Istana Hantu Jilid 27 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

ISTANA HANTU
JILID 27
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

“JANGAN lancang.... dukk!" dan nenek Toa-ci yang tergetar dan terhuyung mundur tiba-tiba melengking dan marah kepada pemuda ini, tak dihiraukan dan Siang Le sudah menyambar lawannya itu.

Pemuda baju biru ini sudah tertangkap dan dia cepat menyuruh pembantunya mengikat pemuda itu, membawanya pergi dari peperangan yang masih berkecamuk. Siang Le telah memberi isyarat bahwa siapapun yang mengganggu tawanannya itu akan berhadapan dengan dirinya, tak perduli nenek Toa-ci. Dan karena nenek itu gentar terhadap See-ong dan memandang muka kakek iblis itu maka nenek ini mengumpat dan menahan kedongkolan hatinya.

Sementara Siang Le sudah pergi ke tempat lain, menghadapi musuh yang masih berani melawan namun ternyata robohnya pemuda tadi sudah membuat sisa-sisa pasukan kerajaan menyerah. Mereka membuang senjata dan hari itu kemenangan mutlak diperoleh pasukan penyerbu ini. Nenek Toa-ci dan lain-lain berkumpul, membicarakan kemenangan itu sekaligus juga perbuatan Siang Le yang menghinanya ketika berebut pemuda baju biru. Tapi ketika Togur tertawa dan berkata biarlah pemuda itu menawan musuhnya maka di tempat lain Siang Le telah menyelidiki dan mendapat keterangan bahwa pemuda baju biru itu adalah San Tek, putera San-ciangkun.

"Mau apa kau menangkap pemuda itu? Buat apa lagi? Bunuh dan habisi dia, Siang Le. Tak perlu ditawan!" gurunya, yang siang tadi tidak ikut pertempuran karena malas melihat lawan yang tidak setanding menegur muridnya dan malas-malasan di baraknya. Kakek ini makan minum ketika semua orang bekerja keras, hanya mendengarkan saja hasil peperangan itu dan mendengar bahwa muridnya menangkap San Tek, putera panglima yang telah dibunuh Togur.

See-ong memang mewakilkan pada muridnya untuk maju menumpas musuh. Selama belum ada musuh-musuh yang berat dia tak akan maju. Kakek ini tiada ubahnya seorang raksasa yang sedang bermalas-malasan, atau singa yang belum kelaparan. Dan ketika Siang Le berkata bahwa musuh yang kalah tak perlu dibunuh atau disakiti maka kakek itu mendengus mendengar kata-kata muridnya.

"Kau berhati lemah, tak pantas menjadi pemimpin. Huh, coba bawa bocah itu dan perlihatkan kesini!"

"Suhu mau apa?"

"Melihat macamnya, Siang Le. Bagaimana kau sampai melindunginya sedemikian rupa. Katanya kau menyerang Toa-ci ketika memperebutkan pemuda itu!"

"Hm, aku memang tak suka pada nenek itu, juga Togur. Mereka terlampau ganas dan tak kenal ampun!"

"Ha-ha, aneh sekali kau ini, juga memalukan! Eh, tak pantas kau bicara seperti itu, Siang Le. Justeru kau harus memuji dan mencontoh mereka. Kau murid See-ong, tokoh sesat. Jangan memalukan gurumu dengan bicara seperti itu lagi. Bawa dan suruh tawananmu itu kemari!"

Siang Le memutar tubuhnya. Dia melihat muka gurunya yang merah meskipun tertawa seperti itu, tahu gurunya gusar dan marah dan sama sekali tak senang melihat dia bersikap seperti itu. Memang sepatutnya sebagai murid See-ong dia harus bersikap kejam dan berwatak keji, seperti Toa-ci dan lain-lainnya itu, juga Togur. Gurunya bahkan bersinar-sinar dan bangga melihat kekejaman pemuda ini. Sayang bukan muridnya. Dan karena dia tak melihat watak-watak atau sikap seperti itu pada Siang Le maka diam-diam kakek ini kecewa namun juga ada perasaan lain di hatinya.

Entah kenapa See-ong tak puas tapi sekaligus juga sayang kepada muridnya itu. Bantahan dan debatan-debatan muridnya jelas menunjukkan muridnya seorang yang berani. Masalah keberanian barangkali Siang Le tak akan kalah dengan Togur, hal itu tak perlu diragukan. Tapi bahwa muridnya tak seganas atau sekejam Togur, yang pantas sebagai murid seorang tokoh sesat maka kakek ini diam-diam gemas dan marah juga kepada muridnya itu. Tapi tak lama kemudian pemuda itu tiba-tiba muncul, berkelebat membawa tawanannya.

"Nih," Siang Le melempar pemuda itu di depan gurunya. "Kau boleh melihat dan memeriksanya, suhu. Tapi jangan sekali-kali mengganggu atau membunuhnya. Dia milikku, tak boleh diganggu!"

"Hm, bebaskan totokannya, kakek ini bersinar-sinar. "Coba lihat seberapa keberaniannya itu, Siang Le. Kudengar dia amat gagah dan pemberani!"

Siang Le membebaskan totokan. Memang dia menotok tawanannya itu karena sejak tadi San Tek memaki-maki. Putera San-ciangkun ini memberontak dan di dalam kurungannya tadi bersikap melawan. Tapi begitu Siang Le menotok dan kini membebaskannya lagi mendadak pemuda ini melompat bangun dan tidak merasa gentar sedikitpun dia menerjang kalap.

"Aku boleh dibunuh tapi tak boleh dihina. Mampuslah!"

Siang Le berkelit, diserang dan tentu saja dengan mudah pemuda ini mengelak. San Tek menyerang lagi membabi-buta namun tiba-tiba See-ong membentak. Kakek itu menggerakkan tangannya ke depan dan tiba-tiba serangkum angin dahsyat menyedot pemuda ini. Dan ketika San Tek terkejut dan berteriak tertahan tiba-tiba dia sudah roboh dan jatuh di depan kakek itu, kakek yang kini mendapat perhatiannya dan berwajah menyeramkan seperti iblis.

"Kau di sini bukan untuk berkurang ajar. Berlutut dan menyerahlah baik-baik!"

"Keparat, kau siapa? Siapa mau berlutut dan menyerah kepada musuh? Aku tak sudi memenuhi permintaanmu, kakek jahanam. Bunuh dan habisilah aku, aku tak gentar!" "Hm, berlutut kataku."

"Tidak!"

"Kalau begitu kupatahkan kakimu!" dan See-ong yang bergerak cepat mengerotokkan buku-buku jarinya mendadak menampar dan San Tek menjerit tinggi ketika tempurung lututnya retak. Pemuda ini terguling dan tanpa ampun lagi dia mengaduh-aduh berlutut di depan See-ong.

Siang Le terkejut dan membentak berkelebat di depan gurunya, kejadian itu tak diduga dan dia kalah cepat. Namun ketika gurunya tertawa bergelak dan mengibaskan lengan maka dia terdorong mundur.

"Minggir, aku tak membunuh tawananmu!"

Siang Le terhuyung membelalakkan mata. Dia melihat gurunya memang tidak membunuh tawanan melainkan menciderainya, hal itu hendak dibantah namun gurunya sudah mengibas dia ke pinggir. Dan ketika Siang Le terdorong dan kakek ini menghadapi San Tek maka pemuda itu tergetar oleh sorot mata lawannya yang mencorong menakutkan, dingin dan seolah menembus sumsum tulang belakangnya.

"Kau tak perlu macam-macam di sini, tak perlu sombong. Kalau kau minta mati tentu mudah, tapi muridku tak mengijinkan. Hm, siapa namamu, anak muda? Kau bisa bicara?"

"Kau kakek jahanam keparat! Aku tak perlu menyebut namaku di depanmu!"

"Hm, jangan berlagak. Aku dapat memukul pecah mulutmu nanti!"

"Aku tak takut...!" dan baru ucapan ini selesai diucapkan tiba-tiba See-ong menggerakkan tangannya dan pemuda itu terpelanting. San Tek berteriak lagi karena mulutnya pecah berdarah. See-ong benar-benar membuktikan ancamannya! Namun ketika kakek itu terkekeh perlahan dan pemuda ini kesakitan sambil memaki-maki, makian yang tentu saja tidak jelas maka Siang Le berkelebat dan menolong pemuda itu.

"Suhu tak boleh kejam, atau aku terpaksa melawanmu!" "Heh!" kakek ini terbeliak. "Apa kau bilang, Siang Le? Kau mau melawan gurumu sendiri?"

"Kalau suhu menyakiti dan sekali lagi menyiksa pemuda ini maka aku akan terpaksa melawan dan menghadapimu. Kau tahanlah tanganmu atau aku akan marah!"

"Ha-ha!" See-ong tertawa bergelak. "Kenapa baru sekarang kau dapat bersikap seperti ini, Siang Le? Hah, kau mulai kurang ajar, mulai tak tahu aturan. Tapi bagus, aku senang. Itulah seharusnya yang kau perlihatkan sebagai murid See-ong!" dan tak marah serta girang memandang muridnya itu kakek ini berseri-seri.

Dan Siang Le pun sadar. Kata-katanya tadi bukan membuat gurunya gusar melainkan justeru senang. Orang seperti See-ong ini memang aneh, dasar seorang sesat! Namun ketika Siang Le menolong dan membangunkan pemuda itu maka Siang Le berkata agar San Tek bersikap baik-baik kepada gurunya.

"Kau tak usah menunjukkan kesombongan di sini. Tahu dirilah. Dia adalah guruku dan harap pandang mukaku kalau kau seorang pemuda baik-baik."

San Tek tertegun. Melihat dan mendengar semuanya ini diapun merasa heran namun juga kagum terhadap Siang Le. Tak dia sangkal, pemuda ini lihai dan bukan tandingannya. Tiga kali dia menyerang namun tiga kali pula dia dirobohkan, tak merasa begitu sakit atau tersiksa seperti sekarang, ketika dia mendapat hajaran si kakek iblis itu. Dan karena Siang Le memang baik dan baru dia tahu bahwa kakek di depannya itu adalah guru pemuda ini, jauh bedanya antara guru dan murid maka San Tek menahan sakit dan marahnya ketika ditanya sekali lagi oleh kakek itu.

"Nah, katakan siapa namamu. Dan belajarlah bicara yang baik di depan orang tua."

"Aku San Tek...."

"Apa hubunganmu dengan San-ciangkun?"

"Dia ayahku...."

"Ha, bagus. Dan ayahmu mampus! Hm, kau mau membalas dendam, anak muda? Kau berani menghadapi orang yang telah membunuh ayahmu si tolol itu?"

"Ayahku tak tolol, dia panglima dan pahlawan sejati!"

"Ha-ha, kalau tak tolol tentu tak mampus. Eh, jangan tersinggung kalau aku memaki ayahmu, bocah. Ayahmu memang tolol dan kau lebih tolol lagi. Tapi kau memiliki keberanian. Hm, dan aku paling suka dengan anak-anak muda yang pemberani. Eh...!" kakek itu menoleh pada muridnya, tiba-tiba menggoyang lengan menyuruh muridnya keluar. "Tinggalkan aku sebentar dengan anak muda ini, Siang Le. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengannya!"

"Suhu mau apa?" Siang Le mengerutkan kening. "Mau main gila?"

"Hm, kau terlalu curiga, dan semakin kurang ajar saja! Ha-ha, tidak. Aku hendak pinjam sebentar tawananmu ini dan percayalah dia akan kukembalikan baik-baik kepadamu, utuh!"

Siang Le ragu. Dia memandang tajam gurunya itu dan sangsi. Gurunya ini orang aneh dan apa saja dapat dilakukannya secara tiba-tiba. Tapi ketika gurunya tertawa dan berkata bahwa dia dapat membunuh San Tek meskipun dirinya ada di situ maka Siang Le menarik napas panjang dan pergi.

"Aku tak mengapa-apakan boah ini, hanya ingin berbicara sedikit. Kalau aku mau membunuh apakah sangkamu tidak bisa? Biarpun kau menghalangi tetap saja aku dapat melakukannya, Siang Le. Pergilah dan tinggalkan aku sebentar!"

Siang Le sadar. Dia melompat dan pergi meninggalkan gurunya namun berkata bahwa akan meminta tanggung jawab gurunya kalau sampai gurunya menipu. See-ong tersenyum dan berkata baik, kini sudah berhadapan lagi dengan putera San-ciangkun itu dan pandangan aneh terpancar di mata kakek ini.

San Tek tertegun dan seolah terhisap oleh pandang mata si kakek yang dalam, begitu menusuk dan tajam. Namun ketika kakek itu menggapai padanya dan entah bagaimana tubuhnya tiba-tiba terangkat naik dan jatuh di depan lawannya maka untuk kesekian kali pemuda ini terkesiap.

"Aku mau bicara baik-baik padamu. Kau dengarlah!" lalu melihat pemuda itu meringis kesakitan karena lututnya yang retak tiba-tiba See-ong sudah mengusapkan telapaknya dan lutut San Tek sembuh, seperti sihir! "Lihat, kesaktianku tinggi. Aku akan bersikap baik-baik kalau kau juga bersikap baik-baik. Hm, apakah kau suka mempelajari ilmu silat tinggi, bocah? Kau tak ingin memiliki kesaktian seperti yang kumiliki?" "Apa maksudmu?" San Tek tertegun. "Aku tak mengerti, dan bingung. Aku belum tahu kemana kau akan membawa pembicaraan ini. Dan sebutkan dulu siapa kau dan muridmu itu!"

"Ha-ha, aku See-ong. Dan muridku tadi Siang Le."

"See-ong? Kakek iblis dari Barat itu?" San Tek terkejut bukan main, terbelalak dan tiba-tiba perasaannya terguncang benar. Memang dia tidak tahu bahwa dia berhadapan dengan See-ong. Pantas begitu lihai, dan kejam! Dan ketika kakek itu tertawa dan mengangguk mendadak pemuda ini mengeluarkan keringat dingin, namun sekejap saja karena tiba-tiba dia tidak gentar atau takut lagi. Kepala dikedikkan gagah!

"Hm, kau kiranya sudah mengenal aku, tapi kau tidak takut! Bagus, tahukah kau siksaan apa saja yang dapat kuberikan padamu, anak muda? Pernahkah kau digigiti ribuan semut api dengan sebuah totokan perlahan? Seperti ini?" See-ong menggerakkan jarinya perlahan, menotok pemuda itu dan San Tek berjengit. Tepat seperti yang dikata si kakek tiba-tiba saja sekujur tubuhnya seperti digigiti ribuan semut api, bukan main panas dan sakitnya, melebihi ditusuk-tusuk jarum! Namun ketika dia menggelinjang dan mendesis-desis, melawan rasa sakit maka si kakek sudah membebaskannya tapi memberi totokan lain.

"Dan ini, kau akan tertawa terbahak-bahak!"

Benar saja, San Tek tiba-tiba tertawa terpingkal-pingkal. Namun ketika si kakek menghentikan totokannya dan menotok jalan-jalan darah lain maka berturut-turut pemuda itu merasakan perasaan yang berlain-lainan seperti gatal atau ingin menangis, kesetrum dan terakhir sekali dia merasa sebelah tubuhnya mati separuh, roboh dan menggeliat-geliat seraya merintih kesakitan. Bagian tubuhnya yang separuh itu rasanya hilang atau buntung.

Pemuda ini kaget dan membelalakkan mata namun kaki tangannya masih utuh. Itulah akibat kesaktian See-ong yang ditunjukkan kepadanya, entah untuk maksud apa. Dan ketika dia mengeluh melihat kakek itu menyeringai dan tersenyum lebar, menghentikan perbuatannya maka San Tek bertanya apa maksud kakek itu.

"Kau ingin memiliki kesaktian seperti ini? Kau tak ingin membalas dendam?"

"Maksudmu?" San Tek mengulang. "Apa yang tersembunyi di hatimu, See-ong. Katakan terus terang saja dan jangan memutar!"

"Heh-heh, bodoh dan tolol. Aku ingin mengangkatmu sebagai murid, San Tek, menggemblengmu ilmu-ilmu silat tinggi dan membuat kau ditakuti orang!"

"Apa? Menjadi muridmu? Kau hendak mengambil aku sebagai murid padahal kau sudah mempunyai murid bernama Siang Le itu?"

"Hm, aku tak puas padanya. Kau lihat sendiri muridku itu tak pantas sebagai murid See-ong!"

"Maksudmu...?"

"Siang Le terlalu lemah, tak memiliki sama sekali kekejaman layaknya murid seorang sesat. Aku mencari murid baru agar dapat memenuhi seleraku!"

"Jadi...."

"Benar. Satu saja syarat yang kuminta padamu, kalau kau mau. Yakni kau harus kejam dan telengas sebagaimana layaknya murid seorang tokoh sesat! Kau mau?"

San Tek tertegun. Tiba-tiba saja dia seakan tak percaya pada kata-kata kakek ini. See-ong hendak mengambilnya sebagai murid, bukan main. Hal yang serasa mimpi dan hampir tak dapat dipercaya! Tapi ketika dia ragu dan bersinar-sinar memandang kakek ini, bimbang, maka kakek itu bangkit berdiri dan menggerak-gerakkan kedua lengannya.

"Aku memiliki sebuah ilmu dahsyat yang tidak mau dipelajari muridku itu, Hek-kwi-sut namanya. Kalau kau mau menjadi muridku maka justeru ilmuku yang hebat ini hendak kuwariskan padamu. Aku tak mau ilmuku yang luar biasa ini kelak lenyap kalau aku mati. Nah, itulah ceritanya, inti persoalannya. Kalau kau mengerti sekarang juga kau jawab tapi kalau tidak yach... aku tak mau menemuimu lagi!"

San Tek terkejut. See-ong mendadak lenyap dan entah berada dimana. Tadi secara cepat tubuhnya sudah berganti asap hitam keabu-abuan seperti roh, hilang dan sirna dari depan matanya. Dan ketika dia terbelalak dan mengeluarkan seruan tertahan, seperti sedang berhadapan dengan hantu atau iblis mendadak pundaknya ditepuk orang dari belakang.

"Aku di sini!"

San Tek menoleh, tak ada. "Aku di sini, ha-ha...!" dan ketika pemuda itu menoleh tapi tak ada lagi maka berturut-turut See-ong telah menepuk dan mengurut tengkuk atau leher pemuda itu, terakhir memijat mata kakinya dan pemuda ini menjerit. See-ong memperlihatkan ilmunya yang hebat itu dan tentu saja pemuda ini ngeri. Dia bukan berhadapan dengan manusia lagi melainkan dengan iblis, roh jahat! Dan ketika pemuda itu pucat pasi namun akhirnya dapat mengendalikan diri, marah karena tiba-tiba merasa dipermainkan mendadak dia membentak,

"See-ong, jangan main-main. Kalau kau main-main aku akan memakimu!"

"Ha-ha, makilah. Coba kau maki. Aku tak akan mengambilmu sebagai murid..."

"Kau kakek jahanam busuk! Kau See-ong jahanam keparat! Aku tak menjadi muridmu juga tak apa dan boleh aku mati di sini...dess!" dan San Tek yang terpelanting oleh sebuah pukulan perlahan tiba-tiba berhenti berteriak ketika memotong ucapan kakek tadi, memaki dan See-ong tertawa bergelak.

Kakek itu tadi mencoba namun si pemuda ternyata memiliki keberanian besar. Keteguhan pendirian telah diperlihatkan putera San-ciangkun itu dan mendaratlah sebuah tamparan kakek ini ke pundak lawan. San Tek terbanting dan terguling-guling dengan kaget, pucat, siap menerima kematian tapi anehnya pukulan ke pundaknya tadi tidak sakit, biarpun tampaknya keras dan menggetarkan ruangan. Dan ketika dia melompat bangun dan sudah melihat kakek itu berdiri di depannya, muncul seperti iblis maka pemuda ini mendelong melihat kakek itu tertawa-tawa meremas bahunya, berkata,

"Kau lulus, ujian pertama berhasil. Kau dapat menjadi muridku namun malam nanti masih harus kau buktikan lagi!"

"Ap... apa? Kau... kau tidak marah dan membunuhku?"

"Ha-ha, keberanian dan keteguhan watakmu dapat dijadikan ukuran, San Tek. Kau berani mati dan siap menerima akibat apapun kalau sudah bertekad akan sesuatu. Bagus, cocok sekali dengan apa yang kudengar ketika kau dalam peperangan tadi. Nah, sekarang selesai dan malam nanti kita bertemu!" Lalu berkata agar pemuda itu tidak membicarakan hasil pembicaraan pada Siang Le, yang saat itu dipanggil dan ditepuk gurunya maka See-ong berkata bahwa pemuda itu selesai dipinjam.

"Silahkan, bawa kembali. Lihat, aku tak mengganggu seujung rambutnya dan lempar dia ke dalam kerangkengnya!"

Siang Le lega. Dia berjaga di pintu tapi tak mendengar atau melihat apa yang dilakukan suhunya. Dia berdebar dan tegang saja ketika mendengar suara tawa gurunya yang keras, juga maki-makian San Tek yang keras. Tapi ketika selanjutnya semua pembicaraan dilakukan secara perlahan dan Siang Le tak mendengar maka gurunya itu tiba-tiba memanggilnya dan menyuruhnya membawa kembali tawanan.

San Tek tak menampakkan perubahan kecuali di sinar mata pemuda itu terbayang kegembiraan. Siang Le heran dan tak mengerti namun dia tak curiga. Siang Le tak menduga bahwa diam-diam tawanannya ini kelak menjadi sutenya (adik seperguruan), diterima dan telah menerima isyarat gurunya agar rahasia itu disembunyikan. See-ong memang tak menghendaki rencananya ini diketahui, atau pemuda itu akan dibunuh.

Dan ketika See-ong berbisik dalam ilmunya mengirim suara bahwa nanti malam mereka akan bertemu lagi, meminta pemuda itu tak membicarakan apapun juga yang telah mereka bicarakan semua maka San Tek berdebar karena sesuatu yang baru akan merubah hidupnya. Dia telah memutuskan untuk menerima tawaran kakek itu sebagai muridnya, bukan apa-apa melainkan semata membalas dendam.

Dia teringat kematian ayahnya itu dan mata pemuda ini berapi-api. Kepandaiannya memang terlalu rendah dan hanya dengan menjadi murid See-ong itu dia akan menjadi pandai. Dan ketika malam itu pemuda ini dimasukkan kerangkengnya kembali dan dijaga oleh pasukan Siang Le, karena pemuda itu adalah tawanan pemuda ini maka pasukanpun beristirahat karena serbuan hari pertama itu selesai.

* * * * * * *

Entah bagaimana San Tek mendadak menguap panjang. Malam yang dingin dan suasana yang sepi tiba-tiba membuat pemuda itu mengantuk berat. Tiga orang penjaga, yang berdiri tak jauh dari kurungannya tiba-tiba juga menguap. Mereka tadi bercakap-cakap namun tiba-tiba roboh. San Tek membelalakkan mata melihat ini namun tiba-tiba diapun terguling. Ada suatu pengaruh kuat yang menyerangnya saat itu, kantuk. Ada perasaan ingin tidur dan melepas lelah. Dia sebenarnya tak ingin itu karena sedang menunggu See-ong. Si kakek berjanji akan menemuinya dan karena itu tentu saja dia tak ingin tertidur.

Tapi ketika kantuk itu datang begitu hebatnya dan dia tak kuasa lagi maka pemuda ini roboh dan tiba-tiba masuk ke mimpi yang aneh. Mula-mula sebuah bayangan hitam dilihatnya, tinggi besar dan menyeramkan. Itulah See-ong, kakek yang dikenalnya. Dan ketika dia berteriak dan memanggil, namun suara tak keluar maka See-ong tertawa dan masuk ke dalam kerangkengnya, begitu saja, tanpa membuka pintu alias menembus bak bayangan atau roh halus!

:Ha-ha, selamat malam, bocah. Ini aku. Hayo kita ke hutan di luar sana!"

San Tek membelalakkan mata. Dalam mimpinya yang samar-samar ini, entah benar atau tidak tiba-tiba dia sudah disambar si kakek. See-ong berkelebat keluar dan diapun melewati celah-celah jeruji besi itu seperti makhluk halus juga. San Tek terkejut karena bagaimana tubuhnya yang besar bisa melewati ruji-ruji besi itu, begitu mudah. Padahal anak kecilpun tak mungkin dapat melewatinya karena lebar ruji-ruji itu hanya lima sentimeter saja. Tersentak dia. Namun ketika dia dibawa kabur dan sang kakek menggerakkan tangan kirinya mendadak tiba penjaga yang roboh di situ tahu-tahu tersedot dan dibawa lari kakek ini seperti boneka-boneka kecil yang ringan.

"Ha-ha, malam ini ujian kedua untukmu, San Tek. Dan ingin kulihat apakah pantas kau menjadi murid kedua See-ong!"

San Tek membelalakkan mata. Dia dibawa ke hutan itu sementara tiga penjaga juga dibawa kakek ini, dengan tangan kirinya. Entah bagaimana San Tek tak mengerti bagaimana tiga orang yang besar-besar itu dapat dibawa si kakek. Semuanya ini seperti sihir dan San Tek sendiri serasa melayang ke dalam mimpi yang ganjil. Dia tak tahu apakah semuanya itu benar atau tidak, yang jelas dia serasa terbang dan pergi bersama-sama kakek ini ke hutan di depan. Dan ketika kakek itu sampai di sini dan melempar tubuhnya ke tanah maka tiga penjaga juga dibuang dan terbanting di rumput yang keras.

"Nah, kau katakan apakah kau suka atau tidak menjadi muridku!" kakek itu bicara kembali, mulai berkata.

Dan San Tek masih ternganga oleh semuanya itu. Dia serasa mimpi dan benar-benar tak tahu apakah pertemuannya itu sungguh-sungguh ataukah dalam khayalan saja. Kakek ini sudah tegak dan bertanya kepadanya. Namun ketika dia mengangguk dan girang tentu saja, karena See-ong adalah datuk sesat yang lihai luar biasa maka dia menjatuhkan diri berlutut.

"Kalau kau ingin mengambil aku sebagai murid tentu saja aku suka. Dan sebutkan apakah sekarang juga boleh kusebut dirimu suhu (guru)!"

"Ha-ha, nanti dulu, San Tek. Tadi kita telah bertemu dan kau telah berhasil melewati ujian pertama. Watakmu yang berani dan kekerasan hatimu dalam berpendirian sungguh tepat untuk kuambil murid. Tapi kau belum menunjukkan kekejaman yang sepantasnya dilakukan oleh seorang murid tokoh sesat. Nah, sekarang tunjukkan padaku watakmu yang kejam dan biar kunilai apakah kau cukup berbobot menjadi murid See-ong!"

"Apa yang harus kulakukan?"

"Membunuh, menyiksa! Aku ingin melihat kau membunuh dan menyiksa tiga orang ini. Bunuhlah mereka, siksalah. Buatlah yang paling kejam dan tunjukkan padaku bahwa kau dapat berbuat seperti itu!"

San Tek tertegun, terkejut.

"Kau tak mampu?"

"Hm!" pemuda ini berkilat matanya. "Siapa bilang? Mereka ini memang musuh-musuhku, orang yang telah membunuh ayahku. Aku akan membunuh mereka kalau ingin kau lihat!"

"Bagus, kalau begitu kubangunkan mereka. Ambil pedang ini!" dan See-ong yang melempar sebatang pedang kepada pemuda itu lalu menotok dan membangunkan tiga penjaga itu.

Mereka terkejut dan tentu saja melompat bangun, See-ong menghilang dan berteriaklah mereka melihat San Tek. Kakek iblis itu mempergunakan ilmunya Hek-kwi-sut dan tiga penjaga tak melihatnya. San Tek juga terkejut karena si kakek tahu-tahu menghilang, entah kemana. Dan ketika tiga penjaga itu melihatnya dan mereka terbelalak karena tawanan lolos, entah dengan cara bagaimana pula mendadak ketiganya berteriak dan menerjang San Tek.

"Heii, pemuda ini ada di sini. Tangkap dan robohkan dia!"

San Tek mendengus. Tubrukan tiga orang itu yang dilakukan hampir berbareng tiba-tiba dikelit mudah. Pemuda ini memang bukan pemuda sembarangan kalau hanya menghadapi orang-orang sebangsa penjaga itu. Maka ketika mereka berteriak dan menerjang lagi, mencabut senjata maka San Tek sudah dikeroyok dan pemuda ini menggerakkan pedangnya.

"Crangg!" Tiga golok terpental semua. Lawan terpekik karena San Tek tiba-tiba berkelebat, membalas. Dan ketika pemuda itu membentak dan menyerang lawan tiba-tiba seorang di antaranya terkena tusukan.

"Cras!" Laki-laki itu mengaduh. San Tek menendang dan terlemparlah lawan oleh sapuan kakinya itu, bergerak ke kiri dan penjaga nomor dua roboh. Lalu ketika San Tek berkelebat dan menusukkan pedang ke kanan maka lawan terakhir pun menjerit dan jari kelingkingnya putus.

"Aduh.... crak-blek-dess!"

Tiga-tiganya berteriak tak keruan. Dua yang belum terluka sudah bergulingan meloncat bangun, yang kelingkingnya putus mengaduh-aduh sambil mendekap kelingkingnya yang luka itu. Dan ketika mereka berteriak lagi karena diserang si pemuda, karena San Tek sudah membentak dan mengelebatkan pedangnya maka dua penjaga ini kalut mengelak sana-sini, menjaga diri namun tusukan dan tendangan San Tek mengenainya juga. Memang mereka bukan tandingan San Tek yang jelek-jelek adalah putera seorang panglima, yang gugur di medan laga. Dan ketika San Tek menggerakkan kakinya lagi dan pedang menyambut dari depan maka dua penjaga itu roboh ketika paha mereka tertusuk dalam.

"Aduh, ampun.... ampun....!"

San Tek tertawa dingin. Dia berkelebat dan tegak di depan dua penjaga itu dengan pedang digerak-gerakkan didepan dada. Bagian tajamnya berkilat-kilat kena pantulan sinar bulan, tentu saja membuat dua lawannya gentar. Dan ketika San Tek menyuruh mereka berlutut, dan sudah dituruti mendadak pedang pemuda ini menabas dan satu di antara dua orang itu terpenggal kepalanya.

"Kalian tak dapat diberi ampun. Ini pelajaran dan bertobatlah pada ayahku di akherat!"

Penjaga satunya berteriak kaget. Kepala temannya tahu-tahu putus, begitu cepat dan menggelinding didepannya. Dan ketika kepala yang putus itu mendelik matanya karena mungkin penasaran dan marah, kenapa si pemuda membunuh lawan yang sudah tidak berdaya tiba-tiba orang ketiga, yang putus jari kelingkingnya dan mengaduh-aduh di sana mendadak memutar tubuhnya dan berteriak-teriak.

"Iblis! Tawanan lolos! Tolong.... tolong.....!"

San Tek melotot. Dia memang belum menghukum laki-laki ketiga itu karena hendak menghajar dua lawannya ini dahulu. Laki-laki itu nanti akan mendapat bagiannya pula tapi kini tiba-tiba sudah berteriak-teriak, melarikan diri dan lintang-pukang memanggil teman-temannya, hal yang tentu saja tak dibiarkan pemuda ini dan melompatlah San Tek mengejar lawannya itu. Dan ketika dia membentak dan menyuruh lawan berhenti, hal yang tak dituruti karena lawan tiba-tiba berlari semakin kencang maka San Tek menggerakkan pedangnya dan tahu-tahu senjata itu menimpuk dari belakang.

"Jahanam, berhenti kataku. Ataukau mampus.... crep!" pedang itu menancap, tepat sekali di punggung dan meneganglah tubuh orang sesaat. Tapi ketika laki-laki itu ambruk dan roboh binasa, tewas tak mengeluarkan suara lagi mendadak laki-laki kedua, yang terluka dan berlutut disitu mendadak bangun berdiri dan melarikan diri sambil menahan sakit, tidak berteriak-teriak seperti temannya dan hutan yang gelap menjadi persembunyiannya.

San Tek sedang mencabut pedangnya saat itu ketika laki-laki ini melarikan diri. Tapi ketika laki-laki itu terjatuh karena keserimpet akar-akaran pohon, maklum pahanya terluka dan diseret pula maka San Tek menoleh dan terkejut melihat lawan sudah mendekati mulut hutan.

"Heii!" pemuda ini membentak. "Jangan lari kau, jahanam busuk. Aku akan membunuhmu dengan bengis kalau kau melarikan diri!"

Tapi laki-laki ini sudah tertatih bangun. Dia gemetar dan pucat ketika San Tek melihatnya. Hal itu tak dikehendaki dan diam-diam dia mengumpat kenapa kakinya keserimpet di bawah, kenapa matanya tak melihat dan seperti buta saja. Laki-laki ini mendesis dan tiba-tiba mengeluh mengangkat bangun tubuhnya, berlari dan sudah menyusup ke hutan. Dan ketika San Tek mengejar dan membentak di belakang maka laki-laki ini sudah hilang dan bersembunyi di balik pohon-pohon gelap.

"Ha-ha, dia di sini!" Sebuah suara tiba-tiba terdengar.

San Tek tertegun karena itulah suara See-ong. Dia memang kehilangan jejak karena musuh sempat mendahului dan menghilang. Tapi begitu See-ong memberi tahu dan laki-laki itu kaget dan pucat karena suara tanpa rupa meniup di belakangnya maka San Tek berkelebat dan benar saja melihat laki-laki itu. "Hei, kemari kau. Berhenti!

Laki-laki itu mengeluh. Dia meloncat dan menghilang lagi di tempat lain, celakanya suara See-ong mengikuti dan kakek itu selalu memberi tahu San Tek. Kemanapun penjaga itu menyembunyikan diri ke situ pula suara si kakek memberitahunya. Laki-laki ini putus asa dan dia serasa dikejar setan, akhirnya tak dapat bergerak lagi karena mendadak kedua lututnya lumpuh, mendeprok dan gemetaran ketika San Tek mendapatkannya di balik semak yang amat lebat. Dan ketika pemuda itu berkelebat dan menotok pinggangnya maka laki-laki ini roboh dan meminta ampun dengan suara memelas.

"Jangan bunuh.... jangan bunuh.... aku ingin hidup dan ampunilah aku!"

Namun San Tek menendangnya. Laki-laki itu mencelat dan pedang pun siap menusuk di tangan yang bergetar. San Tek marah dan geram karena lawan tak menuruti kata-katanya, disuruh berhenti malah lari. San Tek tak menyadari bahwa tentu saja lawannya itu harus melakukan itu. Sebab, siapa yang mau terbunuh? Namun ketika San Tek menggeram dan hendak menusukkan pedangnya ke leher, menghabisi lawan tiba-tiba See-ong muncul dan berseru,

"San Tek, membunuh seperti ini bukan kejam namanya. Habis ditusuk habis pulalah nyawa lawanmu. Tidak, berikan siksaan dulu dan perlihatkan bahwa kau suka menyiksa!"

San Tek tertegun, membelalakkan mata.

"Kau ingat kematian ayahmu, bukan? Kau tahu betapa dia dilanda ketakutan dan kengerian hebat sebelum dibunuh? Nah, lakukan itu kepada lawanmu. Dua yang lain itu sudah terlanjur dibunuh cepat tapi yang terakhir ini biarkan menerima kengerian dulu. Siksa dan takuti jiwanya, tunjukkan bahwa kau pantas menjadi muridku atau kau tak mendapat ilmu kepandaian tinggi, tak dapat membalas kematian ayahmu!"

San Tek menggeram. Sekonyong-konyong keberingasannya bangkit kembali, matanya berkilat-kilat dan tampak pemuda ini jauh menjadi lebih keji daripada tadi. Karena ketika dia menyambar dan mengangkat tubuh lawan, bertanya pada kakek itu kekejian bagaimana yang harus dia perlihatkan maka See-ong tertawa serak memandang dua mayat di sana.

"Banyak sekali, satu di antaranya ialah menyembelih mayat disana itu. Ikat tawananmu ini dan perlihatkan padanya bahwa kau dapat mengganyang jantung musuhmu mentah-mentah!"

"Apa?" San Tek terkejut, ingin muntah. "Mengganyang jantung sebuah mayat?"

"Ha-ha, Hek-kwi-sut menuntut kekejaman yang lebih kejam lagi, San Tek. Kelak kau akan membunuh puluhan orang dan bersamadhi di atas tulang-tulang tengkorak lawanmu. Ini belum apa-apa. Kau harus belajar lebih kejam kalau ingin memperoleh kepandaian tinggi, atau kau tak akan dapat membalas dendam dan seumur hidup kau menjadi pemuda lemah!"

San Tek membentak. Berkilat dan menampar tawanannya itu tiba-tiba pemuda ini mengikat sang penjaga, berkelebat dan sudah menyambar mayat terdekat. Dan ketika dengan pedang pemuda ini menusuk dada mayat dan mencongkel keluar maka sebuah jantung segar telah berada di tangan pemuda ini. Sang tawanan terbelalak dan hampir pingsan. Dia tak dapat berkata apa-apa kecuali suara-suara takut. Rasa ngeri yang hebat memang sedang melandanya saat itu.

See-ong tertawa bergelak dan menyuruh pemuda itu menyikat makanannya, jantung segar yang masih berdenyut perlahan. Dan ketika San Tek membuka mulut dan mendekatkan jantung segar itu maka pemuda ini sudah menggigit dan keremus-keremus seperti harimau buas mendapat kerupuk basah!

"Tidak... oh, tidak...!" sang penjaga tak kuat, menangis dan menutupi mukanya tapi See-ong tertawa bergelak di balik ilmunya. Kakek ini terbahak menyuruh San Tek mengambil lagi jantung yang lain setelah jantung pertama habis. Mulut dan hidung pemuda ini penuh darah yang amis dan menjijikkan, sungguh membuat orang ingin muntah. Dan ketika San Tek mencongkel dan mengeluarkan jantung satunya lagi untuk dimakan di depan tawanannya itu maka See-ong terbahak-bahak menyuruh pemuda ini untuk terakhir kalinya mengerat paha laki-laki itu dan memanggangnya untuk dijadikan sate, dimakan di depan pemiliknya!

"Baik!" San Tek sudah kehilangan kepribadiannya, menusuk dan mengerat paha orang. "Kekejaman apapun yang kau suruh lakukan tentu kulakukan, locianpwe. Aku akan memanggang paha orang ini dan memanggangnya di depan hidungnya!"

Namun laki-laki itu pingsan. Begitu San Tek menusuk dan melukai pahanya, mengambil segumpal maka laki-laki ini tak kuat lagi. Dia sudah terlalu ngeri dan pucat melihat kekejaman yang diperlihatkan pemuda ini. San Tek seolah bukan manusia lagi melainkan iblis, iblis yang diciptakan See-ong!

Dan ketika See-ong terbahak-bahak sementara San Tek menyeringai dan memanggang daging itu, paha segar dari manusia yang masih hidup maka selanjutnya pemuda ini sudah mulai dijejali sebuah kekejaman yang kelak akan membuatnya ganas dan berbahaya. See-ong menyuruh pemuda itu menghabiskan makanannya, menyadarkan dan menyuruh tawanan lari. Dan ketika penjaga itu sadar dan lari, tentu saja dengan rintihan dan rasa sakit yang ditahan-tahan maka See-ong menyuruh pemuda itu mengejar dan menangkapnya kembali.

"Tangkap dan kerat dagingnya sepotong lagi setiap ketemu. Bebaskan dan cari lagi sampai lawan benar-benar dapat menyembunyikan diri!"

Namun mana mungkin laki-laki itu dapat menyelamatkan diri? Dikerat sepotong saja dia sudah mengaduh-aduh. San Tek bersikap seperti anjing pemburu terhadap tikus hutan, tertangkap sebentar lalu dilepaskan lagi. Dan karena tiga kali dia tertangkap dan itu berarti tiga kali pula dagingnya diiris si pemuda, sebagai hukuman maka akhirnya tawanan ini tak kuat lagi untuk berlari jauh karena ia sudah roboh terjerembab, tewas oleh rasa takut dan ngeri yang amat sangat, yang membuat syaraf di otaknya pecah!

"Ha-ha, bagus, San Tek. Sekarang kau benar-benar pantas menjadi muridku. Bawa dan lempar kembali tiga penjaga ini di kerangkengmu!"

San Tek mengusap mulutnya, yang penuh minyak, juga darah. Dia merasakan kegembiraan yang aneh dalam perburuan ini. Setiap menangkap dan menyiksa lawannya seakan-akan dia dapat melampiaskan dendamnya yang membakar. Penjaga itu akhirnya roboh juga dan tewas. Dan ketika sang kakek memerintahkan dia untuk membawa tiga mayat itu, ke tempatnya semula maka San Tek memungut dan mengikat mereka menjadi satu. Membawa seperti cara See-ong jelas tak mungkin baginya. Yang dapat dilakukan adalah seperti itu, menyeret dan mengikat tawanan menjadi satu.

Dan ketika dia mulai berjalan dan kembali ke perbatasan, tak gentar atau takut karena dia tahu See-ong di belakangnya maka kakek iblis ini tertawa bergelak dan berseri-seri melihat calon muridnya itu. Melihat San Tek benar-benar menuju ke tempatnya semula dan penjaga yang ada di depan tentu saja kaget dan berteriak. Mereka melihat sikap yang mengerikan dari pemuda ini.

Namun sebelum mereka bergerak atau membunyikan tanda bahaya maka See-ong mengangkat tangannya dan semua penjaga itu roboh, tidak tewas tapi pingsan saja karena kakek ini tak bermaksud membunuh penjaga. Mereka itu adalah anak buah muridnya dan tenaganya diperlukan. Serangan ke kota raja masih jauh dan tentu saja kakek ini tak mau merugikan Siang Le, biarpun kini sudah mendapat murid baru. Dan ketika San Tek melempar tiga mayat itu ke dalam kerangkengnya, tertawa dan membalik maka See-ong berkelebat dan menepuk pundaknya.

"Sekarang kau resmi menjadi muridku. Marilah, pegang tanganku dan bersembunyi di balik Hek-kwi-sut!"

San Tek mengikuti. Pemuda ini sudah memegang tangan si kakek dan tiba-tiba ubun-ubunnya ditiup. Semacam angin dingin mengusap tengkuknya pula dan mendadak terangkat. Dan ketika San Tek terkejut karena tubuhnya tiba-tiba dirasa mengecil, kecil dan akhirnya lenyap maka dia sudah memasuki sebuah gulungan hitam yang muncul dari tubuh See-ong.

"Ha-ha, sekarang kau aman. Tak ada lagi yang melihatmu dan mulai hari ini juga kau belajar mewarisi kepandaianku!"

San Tek serasa dibawa ke alam gaib. Dia tak tahu apa yang terjadi dan kakek See-ong tampak begitu besar di matanya, yang menjadi kecil karena tubuhnya sudah seperti sebuah boneka. Dia tak mengerti bahwa dia telah disembunyikan kakek iblis ini ke dalam ilmu hitam, Hek-kwi-sut. Ilmu yang dimiliki kakek itu telah menyembunyikan pemuda itu dan sejak saat itu juga San Tek bersama gurunya.

Bayang-bayang dirinya sudah menjadi bayang-bayang See-ong pula. Dan ketika malam itu tiga penjaga tewas dan San Tek tak ada di kerangkengnya maka keesokannya pasukan gempar. Mereka melapor pada Siang Le dan cepat pemuda ini melihat, dan begitu menyaksikan tiga mayat melintang tak keruan, dua di antaranya sudah tak berjantung lagi maka Siang Le tertegun dan bergidik, marah dan cepat mencari gurunya karena dia mengira gurunya itu yang melepas tawanan, dibunuh di lain tempat. Tapi ketika gurunya tenang-tenang saja dan berkata bahwa tawanan sama sekali tak dibunuh, berani sumpah, maka Siang Le terhenyak.

"Kau tak perlu menuduhku yang bukan-bukan. Buat apa aku membunuh bocah itu? Pergilah, tak perlu aku berbohong di depanmu, Siang Le. Kalau aku melepas dan membunuhnya tentu aku tak perlu takut mengaku di depanmu!" "Jadi siapa yang melepas? Kenapa pemuda itu pergi?"

"Heh, kenapa bertanya kepadaku, bocah? Anak itu pergi tentu karena tidak kerasan di tempat. Dan yang melepas tentu tiga pembantumu yang bodoh itu!"

"Hm, baiklah. Syukur kalau begitu, aku percaya padamu!" dan Siang Le yang lega melompat pergi tiba-tiba membuat gurunya malah terbelalak, memanggil.

"He, nanti dulu. Tunggu dan sebutkan kenapa malah kebetulan!"

"Aku memang tak berniat membunuh San Tek. Pemuda itu kelihatan sebagai pemuda baik-baik, dan aku merencanakan untuk membebaskannya beberapa hari lagi!" Siang Le menjawab, berhent idan memandang gurunya itu dan See-ong pun melebarkan mata. Dia jadi heran bahwa diam-diam ternyata muridnya hendak melepaskan tawanan, membebaskannya. Tapi tertawa dan terbahak menepuk pundak muridnya itu kakek ini berkelebat duduk kembali.

"Baiklah, bagus kalau begitu, Siang Le. Berarti kau tak membenci pemuda itu!"

"Kenapa harus membencinya? Dia bukan musuh, dan termasuk pemuda yang gagah perkasa. Aku justeru bersimpati pada nasibnya yang buruk dan menyesalkan kematian ayahnya itu!"

"Ha-ha, bagaimana kalau dia menjadi saudaramu?" See-ong tiba-tiba berkata. "Bagaimana kalau kelak kau bertemu dia lagi?"

"Saudara? Hm, tak mungkin. Pemuda itu memusuhiku, suhu. Aku kasihan dan simpati padanya tapi tak mungkin kata-katamu itu terjadi. Sudahlah, aku lega dia melarikan diri meskipun agak aneh rasanya pemuda itu dapat lolos dengan selamat!" Siang Le pergi, berkelebat meninggalkan gurunya dan terbahaklah See-ong oleh jawaban muridnya ini. Dia lalu berkemak-kemik dan muncullah San Tek di hadapannya.

Pemuda itu telah mendengar kata-kata Siang Le dan See-ong bertanya bagaimana reaksi pemuda itu. Dan ketika San Tek tersenyum dan mengangguk mengacungkan jempol maka pemuda ini menyeringai. "Suheng (kakak seperguruan) memang orang baik-baik. Tak kusangka kalau dia diam-diam bermaksud membebaskan aku. Hm, baik benar muridmu itu, suhu. Kau beruntung!"

"Ha-ha, beruntung hidungmu! Justeru itu membuat namaku jatuh, San Tek. Menjadi murid See-ong harus ganas dan tak kenal kasihan. Sudahlah, kau kembali bersembunyi dan baik-baiklah hanya kepada suhengmu itu!" sang kakek menepuk.

San Tek mengecil tubuhnya dan tiba-tiba lenyap di balik asap hitam di belakang punggung kakek ini. Itulah keadaan San Tek sekarang. Dan ketika hari-hari kemudian dilalui pemuda ini di balik bayang-bayang gurunya, tersembunyi dan menjadi satu dengan badan halus kakek itu, di dalam Hek-kwi-sut maka hari-hari selanjutnya dilalui pasukan liar ini dalam serbuan ke selatan. Mereka akhirnya tak menghiraukan San Tek lagi dan Siang Le diajak rekannya, Togur, menggempur dan memasuki daerah pedalaman. Di sini Siang Le harus menahan perasaannya melihat sepak terjang Togur, kekejaman dan keganasannya ketika menghadapi musuh.

Togur mendobrak pintu-pintu gerbang seperti halnya menyerbu perbatasan tembok besar dulu, mendaki dan naik ke atas seperti cicak terbang. Tak ada yang mampu menghalangi pemuda itu dan berkelebatanlah pemuda itu di dalam daerah musuh, dibantu kelima gurunya. Dan karena mereka memang orang-orang hebat di mana tak satu pun panglima yang sanggup menahan majunya pemuda ini maka satu per satu kota-kota Cin-po dan Cin-yang direbut, bahkan akhirnya Tai-yuan juga diserbu. Kota ini sudah termasuk wilayah Shan-si dan tanpa terasa tiga propinsi sudah dikuasai pasukan Togur, dan Siang Le itu.

Dan ketika sebulan saja dari serangan besar-besaran ini sudah merobohkan banyak panglima atau jenderal, maka Ho-nan menjadi propinsi keempat yang siap digempur Togur. Pemuda ini tertawa bergelak dan selalu merayakan kemenangannya dengan pesta-pora. Siang Le harus membuang muka dan menjauh kalau sudah melihat itu. Togur mempermainkan wanita-wanita rampasan dan pasukannya bersorak-sorai ketika dibagi-bagi seperti anak kecil mendapat kembang gula.

Setiap Siang Le hendak memberontak atau marah-marah maka gurunya muncul, berdehem dan mengajak dia menjauh. Hanya karena gurunya itulah Siang Le menahan semua perasaan yang terbakar. Dan ketika rencana serbuan ke Ho-nan yang berarti kian mendekati kota raja diumumkan dan mendapat sorakan ramai maka Togur mengutus seorang gurunya untuk menemui kaisar.

"Berikan surat ini kepada kaisar dan suruh dia menyerah baik-baik. Pasukanku sudah tinggal seminggu lagi ke istana atau kaisar akan kuturunkan dari tahtanya secara paksa. Nah, temui penguasa tolol itu, subo. Berikan surat ini dan kembalilah dalam tiga hari!"

Ternyata Togur memerintahkan nenek Naga. Nenek itu sudah diberi sepucuk surat yang isinya adalah pemberitahuan sekaligus ancaman bagi kaisar bahwa pernyerbuan tak dapat ditahan lagi. Pasukan kerajaan sudah dibuat porak-poranda dan kota demi kotapun direbut. Istana memang gelisah dan tak ada seorangpun yang tidak pucat. Para selir dan puteri-puteri cantik di istana rata-rata gemetar. Mereka telah mendengar kebuasan dan kebrutalan Togur, yang sebentar saja sudah dikenal sebagai pemuda mengerikan yang suka mempermainkan tawanan-tawanan wanita, berkepandaian tinggi dan amat ganas serta kejam.

Dan ketika tiga propinsi sudah direbut pemuda itu dan pasukan bangsa liar sudah siap menggempur Ho-nan, yang merupakan benteng terakhir bagi istana maka saat itu nenek Naga berangkat. Nenek ini berseri-seri dan kesukaannya yang aneh timbul. Melihat muridnya mempermainkan wanita-wanita cantik maka diapun mempermainkan pemuda-pemuda tampan. Ada kebiasaan baru yang buruk yang mulai menghinggapi nenek ini, juga dua nenek yang lain, Toa-ci dan Ji-moi.

Karena setelah melihat kebrutalan perang dan kebuasan prajurit, yang lahap dan saling berebut kalau mendapatkan tawanan wanita maka nenek Naga dan lain-lain tergerak, bangkit berahinya yang terpendam dan mereka mula-mula hanya menonton saja. Tapi ketika menonton saja dirasa tak puas, nafsupun timbul maka nenek Naga dan dua nenek yang lain mulai melakukan hal yang sama. Mereka tertawa dan membagi pemuda-pemuda tampan, tentu saja mudah karena kepandaian mereka yang tinggi.

Dan ketika kesenangan itu kian memuncak dan tidak mengarah pada pemuda-pemuda biasa saja, karena nenek ini dan lain-lain mulai mengincar pada putera-putera pembesar atau bangsawan tinggi maka baik wanita ataupun pria menjadi korban Togur dan nenek-nenek ini, tentu saja kian lama kian menggila dan ngerilah siapapun yang melihat tindak-tanduk mereka itu. Togur dan guru-gurunya serasa orang-orang yang tidak waras lagi.

Namun ketika nenek itu berangkat melaksanakan tugas, menemui kaisar dan diberi waktu tiga hari untuk kembali ternyata nenek ini tak kembali. Togur menunggu tiga hari lagi namun subonya itu tak muncul juga. Terkejut dan heranlah pemuda itu. Tak biasanya si nenek membangkang. Pasti ada apa-apa. Dan ketika dia mengutus lagi dua subonya yang lain, Toa-ci dan Ji-moi ternyata dua nenek itu juga tak kembali.

Apa yang terjadi? Membelotkah nenek-nenek sakti itu? Tak mungkin. Mereka adalah nenek-nenek iblis yang sudah di bawah kekuasaan muridnya sendiri. Kehebatan dan kesaktian Togur sekarang sudah bukan tandingan mereka. Dan ketika Togur disana terbelalak dan mengepalkan tinju, marah dan siap menemui See-ong untuk membicarakan ini maka di lain tempat memang terjadi sesuatu. Dan itu menimpa diri nenek Naga dan Toa-ci serta Ji-moi yang sial!

* * * * * * *

Kereta berkuda itu lewat dengan tenang. Derapnya yang teratur dan iramanya yang tik-plok-tik-plok memberi kesan bahwa penumpangnya sedang melakukan perjalanan santai. Benar, itu tidak salah. Mereka terdiri dari tiga orang dewasa dan seorang anak laki-laki kecil. Anak ini, yang duduk di sebelah kusir yang menjalankan kereta tampak tertawa-tawa membunyikan kelenengan. Kelenengan itu dibunyikan setiap kaki kuda berirama silih berganti, membentuk sebuah lagu dan meskipun sederhana namun enak juga didengar telinga. Sedap!

Anak itu tertawa-tawa dan kusir di sebelahnya, seorang laki-laki gagah berambut keemasan tersenyum-senyum melihat ulah anak ini. Itulah Pendekar Rambut Emas bersama keluarganya. Anak laki-laki kecil itu bukan lain adalah Beng An, Kim Beng An, seorang anak laki-laki yang berani dan berwatak keras, gagah dan tentu saja hebat untuk anak seusianya karena sekecil itu sudah digembleng ilmu silat oleh ayah ibunya.

Beng An telah mempelajari pukulan-pukulan Tiat-lui-kang ataupun Pek-sian-ciang, juga sering berlatih dengan sebatang pit hitam seperti ayahnya. Kadang-kadang pit ini disisipkan di atas telinganya, dijepit. Sepintas, seperti bocah tukang gambar yang siap melukis. Anak ini memang mulai gemar melukis dan agaknya bakat ayahnya menurun.

Pendekar Rambut Emas, sebagaimana diketahui adalah juga seorang ahli lukis. Dulu lukisannya telah membuat heboh istana ketika kaisar tergila-gila pada Cao Cun, Wang Cao Cun, puteri Wang-taijin. Dan karena dia seorang ahli lukis maka kadang-kadang Pendekar Rambut Emas inipun mempergunakan pit hitamnya itu untuk menghadapi lawan. Dan Beng An mewarisi bakat ayahnya itu, senang melukis. Dan ketika pagi itu mereka melanjutkan perjalanan setelah menginap semalam di kampung Hok-chungcu (kepala kampung Hok) maka Beng An merasa gembira karena melewati hutan.

"Kita menerabas ditengah-tengah saja, sekalian berburu!"

"Hush," ayahnya tersenyum. "Ransum makanan sudah cukup, Beng An. Jangan berkeliaran lagi. Tadi Hok-chungcu telah memberi kita dendeng dan roti-roti kering."

"Ah, aku tidak bermaksud mencari makanan, ayah, melainkan ingin melatih otot-ototku dengan bertarung melawan binatang buas. Sudah seminggu ini tubuhku kurang semangat karena tak menghadapi lawan tangguh. Aku ingin mencari harimau atau singa seperti di padang perburuan kita!"

"Ha-ha, kau ini selalu gatal. Pagi-pagi begini mana ada hewan seperti yang kau harapkan? Mereka masih tidur, Beng An, belum ada yang bangun!"

"Ah, ayah bohong. Tak perlu membujukku. Aku tahu saat begini justeru si raja rimba biasanya mencari mangsa. Ayolah, ayah. Biarkan aku berolah raga dan mencari buruanku!"

"He, nanti dulu!" sang ayah mencengkeram pundak puteranya, yang mau keluar. "Beri tahu ibumu dulu, Beng An. Jangan nyelonong dan minta ijinku seorang. Aku takut ibumu marah kalau aku memberimu ijin keluyuran!"

"Ah, ibu pasti membolehkan!" dan Beng An yang tertawa berjungkir balik ke belakang lalu menyingkap tirai kereta berbicara kepada ibunya, "Ibu, aku boleh main-main di hutan ini, bukan? Seminggu tubuhku sakit semua, tak bertarung dengan raja rimba. Aku ingin berolahraga dan mencari keringat!" "Hm," Swat Lian, yang tersenyum dan sudah mendengar pembicaraan itu tertawa. "Permintaanmu sama dengan perintah, An-ji. Tidak bolehpun kau pasti merengek. Baiklah, tapi jangan sendiri. Suruh ayahmu berhenti dan biar encimu Soat Eng menemani."

"Horee, ibu baik sekali!" dan Beng An yang bersorak serta mencium pipi ibunya lalu berkelebat dan berjungkir balik menemui ayahnya. "Yah, ibu mengijinkan. Kau diminta berhenti dan aku akan main-main dengan enci Soat Eng!"

Pendekar Rambut Emas menghentikan keretanya. Empat ekor kuda itu meringkik dan Beng An sudah meloncat turun. Bersorak dan berteriak-teriak gembira anak laki-laki ini sudah menyambar panahnya, berkelebat dan memasuki bagian hutan yang gelap. Di pinggangnya sudah tersisip pula sebuah pisau kecil dimana semuanya itu memang merupakan alat-alat untuk berburu bagi anak laki-laki ini. Soat Eng berteriak dan membentak adiknya itu, tanpa menunggu sudah masuk dan lenyap di hutan. Tapi ketika gadis ini melesat dan berjungkir balik melalui jendela kereta maka diapun sudah mengejar dan menyusul adiknya itu, Beng An yang nakal.

"Hei, tunggu, Beng An. Kujewer telingamu nanti. Ingat pesan ibu bahwa kau tak boleh sendiri!"

"Ha-ha, kau lamban sekali, enci. Menunggumu sama dengan menunggu jalannya siput. Ayolah, kejar aku dan kita dengar auman di depan itu!"

Soat Eng memaki adiknya itu. Memang tiba-tiba di depan itu terdengar auman perlahan si raja rimba. Soat Eng berkelebat dan menyusul adiknya, melihat adiknya itu merunduk dan sudah bersiap dengan busur dan panah di tangan, sikapnya gagah dan tak kenal takut. Mengagumkan. Sekecil itu siap menghadapi bahaya dan justeru menyongsong bahaya! Dan ketika gadis itu menyambar dan menangkap lengan adiknya untuk berhati-hati maka Pendekar Rambut Emas dan isterinya tersenyum saling pandang, tak khawatir, karena mereka tahu kepandaian putera mereka itu, apalagi di bawah kawalan encinya.

"Anakmu itu gagah sekali, tak kenal takut. Hm, sungguh pemberani!

"Ih, anak siapa? Bukankah anakmu juga? Eh, memuji anakku berarti memuji anakmu juga, suamiku. Jangan berpura-pura!"

"Ha-ha, kau benar. Eh, aku memang keliru!" dan Pendekar Rambut Emas yang menyambar serta memeluk isterinya itu lalu mendaratkan ciuman sayang di bibir.

"Hush, jangan disini. Eng-ji dan An-ji ada di depan!

"Wah, depan mana? Mereka lenyap di kejauhan sana, isteriku. Jangan membuat aku gagal menumpahkan perasaan ini, ha-ha!" dan Pendekar Rambut Emas yang tak memperdulikan gertakan isterinya dan mencium lagi lalu disambut tawa dan senyum wanita cantik ini.

Swat Lian menyambut dan berciumanlah mereka dengan bahagia. Ah, saat-saat seperti itu serasa sorga bagi mereka. Namun ketika sang suami hendak mengajaknya ke kereta, memadu kasih ternyata wanita ini menolak. "Jangan gila, semalam sudah kuberi!"

"Ah, kurang, Lian-moi. Mana cukup? Sekali lagi baru puas, ha-ha!" namun ketika Swat Lian mengelak dan mendorong suaminya tiba-tiba wanita ini berkata bahwa Soat Eng dan Beng An bisa saja sewaktu-waktu kembali. Mereka tak boleh melakukan itu dan biarlah nanti di penginapan berikut. Agaknya, memasuki usia empat puluhan semangat Pendekar Rambut Emas ini bertambah. Barangkali, masa pubernya yang kedua! Dan ketika pendekar itu sadar dan mengeluh kecewa, melepaskan isterinya maka Swat Lian membujuk agar suaminya tidak marah.

"Tempat ini terbuka, dan lagi amat terang. Percayalah malam nanti aku melayanimu lebih dari semalam!"

"Hm-hm, sudahlah, aku tak marah. Kau benar, Lian moi. Agaknya aku yang terlalu bersemangat dan entah jamu apa yang kau berikan padaku!"

"Ih, jamu apa? Kau sendiri yang menenggak anggur itu. Sudah kubilang agar jangan, tapi kau tak menghiraukan!"

"Ha-ha, sudahlah. Aku mengerti. Marilah kita duduk dan bersamadhi di situ, sambil menunggu anak-anak!" Pendekar Rambut Emas tertawa, memang pagi tadi dia menenggak sesloki anggur penambah semangat dan benar saja pagi itu dia lupa diri. Isterinya tampak begitu cantik dan bersinar-sinar. Hm, tubuh isterinya masih padat dan entah kenapa dia selalu bergairah kalau memandang tubuh isterinya ini. Swat Lian memang pandai menjaga diri. Selera suami selalu diketahuinya tepat dan agaknya itulah yang selalu menimbulkan gairah di hati Pendekar Rambut Emas ini.

Dan ketika mereka duduk dan sama-sama tersenyum, geli oleh kejadian tadi maka Kim-mou-eng sudah mengajak isterinya bersila. Inilah kebiasaan yang dilakukan pendekar itu di waktu-waktu senggang. Mereka tak pernah membuang-buang waktu secara sia-sia. Begitu kelihatan kosong segera diisi. Dan ketika mereka bersila dan duduk mengatur tenaga, juga pernapasan maka di sana Beng An dan Soat Eng berkelebat mencari suara harimau.

Enci adik ini mendengar suara aneh di depan. si raja hutan, yang entah kenapa mengaum lemah tampaknya seperti sedang menghadapi sesuatu yang menyusahkan hatinya. Beng An berkelebat namun segera berindap lagi ketika auman itu terdengar lebih dekat. Ini berarti jaraknya dengan si raja hutan sudah tak jauh lagi. Anak ini bergetar dan panah di busurnya siap dibidik. Kalau dia diserang dan belum mendapat posisi bagus tentu dia akan melepaskan panahnya itu, lalu bertarung dan berkali satu lawan satu, begitu biasanya. Tapi ketika si raja hutan sudah terlihat dan Soat Eng maupun adiknya bersiap untuk menghadapi harimau ini mendadak dua enci adik itu tertegun.

"Dia membawa anaknya!"

Beng An mengangguk. Akhirnya mereka melihat harimau betina dan anaknya itu, bersimpuh dan rupanya harimau betina itu terluka. Sang anak menguik-nguik dan sang induk tak dapat bangun berdiri. Tapi begitu Soat Eng dan Beng An muncul, mengejutkan harimau ini mendadak aum yang keras meluncur dari mulut si betina, bangkit namun roboh lagi dan anak macam itu ketakutan. Beng An dan Soat Eng yang muncul tiba-tiba membuat anak harimau ini juga terkejut, menyelinap namun celaka sekali tertimpa tubuh induknya, yang tadi bangun berdiri namun roboh!

Dan ketika Soat Eng terkejut dan Beng An juga mengeluarkan seruan kaget mendadak anak ini berkelebat dan menolong si loreng cilik itu, maksudnya mengangkat tubuh si induk tapi tentu saja harimau betina itu menyangka lain. Beng An dikira menyerangnya dan anaknya mau diganggu. Harimau ini mengaum dan kedua kakinya terangkat, mencakar dan mulutnyapun dibuka lebar-lebar untuk menggigit. Beng An diserang! Tapi ketika anak ini berkelit dan cakaran si betina disambut busurnya maka harimau itu terbanting dan Beng An cepat sekali menyambar anak harimau itu, yang tadi terjepit tubuh induknya.

"Dess!" Harimau ini kaget. Dia mengaum dan terguling dua kali dan kini terlihatlah bahwa di belakang pantatnya menancap sebatang panah besar, juga sebuah duri atau paku menancap di telapak kaki belakangnya bagian kanan. Ah, itulah agaknya yang membuat si harimau tak dapat bangkit berdiri. Dia terpanah dan kena paku, atau duri tulang. Dan ketika Beng An maupun encinya melihat itu maka Beng An yang sudah menyambar dan memondong anak macam tiba-tiba digigit dan dicakar.

"Hei....!" Beng An mengelak dari serangan. "Aku tidak bermaksud mencelakaimu, anak loreng. Jangan serang!" dan ketika si anak macan terkejut dan masih berusaha mencakar dan menggigitnya maka apa boleh buat Beng An melumpuhkan bagian tengkuk anak macan ini, mengerahkan tenaganya dan anak macan itupun menguik. Beng An tidak membunuhnya kecuali hanya melumpuhkan saja. Rahang anak macan itu terkatup dan tak dapatlah dia menggigit lagi. Dan ketika Beng An juga menotok dan mengurut jalan darah di punggung si anak macan maka anak macan itupun tak dapat mencakar lagi karena keempat kakinya sudah lunglai.

"Ha-ha, sekarang kau jinak!" Beng An melemparkan anak macan ini, tidak keras dan si anak macanpun ketakutan. Dia mau berlari tapi keempat kakinya tak mau digerakkan. Yang dapat dilakukan hanya berdiri saja seperti itu, tak dapat lebih. Persis seperti boneka kaku yang hidup, yang hanya dapat menggerak-gerakkan kedua matanya seperti bola menari-nari! Dan ketika Beng An tertawa dan membungkuk, mengusap punggungnya maka anak macan ini mendengar kata-kata lembut anak laki-laki itu.

"Aku tak membunuhmu, tak jadi memusuhi indukmu juga. Lihatlah dan tenang disini karena aku tak akan mengapa-apakan dirimu!" lalu ketika si induk mengaum dan marah tapi juga ketakutan, melihat anaknya dibelai Beng An maka Soat Eng berseru pada adiknya bahwa harimau itu terluka.

"Aku tahu, tapi biarkan aku yang melihatnya, enci. Jangan bantu!" Beng An yang berdiri memutar tubuh lalu berjalan menghampiri si induk. Busur dan anak panah sudah dia sembunyikan di belakang punggung dan terkejut serta terbelalaklah harimau betina itu. Dia menggeram dan membuka mulutnya ketika Beng An semakin mendekati, mengaum dan memperlihatkan taring-taringnya yang tajam namun Beng An tidak takut. Anak ini terus melangkah dan akhirnya berhadapan dengan harimau betina itu. Harimau ini tak dapat lari lagi karena luka-lukanya. Dan ketika Beng An menggerakkan tangan untuk digigit, hal yang mengejutkan Soat Eng maka tiba-tiba tangan satunya dari anak ini bergerak menampar.

"Hei, jangan menyerang. Robohlah!" harimau itu terputar, kena tamparan anak ini dan selanjutnya Beng An sudah menotok bagian punggung lawan. Berkali-kali menghadapi binatang buas seperti harimau atau lain-lain akhirnya membuat anak ini hapal dimana tempat-tempat yang melumpuhkan. Harimau itupun berdebuk dan Beng An tertawa, menggerakkan jarinya lagi dan terkatuplah rahang binatang buas itu. Beng An telah melumpuhkan harimau betina ini seperti melumpuhkan anaknya.

Harimau itu gentar dan ketakutan, tak dapat mengaum kecuali mengeluarkan rintihan-rintihan seperti orang gematar, mengira anak ini akan menyiksanya, atau membunuhnya. Tapi ketika Beng An berlutut dan sudah memeriksa luka di belakang, panah dan paku tulang itu maka anak ini mengangguk-angguk mengambil buntalan obatnya.

"Wah, bengkak. Pantas kalau kesakitan! Eng-cici, kemarilah sebentar. Bantu aku membalut luka-luka ini!"

Soat Eng sudah berkelebat. Tadi melihat adiknya menyodorkan lengan untuk digigit harimau dia sudah siap untuk bergerak. Kalau adiknya sampai tergigit tentu dia akan membunuh harimau itu, menamparnya dengan sebuah pukulan maut, mendahului. Tapi ketika adiknya kiranya hanya memperdayai si betina itu dan kini merobohkannya dengan mudah maka gadis ini mengomel dan menegur adiknya itu.

"Beng An lain kali jangan membuat aku terkejut. Kalau kau sembrono dan ada apa-apa tentu ayah dan ibu akan memarahi aku....!"

Istana Hantu Jilid 27

ISTANA HANTU
JILID 27
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

“JANGAN lancang.... dukk!" dan nenek Toa-ci yang tergetar dan terhuyung mundur tiba-tiba melengking dan marah kepada pemuda ini, tak dihiraukan dan Siang Le sudah menyambar lawannya itu.

Pemuda baju biru ini sudah tertangkap dan dia cepat menyuruh pembantunya mengikat pemuda itu, membawanya pergi dari peperangan yang masih berkecamuk. Siang Le telah memberi isyarat bahwa siapapun yang mengganggu tawanannya itu akan berhadapan dengan dirinya, tak perduli nenek Toa-ci. Dan karena nenek itu gentar terhadap See-ong dan memandang muka kakek iblis itu maka nenek ini mengumpat dan menahan kedongkolan hatinya.

Sementara Siang Le sudah pergi ke tempat lain, menghadapi musuh yang masih berani melawan namun ternyata robohnya pemuda tadi sudah membuat sisa-sisa pasukan kerajaan menyerah. Mereka membuang senjata dan hari itu kemenangan mutlak diperoleh pasukan penyerbu ini. Nenek Toa-ci dan lain-lain berkumpul, membicarakan kemenangan itu sekaligus juga perbuatan Siang Le yang menghinanya ketika berebut pemuda baju biru. Tapi ketika Togur tertawa dan berkata biarlah pemuda itu menawan musuhnya maka di tempat lain Siang Le telah menyelidiki dan mendapat keterangan bahwa pemuda baju biru itu adalah San Tek, putera San-ciangkun.

"Mau apa kau menangkap pemuda itu? Buat apa lagi? Bunuh dan habisi dia, Siang Le. Tak perlu ditawan!" gurunya, yang siang tadi tidak ikut pertempuran karena malas melihat lawan yang tidak setanding menegur muridnya dan malas-malasan di baraknya. Kakek ini makan minum ketika semua orang bekerja keras, hanya mendengarkan saja hasil peperangan itu dan mendengar bahwa muridnya menangkap San Tek, putera panglima yang telah dibunuh Togur.

See-ong memang mewakilkan pada muridnya untuk maju menumpas musuh. Selama belum ada musuh-musuh yang berat dia tak akan maju. Kakek ini tiada ubahnya seorang raksasa yang sedang bermalas-malasan, atau singa yang belum kelaparan. Dan ketika Siang Le berkata bahwa musuh yang kalah tak perlu dibunuh atau disakiti maka kakek itu mendengus mendengar kata-kata muridnya.

"Kau berhati lemah, tak pantas menjadi pemimpin. Huh, coba bawa bocah itu dan perlihatkan kesini!"

"Suhu mau apa?"

"Melihat macamnya, Siang Le. Bagaimana kau sampai melindunginya sedemikian rupa. Katanya kau menyerang Toa-ci ketika memperebutkan pemuda itu!"

"Hm, aku memang tak suka pada nenek itu, juga Togur. Mereka terlampau ganas dan tak kenal ampun!"

"Ha-ha, aneh sekali kau ini, juga memalukan! Eh, tak pantas kau bicara seperti itu, Siang Le. Justeru kau harus memuji dan mencontoh mereka. Kau murid See-ong, tokoh sesat. Jangan memalukan gurumu dengan bicara seperti itu lagi. Bawa dan suruh tawananmu itu kemari!"

Siang Le memutar tubuhnya. Dia melihat muka gurunya yang merah meskipun tertawa seperti itu, tahu gurunya gusar dan marah dan sama sekali tak senang melihat dia bersikap seperti itu. Memang sepatutnya sebagai murid See-ong dia harus bersikap kejam dan berwatak keji, seperti Toa-ci dan lain-lainnya itu, juga Togur. Gurunya bahkan bersinar-sinar dan bangga melihat kekejaman pemuda ini. Sayang bukan muridnya. Dan karena dia tak melihat watak-watak atau sikap seperti itu pada Siang Le maka diam-diam kakek ini kecewa namun juga ada perasaan lain di hatinya.

Entah kenapa See-ong tak puas tapi sekaligus juga sayang kepada muridnya itu. Bantahan dan debatan-debatan muridnya jelas menunjukkan muridnya seorang yang berani. Masalah keberanian barangkali Siang Le tak akan kalah dengan Togur, hal itu tak perlu diragukan. Tapi bahwa muridnya tak seganas atau sekejam Togur, yang pantas sebagai murid seorang tokoh sesat maka kakek ini diam-diam gemas dan marah juga kepada muridnya itu. Tapi tak lama kemudian pemuda itu tiba-tiba muncul, berkelebat membawa tawanannya.

"Nih," Siang Le melempar pemuda itu di depan gurunya. "Kau boleh melihat dan memeriksanya, suhu. Tapi jangan sekali-kali mengganggu atau membunuhnya. Dia milikku, tak boleh diganggu!"

"Hm, bebaskan totokannya, kakek ini bersinar-sinar. "Coba lihat seberapa keberaniannya itu, Siang Le. Kudengar dia amat gagah dan pemberani!"

Siang Le membebaskan totokan. Memang dia menotok tawanannya itu karena sejak tadi San Tek memaki-maki. Putera San-ciangkun ini memberontak dan di dalam kurungannya tadi bersikap melawan. Tapi begitu Siang Le menotok dan kini membebaskannya lagi mendadak pemuda ini melompat bangun dan tidak merasa gentar sedikitpun dia menerjang kalap.

"Aku boleh dibunuh tapi tak boleh dihina. Mampuslah!"

Siang Le berkelit, diserang dan tentu saja dengan mudah pemuda ini mengelak. San Tek menyerang lagi membabi-buta namun tiba-tiba See-ong membentak. Kakek itu menggerakkan tangannya ke depan dan tiba-tiba serangkum angin dahsyat menyedot pemuda ini. Dan ketika San Tek terkejut dan berteriak tertahan tiba-tiba dia sudah roboh dan jatuh di depan kakek itu, kakek yang kini mendapat perhatiannya dan berwajah menyeramkan seperti iblis.

"Kau di sini bukan untuk berkurang ajar. Berlutut dan menyerahlah baik-baik!"

"Keparat, kau siapa? Siapa mau berlutut dan menyerah kepada musuh? Aku tak sudi memenuhi permintaanmu, kakek jahanam. Bunuh dan habisilah aku, aku tak gentar!" "Hm, berlutut kataku."

"Tidak!"

"Kalau begitu kupatahkan kakimu!" dan See-ong yang bergerak cepat mengerotokkan buku-buku jarinya mendadak menampar dan San Tek menjerit tinggi ketika tempurung lututnya retak. Pemuda ini terguling dan tanpa ampun lagi dia mengaduh-aduh berlutut di depan See-ong.

Siang Le terkejut dan membentak berkelebat di depan gurunya, kejadian itu tak diduga dan dia kalah cepat. Namun ketika gurunya tertawa bergelak dan mengibaskan lengan maka dia terdorong mundur.

"Minggir, aku tak membunuh tawananmu!"

Siang Le terhuyung membelalakkan mata. Dia melihat gurunya memang tidak membunuh tawanan melainkan menciderainya, hal itu hendak dibantah namun gurunya sudah mengibas dia ke pinggir. Dan ketika Siang Le terdorong dan kakek ini menghadapi San Tek maka pemuda itu tergetar oleh sorot mata lawannya yang mencorong menakutkan, dingin dan seolah menembus sumsum tulang belakangnya.

"Kau tak perlu macam-macam di sini, tak perlu sombong. Kalau kau minta mati tentu mudah, tapi muridku tak mengijinkan. Hm, siapa namamu, anak muda? Kau bisa bicara?"

"Kau kakek jahanam keparat! Aku tak perlu menyebut namaku di depanmu!"

"Hm, jangan berlagak. Aku dapat memukul pecah mulutmu nanti!"

"Aku tak takut...!" dan baru ucapan ini selesai diucapkan tiba-tiba See-ong menggerakkan tangannya dan pemuda itu terpelanting. San Tek berteriak lagi karena mulutnya pecah berdarah. See-ong benar-benar membuktikan ancamannya! Namun ketika kakek itu terkekeh perlahan dan pemuda ini kesakitan sambil memaki-maki, makian yang tentu saja tidak jelas maka Siang Le berkelebat dan menolong pemuda itu.

"Suhu tak boleh kejam, atau aku terpaksa melawanmu!" "Heh!" kakek ini terbeliak. "Apa kau bilang, Siang Le? Kau mau melawan gurumu sendiri?"

"Kalau suhu menyakiti dan sekali lagi menyiksa pemuda ini maka aku akan terpaksa melawan dan menghadapimu. Kau tahanlah tanganmu atau aku akan marah!"

"Ha-ha!" See-ong tertawa bergelak. "Kenapa baru sekarang kau dapat bersikap seperti ini, Siang Le? Hah, kau mulai kurang ajar, mulai tak tahu aturan. Tapi bagus, aku senang. Itulah seharusnya yang kau perlihatkan sebagai murid See-ong!" dan tak marah serta girang memandang muridnya itu kakek ini berseri-seri.

Dan Siang Le pun sadar. Kata-katanya tadi bukan membuat gurunya gusar melainkan justeru senang. Orang seperti See-ong ini memang aneh, dasar seorang sesat! Namun ketika Siang Le menolong dan membangunkan pemuda itu maka Siang Le berkata agar San Tek bersikap baik-baik kepada gurunya.

"Kau tak usah menunjukkan kesombongan di sini. Tahu dirilah. Dia adalah guruku dan harap pandang mukaku kalau kau seorang pemuda baik-baik."

San Tek tertegun. Melihat dan mendengar semuanya ini diapun merasa heran namun juga kagum terhadap Siang Le. Tak dia sangkal, pemuda ini lihai dan bukan tandingannya. Tiga kali dia menyerang namun tiga kali pula dia dirobohkan, tak merasa begitu sakit atau tersiksa seperti sekarang, ketika dia mendapat hajaran si kakek iblis itu. Dan karena Siang Le memang baik dan baru dia tahu bahwa kakek di depannya itu adalah guru pemuda ini, jauh bedanya antara guru dan murid maka San Tek menahan sakit dan marahnya ketika ditanya sekali lagi oleh kakek itu.

"Nah, katakan siapa namamu. Dan belajarlah bicara yang baik di depan orang tua."

"Aku San Tek...."

"Apa hubunganmu dengan San-ciangkun?"

"Dia ayahku...."

"Ha, bagus. Dan ayahmu mampus! Hm, kau mau membalas dendam, anak muda? Kau berani menghadapi orang yang telah membunuh ayahmu si tolol itu?"

"Ayahku tak tolol, dia panglima dan pahlawan sejati!"

"Ha-ha, kalau tak tolol tentu tak mampus. Eh, jangan tersinggung kalau aku memaki ayahmu, bocah. Ayahmu memang tolol dan kau lebih tolol lagi. Tapi kau memiliki keberanian. Hm, dan aku paling suka dengan anak-anak muda yang pemberani. Eh...!" kakek itu menoleh pada muridnya, tiba-tiba menggoyang lengan menyuruh muridnya keluar. "Tinggalkan aku sebentar dengan anak muda ini, Siang Le. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengannya!"

"Suhu mau apa?" Siang Le mengerutkan kening. "Mau main gila?"

"Hm, kau terlalu curiga, dan semakin kurang ajar saja! Ha-ha, tidak. Aku hendak pinjam sebentar tawananmu ini dan percayalah dia akan kukembalikan baik-baik kepadamu, utuh!"

Siang Le ragu. Dia memandang tajam gurunya itu dan sangsi. Gurunya ini orang aneh dan apa saja dapat dilakukannya secara tiba-tiba. Tapi ketika gurunya tertawa dan berkata bahwa dia dapat membunuh San Tek meskipun dirinya ada di situ maka Siang Le menarik napas panjang dan pergi.

"Aku tak mengapa-apakan boah ini, hanya ingin berbicara sedikit. Kalau aku mau membunuh apakah sangkamu tidak bisa? Biarpun kau menghalangi tetap saja aku dapat melakukannya, Siang Le. Pergilah dan tinggalkan aku sebentar!"

Siang Le sadar. Dia melompat dan pergi meninggalkan gurunya namun berkata bahwa akan meminta tanggung jawab gurunya kalau sampai gurunya menipu. See-ong tersenyum dan berkata baik, kini sudah berhadapan lagi dengan putera San-ciangkun itu dan pandangan aneh terpancar di mata kakek ini.

San Tek tertegun dan seolah terhisap oleh pandang mata si kakek yang dalam, begitu menusuk dan tajam. Namun ketika kakek itu menggapai padanya dan entah bagaimana tubuhnya tiba-tiba terangkat naik dan jatuh di depan lawannya maka untuk kesekian kali pemuda ini terkesiap.

"Aku mau bicara baik-baik padamu. Kau dengarlah!" lalu melihat pemuda itu meringis kesakitan karena lututnya yang retak tiba-tiba See-ong sudah mengusapkan telapaknya dan lutut San Tek sembuh, seperti sihir! "Lihat, kesaktianku tinggi. Aku akan bersikap baik-baik kalau kau juga bersikap baik-baik. Hm, apakah kau suka mempelajari ilmu silat tinggi, bocah? Kau tak ingin memiliki kesaktian seperti yang kumiliki?" "Apa maksudmu?" San Tek tertegun. "Aku tak mengerti, dan bingung. Aku belum tahu kemana kau akan membawa pembicaraan ini. Dan sebutkan dulu siapa kau dan muridmu itu!"

"Ha-ha, aku See-ong. Dan muridku tadi Siang Le."

"See-ong? Kakek iblis dari Barat itu?" San Tek terkejut bukan main, terbelalak dan tiba-tiba perasaannya terguncang benar. Memang dia tidak tahu bahwa dia berhadapan dengan See-ong. Pantas begitu lihai, dan kejam! Dan ketika kakek itu tertawa dan mengangguk mendadak pemuda ini mengeluarkan keringat dingin, namun sekejap saja karena tiba-tiba dia tidak gentar atau takut lagi. Kepala dikedikkan gagah!

"Hm, kau kiranya sudah mengenal aku, tapi kau tidak takut! Bagus, tahukah kau siksaan apa saja yang dapat kuberikan padamu, anak muda? Pernahkah kau digigiti ribuan semut api dengan sebuah totokan perlahan? Seperti ini?" See-ong menggerakkan jarinya perlahan, menotok pemuda itu dan San Tek berjengit. Tepat seperti yang dikata si kakek tiba-tiba saja sekujur tubuhnya seperti digigiti ribuan semut api, bukan main panas dan sakitnya, melebihi ditusuk-tusuk jarum! Namun ketika dia menggelinjang dan mendesis-desis, melawan rasa sakit maka si kakek sudah membebaskannya tapi memberi totokan lain.

"Dan ini, kau akan tertawa terbahak-bahak!"

Benar saja, San Tek tiba-tiba tertawa terpingkal-pingkal. Namun ketika si kakek menghentikan totokannya dan menotok jalan-jalan darah lain maka berturut-turut pemuda itu merasakan perasaan yang berlain-lainan seperti gatal atau ingin menangis, kesetrum dan terakhir sekali dia merasa sebelah tubuhnya mati separuh, roboh dan menggeliat-geliat seraya merintih kesakitan. Bagian tubuhnya yang separuh itu rasanya hilang atau buntung.

Pemuda ini kaget dan membelalakkan mata namun kaki tangannya masih utuh. Itulah akibat kesaktian See-ong yang ditunjukkan kepadanya, entah untuk maksud apa. Dan ketika dia mengeluh melihat kakek itu menyeringai dan tersenyum lebar, menghentikan perbuatannya maka San Tek bertanya apa maksud kakek itu.

"Kau ingin memiliki kesaktian seperti ini? Kau tak ingin membalas dendam?"

"Maksudmu?" San Tek mengulang. "Apa yang tersembunyi di hatimu, See-ong. Katakan terus terang saja dan jangan memutar!"

"Heh-heh, bodoh dan tolol. Aku ingin mengangkatmu sebagai murid, San Tek, menggemblengmu ilmu-ilmu silat tinggi dan membuat kau ditakuti orang!"

"Apa? Menjadi muridmu? Kau hendak mengambil aku sebagai murid padahal kau sudah mempunyai murid bernama Siang Le itu?"

"Hm, aku tak puas padanya. Kau lihat sendiri muridku itu tak pantas sebagai murid See-ong!"

"Maksudmu...?"

"Siang Le terlalu lemah, tak memiliki sama sekali kekejaman layaknya murid seorang sesat. Aku mencari murid baru agar dapat memenuhi seleraku!"

"Jadi...."

"Benar. Satu saja syarat yang kuminta padamu, kalau kau mau. Yakni kau harus kejam dan telengas sebagaimana layaknya murid seorang tokoh sesat! Kau mau?"

San Tek tertegun. Tiba-tiba saja dia seakan tak percaya pada kata-kata kakek ini. See-ong hendak mengambilnya sebagai murid, bukan main. Hal yang serasa mimpi dan hampir tak dapat dipercaya! Tapi ketika dia ragu dan bersinar-sinar memandang kakek ini, bimbang, maka kakek itu bangkit berdiri dan menggerak-gerakkan kedua lengannya.

"Aku memiliki sebuah ilmu dahsyat yang tidak mau dipelajari muridku itu, Hek-kwi-sut namanya. Kalau kau mau menjadi muridku maka justeru ilmuku yang hebat ini hendak kuwariskan padamu. Aku tak mau ilmuku yang luar biasa ini kelak lenyap kalau aku mati. Nah, itulah ceritanya, inti persoalannya. Kalau kau mengerti sekarang juga kau jawab tapi kalau tidak yach... aku tak mau menemuimu lagi!"

San Tek terkejut. See-ong mendadak lenyap dan entah berada dimana. Tadi secara cepat tubuhnya sudah berganti asap hitam keabu-abuan seperti roh, hilang dan sirna dari depan matanya. Dan ketika dia terbelalak dan mengeluarkan seruan tertahan, seperti sedang berhadapan dengan hantu atau iblis mendadak pundaknya ditepuk orang dari belakang.

"Aku di sini!"

San Tek menoleh, tak ada. "Aku di sini, ha-ha...!" dan ketika pemuda itu menoleh tapi tak ada lagi maka berturut-turut See-ong telah menepuk dan mengurut tengkuk atau leher pemuda itu, terakhir memijat mata kakinya dan pemuda ini menjerit. See-ong memperlihatkan ilmunya yang hebat itu dan tentu saja pemuda ini ngeri. Dia bukan berhadapan dengan manusia lagi melainkan dengan iblis, roh jahat! Dan ketika pemuda itu pucat pasi namun akhirnya dapat mengendalikan diri, marah karena tiba-tiba merasa dipermainkan mendadak dia membentak,

"See-ong, jangan main-main. Kalau kau main-main aku akan memakimu!"

"Ha-ha, makilah. Coba kau maki. Aku tak akan mengambilmu sebagai murid..."

"Kau kakek jahanam busuk! Kau See-ong jahanam keparat! Aku tak menjadi muridmu juga tak apa dan boleh aku mati di sini...dess!" dan San Tek yang terpelanting oleh sebuah pukulan perlahan tiba-tiba berhenti berteriak ketika memotong ucapan kakek tadi, memaki dan See-ong tertawa bergelak.

Kakek itu tadi mencoba namun si pemuda ternyata memiliki keberanian besar. Keteguhan pendirian telah diperlihatkan putera San-ciangkun itu dan mendaratlah sebuah tamparan kakek ini ke pundak lawan. San Tek terbanting dan terguling-guling dengan kaget, pucat, siap menerima kematian tapi anehnya pukulan ke pundaknya tadi tidak sakit, biarpun tampaknya keras dan menggetarkan ruangan. Dan ketika dia melompat bangun dan sudah melihat kakek itu berdiri di depannya, muncul seperti iblis maka pemuda ini mendelong melihat kakek itu tertawa-tawa meremas bahunya, berkata,

"Kau lulus, ujian pertama berhasil. Kau dapat menjadi muridku namun malam nanti masih harus kau buktikan lagi!"

"Ap... apa? Kau... kau tidak marah dan membunuhku?"

"Ha-ha, keberanian dan keteguhan watakmu dapat dijadikan ukuran, San Tek. Kau berani mati dan siap menerima akibat apapun kalau sudah bertekad akan sesuatu. Bagus, cocok sekali dengan apa yang kudengar ketika kau dalam peperangan tadi. Nah, sekarang selesai dan malam nanti kita bertemu!" Lalu berkata agar pemuda itu tidak membicarakan hasil pembicaraan pada Siang Le, yang saat itu dipanggil dan ditepuk gurunya maka See-ong berkata bahwa pemuda itu selesai dipinjam.

"Silahkan, bawa kembali. Lihat, aku tak mengganggu seujung rambutnya dan lempar dia ke dalam kerangkengnya!"

Siang Le lega. Dia berjaga di pintu tapi tak mendengar atau melihat apa yang dilakukan suhunya. Dia berdebar dan tegang saja ketika mendengar suara tawa gurunya yang keras, juga maki-makian San Tek yang keras. Tapi ketika selanjutnya semua pembicaraan dilakukan secara perlahan dan Siang Le tak mendengar maka gurunya itu tiba-tiba memanggilnya dan menyuruhnya membawa kembali tawanan.

San Tek tak menampakkan perubahan kecuali di sinar mata pemuda itu terbayang kegembiraan. Siang Le heran dan tak mengerti namun dia tak curiga. Siang Le tak menduga bahwa diam-diam tawanannya ini kelak menjadi sutenya (adik seperguruan), diterima dan telah menerima isyarat gurunya agar rahasia itu disembunyikan. See-ong memang tak menghendaki rencananya ini diketahui, atau pemuda itu akan dibunuh.

Dan ketika See-ong berbisik dalam ilmunya mengirim suara bahwa nanti malam mereka akan bertemu lagi, meminta pemuda itu tak membicarakan apapun juga yang telah mereka bicarakan semua maka San Tek berdebar karena sesuatu yang baru akan merubah hidupnya. Dia telah memutuskan untuk menerima tawaran kakek itu sebagai muridnya, bukan apa-apa melainkan semata membalas dendam.

Dia teringat kematian ayahnya itu dan mata pemuda ini berapi-api. Kepandaiannya memang terlalu rendah dan hanya dengan menjadi murid See-ong itu dia akan menjadi pandai. Dan ketika malam itu pemuda ini dimasukkan kerangkengnya kembali dan dijaga oleh pasukan Siang Le, karena pemuda itu adalah tawanan pemuda ini maka pasukanpun beristirahat karena serbuan hari pertama itu selesai.

* * * * * * *

Entah bagaimana San Tek mendadak menguap panjang. Malam yang dingin dan suasana yang sepi tiba-tiba membuat pemuda itu mengantuk berat. Tiga orang penjaga, yang berdiri tak jauh dari kurungannya tiba-tiba juga menguap. Mereka tadi bercakap-cakap namun tiba-tiba roboh. San Tek membelalakkan mata melihat ini namun tiba-tiba diapun terguling. Ada suatu pengaruh kuat yang menyerangnya saat itu, kantuk. Ada perasaan ingin tidur dan melepas lelah. Dia sebenarnya tak ingin itu karena sedang menunggu See-ong. Si kakek berjanji akan menemuinya dan karena itu tentu saja dia tak ingin tertidur.

Tapi ketika kantuk itu datang begitu hebatnya dan dia tak kuasa lagi maka pemuda ini roboh dan tiba-tiba masuk ke mimpi yang aneh. Mula-mula sebuah bayangan hitam dilihatnya, tinggi besar dan menyeramkan. Itulah See-ong, kakek yang dikenalnya. Dan ketika dia berteriak dan memanggil, namun suara tak keluar maka See-ong tertawa dan masuk ke dalam kerangkengnya, begitu saja, tanpa membuka pintu alias menembus bak bayangan atau roh halus!

:Ha-ha, selamat malam, bocah. Ini aku. Hayo kita ke hutan di luar sana!"

San Tek membelalakkan mata. Dalam mimpinya yang samar-samar ini, entah benar atau tidak tiba-tiba dia sudah disambar si kakek. See-ong berkelebat keluar dan diapun melewati celah-celah jeruji besi itu seperti makhluk halus juga. San Tek terkejut karena bagaimana tubuhnya yang besar bisa melewati ruji-ruji besi itu, begitu mudah. Padahal anak kecilpun tak mungkin dapat melewatinya karena lebar ruji-ruji itu hanya lima sentimeter saja. Tersentak dia. Namun ketika dia dibawa kabur dan sang kakek menggerakkan tangan kirinya mendadak tiba penjaga yang roboh di situ tahu-tahu tersedot dan dibawa lari kakek ini seperti boneka-boneka kecil yang ringan.

"Ha-ha, malam ini ujian kedua untukmu, San Tek. Dan ingin kulihat apakah pantas kau menjadi murid kedua See-ong!"

San Tek membelalakkan mata. Dia dibawa ke hutan itu sementara tiga penjaga juga dibawa kakek ini, dengan tangan kirinya. Entah bagaimana San Tek tak mengerti bagaimana tiga orang yang besar-besar itu dapat dibawa si kakek. Semuanya ini seperti sihir dan San Tek sendiri serasa melayang ke dalam mimpi yang ganjil. Dia tak tahu apakah semuanya itu benar atau tidak, yang jelas dia serasa terbang dan pergi bersama-sama kakek ini ke hutan di depan. Dan ketika kakek itu sampai di sini dan melempar tubuhnya ke tanah maka tiga penjaga juga dibuang dan terbanting di rumput yang keras.

"Nah, kau katakan apakah kau suka atau tidak menjadi muridku!" kakek itu bicara kembali, mulai berkata.

Dan San Tek masih ternganga oleh semuanya itu. Dia serasa mimpi dan benar-benar tak tahu apakah pertemuannya itu sungguh-sungguh ataukah dalam khayalan saja. Kakek ini sudah tegak dan bertanya kepadanya. Namun ketika dia mengangguk dan girang tentu saja, karena See-ong adalah datuk sesat yang lihai luar biasa maka dia menjatuhkan diri berlutut.

"Kalau kau ingin mengambil aku sebagai murid tentu saja aku suka. Dan sebutkan apakah sekarang juga boleh kusebut dirimu suhu (guru)!"

"Ha-ha, nanti dulu, San Tek. Tadi kita telah bertemu dan kau telah berhasil melewati ujian pertama. Watakmu yang berani dan kekerasan hatimu dalam berpendirian sungguh tepat untuk kuambil murid. Tapi kau belum menunjukkan kekejaman yang sepantasnya dilakukan oleh seorang murid tokoh sesat. Nah, sekarang tunjukkan padaku watakmu yang kejam dan biar kunilai apakah kau cukup berbobot menjadi murid See-ong!"

"Apa yang harus kulakukan?"

"Membunuh, menyiksa! Aku ingin melihat kau membunuh dan menyiksa tiga orang ini. Bunuhlah mereka, siksalah. Buatlah yang paling kejam dan tunjukkan padaku bahwa kau dapat berbuat seperti itu!"

San Tek tertegun, terkejut.

"Kau tak mampu?"

"Hm!" pemuda ini berkilat matanya. "Siapa bilang? Mereka ini memang musuh-musuhku, orang yang telah membunuh ayahku. Aku akan membunuh mereka kalau ingin kau lihat!"

"Bagus, kalau begitu kubangunkan mereka. Ambil pedang ini!" dan See-ong yang melempar sebatang pedang kepada pemuda itu lalu menotok dan membangunkan tiga penjaga itu.

Mereka terkejut dan tentu saja melompat bangun, See-ong menghilang dan berteriaklah mereka melihat San Tek. Kakek iblis itu mempergunakan ilmunya Hek-kwi-sut dan tiga penjaga tak melihatnya. San Tek juga terkejut karena si kakek tahu-tahu menghilang, entah kemana. Dan ketika tiga penjaga itu melihatnya dan mereka terbelalak karena tawanan lolos, entah dengan cara bagaimana pula mendadak ketiganya berteriak dan menerjang San Tek.

"Heii, pemuda ini ada di sini. Tangkap dan robohkan dia!"

San Tek mendengus. Tubrukan tiga orang itu yang dilakukan hampir berbareng tiba-tiba dikelit mudah. Pemuda ini memang bukan pemuda sembarangan kalau hanya menghadapi orang-orang sebangsa penjaga itu. Maka ketika mereka berteriak dan menerjang lagi, mencabut senjata maka San Tek sudah dikeroyok dan pemuda ini menggerakkan pedangnya.

"Crangg!" Tiga golok terpental semua. Lawan terpekik karena San Tek tiba-tiba berkelebat, membalas. Dan ketika pemuda itu membentak dan menyerang lawan tiba-tiba seorang di antaranya terkena tusukan.

"Cras!" Laki-laki itu mengaduh. San Tek menendang dan terlemparlah lawan oleh sapuan kakinya itu, bergerak ke kiri dan penjaga nomor dua roboh. Lalu ketika San Tek berkelebat dan menusukkan pedang ke kanan maka lawan terakhir pun menjerit dan jari kelingkingnya putus.

"Aduh.... crak-blek-dess!"

Tiga-tiganya berteriak tak keruan. Dua yang belum terluka sudah bergulingan meloncat bangun, yang kelingkingnya putus mengaduh-aduh sambil mendekap kelingkingnya yang luka itu. Dan ketika mereka berteriak lagi karena diserang si pemuda, karena San Tek sudah membentak dan mengelebatkan pedangnya maka dua penjaga ini kalut mengelak sana-sini, menjaga diri namun tusukan dan tendangan San Tek mengenainya juga. Memang mereka bukan tandingan San Tek yang jelek-jelek adalah putera seorang panglima, yang gugur di medan laga. Dan ketika San Tek menggerakkan kakinya lagi dan pedang menyambut dari depan maka dua penjaga itu roboh ketika paha mereka tertusuk dalam.

"Aduh, ampun.... ampun....!"

San Tek tertawa dingin. Dia berkelebat dan tegak di depan dua penjaga itu dengan pedang digerak-gerakkan didepan dada. Bagian tajamnya berkilat-kilat kena pantulan sinar bulan, tentu saja membuat dua lawannya gentar. Dan ketika San Tek menyuruh mereka berlutut, dan sudah dituruti mendadak pedang pemuda ini menabas dan satu di antara dua orang itu terpenggal kepalanya.

"Kalian tak dapat diberi ampun. Ini pelajaran dan bertobatlah pada ayahku di akherat!"

Penjaga satunya berteriak kaget. Kepala temannya tahu-tahu putus, begitu cepat dan menggelinding didepannya. Dan ketika kepala yang putus itu mendelik matanya karena mungkin penasaran dan marah, kenapa si pemuda membunuh lawan yang sudah tidak berdaya tiba-tiba orang ketiga, yang putus jari kelingkingnya dan mengaduh-aduh di sana mendadak memutar tubuhnya dan berteriak-teriak.

"Iblis! Tawanan lolos! Tolong.... tolong.....!"

San Tek melotot. Dia memang belum menghukum laki-laki ketiga itu karena hendak menghajar dua lawannya ini dahulu. Laki-laki itu nanti akan mendapat bagiannya pula tapi kini tiba-tiba sudah berteriak-teriak, melarikan diri dan lintang-pukang memanggil teman-temannya, hal yang tentu saja tak dibiarkan pemuda ini dan melompatlah San Tek mengejar lawannya itu. Dan ketika dia membentak dan menyuruh lawan berhenti, hal yang tak dituruti karena lawan tiba-tiba berlari semakin kencang maka San Tek menggerakkan pedangnya dan tahu-tahu senjata itu menimpuk dari belakang.

"Jahanam, berhenti kataku. Ataukau mampus.... crep!" pedang itu menancap, tepat sekali di punggung dan meneganglah tubuh orang sesaat. Tapi ketika laki-laki itu ambruk dan roboh binasa, tewas tak mengeluarkan suara lagi mendadak laki-laki kedua, yang terluka dan berlutut disitu mendadak bangun berdiri dan melarikan diri sambil menahan sakit, tidak berteriak-teriak seperti temannya dan hutan yang gelap menjadi persembunyiannya.

San Tek sedang mencabut pedangnya saat itu ketika laki-laki ini melarikan diri. Tapi ketika laki-laki itu terjatuh karena keserimpet akar-akaran pohon, maklum pahanya terluka dan diseret pula maka San Tek menoleh dan terkejut melihat lawan sudah mendekati mulut hutan.

"Heii!" pemuda ini membentak. "Jangan lari kau, jahanam busuk. Aku akan membunuhmu dengan bengis kalau kau melarikan diri!"

Tapi laki-laki ini sudah tertatih bangun. Dia gemetar dan pucat ketika San Tek melihatnya. Hal itu tak dikehendaki dan diam-diam dia mengumpat kenapa kakinya keserimpet di bawah, kenapa matanya tak melihat dan seperti buta saja. Laki-laki ini mendesis dan tiba-tiba mengeluh mengangkat bangun tubuhnya, berlari dan sudah menyusup ke hutan. Dan ketika San Tek mengejar dan membentak di belakang maka laki-laki ini sudah hilang dan bersembunyi di balik pohon-pohon gelap.

"Ha-ha, dia di sini!" Sebuah suara tiba-tiba terdengar.

San Tek tertegun karena itulah suara See-ong. Dia memang kehilangan jejak karena musuh sempat mendahului dan menghilang. Tapi begitu See-ong memberi tahu dan laki-laki itu kaget dan pucat karena suara tanpa rupa meniup di belakangnya maka San Tek berkelebat dan benar saja melihat laki-laki itu. "Hei, kemari kau. Berhenti!

Laki-laki itu mengeluh. Dia meloncat dan menghilang lagi di tempat lain, celakanya suara See-ong mengikuti dan kakek itu selalu memberi tahu San Tek. Kemanapun penjaga itu menyembunyikan diri ke situ pula suara si kakek memberitahunya. Laki-laki ini putus asa dan dia serasa dikejar setan, akhirnya tak dapat bergerak lagi karena mendadak kedua lututnya lumpuh, mendeprok dan gemetaran ketika San Tek mendapatkannya di balik semak yang amat lebat. Dan ketika pemuda itu berkelebat dan menotok pinggangnya maka laki-laki ini roboh dan meminta ampun dengan suara memelas.

"Jangan bunuh.... jangan bunuh.... aku ingin hidup dan ampunilah aku!"

Namun San Tek menendangnya. Laki-laki itu mencelat dan pedang pun siap menusuk di tangan yang bergetar. San Tek marah dan geram karena lawan tak menuruti kata-katanya, disuruh berhenti malah lari. San Tek tak menyadari bahwa tentu saja lawannya itu harus melakukan itu. Sebab, siapa yang mau terbunuh? Namun ketika San Tek menggeram dan hendak menusukkan pedangnya ke leher, menghabisi lawan tiba-tiba See-ong muncul dan berseru,

"San Tek, membunuh seperti ini bukan kejam namanya. Habis ditusuk habis pulalah nyawa lawanmu. Tidak, berikan siksaan dulu dan perlihatkan bahwa kau suka menyiksa!"

San Tek tertegun, membelalakkan mata.

"Kau ingat kematian ayahmu, bukan? Kau tahu betapa dia dilanda ketakutan dan kengerian hebat sebelum dibunuh? Nah, lakukan itu kepada lawanmu. Dua yang lain itu sudah terlanjur dibunuh cepat tapi yang terakhir ini biarkan menerima kengerian dulu. Siksa dan takuti jiwanya, tunjukkan bahwa kau pantas menjadi muridku atau kau tak mendapat ilmu kepandaian tinggi, tak dapat membalas kematian ayahmu!"

San Tek menggeram. Sekonyong-konyong keberingasannya bangkit kembali, matanya berkilat-kilat dan tampak pemuda ini jauh menjadi lebih keji daripada tadi. Karena ketika dia menyambar dan mengangkat tubuh lawan, bertanya pada kakek itu kekejian bagaimana yang harus dia perlihatkan maka See-ong tertawa serak memandang dua mayat di sana.

"Banyak sekali, satu di antaranya ialah menyembelih mayat disana itu. Ikat tawananmu ini dan perlihatkan padanya bahwa kau dapat mengganyang jantung musuhmu mentah-mentah!"

"Apa?" San Tek terkejut, ingin muntah. "Mengganyang jantung sebuah mayat?"

"Ha-ha, Hek-kwi-sut menuntut kekejaman yang lebih kejam lagi, San Tek. Kelak kau akan membunuh puluhan orang dan bersamadhi di atas tulang-tulang tengkorak lawanmu. Ini belum apa-apa. Kau harus belajar lebih kejam kalau ingin memperoleh kepandaian tinggi, atau kau tak akan dapat membalas dendam dan seumur hidup kau menjadi pemuda lemah!"

San Tek membentak. Berkilat dan menampar tawanannya itu tiba-tiba pemuda ini mengikat sang penjaga, berkelebat dan sudah menyambar mayat terdekat. Dan ketika dengan pedang pemuda ini menusuk dada mayat dan mencongkel keluar maka sebuah jantung segar telah berada di tangan pemuda ini. Sang tawanan terbelalak dan hampir pingsan. Dia tak dapat berkata apa-apa kecuali suara-suara takut. Rasa ngeri yang hebat memang sedang melandanya saat itu.

See-ong tertawa bergelak dan menyuruh pemuda itu menyikat makanannya, jantung segar yang masih berdenyut perlahan. Dan ketika San Tek membuka mulut dan mendekatkan jantung segar itu maka pemuda ini sudah menggigit dan keremus-keremus seperti harimau buas mendapat kerupuk basah!

"Tidak... oh, tidak...!" sang penjaga tak kuat, menangis dan menutupi mukanya tapi See-ong tertawa bergelak di balik ilmunya. Kakek ini terbahak menyuruh San Tek mengambil lagi jantung yang lain setelah jantung pertama habis. Mulut dan hidung pemuda ini penuh darah yang amis dan menjijikkan, sungguh membuat orang ingin muntah. Dan ketika San Tek mencongkel dan mengeluarkan jantung satunya lagi untuk dimakan di depan tawanannya itu maka See-ong terbahak-bahak menyuruh pemuda ini untuk terakhir kalinya mengerat paha laki-laki itu dan memanggangnya untuk dijadikan sate, dimakan di depan pemiliknya!

"Baik!" San Tek sudah kehilangan kepribadiannya, menusuk dan mengerat paha orang. "Kekejaman apapun yang kau suruh lakukan tentu kulakukan, locianpwe. Aku akan memanggang paha orang ini dan memanggangnya di depan hidungnya!"

Namun laki-laki itu pingsan. Begitu San Tek menusuk dan melukai pahanya, mengambil segumpal maka laki-laki ini tak kuat lagi. Dia sudah terlalu ngeri dan pucat melihat kekejaman yang diperlihatkan pemuda ini. San Tek seolah bukan manusia lagi melainkan iblis, iblis yang diciptakan See-ong!

Dan ketika See-ong terbahak-bahak sementara San Tek menyeringai dan memanggang daging itu, paha segar dari manusia yang masih hidup maka selanjutnya pemuda ini sudah mulai dijejali sebuah kekejaman yang kelak akan membuatnya ganas dan berbahaya. See-ong menyuruh pemuda itu menghabiskan makanannya, menyadarkan dan menyuruh tawanan lari. Dan ketika penjaga itu sadar dan lari, tentu saja dengan rintihan dan rasa sakit yang ditahan-tahan maka See-ong menyuruh pemuda itu mengejar dan menangkapnya kembali.

"Tangkap dan kerat dagingnya sepotong lagi setiap ketemu. Bebaskan dan cari lagi sampai lawan benar-benar dapat menyembunyikan diri!"

Namun mana mungkin laki-laki itu dapat menyelamatkan diri? Dikerat sepotong saja dia sudah mengaduh-aduh. San Tek bersikap seperti anjing pemburu terhadap tikus hutan, tertangkap sebentar lalu dilepaskan lagi. Dan karena tiga kali dia tertangkap dan itu berarti tiga kali pula dagingnya diiris si pemuda, sebagai hukuman maka akhirnya tawanan ini tak kuat lagi untuk berlari jauh karena ia sudah roboh terjerembab, tewas oleh rasa takut dan ngeri yang amat sangat, yang membuat syaraf di otaknya pecah!

"Ha-ha, bagus, San Tek. Sekarang kau benar-benar pantas menjadi muridku. Bawa dan lempar kembali tiga penjaga ini di kerangkengmu!"

San Tek mengusap mulutnya, yang penuh minyak, juga darah. Dia merasakan kegembiraan yang aneh dalam perburuan ini. Setiap menangkap dan menyiksa lawannya seakan-akan dia dapat melampiaskan dendamnya yang membakar. Penjaga itu akhirnya roboh juga dan tewas. Dan ketika sang kakek memerintahkan dia untuk membawa tiga mayat itu, ke tempatnya semula maka San Tek memungut dan mengikat mereka menjadi satu. Membawa seperti cara See-ong jelas tak mungkin baginya. Yang dapat dilakukan adalah seperti itu, menyeret dan mengikat tawanan menjadi satu.

Dan ketika dia mulai berjalan dan kembali ke perbatasan, tak gentar atau takut karena dia tahu See-ong di belakangnya maka kakek iblis ini tertawa bergelak dan berseri-seri melihat calon muridnya itu. Melihat San Tek benar-benar menuju ke tempatnya semula dan penjaga yang ada di depan tentu saja kaget dan berteriak. Mereka melihat sikap yang mengerikan dari pemuda ini.

Namun sebelum mereka bergerak atau membunyikan tanda bahaya maka See-ong mengangkat tangannya dan semua penjaga itu roboh, tidak tewas tapi pingsan saja karena kakek ini tak bermaksud membunuh penjaga. Mereka itu adalah anak buah muridnya dan tenaganya diperlukan. Serangan ke kota raja masih jauh dan tentu saja kakek ini tak mau merugikan Siang Le, biarpun kini sudah mendapat murid baru. Dan ketika San Tek melempar tiga mayat itu ke dalam kerangkengnya, tertawa dan membalik maka See-ong berkelebat dan menepuk pundaknya.

"Sekarang kau resmi menjadi muridku. Marilah, pegang tanganku dan bersembunyi di balik Hek-kwi-sut!"

San Tek mengikuti. Pemuda ini sudah memegang tangan si kakek dan tiba-tiba ubun-ubunnya ditiup. Semacam angin dingin mengusap tengkuknya pula dan mendadak terangkat. Dan ketika San Tek terkejut karena tubuhnya tiba-tiba dirasa mengecil, kecil dan akhirnya lenyap maka dia sudah memasuki sebuah gulungan hitam yang muncul dari tubuh See-ong.

"Ha-ha, sekarang kau aman. Tak ada lagi yang melihatmu dan mulai hari ini juga kau belajar mewarisi kepandaianku!"

San Tek serasa dibawa ke alam gaib. Dia tak tahu apa yang terjadi dan kakek See-ong tampak begitu besar di matanya, yang menjadi kecil karena tubuhnya sudah seperti sebuah boneka. Dia tak mengerti bahwa dia telah disembunyikan kakek iblis ini ke dalam ilmu hitam, Hek-kwi-sut. Ilmu yang dimiliki kakek itu telah menyembunyikan pemuda itu dan sejak saat itu juga San Tek bersama gurunya.

Bayang-bayang dirinya sudah menjadi bayang-bayang See-ong pula. Dan ketika malam itu tiga penjaga tewas dan San Tek tak ada di kerangkengnya maka keesokannya pasukan gempar. Mereka melapor pada Siang Le dan cepat pemuda ini melihat, dan begitu menyaksikan tiga mayat melintang tak keruan, dua di antaranya sudah tak berjantung lagi maka Siang Le tertegun dan bergidik, marah dan cepat mencari gurunya karena dia mengira gurunya itu yang melepas tawanan, dibunuh di lain tempat. Tapi ketika gurunya tenang-tenang saja dan berkata bahwa tawanan sama sekali tak dibunuh, berani sumpah, maka Siang Le terhenyak.

"Kau tak perlu menuduhku yang bukan-bukan. Buat apa aku membunuh bocah itu? Pergilah, tak perlu aku berbohong di depanmu, Siang Le. Kalau aku melepas dan membunuhnya tentu aku tak perlu takut mengaku di depanmu!" "Jadi siapa yang melepas? Kenapa pemuda itu pergi?"

"Heh, kenapa bertanya kepadaku, bocah? Anak itu pergi tentu karena tidak kerasan di tempat. Dan yang melepas tentu tiga pembantumu yang bodoh itu!"

"Hm, baiklah. Syukur kalau begitu, aku percaya padamu!" dan Siang Le yang lega melompat pergi tiba-tiba membuat gurunya malah terbelalak, memanggil.

"He, nanti dulu. Tunggu dan sebutkan kenapa malah kebetulan!"

"Aku memang tak berniat membunuh San Tek. Pemuda itu kelihatan sebagai pemuda baik-baik, dan aku merencanakan untuk membebaskannya beberapa hari lagi!" Siang Le menjawab, berhent idan memandang gurunya itu dan See-ong pun melebarkan mata. Dia jadi heran bahwa diam-diam ternyata muridnya hendak melepaskan tawanan, membebaskannya. Tapi tertawa dan terbahak menepuk pundak muridnya itu kakek ini berkelebat duduk kembali.

"Baiklah, bagus kalau begitu, Siang Le. Berarti kau tak membenci pemuda itu!"

"Kenapa harus membencinya? Dia bukan musuh, dan termasuk pemuda yang gagah perkasa. Aku justeru bersimpati pada nasibnya yang buruk dan menyesalkan kematian ayahnya itu!"

"Ha-ha, bagaimana kalau dia menjadi saudaramu?" See-ong tiba-tiba berkata. "Bagaimana kalau kelak kau bertemu dia lagi?"

"Saudara? Hm, tak mungkin. Pemuda itu memusuhiku, suhu. Aku kasihan dan simpati padanya tapi tak mungkin kata-katamu itu terjadi. Sudahlah, aku lega dia melarikan diri meskipun agak aneh rasanya pemuda itu dapat lolos dengan selamat!" Siang Le pergi, berkelebat meninggalkan gurunya dan terbahaklah See-ong oleh jawaban muridnya ini. Dia lalu berkemak-kemik dan muncullah San Tek di hadapannya.

Pemuda itu telah mendengar kata-kata Siang Le dan See-ong bertanya bagaimana reaksi pemuda itu. Dan ketika San Tek tersenyum dan mengangguk mengacungkan jempol maka pemuda ini menyeringai. "Suheng (kakak seperguruan) memang orang baik-baik. Tak kusangka kalau dia diam-diam bermaksud membebaskan aku. Hm, baik benar muridmu itu, suhu. Kau beruntung!"

"Ha-ha, beruntung hidungmu! Justeru itu membuat namaku jatuh, San Tek. Menjadi murid See-ong harus ganas dan tak kenal kasihan. Sudahlah, kau kembali bersembunyi dan baik-baiklah hanya kepada suhengmu itu!" sang kakek menepuk.

San Tek mengecil tubuhnya dan tiba-tiba lenyap di balik asap hitam di belakang punggung kakek ini. Itulah keadaan San Tek sekarang. Dan ketika hari-hari kemudian dilalui pemuda ini di balik bayang-bayang gurunya, tersembunyi dan menjadi satu dengan badan halus kakek itu, di dalam Hek-kwi-sut maka hari-hari selanjutnya dilalui pasukan liar ini dalam serbuan ke selatan. Mereka akhirnya tak menghiraukan San Tek lagi dan Siang Le diajak rekannya, Togur, menggempur dan memasuki daerah pedalaman. Di sini Siang Le harus menahan perasaannya melihat sepak terjang Togur, kekejaman dan keganasannya ketika menghadapi musuh.

Togur mendobrak pintu-pintu gerbang seperti halnya menyerbu perbatasan tembok besar dulu, mendaki dan naik ke atas seperti cicak terbang. Tak ada yang mampu menghalangi pemuda itu dan berkelebatanlah pemuda itu di dalam daerah musuh, dibantu kelima gurunya. Dan karena mereka memang orang-orang hebat di mana tak satu pun panglima yang sanggup menahan majunya pemuda ini maka satu per satu kota-kota Cin-po dan Cin-yang direbut, bahkan akhirnya Tai-yuan juga diserbu. Kota ini sudah termasuk wilayah Shan-si dan tanpa terasa tiga propinsi sudah dikuasai pasukan Togur, dan Siang Le itu.

Dan ketika sebulan saja dari serangan besar-besaran ini sudah merobohkan banyak panglima atau jenderal, maka Ho-nan menjadi propinsi keempat yang siap digempur Togur. Pemuda ini tertawa bergelak dan selalu merayakan kemenangannya dengan pesta-pora. Siang Le harus membuang muka dan menjauh kalau sudah melihat itu. Togur mempermainkan wanita-wanita rampasan dan pasukannya bersorak-sorai ketika dibagi-bagi seperti anak kecil mendapat kembang gula.

Setiap Siang Le hendak memberontak atau marah-marah maka gurunya muncul, berdehem dan mengajak dia menjauh. Hanya karena gurunya itulah Siang Le menahan semua perasaan yang terbakar. Dan ketika rencana serbuan ke Ho-nan yang berarti kian mendekati kota raja diumumkan dan mendapat sorakan ramai maka Togur mengutus seorang gurunya untuk menemui kaisar.

"Berikan surat ini kepada kaisar dan suruh dia menyerah baik-baik. Pasukanku sudah tinggal seminggu lagi ke istana atau kaisar akan kuturunkan dari tahtanya secara paksa. Nah, temui penguasa tolol itu, subo. Berikan surat ini dan kembalilah dalam tiga hari!"

Ternyata Togur memerintahkan nenek Naga. Nenek itu sudah diberi sepucuk surat yang isinya adalah pemberitahuan sekaligus ancaman bagi kaisar bahwa pernyerbuan tak dapat ditahan lagi. Pasukan kerajaan sudah dibuat porak-poranda dan kota demi kotapun direbut. Istana memang gelisah dan tak ada seorangpun yang tidak pucat. Para selir dan puteri-puteri cantik di istana rata-rata gemetar. Mereka telah mendengar kebuasan dan kebrutalan Togur, yang sebentar saja sudah dikenal sebagai pemuda mengerikan yang suka mempermainkan tawanan-tawanan wanita, berkepandaian tinggi dan amat ganas serta kejam.

Dan ketika tiga propinsi sudah direbut pemuda itu dan pasukan bangsa liar sudah siap menggempur Ho-nan, yang merupakan benteng terakhir bagi istana maka saat itu nenek Naga berangkat. Nenek ini berseri-seri dan kesukaannya yang aneh timbul. Melihat muridnya mempermainkan wanita-wanita cantik maka diapun mempermainkan pemuda-pemuda tampan. Ada kebiasaan baru yang buruk yang mulai menghinggapi nenek ini, juga dua nenek yang lain, Toa-ci dan Ji-moi.

Karena setelah melihat kebrutalan perang dan kebuasan prajurit, yang lahap dan saling berebut kalau mendapatkan tawanan wanita maka nenek Naga dan lain-lain tergerak, bangkit berahinya yang terpendam dan mereka mula-mula hanya menonton saja. Tapi ketika menonton saja dirasa tak puas, nafsupun timbul maka nenek Naga dan dua nenek yang lain mulai melakukan hal yang sama. Mereka tertawa dan membagi pemuda-pemuda tampan, tentu saja mudah karena kepandaian mereka yang tinggi.

Dan ketika kesenangan itu kian memuncak dan tidak mengarah pada pemuda-pemuda biasa saja, karena nenek ini dan lain-lain mulai mengincar pada putera-putera pembesar atau bangsawan tinggi maka baik wanita ataupun pria menjadi korban Togur dan nenek-nenek ini, tentu saja kian lama kian menggila dan ngerilah siapapun yang melihat tindak-tanduk mereka itu. Togur dan guru-gurunya serasa orang-orang yang tidak waras lagi.

Namun ketika nenek itu berangkat melaksanakan tugas, menemui kaisar dan diberi waktu tiga hari untuk kembali ternyata nenek ini tak kembali. Togur menunggu tiga hari lagi namun subonya itu tak muncul juga. Terkejut dan heranlah pemuda itu. Tak biasanya si nenek membangkang. Pasti ada apa-apa. Dan ketika dia mengutus lagi dua subonya yang lain, Toa-ci dan Ji-moi ternyata dua nenek itu juga tak kembali.

Apa yang terjadi? Membelotkah nenek-nenek sakti itu? Tak mungkin. Mereka adalah nenek-nenek iblis yang sudah di bawah kekuasaan muridnya sendiri. Kehebatan dan kesaktian Togur sekarang sudah bukan tandingan mereka. Dan ketika Togur disana terbelalak dan mengepalkan tinju, marah dan siap menemui See-ong untuk membicarakan ini maka di lain tempat memang terjadi sesuatu. Dan itu menimpa diri nenek Naga dan Toa-ci serta Ji-moi yang sial!

* * * * * * *

Kereta berkuda itu lewat dengan tenang. Derapnya yang teratur dan iramanya yang tik-plok-tik-plok memberi kesan bahwa penumpangnya sedang melakukan perjalanan santai. Benar, itu tidak salah. Mereka terdiri dari tiga orang dewasa dan seorang anak laki-laki kecil. Anak ini, yang duduk di sebelah kusir yang menjalankan kereta tampak tertawa-tawa membunyikan kelenengan. Kelenengan itu dibunyikan setiap kaki kuda berirama silih berganti, membentuk sebuah lagu dan meskipun sederhana namun enak juga didengar telinga. Sedap!

Anak itu tertawa-tawa dan kusir di sebelahnya, seorang laki-laki gagah berambut keemasan tersenyum-senyum melihat ulah anak ini. Itulah Pendekar Rambut Emas bersama keluarganya. Anak laki-laki kecil itu bukan lain adalah Beng An, Kim Beng An, seorang anak laki-laki yang berani dan berwatak keras, gagah dan tentu saja hebat untuk anak seusianya karena sekecil itu sudah digembleng ilmu silat oleh ayah ibunya.

Beng An telah mempelajari pukulan-pukulan Tiat-lui-kang ataupun Pek-sian-ciang, juga sering berlatih dengan sebatang pit hitam seperti ayahnya. Kadang-kadang pit ini disisipkan di atas telinganya, dijepit. Sepintas, seperti bocah tukang gambar yang siap melukis. Anak ini memang mulai gemar melukis dan agaknya bakat ayahnya menurun.

Pendekar Rambut Emas, sebagaimana diketahui adalah juga seorang ahli lukis. Dulu lukisannya telah membuat heboh istana ketika kaisar tergila-gila pada Cao Cun, Wang Cao Cun, puteri Wang-taijin. Dan karena dia seorang ahli lukis maka kadang-kadang Pendekar Rambut Emas inipun mempergunakan pit hitamnya itu untuk menghadapi lawan. Dan Beng An mewarisi bakat ayahnya itu, senang melukis. Dan ketika pagi itu mereka melanjutkan perjalanan setelah menginap semalam di kampung Hok-chungcu (kepala kampung Hok) maka Beng An merasa gembira karena melewati hutan.

"Kita menerabas ditengah-tengah saja, sekalian berburu!"

"Hush," ayahnya tersenyum. "Ransum makanan sudah cukup, Beng An. Jangan berkeliaran lagi. Tadi Hok-chungcu telah memberi kita dendeng dan roti-roti kering."

"Ah, aku tidak bermaksud mencari makanan, ayah, melainkan ingin melatih otot-ototku dengan bertarung melawan binatang buas. Sudah seminggu ini tubuhku kurang semangat karena tak menghadapi lawan tangguh. Aku ingin mencari harimau atau singa seperti di padang perburuan kita!"

"Ha-ha, kau ini selalu gatal. Pagi-pagi begini mana ada hewan seperti yang kau harapkan? Mereka masih tidur, Beng An, belum ada yang bangun!"

"Ah, ayah bohong. Tak perlu membujukku. Aku tahu saat begini justeru si raja rimba biasanya mencari mangsa. Ayolah, ayah. Biarkan aku berolah raga dan mencari buruanku!"

"He, nanti dulu!" sang ayah mencengkeram pundak puteranya, yang mau keluar. "Beri tahu ibumu dulu, Beng An. Jangan nyelonong dan minta ijinku seorang. Aku takut ibumu marah kalau aku memberimu ijin keluyuran!"

"Ah, ibu pasti membolehkan!" dan Beng An yang tertawa berjungkir balik ke belakang lalu menyingkap tirai kereta berbicara kepada ibunya, "Ibu, aku boleh main-main di hutan ini, bukan? Seminggu tubuhku sakit semua, tak bertarung dengan raja rimba. Aku ingin berolahraga dan mencari keringat!" "Hm," Swat Lian, yang tersenyum dan sudah mendengar pembicaraan itu tertawa. "Permintaanmu sama dengan perintah, An-ji. Tidak bolehpun kau pasti merengek. Baiklah, tapi jangan sendiri. Suruh ayahmu berhenti dan biar encimu Soat Eng menemani."

"Horee, ibu baik sekali!" dan Beng An yang bersorak serta mencium pipi ibunya lalu berkelebat dan berjungkir balik menemui ayahnya. "Yah, ibu mengijinkan. Kau diminta berhenti dan aku akan main-main dengan enci Soat Eng!"

Pendekar Rambut Emas menghentikan keretanya. Empat ekor kuda itu meringkik dan Beng An sudah meloncat turun. Bersorak dan berteriak-teriak gembira anak laki-laki ini sudah menyambar panahnya, berkelebat dan memasuki bagian hutan yang gelap. Di pinggangnya sudah tersisip pula sebuah pisau kecil dimana semuanya itu memang merupakan alat-alat untuk berburu bagi anak laki-laki ini. Soat Eng berteriak dan membentak adiknya itu, tanpa menunggu sudah masuk dan lenyap di hutan. Tapi ketika gadis ini melesat dan berjungkir balik melalui jendela kereta maka diapun sudah mengejar dan menyusul adiknya itu, Beng An yang nakal.

"Hei, tunggu, Beng An. Kujewer telingamu nanti. Ingat pesan ibu bahwa kau tak boleh sendiri!"

"Ha-ha, kau lamban sekali, enci. Menunggumu sama dengan menunggu jalannya siput. Ayolah, kejar aku dan kita dengar auman di depan itu!"

Soat Eng memaki adiknya itu. Memang tiba-tiba di depan itu terdengar auman perlahan si raja rimba. Soat Eng berkelebat dan menyusul adiknya, melihat adiknya itu merunduk dan sudah bersiap dengan busur dan panah di tangan, sikapnya gagah dan tak kenal takut. Mengagumkan. Sekecil itu siap menghadapi bahaya dan justeru menyongsong bahaya! Dan ketika gadis itu menyambar dan menangkap lengan adiknya untuk berhati-hati maka Pendekar Rambut Emas dan isterinya tersenyum saling pandang, tak khawatir, karena mereka tahu kepandaian putera mereka itu, apalagi di bawah kawalan encinya.

"Anakmu itu gagah sekali, tak kenal takut. Hm, sungguh pemberani!

"Ih, anak siapa? Bukankah anakmu juga? Eh, memuji anakku berarti memuji anakmu juga, suamiku. Jangan berpura-pura!"

"Ha-ha, kau benar. Eh, aku memang keliru!" dan Pendekar Rambut Emas yang menyambar serta memeluk isterinya itu lalu mendaratkan ciuman sayang di bibir.

"Hush, jangan disini. Eng-ji dan An-ji ada di depan!

"Wah, depan mana? Mereka lenyap di kejauhan sana, isteriku. Jangan membuat aku gagal menumpahkan perasaan ini, ha-ha!" dan Pendekar Rambut Emas yang tak memperdulikan gertakan isterinya dan mencium lagi lalu disambut tawa dan senyum wanita cantik ini.

Swat Lian menyambut dan berciumanlah mereka dengan bahagia. Ah, saat-saat seperti itu serasa sorga bagi mereka. Namun ketika sang suami hendak mengajaknya ke kereta, memadu kasih ternyata wanita ini menolak. "Jangan gila, semalam sudah kuberi!"

"Ah, kurang, Lian-moi. Mana cukup? Sekali lagi baru puas, ha-ha!" namun ketika Swat Lian mengelak dan mendorong suaminya tiba-tiba wanita ini berkata bahwa Soat Eng dan Beng An bisa saja sewaktu-waktu kembali. Mereka tak boleh melakukan itu dan biarlah nanti di penginapan berikut. Agaknya, memasuki usia empat puluhan semangat Pendekar Rambut Emas ini bertambah. Barangkali, masa pubernya yang kedua! Dan ketika pendekar itu sadar dan mengeluh kecewa, melepaskan isterinya maka Swat Lian membujuk agar suaminya tidak marah.

"Tempat ini terbuka, dan lagi amat terang. Percayalah malam nanti aku melayanimu lebih dari semalam!"

"Hm-hm, sudahlah, aku tak marah. Kau benar, Lian moi. Agaknya aku yang terlalu bersemangat dan entah jamu apa yang kau berikan padaku!"

"Ih, jamu apa? Kau sendiri yang menenggak anggur itu. Sudah kubilang agar jangan, tapi kau tak menghiraukan!"

"Ha-ha, sudahlah. Aku mengerti. Marilah kita duduk dan bersamadhi di situ, sambil menunggu anak-anak!" Pendekar Rambut Emas tertawa, memang pagi tadi dia menenggak sesloki anggur penambah semangat dan benar saja pagi itu dia lupa diri. Isterinya tampak begitu cantik dan bersinar-sinar. Hm, tubuh isterinya masih padat dan entah kenapa dia selalu bergairah kalau memandang tubuh isterinya ini. Swat Lian memang pandai menjaga diri. Selera suami selalu diketahuinya tepat dan agaknya itulah yang selalu menimbulkan gairah di hati Pendekar Rambut Emas ini.

Dan ketika mereka duduk dan sama-sama tersenyum, geli oleh kejadian tadi maka Kim-mou-eng sudah mengajak isterinya bersila. Inilah kebiasaan yang dilakukan pendekar itu di waktu-waktu senggang. Mereka tak pernah membuang-buang waktu secara sia-sia. Begitu kelihatan kosong segera diisi. Dan ketika mereka bersila dan duduk mengatur tenaga, juga pernapasan maka di sana Beng An dan Soat Eng berkelebat mencari suara harimau.

Enci adik ini mendengar suara aneh di depan. si raja hutan, yang entah kenapa mengaum lemah tampaknya seperti sedang menghadapi sesuatu yang menyusahkan hatinya. Beng An berkelebat namun segera berindap lagi ketika auman itu terdengar lebih dekat. Ini berarti jaraknya dengan si raja hutan sudah tak jauh lagi. Anak ini bergetar dan panah di busurnya siap dibidik. Kalau dia diserang dan belum mendapat posisi bagus tentu dia akan melepaskan panahnya itu, lalu bertarung dan berkali satu lawan satu, begitu biasanya. Tapi ketika si raja hutan sudah terlihat dan Soat Eng maupun adiknya bersiap untuk menghadapi harimau ini mendadak dua enci adik itu tertegun.

"Dia membawa anaknya!"

Beng An mengangguk. Akhirnya mereka melihat harimau betina dan anaknya itu, bersimpuh dan rupanya harimau betina itu terluka. Sang anak menguik-nguik dan sang induk tak dapat bangun berdiri. Tapi begitu Soat Eng dan Beng An muncul, mengejutkan harimau ini mendadak aum yang keras meluncur dari mulut si betina, bangkit namun roboh lagi dan anak macam itu ketakutan. Beng An dan Soat Eng yang muncul tiba-tiba membuat anak harimau ini juga terkejut, menyelinap namun celaka sekali tertimpa tubuh induknya, yang tadi bangun berdiri namun roboh!

Dan ketika Soat Eng terkejut dan Beng An juga mengeluarkan seruan kaget mendadak anak ini berkelebat dan menolong si loreng cilik itu, maksudnya mengangkat tubuh si induk tapi tentu saja harimau betina itu menyangka lain. Beng An dikira menyerangnya dan anaknya mau diganggu. Harimau ini mengaum dan kedua kakinya terangkat, mencakar dan mulutnyapun dibuka lebar-lebar untuk menggigit. Beng An diserang! Tapi ketika anak ini berkelit dan cakaran si betina disambut busurnya maka harimau itu terbanting dan Beng An cepat sekali menyambar anak harimau itu, yang tadi terjepit tubuh induknya.

"Dess!" Harimau ini kaget. Dia mengaum dan terguling dua kali dan kini terlihatlah bahwa di belakang pantatnya menancap sebatang panah besar, juga sebuah duri atau paku menancap di telapak kaki belakangnya bagian kanan. Ah, itulah agaknya yang membuat si harimau tak dapat bangkit berdiri. Dia terpanah dan kena paku, atau duri tulang. Dan ketika Beng An maupun encinya melihat itu maka Beng An yang sudah menyambar dan memondong anak macam tiba-tiba digigit dan dicakar.

"Hei....!" Beng An mengelak dari serangan. "Aku tidak bermaksud mencelakaimu, anak loreng. Jangan serang!" dan ketika si anak macan terkejut dan masih berusaha mencakar dan menggigitnya maka apa boleh buat Beng An melumpuhkan bagian tengkuk anak macan ini, mengerahkan tenaganya dan anak macan itupun menguik. Beng An tidak membunuhnya kecuali hanya melumpuhkan saja. Rahang anak macan itu terkatup dan tak dapatlah dia menggigit lagi. Dan ketika Beng An juga menotok dan mengurut jalan darah di punggung si anak macan maka anak macan itupun tak dapat mencakar lagi karena keempat kakinya sudah lunglai.

"Ha-ha, sekarang kau jinak!" Beng An melemparkan anak macan ini, tidak keras dan si anak macanpun ketakutan. Dia mau berlari tapi keempat kakinya tak mau digerakkan. Yang dapat dilakukan hanya berdiri saja seperti itu, tak dapat lebih. Persis seperti boneka kaku yang hidup, yang hanya dapat menggerak-gerakkan kedua matanya seperti bola menari-nari! Dan ketika Beng An tertawa dan membungkuk, mengusap punggungnya maka anak macan ini mendengar kata-kata lembut anak laki-laki itu.

"Aku tak membunuhmu, tak jadi memusuhi indukmu juga. Lihatlah dan tenang disini karena aku tak akan mengapa-apakan dirimu!" lalu ketika si induk mengaum dan marah tapi juga ketakutan, melihat anaknya dibelai Beng An maka Soat Eng berseru pada adiknya bahwa harimau itu terluka.

"Aku tahu, tapi biarkan aku yang melihatnya, enci. Jangan bantu!" Beng An yang berdiri memutar tubuh lalu berjalan menghampiri si induk. Busur dan anak panah sudah dia sembunyikan di belakang punggung dan terkejut serta terbelalaklah harimau betina itu. Dia menggeram dan membuka mulutnya ketika Beng An semakin mendekati, mengaum dan memperlihatkan taring-taringnya yang tajam namun Beng An tidak takut. Anak ini terus melangkah dan akhirnya berhadapan dengan harimau betina itu. Harimau ini tak dapat lari lagi karena luka-lukanya. Dan ketika Beng An menggerakkan tangan untuk digigit, hal yang mengejutkan Soat Eng maka tiba-tiba tangan satunya dari anak ini bergerak menampar.

"Hei, jangan menyerang. Robohlah!" harimau itu terputar, kena tamparan anak ini dan selanjutnya Beng An sudah menotok bagian punggung lawan. Berkali-kali menghadapi binatang buas seperti harimau atau lain-lain akhirnya membuat anak ini hapal dimana tempat-tempat yang melumpuhkan. Harimau itupun berdebuk dan Beng An tertawa, menggerakkan jarinya lagi dan terkatuplah rahang binatang buas itu. Beng An telah melumpuhkan harimau betina ini seperti melumpuhkan anaknya.

Harimau itu gentar dan ketakutan, tak dapat mengaum kecuali mengeluarkan rintihan-rintihan seperti orang gematar, mengira anak ini akan menyiksanya, atau membunuhnya. Tapi ketika Beng An berlutut dan sudah memeriksa luka di belakang, panah dan paku tulang itu maka anak ini mengangguk-angguk mengambil buntalan obatnya.

"Wah, bengkak. Pantas kalau kesakitan! Eng-cici, kemarilah sebentar. Bantu aku membalut luka-luka ini!"

Soat Eng sudah berkelebat. Tadi melihat adiknya menyodorkan lengan untuk digigit harimau dia sudah siap untuk bergerak. Kalau adiknya sampai tergigit tentu dia akan membunuh harimau itu, menamparnya dengan sebuah pukulan maut, mendahului. Tapi ketika adiknya kiranya hanya memperdayai si betina itu dan kini merobohkannya dengan mudah maka gadis ini mengomel dan menegur adiknya itu.

"Beng An lain kali jangan membuat aku terkejut. Kalau kau sembrono dan ada apa-apa tentu ayah dan ibu akan memarahi aku....!"