Istana Hantu Jilid 34 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

ISTANA HANTU
JILID 02
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

“KEMANA dia lari? Bagaimana bisa lolos?"

"Aduh, ampun...!" Ji Pin mengeluh. "Lepaskan tanganmu, hujin. Aku.... aku hanya memberi tahu!"

"Baik, tapi cepat beritahukan kemana dia lari dan bagaimana bisa lolos!"

"Pemuda itu siuman, entah bagaimana terdengar berbisik-bisik dengan dua nenek iblis itu. Dan ketika kami melihat dan terkejut tahu-tahu pemuda itu sudah meloncat bangun dan dua nenek iblis itu juga dibebaskan totokannya dan disambar melarikan diri!"

"Benar," Beng An berseru. "Togur dan dua nenek siluman itu pergi, ibu. Mereka kuserang tapi aku yang terpelanting!"

"Dan untung Kim-kongcu ini tak ditangkap mereka," Ji Pin menyambung, pucat. "Mereka khawatir Kim-siocia atau kau datang, hujin. Maka begitu lolos tiba-tiba mereka kabur dan meninggalkan kami berdua!"

"Kemana mereka itu pergi. Dan dimana mereka sekarang?"

"Mereka ke belakang pulau," Beng An berseru. "Togur dan dua nenek iblis itu berkelebat kesana, ibu. Mari kita kejar dan tangkap lagi mereka itu!"

"Wut!" Swat Lian sudah berkelebat lenyap. "Kutangkap dan kuhajar mereka nanti, Beng An. Cermin Naga belum dikembalikan kepada kita dan kubunuh nanti si Togur itu!"

Beng An membelalakkan mata. Dia melihat ibunya berkelebat lenyap dan seperti seekor kijang saja tahu-tahu ibunya itu sudah ke belakang Sam-liong-to. Di sana musuh melarikan diri dan memang tempat itulah yang paling enak untuk bersembunyi. Ada banyak guha-guha batu karang di samping celah atau ceruk di bawah tebing-tebing tinggi.

Sam-liong-to memang cukup luas untuk dipakai bersembunyi, di samping hutannya yang lebat meskipun kecil. Dan ketika sang nyonya terbang ke sana sementara Ji Pin mengurut-urut lehernya, yang terasa sakit, maka Pendekar Rambut Emas dan Soat Eng terkejut sejenak tapi kemudian menyusul dan berkelebat lenyap di belakang wanita itu.

"Kau bersama aku!" Soat Eng menyambar sang adik. "Dan kau ikuti kami di belakang, Ji-twako. Cepat, dan hati-hati!"

Ji Pin membelalakkan mata. Melihat sekeluarga yang terdiri dari orang-orang luar biasa ini sudah terbang dan lenyap di belakang sana maka diapun menggerakkan kaki mengikuti. Ji Pin berlari cepat namun tetap saja dia tertinggal. Kim-hujin dan Pendekar Rambut Emas serta puterinya sudah jauh di depan sana, lenyap. Dan ketika laki-laki itu berteriak dan memanggil-manggil maka di sana Swat Lian sudah melihat tiga bayangan mendaki tebing yang terjal.

"Heii...!" nyonya itu melengking. "Serahkan dirimu, Togur. Atau kalian mampus!"

Tiga bayangan di tebing, yang memang bukan lain Togur dan dua subonya, nenek Toa-ci dan Ji-moi terkejut. Mereka melarikan diri ketika tadi Togur siuman. Pemuda itu ditotok namun pengaruh totokan akhirnya kendor, setelah dua jam membuat pemuda itu pingsan. Dan karena Togur memiliki daya tahan luar biasa dan Khi-bal-sin-kang di tubuhnya juga membantu memperlancar aliran darah maka pemuda itu bebas lebih dulu dan kebetulan tak melihat Soat Eng atau ibunya di situ.

Pemuda ini berbisik-bisik dengan dua gurunya itu untuk menanyakan dimana ibu dan anak itu, dijawab bahwa Swat Lian tak ada sementara Soat Eng juga pergi. Namun karena sewaktu-waktu mereka dapat kembali dan hal itu tentu berbahaya maka Togur meloncat bangun dan dengan cepat dia menyambar dua gurunya itu untuk dibebaskan totokannya.

"Kita pergi, dan jangan lakukan apa-apa di sini!"

Ji-moi dan Toa-ci tentu saja girang. Mereka mengeluh ketika disambar dan dibebaskan totokannya, agak terhuyung dan saat itu Beng An yang berteriak melihat Togur meloncat bangun tiba-tiba menyerang. Anak ini membentak namun Togur tentu saja dengan mudah mengibas. Dan ketika anak itu terpelanting sementara Togur tak berani menangkapnya, khawatir Beng An melawan padahal dia sendiri baru bebas dari totokan dan masih lemah maka pemuda itu meloncat pergi bersama gurunya.

Toa-ci dan Ji-moi mau menangkap anak itu namun sang murid melarang. Beng An bukan anak sembarang anak dan keributan di antara mereka bakal mengundang bahaya. Siapa tahu Soat Eng atau ibunya ada didekat-dekat situ, hal yang membuat Togur gentar dan karena itu melarikan diri tak meladeni si bocah. Dan karena Ji Pin juga manusia yang dianggap tak berharga dan Togur membentak gurunya agar melarikan diri, mengibas dan memelantingkan Beng An yang kembali menyerang maka mereka meloncat dan berkelebat pergi bergandengan tangan.

Beng An membentak dan mengejar tapi lagi-lagi anak itu roboh terbanting. Kalau saja Togur tak khawatir bahwa di dekat-dekat situ mungkin ada Soat Eng atau ibunya tentu pemuda ini akan menyerang dan menangkap Beng An. Tapi anak itu bukan anak sembarang anak. Perlawanan Beng An berarti keributan kecil dan keributan ini berarti waktu.

Sedetik saja dia berulur-ulur waktu mungkin saja Kim-hujin atau Soat Eng datang, apalagi karena anak itupun berteriak-teriak memberi tahu mereka lolos, hal yang membuat Togur khawatir. Maka ketika ketiga kalinya dia membuat anak itu terjungkal sementara subonya diminta mempercepat lari mereka maka Togur mengajak ke belakang di mana di bagian belakang pulau itu terdapat banyak guha dan tebing-tebing tinggi.

Namun sial. Semua guha ternyata pendek, tak dapat dipakai bersembunyi. Paling dalam hanya lima meter saja dan kalau mereka diserang tentu repot. Togur memaki-maki dan mengajak gurunya ke tebing. Siapa tahu di sana ada tempat persembunyian yang baik dan di tempat yang tinggi tentu mereka dapat melihat sekeliling. Tapi ketika di belakang terdengar bentakan dan bayangan Kim-hujin, nyonya cantik itu, berkelebat dan mendatangi mereka maka Togur pucat sementara kedua subonya gemetar.

"Togur, kita dikejar. Cari lubang persembunyian dan cepat bersembunyi!"

Namun celaka lagi, tak ada persembunyian di situ. Lubang-lubang yang diharap ternyata tak ada dan tebing merupakan tembok tinggi yang menjorok ke laut. Ji-moi sampai menggigil ketika bayangan si nyonya semakin dekat, terbang dan sebentar lagi akan menangkap mereka. Dan ketika Togur juga pucat dan mengajak mereka melompat ke tebing yang satu tiba-tiba, tanpa diduga sekali, Ji-moi terpeleset dan jatuh terpelanting ke bawah.

"Aihhhh....!" Nenek itu melengking. Ji-moi baru saja pulih totokannya dan seperti biasa orang yang baru tertotok maka tenaga atau kekuatan orang ini belum sepenuhnya didapat. Ji-moi juga begitu.

Dan karena nenek ini ditambah rasa takutnya oleh kedatangan Swat Lian, nyonya yang lihai itu maka kekuatan atau tenaga nenek ini belum apa-apa sudah berkurang dan ketika dia melompat ternyata lompatannya tak sampai di tebing yang dituju. Nenek itu hanya mencapai pinggiran dan celaka sekali pinggir tebing licin dan berlumut. Nenek itu terpeleset dan jadilah dia terbanting ke bawah, ke laut lepas. Dan ketika nenek itu berteriak ngeri dan tubuhnya meluncur jatuh maka laut yang ganas dan tiba-tiba berombak langsung menerima tubuhnya.

"Byurrr...!" Untuk selanjutnya nenek itu hilang. Ji-moi dilanda rasa takutnya dan nenek iblis itu tak dapat menguasai diri. Biasanya, kalau dia tenang dan cukup mantap maka hal itu tak perlu terjadi. Namun bentakan dan lengkingan sang nyonya membuat bulu kuduknya berdiri. Dia tadi mau dibunuh dan hanya karena ada Thai Liong di sana maka tak sampai terbunuh. Kini si nyonya tak bakal mengampuni. Mereka melarikan diri dan itu adalah dosa besar.

Rasa takut dan ngeri membuat Ji-moi kehilangan keberanian dan belum apa-apa semangatnya sudah seolah terbang. Maka begitu dia terpeleset dan tak dapat menguasai diri, terpelanting dan jatuh ke bawah maka tubuh nenek itu sudah diterima gelombang yang ganas dan entah bagaimana tiba-tiba saja laut di sekitar situ bergolak.

"Ji-moi...!" Toa-ci berseru pucat. Nenek itu memekik dan melihat adiknya lenyap ditelan ombak. Tempat itu begitu tinggi dan tingginya tak kurang dari tiga pohon kelapa, jadi, hampir seratus meter. Dan ketika Toa-ci terkejut dan Togur juga berseru tertahan, kaget, maka Swat Lian sudah berkelebat dan berada di tebing yang sama.

"Kalian manusia-manusia keparat. Dirobohkan secara baik-baikpun kiranya masih juga melarikan diri. Mampuslah, sekarang tak ada ampun.... des-dess!"

Toa-ci dan Togur mendapat pukulan, dihantam dari jauh dan dua orang itu menangkis. Mereka tak dapat mengelak karena di belakang adalah tempat kosong, satu-satunya jalan ya begitu, menangkis. Tapi begitu mereka menangkis dan pukulan menyambar maka Toa-ci berteriak dan Khi-bal-sin-kang yang dilancarkan si nyonya membuatnya mencelat dan jatuh terpelanting ke bawah, tinggi sekali.

"Byuurrrr....!"

Suara itu panjang dan lama. Toa-ci terlempar dan jatuh ke laut. Nenek itu memekik dan ngeri berteriak di bawah. Siapapun tak dapat menolongnya lagi kalau sudah begitu. Ombak bergulung tinggi dan menyambut nenek ini pula, seperti Ji-moi. Dan ketika Toa-ci lenyap dan Togur terpental tapi berjungkir balik ke bawah, turun kembali maka si nyonya sudah menerjang dan membentaknya kembali. Bertubi-tubi melepas pukulan dan tamparan dan Togur mengeluh. Dia kalah kuat dan betapapun harus mengakui kelihaian lawan.

Nyonya itu berkelebatan cepat dengan gabungan Jing-sian-eng dan Cui-sian Gin-kangnya, kabur matanya. Dan ketika sebuah pukulan menghantamnya dan mengenai telak maka Togur mencelat dan terlempar ke bawah, siap meluncur ke air di bawah tapi pemuda itu lihai menggerakkan kaki tangan. Dengan indah dan luar biasa Togur berhasil menyambar ujung tebing yang kebetulan menjorok ke tengah, mencengkeram dan bergelantungan di situ, seperti kelelawar. Dan ketika Swat Lian tertegun dan terbelalak di atas sana, menghentikan serangannya maka pemuda itu tertawa bergelak mengejek lawan.

"Ha-ha, seranglah aku, Kim-hujin. Mari dan datanglah ke sini!"

"Keparat!"Swat Lian bingung. "Kau tak pantas diampuni, Togur. Serahkan Cermin Naga atau aku akan turun ke bawah dan tanganmu kubabat!"

"Ha-ha, turunlah, babatlah. Kalau kau berani tentu aku akan menyambut pedangmu dan kita sama-sama terjun ke bawah!"

"Hm!" sebuah suara tiba-tiba terdengar di udara. "Kau dapat mengancam isteriku, tapi tidak kepadaku, Togur. Aku dapat mengangkat tubuhmu naik ke sana dan serahkanlah baik-baik barang yang bukan menjadi milikmu."

"Kim-mou-eng!" Togur pucat, berseru tertahan, melihat seseorang berdiri di sana dan Pendekar Rambut Emas itu tiba-tiba menepuk kedua tangannya. Cepat bagai siluman tahu-tahu pendekar itu telah berubah ujud sebagai gulungan asap putih, turun dan melayang ke bawah. Siap menangkap dan membawa naik pemuda ini, dengan Pek-sian-sutnya. Dan ketika Togur terbelalak dan pucat berseru tertahan tiba-tiba pemuda itu melepaskan pegangannya dan dengan nekat sambil menggigit bibir ia pilih mati kecebur di laut daripada ditangkap.

"Heiii... byuuurrrr!"

Air muncrat tinggi. Sama seperti dua subonya tadi Togur tahu-tahu telah terjatuh ke laut, bukan tidak sengaja melainkan justeru disengaja. Pemuda itu memilih ditelan ombak daripada menyerah, yang berarti menyerahkan Cermin Naga. Dan ketika Togur terpelanting dan bayangan putih itu berhenti di udara, mengambang, maka Swat Lian yang berteriak kecewa di atas sana tertegun dan pucat.

"Jahanam, keparat jahanam. Terkutuk!"

Bayangan lain berkelebat. Soat Eng tahu-tahu muncul di belakang ibunya dan melihat kejadian itu. Ombak berbuih dan bergulung dua kali, menghempas dan menghantam batu karang di bawah sana, menggelegar. Dan ketika ombak surut lagi namun bayangan Togur maupun subonya tak tampak kelihatan maka gadis itu mendelong sementara ibunya tiba-tiba menangis sambil membanting kaki.

"Jahanam, terkutuk keparat. Ah, aku tak dapat merampas milikmu, ayah. Aku gagal menghabisi musuh-musuhmu. Maafkan aku!"

Bayangan kuning emas berkelebat. Pendekar Rambut Emas muncul setelah membuang Pek-sian-sutnya. Dia tadi bermaksud merampas dan menangkap Togur, tak mengira bahwa pemuda itu akan bersikap nekat dengan memilih mati di bawah daripada ditangkap. Sikap yang menunjukkan betapa keras dan kakunya watak pemuda itu. Dan ketika isterinya menangis sambil membanting-banting kaki, kecewa, maka pendekar ini menarik napas memeluk pundak isterinya itu.

"Sudahlah," pendekar ini mencoba menghibur. "Togur telah lenyap bersama Cermin Naga, isteriku. Kematiannya sudah dipilih sendiri dan tak mau menyerahkan barang curiannya. Kita tak dapat berbuat apa-apa, semua sudah terjadi. Biarlah tak perlu kau sesali dan maafkan aku kalau bicara tentang See-ong."

Sang isteri mengguguk. Sebenarnya nyonya ini kecewa sekali kepada apa yang terjadi. See-ong, pembunuh ayahnya, ternyata tak dibunuh dan hanya mendapat hukuman seumur hidup saja. Sedang Togur, pemuda iblis itu, tak dapat dia rampas Cermin Naganya karena keburu memilih mati menerjunkan diri. Ah, kalau saja bukan suaminya yang ada di situ tentu dia akan memaki dan menjadi kalap. Dia terlampau kecewa dan marah oleh semuanya itu. Tapi ketika terdengar seruan Beng An dan anak laki-lakinya itu berkata bahwa kematian Togur dan hukuman See-ong sudah cukup maka nyonya itu menghentikan tangisnya melihat anaknya ini tiba-tiba seperti kakeknya.

"Aku puas melihat semuanya. Itu cukup. Ibu tak usah menangis lagi dan ayah benar."

Swat Lian saling pandang. Bersama suaminya dia tertegun mendengar kata-kata anaknya itu. Beng An seolah bukan anak kecil lagi melainkan seorang dewasa yang tahu baik dan buruk. Sekilas kata-kata itu bukan seperti diucapkan seorang bocah melainkan oleh Hu Beng Kui sendiri, kakek bocah itu. Dan karena suara itu juga terdengar berat dan parau, mirip suara Hu Beng Kui maka Swat Lian tiba-tiba memeluk anaknya ini dan terharu.

"Baiklah, aku tak akan menangis lagi, Beng An. Aku tadi hanya menyesali dan kecewa saja. Kalau kau menganggap itu cukup tentu saja ibu juga akan menganggapnya begitu. Baiklah, sekarang tanya ayahmu apa yang akan kita lakukan."

"Kita pulang," Pendekar Rambut Emas berkata pendek. "Semuanya sudah selesai, isteriku. Kita menemui Cen-goanswe dan setelah itu kembali ke tempat kita sendiri."

"Tapi Liong-koko belum kita temukan" Soat Eng tiba-tiba berseru nyaring. "Aku tak tahu ia dimana, ayah. Aku khawatir akan nasibnya!"

"Benar," sang isteri tiba-tiba mengangguk. "Aku akan mengejar anakku itu, suamiku. Kembali bersama kita dan pulang bersama!"

"Hm, kau tahu bahwa ia bersama Ituchi. Thai Liong akan mengantar Ituchi ke ibunya, tak perlu kita khawatir. Dia akan pulang menyusul kita."

"Tapi..."

"Sudahlah," sang suami memegang lengan isterinya. "Aku tahu apa yang terjadi, niocu. Aku sudah mengerti apa yang terjadi. Kau tak perlu menyesali lagi karena semua itu sedang berlangsung dalam keadaan emosi. Thai Liong tahu akan itu, tak usah khawatir. Kita menunggu saja putera kita itu di rumah dan mari sekarang pulang!"

Swat Lian terisak. Sebenarnya perasaan bersalah masih saja mengganggu hatinya. Dia ingin menyusul dan mengejar Thai Liong, meminta maaf, memeluk dan minta agar pemuda itu tak marah atas semua sikap dan kata-katanya. Tapi karena sang suami sudah berkata seperti itu dan suaminya itu tampaknya tahu dan mengerti apa yang telah terjadi maka iapun memeluk dan minta maaf pada suaminya itu pula.

"Sudahlah, sudah. Tak ada yang perlu disesali lagi, niocu. Aku tahu dan maklum benar akan kekecewaanmu terhadap See-ong. Aku mengerti itu. Semua sikap dan kata-katamu karena dorongan marah itulah. Sekarang kita pulang dan jangan pikirkan hal-hal yang dapat memberatkan hati sendiri."

"Dan Siang Le?"

"Dia akan menjaga gurunya. See-ong sudah tak seberbahaya dulu lagi karena ilmunya Hek-kwi-sut telah kuhancurkan."

Sang nyonya melepaskan dirinya. Akhirnya dia mengangguk dan menuruti semua kata-kata suaminya itu. Siang Le ditemui sekali lagi dan janji serta sumpah pemuda itu diingatkan. Siang Le mengangguk dan berkali-kali menyatakan tekadnya. Ia akan memegang teguh kata-kata sendiri dan tak akan keluar dari Sam-liong-to, tanpa ijin atau perkenan Pendekar Rambut Emas. Dan ketika dia berjanji bahwa tak akan melepaskan gurunya, yang berteriak-teriak dan memaki di atas maka Pendekar Rambut Emas tersenyum menepuk pundak pemuda itu.

"Baiklah, selamat tinggal, Siang Le. Bakti dan kesetiaanmu terhadap guru sungguh membuat aku kagum. Jaga dan tepati kata-katamu sendiri."

Pendekar Rambut Emas memutar tubuh. Akhirnya dia meninggalkan Sam-liong-to dan anak isterinya ikut. Ji Pin juga ikut dan dua gorila besar juga dibawa. Beng An menghendaki dua binatang itu menjadi miliknya dan siap menjadi teman sepermainan Siauw-houw, yang ditinggal di tempat Cen-goanswe. Dan ketika perahu membawa rombongan itu dan Siang Le tertegun di pantai, melihat dengan pandangan kosong maka Soat Eng yang terakhir kali melompat di atas perahu tampak terisak dan tadi secara diam-diam mendapat tatapan lembut dari murid See-ong itu.

"Aku tak dapat mengantar jauh. Selamat tinggal dan hati-hatilah di perjalanan, Kim-siocia. Semoga kau bahagia dengan ayah ibumu dan jangan pikirkan aku dan guruku."

Soat Eng melengos. Tatapan dan kata-kata lembut itu membuatnya tak tahan. Entahlah, melihat Siang Le tak boleh keluar dari Sam-liong-to tiba-tiba saja membuat dia kasihan. Ada semacam keharuan dan kekaguman di hatinya terhadap pemuda itu. Siang Le ditahan karena ingin menjaga gurunya. Dia diikat janji dan sama saja menjalani hukuman seumur hidup. Pemuda itu tak akan dapat kemana-mana meskipun bisa, kalau dia mau. Dan ketika tatapan lembut itu mengiringinya sebelum berangkat maka Soat Eng tergetar dan aneh sekali bayangan atau senyum pemuda itu tak dapat dilupakannya!

Dalam perjalanan Soat Eng akhirnya menjadi pendiam. Dia tak banyak bicara dan tatapan matanya sering tertuju ke Sam-liong-to. Di sanalah seorang pemuda yang ganjil mengganggu perasaannya. Siang Le yang sudah dikenal semakin membuatnya lebih dikenal lagi. Pemuda yang tak pantas menjadi murid See-ong itu mulai menggetarkan kalbunya. Teringatlah See-ong akan cinta dan tutur kata pemuda itu. Teringatlah dia semasa mereka menjadi tawanan Hauw Kam dan Gwan Beng dimana pemuda itu berkali-kali minta diseret menggantikan dirinya.

Siang Le memang mencintainya, pemuda itu sudah berkali-kali menyatakan perasaan hatinya namun selama ini dia dingin-dingin saja. Entahlah, mungkin dia yang angkuh atau karena watak baik pemuda itu masih diragukannya. Memang dia masih ragu dan kurang percaya kepada Siang Le. Pemuda itu murid seorang tokoh iblis. Dan karena biasanya kalau guru jahat pasti murid juga tak kalah jahat maka selama ini dia ragu dan menyangsikan pemuda itu. Namun Siang Le sekarang menunjukkan watak yang menggetarkan semua orang.

Dia minta agar gurunya diampuni dan dialah yang menggantikan jiwa gurunya kalau mau dibunuh. Siang Le siap membayar dosa gurunya dengan jiwa sendiri, sebagai ganti atau balas jasa untuk semua budi kebaikan gurunya. Dan ketika gurunya diampuni namun hendak dibuang tiba-tiba saja pemuda itu sekali lagi minta agar biarlah gurunya itu bersamanya dan dia akan menjaga serta merawat gurunya itu. Satu pembelaan gigih dari seorang murid yang benar-benar ingin menyelamatkan gurunya.

"Kalau Kim-taihiap hendak membuangnya biarkan masukkan aku sekalian bersama guruku itu. Biar aku mati bersama guruku di dalam!"

Soat Eng terngiang-ngiang kata-kata itu. Betapa hebat dan mengagumkan. Dan ketika ayahnya terpaksa mengabulkan dan memenuhi permintaan pemuda itu, menjepit See-ong di puncak Istana Hantu dan memperkenankan pemuda itu menjaga gurunya maka Siang Le sudah diikat janji dan sumpahnya.

Sekarang, apakah pemuda itu dapat menepati janji? Benarkah dia akan menjaga gurunya dan tidak keluar dari Sam-liong-to? Bagaimana kalau bohong? Dan ketika Soat Eng diganggu pertanyaan-pertanyaan ini dan rupanya ibunya juga berpikir tentang hal yang sama maka ibunya itu melontarkan pertanyaan ini ketika mereka semua akhirnya tiba di daratan besar, meloncat turun.

"Membiarkan pemuda itu sendirian bukanlah hal yang cerdik. Bagaimana kalau dia melanggar janji dan pergi dari Sam-liong-to? Kupikir harus ada yang mengawasinya, suamiku. Siapa tahu dia lari dan kabur!"

"Hm, aku percaya padanya. Tapi kalau ingin diawasi tentu saja aku tak keberatan. Siapa yang akan mengawasi dan bagaimana kau pikir?"

"Aku ingin mengawasinya sendiri. Aku siap kembali ke sana!"

"Hm, seorang isteri tak boleh meninggalkan rumah. Kalau kau setuju biarlah Eng-ji saja yang kembali ke Sam-liong-to!"

"Apa?"

"Benar. Tenagamu dibutuhkan di rumah, niocu. Beng An tentu tak boleh selalu ditinggal ibunya. Aku percaya pada Eng-ji dan biar dia yang mengawasi pemuda itu!"

Soat Eng tersirap. Tanpa diduga dan tanpa dinyana tiba-tiba saja ayahnya menunjuk dirinya. Dia diminta kembali ke Sam-liong-to dan mengawasi Siang Le. Ah, cocok sekali seperti apa yang dia inginkan! Dan ketika dia terbelalak dan terkejut mendengar kata-kata ayahnya itu maka ibunya tampak tertegun memandang padanya.

"Eng-ji? Puteri kita ini?"

"Ya, aku percaya padanya, niocu. Dan Siang Le mau pun See-ong tentu dapat diatasinya baik," dan tidak menunggu jawaban ibunya apakah setuju atau tidak tiba-tiba sang ayah sudah menghadapi dirinya. "Eng-ji, kau tahu bahwa Siang Le memang harus diawasi, kekhawatiran ibumu beralasan. Kau kembalilah ke sana dan berilah laporan setiap minggu kepada kami. Kaulah yang paling tepat menjaga di sana!"

Soat Eng gugup dan bingung. Tak dapat disangkal bahwa sebenarnya dia girang sekali mendapat tugas ini. Cocok dan sesuai keinginannya. Ah! Tapi karena yang diawasi adalah Siang Le dan betapapun ayah ibunya tahu bahwa Siang Le ada 'apa-apa' dengannya maka diapun jengah dan coba mengelak dengan muka merah padam.

"Tapi, ayah," katanya. "Bukankah Siang Le pemuda yang dapat dipercaya? Kukira tanpa diawasipun tak mungkin dia meninggalkan pulau!"

"Aku juga begitu, tapi ibumu lain. Sudahlah, kau tenangkan hati ibumu dan awasi pemuda itu dari jauh. Kalau dia lari, tangkaplah. Aku tahu bahwa kau dapat mengatasi pemuda itu dan See-ong pun sudah tidak berbahaya untukmu!"

Soat Eng kalah bicara. Ayahnya sudah mengulapkan lengan dan disuruh berangkat, perahu diserahkan padanya dan berkelebatlah ayahnya itu mengajak yang lain-lain. Dan ketika Soat Eng bengong namun akhirnya berangkat juga, gemetar, maka di sana Swat Lian menegur suaminya.

"Kau ini..." katanya. "Kenapa menyuruh anak kita menjaga seorang pemuda? Apa kata orang kalau diketahui yang usil mulutnya?"

"Hm, tak usah khawatir," Pendekar Rambut Emas tersenyum. "Aku yang ganti mengawasi anakku itu, niocu. Kau tenanglah dan diam saja di sini."

"He, maksudmu...?"

"Ssst," sang suami memotong. "Aku juga tak membiarkan anak gadisku begitu saja, isteriku. Dia mengawasi Siang Le dan aku yang mengawasi dirinya. Aku akan ke Sam-liong-to secara diam-diam dan kau lanjutkanlah perjalanan bersama Beng An!"

Sang isteri tertegun. Suaminya itu tertawa dan sadarlah dia bahwa suaminya ini melakukan perbuatan yang bagus sekali. Gerak-gerik Soat Eng akan diawasi sementara Soat Eng sendiri mengawasi gerak-gerik Siang Le. Masing-masing sama tak tahu dan legalah nyonya itu mengangguk-angguk, tersenyum, tiba-tiba suaminya itu telah berkelebat dan kembali ke Pulau Tiga Naga, menyuruh dia kembali bersama Beng An dan Ji Pin ke utara.

Dan begitu sang suami lenyap dan Ji Pin terlongong-longong, mendengar pembicaraan itu, maka Soat Eng di sana tak tahu bahwa diam-diam ayahnya di belakang, menyusul. Pendekar Rambut Emas memang tak membiarkan puterinya itu begitu saja. Di sana ada dua laki-laki meskipun See-ong sudah dilumpuhkan, sementara Siang Le boleh dianggap pemuda baik-baik yang tak mungkin mengganggu Soat Eng.

Dan ketika Soat Eng mendarat di Sam-liong-to sementara Pendekar Rambut Emas juga diam-diam membayangi puterinya maka Hauw Kam dan Gwan Beng yang tertinggal dan terlupa di situ dijumpai Pendekar Rambut Emas ini. Kim-mou-eng terkejut bahwa dalam sibuk dan banyaknya urusan membuat dia dan isterinya melupakan dua orang itu. Gwan Beng terluka sementara Hauw Kam juga mendapat beberapa pukulan, meskipun tak separah suhengnya itu. Dan ketika Pendekar Rambut Emas menolong dan bertemu lagi maka tugas akhirnya diserahkan kepada dua orang ini.

"See-ong sudah kutangkap, kutawan. Muridnya menjaga di sini dan Soat Eng diminta ibunya untuk mengawasi atau menjaga pemuda itu. Kalian bantulah aku mengawasi puteriku itu dan kalau ada apa-apa beritahulah padaku dan cepat ke utara. Kalian sanggup?"

Hauw Kam tentu saja sanggup. Sambil menjaga dan merawat suhengnya di situ maka pekerjaan mengawasi Soat Eng bukanlah pekerjaan sukar. Apalagi gadis itu keponakan mereka sendiri. Dan ketika Pendekar Rambut Emas minta agar tugas itu dilakukan secara rahasia, artinya jangan sampai diketahui siapapun maka Hauw Kam mengangguk dan berjanji melaksanakan perintah.

"Baiklah, kami akan mengawasi puterimu itu, meskipun sebenarnya kami percaya pada pemuda itu karena Siang Le bukan pemuda kurang ajar yang suka mengganggu atau menggoda wanita!"

"Aku tahu, tapi betapapun Soat Eng juga harus dijaga, ji-heng (kakak kedua). Karena betapapun See-ong ada di sini!"

"Hm, kau apakan dia?"

"Kukerangkeng, Hek-kwi-sutnya telah kuhancurkan. Tapi meskipun kakek itu tidak berbahaya namun sikap atau kata-katanya mungkin dapat merubah tindak-tanduk Siang Le!"

Hauw Kam mengangguk. Sekali lagi dia berjanji bahwa tugas mengawasi Soat Eng akan dilaksanakannya baik-baik. Dan ketika Hauw Kam berkata bahwa Siang Le mencintai Soat Eng, hal yang disambut senyum pendekar itu maka Pendekar Rambut Emas berkelebat meninggalkan Sam-liong-to.

"Urusan itu sudah lama kuketahui. Tapi sesuatu masih perlu dibuktikan!"

Hauw Kam mengerutkan kening. Dia tak tahu apa yang dimaksud pendekar itu. Tapi ketika Pendekar Rambut Emas lenyap dan suhengnya mengeluh membuka mata maka laki-laki itu girang karena muka suhengnya yang tadi pucat sudah berubah merah setelah ditempel Pendekar Rambut Emas tadi, yang mengalirkan sinkangnya memberi pengobatan, di samping tujuh butir pil yang harus ditelan. Dan ketika Gwan Beng diberi tahu dan bersinar mendengar ini maka selanjutnya tugas Pendekar Rambut Emas sudah dipegang dua orang ini sementara Soat Eng sendiri diam-diam mengawasi Siang Le dan tak tahu bahwa dirinyapun diawasi!

* * * * * * * *

"Bodoh, keparat jahanam. Apa artinya ini, Siang Le? Kenapa kau membiarkan aku ditawan dan menunggu seperti anjing menunggu tikus? Bedebah kau, terkutuk jahanam. Sungguh membuat aku malu dan lebih baik mampus!"

Siang Le menarik napas berulang-ulang. Dia tak menghiraukan semua makian dan cercaan gurunya. Apa yang diminta gurunya selalu dituruti kecuali membuka kerangkeng. Seminggu sudah See-ong marah-marah di atas tapi sang murid diam tak menjawab. Segalanya ditelan tanpa banyak menjawab. Segalanya ditelan tanpa banyak cakap dan See-ong mencak-mencak di sana. Dan ketika seminggu lewat lagi dengan cepat dan See-ong geram melihat kebisuan muridnya itu maka kakek ini minta agar Siang Le melepas dirinya, untuk kesekian kalinya membujuk.

"Kalau kau berbakti dan benar ingin berbakti maka bukalah pintu kerangkeng ini. Atau kau bunuh aku dan biar gurumu mampus tak mengalami hinaan!"

"Maaf," sang pemuda menjawab. "Untuk ini aku tak dapat membantumu, suhu. Kalau kau anggap aku tak berbakti silahkan kau bunuh aku dan aku tak melawan."

"Jahanam, kemarilah. Kalau begitu biar kubunuh kau dan tak apa mempunyai murid model begini!"

Siang Le mendekat. Tanpa ragu atau takut dia menghampiri gurunya itu. See-ong sudah marah-marah dan beringas di sana, matanya melotot. Dan ketika Siang Le mendekat dan berlutut di depan kerangkeng, pasrah, tiba-tiba saja kakek itu menyambar dan mencengkeram kepala muridnya.

"Biar kubunuh kau!" See-ong gusar, jari terulur dari dalam dan tahu-tahu ubun-ubun muridnya sudah ditotok. Totokan ini akan membuat muridnya binasa dan See-ong ingin membuktikan apakah benar muridnya menerima atau melawan. Tapi ketika sang murid diam saja dan kepasrahan total tampak di wajah pemuda itu maka kakek ini tertegun dan totokan yang menyambar ubun-ubun berubah menjadi tamparan yang mengarah muka.

"Plakk!" Siang Le terpelanting. Untuk selanjutnya dia diminta mendekat lagi dan tamparan atau pukulan kakek itu bertubi-tubi mendarat di tubuhnya. Siang Le mengeluh dan diam saja tak melawan. Dia sebenarnya dapat menjauh namun tak mau. Kalau guru minta mendekat maka mendekatlah dia, hanya untuk digaplok atau dihajar! Dan ketika pemuda itu babak-belur dan See-ong melotot maka kemarahan kakek itu reda tapi bukan berarti kegusarannya lenyap.

"Ke sini!" teriaknya. "Aku ingin kencing, murid jahanam. Buka mulutmu dan terima kencing gurumu!"

"Apa?" Siang Le terkejut. "Suhu minta aku minum kencing dirimu?"

"Ya, kau murid keparat. Aku tak dapat membunuhmu namun aku merasa sakit hati atas semua sikapmu. Nah, buka mulutmu dan terima kencingku untuk pembalas budi yang pernah kuberikan padamu!"

Siang Le pucat. Dia terbelalak dan sudah melihat gurunya itu membuka celana, tak malu-malu, langsung menunjukkan bagian yang paling ganjil itu kepada muridnya. Tapi ketika sang guru membentak dan Siang Le diminta membuka mulut maka pemuda yang ingin membalas budi ini berlutut dan membuka mulutnya untuk menerima kencing sang guru!

"Siang Le...!" bentakan itu tiba-tiba membuyarkan semua konsentrasi See-ong. Kakek ini sudah mengucurkan air seninya dan siap meluncur ke mulut Siang Le. Tapi begitu sebuah bayangan berkelebat dan Siang Le ditendang maka pemuda itu terlempar sementara air kencing itu muncrat tinggi dan mengenai muka See-ong sendiri.

"Jahanam keparat!" bayangan itu sudah berdiri tegak, merah padam. "Kau tak tahu malu, See-ong. Kau menjijikkan dan keji. Kau iblis tak berjantung!"

See-ong terkejut. Soat Eng sudah berdiri di situ dan tentu saja dengan cepat ia menutup kembali kancing celananya. Kakek itu tertegun namun tiba-tiba tertawa bergelak. Dan ketika sebuah sinar keji memancar dari mukanya dan Siang Le yang melompat bangun di sana tampak terkejut tapi girang, tak menyangka, maka kakek itu berseru kenapa Soat Eng tiba-tiba muncul di situ, mau apa.

"Aku mendapat tugas ayah untuk melihat kalian guru dan murid. Siapa tahu kau membujuk muridmu dan Siang Le melanggar janji. Bedebah, dua minggu ini aku sudah melihat gebukan dan tamparanmu, See-ong. Aku diam saja karena kunilai tak melewati batas. Tapi kalau sekarang kau menyuruh muridmu minum air kencingmu maka ini sudah merupakan perbuatan tak bermoral dan kau pantas dikutuk!"

"Ha-ha, pembelaan seorang bocah. Eh, kau beruntung mendapat teman di sini, Siang Le, puteri Pendekar Rambut Emas lagi, gadis yang cantik jelita. Ha-ha, rupanya dia jatuh hati kepadamu!"

"Suhu!" Siang Le tiba-tiba membentak. "Jangan kau menghina Kim-siocia!" dan beringas memandang gurunya tiba-tiba saja pemuda yang semula banyak mengalah dan mau menelan semua hinaan itu tiba-tiba berubah seperti seekor harimau yang galak dan ganas.

Tapi Soat Eng yang tak mau mendengar kata-kata See-ong yang tentu kotor dan memerahkan telinga tiba-tiba menyambar lengan pemuda itu diajak pergi. "Kita keluar, jauhi kakek tak tahu malu ini!" dan berkelebat meninggalkan See-ong yang berteriak-teriak maka Soat Eng sudah di luar Istana Hantu dan kini berhadapan dengan pemuda itu, melepaskan cekalannya. "Kau!" gadis ini tak puas. "Kenapa menurut saja semua perintah gurumu, Siang Le? Tidakkah kau mempunyai otak dan berpikiran sehat? Kau sinting dan tidak waras. Sikapmu merendahkan martabat!"

"Maaf," Siang Le merah mukanya. "Aku memang sinting dan barangkali tidak waras, Kim-siocia. Taip semua itu demi membalas budi guruku. Aku tak dapat melakukan yang lebih selain itu. Aku tak berdaya."

"Bodoh! Di mana otakmu? Masa guru menyuruh minum kencing kau juga mau? Eh, pergunakan pikiran sehatmu, Siang Le. Kau bisa diperlakukan seperti anjing oleh gurumu!"

"Aku rela," pemuda itu menunduk. "Nyawa pun siap kukorbankan, Kim-siocia. Kalau tadi hanya disuruh begitu saja kuanggap ringan..."

"Dan tadi kau hampir dibunuh!"

"Itu lebih baik."

"Tapi gurumu mengganti dengan tamparan! Terkutuk. Hampir saja aku meloncat menghantam gurumu, Siang Le, kalau saja aku tidak melihat totokannya dirubah menjadi tamparan. Ah, kau terlalu mengalah dan mau diinjak-injak. Kau tak berkepribadian, lemah!"

Pemuda ini memandang kosong. Soat Eng yang akhirnya memaki-maki dan mengatainya bodoh dan tolol diterima saja dengan tenang. Sikapnya begitu kalem dan penyabar. Soat Eng akhirnya tertegun melihat pemuda itu tersenyum, setelah dia mengeluarkan semua kesal dan marahnya. Dan ketika dia membentak kenapa pemuda itu tersenyum, padahal dia marah-marah dan membela pemuda itu tiba-tiba Siang Le menyambar lengannya dan berbisik,

"Kim-siocia, apa arti semua pembelaanmu ini? Apakah kau, maaf... menerima cintaku? Bolehkah kutafsirkan bahwa kembalimu ke Sam-liong-to ini untuk mengasihani dan membalas cintaku? Maaf, aku memang bodoh dan tolol, siocia. Aku murid guruku yang jahat. Namun aku bukanlah manusia yang tak tahu membalas budi. Benar atau salah guruku tetaplah guruku. Baik atau jahat dia tetaplah See-ong yang sudah melepas budi kepadaku. Aku girang kau datang tapi sekaligus juga khawatir bahwa kau akan terlibat urusan yang tidak enak!"

Soat Eng tertegun. Dua pasang mata mereka beradu dan tiba-tiba saja gadis ini tergetar. Tak dapat disangkal, bahwa selama dua minggu ini dia sudah menaruh kekaguman yang bertambah terhadap Siang Le. Pemuda ini sungguh lain dengan gurunya dan bagaikan langit dengan bumi, menyolok! Tapi begitu Siang Le bicara tentang cinta dan perasaannya terguncang tiba-tiba saja gadis ini menarik lepas tangannya dan merah padam. "Aku... aku datang atas perintah ayah. Bukan untuk urusan itu!"

"Hm, maaf. Kalau begitu aku salah. Baiklah, tugas atau tidak tugas tetap saja aku ingin mengulang perasaanku kepadamu, Kim-siocia. Bahwa aku mencintaimu dan mengharap balasanmu. Tapi aku tak memaksa, aku tahu diri. Aku adalah murid See-ong yang jahat!" dan tergetar memejamkan matanya, tertusuk oleh kenyataan ini tiba-tiba Siang Le mundur dan membungkuk. "Siocia, terima kasih atas pembelaanmu kepadaku tadi. Tapi maaf, aku harus kembali kepada guruku. Jangan khawatir bahwa aku tak akan meninggalkan Sam-liong-to sesuai janji ksatriaku!"

"Tidak!" Soat Eng tiba-tiba pucat. "Kau... kau jangan kembali ke sana, Siang Le. Gurumu bisa minta yang tidak-tidak dan aku tak mau melihat itu!"

"Hm, kenapakah? Yang menjalani adalah aku, siocia, bukan kau. Aku tak apa-apa demi membalas kebaikan guruku."

"Tidak, jangan...!" dan Soat Eng yang pucat mencengkeram pemuda itu tiba-tiba ngeri membayangkan Siang Le harus minum air kencing gurunya. See-ong dapat memaksa pemuda itu dan apapun pasti dilaksanakan Siang Le, asal tidak membuka pintu kerangkeng. Dan ketika Soat Eng gemetar dan meledak dalam kebingungan tiba-tiba saja gadis itu menangis! "Siang Le, jangan pergi kepada gurumu. Kakek itu iblis, jahanam tak berjantung. Kau di sini saja dan jangan dekat-dekat dengannya!"

Siang Le tertegun. Soat Eng tiba-tiba saja mengguguk dan meremas dadanya. Gadis yang tak berani membayangkan perbuatan See-ong itu tampak ngeri mencegah pemuda ini. Siang Le dicengkeram. Dan ketika Siang Le terkejut tapi memeluk gadis itu, terguncang, tiba-tiba saja Siang Le bertanya apa arti semuanya ini.

"Aku... aku tak tahu. Tapi aku tak rela kau melaksanakan semua perintah gurumu yang kotor!"

"Kalau begitu..." Siang Le gemetar. "Apakah ini berarti kau menerima cintaku, Kim-siocia? Apakah aku tak bertepuk sebelah tangan?"

"Aku tak tahu," Soat Eng tersedu. "Tapi aku tak rela kau dihina dan direndahkan gurumu, Siang Le. Gurumu itu manusia keji yang tak bermoral! Aku... aku..."

Soat Eng mengguguk, sudah berguncang dipeluk pemuda itu dan Siang Le merasa betapa getaran keras melanda kalbunya. Soat Eng mencengkeram dan menyuruhnya tak usah dekat gurunya. Gurunya itu akan memaksanya meminum air kencing. See-ong sedang diamuk kecewa dan sakit hati. Dan ketika Siang Le berkata bahwa itu adalah urusannya, bukan urusan Soat Eng maka gadis itu menggeleng dan menangis keras-keras.

"Tidak, kau salah. Melihat kau melaksanakan perintah gurumu sama halnya merobek-robek hatiku, Siang Le. Aku akan benci dan marah sekali kalau kau kehilangan martabat. Kau turut kata-kataku atau aku akan benci dan marah kepadamu seumur hidup!"

Siang Le tertegun. Soat Eng sudah memandangnya begitu pasti dan pandang mata atau kata-kata gadis ini menggetarkan sekali. Siang Le tersentak dan tiba-tiba terlihatlah bayangan kasih di balik keberingasan kata-kata itu. Siang Le menangkap getaran lembut dan pandangan mesra dari puteri Pendekar Rambut Emas ini, yang kalau tidak dituruti bakal berubah seperti prahara di gurun yang tenang. Dan ketika dua mata beradu dan Siang Le tertegun dan tergetar, tiba-tiba, entah siapa yang bergerak lebih dulu tahu-tahu mereka sudah berpelukan dan Siang Le mencium mulut gadis itu, menggigil.

"Kim-siocia, kalau begitu kau menerima cintaku?"

Soat Eng mengeluh. Dipeluk dan disambar pemuda ini tiba-tiba dia roboh dan lunglai. Dekapan dan ciuman Siang Le dibiarkan. Mereka tiba-tiba hanyut dalam badai asmara yang menggebu. Soat Eng membiarkan saja hidung dan pipinya diciumi. Dan ketika Siang Le merah padam dan bahagia serasa mendapat bintang dari langit maka selanjutnya gadis itu mengeluh dan terisak-isak di dada sang pemuda.

Siang Le gemetar dan tak tahan lagi menerima kebahagiaan ini. Dia seakan mimpi tapi segera yakin ketika ciuman-ciumannya dibiarkan. Soat Eng akhirnya rebah dan lemas di pelukannya. Dan ketika bisikan atau kata-kata lembut keluar dari mulut pemuda ini sementara Soat Eng tak mampu menjawab apa-apa maka berkelebatlah dua bayangan yang tertawa bergelak.

"Ha-ha, inilah hasilnya. Sudah kuduga kau bakal menerima cinta pemuda itu, Soat Eng. Siang Le pemuda baik yang kupuji setulus hati. Ah, hampir terlambat kau menerima kekasihmu ini!"

"Hauw-supek! Gwan-supek...!" Soat Eng terkejut, cepat melepaskan diri dan Siang Le juga melepaskan dekapannya. Mereka tak menyangka bahwa dua orang tua itu muncul.

Hauw Kam tertawa-tawa sementara Gwan Beng, suhengnya, tersenyum lebar. Gwan Beng sudah sembuh dari lukanya dan dua minggu ini mereka ikut menyaksikan kesetiaan Siang Le, juga Soat Eng yang diam-diam bertambah kekagumannya kepada pemuda itu, karena pandang mata gadis itu bersinar-sinar aneh dan Hauw Kam sering menyenggol lengan suhengnya, penuh arti. Dan ketika hari itu mereka juga melihat kekejian See-ong di mana Siang Le hendak disuruh minum air kencingnya, hal yang hendak dilaksanakan demi membalas budi maka dua laki-laki itu marah tapi juga terbengong-bengong menyaksikan kesetiaan luar biasa dari pemuda ini.

Bukan main, See-ong betul-betul keji tapi Siang Le pemuda yang mengejutkan. Untuk membalas budi apapun siap dilakukan, demi kesetiaan dan budi baik gurunya itu. Dan ketika mereka juga hendak bergerak tapi sudah didahului Soat Eng, yang muncul dan membentak See-ong maka selanjutnya dua orang ini mengikuti dari jauh apa yang dilakukan Soat Eng. Dan mereka mendengar semua pembicaraan itu. Hauw Kam saling pandang dengan suhengnya dan mereka mengangguk-angguk.

Sesungguhnyalah, mereka sudah tahu kadar cinta Siang Le dan tak perlu ragu menerima pemuda itu. Siang Le bukanlah See-ong dan memang ganjil rasanya melihat kenyataan ini: Seorang tokoh sesat mempunyai seorang murid berwatak baik. Dan ketika mereka tak tahan melihat adegan selanjutnya di mana dua muda mudi itu menemukan kebahagiaannya maka Hauw Kam keluar lebih dulu dan tak ingat lagi pesan Pendekar Rambut Emas.

Dan Soat Eng berdua tentu saja terkejut. Siang Le sampai tertegun dan merah mukanya, terbelalak. Soat Eng juga begitu tapi segera dua orang itu mencekal lengan mereka berdua. Hauw Kam dan suhengnya memang sudah tahu akan cinta di antara dua muda-mudi ini, karena dulu Siang Le melindungi dan membela habis-habisan gadis itu, ketika mereka dalam tawanan Koai-lojin, sewaktu mereka masih belum menemukan kesadaran pikiran sendiri. Maka begitu Soat Eng terkejut sementara Siang Le juga merah padam maka Hauw Kam tertawa menyambar lengan keduanya.

"Tak perlu malu, tak perlu gugup. Kami orang-orang tua sudah tahu kisah kalian ini. Ha-ha, kau girang, anak-anak. Aku gembira. Ah, hampir saja Soat Eng terlambat!"

"Bagaimana supek datang?" Soat Eng akhirnya sadar, bertanya. "Kapan kalian di sini?"

"Ha-ha, kami di sini sejak ayah ibumu kembali, Soat Eng. Ayahmu datang lagi karena agaknya teringat kami. Kau terlalu sibuk, tak tahu kehadiran kami. Ayahmu menyuruh kami menjaga tapi sekarang kami gembira bahwa kalian bahagia!"

Hauw Kam lalu menceritakan asal mulanya, didengar dan tersipu serta merahlah muka gadis itu. Soat Eng memang lupa bahwa dua supeknya yang terluka masih berada di Sam-liong-to. Pikirannya melulu tertuju kepada Siang Le dan apa yang dilihat sehari-hari memang membuat dia lupa kepada yang lain. Maka ketika supeknya selesai bicara dan Siang Le melirik halus kepadanya, tersenyum, maka gadis itu menarik tangannya mencubit gemas.

"Aih, kalau begitu supek nakal. Cih, tak tahu malu mengintai anak-anak muda!"

"Ha-ha, kami disuruh ayahmu. Tak ada maksud mengintai semuanya ini, Soat Eng. Tapi kami bahagia bahwa kalian berdua bahagia. Eh, harus cepat dinikahkan dan kalian menjadi suami isteri!"

"Benar," Gwan Beng, yang tersenyum-senyum dan mengelus jenggotnya tiba-tiba juga bicara. "Sebaiknya menikah dan cepat bersatu, anak-anak. Aku siap membantu tapi entah bagaimana dengan ibu dan guru kalian."

Siang Le tertegun. Yang dimaksud adalah gurunya dan Kim-hujin, ibu Soat Eng. Dua orang itu terlibat permusuhan besar dan betapa berkali-kali dia melihat kebencian Kim-hujin itu kepada gurunya. Gurunya memang telah membunuh Hu-taihiap dan inilah sumber semua malapetaka. Tapi ketika Hauw Kam tertawa dan berkata bahwa itu masalah kecil, karena kalau See-ong tak menyetujui maka dia dapat menjadi wali si pemuda maka apa yang tampak mengganjal itu tiba-tiba seakan tak ada masalah.

"Itu tak perlu dikhawatirkan. See-ong boleh tidak setuju, tapi aku dapat menjadi pengganti. Ha-ha, dan tentang sumoi, wah, kau dapat membujuknya, suheng. Pokoknya nikahkan anak-anak dan jangan dihalangi!"

"Tidak," Siang Le tiba-tiba menggeleng. "Guruku masih hidup, locianpwe. Tak dapat aku menghinanya seperti itu. Aku tetap minta persetujuannya dan biarlah kubicarakan hal ini kepadanya."

"Apa?" Hauw Kam melotot. "Minta persetujuan gurumu yang tidak waras itu? He, kau tak perlu menghargainya terlalu tinggi, bocah. Dia bukan manusia baik-baik dan tak perlu kau menjunjungnya setinggi langit!"

"Betapapun dia guruku," pemuda ini bersikeras. "Tanpa dia tak mungkin aku bisa begini, locianpwe. Mungkin kalau aku tak diambilnya sejak kecil boleh jadi aku sudah mati kelaparan."

"Kalau dia tak setuju?"

"Aku akan membujuknya."

"Kalau dia tak mau dibujuk?"

Siang Le tertegun. "Maaf, semua itu belum kucoba, locianpwe. Biarkan kujalani dulu dan baru kita bicarakan berikutnya kalau nanti buntu!"

Hauw Kam melotot. Untuk kesekian kalinya lagi dia melihat betapa pemuda ini amat menjunjung tinggi gurunya, padahal See-ong adalah datuk sesat yang amat jahat. Kakek yang seperti iblis itu bahkan tak menghargai murid sendiri dan berapa kali Siang Le mengalami hinaan. Tapi Siang Le yang membalasnya dengan kelembutan budi, penuh rasa hormat akhirnya membuat Hauw Kam membanting kakinya dan marah-marah meskipun kagum.

"Kau bodoh!" umpatnya. "Gurumu tak dapat,diajak bicara baik-baik, Siang Le. Bahkan mungkin ini dipergunakan olehnya sebagai kesempatan pribadi!"

"Aku belum mencobanya," pemuda itu tetap tenang. "Dan yang belum kucoba selamanya belum kita ketahui hasilnya, locianpwe. Biarlah aku menghadap guruku dan terima kasih atas kebaikan kalian yang siap menolong aku," pemuda ini lalu menghadapi Soat Eng, berkata bahwa dia akan menghadap gurunya dan persoalan itu akan dibicarakan.

Soat Eng tiba-tiba berdebar dan merah mukanya. Dan ketika gadis itu menyatakan ikut dan si pemuda tertegun, mengerutkan keningnya maka Siang Le akhirnya mengangguk dan berkata, "Baiklah, tapi harap kedua supekmu ini tidak menampakkan diri. Sebaiknya kita berdua saja dan mari menghadap suhu."

Dua orang itu akhirnya bergerak. Mereka memutar tubuh dan Hauw Kam mengepal tinju berkali-kali melihat kelembutan budi pemuda itu. Bukan main. Kalau dia, hmmm... tentu sudah tak perlu menghargai segala guru macam See-ong. Kakek itu tak patut dihargai, kakek itu iblis! Namun ketika Gwan Beng mendesah kagum dan menyuruh sutenya tenang maka secara diam-diam Gwan Beng mengajak sutenya melihat dari jauh. Dan apa yang terjadi?

See-ong tertawa bergelak! "Ha-ha, kau minta restu, Siang Le? Kau ingin gurumu menyetujui perjodohanmu ini? Ha-ha, boleh. Tapi lepaskan aku dan buka kerangkeng ini!"

"Maaf," Siang Le lagi-lagi terkejut, berubah mukanya. "Untuk itu tak dapat aku melaksanakannya, suhu. Kau tahu aku terikat janji dan hanya Pendekar Rambut Emas saja yang berhak mengeluarkanmu dari sini."

"Kalau begitu minta Kim-mou-eng itu mengeluarkan aku, atau aku tak mau merestui pernikahanmu dan gagal!"

"Suhu," Siang Le pucat. "Kim-taihiap tak mungkin mau melepaskanmu dari kerangkeng ini. Kau sudah dijatuhi hukuman seumur hidup. Kau membunuh Hu-taihiap. Mana mungkin meminta yang mustahil? Kau bersalah, suhu. Dan seharusnya untuk penebus dosa kau tak boleh menambah hutang dengan jalan berbuat kebaikan!"

"Ha-ha, aku See-ong. Aku kakek iblis. Kebaikan apa yang harus kulakukan, bocah? Justeru kejahatan yang harus banyak kubuat. Kau jangan mengajari gurumu dan laksanakan saja perintahku atau niatmu ini tak kurestui!"

"Kau memang kakek jahanam!" Soat Eng tiba-tiba bangkit kemarahannya. "Tanpa restumu pun Siang Le dapat menikahi aku, See-ong. Dia dapat mencari wali dan menggantikan kau!"

Kakek ini terkejut. See-ong yang terjepit di gunung-gunungan batu itu membelalakkan mata. Dia menggeram. Gertakan dan ancaman Soat Eng itu membuatnya terhenyak tapi tiba-tiba muka sedih muridnya ditangkap. See-ong mendadak tertawa karena dia tahu bahwa tak mungkin muridnya akan berbuat seperti itu, kalau dia masih hidup. Dan karena dia mengenal watak muridnya dan segala perubahan atau mimik muka muridnya dapat dibaca maka kakek itu terkekeh-kekeh dengan mata mengejek.

"Bocah!" serunya. "Siang Le tak mungkin mau melakukan itu kalau aku masih hidup. Muridku adalah pemuda yang amat berbakti dan tahu hormat. Coba tanyakan pada dia apakah kata-katamu tadi mau dilaksanakan."

Soat Eng berubah.

"He!" kakek itu membentak, tertawa mengejek. "Kau tak berani bertanya? Baiklah, kutanya sendiri!" dan See-ong yang menghadapi muridnya dengan mata bersinar-sinar lalu bertanya, "Siang Le, kau berani melakukan itu kalau gurumu masih hidup? Kau berani mencari pengganti kalau aku masih di sini? Ha-ha, hilang keagungan dan rasa baktimu, bocah. Musnah sudah semua hormat dan kesetiaanmu itu. Kau boleh saja lakukan semua itu, tapi bunuh dulu gurumu dan setelah itu bebas, ha-ha!"

Siang Le pucat. Akhirnya dia menggigil dan menggeleng berulang-ulang. Memang sebelum inipun dia sudah menyatakan bahwa tak dapat dia mencari wali lain kalau gurunya masih hidup. Dia amat berbakti dan setia kepada gurunya itu, meskipun gurunya seorang sesat dan amat jahat. Dan ketika Soat Eng kalah dan diketawai berkali-kali tiba-tiba gadis itu melengking dan berkelebat pergi.

"See-ong, kau memang kakek iblis!"

Siang Le terkejut. Dia melihat gadis ini menangis dan memang Soat Eng gusar. Kalau saja bukan Siang Le tentu dia tak perduli. Tapi, ah... hati ini sudah tertambat pada si pemuda dan justeru kesetiaan dan kebaikan pemuda itulah yang menyentuh hatinya. Terhadap seorang sesat saja Siang Le dapat begitu setia, apalagi terhadap kekasih, isteri! Maka ketika Soat Eng mengguguk dan marah serta jengkel terhadap See-ong, kakek yang tertawa-tawa penuh kemenangan itu maka Siang Le berkelebat dan mengejarnya.

"Eng-moi...!" seruan itu lembut dan penuh perasaan. "Tunggu dulu, berhenti!" dan ketika Siang Le menangkap dan menyambar lengan gadis ini, yang berhenti dan terisak-isak maka Siang Le gemetar mencoba menyelesaikan masalahnya. "Aku bingung, tapi kita harus bicara. Sebaiknya, hmm... kau pulang saja dan biarkan aku berdua dengan guruku."

"Maksudmu?" Soat Eng membelalakkan mata, terkejut. "Kau mau menyuruh aku meminta ayah dan melepaskan gurumu?"

"Tidak... tidak!" Siang Le mengulapkan lengan, memotong cepat. "Bukan itu yang kumaksudkan, Eng-moi. Tapi, ah... aku tak mau melihat kau dihina guruku!"

"Hm, aku tak jelas. Coba beritahu maksudmu itu dan apa yang kau inginkan!"

"Kau tak marah?" pemuda ini pucat, menggigit bibir. "Maksudku... maksudku lupakan saja semuanya ini, Eng-moi. Aku tiba-tiba merasa tak pantas dan malu mendapatkan dirimu setelah melihat sepak terjang guruku itu. Aku... aku persilahkan kau mencari pemuda yang lain saja dan biarlah harapanku kupadamkan."

"Siang Le!" Soat Eng terkejut, berteriak tinggi. "Kau... kau bisa bicara seperti itu? Kau menyuruh aku mencari pemuda lain? Ah, keparat kau. Aku bukan gadis gampangan....plak-plak!" dan Siang Le yang ditampar serta terpelanting roboh tiba-tiba berteriak tertahan dan pecah bibirnya.

Tamparan itu keras dan dalam marah serta kecewanya tiba-tiba saja Soat Eng salah paham. Gadis ini merasa sakit hati dan dipermainkan. Dikiranya Siang Le tak serius dan semua cintanya itu main-main saja. Tapi ketika dua bayangan berkelebat dan Siang Le melompat bangun, terhuyung, maka Soat Eng tertahan kemarahannya oleh bentakan atau seruan dua orang supeknya itu.

"Soat Eng, tahan. Jangan menyerang!" dan Hauw Kam serta suhengnya yang datang dengan cepat lalu berkelebat dan sudah berdiri di antara dua orang muda itu. "Kau gila!" Hauw Kam membentak. "Apa yang kau lakukan ini, Soat Eng? Masa baru berbaik sudah memukul dan menyerang? Kau salah paham, Siang Le tak bermaksud menyakiti hatimu!"

"Siapa bilang?" gadis ini melotot. "Dia... dia menyuruh aku mencari pemuda lain, supek. Siang Le menghina dan menganggap rendah aku!"

"Hm, bukan begitu yang kutangkap," Gwan Beng, supeknya pertama melangkah maju, menarik napas. "Pemuda ini tak bermaksud seperti itu, Soat Eng. Justeru hendak membuatmu bahagia dan tahu diri. Siang Le malu melihat kelakuan gurunya, sikap yang tidak pantas. Dan karena dia menganggap dirimu tinggi sedang diri sendiri dinilai rendah maka dia mau mundur dan rela melepaskan dirimu agar mendapat pemuda yang baik dan jauh lebih pantas dari dirinya sendiri. Itulah yang kutangkap, coba kau tanya dia!"

Soat Eng terkejut. Tiba-tiba saja dia terbelalak dan melebarkan matanya. Apa yang dikata justeru lain sekali dengan apa yang ditangkap. Siang Le memandangnya sendu dan mengangguk. Ah, gadis itu tersentak. Dan ketika Hauw Kam berkata bahwa apa yang dikata twa-supeknya itu benar maka Hauw Kam mencengkeram pundaknya berseru pada Siang Le.

"He, coba beritahukan pada kekasihmu ini bahwa apa yang kami tangkap adalah keliru. Coba kau katakan apakah kata-kata kami tadi benar atau tidak!"

"Benar," Siang Le mengangguk, menarik napas dalam-dalam. "Apa yang kalian tangkap adalah benar, ji-wi locianpwe. Aku memang bermaksud memberikan kebahagiaan kepada Soat Eng sebab aku takut dia selalu menderita dan susah kalau menjadi isteriku, karena guruku adalah See-ong."

"Nah, itu, kau dengar!" Hauw Kam berseru, ganti melotot kepada gadis ini. "Pemuda sebaik itu tak mungkin menghina orang lain, Soat Eng. Diri sendiri lebih baik dikorbankan daripada mengorbankan orang lain. Kau salah paham dan harus minta maaf!"

Soat Eng terisak. Tiba-tiba dia menubruk pemuda ini dan minta maaf, memeluk. Mukapun disembunyikan di dada si pemuda dan pipi Siang Le diusap-usapnya. Soat Eng menyesal sekali kenapa ia tadi menampar kekasihnya itu, pemuda yang demikian baik dan tidak bersalah. Namun ketika Siang Le mendorong tubuhnya dan dengan lembut berkata bahwa tak usahlah dia minta maaf maka pemuda ini menunjuk diri sendiri yang tidak pantas mendapatkan Soat Eng.

"Aku memang mencintaimu, dua supekmu ini tahu benar. Tapi aku khawatir kebahagiaan tak dapat kuberikan padamu, Eng-moi. Aku rela mundur dan biarlah kau cari saja pemuda lain yang jauh lebih pantas daripada aku. Guruku amat jahat, permintaannya tak dapat kupenuhi dan kukira ini akan menjadi penghalang bagi pernikahan kita."

"Tidak!" Soat Eng menggeleng, tersedu. "Aku tak mau mencari pemuda lain, Siang Le. Aku hanya mencintaimu pula. Biarlah gurumu itu tak usah kita hiraukan dan kita berjalan sesuai kehendak kita sendiri!"

"Hm, tak mungkin. Aku perlu restunya, Eng-moi. Dan untuk mendapatkan restu itu suhu meminta kebebasan dirinya. Padahal aku tak sanggup, begitu juga kau. Kupikir kau akan menderita saja kalau menjadi isteriku. Biarlah aku mundur dan kau...."

"Tidak!" Soat Eng tiba-tiba beringas. "Aku tak mau mundur, Siang Le. Kau dan aku memang tidak bisa, tapi ayah tentu dapat. Biarlah kuminta persetujuannya dan kita ke sana!"

"Kita?"

"Ya, kau dan aku. Kita menghadap ayah dan membicarakan hal ini!"

"Maaf," Siang Le tersenyum getir. "Aku sudah berjanji untuk tidak meninggalkan Sam-liong-to, Eng-moi. Dan apapun yang terjadi aku tak mungkin beranjak dari tempat ini, kecuali ayahmu yang mengijinkan dan menemui aku."

"Apa?"

"Kau tahu," pemuda itu lagi-lagi bicara. "Pergi meninggalkan pulau sama halnya melanggar janji, Eng-moi. Aku tak mau itu dan tak suka melanggar janji. Kalau kau mau pergi silahkan, aku menunggu di sini."

"Ooh...!" Soat Eng mundur, terbelalak lebar. "Kau tak melanggar janji, Siang Le. Aku bersamamu, aku yang memberimu ijin!"

"Bukan ayahmu," pemuda ini menggeleng. "Perjanjian bukan kau yang membuat, Eng-moi, melainkan aku dan ayahmu. Kalau kau mau pulang silahkan, aku tetap di sini, sampai ayahmu datang!"

Soat Eng tertegun. Dua supeknya yang mendengar itu sampai mendecak kagum dan diam-diam merahlah muka mereka bahwa pemuda seperti ini sungguh tak patut dijaga lagi. Siang Le demikian gagah dan sportif, pemuda itu jantan! Dan ketika semua kagum dan Soat Eng mencengkeram erat-erat lengan pemuda ini maka Gwan Beng yang dapat melihat kata-kata itu juga tiba-tiba mendesah dan berkata,

"Benar, Siang Le tidak salah, Soat Eng. Tapi kau juga memiliki masalah. Ayahmu mungkin bisa dibujuk namun ibumu belum tentu. Hm, di sini See-ong sedang di sana Hu Swat Lian! Kau sebaiknya pulang dan bicara dengan orang tuamu. Aku agak khawatir melihat ibumu karena apa yang hampir matang bisa saja sewaktu-waktu rusak dan mentah lagi!"

Soat Eng terkejut. Tiba-tiba dia teringat ibunya dan berkerutlah alis yang menjelirit itu. Kalau See-ong menuntut bebas adalah ibunya yang menuntut agar kakek itu dibunuh. Kebencian ibunya tak dapat dibendung lagi dan tiba-tiba saja ia sadar bahwa ia pun punya masalah berat. Siang Le dengan gurunya sedang ia dengan ibunya. Ah, keadaan yang terang tiba-tiba saja terasa menjadi gelap. Dia dan Siang Le benar-benar diancam kegagalan oleh dua orang itu. Ibunya dan See-ong ibarat air dan api, tak ada yang mau mengalah. Dan ketika gadis itu pucat dan ngeri membayangkan ini, menggigil, maka Siang Le sekali lagi berkata agar dia pulang.

"Kembalilah, aku menunggu disini. Kalau gagal tak apa, itu sudah nasibku. Aku siap menghadapi kenyataan asal kau bahagia."

"Tidak," gadis ini menangis. "Kalau begitu biar kutunggu saja ayah datang di sini, Siang Le. Aku takut kalau harus berhadapan dengan ibu!"

"Hm, tak boleh begitu," Gwan Beng tiba-tiba bicara lagi. "Tak berani menghadapi ibumu berarti tak berani menyelesaikan persoalan, anak baik. Biarlah kau kuantar dan mari bersama-sama pulang!"

"Benar," Hauw Kam berseru. "Aku dan twa-supekmu dapat membantu, Soat Eng. Hayo pulang dan kita selesaikan saja!"

Soat Eng tertegun. Dua orang supeknya itu sudah mencekal lengannya dan mereka tampak penuh harap. Tapi membayangkan ibunya dan hati mendadak surut tiba-tiba gadis ini mengeluh. "Supek, ibu amat keras. Mungkinkah itu terjadi? Apakah bisa?"

"Weh, belum dicoba tak mungkin diketahui hasilnya, bocah. Sebaiknya kau pulang dan kami mengantar. Jangan takut, kami akan membelamu!"

Soat Eng terharu. Akhirnya dia menangis dan mengucap terima kasih di pelukan supeknya itu. Kata-kata ini membesarkan hati meskipun di sudut perasaannya yang paling dalam Soat Eng tetap merasa ngeri juga. Dia takut menghadapi ibunya itu, tapi dia juga marah kepada See-ong yang kurang ajar dan tak tahu diri. Juga gemas kepada Siang Le kenapa pemuda itu begitu hormat dan menjunjung tinggi guru, yang jelas seorang sesat dan tak perlu dihargai. Tapi karena semuanya sudah mengajak dan Siang Le mundur melepaskan dirinya maka Soat Eng berkelebat dan berkata agar Siang Le menunggu di Sam-liong-to, sesuai janjinya.

"Aku akan menghadap ayah dan ibu bersama supek. Tapi coba kau bujuk sekali lagi gurumu itu!"

"Benar," Hauw Kam berseru menyusul keponakannya. "Gurumu harus dibuat tahu diri, Siang Le. Tapi kau juga harus jangan memegang kaku tata krama terhadap manusia sesat macam See-ong!"

"Hm, sudahlah," Gwan Beng menutup, berkelebat dibelakang dua orang itu. "Aku kagum akan watakmu, Siang Le. Biarlah kita lihat apa yang akan terjadi nanti!"

Siang Le menatap bimbang. Dia sudah melihat tiga orang itu lenyap di pantai. Soat Eng sudah diminta untuk melepas dirinya namun gadis itu tak mau. Ah, Soat Eng mencintainya. Seharusnya dia bahagia! Tapi karena gurunya meminta yang mustahil sedang di pihak sana juga tak mungkin akan membebaskan gurunya maka Siang Le termangu-mangu dan seharian penuh memandang kosong ke laut.

Apa yang terjadi? Mungkinkah dia bisa bersanding dengan gadis pujaannya itu? Hm, saling mencinta masih tak cukup. Ada ujian-ujian lain yang menanti mereka. Dan kalau ujian ini tak dapat mereka lewati maka hancurlah sudah kebahagiaan yang terbayang di depan mata!

Dan itu benar. Swat Lian, yang mendengar dan melihat kedatangan tiga orang ini tiba-tiba mencak-mencak dan marah bukan main mendengar keinginan puterinya. Atau lebih tepat, keinginan See-ong yang memaksa puterinya itu untuk membebaskan si kakek iblis, demi pernikahan mereka, dua muda mudi itu. Dan ketika Hauw Kam selesai bercerita dan sambung-menyambung dengan suhengnya, karena Soat Eng sama sekali tak berani bercuit memperdengarkan suaranya maka nyonya yang cantik tapi marah besar ini membanting kaki, merah padam.

"Apa? Puteriku dinikahkan dengan pemuda itu dengan syarat See-ong dibebaskan? Jahanam bedebah keparat. See-ong sungguh lancang, tak tahu diri. Aku tak dapat menerima ini dan menyatakan menolak!"

"Hm, kami tahu, Lian-moi (adik Lian). Tapi See-ong juga tak mau memberi restu kalau dirinya tak dibebaskan."

"Persetan kakek itu, biar saja. Kalau Siang Le benar-benar mencintai puteriku maka dia harus mencari wali lain. See-ong adalah kakek iblis....!"

Istana Hantu Jilid 34

ISTANA HANTU
JILID 02
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

“KEMANA dia lari? Bagaimana bisa lolos?"

"Aduh, ampun...!" Ji Pin mengeluh. "Lepaskan tanganmu, hujin. Aku.... aku hanya memberi tahu!"

"Baik, tapi cepat beritahukan kemana dia lari dan bagaimana bisa lolos!"

"Pemuda itu siuman, entah bagaimana terdengar berbisik-bisik dengan dua nenek iblis itu. Dan ketika kami melihat dan terkejut tahu-tahu pemuda itu sudah meloncat bangun dan dua nenek iblis itu juga dibebaskan totokannya dan disambar melarikan diri!"

"Benar," Beng An berseru. "Togur dan dua nenek siluman itu pergi, ibu. Mereka kuserang tapi aku yang terpelanting!"

"Dan untung Kim-kongcu ini tak ditangkap mereka," Ji Pin menyambung, pucat. "Mereka khawatir Kim-siocia atau kau datang, hujin. Maka begitu lolos tiba-tiba mereka kabur dan meninggalkan kami berdua!"

"Kemana mereka itu pergi. Dan dimana mereka sekarang?"

"Mereka ke belakang pulau," Beng An berseru. "Togur dan dua nenek iblis itu berkelebat kesana, ibu. Mari kita kejar dan tangkap lagi mereka itu!"

"Wut!" Swat Lian sudah berkelebat lenyap. "Kutangkap dan kuhajar mereka nanti, Beng An. Cermin Naga belum dikembalikan kepada kita dan kubunuh nanti si Togur itu!"

Beng An membelalakkan mata. Dia melihat ibunya berkelebat lenyap dan seperti seekor kijang saja tahu-tahu ibunya itu sudah ke belakang Sam-liong-to. Di sana musuh melarikan diri dan memang tempat itulah yang paling enak untuk bersembunyi. Ada banyak guha-guha batu karang di samping celah atau ceruk di bawah tebing-tebing tinggi.

Sam-liong-to memang cukup luas untuk dipakai bersembunyi, di samping hutannya yang lebat meskipun kecil. Dan ketika sang nyonya terbang ke sana sementara Ji Pin mengurut-urut lehernya, yang terasa sakit, maka Pendekar Rambut Emas dan Soat Eng terkejut sejenak tapi kemudian menyusul dan berkelebat lenyap di belakang wanita itu.

"Kau bersama aku!" Soat Eng menyambar sang adik. "Dan kau ikuti kami di belakang, Ji-twako. Cepat, dan hati-hati!"

Ji Pin membelalakkan mata. Melihat sekeluarga yang terdiri dari orang-orang luar biasa ini sudah terbang dan lenyap di belakang sana maka diapun menggerakkan kaki mengikuti. Ji Pin berlari cepat namun tetap saja dia tertinggal. Kim-hujin dan Pendekar Rambut Emas serta puterinya sudah jauh di depan sana, lenyap. Dan ketika laki-laki itu berteriak dan memanggil-manggil maka di sana Swat Lian sudah melihat tiga bayangan mendaki tebing yang terjal.

"Heii...!" nyonya itu melengking. "Serahkan dirimu, Togur. Atau kalian mampus!"

Tiga bayangan di tebing, yang memang bukan lain Togur dan dua subonya, nenek Toa-ci dan Ji-moi terkejut. Mereka melarikan diri ketika tadi Togur siuman. Pemuda itu ditotok namun pengaruh totokan akhirnya kendor, setelah dua jam membuat pemuda itu pingsan. Dan karena Togur memiliki daya tahan luar biasa dan Khi-bal-sin-kang di tubuhnya juga membantu memperlancar aliran darah maka pemuda itu bebas lebih dulu dan kebetulan tak melihat Soat Eng atau ibunya di situ.

Pemuda ini berbisik-bisik dengan dua gurunya itu untuk menanyakan dimana ibu dan anak itu, dijawab bahwa Swat Lian tak ada sementara Soat Eng juga pergi. Namun karena sewaktu-waktu mereka dapat kembali dan hal itu tentu berbahaya maka Togur meloncat bangun dan dengan cepat dia menyambar dua gurunya itu untuk dibebaskan totokannya.

"Kita pergi, dan jangan lakukan apa-apa di sini!"

Ji-moi dan Toa-ci tentu saja girang. Mereka mengeluh ketika disambar dan dibebaskan totokannya, agak terhuyung dan saat itu Beng An yang berteriak melihat Togur meloncat bangun tiba-tiba menyerang. Anak ini membentak namun Togur tentu saja dengan mudah mengibas. Dan ketika anak itu terpelanting sementara Togur tak berani menangkapnya, khawatir Beng An melawan padahal dia sendiri baru bebas dari totokan dan masih lemah maka pemuda itu meloncat pergi bersama gurunya.

Toa-ci dan Ji-moi mau menangkap anak itu namun sang murid melarang. Beng An bukan anak sembarang anak dan keributan di antara mereka bakal mengundang bahaya. Siapa tahu Soat Eng atau ibunya ada didekat-dekat situ, hal yang membuat Togur gentar dan karena itu melarikan diri tak meladeni si bocah. Dan karena Ji Pin juga manusia yang dianggap tak berharga dan Togur membentak gurunya agar melarikan diri, mengibas dan memelantingkan Beng An yang kembali menyerang maka mereka meloncat dan berkelebat pergi bergandengan tangan.

Beng An membentak dan mengejar tapi lagi-lagi anak itu roboh terbanting. Kalau saja Togur tak khawatir bahwa di dekat-dekat situ mungkin ada Soat Eng atau ibunya tentu pemuda ini akan menyerang dan menangkap Beng An. Tapi anak itu bukan anak sembarang anak. Perlawanan Beng An berarti keributan kecil dan keributan ini berarti waktu.

Sedetik saja dia berulur-ulur waktu mungkin saja Kim-hujin atau Soat Eng datang, apalagi karena anak itupun berteriak-teriak memberi tahu mereka lolos, hal yang membuat Togur khawatir. Maka ketika ketiga kalinya dia membuat anak itu terjungkal sementara subonya diminta mempercepat lari mereka maka Togur mengajak ke belakang di mana di bagian belakang pulau itu terdapat banyak guha dan tebing-tebing tinggi.

Namun sial. Semua guha ternyata pendek, tak dapat dipakai bersembunyi. Paling dalam hanya lima meter saja dan kalau mereka diserang tentu repot. Togur memaki-maki dan mengajak gurunya ke tebing. Siapa tahu di sana ada tempat persembunyian yang baik dan di tempat yang tinggi tentu mereka dapat melihat sekeliling. Tapi ketika di belakang terdengar bentakan dan bayangan Kim-hujin, nyonya cantik itu, berkelebat dan mendatangi mereka maka Togur pucat sementara kedua subonya gemetar.

"Togur, kita dikejar. Cari lubang persembunyian dan cepat bersembunyi!"

Namun celaka lagi, tak ada persembunyian di situ. Lubang-lubang yang diharap ternyata tak ada dan tebing merupakan tembok tinggi yang menjorok ke laut. Ji-moi sampai menggigil ketika bayangan si nyonya semakin dekat, terbang dan sebentar lagi akan menangkap mereka. Dan ketika Togur juga pucat dan mengajak mereka melompat ke tebing yang satu tiba-tiba, tanpa diduga sekali, Ji-moi terpeleset dan jatuh terpelanting ke bawah.

"Aihhhh....!" Nenek itu melengking. Ji-moi baru saja pulih totokannya dan seperti biasa orang yang baru tertotok maka tenaga atau kekuatan orang ini belum sepenuhnya didapat. Ji-moi juga begitu.

Dan karena nenek ini ditambah rasa takutnya oleh kedatangan Swat Lian, nyonya yang lihai itu maka kekuatan atau tenaga nenek ini belum apa-apa sudah berkurang dan ketika dia melompat ternyata lompatannya tak sampai di tebing yang dituju. Nenek itu hanya mencapai pinggiran dan celaka sekali pinggir tebing licin dan berlumut. Nenek itu terpeleset dan jadilah dia terbanting ke bawah, ke laut lepas. Dan ketika nenek itu berteriak ngeri dan tubuhnya meluncur jatuh maka laut yang ganas dan tiba-tiba berombak langsung menerima tubuhnya.

"Byurrr...!" Untuk selanjutnya nenek itu hilang. Ji-moi dilanda rasa takutnya dan nenek iblis itu tak dapat menguasai diri. Biasanya, kalau dia tenang dan cukup mantap maka hal itu tak perlu terjadi. Namun bentakan dan lengkingan sang nyonya membuat bulu kuduknya berdiri. Dia tadi mau dibunuh dan hanya karena ada Thai Liong di sana maka tak sampai terbunuh. Kini si nyonya tak bakal mengampuni. Mereka melarikan diri dan itu adalah dosa besar.

Rasa takut dan ngeri membuat Ji-moi kehilangan keberanian dan belum apa-apa semangatnya sudah seolah terbang. Maka begitu dia terpeleset dan tak dapat menguasai diri, terpelanting dan jatuh ke bawah maka tubuh nenek itu sudah diterima gelombang yang ganas dan entah bagaimana tiba-tiba saja laut di sekitar situ bergolak.

"Ji-moi...!" Toa-ci berseru pucat. Nenek itu memekik dan melihat adiknya lenyap ditelan ombak. Tempat itu begitu tinggi dan tingginya tak kurang dari tiga pohon kelapa, jadi, hampir seratus meter. Dan ketika Toa-ci terkejut dan Togur juga berseru tertahan, kaget, maka Swat Lian sudah berkelebat dan berada di tebing yang sama.

"Kalian manusia-manusia keparat. Dirobohkan secara baik-baikpun kiranya masih juga melarikan diri. Mampuslah, sekarang tak ada ampun.... des-dess!"

Toa-ci dan Togur mendapat pukulan, dihantam dari jauh dan dua orang itu menangkis. Mereka tak dapat mengelak karena di belakang adalah tempat kosong, satu-satunya jalan ya begitu, menangkis. Tapi begitu mereka menangkis dan pukulan menyambar maka Toa-ci berteriak dan Khi-bal-sin-kang yang dilancarkan si nyonya membuatnya mencelat dan jatuh terpelanting ke bawah, tinggi sekali.

"Byuurrrr....!"

Suara itu panjang dan lama. Toa-ci terlempar dan jatuh ke laut. Nenek itu memekik dan ngeri berteriak di bawah. Siapapun tak dapat menolongnya lagi kalau sudah begitu. Ombak bergulung tinggi dan menyambut nenek ini pula, seperti Ji-moi. Dan ketika Toa-ci lenyap dan Togur terpental tapi berjungkir balik ke bawah, turun kembali maka si nyonya sudah menerjang dan membentaknya kembali. Bertubi-tubi melepas pukulan dan tamparan dan Togur mengeluh. Dia kalah kuat dan betapapun harus mengakui kelihaian lawan.

Nyonya itu berkelebatan cepat dengan gabungan Jing-sian-eng dan Cui-sian Gin-kangnya, kabur matanya. Dan ketika sebuah pukulan menghantamnya dan mengenai telak maka Togur mencelat dan terlempar ke bawah, siap meluncur ke air di bawah tapi pemuda itu lihai menggerakkan kaki tangan. Dengan indah dan luar biasa Togur berhasil menyambar ujung tebing yang kebetulan menjorok ke tengah, mencengkeram dan bergelantungan di situ, seperti kelelawar. Dan ketika Swat Lian tertegun dan terbelalak di atas sana, menghentikan serangannya maka pemuda itu tertawa bergelak mengejek lawan.

"Ha-ha, seranglah aku, Kim-hujin. Mari dan datanglah ke sini!"

"Keparat!"Swat Lian bingung. "Kau tak pantas diampuni, Togur. Serahkan Cermin Naga atau aku akan turun ke bawah dan tanganmu kubabat!"

"Ha-ha, turunlah, babatlah. Kalau kau berani tentu aku akan menyambut pedangmu dan kita sama-sama terjun ke bawah!"

"Hm!" sebuah suara tiba-tiba terdengar di udara. "Kau dapat mengancam isteriku, tapi tidak kepadaku, Togur. Aku dapat mengangkat tubuhmu naik ke sana dan serahkanlah baik-baik barang yang bukan menjadi milikmu."

"Kim-mou-eng!" Togur pucat, berseru tertahan, melihat seseorang berdiri di sana dan Pendekar Rambut Emas itu tiba-tiba menepuk kedua tangannya. Cepat bagai siluman tahu-tahu pendekar itu telah berubah ujud sebagai gulungan asap putih, turun dan melayang ke bawah. Siap menangkap dan membawa naik pemuda ini, dengan Pek-sian-sutnya. Dan ketika Togur terbelalak dan pucat berseru tertahan tiba-tiba pemuda itu melepaskan pegangannya dan dengan nekat sambil menggigit bibir ia pilih mati kecebur di laut daripada ditangkap.

"Heiii... byuuurrrr!"

Air muncrat tinggi. Sama seperti dua subonya tadi Togur tahu-tahu telah terjatuh ke laut, bukan tidak sengaja melainkan justeru disengaja. Pemuda itu memilih ditelan ombak daripada menyerah, yang berarti menyerahkan Cermin Naga. Dan ketika Togur terpelanting dan bayangan putih itu berhenti di udara, mengambang, maka Swat Lian yang berteriak kecewa di atas sana tertegun dan pucat.

"Jahanam, keparat jahanam. Terkutuk!"

Bayangan lain berkelebat. Soat Eng tahu-tahu muncul di belakang ibunya dan melihat kejadian itu. Ombak berbuih dan bergulung dua kali, menghempas dan menghantam batu karang di bawah sana, menggelegar. Dan ketika ombak surut lagi namun bayangan Togur maupun subonya tak tampak kelihatan maka gadis itu mendelong sementara ibunya tiba-tiba menangis sambil membanting kaki.

"Jahanam, terkutuk keparat. Ah, aku tak dapat merampas milikmu, ayah. Aku gagal menghabisi musuh-musuhmu. Maafkan aku!"

Bayangan kuning emas berkelebat. Pendekar Rambut Emas muncul setelah membuang Pek-sian-sutnya. Dia tadi bermaksud merampas dan menangkap Togur, tak mengira bahwa pemuda itu akan bersikap nekat dengan memilih mati di bawah daripada ditangkap. Sikap yang menunjukkan betapa keras dan kakunya watak pemuda itu. Dan ketika isterinya menangis sambil membanting-banting kaki, kecewa, maka pendekar ini menarik napas memeluk pundak isterinya itu.

"Sudahlah," pendekar ini mencoba menghibur. "Togur telah lenyap bersama Cermin Naga, isteriku. Kematiannya sudah dipilih sendiri dan tak mau menyerahkan barang curiannya. Kita tak dapat berbuat apa-apa, semua sudah terjadi. Biarlah tak perlu kau sesali dan maafkan aku kalau bicara tentang See-ong."

Sang isteri mengguguk. Sebenarnya nyonya ini kecewa sekali kepada apa yang terjadi. See-ong, pembunuh ayahnya, ternyata tak dibunuh dan hanya mendapat hukuman seumur hidup saja. Sedang Togur, pemuda iblis itu, tak dapat dia rampas Cermin Naganya karena keburu memilih mati menerjunkan diri. Ah, kalau saja bukan suaminya yang ada di situ tentu dia akan memaki dan menjadi kalap. Dia terlampau kecewa dan marah oleh semuanya itu. Tapi ketika terdengar seruan Beng An dan anak laki-lakinya itu berkata bahwa kematian Togur dan hukuman See-ong sudah cukup maka nyonya itu menghentikan tangisnya melihat anaknya ini tiba-tiba seperti kakeknya.

"Aku puas melihat semuanya. Itu cukup. Ibu tak usah menangis lagi dan ayah benar."

Swat Lian saling pandang. Bersama suaminya dia tertegun mendengar kata-kata anaknya itu. Beng An seolah bukan anak kecil lagi melainkan seorang dewasa yang tahu baik dan buruk. Sekilas kata-kata itu bukan seperti diucapkan seorang bocah melainkan oleh Hu Beng Kui sendiri, kakek bocah itu. Dan karena suara itu juga terdengar berat dan parau, mirip suara Hu Beng Kui maka Swat Lian tiba-tiba memeluk anaknya ini dan terharu.

"Baiklah, aku tak akan menangis lagi, Beng An. Aku tadi hanya menyesali dan kecewa saja. Kalau kau menganggap itu cukup tentu saja ibu juga akan menganggapnya begitu. Baiklah, sekarang tanya ayahmu apa yang akan kita lakukan."

"Kita pulang," Pendekar Rambut Emas berkata pendek. "Semuanya sudah selesai, isteriku. Kita menemui Cen-goanswe dan setelah itu kembali ke tempat kita sendiri."

"Tapi Liong-koko belum kita temukan" Soat Eng tiba-tiba berseru nyaring. "Aku tak tahu ia dimana, ayah. Aku khawatir akan nasibnya!"

"Benar," sang isteri tiba-tiba mengangguk. "Aku akan mengejar anakku itu, suamiku. Kembali bersama kita dan pulang bersama!"

"Hm, kau tahu bahwa ia bersama Ituchi. Thai Liong akan mengantar Ituchi ke ibunya, tak perlu kita khawatir. Dia akan pulang menyusul kita."

"Tapi..."

"Sudahlah," sang suami memegang lengan isterinya. "Aku tahu apa yang terjadi, niocu. Aku sudah mengerti apa yang terjadi. Kau tak perlu menyesali lagi karena semua itu sedang berlangsung dalam keadaan emosi. Thai Liong tahu akan itu, tak usah khawatir. Kita menunggu saja putera kita itu di rumah dan mari sekarang pulang!"

Swat Lian terisak. Sebenarnya perasaan bersalah masih saja mengganggu hatinya. Dia ingin menyusul dan mengejar Thai Liong, meminta maaf, memeluk dan minta agar pemuda itu tak marah atas semua sikap dan kata-katanya. Tapi karena sang suami sudah berkata seperti itu dan suaminya itu tampaknya tahu dan mengerti apa yang telah terjadi maka iapun memeluk dan minta maaf pada suaminya itu pula.

"Sudahlah, sudah. Tak ada yang perlu disesali lagi, niocu. Aku tahu dan maklum benar akan kekecewaanmu terhadap See-ong. Aku mengerti itu. Semua sikap dan kata-katamu karena dorongan marah itulah. Sekarang kita pulang dan jangan pikirkan hal-hal yang dapat memberatkan hati sendiri."

"Dan Siang Le?"

"Dia akan menjaga gurunya. See-ong sudah tak seberbahaya dulu lagi karena ilmunya Hek-kwi-sut telah kuhancurkan."

Sang nyonya melepaskan dirinya. Akhirnya dia mengangguk dan menuruti semua kata-kata suaminya itu. Siang Le ditemui sekali lagi dan janji serta sumpah pemuda itu diingatkan. Siang Le mengangguk dan berkali-kali menyatakan tekadnya. Ia akan memegang teguh kata-kata sendiri dan tak akan keluar dari Sam-liong-to, tanpa ijin atau perkenan Pendekar Rambut Emas. Dan ketika dia berjanji bahwa tak akan melepaskan gurunya, yang berteriak-teriak dan memaki di atas maka Pendekar Rambut Emas tersenyum menepuk pundak pemuda itu.

"Baiklah, selamat tinggal, Siang Le. Bakti dan kesetiaanmu terhadap guru sungguh membuat aku kagum. Jaga dan tepati kata-katamu sendiri."

Pendekar Rambut Emas memutar tubuh. Akhirnya dia meninggalkan Sam-liong-to dan anak isterinya ikut. Ji Pin juga ikut dan dua gorila besar juga dibawa. Beng An menghendaki dua binatang itu menjadi miliknya dan siap menjadi teman sepermainan Siauw-houw, yang ditinggal di tempat Cen-goanswe. Dan ketika perahu membawa rombongan itu dan Siang Le tertegun di pantai, melihat dengan pandangan kosong maka Soat Eng yang terakhir kali melompat di atas perahu tampak terisak dan tadi secara diam-diam mendapat tatapan lembut dari murid See-ong itu.

"Aku tak dapat mengantar jauh. Selamat tinggal dan hati-hatilah di perjalanan, Kim-siocia. Semoga kau bahagia dengan ayah ibumu dan jangan pikirkan aku dan guruku."

Soat Eng melengos. Tatapan dan kata-kata lembut itu membuatnya tak tahan. Entahlah, melihat Siang Le tak boleh keluar dari Sam-liong-to tiba-tiba saja membuat dia kasihan. Ada semacam keharuan dan kekaguman di hatinya terhadap pemuda itu. Siang Le ditahan karena ingin menjaga gurunya. Dia diikat janji dan sama saja menjalani hukuman seumur hidup. Pemuda itu tak akan dapat kemana-mana meskipun bisa, kalau dia mau. Dan ketika tatapan lembut itu mengiringinya sebelum berangkat maka Soat Eng tergetar dan aneh sekali bayangan atau senyum pemuda itu tak dapat dilupakannya!

Dalam perjalanan Soat Eng akhirnya menjadi pendiam. Dia tak banyak bicara dan tatapan matanya sering tertuju ke Sam-liong-to. Di sanalah seorang pemuda yang ganjil mengganggu perasaannya. Siang Le yang sudah dikenal semakin membuatnya lebih dikenal lagi. Pemuda yang tak pantas menjadi murid See-ong itu mulai menggetarkan kalbunya. Teringatlah See-ong akan cinta dan tutur kata pemuda itu. Teringatlah dia semasa mereka menjadi tawanan Hauw Kam dan Gwan Beng dimana pemuda itu berkali-kali minta diseret menggantikan dirinya.

Siang Le memang mencintainya, pemuda itu sudah berkali-kali menyatakan perasaan hatinya namun selama ini dia dingin-dingin saja. Entahlah, mungkin dia yang angkuh atau karena watak baik pemuda itu masih diragukannya. Memang dia masih ragu dan kurang percaya kepada Siang Le. Pemuda itu murid seorang tokoh iblis. Dan karena biasanya kalau guru jahat pasti murid juga tak kalah jahat maka selama ini dia ragu dan menyangsikan pemuda itu. Namun Siang Le sekarang menunjukkan watak yang menggetarkan semua orang.

Dia minta agar gurunya diampuni dan dialah yang menggantikan jiwa gurunya kalau mau dibunuh. Siang Le siap membayar dosa gurunya dengan jiwa sendiri, sebagai ganti atau balas jasa untuk semua budi kebaikan gurunya. Dan ketika gurunya diampuni namun hendak dibuang tiba-tiba saja pemuda itu sekali lagi minta agar biarlah gurunya itu bersamanya dan dia akan menjaga serta merawat gurunya itu. Satu pembelaan gigih dari seorang murid yang benar-benar ingin menyelamatkan gurunya.

"Kalau Kim-taihiap hendak membuangnya biarkan masukkan aku sekalian bersama guruku itu. Biar aku mati bersama guruku di dalam!"

Soat Eng terngiang-ngiang kata-kata itu. Betapa hebat dan mengagumkan. Dan ketika ayahnya terpaksa mengabulkan dan memenuhi permintaan pemuda itu, menjepit See-ong di puncak Istana Hantu dan memperkenankan pemuda itu menjaga gurunya maka Siang Le sudah diikat janji dan sumpahnya.

Sekarang, apakah pemuda itu dapat menepati janji? Benarkah dia akan menjaga gurunya dan tidak keluar dari Sam-liong-to? Bagaimana kalau bohong? Dan ketika Soat Eng diganggu pertanyaan-pertanyaan ini dan rupanya ibunya juga berpikir tentang hal yang sama maka ibunya itu melontarkan pertanyaan ini ketika mereka semua akhirnya tiba di daratan besar, meloncat turun.

"Membiarkan pemuda itu sendirian bukanlah hal yang cerdik. Bagaimana kalau dia melanggar janji dan pergi dari Sam-liong-to? Kupikir harus ada yang mengawasinya, suamiku. Siapa tahu dia lari dan kabur!"

"Hm, aku percaya padanya. Tapi kalau ingin diawasi tentu saja aku tak keberatan. Siapa yang akan mengawasi dan bagaimana kau pikir?"

"Aku ingin mengawasinya sendiri. Aku siap kembali ke sana!"

"Hm, seorang isteri tak boleh meninggalkan rumah. Kalau kau setuju biarlah Eng-ji saja yang kembali ke Sam-liong-to!"

"Apa?"

"Benar. Tenagamu dibutuhkan di rumah, niocu. Beng An tentu tak boleh selalu ditinggal ibunya. Aku percaya pada Eng-ji dan biar dia yang mengawasi pemuda itu!"

Soat Eng tersirap. Tanpa diduga dan tanpa dinyana tiba-tiba saja ayahnya menunjuk dirinya. Dia diminta kembali ke Sam-liong-to dan mengawasi Siang Le. Ah, cocok sekali seperti apa yang dia inginkan! Dan ketika dia terbelalak dan terkejut mendengar kata-kata ayahnya itu maka ibunya tampak tertegun memandang padanya.

"Eng-ji? Puteri kita ini?"

"Ya, aku percaya padanya, niocu. Dan Siang Le mau pun See-ong tentu dapat diatasinya baik," dan tidak menunggu jawaban ibunya apakah setuju atau tidak tiba-tiba sang ayah sudah menghadapi dirinya. "Eng-ji, kau tahu bahwa Siang Le memang harus diawasi, kekhawatiran ibumu beralasan. Kau kembalilah ke sana dan berilah laporan setiap minggu kepada kami. Kaulah yang paling tepat menjaga di sana!"

Soat Eng gugup dan bingung. Tak dapat disangkal bahwa sebenarnya dia girang sekali mendapat tugas ini. Cocok dan sesuai keinginannya. Ah! Tapi karena yang diawasi adalah Siang Le dan betapapun ayah ibunya tahu bahwa Siang Le ada 'apa-apa' dengannya maka diapun jengah dan coba mengelak dengan muka merah padam.

"Tapi, ayah," katanya. "Bukankah Siang Le pemuda yang dapat dipercaya? Kukira tanpa diawasipun tak mungkin dia meninggalkan pulau!"

"Aku juga begitu, tapi ibumu lain. Sudahlah, kau tenangkan hati ibumu dan awasi pemuda itu dari jauh. Kalau dia lari, tangkaplah. Aku tahu bahwa kau dapat mengatasi pemuda itu dan See-ong pun sudah tidak berbahaya untukmu!"

Soat Eng kalah bicara. Ayahnya sudah mengulapkan lengan dan disuruh berangkat, perahu diserahkan padanya dan berkelebatlah ayahnya itu mengajak yang lain-lain. Dan ketika Soat Eng bengong namun akhirnya berangkat juga, gemetar, maka di sana Swat Lian menegur suaminya.

"Kau ini..." katanya. "Kenapa menyuruh anak kita menjaga seorang pemuda? Apa kata orang kalau diketahui yang usil mulutnya?"

"Hm, tak usah khawatir," Pendekar Rambut Emas tersenyum. "Aku yang ganti mengawasi anakku itu, niocu. Kau tenanglah dan diam saja di sini."

"He, maksudmu...?"

"Ssst," sang suami memotong. "Aku juga tak membiarkan anak gadisku begitu saja, isteriku. Dia mengawasi Siang Le dan aku yang mengawasi dirinya. Aku akan ke Sam-liong-to secara diam-diam dan kau lanjutkanlah perjalanan bersama Beng An!"

Sang isteri tertegun. Suaminya itu tertawa dan sadarlah dia bahwa suaminya ini melakukan perbuatan yang bagus sekali. Gerak-gerik Soat Eng akan diawasi sementara Soat Eng sendiri mengawasi gerak-gerik Siang Le. Masing-masing sama tak tahu dan legalah nyonya itu mengangguk-angguk, tersenyum, tiba-tiba suaminya itu telah berkelebat dan kembali ke Pulau Tiga Naga, menyuruh dia kembali bersama Beng An dan Ji Pin ke utara.

Dan begitu sang suami lenyap dan Ji Pin terlongong-longong, mendengar pembicaraan itu, maka Soat Eng di sana tak tahu bahwa diam-diam ayahnya di belakang, menyusul. Pendekar Rambut Emas memang tak membiarkan puterinya itu begitu saja. Di sana ada dua laki-laki meskipun See-ong sudah dilumpuhkan, sementara Siang Le boleh dianggap pemuda baik-baik yang tak mungkin mengganggu Soat Eng.

Dan ketika Soat Eng mendarat di Sam-liong-to sementara Pendekar Rambut Emas juga diam-diam membayangi puterinya maka Hauw Kam dan Gwan Beng yang tertinggal dan terlupa di situ dijumpai Pendekar Rambut Emas ini. Kim-mou-eng terkejut bahwa dalam sibuk dan banyaknya urusan membuat dia dan isterinya melupakan dua orang itu. Gwan Beng terluka sementara Hauw Kam juga mendapat beberapa pukulan, meskipun tak separah suhengnya itu. Dan ketika Pendekar Rambut Emas menolong dan bertemu lagi maka tugas akhirnya diserahkan kepada dua orang ini.

"See-ong sudah kutangkap, kutawan. Muridnya menjaga di sini dan Soat Eng diminta ibunya untuk mengawasi atau menjaga pemuda itu. Kalian bantulah aku mengawasi puteriku itu dan kalau ada apa-apa beritahulah padaku dan cepat ke utara. Kalian sanggup?"

Hauw Kam tentu saja sanggup. Sambil menjaga dan merawat suhengnya di situ maka pekerjaan mengawasi Soat Eng bukanlah pekerjaan sukar. Apalagi gadis itu keponakan mereka sendiri. Dan ketika Pendekar Rambut Emas minta agar tugas itu dilakukan secara rahasia, artinya jangan sampai diketahui siapapun maka Hauw Kam mengangguk dan berjanji melaksanakan perintah.

"Baiklah, kami akan mengawasi puterimu itu, meskipun sebenarnya kami percaya pada pemuda itu karena Siang Le bukan pemuda kurang ajar yang suka mengganggu atau menggoda wanita!"

"Aku tahu, tapi betapapun Soat Eng juga harus dijaga, ji-heng (kakak kedua). Karena betapapun See-ong ada di sini!"

"Hm, kau apakan dia?"

"Kukerangkeng, Hek-kwi-sutnya telah kuhancurkan. Tapi meskipun kakek itu tidak berbahaya namun sikap atau kata-katanya mungkin dapat merubah tindak-tanduk Siang Le!"

Hauw Kam mengangguk. Sekali lagi dia berjanji bahwa tugas mengawasi Soat Eng akan dilaksanakannya baik-baik. Dan ketika Hauw Kam berkata bahwa Siang Le mencintai Soat Eng, hal yang disambut senyum pendekar itu maka Pendekar Rambut Emas berkelebat meninggalkan Sam-liong-to.

"Urusan itu sudah lama kuketahui. Tapi sesuatu masih perlu dibuktikan!"

Hauw Kam mengerutkan kening. Dia tak tahu apa yang dimaksud pendekar itu. Tapi ketika Pendekar Rambut Emas lenyap dan suhengnya mengeluh membuka mata maka laki-laki itu girang karena muka suhengnya yang tadi pucat sudah berubah merah setelah ditempel Pendekar Rambut Emas tadi, yang mengalirkan sinkangnya memberi pengobatan, di samping tujuh butir pil yang harus ditelan. Dan ketika Gwan Beng diberi tahu dan bersinar mendengar ini maka selanjutnya tugas Pendekar Rambut Emas sudah dipegang dua orang ini sementara Soat Eng sendiri diam-diam mengawasi Siang Le dan tak tahu bahwa dirinyapun diawasi!

* * * * * * * *

"Bodoh, keparat jahanam. Apa artinya ini, Siang Le? Kenapa kau membiarkan aku ditawan dan menunggu seperti anjing menunggu tikus? Bedebah kau, terkutuk jahanam. Sungguh membuat aku malu dan lebih baik mampus!"

Siang Le menarik napas berulang-ulang. Dia tak menghiraukan semua makian dan cercaan gurunya. Apa yang diminta gurunya selalu dituruti kecuali membuka kerangkeng. Seminggu sudah See-ong marah-marah di atas tapi sang murid diam tak menjawab. Segalanya ditelan tanpa banyak menjawab. Segalanya ditelan tanpa banyak cakap dan See-ong mencak-mencak di sana. Dan ketika seminggu lewat lagi dengan cepat dan See-ong geram melihat kebisuan muridnya itu maka kakek ini minta agar Siang Le melepas dirinya, untuk kesekian kalinya membujuk.

"Kalau kau berbakti dan benar ingin berbakti maka bukalah pintu kerangkeng ini. Atau kau bunuh aku dan biar gurumu mampus tak mengalami hinaan!"

"Maaf," sang pemuda menjawab. "Untuk ini aku tak dapat membantumu, suhu. Kalau kau anggap aku tak berbakti silahkan kau bunuh aku dan aku tak melawan."

"Jahanam, kemarilah. Kalau begitu biar kubunuh kau dan tak apa mempunyai murid model begini!"

Siang Le mendekat. Tanpa ragu atau takut dia menghampiri gurunya itu. See-ong sudah marah-marah dan beringas di sana, matanya melotot. Dan ketika Siang Le mendekat dan berlutut di depan kerangkeng, pasrah, tiba-tiba saja kakek itu menyambar dan mencengkeram kepala muridnya.

"Biar kubunuh kau!" See-ong gusar, jari terulur dari dalam dan tahu-tahu ubun-ubun muridnya sudah ditotok. Totokan ini akan membuat muridnya binasa dan See-ong ingin membuktikan apakah benar muridnya menerima atau melawan. Tapi ketika sang murid diam saja dan kepasrahan total tampak di wajah pemuda itu maka kakek ini tertegun dan totokan yang menyambar ubun-ubun berubah menjadi tamparan yang mengarah muka.

"Plakk!" Siang Le terpelanting. Untuk selanjutnya dia diminta mendekat lagi dan tamparan atau pukulan kakek itu bertubi-tubi mendarat di tubuhnya. Siang Le mengeluh dan diam saja tak melawan. Dia sebenarnya dapat menjauh namun tak mau. Kalau guru minta mendekat maka mendekatlah dia, hanya untuk digaplok atau dihajar! Dan ketika pemuda itu babak-belur dan See-ong melotot maka kemarahan kakek itu reda tapi bukan berarti kegusarannya lenyap.

"Ke sini!" teriaknya. "Aku ingin kencing, murid jahanam. Buka mulutmu dan terima kencing gurumu!"

"Apa?" Siang Le terkejut. "Suhu minta aku minum kencing dirimu?"

"Ya, kau murid keparat. Aku tak dapat membunuhmu namun aku merasa sakit hati atas semua sikapmu. Nah, buka mulutmu dan terima kencingku untuk pembalas budi yang pernah kuberikan padamu!"

Siang Le pucat. Dia terbelalak dan sudah melihat gurunya itu membuka celana, tak malu-malu, langsung menunjukkan bagian yang paling ganjil itu kepada muridnya. Tapi ketika sang guru membentak dan Siang Le diminta membuka mulut maka pemuda yang ingin membalas budi ini berlutut dan membuka mulutnya untuk menerima kencing sang guru!

"Siang Le...!" bentakan itu tiba-tiba membuyarkan semua konsentrasi See-ong. Kakek ini sudah mengucurkan air seninya dan siap meluncur ke mulut Siang Le. Tapi begitu sebuah bayangan berkelebat dan Siang Le ditendang maka pemuda itu terlempar sementara air kencing itu muncrat tinggi dan mengenai muka See-ong sendiri.

"Jahanam keparat!" bayangan itu sudah berdiri tegak, merah padam. "Kau tak tahu malu, See-ong. Kau menjijikkan dan keji. Kau iblis tak berjantung!"

See-ong terkejut. Soat Eng sudah berdiri di situ dan tentu saja dengan cepat ia menutup kembali kancing celananya. Kakek itu tertegun namun tiba-tiba tertawa bergelak. Dan ketika sebuah sinar keji memancar dari mukanya dan Siang Le yang melompat bangun di sana tampak terkejut tapi girang, tak menyangka, maka kakek itu berseru kenapa Soat Eng tiba-tiba muncul di situ, mau apa.

"Aku mendapat tugas ayah untuk melihat kalian guru dan murid. Siapa tahu kau membujuk muridmu dan Siang Le melanggar janji. Bedebah, dua minggu ini aku sudah melihat gebukan dan tamparanmu, See-ong. Aku diam saja karena kunilai tak melewati batas. Tapi kalau sekarang kau menyuruh muridmu minum air kencingmu maka ini sudah merupakan perbuatan tak bermoral dan kau pantas dikutuk!"

"Ha-ha, pembelaan seorang bocah. Eh, kau beruntung mendapat teman di sini, Siang Le, puteri Pendekar Rambut Emas lagi, gadis yang cantik jelita. Ha-ha, rupanya dia jatuh hati kepadamu!"

"Suhu!" Siang Le tiba-tiba membentak. "Jangan kau menghina Kim-siocia!" dan beringas memandang gurunya tiba-tiba saja pemuda yang semula banyak mengalah dan mau menelan semua hinaan itu tiba-tiba berubah seperti seekor harimau yang galak dan ganas.

Tapi Soat Eng yang tak mau mendengar kata-kata See-ong yang tentu kotor dan memerahkan telinga tiba-tiba menyambar lengan pemuda itu diajak pergi. "Kita keluar, jauhi kakek tak tahu malu ini!" dan berkelebat meninggalkan See-ong yang berteriak-teriak maka Soat Eng sudah di luar Istana Hantu dan kini berhadapan dengan pemuda itu, melepaskan cekalannya. "Kau!" gadis ini tak puas. "Kenapa menurut saja semua perintah gurumu, Siang Le? Tidakkah kau mempunyai otak dan berpikiran sehat? Kau sinting dan tidak waras. Sikapmu merendahkan martabat!"

"Maaf," Siang Le merah mukanya. "Aku memang sinting dan barangkali tidak waras, Kim-siocia. Taip semua itu demi membalas budi guruku. Aku tak dapat melakukan yang lebih selain itu. Aku tak berdaya."

"Bodoh! Di mana otakmu? Masa guru menyuruh minum kencing kau juga mau? Eh, pergunakan pikiran sehatmu, Siang Le. Kau bisa diperlakukan seperti anjing oleh gurumu!"

"Aku rela," pemuda itu menunduk. "Nyawa pun siap kukorbankan, Kim-siocia. Kalau tadi hanya disuruh begitu saja kuanggap ringan..."

"Dan tadi kau hampir dibunuh!"

"Itu lebih baik."

"Tapi gurumu mengganti dengan tamparan! Terkutuk. Hampir saja aku meloncat menghantam gurumu, Siang Le, kalau saja aku tidak melihat totokannya dirubah menjadi tamparan. Ah, kau terlalu mengalah dan mau diinjak-injak. Kau tak berkepribadian, lemah!"

Pemuda ini memandang kosong. Soat Eng yang akhirnya memaki-maki dan mengatainya bodoh dan tolol diterima saja dengan tenang. Sikapnya begitu kalem dan penyabar. Soat Eng akhirnya tertegun melihat pemuda itu tersenyum, setelah dia mengeluarkan semua kesal dan marahnya. Dan ketika dia membentak kenapa pemuda itu tersenyum, padahal dia marah-marah dan membela pemuda itu tiba-tiba Siang Le menyambar lengannya dan berbisik,

"Kim-siocia, apa arti semua pembelaanmu ini? Apakah kau, maaf... menerima cintaku? Bolehkah kutafsirkan bahwa kembalimu ke Sam-liong-to ini untuk mengasihani dan membalas cintaku? Maaf, aku memang bodoh dan tolol, siocia. Aku murid guruku yang jahat. Namun aku bukanlah manusia yang tak tahu membalas budi. Benar atau salah guruku tetaplah guruku. Baik atau jahat dia tetaplah See-ong yang sudah melepas budi kepadaku. Aku girang kau datang tapi sekaligus juga khawatir bahwa kau akan terlibat urusan yang tidak enak!"

Soat Eng tertegun. Dua pasang mata mereka beradu dan tiba-tiba saja gadis ini tergetar. Tak dapat disangkal, bahwa selama dua minggu ini dia sudah menaruh kekaguman yang bertambah terhadap Siang Le. Pemuda ini sungguh lain dengan gurunya dan bagaikan langit dengan bumi, menyolok! Tapi begitu Siang Le bicara tentang cinta dan perasaannya terguncang tiba-tiba saja gadis ini menarik lepas tangannya dan merah padam. "Aku... aku datang atas perintah ayah. Bukan untuk urusan itu!"

"Hm, maaf. Kalau begitu aku salah. Baiklah, tugas atau tidak tugas tetap saja aku ingin mengulang perasaanku kepadamu, Kim-siocia. Bahwa aku mencintaimu dan mengharap balasanmu. Tapi aku tak memaksa, aku tahu diri. Aku adalah murid See-ong yang jahat!" dan tergetar memejamkan matanya, tertusuk oleh kenyataan ini tiba-tiba Siang Le mundur dan membungkuk. "Siocia, terima kasih atas pembelaanmu kepadaku tadi. Tapi maaf, aku harus kembali kepada guruku. Jangan khawatir bahwa aku tak akan meninggalkan Sam-liong-to sesuai janji ksatriaku!"

"Tidak!" Soat Eng tiba-tiba pucat. "Kau... kau jangan kembali ke sana, Siang Le. Gurumu bisa minta yang tidak-tidak dan aku tak mau melihat itu!"

"Hm, kenapakah? Yang menjalani adalah aku, siocia, bukan kau. Aku tak apa-apa demi membalas kebaikan guruku."

"Tidak, jangan...!" dan Soat Eng yang pucat mencengkeram pemuda itu tiba-tiba ngeri membayangkan Siang Le harus minum air kencing gurunya. See-ong dapat memaksa pemuda itu dan apapun pasti dilaksanakan Siang Le, asal tidak membuka pintu kerangkeng. Dan ketika Soat Eng gemetar dan meledak dalam kebingungan tiba-tiba saja gadis itu menangis! "Siang Le, jangan pergi kepada gurumu. Kakek itu iblis, jahanam tak berjantung. Kau di sini saja dan jangan dekat-dekat dengannya!"

Siang Le tertegun. Soat Eng tiba-tiba saja mengguguk dan meremas dadanya. Gadis yang tak berani membayangkan perbuatan See-ong itu tampak ngeri mencegah pemuda ini. Siang Le dicengkeram. Dan ketika Siang Le terkejut tapi memeluk gadis itu, terguncang, tiba-tiba saja Siang Le bertanya apa arti semuanya ini.

"Aku... aku tak tahu. Tapi aku tak rela kau melaksanakan semua perintah gurumu yang kotor!"

"Kalau begitu..." Siang Le gemetar. "Apakah ini berarti kau menerima cintaku, Kim-siocia? Apakah aku tak bertepuk sebelah tangan?"

"Aku tak tahu," Soat Eng tersedu. "Tapi aku tak rela kau dihina dan direndahkan gurumu, Siang Le. Gurumu itu manusia keji yang tak bermoral! Aku... aku..."

Soat Eng mengguguk, sudah berguncang dipeluk pemuda itu dan Siang Le merasa betapa getaran keras melanda kalbunya. Soat Eng mencengkeram dan menyuruhnya tak usah dekat gurunya. Gurunya itu akan memaksanya meminum air kencing. See-ong sedang diamuk kecewa dan sakit hati. Dan ketika Siang Le berkata bahwa itu adalah urusannya, bukan urusan Soat Eng maka gadis itu menggeleng dan menangis keras-keras.

"Tidak, kau salah. Melihat kau melaksanakan perintah gurumu sama halnya merobek-robek hatiku, Siang Le. Aku akan benci dan marah sekali kalau kau kehilangan martabat. Kau turut kata-kataku atau aku akan benci dan marah kepadamu seumur hidup!"

Siang Le tertegun. Soat Eng sudah memandangnya begitu pasti dan pandang mata atau kata-kata gadis ini menggetarkan sekali. Siang Le tersentak dan tiba-tiba terlihatlah bayangan kasih di balik keberingasan kata-kata itu. Siang Le menangkap getaran lembut dan pandangan mesra dari puteri Pendekar Rambut Emas ini, yang kalau tidak dituruti bakal berubah seperti prahara di gurun yang tenang. Dan ketika dua mata beradu dan Siang Le tertegun dan tergetar, tiba-tiba, entah siapa yang bergerak lebih dulu tahu-tahu mereka sudah berpelukan dan Siang Le mencium mulut gadis itu, menggigil.

"Kim-siocia, kalau begitu kau menerima cintaku?"

Soat Eng mengeluh. Dipeluk dan disambar pemuda ini tiba-tiba dia roboh dan lunglai. Dekapan dan ciuman Siang Le dibiarkan. Mereka tiba-tiba hanyut dalam badai asmara yang menggebu. Soat Eng membiarkan saja hidung dan pipinya diciumi. Dan ketika Siang Le merah padam dan bahagia serasa mendapat bintang dari langit maka selanjutnya gadis itu mengeluh dan terisak-isak di dada sang pemuda.

Siang Le gemetar dan tak tahan lagi menerima kebahagiaan ini. Dia seakan mimpi tapi segera yakin ketika ciuman-ciumannya dibiarkan. Soat Eng akhirnya rebah dan lemas di pelukannya. Dan ketika bisikan atau kata-kata lembut keluar dari mulut pemuda ini sementara Soat Eng tak mampu menjawab apa-apa maka berkelebatlah dua bayangan yang tertawa bergelak.

"Ha-ha, inilah hasilnya. Sudah kuduga kau bakal menerima cinta pemuda itu, Soat Eng. Siang Le pemuda baik yang kupuji setulus hati. Ah, hampir terlambat kau menerima kekasihmu ini!"

"Hauw-supek! Gwan-supek...!" Soat Eng terkejut, cepat melepaskan diri dan Siang Le juga melepaskan dekapannya. Mereka tak menyangka bahwa dua orang tua itu muncul.

Hauw Kam tertawa-tawa sementara Gwan Beng, suhengnya, tersenyum lebar. Gwan Beng sudah sembuh dari lukanya dan dua minggu ini mereka ikut menyaksikan kesetiaan Siang Le, juga Soat Eng yang diam-diam bertambah kekagumannya kepada pemuda itu, karena pandang mata gadis itu bersinar-sinar aneh dan Hauw Kam sering menyenggol lengan suhengnya, penuh arti. Dan ketika hari itu mereka juga melihat kekejian See-ong di mana Siang Le hendak disuruh minum air kencingnya, hal yang hendak dilaksanakan demi membalas budi maka dua laki-laki itu marah tapi juga terbengong-bengong menyaksikan kesetiaan luar biasa dari pemuda ini.

Bukan main, See-ong betul-betul keji tapi Siang Le pemuda yang mengejutkan. Untuk membalas budi apapun siap dilakukan, demi kesetiaan dan budi baik gurunya itu. Dan ketika mereka juga hendak bergerak tapi sudah didahului Soat Eng, yang muncul dan membentak See-ong maka selanjutnya dua orang ini mengikuti dari jauh apa yang dilakukan Soat Eng. Dan mereka mendengar semua pembicaraan itu. Hauw Kam saling pandang dengan suhengnya dan mereka mengangguk-angguk.

Sesungguhnyalah, mereka sudah tahu kadar cinta Siang Le dan tak perlu ragu menerima pemuda itu. Siang Le bukanlah See-ong dan memang ganjil rasanya melihat kenyataan ini: Seorang tokoh sesat mempunyai seorang murid berwatak baik. Dan ketika mereka tak tahan melihat adegan selanjutnya di mana dua muda mudi itu menemukan kebahagiaannya maka Hauw Kam keluar lebih dulu dan tak ingat lagi pesan Pendekar Rambut Emas.

Dan Soat Eng berdua tentu saja terkejut. Siang Le sampai tertegun dan merah mukanya, terbelalak. Soat Eng juga begitu tapi segera dua orang itu mencekal lengan mereka berdua. Hauw Kam dan suhengnya memang sudah tahu akan cinta di antara dua muda-mudi ini, karena dulu Siang Le melindungi dan membela habis-habisan gadis itu, ketika mereka dalam tawanan Koai-lojin, sewaktu mereka masih belum menemukan kesadaran pikiran sendiri. Maka begitu Soat Eng terkejut sementara Siang Le juga merah padam maka Hauw Kam tertawa menyambar lengan keduanya.

"Tak perlu malu, tak perlu gugup. Kami orang-orang tua sudah tahu kisah kalian ini. Ha-ha, kau girang, anak-anak. Aku gembira. Ah, hampir saja Soat Eng terlambat!"

"Bagaimana supek datang?" Soat Eng akhirnya sadar, bertanya. "Kapan kalian di sini?"

"Ha-ha, kami di sini sejak ayah ibumu kembali, Soat Eng. Ayahmu datang lagi karena agaknya teringat kami. Kau terlalu sibuk, tak tahu kehadiran kami. Ayahmu menyuruh kami menjaga tapi sekarang kami gembira bahwa kalian bahagia!"

Hauw Kam lalu menceritakan asal mulanya, didengar dan tersipu serta merahlah muka gadis itu. Soat Eng memang lupa bahwa dua supeknya yang terluka masih berada di Sam-liong-to. Pikirannya melulu tertuju kepada Siang Le dan apa yang dilihat sehari-hari memang membuat dia lupa kepada yang lain. Maka ketika supeknya selesai bicara dan Siang Le melirik halus kepadanya, tersenyum, maka gadis itu menarik tangannya mencubit gemas.

"Aih, kalau begitu supek nakal. Cih, tak tahu malu mengintai anak-anak muda!"

"Ha-ha, kami disuruh ayahmu. Tak ada maksud mengintai semuanya ini, Soat Eng. Tapi kami bahagia bahwa kalian berdua bahagia. Eh, harus cepat dinikahkan dan kalian menjadi suami isteri!"

"Benar," Gwan Beng, yang tersenyum-senyum dan mengelus jenggotnya tiba-tiba juga bicara. "Sebaiknya menikah dan cepat bersatu, anak-anak. Aku siap membantu tapi entah bagaimana dengan ibu dan guru kalian."

Siang Le tertegun. Yang dimaksud adalah gurunya dan Kim-hujin, ibu Soat Eng. Dua orang itu terlibat permusuhan besar dan betapa berkali-kali dia melihat kebencian Kim-hujin itu kepada gurunya. Gurunya memang telah membunuh Hu-taihiap dan inilah sumber semua malapetaka. Tapi ketika Hauw Kam tertawa dan berkata bahwa itu masalah kecil, karena kalau See-ong tak menyetujui maka dia dapat menjadi wali si pemuda maka apa yang tampak mengganjal itu tiba-tiba seakan tak ada masalah.

"Itu tak perlu dikhawatirkan. See-ong boleh tidak setuju, tapi aku dapat menjadi pengganti. Ha-ha, dan tentang sumoi, wah, kau dapat membujuknya, suheng. Pokoknya nikahkan anak-anak dan jangan dihalangi!"

"Tidak," Siang Le tiba-tiba menggeleng. "Guruku masih hidup, locianpwe. Tak dapat aku menghinanya seperti itu. Aku tetap minta persetujuannya dan biarlah kubicarakan hal ini kepadanya."

"Apa?" Hauw Kam melotot. "Minta persetujuan gurumu yang tidak waras itu? He, kau tak perlu menghargainya terlalu tinggi, bocah. Dia bukan manusia baik-baik dan tak perlu kau menjunjungnya setinggi langit!"

"Betapapun dia guruku," pemuda ini bersikeras. "Tanpa dia tak mungkin aku bisa begini, locianpwe. Mungkin kalau aku tak diambilnya sejak kecil boleh jadi aku sudah mati kelaparan."

"Kalau dia tak setuju?"

"Aku akan membujuknya."

"Kalau dia tak mau dibujuk?"

Siang Le tertegun. "Maaf, semua itu belum kucoba, locianpwe. Biarkan kujalani dulu dan baru kita bicarakan berikutnya kalau nanti buntu!"

Hauw Kam melotot. Untuk kesekian kalinya lagi dia melihat betapa pemuda ini amat menjunjung tinggi gurunya, padahal See-ong adalah datuk sesat yang amat jahat. Kakek yang seperti iblis itu bahkan tak menghargai murid sendiri dan berapa kali Siang Le mengalami hinaan. Tapi Siang Le yang membalasnya dengan kelembutan budi, penuh rasa hormat akhirnya membuat Hauw Kam membanting kakinya dan marah-marah meskipun kagum.

"Kau bodoh!" umpatnya. "Gurumu tak dapat,diajak bicara baik-baik, Siang Le. Bahkan mungkin ini dipergunakan olehnya sebagai kesempatan pribadi!"

"Aku belum mencobanya," pemuda itu tetap tenang. "Dan yang belum kucoba selamanya belum kita ketahui hasilnya, locianpwe. Biarlah aku menghadap guruku dan terima kasih atas kebaikan kalian yang siap menolong aku," pemuda ini lalu menghadapi Soat Eng, berkata bahwa dia akan menghadap gurunya dan persoalan itu akan dibicarakan.

Soat Eng tiba-tiba berdebar dan merah mukanya. Dan ketika gadis itu menyatakan ikut dan si pemuda tertegun, mengerutkan keningnya maka Siang Le akhirnya mengangguk dan berkata, "Baiklah, tapi harap kedua supekmu ini tidak menampakkan diri. Sebaiknya kita berdua saja dan mari menghadap suhu."

Dua orang itu akhirnya bergerak. Mereka memutar tubuh dan Hauw Kam mengepal tinju berkali-kali melihat kelembutan budi pemuda itu. Bukan main. Kalau dia, hmmm... tentu sudah tak perlu menghargai segala guru macam See-ong. Kakek itu tak patut dihargai, kakek itu iblis! Namun ketika Gwan Beng mendesah kagum dan menyuruh sutenya tenang maka secara diam-diam Gwan Beng mengajak sutenya melihat dari jauh. Dan apa yang terjadi?

See-ong tertawa bergelak! "Ha-ha, kau minta restu, Siang Le? Kau ingin gurumu menyetujui perjodohanmu ini? Ha-ha, boleh. Tapi lepaskan aku dan buka kerangkeng ini!"

"Maaf," Siang Le lagi-lagi terkejut, berubah mukanya. "Untuk itu tak dapat aku melaksanakannya, suhu. Kau tahu aku terikat janji dan hanya Pendekar Rambut Emas saja yang berhak mengeluarkanmu dari sini."

"Kalau begitu minta Kim-mou-eng itu mengeluarkan aku, atau aku tak mau merestui pernikahanmu dan gagal!"

"Suhu," Siang Le pucat. "Kim-taihiap tak mungkin mau melepaskanmu dari kerangkeng ini. Kau sudah dijatuhi hukuman seumur hidup. Kau membunuh Hu-taihiap. Mana mungkin meminta yang mustahil? Kau bersalah, suhu. Dan seharusnya untuk penebus dosa kau tak boleh menambah hutang dengan jalan berbuat kebaikan!"

"Ha-ha, aku See-ong. Aku kakek iblis. Kebaikan apa yang harus kulakukan, bocah? Justeru kejahatan yang harus banyak kubuat. Kau jangan mengajari gurumu dan laksanakan saja perintahku atau niatmu ini tak kurestui!"

"Kau memang kakek jahanam!" Soat Eng tiba-tiba bangkit kemarahannya. "Tanpa restumu pun Siang Le dapat menikahi aku, See-ong. Dia dapat mencari wali dan menggantikan kau!"

Kakek ini terkejut. See-ong yang terjepit di gunung-gunungan batu itu membelalakkan mata. Dia menggeram. Gertakan dan ancaman Soat Eng itu membuatnya terhenyak tapi tiba-tiba muka sedih muridnya ditangkap. See-ong mendadak tertawa karena dia tahu bahwa tak mungkin muridnya akan berbuat seperti itu, kalau dia masih hidup. Dan karena dia mengenal watak muridnya dan segala perubahan atau mimik muka muridnya dapat dibaca maka kakek itu terkekeh-kekeh dengan mata mengejek.

"Bocah!" serunya. "Siang Le tak mungkin mau melakukan itu kalau aku masih hidup. Muridku adalah pemuda yang amat berbakti dan tahu hormat. Coba tanyakan pada dia apakah kata-katamu tadi mau dilaksanakan."

Soat Eng berubah.

"He!" kakek itu membentak, tertawa mengejek. "Kau tak berani bertanya? Baiklah, kutanya sendiri!" dan See-ong yang menghadapi muridnya dengan mata bersinar-sinar lalu bertanya, "Siang Le, kau berani melakukan itu kalau gurumu masih hidup? Kau berani mencari pengganti kalau aku masih di sini? Ha-ha, hilang keagungan dan rasa baktimu, bocah. Musnah sudah semua hormat dan kesetiaanmu itu. Kau boleh saja lakukan semua itu, tapi bunuh dulu gurumu dan setelah itu bebas, ha-ha!"

Siang Le pucat. Akhirnya dia menggigil dan menggeleng berulang-ulang. Memang sebelum inipun dia sudah menyatakan bahwa tak dapat dia mencari wali lain kalau gurunya masih hidup. Dia amat berbakti dan setia kepada gurunya itu, meskipun gurunya seorang sesat dan amat jahat. Dan ketika Soat Eng kalah dan diketawai berkali-kali tiba-tiba gadis itu melengking dan berkelebat pergi.

"See-ong, kau memang kakek iblis!"

Siang Le terkejut. Dia melihat gadis ini menangis dan memang Soat Eng gusar. Kalau saja bukan Siang Le tentu dia tak perduli. Tapi, ah... hati ini sudah tertambat pada si pemuda dan justeru kesetiaan dan kebaikan pemuda itulah yang menyentuh hatinya. Terhadap seorang sesat saja Siang Le dapat begitu setia, apalagi terhadap kekasih, isteri! Maka ketika Soat Eng mengguguk dan marah serta jengkel terhadap See-ong, kakek yang tertawa-tawa penuh kemenangan itu maka Siang Le berkelebat dan mengejarnya.

"Eng-moi...!" seruan itu lembut dan penuh perasaan. "Tunggu dulu, berhenti!" dan ketika Siang Le menangkap dan menyambar lengan gadis ini, yang berhenti dan terisak-isak maka Siang Le gemetar mencoba menyelesaikan masalahnya. "Aku bingung, tapi kita harus bicara. Sebaiknya, hmm... kau pulang saja dan biarkan aku berdua dengan guruku."

"Maksudmu?" Soat Eng membelalakkan mata, terkejut. "Kau mau menyuruh aku meminta ayah dan melepaskan gurumu?"

"Tidak... tidak!" Siang Le mengulapkan lengan, memotong cepat. "Bukan itu yang kumaksudkan, Eng-moi. Tapi, ah... aku tak mau melihat kau dihina guruku!"

"Hm, aku tak jelas. Coba beritahu maksudmu itu dan apa yang kau inginkan!"

"Kau tak marah?" pemuda ini pucat, menggigit bibir. "Maksudku... maksudku lupakan saja semuanya ini, Eng-moi. Aku tiba-tiba merasa tak pantas dan malu mendapatkan dirimu setelah melihat sepak terjang guruku itu. Aku... aku persilahkan kau mencari pemuda yang lain saja dan biarlah harapanku kupadamkan."

"Siang Le!" Soat Eng terkejut, berteriak tinggi. "Kau... kau bisa bicara seperti itu? Kau menyuruh aku mencari pemuda lain? Ah, keparat kau. Aku bukan gadis gampangan....plak-plak!" dan Siang Le yang ditampar serta terpelanting roboh tiba-tiba berteriak tertahan dan pecah bibirnya.

Tamparan itu keras dan dalam marah serta kecewanya tiba-tiba saja Soat Eng salah paham. Gadis ini merasa sakit hati dan dipermainkan. Dikiranya Siang Le tak serius dan semua cintanya itu main-main saja. Tapi ketika dua bayangan berkelebat dan Siang Le melompat bangun, terhuyung, maka Soat Eng tertahan kemarahannya oleh bentakan atau seruan dua orang supeknya itu.

"Soat Eng, tahan. Jangan menyerang!" dan Hauw Kam serta suhengnya yang datang dengan cepat lalu berkelebat dan sudah berdiri di antara dua orang muda itu. "Kau gila!" Hauw Kam membentak. "Apa yang kau lakukan ini, Soat Eng? Masa baru berbaik sudah memukul dan menyerang? Kau salah paham, Siang Le tak bermaksud menyakiti hatimu!"

"Siapa bilang?" gadis ini melotot. "Dia... dia menyuruh aku mencari pemuda lain, supek. Siang Le menghina dan menganggap rendah aku!"

"Hm, bukan begitu yang kutangkap," Gwan Beng, supeknya pertama melangkah maju, menarik napas. "Pemuda ini tak bermaksud seperti itu, Soat Eng. Justeru hendak membuatmu bahagia dan tahu diri. Siang Le malu melihat kelakuan gurunya, sikap yang tidak pantas. Dan karena dia menganggap dirimu tinggi sedang diri sendiri dinilai rendah maka dia mau mundur dan rela melepaskan dirimu agar mendapat pemuda yang baik dan jauh lebih pantas dari dirinya sendiri. Itulah yang kutangkap, coba kau tanya dia!"

Soat Eng terkejut. Tiba-tiba saja dia terbelalak dan melebarkan matanya. Apa yang dikata justeru lain sekali dengan apa yang ditangkap. Siang Le memandangnya sendu dan mengangguk. Ah, gadis itu tersentak. Dan ketika Hauw Kam berkata bahwa apa yang dikata twa-supeknya itu benar maka Hauw Kam mencengkeram pundaknya berseru pada Siang Le.

"He, coba beritahukan pada kekasihmu ini bahwa apa yang kami tangkap adalah keliru. Coba kau katakan apakah kata-kata kami tadi benar atau tidak!"

"Benar," Siang Le mengangguk, menarik napas dalam-dalam. "Apa yang kalian tangkap adalah benar, ji-wi locianpwe. Aku memang bermaksud memberikan kebahagiaan kepada Soat Eng sebab aku takut dia selalu menderita dan susah kalau menjadi isteriku, karena guruku adalah See-ong."

"Nah, itu, kau dengar!" Hauw Kam berseru, ganti melotot kepada gadis ini. "Pemuda sebaik itu tak mungkin menghina orang lain, Soat Eng. Diri sendiri lebih baik dikorbankan daripada mengorbankan orang lain. Kau salah paham dan harus minta maaf!"

Soat Eng terisak. Tiba-tiba dia menubruk pemuda ini dan minta maaf, memeluk. Mukapun disembunyikan di dada si pemuda dan pipi Siang Le diusap-usapnya. Soat Eng menyesal sekali kenapa ia tadi menampar kekasihnya itu, pemuda yang demikian baik dan tidak bersalah. Namun ketika Siang Le mendorong tubuhnya dan dengan lembut berkata bahwa tak usahlah dia minta maaf maka pemuda ini menunjuk diri sendiri yang tidak pantas mendapatkan Soat Eng.

"Aku memang mencintaimu, dua supekmu ini tahu benar. Tapi aku khawatir kebahagiaan tak dapat kuberikan padamu, Eng-moi. Aku rela mundur dan biarlah kau cari saja pemuda lain yang jauh lebih pantas daripada aku. Guruku amat jahat, permintaannya tak dapat kupenuhi dan kukira ini akan menjadi penghalang bagi pernikahan kita."

"Tidak!" Soat Eng menggeleng, tersedu. "Aku tak mau mencari pemuda lain, Siang Le. Aku hanya mencintaimu pula. Biarlah gurumu itu tak usah kita hiraukan dan kita berjalan sesuai kehendak kita sendiri!"

"Hm, tak mungkin. Aku perlu restunya, Eng-moi. Dan untuk mendapatkan restu itu suhu meminta kebebasan dirinya. Padahal aku tak sanggup, begitu juga kau. Kupikir kau akan menderita saja kalau menjadi isteriku. Biarlah aku mundur dan kau...."

"Tidak!" Soat Eng tiba-tiba beringas. "Aku tak mau mundur, Siang Le. Kau dan aku memang tidak bisa, tapi ayah tentu dapat. Biarlah kuminta persetujuannya dan kita ke sana!"

"Kita?"

"Ya, kau dan aku. Kita menghadap ayah dan membicarakan hal ini!"

"Maaf," Siang Le tersenyum getir. "Aku sudah berjanji untuk tidak meninggalkan Sam-liong-to, Eng-moi. Dan apapun yang terjadi aku tak mungkin beranjak dari tempat ini, kecuali ayahmu yang mengijinkan dan menemui aku."

"Apa?"

"Kau tahu," pemuda itu lagi-lagi bicara. "Pergi meninggalkan pulau sama halnya melanggar janji, Eng-moi. Aku tak mau itu dan tak suka melanggar janji. Kalau kau mau pergi silahkan, aku menunggu di sini."

"Ooh...!" Soat Eng mundur, terbelalak lebar. "Kau tak melanggar janji, Siang Le. Aku bersamamu, aku yang memberimu ijin!"

"Bukan ayahmu," pemuda ini menggeleng. "Perjanjian bukan kau yang membuat, Eng-moi, melainkan aku dan ayahmu. Kalau kau mau pulang silahkan, aku tetap di sini, sampai ayahmu datang!"

Soat Eng tertegun. Dua supeknya yang mendengar itu sampai mendecak kagum dan diam-diam merahlah muka mereka bahwa pemuda seperti ini sungguh tak patut dijaga lagi. Siang Le demikian gagah dan sportif, pemuda itu jantan! Dan ketika semua kagum dan Soat Eng mencengkeram erat-erat lengan pemuda ini maka Gwan Beng yang dapat melihat kata-kata itu juga tiba-tiba mendesah dan berkata,

"Benar, Siang Le tidak salah, Soat Eng. Tapi kau juga memiliki masalah. Ayahmu mungkin bisa dibujuk namun ibumu belum tentu. Hm, di sini See-ong sedang di sana Hu Swat Lian! Kau sebaiknya pulang dan bicara dengan orang tuamu. Aku agak khawatir melihat ibumu karena apa yang hampir matang bisa saja sewaktu-waktu rusak dan mentah lagi!"

Soat Eng terkejut. Tiba-tiba dia teringat ibunya dan berkerutlah alis yang menjelirit itu. Kalau See-ong menuntut bebas adalah ibunya yang menuntut agar kakek itu dibunuh. Kebencian ibunya tak dapat dibendung lagi dan tiba-tiba saja ia sadar bahwa ia pun punya masalah berat. Siang Le dengan gurunya sedang ia dengan ibunya. Ah, keadaan yang terang tiba-tiba saja terasa menjadi gelap. Dia dan Siang Le benar-benar diancam kegagalan oleh dua orang itu. Ibunya dan See-ong ibarat air dan api, tak ada yang mau mengalah. Dan ketika gadis itu pucat dan ngeri membayangkan ini, menggigil, maka Siang Le sekali lagi berkata agar dia pulang.

"Kembalilah, aku menunggu disini. Kalau gagal tak apa, itu sudah nasibku. Aku siap menghadapi kenyataan asal kau bahagia."

"Tidak," gadis ini menangis. "Kalau begitu biar kutunggu saja ayah datang di sini, Siang Le. Aku takut kalau harus berhadapan dengan ibu!"

"Hm, tak boleh begitu," Gwan Beng tiba-tiba bicara lagi. "Tak berani menghadapi ibumu berarti tak berani menyelesaikan persoalan, anak baik. Biarlah kau kuantar dan mari bersama-sama pulang!"

"Benar," Hauw Kam berseru. "Aku dan twa-supekmu dapat membantu, Soat Eng. Hayo pulang dan kita selesaikan saja!"

Soat Eng tertegun. Dua orang supeknya itu sudah mencekal lengannya dan mereka tampak penuh harap. Tapi membayangkan ibunya dan hati mendadak surut tiba-tiba gadis ini mengeluh. "Supek, ibu amat keras. Mungkinkah itu terjadi? Apakah bisa?"

"Weh, belum dicoba tak mungkin diketahui hasilnya, bocah. Sebaiknya kau pulang dan kami mengantar. Jangan takut, kami akan membelamu!"

Soat Eng terharu. Akhirnya dia menangis dan mengucap terima kasih di pelukan supeknya itu. Kata-kata ini membesarkan hati meskipun di sudut perasaannya yang paling dalam Soat Eng tetap merasa ngeri juga. Dia takut menghadapi ibunya itu, tapi dia juga marah kepada See-ong yang kurang ajar dan tak tahu diri. Juga gemas kepada Siang Le kenapa pemuda itu begitu hormat dan menjunjung tinggi guru, yang jelas seorang sesat dan tak perlu dihargai. Tapi karena semuanya sudah mengajak dan Siang Le mundur melepaskan dirinya maka Soat Eng berkelebat dan berkata agar Siang Le menunggu di Sam-liong-to, sesuai janjinya.

"Aku akan menghadap ayah dan ibu bersama supek. Tapi coba kau bujuk sekali lagi gurumu itu!"

"Benar," Hauw Kam berseru menyusul keponakannya. "Gurumu harus dibuat tahu diri, Siang Le. Tapi kau juga harus jangan memegang kaku tata krama terhadap manusia sesat macam See-ong!"

"Hm, sudahlah," Gwan Beng menutup, berkelebat dibelakang dua orang itu. "Aku kagum akan watakmu, Siang Le. Biarlah kita lihat apa yang akan terjadi nanti!"

Siang Le menatap bimbang. Dia sudah melihat tiga orang itu lenyap di pantai. Soat Eng sudah diminta untuk melepas dirinya namun gadis itu tak mau. Ah, Soat Eng mencintainya. Seharusnya dia bahagia! Tapi karena gurunya meminta yang mustahil sedang di pihak sana juga tak mungkin akan membebaskan gurunya maka Siang Le termangu-mangu dan seharian penuh memandang kosong ke laut.

Apa yang terjadi? Mungkinkah dia bisa bersanding dengan gadis pujaannya itu? Hm, saling mencinta masih tak cukup. Ada ujian-ujian lain yang menanti mereka. Dan kalau ujian ini tak dapat mereka lewati maka hancurlah sudah kebahagiaan yang terbayang di depan mata!

Dan itu benar. Swat Lian, yang mendengar dan melihat kedatangan tiga orang ini tiba-tiba mencak-mencak dan marah bukan main mendengar keinginan puterinya. Atau lebih tepat, keinginan See-ong yang memaksa puterinya itu untuk membebaskan si kakek iblis, demi pernikahan mereka, dua muda mudi itu. Dan ketika Hauw Kam selesai bercerita dan sambung-menyambung dengan suhengnya, karena Soat Eng sama sekali tak berani bercuit memperdengarkan suaranya maka nyonya yang cantik tapi marah besar ini membanting kaki, merah padam.

"Apa? Puteriku dinikahkan dengan pemuda itu dengan syarat See-ong dibebaskan? Jahanam bedebah keparat. See-ong sungguh lancang, tak tahu diri. Aku tak dapat menerima ini dan menyatakan menolak!"

"Hm, kami tahu, Lian-moi (adik Lian). Tapi See-ong juga tak mau memberi restu kalau dirinya tak dibebaskan."

"Persetan kakek itu, biar saja. Kalau Siang Le benar-benar mencintai puteriku maka dia harus mencari wali lain. See-ong adalah kakek iblis....!"