X6P58KpuBfdX9YvoDfejjA12jdjgThuq3ef2E1Tb
Sonny Ogawa
Kumpulan Cerita Silat Online Indonesia dan Mandarin

Rajawali Merah Jilid 01

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Rambut Emas Episode Rajawali Merah Jilid 01 Karya Batara

RAJAWALI MERAH
JILID 01
KARYA BATARA

Cerita Silat Mandarin Karya Batara
LANGIT cerah. Udara di dusun He-chungcu terasa begitu nyaman di pagi hari itu. Dusun ini terletak di kaki pegunungan Thian-san, diapit dua bukit hingga mirip sebuah lembah yang sejuk dan dingin. Tak banyak penduduknya, kurang lebih hanya sekitar duaratus laki-laki dan perempuan, termasuk anak-anak yang pagi itu menggembalakan kerbaunya dengan riang untuk merumput. Tapi ketika serombongan orang berkuda mendatangi dusun itu dengan derap gemuruh dan ringkik serta ledakan-ledakan cambuk menggetarkan suasana yang nyaman dan tenang ini tiba-tiba keadaan segera berubah.

Dua puluh wanita bermacam umur datang dengan hingar-bingar. Mereka memekik-mekik mencambuk kudanya agar berlari lebih cepat lagi, tak perduli bahwa kuda tunggangan mereka sudah basah kuyup penuh keringat, tanda bahwa binatang-binatang tunggangan itu sudah melakukan perjalanan yang jauh. Dan ketika rombongan itu mengejutkan anak-anak di sekitar dan dua di antaranya berteriak kaget maka yang menggembala kerbau di pinggir keterjang tiga wanita yang melarikan kudanya seperti gila ini.

"Hei, minggir...!"

Dua anak itu tak sempat mengelak. Mereka duduk di atas punggung kerbau mereka dan tadi sedang terbelalak melihat rombongan berkuda ini, bengong dan tahu-tahu tiga ekor kuda di depan sudah begitu dekat jaraknya, menerjang dan kerbau tunggangan mereka ketabrak, roboh dan dua anak itu menjerit terlempar tinggi. Dan ketika mereka terbanting sementara kerbau mereka terguling-guling di sana maka dua anak laki-laki ini mengeluh dan pingsan menimpa tanah yang keras.

"Bresss!"

Tiga wanita di atas kuda itu terbelalak sejenak. Mereka tak acuh dan satu di antaranya terlempar dari atas kuda, berjungkir balik dan kudanya meringkik karena tersungkur roboh, menendang atau menabrak kerbau pertama. Tapi ketika wanita itu menggerakkan cambuk panjangnya dan menjeletar ke bawah, menangkap atau menjirat leher kuda maka binatang itu tertarik dan sudah berdiri lagi, dihinggapi tuannya yang turun ke bawah, tepat di atas punggung kuda.

"Herrr... hyehh!"

Kuda sudah dikeprak kabur. Dua yang lain sudah di depan dan tiga wanita itu tak perduli sedikitpun pada dua anak laki-laki yang pingsan di sana. Mereka begitu dingin sementara teman-temannya di belakang sudah menyusul, melewati dan bahkan menendang dua anak itu, yang mencelat dan terbanting lagi dengan tulang patah. Dan ketika anak-anak yang lain terbelalak pucat dan lari tunggang-langgang maka rombongan wanita ini sudah memasuki dusun dan berhenti di sana.

"Stop!" dua di depan mengangkat tangannya tinggi-tinggi. "Tempat ini enak untuk kita, toa-ci (kakak pertama). Kita berhenti dan memeriksa kampung ini!"

Gegerlah semua penghuni. Mereka akhirnya keluar dan laki-laki maupun perempuan sama terbelalak kaget. Belum pernah tempat mereka didatangi begitu banyak orang, apalagi wanita-wanita semua, yang ratarata gagah dan cantik namun mata mereka bersinar kejam dan ganas. Dan ketika dua wanita di depan turun dengan ringan dan tak perduli pada pandangan penghuni asli maka mereka berkeliling dan berseri-seri melihat banyaknya tanaman hijau segar di dusun itu, sayur-mayur dan buah-buahan.

"Bagus, tempat yang nyaman. Makanan di sini cukup!"

"Hm, kalian siapakah?" seorang kakek tiba-tiba melangkah maju, menyeruak dari kerumunan penghuni dusun. "Selamat datang untuk kalian semua, nona-nona. Tapi maaf perkenalkan diri kalian dulu agar kami tahu!"

Dua wanita itu menoleh, menyambar tajam. "Kau siapa?" bentaknya, tak menjawab pertanyaan orang. ''Apakah ingin mengusir kami dan tak senang kami di sini?"

"Maaf," kakek itu membungkuk, menarik napas dalam-dalam. "Aku He-chungcu (kepala kampung He) yang menjadi pemimpin di sini, nona. Bukan bermaksud mengusir apalagi melarang kalian masuk melainkan semata ingin menyampaikan ucapan selamat datang, kalau kalian ingin datang secara baik-baik. Nah, siapakah kalian dan dari mana kalian datang. Apakah sekedar lewat dan kebetulan saja sampai di sini."

"Keparat, tua bangka menyebalkan!" wanita di samping kiri tiba-tiba menjeletarkan cambuknya. "Kami rombongan Li-keh-pan (keluarga Li), orang she He. Datang dan ingin menguasai kampung ini. Pergilah, jangan mengganggu kami... tar!"

Orang tua itu terkejut, tersengat ujung cambuk dan tiba-tiba dia roboh berteriak. Gerakan cambuk yang demikian cepat bak petir menyambar tahu-tahu meledak di kulit tubuhnya, membuat dia terpelanting dan kakek itu tentu saja menjerit kesakitan. Tapi ketika dia merintih bangkit berdiri dan delapan laki-laki segera menolongnya mendadak wanita itu meledakkan cambuknya lagi dan kakek yang sudah berdiri itu tahu-tahu dililit dan dibuang sekitar empat tombak jauhnya.

"Kami tak ingin dipelototi. Kalau kau tak suka justeru aku akan melemparmu lebih jauh lagi!"

Sang kakek terguling-guling. Akhirnya dia mengeluh dan mengaduh kesakitan. Wanita yang tak berperasaan dan ganas itu tertawa mengejek disusul tawa wanita-wanita yang lain, yakni rombongan yang sudah dikelilingi penghuni dusun itu, laki-laki dan perempuan yang sama sekali tak membuat mereka takut, apalagi jerih. Dan ketika kakek itu terbanting dan susah bergerak bangun maka wanita yang menyerang itu memutar tubuhnya menghadapi delapan laki-laki yang terbelalak memandangnya, marah.

"Kalian!" serunya. "Apakah anak buah He-chungcu?"

"Benar," seorang pemuda melompat ke tengah dengan gagah. "Kami adalah penghuni-penghuni dusun ini, wanita siluman. Dan aku adalah He Kang, putera He-chungcu. Sebutkan apa mau kalian dan kenapa datang-datang sudah mencelakai orang!"

"Hm, kau putera He-chungcu? Datang mau membela ayahmu? Hi-hik, kau pemuda tampan, He Kang. Kebetulan kalau di kampung ini ada pemuda sepertimu ini. Kami butuh laki-laki muda untuk menjadi pelayan, dan kau kuangkat sebagai kepala pelayan. Singkirkan ayahmu dan suruh kakek-kakek yang lain menyingkir!"

"Keparat, apa kau bilang? Kalian mau merampok dan menguasai dusun ini?"

"Tadi sudah kuberitahukan," wanita bercambuk itu berseri-seri. "Dan kami tak mau banyak bicara lagi, He Kang. Suruh ayahmu menyingkir dan hanya pemuda-pemuda saja yang boleh tinggal di tempat ini. Selebihnya, harus keluar!"

"Sombong!" seorang lelaki kekar di antara delapan orang itu tiba-tiba berteriak marah. "Mereka ini srigala-srigala wanita, He Kang. Bunuh dan hajar saja!"

He Kang, pemuda itu, terkejut. Temannya ini sudah bergerak dan sabit yang sedianya untuk mencari rumput atau ranting-ranting kering itu mendadak saja sudah menyambar wanita bercambuk, marah dan gusar karena rombongan wanita itu kiranya mau menduduki dusun, merampas dan tinggal di situ dengan memerintahkan mereka untuk menjadi pelayannya, hinaan yang tak dapat diterima laki-laki ini dan menyambarlah sabit yang ada di tangannya itu membabat leher si wanita.

Tapi ketika wanita itu mendengus dan tersenyum mengejek, merendahkan sedikit kepala maka sabit lewat di atas kepalanya sementara kakinyapun, tak tinggal diam untuk menendang si lelaki kekar itu.

"Kau tak tahu diri, mencari mati. Pergilah, dan kuantar menghadap Giam-lo-ong (Raja Maut).... dess!" dan kaki yang bersarang di lambung serta membuat lelaki kekar itu berteriak dan terbanting roboh akhirnya membuat penghuni dusun tersentak karena teman mereka itu sudah tidak bergerak-gerak lagi, pecah lambungnya!

"Kejam!" He Kang, putera He-chungcu terkejut.

Tujuh temannya yang lain juga berseru tertahan dan terbelalak melihat kejadian itu. Seorang wanita muda menjerit dan berteriak menubruk tubuh yang tak bernyawa itu, karena dialah isteri si lelaki kekar. Dan ketika yang lain juga tersentak dan mundur membelalakkan mata, yang laki-laki sudah mencabut senjata dan siap menyerang maka wanita itu terkekeh dan kampung He inipun dibuatnya pucat.

"Hi-hik, lihatlah. Itulah ganjaran bagi mereka yang berani melawan kami. Siapa menyusul dan ingin ke akherat? Ayo, majulah, dan kami akan mengiring dengan gembira setiap yang tidak puas dan ingin melawan kami!"

Dusun itu benar-benar gempar. Akhirnya semua orang menjadi ribut dan kematian si lelaki kekar sudah disusul oleh berita robohnya dua anak yang diterjang kuda. Orang-orang dusun menjadi marah dan He Kang putera He-chungcu itu sudah merah serta pucat berganti-ganti menyaksikan kejadian ini. Teman-temannya gaduh dan berteriak satu sama lain, yang perempuan menyingkir dan anak-anakpun seketika diminta memasuki rumah masing-masing.

Dan ketika empat puluh laki-laki sudah mengepung sementara wanita itu bersama teman-temannya hanya tertawa dan tersenyum-senyum maka He Kang memberi aba-aba dan pemuda itupun sudah menyambar tombak dan menyerang wanita di depannya itu.

"Serang, bunuh wanita ini...!"

Yang lain bergerak di belakang. Empat puluh lelaki tiba-tiba sudah membentak dan menerjang si wanita bercambuk, mereka marah dan benci karena wanita itu telah membunuh Sui Lok, si lelaki kekar. Tapi ketika golok dan tombak berhamburan ke depan dan wanita itu mengeluarkan tawa aneh mendadak tubuhnya berkelebat lenyap dan hujan senjata yang menyambar ke tengah saling bertemu sendiri antar sesama teman.

"Cring-cring-crangg!"

Empat puluh lelaki itu kaget. Mereka berteriak dan satu sama lain terjengkang saling tumbuk. Mereka kehilangan lawan karena seperti siluman saja tahu-tahu wanita itu lenyap. Tapi ketika tawa itu terdengar lagi dan kini ada di belakang, di luar kepungan ternyata wanita itu sudah lolos dan keluar entah dengan cara bagaimana!

"Hi-hik, kalian mau mengeroyok aku? Empat puluh laki-laki dengan seorang wanita saja? Boleh, majulah, tikus-tikus busuk. Dan lihat cambukku menghajar kalian... tar-tar!"

Empat puluh laki-laki itu terkejut. Mereka sebenarnya tak akan mengeroyok kalau saja wanita itu tak terlalu telengas. Sepak terjangnya yang ganas dan sekali pukul membuat teman mereka binasa sungguh membuat kebencian di hati. Itulah sebabnya mereka ingin menyerang dan maju bersama, bukan karena sengaja mengeroyok melainkan semata karena adanya kebencian bersama itu, kebersamaan yang membuat mereka sama-sama marah, dan ingin menyerang berbareng. Maka ketika tantangan itu dikeluarkan dan beberapa di antaranya merah padam, menahan diri maka He Kang menyuruh teman-temannya mundur dan dia sendiri maju dengan tombak bergetar.

He Kang bukanlah pemuda lemah. Pemuda ini sebenarnya merupakan pemuda paling pandai di antara semua penghuni He-chungcu. Dialah merupakan pemuda yang paling tangkas karena He Kang amat pandai berburu, satu latihan ketangkasan yang membuat pemuda itu memiliki gerakan lebih cepat dan mantap dibanding teman-temannya. Dan karena pemuda ini sering mempergunakan tombaknya untuk merobohkan lawan maka dengan senjata itu pula pemuda ini menghadapi si wanita.

"Kami tak bermaksud mengeroyok," He Kang merah mukanya, membela diri. "Kami menyerang bersama karena kami memiliki kebencian yang sama pula. Nah, kini aku akan membela kampungku, siluman betina. Kau lihat semua kawan-kawan sudah mundur dan aku sendiri!"

"Hi-hik," wanita itu terkekeh, memandang teman-temannya yang lain. "Lihat pemuda ini, toa-ci. Lihat betapa gagah dan jantannya. Dia pantas menjadi pembantu kita! Bagaimana pendapatmu?"

"Hm," seorang wanita lain mengangguk, wanita berbaju biru. "Kau tidak salah, sam-moi (adik ketiga). Tapi cepat robohkan pemuda itu karena yang lain-lain masih menunggu!"

"Baik," dan ketika wanita ini menghadapi lawannya kembali maka dia berseru, ''Kau, majulah. Kurobohkan dalam tiga jurus saja dan setelah itu teman-temanmu yang lain mendapat bagian!"

"Wut!" He Kang menyambar, bergerak dengan tombaknya. "Kau sombong dan pongah, siluman betina. Coba robohkan aku seperti kata-katamu itu!" dan He Kang yang sudah bergerak dan menusuk atau menikam lalu menyerang lawan dengan marahnya. Muka merah padam karena dia, merasa direndahkan sekali. Di depan begitu banyak teman-temannya dia dinyatakan akan roboh dalam tiga jurus saja, padahal wanita itu hanyalah seorang perempuan. Tapi ketika tombak bergerak dan menyerang atau menusuk tiba-tiba pemuda ini kaget karena dengan mudah lawan berkelit dan lenyap dari depan matanya.

"Satu...!" tawa di belakang disusul jentikan ke ujung telinga. "Kita sudah bergebrak satu jurus, orang she He. Lihat betul atau tidak bahwa dalam tiga jurus kau roboh!"

He Kang kaget sekali. Dia memutar tubuh dan cepat menusuk ke belakang karena secara kurang ajar lawannya itu menjentik telinganya, tidak sakit namun cukup pedas dan membuat telinganya merah. Tapi ketika lawan berkelebat dan kembali tertawa, lenyap entah ke mana maka hitungan kedua disebut.

"Dua...!"

He Kang kalang-kabut. Tiba-tiba menjadi gugup dan membabi buta menyerang lawan, lagi-lagi ke belakang dan menusuk namun lawanpun lenyap seperti siluman. Dan ketika teman-temannya berteriak bahwa wanita itu ada di samping kirinya, dan He Kangpun sudah bergerak maka tombak meluncur dan menusuk sekuat tenaga.

"Pletak!" tombak itu patah. He Kang berteriak keras karena lawan yang diserang tidak menghindar, memberikan perutnya namun semacam tenaga yang luar biasa tiba-tiba membuat senjatanya melengkung, patah dan He Kang tentu saja kaget bukan main, pucat. Namun ketika dia berteriak keras dan lawan tertawa menggerakkan kakinya maka hitungan ketiga disebut dan pemuda itupun terlempar dan terbanting roboh.

"Bluk!" Putera He-chungcu ini nanar. He Kang mengeluh dan teman-temannya berseru kaget. Mereka takut He Kang seperti si lelaki kekar tadi, roboh dan tidak bangun-bangun lagi, tewas. Tapi ketika pemuda itu hanya merintih dan mengerang-erang kesakitan maka teman-temannya girang dan berhamburan menolong.

"Wanita itu siluman, kita keroyok saja!"

"Benar, dan kita bunuh, He Kang. Dusun kita terancam malapetaka!"

He Kang tak dapat menjawab apa-apa. Dia sedang kesakitan dan perutnya serasa diaduk-aduk, mual dan mau muntah dan teriakan teman-temannya itu tak dapat dijawab. Tapi ketika dia sudah dipapah bangun dan wanita itu terkekeh-kekeh, geli, maka empatpuluh pemuda yang bergerak memutar tubuh tiba-tiba tidak menunggu jawaban lagi dan menyerang wanita itu.

"Iblis, bunuh wanita ini!"

"Dan usir teman-temannya yang lain itu!" dan ketika empat puluh laki-laki itu bergerak dan menyerang si wanita, juga teman-temannya maka duapuluhan wanita yang ada di situ terpaksa berkelit dan menangkis serangan orang-orang ini.

"Plak-plak-cringg!"

Empat puluh laki-laki itu kaget, Mereka rata-rata kaum lelaki yang memiliki tenaga besar. Pekerjaan mereka sehari-hari adalah bercocok tanam atau berburu, pekerjaan yang membuat jari-jari mereka keras dan kaku, satu latihan tanpa sengaja yang membuat mereka merupakan laki-laki yang kuat dan bertenaga besar.

Tapi begitu mereka bergerak dan menyerang wanita-wanita itu, dengan golok atau tombak mereka mendadak senjata mereka patah-patah dan duapuluh wanita itu cukup menampar atau menggerakkan sebelah tangan untuk menangkis, hal yang tentu saja membuat empatpuluh laki-laki itu menjerit dan kaget bukan main, terlempar atau terpelanting ke sana ke mari mirip pohon-pohon pisang yang ditebang. Dan ketika duapuluh wanita itu berkelebatan dari atas kudanya dan membalas mereka tiba-tiba saja mereka semua sudah roboh tanpa daya.

"Bluk-bluk-bluk!"

Empat puluh laki-laki ini sudah seperti He Kang. Mereka kelengar dan merintih-rintih di tanah, memegangi kaki atau tangan mereka yang serasa remuk. Tadi wanita-wanita itu menempar atau mengayun tangannya ke kaki atau tangan mereka, dan merekapun roboh menjerit. Dan ketika semua terkapar dan He Kang terbelalak melihat itu maka wanita berbaju biru menggerakkan tangan ke belakang dan sebatang pedang yang putih mengkilap tahu-tahu sudah berdesing dengan bengis.

"Kalian minta mati, berani menyerang kami!"

"Tidak, jangan...!" wanita baju hijau, si sam-moi, berkelebat mencegah ke depan. "Jangan bunuh orang-orang ini, toa-ci. Mereka dapat dijadikan pelayan-pelayan kita. Tahan!" dan buru-buru mengulapkan lengan mencegah encinya wanita itu lalu menunjuk lagi. "Mereka masih muda-muda, dan mereka tentu mengenal takut. Kalau mereka mau minta ampun dan mengabdi pada kita tentu tak perlu dibunuh. Lihat, seperti putera He-chungcu itu, bukankah dia gagah dan cukup menarik? Jangan bunuh, toa-ci, kecuali mereka menolak!"

"Benar," wanita baju merah tiba-tiba berkelehat menyambung, sejak tadi bersinar-sinar memandangi empatpuluh laki-laki itu, terutama yang muda-muda. "Mereka ini pantas melayani kita, toa-ci. Tigapuluh lebih rata-rata masih berumur duapuluh lima-an tahun. Sebaiknya diampuni kalau mau tunduk!"

"Kami tak akan tunduk!" He Kang tiba-tiba berseru, lantang. "Kalian iblis-iblis yang keji, siluman-siluman. Kalian boleh bunuh kami karena kamipun tak takut mati!"

"Benar!" seorang pemuda lain berseru menyambung, sahabat He Kang. "Aku juga tak takut mati, He Kang. Aku tak sudi tunduk kalau diperintah iblis-iblis betina macam mereka ini!"

"Bagus!" He Kang berseri-seri. "Kau tak memalukan aku, Lim Houw. Kita akan mempertahankan wilayah dan dusun ini dengan nyawa dan darah kita!"

"Ha-ha!" Lim Houw, pemuda itu, tertawa bergelak. "Lihat musuh kita justeru pucat, He Kang. Mereka rupanya ketakutan atau marah kepada kita. Tapi aku tak perduli. Mereka telah membunuh Tek-san, dan pasti juga akan membunuh kita semua. Hayo, kita sambut kematian dengan gagah!"

Semua yang lain tiba-tiba bangkit semangatnya. Empat puluh laki-laki yang ada di situ tiba-tiba berteriak dan menantang-nantang. Tapi ketika pedang wanita baju biru berkelebat dan mendesing di kepala Lim Houw tiba-tiba pemuda itu roboh dan kepalanya menggelinding terpisah dari tubuh.

"Crass!" Teriakan dan pekik tantangan tiba-tiba berhenti seketika. Empat puluh laki-laki itu kaget karena begitu cepat dan dinginnya wanita itu membunuh Lim Houw. Mata pemuda itu masih melotot dan darah menyemprot bagai pancuran. Bukan main mengerikannya! Dan ketika empatpuluh laki-laki itu terbelalak dan tersentak, melihat pembantaian yang begitu dingin maka wanita baju biru mendengus dan menyambar mereka dengan kilatan mata yang tajam tak berperasaan, seperti mata iblis.

"Nah, siapa mau menyusul. Buka mulut kalian!"

Semua laki-laki tertegun. Mereka masih ngeri melihat kepala Lim Houw di atas tanah itu, juga batang tubuhnya yang masih berkelojotan sejenak tapi akhirnya diam tak bergerak-gerak lagi, tinggal darahnya yang mengucur deras bagai pancuran. Tapi ketika semua tertegun dan membelalakkan mata, pucat dan ngeri melihat kekejaman wanita baju biru itu mendadak He Kang berteriak,

"Aku! Aku tak takut kepadamu, wanita siluman. Bunuh dan penggallah kepalaku seperti Lim Houw. Darah dan tubuhku akan menjadi rabuk bagi dusun ini!"

Wanita itu memutar tubuh dengan cepat. Dia terkejut mendengar bentakan He Kang, makiannya, tentu saja marah dan secepat kilat pedangnyapun bergerak ke arah pemuda itu. Tapi ketika pedang mendesing dan sekali lagi akan menjatuhkan korban tiba-tiba wanita baju hijau berseru keras menggerakkan tubuh ke depan.

"Enci, tahan.... cringg!" dan dua sinar putih yang beradu dan berpijar di udara tiba-tiba memuncratkan bunga api yang mengejutkan semua pihak. Sam-moi, wanita ketiga itu, menangkis dan mencegah encinya membunuh He Kang.

Pemuda itu selamat sementara He-chungcu yang sejak tadi menggigil dan mengeluh di sana menubruk anaknya. Kepala dusun He itu ngeri oleh kematian dua orang warganya marah tapi merasa tak berdaya apa-apa menghadapi wanita-wanita yang ganas ini. Maka ketika puteranya selamat dan wanita baju biru itu ditangkis adiknya maka kakek ini mengguguk sementara He Kang tak berkejap matanya melihat pedang mau menyambarnya tadi.

"Sudahlah, tak perlu takut. Kita bukan menghadapi manusia-manusia biasa, ayah, melainkan iblis-iblis dalam tubuh seorang wanita. Aku tak gentar dalam menerima kematian dan kau pergilah selamatkan diri."

"Tidak.... tidak! Mana mungkin begitu? Mana mungkin aku meninggalkan kampung ini? Akupun bukan laki-laki pengencut, He Kang, aku sudah tua dan lama atau tidak pasti ajal akan menjemputku juga. Tapi kau tak boleh mati, kau harus memimpin orang-orang kita. Biarlah kuhadapi siluman betina itu dan aku tak mau kau mendahuluiku ke akherat!"

Dan si kakek yang tiba-tiba menyambar tombak dan bangkit berdiri sekonyong-konyong berlari menusuk wanita baju biru itu, yang sedang bersitegang dengan wanita baju hijau karena mereka segera terlibat dalam percakapan sendiri. Wanita baju hijau menghendaki He Kang jangan dibunuh, padahal wanita baju biru sebaliknya. Dan ketika si kakek menyerang dan dua wanita itu tentu saja terbelalak, marah, maka wanita baju biru yang masih memegang pedangnya ini tiba-tiba menangkis dan tombak di tangan si kakek langsung putus menjadi dua.

"Bedebah keparat!"

Kakek Hu terkejut. Sekali babat saja tahu-tahu tombaknya sudah menjadi dua. Kakek ini terjelungup ke depan dan saat itulah pedang lawan bergerak dengan amat cepatnya. Wanita baju biru marah karena adiknya mencegah dia membunuh He Kang, pemuda yang berani menantangnya itu. Maka begitu si ayah malah maju dan menyerangnya beringas kontan wanita ini menimpakan kemarahannya kepada si kepala dusun. Dan begitu dia membabat dan si tua terjelungup tahu-tahu pedangnya itu sudah bersarang dan menembus di dada si kakek.

"Crep!"

"Ayah!"

He Kang dan lain-lain terkejut. Pemuda itu berteriak karena ayahnya segera terguling roboh. Pedang menancap tapi sudah dicabut lagi dan kakek itu berlubang dadanya, tewas dan hanya meninggalkan senyum ketika anaknya tadi berseru memanggil namanya. Dan ketika kakek itu roboh dan wanita baju biru tersenyum dingin, memasukkan pedangnya maka wanita baju hijau berkelebat dan menotok pingsan pemuda ini. Selanjutnya wanita itu juga bergerak dan mereka yang hendak bangun melarikan diri sudah disentuh ujung jarinya, roboh dan mengeluh oleh totokan lihai. Dan ketika wanita itu berhenti bergerak dan semua laki-laki pucat memandang, gentar dan ngeri maka wanita itu bertanya siapa yang ingin mati dibunuh.

"Am.... ampun!" semua laki-laki tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut, tak tahan oleh kekejaman itu. "Kami menyerah, niocu... kami semua menyerah. Jangan bunuh!"

"Hm, kalau begitu turuti semua kata-kata kami. Singkirkan tiga mayat ini dan yang tua-tua harap kalian bunuh!"

"Ap.... apa?"

"Kalian tuli? Semua yang tua-tua di sini harus dibunuh, tikus-tikus busuk. Dan kami tak mau mengotori tangan kami dengan pekerjaan ini. Kalian laksanakan, dan bunuh kakek-kakek atau nenek-nenek renta!"

"Tapi... tapi mereka orang-orang tua kami. Mereka... mereka... crat!" kepala laki-laki itu menggelinding, tak banyak cingcong lagi dibabat oleh pedang si wanita baju hijau.

Kini wanita itulah yang bergerak dan menggantikan toa-cinya, membabat atau membunuh laki-laki yang bicara bertele-tele itu. Dan ketika yang lain tersentak dan pucat serta gentar maka sam-moi atau wanita ketiga ini memerintahkan agar yang minta ampun menjalankan perintahnya membunuh orang-orang tua di situ. Akibatnya terjadilah perang batin di hati kaum laki-laki ini. Mereka diminta membunuh orang-orang tua yang ada di situ sebagai ganti nyawa mereka.

Dan karena kekejaman atau keganasan dua dari sekian banyak wanita itu sudah mendirikan bulu roma maka mereka akhirnya bergerak dan yang merasa kepojok lalu membunuh kakek-kakek atau nenek-nenek di situ. Dan akibatnya dusun He menjadi lolong tangis atau ajang pembunuhan keji.

Laki-laki muda yang takut dibunuh akhirnya menjalankan perintah itu, mereka membabat atau menusuk kakek-kakek dan nenek-nenek yang tentu saja terjungkal dengan mudah, roboh mandi darah dan menjadi korban dari kepengecutan kaum lelaki muda ini, anak atau bahkan cucu mereka sendiri. Dan ketika puluhan tubuh terkapar malang-melintang dan dusun itu banjir darah maka duapuluh wanita yang menonton itu terkekeh-kekeh.

"Bagus... bagus sekali. Kalian abdi-abdi yang baik!"

"Dan sekarang layani kami bercinta, anak-anak tampan. Buang pakaian kalian dan ke marilah!"

Kaum lelaki itu terkejut. Mereka tiba-tiba melihat dua puluhan wanita cantik itu melepas baju mereka, menanggalkannya tanpa malu-malu dan melototlah semua mata melihat tubuh-tubuh mulus di atas kuda. Wanita baju biru sendiri sudah , menyambar dua pemuda sekaligus dan tersenyum dengan senyumnya yang khas itu, dingin dan menakutkan.

Dan ketika yang lain juga disuruh maju dan apa boleh buat menuruti kehendak rombongan wanita-wanita itu maka kaum lelaki di dusun He ini dibuat tak keruan. Li-keh-pan atau rombongan keluarga Li itu mengajak mereka bermain cinta di atas mayat-mayat yang baru dibunuh. Mereka terkekeh-kekeh dan kelihatan begitu gembira melihat kaum lelaki ini ketakutan. Mereka terangsang tapi juga sekaligus takut melihat keganasan wanita-wanita ini.

Tapi ketika mereka diberi pil hijau dan rasa takut tiba-tiba hilang mendadak hampir empatpuluh laki-laki muda yang semula ragu-ragu itu menjadi beringas dan jantan bagai seekor kuda pacu. Mereka menghambur dan saling berebut. Dua laki-laki menarik seorang wanita. Dan ketika rombongan ini berbaur dan tumpang-tindih di tanah, disertai kekeh atau tawa-tawa yang tidak normal maka dusun itu menjadi tempat mesum yang tidak bersih lagi. Suasana damai dan tenang mendadak lenyap. Langit yang cerah tiba-tiba diliputi awan hitam. Dan ketika semua bergumul dan saling belit tukar pasangan maka wanita baju hijau sudah menyambar He Kang dan menyadarkan pemuda itu dari pingsannya.

He Kang tertegun. Dia melihat wanita ini melepas baju atasnya, memperlihatkan sepasang bola lembut dan berbisik di pinggir telinganya bahwa dia telah diselamatkan. Wanita itu mencegah encinya membunuh pemuda ini dan sekarang dimintanya pemuda itu melayani si wanita. Sam-moi berkata bahwa dia jatuh hati kepada He Kang, itulah sebabnya dia menyelamatkan pemuda itu. Tapi ketika He Kang tersentak oleh kematian ayahnya dan betapa dia terkejut melihat teman-temannya sudah bergumul dan bermain cinta dengan belasan wanita cantik itu tiba-tiba pemuda ini meloncat bangun berteriak marah,

"Tidak, kau siluman keji, Sam-moi. Kau wanita pembunuh!" dan menerjang serta mencekik leher wanita itu tiba-tiba He Kang sudah kalap dan bangkit kebenciannya, tentu saja membuat sam-moi terkejut dan wanita itu berkelit. Tubrukan atau cekikan He Kang luput, disusul dan dikejar lagi oleh serangan lain karena He Kang sudah membentak lagi, menerjang dan memaki-maki wanita itu karena He Kang jengah melihat sam-moi masih saja memperlihatkan buah dadanya itu. Wanita itu tak menaikkan bajunya dan mengelak sana-sini hingga bolanya tu bergoyang-goyang, sungguh tak tahu malu. Dan ketika He Kang tetap mengejar ke manapun wanita itu mengelak akhirnya sam-moi membentak agar si pemuda menahan dirinya.

"Berhenti, atau kau kubunuh!"

"Bunuhlah!" He Kang tak takut. "Aku siap membela kampung halamanku, siluman betina. Dan darah atau nyawa siap kukorbankan untuknya!"

"Keparat!" dan Sam-moi yang marah oleh kenekatan pemuda ini tiba-tiba mencabut pedang dan mengiris telinga pemuda itu.

"Crat!" Daun telinga He Kang putus. He Kang menjerit namun sudah menerjang lagi, sejenak tertegun memandang potongan telinganya itu tapi akhirnya menerjang membabi-buta. Sekarang pemuda ini kesakitan dan mata gelap, Sam-moi ditubruk dan dihantam. Sebatang golok sudah disambar pemuda ini dan He Kang mengumpat-caci wanita itu. Tapi karena Sam-moi bukan wanita sembarangan dan semua serangan-serangan pemuda itu dielak atau dikelit manis akhirnya satu tangkisan miring membuat golok di tangan He Kang mencelat, ditetak atau dipukul oleh tenaga yang luar biasa dan He Kang terpelanting roboh.

Pemuda itu memang bukan tandingan lawan dan Sam-moi berkilat matanya bahwa pemuda ini benar-benar sudah tak dapat dibujuk lagi. Karena itu begitu si pemuda terpelanting dan terjengkang ke belakang tiba-tiba pedangnya bergerak dan dada He Kang sudah ditembus keji.

"Crep!" He Kang mengeluh pendek. Pemuda itu roboh dan darah memuncrat dari luka di dada. Putera He-chungcu ini melotot tapi tak sempat memaki lawan. Karena begitu ia roboh dan terguling maka He Kang sudah tewas dan melayang nyawanya!

"Hm!" Sam-moi membuang ludah dengan jengkel. "Kau tak dapat dibujuk baik-baik, He Kang. Sekarang susullah ayahmu di akherat!"

Wanita ini berkelebat. Akhirnya dia menendang mayat itu dan pergi mencari mangsa yang lain, puluhan laki-laki yang bergumul dengan saudara-saudaranya dengan cekikikan atau tawa penuh nafsu. Dan ketika ia mendapatkan seorang pemuda dan menarik pemuda itu dari tanah maka Sam-moi sudah minta agar pemuda ini melayaninya. Selanjutnya Sam-moi dapat melepaskan kesalnya dengan pemuda ini. Korbannya diajak bermain cinta sampai sekarat.

Laki-laki itu sering digigit atau dicengkeram setiap kali wanita itu mengejang dalam nafsu memuncak, tentu saja membuat lawan kesakitan. Tapi karena laki-laki itu sudah menelan pil perangsang dan setiap kali pil itu hilang pengaruhnya wanita ini sudah memberinya lagi yang baru maka laki-laki pasangannya itu dikuras dan dihabiskan tenaganya. Dan ketika dua jam kemudian Sammoi sudah merasa mendapat kepuasan maka laki-laki di pelukannya itu sudah lemas dan putus napasnya.

"Bluk!" Sam-moi terkekeh mendorong tubuh itu. Pemuda yang menjadi korbannya mati kehabisan tenaga, juga oleh demikian banyaknya obat perangsang yang dicekokkan ke mulut lawan. Dan tepat Sam-moi mengenakan bajunya maka beberapa tubuh . lain juga sudah berjatuhan dan tinggal enam pemuda saja yang hanya pingsan, dikerjai oleh saudara-saudaranya yang lain!

"Hi-hik, berapa kali kau beri pil Penghisap Sumsum, sam-moi? Kenapa kau bunuh dia?"

"Hm, pemuda menyebalkan!" Sam-moi menggerutu, tapi tertawa. "Aku memberinya duapuluh pil, jici (kakak kedua). Dan kucium mulutnya tadi sampai dia sesak!"

"Tidak hebatkah dia?"

"Kurang perkasa, cepat habis. Rupanya dia semalam sudah mengobral cintanya dengan kekasihnya!"

"Ah, hi-hik!" wanita baju merah itu tertawa. "Kau rupanya bisa cemburu, sam-moi. Dan dapat panas hati! Kalau begitu aku beruntung, pemuda yang kudapatkan ini jantan dan perkasa sekali. Sepuluh kali main tetap saja dia tegar dan hebat, tanpa pil Penghisap Sumsum itu, Lihat, dia calon untuk memperkuat ilmu kita Tui-hun-hiat-jiu (Tangan Berdarah Pemburu Sukma)!"

Sam-moi mengerutkan kening. Dia melihat pemuda yang ditunjuk encinya itu, bergerak dan sudah mendekati pemuda ini. Tapi ketika yang lain juga menunjuk dan berseru mendapatkan yang istimewa maka toa-ci atau kakak tertua menuding dengan bangga.

"Dan aku memperoleh dua pemuda sekaligus. Lihat, mereka ini amat kuat dan bertenaga kuda, ji-moi (adik kedua). Mereka sanggup berpacu dan melayani empat wanita tanpa henti!"

"Ah, benarkah?"

"Tanya pada cap-sha-moi (adik ketigabelas) atau cap-jit-moi (adik ketujuh belas)!"

"Wah, hebat!" dan ketika ji-moi serta yang lain-lain berkelebatan dan mengitari dua pemuda itu, yang ternyata tidak pingsan atau tewas maka semua tertegun melihat dua pemuda itu bangkit duduk, menekuk atau melipat punggung yang pegal-pegal, tersenyum-senyum, masih telanjang bulat!

"Kau apakan mereka ini, toa-ci?"

"Kuputar balik jalan darah di otaknya."

"Kau membuatnya gila?"

"Hi-hik, tidak penuh. Aku hanya membuat mereka setengah sadar saja, ji-moi. Agar mereka ini patuh dan selalu tunduk kepadaku!"

"Kalau begitu mereka tak akan mau melayani kami!"

"Benar, mereka hanya milikku. Aku ingin melatih Tui-hun-hiat-jiu lebih sempurna daripada kalian!"

"Ah!"

"Ooh!"

Dan ketika suara-suara lain menyatakan kecewa atau gemas maka toa-ci, wanita baju biru itu menyambar dan memerintahkan dua pemuda itu mengenakan pakaiannya kembali.

"Kalian hanya tunduk kepadaku, hanya melayaniku seorang. Kalau kalian berani melayani adik-adikku yang lain maka kalian akan kubunuh! Mengerti?"

"Mengerti..."

"Nah, siapa namamu?"

"Aku Poan Jin..."

"Aku Poan Kwi.."

"Hm, kalian kiranya kakak beradik. Baiklah, bersihkan tempat ini dan mulai sekarang kalian adalah pelayan-pelayanku!" dan menoleh pada adik-adiknya agar mencari rumah paling baik si toa-ci berseru agar mereka mencari kamar sendiri-sendiri. "Mulai sekarang kita tinggal di tempat ini. Kita latih ilmu kita dan cari pemuda-pemuda macam Poan Jin dan Poan Kwi ini untuk memperdalam Tui-hun-hiat- jiu. Siapa mau bicara?"

"Tak ada." "Baiklah, simpan buntalan kita masing-masing dan jangan gaduh lagi!"

Ji-moi dan adik-adiknya mengangguk. Mereka berseri-seri dan hari itu duapuluh wanita dari Li-kehpan ini menguasai dusun He. Semua wanita dan anak-anak ternyata sudah lari menyingkir. Rumah-rumah kosong yang tanpa penghuni sudah diisi wanita-wanita dari keluarga Li ini. Dan ketika hari itu kampung He dirobah menjadi kampung Li maka toa-ci dan adik-adiknya ini sudah bertempat tinggal di situ.

* * ** * * * *

Dua muda-mudi melenggang santai di atas kuda. Mereka tampak bercakap-cakap dengan mesra dan manis sambil sesekali bergandengan tangan. Si gadis cantik jelita sementara si pemuda berwajah gagah meskipun berkulit kehitaman, tinggi besar dan memiliki sepasang mata yang tajam bersinar-sinar. Mereka mendekati pegunungan Thian-san. Tapi ketika kuda mereka berjalan tenang dan sesekali menyambar rumput di kiri kanan mendadak mereka dikejutkan oleh tangis dan jerit serombongan wanita dan anak-anak.

Tidak.... tidak, ibu. Kita kembali mengambil kong-kong!"

"Benar, dan paman juga di sana. Kita kembali, ibu. Aku tak kuat lagi berjalan dan kakiku sakit-sakit.... bluk!" dua muda-mudi itu tertegun, melihat seorang anak roboh terjerembab sementara ibunya menangis mengguguk-guguk.

Mereka tiba di sebuah tikungan ketika rombongan wanita dan anak-anak itu terlihat di ujung, tak kurang dari enampuluh wanita dan puluhan anak-anak kecil. Semua menangis dan memanggilmanggil kakek atau neneknya juga ayah atau paman yang entah ada di mana. Dan ketika dua muda-mudi itu berhenti dan mereka meloncat turun maka rombongan wanita dan anak-anak itu mendadak berhenti melangkah dan terkejut membelalakkan mata, tiba-tiba membalik dan lari berserabutan.

"Celaka, kita ketemu lagi. Lari... awas dibunuh!"

Dua muda-mudi itu terkejut. Mereka ganti membelalakkan mata karena tiba-tiba saja puluhan anakanak dan wanita-wanita itu lari jatuh bangun. Anak yang tadi roboh mendadak meloncat berteriak-teriak, melupakan sakitnya dan lintang-pukang seperti dikejar hantu. Dan ketika dua muda-mudi itu tersentak dan saling pandang tiba-tiba si gadis cantik menggerakkan tubuhnya dan berkelebat mengejar.

"Heii...!" seruan itu justeru menambah panik rombongan wanita dan anak-anak "Berhenti, ibu-ibu. Berhenti semuanya. Aku bukan siluman!" dan berjungkir balik di atas kepala orang-orang itu akhirnya gadis cantik ini berdiri menghadang. Dia mengembangkan kedua lengannya ke kiri kanan agar wanita dan anak-anak itu tidak berserabutan ke sana ke mari. Tapi begitu dia berkelebat di depan dan kepandaiannya ini mengingatkan wanita-wanita itu akan kepandaian iblis-iblis keji yang membunuh atau mencelakai orang tua atau suami mereka mendadak mereka berhamburan ke kiri kanan dan.... lari lagi.

"Awas..., awas dibunuh. Lari!"

Si gadis merah mukanya. Dia melihat rombongan itu berpencar menjadi enam tujuh bagian, masingmasing menyelamatkan diri dan menarik anak-anak mereka. Semua berteriak-teriak dan berlarian seperti induk-induk ayam diserang sekelompok elang. Tapi ketika sesosok bayangan lain berkelebat dan pemuda gagah yang menjadi teman si gadis cantik itu mengebutkan ujung bajunya tiba-tiba wanita dan anak-anak itu terlempar jatuh bangun, kembali ke tempat semula.

"Jangan lari, jangan panik. Kami bukanlah siluman melainkan kawan. Berhenti dan ceritakan kepada kami apa yang telah kalian alami ini!"

Wanita dan anak-anak itu akhirnya tertegun. Mereka semula berteriak kaget ketika terlempar dikebut lengan baju pemuda tinggi besar itu, mengira akan tewas atau patah-patah tulangnya. Tapi ketika mereka terbanting dengan lembu dan tak sedikitpun rasa sakit menghinggapi tubuh tiba-tiba mereka terheran dan membelalakkan mata. Dan mereka tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut ketika pemuda itu menyambar seorang anak dan mengusap-usap kepalanya, pemuda gagah yang bermata jujur dan baik!

"Ampun, kami.... kami ditimpa malapetaka, siauw-hiap (pendekar muda). Kami ditimpa bencana hingga suami atau orang-orang tua kami dibunuh iblis-iblis yang kejam!"

"Hm, kalian dari mana? Dan apa yang terjadi?"

"Kami dari dusun He, kami warga He-chungcu. Kami.... kami... suami kami atau adik-adik kami direbut iblis-iblis wanita yang keji!" dan ketika semua wanita-wanita itu menangis dan mengguguk di depan pemuda itu maka mereka ramai menceritakan apa yang terjadi, memiliki kepercayaan dan harapan kepada pemuda ini karena mereka sekarang melihat bahwa pemuda itu adalah orang baik-baik. Sikap dan pandang matanya sama sekali tidak menunjukkan sebagai orang jahat. Maka ketika mereka bicara dan satu sama lain seolah saling mendahului untuk menceritakan penderitaan sendiri maka pemuda itu kewalahan menerima semuanya ini.

"Stop, satu per satu. Jangan seperti tawon ribut!"

Wanita-wanita itu terisak. Akhirnya seorang di antara mereka maju menceritakan, terbata-bata menahan cucuran air mata yang terus deras mengalir. Dan ketika pemuda itu mengerutkan kening dan bola matanya yang tajam bersinar-sinar itu menunjukkan rasa marah maka didengarlah kisah di kaki pegunungan Thian-san itu. Betapa laki-laki muda ditangkap dan dijadikan pelayan serombongan wanita-wanita liar, betapa orang tua kakek-kakek atau nenek-nenek dibunuh. Mereka pendatang bengis yang kejamnya melebihi iblis. Mereka merebut suami atau kekasih-kekasih mereka untuk dijadikan budak wanita-wanita keji itu. Dan ketika pemuda ini merah padam dan bertanya siapakah rombongan wanita-wanita itu maka ibu muda yang jatuh terduduk ini menangis gemetar.

"Kami mendengar mereka menyebut diri sebagai rombongan keluarga Li. Kami tak tahu siapa mereka itu kecuali mereka adalah wanita-wanita siluman yang berkepandaian tinggi dan keji!"

"Hm, rombongan keluarga Li? Berapa jumlahnya?"

"Dua puluhan orang, siauw-hiap. Semua cantik-cantik dan dipimpin seorang wanita berbaju biru. Kami tak tahu bagaimana nasib orang tua atau suami kami kecuali bahwa yang tua-tua sudah dibunuh dan dibantai!"

"Hm, kejam sekali. Dan di mana dusun He itu? Dan bagaimana dengan kepala kampung?"

"He-chungcu sendiri sudah dibunuh, dan puteranya pun juga mengalami nasib yang sama!"

"Dan kalian melarikan diri, membawa anak-anak yang masih kecil-kecil begini. Hm, akan kuhajar wanita-wanita itu, cici. Hentikan tangis kalian dan tinggallah di sini dulu!"

Wanita itu tertegun. "Siauw-hiap mau ke sana? Seorang diri?"

"Tidak, ada isteriku di sini, cici. Itulah dia!"

Wanita ini terkejut. Ibu muda itu baru sadar bahwa di tempat itu masih ada orang lain lagi, yakni gadis cantik yang tadi berkelebat dan menghadang jalan lari mereka, yang akhirnya berdiri di belakang dan menjaga kalau-kalau ada yang lolos lagi. Dan ketika gadis itu tersenyum dan berkelebat di samping pemuda tinggi besar itu, yang ternyata suaminya maka gadis atau nyonya belia ini mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

"Cici-cici, adik-adik sekalian, jangan takut. Aku bukanlah satu dari rombongan wanita-wanita siluman itu. Aku adalah Mei Hoa, dan ini suamiku Ituchi, putera mendiang Raja Hu. Apakah kalian pernah dengar nama itu?"

"Raja Hu? Pemimpin dari utara itu?"

"Benar, dan inilah puteranya, cici-cici. Sekarang kalian tahu bahwa kami berdua bukanlah penjahat. Kami sudah mendengar nasib kalian, dan kami tentu akan menghajar wanita-wanita iblis itu!"

"Ah, terima kasih...!" dan semua wanita yang berlutut dan terkejut mendengar bahwa pemuda tinggi besar itu kiranya adalah putera Raja Hu yang gagah perkasa maka mereka menangis namun gembira menaruh harapan besar, satu per satu membenturkan dahinya di depan kaki pemuda itu namun pemuda tinggi besar ini mengangkat bangun mereka. Dia berkata bahwa pertolongan masih baru akan dilakukan, belum terlaksana. Dan ketika semua wanita itu disuruh bangun dan anak-anak diminta untuk tidak berisik lagi maka pemuda ini minta agar semua duduk tenang.

"Aku akan ke sana, dan akan melihat apa saja yang dilakukan wanita-wanita iblis itu. Tapi apakah kalian membawa bekal makanan?"

"Tidak, kami.... kami lari tergesa-gesa, siauw-hiap. Kami diguncang ketakutan yang sangat. Kami tak membawa apa-apa!"

"Hm, pantas, anak itu lapar. Kalau begitu biar kucari dulu makanan untuk kalian. Isteriku tinggal sini!"

Semua orang tertegun. Pemuda itu kiranya sudah melihat rintih atau tangis beberapa orang anak yang kelaparan, mereka itu mau merengek tapi tidak berani. Ibu mereka sedang berbicara dengan pemuda itu. Tapi begitu pemuda itu mengetahui hal ini dan minta agar mereka tak usah khawatir maka Ituchi atau pemuda tinggi besar ini sudah berkelebat dan lenyap mencarikan makanan. Mei Hoa atau isterinya itu tinggal bersama mereka, menemani. Dan ketika tak lama kemudian pemuda itu sudah datang lagi dengan sekarung penuh buah-buahan dan nasi-nasi bungkus maka anak-anak bersorak sementara ibu-ibu mereka mencucurkan air mata haru.

"Ah, siauw-hiap banyak repot. Sungguh kami tak tahu harus berterima kasih bagaimana!"

"Ha-ha, sudahlah. Aku terbiasa melakukan hal-hal begini, cici-cici. Sebagai seorang pendekar sudah kewajibanku menolong yang lemah. Terimalah, dan bagikan kepada anak-anak kalian!"

Ibu-ibu itu menerima. Mereka memang tidak membawa apa-apa ketika melarikan diri meninggalkan dusun He. Mereka hanya membawa anak-anak mereka itu yang masih kecil-kecil. Suami atau adik-adik mereka lelaki sudah ditundukkan wanita-wanita bengis itu. Dan ketika semua buah-buahan atau nasi bungkus dibagi rata, anak-anak makan dengan amat lahapnya, maka Ituchi berkata bahwa sekaranglah waktunya menemui pengacau-pengacau di dusun He itu.

"Di sini ada hutan yang penuh dengan buah-buahan, tak jauh di belakang. Kalau kurang kalian dapat mencari ke sana karena aku dan isteriku akan menghajar perusuh-perusuh itu. Apakah kalian ada yang mau berpesan?"

"Tidak, kami hanya minta agar kau dan isterimu berhati-hati, siauw-hiap. Dan.... dan kami harap kau datang lagi ke sini dengan selamat!"

"Hm, tentu. Tak usah kalian khawatir. Baiklah, aku pergi, cici-cici. Dan jangan jauh-jauh meninggalkan tempat ini. Nanti atau besok kami pasti kembali!" dan pemuda itu yang berkelebat meninggalkan wanita-wanita itu lalu menyambar isterinya dan berdua lenyap seperti siluman. Ibu-ibu muda yang ada di situ mengeluarkan suara kagum, mereka berdoa agar pemuda itu dapat kembali lagi dengan selamat. Dan ketika beberapa di antaranya terisak dan sembahyang ke langit maka Ituchi atau pemuda tinggi besar itu sudah menuju ke dusun He.

Siapakah sebenarnya pemuda ini? Bagaimana dia datang ke tempat itu? Bagi pembaca yang sudah membaca Istana Hantu tentu mengenal baik pemuda ini, Memang benar, dia adalah putera Raja Hu, raja yang sudah mendiang dan merupakan keturunan raja berpengaruh di utara Tiongkok, yakni dari kelompok bangsa U-min. Tapi karena Ituchi sejak lama sudah meninggalkan suku bangsanya dan pemuda ini banyak merantau maka pergaulannya dengan kelompok bangsanya itu kurang erat apalagi sejak kedudukan ayahnya diganti oleh saudara-saudara tirinya.

Ituchi adalah keturunan Raja Hu dengan seorang isterinya yang cantik Cao Cun, atau Wang Cao Cun dari kota raja. Dulu Wang Cao Cun ini adalah seorang calon selir yang gagal. Artinya, wanita jelita itu pernah direncanakan untuk menjadi selir kaisar namun sayang karena ayahnya tak mau menyogok pembesar yang waktu itu dipegang Mao-taijin maka gadis atau wanita cantik itu terlunta-lunta di istana.

Wanita ini disekap atau dikurung di Istana Dingin yang merupakan tempat untuk 'menghajar' calon-calon selir yang tak mau memberi balas jasa. Dan karena dia tak pernah diketemukan dengan kaisar dan bertahun-tahun wanita itu hidup menderita maka barulah setelah Raja Hu datang dan diberi hadiah selir, yang kebetulan jatuh pada Cao Cun maka kaisar atau sri baginda di istana tertegun dan terhenyak melihat calon selirnya yang tidak jadi ini.

Kaisar tergila-gila, kaisar murung. Tapi karena Raja Hu sudah mendapat haknya dan gadis itu diboyong maka jadilah Cao Cun menjadi isteri tercinta raja bangsa liar itu sampai melahirkan anaknya lakilaki, yakni Ituchi ini, yang sebenarnya akan menggantikan ayahnya tapi terjadi rencana pembunuh terhadap anak laki-laki itu di mana Cao Cun terpaksa menyelamatkan anaknya dengan jalan menyingkirkannya dari tengah-tengah bangsa U-min. Kisah sedih itu terjadi duapuluh tahun yang lewat dan untuk ini Cao Cun harus kehilangan saudaranya tercinta Wan Hoa, si cantik yang juga gagal menjadi selir di kota raja (baca: serial Pendekar Rambut Emas).

Dan ketika peristiwa demi peristiwa dialami ibu anak laki-laki itu sejak Raja Hu meninggal maka suka-duka menenggelamkan Wang Cao Cun itu sampai anak laki-lakinya datang kembali, setelah dewasa. Tapi peristiwa yang menyakitkan datang menusuk perasaan lagi. Ituchi melihat ibunya sudah menikah, bukan dengan orang lain melainkan dengan putera ayahnya dari ibu pertama, jadi dengan anak tirinya sendiri. Dan ketika dari pernikahan itu ibunya melahirkan dua anak perempuan, Salini dan Nangi maka bentrok besar terjadi di antara Ituchi dengan ibunya ini.

Pemuda itu memaki-maki ibunya sebagai wanita tak tahu malu. Ituchi tak tahu bahwa sudah menjadi hukum adat di suku bangsanya bahwa semua peninggalan ayah akan turun ke anak laki-laki sulung termasuk isteri-isteri atau selir sang ayah. Dan karena Cao Cun adalah isteri ayahnya dan untuk itu berhak dimiliki anak sulung maka jadilah ibunya itu bersuamikan anak tiri!

Ituchi marah besar dan mengamuk di situ, dikeroyok dan bahkan hampir dibunuh raja, saudara tirinya itu. Tapi karena seseorang datang menolong dan pemuda itu diselamatkan maka Ituchi masih hidup tapi "trauma" yang dialami pemuda ini tak dapat dilenyapkan begitu saja. Cucigawa, saudara tirinya itu amat dibenci. Ituchi dapat mengendalikan marahnya tapi tidak kebenciannya.

Namun karena waktu itu kelompok bangsa-bangsa sedang bersatu dan menggalang kekuatan untuk menyerbu Tiongkok, di bawah pimpinan seorang pemuda gagah perkasa yang amat ambisius maka kebencian atau dendam pemuda itu sejenak terlupakan. Ituchi sibuk membantu istana menghalau penyerbupenyerbu itu. Dia bahkan harus berhadapan dengan suku bangsanya sendiri ketika membantu istana itu, bahu-membahu bersama para pendekar yang bangkit melawan penyerbuan.

Tapi begitu semuanya selesai dan pemuda yang memimpin penyerbuan itu dikalahkan, mundur dan akhirnya melarikan diri sampai tewas maka Ituchi teringat lagi kepada saudara tirinya itu, Cucigawa!

Ituchi hendak ke utara dan menemui saudara tirinya itu. Ada beberapa yang harus diselesaikan. Dan satu di antaranya adalah adat yang dianggapnya tidak tahu malu itu, mengambil ibu tiri sendiri untuk dikawini! Dan karena Ituchi lebih banyak terpengaruh kebudayaan Han daripada suku bangsanya maka pemuda ini hendak kembali dan menata kehidupan bangsa U-min.

Tapi sekarang pemuda ini tak sendiri Mei Hoa, gadis yang ditemuinya dalam jaman kekacauan telah dinikahinya. Mereka diresmikan di kota raja oleh kaisar sebagai tanda terima kasih, maklum, Ituchi membantu istana sampai semuanya berakhir. Dan ketika sri baginda memberi restu dan mendukung maksud pemuda itu, yang ingin menemui dan menghajar Cucigawa maka Ituchi seolah harimau yang mendapat tambahan sayap.

"Aku mengerti maksudmu, paham akan apa yang kau inginkan. Baiklah, boleh kau kembali ke suku bangsamu itu, Ituchi. Pimpin dan kendalikan bangsamu itu di bawah tangan yang tepat. Kau adalah putera mendiang Raja Hu, kau berhak atas suku bangsamu itu dan selesaikan urusanmu dengan Cucigawa!"

Ini berarti dukungan. Ituchi girang karena kaisar sendiri yang berkata seperti itu. Kaisar menyetujui rencananya dan dia telah bercakap-cakap bahwa dia ingin memimpin suku bangsanya itu, mengambil alih pimpinan dari Cucigawa yang pernah "memberontak" dan membawa suku bangsanya ke jalan yang lebih baik. Dan karena pemuda itu sahabat istana dan kaisar tentu saja setuju kalau Ituchi memimpin bangsa Umin maka pemuda itu mendapat dukungan moral dan ini membangkitkan semangat baru di hati pemuda itu.

Ituchi akhirnya berangkat, ke utara. Bukan lagi seperti Ituchi yang dulu melainkan Ituchi yang sudah berobah. Ituchi yang dulu adalah Ituchi yang acuh akan tata pemerintahan bangsanya. Ituchi yang dulu adalah Ituchi yang tidak ambisius untuk duduk sebagai pemimpin. Tapi begitu Cucigawa membawa suku bangsanya bentrok dengan istana dan lebih lagi saudara tirinya itu mengawini ibunya maka Ituchi tiba-tiba menjadi dendam dan ingin merebut singgasana!

"Cucigawa harus dihajar. Dia harus menerima hukuman. Dan karena kaisar sendiri sudah merestui dan mendukung tindak-tandukku maka aku tak perlu takut kalau bala tentaranya dikerahkan!

"Maksudmu?" sang isteri bertanya "Kau akan minta bantuan kaisar kalau Cucigawa mengerahkan pasukannya?"

"Benar, sri baginda sudah mendukung maksudku, Hoa-moi. Dan sri baginda setuju kalau aku membunuh saudara tiriku itu!"

"Hm, hati-hati, Mei Hoa mengerutkan kening. "Di sana masih tinggal ibumu, Ituchi. Dan di sana juga ada dua adik tirimu perempuan. Mereka itu semua harus kau perhitungkan!"

"Aku tahu, tapi aku tak perlu takut. Aku sudah memikirkan jalan keluarnya, Hoa-moi. Dan yang pertama kulakukan adalah mengambil ibu dari tempat raja itu!"

"Dan kau akan dicap merampas kedudukan!" gadis ini sedikit tak enak. ''Kau harus ekstra hati-hati, Ituchi. Lakukanlah semuanya itu secara diam-diam. Sebaiknya kita datangi Cucigawa itu dan membunuhnya sewaktu di kamar!"

"Hm, tidak. Aku tak perlu sembunyi-sembunyi, Hoa-moi. Aku akan datang dan menantangnya secara ksatria. Dia akan kurobohkan di depan semua suku bangsaku. Kukatakan kepada bangsaku bahwa Cucigawa ini telah membawa bangsa U-min kepada penindasan dan penyerbuan!"

"Hm, terserahlah. Tapi Cucigawa dapat menjawab bahwa waktu itu dia berada di bawah kekuasaan orang lain, Ituchi. Bahwa dia ditundukkan dan dipaksa orang yang lebih kuat!"

"Itu justeru memperburuk wataknya. Pemimpin yang baik tak akan tunduk kepada hal-hal macam begitu, Hoa-moi. Pemimpin yang baik tak akan membawa suku bangsanya ke penyerbuan dan agresi biadab. Cucigawa tak bertanggung jawab dan pengecut hina-dina. Kalau aku yang menjadi dia tentu lebih baik dibunuh daripada dikuasai orang yang kuat itu!"

"Hm, sudahlah. Kau naik darah. Aku hanya memberi gambaran akan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dan betapapun aku tetap di belakangmu. Aku tahu semuanya itu, Ituchi. Dan aku tahu bahwa tanpa kehadiranmu di depan kaisar tentu bangsamu sudah ditawan dan tak dapat kembali lagi ke utara!"

"Itulah, karena itu rakyat tentu tahu bahwa aku telah menyelamatkan mereka. Dan wajar kiranya kalau Cucigawa kusuruh turun dan aku menggantikan kedudukannya!"

Mei Hoa mengangguk-angguk. Memang dalam peperangan yang lalu bangsa U-min itu mendapat ampunan. Kaisar memaafkan mereka dan memandang pemuda ini maka bangsa itu boleh kembali ke utara. Kalau tidak, tentu mereka menjadi tawanan dan tak mungkin Cucigawa pergi dengan selamat. Itulah berkat jasa pemuda ini. Maka ketika Ituchi hendak mengambil alih pimpinan dan apa yang telah dilakukan Cucigawa memang dapat dianggap cemar bagi bangsa di utara itu maka Mei Hoa mendukung pemuda ini untuk menggantikan Cucigawa, kalau perlu membunuhnya agar biang penyakit itu tak mengganggu di belakang hari.

Tapi hari itu mereka tertahan di Thian-san. Mereka sedang enak bercakap-cakap ketika tiba-tiba rombongan wanita dan anak-anak dari dusun He itu berteriak-teriak, menangis dan berlarian karena dusun diserang wanita-wanita iblis, yang menamakan diri sebagai rombongan keluarga Li. Dan ketika Mei Hoa marah tentu saja mengikuti suaminya mendatangi tempat itu maka siang itu juga mereka sudah tiba di dusun He.

Dan mereka berdua tertegun. Mayat yang belum disingkirkan bersih masih menunjukkan bekas-bekas kekejaman. Ada darah yang berlepotan di sana-sini, juga potongan jari atau kaki. Ah, mengerikan. Dan ketika dua muda-mudi ini tertegur membelalakkan mata maka di satu rumah yang terletak di sudut tiba-tiba mereka mendengar kekeh dan tawa cekikikan, tawa ditahan.

"Hm, apa itu?"

"Entahlah, mari kita lihat!"

Ituchi dan isterinya berkelebat. Mereka cepat mendekati rumah di sudut itu untuk mengintai. Tak sukar bagi orang-orang semacam mereka melakukan hal itu. Mei Hoa telah berjungkir balik di atas belandar dan bergelantungan di situ, sementara Ituchi atau suaminya berkelebat dan melihat dari celah-celah jendela. Tapi begitu mereka melihat dan mengeluarkan seruan tertahan tiba-tiba saja keduanya membuang muka dan Ituchi mengumpat.

"Terkutuk, iblis-iblis tak tahu malu!"

Apa yang disaksikan? Kiranya dua orang pemuda sedang bergumul dengan dua orang wanita muda. Mereka itu telanjang bulat dan keempat-empatnya tak malu-malu bermain cinta, satu sama lain berpindah pasangan dan dua pemuda itu melakukan hal-hal yang amat menjijikkan. Ituchi dan Mei Hoa sampai merah padam, Mei Hoa bahkan hampir muntah-muntah! Tapi ketika mereka mau pergi dan tentu saja tak sudi menonton pertunjukan seperti itu, tontonan cabul, tiba-tiba satu dari dua pemuda itu menjerit dan menggelepar roboh, disusul oleh pemuda kedua di mana pintu kamar tiba-tiba didobrak orang dan seorang wanita cantik lain muncul.

"Cap-go-moi, cap-si-moi, kalian keparat menculik kekasih-kekasihku. Mampuslah.... brak-brakk!"

Ituchi dan Mei Hoa terpaksa mengintai lagi. Mereka melihat seorang wanita baju biru marah-marah dan berkelebat di kamar itu, membunuh dan kini menghajar dua wanita muda yang dipanggil sebagai cap-gomoi dan cap-si-moi, adik kelimabelas dan keempatbelas. Dan ketika dua wanita muda itu terpekik dan berjungkir balik menghindari serangan maka dua pemuda yang baru saja bercinta dengan mereka itu sudah roboh dengan dada tertembus pedang, tewas!

"Hei, sabar, toa-ci. Tunggu dulu. Kami tidak bersalah!"

"Benar, tunggu, toa-ci. Kami tidak bersalah. Dua pemuda itulah yang nyelonong dan memasuki kamar kami untuk mengajak bercinta!" dan ketika dua wanita muda itu berteriak-teriak dan menyuruh lawannya bersabar maka Ituchi terkejut melihat siapa kiranya si wanita baju biru itu....