ISTANA HANTU
JILID 30
KARYA BATARA
“AH, hebat dan mengagumkan. Cantik sekali!
"Ssst, jangan keras-keras, kawan. Gadis itu dapat mendengarmu kalau tidak hati-hati. Dia puteri Pendekar Rambut Emas!"
"Tapi aku mengaguminya. Dia gagah dan cantik!"
"Ah, kau!" dan suara-suara lain yang segera disusul dengan pujian atau kekaguman memang akhirnya didengar gadis itu pula, yang pura-pura tak mendengar.
Dan Soat Eng mempercepat langkahnya di depan adiknya. Dia berjalan kaki saja karena tak ada seekor kudapun yang mau berendeng dengan Siauw-houw. Harimau cilik itu akan menggeram kalau ada yang mendekati, selalu ditepuk-tepuk dan ditenangkan Beng An. Ayah dan ibunya sendiri tak tampak di situ karena Kim-mou-eng maupun isterinya bersembunyi di balik ribuan pasukan. Pendekar Rambut Emas dan isterinya itu berjaga-jaga, di tempat yang tak diketahui orang, maklumlah, mereka adalah sepasang suami isteri gagah yang kepandaiannya tinggi sekali.
Dan ketika pasukan bergerak dan terus menuju ke utara, ke Tai-yuan, maka derap atau langkah-langkah kaki mereka diperlahan hingga tak menimbulkan bunyi berisik. Dan sementara pasukan besar itu siap menggempur musuh di depan maka di Tai-yuan sendiri Togur uring-uringan tak melihat gurunya kembali.
"Keparat, nenek jahanam. Kemana mereka keluyuran dan tidak tahu diri? Apa yang mereka lakukan hingga seminggu lebih belum juga kembali?"
"Sabar, jangan marah-marah. Tiga orang gurumu pasti mendapat sesuatu halangan, Togur. Tak biasanya mereka berani seperti kalau memang tidak apa-apa. Aku yakin mereka mendapat kesulitan!" Hek-bong Siauw-jin, si setan cebol membujuk muridnya.
Tujuh hari ini Togur uring-uringan dan berkali-kali pemuda itu mengancam Ji-moi dan lain-lain untuk dibunuh. Mereka disangka macam-macam dan kemarahan yang berangsur naik memang mulai gampang membuat pemuda ini naik darah. Togur memaki-maki gurunya namun Siauw-jin, gurunya yang amat dekat itu membujuk. Kakek ini tahu akan watak Ji-moi dan lain-lainnya itu dengan baik. Tak mungkin nyeleweng kalau disuruh melaksanakan perintah. Tapi ketika hari kedelapan tetap saja tiga nenek iblis itu tidak datang maka Togur menggeram dan meremas hancur sebuah meja batu yang diduduki.
"Aku tak sabar lagi. Siapkan pasukan dan kita langsung ke kota raja!"
"Sekarang?" kakek ini mengerutkan alis. "Tidak bertanya dulu pada See-ong atau muridnya?"
"Bah, untuk apalagi? Kita di sini karena ingin menyerang, suhu, bukan bersenang-senang. See-ong tak akan menolak dan aku yakin dia setuju!"
"Baiklah, kalau begitu kuberi tahu dia."
Namun baru kakek ini membalik mau keluar tiba-tiba masuklah seorang prajurit utusan Siang Le. Pemuda itu sebagaimana diketahui adalah pucuk pimpinan di samping Togur. See-ong telah meminta untuk memecah pasukan bangsa liar itu dengan dua orang pimpinan. Satu di bawah kekuasaan Togur sedang satunya lagi di bawah kekuasaan Siang Le, yang mewakili atau menggantikan gurunya untuk duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan Togur.
"Ssst, jangan keras-keras, kawan. Gadis itu dapat mendengarmu kalau tidak hati-hati. Dia puteri Pendekar Rambut Emas!"
"Tapi aku mengaguminya. Dia gagah dan cantik!"
"Ah, kau!" dan suara-suara lain yang segera disusul dengan pujian atau kekaguman memang akhirnya didengar gadis itu pula, yang pura-pura tak mendengar.
Dan Soat Eng mempercepat langkahnya di depan adiknya. Dia berjalan kaki saja karena tak ada seekor kudapun yang mau berendeng dengan Siauw-houw. Harimau cilik itu akan menggeram kalau ada yang mendekati, selalu ditepuk-tepuk dan ditenangkan Beng An. Ayah dan ibunya sendiri tak tampak di situ karena Kim-mou-eng maupun isterinya bersembunyi di balik ribuan pasukan. Pendekar Rambut Emas dan isterinya itu berjaga-jaga, di tempat yang tak diketahui orang, maklumlah, mereka adalah sepasang suami isteri gagah yang kepandaiannya tinggi sekali.
Dan ketika pasukan bergerak dan terus menuju ke utara, ke Tai-yuan, maka derap atau langkah-langkah kaki mereka diperlahan hingga tak menimbulkan bunyi berisik. Dan sementara pasukan besar itu siap menggempur musuh di depan maka di Tai-yuan sendiri Togur uring-uringan tak melihat gurunya kembali.
* * * * * * * *
"Keparat, nenek jahanam. Kemana mereka keluyuran dan tidak tahu diri? Apa yang mereka lakukan hingga seminggu lebih belum juga kembali?"
"Sabar, jangan marah-marah. Tiga orang gurumu pasti mendapat sesuatu halangan, Togur. Tak biasanya mereka berani seperti kalau memang tidak apa-apa. Aku yakin mereka mendapat kesulitan!" Hek-bong Siauw-jin, si setan cebol membujuk muridnya.
Tujuh hari ini Togur uring-uringan dan berkali-kali pemuda itu mengancam Ji-moi dan lain-lain untuk dibunuh. Mereka disangka macam-macam dan kemarahan yang berangsur naik memang mulai gampang membuat pemuda ini naik darah. Togur memaki-maki gurunya namun Siauw-jin, gurunya yang amat dekat itu membujuk. Kakek ini tahu akan watak Ji-moi dan lain-lainnya itu dengan baik. Tak mungkin nyeleweng kalau disuruh melaksanakan perintah. Tapi ketika hari kedelapan tetap saja tiga nenek iblis itu tidak datang maka Togur menggeram dan meremas hancur sebuah meja batu yang diduduki.
"Aku tak sabar lagi. Siapkan pasukan dan kita langsung ke kota raja!"
"Sekarang?" kakek ini mengerutkan alis. "Tidak bertanya dulu pada See-ong atau muridnya?"
"Bah, untuk apalagi? Kita di sini karena ingin menyerang, suhu, bukan bersenang-senang. See-ong tak akan menolak dan aku yakin dia setuju!"
"Baiklah, kalau begitu kuberi tahu dia."
Namun baru kakek ini membalik mau keluar tiba-tiba masuklah seorang prajurit utusan Siang Le. Pemuda itu sebagaimana diketahui adalah pucuk pimpinan di samping Togur. See-ong telah meminta untuk memecah pasukan bangsa liar itu dengan dua orang pimpinan. Satu di bawah kekuasaan Togur sedang satunya lagi di bawah kekuasaan Siang Le, yang mewakili atau menggantikan gurunya untuk duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan Togur.
Dan ketika perajurit itu menjatuhkan diri berlutut mencengangkan Siauw-jin, yang heran melihat perajurit itu membawa sepucuk surat maka Siauw-jin langsung membentak apa yang dikehendaki perajurit itu.
"Hamba diperintah Siang-kongcu untuk menghadap Siauw-ong (raja muda), menyerahkan sepucuk surat ini!"
"Hm, berikan padaku!" dan Siauw-jin yang sudah merampas serta mendorong perajurit itu, yang roboh terjengkang segera menyambar surat dan menyerahkannya kepada Togur. Muridnya itu mengerutkan kening tapi suruh dia membaca, tak jadi menerima. Dan ketika Siauw-jin merobek dan membaca isi surat maka alis kakek ini menjelirit naik.
"Hm, Siang Le sakit. Bocah itu menyatakan tak dapat membawa pasukannya untuk menyerang kota raja, Togur. Dia minta agar serangan tetap ditunda sampai ketiga subomu datang, atau menunggu dia sembuh!"
"Apa? Sakit? Minta serangan ditunda? Keparat bocah itu, suhu. Suruh perajurit ini kembali dan memberitahukan padanya bahwa serangan tak dapat ditunda-tunda lagi. Aku akan berangkat dan tetap menyerang!"
"Tapi bocah itu sakit...!"
"Aku yang akan memimpin sendirian!"
"Tapi.... tapi kau sudah memecah pasukanmu menjadi dua bagian, Togur. See-ong tentu marah sekali dan menganggap kau menghina muridnya!"
"Hm!" Togur tiba-tiba berkilat matanya. "Kau tunduk kepadaku atau orang lain, suhu? Kau mau membela aku atau Siang Le?"
"Eh, tidak! Nanti dulu! Aku tentu saja tunduk dan membelamu. Tapi dengar kata-kataku. Tekan dan kendalikan kemarahanmu, Togur. Kalau kau memaksa dan mengambil alih pasukan Siang Le tentu See-ong akan gusar dan kita pecah! Dan kau tahu siapa kakek ini. Kita semua membutuhkan See-ong karena kalau Kim-mou-eng atau anak isterinya muncul maka kakek ini dapat diandalkan dan cita-citamu berhasil! Sabar... sabar, Togur. Jangan marah dulu dan dengar kata-kataku. Atau semuanya bakal berantakan kalau menurutkan hawa amarah saja!"
Siauw-jin tergesa-gesa bicara, gugup dan cepat menggoyang-goyang lengan agar muridnya bersabar. Dia tahu apa artinya mata yang berkilat berbahaya itu karena Togur sedang marah. Sewaktu-waktu pemuda ini dapat membunuh siapa saja termasuk dirinya. Dia takut tapi lebih takut lagi kalau cita-cita perjuangan muridnya tak berhasil. Ini jauh lebih berbahaya daripada dia dibunuh. Maka ketika kakek itu mengingatkan dan Togur sadar, tertegun, maka pemuda ini bertanya apa yang sebaiknya dilakukan.
"Kita menunda serangan, menunggu beberapa hari lagi siapa tahu ketiga subomu datang. Atau menunggu Siang Le sembuh dan baru kita menyerang!"
"Benar," sesosok bayangan berkelebat, muncul seperti iblis. "Apa yang dikata suhumu ini tidak salah, Togur. Kita harus menjaga hubungan baik kita dengan See-ong, atau semuanya bakal rusak dan kita berhantam sendiri!"
Togur menoleh. Itulah gurunya yang tinggi kurus, Cam-kong. Kakek bermuka pucat ini datang memberi tahu bahwa Togur tak boleh diburu nafsu. Mengambil alih pimpinan padahal pasukan sudah dibagi dua amatlah berbahaya kalau tak disetujui Siang Le. Dan ketika Togur mengerutkan kening dan apa boleh buat harus menunda maksud serangannya maka pemuda ini menggeram mengepal tinju.
"Baiklah, kalian kuturuti, tapi semua itu ada batas waktunya. Kalau seminggu lagi Toa-ci dan lain-lain belum kembali sementara Siang Le juga masih sakit maka akan kuminta See-ong untuk menggempur musuh. Perbekalan kita bisa habis kalau hanya menunggu-nunggu di sini saja!"
Perajurit itu kembali. Dia pucat dan gemetar ketika melihat Togur marah. Kilatan berbahaya dari pandang mata pemuda itu juga cukup dikenalnya baik. Togur adalah pimpinannya di situ sebelum dia di bawah kekuasaan Siang Le, murid See-ong. Dan ketika hari itu lagi-lagi kemarahan Togur ditahan dan ditekan maka hari-hari berikut merupakan siksaan yang cukup berat bagi pemuda ini.
Ji-moi dan lain-lainnya itu tak kembali. Togur mondar-mandir di ruangannya sementara mukapun merah padam. See-ong akhirnya ditemui tapi kakek itu tenang-tenang saja. Bagi See-ong, hilangnya Ji-moi atau Toa-ci tak jadi soal. Mereka itu bukan pembantunya lagi, mereka adalah pembantu Togur, pemuda luar biasa yang kini menjadi lihai itu. Namun ketika Togur bertanya apakah mereka berpangku tangan di situ saja menghabiskan ransum maka kakek ini menyeringai dan tertawa aneh.
"Tentu tidak, Togur. Tapi bagaimana maumu? Kau sudah sering memimpin pasukan besar, tentunya lebih tahu daripada aku."
"Aku ingin menyerang seminggu lagi. Kau pimpinlah pasukan muridmu kalau muridmu belum sembuh!"
"Hm, begitukah? Tapi aku tak berbakat sebagai panglima perang, dan aku lebih suka bertanding sendiri-sendiri!"
"Kalau begitu serahkan pasukanmu kepadaku, See-ong. Biar kupimpin dan kau membantuku!"
"Wah, itu pasukan muridku. Sebaiknya kau bertanya pada Siang Le!"
"Hm, kau gurunya, dan pasukan itupun sampai kupecah adalah karena kau! Kenapa meminta pada Siang Le? Bukankah kau dapat mengambil keputusan?" Togur mendongkol.
"Ha-ha, jangan marah, bocah. Meskipun aku yang membuatmu memecah pasukan tapi wewenang atau kekuasaan pasukan itu sudah kuberikan kepada muridku. Sebaiknya kau berunding dengannya dan cobalah tanya!"
Togur mendongkol. Kalau saja kakek ini bukan See-ong dan dia tidak membutuhkan bantuannya tentu kakek itu sudah dibunuh. Tapi See-ong amatlah lihai, dan kepandaian mereka berimbang. Gara-gara berimbang inilah See-ong lalu meminta 'jatah kekuasaan' untuk mereka berdua, yang lalu memberikannya kepada muridnya, Siang Le. Dan ketika Togur datang dan menjenguk Siang Le maka apa yang sebelumnya sudah diduga dijawab oleh pemuda itu.
"Aku tak mau kau mengambil alih pasukanku. Tinggal menunggu aku sembuh atau tunggu saja sampai ketiga gurumu datang!"
"Hm, kau tak kelihatan sakit, Siang Le. Kau sehat-sehat saja! Penyakit apa yang kau derita ini? Atau kau hanya berpura-pura saja untuk menghindari perang?"
"Apa?" pemuda itu membentak. "Jaga mulutmu, Togur. Aku tampaknya tidak sakit tapi sesungguhnya seluruh tubuhku lemah. Kau jangan menghina aku!"
"Hm, kalau begitu coba kulihat!" dan Togur yang tiba-tiba bergerak dan menyerang pemuda itu, melakukan totokan tiba-tiba membuat Siang Le terkejut dan berteriak marah, menangkis tapi terlempar dan Togur tertegun karena benar saja tenaga pemuda itu lemah.
Togur tak tahu bahwa sebenarnya Siang Le sedang menderita tekanan batin hebat. Dia tak suka memimpin serangan itu tapi gurunya memaksa, terjadi pergulatan dan jadilah pemuda itu terkena himpitan batin. Dan ketika dalam peperangan dilihatnya korban-korban yang berjatuhan maka pemuda ini semakin ngeri lagi dan suatu hari sekonyong-konyong tubuhnya lemah. Dan hari itu Togur datang, menghina dan menyerangnya dan Siang Le semakin gusar saja. Serangan tiba-tiba yang dilancarkan Togur untuk membuktikan sakitnya membuat pemuda ini mendelik. Maka ketika dia menangkis dan terlempar, tenaganya hilang tiga perempat bagian maka Togur percaya namun saat itu berkelebat bayangan See-ong.
"Togur, jangan menghina muridku. Atau kita baku hantam di sini!"
"Maaf," Togur membalik. "Aku hanya ingin membuktikan apakah benar muridmu sakit atau tidak, See-ong. Kalau benar maka aku percaya. Tapi betapapun ini sudah hari kelima, tinggal dua hari lagi. Kau sendiri yang menyuruhku menemuinya dan kini aku datang bertanya!"
"Hm, bagaimana, Siang Le? Kau mau pemuda ini memimpin serbuan?"
"Pasukanku adalah pasukanku, mereka harus tunduk kepadaku. Kalau Togur tak sabar untuk menunggu silahkan menyerang sendiri, dengan pasukannya!"
"Atau kau yang membujuk muridmu ini untuk memimpin bersamaku," Togur mengerling. "Kau dan aku dapat berdampingan, See-ong. Meskipun kau tak pandai mengatur pasukan tapi aku dapat memimpinmu, kita tetap bersama-sama!"
"Hm, bagaimana, Siang Le? Kau setuju?"
"Kalau suhu mau mengambil alih pasukan boleh-boleh saja, itu hak suhu. Tapi sekali suhu melakukan itu maka untuk selanjutnya aku tak mau memimpin pasukan dan lepas tangan!"
See-ong garuk-garuk kepala. Sebenarnya dia juga sudah membujuk muridnya itu tapi begitulah selalu jawaban Siang Le. Dia boleh membawa pasukan tapi selanjutnya Siang Le tak mau memimpin lagi. Dan karena kakek ini ingin mengangkat muridnya ke kursi singgasana dan jawaban itu tentu saja bertolak belakang dengan maksudnya maka kakek ini memandang Togur dan berkata.
"Lihat, kau dengar sendiri jawabannya, Togur. Kalau kau tak sabar memang sebaiknya kau bawa saja pasukanmu sendiri dan menggempur kota raja. Sedang muridku, hmmm... tetap disini bersama pasukannya!"
"Tapi ransum akan habis, pasukan kita bisa kelaparan! Apakah kau tidak melihat ini, See-ong? Apakah kau demikian bodoh tak dapat mempengaruhi muridmu?"
Kakek itu melotot. "Apa katamu? Kau membodoh-bodohkan orang tua? Keparat, jaga mulutmu, Togur. Atau aku akan menghantammu dan kita mampus di sini!"
Togur juga marah. Dia mau membentak dan memaki kakek itu ketika tiba-tiba dua gurunya muncul. Cam-kong dan Siauw-jin melihat bahayanya ketegangan ini, cepat membungkuk dan menyabarkan muridnya sambil melirik ke arah See-ong. Si kakek diberi tanda agar bersabar pula. Dan ketika kakek itu melotot dan Siauw-jin melipat punggung maka setan cebol ini mengajak muridnya keluar.
"Sudahlah, kita semua adalah teman seperjuangan. Waktu masih dua hari lagi dan kami akan memikirkannya kembali. Kalau Siang-kongcu masih lemah tenaganya dan Togur ingin menyerbu barangkali kami terpaksa akan bergerak sendirian, kalian menyusul. Maafkan kami, See-ong. Tapi kau sebagai orang tua tentu juga memiliki pertimbangan. Biarlah kami kembali dan dua hari lagi kami akan melihat keputusanmu."
See-ong bersinar-sinar. Togur akhirnya dibawa gurunya dan di sana pemuda itu melampiaskan marahnya. Apa saja yang dilihat tiba-tiba diremas, hancur dan dibuang kemana-mana dan Siauw-jin maupun Cam-kong ngeri. Biasanya, kalau pemuda ini marah maka musuh akan dilabraknya dulu sampai mampus. Tapi karena See-ong yang dihadapi dan kakek iblis itu memiliki kepandaian berimbang maka pemuda ini berhasil dibujuk dan menunggu waktu sampai dua hari lagi. Batas kesabarannya benar-benar habis, sudah sampai dipuncaknya. Dan ketika waktu dua hari itu lewat dan See-ong memberikan jawaban tak berani menggantikan muridnya maka kakek ini diminta untuk menyerang kota raja.
"Kalau begitu pakai saja pasukanku, kau ikut disini. Tinggalkan muridmu dan mari sama-sama menyerbu!"
"Hm, untuk apa begitu banyak orang? Kau dan dua gurumu cukup, Togur. Suhu biar membantuku di sini kalau ada apa-apa!" Siang Le, yang ada di situ dan mendengarkan ternyata menolak.
Togur mengerutkan kening tapi kata-kata itu cukup beralasan. Siang Le segera berkata kenapa dia mesti seperti orang ketakutan menyerbu kota raja, bukankah tak ada orang hebat di sana karena hampir semua panglima dibunuh, yang rata-rata kepandaiannya hanya sebegitu saja. Dan ketika Togur terpukul karena kata-kata ini tepat, serasa menampar mukanya maka dia menggeram dan berkelebat pergi.
"Baiklah, aku tidak penakut, Siang Le. Tapi kalau suhumu tak mau ikut jangan harap dia mendapat bagian dari apa yang kudapat di sana!"
"Hm, suhu tak kemaruk harta. Kau boleh rampas apa saja yang ada di istana. Lakukanlah!"
See-ong mengerutkan kening. Kakek ini menegur kenapa muridnya bersikap sekaku itu, bukankah seharusnya dia ikut berangkat membantu Togur, karena mereka bahu-membahu. Tapi ketika Siang Le tersenyum aneh dan memandang gurunya itu maka pemuda ini berkata,
"Aku melarangmu karena aku tak mau jauh darimu, suhu. Siapa tahu tiba-tiba aku mampus di sini. Sudahlah, biarkan Togur pergi bersama pasukannya dan kau menjaga aku. Atau suhu mau berangkat dan menghendaki aku tahu-tahu mati lemas di sini? Aku butuh pertolonganmu setiap aku merasa kehabisan tenaga!"
See-ong terkejut. Memang muridnya ini menderita penyakit yang aneh. Siang Le tampak lemah dan pucat. Dia sering menyalurkan sinkangnya untuk memulihkan kesehatan muridnya itu. Dan ketika dia sadar bahwa dirinya memang tak boleh jauh-jauh dari muridnya ini maka kakek itu mengangguk-angguk dan menghela napas. "Baiklah.... baiklah, Siang Le. Kau memang benar tapi lama-lama kurasa kau mulai mengendalikan aku. Keparat, murid sialan kau ini!"
Siang Le tertawa hambar. Dia acuh saja melihat gurunya berkelebat pergi dan lenyap meninggalkan ruangan. Di wajahnya tampak sinar kepuasan dan berseri-seri. Tak seorangpun tahu apa yang direncanakannya atau dilakukannya. Pemuda ini bergerak menuju pembaringannya dan beristirahat. Dan ketika See-ong meninggalkan muridnya sementara Togur meledak dalam kekesalannya yang tak dapat dibendung lagi maka pemuda tinggi besar itu menyiapkan pasukannya sendiri dan berangkat.
Togur sudah habis sabar. Kemarahannya akan dilampiaskannya di kota raja nanti. Istana akan digempur dan seluruh kota akan dibumihanguskan. Sudah terlihat di matanya pandangan berbahaya yang keji dan tidak mengenal ampun. Sudah habis kesabarannya menunggu dan menunggu. Ketiga subonya tetap tidak kembali dan tak tahulah dia apa yang terjadi. Dia akan ke kota raja dan kaisar akan ditangkap hidup-hidup. Di depan orang banyak dia nanti akan menyembelih kaisar itu, yang tak mau tunduk dan menyerah padanya. Dan ketika pasukan bergerak dan lima ribu orang dibawa serta maka pasukan yang sudah cukup lama beristirahat itu bersorak-sorai.
Seperti biasanya, mereka lalu bergegap-gempita disepanjang jalan. Pintu gerbang dibuka dan bergeraklah mereka keluar. Dusun-dusun dan kampung yang dilalui segera dijarah, apa saja diambil tapi tak ada orang disitu. Semua penduduk lari ketakutan sebelum ditangkap. Mereka sudah mengenal keganasan dan kebuasan pasukan liar itu, yang tak segan-segan merampas dan mengambili ini-itu, bahkan wanita atau gadis-gadis tak pernah luput dari kekejaman mereka yang suka memperkosa beramai-ramai. Tapi ketika pasukan itu bergemuruh dalam derap langkah mereka disertai nyanyian atau sorakan-sorakan kasar tiba-tiba perajurit terdepan terkejut melihat adanya pandangan ganjil di depan.
"Hei, lihat...!"
Semua memandang. Di sudut jalan, setelah dua hari meninggalkan Tai-yuan tiba-tiba di depan muncul seorang bocah laki-laki menunggang seekor harimau cilik. Bocah itu berdiri menanti dan seolah sengaja menghadang, bukan main, sendirian saja menghadapi ribuan pasukan yang sedang bergerak maju! Dan ketika perajurit pertama melepaskan tudingannya dan pasukan terbelalak maka bocah yang berada di tikungan jalan itu melambai dan berseru,
"Hei, kalian. Maju dan cepat ke sini. Mari kuhajar!"
Pasukan di depan tiba-tiba tertawa bergelak. Mereka seketika berhenti dan pasukan di belakangnya tertegun. Mereka tak tahu apa yang terjadi karena saat itu sebagian dari mereka sedang berada di antara dua tebing tinggi. Kalau yang depan berhenti maka mereka tak dapat bergerak maju, yang lebih belakang lagi juga otomatis berhenti.
Dan Togur yang berada di tengah-tengah pasukannya terkejut dan bertanya kenapa berhenti, padahal tak terlihat adanya musuh atau pasukan lawan yang menyambut mereka. Dan ketika dia diberi tahu bahwa di depan menghadang seorang bocah laki-laki bersama harimaunya, hanya seorang bocah, tiba-tiba pemuda ini mendengus dan memerintahkan seorang gurunya untuk melihat keadaan.
"Coba suhu lihat siapakah bocah itu. Bekuk dan bawa dia kemari, tapi suruh yang lain-lain tetap berjalan!"
"Baik!" Cam-kong berkelebat, marah dan juga heran siapakah bocah yang membuat gara-gara itu. Baru sekali ini pasukannya mengalami kejadian ganjil, berhenti hanya karena dihadang seorang bocah! Namun ketika kakek itu melihat keadaan ternyata di depan sudah terdengar teriakan dan pekikan berulang-ulang.
Bocah itu, seperti dikatakan tadi, menantang dan menyuruh pasukan di depan maju untuk dihajar. Dia duduk di punggung harimaunya yang tiba-tiba menggeram ketika puluhan orang mengepung. Kuda meringkik ketakutan dan para perajurit itu terpaksa turun, berjalan dan sudah menghampiri serta membentak anak laki-laki itu, yang dinilai kurang ajar dan berani. Tapi ketika anak ini tertawa dan berkelebat ke kiri kanan tiba-tiba bayangannya bergerak ke sana-sini dan tahu-tahu dua puluh perajurit yang mengepungnya sudah mendapat tamparan atau tendangan bertubi-tubi.
"Ha-ha, seperti ular mencari gebuk... plak-plak-plak!"
Para perajurit terpelanting berteriak-teriak. Mereka kalah cepat oleh gerakan anak laki-laki itu yang sudah beterbangan membagi-bagi pukulan. Harimau temannya mau menyerang tapi dibentak anak laki-laki itu agar diam di tempat, tak usah membantu. Dan ketika anak itu bergerak sendirian dan tubuhnya yang beterbangan seperti walet menyambar-nyambar itu sudah membagi-bagi tamparan dan pukulan maka kagetlah semua orang yang menerima hajaran ini.
"Iblis! Anak ini lihai, bunuh...!"
"Tidak, jangan bunuh, kawan. Tangkap saja hidup-hidup!"
"Benar, tangkap dan ringkus saja. Kita serahkan pada Siauw-ong. Siapa tahu guru atau orang tuanya adalah musuh Siauw-ong!" dan ketika orang-orang itu berteriak dan melompat bangun, marah, maka bocah ini sudah diserang namun sekali lagi dia tertawa-tawa mendahului orang-orang itu.
Tak seorang pun menyangka bahwa inilah Beng An, putera terbungsu Pendekar Rambut Emas yang nakal dan berani. Anak itu sengaja mendahului pasukan Cen-goanswe dan secara diam-diam meninggalkan encinya pula, ketika encinya ke belakang, dipanggil ayah ibunya. Dan ketika Beng An melihat gerakan pasukan itu dan berseri serta girang karena inilah lawan yang ditunggu-tunggu maka langsung saja dia melarikan harimaunya dan menunggu di tikungan itu.
Anak ini tidak memikir bahaya karena merasa ayah ibunya melindungi. Keberaniannya menjadi tak terkontrol dan tentu saja pasukan besar itu terkejut melihat keberadaannya. Tapi begitu mereka diserang dan belasan orang jatuh bangun dihujani tendangan atau tamparan maka sadar dan kagetlah mereka bahwa anak ini bukan bocah sembarangan. Beng An sudah berkelebatan dan pukulan serta tamparannya merontokkan nyali lawan. Sekecil itu sudah berani menghadapi sedemikian banyak musuh karena begitu yang lain roboh segera anak ini menghadapi yang lainnya lagi, yang marah dan membentak maju dan akhirnya Beng An dikeroyok lima puluh orang!
Pasukan di belakang membelalakkan matanya karena bocah laki-laki itu sedemikian lincah dan ringannya menghadapi puluhan orang. Tubuhnya bergerak dan berkelebatan ke sana ke mari tiada ubahnya tupai yang gesit, menendang dan menampar dan setiap kali terdengar jeritan ngeri atau sakit. Orang-orang yang terkena tamparan Beng An tentu patah tulangnya atau bengap. Lima puluh orang itu segera kocar-kacir dan sebagian besar roboh merintih-rintih.
Beng An benar-benar menghajarnya dan tentu saja lawan tak kuat karena anak laki-laki itu mempergunakan Tiat-lui-kang (Pukulan Petir)! Tapi ketika Beng An tertawa-tawa menampar atau menendangi lawan tiba-tiba berkelebat bayangan Cam-kong karena kakek tinggi kurus itu sudah melihat keadaan.
"Berhenti!"
Beng An mendengar kesiur angin tajam. Dia mengelak dan menendang tapi segera tubuhnya terbanting roboh. Dan ketika Beng An terkejut dan bergulingan meloncat bangun, kaget, maka kakek bermuka pucat sudah dilihatnya berdiri tak berkedip.
"Siapa kau?"
"Kau yang siapa!" Beng An membentak, balas menanya lawan.
Cam-kong, kakek ini tentu saja marah. Dia datang sedikit terlambat dan anak buahnya sudah dihajar jatuh bangun, kaget dan gusarlah kakek itu karena tak biasanya hal ini terjadi. Tapi ketika dia melihat bahwa anak laki-laki itu memiliki gerakan-gerakan luar biasa dan pukulan atau tamparan-tamparan itu serasa dikenalnya maka dia menahan diri untuk tidak melakukan pukulan keras tapi itupun sudah cukup membuat Beng An terpelanting dan terguling-guling!
"Hm," kakek ini berkilat matanya. "Aku yang bertanya dan kau yang harus menjawab, bocah. Aku tak mau memberitahukan siapa diriku kalau kau tak mau memberitahukan nama!"
"Kalau begitu juga sama. Aku tak akan memberitahukan namaku kalau kau takut memberitahukan namamu! Heh, kau tadi sudah menyerang secara gelap, sekarang terima pembalasanku dan mampuslah!" Beng An menyerang, langsung melepas Tiat-lui-kang lagi.
Cam-kong tersenyum mengejek. Tentu saja dia tak takut menghadapi pukulan itu karena tenaga Beng An masih terlalu kecil baginya. Maka ketika kakek ini menerima dan Beng An memukul tiba-tiba anak itu menjerit sendiri dan terpelanting roboh.
"Aduh...!" Namun Beng An masih nekat. Anak ini sudah bergulingan meloncat bangun dan menyerang lagi. Pukulan dan tendangan bertubi-tubi menghujani kakek tinggi kurus itu namun Cam-kong tentu saja tak bergeming. Kakek ini tertawa mengejek dan mengerahkan sinkangnya lagi, memperkeras atau memperkuat tubuh dari pukulan-pukulan itu. Dan ketika Beng An menjerit karena tiba-tiba kaki tangannya bengkak, tak kuat lagi memukuli tubuh kakek itu yang mendadak sekeras besi maka Cam-kong berseru dan menotok roboh dirinya.
"Cukup... bluk!" Beng An roboh terbanting. Anak ini tak dapat bergerak lagi namun Siauw-houw, harimaunya itu tiba-tiba mengaum.
Harimau ini rupanya mengerti bahwa Beng An mendapat lawan tangguh, kakek tinggi kurus itu. Maka begitu Beng An roboh dan merintih di tanah tiba-tiba harimau ini menyerang dan menggigit Cam-kong. Namun kakek ini bukanlah kakek biasa. Cam-kong mengibaskan lengan dan Siauw-houw mencelat, meraung dan terguling-guling. Dan ketika harimau itu ketakutan dan ragu menyerang lagi mendadak dia melompat dan menyambar Beng An. Lalu begitu dia bergerak dan melompat tinggi tiba-tiba harimau ini sudah membawa lari tuannya dengan cara menggigit baju pundak Beng An.
"Keparat!" Cam-kong mendelik. Kakek ini membentak dan lengan kirinya terangkat, melepas pukulan jarak jauh. Dan ketika Siauw-houw mengaum dan terlempar membentur pohon maka Beng An terlepas dari mulutnya dan terguling-guling roboh di tanah.
Beng An pucat dan membentak harimaunya untuk kabur. Anak itu bersuit agar Siauw-houw pergi, tak usah menghiraukan dirinya. Dan karena naluri harimau itu juga tajam karena agaknya dia sendiri bisa celaka di tempat itu tiba-tiba harimau ini mengaum lemah dan meloncat jauh untuk kabur meninggalkan Beng An, mendengar bentakan tuannya dan lenyaplah harimau itu menyelamatkan diri.
Cam-kong mengatur pukulannya sedemikian rupa hingga Siauw-houw dapat melompat bangun. Kakek ini khawatir akan keselamatan Beng An kalau pukulannya terlalu keras, itulah sebabnya kenapa harimau cilik itu selamat juga. Dan ketika Siauw-houw kabur dan kakek ini tak menghiraukan binatang itu maka Cam-kong sudah berkelebat dan menyambar Beng An.
"Nah, kau sudah menjadi tawanan. Mari kuhadapkan kepada muridku!"
Beng An tak dapat melawan. Cam-kong sudah menotoknya sedemikian rupa hingga ia pun tak dapat meronta-ronta. Yang dilakukan hanyalah memaki-maki namun kakek ini segera menampar mulutnya, pecah dan segera mengeluarkan darah. Dan ketika Cam-kong membentak agar pasukan bergerak lagi, si bocah sudah tertangkap maka kakek ini langsung melempar anak itu di depan kaki Togur.
"Inilah bocah pengacau itu. Dia sudah kutangkap!"
"Hm!" Togur, yang sedang minum arak dan memeluk seorang wanita muda tiba-tiba mengendorkan pelukannya. Dia percaya suhunya itu dapat mengatasi keadaan dan terbelalaklah dia melihat Beng An, anak yang berapi-api memandangnya itu, tak takut atau jerih sedikitpun! Tapi ketika dia tersenyum dan tertawa lebar, maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang bocah pemberani maka Togur teringat akan dirinya sendiri, sewaktu kecil.
"Hm, kau anak luar biasa, pemberani, tapi kurang ajar! Eh, siapa dia, suhu? Apakah kau tahu?"
"Tidak," Cam-kong merah mukanya. "Anak ini tak mengaku, Togur. Dan aku membawanya saja kepadamu. Biarlah kau yang bertanya."
"Hm," Togur mengangguk-angguk, sekali lihat segera tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang anak yang keras hati. Lagi-lagi mengingatkan akan dirinya sendiri. Dan ketika dia bertanya apa saja yang telah dilakukan anak ini maka suhunya menceritakan bahwa si bocah sudah menghajar lima puluh lebih anak buah mereka.
"Seorang diri? Seorang bocah sekecil ini?"
"Ya, pasukan kita memang memalukan, Togur. Dan agaknya bocah ini harus dibunuh!"
"Nanti dulu, kita belum tahu siapa guru atau orang tuanya. Adakah kau kenal ilmu silatnya?"
"Aku lupa-lupa ingat, tapi kau mungkin dapat mengenalnya," dan Cam-kong yang membebaskan Beng An dengan tepukan di pundak akhirnya membuat anak itu melompat bangun dan langsung saja menyerang si kakek. Cam-kong berkelit dan segera pukulan-pukulan berikut menyusul. Beng An tanpa sadar disuruh memperlihatkan ilmu silatnya itu. Dan ketika Togur membelalakkan mata dan terkejut tiba-tiba pemuda tinggi besar ini tertawa bergelak dan tahu-tahu tangannya sudah mencengkeram Beng An.
"Ha-ha, dia putera Pendekar Rambut Emas. Beng An!"
Beng An terkejut. Tahu-tahu dia merasa lumpuh dan mengaduh, cengkeraman di pundaknya itu meremas jalan darah pihu-hiat dan lemaslah anak ini di cengkeraman lawan. Dan ketika Togur terbahak-bahak dan girang serta kaget maka semua disuruh minggir dan Cam-kong diminta menyiapkan kerangkeng khusus.
"Anak ini adalah Beng An. Ah, dia si bocah cilik itu!"
"Bagaimana kau yakin?"
"He, lihat gerakan-gerakan silatnya tadi, suhu. Dan pukulan-pukulannya itu jelas Tiat-lui-kang. Ah, kau bodoh dan pelupa!"
"Benar!" Cam-kong tiba-tiba menepuk dahi sendiri. "Aku lupa ilmu silat itu, Togur. Maklumlah, Kim-mou-eng sudah jarang mengeluarkan Tiat-lui-kang itu! Tapi mau kau apakan bocah ini dan kenapa tidak dibunuh saja?"
"Hm, kau bodoh. Kalau anak ini ada disini tentu ibu atau ayahnya juga tak jauh mengikutinya. Kau siapkan kerangkeng khusus dan biar anak ini kujaga. Perintahkan pasukan untuk berhati-hati!"
Cam-kong terkejut. Akhirnya dia ngeri dan sadar akan itu. Benar, kalau anak ini sampai berkeliaran di situ tentu ibu bapaknya tak jauh. Cepat kakek itu berkelebat dan tak lama kemudian sebuah kerangkeng baja sudah siap di tangannya. Beng An dimasukkan di situ dan lucu bahwa anak sekecil ini mendapat hukuman seketat itu. Togur sudah membebaskan kembali totokannya namun si bocah sudah dilempar ke dalam. Dan ketika Beng An memaki-maki namun tak dihiraukan, membuat anak itu semakin marah saja tiba-tiba di depan terdengar teriakan dan ribut-ribut.
"Apalagi itu?" Togur berubah mukanya. "Mana ji-suhu (guru kedua) dan kenapa dia selalu dibelakang?"
"Perlukah kulihat?" Cam-kong sudah cemas. "Jangan-jangan Kim-mou-eng, Togur, atau isterinya?"
"Tak usah mengandai-andai. Kau lihat apa itu dan kenapa pasukan tiba-tiba kacau!"
Cam-kong sudah berkelebat. Siauw-jin, rekannya, diberi suitan nyaring. Temannya itu di belakang sana menjaga pasukan. Dia dan Togur di tengah tapi kini keributan baru muncul di depan. Baru saja dia mengatasi keadaan kini tiba-tiba anak buahnya kembali ribut-ribut. Marah tapi juga gelisah kakek ini, maklumlah, dia gentar kalau yang datang itu adalah Kim-mou-eng. Namun ketika kakek ini berkelebat dan membentak pasukannya untuk menceritakan apa yang terjadi ternyata semuanya sudah berkaok-kaok dan tak ada satupun yang dapat berbicara karena mulut mereka rata-rata bengkak dan pecah berdarah!
"A-a-augh... ada siluman wanita...!"
Cam-kong terkejut. Dia menampar perajurit yang ah-uh-ah-uh itu, mencelat dan terguling-guling. Dan ketika kakek itu harus melepas pukulan berkali-kali karena pasukannya tiba-tiba berhamburan dan lari ke belakang, jatuh bangun, maka kakek ini tak dapat maju dengan cepat sementara kepanikan atau kegaduhan di depan itu semakin menjadi-jadi. Apa gerangan yang menjadi sebab? Bukan lain buntut dari hilangnya Beng An, bocah yang sudah tertangkap itu.
Seperti diketahui, anak ini bersama encinya ketika beriring dengan Cen-goanswe. Soat Eng selalu mengawasi dan menjaga adiknya itu dengan baik. Tapi ketika dia dipanggil ibunya dan kepergian sejenak ini tak disia-siakan Beng An maka anak itu berkata pada Cen-goanswe bahwa dia ingin main-main dulu di depan, di hutan yang akan dilalui pasukan, bersama Siauw-houw, harimaunya.
"Heii...!" Cen-goanswe terkejut. "Tunggu, Kim-kongcu. Jangan nyelonong begitu saja. Tunggu encimu!"
"Ha-ha, aku hanya sebentar, dan di hutan itu. Kenapa takut, Cen-goanswe? Sudahlah, aku hendak main-main sebentar dengan Siauw-houw dan nantipun kau pasti menyusul!"
Cen-goanswe mengeprak kudanya. Anak itu sudah berlari tapi mana ada kuda mengejar harimau? Meskipun Cen-goanswe mengejar Beng An tapi sang kuda tetaplah kuda. Siauw-houw yang menggeram dan melesat di sana tak berani diikuti kuda ini. Berkali-kali Cen-goanswe mencambuk namun si kuda hanya berputar-putar saja, bahkan akhirnya meringkik dan lari membalik, mencongklang dan beringas menerjang pasukan yang berjalan di belakang, membuat sang jenderal berteriak-teriak dan kaget serta marah karena tak dapat mengendalikan tunggangannya lagi.
Banyak perwira berteriak dan coba menolong, memapakkan kudanya untuk melintang tapi malah diterjang dan roboh tunggang-langgang. Tapi ketika sesosok bayangan berkelebat dan itulah Soat Eng maka gadis yang kebetulan sedang kembali ke depan setelah dipanggil ibunya melihat kejadian itu.
"Goanswe minggir...!"
Cen-goanswe tak tahu apa yang dimaksudkan. Tubuhnya tahu-tahu terangkat naik dan terlempar ke kiri, sudah tak di atas kudanya lagi. Dan ketika jenderal itu berteriak kaget dan bergulingan meloncat bangun ternyata Soat Eng sudah duduk di punggung kudanya itu dan menarik tali kekang.
"Rrtt!" Mulut kuda tertarik ke atas. Kuda meringkik panjang karena tarikan itu luar biasa kuatnya. Mau tak mau dia berhenti dan meringkik panjang, kalau tak mau mulutnya sobek. Dan ketika dia berhenti dengan kedua kaki depan terangkat tinggi-tinggi, kesakitan, maka Soat Eng menepuk lehernya dan kuda yang sedang beringas itu roboh, langsung mendeprok karena Soat Eng mengerahkan tenaga Seribu Katinya, sekaligus menotok urat leher binatang itu hingga kuda kehilangan kekuatan, seketika lumpuh. Dan ketika perajurit bersorak-sorai melihat betapa mudahnya gadis ini menundukkan tunggangan Cen-goanswe maka Soat Eng sudah meloncat turun dan bertanya apa yang terjadi kenapa kuda tiba-tiba binal.
"Adikmu lari, kukejar. Tapi karena kuda ini takut kepada Siauw-houw maka dia kupaksa tapi malah kesetanan!"
"Apa? Beng An meninggalkan pasukan?"
"Itulah yang terjadi, Kim-siocia. Adikmu mempergunakan kesempatan selagi kau dipanggil ibumu untuk kabur. Katanya main-main dengan Siauw-houw, tapi aku khawatir karena dia sudah jauh kesana!"
"Ah, anak kurang ajar!" dan Soat eng yang gemas serta marah tiba-tiba tidak menunggu Cen-goanswe lagi dan langsung berkelebat ke depan, mengerahkan ginkangnya dan tiba-tiba gadis itu lenyap seperti iblis. Orang hanya melihat titik kecil di depan dan akhirnya hilang, melongo dan membuat orang-orang itu terkejut meleletkan lidah. Dan ketika Soat Eng memaki adiknya karena ditinggal sebentar saja sudah membuat repot maka dia memanggil-manggil namun adiknya itu tak tahu dimana berada.
Soat Eng cemas dan memasuki hutan, melihat tapak kaki Siauw-houw dan tentu saja dia terus mengikuti. Kadang berbelok dan lenyap di suatu tempat tapi muncul lagi kalau ada tanah basah. Hal ini membuat Soat Eng marah-marah dan tentu saja pengejarannya terlambat, berkali-kali harus meneliti kalau tak ingin kehilangan jejak. Ia tak tahu bahwa saat itu adiknya sudah berhadapan dengan pasukan Togur, menghajar mereka tapi akhirnya tertangkap. Dan ketika gadis ini memaki-maki dan hampir menangis mendadak terdengar auman lirih dan Siauw-houw muncul dengan tubuh barut-barut.
"He, kau!" Soat Eng marah tapi juga girang. "Mana Beng An? Kenapa kau menjadi begini?"
Harimau itu merintih-rintih. Soat Eng hampir saja memukulnya kalau tak ingat bahwa harimau ini telah kehilangan induknya. Siauw-houw patut dikasihani karena sekarang yatim-piatu. Anak harimau itu mengeluh dan mendekam di kaki Soat Eng, menjilat-jilat ujung sepatunya. Dan ketika Soat Eng tertegun karena tak biasanya harimau cilik itu begitu tiba-tiba dilihatnya mata anak harimau ini berair.
"Eh, kau menangis!" Soat Eng terkejut, tiba-tiba berdebar tak enak. "Mana tuanmu, Siauw-houw? Mana Beng An?"
Siauw-houw tak dapat menjawab. Dia hanya mengeluarkan auman lirih berkali-kali dan Soat Eng pucat. Tahulah dia bahwa sesuatu sedang terjadi dengan adiknya. Celaka, mungkin adiknya masuk jurang. Atau barangkali terpeleset di tempat yang tinggi dan Soat Eng pun menggigil, pucat. Dan ketika dia bingung dan gelisah dan membentak-bentak Siauw-houw setengah menangis tiba-tiba harimau itu bangkit berdiri meloncat ke kiri.
"Heii...!" namun harimau itu menoleh mengibaskan ekornya. Soat Eng tertegun tapi segera mengerti bahwa Siauw-houw kiranya mengajak ke suatu tempat, mengaum dan mengipat-ngipatkan lagi ekornya seperti biasanya dia hendak memberi tahu sesuatu. Soat Eng hapal gerakan-gerakan itu karena betapapun dia cukup akrab dengan Siauw-houw, meskipun tidak seakrab Beng An karena adiknya itulah yang menundukkan dan menjinakkan harimau ini. Dan ketika dia berkelebat dan mengikuti harimau itu ternyata Siauw-houw mengajaknya berjalan lurus untuk akhirnya berbelok dua kali dan tibalah dia di tikungan itu, memandang ribuan orang yang bergerak menuju ke arahnya dan kiranya dia bertemu dengan pasukan musuh!
Soat Eng tertegun sekaligus terkejut karena mengertilah dia apa yang terjadi selanjutnya. Siauw-houw menggaruk-garuk kaki dan menggeram-geram ke arah pasukan itu. Mereka masih berada sekitar empat ratus meter dan sebentar lagi akan bertatap muka. Soat Eng bangkit kemarahannya. Maka begitu dia mengerti dan maklum adiknya bertemu pasukan ini tiba-tiba dia bergerak dan sudah berkelebat menghadang pasukan itu.
"Hei, berhenti!" pasukan itu terkejut. "Dimana adikku yang bertemu kalian!"
Orang-orang melongo. Mereka melihat Soat Eng tahu-tahu muncul begitu saja, seperti iblis. Gadis ini memang mengerahkan Jing-sian-engnya dan Bayangan Seribu Dewa itu membuat tubuhnya mencelat dan tahu-tahu sudah di situ. Jarak empat ratus meter hanya ditempuh sepersekian detik saja dan muncullah puteri Pendekar Rambut Emas ini seperti siluman. Siauw-houw mengaum di belakang tapi segera mengejar, tak lama kemudian tiba dan sudah berdiri di samping gadis ini. Gagah dan cantik benar. Namun begitu orang-orang melihat Siauw-houw, harimau yang dikenal itu tiba-tiba mereka gaduh dan menuding-nuding.
"Ah, ini kiranya kakak perempuan bocah laki-laki itu. Ha-ha, cantik sekali. Tangkap saja sekalian!"
"Benar, dan siauw-ong tentu gembira, kawan-kawan. Serang dan tangkap dia!"
Soat Eng berkilat matanya. Belasan orang tiba-tiba maju dan tertawa-tawa, mereka berteriak kegirangan seolah mendapat barang menarik. Tapi begitu mereka menggerakkan senjata dan mau menyerang, menakut-nakuti tiba-tiba Siauw-houw menggeram dan mencelat menggigit dan mencakar mereka itu, mendahului dan tentu saja belasan orang ini berteriak kaget. Mereka menusuk dan membentak tapi serangkum angin tiba-tiba menahan.
Senjata tak dapat digerakkan dan akhirnya leluasalah harimau itu menggigit dan mencakar. Dan ketika semuanya menjerit-jerit dan berteriak melepas senjata maka belasan orang itu kocar-kacir dan yang lain maju membentak, marah kepada Siauw-houw dan mau mengeroyok binatang itu tapi Soat Eng sudah memanggil.
Harimau ini disuruh kembali dan Siauw-houwpun menurut, meloncat balik dan sudah berdiri lagi di samping nonanya sambil mengibas-ngibaskan ekornya. Mulutnya menyeringai dan beberapa bercak darah dikecap-kecap, itulah darah dari orang-orang yang digigitnya! Dan ketika semua tertegun dan marah kepada binatang itu, maju mengurung Soat Eng maka gadis ini bertolak pinggang mendengus menanyakan adiknya.
"Kalian kiranya sudah menangkapnya. Bagus, serahkan kembali kalau tak ingin mampus. Aku datang secara baik-baik dan jangan membuat marah!"
"Keparat!" seorang pemimpin yang berkumis tebal membentak maju. "Kau dan adikmu sama-sama pengacau, nona. Justeru kamilah yang akan minta secara baik-baik agar kau menyerah. Kau kami tangkap, dan jangan melawan!"
"Hm, begitu? Bagus, kalau begitu terimalah ini!" dan Soat Eng yang tidak banyak bicara lagi tiba-tiba berkelebat dan menampar si kumis tebal itu, disambut bacokan senjata tapi belum sepenuhnya diangkat tiba-tiba senjata itu mencelat dari tuannya.
Si kumis kaget dan berteriak mundur, tak tahunya kalah cepat dan tahu-tahu dia terlempar dan terbanting ketika tamparan itu mendarat di pipinya. Suara berkeratak rupanya membuat pelipis orang retak dan si kumis tebal itu menjerit untuk akhirnya tidak bergerak-gerak lagi, roboh di tanah, tertelungkup. Dan ketika yang lain kaget dan berseru keras, gentar, tiba-tiba Soat Eng sudah melanjutkan gerakannya dan tubuhnya berkelebatan di antara satu perajurit ke perajurit yang lain dan segera terdengarlah pekik ngeri atau kesakitan orang-orang ini, yang terjungkal dan roboh satu per satu dan ributlah tempat itu oleh kemarahan Soat Eng yang tak dapat dibendung lagi.
Sekarang dia tahu bahwa adiknya benar-benar tertangkap, dia mengamuk dan lima puluh orang segera roboh malang-melintang sambil merintih-rintih. Soat Eng tidak membunuh melainkan hanya mematahkan kaki tangan orang-orang itu, menghajarnya dan tak ada yang sanggup lagi untuk bangun berdiri. Yang di belakang menjadi panik dan gentar dan keributan itulah yang didengar Cam-kong dan Togur, yang segera memerintahkan suhunya untuk melihat apa yang terjadi. Dan ketika kakek tinggi kurus itu akhirnya melihat apa yang terjadi dan bayangan Soat Eng berkelebatan di antara pasukannya maka kakek ini tertegun dan tentu saja mengenal gadis itu.
"Puteri Pendekar Rambut Emas...!" Cam-kong terkejut. Sang kakek langsung berkerut alisnya dan sikap jerih jelas tak dapat disembunyikan lagi. Gerakan Jing-sian-eng yang luar biasa cepat itu selalu mengingatkannya akan pertandingan-pertandingan dulu di mana dia tak tahan menghadapi gadis ini. Baik Soat Eng apalagi Thai Liong tak ada yang dapat menandingi. Gadis itu seharusnya tandingan Togur. Tapi karena muridnya sudah memberi perintah dan tak mungkin mundur kalau tak ingin didamprat maka kakek ini berkelebat maju dan apa boleh buat harus menghadapi dulu gadis itu.
"Berhenti!" kakek ini langsung melepas Cam-kong-ciangnya. Dengan licik dan curang dia menyerang dari belakang, menghantam punggung gadis itu yang sedang berkelebatan mengobrak-abrik pasukannya. Tapi karena Soat Eng mendengar bentakan itu dan kesiur angin dingin pun dirasanya dari belakang maka cepat gadis ini membalik dan menangkis.
"Dukk...!" dan... Cam-kong pun terpental serta berjungkir balik mengeluarkan seruan keras. Soat Eng mengerahkan Khi-bal-sin-kangnya dan pukulan Bola Sakti itu menangkis Cam-kong-ciangnya. Dari kesiur angin di belakang itu gadis ini tahu bahwa seorang lawan yang kuat sedang mencuranginya, dia tentu saja terkejut dan marah. Dan karena Khi-bal-sin-kang adalah ilmu yang dapat diandalkan dan memang itulah ilmu dahsyat yang dapat dipakai menolak segala macam pukulan maka Soat Eng pun melakukan itu dan Cam-kong berjungkir balik tertolak oleh serangannya sendiri, harus mengelak dan akhirnya kakek itu turun dengan selamat.
Tapi begitu Soat Eng melihatnya dan Siauw-houw mengaum-aum disana, gentar dan jerih melihat kakek itu tiba-tiba gadis ini maklum bahwa inilah kiranya biang keladi tertangkapnya Beng An. Soat Eng mendelik dan baru kakek itu menginjakkan kaki di tanah tiba-tiba sudah dibentak, tubuh berkelebat dan meluncurlah pukuklan Tiat-lui-kang menyambar si kakek. Cam-kong terbelalak tapi segera teringat Beng An, menangkis dan menggeram karena iapun marah. Tapi karena Soat Eng bukanlah Beng An dan Tiat-lui-kang di tangan gadis ini jelas lain dengan Tiat-lui-kang di tangan Beng An maka sinar api menyambar ketika ledakan keras terdengar di tengah-tengah pukulan di mana baju kakek itu seketika terjilat.
"Dess-augh...!" si kakek terguling-guling. Dia harus memadamkan api yang membakar bajunya itu sementara dia melompat bangun. Tapi begitu bangun tahu-tahu Soat Eng sudah menyerangnya lagi, membentak dan berkelebatan dan sibuklah kakek ini mengelak ke sana-sini. Soat Eng mempergunakan Jing-sian-engnya dan kalang-kabutlah lawannya. Cam-kong memaki-maki dan beberapa kali harus jatuh bangun, kalah cepat dan selalu mendapat tamparan atau pukulan Tiat-lui-kang. Dan karena pukulan itu berhawa panas dan kakek ini harus mengerahkan sinkangnya untuk bertahan maka Cam-kong berteriak-teriak dan menyuruh pasukannya maju membantu.
Namun, siapa dapat maju? Hawa panas yang menyambar-nyambar dari pukulan Soat Eng sudah menahan orang-orang itu. Dalam jarak lima meter tak ada yang sanggup mendekat, siapa yang coba-coba tentu menjerit karena tubuhnya terbakar, hangus! Dan ketika Cam-kong berteriak-teriak karena terdesak hebat maka muncullah Siauw-jin yang mendengar suitan rekannya, tanda minta tolong.
"Des-dess!" kakek cebol itu langsung menghantam. Sama seperti Cam-kong ia pun tidak memberi tanda, berkelebat dan membokong Soat Eng dari belakang. Gadis ini terpental karena tak menduga, untung berjungkir balik dan segera melihat si setan cebol itu, memaki dan membentak dan Soat Eng akhirnya berkelebatan mengelilingi dua orang lawannya ini. Sekarang Tiat-lui-kang dibantu Khi-bal-sin-kang dan Siauw-jin yang suka membokong berteriak karena pukulannya membalik. Mula-mula Soat Eng terdesak tapi kini sudah balik mendesak lawan.
Sebentar kemudian Jing-sian-eng yang dipergunakannya selalu mendahului lawan dan berkaok-kaoklah iblis cebol itu karena dia mendapat balasan atau pukulan Soat Eng yang bertubi-tubi. Sebentar Khi-bal-sin-kang dan sebentar Tiat-lui-kang. Tubuh kakek ini matang biru dan kalau bukan Siauw-jin tentu sudah roboh terkapar. Siauw-jin akhirnya mencabut sepasnag sabitnya itu namun ternyata sia-sia juga. Dia tergetar dan terpental kalau bertemu Khi-bal-sin-kang. Dan ketika Cam-kong di sana juga terhuyung dan jatuh bangun oleh pukulan lawan akhirnya kakek tinggi kurus ini merintih dan memutar tubuhnya.
"Lari, kita lapor kepada murid kita!"
Siauw-jin mengeluh. Kakek cebol ini harus terbanting lagi ketika pukulan Soat Eng menyambar, tak sempat berkelit dan bergulingan menjauh lalu melompat bangun, melarikan diri. Dan ketika Soat Eng membentak dan tentu saja mengejar maka dua kakek iblis itu berseru pada pasukannya agar menghadang.
"Jaga dia, jangan sampai maju!"
"Bagus, boleh menghadang kalau ingin mampus.... des-des-dess!" dan Soat Eng yang menjawab dengan dorongan-dorongan tangannya akhirnya membuat berantakan siapa saja yang maju, terpaksa menghadang karena takut terhadap dua kakek itu tapi malah terlempar dan terbanting oleh pukulan-pukulan gadis ini. Soat Eng mengejar dua orang lawannya di mana tiba-tiba dia berjungkir balik dan melayang di atas kepala para perajurit, memburu. Dan ketika Cam-kong kembali menerima pukulan jarak jauhnya dan kakek itu terpelanting disana maka tiba-tiba terdengar bentakan dan sesosok bayangan tinggi besar berkelebat.
"Berhenti!"
Soat Eng terkejut. Dari arah kanan menyambar sebuah pukulan yang kuat luar biasa, ditangkis dan terdengar dentuman mirip gunung pecah. Dan ketika Soat Eng berteriak tertahan dan terlempar tinggi, lawan juga terlempar dan berjungkir balik di udara maka berdirilah di situ pimpinan dari semua pimpinan yang ada, Togur!
"Ha-ha!" Soat Eng terkejut melayang turun ke tanah, berjungkir balik. "Kau kiranya datang menyusul adikmu, Soat Eng. Bagus sekali, selamat bertemu!"
Soat Eng merah padam. Sekarang dia sudah berdiri dengan lawannya itu, berhadapan. Togur menggapaikan lengannya ke belakang dan tahu-tahu sebuah kerangkeng baja tersedot, datang dan melekat di tangan pemuda tinggi besar itu. Dan ketika Soat Eng terbelalak karena di dalam kerangkeng itu terlihat adiknya, Beng An, maka hampir berbareng enci dan adik itu saling berteriak,
"Enci...!"
"Beng An...!" Soat Eng berkelebat. Langsung saja gadis ini menyambar kerangkeng namun Togur meniup. Kerangkeng menjauh dan tahu-tahu melesat ke arah Cam-kong, ditangkap dan diterima kakek itu dan gusarlah Soat Eng akan perbuatan lawan. Dan ketika dia membalik dan memaki Togur maka pemuda tinggi besar itu merangkapkan tangan, berseri-seri.
"Soat Eng, sudah lama aku menunggumu. Bagus, aku akan menyerahkan adikmu secara baik-baik, tapi penuhilah permintaanku akan satu hal. Maukah kau mendengarnya?"
"Keparat, apalagi yang kau minta, Togur? Kau mau menyuruhku menyerahkan diri? Kau mau minta aku ditangkap dan dijadikan satu dengan adikku? Jahanam terkutuk, permintaanmu tak akan kupenuhi!"
Soat Eng marah-marah, memaki dan siap menerjang pemuda itu namun Togur buru-buru menggoyang lengan. Pemuda ini tersenyum dan tertawa berkata bukan, bukan itu. Dan ketika Soat Eng menghardik apa yang diminta pemuda itu maka dengan sungguh-sungguh dan muka dibuat memelas pemuda ini menarik napas, menjawab,
"Aku ingin kau mendampingiku. Aku akan menyerbu istana, menjadi kaisar. Kau bersedialah menjadi permaisuriku dan duduk di tahta agung!"
"Keparat!" Soat Eng menjadi merah padam. "Kau tak tahu malu dan memuakkan, Togur. Belum menjadi kaisar saja sudah membayangkan diri sebagai kaisar. Cih, kau tak tahu diri. Kau tak akan dapat merebut kota raja dan ketahuilah bahwa tiga orang subomu sudah ditangkap di sana!"
"Hm!" pemuda ini terkejut, matapun tiba-tiba bersinar. "Bagaimana kau tahu itu? Siapa yang menangkap?"
"Aku!" Soat Eng bersikap cerdik, membentak. "Aku yang menangkap tiga subomu itu, Togur. Dan kini aku hendak menangkapmu pula!" dan Soat Eng yang berkelebat serta tidak mau diajak bicara lagi tiba-tiba melengking dan menghantam dengan Khi-bal-sin-kang. Menghadapi pemuda ini tak mungkin dia mempergunakan Tiat-lui-kang. Togur telah memiliki ilmu-ilmu warisan kakeknya dan tadi dia sudah merasakan kehebatan pemuda itu, ketika Togur menolong gurunya dengan melepas Khi-bal-sin-kang. Dan ketika lawan mengelak dan Togur berkelebat dengan Jing-sian-engnya, siap diburu tiba-tiba pemuda ini berseru keras mencegah Soat Eng menyerangnya lagi.
"Tunggu, tahan...!" dan ketika Soat Eng harus menahan serangannya karena lawan menyambar Beng An, yang dilepas dari kerangkengnya maka pemuda itu bertanya apakah Soat Eng bicara benar.
"Maksudmu?" Soat Eng marah. "Kau kira aku bohong? Kau anggap aku dusta?"
"Tidak, nanti dulu. Tapi sebutkan apakah kau bersama ayah ibumu!"
Soat Eng terkesiap. Ternyata lawannya ini cerdik dan sekarang memaksa dia untuk menjelaskan hal itu. Apakah dia bersama ayah ibunya. Tapi ketika dia hendak menggeleng dan menjawab tidak, demi mengelabuhi pemuda itu tiba-tiba saja Beng An yang dicengkeram pemuda itu berteriak, mendahului,
"Benar, ayah dan ibu ada bersama kami, Togur. Dan kau akan mampus bertemu mereka. Lepaskan aku, atau kau nanti kubunuh!"
Soat Eng dan Togur sama-sama terkejut. Soat Eng terkejut karena kenapa adiknya itu berterus terang sementara Togur terkejut karena apa yang dikhawatirkan benar. Kalau Kim-mou-eng dan isterinya ada di situ maka celakalah dia. Dia belum tahu apakah Kim-mou-eng membantu istana kerajaan. Tapi sementara dia tertegun dan membelalakkan mata tiba-tiba Soat Eng sudah menerjang dan membentak agar dia melepaskan anak laki-laki itu.
Dan ketika Togur mengelak dan marah melempar Beng An pada gurunya maka Soat Eng sudah bertubi-tubi melepas pukulan, berkelebatan dan akhirnya lenyap mengelilingi pemuda itu dimana Togur juga harus cepat mengimbangi. Yang dapat menghadapi puteri Pendekar Rambut Emas ini hanyalah dirinya. Pemuda itu marah dan mulai membentak Soat Eng yang terus menghujaninya dengan pukulan-pukulan.
Semua orang yang ada disitu akhirnya mundur tak kuat menerima dorongan atau hawa pukulan Soat Eng, apalagi ketika Togur membalas, terpaksa melepas pukulan-pukulan pula dan bertandinglah keduanya tanpa dapat dicegah lagi. Beng An bersorak-sorak memberikan semangat pada encinya tapi tiba-tiba mulutnya ditampar, disuruh diam. Dan ketika anak itu masih terus juga berteriak-teriak, tak perduli suaranya yang sumbang akhirnya Cam-kong menotok dan robohlah anak itu dicengkeraman si kakek tinggi kurus.
Soat Eng sudah berkelebatan di sana dan Togur melayaninya dengan cepat, menyuruh dua gurunya agar berjaga dan waspada siapa tahu musuh-musuh baru datang. Pertandingan dua orang ini akhirnya diikuti semua orang dan melengking-lengkinglah Soat Eng melihat Togur mempergunakan ilmu-ilmu yang sama. Teringatlah dia ketika dulu dia menghadapi si maling berkedok, yang ternyata bukan lain adalah pemuda ini. Dan ketika Soat Eng menambah kecepatannya tapi lawan juga mengimbangi dan mengiringi sepak terjangnya maka dua orang itu lenyap dan tak ada lagi yang dapat mengikuti.
Tapi di luar tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Saat itu perhatian semua orang bisa dikatakan sedang terpusat disini. Cam-kong dan lain-lain kagum karena inilah pertandingan cepat yang amat dahsyat, juga termasuk tingkat tinggi dan tentu saja mereka tertarik. Jarang mereka menyaksikan pertandingan seperti itu. Tapi ketika suara gemuruh disusul oleh teriakan-teriakan dan pekik kaget maka di atas tebing, di tempat dimana sebagian besar pasukan masih berdiri tiba-tiba berjatuhan batu-batu besar dan anak-anak panah berapi.
"Musuh! Kita diserang, musuh! Awas, pasukan kerajaan datang...!"
Semua geger. Cepat dan seperti siluman saja tiba-tiba pasukan yang ada disitu diserang oleh sepuluh ribu pasukan kerajaan. Di saat perhatian semua orang sedang tertuju kepada pertandingan Soat Eng dengan Togur tiba-tiba saja pasukan Cen-goanswe datang. Itulah saat yang tepat sekali baginya untuk menyerang. Lawan sedang berada di bawah tebing dan jenderal itu memecah pasukannya menjadi beberapa bagian. Yang ada di depan disuruh naik ke atas dan menjatuhkan batu-batu besar atau anak-anak panah berapi sedang yang lain cepat bergerak dan mengepung lembah.
Kedudukan lawan yang terjepit di antara tebing dan ceruk yang lebar sungguh bagus sekali untuk diserang. Cen-goanswe sudah melihat itu dan memberi aba-aba tanpa banyak bicara, benderanya dikebutkan dan bergeraklah sepuluh ribu pasukannya menyerang dari depan dan belakang, juga atas dan kiri kanan. Dan karena musuh dibuat terkejut karena tiba-tiba Cen-goanswe muncul bersama pasukannya maka pasukan liar di bawah pimpinan Togur dan dua gurunya ini kalang-kabut, membentak dan menyambut tapi hujan paanh berhamburan dari segala penjuru.
Togur sendiri terkejut karena tak menyangka itu. Yang disangka adalah kedatangan Kim-mou-eng dan isterinya, bukan pasukan besar dari kota raja! Maka ketika dia terbelalak dan kaget menerima sebuah tamparan Soat Eng tiba-tiba dia terhuyung dan cepat membentak gurunya untuk menahan musuh. "Jangan menonton lagi. Sapu dan hantam mereka!"
Dua orang itu mengangguk. Siauw-jin dan Cam-kong membelalakkan mata lalu berkelebat lenyap. Mereka juga tak menyangka bahwa yang datang justeru adalah sebuah pasukan besar, bukan Kim-mou-eng atau isterinya. Namun ketika kakek-kakek iblis itu membentak di depan memimpin pasukannya, Siauw-jin berkelebat ke kiri sementara Cam-kong ke kanan tiba-tiba saja seperti bertemu hantu di siang bolong dua orang itu berhadapan dengan orang-orang yang ditakuti, Pendekar Rambut Emas dan isterinya!
"Hm, kau!" Cam-kong mendengar desis di belakang. "Untuk apa membawa-bawa anak kecil, kakek siluman? Lepaskan, dan berikan padaku!"
Cam-kong terkejut, mendengar kesiur angin di belakang dan belakang kakinya ditusuk. Angin itu tampak lemah dan Cam-kong menangkis, membalik. Dia mengira seorang perwira atau sebangsanya itu. Maklumlah, tusukan di belakang ini tidak menunjukkan seorang lawan kuat dan kakek itu mengibas. Namun ketika tangkisannya tertelan oleh sesuatu dan entah bagaimana tusukan yang lemah itu tiba-tiba berubah kuat dan tajam, mengejutkan kakek ini maka bagai ketemu hantu saja Cam-kong melihat seorang nyonya cantik sudah menangkap jari-jarinya itu.
"Kim-hujin (nyonya Kim)....!" dan selanjutnya kakek ini melempar tubuh ke kiri, membetot dan melepaskan jari-jarinya yang tertangkap si nyonya dan untuk itu tentu saja dia harus melepaskan Beng An. Anak ini tak dapat dipertahankan lagi karena jari-jari si nyonya yang lain sudah bergerak ke belakang lehernya, melakukan totokan, padahal saat itu belakang lututnya serasa lumpuh karena tendangan si nyonya, yang sudah merubah gerakannya dengan sapuan kaki. Dan karena semuanya itu dapat diselamatkan kalau dia membanting tubuh bergulingan, hal yang sudah dilakukan Cam-kong maka kakek itu mengeluarkan seruan tertahan sementara Beng An yang sudah disambar ibunya berteriak girang.
"Ibu...!"
Swat Lian, isteri Pendekar Rambut Emas ini mengangguk. Dia tersenyum dan mencium Beng An tapi dijewernya telinga anak itu kenapa pergi secara diam-diam. Beng An meringis tapi tertawa dan balik mencium pipi ibunya, berkata bahwa dia secara tak sengaja bertemu dengan musuh dan sudah meroboh-robohkan lima puluh orang lebih, sayang ditangkap dan dibekuk kakek tinggi kurus itu, yang diserang ibunya. Dan ketika Swat Lian teringat dan menurunkan puteranya, menoleh, ternyata Cam-kong sudah kabur dan entah lenyap kemana. Tak berani menghadapi nyonya yang hebat ini!
"Ha-ha, dia lari!" Beng An tertawa berseri. "Kakek itu takut kepadamu, ibu. Ternyata beraninya hanya kepada anak-anak kecil saja. Cih, tak tahu malu!"
"Hm," sang ibu mengangguk. "Kau harus bersamaku, Beng An. Tak boleh kemana-mana. Hayo ceritakan padaku apakah See-ong si kakek iblis ada disini?"
"Tidak," anak itu kecewa. "Disini hanya ada Togur dan dua gurunya itu, ibu. Dan sekarang enci Eng sedang bertempur dengan pemuda itu. Mari kita lihat tapi manakah ayah?"
"Hm, ayahmu sedang mencari musuh-musuhnya. Kalau See-ong tak ada di sini barangkali dia berhadapan dengan Siauw-jin. Sudahlah, mari kita lihat encimu dan itu Siauw-houw!"
Beng An berseri. Siauw-houw, harimaunya itu tiba-tiba menyeruak di balik peperangan yang berkobar, gigit sana gigit sini dan mencakar serta mengaum atau mengelak kalau ada panah atau tombak menyambar. Harimau kecil itu lincah berkelit dan menyerang. Lucu, tapi juga mengagumkan! Dan ketika Beng An bersuit dan memanggil harimaunya itu, yang girang dan meloncat panjang tiba-tiba anak ini sudah meloncat di pungung harimaunya.
"Ha-ha, sekarang kau bertempur tidak sendirian, Siauw-houw. Ayo bawa aku menyikat musuh dan terjang siapa saja yang ada di depan!"
Siauw-houw mengipatkan ekornya empat kali. Harimau itu mengaum dan sudah meloncat kembali, menerjang dan menggigit sana-sini sementara Beng An melepas pukulan-pukulan dari atas punggungnya. Swat Lian mengerutkan kening tapi segera tersenyum, berkelebat dan menjaga puteranya itu dari serangan-serangan tombak atau panah yang berhamburan dari mana-mana.
Maklumlah, ibu ini khawatir kalau puteranya terluka, padahal kalau menghadapi musuh-musuh biasa saja tak mungkin Beng An roboh. Anak itu dapat menjaga diri dan tombak atau panah yang menyambarnya sering ditangkap, ditekuk dan dipatah-patahkan. Dan ketika ibunya mengangguk dan tersenyum-senyum, gembira, maka di tempat lain Siauw-jin bertemu dengan Pendekar Rambut Emas, yang berpisah dan berpesan pada isterinya untuk mencari dan menyelamatkan anak-anak mereka...
"Hamba diperintah Siang-kongcu untuk menghadap Siauw-ong (raja muda), menyerahkan sepucuk surat ini!"
"Hm, berikan padaku!" dan Siauw-jin yang sudah merampas serta mendorong perajurit itu, yang roboh terjengkang segera menyambar surat dan menyerahkannya kepada Togur. Muridnya itu mengerutkan kening tapi suruh dia membaca, tak jadi menerima. Dan ketika Siauw-jin merobek dan membaca isi surat maka alis kakek ini menjelirit naik.
"Hm, Siang Le sakit. Bocah itu menyatakan tak dapat membawa pasukannya untuk menyerang kota raja, Togur. Dia minta agar serangan tetap ditunda sampai ketiga subomu datang, atau menunggu dia sembuh!"
"Apa? Sakit? Minta serangan ditunda? Keparat bocah itu, suhu. Suruh perajurit ini kembali dan memberitahukan padanya bahwa serangan tak dapat ditunda-tunda lagi. Aku akan berangkat dan tetap menyerang!"
"Tapi bocah itu sakit...!"
"Aku yang akan memimpin sendirian!"
"Tapi.... tapi kau sudah memecah pasukanmu menjadi dua bagian, Togur. See-ong tentu marah sekali dan menganggap kau menghina muridnya!"
"Hm!" Togur tiba-tiba berkilat matanya. "Kau tunduk kepadaku atau orang lain, suhu? Kau mau membela aku atau Siang Le?"
"Eh, tidak! Nanti dulu! Aku tentu saja tunduk dan membelamu. Tapi dengar kata-kataku. Tekan dan kendalikan kemarahanmu, Togur. Kalau kau memaksa dan mengambil alih pasukan Siang Le tentu See-ong akan gusar dan kita pecah! Dan kau tahu siapa kakek ini. Kita semua membutuhkan See-ong karena kalau Kim-mou-eng atau anak isterinya muncul maka kakek ini dapat diandalkan dan cita-citamu berhasil! Sabar... sabar, Togur. Jangan marah dulu dan dengar kata-kataku. Atau semuanya bakal berantakan kalau menurutkan hawa amarah saja!"
Siauw-jin tergesa-gesa bicara, gugup dan cepat menggoyang-goyang lengan agar muridnya bersabar. Dia tahu apa artinya mata yang berkilat berbahaya itu karena Togur sedang marah. Sewaktu-waktu pemuda ini dapat membunuh siapa saja termasuk dirinya. Dia takut tapi lebih takut lagi kalau cita-cita perjuangan muridnya tak berhasil. Ini jauh lebih berbahaya daripada dia dibunuh. Maka ketika kakek itu mengingatkan dan Togur sadar, tertegun, maka pemuda ini bertanya apa yang sebaiknya dilakukan.
"Kita menunda serangan, menunggu beberapa hari lagi siapa tahu ketiga subomu datang. Atau menunggu Siang Le sembuh dan baru kita menyerang!"
"Benar," sesosok bayangan berkelebat, muncul seperti iblis. "Apa yang dikata suhumu ini tidak salah, Togur. Kita harus menjaga hubungan baik kita dengan See-ong, atau semuanya bakal rusak dan kita berhantam sendiri!"
Togur menoleh. Itulah gurunya yang tinggi kurus, Cam-kong. Kakek bermuka pucat ini datang memberi tahu bahwa Togur tak boleh diburu nafsu. Mengambil alih pimpinan padahal pasukan sudah dibagi dua amatlah berbahaya kalau tak disetujui Siang Le. Dan ketika Togur mengerutkan kening dan apa boleh buat harus menunda maksud serangannya maka pemuda ini menggeram mengepal tinju.
"Baiklah, kalian kuturuti, tapi semua itu ada batas waktunya. Kalau seminggu lagi Toa-ci dan lain-lain belum kembali sementara Siang Le juga masih sakit maka akan kuminta See-ong untuk menggempur musuh. Perbekalan kita bisa habis kalau hanya menunggu-nunggu di sini saja!"
Perajurit itu kembali. Dia pucat dan gemetar ketika melihat Togur marah. Kilatan berbahaya dari pandang mata pemuda itu juga cukup dikenalnya baik. Togur adalah pimpinannya di situ sebelum dia di bawah kekuasaan Siang Le, murid See-ong. Dan ketika hari itu lagi-lagi kemarahan Togur ditahan dan ditekan maka hari-hari berikut merupakan siksaan yang cukup berat bagi pemuda ini.
Ji-moi dan lain-lainnya itu tak kembali. Togur mondar-mandir di ruangannya sementara mukapun merah padam. See-ong akhirnya ditemui tapi kakek itu tenang-tenang saja. Bagi See-ong, hilangnya Ji-moi atau Toa-ci tak jadi soal. Mereka itu bukan pembantunya lagi, mereka adalah pembantu Togur, pemuda luar biasa yang kini menjadi lihai itu. Namun ketika Togur bertanya apakah mereka berpangku tangan di situ saja menghabiskan ransum maka kakek ini menyeringai dan tertawa aneh.
"Tentu tidak, Togur. Tapi bagaimana maumu? Kau sudah sering memimpin pasukan besar, tentunya lebih tahu daripada aku."
"Aku ingin menyerang seminggu lagi. Kau pimpinlah pasukan muridmu kalau muridmu belum sembuh!"
"Hm, begitukah? Tapi aku tak berbakat sebagai panglima perang, dan aku lebih suka bertanding sendiri-sendiri!"
"Kalau begitu serahkan pasukanmu kepadaku, See-ong. Biar kupimpin dan kau membantuku!"
"Wah, itu pasukan muridku. Sebaiknya kau bertanya pada Siang Le!"
"Hm, kau gurunya, dan pasukan itupun sampai kupecah adalah karena kau! Kenapa meminta pada Siang Le? Bukankah kau dapat mengambil keputusan?" Togur mendongkol.
"Ha-ha, jangan marah, bocah. Meskipun aku yang membuatmu memecah pasukan tapi wewenang atau kekuasaan pasukan itu sudah kuberikan kepada muridku. Sebaiknya kau berunding dengannya dan cobalah tanya!"
Togur mendongkol. Kalau saja kakek ini bukan See-ong dan dia tidak membutuhkan bantuannya tentu kakek itu sudah dibunuh. Tapi See-ong amatlah lihai, dan kepandaian mereka berimbang. Gara-gara berimbang inilah See-ong lalu meminta 'jatah kekuasaan' untuk mereka berdua, yang lalu memberikannya kepada muridnya, Siang Le. Dan ketika Togur datang dan menjenguk Siang Le maka apa yang sebelumnya sudah diduga dijawab oleh pemuda itu.
"Aku tak mau kau mengambil alih pasukanku. Tinggal menunggu aku sembuh atau tunggu saja sampai ketiga gurumu datang!"
"Hm, kau tak kelihatan sakit, Siang Le. Kau sehat-sehat saja! Penyakit apa yang kau derita ini? Atau kau hanya berpura-pura saja untuk menghindari perang?"
"Apa?" pemuda itu membentak. "Jaga mulutmu, Togur. Aku tampaknya tidak sakit tapi sesungguhnya seluruh tubuhku lemah. Kau jangan menghina aku!"
"Hm, kalau begitu coba kulihat!" dan Togur yang tiba-tiba bergerak dan menyerang pemuda itu, melakukan totokan tiba-tiba membuat Siang Le terkejut dan berteriak marah, menangkis tapi terlempar dan Togur tertegun karena benar saja tenaga pemuda itu lemah.
Togur tak tahu bahwa sebenarnya Siang Le sedang menderita tekanan batin hebat. Dia tak suka memimpin serangan itu tapi gurunya memaksa, terjadi pergulatan dan jadilah pemuda itu terkena himpitan batin. Dan ketika dalam peperangan dilihatnya korban-korban yang berjatuhan maka pemuda ini semakin ngeri lagi dan suatu hari sekonyong-konyong tubuhnya lemah. Dan hari itu Togur datang, menghina dan menyerangnya dan Siang Le semakin gusar saja. Serangan tiba-tiba yang dilancarkan Togur untuk membuktikan sakitnya membuat pemuda ini mendelik. Maka ketika dia menangkis dan terlempar, tenaganya hilang tiga perempat bagian maka Togur percaya namun saat itu berkelebat bayangan See-ong.
"Togur, jangan menghina muridku. Atau kita baku hantam di sini!"
"Maaf," Togur membalik. "Aku hanya ingin membuktikan apakah benar muridmu sakit atau tidak, See-ong. Kalau benar maka aku percaya. Tapi betapapun ini sudah hari kelima, tinggal dua hari lagi. Kau sendiri yang menyuruhku menemuinya dan kini aku datang bertanya!"
"Hm, bagaimana, Siang Le? Kau mau pemuda ini memimpin serbuan?"
"Pasukanku adalah pasukanku, mereka harus tunduk kepadaku. Kalau Togur tak sabar untuk menunggu silahkan menyerang sendiri, dengan pasukannya!"
"Atau kau yang membujuk muridmu ini untuk memimpin bersamaku," Togur mengerling. "Kau dan aku dapat berdampingan, See-ong. Meskipun kau tak pandai mengatur pasukan tapi aku dapat memimpinmu, kita tetap bersama-sama!"
"Hm, bagaimana, Siang Le? Kau setuju?"
"Kalau suhu mau mengambil alih pasukan boleh-boleh saja, itu hak suhu. Tapi sekali suhu melakukan itu maka untuk selanjutnya aku tak mau memimpin pasukan dan lepas tangan!"
See-ong garuk-garuk kepala. Sebenarnya dia juga sudah membujuk muridnya itu tapi begitulah selalu jawaban Siang Le. Dia boleh membawa pasukan tapi selanjutnya Siang Le tak mau memimpin lagi. Dan karena kakek ini ingin mengangkat muridnya ke kursi singgasana dan jawaban itu tentu saja bertolak belakang dengan maksudnya maka kakek ini memandang Togur dan berkata.
"Lihat, kau dengar sendiri jawabannya, Togur. Kalau kau tak sabar memang sebaiknya kau bawa saja pasukanmu sendiri dan menggempur kota raja. Sedang muridku, hmmm... tetap disini bersama pasukannya!"
"Tapi ransum akan habis, pasukan kita bisa kelaparan! Apakah kau tidak melihat ini, See-ong? Apakah kau demikian bodoh tak dapat mempengaruhi muridmu?"
Kakek itu melotot. "Apa katamu? Kau membodoh-bodohkan orang tua? Keparat, jaga mulutmu, Togur. Atau aku akan menghantammu dan kita mampus di sini!"
Togur juga marah. Dia mau membentak dan memaki kakek itu ketika tiba-tiba dua gurunya muncul. Cam-kong dan Siauw-jin melihat bahayanya ketegangan ini, cepat membungkuk dan menyabarkan muridnya sambil melirik ke arah See-ong. Si kakek diberi tanda agar bersabar pula. Dan ketika kakek itu melotot dan Siauw-jin melipat punggung maka setan cebol ini mengajak muridnya keluar.
"Sudahlah, kita semua adalah teman seperjuangan. Waktu masih dua hari lagi dan kami akan memikirkannya kembali. Kalau Siang-kongcu masih lemah tenaganya dan Togur ingin menyerbu barangkali kami terpaksa akan bergerak sendirian, kalian menyusul. Maafkan kami, See-ong. Tapi kau sebagai orang tua tentu juga memiliki pertimbangan. Biarlah kami kembali dan dua hari lagi kami akan melihat keputusanmu."
See-ong bersinar-sinar. Togur akhirnya dibawa gurunya dan di sana pemuda itu melampiaskan marahnya. Apa saja yang dilihat tiba-tiba diremas, hancur dan dibuang kemana-mana dan Siauw-jin maupun Cam-kong ngeri. Biasanya, kalau pemuda ini marah maka musuh akan dilabraknya dulu sampai mampus. Tapi karena See-ong yang dihadapi dan kakek iblis itu memiliki kepandaian berimbang maka pemuda ini berhasil dibujuk dan menunggu waktu sampai dua hari lagi. Batas kesabarannya benar-benar habis, sudah sampai dipuncaknya. Dan ketika waktu dua hari itu lewat dan See-ong memberikan jawaban tak berani menggantikan muridnya maka kakek ini diminta untuk menyerang kota raja.
"Kalau begitu pakai saja pasukanku, kau ikut disini. Tinggalkan muridmu dan mari sama-sama menyerbu!"
"Hm, untuk apa begitu banyak orang? Kau dan dua gurumu cukup, Togur. Suhu biar membantuku di sini kalau ada apa-apa!" Siang Le, yang ada di situ dan mendengarkan ternyata menolak.
Togur mengerutkan kening tapi kata-kata itu cukup beralasan. Siang Le segera berkata kenapa dia mesti seperti orang ketakutan menyerbu kota raja, bukankah tak ada orang hebat di sana karena hampir semua panglima dibunuh, yang rata-rata kepandaiannya hanya sebegitu saja. Dan ketika Togur terpukul karena kata-kata ini tepat, serasa menampar mukanya maka dia menggeram dan berkelebat pergi.
"Baiklah, aku tidak penakut, Siang Le. Tapi kalau suhumu tak mau ikut jangan harap dia mendapat bagian dari apa yang kudapat di sana!"
"Hm, suhu tak kemaruk harta. Kau boleh rampas apa saja yang ada di istana. Lakukanlah!"
See-ong mengerutkan kening. Kakek ini menegur kenapa muridnya bersikap sekaku itu, bukankah seharusnya dia ikut berangkat membantu Togur, karena mereka bahu-membahu. Tapi ketika Siang Le tersenyum aneh dan memandang gurunya itu maka pemuda ini berkata,
"Aku melarangmu karena aku tak mau jauh darimu, suhu. Siapa tahu tiba-tiba aku mampus di sini. Sudahlah, biarkan Togur pergi bersama pasukannya dan kau menjaga aku. Atau suhu mau berangkat dan menghendaki aku tahu-tahu mati lemas di sini? Aku butuh pertolonganmu setiap aku merasa kehabisan tenaga!"
See-ong terkejut. Memang muridnya ini menderita penyakit yang aneh. Siang Le tampak lemah dan pucat. Dia sering menyalurkan sinkangnya untuk memulihkan kesehatan muridnya itu. Dan ketika dia sadar bahwa dirinya memang tak boleh jauh-jauh dari muridnya ini maka kakek itu mengangguk-angguk dan menghela napas. "Baiklah.... baiklah, Siang Le. Kau memang benar tapi lama-lama kurasa kau mulai mengendalikan aku. Keparat, murid sialan kau ini!"
Siang Le tertawa hambar. Dia acuh saja melihat gurunya berkelebat pergi dan lenyap meninggalkan ruangan. Di wajahnya tampak sinar kepuasan dan berseri-seri. Tak seorangpun tahu apa yang direncanakannya atau dilakukannya. Pemuda ini bergerak menuju pembaringannya dan beristirahat. Dan ketika See-ong meninggalkan muridnya sementara Togur meledak dalam kekesalannya yang tak dapat dibendung lagi maka pemuda tinggi besar itu menyiapkan pasukannya sendiri dan berangkat.
Togur sudah habis sabar. Kemarahannya akan dilampiaskannya di kota raja nanti. Istana akan digempur dan seluruh kota akan dibumihanguskan. Sudah terlihat di matanya pandangan berbahaya yang keji dan tidak mengenal ampun. Sudah habis kesabarannya menunggu dan menunggu. Ketiga subonya tetap tidak kembali dan tak tahulah dia apa yang terjadi. Dia akan ke kota raja dan kaisar akan ditangkap hidup-hidup. Di depan orang banyak dia nanti akan menyembelih kaisar itu, yang tak mau tunduk dan menyerah padanya. Dan ketika pasukan bergerak dan lima ribu orang dibawa serta maka pasukan yang sudah cukup lama beristirahat itu bersorak-sorai.
Seperti biasanya, mereka lalu bergegap-gempita disepanjang jalan. Pintu gerbang dibuka dan bergeraklah mereka keluar. Dusun-dusun dan kampung yang dilalui segera dijarah, apa saja diambil tapi tak ada orang disitu. Semua penduduk lari ketakutan sebelum ditangkap. Mereka sudah mengenal keganasan dan kebuasan pasukan liar itu, yang tak segan-segan merampas dan mengambili ini-itu, bahkan wanita atau gadis-gadis tak pernah luput dari kekejaman mereka yang suka memperkosa beramai-ramai. Tapi ketika pasukan itu bergemuruh dalam derap langkah mereka disertai nyanyian atau sorakan-sorakan kasar tiba-tiba perajurit terdepan terkejut melihat adanya pandangan ganjil di depan.
"Hei, lihat...!"
Semua memandang. Di sudut jalan, setelah dua hari meninggalkan Tai-yuan tiba-tiba di depan muncul seorang bocah laki-laki menunggang seekor harimau cilik. Bocah itu berdiri menanti dan seolah sengaja menghadang, bukan main, sendirian saja menghadapi ribuan pasukan yang sedang bergerak maju! Dan ketika perajurit pertama melepaskan tudingannya dan pasukan terbelalak maka bocah yang berada di tikungan jalan itu melambai dan berseru,
"Hei, kalian. Maju dan cepat ke sini. Mari kuhajar!"
Pasukan di depan tiba-tiba tertawa bergelak. Mereka seketika berhenti dan pasukan di belakangnya tertegun. Mereka tak tahu apa yang terjadi karena saat itu sebagian dari mereka sedang berada di antara dua tebing tinggi. Kalau yang depan berhenti maka mereka tak dapat bergerak maju, yang lebih belakang lagi juga otomatis berhenti.
Dan Togur yang berada di tengah-tengah pasukannya terkejut dan bertanya kenapa berhenti, padahal tak terlihat adanya musuh atau pasukan lawan yang menyambut mereka. Dan ketika dia diberi tahu bahwa di depan menghadang seorang bocah laki-laki bersama harimaunya, hanya seorang bocah, tiba-tiba pemuda ini mendengus dan memerintahkan seorang gurunya untuk melihat keadaan.
"Coba suhu lihat siapakah bocah itu. Bekuk dan bawa dia kemari, tapi suruh yang lain-lain tetap berjalan!"
"Baik!" Cam-kong berkelebat, marah dan juga heran siapakah bocah yang membuat gara-gara itu. Baru sekali ini pasukannya mengalami kejadian ganjil, berhenti hanya karena dihadang seorang bocah! Namun ketika kakek itu melihat keadaan ternyata di depan sudah terdengar teriakan dan pekikan berulang-ulang.
Bocah itu, seperti dikatakan tadi, menantang dan menyuruh pasukan di depan maju untuk dihajar. Dia duduk di punggung harimaunya yang tiba-tiba menggeram ketika puluhan orang mengepung. Kuda meringkik ketakutan dan para perajurit itu terpaksa turun, berjalan dan sudah menghampiri serta membentak anak laki-laki itu, yang dinilai kurang ajar dan berani. Tapi ketika anak ini tertawa dan berkelebat ke kiri kanan tiba-tiba bayangannya bergerak ke sana-sini dan tahu-tahu dua puluh perajurit yang mengepungnya sudah mendapat tamparan atau tendangan bertubi-tubi.
"Ha-ha, seperti ular mencari gebuk... plak-plak-plak!"
Para perajurit terpelanting berteriak-teriak. Mereka kalah cepat oleh gerakan anak laki-laki itu yang sudah beterbangan membagi-bagi pukulan. Harimau temannya mau menyerang tapi dibentak anak laki-laki itu agar diam di tempat, tak usah membantu. Dan ketika anak itu bergerak sendirian dan tubuhnya yang beterbangan seperti walet menyambar-nyambar itu sudah membagi-bagi tamparan dan pukulan maka kagetlah semua orang yang menerima hajaran ini.
"Iblis! Anak ini lihai, bunuh...!"
"Tidak, jangan bunuh, kawan. Tangkap saja hidup-hidup!"
"Benar, tangkap dan ringkus saja. Kita serahkan pada Siauw-ong. Siapa tahu guru atau orang tuanya adalah musuh Siauw-ong!" dan ketika orang-orang itu berteriak dan melompat bangun, marah, maka bocah ini sudah diserang namun sekali lagi dia tertawa-tawa mendahului orang-orang itu.
Tak seorang pun menyangka bahwa inilah Beng An, putera terbungsu Pendekar Rambut Emas yang nakal dan berani. Anak itu sengaja mendahului pasukan Cen-goanswe dan secara diam-diam meninggalkan encinya pula, ketika encinya ke belakang, dipanggil ayah ibunya. Dan ketika Beng An melihat gerakan pasukan itu dan berseri serta girang karena inilah lawan yang ditunggu-tunggu maka langsung saja dia melarikan harimaunya dan menunggu di tikungan itu.
Anak ini tidak memikir bahaya karena merasa ayah ibunya melindungi. Keberaniannya menjadi tak terkontrol dan tentu saja pasukan besar itu terkejut melihat keberadaannya. Tapi begitu mereka diserang dan belasan orang jatuh bangun dihujani tendangan atau tamparan maka sadar dan kagetlah mereka bahwa anak ini bukan bocah sembarangan. Beng An sudah berkelebatan dan pukulan serta tamparannya merontokkan nyali lawan. Sekecil itu sudah berani menghadapi sedemikian banyak musuh karena begitu yang lain roboh segera anak ini menghadapi yang lainnya lagi, yang marah dan membentak maju dan akhirnya Beng An dikeroyok lima puluh orang!
Pasukan di belakang membelalakkan matanya karena bocah laki-laki itu sedemikian lincah dan ringannya menghadapi puluhan orang. Tubuhnya bergerak dan berkelebatan ke sana ke mari tiada ubahnya tupai yang gesit, menendang dan menampar dan setiap kali terdengar jeritan ngeri atau sakit. Orang-orang yang terkena tamparan Beng An tentu patah tulangnya atau bengap. Lima puluh orang itu segera kocar-kacir dan sebagian besar roboh merintih-rintih.
Beng An benar-benar menghajarnya dan tentu saja lawan tak kuat karena anak laki-laki itu mempergunakan Tiat-lui-kang (Pukulan Petir)! Tapi ketika Beng An tertawa-tawa menampar atau menendangi lawan tiba-tiba berkelebat bayangan Cam-kong karena kakek tinggi kurus itu sudah melihat keadaan.
"Berhenti!"
Beng An mendengar kesiur angin tajam. Dia mengelak dan menendang tapi segera tubuhnya terbanting roboh. Dan ketika Beng An terkejut dan bergulingan meloncat bangun, kaget, maka kakek bermuka pucat sudah dilihatnya berdiri tak berkedip.
"Siapa kau?"
"Kau yang siapa!" Beng An membentak, balas menanya lawan.
Cam-kong, kakek ini tentu saja marah. Dia datang sedikit terlambat dan anak buahnya sudah dihajar jatuh bangun, kaget dan gusarlah kakek itu karena tak biasanya hal ini terjadi. Tapi ketika dia melihat bahwa anak laki-laki itu memiliki gerakan-gerakan luar biasa dan pukulan atau tamparan-tamparan itu serasa dikenalnya maka dia menahan diri untuk tidak melakukan pukulan keras tapi itupun sudah cukup membuat Beng An terpelanting dan terguling-guling!
"Hm," kakek ini berkilat matanya. "Aku yang bertanya dan kau yang harus menjawab, bocah. Aku tak mau memberitahukan siapa diriku kalau kau tak mau memberitahukan nama!"
"Kalau begitu juga sama. Aku tak akan memberitahukan namaku kalau kau takut memberitahukan namamu! Heh, kau tadi sudah menyerang secara gelap, sekarang terima pembalasanku dan mampuslah!" Beng An menyerang, langsung melepas Tiat-lui-kang lagi.
Cam-kong tersenyum mengejek. Tentu saja dia tak takut menghadapi pukulan itu karena tenaga Beng An masih terlalu kecil baginya. Maka ketika kakek ini menerima dan Beng An memukul tiba-tiba anak itu menjerit sendiri dan terpelanting roboh.
"Aduh...!" Namun Beng An masih nekat. Anak ini sudah bergulingan meloncat bangun dan menyerang lagi. Pukulan dan tendangan bertubi-tubi menghujani kakek tinggi kurus itu namun Cam-kong tentu saja tak bergeming. Kakek ini tertawa mengejek dan mengerahkan sinkangnya lagi, memperkeras atau memperkuat tubuh dari pukulan-pukulan itu. Dan ketika Beng An menjerit karena tiba-tiba kaki tangannya bengkak, tak kuat lagi memukuli tubuh kakek itu yang mendadak sekeras besi maka Cam-kong berseru dan menotok roboh dirinya.
"Cukup... bluk!" Beng An roboh terbanting. Anak ini tak dapat bergerak lagi namun Siauw-houw, harimaunya itu tiba-tiba mengaum.
Harimau ini rupanya mengerti bahwa Beng An mendapat lawan tangguh, kakek tinggi kurus itu. Maka begitu Beng An roboh dan merintih di tanah tiba-tiba harimau ini menyerang dan menggigit Cam-kong. Namun kakek ini bukanlah kakek biasa. Cam-kong mengibaskan lengan dan Siauw-houw mencelat, meraung dan terguling-guling. Dan ketika harimau itu ketakutan dan ragu menyerang lagi mendadak dia melompat dan menyambar Beng An. Lalu begitu dia bergerak dan melompat tinggi tiba-tiba harimau ini sudah membawa lari tuannya dengan cara menggigit baju pundak Beng An.
"Keparat!" Cam-kong mendelik. Kakek ini membentak dan lengan kirinya terangkat, melepas pukulan jarak jauh. Dan ketika Siauw-houw mengaum dan terlempar membentur pohon maka Beng An terlepas dari mulutnya dan terguling-guling roboh di tanah.
Beng An pucat dan membentak harimaunya untuk kabur. Anak itu bersuit agar Siauw-houw pergi, tak usah menghiraukan dirinya. Dan karena naluri harimau itu juga tajam karena agaknya dia sendiri bisa celaka di tempat itu tiba-tiba harimau ini mengaum lemah dan meloncat jauh untuk kabur meninggalkan Beng An, mendengar bentakan tuannya dan lenyaplah harimau itu menyelamatkan diri.
Cam-kong mengatur pukulannya sedemikian rupa hingga Siauw-houw dapat melompat bangun. Kakek ini khawatir akan keselamatan Beng An kalau pukulannya terlalu keras, itulah sebabnya kenapa harimau cilik itu selamat juga. Dan ketika Siauw-houw kabur dan kakek ini tak menghiraukan binatang itu maka Cam-kong sudah berkelebat dan menyambar Beng An.
"Nah, kau sudah menjadi tawanan. Mari kuhadapkan kepada muridku!"
Beng An tak dapat melawan. Cam-kong sudah menotoknya sedemikian rupa hingga ia pun tak dapat meronta-ronta. Yang dilakukan hanyalah memaki-maki namun kakek ini segera menampar mulutnya, pecah dan segera mengeluarkan darah. Dan ketika Cam-kong membentak agar pasukan bergerak lagi, si bocah sudah tertangkap maka kakek ini langsung melempar anak itu di depan kaki Togur.
"Inilah bocah pengacau itu. Dia sudah kutangkap!"
"Hm!" Togur, yang sedang minum arak dan memeluk seorang wanita muda tiba-tiba mengendorkan pelukannya. Dia percaya suhunya itu dapat mengatasi keadaan dan terbelalaklah dia melihat Beng An, anak yang berapi-api memandangnya itu, tak takut atau jerih sedikitpun! Tapi ketika dia tersenyum dan tertawa lebar, maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang bocah pemberani maka Togur teringat akan dirinya sendiri, sewaktu kecil.
"Hm, kau anak luar biasa, pemberani, tapi kurang ajar! Eh, siapa dia, suhu? Apakah kau tahu?"
"Tidak," Cam-kong merah mukanya. "Anak ini tak mengaku, Togur. Dan aku membawanya saja kepadamu. Biarlah kau yang bertanya."
"Hm," Togur mengangguk-angguk, sekali lihat segera tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang anak yang keras hati. Lagi-lagi mengingatkan akan dirinya sendiri. Dan ketika dia bertanya apa saja yang telah dilakukan anak ini maka suhunya menceritakan bahwa si bocah sudah menghajar lima puluh lebih anak buah mereka.
"Seorang diri? Seorang bocah sekecil ini?"
"Ya, pasukan kita memang memalukan, Togur. Dan agaknya bocah ini harus dibunuh!"
"Nanti dulu, kita belum tahu siapa guru atau orang tuanya. Adakah kau kenal ilmu silatnya?"
"Aku lupa-lupa ingat, tapi kau mungkin dapat mengenalnya," dan Cam-kong yang membebaskan Beng An dengan tepukan di pundak akhirnya membuat anak itu melompat bangun dan langsung saja menyerang si kakek. Cam-kong berkelit dan segera pukulan-pukulan berikut menyusul. Beng An tanpa sadar disuruh memperlihatkan ilmu silatnya itu. Dan ketika Togur membelalakkan mata dan terkejut tiba-tiba pemuda tinggi besar ini tertawa bergelak dan tahu-tahu tangannya sudah mencengkeram Beng An.
"Ha-ha, dia putera Pendekar Rambut Emas. Beng An!"
Beng An terkejut. Tahu-tahu dia merasa lumpuh dan mengaduh, cengkeraman di pundaknya itu meremas jalan darah pihu-hiat dan lemaslah anak ini di cengkeraman lawan. Dan ketika Togur terbahak-bahak dan girang serta kaget maka semua disuruh minggir dan Cam-kong diminta menyiapkan kerangkeng khusus.
"Anak ini adalah Beng An. Ah, dia si bocah cilik itu!"
"Bagaimana kau yakin?"
"He, lihat gerakan-gerakan silatnya tadi, suhu. Dan pukulan-pukulannya itu jelas Tiat-lui-kang. Ah, kau bodoh dan pelupa!"
"Benar!" Cam-kong tiba-tiba menepuk dahi sendiri. "Aku lupa ilmu silat itu, Togur. Maklumlah, Kim-mou-eng sudah jarang mengeluarkan Tiat-lui-kang itu! Tapi mau kau apakan bocah ini dan kenapa tidak dibunuh saja?"
"Hm, kau bodoh. Kalau anak ini ada disini tentu ibu atau ayahnya juga tak jauh mengikutinya. Kau siapkan kerangkeng khusus dan biar anak ini kujaga. Perintahkan pasukan untuk berhati-hati!"
Cam-kong terkejut. Akhirnya dia ngeri dan sadar akan itu. Benar, kalau anak ini sampai berkeliaran di situ tentu ibu bapaknya tak jauh. Cepat kakek itu berkelebat dan tak lama kemudian sebuah kerangkeng baja sudah siap di tangannya. Beng An dimasukkan di situ dan lucu bahwa anak sekecil ini mendapat hukuman seketat itu. Togur sudah membebaskan kembali totokannya namun si bocah sudah dilempar ke dalam. Dan ketika Beng An memaki-maki namun tak dihiraukan, membuat anak itu semakin marah saja tiba-tiba di depan terdengar teriakan dan ribut-ribut.
"Apalagi itu?" Togur berubah mukanya. "Mana ji-suhu (guru kedua) dan kenapa dia selalu dibelakang?"
"Perlukah kulihat?" Cam-kong sudah cemas. "Jangan-jangan Kim-mou-eng, Togur, atau isterinya?"
"Tak usah mengandai-andai. Kau lihat apa itu dan kenapa pasukan tiba-tiba kacau!"
Cam-kong sudah berkelebat. Siauw-jin, rekannya, diberi suitan nyaring. Temannya itu di belakang sana menjaga pasukan. Dia dan Togur di tengah tapi kini keributan baru muncul di depan. Baru saja dia mengatasi keadaan kini tiba-tiba anak buahnya kembali ribut-ribut. Marah tapi juga gelisah kakek ini, maklumlah, dia gentar kalau yang datang itu adalah Kim-mou-eng. Namun ketika kakek ini berkelebat dan membentak pasukannya untuk menceritakan apa yang terjadi ternyata semuanya sudah berkaok-kaok dan tak ada satupun yang dapat berbicara karena mulut mereka rata-rata bengkak dan pecah berdarah!
"A-a-augh... ada siluman wanita...!"
Cam-kong terkejut. Dia menampar perajurit yang ah-uh-ah-uh itu, mencelat dan terguling-guling. Dan ketika kakek itu harus melepas pukulan berkali-kali karena pasukannya tiba-tiba berhamburan dan lari ke belakang, jatuh bangun, maka kakek ini tak dapat maju dengan cepat sementara kepanikan atau kegaduhan di depan itu semakin menjadi-jadi. Apa gerangan yang menjadi sebab? Bukan lain buntut dari hilangnya Beng An, bocah yang sudah tertangkap itu.
Seperti diketahui, anak ini bersama encinya ketika beriring dengan Cen-goanswe. Soat Eng selalu mengawasi dan menjaga adiknya itu dengan baik. Tapi ketika dia dipanggil ibunya dan kepergian sejenak ini tak disia-siakan Beng An maka anak itu berkata pada Cen-goanswe bahwa dia ingin main-main dulu di depan, di hutan yang akan dilalui pasukan, bersama Siauw-houw, harimaunya.
"Heii...!" Cen-goanswe terkejut. "Tunggu, Kim-kongcu. Jangan nyelonong begitu saja. Tunggu encimu!"
"Ha-ha, aku hanya sebentar, dan di hutan itu. Kenapa takut, Cen-goanswe? Sudahlah, aku hendak main-main sebentar dengan Siauw-houw dan nantipun kau pasti menyusul!"
Cen-goanswe mengeprak kudanya. Anak itu sudah berlari tapi mana ada kuda mengejar harimau? Meskipun Cen-goanswe mengejar Beng An tapi sang kuda tetaplah kuda. Siauw-houw yang menggeram dan melesat di sana tak berani diikuti kuda ini. Berkali-kali Cen-goanswe mencambuk namun si kuda hanya berputar-putar saja, bahkan akhirnya meringkik dan lari membalik, mencongklang dan beringas menerjang pasukan yang berjalan di belakang, membuat sang jenderal berteriak-teriak dan kaget serta marah karena tak dapat mengendalikan tunggangannya lagi.
Banyak perwira berteriak dan coba menolong, memapakkan kudanya untuk melintang tapi malah diterjang dan roboh tunggang-langgang. Tapi ketika sesosok bayangan berkelebat dan itulah Soat Eng maka gadis yang kebetulan sedang kembali ke depan setelah dipanggil ibunya melihat kejadian itu.
"Goanswe minggir...!"
Cen-goanswe tak tahu apa yang dimaksudkan. Tubuhnya tahu-tahu terangkat naik dan terlempar ke kiri, sudah tak di atas kudanya lagi. Dan ketika jenderal itu berteriak kaget dan bergulingan meloncat bangun ternyata Soat Eng sudah duduk di punggung kudanya itu dan menarik tali kekang.
"Rrtt!" Mulut kuda tertarik ke atas. Kuda meringkik panjang karena tarikan itu luar biasa kuatnya. Mau tak mau dia berhenti dan meringkik panjang, kalau tak mau mulutnya sobek. Dan ketika dia berhenti dengan kedua kaki depan terangkat tinggi-tinggi, kesakitan, maka Soat Eng menepuk lehernya dan kuda yang sedang beringas itu roboh, langsung mendeprok karena Soat Eng mengerahkan tenaga Seribu Katinya, sekaligus menotok urat leher binatang itu hingga kuda kehilangan kekuatan, seketika lumpuh. Dan ketika perajurit bersorak-sorai melihat betapa mudahnya gadis ini menundukkan tunggangan Cen-goanswe maka Soat Eng sudah meloncat turun dan bertanya apa yang terjadi kenapa kuda tiba-tiba binal.
"Adikmu lari, kukejar. Tapi karena kuda ini takut kepada Siauw-houw maka dia kupaksa tapi malah kesetanan!"
"Apa? Beng An meninggalkan pasukan?"
"Itulah yang terjadi, Kim-siocia. Adikmu mempergunakan kesempatan selagi kau dipanggil ibumu untuk kabur. Katanya main-main dengan Siauw-houw, tapi aku khawatir karena dia sudah jauh kesana!"
"Ah, anak kurang ajar!" dan Soat eng yang gemas serta marah tiba-tiba tidak menunggu Cen-goanswe lagi dan langsung berkelebat ke depan, mengerahkan ginkangnya dan tiba-tiba gadis itu lenyap seperti iblis. Orang hanya melihat titik kecil di depan dan akhirnya hilang, melongo dan membuat orang-orang itu terkejut meleletkan lidah. Dan ketika Soat Eng memaki adiknya karena ditinggal sebentar saja sudah membuat repot maka dia memanggil-manggil namun adiknya itu tak tahu dimana berada.
Soat Eng cemas dan memasuki hutan, melihat tapak kaki Siauw-houw dan tentu saja dia terus mengikuti. Kadang berbelok dan lenyap di suatu tempat tapi muncul lagi kalau ada tanah basah. Hal ini membuat Soat Eng marah-marah dan tentu saja pengejarannya terlambat, berkali-kali harus meneliti kalau tak ingin kehilangan jejak. Ia tak tahu bahwa saat itu adiknya sudah berhadapan dengan pasukan Togur, menghajar mereka tapi akhirnya tertangkap. Dan ketika gadis ini memaki-maki dan hampir menangis mendadak terdengar auman lirih dan Siauw-houw muncul dengan tubuh barut-barut.
"He, kau!" Soat Eng marah tapi juga girang. "Mana Beng An? Kenapa kau menjadi begini?"
Harimau itu merintih-rintih. Soat Eng hampir saja memukulnya kalau tak ingat bahwa harimau ini telah kehilangan induknya. Siauw-houw patut dikasihani karena sekarang yatim-piatu. Anak harimau itu mengeluh dan mendekam di kaki Soat Eng, menjilat-jilat ujung sepatunya. Dan ketika Soat Eng tertegun karena tak biasanya harimau cilik itu begitu tiba-tiba dilihatnya mata anak harimau ini berair.
"Eh, kau menangis!" Soat Eng terkejut, tiba-tiba berdebar tak enak. "Mana tuanmu, Siauw-houw? Mana Beng An?"
Siauw-houw tak dapat menjawab. Dia hanya mengeluarkan auman lirih berkali-kali dan Soat Eng pucat. Tahulah dia bahwa sesuatu sedang terjadi dengan adiknya. Celaka, mungkin adiknya masuk jurang. Atau barangkali terpeleset di tempat yang tinggi dan Soat Eng pun menggigil, pucat. Dan ketika dia bingung dan gelisah dan membentak-bentak Siauw-houw setengah menangis tiba-tiba harimau itu bangkit berdiri meloncat ke kiri.
"Heii...!" namun harimau itu menoleh mengibaskan ekornya. Soat Eng tertegun tapi segera mengerti bahwa Siauw-houw kiranya mengajak ke suatu tempat, mengaum dan mengipat-ngipatkan lagi ekornya seperti biasanya dia hendak memberi tahu sesuatu. Soat Eng hapal gerakan-gerakan itu karena betapapun dia cukup akrab dengan Siauw-houw, meskipun tidak seakrab Beng An karena adiknya itulah yang menundukkan dan menjinakkan harimau ini. Dan ketika dia berkelebat dan mengikuti harimau itu ternyata Siauw-houw mengajaknya berjalan lurus untuk akhirnya berbelok dua kali dan tibalah dia di tikungan itu, memandang ribuan orang yang bergerak menuju ke arahnya dan kiranya dia bertemu dengan pasukan musuh!
Soat Eng tertegun sekaligus terkejut karena mengertilah dia apa yang terjadi selanjutnya. Siauw-houw menggaruk-garuk kaki dan menggeram-geram ke arah pasukan itu. Mereka masih berada sekitar empat ratus meter dan sebentar lagi akan bertatap muka. Soat Eng bangkit kemarahannya. Maka begitu dia mengerti dan maklum adiknya bertemu pasukan ini tiba-tiba dia bergerak dan sudah berkelebat menghadang pasukan itu.
"Hei, berhenti!" pasukan itu terkejut. "Dimana adikku yang bertemu kalian!"
Orang-orang melongo. Mereka melihat Soat Eng tahu-tahu muncul begitu saja, seperti iblis. Gadis ini memang mengerahkan Jing-sian-engnya dan Bayangan Seribu Dewa itu membuat tubuhnya mencelat dan tahu-tahu sudah di situ. Jarak empat ratus meter hanya ditempuh sepersekian detik saja dan muncullah puteri Pendekar Rambut Emas ini seperti siluman. Siauw-houw mengaum di belakang tapi segera mengejar, tak lama kemudian tiba dan sudah berdiri di samping gadis ini. Gagah dan cantik benar. Namun begitu orang-orang melihat Siauw-houw, harimau yang dikenal itu tiba-tiba mereka gaduh dan menuding-nuding.
"Ah, ini kiranya kakak perempuan bocah laki-laki itu. Ha-ha, cantik sekali. Tangkap saja sekalian!"
"Benar, dan siauw-ong tentu gembira, kawan-kawan. Serang dan tangkap dia!"
Soat Eng berkilat matanya. Belasan orang tiba-tiba maju dan tertawa-tawa, mereka berteriak kegirangan seolah mendapat barang menarik. Tapi begitu mereka menggerakkan senjata dan mau menyerang, menakut-nakuti tiba-tiba Siauw-houw menggeram dan mencelat menggigit dan mencakar mereka itu, mendahului dan tentu saja belasan orang ini berteriak kaget. Mereka menusuk dan membentak tapi serangkum angin tiba-tiba menahan.
Senjata tak dapat digerakkan dan akhirnya leluasalah harimau itu menggigit dan mencakar. Dan ketika semuanya menjerit-jerit dan berteriak melepas senjata maka belasan orang itu kocar-kacir dan yang lain maju membentak, marah kepada Siauw-houw dan mau mengeroyok binatang itu tapi Soat Eng sudah memanggil.
Harimau ini disuruh kembali dan Siauw-houwpun menurut, meloncat balik dan sudah berdiri lagi di samping nonanya sambil mengibas-ngibaskan ekornya. Mulutnya menyeringai dan beberapa bercak darah dikecap-kecap, itulah darah dari orang-orang yang digigitnya! Dan ketika semua tertegun dan marah kepada binatang itu, maju mengurung Soat Eng maka gadis ini bertolak pinggang mendengus menanyakan adiknya.
"Kalian kiranya sudah menangkapnya. Bagus, serahkan kembali kalau tak ingin mampus. Aku datang secara baik-baik dan jangan membuat marah!"
"Keparat!" seorang pemimpin yang berkumis tebal membentak maju. "Kau dan adikmu sama-sama pengacau, nona. Justeru kamilah yang akan minta secara baik-baik agar kau menyerah. Kau kami tangkap, dan jangan melawan!"
"Hm, begitu? Bagus, kalau begitu terimalah ini!" dan Soat Eng yang tidak banyak bicara lagi tiba-tiba berkelebat dan menampar si kumis tebal itu, disambut bacokan senjata tapi belum sepenuhnya diangkat tiba-tiba senjata itu mencelat dari tuannya.
Si kumis kaget dan berteriak mundur, tak tahunya kalah cepat dan tahu-tahu dia terlempar dan terbanting ketika tamparan itu mendarat di pipinya. Suara berkeratak rupanya membuat pelipis orang retak dan si kumis tebal itu menjerit untuk akhirnya tidak bergerak-gerak lagi, roboh di tanah, tertelungkup. Dan ketika yang lain kaget dan berseru keras, gentar, tiba-tiba Soat Eng sudah melanjutkan gerakannya dan tubuhnya berkelebatan di antara satu perajurit ke perajurit yang lain dan segera terdengarlah pekik ngeri atau kesakitan orang-orang ini, yang terjungkal dan roboh satu per satu dan ributlah tempat itu oleh kemarahan Soat Eng yang tak dapat dibendung lagi.
Sekarang dia tahu bahwa adiknya benar-benar tertangkap, dia mengamuk dan lima puluh orang segera roboh malang-melintang sambil merintih-rintih. Soat Eng tidak membunuh melainkan hanya mematahkan kaki tangan orang-orang itu, menghajarnya dan tak ada yang sanggup lagi untuk bangun berdiri. Yang di belakang menjadi panik dan gentar dan keributan itulah yang didengar Cam-kong dan Togur, yang segera memerintahkan suhunya untuk melihat apa yang terjadi. Dan ketika kakek tinggi kurus itu akhirnya melihat apa yang terjadi dan bayangan Soat Eng berkelebatan di antara pasukannya maka kakek ini tertegun dan tentu saja mengenal gadis itu.
"Puteri Pendekar Rambut Emas...!" Cam-kong terkejut. Sang kakek langsung berkerut alisnya dan sikap jerih jelas tak dapat disembunyikan lagi. Gerakan Jing-sian-eng yang luar biasa cepat itu selalu mengingatkannya akan pertandingan-pertandingan dulu di mana dia tak tahan menghadapi gadis ini. Baik Soat Eng apalagi Thai Liong tak ada yang dapat menandingi. Gadis itu seharusnya tandingan Togur. Tapi karena muridnya sudah memberi perintah dan tak mungkin mundur kalau tak ingin didamprat maka kakek ini berkelebat maju dan apa boleh buat harus menghadapi dulu gadis itu.
"Berhenti!" kakek ini langsung melepas Cam-kong-ciangnya. Dengan licik dan curang dia menyerang dari belakang, menghantam punggung gadis itu yang sedang berkelebatan mengobrak-abrik pasukannya. Tapi karena Soat Eng mendengar bentakan itu dan kesiur angin dingin pun dirasanya dari belakang maka cepat gadis ini membalik dan menangkis.
"Dukk...!" dan... Cam-kong pun terpental serta berjungkir balik mengeluarkan seruan keras. Soat Eng mengerahkan Khi-bal-sin-kangnya dan pukulan Bola Sakti itu menangkis Cam-kong-ciangnya. Dari kesiur angin di belakang itu gadis ini tahu bahwa seorang lawan yang kuat sedang mencuranginya, dia tentu saja terkejut dan marah. Dan karena Khi-bal-sin-kang adalah ilmu yang dapat diandalkan dan memang itulah ilmu dahsyat yang dapat dipakai menolak segala macam pukulan maka Soat Eng pun melakukan itu dan Cam-kong berjungkir balik tertolak oleh serangannya sendiri, harus mengelak dan akhirnya kakek itu turun dengan selamat.
Tapi begitu Soat Eng melihatnya dan Siauw-houw mengaum-aum disana, gentar dan jerih melihat kakek itu tiba-tiba gadis ini maklum bahwa inilah kiranya biang keladi tertangkapnya Beng An. Soat Eng mendelik dan baru kakek itu menginjakkan kaki di tanah tiba-tiba sudah dibentak, tubuh berkelebat dan meluncurlah pukuklan Tiat-lui-kang menyambar si kakek. Cam-kong terbelalak tapi segera teringat Beng An, menangkis dan menggeram karena iapun marah. Tapi karena Soat Eng bukanlah Beng An dan Tiat-lui-kang di tangan gadis ini jelas lain dengan Tiat-lui-kang di tangan Beng An maka sinar api menyambar ketika ledakan keras terdengar di tengah-tengah pukulan di mana baju kakek itu seketika terjilat.
"Dess-augh...!" si kakek terguling-guling. Dia harus memadamkan api yang membakar bajunya itu sementara dia melompat bangun. Tapi begitu bangun tahu-tahu Soat Eng sudah menyerangnya lagi, membentak dan berkelebatan dan sibuklah kakek ini mengelak ke sana-sini. Soat Eng mempergunakan Jing-sian-engnya dan kalang-kabutlah lawannya. Cam-kong memaki-maki dan beberapa kali harus jatuh bangun, kalah cepat dan selalu mendapat tamparan atau pukulan Tiat-lui-kang. Dan karena pukulan itu berhawa panas dan kakek ini harus mengerahkan sinkangnya untuk bertahan maka Cam-kong berteriak-teriak dan menyuruh pasukannya maju membantu.
Namun, siapa dapat maju? Hawa panas yang menyambar-nyambar dari pukulan Soat Eng sudah menahan orang-orang itu. Dalam jarak lima meter tak ada yang sanggup mendekat, siapa yang coba-coba tentu menjerit karena tubuhnya terbakar, hangus! Dan ketika Cam-kong berteriak-teriak karena terdesak hebat maka muncullah Siauw-jin yang mendengar suitan rekannya, tanda minta tolong.
"Des-dess!" kakek cebol itu langsung menghantam. Sama seperti Cam-kong ia pun tidak memberi tanda, berkelebat dan membokong Soat Eng dari belakang. Gadis ini terpental karena tak menduga, untung berjungkir balik dan segera melihat si setan cebol itu, memaki dan membentak dan Soat Eng akhirnya berkelebatan mengelilingi dua orang lawannya ini. Sekarang Tiat-lui-kang dibantu Khi-bal-sin-kang dan Siauw-jin yang suka membokong berteriak karena pukulannya membalik. Mula-mula Soat Eng terdesak tapi kini sudah balik mendesak lawan.
Sebentar kemudian Jing-sian-eng yang dipergunakannya selalu mendahului lawan dan berkaok-kaoklah iblis cebol itu karena dia mendapat balasan atau pukulan Soat Eng yang bertubi-tubi. Sebentar Khi-bal-sin-kang dan sebentar Tiat-lui-kang. Tubuh kakek ini matang biru dan kalau bukan Siauw-jin tentu sudah roboh terkapar. Siauw-jin akhirnya mencabut sepasnag sabitnya itu namun ternyata sia-sia juga. Dia tergetar dan terpental kalau bertemu Khi-bal-sin-kang. Dan ketika Cam-kong di sana juga terhuyung dan jatuh bangun oleh pukulan lawan akhirnya kakek tinggi kurus ini merintih dan memutar tubuhnya.
"Lari, kita lapor kepada murid kita!"
Siauw-jin mengeluh. Kakek cebol ini harus terbanting lagi ketika pukulan Soat Eng menyambar, tak sempat berkelit dan bergulingan menjauh lalu melompat bangun, melarikan diri. Dan ketika Soat Eng membentak dan tentu saja mengejar maka dua kakek iblis itu berseru pada pasukannya agar menghadang.
"Jaga dia, jangan sampai maju!"
"Bagus, boleh menghadang kalau ingin mampus.... des-des-dess!" dan Soat Eng yang menjawab dengan dorongan-dorongan tangannya akhirnya membuat berantakan siapa saja yang maju, terpaksa menghadang karena takut terhadap dua kakek itu tapi malah terlempar dan terbanting oleh pukulan-pukulan gadis ini. Soat Eng mengejar dua orang lawannya di mana tiba-tiba dia berjungkir balik dan melayang di atas kepala para perajurit, memburu. Dan ketika Cam-kong kembali menerima pukulan jarak jauhnya dan kakek itu terpelanting disana maka tiba-tiba terdengar bentakan dan sesosok bayangan tinggi besar berkelebat.
"Berhenti!"
Soat Eng terkejut. Dari arah kanan menyambar sebuah pukulan yang kuat luar biasa, ditangkis dan terdengar dentuman mirip gunung pecah. Dan ketika Soat Eng berteriak tertahan dan terlempar tinggi, lawan juga terlempar dan berjungkir balik di udara maka berdirilah di situ pimpinan dari semua pimpinan yang ada, Togur!
"Ha-ha!" Soat Eng terkejut melayang turun ke tanah, berjungkir balik. "Kau kiranya datang menyusul adikmu, Soat Eng. Bagus sekali, selamat bertemu!"
Soat Eng merah padam. Sekarang dia sudah berdiri dengan lawannya itu, berhadapan. Togur menggapaikan lengannya ke belakang dan tahu-tahu sebuah kerangkeng baja tersedot, datang dan melekat di tangan pemuda tinggi besar itu. Dan ketika Soat Eng terbelalak karena di dalam kerangkeng itu terlihat adiknya, Beng An, maka hampir berbareng enci dan adik itu saling berteriak,
"Enci...!"
"Beng An...!" Soat Eng berkelebat. Langsung saja gadis ini menyambar kerangkeng namun Togur meniup. Kerangkeng menjauh dan tahu-tahu melesat ke arah Cam-kong, ditangkap dan diterima kakek itu dan gusarlah Soat Eng akan perbuatan lawan. Dan ketika dia membalik dan memaki Togur maka pemuda tinggi besar itu merangkapkan tangan, berseri-seri.
"Soat Eng, sudah lama aku menunggumu. Bagus, aku akan menyerahkan adikmu secara baik-baik, tapi penuhilah permintaanku akan satu hal. Maukah kau mendengarnya?"
"Keparat, apalagi yang kau minta, Togur? Kau mau menyuruhku menyerahkan diri? Kau mau minta aku ditangkap dan dijadikan satu dengan adikku? Jahanam terkutuk, permintaanmu tak akan kupenuhi!"
Soat Eng marah-marah, memaki dan siap menerjang pemuda itu namun Togur buru-buru menggoyang lengan. Pemuda ini tersenyum dan tertawa berkata bukan, bukan itu. Dan ketika Soat Eng menghardik apa yang diminta pemuda itu maka dengan sungguh-sungguh dan muka dibuat memelas pemuda ini menarik napas, menjawab,
"Aku ingin kau mendampingiku. Aku akan menyerbu istana, menjadi kaisar. Kau bersedialah menjadi permaisuriku dan duduk di tahta agung!"
"Keparat!" Soat Eng menjadi merah padam. "Kau tak tahu malu dan memuakkan, Togur. Belum menjadi kaisar saja sudah membayangkan diri sebagai kaisar. Cih, kau tak tahu diri. Kau tak akan dapat merebut kota raja dan ketahuilah bahwa tiga orang subomu sudah ditangkap di sana!"
"Hm!" pemuda ini terkejut, matapun tiba-tiba bersinar. "Bagaimana kau tahu itu? Siapa yang menangkap?"
"Aku!" Soat Eng bersikap cerdik, membentak. "Aku yang menangkap tiga subomu itu, Togur. Dan kini aku hendak menangkapmu pula!" dan Soat Eng yang berkelebat serta tidak mau diajak bicara lagi tiba-tiba melengking dan menghantam dengan Khi-bal-sin-kang. Menghadapi pemuda ini tak mungkin dia mempergunakan Tiat-lui-kang. Togur telah memiliki ilmu-ilmu warisan kakeknya dan tadi dia sudah merasakan kehebatan pemuda itu, ketika Togur menolong gurunya dengan melepas Khi-bal-sin-kang. Dan ketika lawan mengelak dan Togur berkelebat dengan Jing-sian-engnya, siap diburu tiba-tiba pemuda ini berseru keras mencegah Soat Eng menyerangnya lagi.
"Tunggu, tahan...!" dan ketika Soat Eng harus menahan serangannya karena lawan menyambar Beng An, yang dilepas dari kerangkengnya maka pemuda itu bertanya apakah Soat Eng bicara benar.
"Maksudmu?" Soat Eng marah. "Kau kira aku bohong? Kau anggap aku dusta?"
"Tidak, nanti dulu. Tapi sebutkan apakah kau bersama ayah ibumu!"
Soat Eng terkesiap. Ternyata lawannya ini cerdik dan sekarang memaksa dia untuk menjelaskan hal itu. Apakah dia bersama ayah ibunya. Tapi ketika dia hendak menggeleng dan menjawab tidak, demi mengelabuhi pemuda itu tiba-tiba saja Beng An yang dicengkeram pemuda itu berteriak, mendahului,
"Benar, ayah dan ibu ada bersama kami, Togur. Dan kau akan mampus bertemu mereka. Lepaskan aku, atau kau nanti kubunuh!"
Soat Eng dan Togur sama-sama terkejut. Soat Eng terkejut karena kenapa adiknya itu berterus terang sementara Togur terkejut karena apa yang dikhawatirkan benar. Kalau Kim-mou-eng dan isterinya ada di situ maka celakalah dia. Dia belum tahu apakah Kim-mou-eng membantu istana kerajaan. Tapi sementara dia tertegun dan membelalakkan mata tiba-tiba Soat Eng sudah menerjang dan membentak agar dia melepaskan anak laki-laki itu.
Dan ketika Togur mengelak dan marah melempar Beng An pada gurunya maka Soat Eng sudah bertubi-tubi melepas pukulan, berkelebatan dan akhirnya lenyap mengelilingi pemuda itu dimana Togur juga harus cepat mengimbangi. Yang dapat menghadapi puteri Pendekar Rambut Emas ini hanyalah dirinya. Pemuda itu marah dan mulai membentak Soat Eng yang terus menghujaninya dengan pukulan-pukulan.
Semua orang yang ada disitu akhirnya mundur tak kuat menerima dorongan atau hawa pukulan Soat Eng, apalagi ketika Togur membalas, terpaksa melepas pukulan-pukulan pula dan bertandinglah keduanya tanpa dapat dicegah lagi. Beng An bersorak-sorak memberikan semangat pada encinya tapi tiba-tiba mulutnya ditampar, disuruh diam. Dan ketika anak itu masih terus juga berteriak-teriak, tak perduli suaranya yang sumbang akhirnya Cam-kong menotok dan robohlah anak itu dicengkeraman si kakek tinggi kurus.
Soat Eng sudah berkelebatan di sana dan Togur melayaninya dengan cepat, menyuruh dua gurunya agar berjaga dan waspada siapa tahu musuh-musuh baru datang. Pertandingan dua orang ini akhirnya diikuti semua orang dan melengking-lengkinglah Soat Eng melihat Togur mempergunakan ilmu-ilmu yang sama. Teringatlah dia ketika dulu dia menghadapi si maling berkedok, yang ternyata bukan lain adalah pemuda ini. Dan ketika Soat Eng menambah kecepatannya tapi lawan juga mengimbangi dan mengiringi sepak terjangnya maka dua orang itu lenyap dan tak ada lagi yang dapat mengikuti.
Tapi di luar tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Saat itu perhatian semua orang bisa dikatakan sedang terpusat disini. Cam-kong dan lain-lain kagum karena inilah pertandingan cepat yang amat dahsyat, juga termasuk tingkat tinggi dan tentu saja mereka tertarik. Jarang mereka menyaksikan pertandingan seperti itu. Tapi ketika suara gemuruh disusul oleh teriakan-teriakan dan pekik kaget maka di atas tebing, di tempat dimana sebagian besar pasukan masih berdiri tiba-tiba berjatuhan batu-batu besar dan anak-anak panah berapi.
"Musuh! Kita diserang, musuh! Awas, pasukan kerajaan datang...!"
Semua geger. Cepat dan seperti siluman saja tiba-tiba pasukan yang ada disitu diserang oleh sepuluh ribu pasukan kerajaan. Di saat perhatian semua orang sedang tertuju kepada pertandingan Soat Eng dengan Togur tiba-tiba saja pasukan Cen-goanswe datang. Itulah saat yang tepat sekali baginya untuk menyerang. Lawan sedang berada di bawah tebing dan jenderal itu memecah pasukannya menjadi beberapa bagian. Yang ada di depan disuruh naik ke atas dan menjatuhkan batu-batu besar atau anak-anak panah berapi sedang yang lain cepat bergerak dan mengepung lembah.
Kedudukan lawan yang terjepit di antara tebing dan ceruk yang lebar sungguh bagus sekali untuk diserang. Cen-goanswe sudah melihat itu dan memberi aba-aba tanpa banyak bicara, benderanya dikebutkan dan bergeraklah sepuluh ribu pasukannya menyerang dari depan dan belakang, juga atas dan kiri kanan. Dan karena musuh dibuat terkejut karena tiba-tiba Cen-goanswe muncul bersama pasukannya maka pasukan liar di bawah pimpinan Togur dan dua gurunya ini kalang-kabut, membentak dan menyambut tapi hujan paanh berhamburan dari segala penjuru.
Togur sendiri terkejut karena tak menyangka itu. Yang disangka adalah kedatangan Kim-mou-eng dan isterinya, bukan pasukan besar dari kota raja! Maka ketika dia terbelalak dan kaget menerima sebuah tamparan Soat Eng tiba-tiba dia terhuyung dan cepat membentak gurunya untuk menahan musuh. "Jangan menonton lagi. Sapu dan hantam mereka!"
Dua orang itu mengangguk. Siauw-jin dan Cam-kong membelalakkan mata lalu berkelebat lenyap. Mereka juga tak menyangka bahwa yang datang justeru adalah sebuah pasukan besar, bukan Kim-mou-eng atau isterinya. Namun ketika kakek-kakek iblis itu membentak di depan memimpin pasukannya, Siauw-jin berkelebat ke kiri sementara Cam-kong ke kanan tiba-tiba saja seperti bertemu hantu di siang bolong dua orang itu berhadapan dengan orang-orang yang ditakuti, Pendekar Rambut Emas dan isterinya!
"Hm, kau!" Cam-kong mendengar desis di belakang. "Untuk apa membawa-bawa anak kecil, kakek siluman? Lepaskan, dan berikan padaku!"
Cam-kong terkejut, mendengar kesiur angin di belakang dan belakang kakinya ditusuk. Angin itu tampak lemah dan Cam-kong menangkis, membalik. Dia mengira seorang perwira atau sebangsanya itu. Maklumlah, tusukan di belakang ini tidak menunjukkan seorang lawan kuat dan kakek itu mengibas. Namun ketika tangkisannya tertelan oleh sesuatu dan entah bagaimana tusukan yang lemah itu tiba-tiba berubah kuat dan tajam, mengejutkan kakek ini maka bagai ketemu hantu saja Cam-kong melihat seorang nyonya cantik sudah menangkap jari-jarinya itu.
"Kim-hujin (nyonya Kim)....!" dan selanjutnya kakek ini melempar tubuh ke kiri, membetot dan melepaskan jari-jarinya yang tertangkap si nyonya dan untuk itu tentu saja dia harus melepaskan Beng An. Anak ini tak dapat dipertahankan lagi karena jari-jari si nyonya yang lain sudah bergerak ke belakang lehernya, melakukan totokan, padahal saat itu belakang lututnya serasa lumpuh karena tendangan si nyonya, yang sudah merubah gerakannya dengan sapuan kaki. Dan karena semuanya itu dapat diselamatkan kalau dia membanting tubuh bergulingan, hal yang sudah dilakukan Cam-kong maka kakek itu mengeluarkan seruan tertahan sementara Beng An yang sudah disambar ibunya berteriak girang.
"Ibu...!"
Swat Lian, isteri Pendekar Rambut Emas ini mengangguk. Dia tersenyum dan mencium Beng An tapi dijewernya telinga anak itu kenapa pergi secara diam-diam. Beng An meringis tapi tertawa dan balik mencium pipi ibunya, berkata bahwa dia secara tak sengaja bertemu dengan musuh dan sudah meroboh-robohkan lima puluh orang lebih, sayang ditangkap dan dibekuk kakek tinggi kurus itu, yang diserang ibunya. Dan ketika Swat Lian teringat dan menurunkan puteranya, menoleh, ternyata Cam-kong sudah kabur dan entah lenyap kemana. Tak berani menghadapi nyonya yang hebat ini!
"Ha-ha, dia lari!" Beng An tertawa berseri. "Kakek itu takut kepadamu, ibu. Ternyata beraninya hanya kepada anak-anak kecil saja. Cih, tak tahu malu!"
"Hm," sang ibu mengangguk. "Kau harus bersamaku, Beng An. Tak boleh kemana-mana. Hayo ceritakan padaku apakah See-ong si kakek iblis ada disini?"
"Tidak," anak itu kecewa. "Disini hanya ada Togur dan dua gurunya itu, ibu. Dan sekarang enci Eng sedang bertempur dengan pemuda itu. Mari kita lihat tapi manakah ayah?"
"Hm, ayahmu sedang mencari musuh-musuhnya. Kalau See-ong tak ada di sini barangkali dia berhadapan dengan Siauw-jin. Sudahlah, mari kita lihat encimu dan itu Siauw-houw!"
Beng An berseri. Siauw-houw, harimaunya itu tiba-tiba menyeruak di balik peperangan yang berkobar, gigit sana gigit sini dan mencakar serta mengaum atau mengelak kalau ada panah atau tombak menyambar. Harimau kecil itu lincah berkelit dan menyerang. Lucu, tapi juga mengagumkan! Dan ketika Beng An bersuit dan memanggil harimaunya itu, yang girang dan meloncat panjang tiba-tiba anak ini sudah meloncat di pungung harimaunya.
"Ha-ha, sekarang kau bertempur tidak sendirian, Siauw-houw. Ayo bawa aku menyikat musuh dan terjang siapa saja yang ada di depan!"
Siauw-houw mengipatkan ekornya empat kali. Harimau itu mengaum dan sudah meloncat kembali, menerjang dan menggigit sana-sini sementara Beng An melepas pukulan-pukulan dari atas punggungnya. Swat Lian mengerutkan kening tapi segera tersenyum, berkelebat dan menjaga puteranya itu dari serangan-serangan tombak atau panah yang berhamburan dari mana-mana.
Maklumlah, ibu ini khawatir kalau puteranya terluka, padahal kalau menghadapi musuh-musuh biasa saja tak mungkin Beng An roboh. Anak itu dapat menjaga diri dan tombak atau panah yang menyambarnya sering ditangkap, ditekuk dan dipatah-patahkan. Dan ketika ibunya mengangguk dan tersenyum-senyum, gembira, maka di tempat lain Siauw-jin bertemu dengan Pendekar Rambut Emas, yang berpisah dan berpesan pada isterinya untuk mencari dan menyelamatkan anak-anak mereka...