Istana Hantu Jilid 28 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

ISTANA HANTU
JILID 28
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

“HA-HA, maaf, enci. Aku hanya menggoda saja si betina ini. Lihat, kalau dia mau menggigit masakah aku tak dapat melindungi diri? Jangankan taringnya, pisau inipun tak dapat melukai aku... srat!" dan Beng An yang menarik serta menusukkan pisaunya ke lengan sendiri tiba-tiba membuat Soat Eng tertegun dan memuji adiknya itu, tidak terluka karena Beng An mengerahkan sinkangnya.

Sekecil itu anak laki-laki ini sudah dapat membuat tubuhnya kebal, tentu saja kalau taring harimau atau pisau setajam apapun tak mungkin melukainya, kecuali Beng An berhadapan dengan lawan tangguh yang memiliki sinkang lebih kuat. Dan ketika Soat Eng sadar dan tertawa menepuk pundak adiknya, girang dan senang karena Beng An demikian pandai maka mereka sudah membalut dan menolong harimau betina itu.

Mula-mula raja rimba ini memandang garang dan penuh ketakutan, dia curiga dan tentu saja tak percaya begitu saja. Beng An yang menaklukkannya sedemikian mudah belum membuat binatang ini memiliki rasa persahabatan. Tapi ketika panah dan paku tulang itu dicabut dan luka-luka harimau ini diobati dan Beng An tertawa menepuk-nepuk pundak harimau itu mendadak si harimau merasakan bahwa dia tak disakiti.

"Nah, sekarang beres. Kubebaskan totokanmu dan jangan menyerang!"

Aneh, harimau itu mengeluarkan suara perlahan. Dia terbebas dan tiba-tiba dapat meloncat bangun setelah luka-lukanya diobati. Meskipun pincang namun dia tak mendekam lumpuh lagi seperti tadi. Dan ketika Beng An tertawa dan membebaskan pula anak harimau yang menguik kecil maka anak harimau itu langsung melompat dan berlari ke induknya.

"Ha-ha, lucu sekali!" Beng An terbahak, geli. "Anak harimau ini jadi ingin kujadikan teman, enci. Maukah engkau memperkenankannya?"

"Kau mau memelihara kucing hutan ini?"

"Kalau kau tak melarang, enci. Tapi, eh... jangan lari!" Beng An terkejut, melihat harimau betina dan anaknya itu tiba-tiba lari. Mereka meloncat cepat dan sekejap saja harimau bersama anaknya itu melesat ke dalam hutan. Si betina mengaum perlahan dan anaknyapun juga mengeluarkan suara auman yang lucu dan aneh. Anak harimau itu sebesar kambing berumur tiga empat bulan, jadi masih kecil tapi ternyata sudah memiliki kegesitan seperti induknya. Dan ketika Soat Eng tertawa dan melihat adiknya berseru keras maka anak laki-laki itu sudah mengejar dan melompat berjungkir balik.

"Hei, jangan lari! Hei... heii...!"

Soat Eng geli. Adiknya mengerahkan ginkangnya dan cepat serta luar biasa sekali, untuk anak seukuran itu, tiba-tiba Beng An telah mendahului dan lewat di atas kepala si harimau betina. Dan ketika binatang itu tampak terkejut dan membalik tahu-tahu Beng An telah duduk dan jatuh di atas punggungnya, ketika sedikit memutar.

"Ha-ha, kau tak boleh pergi. Hayo, kembali...!"

Harimau terkejut. Dia meronta namun Beng An mengurut punggungnya sekali lagi, persis melumpuhkan seekor ular. Dan ketika harimau itu mengaum dan mendeprok di tanah, kehilangan tenaga maka anak harimau terbirit-birit tak berani berdekatan dengan anak laki-laki ini. Namun Beng An sekali lagi mengeluarkan seruan keras. Dia telah menotok si betina dan kini membentak ke arah anak harimau itu, berjungkir balik dan persis sekali jatuh di punggung lawannya. Dan ketika harimau itu menjerit dan memutar kepalanya, mau menggigit maka Beng An tertawa memberikan lengannya itu.

"Gigitlah... gigitlah sepuas-puasmu, ha-ha...krak-krak!" lengan Beng An sekeras besi, tak dapat dilukai dan anak harimau itu terkejut setengah mati. Dia tertindih dan roboh terguling, bersama Beng An. Dan ketika anak itu menotok dan mengurut punggungnya maka anak harimau inipun lumpuh mengaum perlahan, persis induknya. Dan saat itu Soat Eng berkelebat.

"Satu di antaranya harus dijinakkan dulu. Lepaskan yang betina itu dan kejar serta lumpuhkan setiap dia melawan!"

Beng An tertawa. Akhirnya anak ini menjadi gembira karena mendapat mainan baru. Dia melepaskan dan membebaskan totokan si betina, benar saja lari lintang-pukang namun Beng An mengejar lagi, duduk di atas punggungnya. Dan ketika harimau itu melawan dan masih ketakutan maka Beng An menotoknya roboh dan begitu terjadi berulang kali. Anak harimau sendiri dijaga Soat Eng yang menonton sambil tertawa-tawa. Gadis inipun merasa senang mendapat tontonan menarik. Adiknya menaklukkan harimau yang berkali-kali roboh ditunggangi.

Dan ketika delapan kali Beng An membebaskan serta melumpuhkan binatang itu setiap melawan dan lari maka akhirnya hewan ini terengah-engah dan roboh mendekam di muka Beng An, sudah menggigit namun kaki atau tangan anak laki-laki itu sekuat baja. Dia tak dapat melukai atau mencakar kulit pemuda cilik ini, yang tadi sengaja memberikan dan mendemonstrasikan kepandaiannya. Dan ketika harimau itu takluk dan menyerah di depan Beng An, mengaum perlahan maka Beng An tertawa nakal meloncat di atas punggungnya, menyambar dan menjeletarkan sebatang akar yang mirip cambuk.

"Hayo, sekarang ajak aku berkeliling di sekitar sini. Bangun!"

Harimau itu bangun. Mula-mula dia tak mengerti dan masih mendekam, tapi ketika Beng An melecut pantatnya dan kesakitan maka binatang ini berjengit dan bangun berdiri. Dan Beng An segera membentak-bentaknya untuk berjalan, mula-mula harimau itu meloncat namun anak ini menjambak rambut kepalanya. Harimau tertahan dan dengan cara itulah akhirnya anak ini melatih tunggangannya. Dan ketika harimau mulai mengerti dan berjalan atau berhenti sesuai perintah Beng An maka anak itu berhasil menguasai dan menjinakkan binatang buas ini.

"Ha-ha, lihat enci. Aku mempunyai tunggangan istimewa!"

Soat Eng tersenyum-senyum. Memang akhirnya dia melihat bahwa adiknya itu berhasil menguasai harimau betina, disuruh kemanapun menurut dan harimau itu benar-benar jinak. Inilah berkat kepandaian Beng An, adiknya itu sudah mampu menjinakkan dan menguasai binatang buas, mengagumkan! Dan ketika Soat Eng berkata bahwa anak harimau masih di situ dan belum dijinakkan, seperti induknya, maka Beng An tertawa dan melompat turun dari atas punggung si betina.

"Gampang, lebih mudah lagi. Lihat, akupun akan menjinakkannya, enci. Si betina akan kusuruh mengajari anaknya untuk tunduk kepadaku!"

Beng An sudah membebaskan si loreng cilik itu. Sama seperti induknya mula-mula harimau itu meloncat dan ketakutan, melarikan diri, menyusup dan berlindung di dekat induknya. Namun ketika Beng An meloncat dan mengejarnya, menotoknya, maka sedikit tetapi pasti Beng An berhasil menguasainya, menungganginya dan perlahan namun meyakinkan anak harimau itupun menyerah padanya.

Sang induk menggeram-geram perlahan kalau anak harimau itu mula-mula memberontak, mungkin memberi tahu dan berkata atau marah kepada anaknya agar anaknya itu baik-baik tunduk kepada Beng An, tak usah melawan dan takut karena Beng An adalah bocah yang baik, majikan mereka. Dan ketika sejam kemudian anak harimau itupun menurut dan dapat disuruh berputar-putar ditunggangi Beng An maka anak ini tertawa gembira.

"Enci, kita mempunyai sahabat dua ekor sekaligus. Hayo, kau naiki yang betina itu dan rasakan nikmatnya duduk di punggung harimau!"

Soat Eng tertawa. Melihat adiknya menundukkan dan menjinakkan harimau tiba-tiba ia pun gatal-gatal ingin mencicipi. Dan ketika gadis ini berkelebat dan tahu-tahu melayang serta hinggap di punggung si betina, yang tentu saja terkejut dan merasa bukan majikannya tiba-tiba Soat Eng telah mencengkeram dan menguasainya, sama seperti Beng An.

"Hayo, jangan memberontak. Atau kau kulumpuhkan!"

Harimau terkejut. Urat punggungnya dicengkeram dan dia merasa tergetar, kaget. Namun ketika di sana Beng An tertawa-tawa dan berseru padanya agar melayani encinya itu sama seperti melayani dirinya dan Soat Eng pun menyentak serta mengemudikan dirinya maka tiba-tiba harimau ini tunduk dan menyerah. Dan Soat Eng sudah terkekeh dibawa berputar-putar, maju mundur dan si loreng itupun akhirnya patuh. Rupanya harimau ini merasa juga bahwa gadis di atas punggungnya bukanlah gadis sembarangan.

Sama seperti anak kecil yang menundukkannya itu gadis di atas punggungnya ini juga sama lihai, bahkan, sebenarnya tentu saja lebih lihai! Dan ketika Beng An terbahak dan melupakan niatnya berburu maka dua jam mereka disitu bermain-main dengan anak harimau dan induknya ini. Soat Eng juga terkekeh-kekeh dan gadis itupun melupakan waktu. Tak terasa mereka seperempat hari lamanya, bercanda dan bergurau dengan binatang tunggangannya itu. Dan ketika dua bayangan berkelebat dan membentak mereka, Pendekar Rambut Emas dan isterinya muncul maka Beng An dan encinya terkejut, sadar.

"Eng-ji, An-ji, kalian tidak kenal waktu dan bergurau saja di sini? Tidak cepat kembali dan mengkhawatirkan orang tua?"

"Ah, maaf....!" Beng An mendahului turun. "Aku yang menahan enci disini, ayah. Aku berhasil menjinakkan dua harimau ini, induk dan anaknya. Lihat, mereka dapat kuperintah apa saja!" Beng An tertawa-tawa tak perduli, kaget tapi tenang kembali karena ayah ibunya akhirnya tak marah.

Memang Pendekar Rambut Emas dan isterinya tak marah setelah akhirnya melihat dua anak mereka tak apa-apa, mereka bermain dan bahkan lupa waktu. Dan ketika Beng An menunjukkan keahliannya menyuruh harimau itu melakukan ini-itu, berlenggang atau melompat-lompat setelah berjalan maka dua harimau yang mulai biasa dengan manusia itu tidak menolak kehadiran Kim-mou-eng suami isteri, apalagi setelah Beng An dan Soat Eng tadi mengelus-elus punggung mereka, menyuruh tenang, berkata bahwa itu bukanlah musuh melainkan teman-teman sendiri.

Dan ketika suami isteri itu akhirnya tersenyum melihat perbuatan Beng An, yang memerintahkan dan main-main dengan harimaunya maka di luar hutan sebelah sana tiba-tiba terdengar hiruk-pikuk dan kegaduhan luar biasa. Bermacam-macam binatang buas, juga yang tidak buas seperti kuda atau rusa berlarian panik. Mereka itu seolah-olah dikejar sesuatu dan semuanya tampak ketakutan. Aum dan pekikan gajahpun terdengar di situ, menggetarkan hutan. Dan ketika semua terkejut karena hutan seolah-olah roboh, digetarkan oleh suara-suara dahsyat itu maka dua harimau yang sudah dijinakkan inipun mendadak lari dan melompat ketakutan!

"Heii...!" Beng An bergerak sigap. "Jangan pergi, Siauw-houw (Harimau Kecil). Jangan takut. Ke sini!"

"Dan kau juga!" Soat Eng membentak, melihat harimau betina mengaum dan meloncat jauh. "Jangan pergi, Bi-houw (Betina). Ada aku disini dan jangan takut!" dan dua enci adik itu yang sudah mencengkeram dan menyambar harimaunya masing-masing lalu menepuk-nepuk binatang tunggangannya karena dua harimau itu ketakutan hebat. Suara-suara di luar hutan itu begitu gaduh dan memekakkan telinga seolah hutan diserang bahaya.

Kim-mou-eng dan isterinya terkejut dan mereka tiba-tiba berkelebat, melihat ratusan binatang besar kecil lari dan panik kesana kemari, berteriak-teriak, mengaum dan apa saja dan mereka tentu saja ingin tahu. Ada sesuatu diluar sana yang jelas menakutkan penghuni-penghuni hutan itu. Ada sesuatu yang membuat mereka gelisah dan kalut. Dan ketika Kim-mou-eng berseru pada putera-puterinya agar waspada dan kembali ke kereta, mereka akan melihat apa yang terjadi maka dua suami isteri itu telah berkelebat dan menghilang di depan.

Mereka menyongsong dan berkali-kali harus menampar atau menggerakkan kedua tangan untuk mementalkan binatang-binatang yang akan menabrak, panik dan gugup mau menumbuk mereka. Dan ketika diluar hutan terdengar sorak-sorai manusia, ratusan jumlahnya maka Kim-mou-eng sudah tertegun melihat apa kiranya yang terjadi.

Ternyata hampir lima ratus orang menggebah binatang-binatang itu. Mereka memasuki hutan dan berteriak-teriak gaduh, banyak yang melepas panah dan membunuh binatang-binatang itu. Pantas saja. Dan ketika Kim-mou-eng melihat banyak anak-anak dan kakek-kakek atau nenek-nenek yang ada di dalam rombongan ini, menangis atau menjerit menjadi satu maka dua suami isteri itu saling pandang, terkejut.

"Mereka seperti pengungsi, bukan tentara! Apa yang terjadi dan kenapa mereka memasuki hutan ini? Kenapa begitu banyak kereta dan gerobak dorong? Dan banyak anak-anak di sana, juga orang-orang tua. Ah, mereka seperti orang-orang yang menghindari perang, suamiku. Orang-orang itu juga ketakutan dan panik!"

"Ya, kau benar. Mari kita lihat!" dan Pendekar Rambut Emas yang bergerak mendahului isterinya dan melihat serta menduga seperti apa yang dipikir isterinya tiba-tiba telah berkelebat dan muncul di depan orang-orang itu, seperti iblis!

"Heii...!" pendekar ini mengangkat lengannya, tinggi-tinggi. "Tunggu, saudara-saudara. Tunggu! Berhenti dan jangan berteriak-teriak demikian gaduh!"

Ratusan orang itu, yang membawa gerobak dan segala buntalan besar-besar tiba-tiba tertegun. Mereka terkejut dan berhenti karena Pendekar Rambut Emas tiba-tiba muncul seperti siluman. Entah darimana dan bagaimana tahu-tahu sudah berdiri di depan mereka. Barangkali, muncul begitu saja dari bumi! Namun ketika yang paling depan hilang kagetnya dan sadar, tak takut karena hanya menghadapi seorang saja maka mereka bergerak dan tahu-tahu sudah mengepung dan menodongkan senjata ke pendekar ini, yang dinilai aneh dan ganjil karena rambutnya yang berwarna keemasan itu, jelas bukan orang Han.

"Kau!" seorang tinggi besar menghardik. "Siapa dan mau apa? Kau pemilik hutan ini? Perampok?"

Kim-mou-eng tersenyum kecil, sabar. "Sobat, jangan buru-buru menuduh begitu. Aku bukan perampok, dan bukan pemilik hutan ini. Aku orang biasa. Siapa kalian dan kenapa mengungsi besar-besaran? Tampaknya seperti dilanda perang saja!"

"Dia orang Tar-tar!" seorang lain tiba-tiba berseru, menuding dan memutus percakapan itu. "Jangan banyak bicara lagi kepadanya, Hok Gim. Bunuh dan serang laki-laki ini!" dan yang lain yang tampak terkejut dan mengakui itu, melihat bahwa Kim-mou-eng memang seorang Tar-tar dengan hidung yang mancung dan kulit sedikit gelap tiba-tiba mengangguk dan menerjang pendekar ini.

Hok Gim si tinggi besar juga terpengaruh dan melihat itu, tak banyak cakap dan menerjang Pendekar Rambut Emas. Tapi ketika pendekar ini berkelebat dan terkejut oleh seruan tadi, seruan yang penuh kebencian maka orang-orang itu ganti terkejut karena dia sudah menghilang.

"Siluman, dia tak ada....!"

"Aku disini," Pendekar Rambut Emas muncul, tahu-tahu diluar kepungan. "Tahan dan jangan serang aku, sobat. Aku bukan musuh..." tapi belum habis kata-katanya mendadak orang-orang itu membalik dan lagi dan sudah berteriak menerjangnya, marah dan memaki-maki dan golok atau parang berhamburan ke tubuh pendekar ini. Tapi ketika Kim-mou-eng berkelebat dan hilang lagi, sudah di tempat yang lain maka orang-orang itu tertegun dan saat itulah Swat Lian muncul.

"Berhenti, atau kalian kulempar dari sini kalau berani menyerang suamiku!"

Orang-orang itu terkejut. Mereka membalik dan melihat nyonya yang cantik jelita itu, nyonya yang mangar-mangar dan merah mukanya karena marah. Swat Lian sedikit tertinggal oleh suaminya ketika tadi Pendekar Rambut Emas mendahului. Tapi begitu melihat suaminya dikepung dan hendak dikeroyok, diserang, maka nyonya ini membentak dan tertegunlah orang-orang itu melihat Swat Lian yang jelas wanita Han, sama seperti mereka.

"Hujin (nyonya), kau siapakah? Ini suamimu?"

"Benar," Swat Lian bersinar-sinar matanya, marah. "Ini suamiku, dan kalian buta tidak mengenal Pendekar Rambut Emas! Siapa yang ingin kuhajar dan main gila disini? Siapa yang mau coba-coba menyerang suamiku?"

"Apa? Pendekar Rambut Emas? Kim-mou-eng?" dan ketika Hok Gim dan kawan-kawannya terkejut karena tentu saja sudah mendengar nama Pendekar Rambut Emas, pendekar yang tersohor dan terkenal di seluruh Tiong-goan tiba-tiba mereka menjatuhkan diri berlutut dan minta ampun. "Maaf, ampun, hujin. Kami tak tahu. Kalau begitu kau adalah puteri Hu-taihiap dari Ce-bu itu...!"

Dan beberapa yang mengenal dan termasuk orang-orang yang bisa silat, karena ada beberapa di antara mereka yang merupakan kauwsu atau guru silat beserta pengikutnya tiba-tiba gemetar dan menggigil di depan Swat Lian. Tentu saja mengetahui bahwa isteri Pendekar Rambut Emas adalah puteri Hu-taihiap yang gagah perkasa itu, yang menjadi amat terkenal setelah geger Ce-bu, ketika Hu-taihiap hendak mengangkangi dan mempertahankan Cermin Naga, menantang semua ketua-ketua partai.

Dan kejadian itu memang menggegerkan hampir semua orang kang-ouw, karena sebagian besar di antara mereka memang terlibat, atau menonton. Dan karena Hu-taihiap akhirnya menjadi bengcu atau ketua partai persilatan yang menjadikan namanya semakin terkenal saja maka otomatis nama Swat Lian, puterinya, ikut terkenal dan tersohor juga, apalagi setelah menjadi isteri Kim-mou-eng, Pendekar Rambut Emas!

Dan orang-orang itu yang mendengar tapi belum melihat suami isteri ini, baru sekarang, tiba-tiba terkejut setelah berhadapan dan mengenal langsung. Pantas Pendekar Rambut Emas dapat bergerak seperti siluman, menghilang. Tak tahunya memang pendekar yang hebat itu, yang terkenal dengan ilmu ginkangnya Jing-sian-eng maupun Cui-sian Gin-kang. Dan ketika orang-orang itu sadar dan menjatuhkan diri berlutut, minta ampun, maka Pendekar Rambut Emas mengambil alih pembicaraan lagi dan bertanya pada orang-orang itu apa yang terjadi, menggenggam lengan isterinya dengan lembut.

"Kami... kami diserang bangsa biadab dari utara. Cin-yang dan Cin-po jatuh. Kami mengungsi!"

"Hm, bangsa biadab yang mana? Dipimpin siapa?"

Orang-orang itu tertegun. Mereka mau menjawab tapi ragu. Maklumlah, Togur adalah murid keponakan Pendekar Rambut Emas dan mereka sungkan mengatakan itu. Sama seperti Pendekar Rambut Emas sendiri maka Gurba, ayah pemuda itu juga cukup terkenal sebagai suheng pendekar ini. Dan sekarang puteranya menjadi pimpinan penyerbu, keponakan pendekar itu. Tapi ketika mereka bimbang dan ragu menyebut nama Togur maka Swat Lian, yang dapat menduga dan tahu siapa yang dimaksud tiba-tiba membentak.

"Kalian tak usah takut. Katakan saja siapa pemimpin serbuan itu. Apakah Togur si bocah keparat?"

"Beb... benar..." Hok Gim membenturkan dahinya. "Memang benar pemuda itu, hujin. Dan dia dibantu See-ong. Tak ada pasukan kerajaan yang mampu menghadapi dan terakhir sekali Tai-yuan jatuh!"

"Apa?" Kim-mou-eng terkejut. "Pemuda itu sudah menguasai propinsi Shan-si? Dan See-ong ada disana?"

"Benar, taihiap, begitu yang kami dengar. Kami sendiri belum bertemu langsung tapi kabar-kabar yang kami terima cukup membuat kami ketakutan. Pemuda itu sendiri sudah lihai, mana mungkin dilawan? Apalagi dibantu kakek iblis itu, yang kami dengar dapat menghilang dan lenyap seperti siluman!"

"Seperti taihiap (anda)!" seseorang tiba-tiba nyeletuk, mengejutkan yang lain tapi tiba-tiba orang yang bicara ini dibentak temannya. Antara Pendekar Rambut Emas dan See-ong tentu saja berbeda.

Orang itu hampir ditampar namun Kim-mou-eng mencegah, tertawa kecut. Dia tahu bahwa yang hendak dimaksudkan orang ini adalah kepandaiannya, kesaktiannya. Bukan sepak terjangnya atau kejahatan See-ong yang hendak disamakan kepadanya. Tapi ketika pendekar ini menghela napas dan menghentikan tawanya, yang kecut, maka Pendekar Rambut Emas berkata bahwa apa saja yang telah orang-orang itu dengar.

"Mereka hendak menyerbu kota raja, membunuh kaisar. Dan tiga propinsi telah mereka rebut dan banyak para panglima atau perwira yang mereka bantai!"

"Hm, baiklah. Terima kasih, Hok Gim. Kalau begitu pertemuan kita penting. Terima kasih, silahkan melanjutkan perjalanan dan memang sebaiknya kalian tak menghadapi pasukan penyerbu itu!" dan Kim-mou-eng yang menarik serta menyendal lengan isterinya tiba-tiba berkelebat dan menghilang dari situ. Untuk kesekian kalinya pendekar ini menunjukkan kesaktiannya dan terkejutlah orang-orang itu. Tapi ketika Hok Gim dan seorang temannya sadar tiba-tiba mereka berteriak,

"Taihiap, tolonglah kami. Tak ada seorangpun yang dapat menghadapi musuh kecuali ji-wi (anda) berdua!"

"Jangan khawatir," Pendekar Rambut Emas menjawab, jauh, entah dimana. "Aku di pihak kalian, Hok Gim. Dan kuminta kalian selamatkan wanita dan anak-anak itu tapi tolong jangan bunuh-bunuhi binatang-binatang di sini!"

Hok Gim dan kawan-kawannya girang. Mereka mengucap terima kasih dan teringatlah mereka akan cerita-cerita orang bahwa sebenarnya Pendekar Rambut Emas itu sudah berkali-kali menolong istana. Di jaman pemberontakan Gurba dan pasukannya yang juga berambisi untuk menguasai Tiongkok pendekar itupun berpihak pada istana.

Entah sudah berapa kali Kim-mou-eng atau Pendekar Rambut Emas itu menolong kaisar, dan tentu saja bersama keluarganya, pembantunya. Dan ketika orang-orang itu girang menyatakan terima kasih dan membentur-benturkan dahi sebagai tanda terima kasih yang besar maka Pendekar Rambut Emas telah terbang bersama isterinya kembali ke kereta, menemui anak-anak mereka.

"Togur terlalu sekali, melebihi ayahnya. Keparat, bocah itu harus dihajar dan dihukum, ditangkap!"

"Kau benar," Pendekar Rambut Emas berkerut-kerut. "Bocah itu tak kenal jera, isteriku. Dan sekarang dia malah dibantu See-ong. Celaka kalau mereka itu menuju kota raja!"

"Dan bagaimana sekarang pendapatmu? Kita melabrak pemuda itu dan pasukannya?"

"Tidak, kita ke kota raja. Kita menemui Han-taijin dan kaisar!"

"Kenapa mencari mereka? Togur akan sudah maju jauh, suamiku. Dan keadaan bisa menjadi berbahaya!"

"Kalau kita tak membantu memang benar, tapi kalau kita ada di sana tentu bagaimanapun kita dapat mengatasi. Melabrak dan mencari pemuda ini tanpa sepengetahuan kaisar atau Han-taijin mungkin dianggap lancang, isteriku, karena kita harus meminta pasukan pula untuk menghadapi pasukan itu."

"Kita tak perlu mencari pasukan, langsung saja mencari dan menangkap pemuda itu, juga See-ong!"

"Hm, kau kira mudah? Kalau mereka terdesak tentu mereka akan mengerahkan pasukannya, isteriku, seperti dulu ketika aku menghadapi pemuda itu. Togur akhirnya lari dan bersembunyi di balik ribuan orangnya, dan aku tak mungkin harus membunuh-bunuhi ribuan orang demikian banyak! Pasukan itu betapapun juga harus dihadapi dengan pasukan pula, dan ini dapat kita peroleh atas persetujuan kaisar atau Han-taijin!"

Pendekar Rambut Emas mengerutkan kening, teringat kejadian dulu ketika Togur berlindung di balik kelima gurunya dan ribuan orang, ketika terdesak. Dan ketika kelima gurunya juga lari dan berlindung di balik pasukan yang besar maka mereka lolos dan Kim-mou-eng tentu saja tak ingin membunuh-bunuhi orang demikian banyak hanya karena mereka menghalangi pengejarannya terhadap pemuda itu, sudah menceritakan kepada isterinya dan Swat Lian pun mengepalkan tinju.

Memang nyonya ini menjadi marah dan gemas kepada pemuda itu, putera Gurba yang agaknya kini mewarisi watak bapaknya, bahkan, agaknya lebih menggila! Dan ketika suaminya berkelebat dan sudah sampai di kereta, yang ditunggu Soat Eng dan adiknya maka Beng An bertanya apa yang terjadi.

"Kita berbelok ke kanan, ada kekacauan."

"Wah, kekacauan apa, yah? Perampok? Mari hadapi saja, atau biarkan aku maju!"

"Tidak, bukan itu. Melainkan peperangan, perang besar. Kita harus menyelamatkan kaisar dan para pembantunya di kota raja!" dan Kim-mou-eng yang bercerita singkat tentang apa yang diketahui lalu menyuruh semua anak isterinya naik. Tapi keempat kuda itu tiba-tiba meringkik keras ketika melihat Bi-houw dan anaknya muncul, karena tadi Beng An menyembunyikan dua harimau ini di belakang kereta.

"Aku ingin membawa ini. Bagaimana, yah?"

Kim-mou-eng tertegun, balik memandang isterinya. "Bagaimana pendapatmu?"

"Hm, keempat ekor kuda kita takut melihat harimau-harimau ini. Masa dibawa? Kukira dilepaskan saja di sini, nanti perjalanan terganggu!"

"Tidak, jangan ibu," Beng An tiba-tiba merengek. "Aku mencintai mereka, aku menyayang mereka. Susah payah aku menundukkan, menjinakkan, masa lalu dilepas lagi? Aku ingin agar Bi-houw dan Siauw-houw tetap dibawa, atau aku menunggang mereka dan berjalan di belakang!"

"Dan membuat geger orang-orang yang melihat! Eh, kau jangan menarik perhatian dengan ulahmu, An-ji. Jangan mengacau dan nakal. Aku tak suka kalau membuat ribut-ribut di jalan!"

"Kalau begitu mereka bersamaku di dalam kereta, sebagai penumpang. Ibu dan ayah di depan, sebagai kusir!"

"Apa? Dua binatang buas ini mau dijadikan penumpang? Kau..."

"Sudahlah," Kim-mou-eng tiba-tiba tertawa, melihat kenakalan tapi juga sekaligus rasa cinta puteranya itu pada dua harimau ini. "Kukira tak apa memenuhi permintaan An-ji ini, isteriku. Kita berdua di depan dan Beng An serta Eng-ji di dalam bersama harimau-harimau mereka. Anak kita benar, susah payah dia menjinakkan harimau-harimau itu dan tentu sekarang ingin bersenang-senang!"

"Huh, dan aku dikalahkan. Baiklah, kau boleh bersama harimau-harimaumu itu, Beng An. Tapi jaga jangan sampai lepas. Kalau mereka lepas dan membuat ribut di jalan maka kau harus tunduk pada ibumu dan tak usah membawa harimau itu!"

Beng An tertawa. Dia meloncat mencium ibunya dan mengucap terima kasih, girang karena Bi-houw dan anaknya akhirnya boleh di dalam, sebagai penumpang terhormat! Dan ketika Soat Eng juga tertawa dan lega bahwa ibunya mengijinkan maka dua harimau itu cepat dipanggil dan disuruh naik.

"Ayo, jangan menakut-nakuti kuda. Naik!"

Bi-houw dan anaknya melompat. Mereka jinak dan hapal sekali akan kata-kata atau perintah anak ini, duduk dan mendekam di dalam seraya menjilat-jilat tubuh mereka dengan sikap yang begitu santai. Tenang! Dan ketika Kim-mou-eng tertawa dan meloncat di depan, mengajak isterinya yang masih cemberut maka keretapun dihela dan tali kuda disentak. Kuda mula-mula meringkik dan masih ketakutan, mereka itu ngeri melihat Bi-houw. Ada harimau di dekat mereka.

Tapi ketika Bi-houw menghilang dan duduk di dalam kereta, tak diketahui keempat ekor kuda itu maka kuda-kuda ini menjadi tenang dan Kim-mou-eng pun dapat mengendalikan perjalanan, berangkat dan langsung menuju ke kota raja dengan cara memutar. Dia bergerak dari arah barat dengan arah melengkung ketika menuju ke selatan, lain dengan Togur dan pasukannya yang langsung menusuk dari utara menuju perbatasan, menyerbu kota-kota Cin-po atau Cin-yang dan akhirnya Tai-yuan, merebut propinsi Shan-si dan menguasainya.

Dan ketika Pendekar Rambut Emas bergerak dan menjalankan kereta, melaju dan cepat ke kota raja maka beberapa hari kemudian merekapun sampai. Dan tentu saja kedatangan pendekar ini disambut gembira, bahkan setengah bersorak! Kim-taijin dan Han-taijin yang mendengar kedatangan pendekar itu langsung saja bergerak dan menyambut di gerbang kota raja, bergegas dan melarikan kudanya dengan kencang, memapak. Dan ketika mereka bertemu dan dua pembesar itu turun dari keretanya maka mereka langsung menyongsong dan berseru girang.

"Kim-taihiap (pendekar besar Kim)...!"

"Kim-hujin (nyonya Kim)....!"

Kim-mou-eng tersenyum. Dua pembesar itu sudah menubruknya dan mereka pun tampak menangis. Jarang sekali dua penasihat kaisar ini datang berdua untuk menyambut tamu, kalau bukan dianggap agung atau istimewa. Dan ketika Kim-mou-eng mendorong dan melepas mereka, menjura, maka dua pembesar itu buru-buru membalas hormat karena mereka tadi lupa saking girang dan tergesa-gesanya.

"Ah, selamat datang... selamat datang...! Kau tentu kemari karena mendengar serbuan musuh yang besar-besaran. Terima kasih, taihiap... terima kasih. Kami tak dapat mengutus orang untuk meminta bantuanmu ke utara karena jalan ke sana tertutup!"

"Aku tahu, aku sudah mendengar. Hm, tak usah khawatir. Kami datang memang untuk membantumu, taijin, berunding dan memberikan saran bagaimana kami harus menolong."

"Heii...!" sebuah suara anak kecil tiba-tiba berteriak. "Apakah kami harus tetap disini, ayah? Dikurung dan tidak boleh keluar?"

"Siapa itu?" Kim-taijin terkejut. "Putera taihiap?"

"Hm," Kim-mou-eng melihat Beng An tiba-tiba keluar, berkelebat dan tak betah di dalam kereta. "Dia memang anakku, taijin. Beng An!"

Tapi ketika dari dalam kereta tiba-tiba meloncat dan menyusul seekor anak harimau mendadak Kim-taijin terpekik dan mundur menjauh, kaget dan semakin kaget lagi karena tiba-tiba Bi-houw pun, sang induk harimau, menyusul anaknya! Dua harimau itu menggeram melihat banyak orang disitu. Beng An dikiranya mau dikepung atau dikeroyok musuh. Tentu saja Kim-taijin dan Han-taijin menjerit, berikut semua pengawalnya.

Tapi ketika Beng An membentak dan menyuruh harimau-harimaunya diam, disusul oleh bayangan Soat Eng yang juga berkelebat dan membentak harimau-harimau itu maka Swat Lian, sang ibu, merah mukanya tapi suaminya justeru tertawa lebar.

"Beng An, kembali ke tempatmu. Jangan membuat panik!"

"Benar," sang ayah menyambung. "Kau tak boleh bersama harimau mu di sini, Beng An. Kembali dulu dan suruh harimaumu masuk."

"Tapi kami pegal-pegal, tiga hari terus-menerus di dalam kereta! Mana tahan yah? Siapa kuat? Aku ingin berjalan-jalan dulu bersama Siauw-houw mencari angin!"

"Jangan membantah, jangan nakal!" sang ibu tiba-tiba menghardik. "Kembali ke tempatmu atau buang harimau-harimau itu, Beng An. Turut perintah ibumu atau mereka kutendang!"

"Baiklah... baiklah...!"

Beng An meleletkan lidah, lucu. "Aku kembali ke dalam, ibu. Tapi berjanjilah bahwa nanti aku boleh melemaskan punggung dengan dua harimauku!"

Semua tertawa. Akhirnya mereka lega tapi juga geli melihat anak laki-laki kecil itu, juga kagum. Mereka geleng-geleng kepala dan mendecak karena Beng An membawa-bawa harimau. Sekecil itu sudah berkawan dengan binatang buas! Tapi karena anak itu adalah putera Pendekar Rambut Emas dan kesaktian atau kehebatan pendekar ini memang telah diketahui banyak orang maka merekapun akhirnya tidak heran lagi kepada Beng An, melihat anak itu sudah masuk ke dalam dan Soat Eng ditegur ibunya kenapa membiarkan adiknya keluar.

Gadis ini menjawab bahwa tadi Beng An tiba-tiba nyelonong begitu saja, tak meminta ijinnya, diikuti dan kemudian disusul Siauw-houw yang sebentar saja sudah akrab dengan anak ini. Siauw-houw si harimau cilik juga cocok sekali tampaknya sebagai teman sepermainan Beng An, yang juga masih bocah. Dan ketika Soat Eng diminta menjaga adiknya agar tidak membuat onar maka dua pembesar itu menggeleng kepala berulang-ulang.

"Bukan main... bukan main. Anak naga memang lahir dari seekor naga pula. Ah, anakmu itu mengagumkan sekali, taihiap. Dan itu tadi puterimu Kim-siocia? Wah, sudah dewasa dia, dan cantik!"

"Tapi Kim-kongcu tak kelihatan. Apakah tak bersama taihiap?"

"Hm, kami sebetulnya mencari anak kami itu, Thai Liong. Tapi mendengar berita peperangan itu dan lalu kemari. Apakah taijin tak melihat dia kesini?"

"Tidak. Ah, maaf, taihiap. Mari kita ke istana dan disana kita bercakap-cakap!" Kim-taijin tiba-tiba melihat kerut di muka Pendekar Rambut Emas ini, melihat bahwa pendekar itu murung dan rupanya sedang mencari puteranya, Thai Liong, yang memang tidak mereka dengar kalau datang ke kota raja.

Dan ketika semua naik ke keretanya kembali dan menuju istana maka iring-iringan itu bertambah panjang dan rakyat di sekitar tiba-tiba ribut dan menyambut dengan gembira kedatangan Pendekar Rambut Emas itu, yang cepat tersiar dari mulut ke mulut. Dan ketika mereka tiba di istana ternyata kaisar sudah menunggu di halaman dan menyambut di anak tangga terbawah!

Kim-mou-eng terkejut. Ini satu penghormatan luar biasa baginya suami isteri, cepat keluar dan Kim-taijin maupun yang lain-lain sudah berlutut. Namun ketika dia mau berlutut dan merendahkan diri tiba-tiba kaisar tersenyum dan menyentuh pundaknya.

"Kaupun pemimpin suku bangsa, biarlah berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Selamat datang, Kim-taihiap. Selamat bertemu kembali. Dan selamat untuk Kim-hujin pula!"

Swat Lian bangga dan kemerahan mukanya. Dia adalah wanita Han, seharusnya berlutut di depan kaisar pula, sebagaimana layaknya adat-istiadat. Namun karena dia juga adalah isteri Pendekar Rambut Emas dan suaminya itu adalah pemimpin suku bangsa di utara maka dia adalah juga ratu suku bangsa suaminya, tak perlu terlalu merendah dan tadi sikapnya hanyalah untuk tata-tertib saja. Tak tahunya kaisar menolak dan menyuruh dia bersikap seperti suaminya saja, berdiri dan melipat tubuh dalam-dalam untuk menghormat kaisar. Dan ketika kaisar berseri dan diam-diam kagum bahwa nyonya ini masih cantik dan gagah, mata bersinar-sinar bak seekor harimau betina yang siap menubruk siapa saja yang berani mengganggu maka hari itu Kim-mou-eng sendiri disambut hangat di istana.

Suami isteri ini lalu dibawa ke dalam dan anak-anak tangga bertingkat yang cukup tinggi harus mereka lalui. Semua orang berlutut ketika kaisar masih kelihatan. Tapi begitu kaisar lenyap dan menghilang ke dalam, diikuti Kim-taijin dan Han-taijin yang cepat menyertai junjugannya maka Beng An yang disuruh encinya berlutut di dalam kereta, njengking, mengomel karena tak boleh melihat wajah kaisar.

"Ssst, jangan ribut. Ini peraturan. Atau ayah dan ibu akan mendampratmu yang dianggap tak tahu sopan! Hayo, jangan membuat malu. Kau adalah putera Pendekar Rambut Emas yang harus mengerti adat!"

"Wah, dan kau sendiri?" Beng An memandang. "Kenapa tidak berlutut dan menjalankan adat, enci? Kau tak adil, menyuruh aku njengking tapi kau sendiri tidak njengking!"

"Hush!" Soat Eng hampir tertawa. "Aku melatihmu untuk menghormat kaisar, Beng An, juga menjaga kalau-kalau dua harimau ini meloncat keluar. Sudahlah, berlutut dan nanti kalau selesai kuberi tahu!"

Dan kini penghormatan itupun selesai. Kaisar telah masuk ke dalam dan Beng An bertanya bagaimana mereka selanjutnya. Ikut ayah atau ibu mereka tak mungkin, mereka sedang disambut kaisar. Namun encinya yang tersenyum dan tiba-tiba meloncat keluar kereta segera berkata pada pengawal Han-taijin tadi agar kereta diistirahatkan di tempat yang semestinya.

"Kau di dalam situ dulu, aku membantu Tek-ciangkun ini memparkir kereta."

Beng An mengomel. Encinya mengancam agar dia tak membantah, apa boleh buat terpaksa menurut namun diam-diam dia menguak tirai kereta. Kebesaran dan kemegahan sebuah istana belum pernah dilihat, kinilah saatnya dan Beng An melongok. Dan ketika dia melihat betapa istana terdiri dari banyak bangunan yang besar dan luas, dengan gedung-gedung dan taman-taman indah maka anak ini mendecak kagum. Dia hanya mengikuti saja pandangan sepintas itu sementara kereta dibawa ke samping istana, diparkir, mendengar encinya bercakap-cakap dan kiranya encinya diminta Kim-taijin untuk beristirahat di sebuah gedung di timur istana.

Disitulah Kim-mou-eng dan keluarganya mendapat tempat, tadi Tek-ciangkun yang mengawal Kim-taijin ini telah mendapat perintah agar Kim-mou-eng diberi tempat tak jauh dari pusat istana, berdekatan dengan kaisar karena memang pendekar itu diminta secara diam-diam untuk melindungi kaisar kalau ada apa-apa. Dan ketika kereta berhenti dan Beng An meloncat keluar, dipanggil encinya maka Bi-houw dan Siauw-houw pun meloncat dari pintu kereta. Dan Tek-ciangkun bersiap dengan waspada.

"Jangan takut, tak akan menggigit. Biarkan kami sendiri, ciangkun. Dan terima kasih atas semua bantuanmu."

"Maaf, tugasku selesai, siocia. Namun kalau siocia ada sesuatu keperluan dapat memanggilku di pos penjagaan itu. Selamat beristirahat!" perwira ini, seorang laki-laki yang sudah berusia empat puluh tujuh tahun memberi hormat di depan gadis itu. Dia kagum dan tentu saja tak berani main-main atau macam-macam dengan gadis ini, yang jelas lihai dan sinar matanya penuh tenaga sakti. Dan ketika dia meninggalkan enci adik itu sementara dua harimau mengibas-ngibaskan ekornya dan mengaum perlahan maka Beng An bertanya pada encinya apa yang harus mereka lakukan disitu.

"Menunggu ayah, kita dipesan agar tidak membuat ribut atau gaduh disini."

"Kapan enci menerima pesannya?"

"Tadi."

"Tapi aku tak melihat ayah menghampirimu!"

"Hm, ayah mengirim pesannya lewat ilmu Coan-im-jip-bit, Beng An, tentu saja kau tak tahu!"

"Wah, benar. Coba kau tunjukkan padaku ilmu mengirim suara itu, enci. Biar aku lihat!"

"Hm, kau mau main-main? Baik, dengarlah!" dan Soat Eng yang berkelebat lenyap di balik sebuah pohon tiba-tiba mengirim ilmunya bersuara dari jauh itu, berkata pada adiknya agar adiknya menjaga harimau dan anaknya itu, didengar dan Beng An tertawa-tawa karena suara encinya menyusup jelas, tidak terdengar oleh orang lain karena getaran atau bunyi suara itu lain, seperti sayup terbawa angin lalu dan Beng An berseri. Dan ketika anak itu berkata tapi ingin membuktikan apakah benar orang lain tidak mendengar suara encinya tiba-tiba dia memanggil Tek-ciangkun itu.

"Heii...!" Tek-ciangkun terkejut. "Kesini sebentar, ciangkun. Aku ada perlu!"

"Eh," encinya bertanya. "Kau mau apa Beng An? Kenapa memanggil Tek-ciangkun?"

"Ha-ha, aku ingin tahu apakah Coan-im-jip-bitmu benar-benar tak didengar orang lain, enci. Agar perasaan puasku tak tanggung-tanggung lagi!"

"Kau gila!" namun Tek-ciangkun yang sudah dekat dan berlari menghampiri anak itu lalu bertanya pada Beng An apa yang dia maui.

"Ha-ha, kau dengarlah. Apa kata-kata enciku!"

"Dimana encimu? Dimana Kim-siocia?"

Tek-ciangkun celingukan. Dia jadi heran dan tak mengerti kenapa Beng An tiba-tiba terpingkal dan tertawa-tawa begitu geli. Perwira ini tak tahu bahwa saat itu Soat Eng memaki-maki adiknya, keras tapi tak terdengar perwira itu dan Beng An berseru agar encinya berteriak lebih keras lagi, lebih kuat, sudah dilakukan tapi tetap saja perwira itu tak mendengar apa-apa. Dan ketika Beng An terbahak dan puas membuktikan ini, bahwa orang yang ada di dekatnya benar-benar tak tahu atau mendengar semua kata-kata encinya maka anak ini akhirnya menepuk pundak perwira itu.

"Terima kasih, aku sekarang puas. Ha-ha, terima kasih, ciangkun. Sekarang kau kembalilah!"

Perwira ini merah mukanya. Tentu saja sikap dan kata-kata Beng An membuatnya tersinggung, dia merasa dipermainkan. Tapi ketika sebuah suara terdengar dan itulah suara Soat Eng yang minta maaf atas kelakukan adiknya, berkata bahwa adiknya ingin menguji Coan-im-jip-bit yang dipunyai maka baru perwira ini mengangguk-angguk mengerti, tertawa.

"Kau lihat adikku yang kurang ajar itu. kusuruh kau menempelengnya pun tak dia dengar!"

"Ha-ha," perwira ini tertawa. "Begitukah, Kim-siocia. Coba kau suruh aku dan coba kutanya dia!"

"Cobalah, dekati dan tanya apa dia yang telah kukatakan padamu. Pasti dia tak tahu!"

"Benarkah, Kim-siocia?" perwira ini tiba-tiba menghadapi Beng An, tertawa. "Kau tahu apa yang disuruh encimu kepadaku?"

"Apa?" Beng An menghentikan tawanya. "Enciku menyuruhmu?"

"Ya, coba kau dengar!" namun Beng An yang tentu saja tidak mendengar dan tidak tahu apa yang dikata encinya lalu terbelalak dan heran memandang perwira ini, ganti membuat Tek-ciangkun terbahak-bahak karena kini Soat Eng memaki-maki adiknya itu di telinga sang perwira. Soat Eng hendak membuktikan bahwa giliran Beng An yang tidak mendengar kata-katanya, sekeras apapun dia berteriak, karena Coan-im-jip-bit hanya ditujukan kepada perwira itu. Dan ketika sang perwira terpingkal karena Beng An bengong, tak tahu semua caci maki encinya maka Soat Eng menutup.

"Nah, kau lihat, ciangkun. Adikku sendiri tidak tahu kalau kumaki-maki, begitu pula kau tadi. Sekarang kembalilah dan maafkan kenakalan adikku yang suka menggoda orang!"

"Ah-ah, tak apa!" sang perwira tersenyum lebar, mengangguk-angguk. "Sekarang aku mengerti, siocia. Terima kasih. Kalian benar-benar hebat!" lalu kembali dan meninggalkan Beng An perwira ini tak tersinggung lagi karena tahu apa yang diingini Beng An, mengajak main-main orang tua dan saat itu berkelebatanlah Soat Eng memperlihatkan dirinya lagi.

Beng An mendelong dan bertanya pada encinya apa yang dikatakan pada Tek-ciangkun, dijawab bahwa dia tak boleh lancang dan harus minta maaf, menggoda orang tua. Tapi ketika disana Tek-ciangkun berseru tak usahlah mereka sungkan maka Beng An mendusin bahwa kiranya encinya ini balik berganti memberikan Coan-im-jip-bit pada Tek-ciangkun.

"Pantas, kau bilang apa saja padanya, enci? Kenapa dia tertawa-tawa?"

"Aku menyuruhnya menjitakmu, tapi Tek-ciangkun tak mau. Hayo, jangan main-main lagi, Beng An. Tidak kau lihat tadi bahwa perwira itu tersinggung!"

"Tersinggung? Apa yang kulakukan?"

"Bodoh! Kau kira dia tidak tersinggung kau suruh datang lalu kau suruh kembali lagi? Dan kau tertawa-tawa padanya, tanpa sebab. Tentu saja dia marah dan tersinggung karena merasa kau permainkan!"

"Ooh, aku tak tahu....!"

"Dan aku ganti menerangkan padanya bahwa kau tak bermaksud mempermainkannya. Bahwa kau mendengarkan Coan-im-jip-bitku dan baru perwira itu sadar. Kalau tidak, tentu dia tak senang padamu, Beng An, marah dan mungkin melapor pada Kim-taijin bahwa kita kurang ajar!"

"Ah-ah, maaf, enci. Aku memang tak tahu!"

"Sudahlah, kita masuk dan beristirahat, menunggu ayah!"

Beng An tak berani membantah lagi. Setelah encinya menegur dan berkata seperti itu maka dia tak enak juga kepada Tek-ciangkun. Untunglah perwira itu tak marah dan encinya sudah memberi penjelasan. Dan ketika mereka masuk ke gedung yang disediakan dan di sini beberapa pelayan sudah menyambut mereka maka Beng An menyeringai melihat minuman dan makanan kecil dihidangkan, sudah terletak di atas meja dan buah-buahan segar seperti apel atau jeruk juga ada di situ, warnanya memikat dan baunya pun harum.

Para pelayan sudah membungkuk di depan mereka dan mempersilahkan mereka menikmati itu, siap melayani mereka kalau mereka ada permintaan yang lain. Tapi ketika Soat Eng menyuruh mereka pergi dan berkata terima kasih, tak mau diganggu, maka adiknya sudah tertawa dan menyambar buah-buahan di atas meja.

"Hei, kami ada perlu. Tunggu dulu!"

Para pelayan membalik, sementara Soat Eng mengerutkan kening. "Kongcu ada perintah apa?"

"Ada yang kurang!" bocah ini langsung saja bicara, persis seperti pelayannya sendiri di rumah. "Aku minta daging segar lima kilo!"

"Beng An!" encinya membentak. "Ada apa macam-macam lagi? Kau mau menggoda pelayan?"

"Tidak... tidak!" anak ini cepat menggoyang lengan, menuding Bi-houw dan anaknya yang mendekam di sudut. "Aku minta untuk mereka itu, enci. Jangan marah. Bi-houw dan Siauw-houw juga perlu makan!"

Soat Eng sadar. Segera dia mengangguk dan para pelayan yang tadi heran dan terkejut segera tersenyum karena mereka juga tak memperhatikan dua binatang buas itu. Beng An menjauhkan mereka agar para pelayan tidak ketakutan, agak di sudut dan memang pelayan tidak tahu. Tapi begitu mereka mengangguk dan bergegas pergi ke belakang maka tak lama kemudian dua harimau itu juga sudah mendapat makanan mereka, menjilat dan makan dengan lahap sementara Beng An sendiri menyambar dan memakan buah-buahan itu.

Soat Eng harus membisiki adiknya agar makan secara baik-baik, jangan digeragoti begitu seperti bocah kelaparan. Tapi ketika anak itu menjawab bahwa disitu tak ada orang lain, karena pelayan sudah pergi diusir encinya maka anak ini tak perduli.

"Di tempat kita buah-buahan begini jarang, kalau sekarang disini ada banyak kenapa tidak disikat? Hayo, kaupun sebuah, enci. Lihat apel ini begitu segar dan manis!"

"Hush!" encinya menerima juga lemparan buah itu. "Jangan keras-keras bicara, Beng An. Dan jangan berkesan rakus!"

Namun anak ini tak menghiraukan. Dia tetap tertawa dan menyambar makanannya lagi, lahap dan akhirnya duduk kekenyangan setelah menghabiskan tiga buah apel dan jeruk besar. Anak itu mengusap mulutnya dan Soat Eng pun duduk, membersihkan mulutnya pula, tertawa. Dan ketika Beng An bertanya berapa lama mereka menunggu maka encinya menjawab.

"Aku tak tahu, tapi biarlah. Bukankah ayah dan ibu ada disini? Kalau keperluan mereka sudah selesai tentu datang juga. Untuk apa kau bertanya ini?"

"Hm," anak itu menyeringai. "Aku ingin jalan-jalan, enci. Mengagumi dan menikmati istana ini!"

"Keluyuran?"

"Bersama kau!" Beng An tertawa. "Aku tak berani sendirian kalau kau di sini, enci. Tentu kau menjewer telingaku kalau nakal. Ayolah, daripada menunggu kita jalan-jalan saja. Bukankah kau juga belum pernah kesini?"

"Hm, ayah membawaku dua kali, ketika aku masih kecil. Bukan belum pernah sama sekali!"

"Ah-ah, itu dulu!" anak ini tertawa. "Dulu dan sekarang jelas berbeda, enci. Sekarang tentu sudah semakin cantik dan memikat lagi. Ayolah, daripada duduk-duduk disini lebih baik kita melemaskan kaki dan jalan-jalan!"

"Bersama Bi-houw?"

"Tentu saja. Masa kita meninggalkannya disini? Ayolah, kita jalan-jalan, enci. Kau antar aku!"

Soat Eng mengangguk. Memang sebaiknya dia menuruti permintaan adiknya ini. Kalau Beng An sudah merengek maka itu tanda anak ini tak akan sudah kalau belum dituruti. Salah-salah anak itu bisa keluyuran sendirian kalau dia melepaskan penjagaannya. Maka bangkit dan tersenyum berkelebat keluar akhirnya Soat Eng setuju dan Beng An tentu saja girang bukan main.

"Ha-ha, terima kasih, enci. Mari Bi-houw, enci memang baik sekali!" dan anak itu yang sudah menyambar dan mengajak dua harimaunya lalu keluar dan Tek-ciangkun disana tertegun melihat enci adik itu berjalan dengan dua 'kucing hutannya'.

"Ji-wi (kalian berdua) ada perlu?"

"Tidak," Soat Eng tertawa. "Kami hendak berjalan-jalan saja, ciangkun, menikmati istana. Adikku mengaguminya."

"Ah, perlu kuantar?"

"Tidak, tak usah. Biarlah kami sendiri!" dan Beng An yang juga tertawa menggoyang lengan lalu mulai berlompatan dan berjalan kesana-sini menunjuk ini-itu, menuding gedung-gedung besar atau apa saja yang menarik hatinya sementara Soat Eng mengagumi bunga warna-warni di taman-taman yang indah. Mereka mulai terlibat dalam keasyikannya sendiri dan Soat Eng mulai lupa mengawasi adiknya. Dan ketika saat itu tiba dan tanpa terasa mereka agak berjauhan tiba-tiba Beng An yang tidak sabar berjalan dengan kakinya mendadak memanggil Bi-houw dan menunggang harimau itu menyuruhnya berkeliling istana.

"Tempat ini luas dan indah sekali. Hayo, antar aku dan kita berkeliling!"

Beng An sudah menunggang harimaunya. Melenggang dan tampak garang anak ini gagah sekali di punggung harimaunya itu. Siauw-houw berjalan di belakang induknya dan mulailah Beng An tertawa-tawa gembira. Mengelilingi istana sambil menunggang harimau sungguh nikmat, asyik. Dan ketika Beng An berkeliling dan satu per satu menyaksikan tempat tinggal para pangeran atau pejabat-pejabat tinggi lainnya maka tiba-tiba anak ini memasuki wilayah kaputren.

Wilayah ini, yang kebetulan agak jauh dengan pusat istana dimana sehari-hari kaisar berada terletak hampir di sudut istana, sebelah barat. Jauh dan berlawanan sekali dengan kaputren, tempat atau rumah tinggal para pangeran. Dan karena tempat ini agak jauh dan pengawal yang berjaga di situ tak mendengar kedatangan Kim-mou-eng, bersama anak isterinya maka hadirnya Beng An bersama dua harimaunya itu mengejutkan mereka.

"Hei, siapa kau!"

Beng An mendengar bentakan ketika tiba-tiba empat orang penjaga muncul. Mereka itu adalah orang-orang yang bertugas melindungi tempat tinggal para puteri ini. Melihat Beng An disana dan sudah memasuki pagar kaputren, tak melihat tanda dilarang masuk maka mereka terkejut dan tentu saja keluar dan membentak anak kecil itu, terkejut karena anak ini menunggang harimau, berkeliaran dan tampaknya begitu bebas. Hal yang tidak biasa terlihat di istana!

Maka ketika Beng An berhenti dan dibentak empat penjaga itu, yang tidak mendengar kedatangan ayahnya maka anak laki-laki ini berhenti dan tersenyum menepuk-nepuk hewan tunggangannya yang mengaum dan tiba-tiba menyeringai, naluri kebinatangannya memberi tahu bahwa mereka menghadapi musuh.

"Siapa kau dan mau apa?" penjaga di depan membentak lagi, karena Beng An tak menjawab. "Kau siapa dan mau apa berkeliaran di sini, bocah? Tidak tahukah bahwa ini terlarang bagi orang luar? Hayo kembali, atau kuhajar kau nanti bersama harimaumu ini!"

Beng An semula tak berniat mencari keributan. Dia sudah siap memberi tahu penjaga bahwa dia adalah putera ayahnya, Kim-mou-eng. Dia tahu dan sudah mendengar bahwa nama ayahnya itu hampir dikenal setiap orang. Dari mulut ke mulut nama ayahnya pernah menjadi buah bibir dan tentu saja Beng An tak mau membuat onar, kalau orang tak bicara macam-macam. Tapi begitu mendengar kata-kata kasar dan dia katanya mau dihajar, bersama harimaunya mendadak anak ini bangkit kemarahannya dan sikap yang tadi kekanak-kanakan itu tiba-tiba saja berubah karena Beng An melotot dan kilatan matanya pun mendadak bercahaya.

"Apa? Kau mau menghajar aku? Kau berani bicara seperti itu? Eh, jaga mulutmu, penjaga lancang. Minta maaf atau kalianlah yang kuhajar!"

Empat penjaga terkejut. Mereka melengak dan ganti melotot karena Beng An mau menghajar mereka. Bocah ini besar mulut dan mereka tentu saja marah, menganggap anak itu lancang dan kurang ajar, bukan mereka! Maka ketika penjaga terdepan memberi tanda dan tiga temannya berloncatan maju maka Beng An sudah dikepung dan penjaga yang rupanya merupakan pemimpin ini mendengus.

"Anak setan, kau rupanya tak diajari ayah ibumu bersikap sopan. Dan kau rupanya berani karena merasa dilindungi dan dibela kucing-kucing hutan ini. Kau kira kami takut dan tak berani membunuhmu? Turun, dan lihat kami akan melempar mayatmu pada ayah ibumu!"

"Wut!" Beng An tiba-tiba tak dapat menahan marah lagi. "Kau semakin kurang ajar dan membawa-bawa nama orang tuaku, penjaga busuk. Coba kau hajar aku dan bagaimana kau membunuhku!"

Penjaga terdepan kaget. Beng An meloncat dan tahu-tahu sudah berkelebat di depan mukanya, meloncat dari punggung harimaunya dan Bi-houw pun menggeram. Binatang itu tahu bahwa tuannya menghadapi musuh, tiba-tiba meloncat dan menubruk pula tiga penjaga yang lain. Dan ketika Beng An menyerang dan sudah menyerang penjaga pertama, ditampar dengan pukulan Tiat-lui-kang maka tiga penjaga yang lain yang ditubruk serta diserang Bi-houw juga berteriak dan marah membentak kaget, menggerakkan senjata mereka.

"Plak-bret-dess!"

Empat penjaga itu mengeluarkan teriakan keras. Penjaga pertama sudah terpelanting dan terlempar ketika ditampar Beng An, tak kuat menerima Tiat-lui-kang dan dia terguling-guling. Dan ketika tiga temannya menangkis dan menusuk Bi-houw, yang menyerang dan menerkam mereka ternyata tombak mereka luput dan kuku harimau itu telah merobek kulit mereka, dicakar dan Bi-houw selanjutnya sudah menubruk dan menyerang lagi.

Harimau ini membuka mulutnya dan penjaga terdekat menjerit karena kepalanya siap dicaplok. Bi-houw timbul sifat-sifat buasnya karena Beng An tak mengawasinya lagi. Tapi ketika Beng An membentak dan menyambar harimaunya itu, mencengkeram dan melihat bahaya pada penjaga yang diserang maka penjaga itu bergulingan dan selamat melempar tubuh menjauh, meloncat bangun.

"Kau jangan membantu. Duduk diam dan mendekam disana!"

Bi-houw terkejut. Bentakan dan cengkeraman Beng An menyadarkan dia lagi bahwa dia tak boleh sembarangan, anak laki-laki ini akan marah padanya kalau dia tak tunduk. Maka ketika harimau itu menggereng dan menjauh disana, duduk dan mendekam seperti yang diperintahkan Beng An maka Siauw-houw, harimau kecil yang tadi juga mau bergerak dan menyerang pengawal-pengawal itu tiba-tiba mengeluarkan suara lirih di samping induknya dan duduk di sebelah.

"Nah," Beng An menghadapi lagi lawan-lawannya. "Kalian boleh maju dan main-main lagi denganku, pengawal. Atau kalian minta maaf dan berlutut di depan kakiku mencabut hinaan tadi!"

Empat penjaga itu pucat. Mereka telah melihat dan merasakan kepandaian Beng An, terutama laki-laki pertama. Tapi karena tadi anak itu dibantu harimaunya dan ini membuat mereka marah maka sekarang komandan jaga itu bergerak lagi dan golok yang tak sempat dicabut sekarang sudah dikelebatkan di depan mukanya.

"Bocah busuk, kami tak takuti kau ataupun harimaumu. Kalau kau menyuruh kami berlutut dan minta maaf adalah kami yang mengharap itu darimu. Mampuslah, dan kau lihat siapa yang akan roboh!" dan laki-laki ini yang sudah berteriak pada tiga temannya untuk maju membantu, menerjang dan mengeroyok Beng An akhirnya sudah menggerakkan goloknya dan tiga penjaga yang lain juga sudah menerjang dan menganggap bahwa anak ini memang patut dihajar, kalau perlu dibunuh.

Namun ketika empat senjata berkelebatan menyerang Beng An dan anak laki-laki itu berseru keras tiba-tiba Beng An telah lenyap karena dengan cepat dia sudah menghindar sekaligus mengeluarkan ilmu meringankan tubuhnya.

"Plak-plak-plak!"

Empat penjaga itu berteriak kaget. Mereka lagi-lagi menjerit karena tahu-tahu muka mereka sudah digaplok anak laki-laki itu, senjata sendiri luput menyambar angin dan sebat serta luar biasa anak itu telah balik menyerang mereka. Dan ketika semua tentu saja terkejut dan Beng An tertawa-tawa, mengejek mereka maka empat penjaga yang tadi terhuyung itu sudah membentak dan marah menyerang lagi, tidak terpelanting karena Beng An memang ingin menghajar dulu, baru nanti merobohkan kalau sudah dirasa puas.

Dan ketika empat senjata kembali berkelebatan menyerang dirinya dan golok menusuk atau membacok tak kenal ampun maka anak ini sudah mempercepat gerakannya dan semakin cepat empat penjaga itu menyerang maka semakin cepat pula anak laki-laki ini berkelebatan, menghindar dan kaki tangannya pun tak mau tinggal diam. Beng An menampar atau menendang hingga lawan semakin marah saja, akhirnya menjadi kalap namun tamparan atau pukulan Beng An mulai kuat. Anak itu marah juga karena lawan tak tahu diri, beringas dan tak mau berhenti ketika disuruh berhenti.

Dan ketika Beng An mengeluarkan teriakan panjang dan anak ini semakin mempercepat gerakannya akhirnya Beng An lenyap dan empat penjaga itu pusing karena Beng An sudah merupakan bayang-bayang yang tak dapat diikuti mata lagi, tiga empat kali berbenturan dengan teman sendiri dan akhirnya mereka satu per satu roboh ketika Beng An menampar muka mereka, mengaduh dan masing-masing mendekap mulut yang pecah berdarah.

Senjata di tangan mereka pun sudah terlepas dari tangan, entah kemana. Dan ketika anak itu menghentikan gerakannya dan berdiri bertolak pinggang, mengejek dan tertawa maka empat penjaga itu terkejut karena sekarang mereka sadar benar-benar bahwa anak yang mereka hadapi ini bukan bocah sembarangan.

"Nah," Beng An bertanya. "Kalian masih juga tidak mau minta maaf dan berlutut secara baik-baik? Kalian ingin agar aku mematahkan kaki kalian hingga dapat berlutut di depanku?"

"Ampun..." penjaga itu serentak bicara. "Kami tahu diri, siauw-hiap (pendekar cilik). Kami minta maaf. Tapi beritahukanlah siapa dirimu dan bagaimana kau ada disini!"

Tapi sebelum Beng An bicara tiba-tiba berkelebat bayangan Tek-ciangkun, juga Soat Eng. Gadis ini terkejut ketika adiknya tak kelihatan disitu, mencari namun istana yang teramat luas tak segera membuat gadis ini menemukan Beng An. Maka ketika dia teringat Tek-ciangkun dan minta agar perwira itu membantunya mencari Beng An maka disitulah mereka melihat Beng An dimana anak ini baru saja menghajar empat lawannya!

"Heii...!" Soat Eng terkejut. "Apa yang kau lakukan, Beng An? Kau memukul penjaga?"

"Dan kalian mengganggu putera Kim-taihiap!" Tek-ciangkun membentak empat penjaga itu, memotong suara Soat Eng. "Apa yang kalian lakukan, penjaga? Kalian tak tahu bahwa ini adalah putera Kim-mou-eng si Pendekar Rambut Emas? Kalian tak menghormati tamu? Hayo berlutut, minta maaf!" dan ketika empat penjaga itu terkejut dan terperangah maka Tek-ciangkun sudah menendangi mereka dan empat orang itupun mencelat tak keruan, kaget dan terkejut bukan main.

"Ampun.... ampun...!" mereka terguling-guling meloncat bangun, mengenal dan tentu saja takut melihat Tek-ciangkun. "Kami tak tahu, ciangkun. Kami salah!" dan cepat berlutut dan gemetar di depan Beng An empat orang itu buru-buru membenturkan jidat.

"Siauw-hiap, ampun.... maaf! Kami tak tahu bahwa kau adalah tamu..."

"Dan kami lebih tak tahu lagi bahwa kau adalah putera Pendekar Rambut Emas!" yang satunya menggigil ketakutan. "Kalau saja kami tahu tentu kami tak akan mengganggumu, siauw-hiap. Tapi ketahuilah bahwa kaputren inipun bukan tempat yang boleh dimasuki sembarang orang!"

"Hm!" Tek-ciangkun segera maklum. "Kim-kongcu hendak memasuki kaputren?"

"Benar," penjaga yang kebetulan merasa mendapat pembelaan buru-buru mengiyakan, membela diri. "Kami mencegah tapi Kim-siauwhiap memaksa, ciangkun. Dan karena kami harus melaksanakan tugas maka kami jadi bentrok!"

"Bukan itu yang membuat kita berkelahi!" Beng An tiba-tiba marah. Kalian menghina ayah ibuku, penjaga. Kalau tidak lancang dan bicara seperti itu tentu aku akan baik-baik kepada kalian!"

"Ah, ampun. Kami memang salah!" dan kepala jaga yang sadar dan insyaf akan itu segera membentur-benturkan lagi jidatnya karena mata Tek-ciangkun pun berkilat.

Perwira ini tadinya sudah hendak meringankan kesalahan anak buahnya sendiri tapi jadi bangkit lagi kemarahannya setelah mendengar itu. Beng An lalu menceritakan asal mulanya dan merahlah muka perwira itu. Dan ketika Tek-ciangkun menghardik dan menggerakkan kakinya maka empat orang itu kembali terlempar dan mereka mengaduh-aduh karena kaki mereka patah ditendang perwira itu, disuruh pergi dan penjaga baru segera dipanggil menggantikan penjaga-penjaga ini.

Perwira itu cepat menghadapi Soat Eng dan adiknya dan minta maaf atas kekurangajaran pembantunya, karena mereka juga bawahan perwira itu. Dan ketika Soat Eng jadi tidak enak dan menganggap adiknya juga bersalah karena keluyuran di tempat terlarang maka gadis ini berkata agar Tek-ciangkun memaafkan pula adiknya.

"Sudahlah, Kim-kongcu tak tahu. Sebaiknya ji-wi (kalian berdua) kuantar jalan-jalan atau kembali saja ke tempat ji-wi beristirahat!"

"Hm, kami akan kembali saja, ciangkun. Mungkin ayah ibu sudah menunggu disana. Baiklah, terima kasih!" dan Soat Eng yang berkelebat menyambar adiknya lalu kembali dan tentu saja mengomeli adiknya ini...

Istana Hantu Jilid 28

ISTANA HANTU
JILID 28
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

“HA-HA, maaf, enci. Aku hanya menggoda saja si betina ini. Lihat, kalau dia mau menggigit masakah aku tak dapat melindungi diri? Jangankan taringnya, pisau inipun tak dapat melukai aku... srat!" dan Beng An yang menarik serta menusukkan pisaunya ke lengan sendiri tiba-tiba membuat Soat Eng tertegun dan memuji adiknya itu, tidak terluka karena Beng An mengerahkan sinkangnya.

Sekecil itu anak laki-laki ini sudah dapat membuat tubuhnya kebal, tentu saja kalau taring harimau atau pisau setajam apapun tak mungkin melukainya, kecuali Beng An berhadapan dengan lawan tangguh yang memiliki sinkang lebih kuat. Dan ketika Soat Eng sadar dan tertawa menepuk pundak adiknya, girang dan senang karena Beng An demikian pandai maka mereka sudah membalut dan menolong harimau betina itu.

Mula-mula raja rimba ini memandang garang dan penuh ketakutan, dia curiga dan tentu saja tak percaya begitu saja. Beng An yang menaklukkannya sedemikian mudah belum membuat binatang ini memiliki rasa persahabatan. Tapi ketika panah dan paku tulang itu dicabut dan luka-luka harimau ini diobati dan Beng An tertawa menepuk-nepuk pundak harimau itu mendadak si harimau merasakan bahwa dia tak disakiti.

"Nah, sekarang beres. Kubebaskan totokanmu dan jangan menyerang!"

Aneh, harimau itu mengeluarkan suara perlahan. Dia terbebas dan tiba-tiba dapat meloncat bangun setelah luka-lukanya diobati. Meskipun pincang namun dia tak mendekam lumpuh lagi seperti tadi. Dan ketika Beng An tertawa dan membebaskan pula anak harimau yang menguik kecil maka anak harimau itu langsung melompat dan berlari ke induknya.

"Ha-ha, lucu sekali!" Beng An terbahak, geli. "Anak harimau ini jadi ingin kujadikan teman, enci. Maukah engkau memperkenankannya?"

"Kau mau memelihara kucing hutan ini?"

"Kalau kau tak melarang, enci. Tapi, eh... jangan lari!" Beng An terkejut, melihat harimau betina dan anaknya itu tiba-tiba lari. Mereka meloncat cepat dan sekejap saja harimau bersama anaknya itu melesat ke dalam hutan. Si betina mengaum perlahan dan anaknyapun juga mengeluarkan suara auman yang lucu dan aneh. Anak harimau itu sebesar kambing berumur tiga empat bulan, jadi masih kecil tapi ternyata sudah memiliki kegesitan seperti induknya. Dan ketika Soat Eng tertawa dan melihat adiknya berseru keras maka anak laki-laki itu sudah mengejar dan melompat berjungkir balik.

"Hei, jangan lari! Hei... heii...!"

Soat Eng geli. Adiknya mengerahkan ginkangnya dan cepat serta luar biasa sekali, untuk anak seukuran itu, tiba-tiba Beng An telah mendahului dan lewat di atas kepala si harimau betina. Dan ketika binatang itu tampak terkejut dan membalik tahu-tahu Beng An telah duduk dan jatuh di atas punggungnya, ketika sedikit memutar.

"Ha-ha, kau tak boleh pergi. Hayo, kembali...!"

Harimau terkejut. Dia meronta namun Beng An mengurut punggungnya sekali lagi, persis melumpuhkan seekor ular. Dan ketika harimau itu mengaum dan mendeprok di tanah, kehilangan tenaga maka anak harimau terbirit-birit tak berani berdekatan dengan anak laki-laki ini. Namun Beng An sekali lagi mengeluarkan seruan keras. Dia telah menotok si betina dan kini membentak ke arah anak harimau itu, berjungkir balik dan persis sekali jatuh di punggung lawannya. Dan ketika harimau itu menjerit dan memutar kepalanya, mau menggigit maka Beng An tertawa memberikan lengannya itu.

"Gigitlah... gigitlah sepuas-puasmu, ha-ha...krak-krak!" lengan Beng An sekeras besi, tak dapat dilukai dan anak harimau itu terkejut setengah mati. Dia tertindih dan roboh terguling, bersama Beng An. Dan ketika anak itu menotok dan mengurut punggungnya maka anak harimau inipun lumpuh mengaum perlahan, persis induknya. Dan saat itu Soat Eng berkelebat.

"Satu di antaranya harus dijinakkan dulu. Lepaskan yang betina itu dan kejar serta lumpuhkan setiap dia melawan!"

Beng An tertawa. Akhirnya anak ini menjadi gembira karena mendapat mainan baru. Dia melepaskan dan membebaskan totokan si betina, benar saja lari lintang-pukang namun Beng An mengejar lagi, duduk di atas punggungnya. Dan ketika harimau itu melawan dan masih ketakutan maka Beng An menotoknya roboh dan begitu terjadi berulang kali. Anak harimau sendiri dijaga Soat Eng yang menonton sambil tertawa-tawa. Gadis inipun merasa senang mendapat tontonan menarik. Adiknya menaklukkan harimau yang berkali-kali roboh ditunggangi.

Dan ketika delapan kali Beng An membebaskan serta melumpuhkan binatang itu setiap melawan dan lari maka akhirnya hewan ini terengah-engah dan roboh mendekam di muka Beng An, sudah menggigit namun kaki atau tangan anak laki-laki itu sekuat baja. Dia tak dapat melukai atau mencakar kulit pemuda cilik ini, yang tadi sengaja memberikan dan mendemonstrasikan kepandaiannya. Dan ketika harimau itu takluk dan menyerah di depan Beng An, mengaum perlahan maka Beng An tertawa nakal meloncat di atas punggungnya, menyambar dan menjeletarkan sebatang akar yang mirip cambuk.

"Hayo, sekarang ajak aku berkeliling di sekitar sini. Bangun!"

Harimau itu bangun. Mula-mula dia tak mengerti dan masih mendekam, tapi ketika Beng An melecut pantatnya dan kesakitan maka binatang ini berjengit dan bangun berdiri. Dan Beng An segera membentak-bentaknya untuk berjalan, mula-mula harimau itu meloncat namun anak ini menjambak rambut kepalanya. Harimau tertahan dan dengan cara itulah akhirnya anak ini melatih tunggangannya. Dan ketika harimau mulai mengerti dan berjalan atau berhenti sesuai perintah Beng An maka anak itu berhasil menguasai dan menjinakkan binatang buas ini.

"Ha-ha, lihat enci. Aku mempunyai tunggangan istimewa!"

Soat Eng tersenyum-senyum. Memang akhirnya dia melihat bahwa adiknya itu berhasil menguasai harimau betina, disuruh kemanapun menurut dan harimau itu benar-benar jinak. Inilah berkat kepandaian Beng An, adiknya itu sudah mampu menjinakkan dan menguasai binatang buas, mengagumkan! Dan ketika Soat Eng berkata bahwa anak harimau masih di situ dan belum dijinakkan, seperti induknya, maka Beng An tertawa dan melompat turun dari atas punggung si betina.

"Gampang, lebih mudah lagi. Lihat, akupun akan menjinakkannya, enci. Si betina akan kusuruh mengajari anaknya untuk tunduk kepadaku!"

Beng An sudah membebaskan si loreng cilik itu. Sama seperti induknya mula-mula harimau itu meloncat dan ketakutan, melarikan diri, menyusup dan berlindung di dekat induknya. Namun ketika Beng An meloncat dan mengejarnya, menotoknya, maka sedikit tetapi pasti Beng An berhasil menguasainya, menungganginya dan perlahan namun meyakinkan anak harimau itupun menyerah padanya.

Sang induk menggeram-geram perlahan kalau anak harimau itu mula-mula memberontak, mungkin memberi tahu dan berkata atau marah kepada anaknya agar anaknya itu baik-baik tunduk kepada Beng An, tak usah melawan dan takut karena Beng An adalah bocah yang baik, majikan mereka. Dan ketika sejam kemudian anak harimau itupun menurut dan dapat disuruh berputar-putar ditunggangi Beng An maka anak ini tertawa gembira.

"Enci, kita mempunyai sahabat dua ekor sekaligus. Hayo, kau naiki yang betina itu dan rasakan nikmatnya duduk di punggung harimau!"

Soat Eng tertawa. Melihat adiknya menundukkan dan menjinakkan harimau tiba-tiba ia pun gatal-gatal ingin mencicipi. Dan ketika gadis ini berkelebat dan tahu-tahu melayang serta hinggap di punggung si betina, yang tentu saja terkejut dan merasa bukan majikannya tiba-tiba Soat Eng telah mencengkeram dan menguasainya, sama seperti Beng An.

"Hayo, jangan memberontak. Atau kau kulumpuhkan!"

Harimau terkejut. Urat punggungnya dicengkeram dan dia merasa tergetar, kaget. Namun ketika di sana Beng An tertawa-tawa dan berseru padanya agar melayani encinya itu sama seperti melayani dirinya dan Soat Eng pun menyentak serta mengemudikan dirinya maka tiba-tiba harimau ini tunduk dan menyerah. Dan Soat Eng sudah terkekeh dibawa berputar-putar, maju mundur dan si loreng itupun akhirnya patuh. Rupanya harimau ini merasa juga bahwa gadis di atas punggungnya bukanlah gadis sembarangan.

Sama seperti anak kecil yang menundukkannya itu gadis di atas punggungnya ini juga sama lihai, bahkan, sebenarnya tentu saja lebih lihai! Dan ketika Beng An terbahak dan melupakan niatnya berburu maka dua jam mereka disitu bermain-main dengan anak harimau dan induknya ini. Soat Eng juga terkekeh-kekeh dan gadis itupun melupakan waktu. Tak terasa mereka seperempat hari lamanya, bercanda dan bergurau dengan binatang tunggangannya itu. Dan ketika dua bayangan berkelebat dan membentak mereka, Pendekar Rambut Emas dan isterinya muncul maka Beng An dan encinya terkejut, sadar.

"Eng-ji, An-ji, kalian tidak kenal waktu dan bergurau saja di sini? Tidak cepat kembali dan mengkhawatirkan orang tua?"

"Ah, maaf....!" Beng An mendahului turun. "Aku yang menahan enci disini, ayah. Aku berhasil menjinakkan dua harimau ini, induk dan anaknya. Lihat, mereka dapat kuperintah apa saja!" Beng An tertawa-tawa tak perduli, kaget tapi tenang kembali karena ayah ibunya akhirnya tak marah.

Memang Pendekar Rambut Emas dan isterinya tak marah setelah akhirnya melihat dua anak mereka tak apa-apa, mereka bermain dan bahkan lupa waktu. Dan ketika Beng An menunjukkan keahliannya menyuruh harimau itu melakukan ini-itu, berlenggang atau melompat-lompat setelah berjalan maka dua harimau yang mulai biasa dengan manusia itu tidak menolak kehadiran Kim-mou-eng suami isteri, apalagi setelah Beng An dan Soat Eng tadi mengelus-elus punggung mereka, menyuruh tenang, berkata bahwa itu bukanlah musuh melainkan teman-teman sendiri.

Dan ketika suami isteri itu akhirnya tersenyum melihat perbuatan Beng An, yang memerintahkan dan main-main dengan harimaunya maka di luar hutan sebelah sana tiba-tiba terdengar hiruk-pikuk dan kegaduhan luar biasa. Bermacam-macam binatang buas, juga yang tidak buas seperti kuda atau rusa berlarian panik. Mereka itu seolah-olah dikejar sesuatu dan semuanya tampak ketakutan. Aum dan pekikan gajahpun terdengar di situ, menggetarkan hutan. Dan ketika semua terkejut karena hutan seolah-olah roboh, digetarkan oleh suara-suara dahsyat itu maka dua harimau yang sudah dijinakkan inipun mendadak lari dan melompat ketakutan!

"Heii...!" Beng An bergerak sigap. "Jangan pergi, Siauw-houw (Harimau Kecil). Jangan takut. Ke sini!"

"Dan kau juga!" Soat Eng membentak, melihat harimau betina mengaum dan meloncat jauh. "Jangan pergi, Bi-houw (Betina). Ada aku disini dan jangan takut!" dan dua enci adik itu yang sudah mencengkeram dan menyambar harimaunya masing-masing lalu menepuk-nepuk binatang tunggangannya karena dua harimau itu ketakutan hebat. Suara-suara di luar hutan itu begitu gaduh dan memekakkan telinga seolah hutan diserang bahaya.

Kim-mou-eng dan isterinya terkejut dan mereka tiba-tiba berkelebat, melihat ratusan binatang besar kecil lari dan panik kesana kemari, berteriak-teriak, mengaum dan apa saja dan mereka tentu saja ingin tahu. Ada sesuatu diluar sana yang jelas menakutkan penghuni-penghuni hutan itu. Ada sesuatu yang membuat mereka gelisah dan kalut. Dan ketika Kim-mou-eng berseru pada putera-puterinya agar waspada dan kembali ke kereta, mereka akan melihat apa yang terjadi maka dua suami isteri itu telah berkelebat dan menghilang di depan.

Mereka menyongsong dan berkali-kali harus menampar atau menggerakkan kedua tangan untuk mementalkan binatang-binatang yang akan menabrak, panik dan gugup mau menumbuk mereka. Dan ketika diluar hutan terdengar sorak-sorai manusia, ratusan jumlahnya maka Kim-mou-eng sudah tertegun melihat apa kiranya yang terjadi.

Ternyata hampir lima ratus orang menggebah binatang-binatang itu. Mereka memasuki hutan dan berteriak-teriak gaduh, banyak yang melepas panah dan membunuh binatang-binatang itu. Pantas saja. Dan ketika Kim-mou-eng melihat banyak anak-anak dan kakek-kakek atau nenek-nenek yang ada di dalam rombongan ini, menangis atau menjerit menjadi satu maka dua suami isteri itu saling pandang, terkejut.

"Mereka seperti pengungsi, bukan tentara! Apa yang terjadi dan kenapa mereka memasuki hutan ini? Kenapa begitu banyak kereta dan gerobak dorong? Dan banyak anak-anak di sana, juga orang-orang tua. Ah, mereka seperti orang-orang yang menghindari perang, suamiku. Orang-orang itu juga ketakutan dan panik!"

"Ya, kau benar. Mari kita lihat!" dan Pendekar Rambut Emas yang bergerak mendahului isterinya dan melihat serta menduga seperti apa yang dipikir isterinya tiba-tiba telah berkelebat dan muncul di depan orang-orang itu, seperti iblis!

"Heii...!" pendekar ini mengangkat lengannya, tinggi-tinggi. "Tunggu, saudara-saudara. Tunggu! Berhenti dan jangan berteriak-teriak demikian gaduh!"

Ratusan orang itu, yang membawa gerobak dan segala buntalan besar-besar tiba-tiba tertegun. Mereka terkejut dan berhenti karena Pendekar Rambut Emas tiba-tiba muncul seperti siluman. Entah darimana dan bagaimana tahu-tahu sudah berdiri di depan mereka. Barangkali, muncul begitu saja dari bumi! Namun ketika yang paling depan hilang kagetnya dan sadar, tak takut karena hanya menghadapi seorang saja maka mereka bergerak dan tahu-tahu sudah mengepung dan menodongkan senjata ke pendekar ini, yang dinilai aneh dan ganjil karena rambutnya yang berwarna keemasan itu, jelas bukan orang Han.

"Kau!" seorang tinggi besar menghardik. "Siapa dan mau apa? Kau pemilik hutan ini? Perampok?"

Kim-mou-eng tersenyum kecil, sabar. "Sobat, jangan buru-buru menuduh begitu. Aku bukan perampok, dan bukan pemilik hutan ini. Aku orang biasa. Siapa kalian dan kenapa mengungsi besar-besaran? Tampaknya seperti dilanda perang saja!"

"Dia orang Tar-tar!" seorang lain tiba-tiba berseru, menuding dan memutus percakapan itu. "Jangan banyak bicara lagi kepadanya, Hok Gim. Bunuh dan serang laki-laki ini!" dan yang lain yang tampak terkejut dan mengakui itu, melihat bahwa Kim-mou-eng memang seorang Tar-tar dengan hidung yang mancung dan kulit sedikit gelap tiba-tiba mengangguk dan menerjang pendekar ini.

Hok Gim si tinggi besar juga terpengaruh dan melihat itu, tak banyak cakap dan menerjang Pendekar Rambut Emas. Tapi ketika pendekar ini berkelebat dan terkejut oleh seruan tadi, seruan yang penuh kebencian maka orang-orang itu ganti terkejut karena dia sudah menghilang.

"Siluman, dia tak ada....!"

"Aku disini," Pendekar Rambut Emas muncul, tahu-tahu diluar kepungan. "Tahan dan jangan serang aku, sobat. Aku bukan musuh..." tapi belum habis kata-katanya mendadak orang-orang itu membalik dan lagi dan sudah berteriak menerjangnya, marah dan memaki-maki dan golok atau parang berhamburan ke tubuh pendekar ini. Tapi ketika Kim-mou-eng berkelebat dan hilang lagi, sudah di tempat yang lain maka orang-orang itu tertegun dan saat itulah Swat Lian muncul.

"Berhenti, atau kalian kulempar dari sini kalau berani menyerang suamiku!"

Orang-orang itu terkejut. Mereka membalik dan melihat nyonya yang cantik jelita itu, nyonya yang mangar-mangar dan merah mukanya karena marah. Swat Lian sedikit tertinggal oleh suaminya ketika tadi Pendekar Rambut Emas mendahului. Tapi begitu melihat suaminya dikepung dan hendak dikeroyok, diserang, maka nyonya ini membentak dan tertegunlah orang-orang itu melihat Swat Lian yang jelas wanita Han, sama seperti mereka.

"Hujin (nyonya), kau siapakah? Ini suamimu?"

"Benar," Swat Lian bersinar-sinar matanya, marah. "Ini suamiku, dan kalian buta tidak mengenal Pendekar Rambut Emas! Siapa yang ingin kuhajar dan main gila disini? Siapa yang mau coba-coba menyerang suamiku?"

"Apa? Pendekar Rambut Emas? Kim-mou-eng?" dan ketika Hok Gim dan kawan-kawannya terkejut karena tentu saja sudah mendengar nama Pendekar Rambut Emas, pendekar yang tersohor dan terkenal di seluruh Tiong-goan tiba-tiba mereka menjatuhkan diri berlutut dan minta ampun. "Maaf, ampun, hujin. Kami tak tahu. Kalau begitu kau adalah puteri Hu-taihiap dari Ce-bu itu...!"

Dan beberapa yang mengenal dan termasuk orang-orang yang bisa silat, karena ada beberapa di antara mereka yang merupakan kauwsu atau guru silat beserta pengikutnya tiba-tiba gemetar dan menggigil di depan Swat Lian. Tentu saja mengetahui bahwa isteri Pendekar Rambut Emas adalah puteri Hu-taihiap yang gagah perkasa itu, yang menjadi amat terkenal setelah geger Ce-bu, ketika Hu-taihiap hendak mengangkangi dan mempertahankan Cermin Naga, menantang semua ketua-ketua partai.

Dan kejadian itu memang menggegerkan hampir semua orang kang-ouw, karena sebagian besar di antara mereka memang terlibat, atau menonton. Dan karena Hu-taihiap akhirnya menjadi bengcu atau ketua partai persilatan yang menjadikan namanya semakin terkenal saja maka otomatis nama Swat Lian, puterinya, ikut terkenal dan tersohor juga, apalagi setelah menjadi isteri Kim-mou-eng, Pendekar Rambut Emas!

Dan orang-orang itu yang mendengar tapi belum melihat suami isteri ini, baru sekarang, tiba-tiba terkejut setelah berhadapan dan mengenal langsung. Pantas Pendekar Rambut Emas dapat bergerak seperti siluman, menghilang. Tak tahunya memang pendekar yang hebat itu, yang terkenal dengan ilmu ginkangnya Jing-sian-eng maupun Cui-sian Gin-kang. Dan ketika orang-orang itu sadar dan menjatuhkan diri berlutut, minta ampun, maka Pendekar Rambut Emas mengambil alih pembicaraan lagi dan bertanya pada orang-orang itu apa yang terjadi, menggenggam lengan isterinya dengan lembut.

"Kami... kami diserang bangsa biadab dari utara. Cin-yang dan Cin-po jatuh. Kami mengungsi!"

"Hm, bangsa biadab yang mana? Dipimpin siapa?"

Orang-orang itu tertegun. Mereka mau menjawab tapi ragu. Maklumlah, Togur adalah murid keponakan Pendekar Rambut Emas dan mereka sungkan mengatakan itu. Sama seperti Pendekar Rambut Emas sendiri maka Gurba, ayah pemuda itu juga cukup terkenal sebagai suheng pendekar ini. Dan sekarang puteranya menjadi pimpinan penyerbu, keponakan pendekar itu. Tapi ketika mereka bimbang dan ragu menyebut nama Togur maka Swat Lian, yang dapat menduga dan tahu siapa yang dimaksud tiba-tiba membentak.

"Kalian tak usah takut. Katakan saja siapa pemimpin serbuan itu. Apakah Togur si bocah keparat?"

"Beb... benar..." Hok Gim membenturkan dahinya. "Memang benar pemuda itu, hujin. Dan dia dibantu See-ong. Tak ada pasukan kerajaan yang mampu menghadapi dan terakhir sekali Tai-yuan jatuh!"

"Apa?" Kim-mou-eng terkejut. "Pemuda itu sudah menguasai propinsi Shan-si? Dan See-ong ada disana?"

"Benar, taihiap, begitu yang kami dengar. Kami sendiri belum bertemu langsung tapi kabar-kabar yang kami terima cukup membuat kami ketakutan. Pemuda itu sendiri sudah lihai, mana mungkin dilawan? Apalagi dibantu kakek iblis itu, yang kami dengar dapat menghilang dan lenyap seperti siluman!"

"Seperti taihiap (anda)!" seseorang tiba-tiba nyeletuk, mengejutkan yang lain tapi tiba-tiba orang yang bicara ini dibentak temannya. Antara Pendekar Rambut Emas dan See-ong tentu saja berbeda.

Orang itu hampir ditampar namun Kim-mou-eng mencegah, tertawa kecut. Dia tahu bahwa yang hendak dimaksudkan orang ini adalah kepandaiannya, kesaktiannya. Bukan sepak terjangnya atau kejahatan See-ong yang hendak disamakan kepadanya. Tapi ketika pendekar ini menghela napas dan menghentikan tawanya, yang kecut, maka Pendekar Rambut Emas berkata bahwa apa saja yang telah orang-orang itu dengar.

"Mereka hendak menyerbu kota raja, membunuh kaisar. Dan tiga propinsi telah mereka rebut dan banyak para panglima atau perwira yang mereka bantai!"

"Hm, baiklah. Terima kasih, Hok Gim. Kalau begitu pertemuan kita penting. Terima kasih, silahkan melanjutkan perjalanan dan memang sebaiknya kalian tak menghadapi pasukan penyerbu itu!" dan Kim-mou-eng yang menarik serta menyendal lengan isterinya tiba-tiba berkelebat dan menghilang dari situ. Untuk kesekian kalinya pendekar ini menunjukkan kesaktiannya dan terkejutlah orang-orang itu. Tapi ketika Hok Gim dan seorang temannya sadar tiba-tiba mereka berteriak,

"Taihiap, tolonglah kami. Tak ada seorangpun yang dapat menghadapi musuh kecuali ji-wi (anda) berdua!"

"Jangan khawatir," Pendekar Rambut Emas menjawab, jauh, entah dimana. "Aku di pihak kalian, Hok Gim. Dan kuminta kalian selamatkan wanita dan anak-anak itu tapi tolong jangan bunuh-bunuhi binatang-binatang di sini!"

Hok Gim dan kawan-kawannya girang. Mereka mengucap terima kasih dan teringatlah mereka akan cerita-cerita orang bahwa sebenarnya Pendekar Rambut Emas itu sudah berkali-kali menolong istana. Di jaman pemberontakan Gurba dan pasukannya yang juga berambisi untuk menguasai Tiongkok pendekar itupun berpihak pada istana.

Entah sudah berapa kali Kim-mou-eng atau Pendekar Rambut Emas itu menolong kaisar, dan tentu saja bersama keluarganya, pembantunya. Dan ketika orang-orang itu girang menyatakan terima kasih dan membentur-benturkan dahi sebagai tanda terima kasih yang besar maka Pendekar Rambut Emas telah terbang bersama isterinya kembali ke kereta, menemui anak-anak mereka.

"Togur terlalu sekali, melebihi ayahnya. Keparat, bocah itu harus dihajar dan dihukum, ditangkap!"

"Kau benar," Pendekar Rambut Emas berkerut-kerut. "Bocah itu tak kenal jera, isteriku. Dan sekarang dia malah dibantu See-ong. Celaka kalau mereka itu menuju kota raja!"

"Dan bagaimana sekarang pendapatmu? Kita melabrak pemuda itu dan pasukannya?"

"Tidak, kita ke kota raja. Kita menemui Han-taijin dan kaisar!"

"Kenapa mencari mereka? Togur akan sudah maju jauh, suamiku. Dan keadaan bisa menjadi berbahaya!"

"Kalau kita tak membantu memang benar, tapi kalau kita ada di sana tentu bagaimanapun kita dapat mengatasi. Melabrak dan mencari pemuda ini tanpa sepengetahuan kaisar atau Han-taijin mungkin dianggap lancang, isteriku, karena kita harus meminta pasukan pula untuk menghadapi pasukan itu."

"Kita tak perlu mencari pasukan, langsung saja mencari dan menangkap pemuda itu, juga See-ong!"

"Hm, kau kira mudah? Kalau mereka terdesak tentu mereka akan mengerahkan pasukannya, isteriku, seperti dulu ketika aku menghadapi pemuda itu. Togur akhirnya lari dan bersembunyi di balik ribuan orangnya, dan aku tak mungkin harus membunuh-bunuhi ribuan orang demikian banyak! Pasukan itu betapapun juga harus dihadapi dengan pasukan pula, dan ini dapat kita peroleh atas persetujuan kaisar atau Han-taijin!"

Pendekar Rambut Emas mengerutkan kening, teringat kejadian dulu ketika Togur berlindung di balik kelima gurunya dan ribuan orang, ketika terdesak. Dan ketika kelima gurunya juga lari dan berlindung di balik pasukan yang besar maka mereka lolos dan Kim-mou-eng tentu saja tak ingin membunuh-bunuhi orang demikian banyak hanya karena mereka menghalangi pengejarannya terhadap pemuda itu, sudah menceritakan kepada isterinya dan Swat Lian pun mengepalkan tinju.

Memang nyonya ini menjadi marah dan gemas kepada pemuda itu, putera Gurba yang agaknya kini mewarisi watak bapaknya, bahkan, agaknya lebih menggila! Dan ketika suaminya berkelebat dan sudah sampai di kereta, yang ditunggu Soat Eng dan adiknya maka Beng An bertanya apa yang terjadi.

"Kita berbelok ke kanan, ada kekacauan."

"Wah, kekacauan apa, yah? Perampok? Mari hadapi saja, atau biarkan aku maju!"

"Tidak, bukan itu. Melainkan peperangan, perang besar. Kita harus menyelamatkan kaisar dan para pembantunya di kota raja!" dan Kim-mou-eng yang bercerita singkat tentang apa yang diketahui lalu menyuruh semua anak isterinya naik. Tapi keempat kuda itu tiba-tiba meringkik keras ketika melihat Bi-houw dan anaknya muncul, karena tadi Beng An menyembunyikan dua harimau ini di belakang kereta.

"Aku ingin membawa ini. Bagaimana, yah?"

Kim-mou-eng tertegun, balik memandang isterinya. "Bagaimana pendapatmu?"

"Hm, keempat ekor kuda kita takut melihat harimau-harimau ini. Masa dibawa? Kukira dilepaskan saja di sini, nanti perjalanan terganggu!"

"Tidak, jangan ibu," Beng An tiba-tiba merengek. "Aku mencintai mereka, aku menyayang mereka. Susah payah aku menundukkan, menjinakkan, masa lalu dilepas lagi? Aku ingin agar Bi-houw dan Siauw-houw tetap dibawa, atau aku menunggang mereka dan berjalan di belakang!"

"Dan membuat geger orang-orang yang melihat! Eh, kau jangan menarik perhatian dengan ulahmu, An-ji. Jangan mengacau dan nakal. Aku tak suka kalau membuat ribut-ribut di jalan!"

"Kalau begitu mereka bersamaku di dalam kereta, sebagai penumpang. Ibu dan ayah di depan, sebagai kusir!"

"Apa? Dua binatang buas ini mau dijadikan penumpang? Kau..."

"Sudahlah," Kim-mou-eng tiba-tiba tertawa, melihat kenakalan tapi juga sekaligus rasa cinta puteranya itu pada dua harimau ini. "Kukira tak apa memenuhi permintaan An-ji ini, isteriku. Kita berdua di depan dan Beng An serta Eng-ji di dalam bersama harimau-harimau mereka. Anak kita benar, susah payah dia menjinakkan harimau-harimau itu dan tentu sekarang ingin bersenang-senang!"

"Huh, dan aku dikalahkan. Baiklah, kau boleh bersama harimau-harimaumu itu, Beng An. Tapi jaga jangan sampai lepas. Kalau mereka lepas dan membuat ribut di jalan maka kau harus tunduk pada ibumu dan tak usah membawa harimau itu!"

Beng An tertawa. Dia meloncat mencium ibunya dan mengucap terima kasih, girang karena Bi-houw dan anaknya akhirnya boleh di dalam, sebagai penumpang terhormat! Dan ketika Soat Eng juga tertawa dan lega bahwa ibunya mengijinkan maka dua harimau itu cepat dipanggil dan disuruh naik.

"Ayo, jangan menakut-nakuti kuda. Naik!"

Bi-houw dan anaknya melompat. Mereka jinak dan hapal sekali akan kata-kata atau perintah anak ini, duduk dan mendekam di dalam seraya menjilat-jilat tubuh mereka dengan sikap yang begitu santai. Tenang! Dan ketika Kim-mou-eng tertawa dan meloncat di depan, mengajak isterinya yang masih cemberut maka keretapun dihela dan tali kuda disentak. Kuda mula-mula meringkik dan masih ketakutan, mereka itu ngeri melihat Bi-houw. Ada harimau di dekat mereka.

Tapi ketika Bi-houw menghilang dan duduk di dalam kereta, tak diketahui keempat ekor kuda itu maka kuda-kuda ini menjadi tenang dan Kim-mou-eng pun dapat mengendalikan perjalanan, berangkat dan langsung menuju ke kota raja dengan cara memutar. Dia bergerak dari arah barat dengan arah melengkung ketika menuju ke selatan, lain dengan Togur dan pasukannya yang langsung menusuk dari utara menuju perbatasan, menyerbu kota-kota Cin-po atau Cin-yang dan akhirnya Tai-yuan, merebut propinsi Shan-si dan menguasainya.

Dan ketika Pendekar Rambut Emas bergerak dan menjalankan kereta, melaju dan cepat ke kota raja maka beberapa hari kemudian merekapun sampai. Dan tentu saja kedatangan pendekar ini disambut gembira, bahkan setengah bersorak! Kim-taijin dan Han-taijin yang mendengar kedatangan pendekar itu langsung saja bergerak dan menyambut di gerbang kota raja, bergegas dan melarikan kudanya dengan kencang, memapak. Dan ketika mereka bertemu dan dua pembesar itu turun dari keretanya maka mereka langsung menyongsong dan berseru girang.

"Kim-taihiap (pendekar besar Kim)...!"

"Kim-hujin (nyonya Kim)....!"

Kim-mou-eng tersenyum. Dua pembesar itu sudah menubruknya dan mereka pun tampak menangis. Jarang sekali dua penasihat kaisar ini datang berdua untuk menyambut tamu, kalau bukan dianggap agung atau istimewa. Dan ketika Kim-mou-eng mendorong dan melepas mereka, menjura, maka dua pembesar itu buru-buru membalas hormat karena mereka tadi lupa saking girang dan tergesa-gesanya.

"Ah, selamat datang... selamat datang...! Kau tentu kemari karena mendengar serbuan musuh yang besar-besaran. Terima kasih, taihiap... terima kasih. Kami tak dapat mengutus orang untuk meminta bantuanmu ke utara karena jalan ke sana tertutup!"

"Aku tahu, aku sudah mendengar. Hm, tak usah khawatir. Kami datang memang untuk membantumu, taijin, berunding dan memberikan saran bagaimana kami harus menolong."

"Heii...!" sebuah suara anak kecil tiba-tiba berteriak. "Apakah kami harus tetap disini, ayah? Dikurung dan tidak boleh keluar?"

"Siapa itu?" Kim-taijin terkejut. "Putera taihiap?"

"Hm," Kim-mou-eng melihat Beng An tiba-tiba keluar, berkelebat dan tak betah di dalam kereta. "Dia memang anakku, taijin. Beng An!"

Tapi ketika dari dalam kereta tiba-tiba meloncat dan menyusul seekor anak harimau mendadak Kim-taijin terpekik dan mundur menjauh, kaget dan semakin kaget lagi karena tiba-tiba Bi-houw pun, sang induk harimau, menyusul anaknya! Dua harimau itu menggeram melihat banyak orang disitu. Beng An dikiranya mau dikepung atau dikeroyok musuh. Tentu saja Kim-taijin dan Han-taijin menjerit, berikut semua pengawalnya.

Tapi ketika Beng An membentak dan menyuruh harimau-harimaunya diam, disusul oleh bayangan Soat Eng yang juga berkelebat dan membentak harimau-harimau itu maka Swat Lian, sang ibu, merah mukanya tapi suaminya justeru tertawa lebar.

"Beng An, kembali ke tempatmu. Jangan membuat panik!"

"Benar," sang ayah menyambung. "Kau tak boleh bersama harimau mu di sini, Beng An. Kembali dulu dan suruh harimaumu masuk."

"Tapi kami pegal-pegal, tiga hari terus-menerus di dalam kereta! Mana tahan yah? Siapa kuat? Aku ingin berjalan-jalan dulu bersama Siauw-houw mencari angin!"

"Jangan membantah, jangan nakal!" sang ibu tiba-tiba menghardik. "Kembali ke tempatmu atau buang harimau-harimau itu, Beng An. Turut perintah ibumu atau mereka kutendang!"

"Baiklah... baiklah...!"

Beng An meleletkan lidah, lucu. "Aku kembali ke dalam, ibu. Tapi berjanjilah bahwa nanti aku boleh melemaskan punggung dengan dua harimauku!"

Semua tertawa. Akhirnya mereka lega tapi juga geli melihat anak laki-laki kecil itu, juga kagum. Mereka geleng-geleng kepala dan mendecak karena Beng An membawa-bawa harimau. Sekecil itu sudah berkawan dengan binatang buas! Tapi karena anak itu adalah putera Pendekar Rambut Emas dan kesaktian atau kehebatan pendekar ini memang telah diketahui banyak orang maka merekapun akhirnya tidak heran lagi kepada Beng An, melihat anak itu sudah masuk ke dalam dan Soat Eng ditegur ibunya kenapa membiarkan adiknya keluar.

Gadis ini menjawab bahwa tadi Beng An tiba-tiba nyelonong begitu saja, tak meminta ijinnya, diikuti dan kemudian disusul Siauw-houw yang sebentar saja sudah akrab dengan anak ini. Siauw-houw si harimau cilik juga cocok sekali tampaknya sebagai teman sepermainan Beng An, yang juga masih bocah. Dan ketika Soat Eng diminta menjaga adiknya agar tidak membuat onar maka dua pembesar itu menggeleng kepala berulang-ulang.

"Bukan main... bukan main. Anak naga memang lahir dari seekor naga pula. Ah, anakmu itu mengagumkan sekali, taihiap. Dan itu tadi puterimu Kim-siocia? Wah, sudah dewasa dia, dan cantik!"

"Tapi Kim-kongcu tak kelihatan. Apakah tak bersama taihiap?"

"Hm, kami sebetulnya mencari anak kami itu, Thai Liong. Tapi mendengar berita peperangan itu dan lalu kemari. Apakah taijin tak melihat dia kesini?"

"Tidak. Ah, maaf, taihiap. Mari kita ke istana dan disana kita bercakap-cakap!" Kim-taijin tiba-tiba melihat kerut di muka Pendekar Rambut Emas ini, melihat bahwa pendekar itu murung dan rupanya sedang mencari puteranya, Thai Liong, yang memang tidak mereka dengar kalau datang ke kota raja.

Dan ketika semua naik ke keretanya kembali dan menuju istana maka iring-iringan itu bertambah panjang dan rakyat di sekitar tiba-tiba ribut dan menyambut dengan gembira kedatangan Pendekar Rambut Emas itu, yang cepat tersiar dari mulut ke mulut. Dan ketika mereka tiba di istana ternyata kaisar sudah menunggu di halaman dan menyambut di anak tangga terbawah!

Kim-mou-eng terkejut. Ini satu penghormatan luar biasa baginya suami isteri, cepat keluar dan Kim-taijin maupun yang lain-lain sudah berlutut. Namun ketika dia mau berlutut dan merendahkan diri tiba-tiba kaisar tersenyum dan menyentuh pundaknya.

"Kaupun pemimpin suku bangsa, biarlah berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah. Selamat datang, Kim-taihiap. Selamat bertemu kembali. Dan selamat untuk Kim-hujin pula!"

Swat Lian bangga dan kemerahan mukanya. Dia adalah wanita Han, seharusnya berlutut di depan kaisar pula, sebagaimana layaknya adat-istiadat. Namun karena dia juga adalah isteri Pendekar Rambut Emas dan suaminya itu adalah pemimpin suku bangsa di utara maka dia adalah juga ratu suku bangsa suaminya, tak perlu terlalu merendah dan tadi sikapnya hanyalah untuk tata-tertib saja. Tak tahunya kaisar menolak dan menyuruh dia bersikap seperti suaminya saja, berdiri dan melipat tubuh dalam-dalam untuk menghormat kaisar. Dan ketika kaisar berseri dan diam-diam kagum bahwa nyonya ini masih cantik dan gagah, mata bersinar-sinar bak seekor harimau betina yang siap menubruk siapa saja yang berani mengganggu maka hari itu Kim-mou-eng sendiri disambut hangat di istana.

Suami isteri ini lalu dibawa ke dalam dan anak-anak tangga bertingkat yang cukup tinggi harus mereka lalui. Semua orang berlutut ketika kaisar masih kelihatan. Tapi begitu kaisar lenyap dan menghilang ke dalam, diikuti Kim-taijin dan Han-taijin yang cepat menyertai junjugannya maka Beng An yang disuruh encinya berlutut di dalam kereta, njengking, mengomel karena tak boleh melihat wajah kaisar.

"Ssst, jangan ribut. Ini peraturan. Atau ayah dan ibu akan mendampratmu yang dianggap tak tahu sopan! Hayo, jangan membuat malu. Kau adalah putera Pendekar Rambut Emas yang harus mengerti adat!"

"Wah, dan kau sendiri?" Beng An memandang. "Kenapa tidak berlutut dan menjalankan adat, enci? Kau tak adil, menyuruh aku njengking tapi kau sendiri tidak njengking!"

"Hush!" Soat Eng hampir tertawa. "Aku melatihmu untuk menghormat kaisar, Beng An, juga menjaga kalau-kalau dua harimau ini meloncat keluar. Sudahlah, berlutut dan nanti kalau selesai kuberi tahu!"

Dan kini penghormatan itupun selesai. Kaisar telah masuk ke dalam dan Beng An bertanya bagaimana mereka selanjutnya. Ikut ayah atau ibu mereka tak mungkin, mereka sedang disambut kaisar. Namun encinya yang tersenyum dan tiba-tiba meloncat keluar kereta segera berkata pada pengawal Han-taijin tadi agar kereta diistirahatkan di tempat yang semestinya.

"Kau di dalam situ dulu, aku membantu Tek-ciangkun ini memparkir kereta."

Beng An mengomel. Encinya mengancam agar dia tak membantah, apa boleh buat terpaksa menurut namun diam-diam dia menguak tirai kereta. Kebesaran dan kemegahan sebuah istana belum pernah dilihat, kinilah saatnya dan Beng An melongok. Dan ketika dia melihat betapa istana terdiri dari banyak bangunan yang besar dan luas, dengan gedung-gedung dan taman-taman indah maka anak ini mendecak kagum. Dia hanya mengikuti saja pandangan sepintas itu sementara kereta dibawa ke samping istana, diparkir, mendengar encinya bercakap-cakap dan kiranya encinya diminta Kim-taijin untuk beristirahat di sebuah gedung di timur istana.

Disitulah Kim-mou-eng dan keluarganya mendapat tempat, tadi Tek-ciangkun yang mengawal Kim-taijin ini telah mendapat perintah agar Kim-mou-eng diberi tempat tak jauh dari pusat istana, berdekatan dengan kaisar karena memang pendekar itu diminta secara diam-diam untuk melindungi kaisar kalau ada apa-apa. Dan ketika kereta berhenti dan Beng An meloncat keluar, dipanggil encinya maka Bi-houw dan Siauw-houw pun meloncat dari pintu kereta. Dan Tek-ciangkun bersiap dengan waspada.

"Jangan takut, tak akan menggigit. Biarkan kami sendiri, ciangkun. Dan terima kasih atas semua bantuanmu."

"Maaf, tugasku selesai, siocia. Namun kalau siocia ada sesuatu keperluan dapat memanggilku di pos penjagaan itu. Selamat beristirahat!" perwira ini, seorang laki-laki yang sudah berusia empat puluh tujuh tahun memberi hormat di depan gadis itu. Dia kagum dan tentu saja tak berani main-main atau macam-macam dengan gadis ini, yang jelas lihai dan sinar matanya penuh tenaga sakti. Dan ketika dia meninggalkan enci adik itu sementara dua harimau mengibas-ngibaskan ekornya dan mengaum perlahan maka Beng An bertanya pada encinya apa yang harus mereka lakukan disitu.

"Menunggu ayah, kita dipesan agar tidak membuat ribut atau gaduh disini."

"Kapan enci menerima pesannya?"

"Tadi."

"Tapi aku tak melihat ayah menghampirimu!"

"Hm, ayah mengirim pesannya lewat ilmu Coan-im-jip-bit, Beng An, tentu saja kau tak tahu!"

"Wah, benar. Coba kau tunjukkan padaku ilmu mengirim suara itu, enci. Biar aku lihat!"

"Hm, kau mau main-main? Baik, dengarlah!" dan Soat Eng yang berkelebat lenyap di balik sebuah pohon tiba-tiba mengirim ilmunya bersuara dari jauh itu, berkata pada adiknya agar adiknya menjaga harimau dan anaknya itu, didengar dan Beng An tertawa-tawa karena suara encinya menyusup jelas, tidak terdengar oleh orang lain karena getaran atau bunyi suara itu lain, seperti sayup terbawa angin lalu dan Beng An berseri. Dan ketika anak itu berkata tapi ingin membuktikan apakah benar orang lain tidak mendengar suara encinya tiba-tiba dia memanggil Tek-ciangkun itu.

"Heii...!" Tek-ciangkun terkejut. "Kesini sebentar, ciangkun. Aku ada perlu!"

"Eh," encinya bertanya. "Kau mau apa Beng An? Kenapa memanggil Tek-ciangkun?"

"Ha-ha, aku ingin tahu apakah Coan-im-jip-bitmu benar-benar tak didengar orang lain, enci. Agar perasaan puasku tak tanggung-tanggung lagi!"

"Kau gila!" namun Tek-ciangkun yang sudah dekat dan berlari menghampiri anak itu lalu bertanya pada Beng An apa yang dia maui.

"Ha-ha, kau dengarlah. Apa kata-kata enciku!"

"Dimana encimu? Dimana Kim-siocia?"

Tek-ciangkun celingukan. Dia jadi heran dan tak mengerti kenapa Beng An tiba-tiba terpingkal dan tertawa-tawa begitu geli. Perwira ini tak tahu bahwa saat itu Soat Eng memaki-maki adiknya, keras tapi tak terdengar perwira itu dan Beng An berseru agar encinya berteriak lebih keras lagi, lebih kuat, sudah dilakukan tapi tetap saja perwira itu tak mendengar apa-apa. Dan ketika Beng An terbahak dan puas membuktikan ini, bahwa orang yang ada di dekatnya benar-benar tak tahu atau mendengar semua kata-kata encinya maka anak ini akhirnya menepuk pundak perwira itu.

"Terima kasih, aku sekarang puas. Ha-ha, terima kasih, ciangkun. Sekarang kau kembalilah!"

Perwira ini merah mukanya. Tentu saja sikap dan kata-kata Beng An membuatnya tersinggung, dia merasa dipermainkan. Tapi ketika sebuah suara terdengar dan itulah suara Soat Eng yang minta maaf atas kelakukan adiknya, berkata bahwa adiknya ingin menguji Coan-im-jip-bit yang dipunyai maka baru perwira ini mengangguk-angguk mengerti, tertawa.

"Kau lihat adikku yang kurang ajar itu. kusuruh kau menempelengnya pun tak dia dengar!"

"Ha-ha," perwira ini tertawa. "Begitukah, Kim-siocia. Coba kau suruh aku dan coba kutanya dia!"

"Cobalah, dekati dan tanya apa dia yang telah kukatakan padamu. Pasti dia tak tahu!"

"Benarkah, Kim-siocia?" perwira ini tiba-tiba menghadapi Beng An, tertawa. "Kau tahu apa yang disuruh encimu kepadaku?"

"Apa?" Beng An menghentikan tawanya. "Enciku menyuruhmu?"

"Ya, coba kau dengar!" namun Beng An yang tentu saja tidak mendengar dan tidak tahu apa yang dikata encinya lalu terbelalak dan heran memandang perwira ini, ganti membuat Tek-ciangkun terbahak-bahak karena kini Soat Eng memaki-maki adiknya itu di telinga sang perwira. Soat Eng hendak membuktikan bahwa giliran Beng An yang tidak mendengar kata-katanya, sekeras apapun dia berteriak, karena Coan-im-jip-bit hanya ditujukan kepada perwira itu. Dan ketika sang perwira terpingkal karena Beng An bengong, tak tahu semua caci maki encinya maka Soat Eng menutup.

"Nah, kau lihat, ciangkun. Adikku sendiri tidak tahu kalau kumaki-maki, begitu pula kau tadi. Sekarang kembalilah dan maafkan kenakalan adikku yang suka menggoda orang!"

"Ah-ah, tak apa!" sang perwira tersenyum lebar, mengangguk-angguk. "Sekarang aku mengerti, siocia. Terima kasih. Kalian benar-benar hebat!" lalu kembali dan meninggalkan Beng An perwira ini tak tersinggung lagi karena tahu apa yang diingini Beng An, mengajak main-main orang tua dan saat itu berkelebatanlah Soat Eng memperlihatkan dirinya lagi.

Beng An mendelong dan bertanya pada encinya apa yang dikatakan pada Tek-ciangkun, dijawab bahwa dia tak boleh lancang dan harus minta maaf, menggoda orang tua. Tapi ketika disana Tek-ciangkun berseru tak usahlah mereka sungkan maka Beng An mendusin bahwa kiranya encinya ini balik berganti memberikan Coan-im-jip-bit pada Tek-ciangkun.

"Pantas, kau bilang apa saja padanya, enci? Kenapa dia tertawa-tawa?"

"Aku menyuruhnya menjitakmu, tapi Tek-ciangkun tak mau. Hayo, jangan main-main lagi, Beng An. Tidak kau lihat tadi bahwa perwira itu tersinggung!"

"Tersinggung? Apa yang kulakukan?"

"Bodoh! Kau kira dia tidak tersinggung kau suruh datang lalu kau suruh kembali lagi? Dan kau tertawa-tawa padanya, tanpa sebab. Tentu saja dia marah dan tersinggung karena merasa kau permainkan!"

"Ooh, aku tak tahu....!"

"Dan aku ganti menerangkan padanya bahwa kau tak bermaksud mempermainkannya. Bahwa kau mendengarkan Coan-im-jip-bitku dan baru perwira itu sadar. Kalau tidak, tentu dia tak senang padamu, Beng An, marah dan mungkin melapor pada Kim-taijin bahwa kita kurang ajar!"

"Ah-ah, maaf, enci. Aku memang tak tahu!"

"Sudahlah, kita masuk dan beristirahat, menunggu ayah!"

Beng An tak berani membantah lagi. Setelah encinya menegur dan berkata seperti itu maka dia tak enak juga kepada Tek-ciangkun. Untunglah perwira itu tak marah dan encinya sudah memberi penjelasan. Dan ketika mereka masuk ke gedung yang disediakan dan di sini beberapa pelayan sudah menyambut mereka maka Beng An menyeringai melihat minuman dan makanan kecil dihidangkan, sudah terletak di atas meja dan buah-buahan segar seperti apel atau jeruk juga ada di situ, warnanya memikat dan baunya pun harum.

Para pelayan sudah membungkuk di depan mereka dan mempersilahkan mereka menikmati itu, siap melayani mereka kalau mereka ada permintaan yang lain. Tapi ketika Soat Eng menyuruh mereka pergi dan berkata terima kasih, tak mau diganggu, maka adiknya sudah tertawa dan menyambar buah-buahan di atas meja.

"Hei, kami ada perlu. Tunggu dulu!"

Para pelayan membalik, sementara Soat Eng mengerutkan kening. "Kongcu ada perintah apa?"

"Ada yang kurang!" bocah ini langsung saja bicara, persis seperti pelayannya sendiri di rumah. "Aku minta daging segar lima kilo!"

"Beng An!" encinya membentak. "Ada apa macam-macam lagi? Kau mau menggoda pelayan?"

"Tidak... tidak!" anak ini cepat menggoyang lengan, menuding Bi-houw dan anaknya yang mendekam di sudut. "Aku minta untuk mereka itu, enci. Jangan marah. Bi-houw dan Siauw-houw juga perlu makan!"

Soat Eng sadar. Segera dia mengangguk dan para pelayan yang tadi heran dan terkejut segera tersenyum karena mereka juga tak memperhatikan dua binatang buas itu. Beng An menjauhkan mereka agar para pelayan tidak ketakutan, agak di sudut dan memang pelayan tidak tahu. Tapi begitu mereka mengangguk dan bergegas pergi ke belakang maka tak lama kemudian dua harimau itu juga sudah mendapat makanan mereka, menjilat dan makan dengan lahap sementara Beng An sendiri menyambar dan memakan buah-buahan itu.

Soat Eng harus membisiki adiknya agar makan secara baik-baik, jangan digeragoti begitu seperti bocah kelaparan. Tapi ketika anak itu menjawab bahwa disitu tak ada orang lain, karena pelayan sudah pergi diusir encinya maka anak ini tak perduli.

"Di tempat kita buah-buahan begini jarang, kalau sekarang disini ada banyak kenapa tidak disikat? Hayo, kaupun sebuah, enci. Lihat apel ini begitu segar dan manis!"

"Hush!" encinya menerima juga lemparan buah itu. "Jangan keras-keras bicara, Beng An. Dan jangan berkesan rakus!"

Namun anak ini tak menghiraukan. Dia tetap tertawa dan menyambar makanannya lagi, lahap dan akhirnya duduk kekenyangan setelah menghabiskan tiga buah apel dan jeruk besar. Anak itu mengusap mulutnya dan Soat Eng pun duduk, membersihkan mulutnya pula, tertawa. Dan ketika Beng An bertanya berapa lama mereka menunggu maka encinya menjawab.

"Aku tak tahu, tapi biarlah. Bukankah ayah dan ibu ada disini? Kalau keperluan mereka sudah selesai tentu datang juga. Untuk apa kau bertanya ini?"

"Hm," anak itu menyeringai. "Aku ingin jalan-jalan, enci. Mengagumi dan menikmati istana ini!"

"Keluyuran?"

"Bersama kau!" Beng An tertawa. "Aku tak berani sendirian kalau kau di sini, enci. Tentu kau menjewer telingaku kalau nakal. Ayolah, daripada menunggu kita jalan-jalan saja. Bukankah kau juga belum pernah kesini?"

"Hm, ayah membawaku dua kali, ketika aku masih kecil. Bukan belum pernah sama sekali!"

"Ah-ah, itu dulu!" anak ini tertawa. "Dulu dan sekarang jelas berbeda, enci. Sekarang tentu sudah semakin cantik dan memikat lagi. Ayolah, daripada duduk-duduk disini lebih baik kita melemaskan kaki dan jalan-jalan!"

"Bersama Bi-houw?"

"Tentu saja. Masa kita meninggalkannya disini? Ayolah, kita jalan-jalan, enci. Kau antar aku!"

Soat Eng mengangguk. Memang sebaiknya dia menuruti permintaan adiknya ini. Kalau Beng An sudah merengek maka itu tanda anak ini tak akan sudah kalau belum dituruti. Salah-salah anak itu bisa keluyuran sendirian kalau dia melepaskan penjagaannya. Maka bangkit dan tersenyum berkelebat keluar akhirnya Soat Eng setuju dan Beng An tentu saja girang bukan main.

"Ha-ha, terima kasih, enci. Mari Bi-houw, enci memang baik sekali!" dan anak itu yang sudah menyambar dan mengajak dua harimaunya lalu keluar dan Tek-ciangkun disana tertegun melihat enci adik itu berjalan dengan dua 'kucing hutannya'.

"Ji-wi (kalian berdua) ada perlu?"

"Tidak," Soat Eng tertawa. "Kami hendak berjalan-jalan saja, ciangkun, menikmati istana. Adikku mengaguminya."

"Ah, perlu kuantar?"

"Tidak, tak usah. Biarlah kami sendiri!" dan Beng An yang juga tertawa menggoyang lengan lalu mulai berlompatan dan berjalan kesana-sini menunjuk ini-itu, menuding gedung-gedung besar atau apa saja yang menarik hatinya sementara Soat Eng mengagumi bunga warna-warni di taman-taman yang indah. Mereka mulai terlibat dalam keasyikannya sendiri dan Soat Eng mulai lupa mengawasi adiknya. Dan ketika saat itu tiba dan tanpa terasa mereka agak berjauhan tiba-tiba Beng An yang tidak sabar berjalan dengan kakinya mendadak memanggil Bi-houw dan menunggang harimau itu menyuruhnya berkeliling istana.

"Tempat ini luas dan indah sekali. Hayo, antar aku dan kita berkeliling!"

Beng An sudah menunggang harimaunya. Melenggang dan tampak garang anak ini gagah sekali di punggung harimaunya itu. Siauw-houw berjalan di belakang induknya dan mulailah Beng An tertawa-tawa gembira. Mengelilingi istana sambil menunggang harimau sungguh nikmat, asyik. Dan ketika Beng An berkeliling dan satu per satu menyaksikan tempat tinggal para pangeran atau pejabat-pejabat tinggi lainnya maka tiba-tiba anak ini memasuki wilayah kaputren.

Wilayah ini, yang kebetulan agak jauh dengan pusat istana dimana sehari-hari kaisar berada terletak hampir di sudut istana, sebelah barat. Jauh dan berlawanan sekali dengan kaputren, tempat atau rumah tinggal para pangeran. Dan karena tempat ini agak jauh dan pengawal yang berjaga di situ tak mendengar kedatangan Kim-mou-eng, bersama anak isterinya maka hadirnya Beng An bersama dua harimaunya itu mengejutkan mereka.

"Hei, siapa kau!"

Beng An mendengar bentakan ketika tiba-tiba empat orang penjaga muncul. Mereka itu adalah orang-orang yang bertugas melindungi tempat tinggal para puteri ini. Melihat Beng An disana dan sudah memasuki pagar kaputren, tak melihat tanda dilarang masuk maka mereka terkejut dan tentu saja keluar dan membentak anak kecil itu, terkejut karena anak ini menunggang harimau, berkeliaran dan tampaknya begitu bebas. Hal yang tidak biasa terlihat di istana!

Maka ketika Beng An berhenti dan dibentak empat penjaga itu, yang tidak mendengar kedatangan ayahnya maka anak laki-laki ini berhenti dan tersenyum menepuk-nepuk hewan tunggangannya yang mengaum dan tiba-tiba menyeringai, naluri kebinatangannya memberi tahu bahwa mereka menghadapi musuh.

"Siapa kau dan mau apa?" penjaga di depan membentak lagi, karena Beng An tak menjawab. "Kau siapa dan mau apa berkeliaran di sini, bocah? Tidak tahukah bahwa ini terlarang bagi orang luar? Hayo kembali, atau kuhajar kau nanti bersama harimaumu ini!"

Beng An semula tak berniat mencari keributan. Dia sudah siap memberi tahu penjaga bahwa dia adalah putera ayahnya, Kim-mou-eng. Dia tahu dan sudah mendengar bahwa nama ayahnya itu hampir dikenal setiap orang. Dari mulut ke mulut nama ayahnya pernah menjadi buah bibir dan tentu saja Beng An tak mau membuat onar, kalau orang tak bicara macam-macam. Tapi begitu mendengar kata-kata kasar dan dia katanya mau dihajar, bersama harimaunya mendadak anak ini bangkit kemarahannya dan sikap yang tadi kekanak-kanakan itu tiba-tiba saja berubah karena Beng An melotot dan kilatan matanya pun mendadak bercahaya.

"Apa? Kau mau menghajar aku? Kau berani bicara seperti itu? Eh, jaga mulutmu, penjaga lancang. Minta maaf atau kalianlah yang kuhajar!"

Empat penjaga terkejut. Mereka melengak dan ganti melotot karena Beng An mau menghajar mereka. Bocah ini besar mulut dan mereka tentu saja marah, menganggap anak itu lancang dan kurang ajar, bukan mereka! Maka ketika penjaga terdepan memberi tanda dan tiga temannya berloncatan maju maka Beng An sudah dikepung dan penjaga yang rupanya merupakan pemimpin ini mendengus.

"Anak setan, kau rupanya tak diajari ayah ibumu bersikap sopan. Dan kau rupanya berani karena merasa dilindungi dan dibela kucing-kucing hutan ini. Kau kira kami takut dan tak berani membunuhmu? Turun, dan lihat kami akan melempar mayatmu pada ayah ibumu!"

"Wut!" Beng An tiba-tiba tak dapat menahan marah lagi. "Kau semakin kurang ajar dan membawa-bawa nama orang tuaku, penjaga busuk. Coba kau hajar aku dan bagaimana kau membunuhku!"

Penjaga terdepan kaget. Beng An meloncat dan tahu-tahu sudah berkelebat di depan mukanya, meloncat dari punggung harimaunya dan Bi-houw pun menggeram. Binatang itu tahu bahwa tuannya menghadapi musuh, tiba-tiba meloncat dan menubruk pula tiga penjaga yang lain. Dan ketika Beng An menyerang dan sudah menyerang penjaga pertama, ditampar dengan pukulan Tiat-lui-kang maka tiga penjaga yang lain yang ditubruk serta diserang Bi-houw juga berteriak dan marah membentak kaget, menggerakkan senjata mereka.

"Plak-bret-dess!"

Empat penjaga itu mengeluarkan teriakan keras. Penjaga pertama sudah terpelanting dan terlempar ketika ditampar Beng An, tak kuat menerima Tiat-lui-kang dan dia terguling-guling. Dan ketika tiga temannya menangkis dan menusuk Bi-houw, yang menyerang dan menerkam mereka ternyata tombak mereka luput dan kuku harimau itu telah merobek kulit mereka, dicakar dan Bi-houw selanjutnya sudah menubruk dan menyerang lagi.

Harimau ini membuka mulutnya dan penjaga terdekat menjerit karena kepalanya siap dicaplok. Bi-houw timbul sifat-sifat buasnya karena Beng An tak mengawasinya lagi. Tapi ketika Beng An membentak dan menyambar harimaunya itu, mencengkeram dan melihat bahaya pada penjaga yang diserang maka penjaga itu bergulingan dan selamat melempar tubuh menjauh, meloncat bangun.

"Kau jangan membantu. Duduk diam dan mendekam disana!"

Bi-houw terkejut. Bentakan dan cengkeraman Beng An menyadarkan dia lagi bahwa dia tak boleh sembarangan, anak laki-laki ini akan marah padanya kalau dia tak tunduk. Maka ketika harimau itu menggereng dan menjauh disana, duduk dan mendekam seperti yang diperintahkan Beng An maka Siauw-houw, harimau kecil yang tadi juga mau bergerak dan menyerang pengawal-pengawal itu tiba-tiba mengeluarkan suara lirih di samping induknya dan duduk di sebelah.

"Nah," Beng An menghadapi lagi lawan-lawannya. "Kalian boleh maju dan main-main lagi denganku, pengawal. Atau kalian minta maaf dan berlutut di depan kakiku mencabut hinaan tadi!"

Empat penjaga itu pucat. Mereka telah melihat dan merasakan kepandaian Beng An, terutama laki-laki pertama. Tapi karena tadi anak itu dibantu harimaunya dan ini membuat mereka marah maka sekarang komandan jaga itu bergerak lagi dan golok yang tak sempat dicabut sekarang sudah dikelebatkan di depan mukanya.

"Bocah busuk, kami tak takuti kau ataupun harimaumu. Kalau kau menyuruh kami berlutut dan minta maaf adalah kami yang mengharap itu darimu. Mampuslah, dan kau lihat siapa yang akan roboh!" dan laki-laki ini yang sudah berteriak pada tiga temannya untuk maju membantu, menerjang dan mengeroyok Beng An akhirnya sudah menggerakkan goloknya dan tiga penjaga yang lain juga sudah menerjang dan menganggap bahwa anak ini memang patut dihajar, kalau perlu dibunuh.

Namun ketika empat senjata berkelebatan menyerang Beng An dan anak laki-laki itu berseru keras tiba-tiba Beng An telah lenyap karena dengan cepat dia sudah menghindar sekaligus mengeluarkan ilmu meringankan tubuhnya.

"Plak-plak-plak!"

Empat penjaga itu berteriak kaget. Mereka lagi-lagi menjerit karena tahu-tahu muka mereka sudah digaplok anak laki-laki itu, senjata sendiri luput menyambar angin dan sebat serta luar biasa anak itu telah balik menyerang mereka. Dan ketika semua tentu saja terkejut dan Beng An tertawa-tawa, mengejek mereka maka empat penjaga yang tadi terhuyung itu sudah membentak dan marah menyerang lagi, tidak terpelanting karena Beng An memang ingin menghajar dulu, baru nanti merobohkan kalau sudah dirasa puas.

Dan ketika empat senjata kembali berkelebatan menyerang dirinya dan golok menusuk atau membacok tak kenal ampun maka anak ini sudah mempercepat gerakannya dan semakin cepat empat penjaga itu menyerang maka semakin cepat pula anak laki-laki ini berkelebatan, menghindar dan kaki tangannya pun tak mau tinggal diam. Beng An menampar atau menendang hingga lawan semakin marah saja, akhirnya menjadi kalap namun tamparan atau pukulan Beng An mulai kuat. Anak itu marah juga karena lawan tak tahu diri, beringas dan tak mau berhenti ketika disuruh berhenti.

Dan ketika Beng An mengeluarkan teriakan panjang dan anak ini semakin mempercepat gerakannya akhirnya Beng An lenyap dan empat penjaga itu pusing karena Beng An sudah merupakan bayang-bayang yang tak dapat diikuti mata lagi, tiga empat kali berbenturan dengan teman sendiri dan akhirnya mereka satu per satu roboh ketika Beng An menampar muka mereka, mengaduh dan masing-masing mendekap mulut yang pecah berdarah.

Senjata di tangan mereka pun sudah terlepas dari tangan, entah kemana. Dan ketika anak itu menghentikan gerakannya dan berdiri bertolak pinggang, mengejek dan tertawa maka empat penjaga itu terkejut karena sekarang mereka sadar benar-benar bahwa anak yang mereka hadapi ini bukan bocah sembarangan.

"Nah," Beng An bertanya. "Kalian masih juga tidak mau minta maaf dan berlutut secara baik-baik? Kalian ingin agar aku mematahkan kaki kalian hingga dapat berlutut di depanku?"

"Ampun..." penjaga itu serentak bicara. "Kami tahu diri, siauw-hiap (pendekar cilik). Kami minta maaf. Tapi beritahukanlah siapa dirimu dan bagaimana kau ada disini!"

Tapi sebelum Beng An bicara tiba-tiba berkelebat bayangan Tek-ciangkun, juga Soat Eng. Gadis ini terkejut ketika adiknya tak kelihatan disitu, mencari namun istana yang teramat luas tak segera membuat gadis ini menemukan Beng An. Maka ketika dia teringat Tek-ciangkun dan minta agar perwira itu membantunya mencari Beng An maka disitulah mereka melihat Beng An dimana anak ini baru saja menghajar empat lawannya!

"Heii...!" Soat Eng terkejut. "Apa yang kau lakukan, Beng An? Kau memukul penjaga?"

"Dan kalian mengganggu putera Kim-taihiap!" Tek-ciangkun membentak empat penjaga itu, memotong suara Soat Eng. "Apa yang kalian lakukan, penjaga? Kalian tak tahu bahwa ini adalah putera Kim-mou-eng si Pendekar Rambut Emas? Kalian tak menghormati tamu? Hayo berlutut, minta maaf!" dan ketika empat penjaga itu terkejut dan terperangah maka Tek-ciangkun sudah menendangi mereka dan empat orang itupun mencelat tak keruan, kaget dan terkejut bukan main.

"Ampun.... ampun...!" mereka terguling-guling meloncat bangun, mengenal dan tentu saja takut melihat Tek-ciangkun. "Kami tak tahu, ciangkun. Kami salah!" dan cepat berlutut dan gemetar di depan Beng An empat orang itu buru-buru membenturkan jidat.

"Siauw-hiap, ampun.... maaf! Kami tak tahu bahwa kau adalah tamu..."

"Dan kami lebih tak tahu lagi bahwa kau adalah putera Pendekar Rambut Emas!" yang satunya menggigil ketakutan. "Kalau saja kami tahu tentu kami tak akan mengganggumu, siauw-hiap. Tapi ketahuilah bahwa kaputren inipun bukan tempat yang boleh dimasuki sembarang orang!"

"Hm!" Tek-ciangkun segera maklum. "Kim-kongcu hendak memasuki kaputren?"

"Benar," penjaga yang kebetulan merasa mendapat pembelaan buru-buru mengiyakan, membela diri. "Kami mencegah tapi Kim-siauwhiap memaksa, ciangkun. Dan karena kami harus melaksanakan tugas maka kami jadi bentrok!"

"Bukan itu yang membuat kita berkelahi!" Beng An tiba-tiba marah. Kalian menghina ayah ibuku, penjaga. Kalau tidak lancang dan bicara seperti itu tentu aku akan baik-baik kepada kalian!"

"Ah, ampun. Kami memang salah!" dan kepala jaga yang sadar dan insyaf akan itu segera membentur-benturkan lagi jidatnya karena mata Tek-ciangkun pun berkilat.

Perwira ini tadinya sudah hendak meringankan kesalahan anak buahnya sendiri tapi jadi bangkit lagi kemarahannya setelah mendengar itu. Beng An lalu menceritakan asal mulanya dan merahlah muka perwira itu. Dan ketika Tek-ciangkun menghardik dan menggerakkan kakinya maka empat orang itu kembali terlempar dan mereka mengaduh-aduh karena kaki mereka patah ditendang perwira itu, disuruh pergi dan penjaga baru segera dipanggil menggantikan penjaga-penjaga ini.

Perwira itu cepat menghadapi Soat Eng dan adiknya dan minta maaf atas kekurangajaran pembantunya, karena mereka juga bawahan perwira itu. Dan ketika Soat Eng jadi tidak enak dan menganggap adiknya juga bersalah karena keluyuran di tempat terlarang maka gadis ini berkata agar Tek-ciangkun memaafkan pula adiknya.

"Sudahlah, Kim-kongcu tak tahu. Sebaiknya ji-wi (kalian berdua) kuantar jalan-jalan atau kembali saja ke tempat ji-wi beristirahat!"

"Hm, kami akan kembali saja, ciangkun. Mungkin ayah ibu sudah menunggu disana. Baiklah, terima kasih!" dan Soat Eng yang berkelebat menyambar adiknya lalu kembali dan tentu saja mengomeli adiknya ini...