RAJAWALI MERAH
JILID 04
KARYA BATARA
“BUNUH antek Hok-ciangkun ini. Bunuh pemuda ini..!”
Ituchi berkelebat. Tiba-tiba pemuda itu bergerak karena puluhan lawan tiba-tiba sudah mengikuti gerakan si Karum itu, menerjang dan menyerang dirinya dan Ituchi marah. Dia disebut sebagai antek Hok-ciangkun, sebutan yang membuat pemuda ini gusar karena tentu saja itu penghinaan baginya. Maka begitu lawan bergerak dan Karum menusuk paling depan, tak takut meskipun giginya sudah rontok tiba-tiba Ituchi ingin menghajar lebih keras lagi kepada laki-laki yang dianggap tak tahu diri ini.
“Dess!” Karum mencelat. Laki-laki itu langsung menjerit dan terlempar roboh ketika ujung baju Ituchi mengenai pelipisnya. Tombak di tangan laki-laki itu patah karena Ituchi sudah mendorong dan mengibas senjata panjang itu. Lawan seketika roboh dan pingsan, Ituchi menambah tenaganya meskipun lawan tidak sampai tewas, karena betapapun Ituchi tak mau melakukan pembunuhan. Tapi begitu yang lain bergerak menyusul dan lembing atau tombak digerakkan tangan-tangan yang kuat maka Ituchi harus berkelebatan dan menangkis atau mengelak hujan serangan itu, tak melihat lawan jerih atau gentar setelah Karum dirobohkan.
Orang-orang Uighur itu justeru merasa marah dan gusar melihat pemimpin mereka mencelat. Dan karena Ituchi dianggap antek Hok-ciangkun sementara panglima itu sudah terlanjur dibenci dan tak disukai orang-orang Uighur ini maka selanjutnya orang-orang itu berteriak bagai kesetanan ketika menyerang pemuda ini. Ituchi menampar atau menendang lawan-lawannya tapi roboh satu maju dua, roboh dua maju empat. Dan ketika pekik gegap-gempita membahana di padang rumput itu sementara Ituchi harus berkelebatan dan kian cepat saja bergerak tiba-tiba dari dalam muncul pasukan berkuda yang berderap dengan jumlah ribuan. Pasukan Uighur!
“Berhenti! Mundur kalian, berhenti...!”
Orang-orang Uighur itu terlanjur kesetanan. Mereka memang telah meniup terompet kerang ketika tadi Ituchi melempar-lempar mereka. Puluhan orang yang terpaksa dirobohkan pemuda ini akhirnya jerih meskipun tak bermaksud mundur. Mereka akan bertempur sampai titik darah penghabisan. Orang-orang Uighur memang dikenal gagah dalam peperangan. Maka begitu lawan dirasa tangguh dan mereka memanggil bala bantuan maka pasukan Uighur yang ada di dalam segera bergerak dan keluar.
Mereka itu mendengar pekik dan teriakan teman-teman mereka yang roboh dilempar Ituchi, mengira Hok-ciangkun datang bersama pasukannya. Maka begitu melihat bahwa yang dihadapi hanyalah seorang pemuda tinggi besar yang gagah tapi tak dikenal tiba-tiba mereka tertegun tapi teman-teman mereka segera berteriak bahwa ini adalah antek Hok-ciangkun.
“Dia datang atas suruhan Hok-ciangkun, meroboh-robohkan dan menyakiti teman-teman kita. Serang dan bunuh pemuda ini, kawan-kawan. Lalu penggal kepalanya dan kirim ke Hok-ciangkun!”
Pasukan Uighur tercengang. Mereka berhenti di atas kuda masing-masing dan seorang kakek gagah, yang bukan lain Hulai, mengamati pemuda itu dari atas sampai ke bawah. Kakek ini tertegun bahwa Hok-ciangkun rupanya sudah mulai mempergunakan seorang suku nomad, yakni orang-orang yang bukan orang Han untuk memusuhi bangsanya. Mata yang semula kagum bersinar-sinar itu mendadak sudah berobah beringas.
Kakek ini lupa kepada Ituchi karena mereka jarang bertemu, coba mengingat-ingat namun bayangan Hok-ciangkun tiba-tiba menutup semua rasa kagumnya menjadi rasa benci. Dan ketika seorang anak buahnya dibanting roboh dan menjerit dengan tulang patah, satu sikap keras yang mulai ditunjukkan Ituchi tiba-tiba kakek itu membentak dan melempar sebuah lembing ke arah pemuda itu.
“Plak!” Ituchi menampar patah. Kakek itu terkejut ketika tiba-tiba dengan gerakan ringan tetapi cepat pemuda itu mampu mendengar suara lembingnya, membalik dan sudah menangkis serangannya tadi. Dan ketika pemuda itu melihatnya dan berteriak memanggil namanya tiba-tiba kakek ini tertegun karena jelas pemuda itu tahu siapa dirinya.
“Paman Hulai, hentikan serangan anak-anak buahmu ini. Aku Ituchi, datang ingin bercakap-cakap denganmu!”
Kakek itu terbelalak. “Ituchi? Putera Raja Hu?”
“Benar, itulah aku, paman. Hentikan anak-anak buahmu ini dan kita bicara!”
“Hm, apakah kau datang atas suruhan Hok-ciangkun?”
“Benar.”
“Kalau begitu tak ada harganya untuk bicara denganku. Heh, kaupun musuh, Ituchi. Dan sayang bahwa kegagahan atau kejantanan ayahmu tak menurun padamu. Kau penjilat!” dan mengambil busur serta menjepret pemuda itu dengan anak panah besar tiba-tiba si kakek sudah menyerang dan memberi aba-aba pada pasukannya untuk maju membantu.
Pemuda itu sudah meroboh-robohkan tak kurang dari seratus laki-laki Uighur di mana rata-rata mereka itu merintih atau mengerang-erang kesakitan di tanah. Ituchi mematah-matahkan bukan hanya tombak atau golok mereka melainkan juga tubuh orang-orang Uighur ini, jadi tentu saja kakek itu marah dan semakin marah lagi setelah tahu bahwa Ituchi membantu Hok-ciangkun, padahal panglima she Hok itu telah membunuh puteranya. Maka begitu panah menjepret tapi lagi-lagi ditangkis patah, Ituchi sudah bergerak menyambut lawan yang datang berderap maka ribuan orang itu sudah mengeroyok pemuda ini.
Ituchi mengeluh. Sekarang, dia sudah berhadapan dengan kakek Hulai namun sayang kakek itu tak mau mendengar kata-katanya. Bahkan kakek itu sudah menyerangnya dan menyuruh pasukannya maju, padahal mereka itu ribuan jumlahnya sementara dia seorang diri. Dan ketika apa boleh buat Ituchi membentak dan berkelebatan menangkis senjata-senjata lawan maka tombak atau lembing patah-patah bertemu tangan pemuda ini.
“Serang dengan anak panah. Hujani dia dengan anak panah!”
Ituchi terkejut. Kakek Hulai yang berderap mengelilinginya tiba-tiba menyuruh yang lain menyerang dengan anak panah. Hal itu dilakukan karena kakek itu melihat bahwa betapapun hebatnya pasukannya menyerang pemuda itu namun mereka selalu terlempar dan menjerit bertemu angin pukulan pemuda ini. Ituchi merobah ujung lengan bajunya seperti toya dan tangan kiri pemuda itupun juga masih bergerak menyambar-nyambar dengan angin pukulannya yang dahsyat. Akhirnya orang-orang Uighur tak dapat mendekati pemuda itu dan ketika Ituchi beterbangan dan membentak membalas mereka tiba-tiba saja puluhan orang lagi-lagi roboh. Mereka menjerit dan patah-patah tulangnya karena Ituchi bertangan besi.
Kakek Hulai masih menyambar dengan sebatang dua batang anak panahnya namun itupun runtuh ke tanah. Bahkan, ketika ada yang mengenai tubuh pemuda itu tiba-tiba saja panahnya patah. Ituchi kebal! Namun begitu kakek ini menyuruh pasukannya menyerang dengan panah, menjauh dan menghujani pemuda itu dengan anak-anak panah yang ratusan jumlahnya maka pandangan Ituchi terhalang dan sebatang panah hampir saja menancap di matanya.
“Keparat!” Ituchi membentak. “Kau tak dapat diajak bicara baik-baik, orang tua. Kalau begitu jangan salahkan aku kalau pasukanmu ini terpaksa ku obrak-abrik.... wherr!” Ituchi tiba-tiba melepas bajunya, mengibaskan ke depan dan bajunya itu menjadi semacam bendera ajaib yang diputar melindungi dirinya. Angin kebutan bendera itu menghalau ratusan batang panah dan tiba-tiba beberapa perajurit berteriak.
Ituchi berkelebat. Tiba-tiba pemuda itu bergerak karena puluhan lawan tiba-tiba sudah mengikuti gerakan si Karum itu, menerjang dan menyerang dirinya dan Ituchi marah. Dia disebut sebagai antek Hok-ciangkun, sebutan yang membuat pemuda ini gusar karena tentu saja itu penghinaan baginya. Maka begitu lawan bergerak dan Karum menusuk paling depan, tak takut meskipun giginya sudah rontok tiba-tiba Ituchi ingin menghajar lebih keras lagi kepada laki-laki yang dianggap tak tahu diri ini.
“Dess!” Karum mencelat. Laki-laki itu langsung menjerit dan terlempar roboh ketika ujung baju Ituchi mengenai pelipisnya. Tombak di tangan laki-laki itu patah karena Ituchi sudah mendorong dan mengibas senjata panjang itu. Lawan seketika roboh dan pingsan, Ituchi menambah tenaganya meskipun lawan tidak sampai tewas, karena betapapun Ituchi tak mau melakukan pembunuhan. Tapi begitu yang lain bergerak menyusul dan lembing atau tombak digerakkan tangan-tangan yang kuat maka Ituchi harus berkelebatan dan menangkis atau mengelak hujan serangan itu, tak melihat lawan jerih atau gentar setelah Karum dirobohkan.
Orang-orang Uighur itu justeru merasa marah dan gusar melihat pemimpin mereka mencelat. Dan karena Ituchi dianggap antek Hok-ciangkun sementara panglima itu sudah terlanjur dibenci dan tak disukai orang-orang Uighur ini maka selanjutnya orang-orang itu berteriak bagai kesetanan ketika menyerang pemuda ini. Ituchi menampar atau menendang lawan-lawannya tapi roboh satu maju dua, roboh dua maju empat. Dan ketika pekik gegap-gempita membahana di padang rumput itu sementara Ituchi harus berkelebatan dan kian cepat saja bergerak tiba-tiba dari dalam muncul pasukan berkuda yang berderap dengan jumlah ribuan. Pasukan Uighur!
“Berhenti! Mundur kalian, berhenti...!”
Orang-orang Uighur itu terlanjur kesetanan. Mereka memang telah meniup terompet kerang ketika tadi Ituchi melempar-lempar mereka. Puluhan orang yang terpaksa dirobohkan pemuda ini akhirnya jerih meskipun tak bermaksud mundur. Mereka akan bertempur sampai titik darah penghabisan. Orang-orang Uighur memang dikenal gagah dalam peperangan. Maka begitu lawan dirasa tangguh dan mereka memanggil bala bantuan maka pasukan Uighur yang ada di dalam segera bergerak dan keluar.
Mereka itu mendengar pekik dan teriakan teman-teman mereka yang roboh dilempar Ituchi, mengira Hok-ciangkun datang bersama pasukannya. Maka begitu melihat bahwa yang dihadapi hanyalah seorang pemuda tinggi besar yang gagah tapi tak dikenal tiba-tiba mereka tertegun tapi teman-teman mereka segera berteriak bahwa ini adalah antek Hok-ciangkun.
“Dia datang atas suruhan Hok-ciangkun, meroboh-robohkan dan menyakiti teman-teman kita. Serang dan bunuh pemuda ini, kawan-kawan. Lalu penggal kepalanya dan kirim ke Hok-ciangkun!”
Pasukan Uighur tercengang. Mereka berhenti di atas kuda masing-masing dan seorang kakek gagah, yang bukan lain Hulai, mengamati pemuda itu dari atas sampai ke bawah. Kakek ini tertegun bahwa Hok-ciangkun rupanya sudah mulai mempergunakan seorang suku nomad, yakni orang-orang yang bukan orang Han untuk memusuhi bangsanya. Mata yang semula kagum bersinar-sinar itu mendadak sudah berobah beringas.
Kakek ini lupa kepada Ituchi karena mereka jarang bertemu, coba mengingat-ingat namun bayangan Hok-ciangkun tiba-tiba menutup semua rasa kagumnya menjadi rasa benci. Dan ketika seorang anak buahnya dibanting roboh dan menjerit dengan tulang patah, satu sikap keras yang mulai ditunjukkan Ituchi tiba-tiba kakek itu membentak dan melempar sebuah lembing ke arah pemuda itu.
“Plak!” Ituchi menampar patah. Kakek itu terkejut ketika tiba-tiba dengan gerakan ringan tetapi cepat pemuda itu mampu mendengar suara lembingnya, membalik dan sudah menangkis serangannya tadi. Dan ketika pemuda itu melihatnya dan berteriak memanggil namanya tiba-tiba kakek ini tertegun karena jelas pemuda itu tahu siapa dirinya.
“Paman Hulai, hentikan serangan anak-anak buahmu ini. Aku Ituchi, datang ingin bercakap-cakap denganmu!”
Kakek itu terbelalak. “Ituchi? Putera Raja Hu?”
“Benar, itulah aku, paman. Hentikan anak-anak buahmu ini dan kita bicara!”
“Hm, apakah kau datang atas suruhan Hok-ciangkun?”
“Benar.”
“Kalau begitu tak ada harganya untuk bicara denganku. Heh, kaupun musuh, Ituchi. Dan sayang bahwa kegagahan atau kejantanan ayahmu tak menurun padamu. Kau penjilat!” dan mengambil busur serta menjepret pemuda itu dengan anak panah besar tiba-tiba si kakek sudah menyerang dan memberi aba-aba pada pasukannya untuk maju membantu.
Pemuda itu sudah meroboh-robohkan tak kurang dari seratus laki-laki Uighur di mana rata-rata mereka itu merintih atau mengerang-erang kesakitan di tanah. Ituchi mematah-matahkan bukan hanya tombak atau golok mereka melainkan juga tubuh orang-orang Uighur ini, jadi tentu saja kakek itu marah dan semakin marah lagi setelah tahu bahwa Ituchi membantu Hok-ciangkun, padahal panglima she Hok itu telah membunuh puteranya. Maka begitu panah menjepret tapi lagi-lagi ditangkis patah, Ituchi sudah bergerak menyambut lawan yang datang berderap maka ribuan orang itu sudah mengeroyok pemuda ini.
Ituchi mengeluh. Sekarang, dia sudah berhadapan dengan kakek Hulai namun sayang kakek itu tak mau mendengar kata-katanya. Bahkan kakek itu sudah menyerangnya dan menyuruh pasukannya maju, padahal mereka itu ribuan jumlahnya sementara dia seorang diri. Dan ketika apa boleh buat Ituchi membentak dan berkelebatan menangkis senjata-senjata lawan maka tombak atau lembing patah-patah bertemu tangan pemuda ini.
“Serang dengan anak panah. Hujani dia dengan anak panah!”
Ituchi terkejut. Kakek Hulai yang berderap mengelilinginya tiba-tiba menyuruh yang lain menyerang dengan anak panah. Hal itu dilakukan karena kakek itu melihat bahwa betapapun hebatnya pasukannya menyerang pemuda itu namun mereka selalu terlempar dan menjerit bertemu angin pukulan pemuda ini. Ituchi merobah ujung lengan bajunya seperti toya dan tangan kiri pemuda itupun juga masih bergerak menyambar-nyambar dengan angin pukulannya yang dahsyat. Akhirnya orang-orang Uighur tak dapat mendekati pemuda itu dan ketika Ituchi beterbangan dan membentak membalas mereka tiba-tiba saja puluhan orang lagi-lagi roboh. Mereka menjerit dan patah-patah tulangnya karena Ituchi bertangan besi.
Kakek Hulai masih menyambar dengan sebatang dua batang anak panahnya namun itupun runtuh ke tanah. Bahkan, ketika ada yang mengenai tubuh pemuda itu tiba-tiba saja panahnya patah. Ituchi kebal! Namun begitu kakek ini menyuruh pasukannya menyerang dengan panah, menjauh dan menghujani pemuda itu dengan anak-anak panah yang ratusan jumlahnya maka pandangan Ituchi terhalang dan sebatang panah hampir saja menancap di matanya.
“Keparat!” Ituchi membentak. “Kau tak dapat diajak bicara baik-baik, orang tua. Kalau begitu jangan salahkan aku kalau pasukanmu ini terpaksa ku obrak-abrik.... wherr!” Ituchi tiba-tiba melepas bajunya, mengibaskan ke depan dan bajunya itu menjadi semacam bendera ajaib yang diputar melindungi dirinya. Angin kebutan bendera itu menghalau ratusan batang panah dan tiba-tiba beberapa perajurit berteriak.
Ituchi tidak sekedar menghalau melainkan juga mementalkan anak-anak panah itu, yang membalik dan menyambar tuannya masing-masing. Dan ketika perajurit-perajurit itu berteriak dan roboh terguling-guling, ada yang tewas karena senjata makan tuan maka kakek Hulai terbelalak dan berseru keras agar pasukannya mundur.
“Bedebah, mundur semua. Mundur. Bawa pemuda ini ke Lembah Hijau!”
Ituchi tak mengerti. Lawan tiba-tiba mundur namun masih mengepungnya dari segala penjuru. Mereka menghujaninya dengan senjata-senjata apa saja dan tiba-tiba seekor kuda meringkik di dekatnya. Ituchi menyambar dan naik di atas punggung kuda karena lawanpun mengelilinginya dengan ratusan kuda yang meringkik dan bersuara gaduh. Dan begitu dia membentak di atas kudanya maka Ituchi sudah bergerak ke sana ke mari untuk mendekati atau menangkap kakek Hulai itu. Namun kakek ini dilindungi pasukannya yang besar. Kakek itu berteriak-teriak dari atas kudanya dan mendadak kabur ke dalam. Di sana ada hutan bambu dan pasukanpun bergerak mengikuti. Ituchi terbawa.
Dan ketika mereka kembali menghujaninya dengan panah-panah atau tombak maka Ituchi tak melihat adanya sebuah perangkap di depan, juga tak menduga. Dia baru kaget ketika kuda yang ditungganginya sekonyong-konyong meringkik keras, jatuh dan terjelungup di sebuah lubang dalam yang permukaannya ditutupi rumput-rumput kering. Itulah jebakan yang dipasang orang-orang Uighur ini. Dan ketika Ituchi terbawa dan terpelanting ke bawah, kaget berjungkir balik maka pasukan Uighur bersorak-sorai melihat dia kecebur di situ.
“Aihhh...!” Ituchi gagal menyelamatkan diri. Lubang atau sumur itu ternyata dalam bukan main, kudanya sendiri berdebuk dan seketika tewas, leher tertekuk patah. Dan ketika Ituchi berjungkir balik namun meluncur ke bawah, menimpa di atas kudanya itu maka lawan bersorak-sorai di atas sumur dan panah atau tombak menghujaninya gencar.
“Jangan bunuh... jangan bunuh pemuda itu. Lempari saja batu-batu atau sampah!”
Ituchi kelabakan. Pemuda itu memekik di dalam sumur ketika batu-batu atau sampah berhamburan menimpanya. Kakek Hulai mencegah orang-orangnya membunuh pemuda itu karena Ituchi ingin ditangkapnya hidup-hidup. Suatu rencana baru rupanya berkelebat di kepala kakek itu dan repotlah Ituchi menghindari semuanya itu. Tapi karena dia di bawah sumur sementara sumur atau lubang itu sempit maka tak lama kemudian pemuda ini sesak napas ketika udara di dalam sumur tiba-tiba sudah tak ada lagi.
Kaget dan marahnya Ituchi tak dapat dikatakan lagi karena dia persis seeekor singa yang terjebak. Bangsa Uighur menjebloskannya ke lubang itu dan dia tak berdaya. Sehebat-hebatnya dia kalau dikurung seperti itu tentu saja bakal pengap. Dan ketika Ituchi mulai tertimbun segala macam benda-benda dari atas dan pemuda itu mengeluh kehabisan udara segar tiba-tiba Ituchi roboh dan pingsan.
“Stop, jangan serang lagi. Angkat dan naikkan pemuda itu ke atas!”
Orang-orang Uighur menaikkannya ke atas. Sekarang Ituchi tak berbahaya karena pemuda itu tak sadarkan diri. Orang-orang kagum karena betapapun tak ada luka-luka di tubuh pemuda itu. Ituchi kiranya masih mampu melindungi dirinya dengan sinkang hingga tubuhnya tetap kebal, biarpun lawan membacok atau menusuknya dengan senjata tajam. Tapi ketika pemuda itu diangkat dan tentu saja langsung diikat, nyaris seekor babi yang dikerumuni pemburu-pemburunya maka Karum, pembantu kakek Hulai yang sudah sadarkan diri dan tertatih-tatih pincang menggeram di depan pimpinannya.
“Pemimpin, untuk apa dia diangkat lagi? Bukankah sebaiknya dibunuh dan dihabisi saja? Pemuda ini telah melukai banyak orang kita, tak layak diampuni!”
“Hm, semula akupun berpikir begitu. Tapi kendalikan nafsu amarahmu, Karum. Ingat bahwa pemuda ini masih berguna bagi kita. Permusuhan kita dengan panglima she Hok sudah terbuka, dan musuh pasti akan mendatangkan bala bantuan dari kota raja. Kalau itu sampai terjadi dan kita dikeroyok tentu habislah kita. Apakah tidak terpikir olehmu bahwa pemuda ini dapat mendatangkan bantuan yang besar?”
“Pemimpin hendak mempergunakannya untuk melawan Hok-ciangkun? Ituchi hendak diminta untuk membela kita?”
“Hm, bukan begitu. Tapi maksudku adalah bangsa U-min! Eh, tidak tahukah engkau bahwa Cucigawa amat membenci pemuda ini, Karum? Tidak tahukah engkau bahwa hidup atau mati diam-diam raja itu menghendaki Ituchi?”
“Ah, jadi maksud pemimpin....?”
“Benar!” kakek itu tersenyum, tertawa berseri. “Aku hendak membawa tawanan kita ini kepada Cucigawa, Karum. Dan sebagai imbalannya maka bangsa U-min harus membantu kita. Nah, siapkan kereta dan utus orang-orang kita menghadap Cucigawa!”
Karum tiba-tiba terbelalak. Sekonyong-konyong dia tertawa bergelak dan rasa sakit dihajar Ituchi mendadak tiba-tiba serasa lenyap. Seketika laki-laki itu berseri dan orang-orang lain yang mendengar itu tiba-tiba juga bersorak. Seketika mereka mengerti apa kiranya yang dimaksud pimpinannya ini. Dan begitu mereka mengangguk dan berteriak setuju, Ituchi dimasukkan kerangkeng dan siap dibawa maka pemuda itupun akan menjadi mangsa Cucigawa, seekor harimau lain yang tak kalah buas dengan orang-orang Uighur ini.
“Serahkan pemuda itu kepada Cucigawa, bawa surat pengantarku ini. Kalau dia setuju maka Cucigawa boleh menerimanya. Tapi kalau tidak bawa kembali pemuda itu dan kita bunuh di sini!”
Ituchi memasuki bahaya baru. Pemuda itu masih tak sadarkan diri dan hari itu juga dilepas orang-orang Uighur ini. Hulai kakek gagah itu telah memutuskan bahwa pemuda ini akan “ditukar” dengan perjanjian bangsa U-min untuk membantu bangsa Uighur, dalam usaha menghadapi balasan atau serbuan Hok-ciangkun. Dan ketika pemuda itu dibawa dan seratus perajurit mengawal di tengah maka Ituchi akan bertemu dengan saudaranya yang kejam itu tanpa kehendaknya sendiri. Mautkah yang akan ditemui pemuda ini? Tampaknya begitu, tapi mari kita lihat suasana lain di tempat Hok-ciangkun!
Malam itu Mei Hoa hampir tak dapat tidur pulas. Selama perjalanannya bersama suami baru kali itulah dia berpisah, tak enak nyonya muda ini. Tapi karena dia sudah berjanji dan satu-satunya jalan hanyalah menunggu maka itulah yang dilakukan wanita ini. Dan tiba-tiba pintu kamar diketuk. Mei Hoa bertanya siapa itu dan dijawab bahwa itulah Hok-ciangkun, cepat wanita ini bangkit berdiri dan membuka pintu kamarnya. Dan ketika Hok-ciangkun ada di situ dan tersenyum minta maaf maka Mei Hoa bertanya apa keperluan panglima itu.
“Maaf, sekedar melihat keadaanmu, Mei Hoa. Apakah anak buahku telah memberikan pelayanan yang baik kepadamu. Tidurlah, aku akan kembali lagi. Tak ada yang kurang, bukan?”
“Tidak, terima kasih, paman. Aku cukup senang di sini. Tapi, hmm... apakah tak ada kabar suamiku?”
“Ah, perajurit di pintu gerbang hanya melihat suamimu memasuki hutan, Mei Hoa. Selebihnya tak tahu apa-apa.”
“Apakah tak terdengar suara-suara pertempuran atau suara-suara mencurigakan?”
“Hm, suamimu adalah pemuda yang lihai, Mei Hoa. Dan bangsa Uighur bukanlah orang-orang yang pandai silat. Tak ada apa-apa... tak ada apa-apa... tidurlah, dan tutup pintu kamarmu baik-baik.”
Mei Hoa mengangguk. Hok-ciangkun itu telah kembali meminta dia menutup pintu kamar dan malampun semakin larut. Mei Hoa kembali lagi ke tempat tidurnya dan hati yang gelisah menanti suami rupanya tak mau diajak kompromi. Wanita ini membuka jendela dan ditengoknya bulan di atas sana. Waktu kira-kira menunjukkan tengah malam. Hm, suaminya itu seharusnya datang. Kenapa belum muncul juga?
Dan ketika Mei Hoa semakin gelisah dan tak dapat tidur tiba-tiba entah mengapa wanita ini berkelebat keluar jendela dan tak mau di kamarnya itu lagi. Tempat tinggalnya itu serasa gerah dan dia ingin mencari hawa segar di luar. Wanita ini berjungkir balik dan hinggap di tembok menara, samar-samar beberapa petugas jaga tampak hilir-mudik di bawah, terlihat dari tempatnya itu berdiri. Dan ketika Mei Hoa melihat sekeliling dan tertarik melihat puncak tembok besar di sana tiba-tiba wanita ini menggerakkan kaki dan berkelebat ke tempat itu.
Beberapa menara dilaluinya bagai seekor kucing hitam dan akhirnya Mei Hoa sudah tiba di tempat yang paling tinggi. Dia ingin ke sini karena dari situlah dia dapat melihat jauh ke depan, hutan gelap di luar pintu gerbang sana di mana kabarnya bangsa Uighur berada. Tapi ketika dia tiba di sini dan melongok ke bawah, maju mundur untuk melakukan loncatan ke bawah atau tidak tiba-tiba terdengar jeritan tertahan dan suara seorang wanita kedengarannya seperti tercekik sesuatu.
“Ti... tidak... jangan!”
Mei Hoa terkejut. Dari arah kiri tiba-tiba terdengar tawa sengau seorang laki-laki, disusul tawa-tawa yang lain dan Mei Hoa merasa ada beberapa orang laki-laki di situ, paling tidak tujuh orang. Dan ketika suara wanita itu tertutup dan hilang entah ke mana maka Mei Hoa melihat enam tujuh orang berjongkok di sudut, tertawa dan mengeluarkan suara-suara tak jelas dan Mei Hoa tentu saja tertarik, melayang dan meluncur ke bawah untuk melihat apa yang dilakukan enam tujuh orang itu. Sebuah lilin kecil akhirnya terlihat di bawah semak-semak gerumbul.
Orang-orang itu tampaknya asyik melakukan sesuatu, Mei Hoa tak tahan untuk mengetahui. Tapi begitu dia berkelebat dan berdiri di belakang orang-orang ini, ringan dan enteng tak diketahui lawan-lawannya tiba-tiba Mei Hoa terkejut dan marah karena dia melihat itulah tujuh laki-laki yang sedang memegangi seorang wanita, yang menjerit dan meronta-ronta namun mulutnya ditutup rapat seorang laki-laki kekar, perajurit-perajurit atau anak buah Hok-ciangkun!
“Hei, apa yang kalian lakukan di sini!”
Orang-orang itu terperanjat. Mei Hoa telah berada di belakang mereka dan si kekar yang menutupi mulut wanita itu tiba-tiba mencelat oleh sebuah tendangan gusar. Mei Hoa berkelebat dan kontan menyerang orang-orang itu. Si kekar mendapat tendangan pertama sementara enam temannya yang lain ditampar dan dipukul terguling-guling. Tentu saja semuanya berteriak dan menjerit kaget. Dan ketika mereka bergulingan meloncat bangun dan tersentak melihat Mei Hoa, nyonya atau wanita yang mereka kenal itu tiba-tiba semuanya berobah pucat dan berseru tertahan.
“Anjing-anjing terkutuk, iblis-iblis jahanam! Apa yang kalian lakukan ini, tikus-tikus busuk? Kalian... kalian hendak memperkosa wanita ini?”
“Tit... tidak!” seorang di antaranya menjauh dengan kaki menggigil. “Ka... kami hanya main-main, hujin. Kami... kami.... des-dess!” orang itu tiba-tiba mencelat.
Mei Hoa berkelebat dan menendangnya sekali lagi. Dan ketika orang itu berteriak dan roboh terlempar, pingsan seketika maka Mei Hoa marah kepada yang lain-lain dan membentak menggerakkan kaki tangannya. Enam orang itu berusaha menangkis atau berkelit namun mereka tentu saja bukanlah lawan wanita ini.
Mei Hoa memaki mereka yang dikatakan sebagai laki-laki biadab. Mereka itu menjerit dan roboh satu per satu, semuanya pingsan tak ada satupun yang selamat. Dan ketika Mei Hoa menendangi tubuh-tubuh itu dan wanita di sana tertegun dan menonton membelalakkan matanya maka tiba-tiba dia mengeluh dan menjatuhkan diri di depan wanita ini.
“Ah, hu-huuk.... aku... aku percuma ditolong, lihiap (pendekar wanita). Mereka itu.... mereka itu telah mengeramku tiga hari di sini dan mempermainkan tiada ubahnya anjing. Aku... aku... hanya darah mereka yang patut untuk penebus dosa!” dan meloncat meraih golok si kekar mengejutkan Mei Hoa tiba-tiba wanita itu membacok kepala orang.
“Crak!” Kepala itu putus. Mei Hoa tersentak ketika tiba-tiba sambil menjerit histeris wanita ini sudah berlari ke tubuh-tubuh yang lain, siap membacok atau membunuh lagi.
Namun ketika Mei Hoa bergerak dan sadar mencegah tiba-tiba wanita ini telah memukul pergelangan tangan orang. “Berhenti!”
Wanita itu terpelanting. Mei Hoa terlanjur membiarkan satu nyawa melayang sementara wanita itu menangis menggerung-gerung. Golok di tangannya mencelat dan kini wanita itu mengguguk menutupi mukanya. Rambut dan pakaiannya awut-awutan dan tergetarlah Mei Hoa melihat itu. Wanita ini teringat peristiwa setahun yang lalu di mana adik perempuannya satu-satunya juga mengalami nasib sama dengan wanita ini. Perkosaan.
Hal yang akhirnya membuat adiknya itu tewas bunuh diri dengan menanggung malu dan dendam yang hebat. Maka ketika kejadian serupa terulang di depan mata dan wanita yang telah membunuh seorang perajurit ini mengguguk berguncang-guncang tiba-tiba Mei Hoa bergerak dan telah mencengkeram pundak orang.
“Bangunlah,” katanya. “Dan ceritakan apa yang selama ini kau alami!”
“Aku... aku...” wanita itu tersedu-sedu. “Tujuh perajurit ini memperkosaku, lihiap. Mereka... mereka itu binatang!”
“Hm, aku tahu. Mereka memang binatang. Tapi ceritakan padaku bagaimana kau bisa ada di sini, dipermainkan mereka. Kau tentu wanita Uighur!”
“Benar, aku... aku diculik mereka ini, lihiap. Mereka datang dan membawa pergi aku. Waktu itu aku sedang mencari kayu bakar dan tiba-tiba muncul mereka..”
“Lalu?”
“Lalu aku berteriak-teriak, terdengar suamiku. Tapi ketika suamiku datang dan menolong ternyata suamiku itu malah dibunuh dan dibantai dengan kejam. Mereka ini membunuh juga suamiku!”
“Hm, kau mempunyai anak?”
“Belum.... belum, lihiap. Aku masih pengantin baru!”
“Pengantin baru? Dan kau sudah diperlakukan seperti ini?”
“Benar, lihiap. Dan orang-orang Hok-ciangkun ini memang kejam. Gara-gara mereka memaksa dan mempermainkan wanita-wanita inilah maka bangsa kami memberontak. Mereka itu biadab, juga para perwiranya terlebih lagi Hok-ciangkun!”
“Apa?”
“Benar. Hok-ciangkun itu terlebih-lebih lagi gilanya, lihiap. Panglima itu sering menyuruh anak buahnya untuk mencarikan gadis-gadis yang masih perawan dan diperkosa di kamarnya. Lalu, kalau sudah maka gadis-gadis yang malang itu diberikan kepada pembantunya dan esok, atau lusa sudah disuruh mencari lagi gadis-gadis di tempat kami!”
Mei Hoa pucat. Tiba-tiba tanpa diminta lagi wanita Uighur itu sudah tersedu-sedu menceritakan sepak terjang Hok-ciangkun. Gara-gara panglima inilah maka anak buahnya ikut-ikutan dan suka merampas atau memaksa wanita-wanita cantik. Ada semacam undang-undang tak tertulis bahwa semua perawan-perawan bangsa Uighur harus dikumpulkan dan dipersembahkan kepada panglima itu. Hok-ciangkun mempermainkan mereka ini lalu selebihnya diberikan kepada para pembantunya.
Tentu saja perbuatan panglima itu cepat dicontoh anak-anak buahnya. Pasukan perbatasan itu menjadi buas dan sewenang-wenang karena bangsa Uighur memang sudah ditaklukkan. Tapi ketika mereka mulai membunuh laki-laki Uighur yang merupakan suami atau ayah dari wanita-wanita itu dan bangsa Uighur mulai bangkit maka pembangkangan tak dapat dicegah lagi dan terakhir putera pimpinan bangsa Uighur tewas di tangan Hok-ciangkun.
“Buma dibunuh oleh Hok-ciangkun ini, dalam sebuah pertandingan adu kepala. Tapi karena itu adalah pertandingan ksatria dan sudah menjadi adat bangsa kami untuk menyelesaikan masalah maka kematian pemuda itu dibiarkan ayahnya tapi satu penghinaan Hok-ciangkun tak dapat diterima lagi!”
“Hinaan apa?”
“Bangsa Uighur menuntut tukar kejadian, lihiap. Yakni wanita-wanita Han untuk dinikmati laki-laki Uighur. Hok-ciangkun berdalih bahwa kalau pasukannya membawa wanita-wanita Uighur maka itu bukanlah suatu bentuk pemaksaan melainkan suatu bentuk perkenalan di mana siapa tahu dari wanita-wanita yang dibawa itu ada yang cocok bagi pasukan Hok-ciangkun dan diambil isteri. Tapi siapa percaya omongannya? Maka berdalih yang sama bangsa Uighur pun lalu menuntut untuk dikenalkan dengan wanita-wanita Han itu dan mereka lalu mempermainkannya sesuka hati. Kami wanita-wanita Uighur tentu saja tak setuju dengan sikap ini, karena pada dasarnya laki-laki kami hanya ingin membalas dan mempermainkan wanita-wanita itu. Tak mungkin mereka mau mengambil isteri karena bangsa Han sudah dianggap musuh oleh kami. Tapi ketika ratusan orang kami tiba-tiba jatuh sakit dan banyak di antaranya yang menemui ajal maka memuncaklah kemarahan ini karena Hok-ciangkun ternyata memberikan pelacur-pelacur rendahan yang sudah mengidap penyakit kotor!”
“Apa?”
“Benar, lihiap. Hok-ciangkun itu dengan keji memberikan pelacur-pelacur kotor untuk dipermainkan laki-laki bangsa kami, bukan wanita baik-baik seperti halnya mereka itu menerima dan mempermainkan bangsa kami. Dan karena laki-laki di mana-mana rakus dan pemuda-pemuda kami mempermainkan pelacur-pelacur itu maka mereka pun tiga hari kemudian sudah sakit dan duaratus lebih akhirnya menemui ajal gara-gara penyakit kelamin!”
Mei Hoa menggigil. “Jadi begitukah kiranya? Kau dapat dipercaya?”
“Percaya atau tidak tak jadi soal bagiku, lihiap. Karena aku sekarang sudah kotor dan tak memiliki keluarga lagi. Suamiku sudah dibunuh, dan aku sebatangkara. Kalau lihiap tidak percaya boleh saja selidiki hal ini dan tanya saja Hok-ciangkun itu!”
“Bohong!” sebuah bentakan tiba-tiba terdengar. “Kau memutar balik peristiwa, wanita busuk. Sungguh amat beracun dan berbahaya mulutmu.... crep!” wanita itu tiba-tiba menjerit, roboh oleh sebuah pisau yang menyambar dan muncullah di situ Hok-ciangkun yang merah padam.
Mei Hoa terkejut karena dia sedang tenggelam oleh cerita wanita ini, tak mendengar kehadiran Hok-ciangkun dan tiba-tiba saja dari mana-mana muncul bayangan-bayangan berkelebatan. Hari tak terasa sudah terganti pagi dan Mei Hoa terkejut melihat wanita itu roboh, menjerit dan tidak bergerak-gerak lagi karena pisau yang dilempar Hok-ciangkun tepat sekali menancap di dada kirinya.
“Bedebah, mundur semua. Mundur. Bawa pemuda ini ke Lembah Hijau!”
Ituchi tak mengerti. Lawan tiba-tiba mundur namun masih mengepungnya dari segala penjuru. Mereka menghujaninya dengan senjata-senjata apa saja dan tiba-tiba seekor kuda meringkik di dekatnya. Ituchi menyambar dan naik di atas punggung kuda karena lawanpun mengelilinginya dengan ratusan kuda yang meringkik dan bersuara gaduh. Dan begitu dia membentak di atas kudanya maka Ituchi sudah bergerak ke sana ke mari untuk mendekati atau menangkap kakek Hulai itu. Namun kakek ini dilindungi pasukannya yang besar. Kakek itu berteriak-teriak dari atas kudanya dan mendadak kabur ke dalam. Di sana ada hutan bambu dan pasukanpun bergerak mengikuti. Ituchi terbawa.
Dan ketika mereka kembali menghujaninya dengan panah-panah atau tombak maka Ituchi tak melihat adanya sebuah perangkap di depan, juga tak menduga. Dia baru kaget ketika kuda yang ditungganginya sekonyong-konyong meringkik keras, jatuh dan terjelungup di sebuah lubang dalam yang permukaannya ditutupi rumput-rumput kering. Itulah jebakan yang dipasang orang-orang Uighur ini. Dan ketika Ituchi terbawa dan terpelanting ke bawah, kaget berjungkir balik maka pasukan Uighur bersorak-sorai melihat dia kecebur di situ.
“Aihhh...!” Ituchi gagal menyelamatkan diri. Lubang atau sumur itu ternyata dalam bukan main, kudanya sendiri berdebuk dan seketika tewas, leher tertekuk patah. Dan ketika Ituchi berjungkir balik namun meluncur ke bawah, menimpa di atas kudanya itu maka lawan bersorak-sorai di atas sumur dan panah atau tombak menghujaninya gencar.
“Jangan bunuh... jangan bunuh pemuda itu. Lempari saja batu-batu atau sampah!”
Ituchi kelabakan. Pemuda itu memekik di dalam sumur ketika batu-batu atau sampah berhamburan menimpanya. Kakek Hulai mencegah orang-orangnya membunuh pemuda itu karena Ituchi ingin ditangkapnya hidup-hidup. Suatu rencana baru rupanya berkelebat di kepala kakek itu dan repotlah Ituchi menghindari semuanya itu. Tapi karena dia di bawah sumur sementara sumur atau lubang itu sempit maka tak lama kemudian pemuda ini sesak napas ketika udara di dalam sumur tiba-tiba sudah tak ada lagi.
Kaget dan marahnya Ituchi tak dapat dikatakan lagi karena dia persis seeekor singa yang terjebak. Bangsa Uighur menjebloskannya ke lubang itu dan dia tak berdaya. Sehebat-hebatnya dia kalau dikurung seperti itu tentu saja bakal pengap. Dan ketika Ituchi mulai tertimbun segala macam benda-benda dari atas dan pemuda itu mengeluh kehabisan udara segar tiba-tiba Ituchi roboh dan pingsan.
“Stop, jangan serang lagi. Angkat dan naikkan pemuda itu ke atas!”
Orang-orang Uighur menaikkannya ke atas. Sekarang Ituchi tak berbahaya karena pemuda itu tak sadarkan diri. Orang-orang kagum karena betapapun tak ada luka-luka di tubuh pemuda itu. Ituchi kiranya masih mampu melindungi dirinya dengan sinkang hingga tubuhnya tetap kebal, biarpun lawan membacok atau menusuknya dengan senjata tajam. Tapi ketika pemuda itu diangkat dan tentu saja langsung diikat, nyaris seekor babi yang dikerumuni pemburu-pemburunya maka Karum, pembantu kakek Hulai yang sudah sadarkan diri dan tertatih-tatih pincang menggeram di depan pimpinannya.
“Pemimpin, untuk apa dia diangkat lagi? Bukankah sebaiknya dibunuh dan dihabisi saja? Pemuda ini telah melukai banyak orang kita, tak layak diampuni!”
“Hm, semula akupun berpikir begitu. Tapi kendalikan nafsu amarahmu, Karum. Ingat bahwa pemuda ini masih berguna bagi kita. Permusuhan kita dengan panglima she Hok sudah terbuka, dan musuh pasti akan mendatangkan bala bantuan dari kota raja. Kalau itu sampai terjadi dan kita dikeroyok tentu habislah kita. Apakah tidak terpikir olehmu bahwa pemuda ini dapat mendatangkan bantuan yang besar?”
“Pemimpin hendak mempergunakannya untuk melawan Hok-ciangkun? Ituchi hendak diminta untuk membela kita?”
“Hm, bukan begitu. Tapi maksudku adalah bangsa U-min! Eh, tidak tahukah engkau bahwa Cucigawa amat membenci pemuda ini, Karum? Tidak tahukah engkau bahwa hidup atau mati diam-diam raja itu menghendaki Ituchi?”
“Ah, jadi maksud pemimpin....?”
“Benar!” kakek itu tersenyum, tertawa berseri. “Aku hendak membawa tawanan kita ini kepada Cucigawa, Karum. Dan sebagai imbalannya maka bangsa U-min harus membantu kita. Nah, siapkan kereta dan utus orang-orang kita menghadap Cucigawa!”
Karum tiba-tiba terbelalak. Sekonyong-konyong dia tertawa bergelak dan rasa sakit dihajar Ituchi mendadak tiba-tiba serasa lenyap. Seketika laki-laki itu berseri dan orang-orang lain yang mendengar itu tiba-tiba juga bersorak. Seketika mereka mengerti apa kiranya yang dimaksud pimpinannya ini. Dan begitu mereka mengangguk dan berteriak setuju, Ituchi dimasukkan kerangkeng dan siap dibawa maka pemuda itupun akan menjadi mangsa Cucigawa, seekor harimau lain yang tak kalah buas dengan orang-orang Uighur ini.
“Serahkan pemuda itu kepada Cucigawa, bawa surat pengantarku ini. Kalau dia setuju maka Cucigawa boleh menerimanya. Tapi kalau tidak bawa kembali pemuda itu dan kita bunuh di sini!”
Ituchi memasuki bahaya baru. Pemuda itu masih tak sadarkan diri dan hari itu juga dilepas orang-orang Uighur ini. Hulai kakek gagah itu telah memutuskan bahwa pemuda ini akan “ditukar” dengan perjanjian bangsa U-min untuk membantu bangsa Uighur, dalam usaha menghadapi balasan atau serbuan Hok-ciangkun. Dan ketika pemuda itu dibawa dan seratus perajurit mengawal di tengah maka Ituchi akan bertemu dengan saudaranya yang kejam itu tanpa kehendaknya sendiri. Mautkah yang akan ditemui pemuda ini? Tampaknya begitu, tapi mari kita lihat suasana lain di tempat Hok-ciangkun!
* * * * * * * *
Malam itu Mei Hoa hampir tak dapat tidur pulas. Selama perjalanannya bersama suami baru kali itulah dia berpisah, tak enak nyonya muda ini. Tapi karena dia sudah berjanji dan satu-satunya jalan hanyalah menunggu maka itulah yang dilakukan wanita ini. Dan tiba-tiba pintu kamar diketuk. Mei Hoa bertanya siapa itu dan dijawab bahwa itulah Hok-ciangkun, cepat wanita ini bangkit berdiri dan membuka pintu kamarnya. Dan ketika Hok-ciangkun ada di situ dan tersenyum minta maaf maka Mei Hoa bertanya apa keperluan panglima itu.
“Maaf, sekedar melihat keadaanmu, Mei Hoa. Apakah anak buahku telah memberikan pelayanan yang baik kepadamu. Tidurlah, aku akan kembali lagi. Tak ada yang kurang, bukan?”
“Tidak, terima kasih, paman. Aku cukup senang di sini. Tapi, hmm... apakah tak ada kabar suamiku?”
“Ah, perajurit di pintu gerbang hanya melihat suamimu memasuki hutan, Mei Hoa. Selebihnya tak tahu apa-apa.”
“Apakah tak terdengar suara-suara pertempuran atau suara-suara mencurigakan?”
“Hm, suamimu adalah pemuda yang lihai, Mei Hoa. Dan bangsa Uighur bukanlah orang-orang yang pandai silat. Tak ada apa-apa... tak ada apa-apa... tidurlah, dan tutup pintu kamarmu baik-baik.”
Mei Hoa mengangguk. Hok-ciangkun itu telah kembali meminta dia menutup pintu kamar dan malampun semakin larut. Mei Hoa kembali lagi ke tempat tidurnya dan hati yang gelisah menanti suami rupanya tak mau diajak kompromi. Wanita ini membuka jendela dan ditengoknya bulan di atas sana. Waktu kira-kira menunjukkan tengah malam. Hm, suaminya itu seharusnya datang. Kenapa belum muncul juga?
Dan ketika Mei Hoa semakin gelisah dan tak dapat tidur tiba-tiba entah mengapa wanita ini berkelebat keluar jendela dan tak mau di kamarnya itu lagi. Tempat tinggalnya itu serasa gerah dan dia ingin mencari hawa segar di luar. Wanita ini berjungkir balik dan hinggap di tembok menara, samar-samar beberapa petugas jaga tampak hilir-mudik di bawah, terlihat dari tempatnya itu berdiri. Dan ketika Mei Hoa melihat sekeliling dan tertarik melihat puncak tembok besar di sana tiba-tiba wanita ini menggerakkan kaki dan berkelebat ke tempat itu.
Beberapa menara dilaluinya bagai seekor kucing hitam dan akhirnya Mei Hoa sudah tiba di tempat yang paling tinggi. Dia ingin ke sini karena dari situlah dia dapat melihat jauh ke depan, hutan gelap di luar pintu gerbang sana di mana kabarnya bangsa Uighur berada. Tapi ketika dia tiba di sini dan melongok ke bawah, maju mundur untuk melakukan loncatan ke bawah atau tidak tiba-tiba terdengar jeritan tertahan dan suara seorang wanita kedengarannya seperti tercekik sesuatu.
“Ti... tidak... jangan!”
Mei Hoa terkejut. Dari arah kiri tiba-tiba terdengar tawa sengau seorang laki-laki, disusul tawa-tawa yang lain dan Mei Hoa merasa ada beberapa orang laki-laki di situ, paling tidak tujuh orang. Dan ketika suara wanita itu tertutup dan hilang entah ke mana maka Mei Hoa melihat enam tujuh orang berjongkok di sudut, tertawa dan mengeluarkan suara-suara tak jelas dan Mei Hoa tentu saja tertarik, melayang dan meluncur ke bawah untuk melihat apa yang dilakukan enam tujuh orang itu. Sebuah lilin kecil akhirnya terlihat di bawah semak-semak gerumbul.
Orang-orang itu tampaknya asyik melakukan sesuatu, Mei Hoa tak tahan untuk mengetahui. Tapi begitu dia berkelebat dan berdiri di belakang orang-orang ini, ringan dan enteng tak diketahui lawan-lawannya tiba-tiba Mei Hoa terkejut dan marah karena dia melihat itulah tujuh laki-laki yang sedang memegangi seorang wanita, yang menjerit dan meronta-ronta namun mulutnya ditutup rapat seorang laki-laki kekar, perajurit-perajurit atau anak buah Hok-ciangkun!
“Hei, apa yang kalian lakukan di sini!”
Orang-orang itu terperanjat. Mei Hoa telah berada di belakang mereka dan si kekar yang menutupi mulut wanita itu tiba-tiba mencelat oleh sebuah tendangan gusar. Mei Hoa berkelebat dan kontan menyerang orang-orang itu. Si kekar mendapat tendangan pertama sementara enam temannya yang lain ditampar dan dipukul terguling-guling. Tentu saja semuanya berteriak dan menjerit kaget. Dan ketika mereka bergulingan meloncat bangun dan tersentak melihat Mei Hoa, nyonya atau wanita yang mereka kenal itu tiba-tiba semuanya berobah pucat dan berseru tertahan.
“Anjing-anjing terkutuk, iblis-iblis jahanam! Apa yang kalian lakukan ini, tikus-tikus busuk? Kalian... kalian hendak memperkosa wanita ini?”
“Tit... tidak!” seorang di antaranya menjauh dengan kaki menggigil. “Ka... kami hanya main-main, hujin. Kami... kami.... des-dess!” orang itu tiba-tiba mencelat.
Mei Hoa berkelebat dan menendangnya sekali lagi. Dan ketika orang itu berteriak dan roboh terlempar, pingsan seketika maka Mei Hoa marah kepada yang lain-lain dan membentak menggerakkan kaki tangannya. Enam orang itu berusaha menangkis atau berkelit namun mereka tentu saja bukanlah lawan wanita ini.
Mei Hoa memaki mereka yang dikatakan sebagai laki-laki biadab. Mereka itu menjerit dan roboh satu per satu, semuanya pingsan tak ada satupun yang selamat. Dan ketika Mei Hoa menendangi tubuh-tubuh itu dan wanita di sana tertegun dan menonton membelalakkan matanya maka tiba-tiba dia mengeluh dan menjatuhkan diri di depan wanita ini.
“Ah, hu-huuk.... aku... aku percuma ditolong, lihiap (pendekar wanita). Mereka itu.... mereka itu telah mengeramku tiga hari di sini dan mempermainkan tiada ubahnya anjing. Aku... aku... hanya darah mereka yang patut untuk penebus dosa!” dan meloncat meraih golok si kekar mengejutkan Mei Hoa tiba-tiba wanita itu membacok kepala orang.
“Crak!” Kepala itu putus. Mei Hoa tersentak ketika tiba-tiba sambil menjerit histeris wanita ini sudah berlari ke tubuh-tubuh yang lain, siap membacok atau membunuh lagi.
Namun ketika Mei Hoa bergerak dan sadar mencegah tiba-tiba wanita ini telah memukul pergelangan tangan orang. “Berhenti!”
Wanita itu terpelanting. Mei Hoa terlanjur membiarkan satu nyawa melayang sementara wanita itu menangis menggerung-gerung. Golok di tangannya mencelat dan kini wanita itu mengguguk menutupi mukanya. Rambut dan pakaiannya awut-awutan dan tergetarlah Mei Hoa melihat itu. Wanita ini teringat peristiwa setahun yang lalu di mana adik perempuannya satu-satunya juga mengalami nasib sama dengan wanita ini. Perkosaan.
Hal yang akhirnya membuat adiknya itu tewas bunuh diri dengan menanggung malu dan dendam yang hebat. Maka ketika kejadian serupa terulang di depan mata dan wanita yang telah membunuh seorang perajurit ini mengguguk berguncang-guncang tiba-tiba Mei Hoa bergerak dan telah mencengkeram pundak orang.
“Bangunlah,” katanya. “Dan ceritakan apa yang selama ini kau alami!”
“Aku... aku...” wanita itu tersedu-sedu. “Tujuh perajurit ini memperkosaku, lihiap. Mereka... mereka itu binatang!”
“Hm, aku tahu. Mereka memang binatang. Tapi ceritakan padaku bagaimana kau bisa ada di sini, dipermainkan mereka. Kau tentu wanita Uighur!”
“Benar, aku... aku diculik mereka ini, lihiap. Mereka datang dan membawa pergi aku. Waktu itu aku sedang mencari kayu bakar dan tiba-tiba muncul mereka..”
“Lalu?”
“Lalu aku berteriak-teriak, terdengar suamiku. Tapi ketika suamiku datang dan menolong ternyata suamiku itu malah dibunuh dan dibantai dengan kejam. Mereka ini membunuh juga suamiku!”
“Hm, kau mempunyai anak?”
“Belum.... belum, lihiap. Aku masih pengantin baru!”
“Pengantin baru? Dan kau sudah diperlakukan seperti ini?”
“Benar, lihiap. Dan orang-orang Hok-ciangkun ini memang kejam. Gara-gara mereka memaksa dan mempermainkan wanita-wanita inilah maka bangsa kami memberontak. Mereka itu biadab, juga para perwiranya terlebih lagi Hok-ciangkun!”
“Apa?”
“Benar. Hok-ciangkun itu terlebih-lebih lagi gilanya, lihiap. Panglima itu sering menyuruh anak buahnya untuk mencarikan gadis-gadis yang masih perawan dan diperkosa di kamarnya. Lalu, kalau sudah maka gadis-gadis yang malang itu diberikan kepada pembantunya dan esok, atau lusa sudah disuruh mencari lagi gadis-gadis di tempat kami!”
Mei Hoa pucat. Tiba-tiba tanpa diminta lagi wanita Uighur itu sudah tersedu-sedu menceritakan sepak terjang Hok-ciangkun. Gara-gara panglima inilah maka anak buahnya ikut-ikutan dan suka merampas atau memaksa wanita-wanita cantik. Ada semacam undang-undang tak tertulis bahwa semua perawan-perawan bangsa Uighur harus dikumpulkan dan dipersembahkan kepada panglima itu. Hok-ciangkun mempermainkan mereka ini lalu selebihnya diberikan kepada para pembantunya.
Tentu saja perbuatan panglima itu cepat dicontoh anak-anak buahnya. Pasukan perbatasan itu menjadi buas dan sewenang-wenang karena bangsa Uighur memang sudah ditaklukkan. Tapi ketika mereka mulai membunuh laki-laki Uighur yang merupakan suami atau ayah dari wanita-wanita itu dan bangsa Uighur mulai bangkit maka pembangkangan tak dapat dicegah lagi dan terakhir putera pimpinan bangsa Uighur tewas di tangan Hok-ciangkun.
“Buma dibunuh oleh Hok-ciangkun ini, dalam sebuah pertandingan adu kepala. Tapi karena itu adalah pertandingan ksatria dan sudah menjadi adat bangsa kami untuk menyelesaikan masalah maka kematian pemuda itu dibiarkan ayahnya tapi satu penghinaan Hok-ciangkun tak dapat diterima lagi!”
“Hinaan apa?”
“Bangsa Uighur menuntut tukar kejadian, lihiap. Yakni wanita-wanita Han untuk dinikmati laki-laki Uighur. Hok-ciangkun berdalih bahwa kalau pasukannya membawa wanita-wanita Uighur maka itu bukanlah suatu bentuk pemaksaan melainkan suatu bentuk perkenalan di mana siapa tahu dari wanita-wanita yang dibawa itu ada yang cocok bagi pasukan Hok-ciangkun dan diambil isteri. Tapi siapa percaya omongannya? Maka berdalih yang sama bangsa Uighur pun lalu menuntut untuk dikenalkan dengan wanita-wanita Han itu dan mereka lalu mempermainkannya sesuka hati. Kami wanita-wanita Uighur tentu saja tak setuju dengan sikap ini, karena pada dasarnya laki-laki kami hanya ingin membalas dan mempermainkan wanita-wanita itu. Tak mungkin mereka mau mengambil isteri karena bangsa Han sudah dianggap musuh oleh kami. Tapi ketika ratusan orang kami tiba-tiba jatuh sakit dan banyak di antaranya yang menemui ajal maka memuncaklah kemarahan ini karena Hok-ciangkun ternyata memberikan pelacur-pelacur rendahan yang sudah mengidap penyakit kotor!”
“Apa?”
“Benar, lihiap. Hok-ciangkun itu dengan keji memberikan pelacur-pelacur kotor untuk dipermainkan laki-laki bangsa kami, bukan wanita baik-baik seperti halnya mereka itu menerima dan mempermainkan bangsa kami. Dan karena laki-laki di mana-mana rakus dan pemuda-pemuda kami mempermainkan pelacur-pelacur itu maka mereka pun tiga hari kemudian sudah sakit dan duaratus lebih akhirnya menemui ajal gara-gara penyakit kelamin!”
Mei Hoa menggigil. “Jadi begitukah kiranya? Kau dapat dipercaya?”
“Percaya atau tidak tak jadi soal bagiku, lihiap. Karena aku sekarang sudah kotor dan tak memiliki keluarga lagi. Suamiku sudah dibunuh, dan aku sebatangkara. Kalau lihiap tidak percaya boleh saja selidiki hal ini dan tanya saja Hok-ciangkun itu!”
“Bohong!” sebuah bentakan tiba-tiba terdengar. “Kau memutar balik peristiwa, wanita busuk. Sungguh amat beracun dan berbahaya mulutmu.... crep!” wanita itu tiba-tiba menjerit, roboh oleh sebuah pisau yang menyambar dan muncullah di situ Hok-ciangkun yang merah padam.
Mei Hoa terkejut karena dia sedang tenggelam oleh cerita wanita ini, tak mendengar kehadiran Hok-ciangkun dan tiba-tiba saja dari mana-mana muncul bayangan-bayangan berkelebatan. Hari tak terasa sudah terganti pagi dan Mei Hoa terkejut melihat wanita itu roboh, menjerit dan tidak bergerak-gerak lagi karena pisau yang dilempar Hok-ciangkun tepat sekali menancap di dada kirinya.
Wanita itu roboh dan seketika tewas! Dan ketika Mei Hoa membalik dan sudah berhadapan dengan Hok-ciangkun itu, juga belasan perwira atau perajurit yang tiba-tiba sudah mengepung tempat itu tiba-tiba panglima she Hok membungkuk dan berkata padanya, merah padam.
“Maaf, racun yang amat berbahaya dilontarkan wanita ini, Mei Hoa. Aku terpaksa membunuhnya karena dia menghina dan membuat aku marah. Ada berita penting untukmu, Ituchi tertangkap. Kita harus segera menolongnya dan terserah bagaimana kau!”
“Apa?” Mei Hoa berubah. “Dia... dia tertangkap?”
“Benar, dan beberapa perajuritku melapor, Mei Hoa. Mereka telah melihat itu. Aku mencari-carimu tapi baru di sini aku menemukanmu. Nah, bantu kami menghantam orang-orang itu dan mari berangkat sekarang juga!”
Mei Hoa memekik. Tiba-tiba saja dia melupakan wanita Uighur itu dan sudah berkelebat ke depan. Dia memang sudah di luar pintu gerbang dan dengan cepat terbang menuju ke bangsa Uighur itu. Tapi ketika Hok-ciangkun bergerak dan menyambar lengannya, menyuruh berhenti maka panglima itu menangkap lengannya dan berseru,
“Mei Hoa, nanti dulu. Jangan gegabah. Jangan pergi sendiri dan dengarkan kata-kataku!”
Tapi ketika Mei Hoa membentak dan balas mengipatkan lengan, mendorong dan menggerakkan kakinya lagi akhirnya wanita atau nyonya muda itu melengking-lengking. “Paman Hok, jangan halangi aku. Aku akan membunuh dan membebaskan Ituchi!”
Hok-ciangkun tertegun. Matahari telah mulai terang dan perbukitan di seberang perbatasan itu tampak jelas. Mei Hoa telah berkelebat dan terbang ke situ, mulutnya melengking-lengking. Tapi ketika panglima ini tersenyum aneh dan mengibaskan lengan ke belakang, menyuruh pembantu atau perajurit-perajuritnya bergerak tiba-tiba panglima ini telah meloncat dan mengejar Mei Hoa. Hok-ciangkun mengeluarkan ilmu lari cepatnya dan tiba-tiba saja panglima ini ingin menguji.
Mei Hoa yang ada di depan tiba-tiba disusul dan kagumlah panglima ini karena tak begitu mudah dia mengejar lawan. Mulut berseru berulang-ulang agar Mei Hoa berhenti, tak tahunya malah tancap gas dan Hok-ciangkunpun terpaksa mengerahkan segenap kekuatan. Dan ketika mereka akhirnya berendeng dan Hok-ciangkun membentak mencengkeram lengan wanita ini tiba-tiba Mei Hoa menangkisnya dengan marah.
“Jangan aku diganggu.... duk!” dua lengan beradu amat keras, Mei Hoa mengerahkan sinkangnya namun Hok-ciangkun juga melakukan hal yang sama. Panglima itu terpental sementara Mei Hoa juga terjelungup, hampir saja mencium tanah. Tapi ketika Mei Hoa berseru keras dan berjungkir balik, menyelamatkan dirinya maka Mei Hoa sudah berdiri lagi dengan muka terbakar memandang lawan, yang juga sudah berjungkir balik dan diam-diam kaget bahwa wanita itu memiliki sinkang yang kuat hingga sanggup menghadapi sinkangnya.
“Paman Hok, apa yang kau lakukan ini? Kau berani menyerangku? Kau hendak menghalang-halangi aku?”
“Maaf.... maaf...!” sang panglima buru-buru membungkuk, mengebut-ngebutkan ujung bajunya. “Aku tak bermaksud menyerangmu, Mei Hoa, melainkan mencegah agar kau tidak seorang diri ke bangsa Uighur. Mereka itu berbahaya, dan lagi jumlahnya ribuan. Kau hanya seorang diri dan tak mungkin menghadapi mereka itu!”
“Aku tidak takut, aku tidak gentar! Aku datang ke sana untuk menyelamatkan suamiku!”
“Hm, benar. Tapi, ah.... maaf, jangan ke sana sendirian, Mei Hoa. Mari kuantar dan bersama pasukanku tentu kau dapat lebih banyak berhasil. Aku dapat mendampingimu menghadapi orang-orang Uighur itu....”
“Tidak! Aku tak mau bersamamu atau siapapun, paman. Kalau kau mau ke sana silahkan, kita sendiri-sendiri dan aku tak mau mendengar sepak terjang anak buahmu itu, juga dirimu!”
“Hm, kau termakan mulut wanita busuk itu? Kau percaya omongannya? Baiklah, boleh kau pergi, Mei Hoa. Aku tak akan menghalang-halangi dan mudah-mudahan kau selamat di sana!” dan mundur membiarkan Mei Hoa melakukan keinginannya tiba-tiba panglima ini tampak sedih dan tidak mengganggu si nyonya lagi, membuat Mei Hoa tertegun dan ragu dan tentu saja wanita ini bimbang. Namun karena Ituchi tertangkap dan berita itu mengguncangkan perasaannya tiba-tiba Mei Hoa terisak dan melanjutkan larinya lagi, berkelebat.
“Paman Hok, sementara ini cerita itu biarlah tak kuperdulikan dulu. Tapi kelak kalau cerita itu benar tentu aku tak sudi lagi bergaul denganmu. Maaf, urusan suamiku jauh lebih penting dari yang lain-lain dan terserah apakah kau akan menyerang bangsa Uighur itu atau tidak!”
Hok-ciangkun mengerutkan keningnya. Mei Hoa sudah terbang lagi ke depan dan kata-kata itu terasa pedas baginya. Tapi tersenyum aneh dan mengeluarkan ejekan ditahan tiba-tiba panglima ini membalik karena para pembantunya tadi sudah menyusul tiba, datang dan semua terbelalak melihat Mei Hoa, yang lenyap dan akhirnya tak tampak lagi bayangannya karena sudah menghilang di balik bukit. Dan ketika panglima itu memberikan aba-aba bahwa mereka harus kembali dan melakukan serangan besar-besaran maka bangsa Uighur siap digempur dari dua jurusan oleh panglima ini dan Mei Hoa.
“Mana suamiku, kalian apakan dia!” Mei Hoa langsung melengking ketika tiba di tempat suku bangsa Uighur ini. Wanita itu membentak dan langsung menyambar dua orang penjaga, membantingnya dan menginjak-injak geram. Dan ketika dua orang itu menjerit dan tentu saja terkejut, sudah di bawah injakan Mei Hoa maka mereka diancam untuk menunjukkan di mana suami wanita itu beradai.
“Cepat, atau aku akan membunuh kalian!”
Dua orang itu ah-uh-ah-uh. Mereka, seperti bangsa Uighur yang lain masih saja merasa kecut dan gentar oleh serbuan Ituchi. Kegagahan dan keperkasaan pemuda itu membuat mereka kagum, meskipun marah. Dan ketika pagi itu Mei Hoa langsung datang dan membentak mereka, yang kebetulan pertama kali dilihat maka dua laki-laki ini tak dapat menjawab karena mereka pucat dan kaget oleh gerakan Mei Hoa yang luar biasa cepat.
“Ka... kami tak tahu. Kau.... kau siapa....!”
“Bedebah! Balik bertanya sebelum menjawab? Aku mencari suamiku, tikus-tikus busuk. Lekas katakan atau injakan ini akan menghancurkan dada kalian!”
Dua orang itu bingung. Mereka tentu saja tak tahu apa yang dimaksud Mei Hoa, siapa suami nyonya itu karena Mei Hoa tak menyebutkan namanya. Kalau saja langsung disebut Ituchi barangkali mereka tahu, tapi karena Mei Hoa tak menyebutkan itu dan datang-datang wanita ini membanting dan menginjak mereka, sungguh seperti wanita gila maka dua orang itu malah gemetaran dan tidak dapat menjawab. Akibatnya Mei Hoa marah dan saat itu bayangan laki-laki Uighur muncul.
Itulah penjaga-penjaga yang melihat atau mendengar bentakan Mei Hoa, juga rintihan dua teman mereka itu yang tidak dapat menjawab pertanyaan. Dan ketika dua orang itu masih juga ah-uh-ah-uh dan mereka tak segera menjawab tiba-tiba Mei Hoa mengerahkan tenaganya dan injakan itu menghancurkan dada lawan yang seketika menjerit tinggi.
“Aduh...!”
Dua laki-laki itu menggelepar binasa. Mereka tak sanggup lagi menahan ketika Mei Hoa mengerahkan segenap tenaganya. Kemarahan dan kekhawatiran yang sangat membuat Mei Hoa mata gelap, langsung membunuh dua laki-laki itu dan teriakan dua orang ini tentu saja membuat para penjaga yang berkelebatan terkejut. Mereka baru saja diserang Ituchi dan kegemparan yang dibuat pemuda itu masih juga belum hilang. Kini kalau tiba-tiba ada musuh menyerbu mereka tentu mudah terkejut. Maka begitu terkesiap dan kaget oleh jeritan itu tiba-tiba mereka melihat bayangan Mei Hoa yang saat itu justeru memapak mereka.
“Bangsa Uighur keparat, di mana suamiku dan kalian apakan dia!”
Orang-orang itu terpekik. Mereka melihat sesosok bayangan menyambar bagai burung garuda, menerkam dan mereka tentu saja berteriak dan satu sama lain memberi aba-aba. Tapi karena yang datang adalah Mei Hoa dan gerakan wanita itu secepat burung maka belasan laki-laki Uighur yang baru datang ini tiba-tiba sudah berpelantingan tak keruan ketika tamparan atau pukulan mendarat di tubuh mereka.
“Aduh.... des-des-dess!”
Orang-orang itu mencelat terlempar ke sana ke mari. Mereka tak sanggup mengikuti bayangan Mei Hoa dan tiba-tiba saja sudah roboh jungkir balik. Senjata yang ada di tangan ikut mencelat dan entah ke mana. Namun ketika mereka bergulingan meloncat bangun dan melihat siapa lawan mereka itu mendadak saja belasan orang ini bengong dan membuka mata lebar-lebar.
“Aih, seorang wanita cantik....!”
“Agaknya bidadari!”
“Tapi gila!” dan ketika seruan atau ucapan itu susul-menyusul maka Mei Hoa, yang sudah berdiri dan bertolak pinggang di situ tiba-tiba membentak dan bertanya lagi di mana suaminya.
“Katakan kepadaku atau kalian semua kubunuh, seperti itu!” wanita ini menuding dua mayat pertama, tentu saja membuat orang-orang itu terkejut tapi juga marah.
Seketika mereka sadar bahwa wanita cantik ini telah melakukan pembunuhan. Dan melihat bahwa Mei Hoa adalah wanita Han, bangsa yang dibenci suku Uighur tiba-tiba belasan orang itu berteriak dan menyambarnya senjatanya masing-masing, setelah tahu mencelat ke mana.
“Gadis Han, musuh kita. Tangkap dan bunuh dia!”
“Tidak, jangan bunuh, kawan-kawan, Tapi permainkan dan belejeti dia!” dan ketika orang-orang itu menerjang dan menusuk membabi-buta, semuanya mempergunakan tombak tiba-tiba saja Mei Hoa yang sebelumnya sudah marah menjadi semakin marah mendengar itu.
Dia bergerak ke kiri kanan ketika tombak-tombak itu menusuk, mengelak dan menangkis dan tiba-tiba saja belasan orang lawannya itu berteriak kaget. Mereka kehilangan wanita ini karena Mei Hoa mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya untuk berkelebatan di depan lawan. Dan ketika semua orang terkejut dan berseru tertahan maka saat itulah tangannya kembali bergerak dan laki-laki yang mengatakan ingin menangkap dan membelejeti tubuhnya tiba-tiba sudah terlempar dan menjerit dengan kepala pecah.
“Kau mampus lebih dulu... prak!”
Bentakan atau seruan itu disusul terbantingnya tubuh laki-laki ini. Laki-laki itu hanya sempat berteriak sekali dan setelah itu diam, bagian belakang kepalanya retak. Dan ketika yang lain-lain terkejut tapi Mei Hoa terus berkelebatan membagi-bagi pukulan atau tamparannya maka yang lain-lain sudah bergelimpangan menyusul dan roboh dengan keluhan-keluhan tertahan. Akhirnya Mei Hoa sudah berhasil membereskan lawan-lawannya ini namun teriakan atau jerit orang-orang itu sempat didengar bangsa Uighur.
Mei Hoa sendiri baru saja mengusap lengannya yang penuh darah ketika tiba-tiba ratusan orang muncul, bergerak dan membentaknya dari sini-sini dan gegerlah orang-orang Uighur itu melihat mayat-mayat teman mereka yang bergelimpangan mandi darah. Tandang Mei Hoa tak kenal ampun dan kehadiran wanita itu tentu saja mengagetkan orang-orang ini, di samping marah dan gusar karena begitu dinginnya wanita itu membunuh lawan-lawannya. Dan ketika mereka berteriak dan memberi aba-aba, bahwa di pagi itu datang musuh menyatroni maka bergeraklah satu pasukan besar yang menerjang wanita ini, berderap di atas kudanya.
“Serang! Tangkap wanita ini. Bunuh...!”
Mei Hoa mengerutkan keningnya. Di saat dia baru mengusap peluh tiba-tiba saja pasukan besar itu sudah bergerak. Kebetulan, dia memang akan menghajar orang-orang ini. Maka begitu lawan berteriak dan dirinya sudah dihujani panah atau tombak maka Mei Hoa mencabut pedangnya dan dengan pedang itulah dia menangkis dan memutarnya cepat melindungi tubuh.
“Crang-cring-crang-cringg!”
Lawan dibuat terbelalak. Panah dan tombak yang menghujani wanita itu tiba-tiba terpental semuanya dan patah-patah. Orang benar-benar dibuat kaget tapi juga kagum. Tapi karena belasan mayat terkapar di situ dan bangsa Uighur tahu bahwa itulah teman-teman mereka yang telah dibunuh wanita ini maka Mei Hoa diserang lagi dan bentakan atau makian tiba-tiba menggetarkan perbukitan.
Mei Hoa harus menangkis sana-sini dengan cepat kalau tak mau menjadi korban. Pedangnya bergerak secepat kitiran namun lawan yang rata-rata di atas kuda merepotkan juga. Kuda yang berseliweran naik turun mengacau pandangan, apa boleh buat Mei Hoa harus melakukan lompatan tinggi dan berjungkir balik di atas seorang penyerang yang kudanya hampir menyepak pundak. Dan ketika Mei Hoa melayang turun dan laki-laki itu kalah cepat maka pedangnya menusuk ke bawah dan terjungkallah perajurit itu oleh pedang di tangan Mei Hoa.
Selanjutnya Mei Hoa sudah ganti di atas kuda dan dengan kuda inilah nyonya itu melengking-lengking menghadapi lawan. Lawan yang berderap di sekelilingnya juga diikuti dengan derap dan lari kudanya, yang meringkik dan menendang-nendang saking kuatnya Mei Hoa menjepit perut kuda. Dan ketika lawan tercekat karena Mei Hoa ternyata pandai pula di atas kudanya maka pedang itu bergerak ke sana ke mari mendapatkan korban-korban baru.
“Crep-crep-augh..!”
Empat tubuh bergelimpangan. Pedang Mei Hoa sudah mulai mencium darah lawan dan itu membuat bangsa Uighur marah. Mereka hanya menghadapi seorang wanita saja tapi justeru dibuat kelabakan. Wanita itu berputaran di sekeliling mereka dan ke manapun pedang di tangan wanita itu bergerak pasti sebuah nyawa melayang. Gusarlah orang-orang itu dan akhirnya sebuah aba-aba menyuruh mereka menjauh.
Seorang kakek gagah muncul di sebelah kiri dan Mei Hoa terbelalak tak mengenal kakek itu. Inilah Hulai pemimpin bangsa Uighur. Dan ketika panah mulai dilepaskan tapi Mei Hoa dapat menangkis dan meruntuhkan itu maka tiba-tiba kakek ini menyuruh pasukannya ke Lembah Hijau.
“Mundur... semua mundur. Kita ke Lembah Hijau!”
Mei Hoa tak mengenal. Dia tak tahu bahwa di situlah suaminya tertangkap. Sebuah jebakan telah dipasang orang-orang Uighur ini dan sebenarnya bukan hanya sebuah melainkan banyak sumur-sumur dalam yang telah digali orang-orang Uighur itu. Mereka melakukan ini untuk menghadapi pasukan Hok-ciangkun, kalau mereka dipaksa mundur dan terdesak. Maka begitu kakek Hulai memberi aba-aba dan dari atas kudanya kakek itu melihat betapa lihainya Mei Hoa maka cepat pasukannya ditarik mundur dan Mei Hoa tak sadar mengejar lawan-lawannya ini.
“Hei, jangan pengecut. Jangan lari. Hayo hadapi aku dulu dan di mana suamiku Ituchi!”
Terkejutlah orang-orang itu. Sekarang tahulah mereka siapa kiranya wanita garang ini. Kiranya isteri Ituchi, pemuda yang sudah mereka tangkap. Tapi karena pemimpin mereka sudah berseru dan semua mundur ke Lembah Hijau, siap menjebak dan menangkap wanita ini maka semuanya lari berserabutan tapi tiba-tiba dari kiri dan kanan muncul pasukan Hok-ciangkun.
“Hulai, kami datang lagi. Menyerahlah, atau pasukanmu kami hancurkan!”
Bangsa Uighur terkejut. Di pagi-pagi yang masih dingin tiba-tiba saja mereka dibuat kacau oleh semuanya itu. Pertama wanita yang belum dapat mereka tundukkan ini dan sekarang Hok-ciangkun bersama pasukannya. Celaka. Mereka pucat dan kakek Hulai juga terbelalak dan berobah mukanya melihat itu. Tadi sewaktu tidur kakek ini tiba-tiba dibangunkan seorang pembantunya bahwa di pagi itu ada seorang wanita mengamuk. Mereka tak tahu siapa itu dan belasan perajurit mereka roboh. Semuanya dibunuh atau dibantai wanita itu.
Hulai sang kakek gagah terkesiap dan bertanya siapa itu, tak tahu dan dijawab bahwa wanita itu adalah wanita Han, bangsa yang menjadi musuh mereka dan kini dikeroyok pasukan berkuda. Dan ketika kakek itu bangun dan menyambar tombaknya, juga anak panah serta gendewa maka tiba-tiba saja sekarang pasukan Hok-ciangkun muncul.
“Keparat!” kakek itu memekik. “Kabur Lembah Hijau, anak-anak. Cepat.... cepat kalian lari!”
“Ha-ha!” Hok-ciangkun tertawa bergelak di atas kudanya. “Lari atau tidak sekarang kalian mampus, Hulai. Menyerahlah, atau kau dan pasukanmu kubunuh.... singg!” sebatang panah menjepret menuju dada kakek ini, dikelit tapi masih juga menancap di pundak. Itulah serangan Hok-ciangkun yang garang di atas kudanya. Kakek ini terkejut. Tapi ketika dia mengeluh dan hampir roboh, ditahan seorang anak buahnya maka kakek ini lari dan mencengklak kudanya.
“Kejar.... kejar kakek itu!” Hok-ciangkun tentu saja tak membiarkan, maju dan mengamuk dengan pedangnya namun pasukan Uighur melindungi sang pemimpin dengan gagah.
Mereka membentak dan menghalang-halangi dan panglima ini harus menghadapi puluhan bahkan ratusan pasukan Uighur. Anak buahnya juga bergerak namun itu tak menolongnya cepat. Orang-orang Uighur berani mati melindungi pemimpinnya, sama seperti dulu ketika mereka bentrok dan perang di padang rumput. Dan ketika dua pasukan itu berlaga dan masing-masing sama mengangkat senjata maka Mei Hoa yang tertutup jalannya segera memaki pasukan Hok-ciangkun itu.
“Bedebah, minggir kalian... minggir!”
Pasukan Hok-ciangkun didorong. Sekarang Mei Hoa tahu bahwa itulah Hulai, pemimpin bangsa Uighur. Namun ketika kakek itu melarikan diri dan pasukannya melindungi dengan gagah maka nyonya ini menerjang dan membabatkan pedangnya ke sana ke mari. Orang-orang Uighur berteriak dan robohlah mereka satu per satu. Memang tak akan ada yang dapat menandingi wanita ini. Tapi karena jumlah mereka banyak sementara pasukan Hok-ciangkun sudah berbaur dengan lawan-lawan mereka maka Mei Hoa dapat mengejar tetapi lambat, membentak dan melengking-lengking dan robohlah lawan-lawannya dicium pedangnya.
Wanita itu memanggil-manggil Hulai dan kakek gagah itu akhirnya menyuruh pasukan memberi jalan. Setiap Mei Hoa menerjang tiba-tiba pasukan Uighur menyibak, tentu saja membuat Mei Hoa girang tapi tidak menyadari bahaya. Hulai, pemimpin bangsa Uighur itu hendak menjebaknya di Lembah Hijau, tempat yang membuat Ituchi terperangkap dan tak berdaya.
Tapi ketika Mei Hoa memasuki jalan yang diberikan lawannya dan Hok-ciangkun serta pasukannya juga mempergunakan kesempatan itu, mengikuti di belakang, maka Hulai dan pasukannya terkejut. Bukan maksud kakek itu untuk memberikan jalan kepada Hok-ciangkun dan pasukannya. Yang dimaksudkan kakek itu hanyalah Mei Hoa. Tapi karena lawan sudah menyerbu dan pasukan Uighur terdesak, mundur-mundur, maka apa boleh buat kakek ini menggeram dan nnengeprak kudanya ke Lembah Hijau.
“Biarkan mereka itu.... biarkan. Mari ikuti aku dan kita merobohkan lawan di sana!”
Pasukan Hok-ciangkun bersorak. Sekarang mereka memburu lawan yang kabur melarikan diri, juga tak menyadari bahaya yang sedang dipasang kakek itu. Dan ketika semua membalikkan tubuh dan berderap melarikan kudanya tiba-tiba barulah pasukan Hok-ciangkun terpekik ketika seorang dua terjungkal dan menjerit dilubang jebakan.
“Aduh...!”
“Aaaaa...!”
Pasukan Hok-ciangkun pucat. Mereka mendengar teriakan dua orang temannyai itu dan tiba-tiba mereka tertegun. Hok-ciangkun sendiri hampir terperangkap jebakan tapi keburu berjungkir balik meninggalkan kudanya, yang sudah terperosok dan meringkik di dalam sumur yang dalam. Dan ketika panglima itu mengumpat caci sementara anak buahnya bengong terlongong-longong mendadak menyambarlah hujan panah ke arah pasukan itu. Tak ampun pasukan Hok-ciangkun menjerit dan roboh terlempar, pasukan Uighur sudah bersorak-sorai dan kini membaliklah mereka menyerang lawannya itu.
Pasukan Hok-ciangkun panik dan larilah mereka ke sana ke mari, hal yang disengaja oleh pasukan Uighur karena tiba-tiba pasukan Hok-ciangkun itu terjeblos dan memasuki lubang-lubang jebakan yang lain. Dan ketika teriakan dan jeritan terdengar menggetarkan hutan maka Mei Hoa, yang ada di depan dan juga tidak menyangka akan itu sudah terjeblos dan masuk ke sumur yang dalam, bersama-sama kudanya.
“Aiihhh...!” Mei Hoa kaget bukan main. Sama seperti Ituchi kemarin kuda yang ditunggangi wanita ini patah lehernya, terbanting dan tertekuk di dalam lubang. Tapi karena Mei Hoa tak menghadapi keroyokan dan pasukan Uighur sedang berhadapan dengan pasukan Hok-ciangkun maka ketika wanita itu berjungkir balik dan meloncat ke atas maka ia tiba kembali dengan selamat di bibir sumur, langsung membentak dan memaki tiga orang Uighur yang ada di dekat situ, menghantam dan melepas pukulan jarak jauh hingga mereka menjerit terlempar, tewas seketika. Dan ketika Mei Hoa berkelebat dan menyambar kuda yang kehilangan tuannya maka wanita atau nyonya ini sudah mendapatkan kuda pengganti.
“Keparat, jahanam terkutuk!” Mei Hoa memaki-maki. “Kiranya ini yang kalian harapkan, orang-orang Uighur. Perbuatan pengecut dan curang. Hiaattt, mampuslah kalian.... des-des-dess!" dan Mei Hoa yang melengking dan naik turun di atas kudanya tiba-tiba sudah melepas kemarahan dengan menghajar lawan-lawannya yang ada di sekitar, didatangi dan ditampar dan setiap kali itu pula pasti jeritan ngeri terdengar. Mei Hoa menjadi ganas dan beringas sepak terjangnya karena segeralah dia mengerti bahwa itulah kira-kira yang terjadi pada suaminya. Ituchi terjebak dan dicurangi orang-orang ini.
Maka ketika nyonya itu memekik-mekik sementara Hok-ciangkun dan pasukannya juga mengamuk di sana maka pasukan Uighur terdesak hebat dan banyak di antara mereka yang menjadi korban pembantaian sia-sia. Kakek Hulai yang melihat itu berobah mukanya dan melepas panah-panah besar, menggeram dan mengutuk dan lawanpun terjungkal satu per satu. Tapi ketika panah-panah itu diarahkan kepada Hok-ciangkun maupun Mei Hoa tapi selalu terpental, bahkan patah-patah maka kakek ini gelisah dan akhirnya menyuruh pasukannya mengeluarkan panah api.
“Bakar mereka itu! Kita keluar dari hutan!”
Orang-orang seketika berteriak. Pasukan Hok-ciangkun terkejut ketika panah-panah api berhamburan. Mereka menangkis tapi api yang jatuh di rumput kering segera menjilat ke atas, membakar hutan. Dan karena Lembah Hijau adalah lembah yang penuh pohon-pohon bambu, di mana daun keringnya berserakan di tanah maka orang-orang Hok-ciangkun itu panik ketika tanah berkeratak dan apipun menjilat mereka.
“Keluar, semua mundur...!”
Hok-ciangkun terpaksa memberi perintah. Lawan sudah melarikan diri dan mereka itu mengenal medan, tak berani dikejar karena Hok-ciangkun takut pasukannya dijebak lagi. Jangan-jangan di depan ada lagi sumur-sumur lain yang akan menjebloskan mereka. Dan ketika pasukannya mundur sementara hutan itu terbakar hebat maka Lembah Hijau tiba-tiba menjadi lembah neraka dengan apinya yang menjilat-jilat ke atas, api dari daun-daun kering atau ranting-ranting yang terbakar.
Tapi lain pasukan Hok-ciangkun lain pula Mei Hoa. Wanita ini, yang masih belum mendapatkan suaminya tiba-tiba mengejar lawan yang pucat melarikan diri. Mei Hoa membentak-bentak di belakang dan orang-orang Uighur yang ada di depannya dibuat panik ketika kedua lengannya bergerak-gerak ke depan. Mereka yang tak mendapat pukulan jarak jauh tiba-tiba mendapat jarum-jarum halus yang dilepas nyonya ini, terpekik dan terjungkal dan Mei Hoa terus mengejar mereka yang ada di depan. Tujuan wanita ini adalah Hulai karena kakek itulah yang dianggap bertanggung jawab atas tertangkapnya suaminya.
Tapi ketika kakek itu dilindungi pasukannya dan berkali-kali mereka masuk keluar hutan, mengenal medan dan melepas panah-panah berhamburan maka Mei Hoa agak tersendat dan terganggu pengejarannya. Kakek itu akhirnya hilang dan Mei Hoa marah bukan main. Empat kali dia dibawa masuk keluar hutan dan setiap kali itu pula lawan bermain kucing-kucingan, kadang di kiri dan kadang di kanan dan hujan panah selalu menghalang pandangan wanita ini. Dan ketika kakek itu lenyap sementara pasukannya berpencar ke sana-sini tiba-tiba Mei Hoa membentak belasan pasukan Uighur yang mau melintasi sungai.
“Hei, berhenti kalian. Atau semua kubunuh.... ser-ser!” tujuh jarum hitam menyambar, langsung merobohkan tujuh orang di depan dan pasukan Uighur itu berteriak. Mereka terjungkal dan masuk ke sungai, yang selamat segera mencengklak kudanya dan kabur secepat setan. Dan ketika tujuh orang itu merintih dan Mei Hoa berjungkir balik dari atas kudanya maka wanita atau nyonya itu sudah mencengkeram dan menyambar seorang di antaranya, menghardik,
“Bicaralah, atau kau kubunuh!” dan memijat jalan darah di tengkuk tiba-tiba perajurit itu menjerit dan berteriak kesakitan. Yang lain roboh tumpang-tindih dan membiarkan diri basah kuyup. Maklumlah, mereka jatuh ke sungai tapi untung sungai itu tidak dalam. Airnya tidak deras dan itu tak membuat mereka hanyut, meskipun kini mereka berada dalam bahaya karena Mei Hoa yang marah siap menyiksa dan membunuh mereka. Dan ketika perajurit itu merintih dan bertanya apa yang diminta Mei Hoa maka Mei Hoa bertanya tentang suaminya itu.
“Sudah kusebutkan berkali-kali, kau tentu tidak tuli. Di mana suamiku dan kalian apakan dia!”
“Ah, maksud.... maksud hujin adalah Hu-ongya? Pemuda itu... pemuda itu dibawa ke suku bangsa U-min, diserahkan ke raja Cucigawa..!”
“Apa?”
“Beb... benar... aduh, ampun, hujin. Jangan keras-keras kau memijat tengkukku! Suamimu itu dibawa ke sana. Pemimpin kami hendak meminta tukar bantuan pasukan raja itu. Aduh, lepaskan tanganmu...!”
Mei Hoa mendepak. Tiba-tiba dia kaget sekali mendengar itu. Lawannya seketika terlempar dan masuk sungai, terjelungup. Dan ketika nyonya itu merah padam dan memandang yang lain tiba-tiba enam orang lawannya itu menjatuhkan diri berlutut, menangis sekaligus meringis menahan sakit, jarum menancap di tubuh masing-masing.
“Am.... ampun....” mereka merintih. “Kami tak tahu apa-apa, hujin.... kami hanya perajurit-perajurit rendahan...!”
“Hm, aku tahu. Tapi kalian tentu dapat menunjukkan di mana kakek Hulai itu bersembunyi. Dia bertanggung jawab tentang ini!”
“Pemimpin kami langsung ke Cucigawa. Dia ke sana...”
“Ke bangsa U-min itu? Minta perlindungan?”
“Beb.... benar, hujin. Kami.... aduh, des-des-dess!” orang-orang itu mencelat.
Mei Hoa tak dapat menahan kemarahannya lagi dan ditendanglah mereka-mereka itu. Nyonya ini segera membentak dan menyambar kudanya, perajurit-perajurit itu sudah pingsan dan kecebur di air. Dan ketika dia mengeprak dan membedal kudanya maka Mei Hoa sudah terbang ke bangsa U-min untuk mengejar sekaligus menangkap kakek Hulai, juga menyelamatkan suaminya yang akan diserahkan ke Cucigawa.
Jauh di luar tembok perbatasan. Bangsa U-min, yang dipimpin dan dikendalikan oleh Cucigawa adalah bangsa yang oleh bangsa Tiongkok disebut sebagai bangsa setengah liar. Mereka memang dulunya begitu tapi sekarang keadaan sudah berubah. Sejak belasan tahun yang lalu di mana Cao Cun menjadi permaisuri Raja Hu maka bangsa ini perlahan tetapi pasti sudah mengalami banyak kemajuan.
Mereka tidak lagi merupakan bangsa yang “buta huruf” melainkan bangsa yang sudah dapat baca tulis. Mereka sudah mulai mengenal kesusasteraan dan cara berpikir merekapun tergolong maju dibanding bangsa-bangsa lain. Orang-orangnya juga sudah banyak yang belajar ilmu silat dan kehidupan sehari-hari termasuk tenteram.
Pertanian merekapun sudah lagi tidak berpindah-pindah menebang hutan melainkan sudah mampu membuat irigasi untuk mengairi sawah-sawah mereka. Hidup mereka akhir-akhir ini memang tergolong baik dan mapan, meskipun mereka masih harus memberi upeti kepada kaisar di kota raja sebagai tanda bakti mereka.
Tapi ketika pagi itu serombongan pasukan memasuki wilayah ini dan di tengah-tengah pasukan itu tampak terkurung seorang pemuda maka bangsa U-min menjadi heran di samping terkejut. Itulah pasukan Uighur yang membawa Ituchi. Pemuda ini, setelah jatuh di lubang dan menghadapi hujan batu akhirnya pingsan dan tak sadarkan diri. Dia tak tahu apa-apa ketika semalam penuh pasukan itu membawanya.
Tapi ketika pagi itu mereka memasuki wilayah bangsa U-min dan perlahan-lahan Ituchi mulai sadar maka pemuda itu membuka mata dan tertegun ketika seluruh tubuhnya tak dapat digerakkan dan kaku serta membujur kaku di sebuah lantai yang dingin. Ituchi meram-melek dan mendengar langkah-langkah kuda. Dia tak dapat menoleh atau melihat ke kiri kanan.
Tubuhnya diikat erat dan pemuda ini bak seekor babi yang baru ditangkap pemburu, sama sekali tak dapat bergerak. Tapi ketika telinganya mendengar percakapan-percakapan dan dia akhirnya ingat bahwa dirinya berhadapan dengan orang-orang Uighur maka Ituchi tersentak ketika orang-orang mulai ramai membicarakan Cucigawa.
“Kita sebaiknya berhenti jangan di tengah kota. Sebagian di sini dulu dan yang lain menghadap Cucigawa. Serahkan surat pemimpin dan dengar pendapatnya. Kalau setuju, barulah kita masuk. Kalau tidak, kita kembali pulang dan menyerahkan tawanan kita kepada pemimpin!”
“Hm, benar. Dan kau sebaiknya ke sana, Ma-twako (kakak Ma). Biarlah kami di sini dan berjaga-jaga.”
“Baik, kalian di sini dulu. Awas, pemuda itu mulai siuman!”
Ituchi mendengar langkah dan seruan seseorang, cepat menutup mata dan pura-pura pingsan kembali sementara tiba-tiba dia mengatur napas. Dia berdetak ketika mendengar bahwa dirinya akan dibawa ke Cucigawa, saudara sekaligus musuhnya yang paling dibenci. Dan ketika orang menoleh namun melihat pemuda itu “tidur”, masih pucat maka Ma-twako heran dan dianggap teman-temannya terlalu ketakutan.
"Aku melihat pemuda itu membuka matanya, sungguh mati. Tak mungkin aku salah!”
“Sudahlah, betapapun dia dalam keadaan terikat erat, twako. Dan kita juga sudah di wilayah Cucigawa. Bangsa U-min tentu akan membantu kita kalau pemuda itu bangkit melawan. Cepatlah, kau menghadap padanya dan katakan perihal ini!”
“Baik, hati-hati!” dan Ma-twako yang rupanya pemimpin dan mengendalikan teman-temannya lalu menderapkan kuda dan bersama sepuluh orang temannya laki-laki ini ke tengah kota.
Ituchi mendengar langkah-langkah kaki banyak orang dan pasukan Uighur ini rupanya sibuk menjaga dirinya, karena ketika orang-orang itu akan mendekat tiba-tiba saja diminta mundur oleh orang-orang Uighur ini. Dari percakapan yang campur aduk akhirnya Ituchi tahu bahwa suku bangsanya, orang-orang U-min telah melihat dan mendatangi orang-orang Uighur ini. Mereka bertanya jawab dan orang-orang Uighur berkata bahwa mereka membawa tawanan, akan menyerahkannya kepada raja dan orang-orang itu mendesak siapakah tawanan itu.
Orang Uighur ragu menjawab dan desak-mendesak akhirnya terjadi, orang-orang itu mendorong dan menyeruak maju. Dan karena orang Uighur berada di wilayah lawan dan orang U-min tentu saja berhak tahu siapakah pemuda di dalam kerangkeng itu maka beberapa suara akhirnya mengeluarkan seruan tertahan ketika mengenal Ituchi.
“Pangeran kita, Hu-ongya!”
“Sst, siapa berani bicara keras-keras? Tahan mulut kalian, kawan-kawan. Kita berada di daerah yang penuh dengan orang-orangnya Cucigawa!”
Ituchi berdetak. Tiba-tiba saja beberapa mulut saling berbisik dan berkata-kata lirih. Yang bicara pertama dan kedua tadi jelas adalah orang-orang yang tak senang kepada rajanya. Mereka itu menyambut dirinya dengan seruan kaget dan heran. Tapi ketika beberapa yang lain mendengus dan mengejek tertawa maka Ituchi tahu bahwa yang bicara pertama tadi benar, ada orang-orang Cucigawa di situ.
“Huh, antek kaisar Cina? Kalian menangkap dan membawanya ke mari? He, langsung saja menghadap raja kami, sobat-sobat. Bawa dia ke tengah kota dan serahkan di sana!”
“Nanti dulu!” beberapa orang Uighur menjawab, berseri. “Pemimpin kami sedang menghadap pemimpin kalian, sobat-sobat. Kami harus menghormati wilayah tuan rumah dan tidak langsung masuk. Pemimpin kami sedang minta ijin, biarlah kami tunggu dan setelah itu tentu ke sana!”
“Ha-ha, bagus. Tapi kami ingin menghajarnya di sini sebelum kalian serahkan kepada raja. Buka kerangkeng itu dan biarkan kami mendaratkan beberapa bogem mentah!”
“Eh, jangan. Nanti dulu, sobat. Tunggu. Kami tak ingin menyerahkan tawanan dalam keadaan babak-belur!” dan ketika orang-orang Uighur ramai mencegah orang-orang itu, kaki tangan Cucigawa maka Ituchi menahan napas dan siap membuka tali ikatan. Saat itu dia terpecah konsentrasinya antara mengerahkan sinkang dan mendengarkan percakapan orang-orang ini.
Dengan cepat dia dapat menarik kesimpulan bahwa dirinya dalam bahaya besar. Dia akan diserahkan ke Cucigawa, orang yang pasti senang menerimanya. Tapi ketika dia menahan napas dan siap memberontak tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan puluhan orang muncul, mengiring atau mengawal seorang laki-laki tinggi besar yang bertopi bulu....
“Maaf, racun yang amat berbahaya dilontarkan wanita ini, Mei Hoa. Aku terpaksa membunuhnya karena dia menghina dan membuat aku marah. Ada berita penting untukmu, Ituchi tertangkap. Kita harus segera menolongnya dan terserah bagaimana kau!”
“Apa?” Mei Hoa berubah. “Dia... dia tertangkap?”
“Benar, dan beberapa perajuritku melapor, Mei Hoa. Mereka telah melihat itu. Aku mencari-carimu tapi baru di sini aku menemukanmu. Nah, bantu kami menghantam orang-orang itu dan mari berangkat sekarang juga!”
Mei Hoa memekik. Tiba-tiba saja dia melupakan wanita Uighur itu dan sudah berkelebat ke depan. Dia memang sudah di luar pintu gerbang dan dengan cepat terbang menuju ke bangsa Uighur itu. Tapi ketika Hok-ciangkun bergerak dan menyambar lengannya, menyuruh berhenti maka panglima itu menangkap lengannya dan berseru,
“Mei Hoa, nanti dulu. Jangan gegabah. Jangan pergi sendiri dan dengarkan kata-kataku!”
Tapi ketika Mei Hoa membentak dan balas mengipatkan lengan, mendorong dan menggerakkan kakinya lagi akhirnya wanita atau nyonya muda itu melengking-lengking. “Paman Hok, jangan halangi aku. Aku akan membunuh dan membebaskan Ituchi!”
Hok-ciangkun tertegun. Matahari telah mulai terang dan perbukitan di seberang perbatasan itu tampak jelas. Mei Hoa telah berkelebat dan terbang ke situ, mulutnya melengking-lengking. Tapi ketika panglima ini tersenyum aneh dan mengibaskan lengan ke belakang, menyuruh pembantu atau perajurit-perajuritnya bergerak tiba-tiba panglima ini telah meloncat dan mengejar Mei Hoa. Hok-ciangkun mengeluarkan ilmu lari cepatnya dan tiba-tiba saja panglima ini ingin menguji.
Mei Hoa yang ada di depan tiba-tiba disusul dan kagumlah panglima ini karena tak begitu mudah dia mengejar lawan. Mulut berseru berulang-ulang agar Mei Hoa berhenti, tak tahunya malah tancap gas dan Hok-ciangkunpun terpaksa mengerahkan segenap kekuatan. Dan ketika mereka akhirnya berendeng dan Hok-ciangkun membentak mencengkeram lengan wanita ini tiba-tiba Mei Hoa menangkisnya dengan marah.
“Jangan aku diganggu.... duk!” dua lengan beradu amat keras, Mei Hoa mengerahkan sinkangnya namun Hok-ciangkun juga melakukan hal yang sama. Panglima itu terpental sementara Mei Hoa juga terjelungup, hampir saja mencium tanah. Tapi ketika Mei Hoa berseru keras dan berjungkir balik, menyelamatkan dirinya maka Mei Hoa sudah berdiri lagi dengan muka terbakar memandang lawan, yang juga sudah berjungkir balik dan diam-diam kaget bahwa wanita itu memiliki sinkang yang kuat hingga sanggup menghadapi sinkangnya.
“Paman Hok, apa yang kau lakukan ini? Kau berani menyerangku? Kau hendak menghalang-halangi aku?”
“Maaf.... maaf...!” sang panglima buru-buru membungkuk, mengebut-ngebutkan ujung bajunya. “Aku tak bermaksud menyerangmu, Mei Hoa, melainkan mencegah agar kau tidak seorang diri ke bangsa Uighur. Mereka itu berbahaya, dan lagi jumlahnya ribuan. Kau hanya seorang diri dan tak mungkin menghadapi mereka itu!”
“Aku tidak takut, aku tidak gentar! Aku datang ke sana untuk menyelamatkan suamiku!”
“Hm, benar. Tapi, ah.... maaf, jangan ke sana sendirian, Mei Hoa. Mari kuantar dan bersama pasukanku tentu kau dapat lebih banyak berhasil. Aku dapat mendampingimu menghadapi orang-orang Uighur itu....”
“Tidak! Aku tak mau bersamamu atau siapapun, paman. Kalau kau mau ke sana silahkan, kita sendiri-sendiri dan aku tak mau mendengar sepak terjang anak buahmu itu, juga dirimu!”
“Hm, kau termakan mulut wanita busuk itu? Kau percaya omongannya? Baiklah, boleh kau pergi, Mei Hoa. Aku tak akan menghalang-halangi dan mudah-mudahan kau selamat di sana!” dan mundur membiarkan Mei Hoa melakukan keinginannya tiba-tiba panglima ini tampak sedih dan tidak mengganggu si nyonya lagi, membuat Mei Hoa tertegun dan ragu dan tentu saja wanita ini bimbang. Namun karena Ituchi tertangkap dan berita itu mengguncangkan perasaannya tiba-tiba Mei Hoa terisak dan melanjutkan larinya lagi, berkelebat.
“Paman Hok, sementara ini cerita itu biarlah tak kuperdulikan dulu. Tapi kelak kalau cerita itu benar tentu aku tak sudi lagi bergaul denganmu. Maaf, urusan suamiku jauh lebih penting dari yang lain-lain dan terserah apakah kau akan menyerang bangsa Uighur itu atau tidak!”
Hok-ciangkun mengerutkan keningnya. Mei Hoa sudah terbang lagi ke depan dan kata-kata itu terasa pedas baginya. Tapi tersenyum aneh dan mengeluarkan ejekan ditahan tiba-tiba panglima ini membalik karena para pembantunya tadi sudah menyusul tiba, datang dan semua terbelalak melihat Mei Hoa, yang lenyap dan akhirnya tak tampak lagi bayangannya karena sudah menghilang di balik bukit. Dan ketika panglima itu memberikan aba-aba bahwa mereka harus kembali dan melakukan serangan besar-besaran maka bangsa Uighur siap digempur dari dua jurusan oleh panglima ini dan Mei Hoa.
* * * * * * * *
“Mana suamiku, kalian apakan dia!” Mei Hoa langsung melengking ketika tiba di tempat suku bangsa Uighur ini. Wanita itu membentak dan langsung menyambar dua orang penjaga, membantingnya dan menginjak-injak geram. Dan ketika dua orang itu menjerit dan tentu saja terkejut, sudah di bawah injakan Mei Hoa maka mereka diancam untuk menunjukkan di mana suami wanita itu beradai.
“Cepat, atau aku akan membunuh kalian!”
Dua orang itu ah-uh-ah-uh. Mereka, seperti bangsa Uighur yang lain masih saja merasa kecut dan gentar oleh serbuan Ituchi. Kegagahan dan keperkasaan pemuda itu membuat mereka kagum, meskipun marah. Dan ketika pagi itu Mei Hoa langsung datang dan membentak mereka, yang kebetulan pertama kali dilihat maka dua laki-laki ini tak dapat menjawab karena mereka pucat dan kaget oleh gerakan Mei Hoa yang luar biasa cepat.
“Ka... kami tak tahu. Kau.... kau siapa....!”
“Bedebah! Balik bertanya sebelum menjawab? Aku mencari suamiku, tikus-tikus busuk. Lekas katakan atau injakan ini akan menghancurkan dada kalian!”
Dua orang itu bingung. Mereka tentu saja tak tahu apa yang dimaksud Mei Hoa, siapa suami nyonya itu karena Mei Hoa tak menyebutkan namanya. Kalau saja langsung disebut Ituchi barangkali mereka tahu, tapi karena Mei Hoa tak menyebutkan itu dan datang-datang wanita ini membanting dan menginjak mereka, sungguh seperti wanita gila maka dua orang itu malah gemetaran dan tidak dapat menjawab. Akibatnya Mei Hoa marah dan saat itu bayangan laki-laki Uighur muncul.
Itulah penjaga-penjaga yang melihat atau mendengar bentakan Mei Hoa, juga rintihan dua teman mereka itu yang tidak dapat menjawab pertanyaan. Dan ketika dua orang itu masih juga ah-uh-ah-uh dan mereka tak segera menjawab tiba-tiba Mei Hoa mengerahkan tenaganya dan injakan itu menghancurkan dada lawan yang seketika menjerit tinggi.
“Aduh...!”
Dua laki-laki itu menggelepar binasa. Mereka tak sanggup lagi menahan ketika Mei Hoa mengerahkan segenap tenaganya. Kemarahan dan kekhawatiran yang sangat membuat Mei Hoa mata gelap, langsung membunuh dua laki-laki itu dan teriakan dua orang ini tentu saja membuat para penjaga yang berkelebatan terkejut. Mereka baru saja diserang Ituchi dan kegemparan yang dibuat pemuda itu masih juga belum hilang. Kini kalau tiba-tiba ada musuh menyerbu mereka tentu mudah terkejut. Maka begitu terkesiap dan kaget oleh jeritan itu tiba-tiba mereka melihat bayangan Mei Hoa yang saat itu justeru memapak mereka.
“Bangsa Uighur keparat, di mana suamiku dan kalian apakan dia!”
Orang-orang itu terpekik. Mereka melihat sesosok bayangan menyambar bagai burung garuda, menerkam dan mereka tentu saja berteriak dan satu sama lain memberi aba-aba. Tapi karena yang datang adalah Mei Hoa dan gerakan wanita itu secepat burung maka belasan laki-laki Uighur yang baru datang ini tiba-tiba sudah berpelantingan tak keruan ketika tamparan atau pukulan mendarat di tubuh mereka.
“Aduh.... des-des-dess!”
Orang-orang itu mencelat terlempar ke sana ke mari. Mereka tak sanggup mengikuti bayangan Mei Hoa dan tiba-tiba saja sudah roboh jungkir balik. Senjata yang ada di tangan ikut mencelat dan entah ke mana. Namun ketika mereka bergulingan meloncat bangun dan melihat siapa lawan mereka itu mendadak saja belasan orang ini bengong dan membuka mata lebar-lebar.
“Aih, seorang wanita cantik....!”
“Agaknya bidadari!”
“Tapi gila!” dan ketika seruan atau ucapan itu susul-menyusul maka Mei Hoa, yang sudah berdiri dan bertolak pinggang di situ tiba-tiba membentak dan bertanya lagi di mana suaminya.
“Katakan kepadaku atau kalian semua kubunuh, seperti itu!” wanita ini menuding dua mayat pertama, tentu saja membuat orang-orang itu terkejut tapi juga marah.
Seketika mereka sadar bahwa wanita cantik ini telah melakukan pembunuhan. Dan melihat bahwa Mei Hoa adalah wanita Han, bangsa yang dibenci suku Uighur tiba-tiba belasan orang itu berteriak dan menyambarnya senjatanya masing-masing, setelah tahu mencelat ke mana.
“Gadis Han, musuh kita. Tangkap dan bunuh dia!”
“Tidak, jangan bunuh, kawan-kawan, Tapi permainkan dan belejeti dia!” dan ketika orang-orang itu menerjang dan menusuk membabi-buta, semuanya mempergunakan tombak tiba-tiba saja Mei Hoa yang sebelumnya sudah marah menjadi semakin marah mendengar itu.
Dia bergerak ke kiri kanan ketika tombak-tombak itu menusuk, mengelak dan menangkis dan tiba-tiba saja belasan orang lawannya itu berteriak kaget. Mereka kehilangan wanita ini karena Mei Hoa mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya untuk berkelebatan di depan lawan. Dan ketika semua orang terkejut dan berseru tertahan maka saat itulah tangannya kembali bergerak dan laki-laki yang mengatakan ingin menangkap dan membelejeti tubuhnya tiba-tiba sudah terlempar dan menjerit dengan kepala pecah.
“Kau mampus lebih dulu... prak!”
Bentakan atau seruan itu disusul terbantingnya tubuh laki-laki ini. Laki-laki itu hanya sempat berteriak sekali dan setelah itu diam, bagian belakang kepalanya retak. Dan ketika yang lain-lain terkejut tapi Mei Hoa terus berkelebatan membagi-bagi pukulan atau tamparannya maka yang lain-lain sudah bergelimpangan menyusul dan roboh dengan keluhan-keluhan tertahan. Akhirnya Mei Hoa sudah berhasil membereskan lawan-lawannya ini namun teriakan atau jerit orang-orang itu sempat didengar bangsa Uighur.
Mei Hoa sendiri baru saja mengusap lengannya yang penuh darah ketika tiba-tiba ratusan orang muncul, bergerak dan membentaknya dari sini-sini dan gegerlah orang-orang Uighur itu melihat mayat-mayat teman mereka yang bergelimpangan mandi darah. Tandang Mei Hoa tak kenal ampun dan kehadiran wanita itu tentu saja mengagetkan orang-orang ini, di samping marah dan gusar karena begitu dinginnya wanita itu membunuh lawan-lawannya. Dan ketika mereka berteriak dan memberi aba-aba, bahwa di pagi itu datang musuh menyatroni maka bergeraklah satu pasukan besar yang menerjang wanita ini, berderap di atas kudanya.
“Serang! Tangkap wanita ini. Bunuh...!”
Mei Hoa mengerutkan keningnya. Di saat dia baru mengusap peluh tiba-tiba saja pasukan besar itu sudah bergerak. Kebetulan, dia memang akan menghajar orang-orang ini. Maka begitu lawan berteriak dan dirinya sudah dihujani panah atau tombak maka Mei Hoa mencabut pedangnya dan dengan pedang itulah dia menangkis dan memutarnya cepat melindungi tubuh.
“Crang-cring-crang-cringg!”
Lawan dibuat terbelalak. Panah dan tombak yang menghujani wanita itu tiba-tiba terpental semuanya dan patah-patah. Orang benar-benar dibuat kaget tapi juga kagum. Tapi karena belasan mayat terkapar di situ dan bangsa Uighur tahu bahwa itulah teman-teman mereka yang telah dibunuh wanita ini maka Mei Hoa diserang lagi dan bentakan atau makian tiba-tiba menggetarkan perbukitan.
Mei Hoa harus menangkis sana-sini dengan cepat kalau tak mau menjadi korban. Pedangnya bergerak secepat kitiran namun lawan yang rata-rata di atas kuda merepotkan juga. Kuda yang berseliweran naik turun mengacau pandangan, apa boleh buat Mei Hoa harus melakukan lompatan tinggi dan berjungkir balik di atas seorang penyerang yang kudanya hampir menyepak pundak. Dan ketika Mei Hoa melayang turun dan laki-laki itu kalah cepat maka pedangnya menusuk ke bawah dan terjungkallah perajurit itu oleh pedang di tangan Mei Hoa.
Selanjutnya Mei Hoa sudah ganti di atas kuda dan dengan kuda inilah nyonya itu melengking-lengking menghadapi lawan. Lawan yang berderap di sekelilingnya juga diikuti dengan derap dan lari kudanya, yang meringkik dan menendang-nendang saking kuatnya Mei Hoa menjepit perut kuda. Dan ketika lawan tercekat karena Mei Hoa ternyata pandai pula di atas kudanya maka pedang itu bergerak ke sana ke mari mendapatkan korban-korban baru.
“Crep-crep-augh..!”
Empat tubuh bergelimpangan. Pedang Mei Hoa sudah mulai mencium darah lawan dan itu membuat bangsa Uighur marah. Mereka hanya menghadapi seorang wanita saja tapi justeru dibuat kelabakan. Wanita itu berputaran di sekeliling mereka dan ke manapun pedang di tangan wanita itu bergerak pasti sebuah nyawa melayang. Gusarlah orang-orang itu dan akhirnya sebuah aba-aba menyuruh mereka menjauh.
Seorang kakek gagah muncul di sebelah kiri dan Mei Hoa terbelalak tak mengenal kakek itu. Inilah Hulai pemimpin bangsa Uighur. Dan ketika panah mulai dilepaskan tapi Mei Hoa dapat menangkis dan meruntuhkan itu maka tiba-tiba kakek ini menyuruh pasukannya ke Lembah Hijau.
“Mundur... semua mundur. Kita ke Lembah Hijau!”
Mei Hoa tak mengenal. Dia tak tahu bahwa di situlah suaminya tertangkap. Sebuah jebakan telah dipasang orang-orang Uighur ini dan sebenarnya bukan hanya sebuah melainkan banyak sumur-sumur dalam yang telah digali orang-orang Uighur itu. Mereka melakukan ini untuk menghadapi pasukan Hok-ciangkun, kalau mereka dipaksa mundur dan terdesak. Maka begitu kakek Hulai memberi aba-aba dan dari atas kudanya kakek itu melihat betapa lihainya Mei Hoa maka cepat pasukannya ditarik mundur dan Mei Hoa tak sadar mengejar lawan-lawannya ini.
“Hei, jangan pengecut. Jangan lari. Hayo hadapi aku dulu dan di mana suamiku Ituchi!”
Terkejutlah orang-orang itu. Sekarang tahulah mereka siapa kiranya wanita garang ini. Kiranya isteri Ituchi, pemuda yang sudah mereka tangkap. Tapi karena pemimpin mereka sudah berseru dan semua mundur ke Lembah Hijau, siap menjebak dan menangkap wanita ini maka semuanya lari berserabutan tapi tiba-tiba dari kiri dan kanan muncul pasukan Hok-ciangkun.
“Hulai, kami datang lagi. Menyerahlah, atau pasukanmu kami hancurkan!”
Bangsa Uighur terkejut. Di pagi-pagi yang masih dingin tiba-tiba saja mereka dibuat kacau oleh semuanya itu. Pertama wanita yang belum dapat mereka tundukkan ini dan sekarang Hok-ciangkun bersama pasukannya. Celaka. Mereka pucat dan kakek Hulai juga terbelalak dan berobah mukanya melihat itu. Tadi sewaktu tidur kakek ini tiba-tiba dibangunkan seorang pembantunya bahwa di pagi itu ada seorang wanita mengamuk. Mereka tak tahu siapa itu dan belasan perajurit mereka roboh. Semuanya dibunuh atau dibantai wanita itu.
Hulai sang kakek gagah terkesiap dan bertanya siapa itu, tak tahu dan dijawab bahwa wanita itu adalah wanita Han, bangsa yang menjadi musuh mereka dan kini dikeroyok pasukan berkuda. Dan ketika kakek itu bangun dan menyambar tombaknya, juga anak panah serta gendewa maka tiba-tiba saja sekarang pasukan Hok-ciangkun muncul.
“Keparat!” kakek itu memekik. “Kabur Lembah Hijau, anak-anak. Cepat.... cepat kalian lari!”
“Ha-ha!” Hok-ciangkun tertawa bergelak di atas kudanya. “Lari atau tidak sekarang kalian mampus, Hulai. Menyerahlah, atau kau dan pasukanmu kubunuh.... singg!” sebatang panah menjepret menuju dada kakek ini, dikelit tapi masih juga menancap di pundak. Itulah serangan Hok-ciangkun yang garang di atas kudanya. Kakek ini terkejut. Tapi ketika dia mengeluh dan hampir roboh, ditahan seorang anak buahnya maka kakek ini lari dan mencengklak kudanya.
“Kejar.... kejar kakek itu!” Hok-ciangkun tentu saja tak membiarkan, maju dan mengamuk dengan pedangnya namun pasukan Uighur melindungi sang pemimpin dengan gagah.
Mereka membentak dan menghalang-halangi dan panglima ini harus menghadapi puluhan bahkan ratusan pasukan Uighur. Anak buahnya juga bergerak namun itu tak menolongnya cepat. Orang-orang Uighur berani mati melindungi pemimpinnya, sama seperti dulu ketika mereka bentrok dan perang di padang rumput. Dan ketika dua pasukan itu berlaga dan masing-masing sama mengangkat senjata maka Mei Hoa yang tertutup jalannya segera memaki pasukan Hok-ciangkun itu.
“Bedebah, minggir kalian... minggir!”
Pasukan Hok-ciangkun didorong. Sekarang Mei Hoa tahu bahwa itulah Hulai, pemimpin bangsa Uighur. Namun ketika kakek itu melarikan diri dan pasukannya melindungi dengan gagah maka nyonya ini menerjang dan membabatkan pedangnya ke sana ke mari. Orang-orang Uighur berteriak dan robohlah mereka satu per satu. Memang tak akan ada yang dapat menandingi wanita ini. Tapi karena jumlah mereka banyak sementara pasukan Hok-ciangkun sudah berbaur dengan lawan-lawan mereka maka Mei Hoa dapat mengejar tetapi lambat, membentak dan melengking-lengking dan robohlah lawan-lawannya dicium pedangnya.
Wanita itu memanggil-manggil Hulai dan kakek gagah itu akhirnya menyuruh pasukan memberi jalan. Setiap Mei Hoa menerjang tiba-tiba pasukan Uighur menyibak, tentu saja membuat Mei Hoa girang tapi tidak menyadari bahaya. Hulai, pemimpin bangsa Uighur itu hendak menjebaknya di Lembah Hijau, tempat yang membuat Ituchi terperangkap dan tak berdaya.
Tapi ketika Mei Hoa memasuki jalan yang diberikan lawannya dan Hok-ciangkun serta pasukannya juga mempergunakan kesempatan itu, mengikuti di belakang, maka Hulai dan pasukannya terkejut. Bukan maksud kakek itu untuk memberikan jalan kepada Hok-ciangkun dan pasukannya. Yang dimaksudkan kakek itu hanyalah Mei Hoa. Tapi karena lawan sudah menyerbu dan pasukan Uighur terdesak, mundur-mundur, maka apa boleh buat kakek ini menggeram dan nnengeprak kudanya ke Lembah Hijau.
“Biarkan mereka itu.... biarkan. Mari ikuti aku dan kita merobohkan lawan di sana!”
Pasukan Hok-ciangkun bersorak. Sekarang mereka memburu lawan yang kabur melarikan diri, juga tak menyadari bahaya yang sedang dipasang kakek itu. Dan ketika semua membalikkan tubuh dan berderap melarikan kudanya tiba-tiba barulah pasukan Hok-ciangkun terpekik ketika seorang dua terjungkal dan menjerit dilubang jebakan.
“Aduh...!”
“Aaaaa...!”
Pasukan Hok-ciangkun pucat. Mereka mendengar teriakan dua orang temannyai itu dan tiba-tiba mereka tertegun. Hok-ciangkun sendiri hampir terperangkap jebakan tapi keburu berjungkir balik meninggalkan kudanya, yang sudah terperosok dan meringkik di dalam sumur yang dalam. Dan ketika panglima itu mengumpat caci sementara anak buahnya bengong terlongong-longong mendadak menyambarlah hujan panah ke arah pasukan itu. Tak ampun pasukan Hok-ciangkun menjerit dan roboh terlempar, pasukan Uighur sudah bersorak-sorai dan kini membaliklah mereka menyerang lawannya itu.
Pasukan Hok-ciangkun panik dan larilah mereka ke sana ke mari, hal yang disengaja oleh pasukan Uighur karena tiba-tiba pasukan Hok-ciangkun itu terjeblos dan memasuki lubang-lubang jebakan yang lain. Dan ketika teriakan dan jeritan terdengar menggetarkan hutan maka Mei Hoa, yang ada di depan dan juga tidak menyangka akan itu sudah terjeblos dan masuk ke sumur yang dalam, bersama-sama kudanya.
“Aiihhh...!” Mei Hoa kaget bukan main. Sama seperti Ituchi kemarin kuda yang ditunggangi wanita ini patah lehernya, terbanting dan tertekuk di dalam lubang. Tapi karena Mei Hoa tak menghadapi keroyokan dan pasukan Uighur sedang berhadapan dengan pasukan Hok-ciangkun maka ketika wanita itu berjungkir balik dan meloncat ke atas maka ia tiba kembali dengan selamat di bibir sumur, langsung membentak dan memaki tiga orang Uighur yang ada di dekat situ, menghantam dan melepas pukulan jarak jauh hingga mereka menjerit terlempar, tewas seketika. Dan ketika Mei Hoa berkelebat dan menyambar kuda yang kehilangan tuannya maka wanita atau nyonya ini sudah mendapatkan kuda pengganti.
“Keparat, jahanam terkutuk!” Mei Hoa memaki-maki. “Kiranya ini yang kalian harapkan, orang-orang Uighur. Perbuatan pengecut dan curang. Hiaattt, mampuslah kalian.... des-des-dess!" dan Mei Hoa yang melengking dan naik turun di atas kudanya tiba-tiba sudah melepas kemarahan dengan menghajar lawan-lawannya yang ada di sekitar, didatangi dan ditampar dan setiap kali itu pula pasti jeritan ngeri terdengar. Mei Hoa menjadi ganas dan beringas sepak terjangnya karena segeralah dia mengerti bahwa itulah kira-kira yang terjadi pada suaminya. Ituchi terjebak dan dicurangi orang-orang ini.
Maka ketika nyonya itu memekik-mekik sementara Hok-ciangkun dan pasukannya juga mengamuk di sana maka pasukan Uighur terdesak hebat dan banyak di antara mereka yang menjadi korban pembantaian sia-sia. Kakek Hulai yang melihat itu berobah mukanya dan melepas panah-panah besar, menggeram dan mengutuk dan lawanpun terjungkal satu per satu. Tapi ketika panah-panah itu diarahkan kepada Hok-ciangkun maupun Mei Hoa tapi selalu terpental, bahkan patah-patah maka kakek ini gelisah dan akhirnya menyuruh pasukannya mengeluarkan panah api.
“Bakar mereka itu! Kita keluar dari hutan!”
Orang-orang seketika berteriak. Pasukan Hok-ciangkun terkejut ketika panah-panah api berhamburan. Mereka menangkis tapi api yang jatuh di rumput kering segera menjilat ke atas, membakar hutan. Dan karena Lembah Hijau adalah lembah yang penuh pohon-pohon bambu, di mana daun keringnya berserakan di tanah maka orang-orang Hok-ciangkun itu panik ketika tanah berkeratak dan apipun menjilat mereka.
“Keluar, semua mundur...!”
Hok-ciangkun terpaksa memberi perintah. Lawan sudah melarikan diri dan mereka itu mengenal medan, tak berani dikejar karena Hok-ciangkun takut pasukannya dijebak lagi. Jangan-jangan di depan ada lagi sumur-sumur lain yang akan menjebloskan mereka. Dan ketika pasukannya mundur sementara hutan itu terbakar hebat maka Lembah Hijau tiba-tiba menjadi lembah neraka dengan apinya yang menjilat-jilat ke atas, api dari daun-daun kering atau ranting-ranting yang terbakar.
Tapi lain pasukan Hok-ciangkun lain pula Mei Hoa. Wanita ini, yang masih belum mendapatkan suaminya tiba-tiba mengejar lawan yang pucat melarikan diri. Mei Hoa membentak-bentak di belakang dan orang-orang Uighur yang ada di depannya dibuat panik ketika kedua lengannya bergerak-gerak ke depan. Mereka yang tak mendapat pukulan jarak jauh tiba-tiba mendapat jarum-jarum halus yang dilepas nyonya ini, terpekik dan terjungkal dan Mei Hoa terus mengejar mereka yang ada di depan. Tujuan wanita ini adalah Hulai karena kakek itulah yang dianggap bertanggung jawab atas tertangkapnya suaminya.
Tapi ketika kakek itu dilindungi pasukannya dan berkali-kali mereka masuk keluar hutan, mengenal medan dan melepas panah-panah berhamburan maka Mei Hoa agak tersendat dan terganggu pengejarannya. Kakek itu akhirnya hilang dan Mei Hoa marah bukan main. Empat kali dia dibawa masuk keluar hutan dan setiap kali itu pula lawan bermain kucing-kucingan, kadang di kiri dan kadang di kanan dan hujan panah selalu menghalang pandangan wanita ini. Dan ketika kakek itu lenyap sementara pasukannya berpencar ke sana-sini tiba-tiba Mei Hoa membentak belasan pasukan Uighur yang mau melintasi sungai.
“Hei, berhenti kalian. Atau semua kubunuh.... ser-ser!” tujuh jarum hitam menyambar, langsung merobohkan tujuh orang di depan dan pasukan Uighur itu berteriak. Mereka terjungkal dan masuk ke sungai, yang selamat segera mencengklak kudanya dan kabur secepat setan. Dan ketika tujuh orang itu merintih dan Mei Hoa berjungkir balik dari atas kudanya maka wanita atau nyonya itu sudah mencengkeram dan menyambar seorang di antaranya, menghardik,
“Bicaralah, atau kau kubunuh!” dan memijat jalan darah di tengkuk tiba-tiba perajurit itu menjerit dan berteriak kesakitan. Yang lain roboh tumpang-tindih dan membiarkan diri basah kuyup. Maklumlah, mereka jatuh ke sungai tapi untung sungai itu tidak dalam. Airnya tidak deras dan itu tak membuat mereka hanyut, meskipun kini mereka berada dalam bahaya karena Mei Hoa yang marah siap menyiksa dan membunuh mereka. Dan ketika perajurit itu merintih dan bertanya apa yang diminta Mei Hoa maka Mei Hoa bertanya tentang suaminya itu.
“Sudah kusebutkan berkali-kali, kau tentu tidak tuli. Di mana suamiku dan kalian apakan dia!”
“Ah, maksud.... maksud hujin adalah Hu-ongya? Pemuda itu... pemuda itu dibawa ke suku bangsa U-min, diserahkan ke raja Cucigawa..!”
“Apa?”
“Beb... benar... aduh, ampun, hujin. Jangan keras-keras kau memijat tengkukku! Suamimu itu dibawa ke sana. Pemimpin kami hendak meminta tukar bantuan pasukan raja itu. Aduh, lepaskan tanganmu...!”
Mei Hoa mendepak. Tiba-tiba dia kaget sekali mendengar itu. Lawannya seketika terlempar dan masuk sungai, terjelungup. Dan ketika nyonya itu merah padam dan memandang yang lain tiba-tiba enam orang lawannya itu menjatuhkan diri berlutut, menangis sekaligus meringis menahan sakit, jarum menancap di tubuh masing-masing.
“Am.... ampun....” mereka merintih. “Kami tak tahu apa-apa, hujin.... kami hanya perajurit-perajurit rendahan...!”
“Hm, aku tahu. Tapi kalian tentu dapat menunjukkan di mana kakek Hulai itu bersembunyi. Dia bertanggung jawab tentang ini!”
“Pemimpin kami langsung ke Cucigawa. Dia ke sana...”
“Ke bangsa U-min itu? Minta perlindungan?”
“Beb.... benar, hujin. Kami.... aduh, des-des-dess!” orang-orang itu mencelat.
Mei Hoa tak dapat menahan kemarahannya lagi dan ditendanglah mereka-mereka itu. Nyonya ini segera membentak dan menyambar kudanya, perajurit-perajurit itu sudah pingsan dan kecebur di air. Dan ketika dia mengeprak dan membedal kudanya maka Mei Hoa sudah terbang ke bangsa U-min untuk mengejar sekaligus menangkap kakek Hulai, juga menyelamatkan suaminya yang akan diserahkan ke Cucigawa.
* * * * * * * *
Jauh di luar tembok perbatasan. Bangsa U-min, yang dipimpin dan dikendalikan oleh Cucigawa adalah bangsa yang oleh bangsa Tiongkok disebut sebagai bangsa setengah liar. Mereka memang dulunya begitu tapi sekarang keadaan sudah berubah. Sejak belasan tahun yang lalu di mana Cao Cun menjadi permaisuri Raja Hu maka bangsa ini perlahan tetapi pasti sudah mengalami banyak kemajuan.
Mereka tidak lagi merupakan bangsa yang “buta huruf” melainkan bangsa yang sudah dapat baca tulis. Mereka sudah mulai mengenal kesusasteraan dan cara berpikir merekapun tergolong maju dibanding bangsa-bangsa lain. Orang-orangnya juga sudah banyak yang belajar ilmu silat dan kehidupan sehari-hari termasuk tenteram.
Pertanian merekapun sudah lagi tidak berpindah-pindah menebang hutan melainkan sudah mampu membuat irigasi untuk mengairi sawah-sawah mereka. Hidup mereka akhir-akhir ini memang tergolong baik dan mapan, meskipun mereka masih harus memberi upeti kepada kaisar di kota raja sebagai tanda bakti mereka.
Tapi ketika pagi itu serombongan pasukan memasuki wilayah ini dan di tengah-tengah pasukan itu tampak terkurung seorang pemuda maka bangsa U-min menjadi heran di samping terkejut. Itulah pasukan Uighur yang membawa Ituchi. Pemuda ini, setelah jatuh di lubang dan menghadapi hujan batu akhirnya pingsan dan tak sadarkan diri. Dia tak tahu apa-apa ketika semalam penuh pasukan itu membawanya.
Tapi ketika pagi itu mereka memasuki wilayah bangsa U-min dan perlahan-lahan Ituchi mulai sadar maka pemuda itu membuka mata dan tertegun ketika seluruh tubuhnya tak dapat digerakkan dan kaku serta membujur kaku di sebuah lantai yang dingin. Ituchi meram-melek dan mendengar langkah-langkah kuda. Dia tak dapat menoleh atau melihat ke kiri kanan.
Tubuhnya diikat erat dan pemuda ini bak seekor babi yang baru ditangkap pemburu, sama sekali tak dapat bergerak. Tapi ketika telinganya mendengar percakapan-percakapan dan dia akhirnya ingat bahwa dirinya berhadapan dengan orang-orang Uighur maka Ituchi tersentak ketika orang-orang mulai ramai membicarakan Cucigawa.
“Kita sebaiknya berhenti jangan di tengah kota. Sebagian di sini dulu dan yang lain menghadap Cucigawa. Serahkan surat pemimpin dan dengar pendapatnya. Kalau setuju, barulah kita masuk. Kalau tidak, kita kembali pulang dan menyerahkan tawanan kita kepada pemimpin!”
“Hm, benar. Dan kau sebaiknya ke sana, Ma-twako (kakak Ma). Biarlah kami di sini dan berjaga-jaga.”
“Baik, kalian di sini dulu. Awas, pemuda itu mulai siuman!”
Ituchi mendengar langkah dan seruan seseorang, cepat menutup mata dan pura-pura pingsan kembali sementara tiba-tiba dia mengatur napas. Dia berdetak ketika mendengar bahwa dirinya akan dibawa ke Cucigawa, saudara sekaligus musuhnya yang paling dibenci. Dan ketika orang menoleh namun melihat pemuda itu “tidur”, masih pucat maka Ma-twako heran dan dianggap teman-temannya terlalu ketakutan.
"Aku melihat pemuda itu membuka matanya, sungguh mati. Tak mungkin aku salah!”
“Sudahlah, betapapun dia dalam keadaan terikat erat, twako. Dan kita juga sudah di wilayah Cucigawa. Bangsa U-min tentu akan membantu kita kalau pemuda itu bangkit melawan. Cepatlah, kau menghadap padanya dan katakan perihal ini!”
“Baik, hati-hati!” dan Ma-twako yang rupanya pemimpin dan mengendalikan teman-temannya lalu menderapkan kuda dan bersama sepuluh orang temannya laki-laki ini ke tengah kota.
Ituchi mendengar langkah-langkah kaki banyak orang dan pasukan Uighur ini rupanya sibuk menjaga dirinya, karena ketika orang-orang itu akan mendekat tiba-tiba saja diminta mundur oleh orang-orang Uighur ini. Dari percakapan yang campur aduk akhirnya Ituchi tahu bahwa suku bangsanya, orang-orang U-min telah melihat dan mendatangi orang-orang Uighur ini. Mereka bertanya jawab dan orang-orang Uighur berkata bahwa mereka membawa tawanan, akan menyerahkannya kepada raja dan orang-orang itu mendesak siapakah tawanan itu.
Orang Uighur ragu menjawab dan desak-mendesak akhirnya terjadi, orang-orang itu mendorong dan menyeruak maju. Dan karena orang Uighur berada di wilayah lawan dan orang U-min tentu saja berhak tahu siapakah pemuda di dalam kerangkeng itu maka beberapa suara akhirnya mengeluarkan seruan tertahan ketika mengenal Ituchi.
“Pangeran kita, Hu-ongya!”
“Sst, siapa berani bicara keras-keras? Tahan mulut kalian, kawan-kawan. Kita berada di daerah yang penuh dengan orang-orangnya Cucigawa!”
Ituchi berdetak. Tiba-tiba saja beberapa mulut saling berbisik dan berkata-kata lirih. Yang bicara pertama dan kedua tadi jelas adalah orang-orang yang tak senang kepada rajanya. Mereka itu menyambut dirinya dengan seruan kaget dan heran. Tapi ketika beberapa yang lain mendengus dan mengejek tertawa maka Ituchi tahu bahwa yang bicara pertama tadi benar, ada orang-orang Cucigawa di situ.
“Huh, antek kaisar Cina? Kalian menangkap dan membawanya ke mari? He, langsung saja menghadap raja kami, sobat-sobat. Bawa dia ke tengah kota dan serahkan di sana!”
“Nanti dulu!” beberapa orang Uighur menjawab, berseri. “Pemimpin kami sedang menghadap pemimpin kalian, sobat-sobat. Kami harus menghormati wilayah tuan rumah dan tidak langsung masuk. Pemimpin kami sedang minta ijin, biarlah kami tunggu dan setelah itu tentu ke sana!”
“Ha-ha, bagus. Tapi kami ingin menghajarnya di sini sebelum kalian serahkan kepada raja. Buka kerangkeng itu dan biarkan kami mendaratkan beberapa bogem mentah!”
“Eh, jangan. Nanti dulu, sobat. Tunggu. Kami tak ingin menyerahkan tawanan dalam keadaan babak-belur!” dan ketika orang-orang Uighur ramai mencegah orang-orang itu, kaki tangan Cucigawa maka Ituchi menahan napas dan siap membuka tali ikatan. Saat itu dia terpecah konsentrasinya antara mengerahkan sinkang dan mendengarkan percakapan orang-orang ini.
Dengan cepat dia dapat menarik kesimpulan bahwa dirinya dalam bahaya besar. Dia akan diserahkan ke Cucigawa, orang yang pasti senang menerimanya. Tapi ketika dia menahan napas dan siap memberontak tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan puluhan orang muncul, mengiring atau mengawal seorang laki-laki tinggi besar yang bertopi bulu....