Istana Hantu Jilid 35 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

ISTANA HANTU
JILID 35
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

Gwan Beng menarik napas. "Disinilah sulitnya,' katanya hati-hati. "Pemuda itu terlalu berbakti dan hormat kepada gurunya, Lian-moi. Siang Le tak mau mencari wali lain kalau gurunya masih hidup. Dia tak mau menyingkur (tak menghargai)."

"Kalau begitu bunuh saja kakek itu. Dulu aku sudah bilang!"

"Hm," Pendekar Rambut Emas tiba-tiba bicara, maju di antara tiga orang yang sedang berdebat sengit ini. "Siang Le memang pemuda yang berbudi, niocu. Dan agaknya sulit juga memaksa pemuda itu meninggalkan gurunya. Satu-satunya jalan ialah membebaskan See-ong, demi kebahagiaan puteri kita."

"Kau mau membebaskannya? Kau tak mau tahu perasaan diriku? Baiklah, bebaskan kakek jahanam itu, suamiku. Tapi aku pergi meninggalkan rumah ini!"

"Ibu...!" Soat Eng tiba-tiba menjerit, melihat ibunya berkelebat keluar. "Tidak... jangan, ibu. Jangan. Tunggu...!" dan Soat Eng yang bergerak dan mengejar ibunya tiba-tiba mengguguk dan menubruk ibunya itu.

Sejak tadi gadis ini tak berani bicara kecuali hanya mendengarkan saja. Diam-diam ia merasa pucat melihat ketegangan itu. Dia dapat merasakan dendam dan sakit hati ibunya akan kematian kong-kongnya. Dia dapat merasa bahwa tiba-tiba saja kebahagiannya harus diganti dengan pengorbanan ibunya yang demikian besar. Ah, terpukul gadis ini. Remuk redam perasaannya. Maka begitu dia menyambar dan menubruk ibunya, tersedu-sedu, tiba-tiba Soat Eng mencabut pisau dan tiba-tiba tanpa banyak bicara lagi ia menusuk tenggorokannya dengan pisau itu.

"Ibu, maafkan aku. Aku ternyata menyusahkan dirimu. Biarlah aku menyusul kong-kong dan tak usah kita bicara lagi tentang ini!" tapi begitu pisau bergerak dan menusuk tenggorokan, hal yang membuat sang ibu terpekik dan menjerit keras tiba-tiba bayangan kuning emas menyambar dan Kim-mou-eng berkelebat menampar puterinya itu.

"Tahan!"

Soat Eng terpelanting. Gerakan sang ayah kiranya menyelamatkan puterinya itu tapi pisau sempat menggurat leher. Soat Eng tersedu dan Swat Lian pun bergerak menyambar puterinya itu, yang terguling-guling dan terlepas pisaunya oleh gerakan sang ayah. Dan ketika sang ibu menjerit dan menubruk anaknya, memeluk, maka Swat Lian sadar dan segera saja ibu dan anak itu bertangis-tangisan.

"Gila, kau gila! Kau tidak waras! Ah, maafkan ibumu, Eng-ji, maafkan aku. Kau... kau, ah!" dan Swat Lian yang mencengkeram puterinya erat-erat dengan air mata bercucuran akhirnya melihat luka di leher itu, guratan pisau yang sempat melukai puterinya dan mengguguklah nyonya ini mengusap luka itu. Swat Lian sudah mengambil saputangannya dan luka itu dibalut, untung luka kecil, meskipun mengeluarkan darah.

Dan ketika Soat Eng mengguguk dan memeluk ibunya pula, berciuman, maka Pendekar Rambut Emas mendekati keduanya dan diam-diam pucat melihat kenekatan puterinya tadi, yang siap bunuh diri.

"Niocu, aku tak dapat membela satu di antara kalian. Kalian sama-sama isteri dan anakku. Kehilangan yang satu mendapatkan yang lain jelas aku tak mau. Terserah dirimu, kebahagiaan siapa yang kau pikirkan. Hanya, kenekatan Eng-ji barangkali bisa terulang di lain kesempatan. Kau harus menjaga anakmu itu dan selanjutnya kalian bicaralah sendiri!" dan tergetar menahan perasaannya yang terguncang tiba-tiba pendekar ini membalik dan menghadapi Hauw Kam dan suhengnya. "Ji-heng, twa-heng, agaknya kita harus membiarkan ibu dan anak tanpa diganggu orang lain lagi. Marilah masuk bersamaku dan kita minum arak di dalam."

Hauw Kam membelalakkan mata. Dia terkejut sekali ketika tadi secara tiba-tiba Soat Eng menusuk tenggorokannya. Kejadian itu tak diduga, juga berlangsung cepat. Tapi ketika Pendekar Rambut Emas dapat menggagalkan itu dan pisau di tangan puterinya ditampar lepas maka Hauw Kam lega dan hampir saja laki-laki ini berteriak histeris. Dia terkejut tapi sudah dapat menguasai dirinya lagi, girang dan lega bahwa akhirnya Soat Eng digagalkan maksud bunuh dirinya. Tapi Gwan Beng yang justeru berkerut dan tidak beranjak tiba-tiba membuat sutenya tertegun.

"Suheng, Kim-taihiap memanggil kita!"

"Hm," Gwan Beng sadar, terkejut. "Marilah, sute. Tapi aku jadi tak enak dengan kata-kata Kim-taihiap tadi. Ah, marilah. Kita ke dalam dan biar sumoi mengurusi anaknya!" dan tidak memberikan jawaban lengkap kenapa dia berkerut kening tiba-tiba Gwan Beng sudah memasuki ruang dalam dan melirik sumoinya itu, nyonya rumah, yang tertegun dan balas memandangnya tapi Swat Lian tiba-tiba menangis.

Nyonya ini terkejut dan agaknya mengerti apa yang dimaksud suhengnya itu, kata-kata yang sebenarnya berasal dari suaminya sendiri dan Swat Lian meremas puterinya. Dan ketika suheng dan sute itu masuk ke dalam, minum arak, hal yang aneh sekali maka Swat Lian mengajak puterinya masuk ke kamar dan berdua terlibat pembicaraan serius!

* * * * * * * *

Di Sam-liong-to. See-ong terkekeh-kekeh ketika melihat muridnya termenung sendirian di sudut. Akhirnya kakek itu tahu bahwa Soat Eng meninggalkan pulau, menemui ayah ibunya. Dan karena merasa yakin muridnya tak berkutik di bawah kekuasaannya, tak mau memberi restu kalau dia tidak dibebaskan maka kakek itu terbahak mengejek muridnya.

"Kau tak usah bimbang. Di dunia ini banyak gadis cantik, lagi rupawan dan tak kalah dengan puteri Pendekar Rambut Emas itu. Kenapa sedih dan murung seperti laki-laki lemah yang tak punya keinginan? Heh, lupakan saja siluman betina itu, Siang Le. Dan bebaskan aku selagi musuh-musuh kita tak ada di sini!"

"Suhu tak usah mengulang-ulang permintaan itu," Siang Le menjawab jengkel. "Kau tahu aku di sini menemanimu, suhu. Kalaupun kau dilepas tentu aku menjagamu dan tak boleh pergi."

"Heh, kau malah menjadi penjaga yang mengawasi gerak-gerik suhumu? Kau tidak membantu aku meloloskan diri malah menjaga dan mengurung aku seperti tahanan? Keparat, pakai otakmu itu, Siang Le. Aku gurumu, bukan musuh. Kau tak boleh bicara seperti itu atau kuhancurkan mulutmu nanti!"

"Suhu boleh membunuhku," si pemuda menjawab tenang. "Dan aku tak akan menyesali perbuatanmu itu. Bukankah jauh lebih bebas mati daripada hidup? Kau melepas budi, suhu, tapi juga sekaligus penyakit!"

"Ha-ha, bocah tolol. Disayang guru malah mengumpat. Eh, aku tak ingin membunuhmu, Siang Le. Terus terang aku sayang padamu. Hm, ke sinilah. Garuk punggungku yang gatal!"

Siang Le bangkit berdiri. Suhunya tampak gelisah dan dia diminta menggaruk punggung gurunya itu, hal yang sudah dilakukan dan suhunya tampak berkedip-kedip. Dan ketika gurunya mengeluh bahwa di bagian lengan dan kaki juga gatal tiba-tiba gurunya itu menangis, mengguguk!

"Siang Le, aku ingin kau membunuhku saja daripada aku dikerangkeng begini. Bebaskanlah diriku, dan jangan biarkan aku dihina Kim-mou-eng!"

Sang pemuda mengerutkan kening. Akhirnya setelah dia menggaruk sana-sini dan gurunya tersedu-sedu tiba-tiba saja timbul iba dan rasa kasihannya. Memang gurunya menderita. Gurunya telah dilumpuhkan dan ilmu gurunya yang paling diandalkan, Hek-kwi-sut, telah lenyap dan dimusnahkan Pendekar Rambut Emas. Gurunya itu amat terpukul dan tersiksa sekali. Dijepit berminggu-minggu di antara celah gunungan berbatu di puncak Istana Hantu sungguh menyiksa. Hujan kehujanan kalau panas kepanasan. Itulah penderitaan gurunya. Dan ketika gurunya menangis mengguguk-guguk, hal yang belum pernah terlihat dilakukan gurunya ini maka Siang Le terharu dan akhirnya mengucurkan air mata pula.

"Suhu, kau sedang menerima akibat dari perbuatan-perbuatanmu. Sudahlah, aku akan menemanimu sampai mati di sini."

"Kau tak akan meninggalkan aku, Siang Le?"

"Tidak."

"Kau benar-benar mencinta gurumu ini?"

"Hm, bakti dan cintaku tak perlu kau tanya, suhu. Kau sudah membuktikannya. Kau tahu itu!"

"Tapi kau tak mau membebaskan aku!"

"Maaf, aku terikat perjanjian dengan Pendekar Rambut Emas, suhu. Dan janji bagi seorang laki-laki adalah lebih berharga daripada nyawanya!"

"Keparat dengan semuanya itu! Kau tak perlu berlagak laki-laki, Siang Le. Kau tak perlu berlagak gagah! Kau adalah murid See-ong, seorang sesat!"

"Inilah yang memprihatinkan hatiku. Kau salah mengambil aku, suhu. Seharusnya dulu itu kau tak usah memungut aku dan biarkan saja aku mati kelaparan di jalan!"

"Hm, kau murid luar biasa. Kau bocah yang sepatutnya membuat aku bangga! Tapi, aduh.... kedua pergelangan tanganku sakit, Siang Le. Tolong lepaskan ini dan biarkan aku bebas sejenak!"

Siang Le terkejut. Gurunya tiba-tiba merintih dan mengeluh bahwa kedua pergelangan tangannya sakit. Memang kedua pergelangan tangan suhunya itu diikat meskipun sudah di dalam kerangkeng. Pendekar Rambut Emaslah yang melakukan itu. Maka ketika gurunya mengerang dan minta dilepaskan ikatannya, ikatan di pergelangan itu tiba-tiba Siang Le mundur dan terkejut, menggeleng. "Suhu, aku tak berani merubah apa yang sudah dilakukan Kim-taihiap. Aku tak dapat melepas ikatanmu itu."

"Bodoh! Kau mau membiarkan gurumu kesakitan sampai ajal, Siang Le? Bukankah aku masih di dalam kerangkeng?"

"Benar, tapi... tapi itu melanggar larangan, suhu. Aku tak dapat melakukannya!"

"Kalau begitu biarkan aku mati. Aku akan mati karena ulahmu.... duk-dukk!" dan See-ong yang tiba-tiba membenturkan kepalanya di jeruji kerangkeng tiba-tiba membuat Siang Le terkejut karena gurunya itu mau bunuh diri. See-ong mendengus-dengus dan seluruh urat-urat kakek itu menegang. Dahi akhirnya berdarah dan kakek itu berseru berkali-kali bahwa kalau dia mati maka itulah akibat muridnya yang tidak berperikemanusiaan. Siang Le dianggap tak berperasaan sekali dengan tidak melepaskan ikatan tangannya, padahal dia masih di kerangkeng. Dan ketika kakek itu membentur-benturkan kepalanya dan jeruji berdentang-dentang maka sebentar kemudian kepala kakek itu sudah mandi darah.

Siang Le, aku akan mati. Aku akan mampus. Kaulah pembunuhnya. Kau yang membunuh aku.... duk-dukk!"

Siang Le pucat. Sang pemuda melihat gurunya sudah luka-luka dan penuh darah. See-ong hendak bunuh diri di depan muridnya. Kakek itu akan mati! Tapi ketika See-ong menggeram dan mandi darah, luka-luka, tiba-tiba Siang Le berteriak dan mencegah gurunya itu berbuat nekat.

"Tidak, jangan, suhu. Tahan. Aku akan membebaskan ikatanmu!" dan ngeri melihat gurunya mati di dalam kerangkeng, bunuh diri, tiba-tiba Siang Le sudah menjulurkan lengan dan gemetar membuka ikatan gurunya itu.

See-ong terbelalak dan tersenyum. Mukanya yang penuh darah sudah dibersihkan muridnya pula tapi wajah kakek itu tetap menyeramkan. Seperti iblis. Dan ketika kedua tangannya bebas dan kakek itu tertawa, aneh sekali, maka sang kakek tiba-tiba menyambar lengan muridnya dan membetotnya untuk tidak keluar dulu. "Siang Le, kau ternyata tak tahan melihat aku bunuh diri. Ha-ha, sekarang buka kerangkeng ini, muridku. Atau aku akan membentur-benturkan kepalaku lagi sampai tewas!"

"Tidak... jangan!" Siang Le pucat. "Kau hanya minta dibebaskan kedua tanganmu, suhu. Bukan mau keluar! Kau tak boleh melanggar janji!"

"Ha-ha, janji tinggallah janji. Aku tak perduli dengan semua janji. Hayo, buka kerangkeng ini, muridku. Dan kita sama-sama lari!"

"Tidak... jangan, suhu. Tidak!" dan ketika Siang Le bingung dan meronta, sayang tak dilepas gurunya maka See-ong tiba-tiba membenturkan kepalanya untuk bunuh diri lagi.

"Baiklah, kau lihat ini dan saksikan gurumu mampus.... duk!"

Siang Le menjerit, melihat gurunya membenturkan kepala dan jeruji itupun berdentang. Hentakan kuat antara kerangkeng dan batu di celah gunungan membuat dahi kakek itu bocor lagi. See-ong membenturkan kepalanya dengan kuat dan berteriaklah Siang Le ketika gurunya itu melakukan berulang-ulang. Dan ketika si kakek mengancam sementara si murid masih bertahan akhirnya See-ong menggeram dan satu benturan dahsyat membuat kepala kakek itu melesak dan terjepit di antara dua jeruji hingga tak dapat ditarik lagi!

"Suhu!" Siang Le meraung-raung. "Ah, apa yang kau lakukan ini? Kau gila? Kau tidak waras?"

"Ha-ha!" kakek itu tertawa, masih juga dapat terbahak meskipun suaranya lucu dan sengau, maklumlah, leher dan kerongkongannya terjepit besi. "Aku gila atau tidak adalah urusanku, Siang Le. Tapi sekarang kau lihat aku akan mati tak dapat menarik kepalaku. Dan kau penyebabnya. Kaulah yang membunuh gurumu! Ha-ha, aku puas, bocah. Inilah hutang budi baikku yang kau bayar dengan manis!"

"Tidak... tidak!" Siang Le menjerit. "Kau tidak mati, suhu. Kau tidak apa-apa. Aku akan menolongmu!" tapi ketika kepala yang terjepit itu ditarik dan ternyata gagal, karena melesak dan masuk di antara jeruji-jeruji yang sesak maka Siang le panik dan See-ong pun pucat.

Kakek itu mengeluh dan minta dibunuh saja. Penderitaannya sekarang bertambah dan kepala yang terjepit membuat kakek itu mirip jago yang mau disembelih. See-ong barangkali tak pernah membayangkan bahwa dia akan mati dengan cara begitu, leher dan kepala terjepit jeruji kerangkeng! Dan ketika kakek itu mengumpat caci sementara muridnya panik tak dapat menolong maka sehari penuh Siang Le mandi keringat mencoba menyelamatkan gurunya ini.

See-ong kepayahan dan posisi tubuh yang buruk membuat kakek itu gemetar, lututpun tertekuk dan akhirnya kakek itu roboh. Menyedihkan, kakek yang kecil dan kerdil ini sudah seperti bukan manusia saja. Layaknya dia seperti hewan yang siap dibantai. Sungguh tak sesuai dengan nama besarnya ketika dia dulu masih berjaya, See-ong yang ditakuti dan memiliki Hek-kwi-sut. Dan ketika hari itu Siang Le gagal dan tersedu-sedu meratapi kepala gurunya yang terjepit maka malam itu dilanjutkan lagi namun masih juga tak mampu.

Siang Le harus bekerja keras tak mengenal istirahat atau tidur. Makan minumpun dilupakan dan See-ong mengeluarkan suara mengorok seperti jengkerik yang siap diinjak mati. Sungguh menyedihkan. Tapi ketika hari kedua lewat dengan cepat dan See-ong megap-megap, muridnya sendiri sudah kehabisan semangat dan akal mendadak saja bayangan kuning emas berkelebat di tempat itu.

"Kim-mou-eng...!"

Siang Le tertegun. Gurunyalah yang berteriak itu dan cepat dia membalik. Sesosok bayangan dengan rambut keemasan telah berdiri di dekat mereka, menarik napas. Tapi ketika Siang Le memperhatikan dan mau menjatuhkan diri berlutut, karena disangka Pendekar Rambut Emas mendadak bayangan ini menahan tubuhnya dan berkata lembut.

"Siang Le, aku bukan ayah. Aku Thai Liong."

Siang Le terkejut. Malam yang tak berbintang membuat dia tak gampang mengenal orang. Tapi begitu lawan mengeluarkan suara dan memperkenalkan diri tiba-tiba Siang Le girang dan melompat bangun. "Ah, kau, Kim-kongcu? Bersama siapa? Mana Soat Eng?"

"Heii!" gurunya membentak. "Jangan bertanya di mana gadis itu, Siang Le. Tapi suruh pemuda itu menolong aku!"

"Benar," Siang Le tiba-tiba teringat. "Tolonglah guruku, Kim-kongcu. Dua hari ini aku tak mampu mengeluarkannya dan suhu terjepit seperti itu!"

"Aku memang akan menolongnya," Thai Liong tersenyum. "Tapi kutanya dulu padanya, Siang Le. Apakah benar dia akan memberimu restu kalau dia kubebaskan?"

"Apa?"

Tapi Thai Liong yang sudah membalik dan menghadapi kakek ini bertanya, "See-ong, ribut-ribut tentang adikku dan muridmu sudah kudengar. Katanya kau mau memberi restu kalau dibebaskan dari hukuman. Apakah benar?"

Sang kakek tertegun. "Kau... kau bicara apa?"

"Hm, tak perlu kuulang. Kau tinggal menjawab dan kini aku datang!"

See-ong tiba-tiba berbinar matanya. Melihat kedatangan Thai Liong yang mirip ayahnya ini dan tadi disangka Kim-mou-eng mula-mula kakek itu berdebar dan cemas hatinya. Tapi begitu ini adalah Thai Liong dan pemuda itu bertanya mendadak si kakek tertawa bergelak. "Ha-ha, benar, bocah. Tapi kebebasan yang kuminta adalah kebebasan total. Pergi dan meninggalkan Sam-liong-to, bukan tetap di dalam kerangkeng ini!"

"Kau dapat menepati janjimu?"

"Heh, kau tidak percaya kepadaku si tua bangka? Kau omong apa?"

"Hm, tak usah berlagak, See-ong. Kau sendiri bilang bahwa janji tinggallah janji. Kau mempersetankan janji. Bukankah gara-gara ini maka kepalamu terjepit dan sekarang seperti ini? Aku sudah tahu dan melihat semunya. Aku sudah tahu bahwa kau menipu muridmu dan minta dibebaskan ikatanmu. Bukankah begitu?"

Si kakek terkejut, tertegun.

"Nah, kalau kau serius maka restuilah muridmu menikah dengan adikku. Aku akan membebaskanmu!"

"Kim-kongcu..!" Siang Le tiba-tiba berseru tertahan. "Apa... apa yang kau omong ini? Kau mau membebaskan guruku? Kau sudah mendapat ijin dari ayahmu?"

"Hm," Thai Liong membalik. "Maksudmu?"

"Maaf," Siang Le tiba-tiba berdiri menghadang, gagah. "Kalau kau tak mendapat ijin ayahmu maka aku akan menentangmu, kongcu. Melepaskan suhu tanpa sepengetahuan Pendekar Rambut Emas adalah larangan!"

"Keparat!" See-ong memaki. "Kau tak perlu memikirkan itu, Siang Le. Tutup mulut dan jangan berlagak ksatria!"

"Tidak, suhu," Siang Le membalik. "Aku tak mau dikatakan pengecut. Aku tak mau disangka melepaskanmu tanpa seijin Pendekar Rambut Emas. Kalau Thai Liong membebaskanmu tanpa sepengetahuan ayahnya maka dia akan kutentang!"

See-ong memaki kalang-kabut. Tentu saja dia marah dan mengumpat-caci muridnya itu. Harapan bebas sudah di depan mata ketika tiba-tiba muridnya bicara seperti itu. Tapi ketika kakek itu marah-marah dan gusar memaki muridnya tiba-tiba Thai Liong tersenyum dan mengeluarkan sesuatu, sebuah kunci emas.

"Siang Le, aku telah mendapat ijin ayahku. Lihatlah, inilah buktinya."

"Ha!" See-ong bersorak. "Kalau begitu cepat keluarkan aku, bocah. Dan jangan biarkan aku tersiksa!"

"Tapi kau harus memberi restu dulu," Thai Liong tak menghiraukan Siang Le yang terbengong-bengong, menghadapi lagi si kakek iblis. "Letakkan tanganmu di atas kepala muridmu, See-ong. Dan katakan bahwa kau merestui pernikahan adikku dengan muridmu!"

"Tapi kau belum membebaskan aku!"

"Kenapa takut? Aku bukan kau, See-ong. Aku pasti menepati janjiku. Nah, letakkan tanganmu di atas kepala muridmu dan katakan bahwa kau merestui!"

See-ong menjublak. Akhirnya kakek ini melotot dan ragu-ragu. Sebenarnya, memang tak ada maksud di hatinya untuk merestui muridnya itu. Dia sengaja main-main dan ingin membuat muridnya saja. Dia ditangkap, ditawan. Dan penawannya adalah Kim-mou-eng, ayah Soat Eng. Siapa sudi memberi restu dan berbesan dengan Pendekar Rambut Emas? Meskipun pendekar itu hebat namun dia adalah musuh. Dan pantang berbaik dengan musuh! Tapi karena harapan bebas terbuka di depan mata dan lehernya yang sakit terasa tak dapat ditahan lagi maka kakek ini menggeram dan apa boleh buat akhirnya mengangguk.

"Baiklah, aku merestui muridku!"

"Nah," Thai Liong tertawa. "Dengalah kata-kata gurumu, Siang Le. Majulah, dan terima restunya!"

Siang Le terbengong-bengong. Dia masih dikuasai perasaan bercampur-aduk ketika semuanya itu didengar. Dia seakan percaya atau tidak. Tapi ketika Thai Liong mengeluarkan kunci emas dan itulah kunci kerangkeng gurunya maka tiba-tiba pemuda ini gembira dan melonjak melihat gurunya memanggil. Siang Le cepat berlutut dan mencium tangan gurunya itu, yang gemetar di luar jeruji kerangkeng. Dan ketika See-ong diminta memberikan restunya dan dengan suara serak kakek itu mengucapkan kata-katanya maka tak lama kemudian Thai Liong sudah membuka dan menyelamatkan kakek ini dari jepitan kerangkeng, yang ditekuk dan patah menjadi dua, begitu mudah!

"See-ong, keluarlah. Kau sudah bebas!"

See-ong tertawa bergelak. Kakek ini memberosot dan keluar dari kerangkeng. Wajahnya berseri-seri, penuh gembira. Tapi ketika dia mengajak muridnya untuk pergi, meninggalkan Sam-liong-to ternyata muridnya itu menggeleng.

"Aku masih ingin bicara dengan Kim-kongcu. Suhu boleh pergi duluan kalau tak mau menungguku."

"Apa?" si kakek melotot. "Kau tak segera pergi?"

"Aku hendak di sini dulu, suhu, bercakap-cakap dengan Kim-kongcu. Atau mungkin malah menunggu Kim-taihiap!"

"Gila!" sang kakek memekik. "Kalau begitu terserah kau, bocah. Aku tak mau di sini lagi dan susul aku kalau sudah selesai!"

Siang Le mengangguk. Gurunya sudah berkelebat dan meninggalkan Sam-liong-to. See-ong lepas bagai seekor kuda liar yang baru tertangkap. Gerakannya masih gesit meskipun dua hari ini tersiksa oleh penderitaan di jeruji besi. Dan ketika kakek itu berkelebat dan lenyap di kegelapan malam, agak terhuyung, maka Siang Le menghadapi Thai Liong yang berdiri mengerutkan kening melihat pemuda itu tak bersama gurunya.

"Kau aneh," Thai Liong mendahului. "Kenapa tidak pergi dan meninggalkan pulau, Siang Le? Gurumu sudah bebas, dan kaupun juga!"

"Aku masih bimbang," jawaban Siang Le mengejutkan lawannya. "Aku seakan tak percaya dan setengah mimpi, Kim-kongcu. Dan sekaranglah aku ingin bertanya."

"Apa yang ingin kau tanyakan?"

"Pembebasan guruku itu. Apakah ibumu juga tahu dan mengijinkan?"

Thai Liong tertegun. Dia tak menyangka pertanyaan itu dan sejenak kelihatan bingung. Tapi ketika Siang Le memandangnya tajam dan sorot mata pemuda itu penuh selidik dan tanda tanya tiba-tiba pemuda ini tertawa. "Siang Le, kau aneh. Tentu saja ibuku tahu!"

"Dan setuju?"

"Hm, kenapa kau tanyakan ini, Siang Le? Kau tak perlu mengusut terlalu jauh!"

"Maaf," Siang Le menggeleng. "Aku tak tenteram kalau ibumu tak setuju, Kim-kongcu. Karena aku tahu benar betapa benci dan marahnya ibumu itu kepada guruku. Aku sangsi!"

Thai Liong terkejut. "Siang Le," katanya. "Kau tak perlu menyelidik sejauh ini. Yang penting gurumu sudah memberi restu, dan aku bahagia kalau kau sudah mendapatkan adikku. Kaian berbahagialah, dan tak usah macam-macam!"

"Kim-kongcu..."

"Nanti dulu. Kau sudah menjadi calon iparku, Siang Le, jangan sebut aku kongcu. Panggil saja namaku!"

"Hm," Siang Le terkejut, semburat mukanya. "Apakah Kim-taihiap dan Kim-hujin sudah merestui hubungan ini? Apakah..."

"Tak usah cemas," Thai Liong tertawa, memotong. "Ibu dan ayah menyetujui keinginanmu, Siang Le, pada prinsipnya dua orang tuaku tak menolak. Yang membikin repot adalah gurumu itu, permintaannya. Tapi karena sekarang dia sudah bebas dan kau mendapat restunya maka selanjutnya tak masalah lagi dan kaupun dapat menikahi adikku. Aku mengucapkan selamat!"

"Tapi..."

"Sudahlah, tak ada tapi lagi, Siang Le. Semuanya sudah lancar. Kau pergilah ke utara dan temui ayah ibuku."

"Bersamamu?"

"Tidak, aku masih ada urusan lain. Kau pergilah sendiri karena aku juga akan pergi!"

"Nanti dulu!" Siang Le menahan. "Aku jadi bingung kalau begitu, Thai Liong. Kau mencurigakan!"

"Hm, mencurigakan bagaimana?" Thai Liong terkejut. "Apa maksudmu, Siang Le?"

"Maaf," Siang Le gemetar. "Aneh caramu ini, Thai Liong. Kau bilang disuruh ayahmu tapi tidak mau kembali bersamaku. Kenapa begini? Apakah kau dusta?"

"Siang Le!" Thai Liong tiba-tiba membentak mengejutkan pemuda itu. "Tutup mulutmu dan jangan banyak bertanya lagi. Kau sudah kutolong, kau dapat pergi. Kalau kau tak percaya padaku sudahlah buktikan sendiri! Nah, maaf aku tak dapat menemanimu lebih lama lagi. Aku harus pergi. Kalau kau tak mau pergi terserah kau dan tunggu saja ayah atau adikku datang!"

Siang Le terkejut. Tiba-tiba saja Thai Liong berkelebat pergi dan meninggalkannya. Pemuda itu marah-marah, membentaknya. Dan ketika Siang Le gugup dan bingung oleh semuanya itu tiba-tiba pemuda ini mengejar dan menyatakan maafnya. Tapi Thai Liong mendengus. Pemuda itu sudah lenyap dan berada di atas perahu, bergerak dan menghilang di kegelapan malam. Ombak di Sam-liong-to menerpa keras dan perahu oleng ke kiri. Tapi ketika Thai Liong memukulkan dayungnya dan perahu melesat seperti setan maka perahu itu melejit dan sebentar saja tak terlihat dari pantai.

"Siang Le, kau boleh tunggu atau tinggalkan tempat ini. Tapi ingat, jangan sia-siakan adikku karena keinginan gurumu untuk mendapat restu sudah kau peroleh. Sekali kau bohong maka aku akan datang membuat perhitungan!"

Siang Le bengong. Akhirnya pemuda ini tak mendapat kesempatan untuk bertanya lebih banyak. Thai Liong telah pergi dan lenyap di tengah lautan. Tapi karena dia menjadi ragu dan bingung oleh tindak-tanduk pemuda itu, karena dia tahu betapa benci dan marahnya Kim-hujin kepada gurunya maka Siang Le bimbang dan tidak meninggalkan pulau. Pemuda ini berpikir keras dan akhirnya memutuskan biarlah dia menunggu di Sam-liong-to.

Dia akan tetap berjaga di situ sampai Pendekar Rambut Emas atau siapapun datang. Dia sudah berjanji untuk tidak meninggalkan pulau kalau belum mendapat ijin atau kebebasan dari Pendekar Rambut Emas. Dan karena Siang Le adalah pemuda yang gagah dan berwatak ksatria maka tinggallah pemuda itu di Sam-liong-to sendirian sampai akhirnya malapetaka itu datang. Api yang mengamuk dan berasal dari Kim-hujin, isteri Pendekar Rambut Emas atau ibu Soat Eng!

* * * * * * * *

Pagi itu, sehari setelah Thai Liong meninggalkan pulau mendadak sebuah perahu meluncur mendekati pantai. Lima orang ada di situ, berdiri dan bersinar-sinar memandangi pulau. Siang Le sendiri sedang duduk termenung di bawah sebuah batu karang, cepat berdiri dan bangkit dengan berdebar karena seorang laki-laki gagah berambut keemasan berdiri di dekat tiang perahu.

Itulah Pendekar Rambut Emas, bersama rombongannya. Dan ketika Siang Le terkejut tapi juga girang, di samping was-was maka pemuda ini sudah meloncat dan berkelebat menghampiri. Maksudnya mau menyambut dan mengucapkan selamat datang. Tapi begitu pemuda ini berkelebat dan berseri-seri tiba-tiba saja Kim-hujin sudah berjungkir balik dan keluar dari perahunya seraya membentak,

"Bocah, mana gurumu?"

Siang Le tertegun. Pendekar Rambut Emas dan lain-lain akhirnya bergerak menyusul, terakhir adalah Soat Eng karena dua yang lain adalah paman-paman gurunya, Hauw Kam dan Gwan Beng. Dan ketika Siang Le tertegun karena wajah si nyonya demikian sangar, mangar-mangar maka Siang Le tak menjawab dan sebuah tendangan tiba-tiba membuatnya terbanting.

"Jangan melotot, aku menanya dirimu....bluk!"

Siang Le kaget. Dia mendengar Soat Eng menjerit dan gadis itu berkelebat menolongnya bangun. Siang Le masih bengong. Tapi ketika sang nyonya membentak dan mata yang bersinar-sinar itu seakan mengeluarkan api maka Siang Le mendengar kata-kata Soat Eng bahwa gurunya tentu masih ada di situ.

"Katakan kepada ibu, jangan bengong saja. Gurumu tentu masih di sini!"

"Tidak," Siang Le malah membelalakkan mata, menggeleng. "Suhu semalam sudah pergi, Eng-moi. Dan aku ingin menenangkan hatiku dengan menanyakan ini kepada ayahmu."

"Apa? Gurumu merat? Pergi meninggalkan pulau? Jahanam keparat, jangan main-main, bocah. Aku ingin melihat dan awas tanggung jawabmu!"

Siang Le ngeri. Dia melihat sang nyonya sudah berkelebat dan menghilang ke tengah pulau. Kim-hujin atau ibu Soat Eng itu menuju ke tempat di mana gurunya dikerangkeng, tentu saja tidak ada. Dan ketika si nyonya tertegun dan membelalakkan matanya, marah, maka berturut-turut Pendekar Rambut Emas dan puterinya serta Hauw Kam atau Gwan Beng juga tiba di situ.

"Tak ada!" seruan ini disambut gumam atau pekik tertahan. Swat Lian atau Kim-hujin itu melotot lebar. celah gunungan di puncak Istana Hantu kosong, kerangkeng itu sudah tidak ada penghuninya. Dan ketika Swat Lian melengking dan berkelebat turun maka leher Siang Le sudah dicekik dan sang nyonya membentak, "Ke mana gurumu?"

Siang Le pucat bukan main. Pemuda ini jadi terkejut dan terheran-heran karena apa yang dikata Thai Liong sungguh berlainan sekali dengan apa yang disaksikan sekarang. Kim-hujin dan rombongannya itu bertanya tentang gurunya, padahal semalam Thai Liong mengatakan itu adalah perintah ayahnya, Pendekar Rambut Emas. Maka ketika dia malah bengong dan terlongong-longong, gugup dan kaget tiba-tiba nyonya itu mengangkat tubuhnya dan membanting, langsung menginjak.

"Siang Le, kau pembohong dan penipu. Kau tak dapat dipercaya. Ah, terkutuk dan keparat kau.... bedebah!" dan sang nyonya yang sudah memekik dan marah-marah menghajar pemuda ini lalu menendang dan menampar Siang Le, yang tentu saja terlempar dan mencelat dan sang nyonya sudah mengejar lagi.

Siang Le mendapat hujan pukulan atau tamparan yang membuat pemuda itu bengap-bengap, bahkan mulutnya pecah ketika ditampar. Tapi ketika pemuda ini mengaduh dan merintih tak keruan, bingung dan tidak membalas tiba-tiba Soat Eng membentak dan menyambar kekasihnya dari tangan ibunya. "Ibu, tahan. Kau tak boleh menyiksanya. Kau belum mendapat jawaban apakah benar Siang Le melepas gurunya atau tidak!"

"Jahanam! Untuk apa bertanya lagi? Terkutuk! Untuk apa membela dirinya? Lepaskan dan biarkan aku menghajarnya, Eng-ji. Serahkan pemuda itu dan biar kubunuh dia. Bocah macam ini tak perlu kau cintai lagi.... rrtt-dess!" dan Siang Le yang direbut serta disambar si nyonya tiba-tiba dibanting dan kembali terlempar, mengeluh dan terguling-guling tapi Pendekar Rambut Emas tiba-tiba berkelebat menahan isterinya itu. Sang nyonya sudah naik pitam dan memaki-maki, bahkan sudah mencabut pedangnya, siap menusuk!

Tapi ketika Pendekar Rambut Emas berkelebat dan membentak isterinya itu maka dengan pucat namun wajah berubah-ubah sang nyonya menggigil berhadapan dengan suaminya itu. "Niocu, semua belum jelas. Siang Le tak boleh kau perlakukan begini. Tenanglah, sabarlah. Kita dapat menanyainya baik-baik!"

"Tapi... tapi..." sang nyonya menahan sedu-sedannya. "Bocah ini membebaskan gurunya, suamiku. Siang Le melepaskan gurunya dan melanggar janji!"

"Hm, belum kita tanya, kenapa begitu emosi? Kunci emas memang hilang, niocu. Tapi tak selayaknya menghajar dan menyiksa pemuda ini seperti itu. Siang Le memang menghadapi tuduhan membebaskan gurunya, tapi pemuda itu mempunyai hak untuk menjawab. Nah, biar kutanyai dia!" dan ketika sang isteri menangis dan mengeluh kecewa maka Pendekar Rambut Emas menghadapi pemuda ini, yang sudah terlanjur babak-belur! "Siang Le, kami datang karena ingin mengecek gurumu. Kunci emas di kamarku hilang, kami tak tahu siapa yang mengambil. Dan karena ini menyangkut gurumu maka jawablah dengan jujur apakah kau mengambil kunci itu?"

Siang Le terkejut, gemetar. "Kunci... kunci emas? Bukankah.... bukankah...."

"Hm, apa yang hendak kau bicarakan? Apakah bukan kau yang melepaskan gurumu?"

"Tidak, sama sekali tidak, taihiap. Bahkan... bahkan...!" Siang Le gugup, bingung dan tiba-tiba tahu bahwa benar dugaannya bahwa Thai Liong kiranya betul-betul berbohong. Pemuda itu sudah dicurigainya semula tapi karena Thai Liong adalah putera Pendekar Rambut Emas maka dia bingung. Bagaimana mungkin dia memberi tahu di saat Kim-hujin atau isteri Pendekar Rambut Emas itu marah-marah? Dan dia hampir dibunuh!

Siang Le ngeri. Sekarang dia tahu bahwa sepak terjang Thai Liong kiranya diluar pengetahuan ayah ibunya dan pemuda itu melepaskan gurunya untuk semata mendapatkan restu itu. Ah, Siang Le sadar. Tiba-tiba dia mendusin bahwa Thai Liong melakukan itu demi dirinya, kebahagiaannya bersama Soat Eng! Dan ketika Siang Le gemetar tak menjawab dan bola matanya berputar-putar, bingung, maka Swat Lian kembali membentaknya dan mencekiknya.

"Katakan, atau kau mampus!"

Siang Le mengeluh. Untung Pendekar Rambut Emas kembali menolong dengan mendorong isterinya itu. Sang pendekar minta biarlah persoalan itu ditanganinya, sang isteri tak usah turut campur. Tapi ketika Siang Le pucat dan menelan ludah berulang-ulang, bingung dan tak tahu apa yang harus dilakukan maka nyonya itu melengking.

"Suamiku, bocah ini berputaran matanya. Dia mencari akal, ingin menyelamatkan diri. Sebaiknya serahkan dia kepadaku dan kupaksa dia bicara benar!"

"Hm, tidak, jangan. Kemarahanmu tak terkontrol, niocu. Sepak terjangmu nanti dapat melewati batas. Kau bersabarlah dan tak mungkin pemuda ini menyelamatkan dirinya. Bukankah dia masih di sini? Bukankah dia tak ikut lari? Bukti ini sudah cukup bahwa Siang Le tak melakukan sesuatu yang bersifat melanggar janji. Kau biarkanlah aku bicara dengannya dan jangan ikut campur," dan kembali menghadapi pemuda itu Pendekar Rambut Emas bertanya, "Siang Le, apa sesungguhnya yang terjadi? Di mana gurumu dan siapa yang melepasnya?"

"Aku.... aku.... ah, aku bingung, taihiap. Aku jadi tak tahu apa-apa!"

"Hm, jawab saja di mana gurumu itu?‘

"Aku tak tahu!"

"Dan kau juga tak melepas gurumu?"

"Sumpah demi Langit dan Bumi aku tak melepas guruku, taihiap. Aku boleh dibunuh!"

"Kalau begitu siapa yang melepasnya, beritahukan kami."

"Dan akan kupotong tangan orang itu!" Swat Lian tiba-tiba memekik, mengacungkan pedangnya ke atas. "Sumpah demi Langit dan Bumi pula aku akan memotong tangan jahanam itu, Siang Le. Atau aku akan membunuhmu kalau kau diam!"

Siang Le terkejut. Pedang yang diacungkan ke langit tiba-tiba mengeluarkan ledakan. Sumpah atau kata-kata nyonya itu telah didengar para dewa! Dan ketika Siang Le terkejut dan pucat, hampir berteriak maka pemuda ini tiba-tiba memekik. "Tidak! Kau boleh bunuh aku kalau begitu, hujin. Aku tak mau memberi tahu..."

"Singg!" pedang berkelebat, benar-benar menuju ke leher pemuda itu. "Kalau begitu kuhabisi kau, bocah. Dan setelah itu gurumu!" namun Pendekar Rambut Emas yang tentu saja membentak dan kaget menampar pedang isterinya tiba-tiba disusul oleh jerit atau lengking Soat Eng.

Gadis ini pun bergerak dan menampar pedang ibunya. Dari dua jurusan sang nyonya ditangkis. Maka ketika dia terhuyung dan pedang terpental hampir terlepas maka Soat Eng tersedu-sedu menubruk ibunya itu. "Ibu, jangan bunuh Siang Le. Atau kau habisi aku dulu dan setelah itu terserah kau!"

Sang ibu menggigil. Pendekar Rambut Emas memeluk dan mencengkeram pedang isterinya ini. Hauw Kam dan Gwan Beng di sana tertegun, pucat. Keadaan sejenak menjadi tegang dengan adanya kemarahan Kim-hujin itu, yang amat gusar dan marah karena See-ong kabur. Namun ketika Pendekar Rambut Emas menepuk-nepuk pundak isterinya dan menarik pedang dengan halus maka pendekar itu berkata bahwa tanpa pedangpun Siang Le dapat dibunuh.

"Tak perlu bersenjata tajam, dan tak usah khawatir pemuda ini lolos. Siang Le akan memberikan jawaban-jawabannya kepada kita, isteriku. Asal secara baik-baik dan tidak emosi. Bukankah begitu, Siang Le?"

Namun Siang Le menggeleng. Sekarang pemuda ini pucat pasi dengan sumpah si nyonya. Kim-hujin telah mengeluarkan kata-kata mengerikan dengan mengancam si pelepas suhunya, padahal yang melepas suhunya itu adalah Thai Liong. Dan karena Thai Liong melakukan semuanya itu untuk dirinya, kebahagiaannya, maka Siang Le malah menutup mulutnya dan tak mau memberi tahu, menggigil. Sikap ini tetap diulangi ketika Pendekar Rambut Emas mengulangi pertanyaannya. Dan ketika tiga kali berturut-turut dia tetap menggeleng dan menggeleng, hal yang membuat pendekar itu marah sementara isterinya memekik tiba-tiba Swat Lian telah berkelebat dan mencekik pemuda itu, membentak,

"Kau beritahukan, atau aku akan membunuhmu!"

"Bu.... bunuhlah!" Siang Le tak dapat bernapas. "Ak... aku tak tahu, hujin. Aku tak dapat memberi tahu!"

"Keparat, kau tetap membandel?"

"Aku tak mau menjawab..... plak!" dan Siang Le yang terlempar serta mencelat roboh tiba-tiba dikejar si nyonya yang melengking-lengking. Selanjutnya Siang Le menerima hajaran atau pukulan lagi, bukan sekali dua melainkan bertubi-tubi, datang dan pergi hingga membuat pemuda itu jatuh bangun dan mandi darah. Mulut dan telinganya sobek, hidung pun pecah. Namun ketika si nyonya melengking-lengking dan Pendekar Rambut Emas membiarkan itu, karena pendekar ini juga marah dan tak senang kepada Siang Le tiba-tiba Soat Eng kembali berkelebat dan menerima pukulan ibunya yang seharusnya untuk Siang Le.

"Ibu, aku ingin mati bersamanya.... dess!" dan Soat Eng yang terlempar tapi menyambar Siang Le akhirnya terguling-guling dan menangis melindungi pemuda itu. Siang Le terkejut dan hampir tak dapat bicara. Suaranya bindeng. Dan ketika Soat Eng memeluknya dan bergulingan melindungi dirinya akhirnya sang ibu pun terkejut dan menghentikan serangan.

:Eng-ji, tak perlu melindungi jahanam itu. Lepaskan dia, dan biar kubunuh!"

"Tidak... tidak! Siang Le menyembunyikan sesuatu, ibu. Siang Le merahasiakan sesuatu. Kalau ibu mau mendengarkan kata-kataku biarlah aku yang bertanya dan sumpah demi Langit dan Bumi pasti dia akan menjawab. Atau biar aku mati di depannya membayar penasaran ini!" dan mencabut pisau membangunkan pemuda itu gadis ini bertanya, menggigil, "Siang Le, kalau kau masih mencintai aku dan ingin aku menjadi isterimu maka katakanlah siapa yang melepas suhumu itu. Aku tahu dan yakin bahwa kau tidak melepas suhumu itu. Bahwa seseorang telah datang dan melepas gurumu. Nah, katakan kepadaku, Siang Le. Siapa yang melepas gurumu karena kunci emas hilang dicuri orang!"

Siang Le pucat. Kalau Soat Eng mengancamnya begini sungguh dia kaget sekali. Pisau itu bergetar di depan dada dan siap menusuk. Ah, Soat Eng akan mati di depannya, bunuh diri! Dan ketika Siang Le tertegun dan gemetar dengan kaki menggigil, bingung, tiba-tiba pisau itu bergerak dan menggurat dada.

"Jangan...!" pemuda ini bergerak. "Tidak... jangan, Eng-moi. Aku... aku akan mengaku!"

"Nah, katakan siapa orang itu. Atau pisau ini akan menembus jantungku dan tak seorangpun bisa menghalangi!"

"Dia... dia..." Siang Le akhirnya menangis. "Dia kakakmu sendiri, Eng-moi... Thai Liong!"

"Apa?"

"Benar, Thai Liong, Eng-moi. Dia datang dan membebaskan guruku agar guruku itu memberi restu. Kakakmu semalam datang dan membawa kunci emas. Katanya.... katanya disuruh ayahmu, mewakili ayahmu...."

"Oohhhh....!" dan seruan panjang yang menutup pembicaraan ini tiba-tiba disusul oleh robohnya dua tubuh. Satu dari Soat Eng sedang yang lain adalah ibunya. Swat Lian pun terkejut dan tak mengira jawaban itu. Sungguh di luar dugaan!

Tapi ketika nyonya itu mengeluh dan pingsan, saking kagetnya, maka Pendekar Rambut Emas telah menyambar dan menotok isterinya ini. Guncangan sejenak sudah berhasil dipulihkan. Pendekar Rambut Emas sendiri juga kaget namun kekuatan batin pendekar itu yang jauh di atas isterinya dapat menahan, menyambar dan kini menolong isterinya itu. Dan ketika Swat Lian disadarkan dan nyonya itu mengguguk, menggerung-gerung maka di sana Siang Le telah menyambar Soat Eng dan menyadarkan gadis itu pula, dibantu Hauw Kam dan suhengnya.

Selanjutnya tangis dan sesal silih berganti. Swat Lian tersedu-sedu di pelukan suaminya, menjerit dan tiba-tiba teringat sumpahnya, bahwa dia akan membuntungi orang yang melepaskan See-ong itu, padahal yang melepaskan itu adalah Thai Liong, anaknya, meskipun anak tiri. Dan ketika nyonya itu menjerit dan menyambar pedang yang dibuat sumpah, mamatahkannya, ternyata pedang tak mau patah dan sekeras apapun ditekuk tak mau bengkok!

"Keparat, jahanam terkutuk! Bedebah kau, pedang sialan. Keparat kau! Aku tak mau melihatmu lagi dan enyahlah di sana.... wut!" pedang tiba-tiba dilempar, jauh ke langit dan tiba-tiba jatuh ke laut.

Mereka memang di pantai dan saat itulah menyambar seekor ikan hiu menyambar pedang, membuka mulutnya dan lenyaplah pedang di mulut binatang buas ini. Dan ketika hiu menyelam kembali namun terdengar ledakan, hal yang mengejutkan ikan itu maka si hiu menyelam semakin dalam dan Pendekar Rambut Emas serta yang lain-lain tertegun.

"Sumpahmu tetap berjalan, pedang itu akan membawa cerita. Hm, semuanya ini akibat emosi dan dendam, isteriku. Sudah berkali-kali kukatakan agar kau tidak menaruh kebencian!'

Swat Lian mengguguk lagi. Sebagai wanita yang berkepandaian tinggi tentu saja dia tahu apa artinya itu. Sumpahnya tak dapat lenyap begitu saja, sumpahnya tetap berjalan. Maka ketika sang suami menghibur dan coba menenangkan hatinya ternyata wanita ini tak dapat tenang dan terus menangis. Semua yang hadir tahu perasaan si nyonya, tahu apa artinya itu. Namun ketika air mata habis dikuras dan Swat Lian tak dapat menangis lagi maka Pendekar Rambut Emas mengajak isterinya kembali.

"Sekarang sudah tak ada apa-apa lagi. Siang Le telah mendapat restu gurunya. Barangkali anak-anak ini harus kita nikahkan. Bagaimana pendapatmu, niocu?"

"Aku... aku menyerahkannya kepadamu. Kalau Siang Le harus menjadi mantuku tentu saja aku tak akan menolak. Tapi... tapi aku ingin bertemu Sian-su, suamiku. Masih ada perasaan mengganjal yang membuat aku tak puas!"

"Boleh, dan kita tentu dapat menemuinya. Hm, bagaimana kalian, ji-heng? Adakah sesuatu yang ingin kalian katakan?"

"Tidak," Hauw Kam menjawab. "Kami tak ada apa-apa lagi, taihiap. Kecuali meneruskan perwalian Siang Le ini. Dan kami juga ingin menemui Sian-su! Bolehkah?"

"Hm, tentu boleh...."

"Dan aku juga!" Soat Eng tiba-tiba melepas pelukan kekasihnya. "Aku juga ingin bertemu Sian-su, ayah. Aku juga ingin mendengar wejangannya!"

"Dan kau tak usah ikut," Pendekar Rambut Emas tiba-tiba menunjuk Siang Le. "Urusan ini bersifat ke dalam, Siang Le, tak usah kau dengar. Kau tak tersinggung, bukan?"

"Ah," Soat Eng memprotes, mendahului. "Kenapa begitu, ayah? Kenapa dia tak boleh ikut?"

"Hm, ini percakapan orang-orang tua. Kalau dia ikut maka tak pantas mendengar."

"Tapi aku bukan orang tua!"

"Benar, tapi kau puteriku. Siang Le masih belum menjadi keluarga kita, Eng-ji. Sementara ini dia masih orang luar. Sudahlah, kau boleh ikut tapi dia tidak!"

"Kalau begitu aku juga tidak!" Soat Eng tiba-tiba ngambek. "Aku tak mau kalau dia tak boleh, ayah. Lebih baik aku menemaninya dan bersama!"

"Hm, terserah. Tapi sekarang mari sama-sama pulang. Kau sudah bebas, Siang Le. Gurumu sudah tak ada disini. Marilah, ikut kami dan sama-sama ke utara!"

Siang Le menjatuhkan diri berlutut. Akhirnya pemuda ini mengucap terima kasih dan Soat Eng terharu melihat kekasihnya berlepotan darah. Itulah luka-luka yang diderita pemuda ini sewaktu Kim-hujin tadi menghajarnya. Soat Eng menyobek bajunya, membersihkan luka-luka itu. Dan ketika ibunya merah padam dan melengos malu, sang ayah tersenyum kecut maka Siang Le diajak ke utara meninggalkan Sam-liong-to.

Rombongan itu akhirnya bergerak di atas perahu dan meluncurlah kendaraan air ini ketika didayung Soat Eng dan paman gurunya, juga Siang Le, yang tentu saja tak mau tinggal diam. Dan ketika rombongan itu bergerak dan meninggalkan pulau maka Sam-liong-to jauh tertinggal di belakang sementara daratan besar tampak di sana.

* * * * * * * *

"Hm, apa yang ingin kalian ketahui?" seorang kakek tertawa lembut, duduk berhadapan dengan empat orang tamunya dan kakek itu tersenyum simpul. Empat tamunya yang duduk berhadapan terkejut sejenak oleh sinar mata kakek ini, lembut namun tajam di balik cahaya berkabut yang menyelimuti mukanya.

Dan ketika empat orang itu menunduk karena tak kuat beradu pandang, sinar mata si kakek mencorong bak mata seorang malaikat maka Pendekar Rambut Emas, rombongan tamu itu, memberi hormat dengan menekuk punggung.

"Maaf," pendekar ini menundukkan kepala dalam-dalam. "Kami datang ingin mendapat petuahmu, Sian-su. Petunjuk dan wejangan tentang syair yang kau berikan itu. Isteriku ingin mengetahui, dan kami yang lain ingin mendengar."

"Hm, bukankah kau sudah tahu? Kenapa tidak menerangkannya kepada isterimu?"

"Isteriku tak akan puas, Sian-su. Aku tak berani menerangkannya. Hanya Sian-su lah yang tepat. Aku merasa bodoh dalam bertanya jawab!"

"Ha-ha, kau pandai merendahkan diri. Ah, kau selalu rendah hati, Pendekar Rambut Emas. Watakmu tak berubah. Dari dulu sampai sekarang tetap saja kau begini. Hm, baiklah. Aku akan menjawab pertanyaan-pertanyaan dan siapa yang akan bertanya!"

Lucu, tiba-tiba saja tak ada yang menjawab. Swat Lian, yang lebih berkepentingan dan mengajak suami serta dua suhengnya ke situ ternyata tiba-tiba saja diam tak bersuara ketika ditanya, bahkan nyonya ini mengalihkan perhatian ketika dipandang. Sorot mata si kakek yang lembut namun terasa begitu penuh perbawa membuat nyonya ini tiba-tiba merasa gentar.

Entahlah, sekonyong-konyong dia merasa jerih. Padahal, Swat Lian bukanlah wanita sembarangan karena wanita itu adalah isteri Pendekar Rambut Emas, juga puteri Hu-taihiap yang gagah perkasa dan terkenal tak pernah takut! Tapi begitu si kakek menyorotkan matanya dan cahaya yang menggetarkan itu menuju mukanya tiba-tiba nyonya ini merasa panas dan malu.

"Niocu, bicaralah!" Pendekar Rambut Emas berbisik, berseru perlahan. "Bukankah kau datang ingin bertemu dan bercakap-cakap dengan Sian-su? Nah, kita sudah di sini, di.Bukit Malaikat. Bicaralah apa yang ingin kau bicarakan!"

Nyonya ini tiba-tiba terisak. Kim-hujin mendadak menangis, tersedu. Dan ketika tanpa sebab dia mengguguk dan menubruk suaminya maka Pendekar Rambut Emas memeluk dan terkejut oleh ulah isterinya ini.

"Eh, ada apa? Kenapa?"

"Aku... aku tak dapat bicara. Aku malu, bingung. Kau saja yang bicara, suamiku. Kau tahu apa yang menjadi ganjalanku selama ini!"

"Hm, tak boleh begitu. Kau bukan anak-anak, niocu. Kau terkenal sebagai isteri yang pemberani dan tak kenal takut. Kenapa tiba-tiba cengeng dan tidak menentu begini? Ayolah, tabahkan hatimu dan angkat semua ganjalan itu keluar!"

"Benar," Bu-beng Sian-su, kakek dewa itu, tertawa lebar. "Kau datang untuk menemuiku, hujin. Bukan untuk menangis dan tersedu-sedan. Mana itu keberanianmu sehari-harinya? Mana itu watak gagahmu? Suamimu benar, kau wanita gagah dan tak kenal takut. Dan kaupun puteri mendiang Hu Beng Kui. Nah, katakanlah dan angkat dagumu itu untuk bercakap-cakap!"

Luar biasa, nyonya itu mendadak meloncat bangun. Bagai harimau betina atau banteng kelaparan tiba-tiba Swat Lian mendengus dan menghentikan tangisnya. Sikap cengeng atau takut-takut tadi mendadak lenyap, terganti dengan sikap beringas seperti beringasnya seekor harimau lapar, gagah dan menakutkan. Dan ketika si nyonya terbelalak dan melepaskan diri, mata bersinar-sinar maka nyonya itu berseru lantang tentang urusan keluarganya.

"Aku ingin bertanya tentang Siang Le, Sian-su. Akan watak dan tindak-tanduknya sebagai calon mantuku yang baru!"

"Hm, apa maksudmu?"

"Aku masih ragu kepadanya. Aku masih sangsi karena ia adalah murid See-ong si kakek iblis!"

"Hm-hm, itu kiranya. Baiklah, apalagi?"

"Aku ingin meyakinkan hatiku, Sian-su. Tak ingin tertipu dan terkecoh oleh kehalusan budi di luar tapi sebetulnya mengandung racun di dalam!"

"Ah, ungkapan yang keras, penuh benci dan dendam," kakek ini menarik napas dalam-dalam. "Baiklah, duduklah, hujin. Dan katakan apalagi yang ingin kau ketahui selain itu."

"Syairmu," nyonya ini menutup. "Aku tak dapat mengetahui apa yang kau maksud, Sian-su. Suamiku hanya senyum-senyum saja tak memberi tahu!"

"Ha-ha!" kakek ini terbahak. "Begitukah, Kim-mou-eng? Kau menjual mahal?"

"Maaf," Kim-mou-eng tersenyum-senyum . "Tak marem rasanya kalau bukan kau sendiri yang menjelaskannya, Sian-su. Meskipun aku tahu tapi barangkali masih ada salahnya juga. Karena itu biarlah kau yang bicara dan kami mendengarkan!"

"Ha-ha, terlampau hati-hati. Ah, kau menggemaskan isterimu, Kim-mou-eng. Dan lihat betapa isterimu sekarang marah-marah, penasaran. Baiklah, apalagi yang ingin ditanyakan?"

"Tak ada," Swat Lian bersemu merah, gemas melirik suaminya itu. "Aku ingin kau bicara, Sian-su. Dan maafkan kalau aku bersikap kasar!"

"Hm, duduklah," sang kakek kembali menyuruh. "Ganjalan di hati memang harus dikuras, hujin. Baiklah mari kita mulai dan apakah yang hendak didulukan lebih dulu!"

Sang nyonya melengak, tertegun. "Aku minta didulukan tentang bocah itu, Siang Le!"

"Hm, dan kalian?"

Hauw Kam dan suhengnya terkejut. "Sama seperti sumoi kami ini, Sian-su. Tapi terserah kau sajalah!"

"Ha-ha, dan kau, Kim-mou-eng?"

"Ah, aku hanya pendengar, Sian-su. Sementara ini biarlah terserah isteriku saja."

"Ha-ha, cerdik dan berhati-hati, pintar! Baiklah, Kim-mou-eng. Aku ingin menjawab penasaran isterimu dan sekaligus syair itu. Kau tentu tahu bahwa syair itu kutujukan kepada Siang Le."

"Kami tahu," Pendekar Rambut Emas bersinar-sinar, mulai mengangguk. "Sudah kuberi tahu isteriku ini, Sian-su. Tapi isteriku tak percaya!"

"Hm, nanti tentu tidak. Baiklah, bicara tentang anak ini sebetulnya berarti bicara tentang syair itu, Pendekar Rambut Emas. Tapi coba bacakan dulu syair yang mana itu karena seingatku banyak syair yang kutulis!"

"Tentang mutiara di dasar samudera..."

"Ah, coba bicara secara lengkap, Kim-mou-eng. Atau suruh isterimu membaca!"

"Aku ingin tahu tentang Siang Le," Swat Lian tiba-tiba mengerutkan keningnya, berseru. "Aku ingin tahu tentang bocah ini, Sian-su. Baru setelah itu syair!"

"Hm, sudah kubilang bahwa membicarakan bocah itu berarti membicarakan syair, kenapa tidak kau mengerti? Kita semua akan ke sana, hujin. Dan aku tahu apa yang kau inginkan. Sudahlah, suruh suamimu mengeluarkan syair itu dan kau membacanya!"

Swat Lian berdetak. Suaminya tersenyum simpul dan gemas dia oleh sikap suaminya ini. Tapi ketika suaminya mengeluarkan sehelai kertas dan sebait syair telah ditunjuk di depan hidungnya maka nyonya ini menerima dan sedikit merengut.

"Awas kau," bisiknya. "Kau menggoda dan rasakan nanti di rumah, suamiku. Tentu kujewer dan kubalas kau!"

Kim-mou-eng menahan geli. Pendekar Rambut Emas ini tak menjawab kemarahan isterinya karena di situ ada Sian-su dan dua yang lain. Dia memberikan syair itu yang setengah direnggut oleh isterinya, yang menyambar gemas. Dan ketika nyonya itu ditunggu dan membelalakkan matanya, enggan membaca syair maka Bu-beng Sian-su berkata bahwa jawaban terletak di situ, semuanya.

"Kau tak usah marah. Semua akan terjawab di sini, hujin. Mulailah, bacalah...!"

Sang nyonya mengangguk. kalau Bu-beng Sian-su sendiri yang bicara tentu saja dia tak berani membantah. Kakek dewa itu akan menjawab penasarannya, uneg-unegnya. Dan ketika sang nyonya bergerak dan membetulkan letak duduknya maka bibir yang masih merah dan basah itu mulai membaca, merdu dan nyaring, sungguh mirip suara gadis yang masih perawan, suara yang membuat Kim-mou-eng tersenyum dan bersinar-sinar memandang isterinya itu, mesra!

Mencari mutiara di dasar samudera
terdapat sebutir yang memukau sukma
menemukan ini mendapatkan surga
bahagialah sudah sang arif bijaksana!


"Ha-ha, itukah?" kakek dewa tertawa bergelak. "Ah, cocok kalau begitu, Kim-hujin. Sungguh tidak meleset dugaanku. Nah, siapa dari kalian yang mampu menemukan jawaban syair ini!"

"Hm, aku tak tahu," Swat Lian berseru. "Kalau tahu mana mungkin bertanya, Sian-su? Kau jawablah, aku mendengar!"

"Hm, kau?" kakek ini memandang Pendekar Rambut Emas. "Benar-benar tak tahu atau memberi tahu isterimu ini, Kim-mou-eng?"

"Maaf, aku takut salah. Coba tanya dua suheng isteriku itu, Sian-su. Barangkali Gwan-suheng atau Hauw-suheng tahu!"

"Ah, mana tahu?" Hauw Kam terkejut. "Kami di sini hanya pendengar, Kim-taihiap. Kalau sumoi saja tidak tahu apalagi kami!"

"Ha-ha, kalau begitu mari ke laut," kakek ini tiba-tiba bangkit berdiri. "Kita cari jawabannya di sana, Hauw-sicu. Dan barangkali Kim-hujin harus mencari ikan!"

"Ikan?" sang nyonya melengak. "Untuk apa, Sian-su? Bukankah..."

"Sstt!" sang suami tiba-tiba memegang isterinya itu. "Apa yang dikata Sian-su pasti ada gunanya, niocu. Mari ke laut kalau Sian-su mengajak!"

"Tapi aku...."

"Sudahlah, kau ingin tahu jawabannya, bukan? Lihat, Sian-su sudah pergi. Kita turun dan ikuti dia!"

Swat Lian terkejut. Bu-beng Sian-su tiba-tiba lenyap dan tahu-tahu sudah di bawah sana, jauh sekali. Tawanya begitu lembut dan renyah. Dan ketika dia terkejut tapi sang suami sudah menarik maka Pendekar Rambut Emas itupun telah mengajak isterinya turun ke bawah. Hauw Kam dan suhengnya melihat dua orang itu berkelebat bagai siluman, lenyap dan tahu-tahu sudah menyusul Sian-su di bawah. Dan ketika mereka terheran-heran dan bingung kenapa Sian-su mengajak ke laut maka Gwan Beng menarik sutenya itu dan berkelebat pula ke bawah.

"Mari, jangan melenggong saja. Aku jadi tertarik!"

"Benar, aku juga, suheng. Dan sungguh aneh kalau Sian-su mencari ikan!"

Dua orang itu bergerak susul-menyusul. Hauw Kam dan suhengnya mengejar Kim-mou-eng tapi mereka tetap saja kalah cepat di belakang. Padahal Kim-mou-eng mencoba menyusul Bu-beng Sian-su tetapi tak dapat. Secepat-cepatnya pendekar ini tancap gas tetap saja kakek itu di depan. Kaki tampak bergerak seenaknya tapi toh dia tak mampu mendahului. Jangankan mendahului, berendeng saja tidak! Tapi ketika mereka tiba di laut dan Hauw Kam maupun suhengnya mandi keringat maka kakek itu berhenti dan tertawa.

"Cukup, kita sampai!"

Kim-mou-eng dan isterinya mengusap peluh. Mereka sendiri tak sampai mandi keringat tapi pengerahan tenaga yang berlebihan membuat mereka kemerah-merahan juga, apalagi Swat Lian. Nyonya ini mangar-mangar dan pipinya seperti apel masak. Kim-mou-eng terpesona memandang isterinya itu, yang dibalas dengan desisan dan cubitan. Dan ketika Kim-mou-eng sadar dan Hauw Kam serta suhengnya memburu napasnya maka Bu-beng Sian-su tertawa menepuk pundak dua orang itu.

"Kalian tak perlu buru-buru. Segarlah kembali!"

Aneh bin ajaib. Hauw Kam dan suhengnya tiba-tiba tak berkejaran lagi napasnya. Mereka bengong dan mengucap terima kasih, itulah berkat kesaktian kakek dewa ini. Dan ketika Bu-beng Sian-su menunjuk debur ombak yang menyambut mereka maka kakek itu berseru pada Kim-hujin untuk menangkap atau mencari beberapa ekor ikan.

"Sekarang jawabannya lebih jelas lagi. Harap Kim-hujin menangkap dan membawa beberapa ekor ikan kemari."

Swat Lian tertegun. Tapi ketika suaminya menyentuh dan menyenggol lengannya maka nyonya itu bergerak dan tahu-tahu sudah berjungkir balik di atas permukaan air laut, persis kecapung atau walet yang menyambar-nyambar ikan. Berapa banyak, Sian-su? Dan besar ataukah kecil?"

"Ha-ha, seberapa banyak kau suka, hujin. Pokoknya cukup untuk makan kita berlima."

"Makan?" kali ini Gwan Beng mengerutkan kening. "Ah, apakah kita mau pesta, Sian-su? Atau barangkali mengenyangkan perut kami dulu sebelum dijejali nasihat-nasihat yang berat?"

"Ha-ha, tak usah bertanya banyak-banyak. Lihat saja Kim-hujin telah mendapatkan buruannya dan kembali ke kita!"

Benar saja, Swat Lian atau si nyonya cantik telah berkelebat di depan mereka. Dengan kepandaiannya yang tinggi dan ilmu meringankan tubuhnya yang luar biasa nyonya itu telah menangkap tak kurang dari sepuluh ekor ikan sebesar lengan bayi, hanya dengan berjungkir balik dan memindah-mindahkan kaki, tanpa menyentuh apalagi jatuh di air. Dan ketika nyonya itu melakukan gerak tiga kali di udara sebelum menginjakkan kaki di tanah maka Pendekar Rambut Emas memuji isterinya sendiri, dengan bertepuk tangan.

"Ah, bagus. Semakin indah dan luar biasa!"

"Ha-ha, isteri siapa?" Bu-beng Sian-su memuji juga. "Isteri pendekar tentu lihai dan hebat, Kim-mou-eng. Dan gerakannya tadi nyaris sempurna!"

"Sudahlah," Swat Lian malah tersipu. "Kepandaianku tak ada sekuku dibanding kesaktianmu, Sian-su. Inilah ikan yang kau minta dan mau diapakan sekarang?"

"Hm!" kakek itu berseri-seri, memandang tiga laki-laki di sebelahnya. "Kalian ingin diapakan, Hauw-sicu? Masak kecap atau bakar seperti sate?"

"Aku tak mempunyai bumbu-bumbu!" Swat Lian menukas. "Aku tak menyangka harus disuruh masak, Sian-su. Aku tak membawa apa-apa!"

"Ha-ha, jangan khawatir. Aku membawa," dan ketika kakek itu mengebutkan lengan bajunya dan mengeluarkan sesuatu maka berjatuhanlah bumbu-bumbu dapur seperti berambang dan kunyit atau lain-lain, bahkan jinten dan ketumbar. Pendeknya, bumbu pawon (dapur)!

"Ah!" Swat Lian tertegun. "Kau membawa begitu lengkap, Sian-su? Atau sihir?"

"Ha-ha, tak ada sihir. Semua ini bumbu-bumbu atau rempah yang kau butuhkan. Silahkan masak apa saja sesuai keinginan mereka!"

Sang nyonya bengong. Jangankan Swat Lian, Hauw Kam dan suhengnya saja sampai mendelong dan terbelalak melihat itu. Naga-naganya, mereka mau diajak pesta, pesta ikan laut! Tapi ketika Hauw Kam terbahak dan minta ikan masak kecap maka Swat Lian tersenyum dan mengangguk melayani permintaan itu.

"Tapi aku bakar saja, seperti sate," Gwan Beng minta yang lain.

"Dan aku goreng saos tomat, niocu. Kau tahu kesukaanku!" Pendekar Rambut Emas tersenyum, menyambung dan minta yang lain dan segera saja nyonya itu sibuk.

Bu-beng Sian-su sendiri tak minta apa-apa karena kakek itu agaknya terserah yang lain saja, apa-apa mau. Dan ketika nyonya itu mulai bekerja dan semua bumbu-bumbu yang dibutuhkan diolah dan siap dijadikan santapan lezat tiba-tiba saja nyonya itu tertegun karena dari semua bumbu-bumbu itu maka ada satu yang kurang, dan itu adalah garam!

"Sian-su, tak ada garam. Bagaimana mungkin menghidangkan ini?"

"Hm, perlu benarkah itu?"

"Tentu saja. Goreng ikan saos tomat tanpa garam tentu hambar, Sian-su. dan ikan masak kecap atau bakar tanpa garam tentu juga tidak enak! Aku butuh itu, garam!"

"Hm, kenapa begitu? Bukankah itu adalah ikan-ikan laut? Laut sendiri sudah mengandung garam, hujin. Seharusnya ikan itu sudah asin!"

"Tapi semua ikan ini masih mentah," sang nyonya melengak, bingung. "Aku tak dapat menghidangkan masakan nikmat tanpa garam, Sian-su. Aku tak mengerti omonganmu!"

"Hm, kalau begitu kau tetap membutuhkan garam?"

"Tentu saja!"

"Baiklah, terima ini," dan Bu-beng Sian-su yang memberikan garam dan tersenyum pada nyonya itu lalu memandangi yang lain-lain karena Hauw Kam maupun Gwan Beng juga kelihatan bingung oleh sikap atau kata-kata kakek dewa ini.

Hanya Pendekar Rambut Emas yang tiba-tiba kelihatan terkejut dan bersinar, cahaya matanya mencorong dan sekonyong-konyong pendekar itu tersenyum. Aneh! Namun ketika isterinya menerima dan meracik bumbu-bumbu itu, mengulegnya dengan garam maka Swat Lian sama sekali tak mengerti dan sudah melanjutkan pekerjaannya. Nyonya ini bingung tapi segera tak perduli lagi pada keanehan Bu-beng Sian-su. Sesuatu yang menakjubkan tak dilihat nyonya itu, bahkan juga dua suhengnya. Dan ketika tak lama kemudian suara 'srang-sreng' sudah disusul bau sedap dari ikan yang dimasak nyonya itu maka Hauw Kam terbahak mengusap air liurnya.

"Waduh, sedap. Lezat sekali!"

"Hm, dan perutku berkeruyuk," Gwan Beng juga tiba-tiba bicara. "Ah, tak kusangka Sian-su membawa kita untuk makan-makan, sute. Dan keterampilan sumoi dalam memasak sungguh masih mengagumkan sekali!"

"Ah, kalian laki-laki!" Swat Lian tertawa, tapi diam-diam girang sekali. "Bisanya hanya memuji dan keruyukan saja. Hayo, kau bantu aku memanggang ikan ini, ji-suheng. Dan itu masak kecap untukmu!"

Hauw Kam tertawa mengusap mulutnya. Belum apa-apa dia sudah menelan liur dan membantu sang nyonya. Gwan Beng juga bergerak dan ikut memanggang ikan. Dan ketika Kim-mou-eng tersenyum-senyum sementara Bu-beng Sian-su tertawa melihat itu maka tak lama kemudian semua masakan sudah siap di depan mereka.

"Nah, aku sudah selesai. Silahkan Sian-su nikmati dan coba kurang garam atau tidak!"

"Ha-ha, bagaimana denganmu, Kim-mou-eng? Apakah masakan isterimu kurang garam?"

"Tidak, sudah cukup."

"Tapi punyaku kurang," Hauw Kam mengomel, tertawa. "Aku suka yang asin-asin, sumoi. Dan masak kecap ini kurang asin!"

"Kalau begitu tambahlah garamnya, aku tak tahu seberapa."

"Ha-ha, sebegini sedap, ck-ck...!" membuka mulut sudah cukup. Ah, lezat..." dan Hauw Kam yang mulai menikmati masak kecapnya lalu disusul yang lain-lain setelah Sian-su mempersilahkan.

Kakek itu hanya mencicipi sedikit saja dan puas, tertawa, memuji masakan si nyonya tapi Swat Lian kurang puas. Nyonya itu menyodorkan ini-itu pula karena kakek itulah yang menyuruhnya memasak. Dan ketika satu per satu dicicipi kakek itu dan Bu-beng Sian-su tertawa, lembut, maka yang lainpun melahap dan berkali-kali memuji masakan si nyonya. Swat Lian sendiri berseri-seri karena masakannya terasa pas, berarti dia masih pandai dan dapat menyenangkan orang-orang itu. Tapi ketika masakan habis disikat dan semua mengusap mulut dengan puas maka nyonya ini teringat janji Sian-su untuk menjawab pertanyaannya.

"Sudah, bukankah sudah terjawab di sini? Kau telah menangkap dan mengolah ikan-ikan ini, hujin. Kau telah memasaknya dan meminta garam kepadaku!"

"Maksud Sian-su?" sang nyonya tertegun.

"Hm, kau tak mengerti juga? Atau pura-pura tak mengerti?"

"Tidak, aku sungguh tak mengerti, Sian-su, dan justeru aku bingung dengan semua kata-katamu yang aneh ini!"

"Ha-ha, kalau begitu kita mulai lagi. Wah, aku harus bicara!" dan ketika si kakek tersenyum dan mengebutkan ujung lengan bajunya maka kakek itu memandang satu per satu semua wajah di situ, berhenti pada si nyonya. "Hujin, agaknya kau belum menangkap jelas akan semua maksudku ini. Dan dua suhengmu ini rupanya juga terheran-heran. Baiklah, aku akan menjelaskannya dan kau dengar baik-baik. Pertama...!" kakek itu tiba-tiba bersikap serius, tak tertawa lagi. "Bagaimana dengan ikan-ikan yang kau masak tadi? Apakah mereka terpengaruh dunianya?"

Sang nyonya terkejut, bingung. "Dunianya? Dunia apa?"

"Hm, mereka hidup di laut, hujin. Dan tentu saja tentang air laut itu."

"Aku tak mengerti," si nyonya semakin mengerutkan keningnya. "Kau berputar-putar, Sian-su. Aku bingung!"

"Hm, apa yang kau minta dariku ketika memasak tadi?"

"Bumbu-bumbu dapur."

"Hanya itu? Tidak ada yang lain, yang terakhir?"

"Ada, garam!"

"Nah, itulah. Itu yang kumaksud! Air laut sendiri sudah mengandung garam, hujin. Dan ikan-ikan itu setiap hari bergelimang garam. Kenapa kau masih meminta garam juga kepadaku? Bukankah ikan-ikan itu sudah mengandung garam?"

Swat Lian tertegun, mujlai membelalakkan mata. "Ini.... ini.... ia gugup. "Laut tak sama dengan ikan, sian-su. Mereka tak mengandung garam karena mereka bukan laut!"

"Tapi mereka setiap hari bergelimang dengan garam. Mereka setiap hari hidup di laut!"

"Tapi... tapi..." sang nyonya bingung. "Mereka... mereka bukan laut, Sian-su. Mereka adalah makhluknya!"

"Itulah, tapi kenapa tidak terpengaruh dunianya? Kenapa tidak terpengaruh garam meskipun setiap hari bergelimang garam? Hm, ada sesuatu yang ingin kutekankan, hujin. Harap perhatikan baik-bak apa yang kau lihat dan akan kau dengar ini. Kau sendiri tahu, ikan hidup di laut. Mereka setiap hari bergelincir dan bergelimang di laut. Tapi anehnya, air laut yang asin sama sekali tidak mempengaruhi tubuh mereka. Bahkan, ketika kau memasaknya kau masih butuh garam! Hm, bukankah aneh? Tidakkah sesuatu kau lihat di sini dan ambil hikmahnya? Aku tahu bahwa ikan bukanlah laut, hujin, sebagaimana lautpun bukanlah ikan. Tapi laut adalah dunia sehari-hari ikan, tanpa laut mereka mati!"

"Tapi ikan ada yang hidup di air tawar!" Hauw Kam tiba-tiba berseru, nimbrung.

"Maaf, persoalan kita tidak ke sana, Hauw-sicu. Melainkan ke sini, ikan dengan lautnya."

"Hm, baiklah. Lalu bagaimana, Sian-su?"

"Pertanyaan ini harus diajukan Kim-hujin, biarlah dia yang bertanya." dan ketika kakek itu kembali menghadapi Swat Lian dan nyonya itu tampak gelisah, bingung, maka kakek itu mengulapkan lengannya menarik si nyonya ke dalam pembicaraan lagi. "Hayo, jawab pertanyaanku, hujin. Kenapa bisa begitu dan pelajaran apa yang bisa kau petik dari sini?"

Swat Lian gemetar. "Aku tak tahu, Sian-su. Aku tak mengerti apa-apa!"

"Jelas!" kakek itu berseru. "Sudah dilihat dan diamati kenapa belum mengerti juga? Ah, jangan gugup, hujin. Mari bersama-sama mengupas dan melihat keganjilan ini. Ada sesuatu yang luar biasa yang patut dicontoh manusia!"

"Dicontoh manusia?"

"Ya. Kau sudah melihat sendiri bahwa meskipun bergelimang dan bergelincir di air laut tetapi ikan-ikan itu tak mengandung garam, hujin. Bahkan ketika memasaknya manusia malah memberi garam! Ada keganjilan di sini yang harus kita amati, dan keganjilan itu adalah itu, ikan yang tidak terasa asin meskipun hidup di air asin! Apa yang kau lihat?"

Sang nyonya tertegun.

"Ayo, jawab apa yang kau lihat, hujin. Jangan melenggong saja!"

"Aku.... aku tak melihat apa-apa. Aku.... aku masih bingung, Sian-su. Aku tak mengerti!"

"Hm, kau! Bu-beng Sian-su mengejutkan Hauw Kam. "Apa yang kau lihat, Hauw-sicu?"

"Tit... tidak. Aku tidak melihat apa-apa!" Hauw Kam terkejut menjawab. "Aku bodoh dan tak tahu apa-apa, Sian-su. Aku hanya ingin mendengar dan biarlah kau yang menjawab!"

"Hm, kau?" sang kakek dewa memandang Gwan Beng. "Apakah kau juga tak melihat apa-apa Gwan-sicu?"

"Aku melihat sedikit saja," Gwan Beng menjawab. "Tapi aku tak berani mengatakannya, Sian-su. Aku takut aku salah!"

"Hm, cobalah," sang kakek berseri, "Jangan takut-takut, Gwan-sicu. Kita sama-sama mencoba mengupas ini. Bicaralah!"

"Aku melihat bahwa ikan itu tak terpengaruh oleh..."

"Ha-ha, lanjutkan!" sang kakek berseru menyuruh Gwan Beng tak perlu takut-takut, karena laki-laki itu berhenti. "Kau mulai menuju pada inti persoalan, Gwan-sicu. Tak usah ragu dan teruskan jawabanmu!"

"Aku melihat ikan-ikan itu tak terpengaruh oleh asinnya air laut. Mereka memiliki daya tolak terhadap garam!"

"Ha-ha, benar, tetapi salah. Aku tak bermaksud sejauh itu, Gwan-sicu. Melainkan pada jawaban singkat pertama tadi. Ah, kau...!" sang kakek menunjuk Pendekar Rambut Emas. "Coba sempurnakan jawaban itu, Kim-mou-eng. Bawa teman-temanmu ini kepada pengertian tunggal!"

Kim-mou-eng terkejut. Pendekar Rambut Emas ini sedang enak-enaknya tersenyum-simpul ketika tiba-tiba Bu-beng Sian-su menuding padanya. Dia terkejut dan seketika lenyap senyumnya. Dan ketika dia batuk-batuk untuk menghilangkan kegugupan dan kagetnya maka pendekar ini berkata sambil menekan debaran jantung. "Sian-su sebenarnya hendak mengibaratkan Siang Le sebagai ikan. Air laut adalah dunia ini, dunia kita. Dan karena dunia ini begitu kotor dan penuh kebusukan maka garam di air laut itu diumpamakan kejahatan-kejahatan dunia yang menyelubungi kehidupan manusia!"

"Ha-ha, betul, tetapi kurang langsung. Heh, jelaskan tanpa tedeng aling-aling lagi, Pendekar Rambut Emas. Beritahu isterimu apa yang kau mengerti!"

"Sian-su hendak bicara tentang Siang Le...."

"Betul."

"Dan air laut itu adalah dunia si pemuda yang berusaha mengotorinya dan membuatnya asin..."

"Tidak begitu. Ganti istilah itu, Kim-mou-eng. Ganti yang benar!"

"Hm, aku hendak berkata bahwa dunia di sekeliling Siang Le adalah dunia yang jahat, Sian-su. Pemuda itu hendak dibungkus dan dipengaruhi kejahatan!"

"Ha-ha, bagus, tepat sekali. Lalu?"

"Lalu tak berhasil, Sian-su. Karena Siang Le adalah seperti ikan di laut itu!"

"Ha-ha, cocok dan benar. Eh, kau mengerti, hujin? Kau dapat menangkap kata-kata suamimu ini?"

"Aku bingung, terkejut...." sang nyonya merasa dipukul. "Aku minta diulangi, Sian-su. Aku belum jelas benar!"

"Hm, coba ulangi," Bu-beng Sian-su menyuruh lagi. "Beri jawaban yang jelas kepada isterimu ini, Kim-mou-eng. Dan aku akan menuntunmu kalau kurang benar."

"Jelas," Pendekar Rambut Emas menarik napas. "Kau hendak menitikberatkan masalah pengaruh, Sian-su. Bahwa meskipun laut boleh asin tapi ikan-ikan itu sendiri tidak. Bahwa meskipun dunia itu boleh jahat tapi Siang Le tetap teguh dan berada di jalan kebenaran!"

"Ha-ha, bagus. Kau mengerti, hujin? Atau minta kutegaskan lagi?"

Sang nyonya mengangguk, menggigil.

"Baiklah," kakek ini bersinar-sinar. "Agaknya jawaban suamimu tak memuaskan hatimu, hujin. Rupanya kau minta agar aku yang bicara. Hm, benar. Sebetulnya sama saja. Tapi tak apa, aku akan menegaskan. Dan inti persoalan memang pada itu: PENGARUH! Manusia, dalam hal ini Siang Le, hampir setiap saat dikelilingi dan dipenuhi debu-debu kekotoran duniawi. Dia adalah murid See-ong, seorang kakek iblis. Dan karena See-ong bukanlah orang baik-baik dan apa saja dilakukan kakek itu demi kesenangan dirinya sendiri maka muridnya dibawa dan hendak dicetak seperti dirinya itu. See-ong, seperti 'dunia ini atau air laut itu' adalah debu-debu duniawi yang amat kotor. See-ong ibarat air laut atau dunia ini yang hendak menggulung dan membungkus manusia dalam pengaruh kejahatannya. See-ong adalah kakek iblis yang amat berbahaya sekali karena perbuatan-perbuatannya selalu di luar kebenaran. Tapi karena Siang Le adalah seperti ikan di laut maka meskipun garam kejahatan itu berusaha menggelimanginya tetap saja pemuda itu bersih dan teguh dalam kebenaran. Lihat saja betapa dia menentang sepak terjang gurunya. Lihat saja ketika dia tak setuju melihat gurunya menyerang kota raja. Apa yang dilakukan pemuda itu, hujin? Diam dan pura-pura sakit! Siang Le tak mau ikut-ikutan gurunya meskipun dia dipaksa. Dan kalau gurunya menyudutkan maka dia pilih dibunuh daripada melanggar kebenaran! Hm, pemuda inilah mutiara di dasar laut itu, hujin. Pemuda inilah ikan yang tidak terpengaruh asinnya air laut. Dia adalah pemuda mengagumkan yang pantas menjadi mantumu. Kau tak usah melihat gurunya karena See-ong adalah laut sementara Siang Le ikannya!"

Sang nyonya terkejut, membelalakkan mata lebar-lebar.

"Dan kau tadi bilang," kakek ini melanjutkan, berseri-seri. "Laut bukanlah ikan, hujin. Dan ikan bukanlah laut! Kenapa menganggap ikan seperti laut atau laut seperti ikannya? Bukankah See-ong adalah See-ong dan muridnya adalah muridnya? Siang Le bukan See-ong, hujin. Dan See-ong bukan Siang Le. Pemuda itu adalah ikan yang bersih meskipun berusaha digulung dan dibungkus kejahatan!"

"Sian-su berani menjamin?"

"Kenapa tidak? Pemuda itu adalah mutiara yang langka dicari, hujin. Dan puterimu akan mendapat kebahagiaan bersanding dengan pemuda ini. Siang Le adalah ikan yang tidak terpengaruh oleh asinnya air laut. Dia adalah pemuda yang tidak terpengaruh oleh kejahatan atau sepak terjang gurunya!"

Sang nyonya tertegun. Tiba-tiba dia melihat suaminya tersenyum dan mengangguk-angguk. Itulah kenyataan yang dilihat tapi nyonya ini masih ragu juga. Ada sebuah pepatah yang mengatakan bahwa buah tak jauh dari pohonnya. Dan karena See-ong adalah pohon sementara pemuda itu ibarat buahnya maka nyonya ini menyergap, "Sian-su, aku dapat melihat bahwa apa yang kau katakan itu benar. Bahwa selama ini pemuda itu memang bagai langit dan bumi dengan gurunya. Tapi siapa tahu di kemudian hari kelak pemuda itu berubah? Siapa tahu semua gerak-geriknya selama ini hanya taktik untuk menjerat puteriku?"

"Hm, maksudmu?"

"Ada pepatah mengatakan buah tak jauh dari pohonnya, Sian-su. Bahwa tindak-tanduk anak tak akan jauh dengan orang tuanya!"

"Tapi Siang Le bukanlah anak, pemuda itu hanya murid! Kau tak tepat membawa perumpamaan, hujin. Darah yang mengalir di tubuh Siang Le bukanlah darah See-ong. Pemuda itu pada dasarnya memiliki watak yang bersih, hati yang bersih. Tapi karena kebetulan saja dia ditemukan See-ong dan dipungut murid maka dia dekat dengan gurunya itu meskipun tak berarti dekat dengan tindak-tanduk gurunya itu, kejahatannya!"

"Hm...!" nyonya ini tersudut, tapi masih juga membantah. "Aku masih mengkhawatirkan puteriku, Sian-su. Betapapun aku ragu karena Siang Le adalah murid See-ong, pembunuh ayahku!"

"Hm, ini penyebabnya, biang penyakitnya," kakek itu menghela napas. "Kau dikotori nafsu dendammu, hujin. Kau tak jernih dan berpikiran terang. Kalau kau bersikeras menolak pemuda itu tentu saja aku tak dapat menghalangi. Hanya jawabanmu menjadi tak sehat. Kau terpengaruh oleh dendammu kepada See-ong!"

"Aku..." sang nyonya menangis. "Aku benci karena See-ong membunuh ayahku, Sian-su. dan kakek itupun kini lepas. Aku marah dan memang amat mendendam sekali!"

"Ini pembicaraan yang lain," kakek itu berkata sareh. "Kau tadi membicarakan pemuda itu, hujin. Dan aku sudah menjawabnya. Kalau ingin tahu yang lain lagi maka kita harus menuju pada syair yang lain lagi. Sekarang, tentang pemuda itu, dapat kukatakan kepadamu bahwa Siang Le adalah pemuda yang benar-benar baik luar dalam. Aku menjamin pemuda ini seperti aku melihat tak terpengaruhnya ikan oleh asinnya air laut. Pemuda itu pada dasarnya berbatin bersih, wataknya mengagumkan. Kalau kau ingin membahagiakan puterimu dan tidak terlibat ke-aku-anmu sendiri maka ini adalah langkah yang benar atau kau akan mendapat peristiwa tak menyenangkan dari puterimu sendiri!"

Swat Lian tertegun. Sang nyonya teringat perlawanan Soat Eng ketika hendak dijauhkan dari Siang Le. Puterinya itu bahkan siap bunuh diri kalau dia menghalangi. Ah, tentu saja dia tak menghendaki itu. Soat Eng adalah puteri satu-satunya yang dimiliki. Gadis itu adalah puteri tunggalnya karena anak-anaknya yang lain adalah laki-laki. Dan ngeri membayangkan perlawanan puterinya yang tentu tak kalah keras akhirnya nyonya ini terisak dan memeluk suaminya.

"Aku dapat melihat kata-kata Sian-su. Aku percaya. Biarlah See-ong kulupakan dan pemuda itu tak kukait-kaitkan dengan namanya."

"Bagus, dan kuberi tahu sekalian, hujin. Kelak pemuda itu akan menebus dosamu dalam sesuatu hal. Kau akan berhutang budi kepadanya. Baik-baiklah dan jangan bersikap keras!"

"Aku tahu..." sang nyonya mengusap air matanya. "Dan terima kasih, Sian-su. Mudah-mudahan aku selalu ingat dan tak lupa akan semua nasihat-nasihatmu ini."

"Dan tak ada pertanyaan lagi, bukan?"

"Nanti dulu!" Gwan Beng tiba-tiba berseru. "Nasihat atau wejanganmu terasa belum lengkap, Sian-su. Ada sesuatu yang kurasa kurang!"

"Hm, apa itu?"

"Tentang pengaruh. Apakah hal itu jelek dan memang merugikan manusia?"

"Ha-ha, kau harus dapat menjawabnya sendiri. Kau bukan anak-anak, Gwan-sicu. Kau adalah seorang laki-laki yang sudah cukup umur. Tentunya kau tahu bahwa pengaruh yang kumaksudkan di situ adalah PENGARUH YANG BURUK! Manusia gampang sekali jatuh ke dalam pengaruh-pengaruh macam begini. Dan biasanya pengaruh model begitu selalu menjanjikan kesenangan di awal mulanya. Lihat saja sekelompok judi umpamanya, atau candu, atau sex, atau apa saja yang mudah menggelincirkan manusia ke dalam tindakan-tindakan sesat. Bukankah pengaruh-pengaruh itu yang kumaksudkan? Untuk yang baik, yang benar, tentu saja manusa boleh terpengaruh. Tapi untuk yang baruk , jahat, hmmm... sebaiknya manusia menghindar dan bersikaplah seperti ikan di laut itu. Laut boleh asin tapi sang ikan tidak! Dunia boleh jahat tapi aku tetap menjaga kebersihan! Ha-ha, bukankah jelas, Gwan-sicu?"

Gwan Beng mengangguk-angguk. Akhirnya laki-laki ini malah tersipu karena pertanyaannya seperti anak kecil, kurang dewasa. Bukankah dia harus tahu bahwa yang dimaksud kakek dewa itu adalah pengaruh yang buruk? Dan tadi kakek itu telah menyatakannya secara jelas. Laut diibaratkan dunia yang penuh garam kejahatan. Laut diibaratkan debu-debu duniawi yang mengotori manusia ini. Dan hanya manusia seperti ikan itulah yang tidak bakal terpengaruh oleh asinnya garam kejahatan. Ah! Dan ketika laki-laki ini mengangguk berulang-ulang dan kakek itu bangkit berdiri tiba-tiba Bu-beng Sian-su berkata bahwa pembicaraan sudah cukup.

"Syair ini telah kukupas. Dan intinya telah kalian ketahui. Kukira tak perlu kita bicara lagi dan dalam pertemuan berikut barangkali kita akan bicara yang lain lagi. Bukankah begitu, Kim-mou-eng?"

Pendekar Rambut Emas mengangguk. Dia tahu bahwa pembicaraan memang sudah selesai. Syair itu telah dikupas. Maka ketika dia bangkit berdiri dan membungkuk di depan gurunya itu, kakek dewa yang tak mau secara resmi disebut guru maka Bu-beng Sian-su berkelebat dan lenyap meninggalkan mereka. Kakek itu hanya tampak mengebutkan lengan dan tahu-tahu hilang, seperti iblis. Dan ketika Gwan Beng dan yang lain-lain memberi hormat dan mengucap terima kasih maka Swat Lian terisak memeluk suaminya.

"Kau terlalu," nyonya ini berbisik. "Kalau tahu jawabannya kenapa tidak memberitahukannya kepadaku, suamiku? Aku malah takut mendengar kata-kata Sian-su tadi!"

"Kata-kata yang mana?"

"Bahwa aku akan berhutang budi kepada Siang Le. Ah, gurunya mempunyai hutang jiwa malah muridnya memberi hutang budi! Apa-apaan ini?"

"Sudahlah, kita harus menghadapi semuanya itu, isteriku. Tak perlu membenci terlalu jauh. Sian-su hanya memberi tahu saja dan justeru hal ini dapat membuat kita berjaga-jaga, waspada."

"Dan kau, bagaimana bisa tahu semua itu?"

"Tentang apa?"

"Syair itu. Dulu kau bilang belum tahu tapi sekarang ternyata dapat menjawab!"

"Ah, jangan salah paham. Dulu kukatakan bahwa syair itu pasti berkaitan erat dengan Siang Le. Aku baru mengerti jawaban sepenuhnya setelah Gwan-suheng tadi bicara masalah pengaruh."

"Begitukah?"

"Ya, dan ingat. Jelek-jelek Sian-su adalah guruku, niocu. Jadi segala gerak-gerik atau kata-katanya mudah kutangkap. Itulah yang membuat aku lebih dulu mengerti daripada kalian."

"Hm, kalau begitu sudahlah. Mari kita pulang!" dan ketika sang nyonya berkelebat dan diikuti suaminya, yang bergerak dan menggandeng lengan isterinya itu maka Gwan Beng dan Hauw Kam termangu-mangu terngiang segala kata-kata kakek dewa itu.

Mereka membayangkan Siang Le, dan mereka kagum. Hm, pemuda itu memang seperti ikan di laut. Gurunya boleh jahat tapi justeru pemuda ini tidak. Gurunya boleh kejam tapi pemuda itu justeru lemah lembut dan berwatak mulia. Ah, mampukah orang-orang lain melakukan seperti apa yang dilakukan pemuda itu? Agaknya mustahil, atau kalaupun bisa, maka itu harus dilakukan dengan perjuangan yang berat dan tidak kenal lelah.

Pengaruh, yang buruk, memang mudah sekali menggelincirkan dan menjebak manusia. Begitu mudahnya manusia dirobohkan dan hanyut dalam pengaruh buruk. Dan contohnya se-abrek. Para penjudi, para pemabok, atau para penipu dan para-para lain yang tak perlu disebutkan satu per satu. Manusia begitu mudah dan gampangnya dipengaruhi pengaruh buruk. Dan kalau sudah begitu maka biasanya bukan kebahagiaan melainkan kesengsaraan yang akan dialami manusia.

Debu-debu kotor itu, garam-garam kejahatan itu, bukankah selayaknya perlu ditamengi dan dijaga? Manusia bukan ikan, tapi manusia dapat berusaha seperti ikan. Dan itulah yang dimaksud Sian-su. Menjaga dan agar tetap selalu dalam jalan Kebenaran. Padahal jalan Kebenaran itu biasanya sempit. Lain dengan jalan Ketidakbenaran yang biasanya lebar dan menganga di depan manusia, jalan yang sebenarnya siap mencaplok manusia seperti mulut buaya yang akan menelan mangsanya bulat-bulat!

Gwan Beng mengangguk-angguk. Laki-laki ini dapat melihat itu dan sebagai orang yang cukup berumur dia segera mengerti apa artinya itu. Sebuah nasihat untuk manusia agar tetap selalu di jalan kebenaran, meskipun jalan itu sempit. Tinggal sekarang manusianya, mampukah dia menjaga diri seperti ikan? Mampukah dia menanggul dan memagari diri sendiri dari debu-debu yang beterbangan ini? Ah, dosa dan kesalahan terlalu banyak dibuat manusia. Dan hanya orang-orang yang 'berbakat' istimewa saja barangkali yang dapat seperti Siang Le.

Tapi manusia harus mencoba, harus berusaha. Bukankah hidup adalah perjuangan? Bukankah hidup adalah pergulatan? Dan karena hidup adalah perjuangan atau pergulatan maka manusia harus mencoba untuk hidup dalam taraf yang lebih baik. Dan itu adalah menahan debu-debu kekotoran, menolak dan tidak membiarkannya merembes masuk karena sekali dicengkeram sesuatu pengaruh buruk maka manusia biasanya tak mudah lagi melepaskan diri!

Gwan Beng mengangguk-angguk. "Hm, apa yang kau pikir, suheng?"

Hauw Kam tiba-tiba bertanya. "Itu, wejangan Sian-su tadi. Bukankah indah dan bagus sekali, sute? Kita diminta seperti ikan, tak terpengaruh oleh garamnya kehidupan, yang buruk!"

"Dan Siang Le menjadi contoh yang jelas dalam pembicaraan ini. Ah, bocah itu memang mengagumkan. Dari dulu aku sudah tahu bahwa anak itu memang pemuda baik-baik!"

"Dan dia berbeda sekali dengan gurunya, memiliki kepribadian sendiri dan tidak terpengaruh sepak terjang gurunya!"

"Ya, seperti ikan dalam air laut, tak terasa asin meskipun digelimangi garam!"

"Dan kau tadi malah menambah garam!"

"Ha-ha, karena kurang asin, suheng. Ikan yang kumakan masih kurang nikmat dan sedap!"

"Dan kita mendapat pelajaran yang berharga. Ah, Sian-su memang kakek dewa yang mengagumkan. Mudah-mudahan lain kali kita dapat bertemu lagi dan mendapatkan wejangannya. Mari, kita pulang, sute. Aku ingin melihat pernikahan anak-anak kita!"

"Hm, benar. Dan aku akan membela dan melindungi anak-anak itu kalau ibunya masih marah. Mari, kita berangkat, suheng. Kita lihat dan saksikan pernikahan anak-anak itu!"

Gwan Beng mengangguk. Sutenya sudah bergerak dan tertawa meninggalkan pantai. Mereka tak perduli lagi pada sisa tulang-tulang ikan yang berserakan. Mereka telah mendapatkan makanan rohani yang jauh lebih nikmat daripada ikan-ikan itu. Dan ketika keduanya bergerak dan terbang ke utara maka suheng dan sute ini telah menyusul Pendekar Rambut Emas dan isterinya yang telah pergi meninggalkan mereka.

Swat Lian telah mendapatkan jaminan akan Siang Le. Nyonya itu merestui pernikahan puterinya dengan murid See-ong itu, meskipun diam-diam dia agak cemberut karena mantunya adalah murid seorang tokoh sesat! Dan ketika Siang Le akhirnya mendapatkan Soat Eng dan dua muda-mudi itu memperoleh kebahagiaannya maka sebulan kemudian pemuda ini mendapat kepercayaan Pendekar Rambut Emas untuk memiliki ilmu-ilmu Khi-bal-sin-kang dan Jing-sian-eng, bahkan juga Lui-ciang-hoat dan Cui-sian Gin-kang.

"Kau sekarang sudah menjadi keluargaku, suami Soat Eng. Janggal rasanya kalau seorang kepala keluarga harus di bawah isterinya. Nah, mulai sekarang kau dapat menerima ilmu-ilmuku, Siang Le. Agar kau setingkat dan tidak jauh dengan isterimu. Mulai hari ini kau akan mewarisi Khi-bal-sin-kang dan Jing-sian-eng, juga Lui-ciang-hoat dan Cui-sian Gin-kang yang kelak akan kau pelajari secara bertahap."

"Ah, terima kasih, gak-hu (ayah mertua). Tapi.... tapi aku tak berani!" Siang Le terkejut, segera menjatuhkan diri berlutut.

"Hm, berdirilah!" Pendekar Rambut Emas menarik bangun. "Kau mantuku, Siang Le. Kau anakku. Kau bukan orang lain lagi dan tak perlu sungkan menerima ini. Aku tak ingin kau menjadi beban isterimu kalau kepandaian kalian terpaut jauh!"

Siang Le gemetar. Tentu saja dia girang tapi juga berdebar tegang mendengar kata-kata itu. Dia akan mewarisi kepandaian Pendekar Rambut Emas, hal yang tak pernah terbayangkan, meskipun dia sudah menjadi mantu. Dan ketika Pendekar Rambut Emas menarik bangun tubuhnya dan menyuruh dia bersikap biasa maka Siang Le tersipu-sipu menerima Khi-bal-sin-kang dan Jing-sian-eng, dua ilmu dahsyat yang belum ada tandingan, apalagi kalau digabung dengan Lui-ciang-hoat dan Cui-sian Gin-kang, kepandaian yang menjadi andalan keluarga Pendekar Rambut Emas itu. Tapi ketika dia mulai mewarisi ilmu-ilmu ini dan menjadi mantu sekaligus murid Pendekar Rambut Emas tiba-tiba suatu hari gak-bonya (ibu mertua) muncul, minta agar dia menangkap dan membunuh See-ong, gurunya!

"Aku masih dendam sekali kepada iblis tua bangka itu. Cari dan bunuh dia setelah kau mendapat kepercayaan suamiku yang demikian besar dengan menurunkan ilmu-ilmunya kepadamu!"

Siang Le tertegun.

"Kau mampu melakukannya, bukan?"

"Maaf," pemuda ini menjawab menggigil. "Dia... dia guruku, gak-bo. Kalau kau minta agar aku menangkap dan membunuhnya maka lebih baik gak-bo membunuh aku sekarang saja. Aku tak sanggup!"

"Hm, kau sekarang sudah menjadi menantu dan murid Pendekar Rambut Emas, Siang Le. Kau bukan murid See-ong lagi!"

"Tapi dialah yang membesarkan dan menyambung umurku. Tanpa dia tak mungkin aku ada, gak-bo. Tanpa dia tak mungkin aku masih hidup!"

"Jadi bagaimana maumu?"

"Aku tak sanggup...."

"Kalau begitu bawa saja dia kemari kelak. Atau kau juga tak sanggup?"

Siang Le menggigil. Tak disangkanya bahwa kegembiraan yang baru diperoleh tiba-tiba diikuti dengan persoalan baru, persoalan yang tidak menyenangkan. Tapi karena dia sudah terikat dan ibu mertuanya ini adalah isteri gurunya pula, Pendekar Rambut Emas maka Siang Le berada di persimpangan jalan ketika mengangguk, lirih. "Baiklah," pemuda itu pucat. "Aku juga akan membayar hutang budimu, gak-bo. Aku tak berjanji tapi aku akan mengusahakan."

Swat Lian tersenyum mengejek. Dia sudah cukup puas dan berkelebat pergi. Nyonya ini sebenarnya mendongkol kenapa suaminya menurunkan semua ilmu-ilmu keluarga, padahal itu adalah ilmu-ilmu dahsyat yang tak boleh diturunkan pada sembarang orang. Tapi ketika si pemuda mengangguk dan pembicaraan itu tak ada yang mendengar maka si nyonya cukup puas tapi hari-hari berikut Siang Le justeru lesu mempelajari Khi-bal-sin-kang dan lain-lainnya itu!

Pemuda ini terpukul dan terguncang. Pendekar Rambut Emas sendiri heran dan tak mengerti kenapa tiba-tiba pemuda itu seperti tak bersemangat. Dan ketika semuanya itu ditambah keinginan Siang Le untuk ke Sam-liong-to, tinggal di sana, maka sang pendekar tertegun tapi tak dapat menolak ketika Siang Le berkata bahwa biarlah untuk selanjutnya Soat Eng yang mengajari.

"Eng-moi tentu dapat melanjutkan pelajaran gak-hu. Biarlah kami tinggal di Sam-liong-to dan hidup sendiri di sana."

Kim-mou-eng tak dapat menolak. Mereka adalah pengantin-pengantin baru yang sudah membangun rumah sendiri. Dipikirnya Siang Le mungkin ingin berbulan madu berdua, rikuh di rumah mertua. Dan ketika pendekar itu menyetujui dan melepas mereka maka Siang Le selanjutnya tinggal di Sam-liong-to.

Berbahagiakah pemuda ini? Seharusnya begitu. Hidup senangkah pemuda ini? Seharusnya begitu. Tapi karena tak ada yang tahu pembicaraan antara pemuda itu dengan ibu mertuanya maka sesungguhnya pemuda ini diam-diam hidup menderita. Masa pengantin baru dilewati dengan bingung. Soat Eng heran melihat sikap suaminya ini. Tapi karena Siang Le tak pernah menceritakan hal itu dan menutupnya secara rahasia maka kelak ini baru diketahui Soat Eng beberapa tahun kemudian, setelah sesuatu yang menggegerkan terjadi.

Apakah itu? Mari kita lihat saja dalam lanjutan kisah RAJAWALI MERAH. Anda akan tahu dan bertemu lagi dengan pemuda itu, juga Bu-beng Sian-su, kakek dewa yang siap memberikan wejangan-wejangannya itu. Salam hangat!

TAMAT

(Seri selanjutnya)
RAJAWALI MERAH

Istana Hantu Jilid 35

ISTANA HANTU
JILID 35
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

Gwan Beng menarik napas. "Disinilah sulitnya,' katanya hati-hati. "Pemuda itu terlalu berbakti dan hormat kepada gurunya, Lian-moi. Siang Le tak mau mencari wali lain kalau gurunya masih hidup. Dia tak mau menyingkur (tak menghargai)."

"Kalau begitu bunuh saja kakek itu. Dulu aku sudah bilang!"

"Hm," Pendekar Rambut Emas tiba-tiba bicara, maju di antara tiga orang yang sedang berdebat sengit ini. "Siang Le memang pemuda yang berbudi, niocu. Dan agaknya sulit juga memaksa pemuda itu meninggalkan gurunya. Satu-satunya jalan ialah membebaskan See-ong, demi kebahagiaan puteri kita."

"Kau mau membebaskannya? Kau tak mau tahu perasaan diriku? Baiklah, bebaskan kakek jahanam itu, suamiku. Tapi aku pergi meninggalkan rumah ini!"

"Ibu...!" Soat Eng tiba-tiba menjerit, melihat ibunya berkelebat keluar. "Tidak... jangan, ibu. Jangan. Tunggu...!" dan Soat Eng yang bergerak dan mengejar ibunya tiba-tiba mengguguk dan menubruk ibunya itu.

Sejak tadi gadis ini tak berani bicara kecuali hanya mendengarkan saja. Diam-diam ia merasa pucat melihat ketegangan itu. Dia dapat merasakan dendam dan sakit hati ibunya akan kematian kong-kongnya. Dia dapat merasa bahwa tiba-tiba saja kebahagiannya harus diganti dengan pengorbanan ibunya yang demikian besar. Ah, terpukul gadis ini. Remuk redam perasaannya. Maka begitu dia menyambar dan menubruk ibunya, tersedu-sedu, tiba-tiba Soat Eng mencabut pisau dan tiba-tiba tanpa banyak bicara lagi ia menusuk tenggorokannya dengan pisau itu.

"Ibu, maafkan aku. Aku ternyata menyusahkan dirimu. Biarlah aku menyusul kong-kong dan tak usah kita bicara lagi tentang ini!" tapi begitu pisau bergerak dan menusuk tenggorokan, hal yang membuat sang ibu terpekik dan menjerit keras tiba-tiba bayangan kuning emas menyambar dan Kim-mou-eng berkelebat menampar puterinya itu.

"Tahan!"

Soat Eng terpelanting. Gerakan sang ayah kiranya menyelamatkan puterinya itu tapi pisau sempat menggurat leher. Soat Eng tersedu dan Swat Lian pun bergerak menyambar puterinya itu, yang terguling-guling dan terlepas pisaunya oleh gerakan sang ayah. Dan ketika sang ibu menjerit dan menubruk anaknya, memeluk, maka Swat Lian sadar dan segera saja ibu dan anak itu bertangis-tangisan.

"Gila, kau gila! Kau tidak waras! Ah, maafkan ibumu, Eng-ji, maafkan aku. Kau... kau, ah!" dan Swat Lian yang mencengkeram puterinya erat-erat dengan air mata bercucuran akhirnya melihat luka di leher itu, guratan pisau yang sempat melukai puterinya dan mengguguklah nyonya ini mengusap luka itu. Swat Lian sudah mengambil saputangannya dan luka itu dibalut, untung luka kecil, meskipun mengeluarkan darah.

Dan ketika Soat Eng mengguguk dan memeluk ibunya pula, berciuman, maka Pendekar Rambut Emas mendekati keduanya dan diam-diam pucat melihat kenekatan puterinya tadi, yang siap bunuh diri.

"Niocu, aku tak dapat membela satu di antara kalian. Kalian sama-sama isteri dan anakku. Kehilangan yang satu mendapatkan yang lain jelas aku tak mau. Terserah dirimu, kebahagiaan siapa yang kau pikirkan. Hanya, kenekatan Eng-ji barangkali bisa terulang di lain kesempatan. Kau harus menjaga anakmu itu dan selanjutnya kalian bicaralah sendiri!" dan tergetar menahan perasaannya yang terguncang tiba-tiba pendekar ini membalik dan menghadapi Hauw Kam dan suhengnya. "Ji-heng, twa-heng, agaknya kita harus membiarkan ibu dan anak tanpa diganggu orang lain lagi. Marilah masuk bersamaku dan kita minum arak di dalam."

Hauw Kam membelalakkan mata. Dia terkejut sekali ketika tadi secara tiba-tiba Soat Eng menusuk tenggorokannya. Kejadian itu tak diduga, juga berlangsung cepat. Tapi ketika Pendekar Rambut Emas dapat menggagalkan itu dan pisau di tangan puterinya ditampar lepas maka Hauw Kam lega dan hampir saja laki-laki ini berteriak histeris. Dia terkejut tapi sudah dapat menguasai dirinya lagi, girang dan lega bahwa akhirnya Soat Eng digagalkan maksud bunuh dirinya. Tapi Gwan Beng yang justeru berkerut dan tidak beranjak tiba-tiba membuat sutenya tertegun.

"Suheng, Kim-taihiap memanggil kita!"

"Hm," Gwan Beng sadar, terkejut. "Marilah, sute. Tapi aku jadi tak enak dengan kata-kata Kim-taihiap tadi. Ah, marilah. Kita ke dalam dan biar sumoi mengurusi anaknya!" dan tidak memberikan jawaban lengkap kenapa dia berkerut kening tiba-tiba Gwan Beng sudah memasuki ruang dalam dan melirik sumoinya itu, nyonya rumah, yang tertegun dan balas memandangnya tapi Swat Lian tiba-tiba menangis.

Nyonya ini terkejut dan agaknya mengerti apa yang dimaksud suhengnya itu, kata-kata yang sebenarnya berasal dari suaminya sendiri dan Swat Lian meremas puterinya. Dan ketika suheng dan sute itu masuk ke dalam, minum arak, hal yang aneh sekali maka Swat Lian mengajak puterinya masuk ke kamar dan berdua terlibat pembicaraan serius!

* * * * * * * *

Di Sam-liong-to. See-ong terkekeh-kekeh ketika melihat muridnya termenung sendirian di sudut. Akhirnya kakek itu tahu bahwa Soat Eng meninggalkan pulau, menemui ayah ibunya. Dan karena merasa yakin muridnya tak berkutik di bawah kekuasaannya, tak mau memberi restu kalau dia tidak dibebaskan maka kakek itu terbahak mengejek muridnya.

"Kau tak usah bimbang. Di dunia ini banyak gadis cantik, lagi rupawan dan tak kalah dengan puteri Pendekar Rambut Emas itu. Kenapa sedih dan murung seperti laki-laki lemah yang tak punya keinginan? Heh, lupakan saja siluman betina itu, Siang Le. Dan bebaskan aku selagi musuh-musuh kita tak ada di sini!"

"Suhu tak usah mengulang-ulang permintaan itu," Siang Le menjawab jengkel. "Kau tahu aku di sini menemanimu, suhu. Kalaupun kau dilepas tentu aku menjagamu dan tak boleh pergi."

"Heh, kau malah menjadi penjaga yang mengawasi gerak-gerik suhumu? Kau tidak membantu aku meloloskan diri malah menjaga dan mengurung aku seperti tahanan? Keparat, pakai otakmu itu, Siang Le. Aku gurumu, bukan musuh. Kau tak boleh bicara seperti itu atau kuhancurkan mulutmu nanti!"

"Suhu boleh membunuhku," si pemuda menjawab tenang. "Dan aku tak akan menyesali perbuatanmu itu. Bukankah jauh lebih bebas mati daripada hidup? Kau melepas budi, suhu, tapi juga sekaligus penyakit!"

"Ha-ha, bocah tolol. Disayang guru malah mengumpat. Eh, aku tak ingin membunuhmu, Siang Le. Terus terang aku sayang padamu. Hm, ke sinilah. Garuk punggungku yang gatal!"

Siang Le bangkit berdiri. Suhunya tampak gelisah dan dia diminta menggaruk punggung gurunya itu, hal yang sudah dilakukan dan suhunya tampak berkedip-kedip. Dan ketika gurunya mengeluh bahwa di bagian lengan dan kaki juga gatal tiba-tiba gurunya itu menangis, mengguguk!

"Siang Le, aku ingin kau membunuhku saja daripada aku dikerangkeng begini. Bebaskanlah diriku, dan jangan biarkan aku dihina Kim-mou-eng!"

Sang pemuda mengerutkan kening. Akhirnya setelah dia menggaruk sana-sini dan gurunya tersedu-sedu tiba-tiba saja timbul iba dan rasa kasihannya. Memang gurunya menderita. Gurunya telah dilumpuhkan dan ilmu gurunya yang paling diandalkan, Hek-kwi-sut, telah lenyap dan dimusnahkan Pendekar Rambut Emas. Gurunya itu amat terpukul dan tersiksa sekali. Dijepit berminggu-minggu di antara celah gunungan berbatu di puncak Istana Hantu sungguh menyiksa. Hujan kehujanan kalau panas kepanasan. Itulah penderitaan gurunya. Dan ketika gurunya menangis mengguguk-guguk, hal yang belum pernah terlihat dilakukan gurunya ini maka Siang Le terharu dan akhirnya mengucurkan air mata pula.

"Suhu, kau sedang menerima akibat dari perbuatan-perbuatanmu. Sudahlah, aku akan menemanimu sampai mati di sini."

"Kau tak akan meninggalkan aku, Siang Le?"

"Tidak."

"Kau benar-benar mencinta gurumu ini?"

"Hm, bakti dan cintaku tak perlu kau tanya, suhu. Kau sudah membuktikannya. Kau tahu itu!"

"Tapi kau tak mau membebaskan aku!"

"Maaf, aku terikat perjanjian dengan Pendekar Rambut Emas, suhu. Dan janji bagi seorang laki-laki adalah lebih berharga daripada nyawanya!"

"Keparat dengan semuanya itu! Kau tak perlu berlagak laki-laki, Siang Le. Kau tak perlu berlagak gagah! Kau adalah murid See-ong, seorang sesat!"

"Inilah yang memprihatinkan hatiku. Kau salah mengambil aku, suhu. Seharusnya dulu itu kau tak usah memungut aku dan biarkan saja aku mati kelaparan di jalan!"

"Hm, kau murid luar biasa. Kau bocah yang sepatutnya membuat aku bangga! Tapi, aduh.... kedua pergelangan tanganku sakit, Siang Le. Tolong lepaskan ini dan biarkan aku bebas sejenak!"

Siang Le terkejut. Gurunya tiba-tiba merintih dan mengeluh bahwa kedua pergelangan tangannya sakit. Memang kedua pergelangan tangan suhunya itu diikat meskipun sudah di dalam kerangkeng. Pendekar Rambut Emaslah yang melakukan itu. Maka ketika gurunya mengerang dan minta dilepaskan ikatannya, ikatan di pergelangan itu tiba-tiba Siang Le mundur dan terkejut, menggeleng. "Suhu, aku tak berani merubah apa yang sudah dilakukan Kim-taihiap. Aku tak dapat melepas ikatanmu itu."

"Bodoh! Kau mau membiarkan gurumu kesakitan sampai ajal, Siang Le? Bukankah aku masih di dalam kerangkeng?"

"Benar, tapi... tapi itu melanggar larangan, suhu. Aku tak dapat melakukannya!"

"Kalau begitu biarkan aku mati. Aku akan mati karena ulahmu.... duk-dukk!" dan See-ong yang tiba-tiba membenturkan kepalanya di jeruji kerangkeng tiba-tiba membuat Siang Le terkejut karena gurunya itu mau bunuh diri. See-ong mendengus-dengus dan seluruh urat-urat kakek itu menegang. Dahi akhirnya berdarah dan kakek itu berseru berkali-kali bahwa kalau dia mati maka itulah akibat muridnya yang tidak berperikemanusiaan. Siang Le dianggap tak berperasaan sekali dengan tidak melepaskan ikatan tangannya, padahal dia masih di kerangkeng. Dan ketika kakek itu membentur-benturkan kepalanya dan jeruji berdentang-dentang maka sebentar kemudian kepala kakek itu sudah mandi darah.

Siang Le, aku akan mati. Aku akan mampus. Kaulah pembunuhnya. Kau yang membunuh aku.... duk-dukk!"

Siang Le pucat. Sang pemuda melihat gurunya sudah luka-luka dan penuh darah. See-ong hendak bunuh diri di depan muridnya. Kakek itu akan mati! Tapi ketika See-ong menggeram dan mandi darah, luka-luka, tiba-tiba Siang Le berteriak dan mencegah gurunya itu berbuat nekat.

"Tidak, jangan, suhu. Tahan. Aku akan membebaskan ikatanmu!" dan ngeri melihat gurunya mati di dalam kerangkeng, bunuh diri, tiba-tiba Siang Le sudah menjulurkan lengan dan gemetar membuka ikatan gurunya itu.

See-ong terbelalak dan tersenyum. Mukanya yang penuh darah sudah dibersihkan muridnya pula tapi wajah kakek itu tetap menyeramkan. Seperti iblis. Dan ketika kedua tangannya bebas dan kakek itu tertawa, aneh sekali, maka sang kakek tiba-tiba menyambar lengan muridnya dan membetotnya untuk tidak keluar dulu. "Siang Le, kau ternyata tak tahan melihat aku bunuh diri. Ha-ha, sekarang buka kerangkeng ini, muridku. Atau aku akan membentur-benturkan kepalaku lagi sampai tewas!"

"Tidak... jangan!" Siang Le pucat. "Kau hanya minta dibebaskan kedua tanganmu, suhu. Bukan mau keluar! Kau tak boleh melanggar janji!"

"Ha-ha, janji tinggallah janji. Aku tak perduli dengan semua janji. Hayo, buka kerangkeng ini, muridku. Dan kita sama-sama lari!"

"Tidak... jangan, suhu. Tidak!" dan ketika Siang Le bingung dan meronta, sayang tak dilepas gurunya maka See-ong tiba-tiba membenturkan kepalanya untuk bunuh diri lagi.

"Baiklah, kau lihat ini dan saksikan gurumu mampus.... duk!"

Siang Le menjerit, melihat gurunya membenturkan kepala dan jeruji itupun berdentang. Hentakan kuat antara kerangkeng dan batu di celah gunungan membuat dahi kakek itu bocor lagi. See-ong membenturkan kepalanya dengan kuat dan berteriaklah Siang Le ketika gurunya itu melakukan berulang-ulang. Dan ketika si kakek mengancam sementara si murid masih bertahan akhirnya See-ong menggeram dan satu benturan dahsyat membuat kepala kakek itu melesak dan terjepit di antara dua jeruji hingga tak dapat ditarik lagi!

"Suhu!" Siang Le meraung-raung. "Ah, apa yang kau lakukan ini? Kau gila? Kau tidak waras?"

"Ha-ha!" kakek itu tertawa, masih juga dapat terbahak meskipun suaranya lucu dan sengau, maklumlah, leher dan kerongkongannya terjepit besi. "Aku gila atau tidak adalah urusanku, Siang Le. Tapi sekarang kau lihat aku akan mati tak dapat menarik kepalaku. Dan kau penyebabnya. Kaulah yang membunuh gurumu! Ha-ha, aku puas, bocah. Inilah hutang budi baikku yang kau bayar dengan manis!"

"Tidak... tidak!" Siang Le menjerit. "Kau tidak mati, suhu. Kau tidak apa-apa. Aku akan menolongmu!" tapi ketika kepala yang terjepit itu ditarik dan ternyata gagal, karena melesak dan masuk di antara jeruji-jeruji yang sesak maka Siang le panik dan See-ong pun pucat.

Kakek itu mengeluh dan minta dibunuh saja. Penderitaannya sekarang bertambah dan kepala yang terjepit membuat kakek itu mirip jago yang mau disembelih. See-ong barangkali tak pernah membayangkan bahwa dia akan mati dengan cara begitu, leher dan kepala terjepit jeruji kerangkeng! Dan ketika kakek itu mengumpat caci sementara muridnya panik tak dapat menolong maka sehari penuh Siang Le mandi keringat mencoba menyelamatkan gurunya ini.

See-ong kepayahan dan posisi tubuh yang buruk membuat kakek itu gemetar, lututpun tertekuk dan akhirnya kakek itu roboh. Menyedihkan, kakek yang kecil dan kerdil ini sudah seperti bukan manusia saja. Layaknya dia seperti hewan yang siap dibantai. Sungguh tak sesuai dengan nama besarnya ketika dia dulu masih berjaya, See-ong yang ditakuti dan memiliki Hek-kwi-sut. Dan ketika hari itu Siang Le gagal dan tersedu-sedu meratapi kepala gurunya yang terjepit maka malam itu dilanjutkan lagi namun masih juga tak mampu.

Siang Le harus bekerja keras tak mengenal istirahat atau tidur. Makan minumpun dilupakan dan See-ong mengeluarkan suara mengorok seperti jengkerik yang siap diinjak mati. Sungguh menyedihkan. Tapi ketika hari kedua lewat dengan cepat dan See-ong megap-megap, muridnya sendiri sudah kehabisan semangat dan akal mendadak saja bayangan kuning emas berkelebat di tempat itu.

"Kim-mou-eng...!"

Siang Le tertegun. Gurunyalah yang berteriak itu dan cepat dia membalik. Sesosok bayangan dengan rambut keemasan telah berdiri di dekat mereka, menarik napas. Tapi ketika Siang Le memperhatikan dan mau menjatuhkan diri berlutut, karena disangka Pendekar Rambut Emas mendadak bayangan ini menahan tubuhnya dan berkata lembut.

"Siang Le, aku bukan ayah. Aku Thai Liong."

Siang Le terkejut. Malam yang tak berbintang membuat dia tak gampang mengenal orang. Tapi begitu lawan mengeluarkan suara dan memperkenalkan diri tiba-tiba Siang Le girang dan melompat bangun. "Ah, kau, Kim-kongcu? Bersama siapa? Mana Soat Eng?"

"Heii!" gurunya membentak. "Jangan bertanya di mana gadis itu, Siang Le. Tapi suruh pemuda itu menolong aku!"

"Benar," Siang Le tiba-tiba teringat. "Tolonglah guruku, Kim-kongcu. Dua hari ini aku tak mampu mengeluarkannya dan suhu terjepit seperti itu!"

"Aku memang akan menolongnya," Thai Liong tersenyum. "Tapi kutanya dulu padanya, Siang Le. Apakah benar dia akan memberimu restu kalau dia kubebaskan?"

"Apa?"

Tapi Thai Liong yang sudah membalik dan menghadapi kakek ini bertanya, "See-ong, ribut-ribut tentang adikku dan muridmu sudah kudengar. Katanya kau mau memberi restu kalau dibebaskan dari hukuman. Apakah benar?"

Sang kakek tertegun. "Kau... kau bicara apa?"

"Hm, tak perlu kuulang. Kau tinggal menjawab dan kini aku datang!"

See-ong tiba-tiba berbinar matanya. Melihat kedatangan Thai Liong yang mirip ayahnya ini dan tadi disangka Kim-mou-eng mula-mula kakek itu berdebar dan cemas hatinya. Tapi begitu ini adalah Thai Liong dan pemuda itu bertanya mendadak si kakek tertawa bergelak. "Ha-ha, benar, bocah. Tapi kebebasan yang kuminta adalah kebebasan total. Pergi dan meninggalkan Sam-liong-to, bukan tetap di dalam kerangkeng ini!"

"Kau dapat menepati janjimu?"

"Heh, kau tidak percaya kepadaku si tua bangka? Kau omong apa?"

"Hm, tak usah berlagak, See-ong. Kau sendiri bilang bahwa janji tinggallah janji. Kau mempersetankan janji. Bukankah gara-gara ini maka kepalamu terjepit dan sekarang seperti ini? Aku sudah tahu dan melihat semunya. Aku sudah tahu bahwa kau menipu muridmu dan minta dibebaskan ikatanmu. Bukankah begitu?"

Si kakek terkejut, tertegun.

"Nah, kalau kau serius maka restuilah muridmu menikah dengan adikku. Aku akan membebaskanmu!"

"Kim-kongcu..!" Siang Le tiba-tiba berseru tertahan. "Apa... apa yang kau omong ini? Kau mau membebaskan guruku? Kau sudah mendapat ijin dari ayahmu?"

"Hm," Thai Liong membalik. "Maksudmu?"

"Maaf," Siang Le tiba-tiba berdiri menghadang, gagah. "Kalau kau tak mendapat ijin ayahmu maka aku akan menentangmu, kongcu. Melepaskan suhu tanpa sepengetahuan Pendekar Rambut Emas adalah larangan!"

"Keparat!" See-ong memaki. "Kau tak perlu memikirkan itu, Siang Le. Tutup mulut dan jangan berlagak ksatria!"

"Tidak, suhu," Siang Le membalik. "Aku tak mau dikatakan pengecut. Aku tak mau disangka melepaskanmu tanpa seijin Pendekar Rambut Emas. Kalau Thai Liong membebaskanmu tanpa sepengetahuan ayahnya maka dia akan kutentang!"

See-ong memaki kalang-kabut. Tentu saja dia marah dan mengumpat-caci muridnya itu. Harapan bebas sudah di depan mata ketika tiba-tiba muridnya bicara seperti itu. Tapi ketika kakek itu marah-marah dan gusar memaki muridnya tiba-tiba Thai Liong tersenyum dan mengeluarkan sesuatu, sebuah kunci emas.

"Siang Le, aku telah mendapat ijin ayahku. Lihatlah, inilah buktinya."

"Ha!" See-ong bersorak. "Kalau begitu cepat keluarkan aku, bocah. Dan jangan biarkan aku tersiksa!"

"Tapi kau harus memberi restu dulu," Thai Liong tak menghiraukan Siang Le yang terbengong-bengong, menghadapi lagi si kakek iblis. "Letakkan tanganmu di atas kepala muridmu, See-ong. Dan katakan bahwa kau merestui pernikahan adikku dengan muridmu!"

"Tapi kau belum membebaskan aku!"

"Kenapa takut? Aku bukan kau, See-ong. Aku pasti menepati janjiku. Nah, letakkan tanganmu di atas kepala muridmu dan katakan bahwa kau merestui!"

See-ong menjublak. Akhirnya kakek ini melotot dan ragu-ragu. Sebenarnya, memang tak ada maksud di hatinya untuk merestui muridnya itu. Dia sengaja main-main dan ingin membuat muridnya saja. Dia ditangkap, ditawan. Dan penawannya adalah Kim-mou-eng, ayah Soat Eng. Siapa sudi memberi restu dan berbesan dengan Pendekar Rambut Emas? Meskipun pendekar itu hebat namun dia adalah musuh. Dan pantang berbaik dengan musuh! Tapi karena harapan bebas terbuka di depan mata dan lehernya yang sakit terasa tak dapat ditahan lagi maka kakek ini menggeram dan apa boleh buat akhirnya mengangguk.

"Baiklah, aku merestui muridku!"

"Nah," Thai Liong tertawa. "Dengalah kata-kata gurumu, Siang Le. Majulah, dan terima restunya!"

Siang Le terbengong-bengong. Dia masih dikuasai perasaan bercampur-aduk ketika semuanya itu didengar. Dia seakan percaya atau tidak. Tapi ketika Thai Liong mengeluarkan kunci emas dan itulah kunci kerangkeng gurunya maka tiba-tiba pemuda ini gembira dan melonjak melihat gurunya memanggil. Siang Le cepat berlutut dan mencium tangan gurunya itu, yang gemetar di luar jeruji kerangkeng. Dan ketika See-ong diminta memberikan restunya dan dengan suara serak kakek itu mengucapkan kata-katanya maka tak lama kemudian Thai Liong sudah membuka dan menyelamatkan kakek ini dari jepitan kerangkeng, yang ditekuk dan patah menjadi dua, begitu mudah!

"See-ong, keluarlah. Kau sudah bebas!"

See-ong tertawa bergelak. Kakek ini memberosot dan keluar dari kerangkeng. Wajahnya berseri-seri, penuh gembira. Tapi ketika dia mengajak muridnya untuk pergi, meninggalkan Sam-liong-to ternyata muridnya itu menggeleng.

"Aku masih ingin bicara dengan Kim-kongcu. Suhu boleh pergi duluan kalau tak mau menungguku."

"Apa?" si kakek melotot. "Kau tak segera pergi?"

"Aku hendak di sini dulu, suhu, bercakap-cakap dengan Kim-kongcu. Atau mungkin malah menunggu Kim-taihiap!"

"Gila!" sang kakek memekik. "Kalau begitu terserah kau, bocah. Aku tak mau di sini lagi dan susul aku kalau sudah selesai!"

Siang Le mengangguk. Gurunya sudah berkelebat dan meninggalkan Sam-liong-to. See-ong lepas bagai seekor kuda liar yang baru tertangkap. Gerakannya masih gesit meskipun dua hari ini tersiksa oleh penderitaan di jeruji besi. Dan ketika kakek itu berkelebat dan lenyap di kegelapan malam, agak terhuyung, maka Siang Le menghadapi Thai Liong yang berdiri mengerutkan kening melihat pemuda itu tak bersama gurunya.

"Kau aneh," Thai Liong mendahului. "Kenapa tidak pergi dan meninggalkan pulau, Siang Le? Gurumu sudah bebas, dan kaupun juga!"

"Aku masih bimbang," jawaban Siang Le mengejutkan lawannya. "Aku seakan tak percaya dan setengah mimpi, Kim-kongcu. Dan sekaranglah aku ingin bertanya."

"Apa yang ingin kau tanyakan?"

"Pembebasan guruku itu. Apakah ibumu juga tahu dan mengijinkan?"

Thai Liong tertegun. Dia tak menyangka pertanyaan itu dan sejenak kelihatan bingung. Tapi ketika Siang Le memandangnya tajam dan sorot mata pemuda itu penuh selidik dan tanda tanya tiba-tiba pemuda ini tertawa. "Siang Le, kau aneh. Tentu saja ibuku tahu!"

"Dan setuju?"

"Hm, kenapa kau tanyakan ini, Siang Le? Kau tak perlu mengusut terlalu jauh!"

"Maaf," Siang Le menggeleng. "Aku tak tenteram kalau ibumu tak setuju, Kim-kongcu. Karena aku tahu benar betapa benci dan marahnya ibumu itu kepada guruku. Aku sangsi!"

Thai Liong terkejut. "Siang Le," katanya. "Kau tak perlu menyelidik sejauh ini. Yang penting gurumu sudah memberi restu, dan aku bahagia kalau kau sudah mendapatkan adikku. Kaian berbahagialah, dan tak usah macam-macam!"

"Kim-kongcu..."

"Nanti dulu. Kau sudah menjadi calon iparku, Siang Le, jangan sebut aku kongcu. Panggil saja namaku!"

"Hm," Siang Le terkejut, semburat mukanya. "Apakah Kim-taihiap dan Kim-hujin sudah merestui hubungan ini? Apakah..."

"Tak usah cemas," Thai Liong tertawa, memotong. "Ibu dan ayah menyetujui keinginanmu, Siang Le, pada prinsipnya dua orang tuaku tak menolak. Yang membikin repot adalah gurumu itu, permintaannya. Tapi karena sekarang dia sudah bebas dan kau mendapat restunya maka selanjutnya tak masalah lagi dan kaupun dapat menikahi adikku. Aku mengucapkan selamat!"

"Tapi..."

"Sudahlah, tak ada tapi lagi, Siang Le. Semuanya sudah lancar. Kau pergilah ke utara dan temui ayah ibuku."

"Bersamamu?"

"Tidak, aku masih ada urusan lain. Kau pergilah sendiri karena aku juga akan pergi!"

"Nanti dulu!" Siang Le menahan. "Aku jadi bingung kalau begitu, Thai Liong. Kau mencurigakan!"

"Hm, mencurigakan bagaimana?" Thai Liong terkejut. "Apa maksudmu, Siang Le?"

"Maaf," Siang Le gemetar. "Aneh caramu ini, Thai Liong. Kau bilang disuruh ayahmu tapi tidak mau kembali bersamaku. Kenapa begini? Apakah kau dusta?"

"Siang Le!" Thai Liong tiba-tiba membentak mengejutkan pemuda itu. "Tutup mulutmu dan jangan banyak bertanya lagi. Kau sudah kutolong, kau dapat pergi. Kalau kau tak percaya padaku sudahlah buktikan sendiri! Nah, maaf aku tak dapat menemanimu lebih lama lagi. Aku harus pergi. Kalau kau tak mau pergi terserah kau dan tunggu saja ayah atau adikku datang!"

Siang Le terkejut. Tiba-tiba saja Thai Liong berkelebat pergi dan meninggalkannya. Pemuda itu marah-marah, membentaknya. Dan ketika Siang Le gugup dan bingung oleh semuanya itu tiba-tiba pemuda ini mengejar dan menyatakan maafnya. Tapi Thai Liong mendengus. Pemuda itu sudah lenyap dan berada di atas perahu, bergerak dan menghilang di kegelapan malam. Ombak di Sam-liong-to menerpa keras dan perahu oleng ke kiri. Tapi ketika Thai Liong memukulkan dayungnya dan perahu melesat seperti setan maka perahu itu melejit dan sebentar saja tak terlihat dari pantai.

"Siang Le, kau boleh tunggu atau tinggalkan tempat ini. Tapi ingat, jangan sia-siakan adikku karena keinginan gurumu untuk mendapat restu sudah kau peroleh. Sekali kau bohong maka aku akan datang membuat perhitungan!"

Siang Le bengong. Akhirnya pemuda ini tak mendapat kesempatan untuk bertanya lebih banyak. Thai Liong telah pergi dan lenyap di tengah lautan. Tapi karena dia menjadi ragu dan bingung oleh tindak-tanduk pemuda itu, karena dia tahu betapa benci dan marahnya Kim-hujin kepada gurunya maka Siang Le bimbang dan tidak meninggalkan pulau. Pemuda ini berpikir keras dan akhirnya memutuskan biarlah dia menunggu di Sam-liong-to.

Dia akan tetap berjaga di situ sampai Pendekar Rambut Emas atau siapapun datang. Dia sudah berjanji untuk tidak meninggalkan pulau kalau belum mendapat ijin atau kebebasan dari Pendekar Rambut Emas. Dan karena Siang Le adalah pemuda yang gagah dan berwatak ksatria maka tinggallah pemuda itu di Sam-liong-to sendirian sampai akhirnya malapetaka itu datang. Api yang mengamuk dan berasal dari Kim-hujin, isteri Pendekar Rambut Emas atau ibu Soat Eng!

* * * * * * * *

Pagi itu, sehari setelah Thai Liong meninggalkan pulau mendadak sebuah perahu meluncur mendekati pantai. Lima orang ada di situ, berdiri dan bersinar-sinar memandangi pulau. Siang Le sendiri sedang duduk termenung di bawah sebuah batu karang, cepat berdiri dan bangkit dengan berdebar karena seorang laki-laki gagah berambut keemasan berdiri di dekat tiang perahu.

Itulah Pendekar Rambut Emas, bersama rombongannya. Dan ketika Siang Le terkejut tapi juga girang, di samping was-was maka pemuda ini sudah meloncat dan berkelebat menghampiri. Maksudnya mau menyambut dan mengucapkan selamat datang. Tapi begitu pemuda ini berkelebat dan berseri-seri tiba-tiba saja Kim-hujin sudah berjungkir balik dan keluar dari perahunya seraya membentak,

"Bocah, mana gurumu?"

Siang Le tertegun. Pendekar Rambut Emas dan lain-lain akhirnya bergerak menyusul, terakhir adalah Soat Eng karena dua yang lain adalah paman-paman gurunya, Hauw Kam dan Gwan Beng. Dan ketika Siang Le tertegun karena wajah si nyonya demikian sangar, mangar-mangar maka Siang Le tak menjawab dan sebuah tendangan tiba-tiba membuatnya terbanting.

"Jangan melotot, aku menanya dirimu....bluk!"

Siang Le kaget. Dia mendengar Soat Eng menjerit dan gadis itu berkelebat menolongnya bangun. Siang Le masih bengong. Tapi ketika sang nyonya membentak dan mata yang bersinar-sinar itu seakan mengeluarkan api maka Siang Le mendengar kata-kata Soat Eng bahwa gurunya tentu masih ada di situ.

"Katakan kepada ibu, jangan bengong saja. Gurumu tentu masih di sini!"

"Tidak," Siang Le malah membelalakkan mata, menggeleng. "Suhu semalam sudah pergi, Eng-moi. Dan aku ingin menenangkan hatiku dengan menanyakan ini kepada ayahmu."

"Apa? Gurumu merat? Pergi meninggalkan pulau? Jahanam keparat, jangan main-main, bocah. Aku ingin melihat dan awas tanggung jawabmu!"

Siang Le ngeri. Dia melihat sang nyonya sudah berkelebat dan menghilang ke tengah pulau. Kim-hujin atau ibu Soat Eng itu menuju ke tempat di mana gurunya dikerangkeng, tentu saja tidak ada. Dan ketika si nyonya tertegun dan membelalakkan matanya, marah, maka berturut-turut Pendekar Rambut Emas dan puterinya serta Hauw Kam atau Gwan Beng juga tiba di situ.

"Tak ada!" seruan ini disambut gumam atau pekik tertahan. Swat Lian atau Kim-hujin itu melotot lebar. celah gunungan di puncak Istana Hantu kosong, kerangkeng itu sudah tidak ada penghuninya. Dan ketika Swat Lian melengking dan berkelebat turun maka leher Siang Le sudah dicekik dan sang nyonya membentak, "Ke mana gurumu?"

Siang Le pucat bukan main. Pemuda ini jadi terkejut dan terheran-heran karena apa yang dikata Thai Liong sungguh berlainan sekali dengan apa yang disaksikan sekarang. Kim-hujin dan rombongannya itu bertanya tentang gurunya, padahal semalam Thai Liong mengatakan itu adalah perintah ayahnya, Pendekar Rambut Emas. Maka ketika dia malah bengong dan terlongong-longong, gugup dan kaget tiba-tiba nyonya itu mengangkat tubuhnya dan membanting, langsung menginjak.

"Siang Le, kau pembohong dan penipu. Kau tak dapat dipercaya. Ah, terkutuk dan keparat kau.... bedebah!" dan sang nyonya yang sudah memekik dan marah-marah menghajar pemuda ini lalu menendang dan menampar Siang Le, yang tentu saja terlempar dan mencelat dan sang nyonya sudah mengejar lagi.

Siang Le mendapat hujan pukulan atau tamparan yang membuat pemuda itu bengap-bengap, bahkan mulutnya pecah ketika ditampar. Tapi ketika pemuda ini mengaduh dan merintih tak keruan, bingung dan tidak membalas tiba-tiba Soat Eng membentak dan menyambar kekasihnya dari tangan ibunya. "Ibu, tahan. Kau tak boleh menyiksanya. Kau belum mendapat jawaban apakah benar Siang Le melepas gurunya atau tidak!"

"Jahanam! Untuk apa bertanya lagi? Terkutuk! Untuk apa membela dirinya? Lepaskan dan biarkan aku menghajarnya, Eng-ji. Serahkan pemuda itu dan biar kubunuh dia. Bocah macam ini tak perlu kau cintai lagi.... rrtt-dess!" dan Siang Le yang direbut serta disambar si nyonya tiba-tiba dibanting dan kembali terlempar, mengeluh dan terguling-guling tapi Pendekar Rambut Emas tiba-tiba berkelebat menahan isterinya itu. Sang nyonya sudah naik pitam dan memaki-maki, bahkan sudah mencabut pedangnya, siap menusuk!

Tapi ketika Pendekar Rambut Emas berkelebat dan membentak isterinya itu maka dengan pucat namun wajah berubah-ubah sang nyonya menggigil berhadapan dengan suaminya itu. "Niocu, semua belum jelas. Siang Le tak boleh kau perlakukan begini. Tenanglah, sabarlah. Kita dapat menanyainya baik-baik!"

"Tapi... tapi..." sang nyonya menahan sedu-sedannya. "Bocah ini membebaskan gurunya, suamiku. Siang Le melepaskan gurunya dan melanggar janji!"

"Hm, belum kita tanya, kenapa begitu emosi? Kunci emas memang hilang, niocu. Tapi tak selayaknya menghajar dan menyiksa pemuda ini seperti itu. Siang Le memang menghadapi tuduhan membebaskan gurunya, tapi pemuda itu mempunyai hak untuk menjawab. Nah, biar kutanyai dia!" dan ketika sang isteri menangis dan mengeluh kecewa maka Pendekar Rambut Emas menghadapi pemuda ini, yang sudah terlanjur babak-belur! "Siang Le, kami datang karena ingin mengecek gurumu. Kunci emas di kamarku hilang, kami tak tahu siapa yang mengambil. Dan karena ini menyangkut gurumu maka jawablah dengan jujur apakah kau mengambil kunci itu?"

Siang Le terkejut, gemetar. "Kunci... kunci emas? Bukankah.... bukankah...."

"Hm, apa yang hendak kau bicarakan? Apakah bukan kau yang melepaskan gurumu?"

"Tidak, sama sekali tidak, taihiap. Bahkan... bahkan...!" Siang Le gugup, bingung dan tiba-tiba tahu bahwa benar dugaannya bahwa Thai Liong kiranya betul-betul berbohong. Pemuda itu sudah dicurigainya semula tapi karena Thai Liong adalah putera Pendekar Rambut Emas maka dia bingung. Bagaimana mungkin dia memberi tahu di saat Kim-hujin atau isteri Pendekar Rambut Emas itu marah-marah? Dan dia hampir dibunuh!

Siang Le ngeri. Sekarang dia tahu bahwa sepak terjang Thai Liong kiranya diluar pengetahuan ayah ibunya dan pemuda itu melepaskan gurunya untuk semata mendapatkan restu itu. Ah, Siang Le sadar. Tiba-tiba dia mendusin bahwa Thai Liong melakukan itu demi dirinya, kebahagiaannya bersama Soat Eng! Dan ketika Siang Le gemetar tak menjawab dan bola matanya berputar-putar, bingung, maka Swat Lian kembali membentaknya dan mencekiknya.

"Katakan, atau kau mampus!"

Siang Le mengeluh. Untung Pendekar Rambut Emas kembali menolong dengan mendorong isterinya itu. Sang pendekar minta biarlah persoalan itu ditanganinya, sang isteri tak usah turut campur. Tapi ketika Siang Le pucat dan menelan ludah berulang-ulang, bingung dan tak tahu apa yang harus dilakukan maka nyonya itu melengking.

"Suamiku, bocah ini berputaran matanya. Dia mencari akal, ingin menyelamatkan diri. Sebaiknya serahkan dia kepadaku dan kupaksa dia bicara benar!"

"Hm, tidak, jangan. Kemarahanmu tak terkontrol, niocu. Sepak terjangmu nanti dapat melewati batas. Kau bersabarlah dan tak mungkin pemuda ini menyelamatkan dirinya. Bukankah dia masih di sini? Bukankah dia tak ikut lari? Bukti ini sudah cukup bahwa Siang Le tak melakukan sesuatu yang bersifat melanggar janji. Kau biarkanlah aku bicara dengannya dan jangan ikut campur," dan kembali menghadapi pemuda itu Pendekar Rambut Emas bertanya, "Siang Le, apa sesungguhnya yang terjadi? Di mana gurumu dan siapa yang melepasnya?"

"Aku.... aku.... ah, aku bingung, taihiap. Aku jadi tak tahu apa-apa!"

"Hm, jawab saja di mana gurumu itu?‘

"Aku tak tahu!"

"Dan kau juga tak melepas gurumu?"

"Sumpah demi Langit dan Bumi aku tak melepas guruku, taihiap. Aku boleh dibunuh!"

"Kalau begitu siapa yang melepasnya, beritahukan kami."

"Dan akan kupotong tangan orang itu!" Swat Lian tiba-tiba memekik, mengacungkan pedangnya ke atas. "Sumpah demi Langit dan Bumi pula aku akan memotong tangan jahanam itu, Siang Le. Atau aku akan membunuhmu kalau kau diam!"

Siang Le terkejut. Pedang yang diacungkan ke langit tiba-tiba mengeluarkan ledakan. Sumpah atau kata-kata nyonya itu telah didengar para dewa! Dan ketika Siang Le terkejut dan pucat, hampir berteriak maka pemuda ini tiba-tiba memekik. "Tidak! Kau boleh bunuh aku kalau begitu, hujin. Aku tak mau memberi tahu..."

"Singg!" pedang berkelebat, benar-benar menuju ke leher pemuda itu. "Kalau begitu kuhabisi kau, bocah. Dan setelah itu gurumu!" namun Pendekar Rambut Emas yang tentu saja membentak dan kaget menampar pedang isterinya tiba-tiba disusul oleh jerit atau lengking Soat Eng.

Gadis ini pun bergerak dan menampar pedang ibunya. Dari dua jurusan sang nyonya ditangkis. Maka ketika dia terhuyung dan pedang terpental hampir terlepas maka Soat Eng tersedu-sedu menubruk ibunya itu. "Ibu, jangan bunuh Siang Le. Atau kau habisi aku dulu dan setelah itu terserah kau!"

Sang ibu menggigil. Pendekar Rambut Emas memeluk dan mencengkeram pedang isterinya ini. Hauw Kam dan Gwan Beng di sana tertegun, pucat. Keadaan sejenak menjadi tegang dengan adanya kemarahan Kim-hujin itu, yang amat gusar dan marah karena See-ong kabur. Namun ketika Pendekar Rambut Emas menepuk-nepuk pundak isterinya dan menarik pedang dengan halus maka pendekar itu berkata bahwa tanpa pedangpun Siang Le dapat dibunuh.

"Tak perlu bersenjata tajam, dan tak usah khawatir pemuda ini lolos. Siang Le akan memberikan jawaban-jawabannya kepada kita, isteriku. Asal secara baik-baik dan tidak emosi. Bukankah begitu, Siang Le?"

Namun Siang Le menggeleng. Sekarang pemuda ini pucat pasi dengan sumpah si nyonya. Kim-hujin telah mengeluarkan kata-kata mengerikan dengan mengancam si pelepas suhunya, padahal yang melepas suhunya itu adalah Thai Liong. Dan karena Thai Liong melakukan semuanya itu untuk dirinya, kebahagiaannya, maka Siang Le malah menutup mulutnya dan tak mau memberi tahu, menggigil. Sikap ini tetap diulangi ketika Pendekar Rambut Emas mengulangi pertanyaannya. Dan ketika tiga kali berturut-turut dia tetap menggeleng dan menggeleng, hal yang membuat pendekar itu marah sementara isterinya memekik tiba-tiba Swat Lian telah berkelebat dan mencekik pemuda itu, membentak,

"Kau beritahukan, atau aku akan membunuhmu!"

"Bu.... bunuhlah!" Siang Le tak dapat bernapas. "Ak... aku tak tahu, hujin. Aku tak dapat memberi tahu!"

"Keparat, kau tetap membandel?"

"Aku tak mau menjawab..... plak!" dan Siang Le yang terlempar serta mencelat roboh tiba-tiba dikejar si nyonya yang melengking-lengking. Selanjutnya Siang Le menerima hajaran atau pukulan lagi, bukan sekali dua melainkan bertubi-tubi, datang dan pergi hingga membuat pemuda itu jatuh bangun dan mandi darah. Mulut dan telinganya sobek, hidung pun pecah. Namun ketika si nyonya melengking-lengking dan Pendekar Rambut Emas membiarkan itu, karena pendekar ini juga marah dan tak senang kepada Siang Le tiba-tiba Soat Eng kembali berkelebat dan menerima pukulan ibunya yang seharusnya untuk Siang Le.

"Ibu, aku ingin mati bersamanya.... dess!" dan Soat Eng yang terlempar tapi menyambar Siang Le akhirnya terguling-guling dan menangis melindungi pemuda itu. Siang Le terkejut dan hampir tak dapat bicara. Suaranya bindeng. Dan ketika Soat Eng memeluknya dan bergulingan melindungi dirinya akhirnya sang ibu pun terkejut dan menghentikan serangan.

:Eng-ji, tak perlu melindungi jahanam itu. Lepaskan dia, dan biar kubunuh!"

"Tidak... tidak! Siang Le menyembunyikan sesuatu, ibu. Siang Le merahasiakan sesuatu. Kalau ibu mau mendengarkan kata-kataku biarlah aku yang bertanya dan sumpah demi Langit dan Bumi pasti dia akan menjawab. Atau biar aku mati di depannya membayar penasaran ini!" dan mencabut pisau membangunkan pemuda itu gadis ini bertanya, menggigil, "Siang Le, kalau kau masih mencintai aku dan ingin aku menjadi isterimu maka katakanlah siapa yang melepas suhumu itu. Aku tahu dan yakin bahwa kau tidak melepas suhumu itu. Bahwa seseorang telah datang dan melepas gurumu. Nah, katakan kepadaku, Siang Le. Siapa yang melepas gurumu karena kunci emas hilang dicuri orang!"

Siang Le pucat. Kalau Soat Eng mengancamnya begini sungguh dia kaget sekali. Pisau itu bergetar di depan dada dan siap menusuk. Ah, Soat Eng akan mati di depannya, bunuh diri! Dan ketika Siang Le tertegun dan gemetar dengan kaki menggigil, bingung, tiba-tiba pisau itu bergerak dan menggurat dada.

"Jangan...!" pemuda ini bergerak. "Tidak... jangan, Eng-moi. Aku... aku akan mengaku!"

"Nah, katakan siapa orang itu. Atau pisau ini akan menembus jantungku dan tak seorangpun bisa menghalangi!"

"Dia... dia..." Siang Le akhirnya menangis. "Dia kakakmu sendiri, Eng-moi... Thai Liong!"

"Apa?"

"Benar, Thai Liong, Eng-moi. Dia datang dan membebaskan guruku agar guruku itu memberi restu. Kakakmu semalam datang dan membawa kunci emas. Katanya.... katanya disuruh ayahmu, mewakili ayahmu...."

"Oohhhh....!" dan seruan panjang yang menutup pembicaraan ini tiba-tiba disusul oleh robohnya dua tubuh. Satu dari Soat Eng sedang yang lain adalah ibunya. Swat Lian pun terkejut dan tak mengira jawaban itu. Sungguh di luar dugaan!

Tapi ketika nyonya itu mengeluh dan pingsan, saking kagetnya, maka Pendekar Rambut Emas telah menyambar dan menotok isterinya ini. Guncangan sejenak sudah berhasil dipulihkan. Pendekar Rambut Emas sendiri juga kaget namun kekuatan batin pendekar itu yang jauh di atas isterinya dapat menahan, menyambar dan kini menolong isterinya itu. Dan ketika Swat Lian disadarkan dan nyonya itu mengguguk, menggerung-gerung maka di sana Siang Le telah menyambar Soat Eng dan menyadarkan gadis itu pula, dibantu Hauw Kam dan suhengnya.

Selanjutnya tangis dan sesal silih berganti. Swat Lian tersedu-sedu di pelukan suaminya, menjerit dan tiba-tiba teringat sumpahnya, bahwa dia akan membuntungi orang yang melepaskan See-ong itu, padahal yang melepaskan itu adalah Thai Liong, anaknya, meskipun anak tiri. Dan ketika nyonya itu menjerit dan menyambar pedang yang dibuat sumpah, mamatahkannya, ternyata pedang tak mau patah dan sekeras apapun ditekuk tak mau bengkok!

"Keparat, jahanam terkutuk! Bedebah kau, pedang sialan. Keparat kau! Aku tak mau melihatmu lagi dan enyahlah di sana.... wut!" pedang tiba-tiba dilempar, jauh ke langit dan tiba-tiba jatuh ke laut.

Mereka memang di pantai dan saat itulah menyambar seekor ikan hiu menyambar pedang, membuka mulutnya dan lenyaplah pedang di mulut binatang buas ini. Dan ketika hiu menyelam kembali namun terdengar ledakan, hal yang mengejutkan ikan itu maka si hiu menyelam semakin dalam dan Pendekar Rambut Emas serta yang lain-lain tertegun.

"Sumpahmu tetap berjalan, pedang itu akan membawa cerita. Hm, semuanya ini akibat emosi dan dendam, isteriku. Sudah berkali-kali kukatakan agar kau tidak menaruh kebencian!'

Swat Lian mengguguk lagi. Sebagai wanita yang berkepandaian tinggi tentu saja dia tahu apa artinya itu. Sumpahnya tak dapat lenyap begitu saja, sumpahnya tetap berjalan. Maka ketika sang suami menghibur dan coba menenangkan hatinya ternyata wanita ini tak dapat tenang dan terus menangis. Semua yang hadir tahu perasaan si nyonya, tahu apa artinya itu. Namun ketika air mata habis dikuras dan Swat Lian tak dapat menangis lagi maka Pendekar Rambut Emas mengajak isterinya kembali.

"Sekarang sudah tak ada apa-apa lagi. Siang Le telah mendapat restu gurunya. Barangkali anak-anak ini harus kita nikahkan. Bagaimana pendapatmu, niocu?"

"Aku... aku menyerahkannya kepadamu. Kalau Siang Le harus menjadi mantuku tentu saja aku tak akan menolak. Tapi... tapi aku ingin bertemu Sian-su, suamiku. Masih ada perasaan mengganjal yang membuat aku tak puas!"

"Boleh, dan kita tentu dapat menemuinya. Hm, bagaimana kalian, ji-heng? Adakah sesuatu yang ingin kalian katakan?"

"Tidak," Hauw Kam menjawab. "Kami tak ada apa-apa lagi, taihiap. Kecuali meneruskan perwalian Siang Le ini. Dan kami juga ingin menemui Sian-su! Bolehkah?"

"Hm, tentu boleh...."

"Dan aku juga!" Soat Eng tiba-tiba melepas pelukan kekasihnya. "Aku juga ingin bertemu Sian-su, ayah. Aku juga ingin mendengar wejangannya!"

"Dan kau tak usah ikut," Pendekar Rambut Emas tiba-tiba menunjuk Siang Le. "Urusan ini bersifat ke dalam, Siang Le, tak usah kau dengar. Kau tak tersinggung, bukan?"

"Ah," Soat Eng memprotes, mendahului. "Kenapa begitu, ayah? Kenapa dia tak boleh ikut?"

"Hm, ini percakapan orang-orang tua. Kalau dia ikut maka tak pantas mendengar."

"Tapi aku bukan orang tua!"

"Benar, tapi kau puteriku. Siang Le masih belum menjadi keluarga kita, Eng-ji. Sementara ini dia masih orang luar. Sudahlah, kau boleh ikut tapi dia tidak!"

"Kalau begitu aku juga tidak!" Soat Eng tiba-tiba ngambek. "Aku tak mau kalau dia tak boleh, ayah. Lebih baik aku menemaninya dan bersama!"

"Hm, terserah. Tapi sekarang mari sama-sama pulang. Kau sudah bebas, Siang Le. Gurumu sudah tak ada disini. Marilah, ikut kami dan sama-sama ke utara!"

Siang Le menjatuhkan diri berlutut. Akhirnya pemuda ini mengucap terima kasih dan Soat Eng terharu melihat kekasihnya berlepotan darah. Itulah luka-luka yang diderita pemuda ini sewaktu Kim-hujin tadi menghajarnya. Soat Eng menyobek bajunya, membersihkan luka-luka itu. Dan ketika ibunya merah padam dan melengos malu, sang ayah tersenyum kecut maka Siang Le diajak ke utara meninggalkan Sam-liong-to.

Rombongan itu akhirnya bergerak di atas perahu dan meluncurlah kendaraan air ini ketika didayung Soat Eng dan paman gurunya, juga Siang Le, yang tentu saja tak mau tinggal diam. Dan ketika rombongan itu bergerak dan meninggalkan pulau maka Sam-liong-to jauh tertinggal di belakang sementara daratan besar tampak di sana.

* * * * * * * *

"Hm, apa yang ingin kalian ketahui?" seorang kakek tertawa lembut, duduk berhadapan dengan empat orang tamunya dan kakek itu tersenyum simpul. Empat tamunya yang duduk berhadapan terkejut sejenak oleh sinar mata kakek ini, lembut namun tajam di balik cahaya berkabut yang menyelimuti mukanya.

Dan ketika empat orang itu menunduk karena tak kuat beradu pandang, sinar mata si kakek mencorong bak mata seorang malaikat maka Pendekar Rambut Emas, rombongan tamu itu, memberi hormat dengan menekuk punggung.

"Maaf," pendekar ini menundukkan kepala dalam-dalam. "Kami datang ingin mendapat petuahmu, Sian-su. Petunjuk dan wejangan tentang syair yang kau berikan itu. Isteriku ingin mengetahui, dan kami yang lain ingin mendengar."

"Hm, bukankah kau sudah tahu? Kenapa tidak menerangkannya kepada isterimu?"

"Isteriku tak akan puas, Sian-su. Aku tak berani menerangkannya. Hanya Sian-su lah yang tepat. Aku merasa bodoh dalam bertanya jawab!"

"Ha-ha, kau pandai merendahkan diri. Ah, kau selalu rendah hati, Pendekar Rambut Emas. Watakmu tak berubah. Dari dulu sampai sekarang tetap saja kau begini. Hm, baiklah. Aku akan menjawab pertanyaan-pertanyaan dan siapa yang akan bertanya!"

Lucu, tiba-tiba saja tak ada yang menjawab. Swat Lian, yang lebih berkepentingan dan mengajak suami serta dua suhengnya ke situ ternyata tiba-tiba saja diam tak bersuara ketika ditanya, bahkan nyonya ini mengalihkan perhatian ketika dipandang. Sorot mata si kakek yang lembut namun terasa begitu penuh perbawa membuat nyonya ini tiba-tiba merasa gentar.

Entahlah, sekonyong-konyong dia merasa jerih. Padahal, Swat Lian bukanlah wanita sembarangan karena wanita itu adalah isteri Pendekar Rambut Emas, juga puteri Hu-taihiap yang gagah perkasa dan terkenal tak pernah takut! Tapi begitu si kakek menyorotkan matanya dan cahaya yang menggetarkan itu menuju mukanya tiba-tiba nyonya ini merasa panas dan malu.

"Niocu, bicaralah!" Pendekar Rambut Emas berbisik, berseru perlahan. "Bukankah kau datang ingin bertemu dan bercakap-cakap dengan Sian-su? Nah, kita sudah di sini, di.Bukit Malaikat. Bicaralah apa yang ingin kau bicarakan!"

Nyonya ini tiba-tiba terisak. Kim-hujin mendadak menangis, tersedu. Dan ketika tanpa sebab dia mengguguk dan menubruk suaminya maka Pendekar Rambut Emas memeluk dan terkejut oleh ulah isterinya ini.

"Eh, ada apa? Kenapa?"

"Aku... aku tak dapat bicara. Aku malu, bingung. Kau saja yang bicara, suamiku. Kau tahu apa yang menjadi ganjalanku selama ini!"

"Hm, tak boleh begitu. Kau bukan anak-anak, niocu. Kau terkenal sebagai isteri yang pemberani dan tak kenal takut. Kenapa tiba-tiba cengeng dan tidak menentu begini? Ayolah, tabahkan hatimu dan angkat semua ganjalan itu keluar!"

"Benar," Bu-beng Sian-su, kakek dewa itu, tertawa lebar. "Kau datang untuk menemuiku, hujin. Bukan untuk menangis dan tersedu-sedan. Mana itu keberanianmu sehari-harinya? Mana itu watak gagahmu? Suamimu benar, kau wanita gagah dan tak kenal takut. Dan kaupun puteri mendiang Hu Beng Kui. Nah, katakanlah dan angkat dagumu itu untuk bercakap-cakap!"

Luar biasa, nyonya itu mendadak meloncat bangun. Bagai harimau betina atau banteng kelaparan tiba-tiba Swat Lian mendengus dan menghentikan tangisnya. Sikap cengeng atau takut-takut tadi mendadak lenyap, terganti dengan sikap beringas seperti beringasnya seekor harimau lapar, gagah dan menakutkan. Dan ketika si nyonya terbelalak dan melepaskan diri, mata bersinar-sinar maka nyonya itu berseru lantang tentang urusan keluarganya.

"Aku ingin bertanya tentang Siang Le, Sian-su. Akan watak dan tindak-tanduknya sebagai calon mantuku yang baru!"

"Hm, apa maksudmu?"

"Aku masih ragu kepadanya. Aku masih sangsi karena ia adalah murid See-ong si kakek iblis!"

"Hm-hm, itu kiranya. Baiklah, apalagi?"

"Aku ingin meyakinkan hatiku, Sian-su. Tak ingin tertipu dan terkecoh oleh kehalusan budi di luar tapi sebetulnya mengandung racun di dalam!"

"Ah, ungkapan yang keras, penuh benci dan dendam," kakek ini menarik napas dalam-dalam. "Baiklah, duduklah, hujin. Dan katakan apalagi yang ingin kau ketahui selain itu."

"Syairmu," nyonya ini menutup. "Aku tak dapat mengetahui apa yang kau maksud, Sian-su. Suamiku hanya senyum-senyum saja tak memberi tahu!"

"Ha-ha!" kakek ini terbahak. "Begitukah, Kim-mou-eng? Kau menjual mahal?"

"Maaf," Kim-mou-eng tersenyum-senyum . "Tak marem rasanya kalau bukan kau sendiri yang menjelaskannya, Sian-su. Meskipun aku tahu tapi barangkali masih ada salahnya juga. Karena itu biarlah kau yang bicara dan kami mendengarkan!"

"Ha-ha, terlampau hati-hati. Ah, kau menggemaskan isterimu, Kim-mou-eng. Dan lihat betapa isterimu sekarang marah-marah, penasaran. Baiklah, apalagi yang ingin ditanyakan?"

"Tak ada," Swat Lian bersemu merah, gemas melirik suaminya itu. "Aku ingin kau bicara, Sian-su. Dan maafkan kalau aku bersikap kasar!"

"Hm, duduklah," sang kakek kembali menyuruh. "Ganjalan di hati memang harus dikuras, hujin. Baiklah mari kita mulai dan apakah yang hendak didulukan lebih dulu!"

Sang nyonya melengak, tertegun. "Aku minta didulukan tentang bocah itu, Siang Le!"

"Hm, dan kalian?"

Hauw Kam dan suhengnya terkejut. "Sama seperti sumoi kami ini, Sian-su. Tapi terserah kau sajalah!"

"Ha-ha, dan kau, Kim-mou-eng?"

"Ah, aku hanya pendengar, Sian-su. Sementara ini biarlah terserah isteriku saja."

"Ha-ha, cerdik dan berhati-hati, pintar! Baiklah, Kim-mou-eng. Aku ingin menjawab penasaran isterimu dan sekaligus syair itu. Kau tentu tahu bahwa syair itu kutujukan kepada Siang Le."

"Kami tahu," Pendekar Rambut Emas bersinar-sinar, mulai mengangguk. "Sudah kuberi tahu isteriku ini, Sian-su. Tapi isteriku tak percaya!"

"Hm, nanti tentu tidak. Baiklah, bicara tentang anak ini sebetulnya berarti bicara tentang syair itu, Pendekar Rambut Emas. Tapi coba bacakan dulu syair yang mana itu karena seingatku banyak syair yang kutulis!"

"Tentang mutiara di dasar samudera..."

"Ah, coba bicara secara lengkap, Kim-mou-eng. Atau suruh isterimu membaca!"

"Aku ingin tahu tentang Siang Le," Swat Lian tiba-tiba mengerutkan keningnya, berseru. "Aku ingin tahu tentang bocah ini, Sian-su. Baru setelah itu syair!"

"Hm, sudah kubilang bahwa membicarakan bocah itu berarti membicarakan syair, kenapa tidak kau mengerti? Kita semua akan ke sana, hujin. Dan aku tahu apa yang kau inginkan. Sudahlah, suruh suamimu mengeluarkan syair itu dan kau membacanya!"

Swat Lian berdetak. Suaminya tersenyum simpul dan gemas dia oleh sikap suaminya ini. Tapi ketika suaminya mengeluarkan sehelai kertas dan sebait syair telah ditunjuk di depan hidungnya maka nyonya ini menerima dan sedikit merengut.

"Awas kau," bisiknya. "Kau menggoda dan rasakan nanti di rumah, suamiku. Tentu kujewer dan kubalas kau!"

Kim-mou-eng menahan geli. Pendekar Rambut Emas ini tak menjawab kemarahan isterinya karena di situ ada Sian-su dan dua yang lain. Dia memberikan syair itu yang setengah direnggut oleh isterinya, yang menyambar gemas. Dan ketika nyonya itu ditunggu dan membelalakkan matanya, enggan membaca syair maka Bu-beng Sian-su berkata bahwa jawaban terletak di situ, semuanya.

"Kau tak usah marah. Semua akan terjawab di sini, hujin. Mulailah, bacalah...!"

Sang nyonya mengangguk. kalau Bu-beng Sian-su sendiri yang bicara tentu saja dia tak berani membantah. Kakek dewa itu akan menjawab penasarannya, uneg-unegnya. Dan ketika sang nyonya bergerak dan membetulkan letak duduknya maka bibir yang masih merah dan basah itu mulai membaca, merdu dan nyaring, sungguh mirip suara gadis yang masih perawan, suara yang membuat Kim-mou-eng tersenyum dan bersinar-sinar memandang isterinya itu, mesra!

Mencari mutiara di dasar samudera
terdapat sebutir yang memukau sukma
menemukan ini mendapatkan surga
bahagialah sudah sang arif bijaksana!


"Ha-ha, itukah?" kakek dewa tertawa bergelak. "Ah, cocok kalau begitu, Kim-hujin. Sungguh tidak meleset dugaanku. Nah, siapa dari kalian yang mampu menemukan jawaban syair ini!"

"Hm, aku tak tahu," Swat Lian berseru. "Kalau tahu mana mungkin bertanya, Sian-su? Kau jawablah, aku mendengar!"

"Hm, kau?" kakek ini memandang Pendekar Rambut Emas. "Benar-benar tak tahu atau memberi tahu isterimu ini, Kim-mou-eng?"

"Maaf, aku takut salah. Coba tanya dua suheng isteriku itu, Sian-su. Barangkali Gwan-suheng atau Hauw-suheng tahu!"

"Ah, mana tahu?" Hauw Kam terkejut. "Kami di sini hanya pendengar, Kim-taihiap. Kalau sumoi saja tidak tahu apalagi kami!"

"Ha-ha, kalau begitu mari ke laut," kakek ini tiba-tiba bangkit berdiri. "Kita cari jawabannya di sana, Hauw-sicu. Dan barangkali Kim-hujin harus mencari ikan!"

"Ikan?" sang nyonya melengak. "Untuk apa, Sian-su? Bukankah..."

"Sstt!" sang suami tiba-tiba memegang isterinya itu. "Apa yang dikata Sian-su pasti ada gunanya, niocu. Mari ke laut kalau Sian-su mengajak!"

"Tapi aku...."

"Sudahlah, kau ingin tahu jawabannya, bukan? Lihat, Sian-su sudah pergi. Kita turun dan ikuti dia!"

Swat Lian terkejut. Bu-beng Sian-su tiba-tiba lenyap dan tahu-tahu sudah di bawah sana, jauh sekali. Tawanya begitu lembut dan renyah. Dan ketika dia terkejut tapi sang suami sudah menarik maka Pendekar Rambut Emas itupun telah mengajak isterinya turun ke bawah. Hauw Kam dan suhengnya melihat dua orang itu berkelebat bagai siluman, lenyap dan tahu-tahu sudah menyusul Sian-su di bawah. Dan ketika mereka terheran-heran dan bingung kenapa Sian-su mengajak ke laut maka Gwan Beng menarik sutenya itu dan berkelebat pula ke bawah.

"Mari, jangan melenggong saja. Aku jadi tertarik!"

"Benar, aku juga, suheng. Dan sungguh aneh kalau Sian-su mencari ikan!"

Dua orang itu bergerak susul-menyusul. Hauw Kam dan suhengnya mengejar Kim-mou-eng tapi mereka tetap saja kalah cepat di belakang. Padahal Kim-mou-eng mencoba menyusul Bu-beng Sian-su tetapi tak dapat. Secepat-cepatnya pendekar ini tancap gas tetap saja kakek itu di depan. Kaki tampak bergerak seenaknya tapi toh dia tak mampu mendahului. Jangankan mendahului, berendeng saja tidak! Tapi ketika mereka tiba di laut dan Hauw Kam maupun suhengnya mandi keringat maka kakek itu berhenti dan tertawa.

"Cukup, kita sampai!"

Kim-mou-eng dan isterinya mengusap peluh. Mereka sendiri tak sampai mandi keringat tapi pengerahan tenaga yang berlebihan membuat mereka kemerah-merahan juga, apalagi Swat Lian. Nyonya ini mangar-mangar dan pipinya seperti apel masak. Kim-mou-eng terpesona memandang isterinya itu, yang dibalas dengan desisan dan cubitan. Dan ketika Kim-mou-eng sadar dan Hauw Kam serta suhengnya memburu napasnya maka Bu-beng Sian-su tertawa menepuk pundak dua orang itu.

"Kalian tak perlu buru-buru. Segarlah kembali!"

Aneh bin ajaib. Hauw Kam dan suhengnya tiba-tiba tak berkejaran lagi napasnya. Mereka bengong dan mengucap terima kasih, itulah berkat kesaktian kakek dewa ini. Dan ketika Bu-beng Sian-su menunjuk debur ombak yang menyambut mereka maka kakek itu berseru pada Kim-hujin untuk menangkap atau mencari beberapa ekor ikan.

"Sekarang jawabannya lebih jelas lagi. Harap Kim-hujin menangkap dan membawa beberapa ekor ikan kemari."

Swat Lian tertegun. Tapi ketika suaminya menyentuh dan menyenggol lengannya maka nyonya itu bergerak dan tahu-tahu sudah berjungkir balik di atas permukaan air laut, persis kecapung atau walet yang menyambar-nyambar ikan. Berapa banyak, Sian-su? Dan besar ataukah kecil?"

"Ha-ha, seberapa banyak kau suka, hujin. Pokoknya cukup untuk makan kita berlima."

"Makan?" kali ini Gwan Beng mengerutkan kening. "Ah, apakah kita mau pesta, Sian-su? Atau barangkali mengenyangkan perut kami dulu sebelum dijejali nasihat-nasihat yang berat?"

"Ha-ha, tak usah bertanya banyak-banyak. Lihat saja Kim-hujin telah mendapatkan buruannya dan kembali ke kita!"

Benar saja, Swat Lian atau si nyonya cantik telah berkelebat di depan mereka. Dengan kepandaiannya yang tinggi dan ilmu meringankan tubuhnya yang luar biasa nyonya itu telah menangkap tak kurang dari sepuluh ekor ikan sebesar lengan bayi, hanya dengan berjungkir balik dan memindah-mindahkan kaki, tanpa menyentuh apalagi jatuh di air. Dan ketika nyonya itu melakukan gerak tiga kali di udara sebelum menginjakkan kaki di tanah maka Pendekar Rambut Emas memuji isterinya sendiri, dengan bertepuk tangan.

"Ah, bagus. Semakin indah dan luar biasa!"

"Ha-ha, isteri siapa?" Bu-beng Sian-su memuji juga. "Isteri pendekar tentu lihai dan hebat, Kim-mou-eng. Dan gerakannya tadi nyaris sempurna!"

"Sudahlah," Swat Lian malah tersipu. "Kepandaianku tak ada sekuku dibanding kesaktianmu, Sian-su. Inilah ikan yang kau minta dan mau diapakan sekarang?"

"Hm!" kakek itu berseri-seri, memandang tiga laki-laki di sebelahnya. "Kalian ingin diapakan, Hauw-sicu? Masak kecap atau bakar seperti sate?"

"Aku tak mempunyai bumbu-bumbu!" Swat Lian menukas. "Aku tak menyangka harus disuruh masak, Sian-su. Aku tak membawa apa-apa!"

"Ha-ha, jangan khawatir. Aku membawa," dan ketika kakek itu mengebutkan lengan bajunya dan mengeluarkan sesuatu maka berjatuhanlah bumbu-bumbu dapur seperti berambang dan kunyit atau lain-lain, bahkan jinten dan ketumbar. Pendeknya, bumbu pawon (dapur)!

"Ah!" Swat Lian tertegun. "Kau membawa begitu lengkap, Sian-su? Atau sihir?"

"Ha-ha, tak ada sihir. Semua ini bumbu-bumbu atau rempah yang kau butuhkan. Silahkan masak apa saja sesuai keinginan mereka!"

Sang nyonya bengong. Jangankan Swat Lian, Hauw Kam dan suhengnya saja sampai mendelong dan terbelalak melihat itu. Naga-naganya, mereka mau diajak pesta, pesta ikan laut! Tapi ketika Hauw Kam terbahak dan minta ikan masak kecap maka Swat Lian tersenyum dan mengangguk melayani permintaan itu.

"Tapi aku bakar saja, seperti sate," Gwan Beng minta yang lain.

"Dan aku goreng saos tomat, niocu. Kau tahu kesukaanku!" Pendekar Rambut Emas tersenyum, menyambung dan minta yang lain dan segera saja nyonya itu sibuk.

Bu-beng Sian-su sendiri tak minta apa-apa karena kakek itu agaknya terserah yang lain saja, apa-apa mau. Dan ketika nyonya itu mulai bekerja dan semua bumbu-bumbu yang dibutuhkan diolah dan siap dijadikan santapan lezat tiba-tiba saja nyonya itu tertegun karena dari semua bumbu-bumbu itu maka ada satu yang kurang, dan itu adalah garam!

"Sian-su, tak ada garam. Bagaimana mungkin menghidangkan ini?"

"Hm, perlu benarkah itu?"

"Tentu saja. Goreng ikan saos tomat tanpa garam tentu hambar, Sian-su. dan ikan masak kecap atau bakar tanpa garam tentu juga tidak enak! Aku butuh itu, garam!"

"Hm, kenapa begitu? Bukankah itu adalah ikan-ikan laut? Laut sendiri sudah mengandung garam, hujin. Seharusnya ikan itu sudah asin!"

"Tapi semua ikan ini masih mentah," sang nyonya melengak, bingung. "Aku tak dapat menghidangkan masakan nikmat tanpa garam, Sian-su. Aku tak mengerti omonganmu!"

"Hm, kalau begitu kau tetap membutuhkan garam?"

"Tentu saja!"

"Baiklah, terima ini," dan Bu-beng Sian-su yang memberikan garam dan tersenyum pada nyonya itu lalu memandangi yang lain-lain karena Hauw Kam maupun Gwan Beng juga kelihatan bingung oleh sikap atau kata-kata kakek dewa ini.

Hanya Pendekar Rambut Emas yang tiba-tiba kelihatan terkejut dan bersinar, cahaya matanya mencorong dan sekonyong-konyong pendekar itu tersenyum. Aneh! Namun ketika isterinya menerima dan meracik bumbu-bumbu itu, mengulegnya dengan garam maka Swat Lian sama sekali tak mengerti dan sudah melanjutkan pekerjaannya. Nyonya ini bingung tapi segera tak perduli lagi pada keanehan Bu-beng Sian-su. Sesuatu yang menakjubkan tak dilihat nyonya itu, bahkan juga dua suhengnya. Dan ketika tak lama kemudian suara 'srang-sreng' sudah disusul bau sedap dari ikan yang dimasak nyonya itu maka Hauw Kam terbahak mengusap air liurnya.

"Waduh, sedap. Lezat sekali!"

"Hm, dan perutku berkeruyuk," Gwan Beng juga tiba-tiba bicara. "Ah, tak kusangka Sian-su membawa kita untuk makan-makan, sute. Dan keterampilan sumoi dalam memasak sungguh masih mengagumkan sekali!"

"Ah, kalian laki-laki!" Swat Lian tertawa, tapi diam-diam girang sekali. "Bisanya hanya memuji dan keruyukan saja. Hayo, kau bantu aku memanggang ikan ini, ji-suheng. Dan itu masak kecap untukmu!"

Hauw Kam tertawa mengusap mulutnya. Belum apa-apa dia sudah menelan liur dan membantu sang nyonya. Gwan Beng juga bergerak dan ikut memanggang ikan. Dan ketika Kim-mou-eng tersenyum-senyum sementara Bu-beng Sian-su tertawa melihat itu maka tak lama kemudian semua masakan sudah siap di depan mereka.

"Nah, aku sudah selesai. Silahkan Sian-su nikmati dan coba kurang garam atau tidak!"

"Ha-ha, bagaimana denganmu, Kim-mou-eng? Apakah masakan isterimu kurang garam?"

"Tidak, sudah cukup."

"Tapi punyaku kurang," Hauw Kam mengomel, tertawa. "Aku suka yang asin-asin, sumoi. Dan masak kecap ini kurang asin!"

"Kalau begitu tambahlah garamnya, aku tak tahu seberapa."

"Ha-ha, sebegini sedap, ck-ck...!" membuka mulut sudah cukup. Ah, lezat..." dan Hauw Kam yang mulai menikmati masak kecapnya lalu disusul yang lain-lain setelah Sian-su mempersilahkan.

Kakek itu hanya mencicipi sedikit saja dan puas, tertawa, memuji masakan si nyonya tapi Swat Lian kurang puas. Nyonya itu menyodorkan ini-itu pula karena kakek itulah yang menyuruhnya memasak. Dan ketika satu per satu dicicipi kakek itu dan Bu-beng Sian-su tertawa, lembut, maka yang lainpun melahap dan berkali-kali memuji masakan si nyonya. Swat Lian sendiri berseri-seri karena masakannya terasa pas, berarti dia masih pandai dan dapat menyenangkan orang-orang itu. Tapi ketika masakan habis disikat dan semua mengusap mulut dengan puas maka nyonya ini teringat janji Sian-su untuk menjawab pertanyaannya.

"Sudah, bukankah sudah terjawab di sini? Kau telah menangkap dan mengolah ikan-ikan ini, hujin. Kau telah memasaknya dan meminta garam kepadaku!"

"Maksud Sian-su?" sang nyonya tertegun.

"Hm, kau tak mengerti juga? Atau pura-pura tak mengerti?"

"Tidak, aku sungguh tak mengerti, Sian-su, dan justeru aku bingung dengan semua kata-katamu yang aneh ini!"

"Ha-ha, kalau begitu kita mulai lagi. Wah, aku harus bicara!" dan ketika si kakek tersenyum dan mengebutkan ujung lengan bajunya maka kakek itu memandang satu per satu semua wajah di situ, berhenti pada si nyonya. "Hujin, agaknya kau belum menangkap jelas akan semua maksudku ini. Dan dua suhengmu ini rupanya juga terheran-heran. Baiklah, aku akan menjelaskannya dan kau dengar baik-baik. Pertama...!" kakek itu tiba-tiba bersikap serius, tak tertawa lagi. "Bagaimana dengan ikan-ikan yang kau masak tadi? Apakah mereka terpengaruh dunianya?"

Sang nyonya terkejut, bingung. "Dunianya? Dunia apa?"

"Hm, mereka hidup di laut, hujin. Dan tentu saja tentang air laut itu."

"Aku tak mengerti," si nyonya semakin mengerutkan keningnya. "Kau berputar-putar, Sian-su. Aku bingung!"

"Hm, apa yang kau minta dariku ketika memasak tadi?"

"Bumbu-bumbu dapur."

"Hanya itu? Tidak ada yang lain, yang terakhir?"

"Ada, garam!"

"Nah, itulah. Itu yang kumaksud! Air laut sendiri sudah mengandung garam, hujin. Dan ikan-ikan itu setiap hari bergelimang garam. Kenapa kau masih meminta garam juga kepadaku? Bukankah ikan-ikan itu sudah mengandung garam?"

Swat Lian tertegun, mujlai membelalakkan mata. "Ini.... ini.... ia gugup. "Laut tak sama dengan ikan, sian-su. Mereka tak mengandung garam karena mereka bukan laut!"

"Tapi mereka setiap hari bergelimang dengan garam. Mereka setiap hari hidup di laut!"

"Tapi... tapi..." sang nyonya bingung. "Mereka... mereka bukan laut, Sian-su. Mereka adalah makhluknya!"

"Itulah, tapi kenapa tidak terpengaruh dunianya? Kenapa tidak terpengaruh garam meskipun setiap hari bergelimang garam? Hm, ada sesuatu yang ingin kutekankan, hujin. Harap perhatikan baik-bak apa yang kau lihat dan akan kau dengar ini. Kau sendiri tahu, ikan hidup di laut. Mereka setiap hari bergelincir dan bergelimang di laut. Tapi anehnya, air laut yang asin sama sekali tidak mempengaruhi tubuh mereka. Bahkan, ketika kau memasaknya kau masih butuh garam! Hm, bukankah aneh? Tidakkah sesuatu kau lihat di sini dan ambil hikmahnya? Aku tahu bahwa ikan bukanlah laut, hujin, sebagaimana lautpun bukanlah ikan. Tapi laut adalah dunia sehari-hari ikan, tanpa laut mereka mati!"

"Tapi ikan ada yang hidup di air tawar!" Hauw Kam tiba-tiba berseru, nimbrung.

"Maaf, persoalan kita tidak ke sana, Hauw-sicu. Melainkan ke sini, ikan dengan lautnya."

"Hm, baiklah. Lalu bagaimana, Sian-su?"

"Pertanyaan ini harus diajukan Kim-hujin, biarlah dia yang bertanya." dan ketika kakek itu kembali menghadapi Swat Lian dan nyonya itu tampak gelisah, bingung, maka kakek itu mengulapkan lengannya menarik si nyonya ke dalam pembicaraan lagi. "Hayo, jawab pertanyaanku, hujin. Kenapa bisa begitu dan pelajaran apa yang bisa kau petik dari sini?"

Swat Lian gemetar. "Aku tak tahu, Sian-su. Aku tak mengerti apa-apa!"

"Jelas!" kakek itu berseru. "Sudah dilihat dan diamati kenapa belum mengerti juga? Ah, jangan gugup, hujin. Mari bersama-sama mengupas dan melihat keganjilan ini. Ada sesuatu yang luar biasa yang patut dicontoh manusia!"

"Dicontoh manusia?"

"Ya. Kau sudah melihat sendiri bahwa meskipun bergelimang dan bergelincir di air laut tetapi ikan-ikan itu tak mengandung garam, hujin. Bahkan ketika memasaknya manusia malah memberi garam! Ada keganjilan di sini yang harus kita amati, dan keganjilan itu adalah itu, ikan yang tidak terasa asin meskipun hidup di air asin! Apa yang kau lihat?"

Sang nyonya tertegun.

"Ayo, jawab apa yang kau lihat, hujin. Jangan melenggong saja!"

"Aku.... aku tak melihat apa-apa. Aku.... aku masih bingung, Sian-su. Aku tak mengerti!"

"Hm, kau! Bu-beng Sian-su mengejutkan Hauw Kam. "Apa yang kau lihat, Hauw-sicu?"

"Tit... tidak. Aku tidak melihat apa-apa!" Hauw Kam terkejut menjawab. "Aku bodoh dan tak tahu apa-apa, Sian-su. Aku hanya ingin mendengar dan biarlah kau yang menjawab!"

"Hm, kau?" sang kakek dewa memandang Gwan Beng. "Apakah kau juga tak melihat apa-apa Gwan-sicu?"

"Aku melihat sedikit saja," Gwan Beng menjawab. "Tapi aku tak berani mengatakannya, Sian-su. Aku takut aku salah!"

"Hm, cobalah," sang kakek berseri, "Jangan takut-takut, Gwan-sicu. Kita sama-sama mencoba mengupas ini. Bicaralah!"

"Aku melihat bahwa ikan itu tak terpengaruh oleh..."

"Ha-ha, lanjutkan!" sang kakek berseru menyuruh Gwan Beng tak perlu takut-takut, karena laki-laki itu berhenti. "Kau mulai menuju pada inti persoalan, Gwan-sicu. Tak usah ragu dan teruskan jawabanmu!"

"Aku melihat ikan-ikan itu tak terpengaruh oleh asinnya air laut. Mereka memiliki daya tolak terhadap garam!"

"Ha-ha, benar, tetapi salah. Aku tak bermaksud sejauh itu, Gwan-sicu. Melainkan pada jawaban singkat pertama tadi. Ah, kau...!" sang kakek menunjuk Pendekar Rambut Emas. "Coba sempurnakan jawaban itu, Kim-mou-eng. Bawa teman-temanmu ini kepada pengertian tunggal!"

Kim-mou-eng terkejut. Pendekar Rambut Emas ini sedang enak-enaknya tersenyum-simpul ketika tiba-tiba Bu-beng Sian-su menuding padanya. Dia terkejut dan seketika lenyap senyumnya. Dan ketika dia batuk-batuk untuk menghilangkan kegugupan dan kagetnya maka pendekar ini berkata sambil menekan debaran jantung. "Sian-su sebenarnya hendak mengibaratkan Siang Le sebagai ikan. Air laut adalah dunia ini, dunia kita. Dan karena dunia ini begitu kotor dan penuh kebusukan maka garam di air laut itu diumpamakan kejahatan-kejahatan dunia yang menyelubungi kehidupan manusia!"

"Ha-ha, betul, tetapi kurang langsung. Heh, jelaskan tanpa tedeng aling-aling lagi, Pendekar Rambut Emas. Beritahu isterimu apa yang kau mengerti!"

"Sian-su hendak bicara tentang Siang Le...."

"Betul."

"Dan air laut itu adalah dunia si pemuda yang berusaha mengotorinya dan membuatnya asin..."

"Tidak begitu. Ganti istilah itu, Kim-mou-eng. Ganti yang benar!"

"Hm, aku hendak berkata bahwa dunia di sekeliling Siang Le adalah dunia yang jahat, Sian-su. Pemuda itu hendak dibungkus dan dipengaruhi kejahatan!"

"Ha-ha, bagus, tepat sekali. Lalu?"

"Lalu tak berhasil, Sian-su. Karena Siang Le adalah seperti ikan di laut itu!"

"Ha-ha, cocok dan benar. Eh, kau mengerti, hujin? Kau dapat menangkap kata-kata suamimu ini?"

"Aku bingung, terkejut...." sang nyonya merasa dipukul. "Aku minta diulangi, Sian-su. Aku belum jelas benar!"

"Hm, coba ulangi," Bu-beng Sian-su menyuruh lagi. "Beri jawaban yang jelas kepada isterimu ini, Kim-mou-eng. Dan aku akan menuntunmu kalau kurang benar."

"Jelas," Pendekar Rambut Emas menarik napas. "Kau hendak menitikberatkan masalah pengaruh, Sian-su. Bahwa meskipun laut boleh asin tapi ikan-ikan itu sendiri tidak. Bahwa meskipun dunia itu boleh jahat tapi Siang Le tetap teguh dan berada di jalan kebenaran!"

"Ha-ha, bagus. Kau mengerti, hujin? Atau minta kutegaskan lagi?"

Sang nyonya mengangguk, menggigil.

"Baiklah," kakek ini bersinar-sinar. "Agaknya jawaban suamimu tak memuaskan hatimu, hujin. Rupanya kau minta agar aku yang bicara. Hm, benar. Sebetulnya sama saja. Tapi tak apa, aku akan menegaskan. Dan inti persoalan memang pada itu: PENGARUH! Manusia, dalam hal ini Siang Le, hampir setiap saat dikelilingi dan dipenuhi debu-debu kekotoran duniawi. Dia adalah murid See-ong, seorang kakek iblis. Dan karena See-ong bukanlah orang baik-baik dan apa saja dilakukan kakek itu demi kesenangan dirinya sendiri maka muridnya dibawa dan hendak dicetak seperti dirinya itu. See-ong, seperti 'dunia ini atau air laut itu' adalah debu-debu duniawi yang amat kotor. See-ong ibarat air laut atau dunia ini yang hendak menggulung dan membungkus manusia dalam pengaruh kejahatannya. See-ong adalah kakek iblis yang amat berbahaya sekali karena perbuatan-perbuatannya selalu di luar kebenaran. Tapi karena Siang Le adalah seperti ikan di laut maka meskipun garam kejahatan itu berusaha menggelimanginya tetap saja pemuda itu bersih dan teguh dalam kebenaran. Lihat saja betapa dia menentang sepak terjang gurunya. Lihat saja ketika dia tak setuju melihat gurunya menyerang kota raja. Apa yang dilakukan pemuda itu, hujin? Diam dan pura-pura sakit! Siang Le tak mau ikut-ikutan gurunya meskipun dia dipaksa. Dan kalau gurunya menyudutkan maka dia pilih dibunuh daripada melanggar kebenaran! Hm, pemuda inilah mutiara di dasar laut itu, hujin. Pemuda inilah ikan yang tidak terpengaruh asinnya air laut. Dia adalah pemuda mengagumkan yang pantas menjadi mantumu. Kau tak usah melihat gurunya karena See-ong adalah laut sementara Siang Le ikannya!"

Sang nyonya terkejut, membelalakkan mata lebar-lebar.

"Dan kau tadi bilang," kakek ini melanjutkan, berseri-seri. "Laut bukanlah ikan, hujin. Dan ikan bukanlah laut! Kenapa menganggap ikan seperti laut atau laut seperti ikannya? Bukankah See-ong adalah See-ong dan muridnya adalah muridnya? Siang Le bukan See-ong, hujin. Dan See-ong bukan Siang Le. Pemuda itu adalah ikan yang bersih meskipun berusaha digulung dan dibungkus kejahatan!"

"Sian-su berani menjamin?"

"Kenapa tidak? Pemuda itu adalah mutiara yang langka dicari, hujin. Dan puterimu akan mendapat kebahagiaan bersanding dengan pemuda ini. Siang Le adalah ikan yang tidak terpengaruh oleh asinnya air laut. Dia adalah pemuda yang tidak terpengaruh oleh kejahatan atau sepak terjang gurunya!"

Sang nyonya tertegun. Tiba-tiba dia melihat suaminya tersenyum dan mengangguk-angguk. Itulah kenyataan yang dilihat tapi nyonya ini masih ragu juga. Ada sebuah pepatah yang mengatakan bahwa buah tak jauh dari pohonnya. Dan karena See-ong adalah pohon sementara pemuda itu ibarat buahnya maka nyonya ini menyergap, "Sian-su, aku dapat melihat bahwa apa yang kau katakan itu benar. Bahwa selama ini pemuda itu memang bagai langit dan bumi dengan gurunya. Tapi siapa tahu di kemudian hari kelak pemuda itu berubah? Siapa tahu semua gerak-geriknya selama ini hanya taktik untuk menjerat puteriku?"

"Hm, maksudmu?"

"Ada pepatah mengatakan buah tak jauh dari pohonnya, Sian-su. Bahwa tindak-tanduk anak tak akan jauh dengan orang tuanya!"

"Tapi Siang Le bukanlah anak, pemuda itu hanya murid! Kau tak tepat membawa perumpamaan, hujin. Darah yang mengalir di tubuh Siang Le bukanlah darah See-ong. Pemuda itu pada dasarnya memiliki watak yang bersih, hati yang bersih. Tapi karena kebetulan saja dia ditemukan See-ong dan dipungut murid maka dia dekat dengan gurunya itu meskipun tak berarti dekat dengan tindak-tanduk gurunya itu, kejahatannya!"

"Hm...!" nyonya ini tersudut, tapi masih juga membantah. "Aku masih mengkhawatirkan puteriku, Sian-su. Betapapun aku ragu karena Siang Le adalah murid See-ong, pembunuh ayahku!"

"Hm, ini penyebabnya, biang penyakitnya," kakek itu menghela napas. "Kau dikotori nafsu dendammu, hujin. Kau tak jernih dan berpikiran terang. Kalau kau bersikeras menolak pemuda itu tentu saja aku tak dapat menghalangi. Hanya jawabanmu menjadi tak sehat. Kau terpengaruh oleh dendammu kepada See-ong!"

"Aku..." sang nyonya menangis. "Aku benci karena See-ong membunuh ayahku, Sian-su. dan kakek itupun kini lepas. Aku marah dan memang amat mendendam sekali!"

"Ini pembicaraan yang lain," kakek itu berkata sareh. "Kau tadi membicarakan pemuda itu, hujin. Dan aku sudah menjawabnya. Kalau ingin tahu yang lain lagi maka kita harus menuju pada syair yang lain lagi. Sekarang, tentang pemuda itu, dapat kukatakan kepadamu bahwa Siang Le adalah pemuda yang benar-benar baik luar dalam. Aku menjamin pemuda ini seperti aku melihat tak terpengaruhnya ikan oleh asinnya air laut. Pemuda itu pada dasarnya berbatin bersih, wataknya mengagumkan. Kalau kau ingin membahagiakan puterimu dan tidak terlibat ke-aku-anmu sendiri maka ini adalah langkah yang benar atau kau akan mendapat peristiwa tak menyenangkan dari puterimu sendiri!"

Swat Lian tertegun. Sang nyonya teringat perlawanan Soat Eng ketika hendak dijauhkan dari Siang Le. Puterinya itu bahkan siap bunuh diri kalau dia menghalangi. Ah, tentu saja dia tak menghendaki itu. Soat Eng adalah puteri satu-satunya yang dimiliki. Gadis itu adalah puteri tunggalnya karena anak-anaknya yang lain adalah laki-laki. Dan ngeri membayangkan perlawanan puterinya yang tentu tak kalah keras akhirnya nyonya ini terisak dan memeluk suaminya.

"Aku dapat melihat kata-kata Sian-su. Aku percaya. Biarlah See-ong kulupakan dan pemuda itu tak kukait-kaitkan dengan namanya."

"Bagus, dan kuberi tahu sekalian, hujin. Kelak pemuda itu akan menebus dosamu dalam sesuatu hal. Kau akan berhutang budi kepadanya. Baik-baiklah dan jangan bersikap keras!"

"Aku tahu..." sang nyonya mengusap air matanya. "Dan terima kasih, Sian-su. Mudah-mudahan aku selalu ingat dan tak lupa akan semua nasihat-nasihatmu ini."

"Dan tak ada pertanyaan lagi, bukan?"

"Nanti dulu!" Gwan Beng tiba-tiba berseru. "Nasihat atau wejanganmu terasa belum lengkap, Sian-su. Ada sesuatu yang kurasa kurang!"

"Hm, apa itu?"

"Tentang pengaruh. Apakah hal itu jelek dan memang merugikan manusia?"

"Ha-ha, kau harus dapat menjawabnya sendiri. Kau bukan anak-anak, Gwan-sicu. Kau adalah seorang laki-laki yang sudah cukup umur. Tentunya kau tahu bahwa pengaruh yang kumaksudkan di situ adalah PENGARUH YANG BURUK! Manusia gampang sekali jatuh ke dalam pengaruh-pengaruh macam begini. Dan biasanya pengaruh model begitu selalu menjanjikan kesenangan di awal mulanya. Lihat saja sekelompok judi umpamanya, atau candu, atau sex, atau apa saja yang mudah menggelincirkan manusia ke dalam tindakan-tindakan sesat. Bukankah pengaruh-pengaruh itu yang kumaksudkan? Untuk yang baik, yang benar, tentu saja manusa boleh terpengaruh. Tapi untuk yang baruk , jahat, hmmm... sebaiknya manusia menghindar dan bersikaplah seperti ikan di laut itu. Laut boleh asin tapi sang ikan tidak! Dunia boleh jahat tapi aku tetap menjaga kebersihan! Ha-ha, bukankah jelas, Gwan-sicu?"

Gwan Beng mengangguk-angguk. Akhirnya laki-laki ini malah tersipu karena pertanyaannya seperti anak kecil, kurang dewasa. Bukankah dia harus tahu bahwa yang dimaksud kakek dewa itu adalah pengaruh yang buruk? Dan tadi kakek itu telah menyatakannya secara jelas. Laut diibaratkan dunia yang penuh garam kejahatan. Laut diibaratkan debu-debu duniawi yang mengotori manusia ini. Dan hanya manusia seperti ikan itulah yang tidak bakal terpengaruh oleh asinnya garam kejahatan. Ah! Dan ketika laki-laki ini mengangguk berulang-ulang dan kakek itu bangkit berdiri tiba-tiba Bu-beng Sian-su berkata bahwa pembicaraan sudah cukup.

"Syair ini telah kukupas. Dan intinya telah kalian ketahui. Kukira tak perlu kita bicara lagi dan dalam pertemuan berikut barangkali kita akan bicara yang lain lagi. Bukankah begitu, Kim-mou-eng?"

Pendekar Rambut Emas mengangguk. Dia tahu bahwa pembicaraan memang sudah selesai. Syair itu telah dikupas. Maka ketika dia bangkit berdiri dan membungkuk di depan gurunya itu, kakek dewa yang tak mau secara resmi disebut guru maka Bu-beng Sian-su berkelebat dan lenyap meninggalkan mereka. Kakek itu hanya tampak mengebutkan lengan dan tahu-tahu hilang, seperti iblis. Dan ketika Gwan Beng dan yang lain-lain memberi hormat dan mengucap terima kasih maka Swat Lian terisak memeluk suaminya.

"Kau terlalu," nyonya ini berbisik. "Kalau tahu jawabannya kenapa tidak memberitahukannya kepadaku, suamiku? Aku malah takut mendengar kata-kata Sian-su tadi!"

"Kata-kata yang mana?"

"Bahwa aku akan berhutang budi kepada Siang Le. Ah, gurunya mempunyai hutang jiwa malah muridnya memberi hutang budi! Apa-apaan ini?"

"Sudahlah, kita harus menghadapi semuanya itu, isteriku. Tak perlu membenci terlalu jauh. Sian-su hanya memberi tahu saja dan justeru hal ini dapat membuat kita berjaga-jaga, waspada."

"Dan kau, bagaimana bisa tahu semua itu?"

"Tentang apa?"

"Syair itu. Dulu kau bilang belum tahu tapi sekarang ternyata dapat menjawab!"

"Ah, jangan salah paham. Dulu kukatakan bahwa syair itu pasti berkaitan erat dengan Siang Le. Aku baru mengerti jawaban sepenuhnya setelah Gwan-suheng tadi bicara masalah pengaruh."

"Begitukah?"

"Ya, dan ingat. Jelek-jelek Sian-su adalah guruku, niocu. Jadi segala gerak-gerik atau kata-katanya mudah kutangkap. Itulah yang membuat aku lebih dulu mengerti daripada kalian."

"Hm, kalau begitu sudahlah. Mari kita pulang!" dan ketika sang nyonya berkelebat dan diikuti suaminya, yang bergerak dan menggandeng lengan isterinya itu maka Gwan Beng dan Hauw Kam termangu-mangu terngiang segala kata-kata kakek dewa itu.

Mereka membayangkan Siang Le, dan mereka kagum. Hm, pemuda itu memang seperti ikan di laut. Gurunya boleh jahat tapi justeru pemuda ini tidak. Gurunya boleh kejam tapi pemuda itu justeru lemah lembut dan berwatak mulia. Ah, mampukah orang-orang lain melakukan seperti apa yang dilakukan pemuda itu? Agaknya mustahil, atau kalaupun bisa, maka itu harus dilakukan dengan perjuangan yang berat dan tidak kenal lelah.

Pengaruh, yang buruk, memang mudah sekali menggelincirkan dan menjebak manusia. Begitu mudahnya manusia dirobohkan dan hanyut dalam pengaruh buruk. Dan contohnya se-abrek. Para penjudi, para pemabok, atau para penipu dan para-para lain yang tak perlu disebutkan satu per satu. Manusia begitu mudah dan gampangnya dipengaruhi pengaruh buruk. Dan kalau sudah begitu maka biasanya bukan kebahagiaan melainkan kesengsaraan yang akan dialami manusia.

Debu-debu kotor itu, garam-garam kejahatan itu, bukankah selayaknya perlu ditamengi dan dijaga? Manusia bukan ikan, tapi manusia dapat berusaha seperti ikan. Dan itulah yang dimaksud Sian-su. Menjaga dan agar tetap selalu dalam jalan Kebenaran. Padahal jalan Kebenaran itu biasanya sempit. Lain dengan jalan Ketidakbenaran yang biasanya lebar dan menganga di depan manusia, jalan yang sebenarnya siap mencaplok manusia seperti mulut buaya yang akan menelan mangsanya bulat-bulat!

Gwan Beng mengangguk-angguk. Laki-laki ini dapat melihat itu dan sebagai orang yang cukup berumur dia segera mengerti apa artinya itu. Sebuah nasihat untuk manusia agar tetap selalu di jalan kebenaran, meskipun jalan itu sempit. Tinggal sekarang manusianya, mampukah dia menjaga diri seperti ikan? Mampukah dia menanggul dan memagari diri sendiri dari debu-debu yang beterbangan ini? Ah, dosa dan kesalahan terlalu banyak dibuat manusia. Dan hanya orang-orang yang 'berbakat' istimewa saja barangkali yang dapat seperti Siang Le.

Tapi manusia harus mencoba, harus berusaha. Bukankah hidup adalah perjuangan? Bukankah hidup adalah pergulatan? Dan karena hidup adalah perjuangan atau pergulatan maka manusia harus mencoba untuk hidup dalam taraf yang lebih baik. Dan itu adalah menahan debu-debu kekotoran, menolak dan tidak membiarkannya merembes masuk karena sekali dicengkeram sesuatu pengaruh buruk maka manusia biasanya tak mudah lagi melepaskan diri!

Gwan Beng mengangguk-angguk. "Hm, apa yang kau pikir, suheng?"

Hauw Kam tiba-tiba bertanya. "Itu, wejangan Sian-su tadi. Bukankah indah dan bagus sekali, sute? Kita diminta seperti ikan, tak terpengaruh oleh garamnya kehidupan, yang buruk!"

"Dan Siang Le menjadi contoh yang jelas dalam pembicaraan ini. Ah, bocah itu memang mengagumkan. Dari dulu aku sudah tahu bahwa anak itu memang pemuda baik-baik!"

"Dan dia berbeda sekali dengan gurunya, memiliki kepribadian sendiri dan tidak terpengaruh sepak terjang gurunya!"

"Ya, seperti ikan dalam air laut, tak terasa asin meskipun digelimangi garam!"

"Dan kau tadi malah menambah garam!"

"Ha-ha, karena kurang asin, suheng. Ikan yang kumakan masih kurang nikmat dan sedap!"

"Dan kita mendapat pelajaran yang berharga. Ah, Sian-su memang kakek dewa yang mengagumkan. Mudah-mudahan lain kali kita dapat bertemu lagi dan mendapatkan wejangannya. Mari, kita pulang, sute. Aku ingin melihat pernikahan anak-anak kita!"

"Hm, benar. Dan aku akan membela dan melindungi anak-anak itu kalau ibunya masih marah. Mari, kita berangkat, suheng. Kita lihat dan saksikan pernikahan anak-anak itu!"

Gwan Beng mengangguk. Sutenya sudah bergerak dan tertawa meninggalkan pantai. Mereka tak perduli lagi pada sisa tulang-tulang ikan yang berserakan. Mereka telah mendapatkan makanan rohani yang jauh lebih nikmat daripada ikan-ikan itu. Dan ketika keduanya bergerak dan terbang ke utara maka suheng dan sute ini telah menyusul Pendekar Rambut Emas dan isterinya yang telah pergi meninggalkan mereka.

Swat Lian telah mendapatkan jaminan akan Siang Le. Nyonya itu merestui pernikahan puterinya dengan murid See-ong itu, meskipun diam-diam dia agak cemberut karena mantunya adalah murid seorang tokoh sesat! Dan ketika Siang Le akhirnya mendapatkan Soat Eng dan dua muda-mudi itu memperoleh kebahagiaannya maka sebulan kemudian pemuda ini mendapat kepercayaan Pendekar Rambut Emas untuk memiliki ilmu-ilmu Khi-bal-sin-kang dan Jing-sian-eng, bahkan juga Lui-ciang-hoat dan Cui-sian Gin-kang.

"Kau sekarang sudah menjadi keluargaku, suami Soat Eng. Janggal rasanya kalau seorang kepala keluarga harus di bawah isterinya. Nah, mulai sekarang kau dapat menerima ilmu-ilmuku, Siang Le. Agar kau setingkat dan tidak jauh dengan isterimu. Mulai hari ini kau akan mewarisi Khi-bal-sin-kang dan Jing-sian-eng, juga Lui-ciang-hoat dan Cui-sian Gin-kang yang kelak akan kau pelajari secara bertahap."

"Ah, terima kasih, gak-hu (ayah mertua). Tapi.... tapi aku tak berani!" Siang Le terkejut, segera menjatuhkan diri berlutut.

"Hm, berdirilah!" Pendekar Rambut Emas menarik bangun. "Kau mantuku, Siang Le. Kau anakku. Kau bukan orang lain lagi dan tak perlu sungkan menerima ini. Aku tak ingin kau menjadi beban isterimu kalau kepandaian kalian terpaut jauh!"

Siang Le gemetar. Tentu saja dia girang tapi juga berdebar tegang mendengar kata-kata itu. Dia akan mewarisi kepandaian Pendekar Rambut Emas, hal yang tak pernah terbayangkan, meskipun dia sudah menjadi mantu. Dan ketika Pendekar Rambut Emas menarik bangun tubuhnya dan menyuruh dia bersikap biasa maka Siang Le tersipu-sipu menerima Khi-bal-sin-kang dan Jing-sian-eng, dua ilmu dahsyat yang belum ada tandingan, apalagi kalau digabung dengan Lui-ciang-hoat dan Cui-sian Gin-kang, kepandaian yang menjadi andalan keluarga Pendekar Rambut Emas itu. Tapi ketika dia mulai mewarisi ilmu-ilmu ini dan menjadi mantu sekaligus murid Pendekar Rambut Emas tiba-tiba suatu hari gak-bonya (ibu mertua) muncul, minta agar dia menangkap dan membunuh See-ong, gurunya!

"Aku masih dendam sekali kepada iblis tua bangka itu. Cari dan bunuh dia setelah kau mendapat kepercayaan suamiku yang demikian besar dengan menurunkan ilmu-ilmunya kepadamu!"

Siang Le tertegun.

"Kau mampu melakukannya, bukan?"

"Maaf," pemuda ini menjawab menggigil. "Dia... dia guruku, gak-bo. Kalau kau minta agar aku menangkap dan membunuhnya maka lebih baik gak-bo membunuh aku sekarang saja. Aku tak sanggup!"

"Hm, kau sekarang sudah menjadi menantu dan murid Pendekar Rambut Emas, Siang Le. Kau bukan murid See-ong lagi!"

"Tapi dialah yang membesarkan dan menyambung umurku. Tanpa dia tak mungkin aku ada, gak-bo. Tanpa dia tak mungkin aku masih hidup!"

"Jadi bagaimana maumu?"

"Aku tak sanggup...."

"Kalau begitu bawa saja dia kemari kelak. Atau kau juga tak sanggup?"

Siang Le menggigil. Tak disangkanya bahwa kegembiraan yang baru diperoleh tiba-tiba diikuti dengan persoalan baru, persoalan yang tidak menyenangkan. Tapi karena dia sudah terikat dan ibu mertuanya ini adalah isteri gurunya pula, Pendekar Rambut Emas maka Siang Le berada di persimpangan jalan ketika mengangguk, lirih. "Baiklah," pemuda itu pucat. "Aku juga akan membayar hutang budimu, gak-bo. Aku tak berjanji tapi aku akan mengusahakan."

Swat Lian tersenyum mengejek. Dia sudah cukup puas dan berkelebat pergi. Nyonya ini sebenarnya mendongkol kenapa suaminya menurunkan semua ilmu-ilmu keluarga, padahal itu adalah ilmu-ilmu dahsyat yang tak boleh diturunkan pada sembarang orang. Tapi ketika si pemuda mengangguk dan pembicaraan itu tak ada yang mendengar maka si nyonya cukup puas tapi hari-hari berikut Siang Le justeru lesu mempelajari Khi-bal-sin-kang dan lain-lainnya itu!

Pemuda ini terpukul dan terguncang. Pendekar Rambut Emas sendiri heran dan tak mengerti kenapa tiba-tiba pemuda itu seperti tak bersemangat. Dan ketika semuanya itu ditambah keinginan Siang Le untuk ke Sam-liong-to, tinggal di sana, maka sang pendekar tertegun tapi tak dapat menolak ketika Siang Le berkata bahwa biarlah untuk selanjutnya Soat Eng yang mengajari.

"Eng-moi tentu dapat melanjutkan pelajaran gak-hu. Biarlah kami tinggal di Sam-liong-to dan hidup sendiri di sana."

Kim-mou-eng tak dapat menolak. Mereka adalah pengantin-pengantin baru yang sudah membangun rumah sendiri. Dipikirnya Siang Le mungkin ingin berbulan madu berdua, rikuh di rumah mertua. Dan ketika pendekar itu menyetujui dan melepas mereka maka Siang Le selanjutnya tinggal di Sam-liong-to.

Berbahagiakah pemuda ini? Seharusnya begitu. Hidup senangkah pemuda ini? Seharusnya begitu. Tapi karena tak ada yang tahu pembicaraan antara pemuda itu dengan ibu mertuanya maka sesungguhnya pemuda ini diam-diam hidup menderita. Masa pengantin baru dilewati dengan bingung. Soat Eng heran melihat sikap suaminya ini. Tapi karena Siang Le tak pernah menceritakan hal itu dan menutupnya secara rahasia maka kelak ini baru diketahui Soat Eng beberapa tahun kemudian, setelah sesuatu yang menggegerkan terjadi.

Apakah itu? Mari kita lihat saja dalam lanjutan kisah RAJAWALI MERAH. Anda akan tahu dan bertemu lagi dengan pemuda itu, juga Bu-beng Sian-su, kakek dewa yang siap memberikan wejangan-wejangannya itu. Salam hangat!

TAMAT

(Seri selanjutnya)
RAJAWALI MERAH