. Pucat dan ngeri oleh sambaran tombak yang nyaris menembus dadanya tadi wanita ini mengeluh panjang pendek dibawa lari perajurit yang menyelamatkannya itu. Cao Cun hampir tak bertanya apa-apa lagi kecuali menangis. Jerit dan teriakan puterinya itu akhirnya lenyap, kalah oleh ringkik dan gemuruhnya kuda. Dan ketika wanita itu disembunyikan di semak-semak belukar sementara perajurit di sampingnya itu menjaga dan mencekalnya erat-erat maka Nangi dan kakaknya sudah dibawa keluar kota dan menjerit-jerit di sana.

Dua kakak beradik ini berteriak-teriak. Mereka marah dan menggigit sana-sini sampai akhirnya ditempeleng, mengeluh dan hampir saja terlempar dari atas kuda saking marahnya perajurit itu pula. Tapi ketika mereka tetap mengadakan perlawanan dan perajurit yang menawan menjadi gusar maka sebuah pukulan akhirnya membuat kakak beradik itu pingsan.

“Dess!” Tengkuk yang dijadikan sasaran ini akhirnya membuat Salini dan adiknya roboh. Mereka mengeluarkan keluhan pendek dan selanjutnya diam, terkulai dan perajurit-perajurit berkuda itu membawanya lari dengan lega. Secara kurang ajar mereka meremas-remas tubuh yang sintal ini. Nangi dan kakaknya memang berkembang sebagai gadis-gadis remaja yang padat dan penuh daya tarik. Tapi ketika pasukan berkuda itu memasuki hutan dan siap mencari Cucigawa, rajanya, mendadak di pinggir hutan muncul seorang pemuda berkaki buntung yang terkekeh-kekeh.

“Heh-heh, ada keramaian. Ah, ada dua gadis remaja pula. Cantik-cantik, dan menggairahkan! Ah, berhenti, perajurit-perajurit. Berhenti dan jangan meneruskan perjalanan!”

Pasukan berkuda itu terbelalak. Entah dari mana tiba-tiba saja muncul pemuda yang aneh itu, berdiri dan sudah memalangkan tongkat yang ada di tangan. Tongkat itu tadi dipergunakan untuk penopang tubuh pengganti kaki yang buntung, kaki sebelah kiri. Dan ketika dia menggerakkan tongkat itu dan berdiri sebelah kaki, maka aneh dan luar biasa sekali tiba-tiba angin yang dahsyat menahan puluhan kuda yang sedang berlari kencang.

“Heii.... bres-bress!”

Pasukan berkuda kalang-kabut. Mereka berteriak dan kaget satu sama lain karena tunggangan mereka tiba-tiba meringkik dan tak dapat meneruskan larinya. Binatang-binatang tunggangan itu seakan menabrak dinding tak kelihatan dan yang belakang otomatis menabrak yang depan, gaduh dan riuh dan terpelantinglah penunggangnya karena kuda-kuda mereka tiba-tiba mengangkat kedua kaki depan tinggi-tinggi hingga nyaris tegak dalam posisi sembilan puluh derajat. Dan ketika tumbuk-menumbuk terjadi di antara orang-orang ini dan puluhan orang roboh tunggang-langgang maka Salini dan Nangi yang juga terlempar dari tangan penculiknya sudah mencelat dan siap terbanting ke tanah.

Namun ajaib. Pemuda yang bertongkat itu, yang memalangkan tongkatnya di depan dada tiba-tiba menggerakkan tongkat ke kanan. Nangi dan kakaknya yang terlempar ke sini tiba-tiba tersedot, tak sampai terbanting dan sudah melayang ke tangan pemuda ini. Dan ketika si buntung tertawa-tawa dan menangkap dua gadis itu maka Nangi dan Salini selamat tak sampai terbanting.

“Ha-ha, cantik dan segar. Harum..!”

Para perajurit terbelalak. Mereka sudah meloncat bangun dan melotot menyaksikan “ilmu sihir” itu. Dengan mata telanjang mereka melihat betapa tawanan-tawanan mereka dihisap, terbang dan ditimang-timang pemuda berkaki buntung itu, yang entah siapa. Tapi karena mereka sudah disakiti dan pemuda itu juga merampas tawanan, satu hal yang kurang ajar maka perajurit-perajurit itu tiba-tiba berteriak dan membentak maju.

“Lepaskan gadis itu...!”

Si pemuda mengerutkan kening. Tiga belas orang tiba-tiba menerjang, mereka mengayun golok dan tombak. Yang ada di depan malah menusuk dengan lembing yang ujungnya kehitaman, tanda penuh racun. Tapi ketika pemuda itu tertawa dan berkelebat ke atas, lenyap, tiba-tiba semua perajurit itu berteriak satu sama lain karena senjata-senjata mereka bertemu sendiri.

“Aihh.... cring-crangg!”

Tiga belas orang itu bertumbukan. Mereka tentu saja kaget karena tahu-tahu kehilangan lawan. Si buntung lenyap dan entah berada di mana. Tapi ketika terdengar tawa yang aneh dan teman-tenan di belakang berseru memperingatkan mendadak pemuda itu muncul lagi dan kakinya bergerak ke sana ke mari menghadiahi tendangan.

“Ha-ha, pergilah!”

Orang-orang itu mencelat. Dua penusuk lembing malah berteriak ngeri karena lembingnya membalik, menancap dan menusuk perut mereka sendiri karena ditendang begitu keras. Dan ketika yang lain-lain menjadi pucat dan bergulingan ke sana-sini maka pemuda itu sudah berdiri lagi di tengah-tengah mereka, mata dan tangannya mengusap-usap tubuh dua kakak beradik itu, yang masih pingsan.

“Ah, kalian tak usah ribut-ribut. Serahkan bunga-bunga yang harum ini kepadaku!”

Puluhan orang itu terkejut. Sebelas teman mereka yang merintih-rintih dan dua yang tewas karena senjata makan tuan jelas membuat pasukan berkuda itu kaget. Tapi ketika si pemuda berjalan terpincang dan memasuki hutan, tertawa-tawa membawa tawanan mendadak mereka yang sudah meloncat di atas kudanya serentak bergerak dan menerjang.

“Serbu, bunuh pemuda itu!”

Puluhan orang berderap. Sekarang mereka sadar bahwa pemuda ini adalah musuh, musuh yang amat lihai karena tigabelas kawan mereka roboh begitu mudah, sekali gebrakan saja. Namun karena mereka berjumlah banyak dan di belakang masih ada lagi, ratusan orang, maka mereka membentak dan isi hutan tiba-tiba menjadi gaduh dan tergetar oleh bentakan atau teriakan mereka. Pemuda ini diterjang dan puluhan ekor kuda melesat dengan cepat.

Pemuda buntung itu masih tertawa-tawa dan tampaknya tidak tahu akan ini, atau barangkali tidak menghiraukan. Tapi ketika orang-orang itu sudah dekat dengannya dan tombak atau lembing berhamburan menyambar mendadak dia menggerakkan tongkatnya itu dan tanpa menoleh semua senjata sudah ditangkis patah.

“Trak-trak-trakk!”

Orang-orang ini menjerit. Mereka bukan saja patah-patah senjatanya melainkan juga terpelanting dan jatuh dari atas kudanya, tak kuat oleh gerakan tongkat di tangan si pemuda yang tiba-tiba terasa begitu dahsyat hingga telapakpun pecah-pecah berdarah. Dan ketika pemuda itu tertawa dan meneruskan langkahnya, masih menciumi dan menggerayangi tubuh Nangi dan kakaknya maka barisan berkuda lain menyerbu dan menyerangnya dari belakang.

Tapi ajaib, pemuda itu hanya menggerakkan tongkat ke belakang dan jatuh bangunlah pasukan berkuda itu. Mereka tunggang-langgang dan menjerit dengan senjata patah-patah. Kuda mereka meringkik dan ada yang roboh pula, jatuh menindih tuannya dan tentu saja keadaan itu menggemparkan. Tapi ketika pasukan panah bergerak maju dan menyerang muda ini maka pemuda itu berkelebat dan tiba-tiba menghilang.

“Kalian tak tahu diri, harus dihajar!”

Pasukan terbelalak. Untuk kedua kalinya lagi mereka melihat lawan bergerak begitu cepatnya, seperti siluman. Dan ketika mereka tertegun dan berseru kaget, tak tahu di mana pemuda itu mendadak serangkum angin menyambar anak-anak panah yang tadi menyambar pemuda itu dan “terbang” ke arah pasukan berkuda ini.

“Awas!”

Terlambat. Tujuh puluh orang yang melepas panah tiba-tiba menjadi korban. Mereka itu tadi memanah si pemuda tapi menyambar angin kosong, ada yang anak panahnya runtuh ke tanah dan ada pula yang menancap di pohon. Tapi begitu serangkum angin itu menyambar dan anak-anak panah yang menancap di pohon tiba-tiba “hidup” dan terbang menyambar mereka maka puluhan orang ini berteriak dan tewas terkena anak-anak panahnya sendiri.

“Kejam! Keji...!”

Pemuda itu tertawa. Sekarang pasukan menjadi gentar dan dia muncul lagi. Kiranya menggerakkan tongkatnya dari balik sebatang pohon maka pemuda itu telah meniup semua anak-anak panah hingga menyambar tuannya masing-masing. Itulah kepandaian yang mendirikan bulu roma. Dan ketika orang-orang itu tertegun dan terbelalak memandang, tak berani menyerang maka dari dalam hutan tiba-tiba terdengar derap kaki kuda yang menggetarkan dan muncullah Cucigawa bersama para pembantunya yang melarikan diri.

“Togur...!”

Seruan itu mengejutkan banyak orang. Pasukan berkuda yang roboh dan tak berani menyerang pemuda ini lagi mendadak tersirap darahnya mendengar seruan raja mereka itu. Cucigawa muncul dengan kudanya yang tinggi besar dan pemuda buntung yang disebut namanya itu bersinar matanya.

Dia sendiri sudah membalik dan menghadapi hutan, bertemu dengan rombongan baru itu yang dipimpin Cucigawa, yang sudah mendekat dan berderap dengan langkah-langkah yang cepat. Dan ketika Cucigawa kembali berseru dan menyebut nama pemuda itu, meloncat turun dan berlari menghampiri si pemuda maka pasukan berkuda bengong melihat raja mereka tertawa bergelak dan kemudian menjatuhkan diri berlutut!

“Ah, selamat bertemu, Siauw-ong. Selamat berjumpa dan baik-baik saja!” dan menghardik pasukannya untuk berlutut, memberi hormat, maka raja itu berseru, “Kalian semua buta. Inilah Siauw-ong (raja muda) yang pernah melindungi dan memimpin kita. Heii, kalian berlutut dan cepat turun dari atas kuda....!”

Oops!
It seems there is something wrong with your internet connection. Please connect to the internet and start browsing again.
AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.