Istana Hantu Jilid 33 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

ISTANA HANTU
JILID 33
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

“KALIAN manusia-manusia tak tahu malu. Enyahlah!"

See-ong dan Togur menjerit. Mereka terdorong dan terlempar oleh pukulan Pendekar Rambut Emas, yang lagi-lagi mengeluarkan pukulan anehnya itu, merah dan putih. Dan ketika Togur mencelat sementara See-ong terguling-guling menyambar Ituchi, karena Beng An sudah disambar ayahnya maka kakek itu berteriak dan lari ke tengah.

"Kita bersembunyi di Istana Hantu, cepat!"

Togur pucat. Dia ngeri dan gentar melihat pukulan itu tadi. Dua macam hawa yang berbeda menyerangnya dalam satu pukulan luar biasa, yang pertama dingin sementara yang lain panas. Jadi seolah dua kutub yang berlainan menggencetnya dari dua arah yang berbeda. Kalau saja Pendekar Rambut Emas tak memecah pukulannya kepada See-ong pula mungkin dia sudah terbanting dan roboh, tak mungkin bangun lagi. Maka begitu See-ong berteriak padanya dan Togur meloncat bangun maka pemuda itu sudah melarikan diri dan mengikuti kakek itu.

"Heii, tunggu...!"

See-ong tertawa aneh. Saat itu Pendekar Rambut Emas memberikan puteranya pada sang isteri. Swat Lian terbelalak melihat semuanya itu dan mau mengejar. Tapi ketika sang suami melempar Beng An dan berseru padanya agar menyerahkan lawan dan tak usah ikut-ikutan maka nyonya cantik ini membanting kaki dan berseru gusar.

"Mana mungkin? See-ong atau bocah itu telah menghina kita, suamiku. Aku tak mau tinggal diam dan tetap akan mengejar. Kalau kau hendak menangkap See-ong silahkan, tapi aku akan membekuk bocah itu!"

"Hm, boleh. Tapi jangan membunuh!‖ dan Pendekar Rambut Emas yang sudah berkelebat dan lenyap di balik Pek-sian-sutnya akhirnya mengejar dan memburu See-ong. Mereka semua tak tahu betapa Thai Liong yang terlempar dan terduduk oleh tendangan Togur tadi harus mengerang dan merintih menahan sakit. Bukan tendangan itu yang membuatnya kesakitan, tapi oleh pukulan dan kata-kata ibunya tadi. Ah, Thai Liong memejamkan mata dan makian atau bentakan ibunya tadi serasa menusuk-nusuk ulu hatinya yang sedang berkarat. Begitu pedih, begitu tajam!

Dan ketika ayah ibunya bertikai sendiri dan Soat Eng tertegun di samping ibunya maka pemuda itu diam-diam bangkit berdiri dan terhuyung memutari pulau. Thai Liong bukan hendak meninggalkan Sam-liong-to justeru sebaliknya hendak menyelamatkan Ituchi. Temannya itu jelas ditangkap See-ong dan See-ong telah berkata bahwa akan bersembunyi di Istana Hantu. Tempat itu amat luas dan merupakan istana bawah tanah. Ada jalan lain selain di tengah pulau, yakni di ceruk atau pantai bawah laut.

Dia akan menyelam di situ dan memasuki Istana Hantu dari tempat yang lain, tempat yang merupakan jalan rahasia karena di situlah dulu dia bersama Soat Eng lepas dari tangan See-ong, ketika See-ong menangkap mereka berdua. Maka ketika ayah ibunya mengejar dua orang itu di tengah pulau maka pemuda ini sudah terhuyung-huyung menuju tempat yang tidak diketahui orang lain itu. Dan Thai Liong sudah menyelam.

Berapa lama dia menyelam Thai Liong tak menghitung. Yang jelas berkali-kali dia harus menahan sakit dan menekan dada. Tapi ketika dia muncul di permukaan air di ujung terowongan itu maka Thai Liong sudah memasuki Istana Hantu melalui undak-undakan batu yang terus naik ke atas dan merupakan jalan yang gelap dimana dia harus menyalakan obor.

"Sstt...!" Thai Liong tiba-tiba mendengar sebuah suara. "Kesinilah, Kim-kongcu. Naik dan matikan obormu!"

Thai Liong terkejut. Sesosok bayangan tiba-tiba muncul di tangga sebelah kiri dan menyongsongnya. Dia serasa mengenal suara itu tapi dalam saat begitu tak terduga tentu saja dia kaget. Maka ketika bayangan itu mengulurkan lengannya, bermaksud menolongnya naik tiba-tiba Thai Liong membentak dan melepas pukulan.

"Heii...!" bayangan itu terkejut. "Jangan serang, Kim-kongcu. Aku kawan!"

Namun Thai Liong sudah terlanjur melepas pukulan, dikelit dan ditangkis dan bayangan itupun terlempar, terguling-guling, menabrak meja kursi batu dan berseru pucat melompat bangun. Thai Liong bergoyang karena melepas pukulan tadi berarti mengerahkan tenaga, padahal dia terluka. Dan ketika dia menyeringai dan obor padam, tak kuat di tangan pemuda yang gemetar ini maka bayangan itu sudah menangkapnya dan mencengkeram.

"Kau terluka," seruan itu jelas bersahabat. "Ah, bagaimana ini, Kim-kongcu? Bukankah aku tak membalasmu?"

"Siapa kau?" Thai Liong lupa-lupa ingat. "Kau membuat kaget namun aku serasa mengenalmu, mengenal suaramu!"

"Aku Siang Le," jawaban itu membuat Thai Liong tertegun. "Aku orang yang memang sudah kau kenal tapi mungkin saja kehadiranku yang tiba-tiba ini membuat kau kaget!"

Thai Liong mencengkeram lawan. "Benar," katanya. "Kau Siang Le! Eh, apa artinya ini, Siang Le? Kau mau apa dan bagaimana bisa ada disini? Kau tak kulihat bersama gurumu. Kau aneh tapi tak sama dengan gurumu!"

"Hm, guruku memang sesat," pemuda ini menarik napas dalam-dalam. "Dan aku menyesal kenapa semuanya ini harus terjadi, Kim-kongcu. Tapi tak apalah, aku sudah menjadi murid guruku. Dan aku akan menolongmu!"

"Hm!" Thai Liong mengerutkan kening, sedikit bercuriga. "Menolong bagaimana, Siang Le? Apa maksudmu?"

"Aku akan membantumu mendapatkan temanmu itu. Bukankah kau datang untuk menyelamatkan Ituchi?"

"Benar," Thai Liong tertegun. "Tapi kau akan berhadapan dengan gurumu!"

"Hm, aku sudah berkali-kali berhadapan dengan guruku itu," Siang Le tersenyum pahit. "Masalah itu tak perlu kau pikirkan, Kim-kongcu. Pokoknya aku akan membantumu dan temanmu itu kuserahkan padamu. Bagaimana?"

Thai Liong tak menjawab. Sebenarnya dia ragu tapi juga tahu bahwa pemuda yang satu ini lain dari yang lain. Siang Le tak sama dengan gurunya dan heran bahwa See-ong bisa mempunyai murid macam itu, murid yang lebih suka membangkang daripada menurut! Tapi ketika Siang Le bertanya lagi dan dia terbatuk, luka di dadanya kambuh tiba-tiba pemuda ini terhuyung dan mengeluh menahan sakit.

"Ah, kau luka, tak ingat itu!" Siang Le tiba-tiba terkejut, meloncat dan memegang pemuda ini. "Bagaimana kau bisa begini, Kim-kongcu? Siapa yang melukaimu?"

Thai Liong tak menjawab. Dia menggigit bibir dan tiba-tiba menggigil. Kenangan itu terlalu pahit dan makian serta kemarahan ibunya terlalu menusuk. Ah, dia anak tiri! Dan ketika Thai Liong diguncang namun mendorong lawan maka dia minta agar Siang Le tidak bertanya itu.

"Aku luka karena jatuh. Biarlah, aku dapat menolong diriku sendiri dan terima kasih atas bantuanmu." Thai Liong menelan obat, tak mau ditolong Siang Le dan murid See-ong itu tertegun.

Sejenak Siang Le melihat pemuda itu duduk bersila dan mengatur napas. Lalu ketika dirasa baik dan ringan tiba-tiba Thai Liong sudah bangun lagi dan berkata, "Aku dapat menjaga diriku sendiri. Sudahlah, aku tak mengharap bantuanmu karena tak ingin kau bermusuhan dengan gurumu sendiri."

"Tidak!" Siang Le tiba-tiba menghadang. "Aku akan menolongmu setulus hatiku, Kim-kongcu. Kalau kau terluka seperti ini tentu saja semakin besar hasratku untuk menolongmu. Kau tak mungkin menghadapi guruku!"

"Hm, gurumu menghadapi ayahku, tak mungkin menghadapi aku!"

"Benar, tapi kalau dia melihat kau dan menangkapmu tentu ayahmu semakin bingung, kongcu. Marilah, turut kata-kataku dan kubawa kau ke dalam sebuah ruangan rahasia!"

Thai Liong mengerutkan kening. Siang Le sudah menariknya dan tanpa menunggu jawaban lagi murid See-ong itu membawanya ke atas. Obor sudah padam namun Siang Le rupanya hapal akan tempat itu, terbukti pemuda ini dapat turun naik dengan enak. Dan ketika Thai Liong bimbang dan ragu menerima semuanya itu, karena janggal rasanya dia ditolong oleh seorang murid tokoh sesat maka pemuda itu sudah mengetuk sebuah dinding dan terbukalah pintu sempit terbuat dari baja.

"Suhu akan menyembunyikan tawanannya di sini, dan dia pasti datang. Nah, kau bersembunyilah di situ dan aku akan menyambut guruku!"

"Hm, nanti dulu," Thai Liong mencengkeram. "Kau dan aku sebenarnya bermusuhan, Siang Le. Aku tak dapat percaya begitu saja dan jangan kau pergi!"

"Ah, aku justeru tetap di sini," pemuda itu mendesah. "Dan tentang permusuhan harap jangan disebut-sebut, Kim-kongcu. Gurukulah yang menciptakan semua itu. Aku secara pribadi tak terlibat!"

Thai Liong memandang tajam. Di dalam ruangan yang remang-remang dan tidak gelap ini dia dapat memandang wajah orang. Siang Le ditatapnya tajam tapi pemuda itupun balas memandangnya tajam, tak takut, tak menyembunyikan perasaan yang lain dan Thai Liong harus mengakui bahwa tatapan lawannya itu begitu jernih dan jujur. Siang Le tak menampakkan sikap-sikap mencurigakan atau sebangsanya, pemuda itu tampak begitu sungguh-sungguh dan jujur. Namun karena Siang Le adalah murid See-ong dan apapun bisa terjadi kalau See-ong marah-marah kepada muridnya maka Thai Liong bersikap waspada dan berkata,

"Baiklah, aku tahu kau tak terlibat, Siang Le. Tapi kalau seandainya gurumu kubunuh tentu kau akan marah dan menuntut balas. Nah, inilah yang harus kuwaspadai karena betapapun juga kau murid See-ong!"

"Hm, kau salah," Siang Le malah menggeleng, sedih. "Kalau guruku mati di tanganmu atau di tangan ayah ibumu aku tak akan menuntut balas, Kim-kongcu. Karena guruku sudah berhutang jiwa dengan membunuh kakekmu. Aku tahu bahwa ayah dan terutama ibumu ingin menuntut balas, karena kematian Hu-taihiap. Tapi karena aku tahu guruku di pihak yang salah maka aku tak akan meneruskan benci-membenci ini dengan saling membunuh. Aku ngeri itu, aku sudah menasihati guruku. Tapi karena guruku seperti itu dan aku tak berdaya mencegah maka apa yang dilakukannya sudah menjadi resikonya pula kalau siapa yang menanam harus memetik buahnya!"

"Kau tak membela gurumu?"

"Orang salah tak patut dibela, Kim-kongcu. Biarpun dia guruku tapi kalau salah tentu saja tak boleh kubela. Aku sudah menetapkan itu sejak dulu!"

"Kalau begitu kau tak berbakti!" Thai Liong mencoba berdebat. "Salah atau benar See-ong adalah gurumu, Siang Le. Orang yang telah mendidik dan melepas budi kepadamu. Kau bakal dikutuk!"

"Hm, inilah yang paling tak kusuka untuk dibicarakan. Budi dan kasih sayang guruku! Hm, aku sudah siap menerima kutukan itu, Kim-kongcu, kalau guruku ingin mengutuk. Dan aku juga siap menyerahkan jiwaku kalau guruku menghendaki! Aku melihat hal yang berbeda antara budi dan kebenaran, dan aku telah memisahkannya. Kalau perbuatanku ini dianggap salah oleh guruku biarlah dia menghukum, aku siap menerima. Tapi kalau aku benar aku hanya menginginkan guruku itu insyaf dan sadar, merubah jalan hidupnya."

"Kau tak memberi muka gurumu? Kau bahkan berkata-kata seperti itu? Ah, kau tak pantas sebagai murid See-ong, Siang Le. Kau akan didamprat dan dimakinya habis-habisan!"

"Aku sudah kenyang makian, dan aku siap mendapat kemarahannya. Sudahlah, urusan ini tak perlu dibicarakan lagi, kongcu, hanya membuat hatiku pedih dan luka saja. Sebenarnya aku menyesal kenapa aku harus menjadi murid seorang sesat. Marilah, kau bersembunyi di situ dan dengar suara guruku datang!"

Thai Liong tertegun. Deru diluar dan teriakan orang jelas menunjukkan adanya See-ong. Kakek iblis itu rupanya sudah memasuki Istana Hantu dan gema suaranya memantul-mantul menggetarkan. Di belakang kakek itu berkelebat bayangan Togur dan pemuda tinggi besar itu berteriak pada temannya agar tidak jauh mendahului. See-ong berkelebat ke sebuah ruangan namun bayangan kuning emas menyambar, menampar dan mendorong kakek itu dan See-ong pun berteriak.

Kakek ini terpelanting dan asap hitam yang dipakainya pun berantakan, pecah oleh pukulan atau tamparan bayangan kuning emas itu, yang berkelebat di belakangnya. Dan ketika kakek itu tunggang-langgang namun lenyap kembali dalam Hek-kwi-sutnya maka bayangan kuning emas yang memburunya itupun lenyap juga mengimbangi si kakek.

"See-ong, menyerahlah. Atau aku akan membuatmu lumpuh!"

"Keparat!" See-ong, yang sudah bersembunyi lagi di balik Hek-kwi-sutnya memaki-maki. "Kau mau membunuh atau melumpuhkan aku terserah kau, Pendekar Rambut Emas. Tapi aku tak akan menyerah dan tetap bertahan sampai titik darah terakhir!"

"Hm, kau keras kepala," Kim-mou-eng, yang lenyap dalam Pek-sian-sutnya membentak kesal. "Kalau begitu aku akan melumpuhkanmu, See-ong, dan maaf bahwa kali ini aku bersikap keras.... dess!"

See-ong menjerit, asap hitamnya buyar dan tampaklah kakek itu terpental di udara, terbanting dan terguling-guling di lantai. Punggungnya mendapat pukulan kuat dan kakek itu bertahan, gagal dan akhirnya muntah darah. Tapi ketika Kim-mou-eng berkelebat dan hendak menyerangnya kembali mendadak kakek itu menginjak lantai dan berhamburanlah panah-panah rahasia menuju Kim-mou-eng.

"Wut-wut-wut!"

Kim-mou-eng menampar. Pendekar ini meruntuhkan semua anak panah tapi kakek itu sudah bangun lagi, melarikan diri. Dan ketika lawan mengejar dan Togur berkelebat di samping kakek itu maka See-ong membentak agar menyerang Pendekar Rambut Emas.

"Kau bantu aku, bunuh dia!"

Togur mengangguk. Gentar tapi memberanikan diri karena berdua dengan kakek itu tiba-tiba dia melepas pukulan. Kim-mou-eng sedang berkelebat ke arah See-ong ketika dia menghantam dengan Khi-bal-sin-kang, sepenuh tenaga. Dan ketika pendekar itu terkejut tapi mendengus mengeluarkan suara dari hidung maka See-ong juga mengeluarkan pukulannya dan menghantam lawan.

"Dess!" Kim-mou-eng lenyap. Cepat mengerahkan Pek-sian-sutnya tiba-tiba dia sudah menghilang ketika lawan menyerang. Lalu, ketika See-ong maupun Togur sama-sama terkejut karena dua pukulan mereka beradu sendiri tiba-tiba kakek itu berteriak melihat berkelebatnya asap putih di antara pukulan sinar merah.

"Awas....!"

Namun terlambat. See-ong sendiri sudah membanting tubuh bergulingan ketika Pendekar Rambut Emas muncul lagi dengan pukulannya yang luar biasa itu, mengelak namun tetap juga keserempet dan See-ong berteriak mengaduh. Kakek itu terpental dan mengaduh kesakitan karena pukulan itu membakar pundaknya. Dia sudah bertahan namun tetap juga hangus, bengkak. Dan ketika kakek itu menggigit bibir dan meloncat bangun tapi jatuh lagi maka disana Togur terlempar dan mencelat oleh pukulan ini, kalah cepat dan memekik dan saat itu berkelebatlah bayangan si nyonya cantik. Swat Lian mengejar di belakang suaminya ini ketika See-ong maupun Togur memasuki Istana Hantu, berkelebat dan menyelinap di puncak bangunan itu yang menonjol di permukaan tanah.

See-ong melepas pukulan dan coba menahan Pendekar Rambut Emas namun pendekar itu telah berubah bentuk menjadi asap, menyelinap dan enak saja memasuki lubang dimana pukulan See-ong menghantam sia-sia. Dan ketika Togur juga melakukan hal yang sama namun dorongan Pendekar Rambut Emas jauh lebih kuat dari pukulannya maka dua orang itu tunggang-langgang dan memasuki istana bawah tanah itu sementara si nyonya yang membentak dan mengikuti suaminya juga menerobos dan menyelinap di puncak bangunan misterius itu.

"Serahkan bocah ini kepadaku!"

Togur pucat. Baik Pendekar Rambut Emas maupun isterinya bukanlah lawan-lawan yang dapat dihadapi. Dia kalah tinggi dan kalah lihai. Pendekar Rambut Emas dan isterinya memiliki dua gabungan Lui-ciang-hoat dan Khi-bal-sin-kang, di samping sepasang ginkang mereka yang luar biasa itu, Jing-sian-eng dan Cui-sian Gin-kang. Dan karena dia hanya memiliki separuh dari kepandaian suami isteri itu padahal Kim-mou-eng masih memiliki Pek-sian-sut dan pukulan merah putih yang entah apa namanya maka Togur gentar dan pucat melihat si nyonya sudah membantu suaminya.

"Dess!" dan diapun terguling-guling lagi. Togur baru melompat bangun ketika si nyonya sudah berkelebat tiba, menampar dan membentaknya dan mencelatlah pemuda itu oleh pukulan si nyonya. Dan ketika dia berseru tertahan sementara See-ong sudah bergulingan menjauhi Pendekar Rambut Emas maka kakek itu melarikan diri membiarkannya sendirian menghadapi si nyonya yang berapi-api.

"Heii...!" Togur panik. "Jangan tinggalkan aku, See-ong. Atau aku akan menyerah dan nanti menyerangmu sebagai musuh!"

"Keparat!" See-ong bingung. "Kalau begitu pegang tanganku, Togur. Pejamkan mata dan berlindung di balik Hek-kwi-sut... slap!" Togur disambar si kakek, memegang tangannya dan tahu-tahu asap hitam bergulung menghadang di depan Swat Lian.

Si nyonya terpekik karena lawanpun lenyap, terbungkus atau digulung asap hitam itu, Hek-kwi-sut. Namun ketika suaminya menyambar dan Pendekar Rambut Emas berkelebat dalam bentuk asap putih ternyata asap hitam dipukul pecah dan Togur tampak lagi, terlempar.

"See-ong, bocah itu bagian isteriku. Kau bagianku. Menyerahlah, atau aku akan merobohkanmu!"

See-ong melotot. Kakek ini basah kuyup dan kemarahan tapi juga kegentarannya memuncak. Sekarang dia tak dapat berlindung lagi di balik Hek-kwi-sutnya karena lawan akan membuyarkan ilmu hitamnya itu. Kemanapun dia bersembunyi kesitulah Pendekar Rambut Emas mengejar. Kakek ini melotot dan pucat mukanya. Dan ketika Togur terlepas dari tangannya dan apa boleh buat harus menghadapi si nyonya cantik maka kakek itu mengeluh dan berkelebat lenyap memasuki bagian bawah Istana Hantu.

"Togur, kita masing-masing tak dapat melindungi yang lain. Selamatkanlah dirimu, di istana ini banyak ruangan-ruangan rahasia!"

Togur melotot. Dia melihat temannya itu sudah kabur dan mendahului menghilang, apa boleh buat dia meloncat dan melarikan diri pula. Tapi ketika di belakang berkelebat sesosok bayangan ramping dan Soat Eng muncul di situ, mencegatnya, maka pemuda ini mendelik dan marah.

"Kau menggangguku di sini? Jahanam, mampuslah!"

Namun Soat Eng sedikit saja di bawah ibunya. Gadis inipun sudah memiliki Lui-ciang-hoat dan Cui-sian Gin-kang, berkelit dan lenyap di hadapan lawan ketika dia diserang. Dan ketika Togur terbelalak dan terkesiap kaget, maklum bahwa Soat Eng pun bukan gadis biasa maka gadis itu muncul di belakangnya dan tamparannya mengeluarkan kesiur angin dingin ketika membalas.

"Togur, aku ingin kau mengembalikan Cermin Naga. Nah, berikan baik-baik atau aku dan ibu akan menghajarmu...dess!" Togur menangkis, lupa bahwa di belakang masih ada sang nyonya yang tak mau tinggal diam ketika pemuda itu menyerang Soat Eng. Maka ketika Togur menangkis namun di belakangnya lagi berkesiur pukulan lain maka pemuda itu menjerit karena tiba-tiba kepalanya serasa disambar petir.

"Aduh!" pemuda ini terjengkang, pening memegangi kepala dan saat itu Soat Eng maupun ibunya berkelebat mengejar. Sehebat-hebatnya pemuda ini tetap saja dia bukan tandingan lawannya. Maka ketika dia mengelak namun sebuah tendangan mengenai pangkal telinganya maka totokan nyonya lihai itu mendahului anaknya dan tepat menyentuh tengkuk Togur.

"Bluk!" Togur roboh tak mengeluarkan suara lagi. Pemuda itu pingsan dan Swat Lian hendak menampar pecah kepalanya ketika Soat Eng tiba-tiba berteriak memperingatkan ibunya. Gadis itu berkelebat di depan dan menahan lengan ibunya itu, berseru bahwa ayah mereka melarang membunuh.

Swat Lian mendelik namun teringat Thai Liong. Seperti itulah Thai Liong mencegahnya dan diapun melemaskan tangan, menepis namun tubuh Togur ditendangnya mencelat lagi hingga menumbuk dinding, patah hidungnya dan ngocorlah darah merah dari luka di wajah pemuda yang sedang pingsan ini. Dan ketika Beng An berkelebat di situ dan muncul membenarkan encinya maka nyonya itu membanting kaki dan menyuruh Soat Eng mengikat tawanan.

"Baiklah, aku akan terus masuk ke dalam. Jaga dan ikat dia!" dan tidak menghiraukan anak-anaknya lagi karena dirundung kecewa akhirnya nyonya ini menghilang ke dalam dan memasuki lorong demi lorong untuk mencari See-ong. Soat Eng sendiri sudah mengikat dan menangkap Togur, bersebelahan dengan nenek Ji-moi dan Toa-ci yang tadi juga hampir dibunuh ibunya. Dan ketika enci adik itu mengusap keringat karena peristiwa demi peristiwa yang dialami cukup mendebarkan maka terdengarlah seruan seseorang di atas sana.

"Kim-siocia, kau tak apa-apa? ini aku, Ji Pin. Tolong buka lubang ini lebih lebar agar aku dapat membantumu di dalam!"

Soat Eng tertegun. Di atas bangunan terlihat sebuah tangan mendorong-dorong dan coba membuka lubang lebih lebar. Tadi See-ong menghantam tempat itu berusaha menutup, dalam upayanya menghalangi ayahnya agar tidak dapat masuk. Maka ketika Ji Pin muncul dan laki-laki itu berteriak minta tolong maka suara menguik juga mengiringi garukan-garukan kaki di pinggir lubang.

"Ah, kau kiranya bersama Gosar dan Gotin!" Soat Eng berkelebat, mendorong dan menggerakkan kedua tangannya dan terdengarlah bunyi berkeratak ketika lubang menganga lebih lebar. Dua gorila di luar sana dan Ji Pin, laki-laki itu, tampak kegirangan melihat Soat Eng menolongnya. Dan ketika lubang berbunyi keras dan laki-laki ini terperosok maka Ji Pin terpelanting tapi tertawa-tawa gembira.

"Ha-ha, terima kasih, siocia. Syukur kau selamat!"

Soat Eng tersenyum. Dia sendiri sudah berjungkir balik dan turun lagi di atas lantai, melihat Ji Pin mengebut-ngebutkan bajunya dan memberosotlah dua gorila besar di atas sana. Tubuh mereka lebih besar dari manusia biasa dan ketika Ji Pin terpelanting justeru mereka sesak menerobos lubang. Tapi ketika keduanya berdebuk dan jatuh di bawah, di dekat Soat Eng maka gadis itu terkekeh menyambar mereka.

"Gotin, kau semakin gemuk dan tampak segar saja. Aih, lama kita tak bertemu. Kau tak apa-apa, bukan?"

"Dia bunting, siocia!" Ji Pin tiba-tiba berseru. "Gotin gemuk karena sudah berisi!"

"Ah," Soat Eng terkejut, merah mukanya. "Bunting? Gotin mau punya anak? Pantas, tak heran kalau kelihatan gemuk!" dan ketika binatang itu menguik dan mengendus-endus, menciumi tangan Soat Eng maka Beng An yang ada di situ tiba-tiba menyambar dan memeluk Gosar, gorila jantan.

:Ini binatang-binatang yang dulu kau ceritakan itu, enci? Ini yang jantan dan itu yang betina?"

"Benar, itu Gosar, ini Gotin. Dulu aku dan Liong-ko menundukkannya."

"Ha-ha, dan kekar mereka. Kalau begitu bisa menjadi teman Siauw-houw!" Beng An yang mencengkeram serta menepuk-nepuk pundak Gosar lalu sudah meminta encinya untuk memberikan dua gorila itu kepadanya. "Bukankah boleh, enci? Atau aku harus membayarnya?"

"Hush!" sang enci melotot. "Milikku berarti milikmu, Beng An. Mereka adalah teman kita juga seperti halnya Siauw-houw pun sahabatku. Sudahlah, aku perlu mengejar ayah ibu dan kau bersama Ji Pin di sini!" lalu membalik menghadapi laki-laki itu Soat Eng melanjutkan, "Ji-twako, urusan belum selesai. Pemuda ini baru kita tangkap. Kau jagalah dia dan bersama adikku kalian tak usah kemana-mana. Mengerti?"

"Baik, siocia. Tapi mana Kim-kongcu?"

Soat Eng terkejut. "Mungkin mengejar di lain tempat. Atau..." dia ragu-ragu. "Barangkali Liong-ko menyembuhkan lukanya."

"Benar," Beng An tiba-tiba juga teringat. "Liong-ko tak ada di sana tadi, enci. Kita semua lupa karena sibuk menghadapi See-ong. Ah, kita harus mencarinya!"

"Nanti saja," gadis itu merasa lebih perlu mengejar ayah ibunya. "Sambil berjalan dapat kucari di dalam, Beng An. Siapa tahu Liong-ko mendahului kita dan ingin menyelamatkan temannya itu!"

Beng An terbelalak. Sang enci sudah berkelebat pergi dan dua gorila itu mengeluarkan suara nguk-nguk mau ikut, dikibas dan Soat Eng lenyap menyuruh binatang itu bersama Ji Pin, juga adiknya. Dan ketika gadis itu menghilang sementara Ji Pin bengong di tempat maka Beng An sudah mengajak dua gorila itu main-main dengannya karena Siauw-houw ditinggal di tempat Cen-goanswe.

* * * * * * * *

"Sekarang kau tak dapat melarikan diri," Pendekar Rambut Emas membentak, menempel dan lekat dibelakang See-ong seperti bayangan. "Kemanapun kau lari kesitu aku mengejarmu, See-ong. Nah, sekarang kita sudah disini dan carilah lagi kamar-kamar rahasia lain untuk tempat persembunyianmu!"

See-ong, si kakek iblis, pucat pasi. Ia sudah lenyap dan menghilang sepuluh kali namun tetap dibayangi juga. Sepuluh kamar rahasia sudah dipergunakan namun dengan Pek-sian-sutnya Pendekar Rambut Emas itu dapat menerobos. Sama seperti Hek-kwi-sut pula, Pek-sian-sut yang dimiliki Pendekar Rambut Emas itu akan membuat pemiliknya berubah dari badan kasar ke badan halus. Dinding atau tembok tak menjadi halangan dan dengan mudah saja Pendekar Rambut Emas itu dapat menembus, seperti roh atau jasad halus yang mampu menerobos semua dinding-dinding tembok, bahkan baja sekalipun!

Dan ketika See-ong pucat dan ngeri oleh itu, menyadari bahwa lawan tak dapat dijauhi maka tiba-tiba dia sudah menghantam sebuah dinding baja dimana pintunya yang tebal tiba-tiba menutup dan mereka berdua sudah ada di dalam, Swat Lian terlambat masuk dan nyonya itu melengking-lengking di luar!

"Kim-mou-eng, kau hebat dan mengagumkan. Tapi ini adalah ruangan terakhir yang akan menentukan mati hidupku. Majulah, dan aku akan bertarung menghadapimu sampai satu di antara kita roboh binasa!"

"Hm, kau tak dapat mengalahkan aku. Sudah berkali-kali kita bertanding dan kau selalu melarikan diri. Apalagi yang kau miliki, kakek iblis? Kau tak sadar bahwa aku dapat menandingimu?"

"Keparat, kita tak perlu banyak omong lagi. Mampus atau kau bunuh aku.... wut!" See-ong yang meloncat secepat setan tiba-tiba menghantam dan tidak berlindung di balik Hek-kwi-sutnya lagi, melepas pukulan dan kakek itu beringas serta mata gelap.

Sebenarnya, dalam pertandingan berkali-kali dia sudah mempergunakan segala akal dan tipu daya untuk mengalahkan lawannya itu. Senjata-senjata gelap seperti paku atau jarum-jarum berbisa juga sudah dilepas semua, habis namun selalu gagal dan sia-sia. Kalau tidak dipukul runtuh ya ditiup balik hingga menyambar mukanya sendiri. Dalam keadaan terdesak dia lalu mempergunakan Hek-kwi-sutnya dan menghilang, lenyap dalam bentuk roh atau asap hitam. Tapi karena lawan juga memiliki Pek-sian-sut dan ilmu itu adalah tandingan Hek-kwi-sut, hal yang tak diduga See-ong maka kakek yang biasanya mengandalkan ilmu hitamnya itu menjadi marah-marah dan kelabakan diburu lawan.

Pek-sian-sut lama-lama mengeluarkan cahaya terang yang menyilaukan. Tempat segelap apapun akhirnya menjadi kelihatan kalau sudah didatangi cahaya Pek-sian-sut itu. Itulah sebabnya See-ong tak dapat bersembunyi dan selalu ketahuan, dikejar. Tempat sekecil apapun selalu diketahui lawannya itu dan orang akan terbelalak kalau melihat betapa dua orang ini selalu masuk keluar di lubang-lubang semut. Celah atau tempat-tempat kecil selalu menjadi tempat persembunyian See-ong dan mengandalkan Hek-kwi-sutnya itu kakek ini dapat masuk atau keluar di tempat-tempat yang dikehendaki.

Lubang semut atau liang tikus sudah bukan menjadi halangan bagi kakek ini. Jasad halusnya menyelinap dan menerobos semua tempat-tempat itu, seperti roh jahat yang ketakutan melihat bayangan sinar terang, lari dan bersembunyi namun Pendekar Rambut Emas, yang juga memiliki ilmu yang sama namun bersifat bersih, Pek-sian-sut, juga menerobos dan menyelinap ke lubang-lubang dimana lawannya itu melarikan diri. See-ong akhirnya menjadi kesal dan gentar karena tak ada tempat lagi yang dapat dijadikan tempat persembunyian. Dia menghantam namun selalu tertolak balik. Khi-bal-sin-kang yang dipunyai pendekar itu tak mampu dilawannya. Musuh benar-benar hebat, celaka!

Dan ketika ruangan demi ruangan sudah dimasuki kakek itu dan See-ong sudah keluar masuk lorong-lorong rahasia tapi lawan selalu mengejar dan menempel di belakang akhirnya ruangan luas dimana kakek itu mendengus-dengus sudah ditutup pintunya karena See-ong melihat si nyonya cantik, isteri Pendekar Rambut Emas itu, juga selalu mengejar dan melengking-lengking dibelakang. Dan tepat dia menghantam lawan sambil menutup pintu baja maka kakek itu sudah menerjang seperti orang gila.

"Dess!" Kim-mou-eng tak mengelak, membuang Pek-sian-sutnya dan diterimalah pukulan kakek itu dengan pengerahan sinkangnya. Ituchi masih dipondong kakek itu dengan sebelah tangan yang lain dan kakek itu terpelanting, menggeram dan maju lagi dan pukulan demi pukulan menghantam dahsyat. See-ong meliar matanya dan Sin-re-ciang, silat Tangan Karet tiba-tiba dikeluarkan. Ilmu ini belum dipergunakan dan baru kali itulah dikeluarkan.

Kedua tangan memulur panjang dan tahu-tahu sudah menangkap leher Kim-mou-eng, mencengkeram dan membanting dan Pendekar Rambut Emas itu terkejut karena gerakan lawan demikian tak terduga. Dan karena Sin-re-ciang memang belum dikeluarkan dan baru kali itulah diperlihatkan maka See-ong mengangkat tinggi-tinggi namun lawan berseru keras mengerahkan Jing-kin-kang (Tenaga Seribu Kati).

"Haiittt....!"

See-ong terkejut. Lawan tak bergeming dan tubuh Pendekar Rambut Emas itu tiba-tiba berubah seperti gunung, kokoh dan tegak tak terangkat dan tentu saja kakek ini marah. Dia menambah tenaganya namun lawan juga menambah tenaganya. Dan ketika kakek itu mendelik dan marah memandang lawan tiba-tiba Pendekar Rambut Emas menggerakkan tangannya dan sebuah tamparan mengenai pelipisnya.

"Plak!" kakek itu malah terbanting! See-ong mendelik dan memaki-maki dan segera maju lagi dengan penuh kemarahan. Sekali dicoba ternyata Sin-re-ciang gagal. Keparat, kakek itu marah sekali. Dan ketika pukulan demi pukulan dilepas lagi namun semua itu hanya dikelit atau ditangkis lawan akhirnya kakek itu menggeram mengancam tawanannya, melihat Pendekar Rambut Emas mulai maju dan mendesak, empat kali membantingnya roboh.

"Kim-mou-eng, kau bunuhlah aku. Namun bocah ini juga kubunuh!"

"Hm, kau manusia pengecut. Selamanya licik dan curang. Bocah itu tak tahu apa-apa, See-ong. Urusan kita tak ada sangkut-pautnya dengan pemuda itu. Lepaskan dia, dan kau menyerah!"

"Keparat, siapa mau menyerah? Kau cerewet seperti perempuan, Kim-mou-eng. Bunuhlah aku dan bocah ini juga kubunuh. Lihat, ha-ha...!" dan See-ong yang mengerahkan tenaganya mencengkeram pundak Ituchi tiba-tiba mematahkan tulang pemuda itu dimana Ituchi yang pingsan tiba-tiba berjengit, mengeluh namun tidak sadarkan diri dan Kim-mou-eng membelalakkan mata.

See-ong bersikap licik dengan menyiksa tawanannya, satu per satu lalu mematahkan jari-jari tangan pemuda itu atau kakinya. Suara krak-krek-krak-krek terdengar seperti kerupuk dikeratak, tentu saja membuat Pendekar Rambut Emas marah dan pendekar itu membentak mengeluarkan Pek-sian-sutnya. Namun ketika dia menghilang dan menyambar lawan ternyata See-ong juga mengeluarkan Hek-kwi-sutnya dan Ituchi pun dibungkus asap hitam.

"Dess!" See-ong mencelat. Kakek ini mengaduh karena kali ini Pendekar Rambut Emas memberi pukulan amat keras. Asap putih menumbuk asap hitam dan buyarlah Hek-kwi-sut kakek itu karena kalah kuat. Dan ketika keduanya muncul kembali dalam bentuk semula maka Pendekar Rambut Emas berkelebat dan See-ong yang sedang terguling-guling tiba-tiba mendapat dua pukulan putih dan merah yang tepat sekali menghantam tengkuk dan pundaknya.

"Des-dess!" Ituchi sekarang terlepas. Betapapun akhirnya kakek itu tidak kuat dan merintih kesakitan. Tengkuk dan pundaknya gosong, baju di dua tempat itu hancur dan membara. Namun karena kakek ini memang hebat dan See-ong adalah seorang kakek iblis yang memiliki kekuatan tubuh mengagumkan maka rasa panas itu dapat ditahannya namun rasa sakit yang membuat tulang-tulangnya remuk tak mampu diatasi.

"Aduh, keparat. Bunuhlah aku!"

Pendekar Rambut Emas merah gelap. Dia berkelebat dan menampar lagi dan terlemparlah kakek itu menabrak dinding, mendapat tendangan dan mencelat lagi namun See-ong masih mampu bangun. Kakek itu memang luar biasa dan Pendekar Rambut Emas mengeluarkan lagi pukulan putih merahnya itu. Dan ketika kakek itu terbanting dan jatuh terduduk, melolong-lolong maka satu tamparan akhir memaksa kakek itu menjerit dan roboh terkapar, muntah darah.

"Aduh, tobat...!"

Sekarang See-ong tertelungkup. Kakek itu menangis memaki-maki dan sekujur tubuhnya sudah hitam gelap. Dia tak tahan dan meraung-raung. Dan persis kakek itu roboh tiba-tiba pintu baja didobrak orang dan berkelebatlah Swat Lian dengan sebatang pedang di tangan.

"See-ong, bayar jiwa ayahku!"

"Tidak!" sesosok bayangan lain tiba-tiba meloncat, keluar dari balik dinding. "Jangan bunuh guruku, hujin. Jangan.... crat!" dan bayangan itu yang menangkis pedang di tangan si nyonya tiba-tiba mengeluh dan terbanting roboh dengan luka memanjang di lengan, terguling-guling dan menimpa See-ong dan tertegunlah semua orang melihat kejadian itu.

Pendekar Rambut Emas sendiri siap bergerak ketika bayangan itu tiba-tiba mendahului, muncul dari balik dinding dan itulah Siang Le, pemuda yang menolong gurunya dari ancaman maut. Dan ketika Siang Le terkejut dan meloncat bangun dengan terhuyung, pucat, melindungi gurunya dengan gagah maka pemuda itu tak menghiraukan cucuran darah yang sobek terkena pedang si nyonya ketika ditangkis.

"Tidak... jangan bunuh guruku!" pemuda itu terbata, menggigil di depan si nyonya. "Jangan bunuh dia, hujin. Aku siap menggantikannya dan bunuhlah aku!"

Swat Lian tertegun. Siang Le sudah berlutut di depannya menggantikan See-ong, minta dibunuh sekaligus membebaskan gurunya dari ancaman nyonya cantik itu. Sikapnya sungguh-sungguh dan matanya begitu tegar memandang lawan. Namun ketika Swat Lian sadar dan marah, tentu saja tak menuruti kata-kata itu tiba-tiba nyonya ini berkelebat dan menendang si pemuda.

"Minggir, kau bukan orang yang kutuju, bocah. Gurumulah yang berhutang sebuah jiwa dan kini dialah yang harus membayar!"

Namun Siang Le bergerak sigap. Begitu si nyonya berkelebat mendorongnya tiba-tiba dia mengerahkan Sin-re-ciang. Silat Tangan Karet yang dapat membuat lengan terulur panjang ini tahu-tahu sudah menangkap pedang. Swat Lian kaget karena dengan berani pemuda itu memapak pedangnya, siap dibabat putus dan tentu saja nyonya itu terpekik. Kalau saja tak ada rasa terkejut oleh keberanian pemuda itu barangkali dia akan meneruskan serangannya, apalagi dia sudah dibuat marah dan benci kepada See-ong. Tapi karena Siang Le memang pemuda yang aneh dan sedikit atau banyak nyonya itu mengakui bahwa pemuda ini tak seperti gurunya, yang jahat dan kejam maka nyonya itu menarik tenaganya dan secepat kilat dia memberikan pedang namun kakinay bergerak dari bawah menendang pemuda itu.

"Dess!" Siang Le terlempar terguling-guling. Pemuda itu merampas pedang namun senjata itu terpental ketika dia ditendang, diterima dan ditangkap lagi oleh si nyonya yang berkelebat berjungkir balik, tentu saja tak mau kehilangan senjatanya hanya oleh seorang bocah. Dan ketika Swat Lian berapi-api dan membentak serta memaki pemuda itu untuk tahu diri maka nyonya ini mengancam akan membunuh lawan kalau Siang Le membandel.

"Aku siap mati," Siang Le melompat bangun, lutut terasa sakit. "Aku tak dapat melihat guruku dibunuh, hujin. Atau kau bunuh aku dulu dan baru kau boleh membunuh guruku!"

"Keparat!" nyonya itu memekik. "Kau tak dapat berbuat apa-apa kalau aku membunuh gurumu di depan matamu, Siang Le. Lihat sekali ini bagaimana kau melindungi gurumu.... wut!" sang nyonya berkelebat, marah bergerak cepat dan tahu-tahu pedang menyambar lagi ke leher See-ong.

Kali ini Swat Lian mempergunakan Jing-sian-engnya dan tak ada kesempatan bagi Siang Le untuk menghalangi. Tadi lututnya ditendang dan rasa sakit yang menggigit membuat pemuda itu meringis. Tapi karena dia ada di dekat gurunya dan betapapun dia memang akan membela gurunya sekuat mungkin maka pemuda ini membentak dan tiba-tiba melempar tubuh kedepan, memberikan leher atau dadanya untuk dibacok.

"Heii...!" Teriakan itu terlontar dari tiga buah mulut. See-ong, yang melihat keberanian dan kenekatan muridnya tiba-tiba menggerakkan kedua tangan ke depan. Kakek ini lumpuh namun Hek-kwi-sutnya dapat bekerja, cepat membentuk asap hitam dan asap yang menyambar Siang Le itu tiba-tiba membuat si pemuda lenyap. Swat Lian kaget karena sekarang See-ong pun lenyap. Tapi ketika terdengar bentakan di sebelah kiri dan Pendekar Rambut Emas juga berkelebat mendorongkan kedua lengannya, mengibas asap hitam maka See-ong pun kelihatan lagi dan saat itu pedang si nyonya membabat kedepan, semua kejadian berlangsung cepat luar biasa.

"Crakk...!" See-ong buntung lengannya. Kakek itu berteriak tinggi dan Pendekar Rambut Emas telah melakukan jalan terbaik bagi isterinya. Pendekar itu tadi tak dapat membiarkan Siang Le menjadi korban tapi juga tak mau See-ong tak mendapat hukuman. Maklumlah, dendam isterinya sudah sedemikian dalam dan kematian Hu Beng Kui memang harus dibalas. See-ong harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dan saat itulah pendekar ini melakukan jalan yang terbaik, bagi semua pihak. Dan ketika kakek itu menjerit dan roboh terbanting, lengan kirinya buntung sebatas siku maka Siang Le yang muncul lagi karena Hek-kwi-sut gurunya dipukul buyar tampak tertegun membelalakkan mata.

"Suhu....!"

See-ong menahan sakit. Kakek itu mendelik dan seakan tak percaya melihat kutungan tangannya yang terlempar di tanah. Jari-jari tangan itu masih bergerak-gerak tapi akhirnya diam, kaku, bercucuran darah dan luka di siku lengannya itupun mengeluarkan darah yang deras mengalir. See-ong membelalakkan mata. Namun ketika kakek ini mengeluh dan terbanting roboh, ditubruk dan diteriaki muridnya tiba-tiba See-ong mengeluarkan suara menyeramkan dan tangan yang menggeletak di atas tanah itu sekonyong-konyong ditiup dan melejit menyambar muka Swat Lian.

"Kim-hujin, kau jahanam keparat!"

Swat Lian terkejut. Dia tersentak melihat kutungan tangan bisa menyambar ke arahnya. Tangan itu seolah hidup dan jari-jari yang tadi kaku diam mendadak bergerak, meregang dan mencoblos matanya. Nyonya ini mengelak namun tangan buntung itu dapat mengejar, persis tangan setan yang berisi roh hidup. Dan ketika apa boleh buat dia harus menggerakkan pedangnya untuk membacok maka tangan itu putus lagi namun kini dua tangan yang buntung sama-sama menyerangnya, melejit dan terbang lagi menyambar begitu jatuh ke tanah!

"Ha-ha, tahu rasa kau, nyonya siluman. Bacoklah dan kutungi lagi dan setiap kutungan akan menyambarmu dari mana-mana!"

Benar saja, Swat Lian tiba-tiba saja diserang dan disambar jari-jari yang kutung atau tangan yang dibacok beberapa kali itu dari segala penjuru. Sang nyonya sudah menggerakkan pedangnya namun setiap kutungan tangan itu putus maka yang putus ini akan melejit dan menyambar lagi seperti tangan iblis. Lima jari yang akhirnya rontok dibabat itu beterbangan menyambar mukanya.

Darah yang berlepotan mengenai nyonya ini dan terpekiklah sang nyonya oleh kejadian mengerikan itu. See-ong ternyata benar-benar iblis hingga dengan ilmunya kakek itu dapat menghidupkan kutungan tangannya untuk menyerang si nyonya. Setiap dibacok tentu jatuh ke tanah tapi menyambar lagi, jumlahnya mendekati dua puluhan dan kutungan tangan yang sudah berubah bentuk sebagai tulang-tulang kecil yang mandi darah ini menyerang si nyonya.

Swat Lian ngeri dan hampir menangis pingsan. Tapi ketika Pendekar Rambut Emas berkelebat ke See-ong dan membentak serta menusuk telinga kakek itu, yang tiba-tiba mengeluarkan ledakan nyaring maka See-ong berteriak tinggi dan sekonyong-konyong lenyap tanpa bekas.

"Aduhhh....!"

Dan bersamaan itu pula runtuhlah semua sisa-sisa tangan yang tadi beterbangan seperti setan. Swat Lian terhuyung dan jatuh terduduk, mukanya pucat, tubuh menggigil dan nyaris nyonya ini tak dapat bernapas. Dia sesak oleh kejadian mengerikan itu, melotot melihat dua puluh kutungan tulang-tulang kecil akhirnya berserakan di tanah. Bentuknya sudah tak keruan tapi serpihan jari atau tulang-tulang kecil itu sudah tak menyambar-nyambar lagi, seakan sudah tak bernyawa dan nyonya itu tertegun menatap pucat. Seumur hidup, baru kali itulah dia melihat kejadian luar biasa yang tidak mirip manusia.

See-ong memang telah mempergunakan kekuatan ilmu hitamnya untuk menyerang nyonya cantik itu, melalui kutungan tangannya yang sudah dibabat si nyonya, Hek-kwi-sut yang luar biasa karena dengan ilmu hitam itu kakek ini dapat menghidupkan benda-benda mati yang lain, apalagi bagian dari tubuhnya sendiri. Tapi ketika Pendekar Rambut Emas berkelebat dan menusuk telinganya, meledak, maka sesuatu keluar dari telinga kakek itu dan sebuah bayangan mirip ular melesat dan menghilang meninggalkan si kakek, yang melolong-lolong tapi tidak kelihatan orangnya.

"Aduh, tobat.... ampun...!"

Siang Le dan Swat Lian membelalakkan mata. Mereka mendengar ratap dan raungan kakek itu namun See-ong tak tampak dimana. Suaranya begitu kecil dan lirih, memilukan. Tapi ketika Pendekar Rambut Emas membungkuk dan menjumput sesuatu di tanah maka dua orang itu terpekik melihat See-ong sudah berubah menjadi manusia sebesar jari telunjuk.

"Suhu...!"

Siang Le menyambar ke depan. Pemuda ini kaget sekali melihat betapa gurunya sudah berubah begitu kecil, merupakan manusia mini yang amat kerdil, ditangkap dan dijepit dua jari Pendekar Rambut Emas untuk diletakkan pada telapak tangannya. Dan ketika pemuda itu tersentak dan menjerit memanggil gurunya, yang merintih dan meratap maka See-ong kakek tinggi besar yang kini menjadi manusia amat kecil itu memaki-maki Pendekar Rambut Emas.

"Kim-mou-eng, kau jahanam keparat. Kau memusnahkan sumber ilmu hitamku!"

"Hm, tak ada jalan lain," pendekar ini menarik napas dalam dan menjepit leher lawan, yang begitu kecil. "Kau jahat dan licik, See-ong. Seharusnya kau dibunuh tapi Sian-su melarangku. Kau harus memasuki tempat ini dan selamanya tak boleh berkeliaran lagi."

"Tidak!" See-ong tiba-tiba menjerit, melihat Pendekar Rambut Emas mengeluarkan semacam kotak emas yang amat kecil, sebesar bangun tubuhnya. "Jangan masukkan aku kesitu, Kim-mou-eng. Jangan kurung aku di situ. Aku bertobat, ampun....!"

Namun Pendekar Rambut Emas tersenyum pahit. Isterinya yang berkelebat dan terbelalak mau meremuk lawan sudah didorongnya minggir. Dengan sungguh-sungguh dan berwibawa pendekar itu berkata bahwa Sian-su tak memperbolehkan mereka membunuh, See-ong harus dilumpuhkan ilmunya dan ditangkap atau dikurung di kotak emas itu, yang merupakan sebuah kerangkeng mini yang amat kecil. Dan ketika kerangkeng dibuka dan See-ong berteriak-teriak namun tidak diperdulikan maka kakek itu sudah dijebloskan dan Swat Lian maupun Siang Le terbelalak melihat kerangkeng digembok dari luar, juga gembok yang amat kecil dan mini, seperti dongeng seribu mimpi!

"Aku telah menghancurkan sumber kekuatan Hek-kwi-sut kakek ini. Sekarang dia akan mendapat hukuman seumur hidup. Semua persoalan selesai dan kematian gak-hu (ayah mertua) tak perlu diperpanjang lagi."

"Tapi," Swat Lian melotot. "Dia berbahaya dan kejam, suamiku. Dan See-ong telah berhutang banyak jiwa kepada orang-orang lain yang dibunuhnya!"

"Itu sudah lewat. See-ong tak dapat melakukan kejahatannya lagi dan hukuman ini diharap menyadarkannya sebelum ajal. Aku hanya memenuhi kata-kata Sian-su dan kalau kau ingin mendebat bertanyalah saja kepada Sian-su," dan tidak membiarkan isterinya dilanda dendam lagi Pendekar Rambut Emas lalu bergerak dan tiba-tiba hendak membuang kerangkeng itu ke angkasa. Tapi sebelum pendekar itu melempar See-ong tiba-tiba Siang Le berteriak,

"Nanti dulu, tunggu....!" dan bergerak menyambar lengan pendekar itu pemuda ini tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut, menggigil. "Kim-taihiap, maafkan aku. Kau memang berhak atas guruku namun kuminta dengan sangat janganlah guruku dibuang dan dilempar ke angkasa. Aku hendak mengajukan permintaan dan sudilah kau mendengarkannya!"

"Hm, kau mau bicara apa?"

"Guruku sudah kalah, taihiap. Dan aku sebagai muridnya juga meminta sebuah hukuman. Tak adil rasanya kalau kau menghukum guruku sementara aku kau biarkan begitu saja!"

"Apa?" pendekar ini terkejut. "Kau minta hukuman? Eh, yang membunuh mertuaku adalah gurumu, Siang Le. Kau tak ada sangkut-pautnya dengan ini. Kalau kau ikut-ikutan tentu aku tak akan membiarkanmu selamat. Tapi kau tak berbuat apa-apa!"

"Benar," pemuda itu mengangguk, air mata tiba-tiba bercucuran. "Tapi guruku tetaplah guruku, taihiap. Aku harus setia dan membayar semua budi-budinya. Kalau kau menghukum guruku di situ kau masukkanlah aku pula dan biar aku menemani guruku!"

Kim-mou-eng tertegun. Pendekar itu tiba-tiba membelalakkan mata dan terkejut. Siang Le ternyata ingin menemani gurunya dan minta dikerangkeng, padahal kerangkeng itu amat kecil dan tak mungkin si pemuda dimasukkan. Siang Le tak memiliki Hek-kwi-sut dan pemuda itu tak mungkin dikecilkan tubuhnya. Hanya See-onglah yang dapat diperlakukan seperti itu, karena sumber kekuatan hitam yang dimiliki kakek itu telah dihancurkan dan tadi seekor ular telah keluar dari telinga si kakek, kekuatan hitam yang membuat See-ong amat sakti tapi setelah itu terkena akibatnya, menjadi manusia mini yang amat kecil dan kini kerangkeng mini yang amat kecil pula yang dipakai untuk mengurung si kakek. Maka begitu Siang Le berkata ingin menemani gurunya dan minta dikerangkeng, padahal pemuda itu tak memiliki Hek-kwi-sut maka Pendekar Rambut Emas pun tak dapat bicara.

"Bagaimana, taihiap? Kau tak dapat memenuhi permintaanku?"

"Hm!" sang pendekar sadar, tidak termangu-mangu lagi. "Kau tak dapat kumasukkan kedalam kerangkeng ini, Siang Le. Kau tak memiliki Hek-kwi-sut! Kalau kau memiliki ilmu hitam itu dan kulumpuhkan seperti gurumu tentu saja aku dapat memasukkanmu ke dalam kerangkeng ini dan berdua menerima hukuman bersama gurumu!"

"Kalau begitu berikan guruku kepadaku. Biarlah aku menjaganya di sini dan jangan lempar dia ke angkasa!"

"Apa?" sang pendekar mengerutkan kening. "Kau mau meminta gurumu? Kau hendak...."

"Maaf," pemuda itu memotong. "Aku ingin membayar budi guruku, taihiap. Aku ingin berbakti kepada guruku meskipun dia seorang tokoh sesat! Aku ingin menjaganya di sini dan serahkanlah dia kepadaku atau sekalian saja kau satukan aku dengannya dan buang kami ke tempat yang kau kehendaki!"

"Ah!" dan Pendekar Rambut Emas yang tertegun mendengar semua kata-kata itu akhirnya saling pandang dengan isterinya yang tiba-tiba melompat maju. Swat Lian mendengar semua pembicaraan itu dan terdengarlah tawa bergelak See-ong di dalam kerangkeng. Dalam keadaan buntung lengannya dan kesakitan rupanya kakek ini bangga dan girang melihat sikap dan kata-kata muridnya. See-ong mengejek Kim-mou-eng bahwa menghadapi muridnya itu sang pendekar tak dapat berbuat banyak seperti kalau menghadapi dirinya

. Hal itu memang betul karena Siang Le bukanlah seperti gurunya. Pemuda ini baik dan tak pantas sebagai murid seorang sesat. Atau mungkin See-ong yang justeru beruntung dapat memiliki murid seperti itu! Dan ketika Swat Lian melotot dan marah memandang kakek itu, yang hanya sebesar jari telunjuk saja maka bayangan Soat Eng berkelebat dan gadis itu juga sudah mendengar semua pembicaraan.

"Ayah, luluskan saja permintaannya. Kakek iblis itu sudah tak dapat berbuat apa-apa!"

"Ha-ha, benar!" See-ong melengking. "Aku tak dapat berbuat apa-apa, Kim-mou-eng. Tapi muridku tidak. Dia dapat berbuat apa-aap di sini atau dimana saja!"

"Hm," Pendekar Rambut Emas tak menghiraukan. "Bagaimana pendapatmu, isteriku? Apa yang harus kulakukan?"

"Terserah kau," sang nyonya tiba-tiba bersikap dingin. "Kau yang menangkap dan mengalahkan lawanmu, suamiku. Aku tak mau campur tangan tapi harap berhati-hati kalau pemuda ini melepaskan gurunya!"

"Hm, benar," Pendekar Rambut Emas tiba-tiba bersikap keras. "Kalau kau mau berbakti dan menjaga gurumu di sini berjanjilah bahwa kau tak akan melepasnya, Siang Le. Aku mau menyerahkan gurumu tapi tak begitu saja seperti permintaanmu!"

"Aku tak akan melepaskan guruku," Siang Le berjanji, tiba-tiba girang luar biasa. "Apa yang kau minta tentu kuturuti taihiap, asal bisa kulakukan!"

"Tentu kau bisa melaksanakannya. Baiklah, begini..." dan Pendekar Rambut Emas yang memandang sekeliling tiba-tiba melihat puncak Istana Hantu, melihat sebuah celah kecil yang mirip gunung-gunungan. "Aku tak jadi melemparkan gurumu ke angkasa, Siang Le. Aku akan menjepitnya di antara dua celah di puncak Istana Hantu itu. Kau boleh menjaga gurumu dan menemaninya di sini tapi berjanjilah bahwa kau tak boleh melepaskannya dari kerangkeng, dan kau juga tak boleh meninggalkan Sam-liong-to, kecuali atas perkenanku! Sanggup?"

Pemuda itu tiba-tiba mengangguk girang, berseri dan membenturkan dahinya tiga kali. "Sanggup, taihiap. Aku berjanji!"

"Dan kau akan menerima hukuman berat kalau melanggar ini, dibunuh! Sanggup?"

"Aku sanggup, aku berjanji!" dan Siang Le yang bersumpah atas nama nenek moyangnya lalu berulang-ulang menyatakan janji atau kesanggupannya itu, juga hukuman yang akan diterima kalau dia melanggar. Dibunuhpun dia mau, kalau dia sampai melepaskan gurunya. Dan ketika semua mendengar dan Swat Lian maupun Soat Eng menjadi saksi maka Pendekar Rambut Emas tiba-tiba menggerakkan tangannya dan meluncurlah kerangkeng itu menancap tepat di tengah-tengah celah atau gunung-gunungan di puncak Istana Hantu.

"Cep!" See-ong berteriak memaki-maki. "Janji dan sumpahmu sudah didengar semua orang, Siang Le. Kalau kau melanggar harap terima hukumannya dan jangan menyesal!"

Siang Le mengangguk. Untuk kesekian kalinya lagi dia membenturkan dahi di atas lantai, bersumpah. Dia menyatakan bahwa kerangkeng itu tak akan dibukanya. Bahwa dia akan membiarkan gurunya di situ dan akan menjaga serta menemani, seumur hidup. Dan ketika gurunya berkaok-kaok di sana tapi Siang Le tak menghiraukan maka Pendekar Rambut Emas bersinar-sinar dan kagum memandang pemuda itu. Sesungguhnya dia percaya dan tak memiliki keraguan sedikitpun. Ia kagum akan bakti dan kesetiaan pemuda ini kepada See-ong, hal yang membuat perasaannya tergetar, tersentuh.

Tapi ketika Soat Eng terisak dan membuat semua menoleh, terkejut, maka buru-buru gadis itu berkelebat pergi menyatakan bahwa dia khawatir akan kakaknya, Thai Liong. "Liong-ko terluka, aku belum menemukannya," begitu gadis itu lenyap meninggalkan ayah ibunya.

Pendekar Rambut Emas tertegun, menoleh pada isterinya tapi tiba-tiba isterinya itupun meloncat pergi, berkelebat keluar. "Benar," sang isteri pun berseru menahan tangis. "Thai Liong terluka, suamiku. Aku tadi memukulnya. Aku ingin mencarinya."

Pendekar Rambut Emas terkejut. Sekarang dia merasa urusan sudah selesai dan robohnya See-ong sudah tak merupakan ganjalan lagi. Tapi mendengar puteranya terluka dan itu disebabkan isterinya yang memukul maka Kim-mou-eng berubah dan tiba-tiba mau bergerak ke depan, mengejar. Tapi ketika telinganya menangkap erangan lemah dan Ituchi, pemuda yang patah-patah tulangnya siuman dan membuka mata maka sesosok bayangan terhuyung perlahan dan Thai Liong, puteranya, muncul.

"Thai Liong....!" Pendekar Rambut Emas tertegun. "Kau terluka?"

"Tidak," Thai Liong, pemuda itu, tersenyum menggeleng perlahan. "Yang terluka adalah pemuda ini, ayah. Aku akan menolongnya dan jangan kau khawatir tentang aku."

Thai Liong sudah membungkuk, menolong Ituchi dan sebentar kemudian pemuda itu sudah memapah temannya. Ituchi merintih dan Thai Liong mengeluarkan obat menyambung tulang-tulang temannya yang patah, menjejalkan beberapa butir obat lagi ke mulut pemuda dan tertegunlah Pendekar Rambut Emas melihat gerakan yang gemetar dan kaki yang terhuyung dari puteranya. Dan ketika dia berkelebat dan mencengkeram pundak puteranya maka pendekar itu terkejut melihat puteranya terluka agak hebat.

"Kau terpukul pukulan berat. Rupanya ibumu bersungguh-sungguh!"

"Tidak," Thai Liong menutupi keadaan. "Aku tak apa-apa, yah. Aku memang terpukul tapi itu hanya kesalahpahaman kecil saja. Sudahlah, biarkan aku menolong Ituchi dan jangan kau ganggu aku," dan Thai Liong yang mengangkat serta menotok beberapa jalan darah di tubuh Ituchi lalu bangkit berdiri dan tampak menguatkan diri untuk memperlihatkan kekuatannya yang biasa.

"Lihat, aku tak apa-apa,‖ katanya. ―Kau tak perlu khawatir tentang aku, yah. Aku akan membawa Ituchi ke tempat yang enak."

"Kau mau kemana?" sang ayah berubah, jelas melihat puteranya menguat-nguatkan diri. "Kau tak dapat membawa Ituchi jauh-jauh, Liong-ji. Kau harus tetap di sini dan biar aku menolongmu! Ceritakan apa yang terjadi kenapa ibumu memukul!"

"Ibu salah mengira lawan," Thai Liong tersenyum, pahit. "Tadi aku membela Ji-moi dan Toa-ci, ayah. Tapi ibu marah-marah. Maka ketika dia hendak membunuh nenek itu dan aku lancang menangkis maka pukulannya mendarat dan aku sedikit terguncang."

"Tapi mukamu pucat. Kau tampaknya muntah darah!"

"Ah, sudah kuberi obat, yah. Sudahlah, aku akan menolong Ituchi dan jangan kau marah kepada ibu," dan Thai Liong yang memondong serta berjalan pergi akhirnya terhuyung dan tersaruk melangkah, keluar dari Istana Hantu dan menuju pantai. Dan ketika Pendekar Rambut Emas bengong dan masih membelalakkan mata maka puteranya itu sudah meletakkan Ituchi ke dalam sebuah perahu yang entah milik siapa.

"Aku ingin mengantar Ituchi kepada ibunya. Sekali lagi harap ayah tidak memarahi ibu karena semua itu adalah kesalahanku."

"Tunggu!" Pendekar Rambut Emas berseru, serak. "Kau bersungguh-sungguh, Thai Liong? Kau tak berdusta kepada ayahmu?" "Ah," pemuda ini tertawa, memaksa diri. "Aku tak pernah bohong padamu, ayah. Akulah yang salah dan jangan kau memarahi ibu. Sudahlah, aku akan membawa Ituchi dan nanti aku pulang ke rumah."

Pendekar Rambut Emas membelalakkan mata. Dia bingung dan ragu akan semua itu. Perasaannya mengisyaratkan bahwa ada sesuatu yang hebat yang telah terjadi antara puteranya ini dengan isterinya. Betapapun dia mengenal dan dapat menangkap gerak-gerik puteranya, terutama senyum pahit yang berkali-kali terlihat dipaksakan itu. Ah, dia paham betul! Tapi karena Ituchi memerlukan pertolongan dan Thai Liong cukup mampu untuk melakukan itu, meskipun terluka, maka Pendekar Rambut Emas mendelong ketika puteranya itu melambaikan tangan mendorong perahu.

"Ayah, sampai ketemu lagi. Akan kusampaikan salammu kepada bibi Cao Cun!"

Sang pendekar terkejut. Dia mengangguk begitu saja tanpa sadar, perahu bergerak dan lenyaplah Thai Liong meninggalkan Sam-liong-to. Dengan kekuatannya yang masih ada puteranya itu mendorong dan mengayuh perahu, sepertinya cepat-cepat ingin pergi dan tak kerasan di Sam-liong-to. Aneh, padahal orang tuanya ada di situ! Tapi ketika pendekar ini bengong dan mengamati dengan mata tak berkedip maka tiba-tiba berkelebat dua bayangan dari kiri kanan.

"Liong-ji...!"

"Liong-ko...!"

Isteri dan anaknya muncul. Swat Lian dan Soat Eng berteriak hampir berbareng memanggil pemuda itu, dua-duanya sama menangis. Dan ketika pendekar ini mengerutkan kening karena Thai Liong sudah jauh meninggalkan pulau maka Swat Lian melengking panjang dan tiba-tiba menggerakkan tubuhnya berjungkir balik meluncur di atas permukaan air.

"Heii...!" Pendekar Rambut Emas terkejut. "Mau kemana kau, niocu. Kembali...!"

Namun Swat Lian yang melengking dan memanggil-manggil di sana ternyata tak mau sudah dan terus bergerak mengembangkan kedua lengannya di kiri kanan. Nyonya ini seakan kalap dan Pendekar Rambut Emas tentu saja khawatir. Dia baru saja melihat puteranya dipukul, oleh isterinya ini. Maka menduga jelek dan mengira sang isteri akan marah-marah lagi tiba-tiba pendekar itu berkelebat dan isteri yang sudah bergerak-gerak jauh di sana tiba-tiba disambar dan dibawa kembali.

"Jangan gila. Thai Liong sedang membawa Ituchi dan mengobati pemuda itu!"

"Ah, lepaskan!" sang isteri meronta. "Aku bersalah, suamiku. Aku telah menyakiti anakku itu. Thai Liong terluka, aku ingin minta maaf!"

"Tapi dia sudah tidak apa-apa," Pendekar Rambut Emas mengira luka fisik, tak tahu bahwa yang dimaksud adalah luka hati. "Putera kita itu sengaja menjauhi dirimu, niocu. Aku tahu dan biarlah sementara ini dia mendapat pelajarannya."

"Tidak.... tidak!" sang isteri malah meronta dan menendang-nendang. "Yang luka bukan sekedar tubuhnya, suamiku. Melainkan hatinya. Ah, aku telah memakinya sebagai anak tiri dan aku ingin meminta maaf!"

"Apa?" Kim-mou-eng tersentak. "Kau... kau... apa yang terjadi?"

"Aku memaki-maki dan marah-marah kepadanya, suamiku. Aku mengutuk Thai Liong sebagai anak tiri yang tak disukai ibunya. Aku, ah... aku ibu yang tidak pantas menjadi isterimu!" dan Swat Lian yang memberosot serta lepas dari suaminya tiba-tiba berkelebat dan berjungkir balik meluncur lagi di permukaan air. Lalu begitu dia berteriak dan memanggil-manggil Thai Liong, yang sudah tidak kelihatan maka nyonya ini sudah menggerak-gerakkan kedua tangannya mendayung dan terbang di atas air yang berkeriput perlahan, tanpa ombak!

Namun ketika nyonya itu meluncur dan mengerahkan ginkangnya di laut bebas tiba-tiba terdengar teriakan dan pekik dua orang yang gelisah. "Hujin, tawanan lolos...!"

"Ibu, Togur melarikan diri...!"

Swat Lian terkejut. Antara kaget dan marah tiba-tiba dia berhenti. Sang suami yang ada di daratan juga terkejut mendengar itu. Beng An dan Ji Pin, yang tadi ditinggal Soat Eng tiba-tiba muncul. Mereka itulah yang berteriak dan memberitahukan lolosnya tawanan. Dan ketika Beng An disambar ayahnya dan Swat Lian berjungkir balik kembali, meluncur dan meloncat di daratan maka nyonya itu menggigil menyambar Ji Pin, yang menjerit dicengkeram si nyonya....

Istana Hantu Jilid 33

ISTANA HANTU
JILID 33
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

“KALIAN manusia-manusia tak tahu malu. Enyahlah!"

See-ong dan Togur menjerit. Mereka terdorong dan terlempar oleh pukulan Pendekar Rambut Emas, yang lagi-lagi mengeluarkan pukulan anehnya itu, merah dan putih. Dan ketika Togur mencelat sementara See-ong terguling-guling menyambar Ituchi, karena Beng An sudah disambar ayahnya maka kakek itu berteriak dan lari ke tengah.

"Kita bersembunyi di Istana Hantu, cepat!"

Togur pucat. Dia ngeri dan gentar melihat pukulan itu tadi. Dua macam hawa yang berbeda menyerangnya dalam satu pukulan luar biasa, yang pertama dingin sementara yang lain panas. Jadi seolah dua kutub yang berlainan menggencetnya dari dua arah yang berbeda. Kalau saja Pendekar Rambut Emas tak memecah pukulannya kepada See-ong pula mungkin dia sudah terbanting dan roboh, tak mungkin bangun lagi. Maka begitu See-ong berteriak padanya dan Togur meloncat bangun maka pemuda itu sudah melarikan diri dan mengikuti kakek itu.

"Heii, tunggu...!"

See-ong tertawa aneh. Saat itu Pendekar Rambut Emas memberikan puteranya pada sang isteri. Swat Lian terbelalak melihat semuanya itu dan mau mengejar. Tapi ketika sang suami melempar Beng An dan berseru padanya agar menyerahkan lawan dan tak usah ikut-ikutan maka nyonya cantik ini membanting kaki dan berseru gusar.

"Mana mungkin? See-ong atau bocah itu telah menghina kita, suamiku. Aku tak mau tinggal diam dan tetap akan mengejar. Kalau kau hendak menangkap See-ong silahkan, tapi aku akan membekuk bocah itu!"

"Hm, boleh. Tapi jangan membunuh!‖ dan Pendekar Rambut Emas yang sudah berkelebat dan lenyap di balik Pek-sian-sutnya akhirnya mengejar dan memburu See-ong. Mereka semua tak tahu betapa Thai Liong yang terlempar dan terduduk oleh tendangan Togur tadi harus mengerang dan merintih menahan sakit. Bukan tendangan itu yang membuatnya kesakitan, tapi oleh pukulan dan kata-kata ibunya tadi. Ah, Thai Liong memejamkan mata dan makian atau bentakan ibunya tadi serasa menusuk-nusuk ulu hatinya yang sedang berkarat. Begitu pedih, begitu tajam!

Dan ketika ayah ibunya bertikai sendiri dan Soat Eng tertegun di samping ibunya maka pemuda itu diam-diam bangkit berdiri dan terhuyung memutari pulau. Thai Liong bukan hendak meninggalkan Sam-liong-to justeru sebaliknya hendak menyelamatkan Ituchi. Temannya itu jelas ditangkap See-ong dan See-ong telah berkata bahwa akan bersembunyi di Istana Hantu. Tempat itu amat luas dan merupakan istana bawah tanah. Ada jalan lain selain di tengah pulau, yakni di ceruk atau pantai bawah laut.

Dia akan menyelam di situ dan memasuki Istana Hantu dari tempat yang lain, tempat yang merupakan jalan rahasia karena di situlah dulu dia bersama Soat Eng lepas dari tangan See-ong, ketika See-ong menangkap mereka berdua. Maka ketika ayah ibunya mengejar dua orang itu di tengah pulau maka pemuda ini sudah terhuyung-huyung menuju tempat yang tidak diketahui orang lain itu. Dan Thai Liong sudah menyelam.

Berapa lama dia menyelam Thai Liong tak menghitung. Yang jelas berkali-kali dia harus menahan sakit dan menekan dada. Tapi ketika dia muncul di permukaan air di ujung terowongan itu maka Thai Liong sudah memasuki Istana Hantu melalui undak-undakan batu yang terus naik ke atas dan merupakan jalan yang gelap dimana dia harus menyalakan obor.

"Sstt...!" Thai Liong tiba-tiba mendengar sebuah suara. "Kesinilah, Kim-kongcu. Naik dan matikan obormu!"

Thai Liong terkejut. Sesosok bayangan tiba-tiba muncul di tangga sebelah kiri dan menyongsongnya. Dia serasa mengenal suara itu tapi dalam saat begitu tak terduga tentu saja dia kaget. Maka ketika bayangan itu mengulurkan lengannya, bermaksud menolongnya naik tiba-tiba Thai Liong membentak dan melepas pukulan.

"Heii...!" bayangan itu terkejut. "Jangan serang, Kim-kongcu. Aku kawan!"

Namun Thai Liong sudah terlanjur melepas pukulan, dikelit dan ditangkis dan bayangan itupun terlempar, terguling-guling, menabrak meja kursi batu dan berseru pucat melompat bangun. Thai Liong bergoyang karena melepas pukulan tadi berarti mengerahkan tenaga, padahal dia terluka. Dan ketika dia menyeringai dan obor padam, tak kuat di tangan pemuda yang gemetar ini maka bayangan itu sudah menangkapnya dan mencengkeram.

"Kau terluka," seruan itu jelas bersahabat. "Ah, bagaimana ini, Kim-kongcu? Bukankah aku tak membalasmu?"

"Siapa kau?" Thai Liong lupa-lupa ingat. "Kau membuat kaget namun aku serasa mengenalmu, mengenal suaramu!"

"Aku Siang Le," jawaban itu membuat Thai Liong tertegun. "Aku orang yang memang sudah kau kenal tapi mungkin saja kehadiranku yang tiba-tiba ini membuat kau kaget!"

Thai Liong mencengkeram lawan. "Benar," katanya. "Kau Siang Le! Eh, apa artinya ini, Siang Le? Kau mau apa dan bagaimana bisa ada disini? Kau tak kulihat bersama gurumu. Kau aneh tapi tak sama dengan gurumu!"

"Hm, guruku memang sesat," pemuda ini menarik napas dalam-dalam. "Dan aku menyesal kenapa semuanya ini harus terjadi, Kim-kongcu. Tapi tak apalah, aku sudah menjadi murid guruku. Dan aku akan menolongmu!"

"Hm!" Thai Liong mengerutkan kening, sedikit bercuriga. "Menolong bagaimana, Siang Le? Apa maksudmu?"

"Aku akan membantumu mendapatkan temanmu itu. Bukankah kau datang untuk menyelamatkan Ituchi?"

"Benar," Thai Liong tertegun. "Tapi kau akan berhadapan dengan gurumu!"

"Hm, aku sudah berkali-kali berhadapan dengan guruku itu," Siang Le tersenyum pahit. "Masalah itu tak perlu kau pikirkan, Kim-kongcu. Pokoknya aku akan membantumu dan temanmu itu kuserahkan padamu. Bagaimana?"

Thai Liong tak menjawab. Sebenarnya dia ragu tapi juga tahu bahwa pemuda yang satu ini lain dari yang lain. Siang Le tak sama dengan gurunya dan heran bahwa See-ong bisa mempunyai murid macam itu, murid yang lebih suka membangkang daripada menurut! Tapi ketika Siang Le bertanya lagi dan dia terbatuk, luka di dadanya kambuh tiba-tiba pemuda ini terhuyung dan mengeluh menahan sakit.

"Ah, kau luka, tak ingat itu!" Siang Le tiba-tiba terkejut, meloncat dan memegang pemuda ini. "Bagaimana kau bisa begini, Kim-kongcu? Siapa yang melukaimu?"

Thai Liong tak menjawab. Dia menggigit bibir dan tiba-tiba menggigil. Kenangan itu terlalu pahit dan makian serta kemarahan ibunya terlalu menusuk. Ah, dia anak tiri! Dan ketika Thai Liong diguncang namun mendorong lawan maka dia minta agar Siang Le tidak bertanya itu.

"Aku luka karena jatuh. Biarlah, aku dapat menolong diriku sendiri dan terima kasih atas bantuanmu." Thai Liong menelan obat, tak mau ditolong Siang Le dan murid See-ong itu tertegun.

Sejenak Siang Le melihat pemuda itu duduk bersila dan mengatur napas. Lalu ketika dirasa baik dan ringan tiba-tiba Thai Liong sudah bangun lagi dan berkata, "Aku dapat menjaga diriku sendiri. Sudahlah, aku tak mengharap bantuanmu karena tak ingin kau bermusuhan dengan gurumu sendiri."

"Tidak!" Siang Le tiba-tiba menghadang. "Aku akan menolongmu setulus hatiku, Kim-kongcu. Kalau kau terluka seperti ini tentu saja semakin besar hasratku untuk menolongmu. Kau tak mungkin menghadapi guruku!"

"Hm, gurumu menghadapi ayahku, tak mungkin menghadapi aku!"

"Benar, tapi kalau dia melihat kau dan menangkapmu tentu ayahmu semakin bingung, kongcu. Marilah, turut kata-kataku dan kubawa kau ke dalam sebuah ruangan rahasia!"

Thai Liong mengerutkan kening. Siang Le sudah menariknya dan tanpa menunggu jawaban lagi murid See-ong itu membawanya ke atas. Obor sudah padam namun Siang Le rupanya hapal akan tempat itu, terbukti pemuda ini dapat turun naik dengan enak. Dan ketika Thai Liong bimbang dan ragu menerima semuanya itu, karena janggal rasanya dia ditolong oleh seorang murid tokoh sesat maka pemuda itu sudah mengetuk sebuah dinding dan terbukalah pintu sempit terbuat dari baja.

"Suhu akan menyembunyikan tawanannya di sini, dan dia pasti datang. Nah, kau bersembunyilah di situ dan aku akan menyambut guruku!"

"Hm, nanti dulu," Thai Liong mencengkeram. "Kau dan aku sebenarnya bermusuhan, Siang Le. Aku tak dapat percaya begitu saja dan jangan kau pergi!"

"Ah, aku justeru tetap di sini," pemuda itu mendesah. "Dan tentang permusuhan harap jangan disebut-sebut, Kim-kongcu. Gurukulah yang menciptakan semua itu. Aku secara pribadi tak terlibat!"

Thai Liong memandang tajam. Di dalam ruangan yang remang-remang dan tidak gelap ini dia dapat memandang wajah orang. Siang Le ditatapnya tajam tapi pemuda itupun balas memandangnya tajam, tak takut, tak menyembunyikan perasaan yang lain dan Thai Liong harus mengakui bahwa tatapan lawannya itu begitu jernih dan jujur. Siang Le tak menampakkan sikap-sikap mencurigakan atau sebangsanya, pemuda itu tampak begitu sungguh-sungguh dan jujur. Namun karena Siang Le adalah murid See-ong dan apapun bisa terjadi kalau See-ong marah-marah kepada muridnya maka Thai Liong bersikap waspada dan berkata,

"Baiklah, aku tahu kau tak terlibat, Siang Le. Tapi kalau seandainya gurumu kubunuh tentu kau akan marah dan menuntut balas. Nah, inilah yang harus kuwaspadai karena betapapun juga kau murid See-ong!"

"Hm, kau salah," Siang Le malah menggeleng, sedih. "Kalau guruku mati di tanganmu atau di tangan ayah ibumu aku tak akan menuntut balas, Kim-kongcu. Karena guruku sudah berhutang jiwa dengan membunuh kakekmu. Aku tahu bahwa ayah dan terutama ibumu ingin menuntut balas, karena kematian Hu-taihiap. Tapi karena aku tahu guruku di pihak yang salah maka aku tak akan meneruskan benci-membenci ini dengan saling membunuh. Aku ngeri itu, aku sudah menasihati guruku. Tapi karena guruku seperti itu dan aku tak berdaya mencegah maka apa yang dilakukannya sudah menjadi resikonya pula kalau siapa yang menanam harus memetik buahnya!"

"Kau tak membela gurumu?"

"Orang salah tak patut dibela, Kim-kongcu. Biarpun dia guruku tapi kalau salah tentu saja tak boleh kubela. Aku sudah menetapkan itu sejak dulu!"

"Kalau begitu kau tak berbakti!" Thai Liong mencoba berdebat. "Salah atau benar See-ong adalah gurumu, Siang Le. Orang yang telah mendidik dan melepas budi kepadamu. Kau bakal dikutuk!"

"Hm, inilah yang paling tak kusuka untuk dibicarakan. Budi dan kasih sayang guruku! Hm, aku sudah siap menerima kutukan itu, Kim-kongcu, kalau guruku ingin mengutuk. Dan aku juga siap menyerahkan jiwaku kalau guruku menghendaki! Aku melihat hal yang berbeda antara budi dan kebenaran, dan aku telah memisahkannya. Kalau perbuatanku ini dianggap salah oleh guruku biarlah dia menghukum, aku siap menerima. Tapi kalau aku benar aku hanya menginginkan guruku itu insyaf dan sadar, merubah jalan hidupnya."

"Kau tak memberi muka gurumu? Kau bahkan berkata-kata seperti itu? Ah, kau tak pantas sebagai murid See-ong, Siang Le. Kau akan didamprat dan dimakinya habis-habisan!"

"Aku sudah kenyang makian, dan aku siap mendapat kemarahannya. Sudahlah, urusan ini tak perlu dibicarakan lagi, kongcu, hanya membuat hatiku pedih dan luka saja. Sebenarnya aku menyesal kenapa aku harus menjadi murid seorang sesat. Marilah, kau bersembunyi di situ dan dengar suara guruku datang!"

Thai Liong tertegun. Deru diluar dan teriakan orang jelas menunjukkan adanya See-ong. Kakek iblis itu rupanya sudah memasuki Istana Hantu dan gema suaranya memantul-mantul menggetarkan. Di belakang kakek itu berkelebat bayangan Togur dan pemuda tinggi besar itu berteriak pada temannya agar tidak jauh mendahului. See-ong berkelebat ke sebuah ruangan namun bayangan kuning emas menyambar, menampar dan mendorong kakek itu dan See-ong pun berteriak.

Kakek ini terpelanting dan asap hitam yang dipakainya pun berantakan, pecah oleh pukulan atau tamparan bayangan kuning emas itu, yang berkelebat di belakangnya. Dan ketika kakek itu tunggang-langgang namun lenyap kembali dalam Hek-kwi-sutnya maka bayangan kuning emas yang memburunya itupun lenyap juga mengimbangi si kakek.

"See-ong, menyerahlah. Atau aku akan membuatmu lumpuh!"

"Keparat!" See-ong, yang sudah bersembunyi lagi di balik Hek-kwi-sutnya memaki-maki. "Kau mau membunuh atau melumpuhkan aku terserah kau, Pendekar Rambut Emas. Tapi aku tak akan menyerah dan tetap bertahan sampai titik darah terakhir!"

"Hm, kau keras kepala," Kim-mou-eng, yang lenyap dalam Pek-sian-sutnya membentak kesal. "Kalau begitu aku akan melumpuhkanmu, See-ong, dan maaf bahwa kali ini aku bersikap keras.... dess!"

See-ong menjerit, asap hitamnya buyar dan tampaklah kakek itu terpental di udara, terbanting dan terguling-guling di lantai. Punggungnya mendapat pukulan kuat dan kakek itu bertahan, gagal dan akhirnya muntah darah. Tapi ketika Kim-mou-eng berkelebat dan hendak menyerangnya kembali mendadak kakek itu menginjak lantai dan berhamburanlah panah-panah rahasia menuju Kim-mou-eng.

"Wut-wut-wut!"

Kim-mou-eng menampar. Pendekar ini meruntuhkan semua anak panah tapi kakek itu sudah bangun lagi, melarikan diri. Dan ketika lawan mengejar dan Togur berkelebat di samping kakek itu maka See-ong membentak agar menyerang Pendekar Rambut Emas.

"Kau bantu aku, bunuh dia!"

Togur mengangguk. Gentar tapi memberanikan diri karena berdua dengan kakek itu tiba-tiba dia melepas pukulan. Kim-mou-eng sedang berkelebat ke arah See-ong ketika dia menghantam dengan Khi-bal-sin-kang, sepenuh tenaga. Dan ketika pendekar itu terkejut tapi mendengus mengeluarkan suara dari hidung maka See-ong juga mengeluarkan pukulannya dan menghantam lawan.

"Dess!" Kim-mou-eng lenyap. Cepat mengerahkan Pek-sian-sutnya tiba-tiba dia sudah menghilang ketika lawan menyerang. Lalu, ketika See-ong maupun Togur sama-sama terkejut karena dua pukulan mereka beradu sendiri tiba-tiba kakek itu berteriak melihat berkelebatnya asap putih di antara pukulan sinar merah.

"Awas....!"

Namun terlambat. See-ong sendiri sudah membanting tubuh bergulingan ketika Pendekar Rambut Emas muncul lagi dengan pukulannya yang luar biasa itu, mengelak namun tetap juga keserempet dan See-ong berteriak mengaduh. Kakek itu terpental dan mengaduh kesakitan karena pukulan itu membakar pundaknya. Dia sudah bertahan namun tetap juga hangus, bengkak. Dan ketika kakek itu menggigit bibir dan meloncat bangun tapi jatuh lagi maka disana Togur terlempar dan mencelat oleh pukulan ini, kalah cepat dan memekik dan saat itu berkelebatlah bayangan si nyonya cantik. Swat Lian mengejar di belakang suaminya ini ketika See-ong maupun Togur memasuki Istana Hantu, berkelebat dan menyelinap di puncak bangunan itu yang menonjol di permukaan tanah.

See-ong melepas pukulan dan coba menahan Pendekar Rambut Emas namun pendekar itu telah berubah bentuk menjadi asap, menyelinap dan enak saja memasuki lubang dimana pukulan See-ong menghantam sia-sia. Dan ketika Togur juga melakukan hal yang sama namun dorongan Pendekar Rambut Emas jauh lebih kuat dari pukulannya maka dua orang itu tunggang-langgang dan memasuki istana bawah tanah itu sementara si nyonya yang membentak dan mengikuti suaminya juga menerobos dan menyelinap di puncak bangunan misterius itu.

"Serahkan bocah ini kepadaku!"

Togur pucat. Baik Pendekar Rambut Emas maupun isterinya bukanlah lawan-lawan yang dapat dihadapi. Dia kalah tinggi dan kalah lihai. Pendekar Rambut Emas dan isterinya memiliki dua gabungan Lui-ciang-hoat dan Khi-bal-sin-kang, di samping sepasang ginkang mereka yang luar biasa itu, Jing-sian-eng dan Cui-sian Gin-kang. Dan karena dia hanya memiliki separuh dari kepandaian suami isteri itu padahal Kim-mou-eng masih memiliki Pek-sian-sut dan pukulan merah putih yang entah apa namanya maka Togur gentar dan pucat melihat si nyonya sudah membantu suaminya.

"Dess!" dan diapun terguling-guling lagi. Togur baru melompat bangun ketika si nyonya sudah berkelebat tiba, menampar dan membentaknya dan mencelatlah pemuda itu oleh pukulan si nyonya. Dan ketika dia berseru tertahan sementara See-ong sudah bergulingan menjauhi Pendekar Rambut Emas maka kakek itu melarikan diri membiarkannya sendirian menghadapi si nyonya yang berapi-api.

"Heii...!" Togur panik. "Jangan tinggalkan aku, See-ong. Atau aku akan menyerah dan nanti menyerangmu sebagai musuh!"

"Keparat!" See-ong bingung. "Kalau begitu pegang tanganku, Togur. Pejamkan mata dan berlindung di balik Hek-kwi-sut... slap!" Togur disambar si kakek, memegang tangannya dan tahu-tahu asap hitam bergulung menghadang di depan Swat Lian.

Si nyonya terpekik karena lawanpun lenyap, terbungkus atau digulung asap hitam itu, Hek-kwi-sut. Namun ketika suaminya menyambar dan Pendekar Rambut Emas berkelebat dalam bentuk asap putih ternyata asap hitam dipukul pecah dan Togur tampak lagi, terlempar.

"See-ong, bocah itu bagian isteriku. Kau bagianku. Menyerahlah, atau aku akan merobohkanmu!"

See-ong melotot. Kakek ini basah kuyup dan kemarahan tapi juga kegentarannya memuncak. Sekarang dia tak dapat berlindung lagi di balik Hek-kwi-sutnya karena lawan akan membuyarkan ilmu hitamnya itu. Kemanapun dia bersembunyi kesitulah Pendekar Rambut Emas mengejar. Kakek ini melotot dan pucat mukanya. Dan ketika Togur terlepas dari tangannya dan apa boleh buat harus menghadapi si nyonya cantik maka kakek itu mengeluh dan berkelebat lenyap memasuki bagian bawah Istana Hantu.

"Togur, kita masing-masing tak dapat melindungi yang lain. Selamatkanlah dirimu, di istana ini banyak ruangan-ruangan rahasia!"

Togur melotot. Dia melihat temannya itu sudah kabur dan mendahului menghilang, apa boleh buat dia meloncat dan melarikan diri pula. Tapi ketika di belakang berkelebat sesosok bayangan ramping dan Soat Eng muncul di situ, mencegatnya, maka pemuda ini mendelik dan marah.

"Kau menggangguku di sini? Jahanam, mampuslah!"

Namun Soat Eng sedikit saja di bawah ibunya. Gadis inipun sudah memiliki Lui-ciang-hoat dan Cui-sian Gin-kang, berkelit dan lenyap di hadapan lawan ketika dia diserang. Dan ketika Togur terbelalak dan terkesiap kaget, maklum bahwa Soat Eng pun bukan gadis biasa maka gadis itu muncul di belakangnya dan tamparannya mengeluarkan kesiur angin dingin ketika membalas.

"Togur, aku ingin kau mengembalikan Cermin Naga. Nah, berikan baik-baik atau aku dan ibu akan menghajarmu...dess!" Togur menangkis, lupa bahwa di belakang masih ada sang nyonya yang tak mau tinggal diam ketika pemuda itu menyerang Soat Eng. Maka ketika Togur menangkis namun di belakangnya lagi berkesiur pukulan lain maka pemuda itu menjerit karena tiba-tiba kepalanya serasa disambar petir.

"Aduh!" pemuda ini terjengkang, pening memegangi kepala dan saat itu Soat Eng maupun ibunya berkelebat mengejar. Sehebat-hebatnya pemuda ini tetap saja dia bukan tandingan lawannya. Maka ketika dia mengelak namun sebuah tendangan mengenai pangkal telinganya maka totokan nyonya lihai itu mendahului anaknya dan tepat menyentuh tengkuk Togur.

"Bluk!" Togur roboh tak mengeluarkan suara lagi. Pemuda itu pingsan dan Swat Lian hendak menampar pecah kepalanya ketika Soat Eng tiba-tiba berteriak memperingatkan ibunya. Gadis itu berkelebat di depan dan menahan lengan ibunya itu, berseru bahwa ayah mereka melarang membunuh.

Swat Lian mendelik namun teringat Thai Liong. Seperti itulah Thai Liong mencegahnya dan diapun melemaskan tangan, menepis namun tubuh Togur ditendangnya mencelat lagi hingga menumbuk dinding, patah hidungnya dan ngocorlah darah merah dari luka di wajah pemuda yang sedang pingsan ini. Dan ketika Beng An berkelebat di situ dan muncul membenarkan encinya maka nyonya itu membanting kaki dan menyuruh Soat Eng mengikat tawanan.

"Baiklah, aku akan terus masuk ke dalam. Jaga dan ikat dia!" dan tidak menghiraukan anak-anaknya lagi karena dirundung kecewa akhirnya nyonya ini menghilang ke dalam dan memasuki lorong demi lorong untuk mencari See-ong. Soat Eng sendiri sudah mengikat dan menangkap Togur, bersebelahan dengan nenek Ji-moi dan Toa-ci yang tadi juga hampir dibunuh ibunya. Dan ketika enci adik itu mengusap keringat karena peristiwa demi peristiwa yang dialami cukup mendebarkan maka terdengarlah seruan seseorang di atas sana.

"Kim-siocia, kau tak apa-apa? ini aku, Ji Pin. Tolong buka lubang ini lebih lebar agar aku dapat membantumu di dalam!"

Soat Eng tertegun. Di atas bangunan terlihat sebuah tangan mendorong-dorong dan coba membuka lubang lebih lebar. Tadi See-ong menghantam tempat itu berusaha menutup, dalam upayanya menghalangi ayahnya agar tidak dapat masuk. Maka ketika Ji Pin muncul dan laki-laki itu berteriak minta tolong maka suara menguik juga mengiringi garukan-garukan kaki di pinggir lubang.

"Ah, kau kiranya bersama Gosar dan Gotin!" Soat Eng berkelebat, mendorong dan menggerakkan kedua tangannya dan terdengarlah bunyi berkeratak ketika lubang menganga lebih lebar. Dua gorila di luar sana dan Ji Pin, laki-laki itu, tampak kegirangan melihat Soat Eng menolongnya. Dan ketika lubang berbunyi keras dan laki-laki ini terperosok maka Ji Pin terpelanting tapi tertawa-tawa gembira.

"Ha-ha, terima kasih, siocia. Syukur kau selamat!"

Soat Eng tersenyum. Dia sendiri sudah berjungkir balik dan turun lagi di atas lantai, melihat Ji Pin mengebut-ngebutkan bajunya dan memberosotlah dua gorila besar di atas sana. Tubuh mereka lebih besar dari manusia biasa dan ketika Ji Pin terpelanting justeru mereka sesak menerobos lubang. Tapi ketika keduanya berdebuk dan jatuh di bawah, di dekat Soat Eng maka gadis itu terkekeh menyambar mereka.

"Gotin, kau semakin gemuk dan tampak segar saja. Aih, lama kita tak bertemu. Kau tak apa-apa, bukan?"

"Dia bunting, siocia!" Ji Pin tiba-tiba berseru. "Gotin gemuk karena sudah berisi!"

"Ah," Soat Eng terkejut, merah mukanya. "Bunting? Gotin mau punya anak? Pantas, tak heran kalau kelihatan gemuk!" dan ketika binatang itu menguik dan mengendus-endus, menciumi tangan Soat Eng maka Beng An yang ada di situ tiba-tiba menyambar dan memeluk Gosar, gorila jantan.

:Ini binatang-binatang yang dulu kau ceritakan itu, enci? Ini yang jantan dan itu yang betina?"

"Benar, itu Gosar, ini Gotin. Dulu aku dan Liong-ko menundukkannya."

"Ha-ha, dan kekar mereka. Kalau begitu bisa menjadi teman Siauw-houw!" Beng An yang mencengkeram serta menepuk-nepuk pundak Gosar lalu sudah meminta encinya untuk memberikan dua gorila itu kepadanya. "Bukankah boleh, enci? Atau aku harus membayarnya?"

"Hush!" sang enci melotot. "Milikku berarti milikmu, Beng An. Mereka adalah teman kita juga seperti halnya Siauw-houw pun sahabatku. Sudahlah, aku perlu mengejar ayah ibu dan kau bersama Ji Pin di sini!" lalu membalik menghadapi laki-laki itu Soat Eng melanjutkan, "Ji-twako, urusan belum selesai. Pemuda ini baru kita tangkap. Kau jagalah dia dan bersama adikku kalian tak usah kemana-mana. Mengerti?"

"Baik, siocia. Tapi mana Kim-kongcu?"

Soat Eng terkejut. "Mungkin mengejar di lain tempat. Atau..." dia ragu-ragu. "Barangkali Liong-ko menyembuhkan lukanya."

"Benar," Beng An tiba-tiba juga teringat. "Liong-ko tak ada di sana tadi, enci. Kita semua lupa karena sibuk menghadapi See-ong. Ah, kita harus mencarinya!"

"Nanti saja," gadis itu merasa lebih perlu mengejar ayah ibunya. "Sambil berjalan dapat kucari di dalam, Beng An. Siapa tahu Liong-ko mendahului kita dan ingin menyelamatkan temannya itu!"

Beng An terbelalak. Sang enci sudah berkelebat pergi dan dua gorila itu mengeluarkan suara nguk-nguk mau ikut, dikibas dan Soat Eng lenyap menyuruh binatang itu bersama Ji Pin, juga adiknya. Dan ketika gadis itu menghilang sementara Ji Pin bengong di tempat maka Beng An sudah mengajak dua gorila itu main-main dengannya karena Siauw-houw ditinggal di tempat Cen-goanswe.

* * * * * * * *

"Sekarang kau tak dapat melarikan diri," Pendekar Rambut Emas membentak, menempel dan lekat dibelakang See-ong seperti bayangan. "Kemanapun kau lari kesitu aku mengejarmu, See-ong. Nah, sekarang kita sudah disini dan carilah lagi kamar-kamar rahasia lain untuk tempat persembunyianmu!"

See-ong, si kakek iblis, pucat pasi. Ia sudah lenyap dan menghilang sepuluh kali namun tetap dibayangi juga. Sepuluh kamar rahasia sudah dipergunakan namun dengan Pek-sian-sutnya Pendekar Rambut Emas itu dapat menerobos. Sama seperti Hek-kwi-sut pula, Pek-sian-sut yang dimiliki Pendekar Rambut Emas itu akan membuat pemiliknya berubah dari badan kasar ke badan halus. Dinding atau tembok tak menjadi halangan dan dengan mudah saja Pendekar Rambut Emas itu dapat menembus, seperti roh atau jasad halus yang mampu menerobos semua dinding-dinding tembok, bahkan baja sekalipun!

Dan ketika See-ong pucat dan ngeri oleh itu, menyadari bahwa lawan tak dapat dijauhi maka tiba-tiba dia sudah menghantam sebuah dinding baja dimana pintunya yang tebal tiba-tiba menutup dan mereka berdua sudah ada di dalam, Swat Lian terlambat masuk dan nyonya itu melengking-lengking di luar!

"Kim-mou-eng, kau hebat dan mengagumkan. Tapi ini adalah ruangan terakhir yang akan menentukan mati hidupku. Majulah, dan aku akan bertarung menghadapimu sampai satu di antara kita roboh binasa!"

"Hm, kau tak dapat mengalahkan aku. Sudah berkali-kali kita bertanding dan kau selalu melarikan diri. Apalagi yang kau miliki, kakek iblis? Kau tak sadar bahwa aku dapat menandingimu?"

"Keparat, kita tak perlu banyak omong lagi. Mampus atau kau bunuh aku.... wut!" See-ong yang meloncat secepat setan tiba-tiba menghantam dan tidak berlindung di balik Hek-kwi-sutnya lagi, melepas pukulan dan kakek itu beringas serta mata gelap.

Sebenarnya, dalam pertandingan berkali-kali dia sudah mempergunakan segala akal dan tipu daya untuk mengalahkan lawannya itu. Senjata-senjata gelap seperti paku atau jarum-jarum berbisa juga sudah dilepas semua, habis namun selalu gagal dan sia-sia. Kalau tidak dipukul runtuh ya ditiup balik hingga menyambar mukanya sendiri. Dalam keadaan terdesak dia lalu mempergunakan Hek-kwi-sutnya dan menghilang, lenyap dalam bentuk roh atau asap hitam. Tapi karena lawan juga memiliki Pek-sian-sut dan ilmu itu adalah tandingan Hek-kwi-sut, hal yang tak diduga See-ong maka kakek yang biasanya mengandalkan ilmu hitamnya itu menjadi marah-marah dan kelabakan diburu lawan.

Pek-sian-sut lama-lama mengeluarkan cahaya terang yang menyilaukan. Tempat segelap apapun akhirnya menjadi kelihatan kalau sudah didatangi cahaya Pek-sian-sut itu. Itulah sebabnya See-ong tak dapat bersembunyi dan selalu ketahuan, dikejar. Tempat sekecil apapun selalu diketahui lawannya itu dan orang akan terbelalak kalau melihat betapa dua orang ini selalu masuk keluar di lubang-lubang semut. Celah atau tempat-tempat kecil selalu menjadi tempat persembunyian See-ong dan mengandalkan Hek-kwi-sutnya itu kakek ini dapat masuk atau keluar di tempat-tempat yang dikehendaki.

Lubang semut atau liang tikus sudah bukan menjadi halangan bagi kakek ini. Jasad halusnya menyelinap dan menerobos semua tempat-tempat itu, seperti roh jahat yang ketakutan melihat bayangan sinar terang, lari dan bersembunyi namun Pendekar Rambut Emas, yang juga memiliki ilmu yang sama namun bersifat bersih, Pek-sian-sut, juga menerobos dan menyelinap ke lubang-lubang dimana lawannya itu melarikan diri. See-ong akhirnya menjadi kesal dan gentar karena tak ada tempat lagi yang dapat dijadikan tempat persembunyian. Dia menghantam namun selalu tertolak balik. Khi-bal-sin-kang yang dipunyai pendekar itu tak mampu dilawannya. Musuh benar-benar hebat, celaka!

Dan ketika ruangan demi ruangan sudah dimasuki kakek itu dan See-ong sudah keluar masuk lorong-lorong rahasia tapi lawan selalu mengejar dan menempel di belakang akhirnya ruangan luas dimana kakek itu mendengus-dengus sudah ditutup pintunya karena See-ong melihat si nyonya cantik, isteri Pendekar Rambut Emas itu, juga selalu mengejar dan melengking-lengking dibelakang. Dan tepat dia menghantam lawan sambil menutup pintu baja maka kakek itu sudah menerjang seperti orang gila.

"Dess!" Kim-mou-eng tak mengelak, membuang Pek-sian-sutnya dan diterimalah pukulan kakek itu dengan pengerahan sinkangnya. Ituchi masih dipondong kakek itu dengan sebelah tangan yang lain dan kakek itu terpelanting, menggeram dan maju lagi dan pukulan demi pukulan menghantam dahsyat. See-ong meliar matanya dan Sin-re-ciang, silat Tangan Karet tiba-tiba dikeluarkan. Ilmu ini belum dipergunakan dan baru kali itulah dikeluarkan.

Kedua tangan memulur panjang dan tahu-tahu sudah menangkap leher Kim-mou-eng, mencengkeram dan membanting dan Pendekar Rambut Emas itu terkejut karena gerakan lawan demikian tak terduga. Dan karena Sin-re-ciang memang belum dikeluarkan dan baru kali itulah diperlihatkan maka See-ong mengangkat tinggi-tinggi namun lawan berseru keras mengerahkan Jing-kin-kang (Tenaga Seribu Kati).

"Haiittt....!"

See-ong terkejut. Lawan tak bergeming dan tubuh Pendekar Rambut Emas itu tiba-tiba berubah seperti gunung, kokoh dan tegak tak terangkat dan tentu saja kakek ini marah. Dia menambah tenaganya namun lawan juga menambah tenaganya. Dan ketika kakek itu mendelik dan marah memandang lawan tiba-tiba Pendekar Rambut Emas menggerakkan tangannya dan sebuah tamparan mengenai pelipisnya.

"Plak!" kakek itu malah terbanting! See-ong mendelik dan memaki-maki dan segera maju lagi dengan penuh kemarahan. Sekali dicoba ternyata Sin-re-ciang gagal. Keparat, kakek itu marah sekali. Dan ketika pukulan demi pukulan dilepas lagi namun semua itu hanya dikelit atau ditangkis lawan akhirnya kakek itu menggeram mengancam tawanannya, melihat Pendekar Rambut Emas mulai maju dan mendesak, empat kali membantingnya roboh.

"Kim-mou-eng, kau bunuhlah aku. Namun bocah ini juga kubunuh!"

"Hm, kau manusia pengecut. Selamanya licik dan curang. Bocah itu tak tahu apa-apa, See-ong. Urusan kita tak ada sangkut-pautnya dengan pemuda itu. Lepaskan dia, dan kau menyerah!"

"Keparat, siapa mau menyerah? Kau cerewet seperti perempuan, Kim-mou-eng. Bunuhlah aku dan bocah ini juga kubunuh. Lihat, ha-ha...!" dan See-ong yang mengerahkan tenaganya mencengkeram pundak Ituchi tiba-tiba mematahkan tulang pemuda itu dimana Ituchi yang pingsan tiba-tiba berjengit, mengeluh namun tidak sadarkan diri dan Kim-mou-eng membelalakkan mata.

See-ong bersikap licik dengan menyiksa tawanannya, satu per satu lalu mematahkan jari-jari tangan pemuda itu atau kakinya. Suara krak-krek-krak-krek terdengar seperti kerupuk dikeratak, tentu saja membuat Pendekar Rambut Emas marah dan pendekar itu membentak mengeluarkan Pek-sian-sutnya. Namun ketika dia menghilang dan menyambar lawan ternyata See-ong juga mengeluarkan Hek-kwi-sutnya dan Ituchi pun dibungkus asap hitam.

"Dess!" See-ong mencelat. Kakek ini mengaduh karena kali ini Pendekar Rambut Emas memberi pukulan amat keras. Asap putih menumbuk asap hitam dan buyarlah Hek-kwi-sut kakek itu karena kalah kuat. Dan ketika keduanya muncul kembali dalam bentuk semula maka Pendekar Rambut Emas berkelebat dan See-ong yang sedang terguling-guling tiba-tiba mendapat dua pukulan putih dan merah yang tepat sekali menghantam tengkuk dan pundaknya.

"Des-dess!" Ituchi sekarang terlepas. Betapapun akhirnya kakek itu tidak kuat dan merintih kesakitan. Tengkuk dan pundaknya gosong, baju di dua tempat itu hancur dan membara. Namun karena kakek ini memang hebat dan See-ong adalah seorang kakek iblis yang memiliki kekuatan tubuh mengagumkan maka rasa panas itu dapat ditahannya namun rasa sakit yang membuat tulang-tulangnya remuk tak mampu diatasi.

"Aduh, keparat. Bunuhlah aku!"

Pendekar Rambut Emas merah gelap. Dia berkelebat dan menampar lagi dan terlemparlah kakek itu menabrak dinding, mendapat tendangan dan mencelat lagi namun See-ong masih mampu bangun. Kakek itu memang luar biasa dan Pendekar Rambut Emas mengeluarkan lagi pukulan putih merahnya itu. Dan ketika kakek itu terbanting dan jatuh terduduk, melolong-lolong maka satu tamparan akhir memaksa kakek itu menjerit dan roboh terkapar, muntah darah.

"Aduh, tobat...!"

Sekarang See-ong tertelungkup. Kakek itu menangis memaki-maki dan sekujur tubuhnya sudah hitam gelap. Dia tak tahan dan meraung-raung. Dan persis kakek itu roboh tiba-tiba pintu baja didobrak orang dan berkelebatlah Swat Lian dengan sebatang pedang di tangan.

"See-ong, bayar jiwa ayahku!"

"Tidak!" sesosok bayangan lain tiba-tiba meloncat, keluar dari balik dinding. "Jangan bunuh guruku, hujin. Jangan.... crat!" dan bayangan itu yang menangkis pedang di tangan si nyonya tiba-tiba mengeluh dan terbanting roboh dengan luka memanjang di lengan, terguling-guling dan menimpa See-ong dan tertegunlah semua orang melihat kejadian itu.

Pendekar Rambut Emas sendiri siap bergerak ketika bayangan itu tiba-tiba mendahului, muncul dari balik dinding dan itulah Siang Le, pemuda yang menolong gurunya dari ancaman maut. Dan ketika Siang Le terkejut dan meloncat bangun dengan terhuyung, pucat, melindungi gurunya dengan gagah maka pemuda itu tak menghiraukan cucuran darah yang sobek terkena pedang si nyonya ketika ditangkis.

"Tidak... jangan bunuh guruku!" pemuda itu terbata, menggigil di depan si nyonya. "Jangan bunuh dia, hujin. Aku siap menggantikannya dan bunuhlah aku!"

Swat Lian tertegun. Siang Le sudah berlutut di depannya menggantikan See-ong, minta dibunuh sekaligus membebaskan gurunya dari ancaman nyonya cantik itu. Sikapnya sungguh-sungguh dan matanya begitu tegar memandang lawan. Namun ketika Swat Lian sadar dan marah, tentu saja tak menuruti kata-kata itu tiba-tiba nyonya ini berkelebat dan menendang si pemuda.

"Minggir, kau bukan orang yang kutuju, bocah. Gurumulah yang berhutang sebuah jiwa dan kini dialah yang harus membayar!"

Namun Siang Le bergerak sigap. Begitu si nyonya berkelebat mendorongnya tiba-tiba dia mengerahkan Sin-re-ciang. Silat Tangan Karet yang dapat membuat lengan terulur panjang ini tahu-tahu sudah menangkap pedang. Swat Lian kaget karena dengan berani pemuda itu memapak pedangnya, siap dibabat putus dan tentu saja nyonya itu terpekik. Kalau saja tak ada rasa terkejut oleh keberanian pemuda itu barangkali dia akan meneruskan serangannya, apalagi dia sudah dibuat marah dan benci kepada See-ong. Tapi karena Siang Le memang pemuda yang aneh dan sedikit atau banyak nyonya itu mengakui bahwa pemuda ini tak seperti gurunya, yang jahat dan kejam maka nyonya itu menarik tenaganya dan secepat kilat dia memberikan pedang namun kakinay bergerak dari bawah menendang pemuda itu.

"Dess!" Siang Le terlempar terguling-guling. Pemuda itu merampas pedang namun senjata itu terpental ketika dia ditendang, diterima dan ditangkap lagi oleh si nyonya yang berkelebat berjungkir balik, tentu saja tak mau kehilangan senjatanya hanya oleh seorang bocah. Dan ketika Swat Lian berapi-api dan membentak serta memaki pemuda itu untuk tahu diri maka nyonya ini mengancam akan membunuh lawan kalau Siang Le membandel.

"Aku siap mati," Siang Le melompat bangun, lutut terasa sakit. "Aku tak dapat melihat guruku dibunuh, hujin. Atau kau bunuh aku dulu dan baru kau boleh membunuh guruku!"

"Keparat!" nyonya itu memekik. "Kau tak dapat berbuat apa-apa kalau aku membunuh gurumu di depan matamu, Siang Le. Lihat sekali ini bagaimana kau melindungi gurumu.... wut!" sang nyonya berkelebat, marah bergerak cepat dan tahu-tahu pedang menyambar lagi ke leher See-ong.

Kali ini Swat Lian mempergunakan Jing-sian-engnya dan tak ada kesempatan bagi Siang Le untuk menghalangi. Tadi lututnya ditendang dan rasa sakit yang menggigit membuat pemuda itu meringis. Tapi karena dia ada di dekat gurunya dan betapapun dia memang akan membela gurunya sekuat mungkin maka pemuda ini membentak dan tiba-tiba melempar tubuh kedepan, memberikan leher atau dadanya untuk dibacok.

"Heii...!" Teriakan itu terlontar dari tiga buah mulut. See-ong, yang melihat keberanian dan kenekatan muridnya tiba-tiba menggerakkan kedua tangan ke depan. Kakek ini lumpuh namun Hek-kwi-sutnya dapat bekerja, cepat membentuk asap hitam dan asap yang menyambar Siang Le itu tiba-tiba membuat si pemuda lenyap. Swat Lian kaget karena sekarang See-ong pun lenyap. Tapi ketika terdengar bentakan di sebelah kiri dan Pendekar Rambut Emas juga berkelebat mendorongkan kedua lengannya, mengibas asap hitam maka See-ong pun kelihatan lagi dan saat itu pedang si nyonya membabat kedepan, semua kejadian berlangsung cepat luar biasa.

"Crakk...!" See-ong buntung lengannya. Kakek itu berteriak tinggi dan Pendekar Rambut Emas telah melakukan jalan terbaik bagi isterinya. Pendekar itu tadi tak dapat membiarkan Siang Le menjadi korban tapi juga tak mau See-ong tak mendapat hukuman. Maklumlah, dendam isterinya sudah sedemikian dalam dan kematian Hu Beng Kui memang harus dibalas. See-ong harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dan saat itulah pendekar ini melakukan jalan yang terbaik, bagi semua pihak. Dan ketika kakek itu menjerit dan roboh terbanting, lengan kirinya buntung sebatas siku maka Siang Le yang muncul lagi karena Hek-kwi-sut gurunya dipukul buyar tampak tertegun membelalakkan mata.

"Suhu....!"

See-ong menahan sakit. Kakek itu mendelik dan seakan tak percaya melihat kutungan tangannya yang terlempar di tanah. Jari-jari tangan itu masih bergerak-gerak tapi akhirnya diam, kaku, bercucuran darah dan luka di siku lengannya itupun mengeluarkan darah yang deras mengalir. See-ong membelalakkan mata. Namun ketika kakek ini mengeluh dan terbanting roboh, ditubruk dan diteriaki muridnya tiba-tiba See-ong mengeluarkan suara menyeramkan dan tangan yang menggeletak di atas tanah itu sekonyong-konyong ditiup dan melejit menyambar muka Swat Lian.

"Kim-hujin, kau jahanam keparat!"

Swat Lian terkejut. Dia tersentak melihat kutungan tangan bisa menyambar ke arahnya. Tangan itu seolah hidup dan jari-jari yang tadi kaku diam mendadak bergerak, meregang dan mencoblos matanya. Nyonya ini mengelak namun tangan buntung itu dapat mengejar, persis tangan setan yang berisi roh hidup. Dan ketika apa boleh buat dia harus menggerakkan pedangnya untuk membacok maka tangan itu putus lagi namun kini dua tangan yang buntung sama-sama menyerangnya, melejit dan terbang lagi menyambar begitu jatuh ke tanah!

"Ha-ha, tahu rasa kau, nyonya siluman. Bacoklah dan kutungi lagi dan setiap kutungan akan menyambarmu dari mana-mana!"

Benar saja, Swat Lian tiba-tiba saja diserang dan disambar jari-jari yang kutung atau tangan yang dibacok beberapa kali itu dari segala penjuru. Sang nyonya sudah menggerakkan pedangnya namun setiap kutungan tangan itu putus maka yang putus ini akan melejit dan menyambar lagi seperti tangan iblis. Lima jari yang akhirnya rontok dibabat itu beterbangan menyambar mukanya.

Darah yang berlepotan mengenai nyonya ini dan terpekiklah sang nyonya oleh kejadian mengerikan itu. See-ong ternyata benar-benar iblis hingga dengan ilmunya kakek itu dapat menghidupkan kutungan tangannya untuk menyerang si nyonya. Setiap dibacok tentu jatuh ke tanah tapi menyambar lagi, jumlahnya mendekati dua puluhan dan kutungan tangan yang sudah berubah bentuk sebagai tulang-tulang kecil yang mandi darah ini menyerang si nyonya.

Swat Lian ngeri dan hampir menangis pingsan. Tapi ketika Pendekar Rambut Emas berkelebat ke See-ong dan membentak serta menusuk telinga kakek itu, yang tiba-tiba mengeluarkan ledakan nyaring maka See-ong berteriak tinggi dan sekonyong-konyong lenyap tanpa bekas.

"Aduhhh....!"

Dan bersamaan itu pula runtuhlah semua sisa-sisa tangan yang tadi beterbangan seperti setan. Swat Lian terhuyung dan jatuh terduduk, mukanya pucat, tubuh menggigil dan nyaris nyonya ini tak dapat bernapas. Dia sesak oleh kejadian mengerikan itu, melotot melihat dua puluh kutungan tulang-tulang kecil akhirnya berserakan di tanah. Bentuknya sudah tak keruan tapi serpihan jari atau tulang-tulang kecil itu sudah tak menyambar-nyambar lagi, seakan sudah tak bernyawa dan nyonya itu tertegun menatap pucat. Seumur hidup, baru kali itulah dia melihat kejadian luar biasa yang tidak mirip manusia.

See-ong memang telah mempergunakan kekuatan ilmu hitamnya untuk menyerang nyonya cantik itu, melalui kutungan tangannya yang sudah dibabat si nyonya, Hek-kwi-sut yang luar biasa karena dengan ilmu hitam itu kakek ini dapat menghidupkan benda-benda mati yang lain, apalagi bagian dari tubuhnya sendiri. Tapi ketika Pendekar Rambut Emas berkelebat dan menusuk telinganya, meledak, maka sesuatu keluar dari telinga kakek itu dan sebuah bayangan mirip ular melesat dan menghilang meninggalkan si kakek, yang melolong-lolong tapi tidak kelihatan orangnya.

"Aduh, tobat.... ampun...!"

Siang Le dan Swat Lian membelalakkan mata. Mereka mendengar ratap dan raungan kakek itu namun See-ong tak tampak dimana. Suaranya begitu kecil dan lirih, memilukan. Tapi ketika Pendekar Rambut Emas membungkuk dan menjumput sesuatu di tanah maka dua orang itu terpekik melihat See-ong sudah berubah menjadi manusia sebesar jari telunjuk.

"Suhu...!"

Siang Le menyambar ke depan. Pemuda ini kaget sekali melihat betapa gurunya sudah berubah begitu kecil, merupakan manusia mini yang amat kerdil, ditangkap dan dijepit dua jari Pendekar Rambut Emas untuk diletakkan pada telapak tangannya. Dan ketika pemuda itu tersentak dan menjerit memanggil gurunya, yang merintih dan meratap maka See-ong kakek tinggi besar yang kini menjadi manusia amat kecil itu memaki-maki Pendekar Rambut Emas.

"Kim-mou-eng, kau jahanam keparat. Kau memusnahkan sumber ilmu hitamku!"

"Hm, tak ada jalan lain," pendekar ini menarik napas dalam dan menjepit leher lawan, yang begitu kecil. "Kau jahat dan licik, See-ong. Seharusnya kau dibunuh tapi Sian-su melarangku. Kau harus memasuki tempat ini dan selamanya tak boleh berkeliaran lagi."

"Tidak!" See-ong tiba-tiba menjerit, melihat Pendekar Rambut Emas mengeluarkan semacam kotak emas yang amat kecil, sebesar bangun tubuhnya. "Jangan masukkan aku kesitu, Kim-mou-eng. Jangan kurung aku di situ. Aku bertobat, ampun....!"

Namun Pendekar Rambut Emas tersenyum pahit. Isterinya yang berkelebat dan terbelalak mau meremuk lawan sudah didorongnya minggir. Dengan sungguh-sungguh dan berwibawa pendekar itu berkata bahwa Sian-su tak memperbolehkan mereka membunuh, See-ong harus dilumpuhkan ilmunya dan ditangkap atau dikurung di kotak emas itu, yang merupakan sebuah kerangkeng mini yang amat kecil. Dan ketika kerangkeng dibuka dan See-ong berteriak-teriak namun tidak diperdulikan maka kakek itu sudah dijebloskan dan Swat Lian maupun Siang Le terbelalak melihat kerangkeng digembok dari luar, juga gembok yang amat kecil dan mini, seperti dongeng seribu mimpi!

"Aku telah menghancurkan sumber kekuatan Hek-kwi-sut kakek ini. Sekarang dia akan mendapat hukuman seumur hidup. Semua persoalan selesai dan kematian gak-hu (ayah mertua) tak perlu diperpanjang lagi."

"Tapi," Swat Lian melotot. "Dia berbahaya dan kejam, suamiku. Dan See-ong telah berhutang banyak jiwa kepada orang-orang lain yang dibunuhnya!"

"Itu sudah lewat. See-ong tak dapat melakukan kejahatannya lagi dan hukuman ini diharap menyadarkannya sebelum ajal. Aku hanya memenuhi kata-kata Sian-su dan kalau kau ingin mendebat bertanyalah saja kepada Sian-su," dan tidak membiarkan isterinya dilanda dendam lagi Pendekar Rambut Emas lalu bergerak dan tiba-tiba hendak membuang kerangkeng itu ke angkasa. Tapi sebelum pendekar itu melempar See-ong tiba-tiba Siang Le berteriak,

"Nanti dulu, tunggu....!" dan bergerak menyambar lengan pendekar itu pemuda ini tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut, menggigil. "Kim-taihiap, maafkan aku. Kau memang berhak atas guruku namun kuminta dengan sangat janganlah guruku dibuang dan dilempar ke angkasa. Aku hendak mengajukan permintaan dan sudilah kau mendengarkannya!"

"Hm, kau mau bicara apa?"

"Guruku sudah kalah, taihiap. Dan aku sebagai muridnya juga meminta sebuah hukuman. Tak adil rasanya kalau kau menghukum guruku sementara aku kau biarkan begitu saja!"

"Apa?" pendekar ini terkejut. "Kau minta hukuman? Eh, yang membunuh mertuaku adalah gurumu, Siang Le. Kau tak ada sangkut-pautnya dengan ini. Kalau kau ikut-ikutan tentu aku tak akan membiarkanmu selamat. Tapi kau tak berbuat apa-apa!"

"Benar," pemuda itu mengangguk, air mata tiba-tiba bercucuran. "Tapi guruku tetaplah guruku, taihiap. Aku harus setia dan membayar semua budi-budinya. Kalau kau menghukum guruku di situ kau masukkanlah aku pula dan biar aku menemani guruku!"

Kim-mou-eng tertegun. Pendekar itu tiba-tiba membelalakkan mata dan terkejut. Siang Le ternyata ingin menemani gurunya dan minta dikerangkeng, padahal kerangkeng itu amat kecil dan tak mungkin si pemuda dimasukkan. Siang Le tak memiliki Hek-kwi-sut dan pemuda itu tak mungkin dikecilkan tubuhnya. Hanya See-onglah yang dapat diperlakukan seperti itu, karena sumber kekuatan hitam yang dimiliki kakek itu telah dihancurkan dan tadi seekor ular telah keluar dari telinga si kakek, kekuatan hitam yang membuat See-ong amat sakti tapi setelah itu terkena akibatnya, menjadi manusia mini yang amat kecil dan kini kerangkeng mini yang amat kecil pula yang dipakai untuk mengurung si kakek. Maka begitu Siang Le berkata ingin menemani gurunya dan minta dikerangkeng, padahal pemuda itu tak memiliki Hek-kwi-sut maka Pendekar Rambut Emas pun tak dapat bicara.

"Bagaimana, taihiap? Kau tak dapat memenuhi permintaanku?"

"Hm!" sang pendekar sadar, tidak termangu-mangu lagi. "Kau tak dapat kumasukkan kedalam kerangkeng ini, Siang Le. Kau tak memiliki Hek-kwi-sut! Kalau kau memiliki ilmu hitam itu dan kulumpuhkan seperti gurumu tentu saja aku dapat memasukkanmu ke dalam kerangkeng ini dan berdua menerima hukuman bersama gurumu!"

"Kalau begitu berikan guruku kepadaku. Biarlah aku menjaganya di sini dan jangan lempar dia ke angkasa!"

"Apa?" sang pendekar mengerutkan kening. "Kau mau meminta gurumu? Kau hendak...."

"Maaf," pemuda itu memotong. "Aku ingin membayar budi guruku, taihiap. Aku ingin berbakti kepada guruku meskipun dia seorang tokoh sesat! Aku ingin menjaganya di sini dan serahkanlah dia kepadaku atau sekalian saja kau satukan aku dengannya dan buang kami ke tempat yang kau kehendaki!"

"Ah!" dan Pendekar Rambut Emas yang tertegun mendengar semua kata-kata itu akhirnya saling pandang dengan isterinya yang tiba-tiba melompat maju. Swat Lian mendengar semua pembicaraan itu dan terdengarlah tawa bergelak See-ong di dalam kerangkeng. Dalam keadaan buntung lengannya dan kesakitan rupanya kakek ini bangga dan girang melihat sikap dan kata-kata muridnya. See-ong mengejek Kim-mou-eng bahwa menghadapi muridnya itu sang pendekar tak dapat berbuat banyak seperti kalau menghadapi dirinya

. Hal itu memang betul karena Siang Le bukanlah seperti gurunya. Pemuda ini baik dan tak pantas sebagai murid seorang sesat. Atau mungkin See-ong yang justeru beruntung dapat memiliki murid seperti itu! Dan ketika Swat Lian melotot dan marah memandang kakek itu, yang hanya sebesar jari telunjuk saja maka bayangan Soat Eng berkelebat dan gadis itu juga sudah mendengar semua pembicaraan.

"Ayah, luluskan saja permintaannya. Kakek iblis itu sudah tak dapat berbuat apa-apa!"

"Ha-ha, benar!" See-ong melengking. "Aku tak dapat berbuat apa-apa, Kim-mou-eng. Tapi muridku tidak. Dia dapat berbuat apa-aap di sini atau dimana saja!"

"Hm," Pendekar Rambut Emas tak menghiraukan. "Bagaimana pendapatmu, isteriku? Apa yang harus kulakukan?"

"Terserah kau," sang nyonya tiba-tiba bersikap dingin. "Kau yang menangkap dan mengalahkan lawanmu, suamiku. Aku tak mau campur tangan tapi harap berhati-hati kalau pemuda ini melepaskan gurunya!"

"Hm, benar," Pendekar Rambut Emas tiba-tiba bersikap keras. "Kalau kau mau berbakti dan menjaga gurumu di sini berjanjilah bahwa kau tak akan melepasnya, Siang Le. Aku mau menyerahkan gurumu tapi tak begitu saja seperti permintaanmu!"

"Aku tak akan melepaskan guruku," Siang Le berjanji, tiba-tiba girang luar biasa. "Apa yang kau minta tentu kuturuti taihiap, asal bisa kulakukan!"

"Tentu kau bisa melaksanakannya. Baiklah, begini..." dan Pendekar Rambut Emas yang memandang sekeliling tiba-tiba melihat puncak Istana Hantu, melihat sebuah celah kecil yang mirip gunung-gunungan. "Aku tak jadi melemparkan gurumu ke angkasa, Siang Le. Aku akan menjepitnya di antara dua celah di puncak Istana Hantu itu. Kau boleh menjaga gurumu dan menemaninya di sini tapi berjanjilah bahwa kau tak boleh melepaskannya dari kerangkeng, dan kau juga tak boleh meninggalkan Sam-liong-to, kecuali atas perkenanku! Sanggup?"

Pemuda itu tiba-tiba mengangguk girang, berseri dan membenturkan dahinya tiga kali. "Sanggup, taihiap. Aku berjanji!"

"Dan kau akan menerima hukuman berat kalau melanggar ini, dibunuh! Sanggup?"

"Aku sanggup, aku berjanji!" dan Siang Le yang bersumpah atas nama nenek moyangnya lalu berulang-ulang menyatakan janji atau kesanggupannya itu, juga hukuman yang akan diterima kalau dia melanggar. Dibunuhpun dia mau, kalau dia sampai melepaskan gurunya. Dan ketika semua mendengar dan Swat Lian maupun Soat Eng menjadi saksi maka Pendekar Rambut Emas tiba-tiba menggerakkan tangannya dan meluncurlah kerangkeng itu menancap tepat di tengah-tengah celah atau gunung-gunungan di puncak Istana Hantu.

"Cep!" See-ong berteriak memaki-maki. "Janji dan sumpahmu sudah didengar semua orang, Siang Le. Kalau kau melanggar harap terima hukumannya dan jangan menyesal!"

Siang Le mengangguk. Untuk kesekian kalinya lagi dia membenturkan dahi di atas lantai, bersumpah. Dia menyatakan bahwa kerangkeng itu tak akan dibukanya. Bahwa dia akan membiarkan gurunya di situ dan akan menjaga serta menemani, seumur hidup. Dan ketika gurunya berkaok-kaok di sana tapi Siang Le tak menghiraukan maka Pendekar Rambut Emas bersinar-sinar dan kagum memandang pemuda itu. Sesungguhnya dia percaya dan tak memiliki keraguan sedikitpun. Ia kagum akan bakti dan kesetiaan pemuda ini kepada See-ong, hal yang membuat perasaannya tergetar, tersentuh.

Tapi ketika Soat Eng terisak dan membuat semua menoleh, terkejut, maka buru-buru gadis itu berkelebat pergi menyatakan bahwa dia khawatir akan kakaknya, Thai Liong. "Liong-ko terluka, aku belum menemukannya," begitu gadis itu lenyap meninggalkan ayah ibunya.

Pendekar Rambut Emas tertegun, menoleh pada isterinya tapi tiba-tiba isterinya itupun meloncat pergi, berkelebat keluar. "Benar," sang isteri pun berseru menahan tangis. "Thai Liong terluka, suamiku. Aku tadi memukulnya. Aku ingin mencarinya."

Pendekar Rambut Emas terkejut. Sekarang dia merasa urusan sudah selesai dan robohnya See-ong sudah tak merupakan ganjalan lagi. Tapi mendengar puteranya terluka dan itu disebabkan isterinya yang memukul maka Kim-mou-eng berubah dan tiba-tiba mau bergerak ke depan, mengejar. Tapi ketika telinganya menangkap erangan lemah dan Ituchi, pemuda yang patah-patah tulangnya siuman dan membuka mata maka sesosok bayangan terhuyung perlahan dan Thai Liong, puteranya, muncul.

"Thai Liong....!" Pendekar Rambut Emas tertegun. "Kau terluka?"

"Tidak," Thai Liong, pemuda itu, tersenyum menggeleng perlahan. "Yang terluka adalah pemuda ini, ayah. Aku akan menolongnya dan jangan kau khawatir tentang aku."

Thai Liong sudah membungkuk, menolong Ituchi dan sebentar kemudian pemuda itu sudah memapah temannya. Ituchi merintih dan Thai Liong mengeluarkan obat menyambung tulang-tulang temannya yang patah, menjejalkan beberapa butir obat lagi ke mulut pemuda dan tertegunlah Pendekar Rambut Emas melihat gerakan yang gemetar dan kaki yang terhuyung dari puteranya. Dan ketika dia berkelebat dan mencengkeram pundak puteranya maka pendekar itu terkejut melihat puteranya terluka agak hebat.

"Kau terpukul pukulan berat. Rupanya ibumu bersungguh-sungguh!"

"Tidak," Thai Liong menutupi keadaan. "Aku tak apa-apa, yah. Aku memang terpukul tapi itu hanya kesalahpahaman kecil saja. Sudahlah, biarkan aku menolong Ituchi dan jangan kau ganggu aku," dan Thai Liong yang mengangkat serta menotok beberapa jalan darah di tubuh Ituchi lalu bangkit berdiri dan tampak menguatkan diri untuk memperlihatkan kekuatannya yang biasa.

"Lihat, aku tak apa-apa,‖ katanya. ―Kau tak perlu khawatir tentang aku, yah. Aku akan membawa Ituchi ke tempat yang enak."

"Kau mau kemana?" sang ayah berubah, jelas melihat puteranya menguat-nguatkan diri. "Kau tak dapat membawa Ituchi jauh-jauh, Liong-ji. Kau harus tetap di sini dan biar aku menolongmu! Ceritakan apa yang terjadi kenapa ibumu memukul!"

"Ibu salah mengira lawan," Thai Liong tersenyum, pahit. "Tadi aku membela Ji-moi dan Toa-ci, ayah. Tapi ibu marah-marah. Maka ketika dia hendak membunuh nenek itu dan aku lancang menangkis maka pukulannya mendarat dan aku sedikit terguncang."

"Tapi mukamu pucat. Kau tampaknya muntah darah!"

"Ah, sudah kuberi obat, yah. Sudahlah, aku akan menolong Ituchi dan jangan kau marah kepada ibu," dan Thai Liong yang memondong serta berjalan pergi akhirnya terhuyung dan tersaruk melangkah, keluar dari Istana Hantu dan menuju pantai. Dan ketika Pendekar Rambut Emas bengong dan masih membelalakkan mata maka puteranya itu sudah meletakkan Ituchi ke dalam sebuah perahu yang entah milik siapa.

"Aku ingin mengantar Ituchi kepada ibunya. Sekali lagi harap ayah tidak memarahi ibu karena semua itu adalah kesalahanku."

"Tunggu!" Pendekar Rambut Emas berseru, serak. "Kau bersungguh-sungguh, Thai Liong? Kau tak berdusta kepada ayahmu?" "Ah," pemuda ini tertawa, memaksa diri. "Aku tak pernah bohong padamu, ayah. Akulah yang salah dan jangan kau memarahi ibu. Sudahlah, aku akan membawa Ituchi dan nanti aku pulang ke rumah."

Pendekar Rambut Emas membelalakkan mata. Dia bingung dan ragu akan semua itu. Perasaannya mengisyaratkan bahwa ada sesuatu yang hebat yang telah terjadi antara puteranya ini dengan isterinya. Betapapun dia mengenal dan dapat menangkap gerak-gerik puteranya, terutama senyum pahit yang berkali-kali terlihat dipaksakan itu. Ah, dia paham betul! Tapi karena Ituchi memerlukan pertolongan dan Thai Liong cukup mampu untuk melakukan itu, meskipun terluka, maka Pendekar Rambut Emas mendelong ketika puteranya itu melambaikan tangan mendorong perahu.

"Ayah, sampai ketemu lagi. Akan kusampaikan salammu kepada bibi Cao Cun!"

Sang pendekar terkejut. Dia mengangguk begitu saja tanpa sadar, perahu bergerak dan lenyaplah Thai Liong meninggalkan Sam-liong-to. Dengan kekuatannya yang masih ada puteranya itu mendorong dan mengayuh perahu, sepertinya cepat-cepat ingin pergi dan tak kerasan di Sam-liong-to. Aneh, padahal orang tuanya ada di situ! Tapi ketika pendekar ini bengong dan mengamati dengan mata tak berkedip maka tiba-tiba berkelebat dua bayangan dari kiri kanan.

"Liong-ji...!"

"Liong-ko...!"

Isteri dan anaknya muncul. Swat Lian dan Soat Eng berteriak hampir berbareng memanggil pemuda itu, dua-duanya sama menangis. Dan ketika pendekar ini mengerutkan kening karena Thai Liong sudah jauh meninggalkan pulau maka Swat Lian melengking panjang dan tiba-tiba menggerakkan tubuhnya berjungkir balik meluncur di atas permukaan air.

"Heii...!" Pendekar Rambut Emas terkejut. "Mau kemana kau, niocu. Kembali...!"

Namun Swat Lian yang melengking dan memanggil-manggil di sana ternyata tak mau sudah dan terus bergerak mengembangkan kedua lengannya di kiri kanan. Nyonya ini seakan kalap dan Pendekar Rambut Emas tentu saja khawatir. Dia baru saja melihat puteranya dipukul, oleh isterinya ini. Maka menduga jelek dan mengira sang isteri akan marah-marah lagi tiba-tiba pendekar itu berkelebat dan isteri yang sudah bergerak-gerak jauh di sana tiba-tiba disambar dan dibawa kembali.

"Jangan gila. Thai Liong sedang membawa Ituchi dan mengobati pemuda itu!"

"Ah, lepaskan!" sang isteri meronta. "Aku bersalah, suamiku. Aku telah menyakiti anakku itu. Thai Liong terluka, aku ingin minta maaf!"

"Tapi dia sudah tidak apa-apa," Pendekar Rambut Emas mengira luka fisik, tak tahu bahwa yang dimaksud adalah luka hati. "Putera kita itu sengaja menjauhi dirimu, niocu. Aku tahu dan biarlah sementara ini dia mendapat pelajarannya."

"Tidak.... tidak!" sang isteri malah meronta dan menendang-nendang. "Yang luka bukan sekedar tubuhnya, suamiku. Melainkan hatinya. Ah, aku telah memakinya sebagai anak tiri dan aku ingin meminta maaf!"

"Apa?" Kim-mou-eng tersentak. "Kau... kau... apa yang terjadi?"

"Aku memaki-maki dan marah-marah kepadanya, suamiku. Aku mengutuk Thai Liong sebagai anak tiri yang tak disukai ibunya. Aku, ah... aku ibu yang tidak pantas menjadi isterimu!" dan Swat Lian yang memberosot serta lepas dari suaminya tiba-tiba berkelebat dan berjungkir balik meluncur lagi di permukaan air. Lalu begitu dia berteriak dan memanggil-manggil Thai Liong, yang sudah tidak kelihatan maka nyonya ini sudah menggerak-gerakkan kedua tangannya mendayung dan terbang di atas air yang berkeriput perlahan, tanpa ombak!

Namun ketika nyonya itu meluncur dan mengerahkan ginkangnya di laut bebas tiba-tiba terdengar teriakan dan pekik dua orang yang gelisah. "Hujin, tawanan lolos...!"

"Ibu, Togur melarikan diri...!"

Swat Lian terkejut. Antara kaget dan marah tiba-tiba dia berhenti. Sang suami yang ada di daratan juga terkejut mendengar itu. Beng An dan Ji Pin, yang tadi ditinggal Soat Eng tiba-tiba muncul. Mereka itulah yang berteriak dan memberitahukan lolosnya tawanan. Dan ketika Beng An disambar ayahnya dan Swat Lian berjungkir balik kembali, meluncur dan meloncat di daratan maka nyonya itu menggigil menyambar Ji Pin, yang menjerit dicengkeram si nyonya....