X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Rajawali Merah Jilid 02

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Rambut Emas Episode Rajawali Merah Jilid 02 Karya Batara

RAJAWALI MERAH
JILID 02
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara
“UI KIOK!”

Mei Hoa tertegun. “Kau mengenalnya?”

“Ah,” Ituchi tak menjawab. “Kiranya wanita ini, Hoa-moi. Dia.... dia memang wanita jahanam!”

“Kalau begitu mari kita menyerbu masuk!” Mei Hoa bersiap. “Kita hajar wanita itu, Ituchi. Dan...”

“Jangan!” Ituchi tiba-tiba mencegah. “Lihat dulu bagaimana dengan dua wanita itu, Hoa-moi. Kalau disini dikatakan ada duapuluh wanita seperti Ui Kiok maka berarti yang tujuhbelas lainnya masih di luar. Lihat, Ui Kiok menghajar adik-adiknya!”

Mei Hoa membelalakkan mata. Akhirnya dia melihat bahwa dua wanita muda yang bermain cinta dengan dua pemuda yang tewas itu jatuh bangun dihajar Ui Kiok, wanita baju biru. Dua wanita cantik itu mengeluh tunggang-langgang karena kakaknya marah sekali. Tapi ketika Ui Kiok atau wanita baju biru mencabut, pedang dan hendak menusuk atau menikam tiba-tiba belasan bayangan berkelebatan di kamar itu disusul bentakan atau seruan wanita baju merah.

“Toa-ci, tahan. Jangan melukai atau membunuh saudara sendiri.... cring!” dan sebatang pedang lain yang menangkis atau menahan pedang itu akhirnya membuat Ui Kiok tertegun dan berdiri merah padam, matanya berkilat-kilat.

“Ji-moi (adik kedua), cap-go-moi dan cap-si-moi ini kurang ajar. Mereka mencuri Poan Jin dan Poan Kwi!”

“Hm, sabar. Kudengar dua pemuda itulah yang mencari-cari mereka ini, toa-ci. Poan Jin dan Poan Kwi memang mau berkhianat padamu. Kita semua adalah saudara, tak perlu bermusuhan. Tahan kemarahanmu dan ada berita bahwa dua orang memasuki tempat ini!”

“Apa?”

“Benar , cap-moi (adik ke sepuluh) melihat dua bayangan menyelinap di dusun ini, toa-ci, dicari tapi menghilang. Mereka tentu musuh. Hati-hati!”

Semua terkejut. Ui Kiok tertegun dan ji-moi atau wanita baju merah itu segera memanggil cap-moi. Dan ketika cap-moi muncul ke depan dan menceritakan bahwa dia melihat berkelebatnya dua orang ditempat itu maka gadis nomor sepuluh ini menutup.

“Mereka memiliki gerakan yang gesit dan cepat. Aku berusaha mengikuti tetapi gagal. Dan karena mereka menyelinap di sekitar sini tentu mereka mengintai, toa-ci. Aku melapor ji-ci (kakak kedua) dan kebetulan melihat ribut-ribut ini.”

“Keparat, siapa mereka itu? Laki-laki atau perempuan?”

“Dua-duanya, cici. Satu laki-laki dan satu perempuan. Mereka pemuda dan gadis yang cantik!”

“Hm!” toa-ci tiba-tiba melupakan urusannya dengan dua adiknya tadi. “Kau kenal mereka, cap-moi? Siapa mereka itu?”

“Tidak, tapi mereka tampaknya marah!"

“Dari mana kau tahu?”

“Pemuda dan gadis itu mengepal tinju, sinar mata mereka menunjukkan itu!”

“Hm, keparat! Dan bagaimana ciri-ciri dua orang itu? Gagahkah pemuda yang kau lihat itu?”

“Gagah, toa-ci, tapi berkulit kehitaman, agaknya bukan orang Han!”

“Bukan orang Han? Bangsa Mongol?”

“Entahlah, aku tak jelas. Tapi sorot matanya membawa marah!”

“Keparat, kalau begitu semua berpencar. Cari pemuda itu sebelum dia mengacau!” tapi baru kata-kata ini selesai diucapkan tiba-tiba Ituchi sudah berkelebat keluar dan berseru serak,

“Ui Kiok, aku datang!” dan begitu pemuda itu muncul serta menyebut nama wanita baju biru tiba-tiba semua dibuat kaget dan Ui Kiok atau sang toa-ci tertegun, membelalakkan mata tapi tiba-tiba dia berseru tertahan, mundur dan mengingat-ingat pemuda tinggi besar ini namun mendadak dia terkekeh. Dan ketika bayangan Mei Hoa juga berkelebat muncul dan wanita itu menuding maka Ui Kiok berseru,

“Kau... Ituchi! Hi-hik, putera Raja Hu, selamat datang, Hu-kongcu. Selamat berjumpa dan siap bersenang-senang kembali!”

Ituchi merah mukanya. Dia tak memperdulikan belasan adik-adik Ui Kiok itu terbelalak lebar-lebar. Mereka terkejut dan heran bahwa kakak mereka menyebut pemuda itu sebagai putera Raja Hu, raja di luar tembok besar sana dan tentu saja mereka mendengar tentang ini. Raja-raja atau kepala-kepala suku di luar sana cukup dikenal namanya oleh orang-orang pedalaman, apalagi Raja Hu. Tapi ketika pemuda itu membentak dan menuding Ui Kiok sebagai wanita cabul tak tahu malu maka belasan wanita cantik yang semula berseri-seri ini mendadak gelap mukanya, marah.

“Ui Kiok, kau kiranya pemimpin gerombolan siluman-siluman liar ini. Pantas saja, sungguh tak aneh. Tapi tindakanmu membunuh-bunuhi orang tak dapat kubiarkan saja. Bersiaplah, aku akan mengantarmu ke akherat dan semua saudara-saudaramu yang cabul ini akan kulenyapkan!”

“Benar!” Mei Hoa melengking di samping sang suami. ''Aku sudah melihat dan mendengar sepak terjang kalian, wanita-wanita keji. Aku akan membantu suamiku melenyapkan kalian. Bersiaplah... sing!”

Dan sebatang pedang yang sudah dicabut dan mendesing keluar tiba-tiba sudah digerakkan dan Mei Hoa mendahului menusuk Ui Kiok, si wanita baju biru, sang pemimpin. Dan ketika Ui Kiok mengelak dan tertegun bahwa Mei Hoa adalah isteri pemuda itu maka Mei Hoa membalik dan sudah menyerangnya lagi.

“Sing-singg!”

Ui Kiok marah. Akhirnya dia mundur dan adiknya nomor dua dan tiga maju, menangkis dan membentak lawannya itu dan akhirnya Mei Hoa sudah dikeroyok. Tapi ketika pedang berkelebatan dan Mei Hoa dapat menghadapi dua lawannya sekaligus maka Ui Kiok tertegun dan merah mukanya.

“Hm, kiranya kau!” wanita ini bersinar-sinar, mengejek memandang Ituchi. Mari maju dan kita mainmain, Ituchi. Sungguh tak kunyana kalau kau sudah memiliki pasangan. Kau agaknya lupa akan cinta kita yang dulu dan gampang melupakan aku!”

“Tutup mulutmu!” Ituchi membentak, marah. “Aku tak pernah menjalin cinta denganmu, Ui Kiok. Justeru kaulah yang dulu hendak menjebak aku dan Thai Liong!” dan tidak banyak bicara lagi agar Ui Kiok tidak bicara yang macam-macam pemuda ini sudah bergerak dan menyerang lawannya itu. Di sana isterinya mendengarkan dan Ituchi khawatir. Dia belum sempat memberi tahu isterinya siapa adanya Ui Kiok ini, salah-salah isterinya bisa cemburu dan hubungan mereka runyam. Dan ketika dia menyerang Ui Kiok menghindar, sama seperti tadi maka wanita baju biru itu tertawa mengejek memberi aba-aba pada belasan adiknya.

“Tangkap pemuda ini, dan ringkus dia!”

Ituchi selanjutnya melihat bayangan-bayangan berkelebat. Belasan wanita cantik menyerang dan menusuknya dari delapan penjuru. Belasan batang pedang sudah susul-menyusul mencoba merobohkannya, Ui Kiok sendiri sudah mundur dan menonton adik-adiknya yang bergerak. Tapi ketika Ituchi menangkis dan menggerakkan tangannya ke kiri kanan maka belasan batang pedang tersampok dan terpental bertemu tangan telanjang pemuda itu, hal yang mengejutkan lawan-lawannya.

“Cring-plak-plak!”

Semua mata terbelalak. Pedang mereka beradu sendiri dan selanjutnya Ituchi tiba-tiba bergerak, menyerang dan mendahului mereka dan belasan wanita cantik itu kaget karena begitu pemuda itu bergerak dan mengebutkan ujung lengan bajunya tiba-tiba serangkum angin kuat menyambar dari depan. Mereka mengelak tapi ujung lengan baju itu sempat juga menyerempet, angin pukulannya terasa pedas dan menyakitkan. Dan ketika beberapa di antaranya terpaksa membanting tubuh dan bergulingan maka Ituchi bergerak-gerak dan pemuda itu sudah merupakan bayangan siluman yang menampar memukul ke sana kemari.

“Plak-plak-aduh!”

Ui Kiok membelalakkan mata. Wanita ini terkejut karena Ituchi sudah mengeluarkan ilmu meringankan tubuhnya yang hebat dan cepat. Pemuda itu selalu mendahului adik-adiknya dan di mana pemuda itu menampar maka di situ pula adiknya pasti menjerit, tak kuat oleh pukulan atau tamparan pemuda ini. Dan ketika ujung lengan baju tiba-tiba juga berobah keras seperti toya maka suara bak-bik-buk mulai terdengar.

“Keparat!” wanita ini marah. “Keluarkan Tui-hun-hiat-jiu, sumoi-sumoi. Jangan biarkan diri kalian digebuk!”

Belasan wanita-wanita cantik itu memekik. Akhirnya mereka menggerakkan tangan kiri dan berkelebatlah cahaya merah ke arah Ituchi. Bau amis juga menyusul dan Ituchi mengerutkan kening. Tapi ketika pemuda itu menggerakkan lengan menangkis maka Tui-hun-hiat-jiu tertolak sementara pemiliknya juga terhuyung.

“Keparat!” wanita-wanita itu marah, “Pemuda ini lihai dan kuat sekali, toa-ci. Sebaiknya kau maju dan bantu kami!”

“Benar,” yang lain menyambung. “Pemuda ini sinkangnya hebat, toa-ci. Dia selalu memukul dan menahan kami!”

“Hm!” Ui Kiok merah padam. “Agaknya betul, para sumoi. Tapi jangan terburu-buru. Coba kitari pemuda itu dan buat kepungan merata!”

Belasan wanita itu akhirnya mengangguk. Mereka menurut dan sudah berlarian mengelilingi Ituchi. Tangan mereka juga terus menyambar sementara pedang di sebelah kanan juga bergerak mendesing-desing. Tapi karena Ituchi bersikap tenang dan agaknya sinkang pemuda itu memang lebih kuat daripada lawan-lawannya maka dengan enak saja pemuda ini menghalau dan bahkan akhirnya ikut berputaran dan lebih cepat daripada lawan-lawannya.

“Toa-ci, tolong..!”

Sang toa-ci terkejut. Ui Kiok mendengar teriakan disebelah kirinya dan itulah teriakan sam-moi, adiknya nomor tiga. Wanita ini hampir lupa bahwa di sebelah yang lain terdapat juga sebuah pertandingan, yakni antara dua adiknya pertama dengan Mei Hoa, gadis cantik itu. Dan ketika Ui Kiok menoleh dan melihat terpelanting maka wanita ini terkejut karena Mei Hoa juga memiliki gerakan cepat dan ilmu meringankan tubuh gadis itu sama dengan yang dimiliki Ituchi, bahkan rasanya lebih enteng!

“Bluk-dess!”

Ui Kiok terperanjat. Adiknya nomor dua, ji-moi, terlempar oleh sebuah tendangan melingkar. Pedang di tangan adiknya itu terlepas dan Mei Hoa melengking melepas satu pukulan putih, mengejar adiknya yang sedang bergulingan dan berteriak minta tolong padanya. Dan ketika wanita itu tertegun dan tentu saja kaget, membantu adiknya yang sini ataukah yang sana maka pukulan Mei Hoa mengenai leher ji-moi dan adiknya itu terbanting.

“Dess!”

Ui Kiok tak tahan lagi. Akhirnya wanita ini membentak dan tangan kirinya melepas Tui-hun-hiat-jiu, langsung meng hantam atau membokong Mei Hoa yang membelakangi lawan. Dan ketika Mei Hoa terkejut dan tak sempat berkelit maka pukulan itu diterimanya dengan kibasan lengan kiri yang dilempar kebelakang, dan.... Mei Hoa mencelat.

“Bress!”

Ganti gadis itu berteriak tertahan. Selanjutnya Ui Kiok mengejar dan wanita ini telah mencabut pedangnya, marah karena adiknya nomor dua tidak bergerak gerak lagi, entah pingsan atau mati. Dan ketika Mei Hoa bergulingan melempar tubuh dan gadis itu mengeluh dirangsek gencar maka bahunya keserempet pedang sementara sam-moi, gadis nomor tiga telah bangun terhuyung dan membantu encinya ini.

“Kita bunuh dia, kita cincang tubuhnya!”

Ui Kiok mengangguk. Wanita ini geram karena adiknya nomor dua telah dirobohkan. Hal itu membangkitkan kemarahannya dan diserangnya lawan bertubi-tubi. Mei Hoa terkejut karena bau amis membuat kepalanya pening. Pukulan tangan kiri wanita itu menyambar dahsyat dan dia terhuyung-huyung. Tapi ketika Mei Hoa terdesak dan gugup menghindar sana-sini maka justeru suaminya merobohkan tujuh wanita yang menjadi lawannya, menampar dan memukul dan kebutan ujung lengan baju pemuda itu tak sanggup dihadapi saudara-saudara Ui Kiok ini.

Setiap Tui-hun-hiat-jiu atau pedang menyambar selalu tertolak balik oleh pukulan pemuda itu, sinkang Ituchi memang lebih kuat dibanding lawannya. Dan ketika tiga orang lagi roboh dan tujuh sisanya menjerit minta tolong Ui Kiok maka sang toa-ci mendelik karena lawannya belum juga dapat dirobohkan, meskipun sudah terhuyung-huyung dan pening oleh bau amis Tuihun-hiat-jiunya.

“Toa-ci, bantu kami. Atau kami semua mati!”

“Benar, tolong, toa-ci. Pemuda ini hebat sekali dan kami bukan tandingan.... aduh!” sebuah teriakan lagi terdengar, tubuh seorang wanita mencelat dan Ituchi sudah berkelebatan bagai garuda menyambar-nyambar.

Pemuda ini khawatir melihat keadaan isterinya yang didesak Ui Kiok, tak tahan oleh bau amis dan itulah kelemahan Mei Hoa. Maka ketika Ituchi mempercepat gerakannya dan kepungan belasan wanita itu malah berbalik tak keruan maka pemuda ini sudah ganti mengitari lawannya dan wanita-wanita itu dibuat pusing, kalah cepat! “Kalian harus roboh, atau menyingkir jauh-jauh!”

Enam wanita sisanya akhirnya pucat. Mereka sudah mengerahkan Tui-hun-hiat-jiu namun latihan yang kurang matang membuat ilmu mereka itu tak berdaya berhadapan dengan pemuda ini. Ituchi memiliki sinkang kuat dan kecepatannyapun melebihi mereka, akhirnya mereka menjadi pening setelah Ituchi mampu mengelilingi mereka, balik mengitari mereka dan ilmu meringankan tubuh pemuda itu yang luar biasa membuat belasan wanita cantik ini terkejut. Mereka ngeri karena tiba-tiba saja pemuda itu telah berobah menjadi bayangan yang menyambar-nyambar. Mereka tak tahu bahwa Ituchi mengeluarkan ilmu meringankan tubuhnya yang disebut Hek-eng-sut (Bayangan Garuda).

Maka ketika lawan tak mampu mengikuti dan satu demi satu roboh oleh tamparan pemuda itu maka belasan wanita ini akhirnya tinggal enam orang yang mulai pucat dan gemetar. Mereka akhirnya mundur-mundur dan saat itu Ituchi mengejar satu di antara mereka, menampar tapi merobah tamparan menjadi totokan dan wanita itu menjerit, roboh terjengkang. Dan ketika Ui Kiok masih tak datang membantu padahal lima adiknya ini sudah gentar dan jerih maka tiba-tiba mereka berteriak dan lari meninggalkan pemuda itu, memutar tubuh.

“Toa-ci, kau kejam. Keparat!”

Ui Kiok terkejut. Saat itu dia sudah mempercepat gerakannya untuk memukul roboh Mei Hoa. Lawannya ini sudah kian terhuyung-huyung saja dan pening. Ui Kiok mengerahkan hawa beracun pada pukulan-pukulan Tui-hun-hiat-jiunya itu, ilmu yang belum dimiliki adik-adiknya karena hawa beracun itu menyangkut pada ilmu pernapasan, dan Ui Kiok tak memberi tahu adiknya tentang ini. Maka ketika dia mendesak lawannya dan terpaksa membiarkan adik-adiknya maka saat itulah lima adiknya meninggalkan Ituchi padahal saat itu juga dia melepas Tui-hun-hiat-jiu untuk yang terakhir kalinya.

Dess!” Ui Kiok malah mencelat! Wanita ini terpekik karena pukulannya tiba-tiba diterima Ituchi, pemuda itu sudah meloncat dan menolong isterinya, melihat isterinya diserang dan terhuyung-huyung. Dan karena lawan-lawan Ituchi sudah mundur melarikan diri dan pemuda ini leluasa bergerak keluar maka ditangkislah pukulan Ui Kiok dan Ituchi menahan napas karena dia mencium bau amis yang mengandungk racun.

Dan Ui Kiok mencelat, tak menyangka tangkisan ini tapi Ituchi sendiri sudah berkelebat menolong isterinya, yang jatuh terduduk. Dan ketika Ui Kiok terbelalak dan terguling-guling di sana, meloncat bangun, maka Ituchi bertanya pada isterinya bagaimana keadaan isterinya saat itu. “Kau menghirup hawa beracun, cepat telan pil ini!”

Mei Hoa mengangguk lemas. Sekarang baru, Mei Hoa sadar bahwa yang dihadapi bukan melulu pukulan-pukulan biasa. Lawan mengerahkan hawa beracunnya dan karena itulah dia merasa tak kuat. Perut serasa mau muntah-muntah sementara kepalapun pening. Tapi ketika dia menelan pil itu dan Ituchi mengangkat isterinya tiba-tiba Ui Kiok menyambar dari belakang dengan pukulan Tui-hun-hiat-jiu.

“Awas!”

Ituchi terkejut. Sang isteri meneriaki tapi pemuda ini tak sempat berkelit. Satu-satunya jalan ialah menerima pukulan itu dengan mengerahkan sinkangnya. Dan karena Ituchi memiliki Tiat-i Sin-kang (Ilmu Kebal Baju Besi) maka Tui-hun-hiat-jiu diterima dan berteriaklah lawan ketika pukulannya itu membalik.

“Aduh!” Ui Kiok terlempar berjungkir balik. Wanita ini tak menyangka bahwa sedemikian lihai pemuda itu sekarang. Dulu. Ituchi berhasil ditangkap dan dirobohkannya (baca: Istana Hantu). Maka ketika dia, terlempar dan berjungkir balik oleh pukulannya yang membalik maka Ituchi menggeram dan bangkit berdiri.

“Ui Kiok, kau siluman betina, tak tahu malu. Mampuslah, aku akan menghajarmu!” dan Ituchi yang marah mendorong isterinya lalu berkelebat dan mengejar wanita itu, melepas pukulan sinar putih dan Ui Kiok pun kaget, menangkis tapi saat itu dia baru melayang turun. Maka ketika dia terlempar dan mencelat lagi maka wanita itu pucat karena Ituchi sekarang sungguh demikian lihai!

“Plak-dess!”

Selanjutnya Ui Kiok malah terdesak berulang-ulang. Lima adiknya yang melarikan diri tak muncul lagi dan sam-moi, adiknya nomor tiga, juga gentar di luar sana, pucat dan terbelalak dan Mei Hoa membentak setelah sehat kembali. Gadis atau wanita itu menyerang sam-moi dan kalang-kabutlah wanita ini ketika pukulan atau pedang menyambar-nyambar. Mei Hoa memakai pedangnya lagi setelah tadi terlepas disaat dia terhuyung-huyung, tak kuat oleh rasa mual atau pening. Tapi begitu dia mendesak dan sam-moi mundur-mundur mendadak lawannya itu melarikan diri sambil menyambar ji-ci, sang kakak nomor dua.

“Toa-ci, aku tak kuat. Mundur saja!”

Toa-ci terbelalak. Saat itu dia kewalahan menerima tamparan-tamparan Ituchi dan meskipun dia berpedang atau mempergunakan Tui-hun-hiat-jiunya tetap saja dia keteter. Hal itu bukan lain karena sinkang Ituchi yang kuat. Pemuda ini berani menerima atau membiarkan Tui-hun-hiat-jiu mengenai tubuhnya, karena dia sudah melindungi diri dengan Tiat-i Sin-kangnya itu.

Dan karena Tui-hun-hiat-jiu juga belum sempurna diwarisi wanita itu sementara Ituchi sudah memiliki Tiat-i Sin-kang maka toa-ci atau Ui Kiok ini terdesak hebat, mundur-mundur dan terus mundur akhirnya terpelanting ketika sebuah ,tamparan atau pukulan Ituchi menghantam dadanya. Wanita ini mengeluh dan diam-diam kaget. Tak sehebat itu Ituchi dulu! Tapi karena kenyataan sudah membuktikan lain dan adiknya nomor tiga juga sudah melarikan diri maka toa-ci atau Ui Kiok ini tiba-tiba membentak dan melepas sebuah granat tangan.

“Darr!”

Jarum-jarum halus berhamburan. Ituchi harus meloncat tinggi berjungkir balik kalau tak ingin dikenai jarum-jarum itu. Pemuda ini mengebut dan asappun buyar. Tapi ketika dia turun kembali dan melihat kedepan ternyata lawannya itu lenyap dan belasan tubuh yang malang-melintang di situ juga sudah tidak ada lagi!

“Keparat!” Mei Hoa yang melengking marah. “Wanita-wanita busuk itu melarikan diri, Ituchi. Ayo kejar dan cari mereka sampai dapat!”

“Hm, sudahlah,” Ituchi menarik napas panjang. “Ui Kiok dan adik-adiknya meninggalkan kita, Hoa moi, tak perlu dikejar. Kita panggil saja wanita-wanita dusun dan anak-anaknya itu...”

“Kami di sini!” Ituchi tiba-tiba tertegun. “Kami datang menyusulmu, siauw-hiap. Kami tak mau kau dicelakai wanita-wanita iblis itu. Kalau kau sampai terbunuh biarlah kami mati juga dan ikut suami atau orang-orang tua kami!”

Mei Hoa dan Ituchi membelalakkan mata. Puluhan wanita dan anak-anak itu kiranya sudah tiba di situ dan kini mereka menjatuhkan diri berlutut, semua menangis girang karena Ituchi berhasil mengusir wanitawanita itu. Dan ketika anak-anak juga berteriak girang dan memuji Ituchi maka Ituchi sadar dan berkelebat di depan mereka, melihat anak-anak dan ibu-ibu muda itu membawa pentungan atau pisau-pisau lipat!

“Kalian...!” pemuda ini agak terbata. "Menyusul dan mencariku ke mari? Kalian tidak takut dibunuh? Ah, berbahaya sekali, cici-cici. Bagaimana kalau tadi mereka itu melihatmu sementara kami tak dapat melindungi!”

“Kami masih bersembunyi di luar,” seorang ibu muda memberikan penjelasan. “Kami tahu kau menghadapi lawan-lawan lihai, siauw-hiap. Kami sengaja tak keluar dulu agar kau dapat berkonsentrasi menghadapi lawan-lawanmu itu. Tapi begitu kau roboh atau isterimu ini celaka tentu kami akan menghambur dan menyerang mereka, biarpun nyawa taruhannya!”

Ituchi kagum. Akhirnya dia terharu oleh semua sikap itu. Ibu-ibu muda yang disuruh menunggu dihutan sana ini kiranya tak mau berpeluk tangan saja dan siap membela kalau dia sampai terbunuh. Ah! Dan karena mereka itu menyuruh anak-anak yang kecil untuk ikut menyerang kalau dia atau Mei Hoa roboh maka Ituchi berlinang air mata ketika seorang anak laki-laki berseru mengacungkan pisau lipatnya.

“Kami akhirnya malu padamu, siauw-hiap, yang bukan sanak bukan kadang tiba-tiba saja siap mempertaruhkan nyawa untuk kami. Masa kami yang bersangkutan harus berpeluk tangan? Kalau kau roboh biarlah kami juga roboh, hitung-hitung menyusul kakek atau paman kami di akherat sana!”

Ituchi tak tahan, menyambar anak ini. Kau...” suaranya gemetar. “Siapa namamu?”

“Peng Houw!”

“Hm, bagus. Terima kasih, Peng Houw. Kau gagah dan mengagumkan. Ah, kau dan semuanya yang ada di sini ternyata gagah-gagah dan pemberani. Tapi meskipun kalian pemberani tapi menghadapi silumansiluman betina itu kalian tetap bukan tandingan. Sudahlah, mereka sudah kuusir, Peng Houw. Kau dan ibumu dapat tinggal di sini lagi dan tak perlu khawatir!” Ituchi menurunkan anak itu, mencium pipinya tapi ibu si anak tiba-tiba meloncat. Dan ketika Ituchi tertegun dan tak tahu apa yang mau dikatakan ibu ini tiba-tiba yang lain berlutut dan berseru padanya, hampir berbareng.

“Siauw-hiap mau pergi?”

“Hm, benar. Ada apa? Kenapa?”

“Jangan,” ibu muda itu kini menangis. “Kami masih membutuhkan bantuanmu, siauw-hiap. Sukalah tidak pergi dulu dan temani kami di sini.”

“Benar!” yang lain menyambung, berseru serentak. “Kami takut siluman-siluman itu datang lagi, siauw-hiap. Dan kalau kau tak ada di sini tentu kami akan dibantai sia-sia!”

“Dan kami tak mau mati konyol kalau siauw-hiap tak ada di sini. Biarlah siauw-hiap temani kami dulu kalau-kalau siluman-siluman itu kembali muncul!”

Ituchi tertegun. Akhirnya wanita-wanita itu saling sahut dan rata-rata menyatakan kecemasannya, padahal tadi mereka bersikap demikian gagah dan pemberani. Tapi ketika Ituchi sadar bahwa semuanya itu karena dirinya, hadirnya dia di tengah-tengah wanita itu maka dia menoleh tapi saat itu Mei Hoa mengangguk, tersenyum padanya, mengerti apa yang hendak ditanyakan.

“Kalau urusanmu dapat ditunda aku tak keberatan menemanimu bersama mereka-mereka ini. Terserah apakah kau mau di sini atau segera pergi.”

Ituchi akhirnya menarik napas lega. “Baiklah,” pemuda itu berseru, kembali lagi ke wanita-wanita yang saling memohon itu. “Aku memenuhi permintaan kalian, cici-cici. Jangan ribut. Tapi setelah itu tentunya tak mungkin selamanya aku tinggal di sini!”

“Ah, kami justeru hendak mengangkat siauw-hiap sebagai chungcu (kepala kampung) di sini. Kenapa siauw-hiap mau pergi dan tega meninggalkan kami? Apakah kami kurang bersikap hormat kepada siauwhiap?”

“Ah, jangan salah paham!” Ituchi menggoyang lengan. “Aku adalah manusia perantau, cici-cici. Aku selamanya tak punya tempat tinggal tetap. Aku tak suka diikat. Kalian sudah cukup hormat tapi jangan paksa aku untuk tinggal di sini. Masalah chungcu dapat dipilih, nanti kupimpin. Pokoknya aku akan menemani kalian sampai benar-benar siluman-siluman itu tak datang lagi!”

Para wanita itu menangis. “Berapa lama siauw-hiap tinggal?”

“Mungkin seminggu, tapi paling lama sebulan!”

“Baiklah, terima kasih, siauw-hiap. Dan kami percaya bahwa siauw-hiap tentu tak akan melupakan kami!”

“Tentu tidak!” dan ketika wanita-wanita itu dapat dibujuk dan Ituchi lega, dikerubuti anak-anak yang lain maka selanjutnya pemuda ini menemani wanita-wanita itu di dusun He.

Dusun yang porak-poranda diperbaiki. Ituchi mengajari dasar-dasar ilmu silat pada anak-anak lelaki. Dan ketika Mei Hoa di sana juga mengajari anak-anak perempuan maka dua muda-mudi ini menjaga dusun kalau-kalau Ui Kiok dan kawankawannya itu muncul. Seminggu dua mereka berjaga tapi Ui Kiok rupanya jerih. Wanita-wanita iblis itu tak berani datang lagi dan Ituchi menunggu lagi sampai dua minggu.

Dan ketika sebulan kemudian dusun He benar-benar aman dan anak-anak lelaki maupun perempuan sudah dapat belajar silat maka pergilah Ituchi meninggalkan tempat itu. Tentu saja tak mungkin harus menetap karena pemuda ini mempunyai persoalan sendiri. Wanita-wanita itu sudah diberi tahu dan mereka akhirnya menyerah. Mereka tak dapat menahan pemuda ini lagi. Dan ketika Ituchi berangkat dan banyak wanita atau anak-anak menangis maka Ituchi melanjutkan perjalanannya ke utara.

* * * * * * * *

Mari kita tengok kehidupan di luar tembok besar. Waktu itu bangsa U-min, seperti juga suku-suku bangsa lain yang mendapat ampunan sri baginda kaisar telah diikat sumpah untuk tidak menyerang kota raja lagi. Mereka dibebaskan secara bersyarat. Dan satu di antara syarat-syarat itu ialah bangsa-bangsa liar yang dulu terlibat penyerangan ke istana diwajibkan menjaga keamanan tembok besar di samping pasukan kota raja sendiri yang menjaga di tapal batas.

Mereka dikenakan upeti ransum makanan untuk seribu lebih pasukan kota raja setiap hari. Mereka diwajibkan pula untuk melapor kalau-kalau ada suku-suku bangsa lain yang akan membelot, karena di sepanjang perbatasan itu tak kurang dari duapuluh suku bangsa dari bermacam-macam golongan. Dan karena mereka sudah mendapat ampunan dan sikap kaisar termasuk lunak, amat lunak kalau dibandingkan serangan mereka dulu yang kejam dan tak berperikemanusiaan maka sebagian besar suku-suku bangsa itu tunduk dan tidak banyak cing-cong.

Tapi sekarang malah keadaan itu disalahgunakan oleh pasukan kota raja sendiri. Mereka ini, yang dipimpin Hok-ciang-kun (panglima Hok) yang berwatak bengis dan masih menaruh dendam kepada bangsa-bangsa liar itu membiarkan saja anak buahnya atau pasukan-pasukan perbatasan itu untuk mengganggu atau merampas barang-barang yang dipunyai suku-suku bangsa liar ini. Mereka seminggu dua sudah berani mengganggu pula anak isteri kelompok bangsa-bangsa liar itu, hal yan semula didiamkan saja oleh kepalakepala suku atau raja-raja tak bermahkota yang mendapat laporan warganya.

Tapi ketik pagi itu segerombolan perwira pongah mencoba mendatangkan puluhan wanita-wanita cantik untuk disuruh menghibur mereka, tak perduli yang sudah bersuami atau bukan maka kaum lelaki yang merasa marah isteri atau anaknya diperlakuan seperti itu menyatakan menolak.

“Kami tak dapat memenuhi kehendak komandan Liang kalau isteri atau anak-anak gadis kami hanya untuk pemuas nafsu saja. Kami mau melakukan tarian-tarian ritual, tapi bukan tari-tarian perangsang nafsu berahi. Kalau komandan Liang marah silahkan datang ke mari bertemu Hulai!”

Begitu sekelompok laki-laki bangsa Uighur menolak utusan komandan Liang. Pada itu sebelas orang berkuda mendatangi suku bangsa ini untuk meminta empatpuluh wanita cantik menghibur di perbatasan, mengadakan tari-tarian atau sejenis itu untuk menghibur komandan-komandan jaga. 

Tapi karena laki-laki bangsa Uighur mulai tahu bahwa semuanya itu hanya kedok saja untuk menutupi keadaan yang sebenarnya, yakni dijadikannya wanita-wanita itu untuk pelampias berahi para komandan hidung belang maka mereka menolak dan menyuruh komandan Liang bertemu Hulai, pemimpin mereka. Dan ketika belasan pasukan berkuda itu ribut dan marah-marah, merasa kehendaknya selama ini dituruti dan baru kali itu ditentang maka seorang di antaranya mengayun gagang tombak memukul seorang lelaki yang menjadi lawan bicaranya.

“Kau tak tahu adat, sudah tidak menjadi tawanan tapi tetap berani bicara sombong. Heh, mampus kau, tikus busuk. Pergi.... prak!” gagang tombak menghantam batok kepala, langsung membuat lawan tersungkur dan ributlah kaum lelaki bangsa Uighur itu ketika tahu bahwa tengkorak kepala temannya pecah. Dengan kejam kiranya pengawal itu membunuh teman mereka, dengan cara yang menyakitkan, mentang-mentang sebagai pemenang. Dan karena selama ini laki-laki bangsa Uighur itu sudah menahan-nahan rasa marah sejak mendengar perlakuan para perwira di perbatasan maka pengawal yang membunuh teman mereka itu tiba-tiba dilembing dan pengawal itu roboh mandi darah, kontan menjerit!

“Aduh..!”

Keadaan menjadi geger. Sepuluh pengawal yang lain yang terbelalak itu tiba-tiba menusuk si pelempar, ganti membunuh laki-laki Uighur ini. Dan ketika laki-laki itu roboh dan tewas, kejadian berlangsung demikian cepat maka laki-laki Uighur yang lain sudah menerjang dan menghantam sepuluh pengawal perbatasan itu. Akibatnya terjadi perang tanding sepuluh pengawal dikeroyok empat atau lima kali lipat, akibatnya mudah diduga karena sepuluh orang itu lalu roboh bergelimpangan satu per satu.

Mereka berteriak dan tak menyangka bahwa bangsa yang sudah jinak dan dapat ditekan ini tiba-tiba berobah seperti harimau-harimau kelaparan, begitu beringas dan haus darah. Tapi ketika sembilan sudah roboh dari atas kudanya dan tinggal seorang yang sebentar lagi tentu juga terbunuh tiba-tiba terdengar bentakan dan muncullah seorang kakek tinggi tegap menghentikan kekacauan itu.

“Berhenti, jangan menyerang...!”

Orang-orang Uighur tiba-tiba berhenti. Mereka patuh pada bentakan ini dan rupanya kenal, karena masing-masing segera mundur tapi laki-laki di atas kuda itu akhirnya roboh juga, terguling mandi darah dan terlanjur terluka. Dan ketika kakek tinggi tegap itu menyeruak ke depan dan kaget melihat itu maka dia membentak seorang pemuda Uighur bagaimana hal itu sampai terjadi.

“Mereka datang meminta empat puluh wanita-wanita cantik, kami tolak dan akhirnya bertarung. Dan karena kami mempertahankan harga diri maka kami membalas kekejaman mereka yang terlebih dulu membunuh Lidai!”

“Hm, benarkah?” kakek itu marah, bersinar-sinar memandang yang lain. “Kenapa kalian tidak memanggil aku, anak-anak? Kenapa memutuskan sendiri pembunuhan ini?”

“Maaf,” seorang laki-laki lain maju dengan muka merah. “Kalau mereka tak membunuh Lidai barangkali kami masih dapat menahan diri, hanggoda (pemimpin). Tapi begitu mereka bertindak sewenangwenang dan mengandalkan kekuasaan maka kami tak dapat mengendalikan diri lagi. Bagaimana dengan hanggoda sendiri kalau seorang sahabat atau putera hang-goda dibunuh di depan mata kepala!”

Sang kakek tertegun. Dia berkejap memandang laki-laki ini dan melihat yang lain menganggukangguk. Kakek itu terbelalak. Tapi ketika dia mengerti dan dapat menerima itu maka kakek ini memutar tubuhnya menghadapi pengawal yang luka-luka itu. “Hm, kalian sewenang-wenang, memang tidak pantas. Kembalilah ke perbatasan dan beritahukan komandan Liang bahwa kami tak dapat memenuhi permintaannya!”

Tapi pengawal itu roboh mengaduh. Dia berdiri sejenak tapi luka-lukanya yang parah kiranya tak memungkinkan dia untuk kembali, karena begitu kakek tegap itu bicara kepadanya tiba-tiba pengawal ini tersungkur. Dan ketika kakek itu bergerak dan menyambar tubuhnya ternyata pengawal ini telah tewas!

“Celaka!” kakek itu berobah. “Pengawal ini tewas, anak-anak. Kita telah membunuh semua pengawal Liang-ciangkun!”

“Tak apa,” laki-laki tadi mengangkat kepalanya. “Mereka kejam dan tak berperikemanusiaan, hanggoda. Biarkan saja tewas dan kita buang mayatnya!”

“Tutup mulutmu!” kakek ini membalik, tiba-tiba menerkam. “Kau tak tahu bahayanya lebih lanjut, Karum. Kalian semua telah membangkitkan permusuhan dengan pasukan perbatasan. Kita bisa diserang dan dianggap melanggar sumpah. Keparat! dan kakek itu yang membanting serta melempar laki-laki ini lalu berteriak apakah semua laki-laki di situ siap menghadapi akibatnya. Apakah mereka siap dibasmi oleh musuh yang jauh lebih besar jumlahnya. Dan ketika anak buahnya tertegun dan diam tak menjawab, terbelalak, maka kakek itu bertanya siapakah yang berani mempertanggungjawabkan kejadian ini.

“Hayo, siapa berani menghadap Liang-ciangkun untuk melapor peristiwa ini. Siapa berani mengatakan kepadanya bahwa orang-orangnya telah kalian bunuh!”

Tak ada yang menjawab.

“Nah!” kakek itu berapi-api. “Kalian meletupkan emosi tanpa mempertimbangkan ekornya, anakanak. Kalian main bunuh saja untuk memuntahkan marah. Sekarang dengar kata-kataku. Kubur semua mayat ini dan siapkan seekor kuda untukku!”

Semua orang terkejut. “Pemimpin mau ke mana?”

“Aku akan ke komandan Liang. Aku akan menceritakan ini sekaligus menegur sepak terjang anak buahnya yang tidak aturan!”

“Ah, jangan!” orang-orang itu tiba-tiba berteriak. “Liang-ciangkun akan marah dan membunuhmu, hanggoda. Kau akan dibinasakan dan pulang tinggal nama!”

“Aku tak perduli, aku harus mempertanggungjawabkan perbuatan kalian. Nah, kubur mayat-mayat ini dan cepat siapkan seekor kuda untukku!”

Orang tiba-tiba ribut. Kakek itu, pemimpin mereka, tiba-tiba menyatakan akan ke Liang-ciangkun untuk melapor kejadian ini. Padahal dapat dibayangkan apa yang akan terjadi kalau kakek itu menghadap, karena Liang-ciangkun pasti marah besar dan akan membunuhnya. Dan ketika mereka ribut-ribut tapi kakek itu membentak menyuruh diam maka seorang pemuda tiba-tiba menyibak dan berseru,

“Ayah, tak perlu ke sana. Aku yang akan mewakilimu!”

Sang kakek terkejut. Seorang pemuda gagah tiba-tiba telah mencekal lengannya dan berseru keras. Pemuda ini membawa busur dan di pundaknya terdapat bangkai seekor kijang, tanda baru saja pemuda itu berburu dan pulang. Dan ketika kakek itu terkejut dan bingung menjawab maka pemuda ini sudah meletakkan bangkai kijangnya dan mendorong sang ayah. “Aku telah mendengar apa yang terjadi dan aku dapat melakukan apa yang akan kau lakukan. Nah, kembalilah, ayah. Ada Buma di sini yang akan mewakilimu!”

Tapi sang ayah yang menggeleng dan melepaskan diri tiba-tiba rupanya sadar untuk cepat-cepat menolak. “Tidak, aku pemimpin di sini, Buma. Aku penanggung jawab. Kedatanganmu tak berarti banyak bagi Liang-ciangkun dan akulah yang tetap akan dituntut. Kau mundurlah, jaga teman-temanmu ini dan jangan biarkan mereka berbuat ceroboh!” dan berteriak lagi meminta seekor kuda tiba-tiba kakek itu meloncat dan menyambar binatang yang baru dibawa ini. Dan begitu sang kakek mencengklak dan kabur maka Hulai, kakek tinggi tegap itu telah meninggalkan puteranya untuk menghadap Liang-ciangkun.

“Ayah...!” sang pemuda terkejut, tiba-tiba menyambar kuda yang lain lagi. “Apa yang mau kau lakukan itu? Kau tidak tahu bahayanya? Tidak, ada aku di sini, ayah. Kembalilah dan biarkan aku yang menghadap komandan Liang!” dan mencengklak serta memburu ayahnya yang mencongklang pesat tiba-tiba pemuda ini membuat semua laki-laki bangsa Uighur tertegun.

Mereka melihat ayah dan anak kejar-kejaran. Mereka melihat betapa kakek di depan itu demikian sigap dan tangguh di atas kudanya, berpacu dan membelok naik turun bukit tanpa sedikitpun meleset atau jatuh dari atas kudanya, padahal kuda berlari demikian kencang. Tapi ketika pemuda di depan tetap mengejar dan adu lari itu berlangsung hingga keduanya sudah tinggal titik-titik kecil maka Karum, laki-laki yang dilempar si kakek tiba-tiba berteriak dan menyambar kuda yang lain lagi, kuda dari sebelas pengawal yang sudah dibunuh.

“Hei, aku ikut. Siapa yang merasa jantan harap ikut!”

Gegerlah orang-orang di situ. Tiba-tiba saja mereka saling berebut dan sadar untuk mengikuti jejak Karum. Memang, mereka harus malu kalau pemimpin mereka seorang diri menghadapi bahaya, padahal tewasnya orang-orang Liang-ciangkun itu adalah atas perbuatan mereka. Maka begitu yang lain berteriak dan mencari kuda masing-masing maka mendadak seratus lebih sudah mencengklak dan menyusul Hulai, sang pemimpin!

Tapi Hulai atau kakek tinggi tegap itu sudah jauh di depan. Kakek ini lenyap dikejar puteranya. Buma, sang pemuda, terus berteriak memanggil-manggil ayahnya namun sang ayah tak mau berhenti. Dan ketika dia terus mengejar dan dua ekor kuda membalap bagaikan terbang maka sebentar saja kakek ini memasuki wilayah perbatasan. Tembok yang tinggi sudah menjulang di depan mata.

Kakek itu terus berpacu dan melarikan kudanya seperti dikejar setan. Hebat kakek ini, demikian sigap dan cekatan di atas kudanya. Dan ketika kakek itu benar-benar sudah mendekati tembok besar dan beberapa pasukan melihatnya maka dia dihadang tapi kakek itu mengeluarkan bendera putih berseru lantang.

“Aku ingin bertemu Liang-ciangkun. Minggir, dan sampaikan kedatanganku!”

Beberapa pasukan itu tertegun. Mereka tentu saja mengenal kakek ini sebagai pemimpin bangsa Uighur. Mereka terkejut tapi cepat meniup terompet memberi tahu teman-teman yang lain. Dan ketika seribu pasukan itu bergerak dan kakek ini disambut di mana-mana, dibiarkan berpacu dan akhirnya berhenti di sebuah menara yang merupakan markas komandan Liang maka pasukan itu terkejut ketika melihat lagi seorang lain berpacu dengan cepat, menyusul atau mengejar kakek ini.

“Ayah, biarkan aku menghadap Liang-ciangkun. Kau kembalilah!”

Orang-orang tertegun. Mereka tentu saja juga mengenal pendatang yang membalap ini, yang bukan lain Buma putera si kakek gagah Hulai. Dan ketika mereka terbelalak karena pemuda itu berteriak-teriak diatas kudanya, dibiarkan lewat dan akhirnya melompat turun di dekat sang ayah maka semua tak mengerti kenapa pemuda itu tiba-tiba bersitegang dengan ayahnya dan tampak pucat.

“Aku sudah di sini, ayah harap kembali. Aku yang akan melapor pada Liang-ciangkun dan tak usah ayah repot-repot!”

“Tidak, kaulah yang tak perlu repot-repot, Buma. Aku ayahmu dan aku pemimpinmu. Kembalilah, kau kuperintahkan tak boleh di sini!”

"Tidak, kau yang harus kembali, ayah. Aku di sini dan.... plak-plak!” Buma terpelanting, ayahnya membentak marah dan pasukan terkejut karena kakek itu mengumpat anaknya. Hulai mencekik dan melempar anaknya itu, tepat di atas kuda. Tapi ketika Buma berjungkir balik dan turun lagi, membuat orang-orang semakin terbelalak maka pasukan Liang-ciangkun terbelalak lebar melihat ayah dan anak ribut-ribut!

“Kau kembali atau kuhajar!” sang kakek merah padam. “Jangan buat aku marah, Buma. Kembali dan sekali lagi kembali!”

“Tidak, kau yang kembali, yah. Atau aku yang akan memaksamu!”

“Apa? Kau berani mengancam ayahmu? Kau...” tapi ketika tiba-tiba terdengar bentakan di atas menara dan seseorang berkelebat turun maka Buma maupun ayahnya tak jadi perang mulut karena Liang-ciangkun, seorang pendek gendut menghardik tajam. “Apa-apaan ini! Kenapa kalian ribut-ribut dan berani mengacau di tempat orang! Heh, kau datang untuk maksud apa, Hulai? Dan kenapa pula anakmu ini mencari-cari aku!”

“Maaf,” kakek itu menahan diri. “Bukan anakku yang mencari-cari dirimu Liang-ciangkun, melainkan akulah....”

“Ada apa!” sang komandan membentak, memotong. “Dan mana anak buahku yang kusuruh ke tempatmu!”

“Itulah yang hendak kulaporkan.” sang kakek mulai menggigil. “Aku... aku hendak bicara empat mata, ciangkun. Maaf tak dapat didengar orang-orang ini.”

“Hm, ada apa? Kenapa begitu?” Liang-ciangkun tajam memandang, penuh selidik. “Kau menangkap atau menawan mereka? Kau memperlakukan anak buahku dengan tidak hormat?”

“Bukan... bukan begitu. Aku, ah... sudahlah. Pokoknya aku ingin bicara empat mata dan jangan didengar yang lain-lain ini!”

“Hm!” sang komandan berjengek menyipit. “Aku tak takut kau macam-macam, orang tua. Boleh, mari ke menara!” dan ketika komandan itu bergerak dan melayang ke atas, sungguh mengherankan dengan tubuhnya yang gendut itu maka sang kakek sudah diajak dan pemimpin bangsa Uighur ini tertegun sejenak, ragu-ragu tapi akhirnya dia melempar tali dan dengan tali itu dia merayap ke atas, cepat dan hampir bersamaan dengan Liang-ciangkun yang siap tertawa mengejek.

Komandan itu hendak tertawa karena dia ingin melihat bagaimana kakek itu naik ke menara, karena dia tahu bangsa Uighur bukan bangsa yang pandai silat karena mereka lebih terbiasa bermain lembing atau panah, satu kebiasaan yang digunakan untuk berburu atau berperang secara kelompok.

Tapi ketika kakek itu merayap cepat dan dengan seutas tali saja sudah sanggup menyusul dirinya maka Liang-ciangkun kagum dan mau tak mau dia memuji bahwa kegapahan dan kekuatan kaki tangan kakek itu benar-benar kokoh. Selanjutnya Liang-ciangkun mengajak tamunya masuk dan menara itu rupanya memiliki banyak ruangan, satu di antaranya kini dipergunakan untuk menerima tamunya itu. Dan ketika Buma juga menyusul dan pemuda itupun memanjat tali secepat ayahnya maka Liang-ciangkun mengerutkan kening karena ini berarti enam mata, bukan empat mata lagi!

“Bagaimana ini! Kenapa puteramu ikut masuk!”

“Maaf,” sang kakek melotot. “Kalau kau tak keberatan biarlah puteraku ikut, ciangkun. Karena terlanjur dia di sini!”

“Baiklah, mari duduk. Tapi senjata di belakang kalian itu seharusnya diserahkan dulu!”

“Hm,” kakek ini ragu-ragu. “Senjata biasanya melekat di tubuh kami, ciangkun. Tak pernah dilepas. Kalau ciangkun khawatir biarlah kami sandarkan di dinding tapi jangan dirampas!”

Liang-ciangkun mendengus. Dia membiarkan saja kakek itu melepas tombaknya dan meletakkan didinding, begitu juga sang anak, diam-diam memberi isyarat pada pembantunya di luar untuk berjaga-jaga, karena dia melihat gerak-gerik atau sikap mencurigakan dari kakek Dan ketika ayah dan anak sudah duduk berhadapan dan Buma tampak tegang maka Liang-ciangkun bertanya apa yang dibawa kakek itu.

“Kami hendak melapor sebelas pengawalmu, bahwa mereka.... mereka telah membunuh orang-orang.kami!”

“Hm!” tak ada reaksi terkejut. “Lalu apa yang kau lakukan, Hulai? Orang-orangmu ganti menangkap anak buahku?”

“Tidak sekedar itu,” kakek ini menahan napas. “Mereka telah membalas nyawa teman-temannya, ciangkun. Bahwa... bahwa orang-orangku akhirnya membunuh anak buahmu itu!”

“Apa?”

“Maaf,” sang kakek memotong, cepat. “Aku datang untuk menyampaikan ini, ciangkun. Dan hendak meminta agar orang-orangmu tidak sewenang-wenang. Kami merasa terinjak, harga diri kami tak dinilai lagi. Dan karena anak buahmu yang terlebih dulu membunuh maka harap kau memaklumi ini dan permintaan akan wanita-wanita cantik harap tidak dilanjutkan lagi.....“

“Brakkk!” kata-kata si kakek terputus, Liang-ciangkun marah bukan main menggebrak meja, langsung bangkit berdiri. “Keparat jahanam orang-orangmu itu, Hulai. Sungguh tak tahu diri dan kurang ajar. Kalian main-main api, kalian membunuh pengawal kerajaan! Apakah kalian bernyawa rangkap hingga berani melakukan itu? Bedebah! Aku menuntut tanggung jawabmu, Hulai. Aku minta ganti sepuluh kali lipat untuk jiwa anak-anak buahku itu!”

Hulai, sang kakek gagah berdiri pula. Keadaan mulai mendebarkan karena Liang-ciangkun sudah diberi tahu perihal tewasnya sebelas anak buahnya itu. Sang kakek sudah mulai buka kartu. Tapi ketika Liang-ciangkun marah-marah dan melotot memandang kakek itu adalah kakek ini yang tenang-tenang saja dan rupanya dapat mengendalikan diri, tidak seperti puteranya yang tiba-tiba bergetar dan siap menyambar tombak!

“Ciangkun, harap sabar. Aku datang justeru untuk menegur agar kau atau anak buahmu tidak sewenang-wenang lagi. Mereka mulai berani main bunuh, padahal tentu tak boleh. Bukankah ciangkun lihat bahwa kesalahan bukan di pihak kami? Aku sudah lama ingin datang kepadamu, ciangkun, menyatakan rasa tidak puasku bahwa kau mempermainkan wanita-wanita kami. Bukankah ini tak pantas dan tak layak dilakukan olehmu? Kami...”

“Tutup mulut!” sang komandan mata gelap. “Kau dan bangsa-bangsa liar di sini adalah orang taklukan, Hulai. Kau dan orang-orangmu itu adalah budak! Kalian harus beruntung bahwa sri baginda masih memberi ampun, tidak melawan dan menentang kami! Apakah kau mau menghadapi pasukan kerajaan? Apakah kau mau memberontak dan ingin, kubunuh? Keparat, jangan banyak bicara, orang tua. Aku minta ganti seratus orang-orangmu atau kau kusembelih!”

“Jahanam!” Buma, sang putera tiba-tiba membentak. Mulutmu kotor dan tak bersahabat, Liang ciangkun. Kalau kau ingin membunuh ayahku maka bunuhlah aku dulu.... wut!” dan tombak yang benarbenar disambar dan ditusukkan ke arah Liang-ciangkun tiba-tiba membuat keadaan menjadi ribut karena Liang-ciangkun mengelak dan secepat kilat menyambar botol minuman, dilempar ke arah pemuda itu dan Buma menangkis, tentu saja menimbulkan suara gaduh dan pengawal di luar tiba-tiba berserabutan datang. Tapi ketika Liang-ciangkun menghardik dan melayani pemuda itu, mencabut goloknya maka golok yang besar dan lebar sudah menyambar ke muka Buma.

“Crangg!”

Buma terpelanting. Ternyata tenaga Liang-ciangkun demikian dahsyat dan pemuda itu tergulingguling, cepat menggerakkan tombaknya ke kiri kanan ketika para pengawal atau pembantu Liang-ciangkun itu coba menyerangnya. Dan ketika pemuda itu melompat bangun sementara ayahnya berteriak tertahan, membentak si anak maka sang ayah sudah menahan tetapi justeru diserang Liang-ciangkun.

“Bret!” Si kakek kalah sigap mengelak. Golok menyambar dan robeklah bajunya terkena babatan, untung tidak melukai daging karena puteranya sudah menarik ayahnya itu. Dan ketika sang kakek menjadi marah sementara lawan membentak-bentak maka Liang-ciangkun menerjang dan ingin menghajar ayah dan anak itu.

“Mundur.... mundur semua. Biarkan kalian menjaga agar dua ekor anjing ini tidak lolos dan lihat aku akan membabat kepalanya!”

Golok sudah bergerak naik turun. Hulai kakek gagah itu apa boleh buat terpaksa menyambar tombaknya, berseru agar Liang-ciangkun jangan mata gelap dan bicara baik-baik. Tapi ketika makian dan bentakan menjawab seruan kakek itu dan Liang-ciangkun mengata-ngatai kakek ini dengan ucapan-ucapan kotor maka Buma tak tahan dan membalas sambaran-sambaran golok lawan. Akibatnya mereka bertanding tapi berkali-kali gempuran tenaga Liang-ciangkun membuat pemuda ini terhuyung. Si kakek mundur dan sesekali menangkis serangan lawan kalau Liang-ciangkun menyerangnya, membalas dan membantu puteranya kalau Buma terdesak. Tapi karena mereka memang bukan orang-orang persilatan dan komandan Liang itu rupanya mahir bermain golok maka sebuah bacokan akhirnya melukai pundak Buma.

“Crat!”

Sang ayah tak tahan lagi. Komandan itu terbahak-bahak dan kakek ini maju menerjang, melihat puteranya terdesak dan empat kali tombak di tangan puteranya itu terpental, tanda betapa puteranya kalah kuat dan kakek ini harus mengakui bahwa bertarung secara sendiri-sendiri pihaknya kalah pandai, karena Liang-ciangkun atau orang-orang Han memang terkenal dengan silatnya itu. Dan ketika kakek menusuk namun golok menangkis maka kakek inipun terpental tapi ayah dan anak sudah maju lagi.

“Liang-ciangkun, kau sewenang-wenang. Kau tak berperikemanusiaan. Lihatlah, kami akan mati secara gagah di sini tapi tunggu pembalasan bangsa Uighur yang tak akan mau sudah!”

“Ha-ha, kau akan kubunuh, dan suku bangsamu itu akan kubasmi. Jangan banyak cingcong, orang tua. Kusuruh baik-baik menyerahkan seratus anak buahmu kau tak mau dan kini rupanya mau mengorbankan diri!”

Sang kakek berkeringat. Meskipun gemuk pendek namun Liang-ciangkun rupanya perwira terlatih, terbukti berkali-kali tombaknya itu terpental sementara tombak puteranya juga bernasib sama. Tapi ketika mereka terdesak dan bahu kembali terbabat tiba-tiba Buma mencabut sumpit dan meniup lawannya itu.

“Srut!” Sang komandan tak menyangka. Dua panah kecil menyambar dadanya dan menancap, membuat komandan itu terhuyung dan berteriak kesakitan, pucat karena tiba-tiba seluruh tubuhnya panas dan kejangkejang. Dada seketika menjadi hitam dan kagetlah komandan itu karena itulah panah yang amat beracun yang biasanya dipakai oleh bangsa-bangsa liar untuk merobohkan binatang buruan. Harimau bahkan gajah sekalipun akan terguling oleh bisa atau racun yang amat ganas dari panah hitam itu, yang dilepas melalui sumpit. Dan ketika benar saja Liang-ciangkun terhuyung dan roboh terduduk, gemetar, maka komandan itu sudah terguling dan tewas dengan muka kehitaman!

“Terkutuk! Pemuda ini membunuh komandan Liang!”

Gegerlah orang-orang di situ. Hulai sang ayah, terkejut melihat puterannya menurunkan tangan keras. Dia sendiri juga memiliki sumpit namun tak mau mempergunakannya. Maklum, kakek ini siap berkorban asal urusan tak diperpanjang. Tapi begitu puteranya merobohkan Liang-ciangkun dan persoalan tak dapat ditarik lagi maka kakek ini juga bergerak dan apa boleh buat menyumpit para pengawal ketika mereka bergerak dan menyerang. Dan begitu pengawal roboh dan menjerit maka kakek ini cepat-cepat menyambar puteranya untuk diajak kabur!

“Cepat, terlanjur basah. Kita lari...!”

Keadaan menjadi gaduh. Roboh dan tewasnya Liang-ciangkun menjadi berita menggegerkan dari mulut ke mulut. Kakek dan puteranya itu segera diserang tapi panah-panah kecil menyembur berulang-ulang dari mulut dua orang itu, merobohkan lawan dan tentu saja tak ada pengawal berani mendekat. Tapi ketika kakek itu sudah mendekati kudanya dan lawan teringat panah tiba-tiba saja kakek itu dihujani panah yang berhamburan dari segala penjuru.

Si kakek menggerakkan tombak dan anak-anak panah terpental, sekali dua memang berhasil tapi akhirnya kakek itu menjerit ketika sebatang anak panah menancap di punggungnya. Kakek ini sedang memutar kudanya dan siap mencongklang ketika tiba-tiba anak panah itu menancap. Dan ketika dia mengaduh dan puteranya terkejut maka Buma yang siap mencengklak kudanya tiba-tiba menahan dan kaget melihat keadaan ayahnya itu.

“Ayah...!”

Sang kakek menoleh. Hulai hampir tertelungkup tapi tiba-tiba memutar tombaknya lagi, menghalau dan menepis hujan-hujan panah dan menyeringai memandang puteranya itu, tertawa dan menyuruh puteranya lari dan berkata bahwa dia tak apa-apa, padahal panah jelas menancap dipunggung. Dan ketika Buma tentu saja tak mau pergi dan mengeprak kudanya maka pemuda itu menyambar dan mencambuk pantat kuda ayahnya.

“Tarr!” Kuda meringkik keras. Sang kakek terlonjak tapi puteranya itu sudah menahan, menyuruh ayahnya duduk kuat-kuat dan kaburlah kuda itu ditendang Buma. Dan ketika mereka menerjang dan sumpit ditiup lagi maka pasukan Liang-ciangkun kaget karena pemuda dan ayahnya itu lolos.

“Kejar! Tangkap mereka! jangan biarkan lolos... !”

Pasukan menyambar kuda masing-masing. Buma dan ayahnya dikejar tapi tiba-tiba terdengar derap dan sorak-sorai di depan. Karum, pembantu kakek gagah itu muncul, bersama seratus kawannya. Dan ketika pasukan terkejut dan anak buah Liang-ciangkun itu tentu saja merandek, tertegun, maka lembing dan anakanak panah balas menyambar mereka.

“Buma, ke mari. Cepat! Kami melindungi dirimu!” Pemuda ini girang. Kiranya dia disusul dan tentu saja mencambuk kudanya agar terbang mendekati.

Lawan di belakang terhenyak kaget tapi tiba-tiba merekapun membentak dan mengejar lagi. Dan ketika seratus laki-laki Uighur itu berteriak dan menyambut lawan maka di belakang terdengar derap-derap lain dan seribu lebih bangsa Uighur mendatangi dengan cepat, siap menyerang dan mengadakan perang besar-besaran. Pasukan kerajaan terkejut dan tentu saja mereka berhenti, otomatis menahan diri karena itu berarti menyabung nyawa. Mereka yang tadi siap mengeroyok tiba-tiba berbalik akan dikeroyok.

Betapapun bangsa Uighur adalah bangsa yang nekat dan gagah, mereka itu pemberani tapi di saat seperti itu muncullah seekor kuda berbulu coklat yang penunggangnya mengeluarkan teriakan mengguntur, menyuruh berhenti semua orang dan bangsa Uighur terkejut karena itulah Hok-ciangkun yang menjadi panglima utama di situ, atasan sekaligus pucuk pimpinan tertinggi bagi Liang-ciangkun dan anak buahnya. Dan ketika panglima itu berderap dan berhenti mengibaskan bendera kuning, tanda untuk berbicara maka Buma yang juga terkejut melihat panglima itu sudah cepat menyerahkan ayahnya yang terguling dari atas kuda.

“Buma, kau dan ayahmu melakukan pelanggaran berat. Hentikan orang-orangmu dan katakan apa yang menjadi sebab semuanya ini!”

Buma, pemuda itu mengerutkan keningnya. Dia tergetar dan jerih menghadapi panglima ini. Hok-ciangkun adalah panglima yang jauh lebih hebat daripada Liang-ciangkun. Kepandaian panglima itu tinggi dan konon katanya dia kebal. Maka ketika pemuda itu tertegun dan mau tak mau berdebar keras, bukan takut melainkan waspada akan adanya bahaya yang besar tiba-tiba Karum dan seratus teman-temannya itu maju mengeprak kuda, melindunginya.

“Buma, majulah bersama kami. Kalau Hok-ciangkun ingin membunuhmu biarlah kita semua mati bersama!”

Buma bangkit semangatnya. Sernula dia ragu untuk menghadapi Hok-ciangkun itu sendirian, maklumlah, dia tahu kepandaian si panglima padahal dengan Liang-ciangkun sendiri saja dia tak menang, karena memang pemuda itu hanya memiliki kepandaian biasa saja berdasar keuletan dan perjuangan hidup sehari-hari, seperti laki-laki lain di suku bangsanya. Maka begitu Karum mengajak berderap dan seratus teman-temannya itu siap melindungi tiba-tiba keberanian pemuda ini bangkit dan dengan gagah dia mendekati lawannya itu.

Hok-ciangkun bersinar-sinar. Dia terkejut ketika tiba-tiba mendengar kerusuhan itu, mendengar bawahannya dibunuh dan Buma serta ayahnya bertengkar dengan Liang-ciangkun. Tapi karena dia tak mendengar secara lengkap karena semua pasukannya tiba-tiba mengejar dan bertemu orang-orang Uighur maka panglima itu bergerak dan kini ingin mendengar sendiri dari mulut Buma, sumber dari semua keributan.

“Kau...” katanya. “Katakan apa yang menjadi sebab dari semuanya ini dan kenapa kau membunuh Liang-ciangkun!”

“Hm, maaf,” Buma nyaris tak kuat beradu pandang, kalah wibawa. ''Aku membunuh karena terpaksa, tai-ciangkun (panglima besar). Liang-ciangkun menghina ayahku dan tak dapat diajak bicara baik-baik. Aku... aku terpaksa membunuhnya karena ia hendak membunuhku!”

“Hm, katakan apa yang menjadi sebab. Aku tak bertanya yang lain-lain. Kau tentu tak suka kulaporkan ke kota raja sebagai pemberontak!”

“Aku tak takut!” pemuda tiba-tiba berkata gagah. “Aku tak merasa bersalah, tai-ciangkun. Kami berdua datang secara baik-baik untuk melaporkan sepak terjang anak buahmu ketika tiba-tiba Liang-ciangkun marah-marah dan menghina kami!”

“Hm, ceritakan itu!”

“Liang-ciangkun menghendaki empat puluh wanita-wanita cantik untuk dijadikan pemuas berahinya. Dia menghina kami dengan menginjak-injak harga diri kami!”

“Hm, itukah?” panglima ini tertawa mengejek. “Ingatlah ketika dulu suku bangsamu menginjak-injak dan menghina kaum wanita kami, Buma. Ingatlah ketika dulu bangsa Uighur dan bangsa-bangsa lain menyerang kota raja. Apakah yang mereka lakukan terhadap bangsa Han? Apakah yang mereka lakukan terhadap wanita dan anak-anak bangsa Han? Jauh lebih keji daripada yang dilakukan Liang-ciangkun! Aku dapat mengerti perasaanmu, anak muda. Tapi semua itu belum sebanding dengan apa yang dulu pernah diperbuat bangsa Uighur!”

“Ciangkun, kau tak layak bicara seperti ini. Itu sudah lewat! Yang melakukan itu juga sebagian besar sudah terbunuh dan kami bukan mereka! Kenapa kau mengungkit-ungkit masalah ini padahal selama ini kami tak melakukan seperti itu? Kau tak adil, Hok-ciangkun. Kau hanya membangkitkan semangat kebencian dan permusuhan!”

“Hm, kau anak kecil bicara seperti orang dewasa. Ingatan itu masih menggores dalam di hati bangsa Han, anak muda. Kenangan itu tak dapat dilupakan seumur hidup! Siapa bilang aku tak layak mengemukakan ini? Liang-ciangkun melakukan itu karena sekedar ingin membalas kekejaman kalian dulu, tapi sepak terjangnya masih dapat ditolerir. Dan kau orang-orang taklukan ini sekarang banyak tingkah! Hm, kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu, Buma. Kau harus ikut aku ke kota raja!”

Buma tiba-tiba merah padam. “Hok-ciangkun, aku barangkali mau ke kota raja, tapi teman-temanku ini entah bagaimana. Coba kau tanya dulu mereka itu apakah boleh!” pemuda ini jelas mengejek, tombak bergetar di tangan dan Karum serta kawan-kawannya tiba-tiba berteriak bahwa pemuda itu tak boleh dibawa. Mati hidup mereka harus tetap di situ, urusan tak perlu dibawa ke kota raja. Dan ketika mereka berteriakteriak bahwa perwira kerajaan menghina dan menginjak-injak harga diri mereka maka Buma tersenyum dan memandang panglima itu, yang tertegun dan membesi mukanya.

“Nah, lihat,” pemuda itu berkata. “Aku tak boleh jauh-jauh ke sana, Hok-ciangkun. Kawan-kawanku tak menghendaki aku dibawa ke kota raja. Kalau kau ingin menyelesaikan masalah marilah kita selesaikan disini. Aku sudah memberi tahu semuanya dan sekarang tinggal keputusanmu bagaimana!”

Hok-ciangkun bergetar. Akhirnya muka panglima ini merah padam dan jelas kemarahan besar terbayang di mukanya itu. Dia ingin menerkam tapi Buma dilindungi teman-temannya. Seratus orang menggelilingi pemuda ini dan tak mungkin baginya melakukan itu.

Tapi ketika dia menggeram dan berpikir bagaimana caranya membekuk pemuda itu, tanpa membuat diri sendiri malu tiba-tiba seseorang bergerak dan mendekati panglima ini, berbisik-bisik dan Hok-ciangkun tiba-tiba bersinar matanya, tersenyum dan mengangguk dan akhirnya tertawa. Dan ketika Buma dan kawan-kawannya mengerutkan kening maka panglima itu menghadapi kembali pemuda ini...