Istana Hantu Jilid 26 - Sonny Ogawa

Halaman

    Social Items

ISTANA HANTU
JILID 26
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

“HE!” Thai Liong berseru. "Berhenti, orang tua, aku bukan Kim-mou-eng!"

Namun dua orang itu malah melarikan diri lebih cepat. Melihat Thai Liong yang berambut keemasan seperti ayahnya langsung saja mereka mengira itulah Kim-mou-eng, mereka sudah terlanjur gentar dan lari terbirit-birit. Seruan Thai Liong yang memanggil-manggil nama mereka tak digubris, Hauw Kam dan suhengnya sudah keburu takut. Tapi begitu Thai Liong mengerahkan Jing-siang-engnya dan seperti burung menyambar tahu-tahu dia sudah berjungkir balik dan melewati kepala dua orang ini tiba-tiba pemuda itu mendorongkan kedua lengannya.

"Berhenti, kalian dengarlah kataku... bress!"

Dua orang itu terkejut, membentak dan menangkis kedua lengan Thai Liong yang menyambar ke arah mereka. Dari kedua lengan pemuda itu menyambar serangkum angin kuat dimana gerakan mereka tiba-tiba terhenti, mereka terkejut dan tentu saja menghantam. Tapi begitu tenaga dahsyat Thai Liong bertemu pukulan mereka tiba-tiba keduanya malah terlempar dan terbanting dan dua orang ini berteriak-teriak ketakutan.

"Bangsat, kita lari!"

Thai Liong tertegun. Terguling-guling dan meloncat bangun mendadak dua orang itu sudah melarikan diri lagi. Mereka begitu ketakutan, begitu pucat. Dan ketika dua orang ini membalik dan lari ke lain arah maka Hauw Kam dan suhengnya seperti dikejar setan.

"Kim-mou-eng, jangan seperti kakek jahat itu. Kami masih ingin hidup!"

Thai Liong membelalakkan mata. Dia melihat bahwa dua orang ini rupanya bukan orang-orang yang sehat jiwanya. Mereka seperti orang gila tapi harus diakui cukup lihai. Angin pukulan mereka yang menyambar dahsyat tadi bukanlah main-main. Kalau bukan Khi-bal-sin-kang yang dikerahkan barangkali dia akan terpental. Hebat! Dan ketika Thai Liong sadar dan berseru lagi tiba-tiba pemuda ini sudah membentak dan mengejar.

"Hei, aku bukan Kim-mou-eng. Kim-mou-eng adalah ayahku!"

"Berpencar!" Hauw Kam tiba-tiba berseru pada suhengnya. "Kau ke kiri aku ke kanan, suheng. Dia datang mengejar kita!

Thai Liong terkejut. Dua orang itu tiba-tiba berpencar, yang satu ke kiri sedang yang lain ke kanan. Mereka tak menghiraukan seruannya tadi dan tetap menganggap bahwa dia adalah Kim-mou-eng. Thai Liong semakin tertarik tapi juga penasaran kepada dua orang ini. Maka begitu keduanya berpisah dan Thai Liong harus mengejar satu di antaranya maka pemuda itu memilih Gwan Beng yang kebetulan lebih dekat, berpikir akan menangkap dulu orang ini baru yang satunya.

Dan ketika dia sudah menetapkan keputusannya dan bergerak mengerahkan Jing-sian-engnya tiba-tiba Thai Liong telah berkelebat dan melayang di atas kepala orang, melewati dan langsung berjungkir balik di depan lawan. Gwan Beng terkejut karena tiba-tiba untuk kedua kali seperti siluman menyambar tahu-tahu pemuda itu sudah ada di depannya, langsung dia membentak dan menghantam penuh kaget. Tapi karena Thai Liong sudah bersiap sedia dan dia memutar pinggang meliukkan tubuh tiba-tiba pemuda ini menggerakkan tangan kiri menangkis serta menangkap pergelangan tangan orang.

"Aku bukan Kim-mou-eng.... crep!" pemuda itu memindahkan kekuatan lawan, menerima tapi secepat kilat membuang tenaga hantaman itu. Dan ketika Gwan Beng terpekik karena pergelangan tangannya seperti diremas atau dicengkeram tanggem maka Thai Liong sudah menariknya ke depan dan jari telunjuk pemuda itu sudah bergerak menotok pundaknya.

"Hayaa...!" Gwan Beng menggerakkan kaki dengan cepat. Mau ditotok dan dirobohkan pemuda itu tiba-tiba dengan lihai dan cepat luar biasa tahu-tahu ia menendang lawannya ini. Bukan tendangan sembarang tendangan melainkan tendangan cangkul yang bergerak dari atas kepala ke bawah.

Thai Liong terkesiap karena kaki itu tahu-tahu sudah menghantam mukanya dengan cepat sekali. Inilah tendangan istimewa yang luar biasa! Dan ketika apa boleh buat Thai Liong harus melepaskan cengkeramannya untuk menangkis tendangan gila itu maka tenaga di antara mereka tak dapat dicegah untuk bertemu lagi dan Thai Liong mengerahkan sinkangnya.

"Dess!" Gwan Beng berteriak terlempar. Kalah oleh Khi-bal-sin-kang yang akan selalu menolak pukulan lawan maka dia mencelat dan dia terguling-guling. Thai Liong sendiri mengusap keringatnya karena tendangan itu sungguh berbahaya. Kalau tidak cepat dia bergerak tentu wajahnya menjadi sasaran, paling tidak hidung bisa bocor!

Dan ketika lawan berteriak terguling-guling di sana dan Gwan Beng marah mencabut pedangnya maka laki-laki ini sudah menerjang dan menyerang Thai Liong dengan dahsyat, maklum bahwa lawannya ini tak akan melepaskan dirinya dan dia marah sekali. Dan ketika pedang bergerak dan sudah bergulung naik turun bagai naga atau siluman maut maka Thai Liong tertegun melihat dan mengenal ilmu pedang itu.

"Giam-lo Kiam-sut!" Thai Liong bengong. Tentu saja dia mengenal dan hapal betul akan ilmu pedang itu. Itulah Giam-lo Kiam-sut atau Ilmu Pedang Maut, warisan atau ciptaan mendiang kakeknya Hu Beng Kui.

Dan ketika dengan cepat dan terheran-heran dia menghindar sana-sini dan tahu jurus-jurus berikutnya kemana akan menyambar maka Gwan Beng tertegun dan terbelalak melebarkan matanya. Ilmu pedangnya dikenal dan untuk kesekian kali ilmu pedangnya itu disebut Giam-lo Kiam-sut. Dulu oleh Soat Eng dan ayah ibunya dan kini oleh pemuda ini, terkejut dia. Dan ketika Thai Liong dapat mengelak dan beterbangan di antara bacokan-bacokan atau tusukan pedangnya yang ganas maka saat itu Ituchi, pemuda satunya yang datang bersama Thai Liong berkelebat menyusul.

"Hei, siapa dia ini, Thai Liong? Dan mana yang satunya?"

"Ah, aku tak mengenal. Tapi yang satu melarikan diri ke utara. Coba kau kejar!"

Ituchi terbelalak. Bersama Thai Liong dia tadi melihat dua orang suheng dan sute ini, Thai Liong mendahului dan dia tertinggal di belakang. Tapi begitu dia bergerak dan menyusul temannya ini ternyata Thai Liong sudah bertanding namun orang satunya lagi tak dilihatnya, entah kemana. Dan ketika dia tertegun dan membelalakkan mata maka Thai Liong menyuruhnya mengejar Hauw Kam.

"Baik!"pemuda itu memutar tubuhnya. "Kukejar dia, Thai Liong. Dan biar kubantu kau!"

Gwan Beng pucat. Dia melihat bahaya mengancam sutenya di sana, berteriak dan tiba-tiba meninggalkan Thai Liong untuk menyerang pemuda tinggi besar ini. Tapi ketika Ituchi menangksi dan Thai Liong di belakang juga berseru mengejar dirinya maka Gwan Beng terpelanting dan pedangnya tersampok miring.

"Plak-dess!"

Ituchi tertawa meninggalkan laki-laki itu. Thai Liong sudah berkata padanya agar cepat dia menangkap Hauw Kam, mengejar dan setidaknya menghalangi laki-laki itu agar tidak jauh melarikan diri. Dan ketika Gwan Beng membentak marah dan gusar menyerang pemuda ini maka Thai Liong bergerak dan melayani lagi lawannya itu.

"Keparat, kau akan kubunuh!" Gwan Beng menggerakkan pedangnya, gusar menyerang pemuda ini namun Thai Liong sudah berkelebatan dengan Jing-sian-engnya.

Sekarang Thai Liong tak ragu lagi bahwa lawannya itu benar-benar memainkan Giam-lo Kiam-sut, hebat dan cukup berbahaya namun dia dapat mengelak sana-sini. Permainan pedang yang sudah dikenal tak membuat Thai Liong kerepotan. Dan ketika pedang menyambar dalam satu tikaman yang disebut Pedang Maut Menembus Matahari tiba-tiba Thai Liong membentak dan mengerahkan Khi-bal-sin-kangnya menangkis pedang itu, berani dan tidak takut menghadapi mata pedang yang tajam.

"Lepaskan.... plak!" pedang mencelat, benar-benar terlepas dari tangan Gwan Beng dan laki-laki itu pucat berteriak tertahan, terpelanting dan Thai Liong sudah maju ingin menyelesaikan pertempuran. Dia jadi curiga sekaligus tertarik untuk mengetahui siapa sebenarnya lawannya ini. Tapi ketika dia bergerak dan melepas totokan untuk merobohkan lawan tiba-tiba kesepuluh jari lawannya itu bergetar dan terkejutlah Thai Liong ketika dari ujung jari-jari itu menyambar semacam benang laba-laba diiringi pekikan lawan.

"Bocah, robohlah. Jangan anggap mudah menangkap aku.... bret!"

Thai Liong tak menduga, tahu-tahu sudah disambar jaring-jaring aneh itu dan sekejap tubuhnya sudah terlilit habis. Cepat dan luar biasa dirinya sudah terperangkap benang laba-laba itu. Dan karena Thai Liong tertegun dan bengong melihat kepandaian ini, ilmu aneh yang seumur hidup baru kali itu disaksikan tiba-tiba dia sudah terbanting dan roboh terbungkus jaring.

"Bluk!" Thai Liong terkesima. Sama seperti adiknya dulu diapun tak menduga kepandaian lawannya itu, ilmu simpanan yang memang hanya akan dikeluarkan Gwan Beng atau sutenya kalau mereka benar-benar terdesak. Ilmu silat itu memang akan mengejutkan lawan karena seperti sihir. Inilah Jaring Naga yang diciptakan Gwan Beng kakak beradik untuk menghadapi lawan-lawan tangguh. Dan ketika Thai Liong terbanting dan melongo dengan tubuh terbungkus rapat maka tertawalah Gwan Beng terbahak-bahak.

"Ha-ha, lihat bocah. Sekarang aku menang!"

Thai Liong tak sempat mengelak, sebuah totokan ganti menyambar dan robohlah dia di tangan lawan. Kejadian cepat yang diluar dugaan ini memang tak bakal dikiranya jauh-jauh sebelumnya. Dia sudah menguasai lawan dan Giam-lo Kiam-sut yang dikeluarkan lawan tak membuat dia takut. Karena sudah mengenal dan hapal akan jurus-jurus ilmu pedang itu justeru dia seperti menghadapi teman berlatih saja..

Tapi begitu kemenangan yang siap diraih mendadak berubah menjadi kekalahan yang tak disangka maka Thai Liong bengong dalam keheranannya dan saat itulah terdengar pula pekikan atau jeritan Ituchi di kejauhan sana. Apa yang terjadi? Mirip seperti yang dialami Thai Liong ini.

Ituchi, seperti yang diminta Thai Liong sudah mengejar dan tadi membuat Gwan Beng terhuyung. Pemuda tinggi besar ini tak melihat Hauw Kam namun sudah mendapat petunjuk. Dia cepat bergerak ke utara untuk mencari si gimbal itu. Dan ketika bayangan laki-laki itu dilihatnya lari di sana dan benar saja mau menyembunyikan diri maka pemuda ini membentak dan menyuruh lawan berhenti. "Hei, jangan kemana-mana. Berhenti!"

Hauw Kam terkejut. Dia mendengar suara berat yang bukan Thai Liong, menoleh dan melihat pemuda tinggi besar itu. Dan ketika dia tertegun dan Ituchi sudah beberapa tombak di belakangnya tiba-tiba pemuda itu mengulurkan lengannya untuk mencengkeram pundaknya.

"Dukk!" Hauw Kam tentu saja tak mau ditangkap. Melihat Ituchi tak setakut kalau dia melihat Thai Liong. Pemuda berambut emas itu tetap masih disangkanya sebagai Kim-mou-eng dan tentu saja dia lebih gentar menghadapi pemuda itu daripada Ituchi. Maka begitu Ituchi berteriak dan menyuruh dia berhenti, sudah dekat di belakangnya tiba-tiba Hauw Kam menjadi marah dan menangkis cengkeraman pemuda ini, terpental namun Ituchi juga terlempar setindak. Hauw Kam melotot dan menggeram membentak pemuda itu, memakinya. Dan ketika Ituchi terkejut namun menyerang lagi maka Hauw Kam sudah berseru keras dan melayani pemuda tinggi besar ini.

"Duk-dukk!"

Ituchi terbelalak dan kaget. Sekarang dia mendapat kenyataan bahwa lawannya ini hebat, sudah melihat lawan berkelebat membalas dirinya dan menyambarlah pukulan-pukulan kuat yang tak boleh dipandang enteng. Namun karena Ituchi juga bukan pemuda lemah dan dia marah serta mengelak dan membentak maka keduanya sudah bertanding dan Hauw Kam menjadi gusar karena lawannya ini mementalkan semua serangan-serangannya.

"Kau pemuda keparat, kubunuh kau nanti!"

"Ha, boleh coba, orang gila. Kau agaknya tidak waras namun kepandaianmu lumayan juga!"

Keduanya bertanding. Hauw Kam akhirnya melotot karena lawannya ini alot dan lihai, Ituchi memang bukan pemuda sembarangan. Dan ketika benturan-benturan di antara mereka menunjukkan bahwa tenaga mereka tak berbeda jauh maka Hauw Kam mencabut pedangnya dan dengan senjata ini dia menerjang lawan.

"Heii...!" Ituchi terkejut. "ilmu pedang apa ini? Wah, ganas sekali. Berbahaya...plak-bret!" baju pemuda itu robek tersambar, sudah dikelit namun pedang masih memburu juga. Itulah Giam-lo Kiam-sut yang hebatnya memang bukan kepalang. Dan ketika Ituchi berteriak kaget dan pedang sudah menyambar serta menusuk-nusuk ganas maka pemuda ini terdesak dan dua tiga tusukan mengenai tubuhnya, untung ditahan dengan pengerahan sinkang.

Dan Hauw Kam membelalakkan mata. Pemuda ini tak terluka dan dia kagum juga, di samping marah. Dan ketika dia mulai melakukan serangan-serangan berbahaya ke arah mata dan ulu hati pemuda itu, ke bagian-bagian lemah yang tak sepenuhnya dapat dilindungi sinkang akhirnya Ituchi tersudut dan apa boleh buat mencabut senjatanya pula, sebuah gendewa kecil, senjata yang biasa dipakai memanah binatang-binatang buruan dihutan, lebih bersifat penjagaan diri dan biasanya dengan gendewa ini Ituchi merobohkan buruannya untuk dimakan, satu kebiasaan yang memang banyak dilakukan pemuda-pemuda perantau.

Dan ketika dengan gendewa ini dia dapat menahan pedang di tangan lawan yang mendesing naik turun menyerang dirinya maka Hauw Kam tertegun lagi melihat kelihaian lawannya ini. Keparat, pikirnya. Siapa pemuda lihai yang gagah dan berkulit kehitaman ini? Bocah dari mana? Tapi melihat pedangnya dapat ditahan pemuda itu dan Giam-lo Kiam-sut yang hebat selalu terbentur gendewa di tangan pemuda itu mendadak Hauw Kam melengking dan bergeraklah tangan kirinya melepas Jaring Naga, sebuah ilmu simpanan yang mengejutkan lawannya itu.

"Siut-sret!"

Ituchi berseru keras. Tangan kiri lawan yang tiba-tiba mengeluarkan benang-benang aneh seperti jaring laba-laba mendadak sudah menyambar dirinya. Dia mengelak namun pedang di tangan kanan mengejar, apa boleh buat dia terpaksa menangkis namun betapa kagetnya pemuda ini ketika benang seperti laba-laba itu lengket di tangannya. Dan ketika dia berteriak dan lawan tertawa bergelak maka satu tusukan pedang tak dapat dihindari tepat sekali menusuk pundaknya.

"Cret!" Ituchi terluka. Kaget dan terkejut oleh Jaring Naga lawan yang aneh dan luar biasa maka konsentrasi sinkangnya pecah, akibatnya pemuda ini tak sepenuhnya dapat menahan ketajaman pedang dan terlukalah dia, meskipun hanya luka ringan yang tak dalam. Tapi ketika pedang bergerak-gerak lagi dan tangan kiri lawan yang menyambar-nyambar dengan Jaring Naganya itu berkelebatan menutupi pandangannya.

Akhirnya Ituchi kacau dan sibuk menghindar sana-sini, kaget dan berulang-ulang mengeluarkan seruan keras karena Jaring Naga yang amat rekat itu mengganggu sekali, menempel dan mulai bertebaran di seluruh tubuhnya seperti benang laba-laba, sungguh mengejutkan di samping menggelisahkan. Dan ketika tak ada bagian tubuh Ituchi yang terlewat dari jaring laba-laba ini dan benang yang amat kuat dari benang berperekat itu membungkus hampir semua tubuhnya akhirnya Ituchi roboh dan terguling seperti harimau dibungkus jala!

"Ha-ha, robohlah anak muda. Sekarang kau tak berkutik lagi..... bluk!"

Ituchi benar-benar roboh, jatuh terbanting dan berteriak keras dengan tubuh terbungkus jaring. Teriakannya itu terdengar di kejauhan dimana pada saat yang hampir berbareng Thai Liong juga roboh di tangan Gwan Beng, juga oleh jaring atau benang laba-laba ini. Dan ketika pemuda itu tak berkutik dan pucat memandang lawan maka menyambar sesosok bayangan dan Gwan Beng, si cambang yang gagah berdiri di situ, memanggul Thai Liong.

"Sute, kau sudah berhasil mengalahkan lawanmu?"

"Ha-ha, benar, suheng. Dan kaupun agaknya juga sudah berhasil mengalahkan Kim-mou-eng?"

"Bukan, bukan Kim-mou-eng!" sang suheng menggeleng kepala, telah mengamati tawanannya. "Bocah ini masih muda, sute. Memang benar bukan Kim-mou-eng, tapi dia mengaku puteranya!"

"Hah, sama saja. Kalau begitu kita berarti telah mengalahkan Kim-mou-eng!" Hauw Kam tertawa-tawa. Dia menyambar dan melempar tubuh Ituchi, menerima dan menendangnya lagi ke atas, dua tiga kali. Dan ketika pemuda itu mengumpat karena dijadikan seperti bola maka laki-laki ini berseru, "Kita bunuh mereka, dan buang mayatnya ke hutan!"

"Jangan!" Gwan Beng menggeleng. "Mereka orang-orang muda berbakat, sute. Dan terus terang aku kagum pada bocah ini, juga lawanmu itu. Sebaiknya kita tawan mereka karena siapa tahu dapat dijadikan penolong kalau kita bertemu Kim-mou-eng!" lalu menghadapi Thai Liong yang ditotok dan diikat kaki tangannya Gwan Beng bertanya, "Kau siapa? Namamu siapa?"

Thai Liong sudah memperhatikan gerak-gerik si cambang yang gagah ini. Dari pertempurannya tadi dia mendapat kenyataan bahwa laki-laki ini adalah orang baik-baik, pada dasarnya bukanlah seorang jahat dan tentu saja dia tertarik. Dia sudah ditotok dan diikat tapi kalau dia mau dia dapat membebaskan totokan atau ikatan itu. Dulu ketika ditotok dan ditawan See-ong si kakek iblis saja dia dapat menyelamatkan diri, apalagi hanya oleh laki-laki ini, yang kepandaiannya memang hebat tapi dia merasa sanggup mengatasi. Dia roboh karena tadi dia bengong oleh Jaring Naga itu, ilmu silat aneh yang belum pernah selama hidupnya dilihat. Maka begitu dia roboh namun diam-diam tenaga sinkangnya dikerahkan dan dengan Khi-bal-sin-kang sebenarnya dia mementahkan totokan lawan maka Thai Liong tersenyum ketika ditanya.

"Aku Thai Liong, Kim Thai Liong. Sedang temanku itu, hmmm..... kau tanya saja dia!"

Gwan Beng terbelalak. Dia heran dan kagum juga melihat sikap pemuda ini, begitu tenang dan tak kelihatan takut. Sikapnya seperti bukan tawanan melainkan orang yang bebas saja, bukan main. Tentu saja dia tak tahu bahwa kalau mau memang Thai Liong dapat membebaskan dirinya. Pemuda itu hanya berpura-pura saja karena ingin melihat apa selanjutnya yang akan dilakukan dua orang ini, lawan-lawannya yang memiliki Giam-lo Kiam-sut, ilmu pedang warisan kakeknya. Maka ketika dia menjawab begitu tenang sementara lawan membelalakkan mata maka Hauw Kam yang bertemperamen lebih tinggi berteriak,

"Hei, kurang ajar dia. Lebih baik kutampar mulutnya.... plak!" dan Hauw Kam yang berkelebat marah menempeleng pemuda ini tiba-tiba membuat Thai Liong terpelanting dan bengap mulutnya, tadi ditampar begitu keras namun untung dia bertahan. Kalau sinkangnya tidak bekerja barangkali mulutnya pecah. Hm, laki-laki yang ini lebih ganas! Tapi ketika dia melotot gusar dan menahan kemarahannya maka si cambang membentak sutenya,

"Sute, jangan main kasar. Dia tawananku!"

"Maaf, he-he!" Hauw Kam tertawa. "Aku tak sabar melihat sikapnya, suheng. Merendahkan mata. Sialan, sebaiknya kau lempar pemuda itu dan tak perlu bertanya-tanya lagi!"

"Tidak, mereka ini menarik. Aku masih ingin tahu kenapa mereka berada di sini...." lalu menghadapi Ituchi ganti dia bertanya, "Kau, siapa namamu? Kau bukan bangsa Han asli?"

Ituchi tidak seperti Thai Liong. Ditangkap dan dirobohkan seperti itu dia marah besar. Maka begitu ditanya dan dipandang seperti itu kontan mulutnya mendamprat, "Hei, kau! Tak usah tanya nama kalau ingin membunuh. Aku tak suka memperkenalkan diriku kepada kalian. Bebaskan atau bunuh aku!"

"Ha-ha!" Hauw Kam tertawa bergelak. "Bocah ini galak dan sombong amat, suheng. Berani dia bicara seperti itu. Biarlah kupencet hidungnya.... cet!" dan Ituchi yang benar-benar dipencet dan dicengkeram hidungnya tiba-tiba tak dapat bicara ketika masih memaki-maki, bindeng dan Hauw Kam terbahak-bahak kegelian. Sikap gilanya muncul dan bergeraklah tangannya yang lain untuk menggelitik ketiak pemuda itu. Dan ketika Ituchi diserang rasa geli tapi juga marah campur aduk maka akhirnya hidungnya dilepas dan terdengarlah makian bercampur tawanya yang tak keruan.

"Hei, bangsat! Lepaskan aku! Aduh, ha-ha... keparat!"

Kiranya Hauw Kam menotok jalan darah di bawah ketiak pemuda ini untuk membuat Ituchi terpingkal-pingkal. Tadi setelah menggelitik tiba-tiba dia menotok jalan darah itu, jalan darah yang akan membuat orang tertawa-tawa karena geli, tentu saja bukan ketawa yang sehat melainkan tawa yang bercampur sakit. Ituchi sedang marah namun saat itu lawan mempermainkan dirinya, tak ayal tawanya menjadi tawa bercampur sumpah serapah. Sejam pemuda ini seperti itu tentu dia bakal mati lemas, hal ini berbahaya dan Thai Liong yang mengetahui itu terkejut. Tapi ketika temannya tersiksa dan Hauw Kam tak membebaskan totokannya tiba-tiba Gwan Beng kembali bergerak dan si cambang inilah yang membebaskan Ituchi.

"Sute, jangan siksa pemuda ini. Biarkan mereka kepadaku!"

Ituchi terengah-engah. Dia melotot dan gusar bukan main memandang Hauw Kam, yang dipandang ha-ha-he-he saja dan balas melotot padanya. Pandangan tak waras menjadi semakin jelas ketika laki-laki itu menggaruk-garuk rambutnya. Dan ketika Ituchi hampir memaki namun Thai Liong disana tiba-tiba berseru padanya agar tidak melawan, mengerahkan ilmunya mengirim suara dari jauh maka pemuda ini tertegun.

"Jangan gusar, tak perlu marah-marah. Kita tak berada dalam bahaya karena setidaknya aku tidak tertawan!"

Ituchi tertegun. Dia melihat Thai Liong menggerakkan tangannya secara rahasia. Benar, temannya itu bebas! Ituchi terkejut, juga girang. Tapi Thai Liong yang mengedip padanya berseru lagi, mengerahkan Coan-im-jip-bitnya itu, suara jarak jauh.

"Jangan cemas, Ituchi. Kau tenanglah dan biarkan dua orang ini menawan kita. Aku ingin mengetahui siapa mereka ini sebenarnya dan kau baik-baiklah disitu."

Ituchi tertegun, mata bersinar-sinar. Dan ketika dia tersenyum dan tak jadi memaki-maki maka Gwan Beng, si cambang, mengusap pundaknya, bersikap lebih baik.

"Kau beritahukanlah siapa namamu dan apa hubunganmu dengan Pendekar Rambut Emas. Benarkah pemuda itu puteranya dan kalian mau apa datang mengganggu kami."

"Hm, siapa mengganggu? Aku Ituchi, putera Raja Hu!" Ituchi bermaksud menggertak, menyebut namanya dan bersinar-sinar memandang si cambang ini. Tapi karena Gwan Beng tak mengenal nama raja itu dan mendiang Raja Hu juga sudah tinggal namanya saja maka dia mengerutkan kening menarik napas.

"Aku tak kenal siapa itu Raja Hu. Tapi kau gagah. Hm, kalau begitu benar kau bukan asli orang Han. Baiklah, siapa temanmu ini, anak muda? Dia benar putera Pendekar Rambut Emas?"

"Benar, dan kalian lihat kepandaiannya tadi!"

"Ha-ha, kepandaian apa!" Hauw Kam tertawa mengejek. "Dia roboh oleh suhengku, anak muda. Tak perlu berlagak!"

"Kalian curang!" Ituchi memaki. "Bagaimana dapat merobohkan putera Pendekar Rambut Emas kalau tidak bersikap licik? Dan kaupun menggunakan benang laba-labamu itu, tidak ksatria!"

"Ha-ha, bocah tak kenal puas! Eh, apakah kau masih penasaran? Boleh, maju lagi, bocah. Tak usah aku takut setelah suhengku di sini pula!" Hauw Kam berkelebat, tiba-tiba membebaskan totokan Ituchi dan pemuda tinggi besar ini tertegun. Tentu saja dia gembira dan meloncat bangun. Dan ketika Gwan Beng disana mengerutkan kening tapi rupanya tak khawatir pemuda ini bebas sejenak maka Hauw Kam yang tertawa-tawa itu sudah menantang berkelahi.

"Hayo, maju lagi. Boleh keok untuk kedua kali!"

Ituchi mengerling. Dia mendengar bisikan Thai Liong agar berhati-hati, mendapat isyarat supaya dia mempergunakan kesempatan itu. Ini kesempatan baik! Hauw Kam dan suhengnya yang tentu saja tak mengira Thai Liong sudah mementahkan totokan menganggap hanya Ituchi itulah yang dihadapi. Gwan Beng ada di situ dan tersenyum mengangguk-angguk. Tadi sutenya sudah merobohkan dan kini mereka berdua tentu lebih kuat lagi, tak perlu takut.

Dan ketika Ituchi membentak dan sudah mengambil lagi gendewanya yang terpelanting di tanah maka dia berseru keras dan tanpa banyak cakap sudah menerjang maju. Langsung dia membabat dan memukulkan gendewanya itu, tangan kiri berjaga dari serangan lawan yang aneh luar biasa itu, benang laba-laba. Dan ketika Hauw Kam tertawa dan mengelak melompat ke kiri maka laki-laki itu berseru agar Ituchi berhati-hati.

"Waspadalah, aku akan merobohkan kali ini dengan lebih cepat lagi!"

"Jangan banyak mulut!" Ituchi membentak. "Kau yang akan kutangkap dan kurobohkan, gimbal busuk. Lihat saja siapa yang akan menang!"

"Ha-ha, berani takabur? Wah, pemuda bersemangat tinggi, tapi sayang, kau pula yang akan kalah.... plak!" dan gendewa yang mulai ditangkis karena menyambar dahsyat akhirnya terpental tapi menyambar lagi dari atas ke bawah, dipukulkan dan terdengar suara bersiut saking keras dan kuatnya ayunan.

Ituchi tak menggerakkan tangan kirinya karena waspada terhadap pukulan laba-laba lawan, waspada dan hanya senjata di tangan kanannya itulah yang menderu dan menyambar kesana kemari. Dan ketika lawan berlompatan dan Ituchi membentak agar lawan mengeluarkan senjatanya, pedang yang disembunyikan itu maka Hauw Kam akhirnya tertawa karena memang sebentar kemudian sudah terdesak.

"Baiklah, kau yang minta. Dan aku memang kewalahan... crang!" dan pedang yang bertemu gendewa tiba-tiba mengeluarkan pijaran api dan sama-sama terpental, sudah diserang lagi namun si gimbal ini segera mengimbangi dengan permainan Giam-lo Kiam-sutnya. Dan ketika ilmu pedang itu kembali dilihat maka Thai Liong tertegun.

"Hm, siapa mereka ini? Darimana dapat mainkan Giam-lo Kiam-sut dengan baik? Dan laki-laki yang satu ini tak kalah dengan temannya itu. Sinkangnya kuat dan sambaran pedangnya pun mantap. Kalau Ituchi tak memiliki daya tahan atau sinkang yang seimbang tentu Ituchi roboh! Thai Liong membatin dengan membelalakkan mata. Dia melihat Ituchi bertempur sengit untuk menebus kekalahan, disini mereka imbang namun tangan laki-laki itu mulai bergerak-gerak. Dan ketika tangan itu menyambar dan segumpal benang laba-laba melecut ke arah Ituchi maka pemuda ini terkejut, menggerakkan gendewanya menangkis.

"Plak-bret!"

Ituchi terkesiap. Sama seperti tadi mendadak dia kaget setelah benang laba-laba ini keluar. Meskipun sudah berjaga-jaga namun tak urung dia terkejut juga karena gendewanya lengket, tak dapat ditarik! Tapi ketika dia berseru keras dan menendang lawan dengan gemas maka lawan menarik benang laba-labanya itu dan terbahak-bahak.

"Ha-ha, lihat bocah. Kaupun masih tak menang!"

Benar saja, Ituchi sebentar kemudian terdesak dan mundur-mundur. Begitu benang laba-laba dikeluarkan tiba-tiba dia gugup dan panik, selalu menangkis namun benang-benang itu menempel tak dapat dihalau. Kalau ditolak paling-paling terdorong sedikit dan karena sifatnya yang elastis justeru membalik dan mengganggu lagi, susah pemuda ini menghindarinya. Dan ketika pedang di tangan lawan juga mulai mengganggu untuk mengacau perhatiannya maka Ituchi terjengkang ketika harus buru-buru menghindari lecutan benang laba-laba.

"Bret!" Pedang mendapat sasaran. Baju pemuda ini robek dan Ituchi mengeluh. Dia melotot penasaran dan mulailah Thai Liong melihat kekalahan temannya ini. Benang laba-laba itu memang sulit dihalau kalau sudah melecut ke depan. Ditangkis tentu lengket tidak ditangkis ternyata selalu memburu, jadi membingungkan dan memang membuat lawan panik, mudah gugup. Dan ketika untuk itu Ituchi melupakan sambaran pedang dan kembali dia terbabat sebuah jurus dari Giam-lo Kiam-sut yang hebat maka Thai Liong tak tahan berseru, membantu.

"Jaga pinggangmu dari tusukan pedang. Awas gerakan berikutnya yang akan menyambar kaki!" lalu ketika pemuda itu memperhatikan dan mengelak sesuai perintah Thai Liong maka pemuda ini kembali berseru, "Tahan tikaman beranting dengan gerak melengkung. Dan lempar tubuh kalau benang laba-laba itu menghantammu dari kanan!"

Hauw Kam melotot. Ituchi tiba-tiba membuat menuruti perintah Thai Liong ini, mengelak dan menggerakkan gendewanya secara melengkung untuk menahan tikaman beranting yang akhirnya memang dilakukan lawannya itu. Dan ketika dia disuruh melempar tubuh karena pukulan laba-laba menghantamnya dari kanan, di saat dia menghadapi serangan pedang maka pemuda ini selamat dan benang laba-laba itu menyambarnya sia-sia.

"Ha-ha!" Ituchi tertawa bergelak. "Kau beritahukan aku lagi, Thai Liong. Dan katakan bagaimana aku merobohkan lawanku ini!"

"Kau tak boleh menangkis benang laba-labanya. Jauhi dan jangan dihadapi secara berdepan!"

Ituchi menurut. Akhirnya pemuda ini mengikuti saja apa omongan Thai Liong, kian lama kian luwes dan Ituchi akhirnya mulai dapat mendahului lawan ketika Thai Liong memberitahukan jurus-jurus yang akan dilancarkan Hauw Kam, dicegat dan mati kutulah Giam-lo Kiam-sut yang hebat itu. Dan karena Ituchi selalu mengelak atau menjauhi benang laba-laba dan ini tentu saja membuat Hauw Kam gusar maka akhirnya Thai Liong berseru agar temannya itu melakukan tekanan.

"Sekarang desak dia, matikan langkah-langkahnya. Pergunakan gendewamu dengan babatan-babatan lurus!"

"Ha-ha, dan tetap tidak menyambut pukulan laba-laba itu, Thai Liong?"

"Ya, jangan sambut. Hindarkan saja. Kau pasti menang!"

Ituchi tertawa bergelak. Thai Liong yang pandai mainkan Giam-lo Kiam-sut tentu saja tahu dan dapat mematikan gerak pedang itu. Pemuda ini adalah cucu Hu-taihiap dan sebagai cucu si jago pedang tentu saja Thai Liong hapal dan tahu kemana arah serangan-serangan pedang berikutnya. Dan karena sebagai penonton dia dapat melihat lebih jelas pula akan pukulan laba-laba itu dimana setiap kali menyambar tentu dia menyuruh temannya membanting tubuh ke kiri atau ke kanan akhirnya Thai Liong mengajari temannya ini bagaimana menghadapi lawannya itu, menekan dan mendahului gerakan-gerakannya dan Hauw Kam tentu saja mencak-mencak.

Setelah Ituchi mendapat petunjuk dan seruan-seruan Thai Liong tiba-tiba saja dia dapat menghadapi lawannya itu dengan baik. Thai Liong adalah pemuda lihai dan memang pemuda ini masih lebih hebat daripada Ituchi. Robohnya tadi karena Thai Liong sedang bengong, bukan oleh lawan yang lebih tinggi. Maka begitu dia memberi petunjuk-petunjuk dan Ituchi mulai dapat mengikuti dan menjalankan petunjuknya ini akhirnya Ituchi dapat mematikan langkah lawan dan gendewa di tangannya akhirnya menghantam pundak Hauw Kam.

"Dess!" Hauw Kam terpelanting bergulingan. Ituchi tertawa bergelak-gelak dan terus melanjutkan serangan-serangannya, akhirnya tak memberi kesempatan untuk lawan mengeluarkan pukulan benang laba-labanya. Dan ketika pemuda itu terus merangsek dan mendesak serta gendewa di tangan kanannya berubah seperti gendewa malaikat yang mulai menghajar dan mendera tubuh lawan akhirnya Hauw Kam berteriak-teriak dan menyuruh suhengnya maju, kewalahan.

"Bunuh pemuda itu. Bantu aku. Ah, tutup mulut pemuda itu agar tidak membantu temannya, suheng. Atau aku bakal roboh dan dua pemuda terkutuk ini mempermainkan kita!"

Gwan Beng terkejut. Akhirnya dia juga melihat kejadian itu dan betapa sutenya mendapat pukulan atau gebukan gendewa, tak dapat mempergunakan pukulan laba-labanya karena Ituchi selalu mendahului dan mendesak. Celaka, itulah berkat mulut pemuda berambut keemasan ini! Dan ketika sutenya kembali terjungkal dan terpelanting oleh sambaran gendewa akhirnya Gwan Beng berkelebat dan menotok mulut Thai Liong.

"Tutup mulutmu, atau aku terpaksa membungkamnya.... dukk!" Gwan Beng berteriak, mencelat karena tiba-tiba Thai Liong bangkit berdiri, menangkis dan langsung membuat lawan terpental karena ia mempergunakan Khi-bal-sin-kangnya. Gwan Beng terkejut karena lawan yang tadi tertotok tahu-tahu sudah meloncat bangun, bergerak dan tidak apa-apa dan kini menangkis totokannya. Dan ketika dia sadar bahwa kiranya pemuda itu sudah bebas, entah dengan cara bagaimana maka Thai Liong tertawa dan berseru padanya.

"Orang tua, sekarang aku yang akan menangkapmu. Berjagalah!" dan Thai Liong yang berkelebat dan melepas pukulan tiba-tiba membuat Gwan Beng berteriak tertahan karena semakin kaget saja, menangkis dan terlemparlah dia oleh pukulan Khi-bal-sin-kang yang dahsyat. Dan ketika dia bergulingan meloncat bangun sementara Ituchi terbahak-bahak disana, mendesak dan menekan sutenya yang tak dapat mainkan Jaring Naga, ilmu silat laba-laba itu maka diapun sudah terdesak dan tertekan oleh tamparan-tamparan Khi-bal-sin-kang yang dilakukan Thai Liong.

"Keparat, kalian rupanya menipu.... plak-dess!" Gwan Beng marah dan kaget, menerima dan menangkis sebuah serangan tapi dia malah mencelat. Dan ketika dia memekik dan mencabut pedangnya, menusuk dan membacok maka Thai Liong tertawa berkata padanya.

"Orang tua, ilmu pedang ini adalah ciptaan kakekku. Aneh sekali dapat kau miliki demikian baik. Apakah kau mencurinya atau mendapatkannya secara kebetulan? Hm, aku akan merobohkanmu. Dan sekarang aku tak takut menghadapi pukulan laba-labamu itu...des-dess!" Thai Liong merangsek, menyambar dan sudah membuat lawan jungkir balik karena pedang dikibas ke samping. Giam-lo Kiam-sut dikeluarkan tapi semua itu percuma menghadapi pemuda ini.

Thai Liong adalah putera Pendekar Rambut Emas sekaligus cucu mendiang Hu-taihiap, tentu saja tertawa dan dapat menghalau serangan-serangan pedang. Dan ketika lawan berjungkir balik dan mengeluh pucat, gentar dan marah maka Gwan Beng mengeluarkan Jaring Naganya, sadar bahwa pemuda itu tak mungkin dirobohkan dengan ilmu pedangnya karena ilmu pedangnya sudah dikenal. Pemuda itu tahu kemana serangan-serangan pedang akan menuju, jadi dapat dikelit atau dimatikan langkahnya, kalau pemuda itu mendahului.

Dan karena dengan Jaring Naga dia tadi dapat merobohkan pemuda ini, ingin mengulang dan mencobanya maka Gwan Beng membentak dan sudah melakukan pukulan-pukulan yang diandalkannya itu. Namun alangkah kagetnya si cambang ini. Thai Liong berseru nyaring dan tiba-tiba lenyap berkelebatan mengelilingi dirinya, kecepatannya dua kali lipat daripada tadi dan tentu saja dia tak dapat mengikuti. Laki-laki ini tak tahu bahwa Thai Liong sudah mengeluarkan Cui-sian Gin-kangnya (Ginkang Mengejar Dewa), menggabung dengan Jing-sian-eng atau Bayangan Seribu Dewa dan tentu saja kecepatannya menjadi berlipat-lipat.

Pemuda ini memang hendak menaklukkan lawan dengan sungguh-sungguh, ingin membuktikan bahwa sesungguhnya dia tak kalah, dapat merobohkan atau mengalahkan lawannya itu. Dan ketika lawan kabur oleh kecepatannya yang luar biasa maka Thai Liong mulai menampar atau menepuk sana-sini, tertawa mempermainkan lawannya itu dan pukulan laba-laba dihalau atau ditiup Lui-ciang-hoatnya, pukulan panas dimana benang laba-laba yang lemas dan berperekat itu leleh! Gwan Beng terkejut karena tiba-tiba saja dia mati kutu. Kejadian ini tak lebih dari beberapa menit saja. Dan ketika dia kaget dan pucat terlempar sana-sini akhirnya Thai Liong yang sudah berhasil menguasai lawan berseru agar dia roboh.

"Sekarang kau roboh, menyerahlah!"

Gwan Beng menjerit. Orang tua ini terbanting ketika sebuah totokan lihai mengenai jalan darah di belakang lehernya, terpelanting dan berteriak dan pedang di tangannyapun terlepas. Dan ketika dia mengaduh dan Hauw Kam disana kaget maka Ituchi menghantamkan gendewanya di saat lawannya meleng.

"Dess!" Hauw Kam pun terpelanting. Laki-laki ini sudah terdesak dan tertekan hebat oleh serangan-serangan Ituchi yang tak kenal ampun. Ituchi sudah mendapat petunjuk-petunjuk Thai Liong bagaimana mengunci lawannya ini, mematikan langkah dan menutup semua gerak lawan supaya pukulan laba-laba itu tidak keluar. Ituchi tak dapat bersikap seperti Thai Liong yang berkelebatan dengan gabungan Jing-sian-eng dan Cui-sian Gin-kangnya, juga tak memiliki pukulan Lui-ciang-hoat yang melelehkan benang laba-laba itu.

Maka ketika dia merangsek dan mendesak lawan dengan caranya sendiri setelah dibantu petunjuk-petunjuk Thai Liong maka lawannya terbanting ketika hantaman gendewa mendarat demikian keras, disusul dan dikejar lagi dan Hauw Kam pucat. Dia sudah terkunci oleh pemuda ini, tak dapat bergerak kemana-mana. Maka ketika lawan mengejar dan menotok dengan ujung gendewa tiba-tiba diapun roboh dan terjengkang, tak dapat mengelak lagi,

"Bluk!"

Ituchi tertawa bergelak. Selisih beberapa gebrak dari Thai Liong yang telah merobohkan lawannya lebih dulu pemuda ini akhirnya dapat menaklukkan lawannya pula, berkelebat dan sudah berdiri di samping si gimbal itu. Dan ketika Hauw Kam melotot dan memaki-maki dirinya, marah dan malu maka Ituchi menyambar dan menendang tubuhnya, membalas apa yang dia rasakan tadi.

"Ha-ha, tak perlu marah-marah. Kau kalah dan aku yang menang.... dess!" tubuh Hauw Kam terlempar tinggi, berdebuk dan ditendang lagi dua tiga kali hingga si gimbal ini mirip Ituchi tadi yang diperlakukan seperti bola. Ituchi memang ingin melampiaskan gemasnya pada si gimbal ini.

Tapi ketika Thai Liong berseru dan berkelebat menahan pundak temannya maka pemuda berambut keemasan ini menolong Hauw Kam dari bantingan keempat kalinya. "Sudah, tahan kegemasanmu. Musuh sudah kalah dan tak perlu kita mempermainkan lagi!" lalu memandang dan menghadapi Gwan Beng, yang sejak tadi terbelalak dan gentar memandangnya pemuda ini bertanya, tidak kasar, "Kalian berdua siapakah sebenarnya? Kau bernama siapa dan siapa sutemu itu?"

"Hm, kau mau apa?"

"Tak apa-apa, hanya ingin mengenal dan mengetahui siapa kalian."

"Kami Siang-koai-lojin (Sepasang Kakek Gila)...."

"Aku tidak tanya julukannya, melainkan nama kalian!" Thai Liong memotong. "Aku tak akan mengapa-apakan kalian, orang tua. Dan tak perlu kalian takut. Aku melihat bahwa kalian sebenarnya merupakan orang baik-baik...."

"Ha-ha, tak usah memperkenalkan nama, suheng. Biar saja kita dibunuhnya. Rupanya bocah itu ingin tahu bagaimana kita memiliki Giam-lo Kiam-sut!" Hauw Kam, yang melotot dan gusar disana tiba-tiba berteriak. Dia tak menginginkan suhengnya bicara dan Gwan Beng sadar, mengerutkan keningnya. Dan ketika apa yang dikata sutenya dianggap benar maka Gwan Beng bersikap dingin dan tak acuh.

"Benar, kami tak mau bicara, anak muda. Kalau tak senang boleh bunuh, kami sudah kalah!"

"Hm, kalian bodoh. Kenapa tak mau bicara baik-baik? Memang tak dapat kusangkal bahwa aku ingin tahu bagaimana kalian dapat memiliki Giam-lo Kiam-sut itu, tapi bukan lalu bermaksud untuk mencelakakan atau menyiksa kalian. Kalian sebutkan saja siapa diri kalian dan aku tak akan marah!"

"Memangnya kenapa kalau kau marah?" Hauw Kam tertawa mengejek, lagi-lagi mendahului. "Kami dua tua bangka sudah jatuh di tangan kalian, bocah. Kami tak takut mampus atau takut kemarahanmu itu. Hayolah, suhengku tak mungkin mau bicara dan kalian tak perlu memaksa!"

"Hm, si gimbal ini menyebalkan!" Ituchi tiba-tiba marah. "Bagaimana kalau kugelitik dia, Thai Liong? Tadi dia menyiksaku, menyuruh ketawa tak wajar. Aku ingin membalas dan perkenankan aku menghajarnya!"

"Tidak, jangan...!" Thai Liong, yang lembut dan penyayang tiba-tiba mencekal lengan temannya. "Biarkan mereka itu dengan sikapnya, Ituchi. Kalau tak mau bicara biarlah kita biarkan mereka."

"Dan kau mau apa? Menawannya? Membawa mereka sepanjang jalan?"

"Hm, tadinya begitu, tapi sekarang tidak. Sebaiknya mereka dibebaskan dan biar pergi!"

"Apa?" Ituchi terkejut. "Dibebaskan? Setelah dengan susah payah kita merobohkannya?"

Thai Liong tersenyum. "Bagiku tak susah payah, Ituchi. Aku dapat menguasai mereka, tak usah khawatir. Aku melihat mereka orang baik-baik, sepatutnya dibebaskan. Dan lagi merekapun tadi membebaskanmu!"

"Tapi itu lain. Si gimbal ini membebaskan aku karena dia ingin mempermainkan dan menghina aku, dengan ilmu silatnya!"

"Sudahlah, betapapun mereka bukan orang-orang jahat, Ituchi. Dan kita tak dibunuhnya ketika tertangkap. Aku ingin membebaskan mereka hitung-hitung sebagai pembalas budi!" dan ketika Ituchi bengong dan melotot tak puas, kecewa, Thai Liong sudah membebaskan totokan Gwan Beng dan dari jauh ia menggerakkan jarinya pula menyentil jalan darah di pundak Hauw Kam, yang segera dapat melompat bangun. "Kaliang tak mau bicara, tak apa. Dan aku juga tak merasa mempunyai ikatan permusuhan dengan kalian. Pergilah, dan maafkan kami berdua yang mungkin telah menghina kalian!"

Hauw Kam bengong. Dia tak menyangka bahwa demikian mudah pemuda itu membebaskan dirinya, juga suhengnya. Dan ketika suhengnya juga bengong dan tertegun disana, tak percaya, maka Thai Liong mundur dan menjura di depan mereka.

"Silahkan, kalian sudah bebas. Aku tak mempermainkan atau menipu kalian."

Hauw Kam sadar. Tiba-tiba dia memekik gembira dan terbang meloncat pergi, menyambar tangan suhengnya. Tapi ketika sang suheng memberontak dan melepaskan dirinya maka suhengnya itu berkelebat dan meloncat membalik, menghadapi Thai Liong lagi, menggigil dan menahan-nahan keheranannya.

"Anak muda, kau.... kau sungguh-sungguh membebaskan kami? Kau tak dusta?"

"Hm, untuk apa dusta? Kalian boleh pergi dan kami tak akan mengganggu, orang tua. Dan percayalah bahwa aku tak mempermainkan kalian. Kenapa?"

"Kalau begitu.... terima kasih!" dan Gwan Beng yang membungkuk dan melipat punggungnya tiba-tiba mengucap terima kasih dengan suara serak, mengejutkan Thai Liong karena tiba-tiba keharuan menyelinap di hatinya. Gwan Beng kembali dilihatnya sebagai orang tua yang baik, meskipun Hauw Kam tak boleh dibilang jahat. Dan ketika dia tertegun dan mendorong lawannya itu maka Gwan Beng mengusap air matanya dan melompat pergi.

"Anak muda, kau persis ayahmu. Ah, semoga aku benar dan terima kasih untuk kebaikanmu ini!"

Ituchi tertegun. Dia melihat Thai Liong mengangguk dan mengejapkan matanya yang berair. Aneh, Thai Liong tiba-tiba juga menangis! Tapi ketika mereka melompat pergi dan terbang bergandengan tangan maka Ituchi membanting kakinya dan menegur temannya itu.

"Thai Liong, kau terlalu! Kenapa melepas dan membebaskan mereka begitu saja? Bukankah sudah jelas mereka itu mencuri dan mendapatkan Giam-lo Kiam-sut? Kalau kakekmu masih hidup tentu kau akan dicacinya habis-habisan. Mereka itu tak boleh dilepas begitu saja dan harus dipaksa mengaku darimana mendapatkan atau mencuri ilmu pedang itu!"

"Kau keliru," Thai Liong sadar, tiba-tiba bercahaya dan bersinar-sinar matanya. "Aku tak membebaskan mereka begitu saja, Ituchi. Melainkan justeru menyelidiki dan ingin tahu siapa mereka itu dengan caraku yang lain."

"Maksudmu?" Ituchi terbelalak. "Membohongi mereka dan akan menangkap lagi?"

"Tidak."

"Lalu bagaimana? Dan kenapa kau menangis pula? Eh, aneh kau ini, Thai Liong. Sungguh tak dapat kumengerti dan membuat bingung!"

"Aku merencanakan sesuatu, dan mereka itu tak ingin kusakiti. Aku merasa dekat dengan mereka dan entah kenapa dengan si cambang itu terutama aku merasa lebih dekat!"

"Dan kau menangis?"

"Aku terharu, kakek itu orang baik-baik..."

"Ah, dan mereka sudah pergi, Thai Liong. Kau sudah membebaskan mereka!"

"Salah, aku tidak berkata begitu. Aku... ah, sudahlah. Kau ikuti aku dan kita kejar mereka, Ituchi. Kita kuntit mereka secara diam-diam dan di perjalanan nanti kuceritakan!" dan Thai Liong yang berkelebat menyambar temannya tiba-tiba mengajak Ituchi terbang ke depan, mengerahkan Jing-sian-engnya dan berteriaklah Ituchi karena tubuhnya tiba-tiba terangkat dari atas tanah, tak menempel bumi lagi dan bergeraklah dia di gandengan temannya ini. Dan ketika Thai Liong menjelaskan apa yang dia maui dan berkata bahwa dua orang itu sebenarnya akan diikuti dan diselidiki secara diam-diam, karena orang seperti mereka tak mungkin mau dipaksa begitu saja maka Ituchi mendusin ketika Thai Liong menutup.

"Aku memang membebaskan mereka, membiarkan mereka pergi. Tapi bukan berarti membiarkan rahasia ini tak kuketahui dan melepas begitu saja. Karena itu ketahuilah bahwa gerak-gerik mereka akan kuikuti secara diam-diam, Ituchi. Aku ingin mendapatkannya secara tak melukai lawan dan baik-baik menemukan siapa mereka itu sebenarnya!"

"Ah, begitukah?"

"Ya, dan lagi, kalau kita menawan, menangkapnya, maka kita akan mendapat beban karena dua orang itu tentu harus kita panggul atau bawa, tak mungkin kita menyeret-nyeretnya sepanjang jalan. Daripada begitu lebih baik mereka kulepaskan dan berjalan sendiri tapi diam-diam kita mengikuti di belakang dan hasilnya akan sama saja nanti!"

Ituchi mengangguk-angguk. Memang, sekarang dia mengerti. Dia tahu Thai Liong ini pemuda yang berwatak halus dan lembut, tak suka menyakiti lawan dan kiranya pemuda itu bermaksud membebaskan lawan tapi bukan berarti membiarkan rahasia itu lewat begitu saja. Memang mengherankan bahwa Giam-lo Kiam-sut bisa dipelajari lawan, hal yang memang harus dicurigai.

Tapi karena dia juga melihat bahwa betapapun dua kakek itu rupanya bukan orang-orang jahat dan Thai Liong juga melihat hal ini maka itulah akal yang dipergunakan temannya ini. Dan begitu dia sadar dan mengerti maka Ituchi pun tak banyak bicara dan segera keduanya terbang menguntit perjalanan Hauw Kam dan suhengnya!

* * * * * * * *

"Serbu! Bunuh mereka itu, gilas. Ha-ha-ha....!"

Sebuah pasukan besar mendobrak benteng di perbatasan Tiongkok, melaju dan ribuan orang berteriak-teriak mengawali serangannya. Ratusan orang merayap ke atas tapi enam bayangan bergerak dengan caranya yang luar biasa mendaki tembok tebal yang menjadi batas pemisah ini, bukan mendaki seperti ratusan orang-orang lain yang mempergunakan tali melainkan merayap dan menempel seperti cicak, lekat dan naik dengan cepat mendaki tembok besar itu.

Bagian yang dinaiki juga tak tanggung-tanggung, bukan tempat kasar yang mudah dilekati kaki atau tangan melainkan justeru tempat berlumut yang orang biasa pasti tak mampu melakukannya. Enam bayangan ini enak saja merayap dan setiap kali tangan mereka menepuk maka bergetarlah dinding tembok itu. Lumut yang menempel tiba-tiba rontok terkena tepukan, hancur dan bekas jari atau tangan yang menepuk dinding ini selalu meninggalkan lubang.

Dengan lubang itulah mereka menekan dan mengangkat naik tubuh, tak perduli pada hujan serangan yang diluncurkan dari atas, karena panah atau tombak akan terpental atau patah-patah bertemu tubuh enam orang ini. Dan ketika mereka hampir tiba di puncak dan pasukan di atas tentu saja terkejut maka yang ada di depan, yang paling gesit dan ringan sudah menggerakkan tubuhnya dan berjungkir balik di atas sana.

"Ha-ha, mana itu San-ciangkun. Suruh dia menyerah atau kalian semua kubunuh..... plak-plak-plak!" bayangan ini, pemuda tinggi besar yang ganas dan tak kenal ampun sudah mengibas ke kanan tiga kali. Angin yang dahsyat menyambar dari tangan kanannya itu dan berteriaklah tujuh perajurit yang terlempar roboh.

Mereka langsung terpelanting dan jatuh keluar, dari atas tembok yang letaknya begitu tinggi itu. Dan ketika pekik atau jerit kematian mereka disusul tubuh yang berdebuk di bawah maka lima bayangan yang lain, yang juga sudah melempar tubuh dan berjungkir balik di situ tertawa menyeramkan.

"Togur, cari dan bunuh San-ciangkun (panglima San). Kami akan membuka pintu-pintu gerbang dan membiarkan pasukan masuk!"

"Bagus, boleh suhu, dan bantai siapa saja yang tidak mau menyerah..... prak-bluk!" dua orang perajurit menerima sasaran, ditangkap dan diadu kepalanya dan pecahlah kepala dua perajurit itu.

Mereka tak sempat berteriak lagi dan tubuh mereka ditendang mencelat, roboh menumbuk dinding dan tertawa bergelaklah pemuda itu menyambar tujuh panah yang mendesing menyerang bagian mukanya. Dan ketika dia menangkap dan dua di antaranya diterima dengan cara digigit, maka panah-panah itu sudah digerakkan kembali dan tujuh pemanah yang tadi menyerangnya tiba-tiba roboh terkapar karena anak panah mereka sendiri sudah menyambar dan menancap di dada kiri dengan kecepatan setan.

"Crep-crep-crep...!"

Tujuh tubuh itu bergelimpangan tanpa nyawa. Togur, pemuda tinggi besar ini telah bergerak ke kiri, berkelebat dan puluhan orang yang muncul dari balik menara pengawas tiba-tiba disambutnya. Dengan tawanya yang menyeramkan dan gerak tubuhnya yang cepat pemuda ini sudah mendatangi mereka. Puluhan orang yang berteriak melepas panah dan tombak sama sekali tak digubrisnya, dia terus menerjang dan kedua tangannya bergerak berulang-ulang. Dan ketika panah atau tombak runtuh dan patah-patah mengenai tubuhnya maka pukulan jarak jauhnya itu sudah membuat orang-orang itu beterbangan bagai disapu angin puyuh.

"Bres-bres-plakk...!"

Teriakan ngeri dan jerit susul-menyusul sudah mengiringi orang-orang yang terlempar ini. Mereka mencelat dan terbanting di sana-sini, belum menyentuh tanah saja sudah tewas karena kepala atau dada mereka pecah, begitu dahsyat pukulan yang dilancarkan Togur ini. Dan ketika yang lain menjadi ngeri dan pucat oleh tandangnya yang ganas maka yang semula mau menyerang tiba-tiba membalik dan berlarian.

"Awas, pemuda iblis itu menyeramkan. Dia putera mendiang Gurba!"

Semua tunggang-langgang. Togur tertawa bergelak karena nama ayahnya disebut-sebut. Memang benar, dia adalah putera Gurba dan postur tubuhnya yang tinggi besar mirip benar dengan ayahnya itu. Bagi yang sudah pernah berhadapan dengan mendiang suheng Kim-mou-eng ini tentu akan merasa seram berhadapan dengan Togur. Pemuda itu ganas, matanya mencorong. Sikapnya tak kenal ampun dan siapapun yang menyerangnya bakal dibalas dan dibunuh.

Pemuda ini bergerak dari satu tembok ke tembok yang lain, dari satu menara ke menara yang lain. Dan ketika dia tertawa-tawa menggerakkan kedua lengannya meroboh-robohkan perajurit sambil mencari-cari San-ciangkun, komandan atau panglima disitu maka di bawah pasukannya berteriak-teriak dan sudah pula ada yang berhasil masuk. Kelima gurunya, nenek Naga dan lain-lain sudah membobol pintu gerbang.

Kelima kakek dan nenek iblis ini tak kalah ganas sepak terjangnya dengan sang murid. Mereka membentak dan berkelebatan membagi-bagi pukulan. Dan karena yang dihadapi hanya perajurit-perajurit rendahan dimana mereka itu tentu saja bukan lawan kakek dan nenek-nenek iblis ini maka semuanya mencelat dan terlempar roboh.

"Hi-hik, majulah kalian. Maju... des-des-dess!" tubuh-tubuh beterbangan, terlempar ke sana-sini dan nenek Naga melepas pukulan-pukulan Tee-sin-kangnya dan berteriaklah perajurit-perajurit itu karena tahu-tahu mereka sudah kesakitan di kepala atau perut, mengeluh namun sekejap kemudian merekapun sudah tak sadar apa yang terjadi berikutnya.

Mereka roboh dan tumbang seperti batang pisang dibabat, satu per satu dibantai nenek ini. Dan ketika yang lain juga melakukan begitu dan Siauw-jin berpesta pora di antara perajurit-perajurit yang menyerangnya maka kakek ini bergerak di bawah dan tubuhnya yang pendek kecil mencomot selangkangan lawan yang tentu saja berteriak ngeri karena bagian mereka yang paling vital diremas hancur.

"Ha-ha, ini penambah kekuatan. Bisa membuat tubuh semakin sehat.... plup!" kakek itu menelan sesuatu, entah apa tapi orang tentu merasa ngeri melihat perbuatannya.

Dan ketika Cam-kong di tempat lain juga mendengus-dengus dan pukulan jarak jauhnya menderu ke depan maka disini para perajurit yang berhadapan dengan kakek ini hangus dan gosong, terkena Cam-kong-ciang yang berhawa panas seperti petir! "Heh-heh, buka pintu gerbang. Hayo, buka pintu gerbang...!"

Para perajurit mencelat tak keruan. Memang mereka bukan tandingan kakek tinggi kurus ini, disana Toa-ci dan Ji-moi juga melepas pukulan-pukulan Mo-seng-ciang hingga lawan terbanting mandi darah, roboh dan terlempar-lempar seperti daun-daun kering yang dihempas badai. Dan ketika lima kakek dan nenek-nenek iblis ini membantu Togur yang mencari-cari San-ciangkun akhirnya mereka dikepung ratusan orang ketika sudah mendekati pintu gerbang, siap membukanya.

"Heh, jangan menghalang-halangi. Mundur!" kakek tinggi kurus tiba di bagian timur. Cam-kong atau kakek ini meluncur ke bawah ketika dari menara yang tinggi dia siap menggempur pasukan di bawah. Di sana menunggu dua ratus lebih para perajurit dan perwira mereka, menyambut kakek itu ketika turun dengan hujan panah atau tombak.

Tapi ketika semua itu terpental dan patah-patah bertemu tubuh si kakek, yang mengibas dan menyampok runtuh maka Cam-kong sudah berhadapan dengan sembilan belas perwira muda yang merupakan bawahan San-ciangkun, diserang namun dengan mudah kakek ini menangkis dan mengelak. Dua ratus pasukan sudah meluruk dan menerjang marah, membantu perwiranya.

Namun ketika kakek ini hah-hah-heh-heh dan memutar lengannya sebanyak delapan kali maka orang-orang yang ada di depan mencelat dan terlempar roboh, terkena pukulan berhawa panas itu dan lima perwira menjerit dengan teriakan mengerikan. Mereka itu tertampar dan mukanya segera menghitam, tewas dan melotot dengan wajah hangus.

Dan ketika yang lain menjadi gentar namun harus maju kembali maka Cam-kong membagi-bagi pukulannya dan gerakan kakek ini yang luar biasa cepat dan mengejutkan sudah menghantam yang lain, susul-menyusul para perwira yang terakhir roboh terjengkang. Banjir darah terjadi disitu. Dan ketika semua tersapu mundur dan kakek ini terkekeh mendekati pintu gerbang maka palang pintu yang mengancing kuat ditampar kakek ini dengan pukulan ujung bajunya.

"Kraakkk...!" Palang pintu itu hancur. Diluar sudah terjadi dorongan dan pukulan-pukulan kuat yang dilakukan pasukan penyerbu, anak buah kakek itu. Maka begitu palang pintu hancur dan engsel-engselnya lepas dihantam kakek ini maka daun pintu terkuak lebar dan pasukan diluar menyerbu dengan suaranya yang hiruk-pikuk.

"Serbu! Ha-ha, serang dan bunuh musuh!"

Pasukan San-ciangkun kalut. Mereka menghadapi tokoh-tokoh lihai yang tak dapat dilawan. Dari dalam sudah dikacau kakek dan nenek-nenek iblis ini sedang dari luar oleh teriakan dan serbuan pasukan musuh. Tak ayal mereka menjadi kalut dan kacau. Dan ketika pasukan bangsa liar itu berteriak-teriak dan menyerbu dengan tandangnya yang buas maka banjir darah semakin tak dapat dihindarkan lagi, roboh satu per satu dan dengan cepat pasukan San-ciangkun kehilangan semangatnya.

Perasaan mereka seakan digedor oleh sepak terjang pasukan besar itu, dari mana-mana musuh datang menyerbu dan nenek Naga serta yang lain-lain membantu, inilah pukulan kuat yang membuat pasukan kerajaan patah dan ciut nyalinya. Dan ketika mereka mundur dan terdesak hebat maka di sebelah barat terdengar suara tawa menyeramkan dan terlihatlah pimpinan pasukan ini, Togur, menenteng kepala San-ciangkun yang berlumuran darah.

"Hei, lihat. Ha-ha! Lihat ini dan menyerah baik-baik. San-ciangkun panglima kalian telah kubunuh!"

Pasukan kerajaan ribut. Mereka melihat bahwa benar saja di tangan pemuda tinggi besar itu terdapat kepala San-ciangkun, kepala yang berlumuran darah dan rupanya baru saja dipenggal. Masih segar dan menetes-netes! Dan ketika mereka menjadi gempar dan tentu saja gaduh maka Togur memerintahkan agar mereka menyerah, bergabung dengan pasukan bangsa liar atau mereka dibunuh.

Yang berhati ciut segera membuang senjata, tapi yang masih berani dan setia kepada kerajaan tiba-tiba berteriak dan menyerang lawan. Dan ketika keadaan menjadi gaduh lagi karena pasukan San-ciangkun pecah menjadi dua, yang satu menyerah sedang yang lain melakukan perlawanan kembali maka Togur di atas menara melihat seorang pemuda gagah perkasa yang mengamuk sambil berteriak-teriak di barisan utara.

"Jangan takut, mati dengan gagah jauh lebih baik daripada menjadi pengkhianat dan anjing pengekor. Hayo ikuti aku yang masih bernyali naga dan bunuh lawan-lawan kita!"

Togur mengerutkan kening. Pemuda itu adalah pemuda tampan dengan baju hijau, gagah dan bersenjatakan pedang yang sudah berlumuran darah. Pemuda ini tampak mengamuk dan puluhan orangnya roboh binasa, lihai pemuda itu. Dan ketika Togur menjadi marah dan memandang seorang gurunya yang terdekat dengan pemuda itu, yakni nenek Toa-ci maka nenek ini sudah berkelebat namun bayangan lain tiba-tiba mendahului.

"Biarkan pemuda ini menjadi bagianku!"

Kiranya itulah Siang Le. Pemuda ini, yang bergerak dan menyerbu dari barat akhirnya melihat juga pemuda itu. Kegagahan dan keperkasaan pemuda ini segera menarik perhatian murid See-ong tersebut, melihat Togur sudah membunuh San-ciangkun dan kini dengan kejam serta tak kenal kasihan Togur sudah memperlihatkan penggalan kepala itu di atas menara tertinggi. Siang Le merasa ngeri namun juga benci.

Entah kenapa dia tak menyukai semua itu, dia benci pada rencana serbuan ini tapi gurunya telah memaksanya sedemikian rupa. Dia diminta membalas budi, diungkit-ungkit tentang kebaikan gurunya di masa lalu, tak berdaya pemuda ini. Dan ketika dia melihat betapa kejamnya pasukan Togur yang membantai dan membunuh-bunuhi musuh yang melawan dengan sengit maka dia tertegun melihat pemuda baju biru itu, segera tahu bahwa pemuda ini akan segera roboh binasa. Entah kenapa dia merasa sayang dan kagum kepada pemuda itu.

Maka begitu melihat nenek Toa-ci hendak menghadapi pemuda ini dan dia tahu apa yang bakal terjadi maka cepat-cepat dia mendahului dan Siang Le mengibas nenek itu, menyuruh mundur dan pemuda baju biru itu sudah dihadapinya. Nenek Toa-ci terbelalak dan marah tapi tak dapat berbuat apa-apa. Dan ketika Siang Le sudah berhadapan dengan lawannya dan menyuruh menyerah, hal yang tentu saja tak mungkin dituruti lawan maka pemuda baju biru itu sudah membentak dan menyerangnya, bertempur dan keduanya sudah terlibat dalam satu pertandingan sengit.

Siang Le melihat bahwa pemuda ini memiliki keberanian besar, tapi bukan kepandaian yang cukup untuk menghadapi dirinya atau kakek dan nenek-nenek iblis itu, karena setiap dia menangkis tentu pedang di tangan pemuda itu terpental dan hampir terlepas dari tangannya. Dan ketika Siang Le sudah berkelebatan dengan ilmu meringankan tubuhnya dan berkali-kali pemuda itu disuruh membuang senjata namun tidak mau akhirnya murid See-ong yang memang lebih lihai ini berhasil merobohkan dan mengalahkan lawannya, menotok lepas pedang di tangan si pemuda baju biru.

"Baiklah, lepaskan pedangmu dan robohlah...bluk!"

Pemuda itu menjerit, terlepas pedangnya dan Siang Le telah mengakhiri pertandingan ini, pertandingan yang tidak memakan banyak waktu. Dan ketika pasukannya bersorak sementara nenek Toa-ci berkelebat untuk menghabisi pemuda itu, membantunya, tiba-tiba Siang Le membentak dan menampar nenek ini....

Istana Hantu Jilid 26

ISTANA HANTU
JILID 26
KARYA BATARA


Cerita Silat Mandarin Karya Batara

“HE!” Thai Liong berseru. "Berhenti, orang tua, aku bukan Kim-mou-eng!"

Namun dua orang itu malah melarikan diri lebih cepat. Melihat Thai Liong yang berambut keemasan seperti ayahnya langsung saja mereka mengira itulah Kim-mou-eng, mereka sudah terlanjur gentar dan lari terbirit-birit. Seruan Thai Liong yang memanggil-manggil nama mereka tak digubris, Hauw Kam dan suhengnya sudah keburu takut. Tapi begitu Thai Liong mengerahkan Jing-siang-engnya dan seperti burung menyambar tahu-tahu dia sudah berjungkir balik dan melewati kepala dua orang ini tiba-tiba pemuda itu mendorongkan kedua lengannya.

"Berhenti, kalian dengarlah kataku... bress!"

Dua orang itu terkejut, membentak dan menangkis kedua lengan Thai Liong yang menyambar ke arah mereka. Dari kedua lengan pemuda itu menyambar serangkum angin kuat dimana gerakan mereka tiba-tiba terhenti, mereka terkejut dan tentu saja menghantam. Tapi begitu tenaga dahsyat Thai Liong bertemu pukulan mereka tiba-tiba keduanya malah terlempar dan terbanting dan dua orang ini berteriak-teriak ketakutan.

"Bangsat, kita lari!"

Thai Liong tertegun. Terguling-guling dan meloncat bangun mendadak dua orang itu sudah melarikan diri lagi. Mereka begitu ketakutan, begitu pucat. Dan ketika dua orang ini membalik dan lari ke lain arah maka Hauw Kam dan suhengnya seperti dikejar setan.

"Kim-mou-eng, jangan seperti kakek jahat itu. Kami masih ingin hidup!"

Thai Liong membelalakkan mata. Dia melihat bahwa dua orang ini rupanya bukan orang-orang yang sehat jiwanya. Mereka seperti orang gila tapi harus diakui cukup lihai. Angin pukulan mereka yang menyambar dahsyat tadi bukanlah main-main. Kalau bukan Khi-bal-sin-kang yang dikerahkan barangkali dia akan terpental. Hebat! Dan ketika Thai Liong sadar dan berseru lagi tiba-tiba pemuda ini sudah membentak dan mengejar.

"Hei, aku bukan Kim-mou-eng. Kim-mou-eng adalah ayahku!"

"Berpencar!" Hauw Kam tiba-tiba berseru pada suhengnya. "Kau ke kiri aku ke kanan, suheng. Dia datang mengejar kita!

Thai Liong terkejut. Dua orang itu tiba-tiba berpencar, yang satu ke kiri sedang yang lain ke kanan. Mereka tak menghiraukan seruannya tadi dan tetap menganggap bahwa dia adalah Kim-mou-eng. Thai Liong semakin tertarik tapi juga penasaran kepada dua orang ini. Maka begitu keduanya berpisah dan Thai Liong harus mengejar satu di antaranya maka pemuda itu memilih Gwan Beng yang kebetulan lebih dekat, berpikir akan menangkap dulu orang ini baru yang satunya.

Dan ketika dia sudah menetapkan keputusannya dan bergerak mengerahkan Jing-sian-engnya tiba-tiba Thai Liong telah berkelebat dan melayang di atas kepala orang, melewati dan langsung berjungkir balik di depan lawan. Gwan Beng terkejut karena tiba-tiba untuk kedua kali seperti siluman menyambar tahu-tahu pemuda itu sudah ada di depannya, langsung dia membentak dan menghantam penuh kaget. Tapi karena Thai Liong sudah bersiap sedia dan dia memutar pinggang meliukkan tubuh tiba-tiba pemuda ini menggerakkan tangan kiri menangkis serta menangkap pergelangan tangan orang.

"Aku bukan Kim-mou-eng.... crep!" pemuda itu memindahkan kekuatan lawan, menerima tapi secepat kilat membuang tenaga hantaman itu. Dan ketika Gwan Beng terpekik karena pergelangan tangannya seperti diremas atau dicengkeram tanggem maka Thai Liong sudah menariknya ke depan dan jari telunjuk pemuda itu sudah bergerak menotok pundaknya.

"Hayaa...!" Gwan Beng menggerakkan kaki dengan cepat. Mau ditotok dan dirobohkan pemuda itu tiba-tiba dengan lihai dan cepat luar biasa tahu-tahu ia menendang lawannya ini. Bukan tendangan sembarang tendangan melainkan tendangan cangkul yang bergerak dari atas kepala ke bawah.

Thai Liong terkesiap karena kaki itu tahu-tahu sudah menghantam mukanya dengan cepat sekali. Inilah tendangan istimewa yang luar biasa! Dan ketika apa boleh buat Thai Liong harus melepaskan cengkeramannya untuk menangkis tendangan gila itu maka tenaga di antara mereka tak dapat dicegah untuk bertemu lagi dan Thai Liong mengerahkan sinkangnya.

"Dess!" Gwan Beng berteriak terlempar. Kalah oleh Khi-bal-sin-kang yang akan selalu menolak pukulan lawan maka dia mencelat dan dia terguling-guling. Thai Liong sendiri mengusap keringatnya karena tendangan itu sungguh berbahaya. Kalau tidak cepat dia bergerak tentu wajahnya menjadi sasaran, paling tidak hidung bisa bocor!

Dan ketika lawan berteriak terguling-guling di sana dan Gwan Beng marah mencabut pedangnya maka laki-laki ini sudah menerjang dan menyerang Thai Liong dengan dahsyat, maklum bahwa lawannya ini tak akan melepaskan dirinya dan dia marah sekali. Dan ketika pedang bergerak dan sudah bergulung naik turun bagai naga atau siluman maut maka Thai Liong tertegun melihat dan mengenal ilmu pedang itu.

"Giam-lo Kiam-sut!" Thai Liong bengong. Tentu saja dia mengenal dan hapal betul akan ilmu pedang itu. Itulah Giam-lo Kiam-sut atau Ilmu Pedang Maut, warisan atau ciptaan mendiang kakeknya Hu Beng Kui.

Dan ketika dengan cepat dan terheran-heran dia menghindar sana-sini dan tahu jurus-jurus berikutnya kemana akan menyambar maka Gwan Beng tertegun dan terbelalak melebarkan matanya. Ilmu pedangnya dikenal dan untuk kesekian kali ilmu pedangnya itu disebut Giam-lo Kiam-sut. Dulu oleh Soat Eng dan ayah ibunya dan kini oleh pemuda ini, terkejut dia. Dan ketika Thai Liong dapat mengelak dan beterbangan di antara bacokan-bacokan atau tusukan pedangnya yang ganas maka saat itu Ituchi, pemuda satunya yang datang bersama Thai Liong berkelebat menyusul.

"Hei, siapa dia ini, Thai Liong? Dan mana yang satunya?"

"Ah, aku tak mengenal. Tapi yang satu melarikan diri ke utara. Coba kau kejar!"

Ituchi terbelalak. Bersama Thai Liong dia tadi melihat dua orang suheng dan sute ini, Thai Liong mendahului dan dia tertinggal di belakang. Tapi begitu dia bergerak dan menyusul temannya ini ternyata Thai Liong sudah bertanding namun orang satunya lagi tak dilihatnya, entah kemana. Dan ketika dia tertegun dan membelalakkan mata maka Thai Liong menyuruhnya mengejar Hauw Kam.

"Baik!"pemuda itu memutar tubuhnya. "Kukejar dia, Thai Liong. Dan biar kubantu kau!"

Gwan Beng pucat. Dia melihat bahaya mengancam sutenya di sana, berteriak dan tiba-tiba meninggalkan Thai Liong untuk menyerang pemuda tinggi besar ini. Tapi ketika Ituchi menangksi dan Thai Liong di belakang juga berseru mengejar dirinya maka Gwan Beng terpelanting dan pedangnya tersampok miring.

"Plak-dess!"

Ituchi tertawa meninggalkan laki-laki itu. Thai Liong sudah berkata padanya agar cepat dia menangkap Hauw Kam, mengejar dan setidaknya menghalangi laki-laki itu agar tidak jauh melarikan diri. Dan ketika Gwan Beng membentak marah dan gusar menyerang pemuda ini maka Thai Liong bergerak dan melayani lagi lawannya itu.

"Keparat, kau akan kubunuh!" Gwan Beng menggerakkan pedangnya, gusar menyerang pemuda ini namun Thai Liong sudah berkelebatan dengan Jing-sian-engnya.

Sekarang Thai Liong tak ragu lagi bahwa lawannya itu benar-benar memainkan Giam-lo Kiam-sut, hebat dan cukup berbahaya namun dia dapat mengelak sana-sini. Permainan pedang yang sudah dikenal tak membuat Thai Liong kerepotan. Dan ketika pedang menyambar dalam satu tikaman yang disebut Pedang Maut Menembus Matahari tiba-tiba Thai Liong membentak dan mengerahkan Khi-bal-sin-kangnya menangkis pedang itu, berani dan tidak takut menghadapi mata pedang yang tajam.

"Lepaskan.... plak!" pedang mencelat, benar-benar terlepas dari tangan Gwan Beng dan laki-laki itu pucat berteriak tertahan, terpelanting dan Thai Liong sudah maju ingin menyelesaikan pertempuran. Dia jadi curiga sekaligus tertarik untuk mengetahui siapa sebenarnya lawannya ini. Tapi ketika dia bergerak dan melepas totokan untuk merobohkan lawan tiba-tiba kesepuluh jari lawannya itu bergetar dan terkejutlah Thai Liong ketika dari ujung jari-jari itu menyambar semacam benang laba-laba diiringi pekikan lawan.

"Bocah, robohlah. Jangan anggap mudah menangkap aku.... bret!"

Thai Liong tak menduga, tahu-tahu sudah disambar jaring-jaring aneh itu dan sekejap tubuhnya sudah terlilit habis. Cepat dan luar biasa dirinya sudah terperangkap benang laba-laba itu. Dan karena Thai Liong tertegun dan bengong melihat kepandaian ini, ilmu aneh yang seumur hidup baru kali itu disaksikan tiba-tiba dia sudah terbanting dan roboh terbungkus jaring.

"Bluk!" Thai Liong terkesima. Sama seperti adiknya dulu diapun tak menduga kepandaian lawannya itu, ilmu simpanan yang memang hanya akan dikeluarkan Gwan Beng atau sutenya kalau mereka benar-benar terdesak. Ilmu silat itu memang akan mengejutkan lawan karena seperti sihir. Inilah Jaring Naga yang diciptakan Gwan Beng kakak beradik untuk menghadapi lawan-lawan tangguh. Dan ketika Thai Liong terbanting dan melongo dengan tubuh terbungkus rapat maka tertawalah Gwan Beng terbahak-bahak.

"Ha-ha, lihat bocah. Sekarang aku menang!"

Thai Liong tak sempat mengelak, sebuah totokan ganti menyambar dan robohlah dia di tangan lawan. Kejadian cepat yang diluar dugaan ini memang tak bakal dikiranya jauh-jauh sebelumnya. Dia sudah menguasai lawan dan Giam-lo Kiam-sut yang dikeluarkan lawan tak membuat dia takut. Karena sudah mengenal dan hapal akan jurus-jurus ilmu pedang itu justeru dia seperti menghadapi teman berlatih saja..

Tapi begitu kemenangan yang siap diraih mendadak berubah menjadi kekalahan yang tak disangka maka Thai Liong bengong dalam keheranannya dan saat itulah terdengar pula pekikan atau jeritan Ituchi di kejauhan sana. Apa yang terjadi? Mirip seperti yang dialami Thai Liong ini.

Ituchi, seperti yang diminta Thai Liong sudah mengejar dan tadi membuat Gwan Beng terhuyung. Pemuda tinggi besar ini tak melihat Hauw Kam namun sudah mendapat petunjuk. Dia cepat bergerak ke utara untuk mencari si gimbal itu. Dan ketika bayangan laki-laki itu dilihatnya lari di sana dan benar saja mau menyembunyikan diri maka pemuda ini membentak dan menyuruh lawan berhenti. "Hei, jangan kemana-mana. Berhenti!"

Hauw Kam terkejut. Dia mendengar suara berat yang bukan Thai Liong, menoleh dan melihat pemuda tinggi besar itu. Dan ketika dia tertegun dan Ituchi sudah beberapa tombak di belakangnya tiba-tiba pemuda itu mengulurkan lengannya untuk mencengkeram pundaknya.

"Dukk!" Hauw Kam tentu saja tak mau ditangkap. Melihat Ituchi tak setakut kalau dia melihat Thai Liong. Pemuda berambut emas itu tetap masih disangkanya sebagai Kim-mou-eng dan tentu saja dia lebih gentar menghadapi pemuda itu daripada Ituchi. Maka begitu Ituchi berteriak dan menyuruh dia berhenti, sudah dekat di belakangnya tiba-tiba Hauw Kam menjadi marah dan menangkis cengkeraman pemuda ini, terpental namun Ituchi juga terlempar setindak. Hauw Kam melotot dan menggeram membentak pemuda itu, memakinya. Dan ketika Ituchi terkejut namun menyerang lagi maka Hauw Kam sudah berseru keras dan melayani pemuda tinggi besar ini.

"Duk-dukk!"

Ituchi terbelalak dan kaget. Sekarang dia mendapat kenyataan bahwa lawannya ini hebat, sudah melihat lawan berkelebat membalas dirinya dan menyambarlah pukulan-pukulan kuat yang tak boleh dipandang enteng. Namun karena Ituchi juga bukan pemuda lemah dan dia marah serta mengelak dan membentak maka keduanya sudah bertanding dan Hauw Kam menjadi gusar karena lawannya ini mementalkan semua serangan-serangannya.

"Kau pemuda keparat, kubunuh kau nanti!"

"Ha, boleh coba, orang gila. Kau agaknya tidak waras namun kepandaianmu lumayan juga!"

Keduanya bertanding. Hauw Kam akhirnya melotot karena lawannya ini alot dan lihai, Ituchi memang bukan pemuda sembarangan. Dan ketika benturan-benturan di antara mereka menunjukkan bahwa tenaga mereka tak berbeda jauh maka Hauw Kam mencabut pedangnya dan dengan senjata ini dia menerjang lawan.

"Heii...!" Ituchi terkejut. "ilmu pedang apa ini? Wah, ganas sekali. Berbahaya...plak-bret!" baju pemuda itu robek tersambar, sudah dikelit namun pedang masih memburu juga. Itulah Giam-lo Kiam-sut yang hebatnya memang bukan kepalang. Dan ketika Ituchi berteriak kaget dan pedang sudah menyambar serta menusuk-nusuk ganas maka pemuda ini terdesak dan dua tiga tusukan mengenai tubuhnya, untung ditahan dengan pengerahan sinkang.

Dan Hauw Kam membelalakkan mata. Pemuda ini tak terluka dan dia kagum juga, di samping marah. Dan ketika dia mulai melakukan serangan-serangan berbahaya ke arah mata dan ulu hati pemuda itu, ke bagian-bagian lemah yang tak sepenuhnya dapat dilindungi sinkang akhirnya Ituchi tersudut dan apa boleh buat mencabut senjatanya pula, sebuah gendewa kecil, senjata yang biasa dipakai memanah binatang-binatang buruan dihutan, lebih bersifat penjagaan diri dan biasanya dengan gendewa ini Ituchi merobohkan buruannya untuk dimakan, satu kebiasaan yang memang banyak dilakukan pemuda-pemuda perantau.

Dan ketika dengan gendewa ini dia dapat menahan pedang di tangan lawan yang mendesing naik turun menyerang dirinya maka Hauw Kam tertegun lagi melihat kelihaian lawannya ini. Keparat, pikirnya. Siapa pemuda lihai yang gagah dan berkulit kehitaman ini? Bocah dari mana? Tapi melihat pedangnya dapat ditahan pemuda itu dan Giam-lo Kiam-sut yang hebat selalu terbentur gendewa di tangan pemuda itu mendadak Hauw Kam melengking dan bergeraklah tangan kirinya melepas Jaring Naga, sebuah ilmu simpanan yang mengejutkan lawannya itu.

"Siut-sret!"

Ituchi berseru keras. Tangan kiri lawan yang tiba-tiba mengeluarkan benang-benang aneh seperti jaring laba-laba mendadak sudah menyambar dirinya. Dia mengelak namun pedang di tangan kanan mengejar, apa boleh buat dia terpaksa menangkis namun betapa kagetnya pemuda ini ketika benang seperti laba-laba itu lengket di tangannya. Dan ketika dia berteriak dan lawan tertawa bergelak maka satu tusukan pedang tak dapat dihindari tepat sekali menusuk pundaknya.

"Cret!" Ituchi terluka. Kaget dan terkejut oleh Jaring Naga lawan yang aneh dan luar biasa maka konsentrasi sinkangnya pecah, akibatnya pemuda ini tak sepenuhnya dapat menahan ketajaman pedang dan terlukalah dia, meskipun hanya luka ringan yang tak dalam. Tapi ketika pedang bergerak-gerak lagi dan tangan kiri lawan yang menyambar-nyambar dengan Jaring Naganya itu berkelebatan menutupi pandangannya.

Akhirnya Ituchi kacau dan sibuk menghindar sana-sini, kaget dan berulang-ulang mengeluarkan seruan keras karena Jaring Naga yang amat rekat itu mengganggu sekali, menempel dan mulai bertebaran di seluruh tubuhnya seperti benang laba-laba, sungguh mengejutkan di samping menggelisahkan. Dan ketika tak ada bagian tubuh Ituchi yang terlewat dari jaring laba-laba ini dan benang yang amat kuat dari benang berperekat itu membungkus hampir semua tubuhnya akhirnya Ituchi roboh dan terguling seperti harimau dibungkus jala!

"Ha-ha, robohlah anak muda. Sekarang kau tak berkutik lagi..... bluk!"

Ituchi benar-benar roboh, jatuh terbanting dan berteriak keras dengan tubuh terbungkus jaring. Teriakannya itu terdengar di kejauhan dimana pada saat yang hampir berbareng Thai Liong juga roboh di tangan Gwan Beng, juga oleh jaring atau benang laba-laba ini. Dan ketika pemuda itu tak berkutik dan pucat memandang lawan maka menyambar sesosok bayangan dan Gwan Beng, si cambang yang gagah berdiri di situ, memanggul Thai Liong.

"Sute, kau sudah berhasil mengalahkan lawanmu?"

"Ha-ha, benar, suheng. Dan kaupun agaknya juga sudah berhasil mengalahkan Kim-mou-eng?"

"Bukan, bukan Kim-mou-eng!" sang suheng menggeleng kepala, telah mengamati tawanannya. "Bocah ini masih muda, sute. Memang benar bukan Kim-mou-eng, tapi dia mengaku puteranya!"

"Hah, sama saja. Kalau begitu kita berarti telah mengalahkan Kim-mou-eng!" Hauw Kam tertawa-tawa. Dia menyambar dan melempar tubuh Ituchi, menerima dan menendangnya lagi ke atas, dua tiga kali. Dan ketika pemuda itu mengumpat karena dijadikan seperti bola maka laki-laki ini berseru, "Kita bunuh mereka, dan buang mayatnya ke hutan!"

"Jangan!" Gwan Beng menggeleng. "Mereka orang-orang muda berbakat, sute. Dan terus terang aku kagum pada bocah ini, juga lawanmu itu. Sebaiknya kita tawan mereka karena siapa tahu dapat dijadikan penolong kalau kita bertemu Kim-mou-eng!" lalu menghadapi Thai Liong yang ditotok dan diikat kaki tangannya Gwan Beng bertanya, "Kau siapa? Namamu siapa?"

Thai Liong sudah memperhatikan gerak-gerik si cambang yang gagah ini. Dari pertempurannya tadi dia mendapat kenyataan bahwa laki-laki ini adalah orang baik-baik, pada dasarnya bukanlah seorang jahat dan tentu saja dia tertarik. Dia sudah ditotok dan diikat tapi kalau dia mau dia dapat membebaskan totokan atau ikatan itu. Dulu ketika ditotok dan ditawan See-ong si kakek iblis saja dia dapat menyelamatkan diri, apalagi hanya oleh laki-laki ini, yang kepandaiannya memang hebat tapi dia merasa sanggup mengatasi. Dia roboh karena tadi dia bengong oleh Jaring Naga itu, ilmu silat aneh yang belum pernah selama hidupnya dilihat. Maka begitu dia roboh namun diam-diam tenaga sinkangnya dikerahkan dan dengan Khi-bal-sin-kang sebenarnya dia mementahkan totokan lawan maka Thai Liong tersenyum ketika ditanya.

"Aku Thai Liong, Kim Thai Liong. Sedang temanku itu, hmmm..... kau tanya saja dia!"

Gwan Beng terbelalak. Dia heran dan kagum juga melihat sikap pemuda ini, begitu tenang dan tak kelihatan takut. Sikapnya seperti bukan tawanan melainkan orang yang bebas saja, bukan main. Tentu saja dia tak tahu bahwa kalau mau memang Thai Liong dapat membebaskan dirinya. Pemuda itu hanya berpura-pura saja karena ingin melihat apa selanjutnya yang akan dilakukan dua orang ini, lawan-lawannya yang memiliki Giam-lo Kiam-sut, ilmu pedang warisan kakeknya. Maka ketika dia menjawab begitu tenang sementara lawan membelalakkan mata maka Hauw Kam yang bertemperamen lebih tinggi berteriak,

"Hei, kurang ajar dia. Lebih baik kutampar mulutnya.... plak!" dan Hauw Kam yang berkelebat marah menempeleng pemuda ini tiba-tiba membuat Thai Liong terpelanting dan bengap mulutnya, tadi ditampar begitu keras namun untung dia bertahan. Kalau sinkangnya tidak bekerja barangkali mulutnya pecah. Hm, laki-laki yang ini lebih ganas! Tapi ketika dia melotot gusar dan menahan kemarahannya maka si cambang membentak sutenya,

"Sute, jangan main kasar. Dia tawananku!"

"Maaf, he-he!" Hauw Kam tertawa. "Aku tak sabar melihat sikapnya, suheng. Merendahkan mata. Sialan, sebaiknya kau lempar pemuda itu dan tak perlu bertanya-tanya lagi!"

"Tidak, mereka ini menarik. Aku masih ingin tahu kenapa mereka berada di sini...." lalu menghadapi Ituchi ganti dia bertanya, "Kau, siapa namamu? Kau bukan bangsa Han asli?"

Ituchi tidak seperti Thai Liong. Ditangkap dan dirobohkan seperti itu dia marah besar. Maka begitu ditanya dan dipandang seperti itu kontan mulutnya mendamprat, "Hei, kau! Tak usah tanya nama kalau ingin membunuh. Aku tak suka memperkenalkan diriku kepada kalian. Bebaskan atau bunuh aku!"

"Ha-ha!" Hauw Kam tertawa bergelak. "Bocah ini galak dan sombong amat, suheng. Berani dia bicara seperti itu. Biarlah kupencet hidungnya.... cet!" dan Ituchi yang benar-benar dipencet dan dicengkeram hidungnya tiba-tiba tak dapat bicara ketika masih memaki-maki, bindeng dan Hauw Kam terbahak-bahak kegelian. Sikap gilanya muncul dan bergeraklah tangannya yang lain untuk menggelitik ketiak pemuda itu. Dan ketika Ituchi diserang rasa geli tapi juga marah campur aduk maka akhirnya hidungnya dilepas dan terdengarlah makian bercampur tawanya yang tak keruan.

"Hei, bangsat! Lepaskan aku! Aduh, ha-ha... keparat!"

Kiranya Hauw Kam menotok jalan darah di bawah ketiak pemuda ini untuk membuat Ituchi terpingkal-pingkal. Tadi setelah menggelitik tiba-tiba dia menotok jalan darah itu, jalan darah yang akan membuat orang tertawa-tawa karena geli, tentu saja bukan ketawa yang sehat melainkan tawa yang bercampur sakit. Ituchi sedang marah namun saat itu lawan mempermainkan dirinya, tak ayal tawanya menjadi tawa bercampur sumpah serapah. Sejam pemuda ini seperti itu tentu dia bakal mati lemas, hal ini berbahaya dan Thai Liong yang mengetahui itu terkejut. Tapi ketika temannya tersiksa dan Hauw Kam tak membebaskan totokannya tiba-tiba Gwan Beng kembali bergerak dan si cambang inilah yang membebaskan Ituchi.

"Sute, jangan siksa pemuda ini. Biarkan mereka kepadaku!"

Ituchi terengah-engah. Dia melotot dan gusar bukan main memandang Hauw Kam, yang dipandang ha-ha-he-he saja dan balas melotot padanya. Pandangan tak waras menjadi semakin jelas ketika laki-laki itu menggaruk-garuk rambutnya. Dan ketika Ituchi hampir memaki namun Thai Liong disana tiba-tiba berseru padanya agar tidak melawan, mengerahkan ilmunya mengirim suara dari jauh maka pemuda ini tertegun.

"Jangan gusar, tak perlu marah-marah. Kita tak berada dalam bahaya karena setidaknya aku tidak tertawan!"

Ituchi tertegun. Dia melihat Thai Liong menggerakkan tangannya secara rahasia. Benar, temannya itu bebas! Ituchi terkejut, juga girang. Tapi Thai Liong yang mengedip padanya berseru lagi, mengerahkan Coan-im-jip-bitnya itu, suara jarak jauh.

"Jangan cemas, Ituchi. Kau tenanglah dan biarkan dua orang ini menawan kita. Aku ingin mengetahui siapa mereka ini sebenarnya dan kau baik-baiklah disitu."

Ituchi tertegun, mata bersinar-sinar. Dan ketika dia tersenyum dan tak jadi memaki-maki maka Gwan Beng, si cambang, mengusap pundaknya, bersikap lebih baik.

"Kau beritahukanlah siapa namamu dan apa hubunganmu dengan Pendekar Rambut Emas. Benarkah pemuda itu puteranya dan kalian mau apa datang mengganggu kami."

"Hm, siapa mengganggu? Aku Ituchi, putera Raja Hu!" Ituchi bermaksud menggertak, menyebut namanya dan bersinar-sinar memandang si cambang ini. Tapi karena Gwan Beng tak mengenal nama raja itu dan mendiang Raja Hu juga sudah tinggal namanya saja maka dia mengerutkan kening menarik napas.

"Aku tak kenal siapa itu Raja Hu. Tapi kau gagah. Hm, kalau begitu benar kau bukan asli orang Han. Baiklah, siapa temanmu ini, anak muda? Dia benar putera Pendekar Rambut Emas?"

"Benar, dan kalian lihat kepandaiannya tadi!"

"Ha-ha, kepandaian apa!" Hauw Kam tertawa mengejek. "Dia roboh oleh suhengku, anak muda. Tak perlu berlagak!"

"Kalian curang!" Ituchi memaki. "Bagaimana dapat merobohkan putera Pendekar Rambut Emas kalau tidak bersikap licik? Dan kaupun menggunakan benang laba-labamu itu, tidak ksatria!"

"Ha-ha, bocah tak kenal puas! Eh, apakah kau masih penasaran? Boleh, maju lagi, bocah. Tak usah aku takut setelah suhengku di sini pula!" Hauw Kam berkelebat, tiba-tiba membebaskan totokan Ituchi dan pemuda tinggi besar ini tertegun. Tentu saja dia gembira dan meloncat bangun. Dan ketika Gwan Beng disana mengerutkan kening tapi rupanya tak khawatir pemuda ini bebas sejenak maka Hauw Kam yang tertawa-tawa itu sudah menantang berkelahi.

"Hayo, maju lagi. Boleh keok untuk kedua kali!"

Ituchi mengerling. Dia mendengar bisikan Thai Liong agar berhati-hati, mendapat isyarat supaya dia mempergunakan kesempatan itu. Ini kesempatan baik! Hauw Kam dan suhengnya yang tentu saja tak mengira Thai Liong sudah mementahkan totokan menganggap hanya Ituchi itulah yang dihadapi. Gwan Beng ada di situ dan tersenyum mengangguk-angguk. Tadi sutenya sudah merobohkan dan kini mereka berdua tentu lebih kuat lagi, tak perlu takut.

Dan ketika Ituchi membentak dan sudah mengambil lagi gendewanya yang terpelanting di tanah maka dia berseru keras dan tanpa banyak cakap sudah menerjang maju. Langsung dia membabat dan memukulkan gendewanya itu, tangan kiri berjaga dari serangan lawan yang aneh luar biasa itu, benang laba-laba. Dan ketika Hauw Kam tertawa dan mengelak melompat ke kiri maka laki-laki itu berseru agar Ituchi berhati-hati.

"Waspadalah, aku akan merobohkan kali ini dengan lebih cepat lagi!"

"Jangan banyak mulut!" Ituchi membentak. "Kau yang akan kutangkap dan kurobohkan, gimbal busuk. Lihat saja siapa yang akan menang!"

"Ha-ha, berani takabur? Wah, pemuda bersemangat tinggi, tapi sayang, kau pula yang akan kalah.... plak!" dan gendewa yang mulai ditangkis karena menyambar dahsyat akhirnya terpental tapi menyambar lagi dari atas ke bawah, dipukulkan dan terdengar suara bersiut saking keras dan kuatnya ayunan.

Ituchi tak menggerakkan tangan kirinya karena waspada terhadap pukulan laba-laba lawan, waspada dan hanya senjata di tangan kanannya itulah yang menderu dan menyambar kesana kemari. Dan ketika lawan berlompatan dan Ituchi membentak agar lawan mengeluarkan senjatanya, pedang yang disembunyikan itu maka Hauw Kam akhirnya tertawa karena memang sebentar kemudian sudah terdesak.

"Baiklah, kau yang minta. Dan aku memang kewalahan... crang!" dan pedang yang bertemu gendewa tiba-tiba mengeluarkan pijaran api dan sama-sama terpental, sudah diserang lagi namun si gimbal ini segera mengimbangi dengan permainan Giam-lo Kiam-sutnya. Dan ketika ilmu pedang itu kembali dilihat maka Thai Liong tertegun.

"Hm, siapa mereka ini? Darimana dapat mainkan Giam-lo Kiam-sut dengan baik? Dan laki-laki yang satu ini tak kalah dengan temannya itu. Sinkangnya kuat dan sambaran pedangnya pun mantap. Kalau Ituchi tak memiliki daya tahan atau sinkang yang seimbang tentu Ituchi roboh! Thai Liong membatin dengan membelalakkan mata. Dia melihat Ituchi bertempur sengit untuk menebus kekalahan, disini mereka imbang namun tangan laki-laki itu mulai bergerak-gerak. Dan ketika tangan itu menyambar dan segumpal benang laba-laba melecut ke arah Ituchi maka pemuda ini terkejut, menggerakkan gendewanya menangkis.

"Plak-bret!"

Ituchi terkesiap. Sama seperti tadi mendadak dia kaget setelah benang laba-laba ini keluar. Meskipun sudah berjaga-jaga namun tak urung dia terkejut juga karena gendewanya lengket, tak dapat ditarik! Tapi ketika dia berseru keras dan menendang lawan dengan gemas maka lawan menarik benang laba-labanya itu dan terbahak-bahak.

"Ha-ha, lihat bocah. Kaupun masih tak menang!"

Benar saja, Ituchi sebentar kemudian terdesak dan mundur-mundur. Begitu benang laba-laba dikeluarkan tiba-tiba dia gugup dan panik, selalu menangkis namun benang-benang itu menempel tak dapat dihalau. Kalau ditolak paling-paling terdorong sedikit dan karena sifatnya yang elastis justeru membalik dan mengganggu lagi, susah pemuda ini menghindarinya. Dan ketika pedang di tangan lawan juga mulai mengganggu untuk mengacau perhatiannya maka Ituchi terjengkang ketika harus buru-buru menghindari lecutan benang laba-laba.

"Bret!" Pedang mendapat sasaran. Baju pemuda ini robek dan Ituchi mengeluh. Dia melotot penasaran dan mulailah Thai Liong melihat kekalahan temannya ini. Benang laba-laba itu memang sulit dihalau kalau sudah melecut ke depan. Ditangkis tentu lengket tidak ditangkis ternyata selalu memburu, jadi membingungkan dan memang membuat lawan panik, mudah gugup. Dan ketika untuk itu Ituchi melupakan sambaran pedang dan kembali dia terbabat sebuah jurus dari Giam-lo Kiam-sut yang hebat maka Thai Liong tak tahan berseru, membantu.

"Jaga pinggangmu dari tusukan pedang. Awas gerakan berikutnya yang akan menyambar kaki!" lalu ketika pemuda itu memperhatikan dan mengelak sesuai perintah Thai Liong maka pemuda ini kembali berseru, "Tahan tikaman beranting dengan gerak melengkung. Dan lempar tubuh kalau benang laba-laba itu menghantammu dari kanan!"

Hauw Kam melotot. Ituchi tiba-tiba membuat menuruti perintah Thai Liong ini, mengelak dan menggerakkan gendewanya secara melengkung untuk menahan tikaman beranting yang akhirnya memang dilakukan lawannya itu. Dan ketika dia disuruh melempar tubuh karena pukulan laba-laba menghantamnya dari kanan, di saat dia menghadapi serangan pedang maka pemuda ini selamat dan benang laba-laba itu menyambarnya sia-sia.

"Ha-ha!" Ituchi tertawa bergelak. "Kau beritahukan aku lagi, Thai Liong. Dan katakan bagaimana aku merobohkan lawanku ini!"

"Kau tak boleh menangkis benang laba-labanya. Jauhi dan jangan dihadapi secara berdepan!"

Ituchi menurut. Akhirnya pemuda ini mengikuti saja apa omongan Thai Liong, kian lama kian luwes dan Ituchi akhirnya mulai dapat mendahului lawan ketika Thai Liong memberitahukan jurus-jurus yang akan dilancarkan Hauw Kam, dicegat dan mati kutulah Giam-lo Kiam-sut yang hebat itu. Dan karena Ituchi selalu mengelak atau menjauhi benang laba-laba dan ini tentu saja membuat Hauw Kam gusar maka akhirnya Thai Liong berseru agar temannya itu melakukan tekanan.

"Sekarang desak dia, matikan langkah-langkahnya. Pergunakan gendewamu dengan babatan-babatan lurus!"

"Ha-ha, dan tetap tidak menyambut pukulan laba-laba itu, Thai Liong?"

"Ya, jangan sambut. Hindarkan saja. Kau pasti menang!"

Ituchi tertawa bergelak. Thai Liong yang pandai mainkan Giam-lo Kiam-sut tentu saja tahu dan dapat mematikan gerak pedang itu. Pemuda ini adalah cucu Hu-taihiap dan sebagai cucu si jago pedang tentu saja Thai Liong hapal dan tahu kemana arah serangan-serangan pedang berikutnya. Dan karena sebagai penonton dia dapat melihat lebih jelas pula akan pukulan laba-laba itu dimana setiap kali menyambar tentu dia menyuruh temannya membanting tubuh ke kiri atau ke kanan akhirnya Thai Liong mengajari temannya ini bagaimana menghadapi lawannya itu, menekan dan mendahului gerakan-gerakannya dan Hauw Kam tentu saja mencak-mencak.

Setelah Ituchi mendapat petunjuk dan seruan-seruan Thai Liong tiba-tiba saja dia dapat menghadapi lawannya itu dengan baik. Thai Liong adalah pemuda lihai dan memang pemuda ini masih lebih hebat daripada Ituchi. Robohnya tadi karena Thai Liong sedang bengong, bukan oleh lawan yang lebih tinggi. Maka begitu dia memberi petunjuk-petunjuk dan Ituchi mulai dapat mengikuti dan menjalankan petunjuknya ini akhirnya Ituchi dapat mematikan langkah lawan dan gendewa di tangannya akhirnya menghantam pundak Hauw Kam.

"Dess!" Hauw Kam terpelanting bergulingan. Ituchi tertawa bergelak-gelak dan terus melanjutkan serangan-serangannya, akhirnya tak memberi kesempatan untuk lawan mengeluarkan pukulan benang laba-labanya. Dan ketika pemuda itu terus merangsek dan mendesak serta gendewa di tangan kanannya berubah seperti gendewa malaikat yang mulai menghajar dan mendera tubuh lawan akhirnya Hauw Kam berteriak-teriak dan menyuruh suhengnya maju, kewalahan.

"Bunuh pemuda itu. Bantu aku. Ah, tutup mulut pemuda itu agar tidak membantu temannya, suheng. Atau aku bakal roboh dan dua pemuda terkutuk ini mempermainkan kita!"

Gwan Beng terkejut. Akhirnya dia juga melihat kejadian itu dan betapa sutenya mendapat pukulan atau gebukan gendewa, tak dapat mempergunakan pukulan laba-labanya karena Ituchi selalu mendahului dan mendesak. Celaka, itulah berkat mulut pemuda berambut keemasan ini! Dan ketika sutenya kembali terjungkal dan terpelanting oleh sambaran gendewa akhirnya Gwan Beng berkelebat dan menotok mulut Thai Liong.

"Tutup mulutmu, atau aku terpaksa membungkamnya.... dukk!" Gwan Beng berteriak, mencelat karena tiba-tiba Thai Liong bangkit berdiri, menangkis dan langsung membuat lawan terpental karena ia mempergunakan Khi-bal-sin-kangnya. Gwan Beng terkejut karena lawan yang tadi tertotok tahu-tahu sudah meloncat bangun, bergerak dan tidak apa-apa dan kini menangkis totokannya. Dan ketika dia sadar bahwa kiranya pemuda itu sudah bebas, entah dengan cara bagaimana maka Thai Liong tertawa dan berseru padanya.

"Orang tua, sekarang aku yang akan menangkapmu. Berjagalah!" dan Thai Liong yang berkelebat dan melepas pukulan tiba-tiba membuat Gwan Beng berteriak tertahan karena semakin kaget saja, menangkis dan terlemparlah dia oleh pukulan Khi-bal-sin-kang yang dahsyat. Dan ketika dia bergulingan meloncat bangun sementara Ituchi terbahak-bahak disana, mendesak dan menekan sutenya yang tak dapat mainkan Jaring Naga, ilmu silat laba-laba itu maka diapun sudah terdesak dan tertekan oleh tamparan-tamparan Khi-bal-sin-kang yang dilakukan Thai Liong.

"Keparat, kalian rupanya menipu.... plak-dess!" Gwan Beng marah dan kaget, menerima dan menangkis sebuah serangan tapi dia malah mencelat. Dan ketika dia memekik dan mencabut pedangnya, menusuk dan membacok maka Thai Liong tertawa berkata padanya.

"Orang tua, ilmu pedang ini adalah ciptaan kakekku. Aneh sekali dapat kau miliki demikian baik. Apakah kau mencurinya atau mendapatkannya secara kebetulan? Hm, aku akan merobohkanmu. Dan sekarang aku tak takut menghadapi pukulan laba-labamu itu...des-dess!" Thai Liong merangsek, menyambar dan sudah membuat lawan jungkir balik karena pedang dikibas ke samping. Giam-lo Kiam-sut dikeluarkan tapi semua itu percuma menghadapi pemuda ini.

Thai Liong adalah putera Pendekar Rambut Emas sekaligus cucu mendiang Hu-taihiap, tentu saja tertawa dan dapat menghalau serangan-serangan pedang. Dan ketika lawan berjungkir balik dan mengeluh pucat, gentar dan marah maka Gwan Beng mengeluarkan Jaring Naganya, sadar bahwa pemuda itu tak mungkin dirobohkan dengan ilmu pedangnya karena ilmu pedangnya sudah dikenal. Pemuda itu tahu kemana serangan-serangan pedang akan menuju, jadi dapat dikelit atau dimatikan langkahnya, kalau pemuda itu mendahului.

Dan karena dengan Jaring Naga dia tadi dapat merobohkan pemuda ini, ingin mengulang dan mencobanya maka Gwan Beng membentak dan sudah melakukan pukulan-pukulan yang diandalkannya itu. Namun alangkah kagetnya si cambang ini. Thai Liong berseru nyaring dan tiba-tiba lenyap berkelebatan mengelilingi dirinya, kecepatannya dua kali lipat daripada tadi dan tentu saja dia tak dapat mengikuti. Laki-laki ini tak tahu bahwa Thai Liong sudah mengeluarkan Cui-sian Gin-kangnya (Ginkang Mengejar Dewa), menggabung dengan Jing-sian-eng atau Bayangan Seribu Dewa dan tentu saja kecepatannya menjadi berlipat-lipat.

Pemuda ini memang hendak menaklukkan lawan dengan sungguh-sungguh, ingin membuktikan bahwa sesungguhnya dia tak kalah, dapat merobohkan atau mengalahkan lawannya itu. Dan ketika lawan kabur oleh kecepatannya yang luar biasa maka Thai Liong mulai menampar atau menepuk sana-sini, tertawa mempermainkan lawannya itu dan pukulan laba-laba dihalau atau ditiup Lui-ciang-hoatnya, pukulan panas dimana benang laba-laba yang lemas dan berperekat itu leleh! Gwan Beng terkejut karena tiba-tiba saja dia mati kutu. Kejadian ini tak lebih dari beberapa menit saja. Dan ketika dia kaget dan pucat terlempar sana-sini akhirnya Thai Liong yang sudah berhasil menguasai lawan berseru agar dia roboh.

"Sekarang kau roboh, menyerahlah!"

Gwan Beng menjerit. Orang tua ini terbanting ketika sebuah totokan lihai mengenai jalan darah di belakang lehernya, terpelanting dan berteriak dan pedang di tangannyapun terlepas. Dan ketika dia mengaduh dan Hauw Kam disana kaget maka Ituchi menghantamkan gendewanya di saat lawannya meleng.

"Dess!" Hauw Kam pun terpelanting. Laki-laki ini sudah terdesak dan tertekan hebat oleh serangan-serangan Ituchi yang tak kenal ampun. Ituchi sudah mendapat petunjuk-petunjuk Thai Liong bagaimana mengunci lawannya ini, mematikan langkah dan menutup semua gerak lawan supaya pukulan laba-laba itu tidak keluar. Ituchi tak dapat bersikap seperti Thai Liong yang berkelebatan dengan gabungan Jing-sian-eng dan Cui-sian Gin-kangnya, juga tak memiliki pukulan Lui-ciang-hoat yang melelehkan benang laba-laba itu.

Maka ketika dia merangsek dan mendesak lawan dengan caranya sendiri setelah dibantu petunjuk-petunjuk Thai Liong maka lawannya terbanting ketika hantaman gendewa mendarat demikian keras, disusul dan dikejar lagi dan Hauw Kam pucat. Dia sudah terkunci oleh pemuda ini, tak dapat bergerak kemana-mana. Maka ketika lawan mengejar dan menotok dengan ujung gendewa tiba-tiba diapun roboh dan terjengkang, tak dapat mengelak lagi,

"Bluk!"

Ituchi tertawa bergelak. Selisih beberapa gebrak dari Thai Liong yang telah merobohkan lawannya lebih dulu pemuda ini akhirnya dapat menaklukkan lawannya pula, berkelebat dan sudah berdiri di samping si gimbal itu. Dan ketika Hauw Kam melotot dan memaki-maki dirinya, marah dan malu maka Ituchi menyambar dan menendang tubuhnya, membalas apa yang dia rasakan tadi.

"Ha-ha, tak perlu marah-marah. Kau kalah dan aku yang menang.... dess!" tubuh Hauw Kam terlempar tinggi, berdebuk dan ditendang lagi dua tiga kali hingga si gimbal ini mirip Ituchi tadi yang diperlakukan seperti bola. Ituchi memang ingin melampiaskan gemasnya pada si gimbal ini.

Tapi ketika Thai Liong berseru dan berkelebat menahan pundak temannya maka pemuda berambut keemasan ini menolong Hauw Kam dari bantingan keempat kalinya. "Sudah, tahan kegemasanmu. Musuh sudah kalah dan tak perlu kita mempermainkan lagi!" lalu memandang dan menghadapi Gwan Beng, yang sejak tadi terbelalak dan gentar memandangnya pemuda ini bertanya, tidak kasar, "Kalian berdua siapakah sebenarnya? Kau bernama siapa dan siapa sutemu itu?"

"Hm, kau mau apa?"

"Tak apa-apa, hanya ingin mengenal dan mengetahui siapa kalian."

"Kami Siang-koai-lojin (Sepasang Kakek Gila)...."

"Aku tidak tanya julukannya, melainkan nama kalian!" Thai Liong memotong. "Aku tak akan mengapa-apakan kalian, orang tua. Dan tak perlu kalian takut. Aku melihat bahwa kalian sebenarnya merupakan orang baik-baik...."

"Ha-ha, tak usah memperkenalkan nama, suheng. Biar saja kita dibunuhnya. Rupanya bocah itu ingin tahu bagaimana kita memiliki Giam-lo Kiam-sut!" Hauw Kam, yang melotot dan gusar disana tiba-tiba berteriak. Dia tak menginginkan suhengnya bicara dan Gwan Beng sadar, mengerutkan keningnya. Dan ketika apa yang dikata sutenya dianggap benar maka Gwan Beng bersikap dingin dan tak acuh.

"Benar, kami tak mau bicara, anak muda. Kalau tak senang boleh bunuh, kami sudah kalah!"

"Hm, kalian bodoh. Kenapa tak mau bicara baik-baik? Memang tak dapat kusangkal bahwa aku ingin tahu bagaimana kalian dapat memiliki Giam-lo Kiam-sut itu, tapi bukan lalu bermaksud untuk mencelakakan atau menyiksa kalian. Kalian sebutkan saja siapa diri kalian dan aku tak akan marah!"

"Memangnya kenapa kalau kau marah?" Hauw Kam tertawa mengejek, lagi-lagi mendahului. "Kami dua tua bangka sudah jatuh di tangan kalian, bocah. Kami tak takut mampus atau takut kemarahanmu itu. Hayolah, suhengku tak mungkin mau bicara dan kalian tak perlu memaksa!"

"Hm, si gimbal ini menyebalkan!" Ituchi tiba-tiba marah. "Bagaimana kalau kugelitik dia, Thai Liong? Tadi dia menyiksaku, menyuruh ketawa tak wajar. Aku ingin membalas dan perkenankan aku menghajarnya!"

"Tidak, jangan...!" Thai Liong, yang lembut dan penyayang tiba-tiba mencekal lengan temannya. "Biarkan mereka itu dengan sikapnya, Ituchi. Kalau tak mau bicara biarlah kita biarkan mereka."

"Dan kau mau apa? Menawannya? Membawa mereka sepanjang jalan?"

"Hm, tadinya begitu, tapi sekarang tidak. Sebaiknya mereka dibebaskan dan biar pergi!"

"Apa?" Ituchi terkejut. "Dibebaskan? Setelah dengan susah payah kita merobohkannya?"

Thai Liong tersenyum. "Bagiku tak susah payah, Ituchi. Aku dapat menguasai mereka, tak usah khawatir. Aku melihat mereka orang baik-baik, sepatutnya dibebaskan. Dan lagi merekapun tadi membebaskanmu!"

"Tapi itu lain. Si gimbal ini membebaskan aku karena dia ingin mempermainkan dan menghina aku, dengan ilmu silatnya!"

"Sudahlah, betapapun mereka bukan orang-orang jahat, Ituchi. Dan kita tak dibunuhnya ketika tertangkap. Aku ingin membebaskan mereka hitung-hitung sebagai pembalas budi!" dan ketika Ituchi bengong dan melotot tak puas, kecewa, Thai Liong sudah membebaskan totokan Gwan Beng dan dari jauh ia menggerakkan jarinya pula menyentil jalan darah di pundak Hauw Kam, yang segera dapat melompat bangun. "Kaliang tak mau bicara, tak apa. Dan aku juga tak merasa mempunyai ikatan permusuhan dengan kalian. Pergilah, dan maafkan kami berdua yang mungkin telah menghina kalian!"

Hauw Kam bengong. Dia tak menyangka bahwa demikian mudah pemuda itu membebaskan dirinya, juga suhengnya. Dan ketika suhengnya juga bengong dan tertegun disana, tak percaya, maka Thai Liong mundur dan menjura di depan mereka.

"Silahkan, kalian sudah bebas. Aku tak mempermainkan atau menipu kalian."

Hauw Kam sadar. Tiba-tiba dia memekik gembira dan terbang meloncat pergi, menyambar tangan suhengnya. Tapi ketika sang suheng memberontak dan melepaskan dirinya maka suhengnya itu berkelebat dan meloncat membalik, menghadapi Thai Liong lagi, menggigil dan menahan-nahan keheranannya.

"Anak muda, kau.... kau sungguh-sungguh membebaskan kami? Kau tak dusta?"

"Hm, untuk apa dusta? Kalian boleh pergi dan kami tak akan mengganggu, orang tua. Dan percayalah bahwa aku tak mempermainkan kalian. Kenapa?"

"Kalau begitu.... terima kasih!" dan Gwan Beng yang membungkuk dan melipat punggungnya tiba-tiba mengucap terima kasih dengan suara serak, mengejutkan Thai Liong karena tiba-tiba keharuan menyelinap di hatinya. Gwan Beng kembali dilihatnya sebagai orang tua yang baik, meskipun Hauw Kam tak boleh dibilang jahat. Dan ketika dia tertegun dan mendorong lawannya itu maka Gwan Beng mengusap air matanya dan melompat pergi.

"Anak muda, kau persis ayahmu. Ah, semoga aku benar dan terima kasih untuk kebaikanmu ini!"

Ituchi tertegun. Dia melihat Thai Liong mengangguk dan mengejapkan matanya yang berair. Aneh, Thai Liong tiba-tiba juga menangis! Tapi ketika mereka melompat pergi dan terbang bergandengan tangan maka Ituchi membanting kakinya dan menegur temannya itu.

"Thai Liong, kau terlalu! Kenapa melepas dan membebaskan mereka begitu saja? Bukankah sudah jelas mereka itu mencuri dan mendapatkan Giam-lo Kiam-sut? Kalau kakekmu masih hidup tentu kau akan dicacinya habis-habisan. Mereka itu tak boleh dilepas begitu saja dan harus dipaksa mengaku darimana mendapatkan atau mencuri ilmu pedang itu!"

"Kau keliru," Thai Liong sadar, tiba-tiba bercahaya dan bersinar-sinar matanya. "Aku tak membebaskan mereka begitu saja, Ituchi. Melainkan justeru menyelidiki dan ingin tahu siapa mereka itu dengan caraku yang lain."

"Maksudmu?" Ituchi terbelalak. "Membohongi mereka dan akan menangkap lagi?"

"Tidak."

"Lalu bagaimana? Dan kenapa kau menangis pula? Eh, aneh kau ini, Thai Liong. Sungguh tak dapat kumengerti dan membuat bingung!"

"Aku merencanakan sesuatu, dan mereka itu tak ingin kusakiti. Aku merasa dekat dengan mereka dan entah kenapa dengan si cambang itu terutama aku merasa lebih dekat!"

"Dan kau menangis?"

"Aku terharu, kakek itu orang baik-baik..."

"Ah, dan mereka sudah pergi, Thai Liong. Kau sudah membebaskan mereka!"

"Salah, aku tidak berkata begitu. Aku... ah, sudahlah. Kau ikuti aku dan kita kejar mereka, Ituchi. Kita kuntit mereka secara diam-diam dan di perjalanan nanti kuceritakan!" dan Thai Liong yang berkelebat menyambar temannya tiba-tiba mengajak Ituchi terbang ke depan, mengerahkan Jing-sian-engnya dan berteriaklah Ituchi karena tubuhnya tiba-tiba terangkat dari atas tanah, tak menempel bumi lagi dan bergeraklah dia di gandengan temannya ini. Dan ketika Thai Liong menjelaskan apa yang dia maui dan berkata bahwa dua orang itu sebenarnya akan diikuti dan diselidiki secara diam-diam, karena orang seperti mereka tak mungkin mau dipaksa begitu saja maka Ituchi mendusin ketika Thai Liong menutup.

"Aku memang membebaskan mereka, membiarkan mereka pergi. Tapi bukan berarti membiarkan rahasia ini tak kuketahui dan melepas begitu saja. Karena itu ketahuilah bahwa gerak-gerik mereka akan kuikuti secara diam-diam, Ituchi. Aku ingin mendapatkannya secara tak melukai lawan dan baik-baik menemukan siapa mereka itu sebenarnya!"

"Ah, begitukah?"

"Ya, dan lagi, kalau kita menawan, menangkapnya, maka kita akan mendapat beban karena dua orang itu tentu harus kita panggul atau bawa, tak mungkin kita menyeret-nyeretnya sepanjang jalan. Daripada begitu lebih baik mereka kulepaskan dan berjalan sendiri tapi diam-diam kita mengikuti di belakang dan hasilnya akan sama saja nanti!"

Ituchi mengangguk-angguk. Memang, sekarang dia mengerti. Dia tahu Thai Liong ini pemuda yang berwatak halus dan lembut, tak suka menyakiti lawan dan kiranya pemuda itu bermaksud membebaskan lawan tapi bukan berarti membiarkan rahasia itu lewat begitu saja. Memang mengherankan bahwa Giam-lo Kiam-sut bisa dipelajari lawan, hal yang memang harus dicurigai.

Tapi karena dia juga melihat bahwa betapapun dua kakek itu rupanya bukan orang-orang jahat dan Thai Liong juga melihat hal ini maka itulah akal yang dipergunakan temannya ini. Dan begitu dia sadar dan mengerti maka Ituchi pun tak banyak bicara dan segera keduanya terbang menguntit perjalanan Hauw Kam dan suhengnya!

* * * * * * * *

"Serbu! Bunuh mereka itu, gilas. Ha-ha-ha....!"

Sebuah pasukan besar mendobrak benteng di perbatasan Tiongkok, melaju dan ribuan orang berteriak-teriak mengawali serangannya. Ratusan orang merayap ke atas tapi enam bayangan bergerak dengan caranya yang luar biasa mendaki tembok tebal yang menjadi batas pemisah ini, bukan mendaki seperti ratusan orang-orang lain yang mempergunakan tali melainkan merayap dan menempel seperti cicak, lekat dan naik dengan cepat mendaki tembok besar itu.

Bagian yang dinaiki juga tak tanggung-tanggung, bukan tempat kasar yang mudah dilekati kaki atau tangan melainkan justeru tempat berlumut yang orang biasa pasti tak mampu melakukannya. Enam bayangan ini enak saja merayap dan setiap kali tangan mereka menepuk maka bergetarlah dinding tembok itu. Lumut yang menempel tiba-tiba rontok terkena tepukan, hancur dan bekas jari atau tangan yang menepuk dinding ini selalu meninggalkan lubang.

Dengan lubang itulah mereka menekan dan mengangkat naik tubuh, tak perduli pada hujan serangan yang diluncurkan dari atas, karena panah atau tombak akan terpental atau patah-patah bertemu tubuh enam orang ini. Dan ketika mereka hampir tiba di puncak dan pasukan di atas tentu saja terkejut maka yang ada di depan, yang paling gesit dan ringan sudah menggerakkan tubuhnya dan berjungkir balik di atas sana.

"Ha-ha, mana itu San-ciangkun. Suruh dia menyerah atau kalian semua kubunuh..... plak-plak-plak!" bayangan ini, pemuda tinggi besar yang ganas dan tak kenal ampun sudah mengibas ke kanan tiga kali. Angin yang dahsyat menyambar dari tangan kanannya itu dan berteriaklah tujuh perajurit yang terlempar roboh.

Mereka langsung terpelanting dan jatuh keluar, dari atas tembok yang letaknya begitu tinggi itu. Dan ketika pekik atau jerit kematian mereka disusul tubuh yang berdebuk di bawah maka lima bayangan yang lain, yang juga sudah melempar tubuh dan berjungkir balik di situ tertawa menyeramkan.

"Togur, cari dan bunuh San-ciangkun (panglima San). Kami akan membuka pintu-pintu gerbang dan membiarkan pasukan masuk!"

"Bagus, boleh suhu, dan bantai siapa saja yang tidak mau menyerah..... prak-bluk!" dua orang perajurit menerima sasaran, ditangkap dan diadu kepalanya dan pecahlah kepala dua perajurit itu.

Mereka tak sempat berteriak lagi dan tubuh mereka ditendang mencelat, roboh menumbuk dinding dan tertawa bergelaklah pemuda itu menyambar tujuh panah yang mendesing menyerang bagian mukanya. Dan ketika dia menangkap dan dua di antaranya diterima dengan cara digigit, maka panah-panah itu sudah digerakkan kembali dan tujuh pemanah yang tadi menyerangnya tiba-tiba roboh terkapar karena anak panah mereka sendiri sudah menyambar dan menancap di dada kiri dengan kecepatan setan.

"Crep-crep-crep...!"

Tujuh tubuh itu bergelimpangan tanpa nyawa. Togur, pemuda tinggi besar ini telah bergerak ke kiri, berkelebat dan puluhan orang yang muncul dari balik menara pengawas tiba-tiba disambutnya. Dengan tawanya yang menyeramkan dan gerak tubuhnya yang cepat pemuda ini sudah mendatangi mereka. Puluhan orang yang berteriak melepas panah dan tombak sama sekali tak digubrisnya, dia terus menerjang dan kedua tangannya bergerak berulang-ulang. Dan ketika panah atau tombak runtuh dan patah-patah mengenai tubuhnya maka pukulan jarak jauhnya itu sudah membuat orang-orang itu beterbangan bagai disapu angin puyuh.

"Bres-bres-plakk...!"

Teriakan ngeri dan jerit susul-menyusul sudah mengiringi orang-orang yang terlempar ini. Mereka mencelat dan terbanting di sana-sini, belum menyentuh tanah saja sudah tewas karena kepala atau dada mereka pecah, begitu dahsyat pukulan yang dilancarkan Togur ini. Dan ketika yang lain menjadi ngeri dan pucat oleh tandangnya yang ganas maka yang semula mau menyerang tiba-tiba membalik dan berlarian.

"Awas, pemuda iblis itu menyeramkan. Dia putera mendiang Gurba!"

Semua tunggang-langgang. Togur tertawa bergelak karena nama ayahnya disebut-sebut. Memang benar, dia adalah putera Gurba dan postur tubuhnya yang tinggi besar mirip benar dengan ayahnya itu. Bagi yang sudah pernah berhadapan dengan mendiang suheng Kim-mou-eng ini tentu akan merasa seram berhadapan dengan Togur. Pemuda itu ganas, matanya mencorong. Sikapnya tak kenal ampun dan siapapun yang menyerangnya bakal dibalas dan dibunuh.

Pemuda ini bergerak dari satu tembok ke tembok yang lain, dari satu menara ke menara yang lain. Dan ketika dia tertawa-tawa menggerakkan kedua lengannya meroboh-robohkan perajurit sambil mencari-cari San-ciangkun, komandan atau panglima disitu maka di bawah pasukannya berteriak-teriak dan sudah pula ada yang berhasil masuk. Kelima gurunya, nenek Naga dan lain-lain sudah membobol pintu gerbang.

Kelima kakek dan nenek iblis ini tak kalah ganas sepak terjangnya dengan sang murid. Mereka membentak dan berkelebatan membagi-bagi pukulan. Dan karena yang dihadapi hanya perajurit-perajurit rendahan dimana mereka itu tentu saja bukan lawan kakek dan nenek-nenek iblis ini maka semuanya mencelat dan terlempar roboh.

"Hi-hik, majulah kalian. Maju... des-des-dess!" tubuh-tubuh beterbangan, terlempar ke sana-sini dan nenek Naga melepas pukulan-pukulan Tee-sin-kangnya dan berteriaklah perajurit-perajurit itu karena tahu-tahu mereka sudah kesakitan di kepala atau perut, mengeluh namun sekejap kemudian merekapun sudah tak sadar apa yang terjadi berikutnya.

Mereka roboh dan tumbang seperti batang pisang dibabat, satu per satu dibantai nenek ini. Dan ketika yang lain juga melakukan begitu dan Siauw-jin berpesta pora di antara perajurit-perajurit yang menyerangnya maka kakek ini bergerak di bawah dan tubuhnya yang pendek kecil mencomot selangkangan lawan yang tentu saja berteriak ngeri karena bagian mereka yang paling vital diremas hancur.

"Ha-ha, ini penambah kekuatan. Bisa membuat tubuh semakin sehat.... plup!" kakek itu menelan sesuatu, entah apa tapi orang tentu merasa ngeri melihat perbuatannya.

Dan ketika Cam-kong di tempat lain juga mendengus-dengus dan pukulan jarak jauhnya menderu ke depan maka disini para perajurit yang berhadapan dengan kakek ini hangus dan gosong, terkena Cam-kong-ciang yang berhawa panas seperti petir! "Heh-heh, buka pintu gerbang. Hayo, buka pintu gerbang...!"

Para perajurit mencelat tak keruan. Memang mereka bukan tandingan kakek tinggi kurus ini, disana Toa-ci dan Ji-moi juga melepas pukulan-pukulan Mo-seng-ciang hingga lawan terbanting mandi darah, roboh dan terlempar-lempar seperti daun-daun kering yang dihempas badai. Dan ketika lima kakek dan nenek-nenek iblis ini membantu Togur yang mencari-cari San-ciangkun akhirnya mereka dikepung ratusan orang ketika sudah mendekati pintu gerbang, siap membukanya.

"Heh, jangan menghalang-halangi. Mundur!" kakek tinggi kurus tiba di bagian timur. Cam-kong atau kakek ini meluncur ke bawah ketika dari menara yang tinggi dia siap menggempur pasukan di bawah. Di sana menunggu dua ratus lebih para perajurit dan perwira mereka, menyambut kakek itu ketika turun dengan hujan panah atau tombak.

Tapi ketika semua itu terpental dan patah-patah bertemu tubuh si kakek, yang mengibas dan menyampok runtuh maka Cam-kong sudah berhadapan dengan sembilan belas perwira muda yang merupakan bawahan San-ciangkun, diserang namun dengan mudah kakek ini menangkis dan mengelak. Dua ratus pasukan sudah meluruk dan menerjang marah, membantu perwiranya.

Namun ketika kakek ini hah-hah-heh-heh dan memutar lengannya sebanyak delapan kali maka orang-orang yang ada di depan mencelat dan terlempar roboh, terkena pukulan berhawa panas itu dan lima perwira menjerit dengan teriakan mengerikan. Mereka itu tertampar dan mukanya segera menghitam, tewas dan melotot dengan wajah hangus.

Dan ketika yang lain menjadi gentar namun harus maju kembali maka Cam-kong membagi-bagi pukulannya dan gerakan kakek ini yang luar biasa cepat dan mengejutkan sudah menghantam yang lain, susul-menyusul para perwira yang terakhir roboh terjengkang. Banjir darah terjadi disitu. Dan ketika semua tersapu mundur dan kakek ini terkekeh mendekati pintu gerbang maka palang pintu yang mengancing kuat ditampar kakek ini dengan pukulan ujung bajunya.

"Kraakkk...!" Palang pintu itu hancur. Diluar sudah terjadi dorongan dan pukulan-pukulan kuat yang dilakukan pasukan penyerbu, anak buah kakek itu. Maka begitu palang pintu hancur dan engsel-engselnya lepas dihantam kakek ini maka daun pintu terkuak lebar dan pasukan diluar menyerbu dengan suaranya yang hiruk-pikuk.

"Serbu! Ha-ha, serang dan bunuh musuh!"

Pasukan San-ciangkun kalut. Mereka menghadapi tokoh-tokoh lihai yang tak dapat dilawan. Dari dalam sudah dikacau kakek dan nenek-nenek iblis ini sedang dari luar oleh teriakan dan serbuan pasukan musuh. Tak ayal mereka menjadi kalut dan kacau. Dan ketika pasukan bangsa liar itu berteriak-teriak dan menyerbu dengan tandangnya yang buas maka banjir darah semakin tak dapat dihindarkan lagi, roboh satu per satu dan dengan cepat pasukan San-ciangkun kehilangan semangatnya.

Perasaan mereka seakan digedor oleh sepak terjang pasukan besar itu, dari mana-mana musuh datang menyerbu dan nenek Naga serta yang lain-lain membantu, inilah pukulan kuat yang membuat pasukan kerajaan patah dan ciut nyalinya. Dan ketika mereka mundur dan terdesak hebat maka di sebelah barat terdengar suara tawa menyeramkan dan terlihatlah pimpinan pasukan ini, Togur, menenteng kepala San-ciangkun yang berlumuran darah.

"Hei, lihat. Ha-ha! Lihat ini dan menyerah baik-baik. San-ciangkun panglima kalian telah kubunuh!"

Pasukan kerajaan ribut. Mereka melihat bahwa benar saja di tangan pemuda tinggi besar itu terdapat kepala San-ciangkun, kepala yang berlumuran darah dan rupanya baru saja dipenggal. Masih segar dan menetes-netes! Dan ketika mereka menjadi gempar dan tentu saja gaduh maka Togur memerintahkan agar mereka menyerah, bergabung dengan pasukan bangsa liar atau mereka dibunuh.

Yang berhati ciut segera membuang senjata, tapi yang masih berani dan setia kepada kerajaan tiba-tiba berteriak dan menyerang lawan. Dan ketika keadaan menjadi gaduh lagi karena pasukan San-ciangkun pecah menjadi dua, yang satu menyerah sedang yang lain melakukan perlawanan kembali maka Togur di atas menara melihat seorang pemuda gagah perkasa yang mengamuk sambil berteriak-teriak di barisan utara.

"Jangan takut, mati dengan gagah jauh lebih baik daripada menjadi pengkhianat dan anjing pengekor. Hayo ikuti aku yang masih bernyali naga dan bunuh lawan-lawan kita!"

Togur mengerutkan kening. Pemuda itu adalah pemuda tampan dengan baju hijau, gagah dan bersenjatakan pedang yang sudah berlumuran darah. Pemuda ini tampak mengamuk dan puluhan orangnya roboh binasa, lihai pemuda itu. Dan ketika Togur menjadi marah dan memandang seorang gurunya yang terdekat dengan pemuda itu, yakni nenek Toa-ci maka nenek ini sudah berkelebat namun bayangan lain tiba-tiba mendahului.

"Biarkan pemuda ini menjadi bagianku!"

Kiranya itulah Siang Le. Pemuda ini, yang bergerak dan menyerbu dari barat akhirnya melihat juga pemuda itu. Kegagahan dan keperkasaan pemuda ini segera menarik perhatian murid See-ong tersebut, melihat Togur sudah membunuh San-ciangkun dan kini dengan kejam serta tak kenal kasihan Togur sudah memperlihatkan penggalan kepala itu di atas menara tertinggi. Siang Le merasa ngeri namun juga benci.

Entah kenapa dia tak menyukai semua itu, dia benci pada rencana serbuan ini tapi gurunya telah memaksanya sedemikian rupa. Dia diminta membalas budi, diungkit-ungkit tentang kebaikan gurunya di masa lalu, tak berdaya pemuda ini. Dan ketika dia melihat betapa kejamnya pasukan Togur yang membantai dan membunuh-bunuhi musuh yang melawan dengan sengit maka dia tertegun melihat pemuda baju biru itu, segera tahu bahwa pemuda ini akan segera roboh binasa. Entah kenapa dia merasa sayang dan kagum kepada pemuda itu.

Maka begitu melihat nenek Toa-ci hendak menghadapi pemuda ini dan dia tahu apa yang bakal terjadi maka cepat-cepat dia mendahului dan Siang Le mengibas nenek itu, menyuruh mundur dan pemuda baju biru itu sudah dihadapinya. Nenek Toa-ci terbelalak dan marah tapi tak dapat berbuat apa-apa. Dan ketika Siang Le sudah berhadapan dengan lawannya dan menyuruh menyerah, hal yang tentu saja tak mungkin dituruti lawan maka pemuda baju biru itu sudah membentak dan menyerangnya, bertempur dan keduanya sudah terlibat dalam satu pertandingan sengit.

Siang Le melihat bahwa pemuda ini memiliki keberanian besar, tapi bukan kepandaian yang cukup untuk menghadapi dirinya atau kakek dan nenek-nenek iblis itu, karena setiap dia menangkis tentu pedang di tangan pemuda itu terpental dan hampir terlepas dari tangannya. Dan ketika Siang Le sudah berkelebatan dengan ilmu meringankan tubuhnya dan berkali-kali pemuda itu disuruh membuang senjata namun tidak mau akhirnya murid See-ong yang memang lebih lihai ini berhasil merobohkan dan mengalahkan lawannya, menotok lepas pedang di tangan si pemuda baju biru.

"Baiklah, lepaskan pedangmu dan robohlah...bluk!"

Pemuda itu menjerit, terlepas pedangnya dan Siang Le telah mengakhiri pertandingan ini, pertandingan yang tidak memakan banyak waktu. Dan ketika pasukannya bersorak sementara nenek Toa-ci berkelebat untuk menghabisi pemuda itu, membantunya, tiba-tiba Siang Le membentak dan menampar nenek ini....