Istana Hantu Jilid 31

Cerita Silat Mandarin Serial Pendekar Rambut Emas Episode Istana Hantu Jilid 31 Karya Batara
Sonny Ogawa

ISTANA HANTU
JILID 31
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

“KITA cari Beng An atau Eng-ji. Hati-hati, siapa tahu See-ong ada di sini!"

Sang isteri mengangguk. Memang mereka mengkhawatirkan anak-anak mereka itu, akhirnya mendapat laporan Cen-goanswe bahwa Beng An maupun Soat Eng pergi mendahului pasukan. Cen-goanswe tentu saja tak dapat mengikuti mereka dan mula-mula Pendekar Rambut Emas terkejut, begitu pula isterinya. Tapi ketika mereka tiba disitu dan Cen-goanswe bersama pasukannya sudah maju menyerang, mengepung musuh dari segala penjuru maka Pendekar Rambut Emas berkelebat ke kiri sementara isterinya ke kanan, bertemu dengan si setan cebol Hek-bong Siauw-jin.

"Hm, kau di sini, Siauw-jin? Mana muridmu?"

Siauw-jin, yang baru saja berpisah dengan Cam-kong tiba-tiba saja tersentak. Dia mendengar suara yang amat dikenal itu dan cepat menoleh ke belakang, suara itu serasa meniup kuduknya! Tapi ketika dia menoleh dan melepas pukulan, kaget, ternyata tak ada siapa-siapa dan suara itu kembali terdengar, lagi-lagi di belakangnya.

"Eh, kau menghantam siapa? Aku di sini, Siauw-jin, bertanya baik-baik padamu dimana muridmu itu, atau See-ong... wut!"

Dan Siauw-jin yang memotong ucapan itu dengan bentakan dan pukulan dahsyat akhirnya melihat Pendekar Rambut Emas ketika membalik, melihat pendekar itu tersenyum tapi setan cebol ini tentu saja pucat. Kalau sudah begitu tak ada lagi jalan menghindar dan satu-satunya jalan ialah menghantam musuh, mendahului. Tapi ketika Pendekar Rambut Emas tertawa dan menerima pukulan itu, dengan bahunya, maka Siauw-jin terpelanting dan roboh terguling-guling.

"Dess!" Justeru kakek ini yang tunggang-langgang. Siauw-jin meloncat bangun dan berteriak mencabut sabitnya, menerjang dan menyerang lagi namun apa boleh buat ia harus mengakui kesaktian Pendekar Rambut Emas ini. Kemana pun dia membacok kesitu pula sabitnya terpental, terakhir, malah patah! Dan ketika kakek ini pucat dan Kim-mou-eng mulai bertanya dimana putera-puterinya maka kakek itu memaki-maki dan mengutuk.

"Haram jadah, bangsat keparat! Aku tak tahu dimana anak-anakmu, Kim-mou-eng. Cari saja sendiri dan tanya kepada orang lain!"

"Hm, kau tak mau memberi tahu? Tetap saja membandel?"

"Jahanam kau, terkutuk! Aku benar-benar tak tahu dan mungkin saja anak-anakmu itu mampus.... dess!" si setan cebol mencelat, roboh terguling-guling ketika Pendekar Rambut Emas mengebutkan lengan bajunya. Si kakek terguling-guling dan berteriak ketakutan, betapapun dia tahu bahwa lawan memang bukan tandingannya. Dan ketika bayangan kuning emas berkelebat ke arahnya dan Siauw-jin mengenal bahaya tiba-tiba kakek ini meraup tanah dan sambil bergulingan meloncat bangun ia menghamburkan pasir atau tanah itu ke muka Pendekar Rambut Emas.

"Pyurr!" Pendekar Rambut Emas menghembuskan napasnya. Dengan satu tiupan kuat ia menolak balik serangan itu, membuat Siauw-jin terpekik karena tiba-tiba sebagian tanah malah menyambar mukanya sendiri, kelilipan dan berkaok-kaoklah iblis cebol ini mengucek matanya. Tapi ketika kakek ini merunduk dan menyelinap di antara ratusan perajurit yang sedang berperang maka tubuhnya yang pendek dan kecil itu sudah memasuki selangkangan orang-orang itu dan kabur.

"Heii....!"

"Kurang ajar...!"

Siauw-jin menusuk selangkangan orang-orang itu. Baik pasukan lawan maupun pasukannya sendiri sama-sama dijahili kakek ini. Anggota rahasia lawan dicengkeram atau ditepuknya perlahan, setelah ditusuk atau disentil. Dan ketika kakek itu terkekeh dan berlarian di bawah, di antara ratusan orang ini maka Pendekar Rambut Emas agak kewalahan mengejar. Lawan bertubuh kecil dan pendek, gesit. Kalau berlarian di bawah selangkangan perajurit yang sedang berlaga tentu saja dia kesulitan.

Tapi karena Pendekar Rambut Emas adalah pendekar yang memiliki kepandaian tinggi dan teriakan atau jeritan orang-orang yang dijahili kakek itu merupakan petunjuk atau pertanda baginya dimana kakek itu maka Pendekar Rambut Emas membayangi dan akhirnya tiba di bagian dalam pasukan musuh. Dan di situ dilihatnya Siauw-jin meloncat keluar menghampiri sebuah kereta.

"Togur, tolong...!"

Kim-mou-eng tersenyum geli. Akhirnya Siauw-jin meloncat ke dalam kereta ini, membedal kudanya. Dan ketika kereta bergerak dan kuda melonjak kaget, iblis itu kabur memanggil-manggil muridnya.

"Hm," Pendekar Rambut Emas mau mengejar. "Kau tak boleh lari begitu saja, Siauw-jin. Sebutkan dulu dimana puteraku atau kau kutangkap!" namun, ketika pendekar ini hendak berkelebat dan menangkap lawan, yang gugup melarikan diri ternyata di sebelah kanannya terdengar bentakan dan benturan suara dahsyat. Pendekar Rambut Emas menoleh dan terlihatlah olehnya pertandingan dua orang yang saling berkelebatan dengan amat cepatnya. Itulah Soat Eng dan Togur, kebetulan! Dan ketika pendekar ini menahan pengejarannya dan berkelebat ke arah pertandingan itu maka Soat Eng girang melihat ayahnya.

"Ayah, cari Beng An. Tadi ia dibekuk Cam-kong!"

"Hm!" pendekar itu mengerutkan kening. "Berapa lama kau di sini? Kapan adikmu dibawa?"

"Baru saja, ayah. Cam-kong membawanya dan cepat kejar dia. Aku akan membekuk dan merobohkan lawanku ini!"

"Tidak," Pendekar Rambut Emas tiba-tiba menggeleng. "Kau saja yang mencari adikmu itu, Eng-ji. Serahkan lawanmu ini kepadaku dan pergilah!"

"Tapi..."

"Tak ada tapi, kau pergilah dan serahkan dia kepadaku.... dess!" dan Pendekar Rambut Emas yang menangkis serta menerima pukulan Togur tiba-tiba sudah mendorong puterinya.

Togur mencelat terguling-guling, kaget dan pucat karena posisinya menjadi buruk. Dia sudah bertanding amat seru dengan lawannya tadi dan berkali-kali harus mengakui bahwa Soat Eng amat hebat. Dia mengganti-ganti jenis pukulannya dengan ilmu-ilmu yang diwarisi dari enam gurunya Iblis Dunia, selalu tertolak dan kalau tidak cepat mempergunakan Khi-bal-sin-kang tentu dia roboh tunggang-langgang. Hanya berkat ilmu yang dicurinya dari Cermin Naga itulah dia dapat mengimbangi Soat Eng.

Kecerdikan dan kecurangannya mulai bekerja, yakni ketika dia mulai melepas jarum-jarum rahasia dan Soat Eng dibuat sibuk, mengelak dan merontokkan senjata-senjata itu tapi lawan segera menyerangnya di saat mengelak, licik. Dan ketika Soat Eng memaki-maki sementara pertempuran mulai berkobar, antara pasukan penyerbu dengan istana maka Togur diam-diam mengumpat karena dia tak dapat membantu pasukannya. Dan itu menjadi semakin buruk setelah Pendekar Rambut Emas datang.

Tadi Togur mendengar teriakan gurunya yang memanggil-manggil, melihat pula gurunya itu akhirnya kabur membawa kereta, hal yang membuat dia mengerutkan kening, terkejut. Dan ketika dia menghantam Soat Eng namun ditangkis Pendekar Rambut Emas, yang maju dan menggantikan puterinya maka pemuda ini terguling-guling dan pucat memaki lawannya itu, orang yang sebenarnya adalah paman gurunya.

"Kim-mou-eng, kau licik dan curang. Tak tahu malu, keroyoklah kalau ingin menangkap aku!"

"Hm, tak perlu mengeroyok," Pendekar Rambut Emas menarik napas dalam. "Aku sendiri cukup menangkapmu, Togur. Menyerahlah, dan hentikan pasukan untuk takluk."

"Takluk? Kepadamu? Ah, jahanam keparat. Biar kau bunuh aku dan aku tak akan menyerah!" dan Togur yang bergulingan meloncat bangun lalu menyerang pendekar itu dan Soat Eng marah, membentak dan berteriak pada ayahnya agar pemuda kurang ajar itu diserahkan saja kepadanya. Sang ayah tak usah ikut campur namun Pendekar Rambut Emas mengibas, menyuruh dan membentak puterinya untuk mencari Beng An. Dan ketika Soat Eng memaki-maki namun terpaksa pergi, meninggalkan ayahnya maka Togur agak lega karena dia hanya menghadapi seorang lawan saja.

Namun selanjutnya pemuda ini mengeluh. Kim-mou-eng, pendekar yang gagah itu bahkan melebihi Soat Eng. Togur berkelebat melepas Khi-bal-sin-kang namun ditangkis dan dipentalkan. Sang pendekar menggabung Khi-bal-sin-kang dan Lui-ciang-hoatnya untuk menolak pukulan Khi-bal-sin-kang yang dilancarkan Togur. Dengan dua gaya serangan yang berbeda ini Pendekar Rambut Emas menolak tapi sekaligus menyedot lawan.

Togur terhuyung ketika dua kali pukulannya tertahan di udara, tersedot dan dia nyaris terjelungup. Namun karena pemuda ini cepat berseru keras dan melepas jarum-jarum rahasianya, yang segera dielak pendekar itu maka pemuda ini dapat menyelamatkan diri dan kembali menyerang. Namun, seperti yang sudah-sudah, dia tetaplah bukan tandingan sang pendekar.

Kim-mou-eng memiliki kelebihan Lui-ciang-hoat yang tak dipunyai Togur, juga ilmu meringankan tubuh Cui-sian Gin-kang yang ditakuti itu. Dan ketika Togur berkelebatan dengan Jing-sian-engnya sementara Pendekar Rambut Emas tiba-tiba berseru keras menggabung Jing-sian-eng dengan Cui-sian Gin-kang maka Togur kalah cepat karena lawan bergerak dua kali lebih cepat dibanding dirinya, yang hanya memiliki sebuah ilmu meringankan tubuh saja.

"Des-dess!" Togur mulai menerima balasan. Pendekar Rambut Emas berseru agar pemuda itu menyerah, menampar dan memukul lagi dan pemuda ini terbanting. Namun karena Togur adalah pemuda yang kuat dan daya tahan pemuda ini memang luar biasa maka meskipun dia terbanting dan bergulingan dipukul lawan tetap saja dia dapat berdiri dan meloncat bangun.

"Hm, kau keras kepala!" sang pendekar mulai marah. "Kau tak mungkin bertahan dan menerima pukulan terus-menerus, Togur. Mengingat mendiang ayahmu menyerahlah baik-baik dan hentikan pasukanmu untuk mati secara konyol!"

"Aku tak akan menyerah!" pemuda itu membentak. "Kau boleh bunuh aku atau pergi dari sini, Pendekar Rambut Emas. Sungguh tak kukira kalau kini kau menjadi antek kaisar, penjilat!"

"Hm, aku bukan penjilat. Aku membantu karena tak butuh kedudukan atau harta. Jaga mulutmu, Togur. Atau terpaksa aku menamparnya pecah!"

"Kau lakukanlah kalau mampu. Kau cerewet!" namun ketika bayangan kuning emas berkelebat dan Togur terkejut karena lawan benar saja menampar mulutnya, marah, tiba-tiba pemuda ini mengelak namun sayang kalah cepat, maklumlah, dia tak memiliki Cui-sian Gin-kang yang dimiliki lawan.

"Plak!" Togur pecah mulutnya. Pemuda ini terbanting dan mengaduh kesakitan. Sekarang Pendekar Rambut Emas membuktikan ancamannya dan pemuda itu menggigit bibir. Namun ketika dia bangkit berdiri dan mencabut senjatanya, sebuah nenggala mirip mendiang Gurba dulu maka pemuda itu berteriak dan menerjang lagi. Pendekar Rambut Emas mengerutkan kening dan melihat senjata itu dia teringat kepada mendiang suhengnya.

Gurba memang ganas dan menakutkan seperti puteranya ini, tak kenal menyerah dan amat keras hati. Agaknya satu-satunya jalan hanya membunuh atau menghabisi lawannya itu. Tapi karena Pendekar Rambut Emas adalah seorang pendekar yang lemah hati dan hubungan batin di antara dia dengan mendiang suhengnya itu masih melekat kuat maka kemarahan dan maki-makian Togur dianggapnya seperti kenakalan bocah yang tak tahu diri.

"Aku tak akan menyerah. Lebih baik mampus dan bergabung dengan ayahku di akherat!"

"Hm, kau mulai menyebut-nyebut nama ayahmu. Apakah pernah kau menengok kuburannya, Togur? Pernahkah kau melihat makamnya? Kalau begitu aku akan mengampunimu. Pergi dan tarik pasukanmu tapi serahkan dulu sepasang Cermin Naga yang kau curi!"

"Ah, cerewet dan bawel seperti nenek-nenek. Kau tak usah pentang bacot lagi, Pendekar Rambut Emas. Bunuh dan robohkan aku, atau aku yang akan merobohkanmu.... dar!" dan Togur yang tiba-tiba melepas benda bulat ke arah lawan tiba-tiba membuat Pendekar Rambut Emas terkejut karena itulah granat tangan, cepat mengelak namun Togur melepas lagi dua yang baru, meledak dan tertawalah pemuda itu melihat Kim-mou-eng tiba-tiba berkelebat lenyap.

Pendekar Rambut Emas harus menghindar kalau tak ingin celaka, lawan mulai licik dan curang. Dan karena di situ banyak orang dan tujuh perajurit roboh menjerit, tewas terkena pecahan granat ini maka Kim-mou-eng berjungkir balik dan berseru agar yang ada di dekat situ mundur.

"Ha-ha-ha!" Togur tertawa bergelak. "Kiranya kau takut juga, Kim-mou-eng. Nah, kau yang pergi atau aku yang akan merobohkanmu....dar-darr!" tujuh granat kini dilepas, berhamburan ke tujuh penjuru dan Togur melihat bayangan kuning emas berkelebat dan lenyap ke kanan. Tadi dia melihat bayangan lawannya itu dan melepas granat-granatnya, tak perduli pada ratusan orang yang sedang berlaga. Baik pasukannya maupun pasukan lawan sama-sama menjerit, roboh mandi darah. Dan ketika tempat itu menjadi gelap dan Togur menyelinap menjauhkan diri, licik dan curang maka pemuda ini menyuruh pembantunya agar pasukan mundur dan kembali ke Tai-yuan.

"Mundur.... semua mundur...! Pergunakan granat-granat tangan...!"

Pasukan Cen-goanswe terkejut. Tiba-tiba terdengar ledakan susul-menyusul. Asap hitam berhamburan disusul jerit atau pekik-pekik ngeri. Pasukan Cen-goanswe terlempar atau mencelat ke kiri kanan, terkena granat yang tiba-tiba diledakkan oleh pasukan Togur itu. Kiranya mereka, terutama perwiranya, menyimpan atau menyembunyikan barang-barang berbahaya itu di kantong mereka. Inilah hal yang tak diduga pasukan Cen-goanswe dan akibatnya banyaklah pasukan istana yang tumbang dan roboh.

Mereka terpaksa mundur dan kesempatan itu dipergunakan lawan untuk melarikan diri, bersembunyi atau berlindung di balik asap-asap tebal. Dan ketika asap menipis dan mereka dapat melihat apa yang terjadi ternyata lawan sudah lenyap dan tinggal bekas-bekasnya saja yang berserakan di sana-sini, termasuk mereka yang luka-luka dan merintih-rintih.

Cen-goanswe marah-marah dan mencari Kim-mou-eng suami isteri, melihat Pendekar Rambut Emas berdiri mematung di sana dan termangu-mangu. Pendekar itu sudah kehilangan lawannya karena di balik serangan granatnya tadi Togur telah menghilang, licik melarikan diri dan saat itu berkelebatlah tiga bayangan di dekat pendekar ini. Dan ketika Cen-goanswe berseru karena itulah Kim-hujin dan anak-anaknya maka Swat Lian, sang nyonya cantik membanting-banting kaki dengan muka merah padam.

"Terkutuk, keparat jahanam. Cam-kong melarikan diri setelah bergebrak beberapa jurus! Mana Togur si bocah hina itu, suamiku? Kau tak berhasil menangkapnya?"

"Ia melarikan diri...."

"Sudah kuduga, dan kau tentu tak bersungguh-sungguh! Eh, lain kali serahkan dia kepadaku, suamiku. Atau ini akan terulang terus dan bocah itu tak dapat dibekuk!"

"Hm," Kim-mou-eng terkejut, melihat isterinya marah-marah. "Kau jangan salah paham, niocu. Aku tidak setengah-setengah. Togur melarikan diri setelah melempar tujuh granat kepadaku. Dan karena di sekitarku banyak perajurit maka aku terpaksa menghindar agar pemuda itu tidak membabi-buta melepas granat."

"Tapi kau seharusnya dapat mendahululi. Kau tentu memang berlama-lama! Lihat, apa akibatnya ini dan banyak di antara kita menjadi korban!"

"Sudahlah," Soat Eng, yang ada di sebelah ibunya tiba-tiba berkata. "Di sini ada Cen-goanswe, ibu. Tak baik marah-marah kepada ayah di depan orang lain. Mungkin ayah memang harus menyelamatkan para perajurit itu ketika Togur melempar granat. Pemuda itu memang licik, nanti kita cari kembali dan sekarang rundingkan apa yang hendak dilakkukan!"

"Hm," Pendekar Rambut Emas menarik napas dalam, mukanya merah. "Kau benar, Eng-ji. Tapi biarkan ibumu marah-marah karena dia perlu menumpahkan semua kekecewaannya. Aku tahu perasaannya, dan jangan dibendung."

Sang nyonya terisak. Akhirnya Swat Lian sadar bahwa tak baik marah-marah kepada suami sendiri sementara disitu ada Cen-goanswe. Jenderal itu terbelalak saja dan mendengarkan, rupanya bingung karena isteri marah-marah kepada suaminya, tak berani mencampuri. Tapi ketika nyonya itu memeluk suaminya dan minta maaf, lembut dan halus akhirnya jenderal ini tertawa dan lega.

"Ah, mendebarkan sekali. Aku takut kalau Kim-hujin menyerang Kim-taihiap. Ha-ha, apa yang dikata kalian semua benar, Kim-siocia. Ibu dan ayahmu sama-sama benar. Sudahlah, sekarang kutanya ayahmu apa yang seharusnya dilakukan sekarang. Bagaimana dengan musuh-musuh kita yang melarikan diri!"

Jenderal itu memandang Kim-mou-eng, tajam bersinar-sinar dan tersirat keinginan besarnya untuk mengejar. Betapapun mereka menang semangat dan musuh sudah dipukul separoh. Cam-kong dan lain-lain yang dibuat jungkir balik oleh suami isteri ini sungguh merupakan kegembiraan bagi dirinya, juga pasukannya karena dengan begitu semangat tempur mereka menjadi tinggi, menggebu-gebu.

Tapi belum pendekar itu menjawab tiba-tiba Beng An, yang duduk dan kini meloncat dari punggung harimaunya berseru, "Kita kejar mereka, yah. Kita gempur sampai tuntas!"

"Hm!" Cen-goanswe berseri-seri. "Aku juga berpikiran begitu, Kim-kongcu. Tapi semuanya terserah ayahmu. Kalau dia tidak mau tentu aku dan pasukanku tak dapat mendesak. Biarlah ayahmu yang memutuskan."

"Tapi kita datang memang untuk menyerang, dan musuh ternyata menyambut di tengah jalan. Kalau tidak diteruskan mau apalagi? Hayoh, kita gempur mereka, ayah. Kita rebut Tai-yuan dan kota-kota lain!"

"Ha-ha-ha, gagah perkasa!" Cen-goanswe tak dapat menahan kekagumannya lagi. "Kau mengagumkan dan luar biasa, kongcu. Kau pemberani dan tak kenal takut, persis kong-kongmu!"

"Hm!" Pendekar Rambut Emas terdesak, tak melihat jalan lain. "Kalau kau ingin mengejar tentu saja aku tak menghalangi, goanswe. Memang kita berniat menumpas musuh dan menghancurkan mereka. Marilah, teruskan perjalanan dan kita gempur mereka!"

"Sekarang? Bagus, aku akan memberi tahu pasukan, taihiap. Dan terima kasih atas persetujuanmu. Kita langsung ke Tai-yuan!" Cen-goanswe tertawa bergelak, girang dan gembira luar biasa karena itulah yang memang dikehendaki.

Sebenarnya dia tak mau mendahului tapi Beng An sudah mendahului ayahnya. Anak itu dengan gagah dan mengagumkan berkata untuk menggempur musuh, merebut dan menyerang Tai-yuan. Dan ketika jenderal itu mempersiapkan pasukannya tapi Kim-mou-eng tiba-tiba mengerutkan kening apakah pasukannya tidak kelelahan maka jenderal itu mengedikkan kepala.

"Kita dan mereka sama-sama lelah, taihiap. Tapi semangat pasukanku masih tinggi sementara semangat atau nyali musuh sudah anjlog. Aku tak mau semangat pasukanku tersia-sia dan mereka semua menyatakan sanggup untuk meneruskan perjalanan, mengejar sampai ke Tai-yuan!"

"Kalau begitu baiklah, tapi harap yang luka-luka ditolong dulu. Selebihnya kami akan berangkat duluan dan kalian menyusul!"

"Taihiap mau menyerang sendirian?"

"Bukan begitu, tapi aku dan anak isterku akan melihat keadaan. Kami akan membuka jalan bagi pasukanmu."

"Ah, terima kasih, taihiap. Kalau begitu terima kasih!" dan ketika jenderal itu menjura dan berulang-ulang mengucapkan terima kasih, gembira dan senang maka Pendekar Rambut Emas menyambar anak isterinya untuk berkelebat mendahului, lenyap dan untuk kesekian kalinya lagi jenderal itu terkagum-kagum.

Sekejap saja pendekar itu telah lenyap seperti iblis, padahal baru saja di depannya, baru saja bercakap-cakap. Tapi begitu jenderal ini sadar dan membalikkan tubuhnya, memberi perintah pada pasukannya untuk bercepat-cepat maka tak lama kemudian pasukan kerajaan itu sudah bergerak ke Tai-yuan. Mereka bersorak-sorak dan kemenangan yang diperoleh itu sudah membangkitkan semangat. Hadir dan adanya Pendekar Rambut Emas sungguh merupakan bantuan yang amat besar, tenaganya begitu penting dan semua telah melihat betapa pendekar itu bersama anak isterinya telah menghalau musuh. Mereka terbirit-birit tapi kini dikejar.

Dan ketika pasukan itu bergerak dan meneruskan perjalanannya, mengejar dan menggempur musuh maka tak lama kemudian Tai-yuan sudah diserang. Pekik dan sorak gempita mengiringi semuanya itu. Pasukan Cen-goanswe, yang turun dan mengepung kota melihat pintu gerbang sebelah timur terbuka. Di sana berkelebatan bayangan Soat Eng dan adiknya, Beng An, yang duduk dan melompat-lompat di atas punggung harimaunya. Rupanya enci adik itu sudah berhasil mengacau di sini dan membuka pintu gerbang, meroboh-robohkan musuh dan tampaklah keduanya yang begitu gagah menyerang dan menjungkirbalikkan musuh.

Cen-goanswe tak melihat bayangan Pendekar Rambut Emas maupun isterinya namun pintu gerbang yang terbuka itu sudah cukup baginya. Dua buah gunung yang mengapit Tai-yuan sudah menjadi pangkal serbuan pasukannya. Mereka sudah mengepung dan menjaga empat penjuru kota dengan rapat, separoh pasukan naik ke atas gunung dan bersembunyi di sana, mengintai. Maka ketika pintu gerbang kelihatan terbuka dan panah api sudah dilepaskan maka bergeraklah pasukan jenderal itu menyerbu musuh.

"Serang, bunuh mereka!"

Bentakan itu tak perlu diulang. Cen-goanswe sendiri sudah mengeprak kudanya dan meluncur di depan, menerjang dan mempergunakan goloknya yang besar untuk membantai lawan. Siapa yang dekat pasti dibabat dan berteriaklah lawan setiap golok itu bergerak. Jenderal ini diapit enam pembantunya dan masing-masing pembantu itu juga mengayun senjata ke kiri kanan. Musuh menjadi kalut ketika serangan itu tak dapat dibendung, dilabrak dan didesak terus dimana tubuh-tubuh mulai roboh bergelimpangan. Dan ketika jenderal itu mulai mengamuk dan tak kelihatan tokoh-tokoh pimpinan di mana biasanya mereka memimpin maka dengan mudah dan gampang jenderal ini bersama pasukannya membantai musuh.

Cen-goanswe akhirnya mendekati Soat Eng dan bertanyalah jenderal itu dimana Pendekar Rambut Emas dan isterinya, dijawab dengan tudingan dan menengoklah jenderal itu ke kanan, jauh dari pertempuran, di puncak sebuah gedung tinggi dimana sebuah bayangan tinggi besar kelihatan bertarung dengan sebuah bayangan kuning emas yang berkelebatan dengan amat cepatnya. Dan ketika jenderal itu tertegun sementara Soat Eng menuding lagi ke arah lain maka Cen-goanswe bengong karena di gedung yang lain, gedung bertingkat dan paling tinggi di situ ternyata terdengar lengkingan berkali-kali disusul berkelebatnya empat bayangan yang luar biasa cepat.

"Itu ibu dan ayah. Aku disuruh di sini membantumu!"

"Ah," jenderal ini terkejut. "Bayangan hitam itu apakah See-ong, Kim-siocia? Dan ibumu, apakah menghadapi Togur dan dua gurunya?"

"Ya, benar. Ayah akhirnya bertanding melawan See-ong, goanswe. Dan ibu mendapatkan Togur. Aku pribadi ingin membantu tapi ayah dan ibu menyuruhku membuka pintu gerbang!"

"Dan aku membantu enci!" sebuah suara lain menyahut, nyaring dan keras. "Aku merobohkan sebelas lawanku, goanswe. Dan ini lagi seorang... bluk!"

Cen-goanswe terkejut, seseorang jatuh di dekatnya tapi orang itu tidak bergerak-gerak lagi. Dia terbanting dan rupanya sial lehernya tertekuk, patah dan tentu saja tak dapat bangun. Cen-goanswe menoleh dan itulah Beng An, si bocah yang berkelebatan kian kemari di atas punggung harimaunya. Anak itu tertawa-tawa dan jenderal ini kagum. Sebentar Beng An meninggalkan harimaunya namun sebentar kemudian ia sudah hinggap lagi, kalau merobohkan atau melempar-lempar musuh yang ditampar dengan Tiat-lui-kangnya. Dan ketika anak itu terus bergerak di samping encinya dimana Soat Eng juga berkelebatan meroboh-robohkan musuh akhirnya lawan menjadi gentar dan mereka mundur!

Cen-goanswe membelalakkan mata dan takjublah jenderal ini akan tamparan-tamparan atau pukulan dua enci adik itu, terutama Soat Eng. Gadis ini setiap bergerak tentu melempar sepuluh orang atau lebih, tanpa menyentuh. Pukulan tangannya itu mengeluarkan dorongan angin kuat dan hanya terpukul oleh angin pukulan itulah semua lawan tunggang-langgang! Cen-goanswe melebarkan matanya dan bersoraklah pasukannya seperti gadis itu menjungkirbalikkan lawan. Tapi ketika jenderal ini kagum dan memandang enci adik itu mendadak terdengar dentuman menggelegar di mana tiba-tiba semua orang terpelanting roboh.

"Blarr!"

Cen-goanswe jatuh dari kudanya. Entah apa yang terjadi semua orang tak tahu tapi tiba-tiba dua bayangan kuning emas dan hitam yang bertanding di atas gedung itu sama-sama terlempar. Mereka mengadu pukulan dan benturan pukulan itulah yang menggelegar bagai gunung mau pecah. See-ong, si bayangan hitam, mengeluarkan suara yang dahsyat bagai beruang terluka. Kakek itu mencelat dan terguling-guling karena atas gedung hancur.

Lawannya, Kim-mou-eng, juga terlempar dan jatuh dari tempat yang tinggi. Baik pendekar ini maupun lawannya sama-sama berjungkir balik, turun ke tanah. Tapi ketika See-ong tak dapat mengatur keseimbangan tubuhnya karena dari benturan tadi ia telah dilempar sepuluh tombak, jauh lebih keras dan jauh daripada lawannnya maka kakek itu masih saja terhuyung dan akhirnya roboh terjerembab.

"Keparat!" kakek itu meraung. "Kau hebat dan lihai, Pendekar Rambut Emas. Namun aku masih belum kalah. Lihat, aku memiliki Hek-kwi-sut!" dan si kakek yang meledakkan kedua tangannya dengan keras tiba-tiba hilang dan lenyap seperti iblis. Segumpal asap tebal mendahului semuanya itu dan Kim-mou-eng tertegun.

Tadi, dalam pertandingannya di atas gedung dia sudah mengerahkan semua kepandaiannya. Menghadapi See-ong tak boleh berayal atau berlengah-lengah. Mula-mula dia mengerahkan Jing-sian-eng dan berkelebatan dengan ilmu meringankan tubuhnya itu, menangkis atau membalas pukulan-pukulan lawan dengan Khi-bal-sin-kang. Si kakek dibuat terpental tapi See-ong menyerang kembali, hebat dan kuat daya tahan kakek itu.

Tapi ketika dia menambah tenaganya dan semakin kuat pukulan lawan membuat See-ong terpental semakin jauh akhirnya See-ong menggeram dan melepas satu tendangan miring tiba-tiba See-ong menarik tendangannya itu dan secepat kilat menggantikannya dengan pukulan kedua tangan. Untung, karena dia waspada dan Jing-sian-eng membuat tubuhnya seringan kapas maka tendangan yang berubah menjadi pukulan itu dielak namun sayang terlambat, kalah cepat dan See-ong menyusulinya lagi dengan sebuah serangan dahsyat, di saat dia terhuyung.

Dan karena kakek itu tampak begitu ganas dan dia mengerahkan Khi-bal-sin-kang untuk menolak maka Pendekar Rambut Emas menggerakkan tangan kirinya dan bertemulah dua pukulan dahsyat itu, terlempar namun See-ong juga mencelat dan gedung dimana mereka injak amblong, genteng-gentengnya pecah dan wuwungannya berderak, hancur dan robohlah gedung itu oleh pukulan dahsyat See-ong. Suaranya demikian menggelegar sehingga mirip gunung mau meletus, dentumnya begitu mengguncang dan seluruh kota serasa berderak.

Cen-goanswe sendiri yang berjarak ratusan meter sampai juga terjungkal dari atas kudanya, tanda betapa hebat suara pukulan itu. Dan ketika semua orang terkejut dan melompat bangun, pucat, yang berada paling dekat sudah mengaduh atau merintih tak dapat bangun maka See-ong mengeluarkan Hek-kwi-sutnya dan hilang membentak pendekar itu.

Cen-goanswe sendiri tiba-tiba berhenti bertempur dan melotot memandang kesana, para perwiranya juga berdecak dan berhenti, sama seperti yang lain-lain dimana para perajurit pun ikut menonton dan memandang. Tapi ketika mereka terkejut karena See-ong tiba-tiba lenyap, entah dimana, mendadak segumpal asap hitam berada di belakang Kim-mou-eng dan meluncurlah sebuah pukulan dahsyat ke kepala pendekar itu.

"Awas...!"

Tak ada yang sempat memberi tahu. Gulungan asap hitam itu tahu-tahu muncul lebih cepat daripada seruan. Pendekar Rambut Emas terpelanting dan asap hitam ini lenyap dan muncul lagi di sebelah kiri, lalu muka dan belakang dan terdengarlah tawa terbahak-bahak tanda bahwa di balik asap hitam itu ada orangnya. Itulah See-ong yang bersembunyi dibalik Hek-kwi-sutnya, tertawa-tawa, menyerang dan melepas pukulan-pukulan dimana Pendekar Rambut Emas lalu jatuh bangun dicurangi lawan. Kim-mou-eng tak dapat melihat lawannya itu karena See-ong berganti ujud dari badan kasar ke badan halus. Kakek ini sedang mempergunakan ilmunya Bersatu Dengan Iblis, Hek-kwi-sut.

Tapi ketika Pendekar Rambut Emas jatuh bangun dan Soat Eng pucat serta berteriak mau membantu ayahnya tiba-tiba kejadian berbalik dan asap hitam itu kini terpental-pental. Kim-mou-eng sadar kembali dan cepat mengerahkan Khi-bal-sin-kang. Hanya tenaga Bola Sakti itulah yang dapat digunakan untuk menolak pukulan lawan, baik berbadan halus maupun kasar. Dan ketika See-ong terpental berulang-ulang sementara lawan mulai tegak dan tidak bergeming, seperti dihantam maka kakek ini memaki-maki dan akhirnya menantang Pendekar Rambut Emas untuk membalas.

"Heh, banci! Kau balaslah aku, Pendekar Rambut Emas. Cari dan pukullah aku!"

"Hm," Pendekar Rambut Emas tak mudah terbakar, bersikap tenang. "Aku pasti menangkapmu, See-ong. Kau pasti kutangkap. Janganlah berkaok-kaok, aku sedang akan memunahkan Hek-kwi-sutmu."

"Ha-ha, memunahkan ilmuku? Jangan bermulut besar. Melihat saja kau tak tahu, Kim-mou-eng, apalagi mau menangkap aku. Heh, cabut Khi-bal-sin-kangmu itu dan aku akan menarik Hek-kwi-sut!"

"Tak usah banyak cakap. Kau bersembunyilah di balik Hek-kwi-sut dan aku sebentar lagi akan menghancurkan ilmumu."

"Ha-ha, sombong !" dan See-ong yang kembali menyerang namun terpental tiba-tiba terbelalak ketika lawan kini berdiri tegak, memejamkan mata dan menunggu dia menyerang dan bibir Kim-mou-eng tampak berkomat-kamit. Selamanya kakek ini belum pernah melihat dan kejadian itu tentu saja dianggapnya aneh, kening berkerut tapi kakek ini terus menyerang dengan sesekali mencoba menghantam ke tempat-tempat lemah, seperti ulu hati atau mata dan terakhir kemaluan. Tapi ketika Khi-bal-sin-kang melindungi lawannya dan dia tetap saja terpental tiba-tiba aneh, mengejutkan sekali, tubuh Kim-mou-eng mendadak berubah menjadi asap dan perlahan-lahan Pendekar Rambut Emas itu kehilangan badan kasarnya.

"Pek-sian-sut (Lebur Bersama Dewa)...!" See-ong, si kakek iblis terkejut bukan main.

Orang-orang yang menonton juga membelalakkan mata karena tiba-tiba tubuh Pendekar Rambut Emas menjadi asap putih. Asap itu membentuk bayangan tubuhnya tapi tak lama kemudian lenyap. Dan ketika asap itu bergerak dan menyerang asap hitam tiba-tiba terdengar ledakan dan pekik kaget See-ong.

"Huwaduh... bangsat jahanam!"

Asap hitam lenyap ujudnya. See-ong muncul kembali dan Hek-kwi-sut hancur berantakan, kini Kim-mou-eng menjadi asap putih dan dikejarlah kakek itu yang segera jatuh bangun. See-ong membentak dan mengeluarkan lagi Hek-kwi-sutnya, diterjang dan bertemu asap hitam tapi kakek itu lagi-lagi berteriak, terdorong dan terlempar untuk akhirnya kembali semula dalam badan kasar. Dan ketika empat lima kali kejadian itu berulang dan See-ong menjerit-jerit, kaget bertemu tanding Pek-sian-sut tiba-tiba kakek itu jatuh bangun dan berteriak-teriak tak tahan.

Kim-mou-eng mengejar dan memburunya dalam bentuk roh halus dan See-ong pucat. Sekarang kemanapun dia pergi kesitu pula lawan melihat. Kakek ini berkaok-kaok dan akhirnya mundur-mundur, tentu saja gentar karena Kim-mou-eng ternyata memiliki tandingan Hek-kwi-sut, ilmu yang akan mengalahkan dan menundukkan ilmu hitamnya. Pek-sian-sut atau Lebur Bersama Dewa adalah ilmu yang paling ditakuti Hek-kwi-sut. Di samping pemiliknya dapat berubah sebagai roh halus juga asap putih itu mengeluarkan cahaya bersinar yang tak tahan dipandang oleh See-ong.

Cahaya itu terlalu menyilaukan dan orang-orang yang menonton jalannya pertandingan itu juga akhirnya mengeluh. Mata mereka berair dan tiba-tiba tak kuat lagi, menunduk. Dan ketika mereka pedih dan sakit karena cahaya menyilaukan itu semakin kuat saja tiba-tiba terdengar jeritan See-ong yang meraung bagai serigala diterkam harimau.

"Aduh, ampun, Kim-mou-eng.... ampun....!"

Terdengar gumam perlahan. Asap putih meledak dan muncullah Kim-mou-eng, dalam ujudnya semula. Dan ketika semua orang dapat memandang lagi dan kakek itu ternyata sudah ditangkap, pundaknya dicengkeram maka Cen-goanswe dan lain-lain girang karena See-ong sudah dikalahkan, menyerah.

"Ha-ha, bagus, Kim-taihiap. Bunuh saja dia!"

"Benar!" Swat Lian, yang sedang dikeroyok Togur dan guru-gurunya tiba-tiba berkelebat mendorong lawan-lawannya, yang tunggang-langgang. "Bunuh dia, suamiku. Atau serahkan padaku kalau kau tak mampu membunuhnya..... cret!" sebatang pedang berkelebat dalam sinarnya yang menyilaukan, langsung menusuk dada See-ong tapi Kim-mou-eng berseru kaget.

Pendekar itu membentak perlahan dan See-ong ditarik ke belakang, dada selamat tapi pinggangnya tertusuk berdarah! Dan ketika kakek itu menjerit sementara si nyonya terbelalak, marah, maka Kim-mou-eng berkata bahwa kakek ini belum boleh dibunuh. "Aku menangkapnya atas bantuan Pek-sian-sut. Dan aku telah disumpah untuk tidak boleh membunuhnya kalau mempergunakan Pek-kian-sut!"

"Keparat!" sang isteri melonjak. "Omongan apa yang kau keluarkan ini, suamiku? Bukankah dia membunuh ayah? Serahkan, atau aku tak perduli padamu.... sing-bret!" dan See-ong yang kembali diserang dan ditusuk ganas tiba-tiba membelalakkan matanya dengan ngeri tapi Kim-mou-eng lagi-lagi menyelamatkan tubuhnya, ditarik dan disentak ke belakang dan Swat Lian, sang nyonya, gusar bukan main.

Togur dan Cam-kong serta Siauw-jin yang ditinggalkan nyonya ini tiba-tiba tertegun, terkesiap dan kaget bahwa See-ong, kakek yang amat mereka andalkan itu ternyata akhirnya dapat ditangkap Pendekar Rambut Emas pula. Teriakan See-ong bahwa Kim-mou-eng memiliki Pek-sian-sut sungguh membuat mereka bengong. Dulu Kim-mou-eng belum mempunyai ilmu itu. Jadi, jelas masih baru! Tapi begitu mereka sadar dan gentar bahwa keadaan rupanya benar-benar buruk tiba-tiba tiga orang pimpinan ini berkelebat dan kabur melarikan diri.

"Suruh pasukan mundur. Kita ke Cin-po!"

Siauw-jin dan Cam-kong mengangguk. Mereka melepas granat dan meledaklah segumpal asap tebal. Itu isyarat bagi pasukan mereka untuk mundur. Tai-yuan harus diserahkan dan apa boleh buat mereka mundur, kalau tak ingin mati konyol. Dan ketika ledakan itu disusul oleh ledakan-ledakan lain dimana perajurit liar itu sadar tiba-tiba pasukan Cen-goanswe diserang dan diterobos oleh Togur dan dua gurunya.

Saat itu Swat Lian bersitegang leher dengan suaminya. Pendekar Rambut Emas tetap menyatakan bahwa kakek ini belum boleh dibunuh. Yang boleh dilakukan adalah menangkap dan menawannya saja, selebihnya nanti. Namun ketika nyonya ini melotot dan marah bukan main tiba-tiba Swat Lian menusuk suaminya dan kakipun menendang See-ong.

"Plak-dess!" See-ong pun mencelat. Apa boleh buat Pendekar Rambut Emas harus melepaskan kakek itu kalau tak ingin terbunuh. Dia menangkis dan mementalkan pedang isterinya tapi sang isteri menyerang lagi. Nyonya ini marah bukan main kenapa suaminya malah melepas See-ong. Dan ketika Pendekar Rambut Emas berloncatan namun dikejar dan dihujani pukulan bertubi-tubi maka See-ong, yang melihat dan mendapat kesempatan baik sekonyong-konyong melarikan diri.

"Hei, kakek itu. Jaga...!"

Namun See-ong menggerakkan tangannya. Sekali kibas dan dorong saja diapun sudah merobohkan dua puluh orang di depan. Lalu, tak mau ambil resiko dan membentak perlahan tiba-tiba kakek itu mengeluarkan Hek-kwi-sutnya dan lenyap di dalam.

"Dar!" Selanjutnya orang tak tahu dimana lagi kakek itu. Swat Lian masih ganas dan marah-marah menyerang suami. Pendekar Rambut Emas berkali-kali membujuk isterinya namun tak digubris. Dan ketika apa boleh buat dia harus menghilang dan membiarkan kemarahan isterinya reda maka pendekar ini menjentik pedang isterinya dan berserulah dia mengeluarkan Pek-sian-sut.

"Niocu, aku masih harus menangkap See-ong lagi. Lihat, dia kabur. Biarlah nanti kujelaskan semuanya dan sekarang kau kejar pula Togur dan dua gurunya itu. Mereka ke Cin-po!"

Swat Lian membanting-banting kaki. Nyonya ini menangis dan tersedu-sedu melihat suaminya tiba-tiba berubah menjadi asap halus. Asap itu tak dapat diserang dan dia membelalakkan mata. Nyonya ini pun terkejut karena baru itu ia tahu bahwa suaminya memiliki ilmu aneh, ilmu seperti sihir namun jelas merupakan tandingan Hek-kwi-sut. Dan ketika yang lain-lain berteriak karena keributan terjadi dengan pecahnya asap hitam dari ledakan granat yang dilempar Togur dan pembantunya.

Maka Cen-goanswe terbelalak namun sudah menenangkan pasukannya, bertanya apakah mereka masih dapat mengejar musuh dan dijawab bahwa mereka masih kuat. Pembantu-pembantu jenderal ini juga menyatakan kegeramannya dan ingin mengejar lawan. Tai-yuan sudah jatuh dan Cin-po harus direbut, setelah itu Cin-yang. Dan ketika jenderal ini mengangguk dan menghadapi sang nyonya maka dia bertanya apakah sang nyonya juga masih tetap dapat membantu.

"Aku akan membekuk semua musuh-musuhku. Kalau pasukanmu masih kuat mari teruskan pengejaran dan aku pergi dulu!"

"Nanti dulu!" sang jenderal berseri-seri. "Apakah tidak bersama kami saja, hujin. Siapa tahu Cam-kong dan kawan-kawannya akan muncul secara licik kalau kau dan anak-anakmu dibawa serta!"

"Tidak, Soat Eng dan Beng An biar disini. Sementara aku, hmm... aku akan menyusul suamiku dan mencari mereka di Cin-po!" dan tidak memberi kesempatan jenderal itu bertanya lagi nyonya ini sudah menghadapi dua anaknya. "Kau," katanya. "Jaga adikmu dan pasukan, Eng-ji. Susul aku dan ayahmu bersama Cen-goanswe. Aku pergi dulu!" dan sang nyonya yang berkelebat tak menunggu jawaban sudah lenyap dan menghilang dengan muka merah padam.

Nyonya ini masih marah akan peristiwa tadi. See-ong sudah ditangkap tapi tak segera dibunuh. Dan suaminya memiliki Pek-sian-sut! Hm, kalau bukan kakek dewa itu siapa lagi yang memberi ilmu itu kepada suaminya? Dan suaminya diam-diam saja, tak memberitahu padanya dan memiliki sendirian. Padahal, justeru dengan ilmu itulah dia akan dapat mengalahkan See-ong, menangkap dan membunuhnya! Dan teringat kematian ayahnya di tangan kakek itu maka kemarahan sang nyonya meledak lagi dan cepat dia ke Cin-po.

Cen-goanswe geleng-geleng kepala. Ia kagum dan lagi-lagi merasa takjub akan kepandaian Kim-mou-eng suami isteri. Mereka sama-sama memiliki kesaktian luar biasa dan lawan dibuat jerih. Tertangkap dan kalahnya See-ong membangkitkan semangat semua orang. Maka ketika dia membalik dan mengajak pasukannya ke Cin-po, mengejar dan memburu lawan yang sudah patah semangat maka keberhasilan demi keberhasilan diraih jenderal ini. Cin-po akhirnya jatuh dan musuh melarikan diri, dikejar dan menuju Cin-yang. Dan ketika di sini Cin-yang juga jatuh dan dua belah pihak sama-sama kelelahan maka di kota ini musuh menyerah dan membuang senjata.

Cen-goanswe mandi keringat bersama pasukannya. Sepuluh ribu orang yang dibawanya akhirnya tak sia-sia, musuh terlanjur kena teror karena pemimpin-pemimpinnya, Togur dan See-ong, terus terdesak dan melarikan diri ketika dikejar dan berhadapan dengan Kim-mou-eng, juga isterinya. Dan ketika mereka terus jatuh bangun dan mundur serta mundur, bersimbah peluh, akhirnya Cin-yang diserahkan dan Togur tak perduli lagi pada pasukannya.

"Biarkan mereka mampus, kita lari!"

Cam-kong, dan Siauw-jin, yang luka-luka dan mendapat hajaran berat sang nyonya cantik hampir kehabisan tenaga. Tiga hari ini berturut-turut mereka melarikan diri. Tenaga benar-benar terkuras dan dua kakek iblis itu berkunang-kunang. Swat Lian mengejar mereka tanpa ampun, kalau saja tak ada murid mereka di situ, yang sering melepas granat dan menahan si nyonya tentu mereka roboh. Ngeri dua orang kakek itu melihat keberingasan si nyonya. Dan ketika di Cin-yang kedudukan mereka benar-benar terdesak dan di kota terakhir itulah mereka hancur semangatnya maka Togur mengajak mereka lari.

"Kemana?" Siauw-jin gemetar, bertanya putus asa. "Kita tak memiliki tempat persembunyian lagi, Togur. Nyonya itu seperti harimau haus darah, kita menyerah saja dan mohon ampun!"

"Apa? Menyerah? Minta ampun? Keparat, kusobek mulutmu nanti, suhu. Jangan katakan itu lagi kepadaku. Kita masih memiliki persembunyian, dan ini adalah benteng terakhir yang akan kita pertahankan sampai titik darah terakhir!"

"Kau punya tempat?" Cam-kong tiba-tiba mendesah. "Heran kalau kami tak tahu, Togur. Coba sebutkan kepada kami dimana tempat itu!"

"Sam-liong-to!" pemuda itu tiba-tiba tertawa, aneh dan dingin. "Itu adalah tempat persembunyian yang baik, suhu. Karena itu cepat kalian ikuti aku dan kita kesana!"

"Sam-liong-to?" Siauw-jin dan Cam-kong tiba-tiba terbelalak. "Ah, benar kau Togur, tapi... bluk!" kakek ini mendadak jatuh, roboh terguling, habis tenaganya. "Aku... aku tak kuat, Togur. Oh, tolonglah aku!"

Togur mengerutkan kening. Dia melihat gurunya yang cebol, Siauw-jin, kehabisan tenaga. Tapi membentak menyuruh Cam-kong mengangkat dia meminta gurunya yang tinggi kurus itu membawa.

"Aku... aku juga tak kuat. Ah, tenagaku seperti diperas, Togur. Lihatlah...!" kakek itu terhuyung, mendadak roboh dan terduduk di tanah.

Togur terbelalak. Kalau saja dia tak membutuhkan pembantu-pembantu barangkali akan dibiarkannya saja dua gurunya itu terguling. Tapi, ah... isteri Pendekar Rambut Emas itu hebat. Kalau tak ada dua gurunya ini pula barangkali dia sudah tertangkap, roboh. Maka menggaplok dan menampar gurunya dengan gemas terpaksa pemuda ini menyambar dan memondong mereka.

"Terkutuk! Kalian menambah beban padaku, ji-wi suhu (suhu berdua). Kalau tak ingat kita harus menyelamatkan diri barangkali kalian akan kubiarkan di sini. Baiklah, kalian kupondong tapi tiba di pantai klaian harus sudah pulih. Atau aku akan menceburkan kalian dan biar tenggelam di sana!"

Dua kakek itu saling pandang. Mereka meringis namun senyum yang mengembang di bibir jelas menunjukkan kegembiraan mereka. Togur sudah mengangkat dan menyambar mereka, meskipun harus menerima gaplokan atau tamparan murid yang kurang ajar ini. Dan ketika mereka batuk-batuk untuk menyembunyikan kegembiraan hati maka Togur meloncat dan sudah terbang ke Sam-liong-to, Pulau Tiga Naga!

* * * * * * * *

"Nah," pemuda itu melempar gurunya ke laut. "Kalian mencari perahu, suhu. Kita menyeberang dan jangan menunda waktu lagi!"

Siauw-jin dan Cam-kong basah kuyup. Mereka tertidur di pundak murid mereka itu saking lelah dan anglernya. Mereka merasa keenakan dan lelap, tak tahu bahwa mereka sudah tiba di pantai dan Togur yang gemas lalu melempar gurunya itu, tidak di tanah melainkan langsung ke air. Dan ketika pemuda itu duduk dan mendongkol memerintahkan guru-gurunya mencari perahu, hal yang harus segera dilaksanakan maka dua kakek itu basah kuyup namun tertawa-tawa, hati sebenarnya memaki namun tentu saja tak berani.

"Heh-heh, agaknya kita sudah sampai di tempat tujuan, Togur. Dan aku tertidur. Aih, maaf. Tenagaku sudah pulih dan jangan khawatir pasti kudapatkan sebuah perahu!"

"Dan kami akan mencari yang paling baik!" Cam-kong juga mengambil hati. "Kau tunggulah di sini, Togur. Sebentar kami kembali dan kita ke Sam-liong-to!"

Togur mendengus. Dia membentak menyuruh guru-gurunya cepat bekerja, jangan banyak omong saja. Dan ketika dua orang itu berkelebat dan tak berani bercuit, mencari perahu, maka Cam-kong tertegun ketika tiba-tiba sebuah perahu melintas tanpa penumpang.

"Hei...!" kakek itu terkejut. "Ada perahu, Siauw-jin. Tapi tak ada orangnya!"

"Dan meluncur membelah ombak!" Siauw-jin juga terkejut, melihat itu. "Apakah perahu siluman?"

Ah, mari kita tangkap!" dan Cam-kong yang bergerak berjungkir balik tiba-tiba sudah melempar dua potong papan untuk membantu kakinya, hinggap dan berjungkir balik lagi dan sebentar kemudian sudah tiba di dekat perahu yang meluncur sendirian itu. Orang yang melihat tentu merasa ngeri karena ada perahu meluncur sendirian, di tengah laut, tanpa penumpang. Meluncur dan melaju layaknya seperti ada orangnya saja.

Tapi karena Cam-kong adalah kakek lihai dan semua cerita tentang iblis atau siluman tentu bukan hal yang menakutkan hatinya maka kakek itu sudah berjungkir balik dan siap mendarat di perahu kosong yang dapat berjalan sendiri ini. Tapi Cam-kong tiba-tiba terkejut. Perahu yang siap diinjak sekonyong-konyong melejit. Gerakannya begitu luar biasa dan Cam-kong tentu saja terpekik. Dan karena dia sudah melayang turun sementara perahu sudah menghindar maka tak ayal kakek ini tercebur ke laut dan Siauw-jin yang terkejut di sana berseru tertahan.

"Byurr...!" Kakek tinggi kurus itu menyumpah-nyumpah. Cam-kong basah kuyup namun dengan kepandaiannya yang tinggi kakek ini sudah dapat menjejakkan kaki, menotol dan meluncur lurus berjungkir balik ke papan yang mengapung di permukaan air. Ada tawa aneh di perahu itu namun tak kelihatan orangnya. Dan ketika Siauw-jin mengeluarkan bentakan perlahan dan melakukan hal yang sama, berjungkir balik dan mengejar perahu tiba-tiba perahu itu meloncat dan menjauhkan diri dari sergapan si kakek cebol, yang lagi-lagi mengalami nasib sama seperti rekannya, tercebur ke laut.

"Byuurr...!" Siauw-jin pun menyumpah-nyumpah. Sekarang mereka membelalakkan mata dan sadar bahwa perahu itu berisi. Seseorang berada di sana tapi agaknya mempergunakan ilmu hitam, yang tak dapat mereka lihat. Dan ketika mereka teringat See-ong karena hanya kakek lihai itulah yang dapat melakukan hal itu maka benar saja terdengar tawa bergelak dan asap hitam meledak di tengah perahu, yang meluncur dan tiba-tiba terbang ke Sam-liong-to.

"Ha-ha, mencari perahu jangan seenaknya saja, Siauw-jin. Kalau ingin mencari carilah yang benar. Ini milikku...... prat!" dan air laut yang menciprat ke belakang dan mengenai dua orang ini segera membuat Siauw-jin dan temannya tertegun.

Benar saja See-ong di situ tapi kakek itu mempergunakan Hek-kwi-sut. Kiranya, sama seperti Togur kakek tinggi besar itu pun merencanakan untuk bersembunyi di Sam-liong-to. Wah, mereka pucat. Dan ketika bayangan kakek itu muncul sekejap dan hilang lagi meninggalkan tawanya yang menyeramkan maka dua kakek itu menjublak dan terkejut. Tapi begitu sadar dan menggerakkan kaki ke tepi, Siauw-jin meminjam papan satunya untuk meluncur ke darat maka mereka buru-buru menemui Togur yang melempar tubuh di pasir lunak.

"See-ong ada di sini pula, menuju Sam-liong-to!"

"Hm!" Togur meloncat bangun. "Apa, suhu? See-ong? Dia ada di sini?"

"Benar, dan kakek itu ke Sam-liong-to, Togur. Baru saja lewat dan aku khawatir!"

"Khawatir tentang apa? Kenapa?"

Ah, Sam-liong-to milik kakek itu, Togur. Aku khawatir dia marah dan mengusir kita!"

"Hm, tak perlu takut. Dua hari ini kita tak bertemu dia, suhu. Dan See-ong akan membiarkan kita ke sana. Dia justeru perlu bantuan, rupanya belum mampus! Tak apalah, tetap cari perahu dan kita susul!"

Siauw-jin terbelalak. Sebenarnya kakek ini mau bicara tapi Togur membentak. Mereka disuruh lagi mencari perahu dan menyusul. Dan ketika kakek itu mengangguk dan dimaki muridnya, yang marah belum mendapat perahu maka Togur diam-diam girang karena See-ong ternyata masih hidup. Sebenarnya, sejak dia jatuh bangun dan tunggang-langgang menghadapi isteri Pendekar Rambut Emas itu masing-masing pihak tak tahu lagi akan nasib yang lain. See-ong selalu berhadapan dengan Pendekar Rambut Emas karena hanya pendekar itulah yang dapat menandingi kakek ini.

See-ong selalu bersembunyi di balik Hek-kwi-sutnya dan Swat Lian tak mampu melihat. Hanya suaminyalah yang dapat melihat See-ong, karena suaminya memiliki Pek-sian-sut, tandingan Hek-kwi-sut. Dan karena nyonya itu selalu marah-marah dan yang menjadi korban kemarahannya adalah Togur dan dua gurunya ini maka nyonya itu selalu mengejar dan menyerang Togur, yang selalu menghindar dan meloncat menjauhkan diri setiap terdesak hebat, mempergunakan granat atau senjata-senjata gelap lain yang membuat lawan tertahan dan menyelamatkan diri.

Tiga hari berturut-turut ini didesak dan dicecar hingga kedua gurunya kehabisan tenaga. Togur sendiri masih kuat namun diam-diam pemuda ini gelisah. Granat tangannya akhirnya habis dan beberapa jarum atau senjata gelap lain tinggal sedikit. Semua itu harus dihemat dan dia akan bertarung mati-matian di Sam-liong-to nanti, kalau lawan tahu dan tetap mengejarnya di sana. Dan karena masing-masing menjadi sibuk oleh urusannya sendiri dan Togur tak tahu apakah See-ong masih hidup atau tidak menghadapi Pendekar Rambut Emas.

Maka pemuda itu menjadi gembira dan bangkit semangatnya ketika diberi tahu bahwa kakek iblis itu baru saja lewat. Dia memerintahkan gurunya dan menjadi tak sabar setelah mendengar cerita itu. Tapi ketika gurunya berkelebat membawa perahu dan tak lama kemudian sudah berteriak padanya agar meloncat masuk maka pemuda ini bergerak dan sudah berada di perahu gurunya itu pula, melihat keduanya menggigil, menuding.

"Kami... kami bertemu dua suami isteri itu. Dorong perahu dan bantu kami!"

Togur terkejut. "Dimana mereka? Tak ada..." namun belum pemuda ini menyelesaikan kata-katanya mendadak terdengar bentakan dan bayangan seorang wanita.

"Siauw-jin, Cam-kong, berhenti kalian!"

"Nah, itulah!" Togur sekarang melihat si nyonya. "Dia hampir menangkap kami, Togur. Perahu ini hampir dirampas. Cepat kau bantu kami dan dorong perahu ke Sam-liong-to!"

Togur terbelalak. Lawan, isteri Pendekar Rambut Emas itu, tampak berdiri dan menuding-nuding mereka. Kim-mou-eng sendiri tak kelihatan namun sebuah suara terdengar ddi belakang si nyonya. Bayangan atau asap putih muncul. Dan ketika Togur terkejut karena itulah Kim-mou-eng, yang bergerak dalam ilmu gaibnya tiba-tiba pendekar yang berbadan halus itu muncul memperlihatkan diri.

"Niocu, tak usah marah-marah. See-ong sudah lebih dulu di depan dan biar kau kejar mereka dengan ilmu meringankan tubuhmu. Aku sendiri akan menangkap See-ong dengan Pek-sian-sut ku dan tangkaplah mereka bertiga!"

Kim-mou-eng lenyap. Sama seperti munculnya tadi mendadak pendekar ini sudah menghilang kembali. Badan kasarnya berganti dengan badan halus dan Togur ngeri melihat asap putih bergerak ke tengah laut, berjalan atau mengambang dan akhirnya terbang mendekati perahu mereka! Tapi ketika asap putih itu meluncur dan terus lewat begitu saja, di atas perahu mereka maka mereka lega namun di tepian sana terdengar lengking nyaring dan isteri Pendekar Rambut Emas itu mempergunakan ginkangnya untuk berjalan di atas air, mengejar perahu mereka.

"Togur, berhenti. Atau kalian kubunuh!"

Togur pucat. Sang nyonya sudah bergerak dan tubuhnya kemudian meluncur di permukaan laut, cepat sekali, berjalan atau berlari seperti orang bergerak di atas daratan. Dan ketika si nyonya mengembangkan kedua lengannya dan bergerak-gerak seperti burung besar yang siap menyambar mereka maka Togur tersentak dan tiba-tiba memukul permukaan air laut.

"Plak!" Perahu terdorong seperti dihantam tenaga raksasa. Siauw-jin dan Cam-kong berteriak dan hampir saja terlempar, untung memegangi pinggiran perahu dan Togurpun berseru pada mereka untuk cepat mendayung. Sang nyonya sudah dekat dan apa boleh buat mereka bertiga harus mengadu kecepatan. Dan ketika Cam-kong maupun Siauw-jin menggerakkan tangan kiri mereka untuk memukul permukaan air laut maka perahu tiba-tiba terbang dan meluncur secepat setan.

"Plak-plak!"

Perahu meloncat-loncat. Sang nyonya melengking karena perahu menjauh lagi, bergerak dan berganti-ganti mengatur keseimbangan tubuh. Swat Lian mempergunakan Jing-sian-engnya untuk mengejar, melewati atau menyelinap di balik gulungan ombak-ombak besar. Sungguh tak masuk akal tapi menakjubkan melihat sepak terjang nyonya ini. Dan ketika perahu meloncat-loncat secepat setan namun si nyonya bergerak naik turun mengejar di belakang maka pemandangan yang bakal membuat orang ternganga ini berlangsung satu jam lebih di tengah laut yang luas.

Togur berkali-kali harus membelak-belokkan perahunya kalau lawan berhasil mendekat, sering menghantam ke belakang dimana air laut tiba-tiba memuncrat tinggi, menghalangi pandangan si nyonya. Tapi karena nyonya itu adalah wanita yang amat lihai dan Swat Lian akhirnya memekik mengeluarkan Cui-sian Gin-kangnya pula, ginkang Pengejar Dewa maka beberapa mil dari Sam-liong-to yang mulai kelihatan tiba-tiba perahu tinggal semeter lagi.

"Menyerahlah, atau kalian kubunuh!"

Tiga orang itu pucat. Sang nyonya bergerak demikian ringannya di atas permukaan air laut. Tubuhnya yang basah kuyup oleh air dan keringat nyaris membuat pakaian atau bajunya mencetak ketat. Togur menahan napas melihat itu. Hm, bukan main cantik dan menggairahkannya! Kalau saja bukan musuh, dan lihai, tentu pemuda ini akan berhenti dan merayu. Belum pernah selama ini dia gagal karena kebanyakan wanita yang melawan pasti dirobohkan, kecuali Soat Eng, gadis lihai puteri dari Pendekar Rambut Emas itu, juga nyonya yang kini mengejar di belakang itu. Dan ketika Swat Lian semakin dekat dan pandangan menggairahkan itu akhirnya tak kuasa ditahan pemuda ini lagi mendadak Togur kehilangan kewaspadaan ketika si nyonya sudah setombak saja di perahunya.

"Hei...!"

"Awas!"

Togur terkejut. Saat itu dia meleng karena pikirannya melayang yang tidak-tidak. Dia membayangkan betapa nikmat dan senangnya kalau dapat bermesraan dengan nyonya ini. Tubuh yang basah kuyup dan pakaian yang mencetak ketat itu melayangkan Togur pada lamunan yang jauh. Dia melihat si nyonya mengembangkan lengan dan dibayangkannya seperti memeluk. Togur terbawa lamunannya dan akan menyambut. Tapi begitu angin pukulan kuat menyambar tubuhnya dan teriakan dua gurunya memperingatkan dia akan bahaya yang datang tiba-tiba perahu terguncang dan Togur terkejut mengelak dan menangkis pukulan itu.

"Dess!" Semua mencelat. Togur dan gurunya berjungkir balik berteriak tertahan dan untungnya perahupun juga terdorong, terhantam pukulan si nyonya. Dan ketika mereka melayang turun dan kebetulan hinggap di perahu, yang terdorong dan maju ke depan maka Siauw-jin berteriak pada muridnya agar tidak meleng.

"Awas, jangan meleng. Nyonya itu bukan kekasih!"

Togur sadar. Akhirnya dia tersentak bahwa si nyonya bukanlah kawan, apalagi kekasih. Nyonya itu adalah isteri Pendekar Rambut Emas dan bahayanya luar biasa. Dia dan dua gurunya harus berjungkir balik di udara dan untung jatuh ke perahu lagi. Kalau tidak, tentu sudah kecebur! Dan ketika Togur membentak dan menjadi marah, gurunya memperingatkan dan tahu bahwa dia melamunkan yang tidak-tidak maka pemuda itu melepas pukulan dan air laut muncrat tinggi ketika dihantam Khi-bal-sin-kang, menahan atau menghalangi pandangan si nyonya dan saat itulah pemuda ini mendorong dan menggerakkan perahunya sekuat tenaga.

Dibantu dan didorong oleh dua gurunya pula akhirnya perahu meluncur secepat setan, sejenak dapat menjauhkan diri namun si nyonya berjungkir balik, tinggi dan meluncur lagi ke bawah untuk akhirnya mengejar mereka bertiga, mengembangkan kedua lengan dan tiba-tiba sudah terbang seperti burung, tahu-tahu sudah dekat lagi dengan perahu, kini semeter, bukan lagi setombak!

Dan ketika semua berseru pucat padahal Sam-liong-to sudah di depan mata, gugusan pulaunya sudah tampak jelas tiba-tiba nyonya itu melengking dan menghantam mereka dari belakang. Dan Siauw-jin serta Cam-kong tak sempat menangkis. Menangkis pun, kalau mereka sempat, tentu bakal terlempar dan tercebur ke laut. Melihat dan merasakan dahsyatnya pukulan itu mereka ngeri dan sudah rontok nyalinya. Perahu berkeratak dan pecah. Dan ketika dua orang itu tidak berpikir panjang lagi karena waktu sudah tidak memungkinkan bagi mereka maka Cam-kong maupun Siauw-jin melempar tubuh ke laut dan mencebur.

"Krakk-des-byurr....!"

Suara-suara itu hampir bersamaan. Entah mana lebih dulu tak ada yang tahu. Yang jelas adalah dua orang kakek itu tiba-tiba sudah melempar dan membanting tubuh ke laut. Pukulan menghantam dahsyat dan Togur yang menggerakkan tangan ke belakang juga berteriak keras. Pemuda itu terlempar dan perahunya hancur. Namun ketika dua gurunya selulup (menyelam) sementara pemuda itu berjungkir balik di udara tiba-tiba Togur mengeluarkan seruan panjang dan... diapun sudah hinggap di atas permukaan air laut dan meluncur menuju daratan, berjalan atau berlari di atas air, persis si nyonya, mempergunakan Jing-sian-engnya.

"Wut-wut...!"

Swat Lian terbelalak. Si nyonya melihat Togur mempergunakan ilmu yang sama untuk berjalan di atas air, cepat dan tahu-tahu sudah sampai ke tepi dimana pemuda itu meloncat dan melarikan diri. Tapi ketika nyonya ini melengking dan marah meluncur lagi, mengejar, tiba-tiba Togur yang sudah ada di daratan berseru tertahan karena seseorang telah menunggunya.

"Togur, kau hebat. Tapi ilmu curianmu benar-benar menggemaskan. Hm, bagaimana kau mau lewat? Kemana kau mau melarikan diri?"

"Thai Liong!" pemuda itu tersentak. "Keparat jahanam!" pemuda ini memaki. "Kau sudah berjanji untuk tidak mencari dan memusuhi aku, Thai Liong. Minggir atau kukutuk kau!"

"Hm, aku di sini sebelum kau datang. Aku tidak mencari, melainkan secara kebetulan kita bertemu. Siapa mau menarik janji dan memusuhimu? Aku sudah di sini sebelum kau ada, Togur. Dan kau tak dapat menyuruhku minggir karena sejak tadi aku di sini!"

"Keparat, kalau begitu kau ingkar. Kau...."

"Tidak," Thai Liong, pemuda ini, tersenyum memotong kata-kata lawan. "Aku tidak menjilat ludahku sendiri, Togur. Dulu kita berjanji bahwa aku tak akan mencari atau mengejar-ngejarmu, memusuhi. Tapi sekarang kita bertemu secara kebetulan. Aku tidak bermaksud mencarimu, kaulah yang datang dan bertemu aku. Dan untuk memusuhi, hm...aku tetap tak akan memusuhimu kalau kau tidak menyerang!"

Togur pucat pasi. Pemuda ini akhirnya merah padam dan gugup serta bingung. Dia juga gelisah karena banyak bicara hanya membuat lawan di belakang semakin dekat. Benar saja, lengking si nyonya sudah terdengar dan Swat Lian berjungkir balik ke daratan, hinggap dan berteriak girang karena di situ tiba-tiba muncul puteranya, Thai Liong. Dan ketika Togur pucat dan bingung melihat bentakan si nyonya, yang berkelebat dan menyuruh dia menyerah tiba-tiba Thai Liong yang ada di depan mendadak dihantam, tanpa pikir panjang lagi.

"Dess!" Togur lupa bahwa Thai Liong selihai ibunya. Dalam gugup dan paniknya pemuda ini lupa bahwa Thai Liong tak kalah dengan ibunya. Pemuda itu juga memiliki Khi-bal-sin-kang dan Lui-ciang-hoat. Maka begitu diserang dan Thai Liong mengerahkan dua ilmunya ini, untuk bertahan, tiba-tiba Togur mencelat dan mengeluh berdebuk.

“Bluk!” Pemuda itu terguling-guling. Togur mengeluh dan baru sadar bahwa pemuda yang dihadapi ini adalah selihai si nyonya cantik. Swat Lian berteriak mengejar Togur namun Thai Liong mencegah. Pemuda itu berkata biarlah ibunya beristirahat, sekarang Togur bagiannya. Dan ketika Togur meloncat bangun sementara Thai Liong berkelebat di depannya maka pemuda itu berkata agar lawan menyerah baik-baik.

"Kau tak dapat meloloskan diri lagi. Menyerahlah, atau ibuku akan menghajarmu dan aku tak dapat menolongmu lagi!"

"Keparat!" Togur berteriak gusar. "Kau penjilat omongan dan tak dapat dipercaya, Thai Liong. Mampuslah, atau biar aku yang mampus!"

"Hm, kau keras kepala, sombong dan tak dapat melihat keadaan!" dan Thai Liong yang mengelak serta menangkis pukulan lawan lalu berkelebatan kesana kemari ketika Togur menyerangnya, kalap dan membabi buta dan Swat Lian berkali-kali mengulang seruannya agar puteranya itu menyerahkan lawan kepadanya. Thai Liong menggeleng dan berkata biarlah ibunya beristirahat. Dan ketika pemuda itu membujuk bahwa ayahnya bertanding dengan See-ong, jauh di tengah pulau tiba-tiba berkelebat dua bayangan yang berseru nyaring.

"Hei, robohkan dia, Thai Liong. Atau serahkan kepada kami biar kami tangkap...!"

Post a Comment

AdBlock Detected!
We have detected that you are using adblocking plugin in your browser.
The revenue we earn by the advertisements is used to manage this website, we request you to whitelist our website in your adblocking plugin.