Istana Hantu Jilid 29 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

ISTANA HANTU
JILID 29
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

“AKU tak bersalah," Beng An tentu saja membela diri, tak mau disalahkan secara sepihak. "Aku tak tahu bahwa tempat itu terlarang, enci. Aku tak tahu bahwa itu kaputren. Sebenarnya aku mau kembali, kalau saja mereka bicara secara baik-baik. Tapi karena mereka membawa-bawa nama ayah dan ibu dan bersikap kasar maka aku menantang dan memang ingin menghajar mereka!"

"Hm, mereka juga bersalah. Tapi benar atau tidak benar kita harus tahu bahwa kita adalah tamu. Sudahlah, lain kali jangan keluyuran sendirian, Beng An. Kau harus tunduk padaku atau nanti aku yang kena marah ayah atau ibu! Kau mau dengar?"

"Ya, aku mau dengar," dan ketika mereka berdua tak bicara lagi dan Beng An tahu kemarahan encinya maka dia menahan diri dan Bi-houw serta Siauw-houw sudah berlari di belakang, mengikuti dan tak lama kemudian merekapun sudah tiba di tempat mereka. Gedung peristirahatan itu cukup besar bagi mereka sekeluarga, ayah ibu ternyata sudah menunggu dan Kim-mou-eng bertanya dari mana puterinya itu.

Beng An diam-diam berbisik agar encinya tidak melapor kejadian tadi, karena sang ayah tentu marah dan mungkin sang ibu juga ikut-ikutan menegur. Soat Eng mengangguk dan berkata bahwa dia tak akan menceritakan kejadian tadi, keributan adiknya dengan penjaga kaputren. Dan ketika gadis itu berkata bahwa mereka berjalan-jalan mengelilingi istana, Beng An ingin melihat istana maka ayahnya berkata agar mereka tidak kemana-mana lagi.

"Besok aku dan ibumu diminta melindungi pasukan, kalian jangan kemana-mana. Kita menghadapi saat-saat yang penting karena kaisar meminta kepadaku untuk menyambut musuh sebelum mereka datang kemari."

"Ayah akan maju berperang?"

"Yang berperang adalah perajurit, bukan aku. Aku hanya melindungi mereka dari tangan Togur atau See-ong."

"Dan ibu membantu ayah," Soat Eng bersinar-sinar. "Lalu bagaimana dengan aku, yah? Apakah berpangku tangan saja?"

"Kau mengawasi adikmu," Pendekar Rambut Emas berkata. "Jaga dan lindungi adikmu dari bahaya, Eng-ji. Kami berdua akan maju di depan karena harus menahan orang-orang jahat itu. Kali ini aku dan ibumu akan membekuk See-ong dan Togur!"

"Benar, dan kau menjaga adikmu, Eng-ji. Agar kami dapat memusatkan diri pada jahanam-jahanam itu!" nyonya Pendekar Rambut Emas menyambung kata-kata suaminya, mata bersinar dan penuh cahaya menakutkan.

Soat Eng sebenarnya kecewa kenapa dia tak ikut. Tapi ketika hal itu dirasa benar dan Beng An memang harus diawasi atau dilindungi maka diapun mengangguk dan tidak membantah. Ayahnya segera bercerita secara singkat bahwa kaisar kini tak akan tinggal diam menanti datangnya musuh. Pasukan akan menyambut dan bergerak mendahului mereka, menyerang dan akan bertempur di depan. Tiga propinsi yang sudah direbut penyerbu akan direbut kembali, ini suatu perjuangan berat dan kerja keras.

Kalau saja tak ada Kim-mou-eng di situ tentu istana tak dapat berbuat apa-apa. Mereka paling-paling tinggal menunggu musuh dan menyambut disitu, mati dan mempertahankan diri di kota raja. Tapi karena Pendekar Rambut Emas datang dan kebetulan sekali pendekar itu juga datang bersama isterinya maka kaisar menetapkan bahwa mereka harus bergerak, tidak menunggu dan mati seperti tikus terperangkap melainkan maju dan menghadapi musuh di depan.

Kim-taijin dan Han-taijin sendiri serta beberapa jenderal penting bangkit semangatnya begitu Kim-mou-eng datang. Itulah kesempatan baik bagi mereka untuk maju bersama. Didukung dan dilindungi suami isteri ini mereka lebih terjamin. Kehebatan dan kesaktian Kim-mou-eng maupun isterinya sudah tak perlu mereka ragukan lagi. Maka ketika sudah disiapkan rencana bahwa besok mereka akan berangkat, menggempur musuh di depan maka semua bersiap dan Kim-mou-eng menyanggupkan diri di depan kaisar bahwa dia akan membantu dengan sepenuh tenaganya.

Apalagi ada See-ong di sana, datuk iblis itu, tokoh yang telah membunuh Hu Beng Kui, mertuanya. Dan ketika semua sudah disiapkan dan kaisar gembira mendengar kesanggupan pendekar ini maka pasukan besar siap bergerak tapi malam harinya ternyata sebuah gangguan datang. Dan itu adalah munculnya si nenek Naga, utusan Togur yang menyuruh gurunya ini untuk memberikan surat kepada kaisar!

* * * * * * * *

Malam itu, baru saja menyelesaikan makan malamnya bersama keluarga tiba-tiba Pendekar Rambut Emas mendengar ribut-ribut diluar. Keributan itu terjadi bukan di tempat gedung peristirahatannya melainkan jauh disana, di kompleks istana sebelah kanan. Sebenarnya, bagi orang-orang biasa keributan itu tak akan terdengar, karena letaknya yang jauh, maklum, kompleks istana memang luas sekali.

Tapi karena Pendekar Rambut Emas adalah seorang pendekar yang memiliki pendengaran tajam dan Soat Eng yang duduk di depannya juga tampaknya belum atau tidak mendengar keributan itu maka pendekar ini mengerutkan alis dan menoleh pada isterinya, yang juga kebetulan menengok dan memandangnya, sama-sama mendengar suara ribut-ribut itu.

"Kau mendengar sesuatu?"

"Ya."

"Hm, apa yang kau dengar, isteriku? Suara apa?"

"Bentakan dan makian, juga tawa aneh seperti seorang nenek terkekeh-kekeh! Apakah di sini ada pembantu kaisar berupa seorang nenek? Dan, ah... tawa itu agaknya kukenal. Seperti satu di antara enam Iblis Dunia!"

Swat Lian tiba-tiba mencelat dari kursinya. Nyonya ini, seperti diketahui, amatlah membenci orang-orang sesat terutama See-ong. Dan enam Iblis Dunia yang kini menjadi pembantu See-ong adalah juga tokoh-tokoh yang dibenci nyonya ini. Maka begitu dia mendengar dan mengenal suara kekeh itu, kekeh yang dikenal maka tiba-tiba saja dia sudah bergerak dari kursinya dan Beng An yang ada di depan ibunya tiba-tiba meleletkan lidah dan terkejut karena begitu mencelat dan terbang dari kursinya tahu-tahu ibunya itu sudah menghilang.

"Heii...!" Pendekar Rambut Emas tak mau melihat isterinya pergi begitu saja. "Tunggu, niocu. Jangan sendiri!" dan Kim-mou-eng pun yang bergerak dan tahu-tahu mencelat dari kursinya tiba-tiba juga sudah sama-sama menghilang dan lenyap diluar.

"Ah," Beng An tak tahan lagi berseru kagum. "Mereka seperti siluman-siluman, enci. Bergerak dan tahu-tahu menghilang begitu saja. Apakah itu gabungan dari Jing-sian-eng dan Cui-sian Gin-kang?"

"Benar," Soat Eng tiba-tiba menyambar adiknya, juga tak mau tinggal diam. "Itulah Jing-sian-eng dan Cui-sian Gin-kang, Beng An. Akupun memiliki namun masih tak sehebat ayah ibu.... wut!"

Beng An membelalakkan mata, tahu-tahu disendal dan terangkat dari kursinya dan diapun sudah dibawa terbang oleh encinya itu. Beng An melihat encinya bergerak cepat tapi memang masih belum secepat ayah ibunya, tapi anak inipun sudah kagum. Dan ketika dia bersorak dan menjadi girang oleh ribut-ribut di depan, yang kini sudah didengar dan Soat Eng juga mendengar maka mereka melihat bayangan seorang nenek yang terkekeh-kekeh menampar atau meroboh-robohkan pengawal.

"Nenek busuk!" Soat Eng memaki. "Kiranya si Dewi Naga Api!"

"Siapa itu, enci? Satu di antara enam Iblis Dunia?"

"Benar, itulah si nenek iblis!" dan Soat Eng yang berkelebat serta mengerahkan ginkangnya akhirnya sudah tiba di situ tapi tak berani melepas adiknya, teringat kata-kata ibunya bahwa dia harus menjaga Beng An. Adiknya ini nakal dan pemberani, dilepas sedikit tentu akan membuat onar dan salah-salah dia bisa mendapat marah ibunya. Maka ketika dia berhenti dan mencekal lengan adiknya erat-erat, tak memperbolehkan Beng An mendekat akhirnya mereka melihat perkelahian tak imbang antara nenek itu dengan para pengawal, yang tentu saja memang bukan tandingan nenek itu. Tapi ketika ibunya berkelebat dan membentak nenek itu, disusul ayahnya, maka nenek Naga tertegun dan terkejut.

"Berhenti... plak-dess!" dan nenek itu yang terpelanting dan terlempar oleh pukulan si nyonya tiba-tiba menjerit dan berteriak berjungkir balik dan kaget melihat Pendekar Rambut Emas bersama isterinya ada di situ.

"Kim-mou-eng....!"

Pendekar ini mengangguk. Nenek Naga pucat dan kontan mundur dengan kaki menggigil, tak tahunya sang nyonya sudah bergerak dan berkelebat di depannya. Dan ketika nyonya itu berapi-api memandangnya sementara para pengawal bersorak melihat kedatangan suami isteri ini maka Swat Lian membentak.

"Kau mencari mati! Jaga dan bersiaplah menuju akherat, nenek busuk. Aku akan mengantarmu menghadap Giam-lo-ong (Raja Maut)!"

"Nanti dulu! Tunggu...!" nenek itu bergerak mencabut bendera putihnya, tanda utusan. "Aku datang bukan sebagai musuh, Kim-hujin (nyonya Kim). Aku adalah utusan!" dan ketika si nyonya tertegun dan terkejut melihat itu, melihat bendera di tangan si nenek maka nenek itu cepat-cepat menyambung, "Aku ingin menyampaikan pesan, ingin menghadap sri baginda kaisar. Tahan dan jangan menyerang!"

"Hm," Pendekar Rambut Emas melangkah maju, terkejut melihat bendera itu. "Kau kiranya utusan, nenek Naga. Tapi sebagai utusan tak seharusnya kau mengacau disini."

"Aku diserang mereka!" nenek itu membela diri, tentu saja gentar. "Aku tidak bermaksud membuat ribut, Pendekar Rambut Emas. Aku membela diri karena diserang!"

"Tidak, nenek itulah yang mulai menyerang!"

Seorang perwira, yang terpelanting dan terlempar oleh tamparan nenek ini tiba-tiba berseru dan membentak. Ia tadi merasa kesakitan dan marah oleh kedatangan nenek ini, yang memang mendahului dan menyerang mereka, tak tahu bahwa disitu ada Pendekar Rambut Emas beserta isterinya. Maka ketika yang lain juga berteriak dan memaki-maki nenek itu, yang membuat nenek Naga pucat dan ketakutan maka si perwira melanjutkan lagi bahwa nenek inilah yang mula-mula datang mencari gara-gara.

"Dia datang dan menyerang, meroboh-robohkan kami. Dan karena kami harus bertahan dan menyelamatkan diri maka dia akhirnya kami serang tapi bukan kami yang lebih dulu menyerang!"

"Nah!" Swat Lian merasa cukup. "Kau datang sebagai utusan, nenek keparat. Tapi sepak terjangmu sungguh tidak seperti itu. Bersiaplah, kau patut dibunuh!" dan tidak menunggu kata-kata suaminya lagi tiba-tiba nyonya ini sudah meloncat dan menyerang lawan, langsung menampar dengan Khi-bal-sin-kang dan nenek Naga tentu saja terkejut.

Nenek itu mengelak namun si nyonya mengejar, apa boleh buat terpaksa ditangkis dan berteriaklah nenek ini ketika dia terbanting. Dan ketika Swat Lian berkelebat dan memburu lawan maka nenek Naga sudah berkaok-kaok sementara si nyonya tak menghiraukan dan terus melepas pukulan-pukulan cepat.

"Des-dess!" Nenek Naga terhuyung-huyung. Dia memekik dan marah memandang nyonya itu, berteriak dan mengelebatkan bendera namun si nyonya tak perduli. Swat Lian terlanjur marah dan tidak menghiraukan bendera utusan, inilah musuh yang sedikit atau banyak ikut menyebabkan kematian ayahnya. Maka ketika dia mempercepat gerakannya dan lawan dibuat kalang-kabut maka satu pukulan kuat akhirnya mendarat di tengkuk si nenek.

"Dess!" Nenek ini mengeluh. Terbanting dan bergulingan oleh kuatnya hantaman itu membuat nenek ini nyaris tak dapat bangun berdiri. Sekejap dia nanar namun sudah memaki-maki lagi, tiba-tiba mencabut benang dan jarum emasnya. Saat itu Swat Lian mengejarnya lagi dan kegemasan si nyonya tampak dalam pukulan ini, rupanya hendak membunuh dan nenek itu tentu saja marah. Setakut-takutnya tetap saja dia akan melawan kalau didesak, dipepet. Maka ketika si nyonya bergerak dan kembali menjatuhkan tamparan maut, yang membuat nenek ini semakin pucat saja maka benang dan jarum emasnya itu menyambar.

"Bret!" Baju si nyonya robek. Si nenek dapat menggulingkan tubuh menjauh dan kini melompat bangun, melengking dan tiba-tiba mengerahkan Tee-sin-kangnya (Pukulan Bumi) sementara si nyonya masih terhuyung. Pukulan itu menyambar dan tepat mengenai lawan. Tapi ketika si nenek menjerit karena Khi-bal-sin-kang melindungi nyonya itu maka Swat Lian bergerak maju dan kembali menyerang lawan, membentak.

"Kau sekarang tak dapat meloloskan diri. Menyerahlah, atau kau mampus!"

Nenek ini jatuh bangun. Tee-sin-kang kembali menyambar namun tertolak oleh Khi-bal-sin-kang. Dia terhuyung dan selalu mengeluh tertahan setiap pukulannya terpental. Hal ini membuat nenek Naga terdesak dan sebentar kemudian ia pun sudah menjadi bulan-bulanan pukulan lawan, kian lama kian kuat saja dan tentu saja nenek ini tak sanggup. Dikeroyok berlima saja lawannya itu dapat bertahan, apalagi kini hanya dia seorang. Maka ketika benang akhirnya putus dan jarum di tangan kanan juga patah maka nenek Naga tiba-tiba melengking dan melarikan diri.

"Awas...wut-wut-wut!"

Belasan jarum rahasia menyambar. Nenek ini putus asa dan itulah satu-satunya jalan baginya untuk meloloskan diri. Swat Lian mengelak dan tanpa teriakan suaminya pun dia tetap waspada, tahu dan tentu saja tiba-tiba membentak mengejar lawan. Dan ketika lawan kembali melepaskan jarum-jarum rahasia namun kali ini disampok runtuh maka nyonya itu sudah menggerakkan tangannya dan pukulan miring menghantam nenek itu dari kanan ke kiri.

"Dess!" Nenek Naga mencelat. Nenek itu terbanting dan tidak bergerak-gerak lagi, pingsan. Langsung roboh oleh pukulan si nyonya yang demikian kuat. Swat Lian menambah tenaganya dan nenek itupun tak dapat bertahan lagi, meskipun sinkangnya melindungi dari dalam. Namun ketika Swat Lian bergerak dan hendak membunuh nenek itu, memecahkan kepalanya maka suaminya, Pendekar Rambut Emas berkelebat maju.

"Jangan bunuh!" sang nyonya pun ditahan, hampir melepas pukulan namun dengan cepat Pendekar Rambut Emas menyambar lengan isterinya ini. Sekali tangan itu melayang tentu habislah nyawa si nenek. Namun karena Pendekar Rambut Emas telah mencegah isterinya dan pukulan tak jadi melayang maka pendekar ini berkata bahwa lawan tak perlu dibunuh.

"Jelek-jelek dia adalah utusan, biarlah kita tangkap dan serahkan suratnya kepada kaisar."

"Tapi nenek ini tak bersikap sebagaimana layaknya utusan. Dia menyerang dan menghina pengawal!"

"Itulah sebabnya kita tangkap," Kim-mou-eng menarik napas panjang. "Kalau dia bersikap sebagai utusan tentu malah harus kita bebaskan, niocu. Tapi karena dia menyerang dan menghina pengawal maka kita menangkapnya saja dan menyerahkan suratnya kepada sri baginda kaisar," lalu tak menunggu isterinya membantah karena isterinya itu mengaitkan semua persoalan ini dengan kematian Hu-taihiap maka Kim-mou-eng sudah menotok dan menambah kelumpuhan si nenek agar tidak dapat menyerang lagi kalau siuman.

Tek-ciangkun dipanggil dan perwira inipun sudah muncul dengan cepat. Iapun tahu kejadian itu dan saat itu muncullah pula Han-taijin dan Kim-taijin, kebetulan. Maka menyerahkan surat kepada dua pembesar itu dan menangkap lawan Kim-mou-eng berkata bahwa urusan selanjutnya diserahkan dua pembesar itu.

"Kami hanya melumpuhkannya, tidak membunuh. Biarlah taijin berdua mengurus masalah ini dan laporkan pada sri baginda."

"Ah, terima kasih!" dua pembesar itu buru-buru membungkuk dalam-dalam. "Apa yang telah terjadi adalah berkat jasamu, taihiap. Kami semua berhutang budi dan tak tahu harus membelas apa. Nenek ini berbahaya, bukankah dia nenek Naga Bumi yang menjadi guru pemuda itu? Ah, kami berterima kasih. Baiklah, kami akan membawanya dan melapor pada sri baginda!"

"Nenek ini biarkan bersama kami!" Pendekar Rambut Emas tiba-tiba berkata. "Yang kalian bawa ialah surat itu, taijin. Sebab kalau nenek ini diluar pengawasan kami tentu sukar kalian mengendalikannya!"

"Ah, taihiap bermaksud menguasai nenek ini?"

"Bukan menguasai, melainkan mengawasi. Aku hendak membawanya ke tempat kami dan di bawah pengawasan kami tentu dia tak akan dapat berbuat apa-apa!"

"Oh, benar. Kami mengerti," dan ketika dua pembesar itu mengangguk karena menangkap dan menawan nenek selihai ini tentulah bukan kesanggupan mereka maka nenek Naga akhirnya dibawa dan dimasukkan ke kamar khusus, di tempat dimana Pendekar Rambut Emas beristirahat bersama keluarganya.

Surat itu sendiri sudah diserahkan pada kaisar dan muka kaisar merah padam membaca isi surat itu, yang mengancam dan menyuruh dia takluk atau pasukan Togur akan maju menggilas istana. Isinya cukup kasar dan tentu saja kaisar marah. Untung ada Kim-mou-eng disitu, Pendekar Rambut Emas yang hebat. Dan ketika kaisar mengucap terima kasih dan persoalan malam itu selesai, Kim-mou-eng diminta untuk menawan nenek Naga maka pendekar ini kembali bersama isterinya, juga Soat Eng dan Beng An, duduk kembali di meja makan.

"Nah," pendekar itu menarik napas dalam. "Sekarang Togur telah mengutus gurunya, niocu, dan kita telah menangkapnya. Agaknya akan datang lagi utusan berikut dan kita harus waspada. Melihat situasinya, lebih baik serangan ditunda dan kita tunggu guru-guru pemuda itu datang kesini. Rasanya lebih baik menangkapi mereka itu disini daripada dimedan perang. Kim-taijin harus kuberi tahu perubahan ini. Bagaimana pendapatmu?"

"Aku tak sabar untuk menangkap dan membunuh mereka semua, di medan perang atau di sini. Tapi kalau kau mengira bahwa Togur akan mengirim guru-gurunya lagi terserah kau bagaimana enaknya. Aku sih, tak mau membuang-buang waktu lagi!"

"Benar," Beng An tiba-tiba nimbrung. "Daripada menunggu lebih baik bergerak dan menyerang saja, yah. Tak usah membuang-buang waktu lagi!"

"Hush!" Soat Eng membentak. "Kau anak kecil jangan ikut-ikutan bicara dengan orang tua, Beng An. Tutup mulutmu dan jangan lancang!"

"Biarlah," sang ibu meraih anaknya ini, memeluk dan tersenyum, merasa dibela. "Beng An sejalan dengan ibumu, Eng-ji. Biarkan dia bebas bicara untuk mengembangkan keberaniannya!"

Beng An mencibir, balas mengejek encinya yang tadi membentak. "Nah, apa kata ibu, enci? Aku boleh bicara apa saja, kau tak perlu marah!"

Soat Eng melotot. Dia gemas dan mendongkol tapi sang ayah tertawa. Pendekar Rambut Emas berkata bahwa Soat Eng pun tak salah, dan mengajari adiknya bersopan-santun. Namun ketika pendekar ini menarik napas dan teringat persoalan semula maka dia menyuruh Beng An tidur atau beristirahat di kamarnya, bersama Soat Eng.

"Kami mau bicara yang lebih serius, kalian pergilah dan beristirahat saja di kamar. Biar kau menjaga adikmu."

Beng An terkejut. Dia kecewa tapi sang ibu sudah memberi sebuah hadiah ciuman di pipi, berkata bahwa ayahnya benar dan mereka berdua diminta ke kamar untuk beristirahat. Swat Lian akhirnya sadar bahwa membela Beng An di depan encinya adalah dapat berakibat kurang baik di belakang hari. Sang adik bisa menjadi berani dan kurang ajar nanti, mentang-mentang dimanja sang ibu.

Dan ketika Soat Eng bangkit dan tersenyum kepada ayahnya, karena itulah atas kebijaksanaan ayahnya ini maka Beng An pun mau diajak pergi, mula-mula cemberut namun Soat Eng berbisik bahwa mereka dapat main-main dengan tawanan, mengejek atau mengapakan saja nenek iblis itu sesuka hati. Inilah hal yang tiba-tiba membuat anak laki-laki itu gembira.

Maka ketika dia menurut dan Kim-mou-eng berhadapan dengan isterinya berdua maka pendekar ini melanjutkan kembali pembicaraannya, berkata bahwa sebaiknya pentolan-pentolan di pihak musuh dibiarkan datang dan ditangkap di situ. Dengan begini tak akan banyak jatuh korban dan Swat Lian pun akhirnya mengangguk. Betapapun dia mengerti bahwa sebenarnya suaminya ini tak ingin dia membunuh, mencegah dirinya mengamuk dan membabat enam Iblis Dunia itu yang kini tinggal lima orang. Suaminya memang berwatak pengasih dan penyayang, berkesan lemah hati. Namun ketika pembicaraan ditutup dan dia menarik napas panjang maka nyonya yang gagah perkasa ini berkata,

"Baiklah, aku tahu maksud hatimu. Tapi untuk See-ong jangan harap aku mengampuninya. Sekali aku bertemu dengan dia kuminta tidaklah kau mencegah aku membunuh. Kematian ayah harus dibalas!"

"Hm, itu juga kewajibanku. Untuk yang ini aku tak akan melarang, isteriku. Tapi kuminta pula kesediaanmu untuk memberikan Togur kepadaku. Anak itu bagianku, sebaiknya kau tak perlu terlalu ikut campur karena aku akan menghukumnya dengan caraku sendiri!"

"Tapi dia mencuri Cermin Naga, milik ayah!"

"Aku tahu, dan aku akan memintanya, isteriku. Sudahlah, anak itu bagianku dan See-ong bagianmu. Yang lain-lain tak perlu dibunuh karena mereka hanya ikut-ikutan saja. Kita hanya menangkap dan menawan, cukup!"

"Lalu kita apakan?"

"Hm, dipikir nanti saja. Mungkin dibuang!" dan ketika percakapan berhenti dan Pendekar Rambut Emas berhasil membujuk isterinya maka keesokannya Kim-mou-eng menghadap sri baginda dan Kim-taijin untuk merubah rencana, tidak buru-buru mengerahkan pasukan untuk menyambut musuh di depan melainkan menunggu beberapa hari dulu. Diduga bahwa Togur akan mengirim gurunya lagi untuk menyusul nenek Naga, karena nenek itu tak kembali dan sudah mereka tangkap.

Dan ketika kaisar setuju dan mengangguk saja, karena semua memang tergantung pendekar itu maka benar saja tiga hari kemudian nenek Toa-ci dan Ji-moi datang. Sebagaimana diketahui, Togur marah-marah karena gurunya nenek Naga tak datang. Dia tak tahu bahwa gurunya itu tertangkap, bertemu dengan Kim-mou-eng dan tentu saja hadirnya Pendekar Rambut Emas itu bukan tandingan nenek ini.

Toa-ci diutus dan kini bersama adiknya dua nenek itu datang ke kota raja, tentu saja juga tak menduga bahwa Pendekar Rambut Emas bersama isterinya ada di istana, menunggu mereka. Dan ketika malam itu semua orang berjaga dan pengawal maupun perwira dag-dig-dug tak keruan karena mereka maklum bahwa orang selihai nenek Naga akan datang maka Toa-ci dan Ji-moi yang memasuki istana di malam hari sejenak berhenti di atas tembok yang tinggi.

"Sebaiknya kita berpencar," Toa-ci mengerutkan kening. "Kita sudah disini dan siap menyelidiki musuh kita, Ji-moi. Aku merasa ada sesuatu yang tak beres dan kita harus berhati-hati."

"Ya, aku juga merasa begitu. Nenek sialan itu tak kita jumpai di tengah jalan, berarti dia masih ada disini atau mungkin tak menjalankan tugas!"

"Tak mungkin. Pek Kiok tak akan berani menyeleweng kalau tak ingin dihukum Togur. Sudahlah, pasti ada apa-apa dan kau memasuki sebelah utara sedang aku sebelah selatan!"

Ji-moi, nenek kedua, mengangguk. Mereka sudah tiba disitu dan masing-masing telah sepakat untuk berpencar. Mau tak mau mereka harus berhati-hati juga setelah rekan mereka itu tak kembali. Pasti ada apa-apa, tak mungkin tak ada apa-apa. Dan ketika mereka mulai bergerak dan meluncur turun, satu ke kiri sedang yang lain ke kanan maka bayangan dua nenek itu akhirnya lenyap memasuki istana, seperti siluman. Nenek Ji-moi, seperti yang diminta encinya, berkelebat ke bagian utara. Nenek ini mendengus ketika melihat ratusan pengawal berjaga-jaga. Mereka memagar betis namun dengan mudah nenek ini melewati mereka.

Dengan ilmu hitamnya, yang dikeluarkan dan tiba-tiba membuat nenek itu berubah sebagai asap hitam tiba-tiba nenek ini telah melewati barisan pengawal seperti bayang-bayang iblis yang tak dapat disentuh. Dia berkelebat dari satu tempat ke tempat lain. Usahanya yang pertama kali adalah menemukan dulu dimana rekannya itu, nenek Naga. Tapi ketika dia berputar-putar tak menemukan apa yang dicari mendadak nenek ini muncul dan menangkap seorang pengawal, yang tentu saja kaget bukan main karena Ji-moi muncul begitu mendadak di depan hidungnya, seperti setan!

"Katakan apa yang terjadi. Apakah seorang nenek pernah datang kemari sebagai utusan?"

Pengawal itu, yang megap-megap dan pucat tak dapat bicara tiba-tiba tak mampu menjawab. Ji-moi muncul begitu saja setelah melepas ilmu hitamnya, tentu saja membuat lawan terkejut dan pengawal ini mengira sedang bertemu dengan siluman, atau sebangsa roh halus. Tapi ketika nenek itu menjepit rahangnya dan dia menjerit kesakitan maka nenek ini menampar mulutnya dan membentak lagi.

"Aku bertanya apakah ada seorang nenek yang pernah datang kemari. Jawab atau kau mampus!"

"Ap.... apa? Kau... kau siapa?"

"Masih banyak bertanya? Kau hanya menjawab, bukan bertanya!" dan ketika nenek ini memencet belakang telinga lawan tiba-tiba pengawal itu menjerit namun jerit di mulutnya tertahan setengah jalan, ditotok dan pengawal itupun akhirnya hanya dapat merintih dan kesakitan, pucat dan gentar bukan main karena dia tidak menghadapi manusia biasa lagi.

Seketika dia sadar bahwa kiranya inilah orang yang ditunggu-tunggu Kim-mou-eng. Ah, musuh sudah datang! Namun karena dia tak dapat menjerit dan suara yang keluar dari mulutnyapun hanya ah-uh-ah-uh tanda kesakitan maka nenek Ji-moi mengancam agar dia cepat bicara, atau mampus dicoblos matanya.

"Ak... aku tak tahu. Tapi... ah, benar ada seorang nenek yang pernah datang kemari...!"

"Nah, ceritakan itu. Dimana dia sekarang dan apa yang telah ia lakukan?"

"Ia...ia tertangkap. Aku... aku..."

Nenek Ji-moi terkejut. Mendengar rekannya, nenek Naga tertangkap tiba-tiba tanpa terasa ia mencekik leher pengawal ini. Tidak begitu keras namun itu cukup membuat pengawal ini berkelojotan dan tewas. Lehernya patah! Dan ketika Ji-moi menyesal namun menendang mayat itu, mulai mendapat informasi maka nenek ini berkelebat lagi mencari korban lain, yang juga sama-sama ketakutan dan belum apa-apa sudah terkencing-kencing di celananya!

"Aku ingin kau menceritakan tentang nenek yang pernah datang kemari. Siapa yang menangkap dan dimana ia sekarang!"

"Kau.... kau siapa?"

"Tak usah banyak mulut. Aku dewi maut bagimu!"

"Oh, tidak... jangan... jangan bunuh aku. Aku... aku tahu dimana nenek itu. Kau pasti temannya. Bukankah kau mencari nenek Naga?"

"Benar, dan sebutkan dimana dia sekarang. Bagaimana sampai tertangkap!"

"Dia... dia ditangkap Kim-taihiap (pendekar besar Kim), dipenjarakan dirumahnya....!"

"Apa? Siapa itu Kim-taihiap?"

"Kim-mou-eng, Pendekar Rambut Emas!" namun begitu Ji-moi mengeluarkan seruan tertahan dan pengawal itu girang dapat menggertak sejenak tiba-tiba dia roboh terkulai karena jari-jari nenek ini telah menghunjam di batok kepalanya. Kaget dan marah mendengar Kim-mou-eng ada di situ tiba-tiba nenek ini langsung melepaskan kemarahannya dengan membunuh pengawal ini. Nenek itu pucat dan tertegun mendengar itu, tak menyangka. Pantas kalau begitu! Dan ketika nenek ini terhenyak dan meloncat bangun, melepas korbannya maka saat itu berkesiur angin dingin dan terdengarlah bentakan nyaring seorang wanita.

"Nenek keparat, kau membunuh pengawal? Jahanam, rasakan ini!" dan sebuah pukulan dahsyat yang menghantam Ji-moi dari belakang tiba-tiba membuat nenek itu membalik dan secepat kilat menangkis.

"Dukk!" Nenek ini mencelat. Ji-moi terpekik dan seketika dia berjungkir balik menyelamatkan diri. Angin pukulan itu masih menyambarnya juga dan dia kaget karena mengenal itulah Khi-bal-sin-kang, ilmu dahsyat yang dimiliki keluarga Pendekar Rambut Emas. Dan ketika dia berjungkir balik dan melayang turun, melihat siapa yang ada maka nenek itu terbelalak karena Soat Eng, gadis itu, telah berdiri di depannya dengan mata berapi-api.

"Kau nenek keparat, pembunuh! Menyerah atau kuhajar kau sampai mampus!"

"Heh-heh!" Ji-moi tiba-tiba terkekeh, bersinar matanya. "Kau yang datang, bocah? Ingin main-main denganku? Marilah, kuringkus kau dan biar ibu bapakmu melihat mayatmu!" dan si nenek yang marah melengking tinggi tiba-tiba sudah bergerak dan menyerang gadis ini, dikelit tapi Mo-seng-ciang atau Pukulan Bintang Iblis mengejar Soat Eng.

Gadis ini merendahkan tubuh dan menangkis, mengerahkan Khi-bal-sin-kangnya. Tapi ketika si nenek menarik pukulannya dan meliuk serta merendahkan kaki tahu-tahu sebuah sapuan telah menyambar pinggang gadis itu.

"Dess!" Soat Eng terpelanting. Nenek ini akhirnya tertawa dan mengejar lagi, bertubi-tubi melepas pukulan tapi cepat menarik kembali kalau berhadapan dengan Khi-bal-sin-kang, mainkan kakinya dan dua tiga tendangan mengenai Soat Eng dengan jitu. Dan ketika gadis itu terhuyung jatuh bangun karena secara licik nenek ini berkelebatan dan mengecoh dengan serangan-serangan lain maka untuk sesaat Soat Eng terdesak dan diapun memaki-maki.

Namun gadis ini adalah puteri Pendekar Rambut Emas. Soat Eng memang kalah pengalaman tapi bukan kalah ilmu. Khi-bal-sin-kangnya ditakuti dan jelas dengan ilmu itu si nenek tak berani mengadu tenaga. Itulah kelebihannya. Dan karena gadis ini juga memiliki Jing-sian-eng dan Ilmu Bayangan Seribu Dewa itu belum dikeluarkan tiba-tiba Soat Eng membentak dan keluarlah ilmu meringankan tubuhnya itu, "Nenek siluman, aku akan menghajarmu. Marilah lihat siapa yang akan teringkus!"

Nenek Ji-moi mulai terkejut. Dia melihat perubahan itu, lawan berkelebat dan tiba-tiba lenyap dari pandang matanya. Gerakannya yang cepat sudah diikuti dengan gerakan lawan yang cepat pula. Dan ketika tubuh si gadis sudah berseliweran naik turun dan tendangan-tendangan atau pukulan lainnya luput mengenai gadis itu maka dahsyat menderu pukulan Khi-bal-sin-kang pun mulai bekerja.

"Des-dess!" Nenek ini terhuyung. Dia kalah cepat oleh ginkang Jing-sian-eng itu dan pukulan ataupun tamparan lawan mulai mendarat di tubuhnya, dielak tapi tetap saja kalah cepat dan akibatnya nenek ini mendesis-desis. Dan ketika Soat Eng menambah kecepatannya hingga bayangannya semakin tak dapat diikuti mata lagi maka si nenek menjerit ketika lehernya terpukul, terlempar dan terbanting bergulingan namun Ji-moi memang hebat.

Nenek ini masih dapat meloncat bangun dan tiba-tiba mencabut garpunya, senjata aneh yang menjadi andalan itu, di samping Mo-seng-ciangnya. Dan ketika dia bertahan dengan cara ini dan menusuk serta menggores-goreskan garpunya itu maka Soat Eng harus berhati-hati juga namun perlahan tetapi pasti akhirnya dia kembali berhasil mendesak juga. Khi-bal-sin-kangnya itu melindungi tubuh!

"Keparat!" nenek ini melengking. "Kau jahanam busuk, betina jalang. Jangan pergunakan Khi-bal-sin-kangmu itu kalau kau berani!"

"Hm!" Soat Eng mendengus. "Dan kaupun jangan banyak bacot, nenek setan. Kalau kalah cepat saja menyerah kalah kalau menang coba kau robohkan aku!"

"Keparat, kubunuh kau!" dan si nenek yang melengking-lengking mengelak sebuah tamparan tiba-tiba bergerak dari bawah menusukkan garpunya itu, tepat di ketiak Soat Eng dan Soat Eng terkejut. Dia terlanjur terdorong ke depan dan tak mungkin mengelak. Namun begitu garpu menusuk ketiaknya dan Khi-bal-sin-kang sudah dikerahkan untuk melindungi diri maka garpu itu mental bertemu kekebalan yang mengagumkan.

"Tak!" Si nenek memaki-maki. Sebenarnya sudah berkali-kali kejadian ini terjadi dan setiap kali itu pula pasti dia dibuat marah. garpu atau pukulannya tertolak mental bertemu Khi-bal-sin-kang. Padahal, kalau dia yang terkena serangan tentu dia yang selalu terpelanting dan jatuh terguling-guling. Khi-bal-sin-kang menghantamnya begitu dahsyat dan selalu nenek ini tak tahan. Dan ketika garpu akhirnya patah dan nenek itu menjerit maka satu pukulan Soat Eng mengenai tengkuknya dan terbantinglah nenek itu dengan kelengar.

"Dess!" Nenek Ji-moi hampir pingsan. Nenek ini akhirnya mengeluh dan tobat menghadapi Khi-bal-sin-kang. Justeru gara-gara ilmu itulah dia bersama encinya dan lain-lain tunduk kepada murid sendiri, Togur. Ilmu itu ditambah Jing-sian-eng memang sudah di atas kepandaiannya sendiri. Menghadapi ilmu itu sama halnya dengan menghadapi mendiang Hu Beng Kui, jago tua yang gagah perkasa itu.

Maka ketika dia terbanting dan kelengar disana, merintih, tiba-tiba Soat Eng berkelebat dan siap melumpuhkannya, menangkap. Namun nenek ini berkemak-kemik, mulut mengucapkan mantra dan tiba-tiba hilanglah tubuhnya ditubruk Soat Eng. Itulah pengaruh ilmu hitam yang dipergunakan nenek ini. Soat Eng belum berpengalaman, terkejut, berseru tertahan karena lawan tiba-tiba lenyap. Dan ketika dia kebingungan dan terhenyak ditempat, celingukan, maka nenek Ji-moi menghantamnya dari tempat gelap.

"Hi-hik, mampus kau, bocah. Terimalah...dess!" Soat Eng terpelanting, tidak berjaga-jaga namun di balik ilmu hitamnya nenek ini diam-diam memaki juga. Dia bertemu Khi-bal-sin-kang yang otomatis melindungi si gadis.

Soat Eng sudah bangkit berdiri lagi dan diserang tapi gadis itu hanya terhuyung-huyung saja, tidak roboh. Kian lama kian kuat dan akhirnya gadis ini tak bergeming. Nenek Ji-moi malah berteriak berulang-ulang di balik ilmu hitamnya karena kini dia sendiri yang terpental. Keparat, itulah gara-gara Khi-bal-sin-kang! Dan ketika nenek itu marah sementara Soat Eng sendiri juga gusar karena menjadi bulan-bulanan lawan, tak tahu dimana nenek itu karena tenaga batinnya kalah lihai maka tiba-tiba terdengar suitan panjang dan Ji-moi terkejut.

Itulah suitan encinya dan jelas encinya menghadapi bahaya. Gadis ini tak dapat dirobohkan sementara dia sendiri akhirnya kelelahan, layaknya menyerang sebuah patung batu saja. Dan ketika suitan itu terdengar lagi dan nenek Ji-moi menggeram tiba-tiba Soat Eng tak mendapat pukulan-pukulan lagi karena lawan sudah menghilang meninggalkannya, berkelebat dan menuju ke asal suitan itu. Di sana memang terjadi pertempuran lain dan Toa-ci, saudara Ji-moi menghadapi bahaya. Dan sementara Soat Eng memaki-maki dan tidak tahu kemana lawannya itu maka di tempat lain Ji-moi sudah tertegun melihat encinya terkurung oleh Pendekar Rambut Emas dan isterinya!

Seperti diketahui, Ji-moi dan Toa-ci menuju ke arah yang berlainan. Mereka berpencar untuk mencari nenek Naga, sebelum menghadap dan menemui kaisar. Syukur kalau malah bertemu kaisar dan mereka dapat menangkap kaisar itu, menundukkannya. Tapi ketika Ji-moi berpisah dengannya dan Toa-ci berputar mengelilingi istana tiba-tiba saja nenek ini mendekati gedung dimana Pendekar Rambut Emas berada, seperti ular mencari gebuk!

Sebenarnya, nenek ini tak sengaja mencari Kim-mou-eng. Lagi, kalau dia tahu bahwa gedung itu adalah justeru tempat tinggal pendekar ini tentu dia akan ngacir, kabur. Tapi Toa-ci memang sial. Dia tertarik mendekati gedung itu karena dilihatnya seorang anak laki-laki sedang bermain dengan dua ekor harimau. Dia terbelalak dan heran melihat itu. Bukan main, seorang anak laki-laki berani bermain-main dengan harimau.

Kalau bukan bocah yang pemberani tentu seorang bocah murid seorang tokoh, atau mungkin anak kaisar dari sekian banyak para pangeran yang ada disitu. Dan karena hadirnya bocah itu seketika membuat Toa-ci tertegun dan bersinar-sinar, menganggap anak itu sebagai bocah berharga maka tiba-tiba dia sudah berkelebat dan menghadapi anak ini.

"Heii...!" nenek itu membuat kejutan, muncul seperti iblis. "Siapa kau dan bagaimana main-main dengan harimau? Kau tidak takut?"

Beng An, bocah ini, tentu saja terkejut dan melompat kaget. Anak ini sedang bermain-main dengan Bi-houw dan anaknya, Siauw-houw. Dia sedang tertawa-tawa berada di punggung Bi-houw, menarik atau mencengkeram ekor harimau itu, juga kumisnya. Hal yang tak mungkin berani dilakukan anak lain sebayanya, bahkan orang dewasa sekalipun!

Maka ketika nenek itu muncul dan Beng An terkejut, tersentak kaget maka Bi-houw juga melonjak dan tiba-tiba mengaum panjang. Namun nenek ini tertawa mengejek. Bi-houw yang melompat dan tiba-tiba menyerangnya langsung ditampar, jarak masih cukup jauh namun harimau itu tiba-tiba menguik dan roboh, langsung tewas. Kepalanya pecah ditampar pukulan jarak jauh nenek itu! Dan ketika Beng An terkejut dan marah sekali, tadi tak sempat mencegah harimaunya maka anak ini membentak dan Siauw-houw yang melihat kematian induknya juga tiba-tiba mengaum dan lompat menyerang.

"Des-dess!" Nenek Toa-ci terkekeh geli. Dia berkelit dan tubrukan Siauw-houw luput, harimau itu terperosok dan jatuh tunggang-langgang didepan, setelah didorong nenek itu pula. Dan ketika terkaman atau tubrukan Beng An dielak dan nenek ini menepuk maka Beng An terpelanting dan terguling-guling pula ditampar nenek itu.

"Jangan mengeroyok, biarkan aku sendiri!" Beng An berteriak, sudah bergulingan meloncat bangun dan harimau ciliknya itu ditarik serta ditendang ke pinggir. Siauw-houw terkejut namun patuh kepada bentakan anak ini, majikannya. Dan ketika Toa-ci kagum melihat keberanian si bocah maka Beng An sudah menyerangnya dan bertubi-tubi melepas pukulan.

"Des-des-dess!"

Si nenek tak bergeming. Toa-ci menunjukkan kepandaiannya dan Beng An menjerit kesakitan karena kepalan tinjunya serasa bertemu batu karang, lecet namun dia tidak perduli dan sudah menyerang lagi, mengamuk. Anak ini bersikap nekat dan kekaguman Toa-cipun semakin menjadi-jadi. Namun karena Beng An bukanlah lawannya dan anak itu terhuyung serta mendesis-desis kesakitan maka nenek ini berkata cukup dan sekarang anak itu harus ikut dengannya.

"Kau pemberani, hebat dan gagah. Sekarang ikutlah aku dan hentikan seranganmu!" namun tepat di saat Beng An roboh tiba-tiba terdengar bentakan dan sesosok bayangan ramping menghantam nenek ini dari belakang.

"Siapa berani main-main dengan anakku... wut!"

Toa-ci tentu saja terkejut, kaget melihat kecepatan bayangan itu karena tahu-tahu ia sudah tak dapat mengelak lagi. Yang dapat dilakukan hanyalah menangkis dan nenek itupun sudah menggerakkan tangannya ke belakang, tak jadi menangkap Beng An karena serangan di belakang ini terasa dahsyat dan mengejutkan sekali. Dan ketika dia menangkis namun terbanting dan terguling-guling maka Toa-ci terkejut dan kaget bukan main karena yang dihadapi adalah seorang nyonya cantik yang kemerah-merahan mukanya, isteri Pendekar Rambut Emas.

"Kim-hujin (nyonya Kim)....!"

"Ya, aku!" Swat Lian, nyonya ini, sudah membentak lawannya. Dia sedang bersamadhi di kamarnya bersama suami ketika bentakan dan maki-makian Beng An didengar. Sang suami membuka mata bertepatan dengan dia sendiri, menyuruh agar dia keluar dan melihat apa yang terjadi. Pendekar Rambut Emas tenang-tenang saja sementara isterinya ini marah karena dia tahu bahwa Beng An bukan sedang bermain-main dengan encinya. Seseorang telah datang dan puteranya itu menghadapi musuh.

Dan ketika benar saja anaknya itu dilihat roboh terpelanting dan seorang nenek membunuh Bi-houw, induk harimau maka Swat Lian segera mengenal bahwa kiranya Toa-ci, nenek yang merupakan guru lainnya lagi dari Togura. Perhitungan suaminya ternyata tidak meleset dan kini utusan baru muncul, nenek itu, nenek keparat! Maka begitu dia membentak dan melepas serangan, menyelamatkan puteranya maka Toa-ci yang sudah berjungkir balik meloncat bangun kaget sekali melihat siapa yang datang. Dan ketika dia tertegun dan membelalakkan matanya maka tahu-tahu di belakangnya terdengar batuk-batuk perlahan dan Kim-mou-eng muncul pula di situ seperti iblis!

"Hm, kau, Toa-ci? Datang ingin menjenguk nenek Naga?" "Kau... kau..." nenek ini mundur-mundur, pucat. "Kau ada di sini? Kalian berdua ada di sini?"

"Ya, aku ada di sini, sudah beberapa hari. Sengaja menunggumu karena kau tentu ingin menjenguk temanmu itu. Hm, siapa lagi yang datang, Toa-ci? Mana adikmu?"

Nenek ini, yang sudah ketakutan dan gentar melihat suami isteri itu di situ tiba-tiba bersuit nyaring. Belum apa-apa dia sudah memanggil adiknya itu, belum bertanding! Dan ketika Pendekar Rambut Emas tersenyum dan maklum akan arti suitan itu maka isterinya, yang marah dan tidak dapat mengendalikan dirinya lagi tiba-tiba bergerak dan sudah menyerang nenek ini, dielak dan dikelit tapi sang nyonya terus mengejar.

Toa-ci ketakutan karena tak mungkin dia menang. Menghadapi satu di antara suami isteri ini saja tak mungkin dia dapat bertahan, apalagi kalau berdua. Maka ketika dia mundur-mundur sementara Beng An berteriak-teriak pada ibunya agar membunuh nenek itu yang telah membunuh harimaunya maka Toa-ci terdesak hebat dan apa boleh buat suatu ketika dia dipaksa menangkis.

"Dess!" Dan nenek inipun mencelat! Gentar dan patah semangat di tengah jalan nenek ini belum apa-apa sudah jatuh bangun diterjang si nyonya. Pada dasarnya dia sudah ketakutan dan berteriak-teriaklah nenek itu menyelamatkan diri. Pukulan-pukulan atau tamparan si nyonya selalu dikelit atau dihindari namun lawan selalu mengejar, memaksa dia menangkis dan tentu saja nenek ini tunggang-langgang.

Swat Lian mengerahkan Khi-bal-sin-kangnya dan ilmu meringankan tubuh Jing-sian-eng juga dipergunakan, tak ayal kecepatannya menjadi berlipat ganda dan nenek ini benar-benar kewalahan. Dan ketika Toa-ci jatuh bangun dan sebentar kemudian sudah menjadi bulan-bulanan pukulan lawan maka nenek ini melarikan diri dan berteriak-teriak.

Namun di depannya tiba-tiba menghadang Pendekar Rambut Emas. Pendekar itu berkata bahwa sebaiknya dia tak melarikan diri, menyerah secara baik-baik atau melanjutkan pertempuran. Di belakang Swat Lian membentak dan mengejar lagi, melepas pukulan. Dan ketika nenek itu bingung dan marah bercampur aduk maka Pendekar Rambut Emas yang ada di depan malah diserang dan dihantamnya dengan pukulan Mo-seng-ciang.

"Dess!" Namun sama saja. Toa-ci terpelanting dan jatuh bangun oleh pukulannya sendiri. Kim-mou-eng atau Pendekar Rambut Emas mengerahkan Khi-bal-sin-kangnya pula dan pukulan Bola Sakti itu menghantam balik serangannya sendiri. Dan ketika nenek ini meloncat bangun dan pucat memaki-maki, melihat Pendekar Rambut Emas berdiri tenang di sana sementara isterinya sudah berkelebat dan mengejarnya kembali maka nenek ini mengeluarkan senjatanya dan sendok raksasa sudah menangkis pukulan nyonya itu.

"Prakk!" sendoknya malah hancur. Sekali bertemu saja ternyata senjatanya itu tak kuat menahan. Si nyonya sudah menerjangnya lagi dan kalang-kabutlah nenek ini mempertahankan diri. Di depan ada Pendekar Rambut Emas sedang di sini isterinya. Ah, dia terkurung, tak dapat melarikan diri. Namun ketika tiba-tiba nenek itu melengking dan mengeluarkan ilmu hitamnya, berkemak-kemik tiba-tiba dia lenyap dalam sebentuk asap.

"Wush!" Swat Lian tertegun. Sang nyonya kehilangan lawan namun tiba-tiba dia memperdengarkan bentakan nyaring. Nyonya ini memperkuat tenaga batinnya dan saat itu juga tampaklah bayangan lawan. Tao-ci ternyata kabur dan melarikan diri. Suaminya tersenyum dan tenang-tenang di sana, tidak maju. Dia tahu bahwa suaminya menghendaki agar dia sendiri merobohkan nenek itu. Dan ketika bayangan si nenek tampak olehnya dan Swat Lian melengking panjang tiba-tiba si nyonya sudah berkelebat dan memburu lawannya itu.

"Jangan lari...!"

Toa-ci terkejut. Ternyata ilmu hitamnya tak berguna dan apa yang dikhawatirkan terjadi. Sejak mula dia tahu bahwa bersembunyi di balik ilmu hitamnya agaknya tak banyak berguna kalau dia berhadapan dengan suami isteri ini. Benar saja, lawan sudah melihatnya dan kini sebuah pukulan menyambar punggung. Dan ketika nenek itu menjerit dan putus asa, menangkis, maka dia mencelat dan terbanting terguling-guling lagi.

"Keparat, kalian busuk. Mengeroyok!"

"Siapa mengeroyok?" Swat Lian gusar, membentak dan menerjang lagi. "Aku di sini dan suamiku di sana, nenek busuk. Kau menyerahlah atau aku akan menghajar dan membunuhmu!"

Toa-ci melengking lagi. Dia berkemak-kemik dan menghilang lagi dengan ilmu hitamnya, coba meloloskan diri namun kemana dia lenyap ke situ pula si nyonya mengejar. Beng An sampai terlongong-longong karena yang tampak pada pandangan anak laki-laki ini ialah ibunya yang menyerang dan menghantam seonggok asap. Asap itu dikejar-kejar dan sepintas seperti ibunya itu gila, tidak waras! Namun karena di balik asap ada orangnya dan jelas ibunya itu sedang menghajar si nenek iblis maka Beng An tertawa-tawa dan bertepuk tangan mendorong-dorong ibunya agar membunuh atau menghajar lebih hebat lagi si nenek itu.

"Ha-ha, bagus, ibu. Bagus! Hajar saja dia, bunuh! Nenek itu telah membunuh Bi-houw!"

Namun tiba-tiba terdengar suitan lirih di sebelah kiri. Beng An yang tertawa-tawa mengejek Toa-ci mendadak diserang benda kecil hitam yang menyambar dari balik semak tak jauh dari anak ini. Ayahnya tersenyum-senyum dan sedang menonton pertandingan itu, sepintas, tak mendengar atau melihat benda kecil itu. Tapi ketika benda itu hampir dekat dan anak ini tentu roboh, karena kepalanya disambar batu kecil yang merupakan senjata rahasia mendadak Pendekar Rambut Emas mengebutkan lengan bajunya ke belakang dan Beng An berteriak kaget karena tiba-tiba dia mendengar ledakan keras di telinga kanannya.

"Dar!" benda kecil itu, batu hitam, hancur dikebut Kim-mou-eng. Pendekar Rambut Emas telah membalik dan Ji-moi, nenek yang telah datang tahu-tahu berhadapan dengan pendekar itu. Dan ketika Kim-mou-eng bergerak dan menyambar puteranya, yang terkejut dan kaget oleh hadirnya nenek lain maka pendekar itu tersenyum menegur lawannya.

"Selamat datang, kaupun kiranya sudah muncul di sini. Hm, menyerang anak kecil bukan perbuatan gagah, Ji-moi, apalagi dengan senjata gelap. Kau majulah, bantu saudaramu atau kita main-main di sini."

"Kau... keparat!" nenek itu membentak, marah tapi juga gentar. "Apa maksudmu dengan kata-kata itu, Kim-mou-eng? Kau menyuruh aku mengeroyok isterimu?"

"Kalau kau ingin membantu encimu. Tapi kalau kau mau main-main di sini dan berhadapan dengan aku tentu saja aku melayanimu."

"Keparat, kau berjanji begitu. Awas, aku akan membantu enciku dan kau jangan ikut campur!" dan Ji-moi yang berkelebat ke depan membantu encinya tiba-tiba sudah bergerak dan meninggalkan Kim-mou-eng, tentu saja lebih baik menghadapi nyonya itu bersama encinya dan mengeroyok berdua. Pendekar Rambut Emas telah mengijinkan dia mengeroyok wanita itu dan ijin seperti itu sama halnya dengan janji. Kim-mou-eng memperkenankan dia mengeroyok si nyonya. Maka begitu melengking dan menerjang maju tiba-tiba nenek ini telah menyerang Swat Lian dan langsung melepas Mo-seng-ciang yang menjadi andalannya.

"Dess!" Swat Lian tergetar. Sang nyonya terkejut tapi sudah membentak lawan barunya itu. Nenek Ji-moi sudah menyerangnya ganas dengan pukulan-pukulan cepat. Toa-ci, encinya, sudah dapat berdiri di sana dengan muka sedikit lega. Dia tadi dihajar dan terus dikejar pukulan-pukulan si nyonya. Dan ketika adiknya sudah datang membantu dan kini Pendekar Rambut Emas tertawa tenang di sana maka Swat Lian memekik dan membalik menghadapi Ji-moi.

"Des-dess!" Ji-moi ganti terlempar. Sekarang nenek ini mengeluh dan Toa-ci menerjang maju, maklum bahwa mereka berdua tak mungkin lagi meloloskan diri karena Kim-mou-eng berjaga di sana. Pendekar Rambut Emas telah menghadang mereka bila lari, apa boleh buat harus mengerahkan segenap kepandaian guna memperoleh kemenangan. Ji-moi dan Toa-ci kini menyerang berbareng namun sang nyonya memekik panjang, berkelebat dan mengimbangi mereka dalam satu gerakan super cepat yang tak dapat diikuti lagi.

Dan ketika Ji-moi dan Toa-ci menjerit karena menerima pukulan-pukulan panas, dimana pukulan itu terasa menyengat tubuh dan sakit bukan main ternyata dua nenek ini masih juga bukan tandingan sang nyonya. Swat Lian berkelebatan dengan Jing-sian-engnya itu dan nyonya cantik ini tak memberi ampun. Toa-ci membentak adiknya agar mempergunakan ilmu hitam, bermaksud menghilang namun si nyonya membentak dengan tenaga batinnya, dapat melihat dan mengejar mereka lagi. Dan karena mereka kalah cepat dan kalah lihai, terhuyung dan selalu jatuh bangun oleh pukulan-pukulan Khi-bal-sin-kang akhirnya Ji-moi dan encinya mengeluh berulang-ulang, ditonton dan disoraki anak kecil itu dan Beng An mengolok mereka habis-habisan.

Tak lama kemudian muncullah Soat Eng dan para perwira. Mereka telah mendengar keributan itu dan berdatangan, melongo karena kini Ji-moi dan Toa-ci mempergunakan ilmu hitam, tak tampak oleh orang-orang itu namun bak-bik-buk suara pukulan jelas menunjukkan sang nyonya sedang bertanding. Pendekar Rambut Emas sendiri akhirnya menepuk pundak puterinya dengan tenaga batin, agar puterinya itu dapat melawan pengaruh hitam. Dan ketika Soat Eng melihat dan bersinar-sinar maka Ji-moi akhirnya roboh ditampar ibunya, disusul Toa-ci yang juga menjerit tak dapat bertahan lagi.

Dua nenek-nenek itu terlempar dan lenyaplah pengaruh ilmu hitam yang mereka miliki. Dua tubuh itu terbanting dan pingsan di tanah, barulah terlihat oleh para perwira atau pengawal-pengawal yang berdatangan. Dan ketika Toa-ci dan Ji-moi roboh terakhir kalinya maka mendecaklah semua orang bahwa kiranya sebuah pertandingan hebat baru saja terjadi. Mereka terlongong-longong dan tak habis-habisnya mengucap kagum. Tadi yang mereka lihat adalah pertempuran nyonya ini dengan 'siluman'. Toa-ci maupun Ji-moi bersembunyi di balik ilmu hitamnya dan barulah sekarang pengaruh ilmu hitam itu lenyap, setelah mereka roboh dan pingsan.

Dan ketika malam itu dua tawanan kembali ditangkap dan kaisar girang oleh kesaktian suami isteri ini maka Pendekar Rambut Emas diundang untuk mendapatkan ucapan terima kasih secara langsung, hal yang disambut biasa-biasa saja oleh pendekar itu. Swat Lian telah menghapus keringatnya dan Toa-ci maupun Ji-moi dikurung di gedung mereka. Dua nenek itu ditotok dan tak bakal ada yang mampu melepaskan diri. Hanya orang-orang setingkat Pendekar Rambut Emas atau isterinya sendiri yang mampu membebaskan totokan itu. Dan ketika malam itu tiga dari tokoh-tokoh sesat berhasil dilumpuhkan maka kaisar bertanya bagaimana selanjutnya.

"Kami akan menunggu lagi. Masih ada dua sisanya, di samping See-ong dan Togur. Kalau dalam beberapa hari ini tak datang lagi utusan-utusan baru maka pasukan boleh bergerak dan menyerang ke depan."

"Ah-ah, baiklah. Terserah kau, taihiap... terserah kau. Aku hanya menginginkan semuanya dapat ditangkap atau dibunuh. Hematku, sebaiknya tiga nenek-nenek itu dibunuh, tak perlu diampuni lagi!"

"Hm, hamba tak sependapat. Jelek-jelek mereka adalah utusan, biarlah kita menghormati adanya utusan dan tiga nenek itu tetap menjadi tawanan kami. Kalau mereka lolos, kabur umpamanya maka tentu kami mengambil sikap lain. Sementara ini paduka tak usah kecewa dengan keinginan hamba."

Kaisar menarik napas panjang. Sebenarnya dia kecewa karena khawatir akan gangguan di belakang hari. Nenek-nenek itu lihai, mereka bukan manusia melainkan iblis. Tapi karena yang menangkap adalah Pendekar Rambut Emas beserta isterinya dan pendekar itu sudah diketahuinya sebagai seorang pendekar yang lemah hati maka kaisar menahan kekecewaannya dan tidak berani memaksa, menuruti permintaan Pendekar Rambut Emas untuk menunda bergeraknya pasukan.

Kim-mou-eng mengharap bahwa Siauw-jin atau Cam-kong, dua sisa tokoh sesat datang ke kota raja, mencari atau menyusul Toa-ci dan lain-lain ini. Tapi ketika seminggu ditunggu tak datang juga dan minggu kedua datang laporan bahwa musuh bergerak mundur maka pendekar ini tertegun namun berseri-seri juga.

"Perbatasan Shan-si tak dijaga. Musuh mundur dan menarik diri ke utara!"

"Hm, kau yakin, Han-taijin? Orang-orang kalian tak salah lapor?"

"Tidak, Cen-goanswe (Jenderal Cen) sendiri yang melihat, taihiap. Dan inilah dia!"

Cen-goanswe, jenderal bertubuh tegap lalu maju menceritakan. Dia dibawa Han-taijin untuk menemui pendekar ini, berkata bahwa perbatasan Shan-si sudah tak dijaga lagi. Musuh menarik diri ke utara dan ada kecenderungan bahwa musuh takut, gentar. Mereka rupanya tahu bahwa tiga utusan mereka, nenek Naga dan Toa-ci serta Ji-moi tertangkap. Hadirnya Pendekar Rambut Emas rupanya sudah diketahui mereka dan musuh menarik diri, meninggalkan perbatasan dan jadilah propinsi Shan-si tanpa penjaga. Dan ketika Cen-goanswe selesai bercerita dan berkata inilah kesempatan bagi mereka untuk menggempur musuh, menyerang dan mendesak mereka maka Swat Lian tiba-tiba bertanya apakah Tai-yuan yang merupakan kota penting di propinsi Shan-si masih dipertahankan.

"Hm, kota itu masih. Dan rupanya musuh justeru memusatkan seluruh pasukannya di sini, memusatkan kekuatan. Tapi kalau kita dapat memasuki perbatasan Shan-si dan datang menyerang mereka tentu lebih enak, hujin. Langsung ke titik sasaran dan menghantam mereka!"

"Coba kau beritahukan padaku bagaimana posisi kota itu."

"Tai-yuan diapit dua buah gunung. Sebuah sungai kecil mengalir di tengahnya tapi sungai ini tak dalam, tak dapat dilayari perahu-perahu besar."

"Dan kau yakin dapat memasukkan pasukanmu ke tengah musuh?" "Ah, kalau ji-wi (anda berdua) mau mematahkan pentolan-pentolannya tentu aku dan pasukanku dapat memasuki kota, hujin. Sehebat-hebatnya mereka tetaplah mereka itu orang-orang liar. Pasukan Togur adalah gabungan dari suku-suku buas yang tak memiliki taktik atau seni perang. Mereka hebat karena pimpinannya memang hebat. Kalau See-ong ataupun pemuda itu dapat ji-wi hadapi tentu masalah pasukan bukan soal lagi. Pasukanku cukup terlatih, mereka hanya takut menghadapi pemuda luar biasa itu, juga See-ong. Maklumlah, dua orang ini memiliki kepandaian tinggi dan See-ong juga dapat menghilang!"

"Hm, baiklah. Kalau begitu nanti aku akan bicara dengan suamiku. Mungkin besok kita sudah mulai berangkat!"

Cen-goanswe hampir bersorak. Sebenarnya dia sudah tak sabar menunggu-nunggu lagi. Gatal tangannya untuk menghantam dan menghancurkan musuh. Kewibawaan istana hampir saja jatuh di tangan Togura dan pembantu-pembantunya itu. Maka ketika malam itu Swat Lian berjanji untuk membujuk suaminya agar secepatnya berangkat, menyerang musuh maka Pendekar Rambut Emas menghela napas berulang-ulang.

"Sebenarnya aku mengharap Cam-kong atau Siauw-jin sendiri datang lagi ke sini. Syukur kalau See-ong juga! Tapi karena mereka tak datang dan kurasa memang tak mungkin datang, baiklah besok kita berangkat dan menghadapi mereka."

"Di sini atau di sana sama saja!" sang isteri mengomel. "Justeru bagiku lebih baik ketemu di medan perang, suamiku. Aku dapat membunuh mereka dan kau tak dapat mencegahnya!"

"Itulah sebenarnya yang kuhindari," Pendekar Rambut Emas menarik napas. "Kalau musuh dapat ditangkap baik-baik kenapa harus dibunuh? Ah, Cam-kong dan Siauw-jin rupanya sial. Sudahlah, betapapun aku mengharap agar kau tak kelewat ganas, niocu. Ampunilah yang bisa diampuni dan jangan terlampau kejam!"

"Dan aku ikut ayah!" Beng An tiba-tiba muncul, mendengarkan percakapan itu. "Aku akan menunggang Siauw-houw, ayah. Perbolehkan aku ikut dan berolah raga di medan perang!"

Kim-mou-eng terkejut. "Kau di sini?"

"Maaf," anak ini menyeringai. "Enci juga bersamaku, ayah. Enci ingin maju dan membantumu di medan perang!"

"Hm!" sang ayah melirik ibu. "Kau menuruti kemauannya?"

"Beng An anak seorang pendekar. Kalau ayah ibunya maju menghadapi orang jahat tentu saja aku tak keberatan! Kenapa tidak?"

"Dan aku akan menunggang harimauku!" anak itu berseri-seri. "Aku akan menggebah dan membunuh musuhku, ibu. Kalau mereka berani mendekat tentu kuhantam dengan Tiat-lui-kang!"

"Hm-hm, sudahlah," Kim-mou-eng menyuruh anak itu masuk. "Kau harus selalu tetap bersama encimu, Beng An. Pergi dan jangan dengarkan lagi pembicaraan orang tua!"

Anak ini meleletkan lidah. Swat Lian tersenyum pada puteranya itu dan menyuruh masuk. Orang-orang tua hendak bicara sendiri. Dan ketika suami isteri itu kembali bicara ke persoalan semula maka Pendekar Rambut Emas tak dapat mengelak lagi untuk maju mengawal pasukan kerajaan. Sebenarnya, dengan kesaktiannya yang tinggi dan kepandaiannya yang luar biasa dapat saja pendekar ini menuju Tai-yuan mencari See-ong atau Togur. Tapi, seperti pengalaman yang sudah-sudah karena Togur akan selalu mempergunakan pasukannya bila terdesak dan hampir ditangkap maka Pendekar Rambut Emas menjadi gemas dan marah kepada keponakannya itu.

Tentu saja dia tak akan mau membunuh-bunuhi orang-orang demikian banyak. Bukan itu maksudnya. Dan karena berkali-kali Togur berlindung di balik pasukannya dan hal ini menyulitkan pendekar itu maka Kim-mou-eng akhirnya merasa bahwa dengan pasukan kerajaan dia akan dapat menangkap pemuda itu. Sebab, begitu Togur mempergunakan pasukannya untuk berlindung secara licik maka pasukan kerajaan akan menghadapinya. Dan kalau dia sudah menghadapi keponakannya itu satu lawan satu tentu Togur tak akan dapat berlindung lagi dan dia dapat membekuk pemuda itu!

"Apa yang kau renungkan?" sang isteri tiba-tiba mengejutkan lamunannya. "Kau mau menghadapi See-ong atau Togur?"

"Hm, sebenarnya kedua-duanya, niocu. Tapi karena tak mungkin maka tentunya kita harus memilih lawan. Kau sendiri, mana yang kau pilih?"

'Kakek iblis itu, See-ong!"

"Baiklah, aku pemuda itu. Tapi kuminta agar kita tidak selalu berjauhan agar dapat saling membantu kalau diperlukan."

Dan ketika isterinya mengangguk dan mengepalkan tinju dengan mata bersinar-sinar, gembira dan penuh semangat, di samping dendam, maka malam itu Kim-mou-eng duduk bersamadhi bersama isterinya. Mereka terakhir kali akan tinggal di gedung itu dan besok sudah harus berangkat. Pasukan juga sudah tak sabar menunggu-nunggu. Tiga dari lima Iblis Dunia sudah ditangkap. Musuh di depan sudah berkurang jumlahnya dan itu saja sudah cukup membangkitkan semangat pasukan Cen-goanswe ini, karena jenderal itulah yang akan menjadi panglima perang dalam memimpin pasukannya.

Dan ketika dua suami isteri itu tenggelam dalam samadhinya dan Beng An serta encinya di kamar yang lain juga bersiap-siap untuk membantu ayah ibunya, atau lebih tepat, membantu kerajaan atau Cen-goanswe dan pasukannya maka pasukanpun yang sudah bersiap dengan senjata di pinggang seolah tak sabar menanti datangnya pagi.

Dan saat itupun akhirnya tiba. Kokok ayam jantan yang pertama kali tak lama kemudian disusul oleh kokok ayam jantan yang kedua dan ketiga. Samar-samar namun pasti langit di sebelah timur pun mulai kemerah-merahan. Warna jingga dan terang di langit timur itu semakin menyala. Dan ketika matahari menguak di balik peraduannya yang misterius maka ribuan orang telah berbaris dan melangkah pasti meninggalkan kota raja. Tak kurang dari sepuluh ribu orang dibawa.

Cen-goanswe berada di depan dan melangkah di sebelah kiri jenderal ini, gagah dan mengagumkan berjalanlah Beng An di atas punggung harimaunya. Kehadiran Beng An membuat pasukan berdecak kagum. Dan ketika di sebelah anak itu juga berjalan encinya yang gagah dan cantik, mengawal adiknya maka pasukan seolah mendapat tambahan semangat hingga bisik-bisik atau suara pujian di antara perajurit-perajurit muda tak dapat dicegah lagi...

Istana Hantu Jilid 29

ISTANA HANTU
JILID 29
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

“AKU tak bersalah," Beng An tentu saja membela diri, tak mau disalahkan secara sepihak. "Aku tak tahu bahwa tempat itu terlarang, enci. Aku tak tahu bahwa itu kaputren. Sebenarnya aku mau kembali, kalau saja mereka bicara secara baik-baik. Tapi karena mereka membawa-bawa nama ayah dan ibu dan bersikap kasar maka aku menantang dan memang ingin menghajar mereka!"

"Hm, mereka juga bersalah. Tapi benar atau tidak benar kita harus tahu bahwa kita adalah tamu. Sudahlah, lain kali jangan keluyuran sendirian, Beng An. Kau harus tunduk padaku atau nanti aku yang kena marah ayah atau ibu! Kau mau dengar?"

"Ya, aku mau dengar," dan ketika mereka berdua tak bicara lagi dan Beng An tahu kemarahan encinya maka dia menahan diri dan Bi-houw serta Siauw-houw sudah berlari di belakang, mengikuti dan tak lama kemudian merekapun sudah tiba di tempat mereka. Gedung peristirahatan itu cukup besar bagi mereka sekeluarga, ayah ibu ternyata sudah menunggu dan Kim-mou-eng bertanya dari mana puterinya itu.

Beng An diam-diam berbisik agar encinya tidak melapor kejadian tadi, karena sang ayah tentu marah dan mungkin sang ibu juga ikut-ikutan menegur. Soat Eng mengangguk dan berkata bahwa dia tak akan menceritakan kejadian tadi, keributan adiknya dengan penjaga kaputren. Dan ketika gadis itu berkata bahwa mereka berjalan-jalan mengelilingi istana, Beng An ingin melihat istana maka ayahnya berkata agar mereka tidak kemana-mana lagi.

"Besok aku dan ibumu diminta melindungi pasukan, kalian jangan kemana-mana. Kita menghadapi saat-saat yang penting karena kaisar meminta kepadaku untuk menyambut musuh sebelum mereka datang kemari."

"Ayah akan maju berperang?"

"Yang berperang adalah perajurit, bukan aku. Aku hanya melindungi mereka dari tangan Togur atau See-ong."

"Dan ibu membantu ayah," Soat Eng bersinar-sinar. "Lalu bagaimana dengan aku, yah? Apakah berpangku tangan saja?"

"Kau mengawasi adikmu," Pendekar Rambut Emas berkata. "Jaga dan lindungi adikmu dari bahaya, Eng-ji. Kami berdua akan maju di depan karena harus menahan orang-orang jahat itu. Kali ini aku dan ibumu akan membekuk See-ong dan Togur!"

"Benar, dan kau menjaga adikmu, Eng-ji. Agar kami dapat memusatkan diri pada jahanam-jahanam itu!" nyonya Pendekar Rambut Emas menyambung kata-kata suaminya, mata bersinar dan penuh cahaya menakutkan.

Soat Eng sebenarnya kecewa kenapa dia tak ikut. Tapi ketika hal itu dirasa benar dan Beng An memang harus diawasi atau dilindungi maka diapun mengangguk dan tidak membantah. Ayahnya segera bercerita secara singkat bahwa kaisar kini tak akan tinggal diam menanti datangnya musuh. Pasukan akan menyambut dan bergerak mendahului mereka, menyerang dan akan bertempur di depan. Tiga propinsi yang sudah direbut penyerbu akan direbut kembali, ini suatu perjuangan berat dan kerja keras.

Kalau saja tak ada Kim-mou-eng di situ tentu istana tak dapat berbuat apa-apa. Mereka paling-paling tinggal menunggu musuh dan menyambut disitu, mati dan mempertahankan diri di kota raja. Tapi karena Pendekar Rambut Emas datang dan kebetulan sekali pendekar itu juga datang bersama isterinya maka kaisar menetapkan bahwa mereka harus bergerak, tidak menunggu dan mati seperti tikus terperangkap melainkan maju dan menghadapi musuh di depan.

Kim-taijin dan Han-taijin sendiri serta beberapa jenderal penting bangkit semangatnya begitu Kim-mou-eng datang. Itulah kesempatan baik bagi mereka untuk maju bersama. Didukung dan dilindungi suami isteri ini mereka lebih terjamin. Kehebatan dan kesaktian Kim-mou-eng maupun isterinya sudah tak perlu mereka ragukan lagi. Maka ketika sudah disiapkan rencana bahwa besok mereka akan berangkat, menggempur musuh di depan maka semua bersiap dan Kim-mou-eng menyanggupkan diri di depan kaisar bahwa dia akan membantu dengan sepenuh tenaganya.

Apalagi ada See-ong di sana, datuk iblis itu, tokoh yang telah membunuh Hu Beng Kui, mertuanya. Dan ketika semua sudah disiapkan dan kaisar gembira mendengar kesanggupan pendekar ini maka pasukan besar siap bergerak tapi malam harinya ternyata sebuah gangguan datang. Dan itu adalah munculnya si nenek Naga, utusan Togur yang menyuruh gurunya ini untuk memberikan surat kepada kaisar!

* * * * * * * *

Malam itu, baru saja menyelesaikan makan malamnya bersama keluarga tiba-tiba Pendekar Rambut Emas mendengar ribut-ribut diluar. Keributan itu terjadi bukan di tempat gedung peristirahatannya melainkan jauh disana, di kompleks istana sebelah kanan. Sebenarnya, bagi orang-orang biasa keributan itu tak akan terdengar, karena letaknya yang jauh, maklum, kompleks istana memang luas sekali.

Tapi karena Pendekar Rambut Emas adalah seorang pendekar yang memiliki pendengaran tajam dan Soat Eng yang duduk di depannya juga tampaknya belum atau tidak mendengar keributan itu maka pendekar ini mengerutkan alis dan menoleh pada isterinya, yang juga kebetulan menengok dan memandangnya, sama-sama mendengar suara ribut-ribut itu.

"Kau mendengar sesuatu?"

"Ya."

"Hm, apa yang kau dengar, isteriku? Suara apa?"

"Bentakan dan makian, juga tawa aneh seperti seorang nenek terkekeh-kekeh! Apakah di sini ada pembantu kaisar berupa seorang nenek? Dan, ah... tawa itu agaknya kukenal. Seperti satu di antara enam Iblis Dunia!"

Swat Lian tiba-tiba mencelat dari kursinya. Nyonya ini, seperti diketahui, amatlah membenci orang-orang sesat terutama See-ong. Dan enam Iblis Dunia yang kini menjadi pembantu See-ong adalah juga tokoh-tokoh yang dibenci nyonya ini. Maka begitu dia mendengar dan mengenal suara kekeh itu, kekeh yang dikenal maka tiba-tiba saja dia sudah bergerak dari kursinya dan Beng An yang ada di depan ibunya tiba-tiba meleletkan lidah dan terkejut karena begitu mencelat dan terbang dari kursinya tahu-tahu ibunya itu sudah menghilang.

"Heii...!" Pendekar Rambut Emas tak mau melihat isterinya pergi begitu saja. "Tunggu, niocu. Jangan sendiri!" dan Kim-mou-eng pun yang bergerak dan tahu-tahu mencelat dari kursinya tiba-tiba juga sudah sama-sama menghilang dan lenyap diluar.

"Ah," Beng An tak tahan lagi berseru kagum. "Mereka seperti siluman-siluman, enci. Bergerak dan tahu-tahu menghilang begitu saja. Apakah itu gabungan dari Jing-sian-eng dan Cui-sian Gin-kang?"

"Benar," Soat Eng tiba-tiba menyambar adiknya, juga tak mau tinggal diam. "Itulah Jing-sian-eng dan Cui-sian Gin-kang, Beng An. Akupun memiliki namun masih tak sehebat ayah ibu.... wut!"

Beng An membelalakkan mata, tahu-tahu disendal dan terangkat dari kursinya dan diapun sudah dibawa terbang oleh encinya itu. Beng An melihat encinya bergerak cepat tapi memang masih belum secepat ayah ibunya, tapi anak inipun sudah kagum. Dan ketika dia bersorak dan menjadi girang oleh ribut-ribut di depan, yang kini sudah didengar dan Soat Eng juga mendengar maka mereka melihat bayangan seorang nenek yang terkekeh-kekeh menampar atau meroboh-robohkan pengawal.

"Nenek busuk!" Soat Eng memaki. "Kiranya si Dewi Naga Api!"

"Siapa itu, enci? Satu di antara enam Iblis Dunia?"

"Benar, itulah si nenek iblis!" dan Soat Eng yang berkelebat serta mengerahkan ginkangnya akhirnya sudah tiba di situ tapi tak berani melepas adiknya, teringat kata-kata ibunya bahwa dia harus menjaga Beng An. Adiknya ini nakal dan pemberani, dilepas sedikit tentu akan membuat onar dan salah-salah dia bisa mendapat marah ibunya. Maka ketika dia berhenti dan mencekal lengan adiknya erat-erat, tak memperbolehkan Beng An mendekat akhirnya mereka melihat perkelahian tak imbang antara nenek itu dengan para pengawal, yang tentu saja memang bukan tandingan nenek itu. Tapi ketika ibunya berkelebat dan membentak nenek itu, disusul ayahnya, maka nenek Naga tertegun dan terkejut.

"Berhenti... plak-dess!" dan nenek itu yang terpelanting dan terlempar oleh pukulan si nyonya tiba-tiba menjerit dan berteriak berjungkir balik dan kaget melihat Pendekar Rambut Emas bersama isterinya ada di situ.

"Kim-mou-eng....!"

Pendekar ini mengangguk. Nenek Naga pucat dan kontan mundur dengan kaki menggigil, tak tahunya sang nyonya sudah bergerak dan berkelebat di depannya. Dan ketika nyonya itu berapi-api memandangnya sementara para pengawal bersorak melihat kedatangan suami isteri ini maka Swat Lian membentak.

"Kau mencari mati! Jaga dan bersiaplah menuju akherat, nenek busuk. Aku akan mengantarmu menghadap Giam-lo-ong (Raja Maut)!"

"Nanti dulu! Tunggu...!" nenek itu bergerak mencabut bendera putihnya, tanda utusan. "Aku datang bukan sebagai musuh, Kim-hujin (nyonya Kim). Aku adalah utusan!" dan ketika si nyonya tertegun dan terkejut melihat itu, melihat bendera di tangan si nenek maka nenek itu cepat-cepat menyambung, "Aku ingin menyampaikan pesan, ingin menghadap sri baginda kaisar. Tahan dan jangan menyerang!"

"Hm," Pendekar Rambut Emas melangkah maju, terkejut melihat bendera itu. "Kau kiranya utusan, nenek Naga. Tapi sebagai utusan tak seharusnya kau mengacau disini."

"Aku diserang mereka!" nenek itu membela diri, tentu saja gentar. "Aku tidak bermaksud membuat ribut, Pendekar Rambut Emas. Aku membela diri karena diserang!"

"Tidak, nenek itulah yang mulai menyerang!"

Seorang perwira, yang terpelanting dan terlempar oleh tamparan nenek ini tiba-tiba berseru dan membentak. Ia tadi merasa kesakitan dan marah oleh kedatangan nenek ini, yang memang mendahului dan menyerang mereka, tak tahu bahwa disitu ada Pendekar Rambut Emas beserta isterinya. Maka ketika yang lain juga berteriak dan memaki-maki nenek itu, yang membuat nenek Naga pucat dan ketakutan maka si perwira melanjutkan lagi bahwa nenek inilah yang mula-mula datang mencari gara-gara.

"Dia datang dan menyerang, meroboh-robohkan kami. Dan karena kami harus bertahan dan menyelamatkan diri maka dia akhirnya kami serang tapi bukan kami yang lebih dulu menyerang!"

"Nah!" Swat Lian merasa cukup. "Kau datang sebagai utusan, nenek keparat. Tapi sepak terjangmu sungguh tidak seperti itu. Bersiaplah, kau patut dibunuh!" dan tidak menunggu kata-kata suaminya lagi tiba-tiba nyonya ini sudah meloncat dan menyerang lawan, langsung menampar dengan Khi-bal-sin-kang dan nenek Naga tentu saja terkejut.

Nenek itu mengelak namun si nyonya mengejar, apa boleh buat terpaksa ditangkis dan berteriaklah nenek ini ketika dia terbanting. Dan ketika Swat Lian berkelebat dan memburu lawan maka nenek Naga sudah berkaok-kaok sementara si nyonya tak menghiraukan dan terus melepas pukulan-pukulan cepat.

"Des-dess!" Nenek Naga terhuyung-huyung. Dia memekik dan marah memandang nyonya itu, berteriak dan mengelebatkan bendera namun si nyonya tak perduli. Swat Lian terlanjur marah dan tidak menghiraukan bendera utusan, inilah musuh yang sedikit atau banyak ikut menyebabkan kematian ayahnya. Maka ketika dia mempercepat gerakannya dan lawan dibuat kalang-kabut maka satu pukulan kuat akhirnya mendarat di tengkuk si nenek.

"Dess!" Nenek ini mengeluh. Terbanting dan bergulingan oleh kuatnya hantaman itu membuat nenek ini nyaris tak dapat bangun berdiri. Sekejap dia nanar namun sudah memaki-maki lagi, tiba-tiba mencabut benang dan jarum emasnya. Saat itu Swat Lian mengejarnya lagi dan kegemasan si nyonya tampak dalam pukulan ini, rupanya hendak membunuh dan nenek itu tentu saja marah. Setakut-takutnya tetap saja dia akan melawan kalau didesak, dipepet. Maka ketika si nyonya bergerak dan kembali menjatuhkan tamparan maut, yang membuat nenek ini semakin pucat saja maka benang dan jarum emasnya itu menyambar.

"Bret!" Baju si nyonya robek. Si nenek dapat menggulingkan tubuh menjauh dan kini melompat bangun, melengking dan tiba-tiba mengerahkan Tee-sin-kangnya (Pukulan Bumi) sementara si nyonya masih terhuyung. Pukulan itu menyambar dan tepat mengenai lawan. Tapi ketika si nenek menjerit karena Khi-bal-sin-kang melindungi nyonya itu maka Swat Lian bergerak maju dan kembali menyerang lawan, membentak.

"Kau sekarang tak dapat meloloskan diri. Menyerahlah, atau kau mampus!"

Nenek ini jatuh bangun. Tee-sin-kang kembali menyambar namun tertolak oleh Khi-bal-sin-kang. Dia terhuyung dan selalu mengeluh tertahan setiap pukulannya terpental. Hal ini membuat nenek Naga terdesak dan sebentar kemudian ia pun sudah menjadi bulan-bulanan pukulan lawan, kian lama kian kuat saja dan tentu saja nenek ini tak sanggup. Dikeroyok berlima saja lawannya itu dapat bertahan, apalagi kini hanya dia seorang. Maka ketika benang akhirnya putus dan jarum di tangan kanan juga patah maka nenek Naga tiba-tiba melengking dan melarikan diri.

"Awas...wut-wut-wut!"

Belasan jarum rahasia menyambar. Nenek ini putus asa dan itulah satu-satunya jalan baginya untuk meloloskan diri. Swat Lian mengelak dan tanpa teriakan suaminya pun dia tetap waspada, tahu dan tentu saja tiba-tiba membentak mengejar lawan. Dan ketika lawan kembali melepaskan jarum-jarum rahasia namun kali ini disampok runtuh maka nyonya itu sudah menggerakkan tangannya dan pukulan miring menghantam nenek itu dari kanan ke kiri.

"Dess!" Nenek Naga mencelat. Nenek itu terbanting dan tidak bergerak-gerak lagi, pingsan. Langsung roboh oleh pukulan si nyonya yang demikian kuat. Swat Lian menambah tenaganya dan nenek itupun tak dapat bertahan lagi, meskipun sinkangnya melindungi dari dalam. Namun ketika Swat Lian bergerak dan hendak membunuh nenek itu, memecahkan kepalanya maka suaminya, Pendekar Rambut Emas berkelebat maju.

"Jangan bunuh!" sang nyonya pun ditahan, hampir melepas pukulan namun dengan cepat Pendekar Rambut Emas menyambar lengan isterinya ini. Sekali tangan itu melayang tentu habislah nyawa si nenek. Namun karena Pendekar Rambut Emas telah mencegah isterinya dan pukulan tak jadi melayang maka pendekar ini berkata bahwa lawan tak perlu dibunuh.

"Jelek-jelek dia adalah utusan, biarlah kita tangkap dan serahkan suratnya kepada kaisar."

"Tapi nenek ini tak bersikap sebagaimana layaknya utusan. Dia menyerang dan menghina pengawal!"

"Itulah sebabnya kita tangkap," Kim-mou-eng menarik napas panjang. "Kalau dia bersikap sebagai utusan tentu malah harus kita bebaskan, niocu. Tapi karena dia menyerang dan menghina pengawal maka kita menangkapnya saja dan menyerahkan suratnya kepada sri baginda kaisar," lalu tak menunggu isterinya membantah karena isterinya itu mengaitkan semua persoalan ini dengan kematian Hu-taihiap maka Kim-mou-eng sudah menotok dan menambah kelumpuhan si nenek agar tidak dapat menyerang lagi kalau siuman.

Tek-ciangkun dipanggil dan perwira inipun sudah muncul dengan cepat. Iapun tahu kejadian itu dan saat itu muncullah pula Han-taijin dan Kim-taijin, kebetulan. Maka menyerahkan surat kepada dua pembesar itu dan menangkap lawan Kim-mou-eng berkata bahwa urusan selanjutnya diserahkan dua pembesar itu.

"Kami hanya melumpuhkannya, tidak membunuh. Biarlah taijin berdua mengurus masalah ini dan laporkan pada sri baginda."

"Ah, terima kasih!" dua pembesar itu buru-buru membungkuk dalam-dalam. "Apa yang telah terjadi adalah berkat jasamu, taihiap. Kami semua berhutang budi dan tak tahu harus membelas apa. Nenek ini berbahaya, bukankah dia nenek Naga Bumi yang menjadi guru pemuda itu? Ah, kami berterima kasih. Baiklah, kami akan membawanya dan melapor pada sri baginda!"

"Nenek ini biarkan bersama kami!" Pendekar Rambut Emas tiba-tiba berkata. "Yang kalian bawa ialah surat itu, taijin. Sebab kalau nenek ini diluar pengawasan kami tentu sukar kalian mengendalikannya!"

"Ah, taihiap bermaksud menguasai nenek ini?"

"Bukan menguasai, melainkan mengawasi. Aku hendak membawanya ke tempat kami dan di bawah pengawasan kami tentu dia tak akan dapat berbuat apa-apa!"

"Oh, benar. Kami mengerti," dan ketika dua pembesar itu mengangguk karena menangkap dan menawan nenek selihai ini tentulah bukan kesanggupan mereka maka nenek Naga akhirnya dibawa dan dimasukkan ke kamar khusus, di tempat dimana Pendekar Rambut Emas beristirahat bersama keluarganya.

Surat itu sendiri sudah diserahkan pada kaisar dan muka kaisar merah padam membaca isi surat itu, yang mengancam dan menyuruh dia takluk atau pasukan Togur akan maju menggilas istana. Isinya cukup kasar dan tentu saja kaisar marah. Untung ada Kim-mou-eng disitu, Pendekar Rambut Emas yang hebat. Dan ketika kaisar mengucap terima kasih dan persoalan malam itu selesai, Kim-mou-eng diminta untuk menawan nenek Naga maka pendekar ini kembali bersama isterinya, juga Soat Eng dan Beng An, duduk kembali di meja makan.

"Nah," pendekar itu menarik napas dalam. "Sekarang Togur telah mengutus gurunya, niocu, dan kita telah menangkapnya. Agaknya akan datang lagi utusan berikut dan kita harus waspada. Melihat situasinya, lebih baik serangan ditunda dan kita tunggu guru-guru pemuda itu datang kesini. Rasanya lebih baik menangkapi mereka itu disini daripada dimedan perang. Kim-taijin harus kuberi tahu perubahan ini. Bagaimana pendapatmu?"

"Aku tak sabar untuk menangkap dan membunuh mereka semua, di medan perang atau di sini. Tapi kalau kau mengira bahwa Togur akan mengirim guru-gurunya lagi terserah kau bagaimana enaknya. Aku sih, tak mau membuang-buang waktu lagi!"

"Benar," Beng An tiba-tiba nimbrung. "Daripada menunggu lebih baik bergerak dan menyerang saja, yah. Tak usah membuang-buang waktu lagi!"

"Hush!" Soat Eng membentak. "Kau anak kecil jangan ikut-ikutan bicara dengan orang tua, Beng An. Tutup mulutmu dan jangan lancang!"

"Biarlah," sang ibu meraih anaknya ini, memeluk dan tersenyum, merasa dibela. "Beng An sejalan dengan ibumu, Eng-ji. Biarkan dia bebas bicara untuk mengembangkan keberaniannya!"

Beng An mencibir, balas mengejek encinya yang tadi membentak. "Nah, apa kata ibu, enci? Aku boleh bicara apa saja, kau tak perlu marah!"

Soat Eng melotot. Dia gemas dan mendongkol tapi sang ayah tertawa. Pendekar Rambut Emas berkata bahwa Soat Eng pun tak salah, dan mengajari adiknya bersopan-santun. Namun ketika pendekar ini menarik napas dan teringat persoalan semula maka dia menyuruh Beng An tidur atau beristirahat di kamarnya, bersama Soat Eng.

"Kami mau bicara yang lebih serius, kalian pergilah dan beristirahat saja di kamar. Biar kau menjaga adikmu."

Beng An terkejut. Dia kecewa tapi sang ibu sudah memberi sebuah hadiah ciuman di pipi, berkata bahwa ayahnya benar dan mereka berdua diminta ke kamar untuk beristirahat. Swat Lian akhirnya sadar bahwa membela Beng An di depan encinya adalah dapat berakibat kurang baik di belakang hari. Sang adik bisa menjadi berani dan kurang ajar nanti, mentang-mentang dimanja sang ibu.

Dan ketika Soat Eng bangkit dan tersenyum kepada ayahnya, karena itulah atas kebijaksanaan ayahnya ini maka Beng An pun mau diajak pergi, mula-mula cemberut namun Soat Eng berbisik bahwa mereka dapat main-main dengan tawanan, mengejek atau mengapakan saja nenek iblis itu sesuka hati. Inilah hal yang tiba-tiba membuat anak laki-laki itu gembira.

Maka ketika dia menurut dan Kim-mou-eng berhadapan dengan isterinya berdua maka pendekar ini melanjutkan kembali pembicaraannya, berkata bahwa sebaiknya pentolan-pentolan di pihak musuh dibiarkan datang dan ditangkap di situ. Dengan begini tak akan banyak jatuh korban dan Swat Lian pun akhirnya mengangguk. Betapapun dia mengerti bahwa sebenarnya suaminya ini tak ingin dia membunuh, mencegah dirinya mengamuk dan membabat enam Iblis Dunia itu yang kini tinggal lima orang. Suaminya memang berwatak pengasih dan penyayang, berkesan lemah hati. Namun ketika pembicaraan ditutup dan dia menarik napas panjang maka nyonya yang gagah perkasa ini berkata,

"Baiklah, aku tahu maksud hatimu. Tapi untuk See-ong jangan harap aku mengampuninya. Sekali aku bertemu dengan dia kuminta tidaklah kau mencegah aku membunuh. Kematian ayah harus dibalas!"

"Hm, itu juga kewajibanku. Untuk yang ini aku tak akan melarang, isteriku. Tapi kuminta pula kesediaanmu untuk memberikan Togur kepadaku. Anak itu bagianku, sebaiknya kau tak perlu terlalu ikut campur karena aku akan menghukumnya dengan caraku sendiri!"

"Tapi dia mencuri Cermin Naga, milik ayah!"

"Aku tahu, dan aku akan memintanya, isteriku. Sudahlah, anak itu bagianku dan See-ong bagianmu. Yang lain-lain tak perlu dibunuh karena mereka hanya ikut-ikutan saja. Kita hanya menangkap dan menawan, cukup!"

"Lalu kita apakan?"

"Hm, dipikir nanti saja. Mungkin dibuang!" dan ketika percakapan berhenti dan Pendekar Rambut Emas berhasil membujuk isterinya maka keesokannya Kim-mou-eng menghadap sri baginda dan Kim-taijin untuk merubah rencana, tidak buru-buru mengerahkan pasukan untuk menyambut musuh di depan melainkan menunggu beberapa hari dulu. Diduga bahwa Togur akan mengirim gurunya lagi untuk menyusul nenek Naga, karena nenek itu tak kembali dan sudah mereka tangkap.

Dan ketika kaisar setuju dan mengangguk saja, karena semua memang tergantung pendekar itu maka benar saja tiga hari kemudian nenek Toa-ci dan Ji-moi datang. Sebagaimana diketahui, Togur marah-marah karena gurunya nenek Naga tak datang. Dia tak tahu bahwa gurunya itu tertangkap, bertemu dengan Kim-mou-eng dan tentu saja hadirnya Pendekar Rambut Emas itu bukan tandingan nenek ini.

Toa-ci diutus dan kini bersama adiknya dua nenek itu datang ke kota raja, tentu saja juga tak menduga bahwa Pendekar Rambut Emas bersama isterinya ada di istana, menunggu mereka. Dan ketika malam itu semua orang berjaga dan pengawal maupun perwira dag-dig-dug tak keruan karena mereka maklum bahwa orang selihai nenek Naga akan datang maka Toa-ci dan Ji-moi yang memasuki istana di malam hari sejenak berhenti di atas tembok yang tinggi.

"Sebaiknya kita berpencar," Toa-ci mengerutkan kening. "Kita sudah disini dan siap menyelidiki musuh kita, Ji-moi. Aku merasa ada sesuatu yang tak beres dan kita harus berhati-hati."

"Ya, aku juga merasa begitu. Nenek sialan itu tak kita jumpai di tengah jalan, berarti dia masih ada disini atau mungkin tak menjalankan tugas!"

"Tak mungkin. Pek Kiok tak akan berani menyeleweng kalau tak ingin dihukum Togur. Sudahlah, pasti ada apa-apa dan kau memasuki sebelah utara sedang aku sebelah selatan!"

Ji-moi, nenek kedua, mengangguk. Mereka sudah tiba disitu dan masing-masing telah sepakat untuk berpencar. Mau tak mau mereka harus berhati-hati juga setelah rekan mereka itu tak kembali. Pasti ada apa-apa, tak mungkin tak ada apa-apa. Dan ketika mereka mulai bergerak dan meluncur turun, satu ke kiri sedang yang lain ke kanan maka bayangan dua nenek itu akhirnya lenyap memasuki istana, seperti siluman. Nenek Ji-moi, seperti yang diminta encinya, berkelebat ke bagian utara. Nenek ini mendengus ketika melihat ratusan pengawal berjaga-jaga. Mereka memagar betis namun dengan mudah nenek ini melewati mereka.

Dengan ilmu hitamnya, yang dikeluarkan dan tiba-tiba membuat nenek itu berubah sebagai asap hitam tiba-tiba nenek ini telah melewati barisan pengawal seperti bayang-bayang iblis yang tak dapat disentuh. Dia berkelebat dari satu tempat ke tempat lain. Usahanya yang pertama kali adalah menemukan dulu dimana rekannya itu, nenek Naga. Tapi ketika dia berputar-putar tak menemukan apa yang dicari mendadak nenek ini muncul dan menangkap seorang pengawal, yang tentu saja kaget bukan main karena Ji-moi muncul begitu mendadak di depan hidungnya, seperti setan!

"Katakan apa yang terjadi. Apakah seorang nenek pernah datang kemari sebagai utusan?"

Pengawal itu, yang megap-megap dan pucat tak dapat bicara tiba-tiba tak mampu menjawab. Ji-moi muncul begitu saja setelah melepas ilmu hitamnya, tentu saja membuat lawan terkejut dan pengawal ini mengira sedang bertemu dengan siluman, atau sebangsa roh halus. Tapi ketika nenek itu menjepit rahangnya dan dia menjerit kesakitan maka nenek ini menampar mulutnya dan membentak lagi.

"Aku bertanya apakah ada seorang nenek yang pernah datang kemari. Jawab atau kau mampus!"

"Ap.... apa? Kau... kau siapa?"

"Masih banyak bertanya? Kau hanya menjawab, bukan bertanya!" dan ketika nenek ini memencet belakang telinga lawan tiba-tiba pengawal itu menjerit namun jerit di mulutnya tertahan setengah jalan, ditotok dan pengawal itupun akhirnya hanya dapat merintih dan kesakitan, pucat dan gentar bukan main karena dia tidak menghadapi manusia biasa lagi.

Seketika dia sadar bahwa kiranya inilah orang yang ditunggu-tunggu Kim-mou-eng. Ah, musuh sudah datang! Namun karena dia tak dapat menjerit dan suara yang keluar dari mulutnyapun hanya ah-uh-ah-uh tanda kesakitan maka nenek Ji-moi mengancam agar dia cepat bicara, atau mampus dicoblos matanya.

"Ak... aku tak tahu. Tapi... ah, benar ada seorang nenek yang pernah datang kemari...!"

"Nah, ceritakan itu. Dimana dia sekarang dan apa yang telah ia lakukan?"

"Ia...ia tertangkap. Aku... aku..."

Nenek Ji-moi terkejut. Mendengar rekannya, nenek Naga tertangkap tiba-tiba tanpa terasa ia mencekik leher pengawal ini. Tidak begitu keras namun itu cukup membuat pengawal ini berkelojotan dan tewas. Lehernya patah! Dan ketika Ji-moi menyesal namun menendang mayat itu, mulai mendapat informasi maka nenek ini berkelebat lagi mencari korban lain, yang juga sama-sama ketakutan dan belum apa-apa sudah terkencing-kencing di celananya!

"Aku ingin kau menceritakan tentang nenek yang pernah datang kemari. Siapa yang menangkap dan dimana ia sekarang!"

"Kau.... kau siapa?"

"Tak usah banyak mulut. Aku dewi maut bagimu!"

"Oh, tidak... jangan... jangan bunuh aku. Aku... aku tahu dimana nenek itu. Kau pasti temannya. Bukankah kau mencari nenek Naga?"

"Benar, dan sebutkan dimana dia sekarang. Bagaimana sampai tertangkap!"

"Dia... dia ditangkap Kim-taihiap (pendekar besar Kim), dipenjarakan dirumahnya....!"

"Apa? Siapa itu Kim-taihiap?"

"Kim-mou-eng, Pendekar Rambut Emas!" namun begitu Ji-moi mengeluarkan seruan tertahan dan pengawal itu girang dapat menggertak sejenak tiba-tiba dia roboh terkulai karena jari-jari nenek ini telah menghunjam di batok kepalanya. Kaget dan marah mendengar Kim-mou-eng ada di situ tiba-tiba nenek ini langsung melepaskan kemarahannya dengan membunuh pengawal ini. Nenek itu pucat dan tertegun mendengar itu, tak menyangka. Pantas kalau begitu! Dan ketika nenek ini terhenyak dan meloncat bangun, melepas korbannya maka saat itu berkesiur angin dingin dan terdengarlah bentakan nyaring seorang wanita.

"Nenek keparat, kau membunuh pengawal? Jahanam, rasakan ini!" dan sebuah pukulan dahsyat yang menghantam Ji-moi dari belakang tiba-tiba membuat nenek itu membalik dan secepat kilat menangkis.

"Dukk!" Nenek ini mencelat. Ji-moi terpekik dan seketika dia berjungkir balik menyelamatkan diri. Angin pukulan itu masih menyambarnya juga dan dia kaget karena mengenal itulah Khi-bal-sin-kang, ilmu dahsyat yang dimiliki keluarga Pendekar Rambut Emas. Dan ketika dia berjungkir balik dan melayang turun, melihat siapa yang ada maka nenek itu terbelalak karena Soat Eng, gadis itu, telah berdiri di depannya dengan mata berapi-api.

"Kau nenek keparat, pembunuh! Menyerah atau kuhajar kau sampai mampus!"

"Heh-heh!" Ji-moi tiba-tiba terkekeh, bersinar matanya. "Kau yang datang, bocah? Ingin main-main denganku? Marilah, kuringkus kau dan biar ibu bapakmu melihat mayatmu!" dan si nenek yang marah melengking tinggi tiba-tiba sudah bergerak dan menyerang gadis ini, dikelit tapi Mo-seng-ciang atau Pukulan Bintang Iblis mengejar Soat Eng.

Gadis ini merendahkan tubuh dan menangkis, mengerahkan Khi-bal-sin-kangnya. Tapi ketika si nenek menarik pukulannya dan meliuk serta merendahkan kaki tahu-tahu sebuah sapuan telah menyambar pinggang gadis itu.

"Dess!" Soat Eng terpelanting. Nenek ini akhirnya tertawa dan mengejar lagi, bertubi-tubi melepas pukulan tapi cepat menarik kembali kalau berhadapan dengan Khi-bal-sin-kang, mainkan kakinya dan dua tiga tendangan mengenai Soat Eng dengan jitu. Dan ketika gadis itu terhuyung jatuh bangun karena secara licik nenek ini berkelebatan dan mengecoh dengan serangan-serangan lain maka untuk sesaat Soat Eng terdesak dan diapun memaki-maki.

Namun gadis ini adalah puteri Pendekar Rambut Emas. Soat Eng memang kalah pengalaman tapi bukan kalah ilmu. Khi-bal-sin-kangnya ditakuti dan jelas dengan ilmu itu si nenek tak berani mengadu tenaga. Itulah kelebihannya. Dan karena gadis ini juga memiliki Jing-sian-eng dan Ilmu Bayangan Seribu Dewa itu belum dikeluarkan tiba-tiba Soat Eng membentak dan keluarlah ilmu meringankan tubuhnya itu, "Nenek siluman, aku akan menghajarmu. Marilah lihat siapa yang akan teringkus!"

Nenek Ji-moi mulai terkejut. Dia melihat perubahan itu, lawan berkelebat dan tiba-tiba lenyap dari pandang matanya. Gerakannya yang cepat sudah diikuti dengan gerakan lawan yang cepat pula. Dan ketika tubuh si gadis sudah berseliweran naik turun dan tendangan-tendangan atau pukulan lainnya luput mengenai gadis itu maka dahsyat menderu pukulan Khi-bal-sin-kang pun mulai bekerja.

"Des-dess!" Nenek ini terhuyung. Dia kalah cepat oleh ginkang Jing-sian-eng itu dan pukulan ataupun tamparan lawan mulai mendarat di tubuhnya, dielak tapi tetap saja kalah cepat dan akibatnya nenek ini mendesis-desis. Dan ketika Soat Eng menambah kecepatannya hingga bayangannya semakin tak dapat diikuti mata lagi maka si nenek menjerit ketika lehernya terpukul, terlempar dan terbanting bergulingan namun Ji-moi memang hebat.

Nenek ini masih dapat meloncat bangun dan tiba-tiba mencabut garpunya, senjata aneh yang menjadi andalan itu, di samping Mo-seng-ciangnya. Dan ketika dia bertahan dengan cara ini dan menusuk serta menggores-goreskan garpunya itu maka Soat Eng harus berhati-hati juga namun perlahan tetapi pasti akhirnya dia kembali berhasil mendesak juga. Khi-bal-sin-kangnya itu melindungi tubuh!

"Keparat!" nenek ini melengking. "Kau jahanam busuk, betina jalang. Jangan pergunakan Khi-bal-sin-kangmu itu kalau kau berani!"

"Hm!" Soat Eng mendengus. "Dan kaupun jangan banyak bacot, nenek setan. Kalau kalah cepat saja menyerah kalah kalau menang coba kau robohkan aku!"

"Keparat, kubunuh kau!" dan si nenek yang melengking-lengking mengelak sebuah tamparan tiba-tiba bergerak dari bawah menusukkan garpunya itu, tepat di ketiak Soat Eng dan Soat Eng terkejut. Dia terlanjur terdorong ke depan dan tak mungkin mengelak. Namun begitu garpu menusuk ketiaknya dan Khi-bal-sin-kang sudah dikerahkan untuk melindungi diri maka garpu itu mental bertemu kekebalan yang mengagumkan.

"Tak!" Si nenek memaki-maki. Sebenarnya sudah berkali-kali kejadian ini terjadi dan setiap kali itu pula pasti dia dibuat marah. garpu atau pukulannya tertolak mental bertemu Khi-bal-sin-kang. Padahal, kalau dia yang terkena serangan tentu dia yang selalu terpelanting dan jatuh terguling-guling. Khi-bal-sin-kang menghantamnya begitu dahsyat dan selalu nenek ini tak tahan. Dan ketika garpu akhirnya patah dan nenek itu menjerit maka satu pukulan Soat Eng mengenai tengkuknya dan terbantinglah nenek itu dengan kelengar.

"Dess!" Nenek Ji-moi hampir pingsan. Nenek ini akhirnya mengeluh dan tobat menghadapi Khi-bal-sin-kang. Justeru gara-gara ilmu itulah dia bersama encinya dan lain-lain tunduk kepada murid sendiri, Togur. Ilmu itu ditambah Jing-sian-eng memang sudah di atas kepandaiannya sendiri. Menghadapi ilmu itu sama halnya dengan menghadapi mendiang Hu Beng Kui, jago tua yang gagah perkasa itu.

Maka ketika dia terbanting dan kelengar disana, merintih, tiba-tiba Soat Eng berkelebat dan siap melumpuhkannya, menangkap. Namun nenek ini berkemak-kemik, mulut mengucapkan mantra dan tiba-tiba hilanglah tubuhnya ditubruk Soat Eng. Itulah pengaruh ilmu hitam yang dipergunakan nenek ini. Soat Eng belum berpengalaman, terkejut, berseru tertahan karena lawan tiba-tiba lenyap. Dan ketika dia kebingungan dan terhenyak ditempat, celingukan, maka nenek Ji-moi menghantamnya dari tempat gelap.

"Hi-hik, mampus kau, bocah. Terimalah...dess!" Soat Eng terpelanting, tidak berjaga-jaga namun di balik ilmu hitamnya nenek ini diam-diam memaki juga. Dia bertemu Khi-bal-sin-kang yang otomatis melindungi si gadis.

Soat Eng sudah bangkit berdiri lagi dan diserang tapi gadis itu hanya terhuyung-huyung saja, tidak roboh. Kian lama kian kuat dan akhirnya gadis ini tak bergeming. Nenek Ji-moi malah berteriak berulang-ulang di balik ilmu hitamnya karena kini dia sendiri yang terpental. Keparat, itulah gara-gara Khi-bal-sin-kang! Dan ketika nenek itu marah sementara Soat Eng sendiri juga gusar karena menjadi bulan-bulanan lawan, tak tahu dimana nenek itu karena tenaga batinnya kalah lihai maka tiba-tiba terdengar suitan panjang dan Ji-moi terkejut.

Itulah suitan encinya dan jelas encinya menghadapi bahaya. Gadis ini tak dapat dirobohkan sementara dia sendiri akhirnya kelelahan, layaknya menyerang sebuah patung batu saja. Dan ketika suitan itu terdengar lagi dan nenek Ji-moi menggeram tiba-tiba Soat Eng tak mendapat pukulan-pukulan lagi karena lawan sudah menghilang meninggalkannya, berkelebat dan menuju ke asal suitan itu. Di sana memang terjadi pertempuran lain dan Toa-ci, saudara Ji-moi menghadapi bahaya. Dan sementara Soat Eng memaki-maki dan tidak tahu kemana lawannya itu maka di tempat lain Ji-moi sudah tertegun melihat encinya terkurung oleh Pendekar Rambut Emas dan isterinya!

Seperti diketahui, Ji-moi dan Toa-ci menuju ke arah yang berlainan. Mereka berpencar untuk mencari nenek Naga, sebelum menghadap dan menemui kaisar. Syukur kalau malah bertemu kaisar dan mereka dapat menangkap kaisar itu, menundukkannya. Tapi ketika Ji-moi berpisah dengannya dan Toa-ci berputar mengelilingi istana tiba-tiba saja nenek ini mendekati gedung dimana Pendekar Rambut Emas berada, seperti ular mencari gebuk!

Sebenarnya, nenek ini tak sengaja mencari Kim-mou-eng. Lagi, kalau dia tahu bahwa gedung itu adalah justeru tempat tinggal pendekar ini tentu dia akan ngacir, kabur. Tapi Toa-ci memang sial. Dia tertarik mendekati gedung itu karena dilihatnya seorang anak laki-laki sedang bermain dengan dua ekor harimau. Dia terbelalak dan heran melihat itu. Bukan main, seorang anak laki-laki berani bermain-main dengan harimau.

Kalau bukan bocah yang pemberani tentu seorang bocah murid seorang tokoh, atau mungkin anak kaisar dari sekian banyak para pangeran yang ada disitu. Dan karena hadirnya bocah itu seketika membuat Toa-ci tertegun dan bersinar-sinar, menganggap anak itu sebagai bocah berharga maka tiba-tiba dia sudah berkelebat dan menghadapi anak ini.

"Heii...!" nenek itu membuat kejutan, muncul seperti iblis. "Siapa kau dan bagaimana main-main dengan harimau? Kau tidak takut?"

Beng An, bocah ini, tentu saja terkejut dan melompat kaget. Anak ini sedang bermain-main dengan Bi-houw dan anaknya, Siauw-houw. Dia sedang tertawa-tawa berada di punggung Bi-houw, menarik atau mencengkeram ekor harimau itu, juga kumisnya. Hal yang tak mungkin berani dilakukan anak lain sebayanya, bahkan orang dewasa sekalipun!

Maka ketika nenek itu muncul dan Beng An terkejut, tersentak kaget maka Bi-houw juga melonjak dan tiba-tiba mengaum panjang. Namun nenek ini tertawa mengejek. Bi-houw yang melompat dan tiba-tiba menyerangnya langsung ditampar, jarak masih cukup jauh namun harimau itu tiba-tiba menguik dan roboh, langsung tewas. Kepalanya pecah ditampar pukulan jarak jauh nenek itu! Dan ketika Beng An terkejut dan marah sekali, tadi tak sempat mencegah harimaunya maka anak ini membentak dan Siauw-houw yang melihat kematian induknya juga tiba-tiba mengaum dan lompat menyerang.

"Des-dess!" Nenek Toa-ci terkekeh geli. Dia berkelit dan tubrukan Siauw-houw luput, harimau itu terperosok dan jatuh tunggang-langgang didepan, setelah didorong nenek itu pula. Dan ketika terkaman atau tubrukan Beng An dielak dan nenek ini menepuk maka Beng An terpelanting dan terguling-guling pula ditampar nenek itu.

"Jangan mengeroyok, biarkan aku sendiri!" Beng An berteriak, sudah bergulingan meloncat bangun dan harimau ciliknya itu ditarik serta ditendang ke pinggir. Siauw-houw terkejut namun patuh kepada bentakan anak ini, majikannya. Dan ketika Toa-ci kagum melihat keberanian si bocah maka Beng An sudah menyerangnya dan bertubi-tubi melepas pukulan.

"Des-des-dess!"

Si nenek tak bergeming. Toa-ci menunjukkan kepandaiannya dan Beng An menjerit kesakitan karena kepalan tinjunya serasa bertemu batu karang, lecet namun dia tidak perduli dan sudah menyerang lagi, mengamuk. Anak ini bersikap nekat dan kekaguman Toa-cipun semakin menjadi-jadi. Namun karena Beng An bukanlah lawannya dan anak itu terhuyung serta mendesis-desis kesakitan maka nenek ini berkata cukup dan sekarang anak itu harus ikut dengannya.

"Kau pemberani, hebat dan gagah. Sekarang ikutlah aku dan hentikan seranganmu!" namun tepat di saat Beng An roboh tiba-tiba terdengar bentakan dan sesosok bayangan ramping menghantam nenek ini dari belakang.

"Siapa berani main-main dengan anakku... wut!"

Toa-ci tentu saja terkejut, kaget melihat kecepatan bayangan itu karena tahu-tahu ia sudah tak dapat mengelak lagi. Yang dapat dilakukan hanyalah menangkis dan nenek itupun sudah menggerakkan tangannya ke belakang, tak jadi menangkap Beng An karena serangan di belakang ini terasa dahsyat dan mengejutkan sekali. Dan ketika dia menangkis namun terbanting dan terguling-guling maka Toa-ci terkejut dan kaget bukan main karena yang dihadapi adalah seorang nyonya cantik yang kemerah-merahan mukanya, isteri Pendekar Rambut Emas.

"Kim-hujin (nyonya Kim)....!"

"Ya, aku!" Swat Lian, nyonya ini, sudah membentak lawannya. Dia sedang bersamadhi di kamarnya bersama suami ketika bentakan dan maki-makian Beng An didengar. Sang suami membuka mata bertepatan dengan dia sendiri, menyuruh agar dia keluar dan melihat apa yang terjadi. Pendekar Rambut Emas tenang-tenang saja sementara isterinya ini marah karena dia tahu bahwa Beng An bukan sedang bermain-main dengan encinya. Seseorang telah datang dan puteranya itu menghadapi musuh.

Dan ketika benar saja anaknya itu dilihat roboh terpelanting dan seorang nenek membunuh Bi-houw, induk harimau maka Swat Lian segera mengenal bahwa kiranya Toa-ci, nenek yang merupakan guru lainnya lagi dari Togura. Perhitungan suaminya ternyata tidak meleset dan kini utusan baru muncul, nenek itu, nenek keparat! Maka begitu dia membentak dan melepas serangan, menyelamatkan puteranya maka Toa-ci yang sudah berjungkir balik meloncat bangun kaget sekali melihat siapa yang datang. Dan ketika dia tertegun dan membelalakkan matanya maka tahu-tahu di belakangnya terdengar batuk-batuk perlahan dan Kim-mou-eng muncul pula di situ seperti iblis!

"Hm, kau, Toa-ci? Datang ingin menjenguk nenek Naga?" "Kau... kau..." nenek ini mundur-mundur, pucat. "Kau ada di sini? Kalian berdua ada di sini?"

"Ya, aku ada di sini, sudah beberapa hari. Sengaja menunggumu karena kau tentu ingin menjenguk temanmu itu. Hm, siapa lagi yang datang, Toa-ci? Mana adikmu?"

Nenek ini, yang sudah ketakutan dan gentar melihat suami isteri itu di situ tiba-tiba bersuit nyaring. Belum apa-apa dia sudah memanggil adiknya itu, belum bertanding! Dan ketika Pendekar Rambut Emas tersenyum dan maklum akan arti suitan itu maka isterinya, yang marah dan tidak dapat mengendalikan dirinya lagi tiba-tiba bergerak dan sudah menyerang nenek ini, dielak dan dikelit tapi sang nyonya terus mengejar.

Toa-ci ketakutan karena tak mungkin dia menang. Menghadapi satu di antara suami isteri ini saja tak mungkin dia dapat bertahan, apalagi kalau berdua. Maka ketika dia mundur-mundur sementara Beng An berteriak-teriak pada ibunya agar membunuh nenek itu yang telah membunuh harimaunya maka Toa-ci terdesak hebat dan apa boleh buat suatu ketika dia dipaksa menangkis.

"Dess!" Dan nenek inipun mencelat! Gentar dan patah semangat di tengah jalan nenek ini belum apa-apa sudah jatuh bangun diterjang si nyonya. Pada dasarnya dia sudah ketakutan dan berteriak-teriaklah nenek itu menyelamatkan diri. Pukulan-pukulan atau tamparan si nyonya selalu dikelit atau dihindari namun lawan selalu mengejar, memaksa dia menangkis dan tentu saja nenek ini tunggang-langgang.

Swat Lian mengerahkan Khi-bal-sin-kangnya dan ilmu meringankan tubuh Jing-sian-eng juga dipergunakan, tak ayal kecepatannya menjadi berlipat ganda dan nenek ini benar-benar kewalahan. Dan ketika Toa-ci jatuh bangun dan sebentar kemudian sudah menjadi bulan-bulanan pukulan lawan maka nenek ini melarikan diri dan berteriak-teriak.

Namun di depannya tiba-tiba menghadang Pendekar Rambut Emas. Pendekar itu berkata bahwa sebaiknya dia tak melarikan diri, menyerah secara baik-baik atau melanjutkan pertempuran. Di belakang Swat Lian membentak dan mengejar lagi, melepas pukulan. Dan ketika nenek itu bingung dan marah bercampur aduk maka Pendekar Rambut Emas yang ada di depan malah diserang dan dihantamnya dengan pukulan Mo-seng-ciang.

"Dess!" Namun sama saja. Toa-ci terpelanting dan jatuh bangun oleh pukulannya sendiri. Kim-mou-eng atau Pendekar Rambut Emas mengerahkan Khi-bal-sin-kangnya pula dan pukulan Bola Sakti itu menghantam balik serangannya sendiri. Dan ketika nenek ini meloncat bangun dan pucat memaki-maki, melihat Pendekar Rambut Emas berdiri tenang di sana sementara isterinya sudah berkelebat dan mengejarnya kembali maka nenek ini mengeluarkan senjatanya dan sendok raksasa sudah menangkis pukulan nyonya itu.

"Prakk!" sendoknya malah hancur. Sekali bertemu saja ternyata senjatanya itu tak kuat menahan. Si nyonya sudah menerjangnya lagi dan kalang-kabutlah nenek ini mempertahankan diri. Di depan ada Pendekar Rambut Emas sedang di sini isterinya. Ah, dia terkurung, tak dapat melarikan diri. Namun ketika tiba-tiba nenek itu melengking dan mengeluarkan ilmu hitamnya, berkemak-kemik tiba-tiba dia lenyap dalam sebentuk asap.

"Wush!" Swat Lian tertegun. Sang nyonya kehilangan lawan namun tiba-tiba dia memperdengarkan bentakan nyaring. Nyonya ini memperkuat tenaga batinnya dan saat itu juga tampaklah bayangan lawan. Tao-ci ternyata kabur dan melarikan diri. Suaminya tersenyum dan tenang-tenang di sana, tidak maju. Dia tahu bahwa suaminya menghendaki agar dia sendiri merobohkan nenek itu. Dan ketika bayangan si nenek tampak olehnya dan Swat Lian melengking panjang tiba-tiba si nyonya sudah berkelebat dan memburu lawannya itu.

"Jangan lari...!"

Toa-ci terkejut. Ternyata ilmu hitamnya tak berguna dan apa yang dikhawatirkan terjadi. Sejak mula dia tahu bahwa bersembunyi di balik ilmu hitamnya agaknya tak banyak berguna kalau dia berhadapan dengan suami isteri ini. Benar saja, lawan sudah melihatnya dan kini sebuah pukulan menyambar punggung. Dan ketika nenek itu menjerit dan putus asa, menangkis, maka dia mencelat dan terbanting terguling-guling lagi.

"Keparat, kalian busuk. Mengeroyok!"

"Siapa mengeroyok?" Swat Lian gusar, membentak dan menerjang lagi. "Aku di sini dan suamiku di sana, nenek busuk. Kau menyerahlah atau aku akan menghajar dan membunuhmu!"

Toa-ci melengking lagi. Dia berkemak-kemik dan menghilang lagi dengan ilmu hitamnya, coba meloloskan diri namun kemana dia lenyap ke situ pula si nyonya mengejar. Beng An sampai terlongong-longong karena yang tampak pada pandangan anak laki-laki ini ialah ibunya yang menyerang dan menghantam seonggok asap. Asap itu dikejar-kejar dan sepintas seperti ibunya itu gila, tidak waras! Namun karena di balik asap ada orangnya dan jelas ibunya itu sedang menghajar si nenek iblis maka Beng An tertawa-tawa dan bertepuk tangan mendorong-dorong ibunya agar membunuh atau menghajar lebih hebat lagi si nenek itu.

"Ha-ha, bagus, ibu. Bagus! Hajar saja dia, bunuh! Nenek itu telah membunuh Bi-houw!"

Namun tiba-tiba terdengar suitan lirih di sebelah kiri. Beng An yang tertawa-tawa mengejek Toa-ci mendadak diserang benda kecil hitam yang menyambar dari balik semak tak jauh dari anak ini. Ayahnya tersenyum-senyum dan sedang menonton pertandingan itu, sepintas, tak mendengar atau melihat benda kecil itu. Tapi ketika benda itu hampir dekat dan anak ini tentu roboh, karena kepalanya disambar batu kecil yang merupakan senjata rahasia mendadak Pendekar Rambut Emas mengebutkan lengan bajunya ke belakang dan Beng An berteriak kaget karena tiba-tiba dia mendengar ledakan keras di telinga kanannya.

"Dar!" benda kecil itu, batu hitam, hancur dikebut Kim-mou-eng. Pendekar Rambut Emas telah membalik dan Ji-moi, nenek yang telah datang tahu-tahu berhadapan dengan pendekar itu. Dan ketika Kim-mou-eng bergerak dan menyambar puteranya, yang terkejut dan kaget oleh hadirnya nenek lain maka pendekar itu tersenyum menegur lawannya.

"Selamat datang, kaupun kiranya sudah muncul di sini. Hm, menyerang anak kecil bukan perbuatan gagah, Ji-moi, apalagi dengan senjata gelap. Kau majulah, bantu saudaramu atau kita main-main di sini."

"Kau... keparat!" nenek itu membentak, marah tapi juga gentar. "Apa maksudmu dengan kata-kata itu, Kim-mou-eng? Kau menyuruh aku mengeroyok isterimu?"

"Kalau kau ingin membantu encimu. Tapi kalau kau mau main-main di sini dan berhadapan dengan aku tentu saja aku melayanimu."

"Keparat, kau berjanji begitu. Awas, aku akan membantu enciku dan kau jangan ikut campur!" dan Ji-moi yang berkelebat ke depan membantu encinya tiba-tiba sudah bergerak dan meninggalkan Kim-mou-eng, tentu saja lebih baik menghadapi nyonya itu bersama encinya dan mengeroyok berdua. Pendekar Rambut Emas telah mengijinkan dia mengeroyok wanita itu dan ijin seperti itu sama halnya dengan janji. Kim-mou-eng memperkenankan dia mengeroyok si nyonya. Maka begitu melengking dan menerjang maju tiba-tiba nenek ini telah menyerang Swat Lian dan langsung melepas Mo-seng-ciang yang menjadi andalannya.

"Dess!" Swat Lian tergetar. Sang nyonya terkejut tapi sudah membentak lawan barunya itu. Nenek Ji-moi sudah menyerangnya ganas dengan pukulan-pukulan cepat. Toa-ci, encinya, sudah dapat berdiri di sana dengan muka sedikit lega. Dia tadi dihajar dan terus dikejar pukulan-pukulan si nyonya. Dan ketika adiknya sudah datang membantu dan kini Pendekar Rambut Emas tertawa tenang di sana maka Swat Lian memekik dan membalik menghadapi Ji-moi.

"Des-dess!" Ji-moi ganti terlempar. Sekarang nenek ini mengeluh dan Toa-ci menerjang maju, maklum bahwa mereka berdua tak mungkin lagi meloloskan diri karena Kim-mou-eng berjaga di sana. Pendekar Rambut Emas telah menghadang mereka bila lari, apa boleh buat harus mengerahkan segenap kepandaian guna memperoleh kemenangan. Ji-moi dan Toa-ci kini menyerang berbareng namun sang nyonya memekik panjang, berkelebat dan mengimbangi mereka dalam satu gerakan super cepat yang tak dapat diikuti lagi.

Dan ketika Ji-moi dan Toa-ci menjerit karena menerima pukulan-pukulan panas, dimana pukulan itu terasa menyengat tubuh dan sakit bukan main ternyata dua nenek ini masih juga bukan tandingan sang nyonya. Swat Lian berkelebatan dengan Jing-sian-engnya itu dan nyonya cantik ini tak memberi ampun. Toa-ci membentak adiknya agar mempergunakan ilmu hitam, bermaksud menghilang namun si nyonya membentak dengan tenaga batinnya, dapat melihat dan mengejar mereka lagi. Dan karena mereka kalah cepat dan kalah lihai, terhuyung dan selalu jatuh bangun oleh pukulan-pukulan Khi-bal-sin-kang akhirnya Ji-moi dan encinya mengeluh berulang-ulang, ditonton dan disoraki anak kecil itu dan Beng An mengolok mereka habis-habisan.

Tak lama kemudian muncullah Soat Eng dan para perwira. Mereka telah mendengar keributan itu dan berdatangan, melongo karena kini Ji-moi dan Toa-ci mempergunakan ilmu hitam, tak tampak oleh orang-orang itu namun bak-bik-buk suara pukulan jelas menunjukkan sang nyonya sedang bertanding. Pendekar Rambut Emas sendiri akhirnya menepuk pundak puterinya dengan tenaga batin, agar puterinya itu dapat melawan pengaruh hitam. Dan ketika Soat Eng melihat dan bersinar-sinar maka Ji-moi akhirnya roboh ditampar ibunya, disusul Toa-ci yang juga menjerit tak dapat bertahan lagi.

Dua nenek-nenek itu terlempar dan lenyaplah pengaruh ilmu hitam yang mereka miliki. Dua tubuh itu terbanting dan pingsan di tanah, barulah terlihat oleh para perwira atau pengawal-pengawal yang berdatangan. Dan ketika Toa-ci dan Ji-moi roboh terakhir kalinya maka mendecaklah semua orang bahwa kiranya sebuah pertandingan hebat baru saja terjadi. Mereka terlongong-longong dan tak habis-habisnya mengucap kagum. Tadi yang mereka lihat adalah pertempuran nyonya ini dengan 'siluman'. Toa-ci maupun Ji-moi bersembunyi di balik ilmu hitamnya dan barulah sekarang pengaruh ilmu hitam itu lenyap, setelah mereka roboh dan pingsan.

Dan ketika malam itu dua tawanan kembali ditangkap dan kaisar girang oleh kesaktian suami isteri ini maka Pendekar Rambut Emas diundang untuk mendapatkan ucapan terima kasih secara langsung, hal yang disambut biasa-biasa saja oleh pendekar itu. Swat Lian telah menghapus keringatnya dan Toa-ci maupun Ji-moi dikurung di gedung mereka. Dua nenek itu ditotok dan tak bakal ada yang mampu melepaskan diri. Hanya orang-orang setingkat Pendekar Rambut Emas atau isterinya sendiri yang mampu membebaskan totokan itu. Dan ketika malam itu tiga dari tokoh-tokoh sesat berhasil dilumpuhkan maka kaisar bertanya bagaimana selanjutnya.

"Kami akan menunggu lagi. Masih ada dua sisanya, di samping See-ong dan Togur. Kalau dalam beberapa hari ini tak datang lagi utusan-utusan baru maka pasukan boleh bergerak dan menyerang ke depan."

"Ah-ah, baiklah. Terserah kau, taihiap... terserah kau. Aku hanya menginginkan semuanya dapat ditangkap atau dibunuh. Hematku, sebaiknya tiga nenek-nenek itu dibunuh, tak perlu diampuni lagi!"

"Hm, hamba tak sependapat. Jelek-jelek mereka adalah utusan, biarlah kita menghormati adanya utusan dan tiga nenek itu tetap menjadi tawanan kami. Kalau mereka lolos, kabur umpamanya maka tentu kami mengambil sikap lain. Sementara ini paduka tak usah kecewa dengan keinginan hamba."

Kaisar menarik napas panjang. Sebenarnya dia kecewa karena khawatir akan gangguan di belakang hari. Nenek-nenek itu lihai, mereka bukan manusia melainkan iblis. Tapi karena yang menangkap adalah Pendekar Rambut Emas beserta isterinya dan pendekar itu sudah diketahuinya sebagai seorang pendekar yang lemah hati maka kaisar menahan kekecewaannya dan tidak berani memaksa, menuruti permintaan Pendekar Rambut Emas untuk menunda bergeraknya pasukan.

Kim-mou-eng mengharap bahwa Siauw-jin atau Cam-kong, dua sisa tokoh sesat datang ke kota raja, mencari atau menyusul Toa-ci dan lain-lain ini. Tapi ketika seminggu ditunggu tak datang juga dan minggu kedua datang laporan bahwa musuh bergerak mundur maka pendekar ini tertegun namun berseri-seri juga.

"Perbatasan Shan-si tak dijaga. Musuh mundur dan menarik diri ke utara!"

"Hm, kau yakin, Han-taijin? Orang-orang kalian tak salah lapor?"

"Tidak, Cen-goanswe (Jenderal Cen) sendiri yang melihat, taihiap. Dan inilah dia!"

Cen-goanswe, jenderal bertubuh tegap lalu maju menceritakan. Dia dibawa Han-taijin untuk menemui pendekar ini, berkata bahwa perbatasan Shan-si sudah tak dijaga lagi. Musuh menarik diri ke utara dan ada kecenderungan bahwa musuh takut, gentar. Mereka rupanya tahu bahwa tiga utusan mereka, nenek Naga dan Toa-ci serta Ji-moi tertangkap. Hadirnya Pendekar Rambut Emas rupanya sudah diketahui mereka dan musuh menarik diri, meninggalkan perbatasan dan jadilah propinsi Shan-si tanpa penjaga. Dan ketika Cen-goanswe selesai bercerita dan berkata inilah kesempatan bagi mereka untuk menggempur musuh, menyerang dan mendesak mereka maka Swat Lian tiba-tiba bertanya apakah Tai-yuan yang merupakan kota penting di propinsi Shan-si masih dipertahankan.

"Hm, kota itu masih. Dan rupanya musuh justeru memusatkan seluruh pasukannya di sini, memusatkan kekuatan. Tapi kalau kita dapat memasuki perbatasan Shan-si dan datang menyerang mereka tentu lebih enak, hujin. Langsung ke titik sasaran dan menghantam mereka!"

"Coba kau beritahukan padaku bagaimana posisi kota itu."

"Tai-yuan diapit dua buah gunung. Sebuah sungai kecil mengalir di tengahnya tapi sungai ini tak dalam, tak dapat dilayari perahu-perahu besar."

"Dan kau yakin dapat memasukkan pasukanmu ke tengah musuh?" "Ah, kalau ji-wi (anda berdua) mau mematahkan pentolan-pentolannya tentu aku dan pasukanku dapat memasuki kota, hujin. Sehebat-hebatnya mereka tetaplah mereka itu orang-orang liar. Pasukan Togur adalah gabungan dari suku-suku buas yang tak memiliki taktik atau seni perang. Mereka hebat karena pimpinannya memang hebat. Kalau See-ong ataupun pemuda itu dapat ji-wi hadapi tentu masalah pasukan bukan soal lagi. Pasukanku cukup terlatih, mereka hanya takut menghadapi pemuda luar biasa itu, juga See-ong. Maklumlah, dua orang ini memiliki kepandaian tinggi dan See-ong juga dapat menghilang!"

"Hm, baiklah. Kalau begitu nanti aku akan bicara dengan suamiku. Mungkin besok kita sudah mulai berangkat!"

Cen-goanswe hampir bersorak. Sebenarnya dia sudah tak sabar menunggu-nunggu lagi. Gatal tangannya untuk menghantam dan menghancurkan musuh. Kewibawaan istana hampir saja jatuh di tangan Togura dan pembantu-pembantunya itu. Maka ketika malam itu Swat Lian berjanji untuk membujuk suaminya agar secepatnya berangkat, menyerang musuh maka Pendekar Rambut Emas menghela napas berulang-ulang.

"Sebenarnya aku mengharap Cam-kong atau Siauw-jin sendiri datang lagi ke sini. Syukur kalau See-ong juga! Tapi karena mereka tak datang dan kurasa memang tak mungkin datang, baiklah besok kita berangkat dan menghadapi mereka."

"Di sini atau di sana sama saja!" sang isteri mengomel. "Justeru bagiku lebih baik ketemu di medan perang, suamiku. Aku dapat membunuh mereka dan kau tak dapat mencegahnya!"

"Itulah sebenarnya yang kuhindari," Pendekar Rambut Emas menarik napas. "Kalau musuh dapat ditangkap baik-baik kenapa harus dibunuh? Ah, Cam-kong dan Siauw-jin rupanya sial. Sudahlah, betapapun aku mengharap agar kau tak kelewat ganas, niocu. Ampunilah yang bisa diampuni dan jangan terlampau kejam!"

"Dan aku ikut ayah!" Beng An tiba-tiba muncul, mendengarkan percakapan itu. "Aku akan menunggang Siauw-houw, ayah. Perbolehkan aku ikut dan berolah raga di medan perang!"

Kim-mou-eng terkejut. "Kau di sini?"

"Maaf," anak ini menyeringai. "Enci juga bersamaku, ayah. Enci ingin maju dan membantumu di medan perang!"

"Hm!" sang ayah melirik ibu. "Kau menuruti kemauannya?"

"Beng An anak seorang pendekar. Kalau ayah ibunya maju menghadapi orang jahat tentu saja aku tak keberatan! Kenapa tidak?"

"Dan aku akan menunggang harimauku!" anak itu berseri-seri. "Aku akan menggebah dan membunuh musuhku, ibu. Kalau mereka berani mendekat tentu kuhantam dengan Tiat-lui-kang!"

"Hm-hm, sudahlah," Kim-mou-eng menyuruh anak itu masuk. "Kau harus selalu tetap bersama encimu, Beng An. Pergi dan jangan dengarkan lagi pembicaraan orang tua!"

Anak ini meleletkan lidah. Swat Lian tersenyum pada puteranya itu dan menyuruh masuk. Orang-orang tua hendak bicara sendiri. Dan ketika suami isteri itu kembali bicara ke persoalan semula maka Pendekar Rambut Emas tak dapat mengelak lagi untuk maju mengawal pasukan kerajaan. Sebenarnya, dengan kesaktiannya yang tinggi dan kepandaiannya yang luar biasa dapat saja pendekar ini menuju Tai-yuan mencari See-ong atau Togur. Tapi, seperti pengalaman yang sudah-sudah karena Togur akan selalu mempergunakan pasukannya bila terdesak dan hampir ditangkap maka Pendekar Rambut Emas menjadi gemas dan marah kepada keponakannya itu.

Tentu saja dia tak akan mau membunuh-bunuhi orang-orang demikian banyak. Bukan itu maksudnya. Dan karena berkali-kali Togur berlindung di balik pasukannya dan hal ini menyulitkan pendekar itu maka Kim-mou-eng akhirnya merasa bahwa dengan pasukan kerajaan dia akan dapat menangkap pemuda itu. Sebab, begitu Togur mempergunakan pasukannya untuk berlindung secara licik maka pasukan kerajaan akan menghadapinya. Dan kalau dia sudah menghadapi keponakannya itu satu lawan satu tentu Togur tak akan dapat berlindung lagi dan dia dapat membekuk pemuda itu!

"Apa yang kau renungkan?" sang isteri tiba-tiba mengejutkan lamunannya. "Kau mau menghadapi See-ong atau Togur?"

"Hm, sebenarnya kedua-duanya, niocu. Tapi karena tak mungkin maka tentunya kita harus memilih lawan. Kau sendiri, mana yang kau pilih?"

'Kakek iblis itu, See-ong!"

"Baiklah, aku pemuda itu. Tapi kuminta agar kita tidak selalu berjauhan agar dapat saling membantu kalau diperlukan."

Dan ketika isterinya mengangguk dan mengepalkan tinju dengan mata bersinar-sinar, gembira dan penuh semangat, di samping dendam, maka malam itu Kim-mou-eng duduk bersamadhi bersama isterinya. Mereka terakhir kali akan tinggal di gedung itu dan besok sudah harus berangkat. Pasukan juga sudah tak sabar menunggu-nunggu. Tiga dari lima Iblis Dunia sudah ditangkap. Musuh di depan sudah berkurang jumlahnya dan itu saja sudah cukup membangkitkan semangat pasukan Cen-goanswe ini, karena jenderal itulah yang akan menjadi panglima perang dalam memimpin pasukannya.

Dan ketika dua suami isteri itu tenggelam dalam samadhinya dan Beng An serta encinya di kamar yang lain juga bersiap-siap untuk membantu ayah ibunya, atau lebih tepat, membantu kerajaan atau Cen-goanswe dan pasukannya maka pasukanpun yang sudah bersiap dengan senjata di pinggang seolah tak sabar menanti datangnya pagi.

Dan saat itupun akhirnya tiba. Kokok ayam jantan yang pertama kali tak lama kemudian disusul oleh kokok ayam jantan yang kedua dan ketiga. Samar-samar namun pasti langit di sebelah timur pun mulai kemerah-merahan. Warna jingga dan terang di langit timur itu semakin menyala. Dan ketika matahari menguak di balik peraduannya yang misterius maka ribuan orang telah berbaris dan melangkah pasti meninggalkan kota raja. Tak kurang dari sepuluh ribu orang dibawa.

Cen-goanswe berada di depan dan melangkah di sebelah kiri jenderal ini, gagah dan mengagumkan berjalanlah Beng An di atas punggung harimaunya. Kehadiran Beng An membuat pasukan berdecak kagum. Dan ketika di sebelah anak itu juga berjalan encinya yang gagah dan cantik, mengawal adiknya maka pasukan seolah mendapat tambahan semangat hingga bisik-bisik atau suara pujian di antara perajurit-perajurit muda tak dapat dicegah lagi...